hubungan antara pajanan formaldehida dengan

101
UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG PADA PEKERJA INDUSTRI KAIN BAN TUGAS AKHIR KEMAL ZACHARIAH 1106142425 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PENDIDIKAN PROGRAM SPESIALIS KEDOKTERAN OKUPASI JAKARTA JANUARI 2015

Upload: vodat

Post on 12-Jan-2017

231 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG

PADA PEKERJA INDUSTRI KAIN BAN

TUGAS AKHIR

KEMAL ZACHARIAH

1106142425

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS INDONESIA

PENDIDIKAN PROGRAM SPESIALIS

KEDOKTERAN OKUPASI

JAKARTA

JANUARI 2015

Page 2: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG

PADA PEKERJA INDUSTRI KAIN BAN

TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Spesialis Kedokteran Okupasi

KEMAL ZACHARIAH

1106142425

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS INDONESIA

PENDIDIKAN PROGRAM SPESIALIS

KEDOKTERAN OKUPASI

JAKARTA

JANUARI 2015

Page 3: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

ii

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 4: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

iii

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 5: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karuniaNya,

sehingga tugas akhir dengan judul “Hubungan antara Pajanan Formaldehida dengan

Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung pada Pekerja Industri Kain Ban” ini dapat

diselesaikan. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar spesialis okupasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya, kepada :

1. Dr. Sudadi Hirawan, MS, SpOK atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah

diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen

pembimbing.

2. Dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid atas bimbingan, arahan dan waktu yang

telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen

pembimbing.

3. DR. Dr. Ina Susianti Timan, SpPK (K) atas bimbingan, arahan dan waktu

yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen

pembimbing.

4. DR. Dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk, PhD yang telah memberikan

masukan dan saran pada saat perkuliahan dalam mata kuliah penelitian.

5. DR. Dr. Astrid W. Sulistomo, MPH, SpOk selaku Ketua program studi

Spesialisasi Kedokteran Okupasi yang banyak memberikan motivasi dan

dukungan

6. Seluruh Dosen program Spesiliasi Kedokteran Okupasi, Fakultas Kdokteran

Universitas Indonesia

7. Ayahanda Harry Rappa dan Ibunda Wirdiatmi atas segala dukungan dan

doanya

8. Kakak dr. Nathanael atas dukungan, motivasi, dan perhatiannya.

9. Rekan-rekan sesama penelitian dr. Ade, dr. Puspa dan dr. Mei Wulandari

10. Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Spesialis Kedokteran Okupasi

11. Sahabat penulis yang telah memberikan banyak dukungan.

12. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 6: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

v

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau,

penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangan dan perlu

pengembangan lebih lanjut sehingga bisa bermanfaat baik untuk pengembangan ilmu

pengetahuan maupun untuk kemajuan suatu perusahaan. Oleh sebab itu, penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran agar tugas akhir ini lebih sempurna di masa

yang akan datang.

Akhir kata, penulis berharap tugas akhir ini memberikan manfaat bagi kita semua

terutama untuk pengembangan ilmu kedokteran okupasi di masa yang akan datang.

Jakarta, Januari 2015

dr. Kemal Zachariah

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 7: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

vi

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 8: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Kemal Zachariah

Program Studi : Kedokteran Okupasi

Judul : Hubungan antara Pajanan Formaldehida dengan Eosinofil

dan Neutrofil Swab Hidung pada Pekerja Industri Kain Ban

Latar belakang : Formaldehida sebagian besar diinhalasi melalui saluran pernafasan

bagian atas dan mempengaruhi mukosa hidung. Penelitian ini bertujuan untuk

mencari hubungan pajanan formaldehida yang ada di industri kain ban terhadap

eosinofil dan neutrofil swab hidung.

Metode : Penelitian menggunakan desain potong lintang komparatif. Analisis yang

dilakukan menggunakan uji regresi logistik. Responden berjumlah 100 orang laki-

laki, terdiri dari 50 responden di bagian dipping dan 50 responden di bagian weaving.

Metode pengukuran formaldehida dengan menggunakan metode NIOSH 3500.

Metode pengambilan sampel menggunakan total population pada bagian dipping dan

simple random sampling pada bagian weaving.

Hasil : Kadar formaldehida lingkungan di bagian dipping adalah 0,032 mg/m3.

Prevalensi eosinofil positif pada pekerja weaving dan dipping didapatkan 30%

sedangkan neutrofil positif didapatkan sebesar 80 %. Tidak ada hubungan yang

bermakna antara pajanan formaldehida dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung.

Variabel independent yang paling berpengaruh terhadap neutrofil positif adalah

kebiasaan merokok dengan OR 4,680; 95% CI 1,52 – 14,44; p = 0,007.

Kesimpulan : Formaldehida tidak berhubungan bermakna dengan eosinofil dan

neutrofil swab hidung, namun pengaruh formaldehida terhadap eosinofil swab hidung

belum dapat disingkirkan mengingat adanya gambaran degranulasi eosinofil sehingga

diperlukan penelitian lebih lanjut di tingkat seluler.

Kata kunci : eosinofil, merokok, neutrofil, pajanan formaldehida, swab hidung

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 9: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

viii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Kemal Zachariah

Study Program : Occupational Medicine

Title : The Correlation between Formaldehyde Exposure and

Nasal Swab Eosinophil and Neutrophil in Tire Cord

Industry Workers.

Background : Most of formaldehyde exposure is inhaled in upper respiratory track

which affecst the nasal mucosa. This study aims at exploring the correlation between

formaldehyde exposure in tire cord industry with nasal swab eosinophil and

neutrophil.

Methods : The design of the study is comparative cross sectional. Analysis conducted

was logistic regression. Total respondents are 100 male consisting of 50 respondents

from dipping area and 50 respondents from weaving area. The method for

formaldehyde level used NIOSH 3500. The method for collection sample used total

population in dipping area and simple random sampling in weaving area.

Results : Formaldehyde level in dipping area was 0,032 mg/m.3. The results of the

study showed that eosinophils positive at weaving and dipping area were 30% and

neutrophils positive were 80%. No significant correlation was found between

formaldehyde exposure and eosinophils and neutrophils nasal swab. Independent

variable that mostly influence positive neutrophils was smoking with OR 4.680, 95%

CI 1.52–14.44, p = 0.007.

Conclusions : Formaldehyde has no significantly correlation with eosinophils and

neutrophils nasal swab, but the effect of formaldehyde on eosinophil nasal swab can

not be ignored because of eosinophils degranulation, so further research is still

needed at the cellular level.

Keyword : eosinophil, formaldehyde exposure, nasal swab, neutrophil, smoking

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 10: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

ix Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERNYATAAN

ORISINALITAS

LEMBAR PENGESAHAN

.......................................................................

.......................................................................

.......................................................................

i

ii

iii

KATA PENGANTAR …………………………………………….. iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR… vi

ABSTRAK ……………………………………………… vii

ABSTRACK ……………………………………………… viii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

.......................................................................

……………………………………………..

ix

xiii

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR SINGKATAN

.......................................................................

.......................................................................

……………………………………………..

xiv

xiv

xv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1

1.2 Permasalahan ....................................................................... 3

1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 3

1.4 Hipotesis ....................................................................... 4

1.5 Tujuan Penelitian ....................................................................... 4

1.6 Manfaat Penelitian ....................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 6

2.1 Formaldehida ....................................................................... 6

2.2 Toksikokinetik ....................................................................... 7

2.3 Toksikodinamik ....................................................................... 10

2.4 Toksisitas ....................................................................... 14

2.5 Biomarker Pajanan ......................................................................... 16

2.6 Metode Pengukuran Formaldehida ................................ 18

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 11: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

x Universitas Indonesia

2.7 Anatomi dan Fisiologi Hidung ...................................................... 19

2.8 Imunopatogenesis

2.9 Sistem Imunitas Mukosa

…………………………………

......................................................

20

22

2.10 Eosinofil ....................................................................... 24

2.11 Neutrofil ....................................................................... 26

2.12 Pemeriksaan Eosinofil Mukosa Hidung ................................. 27

2.13 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Eosinofil dan Neutrofil Mukosa Hidung

................................ 28

2.14 Penelitian Yang Berhubungan

Dengan Pajanan Formaldehida

Terhadap Eosinofil dan Neutrofil

.................................................. 30

2.15 Tinjauan Perusahaan ......................................................... 31 35

2.16 Pengukuran Kadar Formaldehida..................................................... 34

2.17 Kerangka Teori ....................................................................... 35

2.18 Kerangka Konsep ....................................................................... 36

BAB III METODE PENELITIAN........................................................................... 37

3.1 Desain ....................................................................... 37

3.2 Tempat dan Waktu .............................................................................. 37

3.3 Populasi ……………........................................ …………………….. 37

3.4 Sampel ....................................................................... 37

3.4.1 Kriteria Inklusi ....................................................................... 37

3.4.2 Kriteria Eksklusi........................................ ...................................... 37

3.4.3 Kriteria Drop Out ............................................................................ 38

3.4.4 Perhitungan Besar Sampel.................... .......................................... 38

3.4.4 Cara Pengambilan Sampel ................................................ 39 42

3.5 Sumber data ....................................................................... 39

3.5.1 Variabel data primer ............................................................ 40 43

3.5.2 Variabel data Sekunder .................................................................... 40

3.5.3 Batasan Operasional ……........................................ ..................... 40

3.5.4 Cara Pengumpulan Data ….......................................... ................ 42

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 12: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

xi Universitas Indonesia

3.5.5 Cara Analisis Data ............................................................... 43 47

3.6 Etika Penelitian

3.7 Alur Penelitian

.....................................................................

…………………………………………….

43

44

Bab IV HASIL PENELITIAN ………………………………………………. 45

4.1 Pengukuran Formaldehida Lingkungan ………………………….. 45

4.2 Proses Pengumpulan data ………………………………………… 45

4.3 Pengolahan data ………………………………………………….. 46

4.4 Karakteristik Responden ………………………………………… 47

4.5 Analisis Bivariat ……………………………………………….. 53

4.5.1 Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil ………………… 53

4.5.2 Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil ………………... 53

4.5.3 Gambaran dan Hubungan formaldehida terhadap eosinofil …… 54

dan neutrofil

4.5.4 Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil … 54

dan neutrofil

4.5.5 Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil ….. 55

dan neutrofil

4.5.6 Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil … 55

dan neutrofil

4.6 Analisis Multivariat …………………………….. …………… 56 dan neutrofil swab hidung

Bab V PEMBAHASAN ……………………..…………………………….. 58

5.1 Keterbatasan penelitian ………………………………………… 58

5.2 Gambaran dan hubungan formaldehida terhadap eosinofil …… 58

dan neutrofil

5.3 Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil … 60

dan neutrofil

5.4 Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil ….. 61

dan neutrofil

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 13: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

xii Universitas Indonesia

5.5 Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil … 63

dan neutrofil

Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. 66

6.1 Kesimpulan …………………………………………………….. 66

6.2 Saran ………………………………………………………..… 67

DAFTAR PUSTAKA …………………..……………………………………. 69

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 14: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

xiii Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Penilaian Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung ……………. 28

Tabel 3.1 Batasan Operasional Penelitian Pajanan Formaldehida ……… 40

Terhadap Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung Pada

Pekerja Industri Kain Ban

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Eosinofil dan Neutrofil . 48

Tabel 4.2 Gambaran Eosinofil dan Neutrofil di Weaving dan Dipping …. 48

Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Demografi ……. 48

Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Individu ………. 49

Tabel 4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Pekerjaan ……… 49

Tabel 4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pajanan Formaldehida … 50

Tabel 4.7 Uji Kesetaraan Bagian Dipping dan Weaving …………………. 50

Tabel 4.8 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent ……………. 51

dan Eosinofil di Bagian Weaving

Tabel 4.9 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent …….……. 51

dan Neutrofil di Bagian Weaving

Tabel 4.10 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent …………….. 52

dan Eosinofil di Bagian Dipping

Tabel 4.11 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent ………….…. 52

dan Neutrofil di Bagian Dipping

Tabel 4.12 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil 53

Tabel 4.13 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil 54

Tabel 4.14 Analisis Multivariat Faktor Yang Mempengaruhi ……………. 56

Neutrofil Swab Hidung

Tabel 4.15 Gambaran Mikroskopik Eosinofil dan Neutrofil ……………… 57

Tabel 5.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitan Swab Hidung ….64

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 15: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

xiv Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Jalur Metabolisme Biotransformasi Formaldehida …………… 9

Gambar 1.2 Diagram Alir Pembuatan Kain Ban .................................... 33

Gambar 1.3 Proses Produksi di Bagian Pencelupan/ Dipping …………….. 34

Gambar 4.1 Cara Pengumpulan Sampel ………………………………….. 47

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Informasi ……………………………………………. 73

Lampiran 2 Lembar Persetujuan …………………………………………… 75

Lampiran 3 Kuesioner Screening Kriteria Eksklusi ……………………….. 77

Lampiran 4 Kuesioner Penelitian …………………………………………. 78

Lampiran 5 Keterangan Lolos Kaji Etik …………………………………... 79

Lampiran 6 Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pelaksanaan Penelitian . 80

Lampiran 7 Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pemeriksaan …………. 81

Lampiran 8 Hasil Pengukuran Formaldehida November 2013 ……………… 82

Lampiran 9 Hasil Pengukuran Formaldehida Maret 2014 ………………….. 83

Lampiran 10 Gambaran Mikroskopik Eosinofil dan Neutrofil ……………… 84

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 16: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

xv Universitas Indonesia

DAFTAR SINGKATAN

ACGIH : American Conference of Governmental Industrial Hygienist

APC : Antigen presenting cell

APD : Alat pelindung diri

ARIA : Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma

BALT : Bronchus associated lymphoid tissue

CI : Confident Interval

DNA : Deoxyribose Nucleic Acid

ECP : Eosinophilic Cationic Protein

EDN : Eosinophil Derived Neurotoxin

EDP : Eosinophilic Derived Protein

EPA : Environmental Protection Agency’s

EPO : Eosinophiel Peroxidase

FTIRS : Fourier transform infrared spectrometry

GC-FID : Gas chromatography-flame ionization detection

GC/MS : Gas chromatography/ mass spectrometry

GC/NSD : Gas chromatography/ nitrogen selective detection

HLA : Human Leucocyte Antigen

HMMEC : Human mucosal microvascular endothelial cells

HPLC/UV : High performance liquid chromatography/ ultraviolet detection

IARC : International Agency for Research on Cancer

IB : Indeks Brinkman

ICAM : Inter cellular Adhesi Molecule

Ig : Imunoglobulin

IL : Interleukin

ILO : International labour organization

LALT : Larynx associated lymphoid tissue

MAdCAM : Mucosal addressin cell adhesion molecule

MALT : Mucosa assosiated lymphoid tisssue

MBP : Major basic protein

MCU : Medical check up

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 17: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

xvi Universitas Indonesia

MHC : Major Histocompatibility Complex

MN : Micronucleated cells

NAB : Nilai ambang batas

NALT : Nose associated lymphoid tissue

NICNAS : National Industrial Chemical Notification and Assessment Scheme

OECD : Organization Economic Cooperation and Development

OR : Odd Ratio

OSHA : Occupational Safety Health Adminstration

PEL : Permissible Exposure Limit

PHA : Phytohaemagglutinin

PPM : part per million

RNA : Ribonucleic acid

SCE : Sister chromatid exchanges

STEL : Short Term Exposure Limit

Th : T helper

TLV : Treshold Limit Value

VCAM : Vascular cell adhesi molecule

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 18: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

1 Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun,

peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi negara. Dengan majunya

industri maka terbukalah lapangan kerja buat masyarakat yang dapat meningkatkan

taraf ekonomi dan sosial masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik jumlah angkatan

kerja di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 118,0 juta orang, berkurang sekitar

2,4 juta orang dibanding angkatan kerja Februari 2012 sebesar 120,4 juta orang atau

bertambah sekitar 670 ribu orang dibanding angkatan kerja Agustus 2011.1

Dari data International Labour Organization (ILO) tahun 2005 diperkirakan

di seluruh dunia setiap tahun 2,2 juta orang meninggal karena kecelakaan-kecelakaan

dan penyakit-penyakit akibat kerja. Diperkirakan terjadi 270 juta kecelakaan akibat

kerja yang tidak fatal dan 160 juta penyakit baru akibat kerja.2 Dengan penyebab

kematian yang berhubungan dengan pekerjaan : 34 % berhubungan dengan kanker, 25

% karena kecelakaan, 21 % karena penyakit saluran pernafasan , dan 15 %

berhubungan dengan penyakit kardiovaskular ( Data ILO 1999 ). Sedangkan

penyebab dari penyakit akibat kerja secara umum dibagi menjadi 5 yaitu bahan fisika,

bahan kimia, bahan biologi, ergonomi dan psikososial.

Salah satu bahan kimia yang banyak digunakan adalah Formaldehida.

National Industrial Chemical Notification and Assessment Scheme (NICNAS)

menyebutkan bahwa formaldehida menjadi salah satu bahan kimia yang

diprioritaskan pada Maret 2002 dan menjadi perhatian kesehatan masyarakat dan

kesehatan kerja. Formaldehida terdapat di dalam tubuh manusia dalam konsentrasi

yang kecil. Selain itu formaldehida juga terdapat di alam yaitu terjadi melalui proses

pembakaran dari bahan bakar domestik dan transportasi. Bahan bakar domestik

meliputi bahan bakar padat, cair, dan gas untuk memasak dan pemanasan. Kelompok

transportasi meliputi emisi dari kendaraan bermotor, kereta api, perahu boat, kapal

komersial, dan transportasi air.3

Formaldehida memiliki banyak manfaat dan kegunaan dalam kehidupan

sehari-hari. Pemanfaatannya sangat luas selain di bidang industri, rumah tangga, juga

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 19: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

2

Universitas Indonesia

di rumah sakit. Di industri banyak digunakan dalam industri ban yang menggunakan

polyetilen, polipropilen, industri plywood, partikelboard, industri tekstil, dan lain-lain.

Formaldehida juga dipakai di rumah sakit untuk mengawetkan jenazah, dan untuk

fiksasi jaringan yang digunakan untuk pemeriksaan patologi anatomi.4

Karena manfaat dan biaya produksi yang rendah formaldehida telah menjadi

salah satu bahan kimia yang penting dalam dunia industri. Formaldehida digolongkan

sebagai bahan kimia dengan level produksi yang tinggi pada Organization Economic

Cooperation and Development ( OECD ), yaitu dengan volume produksi mencapai

1000 ton atau lebih. Produksi global formaldehida di Asia tahun 1999 mencapai 1,5

juta ton. 3

Selain manfaatnya yang besar formaldehida telah dilaporkan menyebabkan

efek kesehatan terhadap manusia. International Agency for Research on Cancer (

IARC ) mempelajari beberapa studi epidemiologi mengenai karsinogenitas

formaldehida dan menyimpulkan bahwa formaldehide termasuk kategori 1 yaitu

bersifat karsinogen pada manusia. Hal ini berdasarkan bukti bahwa pajanan

formaldehida dapat menyebabkan kanker nasofaring pada manusia.3

Formaldehida terutama masuk ke tubuh melalui inhalasi yang kemudian

mempengaruhi saluran pernafasan. Pajanan formaldehyde telah dihubungkan dengan

penyakit alergi, sick building syndrom, karsinogenesis seperti kanker faring, kanker

paru dan pengaruhnya terhadap mukosa saluran pernafasan dan traktus

gastrointestinal. Namun belum banyak studi yang membahas mengenai mekanisme

dari formaldehida mempengaruhi mukosa saluran pernafasan. Pada sebuah studi in

vitro yang berjudul Effect of formaldehyde on the expression of adhesion molecules

in nasal microvascular endothelial cells: the role of formaldehyde in the pathogenesis

of sick building syndrome disimpulkan bahwa formaldehida mengiritasi mukosa

hidung dengan cara meningkatkan ekspresi dari adesi molekul pada human mucosal

microvascular endothelial cells (HMMECs) dan dengan meningkatkan adhesiveness

antara HMMECs dengan eosinofil.5 Pada penelitian Pazdrak, Krakowiak, dkk dengan

eksposure pada 20 sukarelawan. Sembilan di antaranya memiliki hipersensitifitas

terhadap formaldehida. Eksposure dengan kadar formaldehida 0,5 mg/m3 ( 0,4 ppm )

selama 2 jam. Nasal lavage dilakukan sebelum paparan, segera setelah paparan, dan

4 dan 18 jam setelah paparan berakhir. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 20: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

3

Universitas Indonesia

eosinofil dengan kadar triptase pada nasal lavage tidak menunjukkan adanya

peningkatan. Triptase terlibat pada respon alergi. Penulis penelitian menyimpulkan

bahwa kurangnya bukti degranulasi sel mast mengindikasikan sensitisasi subjek yang

terjadi melalui proses nonspesifik yaitu proses inflamasi non allergik pada mukosa

hidung.6

Sebagian besar inhalasi formaldehida ditahan di saluran pernafasan bagian

atas. Efek klinik yang diakibatkan dari pajanan tersebut terutama terkait dengan area

ini yaitu mukosa hidung. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa paparan akut

formaldehida menyebabkan peningkatan eosinofil pada nasal lavage.6 Adanya

eosinofil ini merupakan respon nasal terhadap suatu alergi. Namun proses inflamasi

non allergik belum dapat disingkirkan karena masih terbatasnya penelitian mengenai

efek iritasi inflamasi pada mukosa hidung akibat paparan formaldehida. Efek iritasi

inflamasi atau infeksi pada mukosa hidung dapat dilihat dengan adanya sel neutrofil.

