iddah

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masa iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata ( عدة لا) yang bermakna perhitungan ( صاء ح ل ا) 1 . Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah Menurut istilah para ulama, masa iddah ialah sebutan atau nama suatu masa dimana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan. 2 Ada yang menyatakan, masa iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami. 3 Hikmah Iddah : 4 Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa iddah, diantaranya: 1 Lihat Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304 2 Al-Wajiz fi Fiqhisunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 387 dan Mausu’atul Fiqhiyah al- Muyassarah fi Fiqhil Kitab was Sunnah al-Muthaharah, 5/383 3 Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304 4 Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhihul Ahkam bi Syarhi Bulughil Maram 5/561-562 Tafsir Ahkam | Iddah Seorang Perempuan 1

Upload: iqbalulloh

Post on 11-Nov-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

iddah

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Masa iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata () yang bermakna perhitungan ( )[footnoteRef:2]. Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah [2: Lihat Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304]

Menurut istilah para ulama, masa iddah ialah sebutan atau nama suatu masa dimana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan. [footnoteRef:3] [3: Al-Wajiz fi Fiqhisunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 387 dan Mausuatul Fiqhiyah al-Muyassarah fi Fiqhil Kitab was Sunnah al-Muthaharah, 5/383]

Ada yang menyatakan, masa iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena taabbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami. [footnoteRef:4] [4: Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304]

Hikmah Iddah :[footnoteRef:5] [5: Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhihul Ahkam bi Syarhi Bulughil Maram 5/561-562 ]

Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa iddah, diantaranya: 1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah 3. Masa iddah disyariatkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan 4. Masa iddah disyariatkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan akad pernikahan5. Masa iddah disyariatkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekuluargaan, terutama dalam kasus perceraian 6. Masa iddah disyariatkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicera sedang hamil

1.2 RUMUSAN MASALAH1. Bagaimana bunyi dari ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang iddah?2. Bagaimana penafsiran para ulama tentang ayat iddah?3. Bagaimana pendapat para ulama mengenai penafsiran quru?

1.3 TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui bunyi ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang iddah2. Untuk mengetahui penafsiran para ulama tentang ayat iddah3. Untuk mengetahui pendapat para ulama mengenai penafsiran quru

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN IDDAH Masa iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata () yang bermakna perhitungan ( ),[footnoteRef:6] Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah. [6: Lihat Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304]

Menurut istilah para ulama, masa iddah ialah sebutan atau nama suatu masa dimana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.[footnoteRef:7] [7: Al-Wajiz fi Fiqhisunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 387 dan Mausuatul Fiqhiyah al-Muyassarah fi Fiqhil Kitab was Sunnah al-Muthaharah, 5/383]

Ada yang menyatakan, masa iddah adalah istilah untuk mas atunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa ia tidak hamil atau karena taabbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami. [footnoteRef:8] [8: Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304]

2.2 HIKMAH IDDAH[footnoteRef:9] [9: Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhihul Ahkam bi Syarhi Bulughil Maram 5/561-562]

Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa iddah, diantaranya: 1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah 3. Masa iddah disyariatkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan 4. Masa iddah disyariatkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan akad pernikahan5. Masa iddah disyariatkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekuluargaan, terutama dalam kasus perceraian 6. Masa iddah disyariatkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicera sedang hamil

2.3 PENAFSIRAN AYAT IDDAH QS. AL-BAQARAH : 228 (228)Wanita wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka ( para suami ) itu menhendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf . Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( Al Baqarah : 228 ). Firman Allah Taala Wanita wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru . Untuk potongan ayat ini terdapat lima masalah :Pertama : Firman Allah SWT ( Wanita wanita yang ditalak). Setelah pada ayat sebelumnya Allah SWT menyebutkan tentang hukum ila, dan bagaimana ila ini dapat menyebabkan suatu perceraian, kemudian pada ayat ini Allah SWT menjelaskan tentang seorang wanita setelah perceraian. Dalam Sunan Abu Daud dan Sunana An Nasai[footnoteRef:10] disebutkan bahwa Ibnu Abbas menafsirkan firman Allah SWT , yaitu apabila seorang suami menceraikan istrinya ( talak satu atau talak dua )maka suami tersebut berhak merujuk istrinya. Namun jika ia menceraikan istrinya talak tiga, maka rujuknya itu telah dinasakh[footnoteRef:11] dengan firman Allah SWT Talak ( yang dapat dirujuk ) dua kali. [10: HR. Abu Daud pada pembahasan tentang Perceraian, Bab : Hilangnya Hak Rujuk Setelah Talak Tiga ( 2/259 ), dan juga An Nasai pada pembahasan tentang Perceraian , Bab : Hilangnya Hak Rujuk Setalah Talak Tiga. ( 6/21 )] [11: Nasakh yang disebutkan dalam penafsiran Ibnu Abbas ini bukanlah hukum nasakh yang biasa terjadi antara satu hukum dengan hukum lainnya. Karena seperti yang diketahu bahwa yang menasakh dan yang dinasakh harusnya sebuah hukum syari, sedangkan yahg dihilangkan di sini bukanlah sebuah hukum syari.]

