hubungan logis

Upload: andikarakasiwi

Post on 01-Mar-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    1/11

    CONVENTIONAL WISDOM

    VERSUS FREAKONOMICS:MEMPERTANYAKAN KEMBALI

    HUBUNGAN LOGISDALAM PENELITIAN KEILMUAN

    OlehTarli Nugroho

    Mubyarto Institute, Yogyakarta;Fakultas Ekonomi UP45 (The University of Petroleum) Yogyakarta

    Penilaian mengenai apa yang logis dan apa yang tidak logisberpengaruh terhadap penilaian mengenai apa yang ilmiah dan apa yangtidak ilmiah dalam sebuah penelitian keilmuan. Penilaian mengenai apa

    yang ilmiah dan apa yang tidak ilmiah itu sendiri merupakan dasar bagipenilaian mengenai kebenaran. Sebuah pernyataan dianggap benar jika iabersifat logis dan ilmiah, dan demikian juga sebaliknya. Masalah besar

    muncul ketika apa yang disebut atau diterima sebagai hubungan logisternyata jika ditelusuri lebih jauh hanya merupakan hubungan logis yangbersifat permukaan saja, sehingga derajat kelogisannya sebenarnya lemah.Melalui konsep rentang-keterkaitan dan daya jelas, tulisan ini mencobamenguraikan dan membuat problematisasi atas persoalan hubungan logisdalam penelitian ilmu ekonomi.

    A. Mempertanyakan Kembali Hubungan LogisApa hubungan turunnya tingkat kejahatan di Amerika dengan

    dilegalkannya aborsi? Barangkali tak ada orang yang berani memastikanhubungan antara keduanya selain Steven Levitt. 1 Lewat serangkaian riset

    1Steven Levitt adalah guru besar ekonomi di Universitas Chicago. Tulisannya yang dirujuk dalam

    bagian ini terutama adalah Steven D. Levitt, The Relationship Between Crime Reporting and

    Police: Implications for the Use of Uniform Crime Reports, dimuat dalamJournal of Quantitative

    Criminology, Vol. 14, No. 1, 1998, hal. 61-81; John J. Donohue III dan Levitt, The Impact of

    Legalized Abortion on Crime dimuat dalam The Quarterly Journal of Economics, Vol. CXVI, May

    2001, hal. 379-420; Levitt, Understanding Why Crime Fell in the 1990s: Four Factors that Explain

    the Decline and Six that Do Not, Journal of Economic Perspectives, Vol. 18, Number 1, Winter

    2004, hal. 16390; Donohue dan Levitt, Measurement Error, Legalized Abortion, the Decline inCrime: A Response to Foote and Goetz (2005), makalah tidak diterbitkan, 2006

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    2/11

    2

    yang kemudian dipublikasikan di beberapa jurnal, Levitt mengajukan teoritak terduga mengenai hubungan keduanya.

    Sebelumnya adalah James Alan Fox, seorang kriminolog, yang dalamsebuah laporan untuk Kejaksaan Agung Amerika Serikat pada 1995menuliskan sejumlah asumsi seram berkaitan dengan potensi kejahatan

    yang mungkin dilakukan remaja. Fox mengajukan dua skenario untukmemaparkan gagasannya, yaitu skenario optimistis dan pesimistis. Dalamskenario optimis, Fox meramalkan bahwa tingkat pembunuhan yangmelibatkan remaja akan meningkat 15 persen dalam satu dasawarsamendatang. Catatan kriminal bakal begitu buruk sehingga tahun 1995 bakaldikenang sebagai saat-saat yang penuh kedamaian, demikian tulis Fox.Sementara skenario pesimisnya bernilai dua kali lebih buruk: kenaikan

    angka kejahatan bisa dua kali lipat dari angka optimisnya. Tentu saja Foxbukan satu-satunya orang yang berpendapat demikian kala itu. Parailmuwan, kriminolog dan pakar lainnya juga menyuarakan pendapat yangsama.

