doc1.3.2-tr-2013 laporan kajian flora dan fauna tnggp

157
 ICWRMIP-CWMBC  | INTEGRATED CITARUM WATER RESOURCES MANAGEMENT INVESTMENT PROGRAM CIT ARUM WA TERSHED MANAGEMENT AND BIODIVERSITY  CONSERVATION | KOMPONEN 1 ADB Grant.021 6-IN O LAPORAN KAJIAN FLORA DAN FAUNA PADA TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Bandung, Desember 2013 Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat DOC: 1.3.2-TR-201 3

Upload: lulu-andaru-chandra-purnama

Post on 06-Oct-2015

168 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

laporan kajian

TRANSCRIPT

ADB Grant.0216-INO
LAPORAN KAJIAN FLORA DAN FAUNA  PADA TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
Bandung, Desember 2013
DOC: 1.3.2-TR-2013
PADA TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
KABUPATEN CIANJUR PROPINSI JAWA BARAT
DISUSUN OLEH
KOMPONEN 1
Ir. Amir Sartono 
Ir. Herry Subagiadi, MSc.
Disahkan Oleh, 
Ir. Bambang Dahono Adji, MM, MSi.  
NIP. 19580519 198603 1 001  
i
lebih luas dan dalam lingkup pengelolaan DAS Citarum
yang terpadu yaitu  Integrated Citarum Water Resource
 Management Investment Program  (ICWMRIP). Dengan
dukungan dana hibah (Grant) dari Global Environment
Facility (GEF) yang dikelola oleh Asian Decvelopment
Bank (ADB) kepada pemerintah Indonesia cq. Kementerian
Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina
Alamat: Kompleks Istana Kawaluyaan, Jl. Kawaluyaan
Indah VI No. 17, Bandung
Telp./Fax. 022-7332036
Email: [email protected]
Kajian kajian flora dan fauna dipahami sebagai proses mengidentifikasi spesies
 pada tujuh kawasan konservasi yang ada di areal DAS Citarum pada wilayah kerja
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat.
Tahapan pelaksanaan kajian terdiri atas empat tahap, yaitu (i) persiapan, (ii)
 perancangan, (iii) identifikasi target area survey, (iv) pelaporan. Proses
 pelaksanaan kegiatan dilakukan menyeluruh, mencakup seluruh tahapan, dengan
 produk akhir berupa laporan hasil survey yang mencakup hingga kekayaan spesies,
sebaran spesies, keragaman spesies, kelimpahan spesies, sttaus perlindungan
spesies dan kajian spesies yang perlu perhatian dan terancam kepunahan.
Laporan kajian ini memuat hasil identifikasi spesies pada kelompok flora,
mencakup Pteridophyta (Ferns and Tree ferns), Pinophyta (Conifers), dan
Magnoliophyta, Flowering plants [termasuk family Orchidaceae, Nepenthaceae,
dan tanaman obat], Mamalia (mencakup mamalia besar dan kecil), burung,
herpetofauna (mencakup amfibi dan reptil), insekta (mencakup ordo Lepidoptera,
Odonata dan Coleoptera), dan biota akuatik (mencakup benthos, plankton dan
nekton). Cakupan data dan informasi mengenai keberadaan spesies, peta sebaran
spesies, konteks lansekap, status terkini dari beberapa spesies yang perlu perhatian
dan terancam kepunahan, tekanan atau ancaman kelestariannya, dan rekomendasi
untuk perlindungan, pengelolaan, dan pemantauannya. Laporan ini tidak mencakup
 pengelolaan dan pemantauan spesies.
Maksud pelaksanaan kegiatan kajian flora dan fauna di TNGGP seksi wilayah kerja
Cianjur, Jawa Barat adalah terbaharukannya data dasar spesies dari kelompok taksa
tumbuhan, mamalia, burung, herpetofauna (amfibi dan reptil), insekta dan biota
akuatik yang akurat dan berdaya guna untuk upaya pengelolaan kawasan konservasi
di wilayah tersebut. Adapun Tujuan tersebut akan dicapai melalui upaya identifikasi
spesies dan kekayaan spesies dari kelompok taksa tumbuhan, mamalia, burung,
herpetofauna (amfibi dan reptil), dan insekta pada seksi wilayah Cianjur, TNGGP
yang berada di DAS Citarum serta melakukan kajian khusus pada beberapa spesies
sebaran terbatas dan terancam kepunahan (diusahakan hingga tingkat populasi) di
setiap kawasan konservasi.
Kegiatan kajian Kajian flora dan fauna ini mencakup area pada Seksi Wilayah II,
Cianjur, yang berada di TNGGP. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada bulan 4 – 10
September 2013.
Kekayaan spesies untuk taksa flora yang tercatat adalah sebanyak 338 spesies, yang
tercakup dalam 69 familia, 59 ordo, 5 kelas dan 3 divisio. Sebanyak 1 spesies,
Mahoni, Swietenia mahagony, termasuk kategori  Endangered , namun merupakan
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  iii
 
 jenis introduksi dari Amerika Selatan, 3 jenis Vulnerable, yaitu Pinus, Pinus
merkusii, yang merupakan spesies asli dari Sumatera Utara, dan Filipina, kemudian
Ki leho, Saurauia bracteosa, dan Panggang badak,  Aralia javanica. Terdapat 1
spesies anggrek, yaitu Anggrek-kasut Jawa, Paphiopedilum javanicum, termasuk
dalam daftar CITES Appendix I dan 35 spesies termasuk dalam daftar Appendix II.
Spesies yang dilindungi oleh PP No. 7 Tahun 1999 adalah 2 (dua) jenis yaitu
Anggrek Kebutan, Ascocentrum miniatum, dan Anggrek Ki aksara, Macodes petola.
Dua spesies yaitu Pangang badak,  Aralia javanica, dan Anggrek Dendrobium kuhlii 
adalah Endemik Jawa dan satu spesies, Bulbophyllum semperflorens adalah Endemik
Jawa Barat. Dan satu spesies Ki leho, Saurauia bracteata adalah Endemik Jawa dan
Bali.
Kekayayaan spesies dari kelompok taksa mamalia yang dijumpai selama survey
adalah 25 spesies dari 15 famili dan 8 ordo. Sebanyak 11 spesies mamalia dilindungi
oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Dari status keterancamannya menurut IUCN
terdapat 1 spesies mamalia berstatus “critically endangered / kritis”, 3 spesies
mamalia berstatus “endangered /genting”, dan 2 spesies mamalia berstatus
“vulnerable/rentan” (VU). Spesies mamalia yang terdaftar dalam CITES terdiri dari
2 spesies mamalia berkategori Appendix I dan 9 spesies mamalia berkategori
Appendix II. Sebanyak 4 spesies mamalia merupakan spesies endemik jawa yang
dua diantaranya termasuk endemik Jawa Barat. Berdasarkan status perlindungan,
spesies mamalia yang memiliki tingkat keterancaman tertinggi adalah macan tutul
(Panthera pardus melas) dan owa jawa ( Hylobates moloch).
Kekayayaan spesies dari kelompok taksa burung yang dijumpai selama survey
adalah 212 spesies atau 37,8% dari jumlah species burung yang pernah tercatat di
seluruh kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 262 species. Terdapat 14
spesies endemik Pulau Jawa dari 19 spesies endemik Jawa yang tercatat di TNGGP
dan 1 sub-species endemik Pulau Jawa yakni  Apalharpactes reinwardtii. Dari
seluruh spesies burung yang dijumpai dalam survey ini meliputi 24 spesies
dilindungi oleh peraturan pemerintah melalui PP no 7 tahun 1999, dua species
 burung terancam punah berstatus Genting (Endangered) menurut IUCN, yaitu Elang
Jawa ( Nisaetus bartelsi) dan Luntur Jawa ( Apalharpactes reinwardtii) serta 6 species
masuk dalam daftar merah IUCN.
Catatan perjumpaan terbaru Elang Jawa di wilayah kerja TNGGP adalah Pasir
Tengah pada tanggal 8 September 2013. Sedangan catatan perjumpaan di Lembah S.
Cibeleng pada tanggal 9 September 2013, pernah tercatat oleh peneliti Elang Jawa
sebelumnya pada tahun 2006.
Kekayaan spesies dari kelompok taksa herpetofauna (reptil dan amfibi) yang
dijumpai selama survey adalah 22 spesies (6 spesies reptil dan 16 spesies amfibi).
Seluruh spesies dari kelompok herpetofauna tidak ada yang dilindungi menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Terdapat 5 spesies amfibi yang endemik Pulau Jawa yakni
 Apalharpactes reinwardtii. Dari seluruh speses herpeofauna yang dijumpai dalam
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  iv
 
survey ini, terdapat dua species amfibi terancam punah menurut IUCN yaitu Kodok
merah ( Leptophrine cruentata) dengan status Kritis (Crtitical Endangered ) dan
Kongkang jeram ( Huia masonii) dengan status Rentan (Vulnerable).
Catatan perjumpaan lokasi terbaru dari Kodok merah Jawa di wilayah kerja TNGGP
adalah Sungai Citirilik, pada tanggal 4 September 2013, dengan populasi yang
dijumpai sebanyak 22 individu.
 
Daftar Gambar xii
1. Pendahuluan 1 | 1 1.1. Latar Belakang 1 | 1
1.2. Maksud, Tujuan dan Keluaran 1 | 3 1.3. Tahapan dan Cakupan Kajian 1 | 4
1.4. Tim Pelaksana 1 | 5
1.5. Waktu dan Tempat 1 | 5 1.6. Sistematika Laporan 1 | 6
2. Kondisi Umum Lokasi Survey 2 | 1
3. Metodologi 3 | 1 3.1. Jenis Data 3 | 1
3.2. Metode Pengambilan Data 3 | 2
3.2.1. Metode Pengambilan Data Flora 3 | 2 3.2.2. Metode Pengambilan Data Mamalia 3 | 2
3.2.3. Metode Pengambilan Data Burung 3 | 3 3.2.4. Metode Pengambilan Data Herpetofauna 3 | 4
3.2.5. Metode Pengambilan Data Insekta 3 | 4
3.2.6. Metode Pengambilan Data Biota Akuatik 3 | 5 3.3. Analisis Data 3 | 6
3.3.1. Kelimpahan Jenis Relatif 3 | 6
3.3.2. Indeks Keanekaragaman Spesies 3 | 6 3.3.3. Indeks Kemeraatan Spesies 3 | 7
3.3.4. Analisis Vegetasi 3 | 7 3.3.5. Status Perlindungan 3 | 8
4. Hasil dan Pembahasan 4 | 1 4.1. Flora 4 | 1
4.1.1. Kekayaan Spesies 4 | 1
4.1.2. Indeks Nilai Penting 4 | 1 4.1.3. Indeks Keragaman Flora 4 | 16
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  ix
 
4.1.5. Diagram Profile 4 | 23 4.1.6. Status Konservasi 4 | 30
4.2. Mamalia 4 | 35 4.2.1. Kekayaan Spesies 4 | 35
4.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies 4 | 39
4.2.2.1. Keragaman Spesies 4 | 39 4.2.2.2. Kemerataan Spesies 4 | 40
4.2.4.Status Konservasi 4 | 41
4.2.5.Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting 4 | 44 4.3. Burung 4 | 50
4.3.1. Kekayaan Spesies 4 | 50 4.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies 4 | 52
4.3.3. Status Konservasi 4 | 53
4.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting 4 | 54 4.4. Herpetofauna 4 | 56
4.4.1. Kekayaan Spesies 4 | 56
4.4.2. Keragaman Hayati dan Kemerataan Spesies 4 | 58 4.4.3. Status Konservasi 4 | 59
4.4.4. Deskripsi Spesies Penting 4 | 59 4.5. Serangga 4 | 64
4.5.1. Kekayaan Spesies 4 | 64
4.5.2. Keragaman Hayati dan Kemerataan Spesies 4 | 66
5. Kesimpulan dan Rekomendasi 5 | 1 5.1. Kesimpulan 5 | 1
5.2. Rekomendasi 5 | 2
 
