disusunoleh : ahmad ardy effendy nim : 02111032 fakultas hukum...

27
1 JURNAL ILMIAH TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK DALAM PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI DisusunOleh : AHMAD ARDY EFFENDY NIM : 02111032 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2015

Upload: lamtu

Post on 21-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

JURNAL ILMIAH

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENETAPAN

TERSANGKA SEBAGAI OBJEK DALAM PRAPERADILAN

OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

DisusunOleh :

AHMAD ARDY EFFENDY

NIM : 02111032

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NAROTAMA

SURABAYA

2015

2

DAFTAR ISI

BAB I :PENDAHULUAN

1.1. Permasalahan : Latar Belakang dan Rumusan …………...….………...1

1.2. Penjelasan Judul…………………..…………………………...……... 6

1.3. Alasan Pemilihan Judul……………………..……….…………...…… 7

1.4. Tujuan Penulisan……………..……………...………….…...…...……7

1.5. Manfaat Penulisan………..………………….………………………... 7

1.6. Metode Penelitian…………………...………………………………… 7

1.7. Teknik Pengumpulan Data…………………...……………………… 10

1.8. Teknik Analisa Data……………………...………………………….. 10

1.9. Pertanggungjawaban sistematika……………...…………………….. 10

BAB II : PRAPERADILAN DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL

2.1. Akibat Hukum Putusan Praperadilan ……...………………...……... 24

2.2. Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka Yang Tidak Sah ...…… 32

BAB III : PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN

OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

3.1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi ……………………………… 51

BAB IV : PENUTUP

4.1. Kesimpulan ……………………………………………………….... 67

4.2. Saran ……………………………………………………………….. 69

DAFTAR PUSTAKA

3

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Permasalahan: Latar belakang dan RumusanPraperadilan adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu ditakuti sepanjang

proses penyidikan dan upaya paksa yang dilakukan didasarkan pada aturan yangtertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tenatang Hukum AcaraPidana yang selanjutnya disebut ( KUHAP ). Tidak semua putusan Praperadilandimenangkan oleh tersangka atau pihak yang mengajukan. Didalam proses sidangPraperadilan tentunyaakan mempertimbangkan fakta baik secara yuridis maupunfakta materiil.

Praperadilan sendiri merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan diIndonesia dalam kehidupan penegakan hukum.Praperadilan bukan lembaga yangberdiri sendiri. Pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakandalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yangmerupakan suatu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Tahapan dalamproses peradilan pidana tersebut merupakan suatu rangkaian, dimana tahap yangsatu mempengaruhi tahapan yang lain. Rangkaian dalam proses peradilan pidanadi Indonesia meliputi tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan danpemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Praperadilan merupakan wewenang pengadilan Negeri untuk memeriksadan memutus cara yang di atur dalam undang-undang hukum acara pidana,tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaantersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Hal ini dapatdilihat dengan adanya peraturan yang mengatur Praperadilan sebagaimana diaturdalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Praperadilan hanya merupakansuatu tambahan wewenang yang dimiliki oleh pengadilan negeri, yang berfungsiuntuk memeriksa keabsahan dari suatu proses penanganan perkara, artinya adalahyang diperiksa dalam praperadilan bukanlah mengenai pokok dari suatu perkara.Sebagaimana diatur dalam KUHAP khususnya Pasal 77 tentang Praperadilan,dimana dinyatakan bahwa :

“ Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuaidengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini tentang :

a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan ataupenghentian penuntutan;

b) Ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikanpada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Kehadiran lembaga Praperadilan memberi peringatan agar penegak hukumharus hati-hati dalam melakukan tindakan-tindakan hukumnya dan setiaptindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku

4

dalam artiia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakansewenang-wenang.1

Dengan demikian jelas bahwa penyelenggara Praperdilan bukanlah tugasyang ringan mengingat, kegiatan alat Negara penegak hukum yang satu untukmenilai dan menguji pola pekerjaan alat penegak hukum yang lain pastimerupakan pekerjaan yang harus dilakukan dengan cermat dan menguasai seluruhmekanisme penegak hukum.

Akan tetapi dalam Praperadilan hakim harus mempunyai kriteria dalammemutuskan sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan:

penangkapan dan/atau penahanan harus didasarkan pada tujuan yang telahditentukan dalam KUHAP. Pasal 16 KUHAP menentukan bahwa penangkapanhanya dapat dilakukan “ untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintahpenyidik berwenang melakukan penangkapan. Sedangkan dalam Pasal 20KUHAP menentukan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan” untukkepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidiksebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berhak melakukan penahanan.

penangkapanharusmemiliki dasar hukum dalam undang-undang yangberlaku, terutama dasar hukum kewenangan pejabat yang melakukanpenangkapan tersebut. Dalam penyidikan, pada dasarnya penahanan merupakankewenangan Polisi Republik Indonesia( pasal 6 ayat (1) huruf a jo pasal 7 ayat (1)huruf d KUHAP). Sementara itu, penyidik pegawai negeri sipil lainnya (pasal 6ayat (1) huruf b KUHAP) umumnya tidak diberikan kewenangan penahanan.Namun demikian, dengan ketentuan yang bersifat khusus ( lex specialis ),ketentuan umum ini disampingi, sehingga penyidik kejaksaan yang terakhirberdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RepublikIndonesia dan penyidik Komisi Pemberantasa Korupsi berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, mempunyaikewenangan melakukan penahanan. Khusus berkenaan dengan penahanan olehpenyidik KPK dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kewenanganmelakukan penahanan secara langsung (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 30Tahun 2002) dan kewenangan penahanan secara tidak langsung, yaitu melaluibantuan kepolisian dan institusi terkait (pasal 12 huruf I Undang-Undang No. 30Tahun 2002).

Melihat Pasal 77 huruf a, jelas bahwa dalam pemeriksaan Praperadilan,pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus sah atautidaknya penangkapan atau penahanan serta sah atau tidaknya penghentianpenyidikan atau penghentian penuntutan.Kondisi ini menyebabkan hakimPraperadilan hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus hal-hal tersebut

1 S. Tanusubroto, Peranan Praperdailan Dalam Hukum Acara Pidana,Alumni, Bandung, 1983, hal.2.

5

saja.Akan tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang sealnjutnyadi sebut MK, dalam putusannya MK menyebutkan bahwa penetapan tersangkatermasuk sebagai objek Pradilan karena penetapan tersangka merupakan sebabdari penyidikan dan penyelidikan.

