hukum kewarisan islam dalam konteks kenodernan dan ke indonesia an oleh h. taufiq, sh.mh

Upload: nicholas-kidd

Post on 19-Jul-2015

510 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

'.a..'

r.

I

Editor By Timur Abimanyu, SH.MHHUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM KONTEKS KEMODERNAN DAII KEINDOI\ESIAAIIIOleh: Drs. H. Tarfiq, SH, MH2

Perbincangan mengenai hukum kewarisan Islam dalam konteks kemodeman dan

keindonesiaan seringkali dihadapkan oleh beberapa problem yang cukup rumit. Pada

level wacana, isu mengenai hak dan kedudukan perempuan dalam skema hukumkewarisan Islam selalu saja menjadi lokus perdebatan yang tak kunjung usai terutama

ketika dipertautkan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia.

Pada level praktik, penerapan hukum kewarisan Islam secara konsisten kerapberbenturan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia di satu sisi dan perubahan

sistem dan struktur sosial masyarakat modern, khususnya pergeseran eksistensi dankedudukan perempuan dalam pelbagai bidang kehidupan di sisi lain.

Dalam kesempatan ini, penulis akan mendiskusikan beberapa problematikahukum kewarisan Islam sesuai dengan tema yang dimanatkan oleh panitia seminar,

yakni "Hukum Kewarisan Islam dalam Konteks Kemodernan dan Keindonesiaan".Pembahasan makalah

ini

akan memfokuskan pada masalah hak dan kedudukan

perempuan dalam hukum kewarisan Islam, reinterpretasi hukum kewarisan Islam,penerapan hukum kewarisan Islam

di Indonesia dan peluang dan

tantangan legislasi

hukum materiil Peradilan Agama dalam bidang kewarisan Islam. Pelbagai sudutpandang yang dikemukakan dalam tulisan ini pada dasarnya merepresentasikan suatu

posisi intlektual tertentu yang secara akdemis bersifat terbuka untuk dikritisi dandidiskusikan lebih lanj ut.

Disampaikan dalam acara Seminar Nasional "Peluang dan Tantangan Legislasi Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Kewarisan dan Hukum Ekonomi Syariah", diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekedasama dengan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI dan Majelis Pengurus Nasional Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (MPN-HISSI) pada Kamis, 22 Rabiul Akhir 1433 IVl5 Maret 2012M di Auditorium Harun Nasution Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2 Penulis adalah mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Periode Tahun 2002-2005.

I

Editor By Timur Abimanyu, SH.MH

Reinterpretasi Hukum Kewarisan IslrmPersoalan

berkisar

di

kritis dalam hukum kewarisan Islam di dunia modern pada umumnya seputar hak dan kedudukan perempuan di hadapan laki-laki. Banyak

kalangan menyatakan bahwa hukum kewarisan Islam fadisional yang bersifat 'patriarkal' dan 'misoginis' bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia.3 Pada saat yang sama, pesan-pesan al-eur'an pada dasamyamenegaskan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan secara biologis memiliki perbedaan, namun secara ontologis dan moral-etis memiliki kedudukan yang sama

karena keduanya berasal dari Realitas Tunggal. Gagasan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari Realitas Tunggal ini merupakan bagian integral dalamepistemologi al-Qur'an dan selalu disebutkan dalam pelbagai konteks di keseluruhanteks-teks al-Qur'an-Q.S. 6: 98, 7: 189, 16: 72,30: 21, 49: 13, 53:

45,75 39,7g: g, 50:

7, dan5l:49.4Kesenjangan ini menimbulkan beberapa pertanyaan lcrusial; Apakah Kitab Suci

al-Qur'an mengajarkan atau membiarkan ketidaksetaraan atau penindasan seksual?Apakah al-Qur'an merupakan teks patriarkal atau bahkan seksis dan misoginis? Apakah

al-Qur'an mengizinkan dan mendorong pembebasan bagi kaum perempuan? Apakah pandang dunia patriarkal masyarakat Muslim lebih disebabkan oleh persoalan interpretasi atas teks al-Qur'an atau disebabkan oleh konteks sosial-kultural yangmelingkupinya?Secara doktrinal, ketentuan dasar hukum kewarisan Islam ciiatur dalam Q.S. al-

Nisa/4:

lI,

12, dan 176. Menurut ayat ini, legitimasi hukum bagi hak waris didasarkan

pada perkawinan dan hubungan darah.s Perkawinan akan menimbulkan hak waris antara

