epistemologi balagah: studi atas miftā ‘ulūm karya...

183
i Epistemologi Balagah: Studi atas Miftāh al-‘Ulūm Karya al-Sakaki EPISTEMOLOGI BALAGAH Studi atas Miftāh al-‘Ulūm Karya al-Sakaki TESIS Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Bidang Pengkajian Agama Islam Oleh: Daud Lintang NIM: 21141200100013 Pembimbing: Prof. Dr. Sukron Kamil, MA Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2017 M / 1439 H

Upload: phungdieu

Post on 13-Aug-2019

253 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

i

Epistemologi Balagah: Studi atas Miftāh al-‘Ulūm Karya al-Sakaki

EPISTEMOLOGI BALAGAH

Studi atas Miftāh al-‘Ulūm Karya al-Sakaki

TESIS

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister

Dalam Bidang Pengkajian Agama Islam

Oleh:

Daud Lintang

NIM: 21141200100013

Pembimbing:

Prof. Dr. Sukron Kamil, MA

Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab

Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2017 M / 1439 H

Page 2: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

ii

PENGANTAR PENULIS

بسم اهلل الرمحن الرحيم

، وسهل منهج السعادة للمتقني، وبصر بصائر املصدقني والدارسني احلمد هلل الذي أوضح الطريق للطالبنيوأشهد أن ال إله إال اهلل .ميان وأنوار االحسان واليقنيومنحهم أسرار اإل يف الدين،حكام بسائر احلكم واأل

مني، القائل: وأشهد أن سيدنا حممدا عبده ورسوله الصادق الوعد األ .وحده ال شريك له امللك، احلق املبنيم بححسان إ ى يوم صلى اهلل عليه وعلى آله وأصحابه والتابعني هل .من يرد اهلل به خريا يفقهه يف الدين

د:وبع .الدين

Dengan inayah dan pertolongan dari yang Maha Kuasa dan Pemilik segala

Ilmu dhāhir maupun ghaib. Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah

ta’ala, Tuhan semesta alam yang tiada sekutu bagi-Nya, karena atas ridha dan izin -

Nya, draf tesis yang berjudul: “Epistemologi Balagah Studi atas Miftāḥ al-‘Ulūm

Karya al-Sakaki” ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Salawat teriring salam

semoga senantiasa tercurah kepada baginda Muhammad صلى هللا عليه وسلم, keluarga,

para sahabat dan seluruh pengikutnya yang selalu berjuang dan istiqomah demi

agama yang hanif ini dan sunnah Rasul- Nya. Pada kesempatan ini, penulis

menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang

telah ikut berperan dalam proses penyelesaian draf tesis ini. Sebab, siapa yang

belum berterima kasih kepada manusia berarti ia belum berterima kasih kepada

Allah ta’ala. Mereka di antaranya adalah:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. (Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta), Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA. (Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) yang

telah memberikan ruang dan kesempatan kepada penulis untuk menuntut

ilmu dan wawasan keislaman di UIN Syarif Hidayatullah, hingga penulis

dapat menyelesaikan program magister.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA. yang telah meluangkan waktu di tengah

kesibukan aktivitasnya sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dan yang super padat untuk tetap memberikan

bimbingan dan kontrol proses penulisan tesis kepada penulis mulai dari awal

hingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

3. Dr. JM. Muslimin, MA., Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA., Prof. Dr. Yunasril

Ali, MA., Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, MA., Dr. Tb. Ade Asnawi, MA.,

Dr. Yusuf Rahman, MA. dan Dr. Abdul Rozak, M.Si., yang terus berupaya

membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan draf tesis

mulai dari proposal sampai menjadi sebuah karya ilmiah.

4. Para pegawai Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

selalu membantu dalam proses administrasi dan memberikan support kepada

penulis untuk mempercepat proses studi.

Page 3: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

iii

5. Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr.

Hamka Hassan, MA. dan Wadek Kemahasiswaan Dr. Ahmadi Utsman,

MA., beserta seluruh dosen FDI yang sejak awal memberi motivasi bagi

penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.

6. Yayasan Baitul Mal Umat Islam Bank Negara Indonesia (Bamuis BNI) yang

telah memberikan support financial kepada penulis untuk menyelesaikan

masa akhir kuliah.

7. Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian

Keuangan RI beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan support

financial berupa beasiswa penelitian/ tesis kepada penulis.

8. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zahra Jakarta Barat beserta seluruh jajaran

dan dewan guru tercinta yang telah memberikan penulis bekal yang kuat

menuju universitas hingga meraih S2 di Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Pimpinan Lembaga Pendidikan Tahfidz al-Qur’an (PTQ) Al-Muhajirin BPI,

Direktur Lembaga Bahasa Internasional Universitas Indonesia dan Pimpinan

Pesantren Modern al-Adzkar Pamulang serta IMLA (Persatuan Guru Bahasa

Arab se- Indonesia) yang telah memberikan support penuh kepada penulis

untuk menyelesaikan tesis dan mengaktualisasikan keilmuan pada lembaga

tersebut.

10. Ayahanda Muhammad Yamin Lintang (yarhamuhullāh rahmatal abrār) dan

Ibunda Siti Yani Lubis (matta’ahullāh bi al-ṣiḥḥah wa ṭūl al-‘umr) yang

telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh perjuangan dan

kasih sayang yang tiada henti-hentinya, sehingga penulis dapat menempuh

pendidikan S2 seperti sekarang. Jihad mereka antara hidup dan mati untuk

menghidupi kami anak-anaknya, tiada lagi mengenal keluh maupun bosan

demi sebuah harapan anak-anaknya kelak sukses dunia maupun akhirat.

Maka hanya Allah yang bisa membalas jasa dan jihad mereka dengan

sebaik-baiknya balasan.

11. Istriku tercinta Sari Anggriani (Allāh yubārik fī ‘umrihā) serta kedua orang

tua kami ayahanda Sani Amson dan Lailatul Aibaiyyah (matta’ahumāllāh bi

al-ṣiḥḥah wa ṭūl al-‘umr) yang senantiasa mendo’akan penulis, terkhusus

istriku tercinta yang selalu ada dalam setiap suka dan duka selama

perkuliahan dan proses menyelesaikan kuliah magister.

12. Adinda Rahmi Ainun, Reni Aisyah, Emmi Wati, Parida Hanum, Dahrul

Lintang, Irwan Syahputra dan Hairunnisa meski terpisah jauh dari penulis,

namun mereka tetap memberikan dorongan semangat bagi penulis untuk

menyelesaikan studi program Magister.

13. Seluruh keluarga, kakak, kemenakan, paman, bibi, yang tetap mengawal

penulis dengan dukungan do’a setiap saat, hingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan studi.

14. Prof. Dr. Abdul Aziz Munadhil guru besar Universitas Ibnu Thufeil

Maroko, Dr. Munal al-Najjar dan Dr. Sawsan Rajab Hassan guru besar

Universitas Thaif KSA, Prof. Dr. Khadijah, dan Dr. Ibtisam guru besar

Universitas Baghdad Irak, Dr. Zahirah Boulfous guru besar Universitas

Qasnathinah Aljazair walau dengan keterbatasan ruang dan waktu, namun

Page 4: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

iv

selalu memberikan arahan dan support kepada penulis selama proses

penyelesai studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

15. Dr. H. Esfandiari Abdullah, Hj. Yanni Kussuryani, M.Si., Hj. Lolly Amali

Abdullah beserta seluruh keluarga besar alm. Amaluddin (barakallah fī

‘umrihim ṭūla al-hayāh) yang tidak pernah bosan mengingatkan dan

mensupport penulis untuk menyelesaikan proses perkuliahan S2 di SPs UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

16. Orang tua kami tercinta H. Djoko Prabowo dan Hj. Wintje, H. Tony P. Afiat

dan Hj. Dewi Kurniati, H. Ismet Pesmo dan Hj. Etty, bapak Jamilus Caniago

dan Ibu Maidarlis Piliang, H. M.Z. Iqbal Moenaf, SH. MH dan istri begitu

juga seluruh rekan-rekan sesama mahasiswa program Magister Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang selalu memacu dan

mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan tesis.

Semoga Allah ta’ala menjadikan dukungan moral dan material yang telah

mereka berikan menjadi amal saleh yang bermanfaat kelak dan tidak pernah

terputus. Adapun terhadap tulisan ini bila terdapat kekurangan ataupun kekeliruan

mohon kiranya diberikan saran dan masukan demi mendekati kesempurnaan

sebagaimana layaknya karya ilmiah yang baik dan sempurna. Jazākumullāh Khairan

Kathīran. Aamiin.

Jakarta, 27 November 2017

Penulis

Daud Lintang

Page 5: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

v

ABSTRAK

Epistemologi Balagah Studi atas Miftāh al-‘Ulūm Karya al-Sakaki

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui teori penulisan yang

dilakukan oleh al-Sakaki dalam karyanya Miftāh al-‘Ulūm. Miftāh al-‘Ulūm

dipandang sebagai warisan ilm balāghah yang sangat memukau banyak ahli. Telah

dikemukan oleh Al-Suyuthi (1979 M) dan Abbas Baidhun (2013 M) bahwa Miftāh

al-‘Ulūm adalah karya seni linguistic yang sangat brilian bahkan mereka menjuluki

al-Sakaki sebagai bapak ilm balāghah, karena telah melahirkan teori-teori penting

dalam berbahasa. Yusuf Rizqah (1999 M) menyebutnya dengan istilah Qawā’id wa

Dzawq al-Lughowiyyah dengan menggunakan empirisme (al-bayānī), rasionalisme

(al-burhānī) dan intuisionisme (al-‘irfānī).

Kendati demikian, penelitian ini berbeda pendapat dengan Khaṭib al-

Qazwaini (1268 M), Muhammad Waqidi (1999 M), Tammam Hassan (2011 M)

yang mengatakan bahwa Miftāh al-‘Ulūm banyak kelemahan dan kekurangannya,

hingga pada akhir abad ke-7 H al-Qazwaini pun melakukan sebuah terobosan baru

dengan menkonsktuksi kembali karya tersebut, kemudian dikenal dengan Talkhis

Miftāh ‘Ulūm. Bahkan, Ali Nikmah (2013) mengemukakan bahwa epistemologi

Miftāh al-‘Ulūm adalah murni rasionalisme, karena di dalamnya memuat Grammar

Language.

Penulis menggunakan metode penelitian bahasa secara sinkronis yaitu

penelitian deskriptif dan pendekatan hermeneutika rekonstruksi. Penelitian ini

adalah penelitian kualitatif, jenis studi literatur atau kepustakaan.

Tesis ini menyimpulkan bahwa proses epistemologi al-Sakaki melalui sarana

pencapaian ilmu pengetahuan merupakan sebuah sintetik-integralistik yang

mengkombinasikan ketiga epistemologi sekaligus yakni dengan cara menempatkan

ketiga sarana pencapaian ilmu panca indera, akal dan intuisi pada proporsinya, dan

pada kenyataannya ditemukan bahwa Miftāh al-‘Ulūm bagaikan kaidah sintaksis

dan belum mengarah kepada artistik sebagai tujuan utama ilmu balagah.

Dalam penelitian ini penulis mendukung pendapat yang dikemukakan oleh

al-Qazwaini dan Ali Nikmah tentang penyempurnaan epistemologi penulisan

Miftāh al-‘Ulūm agar menjadikan keduanya seimbang sesuai tujuan keilmuannya

yakni Qawā’idiyyah wa Dhawqiyyah. Sebagaimana disarankan oleh Tamman

Hassan untuk meninjau ulang keilmuannya dengan mengunnakan metode critical

linguistic.

Page 6: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

vi

ملخص البحث االيبستيمولوجية البالغية دراسة في مفتاح العلوم للسكاكي

هذا اليت قدمها السكاكي يف مفتاح العلوم. إبيستيمولوجية الكتابةملعرفة رسالةالهتدف هذه

كالرتاث القدمي الذي يدهش العديد من اخلرباء يف العامل. وقد نقله جالل الدين السيوطي الكتاب من نوعه حىت هؤالء اخلرباء يصفون ،( بأن مفتاح العلوم من ضمن فن لغوي رائع3192( وعباس بيضون )9191)

( 9111أب البالغة، ألنه قد تولد نظريات مهمة يف اللغة العربية. وادعى يوسف رزقة )السكاكي ب والربهاين (empiricism) والذوق اللغوي باستخدام البياين بااملصطلح اخلاص هلذا العمل اجلليل بالقواعد

(rationalism) والعرفاين (intuitionism). م( 9111م( وحممد وقيدي )9321القزويين )يب طومع ذلك، ختتلف هذه الدراسة عن خ

يف أواخر القرن السابع حىت كان، إن مفتاح العلوم فيه نقاط ضعيفةقالوا حيث م(3199ن )اومتام حسالقزويين بعملية النقد وإعادة تصور العمل الذي عرفه الحقا بتلخيص مفتاح العلوم. كما به اهلجري حقق

ى أن نظرية العلوم فيه كالنحو العريب.كان القزويين، علي نعمة األزهاري ير ستخدم املؤلف طريقة خاصة وهي حبث اللغوي وحتليل الكتاب مث البحث الوصفي وهنج او

هذا البحث هو حبث نوعي بالدراسة وأخريا، . (hermeneutics reconstruction) التعمري اهليكلي املكتبية.

أن نظرية السكاكي يف وسائل حتقيق العلوم نظرية متكاملة جتمع بني على تؤكدة رسالفهذه ال . ويف الواقع، دساحلسية والعقل واحل تعينعن طريق وضع الوسائل الثالث ةالعلوم الثالثإبستيمولوجية هذه مثل إ ى البياين والربهاين، وقليل من العرفاين. وهذا واضح من جوهر العمل ميالأكثر مفتاح العلوم يف ظهر

.(languange sense) ومل ميل إ ى الفنية العربية (languange grammar) قواعد النحويةإعادة يفراء اليت قدمها القزويين وعلي نعمة األزهاري اآلولذلك، يف هذه الدراسة دعم املؤلف

ملراجعة دراسته ناتصور الكتابة إ ى أن يكون متوازنا بني القواعد والفنية العربية. كما اقرتحها متان حس . (critical linguistic) باستخدام النقد األديب

Page 7: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

vii

ABSTRACT

Epistemology Balagah Study on Miftāh al-'Ulūm by al-Sakaki

The purpose of this research is to know the theory of writing done by al-

Sakaki in his book named Miftāh al-'Ulūm (the key of knowledge). Miftāhal- 'Ulūm

is viewed as a legacy of ilm balāghah (arabic rethoric) which amazes many experts

in the world. It has been found by Jalaluddin al-Suyuthi (1979) and Abbas Baidhun

(2013) that Miftāh al-'Ulūm is a very brilliant linguistic art, even they called al-

Sakaki as the father of ilm balāghah, because he has demonstrated an important

theories of language. Yusuf Rizqah (1999) calls this term with Qawā'id wa Dzawq

al-Lughawiyyah (grammar and language sense) using empiricism (al-bayānī),

rationalism (al-burhānī) and intuitionism (al-'irfānī).

Even though, this research has a different opinion with Khaṭib al-Qazwaini

(1268 M), Muhammad Waqidi (1999) and Tammam Hassan (2011), they said that

Miftāh ‘Ulūm has many weaknesses and shortcomings. In the 7th century, Al-

Qazwaini made a new breakthrough to reconstruct al-Sakaki’s book, and then

known as Talkhis Miftāh ‘Ulūm (The Resume’s of Miftāh al-‘Ulūm). Similar to al-

Qazwaini, Ali Nikmat al-Azhari (2013) said that epistemology Miftāh ‘Ulūm is

purely rationalism (al-burhānī) because of the Grammar Language.

The author of this research use synchronous language research methods

namely historical research and reconstruction hermeneutics approach. Then, this

research is qualitative research by study of library.

So, this thesis concludes that al-Sakaki epistemology about the tools of the

having knowledge is a integralistic synthetic which combines these there

epistemologies at once. That is by placing the three tools of knowledge are five

senses (al-hissiyyah), mind (al-‘aql) and heart (al-qalb) in proportion.

By this research, the author supports the opinion which delivered by al-

Qawaini and Ali Nikmat al- Azhari about the importance of completing

epistemology on the method al-Sakaki’s book. It mean to balance between

Qawā’idiyyah (grammar language) and Dhawqiyyah (artistics language), as

recommendationed by Tammam Hassan to recheck the knowledge by critical

linguistic method.

Page 8: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Konsonan

a = أ

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

ḥ = ح

kh = خ

d = د

dh = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sh = ش

ṣ = ص

ḍ = ض

ṭ = ط

ẓ = ظ

ع = ‘

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ن

h = ه

w = و

y = ي

Vokal Pendek : a = ´ i = u =

Vokal Panjang : ā = ا ī = ي ū = و

Diftong : ay = يا aw= وا

Page 9: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i

PENGANTAR PENULIS .............................................................................................. ii

ABSTRAK .................................................................................................................... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Masalah Penelitian

1. Identifikasi Masalah .................................................................... 9

2. Perumusan Masalah .................................................................... 10

3. Pembatasan Masalah ................................................................... 11

C. Tujuan Penelitian............................................................................... 12

D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 12

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................... 13

F. Landasan Teori .................................................................................. 15

G. Metodologi Penelitian ....................................................................... 17

H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 18

BAB II EPISTEMOLOGI DAN SEJARAH ILMU BALAGAH

A. Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Islam dan Barat ........................... 21

B. Konsep Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Islam ............................... 24

1. Metode Bayānī .............................................................................. 25

2. Metode Burhānī ............................................................................. 26

3. Metode Irfānī ................................................................................. 27

C. Konsep Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Barat ............................... 29

Page 10: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

x

1. Metode Empirisme ....................................................................... 31

2. Metode Rasionalisme ................................................................... 32

3. Metode Intuisionisme ................................................................... 34

D. Epistemologi Ilmu Bahasa dan Sastra Arab ....................................... 36

E. Sejarah Ilmu Balāghah ........................................................................ 38

1. Pengertian Ilmu Balāghah ............................................................ 40

2. Balāghah Sebelum Masa al-Sakaki .............................................. 43

3. Balāghah Pasca al-Sakaki hingga Era Modern ............................. 49

BAB III DINAMIKA INTELEKTUAL AL- SAKAKI

A. Sejarah Hidup al-Sakaki (550 H – 626 H) ......................................... 55

B. Setting Sosial Intelektual

1. Kelahiran al-Sakaki ....................................................................... 58

2. Pendidikan, Pekerjaan dan Proses Awal Kepengarangannya ........ 61

3. Sastrawan dan Pemikir yang Mempengaruhi al-Sakaki ................ 63

4. Respon Ulama kepada al-Sakaki ................................................... 65

C. Karya Intelektual al-Sakaki ............................................................... 70

D. Pemikiran Balāghah al-Sakaki Kontinuitas dan Perubahan ............. 72

BAB IV EPISTEMOLOGI MIFTAH ‘ULUM

A. Deskripsi Umum Miftāh ‘Ulūm ....................................................... 78

B. Karakteristik Miftāh ‘Ulūm ............................................................. 80

1. Miftāh ‘Ulūm terbagi kepada 3 Komponen Keilmuan ................ 82

2. Miftāh ‘Ulūm Menggunakan Metode Taqrīrī .............................. 88

3. Ma’ānī dan Bayān lebih Utama, Badī’ Penyempurna .................. 91

C. Empirisme sebagai Epistemologi Miftāh ‘Ulūm.............................. 100

1. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian al-Amr ................................. 101

2. Empirimse al-Sakaki dalam Kajian al-Nahy ................................ 103

3. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian al-Majāz ............................... 104

D. Rasionalisme sebagai Epistemologi Miftāh ‘Ulūm ......................... 105

1. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian al-Istifhām ....................... 109

2. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian al-Hadzf ........................... 113

3. Rasionalisme Al-Sakaki dalam Kajian al-Qaṣr, al-Waṣl, dan

al-Faṣhl ........................................................................................ 117

4. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian al-Taṣbīh .......................... 122

5. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian al-Isti’ārah ....................... 124

E. Intuisi sebagai Epistemologi Miftāh ‘Ulūm ..................................... 125

1. Intuisi al-Sakai dalam Kajian al-Amr ........................................... 128

2. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian al-Isti’ārah .................................. 130

2. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian al-Taṣbīh ..................................... 132

Page 11: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

xi

3. al-Sakaki dalam Kajian al-Majāz dan al-Kināyah ....................... 135

4. Intuisi dalam Kajian al-Ṭibāq dan al-Jinās ................................... 138

F. Kritik dan Apresiasi Epistemologi terhadap Miftāh ‘Ulūm ............ 141

1. Kritik Terhadap Miftāh al-‘Ulūm ................................................ 142

2. Apresiasi Terhadap Miftāh al-‘Ulūm ........................................... 147

G. Relevansi Miftāh al-‘Ulūm dengan Linguistik Modern .................. 149

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 153

B. Saran dan Kritikan .............................................................................. 155

DAFTAR PUSTAKA _157

GLOSARI_165

INDEKS_166

BIODATA PENULIS_170

DAFTAR LAMPIRAN_166

Page 12: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

xii

Jika seni bertujuan untuk memelihara akar dari budaya kita,

Maka masyarakat harus membiarkan seniman bebas mengikuti visi mereka

masing-masing, kemanapun hal itu membawa mereka.

John F. Kennedy

Politikus dan presiden ke-35 Amerika Serikat 1917-1963

Page 13: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

1

BAB I

EPISTEMOLOGI BALĀGHAH

Studi atas Miftāḥ al-‘Ulūm Karya al-Sakāki

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa cenderung terlibat pada semua aspek kebudayaan, karenanya antara

kedua komponen bahasa dan budaya tersebut sangat memiliki hubungan yang erat

dan tidak akan pernah terpisah. Kecenderungan itu bahkan terjadi bukan saja pada

pengembangan kebudayaan dan cerminan masyarakatnya, tetapi juga tampaknya

pada indentitas suatu bangsa. Dengan demikian, hubungan antara keduanya

merupakan hubungan subordinatif, di mana bahasa itu sendiri berada di bawah

lingkup budaya.1 Dalam hubungannya dengan budaya secara filogenetik,

2 maka

bahasa adalah unsur kebudayaan. Namun, secara ontogenetik justru sebaliknya, di

mana seseorang yang belajar budaya pasti melalui bahasa.3 Misalnya, ketika

seseorang ingin mengetahui budaya Timur Tengah, maka sebagai kuncinya tentu

saja ia harus mengenali bahasa Arab4 terlebih dahulu. Dengan makna lain bahwa

seseorang yang memproleh ilmu, pengalaman bahkan ide-ide dalam kehidupannya

adalah dengan bantuan bahasa.

Dengan demikian, setiap individu dalam masyarakat dipastikan menggunakan

alat komunikasi sosial yakni bahasa secara kontinuitas. Sebab, tidak ada masyarakat

yang berbudaya tanpa bahasa, dan tidak ada bahasa tanpa masyarakat sosialnya.

1Abdul Chaer dan Leonia Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta:

Rineka Cipta, 1995), 57.

2Menurut Nababan budaya dan bahasa dalam kaitannya antara kedua komponen

tersebut dimasukkan pada kelompok filogenetik yaitu untuk menunjukkan adanya

hubungan jenis secara sistemik. Adapun kelompok kedua disebut sebagai ontogenetik

untuk menunjukkan adanya hubungan peorangan dalam mengarungi budaya melalu bahasa

dengan belajar. Lih. Nababan, Hubungan dan Permasalahan antara parawisata,

kebudayaan dan Bahasa (Yogyakarta: Pelita Ilmu, 2001), 8.

3Gerard Holton, Modern Science and the Intelectual Tradition The New Scientist

(New York: Doubleday, 1962), 202.

4Bahasa Arab sebagai bahasa budaya di seluruh Timur Tengah khususnya Arab

Saudi sebagai kelahirannya, ia adalah bahasa tertua di dunia memiliki peran yang

signifikan, bukan saja berpengaruh dalam ranah budaya melainkan juga memberikan peran

tersendiri dalam perekonomian, perpolitikan, kesosialan bahkan kemajuan dan

perkembangan tekhologi di dunia. Itu sebabnya, bahasa Arab pun diakui langsung oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa/ United Nations (PBB) yang berpusat di Swiss sebagai

warisan budaya dan bahasa internasional sejak tahun 1973 M. Lih. Abu Hamza Yusuf al-

Atsari, Pengantar Mudah Belajar Bahasa Arab (Bandung: Pustaka Aohwa, 2007), 5.

Senada dengan kata Azman Ismail (2016 M) bahwa perkembangan sebuah bahasa pasti

dipengaruhi oleh sebuah kebudayaan. Lih. Azman Ismail, Dinamika Perkembangan

Pembelajaran Bahasa Arab antara Teori dan Praktek, Jurnal Arab Lisanuna Vol. 6 No. 2,

Desember 2016, 430. Para pengkaji bahasa Arab sendiri menuturkan bahwa bahasa Arab

memiliki berbagai macam cabang keilmuan diantaranya ilm naḥwiyah (sintaksis Arab), ilm

ṣarfiyyah (morfologis Arab), ilm balāghiyyah (semantik Arab).

Page 14: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

2

Benyamin Lee Whort dan Edward Sapir (1971 M), menyimpulkan dalam sebuah

hipotesisnya yang dikenal agak mengejutkan dan melawan arus, mereka

menegaskan bahwa pada kenyataannya bahasalah yang menentukan corak dan

identitas suatu masyarakat.5

Seiring dengan perkembangan budaya pada semua lini yang ada di dunia,

bersama itu pula ilmu pengetahuan tentunya mengalami perkembangan yang sangat

signifikan. Sebab, setiap perkembangan yang terjadi tidak pernah lepas dari

pemahaman manusia yang mengalami perkembangan dan perubahan menuju

kebudayaan yang lebih baik lagi.6 Michael Halliday (1994 M) bahkan mencoba

menghubungkan bahasa, terutama dengan satu sisi yang penting bagi pengalaman

manusia, yaitu struktur sosial. Ia menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses

sosial. Sehingga tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, sebaliknya ia selalu

berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial.7 Maka karena itu bahasa pun dapat

disimpulkan bahwa ia adalah bagian dari kekayaan budaya suatu masyarakat.

Lebih jauh, Cavallaro (2004 M) mengungkapkan bahwa kajian budaya dalam

hubungannya dengan bahasa merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan

yang mencoba cerdas-kritis menangkap semangat teori-teori budaya yang bias

kepentingan elit budaya dan kekuasaan, sembari merengkuhkan perhatiannya pada

budaya-budaya yang selama ini tidak terjamah atau tidak diakui oleh ilmu-ilmu

sosial humaniora tradisional yang telah mapan. Karena sifatnya yang kritis, kajian

budaya memiliki sifat disiplin dan metodologi yang sangat berbeda dengan ilmu-

ilmu yang sudah mapan yang umumnya disipliner. Kajian budaya bersifat

interdisiplin atau posdisiplin, bahkan bersifat eklektis. Harapan ini paling tidak dapat

ditemukan dalam dalam bidang linguistik (critical linguistics)8 atau yang sering

disebut oleh Tammam Hassan (2011 M) dalam karyanya al-Uṣūl sebagai al-Naqd

al-Adabi.9

Secara fungsional, ada banyak kelebihan dalam mengkaji linguistik kritis

(critical linguistics) karena ia bertujuan untuk mengungkap hubungan kuasa

5Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 15.

6Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1984), 40.

7Anang Santoso, Jejak Halliday dalam Linguistik Ktiris dan Analisis Wacana

Krisis, Bahasa dan Seni, Vol. 36, No. 1, Februari 2008, 2.

8Linguistik atau ilmu bahasa adalah disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara

luas dan umum. Dalam cakupannya tersebut ilmu bahasa terbagi kepada dua lingkup

penting yaitu mikrolinguistik yang mencakup lingkup linguistik yang mempelajari bahasa

dalam rangka kepentingan ilmu bahasa itu sendiri, tanpa mengaitkan dengan ilmu lain dan

tanpa memikirkan terapan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bidang ini meliputi

teori-teori linguistik, historis dan deskriptif. Sedang yang kedua adalah makrolinguistik

yaitu lingkup linguistik yang mengkaji bahasa dalam kaitannya degan dunia di luar

bahasa, baik berupa hubungannya antara linguistik dengan bidang ilmu lain maupun

penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, model ini pun terbagi kepada 2 macam yaitu

linguistik interdisipliner dan linguistik terapan. Kajian linguistik tersebut menjadi kajian

khusus kebudayaan yang menjadi identitas pada suatu komunitas tertentu. Lih. Soeparno,

Dasar-Dasar Linguistik Umum (Yogyakata: Tiara Wacana, 2013), 25-26.

9Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl Dirāsah Epistīmulūjiyyah li al-Fikri al-Lughawī

‘Inda al- ‘Arab (Kairo: Allamul Kutub, 2000), 243.

Page 15: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

3

sembunyi dan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks lisan maupun tulis.

Di sisi lain, ia juga mampu untuk meluruskan kekeliruan yang terjadi pada teks lisan

maupun tulis khususnya, seperti karya sastra dari kaidah-kaidah bahasa, sosial,

moral, teori sastra, bahkan kekeliruan epistemologi dan estetikanya. Sebab, critical

linguistics pasti membicarakan arah teori bahasa dalam fungsi yang penuh dan

dinamik dalam konteks-konteks historis, sosial, dan retoris.10

Critical linguistics dalam penerapannya akan memberikan landasan yang

kokoh untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata antara lain dalam politik,

budaya, media massa, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi gender

bahkan dalam karya-karya ilmiah. Piranti-piranti untuk menganalisisnya adalah

seleksi gabungan dari kategori deskriptif yang sesuai dengan tujuannya, khususnya

struktur-struktur yang di identifikasikan sebagai komponen ideasional dan

interpersonal. Pandangan instrumental Halliday (1994 M) terlihat pada pandangan

ahli bahasa Fowler tentang fungsi klasifikasi bahasa. Menurutnya, dunia tempat

hidup manusia bersifat kompleks dan secara potensial membingungkan.

Menghadapi dunianya yang kompleks, manusia melakukan proses kategorisasi

sebagai bagian dari strategi umum untuk menyederhanakan dan mengatur dunianya

itu. Manusia tidak menggunakan secara langsung dunia objektif, tetapi

menghubungkannya melalui sistem klasifikasi dengan menyederhanakan fenomena

objektif dan membuatnya menjadi sesuatu yang mudah dikelola.11

Pada objek teks suatu karya ilmiah, misalnya teks sastra pun menjadi

sebanding dengan tingkah laku sosial yang berlaku dalam masyarakat, baik politik,

ekonomi, maupun sikap sosial lainnya yang menjadi rujukan empirisme ilmu politik,

ekonomi, dan sosiologi. Muhammad Hassan Abdullah (1990 M) menegaskan bahwa

hal semacam inilah yang disebut sebagai teori formalisme dalam kritik sastra.

Karena menurutnya metode tersebut juga mengikuti metode linguistik atau yang

sering disebut sebagai critical linguistics atau al-manhaj al-lughawī dan metode

estetika yang mementingkan keindahan bentuk sastra bahasa. Victor Shklovsky

(1930 M) menambahkan jika dibaca dari sudut pandang formalisme maka dengan

mudah bahasa yang merupakan alat penghubung budaya pasti mampu untuk

menganalisis komponen-komponen linguistik yang ada padanya. Analisa linguistik

tersebut setidaknya dibatasi pada fonetik, morfem maupun sintaksis. Namun, juga

pada semua aspek yang ada dalam sastra bahasa sebagai sarana untuk menggapai

tujuan sebuah cita rasa (artistik).12

Sebab itu, sastra bahasa menurut Ali Ni’mah al-Azhari (2013 M) adalah seni

yang tujuan awalnya untuk membangkitkan rasa, bukan mengungkapkan realitas dan

pikiran dengan sempurna.13

Dalam kitab Uṣūl al-Naqd al-Adabī karya Ahmad al-

Shayib (1964 M), ia menekankan bahwa pada sastra bahasa harus memiliki empat

10Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern (Jakarta: Rajawali

Press, 2012), 53.

11

Anang Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Ktiris dan Analisis Wacana

Krisis, Bahasa dan Seni, Vol. 36, No. 1, Februari 2008, 7.

12

Ahmad Hussein Zayyat, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī (Kairo: Dar Nahdhah, t.t.), 27.

13

Ali Ni’mah al-Azhari, Sharh Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm li Imam al-Sakākī (Kairo:

Dar al-Qanat, 2013), 77.

Page 16: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

4

unsur penting yaitu; rasa, imajinasi, gaya bahasa yang indah dan ide yang brilian.

Dengan demikian menurutnya sastra harus mampu mengesploitasi rasa,

menyampaikan hal-hal yang eskafistis dari alam kenyataan, diksi dan ungkapan

yang indah serta ide yang dimilikinya harus mencerminkan kehidupan pribadi

pengarang dan sosial budayanya.14

Bahkan sastra sebagai alat komunikasi seni tidak

boleh terlepas dari fungsi emotif, afektif, dan penalaran pengarangnya.15

Hal tersebut bertujuan agar sampai pada artistik bahasa yang berkualitas dan

memiliki seni yang indah. Maka dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang mutlak

dalam seni adalah kemahiran, ketegasan, kecakapan dan keahlian. Sehingga pada

akhirnya seni tersebut akan memberikan arti sebuah nilai yang subyektif.

Sesuatu yang indah pada alam seni akan menimbulkan perasaan imajinatif,

senang, nikmat dan menjadi penalaran. Maka saat itulah seseorang mengalami

penghayatan estetika yang merupakan bagian dari kajian ilmu filsafat.16

Ketika

menyentuh kepada kajian mengenai keindahan, kesenian bahkan kesenangan yang

diakibatkan oleh keindahan tersebut maka pasti akan menimbulkan suatu ilmu

pengetahuan yang besar. Filsuf Yunani Aristoteles (322 SM) dan filsuf Jerman

terkemuka Immanuel Kant (1804 M) menyimpulkan bahwa ada tiga tema besar

dalam kajian filsafat17

sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan, yakni;

Kenyataan, Nilai, dan Pengetahuan. Ketiga tema besar filsafat ilmu tersebut masing-

masing dikaji oleh tiga cabang besar ilmu filsafat. Di mana tema kenyaataan adalah

seni kajian metafisika, nilai pada bidang kajian aksiologi dan pengetahuan

merupakan bidang kajian epistemologi.18

Seorang pakar ilmuwan terkemuka dari Yale University, Koestenbaum (1968

M) mengutarakan bahwa filsafat epistemologi terhadap dasar atau teori sebuah ilmu

pengetahuan sangatlah penting untuk diketahui karena ia bertujuan untuk menguji

dasar-dasar dan proses-proses terbentuknya semua pengetahuan manusia.19

Sebab,

kebenaran suatu ilmu pengetahuan yang ada dalam sebuah karya dan ide manusia

haruslah bisa di ukur. Salah satunya di mana setiap pernyataan-pernyataan yang

14Anang Santoso, Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana

Krisis, 2.

15

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 301.

16

Nanang Rijali, Seni: Estetika, Logika, dan Etika, Jurnal Wacana Seni Rupa Vol.3,

No.6, September 2013, 4.

17

Filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, berfungsi untuk menetapkan

dasar-dasar yang dapat diandalkan dalam mengukur sebuah kebenaran atau keabsahan

sebuah pengetahuan. Karena dasarnya yang spekulatif, filsafat memiliki tugas utamanya

untuk menelaah segala yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia, sehingga menurut

Wittgenstein (2008 M), selain tujuannya adalah untuk menghasilkan pernyataan filsafati,

maka yang paling terpenting adalah menyatakan pernyataan sejelas mungkin. Dengan

demikian maka epistemologi dan bahasa merupakan gumulan utama para filsuf. Lih. Jujun S.

Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

2013), 30.

18

Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 24. 19

Wayne Koestenbaum, Philosophy: A General Introduction, (New York: American

Book Company, 1968), 2.

Page 17: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

5

menopang pengetahuan tersebut harus memiliki acuan pada kenyatannya, sehingga

dapat dikategorikan menjadi sebuah kebenaran suatu pengetahuan yang valid.20

Dalam hal ini tentu saja tidak terbatas apapun itu jenis keilmuan dan karyanya, maka

haruslah bisa diukur dan diuji teori kebenarannya. Sehingga keilmuan yang ada

padanya menjadi akurat dan berkualitas serta tidak terbantahkan oleh sesuatu

apapun.

Oleh sebab itu, George Fieldman (2002 M) berpendapat untuk setiap pembaca

tidak boleh langsung meyakini kebenaran dan mengimani sebuah pengetahuan,

melainkan harus meragukannya terlebih dahulu.21

Misalnya, pemahaman seorang

sastrawan Prancis Henry Remak (1991 M) mengenai sastra, ia berpendapat bahwa

sebuah estetika sastra hanya estetika kebahasaan yang dapat digunakan pada

pambahasan dan metodologinya. Namun, ternyata ia kembali merevisi pendapatnya

bahwa tidak saja estetika bahasa yang dapat digunakan tetapi juga relasi antarunsur

menjadi sangat urgent. Di mana unsur - unsur itu dilihat sebagai sebuah artefak

(benda seni) yang terdiri dari berbagai unsur intrinsik. Begitu juga menurutnya pada

contoh lainnya pada sebuah prosa, haruslah terdiri dari unsur tema, plot, latar, tokoh

bahkan gaya bahasa.22

Inilah tugas mulia ilmu filsafat untuk kembali mempola atau menkonfirmasi

ulang akan kebenaran sebuah ilmu pengetahuan, dengan artian tidak langsung

mengambilnya begitu saja tanpa adanya teori yang dapat mengukur kebenaran itu.

Tamman Hassan (2011 M) selalu mewanti-wanti agar setiap karya ilmiah

kesusastraan memiliki alat ukur kebenaran cara berifikir para penulis atau

pengarangnya. Bukan hanya sampai disitu, namun juga pada linguistic critical

disebutkan bahwa kepribadian tokoh penulisnya menjadi corak bergumulnya bahasa

dan ide pemikirannya.23

Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibn Rusd dalam

karyanya, ia menyebutkan bahwa landasan epistemologi ilmu yang diperoleh oleh

manusia pasti tidak terlepas dari pemikirannya tentang realitas yang bersifat

hierarkis.24

Menurut Tammam Hassan pengetahuan itu bersumber dari tiga hal, yaitu

kashf (intuisi), wahyu (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلى هللا عليه وسلم), dan yang

terakhir adalah ‘aql (rasio).25

Maka pada karya ilmiah tulisan maupun lisan manapun

haruslah memiliki estetika yang memberikan dampak penghayatan dan nalar yang

lebih baik, sehingga dapat menghasilkan sebuah nilai dan moral yang berkualitas

keilmuan. Sebab, sastra bukan hanya pada bahasa, tapi juga mengandung budaya,

adat, kebiasaan bahkan nilai-nilai norma26

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

20

Adrew Seth, The Problem of Epistemology, Vol. 1, No. 5, September 1892, 504-

517. 21

George Fielman, Understanding Psychology, (Boston: McGraw-Hill, 1999), 27. 22

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 70.

23

Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl Dirāsah Epistīmulūjiyyah li al-Fikri al- Lughawī

‘Inda al- ‘Arab, 161. 24

George Fielman, Understanding Psychology, 45.

25

Khudori Sholeh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2016), 243.

26

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kairo: Dar Tsaqafah al-Islamiyah, 1365 H), 55.

Page 18: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

6

Sebab itu, studi terhadap sastra relasinya dengan filsafat keilmuan tampaknya

merupakan studi yang baik dan menarik untuk dilakukan. Dalam sastra Arab, di

antara karya sastra yang layak dilakukan studi untuk melihat sastra relasinya dengan

filsafat epistemologi adalah Miftāḥ al-‘Ulūm, karya Abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf

al-Sakaki al-Khawarizmi al-Hanafi yang termasuk ke dalam kategori kitāb al-turāts

al-qadīm.27

Karya al-Sakaki yakni Miftāḥ al-‘Ulūm dikenal sebagai karya tulis yang

telah mematangkan dan menyempurnakan keberadaan ilm balāghah sebagai disiplin

ilmu sastra Arab dengan memetakannya menjadi tiga cabang ilmu sebagai

komponennya yaitu ilm ma’ānī, ilm bayān, dan ilm badi’.28

Al-Suyuti (1979) menambahkan, bahwa sekalipun awal pembahasan dalam

kitab tersebut sebelumnya juga dibahas tentang ilm nahw (sintaksis) dan ilm sharf

(morfologis). Ia beralasan bahwa secara keilmuan sastra bahasa, karya ini telah

melahirkan kontroversi di antara para ahli sastra. Mayoritas ahli bahasa pada masa

kelahiran karya al-Sakaki tersebut sangat terilhami dengan penjabaran dan

pembagian ilm balāghah yang lebih jelas, yaitu kepada tiga komponen ilmu

sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Adapun pada masa sebelumnya, Abdul Qahir

al-Jurjani belum pernah memunculkan pembagian ilmu seperti yang dilakukan oleh

al-Sakaki melainkan hanya pada pembahasan ilmu ma’anī saja.29

Di antara beberapa ahli bahasa yang sangat terkenal dalam menyanjung karya

al-Sakaki adalah Jalaluddin al-Suyuthi (1979), ia menyebut bahwa kehadiran Miftāḥ

al-‘Ulūm adalah awal dari kebangkitan ilmu balagah.30

Senada dengan Abbas

Baidhun (2013) yang menyimpulkan bahwa Miftāḥ al-‘Ulūm adalah karya seni

linguistic yang brilian, tidak hanya sampai disitu bahkan ia menjuluki al-Sakaki

sebagai bapak ilmu balagah. Karena menurutnya ia telah melahirkan teori-teori

penting dalam seni berbahasa yang tidak di dapatkan pada ahli sebelumnya.31

Sukron Kamil menyatakan bahwa sebagai sebuah disiplin ilmu, balāghah

meliputi tiga bidang keilmuan yakni al-ma’ānī, al-bayān dan al-badī’. Namun,

penyebutan balāghah untuk ketiga bidang tersebut baru terjadi ketika al-Sakaki pada

tahun 626 H (sekitar abad ke- 13 M). Sebelumnya, pada abad ke-5 H atau tepatnya

pada tahun 471 H, ketika al-Jurjani menulis Asrār al-balāghah dan Dalāil al-I’Jāz,

kata balāghah digunakan hanya untuk menunjuk ilmu bayān dan badī’ saja. Maka

27

Dalam kitab al-Turāth wa al-Tajdīd disebutkan bahwa kitāb turāts al-qadīm

adalah buku-buku peninggalam terdahulu sebelum abad ke- 17. Pada masa itu buku-buku

tersebut telah menjadi identitas sebuah bangsa dan sebagai penanda kejayaan dan

perkembangan sebuah negara. Di antaranya adalah ada ilmu tafsir, bahasa, budaya bahkan

matematika. Hasan Hanafi bahkan menegaskan bahwa kitab-kitab tersebut di kuasi oleh

negara sebagai kekayaan budaya. Lih. Hasan Hanafi, al-Turāts wa al-Tajdīd mauqifunā fī at-

Turāts al-Qadīm (Beirut: Muassasat Jami’iyyat, 1992), 18. 28

Abdul Muta’ali al-Ṣa’idi, Bughyah al-Īdhōh li Talkhīṣ al-Miftāḥ fī ‘Ulūm al-

Balāghah (Kairo: Maktab al-Adab, 1999), 3.

29

Jalaluddin al-Suyuti, Bughyah al-Wu’āt fī Ṭabaqāt al-Lughawiyyīn wa al-Nuhāt

(Kairo: Dar al-Fikr, 1979), 78.

30

Jalaluddin al-Suyuti, Bughyah al-Wu’āt fī Ṭabaqāt al-Lughawiyyīn wa al-Nuhāt, 23-

25 31

Abbas Baidhun, Istidrōkāt al-Khaṭib ‘Alā al-Sakākī (Beirut: Dar Kutub, 2013), 15.

Page 19: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

7

sebagian ahli pada masa klasik sebelumnya telah menyebut ketiganya itu, bukan

dengan sebutan ‘ilm al-balāghah, tetapi ‘ilm bayān.32

Hanya saja menurut Tammam Hassan, ketika al-Sakaki merincikan ilm al-

bayān dan ilm al-badī’ ia masih menggabungkan antara keduanya dalam satu ilmu

dengan istilah ‘ilm al-mahāsin yang terbagi ke dalam dua bagian, yakni al-mahāsin

al-lafẓiyyah dan ma’nawiyyah.33

Begitu juga pada sistematika pembagian al-majāz

kepada mufīd dan ghair mufīd yaitu pada rumpun lughawī dan ‘aqlī belum

dijelaskan secara detail akan penyebab pembagian tersebut masuk ke dalam rumpun

pembahasan lughawī dan ‘aqlī. Belum lagi menurutnya ilm al-balāghah yang

disajikan terkadang mirip seperti qawā’id al-lughawīyyah (language gramatical),

padahal tujuan ‘ilm al-balāghah yang sesungguhnya adalah pada dhawq al-lughawī

(language sense).34

Maka berdasarkan metodologi sajian karya tersebut perlu

kembali dikaji mendalam khususnya pada unsur gaya bahasa, emotif dan nalar yang

dituangkan oleh al-Sakaki ketika memformulasikan karya Miftāḥ al-‘Ulūm,

sehingga dapat dikonstruksi menjadi lebih baik lagi.

Ahmad Mathlub (2013) dalam karyanya buhūts al-balāghiyyah menyebutkan

ada beberapa kejanggalan yang sulit dinalar dan dimengerti oleh para pembaca dan

peneliti, di antaranya al-Sakaki sering sekali menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an untuk

memperbanyak perbendaharaan contoh dalam sub materi yang dijelaskan, namun al-

Sakaki sangat membatasi penjelasan pada bentuk shawāhid dari ayat-ayat al-Qur’an

yang dicantumkan tersebut bahkan cenderung tidak menjelaskan detail alasan

pengutipan ayatnya. Pada beberapa kesempatan lain, ia juga sengaja membatasinya

pada bentuk-bentuk syair-syair atau puisi sebagai permisalannya.35

Tammam Hassan dalam karyanya Kitāb al-Uṣūl menerangkan bahwa

sesungguhnya ilm balāghah al-Sakaki tidak ada ubahnya dengan ilm naḥw, sehingga

dhawq al-lughawī sebagai tujuan dari karya tersebut hampir hilang dari tujuannya.

Bahkan menurutnya ilm al-ma’ānī yang merupakan pembagian dari ilm balāghah

tersebut adalah bagian dari kajian naḥw, hanya saja tidak membahas tentang

pembagian jumlah melainkan rangkain kalimat yang telah disusun secara

sempurna.36

Sebab itu, Ali Ni’mah al-Azhari menyimpulkan bahwa karya Miftāḥ al-

‘Ulūm lebih dekatnya kepada ilm qawāi’id al-lughah karena di dalamnya ia belum

banyak membahas kepada dhawq al-lughah melainkan hanya sekelumit saja sebagai

bagian dari pengembangan setiap kaidah tertentu.37

Maka karena itulah menurutnya

perlu meninjau ulang dan dikembalikan kepada marwah-nya agar para generasi

muda tidak salah dalam memahami ilm balāghah sebagai linguistic sense.

Dhawq al-lughawī atau linguistic sense dalam pembuktiannya setidaknya

diperoleh melalui logika dan ilmiah. Omar Muhammad Aunee (2008) dalam

penelitiannya terhadap dhawq al-lughah, ia menemukan ada hubungan antara naluri

32

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 140.

33

Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 282.

34

Sirajuddin Abu Ya’qub al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah,

1987), Cet. 2, 400.

35

Ahmad Mathlub, Buhūts Balāghiyyah (Baghdad: Majma’ Ilmi al-‘Iroqi, 1996), 15.

36

Tammam Hassan, Kitab al-Ushūl, 161.

37

Ali Nikmah al-Azhari, Sharh Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm li Imam al-Sakākī (Kairo:

Dar al-Qanat, 2013), 77.

Page 20: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

8

dan usaha ilmiah yang dilakukan oleh manusia sehingga ma’rifat sesuatu ia dapat

mengambilnya dengan mudah. Bahkan, menurutnya cahaya intuisi (‘irfānī)

diperoleh secara alamiah, Allah telah menganugerahkannya ke dalam hati setiap

pewarisnya yaitu para ilmuwan yang mereka terus menerus melakukan sebuah

pelatihan, belajar dan mendalami kebenaran.38

Maka itulah sebabnya, Tammam

Hassan melihat pada karya milik al-Sakaki tersebut bahwa linguistic sense- nya

masih jauh dari tujuan, padahal ia adalah tujuan utama ilm balāghah sebagaimana

yang disebutkan oleh al-Sakaki bahwa ilm balāghah adalah puncak kemahiran

dalam berbahasa. Adapun akibat yang tampak dari penulisan karya tersebut justru

memperlihatkan kelemahan dan kekurangannya secara metodologis.39

Disisi lain, Muhammad Waqidi (1999) dalam karyanya al-balāghah al-

‘Arabiyyah Uṣūluhā wa Imtidāduhā memuji apa yang telah dilakukan oleh al-Sakaki

pada karya fenomenalnya Miftāḥ al-‘Ulūm karena telah meletakkan sebuah sejarah

sastra yang paling penting untuk dipelajari dan diambil manfaatnya. Namun, selain

itu ia juga cederung mengkritik terhadap pembagian ilm balāghah yang menurutnya

ilmu bayān adalah seperti ilm al-manthiq, ilmu al-ma’ānī seperti ilm naḥw,

sedangkan ilmu al-badī’ dan al-‘arūḍ adalah seperti syair.40

Pada awal abad ke- 7 H telah muncul seorang tokoh pembaharu yang

membuat sebuah terobosan baru untuk menyederhanakan karya Miftāḥ al-‘Ulūm,

dan pada kesimpulannya ia tetap mempertahankan ingkatan ‘ilm balāghah kepada 3

istilah penting sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Ia melakukan

penyederhanaan sekaligus menyatukan beberapa ide pemikiran al-Sakaki yang

dianggap kurang fleksibel seperti pembagian cabang-cabang ilm al-ma’ānī kepada 7

cabang khusus yang sebelumnya yaitu Aḥwāl Isnad al-Khabarī, Aḥwāl al-Musnad

Ilaihi, Aḥwāl al-Musnad, Aḥwāl Mutaṭallaqāt al-Fi’il, al-Qaṣr, al-Inshā dan al-Faṣl

wa al-Waṣl. Begitu juga istilah al-mahāsin ia tidak menghilangkannya, hanya saja

membuat Miftāḥ al-‘Ulūm lebih tersusun rapi kepada sub-sub judul yang tentunya

lebih mudah dipahami oleh pembacanya, ia adalah Khatib al-Qazwaini (739 H).41

Terobosan baru tersebut akhirnya dinamai oleh Khatib al-Qazwainī dengan

judul Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm.42

Kitab tersebut telah menjadi rujukan dan pilihan

utama bagi para peneliti bahasa Arab khususnya ilm balāghah. Terlebih karya

tersebut pernah dijadikan rujukan utama materi balagah di Universitas al-Azhar

38Omar Muhammad Aunee, The Linguistic Sense and Its Effect on Languange, Jurnal

Pendidikan Kebahasaan, Vol. 7, No. 4, Mei 2008, 157.

39

Sirajuddin Abu Ya’qub al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 368.

40

Muhammad Waqidi, al-Balāghah al-‘Arabiyyah Uṣūluhā wa Imtidāduhā (Beirut:

Dar Baidha’, 1999), 26.

41

Nama lengkapnya adalah al-Khatib al-Qazwainī Jalaluddin Muhammad ibn

Abdurrahman ibn Umar Ibn Muhammad, lahir di kota Maushul al-Qazwain di Suriah.

Seorang filsuf dan sastrawan non-‘ajm yang sangat masyhur dengan karyanya Talkhīṣ Miftāḥ

al-‘Ulūm. Ia pernah menjabat sebagai qaḍi (hakim) pada masa pemerintahan raja Nashir di

Mesir. Ia wafat tahun 739 pada usianya yang ke-73 tahun di ibukota Damaskus Suriah.

lih.https:ar.wikipedia.org/wiki/al-khatibal qazwainy. (diakses pada 28 September 2017).

42

Tamam Hassan, 280.

Page 21: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

9

Kairo Mesir. Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm dinilai telah menyajikan bentuk-bentuk kajian

kosakata dan kalimat serta pengklasifikasian sub judul ketiga cabang keilmuannya.43

Syaikh Azhar Ali Nikmah menuturkan bahwa Khatib al-Qazwaini dalam

karyanya Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm telah mampu mengakomodir tuntutan para

penutur al-‘Arab dan al-‘Ajam.44

Kemampuannya dalam menggabungkan dhawq al-

lughah dan qawā’id al-lughah menjadi ciri khas tersendiri dalam Talkhīṣ Miftāḥ al-

‘Ulūm.45

Usaha yang telah dilakukan oleh Khatib al-Qazwaini tersebut sejalan

dengan pendapat seorang pakar linguistic asal Amerika Lehman’s, ia mengatakan

bahwa keberhasilan sebuah karya bahasa terletak kepada penguasaan ilmu sintaksis

dengan benar kemudian dipadukan dengan dialek yang berlaku pada sebuah tempat,

namun tetap memperhatikan ekspresi bahasa yang naluri, sehingga budaya asli

pengarangnya tetap tercermin menyatu dengan lingkungan masa hidupnya.46

Maka

tentu saja dengan metode yang dibangun tersebut pastinya semakin memberikan

manfaat besar bagi para peneliti ilm balāghah dalam dunia bahasa dan sastra Arab.

Terjadinya penyederhanaan Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakaki oleh Khatib al-

Qazwainī pada awal abad ke- 7 H tersebut. Penulis tertarik untuk melihat dan

mengetahui sejauh mana relasi sastra dengan filsafat epistemologi yang

diformulasikan oleh al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm. Sebagaimana yang

telah disampaikan diawal bahwa sebuah ilmu sastra harus dilakukan uji teori untuk

menemukan kebenaran dan keyakinan, agar tidak menimbulkan spekulatif dan

keragu-raguan.

B. Masalah Penelitian

1. Indentifikasi Masalah

Memperhatikan uraian latar belakang masalah ini, sebagaimana telah

disinggung sedikit di atas, penelitian ini akan membatasi diri pada kajian

Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan dalam memformulasikan Miftāḥ al-‘Ulūm

karya al-Sakaki, di mana ia sangat perlu dibahas dalam penelitian ini, karena Miftāḥ

al-‘Ulūm termasuk karya yang sangat besar pengaruhnya dalam keilmuan balagah.

Alasan lainnya, karena mayoritas para linguis telah mengakui isi kitab tersebut

khususnya pada pembagian ilmu balagah kepada ilm al-bayān, ilm al-ma’ānī, dan

43Jamil H. A. Ayyash, Models of Alliteration Derivation in the Quran, International

Journal and Islam Thought,Vol. 3, No. 1, Juni 2013, 114-115.

44

Omar Muhammad Aunee menjelaskan bahwa ilmu balagah sejak awal jahiliyyah

tujuannya terbagi kepada dua yaitu untuk orang-orang Arab sendiri yang kemudian disebut

dengan istilah al-‘Arab, sedangkan yang kedua adalah untuk selain orang-orang Arab yang

dikenal dengan istilah al-‘Ajam. Kalangan al-‘Arab menjadikan ilmu balagah sebagai media

memproleh dhawq al-lughah. Sedangkan al-‘Ajam cenderung mempelajari ilmu balagah

untuk mengetahui kaidah-kaidah dalam berbahasa agar lebih mudah mempelajari al-Qur’an

dan al-Hadis. Sekalipun pada kedua pembagian tersebut berbeda namun pada intinya

tujuannya adalah untuk memperkaya dan memperkokoh kemahiran dalam berbahasa dan

sastra Arab. Lih. Omar Muhammad Aunee, The Linguistic Sense and Its Effect on

Languange, Jurnal Pendidikan Kebahasaan, Vol. 7, No. 4, Mei 2008, 222.

45

Ali Nikmah al-Azhari, Sharh Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm li Imām al-Sakākī (Kairo:

Dar al-Qanat, 2013), 10. 46

A. L. Kroeber, Incorporation as a Linguistic Process, New Series American

Anthropologist, Vol. 13, No. 4, Oktober 1911, 577-584.

Page 22: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

10

ilm al-badi’ (art of schemes) yang dianggap sebagai penyempurna ilmu balagah.

Namun, kemunculan Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm karya imam al-Qazwainī telah

berdampak kepada kesempurnaan Miftāḥ al-‘Ulūm yang telah diformulasikan oleh

al-Sakaki dan hasilnya kini lebih mengutamakan Talkhis Miftāḥ al-‘Ulūm dibanding

karya awalnya. Namun, sekalipun demikian keutamaan adalah tetap milik yang

pertama sekalipun datang setelahnya yang lebih baik dan sempurna.

Keilmuan balagah khususnya mengenai dhawq al-lughah dan qawa’id al-

lughah sangat banyak dibicarakan oleh ilmuwan pada masa kini. Apalagi, ilmu

balagah bukan suatu hal yang asing lagi karena sudah dipakai sebagai style

kefashihan dan kematangan seseorang dalam berbicara dan menulis bahasa Arab.

Namun, hal itu tidak terlepas dari pro dan kontra di antara para pakar linguistik Arab

khususnya pada Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakaki. Sebagian linguis mengatakan

bahwa Miftāḥ al-‘Ulūm adalah sebuah kemajuan dari perkembangan keilmuan

bahasa Arab dan perkenalan terhadap budayanya karena adanya faktor

perkembangan zaman. Para linguis yang lain khususnya imam al-Qazwainī juga

mengutarakan pendapatnya bahwa sekalipun Miftāḥ al-‘Ulūm menjadi primadona

keilmuan balagah pada masanya, namun ia banyak memiliki kelemahan dalam hal

memformulasikan karya tersebut. Maka menurutnya perlu keberanian untuk

mengkonstruksi ulang agar berada pada tujuan awalnya menyeimbangkan antara

qawa’id dan dhawq, sehingga memiliki kualitas dan nilai manfaat yang tanpa

batas.47

Miftāḥ al-‘Ulūm dari segi isi banyak dipengaruhi kepada rasio dan

keintelektualan al-Sakaki,48

yang jauh berbeda dengan Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm

karya al-Qazwainī, sekalipun objek penelitiannya adalah Miftāḥ al-‘Ulūm. Oleh

sebab itulah, perlu digali kembali gaya bahasa dan metodologi penulisan yang ia

tuangkan, sehingga mampu menunjukkan budaya dirinya, lingkungannya bahkan

tahapan pembentukan atau proses kepengarangan karya tersebut. Maka, pentingnya

mengetahui proses tersebut menjadi pokok pembahasan utama dalam penelitian ini.

2. Rumusan Masalah

Setelah mengidentifikasi dan membatasi berbagai permasalahan yang terjadi

penulis menemukan dan menyimpulkan bahwa al-Sakaki memiliki kelemahan dalam

sistematika penulisan khususnya sumber dan metodologi pengetahuan dalam Miftāḥ

al-‘Ulūm, yang tentu saja hal ini bisa terjadi karena kemajuan ilmu pengetahuan dan

adanya temuan-temuan baru para tokoh pembaharu ilm balāghah khususnya setelah

abad ke- 7 H yang pada puncak kejayaannya adalah Khatib al-Qazwaini.49

Seorang

tokoh sastrawan Mesir bernama Najib Kaelani (1995) mengatakan bahwa kurun

waktu 600 M hingga 1250 M adalah termasuk masa keemasan Islam di mana pada

saat itu munculnya berbagai ilmuwan muslim seperti ibnu Sina, al-Razi, Ibnu

Khaldun, al-Sakaki dan termasuk al-Qazwaini yaitu pada masa kekhalifahan

47

Khatib al-Qazwaini, Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dar al-Fikr, 1911 H), 3-6. 48

Lamia Mustafa, A Survey of Autotamted Tools For Translating Arab Chat Alphabet

Into Arabic Language, American & Scholarly Research Journal, Vol. 4, No. 3, Oktober

2012, 1-6.

49

Shauqi Dhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, Cet. 7, 15.

Page 23: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

11

Abbasiyyah. Kegiatan keilmuan pada masa tersebut difokuskan pada pendalaman

ilmu-ilmu keagamaan, seperti tafsir, hadis, fikih, bahasa dan yang sejenisnya.50

Namun, menurutnya sangat disayangkan jika penelitian-penelitian semacam

itu tidak lagi banyak peminatnya yang akhirnya berhenti hingga saat ini. Padahal

masa-masa sekarang, masa di mana umat manusia harus kembali memperdalam

keilmuan dan pengetahuannya demi sebuah budaya yang lebih baik lagi sebagai

cita-cita kehidupan manusia. Akibatnya ilm balāghah tidak lagi mengikuti

perkembangan kekinian, sehingga menjadi kaidah-kaidah yang kering dari

pembaharuan dan jamah dari tangan para ilmuwan bahasa dan pemikir kejayaan

ilmu Islam lainnnya, bahkan statis tidak berkembang maju sejak zaman itu sampai

sekarang. Maka problematika sejenis inilah yang perlu harus diwaspadai oleh umat

Islam agar keilmuan dan kebudayaan tidak statis. Jika diamati dengan cermat,

mereka yang hadir sebagai ilmuwan bahasa terkini tidak lebih dari melanjutkan,

menambahi atau justru mengkritik keilmuan-keilmuan linguistik terdahulu.

Oleh karena itu, menelaah ulang keilmuan balagah khususnya Miftāḥ al-

‘Ulūm karya al-Sakaki sebagai pionir utamanya saat itu sangatlah diperlukan untuk

direkonstruksi dan kembali mengetahui kelemahan-kelemahan dan kekurangan yang

terjadi baik secara teoritis maupun secara metodologis, karena Miftāḥ al-‘Ulūm

karya al-Sakaki tersebut telah berumur lebih dari seribu tahun.51

Upaya yang akan

dilakukan oleh penulis ini pada dasarnya bukan bertujuan untuk melemahkan

ketokohan ataupun karya al-Sakaki, melainkan adalah sebuah upaya untuk

membantu al-Sakaki mengembalikan wujud cita-citanya yang mulia untuk

melestarikan keilmuan ilm balāghah.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, penulis bermaksud meneliti

Epistemologi Balāghah Studi atas Miftāḥ al-‘Ulūm Karya al-Sakaki. Penelitian ini

tentu saja penelitian kebahasaan dan sastra dengan menggunakan pendekatan filsafat

ilmu dan deskriptif tokoh. Supaya penelitian ini lebih terarah, maka penulis akan

memfokuskan penelitian ini pada pertanyaan berikut:

1. Epistemologi apa yang dipakai oleh al-Sakaki dalam memformulasikan ilm

balāghah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm?

2. Apa relevansi Miftāḥ al-‘Ulūm dalam konteks kritik atas epistemologi ilmu yang

sesuai saat ini?

3. Pembatasan Masalah

Melihat kepada luasnya ruang lingkup epistemologi di antaranya batas-batas

pengetahuan, sumber-sumber, struktur pengetahuan, persoalan metodologi dan

persoalan validitas pengetahuan.52

Maka penelitian ini akan memberikan batasan pada dua permasalahan saja

yaitu menganalisis keilmuan balagah pada Miftāḥ al-‘Ulūm untuk mengetahui

sumber dan metodologi pengetahuannya. Dalam analisis ini lebih terfokus pada

pemikiran dan deduktif melalui rasio atau pemikiran imam al-Sakaki dalam

50

Reza Ervani, Tiga Abad Kemunduran Islam (Jakarta: Tastqif Majalah Waqfah, 1997),

5-7.

51

Hussein Aziz, Studi Kritik Terhadap Ilmu Balāghah Klasik, Jurnal Islamica, Vol. 1,

No. 2, Maret 2007, 175.

52

Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 40.

Page 24: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

12

memformulasikan Miftāḥ al-‘Ulūm. Maka penelitian ini untuk lebih mudah

menganalisanya akan menggunakan pendekatan deskriftif dan historioratif bahasa.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas,

maka penelitian terhadap Kritik Epistemologi Balāghah Studi atas Miftāḥ al-‘Ulūm

Karya al-Sakaki tentang keilmuan balagah ini akan bertujuan sebagai berikut:

1. Mengungkapkan epistemologi apa yang digunakan oleh Imam al-Sakaki

dalam memformulasikan ilm balāghah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm.

2. Menjabarkan dan merincikan relevansi Miftāḥ al-‘Ulūm dalam konteks kritik

atas epistemologi ilmu yang sesuai saat ini

Dengan tujuan tersebut akan terkembangkan nilai-nilai positif dari kitab

Miftāḥ al-‘Ulūm serta dapat menjadi pemicu akan lahirnya kembali gerakan

pembaharu terhadap ilm balāghah dengan lebih cermat dan tepat serta tersusun

dengan rapih dan mudah untuk dicerna oleh siapapun. Terlebih gerakan tersebut

pernah ada seribuan tahun yang silam.

Sebab, sebagai seorang muslim hamba Allah di bumi ini memiliki

tanggungjawab untuk menyampaikan, mengajarkan serta melestarikan ajaran-ajaran

islam dan nilai-nilai kesusastraan dalam al-Qur’an53

untuk diketahui kesempurnaan

dan kemukjizatan yang Allah wahyukan kepada umat manusia. Hal tersebut juga

bertujuan untuk memberikan kontribusi besar terhadap kohesi sosial budaya melalui

pembelajaran dan pendidikan bahasa al-Qur’an54

sebagaimana dijelaskan diawal

penelitian ini.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan

pengetahuan dan pengembangan keilmuan yang terfokus pada sasta bahasa Arab

khususnya ilm balāghah. Dengan demikian manfaat penelitian ini dapat dibagi

kepada manfaat konseptual dan manfaat praktis:

1. Manfaat Konseptual

Pakar pendidikan E. Dale dari New York menguraikan bahwa sebuah

manfaat konseptual adalah bagian dari metode pendidikan untuk memproleh

result yang memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan.55

Maka penelitian

terhadap konsep dan pola pemikiran serta ide-ide al-Sakaki dalam karyanya

Miftāḥ al-‘Ulūm tentu akan sangat banyak memberikan dampak terhadap

perkembangan ilmu sastra khususnya ilm balāghah itu sendiri. Konsep dan pola

penelitian tersebut tersebut jika dipadukan dengan pendekatan deskriptif tokoh

maka juga akan menjadi motor lahirnya al-Sakaki - al-Sakaki lainnya.

53

Hussein Aziz, Studi Kritik Terhadap Ilmu Balaghah Klasik, 176

54

Kamaruddin Salleh, Arabic is a Language Between Qur’anic and Historical

Designations, Journal UII, Vol.2, No. 2, Maret 2012. http://journal.ac.id /index.php./Mikkah/

article/FiewFile/ 341/254 (Diakses 1 Februari 2017).

55

E. Dale, Audiovisual Method in Teaching (New York : The Dryden Press, Holt,

Rinehart and Winston Inc, 1969), 5

Page 25: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

13

Selain hal tersebut tentu peneliti ingin memperkaya khazanah konsep-

konsep lingusitik dan sastra Arab yang sudah ada khususnya dalam bidang ilm

balāghah. Secara teoritis penelitian ini bertujuan untuk menjadi kajian, terutama

bagi para peneliti selanjutnya yang mendalami teori-teori linguistik Arab.

2. Manfaat Praktis

Secara fungsional penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi

dan pelatihan dalam kebenaran dan ketepatan berfikir untuk melahirkan sebuah

karya ilmiah balagah yang lebih baik bagi para sastrawan yang ada dalam lintas

sejarah keilmuan bahasa dan sastra, khususnya dalam kajian ilmu balagah

mengenai linguistic sense dan lingusitic grammar. Sebab, antara kedua al-‘Arab

dan al-‘Ajam sama-sama mengambil manfaat yang sangat besar demi kemajuan

cara berfikir dan keartistikan dalam mempelajari karya-karya ilmiah dan juga al-

Qur’ān al-Karīm.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Pembahasan mengenai keilmuan balāghah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-

Sakaki memang telah banyak dilakukan oleh para ahli linguis, para peneliti dan para

penggiat ilmu bahasa Arab. Baik dalam kitab-kitab klasik seperti Asās al-Balāghah,

I’jāz al-Bayān ‘an Ma’ānī al-Qur’ān, Istidrākāt al-Khaṭīb ‘Alā al-Sakākī, al-Idhāh

fī ‘Ulūm al-Balāghah, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, al-Balāghah wa al-

Uslūbiyyah, Kitāb al-Ushūl Dirāsah Epistīmūlūjiyyah, Ma’ānī al-Qur’ān wa

I’rābihi, Maqāyis al-Lughah, I’Jāz al-Qur’ān al-Lughawī, Dalāil al-I’Jāz, al-Alfādh

al-Mutaqāribah al-Ma’nā, al-Tuhfah al-Sāniyyah, al-Bu’du al-Tadāwulī ‘Alā al-

Sakākī, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī al-Balāghah al-Sakākiyyah baik secara

etimologis maupun terminologis.

Selain itu juga menggunakan kitab-kitab lain yang ada pembahasannya

mengenai penelitian ini yang tentunya belum ditemukan oleh penulis. Hanya saja

penelitian terhadap landasan epistemologis imam al-Sakaki dalam mengarang

Miftāḥ al-‘Ulūm melalui pendekatan al-manhaj al-waṣfī atau juga disebut metode

deskriptif sama sekali belum pernah ada. Bahkan penelitian ini adalah tergolong

baru karena belum pernah diteliti secara khusus56

di mana objek penelitiannya

adalah sistematika penulisan dan penyusunan Miftāḥ al-‘Ulūm.

Pembahasan tentang ilm al-ma’ānī, al-bayān dan al-badī’ tentu sangat mudah

ditemukan. Hal tersebut tampak pada setiap penjelasan ilm-ilm balāghah dan

cabang-cabangnya. Namun, tidak demikian dengan pembahasan khusus terhadap

salah satu kitab balagah yaitu Miftāḥ al-‘Ulūm yang pembahasannya ditinjau dari

kerangka berfikir imam al-Sakaki dalam memformulasikan kitab tersebut, hingga

memicu adanya perbaikan dan penyempurnaan keilmuan oleh penerusnya yaitu

Khathib al-Qazwaini.

Disertasi yang ditulis oleh Abbas Baidhun (2013) yang berjudul Istidrākāt al-

Khaṭib ‘Alā al-Sakākī membahas khusus mengenai persepsi ketokohan al-Sakaki

oleh al-Qazwaini, di dalamnya banyak membahas pemikiran-pemikiran al-Qazwaini

yang terlahirkan karena peran besarnya al-Sakaki dalam peletakan dan

56Muhammad Abdul Muttholib, Adabiyāt al-Balaghah wa al-Uslūbiyah (Lebanon:

Maktabah Libnun Nasyirun, 1994), 329.

Page 26: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

14

penyempurnaan ilm balāghah pada fase al-mu’āṣirūn khususnya ilmu al-bayān

hingga akhirnya disederhanakan oleh al-Qazwaini secara tersendiri.

Abbas Baidhun juga adalah salah seorang pengagum karya-karya al-Sakaki

lainnya, dan bukan hanya pada Miftāḥ al-‘Ulūm, bahkan ia menjuluki al-Sakaki

sebagai bapak ilm balāghah57

. Namun, pada pembahasan karya ilmiah Abbas

Baidhun tersebut, terkesan sangat terbatas hanya kepada ilm al-bayān dan pengaruh-

pengaruhnya terhadap perkembangan ilm balāghah, bahkan sama sekali tidak

menyentuh kepada pola pemikiran apa yang dilakukan oleh al-Sakaki dalam

penyusunan dan sistematikan penulisan kitab Miftāḥ al-‘Ulūm.

Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Pierre Larcher (1990) dalam jurnal

yang ia tulis tentang Abdul Qahir al-Gurgani Note Sur Quatre Editions Recentes

Deses Ouvrages Grammaticaux, ia mengungkapkan apa yang telah dilakukan oleh

Abdul Qahir al-Jurjani adalah bagian kecil tentang keilmuan keindahan berbahasa

atau yang sering disebut sebagai ilmu balagah dan sangat identik dengan ilmu

kaidah kebahasaan. Ia juga menyebut bahwa pembahasan balagah pada masa al-

Sakaki adalah jauh lebih banyak ditemukan keilmuan baru, sehingga tidak hanya

tentang keindahan dalam berbahasa namun juga pada kaidah-kaidah kebahasaan.

Namun, Pierre Larcher menyebut khususnya mengenai kerangka kalimat dan

struktur bahasa yang lebih tepat dan padat tentang keilmuannya. Peneliti menilai

temuan tersebut masih belum menyentuh kepada cara dan formulasi yang digunakan

oleh al-Sakaki dalam menyusun karyanya.58

Tesis karya Darojat yang diterbitkan oleh SPs UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta (2006), menulis tentang kajian semantik yang berjudul Kata Nafs dalam al-

Qur’ān”. Ia menuturkan bahwa kajian semantik kata maupun kalimat sangat jarang

pembahasannya dengan metode pendekatan ilm dilālah (semantik). Dalam pesannya

juga menuturkan bahwa kesempurnaan penelitian membutuhkan peninjauan ulang

serta melakukan pembahasan dari celah yang berbeda sekalipun pada tujuan yang

sama khususnya terhadap para tokoh ilmu balagah klasik.

Pembahasan serupa yang dilakukan oleh Shawqi Ḍaif (1119 H/ 1995 M)

dalam karyanya al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh mengisahkan bagaimana

perjalanan panjang sejarah ilm balāghah yang penuh dengan dinamika

perkembangannya dari sebelum diturunkannya al-Qur’an hingga pasca diturunkan.

Bahkan, ia sendiri dalam karyanya membagi sejarah perkembangan ilm al-balāghah

ke dalam empat tahapan penting, yaitu: 1). Marḥalah al-nāshiah (pertumbuhan), 2).

Marḥalah al-numuw (perkembangan), 3). Marḥalah al-izḍihar (kejayaan), dan 4).

Marḥalah al-ḍubul (kemunduran).59

Namun, pada semua titik pembahasan yang

dilakukan olehnya juga tidak ada mengarah kepada landasan dasar epistemologi al-

Sakaki terhadap karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm.

Dalam karya tersebut tersirat bahwa kejeniusan al-Sakaki dalam melahirkan

karya-karya kesastraan adalah yang paling besar. Sehingga karya seperti Miftāḥ

57Abbas Baidhun, Istidrākāt al-Khaṭīb ‘Alā al-Sakākī (Beirut: Dar Kutub, 2013), 11.

58

Pierre Larcher, Abd al-Qāhir al-Ǧurǧānī Note Sur Quatre Editions Récentes de

Ses Ouvrages Grammaticaux, Arabica , Vol. 40, No. 2, Juli 1993, 24-25. 59

Faisal Mubarok, Selayang Pandang Perkembangan Balaghah Telaah Kritis

terhadap Sejarah Perkembangan Balāghah (Banjarmasin: IAIN Press, t.t.), 4.

