disertasi implikasi keputusan mahkamah …

383
DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL MENGENAI KASUS PULAU-PULAU SIPADAN DAN LIGITAN TERHADAP TITIK PANGKAL DAN DELIMITASI MARITIM (Kajian Hukum Internasional) THE IMPLICATION OF THE ICJ DECISION CONCERNING SIPADAN- LIGITAN ISLANDS CASE TOWARDS THE BASEPOINTS AND MARITIME DELIMITATION (Studies on International Law) Oleh : Marcel Hendrapati P000431008 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013 i

Upload: others

Post on 27-Dec-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

DISERTASI

IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL MENGENAI KASUS PULAU-PULAU SIPADAN DAN LIGITAN TERHADAP TITIK

PANGKAL DAN DELIMITASI MARITIM (Kajian Hukum Internasional)

THE IMPLICATION OF THE ICJ DECISION CONCERNING SIPADAN-

LIGITAN ISLANDS CASE TOWARDS THE BASEPOINTS AND MARITIME DELIMITATION

(Studies on International Law)

Oleh :

Marcel Hendrapati P000431008

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

i

Page 2: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

PERSETUJUAN UJIAN PROMOSI

IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TERKAIT KASUS SIPADAN DAN LIGITAN TERHADAP TITIK PANGKAL DAN

DELIMITASI MARITIM (Kajian Hukum Internasional)

IMPLICATION OF THE ICJ DECISION CONCERNING SIPADAN-LIGITAN CASE TOWARDS THE BASEPOINTS AND MARITIME

DELIMITATIONS (Studies on International Law)

Diajukan oleh

Marcel Hendrapati P040031008

Menyetujui

Tim Promotor

Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H., M.H. Promotor

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H. Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H., M.H.

Ko-Promotor Ko-Promotor

Mengetahui Plt. Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H.

ii

Page 3: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang dapat diucapkan selain memuji dan bersyukur ke

hadapan hadirat Tuhan yang maha kuasa karena pertolongannya Disertasi

dengan judul “Implikasi Keputusan Mahkamah Internasional terkait Kasus

Sipadan dan Ligitan Terhadap Titik Pangkal dan Delimitasi Maritim (Kajian

Hukum Internasional), Implication of the Judgement of the International

Court of Justice relating to the Sipadan and Ligitan Case towards the

Basepoints and Maritime Delimitations (Studies on International Law)” dapat

diselesaikan dalam rangka memenuhi tugas akhir pada Program Studi

Doktor Ilmu Hukum (S3) Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Disadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan disertasi ini,

rintangan dan kendala yang dihadapi tidaklah sedikit. Namun atas berkat

Allah, kendala dan rintangan tersebut dapat dilewati dengan baik melalui

bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankan saya menyampaikan

terima kasih yang tidak terhingga kepada Bapak dan Ibu sebagai guru saya

atas ilmu pengetahuan, bimbingan dan nasehat yang telah diberikan selama

proses pembelajaran, semoga diberkati oleh Allah yang maha kuasa.

Dari lubuk hati terdalam melalui kesempatan ini Penulis mengucapkan

terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Prof. Dr. Alma Manuputty,

S.H., M.H., dan Bapak Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H. serta Bapak Prof. Dr.

Muhammad Ashri, S.H., M.H., masing-masing sebagai Promotor dan Ko-

Promotor, yang dengan penuh kearifan dan keikhlasannya serta

pengorbanan meskipun di tengah-tengah kesibukan yang luar biasa dapat

iii

Page 4: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

mengarahkan, membimbing dan mendorong Penulis dalam menyelesaikan

penelitian dan penulisan Disertasi ini.

Pernyataan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak dan Ibu Tim

Penguji proposal penelitian disertasi (Seminar Proposal), hasil penelitian

disertasi (Seminar Hasil) dan konsep disertasi (ujian tutup) dan akhirnya

disertasi (ujian promosi) atas segala masukan, arahan dan petunjuk yang

sangat berharga sehingga memperkaya penulisan disertasi ini. Perkenankan

Penulis menyebutkan hingga saat ini Tim Penguji tersebut, yaitu : Ibu Dr.

Melda Kamil, SH, LLM, Bapak Prof. Hamid Awaluddin, SH, LL.M, MA, Ph.D,

Prof. Dr. Marthen Arie, SH, MH, Prof. Dr. Juajir Sumardi, SH, MH, Prof. Dr.

Irwansyah, SH, MH, dan Dr. Maasba Magassing, SH, MH, masing-masing

selaku penguji.

Ungkapan syukur dan terima kasih yang setinggi-tingginya juga

disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah

memberikan baik beasiswa program pascasarjana maupun beasiswa

program sandwich ke Utrecht University sehingga penulis dapat menikmati

ketenangan dalam menjalani program strata 3 serta menyelesaikan

penelitian maupun penulisan disertasi.

Terima kasih yang setulus-tulusnya dan sedalam-dalamnya penulis

haturkan kepada Bapak Dr Hayyan Ul Haq dalam kedudukannya sebagai

dosen pembimbing selama mengikuti Program Sandwich 2012 pada School

of Law di Utrecht University, Netherlands. Kiranya Tuhan Yang Maha

iv

Page 5: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

Pengasih dan Penyayang selalu melindungi Bapak serta keluarga di Den

Haag.

Ucapan terima kasih yang dalam penulis sampaikan kepada para

dosen Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Hasanuddin yang tidak sedikit pengorbanannya dalam memberikan ilmu dan

pengetahuan terutama ilmu hukum sehingga penulis dapat terbentuk sebagai

seorang ilmuan dalam bidang hukum. Semoga rahmat perlindungan dari

Tuhan yang Maha Kuasa senantiasa mendampingi dan menyertai

pengabdian dan pengorbanan Bapak dan Ibu beserta keluarga.

Kepada Rektor Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. dr. Idrus

Paturusi, Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Bapak

Prof. Dr. Mursalim, MS, Mantan Direktur Program Pascasarjana Universitas

Hasanuddin Bapak Prof. Dr. dr. A. Razak Thaha, M.Sc, Dekan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin Bapak Prof. Dr. Aswanto, SH, M.Si, DFM

dan para wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof Dr. Ir

Abrar Saleng SH, MH, Dr. Ansyori Ilyas, SH, MH, Rommy Librianto, SH, MH,

dan Ketua Program Studi S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Hasanuddin Almarhum Bapak Prof. Dr. Mas Bakar SH, MH, Pelaksana

Tugas Ketua Program Studi S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin Bapak Prof. Dr. Achmadi Miru, SH, MH, Penulis

menyampaikan perasaan terima kasih yang sebesar-besarnya atas

kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk melanjutkan

pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

v

Page 6: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada :

- Asisten Direktur II Program Pascasarjana Bapak Prof. Dr. Syamsul Bachri,

SH, MH atas bantuan dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama

perjalanan studi S3, terutama pada waktu penulis akan berangkat ke luar

negeri dalam rangka mengikuti program sandwich like di Utrecht University,

Netherlands pada tahun 2012.

- Prof. Dr. Sukarno Aburaerah, SH, Prof. Dr. Abdul Rasak, SH, MH, para

guru besar dan dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tidak

sempat penulis sebutkan namanya satu demi satu, atas segala dorongan,

arahan dan dukungannya dan untuk itu penulis menyampaikan penghargaan

dan terima kasih yang dalam.

-Teman-teman Mahasiswa S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin dari Angkatan 2010, antara lain Mustafa Bola, Abdul

Asis, Daksan Hasan, Abdul Harris, Kahar Lahae, Nur Azisah, Haeranah,

Ratna Musakkir, Amir Ilyas yang telah bersama-sama dalam susah dan

senang menjalani pendidikan S3 Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin, melalui kesempatan ini tak lupa penulis

menghaturkan banyak terima kasih.

Kepada isteriku Elizabeth Maria Santosa dan anak-anakku Miriam,

Genty Pratama, Didy Khrisna, yang tabah mendampingi Penulis dalam

perjalanan studi S3.

Akhirnya dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis

menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis

vi

Page 7: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

sebutkan satu demi satu yang selama ini telah memberikan dukungan baik

moril maupun materiil. Semoga Tuhan yang maha pengasih dan maha

penyayang dapat memberikan balasan yang setimpal kepada semuanya.

Amin.

Makassar, Agustus 2013

Marcel Hendrapati Japarno

vii

Page 8: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

ABSTRAK MARCEL HENDRAPATI. Implikasi Keputusan ICJ terkait Kasus Sipadan dan Ligitan terhadap Titik Pangkal dan Delimitasi Maritim (Kajian Hukum Internasional). (Dibimbing oleh Alma Manuputty, S.M. Noor, dan Muhammad Ashri). Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui dan memahami implikasi putusan ICJ dalam kasus kedua pulau terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim dari perspektif hukum nasional kedua negara dan (2) mengetahui dan memahami solusi seperti apa yang harus ditempuh kedua negara ketika tidak tercapai kesepakatan untuk menuntaskan masalah delimitasi maritim (final delimitation).

Tipe penelitian ini adalah normatif yaitu meneliti ketentuan yang ada, instrumen internasional maupun nasional. Penelitian ini dilakukan dengan menginventarisasi dokumen melalui studi pustaka dan studi lapangan. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan ICJ yang memenangkan

Malaysia berdasarkan prinsip ‘effective occupation’ bukanlah sesuatu yang baru karena sebelumnya telah diterapkan dalam berbagai kasus serupa, seperti kasus Pulau Palmas, Eastern Greenland, Clipperton Island. Fakta hukum ini berimplikasi terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim dari perspektif hukum nasionalnya dan hukum internasional. Terbitnya PP 37/2008 oleh Indonesia dan ‘Baselines of Maritime Zones Act’ 2006 oleh Malaysia merupakan implikasi putusan ICJ terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim dilihat dari perspektif hukum nasional masing-masing. Izin eksplorasi dari Malaysia untuk Shell Company menunjukkan keinginan negara itu untuk melakukan penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis maritim yang masih berlaku. Keinginan ini mendorong Indonesia memanfaatkan azas ‘relevant circumstances’ (faktor geografi dan non geografi) bagi tercapainya ‘equitable solution’. Berbagai faktor relevan, termasuk Deklarasi Oda dapat digunakan Indonesia untuk mempertahankan ‘equidistance line’ dengan mengenyampingkan kedua pulau sebagai titik pangkal sebab konsep pengenyampingan sudah sering digunakan.bagi terwujudnya ‘equitable solution’. Karena kedua Negara belum menuntaskan batas maritimnya, maka mereka harus berupaya membuat ‘provisional arrangement’ dan tidak membahayakan atau menghambat penuntasan delimitasi maritim. Perjanjian ‘Prevention of Collisions at Sea’ 2003 sebagai implikasi lepasnya Sipadan dan Ligitan bertujuan menjamin berlangsungnya berbagai kegiatan di ‘disputed area’, serta melindungi posisi masing-masing pihak terkait penuntasan delimitasi maritim.

Kata Kunci : Titik Pangkal (Basepoints), Delimitasi Maritim (Maritime Delimitation), Solusi Berkeadilan (Equitable Solution), Keadaan Relevan (Relevant Circumstances).

viii

Page 9: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

ABSTRACT

MARCEL HENDRAPATI. Implication of the ICJ Decision regarding the Case of Pulau Sipadan and Pulau Ligitan towards Basepoints and Maritime Delimitation (guided and advised by Alma Manuputty, S.M. Noor and Muhammad Asri).

This research is aimed at 1) understanding any implication of the ICJ decision regarding Sipadan and Ligitan islands towards basepoints and maritime delimitation from national law of each state point of view and 2) what kind of solution should be conducted by the two state when final delimitation on disputed area failed to be achieved.

This typical research is normative one, that is to explore and research any existing provisions, international and national instruments. This research is conducted in discovering any documents through library research. Any collected data is qualitatively analyzed.

The research’s results demonstrate that the ICJ decision awarding a victory to Malaysia based on effective occupation principle isn’t a new one, since such this principle has already been implemented in various similar cases, such as Palmas Island case, Eastern Greenland. In national law and international law it has implication to basepoints and maritime boundaries. Issue of Indonesian Government’s Regulation number 37 year 2008 and the issue of the Baselines of Maritime Zones Act 2006 as well conducted by Malaysia constitute the ICJ decision’s implication towards basepoints and maritime delimitation. Any exploration concession given by Malaysia for Shell Company indicates its intention to adjust equidistance line existing. This motivates Indonesian country to utilize relevant circumstances principle for equitable solution achievement. The various relevant factors, including Oda’s Declaration will be implemented by Indonesia to maintain equidistance line through neglecting the islands as basepoints, since neglect concept is often used for equitable result. The two states haven’t finalized maritime delimitation yet. Therefore they shall endeavour to make a provisional arrangement and not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Prevention of Collisions at Sea Agreement after the ICJ decision aimes at ensuring sustainability of various activities in disputed area and protecting the position of each state regarding final delimitation. Key Words: Basepoints, Maritime Delimitation, Relevant Circumstances, Equitable Solution.

ix

Page 10: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN ...............................…………………………... ii PRAKATA………………………………………..…………………………….. iii ABSTRAK………………………………………..…………………………….. viii ABSTRACT…………………………………………………………………….. ix DAFTAR ISI……………………………………………………………………. x DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………….. xiii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………. xiv BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1

A. Latar Belakang Permasalahan................................................ 1 B. Perumusan Masalah……………………………………………… 13 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………………………………. 13 D. Orisinalitas Penelitian……………………………………………. 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………..…. 18

A. Garis Pangkal (Baselines)………………………………………. 18 B. Gambaran Berbagai Macam Garis Pangkal............................. 25 C. Sejarah Penerapan Garis Pangkal Di Indonesia……………… 37 D. Malaysia Dan Konsep Garis Pangkal Kepulauan.................... 45 E. Latar Belakang Persengketaan Atas Sipadan Dan Ligitan...... 56 F. Pertimbangan Mahkamah Internasional Atas Konvensi London

1891 Dan Rangkaian Peralihan Hak…………………………… 61 G. Pertimbangan Mahkamah Internasional Atas Pengendalian

Efektif……………………………………………………………… 83 H. Pendapat Terpisah (Separate Opinion) dan Pendapat Berbeda

(Dissenting Opinion)…………………...................................... 91 I. Possession, Effective Ocupation, dan Pemetaan................... 98 J. Berbagai Teori Dalam Menganalisis Pengaruh Putusan ICJ

Terkait Sipadan Dan Ligitan Terhadap Delimitasi Maritim..... 113 1. Teori Hubungan Hukum Internasional Dan Nasional......... 113 2. Teori Keadilan.................................................................... 117 3. Teori Kedaulatan................................................................ 129

K. Konsep Delimitasi Maritim……………………………………… 137 L. Typology Delimitasi Maritim……………………………………. 147 M. Konferensi Den Haag Tentang Kodifikasi Hukum Internasional

1930……………………………………………………………….. 154 1. Delimitasi Laut Teritorial Antarnegara Yang Pantainya

Berdekatan……………………………………………………. 154

x

Page 11: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

2. Delimitasi Laut Teritorial Antarnegara Yang Pantainya Saling Berhadapan (Opposite States)…………………….. 157

N. Pengaturan Hukum Delimitasi Maritim Dalam Konvensi Geneva 1958…………………………………………………….. 159

O. Pengaturan Hukum Delimitasi Maritim Dalam Konvensi Hukum Laut 1982………………………………………………… 168 1. Analisis Article 82 Dan 83…………………………………… 168 2. Konsep Garis Batas MaritimTunggal (Single Maritim