suami dan istri, sedangkan hubungan darah akan menyebabkan hak waris bagi keduaLihat Abdullahi Ahmed An-Na'im, Toward an Islamic Reformation, (New York Syracuce University Press, 1990), h. 55; dan Asghar Ali Engineer, The Rights of llromen in Islam, (Selangor Darul Ehsan: IBS Buku Sdn Bhd, 1992),h.70-75. o Asma Barlas, Believing llomen in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur'an, (Austin: University of Texas Press, 2002), h. 133-134. 5 Para ulama fiqh pada umumnya menentukan keabsahan seseorang menjadi ahli waris berdasarkan perkawinan, hubungan darah dan memerdekakan hamba sahaya-masalah hamba sahaya saat ini sudah tidak banyak lagi dibahas kecuali dalam kitab-kitab fiqh klasik-konvensional. Lihat Muhammad al-Syahat al-Jandi, Al-Mirats /i Syart'ah al-Isldm. (Kairo: Dar al-Filr al-'Arabi, t.th.), h. 6067; Muhammad Abu Zahrah, Afukdm al-Tirkahwa al-Mawdrfls, (Kairo: Dar al-Fila al-'Arabi, t.th.), h. 79; dan Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqh al-Mawdrits wa al-Washgryah /i al-Syari'ah al-Isldmiyyah: Dirdsah Muqdranah, (Iskandariyah: al-Mahab al-Taufiqiyyah, t.th.), h. 28.3

orang tua dan anak-anak. Ayat

ini juga

menegaskan batrwa kaum.-lakiJaki dan

perempuan menerima porsi harta warisan yang berbeda, yakni anak perempuanmerrdapatkan setengah dari bagian anak laki-laki. Dalam keadaan berkumpulnya anak

laki-laki dan anak perempuan sectua bersamaan, maka prinsip pembagiannya adalah dua banding satu untuk laki-laki-berapapun jumlah anak yang ditinggalkan.6Berdasarkan ayat tersebut, para mufassir mengajukan pelbagai argumen terkait

dengan 'illat dan hikmah dalam penerimaan bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan, antara lain: laki-laki lebih'sempurna akal dan agamanya dibandingkandengan perempuan, sementara perempuan lebih pendek akalnya dan lebih besar hawa

nafsunya; laki-laki mengemban kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga,sementara perempuan bertugas menangani umsan-urusan domestik; laki-laki mampu membelanjakan harta untuk hal-hal yang berfaedah, sementara perempuan seringkali membelanjakan harta untuk hal-hal yang tidak berfaedah.T

Interpretasi para mufassir

di atas pada dasarnya merupakan

landasan bagi

kerangka hukum kewarisan Islam yang dirumuskan oleh para fuqaha. Oleh karena itu, sikap para fuqaha terhadap hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hukum

waris tidak berbeda dengan sikap para mufassir sebagaimana dikemukakanKetentuan Q.S al-Nisa/4:

di

atas.

1l masih

tetap dianggap qqth't al-dildlah yang tidak mungkin

mengalami perubahan sepanjang masa. Pemahaman terhadap Q.S al-Nisa/4:

lI

tersebut

tetap dipertahankan karena kalimatpengertiannya, yaitu

"li

dzakar mitsl hazh al-untsayain" sangat jelas

jika

anak laki-laki bergabung dengan anak perempuan, maka

jilid V, h.211; Abu al-Fida Ismail ibn 'Umar ibn Katsir, Tafsir al-Qur'dn al-'Azhtm, (Mesir: Dar Mishr li al-Thiba'ah, t.th.), jilid I,h. 457; Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsfrr Ji al-Tafsir bi al-Ma'tsfrr, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, l42l W2000 M), jilid I, cet. I, h. 457; Syihabuddin Mahmud al-Alusi,

Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jdmi' al-Baydn fi Ta'wil al-Qur'dn, (Beirut: Dar al-Kutub al'Ilmiyyah, 1420 Hll999 M), jilid III, cet. III, h. 616; Abu al-Qasim Mahmud ibn 'Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Al-Kasysydf 'an flaqd'iq Ghawdmidh al-Tanzil wa 'UyAn al-Aqdwtl fi l4lujfrh al-Ta'wil, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, l4l5 W1995 M), jilid I, cet. I, h.469; Abu Bakar Muhammad ibn 'Abdullah ibn al-'Arabi, Ahkdm al-Qur'dn, @eirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1408 IVl988 M), jilid I, cet. I, h. 435; Fakhruddin al-Razi, Al-Tafstr al-Kabir wa Mafiltih al-Ghaib, @eirut: Dar al-Fikr, t.th.),

6

Rfrftal-Ma'dntfi Tafsir al-Qur'dn al-'Azhimwa al-Sab'u al-Matsdnt, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1422 W2001 M), jilid II, cet. I,h. 426; dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manrir, (Beirut Dar alFikr, t.th.), jilid IV, cet. II, h. 405. 7 Lihat al-Razi, Al-Tafstr al-Kabtr wa Mafidtih al-Ghoib,h.2l4; al-Alusi, Rfift al-Ma'dni/i Tafstr al-Qur'dn al-'Azhim wa al-Sab'u al-Matsdni,h. 426-427; Rasyid Ridha, Tafsir al-Mandr,h. 406. Dalamkonteks ini, Rasyid Ridha menyatakan bahwa pendapat tentang kurangnya akal perempuan dibandingkandengan laki-laki merupakan pendapat yang munkar.

bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Dalam Ketentuan ushul fiqh,

kalimat yang mengandung pengertian jelas merupakan lafadz yang qath? atau tidakmengandung tafsir lain.