Page 27: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

15

‘Ulūm hampir tidak dapat ditelaah dan dimengerti secara sempurna, yang akhirnya

membutuhkan kepada penyederhanaan yang kemudian dilakukan oleh al-Qazwaini

pada akhir abad ke-7 H.60

Tesis berjudul Ta’ṣīl al-Uslūbiyyah fī al-Maurūts al-Naqdī wa al-Balāghī

(Kitab Miftāḥ ‘Ulūm li al-Sakakī), karya Meis Kholil Mahmud ‘Audah (2012)

tersebut telah diterbitkan oleh Universitas al-Najāh al-Waṭaniyyah Palestina pada

tahun 2006. Karya tersebut banyak membahas tentang kritikan gaya linguistik karya

al-Sakaki terhadap Miftāḥ al-‘Ulūm. Ia banyak sekali menemukan tentang hubungan

antara warisan keilmuan terdahulu dengan gaya linguistik modern serta kematangan

warisan budaya yang tersirat dalam karya Miftāḥ al-‘Ulūm, namun lagi-lagi tidak

ditemukan di dalamnya kajian mengenai proses pembangunan keilmuan balagah

oleh al-Sakaki, baik itu pemikiran ataupun landasan epistemologisnya.61

Oleh karena itu, penelitian tentang Epistemologi Balagah Studi atas Miftāḥ

al-‘Ulūm Karya al-Sakāki khususnya mengenai pola dan dasar pemikiran al-Sakaki

terhadap karya fenomenalnya tersebut sangatlah penting dilakukan. Sebab, sejauh

pengetahuan dan pengamatan penulis hingga saat ini belum menemukannya kecuali

kepada pembahasan yang lebih umum dan berkisar kepada penelitian secara

keilmuan linguistik saja. Mengingat kenyataan tersebut, penelitian ini akan

difokuskan pada sistematika sumber dan metodologi penulisan dan penyusunan

Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakāki atau lebih tepatnya ingin mencari tahu kerangka

berifikir al-Sakaki yang dikemukan dalam karya besar tersebut. Selain, itu juga ingin

melihat reaksi kritik dan apresiasi dari para linguis lainnya terhadap kitab Miftāḥ al-

‘Ulūm.

F. Landasan Teori

Kitāb al-Turāts al-Qadīm tentunya memiliki beragam keilmuan dan teori

pemikiran yang disajikan khususnya pada bidang ilm balāghah seperti, kitab al-

Badāi’ wa al-Ṭarāif li al-Jurjānī, al-Ikhtilāf fī al-Tsaqāfah al-Islamiyyah li ‘Amal

al-Qarāmī, al-Amtsal al-‘Ilmiyyah li Ahmad Timūr Bāshā, Kitāb I’tirāfāt li Abī

Nawās dan Miftāḥ al-‘Ulūm li al-Sakāki. Kajian keilmuan dan jumlah bahasa

penelitian tersebut pernah menggunakan beragam bahasa di dunia. Sejak tahun 1988

tercatat sekitar 4.000 jenis bahasa62

yang tersebar dan dipakai oleh manusia di

seluruh penjuru dunia dalam penelitian secara akademik.

Sedangkan penelitian terbaru pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Summer

Institute of Linguistics tercatat sejumlah 6.912 jenis bahasa63

yang dipakai di seluruh

dunia. Keragaman bahasa tersebut masing-masing memiliki gaya dan karekteristik

tersendiri baik berupa huruf, kosakata, tulisan, lafal, sifat, fungsi bahkan maknanya

sendiri yang akhirnya menjadikan bahasa tersebut sebagai pengenal akan

60

Shawqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dar Ma’arif, 1119 H), 99. 61

Meis Kholil Mahmud ‘Audah, Ta’ṣīl al-Uslūbiyyah fī al-Maurūts ‘an Naqdī wa al-

Balāghī Kitāb Miftāḥ al-‘Ulūm li al-Sakākī (Palestina: Dar Jami’ah Waṭaniyyah, 2006), 142. 62

Kamal Badri Yatim, Ilm al-Lughah al-Mubarmaj (Riyadh: Imadah Shu’un al-

Maktabah, 2011), Cet.2, 3-5. 63

Damanhuri, Penguasaan Kosakata Kedwibahasaan antara Bahasa Sunda dan

Bahasa Indonesia pada Anak-Anak, Vol. 2, No. 1, Juli 2014, 60.

Page 28: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

16

kebudayaan setempat. Seorang ilmuwan asal Pondok Pesantren Luqmaniyyah

Yogyakarta menuturkan bahwa untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya

suatu bahasa mereka banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah

logika. Miftāḥ al-‘Ulūm adalah salah satu contoh penelitian atau kajian yang

dilakukan dengan bahasa Arab yang tentunya juga memiliki tingkat kesulitan sastra

tersendiri. Sehingga hal tersebut semakin menambahkan kekayaan wawasan para

ilmuwan akan perkembangan kebahasaan khususnya bahasa Arab untuk lebih

mengenal dekat tentang budaya Arab dan warisan kebudayaan ilmuwan Islam

sebagai obyek penelitian ini.

Menurut Badruddin Malik (286 H) dan Khaṭib al-Qazwaini (739 H) Miftāḥ al-

‘Ulūm li al-Sakāki memiliki kelemahan pada lingusitic sense64

(Ihsās al-

Lisāniyyah). Beberapa karakteristik dalam penulisan al-Sakaki pun juga sangat

membutuhkan kepada footnote (hawāmish), subtitle dan beberapa penjelasan

terhadap istilah-istilah yang disampaikan65

serta ketentuan-ketentuan lainnya yang

lazim pada sebuah karya ilmiah sempurna. Misal lainnya, pada bentuk dialek dan

kosakata pada masa tersebut seringkali menimbulkan kerancauan ketika kata

diletakkan dalam susunan sebuah kalimat, yang seharusnya menurut Fayiz Dayah

(1196) digunakan untuk makna haqīqī, namun digunakan untuk makna majāzī.

Selain kedua hal tersebut, sebab-sebab lain adalah karena berkembangnya

bahasa dan ilmu, juga karena tidak adanya baris atau harakat di dalam buku-buku

Arab zaman dahulu kala.66

Sehingga dengan penyempurnaan terhadap kitab tersebut

yang telah dilakukan oleh Badruddin ibn Malik dan Khaṭib al-Qazwainī telah

menjadi penengah dan menutupi akan kelemahan karya al-Sakaki tersebut. Maka

tentu saja ini adalah langkah sangat apresiatif sehingga memberi kemudahan bagi

para pelajar atau pembaca. Bahkan bukan hanya bagi para pemerhati hati bahasa

Arab tetapi juga berguna bagi perkembangan dan pelestarian budaya umat Islam

seperti al-Sakaki maupun al-Qazwaini.

Melihat persoalan yang akan diangkat pada penelitian ini berkenaan dengan

klarifikasi landasan berfikir atau epistemologis al-Sakaki terhadap karya- nya Miftāḥ

al-‘Ulūm dengan pendekatan deskriptif. Maka landasan teoritis dalam pemecahan

masalah ini sangat berkaitan dengan teori tentang pola induktif dan diakletis al-

Sakaki yang berkaitan langsung dengan sistematika penulisan dan penyusunan karya

besarnya Miftah al-‘Ulum.

Dengan demikian Epistemologi Balāghah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm Studi atas

Karya al-Sakāki dapat dipetakan dengan baik, sehingga akan tampak apa yang

menjadi landasan besar al-Sakaki terhadap karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm baik dari segi

rasionalisme, emprisme maupun pengaruh intelektual al-Sakāki secara intuitif

(‘irfānī).

64

Abdul Muta’al Sha’idi, Bughyah al-Idhāh li Talkhīṣ al-Miftāḥ fī ‘Ulūm al-

Balāghah, 10. 65

Linguistic Sense (Ihsās al-Lisāniyyah) adalah sisi keindahan dalam berbahasa dari

segi semantik leksikal yang memudahkan pembacanya memiliki atribut arti yang beragam

dan kaya makna. (Tanja Guastad, Linguistic Knowledge and Word Sense Disambiguation

(Belanda: Groningen Dissertations in Linguistics, 2004), 8. 66

Fayiz Dayah, ‘Ilm al-Dalālah al-‘Arabī al-Nadzriyah Dirāsah Tārikhiyyah

Tashhīliyyah Naqdiyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 23.

Page 29: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

17

G. Metode dan Langkah-Langkah Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode adalah sebuah penelitian yang memiliki peran yang sangat penting

dalam bertindak dan menjalankan sebuah kajian yang sesuai aturan dan

ketentuannya. Adapun metode pada penelitian ini adalah bentuk kualitatif yang

membutuhkan data-data tertulis. Di mana penulis dalam melakukan penelitian

terhadap konsep pemikiran al-Sakaki pada karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm

menggunakan studi pustaka secara komprehensif. Selain hal itu, juga akan

menggunakan pendekatan deskriptif dengan teori hermeneutika rekonstruktif,67

sebab terkadang karya seseorang akan sangat tergantung kepada tingkat

intelektualitas, sosial budaya, dan biografis kehidupan pengarangnya.

2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data

a. Penentuan Sumber Data

Sumber dan metode pengumpulan data ini adalah penelitian yang dilakukan

penulis langsung kepada sumber primer yaitu buku-buku karya al-Sakaki yakni

Miftāḥ al-‘Ulūm, al-Jumal li Abdil Qāhir al-Jurjānī, al-Tibyān, al-Ṭalsam,

Risālah fī ‘Ilm al-Munāḍarah dan berbagai buku lainnya yang dijadikan

sebagai rujukan utama. Sedangkan pada sumber skunder yang membicarakan

al-Sakaki juga berkaitan dengan pembahasan tersebut misalnya; Asās al-

Balāghah, I’jāz al-Bayān ‘an Ma’ānī al-Qur’ān, Istidrākāt al-Khaṭīb ‘Alā al-

Sakāki, al-Idhāh fī ‘Ulūm al-Balāghah, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, Al-

Balāghah wa al-Uslūbiyyah, Kitāb al-Uṣūl Dirāsah Epistimūlūjiyyah, Ma’ānī

al-Qur’ān wa I’rābihi, Maqāyis al- Lughah, I’jāz al-Qur’ān al-Lughāwī, Dalāil

al-I’Jāz, al-Alfādh al-Mutaqāribah al-Ma’nā, al-Tuhfah al-Sāniyah, al-Bu’du

al-Tadāwulī ‘Alā al-Sakākī, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī al-Balāghah al-

Sakākiyyah.

Penulis juga mempelajari dan mengambil data perbandingan dari

perseorangan baik dalam bentuk karya tesis maupun disertasi beserta literatur

yang memiliki hubungan dengan ilm balāghah.

b. Teknik Pengumpulan Data

67

Ketika sebuah teks dibaca seseorang, disadari atau tidak disadari pasti akan

memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak pernah terlepas

dari unsur bahasa, Sebab, bahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak yang

memungkinkan terciptanya dunia sejak awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di

dalamnya manusia turut berpartisipasi. Maka pengertian inilah yang disebut sebagai teori

hermeneutika rekonstruktif atau lebih mudahnya sebuah teori dengan kajian teks secara

mendalam. Lih. Muchtar Lutfi, Hermenutika: Pemahaman Konseptual dan Metodologis,

Unair Surabaya, http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/ Hermeneutika.pdf. (Diakses 28

September 2017).Teori hermeneutika rekonstruktif diperkenalkan pertama kali oleh Wilhem

Dilthey (1833-1911). Lih. Sukron Kamil, Teori Bahasa Modern dan Islam (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2016), 78.

Page 30: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

18

Jenis teknik dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik

literatur dengan membaca dan menganalisis dengan cermat data sumber-sumber

primer. Pada tahapan ini sering disebut teknik pustaka untuk mengumpulkan

data-data dari sumber-sumber tertulis untuk memproleh data yang lebih akurat

dan berkualitas. Sumber-sumber tertulis itu dapat berwujud majalah, makalah,

surat kabar, karya sastra, buku bacaan umum, karya ilmiah, buku perundang-

undangan dan lain-lainnya.68

Adapun penulis akan lebih cenderung kepada

buku-buku dan penelitian yang ada kaitannya sebagai sumber utama dalam

penelitian ini.

c. Analisis Penelitian Data

Menurut Mahsun (2007) analisa data merupakan upaya yang dilakukan

setidaknya untuk mengklasifikasikan dan mengelompokkan data.69

Maka pada

tahapan analisis data penelitian ini, adalah sebuah proses yang dilakukan secara

sistematis untuk mencari, menemukan dan menyusun transkrip wawancara,

catatan-catatan lapangan dan bahan-bahan lainnya yang telah dikumpulkan

peneliti dengan teknik-teknik pengumpulan data lainnya yang berkaitan.70

Maka pada tahapan ini penulis akan mengelompokkan beragam

kelemahan dalam penulisan Miftāḥ al-‘Ulūm berdasarkan metode pembelajaran

bahasa Arab yang mudah dan pendapat para ahli balāghah kemudian mencari

akar berifikir al-Sakaki terhadap keilmuan badī’, bayān dan ma’ānī. Lalu

pengklasifikasian tersebut akan diteliti dengan menggunakan pendekatan teori

hermenutika atau kajian teks. Sehingga pengklasifikasian tersebut akan mudah

diketahui landasan berfikir al-Sakaki dalam memformulasikan Miftāḥ al-‘Ulūm.

d. Merumuskan Simpulan

Kesimpulan berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada bagian

rumusan masalah. Keseluruhan jawaban hanya terfokus pada ruang lingkup

pertanyaan dan jumlah jawaban disesuaikan dengan jumlah rumusan masalah

yang diajukan yang tentu saja berdasarkan hasil analisis data penelitian ini.

Pada kesimpulan juga penulis akan memberikan saran menyesuaikan hasil

penelitian ini, sehingga memberikan dampak positif bagi para pembaca dan

peniliti berikutnya. Sebab, antara yang satu dengan yang lainnya akan selalu

memiliki hubungan satu sama lainnya dalam hal penelitian kebahasaan atau

kesusastraan.

H. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini memenuhi syarat kreteria karya ilmiah yang baik dan

supaya penelitian ini lebih sistematis maka penulisan tesis ini mengacu pada buku

pedoman tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016-2020. Dan penulis akan

memaparkan dan membaginya kepada 5 bab, sebagai berikut:

68

Mahsun, Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya

(Jakarta : Raja Grafindo Prasada. 2005), 131. 69

Mahsun, M.S, Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 253. 70

Robert C. Bogden, Riset Kualitatif untuk Pendidikan, Pengantar,Teori dan Metode

(Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud,1990), 34.

Page 31: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

19

Bab I Bab ini mengenai pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

landasan teori, langkah dan metode penelitian serta sistematika

penulisan.

Bab II Berisi tentang epistemologi ilmu dan sejarah ilmu balagah yakni

pengertian dan pemahaman epistemologi balagah serta metode-metode

memproleh ilmu balagah. Kemudian tentang sejarah ilmu balaghah

meliputi pengertian dasar, balagah pra dan pasca al-Sakaki.

Bab III Bab ini menguraikan biografi intelektual Imam al-Sakaki membicarakan

tentang beberapa poin pertama, sejarah hidup Imam al-Sakaki. Kedua,

setting sosial intelektual al-Sakaki. Ketiga, Karya-karya Imam al-Sakaki

dengan tema-tema yang dibuat dalam upaya mengembangkan ilm

balāghah serta peta pemikiran balaghah al-Sakaki.

Bab IV Bab ini akan membicarakan tentang epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm yang

membahas tentang deskripsi Miftāḥ al-‘Ulūm sebagai buku balagah

pertama, rasionalisme dan empirisme sebagai basis penulisan Miftāḥ al-

‘Ulūm karya al-Sakaki kemudia pada akhir bab ini akan mengungkap

kritik dan apresiasi terhadap epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm. Serta

relevansinya dengan linguistik modern.

Bab V Berisi kesimpulan dari rangkaian penelitian yang mencakup simpulan

dan saran-saran.

Page 32: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

20

Hal yang paling indah yang dapat kita alami

adalah kemisteriusan.

Ini adalah sumber semua seni nyata dan ilmu pengetahuan

Albert Einstein

Ahli fisika dari Jerman dan Amerika Serikat 1879-1955

Page 33: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

21

BAB II

EPISTEMOLOGI ILMU DAN SEJARAH BALAGAH

Pada bab dua ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan teori ilmu

pengetahuan atau yang sering disebut sebagai epistemologi ilmu berikut dengan

sejarah serta epistemologi yang ada dalam balagah dan khususnya Miftāḥ al-‘Ulūm

karya al-Sakaki. Pada bab ini akan lebih memaparkan sejauh mana perkembangan

teori ilmu pengetahuan yang ada pada ilmu balagah dan relevansinya untuk masa

sekarang ini. Pembahasan dalam bab ini juga akan menguraikan tentang bagaimana

teori perkembangan ilmu balagah yang didasarkan atas filsafat keilmuan untuk

menganalisa sumber-sumber keilmuan yang digunakan. Kemudian bab ini lebih

menjelaskan bagaimana definisi epistemologi, metode-metode untuk memperoleh

ilmu pengetahuan, ruang lingkup epistemologi, serta keilmuan balagah dalam

terapan metode epistemologi.

Sistematika pembahasan bab ini akan dimulai dengan pembahasan terhadap

epistemologi ilmu yang akan dibahas di dalamnya mengenai metode empirisme,

rasionalisme dan intusionisme dari persfektif tradisi Islam dan Barat. Kemudian

dilanjutkan dengan pembahasan tentang epistemologi ilmu bahasa Arab dan Sastra.

Adapun pada akhir bab ini akan membahas mengenai sejarah serta perkembangan

ilmu balagah sebelum dan pasca era al-Sakaki, sehingga akan memperlihatkan

bagaimana keberlangsungan ilmu bahasa Arab dalam hal ini cabangnya yaitu ilmu

balagah hingga masa sekarang.

A. Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Islam dan Barat

Korelasi epistemologi dengan filsafat dapat diibaratkan bagaikan pohon

dengan rantingnya. Pohon filsafat memiliki cabang-cabang berupa sub disiplin, di

antaranya: filsafat ilmu, filsafat bahasa, filsafat, agama, filsafat hukum, etika,

estetika, filsafat antropologi dan metafisika dan lain sebagainya. Keseluruhan

cabang disiplin filsafat ilmu tersebut akhirnya memiliki ranting-ranting dan sub-sub

disiplin tersendiri yang berbeda fungsi antara yang satu dengan lainnya yakni logika,

ontologi, epistemologi dan aksiologi. Namun, pada puncaknya ruang lingkup filsafat

ilmu dapat disederhanakan menjadi tiga pertanyaan mendasar saja, yakni: Apa yang

ingin diketahui (ontologi)? Bagaimana cara memperoleh pengetahuan-pengetahuan

(epistemologi)? Dan apakah manfaat pengetahuan tersebut bagi manusia

(aksiologi)? Ketiga ruang lingkup filsafat tersebut saling berkaitan antara satu

dengan lainnya. Jika ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus

dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu, sehingga korelasi ketiganya bagaikan

pohon yang terdiri dari cabang, ranting dan buahnya.

Kata epistemologi sendiri berasal dari kata Yunani episteme yang mempunyai

arti ilmu pengetahuan dan logos yang juga berarti pengetahuan atau teori. Sehinga

dari kedua makna tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu

pengetahuan tentang ilmu pengetahuan atau lebih fenomenalnya disebut sebagai

teori ilmu pengetahuan. Ia bermaksud untuk membicarakan, menelaah dan

memperdalam tentang hakikat dirinya sendiri, yaitu dalam usaha mencari metode

Page 34: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

22

dan sumber untuk mendapatkan pengetahuan terhadap kepribadian ilmu itu sendiri.1

Penemuan istilah epistemologi yang bersifat skeptis-kritik sesungguhnya tercatat

dalam sejarah keilmuan dunia yang ditemukan oleh Plato (428-357 SM). Hal

tersebut baru diungkap dan dipergunakan pertama kali oleh J. F. Ferrier saat berada

di dalam sidang Institutes of Metaphysics yaitu pada abad ke-19. Kemudian dalam

perkembangannya epistemologi memiliki bentuk dan corak sendiri disebabkan

adanya perbedaan standar dalam menentukan validitas dan unsur-unsur yang

terkandung dalam epistemologi.2

Ahmad Atabik (1982 M) menuturkan bahwa pembahasan tentang

epistemologi selalu lebih terfokus pada sumber – sumber pengetahuan (the origin of

knowledge) dan teori tentang kebenaran suatu ilmu pengetahuan (the theory of

truth.3 Sedangkan J.F. Ferrier mengatakan bahwa epistemologi pada dasarnya

berkenaan dengan pengujian filsafati terhadap batas-batas, sumber-sumber, struktur-

struktur, metode-metode dan vailiditas. Kelima hal tersebut dikategorikan sebagai

ruang lingkup epistemologi. Oleh karena itu, menurut Titus Smith dan Nolan konsep

dalam karya Persoalan-Persoalan Filsafat, epistemologi selalu dikaitkan bahkan

disetarakan dengan disiplin ilmu tertentu yang disebut Critica, maksudnya adalah

pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan ukuran-ukuran penting untuk

menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar.4

Koestenbaum (1990 M) dalam karyanya Philosophy A General Introduction

mengatakan bahwa epistemologi adalah bagian dari cabang filsafat ilmu.

Menurutnya setiap ilmu pengetahuan termasuk ilmu balagah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm

jika dilihat dari sudut filsafat ilmu tentulah memiliki tiang-tiang penyangga yang

bertujuan untuk memperkuat eksistensinya. Tiang penyangga ilmu tersebut terdiri

dari tiga aspek, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dalam teknisnya ketiga

cabang filsafat ilmu tersebut tentu berbeda dalam segi peran dan penekanannya.

Filsafat ilmu pengetahuan Barat lebih menekankan pada aspek proses, yaitu

bagaimana sebuah kebenaran ilmu dibangun sehingga proses ini melahirkan

kebenaran epistemologik.5

The Liang Gie (2012) dari poros ilmu barat, ia mengutip dari The

Encyclopedia of Philosophy dan menguraikan bahwa epistemologi sebagai cabang

filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra

anggapan dan dasar-dasarnya serta realibilitas umum dan tuntutan akan

pengetahuan.6 Sedangkan Harun Nasution (1998 M) memandang dari poros ilmu

Islam bahwa epistemologi adalah ilmu yang membahas apa dan bagaimana proses

1Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Menguatkan Epistemologi Islam dalam

Pendidikan (Yogyakarta: al-Ruzz Media, 2014), 30. 2Abdul Mughist, Epistemologi Ilmu Ekonomi Islam, Hermeheia Kajian Islam

Interdisipliner Vol.2, No. 2, Juli 2014, 177. 3Ahmad Atabik, Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu Sebuah Kerangka Untuk

Memahami Konstruksi Pengetahuan Agama, Fikrah Jurnal, Vol. 2, No. 1, Juni 2014, 253. 4Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),

21-23. 5Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 34.

6Syah Budi, Epistemologi Persfektif Islam dan Barat, Jurnal Filsafat Ilmu STAIN

Sorong, Vol. 3, No. 1, Juni 2016, 3.

Page 35: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

23

memperoleh pengetahuan sehingga menjadi anugerah terbesar bagi setiap individu

yang membedakan antara manusia dengan hewan.7 Menurutnya antara kajian filsafat

barat dan Islam memiliki landasan masing-masing yang bisa diterapkan bersamaan

yaitu dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang digunakan serta bertujuan

untuk menggali dan membuktikan kebenaran sumber atau orisinilitas keilmuan yang

dimiliki oleh manusia.8

Adapun ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam lebih menekankan pada aspek

aksiologi sebagai basis dalam mengonstruksi fakta. Hal tersebut terjadi karena Islam

tidak menghendaki keterpisahan antara ilmu dan sistem nilai. H.G. Hartman (1944

M) tokoh Barat oreantalis bahkan mengakui kedua hal tersebut merupakan sebuah

ide pemikiran yang harus ada dalam satu kesatuan. Sebab, sebuah nilai adalah wujud

dari keilmuan atau pengetahuan itu sendiri. Perbedaan yang sangat mendasar antara

keduanya adalah ilmu pengetahuan Barat secara epistemologis lebih bersifat

antroposentris, sedang dalam Islam ilmu pengetahuan selain bersifat antroposentris9

juga bersifat teosentris.10

Al-Ghazali salah seorang filsuf muslim yang berupaya mengkaji epistemologi

dalam perspektif Islam. Ia beberapa kali mencoba merenungkan tentang keberadaan

epistemologi Islam, hingga ia merasakan lelah dalam proses pencariannya. Di

tengah keputusasaannya, iapun berakhir pada satu kesimpulan bahwa sekalipun

kebenaran harus dicari, tetapi keterbatasan akal manusia harus diakuinya, dan

sentuhan cahaya Tuhanlah yang sesungguhnya paling haqīqī. Hal Ini semakin

meyakinkan bahwa sebuah pengetahuan menurutnya sangat tergantung dari nalar

yang telah dianugerahkan oleh Allah ta’ala kepada manusia.11

Dapat disimpulkan bahwa sebuah ilmu pasti ada sesuatu yang memicu

kehadirannya, sekalipun itu hadirnya dari yang Maha Kuasa tetapi pasti ada sesuatu

yang menjadi penyebabnya. Hal itu, karena alam dunia ini penuh dengan hamparan

ilmu yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, maka baik dunia

Islam maupun dunia Barat, keduanya memiliki potensi yang sama untuk

memperoleh dan mengembangkan potensi keilmuan secara besar-besaran. Hanya

saja, keseluruhannya sangat tergantung pada upaya dan kerja yang dilalui.

7Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) 12-13.

8Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam

(Bandung: Mizan, 2003), 45. 9Antroposentrisme dimaknai sebagai teori etika lingkungan yang memandang pusat

alam semesta adalah manusia. Sehingga kepentingan manusia dalam hal ilmu pengetahuan

misalnya sangat menentukan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan alam secara

langsung atau tidak. Lih. Philip Shabecoff, A New Name for Peace; International

Environmentalism, Sustanaible Development and Democracy, (Inggris: University Press of

New England, 1996), 221. 10

Islam, menurut pandangan yang sifatnya teosentris, mengandung aspek ketuhanan

dan manusia hidup dimaksudkan untuk mengabdi kepada-Nya sehingga makhluk harus

meyakini sebuah kebenaran yang juga berpusat kepada Allah ta’ala. Lih. Hamlan AB. Andi

Malla, Islam Dan Hak-Hak Asasi Manusia (Sulawesi: Tadulako Press, 2005), 256. 11

Hasnun Jauhari Ritonga, Landasan Epistemologi Komunikasi Islam, MIQOT Vol.

32 No. 2, Juli-Desember 2008, 282.

Page 36: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

24

B. Konsep Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Islam

Konsep makna epistemologi dalam Islam, perlu pendekatan secara genetivus

subyektivus,12

yaitu menempatkan Islam sebagai subjek dan epistemologi sebagai

objek. Pemisahan antara keduanya akan memberikan pandangan dan pemahaman

yang berbeda, sehingga epistemollogi sebagai hasil pikiran manusia tidak bertujuan

untuk menafsirkan Islam, melainkan bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara,

metodologi dan hakikat memperoleh pengetahuan serta semua yang berhubungan

dengan epistemologi itu sendiri. Epistemologi dalam persfektif Islam secara umum

berkaitan erat dengan wahyu dan ilham sebagai sumber ilmu manusia, sedangkan

epistemologi pada umumnya menganggap bahwa kebenaran berpusat pada manusia

karena manusia mempunyai otoritas untuk menentukan hakikat kebenaran.13

Jika ditelisik dalam al-Quran yang berjumlah 6.236 ayat dan 30 juz,

epistemologi diibaratkan seperti tinta yang dibuat dari air laut untuk menulis ilmu

dan kalimat Tuhan, yang berarti meneliti dan menyelidiki lewat proses ilmiah untuk

menentukan rumusan dan hukum regularitas yang melekat dalam karya-karya dan

kreativitas Tuhan yang menjelma dalam alam semesta yang nyata. Usaha maksimal

yang dilakukan oleh seorang manusia untuk merumuskan dan mempetakan hukum

regularitas tersebut pada akhirnya hanya akan sia-sia saja. Hal tersebut disebabkan

karena melimpahkanya objek studi yang perlu dipelajari oleh manusia. Al-Qur’an

sendiri telah mengisyaratkan manusia agar sampai kepada ilmu pengetahuan yang

diinginkan harus melalui sarana indera mata, telinga, akal dan hati.14

Dengan demikian, epistemologi Islam dapat dibagi kepada tiga bagian

penting, yaitu epistemologi bayānī (penalaran berdasarkan teks), epistemologi irfānī

(penalaran berdasarkan intuisi), dan epistemologi burhānī (penalaran berdasarkan

prinsip logika).15

Mulyadi Kartanegara berpendapat bahwa dalam epistemologi

Islam ada beberapa cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan yakni melalui media

indera, teks-teks keagamaan (wahyu), akal dan hati. Maka cara pertama yang

dilakukan adalah dengan pengamatan indrawi terhadap semua hal yang bersifat

materi kemudian melakukan observasi atau eksperimen.16

Cara kedua (wahyu)

menurutnya merupakan bentuk komunikasi Tuhan kepada manusia dengan perantara

Malaikat atau manusia pilihan Tuhan (Nabi) yang bertugas untuk menyampaikan

wahyu-Nya kepada manusia. Sedangkan cara yang ketiga melalui akal yang

12

Genetivus Subyektivus adalah sebuah pendekatan yang berupaya menempatkan

Islam sebagai subyek atau sebagai titik tolak berpikir. Pada pendekatan tersebut epistemologi

diletakkan sebagai bahan kajian utama. Adapun lawannya yaitu pendekatan Genetivus

Obyektivus yakni menempatkan Islam sebagai obyek kajian atau Islam dijadikan sebagai

bahan kajian dalam berpikir. Pada posisi ini epistemologi dijadikan sebagai titik tolak

berpikir pada saat mengkaji Islam. Lih. Hasnun Jauhari Ritonga, Landasan Epistemologi

Komunikasi Islam, MIQOT Vol. 32 No. 2, Juli-Desember 2008, 281. 13

Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), 120 14

Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan

Islam, (Jakarta: UI Press, 1983), 77. 15

Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2016), 187. 16

Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,

52-54.

Page 37: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

25

dianugerahkan ole Tuhan yang maha kuasa kepada manusia dengan memfungsikan

kesan-kesan yang disampaikan oleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk

sampai kepada nilai-nilai atau kesimpulan tertentu. Adapun cara terakhir melalui

hati atau pengalaman batin yang sering disebut sebagai ‘irfānī.17

Adapun ketiga

bagian epistemologi Islam tersebut adalah sebagai berikut ini:

1. Metode Bayānī (penalaran berdasarkan teks)

Kata bayānī diambil dari bahasa Arab bayān yang berarti penjelasan

(eksplanasi). Ibn Mandzur (1312 M) dalam karyanya Qāmūs Lisān al-‘Arab

memaknai al-bayān sebagai al-faṣl wa infiṣāl yang artinya memisahkan dan

terpisah. Makna lain dalam kaitannya dengan metodologi disebut sebagai sebagai

al-faṣl wa ihdhār, sedangkan yang kaitannya dengan visi dari metode bayani

disebut sebagai infiṣāl wa dhuhūr.18

Pada masa al-Syafi’i (767-820 M) yang

dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayānī berarti nama yag

meliputi makna-makna yang mengandung persoalan uṣūl (pokok) dan yang

berkembang hingga ke furū’ (cabang).

Pengamatan oleh para ilmuwan menerangkan bahwa bayānī sangat

berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan ‘realitas’, maka persoalan pokok

(tool of analysis) yang ada dalamnya adalah sekitar lafdh al-makna dan uṣūl-

furū’. Menurut al-Jabiri, persoalan lafdh al-makna mengandung dua aspek yakni

teoritis dan praktis. Dari sisi teori muncul tiga persoalan, (1) tentang makna suatu

kata, apakah di dasarkan pada konteksnya atau aslinya (tawqīf), permasalahan ini

muncul karena pemberian makna atas sebuah kata, muncul akibat perbedaan

pendapat antara kaum rasionalis dan ahli hadis. (2) tentang analogi bahasa,

seperti kata nabidh (perasan gandum) dengan khamr (perasan anggur) atau kata

sāriq (pencuri benda) dengan nabāsh (pencuri mayat di kubur). (3) soal

pemaknaan al-asmā’ al-shar’iyyah, seperti kata ṣalāt, ṣiyām, zakāt dan lainnya.

Menurut al-Baqilani (950-1012 M), salah seorang tokoh teologi al-shar’iyyah

menurutnya hal tersebut terjadi karena al-Qur’an diturunkan dengan tradisi dan

bahasa Arab, maka ia harus dimaknai sesuai dengan kebudayaan Arab, tidak bisa

di dekati dan dengan budaya dan bahasa lain.19

Persoalan uṣūl-furū’, menurut al-Jabiri tidaklah menunjukkan pada dasar-

dasar hukum fiqh, seperti al-Qur’ān, sunnah, ijmā’ dan qiyās. Tetapi dalam

pengertian umum ia adalah pangkal dari proses penggalian pengetahuan.

Sehingga uṣūl adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furū’. Ada

tiga jenis posisi dan peran uṣūl dalam hubungannya dengan furū’ yakni (1) Uṣūl

sebagai sumber pengetahuan yang cara memprolehnya dengan istinbāṭ. (2) Uṣūl

sebagai sandaran untuk pengetahuan yang lainnya yang cara pengaplikasiannya

dengan qiyās. (3) Uṣūl sebagai pangkal dari proses pembentukan pengetahuan,

dengan menggunakan kaidah-kaidah uṣūl al-fiqh.

17

Sari Nusaibah, Epistemologi Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman Jurnal

History of Islamic Philosophy, Vol. 2 No. 2, London Routledge, 1996, 827. 18

Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Tsaqãfah Arabi, 1991), 20. 19

Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, 116.

Page 38: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

26

Adapun Abdul Wahab Khallafi mengatakan bahwa sumber pengetahuan

bayānī adalah al-Qur’an dan Sunnah.20

Sebab, bayānī hanya mendasarkan diri

pada teks, pemikiran dan epistemologi bayānī menjadi terbatas dan terfokus pada

h-l-hal yang bersifat aksidental bukan subtansial yang akhirnya kurang bisa

dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang makin

cepat. Karena kenyataannya pemikiran Islam saat ini banyak didominasi bayānī

fiqhiyyah di mana kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan.

Kelemahan yang sangat mendasar dari epistemologi ini adalah ketika

berhadapan dengan teks-teks keagamaan dari berbagai kultur madhhab, karena

corak berpikir keagamaan model tekstual bayānī berusaha mengambil setiap

masalah yang dogmatik, diskursus dan devensif. Hal ini, karena akal hanya

digunakan untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks keagamaan. 21

2. Metode Burhānī (penalaran berdasarkan prinsip logika)

Kata burhānī diambil dari bahasa Arab burhān yang berarti demonstratif.

Dalam kamus Lisān al-‘Arab karya Ibn Mandhur (1312 M) memberikan arti

burhānī sebagai iẓhāru al-ḥujjah (menunjukkan dengan bukti). Menurut al-Jabiri

bahwa prinsip-prinsip logis yang selalu melekat pada metode ini dibangun

pertama kali oleh Aristoteles dengan istilah analitik (taḥlīlī).22

Jika epistemologi bayānī dan irfānī masih mengaitkan dengan teks suci,

maka burhānī lebih mengandalkan metode kekuatan rasio (‘aql) yang dilakukan

melalui dalil-dalil rasional. Sehingga Abid al-Jabīrī membedakan antara ketiga

epistemologi tersebut kepada tiga perbedaan, yaitu, (1) nalar bayānī

menghasilkan pengetahuan melalui qiyās al-ghaib ala al-shahīd (analogi realitas

non-fisik atas realitas fisik) atau furū’ kepada yang uṣūl. (2) nalar irfānī

menghasilkan pengetahuan melalui proses penyatuan ruhani kepada Tuhan

dengan penyatuan universal (kulliyat). (3) nalar burhānī menghasilkan

pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang

telah diyakini kebenarannya.23

Metode burhānī atau rasional semakin berkembang dan menjadi salah satu

sistem pemikiran Arab Islam. Al-Razi (865-925 M) dan al-Farābi (870-950 M),

kedua tokoh rasional ini telah menempatkan metode ini sebagai dasar penalaran

dan satu-satunya pertimbangan kebenaran yang dapat diterima, keduanya bahkan

menilainya sebagai substansi manusia.24

Salah satu persoalan yang dikaji dan

muncul dalam burhānī adalah masalah bahasa dan logika. Persoalan ini muncul

20

Abdul Wahab Khallafi, Ilm Uṣūl al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 60. 21

Muhammad Amin Abdullah. Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN

Sunan Kalijaga dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif

Interdiciplinary dalam Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan,

2005), 243. 22

Al-Jabīrī, Ishkāliyāt al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’āṣir (Beirut: Markaz Dirāsah Arabiyah,

1989), 59. 23

Kandiri, Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam Menurut Muhammad Abid

Al-Jabīrī, Jurnal Lisān al-Ḥāl, Vol. 4, No. 2, Desember 2012, 77. 24

Ali Sami Nāṣir, Manāhaj al-Baḥts ‘Inda Mufakkiril Islām (Beirut: Dār al-Fikr,

1967), 55.

Page 39: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

27

ketika terjadi perdebatan tentang kata dan makna antara Abu Said al-Shirafi

(893-979 M) dan Abu Bishr Matta (870-940 M). Menurut al-Shirafi, kata muncul

lebih dahulu dibanding makna, dan setiap bahasa adalah cerminan dari budaya

masyarakat masing-masing. Sebaliknya menurut Abu Bishr Matta, makna ada

lebih dahulu dibanding kata, begitu pula logika muncul lebih dulu daripada

bahasa, sehingga makna dan logikah inilah yang menentukan kata dan bahasa,

bukan sebaliknya.25

Al-Jabīrī menegaskan bahwa sistem utama penalaran burhānī adalah

silogisme,26

sekalipun tidak setiap selogisme menunjukkan burhānī. Adapun

sebelum melakukan silogisme tersebut ada tiga tahapan yang harus dilalui, yaitu

(1) tahap pengertian (ma’qūlat) dengan proses abstraksi atas obyek-obyek

eksternal yang masuk ke dalam fikiran. (2) tahap pernyataan (ibārat) dengan

proses pembentukan proposisi atas pengertian-pengertian yang ada. (3) tahap

penalaran (taḥlīlāt) dengan proses pengambilan kesimpulan berdasarkan atas

hubungan di antara premis-premis yang ada. Dengan kata lain, penalaran burhānī

menyandarkan melalui argumentasi-argumentasi yang bersifat logis atau sering

disebut sebagai metode demonstratif.27

Metode demonstratif ini sangatlah populer di kalangan filosof, ia bertumpu

pada kekuatan akal. Ia memiliki kemampuan mengola data-data indrawi bahkan

mampu untuk menangkap konsep-konsep mental dan intelektual yang bersifat

nonfisik.28

Maka kekuatan akal adalah adalah satu modal terbesar dalam

pengolahan berpikir dan menyerap ilmu pengetahuan dari eksternal ke internal.

3. Metode Irfānī (penalaran berdasarkan hati)

Kata irfānī diambil dari bahasa Arab kata ‘arafa, semakna dengan makrifat

yang berarti pengetahuan, tetapi berbeda dengan ilmu (‘ilm). Dalam kamus Lisān

al-‘Arab karya Ibn Mandhur (1312 M) memberikan arti irfānī sebagai infiṣāl

baina al-ṣahīh wa al-khaṭa’ (memisahkan antara yang benar dan salah). Adapun

irfānī dan makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang langsung diperoleh dari

Tuhan (kashf) melalui olah rohani, ia dilakukan atas dasar cinta atau kemauan

yang kuat. Sedangkan ‘ilm adalah pengetahuan yang diperoleh melalui naql

(transformasi) atau ‘aql (rasionalitas).29

Mehdi Hairi Yazdi menuturkan bahwa

25

Al-Jabīrī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz at-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 29. 26

Silogisme diterjemahkan dengan qiyās atau al-qiyās al-jam’i yang mengaju pada

makna asal “mengumpulkan”. Sehingga silogisme dikenal dengan suatu bentuk argumen di

mana 2 proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa, maka hasilnya

pun menjadi sebuah keputusan (conclusion) pasti menyertai. Lihat karya Khudori Soleh,

Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: al- Ruzz Media, 2016), 221. 27

Premis-premis yang dimaksudkan adalah premis yang benar dan diperlukan. Premis

yang benar adalah premis yang memberi keyakinan dan meyakinkan. Lih. Lorens Bagus,

Kamus Filsafat (Jakarta: Pustaka Utama, 1996), 87. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), Premis adalah apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian;

dasar pemikiran; alasan, asumsi, kalimat atau proposisi yang dijadikan dasar penarikan

kesimpulan di dalam logika. Lihat di http://kbbi.web.id/premis 28

Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam

(Bandung: Mizan, 2003), 55. 29

Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, 199

Page 40: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

28

irfānī adalah pengetahuan yang dihadirkan (‘ilm ḥuḍuri), sedangkan ‘ilm adalah

pengetahuan yang dicari (‘ilm muktasab).30

Muthahhari dalam karyanya Menapak Jalan Spritual, menjelaskan bahwa

irfānī terbagi kepada 2 aspek, yakni; praktis, di dalamnya mendiskusikan tentang

hubungan manusia dengan alam dan Tuhan, dan teoritis yang dalamnya

mendiskusikan tentang hakikat semesta, manusia dan Tuhan.31

Zulfa Makiah

menambahkan bahwa irfānī dengan kedua aspek praktis dan teoritis tersebut

menegaskan bahwa irfānī adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara olah

rohani (ruḥiyyah) dengan kesucian hati (qalb), dengan harapan Tuhan akan

melimpahkan pengetahuan langsung (kashf) kepadanya. Maka kedua metode

memperoleh tersebut menjadi kunci dipermudahnya kashf. Dari hal tersebut

kemudian dikonsepsikan ke dalam pemikiran sebelum dikemukakan kepada

publik. Maka secara metodologi, pengetahuan rūḥiyyah setidaknya diperoleh

melalui tiga tahapan yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan, lisan

maupun tulisan.32

Metode irfānī sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan melalui

penampakan langsung kepada subjek, dalam ilmu tasawuf dinamakan ma’rifah.

Adapun sarana untuk mencapai ma’rifah tersebut haruslah dengan qalb, bukan

dengan indrawi maupun akal. Harold H. Titus dalam karyanya tentang

Persoalan-Persoalan Filsafat mengemukakan bahwa pengetahuan irfānī tidak

didasarkan atas objek eksternal atau runtutan logis, melainkan dari realitas

kesadaran diri sendiri atau yang sering disebut (kashf).

Al-Ghazali bahkan membuat kategori penting untuk mengungkapkan fungsi

dan kelebihan hati. Pertama, hati dalam pengertian fisik dan psikologis, yaitu

segumpal daging yang dimiliki oleh manusia sebagai organ tubuh yang terletak

pada bagian kiri dada. Kedua, hati dalam pengertian rabbaniyah ruhaniyah yaitu

sesuatu yang halus yang memiliki sifat ketuhanan dan keruhanian. Maka tidak

heran jika hati sangat radikal untuk melampaui kemampuan akal. Sebab, hati tu

bisa bicara dengan mata bathinnya bahkan bisa merasakan secara naluriyah.33

Al-Qur’an sendiri menggambarkan bahwa hati sebagai lokus dari apa yang

membuat seseorang menjadi manusiawi dan memiliki akhlak serta prilaku yang

mencerminkan kesucian hati. Sebab, manusia terikat erat dengan Tuhan, pusat ini

merupakan tempat di mana mereka bertemu dengan Tuhan. Bahkan pertemuan

tersebut memiliki dimensi kognitif dan dimensi moral yang tidak diduga

sebelumnya.34

Misalnya, ketika seseorang merasakan sakit dengan jiwanya maka

ia bisa menghubungkan antara jiwanya yang sedang sakit dengan Tuhan-nya

melalui do’a yang ia lafalkan. Do’a pun sebagai komunikasi seorang hamba

kepada Allah membuat diri dan jiwanya menjadi lebih tentram dan nikmat.35

30

Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huḍūri, (Bandung: Mizan, 1994), 47. 31

Muthahhari, Menapak Jalan Spritual (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 20. 32

Zulfa Makiah, Epistemologi Bayāni, Burhāni dan Irfāni Dalam Memperoleh

Pengetahuan Tentang Maṣlaḥah (Banjarmasin: Antasari Press, 2007), 47. 33

Fritjop Capra, The Tao of Physics (Boston: New Science Library, 1995), 30. 34

William Johnston, Mysthical Theology: The Science of Love (London: Harper

Collins Religious, 1995), 90-93. 35

Ibnul Qayyim, al-Dāu wa al-Dawā’ (Beirut: Dār Kutub Ilmiyyah, 2005), Cet. 3, 7.

Page 41: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

29

Berdasarkan penjabaran di atas, maka berikut penulis menggambarkannya

dengan peta epistemologi Islam di bawah ini:

Peta Epistemologi Islam

Konsep epistemologi Islam tersebut menjadi sangat penting karena ia

merupakan studi yang cukup penting di lingkungan akademik. Ia dapat menjadi

bagian untuk menguji dasar-dasar dan proses-proses terbentuknya semua

pengetahuan manusia, termasuk pengetahuan ilmiah. Zaprulkhan mengatakan bahwa

dengan epistemologi maka seorang ilmuwan akan memproleh ilmu pengetahuan

secara utuh serta ia akan mengetahui bagaimana cara menjustifikasi kebenaran

pengetahuan tersebut. Dalam konteks inilah para filusuf kemudian merumuskan

beragam metode untuk memproleh pengetahuan sesuai dengan pradigma filsofisnya

masing-masing. Paling tidak menurut Zaprulkhan secara umum ada 3 metode untuk

mengonstruksi pengetahuan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.36

Dinar Dewi Kania (2010 M) menyimpulkan bahwa perbandingan antara

epistemologi Barat dan Islam sebagai sub bagian pada filsafat ilmu adalah tidak

diakuinya antologis alam dan alam metafisik tidaklah dianggap sebagai obyek ilmu.

Adapun Islam dalam mengartikan espitemologi filsafat ilmu sebaliknya selalu

mengakui antologis alam fisik maupun metafisik. Sehingga dalam konsep Islam

pasti mengakui keduanya sebagai obyek ilmu.37

C. Konsep Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Barat

Telah dijabarkan di atas bahwa epistemologi (theory of knowledge), terkait

dengan metode dan cara sebagai sarana atau alat untuk mencapai objek kajian

tertentu. Beberapa metode yang telah lama diakui oleh sains modern adalah akal

(ration) dan indera (senses). Menurut Jujun S. Suriasumantri epistemologgi secara

garis besar, sumber-sumber epistemologi dapat diklasifikasikan menjadi empat,

yakni: rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan intuisionisme. Sekalipun

menurutnya metode kritisisme sebenarnya ia diproleh karena adanya pergumulan

rasionalisme dan empirisme.

Farih Sholeh Tsaqafi (2009 M) mengatakan bahwa kritik (naqd) terjadi

karena adanya ketidak sesuaian atau kesalahan pada akal seseorang dan apa yang

langsung dilihat oleh matanya.38

Kritisisme pertama kali digulirkan oleh filsuf besar

36

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers,

2016), 73. 37

Dinar Dewi Kania, Konsep Ilmu Persfektif Islam dan Barat (Jakarta: Insists Press,

2004), 6. 38

Miklōs Marōt, The Role of Qiyās in Arabic Grammar, Acta Orientalia Academiae

Scientiarum Hungaricae, Vol. 48, No. 1, Februari 1995, 103.

Page 42: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

30

yang sangat popular diantara para filsuf modern lainnya, asal Jerman abad ke-18

yaitu Immanuel Kant.39

Secara substansial kritisisme bertujuan untuk mengkritik

validitas ilmu pengetahuan, menentukan barometer batas-batas ilmu pengetahuan

serta untuk menguji operasionalitasnya.

Kehadiran kritisisme oleh Immanuel Kant sebagai tonggak dimulainya

zaman baru, sebagai respon terhadap dua aliran sebelumnya yang telah digulirkan.

Ia ingin menyingkap distingsi yang lebih jelas antara obyek dan pengalaman subyek,

antara benda itu sendiri (thing-in self) dan benda itu bagi kita (thing for us).40

Kant

mencoba untuk mencari solusi untuk mengatasi bentrokan antara rasionalisme dan

emprisme dengan menawarkan pertanyaan unsur mana saja dalam pemikiran

manusia yang berasal dari pengalaman dan mana unsur akalnya.41

Yakni, munculnya pengetahuan yang dimiliki oleh manusia apakah dari luar

ataukah dari jiwa manusia itu sendiri.42

Adapun Zaprulkhan menegaskan bahwa

sesungguhnya alasan unsur-unsur yang tidak bisa diketahui secara lengkap karena

manusia selalu dipengaruhi cara kerja sensasi dan persepsi yang sudah berada dalam

batasan ruang dan waktu.43

Paduan metode rasionalisme dan empirisme menurut Kant tidaklah

seimbang. Karenanya ia menyebut setidaknya ada 3 ciri-ciri mendasar pada metode

kritisisme ini, yaitu: (1) Anggapan objek pengenalan berpusat pada subjek, bukan

pada objek. (2) Membuktikan keterbatasan akal manusia untuk mengetahui

kenyataan dan hakikat sesuatu, akal hanya mampu menjangkau gejala dan

fenomenanya saja. (3) Pengenalan manusia terhadap sesuatu apapun itu diperoleh

dari perpaduan antara kedua unsur akal dan pengalaman.44

Sehingga dengan misinya

Immmanuel Kant sangat tepat karena dianggap telah cukup berhasil dalam

mendamaikan empirisme dan rasionalisme.

Berbeda halnya dengan Louis O. Kattsoff ia justru mengklasifikasikan

bahwa sumber-sumber epistemologi terbagi kepada enam bagian, yaitu empirisme,

rasionalisme, fenomenologisme, intuisionisme, metode ilmiah dan hipotesis. Di sisi

lain seorang ahli filsafat modern Pradana Boy ZTF telah mengklasifikasikannya

menjadi tiga bagian penting saja yaitu empirisme, rasionalisme dan kritisisme.

Dalam tulisan ini penulis hanya menjabarkan tiga sumber epistemologi saja

yakni empirisme, rasionalisme, dan intuisionisme. Menurut penulis ketiga sumber

epistemologi tersebut sudah cukup mewakili untuk proses mengetahui sebuah

keilmuan. Sebagaimana juga pernah disebutkan oleh O. Kattsoof bahwa sebenarnya

metode tersebut adalah hasil dari penjabaran mendalam dari ketiga metode yang

akan dibahas berikut ini;

39

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 77. 40

Simon. E. Frost, Basic Teaching of The Great Philosophers (New York: Ncchor

Books, 1989), 40. 41

Yusriah, Pengaruh Kritisisme Kant Terhadap Filsafat Modern dalam Jurnal

Teologia, (Semarang : Media Kominfo Keilmuan, 1989), 15. 42

Pradana Boy, Filsafat Islam – Sejarah Aliran dan Tokoh, (Malang : UMM Press,

2003), 11. 43

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 76. 44

Rosita Baiti, Pemikiran Manusia Dalam Aliran-Aliran Filsafat, Jurnal Wardah Vol.

1, No. 29, Juni 2015, 88.

Page 43: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

31

1. Metode Empirisme

Kata empirisme (al-manhaj al-tajribī) berasal dari bahasa Yunani έμπειρία

(empiriea) yang berarti coba-coba atau disebut juga empeirikos artinya

pengalaman. Penemu al-manhaj al-tajrībī pertama kali dalam dunia keilmuan

berasal dari tokoh Islam yaitu al-Kindi (806 – 875 M). Bahkan pemikiran filsafat

Islam yang berkembang pasca penerjemahan atas buku-buku Yunani, pertama

kali juga dikenal oleh Qais al-Kindi tepatnya pada abad pertengahan.45

Ia

mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia salah satunya ditopang atas

asas pengalaman atau percobaan yang digagas berdasarkan pengamatan indrawi

(al-ḥissiyyah). Pemikiran empiris tersebut kemudian semakin berkembang hingga

sepeninggal al-Kindi dilanjutkan oleh al-Razi (865-925 M) dan Ibnu al-Farabi

(870-950 M).46

Ibnu al-Farabi, tokoh yang mempunyai pengaruh besar yang

pemikirannya tidak hanya dikenal di dunia Islam, namun juga ia sangat

berpengaruh di Barat hingga sampai Eropa, ia tidak hanya mengembangkan

metafisika Islam, tetapi juga memberikan landasan bagi pengembangan keilmuan

dengan teori emanasi yang menggabungkan antara teori neo-platonis dengan

Tauhid Islam yang menjelaskan antara Tuhan yang Maha Ghaib dengan realitas

empirik. Adapun ilmuan Barat yang pertama kali menggunakan istilah empirisme

di mana aliran ini justru lebih sering disandarkan kepada mereka diantaranya

dimulai oleh Francis Bacon (1561-1626 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M),

John locke (1632-1704 M), George Berkeley (1685-1753 M), paham empirisme

tersebut mencapai puncaknya dalam filsafatnya David Hume (1711-1776 M).47

David Hume menegaskan bahwa semua gagasan ilmuwan atau persepsi-

persepsi siapapun yang lebih lemah adalah tiruan dan kesan-kesan para ilmuwan

tersebut. Dengan demikian, pengetahuan a priori akhirya ditolak. Sebab, ia hanya

mengakui pengetahuan a posteriori atau yang pengetahuan yang diproleh dari,

atau setelah pengalaman.48

Maka empirisme sangat menekankan pada metode

eksperimen (tajribī) dalam proses untuk mencapai pengetahuan yang sempurna.

Dalam al-Tikrār Mughāmirah fī ‘Ilmi Nafsi al-Tajrībī karya Sőren

Kiergegaard (2015) ia mengatakan bahwa suatu kebenaran boleh saja tanpa bukti

dan langsung dipercayai seperti jika yang mengajarkan adalah Socarates dan

Plato. Namun, zaman modernisasi saat ini membutuhkan di mana setiap

kebenaran tersebut perlu dibuktikan dengan sebuah kejujuran yang diperoleh dari

eksperimen untuk menguji suatu ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan apabila

seseorang tidak memiliki usaha tertentu dengan satu jenis indrawi, maka jelas ia

tidak dapat memiliki konsepsi tentang pengetahuan yang berhubungan dengan

inderawi tersebut.49

45

Muhammad Mab’uth, al-Manhaj al-Tajrībī al-Tamhīd al-Mithalī wa Shibhu al-

Tajrībī, (Riyadh: Dar Kutub Univ. Imam Sa’ud, 1434 H), 4. 46

Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, 38 - 41. 47

Ahmad Atabik, Sebuah Kerangka Untuk Memahami Konstruksi Pengetahuan

Agama Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu, Jurnal Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014,

267. 48

K.A. Yuanana, The Greatest Philosophers (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010), 47 49

Sőren Kiergegaard, al-Tikrār Mughāmirah fī ‘Ilmi Nafsi al-Tajrībī (Kairo: Dār

Kalimah, 2013), 9.

Page 44: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

32

Masalah utama yang sering kali timbul dalam penyusunan pengetahuan

secara empiris adalah karena pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung

untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Di mana kumpulan tersebut belum

tentu bersifat konsisten dan mungkin saja masih terdapat hal – hal yang

kontradiktif. Sebab, kumpulan fakta tersebut belum menjamin terwujudnya ilmu

pengetahuan yang sistematis kecuali menurut Jujun Sumantri kalau dia seorang

kolektor barang-barang serbaneka.50

Lebih jauh Einstain mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang

memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu. Itulah sebabnya kaum

empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah gejala karena merupakan gejala

yang tertangkap oleh pancaindra. Hal tersebut akan membawa kepada dua

masalah. Pertama, apakah berbagai fakta yang ditemukan sama seperti yang yang

kita sangka? Harus terdapat suatu kerangka pikiran yang memberi latar belakang

misalnya, mengapa X memiliki hubungan dengan Y, sebab jika tidak, maka pada

hakikatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dalam kaitan

kausalitas.

Masalah kedua adalah mengenai hakikat pengalaman, di mana ia merupakan

cara untuk menemukan pengetahuan dan panca indera sebagai alat untuk

menangkapnya. Pertanyaanya adalah apakah sebenarnya pengalaman itu?

Apakah ini merupakan stimulus pancaindra, persepsi ataukah sensasi? Sekiranya

iya, lalu seberapa jauh kita dapat mengandalkan pancaindra tersebut? Ternyata

kaum empiris sendiri tidak memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai

hakikat pengalaman itu sendiri. Sebab, bisa saja pancara indra yang dimiliki oleh

manusia memiliki kelemahan atau kekurangan dan tidak ada yang bisa menjamin

bahwa ia sempurna. Maka pancaindra yang menjadi andalan para kaum empiris

bisa saja terjadi kesalahan atau ketidak absahan pada saat mengkaji suatu obyek

tertentu.51

2. Metode Rasionalisme

Kata rasionalisme berasal dari bahasa Inggris rationalism, menurut Edward

(1967 M) ia berasal dari bahasa Latin ratio yang artinya akal sehingga para

pemikirnya disebut rationalis. Tokoh utama pada metode ini adalah G.W. Leibniz

(1846-1716 M), Wolf di Jerman. Menurut Zaprulkhan rasionalisme adalah

pandangan bahwa kita mengetahui apa yang kita pikirkan dan bahwa akal

memiliki kemampuan untuk mengungkapkan suatu kebenaran dengan

bersandarkan diri sendiri. Dengan menekankan kekuatan manusia untuk berpikir

dan apa yang diberikan oleh akal kepada pengetahuan, seorang rasionalis pada

hakikatnya berkata bahwa rasa (sense) itu sendiri tidak dapat memberikan kepada

kita suatu pertimbangan yang koheren dan benar-benar universal.52

Sense dan

pengalaman yang dimiliki oleh manusia dari penglihatan, pandangan, suara, rasa

dan bau hanya merupakan bahan baku untuk pengetahuan.

50

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2013), 52. 51

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 54 - 55. 52

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers,

2016), 75.

Page 45: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

33

Doyle Johnson (1999 M) menuturkan bahwa kaum rasionalis tersebut selalu

memulainya dengan sebuah pernyataan aksioma dasar, di mana pernyataan

tersebut dipakai untuk membangun sistem pemikirannya, didapat dari ide yang

menurut anggapannya adalah clear, assertive, dan sure dalam pikiran manusia.53

Muhammad Rasyid Ridha (2012 M), seorang filsuf dari Lebanon senada

dengan apa yang disampaikan oleh Zaprulkhan bahwa akal manusia sangat besar

pengaruhnya. Namun, mereka mengatakan bahwa akal dapat dipakai terhadap

dogma-dogma mengenai hidup sosial tidak terhadap ibadah seseorang kepada

Tuhannya. Sebab, ijtihad melalui akal atau rasio soal ibadah tidak diperlukan

lagi, misalnya juga terhadap ayat-ayat al Qur’an dan Hadis yang mengandung arti

tegas (assertive).54

Adapun jika hal tersebut misalnya terhadap kitab-kitab bahasa Arab seperti

Miftāḥ al-‘Ulum karya al-Sakaki sekalipun ia berbahasa al-Qur’an atau bahasa

Tuhan ia tetap harus dihadapkan kepada akal manusia. Ia juga berpendapat

bahwa akal manusia mempunyai potensi yang sangat kuat bahkan akal manusia

dapat sampai pada bukti-bukti wājib al-wujūd, ilmu dan hakekat, kewajiban

bersyukur, mengagungkan dan beribadah kepada- Nya dengan keyakinan akan

kekalan jiwa. Meskipun demikian ia begitu menghargai kedudukan akal manusia

sebagai metode kepemilikan ilmu pengetahuan oleh para kaum rasionalisme

namun masih tetap mengakui kelemahan dan keterbatasannya. Sebab,

menurutnya akal manusia tidak lah diberi kebebasan untuk mentakwilkan

wahyu55

yang diturunkan dari Tuhan seperti al-Qur’an.

G.E.R Lloid (1996 M) dalam karyanya Polarity and Analogy menegaskan

kembali bahwa rasionalisme dapat mencapai pengetahuan yang tidak dapat

disangkal, tanpa pengalaman indrawi. Dengan demikian seorang rasionalis ia

akan mampu memberikan pengetahuan yang benar, hukum tentang alam dan

tidak hanya sebatas aturan berpikir.56

Berbeda hal dengan Jujun Suriasumantri ia

menegaskan dan tegas menjustis langsung bahwa kaum rasionalis telah

memperguunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis

yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya

jelas dan dapat diterima. Di mana ide ini menurut kaum rasionalis bukanlah

ciptaan manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia

memikirkannya. Prinsip tersebut ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh

manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya.

Masalah utama yang timbul dari cara beripikir ini adalah mengenai kreteria

untuk mengetahui kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang jelas dan

dapat dipercaya. Maka hal inilah yang sangat membedakan antara kaum

rasionalis dengan kaum empiris. Perdebatan antara keduanya bahwa kaum

53

Doyle P. Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1994), 1. 54

Masnur Kasim, Muhammad Rasyid Ridha antara Rasionalisme dan

Tradisionalisme, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 37, No. 2 Juli-Desember, 2012, 130. 55

Masnur Kasim, Muhammad Rasyid Ridha antara Rasionalisme dan

Tradisionalisme, 135. 56

Miklōs Marōt, The Role of Qiyās in Arabic Grammar, Acta Orientalia Academiae

Scientiarum Hungaricae, Vol. 48, No. 1, Februari 1995, 103.

Page 46: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

34

rasionalis mengklaim bahwa pengetahuan diproleh bukan melalui pengalaman

yang berdasarkan panca indera yang sudah pasti memiliki kelemahan, melainkan

perlu melalui penalaran rasional. Maka di sinilah yang dasar pengaplikasian cara

perpikir oleh para ilmuwan baha tidak cukup dengan pengalaman saja namun

butuh lebih dari itu khususnya pengolahan data dan penangkapan konsep-konsep

tertentu melalui cara berifikir.57

3. Metode Intuisionisme

Kata intuisionisme berasal dari bahasa latin intuitio yang berarti

pemandangan, Henri Bergson (1941) mengatakan bahwa intuisionisme adalah

suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi

yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.58

Tradisi Kant menuturkan bahwa semua

pengetahuan manusia apapun itu jenisnya selalu diawali oleh intuisi sehingga

menghasilkan konsep-konsep, dan diakhiri dengan ide-ide. Metode intuisionisme

ini kemukakan pertama kali oleh matematikawan Belanda L.J.W. Brouwer

(1882-1966). Sekalipun beberapa ide awalnya dirumuskan oleh Kronecker (1890

M) dan Pincare (1906). Brouwer menegaskan bahwa intuisionisme tidaklah

memandang sebuah validitas sistematis sebagai struktur obyektif seperti pendapat

aliran formalisisme59

dan silogisisme.60

Intuisionisme telah mengklaim bahwa

realitas dunia secara hakiki bisa dipahami melalui intuisi karena ia berhubungan

dekat dengan akal.

Kitab Romantisisme dan Intuisisme karya Febeanus Heatubun mengatakan

bahwa untuk intuisisme ada satu pertanyaan besar yang sering ia kemukakan

yaitu “pengetahuan seperti apa? Menurutnya itulah yang menjadi problem. Kata

kaum intuisionis, bukan pengetahuan intelek yang dapat mengatasi, melainkan ia

adalah pengetahuan intuitif. Pengetahuan yang diyakini lebih tinggi kualitas dan

kemampuannya.61

Secara umum intuisi bersifat spiritual, ia berperan ketika tubuh bersih dari

emosi, hasrat dan nafsu atau sering kali disebut sebagai tingkatan yang tanpa

dosa. Maka intuisi dikategorikan sebagai pengetahuan langsung, ia tidak datang

dari diri sendiri, pengalaman ataupun dari banyaknya pengetahuan kognitif,

justru pengetahuan intuitif itu datang dari jiwa secara asali dan alamiah. Maka

Intuisi adalah suatu kemampuan yang berisifat alamiah, sehingga secara somatik

sering disebut good feeling. Blaise Pascal (1662), dalam karyanya logika hati ia

mengatakan bahwa disiplin tubuh berguna untuk mengolah dan menyediakan

wadah bagi intuisi yang bersifat spiritual. Meditasi sering kali dianggap cara

57

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 50. 58

Milton D. Hunnex, Peta Filsafat (Jakarta: Teraju, 2004), 27. 59

Aliran formalisme berasal dari bahasa latin yang artinya forma, bentuk atau wujud.

Ia adalah sebuah teori yang biasa digunakan untuk menganalisa karya sastra yang

didalamnya meliputi tekhnik pengucapan; ritme, rima, intonasi, bunyi, aliterasi dan asonansi.

Lih. Jonathan P. Seldin, On the proof theory of Coquand’s calculus of constructions

(Kanada: Concordia University, 1995), 24. 60

Agung Prabowo, Aliran-aliran Filsafat dalam Matematika, Jurnal JMP, Vol. 1, No.

2, Oktober 2009, 35. 61

Febeaus Heatubun, Romatisisme dan Intuisisme (Bandung: M-lintas, 2007), 83..

Page 47: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

35

yang baik untuk mempertajam dan memperjelas pengetahuan atau kebijaksanaan

intuitif.62

Jujun Suriasumantri dalam pandangannya mengatakan bahwa intuisi bersifat

personal dan tidak dapat diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan

secara teratur maka intuisi tidak bisa diandalkan. Menurutnya pengetahuan

intuituf dalam digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam

menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya. Kegiatan intuitif

dan analitik bisa bekerja saling membantu ddalam menentukan kebenaran. Bagi

Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak experience). Sedangkan

bagi Nietzsche merupakan intelegensi yang paling tinggi.63

Louis O. Kattsoff membuat sebuah skema perbedaan antara dua

pengetahuan yaitu pengetahuan mengenai (knowledge about) dan pengetahuan

tentang (knowledge of). pengetahuan mengenai (knowledge about) dinamakan

pengetahuan diskursif (pengetahuan simbolis), sedang pengetahuan tentang

(knowledge of) dinamakan sebagai yang langsung (intuitif) di mana pengetahuan

tersebut diproleh secara langsung tanpa perantara sesuatu apapun.64

Henry

Bergson, filsuf Perancis Modern sebagai pencetus aliran intuisionisme modern

berpegang kepaada perbedaan tersebut. Di mana pengetahuan diskursif diproleh

melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakan kepada kita

mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu.

Sekalipun demikian ia sangat tergantung kepada pemikiran dari satu sudut

pandang atau suatu kerangka acuan, dan pelukisan kejadian yang berhubungan

dengan sudut pandang serta kerangka acuan tersebut. Dengan cara demikian kita

memperoleh pengetahuan mengenai suatu segi atau bagian dari kejadian itu yang

terjadi sebelumnya, namun tidak pernah mengenai kejadian itu secara

keseluruhan.65

Ian Barbou (1971 M) mengatakan intuisionisme sekalipun demikian tidak

boleh mengingkari nilai pengalaman indrawi yang biasa dan pengetahuan yang

disimpulkan darinya. Sebab, beberapa filsuf berpendapat bahwa apa yang

diberikan oleh indrawi hanyalah yang terlihat belaka, sebagai lawan dari apa

yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Sedang yang lainnya berkata bahwa

hanya intuisilah yang dapat menyingkap kepada kita keadaan yang lebih nyata.66

Sekalipun demikian para ilmuwan juga banyak yang tidak setuju akan

metode tersebut, alasan mereka adalah karena sebuah ilmu haruslah diupayakan

dengan cara interaksi langsung (al-quwwah al-hissiyyah) atau dengan cara

berpikir (al-quwwah al-‘aqliyyah), sehingga karena kedua hal tersebut menjadi

sebuah pemicu munculnya keilmuan yang disebut dengan metode intuisi, di

mana kehadirannya tanpa disadari.

62

Febeaus Heatubun, Romatisisme dan Intuisisme, 87. 63

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 53. 64

Louis O. Kattsooff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 140 65

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 78. 66

Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion (New York: Harper Torchbook,

1971), 170.

Page 48: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

36

D. Epistemologi Ilmu Bahasa dan Sastra Arab

Dalam tahapan uraian ini, epistemologi bahasa Arab dibagi ke dalam tiga

pokok pembahasan utama. Pertama dimensi epistemologi ilmu pengetahuan menurut

Bahasa Arab yakni suatu kajian filsafat dari aspek bagaimana teori memperoleh

ilmu pengetahuan untuk mengetahui sumber-sumber dan validitas pengetahuan

tersebut. Kedua dimensi ontologi yakni bidang filsafat yang membahas obyek ilmu

pengetahuan atau hakekat segala hal yang menjadi obyek kajian ilmu pengetahuan.

Ketiga dimensi tujuan dan nilai guna serta manfaat dari pada ilmu pengetahuan

tersebut yakni bahasa Arab. Hal tersebut karena bahasa Arab menjadi sangat penting

dalam komunikasi bahasa internasional di seluruh belahan dunia.

Maka berikut penulis jabarkan sekilas tentang epistemologi bahasa Arab

sebagai bahasa al-Qur’an dan Hadis;

a. Pengertian Ilmu Bahasa Arab dan Hakikatnya

Sebelum masuk ke dalam pembahasan ilmu bahasa Arab, penulis terlebih

dahulu akan menjelaskan makna atau definisi bahasa itu sendiri. De Saussure

(1974 M) mendefinisikan bahwa bahasa adalah kumpulan dari kaidah-kaidah

bunyi (ḥarakāt), fonem (makhārij al-ḥurūf), sintaksis dan bahkan semantika

bahasa, sehingga menurutnya bahasa bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri

adalah suatu sistem atau subsistem-subsistem. Misalnya subsistem fonologi,

subsistem morfologi, subsistem sintaksis, subsistem semantik, dan subsistem

leksikon.67

Senada dengan Soeparno yang juga mendefinisikan bahwa bahasa

adalah sustu sistem tanda arbitrer yang konvensional.68

Maka dapat disimpulkan

bahwa bahasa tersebut selalu erat kaitannya dengan budaya suara dan fonetik

suatu masyarakat yang terbiasa dengan style bahasa tertentu.

Sedangkan bahasa Arab adalah kumpulan dan susunan kata atau kalimat

yang diucapkan oleh masyarakat Arab untuk meyampaikan maksud dan

keinginan mereka, dan bahasa tersebut telah sampai kepada kita melalui

perpindahan (transfering) atau perkembangannya. Maka kita bisa menghafal dan

menjaga al-Qur’an serta hadis-hadis Nabi, hadis-hadis nabi tersebut diriwayatkan

dengan cara yang thiqah (kuat) dari peninggalan bangsa Arab dengan aturan-

aturanya sampai pada masyarakat yang lebih luas hingga pada zaman sekarang.69

Jika ditinjau dari sisi geografisnya, masyarakat yang mendiami kawasan

semenajung Arab berasal dari satu ras manusia, yaitu rasa Kaukasia atau yang

juga dikenal dengan nama Semit. Para pengkaji filologi dan linguistik Arab

sepakat bahwa bahasa Arab berasal dari bahasa Semit, dan penuturnya disebut

sebagai orang-orang samiyyah atau Arab Kuno (al-'arabiyyah al-qadīmah).70

Bernand Comrie (1998 M) menegaskan bahwa bahasa tersebut menginduk ke

bahasa Mroasia, di mana data 2015 jumlah penuturnya telah mencapai 175 juta

67

H.A. Gleason Jr, Introduction to Descriptive Linguistics (New York: Holt, Rinehart

and Winston Company, 1965), 44. 68

Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 1. 69

Syaikh Musthafa al-Ghalayaini, Jāmī’ al-Durūs al-‘Arabiyyah (Beirut: Maktabah

Aṣriyyah, 1994), 200. 70

Ali Abdul Wahid Wafi, Fiqh al-Lughah (Kairo: Nahdhah Mashr, 2004), 15.

Page 49: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

37

orang yang berbeda etnik dan ras. Dialek bahasa Semit yang populer hingga saat

ini terdiri dari bahasa Akadiah, Kananit, Aramaik, Habasyi dan Arab.71

Bahasa Arab berkembang seiring dengan diturunkannya wahyu al-

Qur’an kepada Nabi Muhammad صلى هللا عليه وسلم pada abad ke- 7 M. Wujud

bahasa Arab tidak akan terlepas dari al-Qur’an yang telah mengabadikan dan

menguniversalkan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an.

Terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an karena kosakata dan

makna yang dikandung olehnya sangatlah luas dan besar pengaruh dan

persamaannya dalam bahasa Arab Semit. Peneliti terkemuka asal Jerman Ulrike

Freitag (2000 M) agaknya sangat mengakui bahwa hanya ada satu bahasa unik di

dunia yaitu bahasa Arab, ia menegaskan bahwa tidak ada di dunia ini bahasa

yang paling banyak kosakata dan maknanya kecuali bahasa Arab. Nashif al-

Yaziji (1906 M) juga memperkuat pendapat tersebut dalam hasil penelitiannya

bahwa bahasa Arab tersebut akan terus berkembang pada masa-masa yang akan

datang bahkan ia akan memberikan warna tersendiri dalam kehidupan manusia

selama al-Qur’an masih abadi dalam bumi.72

Proses bahasa Arab tersebut tidak terlepas dari empirisme pengetahuan a

posteriori yang diproleh dari pengalaman hidup dan budaya bangsa Arab sejak

sebelum dirunkannya al-Qur’an. Sehingga teori keilmuan bahasa Arab akan terus

digali seiring besarnya kebutuhan manusia dalam memahami al-Qur’an.

Al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm, merumuskan bahwa bahasa

Arab terbagi kepada tiga bagian saja yaitu ilmu nahwu, ilmu ṣarf dan balagah.

Hal tersebut menurutnya karena fungsi ketiga komponen ilmu bahasa Arab

tersebut sangat berbeda dan saling menguatkan, di mana ilmu ṣarf berfungsi

untuk menjaga perkataan, nahwu menjaga penyusunan kata atau kalimat,

sedangkan balagah untuk menjaga ketepatan makna. Karenanya ia pun membagi

keilmuan balagah kepada tiga komponen penting sebagaimana yang telah

dijelaskan sebelumnya. Muslim Mustafa (2012 M) menyimpulkan bahwa bahasa

Arab dan kajian teorinya telah memuncak dan terhenti pada masa al-Sakaki.73

Adapun setelahnya hanya sekedar pengulangan atau pembahasan ulang saja.

b. Nilai dan Fungsi Bahasa Arab

Beberapa ayat yang membicarakan khusus akan fungsi dan nilai-nilai

pentingnya mempelajari dan menguasai bahasa Arab di antaranya terdapat dalam

surat Yusuf ayat 2:

انآ أن زلنه ق رانا عربيا لعلكم ت عقلون

“Sungguh Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan berbahasa Arab, agar

kamu memahaminya.”

71

Bernand Comrie, Language Universal and Linguistic Typology (Oxford: Basil

Blackwell, 1980), 3. 72

Tasyuki Takida, Juhūd Riwād al-Nahdhah wa al-Majāmi’ al-Lughawiyah fī Ihyā al-

Lughah al-Arabiyah wa Taḥdīthuhumā fi al-‘Alam al-‘Arabi al-Hadīts (Kyoto: Bulletin of

Islamic Area Studies, 2012), 37. 73

Muslim Mustafa, Perbezaan Baris I’rab dan Pesannya dalam Qirā’at (Malaya: Dār

Jami’ah Malaya, 2012), 39.

Page 50: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

38

M. Qurays Shihab menerangkan dalam karya tafsirnya bahwa ayat ini

bertujuan untuk menunjukkan bahasa Arab memiliki arti yang paling

mengesankan, jelas, dalam, dan penuh perasaan yang timbul dipikirkan oleh

seseorang. Oleh karena itu, menurutnya kitab yang paling mulia sudah

sepantasnya diwahyukan dalam bahasa yang paling mulia, kepada Nabi dan

Rasul termulia, melalui perantara Malaikat termulia, di atas tanah paling mulia di

permukaan bumi ini yaitu di Makkah.74

Selain itu, ayat ini semakin memperkuat pendapat G.Wolf Leibniz (1716

M) bahwa kebenaran sebuah ilmu harus diungkap langsung oleh akal secara

rasional untuk dapat dinalar dan dihayati makna dan tujuannya. Sehingga dapat

difungsikan sesuai tujuan sebuah bahasa tersebut. Adapun beberapa nilai guna

bahasa Arab selain sebagai bahasa al-Qur’an dan bahasa dunia Islam, juga

merupakan kebutuhan penting dalam bahasa komunikasi resmi antar bangsa,

bahasa perdagangan, bahasa ekonomi dan perbankan Islam, bahasa kebudayaan,

bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa hukum dan lain sebagainya.75

Ibnu Taimiyyah (1328 M) berpendapat bahwa penguasaan terhadap bahasa Arab

merupakan metode paling baik untuk melakukan komunikasi yang lebih aktif

kepada Tuhan, bahkan dengan pembiasaan komunikasi bahasa tersebut akan

semakin memperlihatkan syiar Islam dan kaum muslimin.

