fisiologi pernapasan

23
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. LANDASAN TEORI II.1.1. FISIOLOGI PERNAPASAN Fungsi utama saluran pernafasan adalah untuk memperoleh oksigen agar dapat digunakan oleh sel-sel tubuh dan mengeliminasi CO 2 yang dhasilkan oleh sel. Pernafasan terdiri atas respirasi internal dan respirasi eksternal. Respirasi internal atau selular mengacu kepada proses metabolisme intrasel yang berlangsung di dalam mitokondria, yang menggunakan O 2 dan menghasilkan CO 2 selama penyerapan energi dari molekul nutrien. Respirasi eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam pertukaran O 2 dan CO 2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh. Sistem pernapasan mencakup saluran pernapasan yang berjalan ke paru dan struktur toraks yang terlibat menimbulkan gerakan udara melalui saluran pernapasan. Saluran pernapasan adalah saluran yang mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus, tempat terakhir yang merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara udara dan darah dapat berlangsung (Ganong, 2007). Gambar 1. Saluran pernapasan manusia

Upload: dailydrifter

Post on 24-Nov-2015

127 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

FISIOLOGI PERNAPASAN

TRANSCRIPT

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    II.1. LANDASAN TEORI

    II.1.1. FISIOLOGI PERNAPASAN

    Fungsi utama saluran pernafasan adalah untuk memperoleh oksigen agar

    dapat digunakan oleh sel-sel tubuh dan mengeliminasi CO2 yang dhasilkan oleh

    sel. Pernafasan terdiri atas respirasi internal dan respirasi eksternal. Respirasi

    internal atau selular mengacu kepada proses metabolisme intrasel yang

    berlangsung di dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan menghasilkan CO2

    selama penyerapan energi dari molekul nutrien. Respirasi eksternal mengacu

    kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam pertukaran O2 dan

    CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.

    Sistem pernapasan mencakup saluran pernapasan yang berjalan ke paru dan

    struktur toraks yang terlibat menimbulkan gerakan udara melalui saluran

    pernapasan. Saluran pernapasan adalah saluran yang mengangkut udara antara

    atmosfer dan alveolus, tempat terakhir yang merupakan satu-satunya tempat

    pertukaran gas-gas antara udara dan darah dapat berlangsung (Ganong, 2007).

    Gambar 1. Saluran pernapasan manusia

  • 5

    II.1.1.1. FISIOLOGI HIDUNG

    Hidung memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah:

    1. Penghiduan, yaitu mencium bau apabila partikel zat yang berbau disebarkan

    secara difusi lewat udara dan akan menyebabkan reaksi kimia saat mencapai

    epitel olfaktorius.

    2. Tahanan jalan napas. Hidung dan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi,

    termasuk erektil konka dan septum nasi memiliki kerja sebagai berikut:

    a. Menghaluskan dan membentuk aliran udara

    b. Mengatur volume dan tekanan udara yang lewat

    c. Penyesuaian udara

    3. Penyesuaian udara. Aliran udara berubah melalui perubahan fisik jaringan

    erektil hidung dan dalam waktu singkat udara inspirasi akan dihangatkan atau

    didinginkan mendekati suhu tubuh dan kelembaban mendekati 100%.

    4. Purifikasi udara atau pemurnian udara dari kotoran serta benda asing dapat

    terjadi karena adanya fungsi dari rambut hidung dan vibrisa pada vestibulum

    nasi yang berlapis kulit (Price dan Wilson, 2007).

    II.1.1.2. FISIOLOGI FARING

    Benda asing yang tertimbun saat inspirasi

    Faring Posterior

    Mucus kental dari mukosa siliar

    Fungsi: Transpor partikel, Sawar allergen (IgE), virus dan bakteri (fagosit)

    Gambar 2. Mekanisme fisiologi faring (Price dan Wilson, 2007).

    II.1.1.3. FISIOLOGI LARING

    Fungsi utama laring adalah melindungi jalan napas. Fungsi lainnya untuk

    batuk dan fonasi (bicara). Setelah laring aliran udara akan melewati trakea, yang

    kemudian terbagi lagi menjadi 2 cabang utama, Bronkus kanan dan bronkus kiri.

    Dari masing-masing bronkus akan terjadi percabangan yang lebih banyak dan

  • 6

    kecil seperti ranting yang disebut bronkiolus. Dimana di ujungujung bronkiolus

    terkumpul alveolus (Price dan Wilson, 2007).

    II.1.1.4. ALVEOLUS

    Alveolus merupakan kantung udara berdinding tipis, dapat mengembang

    dan berbentuk seperti anggur yang terdapat di ujung percabangan saluran

    pernapasan. Agar udara dapat keluar masuk paru, keseluruhan saluran pernapasan

    dari pintu masuk melalui bronkiolus terminal ke alveolus harus tetap terbuka

    (Price dan Wilson, 2007).

    II.1.1.5. PROSES-PROSES PERNAPASAN:

    1. Ventilasi Ventilasi adalah proses pergerakan udara ke dan dari dalam paru, terdiri atas

    dua tahap, yaitu:

    a. Inspirasi pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Terjadi inspirasi bila tekanan intrapulmonal lebih rendah dibanding tekanan udara luar.