Di

samping asas qath'i al-dildlah, hukum waris oleh para

fuqaha dianggap hukum yang bersifat ta'abbudt yang tidak dapat dirasionalisasikan.

Kendati demikian, belakangan mulai muncul kecenderungan baru dalammemahami dan menafsirkan ayat-ayat waris yang termaktub dalam Q.S. al-Nisal4:

ll,

12 dan 176. Kaidah qath't mengenai ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan belakangan menjadi masalah yang disoroti oleh pemikir-pemikir

Muslim kontemporer karena dianggap sudah tidak relevan dengan perkembanganmasyarakat masa kini di mana perempuan bukan hanya memiliki peran domestik akan

tetapi juga memiliki peran publik dalam cakupan yang lebih luas. Menurut mereka,

sistem hukum kewarisan Islam tradisional pada dasarnya lebih merepresentasikanpandangan dunia masyarakat patrilineal yang membedakan status seseorang dalam

keluarga berdasarkan perbedaan gender dan melegitimasi peran dominan laki-lakiketimbang perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut Abdullahi Ahmed An-Na'im, hukum keluarga dan hukum perdatasyariah yang berlaku selama

ini

telah memberikan perlakuan yang diskriminatif

terhadap kaum perempuan. Diskriminasi tersebut direpresentasikan dalam beberapaketentuan hukum keluarga dan hukum perdata syariah yang diformulasikan oleh para

ulama tradisional,

di

antaranya dalam bidang hukum kewarisan. Dalam pewarisan,

seorang perempuan menerima bagian lebih sedikit dari bagian laki-laki ketika keduanya

berada pada tingkatan yang sama dalam hubungannya dengan seseorang yang meninggal. Menurut Na'im, terlepas dari justifikasi historis pemberlakuan skemahukum kewarisan Islam di tengah masyarakat Arab pada masa lalu, bagaimanapun pada

masa

kini

diskriminasi gender dalam hukum kewarisan Islam tidak dapat lagi

dibenarkan karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.sSecara geneologis, ikhtiar untuk menafsirkan ulang masalah hak dan kedudukan

perempuan dalam hukum kewarisan Islam sesungguhnya sudatr diinisiasi olehMuhammad Abduh. Ikhtiar tersebut merupakan bagian integral dari proyek pembaruan

pemikiran dan hukum Islam yang diusung Abduh. Menurut Abduh, ketentuan warist Abdullahi Ahmed An-Na'im, Toward an Islamic Reformation, h. 55.

yang termaktub dalam al-Qur'an pada dasamya hendak menegaskan bahwa bagian perempuan menjadi asas bagian laki-laki. Dengan demikian, Abduh memilikipandangan yang berbeda dengan mayoritas ulama ketika menafsirkan ayat-ayat waris

dalam surat al-Nisa. Abduh berpendapat bahwa penekanan dalam surat al-Nisa adalatr"bagian perempuan" menjadi asas bagian laki-laki. Kalimat ini dipilih untuk menghapus kebiasaan laki-laki Arab Jahiliyah yang tidak mengakui hak waris perempuan dan menjadikan laki-laki sebagai asas sendi-sendi kehidupan dalam periode itu. Oleh karena

itu, firman Allah dalam Q.S. al-Nisa/4: 11 berbunyi,

"li

al-dzaknr mitsl hazh aI-

untsayain" (bagian laki-laki adalah seperti bagian dua perempuan), bukan

"li

al-untsd

nishf hazh al-dzakar" (bagian perempuan separuh bagian laki-laki).e Dengan penafsirantersebut, Abduh sesungguhnya hendak mengajak kita untuk melihat pada fokus ayat itu,

yakni adarryapengakuan terhadap hak waris perempuan setelah sebelumnya tidak diakuisama sekali, meskipun jatah tersebut sangat kompromistis. Signifikansinya terletak pada adanya pengakuan dan perluasan hak-hak perempuan dan adanya pembatasan terhadap

hak-hak laki-laki.

Dalam konteks ini, Mahmud Muhammad Thaha melontarkan sudut pandangyang

jauh lebih radikal ketimbang Abduh. Menurut Thaha, prinsip dasar dalam Islam

sejatinya adalah kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian,

ketika Islam diturunkan, pesan-pesannya dialamatkan kepada masyarakat Arab yang

memiliki kebiasaan buruk mengubur anak perempuan hidup-hidup lantaran takut padaaib yang kelak akan menimpa mereka jika mereka tidak mampu melindunginya, atau

dijadikan tawanan, atau karena menghindar dari tanggung jawab memenuhipenghidupan kertika terjadi paceklik. Fakta

ini mengimplikasikan bahwa

masyarakat

Arab pada saat itu tidak siap-termasuk kaum perempuan sendiri-untuk menerimatatanan Islam yang memberikan hak-hak yang setara antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, harus ada fase transisi di mana ada proses perkembangan di dalamnya antara laki-laki dan perempuan baik secara individu mauprm sosial. Maka, Islam menawarkan tatanannya dengan cara menjadikan perempuan separuh dari nilai laki-laki

dalam masalah warisan dan kesaksian. Tatanan

ini merupakan lompatan

besar bagi

e Muhammad 'Abduh, At-A'mdl al-Kdmilah li al-Imdm al-Syoikh Mufuammad 'Abduh, (ed.) Muhammad Imarah, @eirut Dar al-Syuruq,l4l4Wl993 M), jilid V, h. 173.

