handout bined 15 - iwan pranoto
TRANSCRIPT
D D I A G N O S A K E S E H A T A N P E N D I D I K A N M I P A 1
Mendiagnosa Pendidikan Matematika dan IPA serta Resep Perbaikannya
Iwan Pranoto1
Abstrak. Laporan hasil evaluasi pendidikan Trends in International Mathematics and Science
Study yang kerap disebut TIMSS baru diumumkan pada bulan Desember 2012. Ini laporan dari
hasil evaluasi yang dilakukan pada tahun 2011. Pada umumnya, hasil ini diamati pada posisi
Indonesia di antara negara‐negara peserta lainnya. Memang benar posisi anak‐anak kita lemah.
Namun, bagian mana dari pendidikan matematika dan IPA kita yang lemah. Catatan ini berupaya
merumuskan titik‐titik kelemahannya yang diharapkan dapat dibenahi melalui strategi
pengembangan. Secara ringkas, dari kajian ini, disimpulkan bahwa kurikulum penyiapan guru
serta program pengembangan profesi guru bidang matematika dan IPA sangat butuh dibenahi.
Khususnya, beberapa konten matematika dan IPA yang perlu ditingkatkan secara spesifik
disampaikan dalam tulisan ini. Kemudian, kecakapan abad 21 harus masuk dalam program
penyiapan guru dan program pengembangan profesi guru.
Dalam presentasi Kemdikbud perihal Pengembangan Kurikulum 2013, di beningan no 16, berjudul
Alasan Pengembangan Kurikulum, dalam kolom Tantangan Masa Depan dituliskan salah satunya adalah
Hasil TIMSS2 dan PISA. Pertama, tentunya Hasil TIMSS dan PISA dianggap sebagai tantangan sebenarnya
tidak tepat. Hasil TIMSS dan PISA bukan tantangan, tetapi ini sebuah diagnosa, persis seperti hasil
pemeriksaan kesehatan tubuh kita dari laboratorium klinis. Namun, terlepas dari ketaktepatan itu,
pertanyaan yang lebih penting adalah apakah memang hasil TIMSS dan PISA membenarkan perubahan
kurikulum, setidaknya matematika dan IPA. Jawabnya tidak sesederhana yang dikira.
Keikutsertaan Indonesia pada beberapa tes internasional dalam matematika, sains, dan membaca
secara berkala merupakan sesuatu yang sangat baik. Yang utama dalam keikutsertaan ini, bukan untuk
membandingkan kita dengan negara lain. Bukan untuk menunjukkan kehebatan kita. Namun, justru
untuk melakukan diagnosa terhadap kesehatan pendidikan kita. Khususnya, kita sejatinya dapat
melakukan diagnosa sistem pendidikan matematika negara kita secara menyeluruh, dengan membaca
laporan semacam PISA dan TIMSS ini.
Dua Laporan itu sangat berbeda pesannya, tetapi saling melengkapi. Bagi orang awam, hasil TIMSS 2011
yang menunjukkan siswa Indonesia kelas 8 berada di bawah Palestina kemungkinan memang sesuatu
yang mengagetkan. Tetapi, pertanyaannya adalah, “Lalu apa?” Yang paling utama adalah
mempertanyakan bagaimana kita dapat membenahi pendidikan matematika dan IPA negara kita. Sama
seperti hasil pemeriksaan laboratorium klinis, laporan PISA dan TIMSS ini memberikan petunjuk jelas
1 Inovasi dan Kebijakan Pembelajaran MIPA, ITB 2 Catatan ini akan merujuk secara khusus ke Laporan TIMSS 2011 Assessment. Copyright © 2012 International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA). Publisher: TIMSS & PIRLS International Study Center, Lynch School of Education, Boston College, Chestnut Hill, MA and International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA), IEA Secretariat, Amsterdam, the Netherlands. Ini dapat diunduh di http://timss.bc.edu/
D D I A G N O S A K E S E H A T A N P E N D I D I K A N M I P A 2
bagian mana dari program pendidikan kita yang perlu dibenahi. Kemudian, kita harus membuat resep
untuk membenahinya dan disiplin terhadap resep tersebut.
Susunan catatan ini pertama akan dikaji secara mendalam Laporan TIMSS 2011 Matematika dan IPA.