    Tapi apa yang kemudian terjadi setelah itu?Bukannya melonjak, tingkat kejahatan justru mulai menurun. Bahkan

    penurunannya menunjukkan angka yang menakjubkan. Hingga tahun 2000,tingkat pembunuhan kaum remaja turun 50 persen berturut-turut setiaptahunnya. Dan penurunan itu terjadi di seluruh negara bagian Amerikauntuk semua jenis kejahatan, mulai dari serangan jalanan hingga pencurian

    mobil.Para pakar yang sebelumnya memberikan prediksi mengerikan

    kemudian ramai-ramai mencoba memberikan penjelasan kenapapenurunan itu bisa terjadi. Penjelasan mereka tentu saja logis. Misalnya,pelonjakan kemakmuran ekonomi pada 1990-an menjadi penyebabturunnya tingkat kejahatan. Atau, penurunan itu akibat pengawasankepemilikan senjata yang kian ketat. Alasan favorit lainnya tentu saja adalahstrategi kepolisian yang kian canggih. Mereka mengajukan kota New Yorksebagai contoh, dimana kejahatan turun drastis dari 2.245 pada 1990menjadi hanya 596 pada 2003. Semua penjelasan itulogisdan bisa diterima.

    Tapi tidak demikian halnya di mata Levitt. Baginya semua penjelasan logisitu tidak cukup untuk bisa diterima. Karena itu ia mengajukan teorinyasendiri: sebab dari penurunan semua angka kejahatan itu adalahdilegalkannya aborsi di Amerika!

    Levitt tentu saja tidak sedang bermain-main atau berolok-olok.Pendapatnya dimuat di banyak jurnal bergengsi, sepertiJournal of EconomicPerspective, The Quarterly Journal of Economics, serta Journal of HumanResources. Terakhir, bersama dengan Stephen J. Dubner, dia menulissebuah buku, Freakonomics(2005), dimana semua hasil penelitiannya yang

    (http://pricetheory.uchicago.edu/levitt/papers.html); serta Levitt dan Stephen J. Dubner,Freakonomics(Yogyakarta: BACA, 2006).

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    3/11

    3

    terdahulu dibahas kembali. Argumen Levitt sederhana saja. Semuapenurunan angka kejahatan itu terkait dengan kemenangan gugatan class-

    action Norma McCorvey terhadap jaksa Dallas County, Texas. McCorveyadalah perempuan muda miskin, tidak berpendidikan, pecandu alkohol danpengguna narkoba. Dalam usia 21 tahun, dia yang sudah melepas duaanaknya untuk diadopsi orang lain itu hamil lagi pada tahun 1971. Tapi kaliini dia menginginkan aborsi untuk calon bayinya. Masalahnya, pada masaitu aborsi masih bersifat ilegal di Amerika. Kasus atas McCorvey ini lantasdiajukan ke pengadilan oleh sekelompok orang yang bersimpati kepadanya.McCorvey dijadikan simbol gugatan class-action untuk melegalkan aborsi.Kasus tersebut kemudian sampai ke Mahkamah Agung (MA) AmerikaSerikat. Pada 22 Januari 1973, MA memenangkan kasus McCorvey dan

    sebagai akibatnya aborsi legal diperbolehkan di seluruh wilayah Amerika.Implikasi kasus ini, menurut Levitt, seperti diktum teori chaos: kepak

    sayap kupu-kupu di Manhattan membuat badai topan di New York. Dalambanyak penelitian, anak yang dilahirkan dalam lingkungan keluarga yangkacau lebih cenderung akan berkembang menjadi penjahat. Jutaanperempuan yang melakukan aborsi setelah kasus McCorvey adalah mereka

    yang sering disebut sebagai model bagi lingkungan semacam itu. Merekabiasanya miskin, tidak menikah, masih muda dan bermasalah. Legalisasiaborsi membuat anak-anak mereka yang kemungkinan kuat berpotensi jadipenjahat tadi tak jadi dilahirkan.