kaum perempuan dibandiirgkan dengan hak yang mereka dapatkan sebelumnya. Namun

demikian, tatanan tersebut bukan merupakan tujuan puncak yang dikehendaki olehagarrralslam.lo Senada dengan Thaha, Asghar

Ali Engineer menandaskan

bahwa pandangan

yang menyatakan perempuan hanya menerima separuh bagian dari harta warisan karena

posisi mereka lebih rendah (inferior) daripada kaum laki-laki merupakan persepsi yang

keliru. Menurut Engineer, untuk memahami spirit dasar hukum kewarisan Islam, kita perlu melakukan pembacaan historis dan menelisik konteks sosial-kultural masyarakat

Arab ketika al-Qur'an diturunkan. Sebelum ayat mengenai warisan diturunkan, perempuan Arab tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suami, orang tua ataukeluarga lainnya. Bahkan, kaum perempuan sendiri seringkali diperlakukan sebagai

komoditas dan dalam banyak kasus kerap dijadikan sebagai objek warisan. Bagimasyarakat Arab, warisan tidak diperuntukkan bagi perempuan dan anak kecil, tetapi

diperuntukkan bagi orang yang mampu memegang senjata dan mernburu binatang-

laki-laki dewasa. Oleh karena itu, ketentuan hukum waris yang diintrodusir oleh alQur'an pada waktu itu sesungguhnya merupakan langkah revolusioner dalam kaitannyadengan hak dan kedudukan perempuan. Jika sebelumnya kaum perempuan tidak

memiliki bagian tetap dari harta warisan dan sangat bergantng pada keputusansewenang-wenang kaum laki-laki, maka ketentuan al-Qur'an turun untuk menghapus

ketidakpastian hukum dan menentukan bagian tetap dari harta warisan kepada kaum perempuan-setengah dari bagian laki-laki.tl Kendati demikian, ketentuan hukum waris

tersebut lebih didasarkan pada logika situasional yang terbuka untuk mengalamiperubahan sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Oleh karena

itu, formulasi

para

fuqaha tentang hukum kewarisan Islam semestinya tidak diperlakuakn sebagai produk yang final. Kita perlu mereinterpretasi dan mereformulasi spirit dasar al-Qur'an sesuai

dengan perubahan-perubahan situasi dan perkembangan modus kesadaran kaumperempuan.t2

r0

Mahmud Muhammad Thaha, At-Risdlah al-Tsdniyah min al-Isldm, (t.tp.: t.pn.,Rights of ltomen in The Rights o|Wom"n in

l97l),

cet. IV,

h.72-73.

t' Asghar Ali Engineer, The12

Asghar

Ali Engineer,

Islam,h.3l-32. Islam,h.75.

Di

samping para pemikir

di

atas, pembacaan kornekstual terhadap ketentuan

hukum kewarisan Islam juga dilakukan oleh Nashr Hamid Abu Zayd. Menurut Zayd,

isu warisan anak-anak perempuan dalam al-Qur'an pada dasarnya mempunyai

dua

dimensi yang saling bertautan; dimensi pertama berkaitan dengan isu perempuan secara umum dan posisinya dalam Islam dan dimensi kedua berkaitan dengan problem warisan secara keseluruhan sebagaimana diekspresikan oleh teks. Makna-makna teks jelas,

yakni tidak mempersamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam

masalah

warisan saja, tetapi dalam keseluruhan hukum syariah, meskipun teks-teks tersebutmempersamakan keduanya dalam masalah amalan dan ganjaran keagamaan. Dalammasalah warisan tidak ada perselisihan pendapat mengenai makna teks, sebab hubungan

darah patriarki menjadi norrna pembagian. Perselisihan-perselisihan dalam masalahwarisan, yang ditandai dengan sebutanfurfidh (bagian-bagian yang sudah ditentukan), diputuskan dengan bersandar pada norma hubungan darah patriarki.l3

Namun demikian, Zayd menegaskan bahwa makna-makna yang ditunjukkan oleh teks secara langsung bukanlah inti persoalan, sebab sudah sewajarnya apabilagerak legislasi (tasyrt) yang diartikulasikan oleh teks tidak berbenturan dengan adatistiadat, tradisi, dan nilai-nilai yang merupakan poros dasar dalam sistem sosial budaya.