Tabel 1.1. Jadwal pelaksanaan kegiatan inventarisasi flora dan fauna di
kawasan TNGGP pada wilayah seksi Cianjur, Jawa Barat 1 | 5 Tabel 3.1. Nilai dan kategori keanekaragaman jenis Shanon-Wieners 3 | 6
Tabel 4.1. Indeks Nilai Penting Flora di Kawasan TNGGP (Culamega)  pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 4 | 2
Tabel 4.2. Spesies Flora paling dominan di Kawasan TNGGP (Culamega) pada
ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 3 Tabel 4.2. Spesies Flora paling dominan di Kawasan TNGGP (Culamega)
 pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 4 | 3
Tabel 4.3. Tabel INP Flora di Kawasan TNGGP (Galudra) pada ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 4 | 5
Tabel 4.4. Lima spesies flora paling dominan di Kawasan TNGGP (Galudra)  pada ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 4 | 8
Tabel 4.5. Tabel INP Flora di Kawasan TNGGP (Pasir Panon - Gegbrong)
 pada ketinggian 1287 – 1404 m dpl. 4 | 10 Tabel 4.6. Lima spesies flora paling dominan di Kawasan TNGGP (Pasir
Panon - Gegbrong) pada ketinggian 1287 – 1404 m dpl. 4 | 11 Tabel 4.7. Tabel INP Flora di Kawasan TNGGP (Pasir Salam -
Batu Tunggul) pada ketinggian 1305 m dpl. 4 | 12
Tabel 4.8. Lima spesies flora paling dominan di Kawasan TNGGP (Pasir Salam - Batu Tunggul) pada ketinggian 1305 m dpl. 4 | 14
Tabel 4.9. Tabel INP Flora di Kawasan TNGGP (S. Cibeleng) pada
ketinggian 1249 m dpl. 4 | 14 Tabel 4.10. Lima spesies flora paling dominan di Kawasan TNGGP
(S. Cibeleng) pada ketinggian 1249 m dpl. 4 | 16 Tabel 4.11. Tabel Keragaman (H’) Flora di Kawasan TNGGP (Culamega)
 pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 4 | 16
Tabel 4.12. Tabel Indeks Keragaman spesies (H’) Flora di Kawasan TNGGP (Galudra) pada ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 4 | 18
Tabel 4.13. Tabel Indeks Keragaman spesies (H’) Flora di Kawasan TNGGP
(Pasir Panon - Gegbrong) pada ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 4 | 19 Tabel 4.14. Tabel Indeks Keragaman spesies (H’) Flora di Kawasan TNGGP
(Pasir Salam - Batu Tunggul) pada ketinggian 1305m dpl. 4 | 20 Tabel 4.15. Tabel Indeks Keragaman spesies (H’) Flora di Kawasan
TNGGP (S. Cibeleng) pada ketinggian 1249 m dpl. 4 | 21
Tabel 4.16. Tabel Indeks Kemerataan spesies (E) Flora di Kawasan TNGGP  pada ketinggian 1249 – 2044 m dpl. 4 | 22
Tabel 4.17. Status Konservasi Flora di Kawasan TNGGP yang dilindungi
oleh undang-undang 4 | 30 Tabel 4.18. Sebaran spesies mamalia di kawasan TNGGP. 4 | 35
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  xi
 
Tabel 4.19. Status konservasi mamalia di kawasan TNGGP. 4 | 42 Tabel 4.20. Sebaran jumlah spesies mamalia berdasarkan status perlindungan
PP 7/99, IUCN (CR, EN, &VU) dan CITES (I&II) serta spesies endemik jawa. 4 | 43
Tabel 4.21. Perhitungan pendugaan populasi owa Jawa di bagian DAS
Citarum dan seluruh kawasan TNGGP. 4 | 46 Tabel 4.22. Pendugaan populasi surili di bagian DAS Citarum dan seluruh
kawasan TNGGP. 4 | 48
Tabel 4.23. Pendugaan populasi lutung Jawa di bagian DAS Citarum dan seluruh kawasan TNGGP. 4 | 49
Tabel 4.24. Ringkasan kekayaan spesies burung di kawasan TNGGP 4 | 51 Tabel 4.25. Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di TNGGP 4 | 51
Tabel 4.26. Analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung
dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener 4 | 52 Tabel 4.27. Daftar Spesies Burung dengan status keterancaman IUCN
dan perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990
atau PP No 7/1999. 4 | 54 Tabel 4.28. Sebaran spesies herpetofauna pada masing-masing jalur di
Kawasan TNGGP 4 | 56 Tabel 4.29. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies pada masing-
masing jalur pengamatan 4 | 58
Tabel 4.30. Status perlindungan spesies yang di Kawasan TNGGP 4 | 59 Tabel 4.31. Sebaran spesies dari Ordo Lepidoptera pada masing-masing
 jalur di Kawasan TNGGP 4 | 64 Tabel 4.32. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies pada masing-
masing jalur pengamatan 4 | 66
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  xii
 
Gambar 2.1. Peta kawasan TNGGP 2 | 4
Gambar 3.1. Inventarisasi mamalia dengan metode jalur. 3 | 2 Gambar 3.2. Inventarisasi mamalia dengan metode jalur. 3 | 3
Gambar 4.1. Grafik kekayaan spesies flora di TNGGP pada berbagai ketinggian 1249 – 2044 m dpl. 4 | 1
Gambar 4.2. Grafik Indek Nilai Penting (INP) Flora di Kawasan
TNGGP (Culamega) pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 4 | 3 Gambar 4.3. Grafik 5 spesies Flora paling dominan di Kawasan
TNGGP (Culamega) pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 4 | 4
Gambar 4.4. Grafik INP Flora di Kawasan TNGGP (Galudra) pada ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 4 | 6
Gambar 4.5. Peta zone iklim di dunia yang dibagi menjadi Tropical zone, Subtropic zone, Temperata zone dan Cold zone. 4 | 7
Gambar 4.6. Grafik Holdridge vegetation classification system. 4 | 8
Gambar 4.7. Grafik Spesies Flora paling dominan di TNGGP (Galudra)  pada Ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 4 | 9
Gambar 4.8. Grafik INP Flora di Kawasan TNGGP (Pasir Panon - Gegbrong)  pada ketinggian 1287 – 1404 m dpl. 4 | 11
Gambar 4.9. Grafik Spesies Flora paling dominan di TNGGP (Pasir
Panon - Gegbrong) pada Ketinggian 1287 - 1404 m dpl. 4 | 12 Gambar 4.10. Grafik INP Flora di Kawasan TNGGP (Pasir Salam – Batu
Tunggul) pada ketinggian 1305 m dpl. 4 | 13
Gambar 4.11. Grafik Spesies Flora paling dominan di TNGGP (Pasir Salam – Batu Tunggul) pada Ketinggian 1305 m dpl. 4 | 14
Gambar 4.12. Grafik INP Flora di Kawasan TNGGP (S. Cibeleng) pada ketinggian 1249 m dpl. 4 | 15
Gambar 4.13. Grafik Spesies Flora paling dominan di TNGGP (S. Cibeleng)
 pada Ketinggian 1249 m dpl. 4 | 16 Gambar 4.14. Grafik Indek Keragaman (H’) Flora di Kawasan TNGGP
(Culamega) pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 4 | 17
Gambar 4.15. Grafik Indeks Keragaman Spesies (H’) Flora di TNGGP (Galudra) pada Ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 4 | 19
Gambar 4.16. Grafik Indeks Keragaman Spesies (H’) Flora di TNGGP (Pasir Panon - Gegbrong) pada Ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 4 | 20
Gambar 4.17. Grafik Indeks Keragaman Spesies (H’) Flora di TNGGP (Pasir
Salam - Batu Tunggul) pada Ketinggian 1305 m dpl. 4 | 21 Gambar 4.18. Grafik Indeks Keragaman Spesies (H’) Flora di TNGGP
(S. Cibeleng) pada Ketinggian 1249 m dpl. 4 | 22
Gambar 4.19. Grafik Indeks Kemerataan Spesies (H’) Flora di TNGGP  pada Ketinggian 1249 – 2044 m dpl. 4 | 23
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  xiii
 
Gambar 4.20. Gambar Diagram Profile di Jalur Culamega, TNGGP pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 4 | 25
Gambar 4.21. Gambar Diagram Profile di Jalur Galudra, TNGGP pada ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 4 | 26
Gambar 4.22. Gambar Diagram Profile di Jalur Pasir Panon - Gegbrong,
TNGGP pada ketinggian 1287 – 1404 m dpl. 4 | 27 Gambar 4.23. Gambar Diagram Profile di Jalur Pasir Salam - Batununggul,
TNGGP pada ketinggian 1305 m dpl. 4 | 28
Gambar 4.24. Gambar Diagram Profile di Jalur S. Cibeleng, TNGGP  pada ketinggian 1249 m dpl. 4 | 29
Gambar 4.25. Anggrek kebutan, Ascocentrum miniatum 4 | 33 Gambar 4.26. Anggrek ki aksara, Macodes petola 4 | 33
Gambar 4.27. Ceribiru Jawa, Diplycosia pilosa 4 | 33
Gambar 4.28. Ki bima, Nageia wallichiana 4 | 34 Gambar 4.29. Ki putri, Nageia wallichiana 4 | 34
Gambar 4.30. Anggrek-kasut Jawa, paphiopedilum javanicum 4 | 34
Gambar 4.31. Grafik kekayaan spesies (jumlah spesies dan jumlah famili) di masing-masing jalur pengamatan di kawasan TNGGP. 4 | 37
Gambar 4.32. Peta sebaran camera trap untuk mamalia 4 | 38 Gambar 4.33. Grafik sebaran rentang waktu aktif mamalia berdasarkan
temuan camera trap (mode: video) 4 | 39
Gambar 4.34. Grafik indeks keragaman spesies pada jalur - jalur pengamatan di kawasan TNGGP. 4 | 40
Gambar 4.35. Grafik indeks kemerataan spesies pada jalur - jalur pengamatan di kawasan TNGGP. 4 | 41
Gambar 4.36. Macan tutul (Panthera pardus melas) yang tertangkap camera
trap di kawasan TNGGP. 4 | 45 Gambar 4.37. Peta Sebaran Spesies Mamalia Penting di Kawasan TNGGP. 4 | 50
Gambar 4.38. Grafik analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung
dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener 4 | 53 Gambar 4.39. Peta sebaran spesies penting di kawasan TNGGP 4 | 55
Gambar 4.40. Komposisi family pada kelas amfibi 4 | 57 Gambar 4.41. Komposisi family pada kelas reptilia 4 | 58
Gambar 4.42. Peta sebaran spesies penting di TNGGP 4 | 64
Gambar 4.43. Komposisi family pada Ordo Lepidoptera 4 | 65 Gambar 4.44. Perbandingan indeks keragaman hayati dan kemerataan
spesies masing-masing lokasi 4 | 67
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  xiv
 
Daftar Lampiran
Lampiran 1. Kekayaan Spesies Flora di kawasan TNGGP L | 2 Lampiran 2. Sebaran Spesies dan Status Perlindungan Mamalia di
Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. L | 20 Lampiran 3. Data rekapitulasi temuan mamalia di kawasan Taman
 Nasional Gunung Gede Pangarango (DAS Citarum). L | 21
Lampiran 4. Data rekapiltulasi perhitungan pendugaan populasi spesies  penting di kawasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (DAS Citarum). L | 30
Lampiran 5. Daftar Spesies Burung yang DIjumpai di kawasan TNGGP  pada seksi wilayah Cianjur L | 32
Lampiran 6. Beberapa dokumentasi spesies reptil yang dijumpai di lokasi pengamatan L | 37
Lampiran 7. Beberapa dokumentasi spesies amfibia yang dijumpai di
lokasi pengamatan L | 40
 
CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora (Konvensi perdagangan internasional flora dan fauna liar):
Appendix I: Daftar spesies hidupan liar yang tidak boleh diperdagangkan secara komersial.
Appendix II: Daftar spesies hidupan liar yang dapat diperdagangkan secara internasional dengan pembatasan kuota tertentu yang didasarkan atas data yang akurat mengenai populasi dan kecenderungannya di alam
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa).
DAS Daerah Aliran Sungai: merupakan suatu unit hidrologi yang dibatasi oleh batas topografi dengan puncak tertinggi dari suatu wilayah aliran sungai, di mana air hujan yang jatuh di wilayah tersebut mengalir ke sungai-sungai kecil menuju sungai besar, hingga ke sungai utama yang kemudian mengalir ke danau atau laut. Tergantung dari topografi wilayahnya, sebuah DAS dapat dibagi ke dalam beberapa puluh atau ratus sub-DAS dan sub-sub- DAS dsb.
Ekosistem adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati (flora dan fauna serta jasad renik) maupun non hayati (tanah dan bebatuan, air, udara, iklim) yang saling tergantung dan pengaruh mempengraruhi dalam suatu persekutuan hidup.
Ekosistem alam adalah ekosistem yang keadaan unsur-unsur biotik dan fisiknya relatif masih utuh dan asli, serta interaksinya masih mampu memberikan fungsi ekologis secara alamiah.
Erosi Gejala pengikisan atas tanah yang terjadi akibat sesuatu kekuatan/aksi yang menyebabkan terangkat/terkikis lapisan
 permukaan tanah. Erosi tanah biasanya terjadi pada daerah dengan kemiringan tanah lebih dari 2%.
Habitat adalah lingkungan tempat hidup dan berkembang biak secara alami tumbuhan dan/atau satwa.
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  xvi
 
Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa haparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang disominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 tahun 1999).
Hutan Lindung (HL): kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai  perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan Primer adalah hutan yang sama sekali belum pernah dijamah manusia atau  belum ada pemanfaatan sebelumnya. Dalam laporan ini, istilah Hutan Primer mengacu pada konteks lokal dan konteks
 pengusahaan hutan. Dalam konteks lokal, yang disebut hutan  primer adalah kawasan hutan yang belum dibuka untuk  perladangan/kebun. Dalam konteks pengusahaan hutan, hutan  primer adalah hutan yang belum terkena penebangan legal  perusahaan kayu.
Hutan Produksi (HP): kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan produksi terdiri dari hutan produksi tetap (HP), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Hutan Produksi Terbatas (HPT): Hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan intensitas rendah. Hutan produksi terbatas ini umumnya
 berada di wilayah pegunungan di mana lereng-lereng yang curam mempersulit kegiatan pembalakan.
Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK): Hutan yang dapat ditebang sehingga lahannya dapat dipakai untuk tujuan lain, biasanya untuk hutan tanaman tetapi bisa juga untuk keperluan pembangunan proyek transmigrasi, perkebunan, atau pertambangan.
 Indigenous People adalah kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan (World Bank).
IUCN  International Union for Conservation of Nature and Natural
 Resources,  kini disebut World Conservation Union  (Badan Konservasi Dunia).
Jasa lingkungan atau jasa ekosistem adalah hasil atau implikasi dari dinamika  bentang alam berupa jasa (yang memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia) yang dapat dikategorikan sebagai keindahan dan fenomena bentang alam, keanekaragaman hayati dan ekosistem, fungsi hidrologi, penyerapan dan penyimpanan karbon, dan berbagai jasa lainnya.
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  xvii
 
Kawasan adalah wilayah tertentu yang berupa hutan, yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU No. 41 tahun 1999).
Kawasan Konservasi adalah istilah untuk penamaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang
 juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. KPA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kecamatan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kabupaten atau kota dengan kedudukan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh camat (PP. 19 tahun 2008).
Lansekap atau bentang alam adalah bagian permukaan bumi yang merupakan kumpulan dari berbagai habitat/ekosistem yang diperlukan bagi kelangsungan dan keberadaan sistem penyangga kehidupan serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Masyarakat lokal adalah kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta mengandalkan hasil hutan demi kelangsungan hidupnya (Sistem Sertifikasi Kehutanan Indonesia). Dalam kajian ini, pengertian masyarakat lokal merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan HGU dan berpotensi memiliki ketergantungan terhadap HGU.
Mata  Salah satu sumber air yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai spring yang menunjukkan mata air yang kontinyuitas debitnya tidak dipengaruhi musim/tidak pernah kering. Jenis sumber air lain yang sering disalah artikan sebagai mata air adalah rembesan (seepage) yang kontinyuitas debitnya dipengaruhi oleh musim hujan dan kemarau.
Penduduk Penduduk asli, adalah warga setempat yang asal-muasalnya dapat dijejak sebagai warga asli yang pertama mendiami suatu tempat, dengan melewati kurun waktu yang lama atau secara turun- temurun, biasanya merupakan suku asli setempat.
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  xviii
 
  Penduduk pendatang, adalah warga penduduk yang berasal dari luar daerah setempat, temasuk dalam hal ini adalah seluruh staf dan karyawan kebun.
Penduduk lokal, adalah warga asli dan pendatang yang menetap dan menjadi penduduk dsuatu wilayah administrasi (RT, RW, desa).
Populasi (dalam biologi) adalah seluruh anggota spesies tunggal yang terdapat atau menempati suatu daerah tertentu pada waktu tertentu.
Provinsi adalah nama sebuah pembagian wilayah administratif di bawah wilayah nasional.
Rencana pengelolaan adalah rencana pengelolaan yang memuat tujuan pengelolaan, strategi dan tahapan-tahapan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Satwa adalah semua jenis sumberdaya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air dan/atau di udara. Satwa liar adalah satwa yang masih mempunyai sifat liar, kemurnian jenis dan genetik baik, yang hidup di alam bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
Sempadan sungai Area yang terletak di kanan kiri sungai yang terdiri atas  bantaran banjir, bantaran longsor, bantaran ekologi dan bantaran keamanan.
Spesies adalah suatu takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk suatu kelompok organisme yang dapat melakukan perkawinan antar sesamanya untuk menghasilkan keturunan yang  fertile  (subur).
Sungai Sistem pengairan air mulai darai mata air sampai muara dengan dibatasi pada kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan.
Tumbuhan adalah semua jenis sumberdaya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang masih mempunyai sifat-sifat liar dan kemurnian jenis dan genetik baik yang hidup di alam bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
Laporan Kajian Flora dan Fauna di TNGGP (01.2014)  xix
 
keanekaragaman hayati (biodiversitas) khususnya flora dan fauna dalam komponen
Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation  (CWMBC) pada
 prorgam investasi pengelolaan DAS Citarum secara terpadu ( Integrated Citarum
Water Resources Management Investment Program  – ICWRMIP). Laporan ini
disusun berdasarkan hasil seluruh proses pelaksanaan survey inventarisasi flora dan
fauna yang dilaksanakan pada bulan September 2013 pada kawasan konservasi
yang termasuk DAS Citarum, dan salah satunya di wilayah kerja Balai Besar
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP). Dalam laporan ini
disajikan keberadaan spesies flora dan fauna di lokasi kajian serta memuat
rekomendasi-rekomendasi yang perlu dilakukan pengelola kawasan konservasi
 pada tingkat manajemen BBTNGGP dalam konteks konservasi flora dan fauna.
Di sisi lain kajian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu informasi
 penting untuk rangkaian kegiatan pendidikan dan dapat memperkenalkan kekayaan
flora fan fauna khususnya dari kelompok taksa tumbuhan, mamalia, burung,
herpetofauna (amfibi dan reptil), insekta dan biota akuatik kepada masyarakat luas
agar tercipta kesadaran untuk tetap mempertahankan keberadaan tumbuhan dan
satwa tersebut dalam hutan alam di kawasan yang berada di jantung Jawa Barat ini.
Tim penyusun merasa perlu untuk menyampaikan terima kasih Pimpinan Tim
Proyek, Koordinator Tim dan Project Managemet Support   dari konsorsium
 pelaksana ICRWMIP_CWMBC yang telah mempercayakan dan memfasilitasi
seluruh pelaksanaan kegiatan, survey. Kami sampaikan juga terima kasih kepada
 pimpinan BBTNGGP beserta staf teknis di tingkat balai, seksi wilayah dan resort;
serta pemandu lapangan yang mendukung secara administrasi dan terlibat dalam
 pelaksanaan teknis survey di lapangan. Tak lupa juga rasa terima kasih kepada rekan-
rekan asisten tenaga ahli yang menjadi kolega dan mitra kami bekerja bersama di
lapangan dan semua pihak yang terlibat dalam survey atas dukungan dan kerjasamanya
sehingga kegiatan lapangan dan penyusunan laporan ini dapat dilaksanakan dengan baik.  
Semoga laporan ini bermanfaat.
 
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS yang berada di wilayah
Provinsi Jawa Barat dengan sekitar 13,000 km2. Tak kurang sekitar 9 juta penduduk
menempati DAS Citarum, dengan tingkat kemiskinan di atas 25% pada tahun 2000
 pada 8 dari 11 kabupaten yang berada di DAS Citarum. Sepanjang DAS Citarum
terdapat terdapat banyak pusat-pusat industri, termasuk di dalamnya Kota Bandung.
DAS Citarum juga memasok sekitar 80% air baku ke Jakarta yang ditunjang tiga
 bendungan besar yang penting untuk penyediaan listrik, irigasi dan air baku.
Pada sisi lain, kondisi DAS Citarum telah mengalami perubahan yang drastis
terutama perubahan tataguna lahan yang tidak terencana, menyisakan sedikit
ekosistem hutan hujan alam di Jawa dan terpencar di kawasan hulu, serta terhimpit
gerak pembangunan. Kondisi kawasan hutan dataran rendah menerima dampak
negatif dari kegiatan manusia, termasuk pemanenan hasil hutan non-kayu dan pohon
untuk bahan bangunan dan kayu bakar, kerusakan kualitas air dan tanah karena
 polusi domestik, industri dan pertanian pada DAS Citarum. Kondisi ini dikareakana
 belum ada mekanisme yang tepat yang secara efektif dilaksanakan untuk mengatur
tataguna lahan untuk memantau kegiatan pembangunan di dalam DAS Citarum.
Dari hasil gap analisis ditemukan bahwa Unit Pelaksana Teknis Balai Besar Taman
 Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) diperoleh gambaran bahwa pada
 bagian hulu Daerah Tangkapan Air Sungai Citarum terdapat bagian area kawasan
konservasi TNGGP di wilayah Cianjur yang memiliki peran sangat penting dalam
menunjang keberlangsungan suplai air Sungai Citarum. Namun demikian, area
tersebut masih memerlukan pengelolaan yang lebih optimal supaya peran dan fungsi
kawasan sebagai penunjang kehidupan dapat berjalan dengan baik.
Kawasan konservasi yang dalam PP No. 28 Tahun 2011 dikelompokkan sebagai
kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam. Kawasan konservasi dinilai
memiliki peranan yang strategis sebagai benteng terakhir bagi kelestarian hidupan
liar baik flora dan fauna. Karenanya, Pemerintah Indonesia merasa berkepentingan
untuk mempertahankan keberadaan dan kelestarian flora dan fauna dengan
menetapkan kawasan konservasi. Di sisi lain, keberadaan kawasan konservasi
mengemban fungsi perlindungan penyangga kehidupan, serta pemanfaatan sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari.
Jumlah dan persebaran spesies satwa liar dapat menjadi ukuran kealamian hidupan
 