Kemudian disusun implikasi atau resep yang perlu diperhatikan untuk dibenahi. Selanjutnya, akan
disinggung Laporan PISA 2009 secara sekilas, karena pengkajian PISA 2009 ini sudah dilakukan oleh
penulis sebelumnya. Dan, kemudian disajikan implikasi perbaikan yang perlu dilakukan berdasarkan
kajian hasil PISA ini.
Hasil TIMSS 2011 Kelas 8 Yang pertama harus dipahami, TIMSS menguji dua daerah, yakni konten atau materi ajar dan jenjang
berpikir. Dalam TIMSS Matematika, kelas 8, daerah konten yang diuji adalah bilangan, aljabar, geometri,
dan data dan peluang. Sedangkan daerah kedua yang diuji adalah jenjang berpikir, yakni mengetahui,
menerapkan, dan bernalar. Secara umum, hasil TIMSS 2011 menunjukkan bahwa ada keberagaman
dalam kekuatan dari negara‐negara peserta. Tidak tampak adanya kecenderungan pola yang sama di
antara negara‐negara berkinerja baik. Ada negara yang kuat di aljabar, tetapi ada pula negara yang kuat
di geometri (TIMSS 2011, hal 140—147).
Demikian juga pada daerah jenjang berpikir. Untuk negara‐negara yang bernilai sangat tinggi memang
tampak adanya kesetimbangan antara tiga jenjang berpikir itu. Namun, ada pula negara‐negara yang
lemah di satu jenjang berpikir, tetapi kuat di dua jenjang berpikir lainnya (TIMSS 2011, hal 147—152).
Untuk Indonesia sendiri, hasil menunjukkan sebuah paradoks. Jenjang mengetahui, menerapkan, dan
bernalar, masing‐masing bernilai 378, 384, dan 388. Ternyata, walau pun ketiga jenjang berpikir relatif
rendah di banding negara lain, tetapi untuk Indonesia sendiri jenjang berpikir yang paling lemah justru
adalah mengetahui. Hasil ini menunjukkan bahwa siswa kita justru relatif lemah dalam mengetahui.
Sebaliknya, walau kita tahu bahwa persekolahan kita pada umumnya mengabaikan proses bernalar,
siswa kita justru menunjukkan hasil yang relatif lebih baik dibanding jenjang mengingat. Ini
menunjukkan bahwa siswa kita sangat berpotensi dalam jenjang berpikir tingkat tinggi. Hasil seperti ini
bukan dari TIMSS 2011 saja, namun juga di TIMSS periode sebelumnya.
Dari hasil TIMSS ini, data menunjukkan bahwa konten yang ada dalam kurikulum kita belum sesuai. Ada
materi ajar yang belum tercakup di kurikulum kita atau, sebaliknya, ada materi di kurikulum kita yang
sudah tak relevan dengan dunia luar sana. Dalam matematika, nilai siswa kita dalam aljabar relatif lebih
baik dibanding dalam bilangan, geometri, dan data dan peluang.
Domain Kognitif ‐ Mengetahui Secara umum, dapat dikatakan bahwa kecakapan berpikir tingkat rendah dan menengah, ternyata
belum dicapai. Di TIMSS, jenjang kognitif yang paling rendah adalah Mengetahui. Jenjang kognitif
tingkat rendah ini, jika digunakan taksonomi Bloom3 atau Anderson‐Krathwohl4, terdiri atas dua jenjang,
3 Misalnya kata kerja yang dikaitkan dengan Taksonomi Bloom dapat dibaca di http://www.math.toronto.edu/writing/BloomsTaxonomy.pdf 4 Taksonomi Bloom diperbaiki oleh Anderson dan Krathwohl. Untuk kata kerja yang dikaitkan dengan taksonomi Anderson‐Krathwohl ini dapat dibaca di
D D I A G N O S A K E S E H A T A N P E N D I D I K A N M I P A 3
yakni Mengingat dan Merangkum. Dari hasil TIMSS Sains, tampak jelas bahwa siswa kita sangat baik
dalam kecakapan mengingat. Siswa kita sangat baik dalam menyimpan informasi, yang tak perlu diolah.
Misalnya, pada soal yang menanyakan rumus kimia karbon dioksida (TIMSS Science 2011, hal. 121),
persentase siswa kita yang menjawab benar mencapai 89%. Ini di urutan ke‐14 dan kita setingkat
dengan Hong Kong. Bahkan Amerika Serikat saja hanya mencapai 86% dan rerata internasional 85%.