Kata sendiri adalah lafadz umum untuk semua wanita yang diceraikan oleh suaminya, namun yang dimaksudkan adalah khusus untuk wanita yang diceraikan sesudah dicampuri oleh suaminya dan bukan wanita yang sedang hamil. Dalil tidak termasuknya wanita yang diceraikan sebelum dicampuri adalah firman Allah SWT : Hai orang orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya ( QS. Al Ahzab : 49 ).Dalil tidak termasuknya wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil adalah firman Allah SWT Dan perempuan perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai melahirkan kandungannya ( Ath Thalaq : 4 ).Begitu juga dengan masa iddah untuk wanita yang masih kecil yang belum haidh dan yang sudah tidak haidh lagi, yang ditentukan dengan hitungan bulan.Tujuan dari penyelesaian tiga quru bagi para wanita yang diceraikan adalah untuk membebaskan rahimnya, berbeda dengan masa iddah wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya, iddah tersebut bagi mereka merupakan suatu ibadah.Kedua : Firman Allah SWT : Hendaklah menahan diri menunggu . Kata artinya adalah menanti dan menunggu. Ada pendapat yang menafsirkan bahwa sebelum lafadz ada kata amar ( perintah ) yang dihapuskan, yaitu . Perkiraannya yang seharusnya adalah ( hendaklah menahan diri ).Ketiga : Jumhur ulama membaca dengan menggunakan huruf hamzah di akhir kata, yang bentuk asalnya . Namun ada bacaan yang diriwayatkan oleh Nafi, yaitu bacaan ( dengan menggunakan harakat kasrah dan tasydid pada huruf wau )[footnoteRef:12], tanpa ada huruf hamzahnya. Dan bacaan lainnya diriwayatkan dari Al Hasan, ia membaca (dengan menggunakan harakat fathah pada huruf qaf, sukun pada huruf ra, dan tanwin pada huruf akhir).[footnoteRef:13] [12: Bacaan ini disebutkan oleh Ibn Athiyah dalam tafsirnya (2/270), dan Abu Hayan dalam Al-Bahr Al Muhith (2/186). Namun bacaan ini tidak termasuk qiraah sabah (tujuh cara baca)yang mutawatir ] [13: Bacaan ini juga disebutkan oleh Ibnu Athiyah dalam tafsirnya (2/270), dan Abu Hayan dalam Al-Bahr Al-Muhith (2/186). Namun bacaan ini tidak termasuk qiraah sabah yang mutawatir]