terjadi sepanjang waktu (Wiratno et al. 2001), Hidupan tumbuhan dan satwa liar)
telah digunakan sebagai indikator suatu ekosistem dari waktu ke waktu, dikarenakan
kelompok satwa ini menempati possisi penting dalam ekosistem, baik sebagai
 pemangsa maupun mangsa (Howell, 2002). Pengetahuan mengenai keragaman hayati
dan organisasi komunitas tumbuhan dan satwa liar merupakan unsur yang penting
dalam pengembangan kebijakan konservasi dan sistem pengelolaan yang
 berkelanjutan. Dalam pengidentifikasian kawasan konservasi sebagai sumber
konservasi yang terbatas dan ancaman yang perlu diantisipasi, dibutuhkan
 pengetahuan yang komplit dan sistematika, distribusi taksa dan asosiasi habitatnya
(Gillespie et al. 2005). Informasi yang diperoleh akan sangat berharga dalam
 pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Hal ini senada dengan yang
diuangkapkan DAS (1997) bahwa kelengkapan informasi merupakan faktor penting
dalam menyusun rencana konservasi dan strategi pengelolaan keanekaragaman
hayati yang ada di kawasan konservasi. Selanjutnya, dokumentasi keanekaragaman
hayati daerah ini akan memungkinkan pemahaman yang lebih baik masyarakat
umum dan dampak proses gangguan. Selama ini data dan informasi mengenai
tumbuhan dan satwa pada beberapa kelompok taksa di kawasan tersebut belum
 pernah dilakukan survey, terutama untuk herpetofauna (Helen Kurniati pers. comm)
Di Jawa dan Bali tercatat sekitar 6.000 – 7.000 spesies dari kelompok tumbuhan
tingkat tinggi (Backer & Backhuizen, 1963-1968), 211 spesies dari kelompok
mamalia (Don & DeeAnn 2005). 550 spesies kelompok burung dengan 34 spesies di
antaranya endemik Pulau Jawa dan Bali dan 26 spesies yang terancam kepunahan
(MacKinnon & Balen. 2000, Wisnu dkk, 2006, Dennis 2013), 142 spesies reptil dan
42 spesies amfibi dengan 8 spesies amfibi endemik (Whitten, dkk., 1996, Iskandar
1998). Ribuan spesies dari kelompok insekta dan 132 spesies ikan air tawar (Kottelat
et al 1993, Whitten et al, 1996).
Kawasan hutan hujan tropis pegunungan di Jawa Barat dimasukkan ke dalam daftar
WWF Global 200 Ecoregion  (Olson, 2000). Status konservasi hutan hujan tropis
 pegunungan Jawa Barat dikategorikan kritis atau terancam. Luasnya kini masih
tersisa 20% yang tersebar di seluruh gunung yang ada diantaranya terdapar pada 25
kawasan konservasi yang mencakup 3.410 km 2  atau sekitar 13% dari luas ecoregion
ini (Morrison. 2001).
Kajian hutan pegunungan tropis sangat penting, khususnya di timur jauh karena
region ini sangat bergunung-gunung dibadningkan region hutan hujan tropis lain di
Afrika dan Amazon (Whitmore, 1975). Berdasarkan standar, hutan pegunungan di
Indonesia sangat beragam. Kompisisi floristiknya tidak hanya beragam berdasakran
ketinggiannya, namun berbeda pula antar region dengan region lainnya (Smith dalam
Whitten & Whitten, 1996). Menurut Aldrich (1997), formasi hutan hujan tropis
 pegunungan merupakan habitat bagi sejumlah besar spesies endemik dan
kemungkinan masih banyak yang belum diketahui secara ilmiah.
 
Pada kelompok satwa liar, keberadaannya di dalam sebuah kawasan berfungsi
sebagai penyeimbang ekosistem dan penanda indikator perubahannya, dengan
 peranannya di alam antara lain, pengendali hama (spesies-spesies pemakan tikus dan
 juga serangga) dan tentunya sebagai sumber plasma nutfah. Pada beberapa satwa liar
dapat menarik perhatian (atraktif), sehingga memiliki potensi untuk dijadikan
sebagai ikon penyadartahuan (awareness).
Pada beberapa kawasan konservasi tercatat beberapa spesies endemik dan terancam
kepunahan dengan status kritis (Critically Endangered ) yaitu.Macan tutul (Panthera
 pardus melas), Babi kutil (Sus verrucosus), Kukang jawa ( Nycticebus javanicus),
Jalak putih (Sturnus melanopterus melanopterus), Ekek geleng (Cissa thalasina),
Poksai kuda (Garrulax rufifrons), dan Kodok merah ( Leptophryne cruentata) (IUCN
redlist, 2013).
Dari hasil FGD dengan pihak BBTNGGP diperoleh beberapa hal penting terkait
dengan pengelolaan kawasan konservasi berbasis yang berbasis pengelolan satwa
liar, sebagai berikut:
yang ada sangat terbatas yang dikarenakan sangat jarang dilakukan kegiatan
inventarisasi flora dan fauna di wilayah kerja seksi Cianjur. Walaupun data ada
masih berupa data lama yang belum diperbaharui. Di sisi lain, ada beberapa
kegiatan kajian flora dan fauna herpetofauna yang dilakukan oleh pihak lain, baik
oleh pihak universitas maupun LSM kebanyakan dilakukan pada wilayah kerja
seksi lainnya. Pihak pengelola kawasan konservasi memandang bahwa masih
 perlu ada data dasar flora dan fauna yang terbarukan dan juga dapat dengan tepat
menunjang pengelolaan kawasan secara menyeluruh.
2.  
Dalam pengelolaan kawasan konservasi, ada hal-hal mendasar yang menjadi
kendala, yaitu ketersediaan data dasar yang dirasa masih terbatas di wilayah kerja
Seksi Cianjur, sumber daya manusia yang belum ditingkatkan, dan belum
tersedianya perangkat atau sistem monitoring yang “user friendly”.
3.  Pengelola kawasan konservasi (BBTNGGP Jawa Barat) telah menetapkan
 beberapa spesies prioritas yang terancam kepunahan yang dijadikan sebagai high
 profile species dan dapat dilakukan monitoring.
1.2.  
Maksud pelaksanaan kegiatan inventrarisasi flora dan fauna pada kawasan
konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di wilayah kerja Seksi Cianjur
adalah terbaharukannya data dasar spesies dari kelompok taksa tumbuhan, mamalia,
 burung, herpetofauna (amfibi dan reptil), insekta dan biota akuatik yang akurat dan
 berdaya guna untuk upaya pengelolaan kawasan konservasi.
 
1.  Menginventarisasi dan mengidentifikasi spesies dan kekayaan spesies dari
kelompok taksa tumbuhan, mamalia, burung, herpetofauna (amfibi dan reptil),
insekta dan biota akuatik di TNGGP pada wilayah seksi Cianjur yang berada di
DAS Citarum;
2.  Melakukan kajian khusus pada beberapa spesies sebaran terbatas dan terancam
kepunahan (diusahakan hingga tingkat populasi) di setiap kawasan konservasi.
Keluaran dari pelaksanaan kegiatan ini, diantaranya:
1.  Daftar spesies flora dan fauna di kawasan TNGGP pada seksi wilayah kerja
Cianjur beserta penjelasannya.
Untuk setiap spesies yang perlu perhatian, endemic dan terancam kepunahan
dibuat statusnya di setiap kawasan konservasi, dugaan populasinya dan sedapat
mungkin dipetakan sebarannya (bekerjasama dengan Tim GIS).
1.3.  
Kajian inventarisasi flora dan fauna didefinisikan sebagai proses mengidentifikasi
spesies pada tujuh kawasan konservasi yang ada di areal DAS Citarum di TNGGP
 pada seksi wilayah kerja Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Tahapan pelaksanaan
inventarisasi terdiri atas empat tahap, yaitu (i) persiapan, (ii) perancangan, (iii)
identifikasi target area survey, (iv) pelaporan. Proses pelaksanaan kegiatan
dilakukan menyeluruh, mencakup seluruh tahapan, dengan produk akhir berupa
laporan hasil survey yang mencakup hingga kekayaan spesies, sebaran spesies,
keragaman spesies, kelimpahan spesies, sttaus perlindungan spesies dan kajian
spesies yang perlu perhatian dan terancam kepunahan.
Laporan inventarisasi ini memuat hasil identifikasi spesies pada kelompok
tumbuhan (mencakup Magnoliophyta, Orchidaceae, Nepenthaceae,, tanaman obat,
 pteridophyta dan fungi), Mamalia (mencakup mamalia besar dan kecil), burung,
herpetofauna (mencakup amfibi dan reptil), dan insekta (mencakup ordo
Lepidoptera, Odonata dan Coleoptera). Cakupan data dan informasi mengenai
keberadaan spesies, peta sebaran spesies, konteks lansekap, status terkini dari
 beberapa spesies yang perlu perhatian dan terancam kepunahan, tekanan atau
ancaman kelestariannya, dan rekomendasi untuk perlindungan, pengelolaan, dan
 pemantauannya. Laporan ini tidak mencakup pengelolaan dan pemantauan spesies.
Kegiatan pertemuan pembuka dan pemetaan partisipatif (opening meeting &
 partisipative mapping). Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 2 September 2013
yang melibatkan secara aktif staf, pengendali ekosistem hutan (PEH) dan petugas
 polisi kehutanan (polhut) dari TNGGP yang memiliki pengetahuan lapangan.
 
 pengetahuan dan pengalaman staf teknis polhut.
Kegiatan urvey lapangan ( field survey). Kegiatan ini dilaksanakan sejak tanggal 2 –
12 September 2013. Tim survey didampingi staf teknis PEH dan polhut, masyarakat
mitra polhut (MMP) serta pemandu lokal dari masyarakat. Kegiatan ini bertujuan
untuk mendata spesies dari 6 kelompok taksa.
1.4.  
Tim Pelaksana
Inventarisasi flora dan fauna di TNGGP pad seksi wilayah Cianjur, dilaksanakan
oleh sebuah tim terdiri atas enam tenaga ahli, yaitu Edi Suwandi (taksa biota
akuatik), Indra Arinal (taksa mamalia, Iwan Setiawan (taksa herpetofauna), Pupung
Firman Nurwatha (taksa burung), Ade Rahmat (taksa Insekta), Wishal Miggy
Dasanova (taksa tumbuhan).
Pada pelaksanaan survey ini juga melibatkan beberapa asisten tenaga ahli dan
surveyor yaitu: Candra Arifin, M.Rauful Mizan, Sugeng Lisaheni, Suroso, Deri
Achmad Fauzi (tim vegetasi tumbuhan), Agung Kusumanto, Subhan Hilmi, Rachel
Archie Carissa, Ryan Avriandy, Dadieh Kurniadi (tim mamalia)), Abdul Rahman
Hafif, Hendra Nugraha, Ellvyra Aprillia Fitri (tim burung), Pramitama Bayu Saputro,
Catur Sotoradu Radja (tim Herpetofauna), Wieke Afrilia, Nugraha Putra Maulana,
Adlan Fadlan Bakti (tim insekta), Moch Pratama Rhamadan, Deni Alam, Surya
 Nianto (tim biota akuatik),
Kegiatan inventarisasi Inventarisasi flora dan fauna pada Seksi Wilayah II, Cianjur,
TNGGP, Jawa Barat dilaksanakan pada bulan September 2013, dengan rincian
sebagai berikut:
Tabel 1.1.  Jadwal pelaksanaan kegiatan inventarisasi flora dan fauna di kawasan TNGGP
pada wilayah seksi Cianjur, Jawa Barat
Kegiatan Waktu Tempat
3 September 2013 Kantor Seksi Cianjur
Survey Lapangan 4 – 12 September 2013 Resoert Tegallega, Resort Mandalawangi dan Resort Sarongge
 
Sistematika Laporan
Laporan ini terdiri atas lima bagian, yaitu: (1) Pendahuluan, (2) Kondisi Umum
Lokasi Survey, (3) Metodologi, (4) Hasil dan Pembahasan, (5) Kesimpulan dan
Rekomendasi.
Pada tahap ini, laporan ditargetkan pada identifikasi dan kekayaan spesies, status
 perlindungan (menurut peraturan perundangan, ICUN, dan CITES) serta deksripsi
 beberapa spesies yang perlu perhatian dan terancam kepunahan.
 
