hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perubahan rezim dari Orde Baru (ORBA) ke Orde Reformasi ditandai
dengan lahirnya berbagai Undang Undang (UU) seperti Undang-undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Lahirnya UU tentang
Otonomi Daerah berimplikasi pada manajemen pendidikan nasional. Sejak
Januari 2001 pemerintahan daerah mulai memberlakukan secara resmi otonomi
pendidikannya. Dalam hal ini, pemerintah daerah berwewenang, antara lain,
menetapkan kurikulum muatan lokal, merancang dan memfasilitasi buku teks
dasar, dan bahkan membangun kemungkinan kerjasama dengan negara lain di
bidang pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas merupakan
dasar hukum reformasi sistem pendidikan nasional dalam era reformasi.
Undang-undang tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional, serta strategi pengembangan pendidikan nasional untuk mewujudkan
pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan berdaya
saing global. Pasal 50 Ayat (3) dalam UU tersebut mengamanatkan setiap
daerah untuk membuka satuan pendidikan bertaraf internasional (selanjutnya
PBI). Implikasinya, sejak tahun 2006 pemerintah mulai membuka Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional (selanjutnya RSBI) di tengah menguatnya
wacana globalisasi dalam pendidikan dan berkembangnya politik identitas

2
dalam pendidikan melalui pengajaran muatan lokal bahasa etnik di seluruh SD
dan SMP (Hefner, 2007: 494; Rifai, 2011: 170-171).
Berbagai peraturan dan kebijakan pendidikan masional khususnya
dalam rezim ”reformasi” sering kali menimbulkan kontroversi bagi masyarakat
dan para pelaku pendidikan, misalnya kebijakan sertifikasi guru/dosen, Ujian
Nasionl (UN), Badan Hukum Pendidikan (BHP), sertifikasi guru, dan
kehadiran RSBI sebagai implementasi dari kebijakan PBI dalam sistem
pendidikan nasional. Secara konseptual dan implementasi kebijakan-kebijakan
itu seperti kehilangan landasan filosofis, lebih terkesan upaya ”coba-coba”
menghadapi berbagai kecenderungan kehidupan global. Berbagai kebijakan
tersebut bersifat ideologis, paling tidak dalam pengertian berbentuk represi
administratif nonfisis (Djokopranoto, 2011: 30-32; Althuser, 2004; 19; Eatwell
dkk, 2001: 9; Sinaga, 2008).
Di tengah hadirnya sekolah-sekolah RSBI, fenomena yang muncul
justru paradoks dalam berbagai aspek seperti tenaga kependidikan, sarana
pendidikan, dan kepemimpinan satuan pendidikan. Pemerintah, misalnya,
mengembangkan mutu sekolah menengah dengan mendorong minimal satu
sekolah yang dianggap bermutu di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia
menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI) pada tahun 2009 sesuai dengan
Renstra Depdiknas 2005-2009 di tengah kompleksitas permasalahan
pendidikan nasional. Menurut HAR Tilaar dalam pendidikan nasional mulai
terlihat gejala-gejala pelaksanaan dari prinsip neoliberalisme yang tidak selaras
dengan idealisme UUD, misalnya, pendidikan tinggi (PT) dengan bentuk badan

3
hukum milik negara (BHMN) (Rifai, 20011: 141-143; Tilaar, 2007: 242;
Darmaningtyas, 2012: 58-61).
Neoliberalisme sebagai ideologi ditandai dengan semangat
individualisme dan pasar bebas dengan berkurangnya intervensi negara sebagai
wujud dari ideologi liberalisme yang mengandung unsur-unsur ‖individualism,
freedom, reason, equality, toleration, consent, dan constitutionalism‖. Sebagai
pengembangan dari liberalisme, neoliberalisme sebagai ideologi pasar
beroperasi melalui Ideological State Apparatus (ISA) seperti sekolah, ilmu
pengetahuan, wacana sosial, guru dan melalui Represive State Apparatus
(RSA) seperti administrasi pemerintahan dalam bentuk Ujian Nasional (UN)
dan Standard Akreditasi yang bersifat administratif dan nonfisis (Heywood,
1997: 41-43; Althuser, 2004: 18-23).
Dalam konteks politik pendidikan, Sirozi (2007: 19) menyatakan bahwa
pendidikan adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga pendidikan dalam
batas-batas tertentu tidak lepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan
yang disertai otoritas dan yang dapat diberlakukan.” Karena dimensi politis
yang disebutkan di atas, sekolah-sekolah akan selalu berada pada posisi
perjuangan politis dalam hal nilai-nilai, tentang siapa yang diuntungkan dari
sebuah kebijakan pemerintah. Posisi sekolah menjadi arena pertarungan
kepentingan di antara kelompok-kelompok status masyarakat, sekolah menjadi
sarana seleksi menjadi kelompok dominan berkuasa di masyarakat (Widja,
2009:107-108). Itulah sebabnya, menurut Apple, perlu ada kajian tentang
kurikulum dalam hubungannya dengan dinamika politik, ekonomi, sosial, dan

4
budaya; bagaimana pengetahuan yang diberikan di sekolah merefleksikan
kekuasaan dan mendapat legitimasi dalam kehidupan ekonomi sehari-hari di
tengah masyarakat kapitalis, dan apa peran yang dimainkan oleh pengetahuan
tersebut dalam melanggengkan struktur sosial, ekonomi, politik dan
kebudayaan yang ada (http://www.freireproject.org/content/michael-apple, 21
Agustus 2011). Dengan demikian kebijakan Sisdiknas tidak terlepas dari sistem
politik dan ideologi sepanjang sejarah Indonesia yang mewarnai kebijakan atau
arah politik pendidikan nasional (lihat Tabel 1.1).
Tabel. 1.1 Landasan Historis Sistem Pendidikan Nasional
Sumber::http://pendidikankritis.wordpress.com
Rifai (2011: 179-180) dalam bukunya Politik Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di
masa lalu adalah penyeragaman kurikulum di Indonesia di tengah realitas
keberagaman potensi daerah dan masyarakatnya, misalnya, kurikulum sekolah
di daerah pertanian sama dengan kurikulum sekolah di daerah pesisir pantai.
Masa Pra-kolonial Kolonial Soekarno Orde Baru “Reformasi” Formal (resmi oleh
“negara”)
Pemdidikan
militer,
pembibitan penerus takhta
kerajaan
HIS, MULO,
HBS, dll
(Hindia Belanda)
SD, SMP, SMA,
PT (Pemerintah
Indonesia)
TK, SD, SMP,
SMA, PT
(pemerintah Indonesia)
Playgroup, TK, SD,
SMP, SMA, PT
(pemerintah Indonesia)
Non-formal yang diatur “negara”
SKB, Kejar pake A, B, dan C
SKB, Kejar pake A, B, dan C
Formal non-negara Taman Siswa,
Sekolah Rakyat Tan Malaka, dll
Taman Siswa,
pendidikan PKI, INS Kayutanam
Sekolah swasta
dibawah yayasan
Sekolah swasta dibawah
yayasan
Non-formal (non-
negara)
Padepokan,
pesantren, perguruan, dll
Pesantren,
gerakan bawah tanah PKI, dll
Pesantren, klub
studi (PKI), dll
Pesantren,
kursus, klub studi mahasiswa, LSM
Sekolah alternatif,
homescholing, pesnatren, LSM
Arah politik
pendidikan negara (pendidikan formal)
Status quo
kekuasaan kerajaan-
kerajaan
Kolonialisasi
Hindia Belanda
Nasionalisme
dan sosialisme Indonesia
Pembangunan
ekonomi dan insfrastruktur
Demokratisasi dan daya
saing bangsa
Posisi dan tujuan pendidikan non-negara
(rakyat)
Kekuatan oposisi dan
alternatif dari
penguasa (raja)
Melawan kolonialisme
menuju
kemerdekaan
Kedaulatan rakyat,
sosialisme,
nasionalisme
Melawan represi rezim dan
pembangun-isme
Melawan pendidikan modern, anti-neoliberal

5
Gejala yang sama tampak dalam desain RSBI/SBI dengan ”format” yang sama
di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, yaitu semangat menghasilkan lulusan
berstandar internasional dengan penguatan kemampuan bahasa Inggris dan
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).
Dalam wacana sosial terdapat gagasan pro-kontra tentang PBI, yang
bermasalah baik dari segi konsep maupun implementasi dari Undang-undang
Sisdiknas khususnya pasal 50 ayat 3. Sebagian pakar menyatakan bahwa RSBI
hanya sekedar label bagi sekolah-sekolah nasional yang pada dasarnya hanya
bermakna ”sekolah unggulan” atau ”sekolah bermutu” sehingga tidak akan
mengubah kualitas pendidikan secara signifikan, sementara pendapat lainnya
(terutama pihak pemerintah) menyatakan bahwa sekolah ini dirancang secara
khusus untuk menghasilkan lulusan yang siap bersaing dalam menghadapi era
globalisasi dengan berbagai tantangannya.
Salah satu persoalan konseptual dan implementasi satuan PBI tersebut
adalah keberadaan sekolah-sekolah RSBI dalam hal strategi seleksi terhadap
sekolah-sekolah menengah umum yang ada, khususnya sekolah-sekolah negeri
sehingga menimbulkan prokontra dan kecemburuan di tengah masyarakat
karena belum ada secara jelas kajian tentang validitas kriteria SNP dalam
sistem pendidikan nasional. Hal ini sekaligus dapat menjelaskan fenomena di
lapangan mengapa dua sekolah RSBI di lokasi yang berbeda, seperti SMA di
Jakarta dan di Bandarlampung, belum tentu memiliki standar kualitas dan
kondisi yang sama untuk menjadi sekolah RSBI.

6
Dalam perkembangannya, permasalahan PBI beberapa tahun kemudian
menjadi perdebatan publik baik di media massa maupun di ruang sidang
Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan tokoh-tokoh pendidikan,
penegak hukum, birokrat dan pejabat lembaga pendidikan, masyarakat sipil,
dan para intelektual yang umumnya berstatus dosen dan guru. Esensi
perdebatan adalah bahwa pihak yang setuju dengan RSBI beragumentasi
bahwa PBI relevan dengan konstitusi untuk mencerdaskan bangsa dalam
konteks globalisasi yang sarat dengan persaingan SDM. Pihak yang menentang
berpendapat bahwa keberadaan RSBI/SBI tidak hanya bertentangan dengan
konstitusi tetapi juga mengancam cita-cita pendidikan nasional dalam
mencerdaskan bangsa sebagaimana tampak melalui berbagai fenomena dalam
bentuk diskriminasi layanan pendidikan dan biaya pendidikan mahal yang
dilegalkan melalui berbagai peraturan yang tidak adil.
Pemerintah dalam upaya memajukan pendidikan melalui kebijakan PBI
bersifat diskriminatif dalam alokasi aggaran terhadap sekolah-sekolah yang
ada. Sekedar ilustrasi, anggaran pendidikan Tahun Anggaran 2012 yang
dialokasikan kepada sekolah-sekolah RSBI berjumlah Rp. 242 miliar
sedangkan alokasi anggaran untuk sekolah standar nasional (non RSBI) hanya
sebesar Rp.108 milyar. Padahal, jumlah sekolah RSBI di seluruh Indonesia
hanya sekitar 1300-an dari 181.083 sekolah secara nasional. Dalam hal ini,
70% alokasi anggaran justru diarahkan pada sekolah-sekolah RSBI yang
jumlahnya hanya 0,7 % dari keseluruhan sekolah yang ada di seluruh
Indonesia, sedangkan porsi 30% anggaran lainnya diperuntukkan secara tidak

7
adil bagi 99,3% sekolah yang tidak berlabel RSBI
(http://sabarnurohman.com/tag/rsbi/ 12 Maret 2014). Hal yang sama dapat juga
tergambar dari jumlah SMA yang ada di dua provinsi DKI Jakarta dan
Lampung (Tabel 1.2), hanya sejumlah kecil sekolah menengah umum yang
berstatus RSBI dan mendapat perlakuan istimewa diantara seluruh sekolah-
sekolah yang ada.
Tabel. 1.2 Jumlah SMA di Provinsi DKI Jakarta dan Lampung.
TAHUN DKI JAKARTA LAMPUNG
NEGERI SWASTA JUMLAH NEGERI SWASTA JUMLAH
2005/2006 116 385 501 121 192 313
2006/2007 116 383 499 125 193 318
2007/2008 116 378 494 132 194 326
Sumber : Diolah dari Dokumen Departemen Pendidikan Nasional 2008 pada
http://data.menkokesra.go.id/content/jumlah-sekolah-di-indonesia
Dalam konteks pendidikan kritis, yang dipelopori oleh Paulo Freire
(1970), permasalahan pendidikan terkait dengan situasi sosial-budaya
masyarakat yang mengalami perubahan, mengungkung, tidak mencerdaskan,
dan menimbulkan ketidakadilan. Prinsip utama dari pedagogi kritis ini ialah
melihat proses pendidikan tidak terisolasi dari kehidupan sosial. Visi
pendidikan kritis didasarkan pada pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa
dipisahkan dari konteks sosial, kultural, dan politik dan dalam kerangka relasi-
relasi antara pengetahuan, kekuasaan dan ideologi yang berpengaruh pada
institusi pendidikan dan subjektifitas peserta didik. Pada era globalisasi dan
abad ke-21, pedagogi kritis melihat perubahan global telah melahirkan

8
berbagai masalah krusial di dalam pendidikan, sedangkan peran pendidikan itu
sangat strategis dalam pengenalan nilai-nilai budaya sesuai dengan tuntutan
zaman (Widja, 2009; Tilaar, 2011: 38-39; Nuryatno, 2008:2).
Menurut Widja (2009) terdapat dua dimensi praktis pedagogik, yaitu
dimensi teknis (strategi, proses serta tindakan) dan dimensi normatif (kebijakan
dan rumusan nilai-nilai). Ia menekankan pentingnya permasalahan pendidikan
dilihat dari perspektif ideologis karena secara teoretis upaya pemecahan
masalah pendidikan harus dimulai dengan mengoreksi asumsi-asumsi yang
tidak realistik sebagai dasar pengambilan kebijakan politik pendidikan (Widja
2009: 1 dan 5). Ideologi dalam hal ini secara kultural menentukan gagasan-
gagasan yang mengunggulkan kepentingan kelompok sosial tertentu, tempat
berlangsungnya pertarungan makna dan kepentingan kelompok-kelompok
dominan yang membuat budaya bersifat ideologis (Widja 2009: 1 dan 5;
Cavallaro, 2004: 135; Storey, 2007: 4-5).
Kebijakan tentang PBI tidak terlepas dari berbagai isu yang diuraikan di
atas, yaitu berkaitan dengan ideologi dan pertarungan wacana dalam konteks
politik, ekonomi, sosial, budaya dan wacana ilmu pengetahuan. PBI relevan
dipermasalahkan baik pada level kebijakan maupun implementasinya di tengah
upaya memajukan pendidikan nasional memasuki “persaingan global”
bersamaan dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat atas perlunya
“budaya lokal” dan pendidikan karakter bangsa. Dalam perspektif kritis, visi
pendidikan nasional harus difungsikan untuk mengkritisi hegemoni kekuasaan

9
yang tidak berpihak pada masyarakat tertindas akibat sistem dan struktur yang
tidak adil.
Permasalahan pendidikan dapat dikatakan berbeda dari suatu daerah
dengan daerah lainnya. Dalam konteks sosial-ekonomi, implementasi
kebijakan pendidikan di sekolah menengah umum di berbagai daerah
seharusnya mempertimbangkan karakteristik dan situasi sosial, ekonomi, dan
budaya suatu daerah. Pada kenyataannya secara normatif kebijakan dan
pedoman pelaksanaan RSBI, misalnya dalam hal bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar dan berbagai standar komponen pendidikan berbasis
teknologi informasi dan komunikasi (selanjutnya TIK) diarahkan sama di
seluruh daerah. Hal ini merupakan bentuk hegemoni pemerintah melalui
kebijakan pendidikannya. Selain itu, kebijakan RSBI dengan berbagai akibat
sosial yang ditimbulkannya dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya
dan cita-cita pendidikan Indonesia, bahkan melanggar UUD 1945 (Kompas. 16
Februari 2012, hlm.12).
Dalam konteks uraian di atas, penelitian ini akan mempelajari wacana
PBI dalam konteks sistem pendidikan nasional dengan menggunakan
perspektif wacana kritis. Kajian wacana kritis melihat bahasa tidak sekedar
alat, tetapi bahasa sebagai praktik sosial yang membentuk diskursus dan
sebuah perspektif kritis yang dapat mengungkap permasalahan PBI sebagai
salah satu jenis wacana, “…critical discourse views language as a form of
social practice and focuses on the ways social and political domination
reproduced by text and talk… (Barker, 2006: 81-83; Nunan, 1993: 12).

10
Dalam pandangan Cultural Studies, bahasa adalah budaya dan budaya
merupakan praktik hidup sehari-hari termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni,
dan kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat” (Lubis, 2006: 147; Storey, 2007: 2; Sardar dan Van Loon, 2001: 4
dalam Parimatha, 2010). Dalam hal ini, berbagai teks yang menyangkut
pengalaman siswa, guru, pemangku kepentingan pendidikan serta teks Undang-
undang dan kebijakan yang mengkonstruksi wacana PBI penting untuk
dianalisis secara kritis. Tilaar (2011: 37) menyatakan bahwa bahasa
mempunyai arti konstruksi di balik terwujudnya kata-kata di dalam bahasa itu.
Dari bahasa dapat dibaca mengenai bentuk-bentuk regulasi dan dominasi di
dalam kehidupan suatu masyarakat (Ascroft, dkk, 1989: 15-17; Tilaar, 2011:
37).
PBI dalam implementasinya merujuk teori-teori pendidikan yang
banyak bersumber dari “Barat”, misalnya, dalam penyusunan kurikulum,
seleksi metode, dan penetapan materi ajar. Homi Bhabha (dalam Supriyono,
2004: 141) menyatakan bahwa teori itu sendiri merupakan wahana ideologi
yang dapat menciptakan situasi politis. Dalam konteks inilah, berbagai
kebijakan dan wacana pengetahuan berdampak pada landasan kependidikan,
kurikulum, dan manajemen pendidikan, yang sekaligus merefleksikan ideologi
politik kekuasaan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Ideologi dalam
hal ini merupakan satu praktik yang di dalamnya individu-individu dibentuk,
dan pembentukan ini sekaligus menentukan orientasi-orientasi sosial mereka
untuk bertindak dalam suatu struktur yang selaras dengan ideologi tersebut.

11
Ideologi diproduksi oleh lembaga-lembaga, yang disebut oleh Althuser sebagai
perangkat ideologi negara (State Idiological Apparatus) (Piliang, 2004: 456).
Ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius,
sentimen, kaidah etis, pengetahuan tentang dunia etos, dan semacamnya.
Dalam pengertian sempit, ideologi mengacu pada sistem gagasan yang dapat
digunakan untuk merasionalisasikan, menyerang, atau menjelaskan keyakinan,
tindakan, atau pengaturan kultural tertentu. Suatu sistem gagasan yang bersifat
”ideologis” biasanya dipahami sebagai gagasan-gagasan yang bersifat partisan.
Karena sifatnya yang subjektif, ideologi tidak dapat diketahui melalui
pengamatan langsung tetapi dapat disimpulkan dari suatu bentuk perilaku,
yakni melalui pengamatan terhadap orang-orang yang berinteraksi dalam
berbagai sistem sosial (Kaplan, 2002: 154-157).
Secara teoretis ideologi pendidikan nasional melalui berbagai kebijakan
dan implementasinya beroperasi secara linear melalui lembaga-lembaga
pendidikan dan programnya. Namun akibat dinamika kekuasaan dan wacana
sosial-budaya serta ”power relations” di era globalisasi, sistem pendidikan
menjadi alat kekuasaan pemerintah untuk membangun dan melestarikan
ideologinya baik secara sadar maupun tidak. Pendidikan dapat menjadi sekedar
alat untuk memenuhi tuntutan pasar kerja, bukan dalam prinsip humanistik
untuk mampu berpartisipasi dalam budaya dan masyarakat pendukungnya.
Di satu pihak, wacana PBI dalam bentuk RSBI/SBI menunjukkan
gejala-gejala kapitalisme yang tidak mengarah pada cita-cita pendidikan
nasional. Di pihak lain, sesuai UUD 1945, tujuan pendidikan nasional adalah

12
untuk mencerdaskan, menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas (Tilaar,
2007: 242; Tilaar, 2006;76). Pendidikan dalam konteks pembangunan
nasional diharapkan memperkuat keutuhan bangsa, memberi kesempatan
yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam
pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara untuk dapat
mengembangkan potensinya secara optimal.
Sementara Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam
relasi sosial melalui proses diskursif (formasi diskursif) dan bagaimana
ideologi beroperasi, direproduksi, dan dipertahankan melalui bahasa. Bagi
Foucault, diskursus bersifat ideologis dan politis serta berperan „menyatukan‟
bahasa dan praktik produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberikan
makna kepada objek material dan praktik sosial. Dalam teori orientalisme,
diskursus memiliki kekuatan untuk mengubah atau memengaruhi realitas.
Dalam hal ini, ada hubungan antara kuasa dan pengetahuan yang dapat
mengubah realitas sosial melalui kekuasaan yang direproduksi dalam suatu
jaringan diskursif (Barker, 2006: 81-83; Said: 1978: 3; Gandi: 100-101).
Dalam konteks wacana kritis, Mbete (2010) menyatakan bahwa bahasa
merupakan fenomena sosial yang sarat makna kultural, bahasa tidak hanya
sekedar alat (means), namun bahasa lebih dipandang sebagai energi, termasuk
energi kekuasaan yang di dalamnya ada dominasi dan hegemoni. Karena itu,
penelitian ini penting dilakukan untuk memahami hegemoni PBI melalui,
misalnya, wacana historis tentang “standard internasional”, UU Sisdiknas,
neoliberalisme, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan berbagai isu

13
penting lainnya yang terkait dengan pendidikan dan globalisasi (Beoang, 1997:
xviii).
Menurut Althusser ideologi tidak mencerminkan dunia nyata,
melainkan merepresentasikan “hubungan-hubungan imajiner” individu-
individu terhadap dunia nyata, sedangkan posisi ideologi itu dibutuhkan
masyarakat untuk mampu memaknai dan mengubah kondisi eksistensialnya
(Storey, 2003: 160-172). Ideologi memiliki eksistensi material, yakni aparatus-
aparatus dan praktek-prakteknya yang diyakini dan dihayati oleh semua
kelompok, dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan tatanan
masyarakat yang sudah ada. Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok
kecil, dalam citraan, dalam obyek yang digunakan masyarakat, dan dalam
organisasi-organisasi seperti sekolah, rumah dan media massa. Ideologi
mencakup asumsi-asumsi, keyakinan, dan sistem nilai yang beroperasi dalam
konteks sosial dan budaya, misalnya pilihan konteks lokal, nasional atau global
(Hatim B dan Munday J, 2004: 102; Hatim dan Mason, 1997: 147).
Kehadiran RSBI/SBI sebagai sebuah “terobosan” dalam sistem dan
penyelengaraan pendidikan nasional sangat kontroversial. Kendati program ini
dibangun atas argumentasi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan daya
saing nasional menghadapi era globalisasi, sejak awal kehadirannya program
ini telah menuai banyak kritik dari masyarakat dan para pakar pendidikan.
Kritik yang muncul, misalnya, bahwa sekolah RSBI merupakan pengembangan
dari ideologi kapitalisme dan neoliberalisme karena dalam implementasinya
“hanya” memberi kesempatan kepada kelompok ekonomi atas dengan modal

14
kuat dan semangat persaingan tinggi karenanya sulit diakses oleh masyarakat
miskin untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Para pendudukung bentuk
sekolah seperti ini umumnya adalah dari kalangan birokrasi pendidikan dan
masyarakat kelas menengah.
Berbagai permasalahan muncul baik yang terkait dengan konsep dan
relevansi PBI dalam sistem pendidikan nasional maupun persoalan-persoalan
politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang melihat kebijakan PBI sebagai
bentuk anomali dan pengingkaran terhadap cita-cita pendidikan nasional.
Pendidikan nasional dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan sosial
(ketidakadilan) dan budaya (nilai-nilai), ekonomi (kesenjangan sosial) dan
politik (demokrasi) yang jika tidak ditangani secara tepat dapat meruntuhkan
kehidupan bangsa.
Salah satu realitas wacana PBI ini adalah beragamnya persepsi berbagai
kalangan baik di ranah pendidikan maupun masyarakat terhadap eksistensi
RSBI dan munculnya berbagai permasalahan yang tidak kondusif bagi
pengembangan pendidikan nasional. Pakar pendidikan Winarno Surakhmad
pernah menyatakan bahwa RSBI atau sekolah internasional itu adalah konsep
yang tidak ada di dunia, kecuali di Indonesia. Hal ini menggambarkan konsep
PBI ini tidak saja lemah dan membingungkan tetapi juga tidak memiliki
pijakan filosofis dalam pendidikan Indonesia. Model pendidikan RSBI ini
dipandang tidak menggambarkan semangat mencerdaskan bangsa sesuai
dengan cita-cita para pendiri bangsa, khususnya dengan ketentuan patokan
mutu pendidikan ke salah satu negara yang tergabung dalam Organisation for

15
Economic Cooperation and Development (OECD) dalam memajukan
pendidikan nasional (Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm. 9).
Paulo Freire dan Ivan Illich pada tahun 70-an telah mengkritik dan
menyadarkan banyak orang bahwa dunia pendidikan yang selalu diasumsikan
penuh kebajikan ternyata mengandung penindasan. Samuel Bowels dalam
konteks pendidikan di Amerika Serikat juga mengkritik kapitalisme dengan
melakukan analisis politik ekonomi terhadap pendidikan. Dalam hal ini
pendidikan dipandang sebagai reproduksi terhadap sistem kapitalisme (Fakih,
2001: x-xi). Permasalahan ideologis dalam PBI perlu dibongkar dengan
menyelidikinya dari berbagai wacana pendidikan dan wacana globalisasi dalam
sistem pendidikan (persekolahan), dan politik budaya dari dimensi konstruksi
dan reproduksi ideologis-kultural. Penelitian ini menganalisis bagaimana
unsur-unsur „kuasa‟ beroperasi melalui institusi sekolah, wacana sosial-budaya,
dan ilmu pengetahuan dalam pendidikan menengah umum.
Penelitian ini dilakukan dengan perspektif teori-teori kritis dalam
paradigma kajian budaya, yang melihat wacana PBI sebagai sebuah konstruksi
dalam konteks relasi-kuasa hegemonik negara dan ditopang oleh wacana
globalisasi dalam sektor pendidikan. Wacana PBI dipandang sebagai arena
kontestasi ideologis kultural yang mengandung hegemoni, dominasi dan
ketidakadilan yang melibatkan struktur kekuasaan negara, masyarakat sipil dan
agen-agen pendidikan.
Kontestasi wacana tentang PBI terjadi paling tidak selama lima tahun
pelaksanaan RSBI sejak 2006 dalam berbagai wacana seperti Uji Materi pasal

16
50 ayat (3) Undang-undang Sisdiknas 2003 melalui sidang-sidang yang
akhirnya pasal tersebut dibatalkan oleh MK karena dinilai bertentangan dengan
semangat konstitusi. Dalam hal ini, sidang-sidang MK tentang wacana PBI
tersebut dipandang bagian dari kontestasi kekuasaan tentang hegemoni dan
kontra hegemoni PBI yang melibatkan pemerintah, intelektual, dan masyarakat
sipil.
As with the third dimension of power, hegemonic rule involves the
capacity of a ruling class (or an elite or, more generally still, the status
quo) to contain the subordinate masses through the enculturation of
„common sense‟ ways of thinking and acting. To take this a step further,
hegemony involves a process through which both rulers and ruled get
something tangible, both material and psychological, out of their capacity
to participate. Hegemonic (consensual) rule thus can only take place when
the dominated take part; when they, in effect, become co-authors of their
own oppression. But, as in the first dimension of power, this does not
necessarily mean that the ruled want to be ruled (Comor, 2008: 33).
Dengan penggambaran di atas tentang proses hegemoni, penelitan ini
mengeksplorasi bagaimana hegemoni kelompok dominan (negara) berhadapan
dengan kelas subordinat (masyarakat sipil dan pendidikan) tentang pentingnya
PBI dalam pendidikan menengah umum. Eksplorasi dan analisis dilakukan
melalui berbagai sumber data seperti, dokumen, sekolah-sekolah dan wacana
sidang MK terkait pasal 50 ayat (3) Undang-undang No 20 Tahun 2003 dan
implementasinya. Penelitian ini juga penting dari perspektif cultural studies
karena misi keberpihakannya pada kelompok subordinat dan posisi intelektual
organik yang resisten terhadap dominasi dan kepemimpinan politik (Lubis,
2006: 153-154; Gramsci, 1971: 57).
Teori sosial kritis berpandangan bahwa dominasi (dalam masyarakat)
bersifat struktural, dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar, seperti

17
politik, ekonomi, budaya, ideologi, dan diskursus. Teori sosial kritis berupaya
membongkar struktur yang mendominasi masyarakat dan memahami akar
penindasan yang terjadi. Teori kritis juga berkeyakinan bahwa struktur
dominasi diproduksi melalui kesadaran palsu manusia yang dilanggengkan
melalui ideologi (Marx), hegemoni (Gramsci), dan wacana kuasa (Foucault).
Dalam hal ini, teori kritis mencoba menyingkap kesadaran palsu tersebut
(Lubis, 2006: 62-63).
Penelitian ini juga bersifat aktual dan kontekstual dengan adanya
Putusan MK dan permohonan pihak pemerintah pasca putusan MK yang
diwakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar penyelenggaraan RSBI di
lapangan diberikan masa transisi hingga Juli 2013 untuk selanjutnya dilakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan amanat konstitusi yang menghendaki
penyelenggaraan pendidikan model RSBI dihentikan demi keadilan karena
menimbulkan banyak permasalahan sosial dan politik (Kompas, Jumat 1
Februari 2012, hlm. 12; Kompas, Kamis Januari 2013, hlm. 1 dan 18).
Dari perspektif teori kritis, ada beberapa asumsi yang dibangun dalam
penelitian ini. Pertama, sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari
dinamika sosial, ekonomi dan politik yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme
dan liberalisme global yang kemudian melahirkan kebijakan PBI. Kedua,
negara dengan berbagai institusi yang menopangnya berperan menghegemoni
masyarakat melalui berbagai wacana UU, kebijakan dan implementasi PBI
yang kemudian menimbulkan permasalahan politik, sosial, ekonomi, dan
budaya. Ketiga, pengetahuan bersifat ideologis, merefleksikan nilai-nilai,

18
gagasan, dan kepentingan kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, ideologi
bekerja untuk mendukung atau menentang (praksis sosial) tatanan ekonomi dan
sosial yang berlaku melalui peran para agen untuk melanggengkan atau
melawan (resisten terhadap) keberadaan PBI dalam pendidikan menengah
umum sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian di atas, wacana atau tema PBI yang menjadi fokus
penelitian ini menarik dan penting untuk diteliti secara kritis dengan rumusan
permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk hegemoni pendidikan bertaraf internasional
dalam pendidikan menengah umum?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi hegemoni pendidikan
bertaraf internasional dalam pendidikan menengah umum?
3. Apakah makna hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam
pendidikan menengah umum?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, dengan
uraian sebagai berikut.

19
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami bentuk-bentuk
hegemoni PBI dan faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI serta makna
hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum.
1. 3. 2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Untuk memahami bentuk-bentuk hegemoni pendidikan bertaraf
internasional dalam pendidikan menengah umum.
2. Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni pendidikan
bertaraf internasional dalam pendidikan menengah umum.
3. Untuk memahami makna hegemoni pendidikan bertaraf internasional
dalam pendidikan menengah umum.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini secara teoretis dan praktis dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1.5. 1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan permasalahan hegemoni PBI
dalam pendidikan menengah umum dari perspektif kajian budaya. Penelitian
ini diharapkan sebagai “pintu masuk” untuk meneliti permasalahan-
permasalahan pendidikan dari perspektif teori-teori kritis kontemporer yang

20
mengarah pada perubahan sosial dan paradigma pendidikan yang
memerdekakan.
1.5. 1. Manfaat Praktis
Pada tingkat praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk (1)
memberikan pemahaman kepada pihak pemangku kepentingan dalam
pendidikan untuk bersikap kritis terhadap wacana globalisasi dan kebijakan
pendidikan menengah umum dan (2) masukan bagi pemangku kepentingan
dalam pendidikan nasional untuk memahami dan melaksanakan kebijakan
pendidikan secara kritis dan inovatif dengan mempertimbangkan realitas
sosial-kultural bangsa dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang
dapat “mendamaikan” kehidupan lokal, nasional, dan global.

21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Fokus penelitian ini adalah mengungkap bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam
pendidikan menengah umum, faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI, dan
makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Menganalisis
permasalahan PBI dalam konteks pendidikan nasional melibatkan banyak unsur dan
sifatnya kompleks karena terkait dengan wacana pendidikan dan globalisasi dalam
relasi kekuasaan, Undang-undang, kebijakan kurikulum, metode pembelajaran, buku
teks, dan dinamika wacana PBI sejak kemunculannya hingga akhirnya dasar
hukumnya dianulir oleh lembaga MK. Penelitian ini sendiri dilakukan di lapangan
sejak Januari 2012. Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah wacana PBI dan
eksistensi RSBI/SBI sebagai bagian dari wacana PBI sebelum pembatalan dasar
hukumnya oleh lembaga MK 8 Januari 2013.
Untuk menempatkan permasalahan penelitian ini dalam ranah pendidikan dan
budaya, pada bagian ini dibahas beberapa buku, artikel dan laporan penelitian yang
relevan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penelitian ini. Masing-
masing rujukan dibahas secara ringkas namun mendasar untuk melihat persamaan
dan perbedaannya dengan penelitian yang diajukan di sini. Dengan cara demikian,

22
penelitian ini tampak dalam hal kebaruannya (novelty) dan urgensinya baik dalam
ranah kajian budaya maupun dalam bidang pendidikan.
Dalam konteks pendidikan nasional, praktek hegemoni (budaya) dapat terjadi
melalui berbagai piranti dalam pendidikan nasional. Negara merekayasa kesadaran
masyarakat untuk mendukung kekuasaan negara melalui para intelektual dalam
birokrasi dan intervensi berbagai lembaga pendidikan sebagai sarana hegemoni di
tengah masyarakat Indonesia kontemporer (Takwin, 2009: 74). Perangkat komputer
dan internet, misalnya, dalam konteks proses pembelajaran berbasis TIK, telah
menjadi “tuntutan wajib” dalam metode pembelajaran di kelas dewasa ini. Kehadiran
teknologi ini bermasalah tidak saja terkait dengan pemerataan pengadaan perangkat
ini di sekolah tetapi juga karena guru-guru seringkali tertinggal pengetahuan dan
keterampilannya dari siswanya sendiri.
Sejauh ini berdasarkan penelusuran kepustakaan, penelitian tentang hegemoni
PBI dan implikasinya secara sosial, ekonomi dan budaya belum mendapat perhatian
yang memadai di kalangan akademik dan peneliti pendidikan. Pada hal, dari segi
wacana dan isu yang yang berkembang paling tidak selama lima tahun terakhir,
kehadiran program PBI ini dalam sistem pendidikan nasional mendapat sorotan tajam
dan kritik dari berbagai pihak yang peduli dengan permasalahan pendidikan nasional,
khususnya pendidikan menengah umum. Penelitian tentang wacana PBI dari
perspektif ideologis-kultural belum mendapat perhatian signifikan dari para peneliti
pendidikan yang sepadan dengan wacana, respons masyarakat, serta efek yang
ditimbulkannya terhadap pendidikan dan masyarakat pada umumnya.

23
Banyak penelitian yang ada masih berfokus pada masalah-masalah yang
berdimensi teknis seperti metodologi dan efektifitas pengajaran/pembelajaran,
relevansi kurikulum dengan buku teks, dan berbagai bentuk penelitian yang sifatnya
evaluatif terhadap penyelengaraan pembelajaran dan kebijakan pendidikan. Secara
keseluruhan penelitian tersebut belum banyak menyentuh permasalahan ideologis-
kultural dengan menggunakan teori-teori kritis untuk memahami PBI dalam konteks
hegemoni dan sebagai arena kontestasi wacana sebagaimana diajukan dalam
penelitian ini.
Dalam konteks kajian budaya dan pedagogi kritis, pendidikan harus digugat
dari perspektif ideologi terhadap kekuasan hegemonik yang membelenggu
pendidikan dan wacana kuasa/pengetahuan sehingga pendidikan itu tidak sekedar
bersifat instrumental tetapi juga sebagai proses penanaman nilai-nilai dan penguatan
karakter anak didik yang bersifat fundamental dalam konteks keindonesiaan. Dalam
semangat yang sama, Henry Giroux menggabungkan teori hegemoni Gramsci dan
kajian budaya untuk menganalisis pendidikan kapitalis sebagai kekuatan korporasi
dan dominasi. Giroux dalam kajiannya mengaitkan cultural studies, teori pendidikan
dan teori sosial-politik dalam upaya meningkatkan kesadararan dan memberdayakan
generasi mendatang dan menghidupkan demokrasi (Lubis, 2006: 158-159).
Michael Apple (1978: 495-503) dalam sebuah tulisannya ”The New Sociology
of Education: Analyzing Cultural and Economic Reproduction” menyatakan bahwa
sekolah merupakan lembaga reproduksi ekonomi dan budaya, namun cara
beroperasinya dalam lembaga pendidikan sangat kompleks. Menurut Apple eksistensi

24
sekolah tidak terlepas dari hubungannya dengan institusi yang lebih berkuasa, yaitu
berbagai institusi yang dapat menghasilkan ketidakadilan struktural dan ketidakadilan
dalam akses terhadap berbagai sumber daya. Melalui kurkulum, kegiatan pedagogis
dan berbagai kegiatan evaluatif di kelas, sekolah-sekolah berperan besar dalam
mempertahankan jika tidak dapat dikatakan menghasilkan ketidakadilan tersebut
(http://newlearningonline.com/) dan (curriculum/michael-apple-on-ideology-in-
curriculum).
Ada beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini yang masing-
masing memiliki kontribusi yang khas terhadap kerangka pemikiran dalam penelitian
ini. Karti Soeharto (2009) mengkaji ideologi pendidikan nasional dengan judul
penelitian disertasi “Politik Pendidikan Nasional: Analisis Ideologi Pendidikan
Melalui Interpretasi Elit Pendidikan Indonesia Terhadap UU No 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas”. Penelitian ini menganalisis ideologi pendidikan nasional dari
perspekftif elit pendidikan Indonesia. Analisisnya memberikan wawasan umum
tentang peta ideologi pendidikan ”universal” dan posisi ideologi Undang-undang
Sisdiknas dalam rumpun ideologi pendidikan yang ada, konservatif dan liberal.
Secara khusus penelitian Karti ini mempermudah peneliti memahami konsep-konsep
tentang kekuasaan, kewenangan dan legitimasi dalam kaitannya dengan teori-teori
Foucault dan Gramsci yang digunakan dalam memahami permasalahan penelitian ini.
Secara umum kesimpulan penelitian Karti yang disebutkan di atas adalah
bahwa ideologi pendidikan nasional merupakan konvergensi ideologi konservatif dan
progresif. Ideologi Pendidikan Nasional sebagaimana direpresentasikan dalam UU

25
Nomor 20 Tahun 2003 adalah ideologi pendidikan konservatisme sosial revisionis
dan ideologi liberalisme kompromistik, lebih bersifat teoretis dan abstrak, tidak
didasarkan pada kasus-kasus praksis pendidikan nasional. Berbeda dari penelitian
yang dilakukan di sini, penelitian Karti tidak melihat permasalahan pendidikan
nasional dari perspektif teori-teori kritis khususnya Teori Hegemoni dan Teori
Kuasa/Pengetahuan dalam implementasi kebijakan pendidikan.
Mbula Darmin (2011) dengan judul karya disertasinya “Penelitian Kebijakan
tentang Internasionalisasi Pendidikan di Indonesia” menyoroti isu internasionalisasi
pendidikan dalam kebijakan pendidikan nasional. Fokus penelitian ini adalah
penelitian kebijakan internasionalisasi pendidikan dalam rangka memahami konsep
SBI dalam konteks globalisasi dan negara kebangsaan Indonesia. Salah satu
kesimpulan penelitian ini adalah bahwa konseptualisasi SBI sebagaimana
konseptualisasi OECD menyisakan masalah abadi bagi Indonesia karena definisi dan
konseptualisasinya tidak sesuai dengan konsep pendidikan menurut Pancasila dan
UUD 1945. Penelitian ini memberikan pemahaman tentang konsep-konsep terkait
dengan ideologi liberalisme kapitalis dan aspek-aspek sosial dari pendidikan yang
tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Sebagaimana penelitian Karti, penelitian ini
lebih ditekankan pada pemahaman pendidikan nasional dan internasionalisasi
pendidikan secara etik.
Penelitian disertasi oleh Ketut Suda (2009) dengan judul “Merkantilisme
Pengetahuan dalam Pendidikan: Studi Kasus di Sekolah Dasar Melati Sukma
Denpasar” mengkaji tentang praktik merkantilisme pengetahuan sebagai akibat dari

26
masuknya ideologi dan sistem ekonomi pasar kedalam perekonomian nasional dan
pendidikan. Dengan menggunakan teori-teori hegemoni, komodifikasi, dan
dokonstruksi penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
merkantilisme pengetahuan dalam sektor pendidikan seperti sistem penggajian guru
dan marginalisasi guru dalam proses pembangunan. Bentuk merkantilisme yang
ditemukan dalam penelitian ini antara lain pemberian pembelajaran tambahan dan
penjualan produk industri yang terkait dengan pendidikan. Penelitian ini memberi
wawasan kepada peneliti tentang proses terjadinya kapitalisasi pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar sebagai akibat “ekonomi pasar”. Berbeda dari penelitian
tersebut, penelitian yang diajukan penulis di sini memiliki objek formal yang berbeda
yaitu hegemoni Pendidikan Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan menengah
umum dan menggunakan teori-teori kritis seperti teori wacana kuasa/pengetahuan
(postruktural) untuk lebih memahami terjadinya proses hegemoni kapitalisme dan
neoliberalisme dalam pendidikan.
Disertasi penelitian dengan judul “Pengaruh Harapan Pelanggan, Kualitas
yang Dipersepsi Pelanggan, Nilai yang Dipersepsi Pelanggan, Kepuasan Pelanggan,
dan Keluhan Pelanggan terhadap Loyalitas Pelanggan di Sekolah Bertaraf
Internasional” oleh Martinus Tukiran (2007) memberikan wawasan tentang hubungan
masyarakat dengan berbagai aspirasinya tentang layanan pendidikan yang lebih
dipandang sebagai komoditas. Penelitian ini berangkat dari paradigma berpikir bahwa
pendidikan merupakan komoditas yang melibatkan lembaga penyedia jasa dan
pelanggan dengan prinsip-prinsip transaksional seperti kepuasan pelanggan.

27
Paradigma penelitian ini menguatkan paradigma ekonomi liberal bahwa pendidikan
sebagai industri jasa dan komoditas berbeda dengan industri jasa lainnya dalam hal
hubungan pelanggan-penyedia atau pelayanan dengan standar “kepuasan pelanggan”
dalam industri pendidikan.
Penelitian lainnya yang penting dan relevan disajikan di sini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Mochtar Marhum (t.th:7-8) melalui judul tulisannya English
Language in Indonesian Schools in the Era of Globalization tentang posisi bahasa
Inggris dalam hubungannya dengan RSBI dan implementasi pendidikan. Penelitian
ini melihat positif kehadiran atau kebijakan RSBI/SBI dalam sistem pendidikan
nasional dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam rangka
meningkatkan kompetensi komunikasi anak didik dan upaya membangun daya saing
Indonesia dalam konteks global. Salah satu hasil penelitian ini menegaskan
pentingnya RSBI/SBI sebagai “terobosan” dalam memacu daya saing nasional dalam
era globalisasi. Penelitian ini lebih berfokus pada perspektif pendidikan dan
pembelajaran dengan paradigma positivistik, tidak dianalisis berdasarkan teori-teori
kritis dan pandangan ideologis-kultural dalam melihat hubungan antara bahasa
Inggris dan ideologi globalisasi yang dapat bersifat hegemonik.
Berbeda dari semua penelitian yang disajikan di atas, penelitian tentang
Hegemoni PBI ini mencoba memahami wacana PBI dalam konteks pendidikan
menengah umum sebagai sebuah konstruksi yang tidak bebas dari ideologi
hegemonik dan wacana globalisasi. Hegemoni kekuasaan negara dan wacana
globalisasi berperan mengonstruksi dan merasionalisasi PBI dalam sistem pendidikan

28
nasional. Selain itu, penelitian ini didasarkan pada kajian fenomena di lapangan
(emik) dan dibangun atas hipotesis bahwa ideologi globalisme (kapitalisme dan
neoliberlisme) dengan berbagai derivatnya seperti standarisasi dan komodifikasi
pendidikan merupakan bentuk hegemoni kekuasaan yang ditopang oleh wacana
kuasa/pengetahuan dan beroperasi melalui berbagai wacana UU dan kebijakan
pemerintah, lembaga politik, praktik pendidikan dan intelektual yang kemudian
membentuk kebijakan PBI. Hal ini dianalisis dengan menggunakan teori-teori
hegemoni, wacana kuasa/pengetahuan dan praktik sosial dalam konteks kajian
budaya. Dalam hal ini, berbagai wacana sosial, ekonomi, budaya dan politik
dipandang sebagai “peristiwa” yang saling terkait dalam menghasilkan wacana PBI.
Kerangka pikir kritis kajian budaya berbeda dari penelitian berparadigma
positivistik. Kajian budaya bersifat politis dan menekankan perspektif ideologis
dalam memahami suatu “objek”, ada posisi keberpihakan pada “subjek” yang
tertindas (subordinat) dalam suatu struktur kekuasaan. Hal ini berbeda dari paradigma
positivistik dalam ilmu pengetahuan yang dinilai bersifat “objektif” dan “bebas nilai”.
Sejalan dengan perspektif kritis tersebut, teori-teori yang digunakan untuk memahami
objek formal penelitian ini adalah teori-teori kritis dalam paradigma kajian budaya.
Dengan berbagai uraian di atas tentang penelitian terkait dan sepanjang peneliti
ketahui, penelitian tentang “Hegemoni Pendidikan Bertaraf Internasional dalam
Pendidikan Menengah Umum” merupakan “objek” penelitian baru dan berbeda dari
berbagai penelitian yang telah disajikan di atas. Dengan demikian “novelty” dari

29
penelitian ini sangat jelas dan penting diteliti dalam hubungan ilmu pendidikan dan
kajian budaya.
2.2 Konsep
Ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini sesuai dengan
berbagai teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan penelitian, yaitu
tentang hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum.
2.2.1 Hegemoni
Menurut Raymond William (1998: 144-145) hegemoni berarti bahwa negara
mengontrol pihak subordinat secara langsung dan mengarahkan bagaimana cara
memandang dunia. Dalam hal ini hegemoni juga menyangkut upaya dominasi tentang
bagaimana cara memandang dunia secara intelektual dan politis yang diungkapkan
melalui berbagai institusi. Pengertian hegemoni terkait erat dengan ideologi. Dalam
hal ini, ideologi dimaknai sebagai pengalaman hidup dan ide sistematis yang berperan
mengorganisasi dan secara bersama-sama mengikat satu blok yang terdiri dari
berbagai perekat sosial, dalam pembentukan blok hegemonis dan blok kontra-
hegemonis. Ideologi merupakan satu praktik yang di dalamnya individu-individu
dibentuk dan diorientasikan untuk bertindak dalam struktur ini dengan berbagai cara
yang selaras dengan ideologi (Barker, 2006: 62-63; Piliang, 2004: 456).
Menurut Magnis-Suseno (1992: 229) istilah ”ideologi” dipergunakan dalam
pengertian yang berbeda-beda. Magnis menguraikan makna ideologi pada salah satu

30
(atau kombinasi) dari tiga arti: (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi
dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Ideologi
dalam arti yang pertama biasanya dipergunakan oleh kalangan filsuf dan ilmuwan
sosial sebagai teori-teori yang berorientasi pada kepentingan pihak yang
mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas sosial tertentu
yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Kedua, ideologi dalam arti
netral adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok
sosial tertentu, seperti “ideologi negara”. Dalam pengertian yang kedua ini, baik
buruknya suatu ideologi tergantung kepada isi ideologi tersebut. Pengertian yang
ketiga menyangkut keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat
dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Menurut Bagus (2002: 306) ideologi memiliki
arti pejoratif (negatif) sebagai teorisasi dan khayalan kosong yang tidak realistis; atau
bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas yang sesungguhnya.
Dalam konteks pemikiran Gramsci, ideologi dipahami sebagai ide, makna dan
praktik yang merupakan peta makna yang mendukung kekuasaan kelompok sosial
tertentu. Ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktifitas praktis kehidupan. Ideologi
memandu atau menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntutan moral yang sepadan
dengan kesatuan keyakinan antara konsepsi tentang dunia dan norma tindakan terkait.
Gagasan Gramsci dalam konteks Cultural Studies tidak hanya memperhatikan budaya
populer sebagai ranah perjuangan ideologis, tetapi juga perjuangan ideologis dan
konflik di dalam masyarakat sipil sebagai arena sentral dalam politik budaya
(Gramsci, 1971: 349; Lubis, 2006: 141-142).

31
Wacana digunakan dalam berbagai disiplin ilmu: linguistik (kritis), psikologi,
sosiologi, sastra dan budaya dengan cakupan makna yang beragam. Salah satu
definisi yang paling luas dan relevan dengan penelitian ini adalah:‘the general
domain of all statements‘; that is, all utterances or texts which have meaning and
which have some effects in the real world count as discourse” (arena seluruh
pernyataan yang bersifat umum; yaitu berbagai bentuk ujaran atau teks yang memiliki
makna dan pengaruh dalam dunia realitas dipandang sebagai wacana). Definisi
lainnya adalah ‗an individualizable groups of statements‘ (sekelompok pernyataan
yang berdiri sendiri) yang memiliki keteraturan, koherensi dan kekuataan dalam suatu
struktur. Diskursus juga mencakup unsur-unsur, seperti pernyataan, aturan, subjek,
proses, praktik, dan gagasan (Mills, 1997: 7).
Pada level sistem ekonomi sosial, wacana dapat mengacu pada dominasi yang
mengatur praktek gagasan, konsep, kategori and representasi makna sosial di dalam
masyarakat, seperti wacana neoliberalisme, kapitalisme, sosialisme dalam sistem
ekonomi. Efek ideologis suatu wacana dapat secara kognitif memengaruhi peserta
wacana (Fairclough, 1992: 92). Menurut Foucault (2002:9), diskursus atau wacana
merupakan cara untuk menghasilkan, praktik sosial, bentuk subjektivitas yang
terbentuk darinya, relasi kekuasaan dibalik pengetahuan dan praktik sosial tersebut
yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Diskursus atau wacana adalah apa yang menyatukan bahasa dan praktik,
gagasan yang mengacu pada produksi pengetahuan lewat bahasa kemudian
memberikan makna pada praktik-praktik sosial dan objek-objek material.

32
Pengetahuan dan bahasa secara diskursif mengonstruksi, mendefinisikan dan
memproduksi objek-objek pengetahuan secara rasional. Wacana merujuk pada
komunikasi pikiran, ekspresi gagasan-gagasan, percakapan, kata, terutama sebagai
suatu subjek studi dan pokok kajian dalam risalah tulisan, disertasi, kuliah, ceramah,
lisan atau tulisan yang pembahasannya merupakan hubungan antara konteks-konteks
yang terdapat dalam teks (Soetrisno, 2007:286; Sobur, 2009: 9-10).
2.2.2 Pendidikan Bertaraf Internasional
Dalam penelitian ini pendidikan bertaraf internasional (PBI) mengacu pada
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 50 ayat (3) yang
menyatakan, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-
kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” Frase ”satuan
pendidikan yang bertaraf internasional” dalam Pasal 50 ayat (3) dipertegas lagi
dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan Pasal 61 ayat (1): Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar
dan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk
dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (selanjutnya SBI). Dalam
implementasinya, RSBI merupakan satu bentuk layanan pendidikan fomal pada suatu
satuan pendidikan dalam ”sejarah ” sistem pendidikan nasional. RSBI dalam hal ini
merupakan tahapan dan strategi menuju SBI sesuai amanat Undang-Undang tersebut

33
di atas. Secara konsep dan implementasi PBI mengacu pada berbagai peraturan dan
ketentuan pelaksanaan di lapangan, antara lain, SNP, orientasi kurikulum OECD dan
kerjasama dengan mitra sekolah di luar negeri, penggunaan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar, sertifikasi ISO, pembelajaran berbasis teknologi dan informasi
(TIK) dan partisipasi dalam Olimpiade.
2.2.3 Pendidikan Menengah Umum
Pendidikan menengah umum dalam penelitian ini merujuk pada Pasal 18 ayat
(1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan
rumusan yakni, jenjang pendidikan sebagai lanjutan pendidikan dasar dan pendidikan
menengah umum yang berbentuk sekolah menengah atas (SMA). Berbeda dari
pendidikan menengah kejuruan, seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
pendidikan menengah umum lebih diarahkan pendidikannnya pada bidang akademik
dan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi.
Dengan uraian di atas tentang konsep-konsep dalam penelitian ini, hegemoni
PBI dalam pendidikan menengah umum secara ringkas menyangkut dominasi atau
kontrol dari pihak dominan (pemerintah sebagai representasi negara) atas subordinat
(pelaku dan pemangku kepentingan pendidikan) melalui berbagai wacana dan praktik
diskursif, sistem berpikir, gagasan, nilai-nilai, institusi dan praktik-praktik Pendidikan
Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan menengah umum sehingga pihak-
pihak yang terkait dengan pelaku pendidikan pada Pendidikan Menengah Umum

34
berpikir dan bertindak sesuai dengan konstruksi berpikir dan kepentingan pihak
hegemonik.
2.3 Landasan Teori
Permasalahan wacana PBI dalam penelitian ini dijelaskan dengan
menggunakan Teori Hegemoni (Gramsci) yang didukung oleh Teori Wacana
Kuasa/Pengetahuan (Foucault), dan Teori Praksis Sosial (Bourdieu). Dalam proses
kerja ilmiah, teori diperlukan dalam bentuk kerangka teori untuk memahami dan
merajut keseluruhan objek, konsep dasar, dan memecahkan masalah objek yang
diteliti melalui metode yang diturunkan dari pemahaman atas teori untuk
kemungkinan temuan baru (Ratna, 2010: 46-49).
Objek formal dari penelitian ini adalah tentang hegemoni (ideologi),
sedangkan objek materilnya adalah wacana PBI. Dari perspektif teori-teori kritis, PBI
dipandang sebagai produk wacana yang dikonstruksi atau terkonstruksi secara sosial
dan termanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti Undang-undang, peraturan dan
institusi formal seperti sekolah RSBI dengan segala program dan kegiatannya.
Implementasi dalam bentuk RSBI dalam penelitian ini dipandang sebagai bagian
rangkaian konstruksi wacana tentang PBI khususnya pada jenjang pendidikan
menengah umum.
Semua teori yang disebutkan di atas akan dijadikan landasan teoretis untuk
memahami dan mengidentifikasi permasalahan wacana PBI. Penggunaan berbagai

35
teori ini secara eklektik diharapkan dapat mengungkap dan menjelaskan bentuk-
bentuk hegemoni PBI, faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI dan makna
hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Sanderson (2003: 619)
berpendapat bahwa eklektisme merupakan satu perspektif yang menekankan perlunya
kombinasi berbagai teori digunakan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih
komprehensif tentang suatu “objek” penelitian. Penggunaan teori secara eklektik
dalam penelitian ini penting dan relevan dari perspektif kajian budaya untuk
menjelaskan hegemoni wacana PBI dalam pendidikan menengah umum secara lintas
disiplin dan komprehensif.
Teori-teori yang digunakan di sini juga dijelaskan dalam hubungannya dengan
objek yang diteliti sehingga semakin jelas bagaimana berbagai teori tersebut
berfungsi atau digunakan sebagai “pisau analisis “untuk membedah permasalahan-
permasalahan penelitian. Tradisi pemikiran dalam ranah kajian budaya sebagai lintas
bidang ilmu dan ilmu-ilmu sosial humaniora pada umumnya melihat “objek atau
realitas” yang sama dengan titik penekanan, konsep dan perspektif yang berbeda.
Uraian didukung oleh gagasan-gagasan yang relevan dengan, misalnya pemikiran
Eagleton tentang ideologi (Takwin, 2009: 3-4) dan pemikiran Bourdieu tentang
pendidikan sebagai ranah beroperasinya hegemoni (Gramsci) dan diskursus
(Foucault).
Pemikiran strukturalisme tentang kekuasaan menurut Antonio Gramsci (1891-
1937) berkaitan dengan konsep hegemoni, sedangkan pemikiran postsrukturalis
berhubungan dengan pemikiran Michel Foucault (1926-1984) tentang wacana sebagai

36
sumber daya kekuasaan atau kekuasaan itu sendiri. Pemikiran sosiolog Perancis,
Pierre Bourdieu (1930-2002) tentang praktik sosial yang bersifat relasional memiliki
persamaan dengan pemikiran Foucault tentang “power relations”, sebuah analisis
tentang mekanisme dominasi untuk membebaskan kelompok yang terdominasi.
Konsep hegemoni juga banyak diserap oleh Bourdieu dalam pandangan-
pandangannya tentang fenomena pendidikan, melalui konsep-konsep cultural capital,
cultural reproduction, symbolic power, dan lain-lain dari komponen teori praksis
Bourdieu yang dianggap mampu menjelaskan banyak karakteristik sistem pendidikan
kontemporer (Widja, 2007: 81; Bourdieu dalam Harker et. al. (eds), 1990).
Baik Marxisme menurut pemikiran Antonio Gramsci melalui karyanya
Selections from the Prison Notebooks (1971) maupun Michel Foucault dalam
Power/Knowledge (1980) memandang kekuasaan sistem kapitalisme secara berbeda.
Gramsci menekankan hubungan basis (ekonomi) dan superstruktur (ideologi) secara
resiprokal yang membentuk kekuasaan, sedangkan Foucault melihat kekuasaan
terletak pada diskursus dan “power relations”. Menurut Foucault kekuasaaan
bukanlah pengaruh beroperasinya ideologi, melainkan hal-hal yang besifat materillah
(material practices) yang beroperasi secara relasional dan saling terjalin
(menstruktur) dan berkelindan dengan berbagai jenis relasi lainnya sehingga
menghasilkan kondisi (formasi diskursif) untuk mengontrol apa yang dapat ditulis,
dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang tertentu (Foucault. 1980: 142; Storey,
2003: 132-133).

37
Perbedaan pemikiran Gramsci (Marxisian Barat) dan Foucault (Nietzsean)
dalam melihat kekuasaan terletak pada perbedaan antara “relasi produksi” dan “relasi
kekuasaan” atau antara penguasaan sarana produksi dan penguasaan praktik
wacana/diskursus. Gagasan Gramsci merujuk pada integrasi “structure and
superstructure”, lebih bersifat struktural (Gramsci, 1971: 137), sedangkan bagi
Foucault yang menganut prinsip membangun kekuasaan (will to power), memandang
kekuasan sebagai pertarungan atau kontestasi wacana. Orientasi pemikiran Gramsci
bersifat mendominasi (power over), sedangkan pemikiran Foucault berorientasi pada
perimbangan kekuasaan (balances of powers), dalam arti upaya “partisipasi” dalam
arena kontestasi kekuasaan melalui wacana.
Mark Olssen, dkk, (2004) dalam bukunya yang berjudul Education Policy:
Globalization, Citizenship and Democracy menunjukkan pengertian kekuasaan
menurut Foucault dengan yang lainnya dengan penjelasan berikut.
Foucault replaces the concept of ideology with that of discourse. He
represents discourse as one of a variety of practices whose most significant
units are ―serious speech acts‖, both written and spoken. A discourse is
defined in terms of statements (enonces), of ―things said‖. Statements are
events of certain kinds, which are both tied to historical context and capable
of repetition. Further, as Foucault (1972: 49) describe them, ―Discourses are
composed of signs but what they do is more than use these signs to designate
things. It is this ―move‖ that we must reveal and describe (Olssen, dkk, 2004:
22-23).
Bourdieu memiliki persamaan pemikiran dengan Foucault dalam hal
„kekuasaan‟ yang bersifat relasional. Bagi Bourdieu kekuasaan diuji dan diraih pada
ranah (field) melalui relasi modal (kapital) dan habitus. Modal dapat berupa ekonomi,
sosial, budaya, linguistik dengan nilai simboliknya yang semuanya atau masing-

38
masing berkontribusi untuk meraih kekuasaan (praktik sosial). Selain itu, individu
menurut Bourdieu dapat bertindak sebagai agensi yang „merekayasa‟ modal, habitus,
dan „doxa‟ dalam meraih atau menolak kekuasaan (counterhegemony) dalam praktik
sosial. 'Social capital is the 'the aggregate of the actual or potential resources which
are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized
relationships of mutual acquaintance and recognition' (Bourdieu 1983: 249).
Dalam hal mengungkap hegemoni dan resistensi tentang PBI, pemikiran
Foucault dan Bourdieu ini digunakan untuk menjelaskan kontestasi wacana dalam
masyarakat dan arena pendidikan yang melibatkan ilmu pengetahuan (sebagai
legitimasi kekuasaan yang bersifat diskursif) dan dinamika peran pendidikan sebagai
alat reproduksi dan transformasi modal dalam konteks globalisasi dan praksis sosial.
Dalam hal ini, analisis dilakukan dalam konteks pemikiran geneologis atau konstruksi
tentang bagaimana tiga komponen diskursif yaitu ilmu pengetahuan, institusi, dan
tokoh dalam membangun kuasa dalam arena pendidikan (Adian, 2002:22-23).
Dari segi makna, pemikiran Gramsci tentang ideologi dan Foucault tentang
wacana serta Bourdieu tentang peran agensi dan struktur digunakan untuk membedah
secara kritis relasi kuasa dalam wacana PBI dalam pendidikan menengah umum.
Secara teoretis, misalnya, peran agensi dalam wacana PBI dan relasi kekuasaan dapat
menjadi kekuatan mediasi (mediating force) antara kekuatan hegemonik dan
resistensi masyarakat dalam sistem pendidikan. Dalam hal terakhir ini, teori
Bourdieu tentang habitus dan modal dapat menjelaskan “resistensi” dari pihak guru,
siswa, dan masyarakat, dan para intelektual terhadap kekuasaan hegemonik.

39
Pemerintah sebagai representasi negara merupakan pihak yang menghegemoni
kesadaran masyarakat dan pelaku pendidikan mengenai wacana PBI dan satuan PBI
sebagai strategi peningkatan mutu dan daya saing pendidikan nasional menghadapi
dinamika dan tantangan globalisasi.
2.3.1 Teori Hegemoni (Gramsci)
Dalam tradisi pemikiran ortodoks Marxisme, kekuasaan terkait dengan
dominasi dan penindasaan kelas pekerja atau buruh oleh kelas kapitalis. Kekuasaan
kapitalis atas kelas pekerja terutama bersumber dari penguasaannya atas sarana
produksi (means of production). Pemikiran ini terkait dengan pembedaan Marxisme
antara basis (base) dan bangunan atas (superstructure) di mana yang kedua
dipandang berfungsi untuk yang pertama sehingga perubahan yang terjadi pada level
superstruktur memengaruhi pada level yang pertama (Eatwell. et al, 2001: 6-7).
Dalam perkembangannya, teori hegemoni Antonio Gramsci (1891-1937)
terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi, negara, dan masyarakat. Istilah hegemoni
dalam hal ini mengacu pada gagasan tentang penguasaan kelompok dominan dalam
suatu masyarakat atas kelompok-kelompok subordinat melalui proses kepemimpinan
intelektual dan moral, melalui konsensus dengan menggunakan kepemimpinan
politik dan ideologis yang dalam operasinya didukung oleh kaum intelektual yang
disebut intelektual organik. Dengan demikian, hegemoni terjadi apabila kelompok

40
subordinat telah menerima cara berpikir kelompok dominan (Bocock, 1986: 33;
Simon, 1999: 9; Gramsci, 1971: 57)
Pemikiran Gramsci tentang kekuasaan berbeda dari pemikiran Marxisme
Ortodoks. Kekuasaan bagi Gramsci tidak hanya bersumber dari basis (ekonomi)
tetapi juga dari superstruktur (ideologi) dengan keyakinan bahwa kelompok dominan
menjadi dominan adalah karena kekuasaan bersumber tidak hanya dari penguasaan
ekonomi tetapi juga dari ideologi, keduanya bersifat resiprokal (Gramsci, 1971: 366).
Superstruktur sebagai bentuk mengandung kekuasaan yang membentuk kekuatan
materil dari basis. Masyarakat bertindak tidak hanya didasarkan pada alasan ekonomi
tetapi juga berdasarkan persepsinya terhadap sesuatu. Dengan demikian, pada level
ideologilah manusia menjadi sadar tentang konflik-konflik yang terjadi di dunia
ekonomi (Gramsci, 1971: 162 dan 376).
Menurut Gramsci, ideologi berperan penting dalam membangun dan
melanggengkan kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan mendapatkan dukungan
dari kelompok subordinat karena kelompok dominan mampu mengintegrasikan
kepentingan ekonomi kelompok subordinat dalam operasi kekuasaannya dan
membuat kelompok sebordinat memahami kepentingannya sebagai kepentingan
bersama. Pandangan Gramsci ini beroperasi melalui alat hegemoni (seperti lembaga
pendidikan) yang di dalamnya terjadi pertarungan ideologi (Piliang, 2004: 357).
Kelompok dominan “memanfaatkan” kesadaran kelompok subordinat kedalam
perspektifnya - inilah yang dinamakan Gramsci sebagai hegemoni, yang juga bisa

41
berarti dominasi dalam pandangan hidup, kebudayaan, dan ideologi (Santoso, 2007:
23).
Kemenangan ideologi menghasilkan tidak saja penguasaan ekonomi dan
politik tetapi juga kemenangan intelektual dan moral sehingga menciptakan hubungan
hegemonik. Hegemoni berarti suatu situasi, di mana sebuah blok historis, faksi-faksi
kelas dominan (yang berkuasa) menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinannya
pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan persetujuan (Barker,
2005:513). Pentingnya pengaruh ideologi ini membuat Gramsci menekankan
analisisnya tentang peran ideologi dalam membangun dan melestarikan hegemoni dan
pentingnya peran intelektual dalam pengembangan dan praktek ideologi pada level
hegemonik. Hegemoni ide-ide menjadi efektif dengan menggunakan bahasa sebagai
alat dominasi dan ketika kelompok subordinat telah menerima cara berpikir
kelompok dominan (Santoso, 2007: 24; Gramsci: 1971: 57).
Kerangka pikir teori hegemoni yang diuraikan di atas digunakan terutama
untuk memahami permasalahan pertama dalam penelitian ini yakni bentuk-bentuk
hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum sebagai akibat dari hubungan
antara politik pendidikan nasional melalui wacana UU, kebijakan, peraturan-
peraturan dan praktik-praktik pendidikan (sekolah) dan wacana globalisasi dengan
ideologi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satu asumsi dasar
penelitian ini adalah bahwa wacana PBI tidak terlepas dari hegemoni globalisasi dan
diskursus kuasa/pengetahuan (Foucault) yang beroperasi dalam sistem pendidikan
nasional, khususnya dalam pendidikan menengah umum. Pemerintah sebagai

42
representasi negara menghegemoni masyarakat pendidikan tentang PBI sebagai solusi
bagi berbagai permasalahan pendidikan menghadapi dinamika dan tantangan
globalisasi.
2.3.2 Teori Wacana Kuasa/Pengetahuan
Michel Foucault (1926-1984) dalam beberapa bukunya yang sangat terkenal
dan berpengaruh dalam kajian budaya, seperti The Archaelogy of Knowledge (1972),
Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), dan Power/Knowledge (1980)
memandang bahwa pengertian kekuasaan menyangkut ide-ide tentang wacana atau
diskursus. Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari diskursus, khususnya diskursus
ilmu pengetahuan sebagai sumber daya sekaligus bentuk kekuasaan itu sendiri.
Pemikiran Foucault tentang diskursus menyingkap bagaimana diskursus orientalisme
sebagai suatu konstruk pengetahuan tentang Timur dan bentuk hubungan antara
kekuasaan-pengetahuan yang mengartikulasikan kepentingan Barat. Diskursus tidak
bersifat netral tetapi politis dan ideologis. Dalam hal ini, kebenaran suatu diskursus
tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa yang menyatakan, kapan dan di
mana ia menyatakannya (Said, 1978; 705; Storey 2003: 135; Foucault: 2002: 13).
Menurut Foucault, kekuasaan harus dipahami dalam operasinya atau praktiknya yang
tidak dimiliki oleh negara tetapi dapat bersifat individual dan dalam bentuk jaringan
organisasi, sebagaimana tergambar melalui kutipan berikut.