Boundary)…………………………………………………….. 176 P. Implementasi Azas-Azas Delimitasi Maritim………………….. 180

1. The North Sea Continental Shelf Cases 1969 (Federal Republic of Germany / Denmark, The Netherland)...……. 180

2. The Anglo French Continental Shelf Case (Prancis / Kerajaan Inggris, 1977)……………………………………... 192

3. Kasus Delimitasi Maritim Di Laut Hitam (Rumania v. Ukraina)……………………………………………………….. 204

4. Perjanjian Laut Barents (The Barents Sea Treaty)………. 208 5. Jan Mayen Case……………………………………………... 213

Q. Kerangka Pikir…..................................................................... 224 R. Definisi Operasional…………………………………………….. 231

BAB III METODE PENELITIAN….......................................................... 238

A. Tipe Penelitian....................................................................... 238 B. Lokasi Penelitian................................................................... 238 C. Jenis dan Sumber Data......................................................... 239 D. Analisis Data......................................................................... 239

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………… 241

A. Pulau-Pulau Ligitan Dan Sipadan, Dan Daerah Lepas Pantai Ambalat................................................................................. 241

B. Kesulitan Melakukan Delimitasi Maritim............................... 246 B.1. Mare Clausum dalam Perdebatan (Mare Clausum in

Dispute)……………………............................................ 246 B.2. Kesulitan Yang Melekat Dalam Menetapkan Garis

Batas ZEE / Landas Kontinen………………………..…. 255 B.3. Aturan Delimitasi Maritim Tidak Jelas………………… 257 B.4. Sifat Politis Dari Delimitasi Maritim…………………….. 263 B.5. Sengketa Kedaulatan Terhadap Pulau………………… 268 B.6. Tidak Efisiennya Prosedur Penyelesaian Sengketa

(Inefficiency of the Dispute Settlement Procedure)...... 273 C. Analisis atas Titik Pangkal (Base Points) Pasca Putusan

ICJ pada 2002…………………………………………………... 284 D. Analisis atas ‘Relevant Coast’ dan ‘Relevant Baselines’

Pasca Putusan ICJ Pada 2002............................................. 290

xi

Page 12: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

E. Analisis atas Konsep Membangun Delimitasi Maritim Pasca Putusan ICJ Pada 2002....................................................... 294

E.1. Delimitasi Laut Teritorial antara ‘Adjacent States’…... 203 E.2. Delimitasi Laut Teritorial antara ‘Opposite States’….. 205

F. Analisis atas Equidistance Versus Equitable Principles…. 302 G. Analisis atas Garis Batas Maritim Tunggal (Single Maritime

Boundary) dikaitkan dengan Putusan ICJ pada 2002….. 307 H. Analisis atas Keadaan Khusus atau (Special or Relevant

Circumstances) dikaitkan dengan Putusan ICJ pada 2002 311 I. Zona Kerjasama Pengembangan (Joint Development Zone) 328 J. Substantive Equitable Solution………………………………. 346

BAB V PENUTUP……………………………………………………… 356

A. Kesimpulan…………………………………………………...... 356 B. Saran-Saran……………………………………………………. 359

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 361

xii

Page 13: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

DAFTAR SINGKATAN

ICJ : International Court of Justice = Mahkamah Internasional

ITLOS : International Tribunal for the Law of the Sea KEPRES : Keputusan Presiden KHL : Konvensi Hukum Laut KM : Kilo Meter NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PCIJ : Permanent Court of International Justice =

Mahkamah Internasional Permanen PP : Peraturan Pemerintah RI : Republik Indonesia UUD : Undang-Undang Dasar UU : Undang-Undang UNCLOS : United Nations Convention on the Law of the Sea =

Konvensi PBB mengenai Hukum Laut Geneva 1958 atau Konvensi Geneva 1958 atau Konvensi Hukum Laut 1982

ZEE : Zona Ekonomi Eksklusif

xiii

Page 14: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

DAFTAR GAMBAR

- Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baselines) - Map of the General Geographical Setting in the Pulau Ligitan / Pulau

Sipadan - Peta Perbatasan Maritim Indonesia-Malaysia - Continental Shelf Boundary between the Netherlands and the Federal

Republic Germany and between the Latter and Denmark (North Sea Continental Shelf Cases

- The Greenland / Jan Mayen Case - The Anglo-French Continental Shelf Case - The Gulf of Maine Case - The Romania / Ukraine Case - Single Maritime Boundary between Dominican Republic and France

(Guadeloupe, Martinique) - Single Maritime Boundaries between Denmark and the German

Democratic Republic - Delimitation Line Fixed by the ICJ in the Qatar / Bahrain Case (Merits) - Separate Maritime Boundaries for Seabed and Superjacent Waters in the

1997 Perth Treaty between Australia and Indonesia - Zone of Cooperation in the Timor Gap - Joint Development Zone between Japan and South Korea - Joint Zone between Iceland and Norway (Jan Mayen) - Joint Development Zone between Tunisia and Libya

xiv

Page 15: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan telah menjadi milik negeri

Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada tanggal

16 Desember 2002. Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh

Presiden RI (Soeharto) serta Perdana Menteri Malaysia (Mahathir

Mohammad) pada tahun 1996, maka apapun putusan Mahkamah

Internasional kedua negara wajib menerimanya sebagai keputusan yang

memiliki kekuatan mengikat (binding force) sehingga putusan itu harus

dipatuhi dan dilaksanakan oleh kedua negara1. Karena Putusan

Mahkamah Internasional memenangkan pihak Malaysia, maka sesuai

dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua kepala pemerintahan

Indonesia berkewajiban untuk menerima dan menghormati hak

kepemilikan Malaysia atas kedua pulau yang merupakan zona perbatasan

(frontiers) meskipun sebelumnya dapat dipakai sebagai titik pangkal garis

pangkal kepulauan Indonesia.

Keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan negeri

tetangga (Malaysia) atas Indonesia dalam sengketa Sipadan-Ligitan

didasarkan atas alasan pengendalian dan penguasaan efektif (effective

occupation). Selain berhasil dalam menjaga dan memelihara kelestarian

1 Baradina, Pengaruh Keputusan ICJ dalam Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan bagi

Keutuhan Wilayah RI, dalam Awani Irewati, cs, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia –

Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta, Indonesian Institute of Sciences, 2006), Hlm. 2.

Page 16: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

2

lingkungan, Malaysia berhasil membuktikan pemerintahnya menjalankan

fungsi-fungsi pemerintahan di wilayah persengketaan. Penerapan prinsip

“effective occupation” yang melandasi putusan Mahkamah Internasional

bukan kejadian pertama sebab prinsip seperti ini sudah sering digunakan

oleh lembaga penyelesaian sengketa internasional yang menangani

berbagai sengketa territorial, termasuk sengketa kedaulatan atas pulau.

Dalam kasus Pulau Palmas (Pulau Miangas) yang melibatkan

Amerika Serikat dan Belanda pada tahun 1906, maka arbitrasi yang

menggunakan Arbitrator tunggal yang bernama Judge Huber menerapkan

apa yang disebut pengendalian atau penguasaan efektif. Menurut pihak

Arbitrasi Pemerintah Hindia Belanda berhasil membuktikan pelaksanaan

fungsi-fungsi pemerintahan atas pulau tersebut secara damai dan terus

menerus,2 dan ini sama dengan sebuah bentuk pengendalian efektif yang

menciptakan hak (title) bagi Belanda atas pulau tersebut. Dengan lain

perkataan pelaksanaan administrasi pemerintahan merupakan

perwujudan kedaulatan territorial atas pulau Palmas yang kini dipakai

sebagai titik pangkal untuk penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia.

Selanjutnya dalam kasus Clipperton Island yang dipersengketakan

antara Perancis dan Meksiko pada akhir abad ke-19, maka lembaga

arbitrase yang diberi kewenangan atas kesepakatan kedua belah pihak

menyatakan bahwa Perancis berhak atas pulau tersebut karena negara ini

2 J. G. Starke, Introduction to International Law (London: Butterworths, 1984),

Hlm. 153-154; Lihat juga Ian Brownlie, Principles of Public International Law (Oxford: Oxford University Press), Hlm. 132.

Page 17: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

3

terbukti melakukan pengendalian dan penguasaan efektif atas Clipperton

Island. Walaupun pihak Perancis hanya melakukan semacam proklamasi

mengenai hak kepemilikannya dan melakukan pemasangan bendera

nasionalnya di pulau tersebut, namun tindakan proklamasi seperti itu

sudah dipandang sebagai suatu cara dan bentuk penguasaan efektif

sehingga Perancis dinyatakan sebagai pemilik dan pemegang kedaulatan

territorial atas Clipperton Island yang berada di Samudera Pasifik.3

Terkait dengan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) dalam

kasus Sipadan-Ligitan, maka kendati keputusan Mahkamah Internasional

yang memenangkan negeri jiran adalah sesuatu yang sudah final dan

mengikat berdasarkan Statuta ICJ, dan kedua negara sudah bersepakat

menerima apapun putusan yang akan dihasilkan, namun banyak kalangan

merasa kecewa atas sikap dan langkah yang diambil oleh otoritas terkait

dalam membela kepemilikan Indonesia atas kedua pulau terluar yang

terletak di perairan laut Sulawesi. Timbulnya perasaan kecewa dan kesal

dari berbagai elemen bangsa disebabkan bukan semata-mata akibat

kekalahan Indonesia di forum ICJ, melainkan juga akibat kurangnya

keuletan dan kegigihan dari otoritas terkait dalam memelihara warisan

Hindia Belanda.

Pihak otoritas dinilai terlalu dini dalam menerima hasil akhir yang

diputuskan oleh Mahkamah Internasional terkait sengketa kepemilikan itu.

Pihak berwenang tampaknya bersikap pasrah dan sama sekali tidak

3 Ibid., Hlm. 148-149; David H Ott, Public International Law in the Modern World,

(London: Pitman Publishing, 1987), Hlm. 117.

Page 18: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

4

berbuat optimal dalam menjaga dan melindungi hak historis atas kedua

pulau kecil terluar yang sejak diundangkannya Undang-undang Nomor

4/Prp Tahun 1960 maupun Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996

seharusnya ditetapkan sebagai titik pangkal untuk penarikan garis pangkal

lurus kepulauan dalam rangka membangun garis batas maritim (maritime

delimitation). Tidak sedikit yang mempertanyakan sikap Pemerintah,

dalam hal ini Departemen Luar Negeri (yang saat ini bernama

Kementerian Luar Negeri) yang kurang gigih melakukan upaya hukum

yang dimungkinkan tanpa mengabaikan apa yang telah disepakati oleh

kedua pemimpin terkait penyelesaian kasus kepemilikan itu.

Sesungguhnya Statuta Mahkamah Internasional secara jelas

memungkinkan dilakukannya revisi atas putusan ICJ. Pasal 61 dari

Statuta ICJ menyatakan bahwa keputusan ICJ bersifat final dan mengikat

(final and binding), tetapi dapat diajukan suatu upaya hukum yang

dinamakan revisi (revision) atas dasar ditemukannya bukti baru (the

discovery of a new decisive factor), dengan ketentuan permohonan revisi

ini dilakukan dalam tenggang waktu 6 bulan sejak ditemukannya bukti

baru tersebut serta tidak melewati jangka waktu 10 tahun sejak keputusan

ICJ dijatuhkan.4

Pemerintah RI sudah tidak mungkin menggunakan upaya hukum

yang disebut revisi terhadap keputusan ICJ karena selain adanya

kemungkinan tidak ditemukan bukti baru terkait kepemilikan Indonesia

4 J.G. Starke, Op., Cit., Hlm. 480; Malcolm N. Shaw, International Law,

(Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986), Hlm. 534.

Page 19: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

5

atas kedua pulau, juga karena keputusan itu telah melampaui tenggang

waktu 10 tahun. Dapat dikatakan sejak keputusan tersebut pemikiran ke

arah penggunaan upaya hukum revisi terhadap putusan ICJ tidak pernah

eksis dan hal ini berdampak pada terjadinya penetapan zona ekonomi

eksklusif secara sepihak pada 2004 yang di dalamnya tercakup blok

pertambangan Ambalat. Padahal sebelumnya Pemerintah Indonesia telah

menerbitkan daftar koordinat geografis titik-titik pangkal bagi garis pangkal

kepulauan melalui pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2002 sehingga pola unilateralisme yang dilakukan oleh Malaysia

memunculkan isu delimitasi maritim antara kedua negara.

Klaim Malaysia atas Ambalat harus dimaknai sebagai kelanjutan

atas kemenangan yang diraih dalam kasus Sipadan-Ligitan sehingga

negara tersebut mengklaim kekuasaan hukum yang bersifat merangkak

(creeping jurisdiction)5. Negara itu tergoda untuk memperluas secara

perlahan-lahan yurisdiksi atas sebagian perairan laut Sulawesi yang

diukur dari garis-garis pangkal di sekitar Sabah dan Sarawak dan juga

kedua pulau yang berhasil dimenangkan melalui putusan ICJ.

Sengketa batas maritim antara Indonesia dan Malaysia muncul ke

permukaan sesudah perusahaan minyak Malaysia (Petronas)

memberikan lisensi eksplorasi untuk dua blok konsesi minyak laut dalam

(deep-water oil concession blocks), yaitu ND-6 dan ND-7 kepada

perusahaan eksplorasinya sendiri, Petronas Carigali pada 16 Februari

5 J.G. Starke, Introduction to International Law, (London, butterworths, 1984),

Hlm. 261.

Page 20: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

6

2005.6. Anak perusahaan Petronas ini telah menjalin hubungan kemitraan

(joint venture) dengan perusahaan Shell yang sebagian sahamnya dimiliki

oleh Pemerintah Kerajaan Belanda (Royal Dutch).7.

Sebagian Blok tambang yang diklaim Malaysia (ND 6 dan ND 7)

mengalami duplikasi (overlapping) dengan blok yang diklaim Indonesia

(blok Ambalat dan blok Ambalat Timur), karena jauh sebelumnya

Pemerintah Indonesia melalui Pertamina telah memberikan lisensi

eksplorasi kepada perusahaan minyak bumi Italia ENI dan Amerika

Serikat Unocal. Daerah ini terletak di sebelah selatan zona yang

dipersengketakan dengan Malaysia, di perairan yang lebih dalam dari

Tarakan. ENI merencanakan ‘appraisal drilling’, yaitu semacam kegiatan

uji coba pengeboran di blok Ambalat dan blok Ambalat Timur untuk

menilai besar kecilnya keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan

seperti ini. Indonesia mengklaim bahwa perairan teritorial Malaysia hanya

berjarak sekitar 19 KM (12 mil laut) dari Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan,

dan bahwa sebagian dari konsesi yang diberikan oleh Malaysia kepada

Shell dan Petronas Carigali saling tumpang-tindih dengan konsesi yang

telah diberikan Indonesia kepada ENI dan Unocal sejak tahun 1960-an8.

Persengketaan seperti itu memperlihatkan masing-masing negara

berkepentingan untuk melindungi dan mengamankan kepentingan

nasionalnya dari perspektif ketersediaan energy yang sangat vital bagi

6 Awani Irewati, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia-Malaysia di Laut

Sulawesi, (Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2006), Hlm. 130. 7 Ibid, Hlm. 130.

8 Ibid, Hlm. 130. Juga Asian Economic News, 7 Maret 2005,

http://findarticles.com/p/articles/mi_ mOWDP/is 2005 March 7/ai_nl 1854604.