Untuk itu peneliti bermaksud meneliti lebih lanjut apakah pajanan formaldehida

mempengaruhi eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pajanan kronik ( > 1 tahun

). Dengan mengetahui efek kesehatan formaldehida terhadap mukosa hidung yaitu

efek alergi atau efek infeksi pada pajanan > 1 tahun ( kronik ) maka diharapkan dapat

dilakukan upaya pencegahan melalui penyeleksian dan penempatan karyawan yang

memiliki faktor resiko.

1.2 Permasalahan

Berbagai penelitian berbasis industri kain ban untuk mengindentifikasi faktor

resiko dari pajanan kimia berupa Formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil swab

hidung masih jarang. Belum diketahui apakah formaldehida menyebabkan efek alergi

yang ditandai dengan adanya eosinofil atau efek iritasi inflamasi yang ditandai

dengan adanya neutrofil pada mukosa hidung dengan cara swab hidung terutama pada

pekerja yang terpapar formaldehida > 1 tahun.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Apakah terdapat hubungan antara eosinofil dan neutrofil swab hidung pada

pekerja yang terpajan formaldehida dibandingkan dengan pekerja yang tidak

terpajan Formaldehida ?

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 21: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

4

Universitas Indonesia

2. Apakah ada hubungan eosinofil dan neutrofil swab hidung dengan faktor

lain?

1.4 Hipotesis

Terdapat hubungan pajanan kimia formaldehida dengan eosinofil dan

neutrofil swab hidung.

1. 5 Tujuan Penelitian

1. 5. 1 Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan antara pajanan formaldehida dengan eosinofil dan

neutrofil swab hidung pada pekerja di perusahaan kain ban.

1. 5. 2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pekerja

industri kain ban

2. Diketahuinya gambaran dan hubungan formaldehida lingkungan kerja

terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung

3. Diketahuinya gambaran dan hubungan faktor-faktor demografi ( usia ,

riwayat atopi ) dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung

4. Diketahuinya gambaran dan hubungan faktor-faktor individu ( merokok,

olahraga ) dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung

5. Diketahuinya gambaran dan hubungan faktor-faktor pekerjaan ( masa kerja

dan penggunaan alat pelindung diri ) dengan eosinofil dan neutrofil swab

hidung

6. Diketahui faktor yg dominan terhadap timbulnya eosinofil dan neutrofil

swab hidung.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Bagi Perusahaan

1. Mendapat masukan tentang masalah pengaruh pajanan kimia formaldehida

terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pekerja perusahaan

produksi ban yang terpajan formaldehida di lingkungan kerjanya.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 22: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

5

Universitas Indonesia

2. Sebagai bahan masukan untuk pengendalian dampak formaldehida terhadap

pekerja perusahaan produksi kain ban yang terpajan formaldehida.

3. Sebagai bahan masukan untuk penyeleksian dan penempatan calon karyawan

baru.

1.6.2 Bagi pekerja

Tenaga Kerja dapat mengetahui efek formaldehida terhadap kesehatannya,

sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dalam melakukan upaya

pencegahan.

1.6.3 Bagi Institusi

Bahan penyusunan kebijakan untuk pengendalian bahan kimia khususnya

formaldehida.

1.6.4 Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan kesempatan bagi peneliti untuk dapat mengetahui

dan meningkatkan kemampuan dalam melakukan analisa pengaruh pajanan

lingkungan kerja terutama formaldehida terhadap kesehatan yaitu eosinofil

dan neutrofil swab hidung.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 23: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

6

Universitas Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FORMALDEHIDA

Formaldehida merupakan senyawa kimia yang tidak berwarna, berbentuk gas

pada suhu ruangan. Formaldehida memiliki bau yang tajam dan dapat menyebabkan

sensasi terbakar pada mata, hidung, dan paru pada konsentrasi yang tinggi.

Formaldehida juga dikenal sebagai metanal, metilen oksida, oksimetilen,

metilaldehida, dan oxometane. Formaldehida dapat bereaksi dengan banyak bahan

kimia, dan dapat terurai menjadi metanol dan karbon monoksida pada suhu yang

tinggi.4

Formaldehida secara normal juga diproduksi dalam jumlah sangat kecil di

tubuh kita. Formaldehida juga dapat ditemukan di udara sekitar di rumah dan di

kantor, dan pada makanan yang kita makan.4

Pada umumnya, formaldehida terbentuk akibat reaksi oksidasi katalitik pada

metanol. Oleh sebab itu, formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan yang

mengandung karbon dan terkandung dalam asap pada kebakaran hutan,

knalpot mobil, dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi, formaldehida dihasilkan

dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana danhidrokarbon lain yang ada

di atmosfer.4,7

Di udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam

air ( dalam kadar larutan 37% disebut juga “formalin” atau “formol” ). Dalam air,

formaldehida mengalami polimerisasi dan sedikit sekali yang ada dalam bentuk

monomer H2CO.Formalin adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara

10%-40%.7

Formaldehida bisa dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam format,

oleh karena itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya tidak

kemasukan udara.7

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 24: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

7

Universitas Indonesia

Formaldehida digunakan pada banyak industri. Seperti pada produksi pupuk,

kertas, kayu lapis, produksi urea-formaldehida resin, pada produksi kosmetik dan

gula, di bidang pertanian sebagai pengawet untuk biji-bijian, pada industri karet pada

produksi latex, penyamakan kulit, dan pengawetan kayu. Formaldehida dikombinasi

dengan metanol dan buffer untuk membuat cairan “embalming”. Formaldehida juga

digunakan pada rumah sakit dan laboratorium untuk memfiksasi spesimen jaringan.4,7

Jika digabungkan dengan fenol, urea, atau melamina, formaldehida

menghasilkan resin termoset yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanen,

misalnya yang dipakai untuk kayulapis/tripleks atau karpet. Juga dalam bentuk busa-

nya sebagai insulasi. Sebagai disinfektan, formaldehida dikenal juga dengan nama

formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih; lantai, kapal, gudang dan pakaian.8

2.2 TOKSIKOKINETIK FORMALDEHIDA

2.2.1 ABSORBSI

Formaldehide secara cepat diabsorbsi di saluran respirasi dan gastrointestinal.

90 % inhalasi formaldehida di absorbsi di saluran napas atas pada tikus dan monyet.

Pada tikus, formaldehida di absorbsi di hidung. Pada monyet formaldehide di

absorbsi di nasofaring, trakea dan regio proksimal dari bronkus. Walaupun

formaldehide dapat berpenetrasi pada kulit manusia yaitu menginduksi dermatitis

kontak alergi pada manusia namun absorbsinya pada kulit sangat sedikit.3

2.2.2 DISTRIBUSI

Pajanan formaldehida pada manusia, monyet dan tikus melalui inhalasi tidak

mempengaruhi konsentrasi formaldehida di darah ( endogenous formaldehyde ). Hal

ini disebabkan karena metabolismenya yang cepat,. Pemberian formaldehida secara

intravena pada anjing, kucing, dan monyet tidak menyebabkan akumulasi

formaldehida di darah, karena formaldehida secara cepat dikonversi menjadi format.

Pada anjing, pemberian formaldehida secara oral memberikan hasil peningkatan

secara cepat kadar format dalam darah. Setelah 6 jam inhalasi C-formaldehida pada

tikus, C-formaldehida secara besar terdistribusi di berbagai jaringan, konsentrasi

terbesar di esofagus, dikuti di ginjal, hati, usus, dan paru, hal ini mengindikasikan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 25: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

8

Universitas Indonesia

bahwa absorbsi C-formaldehida dan metabolismenya secara cepat terdistribusi ke

seluruh tubuh dari mukosa darah.3

2.2.3 METABOLISME

Formaldehida dapat dimetabolisme melalui beberapa jalur yaitu melalui

penggabungan ke jalur karbon, konjugasi dengan glutation kemudian teroksidasi oleh

formaldehida dehidrogenase, dan proses oksidasi oleh enzim peroksisomal katalase. 3

Formaldehida bereaksi seketika dengan amine primer dan sekunder,

thiols,hidroksil dan amida membentuk derivat metilol. Formaldehida bertindak

sebagai sebuah elektrofil dan dapat bereaksi dengan makromolekul seperti

deoxyribose nucleic acid (DNA), ribonucleic acid (RNA), dan Protein untuk

membentuk adduksi yang reversibel atau ikatan silang yang ireversibel. Absorbsi

formaldehida dapat teroksidasi menjadi format melalui 3 jalur yang berbeda tersebut

dan dapat diekshalasi dalam bentuk karbon dioksida atau masuk ke makromolekul

biologi melaui tetrahydrofolate-dependent one-carbon biosynthetic pathways. Di

tubuh, formaldehida diproduksi dalam jumlah kecil sebagai metabolit normal dan

juga di dalam oksidasi dimetilasi xenobiotik. Oleh karena itu dapat ditemukan dalam

hati. Formaldehid dehidrogenase adalah enzim metabolik utama yang terlibat dalam

metabolisme formaldehid pada semua jaringan yang diteliti, dan terdistribusi merata

pada jaringan hewan, khususnya pada mukosa hidung tikus, dan spesifik untuk aduksi

glutation formaldehid.9 Formaldehida dehidrogenasi telah dideteksi terdapat di hati

manusia, sel darah merah, dan jaringan di tikus meliputi epitel respirasi dan

olfactorius, ginjal, dan otak.3

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 26: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

9

Universitas Indonesia

Gambar 1.1 Jalur Metabolisme Biotransformasi Formaldehida3,4

2.2.4 ELIMINASI DAN EKSKRESI

Formaldehida menghilang dari plasma dengan waktu paruh sekitar 1-1,5

menit. Metabolismenya yang cepat menyebabkan sebagian besar diubah menjadi

karbon dioksida dan dikeluarkan melalui paru-paru sebagai udara ekspirasi. Sebagian

kecil diekskresikan di urin sebagai asam format dan beberapa dalam bentuk metabolit

lain.3 Eliminasi dari radioaktif total pada paparan (

14C) formaldehida pada tikus

mengindikasikan bahwa 40 % dari inhalasi (14

C) diekskresikan di udara ekspirasi, 17

% di urin dan 5 % di faeces. Sisanya ( 35 % - 39 % ) tetap di jaringan.3

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 27: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

10

Universitas Indonesia

2.3 TOKSIKODINAMIK

Formaldehida adalah racun protoplasma, pengendapan protein dan

menyebabkan nekrosis koagulasi. Bentuk gasnya sangat larut air dan inhalasinya

mengakibatkan iritasi lokal pada saluran napas atas dan dilaporkan dapat

menyebabkan spasme dan edema pada laring. Asam format dapat terakumulasi dan

mengakibatkan asidosis metabolik.12

Pada umumnya efek kesehatan akibat paparan

formaldehida dapat diklasifikasikan berdasarkan : rute absorbsi yaitu melalui inhalasi,

oral, dan kulit; periode eksposure yaitu paparan akut ( < 14 hari ), intermediate ( 15 –

365 hari ), dan kronik ( > 365 hari ), dan efek kesehatan sesuai dengan organ yang

terkena seperti efek pada pernafasan, imunologik, mata, saluran pencernaan,

kardiovaskular, dan lain-lain.4 Efek kesehatan akibat formaldehida juga dipengaruhi

oleh konsentrasi formaldehida di udara, pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm menyebabkan

iritasi mata dan hidung, efek neurologi, peningkatan resiko asma dan atau alergi. Pada

konsentrasi > 50 ppm, percobaan pada binatang menunjukkan adanya edem paru.8

2.3.1. Efek Pada Pernapasan

Efek paparan formaldehida pada pernafasan meliputi iritasi pernafasan dan

gangguan fungsi pernafasan baik pada pekerja yang terpajan di lingkungan kerja

maupun masyarakat umum. Pada penelitian dengan jumlah pekerja yang relatif kecil

(38-84) di mana paparan dipantau secara individu, terdapat prevalensi yang tinggi

pada gejala, terutama iritasi mata dan saluran pernafasan pada pekerja yang

terekspose formaldehida di perusahaan produksi resin-embedded firbreglass, kimia,

produk furniture dan kayu atau pekerja di bagian pemakaman dibandingkan dengan

kelompok kontrol tanpa pajanan. Salah satu survei menunjukkan formaldehida secara

statistik bermakna pada gejala di mata, hidung, iritasi tenggorokan, batuk dan keluhan

dada dengan rata-rata kadar formaldehida 0,17 ppm (0,20 mg/m3) dan lebih besar.

10

Sebuah survei di Minnesota, USA, menunjukkan prevalensi iritasi hidung dan

tenggorokan adalah rendah pada pajanan formaldehida < 0,1 ppm. Studi ini dilakukan

pada 2000 penduduk dengan responden diklasifikasikan menjadi 4 variabel dependent

yaitu iritasi mata, iritasi hidung/ tenggorokan, sakit kepada, dan skin rash. Didapatkan

hasil bahwa efek formaldehida lebih besar pada kadar > 0,3 ppm dibandingkan kadar

< 0,3 ppm. Laporan iritasi mata adalah yang paling sering diikuti oleh iritasi pada

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 28: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

11

Universitas Indonesia

hidung dan tenggorokan, sakit kepala dan skin rash. Sementara proporsi dari populasi

yang melaporkan iritasi mata, hidung dan tenggorokan atau sakit kepala pada kadar di

atas 0,3 ppm adalah tinggi ( 71 – 99 % ). Yang melaporkan efek di bawah 0,1 ppm

adalah rendah ( 1-2 % untuk iritasi mata, 0-11% untuk iritasi hidung dan tenggorokan,

dan 2-10 % untuk sakit kepala ). Prevalensi skin rash antara 5% dan 44 % untuk kadar

> 0,3 ppm dan antara 0% - 3 % untuk < 0,1 ppm.10

Pada pajanan lama pada hewan percobaan yang terpapar formaldehida secara

inhalasi didapatkan efek utama non neoplastik yaitu perubahan histopatologi

(misalnya : metaplasia skuamosa, hiperplasia basal, rinitis) dalam rongga hidung dan

saluran pernapasan bagian atas. Studi tentang toksisitas kronik paparan secara

inhalasi telah dilakukan pada tikus, dengan perkembangan efek histopatologi dalam

rongga hidung yang diamati pada konsentrasi formaldehida 2 ppm (2,4 mg/m3) dan

lebih tinggi. 10

2.3.2 Efek Imunologik

Perubahan status imun telah dilaporkan pada paparan formaldehida.

Perubahan pada cell-mediated immunity meliputi perubahan pada basofil dan atau sel

supresor.4 Orang dengan sakit kronik pada paparan formaldehida seringkali

menunjukkan aktifasi kekebalan dan meningkatkan auto antibodi. Penduduk dengan

paparan kronik pada 0,05 sampai 0,5 ppm menunjukkan peningkatan aktifasi

kekebalan, peningkatan auto antibodi, dan peningkatan antibodi terhadap

formaldehida.4 Kelompok lain dengan eksposure 0,07 sampai 0,55 ppm ditemukan

penurunan limfosit T dan gangguan fungsi sel T dengan menggunakan

Phytohaemagglutinin (PHA).4

Studi epidemiologis mengenai efek paparan formaldehid pada sistem

kekebalan tubuh difokuskan terutama pada reaksi alergi. Kasus laporan reaksi alergi

sistemik atau lokal telah dikaitkan dengan formaldehida dalam berbagai macam

produk. Formaldehida merupakan zat iritan pada saluran pernapasan, dan beberapa

laporan memberi kesan bahwa perkembangan asma bronkial setelah menghirup

formaldehid mungkin karena mekanisme imunologi. Kondisi tertentu dari paparan

serta karakteristik individu merupakan faktor penting dalam menentukan apakah

kemungkinan inhalasi paparan formaldehid yang mengakibatkan gangguan fungsi

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 29: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

12

Universitas Indonesia

paru diperantarai oleh karena mekanisme imunologik. Efek kekebalan tubuh

(misalnya, dermatitis kontak) yang dihasilkan dari paparan kulit terhadap formaldehid

telah lebih jelas. Konsentrasi formaldehid untuk mendapatkan reaksi dermatitis

kontak pada individu hipersensitif mungkin serendah 30 mg / liter. Berdasarkan hasil

survei yang dilakukan di Amerika Utara, kurang dari 10% dari pasien dengan

dermatitis kontak mungkin secara imonologik hipersensitif terhadap formaldehida.10

2.3.3 Efek pada Mata

Mata sering teritasi oleh uap formaldehida dan resinnya. Setelah terkena

percikan/cipratan ke mata maka efek toksik yang dirasakan sangat tidak nyaman dan

mengiritasi mata hingga memutihkan bagian kornea serta kehilangan penglihatan.

Pada studi sebelumnya pada orang sehat dan orang dengan asma, iritasi sedang

hingga berat dilaporkan pada paparan formaldehid antara 0,25 – 3 ppm selama 5 jam.

Studi ini mengindikasikan bahwa iritasi mata merupakan parameter yang lebih

sensitif daripada pada iritasi pada hidung dan tenggorokan.3

2.3.4 Efek pada Kardiovaskular

Yanagawa mendeskripsikan kasus seorang pria berumur 28 tahun menelan

150 ml larutan formalin 40 % ( 258 mg formaldehida/kg pada percobaan bunuh diri.

Pada pasien ditemukan takikardi, tekanan darah rendah dan oliguria dan diterapi

dengan cairan IV dan dobutamin. Pasien akhirnya pulih dan keluar dari rumah sakit.6

2.3.5 Efek pada Saluran pencernaan

Yanagawa mendeskripsikan kasus seorang pria berumur 28 tahun menelan

150 ml larutan formalin 40 % ( 258 mg formaldehida/kg pada percobaan bunuh diri.

Pemeriksaan fisik ditemukan erosi dari mukosa orofaring, stridor pernafasan, nyeri

epigastrium dan hipoaktif suara usus. Pasien diberikan Natrium bikarbonata untuk

mengobati asidosis metabolik dan lesi esofagus. Baccikoglu dan Kalpaklioglu

menggambarkan kasus lain yaitu seorang pria umur 54 tahun yang sengaja menelan

larutan formaldehid 10 %. Pemeriksaan endoskopi pada pria ini menunjukkan

esofagitis tingkat rendah dan gastritis, dengan terapi penghambat pompa proton dan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 30: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

13

Universitas Indonesia

hidrasi parenteral. Pasien pulih dan dipulangkan dari hospital dengan terapi untuk

efek pernapasan akibat aspirasi formaldehida ketika muntah. 6

2.3.6. Efek pada Hati

Efek pada hati dapat dipicu juga dari eksposure formaldehida. Efek pada hati

ini meliputi toksik hepatitis dan gejala hipersensitifitas pada keluarga yang terekspose

hingga 0,95 ppm.4

2.3.7 Efek pada Sistem Saraf

Bukti formaldehida menimbulkan gejala neurologis diteliti pada survei cross

sectional dengan test neurobehaviour pada pekerja histologi yang terekspos

formaldehida. Bagaimanapun juga, co-exposure terhadap xylene, toluene, dan

kloroform juga menyebabkan efek neurotoksik pada manusia.3

2.3.8 Efek pada Ginjal

Tidak ada bukti dari pemeriksaan histologi, atau monitoring bahan kimia

darah bahwa formaldehida menginduksi ginjal pada akut, intermediate, durasi inhalasi

pada binatang atau pada inhalasi kronik pada tikus dan mice. Konsentrasi serum urea

pada tikus yang terekspose dengan 6 ppm formaldehida selama 8 jam/ hari untuk 6

minggu, didapatkan tidak ada perubahan pada serum protein, albumin, atau kreatin.8

2.3.9 Efek pada Kulit

Efek iritasi pada kulit akibat formaldehida telah diteliti pada beberapa tinjauan

jurnal dan semua melaporkan formaldehida menyebabkan iritasi kulit pada manusia.