    Penurunan intrapulmonal saat inspirasi disebabkan oleh mengembangnya

    rongga toraks akibat kontraksi otot-otot inspirasi. Proses:

    Kontraksi otot diaragma dan intercostalis eksterna

    Volume toraks membesar

    Tekanan intapleura turun

    Paru mengembang

    Tekanan intraalveolus menurun

    Udara masuk ke paru

    Gambar 3. Mekanisme inspirasi istirahat (Sherwood, 2007)

    b. Ekspirasi pergerakan udara dari dalam keluar paru. Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi dibanding tekanan udara luar sehingga udara

    bergerak keluar paru. Meningkatnya tekanan di dalam rongga paru karena

    volume rongga paru mengecil akibat proses penguncupan karena daya

  • 7

    elastisitas paru. Penguncupan terjadi akibat otot-otot inspirasi mulai

    relaksasi. Proses:

    Otot inspirasi relaksasi

    Volume toraks mengecil

    Tekanan intrapleura meningkat

    volume paru mengecil

    Tekanan intrapulmonal meningkat

    Udara bergerak keluar paru

    Gambar 4. Mekanisme ekspirasi istirahat (Sherwood, 2007)

    Tabel 1. Otot-otot pernapasan (Sherwood, 2007) Otot-otot pernapasan Fungsi otot

    Otot-otot inspirasi

    Diafragma

    Otot-otot Intercostae Eksternal

    Otot-otot leher (Skalenus,

    Sternokleidomastoideus)

    Bekerja pada tiap inspirasi dengan cara

    memperbesar rongga thoraks.

    Hanya bekerja pada inspirasi paksa.

    Otot-otot ekspirasi

    Otot-otot abdomen

    Otot-otot Inercostae Internal

    Hanya bekerja pada ekspirasi paksa,

    karena ekspirasi normal terjadi akibat

    relaksasi otot-otot inspirasi

    2. Difusi

    Gas berdifusi secara pasif dari alveolus ke darah di dalam kapiler paru atau

    sebaliknya mengikuti penurunan gradien tekanan parsial masing-masing gas.

    Faktor-faktor yang berpengaruh pada difusi gas dalam paru:

    a. Gradien tekanan parsial gas

    Merupakan perbedaan tekanan suatu gas antara alveolus dan kapiler

    paru atau kapiler jaringan dengan sel-sel jaringan. Faktor ini adalah penentu

    utama kecepatan pertukaran gas. Semakin tinggi gradien tekanan parsialnya

    semakin cepat pertukaran gas yang terjadi.

  • 8

    b. Luas membran

    Makin luas area membran alveolokapiler yang ikut dalam pertukaran

    gas, semakin cepat dan banyak pertukaran gas yang terjadi.

    c. Ketebalan sawar pemisah antara udara dengan darah

    Sawar yang memisahkan antara udara dengan darah berupa membran

    alveolokapiler dan juga jaringan interstisium diantara alveolus dan kapiler

    paru. Semakin tebal sawar tersebut semakin menurun kecepatan pertukaran

    gas yang terjadi.

    d. Koefisien difusi

    Merupakan besaran daya larut suatu gas di dalam jaringan tubuh.

    Semakin tinggi koefisien difusi suatu gas, semakin mudah gas tersebut

    berpindah mengikuti penurunan gradien tekanan parsial. Oleh karena itu

    semakin cepat juga terjadi pertukaran gas (Sherwood, 2007).

    Gambar 5. Difusi dan transportasi gas di dalam tubuh manusia

  • 9

    3. Transportasi Transportasi adalah proses perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari

    jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah yang dibagi menjadi dua, yaitu:

    a. Transpor gas O2

    Oksigen dalam aliran darah terbagi menjadi 2:

    1) Larut dalam plasma (1,5%)

    2) Terikat dengan Hb (98,5%)

    Karena persentase transportasi O2 lebih banyak yang berikatan

    dengan Hb, maka jumlah O2 dalam darah sangat dipengaruhi oleh kadar

    Hb dalam darah dan daya ikat Hb dengan O2. Di dalam sel darah merah

    O2 berikatan dengan molekul heme Hb membentuk oksihemoglobin

    (HbO2).

    b. Transpor gas CO2

    CO2 dari jaringan masuk ke plasma untuk kemudian ditransportasikan ke

    paru melalui beberapa cara, yaitu:

    1) Larut dalam plasma (10%)

    2) Berikatan dengan Hb (30%)

    Berbeda dengan O2, CO2 di dalam sel darah merah berikatan

    dengan globin membentuk karbamino hemoglobin (HbCO2).

    3) Sebagai bikarbonat (60%)

    CO2 berikatan dengan H2O membentuk asam bikarbonat (H2CO3)

    untuk kemudian melepas atom H+ dan berubah lagi menjadi asam

    karbonat (HCO3-). Paling banyak terjadi di dalam sel darah merah dengan

    bantuan ezim karbonat anhidrase (Sherwood, 2007).

    II.1.2. ATMOSFER

    Atmosfer adalah selubung gas atau campuran gas-gas, yang menyelimuti

    bumi. Campuran gas-gas ini disebut udara. Di atas atmosfer disebut ruang

    angkasa. Ruang angkasa adalah ruang dimana tidak ada lagi udara, bila masih ada

    udara atau gas maka daerah itu masih atmosfer, karena molekul gas yang sangat

    ringan dapat terlepas dari gaya tarik bumi dan beredar ke ruang angkasa. Oleh

    karena itu, dibuat perjanjian tentang batas antara atmosfer dan ruang angkasa.