Page 21: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

7

lokomotif perekonomian di masa mendatang9. Sengketa perbatasan

maritim yang ditandai dengan konflik Ambalat pernah menimbulkan

ketegangan ketika seorang pejabat tinggi Indonesia mendesak pemerintah

untuk bersikap tegas terhadap negara tetangga, termasuk pemikiran ke

arah penggunaan cara-cara lain di luar saluran diplomatik.

Bersamaan dengan pernyataan itu, petinggi lainnya mendesak

pemerintah untuk meneruskan pembangunan mercusuar di Karang

Unarang (Unarang Shoal) dengan perlindungan penuh Angkatan Laut RI

karena keberadaan mercusuar di lepas pantai Pulau Sebatik penting

sebagai ‘warning signals’ bagi keselamatan pelayaran maupun terutama

sebagai tanda identifikasi kepemilikan Indonesia atas Karang Unarang.

Bentuk alamiah ini dapat dikualifikasi sebagai elevasi surut (low tide

elevation) yang dengan syarat tertentu dapat dipakai sebagai titik pangkal

bagi penarikan garis pangkal kepulauan untuk kemudian membangun

garis batas maritim dengan negara tetangga.10

Pengerahan dan penggelaran kekuatan Angkatan Laut oleh

Indonesia dan Malaysia pada saat itu pada dasarnya bertujuan untuk

menciptakan kehadiran mereka masing-masing di bagian laut yang

mengalami duplikasi (establishing a presence)11. If you don’t establish a

presence in terms of sovereignty claims, it’s a de facto recognition of the

other side’s claim of sovereignty. That’s why whenever somebody makes

9 Awani Irewati, cs, op.cit., Hlm. 131.

10 Perhatikan artikel 47 ayat 4 KHL 1982.

11 Mak Joon Nam dari Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, di dalam

Awani Irewati, op.cit., Hlm. 132.

Page 22: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

8

a claim and you dispute it, you have to send in a counter-claim, or else

you send in a diplomatic note saying that you don’t recognize that claim.

So presence is so very important in establishing your claim12.

Artinya jika saudara tidak membuktikan kehadiran saudara dilihat

dari aspek klaim kedaulatan, jika saudara tidak melakukan klaim

kedaulatan, maka klaim kedaulatan Negara lain mendapat pengakuan

secara de facto. Itulah sebabnya kapanpun seseorang melakukan klaim

dan saudara menentangnya, maka saudara harus melakukan klaim

balasan, atau jika tidak maka saudara harus mengirim nota diplomatik

yang menyatakan bahwa saudara tidak mengakui klaim tersebut. Dengan

demikian kehadiran itu sangat penting dalam membuktikan klaim saudara.

Sengketa blok Ambalat bukanlah merupakan sengketa kedaulatan

territorial (territorial souvereignty dispute) sebab Ambalat tidak berada di

perairan territorial kedua negara dengan lebar maksimal 12 mil laut

terhitung dari garis pangkal. Blok tambang Ambalat berlokasi di landas

kontinen atau zona ekonomi eksklusif yang jauhnya bisa mencapai 200

mil laut dari garis pangkal (baseline). Meskipun suatu negara mempunyai

hak-hak berdaulat atas sumber daya alam di zona 200 mil, Negara

tersebut tidak memiliki kedaulatan atas zona seperti ini sebab zona seperti

ini statusnya berada dan tunduk di bawah rezim hukum hak-hak berdaulat

(souvereign rights) Negara pantai.

12

Awani Irewati dkk, op.,cit., Hlm. 132

Page 23: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

9

Blok pertambangan Ambalat yang menjadi daerah yang

dipersengketakan (disputed area) terletak di bagian laut yang sangat

dalam antara 500 meter hingga 4 KM13. Karena teknologi eksplorasi

dewasa ini sudah dapat mencapai kedalaman 2 KM, maka daerah

Ambalat menjadi sangat penting, apalagi setelah terungkap kalau minyak

bumi yang terkandung di dalamnya sangat baik kulitasnya, sehingga perlu

ada upaya dalam menyelesaikan delimitasi maritim sesuai ketentuan dan

prosedur hukum yang berlaku dan tidak dengan melakukan tindakan

sepihak seperti yang dilakukan Malaysia pada tahun 1979 dan 2004.

Mengenai masalah delimitasi maritim antara Indonesia dan

Malaysia, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Malaysia pernah

menyatakan bahwa tidak tertutup kemungkinan masalah garis batas

maritim di bagian laut yang mengalami duplikasi bisa saja diselesaikan di

Mahkamah Internasional, sebagaimana sengketa kepemilikan Sipadan

dan Ligitan. Pernyataan tendensius otoritas dari Negara tetangga sangat

terkait dengan latarbelakang berlarut-larutnya perundingan garis batas

maritim antarkedua negara.

Kepala pemerintahan kedua Negara, Presiden Yudhoyono dan

Perdana Menteri Achmad Badawi membicarakan masalah Ambalat

melalui telepon (7 Maret 2005) dan keduanya sepakat menyelesaikan

13

Victor Prescott and Clive Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World, (Leiden/ Boston, Martinus Nijhoff Publishers, 2005), Hlm. 451 – 452.

Page 24: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

10

persengketaan dengan cara in a cordial manner atau dengan cara yang

bersahabat.14

Pembicaraan yang dilakukan oleh kedua pemimpin lalu diikuti

dengan pertemuan kedua Menteri Luar Negeri, Hassan Wirayuda dan

Syed Hamid Albar (9 Maret 2005), yang menyatakan bahwa kedua belah

pihak mengambil langkah-langkah yang perlu untuk meredakan keadaan

dan membentuk tim khusus untuk bertemu secara berkala untuk

mengelola dan menyelesaikan sengketa tersebut. Berbagai pertemuan tim

teknis dilakukan secara tertutup dengan maksud untuk memberikan para

anggota tim maximum flexibility to propose creative solutions, free from

instrusive media scrutiny sehingga mereka lebih leluasa mengajukan

solusi kreatif, bebas dari tekanan media. Namun setiap proposal yang

diajukan dalam negosiasi tidak mengurangi posisi masing-masing

pemerintah dan tak ada yang bisa disepakati sampai segala sesuatunya

disepakati (nothing is agreed until everything is agreed) sehingga

negosiasi seperti ini tidak bisa ditentukan waktunya. Malahan beberapa

tahun lalu Menteri Luar negeri RI, Marty Natalegawa pernah mengatakan

perundingan garis batas maritim di Laut Sulawesi bisa memakan waktu

yang sangat lama, antara 5 hingga 32 tahun lamanya15.

Dalam konteks negosiasi garis batas maritim, sebagaimana

diketahui potensi kehadiran minyak dan gas bumi dapat dipastikan

14

Bill Guerin, Sulawesi Sea Roundredges Up Defences, Asia Times Online; Border Dispute to be settled amicably; President, The Jakarta Post, 7 Maret 2005. Dalam Awani Irewati, dkk, op., cit., Hlm. 134

15 Kompas, 4 September 2011, Hlm. 1

Page 25: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

11

memainkan peranan penting dan menjadi faktor pendorong bagi kedua

negara untuk merundingkan batas-batas maritim di daerah yang dianggap

dipersengketakan (disputed area). Akan tetapi biasanya tidak satu

pihakpun yang mendapatkan seluruh wilayah yang dipersengketakan

sebab pada umumnya sangat sulit untuk menentukan ketepatan posisi,

kuantitas dan kualitas ketersediaan hidrokarbon tanpa adanya eksplorasi

yang ekstensif16. Apabila tercapai persetujuan garis batas maritim, maka

mungkin saja sumber daya laut yang dipersengketakan berada di tempat

yang salah dari penarikan garis itu. Hal ini sangat penting dikaitkan

dengan informasi yang menyatakan kualitas minyak bumi di Blok Ambalat

sangat baik kualitasnya.

Di Blok Ambalat unsur-unsur penting yang dikemukakan di atas

dapat saja berperan dalam perundingan garis batas maritim. Jika garis

delimitasi dirundingkan dan kemudian diterima secara timbal balik oleh

kedua belah pihak, maka selesai persoalannya. Akan tetapi karena posisi

para pihak saling bertentangan, maka mungkin sulit tercapai sebuah

penyelesaian, setidak-tidaknya dalam waktu singkat. Jika garis batas

maritim tidak tercapai, maka terbuka penyelesaian alternatif. Indonesia

dan Malaysia dapat menetapkan seluruh atau sebagian klaim yang

bertumpang-tindih ditetapkan sebagai zona kerjasama pengembangan

(joint development zone)17. Kedua negara berpengalaman dalam

16

Awani Irewati, op. cit., Hlm. 135. 17

Clive Schofield dan I Made Andi Arsana, Ambalat Revised:The Way Forward ?, The Jakarta Post, 9 Juni 2005.

Page 26: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

12

masalah joint development zone. Indonesia bersama-sama dengan

Australia, merupakan pencetus dari zona kerjasama yang sangat

kompleks yang mengatur daerah Celah Timor, yang kini untuk sebagian

diambil alih oleh Timor Leste. Malaysia melalui dua macam persetujuan

melakukan kerjasama pengembangan dengan Thailand dan Vietnam.

Namun demikian Indonesia sudah menolak tawaran Malaysia tahun 2006

untuk mengadakan kerjasama dalam mengeksplorasi sumber daya

minyak dan gas bumi di perairan Blok Ambalat sehingga Perdana Menteri

Abdullah Ahmad Badawi mengakui bahwa masalah delimitasi maritim di

Blok Ambalat bukanlah sesuatu yang mudah untuk diselesaikan18.

Pemerintah Malaysia mengusulkan adanya kerjasama antara

perusahaan minyak Petronas dan Pertamina di Ambalat dan

mengharapkan sengketa dan perbedaan pendapat itu tidak menghalangi

kedua pihak untuk membuka peluang kerjasama di perairan Ambalat.

Namun Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirayuda menolak usulan

kerjasama seperti itu sebab Indonesia berkepentingan untuk terlebih

dahulu melakukan upaya-upaya maksimal dalam menyelesaikan

delimitasi maritim yang bersifat permanen. Selama belum tercapai garis

batas maritim yang bersifat final sebagai implikasi potensial19 dari putusan

18

Kompas, 14 Januari 2006.

19Sebenarnya pengaruh berupa potensi terjadinya pergeseran atas titik pangkal

dan garis-garis batas maritim tidak hanya disebabkan kasus Sipadan-Ligitan, tetapi juga dapat disebabkan kasus-kasus lain seperti lepasnya pulau Pasir yang oleh pihak Australia dinamakan dengan istilah Ashmore Island dari wilayah kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia menyusul adanya perjanjian yang ditandatangani oleh Indonesia dan Australia pada tahun 1974. Perjanjian ini memberikan “payung hukum” bagi aktivitas nelayan tradisional Indonesia untuk dapat memanfaatkan daerah-daerah yang

Page 27: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

13

ICJ terkait kasus kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, maka Indonesia

tidak akan mau membicarakan kerjasama pengelolaan migas di Blok

Ambalat.

Perkembangan selanjutnya menyangkut upaya penyelesaian

delimitasi maritim pasca Sipadan-Ligitan adalah bahwa pada tanggal 17

Desember 2010 Pemerintah RI lewat Pertamina mengumumkan Petronas

menjadi mitra Pertamina dan menandatangani kesepakatan awal

kemitraan di Blok East Natuna. Pemilihan Petronas dikaitkan dengan

upaya Pemerintah Indonesia untuk meredam sengketa di daerah

perbatasan terutama wilayah Ambalat yang hingga kini belum tuntas, di

mana Malaysia menunjukkan sikap percaya diri dan cenderung kurang

kooperatif terutama setelah kemenangannya dalam kasus Pulau Sipadan

dan Pulau Ligitan.20 Di sisi lain masuknya Petronas ke Blok East Natuna

dinamakan Scott Reefs, Seringapatan Reef, Browse Island, Ashmore Reef, Cartier Island dan beberapa wilayah di sekitarnya. Perjanjian ini dikenal dengan istilah Memorandum of Understanding (MoU) Box 1974 yang kemudian diperbaharui pada tahun 1989. Namun sejak ditetapkannya daerah Ashmore Reef pada tahun 1983 sebagai daerah yang dilindungi atau suaka alam laut, maka aktivitas nelayan tradisional Indonesia tampaknya semakin terbatas. Nelayan hanya diperbolehkan mendarat di antara zona MoU pada kedua pulau Ashmore Islands untuk mengambil air tanah.

19 Padahal sebelum berlakunya

MoU Box Pulau Pasir yang oleh Australia dinamakan Ashmore Island adalah milik RI atas asar faktor geografis yang memperlihatkan sedemikian dekatnya pulau Pasir dengan Pulau Rote yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di samping itu warga masyarakat provinsi ini khususnya yang berasal dari Pulau Rote secara turun menurun menggunakan pulau Pasir sebagai habitatnya dalam mencari nafkah. Nelayan Indonesia sudah cukup lama melakukan aktivitas di perairan utara Australia Barat dan sekitarnya termasuk wilayah Northern Territory untuk mencari ikan. Namun demikian faktor kedekatan geografis serta faktor sosial ekonomi sudah tidak memiliki makna apapun karena sejak berlakunya perjanjian tahun 1974 Pulau Pasir telah beralih ke tangan Australia sehingga kita kehilangan salah satu titik pangkal yang berpengaruh terhadap penentuan garis-garis batas maritim.

20 Eddy Purwanto, Manuver Malaysia di Natuna (Kompas : 15 Maret 2012), Hlm.

Ini semacam Joint Development Zone antara RI dan Malaysia dan harus dilihat sebagai pengaturan yang bersifat sementara (provisional arrangement) dalam rangka mencapai solusi yang adil (equitable solution). Lihat Thomas A. Mensah, Joint Development Zones as an Alternative Dispute Settlement Approach in Maritim Boundary Delimitation, dalam

Page 28: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

14

diyakini sebagai strategi Malaysia dalam mencuri start di kawasan Laut

Cina Selatan. Namun demikian baru-baru ini negeri tetangga yang sudah

menandatangani Nota Kesepahaman Kemitraan di lapangan gas Blok

East Natuna tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan Blok East Natuna

tidak lagi menjadi prioritas Petronas, antara lain karena biaya produksi

yang lebih tinggi dibandingkan dengan lapangan gas lainnya mengingat

Blok East Natuna berlokasi di laut dalam.21

Dengan kejadian seperti ini, Indonesia harus lebih waspada

menghadapi kemungkinan manuver geopolitik Malaysia. Dengan

melemahnya harga gas di pasaran internasional, Malaysia cenderung

mencari minyak karena ke depan minyak akan kian langka dan harganya

akan melambung hingga mencapai keseimbangan baru. Diduga dalam

waktu dekat Malaysia kembali akan mengklaim Ambalat mengingat

sumber daya yang terkandung di Blok Ambalat untuk sebagian besar

terdiri dari minyak bumi sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan.

Fakta mundurnya Malaysia dari Nota Kesepahaman Kemitraan 2010

memberikan kontribusi kepada penulis untuk mengeksplorasi implikasi

dari putusan ICJ dalam kasus Sipadan dan Ligitan terhadap titik pangkal

dan delimitasi maritim yang pada gilirannya dapat berimplikasi terhadap

penetapan garis-garis batas maritim antara kedua negara.

Rainer Lagoni and Daniel Vignes, Maritim Delimitation, (Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2006), Hlm. 146-147.

21 Blok East Natuna adalah lapangan gas raksasa yang memiliki 46 triliun kaki

kubik, yang terletak di alur Indo ASEAN,

Page 29: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

15

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah

dikemukakan di atas, setelah masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan

Pulau Ligitan diputuskan oleh ICJ, maka pokok permasalahan yang akan

diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana implikasi putusan ICJ dalam kasus Pulau Sipadan dan

Pulau Ligitan terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim ditinjau

dari perspektif hukum nasional Indonesia dan Malaysia ?

