ii. studi pustaka (kbbi) - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/7447/105/bab ii.pdf · ‐...

24
II. STUDI PUSTAKA 2.1 Irigasi 2.1.1 Definisi Irigasi Irigasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (Dalam Jaringan/Online) Edisi III, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (dahulu Pusat Bahasa) didefinisikan sebagai “Pengaturan pembagian pengaliran air menurut sistem tertentu untuk sawah dan sebagainya.” Berdasarkan pengertian tersebut, irigasi adalah berkenaan dengan pengaturan pembagian pengaliran air yang menggunakan suatu sistem tertentu dengan tujuan untuk mengairi sawah dan kepentingan lainnya, seperti untuk mengairi perkebunan, peternakan, dan perikanan. Definisi irigasi menurut KBBI Daring Edisi III dapat dikatakan mencakup pengertian yang sangat luas, karena mencakup maksud dan tujuan selain bidang pertanian. Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, secara umum dan sederhana mendefinisikan: “Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian.” Dalam hal ini irigasi diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Meskipun tidak dijelaskan lebih lanjut secara teknis tentang bagaimana cara mengairi lahan pertanian, dapat dikatakan bahwa pengertian irigasi tersebut mencakup jenis irigasi tradisional yang sederhana hingga jenis irigasi modern yang komplek.

Upload: ngodien

Post on 06-Feb-2018

278 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

 

      

II. STUDI PUSTAKA     

2.1 Irigasi  

2.1.1 Definisi Irigasi 

 

Irigasi  menurut  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia  (KBBI)  Daring  (Dalam 

Jaringan/Online)  Edisi  III,  Badan  Pengembangan  dan  Pembinaan  Bahasa 

Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik  Indonesia  (dahulu 

Pusat  Bahasa)  didefinisikan  sebagai  “Pengaturan  pembagian  pengaliran  air 

menurut sistem tertentu untuk sawah dan sebagainya.”  Berdasarkan pengertian 

tersebut, irigasi adalah berkenaan dengan pengaturan pembagian pengaliran air 

yang menggunakan suatu sistem tertentu dengan tujuan untuk mengairi sawah 

dan  kepentingan  lainnya,  seperti untuk mengairi perkebunan, peternakan, dan 

perikanan.  Definisi  irigasi  menurut  KBBI  Daring  Edisi  III  dapat  dikatakan 

mencakup  pengertian  yang  sangat  luas,  karena mencakup maksud  dan  tujuan 

selain bidang pertanian.  

  

Wikipedia Bahasa  Indonesia,  ensiklopedia bebas,  secara  umum dan  sederhana 

mendefinisikan:  “Irigasi  merupakan  upaya  yang  dilakukan  manusia  untuk 

mengairi  lahan  pertanian.” Dalam  hal  ini  irigasi  diartikan  sebagai  suatu  upaya 

yang  dilakukan  manusia  untuk  mengairi  lahan  pertanian.  Meskipun  tidak 

dijelaskan  lebih  lanjut  secara  teknis  tentang  bagaimana  cara  mengairi  lahan 

pertanian,  dapat  dikatakan  bahwa  pengertian  irigasi  tersebut mencakup  jenis 

irigasi tradisional yang sederhana hingga jenis irigasi modern yang komplek.  

 

7

 Pengertian  irigasi yang  lebih spesifik dijelaskan dalam Undang‐undang Republik 

Indonesia Nomor 7   Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, penjelasan pasal 41 

ayat 1, yaitu sebagai berikut: “Irigasi adalah  usaha penyediaan, pengaturan, dan 

pembuangan  air  untuk  menunjang  pertanian  yang  jenisnya  meliputi  irigasi 

permukaan,  irigasi  rawa,  irigasi  air  bawah  tanah,  irigasi  pompa,  dan  irigasi 

tambak.” Berdasarkan UU No.7 Tahun 2004,  irigasi meliputi usaha penyediaan, 

pengaturan  dan  pembuangan  air  dengan  tujuan  untuk menunjang  pertanian. 

Pengertian  irigasi  dijelaskan  secara  rinci  dan  spesifik meliputi  berberapa  jenis, 

yaitu  irigasi permukaan,  irigasi  rawa,  irigasi air bawah  tanah,  irigasi pompa dan 

irigasi tambak.  

  

Adapun  definisi  irigasi  yang  dimaksud  dalam  tulisan  ilmiah  ini mengacu  pada 

pengertian  irigasi  sesuai  UU  No.7  Tahun  2004  dengan  spesifikasi  jenis  irigasi 

permukaan.  Irigasi  permukaan  adalah  pengaliran  air  di  atas  permukaan  tanah 

dengan mengalirkannya  langsung  dari  sungai melalui  bendung  ataupun  tanpa 

bangunan bendung ke lahan pertanian secara gravitasi.  

 

2.1.2 Jaringan Irigasi 

 

Jaringan  irigasi  adalah  saluran,  bangunan,  dan  bangunan  pelengkapnya  yang 

merupakan  satu  kesatuan  yang  diperlukan  untuk  penyediaan,  pembagian, 

pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi. (Sumber : Undang‐undang 

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Bab I pasal 1).  

Dalam  suatu  jaringan  irigasi  dapat  dibedakan  adanya  empat  unsur  fungsional 

pokok, yaitu : 

a.   Bangunan‐bangunan  utama  (headworks)  di  mana  air  diambil  dari 

sumbernya, umumnya sungai atau waduk, 

b.  Jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi  ke petak‐petak 

tersier, 

 

8

c.    Petak‐petak  tersier  dengan  sistem  pembagian  air  dan  sistem  pembuangan 

kolektif,  air  irigasi dibagi‐bagi dan dialirkan  kesawah–sawah dan  kelebihan 

air ditampung di dalam suatu sistem pembuangan di dalam petak tersier; 

d.   Sistem pembuang berupa saluran dan bangunan bertujuan untuk membuang 

kelebihan air dari sawah ke sungai atau saluran‐saluran alamiah. 