Dalam hal ini putusan MK di anggap kontroversial dan memberatkan pihakpenyidik dan hal ini lebih menguntukan para tersangka, karena kuhap sendiritidak mengatur bahwa kasus pidana apa saja yang bisa di ajukan untukpraperadilan, hal ini menyebabkan penyidik harus berhati-hati dalam menetapkanseseorang sebagai tersangka.

Dalam proses peradilan pidana di Indonesia asas “praduga tidak bersalah”merupakan salah satu asas yang sangat penting. Hakikat asas ini fundamentalsifatnya dalam hukum acara pidana. Ketentuana asas “praduga tidak bersalah”eksistensinya tampak pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jisUndang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa:

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan ataudihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampaiadanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperolehkekuatan hukum tetap.”

Dalam praktik peradilan pengejawantahan asas ini terlihat bahwa selamaproses peradilan masih berjalan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, danmahkamah agung republikIndonesia ) dan belum memperoleh kekuatan hukumtetap (inkracht van gewijsde), terdakwa belumlah dapat diklasifikasikan bersalahdan pelaku dari tindak pidana.2

Atas dasar uraian tersebut diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa putusanMK yang memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan merupakantemuan baru dalam bidang praperadilan.Oleh sebab itu penulisan ini dipilih judul“ TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAIOBJEK DALAM PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI”

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas maka dapat diambil 2(dua) rumusan masalah yaitu :

1. Apa akibat hukum yang timbul dari putusan Praperadilan?

2 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Acara Pidana, Citra Aditya Bakti,Bandung,2007,hal. 8-9.

6

2. Apa pertimbangan Mahkamah Konstitusi memasukan penetapan tersangkasebagai objek Praperadilan ?

1.2 Penjelasan JudulPenulisan ini diberi judul “ TINJAUAN YURIDIS MENGENAI

PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK DALAM PRAPERADILANOLEH MAHKAMAH KONSTITUSI.”

Secara etimologi Praperadilan merupakan gabungan dari dua susunan kata,yaitu “pra” dan “peradilan”

Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam bukunya kamus besar bahasaIndonesia tertulis.

“Pra” berarti pendahuluan atau sebelum, sedangkan “peradilan” berartisegala sesuatu mengenai perkara peradilan.3

Menurut Prof. Subekti dan R. Tjitrosoedibio :Yang dimaksud dengan “pengadilan” adalah badan yang melakukan

peradilan, yaitu memeriksa dan memutus sengketa hukum dan pelanggaranhukum atau undang-undang.4

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa secara etimologi praperadilanberarti tindakan memeriksa dan memutus sengketa dan atau pelanggaran hukumatau undang-undang dari badan peradilan tentang peradilan pokok perkara.

Definisi tersangka menurut Undang-Undang Hukum Acara PidanaTersangka adalah seseorang yang disangka sebagai pelaku dari suatu tindakpidana.J.C.T. Simorangkir, cs dalam bukunya Kamus Hukum mengemukakanbahwa :

“tersangka adalah seorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana dania masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan, apakahtersangka ini mempunyai cukup dasar untuk diperiksa dipersidangan”.

Sedangkan dalam Pasal 1 angka (4) KUHAP menyatakan bahwa :“tersangkaadalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan buktipermulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”

1.3 Alasan Pemilihan JudulKarena status tersangka seseorang yang telah ditetapkan dan telah

disidangkan di Praperadilan masih belum jelas, dan hal tersebut mengakibatkanketidak pastian hokum, dan praperadilan mempunyai tugas menjaga ketertibanpemeriksaan pendahuluan dan untuk melindungi tersangka dan terdakwa terhadaptindakan penyidik atau penuntut umum. Jadi pada hakekatnya lembaga

3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, 1976, hal. 16-17

4 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, cetakan V, PradyaParamita, Jakarta,1979, hal. 91

7

praperadilan yang diatur dalam pasal 77 sampai dengan pasal 83 KUHAP adalahuntuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak tersangka atauterdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan.

1.4 Tujuan penulisanDalam merumuskan tujuan penulisan saya berpegang pada rumusan masalah

yang ada. Adapun tujuan dari penulisan ini ialah:1. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari putusan praperadilan.2. Untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Konstitusi memasukan penetapan

tersangka sebagai objek praperadilan.

1.5 Manfaat Penulisan1. Secara teoritis hasil penulisan ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu

pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang peradilan pidana. Dengan adanyapenulisan dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untukmemberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yangterjadi.

2. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi masyrakat danjuga penulis mendapatkan pemahaman yang lebih mengenai praperadilan diIndonesia.

1.6 Metode PenelitianDalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil beberapa metode penelitian,diantaranya sebagai berikut :

a. Jenis PenelitianDalam menyusun skripsi ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis

penelitian normative. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, menyatakanbahwa “penelitian hukum normative adalah penelitian hukum yang dilakukandengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka”.5 Rony HanitijoSoemitro, menyatakan bahwa penelitian normative merupakan “penelitian hukumkepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder”.6 Penelitian normatif adalahpenelitian yang mengkaji hukum dengan norma. Dengan kata lain penelitian yangdilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder lainnya yangberkaitan dengan obyek penelitian.7

b. Pendekatan Penelitian

5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, SuatuTinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 13

6 Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990 hlm. 11

7 Ibrahim Johny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif,Bayumedia publishing, Malang, 2005, hlm. 33

8

Dalam Penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatanperundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptualapproach).

Pendekatan perundang-undangan (statue approach) yaitu pendekatandengan menggunakan legislasi dan regulasi. Karena yang diteliti adalah berbagaiperaturan yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian, dalam halini adalah sebagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan obyekpenelitian.8

Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yangberanjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide denganmemberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukumyang relevan dengan permasalahan.9

c. Bahan Hukum

Tipe penelitian ini merupakan studi kepustakaan yaitu suatu metodepengumpulan data yang dilakukan dengan berbagai macam literatur yang ada diperpustakaan, buku-buku khusus pidana serta hukum acara pidana maupun teori-teori bantuan hukum yang secara spesifik dapat menjadi sumber masukan dalammenyelsaikan masalah sebagai dasar teori untuk menunjang bobot dari isipenulisan ini.