2. Solusi seperti apa yang dapat dilakukan kedua Negara apabila

mereka tidak dapat menyelesaikan secara tuntas masalah titik

pangkal dan delimitasi maritime di daerah yang dianggap

dipersengketakan (disputed area) pascaputusan ICJ ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

C.1. Tujuan Penelitian

Bertolak dari perumusan masalah, maka penelitian ini dilakukan

dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui dan memahami implikasi putusan ICJ dalam

kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap titik pangkal dan

delimitasi maritim dilihat dari perspektif hukum nasional masing-

masing Negara.

2. Untuk mengetahui dan memahami solusi yang dapat dilakukan oleh

kedua Negara ketika mereka tidak dapat menyelesaikan secara

Page 30: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

16

tuntas masalah titik pangkal dan delimitasi maritim pasca putusan

ICJ.

C.2. Kegunaan Penelitian

Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum terkait

dengan implikasi putusan ICJ tersebut terhadap titik pangkal dan

delimitasi maritim ditinjau dari perspektif hukum nasional masing-

masing Negara.

2. Memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum terkait

solusi yang dapat dilakukan dan ditempuh apabila kedua Negara

tidak dapat menyelesaikan secara tuntas masalah titik pangkal dan

delimitasi maritim pascaputusan ICJ.

D. Orisinalitas Penelitian (Originality of the Research)

Penelitian mengenai ‘Implikasi Putusan ICJ dalam kasus Pulau

Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap Titik Pangkal bagi Penarikan Garis

Pangkal Kepulauan dan Delimitasi Maritim’ pada dasarnya dimaksudkan

untuk menemukan jawaban tentang adanya implikasi keputusan ICJ

dalam kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap titik pangkal bagi

penarikan garis pangkal kepulauan serta kemungkinan adanya pengaruh

ataupun implikasi terhadap penetapan garis-garis batas maritim di landas

kontinen dan zona ekonomi eksklusif antara kedua negara. Melalui

eksplorasi atas berbagai macam referensi dalam bentuk literatur, jurnal

dan dokumen serta referensi lainnya yang dilakukan oleh penulis, maka

Page 31: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

17

dapat disimpulkan bahwa obyek kajian dalam penelitian ini merupakan

obyek yang masih baru karena sejauh ini belum ada penelitian yang

berfokus pada permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

Sejauh pengetahuan penulis, terdapat penelitian tentang pengaruh

ataupun implikasi suatu fakta hukum terhadap wilayah negara, terhadap

wilayah perbatasan ataupun terhadap garis-garis perbatasan, khususnya

di laut yang diistilahkan juga dengan garis-garis batas maritim. Meskipun

selama ini terdapat penelitian mengenai hubungan antara suatu fenomena

(dan serangkaian fakta yang menyertainya) dengan wilayah perbatasan

(frontier) maupun garis-garis perbatasan darat dan maritim (maritime

boundaries), namun dapat dikatakan bahwa penelitian-penelitian tadi pada

dasarnya dilakukan dengan cara serta pendekatan yang berbeda daripada

pendekatan yang digunakan oleh penulis.

Suatu penelitian disertasi mengenai pengaruh atau implikasi

lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI terhadap garis batas maritim di

Laut Timor telah dilakukan oleh Marnikson C. Wila yang telah berhasil

mempertahankan Disertasinya di Universitas Padjadjaran Bandung

beberapa tahun lalu. Meskipun diakui penelitian disertasinya secara

substansial berfokus pada pengaruh kehadiran Negara Timor Leste

sebagai negara tetangga terhadap delimitasi garis batas maritim di bekas

wilayah Celah Timor (the Timor Gap), namun variabel penelitian yang

Page 32: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

18

ditampilkan oleh Marnikson C. Wila jelas berbeda dengan variabel

penelitian yang digunakan penulis22.

Selain penelitian disertasi oleh Marnikson C. Wila tersebut, ada

pula artikel penelitian yang dibuat oleh Budi Setiawan, mahasiswa

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada tahun 2010 dengan judul

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan : Dampaknya terhadap Strategi

Ketahanan Nasional. Penelitiannya menitikberatkan pada dampak

hilangnya kedua pulau tersebut terhadap strategi ketahanan nasional

Indonesia. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran semua

elemen bangsa dalam memulihkan, memelihara dan meningkatkan

ketahanan nasional pada masa mendatang sehingga diharapkan kasus

lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan seharusnya menjadi kasus terakhir

yang tidak boleh terulang kembali di masa-masa mendatang.

Ada juga penelitian dari Baradina yang menulis tentang Pengaruh

Keputusan ICJ dalam Kasus Kepulauan Sipadan dan Ligitan bagi

Keutuhan Wilayah RI23. Dengan membaca hasil penelitiannya, maka

dapat disimpulkan bahwa penelitiannya berfokus pada dampak lepasnya

22

Dalam perundingan garis batas maritim di Laut Timor antara Indonesia dengan Timor Leste, negeri yang disebut terakhir hendak menggunakan garis-garis pangkal yang merujuk pada bekas garis-garis dari zona “joint development” di wilayah Timor Gap, di mana garis-batas maritimnya diklaim sejauh 100 mil laut terhitung dari bekas garis-garis wilayah Timor Gap. Kondisi seperti ini berbeda dengan proses perundingan yang sedang berlangsung antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia, di mana negeri serumpun ini menerapkan konsep Negara kepulauan yang mengakomodasi titik pangkal pada wilayah Sabah dan Sarawak (Malaysia Timur) serta titik pangkal pada pulau-pulau terluarnya, khususnya titik pangkal di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sehingga garis batas maritim (zona ekonomi eksklusif) versi Malaysia dihasilkan dengan melakukan penyesuaian terhadap metode ‘equidistance line’.

23 Baradina, Pengaruh Keputusan ICJ dalam Kasus Kepulauan Sipadan dan

Ligitan Bagi Keutuhan Wilayah RI, [email protected], Hlm. 1.

Page 33: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

19

kedua pulau tersebut terhadap keutuhan territorial NKRI, sementara fokus

penelitian penulis pada titik pangkal (basepoints) dan delimitasi maritim

antara Indonesia dan Malaysia sehingga bagaimanapun pendekatan

terhadap permasalahan yang relatif sama sangat berlainan variable

penelitiannya sehingga menunjukkan orisinalitas penelitian penulis.

Permasalahan yang ditampilkan oleh Baradina adalah bagaimana

pengaruh putusan ICJ dalam kasus Sipadan – Ligitan terhadap keutuhan

wilayah NKRI dan bagaimana menyelesaikan masalah yang timbul pasca

lepasnya kedua pulau tersebut dari NKRI. Sedangkan permasalahan yang

penulis kemukakan adalah bagaimana implikasi putusan ICJ terhadap titik

pangkal (base point) bagi penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia

dan delimitasi maritim sehingga dengan demikian orisinalitas penelitian ini

dapat ditegakkan kebenarannya. .

Page 34: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Biasanya garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar dari

jalur-jalur laut (maritime zones) adalah garis air rendah di sepanjang

pantai (the low-water line along the coast) sebagaimana diberi tanda

melalui peta berskala luas yang resmi diakui oleh negara pantai24. Akan

tetapi Keputusan Mahkamah Internasional dalam Anglo-Norwegian

Fisheries Case 18 Desember 1951 menerapkan metode lain dalam

menetapkan garis pangkal. Sejak keputusan itu dikeluarkan metode yang

diterapkan oleh Mahkamah dalam perkara perikanan antara Inggeris dan

Norwegia, yaitu metode atau cara penarikan garis pangkal lurus ternyata

memperoleh pengakuan, yang kemudian dituangkan dalam pasal-pasal 7,

9 dan 10 Konvensi Hukum Laut 1982.

A.Titik Pangkal (basepoint) dan Garis Pangkal (baseline)

Titik pangkal (basepoint) yang dipakai dalam analisis Konvensi

Hukum Laut berarti suatu titik di garis pangkal. Apabila satu garis pangkal

lurus bertemu dengan garis pangkal lurus lain di titik yang sama, maka

satu garis dapat dikatakan berbelok dan berubah pada titik itu guna

membentuk garis pangkal lain25. Titik seperti itu dapat diistilahkan dengan

titik yang mengubah garis pangkal (baseline turning point) atau secara

24

SHI Jiuyong, The Wang Tieya Lecture in Public International Law : Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the International Court of Justice, Chinese Journal of International Law (2010), Chinesejil, Oxfordjournals.org/at University Library Utrecht on November 15, 2012, Hlm.276

25 George K. Walker, Definitions for the Law of the Sea (Terms not defined by the 1982

Convention), (Leiden.Boston, Martinus Nijhoff Publishers, 2012), Hlm. 113-114.

Page 35: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

21

sederhana disebut titik pangkal (basepoint). Bagaimanapun titik (point)

adalah sebuah lokasi yang dapat ditentukan dengan koordinat geografis

dan data geodetic yang memenuhi standard Konvensi Hukum Laut.

KHL 1982 menghitung landas kontinen di luar laut teritorial negara

pantai yang merupakan kelanjutan alamiah (the natural prolongation) dari

wilayah daratan, atau pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal yang

dipakai untuk mengukur lebar laut territorial di mana ujung luar tepian

kontinen (the outer edge of the continental margin) tidak mencapai jarak

tersebut. Akan tetapi landas kontinen tidak boleh melampaui batas-batas

yang dinyatakan dalam pasal 76 ayat 4 dan 76 ayat 6. Pasal 76 ayat 4

KHL 1982 menyatakan bahwa : 26

a. Untuk tujuan Konvensi, negara pantai harus menetapkan ujung luar

atau titik luar tepian kontinen kemana pun tepian ini melampaui 200 mil

laut dari garis pangkal yang dipakai untuk mengukur lebar laut territorial,

atau dengan:

(i) suatu garis yang ditarik sesuai dengan pasal 76 ayat 7 dengan

menunjuk pada titik-titik terluar yang pasti dimana ketebalan

batu sedimentasi adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat

antara titik tersebut dengan kaki lereng kontinen.

(ii) suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk

pada titik-titik pasti yang terletak tidak lebih dari 60 mil laut dari

kaki lereng kontinen.

26

Ibid, Hlm. 115

Page 36: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

22

b. Dalam hal tidak terdapat bukti yang bertentangan, kaki lereng kontinen

harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam tanjakan pada

kakinya.

Titik-titik tetap yang merupakan garis batas luar landas kontinen pada

dasar laut , yang ditarik sesuai dengan ayat 4 (a) (i) dan (ii), tidak boleh

melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut territorial diukur

atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman

(isobaths) 2.500 meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan

kedalaman 2.500 meter. Akan tetapi pasal 76 ayat 6 menetapkan

batasnya hanya sampai 350 mil laut, sekali lagi dari garis pangkal dari

mana diukur lebar laut territorial. Berdasarkan pasal 76 ayat 7 negara

pantai harus menetapkan batas luar landas kontinennya di mana landas

kontinen itu melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut

territorial diukur dengan cara menarik garis-garis lurus (straight lines) yang

tidak melebihi 60 mil laut panjangnya, dengan menghubungkan titik-titik

tetap yang ditetapkan dengan koordinat lintang dan bujur.

The ILA Committee on Legal Issues of the Outer Limits of the

Continental Shelf mengomentari adanya saling mempengaruhi antara

ketentuan pasal-pasal 76 ayat 4, 76 ayat 6 dan 76 ayat 7 KHL 1982.

Terdapat kasus-kasus dimana batas luar landas kontinen yang melampaui

200 mil laut harus dihubungkan dengan batas luar landas kontinen pada

200 mil laut. Situasi ini menimbulkan pertanyaan apakah suatu negara

pantai diharuskan memilih suatu titik tetap (a fixed point) yang memenuhi

Page 37: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

23

syarat-syarat yang terdapat dalam pasal-pasal 76 ayat 4 dan 76 ayat 6

dan atau berlokasi di batas 200 mil laut atau di dalam jarak 200 mil laut

dari garis pangkal (dalam hal yang disebut terakhir, batas luar landas

kontinen yang melampaui 200 mil laut dapat dihubungkan dengan garis

batas luar di 200 mil laut pada titik persilangan kedua garis itu).

Pandangan kedua mungkin adalah bahwa suatu negara pantai dapat

menggunakan setiap titik (any point) pada batas luar 200 mil laut yang

dapat dihubungkan dengan suatu titik tetap (a fixed point) di luar 200 mil

laut yang memenuhi persyaratan pasal 76 ayat 4 sampai pasal 76 ayat 6.

Dalam hal-hal tersebut di atas pendapat mana yang akan dipilih itu

tergantung pada penafsiran terhadap pasal 76 ayat 4 dan 76 ayat 727.

Pasal 83 KHL 1982 yang mengatur penetapan garis batas landas

kontinen di antara ‘opposite states’ atau ‘adjacent states’, tidak memiliki

ketentuan yang menyangkut garis pangkal, tetapi pasal 6 ayat 1 Konvensi

Geneva 1958 mengenai landas kontinen mengatakan bahwa jika tidak

terdapat persetujuan antara ‘opposite states’, dan kecuali ‘special

circumstances’ membenarkan garis lain, maka garis perbatasan adalah

garis tengah (median line), yang setiap titiknya adalah sama jaraknya dari

titik-titik terdekat garis pangkal dari mana laut territorial Negara tersebut

27

Negara pantai yang menetapkan landas kontinen lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur berkewajiban untuk menyerahkan data mengenai landas kontinen seperti itu kepada the Commission on the Limits of the Continental Shelf; rekomendasidari Komisi itu menyangkut batas-batas untuk landas kontinen seperti itu bersifat mengikat

27. Pasal 82 ayat 1 dan 82 ayat 4 KHL 1982 mensyaratkan atau mengharuskan negara-

negara yang mengeksploitasi landas kontinen di luar 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut territorial itu diukur, untuk melakukan pembayaran atau semacam kontribusi melalui Otorita, yang harus mendistribusikan hasil-hasilnya kepada negara-negara peserta KHL 1982 atas dasar pembagian yang adil (equitable sharing).

Page 38: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

24

diukur. Ketentuan seperti ini juga berlaku bagi ‘adjacent states28. Garis-

garis yang ditarik menurut pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 2 Konvensi

Geneva 1958 mengenai landas kontinen harus merujuk pada titik-titik

tetap permanen yang dapat diidentifikasi di daratan (fixed permanent

identifiable points on the land).

Terkecuali ditentukan lain dalam Konvensi, garis pangkal normal

sebagai patokan (benchmark) untuk mengukur laut territorial adalah garis

air rendah di sepanjang pantai sebagaimana dinyatakan pada peta

berskala luas yang resmi diakui oleh Negara pantai. Pulau karang atau

deretan karang (atolls or fringing reefs) dapat berfungsi sebagai titik

pangkal dan garis pangkal yang menghubungkan titik pangkal seperti ini

adalah garis air rendah ke arah laut. Apabila garis pantai menjorok jauh ke

dalam dan terputus-putus, atau jika terdapat sederetan pulau di sepanjang

pantai di dekatnya, maka titik-titik tertentu yang dianggap tepat dapat

dihubungkan melalui metode penarikan garis pangkal lurus dari mana

lebar laut territorial diukur. Jika hal itu terjadi, maka dalam menetapkan

garis pangkal yang bersifat khusus harus diperhitungkan kepentingan

ekonomi yang bersifat istimewa bagi kawasan tersebut, di mana

kenyataan dan arti pentingnya sudah terbukti melalui kebiasaan yang

sudah berlangsung lama29.