Namun demikian, pada soal yang tingkat rendah namun sifatnya membutuhkan untuk merangkum atau
comprehend, siswa kita tampaknya menemui kesulitan. Misalnya, ini dapat dilihat di soal fisika yang
menanyakan apa yang terjadi pada molekul dalam cairan jika cairan itu mendingin (TIMSS Science 2011,
hal. 130.) Walaupun jenjang kognitif soal ini di TIMSS disebut sebagai Mengetahui, namun ini sifatnya
Merangkum/Comprehend5. Ini tidak sekedar mengingat, seperti di soal kimia di atas. Persentase siswa
kita yang berhasil menjawab dengan benar soal ini hanya 35%, ini di urutan ke‐4 dari bawah. Dapat
dilihat bahwa terjadi sesuatu perbedaan yang sangat besar pada satu domain kognitif Mengetahui.
Dapat disimpulkan bahwa di domain Mengetahui, siswa kita juga belum menguasai dengan baik. Ini
kemungkinan alasan utama mengapa siswa kita ternyata lemah di Mengetahui. Malahan domain
Mengetahui paling lemah dibanding Menerapkan dan Bernalar.
Dalam TIMSS Matematika, karena hakikat matematika yang lebih fokus pada ketrampilan, domain
Mengetahui itu terpisah sebagai Mengikuti Prosedur dan Merangkum. Pada jenjang mengikuti prosedur
siswa sekedar mengikuti algoritma yang standar untuk melakukan perhitungan. Misalnya, pada soal
menjumlahkan dua bilangan berbentuk desimal (TIMSS Math 2011, hal. 122) persentase siswa kita yang
menjawab benar mencapai 57%. Kesimpulan ini juga didukung dengan data pada soal yang meminta
siswa untuk menentukan nilai peubah dalam suatu bentuk aljabar jika nilai dari peubah‐peubah lainnya
diberikan (TIMSS Math 2011, hal. 123.) Pada soal ini siswa kita yang menjawab benar mencapai 65%. Ini
jauh lebih tinggi dibanding Malaysia dan Thailand. Bahkan, New Zealand hanya 61%, ini di bawah siswa‐
siswa kita.
Namun demikian, pada jenjang Merangkum yang memang perlu mengolah informasi serta
membutuhkan pengambilan keputusan, siswa kita mulai kesulitan. Ini misalnya teramati pada soal yang
meminta siswa memaknai suatu bentuk aljabar (TIMSS Math 2011, hal. 126.) Pada soal ini, persentase
siswa kita yang menjawab benar hanya 48%. Pada soal ini, persentase siswa Thailand yang benar
mencapai 60%, ini langsung melompat di atas siswa kita. Di soal dengan jenjang Merangkum ini, siswa
kita langsung masuk ke kuartil bawah lagi.
Pada soal geometri, yang meminta siswa untuk menggunakan kecakapan keruangannya (spatial), yakni
di (TIMSS Math 2011, hal. 127) tampak jelas bahwa siswa kita kesulitan. Walaupun soal ini masuk
domain Mengetahui, namun siswa dituntut untuk mengolah informasi dan memutuskan. Persentase
siswa kita yang benar di soal ini hanya 27%. Kita di urutan ke‐4 dari bawah. Sejalan dengan ini dapat
https://www.aacu.org/meetings/ild/documents/SymonetteandFinley.TheABCDsofWritingInstructionalObjectives.pdf 5 Dalam tulisan ini, kata memahami dihindari karena semua 6 jenjang berpikir itu jika dipenuhi semuanya kita definisikan sebagai memahami. Oleh karenanya, untuk jenjang ke‐dua, digunakan istilah merangkum, terjemahan dari comprehend.
D D I A G N O S A K E S E H A T A N P E N D I D I K A N M I P A 4
dilihat pada soal yang meminta siswa memaknai pecahan (TIMSS Math 2011, hal. 130.) Pada soal ini
siswa dituntut untuk mengolah informasi, kemudian menyajikannya dalam pecahan.
Dapat disimpulkan, dalam matematika, siswa kita relatif tinggi di jenjang Mengikuti Prosedur dibanding
pada jenjang Merangkum, yang mengharuskan pengambilan keputusan dan pengolahan informasi.
Domain Kognitif – Menerapkan dan Bernalar Pada jenjang Menerapkan di matematika, seperti soal (TIMSS Math 2011, hal. 132) siswa kita lemah.
