ii. studi pustaka (kbbi) - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/7447/105/bab ii.pdf · ‐...
TRANSCRIPT
II. STUDI PUSTAKA
2.1 Irigasi
2.1.1 Definisi Irigasi
Irigasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (Dalam
Jaringan/Online) Edisi III, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (dahulu
Pusat Bahasa) didefinisikan sebagai “Pengaturan pembagian pengaliran air
menurut sistem tertentu untuk sawah dan sebagainya.” Berdasarkan pengertian
tersebut, irigasi adalah berkenaan dengan pengaturan pembagian pengaliran air
yang menggunakan suatu sistem tertentu dengan tujuan untuk mengairi sawah
dan kepentingan lainnya, seperti untuk mengairi perkebunan, peternakan, dan
perikanan. Definisi irigasi menurut KBBI Daring Edisi III dapat dikatakan
mencakup pengertian yang sangat luas, karena mencakup maksud dan tujuan
selain bidang pertanian.
Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, secara umum dan sederhana
mendefinisikan: “Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk
mengairi lahan pertanian.” Dalam hal ini irigasi diartikan sebagai suatu upaya
yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Meskipun tidak
dijelaskan lebih lanjut secara teknis tentang bagaimana cara mengairi lahan
pertanian, dapat dikatakan bahwa pengertian irigasi tersebut mencakup jenis
irigasi tradisional yang sederhana hingga jenis irigasi modern yang komplek.
7
Pengertian irigasi yang lebih spesifik dijelaskan dalam Undang‐undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, penjelasan pasal 41
ayat 1, yaitu sebagai berikut: “Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan
pembuangan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi
permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi
tambak.” Berdasarkan UU No.7 Tahun 2004, irigasi meliputi usaha penyediaan,
pengaturan dan pembuangan air dengan tujuan untuk menunjang pertanian.
Pengertian irigasi dijelaskan secara rinci dan spesifik meliputi berberapa jenis,
yaitu irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan
irigasi tambak.
Adapun definisi irigasi yang dimaksud dalam tulisan ilmiah ini mengacu pada
pengertian irigasi sesuai UU No.7 Tahun 2004 dengan spesifikasi jenis irigasi
permukaan. Irigasi permukaan adalah pengaliran air di atas permukaan tanah
dengan mengalirkannya langsung dari sungai melalui bendung ataupun tanpa
bangunan bendung ke lahan pertanian secara gravitasi.
2.1.2 Jaringan Irigasi
Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang
merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian,
pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi. (Sumber : Undang‐undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Bab I pasal 1).
Dalam suatu jaringan irigasi dapat dibedakan adanya empat unsur fungsional
pokok, yaitu :
a. Bangunan‐bangunan utama (headworks) di mana air diambil dari
sumbernya, umumnya sungai atau waduk,
b. Jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi ke petak‐petak
tersier,
8
c. Petak‐petak tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan
kolektif, air irigasi dibagi‐bagi dan dialirkan kesawah–sawah dan kelebihan
air ditampung di dalam suatu sistem pembuangan di dalam petak tersier;
d. Sistem pembuang berupa saluran dan bangunan bertujuan untuk membuang
kelebihan air dari sawah ke sungai atau saluran‐saluran alamiah.
Sedangkan menurut Kriteria Perencanaan (KP) Irigasi Kementrian Pekerjaan
Umum 1986, yang dimaksud dengan jaringan irigasi adalah “seluruh bangunan
dan saluran irigasi.” Berdasarkan pengertian tersebut, jaringan irigasi terdiri dari
2 (dua) bagian, yaitu bangunan irigasi, dan saluran irigasi. Sedangkan saluran
irigasi terdiri dari saluran primer dan saluran sekunder.
Gambar 1. Contoh Saluran primer dan sekunder
1. Bangunan Irigasi
Bangunan Irigasi terdiri dari :
Bangunan Utama
Bangunan utama (head works) dapat didefinisikan sebagai kompleks bangunan
yang direncanakan di dan sepanjang sungai atau aliran air untuk membelokkan
air ke dalam saluran agar dapat dipakai untuk keperluan irigasi. Bangunan utama
bisa mengurangi kandungan sedimen yang berlebihan, serta mengukur
9
banyaknya air yang masuk. Bangunan utama terdiri dari bendung dengan
peredam energi, satu atau dua pengambilan utama pintu bilas kolam olak dan
(jika diperlukan) kantong lumpur, tanggul banjir pekerjaan sungai dan bangunan‐
bangunan pelengkap. Bangunan utama dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
kategori sesuai perencanaannya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa kategori
Bangunan Utama :
‐ Bendung Gerak
Bendung gerak adalah bangunan yang dilengkapi dengan pintu yang dapat
dibuka untuk mengalirkan air pada waktu terjadi banjir besar dan ditutup
apabila aliran kecil. Bendung gerak dipakai untuk meninggikan muka air di
sungai sampai pada ketinggian yang diperlukan agar air dapat dialirkan ke
saluran irigasi dan petak tersier.