Bahan hukum yang digunakan dalam pembahasan dan penulisan ini adalahdata sekunder yang berupa bahan-bahan hukum yang masih berlaku serta masihberhubungan dengan topik yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Adapun datasekunder yang digunakan dalam penulisan ini meliputi:

1. Bahan hukum primer yaitu berupa peraturan yang sifatnyamengikat seperti :- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945- Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana,- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia- Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014- Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.2. Bahan hukum sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku, artikel, karya tulis,

serta dokumen-dokumen resmi yang ada.

8Ibid, hlm. 300-322

9Ibid., hlm. 306

9

3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk ataupenjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum,Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan bahan-bahan dari internet yang berkaitandengan masalah yang diteliti.

1.7 Teknik Pengumpulan dataTeknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkanperaturan perundang-undangan, dokumen, data-data, dan literatur lainnya yangada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

1.8 Teknik Analisa DataLangkah pembahasan dengan menggunakan metode penalaran yang bersifat

deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yangdiperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur.Dari bahan hukumyang diperoleh dari studi pustaka tersebut dikoreksikan dan untuk kemudiandianalisa.

1.9 Pertanggung Jawaban SistematikaUntuk mempermudah pembahasan proses analisis serta penjabaran isi dari

penulisan ini, maka diperlukan sistematika penulisan dengan membagi ke dalambeberapa bab, antara lain sebagai berikut:BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab pertama ini merupakan awal penulisan yang meliputi latarbelakang, rumusan masalah, penjelasan judul, tujuan penulisan, manfaatpenulisan, teknik pengumpulan dan pengolahan data, teknik analisis data danyang terakhir uraian pertanggung jawaban sistematika.BAB II : PRAPERADILAN DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL

Dalam BAB II ini penulis menjelaskan apa saja akibat yang akan timbulnantinya setelah putusan praperadilan, baik akibat bagi termohon ataupunpemohon dan juga akibat hukum bagi masyarakat Indonesia yang mana putusantersebut dianggap kontroversial oleh sebagaian masyarakat Indonesia. Disampingitu juga dalam pembahasan bab ini di jadikan sebagai dasar untuk melanjutkanpenulisan di bab yang selanjutnyaBAB III :PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEKPRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

Dalam BAB III ini penulisan menjelaskan apa saja yang menjadipertimbangan mahkamah konstitusi memasukan penetapan tersangka sebagaiobjek praperadilan.BAB VI : PENUTUP

Pada bab ke empat ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutupyang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.

10

BAB IIPRAPERADILAN DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL

2.1 Akibat Hukum Putusan PraperadilanMenurut pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang

kekuasaan kehakiman,yang berbunyi : segala Putusan pengadilan selain harusmemuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum taktertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Demikian juga halnya dengan isiputusan praperadilan, yang tercantum dalam pasal 82 ayat 2 dan ayat 3KUHAP.Dalam ayat 2 disebutkan bahwa putusan hakim adalah acarapemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagai mana dimaksud dalam pasal 79,pasal 80 dan pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.Selanjutnya ayat 3 menyebutkan bahwa isi putusan selain memuat ketentuansebagaimana dimaksud dalam ayat 2 juga memuat hal-hal sebagai berikut:

a) dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidaksah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus membebaskan tersangka;

b) dalam hal putusan menetapkan bahwa suatau penghentian penyidikan ataupenuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajibdilanjutkan;

c) dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidaksah maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian danrehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalm hal suatu penghentian penyidikanadalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkanrehabilitasi.

d) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasukalat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harussegera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disitaMelihat ketentuan mengenai isi putusan praperadilan sebagaimana tersebut dalampasal 82 ayat 2 dan ayat 3 nampaklah bahwa putusan praperadilan merupakanputusan yang bersifat declaratoir, yang pada dasarnya merupakan suatu putusanyang menegaskan bahwa seorang mempunyai hak.10

Wirjono prodjodikoro menyebutkan bahwa putusan yang bersifat declaratoiryaitu apabila putusan yang diminta itu, mempunyai akibat hukum. Misalnya duaorang suami istri mohon, supaya hakim menetapkan seorang anak sebagai anakyang sah, bahwa surat hibah wasiat ( testament ) dari yang meninggal adalah sah.Meskipun putusan hakim seperti ini juga bersifat declaratoir artinya menentukansifat suatu keadaan dengan tidak mengandung perintah kepada suatu pihak untuk

10Ratna Nurul Afiah, Praperadilan Dan Ruang Lingkupnya, AkademikaPresindo, Jakarta, 1986, hal. 94

11

berbuat ini atau itu, tetapi pemohon terang mempunyai kepentingan atas adanyaputusan ini, oleh karena ada akibat hukum yang nyata dan penting dari putusanini.11

Permohonan praperadilan adalah hak dari pihak-pihak yang merasadirugikan. Oleh karena hak, maka untuk itu harus ada permohonan dari pihakyang berkepentingan, sekalipun ada penangkapan, penahanan atau penetapantersangka yang nyata-nyata tidak sah misalnya, pemeriksaan praperadilan tidaksecara langsung akan diadakan tanpa ada permintaan dari pihak-pihak yangmerasa dirugikan karena tindakan itu.

Suatu hal yang penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimanapermohonan praperadilan itu diajukan atau dengan kata lain bagaimana caramengajukan permohonan praperadilan. Sebab mungkin-mungkin saja seseorangmengetahui atau bahkan merasa mempunyai hak untuk mengajukan permohonanpraperadilan, tetapi karena tidak mengerti tata cara pengajuan permohonanpraperadilan, seseorang tidak jarang hanya diam tidak menggunakan haknyaataupun bila menggunakan tersebut terpaksa harus tidak diterima permohonannyakarena tidak memenuhi ketentuan formil, ataupun permohonannya gugur demihukum.