Demikian juga di sains, seperti soal biologi tentang genetika umum (TIMSS Science 2011, hal. 120.) Di
soal ini, siswa kita di urutan ke‐4 dari bawah. Walau pun persentase cukup tinggi, yakni 70%, namun
rerata internasional adalah 83%. Jadi, 70% itu tidak cukup baik. Hal yang sama dapat diamati pada soal
tentang ilmu bumi (TIMSS Science 2011, hal. 125.) Dari data ini, terlihat siswa kita berada di urutan ke‐4
dari bawah lagi. Ini juga menunjukkan jenjang Menerapkan yang lemah adalah yang menuntut memilih
dan mengambil keputusan.
Yang lebih jelas lagi pada soal tentang peta topografi yang membutuhkan kecakapan keruangan (spatial)
di (TIMSS Science 2011, hal. 131). Pada soal ini, persentase siswa kita yang berhasil menjawab benar
hanya 9%. Hanya Ghana yang lebih buruk dari kita, yakni 4%. Pada soal fisika tentang gravitasi (TIMSS
Science 2011, hal. 137) terlihat jelas siswa kita kesulitan. Siswa kita di soal ini berada di urutan terbawah
di banding negara‐negara lain. Pada soal yang menanyakan kapan gravitasi bekerja di saat seseorang
hendak terjun payung, siswa dituntut untuk menerapkan pemahamannya tentang gravitasi. Di sini
tampaknya siswa kita tak terbiasa menyimpulkan. Siswa tidak saja dituntut menerapkan
pemahamannya, tetapi siswa dituntut untuk memutuskan.
Pada jenjang Bernalar, pertama diamati pada sains. Di soal kimia dengan jenjang bernalar (TIMSS
Science 2011, hal. 129) siswa kita berada di urutan kedua dari bawah. Hanya Moroko yang lebih buruk
dari kita. Pada soal ini, siswa diminta untuk menyusun sebuah strategi untuk menguji apakah suatu zat
merupakan logam. Soal bertipe bernalar ini tampaknya sulit bagi siswa kita, karena tidak saja dituntut
bernalar, siswa dituntut untuk menjelaskannya dengan menuliskan jawabnya secara bebas. Ini bukan
jenis soal pilihan ganda. Ini perlu dicatat, bahwa kemungkinan besar memang pegajaran IPA kita saat
sekarang terlalu bertujuan untuk ujian bertipe pilihan ganda. Akibatnya siswa kita tak mengembangkan
kecakapan menyampaikan gagasan dan pernalarannya lewat tulisan. Perlu juga dikaji lebih mendalam
dalam kecakapan siswa kita menyampaikan gagasan melalui lisan.
Pada jenjang Bernalar di TIMSS Matematika, pada umumnya siswa kita sangat lemah. Misalnya dapat
dilihat di soal aljabar tentang pertaksamaan, namun yang disajikan dalam sebuah situasi dengan
timbangan (TIMSS Math 2011, hal. 131.) Di soal ini, siswa kita di urutan kedua dari bawah. Hanya Ghana
yang lebih buruk dari kita. Ini berarti bahwa kecakapan siswa kita bernalar lemah. Tidak hanya itu,
karena soal ini juga menuntut siswa untuk mematematikakan atau memodelkan situasi yang dilihat
menjadi sistem pertaksamaan. Kemungkinan besar, siswa kita sanggup menyelesaikan sistem
pertaksamaan, jika disajikan secara langsung. Namun, karena soal ini disajikan dalam suatu situasi,
paragraf, yang harus ditafsirkan, siswa kita kesulitan.
D D I A G N O S A K E S E H A T A N P E N D I D I K A N M I P A 5
Yang lebih buruk kinerja siswa kita pada soal tentang operasi bilangan (pecahan) di jenjang bernalar ini
(TIMSS Math 2011, hal. 135.) Di soal ini, siswa tidak dituntut untuk mengalikan dua bilangan, namun
bernalar tentang apa yang terjadi jika dua bilangan pecahan di antara 0 dan 1 dikalikan. Siswa kita yang
menjawab benar hanya 10%, ini di urutan paling rendah.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa secara umum jenjang Menerapkan dan Bernalar pada siswa kita
memang lemah. Kecuali itu, dapat dinyatakan pula bahwa siswa kita kesulitan menuliskan argumen.
Kecuali itu, khusus dalam matematika, siswa lemah dalam menerjemahkan situasi menjadi masalah
matematika.