‐ Bendung Karet
Bendung Karet berfungsi meninggikan muka air dengan cara
mengembangkan tubuh bendung dan menurunkan muka air dengan cara
mengempiskan tubuh bendung yang terbuat dari tabung karet dapat diisi
dengan udara atau air. Proses pengisian udara atau air dari pompa udara
atau air dilengkapi dengan instrumen pengontrol udara atau air
(manometer). Bendung karet memiliki dua bagian pokok yaitu tubuh
bendung yang terbuat dari karet dan pondasi beton berbentuk plat
beton sebagai dudukan tabung karet serta dilengkapi satu ruang kontrol
dengan beberapa perlengkapan (mesin) untuk mengontrol mengembang
dan mengempisnya tabung karet.
‐ Bangunan Pengambilan Bebas
Bangunan Pengambilan Bebas adalah bangunan yang dibuat di tepi sungai
yang mengalirkan air sungai ke dalam jaringan irigasi, tanpa mengatur tinggi
muka air di sungai. Dalam keadaan demikian, jelas bahwa muka air di sungai
harus lebih tinggi dari daerah yang diairi dan jumlah air yang dibelokkan
harus dapat dijamin cukup ketersediaannya.
10
‐ Waduk
Waduk (reservoir) digunakan untuk menampung air irigasi pada waktu
terjadi surplus air di sungai agar dapat dipakai sewaktu‐waktu terjadi
kekurangan air. Jadi, fungsi utama waduk adalah untuk mengatur aliran
sungai. Waduk berukuran besar biasanya mempunyai banyak fungsi seperti
untuk keperluan irigasi, pembangkit listrik tenaga air, pengendali banjir,
perikanan dsb. Sedangkan waduk berukuran kecil lazimnya hanya dipakai
untuk keperluan irigasi saja.
‐ Stasiun Pompa
Bangunan stasiun pompa (rumah pompa) berfungsi sebagai tempat pompa,
mesin, dan alat‐alat pendukung lainnya dan juga untuk menyimpan buku
catatan kegiatan O & P pompa dan fasilitasnya yang terkait. Air dari sumber
air irigasi dialirkan melalui stasiun pompa ke saluran irigasi, selanjutnya
mengalir ke petak sawah. lrigasi dengan pompa bisa dipertimbangkan
apabila pengambilan secara gravitasi temyata tidak layak dilihat dari segi
teknis maupun ekonomis.
2. Saluran Irigasi
Saluran irigasi terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu :
a. Saluran Irigasi Utama, terdiri dari :
‐ Saluran primer berfungsi untuk membawa air dari bendung ke saluran
sekunder dan selanjutnya ke petak‐petak tersier yang perlu diairi. Batas
ujung saluran primer adalah pada bangunan bagi yang terakhir.
‐ Saluran sekunder berfungsi untuk membawa air dari saluran primer ke
petak‐petak tersier yang terhubung dengan saluran sekunder tersebut.
Batas ujung saluran ini adalah pada bangunan sadap terakhir.
‐ Saluran pembawa berfungsi untuk membawa air irigasi dari sumber air
lain (bukan sumber yang memberi air pada bangunan utama proyek) ke
jaringan irigasi primer.
11
‐ Saluran muka tersier berfungsi untuk membawa air dari bangunan sadap
tersier ke petak tersier yang terletak di seberang petak tersier
lainnya.
b. Saluran Irigasi Tersier
‐ Saluran tersier berfungsi untuk membawa air dari bangunan sadap
tersier di jaringan utama ke dalam petak tersier untuk selanjutnya
dibawa ke saluran kuarter. Batas ujung saluran ini adalah pada boks bagi
kuarter yang terakhir.
‐ Saluran kuarter berfungsi untuk membawa air dari boks bagi kuarter
melalui bangunan sadap tersier atau parit sawah ke sawah‐sawah.
c. Garis Sempadan Saluran.
Garis Sempadan Saluran berfungsi untuk mengamankan saluran dan
bangunan irigasi dari risiko kerusakan akibat adanya aktivitas di sekitar
jaringan irigasi. Adapun batas Garis Sempadan Saluran ditetapkan dalam
peraturan khusus mengenai hal tersebut. Dalam hal ini, Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum RI No.17/PRT/M/2011 Tentang Pedoman Penetapan Garis
Sempadan Jaringan Irigasi. Satu hal yang perlu diketahui bahwa ketentuan
tentang Garis sempadan jaringan irigasi diberlakukan baik untuk jaringan
irigasi yang akan dibangun maupun yang telah terbangun dan berlaku secara
menyeluruh untuk jaringan irigasi yang dibangun oleh Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, perseorangan,
maupun oleh badan usaha atau badan sosial.