Delta dan kondisi alam lain dapat berfungsi sebagai titik pangkal.

Akan tetapi apabila menghasilkan garis pantai yang sangat tidak stabil,

28

Pasal 6 ayat 2 Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen. 29

Pasal 7 ayat 1 dan ayat 5 KHL 1982. Bandingkan dengan pasal 4 ayat 1 dan ayat 4 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan.

Page 39: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

25

maka dapat dipilih titik-titik tepat pada garis air rendah yang paling jauh

menjorok ke laut dan meskipun kemudian garis air rendah mundur, garis

pangkal lurus itu tetap berlaku sampai dirubah oleh Negara pantai sesuai

dengan ketentuan konvensi30.

Pada prinsipnya elevasi surut tidak dapat digunakan sebagai titik

pangkal sehingga garis pangkal lurus tidak dapat ditarik ke dan dari

elevasi surut. Namun jika di atas elevasi surut telah didirikan mercu suar

atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan

laut, maka garis pangkal lurus dapat ditarik ke dan dari elevasi surut dan

dengan demikian elevasi surut ini berfungsi sebagai titik pangkal. Di

samping itu apabila penarikan garis pangkal lurus dari dan ke elevasi

surut telah mendapatkan pengakuan internasional secara umum, maka

hal ini berarti bahwa elevasi surut itu sudah berfungsi sebagai titik

pangkal.

Apabila sebuah sungai mengalir langsung ke laut, maka garis

pangkal adalah suatu garis lurus melintasi mulut sungai di antara titik-titik

pada garis air rendah kedua tepi sungai.

Jika jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk

alamiah suatu teluk tidak melebihi 24 mil laut, maka garis penutup dapat

ditarik antara kedua garis air rendah tersebut dan perairan yang tertutup

dianggap sebagai perairan pedalaman. Apabila jarak di antara titik-titik

30 Penarikan garis pangkal lurus tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari

pada pantai dan bagian-bagian laut yang terletak di dalam garis pangkal ini harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rezim perairan pedalaman.

Page 40: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

26

garis air rendah pada pintu masuk alamiah sebuah teluk melebihi 24 mil

laut, maka suatu garis pangkal lurus yang panjangnya 24 mil laut harus

ditarik di dalam teluk tersebut sedemikian rupa sehingga menutup suatu

daerah perairan yang maksimum yang mungkin dicapai dengan garis

sepanjang itu. Namun ketentuan seperti itu tidak diterapkan pada apa

yang disebut ‘historic bays’ atau dalam setiap hal dimana sistem garis

pangkal lurus menurut pasal 7 diterapkan.

Instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian

integral dari sistem kepelabuhanan dianggap sebagai bagian dari pantai

dan dengan demikian dapat berfungsi sebagai titik pangkal. Akan tetapi

instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap sebagai

instalasi pelabuhan yang permanen sehingga tidak mempunyai fungsi

sebagai titik pangkal31.

Elevasi surut adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara

alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air

surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang.

Dalam hal elevasi surut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu

jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari daratan utama atau

sebuah pulau, maka elevasi seperti itu dapat digunakan sebagai titik

pangkal bagi penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial.

Apabila elevasi surut berada seluruhnya pada suatu jarak yang melebihi

lebar laut teritorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka elevasi

31

George K. Walker, op.cit., Hlm. 119.

Page 41: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

27

seperti ini tidak memiliki laut teritorial karena tidak berfungsi sebagai titik

pangkal.

Dalam menetapkan lebar dari jalur laut, seperti laut teritorial dan

jalur laut lain di negara pantai, maka pertama-tama harus ditetapkan dari

titik mana harus diukur batas luar jalur laut itu. Demikian garis pangkal

(baselines) berfungsi untuk menghitung dan mengukur batas luar laut

territorial serta jalur-jalur lain dari negara pantai yang bersangkutan,

seperti jalur tambahan (the contiguous zone), zona perikanan eksklusif

(the exclusive fishing zone) dan zona ekonomi eksklusif (the exclusive

economic zone) maupun landas kontinen32.

Garis pangkal juga merupakan garis perbatasan antara perairan

pedalaman dan laut territorial. Meskipun garis perbatasan (boundary)

tidak menunjukkan batas luar dari wilayah negara, karena dalam hukum

internasional laut territorial adalah bagian wilayah negara, garis

perbatasan itu menjadi garis pemisah (demarcation) antara daerah

maritim yang disebut perairan pedalaman di mana Negara lain pada

umumnya tidak menikmati hak apapun di satu pihak dengan daerah

maritim yang disebut laut territorial dan jalur-jalur lainnya di mana negara

lain umumnya menikmati hak-hak tertentu di lain pihak.

Secara tradisional para penulis dan konvensi-konvensi

internasional (termasuk Konvensi Hukum Laut) menganggap kaidah-

kaidah terkait garis pangkal sebagai kumpulan hukum yang berkaitan

32

R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: University Press, 1983), Hlm. 25.

Page 42: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

28

dengan laut territorial. Hal ini dapat dibenarkan pada waktu itu ketika laut

territorial adalah satu-satunya zona yurisdiksi negara pantai. Akan tetapi

dewasa ini garis pangkal digunakan untuk mengukur bukan hanya batas

luar dari laut territorial, melainkan juga batas luar dari jalur tambahan,

zona perikanan eksklusif dan zona ekonomi eksklusif, dan dalam

keadaan-keadaan tertentu batas luar dari landas kontinen sehingga sudah

tidak tepat mengatakan garis pangkal sebagai bagian dari pada hukum

yang berkaitan dengan laut teritorial semata-mata33.

Persoalan garis pangkal pernah dibahas dalam Konferensi

Kodifikasi Den Haag 1930. Konferensi ini tidak berhasil dalam

mengadopsi suatu konvensi tentang hukum laut. Namun demikian

pekerjaan yang dibuat oleh konferensi dalam hubungan dengan garis

pangkal digunakan sebagai dasar bagi Komisi Hukum Internasional

(International Law Commission atau disingkat dengan ILC) ketika

membicarakan dan membahas masalah garis pangkal sebagai obyek

kajian hukum laut pada awal tahun 1950-an. Sejumlah pasal yang

dihasilkan oleh ILC mengenai garis pangkal dimasukkan ke dalam

Konvensi Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur tambahan.

Pasal 3-11 dan Pasal 13 dari Konvensi 1958 yang memuat

pengaturan tentang garis pangkal tidak hanya mengikat 46 negara peserta

pada waktu itu, tetapi juga sudah dianggap sebagai kaidah hukum

kebiasaan internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 melalui pasal 4 - 14

33

Ibid., Hlm. 26.

Page 43: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

29

dan pasal 16 untuk sebagian besar mengulangi dan menegaskan kembali

perumusan ketentuan-ketentuan Konvensi Geneva terkait garis pangkal

dan hanya menambah ketentuan mengenai keadaan geografis

(geographical situations) yang tidak dibahas oleh ILC atau konferensi

Geneva pada tahun 1958. Patut disayangkan Konvensi Hukum Laut 1982

tidak berupaya untuk mengatasi kekaburan dan mengisi kekosongan

hukum yang terdapat dalam Konvensi Geneva 1958 sehingga banyak

kalangan mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap ketentuan-

ketentuan seperti itu34. Usaha mengatasi ketidakjelasan tersebut penting

dilakukan untuk mencegah dan mengatasi perbedaan tafsir yang dapat

mengakibatkan timbulnya sengketa terkait titik pangkal bagi penarikan

garis pangkal di antara negara-negara tetangga pada masa mendatang.

B. Sengketa Titik Pangkal dan Garis Pangkal

Korea dan Cina terlibat dalam sebuah persengketaan, tetapi bukan

sengketa atau konflik teritorial atas satu pulau ataupun lebih dari satu

pulau. Kedua negara samasekali tidak mudah membuat persetujuan

mengenai titik pangkal yang sebenarnya (valid basepoints) karena

terdapat beberapa pulau yang bermasalah (several problematic islets) dan

fitur bawah laut (submerged features) yang letaknya jauh dari pantai35.

Seperti diketahui, Korea menentang beberapa di antara ‘the straight

baselines’ yang diadopsi Cina pada tahun 1996 atas dasar ketentuan

34

Ibid., Hlm. 26 35

Sun Pyo Kim, Maritime Delimitation and Interim Arrangements in North East Asia, (The Hague/ London/ New York, Martinus Nijhoff Publishers, 2004), Hlm. 208 – 209.

Page 44: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

30

pasal 7 KHL 1982. Antara lain sengketa mengenai pengaruh Haijiao

(Barren Island atau Tungtao), Dongnanjiao, Machaiheng dan Waikejiao

yang digunakan Cina dalam menarik ‘straight baselines’ bisa sangat

bermasalah dalam perundingan. Haijiao adalah sebuah karang kecil (a

tiny rock) yang terletak sekitar 69 mil laut dari Shanghai dan Dongnanjiao

juga sebuah karang kecil yang letaknya lebih jauh ke luar dibandingkan

dengan Haijiao. Machaiheng dan Waikejiao tampaknya merupakan fitur

pasir bawah laut (submerged sand features) yang berada sekitar 40 mil

laut dari pantai Cina.

Pemerintah Korea tampaknya menentang legalitas penggunaan

Haijiao, Hainanjiao, Machaiheng dan Waikejiao sebagai ‘basepoints for

drawing straight baselines’. Hal ini disebabkan karena menurut seorang

pakar hukum laut Korea, Hee-Kwon Park, ‘straight baselines yang

melintasi Haijiao dan Hainanjiao menyimpang terlalu jauh dari arah umum

daripada pantai dan daerah yang berada di dalam garis pangkal yang

melintasi kedua karang itu terlalu jauh dari daratan utama (mainland)

untuk dapat tunduk pada rezim perairan pedalaman. Mantan pejabat

Kementerian Luar Negeri Korea itu juga menegaskan bahwa Machaiheng

dan Weikejiao mungkin merupakan tumpukan pasir bawah laut

(submerged sand banks) atau elevasi surut (low-tide elevations) dan tidak

terdapat deretan pulau di sekitarnya. Demikian pula Departemen Luar

Negeri Amerika Serikat melihat kalau Machaiheng berlokasi di perairan

Page 45: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

31

dengan kedalaman kurang dari 3 meter dan Weikejiao adalah sebuah

elevasi surut36.

Akan tetapi Cina berusaha mempertahankan legalitas atau

keabsahan masalah penggunaan Haijiao, Dongnanjiao, Machaiheng dan

Weikejiao sebagai ‘basepoints for straight baselines’ dan dengan begitu

Cina berupaya memanfaatkan fitur-fitur seperti itu sebagai ‘basepoints in

the delimitation’, sebagai titik pangkal dalam menetapkan dan

membangun garis batas maritim. Cina juga mungkin berkeinginan

menentang Pulau Soheuksando yang dimiliki Korea yang terletak sekitar

60 mil jauhnya dari mainland Korea dan digunakan oleh pihak Korea

untuk menarik ‘straight baselines’ pada tahun 1978. Meskipun Pulau

Soheuksando yang dimiliki Korea didiami serta jauh lebih luas dari pada

Haijiao dan Dongnanjiao dan pihak Cina tidak pernah menentang

penggunaan Soheuksando sebagai suatu ‘basepoint’ for drawing straight

baselines’, namun pengaruh pulau milik Korea itu sebagai titik pangkal

dalam menarik garis perbatasan dapat ditentang oleh Cina atas alasan-

alasan strategi. Bagi Cina Pulau Soheuksando yang digunakan sebagai

‘basepoint for straight baselines’ oleh pihak Korea, tidak ada masalah,

tetapi ketika Korea menggunakannya sebagai ‘basepoint for maritime

delimitation’, Cina menentang hal seperti ini berdasarkan alasan dan

pertimbangan strategi.

36

Ibid, Hlm.209.

Page 46: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

32

Selanjutnya dalam ‘the Qatar v. Bahrain case’, Bahrain

berpendapat bahwa berbagai bentuk alamiah (maritime features) yang

terletak di lepas pantai timur pulau-pulau utama yang dimiliknya dapat

disamakan dengan sederatan pulau yang merupakan kesatuan dengan

daratan utama (the mainland) dan bahwa Bahrain berhak menarik garis

pangkal lurus yang menghubungkan bentuk-bentuk alamiah tersebut (the

maritime features).37 Mangenai hal ini Mahkamah tidak setuju dengan

pendapat Bahrain. Walaupun Mahkamah mengakui bahwa bentuk-bentuk

alamiah atau fitur-fitur laut yang bersangkutan adalah bagian dari seluruh

konfigurasi geografis yang dimiliki Bahrain, namun Mahkamah melihat

bahwa fitur-fitur seperti itu bukan bagian dari pantai yang menjorok jauh

ke dalam, bahwa fitur-fitur seperti itu berbeda dari pada situasi yang

dianalisis dalam kasus Anglo-Norwegian Fisheries Case dan tidak

mempunyai karakter sebagai sederetan pulau (a fringe of islands)

sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut. Hal seperti ini memiliki

makna bahwa fitur-fitur alamiah milik Bahrain tidak dapat digunakan

sebagai titik pangkal dalam menarik garis pangkal maupun dalam

membangun garis batas maritim dengan pihak Qatar.

Menurut Mahkamah, Bahrain pun berpendapat bahwa karena

negaranya adalah Negara kepulauan de facto, meskipun tidak secara

formal menyatakan demikian, Negaranya mempunyai hak untuk menarik

garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari

37

Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain, Merits, Judgment, ICJ Reports 2001. Ibid, Hlm. 276

Page 47: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

33

pulau-pulau serta karang-karang kering terluar dari kepulauan itu

berdasarkan pasal 47 KHL 198238. Akan tetapi menurut Mahkamah,

karena Bahrain tidak menyatakan tunduk secara formal sebagai Negara

kepulauan ataukah Negara pantai biasa, Mahkamah tidak dapat

mengambil sikap atas masalah ini. Oleh karena itu garis pangkal yang

digunakan dalam kasus seperti ini adalah garis pangkal normal (normal

baselines) yang dihitung dan diukur dari daratan utama (mainland) negara

tersebut.

Mahkamah juga menghadapi kesulitan kedua dalam menentukan

garis pangkal yang dapat diterapkan dalam kasus ini akibat hadirnya

elevasi surut (low-tide elevation) di daerah itu. Berdasarkan pasal 13 KHL

1982, elevasi surut (low-tide elevation) adalah wilayah daratan yang

terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dengan serta berada di atas

permukaan air ketika air laut surut, tetapi berada di bawah permukaan air

ketika air laut pasang. Wilayah yang dinamakan elevasi surut dapat

digunakan sebagai titik bagi garis pangkal apabila seluruh atau sebagian

wilayah seperti ini terletak pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut

territorial dari daratan utama (mainland) atau dari suatu pulau (an island).

Akan tetapi dalam perkara Qatar dan Bahrain, elevasi surut tertentu

berada di daerah di mana laut territorial dari kedua Negara tumpang tindih

satu sama lain, karena masing-masing Negara mengklaim laut territorial

dengan12 mil laut dan jarak antara pantai daratan utama Bahrain dan

38

Ibid, Hlm. 277.

Page 48: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

34

pantai jazirah Qatar tidak lebih dari 24 mil laut dimanapun juga. Pada

prinsipnya masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan garis air

rendah (low-water line) dari elevasi surut untuk mengukur lebar laut

territorial. Untuk maksud delimitasi persaingan hak-hak Negara yang

bersumber dari ketentuan-ketentuan relevan dari KHL 1982 tampaknya

harus dinetralisasi satu sama lain.