2.  Kondisi Umum Lokasi Survey
Sejarah awal konservasi Gunung Gede dan Gunung Pangrango ini hanya sedikit
diketahui, walaupun hutan dan gunung merupakan bagian dari legenda-legenda di
tanah Sunda. Tampaknya ada jalur sejarah dari kota tua Cianjur sampai Bogor
( Buitenzorg) melalui Cipanas.
Keberadaan perkebunan teh pada saat itu sangat mempengaruhi kawasan ini.
Varietas teh Jepang telah di tanam sejak tahun 1728, dan pada tahun 1835
 perkebunan teh terbentang dari Ciawi sampai Cikopo yang dikelola oleh
Particulieren Land Cikopo-Zuid , kemudian pada tahun 1878 oleh  Assam
Theeonderneming  tumbuh dengan sukses dan perekonomian dan lingkungan
 berubah.
Pesona alam kawasan Gunung Gede-Pangrango telah lama diminati oleh para
 peneliti untuk mengeksplorasi potensi alam, terutama flora dan fauna. Peneliti
dimulai sejak tahun 1830 dengan terbentuknya kebun raya kecil di dekat Istana\
Gubernur Jenderal Kolonial Belanda di Cipanas, dan kemudian kebun raya kecil ini
diperluas sehingga menjadi Kebun Raya Cibodas sekarang ini.
Pemerintahan Kolonial Belanda sangat antusias untuk meningkatkan tanaman-
tanaman penting dan bernilai ekonomis serta perkebunan komersial, sehingga
dibangun suatu stasiun penelitian dan percobaan pertanian di dataran tinggi ini.
Tidak lama setelah itu, para botanis lokal mulai tertarik untuk meneliti
keanekaragaman tumbuhan di sekitar pegunungan ini. Abad 19 merupakan masa-
masa terbesar dan penting dalam sejarah koleksi tumbuhan, dan Cibodas menjadi
salah satu lokal koleksi tumbuhan saat itu.
Pada bulan April 1852, Johannes Elias Teysmam ditunjuk oleh Pemerintah Hindia
Belanda sebagai Direktur Budi Daya Kina yang pertama, adalah seorang Hortulanus
(kurator tanaman) dari Kebun Raya Bogor untuk mengelola tiga kebunkebun kecil
yang terletak di lereng Gunung Gede. Bermacam-macam tumbuhan yang tidak dapat
tumbuh di Kebun Raya Bogor dipindahkan ke Cipanas dan Cibodas dan sebuah
demplot kecil disiapkan untuk penelitian tumbuh-tumbuhan Sub tropis diantaranya
tanaman kina yang dibawa Justus Karl Hasskral yang tiba di Batavia bersama bibit-
 bibit kina pada 13 Desember 1854. Hasskral adalah penerjemah karya-karya
Junghuhn dalam bahasa Jerman dan teman dalam kepegawaian pemerintahan
kolonial yang pernah jadi ahli botani di Kebun Raya Negara di Bogor ( Buitenzorg)
sejak 1837 sampai 1843.
Pada tahun 1856 percobaan tanaman kina di pindahkan oleh Franz Wilhem Junghuhn
ke tempat yang dipilih di Pangalengan-Bandung berada pada ketinggian 1500 sampai
1600 meter di atas permukaan laut. Menurut Junghuhn (1956), kina memerlukan
daerah pegunungan yang paling mirip dalam hal iklim dan vegetasi dengan daerah
alaminya yang asli sehingga tanaman yang dibawa dari Amerika Selatan itu merasa
 
 berada di rumahnya sendiri. Ia menunjuk daerah Pegunungan Malabar di
Pangalengan sebagai tempat yang cocok bagi yang dianggap benar-benar memiliki
kemiripan dengan daerah asal kina. Junghuhn melihat Cipanas, Cibodas, Cibeureum
dan Kandang Badak yang masing-masing memiliki ketinggian 1.100-1.370-1.600
dan 2.500 meter dpl bukanlah rumah yang cocok bagi kina. Secara khusus, Junghuhn
menelaahnya dari segi ilmu tanah (edafologi) tentang kondisi tanah kebun utama
 pembudidayaan kina di Cibodas yang kurang menguntungkan, dari sudut
klimatologi. Cibodas terlalu berangin dan banyak hujan dan perkebunan kina di
Cibodas mendorong penggundulan hutan yang terus menerus di kawasan Gunung
Gede yang merusak nilai utama hutan sebagai pemelihara keseimbangan hidrologi.
Awalnya, kawasan ini ditetapkan sebagai hutan pencadangan untuk penelitian botani
di bawah pengawasan Direktur Kebun Raya Negara ( Lands Plantentuin) Bogor,
terletak di antara 1.400 - 2.400 di atas permukaan laut di Keresidenan Priangan,
Kabupaten Cianjur: “Taman Bukit Atas Ciboadas”.
Peraturan yang mengatur perlindungan terhadap bagian hutan ini, diberlakukan oleh
Melchior Treub mulai tanggal 2 Agustus 1888, No. 229 Sebagai Sejarah Taman
 Nasional 139 Direktur Bidang Pendidikan, Peribadatan dan Perdagangan (Urusan
Kementrian Kemakmuran) melalui Keputusan Pemerintah (Gouverment Besluit )
tertanggal 17 Mei 1889 No. 50 yang menyatakan : Penelitian telah menunjukkan
 bahwa flora dataran tinggi Jawa yang berada di Kebun Raya perlu dilindungi dan
 berada di bawah pengawasan Direktur Taman Bukit Atas Cibodas setempat terutama
yang dibawah area kelerengan Timur Laut dari area Gn. Gede berukuran 398 x 174
Rijn, ditandatangani di Sukabumi tanggal 20 Februari 1889.
Tahun 1919, hutan rimba/hutan kayu liar (wildhoutbosch) di sekitar Gunung
Pangrango seluas 56 ha yang terletak di Desa Caringin, Kecamatan Cibadak
Kabupaten Sukabumi ditunjuk sebagai Monumen Alam (Natuurmonument)
Cimungkat. Penetapan ini berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda tanggal 11 Juli 1919, No.83, Lembaran Negara 1919 No. 392 ( Besluit
van\den Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indië van 11 Juli 1919, No. 83
Staatsblad 1919, No. 392).
Selanjutnya pada tahun 1925, diterbitkan pula Surat Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda tanggal 5 Januari 1925, No.7, Lembaran Negara 1925, No.15
( Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië van 5 Januari 1925,
 No. 7, Staatsblad 1925, No. 15), bahwa daerah Cibodas, Gunung Gemuruh, Gunung
Gede dan Gunung Pangrango seluas 1.040 ha ditunjuk sebagai Monumen Alam
Cibodas (Gunung Gede).
Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5
(lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu; TN.Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon,
TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo. Selanjutnya pada Tanggal 10
Juni 2003 kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango bertambah luasnya
hingga meliputi 21.975 ha akibat alih fungsi kawasan di sekitarnya yang sebelumnya
 
II/2003.
Kawasan TNGGP merupakan perwakilan hutan hujan pegunungan di Pulau Jawa
yang memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna yang sangat tinggi beserta
keunikan ekosistemnya. Tingginya nilai keanekaragaman hayati di kawasan Gunung
Gede dan Gunung Pangrango tersebut mendorong UNESCO untuk menetapkan
kawasan ini sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1977, jauh sebelum kawasan ini
ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional.
Kawasan TNGGP menempati areal seluas 21.975 hektar pada posisi 106°50’ -
107°02’ BT dan 06°41’ - 06°51’ LS, terletak dalam 3 wilayah kabupaten yaitu
Bogor, Cianjur dan Sukabumi dan terbagi menjadi 22 resort dengan 6 resort utama
(Resort Mandalawangi (Cibodas), Gunung Putri, Cisarua, Bodogol, Selabintana dan
Situgunung sebagai pintu masuk. TNGGP bisa dengan mudah diakses dari Jakarta
dan Bandung. Terdapat 3 pintu masuk utama yaitu Mandalawangi, Gunung Putri dan
Selabintana untuk memasuki kawasan ini. Pintu masuk lainnya, yaitu Situgunung
dan Cisarua lebih banyak difungsikan sebagai kawasan wisata alam, sedangkan
Bodogol lebih banyak difungsikan sebagai Pusat Pendidikan Konservasi dan
Pengamatan Hidupan Liar.
Kawasan TNGGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil
merupakan rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum, yaitu Rawa Gayonggong.
Topografinya bervariasi mulai dari landai hingga bergunung dengan kisaran
ketinggian antara 600 - 3.019 m dpl dengan titik tertinggi puncak Gunung
Pangrango, di kawasan ini banyak terdapat jurang dengan kedalaman hingga 70m.
Temperatur udara berada di antara 5 – 280C dengan curah hujan rata-rata sebesar
3.600 mm/tahun. TNGGP mempunyai ekosistem yang khas yang terdiri dari
ekosistem sub-montana, montana, sub-alpin, danau, rawa, dan savana.
Tidak kurang dari 1.500 spesies tumbuhan berbunga, 400 spesies paku-pakuan dan
lebih dari 120 spesies lumut dapat dijumpai di TNGGP. Dari keseluruhan jenis
tumbuhan yang ada, 300 spesies diantaranya dapat digunakan sebagai bahan obat,
serta 10 spesies berstatus dilindungi. Edelweis ( Anaphalis javanica) merupakan
tumbuhan khas vegetasi sub alpin yang hanya tumbuh pada ketinggian di atas 2.000
m dpl menjadi simbol pengelola kawasan TNGGP. Tumbuhan yang disebut sebagai
 bunga abadi ini, terdapat sepanjang waktu. Bunga ini hanya dapat ditemui di puncak
Gunung Pangrango (Alun-alun Mandalawangi) serta di puncak dan lereng Gunung
Gede (Alun-alun Suryakencana).
Dari kelompok satwa liar di kawasan TNGGP, pernah tercatat dalam sejarahnya
 bahwa Junghuhn melaporkan banyaknya populasi badak Jawa, harimau Jawa,
 banteng dan rusa di kawasan TNGGP.
Pada saat ini, dijumpai sekitar 50 spesies mamalia (9 ordo dan 19 Family), sekitar
lebih kurang 262 spesies burung (48 family), sekitar 30 spesies reptil (7 family yang
terdiri dari 19 jenis ular dan 11 jenis kadal), dan sekitar 7 spesies ikan (6 family),
 
endemik, dilindungi dan langka, seperti: 3 spesies burung, yaitu Elang jawa
(Spizaetus bartelsi), Celepuk gunung (Otus angelinae) dan Cerecet (Psaltria exilis); 2
spesies primata, yaitu Owa jawa ( Hylobates moloch) dan Surili (Presbytis comata);
serta berbagai spesies satwa liar yang terancam punah seperti Macan tutul jawa
(Panthera pardus melas), Kucing hutan (Felis bengalensis) dan Ajag (Cuon alpinus).
Selain itu juga terdapat 4 spesies amfibi yang dikategorikan sebagai spesies yang
langka seperti kodok bertanduk ( Megophrys montana), Kodok merah ( Leptophryne
cruentata), Katak serasah putih ( Leptobrachium haseltii.) dan Katak pohon Jawa
( Rhacophorus margaritifer ).
Peta kawasan TNGGP ditunjukkan Gambar 2.1.
Sumber: Peta Kawasan TNGGP, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:250.000
Gambar 2.1.  Peta kawasan TNGGP 
 