    B. Hubungan Logis dan Conventional WisdomTeori Levitt oleh kebanyakan kita barangkali akan dianggap tidak

    lazim. Tapi demikianlah Levitt. Dia sendiri mengakui kalau minat kajiannyamemang bukan pada apa yang disebut John Kenneth Galbraith sebagaiconventional wisdom (Levitt 2005: 6, 132).2 Sebagai ekonom dia lebihmenyukai untuk menyelidiki kenapa para pengedar narkoba masih tinggalserumah dengan orangtuanya ketimbang menjawab pertanyaan apakah

    pasar saham akan naik atau turun. Atau, dia pernah mengkaji mana yanglebih berbahaya antara senjata api dengan kolam renang.Cuplikan mengenai penelitian Levitt tentang hubungan antara

    kejahatan dan aborsi ini sengaja dikutip untuk menunjukkan bagaimanatali-temali antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, yang dapat kitasebut sebagai hubungan logis, tak selalu menuruti conventional wisdom.

    Alur logika konvensional akan segera menghubungkan turunnya angkakejahatan dengan penegakan hukum atau kinerja lembaga kepolisian.

    2Buku Galbraith yang diacu tak lain adalah The Affluent Society(New York: Mentor Book, 1958).

    John Kenneth Galbraith adalah guru besar ekonomi di Universitas Harvard. Dia adalah seoranginstitutional economistterkemuka.

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    4/11

    4

    Dalam benak kebanyakan orang hubungan keduanya sejelas hubunganantara kelaparan dengan kelangkaan pangan, atau pertumbuhan ekonomi

    dengan peningkatan kemakmuran. Kita cenderung menerima begitu sajahubungan semacam itu dan menganggapnya sebagai model relasi-baku.Untuk beberapa peristiwa di kurun waktu tertentu, kecenderungansemacam ini barangkali tidak akan memunculkan masalah. Hanya saja, jikasampai pada titik pendakuan bahwa inilah satu-satunya model logikapenyimpulan yang sahih, masalah pelik muncul.

    Penggunaan secara berulang-ulang logika konvensional dalammenjelaskan sebuah fenomena membuat kemungkinan hubungan logis lainseolah menjadi tak mungkin, karena keberadaannya terlalu seringdiabaikan. Pada akhirnya, apa yang kemudian disebut sebagai apa yang

    mungkin adalah apa yang sudah diketahui dan menjadi fakta dalampengalaman sebelumnya. Sehingga, apapun yang dianggap berada di luarhubungan yang demikian akan didudukkan sebagai sesuatu yang kuranglogis, tidak masuk akal, tidak mungkin, menyimpang, ngawur dan olehkarenanya tidak bisa diterima.

    Tapi sayangnya, sebagaimana sudah dibuktikan Levitt, hubungan logisyang konvensional tak selalu sejelas yang kita bayangkan. Penjelasankonvensional suatu saat barangkali memenuhi syarat minimum (necessarycondition), tetapi mungkin saja tidak memenuhi syarat kecukupan(sufficient condition) untuk memaparkan sesuatu. Kalau itu terjadi,

    diperlukan pemaparan lain untuk mengungkapkan relasi sebab-akibat yangmengitari sebuah fenomena. Apa yang pernah pada akhirnya harus tetapdianggap sebagai sesuatu yang pernah dan tidak begitu saja dianggapsebagai sesuatu yang selalu. Jika kelaparan yang melanda Yahukimo dandaerah-daerah lain di Indonesia Timur pada 2005 silam adalah karenakekurangan pangan, tidak berarti kelaparan di tempat lain pada masasesudahnya juga disebabkan oleh hal yang sama.