Bagaimanapun Bahrain berpendapat kalau dia telah

menyampaikan bukti yang memadai mengenai hak kedaulatannya atas

seluruh elevasi surut dan bahwa dia sendiri memiliki hak untuk

memperhitungkannya dalam rangka menetapkan ‘the equidistance line’.

Mahkamah menolak alasan Bahrain ini dan menyatakan bahwa suatu

Negara tidak dapat memperoleh kedaulatan dengan mengambil suatu

elevasi surut yang terletak di dalam batas-batas laut teritorialnya di mana

elevasi surut yang sama juga terletak di dalam batas-batas laut territorial

Negara lain. Mahkamah berkesimpulan bahwa elevasi surut ini tidak dapat

digunakan sebagai bagian dari garis pangkal,39 atau dengan kata lain

elevasi surut tersebut tidak dapat digunakan sebagai titik pangkal dalam

membangun garis batas maritim berdasarkan garis sama jarak

(equidistance line), meskipun elevasi surut tersebut dapat digunakan

sebagai titik pangkal dalam menarik garis air rendah sebagai garis

pangkal normal.

39

ICJ Reports 2001, p. 101 – 103, para.204 – 209.

Page 49: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

35

Dalam kasus Libya v. Malta, Libya menganjurkan agar celah bawah

laut yang lokasinya lebih dekat dengan pantai Malta dari pada pantai

Libya seharusnya digunakan sebagai garis perbatasan (boundary line)

antara landas kontinen Libya dan Malta. Namun demikian Mahkamah

menyatakan bahwa karena perkembangan hukum memungkinkan suatu

Negara mengklaim bahwa landas kontinen itu sampai sejauh 200 mil dari

pantainya, apapun ciri-ciri geologis dari dasar laut dan tanah di bawahnya,

bukanlah merupakan alasan untuk menganggap faktor geologis dan

geofisik di dalam jarak tersebut berperan untuk membuktikan hak hukum

Negara-negara yang bersangkutan atau untuk memulai delimitasi di

antara Negara-negara tersebut40.

Ketentuan batas landas kontinen hingga 200 mil laut terhitung dari

garis pangkal jelas dimaksudkan untuk memverifikasi keabsahan hak

(validity of title), karena setidak-tidaknya sejauh daerah-daerah itu terletak

pada jarak kurang dari 200 mil dari pantai tersebut, hak (entitlement)

hanya bergantung pada jarak dari pantai Negara-negara pengklaim atas

bagian dasar laut yang diklaim melalui landas kontinen, dan ciri-ciri

geologis atau geomorfologis dari daerah itu samasekali tidak penting. Hal

ini disebabkan karena jarak antarpantai para pihak kurang dari 400 mil,

dan tidak ada ciri geofisik (geophysical feature) bisa berada lebih dari 200

mil dari pantai, ciri yang dinyatakan sebagai ‘the rift zone’ tidak mungkin

40Continental Shelf (Libyan Arab Jamahiriya/Malta), Judgment, I.C.J. Reports

1985, Hlm. 40, para. 48.

Page 50: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

36

merupakan diskontinuitas mendasar yang mengakhiri perluasan landas

kontinen Malta ke arah selatan dan perluasan Libya ke arah utara seakan-

akan diskontinuitas itu adalah perbatasan alamiah (natural boundary)41.

Dalam kasus Libya v. Malta, Libya antara lain mengemukakan

bahwa celah bawah laut yang letaknya lebih dekat dengan pantai Malta

dibandingkan dengan pantainya sendiri, menurut Libya seharusnya

digunakan sebagai garis perbatasan (boundary line) antara landas

kontinen Libya dan Malta. Akan tetapi menurut Mahkamah, sesuai

perkembangan hukum laut internasional suatu Negara dapat mengklaim

landas kontinen sampai sejauh 200 mil dari pantainya. Meskipun Libya

mempunyai ciri-ciri geologis berupa celah bawah laut yang dekat dengan

pantai Malta, celah bawah laut seperti ini tidak dapat dipergunakan

sebagai garis batas landas kontinen antara kedua Negara. Hal ini

mengandung makna bahwa celah bawah laut (the rift zone) yang diklaim

Libya sebagai garis batas landas kontinen dengan pihak Malta tidak dapat

dipakai sebagai titik pangkal dalam menarik garis pangkal maupun dalam

membangun garis batas maritim.

C. Gambaran Berbagai Macam Garis Pangkal

Apa yang dimaksud dengan garis pangkal biasa, garis pangkal

lurus, garis pangkal lurus kepulauan. KHL 1982, Undang-Undang Nomor 6

41

SHI Jiuyong, The Wang Tieya Lecture in Public International Law : Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the International Court of Justice, Chinese Journal of International Law (2010), Chinesejil, Oxfordjournals.org/at University Library Utrecht on November 15, 2012, Hlm.287.

Page 51: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

37

Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002

mengemukakan sebagai berikut.

Garis pangkal biasa (normal baselines) adalah garis-garis air

terendah di sepanjang pantai pada waktu air sedang surut sehingga

mengikuti segala lekuk liku (bentuk-bentuk morfologi) dari pantai suatu

negara. Pada mulut atau muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak

melebihi 24 mil laut, dan pada pelabuhan, maka harus diperhatikan bahwa

garis air terendah itu dapat ditarik sebagai suatu garis lurus. Garis air

terendah yang ditarik sebagai garis lurus (straight lines) pada perairan di

sekitar muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut

serta pada perairan pelabuhan bilamana sungai, teluk dan pelabuhan itu

tidak berada pada pulau-pulau terluar. Akan tetapi bilamana letak

geografisnya berada pada pulau-pulau terluar, maka garis air terendah

pada muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut

maupun pada pelabuhan, dapat ditarik sebagai suatu garis penutup

(closing lines).

Garis pangkal biasa lazimnya dipergunakan oleh negara yang

dikualifikasi sebagai negara pantai normal (normal coastal state), seperti

Malaysia, Korea Utara, Korea Selatan, RRC, AS, Australia dan banyak

negara pantai biasa lainnya yang wilayahnya berupa sebuah daratan atau

kontinen semata-mata walaupun tidak tertutup kemungkinan memiliki satu

pulau kecil atau lebih yang mungkin secara geografis berada jauh dari

wilayahnya..

Page 52: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

38

Untuk mempermudah pemahaman mengenai garis pangkal biasa

(normal baselines), maka di bawah ini dibentangkan gambar mengenai

garis seperti itu yang dapat ditemukan pada bagian lampiran disertasi

ini.42 Selanjutnya garis pangkal lurus (straight baselines) adalah garis air

terendah yang menghubungkan titik-titik pangkal berupa titik-titik terluar

yang terdapat pada pantai daratan utama (mainland) suatu negara atau

pada pantai gugusan pulau yang berada di depannya (daratan utama).

Garis pangkal lurus hanya dapat diterapkan oleh negara yang

memiliki daratan utama, namun garis pantainya berliku-liku tajam pada

daratan utama tersebut. Selain memiliki daratan utama yang pantainya

berliku-liku tajam, negara tersebut juga memiliki gugusan pulau-pulau

yang letaknya berdekatan dengan pantai daratan utama. Negara tersebut

juga memiliki apa yang dinamakan delta maupun kondisi alam lainnya

yang menyebabkan garis pantainya sangat tidak menentu, seperti

terdapatnya apa yang dinamakan fyord baik pada daratan utama maupun

pada deretan dan gugusan pulau di dekatnya.

Negara dengan kondisi geografis seperti itulah yang dapat

menggunakan dan menerapkan garis-garis pangkal lurus di mana

perairan yang terdapat atau berada pada sisi dalam dari garis-garis

pangkal lurus itu adalah merupakan perairan pedalaman (internal waters),

sementara perairan yang terletak pada sisi luar dari garis-garis pangkal

lurus itu adalah merupakan jalur laut territorial yang lebarnya maksimal 12

42

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1990), Hlm. 110.

Page 53: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

39

mil laut yang dihitung atau diukur dari garis-garis pangkal lurus. Namun

demikian garis pangkal lurus bukan sesuatu yang dapat berdiri sendiri

karena harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal

normal yang disebut juga garis air terendah atau garis air surut43.

Di samping persyaratan tadi, maka untuk dapat menerapkan garis

pangkal lurus, maka negara dengan kondisi geografis seperti itu harus

memiliki kepentingan ekonomi yang bersifat khusus atau spesifik di mana

kepentingan ekonominya atas perairan yang terbentuk berdasarkan garis

pangkal lurus adalah merupakan suatu kenyataan serta sesuatu yang

sangat signifikan yang secara jelas dapat dibuktikan melalui praktek yang

telah berlangsung lama.

Persyaratan berikutnya adalah bahwa garis pangkal lurus tersebut

tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai negara yang

bersangkutan. Akhirnya garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari elevasi

surut (low tide elevation) maupun menuju ke elevasi surut sehingga

elevasi surut itu tidak boleh digunakan sebagai titik pangkal atau titik

terluar terkecuali elevasi surut itu telah memiliki mercu suar atau instalasi

serupa yang terus menerus berada di atas permukaan air laut.

Negara yang pertama kali menerapkan garis pangkal lurus adalah

negeri Norwegia karena wilayahnya secara geografis terdiri dari daratan

utama yang pantainya sangat berliku-liku tajam (terdapat anak-anak laut,

fyord etc) serta di dekat daratan utama bertebaran gugusan pulau-pulau.

43

George K. Walker, op. cit., Hlm. 118 – 119.

Page 54: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

40

Penduduk Norwegia menggantungkan hidupnya pada kegiatan

penangkapan ikan di perairan sekitar wilayah daratan serta deretan pulau-

pulau di depannya, di mana hal ini sudah berlangsung lama secara turun

menurun sehingga bagi bangsa Norwegia wilayah perairan tersebut

memiliki kepentingan dan nilai ekonomi yang istimewa44. Faktor-faktor

inilah yang mendorong Norwegia sehingga mengeluarkan suatu peraturan

yang dinamakan Dekrit Raja Norwegia (the Royal Decree) pada tahun

1935 yang menetapkan wilayah perairannya sebagai wilayah perikanan di

laut territorial serta perairan pedalaman, di mana terbentuknya wilayah

perairan ini didasarkan atas penerapan garis pangkal lurus yang

merupakan garis-garis air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar

yang terdapat pada pantai daratan utama maupun pada gugusan pulau

yang berdekatan dengan daratan utama tersebut.

Negara yang memiliki elevasi surut berkewajiban untuk

membangun mercu suar atau semacam instalasi di atas elevasi surut

tersebut yang tujuannya di samping untuk menunjukkan atau

membuktikan kepemilikannya atas elevasi surut, juga terutama untuk

melindungi dan menjamin keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal yang

melewati atau melintasi perairan di sekitar elevasi surut. Dengan demikian

mercu suar atau instalasi tersebut mempunyai fungsi sebagai tanda

peringatan (warning signals) bagi para pemakai laut agar berhati-hati

ketika melintasi perairan di sekitar elevasi surut sebab perairan yang

44

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1978), Hlm. 105.

Page 55: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

41

berada di sekitar atau di sekeliling elevasi surut itu merupakan perairan

yang sangat dangkal atau perairan yang di bawahnya terdapat beting atau

karang-karang kering sehingga dapat membahayakan keselamatan

berlayar apabila negara pantai yang bersangkutan tidak membangun

mercu suar di atas elevasi surut.

Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur

tambahan dan kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 7 KHL 1982

menciptakan semacam azas keseimbangan antara kepentingan Negara

pemilik elevasi surut dan sarana di atasnya di satu pihak dengan

kepentingan negara-negara lain yang memanfaatkan perairan di sekitar

sarana mercusuar atau instalasi di atas elevasi surut tersebut. Azas

keseimbangan tersebut tidak lain dari pada penerapan prinsip keadilan

yang melandasi hak dan kewajiban antara negara pantai dengan negara

yang kapalnya memanfaatkan perairan di sekitar mercu suar atau instalasi

di atas elevasi surut yang bisa berfungsi sebagai titik pangkal bagi

penarikan garis pangkal lurus.

Apa yang dinamakan elevasi surut (low tide elevation) tentu

berbeda dengan pulau (natural island). Walaupun di antara keduanya

terdapat persamaan di mana keduanya baik pulau maupun elevasi surut

adalah merupakan wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah,

namun sebuah pulau senantiasa berada di atas permukaan air laut

kendati air laut sedang mengalami gejala atau peristiwa pasang yang

Page 56: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

42

setinggi-tingginya 45 Sedangkan apa yang disebut elevasi surut hanya bisa

muncul di atas permukaan air laut ketika air laut sedang surut, tetapi

ketika sedang mengalami pasang yang setinggi-tingginya, elevasi surut

tersebut umumnya tenggelam dan tidak kelihatan di atas permukaan air

laut sehingga demi keselamatan pelayaran Negara pemiliknya

berkewajiban membangun mercu suar di atasnya.

Malaysia telah mengundangkan pada tanggal 1 Mei 2007 Undang-

Undang tentang Garis Pangkal Zona-Zona Maritim atau the Baselines of

Maritime Zones Act (Act 660). Undang-undang ini menetapkan garis

pangkal normal (normal baselines) harus mengikuti garis air rendah (low-

water line) sebagaimana dinyatakan pada peta dengan skala luas.

Undang-undang yang sama menetapkan penggunaan garis pangkal lurus

(straight baselines) yang menghubungkan titik-titik pangkal tertentu di

sepanjang pantai.46 Undang-undang ini memungkinkan adanya legislasi

dan Malaysia tidak mempublikasikan peta atau daftar koordinat geografis

menyangkut garis pangkal lurus. Bagaimanapun juga Malaysia

seharusnya menjamin bahwa penggunaan garis pangkal lurus

berdasarkan ‘the 2006 Act’ adalah sesuai dengan artikel 7 KHL 1982

seperti yang ditafsirkan oleh Mahkamah dalam kasus Qatar v. Bahrain47,

45

Pasal 12 Konvensi Hukum Laut 1982. 46

Robert Beckman, Moving Beyond Disputes over Island Souvereignty : ICJ Decision Sets Stage for Maritime Boundary Delimitation in the Singapore Straits, Ocean Development & International Law, 40, 2009, Hlm. 5-6.

47 Many coastal states, especially states in East Asia and Southeast Asia, have

given a liberal or, indeed, excessive interpretation to Article 7, and have employed straight baselines in circumstances that arguably do not meet the requirements in Article

Page 57: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

43

yang pada dasarnya menyatakan bahwa artikel 7 KHL 1982 bermaksud

untuk mengatur secara khusus garis pantai yang rumit dan tidak teratur, di

mana penggunaan normal baselines bisa mempersulit batas-batas

yurisdiksi maritim. Jika garis pangkal lurus negara tersebut berlebih-

lebihan (excessive in character), maka garis pangkal seperti itu tidak

mungkin dapat diterima oleh negara pantai tetangganya.

Dalam Case Concerning Sovereignty Over Pedra Branca / Pulau

Batu Puteh, Middle Rocks and South Ledge Between Malaysia and

Singapore, Indonesia dan Singapura mungkin akan mengambil posisi

bahwa Malaysia seharusnya menggunakan metode garis pangkal normal

yang mengikuti garis air rendah di sebelah timur Selat Singapura. Hal ini

disebabkan karena pantai Malaysia di daerah Johor tampaknya tidak

memiliki sederetan pulau (a fringe of islands) dan tidak berliku-liku tajam,

dan dengan demikian tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan

garis pangkal lurus berdasarkan ketentuan artikel 7.