 

Sedangkan  menurut  Kriteria  Perencanaan  (KP)  Irigasi  Kementrian  Pekerjaan 

Umum 1986, yang dimaksud dengan  jaringan  irigasi adalah  “seluruh bangunan 

dan saluran irigasi.” Berdasarkan pengertian tersebut, jaringan irigasi terdiri dari 

2  (dua)  bagian,  yaitu  bangunan  irigasi,  dan  saluran  irigasi.  Sedangkan  saluran 

irigasi terdiri dari saluran primer dan saluran sekunder. 

 

 

Gambar 1. Contoh  Saluran primer dan sekunder 

 

1. Bangunan Irigasi 

Bangunan Irigasi terdiri dari : 

Bangunan Utama 

Bangunan utama  (head works) dapat didefinisikan  sebagai kompleks bangunan 

yang direncanakan di dan sepanjang sungai atau aliran air untuk membelokkan 

air ke dalam saluran agar dapat dipakai untuk keperluan irigasi. Bangunan utama 

bisa  mengurangi  kandungan  sedimen  yang  berlebihan,  serta  mengukur 

 

9

banyaknya  air  yang  masuk.  Bangunan  utama  terdiri  dari  bendung  dengan 

peredam energi,  satu atau dua pengambilan utama pintu bilas kolam olak dan 

(jika diperlukan) kantong lumpur, tanggul banjir pekerjaan sungai dan bangunan‐

bangunan pelengkap. Bangunan utama dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa 

kategori  sesuai  perencanaannya. Berikut  ini  akan dijelaskan  beberapa  kategori 

Bangunan Utama : 

‐ Bendung Gerak 

Bendung gerak adalah bangunan yang dilengkapi dengan pintu yang dapat 

dibuka untuk mengalirkan  air pada waktu  terjadi banjir besar dan ditutup 

apabila aliran kecil. Bendung gerak dipakai untuk meninggikan muka air di 

sungai  sampai pada  ketinggian  yang diperlukan agar air dapat dialirkan  ke 

saluran irigasi dan petak tersier.  

‐ Bendung Karet 

Bendung  Karet  berfungsi  meninggikan  muka  air  dengan  cara 

mengembangkan  tubuh  bendung  dan menurunkan muka  air  dengan  cara 

mengempiskan  tubuh  bendung  yang  terbuat  dari  tabung  karet  dapat  diisi 

dengan  udara  atau  air. Proses pengisian  udara  atau  air dari pompa  udara 

atau  air  dilengkapi  dengan  instrumen  pengontrol  udara  atau  air 

(manometer).  Bendung  karet  memiliki  dua  bagian  pokok  yaitu  tubuh 

bendung  yang  terbuat   dari    karet   dan   pondasi   beton   berbentuk   plat  

beton  sebagai dudukan  tabung  karet  serta  dilengkapi  satu  ruang  kontrol  

dengan  beberapa  perlengkapan  (mesin)  untuk  mengontrol  mengembang 

dan mengempisnya tabung karet. 

‐ Bangunan Pengambilan Bebas 

Bangunan Pengambilan Bebas adalah bangunan yang dibuat di  tepi  sungai 

yang mengalirkan air sungai ke dalam jaringan irigasi, tanpa mengatur tinggi 

muka air di sungai. Dalam keadaan demikian, jelas bahwa muka air di sungai 

harus  lebih  tinggi  dari  daerah  yang  diairi  dan  jumlah  air  yang  dibelokkan 

harus dapat dijamin cukup ketersediaannya. 

   

 

10

‐ Waduk 

Waduk  (reservoir)  digunakan  untuk  menampung  air  irigasi  pada  waktu 

terjadi  surplus  air  di  sungai  agar  dapat  dipakai  sewaktu‐waktu  terjadi 

kekurangan  air.  Jadi,  fungsi  utama  waduk  adalah  untuk  mengatur  aliran 

sungai. Waduk berukuran besar biasanya mempunyai banyak fungsi seperti 

untuk  keperluan  irigasi,  pembangkit  listrik  tenaga  air,  pengendali  banjir, 

perikanan dsb.  Sedangkan waduk   berukuran  kecil  lazimnya hanya dipakai 

untuk keperluan irigasi saja. 

‐ Stasiun Pompa 

Bangunan stasiun pompa (rumah pompa) berfungsi sebagai tempat pompa, 

mesin,  dan  alat‐alat  pendukung  lainnya  dan  juga  untuk menyimpan  buku 

catatan kegiatan O & P pompa dan fasilitasnya yang terkait. Air dari sumber 

air  irigasi  dialirkan  melalui  stasiun  pompa  ke  saluran  irigasi,  selanjutnya 

mengalir  ke  petak  sawah.  lrigasi  dengan  pompa  bisa  dipertimbangkan 

apabila  pengambilan  secara  gravitasi  temyata  tidak  layak  dilihat  dari  segi 

teknis maupun ekonomis.  

   

2. Saluran Irigasi 

Saluran irigasi terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu : 

a. Saluran Irigasi Utama, terdiri dari : 

‐  Saluran  primer  berfungsi  untuk membawa  air  dari  bendung  ke  saluran 

sekunder dan selanjutnya ke petak‐petak  tersier yang perlu diairi. Batas 

ujung saluran primer adalah pada bangunan bagi yang terakhir. 

‐  Saluran  sekunder berfungsi untuk membawa  air dari  saluran primer  ke 

petak‐petak  tersier  yang  terhubung  dengan  saluran  sekunder  tersebut. 

Batas ujung saluran ini adalah pada bangunan sadap terakhir. 