Jenis-jenis data yang dikumpulkan pada kegiatan ini adalah sebagai berikut:
a.  Jenis Data Flora (mencakup Magnoliophyta, Orchidaceae, Nepenthaceae,
tanaman obat, Pteridophyta dan fungi); potensi tumbuhan yang mencakup
spesies, kelimpahan, keragaman, kekayaan dan dominansi. Data lain yang
diambil adalah habitus, habitat dan pemanfaatan flora termasuk potensi spesies
flora serta kajian etnobotani (pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan bangunan,
obat, pangan dan lainnya oleh masyarakat lokal). Data habitat yang diambil
meliputi struktur vegetasi hutan (semai, pancang, tiang dan pohon), komposisi
spesiesnya, fungsi dan manfaat vegetasi.
 b.  Jenis Data Mamalia; Data mamalia yang diambil meliputi spesies, jumlah
individu spesies, jenis kelamin (jika diketahui), kelas umur (jika diketahui; terdiri
atas dewasa, remaja, dan anak-anak), waktu perjumpaan, aktivitas, jenis, jumlah
individu jenis, jejak, bekas pakan, aktivitas pada saat ditemukan. Data habitat
yang diambil meliputi struktur habitat, komposisi vegetasi, fungsi dan manfaat
vegetasi.
c.  Jenis Data Burung; Data yang diambil meliputi data burung dan habitatnya. Data
 burung yang diambil meliputi waktu penemuan, data spesies (nama lokal, nama
inggris dan nama ilmiah), jumlah individu, aktivitas burung saat ditemukan
(terbang, bertengger, makan, istirahat dan sebagainya), bentuk perjumpaan
(langsung atau tidak langsung, misalnya melalui suara dan sarang). Data habitat
yang diambil melalui kondisi habitat secara umum, baik fisik maupun
vegetasinya serta jenis pakan alami burung.
d.  
Jenis Data Herpetofauna (mencakup amfibi dan reptil); Data herpetofauna
meliputi reptil dan amfibi yang diambil adalah jenis, jumlah individu jenis, jenis
kelamin (jika diketahui), waktu perjumpaan, aktivitas, substrat, jenis, jumlah
individu jenis, SVL (panjang dari moncong sampai anus). Data habitat yang
diambil adalah suhu awal, kelembaban, vegetasi.
e.  Jenis Data Insekta (mencakup ordo Lepidoptera, Odonata dan Coleoptera). Data
Insekta yang diambil meliputi spesies, jumlah individu spesies, jenis kelamin
(jika diketahui), waktu pemasangan perangkap, penangkapan, pengambilan
sampel dan perjumpaan, aktivitas, penggunaan habitat, ukuran sampel tiap
spesies, aktivitas pada saat ditemukan dan posisi penemuan spesies di lingkungan
habitatnya. Data habitat yang diambil meliputi struktur habitat, komposisi
vegetasi, fungsi dan manfaat vegetasi.
 
Untuk analisis vegetasi digunakan metode jalur berpetak. Selanjutnya akan dibuat
 petak contoh yang ukuran minimalnya 20m x 100m atau minimal 5 petak contoh.
Selanjutnya petak contoh tersebut dibagi lagi menjadi petak ukur sesuai tingkat
 pertumbuhan vegetasinya (Gambar 3.1), yaitu :
a.  
Petak ukur semai (2m x2m), yaitu anakan dengan tinggi < 1,5m dan
tumbuhan bawah/semak/herba, termasuk di dalamnya liana, epifit, pandan
dan palem.
 b.  Petak ukur pancang (5m x 5m), yaitu anakan dengan tinggi > 1,5m dan
diameter batangnya < 10cm.
c.  
Petak ukur tiang (10m x10m), yaitu diameter batang antara 10cm – 19,9cm.
d.  Petak ukur pohon (20m x 20m), yaitu pohon yang diameter batangnya ≥
20cm.
3.2.2. Metode Pengambilan Data Mamalia
Adapun metode yang digunakan dalam pengambilan data mamalia adalah:
a)  Metode Transek Jalur (Strip Transect )
Metode ini merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam
 pengumpulan data jenis dan jumlah individu satwaliar. Panjang jalur yang
digunakan 1,5 s.d. 2,5 km. Data yang dikumpulkan berdasarkan pada perjumpaan
 
  Gambar 3.2. Inventarisasi mamalia dengan metode jalur. Keterangan: To = titik awal jalur pengamatan, T = titik akhir jalur pengamatan, P = posisi pengamat, r = jarak antara pengamat dengan tempat terdeteksinya satwa liar, S = posisi satwa liar.
 b)  Trapping
Metode ini digunakan untuk mamalia kecil di lantai hutan, seperti tikus.
Perangkap dipasang secara  purposive  pada habitat yang sesuai. Hal ini
dimaksudkan agar peluang penangkapan semakin besar. Tiap lokasi pengamatan
dipasang sekitar 7 buah perangkap.Total perangkap yang digunakan sebanyak 25
 buah.
c)  
Pengamatan dilakukan terkonsentrasi pada suatu titik yang diduga sebagai tempat
dengan peluang perjumpaan satwa tinggi. Misalnya tempat tersediaanya pakan,
air untuk minum dan sebagainya. Pencatatan data melalui kontak langsung
ataupun tidak langsung antara lain meliputi pencatatan perjumpaan jejak kaki,
tempat untuk bersarang, maupun kotoran/feses. Pengamatan dilakukan pada pagi,
sore serta malam hari.
d)  Pengamatan tidak langsung
Metode ini diterapkan untuk jenis-jenis mamalia yang sulit dijumpai secara
langsung. Data yang diambil dapat berupa jejak seperti jejak kaki, rambut, feses,
sarang dan jejak–jejak lainnya yang dapat dijadikan data.
3.2.3. Metode Pengambilan Data Burung
Metode yang digunakan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi spesies
 burung adalah Metode Jalur (transect ). Metode jalur (transect) dan metode titik.
Metode jalur dengan lebar 50 meter. Metode titik yang digunakan yaitu IPA (Index
Point of Abundance). Pelaksanaan pengamatan dilakukan dengan diam pada titik
tertentu kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung dalam rentang waktu
tertentu dan luas area tertentu. Radius pengamatan untuk setiap titik pengamatan
sejauh 50 meter dengan jarak antar titik 200 meter dan rentang waktu pengamatan
selama 20 menit. Selain itu digunakan juga daftar jenis Mackinnon (MacKinnon
 
3.2.4. Metode Pengambilan Data Herpetofauna
Beberapa metode pengambilan data untuk herpetofauna yang digunakan: Heyer et al.
(1994), yaitu dengan mencari satwa herpetofauna pada habitatnya yaitu habitat
terrestrial (darat) dan habitat akuatik (perairan). Jalur yang digunakan sepanjang
1000 meter, dengan perincian 400 meter digunakan untuk amfibi dan reptil,
sedangkan 600 meter selanjutnya hanya digunakan untuk reptil saja. Pengambilan
data dilakukan pada siang (pukul 07.00 – 11.00 WIB) dan malam hari (pukul 18.00-
21.30). Metode VES (Visual Encounter Sutvey), Time Search, mencari herpetofauna
dengan menjelajahi wilayah pengamatan kesegala arah selam waktu yang ditentukan
(umumnya selama 2-3 jam).
Pengambilan data insektsa dilakukan menggunakan metode meliputi (i) perangkap
 jatuh ( pit fall trap), (ii) hand collecting, (iii) sweep netting, dan (iv) light trapping.
a.  
Pemasangan perangkap jatuh yang diadaptasikan pada masing-masing jalur akses
mewakili kelas ketinggian, serta pada lokasi dengan ekosistem lokal yang khusus.
Setiap perangkap diletakan pada jarak 35 meter dan atau proporsional terhadap kelas
ketinggian.
Pada setiap perangkap diletakan atraktan untuk coleptera dan campuran bahan cairan
untuk menurunkan tegangan permukaan dan mengawetkan serangga yang terjebak.
Setiap perangkap jatuh diberikan penutup untuk menghindari jatuhan material lain
dan mengurangi air hujan yang masuk ke perangkap. Pada penutup perangkap
kemudian ditulis koordinat lokasi masing-masing perangkap, kode lokasi dan
informasi lingkungan lainnya.
terutama spesies yang ukurannya cukup besar dan mudah untuk dilakukan
 penangkapannya.
dilakukan dengan menggunakan jaring serangga. Lokasi yang dipilih untuk sweep
adalah pada jalur transek dan lokasi-lokasi terpilih lainnya yang diduga banyak
terdapat kelompok lepidoptera dan odonata (purposive sampling). Serangga yang
didapat diidentifikasi di lapangan dilepaskan kembali, sedangkan yang belum
teridentifikasi dikoleksi dengan kertas papilot untuk diidentifikasi lebih lanjut di
 basecamp dan untuk spesimen contoh ke laboratorium.
 
 Light trap dilakukan sebagai metode tambahan untuk melihat keragaman serangga
malam hari, terutama jenis-jenis coleoptera yang mungkin tidak terkoleksi dalam
 perangkap jatuh. selain jenis coleoptera, serangga dominan malam hari yang
dikoleksi adalah ngengat (moth). Spesimen yang diperoleh pada saat light traping
kemudian dikoleksi untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut.
Pencatatan lainnya yang dilakukan adalah mendeskripsikan habitat sekitar lokasi
 pengamatan serta ancaman yang ada bagi kelestarian hidupan insekta.
3.3.  Analisis Data
adalah persentase kelimpahan relatif (Brower dan Zar 1977), sebagai berikut:
%100×=  N 
in   = Jumlah individu spesies ke-i
 N = Jumlah total individu
3.3.2. Indeks Keanekaragaman Spesies
shannon-wiener dengan rumus :
n P i
iP   = Proporsi nilai penting
indeks keanekaragaman Shanon-Wieners seperti Tabel 4.1 berikut :
Tabel 3.1.  Nilai dan kategori keanekaragaman jenis Shanon-Wieners
Nilai Indeks
Shannon-Wiener Kategori
merata dan kestabilan komunitas tinggi
 
sedang dan kestabilan komunitas sedang
< 1 Keanekaragaman rendah, sebaran jumlah individu masing-masing spesies
tidak merata dan kestabilan komunitas rendah
3.3.3. Indeks Kemeraatan Spesies
Untuk kemerataan jenis digunakan untuk mengetahui gejala dominansi diantara
setiap jenis dalam suatu lokasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai
Evennes adalah:
S  Ln
 H   E 
S = Jumlah spesies
3.3.4. Analisis Vegetasi
sebagai berikut:
-  Indeks Nilai Penting (Semai) = KR + FR
Parameter yang diperlukan dalam menghitung ketiga nilai tersebut adalah jumlah
individu setiap plot, jumlah individu seluruh plot, luasan area plot, dan basal area
(BA) tiap individu dar suatu jenis tumbuhan. Nilai basal area dihitung berdasarkan
 
diameter (d ) dari setiap individu yang diukur. Selanjutnya nilai (d ) dikonversi
menjadi nilai jari-jari pohon (r ), dimana nilai r   = 1/2 d . Nilai r   ini masih dalam
satuan cm 2   dan harus dikonversikan menjadi satuan m
2 , karena satuan plot yang
digunakan adalah m 2 . Untuk mendapatkan nilai BA dihitung menggunakan rumus
luas lingkaran, yaitu A = BA = πr  2 , π adalah konstanta yang memiliki nilai setara
dengan 22/7 atau 3,14, r  adalah jari-jari pohon setiap individu dari suatu jenis. Nilai
BA setiap individu dari satu jenis dijumlahkan, lalu setiap jenis dihitung rata-rata BA
nya. Nilai parameter BA ini digunakan untuk menghitung nilai dominansi suatu
spesies pohon.
Analisa lainnya adalah jenis-jenis dominan di dalam plot, yang menggunakan rumus
rangking pada setiap jenis dan pengurutan secara otomatis akan berlangsung.
Penghitungan dominansi jenis pohon dalam luasan hektar (Ha) adalah didapatkan
dengan mengalikan nilai dominansi mutlak setiap jenis dengan 5. Angka ini di dapat
dengan menghitung luasan seluruh plot kuadrat yang diteliti dan didapat luasan 2000
m 2 . Sementara satuan luas Ha adalah sama dengan 10.000 m
2 . Jadi untuk
mendapatkan nilai dominansi spesies pohon per hektar harus mengalikannya dengan
5.
Untuk mengetahui status perlindungan tumbuhan dan satwa dengan menggunakan
kategori yang ditetapkan oleh  International Union for Conservation of Nature and
 Natural Resources  (IUCN), Convention of International Trade in Endangered
Spesies of Wild Fauna and Flora  (CITES) dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1999.
a)  IUCN
IUCN merupakan suatu organisasi profesi tingkat dunia yang memantau keadaan
 populasi suatu spesies hidupan liar (flora dan fauna) dan banyak memberikan
rekomendasi dalam hal penanganan terhadap suatu spesies hidupan liar yang
terancam kepunahan. Seluruh hidupan liar yang berada dalam kategori
membahayakan untuk punah dituangkan dalam daftar yang disebut IUCN  Red
 List Data Book , dengan mengklasifikasikan berdasarkan tingkat ancaman
kepunahannya masing-masing. Kategori dan kriteria kelangkaan menurut IUCN
 pada kajian ini hanya didasarkan pada tiga saja yaitu:
•  Kritis (Critically Endangered   = ER). Diterapkan pada takson yang
keberadaan populasinya menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam
dalam waktu yang sangat dekat jika tidak ada usaha penyelamatan yang
 berarti untuk melindungi populasinya dan segera dimasukkan ke dalam
kategori EW.
•  Genting ( Endangered   = EN). Diterapkan pada takson yang tidak termasuk
dalam kategori CR namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di
 