Akhirnya tentang garis pangkal lurus kepulauan (straight

archipelagic baselines) dapat diterapkan oleh negara yang dikualifikasi

sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) seperti halnya Indonesia

yang kini mulai memperkenalkan konsepsi Benua Maritim Indonesia48.

7. Nonetheless, the intent of Article 7 of UNCLOS is clear to deal with especially complex and irregular coastlines where the use of normal baselines would result in similarly convoluted maritime jurisdictional limits. This interpretation of Article 7 is supported by the decision in the Qatar/Bahrain case, which stated unequivocally that the method of straight baselines in accordance with Article 7 of UNCLOS “must be applied restrictively. Ibid., Hlm. 5

48 Konsepsi Benua Maritim Indonesia atau disingkat Konsepsi BMI adalah

gagasan mantan Presiden RI BJ. Habibie yang sesungguhnya merupakan

Page 58: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

44

Garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) adalah

garis-garis air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-

pulau dan karang kering terluar yang dimiliki oleh Negara Kepulauan.

Syarat utama penarikan garis pangkal lurus kepulauan adalah bahwa

garis pangkal lurus kepulauan harus meliputi pulau-pulau utama (main

islands) dari negara kepulauan tersebut. Garis pangkal lurus kepulauan

Indonesia harus dapat mencakup pulau-pulau utama seperti Pulau Jawa,

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Selain daripada itu

dengan penarikan garis pangkal lurus kepulauan, maka perbandingan

antara luas wilayah perairan dengan luas wilayah daratan termasuk atoll

atau karang kering harus berkisar antara satu berbanding satu sampai

sembilan berbanding satu.

Dengan mencermati wilayah Indonesia yang sebagian besar terdiri

dari wilayah perairan yang menyatu dengan wilayah daratan melalui

penerapan garis pangkal lurus kepulauan, dengan memperhatikan Pulau

Sumatera atau Pulau Jawa serta wilayah perairan di sekitarnya, maka

tampak perbandingan antara luas wilayah perairan di sekitar Pulau

Sumatera ataupun di sekitar Pulau Jawa dengan luas wilayah daratan

Pulau Sumatera ataupun wilayah daratan Pulau Jawa adalah sekitar dua

pengembangan dari konsepsi Nusantara ataupun wawasan nusantara. Konsepsi BMI menegaskan Indonesia harus dilihat sebagai sebuah benua laut yang di atasnya bertebaran pulau-pulau besar dan kecil seakan-akan pulau-pulau ini melekat dan menempel pada wilayah laut yang sedemikian luas. Hal ini berbeda dari konsepsi nusantara ataupun wawasan nusantara yang memperlihatkan wilayah perairan di sekitar dan di antara pulau-pulau seakan-akan melekat dan tidak terpisahkan dari wilayah daratan Indonesia. Lihat Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Kerangka Kebijakan Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin, 1999, Hlm. 11-15.

Page 59: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

45

atau tiga berbanding satu. Akan tetapi ketika mencermati Kepulauan

Maluku (Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara) serta wilayah

perairan di sekitarnya, maka luas wilayah perairannya dengan luas

wilayah daratannya perbandingannya dapat mencapai sembilan

berbanding satu.

Selanjutnya terdapat beberapa pembatasan dalam menerapkan

garis pangkal lurus kepulauan. Pertama, setiap garis pangkal lurus

kepulauan dapat mempunyai kepanjangan maksimal 100 mil laut, dengan

demikian panjangnya bisa kurang dari 100 mil laut, tetapi tidak boleh

melebihi 100 mil laut. Namun ketentuan mengenai pembatasan setiap

garis pangkal lurus kepulauan ini masih disertai dengan suatu

pengecualian yang menyatakan dari jumlah keseluruhan garis-garis

pangkal lurus kepulauan yang terbentuk, maka 3 persen di antaranya

dimungkinkan untuk mencapai kepanjangan maksimum hingga 125 mil

laut49.

Dengan berpatokan pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor

38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia, maka sesuai dengan jumlah pulau terluar

terdapat 166 titik pangkal. Jumlah titik pangkal ini menghasikan 125 garis

pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) serta 26 garis

pangkal biasa (normal baselines).

49

George K. Walker, op. cit., Hlm. 120

Page 60: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

46

Pembatasan berikutnya adalah bahwa garis-garis pangkal lurus

kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum

kepulauan tersebut, yang pengertiannya sama dengan tidak boleh

menyimpang terlalu jauh dari arah pantai dari kepulauan maupun dari

pulau-pulau pada umumnya. Dengan mencermati estimasi keseluruhan

garis-garis pangkal kepulauan Indonesia yang menyatukan wilayah

kepulauan serta wilayah perairan, maka kelihatan sekali garis-garis

pangkal kepulauan Indonesia secara terpadu memperlihatkan konfigurasi

yang mirip dan menyerupai seekor kuda lumping yang terkenal dalam seni

budaya Jawa sehingga memenuhi ketentuan yang menyatakan garis

pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari

konfigurasi umum kepulauan RI.

Selanjutnya dinyatakan bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak

boleh ditarik ke dan dari elevasi surut sehingga tidak dapat dipakai

sebagai titik pangkal apabila elevasi ini terletak di sekitar pulau terluar.

Namun elevasi ini bisa saja digunakan sebagai titik pangkal asal saja di

atasnya telah dibangun dan dipasang mercu suar atau instalasi serupa

yang secara terus menerus berada di atas permukaan laut sehingga tidak

membahayakan keselamatan berlayar. Di samping itu elevasi surut

tersebut dapat digunakan sebagai titik pangkal bilamana seluruh atau

sebagian dari elevasi surut itu terletak dalam jarak yang tidak melebihi

lebar laut territorial yang diukur atau dihitung dari pulau terdekatnya.50

50

Ibid., Hlm. 120 - 121

Page 61: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

47

Terkait pembangunan mercu suar Indonesia di atas elevasi surut di

lepas pantai Pulau Sebatik yang dinamakan Karang Unarang, hal seperti

ini dilakukan untuk membuktikan kepemilikan atas Karang Unarang serta

kewajiban Indonesia dalam menjamin keselamatan pelayaran bagi kapal-

kapal asing yang sering melewati daerah perbatasan di sekitar Pulau

Sebatik. Dengan terlepasnya Pulau Ligitan dan Sipadan, maka dengan

sendirinya terjadi perubahan dan pergeseran dari titik pangkal di Pulau

Ligitan ke titik pangkal di Karang Unarang (di lepas pantai Pulau Sebatik)

dan untuk selanjutnya dilakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan

dari Karang Unarang ke titik pangkal antara lain di Pulau Maratua, Pulau

Sebatik, Pulau Gosong, Pulau Dolangan dan Pulau Salando yang berada

di Laut Sulawesi.

Pembatasan lain yang harus menjadi perhatian dalam menerapkan

garis pangkal lurus kepulauan adalah bahwa garis pangkal lurus

kepulauan tidak boleh ditarik sedemikian rupa sehingga memotong

perairan laut territorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi

eksklusif51. Dengan mencermati perairan kepulauan di sekitar Kepulauan

Natuna sebagai wilayah perairan RI yang terletak antara Semenanjung

Barat dengan Semenanjung Timur Malaysia, laut territorial Malaysia pada

kedua semenanjung tersebut dapat dikatakan samasekali tidak terganggu,

dalam arti tidak mengalami duplikasi (overlapping) dengan laut territorial

Indonesia ketika diterapkan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia yang

51

George K. Walker, loc.cit.

Page 62: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

48

menghubungkan pulau-pulau terluar di Laut Natuna yang berdekatan

dengan wilayah Malaysia.

Garis pangkal lurus kepulauan bukan sesuatu yang berdiri sendiri,

melainkan harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal

lain52 sebab eksistensinya bergantung pada garis seperti ini, seperti garis

pangkal normal, garis pangkal lurus dan garis-garis penutup pada teluk,

sungai dan pelabuhan baik yang berada pada bagian dalam maupun

bagian luar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia.53

Garis pangkal lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan

Indonesia harus ditegaskan melalui sebuah Peta yang dapat dinamakan

peta garis pangkal kepulauan bertujuan untuk menjamin batas-batas

wilayah, melindungi kedaulatan dan keutuhan territorial dalam

hubungannya dengan negara-negara tetangga. Selama belum dibuat peta

garis pangkal kepulauan Indonesia, maka dapat dibuat Daftar Koordinat

Geografis Titik-Titik Garis Pangkal. Meskipun hingga saat ini pemerintah

belum membuat Peta, tetapi sudah ditetapkan Daftar Koordinat Geografis

(sebagai pengganti Peta) yang disusun menurut skala yang memadai

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 mengenai

Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Daftar Koordinat ini telah didepositkan pada Sekjen PBB agar supaya

mendapatkan legitimasi dari PBB. Akan tetapi sejauh mana legitimasi dari

52

Pasal 14 Konvensi Hukum Laut 1982 (Kombinasi cara-cara penetapan garis pangkal). The Coastal State may determine baselines in turn by any of the methods provided for in the foregoing articles to suit different conditions.

53 I Wayan Parthiana, ibid., Hlm. 117.

Page 63: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

49

Negara peserta KHL 1982 terhadap peta ataupun daftar koordinat titik-titik

garis pangkal kepulauan Indonesia memerlukan penelitian tersendiri.

D. Latar Belakang Persengketaan atas Pulau Sipadan dan Ligitan

Munculnya pertama kali sengketa wilayah Indonesia-Malaysia di

Laut Sulawesi menyangkut masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan

Pulau Ligitan telah ditempuh melalui berbagai macam cara penyelesaian

yang mengutamakan persahabatan antara kedua negara guna mencari

pemecahan yang seadil-adilnya.54

Masalah itu sendiri timbul pada tahun 1969 ketika delegasi kedua

negara mengadakan pertemuan untuk menetapkan garis batas landas

kontinen masing-masing negara. Pada saat itu kedua delegasi sepakat

untuk tidak membicarakan masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau

Ligitan karena di samping pembicaraan mengenai kedua pulau itu bisa

mengeruhkan suasana damai seusai konfrontasi kedua negara, juga

adanya kepekaan politik saat itu terkait tuntutan Filipina atas Sabah

sehingga kedua pihak sepakat membiarkan kedua pulau itu dalam posisi

status quo.55

54

S.M. Noor, Politik Hukum dalam Praktek Ratifikasi di Indonesia, (Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2008), Hlm. 202.

55 Ibid., Hlm. 204. Sabah sebagai wilayah Malaysia akhir-akhir ini menjadi berita

hangat di mass media setelah Kesultanan Sulu mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya yang disewa oleh Inggeris sejak abad 19. Hubungan sewa menyewa terkait pulau Sabah masih dilanjutkan oleh Pemerintah Malaysia; Lihat S.M. Noor, Insiden Sabah dan Klaim Batas Sejarah, Harian Kompas, 14 Maret 2013, Hlm. 6; Terlepas pandangan beliau dari aspek hubungan internasional, maka ada makna lain dari kasus Sabah dikaitkan dengan penetapan garis batas maritim antara Indonesia dan Malaysia dengan memperhatikan keadaan khusus atau relevan. Kasus Sabah harus ditempatkan sebagai salah satu faktor geografis yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan delimitasi maritim.

Page 64: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

50

Setelah masalah ini didiamkan dan berjalan selama satu

dasawarsa, Pemerintah Indonesia pada 8 Februari 1980 menyampaikan

nota protes kepada Pemerintah Malaysia karena pada bulan Desember

1979 Malaysia menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau itu ke

dalam wilayahnya. Bahkan Presiden Soeharto pun segera menemui

Perdana Menteri Husain Onn yang disusul dengan pertemuan tingkat

Menteri. Nota protes dari pihak Indonesia dan nota balasan dari pihak

Malaysia tidak terelakkan sehingga kedua Negara membentuk suatu

kelompok kerja yang disebut Joint Working Group on Pulau Sipadan and

Pulau Ligitan guna menyelesaikan sengketa kepemilikan atas kedua pulau

itu.

Kelompok kerjasama tersebut telah mengadakan beberapa kali

pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan di Jakarta pada bulan Juli

tahun 1992, di mana Indonesia menegaskan posisinya mengenai

kepemilikan atas kedua pulau itu dengan menyampaikan argumentasi

hukum dan beberapa dokumen serta peta untuk mendukung klaimnya

atas kedua pulau itu. Demikian pula Malaysia telah menyerahkan sebuah

Memorandum Pemerintahnya disertai dokumen pendukungnya, kemudian

terjadi tukar menukar dokumen, tetapi belum dibahas substansinya.56

Pertemuan kedua diselenggarakan di Kuala Lumpur pada bulan

Januari tahun 1994, di mana hasilnya dapat dikatakan relatif sama dengan

pertemuan pertama. Namun tercapai kemajuan yang ditandai dengan

56

Ibid., Hlm. 202-204

Page 65: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

51

adanya kesepakatan untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa

kepemilikan atas kedua pulau tersebut, yakni dengan mengadakan

pertemuan lanjutan di Indonesia. Kemajuan hasil pertemuan ini

mencerminkan amanat hasil pertemuan Presiden Soeharto dengan

Perdana Menteri Mahathir Muhammad di Pulau Langkawi pada bulan Juli

1992 bahwa sengketa kedua pulau itu perlu segera diselesaikan agar

tidak membebani generasi mendatang.57

Kemajuan lain selama putaran kedua adalah dikeluarkannya

pernyataan pers bersama yang menyebutkan kedua delegasi

menyampaikan sejumlah dokumen untuk menegaskan posisi masing-

masing. Di samping itu kedua delegasi menyepakati sejumlah prinsip,

antara lain bahwa masalah Sipadan dan Ligitan akan diselesaikan dengan

prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk perjanjian yang relevan,

konvensi-konvensi dan berbagai saling pengertian yang melibatkan pihak

yang relevan dan waktu yang relevan pula. Selanjutnya dinyatakan bahwa

suatu penyelesaian segera atas masalah sengketa Pulau Sipadan dan

Pulau Ligitan akan berdampak positif bagi hubungan persahabatan dan

bertetangga kedua negara. Terakhir, penyelesaian sengketa ini harus

melalui konsultasi dan atau melalui cara damai.

Putaran ketiga perundingan penyelesaian sengketa atas kedua

pulau itu diadakan di Jakarta pada bulan September 1994. Malaysia

berkeinginan untuk segera menyelesaikan sengketa tersebut dengan

57

Ibid., Hlm. 206

Page 66: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

52

melibatkan pihak ketiga. Malaysia mengajak Indonesia untuk

menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di depan ICJ

karena ICJ sebagai pihak ketiga dipandang mampu menyelesaikan isu

tersebut secara berwibawa, netral, aman dan sesegera mungkin.

Sebaliknya pihak Indonesia dalam pidato penutupan Kelompok Kerjasama

putaran ketiga ini oleh Ketua delegasinya menyatakan bahwa Indonesia

belum merasa perlu melibatkan pihak ketiga. Namun bila kelak memang

harus demikian, Indonesia memilih Dewan Tinggi (High Council) ASEAN

sebagai pihak ketiga.

Malaysia menolak menggunakan “High Council” dalam

menyelesaikan sengketa tersebut karena negara itu khawatir mekanisme

seperti itu akan banyak menghabiskan waktu. Pihak Malaysia tidak

menghendaki penyelesaiannya berlarut-larut sehingga bisa mengganggu

hubungan baik kedua negara. Sedangkan alasan Indonesia memilih

ASEAN High Council apabila memang sudah dibutuhkan pihak ketiga,

yaitu karena lembaga itu tentu saja memiliki pengetahuan yang lebih baik

mengenai masalah yang terjadi di kawasan ASEAN.