‐  Saluran pembawa berfungsi untuk membawa air  irigasi dari  sumber air 

lain  (bukan sumber yang memberi air pada bangunan utama proyek) ke 

jaringan irigasi primer. 

 

11

‐  Saluran muka tersier berfungsi untuk membawa air dari bangunan sadap 

tersier  ke  petak    tersier    yang    terletak    di    seberang    petak    tersier  

lainnya. 

b. Saluran Irigasi Tersier 

‐ Saluran    tersier berfungsi untuk membawa    air   dari   bangunan    sadap  

tersier    di  jaringan  utama  ke  dalam  petak  tersier  untuk  selanjutnya 

dibawa ke saluran kuarter. Batas ujung saluran ini adalah pada boks bagi 

kuarter yang terakhir. 

‐ Saluran  kuarter  berfungsi  untuk  membawa  air  dari  boks  bagi  kuarter 

melalui bangunan sadap tersier atau parit sawah ke sawah‐sawah. 

c. Garis Sempadan Saluran. 

Garis  Sempadan  Saluran  berfungsi  untuk  mengamankan    saluran    dan  

bangunan    irigasi  dari  risiko  kerusakan  akibat  adanya  aktivitas  di  sekitar 

jaringan  irigasi.  Adapun  batas  Garis  Sempadan  Saluran  ditetapkan  dalam 

peraturan khusus mengenai hal  tersebut. Dalam hal  ini, Peraturan Menteri 

Pekerjaan Umum RI No.17/PRT/M/2011 Tentang Pedoman Penetapan Garis 

Sempadan  Jaringan  Irigasi. Satu hal yang perlu diketahui bahwa ketentuan 

tentang  Garis  sempadan  jaringan  irigasi  diberlakukan  baik  untuk  jaringan 

irigasi yang akan dibangun maupun yang telah terbangun dan berlaku secara 

menyeluruh  untuk  jaringan  irigasi  yang  dibangun  oleh  Pemerintah, 

pemerintah  provinsi,  dan  pemerintah  kabupaten/kota,  perseorangan, 

maupun oleh badan usaha atau badan sosial.  

 

3. Saluran Pembuang 

Saluran pembuang berfungsi untuk membuang kelebihan air pada saluran irigasi 

utama, saluran Pembuang terbagi atas 2 (dua), yaitu : 

a. Saluran Pembuang Tersier. 

Saluran  pembuang  tersier  terletak  di  dan  antara  petak‐petak  tersier  yang 

termasuk dalam unit  irigasi sekunder yang sama dan menampung air, baik 

dari pembuang kuarter maupun dari sawah‐ sawah.  Air tersebut dibuang ke 

 

12

dalam  jaringan pembuang  sekunder. Saluran pembuang kuarter  terletak di 

dalam  satu  petak  tersier,  menampung  air  langsung  dari  sawah  dan 

membuang air tersebut ke dalam saluran pembuang tersier. 

b. Saluran Pembuang. 

Saluran pembuang mengalirkan air  lebih dari saluran pembuang    sekunder  

ke  luar  daerah  irigasi.  Pembuang  primer sering berupa saluran pembuang 

alamiah yang mengalirkan kelebihan air tersebut ke sungai, anak sungai atau 

ke  laut.    Saluran  pembuang  sekunder  menampung  air  dari  saluran 

pembuang  tersier  dan membuang  air  tersebut  ke  pembuang  primer  atau 

langsung ke jaringan pembuang alamiah dan ke luar daerah irigasi. 

 

4. Bangunan bagi dan sadap 

Bangunan bagi dan  sadap pada  irigasi  teknis dilengkapi dengan pintu dan  alat 

pengukur debit untuk memenuhi  kebutuhan  air  irigasi  sesuai  jumlah dan pada 

waktu  tertentu. Aliran  air    akan    diukur   di    hulu    (udik)    saluran   primer,   di  

cabang    saluran  jaringan  primer  dan  di  bangunan  sadap  sekunder  maupun 

tersier. Meskipun demikian, dalam keadaan  tertentu  sering dijumpai kesulitan‐

kesulitan  dalam  operasi  dan  pemeliharaan  sehingga  muncul  usulan  sistem 

proporsional,  yaitu bangunan bagi dan  sadap  tanpa pintu dan  alat ukur  tetapi 

dengan syarat‐syarat sebagai berikut : 

Elevasi ambang ke semua arah harus sama 

Bentuk ambang harus sama agar koefisien debit sama. 

Lebar bukaan proporsional dengan luas sawah yang diairi. 

 

5. Bangunan pengukur 

Bangunan ukur dapat dibedakan menjadi bangunan ukur aliran atas bebas (free 

overflow)  dan  bangunan  ukur  alirah  bawah  (underflow).  Beberapa  dari 

bangunan  pengukur  dapat  juga  dipakai  untuk  mengatur aliran air. Bangunan 

ukur yang dapat dipakai ditunjukkan pada Tabel 1. 

 

 

13

Tabel  1.  Bangunan  ukur yang dapat dipakai  

Tipe  Mengukur dengan  Mengatur 

‐ Bangunan ukur Ambang lebar

‐ Bangunan ukur Parshall 

‐ Bangunan ukur Cipoletti 

‐ Bangunan ukur Romijn 

Aliran Atas

Aliran Atas 

Aliran Atas 

Aliran Atas 

Tidak 

Tidak  

Tidak  

Ya 

‐ Bangunan ukur Crump‐de Gruyter 

‐ Bangunan sadap Pipa sederhana 

‐ Constant – Head orifice (CHO) 

‐ Cut Throat Flume 

Aliran Bawah 

Aliran bawah 

Aliran Bawah 

Aliran Atas 

Ya 

Ya 

Ya 

Tidak 

Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP‐01 Tahun 1986  

 

Untuk menyederhanakan operasi dan pemeliharaan, bangunan ukur yang dipakai 

di  sebuah  jaringan  irigasi hendaknya  tidak  terlalu banyak, dan diharapkan pula 

pemakaian  alat  ukur  tersebut  bisa  benar‐benar mengatasi  permasalahan  yang 

dihadapi para petani.  