43
Power must be analyzed as something which circulates, or rather as
something which only functions in the form of a chain. It is never localized
here or there, never in nybody's hands, never appropriated as a commodity or
piece of wealth. Power is employed and exercised through a net-like
organization (Foucault, 1980:98).
Foucault memandang kekuasaan dan pengetahuan sangat terkait dalam hal
yang disebut sebagai formasi diskursif (mengkondisikan). Diskursus merupakan
sarana bagi suatu institusi untuk meraih kekuasaan melalui proses definisi dan
eksklusi dan formasi diskursif tertentu. Institusi memiliki otoritas untuk
mendefinisikan ”kebenaran” tentang suatu topik. Suatu formasi diskursif merupakan
seperangkat aturan tak tertulis yang berusaha mengontrol apa yang dapat ditulis,
dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang pembahasan tertentu (Storey, 2003: 132-
133). Menurut Barker (2005: 106), diskursus menyediakan cara-cara membincangkan
suatu topik secara konsisten, dengan motif, praktik, dan bentuk pengetahuan yang
diulang-ulang di beberapa wilayah aktivitas.
Menurut Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (1977), kekuasaan
menciptakan pengetahuan dan pengetahuan dapat menghasilkan kekuasaan secara
produktif. Pengetahuan merupakan dampak dari hubungan kekuasaan-pengetahuan
(relasional) dan perubahan-perubahannya dalam sejarah (Foucault, 1977: 27-28).
Knowledge linked to power, not only assumes the authority of 'the truth' but
has the power to make itself true. All knowledge, once applied in the real
world, has effects, and in that sense at least, 'becomes true.' Knowledge, once
used to regulate the conduct of others, entails constraint, regulation and the
disciplining of practice. Thus, 'there is no power relation without the
correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does
not presuppose and constitute at the same time, power relations (Foucault
1977: 27).

44
Dalam hal ini, menurut Storey (2003: 132), analisis genealogi adalah
menyangkut hubungan antara kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge) yang
beroperasi melalui formasi-formasi diskursif, yaitu kerangka-kerangka konseptual
yang mengajukan sejumlah cara berpikir dan menolak cara-cara berpikir lainnya. Hal
inilah kemudian dapat melahirkan apa yang disebut dengan “rezim kebenaran”
melalui diskursus yang dibentuk oleh kekuasaan melalui hubungan-hubungan
kekuasaan yang mendasarinya dan demi kepentingan kekuasaan tersebut (Fakih,
1997: 169; Mills, 1997: 18; Eriyanto, 2001: 67).
Praktik diskursus pengetahuan dan kekuasaan perlu dikaji modus
pembentukannya melalui analisis hubungan historis antara kekuasaan dan diskursus.
”It is from the point of view of property that there are thieves and stealing” (Foucault,
1980:36). Kekuasaan dan pengetahuan bersifat resiprokal dan produktif. Dalam hal
ini, Foucault memusatkan perhatiannya pada bagaimana manusia meregulasi dirinya
sendiri dan yang lain melalui produksi dan kontrol pengetahuan. Foucault
menyelidiki ilmu pengetahuan yang membentuk kekuasaan melalui pembentukan
manusia sebagai subjek dan penggunaan ilmu pengetahuan untuk mengatur subjek.
”..since power is everywhere it was probably better to concentrate on the local micro-
physics of power that surround the individual‖ (Said, 1993: 26).
Wacana merupakan ”lokasi epistemologis” bagi bertemunya kekuasaan dan
pengetahuan dalam mengonstruksi ”siapa” (agen) yang harus dikendalikan dan ”apa”
(objek permasalahan) yang harus dijadikan target intervensi politik (Ritzer, 2008:80-
81). Dalam konteks ini pengetahuan dapat dipahami sebagai bersifat ideologis dan

45
tidak bebas dari kepentingan. Konstruksi pemikiran Foucault ini terutama digunakan
untuk menjelaskan permasalahan kedua dalam penelitian disertasi ini, faktor-faktor
yang memengaruhi hegemoni PBI dalam pendidikan memengah umum.
2.3.3 Teori Praksis Sosial (Bourdieu)
Pierre Bourdieu dalam teori praksis sosialnya mengajukan konsep habitus dan
field. Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dalam
menghadapi realitas sosial. Manusia dibekali dengan sederetan skema yang
terinternalisasi untuk mempersepsi, mamahami, menghargai serta mengevaluasi
realitas sosial. Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yakni
pengaruh sejarah yang dianggap alamiah. Habitus mendasari field diartikan sebagai
jaringan relasi antara posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir
terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Field adalah semacam hubungan
yang terstruktur serta tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok
dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan (Takwin, 2009: 114).
Berdasarkan pengertian habitus dan field serta mekanisme kerjanya pada diri
manusia, Bourdieu mengajukan konsep doxa yang pengertiannya menyerupai
ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat
pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi tanpa
dipertanyakan. Dalam prakteknya, doxa tampil lewat pengetahuan-pengetahuan yang
begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan field individu. Kehidupan sosial tidak
dapat dipahami semata-mata sebagai agregat perilaku individu. Praksis tidak dapat

46
dipahami secara terpisah dalam pengambilan keputusan individu atau sebagai suatu
yang ditentukan oleh ‟struktur supra individual (Takwin, 2009: 115; Jenkins, 2004:
106-107)
Ada semacam aturan yang tidak terucapkan dalam setiap field yang bekerja
sebagai modus kekerasan simbolik (symbolic violence). Kekerasan dalam bentuknya
yang sangat halus dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi
karena sudah mendapat legitimasi sosial. Bahasa, makna dan sistem simbolik para
pemilik kekuasaan ditanamkan lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari
kesadaran. Kekerasan simbolik dalam bentuk konkretnya dalam pendidikan adalah
ketika seorang guru atau dosen secara halus memaksakan pengetahuannya untuk
diterima oleh murid-muridnya. Pengetahuan-pengetahuan yang diterima begitu saja
merupakan bentuk konkret dari doxa (Takwin, 2009: 116-117).
Uraian di atas tentang teori-teori yang digunakan memiliki kekhasan masing-
masing dalam menggambarkan cara kerja kekuasaan. Meski berbeda sudut pandang
dan istilah, semuanya memiliki persamaan dalam hal kekuasaan sebagai kemampuan
seseorang atau suatu kelompok sosial untuk memengaruhi orang atau kelompok lain
melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Pemikiran-pemikiran Foucault
menekankan tentang diskursus sebagai sumber dan praktik kekuasaan, Gramsci
tentang ideologi sebagai sarana hegemoni, dan Bourdieu tentang praktik sosial
sebagai perjuangan untuk “hidup”. Teori-teori tersebut dipandang relevan untuk
menjelaskan permasalahan-permasalahan penelitian ini, yaitu tentang hegemoni PBI
dalam pendidikan menengah umum.

47
Model Penelitian
Keterangan: : hubungan saling memengaruhi
: pengaruh searah (dominasi)
Wacana
Lokal/Nasional
Wacana
Globalisasi
Politik Pendidikan
Nasional
Hegemoni PBI
dalam Pendidikan
Menengah Umum
Bentuk-bentuk
Hegemoni PBI
dalam PMU
Faktor-faktor yang
memengaruhi
Hegemoni PBI dalam
PMU
Makna Hegemoni
PBI dalam PMU
Temuan Penelitian
1. Ideologi
Pendidikan
Nasional
2. Sosial,
Ekonomi, dan
Budaya
1. Neoliberalime
2. Kapitalisme.
3. Budaya/Nilai-
nilai

48
Politik pendidikan sebagai praktik dan kontestasi budaya dipengaruhi oleh
faktor internal yaitu wacana ideologi negara dengan aspek sosial ekonomi dan budaya
dan faktor eksternal yaitu wacana globalisasi dengan berbagai orientasi ideologinya.
Politik pendidikan nasional menghasilkan kebijakan tentang satuan PBI dalam bentuk
implementasi RSBI berdasarkan UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) dan berbagai
peraturan derivatnya yang dipengaruhi oleh wacana globalisasi.
Hegemoni negara yang direpresentasikan oleh pemerintah beroperasi melalui
berbagai Undang-undang dan kebijakan serta implementasinya yang didukung
dengan wacana kuasa/pengetahuan tentang PBI. Pemerintah menghegemoni
masyarakat dan pelaku pendidikan tentang wacana PBI sebagai sebuah terobosan
dalam reformasi pendidikan nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan
daya saing nasional menghadapi tantangan globalisasi. Wacana globalisasi
memproduksi pengetahuan seperti “standarisasi pendidikan“ lewat bahasa yang
memberikan makna pada praktik-praktik sosial dan objek-objek material.
Pengetahuan tentang standarisasi secara diskursif mengonstruksi, mendefinisikan dan
memproduksi objek-objek pengetahuan melalui wacana yang melihat hubungan
globalisasi dan pendidikan.
Hubungan antara ideologi pendidikan nasional dan wacana globalisasi
menghasilkan hegemoni wacana PBI dalam pendidikan menengah umum. Dalam hal
ini penelitian diarahkan untuk memahami bentuk-bentuk hegemoni PBI, faktor-faktor
yang memengaruhi hegemoni PBI, dan makna hegemoni PBI dalam pendidikan
menengah umum.

49
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini difokuskan untuk membongkar wacana PBI (objek materil
penelitian) dengan menganalisis berbagai pandangan dan pengalaman guru, siswa,
pakar pendidikan dan bahasa, dan orangtua siswa serta berbagai wacana sosial
budaya lainnya tentang pendidikan yang dapat menjawab permasalahan penelitian
yang telah dirumuskan. Analisis juga dilakukan terhadap berbagai wacana
(dokumen) pendidikan seperti Undang-undang, kebijakan-kebijakan, dan berbagai
peraturan pemerintah (PP), Peraturan Menteri dan berbagai ketentuan lainnya yang
terkait dengan tema dan implementasi PBI. Wacana PBI dianalisis secara kritis
untuk mengungkap bentuk-bentuk hegemoni (objek formal), dominasi, kuasa,
pengetahuan, dan kepentingan yang meliputinya (Lubis, 2006: 136).
Perkembangan PBI dalam bentuk RSBI/SBI tidak terlepas dari wacana
perkembangan ilmu pengetahuan dan wacana sosial melalui berbagai tulisan,
bacaan, buku, disertasi, ceramah dan berbagai komunikasi gagasan lainnya yang
memberi makna pada praktek sosial dan objek-objek material, yang di dalamnya
terdapat relasi-relasi antara kuasa dan pengetahuan yang melandasinya, serta
kemungkinan bentuk-bentuk kekuasaan yang masing-masing atau semuanya
beroperasi membentuk dan mengarahkan perkembangan pendidikan itu sendiri,
khususnya dalam hal PBI. Hal ini terkait dengan genealogi atau asal-asul, dalam

50
bentuk kesinambungan serta ketaksinambungan historis sebuah wacana dan
aplikasinya dalam kondisi historis yang spesifik (Barker, 2005: 512).
Untuk membongkar wacana PBI dan permasalahannya, metode kualitatif
dengan perspektif wacana kritis sesuai dengan karakteristik penelitian ini.
”Critical Discourse Analysis (CDA) is obviously not a homogenous model, nor a
school or a paradigm, but at most a shared perspective on doing linguistics,
semiotic or discourse analysis (van Dijk 1993: 131). Kajian wacana kritis
difokuskan pada bagaimana kekuasaan sosial disalah-gunakan, didominasi,
direproduksi dan ditolak (resistensi) melalui teks dalam konteks sosial dan politik.
Selain menggunakan analisis objektif-kritis, analisis juga dilakukan berdasarkan
pengalaman pribadi sebagai dosen atau pendidik selama paling tidak 25 tahun.
Selain itu, peneliti ”diuntungkan” karena memiliki pengalaman dan terlibat dalam
proses awal terbentuknya satuan RSBI, 2004-2006. Dalam hal ini, peneliti
memiliki pemahaman tentang objek dan ranah yang diteliti selain pemikiran kritis
dan sikap intuitif terhadap permasalahan yang diteliti. Dengan demikian, metode
yang digunakan dalam penelitian ini bersifat “eklektif”: dekonstruktif, analitis-
interpretatif, dan intuitif.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di perpustakaan-perpustakaan dan di sekolah-
sekolah, yang sengaja dipilih untuk kepentingan penelitian ini, yaitu di dua
sekolah (SMA) berlabel RSBI di Jakarta dan di Bandarlampung yang dipandang

51
mewakili implementasi kebijakan PBI pada jenjang pendidikan menengah umum
dalam konteks wacana PBI. Selain itu, kedua sekolah tersebut termasuk sekolah
terbaik di daerah masing-masing baik dari segi prestasi akademik maupun non
akademik. Pelaksanaan penelitian di lapangan berlangsung selama delapan bulan,
sejak Februari – Agustus 2012. Verifikasi data lapangan kembali dilakukan pada
bulan Februari-April 2013 setelah adanya putusan lembaga MK tentang
pembatalan pasal 50 ayat (3) tentang dasar hukum satuan PBI. Dalam hal ini,
pembahasan data dan permasalahan penelitian tentu saja merefleksikan dinamika
wacana PBI pasca putusan MK tersebut untuk lebih memastikan aktualitas dan
konteks (relevansi) penelitian.
Ada beberapa pertimbangan lainnya dalam pemilihan lokasi penelitian.
Secara politik, Jakarta merupakan pusat berbagai pengambilan keputusan dalam
berbagai aspek kehidupan bangsa dan Negara, sekaligus dipandang sebagai
barometer dari efektifitas suatu kebijakan termasuk kebijakan pendidikan. Dengan
asumsi tentang Jakarta sebagai pusat pemerintahan, kegiatan politik dan bisnis
serta barometer kemajuan pendidikan nasional, maka lokasi utama penelitian ini
dipilih di salah satu sekolah yang berstatus RSBI di Jakarta yaitu SMA Negeri 78
Jakarta dengan kondisi sekolah yang relatif mendekati SNP dan ketentuan Ditjen
Dikdasmen (2010) tentang RSBI, seperti standar atau kriteria SDM, sarana
prasarana TIK, dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Jakarta sebagai ibukota
juga memiliki akses, heterogenitas kultur, dan penggunaan yang relatif tinggi
terhadap berbagai fasilitas TIK sekaligus dipandang sebagai barometer

52
(keberhasilan atau kegagalan) suatu kebijakan dan implikasinya terhadap
pendidikan nasional. Untuk mendapatkan ”data pembanding” tentang
implementasi kebijakan PBI, lokasi pendukung penelitian dipilih SMA Negeri 2
Bandarlampung, yang juga berstatus RSBI dan salah satu sekolah favorit di kota
Bandarlampung,, sekolah yang sengaja dipilih di daerah dalam konteks otonomi
daerah dan manajemen pendidikan pasca otonomi daerah.
3.3 Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data penelitian terdiri atas data kualitatif dan data kuantitatif sebagai
data sekunder. Data kualitatif meliputi dua jenis, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung dan
mendalam dengan para narasumber dari dua sekolah di Jakarta dan di
Bandarlampung (guru, Pimpinan Sekolah, Siswa), orangtua siswa dan tokoh
masyarakat, pakar pendidikan, dan rekaman dan risalah Sidang MK. Data
sekunder diperoleh dalam bentuk dokumen tertulis berupa undang-undang,
peraturan, buku, artikel dan berita media massa serta berbagai objek (gambar).
Wawancara dilakukan terutama di Jakarta, Bandarlampung, Yogjakarta, dan
Denpasar baik secara langsung berhadapan muka maupun melalui percakapan
jarak jauh dengan telepon.
Sebagai kajian wacana, semua teks (bentuk tulis dan hasil wawancara) dalam
penelitian ini diperlakukan sebagai data primer yang dianalisis dan data sekunder
sifatnya hanya pendukung untuk hasil analisis. Seluruh data diolah dan dianalisis

53
secara kritis dan konseptual untuk memahami permasalahan penelitian. Secara
khusus data dari media massa dalam penelitian ini sangat penting dan mendukung
penelitian ini karena posisinya tidak saja sebagai salah satu pilar demokrasi tetapi
juga wacana yang dapat menggambarkan kontestasi ideologi dan aspirasi publik
yang berkontribusi terhadap dinamika perubahan nilai-nilai sosial tentang PBI.
“Media texts do indeed function ideologically in social control and social
reproduction, but they also operate as cultural commodities in a competitive
market [ . . . ], are part of the business of entertaining people, are designed to
keep people politically and socially informed, are cultural artefacts in their
own right, informed by particular aesthetics; and they are at the same time
caught up in – reflecting and contributing to – shifting cultural values and
identities.” (Teks-teks media sungguh dapat berfungsi secara ideologis,
namun teks-teks media juga berperan sebagai komoditas kultural dalam
pasar kompetitif, bagian dari usaha untuk menghibur orang, dirancang untuk
memberikan informasi secara politik dan sosial, artefak kultural dalam
dirinya, disajikan dengan estetika khusus, dan pada saat yang sama
terperangkap dalam – merefleksikan dan mendukung – mengubah nilai-nilai
budaya dan identitas) (Fairclough 1995: 47).
Dengan demikian, penelitian ini dilakukan dengan beberapa sumber data,
yaitu dua sekolah berlabel RSBI di Jakarta dan di Bandarlampung (guru,
Kepsek/Wakasek, siswa, Staf Administrasi), orangtua siswa dan tokoh masyarakat,
beberapa pakar pendidikan (narasumber), dan wacana Sidang MK tentang gugatan
masyarakat terhadap pasal 50 ayat (3) Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun
2003 tentang satuan PBI.
3.4 Teknik Penentuan Informan
Pada tahap awal ditetapkan tujuh informan kunci secara purposive atau
sesuai dengan tujuan yang ingin diperoleh dari informan. Informasi yang diperoleh

54
dari informan tersebut selanjutnya dikembangkan secara terus-menerus dengan
prinsip bola-salju (snowball) sesuai kebutuhan dan kecukupan data untuk
mengungkap permasalahan penelitian. Kriteria penentuan informan kunci ini pada
dasarnya dipilih dengan pertimbangan: (1) memiliki pengalaman atau terlibat
secara langsung/tidak langsung dalam permasalahan yang diteliti; (2) guru bahasa
Inggris dan MIPA dan siswa sekolah SMA; (3) tidak memiliki kepentingan pribadi
(bersifat objektif); (4) memiliki pemahaman yang memadai tentang permasalahan
yang diteliti (Endraswara, 2006: 115-119; Mulyana, 2002; 173-176).
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen utama penelitian ini adalah pedoman wawancara, alat perekam
suara, kamera, dan alat pencatat data lisan dan tulisan. Pedoman wawancara
dengan daftar pertanyaan terbuka dirancang dan digunakan untuk menjaring
berbagai pandangan, pendapat, sikap dan pengalaman narasumber, pimpinan
sekolah, guru dan siswa tentang RSBI, masyarakat dan orangtua siswa, dan
berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan pendidikan dan wacana PBI dalam
lingkup Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Untuk validitas data, kriteria yang digunakan mencakup kredibilitas
(kepercayaan), keteralihan (transfarability), ketergantungan (dependabilitiy), dan
kepastian (confirmability) (Sugiyono, 2007: 276). Selain itu, validitas (validasi)
data juga didukung dengan triangulasi dengan menghimpun data dari berbagai
sumber baik melalui wawancara maupun pengecekan dokumen.

55
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan
dokumen, dan seleksi teks atau wacana sosial. Teknik ini didasarkan pada
perspektif wacana kritis bahwa data yang dikumpulkan memiliki pola-pola yang
dapat membangun korespondensi atau hubungan antara wacana yang beroperasi
dalam ranah penelitian yang dapat dikonfirmasi dengan teks-teks lainnya dalam
hal sejauh mana data sesuai dengan permasalahan dan analisis data penelitian.
Penggunaan beberapa teknik pengumpulan data ini juga didasarkan pada
kelaziman dalam Kajian Budaya untuk menggali data sebanyak mungkin yang
dapat menggambarkan secara utuh fenomena atau permasalahan hegemoni PBI
dalam pendidikan menengah umum.
3.7 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif dan interpretatif. Data
yang diperoleh dikritisi dan diklasifikasikan berdasarkan asumsi kultural serta
dengan sikap fleksibel, reflektif, dan objektif (Endraswara, 2003: 15). Untuk itu,
pertama-tama, data hasil wawancara disusun dalam bentuk transkrip hasil
wawancara. Selanjutnya, proses reduksi dilakukan untuk memilah data yang
relevan dan tidak relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Data yang
relevan disusun secara kategoris dan tematis dalam tabel-tabel hasil reduksi agar
lebih mudah dipahami. Sebagai penelitian kualitatif, jika pada tahap reduksi

56
ternyata masih terdapat data yang kurang, maka pengumpulan data dilanjutkan
hingga semua data yang dibutuhkan semaksimal mungkin tersedia.
Data juga dianalisis dengan cara mengembangkan taksonomi dan
geneologi (rangkaian pemikiran) berdasarkan teori-teori tentang diskursus, sistem
klasifikasi deskriptif yang mencakup sejumlah informasi secara sistematis.
Analisis kualitatif sebagai model alir (flow model) dilakukan dengan cara: (1)
Reduksi data, yaitu proses pemilahan, penyederhanaan, pengabsahan, dan
transformasi data. (2) Penyajian data, yaitu menyusun berbagai informasi untuk
penarikan simpulan (3) Penarikan simpulan dilakukan dengan menguji catatan
lapangan: kebenaran, kecocokan, dan validitas makna yang muncul di lokasi
penelitian. Selanjutnya uraian di atas disederhanakan menjadi tiga tahapan, yakni
(1) indentifikasi data dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi; (2)
klasifikasi data sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian; dan (3) interpretasi
hasil analisis wacana dan berbagai faktor yang memengaruhinya (Miles dan
Haberman dalam Nawawi, 1992: 15-18; Salim, 2006: 22).
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Sebagai penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan secara informal
(deskriptif) dan secara formal berupa tabel, gambar, bagan, dan foto. Penyajian
hasil analisis dituangkan ke dalam delapan bab dalam bentuk (format) disertasi.

57
BAB IV
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
Dalam bab ini, pertama, dibahas wacana PBI sebagai objek materil dari
penelitian sekaligus memberikan gambaran latar belakang dan landasan kebijakan
satuan PBI dan eksistensi RSBI dalam konteks pendidikan menengah umum. Data
bersumber dari berbagai dokumen seperti, UU, peraturan dan berbagai panduan
penyelengaraan RSBI/SBI dan hasil wawancara dengan narasumber. Selanjutnya,
disajikan gambaran mengenai lokasi penelitian yang merupakan bagian penting
dari sumber data penelitian, yaitu, SMA Negeri 78 Jakarta dan SMA Negeri 2
Bandarlampung, saat penelitian ini dilakukan keduanya berstatus RSBI.
4.1. Pendidikan Bertaraf Internasional
Untuk mengemban fungsi pendidikan nasional, pemerintah
menyelenggarakan sistem pendidikan nasional berdasarkan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional
diarahkan untuk mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu dan relevansi serta efsiensi manajemen pendidikan. Pemerataan
kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun,
sedangkan peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia yang berdaya saing menghadapi tantangan global. Peningkatan
relevansi pendidikan adalah untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan

58
kebutuhan berbasis sumber daya alam Indonesia, sedangkan peningkatan efisiensi
manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) dan pembaruan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006).
Implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan seperti PP No 19 Tahun 2005 tentang
SNP, yaitu perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional
pendidikan, yaitu, standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar
sarana dan prasarana, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar
manajemen/pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian (Tabel 4.1).
Secara konsepsional, PBI diarahkan untuk menambah delapan standar pendidikan
tersebut dengan standar pendidikan negara OECD dengan harapan agar pendidikan
nasional mampu bersaing pada aras global.
Tabel 4.1 Delapan Standar Pendidikan Nasional
No Standar Nasional Pendidikan Rujukan ”bertaraf internasional” 1 Standar Isi: ruang lingkup materi dan
tingkat kompetensi yang dituangkan
dalam kriteria tentang kompetensi
lulusan, kompetensi bahan kajian,
kompetensi mata pelajaran, dan silabus
pembelajaran yang harus dipenuhi oleh
peserta didik pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.
Kurikulum bertaraf internasional dengan
mengadaptasi kurikulum sekolah mitra yang
diakui baik kualitasnya di negara OECD
atau negara maju lainnya.
2 Standar Proses: berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran pada satu
satuan pendidikan untuk mencapai
standar kompetensi lulusan.
- PP No. 19/2005 Pasal 19: Proses
pembelajaran diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, dst
- berbasis TIK dan menggunakan bahasa
Inggris

59
Tabel 4.1 Delapan Standar Pendidikan Nasional
3 Standar Kompetensi Lulusan:
kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan.
- mampu berbahasa Inggris dan
memanfaatkan TIK
- pada satuan pendidikan menengah
umum bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian,
ahklak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut. 4 Standar Pendidikan dan
Kependidikan: kriteria pendidikan
prajabatan dan kelayakan fisik maupun
mental, serta pendidikan dalam jabatan
Kepsek minimal S2, 20% guru S2 dari PT
dengan program studi berakreditasi A, dan
mampu berbahasa Inggris sesuai bidang
studinya dan Guru MIPA berpendidikan S2,
sesuai bidang ilmu dan mampu berbahasa
Inggris dan menggunakan TIK dalam
mengajar 5 Standar Pengelolaan: berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan kegiatan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan,
kabupaten/kota, provinsi, atau nasional
agar tercapai efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan.
berbasis TIK (cyber school), orientasi
meraih ISO 9001 dan 14000, memiliki
sister school, melaksanakan MBS, mampu
kerjasama dengan stakeholder lain
6 Standar Sarana dan Prasarana:
kriteria minimal tentang ruang belajar,
tempat berolahraga, tempat beribadah,
perpustakaan, laboratorium, bengkel
kerja, tempat bermain, tempat berekreasi,
serta sumber belajar yang menunjang
proses pembelajaran, termasuk TIK
standar negara maju: perpustakaan,
laboratorium (IPA, IPS, Matematika,
TIK/Komputer, Bahasa, Pendidikan
Teknologi Dasar), ruang kelas, dll
7 Standar Pembiayaan: mengatur
komponen dan besarnya biaya operasi
satuan pendidikan yang berlaku selama
satu tahun.
- PP No.19 Tahun 2005 pasal 62 ayat (1):
pembiayaan pendidikan terdiri atas
biaya investasi, operasi, dan personal
- Permendiknas No 69 tahun 2009 tentang
Standard Pembiayaan yang diperluas
sesuai dengan tuntutan kurikulum SBI 8 Standar Penilaian Pendidikan:
berkaitan dengan mekanisme, prosedur,
dan instrumen penilaian hasil belajar
peserta didik. PP No.19 Thun 2005
Pasal 63: (1) Penilaian terdiri atas: a.
penilaian hasil belajar oleh pendidik;
oleh satuan pendidikan; dan c. oleh
Pemerintah (untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan pada mata pelajaran
tertentu dalam bentuk Ujian Nasional).
- memperoleh prestasi kejuaraan
internasional/nasional, baik akademik
maupun non akademik
- menggunakan model-model penilaian
sesuai tuntutan kurikulum SBI dan
sertifikasi internasional bagi lulusan
Sumber: Data Diolah

60
Visi pendidikan nasional, menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003,
menekankan terbentuknya masyarakat yang damai, demokratik, berkarakter baik,
berkeahlian, kompetitif, progresif dan makmur. Dengan visi ini, Departemen
Pendidikan (2005-2011) memberikan landasan penyelenggaraan SBI dan alokasi
anggaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam hal ini,
Pemerintah memandang bahwa sekolah menengah merupakan satuan pendidikan
yang strategis untuk menghadapi persaingan global. Peningkatan kualitas sekolah
menengah diharapkan menghasilkan lulusan yang berdaya saing internasional dan
meningkatkan kesadaran tentang pentingnya standar pendidikan yang lebih tinggi
secara nasional (Renstra Depdiknas, 2005; Strategi Teknologi dan Informasi 2004-
2009, Departemen Pendidikan Nasional, 2004).
Berdasarkan buku “Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf
Internasional” (2010:2), visi pendidikan nasional yang menjadi fokus internal
Kemdiknas adalah “Terselenggaranya Layanan Pendidikan Nasional untuk
Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif” yang kemudian diwujudkan
dengan misi 2010-2014 sebagai berikut.
a. Meningkatkan Ketersediaan Layanan pendidikan
b. Memperluas Keterjangkauan Layanan pendidikan
c. Meningkatkan Kualitas dan relevansi Layanan pendidikan
d. Mewujudkan Kesetaraan dalam Memperoleh Layanan Pendidikan
e. Menjamin Kepastian Memperoleh Layanan Pendidikan
Penyelenggaraan RSBI/SBI dalam sistem pendidikan nasional secara
normatif mengacu pada Amanat Konstitusi tentang hakikat dan tujuan pendidikan
nasional sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan penyelenggaraan

61
pemerintahan negara Indonesia: “...melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.”
Salah satu asumsi penelitian ini adalah bahwa UU Sisdiknas 2003 pasal 50
tentang PBI dengan berbagai orientasi ideologinya tidak muncul dalam
”kevakuman” budaya tetapi dalam konteks hegemoni wacana global tentang
pendidikan dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dalam kerangka
pemikiran Foucault, di satu pihak, wacana PBI dapat dijelaskan dalam konteks
praktik diskursus melalui produksi dan kontrol pengetahuan dan disiplin
masyarakat. Di pihak lain, negara berperan menghegemoni masyarakat pendidikan
dan sekolah melalui UU, kebijakan dan implementasinya dalam bentuk program
RSBI/SBI dengan berbagai program dan kegiatannya.
Gagasan pemerintah tentang pendirian sekolah RSBI didasarkan pada
realitas dan tantangan era globalisasi yang sarat dengan budaya kompetitif dalam
pengembangan IPTEK, manajemen dan sumber daya manusia pada aras
internasional. Selain itu, realitas pendidikan nasional yang kualitasnya rendah
membutuhkan sebuah terobosan. Logikanya adalah bahwa pendidikan berkualitas
akan menghasilkan keunggulan IPTEK dan selanjutnya meningkatkan efektifitas
dan efisiensi suatu produk, menurunkan biaya produksi, meningkatkan nilai
tambah, dan akhirnya meningkatkan kualitas produk-produk unggulan nasional.
Keunggulan manajemen pengembangan SDM dapat meningkatkan kinerja

62
pendidikan. Dengan SDM yang unggul dan daya saing yang tinggi pada tingkat
internasional, maka daya tawar nasional akan dengan sendirinya meningkat pada
aras internasional di era globalisasi.
Wacana yang berkembang tentang kondisi kualitas pendidikan nasional yang
sangat memprihatinkan dan berdaya saing rendah dan wacana globalisasi yang
sarat dengan tantangan dan isu persaingan merupakan “kondisi objektif” terhadap
perlunya eksistensi PBI sebagai bagian dari strategi pendidikan dan reformasi
pendidikan nasional. Untuk dapat bersaing di era globalisasi, pendidikan nasional
membutuhkan standarisasi mutu, efisiensi manajemen, dan kompetensi lulusan
yang unggul dan berdaya saing sesuai dengan tantangan dan dinamika
perkembangan ilmu pengetahuan dan globalisasi. Hal ini kemudian melahirkan
berbagai Undang-undang dan peraturan sebagai landasan yuridis untuk
penyelenggaraan satuan PBI, antara lain, sebagai berikut.
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 50 ayat
(3): “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional”.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
3. Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP), pasal 61 ayat (1)

63
4. PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota
5. PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan
6. PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
7. PP No. 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
8. Permendiknas No 63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
9. Permendiknas No 78/2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah
Dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 telah ditetapkan tahapan skala
prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) ke-1
tahun 2005-2009, yaitu untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat
terhadap layanan pendidikan. Selanjutnya, dalam Renstra 2010-2014, pemerintah
menargetkan bahwa pada tahun 2014 minimal 50% kabupaten/kota di seluruh
Indonesia telah memiliki satuan pendidikan yang berstatus SBI (Dok. Kemdiknas,
Pengantar RSBI, 2008).
Pengaruh wacana globalisasi dengan orientasi ideologinya terhadap Sistem
Pendidikan Nasional semakin nyata dalam berbagai rumusan peraturan dan
pedoman penyelenggaraan RSBI/SBI sebagai turunan dari UU Sisdiknas pasal 50
ayat (3) tentang PBI. Hal ini juga tampak melalui Peraturan Pemerintah No
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), pasal pasal 61 ayat (1) dan

64
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
RSBI merupakan satuan pendidikan yang secara normatif dianggap telah
memenuhi atau mendekati SNP dan selanjutnya diperkaya dengan standar kualitas
pendidikan dari salah satu negara anggota Organization for Economic Co-
operation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya. SNP disebut
juga dengan Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) atau Indikator Kinerja
Utama (IKU). Sementara standar pendidikan dari negara anggota OECD disebut
dengan unsur X atau Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT), yang isinya
merupakan pengayaan atau penambahan dari standar pendidikan nasional (SNP)
dengan berbagai komponennya.
Secara normatif, Standar Nasional Pendidikan (SNP) harus dipenuhi oleh
satuan pendidikan yang “ditunjuk” sebagai RSBI, yang meliputi kompetensi
lulusan, isi, proses, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Sedangkan pengayaan dengan standar
(pendidikan) negara maju dapat berupa penyesuaian, penguatan, pengayaan,
pengembangan, perluasan, dan pendalaman pada peningkatan mutu pendidikan
menuju mutu bertaraf internasional. Dalam operasionalnya, RSBI juga dituntut
untuk menjalin kerjasama dengan sekolah lain, baik di dalam maupun luar negeri,
sebagai bentuk perujukan (benchmarking) dan lembaga pendidikan tinggi sebagai
pengguna lulusan, mengembangkan program sertifikasi, meningkatkan daya saing

65
dalam lomba tingkat internasional (Sumber: Panduan Penyelenggaraan Rintisan
SMA Bertaraf Internasional, 2009).
RSBI mengacu kepada salah satu negara yang memiliki pendidikan yang baik
di negara-negara OECD: cara belajar, prosesnya, kurikulumnya. Kita
menggunakan kurikulum nasional yang diperkaya dengan kurikulum-
kurikulum dari negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik
(Suyanto, Dirjen Didaksemen Kemdikbud).
Sesuai dengan Renstra Depdiknas 2005-2009, Pemerintah telah
mengembangkan banyak sekolah di banyak kabupaten/kota di seluruh Indonesia
menjadi sekolah berkeunggulan lokal dan internasional pada tahun 2009. SBI
sebagai satuan pendidikan diselenggarakan dengan menggunakan konsep SNP
yang diperkaya dengan standar kualitas pendidikan dari salah satu negara anggota
OECD atau negara maju lainnya. Sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, komponen-komponen SNP merupakan standar
minimal yang harus dipenuhi oleh suatu satuan pendidikan. Dengan ketentuan
bahwa SNP sebagai standar minimal pendidikan nasional, maka pelaksanaan PBI
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional diarahkan untuk menaikkan
standar minimal tersebut.
Kualitas pendidikan nasional dikategorikan secara formal menjadi tiga,
yaitu: Sekolah Kategori Standar, Sekolah Kategori Mandiri, dan Sekolah Bertaraf
Internasional. Sekolah kategori mandiri (SKM) adalah sekolah yang telah
memenuhi delapan komponen SNP. Secara normatif, menurut UU Sisdiknas 2003
SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh Indonesia.

66
Dalam hal ini, pencapaian SNP merupakan syarat utama bagi suatu sekolah untuk
melaksanakan program RSBI. Dalam operasionalnya, RSBI dituntut menjalin
kerjasama dengan sekolah yang memiliki reputasi internasional sebagai perujukan
dalam berbagai komponen standar pendidikan. Bentuk kerjasama lainnya dapat
dilakukan dengan lembaga pendidikan tinggi sebagai pihak pengguna lulusan.
Selain itu, SMA bertaraf internasional juga harus mengembangkan program
sertifikasi dan akreditasi serta meningkatkan daya saing dalam lomba tingkat
internasional (Sumber: Buku Panduan RSBI, 2009:19).
Dengan mengacu pada SNP dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 pasal 11 dan Pedoman Penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf
Internasional, sekolah SMA atau sederajad dikelompokkan menjadi tiga kategori,
yaitu Sekolah Kategori Standard (SKS); Sekolah Kategori Mandiri (SKM); dan
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sekolah Kategori Standard adalah
sekolah-sekolah yang dinilai belum memenuhi SNP. Sekolah Kategori Mandiri
(SKM) adalah sekolah-sekolah yang hampir atau telah memenuhi SNP. Status
RSBI adalah sekolah yang dikategorikan memenuhi delapan (8) komponen SNP
yang kemudian dikembangkan dengan mengacu pada standar mutu pendidikan di
negara-negara OECD (Sumber: Pedoman Penyelenggaraan Program Rintisan
SMA Bertaraf Internasional, 2008:8-10).
Berdasarkan UU Sisdiknas 2003 pasal 35 dan PP Nomor 19 Tahun 2005
pengkategorian sekolah nasional didasarkan pada berbagai kriteria yang terdapat
pada delapan SNP. PP Nomor 19/2005 pasal 11 dan 16 memberikan kategori

67
pendidikan dasar dan menengah sebagai berikut: a. Sekolah formal standar
(sekolah potensial/rintisan), yaitu kategori sekolah yang belum memenuhi SNP,
b. Sekolah Standar Nasional (SSN), sekolah yang sudah atau mendekati SNP,
dan c. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu sekolah yang sudah memenuhi
SNP yang diperkaya dengan standard pendidikan dari negara anggota OECD atau
negara maju lainnya (Sumber: Dit. Jend. Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah; 2007).
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, sebagaimana telah disajikan
di atas menetapkan SNP. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas menyatakan
bahwa peningkatan delapan standar pendidikan nasional harus dilakukan secara
berencana dan berkala. Dalam penjelasan resmi Pasal 35 ayat (1) dikemukakan,
bahwa SNP merupakan syarat untuk menjadi SBI. Dalam Permendiknas Nomor
78/2010 pasal (2) secara rinci disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan SBI
untuk SMA adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki:
a. kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standard
kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota
OECD atau negara maju lainnya;
b. daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan
menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional;
c. kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan
dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan
internasional lainnya;
d. kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah
menengah kejuruan;
e. kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5
dalam skala internet based test (IBT), skor TOEIC 450 dan/atau bahasa asing
lainnya;

68
f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan
hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan
lingkungan hidup;
g. kemampuan menggunakan dan mengembangkan TIK secara profesional.
(Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf Internasional, 2010:7-8)
Dalam konteks standar pendidikan nasional, kurikulum merupakan bagian
dari komponen standar isi dan standar proses pendidikan yang menjamin
pencapaian standar kompetensi lulusan dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 36
Undang-Undang Sisdiknas 20/2003 mengatur mengenai kurikulum dalam ayat (1),
(2), dan (3). Dalam ayat (3) dikemukakan bahwa “Kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Ketentuan ini berlaku tidak saja bagi sekolah bertaraf nasional (SSN), tapi juga
bagi satuan PBI (RSBI/SBI). Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan
dalam kerangka keragaman potensi daerah dan lingkungan sesuai Pasal 36
Undang-Undang Sisdiknas ayat (3) huruf d.
Selanjutnya, Pasal 4 (1) Kurikulum SBI disusun berdasarkan standar isi dan
standar kompetensi lulusan yang diperkaya dengan standar dari negara anggota
OECD atau negara maju lainnya. Ayat (2) SBI menerapkan satuan kredit semester
(SKS). Ketentuan tentang kurikulum ini menunjukkan bahwa RSBI/SBI dengan
mengacu OECD menimbulkan dualisme penyelengaraan pendidikan dengan
diterapkannya sistem kredit semester (SKS). Menurut Prof Slamet selaku
Saksi/Ahli dari Pemerintah” pada sidang MK di Jakarta Rabu 11 April 2012
menyatakan:

69
…sekolah bertaraf internasional itu sama dengan standar nasional pendidikan
plus pengayaan. Nah standar nasional pendidikan itu adalah itu jati diri
Indonesia, itu adalah karakter … karakteristik Indonesia, makanya sebenarnya
SBI itu pada dasarnya yang pokok adalah standar nasional pendidikan plus
tambahan. …Karena pada dasarnya pendidikan di Indonesia tidak steril
dengan perkembangan global. Oleh karena itu kita tidak boleh “Katak di
bawah tempurung” mengaku sudah hebat, tetapi sesungguhnya ketika kita
benchmarking kita bandingkan dengan sekolah-sekolah dari negara maju kita
kalah jauh. … dan tambahan-tambahan itu kita cari melalui benchmarking
terutama adalah sekolah-sekolah yang lebih hebat dari Indonesia ini (Prof
Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 7-8).
Standar proses pembelajaran mengacu pada Pasal 5 ayat (1) SBI
melaksanakan standar proses yang diperkaya dengan model proses pembelajaran
di negara anggota OECD atau negara maju lainnya. (2) Proses pembelajaran
dalam ayat (1) menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis TIK, aktif, kreatif,
efektif, menyenangkan, dan kontekstual. (3) SBI dapat menggunakan bahasa
pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam
forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. (4) Pembelajaran mata pelajaran
Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan,
Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal menggunakan bahasa pengantar bahasa
Indonesia (5) Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris atau bahasa asing
lainnya pada ayat (3) dimulai dari kelas IV untuk SD.
Sebagai salah satu komponen standar nasional pendidikan, berdasarkan
PP.19 Tahun 2005 tentang SNP, Pasal 29 ayat (5) Tenaga pendidik dan
Kependidikan untuk SMA dan sederajad disyaratkan untuk memiliki kompetensi
dan kualifikasi sebagai berikut.

70
a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau
sarjana (S1)
b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang
sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c. sertifikat profesi guru
Dalam konteks PBI, standar pendidik adalah mampu memfasilitasi
pembelajaran berbasis teknologi informasi dan mengajar dalam bahasa Inggris,
memiliki paling sedikit 10% pendidik yang berpendidikan S2, memiliki sertifikat
kompetensi dan skor TOEFL, mempekerjakan pendidik warga negara asing
apabila tidak ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 30% negara
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kepala sekolah, tenaga
pendidikan. SBI memenuhi standar tenaga kependidikan yang diperkaya sekolah
sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) wajib S2 dari perguruan tinggi yang
program studinya berakreditasi A (Permendiknas No. 78/2009).
Tentang OECD
Salah satu ciri “internasional” dari RSBI adalah terkait dengan forum OECD.
OECD merupakan sebuah forum kerjasama bagi 30 negara maju untuk
menghadapi permasalahan-permasalahan atau tantangan globalisasi di bidang
ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Negara anggota OECD adalah Australia,
Austria, Belgia, Kanada, Republik Chehnya, Denmark, Finlandia, Perancis,
Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Luxembourg,

71
Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik
Slowakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu
peran OECD adalah membantu pemerintahan negara aggotanya untuk menghadapi
berbagai perkembangan dan masalah baru, seperti ekonomi, pendidikan dan su-isu
atau kebijakan domestik dan internasional.
Secara yuridis dan konseptual “Pendidikan Bertaraf Internasional adalah
pendidikan yang diselenggarakan dalam sistem pendidikan nasional setelah suatu
satuan pendidikan (sekolah) memenuhi delapan standar pendidikan nasional
(SNP): standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan sesuai dengan PP
NO. 19 tahun 2005. Satuan PBI merupakan satuan pendidikan yang telah
memenuhi SNP dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju atau salah
satu negara anggota OECD yang dijadikan rujukan standar mutu.
Karakteristik Proses Belajar Mengajar
a. Proses belajar mengajar pada SBI menjadi teladan bagi sekolah lainnya
dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian
unggul, kepemimpinan, jiwa enterpreneur, jiwa patriot, dan jiwa inovator;
b. Diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah
satu negara OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai
keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan;
c. Menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran;

72
d. Pembelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan
menggunakan bahasa Inggris, sementara pembelajaran mata pelajaran
lainnya, kecuali pelajaran bahasa asing, harus menggunakan bahasa
Indonesia. (Sumber: Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf
Internasional, 2010)
Karakteristik Keluaran/Lulusan
a. SBI memiliki keunggulan yang ditunjukkan dengan pengakuan
internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang
berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek;
e. Mempunyai pengakuan internasional yang dibuktikan dengan hasil
sertifikasi dan akreditasi berpredikat baik dari salah satu negara anggota
OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan
tertentu dalam bidang pendidikan. (Sumber: Panduan Penyelenggaraan
Rinsisan SMA Bertaraf Internasional, 2010)
Karakteristik Kepala Sekolah
a. berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya
berakreditasi A dan telah menempuh pelatihan kepala sekolah dari
lembaga yang diakui oleh Pemerintah;
b. mampu berbahasa Inggris secara aktif;
f. bervisi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki
kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan entrepreneur yang

73
kuat. (Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf Internasional,
2010)
Salah satu karakteristik RSBI/SBI dari segi manajemen adalah orientasi
sekolah untuk meraih sertifikat ISO sebagai indikator kualitas manajemen dengan
menggunakan prinsip-prinsip manajemen industri sekaligus untuk mendapatkan
pengakuan (kualitas) internasional dalam rangka persaingan global. Pengelolaan
RSBI/SBI mensyaratkan adanya program pengayaan standar pengelolaan
(manajemen) dari sekolah yang dijadikan mitra di suatu negara anggota OECD
atau negara maju lainnya dengan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO
14000 versi terakhir. Selain itu, dalam operasionalnya RSBI/SBI disyaratkan
untuk menjalin kerja kemitraan dengan sekolah-sekolah unggul di dalam negeri
dan/atau di negara maju; serta mempersiapkan peserta didik untuk meraih prestasi
pada tingkat nasional dan internasional dalam aspek ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau seni dengan rincian sebagai berikut.
1. Output/outcomes bercirikan: (a) lulusan dapat melanjutkan pendidikan
pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun
di luar negeri, (b) lulusan dapat bekerja pada lembaga-lembaga dan/atau
dunia bisnis bertaraf internasional, dan/atau berusaha secara mandiri
dalam kancah persaingan global.
2. Proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan harus bercirikan
internasional, yaitu: (a) menumbuhkan kreativitas, dan kewirausahawanan,
(b) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan, (c) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK.
3. proses pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
(bilingual), (e) proses penilaian menggunakan model-model penilaian
sekolah unggul dari negara anggota OECD, (f) manajemen
penyelenggaraan memenuhi standard internasional yaitu ISO 9001 versi
2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, serta menjalin kerjasama dalam

74
bentuk sister school dengan SBI di luar negeri. (Sumber: Buku Panduan
RSBI, 2009, 2010)
Dengan uraian di atas, berikut ini beberapa jenis SMA dalam sistem
pendidikan nasional berdasarkan Panduan Penyelenggaraan Sekolah Berstandar
Internasional.
1. SMA Kategori Mandiri, sekolah yang telah memenuhi SNP dan mampu
menerapkan dan mengelola pembelajaran dengan sistem SKS.
2. Rintisan SMA Bertaraf Internasional, sekolah yang telah memenuhi
seluruh SNP, menerapkan SKS dan dalam proses menuju SMA bertaraf
internasional.
3. SMA Bertaraf Internasional, yaitu sekolah yang telah memenuhi seluruh
SNP, menerapkan SKS, dan mengembangkan keunggulan yang mengacu
pada peningkatan daya saing yang setara dengan mutu sekolah-sekolah
unggul dari negara maju.
4. SMA Franchise, yaitu sekolah yang diselenggarakan warga negara
Indonesia, memberlakukan kurikulum asing dan wajib mengajarkan
pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan kepada peserta didik
warga negara Indonesia.
5. SMA Asing, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga/negara
asing, memberlakukan kurikulum asing, dan diperuntukkan bagi warga
negara asing yang berada di Indonesia. SMA Asing ini wajib mengajarkan
pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan kepada peserta didik
warga negara Indonesia (Sumber: Buku Panduan RSBI, 2009:19).
Tabel 4.2. Data Sekolah Berdasarkan Kategori Sekolah
SPM SPM SSN RSBI Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
SD 65.869 44.84 75.965 51.71 4.831 3.29 239 0.16 146.904
SMP 8.892 26.01 15.226 44.54 9.711 28.41 356 1.04 34.185
SMA 3.990 35.30 4.210 37.24 2.745 24.28 359 3.18 11.304
SMK 2.493 27.20 3.143 34.30 3.177 34.67 351 3.83 9.164
Total 81244 40.31 98.544 48.89 20.464 10.15 1.305 0.65 201.557
Sumber: Dokumen Kemdiknas, 2011

75
Visi dan misi SMA bertaraf internasional merupakan bagian dari tujuan
pendidikan nasional dalam hal peningkatan mutu. Dengan merujuk Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pemerintah merumuskan visi
pendidikan nasional: Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang
kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sejalan dengan Visi Pendidikan
Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat tahun 2025 untuk menghasilkan: INSAN
INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF. Selanjutnya, Direktorat Pembinaan
SMA menetapkan visi pengembangan SMA sebagai berikut: “Terwujudnya
instansi profesional, akuntabel, kuat dan berwibawa sebagai pendorong menuju
Sekolah Menengah Atas mandiri berskala nasional dan internasional.”
(Kemdiknas, 2010: 9-10)
Berdasarkan visi Kemdikbud dan Direktorat Pembinaan SMA, SMA
bertaraf internasional kemudian merumuskan visi tersebut kedalam misinya,
misalnya (1) menjaga keutuhan NKRI, (2) membekali siswa dalam hal budi
pekerti luhur sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, (3) memberdayakan
potensi kecerdasan siswa baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam
meningkatkan daya saing secara internasional. Misi tersebut kemudian dijadikan
dasar untuk menyusun program, yaitu untuk menghasilkan lulusan yang berstandar
nasional dan internasional. Lulusan berstandar nasional mengacu pada rumusan

76
UU Sisdiknas Nomor 20/2003 dalam PP Nomor 19/2005, dan Permendiknas no.
23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Pada level implementasi di sekolah, visi dan misi diterjemahkan oleh
satuan pendidikan ke dalam beberapa target dan program yang mengarah pada
pemberdayaan sekolah menuju satuan SBI, seperti berikut.
a. Mendidik siswa menjadi sumber daya yang dapat bersaing secara
nasional dan internasional
b. Meningkatkan sarana-prasarana olah raga, laboratorium, ruang multi
media untuk menunjang prestasi siswa dibidang IPA, ketrampilan
bahasa Inggris, TIK, dan memiliki kesegaran jasmani .
c. Meningkatkan kompetensi guru dalam proses pembelajaran dengan
menambah variasi metode dan model pembelajaran yang lebih
menarik dan menyenangkan dengan menggunakan perangkat TIK
d. Mendidik siswa untuk mampu berpartisipasi dalam berbagai
Olimpiade MIPA baik pada tingkat nasional maupun internasional
((Kemdiknas, 2010: 9-10)
Berbagai uraian di atas tentang dasar hukum dan eksistensi RSBI/SBI
menjelaskan hubungan antara wacana global dan pendidikan dengan berbagai
permasalahan sosial, ekonomi dan budaya yang muncul akibat kebijakan tersebut.
Wacana PBI tidak semata-mata bersumber dari dasar hukum yang terdapat dalam
UU Sisdiknas 2003 yang diperdebatkan oleh banyak pihak tetapi juga terkait
dengan hegemoni wacana global tentang pendidikan dan peran negara (politik
pendidikan) dalam upaya memajukan pendidikan nasional. Dengan kata lain,
wacana PBI hadir dalam konteks dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik
dan dalam konteks kepentingan di arena internasional, regional dan lokal
(nasional). Ada koherensi isu-isu antara globalisasi yang bermuatan daya saing

77
bangsa, standar kualitas, produktifitas, TIK, dan wacana PBI hingga melahirkan
satuan pendidikan dalam bentuk RSBI.
4.2. Lokasi Penelitian
Dalam bagian ini disajikan secara ringkas gambaran sekolah-sekolah yang
dijadikan lokasi penelitian, yang berlabel RSBI di Jakarta dan di Bandarlampung,
yaitu “sekolah unggulan” dan favorit di daerah masing-masing. Sebagaimana
dikemukakan dalam bab terdahulu bahwa pemilihan lokasi RSBI di Jakarta
didasarkan pada pertimbangan bahwa Jakarta sebagai ibukota memiliki akses,
heterogenitas kultur, dan penggunaan yang relatif tinggi terhadap konteks
”internasional” dan bahasa Inggris. Selain itu, dan ini lebih penting, Jakarta juga
dipandang sebagai barometer efektifitas suatu kebijakan dan implikasinya terhadap
pendidikan nasional, sedangkan Bandarlampung dipilih sebagai pembanding
dalam kaitannya dengan relevansi pendidikan berlabel ”internasional” dalam
konteks otonomi daerah dan manajemen pendidikan nasional.
4.2.1 SMA Negeri 78 Jakarta
Penelitian ini dilakukan di sekolah-sekolah yang berstatus RSBI atau
“unggulan nasional” yang dipandang lebih menonjol dalam hal wacana PBI
dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam rangka meningkatkan daya
saing siswa dan lulusan SMA pada era globalisasi. SMA Negeri 78 Jakarta
merupakan salah satu SMA berstatus RSBI dari banyak SMA di Jakarta.

78
Tidak semua sekolah negeri atau swasta dapat menggunakan label RSBI
atau SBI. Berdasarkan wawancara mendalam dengan pimpinan dan guru, sekolah
ini telah mencapai atau mendekati SNP yang merupakan persyaratan untuk
ditetapkan oleh pemerintah sebagai sekolah RSBI sejak tahun 2006. Sebelum
ditetapkan berstatus RSBI, sekolah ini pada dasarnya merupakan salah satu
sekolah favorit dan unggulan di Jakarta. SMA Negeri 78 Jakarta sebelum dan
setelah ditetapkan sebagai sekolah RSBI tetap diminati oleh calon siswa
khususnya yang berdomisili di Jakarta. Penetapan RSBI bagi SMA Negeri 78
Jakarta didukung oleh profil SDM, program dan berbagai aktivitas ”unggulan”
sampai capaian akademik dan non akademik selama lima tahun terakhir. Dalam
hal ini, profil dan ”track records” SMA Negeri 78 dinilai mendekati ”kondisi”
delapan SNP: standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.
Dalam proses menuju sekolah RSBI, menurut wawancara dengan Wakil
Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Ridnan Wargiyanto (Lampiran 3, Gambar 3),
SMA Negeri 78 selain berstatus sekolah unggulan juga memiliki fasilitas dan
sarana prasarana, catatan prestasi yang baik dan dipercaya oleh masyarakat sebagai
sekolah berkualitas di Jakarta. Berbeda dari sekolah-sekolah RSBI pada umumnya,
sekolah ini sejak berstatus RSBI langsung membuka satu “kelas internasional”.
Menurut Ridnan, program kelas internasional tersebut diadakan sejak 2006 untuk
memenuhi permintaan dan kepercayaan orangtua terhadap sekolah tersebut.
Selanjutnya Ridnan menyatakan:

79
Jadi RSBI itu di SMA 78 dimulai tahun 2006. Kita harus mencapai target-
target pagu RSBI setelah sekolah ini dinilai mencapai standard pendidikan
kemudian ditingkatkan statusnya menjadi RSBI. Namun sejak awal kita juga
membuka kelas khusus, yaitu kelas internasional dengan ketentuan yang
berbeda dengan sisw-siswa lainya dan dengan biaya yang berbeda dengan
siswa-siswa lainnuya. Nah...jadi dengan dengan ditunjuknya sebagai RSBI
kita menerima dana ”block grant” dari departemen (Diknas) sebesar Rp.300
juta pertahun sampai tahun kelima. ..Itu untuk seluruh kelas pembelajarannya
bilingual yang berafiliasi dengan Cambridge...dengan kompetensi nasional
plus adopsi kurikulum. Tujuannya supaya anak-anak RSBI ini dapat lulus
pada sertifikat yang diadakan Cambridge...tetapi untuk mencapai A-level yang
lulus tidak semua dari 24 siswa hanya dicapai oleh 10% siswa (Wawancara
23 April 2012).
Dari segi sarana prasarana, berdasarkan observasi di lapangan ditemukan
bahwa setiap ruang kelas dilengkapi dengan berbagai sarana pembelajaran TIK
dan multimedia. Sekolah ini juga memiliki sarana dan prasarana pembelajaran
seperti laboratorium atau perpustakaan yang relatif memadai untuk proses
pembelajaran yang berkualitas, terlepas dari kualifikasi dan kompetensi guru-guru
dan SDM yang ada, yang akan dibahas lebih detil pada bagian berikutnya
(Lampiran 3, Gambar 1 dan Gambar 4)
Dari segi proses pembelajaran, dalam derajat tertentu kedua sekolah
mengklaim telah melaksanakan standar proses yang diperkaya dengan model
proses pembelajaran Cambridge dengan menerapkan pendekatan pembelajaran
berbasis TIK, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan kontekstual. Sekolah ini,
dari segi standar isi telah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yaitu kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh sekolah
dan diperkaya dengan kurikulum negara maju (OECD) dengan cara mengadaptasi
kurikulum Cambridge khususnya untuk mata pelajaran MIPA serta telah

80
menerapkan sistem kredit semester (SKS) sesuai Pedoman Penyelenggaraan
Sekolah Bertaraf Internasional.
Dari segi bahasa pengantar, sekolah SMAN 78 telah menggunakan bahasa
Inggris hanya untuk mata pelajaran MIPA dan mata pelajaran bahasa Inggris saja.
Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris sepenuhnya digunakan pada kelas
internasional dan metode pembelajaran bilingual (bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris) untuk kelas RSBI. Kendala umum yang dihadapi oleh dua sekolah yang
diteliti adalah terkait dengan tuntutan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar. Bahasa Inggris dipandang penting untuk memajukan kualitas
pendidikan, kendati dalam implementasinya tidak didukung oleh ketersediaan guru
dan tenaga kependidikan yang mumpuni sebagaimana diakui oleh Wakasek dalam
kutipan berikut:
kendala yang utama pelaksanaan program RSBI sekolah kami adalah bahasa
Inggris, sehingga penilaiannya bilingual untuk seluruh siswa dibawah sekolah
RSBI, kecuali untuk kelas internasional untuk lima mata pelajaran ”pure”
bahasa Inggris...Terkait dengan eksistensi kelas internasional di SMA Negeri
78 Jakarta ...kalau kelas internasional ini memang tuntutan orangtua untuk
kami buka supaya anak-anaknya semakin baik dalam bahasa Inggris
(Wawancara 23 April 2012).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pelaksanaan pembelajaran dalam bahasa
Inggris yang merupakan ciri khusus RSBI menghadapi kendala karena penyiapan
guru-gurunya diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Namun, keinginan
masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di RSBI menunjukkan bagaimana
masyarakat dan orangtua terhegemoni dengan citra dan label ”internasional”.