3. Saluran Pembuang
Saluran pembuang berfungsi untuk membuang kelebihan air pada saluran irigasi
utama, saluran Pembuang terbagi atas 2 (dua), yaitu :
a. Saluran Pembuang Tersier.
Saluran pembuang tersier terletak di dan antara petak‐petak tersier yang
termasuk dalam unit irigasi sekunder yang sama dan menampung air, baik
dari pembuang kuarter maupun dari sawah‐ sawah. Air tersebut dibuang ke
12
dalam jaringan pembuang sekunder. Saluran pembuang kuarter terletak di
dalam satu petak tersier, menampung air langsung dari sawah dan
membuang air tersebut ke dalam saluran pembuang tersier.
b. Saluran Pembuang.
Saluran pembuang mengalirkan air lebih dari saluran pembuang sekunder
ke luar daerah irigasi. Pembuang primer sering berupa saluran pembuang
alamiah yang mengalirkan kelebihan air tersebut ke sungai, anak sungai atau
ke laut. Saluran pembuang sekunder menampung air dari saluran
pembuang tersier dan membuang air tersebut ke pembuang primer atau
langsung ke jaringan pembuang alamiah dan ke luar daerah irigasi.
4. Bangunan bagi dan sadap
Bangunan bagi dan sadap pada irigasi teknis dilengkapi dengan pintu dan alat
pengukur debit untuk memenuhi kebutuhan air irigasi sesuai jumlah dan pada
waktu tertentu. Aliran air akan diukur di hulu (udik) saluran primer, di
cabang saluran jaringan primer dan di bangunan sadap sekunder maupun
tersier. Meskipun demikian, dalam keadaan tertentu sering dijumpai kesulitan‐
kesulitan dalam operasi dan pemeliharaan sehingga muncul usulan sistem
proporsional, yaitu bangunan bagi dan sadap tanpa pintu dan alat ukur tetapi
dengan syarat‐syarat sebagai berikut :
Elevasi ambang ke semua arah harus sama
Bentuk ambang harus sama agar koefisien debit sama.
Lebar bukaan proporsional dengan luas sawah yang diairi.
5. Bangunan pengukur
Bangunan ukur dapat dibedakan menjadi bangunan ukur aliran atas bebas (free
overflow) dan bangunan ukur alirah bawah (underflow). Beberapa dari
bangunan pengukur dapat juga dipakai untuk mengatur aliran air. Bangunan
ukur yang dapat dipakai ditunjukkan pada Tabel 1.
13
Tabel 1. Bangunan ukur yang dapat dipakai
Tipe Mengukur dengan Mengatur
‐ Bangunan ukur Ambang lebar
‐ Bangunan ukur Parshall
‐ Bangunan ukur Cipoletti
‐ Bangunan ukur Romijn
Aliran Atas
Aliran Atas
Aliran Atas
Aliran Atas
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
‐ Bangunan ukur Crump‐de Gruyter
‐ Bangunan sadap Pipa sederhana
‐ Constant – Head orifice (CHO)
‐ Cut Throat Flume
Aliran Bawah
Aliran bawah
Aliran Bawah
Aliran Atas
Ya
Ya
Ya
Tidak
Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP‐01 Tahun 1986
Untuk menyederhanakan operasi dan pemeliharaan, bangunan ukur yang dipakai
di sebuah jaringan irigasi hendaknya tidak terlalu banyak, dan diharapkan pula
pemakaian alat ukur tersebut bisa benar‐benar mengatasi permasalahan yang
dihadapi para petani.
Peralatan berikut dianjurkan pemakaiannya :
‐ di hulu saluran primer
Untuk aliran besar alat ukur ambang lebar dipakai untuk pengukuran dan
pintu sorong atau radial untuk pengatur.
‐ di bangunan bagi bangunan sadap sekunder
Pintu Romijn dan pintu Crump‐de Gruyter dipakai untuk mengukur dan
mengatur aliran. Bila debit terlalu besar, maka alat ukur ambang lebar dengan
pintu sorong atau radial bisa dipakai seperti untuk saluran primer.
‐ bangunan sadap tersier
Untuk mengatur dan mengukur aliran dipakai alat ukur Romijn atau jika
fluktuasi di saluran besar dapat dipakai alat ukur Crump‐de Gruyter. Di
petak‐petak tersier kecil di sepanjang saluran primer dengan tinggi muka air
yang bervariasi dapat dipertimbangkan untuk memakai bangunan sadap pipa
sederhana, di lokasi yang petani tidak bisa menerima bentuk ambang
14
sebaiknya dipasang alat ukur parshall atau cut throat flume. Alat ukur parshall
memerlukan ruangan yang panjang, presisi yang tinggi dan sulit
pembacaannya, alat ukur cut throat flume lebih pendek dan mudah
pembacaannya.