  • 10

    Batas ini di Rusia, menurut A.A.Lavikov adalah 3.000 km, sedang di Amerika,

    menurut Armstrong adalah 6.000 mil (Danusastro, 1993).

    II.1.2.1. Klasifikasi Atmosfer

    1. Pembagian Atmosfer Berdasar Sifat-sifatnya: Berdasarkan sifat-sifatnya atmosfer dapat dibagi menjadi 4 (empat) lapisan,

    yaitu:

    a. Lapisan Troposfer

    Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tipis dan terletak dari

    permukaan bumi sampai ke ketinggian 10 km. Sifat-sifat troposfer pada

    umumnya adalah: suhu berubah-ubah, makin tinggi suhu makin rendah, arah

    dan kecepatan angin berubah-ubah, ada uap air dan hujan, serta ada

    turbulensi. Oleh karena sifat troposfer yang sering berubah-ubah ini, tempat

    ini kurang ideal untuk penerbangan; tetapi pada kenyataannya kebanyakan

    penerbangan dilakukan di lapisan ini, sehingga kemungkinan bahaya

    penerbangan menjadi lebih besar.

    b. Lapisan Stratosfer

    Lapisan stratosfer terbentang di atas lapisan troposfer sampai ke

    ketinggian 50 km. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh lapisan tropopause.

    Sifat-sifat stratosfer ialah: suhu tetap walaupun ketinggian berubah, yaitu

    -55C, tidak ada uap air dan turbulensi. Oleh karena sifat-sifat stratosfer

    lebih stabil dibandingkan dengan troposfer, maka stratosfer ini sebenarnya

    adalah tempat yang ideal untuk kegiatan penerbangan.

    c. Lapisan lonosfer

    Lapisan ionosfer terbentang dari atas stratosfer sampai ke ketinggian

    600 km. Pada lapisan ini udara sangat renggang dan terjadi reaksi

    fotokhemis dan fotoelelektris, sehingga atom-atom dan molekul-molekul

    gas ada yang menerima muatan listrik, menjadi ion-ion. Oleh karena

    pembentukan ion-ion inilah, timbul panas yang tinggi sehingga suhu udara

    di sini sampai 2.000C.

    d. Lapisan Eksosfer

    Lapisan Eksosfer adalah lapisan atmosfer yang paling atas, di sini gas-

    gas tidak kontinyu lagi hubungan molekulnya, atom-atom dan molekul-

  • 11

    molekul gas membentuk pulau-pulau udara yang satu sama lain dipisahkan

    oleh ruang hampa. Oleh karena sifat inilah, lapisan ini dibedakan dengan

    ketiga lapisan di atas.

    Ketiga lapisan atmosfer yang berada di bawah eksosfer disebut pula

    atmosfer, sedang eksosfer disebut outer atmosphere (Danusastro, 1993).

    2. Pembagian atmosfer berdasarkan fisiologi: a. Physiological zone : faal normal (50000 feet) (Suroto, 1995)

    II.1.2.2. Komposisi gas-gas atmosfer

    1. Persentase tetap:

    a. Nitrogen (N2) 78,084

    b. Oksigen (O2) 20,946

    c. Argon (A) 0,934

    d. Neon (Ne) 1,818 x 103

    e. Helium (He) 5,818 x 104

    f. Kreon 1,14 x 104

    g. Hydrogen (H2) 5 x 105

    h. Xenon (Xc) 8,7 X 10 6

    2. Persentase berubah-ubah:

    a. H2O (uap air) 0,1 sampai 2,8

    b. O3 (ozone) 1 x 10 6 sampai 10 5

    c. Rn (radon) 6 x 10 18

    3. Berubah berasal dari industri:

    a. CO (karbon monoksida) 6 x 10-6

    b. SO2 (sulfur dioksida) 1 x 10 -4

    c. NO2 5 x 10-6

    4. Yang selalu meningkat sesuai waktu:

    a. CO2 (carbon dioksida) 0,033

  • 12

    II.1.3. HUKUM GAS

    Menurut buku Dasar-Dasar Ilmu Kesehatan Penerbangan terbitan direktorat

    kesehatan TNI AU (1995), hukum gas berguna untuk menjelaskan gangguan

    fisiologi pada penerbangan. Hukum gas yang penting adalah:

    II.1.3.1. Hukum Difusi Gas

    Hukum difusi gas ini penting untuk menjelaskan pernapasan, baik

    pernapasan luar maupun dalam. Hukum ini mengatakan bahwa gas akan berdifusi

    dari tempat yang bertekanan parsial tinggi menuju ke tempat yang tekanan

    parsialnya rendah. Kecepatan difusi ditentukan oleh besarnya selisih tekanan

    parsial tersebut dan tebalnya dinding pemisah.

    II.1.3.2. Hukum Boyle

    Hukum ini penting untuk menjelaskan masalah penyakit dekompresi.

    Hukum Boyle ini mengatakan bahwa apabila volume suatu gas tersebut

    berbanding terbalik dengan tekanannya.

    Rumus: P1/P2 = V2/V1

    II.1.3.3. Hukum Dalton

    Hukum ini penting untuk menghitung tekanan parsial gas dalam suatu

    campuran gas, misalnya menghitung tekanan parsial oksigen dalam udara

    pernapasan pada beberapa ketinggian guna menjelaskan masalah hipoksia.

    Hukum ini mengatakan bahwa tekanan total suatu campuran gas sama dengan

    jumlah tekanan parsial gas-gas penyusun campuran tersebut.