81
Dari segi anggaran sekolah, menurut Ridnan, sejak ditetapkan sebagai
sekolah RSBI, SMA Negeri 78 mendapat program bantuan dana pemerintah sejak
tahun 2006. Dana tersebut diberikan selama lima tahun yang dialokasikan secara
khusus untuk pembiayaan kegiatan peningkatan berbagai sumber belajar, seperti
ruang guru dalam rangka pengembangan profesionalismenya dan fasilitas
pembelajaran lainnya seperti laboratorium MIPA, laboratorium bahasa, dan
laboratorium komputer. Namun demikian, porsi terbesar dari anggaran sekolah
bersumber dari orangtua atau masyarakat. Sekolah ini, menurut Ridnan, pada
dasarnya tidak mengandalkan subsidi pemerintah (APBN atau APBD) untuk
pembiayaan program-program unggulan sekolah karena nilainya tidak signifikan
untuk memajukan sekolah dengan program RSBI.
Secara umum profil SDM dan tenaga kependidikan yang terdapat di SMA
Negeri 78 Jakarta dinilai memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas
sebagai prakondisi untuk ditetapkan sebagai SMA RSBI pada tahun 2006. Dari 78
guru yang ada 34 orang mengajar bidang MIPA dan bahasa Inggris dengan tingkat
pendidikannya secara berurutan adalah 19 orang berkualifikasi S2, 58 orang S1,
dan hanya satu orang yang berpendidikan Diploma Tiga. Dengan profil SDM dan
”track record” (rekaman jejak) yang dimilikinya, sekolah ini telah dikategorikan
sebagai sekolah unggulan dan favorit di Jakarta sebelum ditetapkan sebagai
sekolah RSBI.
Selama lima tahun terakhir berstatus RSBI, SMA Negeri 78 Jakarta memiliki
catatan prestasi yang baik pada tingkat nasional dan internasional yang dapat

82
dibanggakan oleh sekolah dan masyarakat pendukungnya (Tabel. 4.3). Menurut
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Ridnan Wargianto, sekolah ini telah
dinilai sebagai sekolah yang mendekati atau dianggap mendekati delapan
komponen SNP oleh pemerintah (Depdiknasi) dan karenanya dianggap sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai sekolah yang layak
untuk mendapatkan status RSBI menuju SBI. Dengan statusnya sebagai sekolah
RSBI, sekolah mendapat dukungan baik dari pemerintah maupun masyarakat
dalam bentuk anggaran peendidikan yang berbeda dai sekolah sejenis.
Tabel 4.3 Daftar Prestasi Guru 2006- 2012
Nama Prestasi Akademik/
Non Akademik
Tahun Penyelenggara Tingkat
Guru Berprestasi Non Akademik 2006 Dinas Pend. Nasional
Fasilitator dan Narasumber
Sekolah
Non Akademik 2006 Dit PSMA Internasional
Penulis Konten Multimedia Non Akademik 2007 Dit PSMA Nasional
Tim Penulis PKN Mahasiswa Akademik 2007 Dinas Pend. Nasional
Penulis UN Bahasa Indonesia Akademik 2008 Dit PSMA Nasional
Pembicara Seminar
Simposium
Non Akademik 2008 Dinas Pend. Nasional
Instruktur Balitbang Puskur Non Akademik 2009 Dit PSMA Nasional
Guru Berprestasi Non Akademik 2009 Sudin Kab/Kota
Pembicara Seminar Nasional Non Akademik 2010 Dit PSMA Nasional
Penulis Buku Bahasa
Indonesia
Akademik 2010 Dit PSMA Nasional
Assesor Ujian Speaking ESL Akademik 2010 Cambrige Internasional
Tim Pembahas Juknis
Penyelenggaraan SKS
Non Akademik 2011 Dit PSMA Nasional
Peserta TOT Fasilitator Non Akademik 2011 Dit PSMA Nasional
Peserta WS Bahan Ajar
Berbasis TIK
Non Akademik 2011 Dit PSMA Nasional
Tim Pengembang Dit PSMA Non Akademik 2012 Dit PSMA Nasional
Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 78 Jakarta

83
Dalam kaitannya dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan
realitas kemampuan bahasa Inggris guru-guru SMA Negeri 78, Ridnan
Wargiyanto, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum menyatakan bahwa:
secara objektif guru-guru di sekolah kita belum mampu untuk mengajar dalam
bahasa Inggris…kecuali untuk kelas internasional ”pure” menggunakan
bahasa Inggris dengan menggunakan kombinasi guru-guru dari luar dan kita
sebagian. Dulu kita pernah menggunakan tenaga pengajar dari luar, native
speaker khusus untuk mata pelajaran MIPA. Kemudian tantangannya adalah
guru-guru kami di sekolah ini sudah banyak yang tua-tua, kebanyakan di atas
45 tahun ..sudah susah belajar bahasa Inggris (Wawancara 23 April 2012).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sekolah belum “mandiri” dalam hal
ketersediaan guru untuk melaksanakan program “internasionalnya”. Selain itu,
secara objektif SMA Negeri 78 sebagai sekolah RSBI pada dasarnya belum
memiliki, misalnya, persyaratan 10% tenaga pendidik dengan kualifikasi
pendidikan S2 lulusan dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi
A sebagaimana diamanatkan dalam Permendiknas No. 78 tanggal 16 Oktober
2009 (lihat Tabel 4.4). Dengan realitas SDM tersebut, sekolah melakukan program
pengembangan guru dan mempekerjakan tenga honorer untuk mencapai tujuannya
sesuai dengan misi RSBI/SBI.
Pada kenyataannya, kondisi SDM yang ada belum layak untuk
melaksanakan berbagai program pengembangan sekolah untuk mencapai visinya,
khususnya guru untuk “kelas internasional”. Kelas internasional diadakan secara
eksklusif untuk para siswa yang diseleksi secara berbeda dari siswa lainnya di
sekolah yang sama. Dalam hal ini, menurut salah seorang guru yang
diwawancarai, beberpa tenaga guru honorer direkrut dari luar sekolah yang sesuai

84
dengan “standard internasional”. Hal ini dilakukan karena sekolah secara objektif
belum memiliki tenaga pendidik berkompeten untuk mengajar dalam bahasa
Inggris di kelas internasional. Kendati sekolah memiliki program pelatihan guru
untuk kualifikasi pengajar “sekolah internasional”, namun hasilnya belum
sebagaimana diharapkan.
Tabel 4.4: Data Informasi Guru Terkait Mata Pelajaran
“Bertaraf Internasional”
No Jumlah
Guru
Jenjang
Pendidikan
Mengajar Sertifikasi
D3, S1, S2, dst Mapel Tahun
1 6 4 S1 dan 2 S2 B. Inggris 2007
2 6 5 S1 san 1 S2 Biologi 2007
3 7 6 s1 dan 1 S2 Fisika 2008
4 7 S1 Kimia 2007
5 7 2 orang S2 Matematika 2007
6 1 D3 Matematika 2008
Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 78 Jakarta
Sebagaimana diamanatkan Undang-undang, peraturan dan petunjuk
penyelenggaraan RSBI, SMA Negeri 78 juga telah mengembangkan KTSP yang
disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan. Salah satu prinsip
pelaksanaan kurikulum tersebut adalah terciptanya suasana hubungan peserta didik
dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat,
dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung
tulada (PP Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi).
Kurikulum yang digunakan SMA Negeri 78 Jakarta juga telah diperkaya
dengan kurikulum Cambridge dalam bentuk buku teks siswa, buku pegangan guru,

85
dan bahan ajar elektronik hasil bekerjasama dengan lembaga Cambridge. Sekolah
ini juga menerapkan sistem administrasi berbasis TIK dan proses pembelajaran
dengan Sistem Kredit Semester (SKS) (Panduan RSBI, 2009:19). Secara
akademik dan non akademik, sekolah ini dikategorikan sebagai sekolah berprestasi
di Jakarta dengan berbagai program dan kegiatan yang mendukung untuk menjadi
sekolah unggul. Ada pun prestasi atau perkembangan sekolah ini selama lima
tahun terakhir sejak berstatus RSBI dapat disajikan pada Table 4.5 berikut.
Tabel 4.5: Data Prestasi Siswa 5 (Lima) Tahun Terakhir
No Nama Prestasi Individual/
Kelompok
Akademik/Non
Akademik
Tingkat
1 Festival Coral Int'r Kelompok Non Akademik Internasional
2 Olimpiade Fisika Individual Akademik Internasional
3 Story Telling 2012 Individual Akademik Internasional
4 Language for the
Games
Individual Akademik Internasional
5 Komp. Desain Poster
Anti Korupsi
Individual Non Akademik Nasional
6 OSN Individual Akademik Nasional
7 International Biology
Olympiad
Individual Akademik Internasional
8 OSN Individual Akademik Nasional
9 Fest. Paduan Suara Kelompok Non Akademik Internasional
10 Juara Catur Individual Non Akademik Nasional
11 Penulis Novel Individual Non Akademik Nasional
12 Penulis Muda
Berbakat
Individual Non Akademik Internasional
13 FLSSN Kelompok Non Akademik Nasional
14 APhO & Ipho Individual Akademik Internasional
15 APhO & Ipho Individual Akademik Internasional
16 Fest .Paduan Suara Kelompok Non Akademik Nasional
17 Penghargaan Khusus Individual Akademik Internasional
Sumber: Dokumen Sekolah SMA Negeri 78 Jakarta

86
Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 78 Jakarta
(wawancara Rabu 21 Maret 2012), Ridnan Wargiyanto, SMA Negeri 78 Jakarta
melaksanakan program RSBI sejak 2006 dengan desain sejak awal telah membuka
kelas internasional (KI) dan menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar untuk mata pelajaran MIPA dan Bahasa Inggris. Kelas internasional ini
dilaksanakan atas permintaan orangtua siswa. Kelas internasional (KI) diatur
dengan kapasitas 24 siswa per kelas (moving class). Biaya sekolah ditetapkan
secara paket dengan 24 juta rupiah per siswa/tahun, tanpa ada pungutan tambahan.
Menurut salah seorang orangtua siswa (Kholil), secara keseluruhan dia
mengeluarkan biaya sekitar 42.000.000,- (empat puluh dua juta rupiah) per tahun.
Dia merasa bahwa biaya tersebut masih relatif murah jika dibandingkan dengan
sekolah sejenis yang cukup berkualitas, walaupun dia sendiri mengaku tidak
termasuk keluarga yang mampu secara ekonomi.
Dari segi proses, sekolah ini menggunakan ”double curriculum”, yaitu
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan kurikulum Cambridge yang
diadopsi dan diadaptasi secara khusus untuk mata pelajaran MIPA dan bahasa
Inggris, sehingga setiap tahun, menurut pimpinan sekolah, para siswa mengikuti
ujian Cambridge sebagai bagian dari upaya standarisasi dalam komponen standar
kelulusan siswa dalam SNP. Selain itu di sekolah ini juga ada kegiatan
ekstrakurikuler (secara mandiri dan di bawah bimbingan tutor) sebagai upaya
untuk penguatan pengajaran bahasa Inggris (English Club). Menurut Wakil Kepala

87
Sekolah, hal ini merupakan salah satu perbedaan kegiatan RSBI terkait bahasa
Inggris dari SMA non RSBI atau sekolah reguler pada umumnya.
Buku teks MIPA dan bahasa Inggris yang digunakan sekolah tertulis dalam
bahasa Inggris, misalnya, Advance level Mathematics Statistics 1 oleh Steve
Dobbs and Jane Miller, dan sebagian buku lainnya menggunakan dwi bahasa.
Pengadaan buku-buku ini secara langsung dipesan melalui mitra sekolah atau
lembaga luar negeri dalam hal ini lembaga Cambridge di Inggris. Di sekolah ini
terdapat seorang guru ”bule” yang khusus mengajar di kelas internasional dengan
sistem kerja dan penggajian tersendiri (honorer). Selain itu, tidak semua guru
tetap MIPA dan Bahasa Inggris yang ada di sekolah mengajar di kelas
internasional, guru-guru diseleksi sesuai standar kelas internasional terutama
prestasi akademik dan kemampuan bahasa Inggrisnya. Profesionalisme guru
dilihat dari ”standar internasional”.
Menurut informan yang diwawancarai untuk penelitian ini, salah satu ciri
RSBI/SBI adalah memiliki murid atau peminat dari berbagai kebangsaan/negara
(khususnya ekspatriat), namun kenyataan di lapangan tidak menunjukkan realitas
demikian, dalam arti sampai waktu penelitian ini dilakukan hampir tidak ada orang
asing atau ”ekspatriat” yang terdaftar menyekolahkan anaknya di SMA Negeri 78
Jakarta walaupun sekolah ini berlabel RSBI dan bahkan melaksanakan ”kelas
internasional”. Selain itu, menurut informan masih ada kesalah-pahaman di tengah
masyarakat tentang keberadaan RSBI, misalnya tentang biaya mahal dan
eksklusifitas perlakuan, tentang bahasa pengantar bahasa Inggris, dan peluang

88
siswa kurang mampu secara ekonomi untuk diterima di sekolah berlabel RSBI.
Sekolah ini, sejak ditetapkan sebagai RSBI tahun 2006, mendapat subsidi atau
bantuan anggaran pemerintah yang berasal dari APBN/APBD sebesar Rp.
300.000.000,- setiap tahun dan digunakan untuk pembangunan sarana dan
prasarana fisik sekolah dan program peningkatan kualitas proses pembelajaran.
Sumber dana lainnya, yang menjadi salah satu permasalahan kontroversial di
masyarakat, diperoleh secara langsung dari orangtua siswa sebesar Rp.
24.000.000,-/tahun.
Dari segi sarana dan prasarana pendidikan, secara umum SMA Negeri 78
Jakarta berupaya untuk memenuhi standar sarana dan prasarana yang mendukung
efektivitas proses pembelajaran sebagai sekolah berlabel RSBI, antara lain: 1)
Perpustakaan dilengkapi dengan buku-buku pelajaran berbahasa Inggris, buku
referensi, jurnal nasional dan internasional, buletin, koran, majalah, serta
perangkat audio visual; 2) Laboratorium Fisika, Biologi, Kimia yang dilengkapi
dengan peralatan dan bahan praktikum untuk menunjang proses pembelajaran
dengan dukungan TIK: 3) Laboratorium Bahasa dengan koleksi dalam bentuk
rekaman suara, video atau media rekam lainnya; dan 4) Laboratorium Multimedia
dengan menggunakan teknologi multimedia dan komputer. Laboratorium
komputer digunakan untuk praktikum pembelajaran TIK. Dari segi sarana
prasarana, setiap ruang kelas, khususnya “kelas internasional” dilengkapi dengan
berbagai sarana pembelajaran yang berbasis TIK dan sarana pembelajaran
multimedia yang memadai (Gambar 1).

89
Dari segi output setelah melaksanakan program RSBI/SBI, setiap tahun
sekolah ini berhasil meluluskan siswanya dengan tingkat kelulusan 100% dalam
Ujian Nasional. Dari segi outcome, seorang lulusan sekolah ini dilaporkan
melanjutkan studi ke Malaysia secara korespondensi, namun sejak sekolah tersebut
berstatus RSBI dan menyelenggarakan ”kelas internasional”, belum ada data yang
menunjukkan bahwa ada lulusan sekolah ini yang melanjutkan studi dengan
program reguler ke suatu universitas di luar negeri, sebagaimana diharapkan dalam
desain awal pembukaan program RSBI/SBI.
Dari uraian singkat di atas tentang SMA Negeri 78 Jakarta, sekolah ini dapat
dikatakan memiliki visi dan misi yang menonjol dibanding sekolah-sekolah SMA
pada umumnya. Visi: Menjadi Sekolah Berprestasi, Berkarakter, Religius, dan
Berwawasan Lingkungan dan Misi:
1. Melaksanakan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan
standard internasional (University of Cambridge International Examination)
2. Melaksanakan program peningkatan kompetensi siswa di bidang akademik
dan non akademik yang dapat bersaing di tingkat nasional dan internasional.
3. Melaksanakan program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikan.
4. Melaksanakan program kerjasama dan kemitraan dengan institusi
pendidikan, pemerintah, usaha dan industri.
5. Melaksanakan pengelolaan layanan pendidikan sesuai standar mutu ISO
9001 dan 14001.
6. Melaksanakan pendidikan karakter agar terwujud lulusan yang beriman,
bertakwa dan berakhlak mulia.
7. Melaksanakan program pengembangan sekolah ramah sosial dan ramah
lingkungan (Sumber: Dokumen SMA Negeri 78 Jakarta).

90
4.2.2 SMA Negeri 2 Bandarlampung
Posisi SMA Negeri 2 Bandarlampung dalam penelitian ini pada dasarnya
adalah untuk mendapatkan data pembanding terhadap SMA Negeri 78 Jakarta
yang dijadikan lokasi utama penelitian. SMA Negeri 2 Bandarlampung merupakan
salah satu SMA dari tujuh SMA berlabel RSBI yang ada di Provinsi Lampung dan
salah satu dari dua SMA RSBI yang ada di kota Bandarlampung. Sekolah ini
sengaja dipilih untuk melihat konteks PBI dan SNP dengan lingkungan sosial-
budaya daerah dan otonomi daerah dalam bidang pendidikan. Sebelum ditunjuk
sebagai SMA berlabel RSBI pada tahun 2007, SMA Negeri 2 Bandarlampung
merupakan salah satu sekolah favorit di kota Bandarlampung. Setiap tahun ajaran
baru sekolah ini termasuk dalam daftar atas yang menjadi pilihan calon siswa baru
di antara sekolah-sekolah negeri yang ada di kota tersebut. Wakil Kepala Sekolah
SMA Negeri 2 Bandarlampung, Supanto, menyatakan:
Berbeda dari tiga sekolah RSBI yang ada di Lampung, sekolah kami
ditetapkan oleh pemerintah sebagai RSBI sejak 2007. Sejak ditetapkan
sebagai RSBI kami melakukan banyak pembenahan dan berbagai program
penguatan SDM khususnya guru dan sarana prasarana pembelajaran yang
menurut kami sangat penting untuk peningkatan kualitas pendidikan sesuai
dengan harapan pemerintah dan masyarakat (Wawancara dengan Supanto,
Senin 11 Juni 2012
Sebelum mendapat status sekolah RSBI pada tahun 2007, SMA Negeri 2
Bandarlampung telah menjadi sekolah favorit atau unggulan di daerah itu.
Menurut Supanto, penanggungjawab RSBI SMA Negeri 2 Bandarlampung
(Wawancara Sabtu 6 April 2013) perbedaan sekolah ini sebelum dan sesudah
menjadi RSBI terletak pada anggaran dan fasilitas sarana dan prasarana

91
pembelajaran. Anggaran sekolah setelah berlabel RSBI bersumber dari
pemerintahan pusat dan daerah serta pungutan dari masyarakat dan orangtua siswa
yang secara keseluruhan sangat signifikan pengaruhnya untuk meningkatkan
program peningkatan mutu sekolah melalui, misalnya, pengadaan sarana prasarana
sekolah dan pelatihan dan pengembangan SDM yang mendukung program
sekolah.
Berbeda dari SMA Negeri 78 Jakarta, SMA Negeri 2 Bandarlampung tidak
memiliki kelas internasional. Pada dua tahun pertama, sekolah ini membuka dua
“kelas RSBI” dengan jumlah peserta masing-masing kelas 32 siswa. Dalam
perkembangan berikutnya, seluruh kelas dan jurusan di SMA 2 diperlakukan sama
dalam konteks RSBI, dalam arti pengembangan mutu antara Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (MIPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak dibedakan
dalam perlakuannya. Dari segi biaya pendidikan (SPP), siswa jurusan IPA dan IPS
sama besarnya dikenakan kepada seluruh orangtua siswa. Sekolah ini juga
menyediakan beasiswa bagi pendaftar dengan kemampuan ekonomi lemah tetapi
dinilai memiliki kemampuan akademik yang tinggi. Menurut pimpinan sekolah,
tanpa merinci persentase penerima beasiswa, banyak siswa warga miskin yang
mereka terima dengan pemberian fasilitas beasiswa, bahkan ada siswa yang bebas
dari biaya pendidikan (SPP). Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya sekolah
untuk menepis tuduhan dan anggapan masyarakat bahwa sekolah RSBI ditujukan
hanya untuk anggota masyarakat yang mampu secara ekonomi.

92
Dari segi kerjasama luar negeri sebagai salah satu ciri RSBI, SMA Negeri
2 Bandaralampung pada dasarnya belum memiliki bentuk kerjasama yang sifatnya
mengikat dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri. Pada saat penelitian
ini dilakukan hubungan kerjasama dengan lembaga (sekolah) luar negeri baru pada
tahap penjajakan kerjasama untuk menggunakan kurikulum Cambridge. Namun
selama dua tahun pertama berstatus RSBI, sekolah ini telah menjajaki beberapa
bentuk kerjasama dengan lembaga di luar negeri seperti Filipina dan Malaysia
namun belum sampai ke tahap nota kerjasama/kesepahaman yang sifatnya
mengikat.
Dalam hal kerja sama internasional, SMA Negeri 2 Bandarlampung masih
berada pada tahap membangun komunikasi dengan beberapa lembaga di luar
negeri termasuk lembaga Cambridge Inggris dan telah mensosialisasikannya di
sekolah sebagai salah satu program unggulan sekolah. Dalam dua tahun pertama
setelah berstatus RSBI, sekolah ini juga telah menggunakan buku-buku teks dari
Cambridge (Lampiran 3, Gambar. 10) dengan menggunakan tenaga pengajar
MIPA dari perguruan tinggi setempat, Universitas Lampung, untuk mengajar
dalam bahasa Inggris karena kompetensi guru-guru yang ada di sekolah secara
objektif dinilai belum memadai untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan
bahasa Inggris. Guru-guru MIPA dan bahasa Inggris yang menjadi unggulan
RSBI tercatat hanya dua orang yang memiliki kualifikasi akademik S2, situasinya
sangat jauh dari kondisi yang diharapkan sebagai sekolah menuju SBI (lihat Tabel.
4.6)

93
Tabel 4.6: Data Guru SMA Negeri 2 Bandarlampung
Terkait Mata Pelajaran “Internasional”
No Jumlah
Guru
Jenjang
Pendidikan
Mengajar
D3, S1, S2, dst Mapel
1 5 4 S1 dan 1 S2 B. Inggris
2 6 6 S1 san 0 S2 Biologi
3 6 6 s1 dan 0 S2 Fisika
4 5 S1 Kimia
5 10 1 D3 dan 1 orang S2 Matematika
Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 2 Bandarlampung
Buku-buku impor produk Cambridge yang digunakan untuk pembelajaran
MIPA dan bahasa Inggris menurut penanggung jawab RSBI cukup mahal, Rp.
300.000,- 400.000,- per mata pelajaran dan digunakan hanya selama dua tahun,
2007-2008. Dalam perkembangan selanjutnya, implementasi program RSBI bagi
SMA Negeri 2 Bandarlampung mengalami perubahan kebijakan dari Kemdiknas
pusat, yang menghimbau agar sekolah ini menghentikan penggunaan buku-buku
Cambridge tersebut dan kembali menggunakan buku-buku terbitan nasional.
Padahal, sejak ditetapkan sebagai RSBI sekolah tersebut beberapa kali telah
melakukan pelatihan guru dalam bahasa Inggris secara reguler untuk memacu
kompetensi seluruh guru sesuai tuntutan sekolah berlabel RSBI. Dalam desain dan
praktiknya, pelatihan ini terbuka bagi seluruh guru mata pelajaran yang berminat
meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya (Wawancara dengan Supanto, 6
April 2013).

94
BAB V
BENTUK-BENTUK HEGEMONI PENDIDIKAN BERTARAF
INTERNASIONAL DALAM PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
Bab ini akan menjawab pertanyaan pertama dari penelitian ini yaitu tentang
bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Secara teoretis
permasalahan PBI dilihat dari perspektif ideologis kultural dan dalam konteks
arena pertarungan ideologis dan asumsi-asumsi yang menjadi dasar pengambilan
kebijakan politik pendidikan. Bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pembahasan di
sini merefleksikan hubungan antara SNP sebagai standar minimal pendidikan
nasional dan standar pendidikan “bertaraf internasional” dalam berbagai bentuk
dan komponen standarisasi pendidikan.
Analisis dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari observasi
lapangan dan hasil wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu para elit dan
pakar pendidikan, kepala sekolah, guru, siswa dan orangtua siswa, dan teks-teks
berupa koran, risalah sidang MK dan catatan langsung peneliti ketika menghadiri
Sidang MK, buku, serta dokumen-dokumen yang mendukung tujuan penelitian.
Dengan menggunakan kerangka pemikiran kritis, bentuk-bentuk hegemoni
dibahas melalui tema-tema yang melihat hubungan globalisasi dan kebijakan PBI
dalam konteks sistem pendidikan nasional: Wacana Standarisasi, Kapitalisasi
Pendidikan, Pencitraan Kualitas Internasional, Stratifikasi Pendidikan, dan

95
Identitas/Jati diri Bangsa, yang semuanya merupakan wacana publik saat
penelitian ini dilakukan, yaitu setelah RSBI berkembang selama hampir enam
tahun hingga kemudian dasar kebijakannya, yaitu UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3),
dianulir oleh lembaga MK Selasa 8 Januari 2013 karena dinilai menciderai nilai-
nilai pendidikan nasional.
5.1 Standarisasi Pendidikan
Mark Olssen dkk (2004: 4) dalam bukunya yang berjudul Education
Policy: Globalization, Citizenship and Democracy menyatakan bahwa teori
globalisasi menekankan cara “baru” dimana suatu negara-bangsa dipengaruhi oleh
tatanan dunia internasional. Secara umum hal ini dapat dikatakan terkait dengan
kategori ekonomi, budaya dan politik, yang masing-masing saling terkait. Selain
itu, berbagai bentuk globalisasi dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.
Pesatnya perkembangan TIK beberapa dekade terakhir telah mengurangi peluang
sebuah negara-bangsa untuk mempertahankan kebijakan ekonominya tanpa
pengaruh negara lain. Akibat dari perkembangan teknologi dan liberalisasi pasar,
pemerintahan suatu negara menjadi rentan terhadap pengaruh negara lain dan pola-
pola interaksi membuat identitas budaya secara tradisional semakin berkurang.
Wacana penting dalam usaha pengembangan pendidikan nasional beberapa
dekade terakhir adalah terkait dengan standarisasi mutu, produktifitas, dan
relevansi pendidikan yang berdampak pada daya saing bangsa dalam era

96
globalisasi. Dalam konteks ini, pendidikan nasional ditandai dengan lahirnya
Undang-undang Sisdiknas 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar hukum pelaksanaan
pendidikan nasional dan kebijakan PBI melalui pasal 50 ayat (3) yang menyatakan
“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya
satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” PBI menjadi pilihan
strategis menghadapi permasalahan pendidikan nasional dan globalisasi.
Wacana globalisasi dengan karakteristiknya seperti persaingan, standarisasi
dan produktifitas kemudian menjadi “bagian” dari sistem pendidikan nasional.
Globalisasi menuntut adanya standarisasi mutu pendidikan untuk dapat berdaya
saing tinggi sebagaimana diamanatkan secara implisit dan ekplisit melalui
Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah. Seorang mantan birokrat Kemdikbud
menggambarkan semangat globalisme dalam wacana PBI sebagai berikut.
dengan melihat spektrum masalah pada saat itu tantangan bangsa, dana yang
ada, situasi pendidikan kita, dan dunia global yang tidak bisa dielakkan maka
berbagai kebijakan kemudian ditempuh untuk mulai membangun sekolah-
sekolah berkualitas yang dapat memberikan kemampuan bagi anak-anak
Indonesia bersaing dalam dunia global. Membangun sekolah nasional plus,
yaitu sekolah-sekolah dengan kurikulum nasional yang diberi muatan plus,
seperti teknologi informasi dan komunikasi, desain, komunikasi visual,
Inggris, dan lain sebagainya (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April
2012, hlm. 17).
Kutipan di atas menjelaskan pentingnya reformasi pendidikan dalam
menjawab tantangan globalisasi untuk meningkatkan daya saing bangsa.

97
Rendahnya mutu pendidikan nasional mengakibatkan kurangnya daya saing
bangsa di tingkat regional maupun global. Dari perspektif ekonomi, semakin tinggi
daya saing suatu negara, semakin mudah negara tersebut meningkatkan devisa
nasionalnya melalui berbagai produk yang bernilai ekonomis. Daya saing menjadi
sebuah bentuk rasionalisasi tujuan pendidikan nasional pada era globalisasi yang
berorientasi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan. Dalam konteks yang lebih luas,
tantangan pendidikan nasional dihadapkan sekaligus untuk menghadapi tuntutan
lokal, regional dan global, sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.
SBI itu juga harus tidak boleh steril dengan pengembangan regional. Kita
punya ASEAN, kita punya APEC, kita punya SEAMEO, kita punya
bermacam-macam lembaga supranasional yang kita tiap tahun itu adalah urun
terus, andil uang tetapi kalau kita tidak bisa berkolaborasi dan bersaing sama
mereka, akhirnya tiap tahun kita hanya urunan tapi tidak pernah memanfatkan
organisasi-organisasi supranasional yang saat ini mau tidak mau kita sudah
kena dampaknya. Nah, oleh karena itu, SBI harus bisa bekerja sama,
berkolaborasi dengan sekolah-sekolah di wilayah ASEAN, di wilayah APEC.
Yang terakhir, RSBI memang namanya sekolah bertaraf internasional, harus
tidak boleh steril dengan perkembangan global (Slamet, Risalah Sidang MK,
Rabu 11 April 2012, hlm. 9).
Tingkat daya saing pendidikan Indonesia memang tidak menggembirakan.
Beberapa hasil survei sejak tahun 1997 hingga 2007 dalam World Competitiveness
Year Book 1997-2007 menunjukkan bahwa daya saing pendidikan Indonesia pada
tahun 1997 menempati urutan ke-39 dari 49 negara. Untuk tahun 1999, dari 47
negara yang disurvei, Indonesia berada pada urutan 46. Pada tahun 2002,
Indonesia berada pada urutan 47 dari 49 negara, dan tahun 2007 pada urutan ke 53
dari 55 negara (http://t4belajar.wordpress.com). Tingkat pendidikan masyarakat
berkontribusi terhadap daya saing di tingkat internasional. Pada tahun 2005 daya

98
saing Indonesia di urutan ke-69 dan meningkat menjadi urutan ke-54 pada tahun
2009 (The Global Competitiveness Report 2009-2010). Pada level regional,
kualitas manusia Indonesia berdasarkan indikator IPM, berada di posisi ke-6 dari 9
negara anggota ASEAN (Human Development Report, 2009).
Tabel 5.1: Peringkat CGI 2010-2011 dan 2009-2010
Sumber: The Global Competitiveness Report 2010-2011,
World Economic Forum
Pada kurun waktu yang sama dengan hasil survei di atas, menurut statistik
dan data angkatan kerja dan jenjang pendidikan sekolah menengah atas (lihat
Analisis Sub Sektor, Appendiks 3 dan TA Report Sub Sector Analysis, Mei 2005),
tenaga kerja Indonesia pada tingkat internasional tidak kompetitif. Rata-rata masa
sekolah hanya 6, 21 tahun. Sementara itu 26% dari perusahaan besar Indonesia
melaporkan bahwa tingkat pendidikan dan kinerjanya kurang produktif
dibandingkan perusahaan-perusahaan di Filipina dan India. Indonesia juga berada
Negara 2010-2011 2009-2010
Peringkat Skor Peringkat
Swiss 1 5.63 1
Swedia 2 5.56 4
Singapura 3 5.48 3
Amerika Serikat 4 5.43 2
Jepang 6 5.37 8
Malaysia 26 4.88 29
China 27 4.48 29
Brunei D 28 4.75 32
Thailand 38 4.51 36
Indonesia 44 4.43 54
India 51 4.33 49
Brazil 58 4.28 56
Vietnam 59 4.27 75

99
pada posisi terendah dari sepertiga negara-negara (66 persen) pada Indeks
Pertumbuhan Kompetitif Forum Ekonomi Dunia 2003, di bawah posisi Malaysia
dan Thailand yang berada pada sepertiga ranking atas. Laju pengangguran di
Indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi (9,5% tahun 2003) dibandingkan
dengan negara-negara tetangga seperti Korea (3,7%), Thailand (1,5%) dan
Malaysia (3,4%).
Dalam konteks permasalahan pendidikan nasional pada masa reformasi,
kebijakan PBI merupakan upaya peningkatan mutu pendidikan dan daya saing
nasional yang rendah pada skala global. Menurut Indra Djati Sidhi hasil survei
lembaga internasional 2005, pada masa tingginya intensitas praktik wacana PBI,
menunjukkan peringkat daya saing global (Global Competitiveness Index), Human
Development Index (HDI) dan income per capita Indonesia secara berurutan
berada pada peringkat 69 dari 125 negara, ranking 110 dari 177 negara dan US.$
1267. Dari segi IPM bidang pendidikan pada tahun 2011, Indonesia tergolong
rendah, berada di urutan ke-119 dari 187 negara dan di urutan ke-12 dari 21
negara. IPM Indonesia pada tahun yang sama berperingkat ke -124 dari 189 negara
dengan kenaikan yang tidak signifikan selama 31 tahun dan posisinya di bawah
Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Kompas Rabu 14 Desember
2011, hlm.1 dan 15).
Wacana publik tentang globalisasi dan daya saing tenaga kerja Indonesia
merupakan kondisi yang menuntut standarisasi berbagai komponen pendidikan.
Berbagai upaya kemudian dikerahkan untuk melakukan inovasi dan diversifikasi

100
pendidikan. Hal ini sesuai dengan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, yaitu: meningkatkan kualitas dan daya saing lulusan
di tingkat regional dan internasional; mengantisipasi peningkatan migrasi tenaga
kerja internasional; meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar kerja
internasional; dan mempertahankan peluang kerja tenaga kerja Indonesia (TKI) di
pasar kerja nasional yang dibentuk oleh Perusahaan Asing di Indonesia. Hal ini
tergambar dari penjelasan berikut.
Indonesia mempunyai sumber daya manusia yang jumlahnya 230 sekian juta,
itu kalau tidak dikelola dengan baik, beban. Tapi, kita juga punya sumber
daya alam yang melimpah. Kita punya tanah yang subur, tetapi kok kita apel
saja impor, kedelai impor, lalu beras impor. Kita itu mau bertani, mau
beternak apa saja bisa, kok lembu sampai impor, kita juga lautan kita luar
biasa, mutiara saja kok enggak bisa mengelola yang bisa mengelola malah
orang Jepang. Mutiara terbaik di dunia itu adalah terkenal Jepang, tapi asalnya
dari NTB, utara Lombok itu. Tidak hanya itu saja, tambang-tambang kita ini
mestinya dikelola oleh anak-anak kita sendiri yang kita siapkan dengan
matang. Tapi, dalam kenyataannya kita tahu semua bahwa sumber daya alam
yang … yang melimpah itu dikelola oleh orang luar negeri karena kita tidak
menyiapkan dengan baik (Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 11).
Dalam sebuah wawancara dengan Prof Slamet tentang isu daya saing
pendidikan Indonesia dalam konteks globalisasi, ia menyatakan bahwa pendidikan
nasional mesti dikaitkan dengan keuntungan komparatif dan keuntungan
kompetitif. Keuntungan komparatif menyangkut keunggulan yang dimiliki oleh
Indonesia tetapi tidak dimiliki oleh negara lain seperti kekayaan budaya atau seni
tradisi yang dapat dikembangkan dan sumber daya alam yang melimpah tetapi
tidak didukung oleh SDM (keuntungan kompetitif) yang menguasai ilmu dan
teknologi modern.

101
Dalam konteks RSBI kita berbicara tentang konteks kompetisi yang
universal…Kita punya keuntungan komparatif yang tidak dimiliki oleh
bangsa lain seperti sumber daya alam yang melimpah dan kaya dengan seni
budaya, Nah kita kurang kompetitif dari segi ilmu dan teknologi (Wawancara
Sabtu 25 Agustus 2012 di Kampus Pascasarjana UNY, Yogjakarta).
Implementasi UU Sisdiknas 20/2003 dan berbagai peraturan terkait dalam
bentuk satuan pendidikan RSBI merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan nasional dan merespons tantangan global melalui standarisasi
pendidikan, daya saing dan produktifitas SDM. Dalam hal ini relevan apa yang
dikatakan Ritzer dan Godman (2007: 587), bahwa globalisasi adalah satu kata
yang secara akademik menjadi pusat ketertarikan tetapi juga kecemasan publik.
Kecemasan itu berkaitan dengan sifat karakteristik globalisasi yang mendramatisir
seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Dalam hal ini, pendidikan
nasional dihadapkan pada tantangan untuk melakukan reformasi dan inovasi jika
tidak mau menjadi pecundang dalam konteks globalisasi dan hubungan
internasional.
…pada dasarnya penyelenggaraan SBI memang sudah sejak awal
direncanakan untuk bisa menghadapi era globalisasi, yaitu menyiapkan
sumber daya manusia yang benar-benar tidak hanya mampu tapi juga sanggup
untuk berkolaborasi, bekerja sama dan juga bersaing dengan negara-negara
lain …kalau tidak menyiapkan diri, seperti Malaysia, seperti Singapore kita
akan dilanda oleh sejumlah ribuan mahasiswa asing yang akan ke Indonesia
(Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 10).
Dengan kekuasaan hegemonik yang dimilikinya dan realitas kompleksitas
permasalahan pendidikan nasional, Negara melegitimasi perlunya inovasi dan
diversifikasi layanan pendidikan berupa satuan PBI, tidak saja demi menghadapi
globalisasi tetapi juga untuk melayani tuntutan masyarakat kelas menengah,

102
mengatasi masalah kualitas pendidikan yang rendah dan kesenjangan kualitas
antar-sekolah dan antar daerah. Seorang narasumber menyatakan bahwa
“masyarakat membutuhkan SBI bagi anak-anak mereka supaya nantinya bisa
kuliah di luar negeri dan mampu bersaing dalam arena yang lebih luas”.
Satuan pendidikan bertaraf internasional itu, pada saat ini sedang dalam
pengembangan melalui Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau
RSBI.Tujuan RSBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang melampaui
standar nasional pendidikan sehingga memiliki daya saing komparatif
tinggi termasuk kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing (Risalah
Sidang MK, 6 Maret 2012, hlm. 4).
Secara eksplisit Permendiknas Nomor 78/2009 tentang Penyelenggaraan
SBI pada jenjang Pendidikan Menengah pasal 2 mendukung kondisi di atas.
Tujuan penyelenggaraan SBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki
daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan
keunggulan lokal pada tingkat internasional, kemampuan bersaing dalam berbagai
lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak,
perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya; kemampuan bersaing
kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan; e.
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5 dalam
skala internet based test (IBT) bagi SMA; f. kemampuan berperan aktif secara
internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari
perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan hidup; g. kemampuan
menggunakan dan mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara
profesional (Permendiknas Nomor 78/2009 pasal. 2).

103
Dengan uraian di atas, tampak ada koherensi gagasan mengenai pendidikan
dan globalisasi, kondisi pendidikan nasional dan kualitas SDM, lembaga
internasional dan wacana ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta semangat
memajukan pendidikan nasional melalui standarisasi pendidikan. Berbagai wacana
tersebut memiliki apa yang dikatakan oleh Foucault sebagai “power” (kuasa) yang
beroperasi melalui wacana PBI. Untuk dapat bersaing di era global, pendidikan
harus memenuhi standar-standar kualitas yang berlaku secara global.
5.2 Kapitalisasi Pendidikan
Secara historis, perubahan orientasi sistem pendidikan nasional menuju
liberalisme sejak ORBA ditandai dengan ratifikasi pendidikan sebagai bagian dari
WTO, pendidikan menjadi salah satu komoditas industri. Hal ini kemudian
mendapat titik kulminasinya melalui UU Sisdiknas 2003 sebagai “legal policy”
dari pelaksanaan pendidikan nasional seperti kebijakan PBI. Dalam
perkembangannya, PBI kemudian menjadi perdebatan publik khususnya dalam
kaitannya dengan amanat konstitusi dan implementasinya yang menimbulkan
masalah-masalah sosial dan budaya. Kehadiran RSBI digugat oleh masyarakat
karena dipandang bertentangan dengan konstitusi. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 Pasal 50 ayat (3) dinilai bertentangan dengan UUD 1945 kendati
suasana kebatinannya ketika undang-undang itu dibuat adalah untuk meningkatkan
daya saing pendidikan nasional pada aras internasional.

104
Dewasa ini rasionalisme ekonomi telah menjadi ideologi dominan, dimana
pendidikan dipandang sebagai produser barang dan jasa yang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi. Proses globalisasi yang berciri ekonomi ditandai dengan
berbagai aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme yang bermakna
kultural dan proses-proses kultural global. Keadilan sosial dan nilai-nilai
kebersamaan telah dipertukarkan dengan konsep-konsep penting dalam wacana
ekonomi global seperti produktifitas, daya saing, efisiensi, dan keuntungan
sebesar-besarnya (Zajda, 2005; xiii-xiv; Barker, 2005: 133).
Economic globalization is about processes that enable the free flow of goods,
services, investments, labour and information across national borders in
order to maximize capital accumulation. Thus global capitalism involves the
commodification of all kinds of human endeavour in or der to produce surplus
value and profit... (Olsson, dkk, 2004: 5).
Wacana pendidikan tidak terlepas dari isu ekonomi, sosial, budaya, dan
politik. Wacana PBI dalam sistem pendidikan nasional selain terkait langsung
dengan eksistensi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 juga tidak terlepas dari isu-isu
sosial-ekonomi Indonesia dalam konteks internasional. Wacana PBI juga terkait
dengan keinginan sebagian orangtua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya di
luar negeri dan harapan pemerintah agar warga negara asing yang berada di
Indonesia dan luar negeri mau bersekolah di sekolah-sekolah Indonesia, yang
secara ekonomi dapat menguntungkan bagi pengembangan pendidikan nasional
khususnya dan kehidupan bangsa secara umum.

105
“ Ya saya menyekolahkan anak saya di RSBI dengan biaya yang mahal yah
wajar dan tentu aja untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang terbaik.
Soal supaya bisa melanjutkan ke luar negeri ya tentu saja, orangtua
mengharap itu kalau memang mampu, tetapi diterima kualiah di dalam
negeri pada universitas terbaik seperti UI juga senang” (Wawancara
dengan Khalil, 8 Agustus, 2012).
Dalam kurun waktu tingginya indeks investasi asing di Indonesia sebelum
krisis ekonomi 1997, banyak manajer ekspatriat yang bekerja dan bertempat
tinggal dalam waktu yang lama di Indonesia. Situasi ini dipandang sebagai
peluang (sekaligus ancaman) untuk membuka sekolah internasional yang dapat
menyediakan program pendidikan bersertifikat internasional bagi anak-anak
ekspatriat untuk mendapat pengakuan secara internasional atau di negaranya
ketika mereka kemudian pindah tugas ke negara lain atau kembali ke negerinya.
Banyak lembaga pendidikan menawarkan program pendidikan internasional
dengan mengadaptasi kurikulum “internasional”, khususnya di wilayah perkotaan
seperti Jakarta.
...globalisation, political and economic system and the competitive market
forces have generated a massive growth in the knowledge industries that
are having profound differential effects on educational institutions and
nations in general (Zajda and Geo-Jala, 2009). One of the effects of forces
of globalisation is that educational organisations, having modelled its
goals and strategies on the enterpreneurial business, are complelled to
embrace the corporate ethos of the efficiency, accountability and profit-
driven managerialism. Hence, the politics of education reforms reflect this
new emerging paradigm of standars-driven policy (Zajda, 2010: xiii).
Dengan adanya UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, sekolah-sekolah
dapat menerima siswa non ekspatriat dengan kurikulum yang disesuaikan dengan
tuntutan masyarakat lokal maupun internasional. Hal ini mendorong pemerintah

106
untuk membangun SBI sesuai dengan tantangan globalisasi dan realitas mutu
pendidikan nasional yang tidak menggembirakan. Selain itu, pada penghujung
tahun 90-an, beberapa sekolah menengah juga memiliki hubungan internasional
termasuk sekolah-sekolah swasta dengan target standar kelulusan yang lebih
tinggi. Sejumlah siswa menunjukkan peningkatan jumlah pendaftar di sekolah-
sekolah swasta yang dikenal di masyarakat dengan biaya mahal, yang biasanya
juga disebut sebagai sekolah “nasional plus” karena memiliki sertifikasi dan
akreditasi internasional dan sistem pengajaran bilingual berbasis bahasa Inggris.
Sekolah-sekolah semacam ini selain berbiaya mahal kualifikasi lulusannya juga
dapat bersaing dengan sekolah-sekolah di luar negeri dan di bursa dunia kerja. Hal
inilah salah satu faktor utama yang mendorong pemerintah membangun SMA
berkualitas tinggi secara nasional (Asian Development Bank: Project Technical
Proposal, 2006:4).
Kapitalisasi pendidikan juga tampak dari penggunaan buku teks MIPA dan
bahasa Inggris di dua sekolah yang diteliti di Jakarta dan Bandarlampung.
Pengadaan buku-buku impor di dua sekolah tersebut yang secara langsung dipesan
dari luar negeri dalam hal ini lembaga Cambridge di Inggris di mata masyarakat
cukup mahal. Dari segi tenaga kependidikan, guru ”bule” yang mengajar di kelas
internasional pada SMA 78 Jakarta mendapat sistem kerja dan penggajian
tersendiri (honorer). Guru-guru yang mengajar bidang MIPA di ”kelas
internasional” diseleksi sesuai prestasi akademik dan kemampuan bahasa
Inggrisnya. Dalam hal ini, pendidikan dalam konteks globalisasi sudah menjadi

107
urusan ”lintas-batas” negara dan diarahkan tidak lagi hanya untuk konsumsi
”dalam negeri” tapi juga untuk melayani masyarakat internasional.
Ibrahim Musa, pakar pendidikan yang bersetuju dengan SBI berdasarkan
hasil penelitiannya tentang profil pembiayaan pendidikan pada Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama RSBI di Surakarta dan Jakarta menyatakan:
...dalam literature, paling tidak ada dua konsep tentang pendidikan, yaitu
pendidikan sebagai investasi dan pendidikan sebagai konsumsi. Pendidikan
dikatakan sebagai investasi karena melalui pendidikan, seorang memperoleh
kompetensi yang digunakan sebagai modal untuk meningkatkan penghasilan
di masa yang akan datang. Biaya pendidikan merupakan investasi yang akan
menghasilkan keuntungan secara ekonomi dan nonekonomi dengan tingkat
yang lebih tinggi dibandingkan perolehan dari bunga bank. Ini konsep dasar
perhitungan ekonominya...Pendidikan dikatakan juga sebagai konsumsi.
Karena melalui pendidikan, seseorang bukan sekadar memperoleh kompetensi
untuk modal kerja, tapi juga untuk mendapatkan kepuasan waktu memenuhi
mata pendidikan, kemudian kebanggaan selama mengikuti pendidikan
(Ibrahim Musa, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 19).
Teori Wacana Kuasa/Pengetahuan oleh Foucault menekankan bahwa pengetahuan
menghasilkan kekuasaan. Kutipan di atas tentang pembiayaan pendidikan
menjelaskan dan menegaskan bagaimana peran ilmuan/intelektual mendefinisikan
“kebenaran” tentang pendidikan sebagai investasi berdasarkan pengetahuan dan
rasionalisasi “objek” pengetahuan. Bagaimanapun, kegiatan investasi tidak
terpisahkan dari kapitalisme yang berorientasi keuntungan ekonomis. Dengan
pengetahuan yang dimilikinya, ilmuan berkuasa untuk menyatakan sesuatu itu
benar atau tidak. Intelektual sebagai bagian dari struktur kekuasaan negara
berperan merasionalisasi dan melegitimasi eksistensi satuan PBI dalam sistem
pendidikan nasional. Secara politik, pendidikan sebagai investasi juga didukung

108
oleh PP No. 19 Tahun 2005 pasal 62 ayat (1) menyatakan bahwa pembiayaan
pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
Dalam konteks pemikiran Foucault tentang kuasa/pengetahuan, pengertian
pendidikan sebagai investasi memberikan rasionalisasi tentang mahalnya
pendidikan berkualitas standar, bahwa pendidikan membutuhkan modal ekonomi
dalam membangun masa depan siswa (masyarakat) yang lebih baik dan sejahtera
pada era globalisasi. Dalam hal ini, pendidikan menjadi “hak eksklusif” kelompok
atau anggota masyarakat kelas ekonomi menengah. Pendidikan (sekolah) mahal
dalam bentuk atau desain RSBI dapat memarginalisasi anggota masyarakat dari
kalangan ekonomi bawah, menutup peluang mereka untuk mengubah
kehidupannya menjadi lebih baik melalui pendidikan.
Dalam konteks pendidikan sebagai tanggung jawab negara untuk
mencerdaskan bangsa, negara seharusnya bertanggungjawab untuk menjamin
tersedianya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa “pandang bulu”.
Pendidikan yang merupakan hak dasar warga negara berdasarkan UU berperan
strategis dalam membangun karakter bangsa dan setiap warga negara. Hal ini
secara tegas termaktub dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 41 ayat (3): “Pemerintah
dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik
dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.“
Dengan rasionalisasi bahwa pendidikan merupakan investasi untuk
pendidikan berkualitas dan negara memfasilitasi RSBI untuk menggali dana dari

109
masyarakat membuat dunia pendidikan terjerumus kedalam liberalisasi dan
komersialisasi pendidikan. Proses komersialisasi pendidikan terjadi dalam
pengertian biaya pendidikan disesuaikan dengan strata pendidikan (reguler, RSBI,
atau “ standar internasional”) dan daya beli masyarakat. Status ekonomi menjadi
sebuah “mekanisme seleksi” untuk mengakses pendidikan berkualitas. Ironisnya,
biaya pendidikan justru semakin mahal setelah anggaran pendidikan ditanggung
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam konteks UU Otonomi Daerah, dan
di tengah Negara melalui konstitusi telah memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
Menurut laporan “Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan”
(Education Public Expenditure Review) oleh Bank Dunia bersama Pemerintah
Belanda dan Uni Eropa di Jakarta, Kamis 14 Maret 2013, terungkap bahwa
anggaran pendidikan 20 % dari APBN tidak efektif meningkatkan kualitas
pendidikan nasional karena anggaran tersebut lebih banyak dialokasikan untuk
membayar gaji guru dan tunjangan sertifikasi guru. Proses sertifikasi guru yang
diharapkan dapat meningkatkan kualitas guru, menurut speasialis Pendidikan Bank
Dunia untuk Indonesia, Mae Chu Chang, ternyata tidak juga mampu meningkatkan
kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa (Kompas, Jumat 15 Maret 2013,
hlm. 12).
Kompleksitas permasalahan pendidikan dan kecenderungan terjadinya
komersialisasi dan komodifikasi pendidikan telah menuai banyak kritik dan
keprihatinan dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan ada yang

110
mengindikasikan bahwa kebijakan pendidikan yang “salah” sekarang ini tidak
terlepas dari kebijakan Kemdikbud. Perwakilan Front Perjuangan Pemuda
Indonesia (Lampiran 3, Gambar 7), misalnya, yang bergiat dalam advokasi
masyarakat dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengkritisi kebijakan
pendidikan nasional yang tidak berpihak pada masyarakat dan meminta
pemerintah untuk menghentikan komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan
(http://www.rmol.co/read/2013/04/29/108294/1/KOMERSIALISASI-
PENDIDIKAN-NASIONAL).
Dalam konteks pendidikan kritis, hubungan status sosial ekonomi
masyarakat dan akses pendidikan seperti RSBI menegaskan bahwa “orang miskin”
sulit mendapatkan pendidikan bermutu. Padahal, sesuai konstitusi, Pasal 31 ayat
(1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas 2003: “Setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu...” Namun, faktor
pendidikan yang diharapkan dapat mengubah status sosial ekonomi mereka
menjadi warga negara sejahtera menjadi sirna. Dengan demikian, terjadi paradoks
dalam satuan PBI bahwa orang “miskin” (ekonomi) dan kurang “pintar”
(akademik) menjadi tetap marginal karena untuk mengubah nasibnya justru
dihadapkan pada kenyataan apakah dia memiliki modal atau tidak, yang miskin
tetap miskin dan yang kaya semakin kaya. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan Michael (1978) bahwa sekolah menjadi sarana reproduksi ketidakadilan
sosial dalam pendidikan modern yang bersifat kapitalistik.

111
Di satu sisi, kesempatan untuk mengakses pendidikan bermutu yang
dijamin oleh undang-undang merupakan peluang untuk mendapatkan modal bagi
masyarakat miskin sebagai warga negara. Di sisi lain, warga negara miskin dan
masyarakat pada umumnya sulit masuk ke sekolah RSBI karena realitasnya
sebagai sekolah mahal. Dengan mengacu pada pemikiran Bourdieu (Jenkins, 2004:
156-157), tentang kekerasan simbolik, dalam ranah pendidikan terjadi kekerasan
ekonomi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak adil bagi warganya.
Masyarakat dengan ekonomi lemah semakin terpinggirkan dari arus pendidikan
bermutu. Padahal, pendidikan sejatinya difungsikan oleh negara untuk mengurangi
kesenjangan sosial ekonomi masyarakat dengan desain sekolah yang menjamin
akses pendidikan bermutu bagi setiap warga negara.
Pendidikan itu sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dari perspektif ekonomi, pendidikan dapat meningkatkan modal dan
produktivitas tenaga kerja melalui pengetahuan dan keterampilan yang
diperolehnya. Secara teoretis dan praktis pelaksanaan PBI atas nama Undang-
undang dan didukung oleh para intelektual dengan legitimasi ilmu pengetahuan
justru semakin memarginalkan masyarakat ekonomi lemah dalam mengakses
pendidikan. Pendidikan bermutu menjadi pendidikan kapitalistik. Dalam hal
inilah, secara ideologis, negara merekayasa kesadaran masyarakat dan pelaku
pendidikan untuk mendukung kekuasaan negara melalui peran para intelektual
dalam birokrasi dan lembaga pendidikan sebagai sarana hegemoni di tengah
masyarakat Indonesia kontemporer (Takwin, 2009: 74).

112
Dari perspektif ideologi liberal, pendidikan dilihat hanya masalah
ekonomi dan kompetensi bukan dalam konteks humanistik dan integratif. Dengan
argumentasi ilmiah Ibrahim Musa, misalnya, sebagai representasi pemerintah,
menyimpulkan bahwa biaya penyelenggaraan RSBI masih dalam kerangka
struktur biaya pendidikan berdasarkan SNP. Ia bahkan menyatakan bahwa tidak
ada liberalisasi pendidikan pada SBI dengan alasan normatif dalam UU bahwa
“pemerintah dan pemerintah daerah, membiayai pendidikan sesuai dana yang
tersedia dan masyarakat membantu dalam pendanaan sesuai keinginan mereka
akan mutu layanan pendidikan yang bertaraf internasional”. Padahal, fakta di
lapangan, menurut seorang narasumber bahwa pembiayaan pendidikan RSBI lebih
banyak menyedot dana dari masyarakat dan peran pemerintah daerah belum
maksimal sebagaimana diharapkan (Wawancara dengan Supanto, Senin 11 Juni
2012).
Pembiayaan pendidikan RSBI menjadi kapitalistik, diskriminatif dan
kurang demokratis. Akibatnya, misalnya, yang kaya dan memiliki talenta
“istimewa” mendapat “perlakuan istimewa” atas pendidikan bermutu sebagaimana
dapat dipahami melalui konsep dan kenyataan empiris tentang RSBI. Dalam hal
ini, globalisasi dengan ideologi liberalisme dan kapitalismenya harus dilihat secara
kritis dalam memajukan pendidikan nasional. Selain itu, OECD sebagai organisasi
ekonomi, berfokus pada “pendidikan demi pekerjaan” sesuai dengan wacana
globalisasi. Perspektif efisiensi ekonomi lebih dominan dan pendidikan dipandang
lebih bersifat teknis (Darmin, 2011:262).

113
Konsep dan penyelenggaraan RSBI mengandung banyak permasalahan
dalam sistem pendidikan nasional. Dengan menjadikan negara-negara maju OECD
sebagai “benchmarking” kualitas pendidikan nasional maka logikanya proses
pendidikan dibangun dengan prinsip-prinsip kapitalistik dan persaingan yang
secara sosio-kultural tidak realistik bagi Indonesia dan tidak sesuai dengan
konstitusi. Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam suatu acara
simposium di Jakarta tahun 2011 menyatakan bahwa berdasarkan hasil kajian yang
dilakukan pemerintah, pendanaan RSBI sebagian besar memang ditanggung
orangtua dan pemerintah pusat. Pendanaan dari pemerintah daerah justru tidak
terjadi sebagaimana diharapkan. Sebagian besar siswa RSBI berasal dari kalangan
kaya karena biaya masuk RSBI relatif mahal yaitu berkisar Rp 15 juta dan uang
sekolah sekitar 450. 000,- per bulan, sedangkan alokasi 20 persen untuk siswa
miskin melalui beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI (Kompas, Kamis 10 Maret
2011, hlm. 12).
Secara ekonomis, sebagaimana diakui oleh beberapa narasumber dari dua
sekolah yang diteliti, strategi pengembangan SBI sangat mahal dan menambah
beban pengelolaan sekolah. Pembiayaan yang mahal tersebut terkait dengan
berbagai program “ambisius”, antara lain, program kerjasama internasional,
pelaksanaan sertifikasi sistem manajemen mutu (ISO), program bench marking
internasional dengan sekolah mitra (OECD), pengadaan sarana dan prasarana
modern (TIK), dan penguatan kualitas SDM (Guru, Kepala Sekolah) dengan
program kualifikasi S2 dari universitas berakreditasi A.

114
Salah satu ciri inovatif pendidikan modern di berbagai belahan dunia
adalah penggunaan berbagai produk teknologi canggih yang dianggap dapat
membuat proses pembelajaran lebih efektif dan kreatif. Pemanfaatan TIK di
bidang pendidikan di Indonesia sebenarnya telah mulai disosialisasikan sejak
tahun 1980-an dalam rangka meningkatkan “computer literacy” dan hal ini
dipertegas lagi dalam kurikulum 2004 melalui mata pelajaran TIK. Dalam
pandangan pendidikan modern, faktor-faktor yang menjamin keberhasilan
pendidikan dalam arti proses belajar untuk menghasilkan keluaran yang baik
adalah SDM dan sarana dan prasarana yang memadai (Sumber: Panduan Penetrasi
dan Integrasi ICT/Telematika untuk Sekolah Menengah Atas, 2005:1). Hal ini
didukung lagi melalui UU sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.
Untuk menyediakan layanan pendidikan yang bermutu sebagai prestasi
ataupun konsumsi, diperlukan dukungan sumber daya pendidikan yang
memenuhi persyaratan standar nasional pendidikan seperti dinyatakan …
dalam Undang-Undang Tahun 2003 Pasal 35. Yang merupakan jaminan agar
dapat terjadi proses pembelajaran yang efektif, produktif, menyenangkan, dan
memberdayakan peserta didik (Putusan MK tentang RSBI, hlm.137).
Dalam konteks PBI, Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah, Kemdikbud, menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) yang pesat dewasa ini telah memunculkan tuntutan baru dalam
segala aspek kehidupan termasuk desain pendidikan Indonesia dalam skala global.
Menurut Suyanto dalam era informasi dan komunikasi, manajemen produksi dan
sumber daya manusia bertumpu pada teknologi digital dan networking dengan
orientasi global. Hal ini menuntut pergeseran prioritas dan diversifikasi sasaran

115
program pendidikan dengan pendekatan inovatif dan kreatif yang memungkinkan
Indonesia dapat berperan aktif dalam percaturan global (Suyanto, Risalah Sidang
MK, Selasa, 6 Maret 2012, hlm.3-4).
Menurut Indra Djati Sidhi, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan
Tinggi dan salah seorang pendukung keberadaan RSBI, salah satu makna dari
RSBI adalah membangun sekolah nasional plus, yaitu sekolah-sekolah dengan
kurikulum nasional yang diberi muatan plus, seperti TIK, desain, komunikasi
visual, dan bahasa Inggris. Proses pembelajaran berbasis TIK dipandang sebagai
“jaminan” untuk mencapai sukses dalam pembelajaran. Paradigma ilmu
pengajaran yang berpusat pada guru berubah ke pembelajar dengan dukungan
sarana dan prasarana seperti komputer, fasilitas internet, dan berbagai perangkat
multimedia lainnya. Kesuksesan pembelajaran dilihat dari bagaimana guru
memfasilitasi proses pembelajaran dengan berbagai perangkat multimedia untuk
menghasilkan standar lulusan yang diharapkan.
TIK merupakan pemicu dari terjadinya transformasi kehidupan bermasyarakat
yang lebih efektif dan efisien. Dipergunakannya TIK dalam proses
pembelajaran (e-education), pemerintahan (e-government), bisnis (e-
business), dan lain-lain adalah bukti bagaimana teknologi mampu mengubah
pola tindak individu dan komunitas dalam berbagai aktivitas kegiatan sehari-
hari. TIK merupakan pendorong terciptanya daya saing yang signifikan bagi
sebuah negara dalam konteks globalisasi…Semakin tinggi daya saing sebuah
negara, semakin mudah yang bersangkutan meningkatkan devisa dan
pendapatan nasionalnya (Sumber: Profil dan Panduan Pelaksanaan Program
ICT Pura, 2011: 14-15).
Kutipan di atas sangat jelas menunjukkan hubungan antara globalisasi dan
reformasi pendidikan yang diorientasikan pada daya saing ekonomi dan devisa

116
negara dan pemanfaatan TIK untuk efektifitas dan efisiensi. Dalam memajukan
pendidikan, pemanfaatan TIK selaras dengan paradigma proses pembelajaran yang
lebih menekankan “barang” (peralatan teknis) dibanding “manusia” dalam arti
berkurangnya “peran” guru dalam interaksi belajar. Penggunaan proses
pembelajaran berbasis TIK di sekolah RSBI merupakan sebuah penegasan dan
proses pendisplinan para agen pendidikan sebagai “driver” dalam era globalisasi
yang penuh dengan persaingan dan lalu lintas sumber daya ekonomi.
Perkembangan TIK juga meningkatkan mobilitas manusia dan informasi yang
membuat batas-batas sistem (pendidikan) suatu negara menjadi “cair” sebagai
akibat dari intensitas hubungan internasional.
Menurut Slamet, penyelenggaraan RSBI/SBI sejak awal direncanakan
untuk menyiapkan SDM menghadapi era globalisasi dan mampu bekerjasama dan
bersaing dengan negara-negara lain. Selanjutnya Slamet menyatakan bahwa SBI
itu diadakan selain untuk menghemat devisa juga untuk mencegah ―capital flight‖
ke luar negeri. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia terkait dengan
mutu dan produk pendidikan. SBI dikembangkan berangkat dari kondisi dan
kepentingan nasional, mengembangkan keunggulan lokal, dan berdasarkan pilar-
pilar Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD), NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Selanjutnya, dalam sebuah wawancara (25 Agustus 2012) menurut Slamet,
harus diakui bahwa dalam implementasi PBI masih ada banyak masalah baik dari
segi SDM birokrasi maupun aspek lainnya yang terkait dengan pengelolaan dan

117
penyelenggaraannya. Bahkan, berdasarkan studi kasus yang dilakukannya sendiri
ada sekolah yang mengutip biaya pendidikan yang cukup besar dari orangtua
siswa tetapi peruntukannya bukan untuk kegiatan belajar mengajar. Menurut
Slamet, diperlukan pengendalian dari pihak yang berwewenang agar dana yang
dihimpun dari masyarakat dan bentuk pengeluaran sekolah lainnya lebih diarahkan
untuk meningkatkan proses pembelajaran yang benar-benar meningkatkan kualitas
pendidikan sebagaimana diharapkan.
Paradoksnya lagi dalam pendidikan Indonesia, khususnya satuan pendidikan
bertaraf internasional, ini bisa membuat orang jadi tidak berdaya. Untuk bisa
pintar sekolah ... di sekolah yang baik, saya harus punya modal, padahal
modal itu yang saya enggak punya. Kami sekolah untuk mendapat modal,
dapat penghasilan lebih bagus, kok harus punya modal dulu, lingkaran setan.
(Bagus Takwin, Risalah Sidang, Rabu 2 Mei 2012, hlm.17).
Secara ekstrim, pandangan masyarakat tentang RSBI adalah bahwa model
sekolah ini telah terjebak ke dalam komodifikasi pendidikan yang berdampak pada
masalah terpinggirnya akses pendidikan bagi sebagian masyarakat ekonomi lemah.
Pendidikan bermutu kemudian hanya dinikmati secara eksklusif oleh mereka yang
mampu membayar biaya pendidikan yang lebih mahal sehingga layanan
pendidikan menjadi diskriminatif. Hal ini diperkuat oleh penjelasan seorang guru
sebagai berikut.
Ini masih di kelas internasional, ini fasilitas lain. Locker, mereka punya lemari
kayu dan mereka masih punya apa itu ... lemari besi, ya. Seperti itu dan
mereka pun disediakan printer, ini tidak ada di kelas RSBI, ini hanya ada di
kelas internasional. Karena di kelas internasional … itu satu tahun anak
membayar Rp. 31.000.000,00, tapi itu sudah yang termurah karena kalau yang
termahal di Jakarta itu ada Rp. 45.000.000,00, ... pokoknya betul-betul
memang ada barang, ada harga, ya... (Retno L, Risalah. Sidang MK, Selasa,
20 Maret 2012, hlm.24).

118
Penjelasan di atas sekaligus menunjukkan bagaimana pendidikan telah terperosok
ke dalam kapitalisme dan materialisme. Mereka yang membayar lebih tinggi
nilainya mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik. Biaya tinggi
pendidikan akibat kapitalisasi pendidikan menghasilkan “kebutuhan palsu” seperti
locker dan lemari besi yang tidak signifikan berkontribusi pada peningkatan
kualitas pembelajaran. Akses masyarakat terhadap pendidikan menjadi
terstratifikasi sehingga kelompok masyarakat tertentu terpinggirkan. Situasi ini
menguatkan prinsip dagang yang sudah populer di masyarakat: “ada uang, ada
barang” atau “jenis sekolah yang anda pilih menunjukkan isi kantung anda”.
Situasi ini mempersempit peluang masyarakat miskin untuk mengubah “nasibnya”
melalui pendidikan akibat dari orientasi kebijakan pendidikan yang “pro-pasar”
dan konsumtif.
The rise of market-oriented policy is a major obstacle to democratic economic
development. By reducing explicit social regulation of private economic
activity and ‗leaving things to the market‘, neo-liberalism prevents the
implementaion of programmes that would allow people to exercise political
control over their economic affairs, involve people in solving their own
economic problems, and serve the material needs of the great majority
(MacEwan, 1999:5)
Bentuk ketidakadilan lainnya akibat kebijakan PBI bagi guru-guru adalah
terbukanya peluang bagi guru asing untuk mengajar di Indonesia sebagai implikasi
dari Undang-undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang memberi legitimasi bagi
masuknya investasi asing dalam sektor pendidikan melalui rumusan pasal 64 dan
65 berikut.

119
Pasal 64
Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga
negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang
bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
pasal 65
(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di
negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah
wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik
warga negara Indonesia.
(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga
pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia.
(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain
yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Dengan semangat yang sama, pengelola RSBI berdasarkan Undang-undang
juga diberikan hak untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik dengan
ketentuan paling banyak 30% dari jumlah pendidik yang ada. Fakta empiris
menunjukkan bahwa beberapa sekolah, termasuk SMA Negeri 78 Jakarta, juga
mempekerjakan tenaga asing dengan label “native speaker” khususnya untuk guru
bahasa Inggris. Dalam hal ini kebijakan PBI dalam pendidikan menengah dengan
rasionalisasi untuk menghasilkan manusia yang siap bersaing di arena
internasional telah memproduksi ketidakadilan struktural dalam hal kesempatan

120
kerja bagi sebagian warganya. Secara khusus, ketidakadilan bagi guru tergambar
dari penjelasan seorang pengamat pendidikan berikut ini.
undangan untuk guru asing itu sendiri merampas hak untuk bekerja yang
seharusnya dimiliki oleh warga Indonesia. Kedua, tidak mungkin tercipta
keadilan di dalam SBI karena guru dari warga asing jelas akan dibayar 10 kali
lipat dari guru warga negara Indonesia (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK,
Selasa, 24 April 2012, hlm.25).
Kutipan di atas menjelaskan implikasi dari liberalisasi pendidikan nasional melalui
Undang-undang dan implementasi PBI melalui RSBI. Perkembangan globalisasi
yang cenderung memaksakan “ideologi standarisasi” dalam pendidikan menengah
umum telah menyingkirkan sebagian guru dan hal ini berpotensi meminggirkan
sumber daya pendidikan yang lebih besar karena mereka kalah bersaing dengan
tenaga asing.
“Ya kita di sekolah ini memang menggunakan ada tenaga asing ya yang kita
harapkan bahasa Inggrisnya sebagai native speaker karena guru-guru kita
terus terang masih perlu ditingkatkan kemampuannya…” (Wawancara dengan
Ridnan, Rabu 21 Maret 2012).
Dalam hal ini, pandangan ideologi liberal cenderung mengabaikan ketidaksetaraan
atau ketidakadilan dalam masyarakat karena ideologi liberal berangkat dari
keyakinan bahwa antara pendidikan dan politik atau ekonomi tidak berhubungan
(Haralambos & Hoborn, 2000:781; O‟Neil, 1961:68 dalam Soeharto, 2009:145).