Tidak adanya benturan tersebut bukan berarti teks-teks tersebut tidak menimbulkangoncangan dalam sistem nilai. Namun goncangan tersebut membuahkan hasil-hasilnyahanya melalui gerak realitas dengan segala pertentangan sosial-intelektual yang terdapat

di dalam gerak

tersebut. Gerak masyarakat Arab-Islam pada abad pertama hijriyah

cenderung memapankan tradisi dan adat istiadat yang hendak digoncang oleh teks. Oleh

karena itu, skala timbangan selalu cenderung mengokohkan makna keagamaan dalam

peradaban

Arab, sementara upaya menemukan signifikansi, kecuali kelompok-

kelompok kecil yang pengaruhnya terbatas, senantiasa tenggelam.

Menurut Zaid, pentahapan dalam wacana agama, baik yang berkaitan dengan hukum ataupun bukan, menyingkapkan watak hubungan antara teks dan kebudayaan

yang memproduksinya dari dua sisi; Pertama, aspek keterbentukankebudayaan/bahasa menjadi subjek

di

mana aspek

dan teks menjadi objek; dan Kedua,

pembentukan struktur bahasa tertentu dari teks, di mana hubungan tersebut terefleksi13

Nasr Hamid AbuZayd, Naqd at-Khithdb al-Dtni, (Kairo: Sina

li al-Nasyr,l994),h.223.

sehingga teks meqiadi subjek dan kebudayaan/biiltasa menjadi objek.ra Apa yang

didiamkan dalam wacana digambarkan oleh salah satu mekanisme teks dalam fasepembentukan sebagai satu bagian dari struktur semantiknya. Tekadang yang didiamkan

tersebut diindikasikan dalam teks secara eksplisit, dan kadang ditunjukkan melalui

konteks eksternal. Kedua cara pengindikasian terhadap apa yang didiamkan dapatditemukan dalam isu perempuan dan warisan. Yang didiamkan diindikasikan dalamkonteks eksternal dapat ditemukan dalam isu perempuan umwnnya dan dalam masalah bagian warisannya khususnya. Sementara yang didiamkan diindikasikan dalam wacanasecara

implisit ditemukan dalam problem warisan secara umum. Banyak hukum yang khusus berkaitan dengan perempuan tidak tersingkap

maknanya, dan berarti juga signifkansinya

di luar kedudukan perempuan

dalam

masyarakat Arab pra Islam. Dulu, perempuan diperlakukan sebagai makhluk yang tidak

memiliki kecakapan. Nilai perempuan hanya bersumber dari laki-laki,tentang hal

tempat

perempuan menyandarkan diri, baik laki-laki itu ayah, suami atau saudara. Bukti-bukti

itu sangat berlimpah. Salah satunya adalah keengganan masyarakat Arab

untuk mewariskan harta warisannya kepada anak perempuan atau anak laki-laki yang

masih kecil. Norma yang dipergunakan murni karena alasan ekonomi. Merekamengatakan, "Kami tidak akan memberikan warisan kepada orang yang tidak pandaimenunggang kuda, tidak kuat memikul beban, dan tidak dapat melukai musuh."ls

Jika demikian kondisinya, pesan-pesan mengenai perempuan yang

terdapat

dalam teks-termasuk dalam pembagian waris separuh bagian laki-laki-memilikisignifikansi ya.rg ditentukan melalui pengukuran sejauhmana gerak yang dimunculkan

teks dan ditentukan melalui upaya menetapkan dari gerak tersebut. Gerak tersebutmelampaui kondisi misoginis dan mengarah pada persamaan yang disembunyikan dansekaligus diindikasikan oleh teks. Upaya menyingkapkan yang tersembunyi dalam isu perempuan dan persamaannya dengan laki-laki tidak dapat dilakukan

di luar konteks

menyingkapakan gerak keseluruhan teks.

Di sini indikasi keseluruhan dari yang

tersembunyi dapat tersingkap tatkala diletakkan dalam konteks gerak teks yangberkaitan dengan persoalan perbudakan. Yang disembunyikan secara total adalah upayaNasr Hamid AbuZayd, Naqd al-Khithdb al-Dtni,h.223. Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-Nisaburi, Asbdb al-Nuzfil, (Kairo: Mathba'ah Mushthafa al-Bab al-Halabi, t.th.), cet. II, h. 82-84. t5to

membebaskan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, -dari belenggu sosial dan

intelektual. Oleh karena itu, istilah "nalar''dilontarkan sebagai lawan dari 'Jahiliyyah",

"keadilan" sebagai lawan dari "perbudakan". Nilai-nilai tersebut disembunyikansekaligus diindikasikan oleh teks, sebab teks tidak akan memaksakan suatu nilai atau

norma yang secara total bertabrakan dengan realitas, namun teks menggerrakkannyasecara parsial.

Selain memperbincangkan masalatr warisan untuk perempuan dari

sudut

kedudukan perempuan dalam masyarakat pra Islam, masalah tersebut juga harus dibicarakan dari sudut lainnya, yakni problem warisan dalam Islam pada umumnya.Pesan-pesan yang diindikasikan dalam teks membagi porsi waris menurut hubungan

darah patriarki.