Selanjutnya untuk mengetahui tata cara pengajuan permohonanpraperadilan, beberapa ketentuan dalam undang-undang yang perlu diperhatikanadalah :

a. Permohonan ditujukan ke ketua Pengadilan Negeri.Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh

Praperadilan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang meliputidaerah hukum tempat dimana penangkapan, penahanan, penggeledahan,atau penyitaan itu lakukan.Atau diajukan kepada ketua pengadilan negeridimana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan danpenuntutan berkedudukan.

b. Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan,Seperti yang sudah penulis bahas diatas bahwa sebelum mengajukan

Praperadilan harus dipahami terlebih dahulu siapa saja pihak yang berhakmengajukan permohonan praperadilan.

c. Harus diperhatikan tahap-tahap atau tingkat pemeriksaan,Pemeriksaan dalam praperadilan diperiksa oleh hakim tunggal.Semua

permohonan yang diajukan kepada praperadilan, diperiksa dan diputusoleh seorang hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dal pasal 78 ayat (2) yang

11 R. Wirjono Prodjodikoro, hukum Acara Perdata di Indonesia , SumurBandung, Bandung, 1982, hal. 126

12

berbunyi : “Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk olehketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera”.

d. Harus diperhatikan tenggang waktu,Tenggang waktu disini ialah mulai dari pemeriksaan sampai

dijatuhkannya putusan, hal tersebut diatur dalam pasal 82 ayat (1) yangberbunyi :

(1)Acara pemeriksaan praperadilan untuk sebagaiman dimaksuddalam pasal 79, pasal 80, dan pasal 81 ditentukan sebagaiberikut:

a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan ,hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;

b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknyapenangkapan atau penahanan, sah atau tidaknyapenghentian penyidikan atau penuntutan, permintaanganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnyapenangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentianpenyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disitayang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengarketerangan baik dari tersangka atau pemohon maupundari pejabat yang berwenang;

c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat danselambatlambatnya tujuh hari hakim harus sudahmenjatuhkan putusannya;

d. dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa olehpengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenaipermintaan kepada pra peradilan belum selesai, makapermintaan tersebut gugur;

e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidakmenutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan,praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntutumum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.

e. Harus memuat dasar-dasar dan alasan hukum yang kuat.Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 82 ayat (2) yang menyatakan

bahwa Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenaihal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harusmemuat dengan jelas dasar dan alasannya. Jelas bahwa semua putusanhakim harus mempunyai dasar hukum agar mempunyai kekuatan hukumtetap.

2.2 Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka Yang Tidak SahPada dasarnya setiap upaya paksa ( enforcement ) dalam penegakan hukum

mengandung nilai HAM yang sangat asasi. Oleh karena itu harus dilindungi

13

dengan seksama dan hati-hati, sehingga perampasan atasnya harus sesuai denganacara yang berlaku.

Yang harus kita pahami terlebih dahulu disini ialah apa yang dimaksuddengan tersangka dan juga penetapan tersangka itu sendiri, apakah keduanya inisama atau berbeda, untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat dalamKUHAP pasal 1 angka 14 yang menyebutkan bahwa tersangka adalah yangkarena perbuatannya atau keadaanya berdasarka bukti permulaan yang cukumpatut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dari bunyi pasal tersebut bisa kitalihat bahwa tersangka merupakan seorang yang diduga melakukan tindak pidanayang mana belum tentu tersangka tersebut melakukan tindak pidana, karena untukmengetahui apakah perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana harusmelalui proses penyelidikan dan penyidikan.

Penetapan tersangka merupakan suatu bentuk wewenang yang dimilikipenegak hukum untuk memberikan titel kepada orang yang disangkakan dengannama tersangka, terhadap suatu penetapan tersangka belum ada perampasan hakterhadap seseorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, selama KUHAPbelum diubah maka ketentuan didalamnya tetap berlaku. Ada keberatan terhadapsuatu penetapan tersangka yang diajukan ke lembaga Praperdilan dengan alasankeputusan dilakukan oleh pejabat yang tidak sah, maka tidak dapat diajukanPraperadilan.

Demikian pula dengan kurangnya bukti atas suatu penetapan tersangkabukan merupakan kompetensi Praperadilan, melainkan harus melalui prosesperadilan perkara pokok dan dalam pembuktian materiil, yang berwenangmenentukan cukup atau tidaknya bukti permulaan adalah penyelidiknya, danpenetapan tersangka juga didasarkan pada alat bukti permulaan. Penetapantersangka yang diajukan ke lembaga praperadilan dengan alasan adanya upayapaksa berupa pencegahan, tidak dapat menjadi objek praperadilan karenapencegahan bukanlah termasuk upaya paksa sebagaiman dimaksud pada pasal 77KUHAP.Jika ada yang mengatakan bahwa penetapan tersangka dapat menjadiobjek kewenangan praperadilan karena telah dilakukan upaya paksa, maka yangdinyatakan tidak sah adalah upaya paksanya.

Kendati praperadilan berdasarkan pasal 77 KUHAP adalah pengadilannegeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yangdiatur dalam undang-undang. Praperadilan sama sekali tidak berkenaan dengansah tidaknya penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik, sementarapenyidik itu sendiri berkenaan dengan hak asasi manusia agar dalam menetapkanseseorang sebagai tersangka tidak sewenang-wenang.

Perlindungan hak asasi manusia merupakan istilah yang sangat luasmaknanya.Undang-undang hak asasi manusia tidak memberikan penafsiranlengkap terhadap istilah perlindungan tersebut.Penjelasan undang-undang tentanghak asasi manusia, khususnya penjelasan pasal 8 hanya menyatakan “yangdimaksud dengan perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.

14

Pada prinsipnya tujuan utama kelembagaan praperadilan dalam KUHAP,untuk melaksanakan “pengawasan horizontal” atas tindakan upaya paksa yangdikenakan terhadap tersangka selam ia berada dalam pemeriksaan penyidikan ataupenuntutan, agar benar-benar tindakan ini tidak bertentangan dengan ketentuanhukum dan undan-undang.

sehubungan dengan tindakan upaya paksa yang dilakukanpejabat penyidikbaik penyidik POLRI maupun penyidik KPK atau penuntut umum terhadaptersangka. KUHAP sudah dengan jelas mengatur, bersumber dari pasal-pasaldimaksudkan kewenangan praperadilan. Akan tetapi, ada lagi kewenangan lainyakni memeriksa dan memutus tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasisebagaimana yang diatur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP. Wewenang pertamayang diberikan undang-undang kepada praperadilan memeriksa dan memutus sahatau tidaknya :

Seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan,penahanan,penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepadapraperadilan untuk memriksa sah atau tidaknya tindakan yangdilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukanpemeriksaan kepada praperadilan, bahwa tindakan penahan yangdikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan ketentuan pasal 21KUHAP, atau penahanan yang dikeankan sudah melampaui batswaktu yang ditentukan dalam pasal 24 mengenai syarat penahanan.

