Download - Laporan Tutorial 2 Editted
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di
Negara berkembang maupun di Negara maju. Beban global untuk penyakit ini
semakin meningkat terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di
Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. (Depkes
RI, 2007)
Akhir-akhir ini sering terjadi kasus seseorang menderita asma bronkial seperti
skenario yang akan dibahas di bawah ini:
Seorang perempuan usia 30 th datang ke IGD dengan serangan asma akut.
Sesak napas berbunyi “ngik-ngik” (mengi) sering dialami sejak umur 14 th, terutama
bila dingin. Hampir setiap malam pasien terbangun dari tidurnya karena batuk dan
dada terasa berat. Pasien mendapat obat inhaler rutin, tetapi pasien sering lupa
memakainya. Ayahnya seorang penderita asma.
Dokter IGD melakukan pemeriksaan peakflow untuk menilai derajat serangan
akut kemudian memberikan terapi bronkodilator dengan nebulizer. Pasien pernah
menjalani pemeriksaan spirometri untuk menilai kemajuan pengobatan
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Patofisiologi dari mengi, Batuk dan Dada Berat pada
pasien?
2. Bagaimanakah Diangnosis Banding dan Prognosis ASMA?
3. Bagaimankah Pemeriksaan Penunjang pada ASMA ?
4. Bagaimanakah Etiologi, Epidemiologi, Patofisiologi, Patogenesis,
Manifestasi Klinis dan Klasifikasi Penyakit ASMA ?
5. Bagaimanakah Penatalaksanaan Penyakit ASMA?
6. Bagaimanakah Komplikasi Penyakit Asma?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui Patofisiologi dari mengi, Batuk dan Dada Berat pada pasien
2. Mengetahui Diangnosis Banding dan Prognosis ASMA
3. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang pada ASMA
4. Mengetahui Etiologi, Epidemiologi, Patofisiologi, Patogenesis,
Manifestasi Klinis dan Klasifikasi Penyakit ASMA
5. Mengetahui Penatalaksanaan Penyakit ASMA
6. Mengetahui Komplikasi Penyakit Asma
D. MANFAAT PENULISAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui Patofisiologi dari mengi, Batuk dan Dada
Berat pada pasien
2. Mahasiswa mampu mengetahui Diangnosis Banding dan Prognosis
ASMA
3. Mahasiswa mampu mengetahui Pemeriksaan Penunjang pada ASMA
4. Mahasiswa mampu mengetahui Etiologi, Epidemiologi, Patofisiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Klasifikasi Penyakit ASMA
5. Mahasiswa mampu mengetahui Penatalaksanaan Penyakit ASMA
6. Mahasiswa mampu mengetahui Komplikasi Penyakit Asma
E. HIPOTESIS
Pasien diindikasikan menderita Penyakit ASMA
BAB II
PEMBAHASAN
1. Patofisiologi dari mengi, Batuk dan Dada Berat pada pasien
a. Patofisiologi mengi
Mengi terjadi akibat adanya perbedaan diameter dari saluran nafas sehingga udara
yang melewatinya akan menimbulkan suara “ngik-ngik”. Pada asma, mengi
terjadi karena penyempitan saluran nafas akibat inflamasi.
b. Patofisiologi Batuk
Batuk merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi
kronik dan hiperakitivitas bronkus.
c. Patofisiologi Dada Berat
Dada terasa berat merupakan salah satu gejala asma. Dada berat juga merupakan
akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan
hiperakitivitas bronkus.
Gejala-gejala pasien diatas akan dibahas lebih lanjut di patofisiologi asma.
2. Diangnosis Banding dan Prognosis
a. PPOK
Perbedaan PPOK dengan Asma antara lain dapat dilihat dari:
peningkatan neutrofil yang lebih dari eosinofil.
Tidak terdapat peningkatan hiperreaktifitas saluran nafas.
Tidak terdapat respons terhadap bronkodilator
Tidak terdapat atau terdapat respons terhadap kortikosteroid yang sangat
kecil. (Kiyatno, 2010)
b. ASMA
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak
napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.
Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi
dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (PDPI, 2004)
c. EMFISEMA
Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal, yaitu adanya pelebaran rongga
udara pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebarab ini disebabkan karena
adanya kerusakan dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di
bronkiolus terminalis distal. (Djojodobroto, 2009)
d. BRONKITIS
Bronkitis adalah suatu penyakit yang mempunyai gambaran histologi berupa
hipertrofi kelenjar mukosa bronkial dan peradangan peribrinkial yang
menyebabkan kerusakan lumen bronkus berupa metaplasia skuamosa, silia
menjadi abnormal, hiperplasia otot polos saluran pernapasan, peradangan dan
penebalan mukosa bronkus. Sel neutrofil banyak ditemukan pada lumen bronkus
dan infiltrat neutrofil pada submukosa. Pada bronkiolus respiratorius terjadi
peradangan, banyak ditemukan sel mononuklear, banyak sumbatan mukus,
metaplasia sel goblet, dan hiperplasia otot polos. Seluruh kelainan ini akan
menyebabkan obstruksi saluran pernapasan. (Djojodobroto, 2009)
3. Pemeriksaan Penunjang Pada ASMA
a. Uji Hipereaktivitas Bronkhus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1>90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronchial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak allergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran
napas pada penderita yang sensitive. Respons sejenis dengan dosis yang lebih
besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran allergen
dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan
berbagai ukuran dari 2µm sampai 20µm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebernya kurang memberikan informasi klinis disbanding dengan tes
kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan
latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamine, dan metakolin.
b. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prict test) untuk menunjukkan adanya antibody IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari factor
pencetus. Uji allergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test
(RAST) bila hasil uji tusuk kulia\t tidak dapat dilakukan (pada dermographism)
(National Institutes of Health, 2007).
c. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang
paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan
dengan bronkodilator hirup golongan andregenik beta.. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator
lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan
diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan
obstruksi.
d. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangakan neutrofil
sangat dominan pada bronkitis kronik
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinofil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
e. Pemeriksaan Eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan
hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dan bronkitis kronik.
f. Uji kulit
Tujuan uji kulit adlah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
dalam tubuh
g. Foto Ro e n t gent
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran nafas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau
komplikasi asma seperti pneumothoraks. Gambaran radiologi pada asma pada
umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada
paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis,
serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah.
Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen
akan semakin bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada
paru-paru.
h. Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada keadaan asma yang berat. Pada fase
awal serangan, terjadi hipoksemi dan hipokapnia kemudian pada stasium yang
lebih berat PaCO2 justru normo kapnia. (Sudoyono AW, et al. 2010)
i. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi
menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema
paru yaitu:
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi
dan clock wise rotation.
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB
(Right bundle branch block).
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan
VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
4. Etiologi, Epidemiologi, Patofisiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis
dan Klasifikasi Penyakit ASMA
a. Etiologi
Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik
(atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.
Sumber : PDPI, 2004
b. Epidemiologi
Pravelensi asama dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa
anak-anak ditelukan pravelensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1,
tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
monopouse perempuan lebih banyak daripada anak laki-laki. Umunya pravelensi
anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan pravelensi dewasa
lebih tinggi daripada anak. Angka ini juga berbeda antara satu kota dengan kota
yang lain (Sudoyono AW, et al. 2010).
c. Patogenesis
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti,
namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah
inflamasi dan respon saluran nafas yang berlebihan.
Asma sebagai penyakit inflamasi
Terdapat 2 jalur:
1) Jalur imunologis
Masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC, untuk
selanjutnya hasil olahan APC akan dipresentasikan kepada sel Th. Sel
T penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin
dna sitokinin- sitokinin agarsel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-
sel radang yang lain seperti eosinofil, neutrofil, trombosit. Mediator –
mediator inflamasi seperti histamin dna lain-lain akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran nafas,
infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus, fibrosis sub epitel sehingga
menimbulkan hipereaktifitas saluran nafas (HNS)
2) Jalur Saraf Otonom
Jalur non- alergi selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang
sistem autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HNS
Hiperaktifitas saluran nafas
Yang membedakan antara orang asma dengan orang yang normal adalah
sifat saluran nafas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai
rangsangan seperti iritan, zat kimia( histamin, metakolin). Pada asma
alergik selain peka terhadap alergen yang spesifik. Berbagai hal yang
dapat meningkatkan hipereaktifitas saluran nafas adalah :
1. Inflamasi saluran nafas
Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti
berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN.
2. Kerusakan epitel
Salah satu konsekuansi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma
kerusakan bervas=riasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan
struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator
inflamasiserta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf otonom sering
lebih mudah terangsang.
3. Mekanisme neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf simpatis
4. Gangguan intrinsik
Otot polos saluran nafas dan hipertrofi otot polos pada saluran nafas
5. Obstruksi saluran nafas
Meski bukan faktor utama obstruksi saluran nafas juga diduga ikut
berperan HSN.
Selain hal diatas, patogenesis ASMA dapat terjadi karena pengaruh dari
berbagai keadaan seperti faktor keturunan (GENETIK). Terdapat kelainan
kromosom pada pathogenesis, antara lain pada :
1. Kromosom penyebab kerentanan alergi yaitu kromosom 6q, yang
mengkode human leucocyte antigen (HLA) kelas II dengan subset HLA-
DQ, HLA-DP, HLA-DR, yang berfungsi mempermudah pengenalan dan
presentasi antigen.