Keempat : Lalu setelah itu para ulama berbeda pendapat mengenai makna pada ayat ini. Para penduduk Kuffah berpendapat bahwa maknanya adalah masa haid. Pendapat ini diikuti pula oleh Umar, Ali, Ibnu Masud, Abu Musa, Mujtahid, Qatadah, Adh-Dhahhak, Ikrimah, dan As-Suddi. Sedangkan para penduduk Hijaz berpendapat bahwa maknanya adalah masa bersih. Pedapat ini diikuti pula oleh Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Az-Zuhri, Aban bin Utsman , dan Imaam Syafii Alasan para Ulama yang berpendapat bahwa makna ari kata pada ayat ini adalah masalah haid adalah karena kata bermakna terkumpulnya darah di dalam rahim. Sedangkan alasan para Ulama yang berpendapat bahwa makna dari kata pada ayat ini adalah masa bersih karena kata bermakna terkumpulnya darah pada seluruh tubuh.Makna ini diperkuat juga dengan makna lainnya, yaitu makna masa. Seperti ungkapan : angin itu berhembus pada masa dan waktunya. Alasannya karena para wanita tentu mengetahui kapan masa bersih dan masa haidnya, karena itu terkadang haid hanya disebut dengan masa, dan bersih juga terkadang disebut hanya dengan masa pulaKalangan ulama lain berpendapat bahwa kata ini diambil dari makna terkumpulkan maknanya adalah mengumpulkan air didalam kolam. Makna ini juga digunakan untuk sebutan Al-Quran () yang artinya adalah kumpulan makna atau huruf. Untuk masa haid ini makna dari kata tersebut adalah terkumpulnya darah didalam rahim. Sedangkan makna untuk masa bersih adalah terkumpulnya darah di seluruh tubuh.Namun pendapat ini dibantah oleh Abu Umar bin Abdil Barr, ia mengatakan : Jika ada yang berpendapat bahwa kata ini berasal dari makna mengumpulkan maka pendapat ini tidak benar karena kata memiliki hurug hamzah asli, sedangkan pada makna mengumpulkan tida adaBeberapa ulama lain ada pula yang berpendapat bahwa kata ini maknanya terlepas, entah itu terlepass dari masa haid menuju masa bersih, atau terlepas dari masa bersih menuju masa haid. Makna ini juga diikuti oleh Imm Syafii, namun hanya pada salah satunya saja, ia mengatakan : kata ini maknanya berpindah dari masa bersih menuju masa haid. Dan untuk pengambilan kata ini Imam Syafii juga mengharuskan agar diambildari materi al-quru. Dengan demikian makna dari firman Allah SWT, Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru adalah tiga kali pergantian atau tiga perpindahan Abu bakar bin Abdirrahman mengatakan : Seluruh ulama madzhab kami sepakat dengan pendapat Aisyah, bahwa quru adalah masa bersih. Apabila seorang suami menceraikan istrinya pada masa bersih yang tidak ada percampuran sama sekali pada masa bersih itu, maka istri tersebut dapat langsung menjalani masa iddahnya, walaupun sebentar, walaupun hanya sesaa. Kemudian setelah itu ia menjumpai masa bersihnya yang kedua setelah masa haidnya, dan kemudian setelah itu ia menjumpai masa bersihnya yang ketiga setelah masa haidnya yang kedua, lalu setelah itu jika ia melihat darah haidnya keluar pada masa haid ketiga maka artinya wanita tersebut telah resmi keluar dari masa iddahnya dan ia telah halal untuk menikah lagi dengan orang lainJika seorang suami menceraikan istrinya pada masa bersihnya namun suami tersebut telah mencampuri istrinya pada masa bersih itu, maka perceraiannya tetap dianggap sah namun disamping itu ia juga telah berdosa karena berbuat suatu keburukan. Lalu istrinya juga melanjutkan masa iddahnya pada masa bersih itu.Asyhab mengaskan : Seorang wanita yang diceraikan belum dianggap terlepas dari pernikahannya ataupun dari hukum waris mewaris, sebelum ia memastikan bahwa darah yang keluar adalah darah haid, karena bisa jadi darah yang keluar itu bukan darah haid Para ulama Kufah juga mengikuti pendapat ini berdalil : Rasulullah SAW pernah berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, tatkala Fatimah menanyakan kepada beliau mengenai darahnya yang keluar terus menerus, , , (Darah) itu hanyalah darah penyakit, apabila datang masa haidmu maka kamu tidak perlu shalat (seperti wanita yang lain), namun jika masa haidmu telah berlalu maka bersucilah, kemudian shalat hingga datang masa haidmu lagi.[footnoteRef:14] [14: Lafadz hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud pada pembahasan tentang Thaharah, Bab : Wanita Mustahadhah (1/72, hadits nomor 280), dan haidts yang hampir serupa maknanya diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari pada pembahasan tentang Haid, Bab : Istihadhah (1/65), dan juga Muslim pada pembahasan tentang Haid , Bab : Wanita yang Istihadhah, dan keterangan tentang Mandi dan Waktu Shalatnya (1/262), dan juga oleh para imam hadits lainnya ]

Imam Abu Hanifah juga setuju dengan pendapat bahwa seorang wanita yang diceraikan pada masa haidnya, maka iddahnya sejak masa haid saat ia diceraikan, dan bukan masa bersih sesudah masa haid itu. Namun menurut Abu Hanifah wanita yang diceraikan oleh suaminya pada masa bersih akan memulai hitungan masa iddahnya setelah masa bersihnya berlalu, sedangkan menurut kami wanita tersebut telah memulai hitungan masa iddahnya pada saat itu juga, yakni pada masa bersih, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya Beberapa ulama yang berpendapat bahwa quru itu adalah masa haid, menagatakan : apabila wanita tersebut telah bersih dari haidnya yang ketiga, maka saat itu masa iddahnya selesai setelah ia mandi junub, dan rujuk dai suaminya pun telah habis masanya Kelima : Jumhur ulama berpendapat bahwa jika seorang wanita hamba sahaya yang masih haid diceraikan oleh suaminya maka masa iddahnya adalah dua kali haid. Diriwayatkan pua dari Ibnu Sirin bahwa ia pernah mengatakan : Aku sebenarnya tidak membedakan antara iddah wanita hamba sahaya dengan wanita merdeka, hanya saja hadits telah menjelaskan ada perbedaan antara keduanya, dan hukum dari hadits lebih berhak untuk diikutiAkan tetapi pendapat dari Jumhur ulama lebih diunggulkan, karena mereka berhujjah dengan sabda Rasulullah SAW yang menyebutkan