Selain itu, menurutnya berbahasa Arab juga sangat berpengaruh positif

terhadap kualitas akal (rasio), akhlak bahkan agama seseorang.76

Sebagaimana

telah dijelaskan oleh al-Jabiri (2010 M) sebelumnya dengan istilah taḥlīlī.

E. Sejarah Ilmu Balagah

Cikal bakal ilmu balagah dimulai sejak diturunkan al-Qur’an, sekalipun

dalam sejarah jauh sebelum turunnya al-Qur’an, shair-shair Arab telah memiliki

uslub bahasa yang tinggi martabatnya. Namun, turunnya al-Qur’an menjadi pusat

perhatian utama bagi para ahli dan orang-orang Arab pada masa tersebut. Bersamaan

dengan turunnya al-Qur’an berbagai disiplin keilmuan pun mulai tampak seperti

tafsīr, hadīth, naḥw, ṣarf dan keilmuan semisalnya. 77

Seiring dengan pergesakan budaya dan tradisi keilmuan di berbagai daerah

penyebaran Islam termasuk Persia dan Romawi. Muncul berbagai pertanyaan dari

para pemeluk Islam baru, menanyakan kemukjizatan yang dikandung al-Qur’an.

Mereka menyebut bahwa al-Qur’an memiliki sifat i’jāz karena menurut mereka al-

Qur’an itu bukanlah bahasa Arab secara uslub melainkan bahasa Arab secara

kosakata. Persoalan tersebut pun menggelitik para linguis khususnya Abu Ubaidah,

untuk menjawab persoalan baru tersebut, lantas karenya ia mengarang sebuah karya

dengan judul Mujāz al-Qur’ān.

74

Muhammad Qurays Shihab, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Bandung: Pustaka Hidayah,

1997), 145. 75

Carlo Alfonso Nallino, Arabic in World Language (Jeddah: Markaz Al-Mulk Abdul

Aziz Al-Tsaqafy Al-‘Alamy, 2014), 5. 76

Ahmad Abdul Halim Ibnu Taimiyyah, Iqtiḍā al-Ṣirāt al-Mustaqīm (Riyadh:

Maktabah Rushd, t.th), 77. 77

Hasan Barburah, Nash’ah wa Taṭawwur al-Lughah al-‘Arabiyah (Aljazair:

Maktabah Zayyan ‘Āshur, 2011), 15.

Page 51: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

39

Karya tersebut berisi tentang penjelasan bahwa uslub (style) yang

disampaikan al-Qur’an adalah berbahasa Arab, yaitu seperti yang digunakan oleh

bangsa Arab. Ia pun membuktikan berupa syair-syair dan sajak yang diriwayatkan

oleh para pujangga Arab pada masa tersebut. Di antara mereka yang sangat terenal

adalah Amrul Qois, al-Mughirah dan Zuhair Ibnu Abi Sulma. Tidak berhenti

sampai di situ, muncullah kembali persoalan baru. Jika al-Qur’an menggunakan

bahasa Arab lalu dimanakah letak i’jāz al-Qur’ān?78

Sebuah kenyataan yang harus

segera dijawab tuntas agar tidak menimbulkan spekulatif, selain untuk memotivasi

umat mempelajari kehebatan dan kemuliaan al-Qur’an.

Para ahli memiliki keyakinan yang kuat bahwa salah satu tujuan dari

diturunkannya al-Qur’an adalah untuk melemahkan kemampuan manusia agar tidak

seorang pun mampu membuat atau mengarang sejenisnya, sehingga persoalan

tersebut pun menjadi sangat menarik perhatian para ahli. Tidak sampai di situ,

bahkan memotivasi para ahli untuk terus berpikir membuktikan kesempurnaan

setiap huruf dan kekekalan ilmu syariah yang terdapat dalam al-Qur’an.79

Sebab, al-

Qur’an dengan mudah dapat menyentuh hati setiap yang membaca dan

mempelajarinya, karena keindahan lafal dan kesempurnaan makna dalam setiap ayat

dan suratnya memiliki keistimewaan tersendiri. Hal tersebut, membuat al-Qur’an

sulit digambarkan dengan detail oleh para ahli kecuali masih terbatas pada sense

yang berbeda.

Para ahli masa tersebut mengatakan bahwa al-Qur’an adalah sesuatu yang

bisa diketahui tanpa bisa diidentifikasi, maka muncullah pertanyaan, mengapa ia

bisa dirasakan tapi tidak bisa dideskripsikan? Berdasarkan pemahaman tersebut para

ahli belum puas bahwa al-Qur’an hanya bisa dirasakan dzauq-nya semata, namun

sulit digambarkan keindahannya. Mereka pun terus melakukan sebuah upaya untuk

mencari ilmu pengetahuan tentang rahasia kebalagahan yang terdapat dalam al-

Qur’an. Pada akhirnya muncullah pertama kali karya-karya baru bertema Ma’ānī al-

Qur’ān yang dikarang oleh Waṣil Ibnu Atho, al-Farra dan Ibnu al-Anbari. Diyakini

kajian inilah yang menjadi faktor besar lahirnya ilmu balagah dalam dunia Islam,

hingga sampai saat ini bahkan sampai ilmu balagah tersebut mencapai pada puncak

kejayaannya, seperti yang dilakukan oleh al-Sakaki dalamnya karyanya Miftãḥ al-

‘Ulûm dan kehadiran Khatib al-Qazwaini yang menyempurnakan karya al-Sakaki

dengan judul Talkhīṣ Miftãḥ al-‘Ulûm.80

Sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah ilmu balaghah, penulis

terlebih dahulu akan memulainya dari pengertian ilmu balagah, seterusnya akan

membicarakan balagah pra dan pasca al-Sakaki. Bahkan pada pembahasan ini

penulis akan membahas potret kajian balagah masa kini, dengan tujuan agar dapat

dipahami perkembangan ilmu balagah dari masa ke masa.

78

Ahmad Mathlub, Asālīb Balāghiyah al-Faṣāh al-Balāghah al--Ma’ānī (Kuwait:

Wakalah al-Mathbu’at, 1980), 55. 79

Rif’at al-Sharqowi, Balāghah al-‘Aṭfi fī al-Qur’ān Dirāsah Uslūbiyyah (Beirut: Dar

al- Nahdhah al-Arabiyah), 200 80

Shauqi Ḍhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dār Ma’ārif, 1119 H), 70.

Page 52: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

40

1. Pengertian Ilm Balāghah

Kata balāghah berasal dari kata يبلغ -بلغ yang berarti sampai, Ibnu

Mandhur 1312 M) dalam karyanya Lisān al-‘Arab mengartikannya sebagai

ḥusnul kalām wa faṣīḥuhu (حسن الكالم وفصيحه) yang artinya keindahan berbicara

dan kefashihhannya atau disebut maknanya waṣala aw intahā (وصل أو انتهى) yang

artinya telah sampai dan selesai.81

Iyad Said Rajab menuturkan bahwa balāghah

sangatlah penting dipelajari dan diambil ilmunya agar mendapatkan keindahan

dan rasa dalam berbahasa (dhawq al-lughah). Sebab, menurutnya tanpa memiliki

keilmuan balāghah maka makna dan kandungan dari al-Qur’an itu sendiri akan

sulit untuk diambil dan dipahami.82

D. Hidayat dalam karyanya al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min

Kalāmi al-Badī’ menyebutkan bahwa balāghah bertujuan untuk menyampaikan

maknā yang luhur secara jelas dengan menggunakan ungkapan bahasa yang

benar serta fasih.83

Adapun Khalid Ibn Sufyan (2000) memberikan definisi, arti

balāghah adalah tersampaikannya makna yang dimaksud kepada setiap

pendengar yang membutuhkannya.84

Al-Amadi (370 H), mendefinisikan bahwa

balagah ialah alat untuk mencapai suatu makna dengan lafal yang mudah

digunakan, yang tidak melebihi dari keperluan yang dimaksudkan dan tidak pula

berkurang. Sedangkan al-Rummani (384 H), menuturkan bahwa balagah ialah

alat untuk menyampaikan suatu maksud ke dalam hati sanubari pendengar

dengan cara dan ungkapan yang terbaik.85

Jauh sebelum diturunkannya al-Qur’an telah banyak dari orang Arab yang

mahir dalam berbahasa Arab. Kemahiran tersebut ditandai dengan pengenalan

baik mereka terhadap syair-syair sejak masa jahiliyah,86

bahkan mereka lebih

maju dan berkembang dari pada orator di masanya.87

Syair-syair Arab tersebut

81

Kata balāghah berasal dari bahasa Arab yang berarti sampai kepada puncaknya.

Para ahli sering mengistilahkan bahwa ilmu balāghah adalah ilmu bahasa Arab yang berada

pada tingkatan tertinggi. Adapun sesuatu yang telah sampai artinya ia telah melalui berbagai

proses menuju kepda puncaknya tersebut. Lih. Ibn Mandhur, Lisān al-‘Arab, 34. 82

Iyad Sa’id Rajab, al-Zujāj wa Juhūduhu al-Bālighah fi Ḍaui Kitābi Ma’āni al-

Qur’ān wa I’rābihi (Palestina: Dār al-Gaza, 2010), 118-131. 83

D. Hidayat, al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’ (Semarang:

PT. Karya Toha Putra, 2013), 8. 84

Abdul Aziz Atiq, Fī al-Balāghah al-‘Arabiyah ‘ilm al-Ma’ānī (Beirut: Dār Nahdhah

Al- ‘Arabiyah, 2009), 9.

85

Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya: Dār

Jami’ah al-Malaya, 2012), 19. 86

Masa Jahiliyah dalam sejarah Islam disebut juga sebagai bangsa Arab kuno di mana

mereka belum dijamah oleh Islam dan al-Qur’an. Masa tersebut menurut Shauqi Ḍhaif antara

al-‘Aṣrul Jahiliyyah dengan ‘Asrul Islamī terpaut hingga 150 tahun. Jahiliyyah sendiri

artinya masa kesombongan dan ketidak pedulian (sering dikenal sebagai sifat kebodohan),

sebaliknya dengan kehadiran Islam membawa misi ketidak sombongan serta rasa sosial yang

sangat tinggi. Shauqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1119 H), 39. 87

Mustaqim dkk, Sejarah Sastra Arab Masa Shadrul Islam (Surakarta: UNS Press,

2015), 4.

Page 53: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

41

menujukkan kematangan ilm faṣāhah atau ilm balāghah yang mereka miliki.

Sehingga ilm al-balāghah pada dasarnya bagi orang Arab telah menjadi karakter

dan sifat mereka, bahkan telah menjadi fitrah mereka. Hal tersebut tidak hanya

bagi para orang dewasa namun juga bagi semua golongan dan kabilah Arab.

Banyaknya kata-kata bijak (Al-ḥikam), pesan-pesan (waṣiyyāt) serta pribahasa-

pribahasa (mathal) dalam berbagai rangkaian syair mereka, tentu saja

mengandung unsur al-balāghah yang tinggi.88

Orang Arab pada masa Jahiliyah telah memiliki kegiatan rutin yang mereka

sebut sebagai aswāq adabiyyah (pasar sastra),89

kegiatan tersebut berguna untuk

memberi kesempatan satu dengan lainnya untuk saling mengekspresikan dan

menunjukkan karya sastra tinggi yang tidak diragukan lagi akan faṣāhah dan

balāghah-nya. Peranan penyair yang memiliki kepandaian dalam ilm balāghah

pada masa tersebut menjadi sangat penting, sehingga melalui aswāq adabiyyah

dimaksudkan untuk mencari penyair ulung yang memiliki kefashihan dalam

berbicara serta kemampuannya dalam memberikan kata-kata bijak dan nasehat.

Pada masa tersebut seorang penyair bagus dan memiliki seni berbahasa yang

muncul di antara mereka akan diangkat menjadi ketua kabilah atau pemimpin

dalam upacara-upacara kegiatan mereka. Sebab, dalam tradisi Arab masa

tersebut, ketua kabilah menurut mereka adalah yang pintar berbicara dan cerdas

dalam memilah-milah kata-kata yang akan ia ucapkan, wabil khusus ketika

menghadapi sebuh problematika suku yang harus segera diputuskan. 90

Adapun kepandaian para penyair dalam ilm balāghah masa tersebut terbukti

dari pemilihatan kata, diksi, dan rangkaian kata dan kalimat yang membentuk

makna yang sangat menarik bahkan memberikan kesan kepribadian, sehingga

tidak jarang para penyair tersebut mendapatkan jabatan atau bahkan menjadi

ajang mencari kehidupan bagi mereka. Sebab, di beberapa kesempatan para

penonton yang menyaksikan pertunjukan kemampuan syair tidak hanya dari

kalangan Arab sekitar Makkah saja, namun juga datang dari berbagai daerah

seperti Syam, Irak dan Yaman.91

Dengan demikian, kemampuan orang Arab pada masa sebelum turunnya al-

Qur’an telah tampak dari keilmuan balagah atau uslūb92

al- lughawī yang

88

Muhammad Abdul Hamid, al-Balagah Antara Ilmu Pengetahuan dan Disiplin Ilmu

(Malang: UIN Malang Press, 2014), 71. 89

Masa jahiliyah terkenal dengan kemahiran mereka dalam bersyair. Maka sudah

menjadi suatu kebiasan pada masa itu untuk mengadakan perlombaan-perlombaan untuk

mengumandangkan syair-syair berbagai aspek kehidupan di pasar-pasar, diantaranya di pasar

‘Ukaz. Sofwan Mulyaman, Studi Ilmu Ma’ani (Stylistic) Terhadap Ayat-Ayat Surat Yasin,

Holistik Vol. 12, No. 2, Desember 2011, 98. 90

Shauqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī, 43. 91

Shauqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab ‘Aṣrul Islāmī (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1119 H), 24. 92

Uslūb diartikan juga sebagai ṭarīqah yang didalamnya berbicara tentang jalan, cara

dan metode. Sedangkan Ibn Mandhur dalam definisinya menjelaskan bahwa uslūb adalah

النخيل، وكل طريق ممتدالسطر من atau diartikan sebagai cara penerapan bahasa dari seseorang dalam

keadaan atau konteks tertentu dengan tujuan yang tertentu pula. Lih. Jamaluddin Ibn

Mandhur, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dar Shadir, 1883), 21. Al- Jurjāni menambahkan bahwa

uslūb bahasa harus mencapai dua aspek penting yaitu metode berfikir dan metode

Page 54: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

42

dipergunakan.93

Dalam perkembangannya, uslūb lughāwī atau gaya bahasa Arab

yang mereka gunakan tidak hanya menunjukkan pada keahlian bersyair atau

berpuisi yang indah saja. Namun, juga menunjukkan kepandaiannya dalam

membaca dan menulis. Bahkan, digunakan dalam berbagai bidang, baik dalam

studi ilmiah, musik, seni dan sebagainya.94

Sebagaimana diketahui pada masa tersebut perdagangan sebagai pusat

perputaran perekonomian orang Arab telah membuat daya saing yang tinggi

dalam menawarkan barang-barang niagaannya. Hal tersebut tampak di saat salah

seorang di antara mereka memiliki kemampuan dalam berbahasa yang tinggi.

Dengan demikian, bahasa sesungguhnya sejak dahulu telah mampu memberikan

efek positif terhadap kesosialan seseorang.

Terlebih setelah turunnya al-Qur’an bersamaan dengan datangnya agama

Islam di tengah-tengah bangsa Arab Qurasy, telah banyak mencuri perhatian

mereka akan keindahan bahasa dan uslubnya. Di antaranya, kisah masuknya

Umar Ibnu Khatthab dan berpalingnya Walid Ibn al-Mughirah dari Islam adalah

dua contoh tentang riwayat keimanan dan perhatian besar bangsa Arab.

Keduanya adalah bentuk respon positif masyarakar Arab terhadap al-Qur’an. Di

sisi lain, bentuk penerimaan dan penolakan yang terjadi sama-sama menerangkan

akan besarnya daya tarik al-Qur’an. Bahkan, pada masa diturunkannya al-Qur’an

baik yang beragama Islam maupun non- Islam sama-sama memilik daya tarik

yang kuat terhadap keistimewaan bahasa al-Qur’an, dan tentu saja dari sisi al-

balāghahnya adalah perhatian utama bangsa Arab Qurays.95

Sayyid Quthb dalam

karyanya Taṣwīr al-Fannī fī al-Qur’ān menegaskan bahwa sebenarnyaperhatian

besar bangsa Arab pada saat itu tidak terletak kepada pesan dakwah dan syari’at

yang diemban, melainkan keindahan bahasanya serta struktur kalimat-kalimat

ayat al-Qur’an lah yang menjadi penyebab utamanya.96

Al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab sebagaimana kenyataan

masyarakat pada masa tersebut juga menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa

keseharian mereka. Dengan demikian, uslūb al-Qur’an sudah dipastikan sesuai

dengan jenis kaidah-kaidah dan huruf-huruf pembentuknya dengan mengunakan

pola-pola yang telah dikenal lama oleh bangsa Arab sendiri, sehingga tidak

menjadi asing bagi mereka.97

Kajian balāghah yang menunjukkan uslūb-uslūb kebahasaan yang

terstruktur rapih dan penuh makna telah dibahas secara khusus pada berbagai

aspek. Misalnya, pada submateri kalām ishā’ seperti jumlah dalam al-Qur’an,

penyampaian. Lih. Abdul Qāhir Al-Jurjāni, Dalāil al-I’jaz (Kairo: Maktabah al-Khoniji,

1375 H), 330 – 340. 93

M. Abdul 'Adhim al-Zarqani. Manāhij al-‘lrfān fī Ulūm al-Qur’ān (Kairo: Dār al-

Halabi wa Syurākah. t.t), 302. 94

Habib, Gaya Bahasa al-Qur’an Daya Tarik al-Qur’an dari Aspek Bahasa, Jurnal

Adabiyyāt, Vol. 1, No. 2, Maret 2003, 63. 95

Habib, Gaya Bahasa al-Qur’an Daya Tarik al-Qur’ān dari Aspek Bahasa, Jurnal

Adabiyyāt, Vol. 1, No. 2, Maret 2003, 61. 96

Sayyid Quthb, Taṣwīr al-Fannī fī al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Syurūq, t.t), 35-36. 97

Habib, Gaya Bahasa al-Qur’an Daya Tarik al-Qur’ān dari Aspek Bahasa, 66.

Page 55: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

43

firman Allah ta’ala إين وهن العظم مين واشتعل الرأس شيبا. Potongan ayat tersebut

menunjukkan statement sentence bahwa telah tampak kelemahan dan kepasrahan

dari nabi Zakariya, jumlah al-Qur’an يا حيىي خذ الكتاب بقوة وءآتيناه احلكم صبيا menunjukkan originative sentence yaitu pada kajian kalam inshā’ fī fi’il amr.

Juga pada jumlah al-Qur’an وهلل ملك السموات واألرض tampak mengkhususkan

Musnad ilaih artinya ia hanya dimiliki oleh musnad yang ada bersamanya, begitu

juga dengan jumlah 98,القصاص حكم به القاضي dan jumlah – jumlah lainnya.

Secara zhahiriyyah, keilmuan balagah dalam ayat-ayat al-Qur’an yang

diturunkan di tengah-tengah bangsa Arab tersebut telah mampu mengalahkan

para pujangga (al-balghā’) bangsa Arab. Hal tersebut tampak dari firman Allah

ta’ala dalam al-Qur’an dengan nada yang menantang para ahli syair untuk

mendatangkan satu surat atau bahkan satu ayat yang semisalnya dengannya.99

Tantangan tersebut alih-alih disambut oleh al-balghā’ yang dahulu mereka sering

berkumpul di aswāq adabiyyah, justru mereka terdiam tidak mampu berbicara.

Tidak sampai di situ, mereka justru mengagumi ketinggian sastra al-Qur’an dan

makna yang tersirat di dalamnya, padahal al-Qur’an masa tersebut adalah sesuatu

yang baru mereka dengar.100

Uslūb kebahasaan yang dimiliki oleh al-Qur’an bukan hanya mampu

menggabungkan argumentasi dan keindahan bunyinya. Sebab, al-Qur’an tidak

hanya menekankan aspek rasio saja, akan tetapi juga aspek rasa (emosi) atau

yang lebih sering disebut dhawq lughawī dan qawāid lughawīyyah.101

Baqilāni

Abu Bakr Muhammad Tayyeb (1980 M) dalam karyanya I’Jāz al-Qur’ān al-

Karīm bahkan menegaskan bahwa kebalagahan al-Qur’an sangat membutuhkan

akal serta keluasan dalam berfikir.102

2. Balagah Sebelum Masa Al-Sakaki

Kata balāghah digunakan pertama kali pada masa pra-Islam yaitu pada

masa al-‘Aṣrul Jāhilī. Pada masa tersebut ilm balāghah belum dirangkai menjadi

sebuah ilmu baku yang menjadi sandaran dalam memahami kandungan al-

Qur’an.103

Abdullah Ibn al-Muqaffa’ (142 H) seorang sastrawan asal Persia pada

masa khalifah ‘Abbasiyah, dialah yang membicarakan pertama kali khusus

mengenai keilmuan sastra Arab yang membahas tentang uslūb kebahasaan

dengan judul karyanya Uslūb al-Muwallad, di dalamnya ia mulai membicarakan

ilm balāghah seperti sajak dan prosa serta pemilihan lafal. Disebabkan oleh

idenya tersebut ia telah memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan sastra

98

Jalaluddin Muhammad, al-Iḍāh fī Ulūm al-Balāghah fī ilmi al-Ma’ānī wa al-Bayān

wa al-Badī’, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.): 108. 99

Lih. Q.S. Al-Baqarah: 24 100

Muhammad Abdullah Daraz, al-Naba al-Adhim (Kuwait: Dār al-Qalam, 1974): 92. 101

Muhammad Abdullah Daraz, al-Naba al-Adhim, 111 -113. 102

Al-Baqilani Abu Bakr , I’jaz al-Qur’ān al-Karim (Kairo: Dār Ma’ārif, 1971), 10. 103

Fahd Abdurrahm al-Rumi, ‘Ulum al-Qur’ān; Studi Kompleksitas al-Qur’an

(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), 32.

Page 56: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

44

Arab. Para linguis yang hidup semasa khalifah ‘Abbasiyah telah menjuluki karya

tersebut dengan nama al-Uslūb al-‘Abbāsī al-Jadīd (gaya bahasa Abbasiyah

terbaru).104

Sejarah mencatat bahwa perkembangan balāghah pada masa khalifah

‘Abbasiyah telah mulai banyak diperbincangkan para ilmuwan, khususnya

setelah kemuculan Abdullah Ibn al-Muqaffa’ dalam mengajarkan keilmuan

balagah. Sebagai satu bidang kajian bahasa Arab yang tentunya tidak dapat

dipisahkan dari kajian al-I’jāz al-Qur’ānī (kemukjizatan al-Qur’an).105

Berdasarkan hal tersebut, beberapa tokoh balagah fenomenal pra al-Sakaki

dengan karya-karya mereka yang telah memberikan kontribusi besar terhadap

perkembangan ilmu sastra Arab, khususnya ilmu balagah, diantara mereka ialah:

Abu Ubaidah Mu’ammar Ibn Muthanna

Ia adalah seorang sastrawan dan ahli bahasa kelahiran Basra tahun 724 H dan

wafat pada 824 H. Sosoknya adalah orang pertama kali yang mengkaji balāghah

secara khusus, di mana ia berbicara tentang keagungan dan mukjizat al-Qur’an

dari segi bahasa, makna dan uslūb nya secara detail dalam sebuahnya karyanya

bernama Majāzul Qur’ān.106

Istilah Majāz yang menjadi judul karya Abu Ubaidah Mu’ammar tersebut

merupakan istilah yang muncul belakangan jauh setelah periode kenabian

Muhammad صلى هللا عليه وسلم yaitu abad ke- 2 Hijriyah. Dikemukakan pertama kali

olehnya ketika hendak menulis karya Majāzul Qur’ān tahun 207 H. Meskipun

istilah Majāz dikemukakan pertama kali olehnya, namun masih sangat bersifat

umum, sehingga belum mencakup keseluruhan ta’bīr gaya bahasa al-Qur’an.107

Sebagai suatu gaya bahasa yang digunakan dan banyak dikaji oleh para

ahli,108

Majāz Qur’ān memiliki keragaman pengertian sesuai dengan keragaman

para pengkajinya. Terobosan Abu Ubaidah tersebut dalam menulis karya ilmu

balāghah akhirnya mulai diikuti dan ditulis oleh banyak ahli seperti al-Jahidz.

‘Amr ibn Baḥr ibn Maḥbub al-Kinani al-Laitsi al-Baṣri al-Jāḥidh

Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Jahizh kelahiran 159 H dan wafat pada

255 H, ia merupakan tokoh terkenal dalam sejarah pengkajian sastra Arab, selain

karena karyanya banyak menarik perhatian para ahli ia juga termasuk tokoh yang

mengembangkan ilmu balâghah. Ia pernah merantau ke Baghdad untuk berguru

bahasa kepada al-Ashmu’i (122-213 H), al-Akhfasy (215 H), dan belajar

ilmu kalâm (teologi Islam) dari al-Nadzham (221 H/835 M). Dari hasil

pengembaraan keilmuannya tersebut ia lalu mengabdikan ilmunya kepada

masyarakat dan sekolah-sekolah, termasuk lembaga-lembaga pendidikan resmi

104

Shawqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dar Ma’arif, 1119), 20. 105

Kemukjizatan al-Qur’an terdiri dari 2 aspek yaitu aspek bahasa dan aspek makna,

baik yang menyangkut pengembangan berfikir ilmiah (al-I’jāz al- ‘ilmī), maupun

pengembangan ajaran akidah dan ibadah (al-I’jāz al-Tasyrī’). Lih. Nashr Hamid Abu Zaid,

Tekstualitas Al- Qur’an: Kritik terhadap ‘Ulum al-Qur’an (Yogyakarta: LKis, 2001), 185. 106

D. Hidayat, al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’, 4. 107

Sukamta, Majāz dalam al-Qur’an Sebuah Pendekatan Terhadap Pluralitas Makna

(Yogyakarta: UIN Suka Press, 1999), 213. 108

Muhammad Nabih Hijab, Balāghah al-Kuttāb fī al-‘Aṣri al-‘Abbāsī, 272.

Page 57: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

45

milik kerajaan. Ia dikenal dengan usahanya yang ulet untuk mengembangkan

keilmuan bahasa dan teologi Islam hingga menjadi sosok rujukan masyrakat.109

Selama hidupnya tercatat ia mewariskan lebih dari 250 judul buku dan

risalah. Hanya saja, tidak semua karya akademiknya sampai ke tangan kita,

karena berbagai hal seperti rusak, dijarah, dan terdampak oleh bencana alam

maupun sosial (perang). Di antara karyanya yang telah di-taḥqîq (diedit) dan

diterbitkan adalah al-Bukhālâ’, al-Ḥayawân, al-Bayân wa al-Tabyīn.110

Dari sedemikian banyaknya karya al-Jaḥidh salah satu yang sangat besar

dalam memberikan kontribusi adalah pemikirannya tentang ‘ilm al-

bayân (rhetoric), di antara ruang lingkup pembahasan ilmu rhetoric ini

adalah tashbîh, tamthîl, isti’ârah, ḥaqîqah dan majâz. Kodifikasi ilmu ini

memang mulai dirintis oleh Ma‘mar ibn al-Mutsanna dalam karyanya, Majâz al-

Qur’ān. Peran al-Jaḥizh dalam hal ini adalah meneruskan dan mengembangkan

kajian al-bayān dengan memperjelas kerangka dasarnya melalui pembahasan

mengenai al-faṣâḥah wa al-balāghah berikut kriterianya dan cara mengambil

kesimpulan melalui dasar-dasar al-bayān, terutama untuk kepentingan adu

argumentasi dan perdebatan (munâdharah) mengenai persoalan teologis yang

saat itu cukup menarik dipersoalakan.111

Kontribusi pemikiran al-Jaḥidh lainnya terlihat pada usahanya

mengintegrasikan logika dan retorika dengan menyelaraskan antara pemikiran,

kata-kata, gaya bahasa dan makna. Metode yang digunakan al-Jaḥidh dalam

mengelaborasi pemikiran-pemikirannya bermuara pada satu hal, yaitu:

penghormatan terhadap akal. Ia bersikap obyektif dalam membahas berbagai

persoalan, dimulai dengan sikap ragu menuju kesimpulan yang meyakinkan, lalu

dikemas dengan gaya bahasa sastra dan diselingi humor berkualitas.112

Terlepas dari semua itu, para sastrawan Arab memposisikan al-Jahizh dalam

bidang ilmu balâghah setara dengan Imam al-Syafi‘i (150-204 H) dalam

bidang uṣûl al-fiqh. Jika al-Syafi‘i dinilai sebagai pencetus dan perumus

pertama ushûl al-fiqh dengan al-Risālah-nya, maka al-Jaḥizh dinilai sebagai

pembuka pintu ‘ilm al-bayân dengan karya monumentalnya, al-bayân wa al-

Tabyîn.113

Karya ini pula yang kemudian menginspirasi dan memotivasi para

linguis di masa-masa sesudahnya untuk mengembangkan ilmu balâghah menjadi

lebih kokoh landasan epistemologinya dan lebih sistematis.

Ibnu al-Mu’tazz

Ibnu al-Mu’taz adalah seorang khalifah dan sastrawan terkenal pada

masanya. Ia lahir di lingkungan istana pemerintahan Abbasiyah tahun 147 H dan

menghadapi berbagai macam konflik sosial sehingga ia terbentuk sebagai

seorang yang sangat kritis dan berpikiran luas.114

109

Syauqi Dhaif, Tārīkh al-Adab ‘Aṣrul Islāmī (Kairo: Dar Ma’arif, 1119 H), 55. 110

Shauqi Ḍhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dar Ma’arif, 1119), 180. 111

Syauqi Dhaif, Tārīkh al-Adab ‘Aṣrul Islāmī, 66. 112

Ahmad Mathlub dan Husai Bashir, al-Balāghah wa al-Tathbī 201. 113

Rif’at al-Sharqowi, Balāghah al-‘Aṭfi fī al-Qur’ān Dirāsah Uslūbiyyah, 277. 114

Syadzali Abdul Ghani, Al-Badī’ li Ibnu al-Mu’tazz Nazdārāt fī Qirāat Mu’āṣirah

(Beirut: Dar al-Ilmiyah, t.t), 55.

Page 58: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

46

Karya fenomenal Ibnu al-Mu’tazz adalah tentang al-badī’ (art of schemes)

yang ia karang pada tahun 274 H. Karya tersebut tergolong sebagai pembahasan

baru yang didalamnya menghimpun berbagai gaya bahasa. Ia pun dikenal oleh

para ahli linguis sebagai kreator ilm al-Badī’,115

sehingga seringkali para ahli

masa tersebut merasa heran akan perbedaan antara karya Ibnu al-Mu’taz tentang

al-Badī’ dengan karya al-Jahidh yang berjudul al-Bayân wa al-Tabyîn. Sebab,

antara keduanya adalah serupa dalam hal pembahasannya, hanya saja karya Ibnu

al-Mu’taz tersebut lebih banyak menghimpun gaya bahasa terbaru. Ia telah

mengembangkan keilmuan al-badī’ dalam karya tersebut dengan titik utamanya

lebih banyak menjadikan syair sebagai perbendaharaan contoh-contohnya.

Pemikiran dan wawasan Ibnu al-Mu’tazz yang sangat tajam pada kajian

kebahasaan dan sastra pernah mengantarkan menjadi khalifah, sekalipun pada

masa kepemerintahnnya belum sempat terealisasikan akibat korban politik yang

dialami olehnya, ia wafat beberapa saat setelah diangkat sebagai khalifah.

Qudamah Ibnu Ja’far

Adapun ahli linguis terkenal selanjutnya setelah wafatnya Ibnu al-Mu’tazz

ialah Qudama Ibn Ja’far (337 H) yang merumuskan kaidah-kaidah tentang kritik

sastra, dalam bukunya (نقد الشعر). Tsamāmah Ibn Ashras berkata bahwa

Qudamah Ibn Ja’far, pada masa hidupnya terkenal dengan julukan anṭaqa al-Nās

(manusia terfasih). Hal tersebut karena ucapannya sangatl balāghī, fasih, huruf-

huruf dan lafalnya saat diucapkan sangatlah tersusun rapih dan penuh penguasan

terhadap apa yang ia ucapkan. Ia adalah tauladan bagi para ahli lainnya karena

pemikirannnya selalu dituliskan dengan ta’bīr yang indah.116

Qudamah Ibnu Ja’far pernah dimintai pendapatnya untuk menerjemahkan

dan menafsirkan istilah-istilah bahasa Arab Qurays yang berkenaan dengan

ekonomi pada masa pemerintahan Abbasiyah. Keluasan berpikir Qudamah

mengenai sejarah syair-syair jahiliyah membuatnya lebih dikenal oleh para ahli

sebagai sang pengkritik. Hal tersebut adalah karena juga pengaruh besar dari

karyanya yang berjudul Naqd al-Shi’rī.117

Abu Hilāl al-‘Askārī

Abu Hilāl al-‘Askārī adalah seorang linguis yang sangat produktif bahkan

hingga menjelang wafatnya ia sedang menyelesaikan buku berjudul Furūq al-

Lughāt yang dikemudian dilanjutkan oleh Nuruddin bin Sayyid Ni’matullah pada

tahun wafatnya 395 H. Dari beberapa karya Abu Hilāl al-‘Askārī yang sangat

besar kontribusinya bagi perkembangan keilmuan sastra adalah bukunya al-

Shinā’ataini. Ia telah merumuskan kaidah-kaidah balāghah tentang fashahah,118

115

Ahmad Hasan al-Zayat, Tārikh al-Adab al-Arabi (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2001),

109. 116

Shauqi Ḍhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, 24-25. 117

Aan Jaelani, Muslim Scholars Contribution for European Civilication: The Roots of

The History and Economic Development Tracing (Malaysia: MPRA, 2015), 7-8. 118

Al-Sakaki mendefiniskan makna fashāhah sebagai penguasaan terhadap dua

komponen penting dalam berbicara yaitu makna dan lafadznya. Pememilihan kata-kata yang

tidak ada sedikipun cacatnya sehingga mudah dan nikmat untuk dicerna oleh pendengarnya.

Page 59: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

47

ī’jaz,119

ithnāb120

dan sebagainya. Secara detail karyanya tersebut mempertegas

adanya perbedaan antara dua kata yang berbeda yang memiliki arti yang sama.121

Ia banyak belajar dari para ahli pendahulunya khususnya Abu Ubaidah,

sehingga dengan kesungguhan dan kecintaannya terhadap ilmu bahasa Arab

tersebut memotivasi dirinya sendiri untuk menulis sebuah karya berjuduk

Mu’jam Furūq al-Lughawiyah, di mana karya tersebut sangat fenomenal pada

masanya yang memuat tentang kosakata-kosakata serta kalimat-kalimat istilah

dalam ilmu balagah seperti perbedaan makna pada البالء dengan االبتداع ,االبتالء dengan االخرتاع dan lain sebagainya.

122

Abdul Qahir al-Jurjani

Muhbib Abdul Wahab memberikan julukan kepada Abd al-Qāhir al-Jurjānî

sebagai tokoh maestro linguis Arab karena karya monumentalnya pada puncak

pembahasan al-I’jāz al-Qur’āni. Selain itu, karya fenomenal lainnya adalah

Dalâil al-I‘jâz. Di dalamnya berisi arti bukti-bukti kemukjizatan, untuk

menunjukkan bukti-bukti dan dalil-dalil kemukjizatan al-Qur’an, khususnya dari

segi keindahan bahasa Arab dan nilai-nilai sastranya. Karya tersebut ditulis oleh

al-Jurjânî dengan pendekatan an-nazhm (struktural) membahas balagah teks-teks

al-Qur’an yang dapat menimbulkan efek psikologis dan rasa keindahan.

Shauqi Ḍhaif menegaskan bahwa Dalâil al-I‘jâz telah merumuskan teori

kritik sastra dan teori nazham (structure, versification), sebuah teori mengenai

keserasian struktur ungkapan (kalimat) dan bait-bait syair sesuai dengan kaidah-

kaidah nahwu. Dalam kitab tersebut pembahasan pertama ia kelompokkan ke

dalam ilmu al-Ma’ānī (املعاين) dan pembahasan buku kedua yang kemudian ia

kelompokkan ke dalam bahasan al-Bayān (البيان). Itulah sebabnya al-Jurjani

dipandang sebagai peletak dasar dua ilmu ini, sementara Ibn al-Mu’tazz

dipandang sebagai peletak dasar al-Badī’ (البديع).123

Al-Jurjānī dikenal sebagai penganut aliran Ash‘ariyyah, sehingga tidak

mengherankan jika ia memberikan beberapa sanggahan terhadap pemikiran al-

Lih. Amir Abdulllah Tsabity, al-Maākhidz ‘Alā Fashāhat al-Syi’ri Ilā Nihāyati Qarni al-

Rābi’ al-Hijrī (Madinah: Maktabah al-Mulk Fahd, 1930), 24. 119

I’Jāz diambil dari kata ‘ajaza-yu’jizu yang artinya melemahkan sesuatu. Nuruddin

Atah dalam karya ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karim menjelaskan bahwa i’jāz adalah ciri

keaguangan serta keistimewaan al-Qur’an akan keindahan lafadz dan maknanya. Lih.

Nuruddin Atah, ‘Ulūm al-Qur’ān al- Karim (Beirut: Dār Dabl, 1994), 12. 120

Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa Iṭnāb adalah penguatan makna terhadap sebuah

kata maupun kalimat sehingga tidak ada celah bagi pendengar untuk mencelanya. Lih.

Ahmad Mathlub dan Husai Bashir, al-Balāghah wa al-Tathbīq (Irak: Dar Irāqy, 1999), 201. 121

Hasan al-Makki Abdallah, al-Furūq wa al-Masāhāt al-Dilāliyyah (Malang: UIN

Press, 2003), 7. 122

Abu Hilāl al-‘Askārī, al-Mu’jam al-Furūq al-Lughawiyah (Damaskus: Dar Ma’anī,

1005), 5. 123

Shauqi Ḍhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, 88.

Page 60: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

48

Qâdhî ‘Abd al-Jabbâr (415 H) seorang tokoh Mu‘tazilah mengenai i‘jâz al-

Qur’ân yang berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qur’ân tidak terletak

pada nadzham. Padahal menurutnya, jika ditelusuri secara historis balâghah

muncul dan berkembang karena terkait dengan wacana kemukjizatan al-Qur’ân.

Al-Jâḥidz misalnya, menganggap bahwa poros kemu’jizatan al-Qur’ân

adalah nadzham. Sedang al-Rummânî (384 H) memandang bahwa kemu’jizatan

al-Qur’an terletak pada penentangan, tantangan, balâghah dan berita mengenai

hal-hal yang akan terjadi di masa depan, dan yang berlawanan dengan kebiasaan.

Sementara itu, Abû Hilâl al-‘Askarî yang wafat pada 403 H sangat

memahami letak kemu’jizatan al-Qur’ân ada pada alasan dan argumentasi yang

memuaskan. Begitu juga dengan Al-Bâqillânî yang wafat pada tahun yangs sama

dengan Abu Hilal, ia berpendapat bahwa kemu’jizatan al-Qur’an itu disebabkan

oleh adanya informasi hal-hal gaib, dan oleh keindahan nazham dan redaksinya

yang tidak dapat dijangkau dan ditiru oleh manusia. Adapun al-Qâdhî ‘Abd al-

Jabbâr berpendapat bahwa kemu’jizatan al-Qur’ân itu terletak pada kalimat dan

penampilannya, bukan pada kata-kata tunggal, makna atau bentuk lainnya.

Dalâil al-I‘jâz karya al-Jurjani selain telah mengispirasi banyak ahli seperti

Tammam Hassan dan Chomsky juga telah seringkali menegaskan bahwa

pemikiran yang disajikan olehnya melalui karya Asrār al-Balāghah sungguh

telah melintasi ruang dan waktu.

Al-Zamakhsyari

Pemikiran-pemikiran Abdul Qāhir dalam dua karya tersebut dikembangkan

kembali oleh Zamakhsyari (528 H) dalam tafsirnya al-Kasshāf. al-Kasshāf

diselesaikan oleh Zamakhsyari selama 2,5 tahun dari tahun 525-528 H atau

tepatnya selesai pada 23 Rabi’ul Akhir 528 H (1134 M).124

Ia telah mampu

menjadikan tafsir karyanya menjadi nuansa balagah sehingga dapat dibaca dan

dipahami dengan rasa (sense) yang kuat. Selain itu, pada pertengahan abad ke- 5

H tahun 530 H, ia pun telah menyelesaikan penulisan Mu’jam Asās al-Balāghah

yang berbeda dengan metode alphabet. Ia menyusun kalimatnya menurut huruf

awalnya, seperti kamus-kamus pada umumnya saat ini.125

Dengan metode

penafsiran al-Qur’an khususnya dari segi kebahasaan dan balagahnya sungguh

telah membuatnya lebih dikenal di Makkah dan Madinah.126

Karya Abdul Qāhir al-Jurjānī tidak sedikit juga ahli yang mengaguminya

sehingga pada masa setelah wafatnya, Fakhru al-Rāzi (606 H) adalah tokoh yang

pertama kali melakukan ringkasan terhadap kedua bukunya tersebut untuk

mengambil point-point penting yang terdapat dalam kitab Dalāil al-I’jāz dan

Asrār al-Balāghah, kemudian ringkasan tersebut dinamai oleh Fakhru al-Rāzi

124

Badri Najib Zabir, Balagah as an Instrument of Qur’an Interpretation, a Study of

Kasshāf (London: School Oriental Press, 1999), 26. 125

Musthafa Juwaini, Awsātu al-Balāghah al-Arabiyah (Iskandariyah: Dãr Ma’rifah

Jami’iyyah, 1999), 139. 126

Zamakhsyari, Asās al-Balāghah (Beirut: Dãr Kutub Ilmiyah, 1998), 5.

Page 61: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

49

dengan judul Nihāyah al-Îjaz fī Dirāyah al-I’jāz.127

Zamakhsyari dan Fakhru al-

Razi memberikan kesan yang sangat baik kepada kedua karya Abdul Qāhir al-

Jurjāni, hal tersebut sangat tampak ketika mereka mengatakan bahwa

sesungguhnya keilmuan balagah telah sempurna pada kedua karyanya.128

Fase-fase tersebut dikenal dengan fase al-Mutaqaddimin, dimana

perkembangan balagah pada fase pertama tersebut banyak menerima masukan

dari kajian keislaman, seperti dari ilm ṣarf, Ilm al-Qiraāt dan Fiqh al-Lughah

tentang Faṣāhah bahkan sampai kepada analisa pemilihan bunyi dan mufradat.

Begitu juga dari ilm al-kalām tentang makna hakiki dan majazi, dari al-Tafsir

yang hasil- hasil analisannya kemudian dijadikan shawāhid oleh para ahli

balagah, dari al-Fiqh dan Uṣūl al-Fiqh tentang istilah-istilah yang berkaitan

dengan zāhir dan mafhūm suatu teks atau ayat. Adapun masukan yang paling

banyak memberi kontribusi kepada balagah adalah dari ilm nahw.129

Sesuatu yang paling unik dari perkembangan dan pertumbuhan ilmu balagah

adalah para ulamanya yang secara berperingkat berada pada tangan ulama ‘ajami

dan bukan ‘Arabi’. Bahkan perkembangan ilmu balagah (Nahdhah al-lughah)

pada fase al-Mutaqaddimin tersebut mencapai gemilangnya di tangan Abdul

Qāhir al-Jurjānī pada abad 5 H yang juga seorang ‘ajami.130

3. Balagah Pasca Masa al-Sakaki hingga Modern

Fase ini disebut fase al-Mu’aṣirūn yang dipelopori oleh Sirajuddin Yusuf al-

Sakaki (626 H). Dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm, secara sempurna ilm balāghah

dibagi kepada tiga bidang kajian, yaitu ( البديع -البيان -املعاين ). Di mana tiap

bidang kajiannya mengandung bahasan-bahasan tersendiri yang disusun secara

sistematis dan tampil dalam bentuk (القواعد) seperti yang terdapat dalam buku-

buku nahwu.

Tercatat dalam sejarah bahwa sebelum era al-Sakaki, pembahasan cabang-

cabang balagah telah banyak ulama yang berulang kali membahasnya. Sekalipun

demikian, masih banyak ditemukan percampur bauran antara antara ilmu-ilmu

bahasa Arab dengan cabang keilmuan lainnya. Kehadiran al-Sakaki dengan

Miftāḥ al-‘Ulūm- nya merupakan karya pertama yang membahas cabang-cabang

balagah secara sistematis dan tampil dengan bentuk yang lebih menarik. Ia bukan

hanya memisahkan antara ilmu balagah dengan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya,

tetapi juga telah memisahkan antara tiga komponen ilmu balagah dengan

membaginya kepada tiga bagian penting, yakni ilm al-ma’ānī, ilm al-bayān dan

ilm al-badī’ dengan definisinya masing-masing.

Dapat disimpulkan bahwa al-Sakaki merupakan pelopor ilmu balagah dalam

bentuk yang lebih sempurna. Keberhasilannya dalam menyampaikan karya baru

127

Abdul Aziz Atiq, Fī al-Balāghah Al-‘Arabiyah ‘ilm al-Ma’ānī (Beirut: Dar

Nahdhah ‘Arabiyah, 2009), 26. 128

Hasan Barburah, Nash’ah wa Taṭawwur al-Lughah al-‘Arabiyah, 37. 129

D. Hidayat, al-Balāghah li al-jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-badī’, 5.

130

Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya:

Dar Jami’ah al-Malaya, 2012), 8.

Page 62: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

50

tersebut mendapatkan sambutan yang luar biasa, sehingga tidak sedikit dari

ulama masa tersebut membuat ringkasan atau sharḥ dari kitab al-Miftāḥ.131

Bahkan al-Suyuṭi menggelar al-Sakaki sebagai bapak balagah. Menurutnya, apa

yang dilakukan oleh al-Sakaki adalah bagian dari puncaknya ilmu balagah.132

Pada akhir abad ke- 6 H, tokoh bahasa Arab mulai bermunculan, seperti

Badaruddin Malik (686 H), ia menulis sebuah karya balagah yang di dalamnya

mengomentari karya al-Sakaki dengan judul al-Miṣbāḥ fī al-Ma’ānī, al-Bayān

wa al-Badī’. Ia menegaskan bahwa karya tersebut bukan untuk menandingi

bapak ilmu balagah melainkan adalah untuk memperdalam isinya serta untuk

menuangkannya dalam tulisan yang mudah dan menarik untuk dibaca.133

Adapun pada awal abad ke- 7 H yaitu sekitar tahun 720 H muncul sebuah

kitab yang berupaya menyederhanakan dan menyempurnakan isi kitab Miftāḥ al-

‘Ulūm karya al- Sakaki.134

Kitab tersebut berjudul Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm karya

al-Qazwainī. Dalam sejarahnya ia harus mencari naṣ asli dari Miftāḥ al-‘Ulūm

hingga ke Mesir, bahkan hingga ke tempat al-Sakaki menimba ilmu pengetahuan

di Khawarizm. Tidak berhenti sampai disitu 2 tahun setelahnya ia kembali

meluncurkan karya baru tentang ilmu balagah dengan judul al-Îdhāh fi ‘Ulūm al-

Balāghah, di dalam karya tersebut ia tetap membahas dan memperdalam kajian

al-ma’ānī, al-bayān dan al-badī’. Selain itu, di dalamnya ia juga berbicara

tentang sejarah ilmu balagah dan penjelasan keilmuan dari berbabagi contoh

yang diambil dalam al-Qur’an. Adapun kajian baru yang ditemukan dalam kitab

tersebut adalah kajian tentang ilmu fashāhah.135

Kedua karya al-Qazwainī tersebut yakni Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm dan al-

Îdhāh fi ‘Ulūm al-Balāghah telah banyak mendapatkan pujian, khususnya dari

Naṣruddin dan Shawqi Ḍaif. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuannya dalam

menggabungkan misi ilmu balagah sekaligus yakni qawa’id al-lughawīyyah dan

dzawq al-lughawī. Menurut para ahli balagah kontemporer seperti Ahmad

Mathlub dan Abdul Muta’li, buku-buku balagah ala al-Sakaki yang sarat dengan

qawa’id, definisi dan klasifikasi itu telah membuat balagah menjadi kering,

kehilangan rasa seni dan keindahannya, sehingga penghayatan balagah yang

seharusnya menjadi tujuan utama pembelajaran umumnya tidak tersentuh,136

karena perhatiannya hanya terfokus kepada hafalan, tanpa disertai amthilah dan

tamrināt.137

Badaruddin Malik (686 H) dan Khathib al-Qazwaini (739) dalam pandangan

Budi Susetyo dan Muhammad Edy Widiyatmadi sangatlah mempresentasikan

para tokoh lainnya dalam hal keresahan mereka terhadap karya al-Sakaki yakni

131

Shawqi Ḍhaif, al- Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, 73.

132

Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah, 88.

133

Badaruddin Malik, al-Mishbāh fi al-Ma’ānī, al-Bayān wa al-Badī’ (Kairo:

Maktabah Adab, 1989), 2.

134

Shawqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab Al-‘Arabī (Kairo: Dar Ma’arif, 1119 H), 50.

135

Khathib al-Qazwainī, al-Îdhāh fi Ulūm al-Balāghah al-Ma’ānī wa al-Bayān wa al-

Badi’ (Beirut: Dār Kutub Ilmiyyah, 2003), 27.

136

Ahmad Mathlub, Buhūts Balāghiyah (Baghdad: Majma’ ‘Ilmi ‘Iraqi, 1996), 22.

137

Adul Muta’ali Sha’idi, Buhyah al-Îdhāh li Talkhīs al-Miftāh fī Ulūm al-Balāghah

(Kairo: Maktabah Adab, 1999), 13.

Page 63: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

51

Miftāḥ al-‘Ulūm. Kedua tokoh tersebut mendukung penuh pendapat Badaruddin

Malik (686 H) dan Khathib al-Qazwaini (739) secara isi dan konten perlu ada

konstruksi ulang di dalamnya. Sebab, menurut mereka sebuah karya secara

psikologis harus dapat dengan mudah untuk dihayati atau disebut penghayatan

self,138

karena tulisan dan karya seseorang itu akan semakin menunjukkan

kepribadian penulisnya. Dengam demikian, secara keilmuan mudah diserap oleh

pembacanya dan tidak terkesan mengganggu psikologis seseorang dalam

memahaminya.139

Adapun al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm tersebut

masih sangat jauh dari penghayatan self yang telah dikemukan. Bahkan menurut

Louay Safi (2014 M) untuk kesempurnaan sebuah ilmu pengetahuan harus

memiliki seni yang menarik para penggemarnya, sehingga tidak menimbulkan

kebosanan. Menurutnya, hal yang paling baik adalah harus mampu dengan

mudah mengantarkan seseorang kepada pemahaman yang cepat dan mudah.140

Terobosan baru yang telah diprakarsai oleh Khathib al-Qazwaini (739)

tersebut selain banyak mendapatkan apresiasi dari para ahli. Kini mereka

semakin terinspirasi untuk terus mengembangkan keilmuan balagah. Misalnya,

Sa’aduddin al-Tiftazani, ia menulis karya berjudul al-Muṭawwal Sharh Talkhīs

Miftāḥ al-Ulūm, karya tersebut selesai penulisannya pada awal tahun 748 H dan

ia wafat 791 H. Tokoh sastra terkenal selanjutnya Syaikh Bahauddin al-Sabaki

(773 H), ia menulis karya ‘Arūs al-‘Afrah fī Sharḥi Talkhīs Miftāḥ al-Ulūm.141

Abdul Hamid Hendrawi (1421 H) memberikan pengakuan dalam sambutannya

bahwa karya Bahauddin al-Sabaki tersebut tidak ada bedanya dengan karya-

karya lain sebelumnya. Hanya saja pada karyanya tersebut ia memunculkan

beberapa bioghrafi tokoh yang memberikan kontribusi besar dalam keilmuan

balagah seperti Khathib al-Qazwaini. Dalam isinya ia banyak memunculkan

amtsilah balagah dilengkapi dengan syair-syair modern.142

Perkembangan keilmuan balagah terus menunjukkan peningkatan hingga

memasuki abad ke- 8 H. Di mana beberapa tokoh balagah kembali bermunculan

seiring dengan pentingnya pemahaman yang mendetail terhadap al-Qur’an dan

al-Hadis. Di antara para tokoh fenomenal tersebut adalah Abdul Muta’ali Sha’adī

(1999 M) yang menulis sebuah karya dengan judul Bughyah al-Îdhāḥ li Talkhīs

Miftāḥ al-Ulūm.143

138Pengahayatan Self adalah pemaknaan secara psikologis terhadap sebuah karya dan

perwujudan nyata yang ada di depan mata. Self memberikan kerangka berpikir yang

menggiring kepada pengolahan suatu ilmu atau informasi tentang diri sendiri dari sisi

motivasi, emosional dan evaluasi. Lih. Budi Susetyo dkk, Konsep Self dan Penghayatan Self

Orang Jawa, Psikodimensia Vol. 13, No.1, Januari 2014, 49-52.

139

Budi Susetyo dkk, Konsep Self dan Penghayatan Self Orang Jawa, P, 47.

140

Louay Safi, A Comparative Study In Islamic and Western Method of Inquiry (USA:

Herndon Press, 2014), 76-90.

141

Salamah Musa, al-Balāghah al-Ashriyah wa al-Lughah al-Arabiyyah (Beirut: Dār

Ma’rifah, 1945), 118.

142

Syaikh Bahauddin al-Sabaki, ‘Arūs al-Afrah fī Sharḥi Talkhīs Miftāḥ al-Ulūm

(Beirut: Dār ‘Ashriyah, 2003), 3.

143

Abdul Rouf Dato Hassan Azhari, Sejarah dan Asal Usul Bahasa Arab (Malaysia:

Putra Malaysia Press, 2004), 139-143.

Page 64: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

52

Menurut Ahmad Mathlub, keenam judul buku tersebut kesemuanya telah

menjadikan Miftāḥ al-Ulūm karya al-Sakaki sebagai bahasan dan penelitian

mereka dalam mengembangkan keilmuan balagah.144

Hal tersebut karena

keilmuan dan karya balagah sempat terhenti sepeninggal al-Sakaki hingga 50

tahun hijriyyah.145

Taufiq Ahmad Dardiri menegaskan bahwa pada masa pasca

al-Sakaki ilmu balagah mengalami stagnasi, menurutnya tidak ada penelitian

yang berorientasi pada rekonstruksi ilmu balagah. Adapun buku-buku balagah

yang bermunculan setelahnya hanya mengomentari karya-karya sebelumnya atau

berbentuk ringkasan-ringkasan teori untuk bisa dimengerti dan dihafalkan oleh

pelajar balagah.146

Seorang tokoh balagah bernama Abdul Aziz Qalqilah (2006 M), wafat di

Mesir, ia sangat terkenal di Universitas al-Azhar Kairo. Semasa hidupnya ia telah

mewariskan ilmu balagah berjudul al-Balāghah al-Iṣtilāhiyyah. Buku tersebut

berisi tentang istilah-istilah ilmu balagah yang sangat sering digunakan, di

dalamnya juga banyak berbicara tentang tasybīh, isti’ārah, al-majāz dan ithnāb.

Penulisan karya tersebut ia selesaikan pada tahun 1987 M dan tergolong sebagai

buku balagah modern.147

Ahmad Mathlub adalah generasi tokoh balagah sebelum munculnya Aisyah

Abdurrahman Binti Syathi’. Ahmad Mathlub banyak membahas tentang sejarah

para ilmuwan balagah sebelum dan pasca al-Sakaki. Ia menulis karya berjudul

Buhūth Balāghiyyah dan menyelesaikannya karya tersebut pada tahun 1996,148

selain itu ia juga menulis buku balagah berjudul Jamharul Balāghah. Adapun

Aisyah Abdurrahman Binti Shathi’ adalah tokoh ilmu balagah pada abad ke- 20,

ia banyak menyusun sebuah pembaharuan ilmu balagah khususnya yang

berhubungan dengan metode ajar. Keilmuan yang diperolehnya tentu tidak lepas

dari peran sang guru Amin al-Khulli (1966), seorang sastrawan yang merintis

lahirnya kritik sastra atas teks al-Qur’an, yang juga adalah suaminya sendiri.149

Diantara karya terkenal Aisyah Binti Shathi’150

adalah Tafsīr al-Bayānī li al-

Qur’ān al-Karīm li al-Juz al-Awwal wa al-Tasānī.151

Ia menyusun karya-karya

ilmiahnya dengan pendekatan integratif dan pendekatan sastra, di antara model

karya tersebut adalah al-Balāghah al-Wādihah karya Ali al-Jarim.152

Karya

144Ahmad Mathlub, Buhūts Balāghiyah, 102

145

Salamah Musa, al-Balāghah al-Aṣriyah wa al-Lughah al-Arabiyah, 10.

146

Taufiq Ahmad Dardiri, Dinamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya (Yogyakarta:

Azzagrafika Printing, 2015), 30.

147

Abdul Aziz Qalqilah, Balāghah al-Iṣṭilāḥiyyah (Kairo: Dar Fikr Arabī, 1987), 2-5.

148

Ahmad Mathlub, Buhūth Balāghyiyah, 87.

149

Masjudi, Amin al-Khulli wa Aṭaruhu fī al-Dirāsah al-Qur’āniyyah (Yogyakarta:

UIN Yogyakarta Press, 2014), 1. 150

Ia adalah Aisyah Abdurrahman terlahir di Dumyat wilayah sebelum barat sungai

Nil pada 6 Nov 1913/ 6 Dzulhijjah 1331 H. Ia wafat pada Desember 1998 M, ayahnya

bernama Syaikh al-Azhar pada masa itu. Dalam karyanya Tafsīr Bayānī li al-Qur’ān mulai

menekankan pertama kali pada semantik historis kebahasaan al-Qur’an.

151

Aishah binti Shati’, al-tafsīr al-Bayānī li al-Qur’ān al-Karīm, (Kairo : Dar

Ma’rifah, 1972), 120. 152

D. Hidayat, al-Balāghah li al-jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’, 6.

Page 65: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

53

tersebut saaat ini menjadi sebuah buku wajib di pesantren Darussalam Gontor

dan beberapa pesantren lainnya di Indonesia.

Fathullah Saleh menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kini keilmuan

balagah baik di Barat maupun di Arab kedua-duanya memfokuskan diri pada

kajian intrinsik. Di mana kajian tersebut menurutnya sangat tepat dalam kajian

sastra untuk mengetahui seni dan style berbahasa yang baik secara tulisan

maupun lisan. Bahkan, ia menyebutnya bahwa keilmuan balagah sesungguhnya

mirip teori formalisme, karena ia mampu menganalisis sebuah karya sastra

dengan lebih baik.153

Teori formalisme yang dikenalkan oleh para tokoh bahasa menjadi sebuah

alternatif kajian teori bahasa yang tidak hanya memandang kepada aspek konten

tetapi juga terhadap analisis kepribadian tokohnya. Kehadiran teori tersebut

menandai akan wujud perkembangan keilmuan bahasa, khususnya ilmu sastra

yang menjadi harapan para tokoh pembaharu seperti Badaruddin Malik (686 H)

dan Khathib al-Qazwaini (739).

]

153

Fathullah Saleh, Teori Formalisme Balagah, Jurnal al-Turats FAH UIN Jakarta,

Vol. XX No.1, Januari 2014.

Page 66: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

54

Akal adalah timbangan yang cermat

dan hasilnya dapat di percaya.

Ibnu Khaldun Sejarawan Muslim asal Tunisia

Page 67: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

55

BAB III

DINAMIKA INTELEKTUAL AL-SAKAKI

Pada bab ketiga ini penulis akan menjelaskan bagaimana perjalanan hidup

al-Sakaki (Ṣāḥib Kitāb Miftah al-‘Ulum) yang merupakan referensi utama dalam

penelitian ini. Di mulai dari sejarah hidupnya al-Sakaki (555 H - 626 H) yang

meliputi; setting sosial intelektual, pendidikan, pekerjaan dan awal kepengarangan

Miftāḥ al-‘Ulum, respon para ulama terhadap kehadiran al-Sakaki, karya-karya dan

pemikiran al-Sakaki. Pada bagian ini juga akan dijelaskan pengaruh besarnya al-

Sakaki dalam keilmuan balagah sehingga dalam perjalanan hidupnya, ia dijuluki

sebagai bapak ilmu balagah. Kegigihan dan keikhlasan perjuangan al-Sakaki dalam

menuntut ilmu dari seorang penempah besi hingga menjadi ulama terkenal pada

masanya, bukan hanya di kalangan para ilmuwan Islam namun juga telah membumi

di berbagai kota dan perguruan-perguruan tinggi di dunia hingga saat ini.

A. Sejarah Hidup Al-Sakaki

Imam al-Sakaki adalah seorang ulama yang agung, ia tidak hanya ahli dalam

bidang ilmu balagah, namun juga pada keilmuan lainnya seprti ilmu fiqh, mantiq

bahkan ilmu falaq. Namanya telah mengarungi ruang dan waktu, ia adalah suatu

karunia bagi para ilmuwan Islam, bahkan bagi alam semesta. Ia tumbuh dalam

keluarga yang tidak memiliki ilmu dan keutamaan, kecuali keahlian keluarganya

dalam menempah besi.1 Ia seorang ulama dari bangsa Khawārizm Republik

Uzbekistan yang terkenal dalam kalangan ahli bahasa, baik yang hidup semasanya

ataupun oleh para tokoh setelahnya. Ketokohannya dalam bidang balagah sangat

besar peranannya, terutama ketika ia mampu membukukan ilmu balagah secara

teoritis,2 dimana keilmuannya ia bagi kepada tiga bagian penting, yaitu al-ma’ānī,

al-bayān dan kajian tentang teknik memperindah bahasa, baik yang merujuk kepada

lafadh3 maupun maknanya, yang kemudian dikenali sebagai ilmu al-badī’.

Walaupun pada akhirnya al-Sakaki lebih terkenal dalam bidang ilmu balagah,

namun kemampuan dan perannya juga tidak diragukan lagi pada beberapa bidang

keilmuan lainnya terutama yang berkaitan dengan ilmu bahasa Arab, seperti ilmu

naḥw,4 ṣarf,

5 ‘arūḍ,

6 dan Qāfiyat.

7 Hal tersebut dapat dilihat dalam karya

1Ahmad Mathlub, Jamharah al-Balāghah (Baghdad: Majma’ ‘Ilmi ‘Irāqi, 1996), 14.

2Taufiq Ahmad Dardiri, Dinamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya (Yogyakarta:

Azzagrafika Printing, 2015), 29-33.

3Lafal adalah satu nama yang diberikan pada huruf-huruf yang tersusun atau susunan

dari beberapa huruf yang memiliki arti tersendiri. Ia terbagi kepada dua macam: 1. Lafadz

mufrad (nama sesuatu yang bebas dari waktu), dan 2. Lafadz Murakkab Tām (beberapa kata

yang telah tersusun dengan memiliki makna tersendiri), sehingga sebuah makna yang

vareatif terjadi jika bentuk lafadz tersebut murakkab tām. Lih: Basiq Djalil, Logika Ilmu

Mantiq (Jakarta: Predanamedia Group, 2010), 13-14.

4Ilm Naḥw atau sintaksis adalah kaidah-kaidah bahasa Arab yang membahas tentang

struktur sebuah kalimat yang terdiri dari ism, fi’il dan harf. Lih: Abbas Hassan, al-Naḥw al-

Wāfī (Kairo: Dār al-Ma’ārif, t.t.), 1-3.

5Ilm Ṣarf (morfologis) adalah cabang ilmu bahasa Arab yang membahas tentang

peletakan, penempatan atau perubahan makna dan kata. Lih: Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 10.

Page 68: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

56

fenomenalnya Miftah al-‘Ulūm. Selain itu, ia juga menguasai ilmu akidah (‘Ilm al-

Kalām) aliran mu’tazilah, begitu juga bidang fiqh dan uṣul fiqh, sehingga ia terkenal

dalam hidupnya sebagai pengikut setia pada mazhab Hanafi.8 Shawqi Ḍaif

menyebutkan bahwa al-Sakaki hidup dalam didikan aliran Hanafi dalam bidang

fiqh, dan aliran Mu’tazilah dalam didikannya pada bidang akidah. Menurutnya,

memang manusia sudah sewajarnya untuk berpegang teguh kepada dua madhhab

tersebut dalam hidupnya. Beberapa kata-kata al-Sakaki yang berkaitan dengan

akidah yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang pengikut Mu’tazilah ialah:

“Allah adalah Tuhan kita, Muhammad adalah Nabi kita, Islam adalah agama kita,

tauhid dan keadilan adalah madzhab kita, khulafā al-rāsyidīn adalah imam kita, al-

Nāsir li al-Dīnillah (orang-orang yang menolong agama Allah) adalah pemimpin

kita, berdoa dan memujinya adalah tugas kita.9

Kehadiran al-Sakaki sebagai tokoh ilmu balagah telah menjadi perhatian besar

bagi para ulama di seluruh dunia. Padahal ia bukanlah orang Arab apalagi tinggal di

mana al-Qur’an atau wahyu diturunkan yaitu Makkah dan Madinah.10

Maka tidak

menjadi heran jika Universitas al-Mulk al-Su’ūd di salah satu kota besar Saudi

Arabia telah menjadikan Miftah al-‘Ulūm sebagai materi wajib dalam perkuliahan

pada jurusan bahasa dan sastra Arab.11

Begitupun Universitas al-Azhar di Kairo

Mesir yang lebih dulu juga menjadikan Miftah al-‘Ulūm dan Talkhīs Miftah al-

‘Ulūm sebagai referensi wajib yang dipadukan antara keduanya.12

Pada masa kecil al-Sakaki, ia sangat jauh daripada keluarga yang berilmu

tinggi, ia bukan keturunan ulama juga bukan keturunan bangsawan di Khawarizm,

sehingga pada masa kecil al-Sakaki keluarganya terkenal dengan julukan Sakākīn al-

Haddād (pengasah besi terbaik). Mereka sangat terkenal dengan keluarga yang ahli

dalam menempa besi dan tembaga. Adapun al-Sakaki karena telah terbiasa dalam

keluarganya dengan tipe yang bekerja keras. Ia pun tumbuh menjadi penempah besi

yang handal, ia mampu membuat dan menempa besi sesuai dengan keinginan para

pelanggannya. Masa lalunya sebagai penempah besi, ia lalui selama hampir 30 tahun

tanpa menikmati sekolah pendidikan formal seperti kebanyakan pelajar normal

lainnya.13

6Ilm ‘Arūḍ adalah sebuah ilmu yang membahas tentang keadaan sebuah wazan syair,

dan upaya perubahan wazan syair dari beberapa zihāf atau illat, sehingga akan mudah

mengetahui pentasykilan dari kasrah atau sukun. Lih: Abdul Aziz Atiq, Ilm al-‘Arūḍ wa al-

Qāfiyah (Beirut: Dār Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1987), 7.

7Ilm Qāfiyah, para ulama mendefinisikannya sebagai ilmu yang mempelajari bunyi

yang berada pada akhir bait sebuah syair atau qāshidah, juga tentang bunyi-bunyi yang

selalu diulang-ulang pada bait akhirnya. Lih: Abdul Aziz Atiq, Ilm al-Arūḍ wa al-Qāfiyah

(Beirut: Dār Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1987), 134. 8Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 179.

9Shawqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dārul Ma’ārif, 1119 H), 287.

10

Taufiq Ahmad Dardiri, Dinamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya, 30.

11

Abdul al-Rasyid al-Rubaisyi, Tauṣīf Muqarrar Dirāsat fī al-Balāghah (Riyadh: Dār

al- Ma’ārifah al-Islāmiyah, 2014), 5.

12

Ali Nikmah al-Azharī, Sharḥ Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm li Imām al-Sakākī, 28.

13

Ṣoleh Faḍl, Balāghah al-Khiṭāb wa al-Naṣ (Kuwait: Dār Ālim al-Ma’rifah, 1992),

121-123.

Page 69: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

57

Berangkat dari seorang penempah besi dan keterkenalannya, ia pun mendapat

inspirasi dari seorang raja sekaligus gurunya Sadid al-Khayyāti (585 H) untuk

menimba ilmu pengetahuan dari para ulama terkenal pada masa tersebut seperti

Mahmud al-Sha’idī bin Mahmud al-Harithī (590 H) dan Muhammad Bin Abdul

Karim al-Turkistāni (610 H), hingga akhirnya kelak ia bukan hanya menguasai

bahasa Arab dengan baik, tetapi juga bahasa Turki dan Persia.14

Di antara daftar

guru yang pernah membimbingnya selain kedua guru tersebut yakni Mahmud Ibn

Ṣalih al-Harithī dan Haitāmī.15

Dengan kesungguhan serta usaha kerasnya ia bahkan

melebihi para murid-murid yang semasa dengannya dalam hal penguasaan ilmu

agama, khususnya ilmu bahasa Arab. Selama perjalanan hidupnya, al-Sakaki telah

mengabdikan ilmu dan usahanya untuk mendidik para penerus generasi Islam.16

Al-Sakaki pernah menduduki jabatan strategis di kerajaan pada masa

kepemimpinan al-Arselan bin Ikaz sebagai ulama sulṭan yaitu selama 7 tahun pada

usianya yang ke- 66 tahun. Selama masa jabatan tersebut al-Sakaki berperan sebagai

penasehat serta pemberi pertimbangan dan saran untuk raja dalam menentukan

sebuah keputusan strategis untuk rakyat. Namun, sekalipun demikian tugas

utamanya dalam memberikan pendidikan tidaklah berhenti, melainkan semakin

menambah semangat dan pengorbanan pengabdiannya terhadap amanah ilmu yang

telah diperolehnya.17

Bahkan, tidak jarang ia merasakan bahwa jabatannya di

lingkungan kerajaan seakan memberinya wadah baru dalam menebar kebaikan dan

mewariskan ilmu pengetahuan sebagai anugerah ilahi.

Al-Suyuṭi (1979 M) dan Abbas Baidhun (2013 M) mengatakan bahwa umat

Islam telah berhutang besar kepada al-Sakaki karena jasa keilmuan dan

kontribusinya yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu bahasa khususnya

ilmu balagah.18

Betapa banyak warisan ilmiah yang telah sampai kepada kita bahkan

mungkin masih ada yang belum bisa dimanfaatkan oleh kita umat muslimin, baik

dari para ulama-ulama terdahulu maupun dari sebelum al-Sakaki. Namun, disisi

lainnya tidak sedikit warisan ilmiah yang hilang dan lenyap, lalu tidak diketahui di

mana tempatnya. Para ilmuwan tersebut meninggal dunia dalam keadaan bersabar,

senantiasa berjuang untuk ikhlas dalam hidupnya, memfokuskan diri pada kitab

Allah ta’ala. Hal ini terdapat manfaat untuk memotivasi diri sendiri dari biografi

para tokoh tersebut. Sebab, dakwah untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang

bermanfaat bagi orang lain tidaklah harus dengan lisan, melainkan juga dengan

karya tulis19

seperti yang dilakukan oleh al-Sakaki. Semoga semangat kecintaan

mereka terhadap perkembangan keilmuan dalam Islam dapat ditauladani oleh para

generasi penerus umat Islam.

14Ahmad Hasan Zayyat, Difā’an al-Balāghah (Kairo: Dār Kutub Ilmiyyah, 1967),

10-35.

15

Mahfudz Siddiq, Kajian Balāghah Berbasis Kearifan Lokal (Semarang: Walisongo

Press, 2016), 55-56.

16

Shawqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1119), 77. 17

Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya: Dār

Jami’ah Malaya, 2012), 67.

18

Abbas Baidhun, Istidrākāt al-Khaṭib ‘Ala al-Sakākī (Beirut: Dār Kutub, 2013),13.

19

Canra Krisna Jaya, Metode Dakwah Salaf Ibn Taimiyyah (Jakarta: Bani Abbas,

2014), 43.

Page 70: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

58

B. Setting Sosial Intelektual

1. Kelahiran al-Sakaki

Namanya lengkap al-Sakaki adalah Sirajuddin Abu Ya’qub Yusuf bin Abu

Bakar Muhammad bin Ali Abu Ya’qub al-Sakaki al-Khawarizmi al-Hanafī,20

dan

digelar dengan sebutan al-Sakaki. Nama ini diambil oleh orang tuanya dari

seorang tokoh Khawarizm yang sangat terkenal kegigihan dan kesungguhannya

yakni Muhammad bin Musa al-Khawarizm21

. Kedua orang tuanya menginginkan

kelak al-Sakaki menjadi seorang pejuang yang tidak pernah lelah dan malu. Al-

Sakaki dilahirkan di distrik The Fergana Valley negara Khawarizm sekarang

menjadi negara Uzbekistan, negara yang terbentuk pada 27 Oktober 1924 M,

namun baru merdeka pada 25 Desember 1991 M dengan Ibu kota Samarkand. Ia

lahir pada 11 Mei 1160 M/ 555 H, tepatnya pada masa pemerintahan raja ke- 4

Daulah Khawarizmi (Ṣulṭān al-Khawarizm) yaitu al-Arselan bin Ikaz.22

Kendati

demikian, Yaqut al-Hamawi dalam karyanya Mu’ajam al-Udabā’, ia mengatakan

bahwa al-Sakaki lahir di tahun 554 H di Khawarizm.23

Di tempat inilah al-Sakaki

menghabiskan masa kanak-kanaknya selama 12 tahun, di mana ia bermain dan

dibawa oleh ayahnya untuk sekedar menemaninya di tempat bekerja menempah

besi dan tembaga.24

Qasim Ahmad Ibrahim (2014 M) dan Muhammad Ahmad Saleh (2014 M)

menuturkan bahwa tahun kelahiran calon tokoh balagah ’ajamī tersebut yakni al-

Sakaki bersamaan dengan peristiwa tahun persatuan kekuatan-kekuatan Islam, di

mana Naṣruddin berhasil menyatukan wilayah kekuasaannya di Baitul Maqdis

dengan Damaskus setelah pengepungan umat Islam selama sepuluh hari.25

Semangat kelahiran al-Sakaki telah menyerupai semangat juangnya pada masa

pengabdiannya kelak untuk mencari dan mengamalkan ilmu pengetahuan Islam

yang akan dimilikinya. Ayahnya pun terus mendorongnya agar belajar dari

segala apapun yang dilihat dan dirasakan oleh al-Sakaki kecil masa itu. Ayahnya

berpendapat bahwa apa yang dilihat, diamati dan dirasakan adalah bagian dari

pendidikan yang terpenting sebagai modal masa depan.26

20Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dār Kutub al-Islāmiyah, 2000), 14.