2. Kromosom pengatur produksi berbagai sitokin yang terlibat dalam
pathogenesis asma, yaitu kromosom 5q. Sebagai contoh gen 5q31-33
mengatur produksi interleukin (IL4), yang berperan penting dalam
terjadinya asma. Kromosom 1, 12, 13, 14, 19 juga berperan dalam
produksi berbagai sitokin pada asma.
3. Kromosom pengatur produksi reseptor sel T, yaitu kromosom 14q.
(Sudoyono AW, et al. 2010)
d. Patofisiologi
Gejala asma yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperakitivitas bronkus (Depkes
RI, 2009). Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma dimana besarnya
hiperaktivitas bronkus dapat diukur dengan parameter objektif.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
alergen, virus dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut (terdiri
dari reaksi asma dini dan lambat). Setelah proses ini, proses dapat berjalan terus
menerus menjadi reaksi subakut atau kronis. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di
bronkus dan sekitarnya. Berupa infiltrasi sel-sel inflamasi (terutama eosinofil dan
monosit) ke dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal
yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang
banyak di permukaan mukosa, lumen jalan napas dan di bawah , membrane basal;
makrofag alveolar, eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 proses yang berperan yaitu faktor genetik
dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi
asma:
a. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila
terpajan dengan pemicu (inducer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
b. Seseorang yang telah tersensitisasi maka belum tentu menjadi asma.
Apabila seseorang yang telah mengalamisensitisasi terpajan dengan pemacu
(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi
yang berlangsung lama dan atau berat secara klinis berhubungan dengan
hiperreaktivitas bronkus.
c. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).
Faktor faktor:
a. Pemicu (inducer) : alergen (tungau, debu, asap, bulu, kecoak dan lain-
lain)
b. Pemacu (enhancer) : rinovirus, ozon, b2 agonis
c. Pencetus (trigger) : semua pemicu dan pemacu ditambah aktifitas
fisik, udara dingin, histamine dan metakolin (Depkes RI, 2009).
e. Manifestasi Klinis
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Gejala ini sering timbul pada pagi hari menjelang waktu
subuh, hal ini karena pengaruh keseimbangan hormon kortisol yang kadarnya
rendah ketika pagi dan berbagai faktor lainnya. Pada sebagian penderita,
auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru)
telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot
polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas;
maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar
untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi.
Penderita asma akan mengeluhkan sesak nafas karena udara pada waktu
bernafas tidak dapat mengalir dengan lancar pada saluran nafas yang sempit dan
hal ini juga yang menyebabkan timbulnya bunyi ngik-ngik pada saat bernafas, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Pada penderita asma, penyempitan
saluran pernafasan yang terjadi dapat berupa pengerutan dan tertutupnya saluran
oleh dahak yang dirpoduksi secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai
respon untuk mengeluarkan dahak tersebut.
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
Dari pemeriksaan fisik, pasien dengan serangan asma menunjukkan:
a. Inspeksi : gelisah, sesak, sianosis
b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata
c. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata
d. Auksultasi : ekspirasi memanjang, wheezing
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009)
f. Klasifikasi ASMA
Klasifikasi berdasarkan Imun penyebab
Karena asma adalah suatu penyakit heterogen yang di picu oleh beragam
sebab, maka saat ini belum ada klasifikasi sederhana yang di terima secara luas.
Bagaimanapun, asma biasanya di klasifikasikan menjadi dua kategori utama
berdasarkan ada tidaknya penyakit imun penyebab.
1. Asma ekstrinsik ; episode asma biasanya disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe 1 yang di picuoleh pajanan ke suatu antigen ekstrinsik.
Tiga jenis asma ekstrinsik yang dikenal :
Asma atopik, asma pekerjaan (banyak bentuk), dan asma aspergilosis
bronkopulmonal alergik (kolonisasi bronkus oleh organisme Aspergillus diikuti
oleh terbentuknya antibodi imunoglobulin [IgE]).
Asma atopik merupakan jenis asma tersering ; onset biasanya pada dua dekade
pertama kehidupan, dan sering berkaitan dengan menifestasi alergi lain pada
pasien serta anggota keluarga. Kada IgE serum biasanya meningkat, demikian
juga hitung eosinofil darah. Bentuk asma ini diperkirakan diperantarai oleh
oleh sel T CD4 subset TH2.