    Pada titik inilah kita perlu meragukan conventional wisdom yangmeyakini hubungan kelaparan dengan kelangkaan pangan. Amartya Sen,pemenang Nobel Ekonomi 1998 berkebangsaan India, telah membuktikan

    keraguannya. Dalam karyanya yang termashur, Poverty and Famine: AnEssay on Entitlement and Deprivation (1981), Sen menantang pendapat yangmengungkapkan bahwa kekurangan pangan adalah sebab utama kelaparan.Ia menunjukkan bahwa dalam kasus kelaparan di Indiadan terutama diBanglades pada 1974, kekurangan pangan justru terjadi ketika jumlahproduksi pangan per kapita meningkat. Masalahnya adalah bukan pada

    jumlah produksi pangan per kapita, melainkan pada akses terhadapmakanan. Sen menyebut masalah ini sebagai kegagalan pemberian hak(entitlements). Di pasar sebenarnya tersedia cukup pangan, tetapi pasar danlembaga-lembaga lainnya bekerja sedemikian rupa sehingga orang-orang

    tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk memperoleh makanan. Di

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    5/11

    5

    sini kelaparan bukan merupakan kondisi dimana tidak ada makanan,melainkan kondisi dimanaorang tidak bisa memiliki makanan (Penny, 1990:

    25; Rahardjo, 2001: xi-xii; Sen, 2000: 86-87).Apa yang diutarakan Sen adalah sebuah pembongkaran terhadap

    conventional wisdom. Dalam kaitannya dengan kelaparan, conventionalwisdom tersebutmeminjam istilah Sen, adalah apa yang disebutnyasebagai Optimisme Malthusian. Dalam konsep Malthus dikatakan bahwakelaparan akan terjadi jika jumlah makanan lebih sedikit daripada jumlahpenduduk. Jika produksi pangan per kapita tercukupi maka tidak akanterjadi kelaparan. Dan Sen berhasil membuktikan bahwa pendapatdemikian tak selalu benar.

    Pada 1997, beberapa daerah di Indonesia, seperti Jayawijaya (Papua),

    Donggala (Sulut), Musi Banyuasin (Sumsel) dan Ogan Komering Ulu, jugapernah dilanda kelaparan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa hinggaratusan orang (Suud dalam Jaelani dan Afiatin, 1997: 85). Ironisnya,kelaparan tersebut terjadi justru ketika jumlah stok pangan disebutmelimpah ruah.3

    C. Rentang-Keterkaitan dan Daya-Jelas sebagai PendukungHubungan Logis

    Jika Galbraith menyebutconventional wisdom, meski dengan maksuddan konteks yang berlainan, Thomas Kuhn menyebut konsep sejenissebagai normal science, yaitu riset yang dengan teguh berdasar atas satuatau lebih pencapaian ilmiah yang lalu (Kuhn, 2000 [1962]: 10). Kritiknyakurang lebih sama. Kita cenderung menerima kelazimansebagaikebenaran.Setiap kebiasaan yang dipraktikkan terus-menerus berpotensi tidak lagimenjadi jalan untuk menemukan kebenaran, melainkan menjadi kebenaranitu sendiri. Ia tidak lagi menjadi cara (means), melainkan telah menjaditujuan (aims), tempat bermuara segala penilaian. Apa yang pernah,dianggap sebagai sesuatu yang akan selalu terjadi.

    3Dalam disertasinya di Universitas Harvard, yang kemudian diterjemahkan dan dibukukan dalam

    bahasa Indonesia, Sjahrir juga menyampaikan data-data yang sejalan dengan apa yang

    dikemukakan Sen. Pada awal dekade 1980-an, tepatnya antara 1980 hingga 1982, beberapa

    daerah di Papua (dulu Irian Jaya) serta Yogyakarta dilanda oleh kelaparan, padahal periode itu

    adalah tahun-tahun rekor yang mengesankan dalam produksi beras Indonesia. Lihat Sjahrir,

    Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok: Sebuah Tinjauan Prospektif (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 145.

    Hal serupa juga pernah terjadi di Karawang pada 1978-1979. Padahal, Karawang adalah lumbung

    padinya Jawa Barat, bahkan bisa juga disebut sebagai lumbung padinya Indonesia. Informasi

    mengenai kasus kelaparan di Karawang misalnya dikemukakan oleh Bambang Ismawan dalam

    diskusi yang membahas buku karya David H. Penny. Diskusi itu dimuat dalam D.H. Penny,Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar(Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 231.