    Rumus: Ptot = P1 + P2 + ........ + Pn

    Pt = Tekanan total campuran gas

    P1, P2 dan seterusnya adalah tekanan parsial masing-masing gas.

    II.1.3.4. Hukum Henry

    Hukum ini penting untuk menjelaskan penyakit dekompresi, seperti bends,

    chokes, dan sebagainya yang dasarnya adalah penguapan gas yang larut. Hukum

    ini mengatakan bahwa jumlah gas yang larut dalam suatu cairan tertentu

    berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut pada permukaan cairan itu.

    Rumus: Al x P2 = A2 x P2

  • 13

    A = jumlah gas yang larut

    P = Tekanan parsial gas pada permukaan cairan.

    II.1.3.5. Hukum Charles

    Hukum ini penting untuk menjelaskan tentang turunnya tekanan oksigen

    atau berkurangnya persediaan oksigen bila isi tetap, maka tekanan gas tersebut

    berbanding lurus dengan suhu absolutnya.

    Rumus: P1 : P2 = T1 : T2

    P1 = Tekanan semula

    P2 = Tekanan yang baru

    T1 = Suhu absolut mula-mula

    T2 = Suhu absolut kemudian

    II.1.4. MASALAH KESEHATAN PENERBANGAN UMUM

    Ada empat perubahan sifat atmosfer pada ketinggian yang dapat merugikan

    faal tubuh khususnya dan kesehatan pada umumnya (Suroto, 1995), yaitu:

    1. Perubahan atau mengecilnya tekanan parsial oksigen di udara yang

    menimbulkan Hipoksia.

    2. Perubahan atau mengecilnya tekanan atmosfer yang menimbulkan Sindrom

    dysbarism.

    3. Berubahnya suhu atmosfer.

    4. Meningkatnya radiasi, baik dari matahari (solar radiation) maupun dari

    kosmos lain (cosmic radiation).

    II.1.5. HIPOKSIA

    Hipoksia merupakan suatu keadaan yang terjadi secara akut sebagai akibat

    dari tidak adekuatnya oksigenasi jaringan. Dulu dikenal dengan istilah anoxia,

    tapi tidak relevan karena selama manusia hidup jaringan tidak pernah mengalami

    keadaan tanpa oksigen sama sekali.

    II.1.5.1. Klasifikasi Hipoksia

    Menurut sebabnya hipoksia ini dibagi menjadi 4 macam (Suroto, 1995):

    1. Hypoxic-Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena menurunnya tekanan

    parsial oksigen dalam paru atau karena terlalu tebalnya dinding paru. Hypoxic-

  • 14

    Hipoksia inilah yang sering dijumpai pada penerbangan, karena semakin tinggi

    terbang semakin rendah tekanan barometernya sehingga tekanan parsial

    oksigennya pun akan semakin kecil.

    2. Anemic-Hipoksia, yaitu hipoksia yang disebabkan oleh karena berkurangnya

    hemoglobin dalam darah baik karena jumlah darahnya yang kurang

    (perdarahan) maupun karena kadar Hb dalam darah menurun (anemia).

    3. Stagnant-Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bendungan

    sistem peredaran darah sehingga aliran darah tidak lancar, sehingga jumlah

    oksigen yang diangkut dari paru menuju sel menjadi bekurang. Stagnant

    hipoksia sering terjadi pada penderita penyakit jantung.

    4. Histotoxic-Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bahan racun

    dalam tubuh sehingga mengganggu kelancaran pemapasan internal. Contohnya

    pada orang yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika, atau terkena racun

    sianida, maka kemampuan sel untuk menggunakan oksigen yang tersedia

    menjadi menurun.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi hipoksia:

    1. Ketinggian tempat

    2. Kecepatan naik

    3. Lamanya di ketinggian

    4. Suhu lingkungan

    5. Kegiatan fisik

    6. Faktor individual:

    a. Toleransi perorangan

    b. Kesamaptaan jasmani

    c. Emosi

    d. Aklimatisasi

    Tingkatan hipoksia berkaitan dengan tekanan atmosfer, ketinggian, dan

    saturasi oksigen dalam darah, dibagi menjadi:

    1. Indifferent stage

  • 15

    Kelainan biasanya muncul sejak ketinggian 5000 kaki. Kelainan berupa

    memanjangnya daya adaptasi gelap. Oleh karena itu, bagi penerbang fighter

    diwajibkan memakai masker oksigen sejak dari permukaan tanah pada malam

    hari.

    2. Compensatory stage

    Adanya kompensasi faali terhadap hipoksia, sehingga gejala hipoksia tidak

    terlalu terlihat. Biasanya gejala yang nampak berupa pernapasan yang cepat

    dan dalam, serta peningkatan dari nadi, sirkulasi, dan curah jantung.