2.1.3 Klasifikasi Jaringan Irigasi
Berdasarkan cara pengaturan dan pengukuran aliran air dan lengkapnya fasilitas,
jaringan irigasi dapat dibedakan ke dalam tiga tingkatan (lihat Tabel 2), yakni
sederhana, semiteknis, atau teknis.
Tabel 2. Klasifikasi Jaringan Irigasi
Uraian Klasifikasi jaringan irigasi
Teknis Semiteknis Sederhana
1 Bangunan Utama
Bangunan permanen Bangunan permanenatau semi permanen
Bangunan sementara
2 Kemampuan bangunan dalam mengukur dan mengatur debit
Baik Sedang Jelek
3 Jaringan saluran Saluran irigasi dan pembuang terpisah
Saluran irigasi dan pembuang tidak sepenuhnya terpisah
Saluran irigasi dan pembuang jadi satu
4 Petak tersier Dikembangkan sepenuhnya
Belum dikembangkanatau densitas bangunan tersier jarang
Belum ada jaringan terpisah yang dikembangkan
5 Efisiensi secara Keseluruhan
Tinggi50 – 60 % (Ancar‐ancar)
Sedang40 – 50% (Ancar‐ancar)
Kurang
< 40% (Ancar‐ancar
6 Ukuran Tak ada batasan Sampai 2.000 ha Tak lebih dari
500 ha
7 Jalan Usaha Tani Ada ke seluruh areal Hanya sebagian areal Cenderung tidakada
8 Kondisi O & P ‐ Ada instansi yangmenangani
‐ Dilaksanakan teratur
Belum teratur Tidak ada O & P
Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP‐01
Dalam konteks Standarisasi Irigasi ini, hanya irigasi teknis saja yang ditinjau.
Bentuk irigasi yang lebih maju ini cocok untuk dipraktekkan di sebagian besar
pembangunan irigasi di Indonesia.
15
2.2 Kehilangan Air
Kehilangan air pada saluran irigasi adalah berkurangnya volume air pada saluran
irigasi yang ditandai dengan adanya perbedaan antara debit aliran “inflow” dan
“outflow.” Faktor‐faktor penyebab kehilangan air pada saluran irigasi, antara lain
penguapan dan rembesan pada struktur saluran irigasi
2.2.1 Efisiensi
Untuk tujuan‐tujuan perencanaan, dianggap bahwa seperlima sampai
seperempat dari jumlah air yang diambil akan hilang sebelum air itu sampai di
sawah. Kehilangan ini disebabkan oleh kegiatan eksploitasi, evaporasi dan
perembesan. Kehilangan akibat evaporasi dan perembesan umumnya kecil saja
jika dibandingkan dengan jumlah kehilangan akibat kegiatan eksploitasi.
Penghitungan rembesan hanya dilakukan apabila kelulusan tanah cukup tinggi.
Pemakaian air hendaknya diusahakan seefisien mungkin, terutama untuk
daerah dengan ketersediaan air yang terbatas. Kehilangan ‐ kehilangan air dapat
diminimalkan melalui :
a. Perbaikan sistem pengelolaan air :
‐ Sisi operasional dan pemeliharaan (O&P) yang baik
‐ Efisiensi operasional pintu
‐ Pemberdayaan petugas O&P
‐ Penguatan institusi O&P
‐ Meminimalkan pengambilan air tanpa ijin
‐ Partisipasi P3A
b. Perbaikan fisik prasarana irigasi :
‐ Mengurangi kebocoran disepanjang saluran
‐ Meminimalkan penguapan
‐ Menciptakan sistem irigasi yang andal, berkelanjutan, diterima petani
16
Efisiensi secara keseluruhan (total) dihitung sebagai berikut :
Efisiensi jaringan tersier (et) x Efisiensi jaringan sekunder (CS) x Efisiensi jaringan
primer (ep). Rentang nilai efisiensi sebagai faktor pengali: 0,65 ‐ 0,79.
Batas efisiensi kebutuhan air irigasi di sawah (NFR) harus dibagi e untuk
memperoleh jumlah air yang dibutuhkan di bangunan pengambilan dari sungai.