alam dan dimasukkan kedalam kategori EW jika dalam waktu dekat tindakan
 perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan.
•  Rawan (Vulnerable  = VU). Diterapkan pada takson yang tidak termasuk
dalam kategori CR atau EN namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi
di alam dalam waktu dekat sehingga dapat digolongkan dalam EW.
 b)  CITES
CITES adalah suatu kesepakatan bersama tingkat internasional yang dicanangkan
 pada tahun 1973 dan mulai diaktifkan peraturan konvensinya pada tanggal 1 Juli
1975 dalam hal perdagangan internasional hidupan liar (flora dan fauna).
Perjanjian ini dibentuk setelah adanya kerisauan akan semakin menurunnya
 populasi hidupan liar akibat adanya perdagangan internasional.
Dalam kegiatannya, CITES mengeluarkan daftar hidupan liar yang termasuk
dalam kategori kelangkaan yang disebut dengan Appendix, yang juga telah
diadopsi oleh Indonesia.
•  Appendix I adalah semua spesies hidupan liar yang terancam (threatened )
dari kepunahan (extinction) yang dapat atau kemungkinan dapat disebabkan
oleh adanya tindakan perdagangan internasional. Penjualan dari jenis
kehidupan liar dalam kategori ini hanya dapat dilakukan setelah melalui
 proses pengaturan atau kajian yang sangat ketat dengan maksud tidak
menambah tingkat tekanan terhadap kemampuan hidupnya (survival) dan
hanya bisa dilakukan dengan alasan yang sangat kuat.
•  Appendix II adalah (a) semua spesies hidupan liar walaupun tidak dalam
kondisi terancam dari kepunahan, tetapi dapat menjadi terancam, terkecuali
 perdagangan terhadap kehidupan liar tersebut dikenai suatu peraturan yang
ketat dalam rangka menghindari pemanfaatan yang tidak sepadan dengan
daya kemampuan hidupnya, (b) hidupan liar lainnya yang perlu dikenai
 pengaturan dengan maksud bahwa perdagangan hidupan liar tersebut
menghindari pemanfatan yang tidak sepadan dengan adanya kemampuan
hidupnya, dan (c) dapat dilakukan pengontrolan secara efektif.
•  Appendix III adalah semua spesies hidupan liar dimana semua pihak telah
mengidentifikasinya sebagai bahan perdagangan yang dapat diterapkan sesuai
dengan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah, dengan maksud
mencegah atau membatasi eksploitasi lewat kerjasama dengan semua pihak
terkait dalam pengawasan perdagangan.
Peraturan ini berisi tentang pengawetan spesies tumbuhan dan satwa karena
dipandang bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumberdaya alam yang
tidak ternilai harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga. Peraturan
 
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Analisa vegetasi untuk Taksa Flora berdasarkan plot kuadrat dan transek sabuk/ jalur
 pada ketinggian 1200-1500 m dpl, 1500-1800 m dpl, dan > 1800 m dpl. Data analisa
yang didapatkan berupa frekuensi mutlak dan relative, kerapatan mutlak dan relative,
dan dominansi mutlak dan relative. Dari ke tiga data tersebut, diperoleh indeks nilai
 penting (INP) dari lokasi.
Parameter yang diperlukan dalam menghitung ketiga nilai tersebut adalah jumlah
individu setiap plot, jumlah individu seluruh plot, luasan area plot, dan basal area
(BA) tiap individu dar suatu jenis tumbuhan. Nilai basal area dihitung berdasarkan
diameter (d ) dari setiap individu yang diukur. Selanjutnya nilai (d ) dikonversi
menjadi nilai jari-jari pohon (r ), dimana nilai r   = 1/2 d . Nilai r   ini masih dalam
satuan cm 2   dan harus dikonversikan menjadi satuan m
2 , karena satuan plot yang
digunakan adalah m 2 . Untuk mendapatkan nilai BA dihitung menggunakan rumus
luas lingkaran, yaitu A = BA = πr  2 , π adalah konstanta yang memiliki nilai setara
dengan 22/7 atau 3,14, r  adalah jari-jari pohon setiap individu dari suatu jenis. Nilai
BA setiap individu dari satu jenis dijumlahkan, lalu setiap jenis dihitung rata-rata BA
nya. Nilai parameter BA ini digunakan untuk menghitung nilai dominansi suatu
spesies pohon.
Analisa lainnya adalah jenis-jenis dominan di dalam plot, yang menggunakan rumus
rangking pada setiap jenis dan pengurutan secara otomatis akan berlangsung.
Penghitungan dominansi jenis pohon dalam luasan hektar (Ha) adalah didapatkan
dengan mengalikan nilai dominansi mutlak setiap jenis dengan 5. Angka ini di dapat
dengan menghitung luasan seluruh plot kuadrat yang diteliti dan didapat luasan 2000
m 2 . Sementara satuan luas Ha adalah sama dengan 10.000 m
2 . Jadi untuk
mendapatkan nilai dominansi spesies pohon per hektar harus mengalikannya dengan
5.
 Nilai keragaman komunitas atau habitat didapat dengan menggunakan rumus seperti
 pada Bab 3.3.2. Metode Analisis Vegetasi Kuadrat, poin F. Indeks Keragaman flora,
yaitu Nilai H’ dari Shannon-Wiener dari satu lokasi atau area. H’ diperoleh dari nilai
INP setiap jenis (ni) yang dibagi dengan nilai total INP (N). Hasil pembagian nilai
 
 
4.1.1.  Kekayaan Spesies
Hasil Kajian kekayaan spesies flora menggunakan analisa vegetasi pada 5 (lima)
lokasi Culamega, Galudra, Pasir panon-Gegbrong, Pasir Salam-Batu Nunggal, dan S.
Cibeleng. Semuanya terdiri dari 18 plot penelitian/ cuplikan yang tersebar pada
ketinggian 1.249 hingga 2.044 m dpl. Tercatat sebanyak 338 spesies flora dari
 berbagai kategori (paku dan pakis-pakisan, anggrek, palem-paleman, liana dan
tumbuhan tinggi). Seluruh spesies tersebut diklasifikasikan ke dalam 69 Suku
(Famila), 59 Ordo (Ordo), 5 Kelas (Class) dan 3 Divisi ( Divisio). Kekayaan spesies
flora di Kawasan TNGGP ditunjukkan pada Gambar 4.1. 
Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas – Flora)
Gambar 4.1. Grafik kekayaan spesies flora di TNGGP pada berbagai ketinggian 1249
 – 2044 m dpl.
4.1.2.  Indeks Nilai Penting
Hasil analisa penghitungan Indeks Nilai Pentng (INP) flora di Kawasan TNGGP
(Culamega) pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl, ditunjukkan pada Tabel 4.1. dan
Gambar 4.2. Untuk Keragaman Spesies (H’) di Kawasan TNGGP (Culamega) pada
ketinggian 1755 – 2044 m dpl, ditunjukkan pada Tabel 4.2. dan Gambar 4.3. Untuk
5 spesies flora paling dominan di Kawasan TNGGP (Culamega) pada ketinggian
1755 – 2044 m dpl, ditunjukkan pada Tabel 4.3. dan Gambar 4.4.
 
 
Tabel 4.1.  Indeks Nilai Penting Flora di Kawasan TNGGP (Culamega) pada ketinggian
1755 – 2044 m dpl. 
Fp Hamerang Ficus padana 6,45 4,08 2,14 12,67
Lisp2 Huru1 Litsea sp2 6,45 4,08 10,63 21,16
Lisp Huru leueur Litsea sp1  6,45 6,12 0,09 12,66
Ts Ki bangkong Turpinia sphaerocarpa 6,45 8,16 0,55 15,17
 Ae Rasamala Altingia excelsa 3,23 4,08 43,93 51,24
Pc Bingbin Pinanga coronaria 3,23 2,04 0,07 5,34
Fr Ki walen Ficus ribes 3,23 2,04 0,84 6,11
Cc Paku tiang Cyathea contaminans 6,45 6,12 3,65 16,22
Lito Huru manuk Litsea tomentosa 3,23 2,04 5,29 10,56
Ps Kopo Polyanthia subcordata 3,23 2,04 1,72 6,99
Pa Kawoyang Prunus arborea 3,23 6,12 3,15 12,50
Presp Ki racun Premna sp.  3,23 2,04 0,27 5,53
Sl Ki sireum Syzygium lineatum 6,45 6,12 0,32 12,90
 An Huru bodas  Acer niveum 3,23 2,04 6,18 11,45
Lisp3 Huru beas Litsea sp3 3,23 8,16 0,18 11,57
Pi Ki kopi gede Pometia indica 3,23 2,04 0,47 5,73
Cosp Kopi-kopian Coffea sp.  3,23 2,04 0,00 5,27
Stesp Ki belut Sterculia sp. 3,23 2,04 0,08 5,34
Diosp Ki hideung Diospyros sp. 3,23 4,08 0,68 7,99
Va Hamirung Vernonia arborea 3,23 4,08 6,60 13,91
Hg Ki jebug Horsfieldia glabra 3,23 2,04 1,38 6,65
 Actsp Huru leunca Actinodaphne sp.  3,23 2,04 0,48 5,74
Sw Puspa Schima walichii 3,23 2,04 0,03 5,30
Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00
Sumber: Analisa Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas – Flora)
 
 
Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas – Flora)
Gambar 4.2. Grafik Indek Nilai Penting (INP) Flora di Kawasan TNGGP (Culamega)
pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl.
Hasil kajian terhadap spesies flora di Kawasan TNGGP (Culamega) pada ketinggian
1755 – 2044 m dpl, menunjukkan bahwa persebaran spesies-spesies flora pada areal
tersebut cukup merata yang ditunjukkan dengan persentase cukup merata pada setiap
spesies yang ada, namun demikian satu jenis yang paling mendominasi areal
Culamega ini adalah Rasamala, Altingia excelsa, meskipun nilai frekuensinya sedang
dan kerapatan yang relative rendah, akan tetapi spesies ini memiliki nilai basal area
(BA) yang paling tinggi dari semuanya. Hal ini pula membuktikan bahwa spesies ini
memiliki diameter pohon yang besar, dengan demikian, kondisi hutan pada areal
Culamega ini dapat dikategorikan hutan primer yang masih pulih dan stabil. 
Areal Culamega dapat dikategorikan sebagai Hutan Sub-pegunungan (Sub montane
 forest ), yaitu kawasan hutan yang berada pada ketinggian di atas 1.000 m dpl hingga
1.500 m dpl dan hutan pegunungan ( Montane forest ), yang berada pada ketinggian
>1.500 m dpl hingga 2.500 m dpl. (van Steenis, 2006). 
Pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.3 berikut diperlihatkan 5 (spesies) flora yang paling
mendominasi di dalam areal Culamega pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 
Tabel 4.2.  Spesies Flora paling dominan di Kawasan TNGGP (Culamega) pada
ketinggian 1755 – 2044 m dpl. 
Kode Nama Lokal Nama Spesies Drel  D D m 2 /ha
 Ae Rasamala  Altingia excelsa 43,93 0,001807 0,045183
Va Marema gunung Vernonia arborea 11,28 0,000464 0,011603
Lisp2 Huru 1 Litsea sp2 10,63 0,000437 0,010931
 