 

Peralatan berikut dianjurkan pemakaiannya : 

‐  di hulu saluran primer 

Untuk  aliran  besar  alat  ukur  ambang  lebar  dipakai  untuk  pengukuran  dan 

pintu sorong atau radial untuk pengatur. 

‐  di bangunan bagi bangunan sadap sekunder 

Pintu  Romijn  dan  pintu  Crump‐de  Gruyter  dipakai  untuk  mengukur  dan 

mengatur aliran. Bila debit terlalu besar, maka alat ukur ambang lebar dengan 

pintu sorong atau radial bisa dipakai  seperti untuk saluran primer. 

‐  bangunan sadap tersier 

Untuk  mengatur  dan  mengukur  aliran  dipakai  alat  ukur  Romijn  atau  jika  

fluktuasi di    saluran besar   dapat   dipakai   alat   ukur   Crump‐de Gruyter. Di  

petak‐petak tersier kecil  di  sepanjang  saluran primer dengan tinggi muka air 

yang bervariasi dapat dipertimbangkan untuk memakai bangunan sadap pipa 

sederhana,  di  lokasi  yang  petani  tidak  bisa  menerima  bentuk  ambang 

 

14

sebaiknya dipasang alat ukur parshall atau cut throat flume. Alat ukur parshall 

memerlukan  ruangan  yang  panjang,  presisi  yang  tinggi  dan  sulit  

pembacaannya,  alat  ukur  cut  throat  flume  lebih  pendek  dan  mudah 

pembacaannya. 

 

2.1.3 Klasifikasi Jaringan Irigasi 

 

Berdasarkan cara pengaturan dan pengukuran aliran air dan lengkapnya fasilitas, 

jaringan  irigasi  dapat  dibedakan  ke  dalam  tiga  tingkatan  (lihat  Tabel  2),  yakni 

sederhana, semiteknis, atau teknis.  

 Tabel 2. Klasifikasi Jaringan Irigasi 

 

Uraian Klasifikasi jaringan irigasi

Teknis Semiteknis Sederhana

1  Bangunan Utama 

Bangunan permanen Bangunan permanenatau semi permanen 

Bangunan sementara 

2  Kemampuan bangunan dalam mengukur dan mengatur debit 

Baik Sedang Jelek 

3  Jaringan saluran  Saluran irigasi dan pembuang terpisah 

Saluran irigasi dan pembuang tidak sepenuhnya terpisah 

Saluran irigasi dan pembuang jadi satu 

4  Petak tersier  Dikembangkan sepenuhnya 

Belum dikembangkanatau densitas bangunan tersier jarang 

Belum ada jaringan terpisah yang dikembangkan 

5  Efisiensi secara Keseluruhan 

Tinggi50 – 60 % (Ancar‐ancar) 

Sedang40 – 50% (Ancar‐ancar) 

Kurang 

< 40% (Ancar‐ancar 

6  Ukuran  Tak ada batasan Sampai 2.000 ha Tak lebih dari 

500 ha 

7  Jalan Usaha Tani  Ada ke seluruh areal Hanya sebagian areal Cenderung tidakada 

8  Kondisi O & P  ‐ Ada instansi yangmenangani 

‐ Dilaksanakan teratur

Belum teratur Tidak ada O & P 

Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP‐01  

 

Dalam konteks Standarisasi  Irigasi  ini,   hanya  irigasi    teknis  saja   yang ditinjau. 

Bentuk  irigasi  yang  lebih maju  ini  cocok  untuk dipraktekkan  di  sebagian besar 

pembangunan irigasi di Indonesia. 

 

15

2.2 Kehilangan  Air 

 

Kehilangan air pada saluran irigasi adalah berkurangnya volume air pada saluran 

irigasi yang ditandai dengan adanya perbedaan antara debit aliran “inflow” dan 

“outflow.”  Faktor‐faktor penyebab kehilangan air pada saluran irigasi, antara lain 

penguapan dan rembesan pada struktur saluran irigasi 

 

2.2.1 Efisiensi 

 

Untuk  tujuan‐tujuan  perencanaan,  dianggap  bahwa  seperlima  sampai 

seperempat dari  jumlah air yang diambil akan hilang sebelum air  itu  sampai di 

sawah.  Kehilangan  ini  disebabkan  oleh  kegiatan  eksploitasi,  evaporasi  dan 

perembesan. Kehilangan akibat evaporasi dan perembesan umumnya kecil saja 

jika  dibandingkan  dengan  jumlah  kehilangan  akibat  kegiatan  eksploitasi. 

Penghitungan  rembesan hanya dilakukan apabila  kelulusan  tanah  cukup  tinggi. 

Pemakaian  air  hendaknya  diusahakan    seefisien    mungkin,    terutama  untuk 

daerah dengan ketersediaan air yang terbatas. Kehilangan ‐ kehilangan air dapat 

diminimalkan melalui : 

a.  Perbaikan sistem pengelolaan air : 

‐  Sisi operasional dan pemeliharaan (O&P) yang baik 

‐  Efisiensi operasional pintu 

‐  Pemberdayaan petugas O&P 

‐  Penguatan institusi O&P 

‐  Meminimalkan pengambilan air tanpa ijin 

 ‐  Partisipasi P3A 

b.  Perbaikan fisik prasarana irigasi : 

‐  Mengurangi kebocoran disepanjang saluran 

‐  Meminimalkan penguapan 

‐  Menciptakan sistem irigasi yang andal, berkelanjutan, diterima petani 

   

 

16

Efisiensi secara keseluruhan (total) dihitung sebagai berikut :  

Efisiensi jaringan tersier (et) x Efisiensi jaringan sekunder  (CS) x Efisiensi jaringan 

primer (ep). Rentang nilai efisiensi sebagai faktor pengali: 0,65 ‐ 0,79.  