21Muhammad bin Musa al-Khawarizm adalah tokoh dunia yang sangat populer di

dunia pendidikan, ia kelahiran 164 H (780 M) dan wafat di Irak pada 235 H (850 M). Ia

seorang yang ahli dalam bidang sejarah, fisika bahkan ilmu matematika. Sampai saat ini ia

dikenal dengans sebutan al-Khawaizmi. Seorang tokoh Islam fenomenal dari Timur Tengah

pada bidang kedokteran bernama Ibnu Hayyan juga mengakui akan kejenisusan Muhammad

bin Musa al-Khawarizme pada berbagai keilmuan khususnya al-jabar atau ilmu al-hisāb. Lih.

https://ahladif.wordpress.com (Diakses pada 31 Oktober 2017). 22

Misbah Islam, Decline of Muslim States and Societies (Amerika Serikat: Xlibris

Corporation, 2008), 235.

23

Yaqut al-Hamawi, Mu’jam al-Udabā’, (Beirut: Dār al-Gharbi al-Islāmi, 1993), 284. 24

Al-Sayyid ‘Adil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār, http://shiavoice.com/play-

hf25w. html (diakses 02 Oktober 2017)

25

Qassim Abdullah Ibrahim dan Muhammad Abdullah Saleh, al-Mausū’ah al-

Muyassarah fī Tārīkh al-Islāmi (Kairo: Dār al-Mizān, 2000), 183-186.

26

Iffa Nurul Laili, Melacak Eksistensi Kosakata Mesir Kuno dalam al- Qur’an, Jurnal

of Qur’an and Hadis Studies, Vol. 3, No. 2. Juli 2014, 287.

Page 71: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

59

Peneliti muda bernama Bartolomeus Samho (2010 M) dan Oscar Yasunari

(2012 M) mengungkapkan bahwa pendidikan yang baik adalah tindakan

pendidikan melalui proses membentuk seseorang untuk mampu berpikir kritis

dan memiliki ketetapan pikiran dalam wawasan nilai-nilai agama. Kemampuan

tersebut diperoleh dengan usaha dan perjuangan kehidupan yang dilalui dengan

prinsip kemanfaatan.27

Teori pendidikan tersebut agaknya telah menjadi pola

pendidikan kedua orang tua al-Sakaki selama masa kecilnya.

Ayahnya Abu Bakar Muhammad bin Ali sejak usia 4 tahun selalu

mendidiknya dengan bekerja keras sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.

Bahkan tidak jarang al-Sakaki kecil membantu ayahnya walau hanya untuk

memperhatikan seni dalam menempa besi di Khawarizm. Kepribadian ayahnya

adalah seorang yang taat akan ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi

Muhammad صلى هللا عليه وسلم. Pola pendidikan itu pula yang diajarkan oleh

ayahnya kepada seluruh anak-anaknya termasuk al-Sakaki. Sebagaimana

diketahui sebelumnya, selama masa kanak-kanaknya tersebut al-Sakaki belum

pernah menikmati bangku sekolah secara formal. Masa kecil al-Sakaki

pendidikannya secara langsung telah diambil alih oleh ayahnya.28

Pendidikan yang diterapkan oleh ayahnya melampaui pendidikan seperti

kanak-kanak lainnya pada masa tersebut yang hanya bermain seharian. Sedang

al-Sakaki melalui proses kanak-kanaknya dengan tuntutan harus bisa mandiri dan

tidak banyak menyia-nyiakan waktu. Setiap sore usai pulang bekerja Muhammad

bin Ali selalu membawa al-Sakaki kecil mendengarkan ta’līm ilmu agama dan

sastra yang berada di sekitar distrik The Fergana Valley. Untuk ukuran usia al-

Sakaki kecil belum terlalu banyak mengerti apa yang akan ia peroleh. Suatu

kondisi yang jauh berbeda dengan teman-teman sebayanya yang lebih memiliki

kebebasan memilih tempat bermain dan menghabiskan waktu sesuka mereka.

Kebiasaan tersebut pun semakin membentuk karakter kepribadian al-Sakaki yang

tangguh di tangan dingin pola pendidikan ayahnya Muhammad bin Ali.29

Suatu hari, al-Sakaki membuat sebuah tempat tinta kecil dari besi dengan

tutup yang indah. Ia bermaksud memberikannya kepada Sulṭān al-Khawarizm.

Ketika hadiah itu diserahkan kepada raja, sang baginda sangat senang dan begitu

mengagumi hasil karyanya itu. Kata-kata pujian pun terlontar dari mulut sang

raja. Al-Sakaki merasa sangat tersanjung dan bangga bisa berbagi kebahagian

dengan apa yang ia miliki saat itu. Hingga kemudian masuklah seorang lelaki

yang hendak bertemu dengan raja, sementara al-Sakaki masih berada di ruangan

tersebut. Demi melihat tamu tersebut, raja meletakkan hadiah pemberian al-

Sakaki sekenanya. Ia pun berdiri dari singgasananya dan menyambut lelaki itu

dengan penuh hormat, lalu mempersilakannya untuk duduk. Melihat itu, al-

Sakaki bertanya siapakah gerangan lelaki itu wahai raja? Dijawab oleh raja

bahwa tamunya itu adalah seorang ulama besar dari negeri yang dipimpinya. Al-

27

Bartolomeus Samho dan Oscar Yasunari, Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

dan Tantangan-tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini (Bandung: Unpar

Press, 2010), 35. 28

Misbah Islam, Decline of Muslim States and Societies, 260.

29

Yaqut al-Hamawi, Mu’jam al-Udabā’, 287.

Page 72: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

60

Sakaki berpikir dalam hatinya, betapa beruntungnya laki-laki itu, mendapatkan

sambutan yang lebih hangat dibanding dirinya sendiri.30

Dalam khayalnya, seandainya dia seorang ulama, tentu lebih mudah baginya

memperoleh kemuliaan dan penghargaan tinggi yang selama ini sangat di

dambakannya. Mengamati interaksi dan hubungan antara keduanya, al-Sakaki

merasa kagum. Pujian dan penghormatan yang diberikan seorang raja kepadanya

melebihi apa yang ia terima, padahal ia telah mampu membuat raja bangga

kepadanya melalui karya dan seninya yang dikagumi oleh seluruh pesohor

kerajaan tersebut.31

Al-Sakaki yang terkenal sebagai ahli seni penempah besi itupun bertekad

untuk meninggalkan pekerjaan warisan ayahnya, sehingga pada usianya yang ke-

30 tahun ia membuat sebuah keputusan penting dalam hidupnya, ia merubah

kesehariannya untuk menimba ilmu pengetahuan secara totalitas. Bahkan untuk

belajar ilmu agama dan al-Qur’an kepada ulama-ulama terkenal di masa tersebut.

Tidak ingin menyia-nyiakan waktunya, al-Sakaki pun mendatangi sang guru

yang bertamu tersebut dan menyampaikan keinginannya untuk belajar sekaligus

memohonkan agar dirinya diterima sebagai murid baru. Alhasil, dengan tidak

memiliki latar pendidikan apapun, dia harus belajar dari tingkat dasar. Al-Sakaki

dimasukkan oleh gurunya ke dalam kelas murid-murid yang berusia 7 hingga 10

tahun, padahal dia sudah berumur di atas 30 tahun.

Pada suatu pelajaran, gurunya menjelaskan, "Syaikh berkata, kulit anjing itu

menjadi suci dengan cara disamak." Ketika al-Sakaki diminta untuk mengulangi

apa yang diucapkan oleh gurunya tersebut, ia justru mengatakan sebaliknya,

"Anjing berkata, kulit syaikh itu menjadi suci dengan cara disamak." Jawaban

tersebut spontan mengundang tawa teman-teman kecilnya. Akibat hal tersebut,

al-Sakaki putus asa dan memutuskan untuk kembali menjadi tukang besi seperti

masa lalunya. Dalam perjalanan al-Sakaki menuju rumahnya, ia melihat sebuah

batu karang yang sangat keras. Tampaklah batu itu berlubang bekas tetesan air

yang jatuh ke atas batu karang itu. Dari apa yang dilihatnya itu, al-Sakaki

mendapatkan pelajaran berharga. Ia merenung dan berkata dalam hatinya “otakku

tidaklah sekeras batu karang ini, namun mengapa tidak bisa ditembus oleh ilmu

dan pelajaran?32

Terinspirasi dari peristiwa tersebut, ia kembali membulatkan

tekadnya untuk belajar dan menikmati ilmu dari guru dan ulama lainnya.33

Dengan niat dan usaha yang kuat, Allah pun akhirnya membukakan baginya

pintu-pintu ilmu pengetahuan. Selain itu, juga karena motivasinya agar menjadi

seseorang yang mendapatkan kemuliaan lakyaknya ulama pada umumnya. Ia

menimba ilmu dari masjid ke masjid di kawasan tersebut dan tidak melakukan

pengembaraan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama ternama lainnya.34

30

Al-Sayyid ‘Ādil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār (diakses 02 Oktober 2017)

31

Shawqi Ḍaif, al-Balaghah Taṭawwur wa Tārīkh, 261. 32

Al-Sayyid ‘Adil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār, http://shiavoice.com/play-

hf25w. html (diakses 02 Oktober 2017)

33

Abdul Qadir al-Quraysyi, al-Jawāhir al-Māddiyyah fī Tabaqāt al-Ḥanafiyyah

(Riyadh: Dār al-Ulum, 1988), 622.

34

Mahfudz Siddiq, Kajian Balāghah Berbasis Kearifan Lokal, 56.

Page 73: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

61

2. Pendidikan, Pekerjaan dan Proses Awal Kepengarangannya

Pendidikan pertama al-Sakaki diperoleh dari ayahnya Muhammad Ali tanpa

masuk ke sekolah resmi seperti umumnya. Muhammad Ali lebih yakin terhadap

pola pendidikannya dibanding al-Sakaki kecil jika harus terjun langsung sekolah

di lembaga-lembaga pendidikan. Proses pendidikan oleh ayahandanya tersebut

berlangsung selama hampir 30 tahun lamanya. Hingga pada saat ayahnya merasa

pendidikan yang diberikan kepadanya telah cukup sebagai bekal dewasanya, al-

Sakaki pun diberikan kebebasan oleh ayahnya untuk mencari dan menambah

ilmu pengetahuannya secara mandiri.

Sadid al-Din Muhammad al-Khayyati (585 H), guru inspirator al-Sakaki

mengakui bahwa selama mengajar di berbagai majelis ilmu, ia belum pernah

menemukan seorang murid yang lebih tekun dan ulet dibanding tekunnya al-

Sakaki, padahal ia adalah murid tertua pada usianya yang ke 30 tahun. Namun,

al-Sakaki tidak malu untuk bergabung dengan murid-murid yang masih berusia 8

- 12 tahun. Peristiwa tersebut termasuk sejarah baru dalam perjalanan pendidikan

al-Sakaki, di mana ia menuntut ilmu langsung dari para ahlinya dan masuk dalam

kategori sekolah resmi.35

Ketika menjadi pelajar di sekolah formal, secara intelegensia kekuatan al-

Sakaki sesungguhnya terletak bukan pada sastra tetapi pada ilmu kalam dan ilmu

fiqh sebagaimana ia telah diajarkan dan dibentuk kebiasaannya oleh ayahnya

sendiri. Awal ketertarikan al-Sakaki dengan ilmu sastra pada saat sekolah adalah

ketika mendengar bait-bait syair al-Jāhilī yang indah dari gurunya yakni

Muhammad Abdul Karim al-Turkistani. Lantunan dan lafal syair tersebut

membuat al-Sakaki terheran-heran, hingga akhirnya ia mengarang syair-syair

kecil dan mencoba melantunkannya seperti guru ia yang ia amati nada dan

intonasinya.36

Yusuf Rizqah (1999 M) berpendapat bahwa kesungguhan dan kejeniusan

al-Sakaki melebihi para pelajar di masanya. Sebab, menurutnya ia dengan mudah

menyerap ilmu pengetahuan dari berbagai guru dan ulama terkenal pada masa

tersebut.37

Hal itu menurutnya tentu tidak terlepas dari peran sang ayah dalam

tahapan pendidikan yang dirasakan oleh al-Sakaki. Seorang pakar pendidikan

Universitas Terbuka Indonesia Yanti Purnamasari, ia menegaskan bahwa peserta

didik yang berkategori tinggi pada kemampuan penalarannya adalah akibat

kontrol keluarga dan pengalaman yang sangat kuat. Kemampuan dan ketekunan

yang dimilikinya akan jauh lebih tinggi dibanding yang lainnya yang sangat

kurang pada kontroling orang tua dan minim pengalaman hidup.38

Pada usia al-Sakaki memasuki 35 tahun atau telah melewati masa belajarnya

5 tahun. Gurunya Sadid al-Khayyati memintanya untuk mengajar para siswa-

siswi yang baru atau tepatnya mereka yang berusia 10-12 tahun. Kebijakan sang

35Ahmad Hasan Zayyat, Difā’an al-Balāghah, 44.

36

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 5.

37

Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī Balāghah al-Sakākī, Majallah al-Jami’ah

al- Islamiyyah, Vol. 7, No. 1, Januari 1999, 172.

38

Yanti Purnamasari, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games

Tournaments, Jurnal Pendidikan dan Keguruan Vol. 1, No. 1, 2014, 8.

Page 74: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

62

guru tersebut diilhami oleh keyakinan dirinya yang kuat terhadap al-Sakaki untuk

diberi tanggung jawab, sehingga timbul rasa yakin dan percaya diri dalam

jiwanya untuk berbagi ilmu dan wawasan yang ia miliki. Kegiatan baru tersebut

pun membuat al-Sakaki semakin cinta terhadap dunia pendidikan. Ia sangat

memperoleh kebahagian yang tidak terkira di saat ia bisa memberikan manfaat

kepada orang banyak seperti yang telah diajarkan oleh gurunya. Proses

pembelajaran itu ia lalui sebagai perkerjaanya yang baru, ia nikmati sambil terus

berguru kepada ulama-ulama terkenal lainnya, seperti Mahmud Ibn Mahmud al-

Harithī seorang ahli agama bermadzhab hanafī dan ahli ilmu kalam.39

Kecintaannya kepada dunia pendidikan semakin membuatnya tertantang

untuk mempelajari al-Qur’an yang merupakan sumber utama dalam mempelajari

ilmu fiqh madzhab Hanafi dan ilmu syariah. Inilah yang menjadi titik awal al-

Sakaki mempelajari kemukjizatan dan Uslub al-Qur’an (style of Qur’ān) serta

bahasa yang indah melebihi bait-bait syair yang pernah ia dengar langsung dari

guru-gurunya. Dengan kesugguhan yang tidak pernah lelah dan menyerah, al-

Sakaki pun menemukan jalan untuk mempelajari langsung sejarah-sejarah ahli

sastra periode sebelumnya yang sangat memberinya inspirasi, khususnya ilmu

bahasa dan sastra Arab. Misalnya, ia mempelajari al-ṣina’ataini karya al-Jahidz

dan Dalā’il al-I’jāz karya al-Jurjani. Kedua tokoh tersebut menjadi kiblat dan

tauladan belajarnya tentang ilmu bahasa, khususnya ilmu balagah (Art of

Rethoric). Pengembaraannya untuk terus mempelajari ilmu sastra, khususnya

ilmu balagah semakin ia tekuni, bahkan tidak jarang ia pun mencoba memikirkan

sesuatu yang bisa menjadi terobosan baru baginya di saat ia mengajar, yakni

sebuah karya yang memberikan jalan kemudahan bagi para penerusnya.40

Pada usia al-Sakaki menjelang 40 tahun, ia pun mulai mengarang sebuah

karya sastra yang kini dikenal dengan Miftāḥ al-‘Ulūm (The Key to Sciences).41

Proses pengarangan karya tersebut timbul dalam pikirannya karena adanya

keresahan al-Sakaki terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sastra, khususnya

bahasa Arab yang menurutnya belum sempurna dan tidak cukup berkiblat kepada

para ahli sastra sebelumnya. Menurutnya, pada saat itu keilmuan sastra bahasa

Arab masih berputar pada pembahasan ilm ṣarf, ilm naḥw, ishtiqāq, bayān dan

ma’āni.42

Semua keilmuan tersebut seakan terbatas hanya dipelajari di kelas saja

secara terstruktur dan akademik. Padahal menurutnya siapapun yang membaca

dan mempelajari al-Qur’an pastilah ia membutuhkan peralatan untuk memahami

dan memaknai mukjizat terbesar umat Islam tersebut.43

39

Al-Sayyid ‘Adil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār, http://shiavoice.com/play-

hf25w. html (diakses 02 Oktober 2017) 40

Misbah Islam, Decline of Muslim States and Societies, 253. 41

Robert G. Morrison pernah mengungkapkan jika ingin mempelajari ilmu retorika

tentang al-Qur’an maka bacalah Miftāḥ al-‘Ulūm. Ia membuat sebuatan baru dengan karya

tersebut dengan sebutan The Key to Science (Kunci-kunci ilmu pengetahuan). Lih. Robert G.

Morrison, Islam and Science; The Intelectual Career of Nizām al-Dīn al-Nisābūrī (USA:

Routledge, 2010), 23.

42Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī Balāghah al-Sakākī, Majallah al-Jami’ah

al- Islamiyyah, Vol. 7, No. 1, Januari 1999, 156.

43

Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī Balāghah al-Sakākī, 172.

Page 75: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

63

Dalam pemikiran al-Sakaki, sudah seharusnya ilmu bahasa dalam al-Qur’an

terus digali dan dikembangkan keilmuannya. Bahkan, menurutnya ilmu sastra

haruslah menyentuh semua kalangan dan tidak boleh berhenti pada beberapa

ruang dan waktu saja. Ilmu sastra adalah sebuah kebutuhan seperti butuhnya

umat Islam kepada al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan.44

Karena itu, karya yang ditulisnya tidak sekali jadi, tetapi membutuhkan

pengulangan dalam menyusun sistematika dan pengeditan. Bahkan, al-Sakaki

acapkali mengalami kemandekan dalam melanjutkan karyanya. Jika hal itu

terjadi maka al-Sakaki menghentikan proses penulisannya terlebih dahulu lalu

melanjutkannya setelah beberapa hari kemudian. Peristiwa ini persis seperti yang

dilakukan oleh Mahfudz dalam mengarang karya novelnya Aulād Hāratinā

(anak-anak kampung kita). Hanya saja Mahfudz akan mudah menemukan

kembali ide-ide berilian di saat ia melalui hari-harinya dengan merokok,

mendengarkan musik dan nyanyi-nyanyian,45

sedangkan al-Sakaki kembali

menemukan ide-idenya di saat mengajar dan mendapatkan berbagai tulisan dan

pertanyaan dari murid-muridnya, maka ia pun bergegas untuk melanjutkan

tulisannya yang tertunda.46

Riwayat pekerjaannya, selain mengabdikan dirinya di lembaga pendidikan

Islam Khawarizm yang berpusat di ibu kota Samarkand, pada tahun 606 H al-

Sakaki pernah bekerja di kerajaan Sulthan al-Arselan bin Ikaz sebagai penasehat

kerajaan. Selain itu, ia juga sebagai pimpinan dewan pengawas ilmu dan budaya

Khawarizm. Dalam kurun waktu yang singkat, ia justru meninggalkan jabatannya

tersebut karena ingin lebih menyibukkan dirinya untuk menulis dan mengajar,

sehingga kehadirannya sangatlah tidak asing bagi para ulama di Asia Tengah

karena ketenarannya setelah banyak memberikan kontribusi keilmuan, khususnya

setelah menyelesaikan proses kepengarangan Miftāḥ al-‘Ulūm dan menjadi ketua

dewan pengawasan ilmu dan budaya di pemerintahan Khawarizm.

3. Sastrawan dan Pemikir yang Mempengaruhi al-Sakaki

Menurut pengakuan guru al-Sakaki, Sadid al-Din Muhammad al-Khayyati

ketika mengamati muridnya yakni al-Sakaki yang tidak malu mengikuti

pendidikan formal, bahkan pada usianya yang sudah dewasa, hingga akhirnya ia

menjadi tokoh linguis terkenal saat ini. Menurutny,a tentu saja tidak terlepas dari

pengaruh para ahli linguis sebelum kelahiran al-Sakaki. Hal tersebut, diakui oleh

al-Sakaki dalam mukaddimah karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm. Ia mengatakan bahwa

apa yang ia hasilkan tidak terlepas daripada peran keilmuan para ahli sebelum

dirinya, di antaranya adalah Abdul Qahir al-Jurjani, al-Zamakhshari dan al-

Jahidz.47

Tammam Hassan menegaskan bahwa salah satu tokoh sastrawan terkenal

dengan karya-karya dan pemikirannya yang telah mempengaruhi perjalanan

keilmuan al-Sakaki termasuk dirinya sendiri adalah Abdul Qahir al-Jurjani

44Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dzawq fi Balāghah al-Sakākī, 173.

45Sukron Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam dan Politik Studi Semiotik terhadap

Novel Aulād Hāratinā (Jakarta: Dian Rakyat, 2013), 144. 46

Misbah Islam, Decline of Muslim States and Societies, 299.

47

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid Handuwiy, 3.

Page 76: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

64

sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Abdul Qahir al-Jurjani sendiri bermadzhab

mu’tazilah. Pemikiran dan karya-karya yang juga fenomenal membuat al-Sakaki

tertarik untuk mengetahui kejeniusan al-Jurjani, khususnya terhadap karyanya

Asrār al-Balāghah dan Dalāil al-I’jāz. Tercatat dalam sejarah keilmuan, selain

al-Sakaki dan Tammam Hassan yang mengagumi al-Jurjanji, karya monumental

al-Jurjani tersebut juga telah banyak mengispirasi para linguis lainnya termasuk

seorang linguis asal Amerika, Noam Chomsky yang bahkan mereformasi

pemikiran-pemikiranya dengan teori gramatika generatif transformatif yang

diilhami oleh karya al-Jurani tersebut.48

Berkat karya Abdul Qahir yang berjudul Dalāil al-I’jāz, al-Sakaki telah

banyak memperoleh keilmuan tentang kemukjizatan dan uslub al-Qur’an dilihat

dari persfektif keindahan bahasa dan nilai-nilai sastranya. Muhbib Abdul Wahab

mengatakan bahwa Dalâil al-I‘jâz telah di taḥqiq oleh banyak ilmuwan sastra

khususnya mereka para muḥaqqiq (editor manuskrip) dan telah dicetak berulang

kali di berbagai negara. Di antara sekian hasil percetakan tersebut adalah edisi

lengkap dengan indeks yang diterbitkan langsung oleh Dâr Qutaibah di Beirut,

Lebanon. Selain itu, Dalāil al-I’jāz juga diterbitkan dan cetak di Kairo Mesir

oleh Maṭba’ah al-Madānī. Terakhir menurutnya, Dalāil al-I’jāz telah dicetak di

Damaskus Suriah oleh Dâr al-Fikr yaitu pada tahun 1999 M. Karya fenomenal

inilah yang telah banyak mempengaruhi cara pandang al-Sakaki terhadap

keaslian dan kehebatan bahasa Arab melalui al-Qur’an yang telah diturunkan

kepada baginda Muhammad صلى هللا عليه وسلم.49

Al-Sakaki telah terpesona dengan Dalāil al-I’jāz ketika mengetahui

kedalaman ilmunya, belum lagi ketika al-Sakaki mengamati teori sastra dan

naẓam yang dikaji oleh al-Jurjani. Menurut Ṣawqi Ḍaif, al-Jurjani bahkan berani

memberikan komentar telak terhadap seorang tokoh terkenal Mu’tazilah yaitu al-

Qaḍi Abdul Jabbar (415 H) mengenai kemukjizatan al-Qur’an, di mana al-Qaḍi

berpendapat bahwa kehebatan al-Qur’an tidak terletak pada naẓam-nya. Padahal,

Abdul Qahir al-Jurjaji telah mendeskripsikan bahwa struktur kalimat al-Qur’an

sangatlah sistematis dan kaya akan kaidah-kaidah kebahasaan.50

Selain Abdul Qahir al-Jurjani, al-Sakaki juga menurut Tammam Hassan

telah mendapatkan pengaruh besar dari Fakruddin al-Razi. Ia memiliki nama

lengkap Abdullah Muhammad Bin Umar Bin Husain bin Ali al-Tamimi al-Razi,

seorang tokoh sastrawan yang sangat jenius lahir di Ray dekat kota Khurasan

Iran pada tahun 544 H. Menurut Muhammad Husai Dhahabi, ia adalah seorang

penganut paham Syafi’i berbeda dengan Abdul Qahir yang menganut paham

Mu’tazilah. Al-Sakaki banyak belajar dari karya al-Razi yang berjudul Tafsīr

Mafātihul Ghaib atau ia juga menamainya dengan Tafsīr al-Kabīr.51

Bermula

48

Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani dalam Dalâil al-

I’jâz, al-‘Arabiyat Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, Vol. 1, No. 1, Juni

2014, 7. 49

Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani dalam Dalâil al-

I’jâz, 9-10.

50

Ṣawqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī, 44. 51

M. Husai al-Dhahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassir (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), 291.

Page 77: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

65

ketika ia pertama kali belajar dari gurunya di Khawarizm dan mendengarkan

penjelasannya langsung tentang kehebatan tafsir karya al-Razi, hingga mampu

membawa setiap pembacanya ke dalam alam yang berbeda dengan keindahan

sastra yang ia tulis saat menafsirkan al-Qur’an, khusus tentang hal-hal yang

ghaib. Karena kehebatan dan keilmiahan karya al-Razi sering kali ia dijuluki oleh

para ahli sebagai manusia multi talenta. Menurut Muhammad al-Hilawi, al-Razi

bukan hanya seorang penyair, tetapi juga sastrawan, ahli fiqh, tafsir, hikmah

bahkan juga seorang dokter spesialis.52

Al-Sakaki belajar dari Fakhruddin al-Razi banyak hal termasuk ilmu filsafat,

Fiqh, Astronomi bahkan metode penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an. Kendati

demikian al-Sakaki terus mencoba mempelajari Tafsīr al-Kabir yang ditafsirkan

oleh al-Razi dengan metode tahlīlī (analysis method). Menurut al-Umri salah

satu yang menjadi daya tarik dan keterpengaruhan al-Sakaki terhadap karya al-

Razi tersebut adalah karena ia menafsirkan al-Qur’an dengan cara yang unik, di

mana di dalamnya membicarakan lintas ilmu pengetahuan mulai dari ilmu kalam,

filsafat, fiqh, hadis, kedokteran bahkan ilmu astronomi. Menurutnya, yang

menjadi ruh dari Tafsīr Mafātiḥul Ghaib adalah penjelasan yang panjang, dengan

menggunakan al-Ra’yu (rasionalitas) pada seluruh tafsirnya. Terkadang juga

memasukkan pemikiran pribadi dan para pendahulunya berdasarkan kebesaran

dan keluasan ilmu yang dikuasainya.53

Para pendahulu al-Sakaki tersebut telah banyak memberikan inspirasi

kepadanya untuk terus memberikan kontribusi yang besar kepada masyarakat

luas khususnya para pecinta ilmu dan sastra Arab, baik di Khawarizm maupun di

luar Khawarizm. Sebab, jika damati dalam sepanjang sejarah ia termasuk tokoh

yang sangat produktif dan telaten dalam menulis. Ia tidak hanya menulis pada

karya kesastraan saja, tetapi juga berbagai keilmuan filsafat, teologi bahkan ilmu

perbintangan.54

4. Respon Ulama kepada al-Sakaki

Al-Sakaki semakin terkenal pada usianya yang mendekati 60 tahun atau

tepatnya pada saat ia telah menyempurnakan karya tulisnya yang fenomenal yaitu

Miftāḥ al-Ulūm sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Para ahli di masa tersebut,

mengatakan jika dibanding antara al-Qazwaini dan al-Sayuti dalam peran mereka

terhadap keilmuan balagah yang hingga kini keilmuan balagah adalah warisan

mereka semua, maka al-Sakaki jauh lebih baik dan sempurna karena kecerdasan

dan pendapat-pendapatnya yang sangat brilian, sekalipun kedua ulama tersebut

adalah datang lebih akhir. Walaupun al-Qazwaini telah menyempurnakan dan

menyederhanakan karya al-Sakaki menjadi Talkhīs Miftāḥ al-Ulūm.55

52

Muhammad al-Hilawi, Mereka Bertanya Tentang Islam (Jakarta: Gema Insani,

1998), 23. 53

M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Atas Tafsīr al-Manar

(Jakarta: Lentera Hati, 2006), 157. 54

Djaya Cahyadi, Takdir dalam Pandangan Fakruddin al-Razi (Jakarta: Ciputat

Press, 2011), 28. 55

Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani dalam Dalâil

al-I’jâz, 5-7.

Page 78: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

66

Ahmad Mathlub menegaskan bahwa, selain kemampuan al-Sakaki pada

bahasa Arab yang lebih fasih bicara dan lafalnya juga karya-karyanya telah

menjadikannya lebih terkenal di tengah-tengah ulama lainnya. Maka tidak jarang,

jika pada masa itu ia dikenal sebagai seorang yang ‘ajamī (non-Arab) seakan

telah berubah menjadi ‘Arabī. Disisi lain ketajaman bahasannya pada kajian dan

pembahasan Miftāḥ al-’Ulūm dan berbagai karyanya bukan hanya semata karena

bahasa Arab, lebih dari itu karena ia juga ahli di bidang fiqh, filsafat, aqidah dan

dan psikologi Islam. Perbaduan dari keilmuan yang dimilikinya tersebut semakin

membawanya kepada pemahaman dan pemaknaan yang lebih sempurna.56

Sebagaimana dikatakan oleh al-Farabi (956 H) bahwa sebuah ilmu pengetahuan

haruslah mengantarkannya kepada tempat yang lebih terpuji, dan tentunya harus

berdasarkan perjuangan serta usaha yang kuat untuk memimba ilmu.57

Mustafa al-Maraghī dalam karyanya Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf

bi Rijālihā menegaskan bahwa setiap pecinta bahasa Arab menurutnya tidak akan

pernah tahu sebelumnya, bahwa sesungguhnya yang berjasa mengklasifikasi ilmu

fashāhah kepada tiga bagian seperti yang kita lihat pada hari ini, baik itu yang

berbentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan kecuali ia adalah al-Sakaki.58

D. Hidayat menilai bahwa sekalipun ada kekurangan di sana-sini dalam

sebuah karya ilmiah adalah hal yang biasa terjadi. Sebab, menurutnya, al-Sakaki

tentu bukan sembarang ilmuwan, karena dialah ilmuwan sastra di dunia dapat

mengenal ilm balāghah dengan baik. Sekalipun datang generasi dan tokoh yang

lebih baik darinya. Balagah tetap menjadi pionir bagi mereka yang berjasa

membangun dan merumuskan ilmu balagah lebih dulu dengan tersistematis dan

rapih. Basiq Djalil (2010 M) dalam karyanya Logika Ilmu Mantiq mengatakan

bahwa ilmu balagah yang telah disempurna pada masa al-mu’āṣirūn (fase

modern) khususnya yang dipelopori oleh al-Sakaki sangat memberikan apresiasi

besar terhadap karya-nya. Senada dengan D. Hidayat, ia menyimpulkan bahwa

ilmuwan era globalisasi ini mungkin tidak akan pernah mengenal ilmu balagah

jika tanpa al-Sakaki. Sebagaimana diketahui karena keilmuan balagah tersebutlah

menurutnya ilmu mantik semakin dibutuhkan sebagai alat membaca keilmuan

dengan logika dan pemikiran para tokoh. Hingga akhirnya al-Farabi muncul

sebagai ulama terkenal yang mempelajari ilmu mantik sebagai kelengkapan pada

keilmuan balagah.59

Paralelitas para tokoh tersebut membuat keilmuan balagah

terus berkembang bahkan sampai pada puncaknya di masa al-Sakaki pada awal

fase al-mu’āṣirūn (fase modern). Dan Muhammad Abduh sebagai puncak

keilmuan balagah modern, yang dengan pemikiran-pemikirannya sastra Arab

terus berkembang pesat di Universitas al-Azhar Kairo. 60

56Ahmad Mathlub, Asālib al-Balāghah wa al-Fashahah wa al-Ma’āni (Kuwait:

Wakālah al- Maṭbu’āt, 1980), 115. 57

Hafidz Abdurrahman, Pengaruh Ilmu Filsafat dan Ilmu Kalam Terhadap

Kemunduran Islam (Bogor: al-Azhar Fresszone Publishing, 2015), 7. 58

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf bi Rijālihā

(Beirut: Dār al-Ma’ārif, 1950), 36. 59

Basiq Djalil, Logika Ilmu Mantik (Jakarta: Preadamedia Group, 2010), 5.

60

Ahmad Mathlub, Asālib al-Balāghah wa al-Fashahah wa al-Ma’āni, 205.

Page 79: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

67

Adapun beberapa tokoh muslim lainnya di masa pemerintahan khalifah

Mansur atau tepatnya pasca pemerintahan Umayyah, mereka yang sedang

mempelajari ilmu bahasa Arab khususnya balagah diantaranya adalah Ibnu Sina,

Abdullah al-Khawarizmi, Ibnu Bajah, al-Asmawi, al-Samarqandi dan Ibnu al-

Qudamah.61

Ibnu al-Qudamah (1146 M) pernah menggambarkan sosok Imam al-Sakaki.

Menurutnya, ia adalah penulis terkenal ilmu balagah dengan judul Miftāḥ al-

‘Ulūm. Menurutnya, al-Sakaki menulis karya baru tersebut karena ingin

menyempurnakan dan melengkapi karya-karya dan karangan-karangan ulama

terdahulu sebelum dirinya. Sebab, menurut al-Sakaki keilmuan balagah saat itu

masih belum dipandang cukup baik. Ia pun dalam karyanya berupaya untuk

menjelaskan kekurangan yang terdapat dari sebelumnya, dan banyak meneliti dan

mengkritik kaidah-kaidah balagah yang dianggap tidak diperlukan. Masih

menurut Ibnu Qudamah (1146), semua itu ia lakukan karena banyak mempelajari

kitab-kitab mantik dan filsafat, tentu saja kitab ini memiliki kelebihan tersendiri

dibandingkan kitab-kitab yang sama ditulis pada masa-masa sebelumnya.62

Kehadiran Imam al-Sakaki di tengah-tengah para ulama langsung mendapat

respon yang sangat baik dengan menjadikan karya dan ide-idenya sebagai salah

satu pendorong berkembangnya ilmu bahasa Arab khusunya ilmu balagah.

Bahkan, Ibnu Khaldun seorang sejarawan dan sosiolog terkemuka di dunia

akademik mengakui bahwa imam al-Sakaki sesungguhnya telah menjadi pioner

balagah, bukan Abdul Qahir maupun para pendahulunya. Maka Ibnu Khaldun

sebagai salah seorang ulama tafsir mengajak setiap pecinta bahasa Arab agar

tidak menafikan karya tokoh terbaik tersebut pada zamannya. Sebab, menurutnya

memanfaatkan karya dan mengembangkan pemikirannya adalah sebuah apresiasi

bagi penulisnya yang pernah menjadi bagian dari sejarah.63

Terlebih lagi, al-Sakaki merupakan tokoh yang menjembatani antara Abdul

Qahir yang menggabungkan ilmu dan amal dengan orang-orang kontemporer

yang memaksakan diri untuk mengkaji balagah. Mereka menyamakan balagah

dengan ilmu-ilmu nadhariyyah (persfektif akal), serta menafsirkan kalimat-

kalimatnya seperti mengkaji ilmu bahasa Arab. Keadaan tersebut hampir

membuat balagah mirip dengan teka-teki, sehingga batasan dan kriteria ilmu

balagah hampir musnah. Selain itu, kitab-kitab karangan al-Jurjani pun pada

masa itu hampir ditinggalkan, dan tidak lagi dipelajari.64

Barangkali inilah nasib

sebuah ilmu pengetahuan jika dipelajari oleh orang-orang yang berada dalam

masa kehancuran.

Mengamati fenomena keilmuan tersebut membuat para ulama termasuk para

ahli bahasa menjadi sangat resah akan kepunahan keilmuan di masa yang

61Ahmad Mathlub, Asālib al-Balāghah wa Al-Fashahah wa al-Ma’āni, 180.

62

Ibnu Qudamah al-Muqaddasi, al-Mughnī l Ibn al-Qudāmah (Riyadh: Maktabah

‘Askar, 620), 15.

63

Najat Ghiqali, Adabiyyāt al-Khiṭāb al-Nathri fī Kitābāt Ibnu Khaldūn, (Aljazair:

Jami’ah al Hajj, 2005), 33.

64

Bandar Rafid al-Enzi, Ibn Khaldun as a Critic (Riyadh: Jami’ah Sharq Ausaṭ,

2012), 22.

Page 80: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

68

mendatang. Universitas al-Azhar Kairo sebagai tempat bernaung para ulama

tersebut pun mengusulkan agar menjadikan kutub al-turāts al-qadīm sebagai

rujukan keilmuan termasuk di dalamnya adalah kitab Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm.

Sekalipun demikian, karya asli al-Sakaki bukan berarti ditinggalkan melainkan ia

dijadikan rujukan besarnya, sehingga karya Khaṭib al-Qazwaini tersebut menjadi

lebih fenomenal dikalangan para ilmuwan bahasa.65

Ahmad Sayuthi Anshari

(2015 M) dalam karyanya Ilm al-Aṣwāt al-‘Arabiyyah mengungkapkan bahwa

secara historis ilmu bunyi dan makna sangat di ilhami oleh perkembangan ilmu

nahw. Hal tersebut menurutnya tampak pada karangan tokoh linguis terkenal

Bergestraser (1990 M) yang ia beri judul Tathawwur al-Naḥwi yang menjadi

salah satu literature ilmu bunyi yang banyak beredar di kalangan orang Arab.

Dan tentu saja perkembangan ilmu nahwu tersebut telah menjadi bahasan khusus

oleh al-Sakaki yang dijadikannya sebagai pengantar keilmuan menuju ilmu

balagah.66

Dan keilmuan tersebut tetap dipertahankan dan disempurnakan oleh

al-Qazwaini sebagai karya aslinya, yang akhirnya karya ini menjadi lebih

tawāzun (seimbang) antara kaidah dan rasa.

Masa al-Sakaki tersebut dikenal sebagai masa keemaasan Abbasiyyah

(Nahḍah al-‘Abbāsiyyah). Dimana kebudayaan Arab jauh dari perubahan

keadaan masyarakat Islam di luar negara-negara Arab. Selain itu, pada masa

tersebut dikenal juga dengan peristiwa percampuran kebudayaan Arab dengan

non-Arab (‘ajamī dan ‘arabī). Hal tersebut seiring dengan perluasan (ekspansi)

pemerintahan Islam di berbagai wilayah di Timur Tengah. Pengaruhnya generasi

campuran Arab dan non- Arab pun semakin tidak terkendalikan dengan berbagai

macam jenis dan bentuk keahliannya, sehingga keadaan semakin tidak terkendali

dari sisi kebudayaan. Salah satu dampak besarnya pada masa tersebut adalah

terjadinya persaingan keilmuan dan idelogi filsafat Islam. Hal yang sangat

mengagumkan di antara para generasi tersebut adalah al-Sakaki. Para ilmuwan

‘Arabī, merasa heran dengan kehebatan al-Sakaki dalam berbahasa padahal jelas

ia bukan dari golongan orang Arab. Hal tersebut tampak dari gaya bahasa al-

Sakaki yang santun dan lugas membuat para lawan bicaranya terkesima dan

penuh perhatian.67

Al-Sakaki wafat di dalam penjara saat menjalani hukuman, ia dihukum

karena dihadapkan dengan fitnah besar yang menyebabkann dirinya harus

meninggalkan jabatan dan pekerjaan pada kerajaan Sulṭan al-Arselan bin Ikaz di

Khawarizm. Ia wafat pada usianya yang ke-76 tahun, dan di makamkan di sebuah

kampung bernama Ātun Nām.68

Sekalipun, Abdul al-Quraishi menyebutkan

65Ali Ni’mah ‘Allamah al-Azhari, Sharḥ Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm li Imām al-Sakākī

(Kairo: Dār al-Qanāt, 2013), 66.

66

Ahmad Sayuti Anshari, Ilm al-Aswāt al-‘Arabiyah (Jakarta: Sinar Grafika Offset,

2010), 8.

67

Fauzan Muslim, Sastra dan Masyarakat Arab (Jakarta: penaku, 2016), 112 - 117.

68

Karena kemashurannya al-Sakaki dalam berwawasan global dan keintelektualannya

di berbagai bidang keilmuan Islam maupun bahasa. Ia telah dipercaya oleh Sulṭan untuk

menjadi seorang ulama di lingkungan kerajaan yaitu pada tahun 616 H - 623 H. Dalam

perjalanannya ia mendapatkan fitnah dari seorang menteri kerajaan Habashi Amid (639 H).

Hal tersebut bermula karena iri hati serta dendam yang disimpan oleh menteri kerajaan

Page 81: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

69

dalam karyanya al-Jawāhir al-Mādiyyah fī Tabaqāt al-Ḥanafiyah menyebutkan

bahwa al-Sakaki wafat di desa al-Kindi provinsi al-Mali pada tahun 626 H.

Daerah tersebut menurut para ahli masih tergolong jauh dari tepat kelahirannya

di The Fergana Valley.69

D. Hidayat mengungkapkan bahwa mulai sejak itu hingga saat ini dunia

bahasa Arab telah kehilangan sosok yang santun dan lugas bahasanya itu. Tentu

saja jasa-jasa dan pengabdian keilmuannya khususnya bahasa Arab dan balagah

tidak akan pernah hilang dimakan usia.70

Pendapat yang senada dengan tokoh

bahasa Arab Indonesia Moh. Matsna HS (2015 M), ia menguatkan bahwa selama

al-Qur’an masih dibaca dan dipelajari, maka keilmuan balagah sangatlah penting

dan dibutuhkan. Itu sebabnya, Umar Ibnu Khaṭtab selalu menyemangati umat

Islam dalam perkataannya kepada para sahabat dan umumnya kepada umat ini;71

جزء من دينكم اتعلموا اللغة العربية فإهنArtinya:

“Belajarlah kalian bahasa Arab, karena ia bagian dari agamamu.”

Dengan demikian, sejarah perkembangan ilmu bahasa Arab khususnya

balagah tidak boleh berhenti pada masa al-mu’āṣirūn (fase modern) saja. Harus

ada para pemikir dan filsuf muslim yang mampu menkonstruksi kembali

keilmuan-keilmuan zaman dahulu agar terus dapat dikembangkan dan dirasakan

manfaatnya sesuai kebutuhan umat Islam saat ini dan generasi penerusnya dalam

mengkaji kitab suci-nya yaitu al-Qur’an al-karim.72

Itulah sebabnya, kemunduran pada dunia Islam akan semakin memberikan

kesempatan kepada dunia barat untuk menjajah Islam melalui keilmuan dan

penemuan-penemuan teknologinya yang semakin hari semakin canggih. Hal

tersebut disebabkan karena tokoh semisal al-Jurjani, al-Ghazali, al-Kindi, Ibnu

Sina dan Khawarizmi bahkan al-Sakaki semakin tidak kelihatan akan wujud dan

tanda-tanda kemunculannya. Dunia mencatat dalam sejarah Islam bahwa Islam

pernah menikmati masa keemasannya sejak tahun 750 M sampai 1258 M. Saat

tersebut, sehingga ia berulang kali melakukan serangan fitnah kepada al-Sakaki. Bahkan ia

pun berkata kepada sang raja “Kalau al-Sakaki telah mampu mencapai ke tahap ini maka

jangan heranlah kalau suatu saat nanti dia akan mampu merebut kuasa dari tuanku”.

Fitnahan tersebut pun termakan oleh raja El-Arselan bin Ikaz sehingga akhirnya pihak

kerajaan memenjarakan al-Sakaki selama tiga tahun lamanya. Banyak para tokoh dunia

muslim dan sastrawan yang merasa kecewa dengan keputusan raja mereka, karena tidak

melihat pokok permasalahan dengan adil dan bijaksana. Al-Sakaki seorang tokoh yang kuat

akan iman dan pribadinya sedikitpun tidak membuatnya merasa putus asa apalagi mereka

peristiwa tersebut adalah akhir dari segalanya. Lihat: Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan

Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya: Dar Jami’ah Malaya, 2012), 62-63.

69

Qassim Abdullah Ibrahim dan Muhammad Abdullah Saleh, al-Mausū’ah al-

Muyassarah fī Tārīkh al-Islāmi, 212. 70

D. Hidayat, al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’ (Semarang:

PT. Karya Toha Putra, 2013), 88.

71

Moh. Mastna , Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 98. 72

Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl Dirāsah Epistīmūlūjiyyah li al-Fikri al-Lughawī

‘Inda al-‘Arab, 179.

Page 82: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

70

itu kemajuan keilmuan bukan hanya terbatas pada sastra dan bahasa tetapi juga

berbagai keilmuan lainnnya seperti kedokteran dan matematika.

Fenomena Islam kini justru semakin jauh dari wujud nyatanya akibat para

generasinya kurang berjuang dalam menemukan berbagai ilmu yang baru dan

eksperimen keilmuan. Ironisnya kini yang menjadi tren perkembangannya adalah

ilmu umum, sedang yang kaitannya dengan al-Qur’an sebagai aqidah umat Islam

sangat minim dan bahkan semakin dijauhi dan cenderung hijrah darinya. Pada

akhirnya ilmu aqidahnya harus terus mengikuti zaman terdahulu.73

C. Karya Intelektual al-Sakaki

Sepanjang hidupnya, Sirajuddin Yusuf al-Sakaki (555 H-626 H/ 1160 M –

1230 M) telah berhasil mengekspresikan pemikirannya melalui beberapa kitab

antara lain, Kitāb al-Jumal, al-Tibyān, al-Ṭalsam dan Risālah fī Ilm al-Munādharah

dan Miftāḥ al-‘Ulūm.74

Selama proses penulisan karya-karyanya tersebut tidak

pernah melakukan pengembaraan dari luar wilayahnya sendiri. Namun, al-Sakaki

sangat tekun menemui para ulama yang datang ke daerahnya tersebut hanya sekedar

kenalan atau justru menanyakan beberapa hal tentang keilmuan-keilmuan yang ia

ingin tahu. Pada masa pengabdian keilmuannya, al-Sakaki pernah menemukan

beberapa kesulitan bagi para penutur non-Arab dalam menyusun struktur kalimat

yang benar sesuai kaidah Arab. Maka ia pun memutuskan untuk menuangkan

pemikirannya pada karyanya yang disebut dengan Kitāb Ṣarḥ al-Jumal (The

Eksplanatian of Language Structure).75

Kitāb Ṣarḥ al-Jumal ditulis oleh al-Sakaki di Khawarizm Republik

Uzbekistan pada tahun 590 H, ia berisi tentang al-naḥw yang berbicara tentang

teori-teori penting dalam penyusunan struktur-struktur kalimat dalam berbahasa

Arab yang lebih teoritis.76

Abdul Hamid Handuwi (1418 H) menambahkan bahwa

karya Kitāb Ṣarḥ al-Jumal yang ditulis oleh al-Sakaki adalah penjelasan dan

penjabaran pada karya Abdul Qahir al-Jurjani Kitāb al-Jumal.77

Al-Sakaki menuturkan bahwa dalam Kitāb al-Jumal tersebut perlu

penjelasan dan penjabaran akan lebih mudah dipahami maksud dan harapan al-

Jurjani. Al-Sakaki lebih cenderung menyebutnya sebagai ‘Ilm al-naḥw yang

berfungsi khususnya untuk menghindari kesalahan-kesalahan (laḥn) pada

penuturnya saat mengeluarkan lafal dari lisannya, disamping juga sangat membantu

dalam penulisan yang tepat. Menurutnya, tujuan berbicara adalah pahamnya

pendengar dari apa yang disampaikan oleh al-mutakallim (speaker), dan hal tersebut

tidak akan terjadi jika kalimat-kalimat yang disampaikan kurang mendapatkan

perhatian dari sisi penyusunan kalimat dan yang mudah dipahami. Dalam berbicara

73Bandar Rafid al-Enzi, Ibn Khaldun as a Critic (Riyadh: Jami’ah Sharq Ausaṭ,

2012), 22.

74

Ahmad al-Alawanah, al-Ulamā al-Arab al-Mu’āshirūn (Beirut: Dār al-Bashāir al-

Islāmiyah, 2011), 70.

75

Shauqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, 268.

76

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid (Beirut: Dār Kutub al-Islāmiyah,

2000), 10. 77

Abdul Hamid Handuwi, Hayāt al-Sakākī wa Ṭalabuhu li al-‘Ulūm (Kairo: Dār

Kutub al-Islāmiyyah, 2014), Cet. 3, 17.

Page 83: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

71

dua hal yang sangat penting diperhatikan yaitu (lawan bicara) أو املخطاب القابل dan

(subyek awal) أو املتكلم الفاعل . Di sisi lain, menurutnya adalah األثر (pengaruh), artinya

apapun yang telah disampaikan kepada lawan bicara haruslah mendapat perhatian,

sudahkah memiliki pengaruh atau belum dipahami oleh lawan bicara dari apa yang

telah diucapkan tersebut.78

Para murid-murid al-Sakaki menyambut baik karya Kitāb Ṣarḥ al-Jumal

karena menurut mereka sangatlah bermanfaat dalam hal taḥsīn al-kalimāt fī al-nuṭq.

Mukhtar Mahmud bin Muhammad al-Zahidi (670 H), murid al-Sakaki mengakui

kemudahan dalam proses belajar bahasa Arab dengan menjadikan Kitāb Ṣarḥ al-

Jumal sebagai rujukan utama dalam materi berbahasa Arab.79

Ia bahkan berkata

bahwa dengan karya tersebut ia dan beberapa teman sebangkunya sangat diilhami

rasa kemudahan dan kecintaan ketika mempelajari al-Qur’an karena telah memiliki

alat untuk mempelajarinya yaitu Kitāb Ṣarḥ al-Jumal. Para ulama masa tersebut

berpendapat bahwa Kitāb Ṣarḥ al-Jumal adalah awal dikenalnya al-Sakaki pada

bidang keilmuan secara akademik. Ia bahkan mengajarkan Kitāb Ṣarḥ al-Jumal

kepada para murid-muridnya dari satu masjid ke masjid yang lainnya. Setelah

selesai penulisan pada kitab ilmu nahwu tersebut, al-Sakaki pun menulis kembali

karya baru yaitu al-Tibyān dan al-Ṭalsam yang ditulis dengan bahasa persia.80

Malikah Aṭallah dalam penelitian tesisnya di Aljazair menyebutkan bahwa

kedua kitab tersebut saling berkaitan. Dimana al-Tibyān berisi pembahasan

keilmuan bahasa dengan tujuan menjelaskan hal-hal yang sulit dipahami dalam

memahami al-Qur’an dan al-hadis atau disebut sebagai (al-muṣṭalah al-‘arabiyyah).

Sebaliknya, Kitāb al-Ṭalsam berbicara tentang sesuatu yang al-mubham (yang

meragukan), ia mempertegasnya untuk sebuah keyakinan keilmuan dalam berbahasa

Arab, bahkan di dalamnya ia juga berbicara tentang al-haqīqah dan al-isti’ārah.

Menurutnya, kedua karya tersebut sangat jarang dikaji atau diungkap keilmuannya,

selain karena berbahasa persia yang sedikit terbatas, juga karena para ilmuwan

merasa lebih cukup kepada karyanya yang terakhir yakni Miftāḥ al-‘Ulūm.81

Karya al-Sakaki yang sangat fenomenal di kalangan para ilmuwan Islam

adalah Miftāḥ al-‘Ulūm sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Karya tersebut ditulis

oleh al-Sakaki pada awal abad sampai pada pertengahan abad ke-6 H yaitu pada

masa khilafah ‘Abbasiyyah.82

Dalam kitab Mu’jam al-Maṭbū’āt al-‘Arabiyyah wa

al-Mu’rābāt mencantumkan bahwa Miftāḥ al-‘Ulūm telah dicetak pertama kali di

Dār al-Kutub al-Ilmiyyah Sarkis Mesir pada masa khilafah Utsmaniyyah.83

78Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Ed) Na’im Zarzuri (Beirut: Dār Kutub Islāmiyah,

1983), 76.

79

Aṭaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya: Dār

Jami’ah Malaya, 2012), 60.

80

Ibnu Samsul Huda, Sejarah Balāghah antara Ma’rifah dan Ṣinā’ah, Adabiyyāt Vol.

10, No.1, 2011), 27. 81

Malikah Aṭallah, ‘Ulūm al-Balāghah ‘Inda al-‘Ulwī al-Yamanī Baina al-Taqlīd wa

al-Taisīr wa al-Tajdīd (Aljazair: Jami’ah Qasidi al-Mirbah Press, 2010), 61.

82

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 17.

83

Yusuf Ilyas Ibn Musa, Mu’jam al-Maṭbū’āt al-Arabiyah wa al-Mu’rābāt (Mesir:

Dār Sarkis, 1928), 88 .

Page 84: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

72

Al-Sakaki menulis Miftāḥ al-‘Ulūm karena adanya dorongan terhadap

keilmuan bahasa yang menurutnya haruslah lebih lengkap dan pembahasannya

disajikan secara menyeluruh, selain itu menurutnya perlu diklasifikasikan, sehingga

keseluruhannya tidak menyatu. Dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm, ia telah membagi

pembahasannya kepada ilm naḥw, ilm ṣarf, qāfiyah, arūḍ dan balāghah. Pada ilmu

balagah ia membaginya kepada tiga komponen keilmuan yaitu al-bayān, al-ma’āni

dan al-badī’. Miftāḥ al-‘Ulūm mempunyai peranan penting dalam menyebar luaskan

keilmuan balagah ke seluruh dunia.84

Para pakar balagah banyak yang memberikan

perhatian terhadap karya tersebut dengan berbagai macam cara, baik itu bentuknya

ringkasan, uraian atau hanya sekedar ulasan terhadap isi Miftāḥ al-‘Ulūm. Karya

tersebut sungguh telah mengharumkan nama pengarangnya di seluruh dunia.

M.A.S Abdul Halem (1984 M) menuturkan bahwa Miftāḥ al-’Ulūm adalah

ibarat pencerah terhadap keilmuan bahasa Arab. Hal tersebut menurutnya karena al-

Sakaki juga telah mengikuti perkembangan keilmuan balagah sebelumnya, sehingga

dalam pengamatannya ia pun melakukan sesuatu yang berbeda dengan ilmuwan

bahasa lainnya. Al-Sakaki meletakkan semua masalah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm,

setelah memisahkan sebagiannya dengan sebagian yang lain dan meringkaskan kata

pada tempat yang sesuai, ia menjabarkan semua ini sesuai menurut aturannya, serta

mengemukakan bukti-bukti yang diperlukan dan mengekalkan apa-apa yang sesuai

menurut keilmuannya dari pendapat-pendapat ulama terdahulu. Lalu, ia memberi

keterangan dan bimbingan kepada bagian-bagian perbahasan yang kurang mendapat

perhatian para ulama terdahulu. Maka Ibn al-‘Aṭir (637 H) dan Zarkashi (794 H)

menyimpulkan bahwa jasa terbesar dari karya al-Sakaki yang sangat berpengaruh

dalam perkembangan ilmu bahasa Arab adalah Miftāḥ al-‘Ulūm (The Key to

Sciences).85

D. Pemikiran Balagah al-Sakaki Kontinuitas dan Perubahan

Imam al-Sakaki selain sebagai seorang sastrawan terkenal pada fase al-

Mu’āṣirūn (kontemporer) yang karena hasil pemikirannya terhadap ilmu balagah

mencapai pada puncak kejayaannya. Disisi lain, ia juga merupakan ahli dalam

bidang ilmu akidah (al-kalām) aliran mu’tazilah. Shawqi Ḍaif menuturkan bahwa

pada masa kehidupan al-Sakaki di kawasan Khawarizm telah dikuasai oleh paham

mu’tazilah. Paham ini mempengaruhi pola pikir ulama yang hidup di kawasan

tersebut, terutama dalam bidang teologi termasuk menurutnya juga al-Sakaki.

Senada dengan yang disampaikan oleh Mahfudz Shiddiq (2013 M) bahwa

lingkungan dan pengaruh paham mu’tazilah yang berkembang di kawasan tersebut

telah melahirkan banyak ulama ternama di berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Sebelum kehadiran al-Sakaki, misalnya ulama mashur sebelumnya seperti Abdul

Qahir al-Jurjani juga termasuk penganut aliran yang sama.

Ibadah keseharian al-Sakaki dalam praktek ilmu fiqh dan usul fiqh, ia lebih

terkenal sebagai pengikut aliran madzhab Ḥanafī. Menurutnya, antara madzhab

84Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah, 64.

85M.A.S. Abdul Haleem, Grammatical Shift For Rhetorical Purposes: Iltifat and

Related Features In The Qur'an (London: School of Oriental and African Studies Press,

2001), 410.

Page 85: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

73

mu’tazilah dan hanafiyah lebih tepatnya harus dipelajari dan diamalkan keduanya.

Sebab, menurut al-Sakaki cara pandang madzhab mu’tazilah dalam bertauhid jauh

lebih kuat dan meyakinkannya karena menempatkan Tuhan semesta alam sebagai

penguasa yang satu-satunya tanpa disertai oleh apapun, sehingga jauh dari prilaku

syirik dan mempercayai aliran sesat lainnya. Al-Sakaki dalam beberapa karyanya,

misalnya pada karya Miftāḥ al-‘Ulūm, ia sering kali mengaitkan contoh-contah ayat

dari al-Qur’an yang berhubungan langsung dengan konsep ketuhanan dan keadilan.

Dalam muqaddimah karya Miftāḥ al-‘Ulūm, al-Sakaki menegaskan bahwa

karya tersebut ia lakukan adalah sebagai upaya untuk meluruskan pemahaman

bahasa dan menegakkan sebuah dasar keilmuan bahasa dengan tujuannya amar al-

ma’rūf dan nahi munkar.86

Begitu juga pada bab 1 dalam buku tersebut tampak

ungkapan bahasa al-Sakaki sangat mencolok pahamnya yang mengikuti rasionalitas

akalnya seperti aliran mu’tazilah, ia berkata: 87

مذهبنا، واخللفاء الراشدون نبينا، واإلسالم ديننا، والتوحيد والعدل صلى اهلل عليه وسلم اهلل إهلنا وحممد أئمتنا، والناصر لدين اهلل خليفتنا، والدعاء له والثناء عليه وظيفتنا.

Artinya:

“Allah adalah Tuhan kami dan Muhammad صلى هللا عليه وسلم adalah Nabi

Kami, Islam adalah agama kami, Tauhid dan keadilan adalah madzhab

kami, Khulafa al-Rasyidin pemimpin kami, penolong agama Allah adalah

khalifah kami, sedangkan do’a dan pujian kepada-Nya adalah tugas kami”.

Tammam Hassan menyimpulkan bahwa konsep aliran Mu’tazilah adalah

sama dengan kalimat di atas, dimana ada 5 teologi penting (al-Uṣūl al-Khamsah),88

yaitu: 1). al-Tauhīd, 2). al-‘Adl, 3). al-Wa’du wa al-Wa’īd, 4). al-Manzilah baina al-

Manzilataini, 5). al-Amru bi al-Ma’rūf wa al-Naḥyu bi al-Munkar.

86

Sirajuddin al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), 7. 87

Aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam, yang menjadikan pemikiran

rasional dalam segala hal, khususnya dalam menjelaskan masalah ketuhanan. Secara

epistemologi pemikiran rasional tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat. Dalam

prakteknya aliran ini mengagungkan metode berfikir filsafat untuk menjelaskan dan

menetapkan persolan ketuhanan. Ia memiliki pandangan bahwa Tuhan telah memberikan

kemerdekaan dan kebebasan (al-ḥurriyah) bagi manusia dalam menentukan kehendak dan

perbuatannya, karena Tuhan tidaklah ijbārī (absolute) dalam memaksakan kehendak-Nya.

Menurut Mu’tazilah, Tuhan mempunyai untuk kewajiban berlaku adil dan bijaksana,

menempati janji, memberi rizki, menjaga dan melindungi para hamba-hambanya. Maka

dalam hubungannya dengan perbuatan manusia, kehendak mutlak Tuhan jadi terbatas karena

kebebasan itu telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan

kehendaknya, sehingga mu’tazilah memposisikan manusia dalam tatanan alam semesta

memiliki pandangan tersendiri. Manusia harus berhubungan dengan alam, dan tidak dapat

menghindarkan diri dari ketentuan-ketentuan yang berlaku berdasarkan hukum alamiah. Jika

dikaitkan dengan paham free will dan free act, sudah menjadi perdebatan panjang dikalangan

teologi Islam. Lih. Zulhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap

Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal Filsafat, Vol. 14, No. 2, Desember

2013, 119. 88

Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 77.

Page 86: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

74

Abdul Jabbar Ibn Ahmad (1996 M) menuturkan bahwa kelima ide teologi

tersebut berdasarkan ajaran Islam dari al-Qur’an dan pikiran. Ia juga menambahkan

dengan dasar ajaran tersebut maka mu’tazilah sangat kritis terhadap al-hadis, dan

sumber pemikiran para sahabat dalam setiap tahapan penafsiran al-Qur’an maupun

al-hadis sebagai kedua sumber ajaran Islam. Mu’tazilah sebagai aliran yang

sepenuhnya meyakini kemampuan akal, ide-ide pemikiran mereka sangat banyak

dipengaruhi oleh cara berifikir kritis dan filsafat dari Yunani khususnya Aristoteles

(322 SM) dan Plato (347 SM). Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya

kedua tokoh filsafat tersebut adalah selalu mengagungkan akal dalam memperoleh

ilmu, sehingga tidak mengherankan keduanya tergolong kaum rasionalis.89

Plato adalah seorang pengikut setia Socorates, ia pernah mengungkapkan

intelektual rasionalitasnya bahwa semua pengetahuan sesungguhnya sudah ada

dalam pikiran manusia sehingga apapun yang keluar ke dalam dunia nyata adalah

sebagai tiruan apa yang ada dalam ingatan manusia. Menurutnya, jiwalah yang

mampu menghubungkan antara pengetahuan dan alam nyata tersebut. Bahkan Plato

mengkritik ungkapan bahwa pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan inderawi,

yang sumbernya adalah pengamatan atau pengetahuan inderawi itu sendiri. Sebab

menurutnya, dunia panca indra hanya merupakan cermin dari dunia ide. Selanjutnya

Plato menyimpulkan manusia bersifat dualistik yaitu unsur tubuh (benda) dan jiwa

(ide-ide). Jiwa merupakan bagian dari ide, sedangkan tubuh dari dunia yang bersifat

fana. Keyakinan pada keberadaan jiwa dan ide tersebutlah yang membawa Plato

kepada penyusunan metode dalam mendapatkan pengetahuan (epistemologi), di

mana ia mengembangkan metode deduktif dan cara berfikir yang dimulai dari

premis-premis umum kemudian diperoleh sebuah kesimpulan yang tidak melampaui

premis-premis mayornya.90

Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles bahwa ia tidaklah

mengajarkan materi dan bentuk yang dapat dilihat atau bersifat individual,

melainkan sebagai prinsip-prinsip metafisis saja. Materi dan bentuk harus

diandaikan, bukan harus dilihat dan bersifat individual. Bentuk-bentuk yang

dimaksud oleh Aristoteles tersebut dianggap sebagai ide-ide (yang sudah ada dalam

pikiran manusia) yang sudah pindah ke dalam benda-benda konkrit dalam alam

nyata.

Dengan demikian aliran mu’tazilah sangatlah menjunjung tinggi cara

berfikir yang logis sebagaimana cara berfikir yang dikemukakan oleh Aristoteles

dan Plato. Kesesuaian cara padang aliran Mu’tazilah yang menjadi madzhab al-

Sakaki keduanya sama-sama menekankan pada akal budi (rasio) sebagai sumber

utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari

pengawasan inderawi. 91

Abdul Aziz dalam hasil penelitiannya yang berjudul Epistemologi Islam:

Analisis Kritis Pemikiran al-Ghazali, menambahkan bahwa hanya pengetahuan

yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah.

89

Abdul Jabbar, Sharḥ al-Uṣūl al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah, 196), 22-25. 90

Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: rajawali Press, 2014), 102-104. 91

Lores Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 929.

Page 87: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

75

Adapun menurutnya pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan

yang dipakai oleh akal, sehingga akal tidak memerlukan pengalaman seperti kaum

empirisme. Sebaliknya, akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu

atas dasar asas-asas pertama yang pasti.92

Berdasarkan pemahaman dan cara berifikir tersebut Khaṭib al-Qazwaini pun

semakin meyakini bahwa al-Sakaki dalam kehidupannya dan pola penyusunan karya

ilmiahnya pada Miftāḥ al-‘Ulūm pasti banyak dipengaruhi oleh alasan-alasan

rasional, karena aliran yang dimilikinya sangatlah mendewakan kemampuan

logika.93

Keyakinan tersebut sependapat dengan ungkapan Sukron Kamil (2013 M)

dalam karyanya Najib Mahfudz, Sastra Islam dan Politik Studi Semiotik terhadap

Novel Aulād Ḥāratinā mengatakan bahwa sebuah karya ilmiah pasti memiliki nilai-

nilai moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dan pengalaman kehidupan, baik

yang berhubungan langsung dengan pengarangnya, gaya bahasa, sosial budaya

bahkan kampung halaman kehidupannya.94

92

Abdul Aziz, Epistemologi Islam: Analisis Kritis Pemikiran al-Ghazali (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2017), 55

93Abbas Baidhun, Istidrākāt al-Khaṭib ‘Alā al-Sakākī, 78.

94Sukron Kamil, Najib Mahfudz, Sastra Islam dan Politik Studi Semiotik terhadap

Novel Aulād Hāratinā (Jakarta: Dian rakyat, 2013), 420-423.

Page 88: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

76

Selalu ada keindahan dalam setiap masalah.

Itu adalah salah satu cara kita belajar

Kecantikan bukan di wajah, melainkan cahaya yang keluar dari dalam hati

Kahlil Gibran Seorang Penyair Fenomenal asal Lebanon

Page 89: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

77

BAB IV

EPISTEMOLOGI MIFTÂH AL-‘ULÛM

Pada bab keempat ini penulis akan menjelaskan tentang epistemologi Miftāḥ

al-‘Ulūm, diawali dari analisis Miftāḥ al-‘Ulūm mulai dari sisi karakteristiknya

sebagai buku balagah pertama hingga apresiasi dan kritikan terhadap karya tersebut.

Miftāḥ al-‘Ulūm yang fenomenal dan tergolong sebagai karya pertama tersebut telah

meraih popularitas tinggi dan sangat disukai oleh para pelajar. Ia dan pengarangnya

telah mendapat tempat yang tinggi di kalangan para penulis dalam bidang bahasa

Arab, baik itu di kalangan ‘arabī maupun ‘ajamī. Karya tersebut telah menyebar

laus ke berbagai pelosok daerah-daerah di luar Khawarizm. Dan telah dipelajari di

madrasah-madrasah kerajaan Islam Abbasiyah, Mamlukiyah dan Utsmaniyah di

benua Asia, Afrika bahkan sampai Eropa.

Mahmud al-Sayyid al-Daghim (1989 M) menegaskan bahwa Miftāḥ al-

‘Ulūm telah dicetak sejak zaman kerajaan Islam Utsmaniyah sebagaimana yang

termaktub di dalam Mu’jam al-Maṭbū‘at al-‘Arabiyyāt wa al-Mu‘arrabāt yang

diambil dari percetakan Sarkis di Mesir pada tahun 1346 H. Miftāḥ al-‘Ulūm karya

al-Sakaki tersimpan rapi di museum Irak dan dianggap sebagai manuskrip asli dari

keseluruhan 11 manuskrip, ia diambil dari salinan pengarang pada tahun 703 H.1

Tidak heran jika para peneliti terus berusaha menggali keilmuan - keilmuan yang

ada di dalamnya. Diharapkan setelah menjelaskan analisis buku tersebut akan

diperoleh kerangka teori yang dibangun oleh al-Sakaki selama proses mengarang

Miftāḥ al-‘Ulūm, hingga akhirnya menjadi karya fenomenal di kalangan para ulama

bahasa di Khawarizm dan sekitarnya. Bahkan karya tersebut menurut seorang tokoh

Khawarizm Mahmud al-Sayyid al-Daghim telah mampu mendongkrak nama

daerahnya dan mudah dikenal oleh dunia Islam maupun Barat. Sebutan Khawarizm

hingga kini sekalipun telah berubah nama menjadi negara Uzbeskistan2 nama

tersebut masih sangat membekas di banding nama sekarang, karena peradaban dan

keilmuan Islam telah banyak muncul dari daerah tersebut hingga dikenal oleh dunia

global yang ketika itu masih bernama Khawarizm. Kehadiran al-Sakaki telah

mengharumkan dan mengabadikan nama dan negaranya sendiri.3

Selain itu, dalam bab ini penulis juga akan membahas dan mengungkapkan

empirisme, rasionalisme dan intuisionisme yang menjadi landasan keilmuan al-

Sakaki dalam mengarang Miftah al-‘Ulūm. Diharapkan akan tampak teori pemikiran

dan tujuan mulia yang diinginkan oleh al-Sakaki. Adapun pada akhir bab ini, penulis

akan memberikan apresiasi epistemologi terhadap Miftāḥ al-‘Ulūm.

1Fadhil Sholeh Samarai, Balāghah al-Kalimah fī Ta’bīr al-Qur’ānī (Kairo: Shirkah

al-Atīk, 2006), 95. 2Uzbekistan adalah negara Asia Tengah dan bekas republik Sovyet dan sebelumnya

disebut dengan negara Khawarizm. Negara tersebut sangat dikenal dengan masjid-masjid,

negara muslim dan situs-situs lain yang terkait dengan Silk Road atau jalur perdagangan

kuno antara China dan Laut Tengah. Samarkand, sebuah kota besar yang kini menjadi

ibukota Uzbekistan yang berada di jalur tersebut, corak kotanya sangat tampak arsitektur

Islamnya. Lih; https://en.wikipedia.org/wiki/ Uzbekistan (Diakses 04 September 2017). 3Lale Behzadi, Categories of Proper Language in Classical Arabic Literature, Studia

Orientalia Helsinki Filandia, Vol. 111, No. 2, April 2011, 24.

Page 90: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

78

A. Deskripsi Umum Miftāḥ al-‘Ulūm

Miftāḥ al-‘Ulūm merupakan karya al-Sakaki yang sangat fenomenal hingga

detik ini sebagaimana penjelasan sebelumnya. Karya tersebut pernah dijadikan

sebagai bacaan wajib bagi para mahasiswa/i pada tahun 1899 M yaitu ketika

Muhammad Abduh menjabat sebagai Rektor al-Azhar Kairo Mesir setelah buku al-

Jurjani yang berjudul Dalāil al- I’jāz dan Asrār al-Balāghah.4

Miftāḥ al-‘Ulūm terdiri dari 846 halaman dan penulisannya diselesaikan

oleh al-Sakaki selama 22 tahun yang dimulai sejak awal abad ke- 6 H dan selesai

pada pertengahan abad tersebut yaitu pada masa khilafah Abbasiyah. Adapun

pencetakan pertama secara besar-besaran dilakukan di percetakan Dār al-Kutub al-

‘Ilmiyyah Beirut ibu Kota Lebanon pada tahun 1983 M, kemudian disebar luaskan

ke berbagai perguruan Islam termasuk Kairo Mesir. Sedangkan cetakan kedua

setelah mengalami revisi penulisan dilakukan pada tahun 1987 M di percetakan

yang sama. Karya tersebut merupakan karya al-Sakaki yang terbaik sebelum

wafatnya pada 626 H di daerah Valley Khawarizm.5

Al-Sakaki telah membagi Miftāḥ al-‘Ulūm kepada tiga bagian besar

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu bagian pertama tentang ilmu

ṣarf, kedua tentang ilmu naḥw, dan ketiga tentang ilmu balāghah. Adapun pada

bagian terakhir ilmu balagah, al-Sakaki menulis kajian khusus tentang ilmu sya’ir,

faṣāhah dan qāfiyah. Sekalipun demikian, keseluruhan kajian Miftāḥ al-‘Ulūm titik

utama kajiannya adalah tentang ilmu balagah. Hal tersebut karena porsi

pembahasannya lebih besar dan meluas. Adapun kedua cabang ilmu sebelumnya

menurutnya adalah sebagai pondasi utama menuju ilmu yang lebih tinggi derajatnya,

dalam hal ini adalah ilmu balagah.6

Linguis asal Finlandi Lale Behzadi (2011 M) memberikan gambaran singkat

mengenai Miftāḥ al-‘Ulūm. Ia menyebutnya sebagai teori di atas teori berbahasa

Arab, menurutnya Miftāḥ al-‘Ulūm adalah kunci teori terpenting bahasa Arab yang

tidak ditemukan pada semua karya bahasa lainnya yang lebih lengkap dan mudah

dipahami selain Miftāḥ al-‘Ulūm. Dikarenakan hal tersebutlah akhirnya Miftāḥ al-

‘Ulūm seringkali diedit dan diresume oleh para tokoh linguis lainnya khususnya

Khathib al-Qazwaini (739) yang dikenal dengan judul bukunya Talkhīs Miftāḥ al-

‘Ulūm.7

Adapun menurutnya linguis sebelumnya belum bisa dikatakan sebagai

bapak balagah karena Asrār al-Balāghah (Secrets of the Art of Rhetoric) masih

tampak banyak berbicara tentang al-Faṣāḥah.8 Padahal al-Sakaki meletakkan

pembahasan al-Faṣāḥah berada pada bagian terakhir setelah ilmu al-badī’, yaitu

yang berbicara tentang keindahan makna dan lafal kata. Peletakan kajian tersebut

4Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik Al-Jurjani Dalam Dalâil Al-

I’jâz, Arabiyat Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, Vol. 1, No. 1, Juni

2014, 9. 5Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid Handuwi, 15.

6Jalaluddin Muhammad Khaṭib al-Qazwaini, Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dār al-

Kutub al-Ilmiyyah, 1303 H), 4 7Lale Behzadi, Categories of Proper Language in Classical Arabic Literature, 22.

8Lale Behzadi, Categories of Proper Language in Classical Arabic Literature, 25-34.

Page 91: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

79

bertujuan sebagai akhir dari pembahasan yang diinginkan oleh al-Sakaki.9 Kajian

terhadap Miftāḥ al-‘Ulūm memberikan nuansa keilmuan yang beda karena memiliki

tingkatan yang berjenjang menuju kepada puncaknya.