Thalaq untuk wanita hamba sahaya dua kali (saja), dan iddah untuknya dua kali haid. [footnoteRef:15] [15: HR. Abu Daud pada pembahasan tentang perceraian, Bab : Hadits tentang Perceraian hamba sahaya (hadits nomor 2189), lalu Abu Daud berkomentar : Hadits ini adalah hadits majhul. Hadits ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi pada pembahasan tentang Perceraian, Bab : hadits mengenai jumlah talak untuk wanita hamba sahaya yang sebanyak dua kali (hadits nomor 1192), lalu At-Tirmidzi berkomentar : hadits ini termasuk hadits gharib. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah pada pembahasan tentang Perceraian (hadits nomor 2080). Hadits ini juga disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami Al-Kabir dari riwayat yang cukup banyak (2/2981)]

Hadits yang tidak jauh berbeda juga diriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Atha, dari Muzhair bin Aslam, dari ayahnya, dari Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, ia berkata : Rasulillah SAW pernah bersabda : Thalaq untuk wanita hamba sahaya dua kali (saja), dan quru untuknya dua kali haid[footnoteRef:16] [16: Dari sumber yang sama. Disebutkan pula dalam Nashb Ar-Rayah (3/226)]

Pada kedua hadits ini disebutkan peraturan untuk keduanya, yakni mengenai talak dan iddahnya. Hanya saja, semua riwayat ini menuju Muzhahir bin Aslam, dan ia termasuk perawi yang lemahFirman Allah taala Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. Untuk potongan ayat ini terdapat dua pembahasan :Pertama : Firman Allah SWT, Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Alah dalam rahimnya. Yakni mengenai haid. Penafsiran ini disampaikan oleh Ikrimah, Az-Zuhri, dan An-NakhaiBeberapa ulama lain berpendapat bahwa maksud yang disembunyikan dalam rahimnya itu adalah kehamilan, pendapat ini disampaikan oleh Umar dan Ibnu Abbas. Sedangkan menurut Mujahid adalah keduanya, yakni haid dan kehamilan. Namun tetap saja, bagi yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan pada ayat ini adalah kehamilan, wanita tersebut masih berhaid Makna dari ayat ini adalah, ketika permasalahan iddah ini berkutat pada masa haid dan masa bersih, dan dua masa tidak mungkin diketahui kecuali diri wanita itu sendiri, maka ayat ini datang menjelaskan para wanita itu berhak untuk diterima perkataannya, mengenai iddahnya yang telah berlalu atau yang belum. Mereka dipercayakan untuk menyampaikannya dengan kejujuran.Sulaiman bin Yasar mengatakan : Kita tidak diperintahkan untuk memeriksa wanita tersebut secara langsung dan melihat bagaimana keadaan alat vitalnya. Yang diperintahkan agar kita mempercayakan dan mewakilinya kepada mereka. Adapun makna larangan menyembunyikan ialah larangan untuk mempersulit suami yang menceraikannya atau menghilangkan haknya. Karena, jika seorang wanita yang diceraikan berkata : Haidku telah datang, padahal ternyata haidnya belum datang, maka artinya istri tersebut telah menghalang-halangi hak suami untuk rujuk kembali. Dan sebaliknya, jika wanita tersebut berkata : Haidku belum datang, padahal sebenarnya haidnya telah datang, maka artinya sang suami masih berkewajiban untuk memberikan nafkah, padahal ia sudah tidak berkewajiban untuk memberikan nafkah lagi, maka ini merupakan perbuatan yang dapat mempersulit suami yang menceraikannya.Begitu pula dengan wanita yang sedang hamil yang menyembunyikan kebenaran kandungannya, dengan maksud untuk menghilangkan hak suaminya yang berniat untuk rujuk kembali. Maksud inilah yang dilarang oleh ayat diatas tadi.Kedua : Ibnu Al Mundzir mengatakan : Tidak ada satupun ulama yang berbeda pendapat bahwa jika ada seorang wanita yang baru sepuluh hari bercerai lalu ia mengatakan bahwa ia telah haid sebanyak tiga kali, dan ia telah melewati masa iddahnya, maka perkataannya ini tidak dapat dipercaya dan tidak bisa diterima. Kecuali jika ia mengatakan, Aku terjatuh, dan janin yang aku kandung telah gugur. [footnoteRef:17] [17: Ini merupakan kalimat klausul, yang jawabannya tidak disebutkan. Begitulah pendapat yang paling diunggulkan dalam beberapa madzhab.]