 

Batas  efisiensi  kebutuhan  air  irigasi  di  sawah  (NFR)  harus  dibagi  e  untuk 

memperoleh  jumlah air yang dibutuhkan di bangunan pengambilan dari sungai. 

Formula perhitungan  kebutuhan air  irigasi  yang  telah memperhitungkan  faktor 

efisiensi pada sawah petak tersier, sekunder dan petak primer dapat dilihat pada 

Tabel 3. 

 Tabel 3.  Formula Kebutuhan Air 

 Tingkat  Kebutuhan  Air Satuan 

Sawah Petak 

Tersier NFR  (Kebutuhan  bersih air di sawah TOR  (kebutuhan  air di bangunan  sadap  tersier) 

 (l/dt/ha) 

  (NFR x luas daerah)  x 1 Et

(l/dt) 

Petak Sekunder  SOR  (kebutuhan  air dibangunan sadap  sekunder) 

ΣTOR   x     1 c3 

(l/dt atau m3/dt) 

Petak Primer  MOR  (Kebutuhan  air di bangunan  sadap primer) 

ΣTOR mc1 )  x      1 e p 

(l/dt atau m3/dt) 

Bendung  DR (kebutuhan  diversi) MOR sisi kiri dan MOR sisi kanan

m3/dt 

Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Saluran  KP‐03 Tahun 1986 

 

2.2.2 Formula Perhitungan Rembesan Air Irigasi 

 

Besarnya  kehilangan  air  pada  saluran  irigasi  akibat  rembesan  dapat  dihitung 

dengan menggunakan rumus Moritz (USBR), sebagai berikut:  

 

0,035 /   (1)

 

 

17

Dimana :   

S      =  kehilangan akibat rembesan, m3 /dt per km panjang saluran 

Q     =  debit, m3 / dt 

v     =  kecepatan, m/dt  

C     =  koefisien tanah rembesan, m/hari  

0,035   = konstanta, m/km 

Nilai  variabel  C  dapat  dilihat  pada  Tabel  4.  Untuk  saluran  irigasi  yang 

menggunakan beton (linning) nilai variable C dapat dilihat pada halaman 18. 

 

Tabel 4.  Nilai koefisien tanah rembesan (C)  

Jenis Tanah Harga C

m/hari 

‐ Kerikil sementasi dan lapisan penahan (hardpan) dengan penuh pasiran  0,10 

‐ Lempung dan geluh lempungan  0,12 

‐ Geluh pasiran  0,20 

‐ Abu vulkanik  0,21

‐ Pasir dan abu vulkanik atau lempung  0,37 

‐ Lempung pasiran dengan batu  0,51 

‐ Batu pasiran dan kerikilan 0,67

Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Saluran  KP‐03 Tahun 1986 

 

Menurut beberapa pengalaman Bank Dunia dalam peliningan saluran irigasi yang 

kokoh (rigid) dan fleksible, besarnya kehilangan air biasanya mencapai 10 s/d 40 

persen  dari  volume  air  yang  disalurkan.  Pengurangan  kehilangan  air  seringkali 

diasumsikan  sama  dengan  umur  yang  diharapkan  dari  peliningan  untuk 

mendapatkan  keuntungan  ekonomisnya.  Keuntungan  lining  saluran  dapat 

mengurangi  pertumbuhan  rumput,  namun  pada  kenyataannya  keuntungan  ini 

diragukan  terutama  dalam  berbagai  proyek  dengan  saluran  lining  lama  dan 

dengan adanya konstruksi yang salah. 

 

Permasalahan dalam memperkirakan Seepage Losses : 

1. Sulit membandingkan hasil  test  dan perkiraan  disebabkan oleh  banyaknya 

variabel 

 

18

2. Pengecekan seepage losses secara khusus dari catatan operasi sangat mahal 

disebabkan oleh banyaknya variabel 

3. Penerbitan pencatatan sering salah didalam mencatat variabel penting 

 

Variabel‐Variabel Seepage : 

a. karakteristik tanah : 

‐ porositas, permeabilitas, 

‐ kimiawi, jenis butirannya, 

‐ tingkat/bahan pembentuk (stratigraphy) 

b. penampang lingkar saluran 

c. posisi kedalaman air tanah 

d. kimia tanah dan air 

e. temperatur air 

f. sedimentasi : efek pengendapan 

g. kualitas konstruksi 

h. umur saluran 

i. Siklus drainase 

j. Pemeliharaan 

 

Pengaruh Kekerasan Saluran dengan Seepage Losses   Uraian (Deacon, 1984) 

saluran tidak berlining     = 0,23 m/hari 

beton                        = 0,04 m/hari 

Satu lapis batu bata        = 0,05 m/hari 

Dua lapis batu bata        = 0,03 m/hari 

 

Pengukuran menggunakan metode ponding (Singh, 1987) 

saluran tidak berlining  = 0,30 m/hari 

saluran berlining    = 0,03 m/hari 

Data  ini  didasarkan  pada  test  yang  terkontrol  di  laboratorium  dan  dititik 

pengamatan (penampang saluran) dengan pemeliharaan yang sangat baik. 