    3. Disturbance stage

    Pada tingkat kompensasi faali sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan oksigen

    jaringan. Gejala-gejala subyektif, meliputi:

    a. Malas

    b. Ngantuk

    c. Euphoria

    d. Pusing dan sakit kepala

    Gejala-gejala obyektif, meliputi:

    a. Panca indera

    Kedua penglihatan menurun tajam. Daya perabaan dan rasa sakit menurun

    atau bahkan menghilang. Pendengaran adalah indera terakhir yang

    mengalami gangguan.

    b. Fungsi otak

    Kemunduran kecerdasan adalah tanda yang pertama kali muncul. Daya

    ingat jangka pendek dan kemampuan membuat keputusan menurun. Waktu

    reaksi memanjang.

    c. Sifat kepribadian

    Tergantung sifat dasar dari penerbang. Bisa timbul euphoria, over

    confidence, ataupun moroseness.

    d. Fungsi psikomotor

    Koordinasi gerak otot menurun. Terlihat adanya gerakan yang kaku dan

    patah-patah, tulisan jelek, dan formasi pada saat terbang terganggu.

    e. Gejala hiperventilasi

    f. Cyanosis

  • 16

    4. Critical stage

    Pada tingkat akhir ini kesadaran menghilang karena kegagalan sirkulasi dan

    sistem saraf pusat (Suroto, 1995).

    Tabel 2. Tingkatan Hipoksia (Suroto, 1995)

    Tingkat hipoksia

    Ketinggian dalam kaki

    Tingkat Bernapas

    udara

    Bernapas

    100% O2

    Saturasi oksigen dalam

    darah

    Indifferent 0-10000 34000-39000 95%-90%

    Compensatory 10000-15000 39000-42500 90%-80%

    Disturbance 15000-20000 42500-44800 80%-70%

    Critical 20000-23000 44800-45500 70%-60%

    Gejala-gejala obyektif, meliputi:

    a. Air hunger, yaitu rasa ingin menarik napas panjang terus menerus

    b. Frekuensi nadi dan pernapasan naik

    c. Gangguan pada cara berpikir dan konsentrasi

    d. Gangguan dalam melakukan gerakan koordinatif, misalnya memasukkan

    paku ke dalam lubang yang sempit

    e. Sianosis, yaitu warna kulit, kuku dan bibir menjadi biru

    f. Lemas

    g. Kejang-kejang

    h. Pingsan dan sebagainya.

    II.1.5.2. Time of Useful Consciousness (TUC)

    Time of Useful Consciousness (TUC) adalah waktu efektif yang masih dapat

    digunakan sebelum seseorang menderita serangan hipoksia pada tiap ketinggian,

    di luar waktu itu kesadaran akan hilang. Waktu itu berbeda-beda pada tiap

    ketinggian, semakin tinggi semakin pendek waktu tersebut. TUC ini juga

    dipengaruhi oleh kondisi badan dan kerentanan seseorang terhadap hipoksia. TUC

    ini perlu diperhatikan oleh para awak pesawat agar mereka dapat mengetahui

  • 17

    berapa waktu yang tersedia baginya bila mendapat serangan hipoksia pada

    ketinggian tersebut. Sebagai contoh: TUC pada ketinggian 22.000 kaki =10 menit,

    25.000 kaki = 3-5 menit, 28.000 kaki = 2,53 menit, 30.000 kaki = 1,5 menit,

    35.000 kaki = 0,5-1 menit, 40.000 kaki = 15 detik dan 65.000 kaki = 9 detik

    (Suroto, 1995).

    II.1.5.3. Pengobatan hipoksia

    Pengobatan hipoksia yang paling baik adalah pemberian oksigen secepat

    mungkin sebelum terlambat, karena bila terlambat dapat mengakibatkan kelainan

    (cacat) sampai dengan kematian. Pada penerbangan bila terjadi hipoksia harus

    segera menggunakan masker oksigen atau segera turun pada ketinggian yang

    aman yaitu di bawah 10,000 kaki. (Harding, 1988)

    II.1.5.4. Pencegahan hipoksia

    Pencegahan hipoksia dapat dilakukan dengan beberapa cara mulai dari

    penggunaan oksigen yang sesuai dengan ketinggian tempat kita berada,

    pernapasan dengan tekanan dan penggunaan pressure suit, pengawasan yang baik

    terhadap persediaan oksigen pada penerbangan, pengukuran pressurized

    cabin, mengikuti ketentuan-ketentuan dalam penerbangan dan sebagainya. Cara

    lain untuk pencegahan yaitu latihan mengenal datangnya bahaya hipoksia agar

    dapat selalu siap menghadapi bahaya tersebut (Dhenin, 1978).

    II.1.6. INDOKTRINASI DAN LATIHAN AEROFISIOLOGI

    Indoktrinasi dan latihan aerofisiologi adalah suatu rangkaian kegiatan

    pemberian ceramah dan latihan kepada awak pesawat untuk pengenalan,

    pemantapan dan peningkatan masalah aerofisiologi yaitu adanya pengaruh

    penerbangan terhadap faal tubuh manusia. Kegiatan ini bertujuan untuk

    memantapkan dan meningkatkan pengetahuan awak pesawat terhadap pengaruh

    penerbangan pada faal tubuh manusia, meningkatkan daya tahan fisik dan mental

    serta meneliti keadaan awak pesawat tersebut untuk dapat segera diambil tindakan

    rehabilitasi apabila didapatkan kelainan fisik dan mental yang akan berpengaruh

    buruk dalam tugas penerbangan. Kegiatan ini harus dilaksanakan secara terus

    menerus dan berlanjut oleh satuan penerbangan dengan pelaksanaan kegiatan

    dipusatkan di Lakespra Saryanto sebagai satu-satunya lembaga kesehatan

  • 18

    penerbangan TNI. Masalah hipoksia adalah salah satu bentuk materi ceramah

    indoktrinasi dalam kegiatan ILA. Hipoksia dalam penerbangan dapat terjadi

    secara perlahan-lahan akibat beberapa faktor, seperti adanya kebocoran kecil pada

    kabin pesawat, penggunaan O2 yang tidak benar akibat regulator pada posisi yang

    salah, dan penggunaan masker yang tidak tepat. Seperti telah dikemukakan

    bahwa otak manusia bukanlah merupakan sistem alarm yang dapat

    mengisyaratkan seseorang terhadap kondisi kekurangan suplai oksigen. Oleh

    karena itu, salah satu bentuk latihan dalam kegiatan ILA adalah latihan untuk

    menunjukkan gejala dan bahaya hipoksia serta pengaruhnya terhadap faal tubuh.