Domain Konten Perlu diberikan catatan khusus pada soal dalam aljabar, tentang pertaksamaan (TIMSS Math 2011, hal.
137.) Dalam soal ini, walaupun sifatnya mengikuti prosedur, siswa kita seharusnya diharapkan akan
berhasil mengerjakan soal dengan jenjang kognitif ini. Namun, ternyata hanya 3% yang menjawab
benar. Mengapa? Ini terkait erat dengan materi pertaksamaan yang memang kurang dipelajari
dibanding persamaan dalam pengajaran aljabar di program pendidikan matematika negara kita. Jadi,
dalam kasus ini, kita harus melihatnya pada domain konten atau materi, bukan domain kognitif. Ini
menandakan bahwa program pendidikan matematika sekolah kita harus ditingkatkan pengkajian
pertaksamaan.
Secara umum pula, dari TIMSS Matematika ini, terlihat bahwa kecakapan keruangan siswa kita yang
terkait dengan geometri, walau tidak selalu, ternyata lemah. Ini juga ditunjukkan pada soal di TIMSS
Science yang menuntut siswa membaca peta topografi. Kecakapan bernalar secara spatial atau ruang
tampaknya masih belum diperhatikan dalam program matematika sekolah kita.
Dalam konten bilangan, siswa kita turun banyak sekali, dari 393 (2007) ke 375 (2011). Di konten aljabar,
siswa kita turun, dari 399 (2007) ke 392 (2011). Sedang di konten geometri, siswa kita juga turun banyak
sekali, dari 387 (2007) menjadi 377 (2011). Pada konten data dan peluang, siswa kita turun dari 382
(2007) menjadi 376 (2011). Dari sini, dapat disimpulkan bahwa geometri dan bilangan perlu
memperoleh perhatian khusus, karena tampaknya siswa kita lemah di dua bidang tersebut.
Sedang dari TIMSS Science, kita temukan bahwa dalam konten kimia, siswa kita tampaknya paling lemah
dibanding biologi, fisika, dan ilmu kebumian. Di TIMSS 2011 ini, siswa kita dalam konten biologi naik 4
angka menjadi 410. Dalam konten kimia, siswa kita turun sangat drastis, yakni 27 angka, menjadi 378.
Dalam konten fisika, siswa kita turun 9 angka, menjadi 397. Dalam konten ilmu kebumian, siswa kita
naik 6 angka, menjadi 412.
Pada TIMSS Science kelas 8 ini, terlihat bahwa konten yang dievaluasi sifatnya umum. Terlihat kesatuan
IPA, bukan Fisika, Kimia, Biologi yang dikotak‐kotak. Bahkan kesatuan IPA ini tampak jelas pada konten
ilmu kebumian. Ini jelas tak mungkin terwujud dengan pengotak‐kotakan Fisika, Kimia, Biologi seperti di
kita sekarang.
Implikasi dari Hasil TIMSS 2011 Dari kajian di atas, ada beberapa implikasi yang logis.
D D I A G N O S A K E S E H A T A N P E N D I D I K A N M I P A 6
1. Kurikulum atau Standar Pendidikan kita perlu dibenahi.
a. Matematika – Konten:
i. Bilangan: Pemahaman makna bilangan serta operasi bilangan, bukan sekedar
mengikuti prosedur melakukan operasi bilangan, perlu diperkuat.
ii. Aljabar: Pemahaman makna operasi aljabar serta menerjemahkan situasi menjadi
model matematika perlu diperkuat. Juga perlu diseimbangkan porsi pertaksamaan
dan persamaan.
iii. Geometri: Pada konten geometri, kecakapan keruangan perlu diperhatikan.
Penekanan bukan pada sisi pengukuran dari geometri.
iv. Data dan Peluang: Proses menyajikan data dan menafsirkan data perlu diperkuat,
bukan sekedar melakukan perhitungan dengan rumus seperti mean, median,
modus.
b. Matematika – Kognitif:
i. Mengetahui: Pada jenjang ini, yang harus diperkuat adalah bagian merangkum atau
comprehend. Kata‐kata kerja yang mewakili jenjang mernagkum ini perlu ditulis
secara eksplisit dalam kurikulum. Yang perlu dicatat pula, dalam jenjang ini, tidak
cukup siswa sekedar menyerap informasi, tetapi siswa juga harus mampu
mengolahnya.
ii. Menerapkan dan Bernalar: Pada jenjang ini, secara umum siswa kita sangat lemah.