 

19

Sebab‐sebab tidak‐efektifnya saluran lining yang keras : 

Bentuk garis aliran (flow line) dan ekuipotensialnya 

Kualitas konstruksi dan pemeliharaan yang jelek 

 

Model Numerik : 

Saluran  berlining  dengan  1%  retak  di  penampangnya  mempunyai  laju 

kehilangan  air  (seepage  rate)  70%  dari  saluran  yang  tidak  berlining 

(kedalaman terhadap muka air tanah : 8 m) 

 

Kualitas Konstruksi 

Kejenuhan  air  tanah  setelah  menyatu  didalam  suatu  saluran 

menyebabkan  beberapa  penurunan  massa  tanah  yang  menyebabkan 

pemisahan di sub tingkatnya atau  lapisan  liningnya. Lining tersebut pada 

akhirnya  hanya  akan  bertumpu  pada  titik  tertentu  saja  sehingga 

menghasilkan hal‐hal : 

‐ Retak (cracks) akan terjadi di lapisan ini  

‐ Pemisahan  tanah  ini memberikan  kesempatan  rembesan  bergerak 

dibawah sebagian besar lapisan lining tersebut. 

 

Kehilangan air melalui dasar saluran ditentukan oleh faktor‐faktor : 

a. Jenis Tanah 

b. Macam‐macam saluran (galian – timbunan) 

c. Laju Sedimentasi, dan 

d. Kecepatan aliran air. 

 

2.2.3 Perhitungan Evaporasi dan Evapotranspirasi 

 

Evapotranspirasi adalah banyaknya air yang dilepaskan ke udara dalam bentuk 

uap air  yang dihasilkan dari proses evaporasi dan  transpirasi. Evaporasi  terjadi 

pada  permukaan  badan‐badan  air, misalnya  danau,  sungai  dan  genangan  air. 

 

20

Sedangkan  transpirasi  terjadi  pada  tumbuhan  akibat  proses  asimilasi.  Ada 

beberapa metoda dalam penentuan evapotranspirasi potensial diantaranya yaitu 

metoda  Thornwaite,  Blaney  Criddle  dan  Penman  modifikasi.  Ketiga  metoda 

tersebut  berbeda  dalam  macam  data  yang  digunakan  untuk  perhitungan.  

Metoda Thornwaite memerlukan data  temperatur dan  letak geografis. Metoda 

Blaney  Criddle memerlukan  data  temperatur  dan  data  prosentase  penyinaran 

matahari.  Metoda  Penman  modifikasi  memerlukan  data  temperatur, 

kelembaban  udara,  prosentase  penyinaran  matahari  dan  kecepatan  angin. 

Pemilihan  metoda  tergantung  dari  data  yang  tersedia.  Di  lapangan  biasanya 

digunakan Lysimeter untuk mempercepat dan mempermudah perhitungan. 

 

Untuk  perhitungan  di  atas  kertas,  lebih  baik  menggunakan  metoda  Penman 

modifikasi,  sebab  menghasilkan  perhitungan  yang  lebih  akurat.  Selain  itu, 

metoda  Penman  modifikasi  ini  mempunyai  cakupan  data  meteorologi  yang 

digunakan  adalah  yang  paling  lengkap  di  antara  metoda‐metoda  yang  lain. 

Perhitungan  Evaporasi  (E)  dan  Evapotranspirasi  (Etp)  dapat  dilakukan  dengan 

berbagai cara tergantung dari data parameter klimatologi yang tersedia. 

 Tabel 5. Metode Perhitungan Evaporasi dan Evapotranspirasi 

 

No.  Metode  Minimum Parameter Hidrologi 

1  Penman  T, S, RH, W 

2  Blaney‐Cridle  T 

3  Penguapan Panci Pan A  Evaporasi panci Pan A 

Sumber : Pelatihan Hidrologi Dan Manajement Aset BWRM_WISMP 1 

 

 

   

 

21

Tabel 6. Parameter Perencanaan Evapotranspirasi  

Metode  Data  Parameter 

PDengan pengukuran  Kelas Pan A harga‐harga 

evapotransiprasi 

 

Jumlah rata‐rata 10 harian 

atau 30 harian, untuk setiap 

tengah bulanan atau 

minguan 

Perhitungan dengan 

rumus penman atau 

yang sejenis 

Temperatur kelembapan 

relatifsinar matahari angin 

Harga rata‐rata tengah 

bulanan, atau rata‐rata 

mingguan 

Sumber : Kriteria Perencanaan – KP 01 

 

Perhitungan  evapotranspirasi  setengah  bulanan  dengan  ketetapan  tanggal  1 

sampai  15  untuk  setengah  bulan  pertama  dan  16  sampai  akhir  bulan  untuk 

setengah bulan berikutnya.  

 

Sesuai  dengan  tabel  diatas  maka  perhitungan  evapotranspirasi  rata‐rata 

setengah  bulanan  dalam  panduan  ini  ada  2 metode  yang  akan  dibahas,  yaitu 

Metode Penman dan Panci Pan A. 

 

1. Persamaan Evaporasi 

Evaporasi  dipengaruhi  beberapa  faktor,  satuan  evaporasi  yaitu millimeter  per 

hari  (mm/hari).  Pengukuran  evaporasi  dapat  dilakukan  dengan  menggunakan 

rumus Penman (Sosrodarsono,1976) :  

0,35 1          (2) 

Dimana  : 

  E   = Evaporasi (mm/hari) 

    = Tekanan Uap Jenuh Pada Suhu Rata‐rata harian (mm/Hg) 

    = Tekanan Uap Sebenarnya (mm/Hg) 

  V  = Kecepatan Angin pada ketinggian 2 m diatas permukaan  tanah 

(mile/hari)  

   

 

22

Bila evaporasi diukur di stasiun agrometeorologi, maka biasanya digunakan pan 

Kelas A. harga‐harga pan evaporasi (Epan) dikonversi ke dalam angka‐angka ETo  

dengan menerapkan  faktor  pan  Kp    antara  0,65  dan  0,85  bergantung  kepada 

kecepatan angin, kelembapan relatif serta elevasi. 

 

ETo = Kp . Epan              (3) 

Dimana : 

ETo    = Evaporasii (mm/hari) 

Kp   = Koefisien panci 

Harga‐harga faktor pun mungkin sangat bervariasi bergantung kepada 

lamanya  angin  bertiup,  vegetasi  di  daerah  sekitar  dan  lokasi  pan. 