Lebih lanjut, Aṭaillah Junaidi dalam hasil penelitian disertasinya tentang al-

Sakaki dan Peranannya dalam Perkembangan Ilmu Balagah, menyebutkan bahwa

al-Sakaki adalah pengarang karya bahasa terbaik yakni Miftāḥ al-‘Ulūm dalam

sejarah dunia Islam. Menurutnya, karena sekalipun Abdul Qahir al-Jurjani dan Ibnu

al-Mu’tazz telah menggagas keilmuan balagah pertama kali. Namun, mereka belum

merincikan pembagiannya dengan baik, apalagi susunan dan tingkatan keilmuan

balagah belum terwujud seperti sekarang ini, sehingga karya-karya tersebut

dikategorikan sebagai bagian dari kajian ilmu balagah. Maka hadirnya Miftāḥ al-

‘Ulūm seperti yang kita nikmati saat ini adalah hasil konstruksi dan pendalaman

yang dilakukan oleh al-Sakaki.10

Metodologi yang digunakan oleh al-Sakaki pun

dalam proses mengarang karya tersebut adalah dengan metodologi taqrīrī. Al-

Sakaki selalu berusaha memberikan penjelasan yang cermat pada setiap bagiannya

agar mudah dipahami dan dicerna maksudnya. Salah satu khas karya tersebut adalah

muatan definisi dan penjelasan pada setiap awal pembahasan cabang keilmuannya.11

Secara terperici kajian yang terdapat pada Miftāḥ al-‘Ulūm mencakup

keilmuan ṣarf, naḥw, ma’āni, bayān, badī’, syi’r, faṣāḥah, manṭiq, ‘arūḍ dan

qāfiyah. Semua cabang ilmu tersebut adalah hasil dari analisa dan pengamatan al-

Sakaki terhadap kebutuhan di dalam mempelajari ilmu sastra Arab, khususnya ilmu

balagah. Itulah sebabnya, Badruddin Malik (686) dan Khathib al-Qazwaini (739)

sekalipun memberikan beberapa kritikan tetapi pada intinya mereka memuji kajian

yang telah dilakukan oleh al-Sakaki terlebih pengklasifikasian keilmuannya,

sehingga menurut para ahli dan peneliti bahkan penerusnya akan lebih mudah

mengikuti dan mempelajari ilmu balagah berkat jasa dan kecerdasan al-Sakaki.12

Tercatat dalam sejarah bahwa tidak sedikit ulama yang memberikan

apresiasi dan rasa kagum yang besar terhadap kajian ilmu balagah yang telah

dibangun oleh al-Sakaki. Sekalipun tidak jarang di antara mereka ada yang

mengatakan bahwa jika ada sedikit demi sedikit kekeliruan atau kesalahan adalah

hal yang wajar terjadi sebagai manusia yang tempatnya salah dan lupa. Namun, satu

hal yang mereka jadikan pegangan bahwa kajian di dalamnya tentu bukan perkara

yang mudah diformulasikan, apalagi sekaliber al-Sakaki yang mengawali proses

belajarnya terhadap sastra setelah usia 30 tahun. Latar belakang hidupnya tersebut

menjadi nilai apresiasi yang tinggi di saat ia mampu mewariskan sebuah ilmu yang

bermanfaat untuk generasi penerusnya.13

Di samping itu, para pengkritik (al-munqidūn) juga banyak bermunculan

karena menurut mereka al-Sakaki hanya sibuk kepada penjelasan-penjelasan yang

terkesan dipaksakan serta pengklasifikasian yang menurut sebagian ulama tidak

9Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid Handuwi, 6.

10Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah, 232.

11Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, 1986), 4.

12Badruddin Malik, al-Mishbāh fī al-Ma’ānī wa al-Bayān wa al-Badī’ (Kairo:

Maktabah al-Adab Ali Hussein, t.t.), 27.

13

Shauqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārikh, 301.

Page 92: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

80

dibutuhkan. Para peneliti modern ilmu balagah termasuk al-Mubarrid, Tammam

Hassan dan Chomsky telah memberikan jalan tengah atas perdebatan tersebut

sebagaimana disarankan oleh Athaillah dalam penelitiannya agar menjadikannya

sebagai rujukan utama dan melakukan penyempurnaan yang dianggap kurang

seperti yang dilakukan oleh al-Qazwaini.14

B. Karakteristik Miftāḥ al-‘Ulūm

Para ulama hampir di seluruh madrasah di dunia merasa sangat surprise atas

pembahasan yang disajikan oleh al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm.

Menurut mereka penulisan dan pembahasan ilmu balagah yang sebelumnya seperti

Asās al-balāghah karya Zamakhsyari, Kitab al-Shinā’ataini karya Abu Hilal al-

Askari, Kitāb Sirr al-Faṣāhāt karya Ibn Sinan al-Khafajī, Asrār al-Balāghah dan

Dalāil al-I’jāz karya Abdul Qahir al-Jurjanjī atau bahkan yang semasa dengannya

belum pernah ditemukan selengkap Miftāḥ al-‘Ulūm.15

Adapun beberapa

pembahasan ilmu balagah yang muncul setelah Miftāḥ al-‘Ulūm seperti Talkhīs

Miftāḥ al-‘Ulūm karya Khaṭib al-Qazwaini, Jamharah al- Balāghah karya Ahmad

Mathlub, Bughyah al-Idhāh li Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm karya Abdul Muta’ali al-

Sha’idi keseluruhannya tidak lebih dari membahas ulang karya al-Sakaki tersebut

dan menjadikan Miftāḥ al-‘Ulūm sebagai obyek pembahasan semata. Maka tampak

jelas di antara keistimewaan Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakaki tersebut selain ia

memulainya dengan pembahasan ilm ṣarf dan naḥw, di dalamnya dikhususkan

pembahasan tentang ilmu balagah, ia membaginya kepada ilm al-ma’āni, al-bayān

dan al-badī’ dan telah merincikannya dengan baik berikut dengan faṣl- faṣl- nya.

Para peneliti penerusnya pun telah tergugah rasanya untuk menemukan

sebuah keilmuan dan gaya penulisan karya sastra baru berkat karya al-Sakaki.

Mereka memiliki motivasi dan harapan baru bahwa setiap ilmu pasti bisa

dikembangkan seperti harapan al-Sakaki dalam penutupan muqaddimah karyanya.

Kehadirannya tidak hanya menjadi karya pedoman ilmu balagah saja, melainkan

juga sebagai kunci perangsang (miftāḥ al-nahḍah) keilmuan berikutnya agar umat

ini tidak terus tertinggal sebagaimana penjelasan sebelumnya.16

Mustafa al-Maraghi dalam kitabnya Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf

bi Rijālihā dalam muqaddimahnya ia berkata: “Kita tidak pernah tahu bahwa

sebelum al-Sakaki ada yang mengklasifikasikan ilmu faṣahat kepada tiga bagian

penting seperti yang kita lihat pada hari ini, baik dalam bentuk lisan maupun dalam

bentuk tulisan. Kontribusi tersebut sangat besar faedahnya dalam keberlangsungan

ilmu bahasa Arab untuk memahami al-Qur’an.”17

Abdul Hamid Handuwi pada saat

memberikan tahqīq dalam kitab Miftāḥ al-‘Ulūm, ia bahkan mengungkapkan rasa

harunya pada keistimewaan Miftāḥ al-‘Ulūm dengan kalimatnya:

14

Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani Dalam Dalâil al-

I’jâz, 11. 15

Jamil Abdul Majid, Balāghah al-Naṣ Madkhal Nadhrī wa Dirāsah Taṭbīqiyyah

(Kairo: Dār Gharib, 1999), 44.

16

Shawqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārikh, 301. 17

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf bi Rijāliha

(Kairo: Dār al-Ma’rifah, 2002), 33.

Page 93: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

81

فإن مفتاح العلوم للسكاكي كتاب سارت به الركبان يف مشارق األرض ومغارهبا، وال يزال إىل يومنا ،وبعد هناية املطاف، وغاية السالك. تربونههذا عمدة الدارسني يف البالغة العربية، يع

Artinya:

“....dan seterusnya, Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakaki bagaikan buku berjalan

di timur dan di barat, hingga saat ini ia terus menjadi rujukan para pelajar

dalam mempelajari ilmu balagah, mereka mempelajarinya sampai tujuan

dari akhir perjalanan keilmuan mereka.” 18

Senada dengan al-Maraghi, al-Sayuti mengungkapkan bahwa al-Sakaki

adalah seorang yang sangat alim, mahir dalam berbagai bidang ilmu, terutamanya

dalam bidang ilmu ma’ānī, bayān, dan badī’. Ia juga menambahkan bahwa semasa

riwayat hidupnya yang ditulis oleh Siraj al-Din al-Bulqaini (1403 H) menuturkan

bahwa al-Sakaki adalah imam dalam bidang ilmu naḥw, ṣarf, istidlāl,’arūḍ dan

puisi, bahkan ia juga memiliki kepakaran dalam bidang ilmu logika (‘ilm manṭiq)

dan banyak lagi bidang ilmu yang ia kuasai.19

Padahal jika ditelisik ulang, al-Sakaki

adalah seorang tokoh yang perjalanan keilmuannya dimulai setelah usia dewasa.

Namun, kenyataannya menurut para ulama pada masanya, keadaan tersebut tidak

menjadi penghalang bagi al-Sakaki untuk bersaing dan dikenal oleh ilmuwan

lainnya, lebih dari itu bahkan saat ini ia justru dikenal sebagai bapak ilm balāghah.20

Kondisi tersebut semakin meyakinkan para generasi umat Islam ini bahwa

segala hal yang tidak mungkin bisa saja terjadi selama memiliki upaya dan niat yang

kuat seperti yang dicontohkan oleh al-Sakaki. Sebab, ia juga berangkat dari

seseorang yang tidak mengetahui apa-apa apalagi tentang ilmu sastra, namun kerja

keras dan kecintaannya terhadap bahasa Arab membawa mengarak karya sekaliber

Miftāḥ al-‘Ulūm.

Dalam muqaddimah Miftāḥ al-‘Ulūm al-Sakaki berkata:

ميزت البعض عن البعض، التمييز املناسب، وخلصت أن "وما ضمنت مجيع ذلك كتايب هذا إال بعد ما أصوال الئقة، وأوردت حججا مناسبة، الكالم على حسب مقتضى املقام هنالك، ومهدت لكل من ذلك

السلف، قدس اهلل أرواحهم، بقدر ما احتملت من التقرير، مع اإلرشاد إىل وقررت ما صادفت من آراء "ضروب مباحث قلت عناية السلف هبا، وإيراد لطائف مفتنة ما فتق أحد هبا رتق.

Artinya:

“Tidaklah saya meletakkan semua masalah itu dalam kitab ini, melainkan

setelah saya memisahkan sebagian dari sebagian yang lainnya, dengan

pemisahan yang tepat dan saya ringkaskan pembicaraan pada tempat yang

sesuai, dan telah saya sajikan semua ini secara bertahap dengan menunjukkan

bukti-bukti yang tepat, dan saya abadikan apa-apa yang saya setujui dari

18Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), 6.

19Taufiq al-Fil, Balāghah al-Tarākīb Dirāsah fī 'Ilm al-Ma’ānī (Kairo: Maktabah al

Adab,t.t.), 127. 20

Gilbert Cangy, Pathfinder Honor Book (Amerika: General Conference Ministries

Departement, 2014), 8.

Page 94: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

82

pendapat-pendapat ulama yang terdahulu. (semoga Allah mensucikan ruh

mereka), saya lakukan dengan kemampuan yang saya miliki untuk memberi

keterangan pada bagian-bagian bahasan yang kurang mendapat perhatian para

ulama terdahulu, serta untuk menunjukkan kelembutan yang tulus yang indah

di dengar oleh telinga.” 21

Pernyataan al-Sakaki tersebut telah membuktikan usaha kerasnya dalam

ketelitian dan ketekunannya untuk mengembangkan ilmu bahasa Arab khususnya

ilmu balagah. Al-Sakaki seorang yang tawādu’ karena tidak melupakan para

ilmuwan sebelumnya, ia juga menyadari bahwa para ulama terdahulu telah

memberikan kontribusi keilmuan yang besar terhadap pengetahuan yang ia miliki.

Sebab, menurutnya adanya kita sekarang adalah juga karena sosok mereka yang

memberikan kita bekal dahulu. Sedangkan kondisi dan usaha hari ini menurutnya

akan memperkenalkan kepada dunia siapa kita esok hari. Abdul Salam Yassin (1438

H) bahkan mensinyalir bahwa kemajuan dan kemuduran umat Islam ini salah

satunya dinilai dari produktifitas umatnya. Dengan demikian sudah semestinya lah

umat Islam ini lebih cerdas memikirkan perbekalan keilmuan yang cukup untuk

generasi setelah dirinya sendiri.22

Maka pada bagian ini penulis akan mengungkap beberapa karekteristik yang

membedakan Miftāḥ al-‘Ulūm dengan karya – karya ilmu balagah pra dan pasca al-

Sakaki, sebagiamana berikut ini;

1. Miftāḥ al-‘Ulūm terbagi kepada tiga komponen keilmuan

Miftāḥ al-‘Ulūm terdiri dari tiga komponen keilmuan penting yaitu ilm naḥw

(sintaksis), ṣarf (morfologi) dan balāghah (stilistika). Ketiga komponen tersebut

menurut L. Zemenhof (1980 M) disebut sebagai petunjuk teknik berbahasa Arab.

Ia menegaskan bahwa bahasa akan tercipta di saat ada unsur – unsur yang

melekat dalam susunan bahasa tersebut. Menurutnya tata bahasa terpenting selain

bunyi dan makna adalah gramatikal dan retoriknya agar bahasa memiliki sense

yang menarik.23

Banyak ahli mengemukakan bahwa speech sound (أصوات الكالم) yang mengatur bunyi dan keluar masuknya susunan sebuah kalimat bahasa telah

menjadi konsep penting dalam sebuah ucapan lisan maupun tulisan.24

Ahli

linguistik membagi bahasa ke dalam tiga unsur utama (unsur mikro) yaitu; unsur

bunyi, unsur struktur dan unsur makna.25

Ahmad Sayuti Anshari (2015 M) meyakinkan bahwa bunyi yang merupakan

bagian dari unsur mikro bahasa adalah bagian yang paling utama dalam bahasa.

Sebab, komunikasi lisan tidak akan terlaksana apabila tidak ada bunyi yang

21Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 37.

22Abdul Salam Yassin, al-Islāmu Ghadan: al-‘amal al-Islāmi wa Ḥarakiyyah al-

manhaj al-Nabawi fi Zaman al-Fitan (Maroko: al-Manshûrat al-Maghribiyyah, 1973), 441. 23

Chairns, Helen S. and Chairns, Charles E., Psycholinguistic A Cognitive Vew of

Languange (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1976), 154. 24

Suherman, A. Psikolinguistik Bahasa Arab Sebuah Pengantar, Jurnal Bahasa

Universitas Indonesia Vol. 3 No. 8, November 2015, 12. 25

Saad Abdullah Gharibi, al-Ashwāt al-‘Arabiyyah (Makkah: Maktabah Talib al-

Jami’i, 1986), 25.

Page 95: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

83

dituturkan dan diperdengarkan. Maka ilmu yang kompeten mempelajari bagian

tersebut adalah fonetik26

dan fonologi.27

Kedua ilmu inilah yang bertanggung

jawab terhadap kebenaran dan keakurasian pengucapan bunyi, kata dan kalimat

dalam proses berbahasa. Selain hal tersebut menurutnya bunyi yang diucapkan

haruslah memiliki aturan dan susunan tertentu, jika tidak, maka bunyi tersebut

akan dianggap sebagai bunyi brisik tanpa makna, sehingga ilmu yang kompeten

pada bagian tersebut adalah ilmu naḥw dan ṣarf.

Adapun selanjutnya target dalam komunikasi lisan sebagai sarana untuk

menyampaikan pesan kepada lawan bicara dengan baik dan akurat yaitu agar

dapat mentransfer makna dan pengertian yang tepat. Dengan demikian setiap

lafal bahasa yang dihasilkan akan memiliki bunyi, susunan kata yang tepat serta

makna yang tersampaikan. Sedangkan ilmu yang bertanggung jawab untuk

mencapai target tersebut adalah ilmu bayān, ma’ānī dan badī’ sebagaimana yang

telah disampaikan oleh al-Sakaki sebelumnya. Di mana ketiga ilmu tersebut

menurutnya terkadang lebih populer dengan sebutan ilmu semantik28

atau

balagah.29

Adapun untuk memberikan keyakinan terhadap pentingnya unsur makro

dalam berbahasa dan membuktikan keistimewaan Miftāḥ al-‘Ulūm, Al-Sakaki

berkata:

صنفت هذا، وضمنت ملن أتقنه أن ينفتح عليه مجيع املطالب العلمية، ومسيته: )مفتاح العلوم(، وجعلت القسم الثالث ، القسم الثاين يف علم النحو، القسم األول يف علم الصرف هذا الكتاب ثالثة أقسام:

األدب ، ملا كان هو والذي اقتضى عندي هذا، هو أن الغرض األقدم من علم يف علمي املعاين والبيان. االحرتاز عن اخلطأ يف كالم العرب، وأردت أن أحصل هذا الغرض.

Artinya:

“Saya mengarang buku ini, dan menjamin terhadap siapa saja yang

mengusainya untuk mudah mempelajari seluruh tuntutan ilmiah. Dan saya

menamainya Miftāḥ al-‘Ulūm (the keys of science), begitu juga telah saya

bagi kajian buku ini kepada tiga bagian, yakni pertama membahas ‘ilm ṣarf,

kedua membahas ‘ilm naḥw, dan ketiga membahas ‘ilm al-ma’ānī dan al-

26

Fonetik adalah ilmu yang mempelajari tentang bunyi terlepas dari fungsi dan

makna yang terkandung di dalamnya. 27

Fonologi adalah ilmu yang membicarakan tentang fungsi dan arti bunyi. 28

Istilah semantik merupakan sebuah kajian atau bidang studi tentang makna

bahasa. Jika makna adalah bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari

linguistik. Dalam bahasa Yunani, semantik (kata bentuk) berasal dari kata sema yang berarti

“simbol”. Sedang kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau

“melambangkan”. Para ilmuwan bahasa sepakat bahwa semantik adalah istilah yang

digunakan dalam bidang linguistik untuk mempelajari hubungan antara tanda-tanda

linguistik (intralingual) dengan sesuatu yang ditandainya (ekstralingual). Lih; Muhammad

Jazeri, Semantik Teori Memahami Makna Bahasa (Tulungagung: STAIN Tulugagung Press,

2012), 1. 29

Ahmad Sayuti Anshari Nasution, Bunyi Bahasa Ilmu Aṣwāt al-‘Arabiyyah

(Jakarta: Amzah, 2015), 16.

Page 96: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

84

bayān. Adapun tujuan peletakan ilmu sastra pada bahasan ini adalah untuk

menghindari kesalahan-kesalahan dalam berbicara bahasa Arab, dan inilah

tujuan yang saya inginkan.”30

Al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm telah membagi keilmuan bahasa

Arab seperti bagan berikut ini:

Miftāḥ al-‘Ulūm sebagai karya ilmu bahasa (linguistic) telah memulai

pembahasannya dengan ilm ṣarf di atas ilm naḥw. Hal tersebut menurut al-Sakaki

adalah seperti mufrad (kata tunggal) dan ta’līf (susunan kata). Menurutnya,

dalam menyusun kalimat harus terdiri dari kata-kata atau mufrad. Sebaliknya,

ta’līf tidak akan pernah terjadi jika tidak terdiri dari kata-kata. Al-Sakaki

mendefinisikan bahwa املفرد adalah طائفة من احلروف (kumpulan dari beberapa

huruf). Maka setiap kata yang memiliki makna (al-ma’nā) harus tersusun dalam

beberapa jumlah huruf. Bahkan al-Sakaki menyebutkan lafdh al-ḥuruf adalah

bagian dari cikal bakal kefaṣihan dalam berbahasa Arab. Sehinga ilm naḥw

memiliki peran penting untuk menyusun mufrad dengan mufrad yang lainnya

agar menjadi ta’līf yang sempurna.31

Misalnya kata األسد dimasukkan ke dalam

ta’līf :

األسد كبري وقوي“Singa itu besar dan kuat”

Kata mufrad األسد pada kalimat diatas menjadi tersusun (murakkab), sehingga

memiliki arti yang sempurna dan mudah dipahami. Jika ditelisik lebih dalam lagi

pada struktur bahasa Arab ilm naḥw, maka diketahui tarkīb kalimat sejenis

30

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 39.

31

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 42.

Linguistik

علم اللغـــة

Morfologi

الصرفعلم Sintaksis

النحوعلم Stilistika

بالغةعلم ال

االستعالء

االشتقاق

المعربة

المبنية

المعــــــــــاني

البيـــــــــــــان

البديـــــــــــع

Page 97: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

85

contoh tersebut dinamai jumlah ismiyyah (susunan kalimat yang di dahului

dengan ism). Inilah yang menyebabkan al-Sakaki menjadikan pembahasan ilm

ṣarf lebih awal daripada pembahasan ilm naḥw. Suatu permulaan yang lembut

dan ringat menuju sesuatu yang berat dan bercabang. Kedua ilmu tersebut tidak

dapat dipisahkan peran pentingnya, karena keduanya bertujuan untuk menjaga

dari kesalahan pengucapan maupun tulisan.32

Cristian Julian Robin (2016)

menuturkan bahwa gramatikal bahasa Arab di Saudi Arabia seperti sintaksis dan

morfologi berawal dari sebuah kebutuhan untuk memahami syair- syair yang

kemudian menjadi lebih dibutuhkan ketika adanya tuntutan terhadap pemahaman

isi dari al-Qur’an.33

Para linguistik Arab sepakat bahwa ide atau gagasan awal yang kemudian

berkembang menjadi Ilmu nahwu muncul dari khalīfah amīr al-mukminīn Ali bin

Abi Thalib. Ide tersebut muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara

lain faktor agama dan faktor sosial budaya. Terhadap faktor agama kekhawatiran

terjadinya kesalahan dalam membaca kitab suci agama Islam yakni al-Qur’ān al-

karīm. Dengan demikian dibutuhkan suatu alat keilmuan untuk mewaspadai

adanya kesalahan dari laḥn (kesalahan dalam membaca). Sekalipun sebenarnya

sejak masa Rasulullah صلى هللا عليه وسلم laḥn tersebut telah terjadi, namun sangat

sedikit dan mampu berpusat kepada Rasullullah صلى هللا عليه وسلم langsung.34

Pada

masa tersebut semua urusan selalu dikembalikan keputusannya kepada

Rasulullah صلى هللا عليه وسلم, sedang para sahabat di masa tersebut lebih patuh

terhadap apa yang diajarkan oleh-nya.

Faktor kedua yang mempengaruhi adalah faktor budaya terjadi karena bangsa

Arab yang dikenal sangat merasa bangga dan bersifat fanatisme yang tinggi

terhadap bahasa yang mereka miliki, maka laḥn yang terjadi mendorong mereka

berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran

itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga berlalunya waktu mereka pun

membakukan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah seperti saat ini yang kita

saksikan dalam bentuk ilmu naḥw.35

Kajian ilm naḥw dalam Miftāḥ al-‘Ulūm dibagi oleh al-Sakaki kepada 4

bentuk tarkīb al-kalimāt36

berikut ini:

1. Tarkīb kalimat yang diawali dengan ism (kajian pada مجلة امسية) Contoh:

زيد عارف (Zaid adalah seorang yang bijaksana)

32

Muhammad Abdullah al-Aḥdal, Kawākib al-Dhurriyyah (Riyadh: Dār Ilmiah,

2002), 98. 33

Christian Julien Robin, The development of Arabic as a written language, Papers

from the Special Session of the Seminar for Arabian Studies held on 24 July, 2010. 2. 34

Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu, Bahasa dan Seni, Vol. 31, No. 1,

Februari 2003, 5-6. 35

Abdul Hadi Fadlali, Marākiz Dirāsah Nahwiyyah (Beirut: Maktabah al-Manār,

1986), 100. 36

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 141.

Page 98: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

86

2. Tarkīb kalimat yang diawali dengan fi’l (kajian pada مجلة فعلية) Contoh:

ةعارف مه أن أ زيدعرف (Zaid telah mengetahui bahwa ibunya seorang yang bijaksana)

3. Tarkīb kalimat yang menggunakan adat syarat (kajian pada مجلة شرطية) Contoh:

إن تكرمين أكرمك (Kalau kamu menghormatiku pasti aku akan menghormatimu

juga)

4. Tarkib kalimat yang menggunakan keterangan (kajian pada مجلة ظرفية) Contoh:

يف الدار زيد (Di dalam rumah itu ada Zaid)

Keempat bentuk tarkīb tersebut hingga saat ini adalah pengembangan

keilmuan oleh para nuhāt khususnya Sibwayh (180 H) sebagai tokoh yang

pertama kali mengenalkan ‘ilm naḥw yang berjudul kitāb sibwayh.37

Sekalipun

cikal bakal keilmuan naḥw tersebut telah muncul sejak Abu Aswad al-Duali

sebagai orang pertama yang megemban tugas langsung dari Ali bin Abi Ṭalib.

Al-Sakaki menegaskan bahwa keempat bentuk tersebut pasti di dapatkan dalam

keilmuan balagah sebagi sebuah struktur bahasa yang telah baku. Kaidah-kaidah

yang telah baku tersebut dikenal dengan istilah teori bahasa (Arabic Grammar).38

Itulah sebabnya, kajian ilm balāghah ia letakkan pada akhir pembahasan,

karena menurutnya pembahasan tersebut berada pada tingkatan yang lebih tinggi

dibanding kedua ilmu sebelumnya yang masih berbicara bunyi, struktur dan

vokal bahasa. Ditegaskan oleh Tamam Hasan bahwa ilm balāghah termasuk ke

dalam ilmu linguistik terapan dan bukan ilmu linguistik teori. Sebab, ilmu

linguistik teori masih bersifat internal dan mengharuskannya dengan kaidah yang

murni.39

Sedangkan pada ilm balāghah erat hubungannya dengan situasi dan

kondisi. Para linguis sepakat menyebut bahwa ilm balāghah merupakan kajian

stilistika40

atau disebut sebagai al-balāghah al-mi’yāriyyah.41

37

Sibwayh adalah seorang tokoh bahasa Arab terkenal yang berkelahiran Iran, semasa

hidupnya ia sangat gemar menulis tentang kaidah-kaidah bahasa Arab, ia menulisnya

berdasarkan pengamatannya terhadap kebutuhan di dalam memahami al-Qur’an. Namun,

pada saat ia telah selesai menulis karya tersebut, ia wafat dan belum sempat memberikan

judul terhadap karya kaidah bahasa tersebut. Al-Sairafi (640 H) berkata pada masa tersebut

pernah dinamai oleh para ulama yang mengenalnya dengan sebutan Qur’ān al-Naḥwi. Lih:

https://ar.wikipedia.org/wiki/كتاب سيبويه (diaskses pada 15 Nov 2017). 38

Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu,1.

39

Tamam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 280. 40

Kajian stilistika dikenalkan pertama kali oleh Charless Bally (1864 – 1946)

Page 99: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

87

Seorang linguis barat Aart Van Zoest (1996 M) berkata bahwa upaya untuk

menjelaskan ruang lingkup stilistika meliputi intonasi bahasa, bunyi, kata dan

kalimat sehingga karena hal itu akan muncul gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata

dan gaya kalimat baru.42

Adapun Faisal Mubarak dalam karya penelitiannya, ia

menguraikan pusat perhatian stilistika sebagai sebuah style, yaitu cara yang

diaplikasikan oleh pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan

menggunakan bahasa sebagai style yang dapat diterjemahkan sebagai gaya

bahasa. Dengan analisa stilistika seseorang dapat menduga siapa pengarang

sebuah karya sastra tersebut karena telah ditemukan ciri-ciri penggunaan bahasa

yang khas, kecenderungannya untuk secara konsisten menggunakan struktur

tertentu, gaya bahasa pribadi seseorang. Dalam konteks sekarang ini akan

diupayakan pembahasannya dalam empat ranah; yaitu leksikal, gramatikal, gaya

bahasa retoris, gaya bahasa kiasan. 43

Model style inilah yang disebut oleh beberapa pakar lingui sebagai linguistik

modern, dimana fungsi bahasa tidak saja memperlihatkan struktur kalimat yang

tersusun rapih dan baik tetapi jauh dari itu justru memperlihatkan kepada gaya

dan intonasi yang lebih modern. Style bahasa tersebut dikenal dengan istilah

linguistic modern sejak digunakan pertama kali oleh al-Qazwaini dan Ali Nikmat

Azhari ketika mengupas lebih jauh karya al-Sakaki yakni Miftāḥ al-‘Ulūm.

Linguistik modern dalam konsepnya selalu menitik beratkan kepada rasa

(dhawq al-lughah) dalam berbahasa. Kemudahan dalam memahami makna dan

kalimat bisa dirasakan dari bunyi frase kalimat yang disampaikan baik dalam

bentuk tulisan maupun lisan.44

Peran penting dari wujud hadirnya ilm balāghah

pada karya al-Sakaki menjadi keistimewaan tersendiri yang dimiliki oleh Miftāḥ

al-‘Ulūm. Thomas Munro (1966 M) mengungkapkan bahwa apa yang telah

ditulis oleh al-Sakaki melalui ide, rasa (sense) maupun karyanya semakin

menunjukkan manifestasi budayanya pada masa itu.45

Sehingga keterkaitan ilm

ṣarf (morfologi), naḥw (sintaksis) dan aṣwāt (fonologi) dalam ilm balāghah

memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Misalnya:

األسدنظر إىل أمحد هو كا“Perhatikanlah Ahmad dia seperti Singa”

Kata األسدك pada teks di atas bukanlah makna sesungguhnya melainkan bila

ditelisik dari sisi linguistik ia termasuk ke dalam hiperbola (اجملاز). Tarkīb kalimat

41

Faisal Mubarak, Nahwu dan Balaghah dalam Persfektif Ilmu Linguistik Modern,

‘Arabiyyāt Vol. 2, No. 2, Juni 2013, 7. 42

Aart Van Zoest Dan Panuti Sudjiman (Ed), Serba-Serbi Simiotik (Jakarta:

Gramedia, 1996), 70-72. 43

Faisal Mubarak, Nahu Dan Balagah Dalam Perspektif Ilmu Linguistik Modern

(Banjarmasin: Iain Antasari Press, T.T.), 13. 44

Badri Rafid al-‘Utriy, Ibn Khaldun as Critic (UEA: Middle East University, 2011),

139-140. 45

Thomas Munro, The Art and Their Interelations (New York: The Liberal Art Press,

1957), 55-57.

Page 100: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

88

yang menyebutkan kata األسدك bisa saja yang dimaksud adalah keberanian atau

kekuatan Ahmad seperti singa karena tidak takut kepada siapapun. Maka contoh

tersebut di atas di dalam ilm balāghah disebut اجملاز للعاقل , sedangkan dari sisi ilm

naḥw disebut jumlah fi’liyyah (tarkīb kalimat yang di dahului dengan verb).

Misal lainnya yang berkenaan dengan majāz yang berisi keterangan (ظرفية) seperti firman Allah ta’ala dalam surat An-Nisa ayat 10:

ا يأك ل ون يف ب ط وهنم نارا وسيصلون سعريا إن الذين يأك ل ون أموال اليتامى ظ لما إنArtinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,

sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan

masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

Pengertian majāz pada ayat tersebeut terletak pada kata ظ لما dan نارا. Kata

di sini makna sesungguhnya adalah ‘kegelapan’ bukan yang dimaksud ظ لما

dalam ayat tersebut. Sedangkan makna kiasannya adalah tidak ada izin atau

perbuatan munkar. Adapun kata نارا juga merupakan kata kiasan, asal kata

tersebut maknanya adalah api, sedangkan menurut Abdullah La’riṭ (2017 M)

makna kiasan yang dimaksudkan adalah musibah ataupun penyakit. Maka

menurutnya ayat tersebut butuh kepada keterangan pada rangkaian ayat

sebelumnya yang mengatakan bahwa harta anak-anak yatim adalah amanah yang

harus dijaga dan dikelola dengan baik tanpa kezaliman.46

Dari misal tersebut di atas telah tampak jelas bahwa keseluruhan cabang

ilmu yang diformulasikan oleh al-Sakaki selalu memiliki keterkaitan antara satu

dengan lainnya. Penempatan level kajian tersebut menjadi salah satu kontribusi

besar dalam memberikan kemudahan bagi para pembacanya. Sama halnya seperti

pelarangan khamar bagi para bangsa Arab, al-Qur’an tidak melarangnya

langsung. Namun, di mulai dari tahapan perbandingan, pencegahan dan dengan

bahasa yang halus dan lembut.

2. Miftāḥ al-‘Ulūm menggunakan metodologi taqrīrī

Rasyidin (2005 M) dan Samsuar Nizar (2005 M) menerangkan bahwa

metode adalah syarat untuk efesiensi aktivitas dalam melalui berbagai jenis

permasalahan yang esensial, agar mudah dipahami dan memberikan pola berfikir

kepada setiap penggunanya.47

Maka sebuah metodologi dalam menulis karya

ilmiah seperti Miftāḥ al-‘Ulūm adalah ciri karekteristiknya yang berperan

penting, hingga digemari oleh para ilmuwan. Metode tersebut akan memastikan

konsistensi dalam penulisannya.48

46

Abdullah La’riṭ, Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Ilmiyyah, 2014), 111. 47

Rasyidin dan Samsuar Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press,

2005), 66.

48

Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 66.

Page 101: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

89

Metodologi Miftāḥ al-‘Ulūm yang telah sempurna ditulis dan dijabarkan

oleh al-Sakaki adalah menggunakan metodologi taqrīrī atau metodologi ilmī. Di

mana pada setiap bagian ilmu yang disampaikan semuanya berdasarkan

pandangan keilmuan yang dimilikinya pada saat mendefinisikan masing-masing

bagiannya. Misalnya, sebelum ia membahas lebih jauh tentang ilmu ṣarf maka

terlebih dahulu ia akan mendefinisikannya sebagai berikut:

ونعين الواضع يف وضعه من جهة املناسبات واألقيسة.اعلم أن علم الصرف هو تتبع اعتبارات فرضها إىل أن تتحقق، أنه أوال جنس املعاين؟ مث قصد جلنس جنس منها، معينا بإزاء كل أباالعتبارات، و

.من ذلك طائفة طائفة من احلروف

Artinya:

“Ketahuilah bahwa ilm ṣarf adalah kajian cara peletakan yang harus

diposisikan pada posisinya dari sisi kesesuaian dan pembagiannya. Dan

maksudnya adalah mewujudkan penjelasan, bahwa yang pertama kali adalah

jenis maknanya? kemudian dimaksudkan jenis yang satu dengan jenis yang

lainnya, berdasarkan pola dari setiap kelompok hurufnya.”49

Makna ilm ṣarf seperti yang di definisikan oleh al-Sakaki memberikan

penekanan yang sangat kuat bahwa ia termasuk dari golongan tata bahasa Arab

yang paling utama sebelum memulai kajian keilmuan linguistik lainnya. Sebab,

apa yang ia letakkan telah menjadi pedoman penting untuk memahami dan

menganalisa kalimat, ishtiqāq, ṣighat, mufrad, jama’, ibdāl maupun i‘lāl dan lain

- lainnya. Adapun pada ilm naḥw, al-Sakaki dala karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm

memberikan defenisi sebagai berikut:

اعلم أن علم النحو هو أن تنحو معرفة كيفية الرتكيب فيما بني الكلم لتأدية أصل املعىن مطلقا مبقاييس مستنبطة من استقراء كالم العرب، وقوانني مبنية عليها، ليحرتز هبا عن اخلطأ يف الرتكيب من حيث

.رعايةكون من ت اهليئاتتلك الكيفية، وأعين تقدمي بعض الكلم على بعض، و Artinya:

“Ketahuilah! ilmu nahwu ialah cara mengetahui struktur-struktur

kalimat untuk menunjukkan makna aslinya berdasarkan kesimpulan

dari induksi pembicaraan Arab, ia bertujuan agar terhindar dari

kesalahan (laḥn) berbahasa sebagaimana mestinya pada pola

struktur kalimat. Juga untuk mendahulukan sebuah kalimat dengan

sebagian dari yang lainnya serta bertujuan untuk memeliharanya.50

Berdasarkan definisi tersebut al-Sakaki telah memaparkan sebuah metode

terapan dalam keilmuan bahasa sebagaimana dalam Miftāḥ al-‘Ulūm bahwa ilm

naḥw tidak dapat dipisahkan dari ilm ṣarf. Para ulama linguis berkata bahwa

keduanya bagaikan ibu dan bapak. Bentuk ṣighat, jenis, jama’ maupun mufrad

dapat disusun dengan baik dan diletakkan sesuai struktur tata bahasa Arab yang

49

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 42. 50

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 125.

Page 102: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

90

tepat. Dalam artian lain ilm naḥw bertujuan untuk memberikan kaidah tata cara

menyusun kalimat sebagaimana yang disediakan oleh ilm ṣarf agar baik dan

benar, termasuk di dalamnya juga sangat memperhatikan ḥarakat atau tanda baca

yang bisa saja dengan mudah menyebabkan kepada makna dan maksud yang

berbeda. Maka atas alasan tersebut al-Sakaki menjadikan setiap bagian dari

tahapan Miftāḥ al-‘Ulūm menjadi metodologi terpenting di dalam tata bahasa

Arab yang baik.

Pada bagian ketiga pembahasan Miftāḥ al-‘Ulūm adalah kajian tentang ilmu

balagah yang dimulai dari ilm ma’āni. Sebuah kajian tentang makna yang lebih

mendalam. Al-Sakaki sebelum memulai pembahasannya ia terlebih dahulu

mendefinisikan ilm bayān sebagai berikut:

، وما يتصل هبا من االستحسان وغريه، ع خواص تراكيب الكالم يف اإلفادةاعلم أن علم املعاين هو تتب . ليحرتز بالوقوف عليها عن اخلطأ يف تطبيق الكالم على ما يقتضي احلال ذكره

Artinya:

“Ketahuilah! Ilmu ma’ani itu adalah bidang kajian khusus tentang karakter

struktur kata, dan semua hal yang berkaitan dengan keindahan ungkapan,

ataupun untuk tujuan lainnya, agar dapat terhindar dari kesalahan dalam

menerapkan suatu ungkapan berdasarkan tuntutan kondisinya.”51

Dengan definisi tersebut al-Sakaki telah meletakkan pendekatan ilmu

ma’ani pada objek-objek pembahasan yang khusus. Definisi ini menjadi ikatan yang

kuat antara ilmu ma’ani dengan sastra Arab atau kajian ilmu linguistik Arab, karena

yang dimaksud dengan struktur di sini adalah struktur pakar-pakar balagah yang

dipandang baik dan briliant. Maka dengan metode tersebut akan diperoleh

ungkapan-ungkapan yang baik, mengandung makna yang tinggi dan indah.

Sekalipun demikian al-Sakaki tidak begitu saja membuat difinisi melainkan setelah

mengamati dan mempertimbangkan dengan matang, hinnga akhirnya definisi

tersebut dijadikan sebuah pedoman penulisan.52

Sedangkan pada ‘ilm al-bayān al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm,

ia mendefinisikannya sebagai berikut:

فهو معرفة إيراد املعىن الواحد يف طرق خمتلفة، بالزيادة يف وضوح الداللة عليه، وبالنقصان وأما علم البيان .عن اخلطأ يف مطابقة الكالم لتمام املراد منه

Artinya:

“Adapun ilmu bayan ialah bidang kajian tentang cara mewujudkan suatu makna

yang serupa dengan tata cara yang berbeda dengan suatu penambahan pada

penjelasan suatu pengertian, dan dengan pengurangan untuk menghindari

kesalahan.”53

51

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 247.

52

Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 66. 53

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 437.

Page 103: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

91

Adapun pada ilm badī (art of schemes), al-Sakaki mendefinisikannya berikut:

علم البديع أهم فرع من علوم البالغة خيتص بتحسني أوجه الكالم اللفظية واملعنوية Artinya:

’Ilm badī’ adalah kajian cabang ilmu balagah terpenting yang membahas

khusus cara memperindah lafal dan maknanya. 54

Pada setiap definisi yang dijelaskan oleh al-Sakaki tersebut mulai dari ilm

ṣarf, naḥw, ma’ānī, bayān bahkan badī’ dan cabang ilmu lainnya telah menjadi

metodologi keilmuan dalam menyelesaikan penulisan Miftāḥ al-‘Ulūm. Maka

jelaslah bahwa pada setiap pengertian yang disampaikan serta urutan keilmuan

adalah karekteristik khusus serta gambaran tingkatan ilmu balagah yang diinginkan

oleh al-Sakaki. Pola penulisan dalam kajian ilmu balagah prosentasenya lebih

banyak pembahasannya daripada ilmu ṣarf dan naḥw.

Metodologi taqrīrī yang menjadi cara dan jalan penulisan Miftāḥ al-‘Ulūm

tidak hanya terbatas pada setiap definisi dan pengertian tiga keilmuan tersebut di

atas, namun juga pada setiap pembahasan dan sub judulnya Al-Sakaki selalu

memberikan definisinya agar menjadi panduan dalam mengkaji keilmuan yang ingin

disampaikannyas, sehingga hal tersebut menguatkan al-Sakaki ketika menuliskan

dalam mukaddimah karyanya, bahwa pada setiap cabang keilmuannya ia telah

jelaskan dan menggunakan cara yang tepat dan terperinci.

3. ‘Ilm al-Ma’āni dan ‘ilm al-Bayān lebih diutamakan dan ilm Badī’ (art of

schemes) sebagai penyempurna.

Abdul Muta’ali al-Ṣa’adi (1943 M) dalam karyanya Bughyah al-Īḍah li

Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm mengukapkan kekagumanannya pada Miftāḥ al-‘Ulūm

karena menurutnya jauh berbeda dengan al-Jurjāni yang hanya menjadikan karyanya

sebagai pengantar kepada ilmu balagah. Sedang al-Sakaki, telah membagi ilmu

balagah kepada tiga bagian penting. Al-Ṣa’di menuturkan bahwa al-Sakaki dalam

pembahasan ilmu balagah lebih mengkhususkan’ilm al-ma’ānī dan ‘ilm al-bayān

dibanding ‘ilm al-badi’. Sebab, menurut al-Sakaki ‘ilm al-badī’ berfungsi untuk

menjaga kemurnian dan keindahan ungkapan serta tingkatan sastranya yang lebih

khusus terkait kepada ilm faṣāḥah.55

Pengkhususan yang dilakukan oleh al-Sakaki tampak pada kalimat

mukaddimahnya, ia berkata:56

القسم ، و القسم الثاين: يف علم النحو، القسم األول: يف علم الصرف: وجعلت هذا الكتاب ثالثة أقسام الثالث: يف علمي املعاين والبيان.

Maksudnya:

“Dan aku telah menjadikan buku ini (Miftāḥ al-‘Ulūm) tiga bagian yaitu

pertama ilm ṣarf, kedua ilm naḥw dan ketiga al-ma’ānī dan al-bayān.”

54

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 532. 55

Abdul Muta’ali al-Ṣa’idi, Bughyah al-Īdhāh li Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm (Kairo: Dār

al-Ilmiyyah, 1943), 12. 56

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 39.

Page 104: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

92

Sedangkan Abdul Hamid al-Handuwi dalam tahqīq nya terhadap Miftāḥ al-

‘Ulūm, ia berkata:

البيان، وأحلق هبما نظرة يف الفصاحة والبالغة ودراسة أما القسم الثالث فخص به علم املعاين وعلمللمحسنات البديعية اللفظية واملعنوية. ووجد أن علم املعاين حيتاج إىل الوقوف على احلد واالستدالل أو

.بعبارة أخرى إىل الوقوف على علم املنطقArtinya:

“Adapun pada bagian ketiga, ia lebih mengkhususkan ‘ilm al-ma’ānī dan ‘ilm

al-bayān, dan mengkhususkan keduanya dalam faṣaḥah dan balāghah, kajian

terhadap keindahan lafal maupun makna. Telah diungkapkan bahwa ‘ilm al-

ma’ānī harus melihat kepada persfektif istidlāl dan ḥad, atau dengan maksud

lain ketetapan pada ilm manṭiq.”57

Pernyataan al-Sakaki tersebut semakin menunjukkan bahwa ada kekhususan

yang ingin diungkapkan oleh-nya pada ilmu balagah, sehingga mengakhirkan ilm

badī’ dibanding kedua kajian ilmu balagah sebelumnya. Tammam Hassan

menyebutkan bahwa apa yang ia amati dari dikhususkannya kedua ilmu tersebut

adalah untuk menunjukkan pentingnya setiap tingkatan keilmuan yang ingin ia

sampaikan sehingga pada ilm badī’ dapat dipahami dan dimengerti dengan baik

untuk mencapai puncaknya ilmu balagah yaitu keindahan dalam berbahasa baik

lisan maupun tulisan.58

Berikut adalah pembagian ilmu balagah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm berdasarkan

padangan keilmuan al-Sakaki:

57

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 7.

58

Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 207.

Stilistika Arab

بالغةعلم ال

معانيعلم ال

اإلسناد اخلربياعتبارات .1 اعتبارات املسند إليه.2 اعتبارات املسند.3 االلتفات.4 االعتبار ما يتعلق به .5الفصل والوصل واإلجياز .6

واإلطناب

بيانعلم ال بديغعلم ال

التشبية.1 االستعارة.2 اجملاز.3 الكناية.4

البديع املعنوي.1 البديع اللفظي.2

Page 105: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

93

Topik-topik ilmu balagah berikut pembagian dan urutan sub judul tersebut telah

disesuaikan oleh al-Sakaki berdasarkan tahapan dan tingkatan keilmuannya. Pada

setiap pembahasan topiknya al-Sakaki selalu memberikan penjelasan dan contoh-

contoh dari dalam al-Qur’an, syair-syair dan ungkapan-ungkapan yang dibuat

sendiri oleh al-Sakaki. Sehingga dari setiap penjelasan yang dijabarkan oleh al-

Sakaki selalu diekspresikan dengan penjelasan yang panjang. Jika diamati pada

bagan ilmu balagah di atas diperoleh bahwa pembahasan yang diuraikan, ‘ilm al-

ma’ānī jauh lebih luas dibanding ‘ilm al-bayān dan al-badī’, begitupun pada ‘ilm al-

bayān pembahasanya lebih luas dari ‘ilm al-badī’ pada bab akhir Miftāḥ al-‘Ulūm.

Ilmu balagah yang diinginkan oleh al-Sakaki adalah menjelaskan dan

memberikan contoh-contoh yang nyata dalam al-Qur’an dan syair-syair, bukan

hanya sekedar teori tanpa bukti-bukti yang nyata. Maka al-Sakaki pun memberikan

contoh-contohnya berdasarkan teori definisi yang telah dibangun olehnya dari

makna awalnya. Secara umum tampak dari permulaan kajian ilmu ma’ānī yang

diawali dengan اإلسناد اخلربي pada bagian topik (berita) اخلرب dan (permintaan) طلبال .

Keduanya memperbincangkan sebuah ungkapan atau berita yang benar ataupun

bohong. Ciri khas yang membedakan antara keduanya adalah bahwa benar dan

bohong hanya berlaku pada اخلرب yang isinya bisa saja berita atau sebuah pernyataan

yang masih membutuhkan klarifikasi tentang keabsahan suatu berita tersebut.

Sedangkan klarifikasi akan keabsahan benar atau bohong tidak berlaku terhadap طلبال . Sebab, ia baru sebatas permintaan atau tuntutan untuk mengklarifikasi suatu

berita atau pernyataan.

Al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm secara rinci telah membagi kepada اإلسناد اخلربي

tiga bagian penting dan menyebutnya sebagai بتدائياإل رباخل (berita pendahuluan) yang

bertujuan untuk memberikan informasi kepada lawaan bicara yang belum memiliki

isi, dan hanya sebagai pengantar saja, sehingga lawan bicara akan mudah menerima

tanpa ragu-ragu. Di sisi lain, bahkan menurutnya tidak diperlukan al-tawkīd

(penekanan).59

Misalnya:

أتاين هواها قبل أن أعرف اهلوى # فصادف قليب خاليا فتمكنا

Artinya:

“Romannya telah mendatangiku sebelum kutahu romannya * Disaatnya

bertemulah hatiku yang sedang kosong, lalu kurasakan ia semakin tenang”

Pembagian yang kedua adalah يبلالطرب اخل (berita permintaan) bertujuan untuk

memberikan informasi kepada lawan bicara untuk memperoleh keyakinan benar

atau bohong. Maka طلبال menurut al-Sakaki kalimat yang terdiri dari ستفهام اال ,النداء , tidak bisa dihukumi benar atau bohong, sehingga menurut النهي maupun األمر ,التمين

59

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 251.

Page 106: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

94

al-Sakaki dibutuhkan al-tawkīd untuk memberikan kejelasan kepada lawan bicara

tentang posisi berita yang disampaikan. Misalnya:

"لزيد عارفأو ممكنا أن نقول: " "زيدا عارف إن "

Penambahan huruf إن dan ل pada teks diatas berfungsi sebagai al-tawkīd untuk

memberikan informasi yang jelas kepada lawan bicara. Maka dengan penambahan

ḥarf al-tawkīd tersebut mudah dipahami oleh lawan bicara dan tidak lagi

membutuhkan konfirmasi ulang atas informasi yang diperoleh. Adapun bagian

ketiga adalah يرب اإلنكار اخل (berita penolakan) yang bertujuan untuk menolak atau

mengingkari dari sebuah informasi yang diperoleh sehingga membutuhkan

penegasan dan al-tawkīd yang lebih dari satu untuk menguatkan penyataannya. Hal

tersebut terjadi karena bisa saja lawan bicara langsung menolak atau mengabaikan

informasi yang kita sampaikan sebab tidak sesuai dengan keyakinan yang ia miliki

ataupun tidak sesuai keinginannya. Misalnya:

ا ف عززنا بثالث ف قال وا إناإ ( قال وا ما أن ت م إال بشر مث ل نا وما 14إليك م م رسل ون ) ذ أرسلنا إليهم اث ن ني فكذب وه 60.(61( قال وا رب نا ي علم إنا إليك م لم رسل ون )15أن زل الرمحن من شيء إن أن ت م إال تكذب ون )

Artinya:

Ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka

mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan utusan yang ketiga, maka

ketiga utusan itu berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang

diutus kepadamu".(14) Mereka menjawab: "Kamu tidak lain hanyalah manusia

seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatu pun,

kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka". (15) Mereka berkata: "Tuhan kami

mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus padamu.(16)

Pada ayat tersebut berisi informasi akan kebenaran para utusan Allah kepada

seluruh penduduk negeri termasuk penduduk kota Makkah agar mereka meyakini

para utusan tersebut dan mengikuti petunjuknya. Hal tersebut tampak dari lafadh

yang bertaukid إنا إليك م م رسل ون. Namun, sayang para penduduk negeri tersebut justru

mendustakan dan tidak meyakininya. Pada akhirnya Allah kembali menegaskannya

untuk meyakinkan apa yang mereka tolak dengan lafadh yang bertaukid lebih dari

satu إنا إليك م لم رسل ون. Dalam menjelaskan sisi al-tawkīd yang terdapat dalam ayat-ayat di atas, al-

Zamakhshari menerangkan sebagai berikut ini: Bila anda bertanya kenapa pada ayat-

ayat di atas pertama ditegaskan إنا إليك م م رسل ون, yaitu hanya dengan menggunakan

satu ungkapan al-tawkīd yaitu إن, kemudian pada ayat berikut ayat tersebut diulang

dengan menambah satu al-tawkīd yang lain, sehingga berbunyi إنا إليك م لم رسل ون yaitu

huruf lam al-tawkīd. Lalu ia berkata: jawabanku adalah kalimat ber-tawkīd pertama

60

Q.S. Yasin: 15-16

Page 107: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

95

menunjukkan awal pemberitaan, sedangkan kalimat ber-tawkīd yang kedua sebagai

jawaban atas keingkaran orang-orang yang telah diberi berita sebelumnya.61

Ahmad Badawi seorang sastrawan Arab mengungkapkan bahwa hal tersebut

terjadi karena mengingat al-Qur’an turun dengan menggunakan lisānan ‘arabiyan

(bahasa Arab) yang merupakan bahasa mereka sendiri. Maka retorika dan

komunikasi yang digunakan al-Qur’an juga berlangsung di antara mereka termasuk

salah satunya penggunaan al-tawkīd. Manifestasi budaya Arab sedikit banyaknya

telah tampak dari bahasa yang digunakan oleh ayat al-Qur’an tersebut. Fenomena ini

bertujuan untuk menguatkan bukti kelemahan (‘ajz) mereka. Hal tersebut karena

manusia memiliki karakter yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang

lainnya, dan semuanya mengajak kepada hawa nafsu. Hal itu tidak dapat terpuaskan

kecuali dengan adanya nasehat-nasehat yang dapat melemahkan dan memberikan

ancaman sebagai pengontrolnya.62

Pada saat terjadi pengulangan dalam sebuah konteks tertentu maka sangat

erat hubungannya dengan penegasan dan penetapan (ta’kīd). Karena penegasan

tersebut merupakan faktor yang mendukung bersemayam dan melekatnya sebuah

gagasan dalam jiwa seseorang. Tujuan penetapan ini dapat dicapai dengan cara

dilafalkan secara berulang-ulang dan kontinyu. Ketika sesuatu itu diulangi secara

terus menerus, maka akan menancap dalam hati dan akan diterima dengan lapang

dada. Pengulangan juga berpengaruh besar bagi nalar orang-orang yang berpikir.

Hal itu dikarenakan sesuatu yang diulang berpengaruh dalam rongga tabiat alam

bawah sadar manusia yang mendorong lahirnya perbuatan mereka. Al-Qur’an

menggunakan penegasan (al-tawkīd) sebagai sarana untuk mengokohkan makna

dalam jiwa pembacanya dan menetapkan kandungan makna dalam sanubarinya

sehingga dapat membentuk suatu keyakinan.63

Al-Sakaki selalu menekankan bahwa tujuan al-tawkīd64

tidak lain adalah

untuk menunjukkan keistimewaan al-Qur’an yang penuh dengan hikmah dan makna

yang padat. Kehadirannya mampu memberikan keyakikan yang kokoh kepada setiap

kata dan kalimat yang dimaksudkan. Itulah sebabnya, al-Sakaki selalu mengingatkan

bahwa لكل مقام مقال, yang artinya pada setiap tempat ada kata-kata yang tepat.65

Pada tiga pembagian tersebut al-Sakaki pun menggolongkan pembahasan-

pembahasan tersebut kepada ملة اخلربيةاجل (kalimat-kaimat yang berkaitan dengan

berita). Dan di dalamnya terdapat beberapa pembagian jumlah oleh al-Sakaki yang

sering disebut sebagai al-isnad al-khabari (al-musnad dan al-musnad ilaihi).

61

Al-Zamakhshari, al-Kasshāf ‘an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh al-

Tanzīl (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.), 318. 62

Ahmad Badawi, Min Balāghah al-Qur’an al-Karīm (Kairo: Dar Nahdah, t.t.), 64. 63

Al-Zamakhsyari, al-Kasshāf (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 55. 64

Tawkīd terbagi kepada 2 yakni al-lafdhī dan ma’nawī. Tawkid lafdhī berarti

mengulang-ulang lafal taukid itu sendiri, baik berupa ism, ḍamīr, fi’il, hurf ataupun jumlah.

Adapun tawkīd ma’nawī adalah menyebutkan kata nafsun, ‘ain, jami’, ‘ammah, kilā dan kilta

dengan syarat lafal-lafal tawkīd tersebut dimudofkan dengar ḍamir yang sama (muakkad-

nya). Lih. Mushthafa al-Qalaini, Jamī’ al-Durūs al-‘Arabiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-

‘ilmiah, 2006), 170 – 176. 65

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 256.

Page 108: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

96

Pada kajian املسند إليه, al-Sakaki telah membagi cabang pembahasannya

kepada 17 bagian penting.66

Al-Musnad ilaihi tersebut bertujuan untuk untuk

mengetahui posisi predikat yang sesungguhnya. Talqis Nurdianto (2016)

mengatakan bahwa kata al-musnad dan al-musnad ilahi sama seperti subyek dan

predikat.67

Sebab, menurut al-Sakaki dalam ilmu ma’ānī hanya ada dua pembagian

kalam yaitu al-musnad dan al-musnad ilahi, sedang dalam ilmu nahwu ia

menyebutnya sebagai jumlah fi’liyyah atau susunan kalimat yang di dahului dengan

fi’il (verb). Kedua adalah al-musnad ilahi dan al-musnad sedang dalam ilmu nahwu

ia menyebutnya sebagai jumlah ismiyyah atau kalimat di dahului dengan ism.

Maka secara rinci berikut adalah posisi al-musnad (اجلملة االمسية) dan al-

musnad ilahi ( ةفعلياجلملة ال )dalam suatu kalimat:

(al-Musnad) المسند (al-Musnad Ilaihi) المسند إليه

1. Al- Fā’il 1. Al-Fi’l

2. Nāib al- Fā’il 2. Ism al-Fi’il

3. Al-Mubtada’ 3. Khabar al-Mubtada’

4. Marfū’ al-Mubtada al-Musytaq 4.Al-Mubtada’ yang tidak memiliki

khabar

5. Asalnya al-Mubtada’ 5. Asalnya khabar

6. Al-Maf’ūl al-Awwal pada Fi’il

yang memiliki dua maf’ūl

6.Al-Maf’ūl al-Tsānī pada Fi’il yang

memiliki dua maf’ūl

Mahfudz Shiddiq (2016) dalam karyanya Kajian Balaghah Berbasis Kearifan

Lokal mengatakan bahwa setiap kalimat yang terdiri dari dua bagian pokok, al-

musnad dan al-musnad ilahi memiliki tujuan balagah khusus selain tujuan sintaksis,

diantara tujuan-tujuan tersebut adalah berupa al-hadzf, al-dzikr, al-taqdīm, al-

ta’khīr, al-ta’rīf, al-tankīr, al-taqyīd dan al-qashr. Hal tersebut menurutnya karena

al-musnad ilahi (al-mahkum alaih) lebih penting dan berharga daripada al-musnad

atau dengan kata lainnya al-musnad ilahi adalah dzatnya (inti) sedang al-musnad

adalah sifatnya.68

Sebab, bila ditelisik dari logika (‘ilm manthiq) Muhammad Husain

al-Jalali (1980 M) berkata bahwa dzat sesuatu itu lebih kuat daripada sifatnya.69

66

Menurut al-Sakaki beberapa aspek kajian dari 17 cabang tersebut adalah املسند طي ذكراملسند إليهإثبات ,إليه ضمريا املسند إليه ,املسند إليه معرفة , املسند إليه إسم ,املسند إليه إمسا موصوال ,املسند إليه علما ,تأكيدا املسند إليه ,املسند إليه إضافة ,اإلشارة إليه بيانا وتفسريااملسند , بدال املسند إليه , ه عطفااملسند إلي , املسند إليه ,تنكريا املسند إليه ,فصال املسند إليه على املسندتقدمي , على املسند املسند إليهتأخري , dan على ملسند املسند إليهقصر . Lih. Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 265-321.

67Talqis Nurdianto, Tahsīn al-Lughah (Yogyakarta: UIN Press, 2016), 5.

68Mahfudz Siddiq, Kajian Balagah Berbasis Kearifan Lokal (Semarang: UIN

Walisongo Press, 2016), 107-108. 69

Muhammad Attuqa Husaini al-Jalali, Taqrīb al-Tahdhīb fī Ilmi al-Manṭiq (Kairo:

Maṭba’ah al-Adab, 1980), 22.

Page 109: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

97

Selain dua bentuk jumlah tersebut al-Sakaki telah merincikan ruang lingkup

pembahasan ilmu ma’ani selanjutnya adalah mengenai الفصل (pemisahan), قصرال (pembatasan), اإلطناب (pelebihan), اإلجياز (penyingkatan), الوصل (penyambungan) dan

ملة الطلبيةجلا (kalimat-kalimat yang berkaitan dengan permintaan) sebagaimana yang

telah diuraikan sebelumnya. Keseluruhan kajian tersebut adalah bertujuan untuk

menyingkap makna padat di dalam setiap kata dan kalimatnya.70

Adapun pada tahapan dan tingkatan ilmu balagah kedua yaitu kajian terhadap

ilmu bayan yang diawali dengan pembahasan التشبية (simile) yang terdiri dari empat

unsur penting dan harus dijelaskan pada saat berbicara pada aspek maknanya, empat

unsur tersebut yaitu mushabbah, mushabbah bih, adāt mushabbah dan wajh shibh.

Adapun tujuan dari التشبية (simile) adalah untuk mempersamakan dua atau lebih

karena sama-sama memiliki sifat yang dimaksud oleh si penuturnya.71

Misalnya

dalam al-Qur’an surat al-Mursālat ayat 32 dan 33 Allah ta’ala berfirman:

إن ها ت رمي بشرر كالقصر كأنه مجالة ص فر

Artinya:

Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana,

Seolah-olah ia iringan unta yang kuning.

Kajian kedua yaitu berkaitan dengan االستعارة (pemakaian/peminjaman lafal) ia

diaplikasikan karena adanya hubugan persamaan dengan makna yang dialihkan atau

dipinjam dengan makna yang dipakai disertai alasan yang mengalahkan penggunaan

makna asal. Misalnya dalam surat al-baqarah ayat 16, Allah ta’ala berfirman:

أ ولئك الذين اشت رو ا الضاللة باهل دى فما ربت تارت ه م وما كان وا م هتدين

Artinya:

Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah

beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.

Al-Sakaki menilai bahwa pada ayat tersebut terdapat makna الستعارةا yaitu terletak

pada kata اشت رو ا الضاللة dengan اهل دى. Di mana pada ayat tersebut tampak pelaku yang

dimaksud oleh Allat ta’ala memilih sesat daripada mengikuti petunjuk kebenaran

dan menukarnya dengan menggunakan petunjuk itu. Sebab antara kata membeli

dengan menukar sama-sama mengandung makna memberikan pengganti atau

mengambil yang lain. Sedangkan kajian ketiga pada ilmu bayan yaitu tentang اجملاز (metafora), ia bertujuan untuk memberikan sense di mana kata yang dipakai bukan

70

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 357. 71

Ahmad al-Hasyimi, Jawāhir al-Balāghah fī al-Ma’ānī wa al-Bayān wa al-Badī

(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 297.

Page 110: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

98

makna denotasinya melainkan makna konotasinya,72

seperti yang telah dicontohkan

sebelumnya. Al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm memberikan definisi khusus tentang

makna اجملاز, ia berkata:

بالنسبة إىل نوع وأما اجملاز فهو الكلمة املستعملة يف غري ما هي موضوعة له بالتحقيق، استعماال يف الغري، ولك أن تقول: اجملاز هو الكلمة . وقال أيضا: حقيقتها، مع قرينة مانعة عن إرادة معناها يف ذلك النوع

املستعملة، يف غري ما تدل عليه بنفسها داللة ظاهرة، استعماال يف الغري، بالنسبة إىل نوع حقيقتها، مع قرينة 73 النوع.مانعة عن إرادة ما تدل عليه بنفسها، يف ذلك

Artinya:

“Majaz adalah kata yang digunakan bukan pada arti yang dibuat

untuknya berdasarkan penelitian, dengan penggunaannya pada arti

yang lain, dimana ia terkait dengan jenis hakikatnya beserta adanya

tanda yang mencegah dari arti yang sebenarnya pada jenis itu.” Al-

Sakaki juga berkata: “Dan kamu boleh mengatakan bahwa majaz

adalah kata yang digunakan tidak pada arti yang dibuat berdasarkan

penelitian, dengan pemanfaatannya pada yang lain, di mana terkait

dengan jenis kebenaran dan keaslian maknanya serta adanya tanda

yang mencegah dari maksud arti yang sebenarnya pada jenis itu.”74

Beberapa ulama linguistik telah membagi majaz kepada beberapa bagian,

diantaranya ada yang berpendapat bahwa majaz terbagi kepada tiga seperti pendapat

Zamakhshari, sedang yang lainnya ada yang berpendapat dua bagian saja, dan ini

adalah pedapat yang paling banyak.75

Sedangkan al-Sakaki menegaskan bahwa

majaz hanya ada dua yaitu اجملاز اللغوي (majaz secara bahasa) dan اجملاز العقلي (majaz

secara pemahaman/akal).

Pembahasan terakhir yaitu terkait dengan al-kināyah (kiasan), ia dimaksudkan

untuk menunjukkan arti yang bukan aslinya dengan tidak menampik digunakannya

makna asli tersebut karena tidak ada petunjuk yang melarang menggunakannya.76

Misalnya al-Sakaki mengutip surat al-Maidah ayat 64:

يداه مبس وطتان ي نفق كيف يشاء وقالت الي ه ود يد الله مغل ولة غ لت أيديهم ول عن وا مبا قال وا بل

Artinya:

Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan

merekalah yang dibelenggu, dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang

telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka,

Allah menafkahkan sebagaimana yang Allah kehendaki.

72

Al-Zamakhshari, al-Kasshāf ‘an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa’Uyūn al-‘Aqawīl fi Wujūh al-

Ta’wīl (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.) 194. 73

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 347. 74

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 359.

75

Moh. Mastna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 150.

76

Moh. Mastna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 98.

Page 111: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

99

Lafadh yang mengandung makna kināyah dalam ayat tersebut adalah kata مغل ولة dan مبس وطتان yang dinisbahkan kepada kata يداه. Di mana maknanya adalah

menghamparkan atau membentangkan tangan sebagai ungkapan kināyah untuk

makna pelit dan dermawan.

Pada bagian terakhir ilmu balagah adalah terkait dengan kajian al-badī’atau

sering disebut oleh al-Sakaki sebagai حتسني الكالم (ungkapan keindahan). Al-Sakaki

telah membagi cabang keilmuan tersebut kepada dua bagian penting yaitu البديع tahsin atau keindahan) البديع اللفظي dan (tahsin atau keindahan makna) املعنوي

lafadh).77 Pada kedua pembagian kajian ilmu badi’ tersebut memiliki

pembahasannya masing-masing, sebagaimana berikut;

a. البديع املعنوي (Tahsīn atau keindahan makna)

بقةااملط .1 , misalnya:

Allah berfirman: ون قلب ه م ذات اليمني وذات الشمال وحتسب ه م أي قاظا وه م ر ق ود

ملقابلةا .2 , misalnya:

Allah berfirman: ف ليضحك وا قليال وليبك وا كثريا جزاء مبا كان وا يكسب ون نظريال .3 , misalnya:

Allah berfirman: و هو السميع البصري زاوجةامل .4 , misalnya:

Al-Sakaki berkata: إذا ما هنى الناهي فلج يب اهلوى أصاخ إىل الواشي، فلج به اهلجر

Adapun bentuk – bentuk yang lain dari al-badī’ al-ma’nawī banyak sekali

yang telah dipaparkan oleh al-Sakaki seperti: العكس ,االستخدام ,التورية ,املشاكلة, Keseluruhaan kajian tersebut menjadi puncak tujuan ilmu .التجريد dan التبديل

balagah yaitu untuk memperoleh keindahan dalam berbahasa dengan seni dan

dhawq yang dapat dirasakan oleh pembicara dan pendengarnya. Karena

sesungguhnya mood feeling (suasana hati) seseorang bisa membuat ketertarikan

dan kesan yang memberikan dampak positif bagi pembicaranya. Sebaliknya

jika suasana hati seseorang dalam mendengarkannya tidak tertarik maka pesan

yang ingin disampaikan tidak akan mencapai sasarannya.78

77Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 340.

78Robert A. Emmons, Intensity and Frequency: Dimensions Underlying Positive

and Negative Affect, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 48, No.5, Desember

1985, 1258.

Page 112: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

100

b. البديع اللفظي (Tahsīn atau keindahan lafal). ناساجل .1 , misalnya:

Allah berfirman: لك كذ ر ساعة وي وم ت ق وم الساعة ي قسم الم جرم ون ما لبث وا غي كان وا ي ؤفك ون

سجعال .2 , misalnya:

Allah berfirman: بعد الكدر صفو وبعد املطر صحو وازنةامل .3 , misalnya:

Allah berfirman: ونارق مصف وفة و زراىب مبث وثة

:misalnya ,رد العجز على الصدر .4

Allah berfirman: وتشى الناس والله أحق أن تشاه

Dari tahapan dan pembagian al-badī tersebut tampak bahwa ilm al-badī’

(art of schemes) adalah penyempurna keilmuan balagah sebagaimana yang telah

dijelaskan oleh al-Sakaki sebelumnya. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu

kekhasan dalam Miftāḥ al-‘Ulūm. Pembagian tahsīn al-kalām ini menurut al-

Sakaki juga disebut sebagai al-muhassināt al-ma’nawiyah dan muhassināt al-

lafdhiyyah.79

Ketiga karekteristik tersebut telah menjadi pembeda dan khas tersendiri

antara karya al-Sakaki dengan karya ilmu balagah lainnya. Akibatnya,

kemurniaan ilmu di dalamnya telah menjadikan Miftāḥ al-‘Ulūm lebih dirujuk

daripada karya balagah lainnya.

C. Empirisme sebagai Epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm

Al-Sakaki dalam penulisan karya ilmiahnya sering kali menggunakan al-

Qur’an sebagai contoh atau obyek kajiannya. Sebelum mengutip ayat demi ayat al-

Qur’an ia terlebih dahulu menganalisanya dengan sangat cermat dan penuh

kewaspadaan. Dalam pengamatannya al-Qur’an menggunakan kata ‘ilm dalam

berbagai bentuk dan peristiwa wahyu (asbab nuzūl), dari kata ‘ilm tersebut

memberikan arti yang sangat banyak hingga mencapai 854 kali kata ‘ilm. Di antara

sekian kata tersebut ada yang bertujuan sebagai proses pencapaian ilmu pengetahuan

(processing to science) dan objek ilmu pengetahuan tentang sumber-sumber ilmu

pengetahuan, di samping kumpulan atau klasifikasi dan jenis disiplinnya.80

Ending Ṣalahuddin (2007 M) dalam penelitiannya yang berjudul Filsafat Ilmu

dalam al-Qur’an berpendapat bahwa ‘ilm menurut al-Qur’an seperti yang dianalisa

oleh al-Sakaki mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia

79

Abdul Karim Mujahid, al-Dalālah al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab (Yordania: Dar

al-Ḍiya’, 1985), 85. 80

Ummul Khair, al-Bu’du al-Tadāwulī fī al-Balāghah al-Arabiyyah min Khilāli

Miftāḥ al-‘Ulūm li al-Sakākī (Algeria: The University of Ouargla, 2000), 14.

Page 113: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

101

dalam kehidupan di dunia maupun di akhiratnya, baik masa sekarang maupun masa

yang akan datang, baik tentang ‘ulūm fisika (empirik) maupun ‘ulūm metafisika

(non empirik).81

Al-Sakaki dalam perjalanan keilmuannya tidak jarang ia memperhatikan

beragam pelajaran kehidupan yang kemudian ia terapkan dalam kehidupan nyata.

Misalnya, ketika pertama kali ia merasa sangat kagum melihat penghormatan sang

raja kepada tamunya yang ternyata seorang ulama besar di masa tersebut. Padahal

dalam waktu yang bersamaan ia baru saja disanjung oleh sang raja karena kreasinya

menempah besi yang sangat mashur. Pengalaman tersebut akhirnya menggugah al-

Sakaki untuk melakukan sebuah perubahan dan mencoba terjun ke dalam dunia

pendidikan pada usianya yang ke-30 tahun.82

Sebuah pengalaman empiris yang dijalani oleh al-Sakaki setelah menempuh

perjalanan panjang akhirnya ia memperoleh penghormatan yang lebih daripada yang

ia lihat dan amati dahulu. Maka tidak jarang ditemukan dalam karya ilmiahnya

tentang proses pemerolehan ilmu pengetahuan melalui pengalaman atau sentuhan

panca indera yang ia lakukan. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa anggota

tubuh manusia yang berperan besar dalam memperoleh ilmu pengetahuan yakni

salah satunya adalah panca indera yang telah dibuktikan oleh al-Sakaki dengan

kesabaran dan pendalaman.83

Senada dengan filusuf barat John Locke (1704 M) yang mendefinisikan

pengetahuan sebagai persepsi (wajh al-nadhariyyah) dari persetujuan atau

ketidaksetujuan dari dua buah ide (Knowledge is the Perception of the Agreement or

Disagreement of two Ideas). Ide yang dimaksud tersebut adalah ide sebagai hasil

persepsi melalui proses pengalaman inderawi dan bukan ide seperti yang diyakini

oleh kalangan rasionalis. Sebab, menurutnya sebuah ide lahir setelah melalui proses

pengalaman dan pengamatan. Maka proses tersebut bisa saja melalui sensasi dan

refleksi yang terjadi. Antara keduanya saling berkaitan dimana sensasi mensyaratkan

adanya kegiatan persepsi indrawi, sementara refleksi bagian dari intropeksi terhadap

konten atau isi dan kegiatan.84

1. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian األمر (perintah)

Al-Sakaki menegaskan bahwa bentuk ṣighat amr dalam karyanya yang telah

menyesuaikan al-Qur’an sebagai hasil analisisnya terdapat dalam empat bentuk amr

yang berbeda. Empat bentuk tersebut yakni 1). Fi’il amr (kata kerja yang

dimunculkan dari asal katanya sebagai bentuk perintah, 2). Fi’il muḍāri’ yaitu kata

kerja sekarang yang diikuti dengan lam amr, 3). Ism fi’il amar (sebuah kata yang

berbentuk ism, dan di dalamnya mengandung makna perintah atau amr), 4). Maṣdar

sebagai ganti fi’il amr yaitu sebuah kata bentuk dalam morfologi bahasa Arab yang

kemudian dimaknai sebagai perintah. Keempat bentuk ṣighat tersebut telah

81

Ending Ṣalahuddin, Filsafat Ilmu dalam al-Qur’an, Islamica Journal, Vol. 6, No. 2,

Maret 2012, 265. 82

Al-Sayyid ‘Adil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār, http://shiavoice.com/play-

hf25w. html (diakses 02 Oktober 2017)

83

Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī Balāghah al-Sakākī, 184. 84

Lex Newman, The Cambridge Companion to Locke’s: Essay Concerning Human

Understanding (USA: Cambridge University Press, 2007), 307-314

Page 114: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

102

dijabarkan oleh al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm berikut dengan contoh-contohnya

dalam al-Qur’an.85

Misalnya, al-Sakaki dalam inshā’ ṭalabī ia mengutip al-Qur’an yang berisi

tentang perintah mentadabburi langsung penciptaan bumi dan langit. Allah ta’ala

berifrman dalam surat Yunus 101:

ت وٱألرض ق ل ٱنظ ر وا و ت غىن ٱلءايت وٱلنذ ر عن ق وم ال ي ؤمن ون وما ماذا ف ٱلسم

Artinya:

Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah

bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan

bagi orang-orang yang tidak beriman."

Jika diamati dalam keilmuan balagah pada kajian ilm ma’ānī maka

didapatkan bahwa contoh tersebut di atas adalah sebuah bukti keharusan dalam

melakukan sebuah pengamatan dan pendalaman dengan panca indera. Dalam ayat

tersebut di atas terdapat kata ل انظرواق yang berarti “katakanlah! perharikanlah...!”

termasuk dalam ṣighat fi’il amr.

Senada dengan perintah Jibril kepada nabi Muhammad صلى هللا عليه وسلم pada

saat penlegitimasiannya sebagai Nabi dan Rasul di gua Hira dengan sebuah kata

yang mengguncang mental Muhammad صلى هللا عليه وسلم. Perintah tersebut

disampaikan langsung oleh Jibril dengan mengatakan iqro’ (bacalah), sampai

akhirnya perintah tersebut di ta’kīd sebanyak 3 kali, sedang jumlah kata iqro’ dalam

al-Qur’an ditemukan sebanyak 17 kali.86

Pengulangan tersebut menurut M. Quraish

Shihab sebagai makna perintah membaca sekaligus menghimpun dan meneliti

secara empirik untuk memperoleh data yang akurat, agar tidak terjadi sebuah

kesalahan yang fatal.87

Ayat tersebut di atas bertujuan untuk mengingatkan kewajiban bagi setiap

yang beriman agar berjalan sesuai prosedur yang digariskan oleh Allah ta’ala untuk

memahami penciptaan langit dan bumi serta tanda-tanda yang terdapat di dalam

keduanya. Ṣalahuddin (2007 M) menegaskan bahwa alam jagat raya ini dan semua

realitas yang ada di dalamnya adalah sumber pengetahuan. Maka realitas dan wujud

alam raya ini dapat dikategorikan sebagai pengetahuan empiris.88

Dengan demikian tampak bahwa penulisan Miftāḥ al-‘Ulūm pada beberapa

cabang keilmuan khususnya dalam kajian al-amr sangatlah empirik. Ia sangat

mengakui akan kehebatan sesuatu jika ia melihat dan mengamatinya secara

langsung. Sebab, menurutnya sesuatu yang dilakukan dengan proses penelitian

(tajrībī), maka tidak akan ditemukan sebuah kebohongan dari apa yang diminta atau

yang diinginkan.89

Itulah sebabnya, contoh ayat tersebut menunjukan pentingnya

85

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 231. 86

Kemenag RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), 718. 87

M. Qurasih Shihab, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, (Bandung: PT. Pustaka Hidayah,

1997), 83. 88

Ending Ṣalahuddin, Filsafat Ilmu dalam al-Qur’an, 264-266. 89

Soren Kiergegaard, al-Tikrār Mughāmirah fī Ilmi al-Nafsi al-Tajrībī, 15.