Ruang lingkup kewenangan praperadilan ialah memriksa danmemutus dan memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikanyang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknyapenghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum.

Asas mendasar yang ada pada Hukum Acara Pidana adalah asas praduga takbersalah.Asas praduga tak bersalah diwujudkan dalam bentuk adanya sejumlahhak bagi tersangka/terdakwa. Proses dan prosedur dalam penyidikan, penuntutandan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan diantaranya diabdikan untukmelindungi, memenuhi, dan mewujudkan hak-hak tersangka/terdakwa tersebut.Dengan cara demikian itulah perlakuan terhadap tersangka/terdakwa tentangdugaan kebersalahannya atas suatu tindak pidana berada dalam tataran yangwajar.

Asas praduga tak bersalah bukan berarti menganggap seseorang tidakbersalah, sampai dengan pengadilan menyatakan yang bersangkutan bersalahkarena suatau tindak pidana, tetapi sebenarnya merupakan mekanisme yangdigunakan sebelum seseorang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, yakni yangbersangkutan mempunyai hak-hak untuk berlaku seperti orang padaumumnya.Dengan adanya hak-hak tersebut maka pada dasarnya terdapat laranganbagi aparatur sistem peradilan pidana untuk berpraduga bersalah terhadaptersangka/terdakwa.

15

Pada sisi lain peluang menggunakan hak-hak dimaksud semakin menurunmenyesuaikan dengan tingkat-tingkat pemerisaan perkara dan berakhir ketikayang bersangkutan dijatuhi vonis bersalah melakukan tindakan pidana. Penetapanseorang sebagai tersangka mengacu pada bukti permulaan yang cukup yang manabukti permulaan yang cukup ialah minimal 2 alat bukti.

Selain itu terkait dengan definisi penyidikan dan tersangka, secara teoritikada perbedaan antara menetapkan tersangka dan menemukan tersangka. Dalamhal ini proses penetapan seorang sebagai tersangka adalah suatu penilaian yuridis,terhadap bukti yang telah ditemukan dan dihimpun oleh penyidik. Sedangkanmenemukan tersangka lebih pada didapatinya secara fisik seorang yangmelakukan tindak pidana itu.Hal ini patut dipertanyakan, apakah menemukantersangka itu adalah definisi kewenangan penyidik, yang boleh dilakukan danboleh juga tidak dilakukan. Persoalan lain adanya kalimat “dan menemukantersangkanya” dalam pasal 1 angka 2 KUHAP, juga mengandung bahaya, yaituseolah-olah penyidikan harus sampai dengan adanya penetapan seorang sebagaitersangka. Dengan kata lain, setelah adanya surat perintah penyidikan (sprindik),penyidik harus dapat menemukan tersangka.

Apabila hak-hak seorang dilanggar yang mana hal tersebut dilakukan olehpenyidik dengan menetapakan orang tersebut sebagai tersangka dari suatu tindakpidana, dan orang tersebut merasa keberatan oleh penetapan yang dilakukan olehpenyidik maka orang tersebut bisa meminta agar di adakan praperadilan, karenapenetapan tersangka adalah bagian dari penyidikan, yang oleh pasal 1 angka 2KUHAP diberi pengertian sebagai,”… serangkaian tindakan penyidik dalam halmenurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari sertamengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yangterjadi serta guna menemukan tersangkanya”. Dengan demikian, penetapantersangka adalah ujung dari tindakan penyidik sebelumnya, yaitu setelah penyidikberdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan memperoleh kejelasan akantindka pidana yang terjadi.

Status tersangka sendiri pada dasarnya merupakan hal yang tidak diinginkanoleh setiap orang. Karena ini adalah awal dari stigma negative yang mungkinmuncul dari suatu proses peradilan pidana. Oleh Karena itu maka penentutanstatus seseorang sebagai tersangka menjadi hal yang penting untuk dilakukansecara hati-hati dan juga harus diawasi dengan seksama.

16

BAB IIIPENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK

PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI3.1. Hak-Hak Tersangka Menurut Undang-Undang

Hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum, sedangkan kepentinganadalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkandipenuhi.Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dandilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.12Secara normatife sebenarnyaKUHAP telah mengakomodasi hak-hak tersangka dan terdakwa.Jika dalampraktek dikeluhkan sering dilanggar hak-hak tersangka dan terdakwa, persoalanyalebih terletak pada masalah penegakan hak-hak tersangka/terdakwa danselebihnya bergantung pada apartur pelaksana KUHAP.13

Ketika seorang individu ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalamsuatu perkara tindak pidana, maka individu tersebut pada hakikatnya berhadapandengan Negara.Jika individu itu adalah warga Negara dari Negara yangbersangkutan, maka pada hakikatnya dia berhadapan dengan negaranyasendiri.Akan tetapi Negara hanya boleh melakukan tindakan terhadap individuyang diduga melakukan suatu tindak pidana berdasarkan batas-batas yang telahditentukan oleh undang-undang.

Dalam KUHAP pasal 1 ayat 14 di jelaskan bahwa tersangka adalah seorangyang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patutdiduga sebagai pelaku tindak pidana, seperti yang sudah penulis bahas di atas,bahwa bukti permulaan yang cukup ialah minimal adanya dua alat bukti, dalampasal 184 yang berbunyi “ alat bukti yang sah ialah :

a) Keterangan saksib) Keterangan ahlic) Suratd) Petunjuke) Ketrangan terdakwa.

Selanjutnya pasal 185 berbunyi1) keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di siding

pengadilan.2) keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktika bahwa terdakwa

bersalah terhadap perbuatannya yang didakwakan kepadanya.3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai

dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

12 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, 2007, hal 43.

13Ai Wisnubroto, G. Widiartana, op cit,hal 51.

17

4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian ataukeadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangansaksi itu ada hubungannya bsatu dengan yang lain sedemikian rupa, sehinggadapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukanmerupakan keterangan saksi.