Evaporasi pan diukur secara harian, demikian pula harga‐harga ETo. 

Epan   = Penguapan panci Pan A rata‐rata (mm.hari) 

 

Untuk  perhitungan  evaporasi,  diajurkan  untuk  menggunakan  rumus  Penman 

yang  sudah  dimodifikasi,  Temperatur,  Kelembaban,  angin  dan  sinar matahari 

(atau radiasi) merupakan parameter dalam rumus tersebut. Data‐data ini diukur 

secara harian pada stasiun‐stasiun (agro) meteorologi hitung ETo dengan rumus 

Penman. 

 Untuk  rumus  Penman  yang  dimodifikasi    ada    2  (dua) metode    yang    dapat 

digunakan, yaitu : 

‐ Metode Nedeco/ Prosida yang lihat terbitan Dirjen Pengairan, Bina Program 

PSA 010, 1985 

‐ Metode  FAO  lebih umum dipakai  dan dijelaskan dalam  terbitan  FAO Crop 

Water Requirments, 1975. 

  

 

 

 

 

23

Tabel 7. Koefisien Refleksi (Albedo)  

Jenis Permukaan Albedo (α)

Air Terbuka  0,05 – 0,15Batuan  0,12 – 0,15 Pasir  0,10 – 0,20 Tanah Kering 0,14Tanah Basah  0,08 – 0,09 Hutan  0,05 – 0,20Rumput  0,10 – 0,33 Rumput Kering 0,15 – 0,25Salju  0,90 Es  0,45 – 0,50Tanaman  0,20 

 

Seandainya  data‐data meteorologi  untuk  daerah  tersebut  tidak  tersedia maka 

harga‐harga  ETo  boleh  diambil  sesuai  dengan  daerah‐daerah  di  sebelahnya. 

Keadaan‐keadaan  meteorologi  hendaknya  diperiksa  dengan  seksama  agar  

transposisi  data  demikian  dapat    dijamin  keandalannya.  Keadaan‐keadaan 

temperatur, kelembaban, angin dan sinar  matahari diperbandingkan. Pengguna 

komsumtif  dihitung  secara  tengah  bulanan,  demikian  pula  harga‐harga 

evapotranspirasi  acuan.  Setiap  jangka  waktu  setengah  bulan  harga  ETo 

ditetapkan dengan analisis frekuensi.  

 

2. Persamaan Evapotranspirasi 

Evapotranspirasi  tanaman  acuan  adalah  evapotranspirasi  tanaman  yang 

dijadikan  acuan,  yakni  rerumputan  pendek.  ETo  adalah  kondisi  evaporasi 

berdasarkan keadaan – keadaan meteorologi seperti : 

‐ Temperatur 

‐ Sinar matahari (atau radiasi) 

‐ Kelembaban 

‐ Angin 

  

 

24

Harga‐harga  ETo  dari  rumus  penman menunjuk  pada  tanaman  acuan  apabila 

digunakan albedo 0,25  (rerumputan pendek). Koefisien‐koefisien tanaman yang 

dipakai untuk penghitungan  ETc harus didasarkan pada ETo  ini dengan  albedo 

0,25. Berikut dibawah ini table koefisien refleksi (albedo). 

 

Evapotranspirasi  dapat  dihitung  dengan  rumus‐rumus  teoritis‐empiris dengan 

mempertimbangkan faktor‐faktor meterologi di atas.   

ET= c.( w . Rn + ( 1 ‐ w ) . f(u) . ( ea ‐ ed ) )      (4) 

dimana : 

ET  :  Evapotranspirasi dalam mm/hari 

c  :  Faktor koreksi akibat keadaan iklim siang dan malam 

w  :  Faktor bobot tergantung dari temperatur udara dan  ketinggian tempat 

Rn        :  Radiasi netto ekivalen dengan evaporasi mm/hari  = Rns ‐ Rnl 

Rns  :  Gelombang pendek radiasi yang masuk =(1‐).Rs = (1‐).(0,25+ n/N).Ra 

Ra  :  Ekstra terestrial radiasi matahari  

Rnl  :  f(t).f(ed).f(n/N)   Gelombang panjang radiasi netto 

N  :  Lama maksimum penyinaran matahari 

1 ‐ w  :  Faktor bobot tergantung pada temperatur udara 

f(u)  :  Fungsi kecepatan angin = 0,27 . ( 1 + u/100 ) 

f(ed)  :  Efek tekanan uap uap pada radiasi gelombang panjang 

f(n/N)  :  Efek lama penyinaran matahari paada radiasi gelombang panjang 

f(t)  :  Efek temperatur pada radiasi gelombang panjang 

ea  :  Tekanan uap jenuh tergantung pada temperatur 

ed  :  ea . Rh/100 

Rh  :  Curah hujan efektif 

 

2.2.4 Perhitungan Debit Air di Saluran  

 

Perhitungan  debit  air  disaluran  dapat  dilakukan  dengan  cara mempergunakan 

rumus debit saluran sebagai berikut : 

 

25

1. Kecepatan  air  mengalir  pada  saluran  diukur  dengan  menggunakan  alat 

current meter. Adapun  rumus yang digunakan untuk menentukan debit air 

adalah : 

Q   =   V x A  (5)

 Dimana : 

Q  = Debit Air (m3/det) 

V  = Kecepatan Aliran (m/det) 

A  = Luas Penampang Saluran (m2) 

 

 

Pada  pengukuran  kecepatan  aliran  di  saluran  ditentukan  dengan  membagi 

penampang melintang saluran dalam Raai‐raai pengukuran seperti contoh dalam 

gambar  2.  Posisi  penempatan  Current  Meter  berbeda‐beda  tergantung  dari 

kedalaman saluran tersebut. Untuk saluran yang dalamnya kurang dari 0,5 Meter 

diambil  pengukuran  pada  0,6  H.  Sedangkan  untuk  saluran  dengan  kedalaman 

lebih dari 0,5 Meter diambil pengukuran pada 0,2 H dan 0,8 H. 