Formula perhitungan kebutuhan air irigasi yang telah memperhitungkan faktor
efisiensi pada sawah petak tersier, sekunder dan petak primer dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Formula Kebutuhan Air
Tingkat Kebutuhan Air Satuan
Sawah Petak
Tersier NFR (Kebutuhan bersih air di sawah TOR (kebutuhan air di bangunan sadap tersier)
(l/dt/ha)
(NFR x luas daerah) x 1 Et
(l/dt)
Petak Sekunder SOR (kebutuhan air dibangunan sadap sekunder)
ΣTOR x 1 c3
(l/dt atau m3/dt)
Petak Primer MOR (Kebutuhan air di bangunan sadap primer)
ΣTOR mc1 ) x 1 e p
(l/dt atau m3/dt)
Bendung DR (kebutuhan diversi) MOR sisi kiri dan MOR sisi kanan
m3/dt
Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Saluran KP‐03 Tahun 1986
2.2.2 Formula Perhitungan Rembesan Air Irigasi
Besarnya kehilangan air pada saluran irigasi akibat rembesan dapat dihitung
dengan menggunakan rumus Moritz (USBR), sebagai berikut:
0,035 / (1)
17
Dimana :
S = kehilangan akibat rembesan, m3 /dt per km panjang saluran
Q = debit, m3 / dt
v = kecepatan, m/dt
C = koefisien tanah rembesan, m/hari
0,035 = konstanta, m/km
Nilai variabel C dapat dilihat pada Tabel 4. Untuk saluran irigasi yang
menggunakan beton (linning) nilai variable C dapat dilihat pada halaman 18.
Tabel 4. Nilai koefisien tanah rembesan (C)
Jenis Tanah Harga C
m/hari
‐ Kerikil sementasi dan lapisan penahan (hardpan) dengan penuh pasiran 0,10
‐ Lempung dan geluh lempungan 0,12
‐ Geluh pasiran 0,20
‐ Abu vulkanik 0,21
‐ Pasir dan abu vulkanik atau lempung 0,37
‐ Lempung pasiran dengan batu 0,51
‐ Batu pasiran dan kerikilan 0,67
Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Saluran KP‐03 Tahun 1986
Menurut beberapa pengalaman Bank Dunia dalam peliningan saluran irigasi yang
kokoh (rigid) dan fleksible, besarnya kehilangan air biasanya mencapai 10 s/d 40
persen dari volume air yang disalurkan. Pengurangan kehilangan air seringkali
diasumsikan sama dengan umur yang diharapkan dari peliningan untuk
mendapatkan keuntungan ekonomisnya. Keuntungan lining saluran dapat
mengurangi pertumbuhan rumput, namun pada kenyataannya keuntungan ini
diragukan terutama dalam berbagai proyek dengan saluran lining lama dan
dengan adanya konstruksi yang salah.
Permasalahan dalam memperkirakan Seepage Losses :
1. Sulit membandingkan hasil test dan perkiraan disebabkan oleh banyaknya
variabel
18
2. Pengecekan seepage losses secara khusus dari catatan operasi sangat mahal
disebabkan oleh banyaknya variabel
3. Penerbitan pencatatan sering salah didalam mencatat variabel penting
Variabel‐Variabel Seepage :
a. karakteristik tanah :
‐ porositas, permeabilitas,
‐ kimiawi, jenis butirannya,
‐ tingkat/bahan pembentuk (stratigraphy)
b. penampang lingkar saluran
c. posisi kedalaman air tanah
d. kimia tanah dan air
e. temperatur air
f. sedimentasi : efek pengendapan
g. kualitas konstruksi
h. umur saluran
i. Siklus drainase
j. Pemeliharaan
Pengaruh Kekerasan Saluran dengan Seepage Losses Uraian (Deacon, 1984)
saluran tidak berlining = 0,23 m/hari
beton = 0,04 m/hari
Satu lapis batu bata = 0,05 m/hari
Dua lapis batu bata = 0,03 m/hari
Pengukuran menggunakan metode ponding (Singh, 1987)
saluran tidak berlining = 0,30 m/hari
saluran berlining = 0,03 m/hari
Data ini didasarkan pada test yang terkontrol di laboratorium dan dititik
pengamatan (penampang saluran) dengan pemeliharaan yang sangat baik.
19
Sebab‐sebab tidak‐efektifnya saluran lining yang keras :
Bentuk garis aliran (flow line) dan ekuipotensialnya
Kualitas konstruksi dan pemeliharaan yang jelek
Model Numerik :
Saluran berlining dengan 1% retak di penampangnya mempunyai laju
kehilangan air (seepage rate) 70% dari saluran yang tidak berlining
(kedalaman terhadap muka air tanah : 8 m)
Kualitas Konstruksi
Kejenuhan air tanah setelah menyatu didalam suatu saluran
menyebabkan beberapa penurunan massa tanah yang menyebabkan
pemisahan di sub tingkatnya atau lapisan liningnya. Lining tersebut pada
akhirnya hanya akan bertumpu pada titik tertentu saja sehingga
menghasilkan hal‐hal :
‐ Retak (cracks) akan terjadi di lapisan ini
‐ Pemisahan tanah ini memberikan kesempatan rembesan bergerak
dibawah sebagian besar lapisan lining tersebut.