6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengansungguh-sungguh memperhatikan :

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan

yang tertentu;d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya

dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterngan itu dipercaya.7) Keterangan dari saksi yang tidak dapat disumpah meskipun sesuai satu dengan

yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesui denganketerangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alatbukti yang sah lain.

Tersangka dan terdakwa pada dasarnya mempunyai hak yang sama di matahukum, akan tetapi tersangka dan terdakwa mempunyai hak-hak lain yang manahak-hak tersebut telah diatur dlam Undang-Undang, hak yang pertama ialah hakuntuk mengajukan banding. Dasar hukum bagi hak pengajuan banding secaraumum diatur dalam pasal 67 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

“ Tersangka atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadapputusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap ptutusan bebas,lepas darisegala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapanhukum dan putusan pengadilan dalam acara tepat”.

Jadi pada prinsipnya, asalkan putusan itu tidak mengandung pembebasanatau lepas dari segala tuntutan hukum dan tidak dalam rangka pemeriksaan acarcepat, dapat dimintakan banding.14 Hak lain yang diperoleh tersangkah ialah hakuntuk menuntuk ganti kerugian, istilah ganti kerugian merupakan istilah hukumperdata yang timbul sebagai akibat “ wanprestasi” dalam perikatan, baik karenaperjanjian maupun karena undnag-undang.15 Sedangkan dalam KUHAP,pengertian ganti kerugian ialah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atastuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena

14 Mangasa Sidabutar, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut UmumMenenmpuh Upaya Hukum , Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 33.

15 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dan RehabilitasiDalam Hukum Pidana , Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 3.

18

kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yangdiatur dalam undang-undang ini. Hal ini sesuai dengan pasal 68 jo pasal 95 ayat(1) jo pasal 97 ayat (1) yang berbunyi “ Tersangka, terdakwa atau terpidanaberhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadiliatau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdaasrkan undnag-undang ataukarena kekeliruan yang berdasarkan undang-undang atau mengenai orangnya atauhukum yang diterapkan.”

Hak untuk mendapatkan bantuan hukum juga merupakan salah satu hakyang diteriam oleh tersangka atau terdakwa, dalam KUHAP pasal 69 sampaidengan pasal 74 diatur bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapatkebebasan yang sangat luas.16Ini berarti bahwa, oleh karena hanya merupakanhak, mendapatkan bantuan hukum masih tergantung kepada kemauan tersangkaatau terdakwa.Dia dapat mempergunakan hak tersebut, tapi bisa juga tidakmempergunakan hak itu.Konsekuensinya, tanpa didampingi oleh penasihathukum, tidak menghalangi jalanya pemeriksaan tersangka atau terdakwa.17

Hak tersangka lainnya adalah hak keberatan atas perpanjangan penahananketentuan ini berdasarkan pasal 29 ayat 7 KUHAP yang berbunyai :“ terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat 2 tersangka atau terdakwadapat mengajukan keberatan dalam tingkat :a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada ketuamhkamah agung.”

Hak untuk mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksapenuntut umum, terdakwa dan penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatanatau eksepsi. Keberatan atau eksepsi dari terdakwa atau penasehat hukumnyadapat menyangkut kewenangan mengadili atau mengenai sah tidaknya suratdakwaan dengan tujuan agar pengadilan memutus dengan putusan sela. Jikakeberatan terdakwa diterima maka pemeriksaan terhadap terdakwa tidakdilanjutkan, sebaliknya jika ditolak, pemeriksaan dilanjutkan dengan prosespembuktian.

Hak tersangka/terdakwa yang selanjutnya ialah Hak untuk melakukanpembelaan. Untuk kepentingan mempersiapkan pembelaan tersangka atauterdakwa, undang-undang menentukan beberapa pasal (Pasal 51 sampai denganPasal 57), yang dapat dirinci:a. Berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dimengerti

olehnya tentang apa yang disangkakan padanya.

16 Mohammad Taufik Makarao, Suharsil, Hukum Acara Pidana DalamTeori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 8

17Ibid, hlm. 13-14

19

b. Hak yang demikian dilakukan pada waktu pemeriksaan mulai dilakukantehadap tersangka.

c. Terdakwa juga berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yangdapat dimengerti tentang apa yang didakwakan kepadanya..

d. Berhak memberi keterangan dengan bebas dalam segala tingkat pemeriksaan,mulai dari tingkat pemeriksan penyidik dan pemeriksaan sidang pengadilan.

e. Berhak mendapat juru bahasaf. Berhak mendapat bantuan hukum.g. Berhak secara bebas memilih penasihat hukum.18

Hak-hak yang diberikan oleh KUHAP tersebut diatas bukan kepadatersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum tetapi sebagai “manusia” yangmempunyai hak dan kewajiban, manusia sebagai obyek dan subyek anggotamasyarakat. Jika seorang tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaranmaterial sungguh-sungguh adalah pelaku suatu delik, maka merupakan suaturesiko perbuatannya sendiri yang melanggar hukum itu.Tetapi tersangka/terdakwabelum tentu sungguh-sungguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan ataudidakwakan. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakimyang tetap bahwa ia bersalah (presumption of innocence).19

3.2. Pertimbangan Mahkamah KonstitusiPertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memasukan penetapan

tersangka sebagai objek praperadilan sebagai berikut :1. Menimbang bahwa permasalahan utama pemohon adalah pengujian

konstitusionalitas pasal 1 angka 2, pasal 1 angka 14, pasal 21 ayat (1), pasal77 huruf a, dan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1981, Nomor 76, Tambahan Lembarang Negara Republik Indonesia Nomor3209, selanjutnya disebut KUHAP) yang menyatakan:Pasal 1 angka 2 KUHAP:“penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut carayang diatur dalam undnag-undang ini untuk mencari serta mengumpulkanbukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi danguna menemukan tersangkanya”Pasal 1 angka 14 KUHAP:“tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanyaberdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”

18 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KuhapPenyidikan dan Penuntutan, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 332-334.