 

 

Gambar 2. Pembagian Penampang Melintang Saluran Dalam Pengukuran    

 

26

2. Pengukuran  kecepatan  aliran  dapat  dilakukan  pada  beberapa  kedalaman 

yaitu sebagai berikut :  

Untuk kedalaman sungai < 0,50 m atau Hair < 6 x  propeler 

Pengukuran  kecepatan  aliran  cukup  pada  satu  titik  saja  yaitu  pada 

kedalaman 0,6 h  (dimana h adalah kedalaman air, dan 0,6 h diukur dari 

permukaan air). 

  V0.6  m/dt  (6)

 

Keterangan: 

V0.6  =  Kecepatan aliran pada titik dengan kedalaman 0.6 h   

Sumber  :  Modul  Pelatihan  OJT  di  Balai  PSDA,  Pelatihan  Hidrologi  Dan  OJT 

BWRM_WISMP 1 ‐ Panduan Pengukuran debit/aliran 

 

Untuk kedalaman air  0,50 m 

Pengukuran  kecepatan  aliran metode dua  titik dilakukan pada dua  titik 

kedalaman: 0,2 h dan 0,8 h  

                V0,2 + V0,8  V =       m/dt                      2 

(7)

 

 

Gambar 3. Untuk kedalaman air  0,50 m 

 

Apabila  distribusi  kecepatan  ke  arah  vertikal  tidak  normal, maka  pengukuran 

kecepatan aliran dilakukan dengan metode tiga titik sebagai berikut : 

                    V0,2 + V0,8         V0.6  +                                   2  V =            m/dt           2 

(8)

 

 

27

keterangan : 

Vrata2  = kecepatan aliran rata‐rata pada suatu vertikal, m/dt. 

V0,2    = kecepatan aliran pada titik 0,2 d, m/dt. 

V0,6    = kecepatan aliran pada titik 0,6 d, m/dt. 

V0,8    = kecepatan aliran pada titik 0,8 d, m/dt. 

 

  Gambar 4. Distribusi Kecepatan Aliran  Sumber  :  Modul  Pelatihan  OJT  di  Balai  PSDA,  Pelatihan  Hidrologi  Dan  OJT 

BWRM_WISMP 1 ‐ Panduan Pengukuran debit/aliran 

 

Tata cara peletakan propeler sesuai dengan kedalaman air 

Kedalaman air > 0,50 m 

 

      

Gambar 5. Pengukuran untuk kedalaman air > 0,50 m  Kedalaman air < 0.50 m   

    

                                                                    Propeller  

 Gambar 6. Posisi Propeller untuk kedalaman air < 0,50 m 

 Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT BWRM_WISMP 1 ‐ 

Panduan Pengukuran debit/aliran 

 H < 0.5  0.6 H  

 

 

Perhitungan debit umumnya mengikuti cara/metode Mid‐Area Method, seperti 

yang digambar pada gambar dibawah ini : 

 

 

 

 

Gambar 7. Pengukuran debit dengan cara Mid Area   

an  = dn x b       (9)  

                

Q = q1 + q2 + q3 +……. + qn 

Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT BWRM_WISMP 1 ‐ 

Panduan Pengukuran debit/aliran 

 Lebar satu sub‐seksi ditentukan oleh setengah jarak di sebelah kiri dan setengah 

di sebelah kanan dari pengukuran vertikal. 

 

3. Distribusi Kecepatan Aliran 

Kecepatan  aliran  pada  suatu  potongan  melintang  saluran  tidak  seragam 

karena adanya tekanan pada muka air akibat perbedaan fluida antara udara 

dan air seperti ditunjukkan pada gambar 4.  Di samping itu juga akibat gaya 

gesekan  pada  dinding  saluran,  baik  pada  dasar  maupun  tebing  saluran 

(Addison, 1944  ; Chow. 1959). Ketidakseragaman  ini  juga disebabkan oleh 

bentuk  tampang melintang  saluran,  kekasaran  saluran  dan  lokasi  saluran 

(saluran  lurus, atau pada belokan). Kecepatan maksimum umumnya terjadi 

pada  jarak  0,05  sampai  0,25  dikalikan  kedalaman  artinya  dihitung  dari 

permukaan air seperti ditunjukkan dalam gambar 9 dan gambar 10. Namun 

pada  sungai  yang  sangat  lebar  dengan  kedalaman  dangkal  (shalow), 

Kecepatan maksimum  terjadi pada permukaan air    (Addison, 1994). Makin 

bda nn

2

bbda 1nn

nn

nnn vaq

Q =  (A x V)per ruas                                    bn        bn+1 A = b x dn  ;   b  =            +                          2          2 Dimana: 

bn : jarak raai (m) dn : kedalaman raai  

 

29

Dasar Saluran

y

distribusi kecepatanuntuk dasar saluran halus

distribusi kecepatanuntuk dasar saluran kasar

0,05 ‐ 0,25 y

0,05 ‐ 0,25 y

y

Dasar Saluran

sempit  saluran, kecepatan air maksimumnya makin dalam.  (Buku Hidrolika 

Terapan Aliran Pada Saluran Terbuka dan Pipa, Robert J Kodoatie). 

 

 

 

 

 

 

Gambar 8. Jarak kecepatan air maksimum 

 

 

 

 

 

Gambar 9. Efek kekasaran dasar saluran pada distribusi kecepatan vertikal Sumber : Addison, 1994; Chow, 1959 

 

  

Gambar 10.  Contoh distribusi saluran (kontur) (Chow, 1959). 

21.5

10.5

Kontur kecepatan aliran