Efek iritasi yang terjadi mungkin juga akibat efek sensitisasi. Pada pelajar dengan

paparan akut yang terkontrol dengan formaldehida pada konsentrasi 3 ppm tidak

ditemukan peningkatan gejala iritasi kulit.3

2.3.10 Efek lain

Perubahan histopatologis dalam epitel hidung telah diperiksa dalam survei

pekerja yang terekspos uap formaldehida. Prevalensi metaplasia dari epitel hidung

meningkat pada populasi yang terekspose formaldehid di pekerjaan dibandingkan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 31: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

14

Universitas Indonesia

dengan populasi kontrol dengan usia yang sama, kadang-kadang perubahan displastik

juga dilaporkan pada mereka yang terkena formaldehida. Dalam penyelidikan lain

menyebutkan rata-rata skore histologis meningkat pada 70 pekerja yang terpapar

formaldehida (rata-rata 0,25 ppm , standar deviasi 0,13 ppm [rata-rata 0,30 mg/m3,

standar deviasi 0,16 mg/m3]) dibandingkan dengan 36 kontrol yang tidak terpapar. 10

2.4 TOKSISITAS

Mekanisme yang tepat bagaimana formaldehida menyebabkan iritasi, korosif,

dan sitotoksik belum secara jelas diketahui. Aldehid merupakan kelompok bahan

kimia reaktif dengan atom oksigen yang sangat elektronegatif dan atom karbon yang

kurang elektronegatif. Atom karbonil merupakan jenis elektrofil yang membuatnya

mudah bereaksi dengan nukleofil dari membran sel dan jaringan serta cairan tubuh

seperti kelompok amino protein dan DNA. Formaldehid dapat membentuk hubungan

silang antara protein dan DNA in vivo. Rute predominant metabolisme formaldehida

adalah metabolisme penggabungan ke makromolekul (DNA, RNA, dan protein) pada

mukosa pernapasan dan penciuman dan sumsum tulang ( 344 tikus Fischer jantan ).4

Tikus terekspose hanya melalui hidung selama 6 jam pada 0,3 ; 2 ; 6 ; 10; atau 15

ppm dicampur dengan 14

C dan 3H formaldehida 1 hari setelah 6 jam terpapar dengan

konsentrasi formaldehida yang sama. Terdapat beberapa bukti terjadi hubungan silang

antara protein-DNA di jaringan hidung. Konsentrasi 14

C DNA pada jaringan mukosa

pernafasan dan penciuman meningkat secara linear dengan dosis, pada semua dosis,

konsentrasi 14

C DNA pada jaringan mukosa pernapasan adalah sekitar dua sampai

tiga kali daripada jaringan mukosa penciuman.4

Toksisitas formaldehida adalah rute-dependent. Iritasi pada titik kontak

terlihat pada paparan secara inhalasi, oral, dan kulit. Dosis tinggi bersifat sitotoksik

dan mengakibatkan degenerasi dan nekrosis mukosa dan lapisan sel epitel.

Pengamatan ini konsisten dengan hipotesis bahwa terdapat efek toksik dimediasi oleh

formaldehida itu sendiri dan bukan oleh metabolitnya.4

2.4.1 Karsinogenesis

Penemuan pada awal tahun 1980 yaitu tumor di saluran hidung dari tikus

yang terpajan formaldehida secara inhalasi memberikan perhatian untuk melakukan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 32: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

15

Universitas Indonesia

penelitian terhadap terhadap para pekerja yang terekspose formaldehida. Studi

epidemiologi menyelidiki kanker pada hidung, faring, dan paru-paru. Blair membuat

meta analisis dari 32 studi mengenai eksposure formaldehida pada pekerja industri

dan profesional ( teknisi anatomi, patologi ) didapatkan hasil peningkatan resiko

secara bermakna untuk kanker nasofaring pada pekerja dengan paparan

formaldehida.3

National Toxicology Program ( NTP, 1998 ) telah menetapkan bahwa

formaldehid diduga bersifat karsinogen manusia, dan International Agency for

Research on Cancer (IARC, 1995) membuat evaluasi secara keseluruhan bahwa

formaldehida mungkin karsinogenik bagi manusia (Grup 2A) berdasarkan evaluasi

spesifik bahwa ada bukti terbatas pada manusia untuk karcinogen formaldehida dan

bukti yang cukup pada hewan percobaan. Environmental Protection Agency’s (EPA)

mengklasifikasikan formaldehid dalam kelompok B1 - karsinogen manusia

kemungkinan didasarkan pada terbatasnya bukti pada manusia dan cukup bukti pada

hewan percobaan.4 IARC pada tahun 2004 menetapkan bahwa formaldehide termasuk

kategori 1 yaitu bersifat karsinogen pada manusia.3

Pada sebuah penelitian dengan mengekspose tikus Sprague-Dawley jantan

antara 0 sampai 14,8 ppm formaldehida selama 6 jam per hari, 5 hari seminggu,

selama 2 tahun dilaporkan peningkatan insiden kanker sel skuamous hidung 0/99 dan

38/100 pada kontrol dan terekspose formaldehida. Tumor ini dicurigai akan

meningkat turbin maksilar hidung dan septum hidung. Peningkatan insiden kanker sel

skuamosa hidung juga dilaporkan oleh Tobe pada kelompok F 344 tikus yang

terekspose formaldehida pada 0; 0,3; 2; atau 14 ppm selama 6 jam sehari, 5 hari

seminggu. Selama 28 bulan. 14 dari 32 binatang pada kelompok dengan konsentrasi

tinggi ( misalnya 44 % ) meningkatkan resiko kanker sel skuamosa, dibandingkan

dengan 0 pada kontrol ( tidak terekspose ) dengan konsentrasi rendah atau sedang.10

Mekanisme bagaimana formaldehida menginduksi tumor di saluran nafas pada

tikus belum sepenuhnya diketahui. Penghambatan pembersihan mukosiliar telah

diobservasi pada tikus yang terekspose secara akut dengan kadar formaldehida lebih

besar dari 2 ppm. Terdapat bukti bahwa glutation yang diperantarai oleh detoksifikasi

formaldehida di jaringan hidung mengalami kejenuhan pada tikus dengan eksposure

secara inhalasi di atas 4 ppm.12

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 33: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

16

Universitas Indonesia

2.4.2. Genotoksisitas

Beberapa survei telah dilakukan untuk menyelidiki efek genetik pada limfosit

perifer, hidung, sel mukosa buccal pekerja yang terekspose dengan formaldehida.

Pada beberapa studi yang menilai limfosit perifer, didapatkan tidak ada peningkatan

insiden dalam penyimpangan kromosom, sister chromatid exchanges (SCE) atau

micronucleated cells (MN) pada 15 pekerja manufaktur atau pengolahan

formaldehida, 30 mahasiswa kedokteran, 23 siswa anatomi dan 6 siswa patologi.

Peningkatan insiden sister chromatid exchanges (SCE) di limfosit perifer terlihat pada

90 siswa patologi, 13 pekerja dilaporkan secara teratur terkena formaldehida, 8 siswa

anatomi dan 31 pekerja yang terpapar fenol-formaldehida resin. Peningkatan insiden

pada penyimpangan kromosom, SCE dan MN terlihat di 13 siswa anatomi. Pada studi

yang menyelidiki insiden micronucleated cells (MN) pada hidung dan epitel buccal,

peningkatan insiden terlihat di buccal tetapi tidak pada epitel hidung pada 29 dan 28

siswa yang belajar di kamar mayat. Peningkatan insiden MN di epitel buccal juga

telah dilaporkan pada teknisi bagian anatomi dan mahasiswa anatomi, namun studi ini

sangat terbatas dan hanya sebuah abstrak yang telah dilaporkan di Inggris. 3

2.5 BIOMARKER PAJANAN

2.5.1 Monitoring Biologis

Asam format merupakan sebuah metabolit dari formaldehida yang telah

diukur di urin pekerja dan darah. Namun, pajanan formaldehida tidak dapat dinilai

secara adekuat dengan metode ini karena formaldehida cepat di metabolisme dan

sangat reaktif. Kadar format urin tidak sepenuhnya dapat digunakan sebagai

biomarker oleh karena format juga merupakan hasil metabolit dari substans lainnya.3

Penelitian dengan pajanan pada siswa dengan 0,26-0,92 ppm uap

formaldehida selama 3 jam, dengan sampel urin yang dikumpulkan segera setelah

paparan dan 21 jam setelah paparan. Konsentrasi formaldehida dan asam format

dalam urin yang ditemukan lebih tinggi segera setelah paparan dibandingkan dengan

21 jam kemudian, namun, tidak ada data awal sebelum terpajan. Meskipun format

urin meningkat namun hal ini sangat dipengaruhi oleh variasi individu, paparan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 34: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

17

Universitas Indonesia

formaldehida, atau paparan bahan kimia lain yang juga menghasilkan format seperti

metanol, halometan ( diklorometan ) dan aseton.4

2.5.2 Biomarker Efek

Peningkatan konsentrasi eosinofil dan peningkatan kadar albumin dan protein

total telah ditemukan pada cairan lavage hidung pada pekerja yang terekpose 0,4 ppm

formaldehida selama 2 jam. Walaupun hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh

formaldehida, namun dapat menjadi biomarker yang menjanjikan dari iritasi akut

pernafasan pada paparan udara formaldehida. Seperti telah dijelaskan, ikatan silang

DNA – Protein pada sel darah putih dan anti – formaldehida – albumin serum

manusia antibodi IgG di darah dapat menjadi biomarker potensial untuk hubungan

eksposure dan efek terkait dengan paparan intermediate atau kronik dari

formaldehida.4

Biomarker potensial lain yang berguna untuk pajanan formaldehida secara

inhalasi melibatkan pemeriksaan histologis biopsi sampel hidung. Perubahan

histologis pada biopsi sampel jaringan hidung (misalnya, hilangnya sel bersilia,

displasia skuamosa dan hiperplasia) telah dikaitkan dengan eksposur formaldehid

dalam beberapa penelitian kros seksional pada pekerja formaldehida yang terekspose

dan tidak terekspose. Masing-masing studi menggunakan metode penilaian morfologi

dengan peningkatan nilai untuk perubahan histologis mulai keparahan dari hilangnya

sel bersilia dan adanya sel-sel ganas. Prevalensi berbagai jenis perubahan dan rata-

rata skor histologis antara yang terekspose dan tidak terekspose. Penemuan dari studi

pada tikus mengindikasikan bahwa formaldehida menginduksi terjadinya kanker

hidung melalui kerusakan berulang pada epitel saluran napas atas. Oleh karena itu

disarankan untuk melakukan pemeriksaan sitologi pada biopsi hidung untuk melihat

ketidaknormalan dari sel epitel sehingga dapat mencegah perkembangan kerusakan

jaringan di saluran napas atas atau mencegah ke arah kanker. Penemuan sejenis yaitu

epitel skuamous displasia dan hiperplasia mukosa hidung telah ditemukan pada

pajanan formaldehida secara kronik. Namun studi ini tidak semata-mata menunjukkan

bahwa formaldehida merupakan toksikan utama yang bertanggung jawab terhadap

terjadinya kerusakan hidung. Skuamous metaplasia dan hiperplastik mukosa bisa

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 35: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

18

Universitas Indonesia

berguna sebagai indikator dari keparahan efek formaldehida. Namun kegunaannya

pada pajanan manusia sangat terbatas.4

2.6 METODE PENGUKURAN FORMALDEHIDA

Terdapat beberapa metode untuk mengukur formaldehida di udara, di

antaranya adalah dengan menggunakan metode spectrometry, gas chromatography-

flame ionization detection (GC-FID), gas chromatography/ mass spectrometry

(GC/MS), gas chromatography/ nitrogen selective detection (GC/NSD), high

performance liquid chromatography/ ultraviolet detection (HPLC/UV), dan fourier

transform infrared spectrometry (FTIRS).11

Metode pengukuran dengan metode NIOSH 3500 merupakan metode

pengukuran dengan menggunakan teknik visible absorption spectometry, dengan

sampler berupa filter + impingers. Metode ini merupakan metode yang paling sensitif

untuk pengukuran formaldehida pada metode analisis NIOSH. Metode NIOSH 3500

diukur dengan alat spectrophotometer. Metode GC-FID dilakukan dengan cara

menarik udara ke dalam tabung sorben padat yang berisi hidroksimetil piperidin.

Metode GC-FID baik untuk digunakan untuk mengukur zat hidrokarbon seperti

metan, etan, asetilene, dan substan organik yang mengandung hidrokarbon atau

volatile organic compound. Sampel dalam FID akan mengalami pembakaran dalam

hidrogen. Ion dan elektron bebas akan terbentuk. Kemudian partikel yang bermuatan

akan menghasilkan arus yang menyebabkan perubahan pada celah 2 elektroda pada

detektor. Perubahan pada celah elektroda ini yang kemudian dicatat sebagai sinyal

oleh detektor.11,12

Hasil pengukuran formaldehida di lingkungan kerja dibandingkan dengan

dengan nilai ambang berdasarkan Occupational Safety & Health Administration

(OSHA) yaitu time weighted average TWA formaldehida adalah 0,75 ppm dan short

term exposure limit ( STEL) adalah 2 ppm. Monitoring inisial harus diulang setiap

saat terjadi perubahan produksi, peralatan, proses, atau tenaga kerja dimana dapat

berakibat pada adanya eksposure baru atau tambahan terhadap formaldehida. Menurut

OSHA bila hasil monitoring sebelumnya didapatkan eksposure formaldehida sama

atau lebih besar dari nilai STEL, monitoring harus diulang pada pekerja setidaknya

setahun sekali dalam kondisi terburuk.13

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 36: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

19

Universitas Indonesia

Sedangkan Nilai Ambang Batas ( NAB ) formaldehida berdasarkan Standar

Nasional Indonesia mengacu pada surat edaran Menteri Tenaga Kerja nomor : SE-

01/MEN/1997 kadar tertinggi formaldehida yang diperkenankan adalah 0,37 mg/m3

;

0,3 ppm.14

2.7 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Hidung merupakan organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan

yang tidak menguntungkan. Melalui hidung, udara dihirup lebih dari 10.000 L/ 24

jam. Udara ini mengandung jutaan partikel yang bersifat infeksius, alergen, toksik dan

iritan. Perubahan patologik dapat terjadi akibat pajanan partikel tersebut. Struktur

anatomi dan fisiologi hidung memungkinkan kontak langsung dari lingkungan

eksternal dan internal menyebabkan hidung akan mudah terpajan oleh berbagai

stimulasi atau rangsangan.21

Tiga fungsi utama hidung adalah sebagai organ

pembau (olfactory), respirasi dan proteksi. Turbulensi aliran udara saat inspirasi

dengan mukosa rongga hidung merupakan dasar dari fungsi fisiologi hidung.15

Rongga hidung merupakan suatu ruangan yang kaku yang letaknya

memanjang dari nares anterior (nostril) ke arah koana bergabung dengan nasofaring.

Bagian dalam hidung panjangnya 10-12 cm. Rongga hidung dibagi 2 oleh septum

nasi Katup hidung (nasal valve) berada lebih kurang 1,3 cm dari nares anterior

dan merupakan segmen tersempit serta tahanan terbesar dari jalan nafas hidung.

Dengan memasuki daerah yang sempit ini akan terjadi peningkatan aliran dan

mengakibatkan penurunan tekanan intralumen (fenomena Bernoulli).15

Di dinding lateral hidung terdapat konka superior, konka media, dan

konka inferior serta meatus superior, meatus media dan meatus inferior. Konka

dapat berubah ukuran sehingga dapat mempertahankan lebar rongga udara yang

optimum. Bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak

lengkap dengan otot polos. Semakin ke distal kartilago semakin kecil, akhirnya

hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter

saluran nafas. Kontraksi inilah yang dipengaruhi oleh mediator-mediator serta

sel-sel inflamasi dalam proses terjadinya asma bronkial.15

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 37: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

20

Universitas Indonesia

2.8 IMUNOPATOGENESIS

Penemuan antibodi E atau imunoglobulin E pada tahun 1966 oleh

Ishizaka (Amerika) , Johansson & Bennich (Swedia) sebagai antibodi penghubung

timbulnya penyakit alergi, telah membuka cakrawala baru untuk pemeriksaan

diagnostik. Selanjutnya pemeriksaan invivo dan invitro ditujukan untuk

membuktikan adanya IgE yang bebas atau terikat pada sel atau mendeteksi

mediator yang dilepaskan. Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi

fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). Reaksi alergi fase

cepat berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan alergen, dan mencapai

puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen, sedangkan reaksi alergi fase

lambat (RAFL) berlangsung 24-48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4-8

jam pertama.15

Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup

bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel

dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen

Presenting Cell/ APC) diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14

asam amino yang berikatan dengan molekul Human Leucocyte Antigen ( HLA )

kelas II membentuk kompleks Major Histocompatibility Complex ( MHC ) kelas II

yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper ( Th0 ) . Kemudian sel penyaji

akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0

untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai

sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh

reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif

dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). Imunoglobulin E di sirkulasi

darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel

mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif.

Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi.15

Mukosa yang sudah tersensitisasi apabila terpapar dengan alergen yang

sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulisasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya

mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediator) terutama histamin.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 38: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

21

Universitas Indonesia

Selain histamin dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin

D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet

Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase

cepat.15

Histamin yang dilepaskan akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf

vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain

itu histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami

hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala

lain seperti hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.15

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini

akan berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. 15

Eosinofil

dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/lokasi alergi

dipengaruhi faktor kemotaktik, melalui beberapa tahap seperti migrasi

(perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai

berikatan secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling),

diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi

molekul adesi endotel seperti intercell adhesi molecule–1 (ICAM-1) dan vascular

cell adhesi molecule-1 (VCAM-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel

eosinofil karena sel eosinofil mengekpresikan very late antigen 4 (VLA-4) yang

akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel

mukosa hidung yang mendapatkan paparan alergen spesifik terus menerus dan

menjadi dasar konsep adanya minimal persistent inflamation (MPI) seperti

terlihat pada rinitis alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan

bebas gejala. Sekarang eosinofil dengan peran pro inflamasi dan peran pentingnya

pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek

penelitian dasar dan terapi.16

Pada RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi

seperti eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta peningkatan

berbagai sitokin pada sekret hidung. Salah satu grup sitokin yang berhubungan

dengan dengan inflamasi alergi, dan bertanggungjawab untuk aktivasi leukosit,

monosit, netrofil, eosinofil, dan basofil adalah Kemokin. Kemokin juga lebih spesifik

menginduksi degranulasi. Setelah direkrut ke jaringan inflamasi, eosinofil menerima

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 39: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

22

Universitas Indonesia

sinyal untuk memulai degranulasi, menyebabkan dilepaskannya protein granul

eosinofil seperti major basic protein (MPB), eosinophil peroksidase (EPO) dan

eosinophil cationic protein (ECP).17

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif

hidung ini adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari

granulnya. Protein granul eosinofil tersebut mempunyai efek menyebabkan

desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf mukosa dan

kerusakan sel karena radikal bebas. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),

iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau

yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 15

Paparan

alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita yang

mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada sel

B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk

memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada

bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya

dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit. Sel mastosit

kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan

berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung. Dalam

keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau

penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang

positif.15,16

Pada pekerja yang mempunyai riwayat atopi menyebabkan intensitas

pajanan di hidung semakin kuat sehingga kadar eosinofil mukosa hidung semakin

meningkat. Riwayat atopi pada pekerja dapat diketahui melalui anamnesis riwayat

salah satu dari gejala asma bronkialis, rinitis alergi, dermatitis atopi atau sudah pernah

didiagnosis atopi oleh dokter perusahaannya.