 
Kode Nama Lokal Nama Spesies Drel  D D m 2 /ha
Va Hamirung Vernonia arborea 6,60 0,000272 0,006790
 An Huru bodas  Acer niveum 6,18 0,000254 0,006359
Sumber: Analisa Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas – Flora) 
Sumber: Analisa Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas – Flora)  Gambar 4.3. Grafik 5 spesies Flora paling dominan di Kawasan TNGGP (Culamega)
pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl.
Dari hasil analisa terhadap flora di areal Culamega menunjukkan bahwa spesies
Rasama, Altingia excels, merupakan jenis yang sangat mendominasi dengan nilai BA
dan tutupan tajuknya yang merindangi sebagian besar areal, yaitu seluas 43,93% dari
total seluruh spesies yang tercatat. 
 Namun demikian, dominansi spesies ini tidak dapat dijadikan patokan untuk
menentukan tipe hutan karena dominansi bervariasi dari satu tempat ke tempat lain,
dan biasanya bersifat local. Van Steenis (2006) menjumpai adanya dominansi
Podocarpus imbricatus yang membentuk sebuah sabuk di Gunung Ciremai, dan di
tempat lain didominasi oleh  Astronia. Dominasi Schefflera rugosa  di Gunung
Slamet, dominansi Leptospermum di Gunung Selo dari jajaran Gunung Gede. 
Sulit sekali untuk membagi hutan menjadi tipe-tipe local sebanding dengan
komunitas, yang disebut ‘sosiasi’ atau ‘asosiasi’ seperti hutan-hutan di Negara
 beriklim empat musim, karena komposisi floristiknya sangat berbeda dari satu
tempat ke tempat lain. Nilai-nilai indeks tersebut merupakan indikasi terhadap
karakteristik regional atau setempat yang menjadi cirri khas areal dan membuktikan
adanya spesies khas pada areal tersebut yang tidak ditemukan di tempat lain selain
 
 
Jawa bagian barat dan sebagai penciri dari hutan primer utuh dengan adanya strata
 pohon pencuat (emergent trees) yang tersebar agak berjauhan satu dengan lainnya. 
Meijer (1959) dalam Van Steenis (2006) telah menginventarisasi berbagai spesies
flora di kawasan Cagar Alam Cibodas (sekarang TNGGP) dalam satu hektar plot
 pada ketinggian 1500 m dpl. Dia mencatat sebanyak 283 spesies pohon berdiameter
> 10 cm. Dan dari seluruh kawasan dari mulai ketinggian 1500 m dpl hingga
 puncaknya telah tercatat sebanyak 870 spesies tumbuhan tinggi (Phanerophyta atau
 Magnoliophyta) dan 150 spesies paku-pakuan (Pteridophyta). 
Dominansi tersebut berlaku secara regional. Misalnya di Jawa bagian barat, salah
satu pohon pencuat (emergent tree) seperti Rasamala, Altingia excelsa, dan dua jenis
lainnya seperti Jamuju, Podocarpus imbricatus  dan Ki putrid, Podocarpus
neriifolius.
Pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.3.  terlihat bahwa spesies Rasamala adalah spesies
yang paling mendominasi di Culamega pada ketinggian 1755 – 2044 m dpl. Hal ini
menandakan daya adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan dan iklim
mikronya. Dominansi tersebut bukan pada pola pembentukan komunitasnya,
melainkan hanya pada daya adaptasi dan ketahanan hidupnya.
Tabel 4.3.  Tabel INP Flora di Kawasan TNGGP (Galudra) pada ketinggian 1791 –
1990 m dpl. 
Fp Hamerang Ficus padana 6,45 4,08 2,14 12,67
Lisp2 Huru1 Litsea sp2 6,45 4,08 10,63 21,16
Lisp Huru leueur Litsea sp1  6,45 6,12 0,09 12,66
Ts Ki bangkong Turpinia sphaerocarpa 6,45 8,16 0,55 15,17
 Ae Rasamala Altingia excelsa 3,23 4,08 43,93 51,24
Pc Bingbin Pinanga coronaria 3,23 2,04 0,07 5,34
Fr Ki walen Ficus ribes 3,23 2,04 0,84 6,11
Cc Paku tiang Cyathea contaminans 6,45 6,12 3,65 16,22
Lito Huru manuk Litsea tomentosa 3,23 2,04 5,29 10,56
Ps Kopo Polyanthia subcordata 3,23 2,04 1,72 6,99
Pa Kawoyang Prunus arborea 3,23 6,12 3,15 12,50
Presp Ki racun Premna sp.  3,23 2,04 0,27 5,53
Sl Ki sireum Syzygium lineatum 6,45 6,12 0,32 12,90
 An Huru bodas  Acer niveum 3,23 2,04 6,18 11,45
Lisp3 Huru beas Litsea sp3 3,23 8,16 0,18 11,57
Pi Ki kopi gede Pometia indica 3,23 2,04 0,47 5,73
Cosp Kopi-kopian Coffea sp.  3,23 2,04 0,00 5,27
 
 
Va Hamirung Vernonia arborea 3,23 4,08 6,60 13,91
Hg Ki jebug Horsfieldia glabra 3,23 2,04 1,38 6,65
 Actsp Huru leunca Actinodaphne sp.  3,23 2,04 0,48 5,74
Sw Puspa Schima walichii 3,23 2,04 0,03 5,30
Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00
Sumber: Analisa Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas – Flora)
Sumber: Analisa Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas – Flora)
Gambar 4.4. Grafik INP Flora di Kawasan TNGGP (Galudra) pada ketinggian 1791 –
1990 m dpl.
Hasil kajian flora TNGGP pada jalur area Galudra pada ketinggian 1791 m dpl
hingga 1990 m dpl., seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.4,
menunjukkan bahwa kondisi hutan dalam keadaan relative stabil, yang ditunjukkan
dengan nilai INP cukup merata. Tiap spesies flora yang berada di dalamnya sama-
sama memiliki kesamaan dalam berkompetisi pada habitatnya. Beberapa jenis
terlihat mulai menunjukkan dominansinya terhadap spesies lainnya, seperti Puspa,
Schima walichii, Ki hujan, Syzigium jambuloides, dan Huru bodas,  Acer niveum,
dengan nilai indeks berturut-turut 51,95%; 31,45%; dan 18,25%. Proses kompetisi
alami ini pada akhirnya akan membentuk struktur khas penyusun hutan, yaitu
menuju formasi klimaks pada hutan primer yang dicirikan dengan adanya spesies
Puspa, Schima walichii, sebagai spesies pohon pencuat (emergent trees) pada lapisan
teratas hutan. Kemudian diikuti lapisan strata I seperti Ki hujan, Syzigium
 jambuloides dan Huru bodas, Acer niveum. 
 
 
Apabila menyimak antara perubahan suhu pada belahan garis lintang katulistiwa
dengan keberadaan spesies flora, maka terdapat korelasi yang jelas di antara
keduanya. Hubungan tersebut dikenal dengan istilah termo-ekologi (thermo-
ecology), yaitu kemiripan struktur flora pada dua lokasi yang berbeda berdasarkan
kesamaan pada suhunya. Hal ini diungkapkan juga oleh Van Steenis (2006) dalam
 bukunya “Flora Pegunungan Jawa”. Klasifikasi flora berdasarkan termo-ekologi ini
dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu pembagian zona berdasarkan keberadaan flora/ vegetasi
 pada ketinggian gunung:
1.   Megaterm, yaitu kelompok flora yang hanya menempati zone ketinggian <
1000 m dpl atau hanya sampai pada zona perbukitan (colline zone);
2.   Mesoterm, yaitu kelompok flora yang hanya terdapat pada ketinggian di
antara 1000 hingga 2400 m dpl. Zona ini dibagi menjadi dua sub-zona, yaitu
zona sub-pegunungan (sub-montane zone) yang berada pada ketinggian
antara 1000 – 1500 m dpl dan zona pegunungan (montane zone) yang berada
 pada ketinggian antara 1500 – 2400 m dpl;
3.   Microterm, yaitu kelompok flora yang hanya terdapat pada ketinggian antara
2500 – 6000 m dpl atau lebih. Zona in dibagi menjadi beberapa sub zona,
yaitu zona sub-alpin (sub-alphine zone) yang berada pada ketinggian 2500
hingga 4000 m dpl dan merupakan batas terakhir pepohonan, kemudian zona
alpin ( Alphine zone) pada ketinggian 4100 – 4500 m dpl, dan zona salju
( Nival zone) yang berada pada ketinggian 4600 – 5000 m dpl, dimana
terdapat salju abadi.
 beriklim sedang dan dingin, seringkali ditemukan pada areal pegunungn yang tinggi
yang memiliki iklim sedang hingga dingin. Istilah yang sering kita ketahui adalah
 pada areal hutan sub-pegunungan dan areal hutan pegunungan, seperti terlihat pada
Gambar 4.5.
Sumber: http://www.meteoblue.com/en/content/438 
Gambar 4.5. Peta zone iklim di dunia yang dibagi menjadi Tropical zone, Subtropic
zone, Temperata zone dan Cold zone.
Laporan Kajian Flora dan Fauna– Kawasan TNGGP (01.2014) 4 | 7
Bila zone-zone iklim dunia tersebut dikaitkan dengan zone-zone pada lansekap
 pegunungan, maka akan terlihat seperti pada gambar berikut ini. 
Sumber : http://www.globalchange.umich.edu/globalchange1/current/lectures/kling/rainforest/rainforest.html 
Gambar 4.6. Grafik Holdridge vegetation classification system.
Berikut hasil kajian terhadap dominansi spesies flora pada jalur Galudra di
ketinggian 1791 – 1990 m dpl. Dari hasil analisa vegetasi terhadap spesies-spesies
flora seperti pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.7, tercatat 5 (lima) spesies flora paling
dominan di areal ini, yaitu spesies Puspa (Scima walichi), Ki hujan (Syzigium
 jambuloides), Ki merak becem ( Archidendron clypearia), Huru bodas ( Acer niveum),
dan Ki jebug ( Horsfieldia glabra). 
Tabel 4.4.  Lima spesies flora paling dominan di Kawasan TNGGP (Galudra) pada
ketinggian 1791 – 1990 m dpl. 
 
Kode Nama Daerah Nama Spesies Drel  D D m 2 /ha
Sw Puspa Schima walichii 29,01 0,0025 0,06
Sj Ki hujan Syzigium jambuloides 24,86 0,0022 0,05
 Ar-cl Ki merak becem  Archidendron clypearia 7,54 0,0007 0,02
 An Huru bodas  Acer niveum 6,40 0,0006 0,01
Hg Ki jebug Horsfieldia glabra  5,48 0,0005 0,01
Sumber: Analisa Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas – Flora)
Laporan Kajian Flora dan Fauna– Kawasan TNGGP (01.2014) 4 | 8
Sumber: Analisa Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas – Flora)
Gambar 4.7. Grafik Spesies Flora paling dominan di TNGGP (Galudra) pada
Ketinggian 1791 – 1990 m dpl.
Spesies flora seperti Puspa, Schima walichii; Ki hujan, Syzigium jambuloides; Ki
merak becem; Huru bodas dan Ki jebug, dengan nilai dominansi berturut-turut
29,01%; 24,86%; 7,54%; 6,40%; dan 5,48%. Ke-lima jenis tersebut mendoinasi areal
sebesar 73,29% dari spesies-spesies flora lainnya di dalam areal Galudra. 
Van Steenis (2006), telah mengklasifikasikan gunung berdasarkan ketinggiannya,
seperti berikut; < 1.000 m dpl diklasifikasikan sebagai areal perbukitan, > 1.000 –
1.5000 m dpl., sebagai zone sub-pegunungan, > 1.500 – 2.500 m dpl., sebagai zone
 pegunungan, >2.500 – 3.000 m dpl., sebagai zone sub-elfin dan >