121
5.3 Pencitraan Kualitas Internasional
Perkembangan pendidikan nasional yang kapitalistik tidak terlepas dari
wacana pendidikan modern yang ditopang oleh Undang-undang yang berorientasi
pada globalisme dan neoliberalisme. Dalam hal ini, liberalisasi ekonomi telah
merambat ke dalam liberalisasi pendidikan. Filosofi pendidikan nasional yang
seharusnya berorientasi pada “subjek” manusia sebagai agen perubahan justru
pada kenyataannya bergeser pada “objek” barang. Proses pembelajaran yang baik
dilihat dari indikator-indikator materil seperti penggunaan sarana prasarana yang
cenderung berbiaya tinggi. Hal ini sesuai dengan semangat “materialistik” yang
terkandung dalam UU Sisdiknas No. 20 /2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat (1):
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Rumusan pasal di atas lebih menonjolkan suasana belajar atau “kondisi belajar”
daripada “tujuan belajar” (tujuan pendidikan), lebih mengutamakan bentuk
daripada substansi yang kemudian membentuk pencitraan pendidikan yang baik.
Hal ini diperkuat oleh pandangan guru-guru dan siswa tentang keunggulan RSBI
dibanding sekolah-sekolah reguler. Mereka menyatakan bahwa “sekolahnya
nyaman untuk belajar, ruang AC, dan memiliki fasilitas multimedia dan
pembelajaran berbasis TIK”. Dengan kata lain, ada kesejajaran antara penekanan
rumusan tujuan dalam pasal di atas dan persepsi dan “pengalaman” siswa dan
guru tentang pendidikan yang bermutu. Dalam hal ini, pada level sistem nilai ada

122
koherensi antara amanat UU Sisdiknas yang dikemukakan di atas dan orientasi
anak didik tentang pembelajaran yang baik. Keadaan demikian juga dapat
tergambar dari kutipan berikut.
…Pendidikan kemudian dikemas sebagai sebuah komoditi untuk
dikonsumsi Pendidikan kemudian berkembang menjadi sebuah institusi
yang mencari nilai tukar (exchnge value), lewat penciptaan berbagai citra
(image) dalam rangka memperoleh nilai keuntungan (profit). Pendidikan
kemudian dimuati dengan tanda-tanda (sign) sebagai upaya menciptakan
nilai tukar tersebut. Citra-citra seperti gedung-gedung yang nyaman, lokasi
yang strategis, peralatan dan laboratorium yang modern, jaringan yang
bersifat global digunakan sebagai nilai jual (nilai tukar) dari institusi yang
bersangkutan (Piliang, 2004:364).
Kutipan diatas menegaskan bahwa pencitraan adalah terkait dengan sesuatu
yang dapat dipahami melalui persepsi namun tidak memiliki eksistensi secara
substansial. Dalam konteks budaya posmodern, masyarakat pendidikan tidak
dihadapkan sepenuhnya pada realitas yang sebenarnya tetapi pada simulasi. Dalam
konteks ini, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam suatu acara
simposium di Jakarta tahun 2011 tentang RSBI menyadarinya dengan
menyatakan:
ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang
yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu kami belum berani
menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI
Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI (Kompas,
Kamis 10 Maret 2011, hlm. 12).
Menurut Djokopranoto, dengan mengacu pada rumusan pasal pasal 1 ayat
(1) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, pengertian pendidikan yang dianut oleh
pengambil keputusan puncak, baik eksekutif maupun legislatif, adalah berdasarkan
pengertian pendidikan yang rancu dan keliru. Selanjutnya, Djokopranoto

123
berargumentasi bahwa berdasarkan pengertian rumusan pasal di atas, pendidikan
dapat dicapai dengan sekedar mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran. Proses pendidikan direduksi menjadi sekedar pembelajaran. Hal ini
dipandang bermasalah dari segi etika pendidikan (Djokopranoto, 2011:16-17).
Orientasi sistem pendidikan nasional untuk mengadopsi atau mengadaptasi
kurikulum internasional kurang realistik dan menjadi anomali pendidikan nasional
karena standar pendidikan nasional masih memerlukan kajian lebih dalam. Ketika
seorang narasumber ditanya apakah sekolah RSBI dengan delapan komponen SNP
plus pengayaannya itu berarti bahwa lulusan sekolah-sekolah nasional dengan
SNP itu tidak mampu bersaing secara internasional, Prof Slamet yang
diwawancarai Sabtu 25 Agustus 2012 di Yogjakarta dengan tegas justru
menyatakan:
...nah, ini masalahnya karena ketika SNP itu dirumuskan mungkin belum ada
kajian atau benchmarkingnya. Memang ada banyak hal yang masih harus
dikritisi tentang RSBI ini (Wawancara Sabtu 25 Agustus 2012).
Kebijakan dan berbagai konsep terkait dengan RSBI/SBI banyak didasarkan
pada asumsi-asumsi tanpa didahului kajian fakta di lapangan, misalnya kesiapan
pendidik dan tenaga kependidikan dalam proses pembelajaran dengan bahasa
Inggris dan penggunaan sarana dan prasarana pendidikan. Ketentuan lainnya,
misalnya, persentasi guru dengan 20 % berkualifikasi S2 dari perguruan tinggi
dengan program studi yang berkreditasi A serta berbagai ketentuan lainnya yang
tidak realistik untuk dipenuhi oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Dalam hal
inilah muncul kritik masyarakat tentang keberadaan satuan PBI sebagai

124
pengingkaran terhadap kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
karena sebagian besar sekolah yang ada masih jauh dari keadaan SNP, sementara
ada sebagian kecil sekolah (RSBI) didesain menuju SBI dengan perlakuan khusus
dari negara. Negara semestinya menjamin keadilan bagi setiap warganya,
khususnya melalui akses pendidikan yang memang sangat strategis bagi
pembangunan bangsa. Prof Slamet lebih lanjut menyatakan:
Sekolah-sekolah yang telah dinyatakan sebagai RSBI harus melakukan upaya-
upaya yang … untuk melampaui SNP dan mencari pengayaan yang dilakukan
melalui strategi patok duga atau benchmarking dengan sekolah-sekolah
unggul atau sekolah-sekolah favorit baik dari dalam maupun luar negeri...
(Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm.7).
Berbeda dari pemikiran di atas, Darmaningtyas, pengamat pendidikan,
menyatakan bahwa kebijakan RSBI dalam berbagai program dan kegiatannya
justru tidak mencerdaskan karena dalam konsep dan implementasinya mengurangi
substansi pendidikan sebagai upaya pencerdasan bangsa. Dengan merujuk pada
beberapa ketentuan dan penyelenggaraan RSBI, Darmaningtyas mengemukakan:
...Tujuan RSBI atau SBI yang hanya diarahkan untuk meningkatkan daya
saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak,
perunggu, dan bentuk penghargaan … internasional lainnya. Ini sungguh
mereduksi makna konstitusi negara yang mengamanatkan pencerdasan
bangsa karena tugas pencerdasan jauh lebih tinggi daripada sekedar
mengumpulkan piala atau medali. Bila sekedar untuk mendapatkan medali,
tidak perlu membentuk RSBI atau SBI, tapi cukup membuat program yang
seperti yang dilakukan oleh Prof. Yohanes Surya yang sudah terbukti
mampu mengantarkan putera-puteri Indonesia memperoleh medali perunggu
hingga emas di tingkat internasional...(Darmaningtyas, Risalah Sidang MK,
Selasa 24 April 2012, hlm. 23).
Menurut Henk Oonk (2011: 3-5) istilah pendidikan internasional dan
sekolah international dalam bidang pendidikan secara umum belum digunakan

125
secara meluas dan terdefinisikan secara ketat, dalam arti bahwa belum ada definisi
atau konsep tunggal tentang pendidikan internasional atau sekolah internasional.
Sejarah pendidikan internasional sebagai bidang kajian formal dalam pendidikan
juga dapat dikatakan masih relatif baru, sedangkan istilah ”sekolah internasional”
telah mengalami perkembangan cepat selama empat dekade terakhir dan relatif
masih menarik bagi para peneliti di bidang pendidikan (Oonk, 2011: 3-5).
Konsep pendidikan internasional telah banyak digunakan dalam wacana
pendidikan, namun istilah ini memiliki interpretasi yang beragam di kalangan para
ilmuan dan praktisi pendidikan. Pendidikan internasional menyangkut suatu
proses sedangkan sekolah internasional adalah tentang lembaga. Kedua istilah ini
dalam perkembangannya mengandung konsep yang belum matang, dalam arti
keduanya belum terdefinisikan secara matang baik pada lingkup wacana
pendidikan maupun sosial. Barangkali, itulah salah satu sebabnya penggunaan kata
”internasional” dalam RSBI tidak hanya menimbulkan permasalahan konseptual
tetapi dalam praktiknya mendapat banyak kritik dari masyarakat pemerhati
pendidikan. Indra Djati Sidhi, seorang intelektual pendukung sekolah RSBI/SBI
dalam sistem pendidikan nasional menyatakan:
Penggunaan kata “internasional” bukan dimaksudkan untuk menghilangkan
budaya bangsa atau karena kita tidak percaya diri atau ikut-ikutan kurikulum
negara lain, melainkan untuk mengingatkan kita bahwa mutu pendidikan yang
diberikan haruslah mampu memberikan kompetensi yang mencerdaskan
peserta didik sekaligus dapat bersaing dengan mutu pendidikan negara mana
pun tanpa menghilangkan jati diri bangsa (Indra DS, Risalah Sidang MK,
Rabu 11 April 2012, hlm. 16).

126
Permasalahan RSBI di lapangan tidak sesederhana yang digambarkan di
atas. Pandangan di atas hanya mewakili banyak pendapat baik di kalangan
pengambil kebijakan maupun pakar pendidikan. Secara konseptual, makna
“internasional” dalam konteks RSBI diterjemahkan ke dalam beberapa aspek atau
komponen standar pendidikan seperti kualifikasi akademik guru dan staf
administrasi, standar kompetensi lulusan, kurikulum, proses pembelajaran yang
berbasis TIK yang mengacu pada negara maju serta berbagai kegiatan non
akademik yang bersifat internasional. Pada level implementasi, makna “bertaraf
internasional” jauh lebih kompleks karena sudah melibatkan aspek budaya,
ekonomi dan politik. Pada level budaya, berbagai hal yang bersifat internasional
memiliki daya tarik dan gengsi tersendiri, sebagaimana dapat dipahami melalui
penjelasan berikut.
Saya dua minggu yang lalu jalan-jalan di Sidoarjo ada plakat besar sekali.
Telah dibuka sekolah la, la, la, dengan menggunakan kurikulum
Cambridge, saya pikir ini apa ya. Perlu kita ingat bahwa internasional
adalah kualitas bukan status. Internasional adalah kualitas. Dulu walaupun
tidak bersekolah dengan sekolah berstatus internasional banyak kita yang
bisa berperan secara internasional (Itje K, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei
2012. hlm.27).
Ironisnya, secara konsep dan implementasi, target non akademik berupa
capaian kemenangan dalam lomba-lomba internasional dipandang sebagai salah
satu indikator keberhasilan PBI. Dalam hal ini, pendidikan menjadi terperosok
pada pencitraan “gengsi internasional” dan gengsi sosial bukan pada substansi dan
karakter yang hendak dibangun melalui pendidikan. Salah satu tujuan RSBI/SBI
adalah meningkatkan daya saing melalui kriteria perolehan medali emas, perak,

127
perunggu, dan bentuk-bentuk penghargaan internasional lainnya (lihat
Permendiknas No. 78/2009 pasal.2). Perolehan berbagai medali melalui
perlombaan internasional dan nasional menjadi indikator sekaligus memberikan
citra sekolah bermutu. Sekolah menjadi ruang sosial untuk meningkatkan gengsi
melalui berbagai “produk pendidikan” (lihat Gambar 2).
Musni Umar, selaku saksi pemohon Pengujian pasal 50 ayat (3) Undang-
Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pada sidang MK menyatakan sebagai
berikut.
Menggunakan nama RSBI dan SBI pada sekolah-sekolah pemerintah telah
menyesatkan masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa RSBI tidak
berkorelasi dengan peningkatan kualitas di sekolah. Kalau barometer untuk
mengukur berkualitas tidaknya sekolah, dari Ujian Nasional dan ujian seleksi
nasional masuk perguruan tinggi negeri, maka SMA Negeri berlabel RSBI
belum terbukti lebih berkualitas dibanding sekolah non-RSBI (Risalah Sidang
MK, Selasa, 15 Mei 2012, hlm.18).
Kutipan di atas sesuai dengan realitas lapangan yang ditemukan di SMA
Negeri 2 Bandarlampung bahwa sekalipun sekolah ini berstatus RSBI namun
secara administratif sekolah ini memilih untuk tidak menggunakan label tersebut.
Sekolah ini, menurut Wakil Kepala Sekolah, lebih fokus pada usaha penguatan
kualitas pembelajaran karena sekolah ini pada dasarnya telah dikenal masyarakat
sebagai sekolah “bermutu” dan favorit di Bandarlampung sehingga tidak dirasakan
perlu menonjolkan label RSBI. Pihak manajemen sekolah menyadari bahwa
“standar internasional” yang dipersyaratkan atau diharapkan oleh Kemdikbud
masih jauh dari realitas objektif sekolah tersebut, khususnya dalam hal standar

128
proses pembelajaran dan kualitas atau kualifikasi tenaga kependidikan dan SDM-
nya secara umum, namun diakui bahwa citra “internasional” yang melekat pada
sekolah ini tetap membawa kebanggaan tersendiri bagi warga sekolah (Wawancara
dengan Wakasek, guru, dan siswa, Agustus 2012).
Selain itu guru dan anak didik juga telah terhegemoni dengan label-label
yang berasosiasi dengan “internasional” dan simbol-simbol modern seperti
sertifikat manajemen ISO yang mengukur kualitas pelayanan sekolah seperti
pelayanan sebuah perusahaan, yang secara signifikan juga berkontribusi terhadap
tingginya biaya pendidikan. Hal ini dapat dipahami melalui penjelasan seorang
narasumber, Supanto, dalam kutipan berikut.
Semua ruangan AC…sebelum RSBI tidak ada AC. Biaya listrik saja minimal
15 juta perbulan. Dengan RSBI itu anak-anak juga betah belajar, senang dan
bangga. Guru-guru setiap tahun kita kirim ke SEAMOLEC (Southeast Asian
Ministers of Education Regional Open Learning Centre, pen) Singapura,
Malaysia…kita tidak mudah untuk menembus ke sana kita juga sudah
mendapatkan ISO 9001 versi 2008. Untuk kota Bandarlampung kami adalah
salah satu dari dua SMA yang sudah meraih sertifikat ISO, dan kami kerja
keras untuk mendapatkan standard ISO tersebut, guru memang kerja keras
untuk peningkatan mutu…(Wawancara Senin 11 Juni 2012).
Dalam kaitannya dengan kutipan di atas, Retno, guru SMA Negeri 13 Jakarta yang
berstatus RSBI, menyatakan bahwa sekolah RSBI semakin mahal karena lebih
mengutamakan kenyamanan belajar siswa dan biaya tersebut dipungut dari siswa
(Kompas, Rabu 21 Maret 2012).
Kholid, guru Fisika SMA Negeri 2 Bandarlampung, yang mulai mengajar di
sekolah tersebut sejak 2010, menyatakan bawa pada dasarnya ia tidak memandang
penting apakah suatu sekolah berlabel internasional atau tidak. Menurut Kholid

129
yang penting adalah kualitas proses pembelajaran dan lulusannya bisa mencapai
standar kelulusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan mampu bersaing
dengan sekolah-sekolah berkualitas. Ia memandang bahwa label sekolah “bertaraf
internasional” tidak penting apalagi secara objektif SDM dan fasilitas pendidikan
di sekolah belum sepenuhnya mendukung sebagaimana diharapkan.
Kalau saya lebih setuju ke mutu yang dibawahnya gitu…mutunya itu yang
dikedepankan setara dengan sekolah internasional lainnya. Kalau masalah
bahasanya boleh-boleh saja sih…bahasa Indonesia, yang penting
kurikulumnya. Kalau saya…saya arahkan ke soal-sosal Olimpiade gitu…
(Wawancara dengan Kholid, April 2013).
Ketika ditanyakan pandangannya tentang relevansi penggunaan bahasa Inggris
dalam mata pelajaran MIPA dan hubungannya dengan usaha memajukan kualitas
pendidikan yang bertaraf internasional, Kholid, lebih jauh menjelaskan:
Bahasa Inggris memang penting ya... Namun komunikasi pembelajaran itu
tidak lancar. Kemampuan guru-guru secara umum tidak mendukung
ya...Tidak penting kalau itu menggunakan bahasa Inggris. Anak-anak itu jadi
susah menerimanya. Jadi untuk bahasa saya rasakan belum siap…bahasa
Inggris itu penting…Kalau yang paling relevan dengan bahasa Inggris itu ya
ketika mereka itu nanti ingin melanjut ke luar negeri termasuk untuk ikut
Olimpiade karena soal-soal Olimpiade itu ya bahasa Inggris.
Natalia, guru Matematika SMA Negeri 2 Bandarlampung yang telah mengajar
sejak 2007 ketika sekolah ini mulai ditetapkan statusnya sebagai RSBI mengaku
bahwa awalnya ia menggunakan bahasa Inggris dalam mengajar, khususnya pada
awal pembukaan kelas. Namun dalam perkembangannya, ia menyadari bahwa
penggunaan bahasa Inggris dapat mengganggu interaksi belajar yang kemudian
berpengaruh pada pemahaman siswa terhadap pelajaran. Selengkapnya ia
menjelaskan:

130
Ketika pertama kali saya mengajar di SBI pengantar saya ya dalam bahasa
Inggris..kemudian saya campur-campur dengan bahasa Indonesia…karena
anak-anak belum tentu sama (penguasaan bahasa Inggrisnya, pen.) kalau
materi saya tetap tidak akan menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris
Matematik itu beda dengan bahasa sehari-hari. Kata “akar” misalnya dalam
Matematik bukan “root” dalam bahasa Inggris…ya kita harus hati-hati kalau
mengajarkan Matematika dengan bahasa Inggris…(Wawancara dengan
Natalia, April 2013).
Dalam konteks modal simbolik, bahasa Inggris juga menjadi bagian
pertimbangan orangtua siswa ketika memilih sekolah bagi anaknya karena bahasa
Inggris diasosiasikan dengan kualitas sekolah yang baik. Kemampuan bahasa
Inggris juga berguna untuk membaca buku-buku pengetahuan dalam bahasa
Inggris. Faktor gengsi berbahasa Inggris merupakan simbol kemajuan dalam
wacana globalisasi (Wawancara orangtua siswa, Kh). Salah seorang narasumber
yang diwawancarai menyatakan:
ya memang sebagai orangtua, saya memilih sekolah yang berkualitas dan
yang bisa mempersiapkan anak saya bisa bersaing jika ingin masuk ke
perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri, …ya tapi dalam negeri pun
misalnya kemampuan bahasa Inggris juga sangat penting….baik di sekolah
dan juga ketika kerja nantinya…tetapi terus terang saya juga masih kecewa
dengan sekolah RSBI tempat anak saya sekolah…(Wawancara dengan AD
Maret 2012).
Dari dua sekolah yang diteliti, SMA Negeri 78 Jakarta dan SMA Negeri 2
Bandarlampung, ditemukan adanya persamaan bahwa status RSBI selain
membawa prestise bagi warga sekolah khususnya dalam kaitannya dengan
persaingan antar-sekolah juga terdapat peningkatan atau perbaikan fasilitas
sekolah berupa sarana-prasarana pembelajaran, meningkatnya motivasi para guru
untuk memajukan kualitas pendidikan, meningkatnya prestasi siswa secara

131
akademik, partisipasi dan pemenangan olimpiade pada tingkat nasional, dan
meningkatnya kesejahteraan guru dan pimpinan sekolah secara umum. Secara
khusus, orientasi olimpiade dan perlombaan-perlombaan tingkat nasional dan
internasional meningkatkan citra dan gengsi (distinction) sekolah sebagai sekolah
bermutu.
Implementasi RSBI adalah “kebohongan publik” atau pencitraan sebagai
pendidikan bermutu internasional. Ada penilaian di masyarakat bahwa dengan
berlabel internasional, maka sekolah RSBI dipandang sudah dapat bersaing secara
internasional dan proses pembelajaran berlangsung sepenuhnya dalam bahasa
Inggris sebagaimana diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah (Wawancara
dengan AD dan Khl, 8 Agustus 2012). Hal yang sama secara implisit juga diakui
oleh seorang narasumber lain dengan menyatakan:
Karena persiapannya yang kurang cermat, maka evaluasi dan perbaikannya …
perbaikan penyelenggaraan SBI, RSBI, sporadis, tidak holistik, dan cenderung
membuat sekolah menerjemahkan kata internasional dengan bahasa Inggris …
(Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm.28).
Padahal, apa yang dipromosikan sebagai ”bertaraf internasional” tidak sesuai
dengan kenyataan dan harapan masyarakat. Idealisasi penggunaan bahasa Inggris
di kelas sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak
didukung oleh persiapan yang matang dan komponen tenaga pendidik yang
memadai kualitasnya. Hal ini tergambar dari pernyataan seorang pelatih guru-
guru pada tingkat nasional, Itje Khodijah, seperti berikut.
Karena bahasa Inggris menjadi icon di sekolah-sekolah SBI/RSBI, maka
kemampuan guru dalam menggunakan bahasa Inggris untuk mengajar

132
terutama Matematika dan IPA menjadi penting. …Namun kenyataannya
sampai saat ini kompetensi guru Bahasa Inggris sebagai tolok ukur
kemampuan menggunakan bahasa Inggris bagi guru mata pelajaran lain masih
pada kategori yang secara umum rendah (Risalah Sidang MK, Rabu, 2 Mei
2012, hlm. 24).
Ada kesenjangan antara idealisasi RSBI sebagai sekolah bermutu dengan berbagai
pencitraannya di masyarakat dan realitas objektifnya tentang kualitas dan
kompetensi guru-guru bahasa Inggris. Realitas proses pembelajaran yang
sebenarnya terjadi di sekolah menunjukkan bahwa bahasa Inggris tidak digunakan
dalam arti yang sebenarnya, seperti di SMA Negeri 2 Bandarlampung. Pandangan
Itje Khodijah yang dikemukakan di atas juga diperkuat oleh seorang narasumber
penelitian ini, yaitu Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 78
Jakarta dengan penjelasan sebagai berikut.
secara objektif guru-guru di sekolah kita belum mampu untuk mengajar dalam
bahasa Inggris…dulu kita pernah menggunakan tenaga pengajar dari luar,
native speaker khusus untuk mata pelajaran MIPA. Kemudian tantangan
lainnya adalah guru-guru kami yang ada di sekolah ini sudah banyak yang
tua-tua yah 50-an tahun di atas 40 tahun usianya jadi...sudah susah belajar
bahasa Inggris (Wawancara 8 Agustus 2012 dengan RW).
Menurut persepsi informan, seorang guru SMA Negeri 78 Jakarta, salah
satu ciri RSBI mestinya memiliki murid atau peminat dari berbagai
kebangsaan/negara dan bersekolah di RSBI, namun kenyataan di lapangan tidak
menunjukkan situasi demikian. Padahal, wacana yang berkembang dalam
masyarakat dan semangat awal pendirian RSBI untuk menggunakan ”bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantar” adalah untuk membuka peluang bagi warga
negara asing dari dalam dan luar negeri untuk bersekolah di ”sekolah-sekolah

133
internasional” Indonesia, yang secara teoretis akan menguntungkan perekonomian
nasional. Namun, implementasi RSBI dihadapkan pada situasi yang kompleks
seperti realitas guru-guru yang belum berkualifikasi (S2) dan lemah dalam
kompetensi bahasa Inggris.
Hywel Coleman, konsultan di British Council dan staf pengajar di
Universitas Leeds Inggris terkait bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di
RSBI pernah menyatakan bahwa menyiapkan siswa berwawasan global
seharusnya tidak diartikan secara sempit dengan menggunakan bahasa Inggris di
sekolah. Menurut Coleman globalisasi tidak berarti bahwa siswa harus bisa
bersaing dengan siswa lain dari negara lain. Selanjutnya ia menyatakan bahwa ”di
dunia global, sekolah internasional justru harus menyiapkan diri sebagai mitra atau
sahabat negara lain. Sekolah internasional harus diartikan sebagai upaya sekolah
menyiapkan siswa untuk bisa hidup bersama dalam perbedaan dan
keanekaragaman” (Kompas, Kamis 10 Maret 2011, hlm.12). Pandangan Colemen
ini lebih menekankan pentingnya “kerjasama” daripada “daya saing”. Dalam
konteks nilai dan sosio-kultural Indonesia, kerjasama lebih memiliki pijakan
filosofis dalam konsep “gotong royong”.
Realitas lain tentang PBI adalah orientasi untuk mendapatkan standar
pengelolaan bertaraf internasional seperti ISO 9100 dan ISO 14001 sebagai
bagian dari pengayaan bagi komponen standar pengelolaan pendidikan. Yang
menjadi permasalahan dengan standar ini, selain biaya tinggi yang harus
dikeluarkan oleh sekolah untuk mendapatkannya juga tentang sejauh mana ia

134
berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui proses
pembelajaran di kelas dan di tengah realitas kualitas pendidik yang masih di
bawah kualifikasi yang diharapkan. Logikanya, pengelolaan berdasarkan ISO tidak
akan efektif jika tidak didukung oleh komponen sumber daya pendidikan dan
komponen lainnya. Jaminan keberhasilan pendidikan tentu saja ditentukan secara
integratif/holistik oleh berbagai komponen standar, terutama profesionalisme guru.
berbicara proses mendidik anak, …tidak cukup dengan sekadar
menunjukkan dokumen-dokumen saja bahwa ini sekolah sudah ter-ISO
(Badan Standarisasi Internasional, pen), dan sebagainya, tetapi menyangkut
bagaimana proses di dalam kelas ketika guru mengajar, itu yang menjadi
utama yang meningkatkan kualitas (Itje K, Risalah Sidang, Rabu 2 Mei
2012, hlm. 20-21).
Pengamatan langsung yang dilakukan peneliti pada ”kelas internasional”
dalam mata pelajaran Biologi di Kelas Internasional SMA 78 Jakarta menunjukkan
suasana pembelajaran yang kurang interaktif, guru tampak mendominasi proses
pembelajaran (Lampiran 3, Gambar 9). Seorang guru senior bahasa Inggris pada
SMA Negeri 2 Bandarlampung sekaligus selaku koordinator guru-guru pengajar
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar berpendapat bahwa pembelajaran bahasa
Inggris perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan tuntutan sosial dan dinamika
pendidikan menghadapi era globalisasi, termasuk penguasaan bahasa Inggris
sebagai respons terhadap tuntutan ekonomi dan budaya dan pekerjaan anak didik
kelak setelah lulus. Namun, ketika ditanyakan tentang realitas implementasi
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolahnya, ia menyatakan:

135
bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar saja….greetings, opening,
dan closing kelas saja…kalau inti atau konsep ilmunya MIPA, Biologi
disampaikan dalam bahasa Indonesia…supaya tidak salah... Jadi dalam
mengajar kita tidak sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris...apa lagi
menyangkut konsep-konsep...kita guru-guru menggunakan bahasa
Indonesia...tetapi kita tetap memotivasi anak-anak bahwa bahasa Inggris
itu penting untuk pendidikan dan karir mereka kelak (Wawancara dengan
SS, Selasa 29 Mei 2012).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
tidak hanya bermasalah secara konseptual tetapi juga pada level implementasi
karena lemahnya kemampuan guru-guru dalam komunikasi akademik bahasa
Inggris. Realitas tersebut menguatkan pandangan sebagian masyarakat tentang
pencitraan RSBI sebagai sekolah ”bertaraf internasional” dengan menggunakan
ikon bahasa Inggris. Hal ini didukung oleh realitas lapangan melalui penjelasan
seorang siswa (Lampiran 3, Gambar 6) yang menyatakan bahwa yang berbahasa
Inggris di kelas ketika mengajar hanya guru-guru bahasa Inggris. Selengkapnya Ia
menyatakan:
Yah yang kita alami selama ini guru-guru jarang menggunakan bahasa Inggris
ketika mengajar. Tapi guru-guru bahasa Inggris memang lebih sering
menggunakan bahasa Inggris di kelas tetapi tidak dengan guru-guru MIPA.
...Tetapi yang jelas bahasa Inggris sangat penting...Buku-buku dan internet
dan pengetahuan lainnya banyak dalam bahasa Inggris (Wawancara dengan
Amelia, 2012).
Dengan kata lain, ada kesenjangan antara harapan dan realitas, ada kesenjangan
antara konsep dan implementasi termasuk perbedaan persepsi tentang bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantar di antara para pelaku pendidikan, seperti pada
level birokrasi pendidikan, Kepala Sekolah. dan guru-guru. Kebijakan bahasa

136
Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA dipandang tidak
realistik. Bahkan seorang guru Fisika yang diwawancarai menyatakan:
Di Smanda ini banyak anak-anak kita yang bahasa Inggrisnya bagus, malah
banyak siswa yang lebih baik bahasa Inggrisnya daripada banyak guru...ya
kalau gurunya berbahasa Inggris justru mereka bilang lucu...bahasa Inggrisnya
lucu, karena mungkin tidak terbiasa ya berbahasa Inggris, karena sekolah
RSBI, mereka belajar bahasa Inggris dan anak-anak di luar sekolah juga
banyak yang ikut kursus bahasa Inggris dan bagus-bagus (Wawancara dengan
Kh).
Persepsi dan pemahaman di masyarakat adalah bahwa sekolah RSBI telah
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas dalam arti yang
sebenarnya. Padahal, realitas pendidik di sekolah belum sepenuhnya mendukung
untuk itu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang
Kurikulum SMA Negeri 2 Bandarlampung, Payudi, yang intinya menyatakan
bahwa kompetensi bahasa Inggris para guru khususnya guru-guru MIPA di
sekolah tersebut memang belum memadai untuk sekolah dengan kriteria RSBI,
sehingga sekolah tidak menetapkan kriteria kemampuan guru secara ketat dalam
berbahasa Inggris. Karena kompetensi guru-guru secara umum masih lemah dalam
bahasa Inggris, sekolah ini setiap tahun melakukan program pelatihan bahasa
Inggris bagi guru yang berminat, tidak terbatas pada guru-guru MIPA dan bahasa
Inggris. Dalam hal ini, Payudi, secara rinci mengungkapkan:
Sekolah ini mulai menjadi RSBI tahun 2007 dan untuk mengajarkan mata
pelajaram bidang MIPA, kami meminta dosen-dosen Unila (Universitas
Lampung) lulusan luar negeri dan harus doktor untuk mengajar. Ini
berlangsung selama satu...dua tahun pertama, kemudian setelah satu tahun
kemudian kembali diserahkan kepada guru-guru kami di sekolah ini dengan
kemampuan bahasa Inggris yang masih perlu ditingkatkan terus (Wawancara
Selasa 29 Mei 2012).

137
Kutipan di atas menjelaskan tidak hanya permasalahan SDM yang tidak
siap dan menimbulkan permasalahan pendidikan secara ”internal” bagi sekolah
tetapi lebih jauh juga memengaruhi lembaga lain seperti dosen-dosen perguruan
tinggi yang harus ”dibajak” karena ketidaksiapan tenaga pendidik sekolah yang
bersangkutan untuk melaksanakan proyek pendidikannya. Selain itu, staf pengajar
dengan kualifikasi doktor dari luar negeri dengan kemampuan bahasa Inggris yang
baik tentu tidak menjamin keberhasilan proses pembelajaran karena hal ini juga
menyangkut aspek pedagogis. Asumsi bahwa orang yang mampu berbahasa
Inggris dengan sendirinya mampu mengajarkan bidang ilmunya dalam bahasa
Inggris masih perlu diuji karena belum memiliki validitas empiris.
Dalam konteks pembiayaan pendidikan dan pungutan biaya pendidikan
kepada orangtua, pemerintah gagal mengontrol sekolah, baik jumlah pungutan
maupun pengalokasiannya, misalnya, pungutan biaya tinggi untuk studi banding
dan lain-lain yang sebenarnya bukan program pokok dalam peningkatan kualitas
pendidikan. Hal ini sering menjadi sorotan kritik dari masyarakat terhadap
program RSBI (Wawancara dengan Prof. Slamet Sabtu 25 Agustus 2012).
Dengan kata lain, teori wacana kuasa/pengetahuan tidak selalu efektif beroperasi
dalam kebijakan dan implementasinya dalam bidang pendidikan. Hal ini
menjelaskan bahwa teori kuasa/pengetahuan Foucault tidak sepenuhnya dapat
menjelaskan efektifitas kebijakan PBI karena banyak faktor yang terkait dengan

138
subjek/agen seperti sumber daya pendidikan, modal (kompetensi) guru yang tidak
mendukung untuk, misalnya, mengajar dalam bahasa Inggris (Bourdieu 1983: 249)
Pencitraan RSBI sebagai sekolah berkualitas juga dapat dijelaskan secara
analitis-kritis dengan menggunakan pemikiran Roland Barthes dengan konsep
ideologi dan mitosnya. Menurut Barthes terdapat dua sistem pemaknaan: denotasi
dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan literal, sedangkan
konotasi adalah makna dibangun oleh penanda yang terkait dengan aspek budaya
yang lebih luas seperti keyakinan, sikap, dan ideologi. Dalam kontesks RSBI, kata
‟internasional‟ dapat bermakna bahwa ”mutu” pendidikannya diakui di berbagai
negara. Secara konotatif kata ‟internasional‟ dapat bermakna hebat, luar biasa,
berbahasa Inggris, kompetitif, dan kehidupan yang lebih baik (Hoed, 2008: 12-13;
Barker, 2006: 72). Hal ini dapat dipahami secara lebih baik dari hasil wawancara
dengan salah seorang siswa SMA Negeri 78 Jakarta yang merasa bangga menjadi
bagian dari sekolah tersebut dalam kutipan berikut.
Buku-buku yang kita gunakan sebagian besar berbahasa Inggris. Dibanding
waktu SMP yang menggunakan metode bilingual, guru-guru di sini lebih
banyak berbahasa Inggris. Kalau di sini di kelas KI (kelas internasional) ini
belajarnya lebih cepat daripada di kelas RSBI (Pandu, siswa Kelas
Internasional SMA Negeri 78 Jakarta).
5.4 Stratifikasi Pendidikan
Henry Giroux (dalam Tilaar, 2009: 77) menyatakan bahwa pendidikan
bukanlah arena netral yang bebas dari kekuasaan dan politik. Ia tidak sekedar

139
transmisi informasi yang sudah jadi, melainkan sebuah arena terjadinya hubungan
yang kompleks antara pengetahuan dan kekuasaan.
Pedagogy does not represent a neutral site, free from the operations of power
and politics. Far from being the simple transmission of ready-made
information, pedagogy is for Giroux a site of a terrain where the complex
relations between knowledge and power are worked over (Giroux dalam
Tilaar, 2009:77).
Secara spesifik, sekolah menjadi lokasi bertemunya berbagai kepentingan politik
dan arena praktik wacana. Dalam hal inilah terjadi kontestasi diskursus tentang
ilmu pengetahuan dan politik sebagai legitimasi kekuasaan yang bersifat diskursif
dan dinamika peran pendidikan sebagai alat reproduksi dan transformasi sosial
dalam berbagai bentuknya di tengah masyarakat (praksis sosial).
Menurut teori reproduksi sosial, sekolah dapat mereproduksi ketidakadilan
sosial melalui analisis kompleksitas hubungan antara sekolah dan ekonomi,
budaya, dan linguistik. (http://wiki.answers.com). Dalam konteks masyarakat
industri kapitalis hal ini dapat dipahami melalui peran sekolah melanggengkan
kelas sosial ekonomi. Dari segi budaya, teori ini menekankan bagaimana budaya
sekolah terbentuk dan budaya sekolah tersebut kemudian berperan sebagai mediasi
untuk menghasilkan kelas sosial, sebagaimana dalam kutipan berikut.
The social reproduction theory views school as a functional station which
trains individuals who later will be capable of maintaining the economic and
social classes in industrialized capitalist societies. The cultural reproduction
theory emphasizes the way in which school culture is reproduced and
legitimated and how the reproduction of school culture plays a ‗mediating
role in reproducing class societies (Giroux H A dalam Suwignyo, 2012:36).

140
Dalam kaitannya dengan kebijakan dan implementasi PBI, pelanggengan
status sosial ekonomi dapat dilihat dari orientasi RSBI pada aspek ekonomi dan
budaya global dalam berbagai aspek pembiayaan pendidikan yang mahal
(ekonomi), budaya sekolah berbasis TIK, orientasi untuk mendapatkan ISO 9100
dan ISO 14001, orientasi olimpiade, dan penerapan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar yang membuat sekolah menjadi eksklusif dan sulit diakses oleh
masyarakat dari status sosial-ekonomi tertentu. Seluruh aspek tersebut menjadi
efektif beroperasi melalui sekolah sebagai instrumen ideologi pemerintah yang
bersifat hegemonik.
Schools as a part of the ideological state apparatus have now become the
primary source in creating a consenting work force within the capitalist
system. Schools accomplish this task by transmitting the skills and knowledge
necessary for workers to adjust to their their role in a capitalist mode of
production”. (Sekolah sebagai bagian dari apparatus ideologis negara telah
menjadi sumber utama terciptanya tenaga kerja yang patuh pada sistem
kapitalisme. Sekolah menjalankan tugas ini dengan memberikan ketrampilan
dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh para perkerja untuk beradaptasi
dengan peran mereka dalam sarana produksi kapitalis) (Francis, 1995:4).
Kutipan di atas menegaskan bahwa sekolah dapat menjadi pencetak utama agen-
agen kapitalis dalam sistem produksi melalui pengetahuan dan ketrampilan yang
diberikan sekolah. Sekolah yang dikelola dengan prinsip kapitalis kemudian
membuat sebagian kelompok masyarakat “tidak berdaya” untuk memasukinya.
Dengan kata lain, orangtua yang kurang mampu secara ekonomi akan sulit
mendapatkan pendidikan bermutu dan berbagai fasilitas yang cenderung berbiaya
tinggi. Hal ini kemudian berpengaruh pada peluang mereka untuk diterima

141
bersekolah di RSBI. Dalam hal ini, sekolah tidak lagi berperan mengubah “nasib”
masyarakat tetapi sekolah justru menjadi arena untuk melestarikan ketidakadilan.
Hal ini didukung oleh penjelasan seorang pengamat dan pelaku pendidikan dengan
menyatakan:
RSBI/SBI bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan hanya
menimbulkan stratifikasi sosial baru karena hanya mendidik dan mengajar
anak-anak yang berkualitas dan memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi…
(Darmin, Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm.17-18).
Pada level proses pembelajaran di kelas, ketidakadilan yang berkaitan
dengan perbedaan biaya pendidikan juga terjadi dalam hal sarana prasarana
pembelajaran baik di satu sekolah maupun antarsekolah. Dalam satu sekolah
seperti SMA Negeri 78 Jakarta selain berstatus RSBI juga memiliki kelas khusus
yang dinamakan “kelas internasional”. Fasilitas yang dapat digunakan oleh “kelas
internasional” berbeda dengan kelas-kelas lainnya di sekolah yang sama.
Penggunaan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran di SMA negeri 78 Jakarta
hanya dilakukan secara eksklusif di “kelas internasional” sejak sekolah tersebut
berstatus RSBI pada tahun 2006. Buku-buku yang digunakan sebagian berbahasa
Inggris terbitan luar negeri, khususnya Cambridge. Dalam konteks ini, Pemerintah
sebagai representasi negara menghegemoni masyarakat pendidikan melalui
kebijakanmya yang memperkenalkan kategori-kategori sekolah secara nasional di
tengah keinginan masyarakat kelas menengah untuk mendapatkan pendidikan
berkualitas. Situasi ini juga terekam melalui kesaksian seorang guru di sekolah
negeri yang berlabel RSBI dan memiliki “kelas internasional” seperti berikut.

142
…ketika harus menggunakan media-media lain seperti internet atau bermain
peran dan lain-lain, semua persis sama saya lakukan. Baik itu kelas
internasional maupun RSBI. Kebetulan jamnya juga sama, saya dua jam. Tapi
kalau mata pelajaran IPA tadi, kan untuk kelas internasional semua berbeda
jumlah jam. Karena kan mereka tidak belajar IPS, tapi hanya belajar IPA.
Sehingga seluruh mata pelajaran IPA itu lebih banyak, gitu…Hanya saja
tampaknya perlakuan istimewa dan permakluman sering dilakukan di kelas
internasional, gitu (Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm.30-31).
Kutipan di atas tidak hanya menjelaskan perbedaan proses belajar yang tidak adil
di satu sekolah tetapi juga perlakuan istimewa yang diberikan ke sekolah berlabel
RSBI dan “kelas internasional” dibanding sekolah-sekolah reguler. Sekolah-
sekolah umum lainnya tidak mendapat anggaran khusus dari pemerintah dan tidak
dibolehkan untuk menggali dana dari masyarakat sebagaimana dinikmati oleh
sekolah-sekolah RSBI. Hal ini bertentangan dengan pasal 11 ayat (1) Undang-
undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang layanan pendidikan bagi warga
negara tanpa diskriminasi.
Secara sosial budaya eksistensi RSBI mendorong berkembangnya
stratifikasi dan dikotomi sosial. Dari segi ekonomi (biaya tinggi) dan sosial
(unggul-marginal), misalnya, sekolah-sekolah berlabel RSBI didesain menjalin
kerjasama dengan sekolah-sekolah bermutu baik di dalam maupun di luar negeri,
sedangkan sekolah-sekolah sejenis yang tidak berlabel RSBI tidak didorong untuk
melakukan hal yang sama, sebagaimana tampak dari kutipan berikut.
Legal policy yang mengamanatkan agar SBI menjalin kemitraan dengan
sekolah unggul di dalam dan/atau negara lain, sesungguhnya SBI telah
melakukan stratifikasi... Bahwa sekolah-sekolah unggul menjalin kerja sama
dengan sekolah-sekolah unggul dan sekolah-sekolah pinggiran melakukan
kerja sama dengan sekolah-sekolah pinggiran pula (Darmaningtyas, Risalah
Sidang MK, Selasa, 24 April 2012, hlm.26).

143
Kutipan di atas menegaskan realitas di lapangan bahwa dua sekolah yang diteliti
cenderung hanya melakukan kerjasama dengan sekolah-sekolah yang dianggap
bermutu baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam hal ini, sekolah tidak lagi
menjalankan fungsinya sebagai sarana atau upaya mencerdaskan bangsa sesuai
dengan cita-cita pendidikan nasional dalam konstitusi dimana setiap sekolah
seharusnya mendapat perlakuan yang sama untuk meningkatkan kualitas proses
pembelajarannya. Sekolah justru berperan menciptakan segregasi sosial
berdasarkan status sosial-ekonomi yang di banyak negara liberal sekalipun tidak
lagi diterima, tetapi ironisnya di negara berideologi Pancasila justru dikembangkan
melalui kebijakan pendidikan dalam bentuk satuan PBI. Dalam hal ini, pendidikan
menjadi arena “konflik” sosial sebagaimana digambarkan oleh Michael Apple
dalam kutipan berikut.
Education plays a significant role in this reproduction and sruggle, by being
not simply an instrument through wich the bourgeoisie effects its domination
over other groups, but also by being the result of struggle between dominant
and dominated groups. Education is a state apparatus that both the result of
social and economic contradictions and the source of new contradictions at
one and the same time (Apple, 1982: 19-20).
Secara normatif sekolah yang berlabel RSBI itu harus memenuhi
persyaratan standar nasional pendidikan. Padahal, pada kenyataannya sekolah-
sekolah yang ada bervariasi mutunya baik antarprovinsi, antarkabupaten/kota, dan
bahkan antarsekolah di suatu kota. Situasi pendidikan nasional dengan berbagai

144
kategori mutu dan akses pendidikan berdasarkan status sosial ekonomi masyarakat
mengingatkan situasi pendidikan Indonesia pada masa kolonial 1907:
…Dutch was introduced and used as the language of instruction at what was
called the First-Class school—a school for Indonesian children from the royal
and the better-off families. In that year, too, the so-called desa or village
school was established, first in Java then in Sumatra, for children in the rural
areas. The upward and downward educational policy created different layers
of schooling. Not long after the dawn of the twentieth century, three types of
public primary schools were available to Indonesians from three categories of
social classes: the First-Class school for the indigenous elite; the village
school for the rural masses; and the Second-Class school for children of the
ordinary urban dwellers which hovered in between the two afore-mentioned
schools in terms of social standing (I.J. Brugmans, 1938 dalam Suwignyo,
2012:49).
Kebijakan RSBI dengan permasalahan stratifikasi pendidikannya dapat
menghasilkan kesenjangan mutu anak didik dan antarsekolah karena adanya
pembedaan-pembedaan perlakuan oleh pemerintah seperti dalam hal anggaran
pendidikan, sarana prasarana dan kualifikasi guru. Anggaran dan kualifikasi guru
lebih tinggi kepada satuan PBI dibanding kepada satuan pendidikan sejenis yang
tidak berlabel “internasional”. Kebijakan ini menimbulkan dikotomi sekolah:
seperti sekolah bermutu-tidak bermutu, mahal-murah, kaya-miskin, internasional-
nasional. Padahal, salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional
menurut UU Sisdiknas No. 20/2003 adalah bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya,
sebagaimana tergambar dari kesaksian seorang guru berikut ini.
…kalau pengalaman saya mengawas di sekolah-sekolah lain ketika ujian
nasional…dibanding sekolah di sekitar di Jakarta Utara, maka sekolah saya ini
sungguh sangat mewah dan megah… sekolah lain itu sangat sederhana.
Sekolah negeri juga tapi sangat sederhana, jauh sekali dari fasilitas yang

145
dimiliki oleh sekolah saya…(Retno L, Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret
2012, hlm. 22).
Perbedaan layanan pendidikan tidak hanya terjadi antarsekolah tetapi juga dalam
satu sekolah RSBI yang melaksanakan program khusus “kelas internasional”. Hal
itu ditemukan di SMA Negeri 78 Jakarta, yang berlabel RSBI sekaligus memiliki
“kelas internasional” dengan spesifikasi guru tersendiri, biaya pendidikan mahal,
proses pembelajaran dan sarana prasarana yang berbeda dengan siswa lainnya di
sekolah yang sama.
Dalam sebuah wawancara dengan seorang narasumber, Darmin, (Rabu 2
Mei 2012), ditegaskan bahwa RSBI justru menimbulkan stratifikasi sosial baru
melalui stratifikasi pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah. Menurut
Darmin RSBI/SBI justru menyiapkan tenaga kerja memasuki perusahaan
multinasional dan merupakan kampanye internasionalisasi ekonomi pasar kapitalis
neoliberal. Hal ini juga tergambar dari penjelasan seorang guru intelektual, Retno,
yang dengan tegas menyatakan:
…Jelas berbeda, kelas internasional itu Rp.31.000.000,00, itu saja SMA
sekolah saya itu berdasarkan ketentuan minimum yang ada di DKI memang
Rp. 31.000.000,00 dan satu-satunya RSBI yang bayarannya Rp.
31.000.000,00 … eh, satu-satunya kelas internasional yang bayarannya Rp.
31.000.000,00, tetapi kalau dikaitkan dengan RSBI soal bayaran, kan itu jelas
berbeda, kalau antara RSBI dengan kelas internasional… kalau di RSBI-nya
ya ada perbedaan jelas, wong naik terus kok, sejak dijadikan RSBI, itu kan
yang saya tahu. Dan kalau dibilang mahal ya versi saya dong, Pak, mahal.
Saya kan guru, yang buat saya Rp.600.000,00 saya enggak… enggak bisa
bayar sekolah anak Rp.600.000,00. Saya punya 3 anak dan kalau semuanya
Rp.600.000,00 rasanya saya tidak tidak sanggup,sementara gaji saya hanya
Rp. 2.500.000,00 (Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm.47).

146
Dari segi mutu, posisi satuan RSBI dalam sistem pendidikan nasional
dikategorikan sebagai sekolah yang melampaui standar nasional (SNP) atau “siap”
menuju SBI. SNP dalam hal ini merupakan standar minimal pendidikan yang
harus dipenuhi oleh suatu satuan pendidikan yang meliputi delapan standar: (1)
kompetensi lulusan, (2). isi, (3). proses, (4). penilaian, (5). pendidik dan tenaga
kependidikan, (6). sarana dan prasarana, (7). pengelolaan, dan (8). pembiayaan.
Dari aspek mutu, sekolah di Indonesia dikelompokkan ke dalam sekolah
yang mutunya di bawah standar nasional pendidikan (Sekolah Standar
Pelayanan Minimal), sekolah yang mutunya memenuhi standard nasional
pendidikan yang disebut dengan Sekolah Standar Nasional (SSN), dan
sekolah yang mutunya melebihi standar nasional pendidikan yang disebut
dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Gagasan tentang kategorisasi sekolah di atas menggambarkan bagaimana sekolah
menjadi sarana reproduksi struktur sosial yang ada. Hal ini secara tidak langsung
didukung oleh Suyanto, seorang pejabat Kemdikbud, dengan menyatakan bahwa
sebuah institusi pendidikan bisa dibedakan menurut fasilitas pelayanan
pendidikan, yaitu ada yang standar pelayanan minimal, standar nasional, RSBI dan
SBI (http://www.tempo.co/read/news/2012/02/14/079383936/Pemerintah-
Bersikeras-Pertahankan-RSBI). Dalam hal ini, sekolah berperan melanggengkan
ketidakadilan di masyarakat. Sekolah tidak lagi mengemban fungsi produktifnya
tetapi justru terjebak pada fungsi reproduksinya di masyarakat sebagaimana di
perusahaan-perusahaan dan industri barang dengan prinsip kapitalis. Sekolah
membedakan siswa tidak hanya berdasarkan kemampuan ekonomi tetapi juga

147
tingkat kecerdasan dan bakat. Hal ini dipertegas lagi oleh seorang intelektual,
Indra Djati Sidhi, dengan penjelasan sebagai berikut.
Secara psikologis peserta didik dapat dibedakan kemampuannya ke dalam: a.
berkemampuan kurang, berkemampuan sedang, dan berkemampuan tinggi. Ini
dipandang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 32,
antara lain dengan adanya pendidikan khusus bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, sosial, serta peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan, dan bakat istimewa. Peserta didik pada satuan pendidikan
RSBI/SBI termasuk dalam kelompok yang memiliki potensi kecerdasan atau
bakat yang tinggi (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm.
6).
Wacana kuasa/pengetahuan tentang kategori kemampuan anak didik
sebagaimana dikutip di atas berperan melegitimasi status dan kapasitas akademik
anak didik dalam implementasi kebijakan RSBI. Padahal, kategori anak didik
”berkemampuan kurang, ”berkemampuan sedang”, dan ”berkemampuan tinggi”
dalam konteks pemikiran Foucault tentang kuasa/pengetahuan bisa jadi hanya
”permainan angka” atau ”definisi” yang dapat diperdebatkan secara epistemologis.
Dalam hal inilah pengetahuan bersifat ideologis dan politis yang dapat
melanggengkan struktur sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Dari perspektif
teori kritis, pengetahuan tentang pembedaan atau kategori kemampuan (calon)
anak didik yang disebutkan di atas lebih merefleksikan kepentingan tatanan
ekonomi kapitalis dan neoliberalisme. Hal itu dijadikan sebagai mekanisme seleksi
(kontrol) tentang siapa yang “layak” dan “tidak layak” bersekolah di RSBI. Dalam
konteks inilah pendidikan seharusnya tidak boleh diserahkan kepada mekanisme

148
pasar sehingga tidak menjadi arena bisnis bagi pihak-pihak yang berkepentingan
(Sirozi, 2007: 19; Widja, 2009:107-108).
Dari segi standar proses dan tenaga kependidikan, bahasa Inggris di RSBI
juga menjadi alat kontrol dan sarana hegemonik dalam proses pembelajaran. Nilai
TOEFL dijadikan alat kontrol untuk menentukan siapa guru yang layak mengajar
dan siapa siswa yang layak diterima. Padahal, seorang guru dengan kemampuan
akademik tinggi belum tentu memiliki kemampuan bahasa Inggris dan ideologi
TOEFL “mengganjalnya” untuk mengajar di sekolah RSBI. Selain itu, nilai TOEFl
seorang guru yang tinggi pun tidak menjamin bahwa dia efektif dalam mengajar
sebagaimana dijelaskan seorang pelatih guru bahasa Inggris berpengalaman
berikut ini.
Bahwa TOEFL bukanlah ukuran untuk melihat bahwa seseorang mampu …
mengajar atau melaksanakan proses pengajaran di dalam kelas dengan
menggunakan bahasa Inggris karena TOEFL adalah to access ability to
communicate successfully in an academic setting in English speaking
countries. …TOEFL adalah tujuannya untuk membuat orang mampu belajar
di negara-negara berbahasa Inggris (Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012,
hlm. 23).
Secara sosiologis implementasi kebijakan RSBI mendukung teori
reproduksi sosial yang tidak adil dan menimbulkan stratifikasi sebagaimana
dikemukakan oleh pakar psikologi sosial dan pendidikan dari Universitas
Indonesia berikut ini.
Saya mengidentifikasi bahwa Satuan Pendidikan Bertaraf Internasional pada
konsepnya, … bertujuan membedakan satu kelompok orang dari kelompok
orang lainnya. Bahwa satu kelompok orang ingin dibuat lebih bagus. Entah
karena dasarnya mereka lebih cerdas, entah karena mereka lebih kelihatan
prestasinya lebih baik, dan sebagainya. Usaha itu disahkan atau bahkan

149
dilegalkan dalam undang-undang… (Bagus Takwin, Risalah Sidang MK,
Rabu, 2 Mei 2012, hlm. 15).
Selanjutnya, dengan merujuk diversifikasi layanan pendidikan dalam
sistem pendidikan nasional, Bagus Takwin menyatakan bahwa praktik RSBI
mengotakkan masyarakat melalui layanan pendidikan. Hal ini semakin
menguatkan anggapan generasi muda bahwa uanglah cara memenuhi keinginan di
tengah akses pendidikan dan kesetaraan yang bermasalah terhadap pendidikan
publik. Pendidikan menjadi membebani masyarakat (Kompas, Kamis 22 Maret
2012). Padahal, Undang-Undang secara imperatif mengamanatkan jaminan
peluang yang sama bagi semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Dalam konteks ini, Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, dengan nada keras menyatakan bahwa RSBI/SBI tidak sesuai dengan
cita-cita pendidikan nasional, menciderai nilai-nilai luhur bangsa.
…pemerintah mengistimewakan RSBI/SBI sehingga menimbulkan
diskriminasi. Pemerintah sengaja menciptakan dua kelompok, yakni
kelompok anak yang cerdas sedemikian rupa dan kelompok anak yang
sekadarnya (Daoed Joesoef, Kompas, Rabu 16 Mei 2012, hlm. 12).
Ia juga mempertanyakan acuan standar pendidikan RSBI/SBI pada negara-negara
yang tergabung dalam OECD. Indonesia, menurut Daoed, semestinya mengacu
pada lembaga UNESCO (Organisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena Indonesia
merupakan anggota UNESCO, bukan anggota OECD. Tujuan OECD sendiri
adalah melayani kepentingan 30 negara anggotanya untuk menghadapi masalah-
masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam konteks globalisasi dan

150
permasalahan-permasalahan khas negara-negara anggotanya sebagaimana dalam
penjelasan berikut.
The OECD is a unique forum where the governments of 30 democracies work
together to address the economic, social and environmental challenges of
globalisation. The OECD is also at the forefront of efforts to understand and
to help governments respond to new developments and concerns, such as
corporate governance, the information economy and the challenges of an
ageing population. The Organisation provides a setting where governments
can compare policy experiences, seek answers to common problems, identify
good practice and work to co-ordinate domestic and international policies
(OECD, 2010: 2).
Negara-negara OECD memiliki tantangan yang berbeda dengan Indonesia.
Karena itu acuan pendidikan nasional terhadap sistem pendidikan OECD tidak
rasional. Hal ini tidak selaras dengan visi pendidikan nasional, yaitu:
Terselenggaranya Layanan Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan
Indonesia Cerdas Komprehensif” untuk diwujudkan dengan misi 2010-2014, yaitu
meningkatkan layanan pendidikan, keterjangkauan layanan pendidikan, kualitas
dan relevansi layanan pendidikan, kesetaraan memperoleh layanan pendidikan,
dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Dalam konsep dan praktiknya,
RSBI menawarkan kesempatan hanya kepada sekelompok orang secara
diskriminatif, sebuah kebijakan yang berperan mengorganisasi dan membangun
blok hegemonik (Barker, 2006: 62-63). Dalam konteks pedagogi kritis, hal ini
dapat melanggengkan ketidakadilan sosial melalui pendidikan (sekolah) yang tidak
berpihak pada anak didik.
Analisis kritis tentang kondisi pendidikan dengan kebijakan RSBI
dikaitkan dengan dimensi sosio-ekonomi politik menunjukkan kondisi pendidikan

151
yang tidak berpihak pada masyarakat. Kemampuan ekonomi dan ”akademik”
(NEM dan UN) dijadikan sebagai salah satu persyaratan untuk masuk di RSBI.
Dengan kata lain, jika anak didik lemah secara ekonomi dan akademik, maka
kondisi itu dianggap ”salah masyarakat sendiri” mengapa ”miskin dan bodoh”.
Dari perspektif teori kuasa/pengetahuan, hal inilah yang dimaknai sebagai
ketidakadilan sosial akibat hegemoni kekuasaan tentang subjek yang layak
mengakses pendidikan bermutu. Sekolah yang secara struktur berada dibawah
Kemdikbud menjadi instrumen negara untuk menciptakan ketidakadilan sosial
dalam sistem pendidikan yang berorientasi globalisme. Bahkan negara justru
melepaskan diri dari tanggungjawabnya untuk mencerdaskan warganya melalui
liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan.
Manifestasi neoliberalisme dalam pendidikan telah banyak disoroti oleh
para pakar pendidikan melalui berbagai wacana yang melihat secara teoretis
hubungan antara neoliberlisme dan pendidikan. Secara ekonomi, ketimpangan
pendapatan masyarakat selama 10 tahun terakhir di Indonesia, misalnya,
mengalami peningkatan signifikan diantara penduduk yang secara statistik
menunjukkan terjadinya peningkatan tingkat kemiskinan dan pola pembangunan
yang tidak berpihak ke kelompok miskin (Kompas Selasa 29 Januari 2013, hlm.
6). Dengan gambaran ini, peran lembaga pendidikan sebagai institusi demokratis
untuk mengubah tingkat kehidupan masyarakat menjadi hilang. Sekolah
dikendalikan oleh kekuatan kapital dan kebijakan negara yang melegitimasi
ketidakadilan melalui sistem persekolahan semacam RSBI. Dalam prakteknya,

152
seperti SMA Negeri 78 Jakarta, membuka “kelas internasional” dengan orientasi
standar pendidikan Cambridge yang bersifat eksklusif, menggunakan bahasa
pengantar bahasa Inggris, dan dengan biaya pendidikan yang relatif mahal
(berbeda diantara siswa) dalam satu sekolah.
Filosofi pendidikan Indonesia pada dasarnya tidak memberi ruang pada
perlakukan istimewa kepada individu dengan alasan seseorang itu “unggul”.
Keunggulan itu sebenarnya justru bentuk capaian atau tujuan dari pendidikan,
bukan mekanisme untuk mendapatkan pendidikan bermutu sebagaimana dirasakan
oleh masyarakat melalui RSBI yang mensyaratkan siswa “unggul” (akademik dan
ekonomi). Desain RSBI adalah menyeleksi “manusia unggul” melalui sekolah
publik untuk dapat bersaing dalam dunia global. Hal ini sesuai dengan pandangan
pendidikan liberal bahwa pendidikan individu dapat memengaruhi pertumbuhan
ekonomi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, sebagaimana
dapat dipahami melalui pandangan seorang birokrat pendidikan berikut.
RSBI itu adalah salah satu strategi untuk menuju dan mencerdaskan secara
keseluruhan. Ketika ada anak bangsa yang dalam kehidupannya itu lebih
unggul, ini akan menarik dampaknya. Ada multiplayer effect terhadap bangsa-
bangsa anggota bangsa lain (Suyanto, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012,
hlm. 43).
Kendati RSBI itu didukung dengan argumentasi sebagai strategi untuk
mencerdaskan bangsa secara keseluruhan, dalam prosesnya kebijakan ini tidak
seharusnya mengorbankan hak warga negara lainnya dalam mengakses pendidikan
secara diskriminatif, apalagi dengan argumentasi bahwa sekelompok orang atau
individu dianggap unggul dan karenanya lebih berhak untuk mendapatkan

153
perlakuan istimewa dari negara. Inilah salah satu kenyataan empiris tentang
wacana PBI dalam bentuk RSBI. Hal ini sesuai dengan ideologi pendidikan liberal
yang lebih fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan individu daripada
masyarakat (Haralambos dan Hoborn, 2000:780 dalam Soeharto, 2009: 143).
Keunggulan seseorang itu, dalam konteks politik pendidikan nasional
seharusnya diakui sebagai “output” dari akses yang adil terhadap (proses)
pendidikan. Namun dalam hal RSBI, ideologi kekuasaan justru berpihak pada
kelompok dominan (kelas menengah) di masyarakat yang pada gilirannya
melanggengkan ketidakadilan sosial. Dengan kekuasaan dan wewenang yang
dimilikinya, negara mendefinisikan “kebenaran” bagi pihak lain (subordinat).
Dalam hal ini, neoliberalisme sebagai ideologi ditandai dengan semangat
individualisme dan peran negara berkurang melalui sekolah untuk menjamin
keadilan dalam pendidikan.
Pemerintah memiliki kekuasaan hegemonik untuk “mendikte” sekolah dan
masyarakat tentang pendidikan yang baik dan benar dengan mengintroduksi
RSBI/SBI melalui kekuasaan politik dan ekonominya, yaitu dengan memberikan
anggaran tambahan dari APBN/APBD dalam bentuk subsidi khusus dan fasilitas
lainnya berupa izin bagi sekolah untuk memungut dana tambahan dari masyarakat.
Sekolah yang berstatus RSBI mendapat “izin istimewa” dari pemerintah untuk
memungut pembiayaan pendidikan tambahan sedangkan sekolah sejenis yang
tidak berstatus RSBI justru dilarang oleh pemerintah. Dengan kata lain, terjadi
paradoks karena jika konsep utama status RSBI itu adalah dalam rangka

154
peningkatan kualitas, logikanya semua sekolah seharusnya boleh memungut biaya
pendidikan tambahan dari masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas
atau Permendiknas No 69 tahun 2009, yang semestinya tidak hanya belaku secara
diskriminatif untuk sekolah yang berlabel RSBI/SBI. Ketika hal ini ditanyakan
kepada Koordinator RSBI SMA 2 Bandarlampung, Supanto, ia menyatakan:
jika berbicara tentang peningkatan kualitas, anggaran pemerintah itu
sebenarnya tidak cukup untuk pembiayaan sekolah…pemerintah seharusnya
sadar jugalah…memberi peluang kepada sekolah yang non RSBI untuk
menggali dana tambahan dari orangtua. Secara objektif anggaran pemerintah
untuk sekolah tidak memadai untuk meningkatkan mutu sekolah sesuai yang
diharapkan pemerintah dan masyarakat (Wawancara Senin 11 Juni 2012).
Bentuk diskriminasi lainnya yang menimbulkan kecemburuan di kalangan
sekolah negeri adalah dukungan pemerintah terhadap sekolah-sekolah RSBI untuk
membangun kerjasama dengan sekolah-sekolah berkualitas di negara maju,
khususnya di salah satu negara yang tergabung dalam organisasi OECD. Padahal,
jika bentuk kerjasama tersebut dipandang positif terhadap kemajuan pendidikan
nasional maka sangat mungkin bahwa banyak sekolah yang lebih berkualitas
daripada sekolah RSBI namun tidak mendapat perlakuan yang sama dengan RSBI,
situasi paradoks dan ketidakadilan dalam pendidikan nasional.
Pendidikan bermutu dan kesempatan yang sama untuk mendapatkannya
adalah hak setiap warga negara. Hal ini seharusnya tidak dapat dibatasi oleh status
atau label sekolah apalagi didukung dengan ketentuan atau peraturan pemerintah.
Status sekolah sebagai RSBI pada kenyataannya berimplikasi sosial dan ekonomis.
Secara sosial ekonomi, kehadiran satuan sekolah tersebut telah menghasilkan

155
dikotomi sosial dan biaya pendidikan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat
sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.
… ketika belum dilabeli RSBI atau SBI, sekolah-sekolah tersebut dapat
diakses oleh warga … seluruh warga tanpa hambatan ekonomi, sekarang
setelah dilabeli dengan RSBI, itu menjadi sulit bagi semua warga. “Tidak
ada hal yang siginifikan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sekolah-
sekolah yang sudah unggul sejak dulu itu ketika dilabeli RSBI, kecuali dua
hal. Pertama, menggelontorkan uang ratusan juta rupiah dengan dana
pinjaman dari luar negeri. Kedua, memberikan kebebasan kepada sekolah-
sekolah tersebut untuk melakukan pungutan kepada murid. Ini bahaya dari
SBI (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 26-
27).
Gagasan pada kutipan di atas sekaligus menggambarkan perlakuan
diskriminatif pemerintah terhadap sekolah-sekolah yang ada. Kehadiran RSBI
menciderai nilai-nilai dan rasa keadilan sosial karena menciptakan ”tembok”
segregasi sosial melalui pendidikan. Hal ini secara tidak langsung juga diakui oleh
seorang pakar pendidikan, Prof Slamet, yang setuju namun sekaligus bersikap
kritis terhadap eksistensi RSBI/SBI dengan menyatakan:
Menurut saya, seharusnya dituntaskan terlebih dahulu pemenuhan kewajiban
pendidikan dasar karena sekolah-sekolah yang saat ini mendapat dukungan
sumber dana dan sumber daya dari pemerintah melalui sekolah RSBI,
sebelumnya adalah sekolah-sekolah yang memang sudah unggul mutunya,
sehingga pemberian status SBI/RSBI hanya sedikit saja menambah polesan
terhadap sekolah-sekolah tersebut. Yang nampak menonjol saat ini hanya segi
fasilitas fisik, walaupun ada penambahan-penambahan sedikit dari segi
kualitas, tetapi yang diterima memang anak-anak yang sudah berkualitas
(Prof. Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 23).
Pinjaman dana dari luar negeri dan kebebasan sekolah melakukan
pungutan biaya pendidikan dari orangtua siswa merupakan implikasi dari
semangat liberalisasi pendidikan yang ditandai dengan berkurangnya kontrol

156
negara atas penyelenggaraan pendidikan. Bahkan negara, misalnya dalam konteks
wajib belajar Sekolah Dasar (SD), melegitimasi sekolah Rintisan Sekolah Dasar
Bertaraf Internasional (RSDBI) untuk melakukan pungutan biaya pendidikan dari
orangtua murid dan masyrakat sebagaimana tampak dari penjelasan seorang
pimpinan sekolah dalam kutipan berikut ini.
… sesuai dengan surat edaran Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta bahwa
untuk memenuhi biaya operasional dan pemenuhan sarana prasarana sekolah
demi memenuhi standar RSBI, maka SD RSBI Menteng 01 dapat
menghimpun atau meminta sumbangan pendidikan dari masyarakat peduli
pendidikan… (Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 4).
Padahal, akses terhadap pendidikan dasar sebenarnya sudah dijamin oleh negara
berdasarkan Pasal 6 UU Sisdiknas 20/2003 bahwa setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Hal ini
kemudian berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam penggunaan anggaran.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya bahwa wacana PBI tidak
terlepas dari wacana perkembangan ilmu pengetahuan, ekonomi dan politik
melalui berbagai tulisan dan bentuk-bentuk komunikasi gagasan lainnya yang
memberi makna pada praktek sosial, termasuk hegemoni ideologi dalam
mengarahkan perkembangan pendidikan nasional. Hal ini mendapat penegasan
dari pemikiran Foucault tentang genealogi historis sebuah wacana dan aplikasinya
dalam kondisi historis yang spesifik (Barker, 2005: 512).
Pemikiran Gramsci (1976:213-214) tentang hegemoni menekankan suatu
situasi dimana sebuah blok historis dari fraksi-fraksi kelas yang berkuasa
menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinatnya

157
melalui konsensus atau “paksaan halus”. Situasi hegemonik dalam konteks RSBI
terjadi dalam hubungan antara wacana globalisasi tentang pendidikan dan peran
pemerintah melalui kebijakan pendidikan berhadapan dengan struktur sekolah dan
masyarakat pendidikan sebagai pihak terhegemoni. Kehadiran RSBI menjadi
legitimate melalui sosialisasi dan internalisasi ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-
norma baik oleh pemerintah maupun oleh media massa.
Guru dan pihak sekolah dengan kultur (habitus) birokrasi yang sudah
terbangun berperan ”hanya” perpanjangan tangan untuk melaksanakan kebijakan
pemerintah, yang juga terhegemoni dengan pemikiran-pemikiran globalisme
dalam pendidikan. Sekolah atau guru-guru, khususnya di lembaga pendidikan
negeri, telah terbiasa menerima begitu saja suatu kebijakan.
SBI itu bagus sih pak sebagai pendekatan untuk peningkatan mutu
sekolah…hanya di masyarakat terjadi kesalahan persepsi melihatnya. Kita
juga melihat bahwa ada juga orangtua siswa yang merasa kesal anaknya
tidak dapat masuk ke sekolah ini karena seleksi akademik yang ketat dan
biaya yang memang relatif mahal. Lalu masyarakat mengatakan sekolah ini
eksklusif dan hanya untuk orang kaya (Wawancara dengan Ridnan W,
Rabu 8 Agustus 2012).
Salah satu wacana “tubuh” atau wacana permukaan yang sering muncul
dari pemerintah tentang RSBI/SBI adalah bahwa program ini merupakan bentuk
pendekatan atau strategi untuk peningkatan mutu sekolah menghadapi persaingan
global. Peningkatan mutu sekolah dan diversifikasi layanan pendidikan
dilaksanakan dengan cara menampung anak didik dengan kemampuan istimewa.
Dalam kenyataanya adalah anak didik istimewa diseleksi dari segi kemampuan
keuangan dan kemampuan akademik, lebih tampak sebagai “topeng” untuk

158
menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan nasional. Upaya
pemerintah memajukan pendidikan tidak berpijak pada realitas sosial, ekonomi,
dan budaya bangsa.
“Semua warga negara harus mempunyai akses yang sama. Tidak boleh
dibedakan kaya-miskin atau Jawa dan luar jawa, semua harus punya akses
yang sama. Prinsipnya jangan sampai gara-gara tidak punya uang
kemudian tidak bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas” (Kompas,
Kamis 15 Juli 2010, hlm. 12).
Pasal 5 Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa
setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu. Realitas RSBI justru membungkus kepentingan ideologis (kapitalis)
yang bersifat diskriminatif dan mengandung pelanggengan struktur sosial yang
tidak adil dalam masyarakat. Sekolah RSBI mendapat perlakuan khusus untuk
menerima anak didik dengan bakat istimewa dengan mengorbankan semangat
“pendidikan untuk semua” berdasarkan konstitusi. Padahal, pssal 11 Undang-
undang Sisdiknas 2003 juga menetapkan bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi. Dalam hal ini, Ketua Dewan Pembina Sarjana Pendidikan Indonesia
menyatakan bahwa pemerintah seharusnya meningkatkan mutu pendidikan dengan
standar pendidikan yang terbaik untuk semua orang (Kompas, Jumat 2 Desember,
2011, hlm. 12).