Ini wajar dalam masyarakat yang didasarkan pada sistem kekerabatan

patriarki. Dalam Q.S. al-Nisa/4:

ll

terdapat ungkapan yang memiliki indikasi terhadap

di antara mereka, kamu tidak mengetahui siapa yang lebih bermanfaat bagimu." Ungkapan ini dapatdipahami dalam dua sisi; Pertama, ungkapan tersebut menolak orang-orang yangkeberatan memberikan warisan kepada anak perempuan dengan dalih tidak berguna. Pemahaman

apa yang didiamkan, yaitu "bapak-bapak knmu, anak-anak kamu

ini seiring

dengan konteks sebab turunnya ayat (asbdb al-nuzfi[), yakni

konteks eksternal, dan tidak bertentangan dengan struktur bahasa; dan Kedua, mengaitkan ungkapan tersebut dengan fdshilah (rima, akhir) ayat tersebut, "Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Bijaksana" untuk membatasi makna bahwamanusia tidak mengetahui dibandingkan dengan ilmu Allah sambil memisahkan ayat tersebut dari konteks ekstemal. Pada sisi kedua ini, makna langsung dapat dipegangi

dan signifikansi dapat diabaikan. Jika ungkapan tersebut menolak orang-orang yangberkeberatan, menurut sisi pertama, maka ungkapan tersebut mengesampingkan norma

"manfaat" dalam masalah warisan.

16

Dengan demikian, upaya untuk merumuskan pelbagai produk hukum

Islam-

termasuk hukum kewarisan-pada dasarnya harus bertolak dari spirit dasar pesan-pesan

al-Qur'an dan prinsip-prinsip umum tujuan syariatr (maq,6shid al-syartah). Al-Qur'anmerupakan sumber ajaran moral-etik yang membedakan mana yang baik dan mana yang

buruk untuk dijadikan pedoman manusia. Pernyataant6

ini

ditegaskan oleh al-Qur'an

Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khithdb al-Dtnt,h.225.

dengan istila?r hudan yang berarti petunjuk dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan kata lain, seluruh persoalan dinamika manusia

ini dapat dicarikan jawabannya

secara etik kepada prinsip dasar al-Qur'an. Akan tetapi, per{elasan moral atau etik al-

Qur'an

itu

bukan bersifat aplikatif (iuz'iyyat) untuk seluruh persoalan kehidupan

manusia, melainkan kebanyakan masih dalam bentuk prinsip-prinsip ajaran universal

(kulliyyat) yang masih memerlukan penjabaran, penafsiran dan pengembangan. Upaya untuk mempertautkan prinsip ajaran yang universal terhadap kasus-kasus kehidupanmanusia itulah yang dinamakan ijtihad. Hasil ijtihad sebagai proses intelektual untuk mengeluarkan makna yang tersembunyi di dalam prinsip universal untuk dibawa kepada

ketentuan-ketentuan

yang bersifat terapan/partikular dan dalarn bentuk teknis

operasional itu disebut fiqh sebagaimana yang telah diuraikan di atas.lT Dengan demikian, hal-hal yang bersifat universal (latlllrl1at) dan yang bersifat

partikular (iuz'iyyat) perlu dibedakan agar kita tidak menjadikan keduanya sebagaiketentuan yang sama-sama mutlak. Ajaran-ajaran universal bersifat mutlak, yakni tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan ajaran-ajaran partikular terkait dimensi ruang dan waktu. Dalam ilmu ushul fiqh, ajaran-ajaran universal disebut qath'iy dan ajaranajaran partikular disebut zhanniy. Fiqh kita selama

ini mengatakan bahwa yang qath'iy

adalah hukum-hukum yang secara jelas ditunjuk oleh nash al-Qur'an atau Hadis Nabi.Sementara zhanniy adalah hukum-hukum yang dalilnya tidalc/kurang jelas, ambigu dan

mengandung ragam pengertian. Pengertian seperti

ini perlu diperluas. Qath'iy dalam

hukum Islam lebih cocok diartikan sebagai sesuatu yang pasti, tidak berubah-ubah, danbersifat fundamental. Yang qath'iy dalam hukum Islam adalah nilai-nilai kemaslahatan

dan keadilan itu sendiri, yang note bene merupakan jiwa hukum. Sedangkan yangzhanniy (tidak pasti dan bisa berubah) adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks,

ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai upaya menerjemahkan yang qath'iy

(nilai kemaslahatan/keadilan) dalam kehidupan nyata. I I

Hal-hal yang qath'iy dalam Islam bersifat prinsip dan absolut, seperti ajarantentang keadilan, persamaan, kejujuran, musyawarah dalam setiap urusan, tolong

menolong, dan sebagainya. Ajaran-ajaran17

di

atas adalatr bersifat mutlak yang

Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan, lgg7),h.Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-hak Reprodulcsi Perempuan,h.98.

28.18

ffiffi

kebenarannya tidak perlu diuji lagi. Setiapk'ymunitas manusia, kapan dan di mana pun ia hidup, serta tingkat kebudayaan yang bagaimana pun, tetap akan mengakui kebenaran ajaran itu. Tidak diperlukan pembuktian terhadap kebenaran ajaran itu karena memang

nurani manusia mengatakan demikian.