19 Andi Hamzah. Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana.Binacipta. Bandung. 1986. Hal. 32

20

Pasal 17 KUAP:“perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga kerasmelakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”Pasal 21 ayat (1) KUHAP:“perintah penahan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorangtersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidanaberdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkankekhawatiran bahwa tersagnka atau terdakwa akan melarikan diri, merusakatau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”Pasal 77 KUHAP:“pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai denganketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidakn yapenangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentianpenuntutan”Pasal 156 ayat (2):“jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidakdiperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakimberpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, makasidang dilanjutkan”Terhadap undang-undnag dasar negara republik indonesia tahun 1945selanjutnya disebut UUD 1945, yaitu:Pasal 1 ayat (3) UUD 1945:“Negara Indonesia adalah negara hukum”Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:“setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dankepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”Pasal 28I ayat (5) UUD 1945:“Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai denga prinsipnegara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepadapemabatasan yang ditetapkan denga undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasanorang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai denganperimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalamsuatu masyarakat demokratis”.

2. Menimbang bahwa terhadap pengujian frasa “dan guna menemukantersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan denganpasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Koonstitusimempertimbangkan sebagai berikut:

21

Bahwa pasal 1 ayat (2) KUHAP termasuk dalam Bab I pasal 1 ketentuanumum yang mengatur tentang pengertian penyidikan yang menyatakan,“penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurutcara yang diatur dalam undnag-undang ini untuk mencari sertamengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidanayang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Adapun frasa “dan gunamenemukan tersangknya” harus ditafsirkan bersyarat seperti yang didalilkanoleh pemohon, menurut mahkamah , sebernarnya sudah dipenuhi oleh pasaltersebut, yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukansuatu proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudianpenyidik menemukan tersangka dalm satu tindak pidana sehingga tidak sertamerta penyidik menemukanj tersangka sebelum melakukan pengumpulanbukti sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Pasal 1 angka 2 KUHAPmengatur bagaimana penyidik menemukan tersangka sehinggga pasaltersebut sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan.

3. Menimbang terhadap dalil pemohon bahwa Pasal 77 huruf a KUHAPbertentangan dengan pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan pasal 28I ayat(5) UUD 1945 apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnyapenetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat,Mahkamah Konstitusi berpendapat:

a. Mengenai penetapan tersangka, Mahkamah mempertimbangkan sebagaiberikut:

- Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satuperwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilanpidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihakterutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaanhak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yangseimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalamproses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwamaupun terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang.Oleh karena itu, negara terutama pemerintah berkewajiban umtukmemberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhanterhadap HAM. KUHAP sebagaim hukum formil dalam prosesperadilan pidana di indonesia telah merumuskan sejumlah haktersangka/terdakwa seabagai pelindunmg terhadap kemungkinanpelanggaran hakasasi manusia.

- Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku jugaberdasarkan pancasila dan udnag-undang dasar negara republikindonesia tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegaskan demiterciptanya tujuan dan cita-cita bangsa indonesia sebagaimana yangdirumuskan pada alinea keempat, yaitu, membentuk suatupemerintahan negara indonesia yang melindungi segenap bangsa

22

indonesia dan seluruh tumpah darah indonesai dan untuk memajukankesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikutmelaksanakan ketertiban dunia yang berdsarkan kemerdekaanperdamaian abadi dan keadilan sosial. Rakyat indonesia harusmerasa aman dari berbagai ancaman dan bahaya yang datang, rasaaman yang diberikan oleh negara kepada rakyat tidak hanyaditunjukan bagi mereka yang benar saja, akan tetapi bagi merekayang diduga melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminanrasa aman terhadap diri mereka.

- Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapantersangka belum menjadi isu yang krusial dan problematik dalmkehidupan msayrakat indonesia. Upaya paksa pada masa itu secarakonvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan,penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentukupaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan ataumodifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangkaoleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberianlabel atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktuyang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untukmenerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginyauntuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dankemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut.

Dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi diatas maka diputuskan sebagaiberikut:

AMAR PUTUSANMengadili,

Menyatakan:1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian;1.1. Frasa “bukti permulaaan”,”bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang

cukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, danpasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang HukumAcara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)bertentangan dengan undang-undang dasar Negara republic Indonesiatahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “buktipermulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alatbukti yang termuat dalam pasal 184 undang-undang nomor 8 tahun 1981tentang hukum acara pidana;

1.2. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yangcukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, danpasal 21 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukumacara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor

23

76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidakmempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yangcukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana;

1.3. Pasal 77 huruf a undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukumacara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)bertentangan dengan undang-undang dasar Negara republik Indonesiatahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,penggeledahan, dan penyitaan;

1.4. Pasal 77 huruf a undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukumacara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidakmempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknaitermasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

2. Menolak pemohonan pemohon untuk selain dan selebihnya;3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara republik

Indonesia sebagaimana mestinya.Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh

Sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku ketua merangkapanggota, Arief Hidayat, Anwar Usman, Muhammad Alim, WahiduddinAdams, Ahmad fadil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, danAswanto, masing-masing sebagai anggota, pada hari selasa, tanggal dua puluhdelapan, bulan oktober, tahun dua ribu empat belas dan Sembilan hakimkonstitusi yaitu arief hidayat selaku ketua merangkap anggota, anwar usman,Muhammad alim, wahiduddin adams, maria farida indrati, patrialis akbar,aswanto, I dewa gede palguna, dan suhartoyo, masing-masing sebagaianggota, pada hari senin, tanggal enam belas, bulan maret, tahun dua ribu limabelas, serta diucapkan sidang pleno mahkamah konstitusi terbuka untukumum pada hari selasa, tanggal dua puluh delapan, bulan april, tahun dua ribulima belas, selesai di ucapkan pukul 10.57 WIB, oleh tujuh hakim konstitusiyaitu arief hidayat, selaku ketua merangkap anggota, anwar usman,wahiduddin adams, suhartoyo, maria farida indrati, patrialis akbar, dan I dewagede palguna, masing-masing sebagai anggota, denga didampingi oleh chalidnasir sebagi panitera pengganti, dihadiri oleh pemohon/kuasanya, presidenatau yang mewakili, dan dewan perwakilan rakyat atau yang mewakili.Terhadap putusan mahkamah mengenai “penetapan tersangka”, terdapat satuorang hakim konstitusi yang memiliki alasan berbeda ( concurring opinion )dan tiga orang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda ( dissentingopinion ).