159
5.5 Jati Diri Bangsa
Globalisasi tidak semata-mata menyangkut bidang ekonomi, baik ditinjau
dari sifat, sebab maupun konsekuensi-konsekuensinya. Globalisasi juga bersifat
sosial, politis dan kultural. Secara politis, globalisasi telah “memaksa” banyak
negara untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian kebijakan pendidikan yang
menimbulkan permasalahan budaya, khususnya persoalan hegemoni globalisme
atas jati diri bangsa. Dalam hal ini, globalisasi merupakan sejumlah proses yang
tidak teratur, berlangsung dalam bentuk fragmentaris dan oposisional. Sekalipun
tidak sama dengan westernisasi – seluruh negara di dunia saat ini dipengaruhi oleh
terjadinya proses globalisasi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Barker
bahwa globalisasi bukan semata-mata permasalahan ekonomi, tetapi juga
menyangkut makna budaya (Giddens, 2003:73; Barker, 2006: 115-116).
Permasalahan RSBI tidak saja terkait dengan ”manajemen pendidikan”
tetapi juga menyangkut hal-hal yang bersifat ideologis yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang ingin dikembangkan melalui sistem pendidikan nasional. PBI
sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional dan daya saing pada era
globalisasi secara konsepsional merupakan satu bentuk internasionalisasi
pendidikan nasional yang tidak steril dari permasalahan jati diri bangsa.
Internasionalisasi pendidikan untuk memperkuat daya saing bangsa dinilai salah
kaprah karena pendidikan seharusnya diarahkan untuk memperkuat jati diri dan
kemandirian bangsa. Dalam konteks ini, globalisasi membawa pengaruh positif

160
dan negatif terhadap berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi dan budaya
nasional (Kompas, Kamis 8 Maret 2012).
Wacana jati diri bangsa dalam konteks hubungan pendidikan nasional dan
globalisasi dipandang relevan di tengah kompleksitas permasalahan sosial budaya
yang sedang menghimpit bangsa Indonesia. Pendidikan dalam konteks globalisasi
tidak hanya melayani kepentingan yang bersifat ekonomis tetapi juga dapat
mengangkat nilai-nilai lokal yang menguatkan jati diri bangsa. Proses globalisasi
dengan sifatnya yang membawa homogenisasi budaya global dapat
menghilangkan jati diri bangsa. Permasalahan jati diri dalam hubungannya dengan
pendidikan merupakan salah satu isu perdebatan tentang satuan PBI, sebagaimana
dapat dipahami melalui kutipan berikut.
Saya menuntut pembubaran RSBI dan SBI berdasarkan alasan nalariah
…setelah mengetahui bahwa standar pendidikan negara maju yang dipakai
sebagai pedoman pembelajaran di RSBI dan SBI adalah standar kompetensi
salah satu sekolah terakreditasi di negara-negara anggota OECD… sebuah
organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan dari negara-negara industrial
maju. Keanggotaanya tertutup bagi negara-negara belum maju, termasuk
Indonesia. Jadi dengan memandang standar ke sana, apakah kita menganggap
perlu menyiapkan anak-anak Indonesia untuk bisa diterima sebagai pegawai
di lembaga itu? (Daoed Djoesoef, Risalah Sidang MK, 2012, hlm. 30-31).
Kutipan di atas tidak hanya mengindikasikan terjadinya disorientasi pendidikan
nasional. Pendidikan nasional seharusnya lebih diorientasikan pada “nation-
character building” yang sejak era reformasi mengalami permasalahan sosial-
budaya yang akut seperti maraknya budaya korupsi dan konflik sosial-budaya di
berbagai daerah. Bangsa Indonesia dengan keberagamannya masih mengalami
persoalan serius dalam hal menerima perbedaan suatu budaya dengan yang lainnya

161
dalam payung “Indonesia Merdeka”. Hal inilah salah satu konteks pendidikan
yang seharusnya menjadi bagian integral dari upaya membangun pendidikan
nasional berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan orientasi pembangunan
karakter bangsa, bukan berorientasi ”budaya global” atau globalisme. Dalam
konteks yang sama, seorang pemerhati pendidikan menyatakan:
… OECD bagaimana pun bagusnya adalah bagus untuk OECD, tapi belum
tentu bagus untuk Indonesia...Sekarang ini, negara republik Indonesia yang
tadinya satu, menjadi 500 lebih. Nah, 500 lebih ini, itu dikaitkan dengan 500
lebih daerah otonom … pendidikan di sana bersifat … bersifat kontekstual
(Winarno, Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm. 10).
Kebijakan dan konsep SBI yang dikembangkan dalam sistem pendidikan
nasional menurut Winarno tidak berakar dari kebudayaan nasional. Orientasi
pendidikan pada negara-negara OECD merupakan sebuah anomali yang
mengabaikan permasalahan-permasalahan kebangsaan aktual yang sedang
“keropos” di tengah arus globalisasi. Hal ini justru dapat menghanyutkan
Indonesia dalam pusaran kepentingan global karena tidak mengakar pada kekuatan
sendiri. Dalam hal ini, Tilaar (2012) menyatakan bahwa dalam menghadapi era
globalisasi, posisi Indonesia sebenarnya bisa memilih untuk menguatkan identitas
Indonesia dengan menyediakan pendidikan bermutu dengan tiga modal besar,
yakni kekayaan alam, budaya, dan sumber daya manusia (Kompas, Rabu 16 Mei
2012, hal 12).
Dalam konteks pendidikan sebagai arena kontestasi, pandangan bahwa
kebijakan PBI berpotensi menggerus budaya bangsa mendapat respons yang

162
berbeda dari Prof Slamet selaku pendukung eksistensi RSBI dalam sistem
pendidikan nasional. Ia menjelaskan:
Pada dasarnya SBI itu kan sederhana, cuma standar nasional plus tambahan,
gitu lho. Nah, kalau standar nasional itu kan yang pokok itu, tambahan-
tambahan itu memang tambahannya, tapi kan lalu kayaknya yang menjadi
gara gara ini tambahannya yang dibesar-besarkan seolah-olah SBI itu tidak
berjati diri Indonesia… Yang tambahan itu saja yang kita cari karena memang
kita harus mengikuti arus globalisasi, jangan-jangan sampai Matematika kita
dengan Jepang sama-sama SMP kita kalah... (Slamet, Risalah Sidang, Rabu 2
Mei 2012, hlm. 45).
Kutipan di atas menyederhanakan identitas budaya hanya dari segi penambahan
komponen standar pendidikan OECD khususnya untuk ilmu “hard science”.
Padahal, konsep “tambahan” itu menjadi persoalan karena pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya dalam konteks relasi kuasa.
Secara konseptual dan implementasi, misalnya, orientasi dan “benchmarking”
kualitas pendidikan nasional melalui PBI pada negara-negara OECD telah
menghasilkan implikasi turunan seperti importasi buku ajar, sertifikasi ISO, dan
standarisasi berbagai komponen pendidikan yang membuat praktik pendidikan
nasional menjadi mahal dan diskriminatif serta tidak menggambarkan realitas
sosiokultural bangsa Indonesia.
Dari perspektif budaya, pendidikan sebagai institusi strategis untuk
penanaman nilai-nilai budaya dan identitas nasional, pihak yang resisten terhadap
PBI berpendapat bahwa permasalahannya menyangkut sistem pendidikan nasional
dan pengembangan budaya bangsa. Sistem pendidikan nasional itu harus
diarahkan terutama untuk melayani kepentingan nasional. RSBI yang berorientasi

163
negara-negara OECD menjadi ancaman tersendiri sebagaimana diungkapkan oleh
Winarno Surakhmad berikut.
Begini, akan bangga kita sebagai orang Indonesia apabila suatu saat sistem
pendidikan nasional berkembang sedemikian rupa, sehingga orang-orang
datang ke Indonesia belajar di Indonesia karena sistem pendidikan nasional itu
menjadi sistem yang baik sekali. Bukan oleh karena sistem ini sudah
menyerupai OECD (Winarno S, Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012,
hlm. 9).
Dari segi penalaran deduksi, pilihan sistem pendidikan nasional seharusnya
didasarkan pada nilai-nilai kultural bangsa, berdasarkan realitas sosiokultural
bangsa sebagai komponennya untuk menghasilkan sistem dan bentuk masyarakat
yang khas sesuai cita-cita pendidikan Indonesia. Pandangan Winarno di atas
tentang keberadaan RSBI lebih didasarkan pada sentimen nasionalisme. Hal ini
dapat dipahami dalam konteks permasalahan nasional yang menunjukkan
terjadinya degradasi nilai-nilai kebangsaan Indonesia dan konflik-konflik sosial
sektarian. Dalam hal ini, kebijakan pendidikan dinilai kurang peka terhadap
permasalahan mendasar bangsa.
Orientasi pendidikan nasional melalui satuan pendidikan RSBI diwujudkan
melalui berbagai komponen pendidikan yang dapat dipahami dari pendapat
seorang birokrat pendidikan nasional berikut.
RSBI mengacu kepada salah satu negara yang memiliki pendidikan yang baik
di negara-negara OECD: cara belajar, prosesnya, kurikulumnya. Kita
menggunakan kurikulum nasional yang diperkaya dengan kurikulum-
kurikulum dari negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik…
(Suyanto, Dirjen Didaksemen, Kemdikbud).

164
Menurut Winarno sistem pendidikan yang paling relevan saat ini adalah
sistem pendidikan yang mendukung nasionalisme yang dewasa ini sangat serius
masalahnya, tidak seperti RSBI yang kontroversial tersebut. Penggunaan bahasa
Inggris, misalnya, dalam pendidikan perlu dikaitkan dengan masalah-masalah
nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa. Pendidikan sebagai sarana
penguatan nilai-nilai identitas dan kebangsaan seharusnya tidak terjebak pada
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah. Hal ini didukung
oleh Abdul Chaer yang berbicara tentang bahasa Inggris dalam hubungannya
dengan pendidikan dan bahasa nasional. Dalam hal ini, bahasa Inggris
diasosiasikan dengan bahasa elit dan “bergengsi” dan dengan demikian bahasa
Indonesia dapat terpinggirkan menjadi bahasa kaum bawah.
...penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah, kebijakan
ini tidak hanya memberi dampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk
membina Bahasa Indonesia, pembinaan akan terhambat karena bahasa Inggris
ini, ya anak-anak pasti akan lebih bangga berbahasa Inggris daripada
berbahasa Indonesia. Saya pernah mendengar sendiri di salah satu TK di
Kelapa Gading kata gurunya, “Kalau kamu bisa berbahasa Indonesia cuma
bisa ngomong sama orang Indonesia, tapi kalau kamu bisa berbahasa Inggris
bisa ngomong dengan orang asing, orang siapa saja.” …(Abdul Chaer, Risalah
Sidang MK, 24 April 2012, hlm. 22).
Kutipan di atas juga menegaskan tentang bahasa sebagai modal budaya
yang dapat memengaruhi motivasi sesorang dalam belajar di era globalisasi.
Kuatnya pengaruh globalisme berpotensi meminggirkan identitas nasional. Salah
satu fenomena terkait dengan realitas pengajaran bahasa di SMA, misalnya, adalah
rendahnya apresiasi dan nilai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia,
berbeda dengan perolehan nilai bahasa Inggris. Pada pelaksanaan UN 2011,

165
misalnya, 80% siswa SMA yang gagal UN tersandung dengan perolehan nilai
bahasa Indonesia yang tidak mencapai standar nilai 4.0 dan 60% dan siswa SMK
yang gagal UN terkait dengan nilai bahasa Indonesia yang juga tidak mencapai
standar kelulusan UN (Bali Post, Minggu 15 Mei 2011, hlm. 1).
Fakta lainnya yang dapat ditemukan di masyarakat dan sekolah adalah
bahwa seorang siswa dapat memiliki beberapa kamus bahasa Inggris, tetapi belum
tentu memiliki kamus bahasa Indonesia atau kamus bahasa daerah. Dalam hal ini,
paradigma pedagogi kritis melihat posisi guru, siswa, dan masyarakat harus
terbebas dari hegemoni budaya, sehingga anak didik tidak mengalami
ketercerabutan budaya dalam arti menjadi orang-orang yang tercerabut dari
“kebudayaan saya” (Spradley, 1997: 14; Tilaar, 2011: 44-45). Dalam konteks
identitas bangsa, berkurangnya peluang bahasa Indonesia sebagai bahasa IPTEK
akibat ekstensifikasi ruang penggunaan bahasa Inggris di lembaga pendidikan.
Bagi kebanyakan anak Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua
setelah bahasa ibu. Dalam jangka waktu tertentu, posisi bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan dikhawatirkan akan menjadi bahasa kaum bawah
yang membedakan mereka dari anak-anak dari kelompok elit terpelajar
(Itje K, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 28).
Penjelasan di atas mengingatkan pemikiran Bourdieu (1991) bahwa bahasa
Inggris merupakan “kapital budaya” dan “modal simbolik” dalam konteks
kehidupan modern, sedangkan bahasa Indonesia atau bahasa daerah menjadi
bahasa “kelas dua”. Dalam perspektif psikolinguistik, seseorang tetap lebih efektif
menyerap suatu pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu dibanding bahasa
kedua dan/atau bahasa asing. Dengan demikian, penggunaan bahasa Inggris

166
sebagai bahasa pengantar bermasalah secara metodologis. Secara konstitusional,
sesuai UU Kebahasaan 2005, kebijakan ini dapat diterima jika dasarnya hanya
menguatkan pencapaian tujuan dan proses pembelajaran bahasa Inggris. Selain itu,
tantangan guru yang meliputi bahasa, pedagogi, dan content (akademik) menjadi
sangat berat ditengah kualitas guru yang rendah dan manajemen pendidikan yang
kompleks.
Pengajaran Bahasa Inggris sendiri di Indonesia, sesuai Surat Keputusan
No. 096/1967 oleh Menteri Pendidikan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1984: 126), pengajarannya didasarkan pada alasan instrumental atau peran
bahasa ini sebagai bahasa internasional dan bahasa IPTEK sebagaimana juga
tersirat dalam UU Sisdiknas UUNo.20/ 2003 (ayat, 3) “Kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI dengan memperhatikan, antara
lain, keberagaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan dunia kerja;
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; dinamika perkembangan
global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan”.
Berdasarkan rumusan UU di atas dan dari perspektif pendidikan kritis,
penggunaan bahasa Inggris seharusnya merefleksikan tidak hanya nilai-nilai
“globalisasi” tetapi juga identitas dan nilai-nilai budaya nasional. Selain itu,
bahasa Inggris relevan dipersoalkan dalam hal impor buku-buku berbahasa Inggris
baik untuk mata pelajaran MIPA dan “benchmarking” kualitas sebagaimana dalam
konsep dan implementasi RSBI.

167
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI HEGEMONI
PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL DALAM PENDIDIKAN
MENENGAH UMUM
Menurut Raymond William (1998: 144-145) hegemoni tidak hanya
terbatas pada pengertian bahwa negara mengontrol pihak subordinat secara
langsung tetapi juga termasuk mengarahkan bagaimana cara memandang
dunia. Dalam hal ini hegemoni juga menyangkut upaya dominasi bagaimana
cara memandang dunia secara intelektual dan politis yang diungkapkan melalui
berbagai institusi. Pengertian ini sesuai dengan teori-teori kritis yang
digunakan untuk coba menyingkap kesadaran palsu yang hendak
dilanggengkan oleh kelompok dominan melalui hegemoni (ideologi) dan
wacana kekuasaan (Lubis, 2006: 62-63; Mills, 1997: 7; Cavallaro, 2004: 137).
Faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI dalam pendidikan
menengah umum dalam pembahasan di sini mencakup faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal terkait dengan politik pendidikan nasional dan
kebijakan otonomi daerah dalam pendidikan. Faktor eksternal menyangkut
hegemoni wacana globalisme misalnya tentang standarisasi pendidikan dan
daya saing bangsa, dan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan
IPTEK. Kedua faktor internal dan eksternal tersebut saling terkait dalam
mendorong terjadinya hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum dan

168
pendidikan nasional. Cakupan pembahasan dan relasi berbagai “wacana: terkait
dengan kedua faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Bagan 2).
Bagan 2. Faktor-faktor Politik Pendidikan, Globalisme dan Kebijakan PBI
6.1. Politik Pendidikan Nasional
Dalam pembahasan ini, politik pendidikan dimaknai sebagai kajian
tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan
cara-cara pencapaian tujuan tersebut. Kajian pendidikan dalam hal ini
terkonsentrasi pada peran negara dengan berbagai perangkatnya dalam bidang
pendidikan yang dapat menjelaskan pola kebijakan dan proses pendidikan serta
berbagai asumsi, maksud dan outcome dari berbagai strategi pendidikan dalam
suatu masyarakat secara lebih baik (Sirozi, 2005:9). Dengan demikian,
P.Pendidikan & Globalisasi
UU No.20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas
PP No 19/2005 tentang
SNP
Bank Dunia, WTO,
OECD
PP NO.48 Tahun 2008
ttg Pendanaan
Pendidikan
UU No 14/2005 tentang
Guru dan Dosen
Permendiknas No 78/2009
tentang Penyelenggaraan
SBI
Pendidikan Bertaraf
Internasional
UU OTODA Nomor 22
tahun 1999
LPMP dan BSNP

169
membahas politik pendidikan nasional berarti mengkaji hubungan geneologi
tujuan pendidikan nasional dan pilihan cara-cara atau strategi oleh negara
dengan berbagai kebijakan dan asumsi yang mendasarinya untuk mencapai
tujuan pendidikan tersebut secara lebih baik.
Politik dalam arti kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan.
Menurut Sirozi (2007:17-18) dalam masyarakat modern pendidikan merupakan
komoditas politik dan wilayah tanggungjawab pemerintah yang bersifat politis.
Karena bersifat politis, kebijakan-kebijakan pendidikan dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor non politis dalam proses pembuatannya. Karena kuatnya kaitan
antara masalah pendidikan dan politik, maka kebijakan pemerintah dalam
pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangannnya tentang masyarakat
dan keyakinan politiknya serta kepentingan-kepentingannya.
Dalam konteks sistem pendidikan nasional, pendidikan dipahami
sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan agar manusia dapat
mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran. Secara normatif,
penyelenggaraan pendidikan nasional tertuang dalam UUD 45 Amandemen,
antara lain, Pasal 28 C ayat (1), Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,
Pasal 31 ayat (1), Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pendidikan dan (2),
Pemerintah mengusahakan dan menjelenggarakan satu sistim pendidikan
nasional, yang diatur dengan undang-undang, Pasal 32 UUD 1945: Pemerintah

170
memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Selanjutnya penyelenggaraan
pendidikan nasional diatur dalam UU No 20/2003, UU No 14/2005 tentang
Guru dan Dosen, PP No 19/2005 tentang SNP, serta berbagai Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Menteri tentang hakekat, fungsi, standar lulusan
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Secara historis, paradigma Pendidikan Nasional menunjukkan
dinamika perkembangan isu dan tantangan sesuai konteks zamannya. Sejarah
pendidikan nasional sebelum kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan masa
”reformasi” telah melahirkan banyak perubahan dalam sistem pendidikan
nasional. Berbagai perubahan tersebut tidak terlepas dari paradigma berpikir
(filsafat pendidikan), konsep dan fungsi pendidikan dalam konteks berbangsa
dan bernegara. Wacana kualitas pendidikan dan daya saing bangsa pada era
globalisasi telah menggiring munculnya wacana PBI. Francis Wahono (2001)
dalam bukunya Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan
menyatakan bahwa paradigma pendidikan Indonesia telah mengalami beberapa
kali perubahan, mulai dari warisan kolonial ke masa Orde Baru dengan
kapitalisme liberal. Pada masa kolonial Jepang, sistem pendidikan nasional
berhaluan liberalis-feodalis. Paradigma liberalis-feodalis ini kemudian
diperkukuh oleh paradigma kompetisi yang merupakan turunan dari nilai-nilai
globalisasi.
Pendidikan dalam konteks dunia modern dan globalisasi adalah arena
kontestasi. Perubahan orientasi sistem pendidikan nasional menuju liberalisme
ditandai dengan ratifikasi pendidikan sebagai bagian dari WTO. Hal ini

171
mendapat titik kulminasinya melalui UU Sisdiknas 2003 sebagai “legal policy”
dari berbagai penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang salah satu
wujudnya dalam bentuk RSBI. Ideologi “internasional” (liberalisasi dan
kapitalisasi) dalam pendidikan nasional semakin menguat dengan adanya pasal
50 ayat (3) Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 yang baru-baru ini (8
Januari 2013) telah dibatalkan oleh MK.
Satuan PBI yang dalam pengelolaannya berbentuk RSBI merupakan
strategi untuk menghasilkan kompetensi lulusan yang melampaui SNP yang
didukung dengan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris sebagai
bahasa Internasional. Dalam hal ini, PBI menjadi bagian dari sistem pendidikan
nasional dalam memajukan kualitas pendidikan. Menurut UU Sisdiknas 2003
Pasal 1 ayat (3), sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen
pendidikan yang saling terkait untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Sedangkan satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan. RSBI sendiri merupakan satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal.
Dengan demikian, sesuai dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, eksistensi
RSBI sebagai bentuk satuan PBI merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan nasional.
Sebagai realisasi dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dan berbagai
peraturan yang mengikutinya, pemerintah sejak tahun 2006 telah membuka
satuan PBI dalam bentuk RSBI di berbagai daerah. Pada tahun ajaran

172
2009/2010, misalnya, di seluruh Indonesia jumlah sekolah pada jenjang
pendidikan dasar terdapat 173.118 dan menengah 19.435 sehingga secara
keseluruhan berjumlah 192.553 sekolah, sedangkan sekolah berstatus RSBI
hingga saat ini (tahun 2012) mencapai 1.343 sekolah, dengan rincian SD
sebanyak 239, SMP sebanyak 351, SMA sebanyak 363, dan SMK sebanyak
390 (Sumber: Dokumen MK, 2013).
Kebijakan pemerintah tentang satuan PBI pada jenjang pendidikan
menengah diarahkan untuk mendukung layanan pendidikan yang bermutu,
relevan, dan berkesetaraan di semua kabupaten/kota. Pelaksanaan program ini
menggunakan strategi: (1) Fasilitasi sarana dan prasarana untuk penerapan
sistem pembelajaran bermutu; (2) Penyediaan dan peningkatan sarana dan
prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran bermutu yang berbasis
kearifan dan keunggulan lokal; (3) Pemberian subsidi dalam upaya
meningkatkan akses layanan pendidikan bermutu; (4) Penyediaan tenaga
pendidik atau guru yang berkompeten dan (5) Penyediaan dan penguatan
manajemen satuan pendidikan yang berkompeten.
Pada level implementasi dan evaluasi, target Program Pendidikan
Menengah tersebut di atas dicapai melalui berbagai kegiatan yang mendukung
manajemen dan pelaksanaan tugas-tugas teknis lainnya, penyediaan dan
peningkatan pendidikan serta peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik atau
guru yang berkompeten untuk jenjang pendidikan menengah. Keberhasilan
pelaksanaan program ini diukur dari ketercapaian indikator kinerja (KIK)
sebagaimana tergambar pada Tabel berikut.

173
Tabel 6.1. Indikator Kinerja Utama
Program Pendidikan Menengah Kemdikbud
No Target Kondisi
Awal
2010 2011 2012 2013 2014
1 Persentase Kab/Kota
dgn
Minimal 1 SMA RSBI
18.0% 28.4% 38.8% 49.2% 59.6% 70.0%
2 Persentase SMA dgn
LAB.Komputer
3,5% 24,5% 45,4% 66,3% 86,6% 100,0%
3 Persentase
SMA/SMLB dgn
LAB.Multimedia
63% 70% 78% 85% 93% 100%
4 Jumlah Bersertifikat
ISO 9001:2008
20
316
612
908
1.204
1.500
5 Nilai Total Medali
Kompetisi
Internasional
20
22
24
27
30
33
6 Persentase Guru
Kualifikasi S-1/D-4
74,0% 77,1% 82,8% 87,2% 92,3% 98,0%
7 Rasio Guru – Siswa
SM
1:27 1:28 1:29 1:30 1:31 1:32
8 Persentase dgn Rasio
Guru – Siswa 1:20 -
:32
43% 46% 48% 51% 53%
53%
Sumber: Dok. Depdiknas, 2011
Untuk mewujudkan fungsi pendidikan nasional itu, pendidikan nasional
diarahkan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam hal ini, UUD 45 Pasal
31 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk
meningkatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
Undang-undang.
Sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa wacana PBI
merupakan arena kontestasi yang bersifat politis dan ideologis. Negara

174
(pemerintah) dengan dukungan para intelektual berupaya mengukuhkan
kebijakan tersebut melalui wacana pengetahuan diskursif dan praktik kekuasan
hegemonik sebagaimana dapat dipahami melalui penjelasan seorang ahli
pendidikan berikut.
…Pendidikan nasional sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan
sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana
termaktub dalam Pasal 4 seyogianya dimaknai secara philosophic dan
continuum eclectic. Perenialisme, yakni filosofi yang menekankan pada
pewarisan nilai luhur (truth, goodness, beauty). Esensialisme yang
menekankan pada conservation of culture, progresivisme yang
menekankan pada pemberdayaan individu, dan rekonstruksionisme yang
menekankan pada pembangunan masyarakat secara interaktif. Karena itu,
konsepsi sekolah bertaraf internasional seyogianya dipahami secara …
secara filsafat pendidikan eklektik dalam rangka diversifikasi layanan
pendidikan untuk mewadahi perwujudan individual differences dan
educational differentiation, yang telah menjadi jiwa dari Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia (Prof Udin, Risalah Sidang MK, Selasa 24
April 2012, hlm. 7).
Dengan otoritas yang dimilikinya, pendapat ilmuan yang dikutip di atas
menguatkan dan melegitimasi relevansi RSBI dalam pendidikan nasional
dengan argumentasi bahwa diversifikasi layanan pendidikan adalah untuk
mengakomodasi “individual differences” dan “educational differentiation”
dalam kerangka pikir Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
“dibumbui” dengan jargon-jargon ilmiah dan filosofis. Padahal, dalam
perspektif Pancasila, yang menjadi tolok ukur keadilan sosial seharusnya
adalah apakah suatu kebijakan sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional.
Dalam konteks cultural studies wacana ilmiah merupakan bagian dari produksi
pengetahuan dan praktik politik yang tidak pernah bersifat netral atau objektif,
melainkan menyangkut soal posisionalitas, soal siapa yang berbicara, kepada
siapa dan untuk tujuan apa (Barker, 2006: 6).

175
Dalam konteks yang sama, Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas No. 20
Tahun 2003 yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945, Prof Slamet, pendukung satuan PBI menyatakan bahwa:
Secara filosofis, SBI menganut pandangan eksistensialisme dan
esensialisme sekaligus. Pandangan eksistensialisme menyatakan bahwa
pendidikan harus mengembangkan eksistensi peserta didik yang berbeda-
beda dalam dimensi jiwa dan raganya sesuai dengan kodratnya sebagai
manusia yang memiliki perbedaan. Sehingga meskipun peserta didik
diberi peluang yang sama, akan selalu ada perbedaan pencapaian prestasi
belajar. Nah, pendidikan harus mampu menjamin keadilan atau
kewajaran” (Prof Slamet, Risalah MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 6).
Pandangan dalam kutipan di atas khususnya “…meskipun peserta didik diberi
peluang yang sama, akan selalu ada perbedaan pencapaian prestasi belajar”
tidak dapat dijadikan alasan untuk diskriminasi layanan pendidikan. Hal itu
tidak relevan karena desain RSBI pada kenyataannya bersifat eksklusif, tidak
memberi peluang yang sama bagi warga Negara sesuai semangat konstitusi.
Penyelenggaraan RSBI didasarkan pada filosofi eksistensialisme dan
esensialisme. Filosofi eksistensialisme menekankan pengembangan eksistensi
peserta didik seoptimal mungkin melalui proses pendidikan yang pro-
perubahan, mengembangkan bakat, minat, dan kemampuanya. Filosofi
esensialisme memandang fungsi dan relevansi pendidikan sebagai kebutuhan,
individu, keluarga, dan kebutuhan berbagai sektor pada level lokal, nasional,
maupun internasional. Dalam konteks globalisasi, pendidikan nasional
dirancang untuk menyiapkan SDM yang mampu bersaing secara internasional
(http://dikdas.kemdikbud.go.id/content/rsbi/pengantar/pengantar-ri.html
diakses 23 Mei 2012 ). Dalam hal inilah perspektif kajian budaya menawarkan
filosofi kritis, yang memandang teori-teori pendidikan tidak steril dari ideologi.

176
Perkembangan pesat dalam IPTEK memunculkan tuntutan baru dalam
pendidikan. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan diversifikasi
program pendidikan dengan pendekatan inovatif dan kreatif sehingga produk
atau SDM Indonesia diharapkan dapat lebih berperan dalam ranah global.
Namun, dalam implementasinya, terjadi diskriminasi berdasarkan status sosial-
ekonomi. Tidak semua warga negara berpeluang yang sama untuk sekolah di
RSBI. Pendidikan menjadi jauh dari semangat demokratis. Padahal, pasal 5
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap
warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu.
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, selain mengatur
tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, juga mengatur SNP, kurikulum,
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pendanaan,
pengelolaan, peran masyarakat, dan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi untuk
menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara.
Pasal 10 juga mengamanatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah
berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Selanjutnya, pasal 11 ayat (1) mengamanatkan bahwa
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi. Ayat (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap
warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.

177
Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI
menegaskan bahwa PBI adalah pendidikan yang telah memenuhi SNP yang
diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. SBI dirancang untuk
menghasilkan kompetensi lulusan plus standar kompetensi pada sekolah
terakreditasi (sekolah mitra) di suatu negara anggota OECD. Dalam
implementasinya, pemerintah mengembangkan sekolah-sekolah unggulan yang
ada menjadi SBI melalui strategi RSBI.
Membangun sekolah nasional plus, yaitu sekolah-sekolah dengan
kurikulum nasional yang diberi muatan plus, seperti teknologi informasi
dan komunikasi, desain, komunikasi visual, bahasa Inggris, dan lain
sebagainya. Konsep ini pada umumnya diikuti oleh sekolah-sekolah
swasta yang ada.Kenapa konsep ini kita laksanakan? Karena kalau kita
memulai dari awal membangun sekolah baru, recruit new teacher dan
semuanya, kita enggak ada uang, uangnya akan habis diserap untuk itu
semua, tapi kita memanfaatkan yang ada, kita revitalisasi, kita tingkatkan
untuk melihat bagaimana perilaku anak-anak kita yang kemudian
dilakukan continuous improvement (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu,
11 April 2012, hlm. 16).
Secara historis dan filosofis PBI dalam bentuk program SBI berdasarkan
penjelasan Menteri Pendidikan Nasional pada Rapat Kerja Komisi X DPR RI
21 Maret 2011 dan Ditjen Dikdasmen (2010) bahwa pada tahun 1990-an
banyak sekolah yang berlabel internasional tetapi tidak jelas standardnya dan
penyelenggaraannya belum memiliki payung hukum sedangkan sekolah-
sekolah berkualitas sangat diperlukan agar Indonesia berdaya saing
internasional. Selain itu, banyak orangtua yang mampu secara ekonomi
memilih menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan pemerintah merasa perlu
membangun sekolah berkualitas, baik kualitas proses maupun produknya

178
diakui secara internasional. Hal inilah yang “menginspirasi” dan mendorong
pemerintah untuk merancang dan merintis sekolah bertaraf internasional.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 2003 sistem pendidikan
nasional telah memiliki dasar hukum untuk mengembangkan SBI berdasarkan
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3): “pemerintah dan/atau
pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Undang-Undang ini kemudian
disusul dengan berbagai peraturan dan petunjuk teknis untuk implementasinya
mengacu pada berbagai perundangan-undangan yang relevan. Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No. 043/P/2004 tentang Pembentukan Tim
Pengendali SBI dan Sekolah Asing di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
wacana PBI dalam pendidikan nasional. Salah satu tugas tim ini adalah
membantu pimpinan Depdiknas mengendalikan sekolah yang bertaraf
internasional dan sekolah asing di Indonesia (Depdiknas, Himpunan
Kepmennas RI, 2004: 195-199).
Dengan beberapa fenomena dan pertimbangan di atas, Pemerintah mulai
merintis SBI untuk meningkatkan relevansi dan kualitas proses serta hasil
pendidikannya untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional, dan global. Sejak tahun 2006 pemerintah mendirikan satuan PBI
tanpa terlebih dulu melakukan pengkajian yang mendalam dan komprehensif
terhadap sekolah-sekolah berlabel internasional yang telah berkembang di
masyarakat. Pemerintah justru tergiring untuk mengikuti kecenderungan yang

179
terjadi di tengah masyarakat dengan membangun RSBI dengan strategi
menyeleksi sekolah-sekolah unggulan dan favorit yang telah ada di berbagai
kabupaten/kota di Indonesia untuk diarahkan menjadi SBI. Konsep dan
implementasinya kemudian menjadi permasalahan kontroversial (politik,
ekonomi, sosial, dan budaya) dan digugat oleh masyarakat, para intelektual,
aktivis sosial dan organisasi aliansi guru melalui lembaga MK dan melalui
berbagai wacana media massa paling tidak sejak Februari 2012.
6.2 Otonomi Manajemen Pendidikan
Runtuhnya rezim Orde Baru melahirkan era reformasi yang ditandai
dengan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia: sosial,
ekonomi, budaya, dan politik. Kekuasaan yang sebelumnya bersifat
sentralistik dan otoriter kemudian terpolarisasi dan mengarah pada
desentralisasi dan demokratisasi. Dalam pemerintahan, semangat reformasi
ditandai dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun
1999 yang pada intinya memberikan kekuasaan politik dan ekonomi bagi
daerah-daerah dan kemudian berimplikasi pada otonomi manajemen
pendidikan. Sejak 2001 pemerintahan daerah mulai memberlakukan secara
resmi otonomi pendidikannya. Dalam hal ini, perubahan rezim dari Orde Baru
ke rezim orde reformasi ditandai dengan perubahan orientasi politik dalam
kebijakan pendidikan dan implementasinya.
Wacana otonomi pemerintahan daerah dalam perkembangannya
berpengaruh pada sistem pendidikan nasional khususnya dalam hal manajemen

180
pendidikan. Salah satu permasalahan serius dari sistem pendidikan nasional
pada masa awal reformasi adalah manajemen pendidikan yang tersentralisasi.
Berbagai kebijakan tentang pendidikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan
hingga pengawasan bersifat sentralistik sehingga dirasakan kurang kondusif
untuk memberdayakan peran pemerintah daerah dan sumber daya daerah
dalam memajukan pendidikan nasional. Hal ini dirasakan sebagai kendala bagi
reformasi pendidikan dan semangat demokratisasi yang berkembang pasca
rezim otoriter Orde Baru. Padahal UU otonomi daerah 1999 yang telah mulai
diimplementasikan pada tahun 2001 memberikan tanggung jawab besar kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengelolaan pendidikan dan sektor lainnya
seperti kewenangan atas anggaran sendiri. Selain itu, UU tersebut juga
memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada Pemerintah Propinsi
untuk melakukan koordinasi dan supervisi.
Lahirnya UU tentang Otonomi Daerah berimplikasi pada manajemen
pendidikan nasional termasuk pada kebijakan sekolah RSBI/SBI sebagai salah
satu strategi peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan antardaerah.
Otonomi daerah dalam bidang pendidikan ini kemudian disusul oleh UU dan
berbagai peraturan pemerintah, seperti UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 dan
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Otonomi
daerah pada Kabupaten/kota memiliki semangat yang sama dengan kebijakan
satuan PBI yang juga diarahkan untuk dibangun di setiap kabupaten/kota. Pada
level satuan pendidikan, UU Sisdiknas dan PP tersebut, misalnya,
mengamanatkan tersusunnya KTSP sebagai wujud dari otonomi sekolah

181
dengan mengacu pada standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dibuat
atau ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP ini
secara normatif bertugas secara independen untuk mengembangkan,
memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan SNP. Dalam konteks standarisasi
dan kompetensi, BSNP kini berperan sebagai organisasi industri pendidikan
yang menentukan seperti standar isi, standar kelulusan, standar kurikulum dari
berbagai jenis dan jenjang pendidikan (Tilaar, 2006: 21)
Menurut Tilaar (2006: 78) profil pendidikan di Indonesia sangat
kompleks. Berbeda dari pendidikan di negara maju yang relatif homogen,
profil pendidikan Indonesia sangat beragam karena adanya perbedaan yang
mencolok antar daerah, antara kota dan desa, dan antar pulau seperti Sumatra-
Jawa, Sumatra-Sulawesi. Gambaran pendidikan menengah umum pada tataran
nasional dan internasional menunjukkan rendahnya mutu pendidikan nasional.
Hal ini merupakan salah satu faktor penting yang mendorong pemerintah untuk
menyelenggarakan program PBI dalam memajukan kualitas pendidikan
nasional. Dalam konteks standarisasi pendidikan nasional, eksistensi RSBI
dipandang relevan dalam konteks reformasi sistem pendidikan nasional,
khususnya dalam kerangka penguatan pendidikan menengah umum.
Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mengamanatkan sistem
yang bersifat integratif. Sistem pendidikan nasional terdiri atas lima jenjang:
Pendidikan Usia Dini (2 tahun untuk usia 4-5 tahun), pendidikan dasar (6 tahun
untuk usia 6-12 tahun), pendidikan menengah pertama (3 tahun dengan usia
13-15 tahun), pendidikan menengah atas (3 tahun untuk usia 16-18 tahun),

182
pendidikan tinggi (3-4 tahun pada tingkat sarjana; dan pascasarjana tingkat
Magister dan Doktor). Namun, program-program tersebut diselenggarakan
oleh sekolah negeri maupun swasta di bawah Departemen Pendidikan dan
Departemen Agama sehingga menghasilkan empat jenis sekolah. Jenis sekolah
lainnya adalah pesantren, 68% pesantren yaang memberikan beberapa jenis
pendidikan sekolah formal di luar kajian keagamaan. Sejumlah pesantren
memiliki sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Departemen Agama.
Dalam hal ini, 43% pendaftar SMA berasal dari sekolah swasta (Appendiks 4.
Dokumen ADB, 2006).
Pada saat siswa melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan
tinggi, sekolah swasta di bawah Departemen Agama (Depag) memiliki jumlah
pendaftar yang secara proporsional lebih rendah dibandingkan dengan sekolah
di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Pada tingkat sekolah dasar,
sekolah di bawah Departemen Pendidikan menyumbang 90% dari semua
sekolah yang ada dengan 93% dari sekolah negeri. Di tingkat SMP, sekolah di
bawah Departemen Pendidikan Nasional memberikan konstribusi 94% dengan
53%nya dari sekolah negeri. Di tingkat SMA, memberikan konstribusi 98%
dari semua sekolah yang ada dengan 46%nya dari sekolah negeri. Sekolah-
sekolah di bawah Depag hampir semuanya swasta pada semua jenjang: 87% di
SD, 75% di SMP dan 66% di SMA (Appendiks 4. Dokumen ADB, 2006).
Selain itu, sistem pendidikan nasional dikaitkan dengan kebijakan
otonomi daerah semakin menunjukkan dualisme sistem pendidikan nasional.
Sekolah-sekolah yang berada dibawah Departemen Pendidikan dan

183
Kebudayaan terdesentralisasi, sedangkan satuan pendidikan dibawah
Departemen Agama tersentralisasi dalam pengelolaannya. Hal ini, dalam
konteks manajemen pendidikan, menimbulkan persoalan tersendiri, khususnya
dalam hal pendanaan dan pembinaan pendidikan yang juga berpengaruh pada
kualitas pendidikan.
Dalam konteks otonomi daerah (Rahmat, 2011: 1-2), PBI merupakan
kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan daya saing lulusan dan kualitas
pendidikan yang setara secara nasional. Penyelenggaraan PBI diharapkan
menjadi medan persaingan antar-daerah untuk menghasilkan SDM yang
unggul sebagai modal dasar untuk lebih kompetitif baik pada tingkat nasional
maupun global. Hal ini memiliki persamaan dengan salah satu fungsi
penyelenggaraan UN, yaitu dalam rangka standarisasi kualitas pendidikan di
seluruh daerah di Indonesia.
Pemerintah dan pemerintah daerah dalam konteks UU Otonomi Daerah,
melalui konstitusi telah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Secara konseptual, otonomi
pendidikan menuntut partisipasi dan kemandirian daerah otonom dalam
manajemen atau pengelolaan pendidikan di daerahnya, khususnya pendidikan
dasar dan menengah. Sebagai implikasinya kekuasaan otonomi ini menuntut
kesiapan berbagai instrumen pemerintahan dan kultur untuk melaksanakan
otonomi pendidikannya, misalnya dari segi SDM dan pembiayaan pendidikan.
Dalam hal ini, semangat otonomi pendidikan justru dihadapkan pada realitas
tentang lemahnya partisipasi pemerintah daerah dalam mendorong kebijakan

184
PBI baik dari segi dana maupun dalam upaya mempersiapkan SDM yang
berkualitas sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam implementasi PBI, keterpinggiran sebagian masyarakat dari
akses pendidikan bermutu seperti RSBI tentu saja bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. UU Sisdiknas tersebut
mengamanatkan bahwa negara memikul tanggung jawab pendanaan
pendidikan (pasal 46 ayat 2), “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah
bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur
dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan
bahwa negara harus memrioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN
untuk pendidikan. Hal ini dipertegas lagi pada Bagian Keempat tentang
Pengalokasian Dana Pendidikan pasal 49 ayat (1), “Dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari
APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD”. Dalam hal ini,
peningkatan anggaran pendidikan seharusnya dapat memperbaiki akses dan
kualitas pendidikan sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.
Dalam bidang pendidikan, peningkatan anggaran secara dramatis telah
dilakukan. Jika pada tahun 2005 anggaran pendidikan hanya Rp 78,5
trilyun, maka sesuai dengan amanat konstitusi anggaran pendidikan telah
berhasil ditingkatkan dua kali lipat, menjadi Rp 154,2 trilyun pada 2008.
Pada tahun 2009, amanat konstitusi telah berhasil dipenuhi dengan
meningkatkan anggaran pendidikan menjadi Rp 207,4 trilyun atau 20 %
dari APBN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2010-2014).
Namun, sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa peran
pemerintah daerah belum maksimal dalam menjamin penyelenggaraan
pendidikan sesuai Undang-undang dan harapan masyarakat. Selain itu,

185
anggaran pendidikan 20% dari APBN tidak efektif meningkatkan kualitas
pendidikan nasional karena anggaran tersebut lebih banyak dialokasikan untuk
membayar gaji guru dan tunjangan sertifikasi guru. Proses sertifikasi guru yang
diharapkan dapat meningkatkan kualitas guru ternyata tidak mampu
meningkatkan kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa (Kompas, Jumat
15 Maret 2013, hlm. 12).
Dalam aspek lainnya, secara normatif sebagai implementasi UU
otonomi daerah dalam pendidikan, sejak tahun 2001 pemerintah daerah telah
diberikan wewenang untuk menetapkan kurikulum muatan lokal, merancang
dan memfasilitasi buku teks dasar, dan bahkan membangun kemungkinan
kerjasama dengan negara lain di bidang pendidikan. Namun, kesiapan SDM
dan kondisi keuangan sebagian daerah tidak mendukung untuk melaksanakan
otonomi pendidikannya sesuai amanat UU dan harapan masyarakat. Perpaduan
tantangan globalisasi dan semangat memajukan pendidikan berdasarkan
sumber daya lokal/daerah semakin memperjelas dan menegaskan kelemahan
manajemen pendidikan nasional.
Tidak semua sekolah-sekolah kita mempunyai sarana, prasarana seperti
laboratorium ataupun perpustakaan yang memadai. Belum lagi
pengelolaan pendidikan dalam moda desentralisasi memberikan banyak
tantangan yang harus diselesaikan dengan cepat, antara lain capacity
building pengelola pendidikan di daerah, di lain pihak kita sudah
berhadapan dengan tantangan global yang tidak bisa dielakkan lagi artinya
selain menyelesaikan berbagai masalah pendidikan yang ada kita juga
harus menyiapkan peserta didik kita untuk dapat bersaing dalam dunia
global meneruskan estafet pembangunan bangsa (Indra DS, Risalah
Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 15).
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, eksistensi PBI dalam wujud
RSBI/SBI merupakan desakan kekuatan pasar dan sosio-ekonomi global yang

186
beroperasi melalui sektor pendidikan, yang lebih “popular” dengan ideologi
neoliberalisme, yang kemudian direproduksi dan dilegitimasi oleh sistem
pendidikan nasional melalui Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
beserta berbagai peraturan derivatnya dalam konteks hegemoni kekuasaan dan
relasi-kuasa pengetahuan. Akibatnya, pemerintah tidak dapat menjamin akses
pendidikan bagi setiap warga negara sesuai amanat UU. Pendidikan justru
beroperasi dengan prinsip-prinsip dan mekanisme “pasar”, yang didukung oleh
Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 yang memberikan kebebasan kepada
sekolah untuk memungut biaya pendidikan dari masyarakat. Dalam konteks
pendidikan dasar, hal ini bertentangan dengan konstitusi Pasal 31 ayat (2) yang
menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.”
Hegemoni pemerintah sebagai pihak pemegang “kebenaran” atas
wacana PBI sangat menonjol dalam sistem pendidikan nasional, khususnya
dalam pendidikan menengah umum. Kehadiran RSBI sebagai realisasi
semangat untuk mencapai standar pendidikan internasional tidak dapat
dilepaskan dari sikap dan pandangan para elit bangsa dan elit pendidikan pada
tingkat pemerintahan pusat yang “gamang” menghadapi perkembangan global
yang bersifat hegemonik. Hal ini juga disebabkan kurangnya kajian mendalam
oleh pemerintah tentang kelayakan dari segi aspek sosial budaya dan standar
pendidik sebagai salah satu standar pendidikan nasional dan konsistensi
pemberdayaan sekolah dalam implementasi PBI.

187
Dalam perkembangannya, wacana PBI melahirkan berbagai konsep dan
makna yang kabur, misalnya, SNP Plus, Kategori/klasifikasi Mutu, muatan
lokal, RSDBI, organisasi OECD, Perlombaan Olimpiade, metode pembelajaran
berciri internasional (TIK), sekolah mandiri, reguler yang secara konseptual
dan kultural kurang dipahami oleh banyak pelaku pendidikan. Hal ini
menunjukkan selain terjadinya disorientasi ideologi pendidikan nasional juga
terkait dengan realitas lemahnya SDM (birokrasi) yang mengurusi sektor
pendidikan, khususnya dalam hal sosialisasi gagasan-gagasan baru dalam
inovasi pendidikan. Kualitas sekolah RSBI dari suatu daerah ke daerah lainnya
pada kenyataannya tidak sama tetapi diklaim mencapai SNP dan kemudian
ditunjuk menjadi RSBI. Hal ini tentu saja menyesatkan masyarakat,
sebagaimana diakui oleh seorang narasumber sebagai berikut.
Karena persiapannya yang kurang cermat, maka evaluasi dan
perbaikannya … perbaikan penyelenggaraan SBI, RSBI, sporadis, tidak
holistik, dan cenderung membuat sekolah menerjemahkan kata
internasional dengan bahasa Inggris dan keterampilan-keterampilan
ekstrakurikuler lainnya…Jika dilihat dari praktek pelaksanaan proses
penyelenggaraan program RSBI, maka muncul persepsi bahwa program
ini merupakan kebohongan publik. Karena masyarakat yang
mempercayakan pendidikan anaknya kepada sekolah RSBI, sebagian
besar hanya mengerti bahwa RSBI membedakan anak-anak mereka dari
kelompok anak-anak yang lain yang tergolong kurang cerdas tanpa
kritis terhadap proses pembinaan berbagai aspek kecerdasannya
(Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 28).
Kutipan di atas menegaskan bahwa semangat awal melakukan pemerataan
kualitas dalam konteks otonomi daerah justru kontraproduktif dengan realitas
objektif daerah yang belum siap dari segi sumber daya. Persiapan pembukaan
RSBI yang tidak didasarkan pada kajian cermat dan komprehensif telah
menimbulkan persepsi yang berbeda diantara pelaku pendidikan. Pemerintah

188
(pusat) menghegemoni otoritas pendidikan daerah tentang PBI dengan wacana
“pemerataan kualitas” dan daya saing pada aras nasional dan global.
Uraian di atas menunjukkan secara jelas bagaimana hubungan antara
eksistensi RSBI dan realitas rendahnya kualitas pendidikan nasional,
kesenjangan mutu pendidikan antardaerah dan hubungan antara otonnomi
daerah dan wacana globalisasi. Permendiknas Nomor 78/2009 tentang
penyelenggaraan SBI pada jenjang Pendidikan Menengah pasal 2 mendukung
kondisi di atas. Pendidikan nasional diarahkan pada internasionalisasi mutu
dan aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan teknologi dalam konteks daya
saing pada era globalisasi.
6.3. Wacana Globalisme
Istilah globalisasi merupakan sebuah konstruk yang kompleks dan
sebuah eufemisme yang menyembunyikan pertarungan makna dan dominasi
ideologi. Globalisasi dipandang sebagai hegemoni neoliberal dan borjuis yang
melegitimasi ”sistem exploitatif” (Zajda, 2005; xiii). Dalam operasinya,
globalisasi ditandai dengan terjadinya mobilitas yaitu (1) manusia
(ethnoscape), (2) uang (finanscape), (3) teknologi (technoscape), (4) media
(mediascape, (5) dan ideologi (ideoscape) dengan nilai-nilainya yang
berkonfrontasi dengan nilai-nilai kebangsaan suatu negara (Appadurai, 1997).
Pemahaman tentang globalisasi di atas dapat menggambarkan bagaimana
globalisme berpengaruh pada eksistensi PBI. Hal ini juga sesuai dengan
pengertian globalisasi sebagai sebuah proses dalam kutipan berikut.

189
Globalisasi adalah suatu proses, bukan suatu pengertian yang statis.
Globalisasi juga bukan sesuatu yang otomatis terjadi. Ia lahir dari perilaku
manusia dan gagasan-gagasan yang lahir dari berbagi interaksi
antarmanusia, antarmasyarakat, dan antar negara, yang pada abad kedua
puluh yang lalu dimulai dari bidang ekonomi (Hoed, 2008: 101).
Globalisasi sebagai proses meningkatnya mobilitas orang, budaya, ide,
nilai-nilai, pengetahuan dan teknologi dan ekonomi lintas batas mengakibatkan
dunia saling terhubung dan ketergantungan. Dalam pendidikan, globalisasi
melibatkan beberapa faktor penting yaitu, masyarakat berbasis pengetahuan,
ICT, ekonomi pasar, liberalisasi perdagangan dan struktur pemerintahan.
Masyarakat berbasis pengetahuan mementingkan produksi dan pemanfaatan
pengetahuan secara profesional. Kemajuan TIK berimplikasi pada upaya
sekolah mengembangkan metode pembelajaran berbasis internet dan
komunikasi internasional. Ekonomi pasar berdampak pada komersialisasi dan
komodifikasi pendidikan seperti melalui akreditasi, standarisasi mutu dan
pengakuan internasional, dan liberalisasi perdagangan terwujud dalam
berbagai peraturan “ekspor-impor” jasa pendidikan dalam bentuk materi ajar.
Dalam hal RSBI, kurikulum Cambridge dan buku-buku yang digunakan dalam
proses pembelajaran. Globalisasi berdampak pada kebijakan dan peraturan
tentang perlunya implementasi standarisasi internasional seperti akreditasi
manajemen ISO untuk mendapatkan pengakuan internasional (Darmin, 2012:
242-244).
Menurut Joel (2004:37) dalam bukunya yang berjudul How
Educational Ideologies Are Shaping Global Society, Bank Dunia dan
organisasi-organisasi PBB merupakan bagian dari banyak organisasi yang

190
peduli terhadap pendidikan komunitas global dan Bank Dunia memiliki saling
keterkaitan dengan lembaga OECD. Secara historis, lembaga-lembaga
pendidikan berperan besar dalam membangun komunitas global. Sebagian
organisasi pendidikan dunia terlibat dalam, misalnya, pembentukan klub-klub
Esperanto tahun 1890 yang mengajarkan dan mendukung bahasa Esperanto
sebagai bahasa global dalam upaya membangun perdamaian dunia melalui
sebuah “bahasa persatuan”. Selanjutnya organisasi-organisasi tersebut
menggarap isu-isu pembangunan dan pemberantasan kemiskinan sebagaimana
tergambar dari kutipan berikut.
When World War II, global educational organizations blossomed as
part of postwar construction, the Cold War, and the dismantling of
colonial empires. ... OECD, the World Bank, and the U.N. eductional
organizations were born from the wars‘s ashes. By the 1970s, these
organizations‘ activities expanded beyond postwar reconstruction to
issues of development and eradication of poverty. In the process, they
created a framework for the globalization of educational policies. (Joel,
2004:37)
Dalam bidang ekonomi, lembaga-lembaga regional dan internasional
seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank (Bank Dunia) dan
International Monetary Fund (IMF) berperan besar dalam memengaruhi
kebijakan perekenomian Indonesia ke arah ideologi neoliberal melalui
beberapa tokoh ekonomi Indonesia yang sudah dikenal publik seperti Widjojo
Nitisastro dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Sejak era Orde Baru hingga kini, era
reformasi, hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga internasional ini
diyakini memiliki pengaruhi besar terhadap berbagai aspek sosial ekonomi
Indonesia (Mantra. D, 2011:17-18). Dalam konteks neoliberalisme, hal ini juga
didukung oleh MacEwan (1999:4) dengan menyatakan:

191
While the basic tenets of neo-liberalism operate in the rich countries, the
policy plays its most role in many of the low-income countries of Latin
America, Africa, Asia and Central and Eastern Europe. Within these
countries, influential groups see their fortunes tied to neo-liberalism, but
the conflict over economic policy is seldom confined within a nation‘s
borders. Officials from the international lending agencies, particularly the
IMF and the World Bank, from the governments of the economically
advanced countries, particalarly the United States, and from private
internationally operating firms use their economic and political power to
foist ‗market-oriented‘ policy on the peoples of the low-income countries
(MacEwan, 1999:4).
Proses globalisasi terutama didorong oleh kekuatan pasar, yang
menyebar ke sebagian besar wilayah kehidupan, diantaranya pendidikan.
Inovasi teknologi telah menjadi prakondisi bagi percepatan proses globalisasi
sejak tahun 1970-an. Kekuatan globalisasi mencakup penyebaran gagasan,
diantaranya persepsi bahwa berbagai bagian dari dunia ini adalah saling
terhubung) (Zhang Xiaoqing and Holger Daun, t.th: 165-166). Dalam hal ini,
pemerintah (negara) dengan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya
berperan menggerakkan para intelektual dan elit pendidikan sebagai agen
perubahan masyarakat dalam konteks dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan
politik dan globalisasi yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan nasional
melalui berbagai wacana, seperti undang-undang dan berbagai kebijakan yang
mendorong kehadiran PBI dalam bentuk RSBI/SBI.
Dengan wacana globalisasi, para intelektual cenderung menoleh ke hal-
hal yang ”berbau” globalisme. Isu standarisasi pendidikan dan daya saing
menjadi pilihan untuk dapat berkiprah pada level internasional. Keberhasilan
pendidikan nasional dilihat dari tingkat daya saing dan sejauh mana anak didik
dapat berpartisipasi dalam ”event” internasional. Hal ini dapat tergambar dari

192
kutipan berikut oleh seorang intelektual yang mendukung eksistensi PBI dalam
sistem pendidikan nasional.
… apabila bangsa Indonesia bercita-cita menghasilkan peraih Nobel, maka
mau tidak mau satuan pendidikan nasional harus menerapkan standar
pendidikan yang bertaraf internasional…“Upaya untuk mencerdaskan
bangsa sehingga mampu berkompetisi secara global (Prof. Yohanes,
Risalah Sidang MK, Selasa, 24 April 2012, hlm. 13).
Kutipan diatas secara jelas menggambarkan globalisme dengan orientasi bahwa
“target” pendidikan berupa hadiah Nobel dan kompetisi bertaraf internasional
dipandang sebagai bentuk upaya mencerdaskan bangsa. Hegemoni globalisme
dalam hal ini beroperasi melalui Undang-undang dan berbagai ketentuan
pemerintah yang dapat diberlakukan dalam sektor pendidikan dan berbagai
wacana pengetahuan yang merasionalisasi pentingnya satuan PBI dalam sistem
pendidikan nasional.
Raymond William dalam bukunya Key Words: A Vocabulary of
Culture and Society (1988) menjelaskan istilah hegemoni tidak terbatas pada
pengertian bahwa negara melakukan kontrol politik secara langsung terhadap
pihak subordinat tetapi juga dominasi bagaimana cara memandang dunia
secara intelektual dan politis yang diungkapkan melalui berbagai institusi
(William, 1998:144-145). Dalam hal ini hegemoni wacana globalisme tentang
pendidikan “yang benar” beroperasi melalui berbagai lembaga dunia atas
sistem pendidikan nasional. Negara dalam proses hegemoninya ditopang oleh
para intelektual melalui berbagai diskursus tentang relevansi PBI dalam
pendidikan Indonesia modern dan era globalisasi yang sarat dengan persaingan.
Dalam konteks ini, hegemoni pada level pemikiran, kesadaran dan perilaku

193
terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi (economic), negara (state), dan
masyarakat (civil society) (Bocock: 1986: 33). Dalam hal ini, pihak yang
terhegemoni melihat globalisme sebagai hal yang wajar dan karenanya
mendukung pihak dominan dalam berbagai implementasinya dalam
pendidikan.
Globalism," therefore, is the belief or a form of knowledge that
"globalization" should happen. Globalism accepts "globalization" as
natural. …globalization, in fact, causes the Americanization of the world
culture and McDonaldization of the society: it is not a process carefully
planned, but it is a mere affirmation of the structure of the unequal global
relations in which a few Center nations dominate over the Periphery
nations…Thus, "globalism" justifies "globalization" as it is happening
today. "Globalism" prevents us from recognizing the three consequences
of globalization including: (1)Anglo-Americanization,
(2)Transnationalization and (3) Commercialization of our contemporary
life
(Sumber:http://www.miresperanto.narod.ru/en/english_as_intern/hegemon
y_of_english.htm).
Secara geneologis, sejak tahun 1995, Indonesia telah menjadi anggota
WTO dan menyepakati Agreement on Agriculture dengan meliberalisasi sektor
pertanian domestik melalui beragam implementasi kebijakan neoliberal di
sektor pertanian. Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia ikut meratifikasi
semua perjanjian perdagangan multilateral. Tahun 2005 negara-negara anggota
WTO telah menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS)
yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain teknologi
informasi dan komunikasi (TIK), pendidikan tinggi, dan pendidikan sepanjang
hayat. Dengan demikian globalisasi dan internasionalisasi menjadi tak
terelakkan dalam sektor pendidikan (Mantra, 2011; 7; Effendi, 2005: 1-2).