Page 115: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

103

proses memiliki ilmu pengetahuan melalui inderawi atau merasakan langsung

sensasi dan refleksinya.

2. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian ينهال (larangan)

Al-Sakaki menjelaskan bahwa ṣighat al-nahyu dalam ilmu ma’ani hanya ada

satu ṣighat saja yakni fi’il muḍāri’ yang bersamaan dengan lā al-nahyi. Menurut

filsuf setiap larangan itu berkenaan langsung dengan realitas indra manusia. Di mana

apabila sifat larangan tersebut dilanggar akan berakibat kepada sesuatu yang buruk.

Maka Mulyadi Kartanegara menegaskan bahwa sebuah larangan jika telah tampak

jelas dan akurat akibatnya, maka harus diyakini dengan sepenuh hati tanpa

mempertanyakan kembali keotentikannya. Sebab, secara empiris ia dapat dibuktikan

dengan mudah.90

Misalnya, al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm ia mengutip surat al-A’raf ayat

berikut:

ء وال تعلىن مع القوم الظلمني فال ت شمت ىب األعدا Artinya:

Janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah

kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim.

Ibnu Katsir (1373 H) berpendapat bahwa kata larangan dengan menggunakan

lā al-nahyi tersebut di atas adalah ucapan nabi Harun kepada nabi Musa sebagai

bentuk permohonan agar tidak dikumpulkan bersama para musuh Allah dan orang-

orang dhalim. Permohonan tersebut ditanggapi oleh nabi Musa setelah menyelidiki

kebenarannya, ternyata nabi Harun bersih dan tidak termasuk sama sekali seperti

yang dianggapkannnya. Proses yang dilakukan oleh nabi Musa untuk mencari tahu

sebuah kebenaran akan keterlibatan nabi Harun dengan orang-orang yang dhalim

tidak terbukti, sebaliknya ia menemukan kemurnian hati nabi Harun dalam

menghadapi sebuah kenyataan. Ibnu Katsir lalu menegaskan setelah upaya yang

keras oleh nabi Musa, ia menemukan sebuah kebenaran yang akurat pada

saudaranya, ia pun berdo’a kepada Allah:91

رمحتك وأنت أرحم الرامحني قال رب اغفر ل وألخي وأدخلنا يف Artinya:

Musa berdoa: "Ya Tuhanku! Ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah

kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara

para penyayang."

Al-Sakaki menjabarkan bahwa ayat tersebut keduanya adalah bentuk al-du’ā

(permohonan), harapan tidak diberi hukuman sebaliknya diberi kasih sayang Allah.

Konteks larangan tersebut menampakkan kuatnya keyakinan nabi Harun bila ia

dimasukkan ke dalam orang-orang yang dhalim maka akibatnya pasti buruk.

90

Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung:

Mizan Pustaka, 2005), 44. 91

Ibnu Katsir, Lubāb al-Tafsīr li Ibni Katsīr (Kairo: Muassasah Dār Hilal, 1994), 458-

460.

Page 116: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

104

Sebaliknya, dugaan nabi Musa terbantahkan karena kebenaran yang dimiliki Harun.

Sebab, ia telah berdakwah dengan upaya yang maksimal.92

Mulyadi Kartanegara menegaskan bahwa bentuk ketaatan atas segala norma-

norma dalam kaidah hukum adalah salah satunya meninggalkan segala yang

dilarang dan merecheck kembali segala tindakan yang kemungkinan dilanggar.

Secara teoritis yang bisa merasakan akibatnya adalah diri sendiri dengan beragam

bentuk hukuman. Maka hal seperti ini disebut sebagai guru yang paling baik, karena

secara tidak langsung telah memberikan pelajaran berharga dalam kehidupan.

Bentuk pengetahuan inilah yang disebut oleh filsuf Islam sebagai al-bayānī

(penalaran berdasarkan kenyataan).93

Sedangkan al-Jabiri menegaskan bahwa pengamatan terhadap sejenis ayat al-

nahyi dalam al-Qur’an disebut sebagai epistemologi al-bayānī, karena sangat

berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan realitas. Maka dalam

pengamatannya dibutuhkan tool of analysis (alat untuk menganalisa kebenaran).94

3. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian مجازال (metafora)

Sesungguhnya empirisme telah dipandang oleh al-Sakaki sebagai yang paling

produktif di dalam dunia karya ilmiah. Sebab, menurutnya proses yang terjadi dapat

langsung dirasakan tanpa harus berlogika banyak. Bahkan Thomas Hobbes juga

mengatakan hal yang sama bahwa pengenalan dan pengamatan terhadap sesuatu

yang nyata akan tersimpan sebagai pengalaman yang akurat dalam kehidupan,

sehingga dapat diambil manfaat atau pelajaran darinya.95

Sebuah pengalaman kehidupan yang dituangkan oleh al-Sakaki dalam bentuk

syair pada karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm adalah contoh akurat bahwa karyanya tersebut

ia tulis berdasarkan epistemologi empirisme (al-tajrībī), ia berkata:

العشي الغداة ومر كر الكبري وأفىن الصغري أشابArtinya:

Telah membuat anak-anak itu menjadi tua dan telah membuat orang tua punah

disebabkan berulang-ulangnya pagi dan sore.96

Syair al-Sakaki tersebut ia ungkapkan karena adanya keyakinan dalam dirinya

bahwa setiap orang pasti terus menjalani kehidupannya dari lahir menuju kematian.

Dalam pengamatannya yang ia rasakan secara langsung bahwa dahulu ia masih

kecil, namun kini ia telah besar. Pada akhirnya setiap yang tua akan meninggal

dunia akibat perputaran waktu dari siang ke malam dan sebaliknya. Kedua kata أشاب dan أفىن merupakan jenis majāz al-‘aqlī, seakan-akan keduanya yang membuat

segalanya membesar atau habis. Padahal yang sesungguhnya yang menjadikan

seseorang muda, tua ataupun meninggal adalah Allah ta’ala.

92

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 231. 93

Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, 44. 94

Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, 117. 95

Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,

Aksiologis (Jakarta: PT. Aksara Bumi, 2011), 31. 96

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 503.

Page 117: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

105

Dengan demikian telah tampak empiriknya keilmuan al-Sakaki pada beberapa

kajian majāz seperti contoh di atas, karena ia mengungkapkannya dalam bentuk

kenyataan sesuai yang ia rasakan dalam kehidupan sehari-hari.

D. Rasionalisme sebagai Epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm

Descartes (1650 M) pernah mengurung dirinya sendiri dalam kamar karena

ingin merenungkan sebuah proses kesangsian yang terus menghantuinya. Kejadian

tersebut menurutnya karena seluruh ilmu pengetahuan haruslah disangkal dan tidak

boleh dipercaya begitu saja sebagai sebuah pengetahuan yang pasti. Sebab, data-

data yang telah diperoleh selama ini melalui inderawi bisa saja sebuah mimpi yang

kita rasakan menjadi sebuah kenyataan. Proses kesangsian yang dilakukan oleh

Descartes populer dengan ucapannya “aku berfikir maka aku ada’.97

Proses ini pula

yang pernah dilalui oleh al-Sakaki ketika mengarang Miftāḥ al-‘Ulūm, beberapa kali

ia harus menghentikan proses menulisnya demi sebuah perenungan dan logika

keilmuan yang logis serta dapat dibuktikan dengan teks-teks tulisan maupun lisan. Ia

selalu berlandaskan kepada firman Allah ta’ala bahwa sebuah ilmu membutuhkan

al-ta’ammul wa al-mushāhadah98 atau disebut sebagai sebuah langkah meditasi

dalam pencarian sebuah fakta dan data ilmiah yang empirik. Hal tersebut menurut

al-Sakaki bukan berarti tidak menerima pendapat namun ia membutuhkan

pembuktian praktis secara logis.

Al-Sakaki sering kali memperoleh berbagai inspirasi dan ide baru sebagai

sebuah kebenaran yang nyata, khususnya ketika ia usai mengalami proses

pengamatan dan pengalaman mengajar di berbagai tempat pendidikan, lebih dari itu

ia juga sering dihadapkan kepada beragam karakter dan pola perkembangan

pendidikan secara akademis.99

Abdul Malik Fadjar mengungkapkan jika seorang guru ingin mengetahui

proses belajar mengajarnya memberikan dampak yang baik terhadap perkembangan

pendidikan secara menyeluruh atau tidak, maka ada beberapa bekal kemampuan

yang harus dimiliki untuk mencapai hal tersebut. Point pertama adalah keharusan

membagi permasalahan aktual pendidikan ke dalam dua sudut pandang, yakni dari

segi perkembangan akademik dan kebutuhan masyarakat akan layanan pendidikan

yang diselenggarakan, serta yang tidak kalah penting adalah harus memiliki data

perkembangan dunia pendidikan lainnya agar dapat menjadi tolak ukur keberhasilan

para murid khususnya pada materi yang diajarkan. Sedangkan, point penting kedua

adalah dari segi fungsional pedagogik. Keseluruhan perkembangan pendidikan

tersebut adalah sesuatu yang wajar dan keharusan terlebih dari kepiawian seorang

97Abdul Aziz, Epistemologi Islam: Analisis Kritis Pemikiran al-Ghazali (Jakarta:

Satria Publishing, 2017), 55 . 98

Istilah al-ta’ammul wa al-mushāhadah diungkapkan oleh Umar Ibn Mujahid di

dalam penelitian magisternya tentang batasan-batasan kritik sastra Arab lama. Menurutnya

al-ta’ammul wa al-mushāhadah adalah sebuah metode perenungan untuk menggali sebuah

kebenaran melalui empirisme atau pembuktian secara inderawi sehingga dapat dikategorikan

menjadi sebuah ilmu yang logis dan bermanfaat. Lih. Umar Ibn Mujahid, Muhaddadāt al-

Naqd al-Adab al-Qadīm’Inda al-‘Arab (Aljazair: Universitas Wahrān, 2015), 183.

99

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid, 3.

Page 118: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

106

guru sebagai garda depan berhasilnya pendidikan atau sebaliknya tidak berhasil.100

Hal ini pun tidak luput dari pengamatan al-Sakaki dan menjadikannya sebagai

sebuah ilmu besar untuk mengasah pemikirannya.

Al-Sakaki tidak menjadikan, juga tidak langsung menjustifikasi semua apa

yang sedang ia alami adalah sebuah kenyataan dan kepastian seperti apa yang ia

amati dan rasakan langsung dari perkembangan para murid-muridnya. Pola inilah

yang sering disebut oleh para filsuf sebagai al-wahm. Sebab, dalam pengamatannya

pada beberapa kondisi, keadaan tersebut bisa saja berubah dan berbeda pada titik

objeknya. Karena kebenaran hanya ada dalam pikiran kita dan itu diperoleh dengan

akal saja. Kehati-hatian yang ditunjukkan oleh al-Sakaki tersebut memberi peluang

berpikir dan merenung panjang demi sebuah kebenaran yang pasti. Sejalan dengan

pendapat Louis O. Kattsoff (1996 M), ia menegaskan bahwa proses epistemologi

seperti yang dilakukan oleh al-Sakaki tersebut sudah tepat. Ia berargumen bahwa

pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal.

Sebab, menurutnya akal tidak memerlukan pengalaman.101

Maka akal dapat

menurunkan kebenaran pengetahuan dari dirinya sendiri atas dasar asas-asas yang

pasti, dalam artian rasionalisme tidaklah mengingkari nilai pengalaman melainkan

ia dipandang sebagai perangsang bagi pikiran.102

Al-Sakaki di dalam beberapa karyanya, baik yang ditulis sebelum memasuki

kehidupan pemerintahan dengan jabatan baru atau sesudah memiliki jabatan

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ia selalu menempatkan kedudukan

daya-daya tangkap pada rasa penasaran atau jiwa yang sensitive sebagai sarana

menangkap ilmu pengetahuan dan mentransfer proses perkembangan berpikir bagi

akalnya. Maka baginya panca indera, al-khayāl dan al-wahm adalah pintu masuk

utama untuk memperoleh informasi realitas objektif. Bahkan pada beberapa

kesempatan al-Sakaki sering kali mempelajari karya-karya ilmu balagah dari para

ahli terkenal sebelum dirinya seperti al-Jurjani dan al-Zamakhshari. Kebiasaan

tersebut menurut gurunya sudah lama berlalu yakni sejak ia memutuskan dirinya

mengikuti sekolah formal. Selama proses belajar berlangsung pun ia sering kali

megajukan pertanyaan-pertanyaan baru kepada sang guru agar memperoleh

pemahaman yang mudah secara logika.103

Berbeda dengan para pelajar pada

masanya yang lebih sering pasif. Menurutnya, pola belajar untuk memperoleh

pengetahuan pasti lebih sering ditemukannya dalam bentuk tanya jawab dan

kritis.104

Karakter epistemologi tersebut membuatnya semakin dikenal oleh para

teman-teman se-usianya khususnya para guru al-Sakaki. Karakter tidak mudah

100

Abdul Mukhid, Meningkatkan Kualitas Pendidikan Melalui Sistem Pembelajaran

yang Tepat, Jurnal Tadris, Vol. 1, No. 2, Januari 2007.

101

Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy atau Pengantar Ilmu Filsafat, Terj.

Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 133. 102

Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, 71. 103

Ummul Khair, al-Bu’du al-Tadāwulī fī al-Balāghah al-Arabiyyah min Khilāli

Miftāḥ al-‘Ulūm li al-Sakākī (Algeria: The University of Ouargla, 2000), 14. 104

Ummul Khair, al-Bu’du al-Tadāwulī fī al-Balāghah al-Arabiyah min Khilāli

Miftāḥ Ulūm li Al-Sakākī (Algeria: The University of Ouargla, 2000), 14.

Page 119: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

107

menyerah apalagi malu, membuatnya menjadi sosok yang berani mengungkapkan

pendapat dan pemikirannya secara rasionalitas dengan argumen dan bukti data-data

yang valid. Shawqi Ḍaif menjelaskan bahwa salah satu kunci kesuksesan al-Sakaki

dalam memperoleh ilmu yang hakiki adalah karena ia menjadikan tiga kunci

penting sebagai pintu masuk informasi baginya sebagaimana yang dijelaskan

sebelumnya.105

Michael Beaney (1959 M) memaknai al-khayāl sebagai sebuah imajinasi, di

mana menurutnya di sebagian besar pemikiran barat, imajinasi memiliki status yang

ambigu, hal tersebut tampak dari pola berpikir dan karekter badan, mental dan fisik

dan penengahan antara satu jiwa dan lainnya. Ia menambahkan bahwa bagi

Aristoteles, imajinasi atau phantasia adalah sejenis jembatan antara sensasi dan

pemikiran, memasok gambar atau 'jadian' tanpa pemikiran mana yang tidak dapat

terjadi. Diperkirakan bahwa imajinasi itu tidak akan terjadi seperti yang

dibayangkan oleh otak, karena itu berhubungan dengan gambar di otak yang

eksistensi tidak seperti pikiran yang bisa saja diragukan. Pada kenyataanya disaat

sesuatu itu diperhatikan dan diamati dengan baik, maka akan memunculkan lintasan

pikiran tentang objek tersebut. Di sisi lain, Immanuel Kant (1804 M) juga

berpendapat bahwa imajinasi itu sangat penting bagi manusia, tidak saja

menyatukan kemampuan sensorik dan intelektual kita, tetapi juga bertindak dalam

perbuatan dengan cara-cara yang kreatif sebagaimana yang di temukan dalam karya

Romantisisme dan Ekspresi Puitis oleh Coleridge dan Wordsworth.106

Al-Khayāl oleh al-Sakaki telah menjadi salah satu sumber utama inspirasi

atau disebut juga oleh Michael Beaney sebagai The Ways of Ideas (jembatan

memperoleh ide-ide baru). Ia pernah mengatakan bahwa semua karya manusia

sebenarnya telah terbangun pertama kali di dalam imajinasinya sebelum menjadi

wujud nyatanya di alam dunia. Miftāḥ al-‘Ulūm menurut al-Sakaki telah ia

wujudkan melalui banyak dimensi dan perjalanan panjang dalam proses finalisasi

isinya. Al-Ghazali sangat mendukung pernyataan al-Sakaki tersebut dengan

menguatkan pendapatnya melalui empat tingkat wujud di alam dunia ini, yakni

wujūd al-lawh al-mahfūdh, wujūd jasmāni, wujūd al-khayāli dan wujūd al’aqlī.107

105

Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl Dirasah Epistimologiyah li Fikri al-Lughowī

‘Inda al-Arab, 200. 106

Michael Beaney, Thought and Experience: Themes in the Philosophy of Mind

(Inggris: The Open University Course, 2005), 1. 107

Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan keempat wujud tersebut mengandung makna

tingkatan wujud yang paling hakiki. Menurutnya, wujud pertama adalah hakikat-hakikat

sesuatu yang terdapat di al-lawh al-mahfūdz, ia adalah sebuah istilah dalam akidah Islam

yang menunjukkan bentuk sesuatu yang universal. Ia menjadi hak preogratif Tuhan bahwa

segala sesuatu yang akan terjadi di alam dunia sudah ada dalam catatannya, maka bisa

disebut bahwa ia merupakan model (al-nuskhāt) dari alam. Wujud kedua yakni wujūd

jasmāni, ia adalah realitas objekif dari hakikat-hakikat yang ada pada wujud pertama

sebelumnya, sehingga alam semesta merupakan jelamaan dari wujūd jasmāni atas-atas

hakikat-hakikat sebelumnya. Wujud ketiga adalah wujūd al-khayāli, ia merupakan gambar

realitas objektif yang ditangkap oleh panca indera. Sedang wujud yang keempat yakni wujūd

al’aqlī, ia adalah kesan-kesan gambar atau objek yang ditangkap oleh akal untuk kemudian

Page 120: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

108

Menurut al-Ghazali wujūd al-khayāli adalah sesuatu yang ada dalam otak

setelah mendapatkan transferan gambar realitas yang langsung dilihat oleh mata atau

dirasakan oleh panca indera lainnya, ia bersumber dari wujūd jasmāni yang pada

hakikatnya semua hal tersebut telah terpotret baik oleh wujud pertama sebelumnya

kemudian ditransfer kepada al-khayāli. Maka pengetahuan tersebut pun diperoleh

tidak bersifat langsung pengetahuan tanpa usaha dan abstraksi. Maka kecenderungan

memperoleh ilmu pengetahuan melalui imajinasi atau al-khayāli tersebut telah

mengantarkan al-Sakaki kepada wujud ke empat di mana segala yang ada dalam

otaknya diproses kembali oleh akalnya untuk menghasilkan sebuah pengetahuan

murni dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran dan keilmiahannya.108

Kemampuan akal yang tinggi pun akan dibuktikan kembali dengan realitas dan

pengalaman yang baru setelah melalui proses pengaplikasian hasil tersebut.

Adapun perbedaannya dengan al-wahm, ia adalah sebuah persepsi, ide dan

mitos yang masih diragukan kebenaranya sebab ia hadir tanpa dasar faktual ilmiah

dan logis mental. Ia butuh kepada verifikasi dalam kenyataan kebenarannya. Charles

S. Pierce (1914 M) menambahkan bahwa dalam berpikirnya seseorang ada dinamika

gerak dari adanya gangguan suatu keraguan (irritation of doubt) atas keyakinan

yang selama ini dipegang olehnya, lalu terangsang untuk melakukan penyelidikan

(inquiry) terhadap keraguan yang ia miliki kemudian diakhiri dengan pencapaian

suatu keyakinan atau kepercayaan baru.109

Sedangkan al-khayāli adalah mentalitas

kekuatan yang tersimpan secara kreatif di luar pemikiran yang biasa melalui bentuk

gambar kehidupan pada manusia kemudian memperluasnya melalui budaya spiritual

kreatif.110

Kedua sumber pengetahuan tersebut menjadi jembatan bagi al-Sakaki menuju

alam ilmu yang lebih luas. Itulah sebabnya, ia tidak lupa memberikan penegasan di

dalam mukaddimah karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm bahwa ia telah melalukan revisi

berulang kali setelah mencermati dengan baik dan meneliti pada setiap bagian

keilmuan yang ia goreskan. Revisi ulang yang dilakukan oleh al-Sakaki memberikan

makna bahwa ia tidak ingin terjadi keilmuan di dalamnya ada yang masih

disangsikan kebenaran dan kepastiannya,111

sehingga menurut al-Ghazali ini adalah

peluang bagi wujūd al’aqlī untuk diperoses dengan baik agar memberikan hasil yang

maksimal. Para ahli menyebut bahwa ciri seorang intelektual ialah kecermatannya

terhadap hasil karya lisan maupun tulisannya. Hal tersebut seiring dengan

perkembangan kemampuan manusia termasuk al-Sakaki maka harus dilakukan

proses penyelidikan (inquiry) ulang terhadap setiap hasil karya manusia yang tidak

luput dari salah dan lupa. Kecermatan dalam berpikir menurutnya dapat

menghindarkan diri dari kecerobohan yang berakibat pada penyesalan.112

diperoses menjadi sebuah kebenaran atau kenyataan. Lih. Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm

al-Dīn -Terj. (Semarang: Ṭaha Putra, 2003), 36. 108

Michael Beaney, Thought and Experience, Themes in the Philosophy of Mind, 60. 109

Charles S. Pierce, The Camridge Companion to Pierce (Inggris: Camridge

University Press, 2004), 87. 110

Ahmad Barqawi, al-Wahm wa al-Khayāl, lih di http://www.albayan.ae 111

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 3. 112

Charles S. Pierce, The Camridge Companion to Pierce, 22.

Page 121: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

109

Al-Qur’an misalnya, sebagai sumber utama keilmuan juga telah menyebutkan

tuntunan penting bagi setiap ilmuwan agar berpedoman kepada tiga potensi

instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara terpadu. Adapun ketiga

instrumen tersebut yakni pendengaran atau inderawi (al-khawās), pengelihatan

(‘aql) dan hati (al-wijdan).

Imam al-Qurṭubi (671 H) pernah berkata bahwa hendaknyalah tiga hal

tersebut dipergunakan secara baik dan maksimal sesuai qadratnya. Menurutnya

pemilihatan kata pendengaran (al-khawās) atas pengelihatan (‘aql) oleh al-Qur’an

sangat tepat menurut ilmu kedokteran, di mana indera pendengaran lebih dulu

berfungsi sebelum pengelihatan. Jika diamati pada anak usia bayi maka akan

didapati fungsi tubuhnya yang berjalan pertama kali adalah pendengaran sehingga ia

dapat merasakan sesuatu dengan pendengarannya.113

Pada tahapan berikutnya fungsi selanjutnya pun berjalan yakni pengelihatan

sehingga apa yang telah ia amati bisa ditransfer kepada akalnya terhadap kebenaran

yang ia lihat dan dengar. Adapun fungsi hati (al-wijdān) menurutnya bertugas untuk

membedakan yang baik dan buruk, setelah terlebih dahulu diproses oleh akalnya

melalui media pendengaran dan pengelihatan. Maka ketiga instrument tersebut

adalah anugerah terbesar yang sang maha Pencipta berikan kepada manusia,

sebagai bekal untuk menjalani proses kehidupannya.114

Pandangan para ahli tersebut semakin menguatkan proses yang telah

dilakukan al-Sakaki bahwa ketika ia melalukan meditasi atas sebuah objek tertentu

maka ia membutuhkan waktu khusus sebagaimana dijelaskan sebelumnya untuk

membuktikan data empirik yang ia peroleh. Ia melakukan serangkain cara berpikir

ilmiah untuk menemukan sebuah kebenaran yang dianutnya agar dapat

menghilangkan kesangsiannya. Selain hal itu, ia juga menginginkan agar siapapun

yang mempelajari dan meneliti tentang karyanya mampu melakukan hal yang sama

dan tidak asal menulis tanpa pertanggung jawaban moral. Sebab, kemunduran umat

ini salah satunya akibat kurangnya penemuan baru. Cara berpikir tersebut akan

membawa kepada keluasan ilmu dan jembatan menuju setiap solusi hidup.115

Tammam Hassan menilai bahwa proses tersebut sudah semestinya menjadi

tauladan bagi setiap generasi ilmuwan setelahnya, termasuk dirinya sendiri.116

Maka

Miftāḥ al-‘Ulūm dapat disimpulkan berepistemologi rasionalisme karena ia bagian

dari wujud gabungan pengalaman pada alam yang nyata yang dialami (empirisme)

oleh al-Sakaki serta pengolahan pengalaman dan data-data yang diamati melalui

akal, khususnya pada cabang ilm al-ma’ānī.117

Sebab, itu Haim Gordon (1990 M) menegaskan bahwa ilm al-ma’ānī dalam

stilistika Arab (balagah) adalah kajian kemaknaan dan kedalaman cara berpikir,

113

Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān (Kairo: Dar al-

Kutub al-Mishriyyah, 1357), 956. 114

Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān, 957-959. 115

Michael Beaney, Thought and Experience: Themes in the Philosophy of Mind, 64. 116

Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 188. 117

Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 174.

Page 122: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

110

seperti tashbīh (smile) yang harus menghadirkan mushabbah dan mushabbah bih

nya, bahkan juga harus menghadirkan adāt mushabbah-nya.118

1. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian خبرال (berita) dan ستهها اال (bertanya)

Pada kajian رباخل dalam topik اإلسناد اخلربي bembahasan pertama dalam ilm al-

ma’ānī tampak al-Sakaki mengibaratkan seorang anak yang berbicara kepada

kedua orang tuanya. Disaat pembicaraan berlangsung menurut al-Sakaki

sebenarnya seorang anak sangat menyadari bahwa apa yang ia sampaikan benar

atau bohong, sehingga disaat berbicara dalam bentuk al-khabar, anak tersebut

pun harus berpikir dengan akal untuk menyampaikan informasi yang ia inginkan

untuk kedua orang tuanya. Proses cara berpikir tersebut memberikan peluang

untuk berkata benar atau bohong.

Al-Farabi (339 H) menyebutkan bahwa dalam diri seorang anak telah terjadi

pencarian teori khusus yang bisa diterima secara linguistik dan secara psikologis

untuk dapat menjelaskan hakikat bahasa yang ia ucapkan.119

Sebab, menurutnya

seorang anak yang baru lahir sekalipun, belum bisa berbicara secara langsung,

namun anak tersebut telah memiliki potensi berbicara yang ia bawa sejak saat

kecil. Hal tersebut karena seorang anak telah dibekali dengan pendengaran (al-

khawās) dan baru terlihat talenta dan bakat bicaranya dengan baik ketika

menjelang dewasanya yaitu disaat pengelihatan (‘aql) dan hati (al-wijdān) mulai

berfungsi dengan baik.120

Misal رباخل dalam al-Qur’an:

121مث إنك م ب عد ذلك لميت ون Artniya:

Kemudian, sesudah itu sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.

Sayyid Quthb menerangkan bahwa pada ayat tersebut adalah bentuk informasi

(al-khabar) penting bagi setiap manusia bahwa mereka pasti mengakhiri

kehidupan alam dunia menuju alam akhirat. Proses perpindahan alam tersebut

menurutnya akan di dahului dengan kematian dan masuk ke dalam alam bazakh.

Maka bentuk al-tawkīd (la) dalam ayat tersebut adalah penegasan ulang agar

118

Haim Gordon, Naguib Mahfuz’s Egypt, Existential Themes in His Writing (USA:

Green Wood Press, 1990), 65. 119

Pencarian teori linguistic pada akan tersebut disebut sebagai psikolinguistik yaitu

ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu yaitu psikologi dan linguistik. Ia pertama

kali muncul pada abad ke-20 ketika seorang psikologi Jerman Wilhem Wundt

mengungkapkan bahwa bahasa dapat dijelaskan melalui dasar-dasar psikologis. Lih. Dessi

Wardiah, Psikolinguistik Dalam Kemampuan Berbicara Pada Anak Usia Dini Jurnal

Wahana Didaktika Vol. 12 No. 2, Mei 2014, 2. 120

Dessi Wardiah, Psikolinguistik Dalam Kemampuan Berbicara Pada Anak Usia

Dini, 2-3. 121

Q.S Al-Mukminun: 15.

Page 123: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

111

informasi tersebut tidak mudah diabaikan begitu saja karena ia adalah sesuatu

yang benar dan akan terjadi dan mesti dipikirkan dan dipersiapkan.122

Fuad Thahari menambahkan bahwa andaikan tanpa melihat ke dalam konteks

dilālah al-lafdhī dalam al-Qur’an apakah sifatnya haqīqī atau majāzī seperti al-

khabar tersebut pastilah informasi tidak dipahami dan diterima dengan baik oleh

objeknya yakni manusia atau semua yang masih berada di alam dunia.123

Maka

kenyataan ini lah yang membuat al-Sakaki menggologkan رباخل sebagai sebuah

berita yang harus dipikirkan dan ditelaah dengan baik, demi sebuah kesimpulan

yang tepat meresponnya.

Adapun dalam proses penyusunan al-ṭalab yang merupakan bagian dari al-

isnad al-khabarī, seorang anak ketika melarang (al-nahyi) atau mengharapkan

sesuatu (al-tamanni) maka menurut al-Sakaki proses berpikir dengan rasio (‘aql)

dipastikan telah bekerja dengan baik. Maka menurut Josep C. Mukalel (2005 M)

menegaskan bahwa mengajak anak untuk berkomunikasi secara interaktif dengan

baik akan memberikan motivasi kepada seorang anak untuk mudah bertanya atau

sekedar berharap bisa berbicara seperti apa yang telah kita ucapkan di

hadapannya. Menurutnya, sekalipun ia belum bisa berbicara dan

mengungkapkannya dengan baik untuk merespon komunikasi seseorang, anak

tersebut bisa menyimpan dalam memorinya sehingga berpengaruh positif

terhadap prilaku budaya dan bahasanya.124

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ida Mafikha tentang Tingkat

Kemampuan Bertanya menyimpulkan bahwa jika seseorang bertanya sesuatu

maka sesugguhnya ia juga sedang mengharapkan sesuatu dari pertanyannya.

Proses tersebut telah menunjukkan bahwa seseorang tersebut adanya rasa ingin

tahu dalam dirinya yang harus segera ditemukan jawabannya. Menurutnya

berbagai macam jenis االستفهام (bertanya) merupakan saat-saat yang sangat

berguna karena seseorang pada kesempatan tersebut sedang memusatkan seluruh

perhatiannya terhadap sesuatu yang baru, bahkan ketajaman dan insensitas

pertanyaan menunjukkan bahwa seseorang tersebut menyadari adanya sebuah

masalah yang harus diselesaikan.125

Para ahli linguis mengatakan bahwa bertanya

dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap orang, serta bukti (االستفهام)

bahwa wujūd al-‘aql berjalan dengan baik disaat menangkap sesuatu yang

diamati oleh inderawinya. Sedangkan menjawab merupakan bukti kekuatan dan

122

Sayyid Quthb, Tafsīr fī Dzilāli al-Qur’ān (Kairo: Dar al-Syuruq, 1872), 2460 123

Fuad Thahari, Tafsir Berbasis Linguistik: al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur’ān al-Karīm

Karya Aisyah Abdurrahman binti Shaṭi’, Jurnal Adabiyyat, Vol. 8, No. 2, Desember 2009,

66. 124

Josep C. Mukalel., Psychology of Language Learning (New Delhi: Discovery

Publishing House, 2003), 99. 125

Ida Mafikha, Penggunaan Model Listening Team Sebagai Sarana Meningkatkan

Kemampuan Bertanya, Jurnal Florea Vol. 2, No. 1, April 2015, 23.

Page 124: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

112

kemampuan berpikir, sehingga kemampuan menjawab dapat menjadi tolak ukur

kekuatan al-‘aql yang dimiliki setiap individu.126

Maka tidak mengherankan jika al-Sakaki sendiri dalam proses mengarang

Miftāḥ al-‘Ulūm pernah menunggu beberapa hari untuk memperoleh ide dengan

cara memberikan kesempatan para siswanya untuk bertanya kemudian ia

meminta murid lainnya untuk mencoba menanggapinya. Pada kesempatan yang

lain, al-Sakaki juga pernah menyanggah permohonan pemerintahan kerajaan

Abbasiyah ketika diminta untuk menjabat, ia menyanggah permohonan tersebut

dengan mengatakan “karena saya tidak mengetahuilah maka saya bertanya untuk

saya pikirkan”.127

Aristoteles meranggapan bahwa jika antara pertanyaan dan

jawaban telah menjadi satu kebutuhan yang sama, maka telah terjadi conectivitas

antara empirik dan rasionalitas yang matang.128

Sebuah upaya yang ditawarkan oleh Immanuel Kant untuk menguji

connectivitas antara empirisme dan rasionalisme yaitu dengan sintesis a priori.129

Menurutnya pengetahuan yang benar bersumber dari rasio dan empiris yang

sekaligus bersifat a priori dan a posteriori.130

Sebagai gambaran, al-Sakaki

melihat peristiwa perkembangan berpikir para murid-muridnya dikarenakan mata

melihat ke arah mereka (rasionalisme) dan keadaan tersebut memantulkan sinar

ke matanya (empirisme) yang kemudian ia mengambil sebuah pengetahuan baru

dari proses antara keduanya.

Adapun misal االستفهام dalam al-Qur’an, sebagai berikut ini:

ين أ 131رأيت الذي ي كذب بالدArtinya:

Apakah engkau (wahai Muhammad) telah mengetahui orang-orang yang

mendustakan agama (Islam).

Dalam ayat tersebut Allah mengundang manusia agar menggunakan akal

untuk berpikir siapa saja orang-orang yang mendustakan agama Islam. Menurut

imam al-Qurthubi hal tersebut terjadi karena telah terjadi proses empirik pada

orang-orang yang mencintai dunia berlebihan sehingga mereka melupakan

kehidupan akhirat yang telah diajarkan oleh agama Islam, kepedulian dan

126

Agus Suprijono, Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2008), 15. 127

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 220.

128

Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy atau Pengantar Ilmu Filsafat, 151. 129

Istilah sintesis a priori digunakan pertama kali oleh Immanuel Kant. makna dari

istilah tersebut adalah sebuah cara berpikir yang dilakukan setelah melihat dan mengalami.

Teori ini disebut dengan teori eksperimental yaitu hanya mengadalkan pengalaman semata,

sehingga kemamuan kognitifnya masih kurang matang karena ia tidak bisa langsung

memvisualisasikan apa yang yang ia lihat dan alami dalam bentuk tulisan. Lih. Aceng

Rahmat dkk, Ilmu Filsafat Lanjutan (Bandung: Kencana Prenada Group, 2015), 16. 130

Michael Beaney, Thought and Experience: Themes in the Philosophy of Mind,

134-136. 131

Q.S. Al-Qashash: 17

Page 125: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

113

ketaatan mereka kepada Allah sangatlah minim. Padahal orang-orang tersebut

mengetahui jelas bahwa hal tersebut akan melalaikan dari agama Allah.132

Al-Sakaki dalam gaya penulisannya sangat menampakkan rasionalisme (brain

power) nya seperti pengutipan ayat tersebut di atas. Maka tidak bisa sangkal lagi

bahwa al-istifhām dalam kajian ‘ilm al-ma’ānī sangatlah logik. Alasanya, karena

gaya bahasa al-istifhām diharapkan mampu memperoleh sebuah informasi baru

(al-khabarī). Sukron Kamil menguatkan bahwa jika ingin melihat rasionalitas

termudah pada ilmu balagah, maka liriklah kepada al-istifhām- nya.133

Al-Sakaki menegaskan bahwa semisal الطلب seperti ayat tersebut di atas pasti

didasari dengan pengalaman dan pengamatan terhadap sebuah kenyataan yang

ada. Maka munculnya harapan-harapan baru yang telah diproses terlebih dahulu

oleh akal.134

Pola contoh yang dimaksud oleh al-Sakaki melalui contoh al-

istifhām pada ayat tersebut telah tampak secara sintesis a priori yang dilakukan

oleh orang-orang pendusta agama. Keinginan mereka yang kuat setelah melalui

sebuah proses panca indera membuat segala motorik berpikir mereka menjadi

harapan baru. Pradigma tersebut muncul karena instrument berpikir yang telah

dianugerahkan oleh sang maha Pemberi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

2. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian الذكر (reminder) dan الحذف (repeal) Jujun Suriasumantri mengungkapkan bahwa proses komunikasi dengan

lawan bicara haruslah jelas dan objektif, bahkan menurutnya harus bebas dari

unsur-unsur emotif. Tolak ukur berbahasa yang jelas menurutnya adalah

memiliki makna yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan secara

eksplisit untuk mencegah pemberian makna yang lain. Maka setiap susunan kata

yang dikeluarkan oleh lisan sudah seharusnya dipikirkan dengan baik untuk

mempilah pilih yang terbaik.135

Susunan kalimat terbaik yang telah disepakati bersama oleh para ahli linguis

secara umum hanya ada dua bentuk saja yaitu jumlah ismiyyah (mubtada’-

khabar) dan jumlah fi’liyyah (fi’il, fā’il dan maf’ūl).136

Sedangkan al-Sakaki pada

kajian al-ma’ānī menyebutnya sebagai al-musnah dan al-musnad ilahi

sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Adapun al-dzikr dan al-hadhf keduanya

adalah masuk dalam kajian al-musnah dan al-musnad ilahi.

Ketika al-Sakaki menjabarkan mengenai al-musnah dan al-Musnad ilahi

maka ia juga tidak lupa menyebutkan bahwa keduanya memiliki tujuan-tujuan

semantik selain untuk tujuan-tujuan sintaksis. Adapun beberapa tujuan tersebut

secara tertib menurutnya ialah berupa al-hadzf dan al-dzikr, al-taqdīm dan al-

ta’khīr, al-ta’rīf dan al-tankīr, al-taqyīd dan al-qashr. Keseluruhan sub kajian

tersebut dijelaskan oleh al-Sakaki memiliki metode berpikir yang bertujuan untuk

132

Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 750.

133

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 152. 134

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 259. 135

Jujun Surriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 181.

136

Moh. Mastna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 131.

Page 126: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

114

memperindah dan menguatkan makna-makna yang tersimpul di dalamnya.137

Senada dengan Jujun Suriasumantri, John Kemeny (1992 M) mengungkapkan

bahwa komunikasi akan lebih produktif jika nilai dan maknanya mudah dicerna

oleh lawan bicaranya. Maka menurutnya ketika seseorang mengeluarkan bunyi

(jumlah) baik berupa al-musnad atau al-musnad ilahi dari lisannya maka

dibutuhkan olah pemikiran yang jelas dan tegas.138

Sebuah kalimat merupakan buah pemikiran seseorang yang erat

hubungannya antara jiwa dan akal. Akal sebagai agen pengetahuan yang

mengontrol proses pembentukan pengetahuan dalam bentuk lisan maupun lisan.

Sedangkan persoalan akal tersebut sangat tergantung kepada kondisi kejiwaan

yang tenang atau sebaliknya tidak tenang. Maka uraian serta rangkaian kalimat

yang keluar pun akan mudah ditebak sebagai pola pikir yang dimiliki seseorang.

Jika rangkain bunyi yang keluar dari lisan menunjukkan kata-kata yang singkat

namun padat makna, maka ia digolonggakn sebagai al-quwwah al’aqliyyah.139

Abubakar Madani (2017 M) mengatakan bahwa al-quwwah al’aqliyyah

telah dikelompokkan oleh al-Kindi (873 H) ke dalam tingkatan jiwa manusia, di

mana menurutnya jiwa manusia sangat tampak dari bahasa dan teori komunikasi

yang ia keluarkan dari lisannya baik secara tulisan maupun lisan. Al-Kindi

mengkategorikan ada 3 tingkatan jiwa manusia yang sangat berpengaruh

terhadap komunikasi manusia, yakni; a). daya berpikir (al-quwwah al’aqliyyah),

b). daya marah (al-quwwah al’ghaḍabiyyah), c). daya syahwat (al-quwwah

al’shahwatiyyah). Ketiga tingkatan jiwa tersebut menurut al-Kindi akan

menjembatani cara komunikasi yang baik dengan daya pikir yang tepat, di

samping bertujuan untuk padat makna dan harapan. Maka al-Kindi dalam teori

filsafatnya menilai bahwa sesuatu yang rasional adalah sesuatu yang dapat

mengeluarkan daya akal dari tempatnya yang potensial lewat rangkaian aktualitas

yang dibantu oleh daya-daya perantara seperti pengalaman dan meditasi terhadap

sebuah objek tertentu.140

Fadl Hasan Abbas (548 H) dalam karyanya al-Balāghah Funūnuhā wa

afnānuhā mengatakan bahwa dengan jiwa yang tenang serta al-quwwah

al’shahwatiyyah dan al-quwwah al’ghaḍabiyyah dapat dikontrol baik oleh al-

quwwah al-’aqliyyah. Maka hal tersebutlah yang menjadikan pola berpikir al-

Sakaki lebih produktif dan memiliki wawasan yang lebih luas, tampak ia selalu

belajar dari pengalaman seseorang dalam berkomunikasi dan mengutarakan

pendapatnya dengan susunan kata yang sepadan dan mudah dimengerti oleh

lawan bicaranya.

Fadl Hasan Abbas juga memberikan perumpamaan seperti gaya bahasa al-

dzikr yang ditemukan pertama kali oleh al-Sakaki telah memberikan harapan

untuk menambah keputusan dan penjelasan dalam sebuah redaksi kalimat yang

137

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 231. 138

John Kemeny, A Philosopher Looks at Science (New York: Van Nostrad, 1959), 3. 139

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1973), 33. 140

Abubakar Madani, Pemikiran Filsafat al-Kindi, Jurnal Lentera, Vol. 100, No. 2,

Desember 2015, 115.

Page 127: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

115

diinginkan khususnya dalam penyebutan al-musnad ilaihi. Selain itu, ia juga

bertujuan untuk memperjelas tujuan sesuatu yang disampaikan melalui susunan

kalimat yang diinginkan, bahkan terkadang al-Sakaki memiliki tujuan tertentu

untuk menampakkan atau hanya ingin memaparkan sesuatu yang dijadikan objek

pembahasan. Semua tujuan dan harapan tersebut menurut Fadl Hasan pastinya

dilakukan secara logikal setelah melihat kepada fakta-fakta yang diamati tentang

suatu objek yang diinginkan. Maka menurutnya kekuatan akal dapat menjadi ciri

kepribadian seseorang disaat ia mampu mengeluarkan sebuah kalimat dengan

tanpa diliputi kekuatan al-ghaḍabiyah.141

Misalnya al-Sakaki memberikan contoh dari surat al-Ahqāf ayat 26, Allah

ta’ala berfirman:

وأبصارا وأفئدة فما أغىن عن ه م مسع ه م وال أبصار ه م ولقد مكناه م فيما إن مكناك م فيه وجعلنا هل م مسعا وال أفئدت ه م من شيء إذ كان وا جيحد ون بآيات الله وحاق هبم ما كان وا به يست هزئ ون

Artinya:

Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-

hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan

Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati;

tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit

juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan

mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-

olokkannya.

Al-Sakaki menjelaskan bahwa penyebutan kembali “pendengaran,

pengelihatan dan hati” dalam ayat ini bertujuan untuk menambah keputusan dan

penjelasan bahwa ketiga tanda tersebut merupakan pemberian Allah kepada

mereka yakni manusia yang ingkar atau orang-orang musyrik, benar-benar tidak

berguna, karena mereka justru menggunakan ketiganya untuk mengingkari tanda-

tanda kebesaran Allah sehingga mereka pun akan mendapatkan siksaan di akhirat

yang dahulunya mereka selalu memperolok-olok siksaan itu.

Dalam ayat tersebut terdapat kata yang memiliki indikator (qarīnah) yang

menunjukkan ism mudzakkar. Jika diamati dengan baik maka akan ditemukan al-

musnad ilaihi dan al-musnad pada suatu kalimat yang tidak dihapus (al-dzikr).

Kecuali karena ada beberapa alasan kondisinya seperti untuk menghindari

kalimat yang sia-sia, atau bisa saja karena alasan kritis seperti dalam kondisi

darurat yang tidak memungkinkan seseorang menggunakan kalimat atau kata-

kata yang sempurna berdasarkan al-musnad atau al-musnad ilahi. Dalam hal

darurat tersebut bisa saja seseorang hanya mengungkapkan kata pendek seperti

kata“tolong...!”, “awas....!” atau “tunggu...!” tanpa memperpanjang kata-

katanya. Namun, sekalipun demikian makna yang dimaksud olehnya telah mudah

dipahami.142

141

Fadl Hasan Abbas, al-Balāghah Funūnuhā wa Afnānuhā (Palestina: Dār al-Furqan,

1987), 70-80. 142

Mahfudz Siddiq, Kajian Balagah Berbasis Kearifan Lokal, 113.

Page 128: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

116

Penggunaan tujuan al-dzikr pada ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa

al-Sakaki sangat menggunakan kekuatan akalnya dalam kajian tersebut. Selain

itu, pada kondisi sebaliknya rasionalisme al-Sakaki sangat tampak pada kajian al-

hadzf. Misalnya dalam al-Qur’an!

143فما اسطاع وا أن يظهر وه وما استطاع وا له ن قبا

Artinya:

Maka mereka tidak bisa mendakinya dan tidak bisa (pula) melobanginya.

Pada ayat tersebut terdapat al-hadzf yaitu pada kata استطاع وا kemudian

dihapuskan huruf ت dari yang lazimnya, sehingga menjadi اسطاع وا. Huruf yang

hilang tersebut membuat kalimatnya menjadi lebih berat dilafalkan, karena bunyi

huruf س bersambung langsung dengan huruf ط. Sekalipun demikian terjadi al-

hadzf, namun makna dan pengertian telah dipahami langsung oleh pembaca.

Dengan penyingkatan tersebut maka lisan akan lebih ringat mengucapkan karena

ia bertujuan untuk meringkas. Sebab, sesungguhnya al-hadzf adalah leksikal

yang bermakna membuah yaitu membuang musnad ilaihi. Misalnya lain dalams

sebuah sha’ir berikut ini:

سهر دائم وحزن طويل

Artinya:

Susah tidur dan sedih yang berkepanjangan.

Pada contoh syair tersebut di atas tampak musnad ilaihi -nya terbuang atau

terhapus. Padahal pada teks aslinya memiliki kata حال sebelum kalimat tersebut.

Namun, disingkat karena ingin menyembuyikan musnad ilaihi –nya. Sekalipn

ada احلذف (repeal) pada teks tersebut, namun tidak akan mengurangi makna yang

sesunggguhnya. Dengan demikian, baik al-dzikr (reminder) atau al-hadzf

(repeal) keduanya merupakan kajian al-musnad dan al-musnad ilaihi dalam ilm

al-ma’ānī.144

Al-Sakaki dalam kajian ilm nahw, ia berkata bahwa al-musnad dan al-

musnad ialhi yang bertujuan untuk menyingkat kalimat yang sebelumnya demi

kebutuhan darurat. Bentuk tersebut menurutnya digunakan pada kondisi penting

dengan harapan segera direspon dengan cepat. Selain itu, diharapkan bisa

diungkapkan kepada al-mukhātab (lawan bicara) dengan cepat. Proses tersebut

pun terjadi menurutnya karena adanya fungsi pendengar dan pengelihatan yang

sempurna. Maka makna dan kata tersebut mudah dipahami jika telah di dapatkan

maksud darinya.145

143

Q.S. al-Kahfi: 97. 144

Parera JD, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 1990), 89 145

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 231.

Page 129: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

117

Tampak dari pemilihan contoh yang dibuat oleh al-Sakaki terhadap

beberapa kajian al-ma’ānī termasuk al-musnad atau al-musnad ilahi semakin

meyakinkan proses rasionalisme yang lebih diunggulkan daripada intuisionisme.

Keyakinan tersebut diilhami oleh cara berpikir al-Sakaki ketika akan merajut

sebuah contoh dengan pemilihan ayat atau kata yang ia inginkan dan tentunya

mewakili harapannya secara keseluruhan. Ahmad al-Hashimi (1943 M)

menuturkan bahwa gagasan bentuk tulisan maupun lisan seperti yang telah

diungkapkan oleh al-Sakaki melalui al-musnad dan al-musnad ilahi adalah hasil

dari proses berfikir (al-quwwah al-‘aqliyyah).

Ahmad Al-Hasyimi juga menyebutkan bahwa apa yang sudah dilihat dari

penjabaran al-Sakaki tersebut memberikan ketegasan bahwa suatu kalimat ada

yang harus dihapus bagian dari klausa kalimat tersebut. Sebaliknya ada bagian

dari suatu kalimat yang dihilangkan. Maka menurutnya untuk hal tersebut dapat

diketahui dengan menggunakan penalaran terhadap konteks kalimat atau konteks

situasi. Secara umumnya menurutnya biasanya kata yang dihilangkan berupa al-

musnad atau al-musnad ilahi.146

3. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian هصلال قصرال dan ,الوصل , Al-Sakaki memberikan definisi bahwa al-faṣl secara bahasa adalah

memotong atau memisahkan. Sedangkan secara istilah menurutnya al-faṣl adalah

menggabungkan dua kalimat dalam satu waktu dengan tidak menggunakan عطفال (kata sambung). Senada dengan al-Zamakhsyari, ia menjelaskan bahwa al-faṣl adalah susunan kalimat sempurna dengan tidak menggunakan kata sambung atau

kebalikan dari al-waṣl.147

Maka gaya bahasa فصلال menurut al-Sakaki memiliki beberapa ketentuan

yang harus diketahui, setidaknya dalam Miftāḥ al-‘Ulūm ia menuliskannya lima

ketentuan wajib yakni tawassuṭ baina kamālain, shibh kamāl al-inqiṭā’, kamāl

al-inqiṭā’, shibh kamāl al-ittiṣāl dan kamāl al-ittiṣāl. Adapun yang pertama

menurut al-Sakaki adalah kamāl al-ittiṣāl (hubungan yang sempurna), di mana

kedua kalimat merupakan kesatuan yang utuh, yakni kalimat kedua bertujuan

untuk menjadi al-tawkīd (penguat), al-bayān (penjelas) dan al-badal

(pengganti).148

Secara rasional menurut al-Sakaki al-faṣl akan mudah dipraktekkan dan

diketahui dengan baik jika mengamati langsung kepada kata sambung yang tidak

dihadirkan. Maka hal tersebut di dalam proses pemahamannya membutuhkan

hasil pengamatan yang cermat agar mengetahui letak kata sambung yang

seharusnya diposisikan namun ditiadakan.149

Misalnya al-Sakaki mengutip ayat

dari surat al-Anbiya ayat 53-55 berikut ini:

146

Ahmad Al-Hasyimi, Jawāhir al-Balāgah fī al-Ma’āni wa al-Bayān wa al-Badī’

(Kairo: Maktabah Dār Ihyā al-Kutub, 1960), 180.

147

Moh. Mastna , Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 128. 148

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 265. 149

Bakri Syaikh Amin, al-Balāghah al-‘Arabiyah fī Tsaubihā al-Jadīd al-Ma’ānī

(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 255.

Page 130: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

118

بدين ءابا وجدنا قال وا ا قال و ۞ ؤ ك م ف ضلل مبني قال لقد ك نت م أنت م وءابا ۞ ءنا هلا ع بٱحلق أم أنت من ٱللعبني أجئت نا

Artinya:

Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya"

(Mereka menjawab, "Kami mendapatkan bapak-bapak kami semua adalah

menyembahnya") maka kami mengikuti mereka.* Mereka menjawab:

"Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu

termasuk orang-orang yang bermain-main?"

Kalimat أجئت نا ا pada ayat ketiga di atas merupakan penguat (al-tawkīd) قال و

bagi kalimat sebelumnya yaitu وجدنا Oleh karena itu .قال لقد ك نت م dan قال وا

ketiga kalimat tersebut di atas dipisah namun tidak menggunakan kata

penghubung huruf ‘athaf (و). Ssecara sepintas dibaca tidak terjadi sesuatu pada

ayat tersebut namun sesungguhnya jika diamati dan dipikirkan dengan baik maka

tampak ada al-tawkīd yaitu ketika pada ayat tersebut ada pengulangan kalimat

pada ayat berikutnya. Abraham Kaplan (1970 M) mengungkapkan jika terjadi

proses pengulangan dalam sebuah teks atau kalimat lisan maka ada pesan khsusu

yang sesungguhnya ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar agar

lebih memperhatikannya dengan baik. Istilah tersebut menurutnya adalah bagian

dari cara komunikasi yang menunjukkan kematangan berpikir seseorang,

sehingga dapat direspon dengan cepat.150

Maka al-quwwah al’aqliyyah

(kemampuan daya pikir) menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan untuk

menalar sebuah ayat atau apapun konteksnya seperti ayat tersebut di atas.

Adapun tujuan kedua al-faṣl, yang masih bagian dari kamāl al-ittiṣāl

(hubungan yang sempurna) menurut al-Sakaki yaitu al-bayān (penjelas). Pada

bagian konteks ini pengetahuan yang bersumber secara rasional menuntut

kekuatan daya berpikir untuk memperoleh penjelasan (al-bayān) yang diinginkan

oleh pembicara. Misalnya, Al-Sakaki mengutip dari dalam al-Qur’an Allah ta’ala

berfirman:

151ف وسوس إليه الشيطان قال يا آدم هل أد لك على شجرة اخل لد

Artinya:

Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata:

"Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan

kerajaan yang tidak akan binasa?"

150

Abraham Kaplan, The New World of Philosphy (New York: Alfred A. Knopf dan

Random House Inc, 1961), 66. 151

Q.S. Thaha: 120.

Page 131: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

119

Kalimat يا آدم هل أد لك على شجرة اخل لد telah menjelaskan bagaimana iblis dahulu

menggoda nabi Adam dan Hawa untuk memakan buah khuldi yang berujung

kepada pelanggaran peraturan Allah, dan kalimat ini merupakan penjelas (al-

bayān) terhadap kalimat pertama ف وسوس إليه الشيطان. Oleh karena itu, kedua

kalimat ini dipisah, namun tidak menggunakan kata penghubung huruf wāwu (و). Sekilas, jika diamati dengan baik maka konteks ayat semacam ini sangat

membutuhkan kepada ketajaman berpikir untuk menemukan sebuah ungkapan

yang memiliki makna sempurna walau tanpa kata sambung. Al-Sakaki menjelaskan makna dibalik al-bayān (penjelas) berarti adalah

kemampuan daya pikir (al-quwwah al’aqliyyah) untuk mengungkapkan makna di

balik sebuah konteks tertentu. Menurutnya, al-bayān sangat terbantu dengan

objek pengalaman inderawi yang telah merasakan atau yang langsung

mengamati. Sebaliknya, al-bayān (penjelas) tidak akan muncul jika objek yang

diamati tidak memberikan daya tarik untuk dicerna dan diambil faedahnya. Ia

juga menambahkan bahwa metode al-bayān (penjelas) pada kajian ‘ilm al-

ma’ānī juga sangat penting untuk menghilangkan kesangsian atau hanya sekedar

al-wahm.152

Adapun tujuan selanjutnya al-badal (pengganti), Imam al-Zamakhsyari

menyebutnya dengan istilah tukar posisi pada sebagian untuk keseluruhannya.

Al-Sakaki mencontohkannya dengan firman Allah ta’ala sebagai berikut ini:153

وجنات وع ي ون أمدك م بأن عام وبنني وات ق وا الذي أمدك م مبا ت علم ون

Artinya:

Dan tetaplah kamu bertakwa kepada-Nya yang telah menganugerahkan

kepadamu apa yang kamu ketahui, Dia (Allah) yang telah

menganugerahkan kepadamu hewan ternak, anak-anak, kebun-kebun dan

mata air.

Pada konteks ayat tersebut telah terjadi al-badal (pengganti) yaitu pada

kalimat وجنات وع ي ون أمدك م بأن عام وبنني menjadi pengganti sebagian dari kalimat

pertama أمدك م مبا ت علم ون . Hal tersebut karena ternak, anak-anak, kebun-kebun dan

mata air merupakan bagian dari apa yang diketahui. Oleh karena itu kedua

kalimat tersebut dipisah namun tidak menggunakan kata penghubung wāwu (و). Ketiga tujuan utama pada kajian al-faṣl telah meyakinkan para pembaca

terhadap usaha Al-Sakaki dalam merumuskan ilmu pengetahuan tersebut dengan

penuh daya pikir yang kuat atau secara rasionalitas. Namun, bukan berarti al-

Sakaki tidak mengakui akan sumber keilmuan secara empirisme hanya saja

menurutnya tidak cukup yang demikian tetapi harus bisa dipastikan dan masuk

152

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 320. 153

Q.S. al-Syu’ara: 132-134

Page 132: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

120

akal. Hal tersebut menurutnya karena akal merupakan sebuah anugerah yang

harus dimanfaatkan dengan baik sesuai fungsinya.

Pembahasan selanjutnya di mana al-Sakaki menjadikan rasionalisme sebagai

epistemologi الوصل (al-waṣl). Mahduz Siddiq memberikan pengertian bahwa al-

waṣl adalah kalimat berbentuk penyambungan atau kebalikan dari al-faṣl. Ia

terjadi apabila kedua kalimatnya sama-sama khabariyyah atau inshāiyyah yang

memiliki kaitan sempurna pada makna dan tidak ada sebab yang mengharuskan

terjadinya dipisah atau dipotong (al-fashl). Menurutnya ia terbentuk karena a.

karena menyamakan dua kalimat dari sisi i’rab -nya, b. karena adanya perbedaan

bentuk antara dua kalimat, sehingga jika tidak digabungkkan dengan huruf wawu,

maka akan menimbulkan gagal paham, c. adanya kesamaan bentuk kalimat

dalam kalimat khabariyah atau kalimat inshāiyyah.154

Misalnya al-Sakaki mengutip ayat 104 surat Ali Imran, Allah berfirman:

هون عن الم نكر ولتك ن منك م أ مة ري ويأم ر ون بالمعر وف وي ن يدع ون إىل اخلArtinya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.

Dalam ayat tersebut tampak ada 3 kalimat yang disambung dengan huruf

wāwu, yaitu mereka yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada

kebaikan, dan mencegah dari kemungkaran. Hal tersebut terjadi karena

kedudukan i’rāb-nya sama yaitu sebagai sifah dari kata umat.

Metode penulisan dan sumber keilmuan tersebut menurut Ali al-Jarim (1949

M) sangat mengandalkan logika berpikir yang cermat. Karena setiap penghubung

dalam setiap konteks yang kita inginkan pasti memilik makna yang terkandung di

dalamnya. Demi mengeluarkan makna tersebut butuh kepada perenungan

maksud yang tepat sehingga tidak terkesan salah.155

Ungkapan al-Sakaki bahwa

ia mereview ingatannya tentang karya al-Jurjani sebagaimana dijelaskan

sebelumnya, menurut Fitzerald Kennedi (1963 M) adalah pesan penting yang

mesti dipahami bahwa ia telah melalui proses empirik, dan sedang memikirkan

sesuatu yang baru melalui pengamatan terhadap data empirik tersebut.156

Menurut David Hume, keseluruhan isi pikiran seseorang atau yang sering kita

sebut sebagai persepsi ia terbagi kepada ide-ide atau pikiran, dan kesan-kesan

serta ingatan tentang sebuah pengalaman. Di mana ingatan menurutnya dapat

disebut sebagai meaning, artinya ia pasti berbicara mengenai teori empirisme

tentang meaning theory. Ia menegaskan bahwa makna terbentuk dari ide atau

pikiran di saat mengingat atau melihat kepada sebuah objek tertentu. Artinya,

bagaimana seseorang memahami benda yang disebut kuda, itu tergantung dari

ide atau pikiran orang tersebut tentang kuda di saat ia kembali melihat atau

154

Mahfudz Siddiq, Kajian Balagah Berbasis Kearifan Lokal, 142. 155

Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, al-Balāghah al-Wāḍiḥah al-Bayān al-Ma’ānī al-

Badī’ (Kairo: al-Wizārah al-Tarbiyah, t.t.), 60. 156

Fitzerald Kennedi, Empirisme dan Skeptisisme David Hume: Sang Skeptis Radikal

(Jakarta: Serambi Salihara Community, 2016), 7.

Page 133: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

121

mereview ingatannya. Maka ia menyimpulkan bahwa ide itu adalah persepsi

yang kurang hidup dan kurang berdaya. Maka perlu dipikirkan untuk

memisahkan antara yang satu dengan yang lainnya agar mendapatkan hasil yang

lebih optimal melalui kesatuan jiwa sebagai poros utama berpikir.157

Pada kajian القصر (al-habs wa al-ilzām)158 dalam ‘ilm al-ma’ānī juga

termasuk pada konsep meaning theory yaitu kajian keilmuan olah pikiran. Al-

Sakaki menyebutnya sebagai sebuah teori spesifikasi (specific theory) yang

bertujuan mengunggulkan sesuatu yang ingin dijadikan objek pembicaraan.

Dalam prosesnya al-mutakallim sengaja melakukan sebuah pengkhususan

dengan tujuan tertentu, tanpa menyebutkan qarīnah-nya.159

Dalam merumuskan dan memisahkannya antara yang satu dengan yang

lainnya butuh kepada meaning theory yang tepat, sehingga diharapkan tidak lari

dari tujuan awalnya.160

Pemahaman terhadap sebuah arti atau makna terlebih

kepada sesuatu yang dikhususkan menurut Hannapel (1988 M) terletak pada

keluasan berpikir yang dimiliki oleh seseorang, dan keluasan berpikir itu sangat

diilhami oleh pengalaman dan keahlian setiap individu (asosiasi individu) hingga

akhirnya menghasilkan sebuah pengetahuan yang pasti.161

Dale H. Schunk (2014 M) menegaskan bahwa seseorang perlu mendongkrak

cara berpikirnya agar lebih luas salah satunya dengan scientific learning, yaitu

upaya yang dilakukan dengan berpikir kritis.162

Menurutnya upaya berpikir kritis

sangat diilhami dengan kerangka teori perbaduan antara scientific learning skill

murid dengan scientific learning skill guru. Maka perpaduan antara kedua teori

tersebut akan menghasilkan berpikir yang kritis.163

Al-Sakaki sebagai seorang

guru tentunya harus mengasah selalu kekuatan berpikir dan keluwesan hati.

Sebab, dalam proses tersebut mampu memberikan inspirasi dalam setiap

aktivitasnya. Maka pada tahapan inilah meaning theory akan mudah terwujud

157

David Hume, A Treatise of Human Nature, (Oxford: Clarendon Press, 2007), 188. 158

Gaya bahasa bertujuan untuk membatasi sesuatu dan meniadakan yang lainnnya

dalam suatu ungkapan, ia memiliki dua unsur pokok sekaligus yaitu al-ṣifah dan al-mauṣūf.

Perangkat gaya bahasa al-qaṣr terdiri dari إال ,إنا ,ال seperti contoh: إنا يتذكر أولو األلباب. Menurut Mahdufz Siddiq, untuk menghasilkan kalimat al-qaṣr dapat dilakukan dengan

berbagai cara: a. Menggunakan huruf negasi dan lafal pengecualian, b. menggunakan lafal

innama, c.menggunakan huruf ‘athf dengan huruf lā, bal atau lākin, dan d. mendahulukan

yang seharusnya diakhirkan. Lih. Mahfudz Siddiq, Kajian Balāghah Berbasis Kearifan

Lokal (Semarang: UIN Walisongo, 2016), 136. 159

Aṭaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah, 67.

160

Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 230. 161

Hannapel, Alltagssprache (Belanda: Seine Verankerung, 1979), 162 162

Pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan pembelajaran yang berpusat

pada siswa. Metode tersebut akan memberikan keluasan berpikir kepada siswa untuk lebih

aktif dan respontif terhadap masalah yang ada di hadapannya. Lih. Nuril Yusri, Keterkaitan

Scientific Learning dengan Kemampuan Berpikir Kritis (Yogyakarta: UIN Suka Press,

2015), 16. 163

Dale H. Schunk, Learnihg Theories and Educational Perspective, Terj. Eva

Hamdiah dan Rahmat Fajar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 230.

Page 134: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

122

dari setiap pandangan makna yang lebih luas dan memberi ungkapan bahasa

yang lebih bermutu dan padat makna.164

Misal al-Qaṣr, dalam hadits nabawiyyah Muhammad صلى هللا عليه وسلم bersabda:165

ىو ا ن م ئ ر ام ل ك ا ل ن إ ، و ات ي الن ب ال م ع أل ا ا ن إ

Artinya:

Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan

sesungguhnya setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan.

Pada hadith tersebut di atas tampak bahwa Rasulullah صلى هللا عليه وسلم

mengkhususkan niat pada setiap segala perbuatan dan tindakan. Penggunaan kata

berfungsi sebagai al-tawkīd (penekanan), sekaligus menampakkan sesuatu إ ن ا

yang dikhususkan olehnya yakni setiap perbuatan dan tindakan manusia

segalanya tergantung kepada niatnya. Adapun kalimat إ ن ا ل ك ل ام ر ئ م ا ن و ى adalah

qaṣr kedua, yakni mengkhususkan al-khabar al-mutaqaddim terhadap al-

mubtada’ atau mengkhususkan manusia dengan sesuatu yang ia niatkan. Misal

lainnya yang berkaitan dengan qaṣr:

إىل اهلل أشكو أن يف النفس حاجة # متر هبا األيام وهي كما هيا

Artinya:

Kepada Allah sajalah aku mengadu bahwa diri ini sedang membutuhkan *

Berlalulah hari-hariku terus seperti apa adanya aku”

Jika diperhatikan syair di atas akan didapati kalimat yang memiliki tujuan

khusus terhadap sesuatu. Al-Mutakallim menunjukkan dirinya bahwa ia hanya

mengkhususkan pengaduan dan curhatan hatinya kepada Allah. Jenis qaṣr pada

syair tersebut adalah qaṣr (pembatasan) berdasarkan pendengaran dengan

langsung menentukan pilihannya (qaṣr ta’yīn).166

Para ahli balagah sepakat untuk terus mempertahankan pendapat al-Sakaki

yang menjabarkan bahwa al-qaṣr terbagi kepada tiga yakni 1). qaṣr haqīqī dan

qaṣr iḍāfī, 2), qaṣr berdasarkan ṭarf –nya, 3). qaṣr berdasarkan kondisi

pendengarnya. Ketiga gaya bahasa qaṣr tersebut ditandai dengan huruf إال ,إنا ,ال dan sebagainya.

167

Rasionalisme al-Sakaki pada al-ma’ānī jelas adalah rasionalisme perpaduan

dengan empirisme. Sebuah, teori ilmu pengetahuan dengan connectivitas antara

pengalaman (al-khawās) dengan pengelihatan (al-‘aql) sebagaimana yang telah

dijelaskan sebelumnya.

4. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian التشبيه (simile)

164

David Hume, A Treatise of Human Nature, 180. 165

Imam al-Bukhari, Ṣahīh al-Bukhāri (Beirut: Dār al-Fikr, 1987), 4929. 166

Nayif Ma’ruf, al-Mūjiz al-Kāfī fī Ulūm al-Balāghah al-Arabiyyah: Ilm al-Ma’ānī

(Beirut: Dar al-Nafais, 1993), 133. 167

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 288.

Page 135: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

123

Rasionalisme al-Sakaki tidak hanya tampak pada kajian ‘ilm al-ma’ānī,

namun juga pada kajian ‘ilm al-bayān seperti al-tashbīh (smile) berikut ini. Hal

tersebut di dasari bahwa Miftah al-‘Ulum bukanlah murni linguistic sense tetapi

juga grammar sense.

Konsep al-tashbīh dimaknai oleh al-Sakaki sebagai sesuatu yang

menyerupai baik itu sifat, subyek atau sesuatu yang lain dengan tujuan

menyerupakan satu perkara atau lebih karena ada tujuan yang diinginkan oleh

pembicara.168

Sedangkan Sukron Kamil memaknai al-tashbīh adalah metafor

lengkap dengan tujuan membandingkan sesuatu dengan hal serupa lainnya. Ia

mengambil konsep al-Sakaki yang mengungkapkan bahwa al-tashbīh terbagi

kepada lima bagian penting yaitu al-tashbīh al-mursal yang bertujuan untuk

menyebutkan media perbandingannya seperti kata “umpama” atau “bagaikan”.

Kedua adalah al-tashbīh al-muakkad dimana di dalamnya tidak disebut

medianya. Ketiga al-tashbīh al-mujmal di dalamnya menyebutkan persamaan

antara mushabbah dan mushabbah bih. Keempat adalah al-tashbīh mufaṣṣal di

mana di dalamnya disebutkan kedua mushabbah dan mushabbah bih. Sedangkan,

bagian yang kelima adalah al-tashbīh al-balīgh yakni al-tashbīh yang tidak

menyebut media perbandingan dan juga tidak menyebut persamaan.169

Salah satu contoh yang disebutkan oleh al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ

Ulūm, ia mengutip surat al-Rahman ayat 37, Allah ta’ala berfirman:

هان فإذا انشقت السماء فكانت وردة كالد

Artinya:

Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti

minyak.

Pada ayat tersebut di atas adalah kategori al-tashbīh al-mursal, di mana

pada ayat tersebut telah tampak mushabbah dan mushabbah bih -nya. Kata انشقت sebagai adāt ك sebagai al-mushabbah bih, huruf وردة ,adalah al-mushabbah السماء

al-tashbīh, sedangkan wajh al-shib -nya adalah احلمرة (kemerahan), namun pada

ayat tersebut wajh al-shib –nya tidak ditampakkan.

Secara epistemologis ayat tersebut jelas adalah rasionalisme karena

keseluruhan perangkat al-tashbīh pada rangkaian kalimatnya menunjukkan

sesuatu yang harus dipahami dengan detail maksud dan tujuannya. Adapun yang

dimaksud pada ayat tersebut adalah berkenaan dengan peristiwa kedahsyatan hari

kiamat, maka pada saat tersebut dibukakan pintu-pintu langit untuk turunnya

seluruh malaikat. Dengan demikian, jelaslah bahwa sebuah metode rasional

benar-benar harus dipahami dengan baik asbāb nuzūl dan tujuan ayat tersebut

sehingga dapat dimaknai dengan baik.

Metode burhānī atau rasionalisme diyakini oleh al-Sakaki sebagai salah satu

cara cara untuk memperoleh pengetahuan melalui pemberitaan langsung seperti

168

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 332.

169

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 141-142.

Page 136: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

124

ayat di atas.170

Teori meditasi yang dilakukan oleh al-Sakaki ketika memaknai

sebuah ayat tertentu atau sebelum mengutipnya terbukti berhasil membawa

dirinya kepada feeling sense disaat memaknai sebuah ayat atau contoh tertentu.

Misal lainnya yang diperumpamakan oleh al-Sakaki adalah firmaan Allah ta’ala:

ل مات ال مث ل ه م كمثل الذي است وقد نارا ف لما أضاءت ما حوله ذهب الله بن ورهم وت ركه م يف ظ ي بصر ون

171 Artinya:

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka

setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang

menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat

melihat.”

Tampak pada ayat tersebut bahwa wajh al-tasybīh-nya adalah al-munāfiqūn

(orang-orang mnafik). Menurut al-Sakaki, Allah ta’ala memperumpamakan al-

munāfiqūn tersebut bagaikan orang-orang yang tuli, buta bahkan bisu.

Penyebabnya, adalah karena mereka tidak menggunakan tiga instrument yang

telah anugerahkan kepada mereka yakni inderawi (empirisme) akal (rasionalisme

dan hati (intuisionisme).

Misal tersebut menurut al-Sakaki membuktikan bahwa segala sesuatu yang

berhubungan dengan burhānī terhadap sebuah makna dan pengertian yang

diinginkan harus selalu menempuhnya dengan inderawi dan akal yang sehat.

Sebab, agaknya al-Sakaki sedang ingin menjelaskan bahwa rasionalisme adalah

puncak epistemologi keilmuan yang diperoleh dengan bantuan inderawi dan akal.

Dengan demikian, kata ال ي بصر ون pada akhir ayat tersebut menurutnya adalah

penegasan bahwa manusia mesti melalui rasionalisnya untuk mengungkap makna

dan pengertian yang haqīqī.

5. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian ستعاة اال (Hipalesa)

Konsep yang diusung oleh al-Sakaki pada karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm sering

kali menonjolkan logika atau cara berpikir yang rasionalis. Hal tersebut bukan

hanya tampak pada tashbīh sebagai metafor lengkap, namun juga pada isti’ārah

sebagai metafor sebagian. Sebab, menurutnya disana tampak pelakunya sedang

melakukan sebuah interaksi sosial dengan pemilihan diksi kata yang tepat agar

indah di dengar, namun juga mudah dipahami.

Di antara contoh rasionalisme al-Sakaki tampak pada struktur sastra Arab

tentang romantisme (unsur emosi) yang diungkapkan oleh Ibnu Zaidun kepada

sang kekasihnya.172

170

William Johnston, Mysthical Theology: The Science of Love (London: Harper

Collins Religious, 1995), 90-93. 171

QS. al-Baqarah: 17 172

Wahab Rumiyah, Sya’ir Ibnu Zaidūn Qirā’ah Jadīdah (Damaskus: Āfaq

Tsaqāfiyyah, 2014), 141.

Page 137: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

125

مشت اقا بالزهراء ذك رتك إين راقا ق د األرض وم رأى طل ق واألف ق

Artinya:

Aku merindukanmu di saat bunga-bunga mekar.

Di saat ufuk terang dan wajah memikat.

Pada syair tersebut tampak di dalamnya ada peminjaman kata طل ق واألف ق yang

menyerupakan manusia bagaikan matahari. Sedang kata ذك رتك إين adalah sebuah

ungkapan yang sangat mendalam akibat kerinduan yang tak terbendung kepada

kekasihnya bernama Wiladah. Sukron Kamil mengungkapkan bahwa syair dengan

corak romantisme tersebut adalah bagian dari prosa Arab klasik. Di dalamnya sangat

tampak imajinatifnya Ibnu Zaidun, sehingga lebih menampakkan kesedihan yang

mendalam yang sedang dirasakannya akibat diselimuti rindu yang membuncah.173

Al-Sakaki menegaskan bahwa pada peminjam kata tersebut sangat tampak reaksi

logika yang diungkapkannya, sekalipun dalam bentuk syair seperti di atas. Itulah,

sebabnya ia tampak sangat eskafistik dari kenyataan, di mana terkadang bisa saja

kenyataan lebih indah dari yang sesungguhnnya.174

E. Intuisi sebagai Epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm

The Ways of Ideas al-Sakaki dalam memformulasikan karya Miftāḥ al-‘Ulūm

adalah metode epistemologi yang terkenal darinya yakni al-khayāli, ia merupakan

level ketiga setelah wujūd al-lawh al-mahfūdh dan wujūd al-jasmāni sebagaimana

dijelaskan sebelumnya. Disaat terjadi proses penangkapan hakikat-hakikat oleh akal

seseorang maka sesungguhnya ia berasal dari al-khayāli. Ia berfungsi sebagai

pengetahuan yang tidak langsung atau dalam artian manusia tersebut dalam

memperolehnya tidak bersentuhan langsung dengan alam, maka proses tersebut

dikenal sebagai pengetahuan abstrak. Jika diamati dengan baik, maka didapatkan

kebenaran abstrak berada di dalam alam ide, transendent dan nyata adanya, ia

disebut pengetahuan "mukasshafah". Pengetahuan ini sulit di tembus dengan kata-

kata, tidak dapat diungkapkan dengan pembicaraan, tidak mampu inderawi

menjamahnya dan tidak kuasa akal meluluskannya.175

Bahkan, ia diyakini oleh

imam al-Ghazali bahwa manusia memiliki cara sendiri untuk menghubungkan

langsung antara dirinya dengan al-lawh al-mahfūdh untuk menangkap sebuah

hakikat tersebut. Dengan demikian, tidak mengherankan jika para filusuf

menyebutnya sebagai ilhām, al-dhawq dan al-kashf.176

Pengunaan ketiga kata ilhām, al-dhawq dan al-kashf berfungsi untuk

memperoleh pengetahuan tentang hakikat-hakikat secara langsung. Al-Sakaki

mengungkapkan bahwa objek tertentu mampu membawanya ke alam luar kesadaran

173Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 143.

174Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 487.

175Agus Sutiyono, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali, Jurnal Nadwa

Pendidikan Islam , Vol. 7, No. 2, Oktober 2013, 316. 176

Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm al-Dīn (Semarang: Thaha Putra, 2003), 38-40.

Page 138: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

126

seperti terbang melayang, tanpa ia sadari bisa merasakan sesuatu yang ia sendiri

tidak bisa mengungkapkannya kepada orang lain sebuah rasa yang ia alami. Busyairi

Haris (2000 M) menegaskan bahwa proses yang dialami oleh al-Sakaki tersebut

bukanlah hal yang biasa. Sebab, untuk sampai kepada alam tersebut harus di dahului

oleh pemikiran yang ditangkap dari al-khayāli. Lalu, mengapa hal demikian terjadi

termasuk kepada al-Sakaki?

Menurut Busyairi karena sebuah rasa menurutnya sulit digambarkan wujud

dan keasliannya jika tidak dengan usaha intutif atau hati yang bersih dan suci, maka

untuk memperoleh hati yang bersih butuh kepada konstruksi jiwa dan akal yang

memandang di atas segala kemampuan masih ada kemampuan yang lebih hebat.177

Bentuk keilmuan tersebut sesungguhnya adalah ranah ilmu laduni yang diperoleh

oleh seseorang ketika ia terus berusaha mengasah hati dan memperbaiki tabi’at

kehidupannya yang buruk kepada yang lebih baik. Dan puncaknya adalah pada

kesempurnaan jiwa dan akal yang telah terkonstruksi baik. Dengan demikian,

cahaya atau ilham Allah pasti akan mudah terbuka luas bahkan tanpa batas.178

Abdul Aziz dalam penelitiannya tentang Epistemologi Islam: Analisis Kritis

Pemikiran al-Ghazali mengungkapkan bahwa pemerolehan pengetahuan hakikat

sebuah ilmu melalui rasa (dhawq) adalah unsur al-wijdān. Di mana seseorang

menyadari tanpa berpikir, lalu dalam satu waktu ia langsung merasakan kehadiran

pengetahuan-pengetahuan itu. Ketika ia menjelma menjadi sebuah ilmu pengetahuan

yang sempurna terjadilah proses pengetahuan al-qaṭ’i yang bertujuan untuk ilmu

makāssyafah. Sebab, al-dzawq selalu berhubungan dengan ilham dan makāsshafah.

Ketiganya digunakan untuk menunjukkan terjadinya pengetahuan yang berasal dari

Tuhan melalui malaikat kepada manusia, tanpa diusahakan dengan jalan berpikir.

Pengetahuan yang diungkap dengan cara tersebut adalah hakikat-hakikat murni.179

Fabeanus Heatubun pun setuju jika menyebutkan bahwa intuisi itu adalah

bersifat spiritual. Karena menurutnya ia akan berperan baik ketika tubuh bersih dari

emosi, hasrat dan nafsu. Intuisi atau ilm al-mukāssyafah sebagai pengetahuan

langsung dan dari dalam itu bukan datang dari diri sendiri, juga bukan datang dari

177

Busyairi Harits, Ilmu Ladunni dalam Perspektif Teori Belajar Modern,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 7. 178

Tiga bentuk cara memperoleh pengetahuan melalui ilhām, al-dhawq dan al-kashf

oleh al-Ghazali merupakan buah pemikirannya yang telah banyak dipergunakan oleh

ilmuwan Islam khususnya. Sebab, al-Ghazali selalu mendasarkan pemikirannya pada ajaran-

ajaran agama yakni ajaran Islam. Oleh karena itu sebagian ahli mengatakan bahwa

epistemologi al-Ghazali adalah epistemologi Iṣlāh. Ia menjelaskan bahwa ilmu itu

menghidupkan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dari kegelapan dan kekuatan badan dari

kelemahan yang menyampaikan hamba kepada kedudukan orang-orang yang baik dan

derajat yang tinggi. Memikirkan tentang ilmu itu mengimbangi puasa, mempelajarinya

mengimbangi mendirikan malam, dengan ilmu Allah ta’ala, ditaati, dengannya Dia

ditauhidkan, dimuliakan, dengannya hamba menjadi wara dengannya sanak kerabat

disambung, dengannya diketahui halal dan haram. Ilmu itu pemimpin sedangkan amal adalah

pengikutnya orang-orang yang berbahagia itu diberi ilham mengenai ilmu dan orang-orang

yang celaka itu terhalang. Lih. Agus Sutiyono, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali,

311-313.

179

Abdul Aziz, Epistemologi Islam: Analisis Kritis Pemikiran Al-Ghzali,71.

Page 139: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

127

pengalaman ataupun dari banyaknya pengetahuan kognitif, tetapi ia datang dari jiwa

yang asali dan alamiah, sehingga ia adalah sebuah kemampuan yang berisifat

alamiah, ia juga dikenal dengan istilah good feeling (al-dzawq).

Blaise Pascal (1662 M) menyebutkan bahwa ia juga disebut sebagai “logika

hati”. Sebab, di dalamnya terdiri dari berbagai disiplin tubuh yang berguna untuk

mengolah dan menyediakan wadah bagi intuisi yang bersifat spiritual, sehingga

menghasilkan sebuah penemuan terbaru (al-wijdān), maka meditasi (al-khayāli)

sering dianggap cara yang baik untuk mempertajam dan memperjelas pengetahuan

intuitif tersebut. Hasil dari aktifitas meditasi itu akan membentuk personalitas dan

jiwa menjadi kuat dan utuh (Split personality). Ia bukan hanya keterpecahan jiwa

tapi kurang padupadannya antara tubuh dengan jiwa. Sebab, dalam paham Timur

meditasi itu pasti membuat kepadanan antara jiwa dan pikiran.180

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa intuisi itu datang dari loving

understanding atau pemahaman yang penuh kasih. Oleh karenanya, sebuah putusan

yang berasal dari pengetahuan atau kebijaksanaan intuitif itu bersifat infallible (tidak

pernah keliru). B. Crane (1992 M), seorang ahli filsafat dari kelompok New Age,

menegaskan tentang kekuatan intuisi, ia berkata “You know because you know

because you know directly, without even thinking about it”. (Anda tahu karena anda

tahu dan tahu petunjukknya, sekalipun engkau tidak terlalu memikirkan hal itu).181

Al-Sakaki di kalangan para ahli bukan hanya terkenal sebagai seorang

sastrawan atau bapak balagah. Lebih dari itu, al-Sakaki dikenal dengan keluasan

ilmu pengetahuannya terhadap ilmu aqidah dan ilmu kalam (ilm manṭiq)182

. Sering

kali para tokoh semasanya meminta nasehat dan fatwa keagamaan darinya mengenai

sebuah perkara yang harus dihadapi dengan bijak. Hal tersebut dikarenakan,

keahlian dan pengalaman keilmuannya sangat berpengaruh kepada setiap karya-

karya yang dihasilkannya termasuk Miftāh al-‘Ulūm. Kecerdasan dalam berlogika

dan berbicara menjadi keahlian utama al-Sakaki, sehingga tidak jarang ia

menemukan rasa (dhawq) dibalik setiap ungkapan lisan dan tulisannya.183

Selain itu, juga tampak dari berbagai tulisan al-Sakaki khususnya dalam

proses penulisan ilmu al-bayān dan al-badī’. Ia menegaskan bahwa penyelaman ke

dalam ilmu balagah akan mengantarkan kepada individu yang luwes, puitis dan

balīgh. Di mana setiap kata dan ucapannya mengandung makna, geraknya menjadi

bahasa tubuh dan kepribadiannya. Sebab itu, al-Sakaki sering kali menganjurkan

180

William D. Wood, Axiology, Self-Deception, and Moral Wrongdoing In Blaise

Pascal’s Pensées, Journal Of Religions Of Ethics, Vol. 2, No. 5, Oktober 2013, 325. 181

David Hume, A Treatise of Human Nature, 200. 182

Ilmu mantik atau logika merupakan suatu cabang pengetahuan yang sangat penting

diketahui manusia untuk memperoleh ilmu atau dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,

baik pengetahuan umum maupun agama, supaya cara berfikir dalam hal tersebut, lurus, tepat

dan teliti agar tidak keliru atau salah dalam menyusun kata-kata, sehingga dalam mengambil

kesimpulan ikut salah juga. Para Ulama menyepakati pengertian ilmu Mantik adalah ilmu

yang memberikan aturan-aturan berfikir valid, yaitu ilmu yang memberikan prinsip-prinsip

yang harus diikuti supaya dapat berfikir menurut aturan yang benar. Lih. Muhammad Idrus

H. Achmad, Signifikansi Memahami Logika Dasar, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April

2012, 38. 183

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 400.

Page 140: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

128

agar para generasi muda memadukan kekuatan akal (al-quwwah al-‘aqliyyah) dan

kemampuan hati (al-quwwah al-qalbiyah).184

Seorang filusuf pernah bertanya “apa urgensi pemaduan kekuatan akal (al-

quwwah al-‘aqliyyah) dan kemampuan hati (al-quwwah al-qalbiyah)? Syukron

Kamil pun lantas menegaskan bahwa pemaduan keduanya dapat mewujudkan gaya

bahasa puitis dengan pesan atau makna yang imajinatif, makna emosional dan

makna logis. Sebab, gaya bahasa puitis bisa dikatakan sebagai ungkapan pikiran dan

perasaan yang disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa, maupun

dalam struktur fisik dan struktur luarnya. Hanya saja, agaknya dalam sastra klasik,

kecuali dalam puisi sufustik, pengonsentrasian puisi sebagai bahasa konotatif atau

simbolik tidak terlalu ditekankan. Menurutnya, justru yang perlu ditekankan adalah

struktur luarnya yang harus memenuhi unsur ‘arūḍ dan diksinya yang menyentuh

emosi. Pola kekuatan pikiran dan hati tersebut akhirnya akan mampu memunculkan

gaya bahasa yang puitis yang padat makna.185

Sukron kamil mengungkapkan bahwa gaya bahasa yang dipakai oleh para

penyair dan prosais antara satu priode dengan priode lain agak berbeda dalam

pencapaian kekuatan pikiran dan kekuatan hatinya. Hal tersebut menurutnya tampak

dari gaya bahasa yang dominan pada priode awal Islam yakni gaya bahasa yang

sederhana yang tidak menyulitkan. Pada priode akhir Umayyah dan awal Abbasiyah

yang dominan adalah keselarasan ungkapan dengan makna, kuatnya bahasa kiasan

(tashbīh, isti’ārah dan majāz) ringkas dan apa adanya.186

Kajian pada bahasa kiasan

inilah yang menjadi faktor besar al-Sakaki memperoleh ilmu dan wawasan yang

lebih luas, yang tentu saja karena epistemologi ‘irfāni atau intuisi.

Pada akhir periode Abbasiyah, Ismail al-Faruqi (2015 M) menegaskan ulang

bahwa gaya bahasa yang dipilih oleh sastrawan yang terus bertahan hingga abad

pertengahan adalah gaya bahasa al-badī’ (art of schemes) khususnya saja’ (prosa

yang frase-frasenya yang berirama). Jika dibandingkan sekarang pada masa modern

ini, gaya bahasa yang digunakan tergantung pada aliran sastra yang dianutnya,

karena semakin luas empirik seseorang baik itu pengalaman, pengetahuan dan

wawasannya, maka semakin luas pula persoalan yang ditampilkan dalam

karyanya.187

Sukron Kamil menilai terjadinya, karena kegiatan mengarang tidak

tergantung pada bakat (bawaan), mengingat tanpa pengetahuan, pegalaman, dan

wawasan seseorang pengarang akan kehabisan gagasan yang akan dituangkan dalam

bentuk karya.188

Keterbatasan gagasan dalam menulis sesuatu itu menurut al-Sakaki dapat di

atasi dengan merangsangnya melalui sebuah penyelaman terhadap imajinasi dan

kekuatan pikiran, selai itu juga bias dengan kekuatan hati yang bersih dari segala

tujuan yang buruk. Gaya bahasa yang indah serta berirama ada dalam hati yang

184

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 618.

185

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 12.

186

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 14-17. 187

Islamil R. Al-Faruq dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam Menjelajahi

Peradaban Gemilang. Terj. Ilyas Hasan dari The Culture Atlas of Islam (Bandung: Mizan,

1998), 380-385.

188

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 48.

Page 141: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

129

bersih seiring dengan pola berpikir yang tenang (qalbun salīm) dan tidak kurang dari

wawasan yang luas.189

Ketenangan hati dan pikiran dalam menggagas sebuah karya

seperti Miftāḥ al-‘Ulūm menjadi pemicu lahirnya sebuah pengetahuan yang ilhāmī

dan mukasshfah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dapat disimpulkan pula bahwa Miftāḥ al-‘Ulūm khususnya pada kajian al-

bayān dan al-badī’ merupakan kajian yang berepistemologi ‘irfanī atau intuisi. Hal

tersebut berdasarkan ilhām, al-dhawq dan al-kashf yang telah dilalui oleh al-Sakaki

selama mengarang karya tersebut dengan ketekunan dan waktu yang sangat panjang.

Bahkan, ia harus melalui meditasi dan al-khayālī. Dengan demikian, berikut adalah

beberapa kajian intuisial-Sakaki pada al-bayān dan al-badī’ yang tampak, yaitu:

1. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian األمر (Perintah)

Al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm saat proses kepengarangannya

berlangsung, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang menurutnya sulit ditembus

oleh akalnya adalah wujud sebuah ide atau pemikiran (the real of ideas) yang

tanpa ia sadari, lalu ia menemukannya.190

Menurut al-Qazwaini dalam karyanya

Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm, ia menilai al-Sakaki tidak jarang merasakan penanya

bagaikan air mengalir, seakan penanya memberikan dirinya sebuah bimbingan

dan perintah kepada sebuah goresan kebaikan. Hal tersebutlah yang sering

disebut oleh al-Sakaki sebagai sebuah ilmu yang ia sendiri tidak kuasa

memilikinya kecuali atas izin Allah ta’ala.191

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pengetahuan yang sulit di

tembus dengan kata-kata, tidak dapat diungkapkan dengan pembicaraan, bahkan

tidak diprediksi oleh inderawi inilah sesungguhnya epistemologi intuisi.192

Imam

al-Ghazali menyebutkan, seorang manusia tidak mungkin ia memperolehnya

begitu saja tanpa penyebab. Oleh karena itu, kebersihan jiwanya atau pikirannya

yang selalu posstiff thinking (qalbun salīm) adalah sebuah jembatan menuju

kepada al-wijdān. Hal tersebut adalah sebagai wujud komunikasi seorang hamba

yang bersih dengan Tuhannya melalui al-lawh al-mahfūdh untuk menangkap

sebuah hakikat kebenaran, sehingga intuisi sangat tepat disebut sebagai pribadi

yang religous.193

Jujun Suriasumantri mengungkapkan bahwa posstiff thinking dan hati yang

tenang (qalbun salīm) akan mengantarkan seseorang kepada good feeling (al-

dzawq). Sebuah hasil dari upaya keras penyatuan kekuatan akal (al-quwwah al-

‘aqliyyah) dan kemampuan hati (al-quwwah al-qalbiyah).194

Amin Hassan

menyimpulkan dalam penelitian terbarunya bahwa pengetahuan intuisi (al-dzawq

atau al-wijdan) adalah ilmu pengalaman (direct experience) dan pengalaman

189

Marwan Saridjo, Sastra dan Agama, Tinjauan Kesusastraan Indonesia Modern

Bercorak Islam ( Jakarta: Permadani, 2006), 33. 190

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 30. 191

Al-Qazwaini, Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm, 5-7. 192

Agus Sutiyono, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali, Jurnal Nadwa

Pendidikan Islam , Vol. 7, No. 2, Oktober 2013, 316. 193

Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm al-Dīn, 77. 194

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 179.

Page 142: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

130

puncak (peak experience). Menurutnya, perpaduan keduanya khususnya

pengalaman hidup adalah sesuatu yang otentik, yang menjadi pelajaran hidup

yang tak ternilai harganya. Selain itu, karena ia juga berkaitan erat dengan

persepsi batin (qalb) yang perpaduan antara keduanya, dimana tak terkatakan

oleh logika dan tak terungkapkan oleh bahasa lisan (knowledge by presence).195

Misalnya, dalam al-Qur’an nabi Musa a.s diperintahkan oleh Allah ta’ala

dalam kondisi yang belum pernah ia perkirakan. Allah ta’ala berfirman:

ي وسى ال تف إن ال خياف ن وىل م دبرا ول ي عقب ف لما رءاها ت هت ز كأن ها جا وألق عصاك 196لدى ٱلم رسل ون

Artinya:

Dan lemparkanlah tongkatmu". Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan)

Musa melihatnya bergerak-gerak seperti dia seekor ular yang gesit, larilah

ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. "Hai Musa, janganlah kamu takut.

Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.

Pada ayat tersebut tampak nabi Musa a.s merasa heran, tidak cukup sampai

disitu, bahkan Allah ta’ala bahwa ia sedang tidak bermimpi dan mengingatkan

nabi Musa a.s agar tidak takut dan khawatir bahwa perintah- Nya tersebut akan

menolong dirinya menghadapi kecongkakan Fir’aun. Kata perintah وألق عصاك (dan lemparkanlah tomkatmu) kepada Musa a.s adalah sesuatu yang ia tidak

sangka olehnya (impossible), sekalipun saat itu ia berada dalam kebimbangan

dalam menghadapi kebengisan Fir’aun dan pengikutnya. Sayyid Thanthawi

mengatakan kebersihan dan keikhlasan hati nabi Musa a.s dalam menjalankan

perintah Allah ta’ala lah yang mengundang serta membuatnya mampu merubah

keadaan sesuatu yang impossible (mustahil) menjadi possible (mungkin). Gaya

bahasa yang digunakan oleh Allah ta’ala dalam benjhggggttuk perintah tanpa

pemberitahuan terlebih dahulu kepada nabi Musa a.s adalah bahasa batin yang

diketahui oleh Tuhan-Nya terhadap kebutuhan hamba-Nya.197

Adapun peringatan Allah dalam firman- Nya ي وسى ال تف adalah sebagai

bentuk jaminan Allah agar nabi Musa a.s tetap tenang dan tidak merasa heran,

sekalipun ia memperoleh sesuatu yang diluar dugaannya. Hal yang demikian itu

bisa saja muncul di saat seorang hamba memperoleh ‘ilm al-ḥuḍuri yang ia

sendiri tak akan mampu memperolehnya. Pengetahuan (knowledge by presence)

tersebut lah yang disebut oleh Descartes sebagai sebuah puncak keilmuan akibat

kemurnian hati dan ketulusan dalam berbuat.198

Oleh karena itu, sebuah espitemologi yang ditampakkan oleh al-Sakaki

bahwa pada kajian al-amr (perintah) terkadang juga mengandung epistemologi

195

Amin Hassan, Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep

Intuisi dalamTasawuf al-Ghazali, Jurnal al-Ta’dib, Vol. 7, No. 2, Desember 2012, 201. 196

Q.S. al-Naml ayat 10 197

Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur’ān al-Karīm, 1656-1658. 198

Amin Hassan, Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep

Intuisi dalamTasawuf al-Ghazali, Jurnal al-Ta’dib, Vol. 7, No. 2, Desember 2012, 213.

Page 143: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

131

intuisi. Bahkan, ia menjadi sesuatu yang akurat, seperti yang dicontohkan oleh

Allah ta’ala kepada nabi Musa a.s, sehingga wujud keilmuan merupakan

integralistik antara kekuatan akal dan kekuatan hati yang bersih tanpa dosa.

Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak mungkin dalam logika manusia,

maka bisa saja terjadi karena kebaikan dan kemurnian hati yang telah diperbuat.

2. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian االستعاة (Hipalesa)

Jika al-tashbīh adalah metafor lengkap, sebaliknya al-isti’ārah199

dimaknai

sebagai metafor sebagian. Hal tersebut menurut Sukron Kamil, disebabkan kata

atau kalimat bukan dalam makna yang aslinya, karena ada hubungan makna asli

dengan makna yang dipakai, juga adanya tanda yang menunjukkan hal itu.200

Al-

Sakaki membagi al-isti’ārah kepada tiga bagian yang sangat pokok yaitu: 1).

Pembagian al-isti’ārah menurut dua ṭarf yang disebutkan, 2). Pembagian al-

isti’ārah menurut lafadz al-musta’ār (kata yang dipinjam) yang di dalamnya

terdiri dari al-isti’ārah al-kinayah, al-isti’ārah al-aṣliyah dan kebalikannya

adalah al-isti’ārah al-taba’iyyah. dan 3). Pembagian al-isti’ārah menurut

kecenderungan kata.

Al-Zamakhsyari (1143 H) mengungkapkan bahwa sekalipun al-Sakaki

membaginya kepada tiga bagian seperti di atas, serta menggunakan kekuatan

pikiran dan hati, ia tetap tidak luput dalam kajian makna dalam setiap

perumpamaannya.201

Misalnya:

202شره م بعذاب أليم ف ب

Artinya:

Maka kabarkanlah kabar gembira kepada mereka tentang adzab yang

sangat pedih.

Al-Sakaki menegaskan bahwa jenis contoh ayat tersebut masuk ke dalam al-

isti’ārah al-taba’iyyah di mana terdapat di dalamnya lafadz yang dipinjamkan

berupa fi’il. Menurutnya kata ف ب شره م (maka sampaikanlah kabar gembira) adalah

pinjaman kata dari م ه ر ذ ن أ ف (maka sampaikanlah peringatan). Pemahaman pada

ayat tersebut menurut Al-Sakaki tidak hanya sebatas berpikir dengan logika akal.

Namun, butuh kepada feeling sense yang dimaksudkan oleh pembicara yaitu

Allah ta’ala. Maka dengan bantuan feeling sense yang dimaksud, dzawq (rasa)

pun sangat dapat dinikmati dalam ayat tersebut. Tampak seakan-akan Allah

ta’ala memberikan kabar yang baik, padahal maksudnya adalah kabar sebaliknya

yaitu yang buruk berupa adzab yang pedih. Makna haqīqī pada ayat tersebut

199

Isti’arah secara terminologis ialah pemakaian lafal di luar arti asalnya karena ada

hubungan persamaan antara makna yang dialihkan atau dipinjam dengan makna yang dipakai

disertai alasan yang mengalihkan penggunaan makna asal. Ahmad al-Hasyimi, Jawāhir al-

Balāghah fi al-Ma’āni wal Bayān wal Badī (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994) 290.

200

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 142. 201

Al-Zamakhsyari, al-Kasyyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh al-

Tanzīl (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.), 202. 202

Q.S. Ali Imron: 21

Page 144: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

132

tidak akan mungkin diperoleh tanpa kemurnian hati dan ketulusan jiwa seseorang

yang memaknainya.203

Abdul Qadir Salami (2015 M) dalam penelitiannya tentang ma’ānī al-

Qur’an menegaskan bahwa bentuk ayat tersebut sangatlah balīgh. Pilihan diksi

kata yang sangat menyentuh di hati dengan tujuan memberikan peringatan. Di

kalangan bangsa Arab kata ب شر sangatlah sering dijumpai dalam beberapa

kalimat dan ucapan mereka dengan tujuan untuk menyampaikan kabar-kabar

yang baik. Namun, pada ayat tersebut Allah ta’ala pun memberikan kabar baik

kepada setiap hamba-hamba yang melanggar aturan juga dengan kata ب شر yaitu ia

diberikan balasan sesuai pekerjaannya dan tidak disia-siakan sedikit pun dari

perbuatannya, sehingga tidak seorang pun yang merasa didzalimi. Maka

bukankah bentuk kemaha adilan Allah tersebut sebagai bentuk kabar gembira?204

Adapun misal lainnya yang merupakan kajian al-isti’ārah namun,

berepistemologi irfānī atau intuisi terdapat pada surat Maryam ayat 4, Allah

ta’ala berfirman:

شقيا ئك رب بد عا قال رب إن وهن ٱلعظم مىن وٱشت عل ٱلرأس شيبا ول أك نArtinya:

Ia berkata "Ya Tuhanku! Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku

telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada

Engkau, ya Tuhanku.”

Dalam Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka (1981 M) menegaskan bahwa

jenis ayat di atas adalah bentuk keresahan nabi Zakaria karena belum dianugerahi

anak sejak sekian lama, padahal usia nabi Zakaria pada masa itu telah mencapai

80 tahun. Nabi Zakaria khawatir tidak ada penerus keturunan dan dakwahnya

sedangkan ia sudah berumur yang lanjut beserta istrinya.205

Muhyiddin al-

Darwish (1908 M) dalam karyanya I’rāb al-Qur’ān al-Karīm wa Bayānuhu

menegaskan bahwa ayat tersebut jika dilihat dari aspek linguistik termasuk pada

golongan isti’ārah. Kata ٱشت عل yang berarti “menyala” pada ayat tersebut adalah

kata pinjaman dari kata أن تب yang berarti “tumbuh”. Menurutnya sesuatu yang

“menyala” adalah api yang membakar bahan-bahan yang kering dan akan

berakibat habis atau hangus untuk selamanya. Adapun dengan penggunaan kata

pada konteks tersebut adalah uban di kepala nabi Zakaria أن تب dan bukan ٱشت عل

yang telah memutih. Ungkapan tersebut semakin menunjukkan keresahan nabi

zakaria akibat usianya yang sudah lanjut tidak akan ada penerusnya, sedang ia

sadar bahwa kehidupan ini pasti akan berakhir.

203

Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 381. 204

Abdul Qadir Salami, Haqīqah al-Adhdād fī Kitāb Ma’ānī al-Qur’ān li al-Farrā’

(Aljazair: Univeristy Tilmisan Press, 1401 H), 14. 205

Buya Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), 641.

Page 145: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

133

Pada ayat tersebut telah tampak dua kekuatan yang sedang menyatu yakni

al-quwwah al-‘aqliyyah (kekuatan akal) dan al-quwwah al-qalbiyyah (kekuatan

hati) sedang menyatu menjadi sebuah harapan (al-tamannī). Perasaan feeling

sense dan resah yang dimiliki oleh nabi Zakaria telah sampai pada puncaknya

dan menggoyahkan hatinya untuk berharap sebuah keajaiban pada istrinya yang

mandul. Edward Nelson (2014 M) mengungkapkan bahwa bentuk al-tamannī

(hoping contecs) semisal ayat tersebut di atas kecenderungannya adalah ‘irfanī.

Sekalipun pada sisi lain ia tampak empirik karena pada ayat tersebut terdapat

sebuah realitas yang terjadi pada kondisi nabi Zakaria.206

Jujun Surisumantri mengungkapkan bahwa setiap konteks yang memiliki

feeling sense dan hoping contecs adalah bagian dari seni estetik yang banyak

mempergunakan aspek emotif dari bahasa sastra. Dengan kata lain, bahasa sastra

tersebut bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan melainkan juga

merupakan ramuan untuk menjelmakan pengalaman yang ekspresif.207

3. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian التشبيه (simile)

Al-Jurjani (471 H) dalam karya-nya Asrār al-Balāghah mendefinisikan

bahwa tashbīh itu terbagi kepada dua yakni a). Tashbīh tamthīlī yaitu tashbīh

yang kondisi wajh al-syibhnya tidak tampak tetapi membutuhkan penafsiran

(ta’wīl) dan perubahan (ṣarf) karena al-musyabbah tidak mengikuti musyabbah

bih dalam bentuk yang dhāhir, dan b). Tashbīh ghair tamthīlī yaitu tashbīh yang

keadaan wajh al-syibhnya telah tampak jelas dengan sendirinya, ia tidak

membutuhkan kepada penafsiran (ta’wīl) dan perubahan (ṣarf) karena

musyabbah dan al-musyabbah bih mengikuti sifatnya.208

Berbeda dengan al-

Sakaki sebaliknya ia mendefinisikan tashbīh adalah kondisi wajh syibh yang

yang tidak menjadi sifat baginya dengan mengikuti al-musyabbah bih, juga tidak

menyipati dirinya sendiri. Selain definisi tersebut yang juga menjadi metode

penulisan al-Sakaki tentang tashbīh, ia juga menjadikan tujuan dari tashbīh

adalah kepada al-qurb (dekat) dengan al-bu’du (jauh) dan al-qabūl (penerimaan)

dengan al-rad (penolakan).209

Tammam Hassan pun menilai bahwa al-Sakaki tidak terpaku kepada satu

epistemologi saja dalam kajian tashbīh, sekalipun menurutnya al-Sakaki dalam

kajian tashbīh lebih cenderung kepada epistemologi rasionalisme.210

Di sisi lain

al-Sakaki juga menurutnya telah menampakkan epistemologi intuisionismenya

yakni pada beberapa kajian tashbīh khususnya yang berhubungan langsung

dengan keilmuan al-mukasshafah. Hal tersebut sesuai dengan penjabaran al-

Sakaki yang mengatakan bahwa sesuatu yang jauh bisa saja menjadi lebih dekat

rasanya, sebaliknya sesuatu yang dekat bisa saja jauh rasanya. Bahkan

206

Edward Nelson, Understanding Intuitionisme (USA: Princeton University Press,

t.t.), 15-17. 207

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 179. 208

Abdul Qahir al-Jurjani, Kitāb Asrār al-Balāghah (Kairo: Maktabah al-Khaniji,

1991), 757-763. 209

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 332. 210

Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 273.

Page 146: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

134

menurutnya terkadang sesuatu tampak diterima tetapi sesungguhnya ia ditolak

atau sebaliknya, sebenarnya ia ditolah tetapi tampak seakan diterima. Peristiwa

seperti ini menurut al-Ghazali bisa di sadari sebagai sebuah kekuatan hati (al-

quwwah al-qalbiyyah) yang menyatu dengan kekuatan akal (al-quwwah al-

‘aqliyyah).211

Michel Faucault (1986 M) menambahkan keilmuan itu tidak selalu muncul

karena sebuah keoptimismean terhadap sesuatu yang sedang dipikirkan,

melainkan terkadang ada pada daya tubuh yang mengalah terhadap suatu keadaan

kemudian tiba-tibu muncul kekuatan hati (the power of hearth) karena telah

memasrahkannya dengan perasaan yang lembut.212

Maka demikian pula pada

pernyataan Tammam Hassan bahwa pada beberapa kesempatan telah tampak

intuisionisme al-Sakaki pada kajian tashbīh. Misalnya ia mengutip surat al-

shu’ara berikut ini:213

نا فٱنفلق فكان ك ل فرق كٱلطود ٱلعظيم أن ٱضرب ب عصاك ٱلبحر إىل م وسى فأوحي Artinya:

Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan

tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah

seperti gunung yang besar.

Jika di amati pada ayat tersebut termasuk dalam kategori tashbīh, dimana

kata sebagai ك ,sebagai musyabbah bih ب عصاك ٱلبحر ,sebagai musyabbah م وسى

adat tasybih dan طود ٱلعظيم sebagai wajh syibh. Maka jenis tashbīh tersebut

adalah tasybīh mursal karena tashbīh dan adāt tashbīh telah disebut dalam satu

rangkaian kalimat yang sempurna.

Pada ayat tersebut di atas tampak berepistemologi intuisionisme (al-‘irfānī)

dan bukan rasionalisme. Menurut Muhammad sayyid Thontowi (2010 M), aspek

kekuatan qalbiyyah (al-‘irfānī) pada ayat tersebut muncul pada saat nabi Musa

a.s di kejar-kejar oleh Fir’aun dan bala tentaranya, nabi Musa a.s menemukan

jalan buntu untuk tempat pelarian serta tidak menemukan jalan kecuali berpasrah

diri kepada Allah dengan keyakinan yang sangat kuat. Pada kesempatan yang

sempit tersebut karena Allah maha tahu akan kemurnian niat shaleh nabi Musa,

ia pun diberikan sebuah perintah yang di luar dugaannya dengan memukulkan

tongkat nabi Musa ke luat merah yang ada di hadapannya. Pada akhirnya laut

tersebut terbelah dua dan berbentuk gunung besar di bagian kiri dan kanan ketika

nabi Musa dan pengikutnya lewat di tengah. Tanpa disadari oleh Fir’aun

keseluruhan bala tentara mengikuti jejak nabi Musa melawati laut merah yang

terbelah tersebut, hingga akhirnya Fir’aun dan pengikut-pengikut lainnya Allah

tenggelamkan. Peristiwa di mana Musa a.s tidak pernah menduganya kemudian

ia memperoleh sebuah perintah untuk melakukan sesuatu yang di luar akal dan

211

Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm al-Dīn, 88. 212

Michel Faucault, The Power of Knowledge Selected Interviews and Other Writings

1972 – 1977 (New York: Pantheon Books, t.t.), 87-90. 213

Q.S. al-Shu’ara ayat 63

Page 147: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

135

kemampuannya tersebut menurut Muhammad Sayyid Thantawi tergolong kepada

kemampuan al-‘irfānī.214

Filsuf barat Michel Faucault (1984 M) dalam karyanya The Power of

Knowledge mengatakan bahwa sebuah peristiwa seperti yang dialami oleh para

utusan Allah kemudian mereka diberikan sebuah ilmu pengetahuan tanpa dugaan

mereka sendiri, ia sebut dengan istilah (truth become a power) atau sebuah

kebenaran yang menjadi sebuah kekuatan.215

Muhammad Sayyid Thantawi

menuimpulkan bahwa sebuah ilmu yang tidak terduga dalam betuk ilham yang

Allah berikan adalah bagian dari wujud pertolongan Allah kepada setiap yang

beriman kepada-Nya seperti yang telah ia janjikan kepada para hamba-Nya.216

Michel Faucault menyimpulkan bahwa sebuah intuisi dalam kehidupan

seseorang hanya ditemukan pada segelintir orang dari yang jumlah yang sangat

banyak. Misalnya, apa yang telah tampak dari al-Sakaki adala sesuatu yang tida

mustahil dalam perjalanan kehidupann.217

Dengan demikian jelas bahwa bentuk tashbīh tidak selalu berepistemologi

rasionalisme sekalipun ada musyabbah dan musyabbah bih nya, namun terkadang

juga cenderung kepada intuisi.

4. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian المجاز (Metafora) dan الكناية (Mitonime)

Al-Sakaki mengungkapkan bahwa siapa saja yang menguasai salah satu

konsep dasar ilmu al-bayān seperti konsep al-tashbīh, al-isti’ārah dan khususnya

al-majāz dan al-kināyah serta mampu menggunakannya dalam rangka mencari

pengetahuan, maka akan tersingkaplah baginya al-kashf, khususnya jalan

menggunakan sistem penalaran yang sistematis.218

Al-Jabiri mengatakan bahwa

ucapan al-Sakaki tersebut bukanlah omong kosong belaka. Sebab, menurutnya

pengungkapan data-data dan konteks yang nyata akan mudah dinalar oleh

kekuatan ‘aql dan qalb. Hal tersebut termasuk kepada kajian al-majāz dan al-

kināyah yang telah lama menjadi perbincangan para ahli linguis sebelumnya.219

Penghayatan mendalam yang dilakukan oleh al-Sakaki ketika menuliskan

beberapa konsep keilmuan balagah di dalam Miftāḥ al-‘Ulūm tersebut khususnya

al-majāz dan al-kināyah menjadikan al-Sakaki lebih mudah menyelam ke dalam

dunia al-dhawqiyyah atau yang sering disebut sebagai al-tajrībah al-baṭiniyyah.

Hal tersebut menurut Ali al-Harb adalah karena bahasa al-dhawqiyyah yang

berasal dari dalam batin adalah bentuk bahasa yang kreatif dan inovatif, yang

berarti melewati, melampaui, pindah dan beralih. Kehadiranya seakan membawa

rombongan pengetahuan yang hadir tanpa undangan. Ia juga mengutip pendapat

214

Muhamma Sayyid Thantawi, al-Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur’ān al-Karīm (Kairo:

Majma’ al-Buhuth al-Ilmiyyah, 1987), Cet. 2, 1583. 215

Michel Faucault, The Power of Knowledge Selected Interviews and Other Writings

1972 – 1977, 94. 216

Muhamma Sayyid Thantawi, al-Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur’ān al-Karīm, 1584-1587. 217

Michel Faucault, The Power of Knowledge Selected Interviews and Other Writings

1972 – 1977, 106-109. 218

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 390. 219

Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-Arabi, 94.

Page 148: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

136

al-Sakaki bahwa al-majāz merupakan kebalikan dari al-haqīqah, yaitu makna

kiasan (elegoris), yakni suatu lafal yang digunakan untuk suatu arti, yang semua

lafal itu bukan diciptakan untuknya. Itulah sebabnya, al-majāz dan al-kināyah

selalu diungkapkan sebagai bentuk pemaknaan yang lebih luas.220

Menurut Ibn Qutaibah (889 H), al-Sakaki telah memberikan batasan-batasan

segi al-majāz dan membaginya kepada tiga bagian penting yaitu majāz al-

lughawī, majāz al-mursal dan majāz al-‘aqlī dengan mengatakan bahwa ketiga

majāz tersebut meliputi peminjaman kata atau ungkapan (isti’ārah),

perumpamaan (tamtsīl), pembalikan (qalb), pendahuluan (taqdīm), pengakhiran

(ta’khīr), pembuangan (hadzf), sindiran (ta’rīḍ), pemfasihan (ifṣāh), bahkan

termasuk kiasan (kināyah), dan lain-lainnya.221

Misalnya al-Sakaki mengutip dari

al-Qur’an:

222القرية الت ك نا فيها والعري الت أق ب لنا فيها وإنا لصادق ون ل ئ واس

Artinya:

Dan tanyalah negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang

bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.

Ayat tersebut di atas adalah misal dari al-majāz al-lughawī, ia tampak dari

kata القرية (kampung/negeri) berharakat manṣūb (fathah) yang semestinya adalah

majrūr (kasrah), kata tersebut sangatlah berlebihan (metafor) karena ia bukan

pada makna haqīqah-nya. Al-Sakaki menegaskan bahwa kata القرية maksudnya

adalah القرية أهل (penduduk kampung/negeri). Pada contoh tersebut diatas jelas

terlihat kata yang digunakan untuk arti yang tidak sebenarnya karena adanya

‘alaqah (keterkaitan) beserta qarīnah (tanda) yang mencegah dari maksud arti

yang sesungguhnya. Hal inilah yang menjadikan Tammam Hassan yakin bahwa

maksud al-Sakaki adalah sesuatu yang metafor tidak bisa hanya dinalar dengan

logika secara rasionalis, tetapi butuh penghayatan lebih agar menemukan makna

yang sesungguhnya tanpa menduga-duga atau menerka kebenaran yang

dimaksud oleh pembicara.223

Gaya bahasa yang digunakan oleh Allah jelas menurut al-Sakaki menuntut

‘irfānī. Penalaran keilmuan yang tidak hanya menggunakan kekuatan daya pikir

‘aql tetapi juga harus mengedepankan kekuatan logika hati agar menemukan

makna yang sesungguhnya. Kalimat tersebut menurut para linguis membuktikan

keistimewaan atau i’jāz al-Qur’ān sebagai wahyu yang amat sempurna

220

Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2003), 22. 221

Nashr Hamid Abu Zayd, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majaz dalam Al-Qur’an

Menurut Mu’tazilah (Bandung: Mizan, 2003), 55. 222

Q.S. Yusuf ayat 82.

223

Tammam Hassan, 330.

Page 149: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

137

bahasanya. Sebab, i’jāz al-Qur’ān sangat tampak dari gaya bahasa yang sangat

tinggi aspek sastra dan seninya.224

Adapun kināyah menurut Al-Sakaki adalah model pengungkapan makna

yang memiliki arti konotatif. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kināyah

memiliki kesamaan dengan majāz karena keduanya memiliki makna konotatif.225

Yayan Nurbayan berpendapat agaknya kināyah bisa dipahami atau mengandung

makna denotatif. Sebaliknya, majāz tidak diperbolehkan mengambil makna

denotatif karena kināyah226

secara leksikal bermakna tersirat.

Berdasarkan definisinya kināyah jika seseorang ingin menyampaikan

seseuatu sesuari nalar pemikirannya berupa sindiran dengan maksud yang bukan

sesungguhnya, sehingga sangat terasa dhawq-nya saat mendengar kalimat

kināyah tersebut.227

Al-Sakaki mengatakan ketika mendengarkan konteks

kināyah dari gurunya sering kali ia tidak memahami, menurutnya butuh

penghayatan mendalam dan pemahaman yang tidak sekedar dengan logika saja.

Misalnya ia menulis kalimat berikut:

الضحىفالنة نؤوم “Fulanah terus menerus tertidur sampai waktu dhuha tiba”

Bentuk kināyah tersebut adalah kināyah ‘an mauṣūf, membicarakan seorang

perempuan yang dilayani di rumahnya atau dengan maksud membicarakan

perempuan yang masih tidur sampai waktu dhuha. Pemahaman pada kalimat

tersebut agaknya penulis setuju dengan pendapat al-Ghazali yang mengatakan

bahwa ungkapan sindiran seperti contoh di atas adalah ungkapan hati secara

psikologis. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam menemukan

pengetahuan ‘irfānī menurut al-Ghazali bisa diungkapkan dengan fungsi dan

kelebihan hati atau dengan makna lain hati dengan pengertian fisik dan

psikologis. Maka tidak heran jika hati sangat radikal untuk melampaui

kemampuan akal. Sebab, hati itu bisa bicara dengan mata bathinnya bahkan bisa

merasakan secara naluriyah seperti ungkapan kināyah al-Sakaki.228

Al-Qurthubi dalam tafsirnya sangat terinspirasi terhadap penggunaan

kināyah oleh al-Sakaki. Itulah sebabnya ia menulis penjelasan kandungan al-

224

Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani Dalam Dalâil al-

I’jâz al-Qur’ānī, 17. 225

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 400. 226

Kināyah adalah suatu ujaran yang maknanya menunjukkan pengertian pada

umumnya (konotatif), akan tetapi bisa juga dimaksudkan untuk makna denotatif. Definisi di

atas merupakan definisi terkini yang disepakati oleh para pakar balagah. Sebelum definisi di

atas terdapat pengertian kinayah yang dikemukakan oleh para pakar yang menunjukkan

sejarah perkembangan istilah tersebut. Istilah kinayah dalam khazanah ilmu balagah untuk

pertama kalinya diperkenalkan oleh Abu Ubaidah pada tahun 209 H di dalam kitabnya Majaz

al-Qur’an. Menurut pendapatnya, kinayah dalam istilah ahli bahasa, khususnya para ahli

nahwu, bermakna dhomir (kata ganti). Lih. Yayan Nurbayan, Implikasi Hermeneutis dan

Pedagogis Perbedaan Pemahaman Ayat-Ayat Kinayah dalam al-Qur’an (Bandung: UPI

Bandung Press, t.t.), 9. 227

Moh. Mastna , Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 156. 228

Fritjop Capra, The Tao of Physics, 71.

Page 150: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

138

Qur’an dalam tafsir menggunakan beberapa istilah kināyah. Penulisan tersebut

bertujuan untuk mengungkapkan suatu kata atau frase yang berbentuk ism ḍamīr,

irḍāf, majāz, badal, kebalikan dari ungkapan ṣarīh (jelas maknanya), dan bentuk

kināyah seperti yang dipahami sekarang ini.229

Penggunaan kināyah dalam tafsiran al-Qurthubi secara makna didapati lebih

terasa dhawq-nya. Misalnya: lafal اهلل merupakan kināyah (makna ḍamīr) dari dzat

yang ghaib. Kata بأديهم dalam surat al-baqarah ayat 79 merupakan bentuk

kināyah (makna irḍāf) dari kata من تلقائهم. Kata الفضة pada surat al-taubah ayat 34

juga merupakan jenis kināyah (makna majaz) dari kata كل ما أتاه اهلل من مال.

Bahkan dalam beberapa lafal yang tampaknya indah adalah sebuah kiasan yang

menjadi pilihan diksi kata yang penuh dengan makna. Maka disinilah tampak

style language yang yang ada dalam al-Qur’an setiap kata dan struktur

kalimatnya memiliki maksud dan tujuan tertentu, yang terkadang diluar nalar

manusia.230

Bagaimana mungkin al-Qurthubi mengikuti pendapat al-Sakaki bahwa

sebuah konteks akan lebih berfungsi jika gaya bahasa yang digunakan berisi

kināyah (kiasan)? Ia menegaskan bahwa tingkatan pemahaman pada al-kināyah

tidak mampu dilakukan jika hanya mengandalkan rasional secara umum. Lebih

dari itu, unsur al-wijdān menjadi lebih dominan dan memiliki prinsip

pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan secara logikal karena ia sangat terasa

secara lafal dan makna yang sesungguhnya. Sedang menurut al-Sakaki selain ia

membutuhkan nalar yang lebih emosional juga menunjukkan bahasa logika

(manṭiq) yang ia kuasai.231

5. Intuisi al-Sakaki dalam طباقال dan جناسال

Al-Sakaki menegaskan dalam karyanya Miftāḥ al-Ulūm bahwa kajian al-

ṭibāq dan al-jinās merupakan bagian cabang kajian ilm badī’ dalam ilmu balagah.

Senada dengan al-Sakaki, Taufiq Ahmad Dardiri dalam penelitiannya tentang

Bunga Rampai Dinamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya menyebutkan

bahwa بديععلم ال yang di dalamnya mengkaji al-badī’ al-lafdhī dan al-badī’ al-

ma’nawī yang kedua diorientasikan pada analisa keindahan stilistika. Keindahan

stilistika menurutnya bisa diperoleh dari struktur ujaran atau struktur maknanya.

Struktur ujaran akan disebut indah ketika memiliki irama lafal yang teratur,

sehingga enak untuk di dengar dan terasa mengena di hati.232

Sedangkan Sukron

Kamil dalam karyanya Najib Mahfudz: Sastra, Islam dan Politik Studi Semiotik

Terhadap Novel Aulād Hāratinā mengatakan bahwa menurutnya al-badī’ adalah

kaidah dekorasi ucapan dan makna, seperti kesamaan huruf akhir dalam kalimat

229

Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 185. 230

Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 232. 231

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 435. 232

Taufiq Ahmad Dardiri, Bunga Rampai inamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya

(Yogyakarta: Azzagrafika Printing, 2015), 33.

Page 151: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

139

prosa (saja’), mengiringi kata atau kalimat dengan lawannya (ṭibāq dan

muqābalah).233

Maka tidak mengherankan jika al-Sakaki menyampaikan bahwa tujuan dari

ilm al-badī’ adalah untuk bisa melihat keindahan kalimat dari aspek strukturnya

yang terdiri dari keindahan style dan keindahan makna. Berbeda halnya dengan

ilm al-bayān yang bertujuan untuk menganalisa keseragaman style dalam

menyampaikan pemikiran dan gagasan-gagasannya. Sedangkan ilm al-ma’ānī

hanyalah untuk melihat kesesuaian teks dengan konteks (muqtadha al-hāl).234

Ketiga keilmuan tersebut bagaikan bangunan yang saling mengokokan antara

yang satu dengan yang lainnya.

Adapun al-badī’ (art of schemes) yang menjadi pokok bahasan al-Sakaki

dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm telah menjadikannya sebagai puncak

pembahasan dalam ilm balāghah. Sedang kedua cabang keilmuan sebelumnya

yakni al-ma’ānī dan al-bayān adalah ibarat pengantar menuju kepada puncaknya.

Maka al-Mubarrid pun mengatakan bahwa ilm al-badī’ yang mengkaji al-badī’

al-lafdhī dan al-badī’ al-ma’nawī tidak bisa diremehkan sebab dalam

pemahaman struktur lafal dan maknanya membutuhkan ilmu logika (rational)

yang kuat.235

Maka antara ilmu logika sebagai filsafat berpikir dan pemahaman

teks (burhānī) menjadi tolak ukur mencapai pengetahuan yang dhawqiyyah (rasa

keindahan). Penalaran tersebut agaknya tidak cukup hanya dengan teks dan

logika saja, tetapi membutuhkan epistemologi intuitif sebagai aktivitas

intelektual melalui proses al-kashf sebagaiamana yang tela diungkapkan ole al-

Gazali sebelumnya.

Proses al-kashf diperoleh oleh seseorang sebagai sebuah pengetahuan yang

selalu dinanti-nantikan, karena ia berasal dari cahaya Allah ta’ala yang murni

tanpa mengandalkan dalil-dalil semata. Maka memastikan dengan bukti terhadap

sebuah pengetahuan adalah ilmu, sedang memproses esensi keadaan tersebut

adalah dhawq atau wijdān, adapun yang menerimanya sehingga menjadi sebuah

pengetahuan al-kashf adalah iman. Maka perpaduan antara ilmu empiris, dhawq

dan iman membawa kepada pengetahuan yang tersingkap luas seperti

pemahaman terhadap keindahan lafal maupun keindahan makna. Hal tersebutlah

yang menjadi keyakinan para filsuf bahwa jalan memperoleh pengetahuan dan

kebenaran sangat menekankannya melalui sarana intuisi (dhawq atau wijdān).

Al-Sakaki menyebutkan bahwa keindahan kedua makna dan lafal adalah

wujud penguasaan teori ilmu pengetahuan empirisme dan rasionalisme dan

membutuhkan dhawq sebagai esensinya. Misalnya saja al-Sakaki memberikan

contoh tentang al-ṭibāq kajian al-badī’ al-ma’nawī dalam sebuah syair:

ما والذي أبكى وأضحك والذيأ

233

Sukron Kamil, Najib Mahfudz: Sastra, Islam dan Politik Studi Semiotik Terhadap

Novel Aulād Hāratinā, 125. 234

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 423. 235

Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik Al-Jurjani Dalam Dalâil

al-I’jâz al-Qur’ānī, 34.

Page 152: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

140

وأحيا والذي أمره األمرأمات

Artinya:

Adapun aku menangis dan tertawa, bahkan

hidup dan matiku adalah urusan-Nya (Allah)

Pada contoh tersebut adalah bagian dari dekorasi ucapan atau lafal syair,

seingga tampak nada syairnya mengiringi kata-kata dengan sebaliknya yaitu

ṭibāq dan muṭābaqah. Menurut Ali al-Jarim dan Mustafa Amin ṭibāq dan

muṭābaqah di atas, dalam teori stilistika sebanding dengan paradoks (gaya

bahasa yang menggunakan dua kata yang berlawanan) dan antithesis (gaya

bahasa yang mengandung gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan

kelompok kata yang berlawanan).236

Kata أبكى dengan kata أضحك tampak berlawanan, begitu juga kata أمات dengan kata أحيا. Ungkapan tersebut

memberikan kesan akan dekorasi makna yang sangat mengena ke dalam hati.

Hanya saja al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm tidak menjelaskan secara detail

mengapa ia memilihkan kalimat tersebut sebagai contoh dari muṭābaqah. Ia jusru

memberikan kata kunci bahwa kalimat tersebut adalah bagian dari unsur

dhawqiyyah khususnya pada struktur maknanya.

Adapun misal dari al-badī’ al-lafdhī yang diungkapkan oleh al-Sakaki, ia

mengutip firman Allah sebagai berikut ini:

رق 237وجىن اجلنت ني دان م تكئني على ف ر ش بطائن ها من إستب

Artinya:

Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera.

Dan buah-buahan di kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat.

Kemiripan lafal yang digunakan tidak hanya pada huruf, akan tetapi juga pada

syakal dan jumlah hurufnya. Salmah Ahmad (2015 M) menegaskan bahwa jenis

al-jinās tersebut adalah al-jinās al-tām. Di mana menurutnya, al-jinās itu ada 12

macam al-jinās. Ia menambahkan bahwa al-jinās itu bertujuan sebagai bukti

kesempurnaan bahasa al-Qur’an. Sebelum hadirnya Islam di masa silam ia pun

telah sering digunakan dalam syair-syair Arab. Bahkan, ia sangat mendukung

pernyataan al-Qazwaini yang menyebutkan bahwa al-jinās adalah bagian dari

keindahan berbahasa, sehingga ayat-ayat al-Qur’an yang berpola al-jinās

sangatlah banyak. Hanya saja ia bukan dalam bentuk syair, melainkan sebagai

style wisdom (uslub al-hakim) yang menghiasai kata dan kalimat ayat demi ayat

al-Qur’an. Berdasarkan hal inilah menurut Salmah Ahmad orang-orang Qurasy

sangat tertarik dengan Islam, yaitu karena pesona al-Qur’an yang diturunkan

sebagai mu’jizat nabi Muhammad ليه وسلمصلى هللا ع .238

236Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 143.

237Q.S. al-Rahman: 54

238Salmah Ahmad, Namādzij min Jinās al-Ishtiqāq fī al-Qur’ān al-Karīm,

International Journal of Islamic Thought, Vol. 3, No. 3, Juni 2013, 115.

Page 153: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

141

Jika diamati pada contah di atas, maka tampak bahwa kata janā memiliki

kesamaan jenis pada huruf dan syakal kata keduanya yaitu al-jannataini. Dalam

makna keduanya juga sangat memiliki kemiripan karena berasal dari asal kata

yang sama. Kata janā memiliki arti memetik buah-buahan, sedang kata al-

jannataini memiliki arti kedua surga, di beberapa tempat dalam al-Qur’an kata

surga selalu diberikan makna sebagai sebuah taman kebahagian yang penuh

dengan buah-buahan. Al-Sakaki menguatkan contohnya dengan mengatakan,

bagaimana mungkin saya memahaminya tanpa penghayatan sedang ia memiliki

lafal yang sangat indah untuk mematahkan setiap bahasa syair orang Qurays?239

Aristoteles murid Plato beranggapan bahwa keindahan dalam kata atau makna

adalah sekedar atribut. Perlengkapan dan sifat yang melekat pada benda itu

sendiri menyebabkan timbulnya rasa indah oleh pembaca. Berbeda dengan Plato

ia menganggap semua keindahan hanya dapat diapresiasi secara trensendental.

Aristoteles secara spesifiknya menganggap bahwa kenikmatan terhadap sebuah

keindahan itu dicapai oleh manusia sendiri dengan kekuatan nalar berpikir, bukan

suatu hal yang harus menunggu al-kashf sebagai karunia Tuhan.240

Platonis mengembangkan lebih jauh tentang konsep keindahan Plato yaitu

mengkonsep bahwa semua yang bisa dinikmati oleh panca indra (mata, telingat

dan hati) hanya merupakan imitasi dari yang sesungguhnya, bayangan dari yang

sejati. Semua menurutnya berasal dari yang Maha Sumber dan kembali kepada

yang Maha Sumber yakni Alla ta’ala,241

sehingga seperti pendapat al-Sakaki

bahwa ia menkosntruksi keilmuan al-badī’ karena ia merasakan kehadiran ilmu

dalam hatinya ketika ia melakukan meditasi dengan mensucikan jiwa dan

menfereshkan pola pikirnya sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.

F. Kritik dan Apresiasi Epistemologi terhadap Miftā ḥ al-‘Ulū m Sebuah keahlian yang paling penting sebagai salah satu unsur utama

pembentuk peradaban manusia, yang juga sering kali diabaikan adalah keahlian

dalam menulis. Keahlian tersebut tidak diperoleh dengan sendirinya seperti halnya

intuisi, jauh dari itu harus di mulai dengan pengasahan, pelatihan bahkan membaca

adalah jendala untuk sebuah produktifitas yang efektik untuk bisa menulis. Jika

diamati dengan baik, para pewaris ide dan pemikiran pada era al-mutaakhirūn dan

al-mu’āṣirūn, kesungguhan mereka dalam menulis bahkan selama masa hidupnya,

ada yang menghasilkan beragam dan sejumlah karya ilmiah yang bermanfaat

kemudian diwariskan untuk generasi setelahnya. Produktifitas tersebut bertujuan

untuk generasi muda sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap perkembangan

peradaban manusia yang baik di masa depan.242

239

Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 430. 240

.J.A.K Thomson, Introduction on The Ethics of Aristotle (Amerika Serikat: Pinguin

Books, 1961), 421. 241

Madjid Fakhri, A History of Islamic Philoshopy (New York: Culombia University

Press, 1998), 72. 242

Parlindungan Pardede, Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: Universitas Kristen

Indonesia Press, t.t.), 1.

Page 154: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

142

Kesadaran seseorang akan pentingnya goresan tangan yakni menulis, sama

seperti kepeduliannya terhadap diri sendiri, lingkungan sosial bahkan negaranya.

Seperti halnya al-Sakaki, tulisannya yang fenomenal bukan hanya mengantarkan

namanya menjadi sangat terkenal di dunia sastra. Lebih dari itu, nama guru, negara

bahkan pemerintahan di masanya turut serta dikenang dan terus ditelisik oleh dunia

internasional. Karya tulisan tersebut menjadi bagian dari kekayaan budaya pada

masa tersebut sampai masa yang akan datang. Kunandar (2008 M) mengungkapkan

bahwa tulisan dalam bentuk karya ilmiah adalah bagian dari perkembangan

pendidikan. Dimana menurutnya, tulisan dalam bentuk karya ilmiah adalah sebuah

indikator atau tolak ukur kemajuan suatu bangsa di mana bangsa yang modern

adalah bangsa yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cerdas, di samping

sumber daya alam (SDA) yang potensial.243

Ignace Jay Gelb (1985 M), seorang sastrawan populer Amerika membuat

sebuah kesimpulan tentang peradaban manusia, kesimpulan yang diungkapkannya

bahkan mengejutkan para ilmuwan lainnya pada masa tersebut. Menurutnya, jika

bahasa membedakan manusia dari binatang, maka tulisan244

membedakan manusia

beradab dari manusia biadab. Dengan demikian semakin jelas bahwa tulisan hanya

terdapat dalam peradaban manusia, dan peradaban tidak akan ada tanpa tulisan.245

Ibrahim Ali (1430 H) menyebutkan sebuah istilah yang menggambarkan bahwa

tulisan sebagai peradaban manusia dengan perkataannya ‘amal ‘aqlī shu’ūriyyun

lafdziyyun (aktivitas akal dan perasaan lafal).246

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menulis adalah sebuah kebutuhan

pokok demi sebuah peradaban manusia yang lebih baik dan terlestarikan. Jika para

generasi muda di sebuah lingkup sosial telah minim tulisan, maka mereka

sebenarnya sedang akan mematikan tanda pengenal komunitas mereka. Para tokoh

penulis al-mutakkhirūn adalah bukti kejayaan umat manusia dengan peradabannya.

Andai tanpa tulisan, agaknya generasi umat manusia ini akan kehilangan sejarah

tentang perkembangan keilmuan masa lalu. Kemajuan teknologi modern yang saat

ini dinikmati oleh jutaan manusia, dengan kemudahan yang super canggih serta

kejauhan yang mendekatkan jarak, agaknya tidak murni sebagai hasil manusia

modern saat ini, melainkan pada karya dan kemajuan tersebut ada kontribusi besar

para ilmuwan al-mutakkhirūn.247

Misalnya, perkembangan ilmu filsafat di berbagai universitas di dunia tentu

tidak akan berkembang kecuali atas pemikirian Descartes, Plato, Aristoteles, al-

Jabiri, al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah. Begitu pula perkembangan ilmu sastra Arab

243

Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) dan Sukse dalam Sertifikasi Guru (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 37. 244

Tulisan adalah sebuah produktifitas keahlian yang menggabarkan kepribadian dan

akal seseorang di dalamnya terdapat pola dan idiologi kehidupan. Ia ditulis dan disajikan

dengan budaya yang kental dengan bahasa dan kejiwaannya, kemudian dicetak dalam bentuk

karya karya ilmiah. Tulisan tersebut menjadi komunikasi seseorang kepada orang yang

membaca dalam jarak yang dekat maupun yang jauh. Lih. Ibrahim Ali Rababi’ah, Mahārah

al-Kitābah wa Namādzij Ta’līmihā (Arab Saudi: www.alukah.net, 1439 H), 34. 245

Ignace J.Gelb, A Studi of Writing (Chicaga: University of Chicago Press, 1969), 44. 246

Ibrahim Ali Rababi’ah, Mahārah al-Kitābah wa Namādzij Ta’līmihā, 8. 247

Parlindungan Pardede, Penulisan Karya Ilmiah, 2-4.

Page 155: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

143

agaknya juga tidak akan sampai kepada kita kecuali atas jasa besar para linguis al-

mutakkhirūn seperti al-Jurjani, al-Mubarrid, Abu Hilal al-‘Askari bahkan sampai

kepada al-Sakaki dengan karya fenomenalnya yang menjadi penyempurna dari

seluruh ilmuwan bahasa pada masa itu yakni Miftāḥ al-Ulūm.248

Sebuah karya ilmiah hasil gagasan dan ide cemerlang seseorang yang

intelektual sebagaimana yang dijelaskan oleh Descartes agaknya pasti mengalami

pro dan kontra terhadap teori keilmuan (epistemologi) yang disajikan di dalamnya,

bahkan termasuk substansi isinya, dan Miftā ḥ al-‘Ulū m adalah bagian dari karya

yang dimaksud tersebut. Sebab, Miftā ḥ al-‘Ulū m juga tidak terlepas dari

banyaknya kritikan dan apresiasi dari para ahli linguis. Kritikan tersebut tidak

hanya sebatas pada isi dan materi yang disajikan, lebih dari itu juga pada

keberadaan Miftā ḥ al-‘Ulū m yang telah berhasil memperoleh tingkatan yang

tinggi dan membawa pengarangnya kepada sosok yang terkenal dan mendapatkan

tempat yang tinggi pula telah menjadi polemik di antara mereka.

Sebuah pemahaman yang mesti ditanamkan ketika berbicara tentang kritik

maka bukan berarti mengejek atau langsung mengucilkan dan memojokkannya, hal

inilah yang disebut oleh Sukron Kamil sebagai makna yang telah menyempit dan

selalu memberikan konotasi makna yang buruk. Walaupun makna ini juga menjadi

bagian dari makna leksikal kritik.249

Padahal sebaliknya bicara tentang kritik berarti

bicara tentang apresiasi secara proporsional terhadap suatu objek dengan cara

memujinya dan menjelekkannya.250

1. Kritik terhadap Miftā ḥ al-‘Ulū m Epistemologi al-Sakaki terhadap Miftā ḥ al-‘Ulū m sangat di dominasi

oleh cara berpikir yang rasional dibanding cara berpikir yang intuitif, bahkan lebih

cenderung teori ilmu pengetahuan al-Sakaki bersifat empirisme. Penulis sepakat

dengan pandangan Tammam Hassan terhadap karya al-Sakaki yang mengatakan

bahwa Miftā ḥ al-‘Ulū m adalah bagaikan teori berbahasa Arab. Menurutnya, al-

Sakaki dianggap sebagai tokoh yang mempelopori dibakukannya balagah menjadi

seperangkat ilmu secara teoritis. Dalam pandangannya, rasio yang lebih cenderung

digunakan oleh al-Sakaki sebenarnya membuktikan pengetahuan yang diskurtif251

dan konseptual yang khas manusiawi.252

Daya pikir yang bersifat diskurtif yang erat dilakukan oleh al-Sakaki

menunjukkan bahwa dirinya sangat logis dan metodik selama tahapan penulisan

karyanya, maka tidak mengherankan jika ia menyajikan keilmuan balagah terlebih

248

Madjid Fakhri, A History of Islamic Philoshopy, 30.

249

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 143. 250

Abdul Razaq Badr, al-Naqd al-Adabi (Riyadh: Kindom of Saudi Arabia Press, t.t.),

70-73. 251

Pemahaman diskurtif adalah keilmuan yang diperoleh dengan cara pengambilan

kesimpulan, yakni dengan metode kemampuan nalar atau berpikir. Adapun lawan dari

diskurtif adalah intuitif yang bermakna pengetahuan yang diperoleh dengan penerangan

langsung tanpa perlu berpikir dengan keras. Lih. Abdul Mughis Mudhofir, Teori Kekuasaan

Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 18,

No. 1, Januari 2013, 84.

252

Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 115.

Page 156: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

144

kepada kaidah-kaidahnya, dapat dengan mudah dimengerti dan dinalar oleh para

pembacanya. Pada beberapa kesempatan sebagaimana yang telah diakui oleh al-

Sakaki, ia juga tidak melupakan ahli balagah sebelumnya seperti al-Jurjani dan al-

Zamakhsyari dalam proses pengarangan Miftā ḥ al-‘Ulū m. Hal tersebut telah

sering kali terjadi proses pembuktian empirisme pada setiap tahapan penulisan yang

dilakukan oleh al-Sakaki sebagaimana dijelaskan sebelumnya, karena dipastikan ia

akan mengambil keilmuan dari yang sebelumnya. Jujun Suriasumantri menegaskan bahwa dengan jiwa rasionalisme seseorang

akan mampu berpikir secara sadar dan membuat metode-metode atau norma-norma

sosial dengan kebijakan moral yang bersifat diskutif, sehingga al-quwwah al-

‘aqliyyah (kemampuan akal) menjadi sumber utama pengetahuan dalam dirinya

sendiri.253

Hal tersebut didasari karena al-Sakaki juga seorang yang sangat manṭiqī

(logical) dalam berbicara di mana para ahli di masanya mengenal sosok al-Sakaki

juga seorang ahli kalām. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ahli kalām adalah

meraka yang pandai merangkai kata-kata dengan baik dan sistematis serta mampu

memberikan definisi yang tepat pada setiap kata atau istilah yang ia maksudkan.254

Hal itu tampak dari metode penulisan Miftā ḥ al-‘Ulū m dengan menggunakan

metode taqrīrī (‘ilmī) serta memiliki klasifikasi keilmuan dari yang rendah menuju

yang lebih tinggi.

Sebuah, penelitian yang dilakukan oleh Ali Ni’mah al-Azhari yang telah

lama melakukan pengamatan, ia menyimpulkan bahwa Miftā ḥ al-‘Ulū m lebih

dominan kepada qawā’id al-lughawiyyah-nya yang didasari oleh al-quwwah al-

‘aqliyyah (kemampuan akal) dibanding dhawq al-lughah yang didasari oleh al-

quwwah al-qalbiyyah (kemampuan hati). Perbedaan tersebutlah yang menjadi

penguat bahwa al-Sakaki sebenarnya telah membawa arah Miftā ḥ al-‘Ulū m

kepada sesuatu yang sangat teoritis dan metodik.255

Khatib al-Qazwaini

mengatakan bahwa sebenarnya apa yang dilakukan oleh al-Sakaki adalah peristiwa

yang sangat historioratif karena kemampuan menyempurnakan keilmuan balagah

dengan sangat baik sangatlah memiliki peran besar terhadap kemajuan ilmu sastra

Arab, walau menurutnya isi karya tersebut lebih cenderung kepada qawā’id al-

lughawiyyah.256

Kehadiran Talkhīs Miftā ḥ al-‘Ulū m menuruf para filsuf merupakan

bentuk kegusaran para linguis, seperti Khatib al-Qazwaini dan Badruddin Malik

yang menginginkan adanya gerakan penyempurnaan pada espistemologi yang

dibangun oleh al-Sakaki. Keindahan bahasa dan seni penyajian pada karya Miftā ḥ al-‘Ulū m adalah pusat perhatian para linguis dan kritikus, baik dari lafal maupun

maknanya. Maka harapan tersebut tentunya bukan hanya sekedar sebuah keresahan

semata. Namun, lebih dari itu karena didasari kesadaran bahwa sebuah karya sastra

253

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 241. 254

Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm al-Dīn, 160.

255

Ali Nikmah al-Azharī, Sharh Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm li Imām al-Sakākī, 8. 256

Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyah al- Īdhāh li Talkhis al-Miftāḥ fī ‘Ulūm al-

Balāghah (Kairo: Makta al-Adab, 1999), 17.

Page 157: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

145

khususnya ilmu balagah semestinya harus dominan kepada unsur dhawq al-lughah-

atau setidaknya seimbang antara teori dan seni rasa yang disajikan di dalamnya.257

Terobosan keilmuan tersebut adalah bentuk kritikan membangun yang

dilakukan pertama kali oleh Khatib al-Qazwaini secara proporsional. Ia menempuh

jalan tersebut juga sebagai bentuk kritikan sekaligus apresiatifnya kepada al-Sakaki

agar mencapai seperti yang telah ia cita-citakan di dalam muqaddimah-nya bahwa

Miftā ḥ al-‘Ulū m dalam pengakuannya telah dilakukan dengan sangat cermat.258

Selain hal itu, juga bertujuan untuk menjaga murūah (harga diri) al-Sakaki karena

jasa dan ilmunya yang telah dianugerahkan kepada para pengkaji sastra setelahnya. Ahmad Hussein Zayyat (2016 M) berpendapat bahwa keseimbangan antara

teori dan seni rasa menjadi sangat penting. Menurutnya bisa dilakukan dengan cara

analisa linguistik melalui pembatasan pada fonetik, morfem maupun sintaksis,

bahkan bisa dilakukan pada semua aspek yang ada dalam sastra bahasa sebagai

sarana untuk menggapai tujuan artistik.259

Gerakan inilah yang dilakukan oleh

Khatib al-Qazwaini yang akhirnya dipuji oleh Ali Ni’mah al-Azhari bahwa Talkhīs Miftā ḥ al-‘Ulū m telah mampu mengkombinasikan antara kedua kekuatan akal

dan kekuatan hati yang terwujud melalui language teoritic dan language sense.

Keberhasilan al-Qazwaini pada pengkombinasian antara language teoritic

dan language sense, misalnya tampak pada penyederhanaan kaidah dan penyesuaian

peletakan kajian al-badī’ dan al-ma’ānī. Pada kajian al-badī’ al-Sakaki membahas

al-muḥassināt al-lafdhī dan al-muḥassināt al-ma’nawī yang bertujuan untuk taḥsīn

al-kalām (artistik). Al-Qazwaini menilai bahwa kedua kajian itu semestinya masuk

dalam kajian al-ma’ānī dan bukan pada kajian al-badī’. Sedangkan pembahasan

seperti al-iltifāt, al-qalbu dan uslūb al-ḥakīm menurutnya harus menjadi bagian ilm

al-badī’. Misal kajian al-ma’ānī:

ج احل و اس لن ل ت ي اق و م ي ه ل ق ة ل ه األ ن ع ك ن و ل أ س ي

Artinya:

Mereka bertanya kepadamu tentang hilâl-hilâl. Katakanlah: “itu adalah tanda-

tanda waktu bagi manusia.”

Jika diamati sekilas menurut al-Qazwaini jelas seakan misal tersebut adalah

bagian dari al-ma’ānī, karena di dalamnya terdiri dari al-musnad dan al-musnad

ilahi dan berjenis al-khabar al-inshā’i. Padahal menurutnya, ia bagian dari al-uslūb

al-hakīm (language wisdom) atau kajian ilm al-badī.260

John McGinnis (1993 M)

dan David C. Reisman (1984 M) mengatakan bahwa languange wisdom muncul dari

sebuah penghayatan terhadap sebuah sentence dan bukan pada strukturnya.261

Al-

Sakaki mengutip perkataan Ibnu Hajjaj dalam sebuah syairnya:

قلت ثقلت كاهلى باآليادي * قال ثقلت إذا أتيت مرارا

257Anang Santoso, Jejak Halliday dalam Linguistik Ktiris, 34.

258Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 4.

259

Ahmad Hussein Zayyat, Tārikh al-Adab al-‘Arabi (Kairo: Dar al-Nahdhah, t.t.), 52. 260

Jalaluddin Muhammad Khaṭib al-Qazwaini, Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm, 142. 261

John McGinnis dan David C. Reisman, Classical Arabic Philosophy an Anthology

of Sources (USA: Hackett Publishing Company, 2007), 17.

Page 158: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

146

قال أبرمت قلت حبل ودادي * قال طولت قلت أو ليت طوال Artinya:

Aku telah memberatkan kamu karena aku sering berkunjung kepadamu. Aku

berkata: kamu memberatkan punggungku dengan tangan-tanganmu. Ia

berkata: Aku berlama-lama. Aku menjawab: kamu menyerahkan pemberian.

Ia berkata: Aku membosankan. Aku menjawab: Tali kasih sayangku.262

Pada syair tersebut tampak jelas languange wisdom yang diinginkan oleh al-

Hajjaj. Di dalamnya telah tampak redaksi bahasa yang mengandung nilai moral, seni

dan bentuk kelembutan dari bahasa lisan. Misal tersebut menurut al-Qazwaini jelas

merupakan al-uslūb al-hakīm (language wisdom), sekalipun ada sedikit kekeliriuan

al-Sakaki pada pengkategoriannya sebagai kajian khusus ilm al-shi’ri, padahal ia

adalah bagian dari al-saja’ atau al-badī’ al-lafdhī. 263

Gerakan penyederhanaan serta koreksi terhadap karya besar al-Sakaki oleh

al-Qazwaini tersebut menjadi bagian dari al-naqd al-adabi (kritik sastra), sehingga

dipastikan kehadiran critical linguistic atau kritik sastra (naqd al-adabi) pada

perkembangan modern saat ini, seperti yang telah dicontohkan oleh Khatib al-

Qazwaini tersebut menjadi sangat penting untuk menjadi cerminan akan kekurangan

dan kelebihan yang dimiliki sebuah karya ilmiah. Sebab, kritik sastra tidak akan

mencapai sasaran apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan landasan berpijak

dalam proses penilaian dan manfaat kegunaanya terhadap para pembaca. Demikian

pula dengan teori sastra dan sejarah sastra karena teori sastra tidak akan pernah

sempurna tanpa bantuan sejarah dan kritik sastra sepanjang zaman. Maka kritik

sastra adalah sebuah metode penyelaras atau penyeimbang, guna mengontrol dan

mengevaluasi capaian dari sebuah karya ilmiah yang berhasil dibukukan seperti Miftā ḥ al-‘Ulū m.

264

Suwardi Endraswara menuturkan bahwa critical linguistic menjadi medan

bagi proses verifikasi (pengujian) aplikatif tidaknya sebuah teori ilmu pengetahuan

yang ada di dalamnya. Bahkan juga tampaknya, critical linguistic merupakan proses

yang menjadi faktor yang mempengaruhi lahirnya teori baru, baik teori sastra

sebagai revisi atau hanya pengembangan terhadap teori sebelumnya. Misalnya,

Badruddin Malik ketika mengamati Miftā ḥ al-‘Ulū m yang pada akhirnya ia

menyimpulkan terjadi pelemahan dari tujuan artistik yang diinginkan oleh al-Sakaki,

sehingga karya itu disebutnya lebih dekat mirip ilm naḥw.265

Ia pun menemukan

sebuah teori yang ia tawarkan sebagai solusi menggiring kembali Miftā ḥ al-

262

Lit. http://uslub-al-hakim-ilmu-badi.html (diakses 16 oktober 2017) 263

Nu’man Su’ban Ilwani, al-Asālib al-Bayāniyyah wa al-Khiṭāb al-Da’awī al-Wā’i

(Palestina: Gazza University Press, 2005), 1392. 264

Muhammad Hasan Abdullah, Muqaddimah fi al-Naqd al-Adabī (Beirut: Dar al-

Buhuts al-Ilmiyyah, t.t), 66. 265

Tanja Guastad, Linguistic Knowledge and Word Sense Disambiguation (Belanda:

Groningen Dissertations in Linguistics, 2004), 10.