24

BAB IVPENUTUP

4.1 KesimpulanBerdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :1. Seperti yang sudah tertulis dalam pasal 82 ayat 3 bahwa putusan praperadilan.

dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanantidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaanmasing-masing harus membebaskan tersangka;dalam hal putusan menetapkanbahwa suatau penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikanatau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;dalam hal putusanmenetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalamputusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yangdiberikan, sedangkan dalm hal suatu penghentian penyidikan adalah sah dantersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkanrehabilitasi.Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yangtidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwabenda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapabenda itu disita.

2. Seperti kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Konstitusi merupakanlembaga baru dalam dunia peradilan di inodnesia, yang mana salah satutugasnya adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar yangsering kita sebut judicial review. Judicial review ini dilakukan untukmelindungi hak warga Negara yang merasa dirugikan oleh berlakunya suatuundang-undang. Dalam kasus ini yang menjadi perhatian penulis adalahjudicial review terhadap pasal 77 KUHAP yang mana dalam pasal tersebutdirasa merugikan seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik,karena pasal tersebut tidak mengatur penetapan tersangka sebagai objekpraperadilan. Sedangkan dalam pasal 28D ayat (1) UUD mengatakansetiaporang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yangadil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dari bunyi pasal tersebutpasal 77 KUHAP dianggap bertentangan denga pasal 28D ayat (1) tersebut,oleh karena itu demi tercapainya keadilan dan tidak melanggar Hak AsasiManusia maka apa yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam memasukanpenetapan tersangka sebagai objek praperadilan dirasa cukup benar.

25

4.2 Saran1. Sebagai saran atas kesimpulan diatas maka penyidik sebagai aparat

penegak hukum tidak boleh bertindak semena-mena denganmenetapkan orang sebagai tersangka, karena hukum pidana Indonesiamengenal asas praduga tak bersalah, yang mana asas tersebut berartibahwa setiap orang tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum adaputusan hakim yang bersifat tetap. Untuk melindungi hak-hak tersangkapemerintah harus segera membuat undang-undang hukum acara pidanayang baru, karena hukum acara pidana yang sekarang dirasa sudah tidakcocok dengan masyarakat Indonesia.

2. Pemerintah harus secepatnya merevisi KUHAP karena memangKUHAP ini sudah tidak relevan lagi, banyak pasal yang harus direvisikarena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Supaya dikemudianhari tidak ada lagi masyarakat yang merasa dirugikan denganberlakunya Undang-Undang ini.

26

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ai. Wisnubroto, G. Widiartana, PembaharuanHukumAcaraPidana, Citra AdityaBakti, Bandung, 2005.

AndiHamzah. PerlindunganHak-HakAsasiManusiadalamKitabUndang-UndangHukumAcaraPidana. Binacipta. Bandung. 1986

Fatkhurohman. Dian Aminudin. Sirajuddin,MemahamiKeberadaanMahkamahKonstitusi Di Indonesia , Bandung, CitraAditya Bakti, 2004

HariSasangka, “ Penyidikan, Penahanan,Penuntutan,danPraperadilanDalamTeori Dan Praktek,MandarMaju, Bandung,2007Jimly Asshiddiqie, HukumAcaraPengujianUndang-Undang,Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

Johnny Ibrahim, TeoridanMetodePenelitianHukumNormatif, Bayumediapublishing, Malang, 2005.

LedenMarpaung, Proses TuntutanGantiKerugian DanRehabilitasiDalamHukumPidana,RajagrafindoPersada, Jakarta, 1997.

LilikMulyadi, Putusan Hakim DalamAcaraPidana, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung,2007

MangasaSidabutar,HakTerdakwaTerpidanaPenuntutUmumMenenmpuhUpayaHukum,RajagrafindoPersada, Jakarta, 2001.

Moh. Mahfud MD,MembangunPolitikHukumMenegakkanKonstitusi,Jakarta,RajawaliPers, 2010

Mohammad TaufikMakarao, Suharsil, HukumAcaraPidanaDalamTeori DanPraktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

M. YahyaHarahap, PembahasanPermasalahan Dan Penerapan KUHAPPemeriksaanSidangPengadilan, Banding, Kasasi, danPeninjauanKembali,SinarGrafika, Jakarta, 2000.

-------------------, PembahasanPermasalahan DanPenerapanKuhapPenyidikandanPenuntutan, edisikedua, SinarGrafika,Jakarta, 2009

Patra M. Zen et al, PanduanBantuanHukum Di Indonesia, Edisi II, YayasanOborIndonesia, Jakarta, 2009.

27

R. WirjonoProdjodikoro, hukumAcaraPerdata di Indonesia ,Sumur Bandung,Bandung, 1982.

-------------------, HukumAcaraPidana Di Indonesia ,Sumur Bandung, Bandung,1983.

RatnaNurulAfiah, Praperadilan Dan RuangLingkupnya, AkademikaPresindo,Jakarta, 1986

RonyHanitijoSoemitro, MetodologiPenelitianHukumdanJurimetri,GhaliaIndonesia, Jakarta, 1990.

S. Tanusubroto, PerananPraperdailanDalamHukumAcaraPidana, Alumni,Bandung, 1983.

SoerjonoSoekantodan Sri Mamudji, PenelitianHukumNormatif,SuatuTinjauanSingkat, Raja GrafindoPersada, Jakarta, 1994.

Subektidan R. Tjitrosoedibio, KamusHukum, PradyaParamita, Jakarta,1979.

SudiknoMertokusumo, MengenalHukumSuatuPengantar, UniversitasAtma JayaYogyakarta, Yogyakarta, 2010

W.J.S. Poerwadarminta, KamusUmumBahasa Indonesia, BalaiPustaka, Jakarta,1976.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undnag-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

KitabUndang-UndangHukumPidana

Undang-UndangNomor 8 Tahun 1981 TentangHukumAcaraPidana

Undang-UndangNomor 16 Tahun 2004 TentangKekuasaanKehakiman

Undang-UndangNomor 8 Tahun 2011 TentangMahkamahKonstitusi

Undang-UndangNomor 39 Tahun 1999 TentangHakAsasiManusia

Undang-UndangNomor 30 Tahun 2002TentangKomisiPemberantasanTindakPidanaKorupsi

PP Nomor 27 Tahun 1983 TentangPelaksanaanHukumAcaraPidana