Ini harus dilakukan perbaikan secara sistematis. Penekanan berlebihan pada
penghafalan prosedur tanpa makna harus dihentikan dan diganti denganpernalaran.
Juga kata‐kata kerja yang mewakili jenjang menerapkan dan bernalar ini perlu
dituliskan secara eksplisit dalam kurikulum mendatang.
c. Sains – Konten:
i. Biologi: Sudah baik.
ii. Kimia: Sangat perlu diperbaiki khususnya pada pengetahuan kimia yang sifatnya
umum. Pengetahuan yang sifatnya informasi teknis perlu dipertahankan, sudah
bagus. Namun, yang sifatnya pengetahuan umum tampaknya masih kurang.
Misalnya, seperti sifat zat metal.
iii. Fisika: Perlu diperbaiki, sama seperti kimia. Pengetahuan yang sifatnya umum
tampaknya perlu lebih ditekankan dalam kurikulum. Kata kerja yang menunjukkan
pengetahuan umum ini harus muncul secara eksplisit.
iv. Ilmu Kebumian: Bagian ini perlu dirumuskan secara lebih jelas dalam kurikulum,
disesuaikan dengan standar internasional.
d. Sains – Kognitif: Bagian kognitif ini sama dengan di matematika.
e. Dari pengamatan di atas, sebenarnya mengindikasikan secara langsung bahwa sumber ajar
seperti buku teks perlu dibenahi. Bagian yang harus dibenahi sama dengan yang dicatat di
atas.
2. Kurikulum penyiapan guru harus dibenahi.
a. Penguasaan gagasan sains dan matematika harus diperdalam lagi pada pendidikan
keguruan. Pemahaman yang mendalam pada gagasan sains dan matematika mutlak untuk
D D I A G N O S A K E S E H A T A N P E N D I D I K A N M I P A 7
menjadi guru sains dan matematika yang profesional. Kurikulum pendidikan guru sains dan
matematika perlu memberikan penekanan pada pemahaman konsep.
b. Perlu rekacipta program penyiapan guru IPA, bukan spesialis fisiska, kimia, biologi. SMP
butuh guru IPA yang generalis serta mampu menyatukan cabang‐cabang keilmuan dalam
IPA.
c. Dalam program penyiapan guru matematika dan IPA, perlu pembekalan kecakapan yang
secara terstruktur mampu mengembangkan kecakapan berpikir mandiri dan kritis siswa,
yang tidak sekedar menyerap. Tentunya, ini berarti bahwa pendidikan guru matematika dan
IPA harus memungkinkan calon guru tersebut mengalami berpikir mandiri dan kritis melalui
matematika dan IPA.
d. Pemahaman pendidikan guru matematika dalam Data dan Peluang serta Geometri perlu
diperhatikan. Khusus untuk Data dan Peluang, persentase siswa yang guru merasa cakap
untuk mengajarkannya, hanya 10%. (TIMSS Math 2011, hal. 306)
3. Program‐program pelatihan guru (in‐service) harus meletakkan penguatan pemahaman guru pada
konten matematika dan IPA sebagai satu bagian utama. Dari sini, hasrat membelajarkan
matematika dan IPA akan berkembang. Dan, kemudian pengembangan metodologi mengajar akan
subur pula.
4. Buku ajar harus direkacipta ulang agar mampu mengajak siswa tertarik mempelajari disiplin atau
ilmu pengetahuan lebih jauh. Program‐program pendidikan nirdinding dan nirongkos harus
didukung Pemerintah agar meluas dan dapat dimanfaatkan sebanyak‐banyaknya siswa. Khususnya,
video pembelajaran‐pembelajaran matematika, IPA, dan pelajaran lain yang bermutu, perlu
disebarkan secara luas ke para guru.
5. Perancangan evaluasi pendidikan oleh Balitbang ‐ Puspendik perlu memperhatikan domain konten
dan domain kognitif yang merupakan kelemahan siswa kita, seperti yang ditunjukkan data Hasil
TIMSS 2011 itu.