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    6/11

    6

    Dapat dibayangkan apa jadinya jika ilmu pengetahuan berhenti hanyamenjadi pelembaga conventional wisdom atau wilayah kerjanya sebatas

    berkutat di seputaran normal sciencesekadar merepetisi pencapaian-pencapaian ilmiah dari masa lalu dan menjadikannya cakrawala pandang.Ilmu pengetahuan, pada titik ini, tidak lagi bisa dibedakan dengan dogma.Segala sesuatu telah memiliki penjelasan dan tidak perlu lagi dicaripenjelasan lain meskipun penjelasan lain itu barangkali lebih memadaiketimbang penjelasan yang ada sejauh ini.

    Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya tidak dibangunoleh proses kumulatif yang bersifat progresif dan gradual atau didasarkanpada kerangka eksperimental yang dipilih secara rasional sebagaimana yangdikira oleh banyak orang. Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan justru lebih

    banyak mempraktikkan kegiatan dogmatik. Jika kita menganggap teori-teori lama seperti dinamika Aristotelian, kimia flogistis, atautermodinamika kalori sebagai mitos yang ketinggalan jaman, maka menurutKuhn kita bisa sama-sama bersikap logis untuk menganggap kalau teori-teori yang ada saat inipun irasional dan juga dogmatik (Sardar 2002: 26;Kuhn 2000 [1962]: terutama Bab 1). Sebab, apa yang hari ini kita yakinisebagai kebenaran (ilmu pengetahuan) boleh jadi esok atau lusa tidak lagimenjadi hal yang memadai dan bisa diterima, sebagaimana telah terjadipada mekanika Newton dan geometri Euclides yang digantikan olehmekanika kuantum dan geometri Rieman (Walters, 2003: 3-6). Apa yang

    dianggap sebagai kebenaran dalam sains selalu bersifat partikular dantentatif sehingga karenanya mesti selalu dilihat dengan sudut pandangkritis.

    Dalam kaitannya dengan ini sangat jelas bahwa hubungan statissebagaimana yang diandaikan ada oleh conventional wisdom adalahmengada-ada dan mengandung potensi yang bisa mematikan apa yang bisadicapai lebih oleh ilmu pengetahuan. Dalam sebuah tulisan yang bisadianggap sebagai rangkuman keseluruhan gagasannya mengenai ilmuekonomi, Gunnar Myrdal menuliskan hal penting yang erat kaitannyadengan persoalan ini. Menurut Myrdal, tidaklah terdapat sebab yang

    menjadi dasar, tetapi setiap hal menyebabkan setiap hal lainnya (Myrdal,1958: 11-22; Myrdal dalam Dopfer (ed.) 1976: 83). Suatu sebab bisamenimbulkan kondisi yang pada gilirannya bisa merupakan sebab darikondisi selanjutnya dan demikian seterusnya sehingga merupakan suatumata rantai sebab-akibat (circular causation).

    Mengacu pada pandangan tersebut, conventional wisdom bisa dinilaisebagai model tertutup dimana segala kemungkinan pandangan telahdibatasi dengan tajam oleh pengalaman-pengalaman di masa lalu.Pembatasan-pembatasan ini membuat kebulatan sistem tak lagi bisa dilihatsecara utuh. Apa yang kemudian terlihat adalah serpihan-serpihan

    perspektif yang jumlahnya bisa sangat banyak dan masing-masing tak

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    7/11

    7

    mencukupi untuk menjelaskan apa yang dilihatnya. Jika diteruskan, dalamkaitannya dengan kasus penurunan tingkat kejahatan sebagaimana diteliti

    Levitt, alasan yang dikemukakan orang-orang seperti Fox bisa ditambah lagibahkan hingga menghabiskan halaman beberapa buah buku tebal. Tapikeseluruhan jawaban itu hanya akan memenuhi syarat minimum semata(necessary condition). Sebab, dasar argumen-argumen itu telah dibatasioleh garis pandang bahwa kejahatan berkurang karena dilakukannyapenegakan hukum yang lebih ketat. Seluruh argumen yang mungkin lahir

    jika diteruskan pada dasarnya tidak lebih merupakan turunan dari garispandang ini.