Pada individu yang atopi lebih

cenderung mengalami hiperresponsivitas jalan napas daripada individu yang non-

atopi.18

2.9 SISTEM IMUNITAS MUKOSA

Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem imunitas yang penting dan

berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas mukosa lebih

bersifat menekan imunitas, karena hal-hal berikut; mukosa berhubungan langsung

dengan lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri dari

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 40: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

23

Universitas Indonesia

bakteri komensal, antigen makanan dan virus dalam jumlah yang lebih besar

dibandingkan sistem imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut sedapat mungkin

dicegah agar tidak menempel mukosa dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan

kimiawi dengan enzim-enzim mukosa. Antigen yang telah menembus mukosa juga

dieliminasi dan reaksi imun yang terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk

mencegah terjadinya respons imun yang berlebihan yang akhirnya merugikan oleh

karena adanya paparan antigen yang sangat banyak. Sedangkan sistem imunitas

sistemik bersifat memicu respons imun oleh karena adanya paparan antigen.19

Jaringan mukosa ditemukan di saluran napas bagian atas, saluran cerna,

saluran genital dan kelenjar mammae. Mekanisme proteksi terhadap antigen pada

mukosa, terdiri dari: membran mukosa yang menutupi mukosa dan enzim adalah

perlindungan mekanik dan kimiawi yang sangat kuat, sistem imun

mukosa innate berupa eliminasi antigen dengan cara fagositosis dan lisis, sistem imun

mukosa adaptif dimana selain melindungi permukaan mukosa juga melindungi

bagian dalam badan dari masuknya antigen lingkungan. Sistem imun lokal ini

merupakan 80% dari semua imunosit tubuh pada orang sehat. Sel-sel ini terakumulasi

di dalam atau transit antara berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid Tisssue (MALT),

bersama-sama membentuk sistem organ limfoid terbesar pada mamalia.19

Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu : melindungi

membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang mungkin

menembus masuk, melindungi pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi

meliputi protein-protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang

terhirup dan bakteri komensal, dan melindungi berkembangnya respons imun yang

berpotensi merugikan terhadap antigen-antigen tersebut bila antigen tersebut

mencapai dalam tubuh. MALT akan menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan

mengatur intensitasnya untuk menghindari kerusakan jaringan dan proses imun

berlebih. Mekanisme pembersihan antigen melalui beberapa cara yaitu; mekanis

dengan barries fisik, kimiawi dengan enzim-enzim, sistem imune innate meliputi

netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel natural killer (NK), dan sel mast. Sel-

sel ini berperan dalam eliminasi patogen dan inisisasi respons imun adaptif.

Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem

yang diperantarai antibodi IgA sekretori.19

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 41: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

24

Universitas Indonesia

Sistem imunitas mukosa saluran napas terdiri dari nose associated lymphoid

tissue (NALT), larynx associated lymphoid tissue (LALT), dan bronchus associated

lymphoid tissue (BALT). BALT terdiri dari folikel limfoid dengan atau tanpa

germinal center terletak pada dinding bronkus. Sistem limfoid ini terdapat pada 100%

kasus fetus dengan infeksi amnion dan jarang terdapat walaupun dalam jumlah sedikit

pada fetus yang tidak terinfeksi. Pembentukan jaringan limfoid intrauterin ini

merupakan fenomena reaktif dan tidak mempengaruhi prognosis.19

Respons imun diawali oleh microfold cells (sel M ) yang berlokasi di epitel

yang melapisi folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC yang dibutuhkan

dalam pembentukan respons imun. Sel M bertugas untuk uptake dan transport antigen

lumen dan kemudian dapat mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel

dendritik submukosa dan interstitial dan makrofag alveolus. Makrofag alveolus

merupakan 85% sel dalam alveoli, dimana sel dendritik hanya 1%. Makrofag alveolus

ini merupakan APC yang lebih jelek dibandingkan sel dendritik. Karena makrofag

alveolus paling banyak terdapat pada alveolus, sel ini berperan melindungi saluran

napas dari proses inflamasi pada keadaan normal. Saat antigen masuk, makrofag

alveolus akan mempengaruhi derajat aktivitas atau maturasi sel dendritik dengan

melepaskan sitokin. Sel dendritik akan menangkap antigen, memindahkannya ke

organ limfoid lokal dan setelah melalui proses maturasi, akan memilih limfosit

spesifik antigen yang dapat memulai proses imun selanjutnya.19

Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT dan

kelenjar limfoid regional menuju darah perifer untuk dapat melakukan ekstravasasi ke

efektor mukosa. Proses ini diperantarai oleh molekul adesi vaskular dan kemokin

lokal, khususnya mucosal addressin cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T

spesifik antigen adalah efektor penting dari fungsi imun melalui sel terinfeksi yang

lisis atau sekresi sitokin oleh Th1 atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi sitokin ini

akan meningkatkan respons imun dan akan membantu sel B untuk berkembang

menjadi sel plasma IgA.19

2.10 EOSINOFIL

Eosinofil (eosinophil, acidophil) adalah sel darah putih dari kelompok

granulosit yang berperan dalam sistem kekebalan dengan melawan parasit

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 42: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

25

Universitas Indonesia

multiselular dan beberapa infeksi pada makhluk vertebrata. Eosinofil ikut

mengendalikan mekanisme alergi. Eosinofil terbentuk pada proses hematopoiesis

yang terjadi pada sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam sirkulasi darah.20

Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin, eosinofil

peroksidase, ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, plasminogen dan beberapa

asam amino melalui proses degranulasi setelah eosinofil teraktivasi. Zat-zat ini

bersifat toksik terhadap parasit dan jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel substrat

peradangan dalam reaksi alergi. Aktivasi dan pelepasan racun oleh eosinofil diatur

dengan ketat untuk mencegah penghancuran jaringan yang tidak diperlukan. Individu

normal mempunyai rasio eosinofil sekitar satu hingga tiga % terhadap sel darah putih

dengan ukuran sekitar 12 – 17 mikrometer.20

Eosinofil dapat ditemukan pada medulla oblongata dan sambungan antara

korteks otak besar dan timus, dan di dalam saluran pencernaan, ovarium, uterus,

limpa dan lymph nodes. Eosinofil tidak dijumpai di paru, kulit, esofagus dan organ

dalam lainnya pada kondisi normal, keberadaan eosinofil pada area ini sering

merupakan pertanda adanya suatu penyakit. Eosinofil dapat bertahan dalam sirkulasi

darah selama 8-12 jam, dan bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam jaringan

apabila tidak terdapat stimulasi.20

Kadar eosinofil dalam darah dan jaringan relatif rendah, kecuali pada

pasien atopi dan infeksi parasit. Eosinofil dapat diidentifikasi pada darah dan

jaringan melalui afinitas granul sitoplasmiknya terhadap zat warna anilin seperti

eosin. Karena eosinofil sulit dideteksi dalam jaringan setelah degranulasi,

pewarnaan immunologis untuk protein yang spesifik untuk eosinofil, terutama

major basic protein (MBP) dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan

adanya eosinofil teraktivasi dalam jaringan. Pemeriksaan eosinofil kerokan

mukosa hidung merupakan salah satu cara pemeriksaan rinitis akibat kerja yang

murah dan mudah dilakukan. Arjana dan Alimah telah menggunakan pemeriksaan

eosinofil kerokan mukosa hidung untuk mendeteksi rinitis alergi, di mana

dilaporkan sensitivitasnya 70% dan spesifisitasnya 94%. Kelemahan dari

pemeriksaan ini adalah tidak dapat menyaring peningkatan kadar eosinofil yang

disebabkan oleh investasi parasit dan non-alergic rhinitis dengan eosinophylia

syndrome (NARES). 18

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 43: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

26

Universitas Indonesia

Adanya eosinofil dalam kerokan mukosa hidung menunjukkan adanya

minimal persistance inflammation, walaupun pada pekerja yang tanpa gejala

hidung. Eosinofil dapat menimbulkan hiperresponsivitas mukosa hidung, sehingga

dengan rangsangan yang minimal telah dapat menimbulkan iritasi pada jalan

napas. Efek lain dari adanya eosinofil pada mukosa hidung adalah terlepasnya

protein dengan berat molekul rendah yang tersimpan dalam granula

sitoplasmiknya, yaitu MBP, eosinophil derived neurotoxin (EDN), eosinophil

peroxidase (EPO) dan eosinophil cationic protein (ECP). MBP dan ECP bersifat

toksik dengan merusak membran sel target melalui interaksi yang diperantarai

muatan elektrolit (charge-mediated interaction). MBP juga mengaktivasi

trombosit, sel mast dan basofil, yang akhirnya menghasilkan histamin. MBP

dapat menginduksi hiper-responsivitas jalan napas dengan secara kompetitif

menghambat pengikatan reseptor muskarinik kolinergik (M2) pada saraf

parasimpatis, sehingga penghambatan reseptor ini oleh MBP akan mempercepat

pelepasan asetilkolin pada jalan napas.18

2.11 NEUTROFIL

Neutrofil (neutrophil, polymorphonuclear neutrophilic leukocyte, PMN)

adalah bagian sel darah putih dari kelompok granulosit. Bersama dengan dua sel

granulosit lain: eosinofil dan basofil yang mempunyai granula pada sitoplasma,

disebut juga polymorphonuclear. 20

Inti neutrofil berlobus warna biru ungu dengan

sitoplasma warna merah pucat bergranula halus.21

Neutrofil bermigrasi dari lamina propria ke sel epitel dan sejumlah kecil

neutrofil terdapat pada mukosa hidung orang normal. Neutrofil berhubungan dengan

pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan proses peradangan kecil lainnya, serta

menjadi sel yang pertama hadir ketika terjadi infeksi di suatu tempat. Fungsi utama

neutrofil adalah fagositosis. Granula dan lisosomnya mengandung berbagai enzim

seperti lisosom dan mieloperoksidase yang akan menghancurkan bakteri. Batasan

normal untuk derajat neutrofil adalah kurang atau sama dengan + 1. Peningkatan

neutrofil ditemukan pada peradangan dan paparan iritan. Pada rinitis oleh karena

infeksi bakteri akut ditemukan peningkatan neutrofil dengan adanya sejumlah besar

bakteri terutama bakteri intrasel.21

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 44: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

27

Universitas Indonesia

Neutrofil mengalami enam tahap perkembangan : promielosit, metamielosit,

neutrofil batang (band), neutrofil segmen. Neutrofil akan meningkat sepuluh kali lipat

pada inflamasi akut. Neutrofil segmen merupakan sel aktif yang mengandung granula

sitoplasmik (muda atau azurofil, sekunder, atau spesifik) dan inti sel segmentasi yang

kaya kromatin.20

Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa,

serta terlepasnya sel-sel radang dan perubahan pH. Endotoksin bakteri serta enzim

proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia

dan frekuensi denyut silia.22

2.12 PEMERIKSAAN EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG

Pemeriksaan eosinofil dan neutrofil swab hidung membutuhkan peralatan

seperti : Kaca objek, lampu kepala, spekulum hidung, pensil dan kuret arlington.

Cara melakukan pemeriksaan swab hidung adalah sebagai berikut pertama siapkan 1

kaca objek yang bersih dan kering, pekerja dalam posisi duduk dan dalam keadaan

tenang. Kemudian lubang hidung dibuka dengan spekulum hidung dan dilakukan

kerokan mukosa pada sisi medial konka inferior dengan menggunakan kuret

Arlington. Usapkan secara merata sekret mukosa hidung di kuret pada kaca objek.

Hapusan kerokan mukosa hidung pada kaca objek tadi dibiarkan mengering di udara.

Identitas sampel yang diperiksa ditulis pada bagian pinggir kaca objek dengan pensil.

Kemudian sediaan hapus diletakkan pada 2 batang gelas di atas bak tempat

pewarnaan untuk dilakukan fiksasi sediaan dengan metanol absolut selama 1 – 2

menit. Setelah itu teteskan zat warna Wright hingga menutupi seluruh lapang pandang

slide. Diamkan sediaan selama 10 menit, kemudian teteskan larutan dapar ( jumlah

tetesan = tetesan zat warna ) di atas zat warna Wright, tiup hingga bercampur.

Diamkan selama 15 menit. Setelah itu bilas dengan air mengalir sampai bersih.

Bagian bawah kaca objek dibersihkan dari sisa zat warna dan biarkan kering dalam

posisi tegak. Sediaan dibaca dengan mikroskop dengan pembesaran 100x per sepuluh

lapangan pandang. Penilaian eosinofil dan neutrofil seperti pada tabel 1.1.21

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 45: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

28

Universitas Indonesia

Tabel 1.1 Penilaian Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung21

Derajat Jumlah Sel Eosinofil dan Neutrofil

Derajat 0 jumlah sel eosinofil atau neutrofil 0

Derajat ½ +

Derajat 1 +

Derajat 2 +

Derajat 3 +

Derajat 4 +

Jumlah sel eosinofil atau netrofil 0,1 – 1,0

jumlah sel eosinofil atau neutrofil 1,1 – 5,0

jumlah sel eosinofil atau neutrofil 6,0 – 15,0

jumlah sel eosinofil atau neutrofil 16,0 – 20,0

jumlah sel eosinofil atau neutrofil > 20

2.13 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EOSINOFIL DAN

NEUTROFIL MUKOSA HIDUNG

2.13.1. Merokok

Asap rokok merupakan faktor yang dapat memperberat gejala hiperaktif atau

hiperesponsif hidung. Gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat

peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic

Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Asap

rokok merupakan faktor non spesifik yang dapat menyebabkan iritasi dan

memperberat gejala. Sedangkan faktor spesifik yaitu berupa alergen.15

Faktor

kebiasaan merokok juga dapat memicu terjadinya rinitis alergi selain faktor polusi

udara.16

Partikel-partikel toksin, alergen, debu, bakteri, dan lain-lain yang masuk ke

saluran napas atas juga akan dialirkan keluar oleh sistem mukosiliar ke arah

nasofaring. Sistem mukosilier merupakan barrier pertama sistem pertahanan tubuh

pada pernapasan. Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran nafas atas selalu

bersih. Bersihan mukosilier yang baik akan mencegah terjadinya infeksi di dalam

hidung dan sinus paranasal.22

2.13.2 Riwayat Atopi

Pada orang yang memiliki riwayat atopi lebih cenderung mengalami

hiperesponsivitas jalan napas dibandingkan yang non atopi. Penelitian pada pekerja

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 46: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

29

Universitas Indonesia

yang terpajan debu kayu menunjukkan bahwa individu dengan riwayat atopi memiliki

kecenderungan untuk mengalami peningkatan kadar eosinofil mukosa hidung yang

diperberat dengan pajanan.18

2.13.3 Masa Kerja

Semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak terpajan bahaya yang

ditimbulkan oleh lingkungan kerja. Hubungan antara paparan dan efek ini sangat

bergantung pada tiga hal yaitu kadar formaldehid dalam udara, dosis paparan

kumulatif (penjumlahan kadar dalam udara dan lamanya paparan), dan waktu tinggal

atau lamanya formaldehida berada dalam hidung.4

2.13.4 Alat pelindung diri

Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang dipakai untuk melindungi

pekerja terhadap bahaya yang dapat mengganggu kesehatan yang ada di lingkungan

kerja. Alat yang dipakai disini untuk melindungi sistem pernafasan dari partikel -

partikel berbahaya yang ada di udara yang dapat membahayakan kesehatan.

Perlindungan terhadap sistem pernafasan sangat diperlukan terutama bila tercemar

partikel - partikel berbahaya, baik yang berbentuk gas, aerosol, cairan, ataupun

kimiawi.

2.13.5 Olahraga

Olahraga berkaitan tingkat kebugaran jasmani. Dengan olahraga dapat

meningkatkan kapasitas kerja sistem sirkulasi (jantung dan pembuluh darah), sistem

saraf dan sistem otot tubuh. Semua sistem tersebut memiliki peranan untuk

peningkatan kondisi fisik atau tingkat kebugaran. Tubuh yang sehat dan kuat juga

dapat membentuk antibodi yang baik. Orang yang memiliki status kesehatan yang

baik akan memiliki daya tahan tubuh terhadap penyakit. Penelitian “Dampak senam

aerobik terhadap daya tahan tubuh dan penyakit” oleh Purwanto mendapatkan hasil

bahwa tingkat daya tahan tubuh terhadap penyakit yang mengikuti senam aerobik

lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengikuti senam aerobik.23

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 47: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

30

Universitas Indonesia

2.14 PENELITIAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAJANAN

FORMALDEHIDA TERHADAP EOSINOFIL DAN NEUTROFIL

2.14.1 Penelitian Krakowiak ( 1992 ) dengan eksposure 20 sukarelawan pada orang

sehat dan asma hingga dengan kadar 0,5 mg/m3 formaldehida selama 2 jam. Lavage

hidung dilakukan sebelum pajanan, segera setelah paparan dan 4 dan 18 jam

eksposure berakhir. Hasil penelitian yaitu ada peningkatan jumlah dan proporsi

eosinofil dan peningkatan albumin dan total protein pada cairan hidung setelah 4 jam

dan 18 jam pajanan formaldehida. Penulis menyimpulkan bahwa terdapat

keterbatasan bukti untuk sel mast dan degranulasi eosinofil dan kemiripan respon

pada orang sehat dan asma mengindikasikan terdapat proses nonspesifik, inflamatori

non alergi pada mukosa hidung.6

2.14.2 Penelitian Tatsuo Sakamoto tahun 1999 pada tikus yang berjudul “Effects of

formaldehyde, as an indoor air pollutant, on the airway” menunjukkan bahwa

formaldehida menginduksi neutrofil untuk masuk pada saluran nafas dan merusak

epitel dalam waktu 60 menit inhalasi. Formaldehida dapat menarik neutrofil ke

saluran napas melalui mekanisme tachykinin NK1 receptor – mediated. Neutrofil

menyebabkan respon inflamasi, termasuk gangguan epitel saluran nafas melalui

pelepasan mediator kimia, superoxide anions atau proteases.24

2.14.3 Penelitian Kim tahun 2002 dengan judul “Effect of formaldehyde on the

expression of adhesion molecules in nasal microvascular endothelial cells: the role

of formaldehyde in the pathogenesis of sick building syndrome.” Kim meneliti efek

formaldehida pada human mucosal microvascular endothelial cells ( HMMECs ) dan

menyelidiki efek formaldehida pada adhesiveness HMMECs dengan eosinofil.

Ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) and vascular cell adhesion

molecule (VCAM-1) pada HMMECs dievaluasi dengan flow sitometri. Perubahan

ekspresi dari ICAM-1 and VCAM-1 mRNA kemudian dievaluasi dengan reverse

transcriptase polymerase chain reaction. Didapatkan hasil bahwa formaldehida

meningkatkan ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) and vascular cell

adhesion molecule (VCAM-1) pada HMMECs. Formaldehida juga menginduksi

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 48: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

31

Universitas Indonesia

ICAM-1 dan VCAM-1 mRNA. Sebagai tambahan, adhesiveness antara HMMECs

dan eosinofil juga meningkat oleh karena formaldehida. Disimpulkan bahwa studi in

vitro ini menyarankan bahwa formaldehida memiliki peran sebagai iritan pada

mukosa hidung dengan meningkatkan ekspresi adhesion molecules pada HMMECs

dan dengan merubah adhesiveness antara HMMECs dan eosinofil.5

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada penelitian

ini peneliti menggunakan sediaan dengan cara swab mukosa hidung yang dinilai

secara kuantitatif, dan sampel yang digunakan adalah pekerja yang telah bekerja

selama > 1 tahun untuk pajanan kronik.

2.15 TINJAUAN PERUSAHAAN

Penelitian dilakukan di perusahaan yang bergerak di industri kain ban ( tire

cord fabric ) dengan kapasitas produksi mencapai 19.000 ton/ tahun. Bahan baku

yang digunakan untuk produksi kain ban adalah VP Latek dan Filamen Yarn,

Perusahaan memiliki jumlah karyawan sekitar 900 orang. Pekerja di bagian dipping

sebanyak 72 orang, sedangkan di weaving sebanyak 118 orang yang dibagi menjadi 3

shift selama 24 jam.

2.15.1 Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Perusahaan telah mempunyai sistem pelaksanaan keselamatan dan kesehatan

kerja (K3). Salah satu bentuknya adalah adanya bagian khusus yang menangani

sistem K3 di perusahaan yaitu bagian Health and Safety Department yang dipimpin

oleh seorang dokter yang telah menjalani pendidikan kesehatan kerja. Perusahaan

juga telah memiliki klinik perusahaan untuk melayani pekerja yang berobat dan

menangani pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. Klinik dipimpin oleh seorang

dokter dan dibantu oleh perawat. Pelayanan yang diberikan di klinik bersifat kuratif.