Di lain pihak, hukum

agama dalam

fiqh yang

tidak menyangkut tentang etik normatif seperti baik buruk, halal haram, adalah bersifat zhonniy, relatif, terikat ruang dan waktu. Oleh karena itu, hukum potong tangan, rajambagi pezina, prosentase pembagian harta waris, hak talak suami, keterlibatan wali nikah, dan hal-hal teknis lainnya yang bersifat non-etis masuk ke dalam kategori zhanniy ini.Dengan demikian, sesuatu yang harus menjadi perhatian dan pertimbangan utama dalam

menetapkan fiqh atau hukum Islam adalah keadilan dan kemaslahatan. Adapun aturanaturan yang bersifat teknis operasional, baik yang berasal dari al-Qur'an dan Hadis Nabi

ataupun ijtihad ulama, maka tidak mesti harus demikian pelaksanaannya. Bisa sajadiubah sesuai dengan kasus, konteks dan kebutuhan masyarakat.

Dalam konteks ini, tawaran-tawaran pembaruan hukum kewarisan Islam dankerangka penafsiran kontekstual para pemikir Muslim sebagaimana

di kemukakan di

atas perlu menjadi bahan refleksi yahng patut dipertimbangkan. Bagaimanapun,dinamika kehidupan masyarakat Muslim yang ditandai oleh perubahan-perubahan dankebutuhan-kebutuhan baru di era modem saat ini kerap mengantarkan fiqh pada posisi

problematis dan dilematis. Fiqh bukan hanya kesulitan menuntaskan berbagai masalah dan isu sosial yang dihadapi, tapi juga cenderung gagap mendefinisikan identitasnya,terutama dalarn konteks merumuskan metode hukum yang viable dalam menuntaskan

pelbagai masalah tersebut. Khazanah fiqh klasik yang

kita miliki

kebanyakan

berkonsentrasi kepada upaya mendeduksikan ayat. Artinya, produk fiqh yang kita milikiberupa deskripsi hasil analisis terhadap makna teks. Maka, akibatnya fiqh hanya bersifat

formal, dan banyak ditemui dalam pemikiran fiqh bahwa yang penting hukum dapatdikembalikan secara formal kepada bunyi teks al-Qur'an atau Hadis. Tak jelas untukkepentingan apa produk hukum itu diperuntukkan, tak menjadi soal apakatr hukum itu

dalam kenyataan historisnya telah menyentuh kemaslahatan orang banyak atau hanya

menyantuni kepentingan sekelompok tertentu. Oleh karena itu, tak mengherankanapabila wajah fiqh kita tampak dingin, kurang menunjukkan pemihakan (engagenent)

terhadap kepentingan kemaslahatan masyarakat. Dalam pandangan N.J. Coulson,

problem inilah yang menjadi salah satu api penyultrt *konflik dan ketegangan" antara teori dan praktik dalam sejarah penelitian dan penerapan hukum Islam.re

Penerapan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Beberapa literatur akademik menyebutkan bahwa konstruksi pemikiran danpenerapan hukum Islam

di Indonesia ditandai oleh karakteristik yang unik. Menurut

M.B. Hooker, syariah di Indonesia memiliki karakter yang khas dan berbeda dengannegara-negara

lain yang ada di Timur Tengah, Afrika Utara atau Asia Tenggara

lainnya-meskipun dalam hal tertentu memiliki tradisi hukum yang sama. Hookermengemukakan bahwa hukum positif

di

Indonesia tidak didasarkan pada inspirasi

ketuhanan, melainkan bergantung pada otoritas lain, yaitu konstitusi yang merancang

kriteria keabsahan hukum dan peraturan. Oleh karena itu, positivisasi hukum syariah di

Indonesia senantiasa dilakukan melalui jalur-jalur konstitusional. Proses tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kebijakan negara melalui perundangundangan, lembaga peradilan, lembaga pendidikan dan domain publik lainnya. Menyimak fakta tersebut, Hooker berkesimpulan bahwa hukum Islam

di lndonesia

sesungguhnya merupakan manifestasi fiqh baru yang ditemukan dalam hukum positifnegara. Dalam level yang paling mendasar,

fiqh baru adalah syariah dalam pengertian

negila. Dengan kata lain, syariah

di

Indonesia adalah work in progress menuju

penciptaan mazhab hukum Islam yang khas.20Senada dengan Hooker, Michael Feener menandaskan bahwa para

pemikir Islam

Indonesia telah melakukan berbagai konsepsi, formulasi dan interpretasi hukum Islam yang sesuai dengan konteks sosial, budaya dan politik Indonesia sehingga menghasilkan

model hukum Islam mazhab Indonesia. Menurutnya, gagasan akan pentingnya hukum

Islam mazhab Indonesia ini telah dimulai sejak pertengahan abad kedua puluh ketikaHasby Ash shiddieqy dan Hazaiin menyampaikan pentingnya Indonesia mempunyaimazhab Hukum Islam tertentu. Pada masa reformasi, hukum Islam telah dibentuk tidak saja oleh situasire

politik dan ekonomi, tetapi juga oleh warisan

gagasan tentang tradisi,

N.J. Coulson, Conflict and Tension in Islamic Jurisprudenca (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969), h. 58-76. 20 M.B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Zaw, (Singapore: ISEAS,2008), h.285.