    Jika ditilik lebih dalam, hubungan relasional yang terdapat padaconventional wisdom adalah hubungan garis pendek. Apa yang disebut

    sebagai sebab dari sesuatu hanyalah apa-apa yang berhubungan secaralangsung dengannya. Dimensi waktunya berjangka pendek. B terjadi setelah

    A, sehingga B pastilah disebabkan oleh A. Atau, apabila A terjadi, maka Bterjadi, maka oleh karena itu A merupakan penyebab B. Pola penyimpulansemacam inilah yang dianut secara jamak oleh conventional wisdom.Keyakinan semacam ini cenderung menjerumuskan orang pada kesalahanpenyimpulan, karena konklusi (penyelesaian/jawaban) dari proposisi-proposisi di atas sebenarnya adalah tidak selalu demikian. Kesalahansemacam ini disebut sebagai post hoc ergo propter hoc fallacy (The LiangGie, 1975: 84; Winardi, 1990: 88).

    Lokus terjadinya suatu peristiwa tidak bisa diandaikan sebagai sebuahlokus yang terisolasi dan tidak berhubungan dengan lokus peristiwalainnya. Kelaparan, sebagaimana bisa dibaca dari banyak penelitian Sen,bukan semata persoalan ketersediaan pangan, melainkan terutama politik.Dalam Poverty and Famines (1981) Sen memperlihatkan bahwa kelaparantidak mudah terjadi pada negara yang demokratis. India tidak pernahmengalami kasus kelaparan sejak 1943, tetapi Cina tercatat pernahmengalami kelaparan besar dalam sejarah pada 1959-62 yang diperkirakantelah menelan korban sebanyak 30 juta jiwa, meskipun dalam halpenanganannya Cina bisa dianggap lebih baik ketimbang India (Sen, 2000:

    83-89; Pressman, 2000: 275). Demokrasi tentu saja tidak memproduksimakanan, tetapi pemerintahan demokratis pasti akan berusaha keras untukmemenuhi tuntutan kebutuhan para pemilihnya. Di sini kita melihat bahwapenyebab kelaparan tidak hanya berada di domain produksi pangan danpertanian, melainkan merentang hingga menembus domain politik. Dalamkerangka yang lebih utuh, wilayah politik inilah yang justru mempengaruhidinamika yang terjadi di sektor produksi pangan, sehingga penjelasan yangmengaitkan kelaparan dengan demokrasi lebih bisa diterima ketimbanghanya mengaitkannya dengan soal musim atau teknologi produksi. Dalambahasa lain, menghubungkan kelaparan dengan demokrasi lebih memiliki

    daya jelasketimbang teori lainnya.

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    8/11

    8

    Pada penghujung dasawarsa 1960-an kenaikan produksi padi diIndonesia mengundang banyak pakar untuk menyampaikan analisisnya.

    Mereka menyebut kenaikan itu sebagai hasil dari program intensifikasipertanian yang kebetulan menjadi titik berat pembangunan lima tahuntahap pertama pemerintahan Orde Baru (Pelita I, 1969-1974). Ada juga yangmenyebut kenaikan itu disebabkan iklim yang lebih baik jika dibandingkandengan musim-musim tanam sebelumnya. Penggunaan pupuk yang kianmasif beserta pemakaian bibit unggul menjadi alasan yang paling banyakdikemukakan. Revolusi Hijau memang baru saja disemai di Indonsia.