    Latihan ini menggunakan ruang udara bertekanan rendah atau hypobaric chamber

    (Hartono, 1993).

    II.1.7. INDEKS MASSA TUBUH (IMT)

    Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat

    atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya

    yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang

    dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih

    akan meningkatkan risiko terhadap penyakit degeneratif. Indeks massa tubuh

    merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa,

    dan dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat

    tinggi badan (dalam ukuran meter). Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat

    dihitung dengan rumus berikut:

    Berat Badan (Kg)

    IMT = -------------------------------------------------------

    Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

    Rumus ini hanya cocok diterapkan pada mereka yang berusia antara 19-70

    tahun, berstruktur tulang belakang normal, bukan atlet atau binaragawan, juga

    bukan wanita hamil atau menyusui. Cara ini digunakan terutama jika pengukuran

    tebal lipatan kulit tidak dapat dilakukan (lansia), atau nilai bakunya tidak tersedia.

  • 19

    Penggolongan status gizi berdasarkan nilai IMT ini dapat dilihat dalam tabel

    dibawah ini (Anonim, 2008).

    Tabel 3. Klasifikasi Berat Badan yang diusulkan berdasarkan BMI pada Penduduk

    Asia Dewasa (IOTF, WHO 2000)

    Kategori BMI (kg/m2) Risk of Co-morbidities

    Underweight < 18.5 kg/m2 Rendah (tetapi risiko terhadap

    masalah-masalah klinis lain

    meningkat)

    Normoweight 18.5 - 22.9 kg/m2 Rata rata

    Overweight > 23

    At Risk 23.0 24.9 kg/m2 Meningkat

    Obese I 25.0 - 29.9kg/m2 Sedang

    Obese II > 30.0 kg/m2 Berbahaya

    II.1.8. OBESITAS DAN FUNGSI PARU

    Prevalensi obesitas terus meningkat secara dramatis dari sekitar 9,4% pada

    National Health and Nutrition Examination Survey/NHANES I (1971-1974)

    menjadi 14,5% pada NHANES II (1976-1980), 22,5% pada NHANES III

    (19881994), dan 30% pada survey tahun 1999-2000.

    Obesitas, khususnya obesitas sentral (abdominal), berasosiasi dengan

    sejumlah gangguan metabolisme dan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas

    yang tinggi antara lain: resistensi insulin dan diabetes melitus, hipertensi,

    hiperlipidemia, aterosklerosis, penyakit hati dan kandung empedu, bahkan

    beberapa jenis kanker. Selain itu, obesitas juga berasosiasi dengan beberapa jenis

    gangguan pernapasan. Perubahan yang terjadi antara lain, mekanika pernafasan,

    tahanan aliran udara, dan pola pernafasan, yang akhirnya mengakibatkan

    abnormalitas tes faal paru (Wulandari dan Edo, 2007).

    II.1.8.1. Perubahan mekanika respirasi / kemampuan regangan paru

    Obesitas dapat menyebabkan penurunan kemampuan regangan

    (compliance) paru, dinding thorax, dan sistem pernapasan secara keseluruhan.

    Kelebihan berat badan memberikan beban tambahan pada thorax dan abdomen

  • 20

    dengan akibat peregangan yang lebih sulit pada dinding thorax. Selain itu, otot-

    otot pernapasan harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan tekanan negatif

    yang lebih tinggi pada rongga pleura untuk memungkinkan aliran udara masuk

    saat inspirasi.

    II.1.8.2. Peningkatan tahanan sistem pernapasan

    Tahanan sistem pernapasan secara keseluruhan mengalami peningkatan

    pada penderita obese. Peningkatan ini kemungkinan besar berkaitan dengan

    peningkatan tahanan pada saluran-saluran napas kecil (bukan saluran napas besar)

    karena ternyata volume paru berkurang. Tahanan ini makin meningkat bila

    penderita berbaring terlentang karena beban massa yang ditimbulkan oleh lemak

    di daerah supra-laring pada saluran napas, dan peningkatan aliran darah pulmoner,

    yang pada akhirnya mengakibatkan saluran napas makin menyempit.

    II.1.8.3. Perubahan pola pernapasan / respiratory drive

    Sebagai usaha untuk mengkompensasi peningkatan beban pada otot-otot

    pernafasan, penderita obese mengalami peningkatan respiratory drive yang

    mengakibatkan peningkatan ventilasi semenit. Penderita obese mengalami

    peningkatan frekuensi napas sekitar 25% - 40% dibandingkan orang normal,

    sedangkan volume tidalnya (VT) tetap normal baik pada saat istirahat maupun

    saat aktivitas fisik. Penderita obese juga mengalami penurunan waktu ekspirasi

    sebagai akibat perubahan compliance sistem pernafasan.