Kasus – kasus yang dapat ditangani di klinik akan ditangani di klinik sedangkan

kasus-kasus yang tidak dapat ditangani akan dirujuk ke rumah sakit rujukan.

Perusahaan juga menerapkan pelaksanaan medical check up (MCU) rutin yang

diadakan setiap tahun bagi pekerja. Pelaksanaan medical check up dilakukan dengan

bekerjasama dengan pihak lain penyelenggara MCU.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 49: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

32

Universitas Indonesia

Program preventif yang telah dilakukan oleh perusahaan adalah pengukuran

formaldehida di lingkungan kerja khususnya bagian dipping. Pengukuran dilakukan

menggunakan alat pengukur yang dimiliki oleh perusahaan yaitu Alat Ukur MSA

Altair 5 X dan bekerjasama dengan pihak lain yang terstandarisasi untuk pengukuran

formaldehida di lingkungan kerja. Program preventif lainnya adalah sudah tersedia

Material Safety Data Sheet (MSDS) tentang formaldehida walaupun sosialisasi

kepada pekerja belum dilaksanakan. Sedangkan upaya promotif yang dilaksanakan

adalah adanya health talk yang dilakukan oleh bagian Health and Safety kepada

pekerja yang dilakukan pada pagi hari.

Pengendalian bahaya potensial yang telah dilakukan oleh perusahaan yang

berhubungan dengan pajanan formaldehida di dipping seperti adanya general

ventilation, penyimpanan formaldehida di unit telah disimpan di tangki yang tertutup ,

dan perusahaan juga telah memfasilitasi penggunaan alat pelindung diri berupa

masker, sarung tangan, dan safety helm.

2.15.2 Proses Produksi Kain Ban

Perusahaan menghasilkan kain ban dengan tahapan proses produksi dimulai

dengan pemintalan benang nilon dari gulungannya ( cone ) dengan kecepatan sangat

tinggi dan digulung ke klos ( Gambar 1.2 ). Kemudian benang nilon tersebut dipintal

lagi dengan cara melilit dua atau tiga benang single ply oleh cable twister. Kemudian

benang yang telat dililit akan ditenun membentuk lembaran-lembaran kain (weaving).

Kemudian kain tersebut akan digulung menjadi rol-rol yang berdiameter 500 sampai

1500 mm. Pekerja yang bekerja di bagian weaving bertugas mengawasi jalannya

mesin penenunan dan apabila terjadi benang putus atau melilit satu dengan yang lain

maka pekerja di bagian ini bertugas untuk memperbaikinya. Bahan kain ban tersebut

kemudian dicelupkan ke dalam bak celup. Bagian dipping memiliki panjang 84 meter

dan lebar 80 meter (luas 6720 m2). (Gambar 1.3). Pemintalan dan penenunan

dilakukan pada suhu 28 oC dan kelembaban relatif 65 %. Di bagian dipping

digunakan formaldehida untuk mencelupkan kain ban tersebut. Formaldehida

berfungsi untuk melunakkan dan mengawetkan serat ban. Unit dipping memiliki 3

tangki penyimpanan formaldehida yang tertutup. Di bagian dipping menggunakan

sistem kain bergerak secara vertikal. Sedangkan pengisian formaldehida pada bak

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 50: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

33

Universitas Indonesia

celup dilakukan secara manual oleh pekerja. Bagian dipping terletak bersebelahan

dengan weaving yang dipisahkan oleh tembok dan akses keluar masuk melalui pintu

masuk yang berbeda.

Gambar 1.2

Diagram Alir Pembuatan Kain Ban

BBeennaanngg NNyylloonn

PPeemmiinnttaallaann

TTuunnggggaall

PPeemmiinnttaallaann

GGaannddaa

WWeeaavviinngg

((PPeenneennuunnaann))

DDiippppiinngg

((PPeenncceelluuppaann))

KKaaiinn BBaann

BBaahhaann PPeennoolloonngg

((BBeennaanngg))

BBaahhaann PPeennoolloonngg

((CChheemmiiccaall)) LLiimmbbaahh CCaaiirr

11

22

33

44

55

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 51: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

34

Universitas Indonesia

Gambar 1.3 Proses Produksi di Bagian Pencelupan/ Dipping

Dalam penelitian ini dinilai pekerja yang bekerja di dua bagian yaitu bagian

dipping dan bagian weaving. Bagian dipping dipilih karena pekerja pada bagian ini

terpapar secara langsung oleh formaldehida. Sedangkan bagian weaving dipilih

karena memiliki karakteristik pekerja yang hampir sama dengan bagian dipping yaitu

pekerja blue collar. Pada gambar 1.2 terlihat bahwa bagian weaving adalah bagian

kerja sebelum dipping. Di bagian weaving (penenunan) tidak menggunakan bahan

kimia formaldehida namun menggunakan benang nilon.

2.16 PENGUKURAN KADAR FORMALDEHIDA

Pengukuran kadar formaldehida di udara di bagian diiping (Pencelupan) yang

dilaksanakan pada tanggal 18 desember 2012 dengan menggunakan alat ukur MSA

Altair 5 X yang dimiliki oleh perusahaan didapatkan hasil 0,2 ppm di dip unit 1 dan

0,1 ppm di dip unit 2. Hasil pengukuran masih berada di bawah nilai ambang batas

berdasarkan OSHA yaitu 0,75 ppm.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 52: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

35

Universitas Indonesia

2.17 KERANGKA TEORI

Mukosa Hidung Formaldehida

MHC klas II

Sel Th 0

0

(TCR + CD4)0

(TCR + CD4)

MHC klas II + ligand

APC

Jumlah APC Mukosa

Hidung

Jumlah sel Th2 ( Kadar IL3, IL4, IL5, IL 13 )

0

(TCR + CD4)0

(TCR + CD4)

MHC klas II + ligand APC

Jumlah Eosinofil

darah

0

(TCR + CD4)0

(TCR + CD4)

MHC klas II +

ligand APC

Sel Limfosit B

0

(TCR + CD4)0

(TCR + CD4)

MHC klas II +

ligand APC

IgE

0

(TCR + CD4)0

(TCR + CD4)

MHC klas II +

ligand APC

Basofil

0

(TCR + CD4)0

(TCR + CD4)

MHC klas II + ligand APC

Histamin

0

(TCR + CD4)0

(TCR + CD4)

MHC klas II +

ligand APC

Riwayat Atopi

Lama Kerja

Masa Kerja

Alat Pelindung diri

Usia

Jenis Kelamin

Merokok

Olahraga

Eosinofil dan Neutrofil di

Jaringan Target

0

(TCR + CD4)0

(TCR + CD4)

MHC klas II + ligand APC

Mastosit

0

(TCR + CD4)0

(TCR + CD4)

MHC klas II + ligand APC

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 53: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

36

Universitas Indonesia

2.18 KERANGKA KONSEP

Terpajan Formaldehida Eosinofil Swab

Hidung

Neutrofil Swab

Hidung

Demografi

Usia

Riwayat Atopi

Individu

Kebiasaan

Merokok

Kebiasaan

Olahraga

Pekerjaan

Masa Kerja

Penggunaan Alat

Pelindung diri

Kadar Formaldehida

di udara

Tidak Terpajan

Formaldehida

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 54: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

37

Universitas Indonesia

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian pajanan formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil swab

hidung pada pekerja industri kain ban merupakan penelitian kuantitatif dengan

menggunakan desain cross sectional comparative. yaitu dengan

membandingkan kelompok pekerja di bagian dipping yang terpajan

formaldehida dengan kelompok pekerja di bagian weaving yang tidak

terpajan formaldehida.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian adalah perusahaan kain ban

Waktu penelitian adalah September 2013 – Januari 2015

3.3 Populasi Penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah pekerja pada industri kain ban

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pekerja laki-laki pada industri

kain ban di bagian dipping dan di bagian weaving.

3.4 Sampel

3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Berstatus sebagai pekerja pada industri kain ban

2. Pekerja laki-laki

3. Pekerja telah bekerja > 1 tahun 4

4. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani informed

consent

3.4.2 Kriteria Eksklusi

Pekerja yang sedang dalam pengobatan : anti histamin, steroid,

dekongestan, atau antibiotik dalam waktu 24 jam

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 55: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

38

Universitas Indonesia

Pekerja yang sedang menderita Rhinitis (berdasarkan definisi dari Allergic

Rhinitis and its Impact on Asthma/ARIA 2008 update yaitu sebuah

inflamasi dari hidung dengan karakteristik gejala hidung meliputi

rhinorhea, bersin, sumbatan hidung dan atau gatal-gatal pada hidung yang

berlangsung > 2 hari per minggu dengan lebih dari 1 jam setiap harinya.)25

3.4.3 Kriteria drop out

Responden tidak dapat melanjutkan keikutsertaan/ mengundurkan diri dari

penelitian

3.4.4 Perhitungan besar sampel 26

Besarnya sampel yang diperlukan dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis

terhadap 2 proporsi dua kelompok independent

n1 : kelompok yang terpajan

n2 : kelompok yang tidak terpajan

Zα : Kesalahan tipe 1 yang ditetapkan sebesar 5 %, yaitu 1,96

Zβ : Kesalahan tipe 2 yang ditetapkan sebesar 5 %, yaitu 1,645

P1 : Proporsi efek yang diteliti yaitu eosinofil positif pada terpajan27

: 77,8%

P2 : Proporsi efek standar yaitu eosinofil positif pada tidak terpajan27

: 40,9 %

P1 – P2 : selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna = 36,9%

P : Proporsi total = (P1+P2)/2 = 59,35 %

Q : 1 – P : 40,65

Q1 : 1 – P1 = 1 – 0,778 = 0,222

Q2 : 1 – P2 = 1 – 0,409 = 0,591

2)

2

21

2βα

P(P)P2Q2P1Q1z(z

n2 n1PQ

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 56: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

39

Universitas Indonesia

Besar sampel

n1 = n2 = {z (2PQ) + zβ (P1Q1 + P2Q2)}2

(P1 –P2)2

= ( 1,96 2 x 0,593x 0,407 + 1,645 0,778 x 0,222+ 0,409x0,591 )2

(0,778 – 0,409)2

= 2,4432

0,3692

= 43,85 = 44

Besar sampel minimal masing-masing kelompok adalah = 44 sampel.

n1 = n2 = 44 sampel dan perkiraan drop out adalah 20%. maka Total sampel

adalah 44 x 2 = 88 + 20% ( perkiraan drop out ) = 106 sampel.

Namun dikarenakan jumlah populasi terpajan formaldehida di bagian

pencelupan ( dipping ) sebanyak 72 pekerja maka keseluruhan pekerja akan

dijadikan sampel pada penelitian ini dan sebanyak 72 pekerja di bagian

penenunan ( weaving ) akan dijadikan sampel populasi tidak terpajan

formaldehida.

3.4.4 Cara Pengambilan sampel

Cara Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan total

population pada kelompok pencelupan (dipping) dan simple random sampling

pada kelompok penenunan (weaving).

3.5 Sumber data

Variabel dependen : eosinofil dan neutrofil swab hidung

Variabel Independen : faktor usia, riwayat atopi, kebiasaan merokok,

kebiasaan olahraga, masa kerja, penggunaan alat pelindung diri dan

pengukuran kadar formaldehida lingkungan.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 57: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

40

Universitas Indonesia

3.5.1 Variabel data primer

Diperoleh melalui wawancara dan kuesioner terhadap responden

Data Primer yaitu :

a. Menentukan faktor-faktor demografi ( usia, riwayat atopi ), individu (

kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga ) dan faktor pekerjaan ( masa

kerja dan penggunaan alat pelindung diri ) dengan wawancara dan

kuesioner.

b. Data hasil pemeriksaan eosinofil dan neutrotil swab hidung.

3.5.2 Variabel data Sekunder

Data sekunder yaitu : hasil pengukuran kadar formaldehida di lingkungan

kerja didapat dari perusahaan.

3.5.3 Batasan Operasional

Tabel 3.1 Batasan Operasional Penelitian Pajanan Formaldehida Terhadap Eosinofil

dan Neutrofil Swab Hidung Pada Pekerja Industri Kain Ban

No Variabel Alat

Ukur

Cara pengukuran Skala

1 Eosinofil

mukosa

hidung

Data

Primer

dengan melakukan kerokan pada permukaan

konka inferior menggunakan kuret

Arlington. Sediaan diperiksa di mikroskop

dengan pembesaran 100 x per 10 lapangan

pandang. Hasil21

:

Derajat 0 : jumlah sel 0

Derajat 1/2+ : jumlah sel 0,1 – 1,0

Derajat 1 + : jumlah sel 1,1 – 5,0

Derajat 2 + : jumlah sel 6,0 – 15,0

Derajat 3 + : jumlah sel 16,0 – 20,0

Derajat 4 + : jumlah sel > 20.

Kategorik

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 58: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

41

Universitas Indonesia

2

3

4

5

6

Neutrofil

mukosa

hidung

Usia

Riwayat

Atopi

Masa

Kerja

APD

Data

Primer

Data

Primer

Data

Primer

Data

Primer

Data

primer

dengan melakukan kerokan pada permukaan

konka inferior menggunakan kuret

Arlington. Sediaan diperiksa di mikroskop

dengan pembesaran 100 x per 10 lapangan

pandang. Hasil21

:

Derajat 0 : jumlah sel 0

Derajat 1/2+ : jumlah sel 0,1 – 1,0

Derajat 1 + : jumlah sel 1,1 – 5,0

Derajat 2 + : jumlah sel 6,0 – 15,0

Derajat 3 + : jumlah sel 16,0 – 20,0

Derajat 4 + : jumlah sel > 20.

Dengan kuesioner dilihat dari selisih usia

pekerja ( tanggal lahir pada KTP ) dengan

waktu dilaksanakannya penelitian.

Hasil : Mean/ Median

Min-Max

Riwayat atopi diketahui melalui wawancara

riwayat salah satu dari gejala asma

bronkialis, rinitis alergi, konjungtivitis

alergi atau dermatitis atopi.18

0 = Tidak

1 = Ya

Jumlah bilangan Dalam tahun masa kerja di

perusahaan tersebut.

Hasil : Mean/ Median

Min-Max

Penggunaan alat pelindung diri oleh pekerja

0 = Ya, setiap hari

1 = Tidak setiap hari

2 = Tidak pernah

Kategorik

numerik

Kategorik

Numerik

Kategorik

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 59: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

42

Universitas Indonesia

7

8

9

Merokok

Olahraga

Formal

dehida

lingku

ngan

data

primer

Data

Primer

Data

primer

Kategori perokok menggunakan indeks

Brinkman (IB), yakni perkalian antara

jumlah rata-rata batang rokok yang

dihisap sehari dikalikan lama merokok

dalam tahun.

Dibagi men jadi :

0 = tidak merokok

1 = ringan jika merokok 1-200 batang,

2 = sedang jika merokok 201-600 batang,

3 = berat jika merokok 601 batang atau

lebih

Kategori olahraga menggunakan

perhitungan frekuensi berolahraga dalam

satu minggu secara rutin.

Dibagi menjadi

0 = tidak pernah

berolahraga sama sekali

1 = olahraga 1-2x/minggu

2 = ≥ 3x/minggu

Pajanan formaldehid eksogen

0 = weaving (penenunan)

1 = dipping (pencelupan)

Kategorik

Kategorik

Kategorik

3.5.4 Cara Pengumpulan data

Cara pengumpulan data pada penelitian ini antara lain untuk data eosinofil dan

neutrofil didapat dengan melakukan swab hidung langsung pada pekerja di

perusahaan. Kemudian sampel yang telah difiksasi di bawa ke laboratorium Patologi

Klinik bagian hematologi untuk dilakukan pemeriksaan jumlah eosinofil dan

neutrofil. Data – data lain seperti data usia, riwayat atopi, masa kerja, penggunaan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 60: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

43

Universitas Indonesia

APD, kebiasaan merokok dan kebiasaan olahraga didapat dari pengisian kuesioner.

Sedangkan pengukuran kadar formaldehid lingkungan didapat dari perusahaan

melalui pengukuran secara tidak langsung yaitu menggunakan gas chromatografi

dengan kerjasama laboaratorium MIPA Universitas Indonesia yang dilakukan pada

bulan November 2013 dan Maret 2014.

3.5.5 Cara Analisis Data

Analisis data menggunakan SPSS 20.0 melalui beberapa tahap, sebagai

berikut :

Analisis univariat terhadap variabel independen dan dependen untuk

melihat distribusi frekuensi. Data numerik disajikan dalam bentuk mean ± sd

jika distribusi normal dan median (min-max) jika distibusi tidak normal. Data

kategorik disajikan dalam bentuk proporsi/ persentase

Analisis bivariat untuk mencari hubungan variabel independen dengan

dependen dengan uji statistik yang sesuai dengan skala data yang ada.

Analisis multivariat dengan regresi logistik untuk melihat hubungan variabel

independen manakah yang paling dominan.

3.6 Etika Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer, dimana pekerja

dan data hasil penelitian dirahasiakan dan hanya digunakan untuk kepentingan

penelitian ini. Penelitian dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari komisi

etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia surat nomor 554/ H2.F1/ Etik/ 2013.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 61: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

44

Universitas Indonesia

3.7 Alur Penelitian

Verifikasi data pekerja

Kriteria Inklusi

Kriteria Ekslusi

Sampel

Kelompok dipping

(pencelupan)

Kelompok weaving

(penenunan)

Pemeriksaan swab hidung, usia, riwayat atopi,

Pemakaian APD, masa kerja, merokok, olahraga

Analisis Data

Tidak

Ya

Ya

Populasi

Entry Data dan Verifikasi Elektronik

Tidak

Tidak Ikut

Penelitian

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 62: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

45

Universitas Indonesia

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Pengukuran Formaldehida Lingkungan

Pengukuran kadar formaldehida di tempat kerja dilakukan melalui 2 tahap

yaitu pada bulan November 2013 dan bulan Maret 2014. Pengukuran dilakukan oleh

Lab Afiliasi Kimia Universitas Indonesia. Pengukuran dilakukan di bagian dipping (

pencelupan ) yang terpajan dengan formaldehida. Sedangkan bagian weaving (

penenunan) tidak menggunakan bahan kimia, namun terdapat pajanan benang nilon.

Pengukuran formaldehida lingkungan hanya dilakukan di bagian dipping terkait

masalah perizinan pengukuran oleh perusahaan oleh karena di bagian weaving tidak

ada pajanan bahan kimia.

Hasil pengukuran bulan November 2013 di bagian dipping ( pencelupan )

dengan menggunakan metode GC-FID ( Gas Chromatography-Flame Ionization

Detector) didapatkan hasil kadar formaldehida lingkungan sebesar < 4 ug/mL.

Hasil Pengukuran bulan Maret 2014 dengan menggunakan metode NIOSH 3500 di

bagian dipping ( pencelupan ) didapatkan hasil 0,032 mg/m3. Kedua hasil tersebut

masih berada di bawah nilai ambang batas berdasarkan OSHA yaitu 0,75 ppm.

4.2 Proses Pengumpulan data

Pengumpulan data penelitian dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan

Medical Check Up rutin perusahaan yaitu pada tanggal 3 Maret 2014 sampai

dengan 14 Maret 2014. Data diambil di bagian dipping ( pencelupan ) dan weaving (

penenunan ) setelah pekerja menandatangani informed consent/ lembar persetujuan.

Penelitian ini dilakukan bersama dengan 3 penelitian lainnya yang berjudul :

Hubungan Antara Pajanan Formaldehida Dengan Fungsi Kognitif Pada Pekerja

Industri Kain Ban”, Hubungan Pajanan Formaldehida Dengan Jumlah Leukosit,

Hitung Jenis Dan Morfologinya Pada Pekerja Industri Kain Ban , dan “Hubungan

Antara Pajanan Formaldehida dengan Kadar Cystatin C Serum”.

Proses pengumpulan data dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku di

perusahaan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah semua pekerja di

bagian dipping yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 63: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

46

Universitas Indonesia

eksklusi. Sementara di bagian weaving, sampel diambil dengan random sampling

menggunakan program SPSS dengan jumlah yang sama dengan pekerja di bagian

dipping. Proses pemeriksaan berkala diawali dengan pendaftaran, kemudian pekerja

mengisi kuesioner, pekerja diambil darah oleh petugas laboratorium, pengumpulan

urin, pemeriksaan fisik, pemeriksaan swab hidung, pemeriksaan spirometri, rekam

jantung, pemeriksaan rontgen dan terakhir verifikasi data oleh petugas MCU.