Kehilangan air melalui dasar saluran ditentukan oleh faktor‐faktor :
a. Jenis Tanah
b. Macam‐macam saluran (galian – timbunan)
c. Laju Sedimentasi, dan
d. Kecepatan aliran air.
2.2.3 Perhitungan Evaporasi dan Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah banyaknya air yang dilepaskan ke udara dalam bentuk
uap air yang dihasilkan dari proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasi terjadi
pada permukaan badan‐badan air, misalnya danau, sungai dan genangan air.
20
Sedangkan transpirasi terjadi pada tumbuhan akibat proses asimilasi. Ada
beberapa metoda dalam penentuan evapotranspirasi potensial diantaranya yaitu
metoda Thornwaite, Blaney Criddle dan Penman modifikasi. Ketiga metoda
tersebut berbeda dalam macam data yang digunakan untuk perhitungan.
Metoda Thornwaite memerlukan data temperatur dan letak geografis. Metoda
Blaney Criddle memerlukan data temperatur dan data prosentase penyinaran
matahari. Metoda Penman modifikasi memerlukan data temperatur,
kelembaban udara, prosentase penyinaran matahari dan kecepatan angin.
Pemilihan metoda tergantung dari data yang tersedia. Di lapangan biasanya
digunakan Lysimeter untuk mempercepat dan mempermudah perhitungan.
Untuk perhitungan di atas kertas, lebih baik menggunakan metoda Penman
modifikasi, sebab menghasilkan perhitungan yang lebih akurat. Selain itu,
metoda Penman modifikasi ini mempunyai cakupan data meteorologi yang
digunakan adalah yang paling lengkap di antara metoda‐metoda yang lain.
Perhitungan Evaporasi (E) dan Evapotranspirasi (Etp) dapat dilakukan dengan
berbagai cara tergantung dari data parameter klimatologi yang tersedia.
Tabel 5. Metode Perhitungan Evaporasi dan Evapotranspirasi
No. Metode Minimum Parameter Hidrologi
1 Penman T, S, RH, W
2 Blaney‐Cridle T
3 Penguapan Panci Pan A Evaporasi panci Pan A
Sumber : Pelatihan Hidrologi Dan Manajement Aset BWRM_WISMP 1
21
Tabel 6. Parameter Perencanaan Evapotranspirasi
Metode Data Parameter
PDengan pengukuran Kelas Pan A harga‐harga
evapotransiprasi
Jumlah rata‐rata 10 harian
atau 30 harian, untuk setiap
tengah bulanan atau
minguan
Perhitungan dengan
rumus penman atau
yang sejenis
Temperatur kelembapan
relatifsinar matahari angin
Harga rata‐rata tengah
bulanan, atau rata‐rata
mingguan
Sumber : Kriteria Perencanaan – KP 01
Perhitungan evapotranspirasi setengah bulanan dengan ketetapan tanggal 1
sampai 15 untuk setengah bulan pertama dan 16 sampai akhir bulan untuk
setengah bulan berikutnya.
Sesuai dengan tabel diatas maka perhitungan evapotranspirasi rata‐rata
setengah bulanan dalam panduan ini ada 2 metode yang akan dibahas, yaitu
Metode Penman dan Panci Pan A.
1. Persamaan Evaporasi
Evaporasi dipengaruhi beberapa faktor, satuan evaporasi yaitu millimeter per
hari (mm/hari). Pengukuran evaporasi dapat dilakukan dengan menggunakan
rumus Penman (Sosrodarsono,1976) :
0,35 1 (2)
Dimana :
E = Evaporasi (mm/hari)
= Tekanan Uap Jenuh Pada Suhu Rata‐rata harian (mm/Hg)
= Tekanan Uap Sebenarnya (mm/Hg)
V = Kecepatan Angin pada ketinggian 2 m diatas permukaan tanah
(mile/hari)
22
Bila evaporasi diukur di stasiun agrometeorologi, maka biasanya digunakan pan
Kelas A. harga‐harga pan evaporasi (Epan) dikonversi ke dalam angka‐angka ETo
dengan menerapkan faktor pan Kp antara 0,65 dan 0,85 bergantung kepada
kecepatan angin, kelembapan relatif serta elevasi.
ETo = Kp . Epan (3)
Dimana :
ETo = Evaporasii (mm/hari)
Kp = Koefisien panci
Harga‐harga faktor pun mungkin sangat bervariasi bergantung kepada
lamanya angin bertiup, vegetasi di daerah sekitar dan lokasi pan.
Evaporasi pan diukur secara harian, demikian pula harga‐harga ETo.
Epan = Penguapan panci Pan A rata‐rata (mm.hari)
Untuk perhitungan evaporasi, diajurkan untuk menggunakan rumus Penman
yang sudah dimodifikasi, Temperatur, Kelembaban, angin dan sinar matahari
(atau radiasi) merupakan parameter dalam rumus tersebut. Data‐data ini diukur
secara harian pada stasiun‐stasiun (agro) meteorologi hitung ETo dengan rumus
Penman.