    II.1.8.4. Kekuatan dan ketahanan otot pernapasan

    Kekuatan otot-otot inspirasi dan ekspirasi mungkin sedikit terganggu pada

    penderita obesitas. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, namun diduga

    berkaitan dengan infiltrasi lemak pada otot-otot dan peregangan berlebihan pada

    otot diafragma. Ketahanan otot-otot pernapasan yang diukur dengan manuver

    ventilasi volunter maksimal (maximal voluntary ventilation) juga menurun.

    II.1.8.5. Peningkatan beban kerja pernapasan

    Beban kerja pernapasan adalah banyaknya energi yang dibutuhkan dalam

    proses pernapasan. Untuk mengukur banyaknya energi yang dibutuhkan tersebut

    digunakan ukuran antara berupa banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-

    otot pernapasan untuk tiap liter ventilasi (oxygen cost). Pada penderita obesitas

    berat oxygen cost meningkat beberapa kali lipat. Secara keseluruhan terjadi

  • 21

    peningkatan beban kerja pernapasan pada penderita obesitas karena peningkatan

    oxygen cost, penurunan kemampuan regangan jaringan paru (compliance),

    peningkatan tahanan sistem pernapasan, peningkatan nilai ambang beban inspirasi

    akibat massa jaringan lemak yang berlebihan. Penderita Obstructive Sleep Apnea

    Syndrome (OSAS) juga mengalami peningkatan tahanan saluran napas di daerah

    faring dan nasofaring yang berkorelasi dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan

    semakin meningkatkan beban kerja pernapasan. Penderita obesitas sederhana

    mengalami peningkatan beban kerja pernapasan sebesar 60% dibandingkan orang

    normal, sedangkan penderita obesitas morbid mengalami peningkatan sebesar

    250%.

    II.1.8.6. Berkurangnya toleransi aktivitas fisik

    Kebanyakan penderita obesitas mengalami hambatan untuk melakukan

    aktivitas fisik. Beberapa mekanisme berperan pada berkurangnya toleransi

    aktivitas fisik tersebut. Sebagian besar penelitian tentang aktivitas fisik dan

    obesitas dilaksanakan pada penderita obesitas sederhana. Laju metabolisme tubuh

    saat istirahat mengalami peningkatan. Penderita obese mengkonsumsi oksigen

    25% lebih banyak dibandingkan nonobese. Hal ini makin bertambah saat

    penderita melakukan aktivitas fisik. Banyaknya energi yang dibutuhkan untuk

    menggerakkan massa tubuh merupakan salah satu penyebab meningkatnya beban

    metabolisme untuk menghasilkan kerja ringan hingga sedang. Perubahan

    mekanika dinding thorax dan abdomen ikut berperan pada peningkatan beban

    kerja ventilasi. Hal ini akan memicu makin meningkatnya denyut jantung dan

    frekuensi pernapasan pada saat puncak aktivitas fisik, walaupun aktivitas fisik

    yang dikerjakannya hanya submaksimal. Dengan demikian penderita obese akan

    mengalami penurunan kemampuan melakukan aktivitas fisik walaupun kondisi

    kardiovaskulernya cukup sehat. Konsumsi oksigen maksimal (VO2 max) yang

    dinyatakan dalam ml/kg berat badan/menit adalah rendah dan berbanding terbalik

    dengan persentase lemak tubuh. Perbandingan nilai ambang anaerobik terhadap

    berat badan juga menurun.

    Semua perubahan tersebut menimbulkan sensasi sesak napas dan

    mengakibatkan penderita obese cenderung mengurangi tingkat aktivitas fisiknya

    (deconditioning). Faktor kardiovaskuler juga ikut berperan. Penderita hipoksemia

  • 22

    kronis dengan atau tanpa gangguan pernapasan saat tidur akan mengalami

    hipertensi pulmoner. Akibatnya akan timbul gangguan fungsi ventrikel kanan dan

    kiri pada saat aktivitas. Disfungsi diastolik juga dapat terjadi bila terdapat

    hipertensi, iskemia miokard, penyakit mikrovaskuler (biasanya terkait dengan

    Diabetes) seringkali dijumpai pada penderita obesitas. Gangguan muskulo-

    skeletal (misalnya kesulitan berjalan dan rasa nyeri akibat artritis) akan makin

    membatasi aktivitas penderita. Semua faktor tersebut menyebabkan penderita

    obesitas berat akan makin sulit melaksanakan aktivitas sehari-hari.

    Penyebab menurunnya toleransi aktivitas fisik pada obesitas:

    1. Peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktivitas

    2. Beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan massa tubuh

    3. Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen

    4. Rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler

    5. Rendahnya nilai ambang anaerobik

    6. Sesak napas

    7. Deconditioning

    8. Hipertensi pulmoner

    9. Disfungsi diastolik

    10. Iskemia miokard

    11. Penyakit pembuluh darah tepi / mikrovaskuler

    12. Abnormalitas muskulo-skeletal

    13. Kecemasan

    II.1.8.7. Gangguan pernapasan saat tidur

    Sekitar 50% penderita obese menderita OSAS. Obesitas dan lingkar leher

    yang besar (> 43 cm) merupakan predisposisi terjadinya penyempitan pada

    saluran nafas bagian atas (daerah retrofaring). Timbunan lemak pada sekitar

    faring, demikian pula pada dinding thorax dan abdomen ikut berperan pada

    timbulnya penyempitan dan oklusi saluran nafas bagian atas pada saat penderita

    tertidur. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi, apnea, penurunan saturasi

    oksihemoglobin, yang menimbulkan rangsangan kemoreseptor perifer di carotid

    bodies dan membangkitkan refleks pada susunan saraf pusat berupa peningkatan

    aktivitas saraf simpatis. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah dan

  • 23

    gelombang elektroensefalografik (EEG). Pada saat penderita terjaga dari tidurnya,

    saluran napas bagian atas kembali terbuka, apnea terhenti, ventilasi meningkat

    diatas normal, saturasi oksigen kembali normal, demikian pula aktivitas saraf

    simpatis. Penderita OSAS yang tidak diterapi memiliki mortalitas yang tinggi.