Hasil PISA Dari Laporan hasil PISA, benar bahwa siswa kita tak menunjukkan hasil yang baik, terutama jika
dibanding dengan negara lain. Namun, bagian mana lebih tepatnya yang merupakan kelemahan anak‐
anak kita? Kita harus menyadari bahwa PISA tidak terkait dengan kurikulum yang dipakai. Artinya, PISA
tidak menguji penguasaan konten. Jadi, hail PISA yang buruk ini tidak mengimplikasikan bahwa
kurikulum matematika dan IPA kita tak mencukupi secara konten. Hasil ini menandakan bahwa anak‐
anak kita lemah dalam tiga kecakapan utama:
a. Menyelesaikan masalah tak rutin
b. Menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari‐hari
c. Berkomunikasi kompleks
Tiga kecakapan ini memang dikenal sebagai kecakapan abad 21. Pertama, ini artinya, hasil PISA yang
rendah menunjukkan bahwa program pendidikan matematika dan IPA kita belum sesuai dengan
kebutuhan kehidupan abad 21. Yang paling utama adalah pendidikan kita belum berhasil
membelajarkan tiga kecakapan abad 21 itu. Tiga kecakapan itu harus dibangun oleh siswa dengan
D D I A G N O S A K E S E H A T A N P E N D I D I K A N M I P A 8
strategi yang sistematis dari guru dan direncanakan secara seksama. Ini berarti bahwa guru pegang
peranan utama pada keberhasilan siswa mengembangkan kecakapan abad 21 itu.
Oleh karenanya, Laporan PISA ini menunjukkan bahwa pogram penyiapan guru matematika dan IPA kita
harus dikembangkan lebih jauh. Laporan hasil PISA ini membenarkan perlunya perbaikan kurikulum
penyiapan guru. Lembaga pre‐service dan in‐service harus menyadari bahwa guru yang sekarang belum
mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah, menerapkan pengetahuan
dalam kehidupan, dan pada umumnya berpikir tingkat tinggi. Jadi, sekali lagi, menurut hasil PISA ini,
kurikulum untuk program pendidikan guru haruslah dibenahi.
Implikasi dari Hasil PISA 2009 Berikut ini beberapa implikasi utama yang dapat ditarik dari mengkaji Laporan Hasil PISA 2009,
sementara menunggu Laporan Hasil PISA 2012 yang baru akan diumumkan akhir tahun 2013 nanti.
1. Kurikulum penyiapan guru harus mengutamakan pengembangan kecakapan bernalar.
Melalui topik matematika dan IPA, para calon guru harus mengalami proses bernalar serta
menghargainya.
2. Kurikulum penyiapan guru harus mengutamakan pengembangan kecakapan menyelesaikan
masalah tak rutin. Melalui topik matematika dan IPA, calon guru perlu mengalami
penyelesaian masalah tak rutin serta menikmatinya. Tanpa pernah menikmati proses
penyelesaian masalah ini, tak mungkin calon guru ini nantinya mengajak siswanya
menikmati penyelesaian masalah. Juga hal yang sama untuk kecakapan berkomunikasi
kompleks yang sangat relevan dengan matematika dan IPA. Ini sekaligus untuk membantu
siswa belajar menyampaikan gagasan secara sistematis dan meyakinkan.
3. Program penyiapan guru harus memberikan perhatian yang sangat besar pada kecakapan
membelajarkan kecakapan bernalar serta menciptakan iklim bernalar di dalam kelas.
Kecakapan ini harus diawali pada pendidikan pra‐layan dan juga dilanjutkan pada program
pengembangan profesi guru (in‐service).
4. Program penyiapan guru harus memperhatikan pada kecakapan membelajarkan
berkomunikasi kompleks, seperti meyakinkan orang, menyampaikan gagasan yang
kompleks, dsb.
5. Bahan ajar seperti buku teks dan lainnya perlu mengutamakan proses bernalar,
penyelesaian masalah, dan komunikasi kompleks. Khusus untuk komunikasi kompleks, harus
diangkat kembali pentingnya proses pembuktian dalam matematika.
Daftar Pustaka 1. Ina V.S. Mullis, Michael O. Martin, Pierre Foy, and Alka Arora. TIMSS 2011: International Results
in Mathematics, TIMSS & PIRLS, International Study Center, Lynch School of Education, Boston
College, 2012. (Dapat diunduh di http://timss.bc.edu/)
2. Michael O. Martin, Ina V.S. Mullis, Pierre Foy, and Gabrielle M. Stanco. TIMSS 2011:
International Results in Science, TIMSS & PIRLS, International Study Center, Lynch School of
Education, Boston College, 2012. (Dapat diunduh di http://timss.bc.edu/)