194
Konsep pendidikan sepanjang hayat (lifelong learning) sendiri yang
muncul di Eropa pada tahun 1960 dan 1970 merupakan adaptasi dari pemikiran
neoliberal yang kemudian dipromosikan oleh organisasi UNESCO dan OECD.
Konsep ini merupakan sebuah bentuk privatisasi tanggungjawab pendidikan
untuk melayani dan mempromosikan kepentingan pasar dalam konteks
masyarakat pasca kesejahteraan (a post-welfare society). Dalam konteks
Eropa, hal ini merupakan strategi pendidikan untuk mengalihkan
tanggungjawab biaya pendidikan dan pengetahuan pada individu (Apple dalam
Darmin, 2011:84-85).
Kehadiran Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tidak
terpisahkan dari wacana globalisasi dengan orientasinya pada sektor ekonomi.
Hal ini terkait dengan ratifikasi Indonesia atas perjanjian-perjanjian
perdagangan dalam WTO yang mengikat seluruh anggotanya. Secara khusus
Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Sisdiknas itu mengamanatkan di setiap
daerah kabupaten/kota untuk membuka sekurang-kurangnya satu satuan PBI.
Sebagai implikasi dari UU tersebut, sejauh ini Pemerintah telah mendirikan
sekitar 1.300 sekolah RSBI di berbagai kabupaten dan kota di seluruh
Indonesia.
Internalisasi ideologi PBI yang lebih berorientasi globalisme beroperasi
melalui berbagai Undang-undang, kebijakan pendidikan dan peraturan
pemerintah. serta berbagai sosialisasi pendidikan dan wacana-wacana diskursif
melalui jargon-jargon modernisme, seperti “SDM”, “kualitas standard”, “daya
saing bangsa di arena internasional”, ”globalisasi”, sertifikat ISO, ”efisiensi,

195
dan ”produktifitas”. Isu-isu pendidikan dalam kaitannya dengan ekonomi dan
globalisasi sangat intensif beberapa tahun terakhir menjelang dan setelah era
reformasi di Indonesia baik melalui media massa maupun dalam berbagai
forum ilmiah.
Menurut Djokoparanoto (2011: 89) globalisasi tidak hanya menyangkut
dan berdampak pada bidang ekonomi, tetapi juga menyangkut dan berdampak
pada hampir seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan.
Pendidikan nasional dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan sosial
(ketidakadilan), budaya (nilai-nilai), ekonomi dan politik (demokrasi).
Selanjutnya Djokopranoto menyatakan:
Globalisasi di satu pihak dapat dan sudah menciptakan kesenjangan dan
ketidakadilan yang makin lebar, tetapi di lain pihak menyediakan
kesempatan lebih lebar untuk berkembang. Dampak ini dapat
berpengaruh buruk tetapi dapat juga berpengaruh baik pada bidang
pendidikan. Berpengaruh buruk jika kita hanya melihat sisi persaingan
yang tidak adil dan jika kita ikut terhanyut di dalamnya. Berpengaruh
baik apabila kita mampu memanfaatkan globalisasi (Djokopranoto,
2011: 89-90).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa pilihan untuk berpartisipasi
dalam arena kontestasi global sangat tergantung pada bagaimana bangsa
Indonesia menyikapi globalisasi secara kritis melalui program-program
pendidikan yang tidak kontraproduktif dengan visi pendidikan nasional. Dalam
hal ini, bagaimana pendidikan nasional dapat memanfaatkan globalisasi tanpa
mengorbankan visi dan misi negara-bangsa. Dalam pandangan teori kritis,
kaum intelektual dapat memilih untuk terlibat dalam kegiatan produksi
pengetahuan dan/atau “kebenaran”, baik untuk mendukung hegemoni global
atau menantangnya (kontra-hegemoni) melalui institusi sosial dan praktik-

196
praktik (wacana) pengetahuan. Dalam konteks ini, pengetahuan secara inheren
bersifat ideologis, sosial dan politis dalam arti tidak bebas nilai dan
kepentingan dan kuasa kelompok sosial tertentu (Foucault, 1977: 27-28;
Mantra. D, 2011:17-18; Lubis, 2006: 155).
Dalam bukunya, Globalisation and The Politics of Education Reform,
Joseph Zajda dan Maclean A Geo-Jaja (2011:xiii) menyatakan bahwa istilah
globalisasi merupakan sebuah konstruk yang kompleks dan sebuah eufemisme
yang menyembunyikan pertarungan makna dan dominasi ideologi, mulai dari
model Wallerstein (1979) tentang ”sistem-dunia” dan pendekatan Castell
(1989) tentang identitas tunggal dan integrasi masyarakat jaringan yang
bersifat lokal dan global secara simultan hingga globalisasi dalam bentuk
jaringan kerja. Kekuasaan aliran modal, teknologi dan informasi menentukan
munculnya ”masyarakat jaringan”. Dalam hal ini globalisasi dipandang
sebagai hegemoni neoliberal dan borjuis yang melegitimasi ”sistem
exploitatif”. Istilah globalisasi, seperti halnya posmodernisme, saat ini
digunakan secara meluas dalam teori-teori sosial, riset kebijakan dan
pendidikan (Zajda, 2005:xiii; Lubis, 2006:201).
The World system (WS) is the structure and relationship between different
interdependent components (states, transnational companies,
organizations, etc), while globalization implies the processes and flows
that take place in the WS. When the links between the components become
more extensive and form chains, networks, exchanges and transactions,
these processes may be seen as globalization (Henderson, 1996) (Sistem
Dunia adalah struktur dan hubungan antara komponen-komponen yang
berbeda dan saling ketergantungan (negara, perusahaan lintasnegara,
organisasi, dsb), sementara globalisasi menyiratkan makna proses dan
aliran yang terjadi dalam Sistem Dunia. Bila keterkaitan antara
komponen-komponen tersebut menjadi semakin intensif dan membentuk

197
jaringan, proses-proses ini dapat dipandang sebagai globalisasi.) (Zhang
Xiaoqing and Holger Daun, t.th, hlm. 165-166).
Selanjutnya, Joseph Zajda dan Maclean A Geo-Jaja (2005:xiii-xiv)
menyatakan bahwa globalisasi, marketisasi dan reformasi berbasis
kualitas/efisiensi di seluruh dunia telah mengakibatkan perubahan-perubahan
struktural dan kualitatif dalam pendidikan, termasuk meningkatnya orientasi
pendidikan pada ”belajar sepanjang hayat bagi semua” dan ”ekonomi
pengetahuan” dalam budaya global. Dalam sebuah artikel tentang globalisasi
yang berjudul Dialectics of Globalization (t.th), Kelner menyatakan:
Globalization continues to be one of the most hotly debated and contested
phenomena of the past two decades. A wide and diverse range of social
theorists have argued that today's world is organized by accelerating
globalization, which is strengthening the dominance of a world capitalist
economic system, supplanting the primacy of the nation-state by
transnational corporations and organizations, and eroding local cultures
and traditions through a global culture. (Globalisasi terus menjadi salah
satu fenomena perdebatan dan kontestasi yang paling hangat dalam dua
dekade terakhir. Para ahli teori sosial dari lingkup yang luas dan
beragam berpendapat bahwa dunia saat ini diatur oleh percepatan
globalisasi, yang memperkukuh dominasi sistem ekonomi kapitalis,
menanamkan keunggulan negara-bangsa oleh korporasi dan organisasi
lintasbangsa, dan menggerus budaya dan tradisi lokal melalui budaya
global) (Kellner, t.th. hlm. 1).
Kutipan di atas menegaskan kompleksitas permasalahan tentang
globalisasi baik dari segi ekonomi maupun budaya. Dalam konteks pendidikan
modern, pemerintah dalam upaya mencapai pendidikan berkualitas cenderung
menoleh pada isu-isu pendidikan internasional. Tujuan utama pendidikan
dipandang sebagai upaya meningkatkan prospek sosial ekonomi individu dan
hal ini diyakini dapat dicapai hanya melalui standarisasi pendidikan.
Pendidikan berkualitas menuntut standarisasi manajemen maupun proses

198
pembelajaran yang didukung oleh TIK yang canggih. Dalam konteks ini,
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global tidak terlepas dari dinamika
yang terjadi pada aras internasional, khususnya memasuki tahun 2020 sebagai
era perdagangan bebas baik di tingkat regional maupun global. Berbeda dari
gambaran di atas, perdebatan tentang globalisasi (ideologi) di Indonesia nyaris
“sepi” di kalangan para pakar pendidikan, mereka lebih cenderung terhegemoni
oleh wacana globalisasi.
Wacana globalisasi yang muncul sejak tahun l980-an telah membawa
perubahan pola pikir dan paradigma di Indonesia, termasuk dalam dunia
pendidikan sebagai bidang strategis untuk mengatasi permasalahan daya saing
SDM pada tingkat internasional. Beberapa fenomena permasalahan pendidikan
di Indonesia, antara lain: (l) kualitas pendidikan tidak memuaskan, bahkan
tercatat berperingkat rendah pada tingkat Asia sekalipun (2) biaya pendidikan
dari waktu ke waktu dirasakan semakin mahal akibat daya beli dan daya saing
masyarakat yang rendah (3) lahirnya pemikiran-pemikiran baru untuk
membuka sekolah-sekolah bertaraf internasional, (4) munculnya gagasan-
gagasan baru berupa kurikulum berbasis kompetensi, ”life skills” dan
pembelajaaran berbasis TIK menjadi sangat penting (Sinaga, 2005: 2-3)
Pendidikan dalam konteks globalisasi melibatkan berbagai lembaga
internasional yang menyokong internasionalisasi pendidikan, seperti World
Bank (Bank Dunia), OECD, International Monetary Fund (IMF), Asian
Development Bank (ADB), dan UNESCO. Bahkan, organisasi-organisasi Bank
Dunia, WTO, dan IMF merupakan instrumen pendorong bagi meningkatnya

199
pasar regional dan global yang sekaligus berfungsi sebagai lembaga-lembaga
pengendali bagi pertukaran ekonomi global. Hal ini sejalan dengan pemahaman
umum bahwa isu negara-bangsa dan nasionalisme sudah agak usang
(Calderone and Rhoads, 2011:4).
Bank Dunia sebagai investor global terbesar dalam sektor pendidikan
merupakan lembaga yang bekerja dengan organisasi internasional lainnya.
Lembaga ini didirikan pada tahun 1947 sebagai organisasi keuangan
antarpemerintah untuk membangun kembali Eropa. Saat ini Bank Dunia
dimiliki oleh lebih daripada 184 negara anggota pemegang saham. Dalam
operasionalnya lembaga ini meminjamkan dana untuk proyek-proyek
pendidikan kepada LSM global seperti dalam proyek ”Early Child
Development: The First Step to Education for All‖,Aga Khan Foundation, Save
the Children, Open Society Institute. Selain itu World Bank juga menggunakan
standar pendidikan seperti OECD. Menurut laporan Bank Dunia yang bertajuk
”Education Sector Strategy”,:
Specific international targets have been agreed on for universal primary
education, adult liracy and gender parity in basic education within the
Education for All Initiative and the OECD‘s Development Assistance
Committe (DAC) goals (Spring, 2004:29-30).
Penegasan bahwa lembaga OECD merupakan salah satu instrumen
globalisasi juga tampak dari kutipan berikut.
OECD telah berkembang pesat dalam mengglobalisasikan ekonomi dunia.
OECD sendiri diglobalisasi oleh anggotanya yang baru ...Selanjutnya
OECD menganalisis segi-segi dari globalisasi, dan implikasi kebijakannya
telah menjadi tema pusat dari karya OECD, sebab tantangan-tantangan dan
kesempatan-kesempatan globalisasi telah menjadi prioritas tinggi dari
pengambil kebijakan dalam negara-negara OECD (OECD, 1996:15).

200
Secara formal, globalisasi diperkokoh oleh WTO untuk mengatur
sistem perdagangan multilateral. Indonesia sebagai negara yang turut
menandatangani pembentukan WTO harus tunduk pada prinsip lembaga
tersebut dalam menjamin terciptanya perdagangan bebas dan praktik
persaingan bebas. Liberalisasi perdagangan dunia pada dasarnya mencakup dua
kategori barang dan jasa, yakni berdasarkan kesepakatan dalam General
Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan General Agreement on Trade and
Services (GATS). Pendidikan termasuk dalam kategori jasa dan Indonesia
terikat untuk mematuhinya dalam konteks kesepakatan GATS (Djokopranoto,
2011: 43-44).
Ideologi “internasional” (liberalisasi dan kapitalisasi) dalam pendidikan
nasional tidak dapat dilepaskan dari peran WTO yang memasukkan pendidikan
sebagai komoditas internasional yang kemudian beroperasi di Indonesia
melalui kebijakan-kebijakan pendidikan seperti RSBI. Eksistensi RSBI
merupakan hegemoni kekuatan pasar global dalam sektor pendidikan, yang
kemudian direproduksi dan dilegitimasi oleh sistem pendidikan nasional
melalui Undang-undang Sisdiknas 20/2003 beserta berbagai peraturan
derivatnya.
Dalam konteks ekonomi, tiga lembaga internasional seperti ADB, Bank
Dunia dan IMF berperan besar dalam memengaruhi kebijakan perekenomian
Indonesia ke arah ideologi neoliberal melalui beberapa tokoh ekonomi
Indonesia seperti Widjojo Nitisastro dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Sejak era
Orde Baru, hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga internasional

201
tersebut diyakini sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek sosial ekonomi
Indonesia. Pada era reformasi hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga
internasional tersebut masih dirasakan pengaruhnya melalui, misalnya, peran
tokoh ekonomi Sri Mulyani, sebagaimana terungkap melalui kutipan berikut.
Sri Mulyani juga memiliki kedekatan dengan IMF, di mana pada tahun
2002-2004 ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana IMF mewakili 12
negara di Asia Tenggara...Bahkan Sri Mulyani per 30 Juni 2010
menduduki jabatan penting sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.Suatu
posisi yang mustahil dapat diduduki oleh seseorang yang tidak memiliki
keyakinan fundamental terhadap neoliberalisme dapat menduduki posisi
penting dalam lembaga memperjuangkan paradigma tersebut (Mantra,
2011: 191-192).
Kutipan di atas sekaligus menegaskan bahwa sulit mengabaikan bagaimana
ekonomi neoliberal tidak memengaruhi sektor pendidikan nasional melalui
pemikiran-pemikirannya. Selain itu, tokoh-tokoh ekonomi tersebut di atas
selain pernah menjadi tokoh penyelengara negara mereka juga berlatarbelakang
dari lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi).
Sektor pendidikan merupakan salah satu inti dari misi Bank Dunia
untuk mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat dunia. Dalam sebuah
laporan Bank Dunia tentang Pendidikan dan Pembangunan, lembaga ini
bahkan mengklaim sebagai satu-satunya lembaga keuangan eksternal terbesar
yang turut membiayai pendidikan. Dengan perannya sebagai pemberi dana
terbesar, Bank Dunia bahkan mampu memengaruhi suatu kebijakan pendidikan
melalui berbagai persyaratan pinjaman ke berbagai negara dan organisasi
swasta, dan bahkan kebijakan pengembalian pinjaman oleh suatu negara yang
dapat memengaruhi anggaran pendidikan negara tersebut. Dengan demikian
negara yang terkait dengan kebijakan Bank Dunia menjadi berperan

202
merepresentasikan kepentingan global dan berpotensi mengabaikan situasi
lokal (Spring, 2004:28).
Dalam sejarahnya, mulai rezim Orde Baru hingga era reformasi,
wacana pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari wacana globalisasi dan
peran Bank Dunia. Dalam hal ini, Bank Dunia sebagai lembaga keuangan
internasional berperan aktif dalam memberikan bantuan pendidikan untuk
mengembangkan RSBI/SBI (Darmin, 2011, 294). Selain itu, dalam sebuah
laporan Bank Dunia (1998) yang bertajuk Education in Indonesia: From Crisis
to Recovery, terungkap juga bahwa pendidikan nasional dihadapkan pada
permasalahan manajemen pendidikan yang sentralistik (Supriyadi dan Jalal,
2001). Berdasarkan laporan tersebut, Bappenas kemudian mengkaji program
pendidikan seperti MBS. Kajian tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi
untuk kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Proses terjadinya
“intervensi” Bank Dunia dalam implementasi suatu kebijakan dapat
digambarkan sebagai berikut (Bagan 3).
Bagan 3: Model Aliran Pemikiran Global-Lokal

203
Ketika wacana yang diuraikan di atas berkembang munculah Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang peran pemerintah daerah dalam
mengelola pendidikan, yang kemudian diberlakukan mulai 1 Januari 2001
(Syaukani, 2001). UU otonomi daerah ini memberikan wewenang dan
tanggungjawab kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengelola
pendidikan (dan berbagai sektor lainnya) dan Pemerintah Provinsi berperan
untuk melakukan koordinasi dan supervisi. Demokratisasi pengelolaan
pendidikan diharapkan dapat memajukan pendidikan nasional dengan
melibatkan pemerintah daerah melalui instrumen UU otonomi daerah dan
partisipasi masyarakat.
Kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tersebut di atas tidak
terlepas dari pengaruh wacana global khususnya lembaga keuangan World
Bank sebagai lembaga donor dan salah satu agen globalisasi. Hal yang sama,
tentang bagaimana dinamika pendidikan nasional tidak steril dari wacana
globalisasi, juga dapat dikaji dan dipahami melalui UU Sisdiknas 2003,
khususnya terkait dengan wacana PBI dan negara-negara maju yang tergabung
dalam OECD yang juga “agen” globalisasi. OECD sebagai forum negara-
negara maju, dalam hal ini, menjadi acuan standar kualitas pendidikan bagi
sistem pendidikan nasional.
Dalam bidang ekonomi-keuangan, OECD bersama-sama dengan
Kementerian Keuangan Indonesia juga telah mengembangkan program
kerjasama yang menyangkut topik-topik misalnya lembaga keuangan, investor
dan pendidikan keuangan. Selain itu, OECD juga berperan dalam pendidikan

204
pada tingkat regional, Asia Tenggara, khususnya di Indonesia sebagaimana
tampak pada penjelasan berikut.
Pendidikan, bukan hanya sebagai pilar pertumbuhan ekonomi tetapi juga
prasyarat pembangunan jangka panjang, yang dapat memberdayakan
individu untuk menjadi warga negara aktif. OECD berusaha memahami
dampak pendidikan terhadap pertumbuhan nasional dan kesejahteraan
individu, serta perannya dalam memberantas kemiskinan dan hambatan
sosial. Organisasi ini juga menyediakan data dan analisis lintas negara
serta memberikan saran yang spesifik untuk suatu negara dalam menyusun
kebijakan pendidikan mulai dari anak usia dini hingga usia sekolah dasar
dan menengah, pendidikan tinggi, dan pembelajaran orang
dewasa…Kajian mengenai Kebijakan Pendidikan di Indonesia, rencananya
akan dilaksanakan pada tahun 2013 untuk memeriksa keseluruhan sistem
pendidikan Indonesia (OECD, 2012: 48).
Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bagaimana pengaruh OECD
terhadap pendidikan nasional mulai dari anak usia dini hingga pendidikan
tinggi, tidak hanya “karakter liberal” OECD tetapi juga bagaimana pengaruh
“eksternal” dalam sistem pendidikan nasional dan bahkan tercatat berlanjut
hingga tahun 2013. Dalam konteks pemikiran Foucault tentang geneologi
wacana, sebuah kajian pada tahun 2003 dilakukan oleh OECD dengan
mensurvei kemampuan membaca, matematika dan sains siswa berusia 15 tahun
(setara kelas 1 SMA di Indonesia). Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa
siswa Indonesia menempati posisi ke-39 dari 41 negara yang disurvei dalam
hal kemampuan membaca dengan rata-rata skor sama dengan 74% dari rata-
rata OECD. Negara yang mencapai skor tertinggi adalah Finlandia. Dalam
bidang matematika, siswa Indonesia bahkan berada di urutan ke-39 dari 41
negara yang ikut dalam tes dengan rata-rata skor sama dengan 73% dari rata-
rata OECD dan hanya 66% dari negara yang mencapai skor tertinggi, yaitu
Hongkong. Dalam bidang sains, siswa Indonesia berada di ranking 38 dari 41

205
negara yang ikut dalam tes dengan rata-rata skor sama dengan 79% dari rata-
rata OECD dan hanya 71% dari negara yang mencapai skor tertinggi, yaitu
Korea (Sumber: Proposal untuk ADB 2005, hlm. 8).
Produksi dan sirkulasi wacana merupakan satu komponen dari praktik
wacana dan pembangunan merupakan satu bentuk wacana. Dalam konteks
pendidikan sebagai target pembangunan yang strategis bagi negara, menurut
Escobar (Mulyani, 2009: 90-92; Escobar, 1995: 430-431), paling tidak ada tiga
strategi atau tahapan penetrasi teori pembangunan sebagai mekanisme kontrol
dan disiplin dalam hubungan “kerjasama” antara negara-negara maju dan
negara-negara berkembang.
1. Strategi atau tahap “identifikasi permasalahan secara progresif”, yaitu
teori-teori pembangunan dengan “penciptaan” masalah untuk
menjustifikasi intervensi kekuasaan (kebijakan). Dalam hal ini, identifikasi
mutu pendidikan nasional yang rendah menyebabkan daya saing lulusan
dan pekerja Indonesia rendah pada level global (field of intervention). Hal
ini merasionalisasi perlunya reformasi pendidikan nasional (intervensi)
untuk meningkatkan daya saing pendidikan Indonesia pada aras global.
2. Strategi “profesionalisasi pembangunan”, yaitu tahap pembangunan
dijabarkan menjadi masalah-masalah ilmiah dan teknis. Misalnya, standar
kompetensi lulusan atau “bertaraf internasional” yang mengarah pada rezim
kebenaran (regime of truth). Pada level ini permasalahan pendidikan mulai
dikontrol melalui pengetahuan berbasis rasionalitas (field of the control of
knowledge).

206
3. Strategi “institusionalisasi pembangunan”, yaitu penerapan teori-teori
pembangunan pada level institusi, baik nasional maupun internasional
untuk membangun dan memperkuat jaringan kuasa/pengetahuan yang
“mengikat” orang dalam perilaku dan rasionalitas. Dalam konteks
pendidikan nasional, eksistensi intitusi BSNP, OECD, Cambridge, World
Bank, dan institusi lainnya merupakan bagian dari jaringan yang
memproduksi wacana PBI (standarisasi) sebagai hal yang rasional dalam
konteks globalisasi. Dalam perspektif teori orientalisme, diskursus atau
wacana pembangunan memiliki kekuatan/kuasa untuk memengaruhi
realitas. (Escobar, 1995: 157; Said: 1978: 3)
Ketiga strategi tersebut di atas secara koheren dapat menunjukkan
rasionalisasi reformasi pendidikan nasional yang menghasilkan wacana PBI
melalui wacana pengetahuan sebagai sebuah proses konstruksi yang tidak
bebas nilai-nilai globalisme. Dalam hal ini pengetahuan dipandang tidak
bersifat netral, tetapi terikat dalam rezim-rezim kekuasaan. Pada level ideologi,
reformasi pendidikan mewakili kepentingan kelompok dominan dalam
hubungan internasional (kapitalis), baik secara politis maupun secara struktural
sosial dan menjustifikasi status dan keinginan kelompok dominan tersebut
dengan merasionalisasikan keunggulannya. (Mulyani, 2009, hlm. 90-92;
Foucault dalam Ristiyantoro, 2006: 75; Widja 2009: 24)
Pada level regional, pembangunan pendidikan nasional juga tidak dapat
dilepaskan dari peran Indonesia dalam organisasi regional Association of South
East Asian Nation (ASEAN). Menurut Mantra (2011:17-18) dalam konteks

207
“Indonesia dan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015”, gagasan mengenai
integrasi ekonomi regional ASEAN juga berlandaskan pada liberalisme yang
tidak bebas dari kepentingan kelompok-kelompok sosial dan ekonomi
kawasan. Bahkan Indonesia turut berperan dalam mendukung keberadaan
sistem kapitalis di tingkat kawasan ASEAN, sebagaimana secara jelas
terungkap dalam kutipan berikut.
Beragam upaya liberalisasi ekonomi yang digalang pemerintah Indonesia
di tingkat ASEAN dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk melestarikan
eksistensi kapitalisme regional. Dan minimnya persiapan yang dilakukan
pemerintah dalam menghadapi integrasi ekonomi regional dipengaruhi
oleh gagasan liberalisme yang diyakini merupakan gambaran dari realitas
atau kebenaran akan keadaan sosial dan ekonomi, sehingga muncul
optimisme di kalangan pemerintah akan kesiapan ekonomi Indonesia
dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun
2015 nanti (Mantra, 2011:17-18).
Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 sejak awal
berlandaskan pada liberalisasi tenaga kerja berbasis keterampilan. Di dalam
Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC), dinyatakan bahwa ―The
AEC will establish ASEAN as a single market and production base making
ASEAN more dynamic and competitive with new mechanisms and measures to
strengthen the implementation of its existing economic initiatives; accelerating
regional integration in the priority sectors; facilitating movement of business
persons, skilled labour and talents; and strengthening the institutional
mechanisms of ASEAN…‖ Agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah
mendorong mobilitas tenaga kerja terampil berdasarkan kualitas pendidikan di
masing-masing negara. Dengan kata lain, penekanan dari liberalisasi sektor
tenaga kerja Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah tenaga kerja yang terampil

208
yang bebas pergerakannya di negara-negara kawasan ASEAN. Dengan
demikian, kualitas SDM menjadi kunci bagi daya saing tenaga kerja (Mantra,
2011:141). Dalam hal ini, kualitas SDM Indonesia berada pada peringkat
bawah diantara negara-negara ASEAN dan dengan program PBI, kualitas
SDM Indonesia diharapkan memiliki posisi tawar yang tinggi.
Dalam konteks kerjasama regional Asia termasuk ASEAN, sebelum
ASEAN Community terbentuk pada 2015, pemerintah Indonesia bahkan akan
mendorong adanya standar pendidikan regional sebagai upaya mengangkat
posisi tawar kualitas SDM negara-negara kawasan untuk memiliki penjaminan
mutu, daya saing dan kualitas pendidikan dan selanjutnya lulusannya diakui di
Eropa dalam menghadapi era globalisasi (Kompas, Rabu 15 Mei 2013, hlm.
12).
Strategi dan arah kebijakan pembangunan pendidikan Indonesia untuk
tahun 2010-2014 dirumuskan berdasarkan pada visi, misi, tujuan strategis
Kemdiknas dan mengacu pada Rencana Pendidikan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014 serta hasil evaluasi pembangunan pendidikan
hingga tahun 2009. Kebijakan pendidikan Indonesia juga terkait dengan
konvensi internasional yang mengharuskan pemerintah untuk memberikan
layanan pendidikan kepada setiap warga negara, khususnya Konvensi Dakar
tentang Pendidikan untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak
(Convention on the Right of Child), Millenium Development Goals (MDGs),
dan World Summit on Sustainable Development (Sumber: Strategi dan Arah
Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014).

209
Wacana global dalam kaitannya dengan berbagai aspek pembangunan
pendidikan nasional secara jelas tergambar dalam rumusan tujuan SBI, yaitu
untuk menghasilkan lulusan yang memiliki: a. standar kompetensi lulusan plus
standar kompetensi sekolah terakreditasi di negara anggota OECD; b. daya
saing komparatif tinggi dengan keunggulan lokal ditingkat internasional; c.
kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional; d. kemampuan
bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan;
e. kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan/atau bahasa asing
lainnya; f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga
kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-
kultural, dan lingkungan hidup; dan g. kemampuan menggunakan dan
mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara professional.
(Sumber: Permendiknas No. 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI).
Eksistensi RSBI dipandang selain sebagai pengembangan produk
kebijakan yang bersifat hegemonik juga akibat dari hubungan kekuasaan-
pengetahuan yang beroperasi melalui formasi-formasi diskursif, yang
kemudian melahirkan “rezim kebenaran” atau sistem berpikir. (Foucault, 1977:
27-28; Mills, 1997: 18; Eriyanto, 2001: 67). Dasar hukum keberadaan satuan
PBI yaitu UU Sisdiknas 2003 pasal 50 ayat (3) merupakan bentuk hegemoni
negara yang didukung oleh kuasa/pengetahuan tentang wacana globalisasi yang
kemudian diwujudkan dalam bentuk sekolah RSBI di setiap kabupaten/kota di
seluruh Indonesia. Dengan mengacu pada pemikiran Althuser (1971), sekolah
sebagai aparatus ideologi negara berperan menghasilkan tenaga kerja dalam

210
sistem kapitalis dengan memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang
dibutuhkan sistem produksi kapitalis. Dalam hal ini, Pemerintah
mengembangkan kebijakan tentang RSBI sebagai sekolah bermutu dalam
menghadapi berbagai tantangan pada skala nasional, regional, dan global.
Kebijakan pemerintah dengan berbagai peraturan yang mendukung
implementasi RSBI/SBI merupakan wujud dari terciptanya „blok historis‟
(historical blocs) neoliberalisme di Indonesia. Menurut Gramsci (1971), blok
historis ini tercipta ketika kekuatan sosial dominan menggunakan otoritas
sosial dan kepemimpinan politiknya. Dalam konteks PBI, hegemoni
pemerintah secara formal bertahan hingga pasal UU yang menjadi dasar hukum
kebijakan RSBI dibatalkan oleh MK Januari 2013. Pemerintah telah berhasil
menghegemoni masyarakat pendidikan dalam kurun waktu 2006-2013 melalui
konstruksi PBI dan implementasinya, yang kemudian secara khusus sejak 2012
mendapat ―counter-hegemony “melalui wacana media dan mekanisme Uji
Materi oleh lembaga MK yang akhirnya menganulir pasal 50 ayat (3) UU
Sisdiknas 2003 yang merupakan landasan hukum eksistensi satuan PBI karena
dinilai dapat menimbulkan dualisme sistem pendidikan, diskriminasi
pendidikan, dan bentuk baru liberalisasi pendidikan (Putusan MK, 2013).
Dalam konteks daya saing, menurut Bagus Takwin, pakar psikologi
pendidikan dari Universitas Indonesia, salah satu kemungkinan motif
pembuatan Undang-Undang UU Sisdiknas khususnya pasal 50 ayat (3) tentang
PBI adalah adanya ketakutan di kalangan elit Indonesia bahwa orang Indonesia
akan kalah bersaing dengan asing. Makna “asing” itu dalam hal ini dianggap

211
sebagai lawan. Padahal, menurut Bagus, dalam kehidupan modern yang
penting adalah bagaimana bisa berpartisipasi. Dalam hal ini, pemerintah justru
terhegemoni oleh standar kualitas pendidikan internasional sebagaimana dapat
dipahami melalui kutipan berikut.
…benchmark yang bersifat internasional ini perlu kita ikuti, karena kalau
tidak kita sebagai bangsa bayangkan kalau kita tidak memiliki kualitas
yang baik saya khawatir bahwa suatu ketika kalau RSBI ini tidak
terlindungi, kemudian akan hadir sekolah-sekolah bertaraf internasional
yang lain di samping internasional yang sudah ada, seperti Gandhi,
Jakarta International School, Australian International School, kita akan
kalah dan akan menjadi penonton. Lalu dia akan lari ke luar negeri ke
Australia, ke Singapura, ke Amerika, para orang tua rata-rata puas kalau
ditanya walaupun agak mahal lebih suka menyekolahkan di RSBI daripada
menyekolahkan ke luar negeri (Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa 6
Maret 2012, hlm. 19).
Dalam konteks globalisasi dan realitas kualitas pendidikan nasional
yang memprihatinkan, situasi pendidikan nasional juga tergambar dari opini
Amril Aman pada salah salah satu media terkemuka nasional (Kompas, Jumat
19 April 2013, hlm. 6) dengan tajuk “Darurat Pendidikan Nasional.” Dalam
konteks karut marutnya pelaksanaan Ujian Nasional 2013 dan kontroversi
tentang konsep dan implementasi “Kurikulum 2013”, Amril Aman menyakatan
bahwa:
…Tanpa kualitas pendidikan yang baik, generasi masa depan tidak akan
mampu bersaing pada era globalisasi. Globalisasi membuka peluang
bagi setiap anak bangsa berkompetisi tak hanya di tataran domestik,
tetapi juga internasional. Globalisasi akan bermanfaat hanya jika kita
mampu bersaing dengan bangsa lain. Ketakmampuan bersaing akan
membuat bangsa kita kalah bersaing, baik di luar maupun di negara
sendiri…Kalau itu yang terjadi, jika saat ini sebagian bangsa kita
menjadi pekerja kelas bawah di negara orang sebagai TKI, bisa-bisa
nanti banyak diantara bangsa kita jadi pekerja kelas bawah di negeri
sendiri…(Kompas, Jumat 19 April 2013, hlm. 6).

212
Dalam konteks pemikiran Gramsci, ideologi kapitalisme dan
neoliberlisme sebagai bagian dari globalisasi menghegemoni kesadaran para
intelektual dan pengambil kebijakan pendidikan. Melalui kepemimpinan
intelektual dan politiknnya, negara menghegemoni masyarakat tentang
pentingnya inovasi dalam pendidikan nasional untuk menjawab tantangan
globalisasi dengan cara membangun semangat persaingan berdasarkan struktur
sosial masyarakat, misalnya, yang kaya dan memiliki talenta “istimewa”
mendapat “perlakuan istimewa” untuk pendidikan bermutu sebagaimana dapat
dipahami melalui konsep dan kenyataan empiris tentang RSBI. Dalam konteks
ini, Gramsci menekankan peran ideologi dalam membangun dan
melanggengkan hegemoni dan peran intelektual (kuasa/pengetahuan) dalam
pengembangan dan praktek ideologi (Santoso, 2007: 24).
Indra Djati Sidhi (2012) dalam sidang MK tentang uji materi UU
Sisdiknas pasal 50 ayat (3) menyatakan bahwa hasil survei lembaga
internasional pada tahun 2005 tentang peringkat daya saing Indonesia
menempati posisi 69 dari 125 negara dalam Global Competitiveness Index
(GCI), ranking 110 dari 177 negara dalam hal Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) yang merupakan komposit indeks pembangunan, ekonomi, kesehatan,
dan pendidikan suatu bangsa dengan income per capita US$. 1267. Dalam hal
ini, posisi daya saing dan IPM Indonesia di arena internasional termasuk
dalam kategori lemah. Hal ini menjadi kondisi rasional bagi perlunya terobosan
pendidikan dalam membangun kerjasama internasional.

213
Rendahnya daya saing bangsa akibat kualitas pendidikan juga
berdampak pada tingginya angka pengangguran. Indikator sosial-ekonomi yang
mengkhawatirkan adalah bahwa 30 juta orang khususnya masyarakat pedesaan
diperkirakan akan kekurangan peluang pekerjaan. Hal ini merupakan bagian
dari tantangan pendidikan nasional dan tantangan sosial ekonomi seperti
tergambar pada kutipan berikut.
Ekonomi Indonesia harus mengalami perubahan yang dramatis agar dapat
berpacu dengan eknonomi regional lainnya. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia tidak menciptakan lapangan kerja baru – di tahun 2003
kehilangan hampir 900.000 lapangan kerja dengan lebih dari separuhnya
berasal dari sektor industri. Satu-satunya sektor yang menciptakan
sejumlah besar lapangan kerja baru adalah tenaga kerja takdibayar di
sektor pertanian (Sumber: Asian Development Bank: Project Technical
Proposal, 2006: 3).
Dalam konteks pemikiran Foucault tentang wacana kuasa/pengetahuan,
kondisi sosial-ekonomi dan daya saing merupakan “pengetahuan objektif” bagi
eksistensi UU Sisdiknas 2003. Pendidikan nasional perlu merespons situasi
nasional dan global. Dalam hal ini, pemerintah kemudian merasionalisasi isu
globalisasi dan menghegemoni masyarakat kedalam perspektifnya tentang
perlunya program PBI. Hal ini juga terefleksi dari pandangan lembaga DPR
tentang Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas melalui keterangan berikut.
….dalam rangka menghadapi era globalisasi yang tidak mungkin lagi
dihindari, pembentuk Undang-undang mengantisipasi dengan membuat
sejumlah kebijakan yang diharapkan mampu menyiapkan bangsa
Indonesia dalam menghadapi kompetisi global. Kebijakan yang paling
strategis adalah dengan merintis penerapan program pendidikan di sekolah
dasar dan sekolah menengah yang memungkinkan lulusannya siap
berkiprah dalam kancah percaturan dan kompetisi global. Sekolah tersebut
kemudian disebut sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau
yang lebih dikenal SBI dan RSBI (Sumber: Dokumen Putusan MK tentang
Permohonan Pengujian Materi Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas).

214
Sebagai implementasi UU Sisdiknas 20/2003, pemerintah telah
melahirkan berbagai peraturan teknis yang kemudian mendukung wacana
perlunya satuan PBI untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui program
standarisasi berbagai komponen pendidikan demi daya saing dan produktifitas
di arena internasional. Dengan kata lain, secara geneologis, terbangun rentetan
wacana yang menghasilkan kuasa pengetahuan dan pengetahuan menghasilkan
kekuasaan, bahwa RSBI/SBI merupakan akibat formasi diskursif yang bersifat
produktif dari hubungan kekuasaan/pengetahuan dan dinamikanya tentang
“standarisasi pendidikan” dan sekolah bertaraf internasional (Foucault, 1977:
27-28).
Dengan kekuasaan yang dimilikinya, negara memiliki “power”
intelektual dan politik untuk mendefinisikan apa yang relevan dan baik bagi
masyarakat dalam hal pendidikan. Dalam hal ini, wacana globalisasi dan
ideologi kekuasaan berpengaruh terhadap proses kehadiran SBI. Sesuai
pemikiran Gramsci (1971: 57), sekolah sebagai aparatus ideologis dioperasikan
oleh kekuasaan (negara) untuk menghegemoni dan mendisplinkan masyarakat
sesuai tantangan global.
Tujuan RSBI adalah untuk menghasilkan lulusan SNP plus sehingga
memiliki daya saing komparatif tinggi dan kemampuan berkomunikasi
dalam bahasa asing. Oleh karena itu, RSBI dirancang menjadi SBI dengan
menggunakan kurikulum nasional yang diperkaya menjadi kurikulum
bertaraf internasional…(Permendiknas No. 78/2009 tentang
Penyelenggaraan SBI).
Daya saing pendidikan Indonesia masih jauh dari negara-negara maju.
Untuk dapat bersaing pada aras internasional, pendidikan nasional harus
tunduk pada standar internasional. Kenyataan ini menjadi sebuah rasionalisasi

215
untuk memaksakan gagasan internasionalisasi kualitas pendidikan nasional.
Berbagai pengaruh internal seperti mutu pendidikan yang rendah, produktifitas
tenaga kerja yang tidak memadai, dan pengaruh eksternal seperti hegemoni
politik dan ekonomi negara-negara maju kian memantapkan wacana PBI
sebagai bentuk hegemoni politik berbasis pengetahuan dalam sistem
pendidikan nasional.
PBI dipandang sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan dan
tantangan dunia dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik. Negara
melegitimasi perlunya inovasi dan diversifikasi layanan pendidikan dalam
bentuk RSBI melalui kebijakan dan UU, tidak saja demi kepentingan peran
Indonesia dalam konteks internasional tetapi juga berdasarkan tuntutan objektif
masyarakat kelas menengah dan realitas perbedaan kualitas antar-sekolah
dalam pendidikan nasional. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang
narasumber penelitian ini bahwa “masyarakat (orangtua siswa) kita
membutuhkan sekolah bertaraf internasional bagi anak-anak mereka supaya
nantinya bisa kuliah di luar negeri atau bersaing dalam arena yang lebih luas”.
Seorang intelektual, dengan modal simbolik yang melekat pada dirinya,
mendukung keberadaan RSBI dalam sistem pendidikan nasional dengan
pernyataan berikut.
Pada beberapa kesempatan saya melihat semangat dan antusiasme yang
besar untuk mencapai mutu yang tinggi yang kita lihat dari capaian ujian
nasional, olimpiade, lomba-lomba, atau melanjutkan ke perguruan tinggi
terkemuka di dalam dan di luar negeri, kepercayaan yang besar dari
masyarakat, ingin anaknya masuk di RSBI, dan dari tahun ke tahun
jumlahnya meningkat (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April
2012, hlm. 17).

216
Pembahasan di atas sejauh ini telah menunjukkan hubungan antara
pendidikan dan konteks sosial, ekonomi, budaya dan politik dan menunjukkan
koherensi antara satu wacana dan wacana lainnya dalam membangun
hegemoni wacana globalisme dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini sesuai
dengan pemikiran Foucault bahwa berbagai wacana yang melibatkan institusi,
organisasi, individu, dan jaringannya beroperasi dalam berbagai bentuk dan
teknik untuk menghasilkan kekuasaan, dalam hal ini, kekuasaan globalisme
atas pendidikan nasional melalui isu PBI dan implementasinya melalui RSBI.
6.4 Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional dan IPTEK
Seiring dengan perkembangan globalisasi dan usaha memajukan
pendidikan nasional, pemerintah telah mempertimbangkan dinamika global dan
lokal melalui program PBI yang mencakup penguatan kompetensi bahasa
Inggris bagi anak didik. Peran Bahasa Inggris dalam ilmu pengetahuan dan
komunikasi internasional dirasakan sangat penting untuk dapat berdaya saing
pada arena internasional. Dalam konteks tersebut, pembahasan pada bagian ini
menyangkut faktor bahasa Inggris dalam konteks globalisasi dan pendidikan
yang kemudian berpengaruh terhadap kebijakan PBI dalam sistem pendidikan
nasional. Makna dan implikasinya dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, dan
politik pendidikan juga dibahas. Pembahasan didasarkan pada kerangka pikir
wacana globalisme yang melihat hubungan antara bahasa Inggris dan politik
pendidikan nasional, bahasa Inggris dan jati diri bangsa, bahasa Inggris dan

217
pedagogi, dan bahasa Inggris sebagai kapital (modal) dari perspektif teori
Bourdieu.
Pengaruh bahasa Inggris tidak terlepas dari sejarah kekuasaan Barat,
pengaruh perkembangan sains dan teknologi yang kemudian berkembang ke
negara-negara non penutur bahasa Inggris, termasuk Indonesia. Kekuasaan
IPTEK dan kebudayaan tidak terpisahkan dari penyebaran bahasa Inggris di
seluruh dunia. Hal ini juga dapat dilihat dari berbagai produk teknologi dan
komunikasi modern yang dominan menggunakan bahasa Inggris dan dalam
penggunaan jaringan komunikasi internet yang semakin masif dewasa ini.
The internet is a powerful technological tool utilized by the World Bank,
NGOs, and intergovernmental organizations to link members and spread
information around the world. Human rights, environmental, and other
organizations use the Internet to sound global alarm about what they
consider to be impending crises. Besides global linkages, the Internet is
now a major player in global educational projects. (Spring, 2004: 28-29)
Secara historis, akhir Perang Dunia II pada tahun 1945 ditandai dengan
pesatnya perkembangan IPTEK yang kemudian menghasilkan era baru dalam
bidang sains, teknologi, ekonomi pada aras internasional. Dunia yang
didominasi oleh kekuasaan teknologi dan perdagangan menuntut perlunya
bahasa internasional dalam hal ini pilihannya adalah bahasa Inggris
(Hutchinson dan Waters, 1987:6-7). Perkembangan tersebut hingga saat ini
sangat nyata pengaruhnya dalam berbagai bidang khususnya bidang pendidikan
yang sarat dengan pemanfaatan TIK dan bahasa Inggris. Dalam konteks RSBI,
hal tersebut tergambar dari pendapat seorang birokrat pendidikan melalui
kutipan berikut.

218
…RSBI itu adalah bicara kualitas, yang eksklusif adalah kualitasnya tetapi
tetap saja Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang harus dikuasai, namun
pengayaan bahasa asing ini akan memberikan unggulan-unggulan
komparatif dan unggulan kompetitif bagi siswa-siswa kita karena ketika
kita berbicara layanan, ketika standardnya tidak internasional saya kira
kita akan ditinggalkan…(Suyanto, Dirjen Didaksemen, Kemdikbud).
Dalam bidang teknologi, perkembangan media TIK telah memunculkan
tuntutan-tuntutan baru yang berbau kapitalisme, misalnya, pengadaan berbagai
perangkat belajar (keras maupun lunak) bahasa Inggris. Bagaimanapun,
eksistensi produk teknologi dan kebudayaan seperti buku teks dan berbagai
media pembelajaran lainnya tidak terpisahkan dari aspek ekonomi. Sebagai
produk budaya modern, penyusunan atau pengadaan buku teks juga
menyangkut kekuatan kapital, komoditas yang dihasilkan oleh industri budaya
kapitalis yang seolah menawarkan keberagaman tetapi sebetulnya
menghegemoni (Sugihartati, 2010: 36-37).
Secara genealogis, bahasa Inggris dan kebijakan pendidikan di berbagai
negara kolonial di dunia, termasuk Indonesia, dapat ditelusuri dari sejarah
perkembangannya. Status bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang diajarkan
di lembaga pendidikan di Indonesia ditandai juga dengan hadirnya berbagai
lembaga pendidikan nonformal seperti Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) dan
British Council yang telah lama berperan sebagai “donatur” atau pemasok
buku-buku teks dan bahkan guru-guru bahasa Inggris di berbagai lembaga
pendidikan di Indonesia.
Dari perspektif pendidikan dan teori Bourdieu, bahasa dipandang
sebagai modal yang termanifestasi dalam realitas sosial sebagai modal kultural,
simbolik dan materil bagi penggunanya. Bahasa Inggris sebagai bahasa

219
pergaulan internasional memberi nilai tambah ekonomis dan sosial bagi
penggunannya dalam bentuk modal jaringan yang bersifat bisnis. Nilai
simbolik dan kultural dari kemampun bahasa Inggris dapat memberikan rasa
bangga dan status sosial terpelajar bagi yang menggunakannya, dan dapat
memperluas akses penggunanya terhadap sumber daya pendidikan.
Wacana bahasa Inggris tidak dapat dilepaskan dari tantangan
pendidikan nasional dalam menghadapi globalisasi. Bahasa Inggris dalam
konteks globalisasi dipandang sebagai sumber daya (capital) yang didukung
oleh berbagai lembaga pendidikan luar maupun dalam negeri, seperti British
Council, Cambridge, USAID, media massa cetak dan elektronik, radio,
perusahaan media internasional seperti CNN, BBC, VOA yang turut dalam
produksi dan reproduksi hegemoni Bahasa Inggris di Indonesia. Secara politis
sekolah-sekolah dan masyarakat dihadapkan pada nilai-nilai tentang siapa yang
diuntungkan dari suatu kebijakan dalam hubungannya dengan dinamika politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam hal ini, penggunaan bahasa Inggris di
sekolah RSBI dapat menimbulkan efek sosiokultural, ideologis dan politis.
Kebijakan tersebut dapat membangun dan melanggengkan struktur sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat.
Peran Bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi sangat penting untuk
dapat berdaya saing dalam dunia internasional. Dari analisis berbagai
dokumen, pandangan para praktisi pendidikan dan berbagai teks mereflesikan
nilai-nilai globalisasi dalam fakta sosial Indonesia. Kurikulum Bahasa Inggris

220
juga merefleksikan perkembangan pendidikan nasional dalam kaitannya
dengan situasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan IPTEK.
Penetapan standar kompetensi bidang TIK dan berbahasa Inggris telah
membangkitkan kesadaran tentang pentingnya hal itu sebagai bekal siswa
pada kehidupannya di masa depan. Dampak dari itu, penggunaan internet
berkembang masif di seluruh sekolah penyelenggara. English Day
diimplementasikan di hampir seluruh sekolah sekali pun belum dapat
mendongkrak penguatan siswa berbahasa Inggris (Rahmat, 2011: 3).
Dalam konteks wacana PBI, kebijakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar terkait dengan posisi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan
sebagai salah satu mata pelajaran yang mendukung pencapaian tujuan
pendidikan nasional. Dalam hal ini, keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia No. 096/1967 menegaskan bahwa fungsi
Pengajaran Bahasa Inggris adalah sebagai alat untuk mempercepat proses
pembangunan negara dan bangsa; membentuk persahabatan dengan bangsa-
bangsa lain; dan menjalankan kebijakan luar negeri, sedangkan tujuan
pembelajarannya adalah untuk mencapai kompetensi: 1) membaca secara
efektif; 2) mengerti bahasa lisan; dan 3) kemampuan berbicara (Depdikbud,
1981:139).
Dari segi politik pendidikan, posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing
ditegaskan dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003 pasal 33 ayat (3) “Bahasa
asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan
tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik” dan
pasal 37 tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan:
“Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional; Bahasa daerah merupakan

221
bahasa ibu peserta didik; dan bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan
bahasa internasional yang sangat penting dalam pergaulan global”. Selanjutnya
dalam UU Sisdiknas Pasal 42 ayat (2) dinyatakan bahwa “Bahasa asing dapat
digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian
pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu”.
Dalam konteks penyelenggaraan RSBI, peran bahasa Inggris dipertegas
dalam Permendiknas No. 78 Tahun 2009, antara lain, dalam pasal 2: e.
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan/atau bahasa asing
lainnya; f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga
kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-
kultural, dan lingkungan hidup; dan pasal 5 poin (3) SBI dapat menggunakan
bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan
dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. Hal ini sesuai dengan
fungsi dan tujuan pengajaran bahasa Inggris di SMA, yaitu sebagai alat
pengembangan diri siswa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
budaya sehingga mereka dapat berkembang menjadi warga negara yang
cerdas, terampil dan berkepribadian Indonesia. Tujuan pengajaran bahasa
Inggris adalah:
1. mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bentuk lisan dan
tulis: mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca
(reading), dan menulis (writing).
2. menumbuhkan kesadaran tentang hakikat dan pentingnya bahasa Inggris
sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar.
3. mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antar bahasa dan
budaya serta memperluas cakrawala budaya sehingga siswa memiliki
wawasan lintas-budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya.
(Depdiknas, 2004:6).

222
Kebijakan tentang bahasa Inggris dalam konteks PBI tidak hanya
sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA, tetapi juga untuk
penguatan kemampuan bahasa Inggris anak didik. Posisi bahasa Inggris dalam
sistem pendidikan nasional menunjang penguasaan IPTEK dan pergaulan
antarbangsa. Dengan demikian, wacana bahasa Inggris telah lama di Indonesia
sebagai bahasa yang diasosiasikan dengan modernitas, sains dan teknologi.
Kemampuan bahasa Inggris diharapkan berkontribusi terhadap pembangunan
di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa.
Sebagai bagian dari reformasi pendidikan menghadapi globalisasi,
RSBI merupakan implementasi dari Undang-undang Sisdiknas tentang satuan
PBI sedangkan bahasa Inggris berperan untuk mendukung misi
penyelenggaraan PBI untuk memajukan pendidikan nasional sebagaimana
tergambar dalam kutipan berikut.
Dalam proses pembelajaran di RSBI, penguasaan bahasa Inggris bagi
seorang guru sangat perlu sekali, terutama untuk guru-guru MIPA
(Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi). Bahkan nilai TOEFL>500 bagi
guru MIPA merupakan hal yang sangat mendesak dan substansial sekali,
karena dengan penguasaan empat keterampilan berbahasa Inggris, yaitu
listening (mendengarkan), writing (menulis), reading (membaca), dan
speaking (berbicara) yang relatif baik, maka guru tidak “grogi” dalam
menghadapi peserta didiknya… (Syaiful Rohman, “Guru dan Masa Depan
RSBI”, 07 August 2011).
Menurut Oonk, dkk (2011; 68-74) dalam bukunya yang berjudul
Internationalisation in Secondary Education in Europe, proses integrasi Eropa,
internasionalisasi ekonomi dan masyarakat global, dan berkembangnya
keberagaman siswa (bangsa dan ras) akibat migrasi merupakan isu sentral
yang harus dihadapi oleh masyarakat Eropa dalam pendidikan. Pengajaran

223
bahasa asing menjadi penting untuk mengembangkan kompetensi interkultural
yang dibutuhkan dalam pendidikan yang berorientasi global. Hal ini
berimplikasi pada pendidikan nasional, antara lain, bahwa internasionalisasi
pendidikan bermakna diversifikasi dan intensifikasi pengajaran bahasa asing,
penggunaan bahasa asing dalam situasi otentik, penggunaan bahasa asing
dalam situasi komunikasi interkultural, pengembangan profil sekolah
kompetitif, dan orientasi bi-nasional dan standard internasional (Oonk dkk,
2011; 68-74).
Berbeda dengan konteks pendidikan di Eropa, dalam wacana PBI
muncul isu yang menghubungkan bahasa Inggris dan jati diri bangsa. Sebagian
pakar bahasa dan budaya mengkhawatirkan tergerusnya identitas atau jati diri
bangsa akibat penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam
proses pendidikan. Namun, sebagian tidak mempersoalkannya dengan alasan
normatif bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang dapat
“menyelamatkan” bahasa Indonesia dengan ketentuan, misalnya, bahwa dalam
forum resmi pejabat negara harus menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal
ini, penggunaan bahasa Inggris dipandang sesuai dengan tantangan globalisasi
dengan logika penjelasan berikut.
Di era global, kita tidak bisa mengisolasi diri kita sendiri, kita tidak bisa
mengatakan jati diri kita itu akan rusak dan terobek-robek ketika kita bisa
berbahasa asing, justru kalau kita berbahasa asing, kita bisa menjelaskan
ini pribadi kita, ini karakter kita, ini jati diri kita kepada bangsa-bangsa
lain di dunia ini…(Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa 6 Maret 2012,
hlm. 20).
Pandangan di atas menegaskan pijakan dan tujuan rasional penguatan
bahasa Inggris dalam konteks pendidikan nasional dan globalisasi. Hal ini juga

224
sesuai dengan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia yang lebih didasarkan
pada motivasi instrumental dalam pengertian bahwa kompetensi bahasa Inggris
bukan dimaksudkan untuk “menjadi” orang Inggris tetapi sekedar “alat” untuk
berkomunikasi dalam konteks IPTEK dan kehidupan global sebagaimana
tersirat dalam UU Sisdiknas. UUNo. 20/2003, (ayat 3) “Kurikulum disusun
sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI dengan
memperhatikan, antara lain, keragaman potensi daerah dan lingkungan;
tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan”. Namun, berdasarkan rumusan UU ini, peran bahasa Inggris
seharusnya merefleksikan tidak hanya nilai-nilai globalisasi tetapi juga
identitas keindonesiaan yang beragam. Dalam hal ini, penggunaan bahasa
Inggris di sekolah-sekolah di daerah tertentu seharusnya dipertimbangkan
secara kritis tentang dampak sosial budaya dan ekonominya.
Di pihak lain, sebagian masyarakat menentang penggunaan bahasa
Inggris melalui kebijakan RSBI. Mereka resisten dengan argumentasi bahwa
UUD 1945 telah menegaskan bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi
negara yang juga berlaku dalam konteks pendidikan. Hal ini juga dinilai
bertentangan dengan pasal 33 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan pasal 29
ayat (1) UU No.24/2009 bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
pendidikan nasional dan Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemerintah
wajib mengembangkan, membina, dan melindungi Bahasa Indonesia. Dalam
hal ini, bahasa Inggris dapat mengancam jati diri bangsa dengan

225
memarginalisasi posisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya bangsa.
Dengan digunakannya bahasa Inggris … sebagai salah satu bahasa
pengantar di RSBI, saya kira hal ini bisa menghambat, menghambat rasa
cinta. Anak-anak memang bisa diajar untuk berbahasa Indonesia dengan
baik karena mereka menginginkan nilai yang baik. Tapi mendidik mereka
untuk menjadi cinta kepada Bahasa Indonesia, itu rasanya sukar. Apalagi
saat ini masyarakat di Indonesia sudah sangat gandrung terhadap bahasa
Inggris (Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 20).
Kutipan di atas menegaskan pengaruh bahasa Inggris secara sosial budaya
sekaligus menguatkan gagasan yang pernah diungkapkan oleh seorang
budayawan Ajip Rosidi tentang "Soempah Pemoeda" dan identitas kebangsaan
dengan menyatakan:
… Tanpa bahasa, bangsa tidak akan mungkin dapat berkembang, bangsa
tidak mungkin dapat menggambarkan dan menunjukkan dirinya secara
utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain…Jadi, bahasa
menunjukkan identitas bangsa. Bahasa, sebagai bagian kebudayaan dapat
menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan bangsa. Bahasa akan
menggambarkan sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai
suatu bangsa. Ikrar berupa "Soempah Pemoeda" inilah yang menjadi dasar
yang kokoh bagi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa
Indonesia. Bahkan, pada perjalanan selanjutnya, bahasa Indonesia tidak
lagi sebagai bahasa persatuan, tetapi juga berkembang sebagai bahasa
negara, bahasa resmi, dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi
(Pikiran Rakyat,Sabtu 3 April 2010).
Kutipan di atas juga mengindikasikan visi budaya bahwa bahasa Indonesia
tidak hanya diharapkan sebagai bahasa negara dan bahasa resmi, tetapi juga
bahasa IPTEK di masa depan. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa
pengantar dalam pendidikan berpotensi mendegradasi peran dan peluang
bahasa Indonesia sebagai bahasa keilmuan dan identitas bangsa.
Dalam konteks kebijakan RSBI, keberadaan OCED dengan visi-
misinya (globalisasi) akan semakin efektif jika didukung oleh bahasa Inggris

226
sebagai ”pemersatu” untuk sosialisasi agendanya. Bahasa menjadi sarana
pemersatu budaya sekaligus sarana penetrasi nilai-nilai ekonomi, sosial dan
politik. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah dipandang dapat memperlancar
agenda globalisasi (Mbula, 2011: 42). Dalam hal ini bahasa Inggris dapat
mendegradasi eksistensi bahasa nasional sebagaimana dikemukakan oleh
seorang pakar bahasa sebagai berikut.
…fungsi sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan tampaknya di
Indonesia tidak ada masalah. Yang menjadi masalah ialah fungsinya
sebagai bahasa negara, banyak rongrongan yang dihadapi bangsa
Indonesia berkenaan dengan bahasa Negara, apalagi zaman sekarang
zaman … katanya zaman era globalisasi. Ya, termasuk juga saya kira
rongrongan yang di … dengan digunakannya bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar di RSBI, meskipun tidak semua mata pelajaran (Abdul
Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 19).
Menurut Daoed Joesoef legalisasi bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar untuk mata pelajaran MIPA di RSBI/SBI, selain menyalahi amanat
konstitusi juga bahwa pendidikan semestinya bukan berfokus pada penguasaan
bahasa asing, melainkan membiasakan peserta didik untuk menggali,
mengenali, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan moral
yang berguna bagi diri, masyarakat, dan bangsanya (Kompas, Kamis 16
Februari 2012, hlm. 12). Secara tegas Daoed Joesoef menyatakan:
Penggunaan bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar pembelajaran, terang-terangan tanpa tedeng aling-aling telah
mengkhianati Sumpah Pemuda tahun 1928. Sumpah yang secara resmi
kita nobatkan dan akui merupakan tonggak sejarah kedua dari perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia (Daoed Joesoef, Risalah Sidang MK,
Selasa 15 Mei 2012, hlm. 26-27).
Secara psikososial, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar pada RSBI menguatkan hegemoni budaya atas masyarakat bahwa

227
bahasa Inggris identik dengan kemajuan atau modernitas. Penggunaan bahasa
Inggris dapat menanamkan dan menguatkan persepsi bahwa hanya dengan
penguasaan bahasa Inggrislah seseorang bisa meraih kemajuan. Padahal,
menurut Darmaningtyas, hal itu tidak didukung oleh kenyataan empiris karena,
misalnya, dalam perlombaan Olimpiade, banyak pemenang olimpiade yang
tidak mampu berbahasa Inggris.
RSBI/SBI membuat warga minder sejak dini karena menganggap bahwa
yang modern, yang maju, dan yang hebat hanyalah mereka yang
menguasai bahasa Inggris saja. Sehingga mereka cenderung akan
mengutamakan penguasaan bahasa Inggris dengan mengabaikan
keberadaan Bahasa Indonesia terlebih bahasa daerah (Darmaningtyas,
Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 28).
Untuk memperkuat agumentasinya, Darmaningtyas merujuk pada seorang
fisikawan handal berkebangsaan Jepang yang pernah meraih hadiah Nobel dan
yang tidak mampu berbahasa Inggris. Ia menekankan bahwa eksistensi bahasa
Inggris dapat mendegradasi posisi bahasa Indonesia sebagai simbol
nasionalisme.
Bahasa Inggris baik di mata guru maupun siswa diasosiasikan dengan
pendidikan berkualitas. Bahasa Inggris, dalam hal ini, telah menghegemoni
masyarakat sebagaimana tampak dari kesaksian seorang Hakim MK, Maria
Farida, sebagai berikut.
…banyak orang-orang yang berlomba-lomba untuk menyekolahkan
anaknya ke sekolahan yang bertaraf internasional, menganggap sekolah
yang bertaraf internasional itu lebih tinggi dari pada yang lain...kalau kita
sekarang pergi ke beberapa tempat ke mal dan sebagainya, kita melihat
anak-anak kecil kita tidak berbahasa Indonesia tapi mereka berbahasa
Inggris, dan…mereka pasti sekolah di PAUD atau TK-TK yang berbahasa
Inggris, apakah itu tujuan kita? ini negara yang pluralis dari segi agama,
bahasa, adat istiadat, dan segala macam...kalangan yang tidak mampu itu
merasa direndahkan, tetapi juga mereka berusaha bagaimana bisa masuk

228
sekolah yang bertaraf internasional, kemungkinan dari segi finansial atau
dari segi kemampuan dia tidak bisa masuk ke situ (Risalah Sidang MK,
Selasa 6 Maret 2012, hlm. 12).
Kutipan di atas tidak hanya menjelaskan bagaimana bahasa Inggris telah
meminggirkan bahasa Indonesia pada ranah sosial, tetapi juga menunjukkan
bahwa bahasa Inggris berperan sebagai kapital sosial-budaya. Pemberlakuan
bahasa Inggris dalam pendidikan nasional dapat menimbulkan tidak saja
ketidakadilan karena hanya sebagian kecil masyarakat (anak didik) yang
“menguasai” bahasa tersebut. Dalam hal ini, Pierre Bourdieu (1989)
menyatakan bahwa dalam ruang sosial, bahasa menyangkut arena pertarungan
kekuasaan. Penggunaan simbol-simbol bahasa, seperti fenomena maraknya
penggunaan ungkapan (kata-kata) bahasa Inggris oleh elit Indonesia dalam
forum-forum resmi merefleksikan bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi
tetapi juga sebagai sarana untuk menguasai orang lain baik secara kasar
maupun secara halus (Fashri, 2007; Harker dan Wilkes ed., 2005, Widjoyo dan
Noorsalim. Ed. 2004: 201).
Kebijakan tentang bahasa Inggris pada RSBI melahirkan kekerasan
simbolik dan psikologis melalui perlakuan diskriminasi berbasis bahasa,
misalnya dalam bentuk pembagian/pemisahan kelas. Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa siswa-siswa “kelas internasional” dengan kemampuan
bahasa Inggris menjadi siswa “kelas satu”, sedangkan siswa-siswa “reguler”
yang tidak berbahasa Inggris menjadi siswa “kelas dua” sebagaimana
ditemukan di SMA Negeri 78 Jakarta yang menyelenggarakan “kelas
internasional”. Sekolah ini mengelola kelas khusus yang dinamakan kelas

229
internasional dengan biaya pendidikan, proses dan fasilitas pembelajaran yang
berbeda dari siswa lainnya di sekolah yang sama. Dalam hal ini, “kapital
linguistik” (bahasa Inggris) dan kapital ekonomi menjadi “alat kontrol” untuk
mendapatkan pendidikan “bermutu”.
Sebagaimana dikemukakan dalam bab pertama bahwa perkembangan
media TIK dan bahasa Inggris dalam pembelajaran telah memunculkan
tuntutan-tuntutan baru yang berbau kapitalisme. Penggunaan bahasa Inggris
dan TIK di RSBI merupakan ciri yang menonjol dibanding sekolah-sekolah
reguler. Bagaimanapun, produk teknologi seperti buku teks impor dan berbagai
perangkat TIK relatif mahal. Pengadaannya menyangkut kekuatan kapital,
komoditas industri budaya kapitalis yang menghegemoni dalam ranah
pendidikan akibat liberalisasi pendidikan dalam bentuk kurikulum dari negara
lain. Dalam hal ini, kurikulum Cambridge dan buku-buku teks yang digunakan
sekolah RSBI, misalnya, sudah menjadi salah satu sumber ketidakadilan dalam
proses pendidikan,―The world of textbooks is an unequal world” (Sugihartati,
2010: 36-37; Altbach, 1991: 242).
Abdul Chaer yang tidak bersetuju dengan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar pada satuan pendidikan RSBI, dalam sidang Sidang MK di
Jakarta Selasa, 24 April 2012 menyatakan:
….penggunaan bahasa Inggris pada RSBI itu mempunyai dampak yang
kurang baik bagi pembinaan bahasa (Indonesia, pen). Mengenai bahasa
Inggris sebagai mata pelajaran …saya mengatakan bahwa bahasa Inggris
memang harus dikuasai oleh anak-anak kita dengan lebih baik. Kenapa?
Bukan alasan supaya gengsi, tapi ilmu-ilmu sekarang masih datang dalam
bahasa Inggris, dalam bahasa asing, termasuk bahasa Inggris (Abdul
Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 21).

230
Penggunaan bahasa Inggris dalam dunia pendidikan bersifat politis dan
ideologis. Bahasa Inggris menyangkut sumber daya ekonomi, IPTEK, dan
bahasa pergaulan antarbangsa. Dalam hal ini, bahasa Inggris dapat
memengaruhi aspek sosial budaya secara tidak adil, seperti potensi terjadinya
marginalisasi bahasa nasional dan bahasa-bahasa lokal akibat intensitas dan
keyakinan yang tinggi terhadap fungsi dan peran bahasa Inggris dalam
pendidikan pada era globalisasi. Dari segi kapital, kemampuan bahasa Inggris
dapat memberdayakan penggunanya untuk “bertarung” dalam ranah sosial,
budaya, ekonomi, dan politik.
Peran bahasa Inggris, di satu pihak, terkait dengan akses terhadap
kemajuan sosial ekonomi, pengetahuan dan berbagai bentuk hubungan
internasional yang dapat menguntungkan bagi penggunanya. Di pihak lain,
penggunaan bahasa Inggris secara meluas juga dapat mengancam bahasa-
bahasa lain, menjadi sarana untuk mengembangkan kapitalisme dan
dominasinya dalam ruang sosial. Dalam konteks sistem pendidikan nasional,
menurut Indra Jati Sidhi, penggunaan bahasa Inggris turut mendukung upaya
peningkatan mutu pendidikan dengan penjelasan berikut.
Tidak ada masalah dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua atau English as a Second Language. Gontor (lembaga pesantren,
pen) dan berbagai pesantren telah menggunakan sejak lama bahasa Inggris
dan bahasa Arab dalam proses belajar mengajar dan sama sekali tidak
melunturkan nasionalisme atau jati diri bangsanya…(Indra DS, Risalah
Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 17).
Pandangan di atas sekilas rasional, namun data empiris di lapangan
menunjukkan bahwa masyarakat juga “tertipu” tidak saja karena kebijakan dan
implementasi bahasa Inggris menimbulkan ketidakadilan sosial tetapi juga

231
bahwa ketersediaan tenaga pendidik dan kompetensi guru tidak “seindah” yang
digambarkan pemerintah. Dalam implementasinya, banyak permasalahan yang
tidak sesuai dengan tuntutan standar pendidikan nasional.
Bahasa Inggris di satu sisi dapat berperan sebagai “capital” bagi
masyarakat, tetapi di sisi lain, secara budaya berpotensi meminggirkan posisi
bahasa Indonesia. Bahasa Inggris seringkali menjadi sarana mekanisme kontrol
baik bagi perusahaan asing maupun lokal. Dalam hal ini, misalnya, banyak
iklan lowongan kerja di media massa yang mensyaratkan bahasa Inggris, pada
hal lingkungan kerjanya di Indonesia. Dalam dunia pendidikan, bahasa Inggris
digunakan, khususnya di sekolah-sekolah internasional yang dikelola swasta di
kota-kota besar seperti Jakarta, namun menjadi permasalahan ketika
diberlakukan pada sekolah-sekolah umum.
Bahasa asing boleh digunakan dalam satuan pendidikan asing, yang
mendidik warga negara asing. Ya, contoh di sini mungkin di Jakarta ada
International School atau juga ada Gandhi‘s School …Ada satu prinsip
dalam proses belajar yang mengatakan bahwa sampaikanlah materi
pelajaran dalam bahasa yang sederhana dan mudah diterima oleh siswa
sesuai dengan tingkat pendidikannya. Jadi, pertanyaan kita … mana sih
yang lebih mudah dipahami anak-anak, anak-anak Indonesia, pelajaran
yang diberikan dalam bahasa Inggris atau dalam Bahasa Indonesia? Ya,
jawab saya dalam Bahasa Indonesia (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK,
Selasa 24 April 2012, hlm. 19-20).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa resistensi terhadap penggunaan bahasa
Inggris di RSBI tidak hanya didasarkan pada argumentasi “nasionalisme”
tetapi juga pedagogi. Menurut Abdul Chaer penggunaan bahasa Inggris tidak
hanya meminggirkan posisi bahasa Indonesia di “tanahnya” sendiri, tetapi juga
secara metodologis (pedagogis) menghambat daya serap anak didik terhadap
materi pembelajaran.