    Semua alasan itu secara teknis memang berhubungan dan bisadikaitkan dengan angka kenaikan produksi padi. Tetapi Mubyartomengajukan sebab lain. Menurutnya kenaikan produksi padi pada saat itu

    adalah membaiknya harga komoditas pertanian sepanjang periodesebelumnya. Membaiknya nilai tukar ini membuat para petani terpacuuntuk lebih meningkatkan produktivitasnya. Perbaikan harga menjadi dayarangsang yang luar biasa yang mendorong petani menanam padi(Mubyarto, 1966: 5-6, 14-15, 25;1975: 1-2). Penjelasan Mubyarto bisa dianggaplebih memiliki daya jelas ketimbang penjelasan-penjelasan lainnya. Dayarentang penjelasan mengenai nilai tukar lebih dalam karena tidak hanyamelokalisir persoalan produksi pertanian hanya di seputaran tanah, iklim,hama dan pupuk, melainkan melibatkan modus kepentingan manusia akankemakmuran.

    Gambar. Skema Garis Rentang-Keterkaitandan Busur Daya-Jelas

    Garis Rentang Keterkaitan

    Busur Daya Jelas

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    9/11

    9

    Secara umum, dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, kitabisa mengatakan bahwa penjelasan yang disediakan oleh conventional

    wisdom kurang memiliki daya jelas yang mendalam serta daya jelajah yangluas. Setiap penelitian keilmuan hendaknya mengambil posisi kritisterhadap seluruh conventional wisdom, agar kemungkinan-kemungkinanhubungan logis baru bisa ditemukan. Tentu saja tidak bisa dikatakan bahwaconventional wisdom itu keliru, baik sebagian kecil ataupunkeseluruhannya. Mengutip pemaparan di bagian terdahulu, penjelasanmengenai rendahnya nilai tukar produk pertanian barangkali tidak selaludemikian sebagaimana diyakini oleh logika konvensional. Pada pokoktidak selalu demikian itulah pentingnya setiap kerangka penelitian untukmelepaskan diri dari jebakanconventional wisdom.

    D. KesimpulanSebagaimana dianjurkan Gunnar Myrdal (1968: volume 1, terutama

    prolog dan bab 2; 1982), sebelum memulai penelitian setiap penelitidiwajibkan menjelaskan titik tolak pandangannya secara eksplisit.Penjelasan ini untuk memudahkan orang lain memposisikan sebuah produkgagasan sekaligus juga merupakan bentuk pertanggungjawaban etikaakademis. Myrdal menyebut hal itu sebagaivalue premis.

    The value premises cannot be established arbitrarily: they must berelevant and significant for the society in which we live.(Myrdal, 1969:

    viii)

    Dalam value premis itulah kita bisa menguji apakah kerangka yangdigunakan oleh sebuah penelitian bersifat melembagakan conventionalwisdom atau tidak. Value premis tak ubahnya perspektif dasar yangmelandasi cara pandang seorang peneliti dalam melihat persoalan yanghendak ditelitinya. Prinsipnya, apakah sebuah penelitian hendak mencaripenjelasan yang memilikidaya jelasdan hubunganrentang keterkaitanyang

    lebih baik ketimbang penjelasan-penjelasan yang telah ada atau tidak, bisadilihat dari value premis-nya. Persoalan daya jelas dan rentang keterkaitanini penting untuk diperhatikan agar setiap penelitian, terutama penelitianekonomi, tidak terjebak pada kebenaran yang bersifat permukaan. Sebab,mengutip Milan Kundera: Di atas permukaan terdapat kebohongan yangmasuk akal; [sementara] di bawah permukaan terdapat kebenaran yangtidak masuk akal. Tugas setiap penelitian keilmuan adalah menggalikebenaran, meskipun kebenaran itu tidak masuk akal.

  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    10/11

    10

    DAFTAR PUSTAKA

    Donohue III, John J. dan Steven D. Levitt, 2004, The Impact of LegalizedAbortion on Crime dimuat dalam The Quarterly Journal of Economics,Vol. CXVI, May 2001, hal. 379-420.

    Donohue III, John J. dan Steven D. Levitt, 2006, Measurement Error,Legalized Abortion, the Decline in Crime: A Response to Foote and Goetz(2005), makalah ini tidak diterbitkan, tapi bisa diakses atau diunduh

    viahttp://pricetheory.uchicago.edu/levitt/papers.html.Dopfer, Kurt (ed.). 1976. Economics in the Future: Toward a New Paradigm.