Untuk rumus Penman yang dimodifikasi ada 2 (dua) metode yang dapat
digunakan, yaitu :
‐ Metode Nedeco/ Prosida yang lihat terbitan Dirjen Pengairan, Bina Program
PSA 010, 1985
‐ Metode FAO lebih umum dipakai dan dijelaskan dalam terbitan FAO Crop
Water Requirments, 1975.
23
Tabel 7. Koefisien Refleksi (Albedo)
Jenis Permukaan Albedo (α)
Air Terbuka 0,05 – 0,15Batuan 0,12 – 0,15 Pasir 0,10 – 0,20 Tanah Kering 0,14Tanah Basah 0,08 – 0,09 Hutan 0,05 – 0,20Rumput 0,10 – 0,33 Rumput Kering 0,15 – 0,25Salju 0,90 Es 0,45 – 0,50Tanaman 0,20
Seandainya data‐data meteorologi untuk daerah tersebut tidak tersedia maka
harga‐harga ETo boleh diambil sesuai dengan daerah‐daerah di sebelahnya.
Keadaan‐keadaan meteorologi hendaknya diperiksa dengan seksama agar
transposisi data demikian dapat dijamin keandalannya. Keadaan‐keadaan
temperatur, kelembaban, angin dan sinar matahari diperbandingkan. Pengguna
komsumtif dihitung secara tengah bulanan, demikian pula harga‐harga
evapotranspirasi acuan. Setiap jangka waktu setengah bulan harga ETo
ditetapkan dengan analisis frekuensi.
2. Persamaan Evapotranspirasi
Evapotranspirasi tanaman acuan adalah evapotranspirasi tanaman yang
dijadikan acuan, yakni rerumputan pendek. ETo adalah kondisi evaporasi
berdasarkan keadaan – keadaan meteorologi seperti :
‐ Temperatur
‐ Sinar matahari (atau radiasi)
‐ Kelembaban
‐ Angin
24
Harga‐harga ETo dari rumus penman menunjuk pada tanaman acuan apabila
digunakan albedo 0,25 (rerumputan pendek). Koefisien‐koefisien tanaman yang
dipakai untuk penghitungan ETc harus didasarkan pada ETo ini dengan albedo
0,25. Berikut dibawah ini table koefisien refleksi (albedo).
Evapotranspirasi dapat dihitung dengan rumus‐rumus teoritis‐empiris dengan
mempertimbangkan faktor‐faktor meterologi di atas.
ET= c.( w . Rn + ( 1 ‐ w ) . f(u) . ( ea ‐ ed ) ) (4)
dimana :
ET : Evapotranspirasi dalam mm/hari
c : Faktor koreksi akibat keadaan iklim siang dan malam
w : Faktor bobot tergantung dari temperatur udara dan ketinggian tempat
Rn : Radiasi netto ekivalen dengan evaporasi mm/hari = Rns ‐ Rnl
Rns : Gelombang pendek radiasi yang masuk =(1‐).Rs = (1‐).(0,25+ n/N).Ra
Ra : Ekstra terestrial radiasi matahari
Rnl : f(t).f(ed).f(n/N) Gelombang panjang radiasi netto
N : Lama maksimum penyinaran matahari
1 ‐ w : Faktor bobot tergantung pada temperatur udara
f(u) : Fungsi kecepatan angin = 0,27 . ( 1 + u/100 )
f(ed) : Efek tekanan uap uap pada radiasi gelombang panjang
f(n/N) : Efek lama penyinaran matahari paada radiasi gelombang panjang
f(t) : Efek temperatur pada radiasi gelombang panjang
ea : Tekanan uap jenuh tergantung pada temperatur
ed : ea . Rh/100
Rh : Curah hujan efektif
2.2.4 Perhitungan Debit Air di Saluran
Perhitungan debit air disaluran dapat dilakukan dengan cara mempergunakan
rumus debit saluran sebagai berikut :
25
1. Kecepatan air mengalir pada saluran diukur dengan menggunakan alat
current meter. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan debit air
adalah :
Q = V x A (5)
Dimana :
Q = Debit Air (m3/det)
V = Kecepatan Aliran (m/det)
A = Luas Penampang Saluran (m2)
Pada pengukuran kecepatan aliran di saluran ditentukan dengan membagi
penampang melintang saluran dalam Raai‐raai pengukuran seperti contoh dalam
gambar 2. Posisi penempatan Current Meter berbeda‐beda tergantung dari
kedalaman saluran tersebut. Untuk saluran yang dalamnya kurang dari 0,5 Meter
diambil pengukuran pada 0,6 H. Sedangkan untuk saluran dengan kedalaman
lebih dari 0,5 Meter diambil pengukuran pada 0,2 H dan 0,8 H.