Sebelum pemeriksaan swab hidung peneliti menjelaskan terlebih dahulu kepada

pekerja mengenai maksud,tujuan, dan proses pemeriksaan, kemudian peneliti

menanyakan kesediaan pekerja untuk dilakukan pemeriksaan . Pekerja yang setuju

dilakukan pemeriksaan swab hidung kemudian diminta menandatangani lembar

persetujuan. Setelah menandatangani lembar persetujuan, subjek penelitian akan

mengikuti beberapa prosedur pemeriksaan yaitu pengumpulan dan verifikasi data

kuesioner, dan pemeriksaan swab hidung. Preparat pemeriksaan swab hidung

difiksasi oleh metanol, dan diwarnai di lokasi penelitian. Pewarnaan dilakukan oleh

analis laboratorium. Preparat yang telah diwarnai kemudian dibawa ke laboratorium

untuk diperiksa oleh dokter spesialis patologi klinik dan kemudian data divalidasi

oleh dokter spesialis patologi klinik RSCM.

4.3 Pengolahan data

Besar sampel minimum adalah 44 sampel pada masing-masing kelompok..

Total sampel penelitian ( gambar 4 ) adalah 100 sampel yang memenuhi kriteria

inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi yang terdiri dari 50 responden di

bagian dipping dan 50 responden di bagian weaving. Sampel yang didapat pada

penelitian ini memenuhi besar sampel minimum dari hasil perhitungan. Data

kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 64: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

47

Universitas Indonesia

Gambar 4.1 Cara pengumpulan sampel

4.4 Karakteristik Responden

Dari 100 responden yang diperiksa di bagian dipping dan weaving

seluruhnya adalah laki-laki, nilai tengah usia adalah 45,5 tahun dengan responden

termuda berusia 19 tahun dan responden tertua berusia 55 tahun (tabel 4.3)

Gambaran eosinofil dan neutrofil (tabel 4.1) didapatkan hasil kategori

eosinofil terbanyak adalah eosinofil derajat 0 sebanyak 70 responden (70 %). Tidak

ada responden dengan eosinofil derajat 3+ dan 4+. Gambaran neutrofil didapatkan

hasil kategori neutrofil terbanyak adalah neutrofil dengan derajat 1+ sebanyak 52

responden (52%). Tidak ada responden dengan neutrofil derajat 3+ dan 4+

Dipping

(Pencelupan)

72 responden

Weaving

(Penenunan)

118 responden

Memenuhi kriteria inklusi

Tidak memenuhi kriteria

eksklusi

50 responden 79 responden

50 responden 50 responden

Simple random

sampling

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 65: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

48

Universitas Indonesia

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Eosinofil dan Neutrofil

No Variabel Kategori n %

1 Eosinofil

Derajat 0

Derajat ½ +

Derajat 1 +

Derajat 2 +

70

10

16

4

70

10

16

4

2 Neutrofil

Derajat 0

Derajat ½ +

Derajat 1 +

Derajat 2 +

20

8

52

20

20

8

52

20

Gambaran eosinofil dan neutrofil di bagian weaving dan dipping terlihat pada tabel

4.2.Bagian weaving lebih banyak eosinofil derajat 1 (56,3%) dan neutrofil derajat

½+ (62,5%), serta neutrofil derajat 2+ (60%). Sedangkan di bagian dipping lebih

banyak eosinofil derajat 0 (51,4%) dan neutrofil derajat 1+ (55,8%).

Tabel 4.2 Gambaran Eosinofil dan Neutrofil di Weaving dan Dipping

No Variabel Kategori Weaving

n (%)

Dipping

n (%)

Total

n (%)

1 Eosinofil

Derajat 0

Derajat ½ +

Derajat 1 +

Derajat 2 +

34 (48,6%)

5 (50%)

9 (56,3%)

2 (50%)

36 (51,4%)

5 (50%)

7 (43,8%)

2 (50%)

70 (100%)

10 (100%)

16 (100%)

4 (100%)

2 Neutrofil

Derajat 0

Derajat ½ +

Derajat 1 +

Derajat 2 +

10 (50%)

5 (62,5%)

23 (44,2%)

12 (60%)

10 (50%)

3 (37,5%)

29 (55,8%)

8 (40%)

20 (100%)

8 (100%)

52 (100%)

20 (100%)

Karakteristik responden berdasarkan faktor demografi yaitu riwayat atopi

sebanyak 95 % responden tidak memiliki riwayat atopi (tabel 4.3).

Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Demografi

No Variabel Kategori Median

Min – Max

n %

1 Usia

45,5 tahun

19 tahun – 55 tahun

2 Riwayat atopi Tidak

Ya

95

5

95

5

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 66: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

49

Universitas Indonesia

Karakteristik responden berdasarkan faktor individu ( tabel 4.4 ) yaitu

kebiasaan merokok didapatkan responden terbanyak tidak memiliki kebiasaan

merokok yaitu sebanyak 43 responden (43 %). Sedangkan berdasarkan kebiasaan

olahraga didapatkan responden terbanyak memiliki kebiasaan olahraga 1-2 kali/

minggu sebanyak 56 responden (56 %).

Karakteristik responden berdasarkan faktor pekerjaan ( tabel 4.5 )

didapatkan nilai tengah masa kerja responden adalah 22 tahun dan responden

terbanyak tidak setiap hari menggunakan alat pelindung diri sebanyak 58 responden

( 58% ).

Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Individu

No Variabel Kategori n %

1

2

Kebiasaan merokok

Kebiasaan Olahraga

Tidak Merokok

Perokok Ringan

Perokok Sedang

Perokok Berat

> 3 kali/ minggu

1-2 kali/ minggu

Tidak pernah

43

41

15

1

7

56

37

43

41

15

1

7

56

37

Tabel 4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Pekerjaan

No Variabel Kategori Median

Min – Max

n %

1 Masa Kerja

22 tahun

1 tahun – 29 tahun

2 Penggunaan Alat

Pelindung Diri

Setiap hari

Tidak setiap hari

Tidak Pernah

23

58

19

23

58

19

Karakteristik responden berdasarkan pajanan formaldehida ( tabel 4.6 )

memiliki jumlah responden yang sama besar yaitu 50 responden (50%) di bagian

weaving ( penenunan ) dan 50 responden (50%) di bagian dipping ( pencelupan ).

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 67: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

50

Universitas Indonesia

Tabel 4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pajanan Formaldehida

No Variabel n %

1

2

Weaving (Penenunan)

Dipping (Pencelupan)

50

50

50

50

Dari tabel 4.7 dapat terlihat bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara responden

yang bekerja di bagian dipping dan weaving berdasarkan usia, riwayat atopi,

merokok, merokok, olahraga dan penggunaan APD. Hanya variabel masa kerja

yang memiliki perbedaan yang bermakna (p 0,043) antara bagian weaving dan

dipping. Di bagian weaving lebih banyak masa kerja > 22 tahun (68%) sedangkan

dipping lebih banyak dengan masa kerja < 22 tahun (52%).

Tabel 4.7 Uji Kesetaraan Bagian Dipping dan Weaving

No Variabel Kategori Weaving

n ( % )

Dipping

n ( % )

p

1

Usia 0

1

< 45 tahun

> 45 tahun

25 (50%)

25 (50%)

25 (50%)

25 (50%)

1,000

2

3

4

5

6

Riwayat

Atopi

Merokok

Olahraga

Masa

Kerja

APD

0

1

0

1

0

1

0

1

0

1

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

< 22 tahun

> 22 tahun

Ya

Tidak

47 (94%)

3 (6%)

25 (50%)

25 (50%)

30 (60%)

20 (40%)

16 (32%)

34 (68%)

44 (88%)

6 (12%)

48 (96%)

2 (4%)

18 (36%)

32 (64%)

33 (66%)

17 (34%)

26 (52%)

24 (48%)

37 (74%)

13 (26%)

1,000

0,157

0,534

0,043 *

0,074

* terdapat hubungan yang bermakna ( p<0,05 )

Pada tabel 4.8 dan tabel 4.9 terlihat bahwa pada kelompok weaving

didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara variabel

independent yaitu usia, riwayat atopi, merokok, kebiasaan olahraga, masa kerja, dan

penggunaan alat pelindung diri terhadap eosinofil dan neutrofil.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 68: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

51

Universitas Indonesia

Tabel 4.8 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil di Bagian

Weaving

No Variabel Kategori Eosinofil

( - )

n ( % )

Eosinofil

( + )

n ( % )

p

1

Usia 0

1

< 45 tahun

> 45 tahun

17 (50%)

17 (50%)

8 (50%)

8 (50%)

1,000

2

3

4

5

6

Riwayat

Atopi

Merokok

Olahraga

Masa

Kerja

APD

0

1

0

1

0

1

0

1

0

1

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

< 22 tahun

> 22 tahun

Ya

Tidak

32 (94,1%)

2 (5,9%)

16 (47,1%)

18 (52,9%)

20 (58,8%)

14 (41,2%)

12 (35,3%)

22 (64,7%)

30 (88,2%)

4 (11,8%)

15 (93,8%)

1 (6,3%)

9 (56,3%)

7 (43,8%)

10 (62,5%)

6 (37,5%)

4 (25%)

12 (75%)

14 (87,5%)

2 (12,5%)

1,000

0,544

0,804

0,467

1,000

Tabel 4.9 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil di Bagian

Weaving

No Variabel Kategori Neutrofil

( - )

n ( % )

Neutrofil

( + )

n ( % )

p

1

Usia 0

1

< 45 tahun

> 45 tahun

6 (60%)

4 (40%)

19 (47,5%)

21 (52,5%)

0,480

2

3

4

5

6

Riwayat

Atopi

Merokok

Olahraga

Masa

Kerja

APD

0

1

0

1

0

1

0

1

0

1

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

< 22 tahun

> 22 tahun

Ya

Tidak

8 (80%)

2 (20%)

6 (60%)

4 (40%)

8 (80%)

2 (20%)

4 (40%)

6 (60%)

9 (90%)

1 (10%)

39 (97,5%)

1 (2,5%)

19 (47,5%)

21 (52,5%)

22 (55%)

18 (45%)

12 (30%)

28 (70%)

35 (87,5%)

5 (12,5%)

0,098

0,480

0,279

0,707

1,000

Pada kelompok dipping (tabel 4.10 dan tabel 4.11) didapatkan tidak ada

hubungan yang bermakna antara variabel independent terhadap eosinofil. Hubungan

yang bermakna hanya kebiasaan merokok terhadap neutrofil (p 0,002).

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 69: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

52

Universitas Indonesia

Tabel 4.10 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil di Bagian

Dipping

No Variabel Kategori Eosinofil

( - )

n ( % )

Eosinofil

( + )

n ( % )

p

1

Usia 0

1

< 45 tahun

> 45 tahun

18 (50%)

18 (50%)

7 (50%)

7 (50%)

1,000

2

3

4

5

6

Riwayat

Atopi

Merokok

Olahraga

Masa

Kerja

APD

0

1

0

1

0

1

0

1

0

1

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

< 22 tahun

> 22 tahun

Ya

Tidak

35 (97,2%)

1 (2,8%)

14 (38,9%)

22 (61,1%)

23 (63,9%)

13 (36,1%)

19 (52,8%)

17 (47,2%)

26 (72,2%)

10 (27,8%)

13 (92,9%)

1 (7,1%)

4 (28,6%)

10 (71,4%)

10 (71,4%)

4 (28,6%)

7 (50%)

7 (50%)

11 (78,6%)

3 (3,6%)

0,486

0,495

0,746

0,860

0,734

Tabel 4.11 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil di Bagian

Dipping

No Variabel Kategori Neutrofil

( - )

n ( % )

Neutrofil

( + )

n ( % )

p

1

Usia 0

1

< 45 tahun

> 45 tahun

4 (40%)

6 (60%)

21 (52,5%)

19 (47,5%)

0,480

2

3

4

5

6

Riwayat

Atopi

Merokok

Olahraga

Masa

Kerja

APD

0

1

0

1

0

1

0

1

0

1

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

< 22 tahun

> 22 tahun

Ya

Tidak

10 (100%)

0 (0%)

8 (80%)

2 (20%)

7 (70%)

3 (30%)

4 (40%)

6 (60%)

5 (50%)

5 (50%)

38 (95%)

2 (5%)

10 (25%)

30 (75%)

26 (65%)

14 (35%)

22 (55%)

18 (45%)

32 (80%)

8 (20%)

1,000

0,002 *

1,000

0,490

0,101

* terdapat hubungan yang bermakna (p<0,05)

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 70: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

53

Universitas Indonesia

4.5 Analisis Bivariat

4.5.1 Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil

Analisis bivariat menggunakan uji chi square atau fisher yang disajikan pada

tabel 4.12, didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel

independen terhadap eosinofil.

Tabel 4.12 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil

No Variabel Kategori Eosinofil

( - )

n ( % )

Eosinofil

( + )

n ( % )

OR CI p

1

2

Formal

dehida

Usia

0

1

0

1

Weaving

Dipping

< 45 tahun

> 45 tahun

34 (68,0)

36 (72,0)

35 (70)

35 (70)

16 (32,0)

14 (28,0)

15 (30)

15 (30)

0,826

1,000

0,351 - 1,947

0,425 - 2,352

0,663

1,000

3

4

5

6

7

Riwayat

Atopi

Merokok

Olahraga

Masa

Kerja

APD

0

1

0

1

0

1

0

1

0

1

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

< 22 tahun

> 22 tahun

Ya

Tidak

67 (70,5)

3 (60,0)

30 (69,8)

40 (70,2)

43 (68,3)

27 (72,0)

31 (73,8)

39 (67,2)

56 (69,1)

14 (73,7)

28 (29,5)

2 (40,0)

13 (30,2)

17 (29,7)

20 (31,7)

10 (27,0)

11 (26,2)

19 (32,8)

25 (30,9)

5 (26,3)

1,595

0,981

0,796

1,373

0,800

0,253 - 10,072

0,414 - 2,326

0,324 - 1,956

0,570 - 3,309

0,260 - 2,463

0,635

0,965

0,619

0,479

0,697

4.5.2 Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil

Analisis bivariat menggunakan uji chi square atau fisher yang disajikan pada

tabel 4.13, didapatkan hubungan yang bermakna antara variabel merokok terhadap

neutrofil

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 71: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

54

Universitas Indonesia

Tabel 4.13 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil

No Variabel Kategori Neutrofil

( - )

n ( % )

Neutrofil

( + )

n ( % )

OR CI p

1

2

Formal

dehida

Usia

0

1

0

1

Weaving

Dipping

< 45 tahun

> 45 tahun

10 (20,0)

10 (20,0)

10 (20)

10 (20)

40 (80,0)

40 (80,0)

40 (80)

40 (80)

1,000

1,000

0,375 - 2,664

0,375 - 2,664

1,000

1,000

3

4

5

6

7

Riwayat

Atopi

Merokok

Olahraga

Masa

Kerja

APD

0

1

0

1

0

1

0

1

0

1

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

< 22 tahun

> 22 tahun

Ya

Tidak

18 (18,9)

2 (40,0)

14 (32,6)

6 (10,5)

15 (23,8)

5 (13,5)

8 (19)

12 (20,7)

14 (17,3)

6 (31,6)

77 (81,1)

3 (60,0)

29 (67,4)

51 (89,5)

48 (76,2)

32 (86,5)

34 (81)

53 (79,3)

67 (82,7)

13 (68,4)

0,351

4,103

2,000

0,902

0,453

0,055 - 2,255

1,422 - 11,837

0,661 - 6,048

0,332 - 2,448

0,147 - 1,396

0,261

0,006 *

0,214

0,839

0,202

* terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik ( p < 0,05 )

4.5.3 Gambaran dan Hubungan formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil

(tabel 4.12 dan tabel 4.13)

Hubungan kadar formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil didapatkan

tidak ada hubungan bermakna antara kadar formaldehida dengan eosinofil ( OR

0,826 ; CI 0,351-1,947; nilai p 0,663 ) dan neutrofil ( OR 1,000 ; CI 0,375 – 2,664 ;

nilai p 1,000 ) swab hidung. Walaupun tidak bermakna namun eosinofil positif lebih

banyak pada responden yang bekerja di area weaving yang tidak terpajan

formaldehida ( 32%) dibandingkan area dipping yang terpajan formaldehida (28%).

4.5.4 Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil dan neutrofil

Hubungan faktor demografi berdasarkan usia dengan titik potong usia 45

tahun didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia terhadap eosinofil

( OR 1,000 ; CI 0,425-2,353 ; nilai p 1,000 ) dan neutrofil ( OR 1,000 ; CI 0,375-

2,664 ; nilai p 1,000 ) swab hidung. Didapatkan jumlah eosinofil dan neutrofil

positif sama besar pada kedua kelompok usia ( tabel 4.12 dan 4.13 ).

Hubungan faktor demografi berdasarkan riwayat atopi didapatkan tidak ada

hubungan bermakna antara riwayat atopi dengan eosinofil (OR 1,595 ;CI 0,253-

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 72: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

55

Universitas Indonesia

10,072; nilai p 0,635) dan neutrofil (OR 0,351 ;CI 0,055 - 2,255 ; nilai p 0,261)

swab hidung. Persentase eosinofil positif lebih banyak pada responden yang

memiliki riwayat atopi yaitu 2 dari 5 orang (40%) dibanding yang tanpa riwayat

atopi (29,5%). Sebaliknya neutrofil positif lebih banyak pada responden tanpa

riwayat atopi (81,1%).(tabel 4.12 dan 4.13).

4.5.5 Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil dan neutrofil

(tabel 4.12 dan tabel 4.13)

Hubungan faktor individu berdasarkan kebiasaan merokok didapatkan tidak

ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok terhadap eosinofil ( OR 0,981 ;

CI 0,414-2,326 ; nilai p 0,965 ).

Terhadap neutrofil, didapatkan terdapat hubungan bermakna antara

kebiasaan merokok terhadap neutrofil ( OR 4,103 ; CI 1,422 – 11,837 ; nilai p 0,006

). Terlihat bahwa neutrofil positif lebih banyak pada responden yang merokok

(89,5%) dibandingkan yang tidak merokok (67,4%). Tabel 4.11 menunjukkan

bahwa pada bagian dipping terdapat perbedaan yang bermakna antara merokok

dengan neutrofil dengan nilai p 0,002.

Berdasarkan kebiasaan olahraga didapatkan tidak ada hubungan bermakna

antara kebiasaan olahraga terhadap eosinofil ( OR 0,796 ; CI 0,324 – 1,956 ; nilai p

0,619 ) dan neutrofil ( OR 2,000 ; CI 0,661 – 6,048 ; nilai p 0,214 ) swab hidung.

Walaupun tidak bermakna namun eosinofil positif lebih banyak pada responden

yang memiliki kebiasaan olahraga ( 31,7% ). Sedangkan neutrofil positif lebih

banyak pada responden yang tidak memiliki kebiasaan olahraga (86,5%).

4.5.6 Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil dan neutrofil

(tabel 4.12 dan tabel 4.13)

Hubungan faktor pekerjaan berdasarkan masa kerja didapatkan tidak ada

hubungan yang bermakna antara masa kerja terhadap eosinofil ( OR 1,373 ; CI

0,570 – 3,309 ; nilai p 0,479 ) dan neutrofil ( OR 0,902 ; CI 0,332-2,448 ; nilai p

0,839 ) swab hidung. Walaupun tidak bermakna namun eosinofil positif lebih

banyak pada responden dengan masa kerja > 22 tahun ( 32,8% ) dibandingkan < 22

tahun (26,2%), sedangkan neutrofil positif lebih banyak pada responden dengan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 73: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

56

Universitas Indonesia

masa kerja < 22 tahun ( 81%). Dari tabel uji kesetaraan didapatkan bahwa masa

kerja berbeda bermakna antara bagian dipping dan weaving dengan nilai p 0,043 di

mana responden dengan masa kerja < 22 tahun lebih banyak di dipping (52%)

sedangkan masa kerja > 22 tahun lebih banyak di weaving (tabel 4.7).

Hubungan faktor pekerjaan berdasarkan penggunaan alat pelindung diri

didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung

diri terhadap eosinofil ( OR 0,800 ; CI 0,260 – 2,463 ; nilai p 0,697 ) dan neutrofil (

OR 0,453 ; CI 0,147 – 1,396 ; nilai p 0,202 ) swab hidung. Walaupun tidak

bermakna namun eosinofil dan neutrofil positif lebih banyak pada responden yang

memiliki kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (30,9% dan 82,7%).