Namun setelah itu para ulama berbeda pendapat mengenai jarak waktu minimum tiga kali haid, dimana jika seorang wanita mengaku telah mencapai waktu tersebut berarti ia tidak berbohong telah menunaikan iddahnya. Imam malik berpendapat : Apabila wanita tersebut mengatakan bahwa iddahnya telah berlalu, dan jarak waktu iddahnya sama seperti jarak waktu iddah wanita lainnya, maka perkataannya itu dapat diterima. Namun apabila wanita tersebut memberitahukan bahwa ia telah menyelesaikan masa iddahnya pada jarak waktu yang jarang ditemukan pada wanita lain, maka ada dua pendapat darinya.Dalam kitab Al Mudawwanah ia berpendapat : Jika wanita tersebut mengatakan bahwa ia telah haid tiga kali dalam waktu satu bulan, maka ia telah berkata jujur, apabila wanita lain juga membenarkannya. Pendapat ini juga disampaikan oleh syuraih dan Ali bin Abi Thalib, Ali menambahkan : Qalun! Yakni ia telah berkata baik dan benar.Sementara firman Allah : Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Untuk potongan ayat ini terdapat satu pembahasan : Firman Allah ini merupakan ancaman yang sangat keras bahwa menyembunyikan kebenaran itu diharamkan. Ayat ini juga menekankan bahwa memberitahukan tentang kebenaran yang ada atau tidak ada didalam rahimnya itu diwajibkan. Yakni : cirri-ciri wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat adalah wanita yang tidak menyembunyikan kebenaran.Namun tidak berarti juga bahwa firman Allah SWT ini, Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Menandakan bahwa mereka yang tidak beriman juga tidak dibolehkan menyembunyikan kebenaran. Maksud ayat ini adalah : seharusnya keimanan yang ada pada diri para wanita itu dapat menghalangi mereka dari perbuatan menyembunyikan kebenaran, karena menyembunyikan kebenaran adalah bukan perbuatan orang-orang yang beriman.Firman Allah Taala, Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Untuk potongan ayat ini terdapat sembilan masalah :Pertama : Para ulama berbeda pendapat mengenai bagaimana seharusnya kondisi rujuk seorang suami dalam masa iddah istrinya. Imam malik berpendapat : Apabila suami tersebut mencampuri istrinya yang sedang menjalani masa iddah, dan maksud dari percampuran itu adalah untuk merujuk istrinya, namun ia terlupa untuk mempersaksikan niatnya tersebut, jika demikian maka ia dianggap telah merujukn istrinya.Apabila suami tersebut mencampuri istrinya namun tidak dengan niat untuk merujuknya, maka imam Malik berpendapat bahwa hitungan masa iddah istri yang dicampurinya itu harus dimulai dari awal lagi, dan suami tersebut juga tidak diperbolehkan untuk mencampuri istrinya hingga wanita yang diceraikannya itu dapat membersihkan rahimnya dari air dosa suaminya.Abu Umar menegaskan : Dengan mencampurinya berarti suami tersebut telah merujuk istrinya, apapun maksudnya, entah ia berniat untuk rujuk ataupun tidak. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari satu kalangan ulama madzhab Malik, yang diikuti pula oleh Al-Laits.Pengaturan seperti ini sebenarnya diambil dari hokum khiyar yang disepakati oleh para ulama, yakni bahwa seorang yang menjual wanita hamba sahayanya kepada orang lain secara khiyar (hak memilih antara jadi atau tidak) masih dibolehkan baginya untuk bercampur dengan hamba sahaya itu selama masa khiyar, dan penjual tersebut juga diperbolehkan untuk merujuk (meminta kembali) dan membatalkan jual beli itu dengan mencampuri hamba sahayanya.Kedua : Para ulama berpendapat bahwa suami yang mengecup atau mencumbu istrinya yang sedang menjalani masa iddah, dan ia berniat untuk merujuk istrinya maka dengan cumbuan atau kecupan itu ia telah dianggap merujuk istrinya. Akan tetapi disunnahkan baginya untuk mempersaksikan rujuknya itu sebelum ia bercampur dengan istrinya, atau mengecup, atau mencumbunya.Namun jika ia mengecup atau mencumbu istrinya dan tidak bermaksud untuk merujuk istrinya, maka ia telah melakukan perbuatan dosa, akan tetapi ia tidak dianggap telah merujuk istrinya.Berbeda dengan pendapat dari Abu Hanifah dan para pengikutnya, mereka mengatakan : Apabila suami tersebut bercampur dengan istrinya, atau menyentuhnya dengan syahwat, atau melihat kearah kemaluan istrinya dengan syahwat, maka ia dianggap merujuk istrinya. Pendapat ini juga diikuti oleh Ats-Tsauri, ia menambahkan : setelah itu suami tersebut harus mempersaksikan rujuknya. Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa perbuatan itu tidak membuat seorang suami secara otomatis telah merujuk istrinya. Ini adalah pendapat dari Imam Malik, Imam Syafii, Ishak, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur.Semua pendapat para ulama ini disampaikan oleh Ibnu Al Mundzir, ia menuliskan dalam kitabnya al-muntaqa : Para ulama sepakat bahwa tujuk yang dilakukan dengan ucapan itu sah. Sedangkan apabila rujuk itu dilakukan dengan perbuatan, contohnya dengan mencampuri istrinya atau menciumi istrinya, Al Qadhi Abu Muhammad mengatakan bahwa rujuk tersebut sah baik itu dengan mencampuri istrinya ataupun dengan percumbuan lainnya. Ibnu Al Mawwaz menambahkan : Juga dengan rabaan yang dilakukan dengan syahwat, ataupun kearah anggota tubuh lainnya, apabila yang diniatkan dengan perbuatan itu adalah rujuk.Berbeda dengan pendapat imam syafii bahwa rujuk itu tidak sah kecuali dengan ucapan. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Al Mundzir dari Abu Tsaur, Jabir bin Zaid, dan Abu Qilabah.Ketiga : Imam Syafii berpendapat, apabila seorang suami mencampuri istrinya yang sedang menjalani masa iddahnya, baik ia berniat untuk rujuk ataupu tidak, maka suami tersebut tidak dianggap telah merujuk istrinya. Sementara istri yang dicmapurinya itu berhak untuk diberikan mahrul mitsl (mahar rata-rata atau standar).Sedangkan imam Malik berpendapat bahwa istri tersebut tidak behak diberikan apa-apa lagi, karena suaminya dianggap telah merujuknya, dan suami tidak perlu untuk memberikan mahar lagi. Apalagi jika mahar standar tersebut lebih besar dari maharnya terdahulu.Abu Umar mengatakan : Saya tidak pernah mendengar ada ulama yang mengatakan bahwa suami yang mencampuri istrinya pada masa iddah diharuskan untuk membayar mahar standar, kecuali imam Syafii. Namun pendapat imam SyafiI ini tidak kuat, karena wanita yang menjalani masa iddah masih dianggap sebagai istri yang sah dari suami yang menceraikannya. Istri tersebut masih berhak menerima warisan dari suaminya itu apabila ia meninggal dunia, dan begitu pula sebaliknya. Bagaimana mungkin seorang suami harus memberikan mahar standar kepada seorang wanita yang dicampurinya, padahal wanita tersebut masih dianggap istrinya terhadap sebagian besar hukumnya.Hanya saja, syubhat (kesamaran) pada pendapat imam Syafii ini sangat kuat, karena wanita tersebut diharamkan bagi suaminya kecuali ia telah merujuknya. Sementara para ulama sepakat bahwa wanita yang dicampuri secara syubhat, maka wanita tersebut berhak diberikan mahar standar. Cukuplah kiranya kesepakatan ulama ini.Keeempat : Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum bepergian seorang suami bersama istrinya yang sedang menjalani masa iddah, apakah diboehkan?Imam Syafii dan imam Malik berpendapat bahwa suami tersebut tidak diperbolehkan bepergian bersama istri yang diceraikannya sebelum ia merujuknya. Pendapat ini diamini oleh imam Abu Hanifah dan para ulama mengikuti madzhabnya, kecuali Zafar. Karena Hasan bin Ziyad menyebutkan riwayat dari Zafar yang mengatakan bahwa suami tersebut diperbolehkan bepergian bersama istrinya, walaupun suami tersebut belum merujuknya kembali. Namun pada pernyataan lainnya yang diriwayatkan oleh Amru bin Khalid, ia berpendapat bahwa suami tersebut tidak boleh bepergian kecuali ia telah merujuk istrinya.Kelima : Para ulama juga berbeda pendapat mengenai hukum hidup bersama. Imam Malik berpendapat : Suami tersebut tidak boleh berkhalwat bersama istrinya yang telah diceraikannya itu, dan ia juga tidak diperbolehkan untuk untuk masuk kedalam ruangan dimana istrinya kecuali istrinya berada tanpa seizinnya, dan ia juga tidak boleh melihat kea rah istrinya itu mengenakan pakaian, dan ia juga tidak boleh melihat rambut istrinya, ia juga tidak boleh tidur didalam satu rumah bersama istrinya. Namun, boleh makan bersama istrinya itu apabila ada orang lain yang juga ikut makan bersama mereka.Sedangkan imam Syafii berpendapat : Wanita yang ditalak oleh suaminya, baik talak satu atau dua, maka wanita tersebut diharamkan bagi suaminya, sama sepertiwanita asing lainnya, sampai suami itu merujuk istrinya kembali. Ia (suami) tidak boleh merujuk istrinya kecuali dengan perkataan, seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya.Keenam : Para ulama sepakat bahwa apabila seorang suami yang menceraikan istrinya berkata (rujuk) kepada istrinya itu setelah masa iddahnya berlalu, aku telah merujukmu saat kamu masih menjalankan masa iddahmu. Namun perkataan dari suaminya ini ditentang oleh si istri, maka yang diterima adalah perkataan si istri jika ia bersedia untuk disumpah. Sementara suami juga tidak berhak mengatakan hal itu terhadap istri yang telah diceraikannya.Hanya saja, imam Abu Hanifah tidak sependapat, karena ia tidak setuju jika dalam pernikahan atau rujuk ada pengambilan sumpah. Namun dua sahabat setianya berbeda pendapat dengannya, mereka mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh ulama lain.Begitu juga apabila yang berposisi sebagai istri disini adalah seorang wanita hamba sahaya, jika tuan dan hamba sahayanya berbeda dalam hal rujuk, dimana setelah selesainya masa iddah si suami mengaku telah merujuk istrinya itu pada masa iddah, namun istrinya menginginkan pengakuan tersebut, maka yang lebih diunggulkan adalah perkataan dari wanita hamba sahaya yang menjadi istrinya itu, walaupun tuannya telah menuduhnya berdusta. Ini adalah pendapat Syafii, Abu Tsaur, dan Abu Hanifah. Sedangkan Yaqub dan Muhammad berpendapat, perkataan yang dapat lebih diterima adalah perkataan suaminya, karena ia lebih berhak atas hamba sahayanya.Ketujuh : Makna dari lsfazh (kembali/rujuk) sendiri yang disebutkan pada ayat ini menunjukan bahwa ikatan suami istri itu sebelumnya telah diputuskan. Hanya, para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa dua tahap perceraian yang membolehkan mereka rujuk pada masa iddah adalah tahap diharamkannya percampuran suami istri. Dengan demikian, lafadz digunakan untuk mengembalikan mereka kepada penghalang bercampur.Sedangkan ulama lainnya, semisal Al-Laits bin Saad, Abu Hanifah, dan ulama lainnya yang sependapat dengan mereka mengatakan bahwa dua tahap perceraian yang diperbolehkan untuk rujuk pada masa iddah adalah masa yang masih dihalalkan bagi mereka untuk bercampu. Karena, faedah pembagian hukum pernikahan tetap masih ada dan tidak satupun yang hilang.Lalu mereka melanjutkan. Walaupun hukum pernikahan ini tetap ada, namun istri yang