Page 159: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

147

‘Ulū m kepada tujuan awalnya yang disebut dengan teori sastra struktural yang

belakangan ini dikenal sebagai teori struktural murni dan struktural genetik.266

Munculnya teori strukturalisme genetik pada sastra modern merupakan

revisi dari strukturalisme murni. Jika strukturalisme murni merupakan sebuah teori

yang mementingkan pengkajian unsur intrinsik sastra sebagai kesatuan bentuk

artistik yang koherens saja, dalam strukturalisme genetik justru lebih dari itu, sebab

ia juga mengkaji hal yag sama hingga pada unsur genetik yang di dalamnya

membicarakan asal sosial dan budaya terjadinya sebuah karya seperti Miftā ḥ al-‘Ulū m. Maka, karya sastra dipandang sebagai representasi sosial penulisnya.

Dalam strukturalisme genetik terdapat beberapa aspek kajian penting yang

mempengaruhi karya ilmiah yaitu aspek intrinsik teks sastra, backgroud intelektual

pengarangnya dan latar belakang budaya serta sosial pada masyarakatnya.267

Teori-

teori bahasa tersebut termasuk linguistik modern, yaitu sejak diprakarsai pertama

kali oleh De Saussure pada 1878 M di Universitas Leipzig.

Tammam Hassan dalam karyanya menyimpulkan bahwa pada konteks

pembangunan keilmuan Miftā ḥ al-‘Ulū m pasti dipengaruhi unsur sosial, budaya

dan pendidikan internalnya sejak kecil. Dimana al-Sakaki sejak kecilnya ketika

mendapatkan pendidikan dari ayahnya, ia telah terpola dengan berpikir keras dan

melakukan sesuatu dengan logis serta memanfaatkan setiap kesempatan dengan

baik serta penuh pertimbangan.268

Selain itu, sebuah penelitian yang dangkat oleh Ruth Sihite tentang

Pandangan Realisme Sosialis Cerita Drama Televisi mengakui bahwa saat ia

menghadapi kesulitan besar dalam proses pembuatan drama layar lebar adalah pada

pemindahan seni dan aplikasi artistiknya, yakni sesuai dengan yang ada dalam karya

ilmiah yang berjudul Don’t be Down, You’re Doing Great. Sebuah terobosan yang

ia lakukan hingga akhirnya mengantarkannya kepada keberhasilan dalam seni

perfilman tersebut adalah dengan mempelajari kritik sastra. Dalam prosesnya ia

menggunakan strukturalisme murni dan strukturalisme genetik untuk mengungkap

sosial dan budaya yang turut mempengaruhi karyanya.269

Adapun dalam kitab Uṣūl al-Naqd al-Adabī karya Ahmad al-Shayib, ia

menekankan bahwa keberhasilan sastra haruslah memiliki empat unsur utama yaitu;

rasa, imajinasi, gaya bahasa yang indah dan ide yang brilian. Dengan demikian

menurutnya sastra harus mampu mengesploitasi rasa, menyampaikan hal-hal yang

eskafistis dari alam kenyataan, diksi dan ungkapan yang indah serta ide yang

dimilikinya harus smencerminkan kehidupan pengarang dan sosial budayanya.270

266

Teori Strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang

mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. Lih. Sukron Kamil, Teori

Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 54. 267

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori

dan Aplikasi (Jakarta: Pustaka, Widyatama, t.t), 50.

268

Tammam Hassan, 47. 269

Ruth Novida Sihite, Pandangan Realisme Sosialis Dalam Cerita Drama Televisi

Hana Yoni Dango (Jakarta: Uiniversitas Indonesia Press, 2012), 7.

270

Anang Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Ktiris dan Analisis Wacana

Krisis, Bahasa dan Seni, Tahun 36, No. 1 Februari 2008, 2.

Page 160: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

148

2. Apresiasi terhadap Miftā ḥ al-‘Ulū m Seorang pakar ilmu budaya asal Denmark Kristian Hvidtfelt Nielsen dalam

penelitiannya ia mengatakan bahwa budaya kritik terhadap sebuah produktivitas dan

karya seseorang perlu dirubah menjadi yang lebih soft, sehingga tidak hanya melihat

kepada sisi buruk atau kekurangannya saja. Menurutnya, bentuk apresiasi terhadap

sebuah karya adalah mutlak sebagai penghargaan terhadap keilmuan seseorang.

Selain itu, budaya kritik bisa saja muncul akibat kurang dalamnya ilmu yang

dimiliki, atau justru karena faktor sentimen buruk terhadap pengarangnya. Dengan

demikian perlu dilakukan secara obyektif dan bijaksana agar tidak terjadi sebaliknya

memperburuk citra baik seseorang. Banyak orang terkadang tidak menyadari bahwa

jenis kritik maupun apresiasi adalah bentuk komunikasi antara hati ke hati. Maka

keberhasilan dalam berkomunikasi tidak hanya dinilai dari sisi kepiawaian dalam

berbicara, namun juga dari efek bahasa tulisan maupun lisan yang diungkapkan.271

Ahmad Mathlub dalam karya tulisnya Manhaj al-Sakākī fī al-Balāghah

mengakui andai saja Miftā ḥ al-‘Ulū m tidak lahir dari ide briliant al-Sakaki tentu

para pemerhati sastra Arab tidak akan mengenal tingkatan ilmu balagah seperti saat

ini.272

Misalnya, secara historis ‘ilm al-bayān ditemukan pertama kali oleh al-Jaḥidz pada

akhir abad ke- 12 H. Al-Jahidz mengarang karya sastra tentang stilistika dengan

judul al-bayān wa al-tabyīn sebagai karya terakhirnya sebelum ia wafat pada 255 H.

Dalam karya tersebut ia memaparkan teknik pidato, debat, bersyair, komunikasi,

seni keterampilan bahkan tentang berbagai style bahasa di saat berbicara. Sauqi

Ḍaif menilai bahwa karya al-Jahidz tersebut banyak kejanggalan, di antaranya ia

menjadikan satu untuk keseluruhan kajian ilmu balagah seperti al-isti’ārah, al-majāz, al-muhassināt bahkan al-shi’ir semua berada dalam satu kajian keilmuan

yaitu ilm bayān.273 Ilm badī’ dipelopori oleh Ibnu al-Mu’tazz, dan selesai disusun

olehnya pada 274 H. Muhbib Abdul Wahab menuturkan bahwa karya al-Mu’tazz

kitāb al-badī’ tidak ada ubahnya dengan al-bayān wa al-tabyīn. Kaidah-kaidah

kesusastraan di dalamnya belum dibakukan dengan baik sehingga sangat terkesan

mengikuti pola penulisan karya al-Jahidz pada al-bayān wa al-tabyīn.274

Adapun ‘ilm al-ma’ānī dipelopori langsung oleh al-Sakaki, di dalamnya ia

berbicara al-khabar al-ṭalabi dan al-inshāi sebagaimana yang dijelaskan

sebelumnya. Karya-karya sebelumnya tidak luput dari analisa al-Sakaki, dan sebagai

kesimpulannya ia pun memilah-milih kajian yang berkaitan dengan al-ma’ānī, al-bayān dan al-badī’ dengan menjadikannya sebagai sebuah kajian khusus yang

271

Kristian Hvidtfelt Nielsen, Between Understanding and Appreciation, Current

Science Communication in Denmark, Journal Science of Communication SISSA, Vol. 1, No.

20, Desember 2005, 5. 272

Ahmad Mathlub, Manhaj al-Sakākī fī al-Balāghah (Beirut: Dar Ulum al-Islami,

t.t.), 283.

273

Ṣawqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī, 44. 274

Muhbib Abdul Wahab, Abdullah Ibn al-Mu’tazz Sang Kreator Ilmu Badī’, Arabiyat

Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, Vol. 3, No. 7, Juni 2016, 9.

Page 161: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

149

memiliki sub kajian mendalam di dalamnya. Sebuah upaya konstruksi keilmuan

balagah secara menyeluruh yang kemudian ia sebut Miftā ḥ al-‘Ulū m.275

Abbas Baidhun (2013 M) menegaskan bahwa al-Sakaki layak diberi gelar

bapak ilmu balagah karena ia sangat berjasa besar terhadap reformasi keilmuan

balagah. Ia telah mampu menjadikan ilmu balagah yang sebelumnya tidak tertata

rapih serta tidak tersistem dengan baik kini akhirya menjadi sebuah kaidah yang

baku.276

Maka, ketenaran dan kebesaran nama al-Sakaki walau datang lebih baik

darinya dalam hal pemikiran dan ide, selama ia merujuk kepada karya seseorang

tersebut, maka yang pertama adalah tetap lebih pantas memiliki dan menyandang

predikat kemuliannya.277

Muhammad Abduh (1905 M) menilai bahwa gerakan perubahan seperti

yang dilakukan oleh al-Sakaki sangat berkontribusi besar terhadap kemajuan umat

Islam khususnya pada perkembangan keilmuan sastra. Hal tersebut menurutnya

telah tampak dari pembaharu-pembaharu sastra seperti al-Sakaki dan al-Qazwaini

yang masuk ke dalam fase al-mu’aṣirūn.278

Muhammad Abduh yang juga seorang tokoh salaf pembaharu keilmuan

mutakhir, ia mengungkapkan bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap para tokoh-

tokoh yang telah banyak melahirkan karya-karya ilmiah (al-turāth al-qadīm)? Ia

menegaskan bahwa segala sesuatunya perlu dipikirkan dan dipertimbangkan dengan

baik secara rasionalis agar umat Islam tidak ketinggalan zaman karena hanya sibuk

mengomentari hal-hal yang sudah sempurna kajiannya. Sebaliknya, bagaimana cara

mengimplementasikan hasil dari karya-karya tersebut dalam dunia modernisasi saat

ini. Hal tersebut berpotensi menjadi salah satu pemicu kemunduran umat Islam dan

dirampasnya keilmuan Islam oleh dunia barat.279

Selain itu, jika terus dikembangkan cara berpikir yang tidak produktif,

maka bisa saja kejayaan sains dan filsafat dalam sejarah dunia Islam mengalami

kemuduran yang sighnifikan. Ada banyak asumsi yang dibangun dalam hal tersebut

di antaranya: 1). Melemahnya dukungan para penguasa terhadap karya ilmiah dan

pemikiran rasionalisme, padahal sains berkembang karena dukungan penguasa

seperti yang dicontoh oleh Muhammad Abduh saat menjabat sebagai rektor al-

Azhar al-Sharif. 2). Diharamkannya filsafat oleh al-Ghazali pada abad ke-12 dan

kemudian oleh Ibnu Taimiyyah abad ke-14. 3). Menguatnya sufisme dalam bentuk

tarekat. 4). Kemampuan saling kritik antar tokoh dan antar lembaga, 5). Malasnya

umat Islam pada setiap zaman untuk memikirkan sesuatu yang baru yang bisa

diwariskan untuk generasi sesudahnya. Maka muncul sebuah pertanyaan, lalu

mengapa para tokoh terdahulu terus berproduksi dalam bentuk karya ilmiah seperti

275

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf bi Rijālihā, 44. 276

Abbas Baidhun, Istidrōkāt al-Khaṭib ‘Alā al-Sakākī (Beirut: Dar Kutub, 2013), 15. 277

Hanna Djumhana Bastaman, Islamisasi Sains dengan Psikologi sebagai Ilustrasi,

Jurnal Ulum al-Qur’an, No.8, Vol. 2, Oktober 1991, 327. 278

Muhammad Abduh, al-‘Amal al-Kāmilah (Beirut: al-Muassasah al-Arabiyyah,

1972), 324 279

Wahun Muqoyyidin, Pembaruan Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh,

Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 28, No. 2, Safar 1434 H, 288.

Page 162: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

150

Miftā ḥ al-‘Ulū m, ternyata ditemukan jawabannya hanya demi sebuah harapan

ikut serta memikirkan umat Islam di masa depan.280

Dengan demikian, sekalipun Miftā ḥ al-‘Ulū m telah menyisakan beragam

kritik dan kontra pendapat atas munculnya karya tersebut. Namun, tidak akan

menyurutkan apreasiasi para ilmuwan dan pemerhati lainnya dalam menyikap karya

fenomenal tersebut. Sebab, kehadirannya telah membuka mata para linguis untuk

kembali membuka lembaran karya baru bagi para ilmuwan al-mu’ṣirūn. Dan pada

kenyataannya Miftā ḥ al-‘Ulū m hingga hari ini terus dikaji dan diambil

manfaatnya oleh para pembaca dan pelajar di berbagai universitas ternama di dunia.

Sukron Kamil menengahi antara pro dan kontra terhadap karya al-Sakaki

tersebut dengan mengatakan bahwa sudah seharusnya analisis sastra dari pada

kritikus memperhatikan etika-etika mengkritik. Lebih dari itu, hal terpenting

menurutnya adalah memberi sumbangan besar terhadap teori dan sejarah sastra,

sehingga ia sesuai dengan fungsinya untuk meluruskan (li ta’dīl ilā al-ṣawāb) atau

justru menyempurnakan, dan bukan semata untuk memojokkan atau mengucilkan

karya atau tokoh tertentu.281

G. Relevansi Miftā ḥ al-‘Ulū m dengan Linguistik Modern Miftāḥ al-‘Ulūm secara umum yang meliputi pembahasan ‘ilm al-ṣarf

(morphology), ‘ilm al-naḥw (syntaksis) dan ‘ilm al-dilālah (semantics) serta al-

balāgah (stilistika) merupakan kajian linguistik tradisonal yang telah dimulai sejak

pertengahan abad ke- 6 H. Perkembangan linguistik Arab yang diprakarsai oleh al-

Sakaki tersebut adalah sebagai lanjutan keilmuan yang digagas sebelumnya oleh

para linguis terkenal seperti Abu Ubaidah (207 H), Ibnu Mu’tazz (274 H), Ibnu

Qudamah (337 H), Abu Hilal al-‘Askari (395 H), al-Jurjani (471 H), al-Zamakhsyari

(528 H) dan al-Razi (606 H). Keseluruhan tokoh tersebut adalah tokoh linguis yang

hidup pada fase al-mutakkhirūn, sedangkan al-Sakaki adalah seorang linguis sebagai

pembuka lembaran baru pada fase al-mu’aṣirūn.282

Pada fase al-mu’aṣirūn yang bersamaan dengan munculnya karya fenomenal

al-Sakaki berjudul Miftāḥ al-‘Ulūm lebih terkenal dengan al-balāgah (stilistika)

yaitu abad ke- 11 M. Hal tersebut karena al-Sakaki lebih fokus kepada kajian ‘ilm

ma’ānī, ‘ilm al-bayān dan ‘ilm al-badī’ dibanding kajian ‘ilm al-ṣarf (morphology)

dan‘ilm al-naḥw (syntaksis) yang hanya sebagai pengantar kepada ‘ilm al-balāgah

sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Seorang linguis modern pertama De Saussure

(1913 M) menyimpulkan bahwa kajian linguistik pada masa tersebut hingga abad

ke- 18 M berkisar pada tiga hal penting, yakni; 1). Penyusunan tatabahasa

(grammar) dengan metode pengandalan terhadap kecerdasan logika (rasionalisme),

2). Kajian terhadap filologi klasik (philological school) yakni kajian terhadap

naskah tertulis dengan tujuan untuk mempelajari ilmu sastra dan sejarahnya, dan 3).

Pembiasaan kepada filologi komparatif (comparative philology).283

280

Sukron Kamil, Islam, Sains Empiris dan Ilmu Budaya (Jakarta: UIN Jakarta Press,

2016), 28-29.

281

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 51-56. 282

D. Hidayat, al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’, 5. 283

F. De Saussure, Course in General Linguistics (London: Peter Owen, 1996), 24-27.

Page 163: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

151

Herudjati Puwoko dalam penelitiannya tentang Fakta Sosial Obyek Penelitian

Linguistik Modern mengatakan bahwa tahapan perkembangan linguistik tradisional

pada fase philological school masih sangat mengabaikan bahasa kontemporer,

sampai pada fase selanjutnya di awal abad ke- 18 M mulai terjadi pergeseran

menuju komparasi filologi, dimana pada masa tersebut sudah mulai adanya

kesadaran untuk membandingkan antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya.

Misalnya, memperbandingkan antara bahasa sanskerta dengan bahasa Jerman,

bahasa Yunani dengan bahasa Latin dan lain sebagainya. Komparasi dari setiap

kajian dan perbedaan bahasa tersebut, jika diamati dari fakta sosial, maka akan

menimbulkan sebuah teori baru yang butuh kepada ilmu khusus untuk mengkajinya.

Peristiwa tersebut menjadi awal pergerakan linguistik tradisional kepada modern.284

Moch. Syarif Hidayatullah menuturkan dalam penelitiannya, bahwa kajian

dalam Miftāḥ al-‘Ulūm memang masih berkisar pada grammar dan filologi klasik, di

sisi lain juga masih mengabaikan kajian bahasa kontemporer. Namun, menurutnya

tanpa kajian-kajian klasik tersebut, maka tentu saja perkembangan kepada kajian

perbandingan bahasa dengan bahasa yang lainnya tidak dapat dilakukan.285

Fuady Aziz (2008 M) dalam penelitiannya tentang Sibwaih dalam Lintasan

Linguistik Arab, ia bahkan menyimpulkan bahwa cikal bakal hadirnya linguistik

modern adalah salah satunya dari Kitāb Sibwaih fī al-Naḥw yang berisi tentang

kajian struktur bahasa yang telah matang dan Miftāḥ al-‘Ulūm sebagai kajian style

dan keindahan berbahasa. Menurutnya, para linguis modern tidak akan mengenal

fasahah bahasa apalagi style language tanpa kehadiran kajian al-balāgah (stilistika)

dalam Miftāḥ al-‘Ulūm. Hal inilah menurutnya yang menjadikan keilmuan linguistik

terus bergerak dari tradisional menuju modern.286

Korelasi pentingnya linguistik modern tampak pada al-balāgah (stilistika)

yang membahas makna kalimat dan konteksnya secara ontologis dan epistemologis,

dimana kajian di dalamnya memiliki kesamaan dengan ilmu pragmatik. Selain itu,

‘ilm al-ma’ānī pada kajian al-balāgah (stilistika) juga terkait dengan semantik,

misalnya ketika dibahas di dalamnya tentang kalimat khabarī dan inshā’ī, ia masih

terkait dengan syntaksis, morphology, fonologhy dan semantics. Korelasi pada kajian

tersebut sangat mengilhami hadirnya keilmuan bahasa modern.287

Sejak dimulainya pergerakan kajian linguistik kepada linguistik modern,

kajian kebahasaan kini lebih cederung berbicara tentang fakta filosofis bahasa (al-

falsafah al-lughawiyyah) antara yang satu dengan yang lainnya yaitu dilihat dari

persfektif fakta sosial bahasa288

setempat, selain itu juga linguistik modern kini lebih

284

Herudjati Purwoko, Fakta Sosial Obyek Penelitian Linguistik Modern (Semarang:

Universitas Diponegoro Press, t.t.), 192-194. 285

Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab (Jakarta: Gramedia

Indonesia, 2017), 9-10. 286

Fuady Aziz, Sibwaih dalam Lintasan Linguistik Arab, Jurnal Sastra Arab Modern,

Vol. 1, No. 46, Mei 1991, 47. 287

Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab, 88. 288

Fakta sosial bahasa adalah sebuah ide atau gagasan (representasi) dalam pikiran

kolektif yakni jiwa kolektif atau nurani kolektif dari suatu masyarakat, sehingga budaya

Page 164: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

152

cenderung kepada kajian al-alfādh al-‘Arabiyyah. Kedua kajian linguistik modern

tersebut meliputi karekter, fungsi dan metode pengajaran bahasa bahkan sampai

kepada teori bahasa seperti teori formalisme. Beberapa tokoh linguis Barat yang

memfokuskan kajiannya pada lingustik modern seperti William Wright (1859 M), ia

menulis karya berjudul A Grammar of the Arabic Language.289

Dengan demikian di

saat para pelajar telah mempelajari al-balāgah secara paripurna, maka ia sebenarnya

telah menuju kepada proses awal mempelajari linguistik murni, berikut adalah

bagan linguistik murni tersebut:

bahasa pada masyarakat tersebut menjadi identitas masyarakatnya. Herudjati Purwoko, Fakta

Sosial Obyek Penelitian Linguistik Modern, 181-183. 289

Herudjati Purwoko, Fakta Sosial Obyek Penelitian Linguistik Modern, 198.

Linguistik (علم اللغة)

Linguistik Teoritis

( النظري علم اللغة )

Psikolonguistik

(اللغة النفسية)

Sosiolonguistik

(اللغة االجتماعية)

Balagah (البالغة)

Sintaksi (النحو)

Morfologi (الصرف)

Fonologi (األصوات)

Linguistik Praktis

( التطبيقي علم اللغة )

Tabel Linguistik Murni

Page 165: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

153

Hiduplah bersama manusia sebagaimana pohon yang berbuah,

mereka melemparinya dengan batu, tetapi ia membalasnya dengan buah.

Abu Hamid Al-Ghazali Filsuf Muslim asal Persia 1058 - 1111

Page 166: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

153

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tesis ini membuktikan bahwa Miftāḥ al-Ulūm bukanlah sembarang karya

ilmiah, melainkan ia adalah sebuah karya yang hebat yang ditulis oleh seorang

‘ajamī (non-Arab). Secara garis besar epistemologi Miftāḥ al-Ulūm merupakan

sebuah sintetik-integralistik dengan cara menempatkan panca indera, akal dan

hati pada proporsinya masing-masing. Maka proses pembangunan keilmuan di

dalamnya terjadi dengan beragam epistemologi yakni empirisme (al-bayānī),

rasionalisme (al-burhānī) dan intuisionisme (al-‘irfānī). Tinjauan terhadap

epistemologi Miftāḥ al-Ulūm telah mengantarkan penulis kepada penalaran tajam

terhadap sumber-sumber, struktur pengetahuan, persoalan metodologi dan

validitas keilmuan yang ditulis oleh al-Sakaki selama proses pengarangannya.

Dalam tesis ini ditemukan bahwa integralistik epistemologi tersebut yang

terjadi dalam Miftāḥ al-Ulūm lebih cenderung kepada empirisme (al-bayānī) dan

rasionalisme (al-burhānī) dibanding intuisionisme (al-‘irfānī) yang justru

memiliki porsi yang sangat sedikit. Hal tersebut didasari oleh teori kritik modern

yang dikembangkan di dalamnya yakni strukturalisme genetik yang tidak hanya

melihat kepada setting sosial pengarangnya yang juga seorang yang sangat

manṭiqī (logical), namun juga kepada latar belakang budaya sosial pada

masyarakatnya, karena aspek sosial secara tidak langsung dapat berpengaruh

terhadap pola berpikir seseorang termasuk dalam hal ini al-Sakaki yang sangat

rasionalis dan memiliki kemampuan di atas rata-rata sebagaimana diakui oleh

para guru dan sahabat-sahabat pada masanya.

Senada dengan pendapat Tammam Hassan (2011) yang menyebutkan

bahwa besarnya faktor epistemologi empirisme (al-bayānī) dan rasionalisme (al-

burhānī) pada karya Miftāḥ al-Ulūm semakin menguatkan bahwa karya tersebut

lebih dekat kepada al-qawā’id al-lughawiyyah (languange grammar) dibanding

al-dhawq al-lughawī (languange sense). Hal tersebut karena Miftāḥ al-Ulūm

telah menjadikan ‘ilm balāghah (stilistika) di dalamnya bagaikan kaidah naḥw,

dan sedikit ditemukan rasa (artistik) yang menjadi tujuan utama ilmu stilistika.

Padahal ilm balāghah semestinya adalah lebih artistik dibanding metodik

atau setidaknya harus seimbang antara keduanya. Secara konteks bahasa saja

menurut Sukron Kamil, makna sebuah bahasa harus dilihat dari sisi konteks

leksikal, termasuk di dalamnya makna cita rasa (konotasinya), makna hubungan

antar kalimat dengan kalimat bahkan hubungan antar paragraf dengan paragraf

lainnya. Maka tidak mengherankan jika studi atas makna sebuah kata atau leksem

disebut olehnya dengan sebutan semantik leksikal.

Dengan demikian semakin artistik keilmuan balāghah, maka akan

semakin baik dan sempurna. Kenyataan tersebut akan mudah terwujud jika

didasari dengan epistemologi yang proporsional antara empirisme (panca indera),

rasionalisme (logika), dan intuisionisme (hati), sehingga tidak lebih cenderung

kepada epistemologi rasionalisme yang berakhir kepada kejumudan ilmu yang

disajikan di dalamnya.

Page 167: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

154

Sebagaimana juga diakui oleh Ahmad Mathlub (2016) bahwa ada sebuah rasa

yang ia sulit mengungkapkannya ketika mempelajari Miftāḥ al-Ulūm. Rasa yang

dimaksud bukanlah rasa seni sastra bahasa atau artistik melainkan yang ia

rasakan adalah kejumudan (kemandekan) serta perasaan bosan dalam membaca

dan mempelajari karya al-Sakaki tersebut.

Berdasarkan kenyataan tersebutlah al-Qazwaini sebagai tokoh bahasa

pada fase al-mu’aṣirūn (era modern), melakukan langkah konstruksi ulang

terhadap karya Miftāḥ al-Ulūm dengan tujuan menyeimbangkan antara

languange grammar dan languange sense yang kemudian dikenal dengan

sebutan Talkhīṣ Miftāḥ al-Ulūm. Terobosan tersebut adalah sebuah gerakan

critical linguictics yang bertujuan untuk mengembalikan karya Miftāḥ al-Ulūm

kepada maqāṣid (cita-cita) awalnya sebagai kajian linguistik sastra. Adapun, hasil

analisa yang diperoleh oleh penulis secara epistemologis telah ditemukan juga

bahwa Talkhīṣ Miftāḥ al-Ulūm kini lebih dominan secara artistik, sehingga tidak

lagi menimbulkan kesan mirip kaidah ilmu naḥw (sintaksis).

Pentingnya menguasai keilmuan balāghah dalam kerangka bahasa Arab

khususnya dalam proses memahami al-Qur’ān maupun al-Hadīth sama seperti

pentingnya manusia terhadap garam disaat makan dalam kesehariannya. Hal

tersebut bertujuan untuk mengetahui rasa dan nikmatnya dalam membaca atau

mempelajari al-Qur’ān. Diibaratkan saat makan lalu hilang rasa dan nikmatnya,

maka akan jadi hampa tanpa arti, sekalipun makanan di dalamnya telah disajikan

dengan baik dan beragam pilihan. Dengan demikian tingginya sastra bahasa Arab

tergantung kepada style (uslūb) dan wisdom (al-hakīm) bahasa yang disajikan.

Sebab, bahasa adalah tauqīfī (faktor bawaan), sehingga dibutuhkan kecerdasan

gaya bahasa (style) dan bijaksana (wisdom) untuk menjadikannya lebih berseni

(artistik). Maka bahasa sebagai unsur pembentuk budaya (culture maker) perlu

mendapatkan perhatian dari para budayawan dan pemerhati bahasa.

Upaya yang dilakukan oleh imam al-Sakaki adalah salah satu bukti nyata

pembentukan budaya yang baik. Sekalipun seiring berkembangnya ilmu

pengetahuan dan teknologi pada era modern saat ini, agaknya keilmuan tersebut

dianggap kurang atau justru mereduksi substansi isinya bahkan tidak jarang

tokoh pewaris ilmu tersebut menjadi bahan ejekan dan cemoohan. Namun,

sejarah tidak akan mudah hilang begitu saja. Sebab, perkembangan keilmuan saat

ini tidak akan terlepas dari pengaruh sejarah masa lalu. Sungguh, kemulian atau

keutamaan itu pasti untuk orang pertama yang meletakkannya, sekalipun datang

setelahnya yang lebih baik. Maka kritikan yang terus dialamatkan oleh para

ilmuwan terhadap al-Sakaki perlu ditinjau ulang, bahwa setiap kritikan tidaklah

selalu bertujuan memojokkan sebuah karya ilmiah atau hasil temuan. Melainkan

ia juga bertujuan untuk memberikan ruang untuk menyempurnakan atau

menyederhanakan karya tersebut seperti yang telah dilakukan oleh al-Qazwaini

Dalam hal pembangunan budaya yang baik terhadap karya-karya ilmiah

harus dilakukan dengan metode critical linguictics yang obyektif. Dengan

melakukan gerakan critical linguictics yang obyektif maka cenderung akan

memunculkan teori baru dalam perkembangan keilmuannya, yang tentu saja

berguna untuk masa yang akan datang. Bahkan, juga berguna untuk meneruskan

perjuangan intelektual para ahli sebelumnya.

Page 168: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

155

Dengan demikian, penguasaam terhadap keilmuan al-balāgah (stilistika)

yang sempurna pasti akan mengantarkan kepada linguistik modern. Hal tersebut

karena kajian linguistik teoritis dan pragmatis adalah dua hal yang harus sejalan

bersamaan. Tidak cukup hanya sebagai teori yang terdiri dari ‘ilm al-ṣarf

(morphology), ‘ilm al-naḥw (syntaksis) serta ‘ilm al-dilālah (semantics), tetapi

butuh kepada adaptasi sosial budaya masyarakat yang berlaku. Sebab, setiap

sosial budaya masyarakat pasti memiliki karakter bahasa yang berbeda

(sosialonguistik), tidak hanya itu tetapi juga berpengaruh terhadap kejiawaan

masyarakat tersebut (psikolinguistik).

B. Saran dan Kritikan

Setelah melakukan serangkaian penelitian terhadap Miftāḥ al-Ulūm karya

al-Sakaki serta telah menyimpulkan hasil temuan dalam karya ilmiah ini. Maka

sampailah penulis pada saran dan kritikan sebagai bagian dari inspirasi keilmuan

yang dihasilkan dari proses peneltian ini. Maka berikut adalah beberapa saran

dan kritikan penulis, di antaranya;

1. Kepada para pemerhati bahasa khususnya bahasa Arab hendaknya meniru

semangat perjuangan intelektual al-Sakaki. Perjuangan intelektualnya yang

sangat banyak memberikan kontribusi besar bagi kemajuan pendidikan dan

kebudayaan Islam. Al-Sakaki layak dijadikan sebagai tauladan, yang tidak

mengenal letih atau mengeluh atas keadaanya, sekalipun ia tidak memiliki

kesempatan belajar sebagai anak-anak didik saat ini. Maka diharapkan dengan

menjadikannya sebagai uswah ḥasanah akan muncul al-Sakaki - al-Sakaki

baru di masa depan umat Islam, sehingga umat ini tidak terus mengalami

kemunduran atau bahkan ditindas oleh perkembangan zaman.

2. Kepada pihak pemerintah atau penguasa hendaknya memberikan dukungan

moril dan materil, baik akses maupun biaya kepada para penggiat budaya dan

bahasa agar terus melakukan gerakan penelitian-penelitian khususnya pada al-

turāth al-qadīm agar memperoleh temuan baru yang kemudian bisa dijadikan

sebagai kekayaan pemerintah. Hasil temuan-temuan dari para penggiat

tersebut bisa diimplementasikan untuk mendongkrak kemajuan pendidikan

dan kebudayaan. Wabil khusus di Indonesia hingga hari ini sangat minim

penelitian dan penemuan baru yang inovatif.

3. Kepada para peneliti baik melalui lembaga-lembaga riset ataupun perguruan

tinggi, hendaknya mensupport dan mengarahkan penuh para mahasiswa untuk

melakukan penelitian, baik itu dalam bentuk peninjauan ulang ataupun

menghidupkan kembali karya-karya ilmiah yang sudah tertinggal. Sebab,

sejak era modern (al-mu’āṣirūn) tahun 1258 M perkembangan keilmuan

cenderung terus mundur dan tidak mengalami perkembangan yang sighnifikan

dalam dunia Islam termasuk Indonesia yang mayoritas muslim di dunia.

4. Kepada Kemendikbud dan Kemenristek dikti, hendaknya mendorong para

para pemangku jabatan di PTN atau PTS untuk merubah pradigma (mindset)

tentang makna kritik (critical), agar maknanya tidak semakin menyempit.

Sebab, critical tidak selalu bertujuan buruk, sebaliknya critical bertujuan baik

sebagaimana yang dilakukan oleh al-Qazwaini pada karya Miftāḥ al-Ulūm.

Page 169: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

156

5. Kepada para peneliti selanjutnya, penulis menyarankan agar melakukan

penelitian pada aspek kekayaan budaya melalui bahasa, wabil khusus bahasa

Arab pada style bahasa dan artistiknya, sehingga mendorong umat Islam lebih

memahami al-Qur’an dan al-Hadith yang juga berbahasa Arab. Bahkan al-

Qur’an memerintahkan umat ini agar membaca dan menganalisa segala yang

ada di alam kehidupan dunia ini melalui kata iqra’.

6. Kepada setiap pelajar yang kelak akan menjadi generasi penerus hendaklah

menghargai karya-karya klasik dan modern, sehingga membawa dampak

perbaikan pada pengembangan kebahasaan dan kesenian penulisan di masa

yang akan datang.

Page 170: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

157

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Bacaan

Al-‘Amilī, Mu’in Daqiq. Durūs al Balāghah, Lebanon: Dār Jawad al-Aimmah,

2012.

Abbas, Fadl Hasan. Al-Balāghah Funūnuhā wa Afnānuhā, Palestina: Dār Al-

Furqan, 1987.

Al-Atsary, Abu Hamza Yusuf. Pengantar Mudah Belajar Bahasa Arab,

Bandung: Pustaka Aohwa, 2007.

Abduh, Muhammad. al-‘Amal al-Kāmilah, Beirut: al-Muassasah al-Arabiyyah,

1972.

Al-Abidin, Zainal. Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2014.

Al-Azhari, Ali Ni’mah. ‘Allamah Syarh Talkhis Miftāh ‘Ulūm li Imām as-Sakāky

Kairo: Dār Al-Qonat, 2013.

Al-Faruqi, Islamil R. dan Lois Lamya. Atlas Budaya Islam Menjelajahi

Peradaban Gemilang. Terj. Ilyas Hasan Dāri The Culture Atlas of Islam,

Bandung: Mizan, 1998

Al-Ahdal, Muhammad Abdullah. Kawakib al-Durriyyah, Riyadh: Dār Ilmiah,

2002.

Al-Anbary, Abu Al-Barakat. al-Farqu Bayna Al-Mudzakkar wa Al-Muannats,

Cairo: Dār Al-Kutub, 1970.

Al-‘Audah, Meis Kholil Mahmud. “Ta’shil Al Uslūbiyyah fi Al Maurūts An

Naqdiy wa Al Balāghiy” Kitab Miftah ‘Ulum li as-Sakaki, Palestina: Dār

Al Jāmi’ah al-Wathoniyyah, 2006.

Anis, Ibrahim Al-Mu’jam Al-Wasīth, Kairo: Dār al-Syuruq Al-Dauliyah, 2002.

Al-Ghazali, Abu Hamid Ihyā Ulūm al-Dīn, Beirut: Dār al-Fikr, 1987.

Al-Jalali, Muhammad Attuqa Husaini. Taqrīb al-Tahdhīb fī Ilmi al-Manṭiq,

Kairo: Maṭba’ah al-Adab, 1980

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf bi

Rijāliha, Kairo: Dār al-Ma’rifah, 2002

al-Qalaini, Mushthafa. Jamī’ al-Durūs al-‘Arabiyyah, Beirut: Dār al-Kutub al-

‘ilmiah, 2006

Al-Qurthubi, Ahmad al-Anshari. Tafsir al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān, Kairo: Dār

al-Kutub al-Mishriyyah, 1357

Al-Sakaki, Sirajuddin Abu Ya’qub, Miftāh ‘Ulūm, Beirut: Dār Kutub Al-

‘Ilmiyyah, 1987.

Amin, Bakri Syaikh. Al-Balāghah Al-‘Arabiyah fī Tsaubihā Al-Jadīd Al-Ma’ānī,

Beirut: Dār Al-‘Ilm li Al-Malayin, 1995.

Azzam, Leila. The Life of the Prophet Muhammad, Malaysia: 2002.

Badri, Kamal Ibrahim. ilm Al- lughah Al- mubarmaj, Riyadh: ’Imadah Syu’un

Al- Maktabah, 1997.

Al-Bukhari, Imam. Ṣahīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Fikr, 1987

Abdul Razaq Badr, al-Naqd al-Adabi, Riyadh: Kindom of Saudi Arabia Press, t.t.

Badawi, Ahmad. Min Balāgah Al-Qur’an, Kairo: Dār Nahdah, t.t.

Page 171: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

158

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Pustaka Utama, 1996.

Dāraz, Muhammad Abdullah. An- Naba Al- Adhim Kuwait: Dār Al Qolam, 1974.

Dhoif, Syauqy. Al Balāghah Tathowwur wa Tārikh, Kairo: Dārul Ma’rif,

1995.

Ervani, Reza. Tiga Abad Kemunduran Islam, Jakarta: Tastqif Majalah Waqfah,

1997.

Dale, E. Audiovisual Method in Teaching, New York : The Dryden Press, Holt,

Rinehart and Winston, Inc, 1969

E., Chairns, Helen S. and Chairns, Charles. Psycholinguistic A Cognitive Vew of

Languange (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1976.

Fadlali, Abdul Hadi. Marākiz Dirāsah Nahwiyyah, Beirut: Maktabah al-Manar,

1986

Michel Faucault, The Power of Knowledge Selected Interviews and Other

Writings 1972 – 1977, New York: Pantheon Books, t.t.

Fielman, R.S., Understanding Psychology, Boston: McGraw-Hill, 1999

Fil, Taufiq. Balāghah Al-Tarākīb Dirāsah fi Ilmi Al-Ma’ānī (Kairo: Maktabah Al

Adab, t.t.

Gelb, Ignace Jay. A Studi of Writing, Chicaga: University of Chicago Press, 1969

Guastad, Tanja. Linguistic Knowledge and Word Sense Disambiguation,

Belanda: Groningen Dissertations in Linguistics, 2004

Gharibi, Saad Abdullah. al-Ashwāt al-Arabiyyah, Mekkah: Maktabah Talib El-

Jami’i, 1986.

Gordon, Haim. Naguib Mahfuz’s Egypt, Existential Themes in His Writing, USA:

Green Wood Press, 1990

Hamka, Buya. Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984

Harb, Ali. Hermeneutika Kebenaran, Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2003

Hanafi, Hasan. “at-Turāts wa at-Tajdid” muqifuna fi at-Turāts Al-Qodim, Beirut:

Muassasat Jami’iyyat ad-Dirasat, 1992

Handuwi, Abdul Hamid. Hayāt al-Sakākī wa Ṭalabuhu li al-‘Ulūm, Kairo: Dār

al-Ilmiyyah, 2014.

Hassan, Tammam. Kitab al-Uṣūul Dirāsah Epistimolūjiyah li al-Fikri al

Lughawī ‘Inda al-‘Arab), Kairo: Allamul Kutub, 2000.

Hasyimi, Ahmad. Jawāhir al-Balāghah fi Al-Ma’āni wal Bayān wal Badī, Beirut:

Dār Al-Fikr, 1994.

Hidayatullah, Moch. Syarif. Cakrawala Linguistik Arab, Jakarta: Gramedia

Indonesia, 2017.

Hume, David. A Treatise of Human Nature, ed. David F. Norton and Mary J.

Norton, (Oxford: Clarendon Press, 2007.

Jam’ah, Imad Ali. Qowā’id Al-Lughah Al-Arabiyah, Riyadh: Maktabah Al-Mulk

Fahd Al- Wathoniyyah, 1426 H.

Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta:

Rajawali Pers, 2012

Katsir, Ibnu. Mukhtashor Tafsir Ibn Katsir Beirut: Dārul Ma’rifah, 1999

Khudori Sholeh, Filsafat Islam Dāri Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta:

Ar- Ruzz Media, 2016

Page 172: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

159

Kattsoff, Louis O. Element of Philosophy atau Pengantar Ilmu Filsafat, Terj.

Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

Kaplan, Abraham The New World of Philosphy, New York: Alfred A. Knopf dan

Random House Inc, 1961.

Kartanegara, Mulyadi. Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung:

Mizan Pustaka, 2005.

Katsir, Ibnu. Lubāb al-Tafsīr li Ibni Katsīr, Kairo: Muassasah Dār Hilal, 1994

Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta:

Lentera Abadi, 2010.

Koestenbaum, Philosophy: A General Introduction, (New York: American Book

Company, 1968.

Lauh, Muhammad Ahmad. Al-Usus Al-‘Ilmiyyah li Ad-Da’wah Islamiyyah Al-

Maqoshid wa Al-Wasail, Mesir: Dār Dakar, 2002

M.S, Mahsun. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Majid, Jamil Abdul. Balāghah Al-Nash Madkhal Nadzhriy wa Dirāsah

Tathbīqiyyah, Kairo: Dār Gharib, 1999.

Nasution, Ahmad Sayuti Anshari. Bunyi Bahasa Ilmu Aṣwāt al-‘Arabiyyah,

Jakarta: Amzah, 2015

Nayif, Ma’ruf. al-Mūjiz al-Kāfī fī Ulūm al-Balāghah al-Arabiyyah: Ilm al-

Ma’ānī, Beirut: Dār al-Nafais, 1993

Mujahid, Umar Ibnu. Muhaddadāt al-Naqd al-Adab al-Qadīm’Inda al-‘Arab,

Aljazair: Universitas Wahron, 2015

Mathlub, Ahmad. Buhuts Balaghiyah, Baghdad: Majma’ Ilmi Al-‘Iroqy, 1996

Muslim, Fauzan. Sastra dan Masyarakat Arab Zaman Umayyah Abbasiyyah,

Jakarta: Penaku, 2016.

Muttholib, Muhammad. Abdul. Adabiyāt Al- Balāghah wa Al- Uslūbiyah,

Lebanon: Maktabah Libnun Nasyirun, 1994

Munro, Thomas. The Art and Their Interelations, New York: The Liberal Art

Press, 1957.

Mukalel, Josep C. Psychology of Language Learning (New Delhi: Discovery

Publishing House, 2003.

Nallino, Carlo Alfonso. Arabic in World Languages, Saudi: Markaz Mulk Abdul

Aziz Ats- Staqofi Al- Alamy, 2014.

Newman, Lex. The Cambridge Companion to Locke’s: Essay Concerning

Human Understanding, USA: Cambridge University Press, 2007

Nelson, Edward. Understanding Intuitionisme, USA: Princeton University Press,

t.t.

Nizar, al-Rasyidin dan Samsuar Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat

Press, 2005.

Parera JD, Teori Semantik, Jakarta: Erlangga, 1990

Pierce, Charles S. The Camridge Companion to Pierce (Inggris: Camridge

University Press, 2004.

Quthb, Sayyid. Tashwir Al- Fanniy fi Al- Qur’ūn, Beirut: Dār Al- Syuruq, tth.

Qazwaini, Jalaluddin Muhammad Khathib. Talkhis Miftāh ‘Ulūm, Beirut: Dār

Al-Kutub Al- Ilmiyyah, 1303 H

Page 173: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

160

Rahimah, Ilm Balaghah Sebagai Cabang Ilmu Bahasa Arab, Medan: USU Digital

Library, 2004

Rahman, Muhammad Abdul. Esaktralisasi Bahasa Arab Studi Atas Pemikiran

Adonis, Banten: Cinta Buku Media, 2014

Reisman, John McGinnis dan David C. Classical Arabic Philosophy an

Anthology of Sources, USA: Hackett Publishing Company, 2007

Rumiyah, Wahab. Sya’ir Ibnu Zaidūn Qirā’ah Jadīdah, Damaskus: Afaq

Tsaqafiyyah, 2014.

Sa’idi, Abdurrahman Ibn Nashir. Al-Wasail Al-Mufidah li Al-Hayat as-Sa’idah,

Qossim: Dār al Ma’rifah li Al-‘Ulūm Al- Islamy, 2011.

Salami, Abdul Qadir. Haqīqah al-Adhdād fī Kitāb Ma’ānī al-Qur’ān li al-Farrā’,

Aljazair: Univeristy Tilmisan Press, 1401 H

Ṣa’idi, Abdul Muta’al. Bughyatul Idhōh li Talkhis AMiftāh fi ‘Ulūm Al-

Balāghah, Kairo: Makta Al Adab, 1999.

Samarai, Fadhil Sholeh Balāghah Al Kalimah fī Ta’bīr Al Qur’āniy, Kairo:

Syirkah Al-Atik, 2006.

Saussure, Ferdinand De. Course in General Linguistics, London: Peter Owen,

1996.

Seldin, Jonathan P. On the proof theory of Coquand’s calculus of constructions,

Kanada: Concordia University, 1995.

Shihab, M. Qurasih. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Bandung: PT. Pustaka Hidayah,

1997.

Suyuthi, Jalaluddin. Bughyah Al-Wu’āt fi Thabāqāt Al-Lughayiyyin wa an-Nuhāt,

Kairo: Dār Al-Fikr, 1979.

Saridjo, Marwan. Sastra dan Agama, Tinjauan Kesusastraan Indonesia Modern

Bercorak Islam, Jakarta: Permadani, 2006.

Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,

Aksiologis, Jakarta: PT. Aksara Bumi, 2011.

Thantawi, Muhamma Sayyid. al-Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur’ān al-Karīm, Kairo:

Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah, 1987.

Thomson, J.A.K. Introduction on The Ethics of Aristotle (Amerika Serikat:

Pinguin Books, 1961

Wasiny, Abdullah. Miqyas Al-Balāghah Al-Lughawiyyah, Riyadh: Maktabah

Misykat Al- Islamy, 2011.

Yassin, Abdul Salam. al-Islāmu Ghadan: al-‘amal al-Islāmi wa Ḥarakiyyah al-

manhaj al-Nabawi fi Zaman al-Fitan, Maroko: al-Manshurat al-

Maghribiyyah, 1973.

Zamakhsyari, al-Kasyyāf ‘an Haqāiq Al-Tanzīl wa ‘Uyūn Al-Aqāwil fī Wujūh Al-

Tanzīl (Kairo: Dār Al-Fikr, tth.

Zoest dan Sudjiman, Aart Van dan Panuti. (Ed), Serba-Serbi Simiotik, Jakarta:

Gramedia, 1996.

B. Hasil Penelitian

Aunee, Omar Muhammad. The Linguistic Sense and Its Effect on Language,

Mosul: University Mosul Reseach, 2008

Abdul Aziz. Epistemologi Islam: Analisis Kritis Pemikiran Al-Ghazali (Jakarta:

Satria Publishing, 2017.

Page 174: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

161

Aṭallah, Malikah. ‘Ulūm al-Balāghah ‘Inda al-‘Ulwī al-Yamanī Baina al-Taqlīd

wa al-Taisīr wa al-Tajdīd, Aljazair: Jami’ah Qasidi al-Mirbah Press,

2010.

Baidhun, Abbas. Istidrōkāt Al Khathib ‘Ala As-Sakāky, Beirut: Dār Kutub, 2013

Beaney, Michael. Thought and Experience: Themes in the Philosophy of Mind

(Inggris: The Open University Course, 2005.

Cangy, Gilbert. Pathfinder Honor Book, Amerika: General Conference

Ministries Departement, 2014.

DeRose, Keith. Contextualism: An Explanation and Defense, Connecticut

Amerika: Blackwell Publisher, 1999

Damanhuri, Penguasaan Kosakata Kedwibahasaan antara bahasa Sunda dan

Bahasa Indonesia pada anak-anak, Karawang: Vol. II, 2014.

Dārdiri, Taufiq Ahmad. Bunga Rampai inamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan

Budaya, Yogyakarta: Azzagrafika Printing, 2015

Hamdi, Muhammad Barakat. Al Balāghah al Arabiyah fi Dhoui Manhaj

Mutakāmil, Amman: Dārul Bashir, 1991.

Hannapel, Alltagssprache, Belanda: Seine Verankerung, 1979

Harits, Busyairi Ilmu Ladunni dalam Perspektif Teori Belajar Modern,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Nu’man Su’ban Ilwani, al-Asālib al-Bayāniyyah wa al-Khiṭāb al-Da’awī al-

Wā’i, Palestina: Gazza University Press, 2005

Jasmi, Kamarul Azmi. Al- Qur’an Satu Mukjizat yang Menakjubkan in

Penciptaan Manusia Dāri Perspektif Al- Qur’an, Johor Baru: Universiti

Teknologi Malaysia Press, 2013

Jalali, Muhammad Attuqa Husaini. Taqrīb Al-Tahdzīb fi Ilmi Al-Manthiq, Kairo:

Mathba’ah Al-Adab, 1980.

Kamil, Sukron. Najib Mahfudz, Sastra Islam dan Politik Studi Semiotik terhadap

Novel Aulād Hāratinā, Jakarta: Dian rakyat, 2013.

Khair, Ummul Al-Bu’du Al-Tadāwulī fi Al-Balāghah Al-Arabiyah min Khilāli

Miftāh Ulūm li Al-Sakāki (Algeria: The University of Ouargla, 2000.

Kemeny, John G. A Philosopher Looks at Science (New York: Van Nostrad,

1959.

Kennedi, Fitzerald. Empirisme dan Skeptisisme David Hume: Sang Skeptis

Radikal, Jakarta: Serambi Salihara Community, 2016.

KunanDār, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) dan Sukse dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2007.

Malik, Badruddin Al-Mishbāh fi Al-Ma’āni wa Al-Bayān wa Al-Badī’,

Kairo:Maktabah Al-Adab Ali Hussein, tth.

Mubarok, Faisal. “Selayang Pandang Perkembangan Balaghah” Telah kritis

terhadap sejarah perkembangan Balaghah, Banjarmasin: IAIN Press,

2004.

Mujahid, Abdul Karim. Al-Dalālah Al-Lughawiyah ‘Inda Al-‘Arab, Yordania:

Dār Al-Dhiya’, 1985.

Nurdianto, Talqis. Tahsīn Al-Lughah, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press,

2016.

Page 175: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

162

Nasution, Harun Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

1973.

Nurbayan, Yayan.Implikasi Hermeneutis dan Pedagogis Perbedaan Pemahaman

Ayat-Ayat Kinayah dalam al-Qur’an, Bandung: UPI Bandung Press, t.t.

Purwoko, Herudjati. Fakta Sosial Obyek Penelitian Linguistik Modern

Semarang: Universitas Diponegoro Press, t.t.

Schunk, Dale H. Learnihg Theories and Educational Perspective, Ter. Eva

Hamdiah dan Rahmat Fajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Shabecoff, Philip. A New Name for Peace; International Environmentalism,

Sustanaible Development and Democracy, Inggris: University Press of

New England, 1996.

Siddiq, Mahfudz. Kajian Balaghah Berbasis Kearifan Lokal, Semarang: Fatawa

Publishing, 2015.

Suprijono, Agus. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2008.

Utriy, Badri Rafid. Ibn Khaldun as Critic, UEA: Middle East University, 2011.

William, Johnston. Mysthical Theology: The Science of Love, London: Harper

Collins Religious, 1995.

C. Jurnal

Abdul Mukhid. Meningkatkan Kualitas Pendidikan Melalui Sistem Pembelajaran

yang Tepat, Jurnal Tadris, Vol. 1, No. 2, Januari 2007.

Abdul Wahab, Muhbib. Mengenal Pemikiran Linguistik Al-Jurjani Dalam Dalâil

Al-I’jâz, Arabiyat Jurnal Pendidikan Bahasa Arab Dan Kebahasaaraban,

Vol. 1, No. 1, Juni 2014.

Ardiansyah, al-Muhassināt al-Badi'iyyah Pada Ayat-Ayat Hukum Tentang

Berjuang di Jalan Allah, Al-Maṣlahah Vol. 12, No. 6, Oktober 2016

Achmad, Muhammad Idrus. Signifikansi Memahami Logika Dasar, Jurnal

Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012

Ahmad, Suherman. Psikolinguistik Bahasa Arab Sebuah Pengantar, Jurnal

Bahasa Universitas Indonesia Vol. 3 No. 8, November 2015.

Ahmad, Salmah. Namādzij min Jinās al-Ishtiqāq fī al-Qur’ān al-Karīm,

International Journal of Islamic Thought, Vol. 3, No. 3, Juni 2013.

Ayyash, Jamil. Models of Alliteration Derivation in the Quran, International

Journal and Islam Thought,, Vol.3, No. 1, Oktober 2013.

Aziz, Fuady. Sibwaih dalam Lintasan Linguistik Arab, Jurnal Sastra Arab

Modern, Vol. 1, No. 46, Mei 1991.

Aziz, Hussein. Studi Kritis Ilmu Balaghah Klasik, Islamica Vol. 1 No. 2. 2007.

Bastaman, Hanna Djumhana. Islamisasi Sains dengan Psikologi sebagai

Ilustrasi, Jurnal Ulum al-Qur’an, No.8, Vol. 2, Oktober 1991.

Behzadi, Lale. Studia Orientalia “Categories of Proper Language in Classical

Arabic Literature”, Helsinki Filandia, Vol. 111 No. 2, April 2011

Emmons, Robert A. Intensity and Frequency: Dimensions Underlying Positive

and Negative Affect, Journal of Personality and Social Psychology, Vol.

48. No.5, Desember 1985.

Page 176: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

163

Huda, Ibnu Samsul Sejarah Balāghah antara Ma’rifah dan Sinā’ah, Adabiyyat

Vol. 10. No.1, Maret 2011.

Hassan, Amin. Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep

Intuisi dalamTasawuf al-Ghazali, Jurnal al-Ta’dib, Vol. 7, No. 2,

Desember 2012

Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu, Bahasa dan Seni, Vol. 31, No. 1,

Februari 2003

Kroeber, A. L. “American Anthropologist” Incorporation as a Linguistic

Process, New Series, Vol. 13, No. 4, 1911

Larcher, Pierre. ʿAbd Al-Qāhir Al-Ǧurǧānī note sur quatre éditions récentes de

ses ouvrages grammaticaux, Arabica , T. 40, Fasc. 2, Jul., 1993.

Mafikha, Ida. Penggunaan Model Listening Team Sebagai Sarana Meningkatkan

Kemampuan Bertanya, Jurnal Florea Vol. 2 No. 1, April 2015.

Madani, Abubakar Pemikiran Filsafat Al-Kindi, Lentera, Vol. 100, No. 2,

Desember 2015,

Mubarak, Faisal. Nahwu dan Balaghah dalam Persfektif Ilmu Linguistik Modern,

Al- Arabiyat Vol. 2. No. 2 Juni 2013.

Ismail, Azman. Dinamika Perkembangan Pembelajaran Bahasa Arab antara

Teori dan Praktek, Jurnal Arab Lisanuna Vol. 6 No. 2, Desember 2016

Mudhofir, Abdul Mughis. Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi

Sosiologi Politik, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 18, No. 1, Januari

2013.

Muqoyyidin, Wahun. Pembaruan Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh,

Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 28, No. 2, Safar 1434 H

Nielsen, Kristian Hvidtfelt. Between Understanding and Appreciation, Current

Science Communication in Denmark, Journal Science of Communication

SISSA, Vol. 1, No. 20, Desember 2005

Parlindungan, Pardede. Penulisan Karya Ilmiah, Jakarta: Universitas Kristen

Indonesia Press, t.t.

Ritonga, Hasnun Jauhari. Landasan Epistemologi Komunikasi Islam, MIQOT

Vol. 32 No. 2, Juli-Desember 2008

Robin, C. Julien. The development of Arabic as a written language, Papers from

the Special Session of the Seminar for Arabian Studies, 24 July, 2010.

Salleh, Kamaruddin. Arabic is A Language Between Qur’anic and Historical

Designations, Journal UII, 2012.

Sellars, R. W. “The Journal of Philosophy” The Status of Epistemology

Psychology and Scientific Methods, Vol. 14, No. 25, 1917.

Seth, Adrew. The Poblem of Epistemology, , Vol. 1, No. 5, Sep., 1892

Sutiyono, Agus. Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali, Jurnal Nadwa

Pendidikan Islam , Vol. 7, No. 2, Oktober 2013

Thahari, Fuad. Tafsir Berbasis Linguistik: Al-Tafsīr Al-Bayīni li Al-Qur’ān Al-

Karīm Karya Aisyah Abdurrahman Binti Syathi’, Jurnal Adabiyyat, Vol.

8, No. 2, Desember 2009.

Takida, Tasyuki. “Majallah Dirasat Al-Alam Al-Islāmy” Juhūd Riwād an-

Nahdhoh wa Al-Majami’ Al-Lughawiyah fi Ihyāi Al-Lughah Al-Arabiyah

Page 177: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

164

wa Tahditsuhuma fi Al-‘Alam Al-‘Araby Al-Hadits, Kyoto: Bulletin of

Islamic Area Studies, 2012.

Wardiah, Dessi. Psikolinguistik Dalam Kemampuan Berbicara Pada Anak Usia

Dini Jurnal Wahana Didaktika Vol. 12 No. 2, Mei 2014.

Page 178: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

165

GLOSARI

Bahasa : Kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk

berkomunikasi dengan orang lain

Linguistik : Disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara luas dan

umum.

Filsafat : Studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan

pemikiran manusia secara kritis kemudian dijabarkan

dengan konsep mendasar

Etika : Ilmu tentang tata kerama kesopanan dan kesantunan

dalam berhubungan dengan sesame manusia atau dalam

berhubungan dengan sang khalik

Agama : Peraktek keyakinan dan pengalaman yang berhubungan

dengan sistem kepercayaan tertentu.

Sastra : Hasil dari peniruan dan gambaran dari kenyataan

Kitāb turāts al-qadīm : Buku-buku peninggalam terdahulu sebelum abad ke-

17 H.

Linguistic Sense : Sisi keindahan dalam berbahasa dari segi semantik

leksikal yang memudahkan pembacanya memiliki

atribut arti yang beragam dan kaya makna.

Antroposentrisme : Teori etika lingkungan yang memandang pusat alam

semesta adalah manusia.

Genetivus Subyektivus : Pendekatan yang berupaya menempatkan Islam sebagai

subyek atau sebagai titik tolak berpikir.

Silogisme : Suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif

yakni penggabungan antara kenyataan dan kesimpulan

Aliran formalisme : Teori yang biasa digunakan untuk menganalisa karya

sastra yang didalamnya meliputi tekhnik pengucapan;

ritme, rima, intonasi, bunyi, aliterasi dan asonansi.

Uslūb : Ṭarīqah yang di dalamnya berbicara tentang jalan, cara

dan metode.

Fashāhah : Penguasaan terhadap dua komponen penting dalam

berbicara yaitu makna dan lafalnya

Iṭnāb : Penguatan makna terhadap sebuah kata maupun

kalimat sehingga tidak ada celah bagi pendengar untuk

mencelanya.

Lafal : Satu nama yang diberikan pada huruf-huruf yang

tersusun atau susunan dari beberapa huruf yang

memiliki arti tersendiri.

Fonetik : Ilmu yang mempelajari tentang bunyi terlepas dari

fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya

Fonologi : Ilmu yang membicarakan tentang fungsi dan arti bunyi.

Semantik : Kajian atau bidang studi tentang makna bahasa.

Ulama : Pemimpin agama, orang berilmu, pewaris para nabi dan

Rasul, orang yang ahli dalam agama Islam.

Page 179: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

166

DAFTAR INDEKS

A

Abad, 6, 8, 9, 11, 15, 21, 28, 29, 35,

43, 47, 48, 50, 51, 68, 73, 105, 122,

139, 140

Abstrak, 119

Ahli, 3, 6, 13, 18, 24, 29, 37, 38, 41,

42, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 52, 53,

57, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 74, 77,

101, 103, 104, 106, 108, 116, 119,

120, 127, 128, 134, 135, 144

Akal, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 31,

32, 33, 36, 37, 42, 44, 70, 71, 94,

100, 102, 104, 107, 108, 109, 114,

118, 119, 121, 123, 124, 125, 126,

129, 133, 135, 136, 142

Al-Jurjani, 6, 14, 46, 59, 60, 61, 62,

64, 66, 69, 73, 74, 75, 101, 114,

125, 128, 134, 135, 143

Al-Qazwaini, 8, 9, 10, 11, 13, 15, 16,

50, 62, 64, 71, 73, 74, 75, 82, 135,

136, 137, 140, 143, 144

Al-Qur’an, 5, 7, 9, 12, 14, 24, 32, 35,

36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45,

46, 47, 49, 50, 51, 53, 57, 59, 61,

62, 66, 67, 69, 70, 73, 76, 80, 83,

88, 90, 91, 92, 96, 97, 98, 99, 103,

105, 107, 110, 112, 127, 128, 129,

132, 140, 144

Al-Sakaki, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,

14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 32, 36,

38, 42, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54,

55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,

64, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 73,

74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82,

83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 92,

93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101,

102, 103, 104, 105, 106, 107, 108,

109, 110, 111, 112, 114, 116, 117,

118, 119, 121, 122, 123, 124, 125,

126, 127, 128, 129, 130, 131, 132,

133, 134, 135, 136, 137, 138, 139,

140, 141, 142, 143, 144

Apreasiasi, 141

Arab, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13,

16, 18, 20, 24, 25, 26, 32, 34, 35,

36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,

45, 46, 47, 48, 50, 52, 53, 54, 59,

61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 72,

73, 76, 77, 79, 80, 83, 84, 85, 90,

93, 94, 95, 97, 100, 101, 104, 107,

108, 111, 117, 121, 122, 123, 128,

131, 133, 134, 135, 138, 139, 141,

142, 143, 144

Artistik, 3, 4, 136, 137, 138, 142, 143

B

Bahasa, 1, 2, 3, 15, 17, 18, 26, 34, 35,

36, 40, 41, 50, 61, 73, 77, 78, 80,

136, 138, 139

Bahasa Arab, 1, 10, 16, 20, 34, 35,

36, 37, 38, 42, 46, 48, 54, 63, 64,

66, 68, 73, 80, 85, 90, 143

Balāghah, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14,

15, 17, 18, 19, 38, 39, 40, 41, 42,

43, 45, 48, 63, 68, 73, 75, 76, 77,

79, 81, 82, 83, 87, 127, 130, 142,

143

Bayān, 6, 7, 8, 9, 13, 14, 18, 24, 43,

48, 52, 59, 68, 74, 75, 76, 78, 85,

86, 87, 88, 112, 113, 117, 121, 122,

126, 130, 139

Bunyi, 33, 34, 47, 53, 64, 77, 78, 81,

82, 108, 110

D

Dakwah, 41, 54

Denotatif, 128

Dominasi, 134

Dunia Islam, 30, 36, 38, 66, 72, 140,

144

Page 180: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

167

E

Eklektis, 2

Ekonomi, 3, 36, 45

Emosi, 33, 42, 120, 121

Empirisme, 3, 19, 20, 28, 29, 30, 36,

71, 72, 100, 104, 106, 114, 115,

117, 118, 130, 134, 135, 142

Epistemologi, 1, 20, 72

F

Fasih, 39, 45

Fenomenal, 42, 44, 45, 46, 50, 60, 61,

62, 64, 68, 72, 73, 133, 134, 141

Filsafat, 4, 5, 9, 11, 16, 20, 21, 28, 29,

33, 34, 62, 63, 64, 65, 69, 70, 120,

130, 134, 140

Fonem, 34

Fonologi, 35, 78, 82

Formal, 54, 56, 60, 101

Formalisme, 3, 33

G

Gagasan, 30, 90, 111, 122, 130, 131,

134

Gaya Bahasa, 3, 5, 7, 10, 40, 42, 43,

44, 65, 71, 82, 107, 109, 111, 115,

117, 121, 122, 128, 129, 131, 138

H

Hati, 8, 16, 23, 27, 33, 38, 39, 65, 90,

95, 98, 99, 103, 105, 109, 116, 118,

119, 120, 121, 122, 123, 124, 125,

128, 129, 130, 131, 135, 136, 139,

142

Hipotesis, 29, 33

I

Ideologi, 65

Ilmu, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 16, 19, 20, 21, 22, 23,

26, 27, 28, 30, 32, 34, 36, 37, 38,

42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,

51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,

60, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70,

73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81,

83,84, 85, 86, 87, 88, 91, 92, 93,

94, 95, 96, 98, 99, 100, 101, 102,

103, 104, 107, 114, 117, 119, 120,

121, 126, 128, 129, 130, 132, 134,

135, 136, 137, 139, 140, 142, 143

Imajinasi, 3, 101, 102, 122, 138

Intrinsik, 5, 138

Intuisi, 5, 7, 23, 26, 33, 34, 120, 130,

131, 133

Intuisionisme, 28, 29, 32, 33, 129

Iqra, 144

Islam, 5, 9, 11, 16, 17, 20, 21, 22, 23,

24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 36,

37, 39, 40, 42, 43, 52, 53, 54, 55,

56, 59, 60, 62, 63, 65, 66, 68, 69,

70, 71, 72, 73, 74, 77, 80, 83, 99,

102, 107, 108, 119, 120, 121, 122,

130, 140, 144

K

Kalam, 41, 58, 59, 62, 76, 91, 121

Kalimat, 7, 9, 14, 16, 23, 26, 35, 36,

40, 41, 45, 46, 52, 61, 64, 67, 77,

78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 87,

89, 90, 91, 92, 108, 109, 110, 111,

112, 113, 114, 115, 116, 122, 123,

126, 128, 129, 130, 131, 142

Karakteristik, 16

Karya, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13,

14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 24,

25, 26, 30, 32, 33, 36, 37, 38, 39,

42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,

51, 52, 55, 57, 59, 60, 61, 62, 63,

64, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 75,

76, 77, 79, 82, 83, 95, 96, 98, 101,

102,103, 104, 114, 118, 121, 122,

124, 133, 134, 135, 137, 138, 139,

140, 141, 142, 143, 144

Kebenaran, 4, 5, 8, 9, 13, 21, 22, 23,

25, 28, 30, 31, 32, 33, 36, 71, 78,

89, 93, 99, 100, 102, 103, 104, 119,

128, 130

Kebudayaan, 1, 2, 11, 15, 24, 36, 65,

144

Page 181: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

168

Keindahan Bahasa, 46, 61

Kelemahan, 10, 11, 16, 18, 31, 32, 41,

90, 119

Kenyataan, 4, 142

Kepercayaan, 103

Keyakinan, 9, 26, 32, 58, 78, 89, 90,

99, 103, 126, 130

Komunikasi, 1, 3, 4, 23, 34, 36, 78,

90, 105, 107, 108, 112, 133, 139

Konotatif, 121, 128

Kosakata, 9, 15, 16, 35, 37, 45

Kota, 8, 52, 55, 61, 72, 89

Kritikan, 15, 72, 74, 134, 136, 143,

144

Kritikus, 135, 141

Kuat, 26, 32, 35, 37, 41, 47, 57, 58,

63, 65, 69, 80, 84, 85, 92, 104, 107,

114, 120, 126, 130

L

Leksikal, 16, 82, 110, 128, 134, 142

Linguis, 9, 10, 13, 15, 42, 44, 45, 46,

60, 64, 73, 74, 81, 82, 85, 106, 108,

127, 128, 134, 135, 141

Linguistik, 2, 3, 10, 11, 12, 15, 35, 37,

78, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 93, 104,

124, 136, 138

Logika, 7, 16, 20, 23, 25, 26, 33, 44,

63, 71, 92, 100, 101, 114, 120, 121,

123, 128, 129, 130, 142

M

Ma’ānī, 6, 7, 8, 9, 13, 18, 48, 76, 78,

86, 87, 88, 91, 97, 104, 107, 108,

110, 111, 115, 117, 123, 130, 136,

139

Makna, 1, 16, 20, 22, 24, 25, 26, 34,

35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 44, 45,

46, 47, 52, 64, 74, 77, 78, 79, 82,

83, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 92,

93, 94, 97, 102, 103, 106, 108, 109,

110, 111, 113, 114, 115, 116, 118,

121, 122, 127, 128, 129, 130, 131,

132, 134, 142, 144

Manusia, 2, 3, 4, 5, 7, 11, 12, 15, 17,

20, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30,

31, 32, 33, 35, 36, 37, 45, 46, 53,

61, 69, 70, 75, 89, 90, 96, 98, 102,

103, 104, 105, 107, 108, 109, 116,

118, 119, 120, 121, 131, 132, 133,

136, 143

Metodologi, 2, 7, 10, 11, 15, 23, 24,

27, 74, 83, 84, 85, 86, 142

Miftāḥ Al-‘Ulūm, 1, 3, 6, 7, 8, 9, 10,

11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,

20, 21, 48, 52, 53, 55, 58, 59, 60,

64, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 75,

76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84,

85, 86, 87, 88, 89, 91, 92, 93, 94,

95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102,

103, 104, 106, 111, 117, 118, 122,

123, 130, 131, 132, 134, 135, 136,

137, 138, 139, 140, 141

Moral, 3, 5, 27, 71, 104, 135, 137

N

Nabi, 23, 35, 36, 53, 56, 69, 97, 124

Nafsu, 33, 90, 120

Naluriyah, 27, 129

Nikmat, 4, 45

P

Panca Indera, 23, 32, 70, 96, 97, 101,

102, 107, 142

Pedagogik, 100

Pemikiran, 8, 10, 12, 13, 14, 15, 17,

19, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 34,

44, 46, 47, 52, 61, 62, 63, 69, 70,

72, 101, 103, 108, 119, 130, 133,

140

Pendengaran, 103, 105, 109, 116

Pendidikan, 12, 43, 52, 54, 55, 56, 57,

58, 59, 60, 96, 100, 133, 138, 144

Pendidikan, 8, 9, 18, 21, 56, 57, 58,

61, 73, 83, 100, 119, 133, 139, 140

Pengalaman, 1, 2, 23, 28, 29, 30, 31,

32, 33, 34, 36, 58, 71, 96, 100, 101,

102, 104, 106, 107, 109, 113, 115,

117, 120, 121, 122, 124

Page 182: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

169

Penulis, 5, 10, 11, 13, 15, 17, 18, 27,

29, 34, 38, 52, 63, 72, 77, 82, 129,

134, 142, 143, 144

Penulisan, 11, 13, 14, 15, 16, 18, 19,

47, 67, 73, 75, 85, 86, 96, 98, 107,

114, 121, 125, 135, 139

Persfektif, 20, 23, 61, 87

Politik, 3, 44

Proporsional, 134, 136, 142

Psikologis, 27, 46, 49, 104, 105, 129

R

Rasa, 3, 31, 35, 38, 39, 42, 46, 47, 49,

56, 58, 67, 74, 76, 82, 101, 106,

119, 120, 121, 123, 130, 132, 136,

138, 142, 143

Rasionalisme, 16, 19, 20, 28, 29, 31,

32, 72, 101, 104, 106, 107, 110,

111, 114, 117, 118, 125, 126, 130,

135, 140, 142

Realitas, 3, 5, 24, 25, 27, 30, 33, 98,

99, 101, 102, 124

S

Sarana, 3, 23, 27, 28, 78, 90, 101,

130, 136

Sastra, 3, 5, 6, 8, 9, 11, 12, 13, 16, 18,

33, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 49,

50, 51, 53, 56, 58, 59, 61, 62, 63,

66, 72, 73, 74, 75, 79, 82, 85, 100,

121, 122, 124, 128, 133, 134, 135,

136, 137, 138, 139, 140, 141, 143

Saudi Arabia, 53, 80, 134

Sejarah, 14, 29, 37, 39, 42, 50, 52, 67

Semantik, 1, 14, 16, 35, 51, 78, 108,

142

Seni, 3, 4, 5, 6, 40, 49, 56, 57, 95,

124, 135, 136, 137, 138, 139, 143

Sintaksis, 1, 3, 6, 9, 34, 52, 77, 80, 82,

92, 108, 136, 143

Sosial, 1, 2, 3, 4, 12, 17, 19, 24, 31,

39, 43, 44, 52, 71, 80, 133, 135,

138, 142

Spiritual, 33, 103, 120

Style Bahasa, 35, 139, 144

Sunnah, 5, 24, 52

Syair-Syair, 39, 45

T

Tahun, 1, 6, 8, 11, 12, 15, 18, 39, 42,

43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51,

54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62,

65, 66, 67, 72, 73, 75, 96, 124, 128,

144

Teori, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 12, 15, 16, 17,

18, 20, 21, 22, 24, 30, 33, 34, 36,

46, 50, 61, 67, 72, 73, 81, 88, 104,

106, 108, 115, 116, 117, 130, 131,

134, 136, 137, 138, 141, 142, 144

Tokoh, 5, 8, 11, 12, 14, 22, 24, 25, 29,

42, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52,

53, 54, 55, 59, 60, 61, 62, 63, 64,

65, 66, 70, 72, 73, 76, 121, 134,

140, 141, 143

Tradisi Islam, 20, 22

Tuhan, 23, 25, 26, 27, 30, 32, 37, 53,

69, 89, 102, 120, 127, 132

U

Umat Islam, 11, 55, 66, 77, 140, 144

Uslub, 59

W

Wahyu, 5, 23, 32, 35, 53, 96, 128

Page 183: Epistemologi Balagah: Studi atas Miftā ‘Ulūm Karya al-Sakakirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41653/1/DAUD LINTANG.pdf · ketiga sarana pencapaian ilmu panca

170

BIODATA PENULIS

Daud Lintang Al-Yamin, S.S.I, MA. adalah asli anak

Mandailing Natal Sumut lahir di Pakantan, 28 Oktober

1988 dari pasangan alm. M. Yamin Lintang

(yarhumuhullāh) dan Siti Yani Lubis (matta’ahallāhu fī

umrihī). Putra pertama dari enam bersaudara tersebut

adalah sebagai alumni Pondok Modern Al-Zahra Jakarta

Barat tahun 2007, melanjutkan program Tahfidz al-

Qur’an di Yayasan ar-Ridho, Jombang Ciputat hingga

tahun 2011.

Meraih gelar sarjana dan menjadi santri pertama menyandang gelar

sarjana S1 pada alumni angkatan pertama Pondok Modern Al- Zahra di

Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan telah

menyelesaikan program magister pada jurusan yang sama yakni Bahasa dan

Sastra di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada akhir 2017.

Pernah meraih juara umum utusan Indonesia dalam Debate B. Arab

Internasional di Negeri Sembilan, Malaysia. Serta segudang prestasi lainnya

pada bid. Tahfidz al- Qur’an & B. Arab hingga dinobatkan sebagai

mahasiswa Terbaik Nasional oleh Menteri Agama RI Drs. Suryadharma Ali

pada hari amal bhakti Kemenag RI ke- 60 di Hotel Borobudur Jakarta tahun

2012. Dan menerima Arabic Award dari Makkah Saudi Arabia pada Mei

2014 dengan hadiah umroh bersama orang tua.

Selain itu juga pernah menimba ilmu di Ma’had UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yaitu tahun 2010 s/d 2012. Dan 2 kali memproleh

predikat sebagai mahasantri terbaik yaitu tahun 2010 dan 2011. Menikah

dengan wanita asli Simalungun Sumatera Utara, Sari Anggraini tahun 2013.

Saat ini menyibukkan diri pada kegiatan dakwah & bejalar mengajar di

berbagai lembaga pendidikan diantaranya Pesantren Modern al- Adzkar

Yayasan Azkia Pamulang dan Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Indonesia, Depok. Wabil khusus saat ini sedang mengasuh sekaligus sebagai

perintis pada Pesantren Tahfidz atau Pendidikan Tahfidz al-Qur’an (PTQ) Al

Muhajirin BPI di Pamulang Tangerang Selatan.

Motto hidupnya adalah memberi manfaat dan berkontribusi untuk

umat walau sekecil apapun itu. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling

baik akhlaknya dan bermanfaat untuk orang lain”.