4.6 Analisis Multivariat

Analisis multivariat ( tabel 4.14 ) berdasarkan variabel independent yang

memiliki nilai p < 0,25 dari analisis bivariat kemudian dimasukkan ke dalam model

multivariat. Faktor yang mempengaruhi eosinofil didapatkan tidak ada faktor

independen dengan nilai p < 0,25. Sedangkan terhadap neutrofil, faktor independent

dengan nilai p < 0,25 adalah merokok ( p : 0,006 ), tidak olahraga ( p : 0,214 ), dan

tidak menggunakan APD ( p : 0,202 ). Analisis mulivariat dengan menggunakan uji

regresi logistik. Hasil analisis multivariat didapatkan hasil dari keseluruhan faktor

independent yang diduga mempengaruhi jumlah neutrofil, faktor kebiasaan

merokok merupakan faktor yang dominan mempengaruhi neutrofil dengan OR

4,914 CI 1,517-14,440; p 0,007 ( p < 0,05 ), yang berarti responden dengan

kebiasaan merokok mempunyai peluang 4,680 kali menyebabkan neutrofil positif.

Tabel 4.14 Analisis Multivariat Faktor Yang Mempengaruhi Neutrofil Swab Hidung

No Variabel B adjusted OR CI p

1

2

3

Merokok

Tidak Olahraga

Tidak Memakai APD

Constant

1,543

0,622

-1,180

0,738

4,680

1,863

0,307

2,092

1,517 – 14,440

0,579 – 6,007

0,088 – 1,079

0,007

0,297

0,065

0,051

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 74: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

57

Universitas Indonesia

Pada penelitian ini didapatkan hasil tambahan yaitu jumlah penderita rhinitis

dan responden yang minum obat yang digunakan sebagai kriteria eksklusi. Dari 72

pekerja di dipping didapatkan 16 pekerja (22,2%) menderita rhinitis dan 14 pekerja

(19,4%) minum obat. Sedangkan dari 118 pekerja di weaving didapatkan 14

(11,8%) menderita rhinitis dan 8 pekerja (6,7%) minum obat.

Hasil tambahan lainnya yaitu gambaran mikroskopik eosinofil dan neutrofil

seperti terlihat pada tabel 4.15 di mana sebagian besar eosinofil mengalami

degranulasi (90%) sedangkan neutrofil utuh (100%).

Tabel 4.15 Gambaran Miskroskopik Eosinofil dan Neutrofil

No Variabel Kategori n %

1

2

Eosinofil

Neutrofil

Utuh

Degranulasi

Utuh

Degranulasi

3

27

80

0

10%

90%

100%

0

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 75: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

58

Universitas Indonesia

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Keterbatasan Penelitian

Pengukuran formaldehida hanya dilakukan di bagian dipping yang

berdasarkan proses kerjanya menggunakan bahan kimia formaldehida sedangkan

bagian weaving tidak dilakukan pengukuran formaldehida lingkungan terkait

masalah perijinan dari perusahaan. Hal ini menjadi keterbatasan pada penelitian ini,

walaupun bagian weaving tidak menggunakan bahan kimia formaldehida namun

pengukuran diperlukan untuk memastikan tidak adanya pajanan formaldehida.

Terkait jumlah responden dengan riwayat atopi yang sedikit yaitu sebesar

5%, sehingga secara statistik sulit untuk menilai hubungan antara riwayat atopi

terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung. Hal ini kemungkinan disebabkan

karena penegakkan riwayat atopi berdasarkan pada kuesioner dan wawancara

riwayat salah satu dari gejala asma bronkialis, rinitis alergi, konjungtivitis

alergi atau dermatitis atopi. Beberapa tes untuk menegakkan riwayat atopi seperti

tes tusuk kulit dan radio allergo sorvent testing.31

Namun hal ini tidak dapat

dilakukan pada penelitian ini dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya.

5.2 Gambaran dan Hubungan formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil

Terhadap pajanan formaldehida didapati hasil tidak ada hubungan yang

bermakna secara statistik antara pajanan formaldehida dengan eosinofil maupun

neutrofil mukosa hidung. Hasil ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Penelitian

oleh Tatsuo Sakamoto pada tikus menyatakan bahwa formaldehida menginduksi

neutrofil untuk masuk pada saluran nafas dan merusak epitel dalam waktu 60 menit

inhalasi. Penelitian oleh Pazdrak, Krakowiak, dkk (1992) dengan judul “Change in

Nasal lavage fluid due to formaldehyde inhalation” menyatakan bahwa pada

pajanan formaldehida dengan kadar 0,5 mg/ m3 ( 0,4 ppm ) selama 2 jam didapatkan

peningkatan eosinofil setelah paparan 4 jam dan 18 jam.6 Penelitian Tatsuo

Sakamoto tahun 1999 pada tikus yang berjudul “Effects of formaldehyde, as an

indoor air pollutant, on the airway” menunjukkan bahwa formaldehida

menginduksi neutrofil untuk masuk pada saluran nafas dan merusak epitel dalam

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 76: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

59

Universitas Indonesia

waktu 60 menit inhalasi. Formaldehida dapat menarik neutrofil ke saluran napas

melalui mekanisme tachykinin NK1 receptor – mediated.24

Hasil yang berbeda antara penelitian ini dengan sebelumnya kemungkinan

karena pajanan formaldehida yang kurang cukup menyebabkan peningkatan

eosinofil dan neutrofil (hasil pengukuran kadar formaldehida sebesar 0,032 mg/m3).

Dan dari uji kesetaraan didapatkan terdapat perbedaan bermakna pada masa kerja

antara dipping dan weaving, di mana pada bagian dipping lebih banyak responden

dengan masa kerja < 22 tahun (52%). Dari kepustakaan dijelaskan hubungan antara

paparan dan efek sangat bergantung pada kadar formaldehida dan dosis paparan

(lamanya paparan/ masa kerja). Kedua hal ini diduga menyebabkan tidak ada

hubungan yang bermakna antara formaldehida dengan eosinofil dan neutrofil.

Kemungkinan lain adalah mukosa hidung telah mengalami perubahan

sehingga tidak memberikan respon yang diharapkan. Hal ini dapat terlihat dari

gambaran eosinofil pada pemeriksaan mikroskop didapatkan sebagian besar

eosinofil mengalami degranulasi (90%). Beberapa stimulasi inflamasi dapat

menyebabkan degranulasi eosinofil. Faktor yang dapat merangsang pelepasan

mediator proinflamasi seperti bahan iritan, alergen, infeksi bakteri, dan virus.28

Adanya degranulasi eosinofil menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan sel akibat

pajanan dari luar. Hasil ini diperkuat dengan adanya prevalensi rhinitis dan yang

minum obat pada dipping yang lebih tinggi dibandingkan pada weaving. Eosinofil

yang degranulasi diduga berhubungan dengan perubahan pada tingkat seluler yang

belum dapat dijawab pada penelitian ini.

Kontrol pada penelitian ini diduga juga mempengaruhi hasil karena di

bagian weaving (penenunan) terdapat pajanan benang nilon yang kemungkinan

berpotensi sebagai alergen yang dapat merangsang reaksi alergi. Sampai saat ini

peneliti belum menemukan kepustakaan mengenai pajanan benang nilon terhadap

eosinofil dan neutrofil namun penelitian terdahulu pada pekerja pabrik tekstil bagian

pemintalan didapatkan prevalensi eosinofil positif adalah sebesar 20 %.21

Persentase

eosinofil pada pekerja pabrik tekstil memiliki kemiripan dengan persentase eosinofil

positif pada penelitian ini.

Meskipun tidak berbeda bermakna, jika dibandingkan dengan persentase

eosinofil dan neutrofil di darah. Persentase eosinofil positif pada penelitian ini

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 77: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

60

Universitas Indonesia

adalah sebesar 30 % sedangkan neutrofil positif sebesar 80 %. Hasil ini lebih tinggi

jika dibandingkan dengan persentase eosinofil di darah sebesar 1-3% dan neutrofil

sebesar 50-70%.32

Terdapat peningkatan persentase eosinofil sebesar 15 kali dan

peningkatan neutrofil sebesar 1,3 kali pada penelitian ini dibandingkan dengan

persentase eosinofil dan neutrofil darah.

Persentase eosinofil positif pada penelitian ini sebesar 30%, memiliki

tingkat kesalahan sebesar 0,089 jika dihitung menggunakan rumus n = (za)2 p.q / d

2.

Sedangkan persentase neutrofil positif sebesar 80% memiliki tingkat kesalahan

sebesar 0,077. Hal ini menunjukkan persentase eosinofil dan neutrofil pada

penelitian ini dapat dipercaya (< 0,1)

Penelitian lain yaitu pada pekerja pabrik tekstil didapatkan prevalensi

eosinofil positif sebesar 20% dan neutrofil positif sebesar 74%.20

Terdapat

peningkatan persentase eosinofil sebesar 1,5 kali sedangkan persentase neutrofil

hampir sama. Hasil ini menunjukkan adanya bahan iritan atau alergen yang dapat

menyebabkan peningkatan eosinofil dan neutrofil dengan peningkatan eosinofil

adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan peningkatan neutrofil.

5.3 Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil dan neutrofil

Faktor demografi yang diukur pada penelitian ini adalah usia dan riwayat

atopi. Hasil penelitian didapati tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik

antara faktor usia dan faktor riwayat atopi terhadap eosinofil dan neutrofil.

Penelitian terdahulu oleh Sameer et al tahun 2008 yang berjudul “ Age

related changes in eosinophil function in human subjects ” didapatkan persentase

eosinofil sputum adalah sama pada kedua kelompok yaitu kelompok usia lebih

muda ( 20-40 tahun ) dibandingkan kelompok usia yang lebih tua ( 55 – 80 tahun ).

Sedangkan persentase neutrofil sputum meningkat secara bermakna pada kelompok

usia yang lebih tua (p : 0,008).29

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa tidak ada

hubungan bermakna antara usia dengan eosinofil. Sedangkan persentase neutrofil

positif yang sama besar antara usia < 45 tahun ( 80%) dan > 45 tahun ( 80% )

berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan persentase neutrofil

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 78: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

61

Universitas Indonesia

seharusnya meningkat secara bermakna pada usia lebih tua. Hal ini kemungkinan

disebabkan adanya perbedaan pembagian usia.

Untuk riwayat atopi walaupun tidak ada hubungan bermakna namun

eosinofil positif lebih banyak pada responden yang memiliki riwayat atopi yaitu dua

orang dari lima orang ( 40%) dibandingkan yang tidak memiliki riwayat atopi

sebesar 29,5 %. Hal ini disebabkan karena orang dengan riwayat atopi memiliki

memori sel terhadap alergen dari luar. Sedangkan neutrofil positif lebih banyak

pada responden tanpa riwayat atopi (81,1%) dibandingkan yang memiliki riwayat

atopi yaitu tiga dari lima orang (60%). Penelitian terdahulu oleh Loreni, et al (2001)

dengan judul “Inflammatory mediators, cell counts in nasal lavage and computed

tomography of the paranasal sinuses in atopic children” menyatakan bahwa jumlah

neutrofil cairan hidung adalah sama pada kelompok asma-rinitis alergi

dibandingkan dengan kelompok rinitis dan tanpa atopik (kontrol), sedangkan untuk

eosinofil didapatkan korelasi yang positif antara eosinofil darah, jumlah eosinofil

cairan hidung dan eosinophil cationic protein cairan hidung pada anak dengan

atopik.30

Hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian sebelumnya kemungkinan

disebabkan karena jumlah sampel responden dengan riwayat atopi hanya berjumlah

lima orang (5%). Prevalensi riwayat atopi pada penelitian ini lebih rendah jika

dibandingkan dengan prevalensi riwayat atopi pada anak-anak (ditegakkan melalui

uji tusuk kulit) yang berusia 44-52 bulan yaitu sebesar 26,92% (70 dari 260 anak).31

Prevalensi riwayat atopi juga lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi

riwayat atopi pada pekerja penggergaji kayu yaitu 32,14 % (36 orang riwayat atopi

dari 112 sampel).18

Hal ini merupakan keterbatasan pada penelitian ini di mana

penegakkan riwayat atopi hanya berdasarkan pada kuesioner dan wawancara

sehingga kemungkinan terjadi bias cukup besar.

5.4 Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil dan neutrofil

Faktor individu yang diukur adalah kebiasaan merokok dan kebiasaan

olahraga. Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna

secara statistik antara kebiasaan merokok terhadap eosinofil. Hasil ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya oleh Taylor, dkk yang berjudul “Smoking, allergy, and the

differential white blood cell count” didapatkan hasil tidak ada hubungan yang

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 79: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

62

Universitas Indonesia

bermakna antara merokok dengan eosinofil, sedangkan jumlah neutrofil lebih tinggi

pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok dengan nilai p : 0,03.33

Persentase neutrofil positif lebih banyak (89,5%) dan berbeda bermakna

pada yang merokok dibanding yang tidak merokok (67,4%). Hasil analisis

multivariat menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor resiko dominan yang

mempengaruhi neutrofil (p 0,007). Orang dengan kebiasaan merokok memiliki

resiko 4,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki kebiasaan

merokok. Rokok diduga berperan sebagai pajanan radikal bebas yang dapat

menyebabkan penarikan neutrofil ke saluran napas, penarikan neutrofil melibatkan

adesi pada sel endotel, selain itu peningkatan jumlah sitokin menyebabkan masa

hidup neutrofil di saluran napas memanjang, dan rokok juga menstimulasi produksi

dan pelepasan granulosit dari sumsum tulang sehingga terjadi peningkatan

neutrofil.34

Eosinofil positif lebih banyak pada responden yang memiliki kebiasaan

olahraga sebesar 31,7% dibandingkan yang tidak olahraga sebesar 27%. Sedangkan

neutrofil positif lebih banyak pada responden yang tidak olahraga sebesar 86,5%

dibandingkan yang olahraga sebesar 76,2%. Penelitian oleh Denguezli, dkk dengan

judul “Effect of endurance exercise on airway cells in runners”. Penelitian pada 10

orang pelari jarak jauh yang sehat dan 12 orang sebagai kontrol yang diukur

induced sputum saat istirahat dan setelah 1 jam berlari dengan 80% maksimal

kecepatan aerobik. Hasilnya adalah ada peningkatan jumlah eosinofil dan neutrofil

sputum pada pelari sebelum dan sesudah latihan. Peningkatan neutrofil sesaat

setelah latihan atau olahraga diduga karena adanya respon inflamasi oleh karena

adanya kerusakan jaringan yang dipicu oleh latihan/olahraga, yang bersifat akut,

neutrofil dan eosinofil diperiksa setelah 1 jam latihan.35

Penelitian lain oleh Quindry

dkk tahun 2003 yang berjudul “The effects of acute ecercise on neutrophils and

plasma oxidative stress” didapatkan hasil neutrofil hanya meningkat saat 2 jam

setelah latihan.36

Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian ini di mana

persentase neutrofil didapatkan lebih tinggi pada responden yang tidak mempunyai

kebiasaan olahraga, hal ini kemungkinan berhubungan dengan tingkat kebugaran

individu. Olahraga berkaitan erat dengan kapasitas kerja sistem sirkulasi, sistem

saraf dan sistem otot tubuh yang berperan untuk peningkatan kondisi fisik atau

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 80: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

63

Universitas Indonesia

tingkat kebugaran. Tingkat kebugaran yang baik dapat meningkatkan daya taya

tahan tubuh dan melindungi dari faktor resiko infeksi atau penyakit.23

Kemungkinan

lain adalah karena faktor olahraga pada penelitian ini tidak bersifat akut.

5.5 Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil dan neutrofil

Faktor pekerjaan yang diukur adalah masa kerja dan penggunaan alat

pelindung diri. Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak ada hubungan yang

bermakna secara statistik antara masa kerja terhadap eosinofil dan neutrofil. Hal ini

kemungkinan disebababkan karena sebaran responden yang berbeda antara weaving

dan dipping di mana responden dengan masa kerja > 22 tahun lebih banyak di

bagian weaving (68%). Sedangkan di bagian dipping lebih banyak responden

dengan masa kerja < 22 tahun (52%).

Penelitian sebelumnya oleh Nancy Sendra, dkk dengan judul “Dampak

pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja

penggergaji kayu” didapatkan tidak ada hubungan bermakna antara eosinofil

dengan lamanya masa kerja.18

Pada penelitian ini didapatkan eosinofil positif yang

lebih banyak pada responden dengan masa kerja > 22 tahun (32,8%) dibandingkan

masa kerja < 22 tahun (26,2%) kemungkinan karena efek lain dari adanya eosinofil

pada mukosa hidung adalah terlepasnya protein berberat molekul rendah yang

tersimpan dalam granula sitoplasmiknya yaitu major basic protein (MBP),

eosinophil derived neurotoxin ( EDN ), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil

cationic protein ( ECP ). MBP dan ECP bersifat toksik dengan merusak membran

sel target ( mukosa hidung ) melalui interaksi yang diperantarai muatan elektrolit (

charge-mediated interaction ). MBP juga akan mengaktifasi sel mast, basofil dan

trombosit yang kemudian akan menghasilkan histamin. Mediator kimia tersebut

akan menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf

mukosa dan kerusakan sel.17,18

Pajanan yang terus menerus dalam waktu lama akan

memperberat kerusakan sel mukosa hidung, terjadi proliferasi jaringan ikat dan

hiperplasia mukosa. Kerusakan sel mukosa hidung dapat memudahkan masuknya

alergen ke hidung dan meningkatkan hiperresponsivitas terhadap alergen dari luar.

Terhadap pemakaian APD didapati tidak ada hubungan yang bermakna

antara pemakaian APD dengan eosinofil dan neutrofil. Pemakaian APD merupakan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 81: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

64

Universitas Indonesia

hal yang penting karena dapat melindungi pernapasan dari partikel di udara.

Formaldehida merupakan bahan kimia yang sebagian besar masuk melalui sistem

pernafasan. Formaldehida juga merupakan zat yang mudah menguap sehingga

seharusnya menggunakan alat pelindung diri yang berupa masker dengan catridge

bahan kimia. Pada kelompok pekerja dipping alat pelindung diri yang digunakan

adalah masker kain. Hal ini diduga menyebabkan tidak adanya hubungan bermakna

antara pemakaian alat pelindung diri dengan eosinofil dan neutrofil.

Tabel 5.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitan Swab Hidung

No Penelitian Terdahulu Penelitian Swab Hidung

Judul/Penulis Hasil

1

2

3

Change in Nasal

lavage fluid due to

formaldehyde

inhalation.

Konrad, Pawel

Krakowiak,etc.6

Gambaran Sitogram

Mukosa Nasal Pada

Pekerja Pabrik Tekstil

Bagian Pemintalan”

Penulis : Nerry

Grace.21

Age related changes

in eosinophil function

in human subject.

Penulis : Sameer K.

Mathur, MD,

PhD;etc.29

Peningkatan eosinofil cairan

hidung setelah paparan 4 jam dan

18 jam setelah pajanan

formaldehida selama 2 jam dengan

kadar 0,5 mg/ m3 ( 0,4 ppm )

prevalensi eosinofil positif adalah

sebesar 20 %

Persentase eosinofil sputum

sama pada kedua kelompok

yaitu kelompok usia lebih muda

(20-40 tahun) dibandingkan

kelompok lebih tua (55 – 80

tahun)

persentase neutrofil sputum

meningkat secara bermakna

pada kelompok usia yang lebih

tua (p : 0,008)

Tidak ada hubungan bermakna antara

pajanan formaldehida (kadar 0,032

mg/m3) dengan eosinofil dan

neutrofil. Perbedaan penelitian

sebelumnya dengan penelitian ini

adalah kadar formaldehida penelitian

ini lebih rendah (0,032 mg/m3)

walaupun masih di bawah NAB

menurut OSHA.

Persentase eosinofil positif lebih

banyak pada responden yang bekerja

di bagian weaving sebesar 32%

Persentase eosinofil positif

didapati sama besar antara usia <

45 tahun ( 30% ) dan > 45 tahun (

30% )

Persentase neutrofil positif juga

didapati sama besar antara usia <

45 tahun ( 80% ) dan > 45 tahun (

80% )

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 82: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

65

Universitas Indonesia

4

5

6

7

Inflammatory

mediators, cell counts

in nasal lavage and

computed tomography

of the paranasal

sinuses in atopic

children.

Loreni C.S.

Kovalhuk,

Nelson,etc30

Smoking, allergy, and

the differential white

blood cell count.