    Penderita yang lebih obese biasanya menderita Obesity Hypoventilation

    Syndrome (OHS) yang ditandai dengan hipoventilasi alveolar, hiperkarbia dan

    hipoksia pada pagi dan siang hari yang makin parah saat penderita tidur,

    hipertensi pulmoner, dan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Sebagian

    besar penderita OHS juga mengidap OSAS. Komplikasi pada OSAS dan OHS

    meliputi: gangguan neuro-psikiatrik yang berkaitan dengan kurangnya waktu

    tidur, aritmia jantung, hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, hipertensi sistemik,

    penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, polisitemia, dan stroke.

    II.1.8.8. Risiko terjadinya trombosis vena dan emboli paru

    Obesitas merupakan faktor risiko independen terjadinya trombosis vena

    profundus. Risiko terjadinya emboli paru juga meningkat seiring dengan

    peningkatan IMT. Tromboemboli terutama terjadi pasca tindakan operasi.

    Kurangnya aktivitas fisik dan penurunan fibrinolisis pada obesitas diduga

    mendasari kedua hal tersebut.

    II.1.8.9. Risiko terjadinya aspirasi

    Tingginya volume cairan lambung, tingginya kejadian refluks gastro-

    esofageal, dan peningkatan tekanan intra-abdominal merupakan beberapa hal yang

    yang meningkatkan risiko terjadinya aspirasi pada penderita obesitas.

    II.1.8.10. Kelainan nilai-nilai fisiologis paru

    Kelainan faal paru yang dijumpai pada penderita obesitas menggambarkan

    perubahan fisiologis pada mekanika pernafasan dan resistensi aliran udara.

    Derajat beratnya kelainan faal paru tergantung pada beratnya obesitas, dan

    distribusi lemak tubuh. Abnormalitas faal paru yang paling sering dijumpai pada

    obesitas adalah penurunan volume cadangan ekspirasi atau Expiratory Reserve

    Volume (ERV). Hal ini disebabkan oleh beban massa dan pemindahan beban dari

    dinding thorax bagian bawah dan abdomen ke paru-paru, serta naiknya posisi

    diafragma. Penurunan ERV terjadi seiring dengan bertambahnya derajat obesitas,

    terlebih lagi pada saat penderita berbaring terlentang. Didapatkan pula penurunan

  • 24

    kapasitas vital paksa atau Forced Vital Capacity (FVC), dan volume ekspirasi

    paksa dalam 1 detik atau Forced Expiratory Volume In 1 Second (FEV1). Pada

    penderita obesitas sederhana kapasitas vital atau Vital Capacity (VC) dan FRC

    mungkin menurun, namun nilai kapasitas paru total atau Total Lung Capacity

    (TLC) tetap normal. Dengan demikian bila dijumpai kelainan TLC pada penderita

    obesitas, harus segera dicari adanya penyebab yang lain. Penurunan volume paru

    (termasuk ERV, FRC, VC, dan TLC) lebih parah terjadi pada penderita OHS

    dibandingkan penderita obesitas sederhana. Kapasitas difusi gas-gas pernapasan

    juga menurun seiring dengan bertambahnya derajat obesitas. Kapasitas difusi gas

    CO umumnya masih normal pada penderita obesitas sederhana, tetapi mulai

    menurun pada penderita OHS.

    Distribusi lemak tubuh ikut menentukan pengaruh obesitas pada tes faal

    paru. Dibandingkan penderita obesitas perifer, penderita obesitas sentral

    mengalami penurunan FVC, FEV1 dan TLC yang lebih berat.

    Gambar 6. Spirogram pria dewasa normal

  • 25

    II.2. KERANGKA TEORI

    Gambar 7. Kerangka teori hubungan faktor pencetus dengan terjadinya hipoksia pada penerbang saat latihan hypobaric chamber

    II.3. KERANGKA KONSEP

    Variabel Independen Variabel Dependen

    Gambar 8. Kerangka konsep hubungan faktor pencetus dengan terjadinya hipoksia pada penerbang saat latihan hypobaric chamber

    MEDIA

    Hypobaric chamber ekuivalen 25000 feet

    Tekanan udara rendah

    Tekanan parsial O2 menurun

    Faktor risiko manusia:

    IMT

    HIPOKSIA

    IMT Waktu Terjadinya Hipoksia

  • 26

    II.4. HIPOTESIS

    Berdasarkan uraian latar belakang, dapat dirumuskan hipotesis mengenai

    hubungan antara BMI dengan tejadinya hipoksia pada penerbang saat latihan

    hypobaric chamber, yaitu :

    Terdapat korelasi antara IMT dan waktu terjadinya hipoksia pada penerbang saat latihan hypobaric chamber.