    New York: MacMillan Press.Galbraith, John Kenneth. 1958. The Affluent Society. New York: Mentor

    Books.Galbraith, John Kenneth. 1983. Hakikat Kemiskinan Massa. Jakarta: Sinar

    Harapan.Kamus Logika(1995), disusun oleh The Liang Gie. Yogyakarta: Penerbit Nur

    Cahaya.Kuhn, Thomas. 2000.Peran Pradigma dalam Revolusi Sains(The Structure of

    Scientific Revolutions). Bandung: Remaja Karya.Levitt, Steven D. dan Stephen J. Dubner. 2006. Freakonomics. Yogyakarta:

    PenerbitBaca!.Levitt, Steven D., 1998, The Relationship Between Crime Reporting and

    Police: Implications for the Use of Uniform Crime Reports, dimuatdalamJournal of Quantitative Criminology, Vol. 14, No. 1, 1998, hal. 61-81.

    Levitt, Steven D., 2004, Understanding Why Crime Fell in the 1990s: FourFactors that Explain the Decline and Six that Do Not, Journal ofEconomic Perspectives, Vol. 18, Number 1, Winter 2004, hal. 16390.

    Mubyarto dan Lehman B. Fletcher. 1966. The Marketable Surplus of Rice inIndonesia: A Study in Java-Madura(International Studies in Economics,

    Monograph No. 4). Ames: Department of Economics Iowa StateUniversity.

    Mubyarto. 1975. Masalah Beras di Indonesia. Yogyakarta: LembagaPenelitian Ekonomi Fakultas Ekonomi UGM.Myrdal, Gunnar. 1958. Economic Theory and Underdeveloped Regions.

    London: Gerald Duckworth & Co.Myrdal, Gunnar. 1968.Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations,

    Volume I. New York: Pelican Books.Myrdal, Gunnar. 1969.The Political Element in the Development of Economic

    Theory (Das Politische Element in der NationalkonomischenDoktrinbildung [1932], diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh PaulStreeten). New York: Simon and Schuster.

    http://pricetheory.uchicago.edu/levitt/papers.htmlhttp://pricetheory.uchicago.edu/levitt/papers.html
  • 7/25/2019 Hubungan Logis

    11/11

    11

    Myrdal, Gunnar. 1970. Objectivity in Social Research. London: GeraldDuckworth & Co.

    Myrdal, Gunnar. 1971.The Challenge of World Poverty: A World Anti-PovertyProgramme in Outline. Middlesex: Penguin Books.

    Penny, David H. 1990.Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. Jakarta: UI Press.Penny, David H. 1990.Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. Jakarta: UI Press.Pressman, Steven. 2000. Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia. Jakarta: Raja

    Grafindo Persada.Sardar, Ziauddin. 2002.Thomas Kuhn dan Perang Ilmu. Yogyakarta: Jendela.Sen, Amartya. 1982. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and

    Deprivation. New York: Oxford University Press.Sen, Amartya. 1992. Inequality Reexamined. Cambridge: Harvard University

    Press.Sen, Amartya. 1999. Beyond the Crisis: Development Strategies in Asia.

    Singapore: ISEAS.Sen, Amartya. 2000.Development as Freedom. New Delhi: Oxford University

    Press.Sen, Amartya. 2001. Masih Adakah Harapan bagi Kaum Miskin?. Bandung:

    Mizan.Shahadul-Jaelani, Maulana dan Titin Afiatin, 1997, Marjinalisasi Petani dan

    Kebutuhan Pangan Indonesia Tahun 2000, dalam Jurnal Afkar, No.4/Vol. IV, 1997, hal. 84-99.

    Sjahrir. 1986.Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok: Sebuah Tinjauan Prospektif.Jakarta: LP3ES.

    Walters, J. Donald. 2003. Crises in Modern Thought. Jakarta: GramediaPustaka Utama.

    Winardi. 1990a. Ilmu Ekonomi dan Aspek-aspek Metodologisnya. Jakarta:Rineka Cipta.