Penulis : Taylor,

Gross, Joyce,et al.33

Effect of endurance

exercise on airway

cells in runners.

Penulis Denguezli-

Bouzgarrou, Sriha,

Ben Cheikh, et al. 35

Dampak pajanan debu

kayu terhadap kadar

eosinofil kerokan

mukosa hidung

pekerja penggergaji

kayu.”

Penulis Sendra

Nancy, dkk. 18

Korelasi yang positif antara

eosinofil darah, jumlah eosinofil

cairan hidung dan eosinophil

cationic protein cairan hidung

pada anak dengan atopik

Neutrofil cairan hidung adalah

sama pada kelompok asma-

rinitis alergi dibandingkan

dengan kelompok rinitis dan

tanpa atopik (kontrol)

Eosinofil lebih tinggi pada

perokok dibanding pada mantan

perokok maupun bukan perokok

( tidak berbeda bermakna )

Neutrofil meningkat pada

merokok dibandingkan dengan

bukan perokok ( berbeda

bermakna )

Peningkatan neutrofil (p<0,01),

eosinofil, dan limfosit (p<0,01)

pada pelari sebelum dan sesudah

latihan selama 1 jam

tidak ada hubungan bermakna

antara eosinofil dengan lamanya

masa kerja

Eosinofil positif lebih banyak pada

riwayat atopi 2 dari 5 (40%), nilai

p>0,05

Neutrofil positif lebih banyak pada

responden tanpa riwayat atopi

(81,1%), nilai p>0,05

Eosinofil lebih banyak pada

responden yang tidak merokok

(30,2%) dibanding merokok

(29,7%) ( tidak berbeda bermakna )

neutrofil lebih banyak pada

perokok (89,5%) dibandingkan

bukan perokok (67,4%). ( berbeda

bermakna )

Tidak ada hubungan bermakna

antara olahraga dengan eosinofil

dan neutrofil

Tidak ada hubungan bermakna

antara masa kerja dengan eosinofil

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 83: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

66

Universitas Indonesia

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

1. Persentase eosinofil positif pada pekerja weaving dan dipping sebesar 30%

menunjukkan adanya peningkatan persentase eosinofil 15 kali sedangkan

neutrofil positif sebesar 80% menunjukkan adanya peningkatan persentase

neutrofil 1,5 kali jika dibandingkan dengan persentase eosinofil dan neutrofil

di darah.

2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pajanan formaldehida dengan

eosinofil dan neutrofil yang kemungkinan disebabkan pajanan formaldehida

lingkungan yang rendah yaitu 0,032 mg/m3 yang masih berada di bawah

nilai ambang batas dan sebagian besar responden di dipping memiliki masa

kerja kurang < 22 tahun. Namun demikian adanya gambaran eosinofil yang

mengalami degranulasi pada 90% eosinofil menunjukkan adanya pengaruh

pajanan pada eosinofil dan diduga terjadi perubahan pada tingkat seluler

yang belum dapat dijawab pada penelitian ini.

3. Tidak adanya hubungan antara faktor demografi yaitu usia terhadap

eosinofil dan neutrofil diduga karena adanya perbedaan pembagian usia.

4. Tidak adanya hubungan antara riwayat atopi terhadap eosinofil dan neutrofil

diduga karena jumlah sampel yang memiliki riwayat atopi hanya 5%.

Meskipun tidak berhubungan secara bermakna namun prevalensi eosinofil

positif pada riwayat atopi lebih banyak dibandingkan tanpa riwayat atopi,

sehingga faktor resiko riwayat atopi terhadap eosinofil belum dapat

disingkirkan.

5. Tidak terdapat hubungan bermakna antara merokok dengan eosinofil

6. Terdapat hubungan yang bermakna antara merokok dengan neutrofil. Rokok

diduga berperan sebagai radikal bebas yang menyebabkan penarikan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 84: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

67

Universitas Indonesia

neutrofil ke saluran napas serta menstimulasi produksi dan pelepasan

granulosit dari sumsum tulang sehingga terjadi peningkatan neutrofil.

7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga terhadap

eosinofil dan neutrofil diduga berhubungan dengan tingkat kebugaran

individu, di mana kebiasaan olahraga mempengaruhi kapasitas kerja sistem

sirkulasi, sistem saraf dan sistem otot yang berperan untuk peningkatan

kondisi fisik dan tingkat kebugaran yang dapat melindungi dari faktor resiko

infeksi.

8. Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan eosinofil dan neutrofil diduga

karena sebaran responden yang berbeda bermakna antara weaving dan

dipping, namun demikian persentase eosinofil positif yang lebih banyak

pada masa kerja > 22 tahun menunjukkan bahwa pajanan yang terus

menerus dalam waktu yang lama kemungkinan dapat meningkatkan

hiperesponsivitas yang ditandai dengan adanya eosinofil.

9. Tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung diri

terhadap eosinofil dan neutrofil diduga disebabkan penggunaan alat

pelindung diri yang tidak tepat.

10. Faktor yang dominan mempengaruhi neutrofil adalah merokok dimana

orang dengan kebiasaan merokok memiliki resiko 4,6 kali lebih tinggi

dibandingkan yang tidak memiliki kebiasaan merokok.

6.2 SARAN

6.2.1 Bagi pendidikan

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk penelitian

selanjutnya untuk menilai hubungan antara pajanan formaldehida terhadap

eosinofil dan netrofil swab hidung dengan mempertimbangkan berbagai

faktor yang dapat mempengaruhi seperti kebiasaan merokok dan pemilihan

kelompok kontrol.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 85: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

68

Universitas Indonesia

2. Adanya temuan degranulasi eosinofil diharapkan dapat menjadi masukan

penelitian selanjutnya mengenai pemeriksaan eosinofil di tingkat seluler.

6.2.2 Bagi perusahaan

1. Melakukan pengukuran formaldehida di lingkungan kerja setiap tahun untuk

memonitor kadar formaldehida. Dianjurkan untuk melakukan pengukuran

formaldehida di area weaving. Pengukuran sebaiknya dilakukan pada saat

proses produksi sedang berlangsung.

2. Meningkatkan pengendalian terhadap paparan formaldehida seperti adanya

lokal exhaust, sosialisasi MSDS formaldehida, penyuluhan dan pelatihan

mengenai bahaya formaldehida dan penggunaan alat pelindung diri yang

tepat sesuai dengan lokasi kerja seperti masker dengan cartridge bahan kimia

untuk pekerja dipping, safety google, safety shoes, maupun sarung tangan

yang adekuat.

3. Pada pemeriksaan medical check up yang dilakukan oleh perusahaan

disarankan untuk melakukan pemeriksaan eosinofil swab hidung bagi

pekerja di bagian dipping dan weaving mengingat adanya degranulasi sel

eosinofil swab hidung.

4. Menyarankan pemeriksaan kesehatan yang lebih mendalam kepada pekerja

yang mengalami degranulasi eosinofil pada pemeriksaan swab hidung

sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan pengobatan lebih dini.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 86: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

69

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/brs_file/naker_05nov12.pdf

diunduh 27 Desember 2012.

2. International Labour Organization (2008). Mengelola risiko di lingkungan

pekerjaan.

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-

jakarta/documents/publication/wcms_126159.pdf diunduh 22 November 2012

3. Formaldehyde. Department of Health and Ageing National Industrial Chemicals

Notification and Assessment Scheme. Australia. November 2006.

www.nicnas.gov. diunduh 22 November 2012.

4. Departement Of Health and Human Services US. Toxicological profile for

formaldehyde.. July 1999. http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp111.pdf

diunduh 22 November 2012.

5. Kim W, Terada N, Nomura T, Takahashi R, Lee S, Park J, et al. Effect

of formaldehyde on the expression of adhesion molecules in nasal microvascular

endothelial cells: the role of formaldehyde in the pathogenesis of sick building

syndrom. Department of Otorhinolaryngology, Chiba University School of

Medicine, 1-8-1 Inohana, Chuo-ku, Chiba City, Chiba 260-0856, Japan. 2002

6. Konrad P, Pawel G, Krakowiak A, et al. Change in nasal lavage fluid due to

formaldehyde inhalation. Department of Occupational Disease, Institut of

Occupational Medicice. Occupational Environmental Health. November 5,

1992.

7. Formaldehida. http://id.wikipedia.org/wiki/Formaldehida diunduh 22 November

2012

8. Agency For Toxic Substances and Disease Registry Division of Toxicology and

Environmental Medicine. Addendum to the toxicological profile for

formaldehyde. Atlanta. October 2010.

http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/formaldehyde_addendum.pdf diunduh 22

November 2012.

9. International Agency for Research on Cancer. Formaldehyde in : wood dust and

formaldehyde. Lyon. 1995, pp. 217–362.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 87: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

70

Universitas Indonesia

10. Liteplo R, Beauchamp R, Meek M. Formaldehyde. Concise International

Chemical Assessment Document 40. World Health Organization. Geneva, 2002.

11. International Agency for Research on Cancer. Formaldehyde, 2-butoxyethanol

and 1-tert-butoxypropan-2-ol. Lyon, France. 2006.

12. Eugene R, Kennedy. Formaldehyde. NIOSH Manual of Analytical Methods

(NMAM), 4th

Edition : Method 3500, Issue 2. 15 August 1994.

13. Occupational Safety & Health Administration.. Formaldehida. United States

Department Of Labor

14. Badan Standardisasi Nasional. Nilai ambang batas zat Kimia di udara tempat

kerja. Standar Nasional Indonesia.2003.

15. Huriyati E, Hafiz. Diagnosis dan penatalaksanaan rinitis alergi yang disertai

asma bronkial. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas. 2011.

16. Denny S. Hubungan antara jenis aeroalergen dengan manifestasi klinis rinitis

alergika (tesis). Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. 2010.

17. Huriyati E, Bestari, Octiza R. Peran kemokin dalam patogenesis rinitis alergi.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014

18. Sendra N, George F. Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil

kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu ( laporan penelitian). Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makasar. 2007

19. Widodo J. Imunologi dasar : imunologi mukosa. 2012.

20. Widodo J. Imunologi dasar : sel darah putih, netrofil, eosinofil, basofil. Februari

2012.

21. Nerry G. Gambaran sitogram mukosa nasal pada pekerja pabrik tekstil bagian

pemintalan. Departemen Patologi Klinik FKUI. Jakarta. 2004.

22. Delfitri M. Waktu bersihan mukosiliar pada pasien rinosinusitis kronis. Majalah

Kedokteran Indonesia (rrtikel penelitian) Vol : 60. November. 2010.

23. Purwanto. Dampak senam aerobik terhadap daya tahan tubuh dan penyakit.

Universitas Negeri Semarang. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia,

Volume 1, Ed 1, Juli 2011.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 88: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

71

Universitas Indonesia

24. Tatsuo S, Satoru D and Shinpei T. Effects of formaldehyde, as an indoor air

pollutant, on the airway. Department of Pediatrics, Nagoya University School of

Medicine, Showa-ku, Nagoya, Japan. 1999

25. Bousquet J, Khaltaev N, et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA)

2008 update in collaboration with the World Health Organization. 2008

26. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed-4.

Sagung Seto. Jakarta. 2011.

27. Kim, Leem,et al. Association between rhinitis and exposure to formaldehyde

among technicians in a pathology department. South Korea. September 2007.

28. Wayan H. Kadar eosinophil cationic protein (ecp) berkorelasi positif dengan

derajat keparahan dermatitis atopik. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RS Sanglah, Denpasar. 2013.

29. Sameer K, Elizabeth, Nizar. Age related changes in eosinophil function in

human subjects. Chest 2008;133:412-419.

30. Loreni, Nelson, Arnolfo. Inflammatory mediators, cell counts in nasal lavage

and computed tomography of the paranasal sinuses in atopic children. Journal de

Pediatria 2001; 77(4): 271-8

31. Endah W, Cissy B, Budi S. Hubungan antara atopi dengan riwayat penyakit

alergi dalam keluarga dan manifestasi penyakit alergi pada balita. Bagian Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung. 2007.

32. Hakami H, White blood cell differential. Human physiology-I (PHSL205) lab.

2010

33. Taylor R, Gross E, Joyce H, et al. Smoking, allergy, and the differential white

blood cell count. Department of Medicine, Royal Postgraduate Medical School,

London. Thorax 1985;40:17-22.

34. Ana R, Eddy S, Faisal Y. Korelasi antara jumlah makrofag, neutrofil dan kadar

enzim matrix metalloproteinase (mmp)-9 pada cairan kurasan bronkial perokok.

RSUP Persahabatan dan RSUD Dr. Moewardi. Surakarta.

35. Denguezli M, Sriha B, Ben C, et al. Effect of endurance exercise on airway cells

in runners. Laboratory of Physiology, Faculty of Medicine Ibn El Jazzar,

Service of Anatomy and Pathologic Cytolology, Farhat Hached Hospital.

Tunisia. 2006.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 90: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

73

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 1

LEMBAR INFORMASI

Selamat Pagi/Siang/Sore

Calon Responden yang terhormat,

Perkenalkan kami :

1. dr Ade Lestari

2. dr Kemal Zachariah

3. dr Puspa Sari

4. dr Mei Wulandari Puspitasari

Kami dari Program Spesialis Kedokteran Okupasi, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia bermaksud melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara

Pajanan Formaldehida di industri kain ban dengan gangguan fungsi kognitif,

eosinofil dan neutrofil swab hidung, kelainan sel darah putih dan kadar cystatin c

serum dalam darah.

Kegiatan utama penelitian adalah

1. pemeriksaan fungsi kognitif dengan pengisian angket ( MMSE / Mini Mental Status

Examination ) dan pemeriksaan fungsi kognitif oleh dokter. Pemeriksaan ini tidak

menimbulkan efek samping

2. Pemeriksaan eosinofil dan neutrofil swab hidung dengan cara melakukan usapan

sekret mukosa hidung dengan menggunakan kuret plastik. Pemeriksaan ini biasanya

tidak menimbulkan rasa sakit, hanya terkadang terasa kurang nyaman. Pemeriksaan

ini umumnya tidak menimbulkan rasa sakit, namun terkadang terasa kurang

nyaman.

3. Pemeriksaan jumlah sel darah putih, hitung jenis, dan kelainan bentuk sel darah

putih melalui pemeriksaan darah

4. Pemeriksaan kadar cystatin c serum melalui pemeriksaan darah.

Mengenai pemeriksaan darah akan dilakukan pengambilan darah satu kali

bersamaan dengan saat menjalani Medical Check Up di perusahaan tempat anda

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 91: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

74

Universitas Indonesia

bekerja. Pengambilan darah dari pembuluh darah lengan biasanya hanya

menimbulkan rasa nyeri ringan, namun terkadang juga dapat terjadi infeksi dan/atau

bengkak dan warna biru yang baru sembuh setelah beberapa hari

Penelitian ini akan dilakukan pada pekerja yang tepajan di bagian

pencelupan ( dipping ) dan di bagian penenunan ( weaving ). Sebelum pemeriksaan

dilakukan, kami akan melakukan penyaringan melalui anamnesa untuk menentukan

apakah saudara termasuk dalam penelitian ini. Selanjutnya semua responden yang

sesuai dengan kriteria akan diperiksa sesuai dengan kegiatan utama penelitian kami.

Lama semua pemeriksaan lebih kurang 20 – 35 menit

Penelitian ini dilakukan sebagai penyelesaian tesis kami yang merupakan

syarat kelulusan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kami berharap

Saudara bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Semua informasi

yang anda berikan terjamin kerahasiaannya. Dalam penelitian ini, anda tidak

dikenakan biaya apapun. Anda diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal

yang belum jelas sehubungan dengan penelitian ini. Bila sewaktu-waktu Anda

membutuhkan penjelasan, anda dapat menghubungi kami dr Ade Dwi Lestari di

08128021830, dr Kemal Zachariah di 081286089544, dr Puspa Sari di

085295096679, atau dr Mei Wulandari Puspitasari di 08129431732. Anda juga

dapat menghubungi kami di Bagian Ilmu Kedokteran Okupasi, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jl. Pegangsaan Timur No. 16, Cikini Jakarta Pusat 10320

Atas kesediaan Saudara menjadi responden dalam penelitian ini kami

ucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak

khususnya masyarakat pekerja dan ilmu pengetahuan.

Jakarta, ………………………. 2013

Hormat Kami,

dr Ade Dwi Lestari

dr Kemal Zachariah

dr Puspa Sari

dr Mei Wulandari Puspitasari

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 92: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

75

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 2

LEMBAR PERSETUJUAN

(INFORMED CONSENT)

Saya bertanda tangan di bawah ini,

Nama : ……………………………………………………….

Tempat / Tanggal Lahir : ……………………………………………………….

Pekerjaan : ……………………………………………………….

Unit Kerja : ……………………………………………………….

Alamat Rumah : ……………………………………………………….

……………………………………………………….

No. Telepon : ……………………………………………………….

Dengan ini menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan penelitian mengenai

: Hubungan Antara Pajanan Formaldehida di industri kain ban dengan gangguan

fungsi kognitif, eosinofil dan neutrofil swab hidung, kelainan sel darah putih dan

kadar cystatin c serum. Saya mengetahui dan memahami bahwa saya, dalam

penelitian ini, mempunyai kebebasan penuh untuk memilih untuk ikut berpartisipasi

atau tidak. Dan dengan ini saya menyatakan :

1. Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

2. Bersedia mengikuti seluruh rangkaian penelitian dan mengikuti pemeriksaan

yang dilakukan.

3. Bersedia mematuhi seluruh prosedur penelitian yang ditetapkan oleh peneliti.

4. Seandainya ada hal-hal yang tidak berkenan, maka saya berhak untuk tidak ikut

dalam penelitian ini.

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 93: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

76

Universitas Indonesia

Mengetahui,

Peneliti,

dr Ade Dwi Lestari

dr Kemal Zachariah

dr Puspa Sari

dr Mei Wulandari Puspitasari

Jakarta, …………………………2013

Yang bertanda tangan,

( )

Responden

( )

Saksi

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 94: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

77

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 3

KUESIONER SCREENING KRITERIA EKSKLUSI

1. Apakah anda memiliki keluhan seperti di bawah ini ?

a) Keluar cairan dari hidung

b) bersin

c) hidung tersumbat

d) hidung gatal

Jika Ya, Berapa lama keluhan berlangsung ? ………….. hari

* Lingkari jawaban anda dan jawaban boleh lebih dari satu

2. Apakah anda mengkonsumsi obat-obat di bawah ini dalam 24 jam terakhir?

a) Anti histamin/ obat alergi

b) Steroid/ prednison, deksametason

c) Dekongestan/ obat Flu

d) Antibiotik

e) Tidak sama sekali

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 95: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

78

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 4

KUESIONER PENELITIAN

Data Diri

No. : _______________________

Tanggal pemeriksaan : _______________________

Nama : _______________________

Departemen/ Bagian : _______________________

Tanggal lahir : _________________

Berapa lama anda bekerja di perusahaan ini : ________ Tahun

1. Apakah anda menggunakan alat pelindung diri ( APD ) saat bekerja ?

a) Ya, Setiap hari, Sebutkan _________________________

b) Ya, Tidak setiap hari, Sebutkan ____________________

c) Tidak

2. Apakah Anda merokok?

a) Ya, Berapa banyak batang rokok dalam satu hari ? _____ batang rokok

Sudah berapa tahun anda merokok? ___________ tahun

b) Tidak

3. Apakah anda melakukan olahraga ?

a) olahraga ≥ 3x/minggu

b) olahraga 1-2x/minggu

c) tidak pernah berolahraga sama sekali

4. Apakah anda memiliki riwayat penyakit di bawah ini ?

a) asma bronkialis ( susah bernafas, dada sesak yang berulang )

b) rinitis alergi ( hidung gatal, bersin berulang, hidung tersumbat, keluar

cairan hidung yang jernih )

c) dermatitis atopi ( gatal-gatal di kulit )

d) konjungtivitis alergi ( gatal, berair, kemerahan pada mata )

* Lingkari jawaban yang sesuai dengan keadaan anda

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 96: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

79

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 5

Keterangan Lolos Kaji Etik

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 97: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

80

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 6

Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pelaksanaan Penelitian

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 98: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

81

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 7

Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pemeriksaan

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 99: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

82

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 8

Hasil Pengukuran Formaldehida November 2013

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 100: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

83

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 9

Hasil Pengukuran Formaldehida Maret 2014

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014

Page 101: HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN

84

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 10

Gambaran Mikroskopik Eosinofil dan Neutrofil

Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014