diceraikan itu tengah berjalan pada lajur pemutusan hubungan masa iddah itu hingga berakhirnya masa idda. Oleh karena itu, rujuk adalah menjemput kembali istri yang berada ditengah perjalanannya sebelum ia sampai di titik terakhir.Kedelapan : Sedangkan untuk lafazh (lebih berhak), lafazh ini disebutkan karena ada dua hak yang saling bersinggungan, dan salah satu dari keduanya diunggulkan. Yakni, pada masa iddah, hak suami atas istrinya lebih diunggulkan dari hak istri atas dirinya sendiri. Setelah masa iddah itu selesai, barulah seorang istri akan memiliki hak penuh atas dirinya sendiri untuk berbuat dan memutuskan sesuatu.Kesembilan : Seorang suami sangat disarankan segera merujuk istrinya apabila ia berniat merujuknya. Saran ini dianjurkan apabila ia bermaksud membenahi kondisi rumah tangganya dan kehidupan bersama istrinya, sertamenghilangkan permusuhan yang terjadi diantara mereka. Namun apabila suami tersebut bermaksud untuk menyakiti istrinya, dengan cara memperpanjang masa tunggu istrinya dan pada saat terakhir ikatan tersebut akan resmi diputuskan lalu tiba-tiba ia mengajukan rujuknya, maka hal ini diharamkan baginya.Akan tetapi, apabila ada yang melakukan itu, maka rujuknya tetap dianggap sah, walaupun laki-laki tersebut telah melanggar larangan Allah SWT dan menzhalimi dirinya sendiri.Adapun mengenai firman Allah SWT yang menyebutkan Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkat kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Untuk pertolongan terakhir dari ayat ini terdapat tiga masalah :Pertama : Firman Allah SWT, Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. Yakni para istrti memiliki hak yang serupa dengan hak yang dimiliki oleh para suami, begitu juga dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh keduanya. Lalu Ibnu Zaid juga menafsirkan : Hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah SWT atas apa yang mereka lakukan kepada suami-suami mereka, sebagaimana suami-suami mereka juga berkewajiban memperlakukan istrinya atas dasar ketaqwaan kepada Allah SWT.Namun, maknanya hamper serupa. Firman diatas mencakup seluruh hak dan kewajiban dalam berumah tangga.Kedua : Para Ulama menjabarkan kembali ucapan Ibnu Abbas diatas, yang menyatakan : Aku selalu menghias diri, maka mereka mengatakan : Adapun berhias bagi laki-laki tergantung kondisi dan keadaan mereka masing-masing, karena kondisi mereka berbeda-beda sesuai dengan kecocokannya sendiri. Mungkin ada hiasan yang sesuai untuk masa tertentu dan tidak cocok untuk masa yang lain, atau hiasan yang sesuai untuk para pemuda, atau ada juga hiasan yang hanya cocok untuk orang yang sudah dewas dan tidak cocok bagi para pemuda.Bukankah sering kita lihat bahwa orang dewasa lebih pantas jika kumisnya dicukur, sedangkan jika kumis itu dicukur oleh pemuda maka tumbuhnya akan terlihat buruk dan tidak sesuai. Karena biasanya para pemuda itu belum ditumbuhi dengan bulu lainnya, yakni dengan jenggot dan jamban (bulu disisi pipi). Oleh karena itu apabila ia mencukur kumis saat mulai tumbuh, maka pertumbuhan bulu yang lainnya akan terlihat buruk. Akan tetapi jika jenggot dan bewoknya lebat maka dengan mencukur kumis akan terlihat lebih rupawan.Kemudian juga, para suami harus dapat memahami saat-saat dimana para istri membutuhkan mereka, dengan memenuhi kebutuhan mereka itulah maka para istri tidak perlu melihat pria lain, karena suami mereka telah sangat mencukupinya. Apabila seorang suami menyadari bahwa ia tidak mampu lagi memberikan hak istrinya diatas tempat tidur,maka sebaiknya ia mencari ramuan atau obat-obatan yang dapat menyembuhkannya atau memperkuat syahwatnya, agar istri mereka pun dapat merasa kecukupan.Ketiga : Firman Allah SWT, Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkat kelebihan daripada istrinya. Maksudnya adalah kedudukannya. Sementara kata pada ayat ini maknya adalah tingkatan, karena berasal dari kata yang berartikan sesuatu yang dapat ditaiki satu persatu. Sedangkan kata maknanya adalah kekuatan.Oleh karena itu, penambahan tingkatan pada seorang laki-laki terhadap seorang wanita adalah pada akal dan kekuatannya untuk member nafkah, membayar diyat, mewarisi, atau berjihadIbnul Arabi menegaskan : Betapa lebih baik bagi seorang hamba untuk menahan diri dari sesuatu yang tidak diketahuinya, apalagi mengenai firman Allah SWT!. Seorang yang tidak terlalu pintar pun pasti mengetahui kelebihan kaum laki-laki terhadap kaum wanita, walaupun pengetahuannya itu hanya sebatas penciptaan wanita yang diambil dari bagian tubuh laki-laki. Terlebih jika seorang mengetahui lebih banyak lagi, seperti misalnya kaum laki-laki memiliki hak untuk melarang istrinya berbuat sesuatu kecuali dengan seizinnya, dan seorang istri tidak diperbolehkan untuk berpuasa kecuali dengan seizinnya, dan seorang istri juga tidak diperbolehkan untuk berhaji kecuali bersamanya.Al Mauridi menafsirkan : Suami yang berada satu peringkat diatas istri ini kemungkinan besar dalam masalah pemberian hak dalam berumah tangga. Dimana seorang suami berhak untuk mengajukan perceraian tanpa seizin istrinya. Dan kewajiban seorang istri untuk memenuhi panggilan suaminya diatas tempat tidur, sedangkan suami tidak berkewajiban untuk memenuhi panggilan istrinya.[footnoteRef:18] [18: HR. Albukhari pada pembahasan tentang pernikahan, bab : Apabila seorang istri berniat untuk memisahkan dirinya dari tempat tidur suaminya (3/260).]