2. Asma intrinsik, yang mekanisme pemicunya bersifat nonimun. Pada bentuk
ini, sejumlah rangsangan yang kecil atau tidak berefek pada orang normal
dapat menyebabkan bronkospasme pada pasien. Faktor tersebut mencakup
aspirin ; infeksi paru, terutama yang disebabkan oleh virus; dingin,; stres
psikoligis; olahraga; dan inhalasi iritan seperti ozon dan sulfur dioksida.
Biasanya tidak terdapat manifestasi alergi pada pasien atau keluarganya, dan
kadar IgEserum normal. Pasien tersebut dikatakan mengidap diatesis asmatik
Secara umum, asma yang timbul pada awal kehidupan memiliki komponen
alergi(ekstrinsik) yang kuat, sedangkan asma yang timbul belakangan lebih sering
merupakan asma tipe intrinsik.
Klasifikasi Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Pada dasarnya penyakit yang memiliki perjalanan kronik. Penyakit asma
memiliki derajat berat ringan penyakit yang berbeda-beda. Berdasarkan
gambaran klinis maka penyakit asma dapat dibedakan menjadi : Intermiten,
Persisten Ringan, Persisten Sedang.
Sumber: PDPI, 2004
Klasifikasi Asma berdasarkan Pengobatan
Sumber: PDPI, 2004
Klasifikasi ASMA berdasarkan Derajat Serangan
sSumber: Depkes RI, 2009
5. Penatalaksanaan Penyakit ASMA
Penatalaksanaan Management dan Preventif
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Tujuh program penatalaksanaan asma disampaikan kepada penderita dengan
bahasa yang mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan “7 langkah mengatasi
asma”, yaitu :
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri dengan teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengkontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol bila:
1. Gejala minimal(sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal( idealnya
tidak diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati norml
6. Efek samping obat minimal( tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat
(PDPI, 2003)
Preventif
1. Primer
Mencegah sensitisasi bayi dengan risiko asma (orang tua asma) dengan:
a. Penghindaran asap rokok dan polutan selama kehamilan dan masa
perkembangnan bayi/anak.
b. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
c. Diet hipoalergik ibu menyusui
2. Sekunder
Mencegah inflamasi pada anak yang telah tersensitisasi dengan cara menghindari
pajanan asap dan alergen.
3. Tersier
Mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan manifestasi
penyakit alergi (Depkes RI, 2009).
Penatalaksanaan Medikamentosa
1) Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers
Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Tabel dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari),
tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik.
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi.
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Perannya dalam terapi sebagai
pengontrol bersama dengan glukokortikosteroid inhalasi dibuktikan oleh berbagai
penelitian.
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
2) Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
Agonis beta2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega
bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum
tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofillin
Adrenalin
Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja singkat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut
atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila
dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).
(PDPI, 2004)
Controller Reliever
Kortikosteroid (inhalasi, sistemik) Short acting b2 agonist (SABA) : inhalasi
oral
Leucotriene modifeir Kortikosteroid sistemik
Long acting b2 agonis
(LABA) : inhalasi oral
Antikolinergik : Ipratropium br,
oxitropium
Cheromolin : sodium cromoglycate dan
Nedocomil sodiem
Teclifilin
Teofilin lepas lambat
Anti IgE
Antikolonergik: Tiotropium
Rute pemberian medikasi
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi
langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
efek sistemik minimal atau dihindarkan
beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu
kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi
Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)
IDT dengan alat Bantu (spacer)
Breath-actuated MDI
Dry powder inhaler (DPI)
Turbuhaler
Nebuliser
Tabel obat asma yang tersedia di Indonesia (tahun 2004)
Sumber: PDPI, 2004
6. Komplikasi Penyakit ASMA
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah:
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
(Tanjung, 2003)
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Pasien mengalami asma bronchial yang semakin memberat karena
ketidakteraturan memakai obat inhaler rutin
2. Obat Inhaler diberikan agar asma tetap terkontrol, sehingga meminimalisir
serangan asma dan mencegah asma menjadi memberat
3. Pada asma serangan akut dapat diberikan pelega atau reliever
Saran
1. Perlu dilakukan edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien tentang
pemahaman penyakit asma, penanganan asma secara mandiri, dan kepatuhan
dalam pengobatan asma
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Asma. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian
Dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit
Asma. Jakarta
Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC
Kiyatno. 2010. Slide Kuliah Respirasi. Surakarta
National Institutes of Health. 2007. Global strategy for asthma management and
preventation.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Asma Di Indonesia. Jakarta
Sudoyono AW, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Interna
Publishing
Tanjung, Dudut. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial, Program Studi Ilmu
Keperawatan. Fakultas Kedokteran: Universitas Sumatara