232
Secara historis dan politis, kurikulum pendidikan nasional pernah
mengalami proses yang tidak selaras dengan tujuan pendidikan. Kurikulum
pendidikan tidak lagi sebagai persoalan kebudayaan, melainkan lebih
dipandang sebagai kepentingan politik dan ekonomi. Pada masa Orde Baru
kurikulum pernah dijadikan sarana indoktrinasi bagi penguasa melalui,
misalnya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan
Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kemudian kurikulum 1994 menonjolkan
pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris dan kurang pada pelajaran seni,
kurang pada citarasa seni dan manusia direduksi hanya untuk menguasai
teknologi saja (Rifai, 2011: 169-170).
Tilaar (2011: 37) menyatakan bahwa bahasa bukan sekedar bunyi yang
mempunyai arti, namun bahasa mempunyai arti konstruksi di balik
terwujudnya kata-kata yang digunakan di dalam bahasa itu. Dari bahasa dapat
dibaca mengenai bentuk-bentuk regulasi dan dominasi di dalam kehidupan
suatu masyarakat. Itulah sebabnya penting ada politik bahasa di dalam suatu
masyarakat (Ascroft, et al, 1989: 15-17; Tilaar. 2011: 37). Studi poskolonial
sebagai gerakan perlawanan terhadap kolonialisme berkembang menjelang
abad ke-21 dan mengkaji masalah-masalah ketidakadilan sosial-budaya dan
ilmu pengetahuan yang diakibatkan hegemoni, kolonialisme, dan kekerasaan
epistemologi Barat (Lubis, 2006: 202).
Bila sejarah kolonial dan imperialisme dikaitkan dengan ekspansi
bahasa Inggris, hegemoni dapat terjadi tidak saja melalui kebijakan bahasa,
tetapi juga melalui berbagai introduksi dan distribusi pengetahuan melalui

233
bahasa Inggris di sekolah maupun di masyarakat. Dalam dunia akademik,
misalnya, muncul istilah yang dikenal dengan “imperialisme linguistik” yang
menjelaskan bahwa suatu bahasa dapat lebih berperan daripada bahasa lainnya
akibat terjadinya hegemoni sosial dan politik. Buku Ashcroft (1989), The
Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literatures secara
jelas memaparkan informasi tentang hegemoni budaya dan peran bahasa
Inggris sebagai aparatus ideologis pada masa kolonial dan pascakolonial.
Posisi suatu bahasa dapat menjadi dominan berhadapan dengan bahasa
lainnya karena dominasi ideologi serta peran ahli bahasa yang kemudian dapat
menjadi sumber ketidakadilan sosial. Salah satu fenomena pengajaran bahasa
di SMA, misalnya, adalah rendahnya apresiasi dan nilai siswa dalam mata
pelajaran bahasa Indonesia, berbeda dengan perolehan nilai bahasa Inggris.
Nilai perolehan UN 2010 SMA/SMK, terlepas dari kontroversi UN, secara
nasional lebih rendah dibanding beberapa mata ujian lainnya termasuk bahasa
Inggris. Pada pelaksanaan UN 2011, situasi yang lebih mengejutkan terjadi
pada nilai perolehan bahasa Indonesia secara nasional. 80% siswa SMA yang
gagal UN tersandung dengan perolehan nilai bahasa Indonesia yang tidak
mencapai standar nilai 4.0 dan 60% dan siswa SMK yang gagal UN terkait
dengan nilai bahasa Indonesia yang juga tidak mencapai standard kelulusan
UN (Bali Pos, Minggu 15 Mei 2011, hlm. 1).
Fenomena lain yang dengan mudah ditemukan di masyarakat adalah
bahwa seorang siswa dapat memiliki beberapa kamus bahasa Inggris, tetapi
belum tentu memiliki kamus bahasa Indonesia atau kamus bahasa daerah.

234
Dalam hal ini, paradigma pedagogik kritis melihat posisi guru, siswa, dan
masyarakat harus terbebas dari hegemoni budaya, tidak berorientasi pada
standardisasi dan liberalisasi sebagai ciri-ciri neoliberalisme dan komodifikasi
pendidikan, sehingga anak didik tidak mengalami ketercerabutan budaya dalam
arti menjadi orang-orang yang tercerabut dari “kebudayaan saya” (Spradley,
1997: 14; Tilaar, 2011: 44-45).
Menurut para pendukung kebijakan RSBI, penggunaan bahasa Ingrris
dalam pendidikan sangat penting karena bahasa Inggris merupakan salah satu
bahasa internasional yang dapat meningkatkan daya saing lulusannya.
…pengayaan bahasa asing ini akan memberikan unggulan-unggulan
komparatif dan unggulan kompetitif bagi siswa-siswa kita karena ketika
kita berbicara layanan, ketika standarnya tidak internasional saya kira kita
akan ditinggalkan. Menjadi TKI pun kalau tidak bisa bahasa asing saya
kira akan jauh lebih tidak berdaya dibandingkan dengan mereka yang
menguasai bahasa asing (Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa 6 Maret
2012, hlm. 17).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 33 ayat (1) secara tegas
menyatakan bahasa Indonesia merupakan bahasa negara dan menjadi bahasa
pengantar dalam pendidikan nasional. Namun ayat (3) menegaskan, “Bahasa
asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan
tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik”. Hal ini
kemudian digunakan sebagai legitimasi penggunaan bahasa Inggris.
….dewasa ini meskipun SBI belum ada, tetapi di beberapa RSBI sudah
dibuat kelas-kelas khusus yang disebut kelas internasional dengan
mengadopsi kurikulum yang dari luar negeri. Jadi, sudah berbeda dengan
yang di kelas-kelas RSBI lainnya. dua bahasa pengantar, yaitu Bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia untuk mata pelajaran
ilmui-ilmu sosial dan bahasa Inggris untuk mata pelajaran matematika,
fisika, dan biologi (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April
2012, hlm. 17-18).

235
Dalam bab-bab sebelumnya telah diuraikan bagaimana bahasa yang
digunakan di sekolah dapat mereproduksi sekaligus merepresentasikan struktur
dan status sosial. Dalam hal ini, para siswa yang mengikuti kelas internasional
secara umum telah mengikuti kursus-kursus bahasa Inggris sebelum masuk
SMA, yang menunjukkan sekaligus status sosial ekonominya. Melalui
observasi proses pembelajaran di kelas internasional pada SMA Negeri 78
Jakarta dan wawancara dengan dua orang siswanya (8 Agustus 2012)
ditemukan penjelasan berikut.
secara umum kami tidak kesulitan memahami bahasa Inggris guru yang
mengajar kami, tetapi agak sulit dalam mengungkapkannya”. Dulu waktu
SMP memang kami sudah mengikuti kursus-kursus bahasa Inggris dan
terbiasa mempraktekkannya (Wawancara dengan Pandu, Rabu 8 Agustus
2012).
Ketika ditanyakan pendapat mereka tentang berapa siswa dari 24 orang dalam
kelasnya yang mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris,
mereka mengatakan bahwa secara umum baik dan tidak ada masalah dengan
proses pembelajaran dengan menggunakan bahasa Inggris. Namun berdasarkan
pengamatan peneliti di kelas, interaksi guru-siswa kurang berlangsung dengan
baik dalam bahasa Inggris. Proses interaksi belajar lebih menonjol satu arah
dari guru ke siswa.
Observasi juga dilakukan terhadap berbagai fasilitas pembelajaran
yang digunakan. Buku-buku yang digunakan di kelas internasional adalah
buku-buku impor berbahasa Inggris dan sebagian bilingual. Hal ini
menunjukkan bahwa kelas internasional dengan berbagai program dan fasilitas
yang dimilikinya menempati struktur sosial tersendiri di masyarakat, dalam arti

236
mereka lebih merepresentasikan suatu kelas sosial dalam sekolah publik. Hal
inilah yang dikatakan dalam teori reproduksi sosial bahwa “yang kuat yang
berkuasa” melalui legitimasi lembaga pendidikan. Dalam hal ini, lembaga
pendidikan berperan sebagai sarana hegemoni kekuasaan dan melakukan
kekerasan simbolik baik melalui kebijakan maupun praktik-praktik pendidikan
(Piliang, 2006;359).
Dalam konteks pemikiran Bourdieu, jika bahasa Inggris sebagai sumber
daya kultural atau kapital linguistik maka diskriminasi akses pendidikan
berbasis bahasa Inggris pada RSBI merupakan bentuk ketidakadilan yang
dihasilkan oleh negara melalui lembaga pendidikan. Bentuk ketidakadilan
lainnya adalah pemberian angggaran ”block grant”, fasilitasi sarana dan
prasarana, pengadaan guru berkualitas. Dalam batas tertentu, pemberian ”block
grant” ke sekolah-sekolah RSBI merupakan bentuk ”kuasa hegemonik”.
Dengan statusnya sebagai sekolah RSBI, sekolah mendapat izin istimewa dari
pemerintah untuk memungut biaya ”rasional” dari orangtua siswa dengan
argumentasi sekolah ”bertaraf internasional”.
Secara ekonomi, siswa yang berasal dari ekonomi lemah sulit
mengakses layanan pendidikan bermutu. Para siswa yang masuk kategori
”lemah” dari segi ekonomi dan intelektual (miskin dan bodoh) juga terbatas
aksesnya terhadap pendidikan bermutu. Dalam konteks wacana
kuasa/pengetahuan oleh Foucault (1977), siswa berbakat harus mendapat
diversifikasi layanan pendidikan khusus (normalisasi) dalam bentuk ”bertaraf
internasional” atas nama Undang-undang dan rasionalitas pengetahuan (expert

237
knowledge). Perpaduan kemampuan ekonomi dan ”kapasitas intelektual”
subjek (warga negara) menjadi masukan (kategori dan identitas) untuk
mengeksklusi subjek lainnya setelah ”agen kekuasaan” mendefinisikan
pendidikan ”bertaraf internasional”.
Dominasi bahasa Inggris dalam ranah sosial, ekonomi dan politik dan
bahkan dalam pendidikan, pada dasarnya, telah lama berlangsung di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia. Dalam era globalisasi, bahasa Inggris
mendominasi bahasa internet dan berbagai produk IPTEK lainnya. Bahkan
para pakar pendidikan dan hubungan internasional berpendapat bahwa
globalisasi didukung oleh pemanfaatan kemajuan TIK serta penggunaan bahasa
Inggris dalam berbagai konteks kehidupan modern. Hal ini juga tergambar dari
pendapat Crystal (2003) pada kutipan berikut:
globalization has also initiated the age of information technology
requiring the deployment of the Internet whose main language is
English…the spread of information technology worldwide is strongly
linked with the diffusion of the English language. To put it differently, it
can be stated that while English has contributed to the proliferation of this
technology, the information technology has also boosted the diffusion of
English through Internet communication (Hismanoglu, 2011:1).
Dalam konteks hegemoni bahasa Inggris, para pakar bahasa di
Indonesia telah mengantisipasinya dengan wacana penguatan bahasa Indonesia
sebagai identitas dan fungsi bahasa Indonesia sebagaimana tergambar dari
kutipan berikut.
Jauh sebelum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 terbit, para pakar
bahasa di Indonesia sudah sepakat ya, sudah mengadakan suatu
kesepakatan dalam seminar bahasa nasional bahwa di Indonesia ini ada
tiga bahasa, Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa
Indonesia adalah alat komunikasi antarsuku bangsa. Bahasa daerah adalah
alat komunikasi intrasuku. Dan bahasa asing adalah alat komunikasi

238
antarbangsa atau alat untuk menimba ilmu, atau menggali ilmu.Jadi
menimba ilmu (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012,
hlm. 19-20).
Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 secara jelas termaktub pada
pasal 41: Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa
Indonesia. Dalam pasal 42, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam
penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Pasal 2: Bahasa
asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam
penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
ditentukan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pendidikan
nasional. Undang-undang ini memberikan jaminan bahwa bahasa pengantar
pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Di pihak lain, bahasa asing dapat
digunakan untuk mendukung kemampuan berbahasa asing bagi peserta didik.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa
pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi Bahasa
Indonesia. Pada kenyataannya, penggunaan bahasa Inggris (lihat Gambar. 8),
warga sekolah lebih bangga menggunakan bahasa Inggris sebagaimana tampak
dari kutipan berikut.
…Tapi jangan salah kalau kita ke sekolah, kepala sekolah senang sekali
karena di sekolahnya sudah banyak pengumuman pakai bahasa Inggris.
Nah, ini yang menurut saya perlu menjadi keprihatinan secara nasional
(Itje K, Risalah Sidang Rabu 2 Mei 2012, hlm. 27).

239
Hegemoni bahasa Inggris di sekolah tampak dalam berbagai bentuk dan
program seperti kurikulum Cambridge, penggunaan bahasa Inggris dalam
papan pengumuman, pelatihan-pelatihan, dan English Club. Dalam proses
pembelajaran pada kelas internasional SMA Negeri 78 Jakarta, dua orang
siswanya yang diwawancarai untuk penelitian ini mengklaim bahwa mereka
tidak lagi mengalami permasalahan dengan bahasa pengantar bahasa Inggris di
kelas. Mereka menyatakan bahwa sebelum masuk SMA Negeri 78, mereka
telah mengikuti kursus bahasa Inggris dan bahkan ketika di SMP pun mereka
sudah terbiasa mendengarkan guru berbahasa Inggris di kelas walaupun,
menurut pengakuan salah seorang siswa, Pandu, tidak sama intensifnya dengan
di SMA tempat dia sekolah saat ini. Di kelas-kelas lainnya yang bukan kategori
kelas internasional, proses pembelajaran menggunakan bilingual dan sarana
dan prasarana seperti laboratorium MIPA, lab bahasa, dan fasilitas TIK.
Karena bahasa Inggris menjadi icon di sekolah-sekolah SBI/RSBI, maka
kemampuan guru dalam menggunakan bahasa Inggris untuk mengajar
terutama Matematika dan IPA menjadi penting…Namun kenyataannya
sampai saat ini kompetensi guru Bahasa Inggris sebagai tolok ukur
kemampuan menggunakan bahasa Inggris bagi guru mata pelajaran lain
masih pada kategori yang secara umum rendah (Itje K, Risalah Sidang,
Rabu 2 Mei 2012, hlm. 24).
Kebijakan menggunakan bahasa Inggris dalam pendidikan dapat
menguatkan proses sosial yang menciptakan kesenjangan bahasa di masyarakat
dan dapat mereproduksi dan menguatkan “social class and power distinctions”.
Dalam hal ini bahasa Inggris diasosiasikan dengan bahasa “elit” sedangkan
bahasa lainnya sebagai bahasa “subordinat”. Posisi bahasa asing sebagai alat
komunikasi antarbangsa dan sarana pengembangan ilmu pengetahuan ditopang

240
oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, Pasal 29 ayat (2) Bahasa asing,
termasuk Inggris boleh digunakan sebagai bahasa pengantar pada mata
pelajaran tertentu untuk mendapatkan kompetensi berbahasa asing itu”.
Misalnya, guru bahasa Inggris boleh mengajarkan bahasa Inggris dalam bahasa
Inggris, supaya siswanya mempunyai kompetensi berbahasa Inggris”.
Hegemoni bahasa Inggris dalam dunia pendidikan nasional semakin
terbuka dengan kebijakan PBI yang berkiblat pada OECD. Sebagai bahasa
internasional dan bahasa ilmu pengetahuan, bahasa Inggris tidak hanya
membuka peluang lebih besar bagi masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi
pada arena global, tetapi juga, dalam konsep Bourdieu, berperan sebagai alat
reproduksi ketidakadilan secara sosial–ekonomi, sumber daya pembelajaran,
dan peluang kerja yang lebih besar setelah menyelesaikan studi. Hal ini terjadi
karena desain dan implementasi PBI menimbulkan diskriminasi karena hanya
dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu.
Ketika seorang guru bahasa Inggris (wawancara dengan Suranto Mei
2013) ditanya pendapatnya tentang permasalahan utama RSBI, dia menyatakan
bahwa pada dasarnya tidak ada masalah dengan RSBI sebagai program
unggulan pemerintah. Menurut Suranto program RSBI ini justru sangat baik
untuk melayani tuntutan masyarakat dan anak didik yang memiliki potensi
(akademik dan ekonomi) yang berbeda. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa
yang menjadi permasalahan adalah kadang-kadang sekolah mendapat protes
dari masyarakat hanya karena kebijakan tersebut menimbulkan diskriminasi
dan kecemburuan sosial.

241
Di satu pihak, Undang-Undang Nomor 24/2009 pasal 43
mengamanatkan untuk meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa
internasional. Di pihak lain, penggunaan bahasa bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar di sekolah bertentangan dengan semangat Sumpah Pemuda tahun
1928. Dalam hal ini keputusan tentang bahasa pengantar sebenarnya tidak
terlepas dari masalah politis dan merupakan bagian wewenang Negara dalam
masyarakat.
Bahasa Indonesia yang kita tahu berasal dari bahasa Melayu dan yang
sudah sejak berabad-abad yang lalu menjadi lingua franca di nusantara.
Jadi menjadi bahasa perhubungan, itu di dalam bingkai NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) memiliki tiga status sekaligus, yaitu sebagai
bahasa nasional, sebagai bahasa persatuan, dan sebagai bahasa negara.
Sebagai bahasa nasional disandang sejak pemunculnya kebangkitan
nasional pada awal abad ke-20. Dan sebagai bahasa persatuan, disandang
sejak adanya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 ... Dan sebagai bahasa
negara, disandang sejak ditetapkannya dalam Undang-Undang Dasar 1945
(Abdul Chaer, Risalah Sidang, Selasa 24 April, 2012, hlm. 18).
Winarno Surakhmad, pakar pendidikan dan profesor emeritus pada
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyatakan bahwa pendidikan Indonesia
saat ini seharusnya lebih diorientasikan untuk menjawab permasalahan dan
tantangan nasionalisme, bukan pada internasionalisasi pendidikan,
sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut.
Sumpah Pemuda yang diucapkan oleh semua pemuda Indonesia yang
mengatakan, “Satu bahasa dan satu tanah air, satu … dan satu bahasa,” itu
justru mulai retak sesudah Sumpah Pemuda diucapkan…kita sudah
melihat bendera-bendera yang memisahkan diri dari induknya. Dan kalau
ini berlangsung terus, maka akan ada 500 lebih bendera kemerdekaan yang
berarti Indonesia tidak akan tahan lagi menjadi satu bangsa (Winarno S,
Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm. 11).
Dalam sebuah diskusi tentang konstitusi dan negara kesejahteraan
bertema “Pendidikan yang Memerdekakan” yang diselenggarankan oleh harian

242
Kompas bersama Lingkar Muda Indonesia di Jakarta mengemuka isu tentang
sejumlah konflik horisontal yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia.
Berbagai konflik tersebut ditengarai terkait dengan nilai-nilai toleransi yang
mulai memudar. Sejumlah konflik sekolah mengarah pada eksklusivisme
berdasarkan kelompok, mulai dari identitas agama hingga SBI untuk kelompok
tertentu. Pemerintah juga berkontribusi terhadap situasi tersebut melalui
pendidikan dengan menerapkan ujian nasional yang menganggap siswa
memiliki potensi yang sama, padahal potensi siswa sangat beragam (Kompas,
Kamis 6 September 2012, hlm. 12).
Bahasa Inggris dalam konteks RSBI/SBI mendapat perhatian khusus
dalam bentuk kegiatan pembelajaran dan penggunaan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA. Hal ini didukung oleh politik
kekuasaan (pendidikan) yang menghegemoni masyarakat dalam melihat bahasa
Inggris sebagai akses yang lebih luas terhadap ilmu pengetahuan dan
bermanfaat secara sosio-ekonomis.
Currently people who have English as their first language, second
language or those who have a good common grounding of English are
assumed to have power and access to develop their career in the
international arena (Pennycook, 1997; Bruthiaux, 2002 dalam Marhum,
t.th:7-8).
Kutipan di atas menegaskan bahwa kemampuan bahasa Inggris dapat
mengembangkan karir seseorang pada arena internasional. Dalam konteks
pemikiran Foucault, bahasa menjadi “power” dalam relasi sosial. Para ilmuan
yang tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris tidak berpeluang untuk
mempublikasikan karya-karyanya dalam jurnal internasional, termasuk para

243
pelaku bisnis pun sulit mengembangkan usahanya pada arena internasional jika
mereka tidak mampu berbahasa Inggris. Berbagai wacana globalisasi yang
dikembangkan oleh para intelektual Indonesia menguatkan “kebenaran”
bahwa bahasa Inggris sangat vital dalam pendidikan modern. Wacana ini telah
mendominasi kesadaran masyarakat dan banyak intelektual, sehingga bahasa
Inggris dipandang rasional bagi upaya peningkatan mutu pendidikan, daya
saing dan produktifitas SDM Indonesia di kancah internasional.
…Berpartisipasi dalam dunia global, mustahil kita bisa melakukan tanpa
ada penguasaan teknologi, bahkan bahasa sekalipun. Saya kemarin ke
Malaysia mengurusi warga TKI yang harus dididik di sana. Kita membuat
perjanjian, perjanjian itu dibuat dalam Bahasa Indonesia, bahasa Melayu,
dan bahasa Inggris. Dalam satu klausulnya dikatakan bahwa perjanjian ini
dibuat dalam tiga bahasa: Bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa
Inggris. Kalau terjadi penafsiran yang berbeda, kembali kepada bahasa
Inggris…(Suyanto, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 43-44).
Perdebatan tentang relevansi bahasa Inggris dalam sistem pendidikan
nasional khususnya dalam konteks PBI lima tahun terakhir tidak terlepas dari
wacana tarik-menarik antara semangat melawan globalisasi dan semangat
menguatkan jati diri bangsa. Pelajaran Malaysia sebagai negara tetangga
mungkin menarik sebagai refleksi dalam konteks Indonesia. Angel M.Y. Lin,
Peter W. Martin dalam bukunya Decolonisation, Globalisation Language-in-
Education Policy and Practice (2005:92-93) mengutip pandangan Mahathir
Mohamad dari sebuah media massa terkemuka di negara jiran tersebut sebagai
berikut.
Learning the English language will reinforce the spirit of nationalism
when it is used to bring about development and progress for the
country…True nationalism means doing everything possible for the
country, even if it means learning the English language (Mempelajari
bahasa Inggris akan memperkuat semangat nsionalisme ketika ia

244
digunakan untuk menghasilkan pembangunan dan kemajuan bagi
negara…nasionalisme yang sesungguhnyanya adalah melakukan segala
kemungkinan bagi negara, bahkan belajar bahasa Inggris) (Mahathir
Mohamad, The Sun, September 11, 1999).
Bourdieu dan Eagleton (1997) menjelaskan hubungan antara bahasa
dan pendidikan yang saling menguatkan. Mereka berpendapat bahwa sistem
akademik dan pendidikan merupakan semacam mekanisme ideologis yang
dapat memproduksi distribusi kapital personal secara tidak adil. Dalam hal ini,
hubungan bahasa dan pendidikan dapat memberikan pemahaman tidak saja
tentang implikasi hubungan yang tidak adil antara bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia tetapi juga menjelaskan fungsi dan makna bahasa Inggris dalam
pendidikan nasional. Wacana bahasa Inggris sebagai bahasa IPTEK dapat
menjelaskan tentang hegemoni bahasa Inggris dalam pendidikan dan budaya
Indonesia modern.
Sistem pendidikan turut mereproduksi relasi kekekuasaan secara tidak
adil. Dengan memosisikan bahasa Inggris sebagai bahasa “elit”, hal ini tidak
saja menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat yang tidak mampu secara
ekonomi tetapi juga dapat menimbulkan pencitraan bahwa bahasa Inggris
menjadi kunci menuju sukses dalam pendidikan. Logikanya, jika bahasa
Inggris dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan maka bahasa
Inggris menjadi “mekanisme kontrol” yang tidak adil untuk mendapatkan
“pendidikan bermutu”. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 36 bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan di sekolah.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa SDM sekolah baik di sekolah
SMA Negeri 78 Jakarta maupun di SMA Negeri 2 Bandarlampung masih jauh

245
dari kapasitas dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk mampu melaksanakan
proses pembelajaran dalam bahasa Inggris. Khusus “Kelas Internasional” pada
SMA Negeri 78 Jakarta, hingga saat penelitian ini dilakukan, memang
menggunakan bahasa Inggris dalam proses belajar di kelas namun melalui
pengamatan langsung di kelas, interaksi kelas tidak sepenuhnya dalam bahasa
Inggris dan lebih bersifat satu-arah. Dalam hal ini, semangat untuk memajukan
pendidikan melalui penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tidak
didukung oleh realitas SDM yang berkompeten dan ekosistem pendidikan yang
kondusif.
Pada level wacana permukaan, pemerintah terkesan memikirkan dan
memajukan secara serius tentang kualitas pendidikan nasional, namun realitas
di lapangan masih jauh dari yang diharapkan. Permasalahan penggunaan
bahasa Inggris tidak hanya menyangkut bahasa tetapi juga tentang ekonomi
dan budaya.
English is supported by a powerful and strong socio-cultural and
economic system. It is the vernacular of the modern global Euro-
American free market economy. It is possible that in acquiring it one
has to reckon also with the socio-cultural superstructure on which it
thrives (Stephen M Neke, 2002).
Dari aspek politik ekonomi, pengadaan buku impor berbahasa Inggris
tidak terlepas dari siapa mendapat apa, dan dari segi budaya siapa yang
menentukan “isi” buku ketika buku harus diimpor dari, misalnya, negara
tertentu dalam OECD. Secara ekonomis, buku yang harus dimpor dari negara
(-negara) maju sebagai akibat dari kebijakan “benchmarking” telah membebani

246
masyarakat atau orangtua siswa. Hal ini terungkap dari penjelasan Wakil
Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 78 Jakarta sebagai berikut.
Buku teks MIPA dan Bahasa Inggris ditulis dalam bahasa Inggris, misal,
Advance level Mathematics Statistics 1 (oleh) Steve Dobbs and Jane
Miller, dan sebagian menggunakan dwi bahasa (bilingual). Dan
pengadaannya langsung dipesan dari Inggris (Cambridge) dan biaya buku
sudah termasuk dari SPP anak-anak (Wawancara Rabu 21 Maret 2012).
Secara ekonomis, dampak selanjutnya dari bentuk kerjasama seperti ini adalah
bahwa perusahaan atau penerbit buku-buku di luar negeri yang dibutuhkan oleh
sekolah RSBI turut “mengontrol” buku ajar yang baik” bagi pendidikan
Indonesia melalui bentuk kerjasama dengan lembaga Cambridge Inggris, yang
selanjutnya mendorong munculnya kurikulum berbasis bisnis atau/dan industri
intelektual.
Menurut Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan, penggunaan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk meningkatkan daya saing dan
kualitas pendidikan nasional tidak memiliki dasar pemikiran yang kuat. Ia
berargumentasi bahwa ada banyak negara di dunia yang tidak menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam sistem pendidikannya tetapi
negara-negara tersebut mencapai kualitas pendidikan yang baik. Yang
dibutuhkan justru, menurut Darmaningtyas, adalah bagaimana memfungsikan
bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan.
Kemampuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa modern telah diakui oleh
UNESCO karena menurut UNESCO Bahasa Indonesia telah mampu untuk
membahas hal-hal yang sifatnya abstrak. Pasal 36 Undang-Undang Dasar
1945 juga secara tegas menyatakan, “Bahasa negara ialah Bahasa
Indonesia (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012,
hlm. 24).

247
Pandangan di atas sangat relevan dipersoalkan dalam konteks
pendidikan dan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar yang menjadi bagian
penting dari kebijakan PBI untuk satuan pendidikan mulai dari tingkat SD
hingga sekolah menengah. Para pengamat dan praktisi pendidikan
berpandangan bahwa kualitas pendidikan justru bisa merosot bila proses
pembelajaran di kelas menggunakan bahasa yang tidak mengakar dalam diri
anak didik secara sosio-kultural. Dalam proses pembelajaran, guru-guru
dihadapkan pada beban ganda yaitu menguasai bahan ajar sekaligus bahasa
asing untuk mengajar.
Penggunaan bahasa asing dalam proses pembelajaran tidak efektif.
Dalam sebuah diskusi pada konfrensi internasional tentang Language,
Education, and Millenium Deveopment Goals (MDGs) di Bangkok Thailand,
Abhisit Vejjajiva menyatakan bahwa ilmu pengetahuan apa pun akan lebih
cepat dipahami oleh siswa jika disampaikan dalam bahasa mereka sendiri.
Menurut Direktur International Lead Asia Catherine Young bahwa jika siswa
tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan di sekolahnya, lambat laun
minat dan semangat anak bisa menurun (Sukamerta, 2011:217 mengutip
Kompas, Senin 1 November 2010).
Abdul Chaer, seorang pakar bahasa dan dosen kependidikan
menyatakan bahwa guru akan lebih mudah menyampaikan bahan pembelajaran
dalam bahasa yang dikuasainya dan daya serap anak didik terhadap
pengetahuan juga akan lebih efektif jika disampaikan dalam bahasa yang tidak
asing baginya. Ia menggambarkan gagasannya dengan menyatakan:

248
Saya coba-coba ingin bermimpi dalam bahasa Inggris, tapi tidak pernah
jadi, tidak pernah bisa kayaknya. Kedua, jika orang mengigau pasti dalam
bahasa ibu atau jika dikagetkan … itu pun akan marah dalam bahasa ibu,
bukan dalam bahasa lain… Jadi, saya kira lebih mudah memberikan ilmu
dalam Bahasa Indonesia daripada dalam bahasa Inggris (Abdul Chaer,
Risalah Sidang, Selasa 24 April 2012, hlm. 20).
Kutipan di atas sekaligus menggambarkan bahwa proses pembelajaran tidak
akan efektif dengan menggunakan bahasa asing dari segi psikologi dan
pendidikan. Interaksi dalam pembelajaran menyangkut habitus yang dimiliki
oleh guru dan siswa. Sesuai dengan realitas empiris di sekolah, dua sekolah
yang berstatus RSBI baik di SMA Negeri 78 Jakarta maupun SMA Negeri 2
Bandarlampung adalah bahwa permasalahan kemampuan guru dalam bahasa
Inggris menjadi kendala bagi proses pembelajaran. Dalam perkembangannya,
manajemen sekolah dan guru-guru di SMA Negeri 2 Bandarlampung bahkan
tidak lagi menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar setelah
berjalan satu tahun karena disadari bahwa kompetensi guru-guru yang ada
belum memadai untuk itu.
Yah..memang jika dilihat dari kesiapan guru-guru, tentu sulitlah mereka
mengajar dalam bahasa Inggris. Sekolah sudah berusaha untuk
meningkatkan kemampuan guru-guru tetapi mungkin tidak bisa dalam
waktu singkat seperti yang diharapkan untuk RSBI. Terus terang
ya..bahasa Inggris lebih banyak membebani sekolah…karena guru-guru
juga ketika kuliah dulunya tidak dipersiapkan untuk mengajar dalam
bahasa Inggris (Wawancara dengan Suranto, Mei 2013).
Sebagaimana tujuan penyelenggaraan PBI, salah satu tujuan pengajaran
bahasa Inggris adalah untuk memenuhi tuntutan era globalisasi yang
memosisikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional dalam
berbagai aktivitas internasional. Penguasaan bahasa Inggris dipandang sebagai
salah satu kunci sukses untuk menguasai ilmu dan teknologi termasuk

249
kemudahan untuk mendapatkan peluang kerja di dunia modern sebagaimana
tampak dari berbagai iklan di media massa yang mensyaratkan bahasa Inggris
sebagai salah satu kualifikasi penting. Pentingnya kemampuan bahasa Inggris
dalam konteks hubungan internasional juga dapat dipahami melalui Undang-
undang yang mengamanatkan tentang partisispasi negara Indonesia dalam
melaksanakan ketertiban dunia, sebagaimana dapat dipahami melalui kutipan
berikut.
…dalam pembukaan Undang-Undang Dasar itu dikatakan kita harus ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Bagaimana kita bisa ikut melaksanakan
ketertiban dunia kalau kita tidak bisa berkomunikasi dengan bangsa-
bangsa yang lain?… (Prof. Slamet, Risalah Sidang MK, Selasa 2 Mei
2012, hlm. 44).
Bahasa pengantar bahasa Inggris diatur melalui Permendiknas No
79/2009 pasal 5 ayat (3), (4) dan (5): Pasal 3: SBI dapat menggunakan bahasa
pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam
forum internasional bagi mata pelajaran tertentu; Pasal 4. Pembelajaran mata
pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal menggunakan bahasa
pengantar bahasa Indonesia; dan Pasal 5. Penggunaan bahasa pengantar bahasa
Inggris atau bahasa asing lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimulai
dari kelas IV untuk SD (Permendiknas No. 78 Tanggal 16 Oktober 2009).
Nah, kalau ditanya apa sebabnya sih kita gandrung kepada bahasa Inggris?
Saya kira banyak sebabnya. Kalau masyarakat kecil itu melihat bahasa
Inggris mempunyai nilai lebih …Tetangga saya dulu menulis
perusahaannya Penjahit Iing, terus setelah dia ganti Iing Tailor, wah itu
katanya pelanggannya tambah…(Abdul Chair, Risalah Sidang Selasa 24
April 2012, hlm. 21).

250
Kutipan di atas bermakna bahwa bahasa Inggris sebagai bahasa internasional
tidak hanya bernilai ekonomis dan sosial bagi penggunannya, tetapi juga
bernilai simbolik dan kultural. Memiliki kemampuan bahasa Inggris dapat
memberikan rasa bangga dan status sosial terpelajar bagi penggunanya.
Pengaruh hegemonik bahasa Inggris meluas tidak hanya dalam ranah
pendidikan tetapi juga ruang-ruang publik yang terkait dengan kehidupan
modernitas.
Fenomena menguatnya pengaruh bahasa Inggris dalam kehidupan
masyarakat Indonesia sudah mengkhawatirkan. Dalam situasi menguatnya
pengaruh bahasa Inggris tersebut, keberadaan RSBI yang secara formal
mengklaim menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam
pendidikan justru semakin menguatkan status sosial dan politik bahasa Inggris.
Sebagian intelektual berpandangan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar dapat mendegradasi nasionalisme dan mutu pendidikan.
RSBI berbahaya karena menghancurkan geo-nasionalisme…mendorong
ke arah tekno-nasionalisme,…, RSBI secara perlahan akan memerosotkan
mutu pendidikan nasional, bagaimana logikanya? Sederhana saja. Diajar
dengan Bahasa Indonesia kadang-kadang diselingi bahasa daerah supaya
lebih mudah ditangkap, daya serap murid tidak pernah mencapai 80%,
apalagi diajar dengan bahasa Inggris, yang mengajar bingung, yang diajar
juga tambah bingung…(Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24
April 2012, hlm. 27-28).
Kutipan di atas sekaligus merepresentasikan realitas di lapangan
khususnya di SMA Negeri 2 Bandarlampung. Implementasi bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar di sekolah tersebut jauh dari idealisasi pemerintah.
Dari hampir selama lima tahun berstatus RSBI, sekolah ini tidak memiliki guru
bahasa Inggris yang memadai kompetensinya untuk mengajar mata pelajaran

251
MIPA. Pada tahun-tahun awal berstatus RSBI, 2007-2008, sekolah ini bahkan
menyiasatinya dengan menggunakan tenaga dosen MIPA dari universitas
setempat untuk mengajar di kelas-kelas berbahasa Inggris.
Dalam perkembangan berikutnya dengan alasan pembiayaan, SMA
Negeri 2 Bandarlampung tidak lagi mempekerjakan tenaga pengajar berbahasa
Inggris dari luar sekolah. Selanjutnya, tugas tersebut dilakukan oleh guru-guru
sekolah tersebut dengan kemampuan yang, menurut guru dan wakil kepala
sekolahnya, belum seperti diharapkan (Wawancara dengan Payudi, Selasa 29
Mei 2012). Secara umum, hal yang sama juga dialami oleh sekolah-sekolah
lainnya yang berstatus RSBI. Bahkan, izin untuk membuka RSBI di berbagai
daerah lain di Indonesia pernah diwacanakan untuk dihentikan karena realitas
kemampuan guru-guru yang tidak memadai untuk melaksanakan pembelajaran
dalam bahasa Inggris (Kompas, Kamis 10 Maret 2011, hlm. 12).
Kenyataan lain menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam bahasa
Inggris tidak menjamin bahwa dia mampu mengajar dalam bahasa Inggris.
Kemampuan berbahasa Inggris harus didukung oleh kemampuan pedagogis
untuk efektifitas proses pembelajaran.
RSBI melihat kemajuan berdasarkan pandangan yang keliru, yaitu
pembelajaran sesuatu dalam bahasa Inggris dianggap sebagai yang paling
hebat. Padahal Inggris dan Amerika Serikat maju bukan karena bahasa
Inggris, tapi karena menghayati kemajuan dan bernalar secara ilmu
pengetahuan (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012,
hlm. 27).
Dari uraian di atas tentang bahasa Inggris dan wacana PBI dapat
disimpulkan: pertama, secara sosial budaya, bahasa Inggris dipandang sebagai
bentuk kemajuan dan prestise yang dapat meningkatkan status sosial seseorang.

252
Secara ekonomi bahasa Inggris berperan sebagai modal untuk mengakses
informasi dan dunia kerja. Namun, penggunaan bahasa Inggris di RSBI juga
bermasalah, antara lain, karena kurangnya kompetensi tenaga kependidikan,
kurangnya efektifitas (pedagogi) penggunaan bahasa Inggris dalam mencapai
tujuan pembelajaran; kedua, secara budaya, penggunaan bahasa Inggris
berpotensi memarginalisasi bahasa nasional dan bahasa-bahasa local sebagai
identitas bangsa, dan secara politik dapat menghambat peluang bahasa
Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa internasional.

253
BAB VII
MAKNA HEGEMONI PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL
DALAM PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
Bab ini membahas makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah
umum. Pemaknaan dalam bab ini didasarkan pada pembahasan bentuk-bentuk
hegemoni dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hegemoni PBI dalam
pendidikan menengah umum. Makna hegemoni di sini juga menyangkut
pergulatan makna yang terkait dengan kesenjangan dan/atau keterhubungan
antara kebijakan PBI sebagai sebuah strategi yang bersifat hegemonik untuk
meningkatan kualitas pendidikan nasional dalam konteks sosio-ekonomi,
budaya dan wacana globalisasi dengan orientasi ideologisnya, kapitalisme dan
neoliberalisme beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Bab ini terdiri atas dua sub bab; sub bab pertama menyangkut makna
hegemoni PBI dalam konteks globalisme dan sub bab kedua tentang makna
politik pendidikan nasional. Makna hegemoni PBI dalam konteks globalisme
adalah terjadinya disorientasi pendidikan nasional yang menimbulkan bentuk-
bentuk hegemoni seperti stratifikasi dan komersialisasi pendidikan sedangkan
pada sub bab kedua terkait dengan politik pendidikan nasional dalam hal
munculnya kontra-hegemoni dan resistensi masyarakat terhadap wacana PBI
melalui mekanisme demokratis lembaga MK dan melalui berbagai wacana
yang bersifat kritis terhadap hegemoni negara atas pendidikan nasional
khususnya pendidikan menengah umum.

254
7.1 Makna Ideologis/Globalisme
Wacana PBI dalam hubungannya dengan globalisasi dan pendidikan
nasional berkembang melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral,
melalui kepemimpinan politik dan ideologis yang didukung oleh kaum
intelektual. Wacana pengetahuan oleh intelektual merasionalisasi PBI sebagai
solusi terhadap permasalahan pendidikan nasional menghadapi tantangan
globalisasi. Hal ini kemudian menghasilkan permasalahan politik, sosial,
ekonomi, dan budaya dalam bentuk-bentuk standarisasi pendidikan,
kapitalisasi dan komodifikasi pendidikan, stratifikasi pendidikan, pencitraan
kualitas internasional, dan marginalisasi identitas budaya sebagai akibat dari
berbagai faktor kuasa: politik pendidikan, otonomi manajemen pendidikan,
globalisasi dengan berbagai ideologi turunannya dan bahasa Inggris sebagai
bahasa internasional dan IPTEK.
Secara ideologis, negara merekayasa kesadaran masyarakat dan pelaku
pendidikan untuk mendukung kekuasaan negara melalui birokrasi dan
lembaga pendidikan sebagai sarana hegemoni yang beroperasi membentuk dan
mengarahkan perkembangan pendidikan nasional (Takwin, 2009: 74). Hal ini
sesuai dengan pemikiran Foucault tentang genealogi sebuah wacana dan
aplikasinya dalam kondisi historis yang spesifik (Barker, 2005: 512).
―…that the notion of hegemony is not free floating. It is in fact tied to
the state in the first place. That is, hegemony isn‘t an already
accomplished sosial fact, but a process in which dominant groups and
classes – manage to win the active concensus over whom they rule.‖
(Michael W.Apple, 1982: 26)

255
Secara teoretis, dalam konteks kajian budaya, “power” dan ideologi
mengonstruksi makna melalui produksi dan sirkulasi wacana, ideologi
merasionalisasi dan melegitimasi makna melalui instrumen ideologi yang
merepresentasikan “power”. Dominasi pasar, negara, elit, dan kelas menengah
yang dalam operasionalnya mendistorsi kesadaran masyarakat dalam melihat
sesuatu menyebar dalam bentuk praktik wacana. Dalam hal ini pemerintah
merancang satuan PBI dalam bentuk RSBI untuk mengembangkan sekolah
bermutu dalam konteks wacana standarisasi pendidikan untuk menghadapi
berbagai tantangan pada skala nasional, regional dan global.
Pengetahuan secara inheren bersifat ideologis, sosial dan politis dalam
arti tidak bebas nilai, merefleksikan nilai-nilai, gagasan, dan kepentingan
kelompok sosial tertentu (Foucault, 1977: 27-28; Mantra. D, 2011:17-18).
Dalam konteks pemikiran Foucault tentang kuasa/pengetahuan, kondisi sosial-
ekonomi, rendahnya kualitas pendidikan dan daya saing nasional merupakan
“pengetahuan objektif” bagi munculnya wacana UU Sisdiknas pada tahun
2000-an tentang pentingnya pendidikan nasional merespons situasi global. Hal
ini merupakan sebuah formasi diskursif antara pemerintah dan “kekuatan”
global. Dalam hal ini, posisi pemerintah dan elit politik pendidikan
“memanfaatkan” kesadaran kelompok masyarakat kedalam perspektifnya
tentang globalisasi. Globalisasi yang mengandung semangat persaingan dan
standar mutu dalam meningkatkan perekonomian nasional dipandang relevan
sebagai tantangan pendidikan nasional.

256
Wacana PBI dalam sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari
dinamika sosial, ekonomi dan politik yang dihasilkan oleh kapitalisme dan
liberalisme dalam lingkup global yang kemudian melahirkan hegemoni
globalisme. Negara dengan berbagai institusi yang menopangnya berperan
menghegemoni masyarakat melalui berbagai wacana UU, kebijakan, dan
berbagai peraturan untuk mendukung reformasi pendidikan nasional dalam
sistem kapitalisme global. Hegemoni PBI didukung oleh intelektual yang
merasionalisasi relevansi PBI dalam sistem pendidikan nasional yang
kemudian merefleksikan nilai-nilai, gagasan, dan kepentingan kelompok sosial
tertentu. Dengan demikian, hegemoni negara tentang PBI ditopang oleh
pengetahuan melalui kepemimpinan intelektual. Secara sosio-kultural, kuasa
pengetahuan dan hegemoni negara tersebut ditopang oleh budaya paternalistik
yang masih hidup di tengah masyarakat.
Konsep dan implementasi PBI telah berdampak politik, sosial, ekonomi
dan budaya bagi pendidikan nasional sehingga menimbulkan proses
pendidikan yang kontraproduktif dengan cita-cita pendidikan nasional. Dengan
konsep dan praktik pendidikan yang didasarkan pada UU Sisdiknas 2003,
secara politik terjadi hegemoni globalisme, secara sosial menimbulkan
diskriminasi dan stratifikasi pendidikan, secara ekonomi menimbulkan
komodifikasi pendidikan, secara budaya menghasilkan pencitraan dan
marginalisasi identitas bangsa khususnya melalui penggunaan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar di RSBI.

257
Dalam konsep dan implementasinya, RSBI/SBI mengandung ideologi
kekuasaan yang saat ini sedang menghegemoni dunia yang pada dasarnya
terjadi dalam tiga dimensi; yaitu intelektual, moral, dan politik. Dimensi
intelektual dan moral mengacu pada proses hegemoni yang melibatkan
kepemimpinan (penguasaan wacana pengetahuan) dan konsensus (pihak
subordinat menerimanya) sedangkan dimensi politik terkait dengan dominasi
wacana dan wewenang yang dimiliki negara untuk memaksakan PBI melalui
UU dan berbagai peraturan terkait yang bersifat represif untuk
diimplementasikan dalam bentuk program RSBI/SBI.
Hegemoni wacana globalisme melalui introduksi PBI dalam sistem
pendidikan nasional sarat dengan terminologi-terminologi dan jargon-jargon
yang terkonstruksi secara sistemik melalui isu-isu „pendidikan dan globalisasi‟,
“standard pendidikan internasional”, „pendidikan dan daya saing bangsa‟,
„bahasa Inggris dan pendidikan internasional‟, „pendidikan berbasis TIK‟, dan
sebagainya. Penggunaan bahasa Inggris dalam kegiatan pembelajaran sains dan
matematika secara jelas menunjukkan sebuah bentuk wacana imperialisme
berbasis rasionalisme pengetahuan dan pragmatisme ekonomi dalam
pendidikan.
Hegemoni standarisasi pendidikan dari perspektif guru sebagai kunci
proses pembelajaran menujukkan bahwa terjadi kesenjangan antara realitas
standar nasional pendidikan dan “taraf internasional” yang ingin dicapai
melalui kebijakan PBI dalam pendidikan menengah umum. Wacana PBI
menyembunyikan realitas objektif pendidikan nasional baik secara filosofis

258
maupun sosial, ekonomi dan budaya dan mengunggulkan serta merasionalisasi
pentingnya standarisasi menghadapi era globalisasi yang sarat dengan
kontestasi ideologis.
Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3) tentang
satuan PBI secara jelas mengandung semangat globalisme. Wacana globalisasi
menjadi salah satu “unsur pembentuk” visi pendidikan nasional yang
berorientasi pada kualitas pendidikan di negara-negara OECD yang merupakan
agen agenda globalisasi. Globalisasi menurut Appadurai (2007) beroperasi
melalui ideologi, teknologi dan media dalam dunia pendidikan. Susan L.
Robertson (University of Bristol, 2006: 303-318) dalam karyanya „Absences
and Imaginings: The Production of Knowledge on Globalisation and
Education‟ menjelaskan bahwa globalisasi menciptakan sebuah “apartheid”
bagi masyarakat akademik. Wacana globalisasi menciptakan peluang
komersialisasi pendidikan dalam bentuk distribusi pengetahuan melalui TIK.
Menurut Susan, WTO sebagai lembaga perdagangan internasional berperan
penting dalam negosiasi perdagangan yang melibatkan negara-negara barat
untuk mempromosikan liberalisasi sektor jasa pada skala global
(http://www.bris.ac.uk/education/research/centres/ges/publications/02slr.pdf:
akses 13 Agustus 2013).
Dalam konteks pendidikan nasional, menurut tokoh pendidikan Ki
Hajar Dewantoro pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang diarahkan
untuk mengolah dan mengubah kondisi sosio-kultural masyarakat. Namun,
dalam perkembangan pendidikan nasional, melalui “instrumen” pendidikan,

259
pemerintah justru menghegemoni masyarakat melalui kebenaran-kebenaran
yang dibangun berdasarkan rasionalitas ilmu pengetahuan dan kekuasaan.
Dalam bukunya yang berjudul „Prison Notebooks‟ (1971) Antonio Gramsci
menyatakan bahwa hegemoni kekuasaan dapat dioperasikan menjadi hegemoni
makna melalui instrumen pendidikan untuk kepentingan kelas sosial tertentu.
Pemikiran Gramsci tentang dominasi suatu kelompok atas kelompok
lainnya tidak terelakan dalam suatu negara karena dalam operasinya ide-ide
yang “disosialisasikan” oleh pihak dominan diterima begitu saja sebagai hal
yang wajar dan rasional oleh pihak subordinat. Gagasan-gagasan tentang
pendidikan seperti PBI secara sadar diarahkan oleh negara dan diterima begitu
saja oleh masyarakat. Dalam konteks hegemoni internasional, kewajiban
bersekolah, misalnya, menentukan peringkat kemajuan bangsa-bangsa di dunia
menurut “rezim internasional”. Keberhasilan suatu negara di bidang
pendidikan ditentukan berdasarkan, misalnya, jumlah tahun rata-rata warganya
bersekolah. Inilah sebuah bentuk dominasi pemikiran dalam pendidikan yang
berorientasi globalisasi.
Sebagaimana ditekankan dalam uraian terdahulu bahwa ilmu
pengetahuan dan pendidikan tidak pernah bersifat netral (Sirozi, 2007 dan
Tillar, 2009), selalu menjadi alat politis untuk mempertahankan status quo.
Kekuasaan (negara) beroperasi melalui sistem pendidikan sebagai sarana
pendisiplinan masyarakat dan warganya. Dalam sejarah Indonesia, pendidikan
sebagai apparatus ideologis telah digunakan oleh pemerintah untuk
menghegemoni masyarakat tentang nilai-nilai sosial, ekonomi dan kultural.

260
Pada era prakolonial pendidikan bersifat elitis, pendidikan dianggap sebagai
hak istimewa kelompok elit. Selanjutnya, pada masa kolonial, pemerintah
Belanda secara diskriminatif memberi akses pendidikan kepada pemuda
pribumi untuk mengisi birokrasi pemerintahan kolonial sekaligus sebagai alat
untuk melestarikan kekuasaannya. Pada masa Orde Lama, pendidikan
diarahkan untuk membangun nasionalisme di kalangan generasi muda.
Selanjutnya, pemerintahan Orde Baru mendukung liberalisme dengan,
misalnya, meratifikasi pendidikan sebagaimana dikehendaki WTO dengan titik
kulminasinya pada lahirnya UU Sisiknas No.20/2003 pada era reformasi.
Dinamika orientasi politik pendidikan sebagai perjuangan politik dapat
digambarkan dengan bagan berikut.
Bagan 4. Dinamika Arah Politik Pendidikan Kolonial-Reformasi
Cambridge dan Thompson (2004), menyatakan bahwa sekarang istilah
“internasional” merujuk pada ideologi pendidikan yang disebut sebagai
“internasionalisme” (internationalism), yakni pemikiran yang cenderung go
KOLONIAL Kolonialisasi Hindia Belanda
ORDE LAMA Nasionalisme dan Sosialisme
Indonesia
ORDE BARU Pembangunan Ekonomi
REFORMASI Demokratisasi dan Daya Saing
bangsa

261
international dalam pendidikan melalui sekolah-sekolah berlabel internasional.
Dari perspektif posmodernisme, praktik pendidikan “internasionalisme”
tersebut membuat gambaran dunia internasional serba baik dan natural bagi
sekolah dan sistem pendidikan secara umum. Pandangan internasionalisme
pendidikan adalah bahwa sistem dan praktik pendidikan harus diarahkan pada
dunia internasional. Padahal, label “rintisan sekolah bertaraf internasional”
tidak perlu dicantumkan agar kualitas pendidikan nasional diperhitungkan
negara-negara lain. Pendidikan yang berakar pada budaya bangsa, asal
ditangani serius, bisa bersaing dengan negara lain (Kompas, Rabu 21 Maret
2012).
7.2 Makna Sosial-Ekonomi
Piliang (2004: 361) dalam bukunya Dunia Yang Dilipat: Tamasya
Melampaui Batas-batas Kebudayaan menyatakan bahwa pendidikan
merupakan sebuah wacana, yang di dalamnya sikap ilmiah, objektivitas, sikap
kritis, kebebasan, dan pikiran bebas dibentuk secara sadar yang menjadi
fondasi dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Namun, ketika
pendidikan menjadi sebuah alat kekuasaan, seperti kekuasaan kapitalisme,
maka pendidikan menjadi wacana bagi penciptaan kepatuhan total (total
discipline) terhadap kekuasaan yang memperalatnya. Pendidikan menjadi
sebuah alat kontrol pikiran (mind) yang sistematis untuk memenjarakan
pikiran setiap orang ke dalam satu dimensi yaitu dimensi komersial.

262
Pengetahuan di era kebudayaan posmodern dikemas dalam bentuk
komoditas informasi dalam memperebutkan kekuasaan pada skala global.
Pengetahuan dan informasi dijadikan komoditas untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme menjadikan pendidikan serta
pengetahuan sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan. Ketika negara
lepas tangan dari praktik kapitalisme dalam pendidikan maka merkantilisme
pengetahuan, yaitu komodifikasi pengetahuan dalam berbagai bentuk wacana
komersial dan komodifikasi muncul di dalam sistem pendidikan, sehingga
fungsi sosial dan peran produktif dan nilai humanisme pendidikan menjadi
terabaikan (Piliang, 2004: 361-362). Hal ini dapat dipahami melalui kenyataan
empiris dan implementasi satuan PBI melalui kutipan berikut.
Ya biaya pendidikan di RSBI memang relatif mahal, tetapi itu juga karena
adanya pungutan-pungutan oleh sekolah yang tidak terkontrol...Saya tahu
ada sekolah yang melakukan pungutan biaya besar dari orangtua siswa
tetapi pengalokasiannya sebenarnya bukan untuk program dan kegiatan
penguatan kualitas pendidikan..Jadi ke depan ini yang perlu diikontrol
oleh pemerintah (Wawancara dengan Slamet, 25 Agustus, 2012).
Internasionalisasi pendidikan tidak muncul dalam kevakuman budaya.
Dalam proses globalisasi, ada motif sosial-budaya untuk mempersiapkan siswa
menjadi warga global. Secara politis dan ekonomi, internasionalisasi
pendidikan penting untuk diplomasi budaya dan peningkatan kesejahteraan
warga negara. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia telah lama
menjadikan pendidikan sebagai salah satu sumber devisanya. Inggris dan
Amerika Serikat juga termasuk dua negara pengekspor jasa pendidikan terbesar
di dunia. Dengan demikian, tidak mengherankan bila sektor pendidikan
termasuk salah satu “komoditas” dalam General Agreement on Trade in

263
Services (GATS) yang dimotori dan dipromotori oleh negara-negara maju
seperti Amerika Serikat dan Australia.
WTO dengan ideologi neoliberalismenya tidak hanya mengatur
produk-produk industri tetapi juga produk jasa pendidikan untuk tunduk pada
mekanisme pasar. Akibatnya, hukum-hukum ekonomi berpengaruh terhadap
berbagai keputusan tentang pendidikan. Di kalangan masyarakat kemudian
muncul semacam propaganda bahwa “pendidikan bermutu itu mahal”.
Ungkapan seperti ini merupakan rasionalisasi dan justifikasi mahalnya
pendidikan (bertaraf internasional). Dengan tingginya biaya pendidikan, akses
masyarakat ekonomi lemah terhadap pendidikan menjadi terbatasi. Dalam hal
inilah, keadilan sosial dan nilai-nilai ”gotong royong” dalam konteks
keindonesiaan terasa dipertukarkan dengan konsep-konsep penting dalam
wacana ekonomi liberal seperti produktifitas, daya saing, efisiensi, dan
keuntungan sebesar-besarnya (Zajda, 2005; xiii-xiv; Barker, 2005: 133).
Praktek komersialisasi pada sekolah-sekolah RSBI tidak terlepas dari
kebijakan pendidikan yang berorientasi globalisme seperti standarisasi
pendidikan dalam bentuk Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang
merupakan turunan dari tuntutan sertifikasi manajemen ISO. Munculnya
wacana MBS sejak tahun 1980-an dimaksudkan untuk pemberdayaan
pendidikan di daerah yang di dalamnya terkandung semangat pengalihan
kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pengelolaan pendidikan dari
birokrasi pusat ke sekolah dan komunitasnya. Selain itu, dasar pemikiran
penerapan MBS ini juga terkait dengan rendahnya mutu pendidikan menengah

264
yang disebabkan oleh faktor penyelenggaraan sekolah yang birokratis-sentris
(Suparno, 2002: 58-59).
Kewenangan sekolah secara otonom dalam mengambil suatu keputusan
sangat penting untuk memajukan sekolah. Partisipasi masyarakat dalam
memajukan sekolah merupakan salah satu semangat dari pentingnya MBS
diterapkan. Implementasi otonomi sekolah yang diberdayakan melalui MBS
telah membuat kekuasaan Kepala Sekolah bertambah besar dibanding
sebelumnya yang hanya berperan sebagai “operator” Dinas Pendidikan.
Namun, MBS sebagai wujud otonomi sekolah justru memberi “ruang bebas”
bagi pihak sekolah untuk menghimpun dana pendidikan dari masyarakat.
Kepala Sekolah secara leluasa dapat membuat dan mengimplementasikan
kebijakan yang terkait dengan anggaran sekolah (Paat, 2011: 257-258).
Dalam pratiknya, MBS lebih berperan sebagai “stimulus” bagi sekolah
untuk menggalang partisipasi masyarakat dalam pembiayaan berbagai program
pendidikan yang ternyata sulit dikontrol oleh pemerintah. Komite Sekolah
menjadi alat legitimasi bagi kebijakan sekolah, dan justifikasi untuk lepasnya
tanggungjawab negara dari permasalahan fundamental pendidikan. Pendidikan
(sekolah) menjadi urusan “individu atau privat” yang dapat dikelola secara
efisien dan efektif sesuai kebutuhan “klien” pendidikan (Suparno, 2002: 58-59;
Robertson, 2000:174 dalam Darmin: 108-109).
Karena di kelas internasional…itu satu tahun anak membayar Rp.
31.000.000,00, tapi itu sudah yang termurah karena kalau yang termahal di
Jakarta itu ada Rp. 45.000.000,00, untuk kelas internasional...pokoknya
betul-betul memang ada barang, ada harga, ya. (Retno L, Risalah Sidang
MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm.24).

265
Dalam Kepmendiknas No. 044 Tahun 2002, Komite Sekolah diizinkan
untuk mengembangkan sekolah melalui partisipasi pendanaan dari masyarakat.
Sekolah bisa menghimpun dana dari orangtua siswa atas persetujuan komite
sekolah. Dengan legitimasi komite sekolah dan rasionalisasi penguatan proses
peningkatan kualitas pendidikan, sekolah menjadi tempat “transaksi produk”
pendidikan seperti kegiatan berkedok study tour, pertukaran pelajar, dan studi
banding. Sekolah menjadi institusi yang konsumtif dan membebani
masyarakat. Layanan pendidikan cenderung berorientasi pada pemenuhan
selera konsumen. Hal ini mengakibatkan terjadinya proses reifikasi pendidikan
dalam arti membendakan segala sesuatu yang dapat dijadikan objek (anak
didik) yang dapat diukur untuk memenuhi tuntutan pasar dengan kompetensi
yang terukur yang kemudian melahirkan berbagai kegiatan pendidikan dan
pelatihan untuk memeroleh kompetensi dan sertifikasi sebagaimana tergambar
dari kutipan berikut.
Reifikasi proses pendidikan secara logis melahirkan berbagai ukuran
standarisasi serta kompetensi-kompetensi untuk memenuhi standar
tersebut. Dalam dunia ekonomi hal ini memang suatu yang diharuskan
untuk memperoleh produk-produk yang semakin lama semakin berkualitas
dalam arti sesuai dengan selera konsumen (Tilaar, 2006: 20-21).
Menurut Tilaar (2006: 20) reifikasi proses pendidikan merupakan
bagian dari proses produksi yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
manajemen seperti prinsip-prinsip efisiensi dan produktifitas. Dalam hal ini
pendidikan dipandang sebagai kegiatan investasi yang dapat memberikan
keuntungan sebasar-besarnya. Proses pendidikan yang dilaksanakan dengan

266
prinsip-prinsip efisiensi dan orientasi kualitas tinggi sesuai selera konsumen
dapat mematikan kreatifitas dalam proses pembelajaran.
Hadirnya sekolah-sekolah publik “bergengsi” internasional menuntut
pembiayaan yang lebih mahal dibanding sekolah-sekolah pada umumnya. Hal
yang sama terjadi pada RSBI dengan, misalnya, memungut “uang
pembangunan” dari masyarakat dan orangtua siswa untuk memenuhi
pembiayaan berbagai standar pendidikan yang seharusnya bagian dari
tanggungjawab pemerintah. Dengan orientasi “standar internasional”, sekolah-
sekolah semakin menuntut standarisasi berbagai komponen pendidikan seperti
proses pembelajaran dan sarana prasarana yang berkontribusi terhadap
tingginya biaya pendidikan dan kemudian menyingkirkan (calon) siswa-siswa
yang berlatar belakang ekonomi lemah.
Dari segi biaya pendidikan di sekolah RSBI dengan segala implikasi
sosialnya, terdapat “plesetan” di masyarakat seperti “Rintihan Sekolah Bertarif
Internasional” (RSBI) dan Rintisan Sekolah Bencana bagi Indonesia” (RSBI).
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan RSBI tidak hanya bermasalah dari
segi akademik tetapi juga dari segi sosial, ekonomi dan budaya. Dalam konsep
Bourdieu, keberadaan sekolah RSBI ini menimbulkan “kekerasan simbolik”
secara ekonomis dan psikologis. Heru, salah seorang orangtua murid yang
mengeluhkan keberadaaan RSBI pernah menyaksikan pernyataan pihak
manajemen sekolah di tempat anaknya bersekolah seperti kutipan berikut.
Sekolah ini bagus, pakai AC, terkenal, RSBI, jadi boleh dong kalau
dimintai bayaran. Kalau mau gratis, ya sekolah di tempat lain saja, di
sekolah yang biasa-biasa saja, jangan di sini!” …di Jakarta kencing saja
bayar, apalagi sekolah RSBI.… kalian sekolah diantar pakai mobil, punya

267
rumah, dan pakai HP… (Heru, Risalah Sidang, Selasa 15 Mei 2012, hlm.
22).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ada semacam modus yang disebut
Bourdieu sebagai kekerasan simbolik dalam bentuknya yang sangat halus
dengan rasionalisasi bahwa RSBI itu berkualitas, memiliki sarana prasarana
multimedia yang canggih dan karenanya biaya pendidikannya wajar mahal.
Bahasa dan makna simbolik dari pihak “penguasa” dilontarkan lewat sebuah
mekanisme tersembunyi dari kesadaran dan diterima begitu saja sebagai doxa
oleh pihak ”korban” (Takwin, 2009: 116-117).
Dari segi konsep dan implementasi, RSBI merupakan wujud liberalisasi
pendidikan nasional yang menempatkan pendidikan sebagai komoditas
sehingga pendidikan menjadi kehilangan “ruh” dan fungsinya sebagai sarana
transformasi sosial. Menurut Chorney (2010:13-14) komersialisasi pendidikan
dalam konteks globalisasi ditandai dengan terjadinya praktek komersial yang
mendukung perekonomian. Sektor pendidikan memasuki sistem pasar bebas
sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.
…the free-trade educational services context would facilitate academic
mobility in terms of cross-border supply,which would include IT-
facilitated education and the franchising of courses and degrees, and
commercial presence, whereby the service provider establishes facilities in
another country, including branch campuses and joint ventures (Chorney,
2010:13-14).
Dalam konteks kehidupan modern, sebagai implikasi dari tuntutan
masyarakat kapitalis dan liberal, standarisasi dan kompetensi merupakan
tuntutan mutlak. Masyarakat konsumen menuntut produksi dan kualitas
layanan dalam semangat persaingan bebas. Perusahaan yang tidak dapat

268
bersaing melalui kualitas produk dan layanannya akan ditinggalkan oleh
konsumen. Dalam hal inilah prinsip efisiensi dalam berbagai jaringan produksi
dituntut untuk menjamin kualitas standar produksi. Hal inilah yang melahirkan
kesepakatan-kesapakatan internasional yang diatur dalam ISO dan peran WTO
yang memasukkan layanan pendidikan di dalam komoditas perdagangan bebas
(Tilaar, 2006: 34-35)
Komersialisasi pendidikan yang mendukung perkembangan ekonomi
dimaknai sebagai peluang untuk sukses dalam arena persaingan global.
Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk menghasilkan warga
negara yang humanis. Dalam hal ini, komodifikasi pendidikan tidak terlepas
dari ideologi globalisme dan neoliberalisme dengan berbagai realitas
“kebijakan” lainnya seperti, orientasi standar pendidikan OECD dan
manajemen ISO, penerapan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, adaptasi
kurikulum Cambridge, penerapan pembelajaran berbasis TIK, yang masing-
masing dan semuanya berkontribusi terhadap mahalnya biaya pendidikan, yang
kemudian dapat menyingkirkan peluang kelompok sosial tertentu mengakses
pendidikan bermutu.
Secara ekonomis, bentuk kerjasama sekolah RSBI dengan lembaga atau
sekolah di luar negeri seperti Cambridge berimplikasi pada adaptasi kurikulum
dan penggunaan buku-buku impor. Dari segi bisnis, penggunaan buku teks
impor tidak hanya menyangkut aspek ekonomi tetapi juga nilai-nilai budaya
dan pengetahuan. Penggunaan buku-buku impor dapat menguatkan hubungan
hegemonik antara negara-negara maju dan Indonesia.