perubahan dan keadilan masyarakat Muslim Indonesia berabad-abad silam. DalEmproses pembentukan hukum Islam mazhab Indonesia ini, terdapat pelbagai komponen

yang telah memainkan peranan signifikan, yaknipesantren,

pemerintah,

pemikir/cendekiawan/ulama,lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan seperti

UIN/IAIN, dan komponen-komponen lainya.2l

Pandangan

di

atas paling tidak dapat dilihat manifestasinya dalam penerapan

hukum kewarisan Islam di Indonesia. Formalisasi hukum kewarisan Islam di Indonesiasecara

normatif dan sosiologis pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari eksistensi tiga

sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata Barat dan

Hukum Adat. Trikotomi sistem hukum tersebut telah memberikan pengaruh yang cukup

signifikan dalam proses pembentukan dan pergeseran paradigma hukum kewarisan Islam Indonesia yang dianggap unik dan, dalam beberapa aspek, berbeda denganparadigma hukum kewarisan Islam konvensional. Paradigma hukum kewarisan Islam Indonesia tersebut secara institusional dilembagakan dalam Buku

II Kompilasi Hukum

Islam (KHI) yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor1991.

I

Tahun

Formulasi hukum kewarisan Islam yang termaktub dalam KHI pada dasamya merefleksikan ikhtiar para ulama dan ahli hukum Islam di Indonesia untuk melampauiasumsi-asumsi tradisional yang selama

ini dijadikan pedoman dalam bidang hukumpergeseran beberapa ketentuan

kewarisan.

Hal ini dapat dilihat dalam

fiqh

waris

konvensional ke dalam ketentuan baru sebagaimana diintrodusir dalam KHI, antara lain dalam masalah penghalang ahli waris, wasiat wajibah, kesetaraan antara anak lakiJaki dan anak perempuan dalam menghijab saudara ayah, kedudukan anak angkat dan ahli

waris pengganti. Meskipun KHI tidak melakukan perubahan radikal dalam kaitannyadengan hak dan kedudukan perempuan, namun

KHI telah merambah jalan baru dalam

upaya pembaruan hukum kewarisan Islam yang lebih responsif terhadap perubahan-

perubahan strukturd dan realitas sosial-kultural masyarakat Muslim lndonesiakontemporer.

R. Michael Feener, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 222-227 .

''

ffi

Da.lmt kaitannya dengan masalah penghalang waris (mawdni' al-irts), paraulama fiqh telah menyepakati tiga faktor yang menjadi penghalang seseor,ang untuk mendapatkan hak waris, yakni:

(l)

pembunuhan;

(2) perbedaan agarna; dan (3)

perbudakan. Selain ketiga faktor ini, terdapat faktor lain penghalang waris yang status

hukumnya masih diperselisihkan oleh para ulama, yakni murtad, berlainan negara diantara sesama orang kafir dan ketidakjelasan waktu kematian.22

Dalam konteks ini, KHI tidak mengenal terminologi penghalang waris akibat perbedaan negara dan perbudakaan. Namun demikian,

KHI

memperluas makna

pembunuhan menjadi beberapa terminologi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 173,

yaitu seseorang yang telah dipersalahkan: (a) telah membunuh; (b) mencoba membunuh; (c) menganiaya berat para pewaris; (d) memfitnah telah mengajukanpengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan

hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Dengan demikian, dalammasalah pembunuhan,

KHI menetapkan kriteria yang lebih ketat dibandingkan

dengan

fiqh konvensional.Sebaliknya, dalam masalah perbedaan agama, KHI menerapkan ketentuan yang

lebih lentur. Meskipun secara prinsipil ahli waris non Muslim tidak mendapatkan hak

waris, tetapi

ia memiliki peluang untuk memperoleh harta dari pewaris melalui

instrumen "wasiat wajibah". KHI memang sepenuhnya mengikuti ketentuan fiqh klasikbahwa perbedaan agama merupakan penghalang bagi seseorang untuk memperoleh hak

waris23-sebagaimana termaktub dalam Pasal 171

huruf (b) dan (c) yang

mengatur

tentang syarat pewaris dan ahli waris harus beragama Islam. Namun dalam hal wasiat,Pasal 171 huruf (f)

KHI menyebutkan bahwa "wasiat adalah pemberian suatu benda dari

pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal

dunia." Pasal tersebut tidak mensyaratkan penerima wasiat harus orang yang beragama

2' Lihat Said Abdul al-Salam, Al-Mary,1kil al-'Amaliyyah ft Qdnttnt al-Mmvdrits wa alllashiyyah, (Iskandariyah: Mansya'at al-Ma'arifl t.th.), h. 13; Yasin Ahmad Ibratrim Daradal