Gambar 2. Pembagian Penampang Melintang Saluran Dalam Pengukuran
26
2. Pengukuran kecepatan aliran dapat dilakukan pada beberapa kedalaman
yaitu sebagai berikut :
Untuk kedalaman sungai < 0,50 m atau Hair < 6 x propeler
Pengukuran kecepatan aliran cukup pada satu titik saja yaitu pada
kedalaman 0,6 h (dimana h adalah kedalaman air, dan 0,6 h diukur dari
permukaan air).
V0.6 m/dt (6)
Keterangan:
V0.6 = Kecepatan aliran pada titik dengan kedalaman 0.6 h
Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT
BWRM_WISMP 1 ‐ Panduan Pengukuran debit/aliran
Untuk kedalaman air 0,50 m
Pengukuran kecepatan aliran metode dua titik dilakukan pada dua titik
kedalaman: 0,2 h dan 0,8 h
V0,2 + V0,8 V = m/dt 2
(7)
Gambar 3. Untuk kedalaman air 0,50 m
Apabila distribusi kecepatan ke arah vertikal tidak normal, maka pengukuran
kecepatan aliran dilakukan dengan metode tiga titik sebagai berikut :
V0,2 + V0,8 V0.6 + 2 V = m/dt 2
(8)
27
keterangan :
Vrata2 = kecepatan aliran rata‐rata pada suatu vertikal, m/dt.
V0,2 = kecepatan aliran pada titik 0,2 d, m/dt.
V0,6 = kecepatan aliran pada titik 0,6 d, m/dt.
V0,8 = kecepatan aliran pada titik 0,8 d, m/dt.
Gambar 4. Distribusi Kecepatan Aliran Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT
BWRM_WISMP 1 ‐ Panduan Pengukuran debit/aliran
Tata cara peletakan propeler sesuai dengan kedalaman air
Kedalaman air > 0,50 m
Gambar 5. Pengukuran untuk kedalaman air > 0,50 m Kedalaman air < 0.50 m
Propeller
Gambar 6. Posisi Propeller untuk kedalaman air < 0,50 m
Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT BWRM_WISMP 1 ‐
Panduan Pengukuran debit/aliran
H < 0.5 0.6 H
Perhitungan debit umumnya mengikuti cara/metode Mid‐Area Method, seperti
yang digambar pada gambar dibawah ini :
Gambar 7. Pengukuran debit dengan cara Mid Area
an = dn x b (9)
Q = q1 + q2 + q3 +……. + qn
Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT BWRM_WISMP 1 ‐
Panduan Pengukuran debit/aliran
Lebar satu sub‐seksi ditentukan oleh setengah jarak di sebelah kiri dan setengah
di sebelah kanan dari pengukuran vertikal.
3. Distribusi Kecepatan Aliran
Kecepatan aliran pada suatu potongan melintang saluran tidak seragam
karena adanya tekanan pada muka air akibat perbedaan fluida antara udara
dan air seperti ditunjukkan pada gambar 4. Di samping itu juga akibat gaya
gesekan pada dinding saluran, baik pada dasar maupun tebing saluran
(Addison, 1944 ; Chow. 1959). Ketidakseragaman ini juga disebabkan oleh
bentuk tampang melintang saluran, kekasaran saluran dan lokasi saluran
(saluran lurus, atau pada belokan). Kecepatan maksimum umumnya terjadi
pada jarak 0,05 sampai 0,25 dikalikan kedalaman artinya dihitung dari
permukaan air seperti ditunjukkan dalam gambar 9 dan gambar 10. Namun
pada sungai yang sangat lebar dengan kedalaman dangkal (shalow),
Kecepatan maksimum terjadi pada permukaan air (Addison, 1994). Makin
bda nn
2
bbda 1nn
nn
nnn vaq
Q = (A x V)per ruas bn bn+1 A = b x dn ; b = + 2 2 Dimana:
bn : jarak raai (m) dn : kedalaman raai
29
Dasar Saluran
y
distribusi kecepatanuntuk dasar saluran halus
distribusi kecepatanuntuk dasar saluran kasar
0,05 ‐ 0,25 y
0,05 ‐ 0,25 y
y
Dasar Saluran
sempit saluran, kecepatan air maksimumnya makin dalam. (Buku Hidrolika
Terapan Aliran Pada Saluran Terbuka dan Pipa, Robert J Kodoatie).
Gambar 8. Jarak kecepatan air maksimum
Gambar 9. Efek kekasaran dasar saluran pada distribusi kecepatan vertikal Sumber : Addison, 1994; Chow, 1959
Gambar 10. Contoh distribusi saluran (kontur) (Chow, 1959).
21.5
10.5
Kontur kecepatan aliran