269
“Ya terus terang ya pengelolaan RSBI memang cukup mahal ya…biaya
operasional listrik sangat tinggi karena penggunaan fasilitas sarana
prasarana, AC..termasuk buku-buku impor yang memang cukup mahal
harganya.. (Wawancara dengan Supanto, Senin 11 Juni 2012)
Menurut teori reproduksi sosial, sekolah sebagai lembaga pendidikan
dapat mereproduksi ketidakadilan sosial melalui analisis reproduksi dari tiga
perspektif: ekonomi, budaya, dan linguistik” (http://wiki.answers.com). Dalam
hal ini, terdapat hubungan antara sekolah dan ekonomi, budaya, dan linguistik.
Produksi dan distribusi buku teks, misalnya, merupakan proses yang
melibatkan berbagai pihak. ”The creation, production and distribution of
textbooks is a complex process involving many parts of a society's
infrastructure. The publishing industry is involved, as are the educational
establishment, writers and, inevitably, government departments…” (Limage,
2005).
Dengan adanya kerjasama dengan sekolah-sekolah di luar negeri yang
kemudian berimplikasi pada penggunaan bukup-buku impor, maka biaya
pendidikan semakin tinggi dan bahkan sebagian biaya pendidikan tersebut
”mengalir” ke luar negeri. Padahal, salah satu argumentasi pemerintah dan
pendukung keberadaan RSBI adalah bahwa sekolah ini dapat mencegah
”capital flight” dengan menampung hasrat warga negara Indonesia yang
berkemampuan ekonomi tinggi untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-
sekolah berkualitas di luar negeri. Secara ekonomis, pengadaan dengan
importasi buku teks yang disebutkan di atas juga menyangkut kekuatan kapital
yang dapat mengakibatkan ”capital flight”, sebagaimana tergambar dari
kutipan berikut.

270
… mereka harus beli buku-buku sendiri. Buku-bukunya itu ya buku
Cambridge, keluaran … dan berbahasa Inggris. Buku-buku itu kalau untuk
dua puluh paket saja, misalnya semester lalu yang saya tahu, itu
pembeliannya Rp123.000.000,00 itu ditransfer karena memang itu
pembeliannya melalui Cambridge ya… (Retno, Risalah Sidang MK,
Selasa 20 Maret 2012, hlm. 27).
Menurut Supanto, penanggungjawab RSBI di SMA Negeri 2 Bandarlampung,
biaya pengeluaran untuk kerjasama dengan lembaga di luar negeri seperti
Cambridge untuk satu mata pelajaran saja dengan buku teks impor dibutuhkan
kira-kira Rp. 400.000-500,000,- per siswa untuk satu semester. Secara umum,
komponen biaya untuk kerjasama dengan salah satu negara OECD cukup
tinggi dan biaya ini dibebankan kepada orangtua siswa ...(Wawancara 6 April
2013).
Dalam konteks globalisasi yang sarat dengan politik ekonomi dan
persaingan, kebijakan ”benchmarking” seperti pengadaan buku impor dan
kerjasama internasional berkontribusi terhadap tingginya biaya pendidikan.
Bagaimanapun, hal ini melibatkan pelaku-pelaku bisnis dengan prinsip-prinsip
ekonomi-kapitalisme. Dalam konteks ini, menurut Darmin, seorang praktisi
pendidikan, menyatakan:
RSB/SBI menciptakan ketidakadilan sosial, menghalangi setiap warga
negara untuk menikmati pendidikan yang berkualitas... Dampak dari
komodifikasi pendidikan internasional dan global adalah meningkatnya
ketidakadilan internasional. RSBI…SBI lebih mementingkan persaingan,
“Siapa yang kuat, dia yang menang.” (Darmin, Risalah Sidang MK,
Selasa 20 Maret 2012, hlm. 18).
Kutipan di atas menegaskan bahwa pendidikan dengan desain RSBI lebih
berfokus pada aspek ekonomi. Globalisasi dengan ideologi kapitalismenya
telah melahirkan permasalahan sosial budaya seperti komodifikasi pendidikan

271
yang menimbulkan ”korban” sebagian masyarakat yang tidak mampu bersaing
untuk keadilan.
7.3 Makna Pemberdayaan/Profesionalisme
Makna pemberdayaan dalam pembahasan ini menyangkut realitas
lemahnya posisi guru dalam pendidikan nasional dan dalam hubungannya
dengan wacana PBI. Dari delapan standar nasional pendidikan yang menjadi
acuan pengembangan pendidikan nasional, tenaga kependidikan khususnya
guru merupakan kunci dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Pada
kenyataannya, kondisi komponen (kualifikasi) tenaga kependidikan khususnya
guru masih mendekati SNP (S1, DIV, tersertifikasi). Hal ini tidak sesuai
dengan misi pendidikan nasional yang berorientasi pada standar internasional
di tengah permasalahan kondisi kebanyakan SMA masih di bawah SNP.
Menurut UU seluruh SMA atau sekolah sejenis memiliki hak yang
sama untuk misalnya pengembangan guru profesional dan izin menggalang
dana dari masyarakat dalam upaya memajukan pendidikan. Sesuai UU
Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal 41 ayat (3): “Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga
kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu.“ Pada kenyataannya, sekolah yang berlabel RSBI mendapat
fasilitas lebih banyak dan perlakuan khusus dalam pengembangan guru dan
berbagai kompenen pendidikan lainnya sehingga menimbulkan kesenjangan

272
mutu antarsekolah. Hal ini adalah akibat perlakuan atau kebijakan politik
pendidikan yang tidak sensitif secara sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Menurut Tilaar (2006: 66), kualitas pendidikan dapat diukur dari segi
ekonomi, sosial politis, sosial budaya, dari perspektif pendidikan itu sendiri,
dan dari perspektif globalisasi. Dalam konteks ini, profesionalisme guru
merupakan kunci bagi keberhasilan implementasi sebuah kurikulum dan
berbagai komponen standar pendidikan lainnya. Penegasan guru sebagai
pekerjaan khusus telah termaktub dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005
pasal 5 ayat (1) bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan
khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Undang-Undang tersebut
juga mengamanatkan peningkatan mutu guru untuk mendongkrak mutu
pendidikan nasional.
Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 78 Jakarta, Ridnan (wawancara
Rabu 21 Maret 2012) juga menyatakan bahwa tidak semua guru tetap MIPA
dan Bahasa Inggris yang ada di sekolah tersebut mengajar di kelas
internasional. Guru-guru diseleksi sesuai standar kelas internasional.
Permasalahannya kemudian adalah selain tentang kriteria ”internasional” yang
dapat diperdebatkan juga tentang terjadinya kecemburuan bagi guru-guru
lainnya, khususnya guru yang tidak terlibat dalam kelas internasional. Dalam
bentuk yang berbeda, kehadiran RSBI pada SMA Negeri 2 Bandarlampung
bahkan menimbulkan resistensi dari sebagian guru karena mereka memandang
bahwa standar tinggi (komponen pendidik atau guru) yang ditetapkan tidak
realistik. Resistensi muncul dalam berbagai bentuk, misalnya, keengganan

273
sebagian guru untuk mengikuti pelatihan bahasa Inggris untuk peningkatan
profesionalisme mereka.
Ya ada memang… ada beberapa guru juga yang apatis itu dengan RSBI
ini, mengapa repot-repot dengan RSBI ini… kita hendak kemana…gitu.
(Wawancara dengan Sp 6 April 2013).
Globalisasi dalam dirinya memang menuntut penyesuaian-penyesuaian
budaya khususnya di negara-negara yang tidak memiliki kultur persaingan
seperti dalam budaya Indonesia pada umumnya. Dalam hal kenyataan yang
diungkapkan di atas, permasalahan guru sebagai pekerjaan profesional perlu
dikaji dalam kaitannya dengan realitas di sekolah dan lembaga penghasil guru.
…lembaga yang terkait dengan pengembangan profesi guru perlu lebih
berani dan lebih banyak memberikan kemungkinan di mana para guru
dapat mengembangkan dirinya… Dengan cara ini, pembentukan guru yang
otonom dan profesional dapat terjadi sepanjang pekerjaannya menjadi guru
(Suparno, dkk, 2002: 106).
Guru tidak cukup hanya memiliki kompetensi akademik, tetapi juga
sikap kritis terhadap aspek sosial budaya untuk dapat menjadi guru intelektual
atau guru organik. Guru harus mencapai tingkat kesadaran kritis untuk mampu
menyeleksi berbagai informasi dan melakukan distribusi ilmu pengetahuan.
Dalam konteks inilah guru harus diberdayakan sebagai bagian profesionalisme
sehingga dapat menjadi guru intelektual dan otonomi. Franz Magnis-Suseno
dalam kata pengatarnya pada Peran Intelektual oleh Edward Said, menyatakan:
Seorang intelektual mengatakan yang dianggapnya benar, entah sesuai
atau tidak dengan kuasa-kuasa yang ada! Maka ia lebih cenderung ke
oposisi daripada ke akomodasi. Dosa paling besar orang intelektual adalah
apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi ia menghindar. Ia
tidak pernah boleh mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa (Magnis,
1998: xi).

274
Dalam konteks manajemen pendidikan, pemerintah dan para birokrat
pendidikan juga harus bersikap kritis terhadap dinamika global dari segi sosial,
ekonomi, budaya, dan politik sehingga misi dan substansi pendidikan benar-
benar melayani kepentingan masyarakat dan pemangku kepentingan
pendidikan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chetty, Friedman, dan Rockof
(2011): The Long-term Impacts of Teachers: Teacher Value Added and Student
Outcomes in Adulthood, beberapa kesimpulan tentang peran profesionalisme
guru dalam hubungannya dengan kurikulum dan keberhasilan siswa setelah
lulus dari sekolah: (1) sukses masuk ke perguruan tinggi; (2) memasuki
perguruan tinggi kelas papan atas; (3) mendapatkan gaji yang lebih tinggi
setelah bekerja; (4) hidup di lingkungan sosial ekonomi yang lebih tinggi; dan
(5) menabung lebih banyak untuk masa pensiun (Suyanto, Kompas, Senin 1
April 2013, hlm. 7).
7.4 Makna Emansipatoris
Dari perspektif teori-teori kritis, eksistensi RSBI dalam sistem
pendidikan nasional merupakan arena pertarungan wacana antara kelompok
dominan dan kelompok subordinat. Kelompok dominan dalam hal ini adalah
negara dan kelas menengah masyarakat yang mendukung eksistensi RSBI/SBI
dan kelompok yang menentangnya yang diwakili oleh kelompok aktivis
pendidikan dan intelektual, masyarakat sipil, dan media massa yang bersikap
kritis terhadap keberadaan RSBI/SBI. Kelompok-kelompok tersebut

275
memproduksi berbagai wacana dengan kekuasaan hegemonik dan simbolik
yang dimilikinya untuk melegitimasi posisi masing-masing. Mereka yang pada
posisi dominan memproduksi orthodoxa, yakni wacana yang dianggap absah
(doxa) dan memperkuat posisi dominan sedangkan agen pada posisi
subordinat berupaya memproduksi heterodoxa yaitu wacana yang menentang
doxa. Dalam hal ini wacana sebagai praksis merupakan dialektika antara
habitus dan ranah (Bourdieu 1991: 239; Bourdieu 1977: 168-169).
Penolakan masyarakat terhadap RSBI/SBI hingga akhirnya dibatalkan
oleh lembaga MK merupakan praksis sosial yang resisten terhadap eksistensi
PBI dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dapat dijelaskan melalui
pemikiran Gramsci tentang counter-hegemony dan pemikiran Foucault tentang
prinsip wacana kuasa/pengetahuan seperti pada sidang-sidang MK yang
menggugat dasar hukum eksistensi RSBI yang dinilai tidak sesuai dengan
konstitusi. Dengan kata lain, eksistensi PBI tidak hanya merupakan bentuk
hegemoni negara tetapi juga pengaruh wacana kuasa/pengetahuan (Foucault)
tentang pendidikan yang “benar” yang berhubungan dengan globalisasi dan
pendidikan nasional.
Pertarungan simbolik dalam arena pendidikan tampak dari pemikiran
penguasa (negara) tentang relevansi PBI dalam konteks globalisasi berhadapan
dengan pemikiran (kontra-wacana) yang dilandasi semangat konstitusi dan
cita-cita pendidikan nasional. Di satu pihak, Negara dalam hal ini pemerintah
memandang bahwa PBI merupakan jawaban terhadap permasalahan kualitas
dan dayang saing Indonesia yang rendah baik pada arena internasional maupun

276
nasional. Di pihak lain, semangat konstitusi menekankan bahwa pendidikan
adalah hak setiap warga negara dan setiap warga negara berhak atas akses
pendidikan bermutu secara adil. Hak masyarakat seharusnya tidak boleh
dibatasi sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.
untuk masuk RSBI, berdasarkan keluhan masyarakat, pintar saja tidak
cukup karena membutuhkan biaya masuk sekolah yang sangat mahal.
Di sisi lain, pemerintah sudah mengucurkan dana cukup besar bagi
setiap sekolah berstatus RSBI. Kalaupun ada alokasi kursi 20 persen
untuk siswa miskin, tetap saja bukan solusi karena terjadi diskriminasi
yang sangat mencolok dalam fasilitas sekolah, terutama di sekolah
negeri (Kompas, Jumat 2 Desember 2011, hlm. 12).
Pendidikan sebagai institusi merupakan aparatus ideologis yang
strategis bagi kekuasaan dominan untuk menghegemoni masyarakat tentang
nilai-nilai sosial, ekonomi dan kultural melalui PBI. Hal ini kemudian
mendapat perlawanan politik dari kelompok intelektual dan masyarakat sipil
baik melalui lembaga MK maupun lembaga media massa. Perlawanan ini
muncul dalam bentuk wacana yang menyadarkan masyarakat tentang hakikat
dan fungsi pendidikan nasional. Tokoh intelektual dan Mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, pada Sidang MK di Jakarta,
sebagaimana dikutip oleh sebuah media cetak nasional menyatakan:
Saya sangat menentang pembelajaran di RSBI/SBI dengan alasan bernalar.
Saya menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI dari Bumi
Indonesia yang merdeka dan berdaulat (Kompas Rabu 16 Mei 2012, hlm.
12).
Menurut Daoed Joesoef program RSBI/SBI merupakan bentuk
pengingkaran terhadap tujuan dan fungsi pendidikan nasional. Hakekat dan
fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk peradaban bangsa yang bermartabat yang tidak dapat dicapai

277
melalui RSBI/SBI yang berorientasi pada negara-negara OECD kendati
dikaitkan dengan tantangan globalisasi. Globalisasi sendiri merupakan arena
kontestasi yang melibatkan berbagai kepentingan. Hal ini diperkuat oleh
penjelasan seorang narasumber dengan menyatakan:
…Ya menurut saya model sekolah RSBI/SBI ini memang lebih
mementingkan persaingan dan prinsip “Siapa yang kuat, dia yang
menang.”, yang jelas tidak cocok dengan nilai-nilai budaya kita. Kualitas
pendidikan OECD yang menjadi acuan penyelengaraan RSBI/SBI
merupakan terusan dari paham neoliberalisme-kapitalis (Wawancara
dengan Darmin, 2 Mei 2012).
Dalam hal ini, wacana globalisasi dan ideologi kekuasaan berpengaruh
terhadap proses hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Sekolah
sebagai aparatus ideologis difungsikan oleh negara untuk menghegemoni dan
mendisplinkan masyarakat tentang pendidikan dan orientasi nilai yang baik
sesuai tantangan nasional dan global (Foucault, 2002: 9; Gramsci, 1971: 57).
Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan satuan PBI, Pasal 50
ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang “satuan
pendidikan yang bertaraf internasional” dinilai bertentangan dengan esensi
Pasal 31 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam wacana publik,
khususnya melalui Uji materi UU Sisdiknas oleh MK terungkap bahwa Pasal
50 ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas tersebut dinilai bertentangan dengan
Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 281 ayat (2), Pasal 31 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan mengacu
pada pasal-pasal yang disebutkan di atas pihak pemohon uji materi UU
Sisdiknas 2003 mengajukan beberapa argumentasi yang pada initinya sebagai
berikut.

278
1. dana untuk penyelenggaraan RSBI dan SBI berasal dari APBN tidak
sebanding dengan manfaat yang didapatkan. Terdapat sekolah yang tidak
menggunakan dana ini untuk meningkatkan mutu sekolah melainkan
digunakan untuk membangun sarana dan prasarana sekolah. Selain itu,
orang tua murid seharusnya tidak dibebani lagi dengan biaya sekolah
seperti biaya pendaftaran, biaya gedung dan biaya pendidikan;
2. bahwa satuan PBI tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, karena standar
kompetensi lulusan di negara maju belum tentu sesuai dengan kondisi
bangsa Indonesia;
3. satuan PBI menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia karena
dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan
nasional” yang dapat diartikan sebagai satu sistem yang digunakan dalam
dunia pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan nasional maka
dengan adanya satuan PBI menurut Pasal 50 undang-undang a quo
menimbulkan dualisme pendidikan;
4. satuan PBI adalah bentuk liberalisasi pendidikan karena negara
mengabaikan kewajibannya membiayai sepenuhnya pendidikan dasar dan
membiarkan sekolah yang menyelenggarakan program RSBI dan SBI
untuk memungut biaya pendidikan kepada masyarakat;
5. satuan PBI menimbulkan diskriminasi dalam bidang pendidikan. Hal ini
melanggar hak bagi warga negara terutama bagi siswa yang berasal dari
keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, Kuota bagi siswa miskin
yang berprestasi mengabaikan hak seluruh warga negara untuk
mendapatkan pendidikan yang layak;
6. satuan PBI berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang
berbahasa Indonesia karena proses pendidikan RSBI dan SBI
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Hal ini dinilai
tidak melahirkan manusia berkepribadian Indonesia (Sumber: Ringkasan
Permohonan Perkara Tentang “Pelaksanaan Program RSBI dan SBI).
Dari perspektif pemerintah, PBI dipahami sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional dengan mengacu pada pasal-pasal lain dalam UU
Sisdiknas dan berbagai peraturan pelaksanaan RSBI/SBI, seperti
PBI=SNP+Pengayaan Kurikulum dari suatu negara maju di OECD. Dari
perspektif yang resisten, PBI dinilai di luar sistem pendidikan nasional karena
bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Penilaian MK ini sesuai
dengan argumen mereka yang mengajukan Uji Materi Undang-undang MK
yang tidak setuju dengan satuan PBI.

279
Sebagai implikasi dari Putusan MK tentang pasal 50 ayat (3) UU
Sisdiknas tahun 2003 yang menjadi dasar hukum penyelengaraan satuan PBI,
semua sekolah eks RSBI akan berubah menjadi sekolah reguler dan selanjutnya
dibina oleh pemerintah daerah. Keputusan pemerintah itu secara jelas tertuang
dalam Surat Edaran tentang Kebijakan Transisi RSBI yang ditandatangani oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Rabu (30/1, 2013).
Surat Edaran tersebut ditujukan kepada gubernur, bupati/walikota, dan Kepala
Dinas Pendidikan di seluruh Indonesia dengan pesan bahwa semua papan
nama, kop surat dan stempel sekolah yang menggunakan nama RSBI tidak
boleh digunakan lagi, termasuk seluruh proses administrasi dan manajemen
sekolah tidak lagi diperbolehkan menggunakan label RSBI. Hal ini sesuai
dengan putusan MK Nomor 5/PUU-X/2012 yang membatalkan dasar hukum
penyelengaraan RSBI, pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas 20/2003. Mengutip
pernyataan M Nuh dalam salah satu media terkemuka nasional tentang
eksistensi RSBI/SBI pasca keputusan MK adalah sebagai berikut.
sekolah reguler itu artinya sekolah biasa. Menjelang tahun ajaran baru
akan ditetapkan bagaimana mengelola eks RSBI itu. Untuk sementara
biarkan berjalan dulu. Hal ini akan berlangsung sampai tahun ajaran baru
2012/2013. Untuk pembiayaan, pemda berkewajiban menyediakan
anggaran agar pendidikan yang bermutu di sekolah eks RSBI tetap terjaga,
selain itu menurut Nuh sekolah tidak diperbolehkan menarik pungutan dari
masyarakat tetapi dapat berpartisipasi atau boleh ikut menyumbang ke
sekolah (Kompas, Jumat 1 Februari 2012, hlm. 12).
Terkait dengan putusan MK dan implikasinya terhadap sekolah, peneliti
menanyakan tentang visi-misi sekolah yang selama ini berorientasi
internasional atau kualitas pendidikan negara-negara OECD dan kemungkinan

280
perubahan-perubahan target sekolah pasca putusan MK tersebut, seorang
narasumber menjelaskan:
Secara objektif kita akui bahwa standar nasional pendidikan memang
cukup tinggi…kita akan berubah visi. Mungkin dalam beberapa bulan ke
depan akan kita ubah. Kita tetap berusaha berbuat yang terbaik untuk
mempertahankan mutu sekolah walaupun harus ada penyesuaian-
penyesuaian…karena perubahan kebijakan pemerintah (Wawancara April
2013).
Selanjutnya dari segi pembiayaan pendidikan, Supanto, selaku
penanggungjawab pengelolaan program RSBI di SMA Negeri 2
Bandarlampung, menyatakan:
Kalau sekarang belum terasa pak…semuanya akan mulai terasa pada tahun
ajaran baru… jadi kita sekarang sifatnya masih menunggu..jadi gedung
kita ini agak macet jadinya.. yang jelas mungkin kita tidak bisa melakukan
pungutan awal tahun ajaran baru..yang selama ini kita gunakan untuk
sarana prasarana. Yang langsung terasa adalah tentang pembiayaan, sejauh
mana kita diizinkan untuk melakukan pungutan dari orangtua siswa
(Wawancara 6 April 2013).
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana sekolah telah terikat dengan kultur
pembiayaan atau pungutan dari orangtua siswa yang langsung berpengaruh
terhadap proses pembelajaran di sekolah. Selain itu, terjadi hegemoni
pemikiran dan “habitus” di sekolah bahwa sekolah berkualitas di mata guru
(dan pengelola) identik dengan biaya tinggi dan berbagai fasilitas canggih. Hal
ini kemudian membebani sekolah untuk tetap berusaha menggali dana dari
orangtua siswa untuk mempertahankan kualitas pendidikan melalui berbagai
sarana prasarana yang telah dimilikinya. Padahal, sesuai ketentuan SNP, sarana
prasarana seperti TIK dan fasilitas pembelajaran lainnya yang berbiaya tinggi
sifatnya hanya penunjang bagi standar proses pembelajaran.

281
Ketika narasumber ditanyakan tentang dampak keputusan MK terkait
RSBI dan kemungkinan permasalahan selanjutnya bagi SMA Negeri 2
Bandarlampung, Supanto, menyatakan bahwa sekolah-sekolah negeri akan
kalah bersaing dengan swasta. Sekolah tidak hanya dihadapkan pada masalah
membangun sarana dan prasarana sekolah tetapi juga pemeliharaannya yang
membutuhkan dana besar. Menurut Supanto, sekolah-sekolah swasta dalam
prakteknya relatif bebas melakukan pungutan biaya pendidikan dari orangtua
dan masyarakat untuk memajukan sekolah mereka. Secara lebih rinci ia
menjelaskan:
hanya persoalan waktu ...sekolah-sekolah negeri yang ada di kita ini akan
tergusur oleh sekolah-sekolah swasta yang ada...kalau sekarang okelah
kalau kami masih diberi izin untuk memungut dana orangtua...artinya
kami masih bisa menjaga mutu dari hal sarana prasaranalah..semua
operasional sekolah begitu. tapi kalau ke depan ini..kita belum tahu
kebijakan pak menteri di tahun ajaran ini, kalau kami mungkin tidak boleh
memungut dana sama sekali atas desakan masyarakat, tentu nanti semua
fasilitas itu akan rusak dengan sendirinya...sekolah negeri ini akan tidak
diminati oleh orang-orang (Wawancara Maret 2013).
Selanjutnya Supanto mengkhawatirkan bahwa jika sekolah-sekolah negeri
tidak diperbolehkan lagi melakukan pungutan tambahan biaya pendidikan dari
orangtua siswa maka sekolah tersebut akan tertinggal dari sekolah-sekolah
swasta yang relatif bebas memungut biaya pendidikan dari masyarakat dengan
alasan biaya pendidikan saat ini mahal dan karenanya perlu partisipasi
masyarakat (orangtua).
Berbeda dari pandangan di atas, Febri Hendri, seorang aktivis
Indonesian Coruption Watch (ICW), memiliki interpretasi yang menarik

282
tentang konsekuensi dari putusan MK terhadap sekolah-sekolah RSBI dengan
menyatakan:
Penghentian seluruh program RSBI tidak akan mengganggu mutu sekolah.
Mengapa? RSBI hanyalah program tambahan di sekolah. Seperti yang
disampaikan sebelumnya, RSBI dirumuskan sebagai RSBI/SBI = SSN +
Kurikulum internasional. Dengan demikian, jika kurikulum internasional
dihapuskan, maka RSBI/SBI= SSN (Kompas, Selasa 5 Februari 2012, hlm.
7).
Pandangan di atas tidak merepresentasikan permasalahan eksistensi RSBI
secara utuh, baik konsep maupun implementasinya di lapangan. Implementasi
RSBI selama paling tidak empat tahun terakhir tidak hanya menyangkut
pencitraan sekolah bermutu dan pendidikan mahal tetapi juga membentuk
persepsi dan pengalaman baru bagi sekolah dan masyarakat. Model pendidikan
RSBI telah mengubah persepsi masyarakat tentang PBI dan upaya peningkatan
mutu pendikan. Selain itu, pandangan di atas juga mengabaikan konteks
globalisasi yang merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi
eksistensi RSBI dan menghegemoni sebagian elit pendidikan dan para guru,
siswa, dan orangtua. Mereka memandang bahwa RSBI merupakan solusi
terhadap tantangan globalisasi, sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut.
…RSBI memang namanya sekolah bertaraf internasional, harus tidak
boleh steril dengan perkembangan global. Oleh karena itu, semua SBI itu
harus memahami, menghayati, dan juga melaksanakan perkembangan-
perkembangan global yang diinternalisasikan ke SBI. Nah,…kalau kita
tidak melakukan langkah-langkah proaksi, kita akan tertinggal dengan
sendirinya (Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 9).
Dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI dan
orientasi kurikulum negara-negara maju, menurut Mbula Darmin, keberadaan
lembaga OCED dengan visi-misinya (globalisasi) semakin mudah masuk

283
dalam sistem pendidikan nasional jika didukung oleh penggunaan bahasa
Inggris sebagai ”pemersatu” untuk sosialisasi agendanya. Bahasa selain
menjadi sarana pemersatu budaya komunikasi juga sebagai sarana penetrasi
nilai-nilai ekonomi, sosial dan politik. Penggunaan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar di sekolah dapat memperlancar agenda globalisasi melalui
pendidikan (Mbula, 2011: 42).
Dengan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik.
Pertama, kebijakan PBI mengandung asumsi-asumsi yang tidak saja
bermasalah secara ideologis kultural tetapi juga dari segi struktural-formal.
Secara ideologis konsep dan implementasi satuan PBI tidak sesuai dengan
semangat dan falsafah tentang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan
bangsa. Hal ini dikuatkan oleh keputusan MK tentang pembatalan pasal 50 ayat
(3) tentang satuan PBI dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Selain itu,
kebijakan ini dibangun di atas asumsi-asumsi yang lemah dalam beberapa hal:
(1) kualifikasi SDM di sekolah yang belum siap, misalnya, kompetensi bahasa
Inggris; (2) secara filosofis terjadi liberalisasi dan stratifikasi pendidikan,
menimbulkan resistensi dari sebagian masyarakat; (3) profesionalisme guru
tidak mendukung, misalnya kualifikasi S2 untuk guru bidang ilmu MIPA dan;
(4) ekosistem pendidikan, berupa dukungan sosial dan ketersediaan
infrastruktur pendidikan (Surakhmad, 2009: 67-68).
Kedua, dari segi sosial ekonomi, satuan PBI dengan konsep dan
implementasinya dalam bentuk RSBI telah menimbulkan kecemburuan sosial
dan perlakukan diskriminatif bagi siswa. Di sekolah terbentuk stratikasi dalam

284
proses pembelajaran, seperti rombongan belajar (kelas RSBI dan Kelas
Internasional) dan fasilitas pembelajaran yang berbeda dari satu sekolah
dengan sekolah lainnya. Dalam hal ini, sekolah turut berperan sebagai alat
reproduksi ketidakadilan sosial ekonomi dan budaya. Esensi pendidikan yang
seharusnya memerdekakan masyarakat dari keterpinggiran pembangunan
manusia justru dihadang oleh kebijakan pendidikan model RSBI.
Ketiga, dari segi budaya, kebijakan dan implementasi PBI
menimbulkan dampak kultural. Label ”internasional” dan penggunaan bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantar pada RSBI telah menghasilkan makna
simbolik (prestise) bagi sekolah dan masyarakat. Label tersebut
menyembunyikan esensi pendidikan sebagai upaya ”memanusiakan” dan
membangun identitas nasional. Pendidikan berlabel ”internasional” menutupi
kompleksitas permasalahan RSBI di lapangan. Hal ini ”mengelabui”
masyarakat tentang esensi pendidikan berkualitas. Sebagaimana dikatakan
Soedijarto, Ketua Dewan Pembina Sarjana Pendidikan Indonesia, bahwa
pendidikan di Indonesia memang harus berkualitas internasional, namun tidak
perlu dilabeli dengan”internasional”. Pemerintah seharusnya justru harus
meningkatkan mutu pendidikan dengan standar pendidikan yang terbaik untuk
semua orang (Kompas, Jumat 2 Desember 2011, hlm. 12).
Secara politik, kebijakan PBI merupakan bentuk hegemoni kekuasaan
pemerintah dan pengaruh wacana globalisasi dalam pendidikan nasional.
Hegemoni dalam prosesnya ditopang oleh berbagai institusi dan wacana
kuasa/pengetahuan oleh para intelektual dan aparatur pemerintah yang melihat

285
ilmu pengetahuan sebagai ”netral” dalam konteks paradigma positivistik.
Hegemoni kekuasaan dalam ranah pendidikan khususnya selama sekitar enam
tahun terakhir terjadi karena para agen pendidikan (sekolah) dan masyarakat
(orangtua siswa) serta para intelektual (dan birokrat) meyakini bahwa satuan
PBI merupakan pendidikan berkualitas yang dapat mengangkat daya saing
bangsa pada tingkat global. Dalam implementasinya, ”proyek” tersebut justru
menghasilkan ketidakadilan sosial, kapitalisasi pendidikan dan pencitraan
publik sebagai sekolah bermutu karena menggunakan, misalnya, bahasa Inggris
dan kurikulum Cambridge. Padahal, realitas berbagai komponen standar
pendidikan nasional belum/tidak sepenihnya mendukung untuk itu.
Eksistensi satuan PBI dalam pendidikan nasional merupakan hegemoni
wacana globalisasi yang ditandai dengan kegiatan pasar global yang lebih
“popular” dengan ideologi neoliberalisme. Ideologi ini direproduksi melalui
Undang-undang Sisdiknas 2003 beserta berbagai peraturan derivatnya dan
sekolah. Pendidikan beroperasi dengan prinsip-prinsip liberal, seperti dalam
Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 yang memberikan kebebasan kepada
RSBI untuk memungut biaya pendidikan “secara bebas” dari masyarakat. Hal
ini kemudian menjadikan pendidikan berbiaya tinggi dan kapitalistik, dan
menimbulkan ketidakadilan bagi kelompok masyarakat tertentu.
Kehadiran RSBI sebagai realisasi UU Sisdiknas tentang satuan PBI
tidak dapat dilepaskan dari sikap dan pandangan para elit bangsa dan elit
pendidikan yang “gamang” menghadapi perkembangan global. Kebijakan
mengadopsi kurikulum dari negara OECD tidak didasarkan pada kajian

286
mendalam tentang kelayakan dan persiapan sumber daya pendidikan dalam
implementasi PBI. Berbagai wacana dan konsep, misalnya, SNP Plus, Kategori
Mutu, muatan lokal, OECD, Perlombaan Olimpiade, metode pembelajaran
berbasis TIK, sekolah mandiri, reguler secara konseptual dan konstitusional
bermasalah dan kurang dipahami oleh banyak pelaku pendidikan. Hal ini
menunjukkan selain terjadinya disorientasi ideologi pendidikan juga lemahnya
SDM dan birokrasi Kemdikbud yang mengurusi sektor pendidikan.
SBI masih banyak disalah-artikan dan kemungkinan karena
kurangnya..apa...komunikasi kebijakan secara merata kepada semua
stakeholders dalam pendidikan, dan bisa juga karena kurang akurat dalam
melakukan komunikasi kebijakan, bisa juga karena kurang konsisten
dalam melakukan komunikasi kebijakan (Risalah Sidang MK, Rabu 11
April 2012, hlm.7).
Sosialisasi konsep-konsep PBI dalam hal komunikasi kebijakan belum
efektif sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda pada level implementasi.
Dengan mempelajari berbagai jargon dan implementasinya di lapangan, PBI
merupakan satu bentuk konstruksi pencitraan bahwa pendidikan nasional
diurus dengan “serius” menghadapi persaingan global. Dengan kata lain, secara
ideologis, situasi pendidikan nasional menyembunyikan sesuatu yang
sebenarnya “menggelisahkan” masyarakat, pengambil kebijakan dan pelaku
pendidikan (sekolah) yang cenderung membangun “kebohongan publik”.
Kebohongan publik karena RSBI tidak sepenuhnya merepresentasikan
substansi kualitas SNP plus “internasional”. Kualitas sekolah RSBI dari suatu
daerah dengan daerah lainnya, seperti SMA Negeri 78 Jakarta dan SMA Negeri
2 Bandarlampung yang berada di dua provinsi yang berbeda, kenyataannya
tidak sama tetapi diklaim sebagai sekolah-sekolah yang telah mendekati SNP

287
untuk menuju SBI. Hal ini menyesatkan masyarakat, sebagaimana diakui oleh
seorang narasumber penelitian sebagai berikut:
…Karena persiapannya yang kurang cermat, maka evaluasi dan
perbaikannya …perbaikan penyelenggaraan SBI, RSBI, sporadis, tidak
holistik, dan cenderung membuat sekolah menerjemahkan kata
internasional dengan bahasa Inggris dan keterampilan-keterampilan
ekstrakurikuler lainnya…Jika dilihat dari praktek pelaksanaan proses
penyelenggaraan program RSBI, maka muncul persepsi bahwa program
ini merupakan kebohongan publik… (Prof Slamet, Sidang MK, Rabu 2
Mei 2012, hlm. 28).
Wacana bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah
RSBI sejak awal sudah kontroversial terkait dengan kesiapan SDM khususnya
guru, relevansi, dan perbedaan persepsi ditengah masyarakat dari perspektif
ideologis, kompetensi dan pedagogis. Para guru, orangtua siswa, dan anak
didik merasa bangga dengan label “internasional” dan penggunaan bahasa
Inggris sebagai “icon” kemajuan sekolahnya. Padahal, kompetensi guru dalam
bahasa Inggris dan pedagogi lemah sebagaimana dapat dipahami dari
penjelasan berikut.
….Para guru dengan kemampuan novice untuk menjadi mampu
menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat pengajaran bidang lain yang
disebut cognitive academic language proficiency memerlukan waktu
sekitar 5 hingga 10 tahun untuk dapat mampu mengajar dalam bahasa
asing secara baik… (Itje K, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm.
25).
Sumber daya manusia sekolah, terutama guru-guru belum memiliki
kompetensi bahasa Inggris yang memadai untuk melaksanakan proses
pembelajaran dalam bahasa Inggris sebagaimana disyaratkan oleh Kemdikbud.
Dengan kompetensi guru-guru yang ada, berdasarkan pengakuan guru, siswa

288
dan observasi realitas interaksi di kelas, penggunaan bahasa Inggris justru
dapat menghambat proses pembelajaran.
Penggunaan label “internasional” dan “bahasa Inggris” lebih bermakna
simbolik dan prestise. Hal ini didukung oleh salah satu orientasi RSBI/SBI
yaitu pencapaian non akademik seperti penghargaan olimpiade, yang pada
dasarnya bukan substansi penyelengaraan pendidikan bermutu. Habitus dan
ideologi masyarakat pendidikan lebih menonjolkan pencitraan dan gengsi
sosial terkait dengan label-label “internasional”. Hal ini juga tampak dari
sebuah tajuk berita koran lokal “Siswa Smansa Gaet 505 Prestasi Selama
Februari”, Kadisdikpora Kota Denpasar IGN Eddy Mulya dihadapan para
siswa sekolah negeri yang pernah berlabel RSBI menyatakan:
walau kini sudah tak berstatus RSBI prestasi tak boleh mundur…jangan
takut dicabut status RSBI, tapi tunjukkan Smansa adalah sekolah unggulan
sepanjang masa (Bali Post, Sabtu Pon 23 Februari 2013, hlm. 4).
Kutipan di atas sekaligus menunjukkan bahwa birokrat atau pejabat yang
mengurusi pendidikan telah terhegemoni dengan label-label “internasional”.
Dalam konsep Barthes, kata “internasional” bahkan sudah menjadi mitos
sosial tidak hanya dalam ranah pendidikan tetapi juga dalam berbagai sektor
kehidupam lainnya yang menggunakan label “internasional”;
Pada sisi lain ditemukan di lapangan adanya paradoks dalam realitas
pendidikan di sekolah-sekolah yang diteliti seperti, lebarnya kesenjangan
antara idealisasi cita-cita pendidikan nasional dan realitas objektif sekolah.
Dari segi guru, misalnya, secara kuantitatif belum memenuhi standar
kualifikasi pendidikan (S2) dan kultur birokrasi yang belum mendukung. Dari

289
segi kurikulum, idealisasi KTSP yang seharusnya merefleksikan “kurikulum
plus” (adaptasi kurikulum OECD) juga belum sepenuhnya dapat diterapkan
karena terkendala oleh kompetensi guru dalam bahasa Inggris baik dalam
proses pembelajaran maupun dalam komunikasi dengan pihak sekolah mitra di
luar negeri. Selain itu, dari segi proses pembelajaran berbasis TIK, belum
tersedia pendidik dan tenaga kependidikan serta staf teknis terkait yang
memadai kompetensinya.
Politik global didukung oleh diskursus atau wacana ilmu pengetahuan
dan TIK untuk mendisplinkan masyarakat. Pemerintah berperan dalam
membangun sebuah “rezim kebenaran” tentang pendidikan “bertaraf
internasional”. Secara ekonomi negara berperan sebagai mediator masuknya
sektor pendidikan kedalam sistem pasar bebas. Rezim kebenaran ini
“terbungkus” dalam hubungan pendidikan dengan globalisme seperti efisiensi,
daya saing global, produktifitas, standar manajemen ISO, bahasa Inggris, dan
“pendidikan untuk semua”, pendidikan sepanjang hayat, diversifikasi layanan
pendidikan dan semuanya menjadi rasionalisasi pentingnya PBI dalam
menghadapi era globalisasi.
Para elit intelektual pendidikan dan aparatus birokrasi menjadi agen
yang mengorganisasi (mendisiplinkan) masyarakat untuk menerima “rezim
kebenaran” tentang PBI melalui berbagai instrumen seperti ilmu pengetahuan,
Undang-undang, institusi pendidikan, dan wacana seperti diungkapkan oleh
Prof Yohanes, tentang relevansi pendidikan “bertaraf internasional” dalam
konteks pendidikan nasional dan era globalisasi.

290
Adalah masuk akal apabila satuan pendidikan yang ditingkatkan taraf …
ditingkatkan pada taraf internasional, maka digunakan standar pendidikan
dari taraf internasional demi kepentingan kompetisi antarbangsa. Sebagai
contoh dapat dikemukakan bahwa satuan pendidikan bertaraf nasional
yang hendak menghasilkan pelaut…Maka satuan pendidikan tersebut
diwajibkan memenuhi standar yang ditetapkan atau oleh International
Maritime Organization atau IMO. Jika tidak dipenuhi standar IMO
tersebut, maka para pelaut tersebut akan ditolak bekerja sebagai pelaut
baik di perusahaan nasional maupun di perusahaan, apalagi di perusahaan
yang sifatnya internasional (Prof Yohanes, Risalah Sidang MK, Selasa, 24
April 2012, hlm. 13).
Kutipan di atas menegaskan betapa ”standar internasional” telah
menghegemoni pendidikan nasional. Untuk bekerja di perusahaan nasional pun
satuan pendidikan nasional diwajibkan memenuhi standar yang ditetapkan oleh
IMO. Dalam hal ini tampak bagaimana ”rezim kebenaran” modernitas
melibatkan relasi kuasa/pengetahuan oleh Foucault yang berkonsentrasi pada
tiga diskursus disipliner; pertama, ‟ilmu pengetahuan‟ yang menjadikan subjek
sebagai objek penyelidikan; kedua, ‟praktik pemisahan‟, yang memisahkan
orang gila dari orang waras, penjahat dari warga taat hukum dan kawan dari
musuh; dan ketiga, teknologi diri, di mana individu mengubah dirinya menjadi
subjek (Barker, 2006: 82).
Teknologi disipliner muncul di berbagai bidang, termasuk sekolah yang
memproduksi ‟tubuh patuh‟ (subjek) yang dapat ‟diikat‟, digunakan, dan
ditransformasikan sesuai tuntutan jaman. Dalam hal pendidikan (nasional),
tuntutan zaman adalah globalisasi dengan semangat persaingan SDM,
produktifitas, efisiensi, dan standar mutu. Disiplin menyangkut
pengorganisasian subjek pada ruang tertentu melalui praktek pemisahan,
pelatihan dan standarisasi untuk menghasilkan subjek dengan kategori dan

291
urutan hierarkis melalui rasionalitas efisiensi, produktivitas, dan ‟normalisasi‟
(Barker, 2006: 82). Dengan kata lain, kuasa/pengetahuan beroperasi melalui
kontestasi diskursus tentang hubungan pendidikan dan globalisasi. Hegemoni
terjadi melalui UU dan kebijakan standardisasi melalui suatu mekanisme
seperti ISO, Untuk menghasilkan subjek yang patuh (aparatus sekolah)
hegemoni ditopang dengan rasionalisasi objek pengetahuan (PBI) tentang
standarisasi, daya saing, efisiensi, dan produktifitas di era global.
7.5 Temuan Penelitan
Temuan peneltian ini adalah, pertama, secara politik, hegemoni PBI
dalam pendidikan menengah umum beroperasi melalui UU Sisdiknas
khususnya pasal 50 ayat (3) tentang PBI dan implementasinya serta berbagai
pasal lainnya yang bersifat “internasional”. Kandungan dan implikasi dari UU
tersebut kemudian memproduksi wacana PBI dalam pendidikan nasional. Hal
ini secara sistemik menghasilkan hegemoni dalam bentuk standarisasi,
kapitalisasi, stratifikasi, pencitraan, dan tergerusnya jati diri bangsa melalui
konsep-konsep dan praksis pendidikan. Hegemoni beroperasi secara spesifik
melalui program dan jargon-jargon seperti “standardisasi komponen
pendidikan”, “daya saing internasional”, “produktifitas”, “partisipasi
Olimpiade”, “bahasa Inggris sebagai bahasa internasional” .
Kedua, secara normatif ideologi pendidikan nasional berlandaskan
Pancasila, namun dalam implementasinya terhegemoni oleh wacana globalisme
dengan orientasi ideologinya. Standarisasi pendidikan telah melahirkan

292
berbagai permasalahan pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya. Pemerintah
yang seharusnya menjadi faktor dan aktor utama dalam penyelenggaraan
pendidikan yang adil bagi seluruh warga negara, dalam praktiknya, justru
berperan selaku fasilitator ketidakadilan, khususnya melalui program
RSBI/SBI dalam konteks pendidikan menengah umum. Dalam hal ini, negara
kemudian kurang berperan dalam menjamin terselenggaranya “pendidikan bagi
semua”, yaitu seluruh warga negara tanpa terkecuali berhak atas akses terhadap
pendidikan (bermutu).
Ketiga, akibat dari hegemoni globalisme dan rasionalisasi pendidikan
sebagai investasi yang berorientasi daya saing, efisiensi, dan standard
kompetensi (homogenisasi standar), pendidikan menjadi bersifat komersial
(komodifikasi) dan hegemonik-kultural yang tidak selaras dengan tujuan
pendidikan nasional. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
pada jenjang pendidikan menengah umum, misalnya, tidak hanya berdampak
negatif terhadap upaya pemerintah untuk membina bahasa Indonesia, tetapi
juga semakin menguatkan hegemoni “globalisme” dalam kebudayaan (jati diri
bangsa) dan sistem pendidikan nasional.
Terakhir, penelitian ini menegaskan bahwa perlawanan terhadap
hegemoni PBI oleh intelektual organik dan masyarakat sipil menegaskan
pemikiran Gramsci dan Bourdieu bahwa untuk melawan hegemoni diperlukan
perjuangan politik dan intelektual serta kesadaran masyarakat sipil
sebagaimana ditunjukkan oleh para intelektual dan koalisi aktivis sosial dan
pendidikan dalam permohonan Uji Materi pasal 50 ayat (3) Undang-undang

293
Sisdiknas 20 Tahun 2003 tentang satuan PBI kepada lembaga MK. Dasar
hukum pelaksanaan PBI akhirnya berhasil dianulir oleh lembaga MK 8 Januari
2013. Hal ini menjelaskan bahwa hegemoni negara dapat dilawan dengan
kontra-hegemoni dan wacana tandingan yang melibatkan sinergi masyarakat
sipil, intelektual, organisasi guru, LSM, dan berbagai kekuatan sipil lainnya
yang bersikap kritis terhadap kebijakan pendidikan yang seolah memerdekakan
tetapi substansinya dapat menyesatkan.
Refleksi
Implikasi teoritis dan praktis dari temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa kebijakan PBI dan implementasinya ternyata kontraproduktif dengan
visi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional menempatkan manusia
Indonesia sebagai warga negara yang berhak mendapatkan pendidikan bermutu
untuk dapat menjadi warga negara yang cerdas dan humanis integratif.
Pengaruh ideologi globalisasi dalam konsep dan implementasi PBI telah
memosisikan warga negara sebagai ”objek” yang dapat distandarisasi agar
sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan pendidikan yang berorientasi ekonomi.
Secara filosofis, pendidikan sejatinya diarahkan untuk pencerdasan
bangsa yang bebas dari komodifikasi dan marketisasi pendidikan. Secara
konseptual PBI yang berorientasi OECD tidak sesuai dengan realitas Indonesia
karena lembaga OECD lebih berorientasi pada ekonomi pasar (liberal) sesuai
dengan misi WTO. Berbeda dari orientasi ekonomi pasar, penyelenggaraan
perekonomian Indonesia seharusnya didasarkan pada pasal 33 UUD 1945 ayat

294
(1) yang menyatakan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
asas kekeluargaan”. Hal inilah seharusnya menjiwai penyelenggaraan
pendidikan nasional termasuk pendidikan menengah umum. Dalam konteks
pemikiran Gramsci, ideologi kapitalisme dan neoliberalisme yang menjiwai
konsep dan implementasi PBI telah menghegemoni para intelektual dan
pemerintah, serta masyarakat tentang pentingnya standarisasi pendidikan dan
daya saing bangsa untuk menjawab tantangan globalisasi yang sarat dengan
nilai-nilai persaingan ekonomi.
Semangat untuk memajukan pendidikan nasional berinteraksi dengan
ideologi pasar dan berbagai kelompok kepentingan mengakibatkan pendidikan
menjadi mahal dan diskriminatif, akses masyarakat terhadap pendidikan
menjadi tidak adil, proses pembelajaran menonjolkan bentuk daripada
substansi (pencitraan), nilai-nilai kebangsaan terancam tergerus karena
kebijakan yang tidak realistik. “Standard internasional” bersifat kapitalistik
dan borjuis karena mengacu pada berbagai komponen standar pendidikan
kapitalis seperti sertifikasi ISO, TIK dan multimedia, buku ajar impor, dan
berbagai program dan kegiatan yang kurang menekankan pada potensi
kreativitas budaya dan keunggulan lokal.
Dengan orientasi standar “internasional”, sekolah distratifikasi menjadi
kategori standar minimal (SBM), kategori mandiri (SKM atau SSN), dan
RSBI, dan bahkan ada kategori “kelas internasional” yang dikelola secara
khusus oleh satuan sekolah RSBI seperti SMA Negeri 78 Jakarta. Hal ini
kemudian menimbulkan ketidakadilan sosial karena RSBI atau “kelas

295
internasional” yang dipandang sebagai sekolah/pendidikan bermutu hanya
dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu dan anak-anak yang secara
ekonomi tidak mampu menjadi tersingkir. Dengan demikian, kewajiban
negara dalam menjamin pendidikan bermutu secara adil bagi warganya sesuai
dengan amanat UU menjadi terabaikan.
Beberapa tahun terakhir keberadaan RSBI mendapat sorotan dan kritik
tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Koalisi Anti Komersialisasi
Pendidikan, misalnya, mengajukan gugatan ke lembaga MK untuk
membatalkan Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas 2003 tentang satuan PBI, yang
menjadi dasar hukum kebijakan dan implementasinya dalam bentuk RSBI.
Proyek RSBI tersebut telah beroperasi sejak tahun 2006 dan dalam
perjalanannya mendapat resistensi dari masyarakat sipil, koalisi LSM,
intelektual dan aktivis pendidikan karena program ini dipandang menciderai
cita-cita pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam konstitusi.
Pada Januari 2013 dasar hukum keberadaan RSBI/SBI, yaitu pasal 50
ayat (3) UU Sisdiknas telah dibatalkan oleh MK sebagai klimaks dari
perlawanan masyarakat sipil dalam bentuk Uji Materi Undang-undang yang
mendasari kebijakan tersebut. Hal ini membuktikan tesis Gramsci (1971)
tentang “counter-hegemony” dan pemikiran Foucault tentang “will-to-power”
dengan wacana kuasa/pengetahuan efektif untuk melawan dominasi negara
yang tidak adil dalam pendidikan. Putusan MK tersebut dapat dimaknai
sebagai “fenomena awal” dari keberhasilan masyarakat sipil dan intelektual
dalam melawan hegemoni negara dengan senjata ideologis Pancasila,

296
khususnya wacana nilai-nilai keadilan sosial dan nilai-nilai pengetahuan
ilmiah.
Pendidikan nasional dalam menghadapi era globalisasi seharusnya
dibangun di atas realitas sosio-kultural, psikososial, ekonomi, dan politik
kebangsaan. Konsep dan implementasi RSBI dapat merusak sendi-sendi
kebudayaan dan ketahanan bangsa Indonesia karena program ini tidak
didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Pendidikan seharusnya tidak
dilepaskan atau diserahkan kepada mekanisme pasar (liberalisme) untuk
menjamin hak seluruh lapisan masyarakat mendapatkan pendidikan bermutu.
Negara justru harus berperan jika menyangkut esensi kehidupan berbangsa
seperti hak untuk mendapatkan pendidikan (bermutu) secara adil.
Terkait dengan pembatalan dasar hukum pelaksanaan RSBI/SBI oleh
MK 8 Januari 2013 dan implikasinya terhadap program pembelajaran di
sekolah, seorang narasumber yang diwawancarai Sabtu 2 Februari 2013,
Supanto menyatakan:
sekolah kami sifatnya menunggu saja surat edaran dari Jakarta tentang
kelanjutan RSBI…kami tetap berharap diberi izin oleh pemerintah untuk
melanjutkan penguatan kualitas sekolah dengan mengutip biaya
operasional sekolah dari orangtua murid. Jika tidak, kami akan kesulitan
misalnya aggaran sekolah karena misalnya dari pembiayaan listrik di
sekolah kami selama ini yang mencapai Rp. 25 juta per bulan akan sulit
diatasi. …ikut dalam program kompetisi hibah unggulan yang akan
diadakan oleh Diknas, untuk mendapat bantuan pusat…sebagai siasat
untuk mengatasi permasalahan sekolah eks RSBI dalam program-
programnya (Wawancara Sabtu 2 Februari 2013).
Kutipan di atas sekaligus menjelaskan bahwa agen pendidikan terhegemoni
dengan hal-hal yang bersifat materialistik berupa anggaran, baik berupa “block
grant” dari pemerintah maupun “kebebasan” untuk melakukan pungutan dari

297
orangtua untuk memajukan kualitas pendidikan. Dalam hal ini, guru atau
manajemen sekolah lebih berfungsi sebagai “operator” birokrasi pendidikan
dan kurang berperan sebagai “transformative intellectuals” dalam
mengembangkan program sekolah secara kreatif (Giroux, 1988: 122-123).
Dengan perkembangan RSBI, khususnya pasca Putusan MK Januari
2013, sekolah harus bersiap dengan “habitus” baru. Di satu pihak, pada saat
penelitian ini dilakukan, belum ada keputusan apakah sekolah dapat memungut
pembiayaan “ekstra” dari orangtua sebagaimana dilakukan sebelum ada
putusan MK tentang pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas 20/2003. Pada pihak lain,
sekolah tetap dituntut untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas
proses pembelajaran dengan situasi baru pasca-putusan MK dan implikasinya
terhadap anggaran sekolah. Sekolah dihadapkan pada permasalahan baru
tentang manajemen, pembiayaan dan kultur yang telah terbangun paling tidak
selama berstatus “internasional” menuju status “sekolah reguler” dengan kultur
baru.
Terdapat keraguan apakah fenomena pasca-putusan MK terhadap Pasal
50 Ayat (3) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dengan sendirinya permasalahan
ideologis PBI telah selesai dari permasalahan pendidikan nasional. Keraguan
ini didukung oleh berbagai wacana yang mengemuka pasca-putusan MK
seperti yang tergambar dari kutipan berikut.
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang ada di sejumlah daerah akan
berubah menjadi sekolah unggulan. Sekolah ini akan menjadi contoh bagi
sekolah-sekolah lain dari sisi kualitas dan penyediaan sarana, tetapi bisa
diakses siapa pun dan tidak dipungut biaya (Kompas, Jumat 11 Januari
2013, hlm. 1 dan 15).

298
Kutipan di atas mengindikasikan bahwa RSBI bisa sekedar ”ganti
kulit”. Dengan demikian, wacana PBI tetap relevan dipersoalkan kendati secara
formal dasar hukum penyelenggaraan PBI telah dianulir oleh MK. Dari
perspektif pedagogi kritis, pendidikan harus dijamin bebas dari kekuasan
hegemonik sehingga pendidikan itu tidak sekedar bersifat instrumental tetapi
juga sebagai proses penanaman nilai-nilai dan penguatan karakter anak didik
yang bersifat fundamental dalam konteks keindonesiaan (Widja, 2009; Tilaar,
2011: 38-39; Nuryatno, 2008:2; Nunan, 1993: 12).
Permasalahan pendidikan dan globalisasi tidak harus dihadapi dengan
sikap antiglobalisasi atau sepenuhnya proglobalisasi. Globalisasi sebagai
agenda “homogenisasi budaya” tidak sesuai dengan cita-cita dan realitas
budaya Indonesia. Globalisasi bukanlah sekedar soal ekonomi tetapi juga
gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya “kebudayaan dunia” di
berbagai negara (Hoed, 2008: 102). Permasalahannya, pemerintah seringkali
terpukau oleh perkembangan global dan kurang peka terhadap realitas sosial-
budaya dan ekonomi masyarakat. Bahkan, dalam mengambil keputusan tentang
suatu kebijakan, pemerintah tidak jarang tergesa-gesa sehingga tidak sedikit
kebijakannya menimbulkan kontroversi dan ketidakpastian, termasuk
kebijakan tentang PBI. Berikut beberapa catatan tentang permasalahan PBI
dalam kaitannya dengan pendidikan nasional.
Pertama, wacana PBI secara konsepsional tidak memiliki legitimasi
konstitusional, kultural dan konteks sosial ekonomi politik sehingga hal ini
mengorbankan prinsip-prinsip dasar dan fungsi pendidikan: membangun warga

299
dan masyarakat yang demokratis, adil dan tidak diskriminatif. Pada tataran
Undang-undang, penggunaan label “internasional” menjadi bermasalah ketika
diimplementasikan dalam “relasi kuasa” ekonomi, budaya, dan politik. Makna
“internasional” menjadi lebih menonjol sebagai marketisasi dan komodifikasi
pendidikan, menonjolkan nilai simbolik dan pencitraan tentang kualitas
pendidikan yang baik. Mitos yang ada di masyarakat tentang “internasional”
itu memiliki nilai yang “tinggi”. Dengan menggunakan pemikiran Roland
Barthes tentang dua sistem pemaknaan denotatif dan konotatif, ‟internasional‟
dalam PBI dapat bermakna ”mutu” pendidikannya diakui di berbagai negara
dan secara konotatif kata ‟internasional‟ dapat bermakna hebat, luar biasa,
berbahasa Inggris, kompetitif, dan kehidupan yang lebih baik. (Barker, 2006:
72; Hoed, 2008: 12-13)
Legitimasi eksistensi PBI dalam pendidikan menengah umum tidak
sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional. Tanpa menolak realitas
globalisasi, Indonesia tetap dapat menjadi bagian dan pendorong proses
globalisasi dengan bersikap kritis dan realistik sebagai sebuah bangsa yang
memiliki sejarah, budaya, dan cita-cita pendidikan nasional. Keputusan MK
tentang dasar eksistensi PBI dalam UU Sisdiknas dapat menjadi titik awal yang
strategis untuk selanjutnya selalu mengkritisi sistem pendidikan nasional dari
perspektif ideologis dan kultural untuk mencegah terjadinya disorientasi nilai-
nilai pendidikan nasional.
Kedua, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam
pendidikan menengah umum secara konseptual dan empiris menunjukkan

300
ambivalensi. Di satu pihak, bahasa Inggris diterima sebagai salah satu faktor
dalam memajukan pendidikan nasional, dalam hal ini bahasa Inggris bagian
dari kurikulum nasional. Di pihak lain, bahasa Inggris sebagai ”bahasa
pengantar” untuk memajukan pendidikan dapat mengancam jati diri bangsa.
Dalam hal ini, permasalahannya kembali pada cita-cita awal tentang statusnya
dalam sistem pendidikan nasional, bahasa Inggris harus diletakkan dalam
konteks ”instrumen” bukan dalam konteks ”menjadi” Inggris. Hal ini sesuai
dengan perkembangan global bahwa bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi
bukan lagi milik suatu bangsa, tetapi dalam konteks ”lingua franca” yang
bersifat dinamis.
Dari perspektif kajian budaya, penggunaan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar dapat menyingkirkan siswa yang secara akademik bernilai
baik tetapi menjadi terganjal oleh ”kuasa” bahasa Inggris, seperti kualifikasi
kemampuan bahasa Inggris untuk masuk ”kelas internasional” di SMA Negeri
78 Jakarta dan syarat pendukung untuk diterima bersekolah di SMA Negeri 2
Bandarlampung. Dalam hal ini, satuan PBI dalam pendidikan menengah
umum tidak adil dalam konteks sosial-budaya Indonesia karena bersifat
hegemonik.
Terakhir, teori wacana kuasa/pengetahuan Foucault, khususnya
teknologi disiplin, yang digunakan dalam penelitian ini tidak sepenuhnya dapat
menjelaskan efektifitas kebijakan PBI karena banyak faktor yang terkait
dengan subjek atau agen yang menyangkut modal sosial dan sumber daya
pendidikan. Guru-guru terhegemoni dengan pentingnya “standarisasi“ dan

301
“daya saing” dalam menghadapi tantangan globalisasi, namun, secara spesifik
modal (kompetensi) dan habitus guru dan sumber daya lainnya dalam ranah
pendidikan tidak mendukung proses pembelajaran dengan, misalnya,
menggunakan bahasa Inggris (Bourdieu 1983: 249).

302
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari lapangan yaitu SMA
Negeri 78 Jakarta, SMA Negeri 2 Bandarlampung, Sidang-sidang MK, dan
berbagai dokumen terkait, teori-teori yang digunakan, serta pembahasan dalam
bab-bab sebelumnya, wacana dan praksis PBI telah menimbulkan berbagai
permasalahan politik, sosial, ekonomi dan budaya dalam berbagai bentuk.
Realitas pendidikan nasional yang rendah mutu dan daya saingnya dihadapkan
pada hegemoni wacana globalisme. Dengan demikian, beberapa kesimpulan
yang terkait dengan bentuk-bentuk, faktor-faktor yang memengaruhi dan
makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum dapat dikemukakan
sebagai berikut.
Pertama, wacana PBI tidak dapat dilepaskan dari dinamika globalisasi
dengan berbagai orientasi ideologinya dan realitas politik pendidikan nasional
dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Globalisme dan politik pendidikan
nasional telah menggiring pengembangan sistem pendidikan nasional melalui
wacana PBI untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan
kebutuhan masyarakat, dan berdaya saing global. Penelitian menunjukkan
bahwa bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum
adalah standarisasi pendidikan, kapitalisasi pendidikan, stratifikasi pendidikan,
pencitraan kualitas internasional, dan jati diri atau identitas bangsa.

303
Kedua, hegemoni PBI dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan
eksternal, yaitu politik pendidikan nasional dan globalisme. Politik pendidikan
nasional dan globalisme ditopang oleh wacana kuasa/pengetahuan oleh para
intelektual. Wacana globalisasi dan politk pendidikan nasional beroperasi
melalui UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 khususnya pasal 50 ayat (3) tentang
satuan PBI dan berbagai peraturan pemerintah yang terkait dengan pendidikan
dan standar internasional. Wacana globalisasi ditopang oleh institusi
internasional seperti Bank Dunia, WTO, OECD yang tidak steril dari
kepentingan. Secara keseluruhan wacana tersebut memengaruhi praktik
hegemoni PBI melalui konsep dan implementasinya dalam pendidikan
menengah umum. Politik pendidikan yang berhaluan neoliberal dan kapitalistik
beroperasi melalui UU dan kebijakan serta implementasinya..
Ketiga, tentang makna hegemoni PBI, dari perpektif politik budaya
terjadi disorientasi ideologis dalam PMU melalui berbagai program
standarisasi yang tidak bebas dari dominasi, nilai-nilai dan hegemoni budaya.
Peserta didik seharusnya diarahkan untuk berkembang menjadi manusia kritis,
kreatif, mandiri, dan demokratis sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial-
kulturalnya sebagai manusia Indonesia sekaligus warga global. Kebijakan PBI
bermasalah secara filosofis dan praktik. Satuan PBI dalam pasal 50 ayat (3)
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 merupakan hegemoni globalisme.
Pendidikan berkualitas lebih dimaknai sebagai standarisasi mutu yang
berorientasi kapitalis, efisiensi, produktifitas. Dari segi konsep, SNP plus
standar pendidikan negara maju tidak realistik karena, misalnya, standar tenaga

304
kependidikan dan proses pembelajaran, tidak mendukung dan belum
memenuhi delapan SNP sebagaimana diamanatkan PP. NO. 19 tahun 2005
untuk menjadi RSBI. Hal ini menghasilkan pergulatan makna ideologis
tentang globalisme, sosial-ekonomi, pemberdayaan/profesionalisme, dan
emansipasitoris pendidikan.
Keempat, kebijakan pemerintah telah menghegemoni para agen
pendidikan dan masyarakat tentang pentingnya PBI sebagai jawaban terhadap
permasalahan kualitas pendidikan nasional dan tuntutan era globalisasi.
Hegemoni pemerintah beroperasi melalui berbagai Undang-undang dan
peraturan yang didukung oleh wacana kuasa/pengetahuan yang berperan
merasionalisasi pendidikan melalui jargon-jargon globalisasi seperti
produktifitas, daya saing, efisiensi, standard mutu, dan sertifikasi manajemen
ISO. Dari perpektif politik budaya, terjadi disorientasi ideologis dalam
pendidikan nasional. Dalam hal ini, RSBI dengan berbagai programnya tidak
membangun karakter dan nilai-nilai yang bebas dari dominasi, diskriminasi dan
hegemoni budaya.
8.2 Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan dan tujuan penelitian, berikut disajikan
beberapa saran dan masukan bagi pemangku kepentingan dalam pendidikan,
yaitu pemerintah, peneliti, dan masyarakat.
Pertama, pemerintah disarankan untuk lebih bersikap demokratis dalam
menjamin kesempatan dan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara

305
untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Hal ini dapat dilakukan hanya jika
para pengambil keputusan bersikap kritis terhadap wacana global dan politik
pendidikan nasional yang bersifat ideologis-kultural. Pendidikan tidak boleh
terjebak dalam kepentingan kuasa kapital dan wacana hegemonik yang dapat
menyingkirkan kelompok yang lemah dalam masyarakat.
Kedua, ideologi globalisme telah merambat ke dalam sistem pendidikan
nasional melalui pasal-pasal dalam UU Sisdiknas dan berbagai kebijakan yang
terkait wacana PBI. Pendidikan nasional dibebani dengan kuasa kapital yang
membuat pendidikan menjadi mahal, diskriminatif, pencitraan, eksklusif dan
menghasilkan ketidakadilan. Dengan demikian, selanjutnya disarankan untuk
meneliti secara komprehensif tentang UU Sisdiknas 2003 dengan berbagai
kebijakan pendidikan yang dihasilkannya.
Terakhir, resistensi masyarakat terhadap eksistensi pasal 50 ayat (3)
UU Sisdiknas tentang satuan PBI baik melalui wacana publik maupun Uji
Materi yang akhirnya dianulir oleh MK merupakan “klimaks” dari perlawanan
masyarakat sipil. Putusan MK tersebut sepatutnya dimaknai sebagai “fenomena
awal” dari keberhasilan masyarakat sipil dan intelektual organik dalam
melawan hegemoni negara. Selanjutnya, kontra-wacana atau kontra-hegemoni
melalui para intelektual organik dan masyarakat sipil perlu didorong terus
untuk mengkritisi berbagai kebijakan pendidikan sebagai arena perjuangan
demokratis dan emansipatoris.