Adapun untuk penafsiran kata adalah : Kekuasaan yang sangat kokoh, yang tidak akan dapat diganggu gugat oleh siapapun. Untuk penafsiran kata adalah : Yang menyadari sepenuhnya apa yang dilakukan dan selalu benar.

BAB IIIPENUTUP

3.1 KESIMPULANMasa iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata () yang bermakna perhitungan ( ).[footnoteRef:19] Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah [19: Lihat Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304]

Menurut istilah para ulama, masa iddah ialah sebutan atau nama suatu masa dimana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.[footnoteRef:20] [20: Al-Wajiz fi Fiqhisunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 387 dan Mausuatul Fiqhiyah al-Muyassarah fi Fiqhil Kitab was Sunnah al-Muthaharah, 5/383]

Ada yang menyatakan, masa iddah adalah istilah untuk mas atunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa ia tidak hamil atau karena taabbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami.[footnoteRef:21] [21: Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304]

Hikmah Iddah:[footnoteRef:22] [22: Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhihul Ahkam bi Syarhi Bulughil Maram 5/561-562]

Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa iddah, diantaranya: 1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah 3. Masa iddah disyariatkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan 4. Masa iddah disyariatkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan akad pernikahan

5. Masa iddah disyariatkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekuluargaan, terutama dalam kasus perceraian 6. Masa iddah disyariatkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicera sedang hamil

DAFTRA PUSTAKA

Imam Al-Qurhubi, Al-Jami Li Ahkam Al-Quran (Tafsir Al-Qurthubi), Pustaka Azzam, 2007Al-Wajiz fi Fiqhisunnah wal Kitabil AzizMausuatul Fiqhiyah al-Muyassarah fi Fiqhil Kitab was Sunnah al-MuthaharahMausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah

Tafsir Ahkam | Iddah Seorang Perempuan4