Negosiasi dan diplomasi yang telah dilakukan oleh kedua negara

selama bertahun-tahun tidak menghasilkan solusi mengenai kepemilikan

atas kedua pulau tersebut. Tidak tercapainya titik temu soal Sipadan dan

Ligitan menyebabkan pada tahun 1994 Presiden Soeharto dan Perdana

Menteri Mahathir Mohammad sepakat untuk mengangkat Wakil Pribadi

(Special Representative) guna menyelesaikan masalah tersebut. Presiden

Page 67: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

53

Soeharto menunjuk Mensesneg. Moerdiono, sedangkan PM Mahathir

Mohammad menunjuk Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Kedua

Wakil Pribadi itu mengadakan empat kali pertemuan di Kuala Lumpur dan

Jakarta, tetapi keduanya tidak berhasil mencapai kesepakatan.58

Lewat pertemuan mereka di Kuala Lumpur pada 21 Juni 1996,

Moerdiono dan Anwar Ibrahim menandatangani laporan bersama yang

diajukan kepada Presiden Soeharto dan PM Mahathir Mohammad yang

isinya merekomendasikan agar sengketa soal Sipadan dan Ligitan dibawa

ke Mahkamah Internasional. Rekomendasi itu diterima oleh kedua Kepala

Pemerintahan.

Tanggal 31 Mei 1997 Malaysia dan Indonesia secara resmi

memulai proses penentuan hak klaim atas Pulau Sipadan dan Pulau

Ligitan dengan menyerahkannya kepada Mahkamah Internasional.

Perjanjian khusus untuk secara bersama-sama menyerahkan pertikaian

kedaulatan atas kedua pulau itu kepada Mahkamah Internasional

ditandatangani oleh Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Malaysia Abdullah

Ahmad Badawi di Kuala Lumpur menjelang pertemuan informal para

Menlu ASEAN. Sebelum diajukan secara resmi kepada Mahkamah

Internasional, perjanjian khusus (Special Agreement) itu harus terlebih

dahulu diratifikasi oleh parlemen masing-masing negara. Setelah

diratifikasi, kedua pihak akan bertemu lagi untuk menentukan tanggal

penyerahan kasus itu kepada Mahkamah Internasional. Penyerahan

58

Ibid., Hlm. 210

Page 68: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

54

kasus itu dilakukan bersama-sama. Tidak ada pihak yang mendahului

pihak lain, tetapi diajukan secara bersama-sama. Kedua pihak

menyatakan apapun hasil keputusan Mahkamah Internasional nanti akan

bersifat final dan mengikat.59

E. Pertimbangan Mahkamah Internasional atas Konvensi London1891

dan Rangkaian Peralihan Hak (A Chain of Title)

Mahkamah melihat dan mencatat bahwa klaim kedaulatan

Indonesia atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan terutama sekali

berlandaskan pada Konvensi yang diadakan oleh Inggris dan Belanda

pada 20 Juni 1891 guna menentukan batas-batas antara kepemilikan

Belanda di Pulau Borneo serta negara-negara bagian (States) di pulau

yang sama yang berada di bawah proteksi Inggris. Indonesia juga

menyandarkan diri pada serangkaian penguasaan efektif (effectivities) di

mana penguasaan efektif ini diklaim oleh Belanda dan Indonesia

memperkuat haknya yang sesuai dengan perjanjian (its conventional title).

Dalam persidangan di pengadilan (the oral proceedings) Indonesia

berpendapat, dengan menggunakan argumentasi yang bersifat alternatif,

bahwa jika Mahkamah harus menolak haknya yang didasarkan atas

Konvensi 1891, maka Indonesia masih dapat mengklaim kedaulatan atas

pulau-pulau yang dipersengketakan sebagai pengganti Sultan Bulungan

yang memiliki kekuasaan (authority) terhadap pulau-pulau tersebut.

59 DPR-RI memberikan persetujuan kepada Pemerintah untuk melakukan

ratifikasi perjanjian Indonesia dan Malaysia untuk berperkara di depan Mahkamah Internasional pada tanggal 31 Desember 1997. Baca Arif Havas Oegroseno, Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia, Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law: Volume 6 Number 3 April 2009), Hlm. 308

Page 69: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

55

Pihak Malaysia berpendapat bahwa negaranya mendapatkan

kedaulatan atas pulau Ligitan dan pulau Sipadan karena diduga

negaranya meneruskan hak yang sebenarnya dipegang oleh bekas

penguasa, yakni Sultan Sulu. Malaysia mengklaim bahwa hak ini lalu

beralih ke pihak Spanyol, lalu ke pihak Amerika Serikat, kemudian ke

pihak Inggeris (Great Britain) atas nama Negara Borneo Utara, lalu ke

pihak Kerajaan Inggeris dan Irlandia Utara (the United Kingdom of Great

Britain and Northern Ireland), dan akhirnya beralih ke pihak Malaysia

sendiri.

Dengan memakai argumen alternatif Malaysia berpendapat bahwa

jika Mahkamah harus berkesimpulan bahwa pulau-pulau yang

dipersengketakan itu sejatinya adalah milik Belanda, maka penguasaan

yang dilakukannya secara efektif bagaimanapun juga dapat menggantikan

hak Belanda atas kedua pulau tersebut.

Mahkamah melihat bahwa Indonesia mengklaim memiliki

kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terutama berdasarkan

atas Konvensi tahun 1891, di mana ketentuan-ketentuan, konteks,

maksud dan tujuannya, menetapkan bahwa garis lintang yang paralel

dengan 4o 10’ lintang utara sebagai garis pembagi kepemilikan masing-

masing pihak di daerah yang kini dipersengketakan. Dalam hubungan ini

Mahkamah menyatakan bahwa garis yang ditetapkan di dalam Konvensi

1891 sejak awal tidak dimaksudkan sebagai garis pembagi atau

sebetulnya sebagai suatu batas maritim sebelah Timur Pulau Sebatik,

Page 70: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

56

tetapi garis tersebut harus dianggap sebagai suatu garis alokasi : daerah-

daerah daratan, termasuk pulau-pulau yang terletak di sebelah utara dari

garis lintang yang sejajar dengan 4o 10’ lintang utara dianggap sebagai

kepunyaan Inggris, sedangkan daerah-daerah daratan yang terletak di

sebelah selatan dari garis tersebut dianggap sebagai kepunyaan Belanda.

Karena pulau-pulau yang dipersengketakan terletak di sebelah selatan

dari garis yang sejajar dengan 4o 10’ lintang utara, maka berdasarkan

Konvensi 1891 hak atas pulau-pulau tersebut diberikan kepada Belanda

dan kini diberikan kepada pihak Indonesia.

Pada dasarnya Indonesia menyandarkan diri pada Artikel IV dari

Konvensi 1891dalam mendukung klaim kedaulatan atas pulau Sipadan

dan pulau Ligitan. Ketentuan artikel itu berbunyi sebagai berikut :

“Dari 4o10’ lintang utara pada pantai timur garis batas itu harus dilanjutkan menuju ke arah timur sepanjang garis paralel melintasi Pulau Sebatik : sehingga bagian dari pulau yang berada di sebelah utara dari garis parallel tersebut jelas menjadi milik dari the British North Borneo Company, sedangkan bagian pulau yang berada di sebelah selatan garis paralel tersebut menjadi milik Belanda”. Mahkamah melihat bahwa Indonesia bukanlah negara peserta

(party) pada Konvensi Wina 23 Mei 1969 mengenai Hukum Perjanjian.

Namun demikian Mahkamah mengemukakan bahwa menurut hukum

kebiasaan internasional, yang tercermin melalui Pasal 31 dan Pasal 32

dari Konvensi Wina, suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan itikad baik

menurut arti yang lazim diberikan pada ketentuan itu dalam konteksnya

serta berdasarkan atas maksud dan tujuannya. Bagaimanapun juga

penafsiran harus didasarkan atas teks perjanjian. Sebagai pelengkap

Page 71: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

57

dapat digunakan cara-cara interpretasi, seperti pekerjaan persiapan dalam

membuat perjanjian maupun keadaan-keadaan pada waktu perjanjian itu

ditutup.

Mengenai istilah-istilah dalam Artikel IV, Indonesia tetap

berpendapat bahwa artikel ini sama sekali tidak menganjurkan garis yang

sejajar dengan 4o 10’ lintang utara harus berhenti di pantai timur pulau

Sebatik. Menurut Malaysia, pengertian sederhana dan lazim mengenai

kata-kata ‘across the Island of Sebatik’ menggambarkan dalam bahasa

Inggeris dan Belanda suatu garis yang melintasi Sebatik dari pantai barat

ke pantai timur dan tidak berlanjut ke laut.

Mahkamah melihat kalau para pihak berbeda pendapat tentang

bagaimana preposisi atau kata depan ‘across’ (dalam bahasa Inggris)

atau ‘over’ (dalam bahasa Belanda) dalam kalimat pertama dari Artikel IV

Konvensi 1891 seharusnya ditafsirkan. Mahkamah mengakui kata seperti

itu (across) bukan tanpa kekaburan (ambiguity) sehingga dapat ditafsirkan

oleh para pihak. Sesungguhnya garis yang ditetapkan oleh perjanjian

dapat melintasi sebuah pulau dan berakhir di pantai pulau itu atau garis itu

berlanjut melampaui pulau itu.

Para pihak juga tidak sepakat mengenai interpretasi terhadap

kalimat sama yang berbunyi ‘garis batas harus dilanjutkan menuju ke

timur sepanjang garis parallel 4o 10’ lintang utara’. Dalam pandangan

mahkamah, istilah ‘shall be continued’ juga tidak tanpa kekaburan

(ambiguity). Artikel I dari Konvensi 1891 menentukan titik awal perbatasan

Page 72: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

58

di antara kedua negara, sementara Artikel II dan III mendeskripsikan

bagaimana garis perbatasan tersebut berlanjut dari satu bagian ke bagian

berikutnya. Oleh karena itu apabila Artikel IV menentukan garis batas itu

harus dilanjutkan lagi dari pantai timur Borneo sepanjang garis parallel 4o

10’ lintang utara serta melintasi pulau Sebatik, maka hal ini tidak harus

berarti garis batas seperti itu berlanjut sebagai garis alokasi di luar pulau

Sebatik. Lagi pula Mahkamah beranggapan bahwa perbedaan tanda baca

pada kedua versi dari Artikel IV Konvensi 1891 tidak membantu

menjelaskan arti dari teks dalam hubungan dengan kemungkinan

perluasan garis ke laut, yaitu ke timur pulau Sebatik.

Mahkamah melihat bahwa setiap kekaburan (ambiguity) dapat

dihindari apabila ditegaskan oleh Konvensi 1891 sehingga garis paralel 4o

10’ lintang utara, di luar pantai timur pulau Sebatik, merupakan garis yang

memisahkan pulau-pulau yang berada di bawah kedaulatan Inggris

dengan pulau-pulau yang berada di bawah kedaulatan Belanda.Tidak

diaturnya hal tersebut jelas tidak dapat diingkari sehingga Mahkamah

mendukung pendirian Malaysia. Demikian pandangan Mahkamah

menyangkut teks artikel IV dari Konvensi London 1891 yang pada

prinsipnya menolak pengertian garis yang sejajar dengan 4o10’ lintang

utara sebagai garis alokasi atau garis pembagian wilayah kedaulatan

antara Inggris dan Belanda karena teks artikel itu adalah kabur sehingga

memerlukan penafsiran.

Page 73: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

59

Mengenai konteksnya, Mahkamah beranggapan bahwa

memorandum penjelasan yang dibuat Pemerintah Belanda (the Dutch

Explanatory Memorandum) yang dilampirkan pada rancangan undang-

undang ratifikasi Konvensi 1891 menegaskan beberapa hal penting.

Memorandum itu menunjuk adanya fakta bahwa selama berlangsungnya

perundingan, delegasi Inggris mengusulkan garis perbatasan berlanjut

terus ke arah timur dari pantai timur Borneo Utara, dengan melewati Pulau

Sebatik dan Nanukan Timur. Menyangkut Sebatik, Memorandum itu

menjelaskan adanya kesepakatan soal pembagian pulau sesuai usul

Pemerintah Belanda dan pembagian seperti ini dianggap perlu untuk

memberikan akses ke daerah pantai bagi kepentingan masing-masing

pihak. Memorandum tersebut tidak memuat petunjuk mengenai

pembagian pulau-pulau lain yang terletak (lebih) jauh ke timur, dan

terutama tidak menyebut Sipadan dan Ligitan.

Mengenai peta yang dilampirkan pada ‘the Explanatory

Memorandum’, Mahkamah melihat peta ini memperlihatkan empat macam

garis berwarna, di mana garis perbatasan yang akhirnya disepakati

ditandai dengan garis merah. Pada peta itu garis merah berlanjut terus ke

laut, sejajar dengan 4o10’ lintang utara hingga selatan Mabul Island,

perluasan ke laut tidak dikomentari dalam Memorandum dan juga tidak

dibicarakan di Parlemen Belanda. Mahkamah juga melihat peta tersebut

hanya menunjukkan sejumlah pulau yang terletak di utara dari garis

Page 74: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

60

parallel 4o10’. Selain beberapa karang, tidak ada pulau yang ditunjukkan

di selatan garis tersebut.

Mahkamah mengamati bahwa berkas kasus ini sama sekali tidak

memberi kesan kalau Sipadan dan Ligitan, atau pulau-pulau lain seperti

Mabul adalah wilayah yang dipersengketakan antara Inggris dan Belanda

ketika konvensi 1891 ditutup. Oleh karena itu Mahkamah tidak dapat

menerima argumen Indonesia yang menyatakan garis merah di peta

diperluas guna menyelesaikan setiap sengketa di perairan di luar Sebatik

sehingga dengan demikian Sipadan dan Ligitan diperuntukkan bagi

Belanda.

Mahkamah juga tidak menerima argumen Indonesia menyangkut

nilai yuridis dari peta yang dilampirkan pada “the Explanatory

Memorandum”. Mahkamah mengamati bahwa “the Explanatory

Memorandum” maupun peta tidak pernah dikirimkan oleh Pemerintah

Belanda kepada Pemerintah Inggris, tetapi hanya diteruskan kepada

Pemerintah Inggris oleh pejabat diplomatiknya di Den Haag. Pemerintah

Inggeris tidak memberi reaksi terhadap pengiriman yang bersifat internal

ini. Tidak adanya reaksi terhadap garis di peta yang dilampirkan pada

Memorandum tidak berarti Inggris menyetujui garis seperti itu.

Mahkamah berkesimpulan bahwa a) peta tidak dapat dianggap

sebagai suatu persetujuan terhadap perjanjian yang diadakan di antara

semua peserta terkait ditutupnya perjanjian dalam pengertian Artikel 31

ayat 2a Konvensi Wina, atau b) suatu instrumen yang dibuat oleh satu

Page 75: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

61

negara peserta terkait ditutupnya perjanjian serta diterima oleh para

peserta lainnya sebagai instrumen terkait dengan perjanjian itu, di dalam

pengertian Pasal 31 ayat 2b Konvensi Wina. Peta terlampir pada

Memorandum Penjelasan Undang-Undang Ratifikasi Belanda yang

diserahkan kepada Pemerintah Inggeris melalui pejabat diplomatiknya di

Den Haag, tetapi tidak ditanggapi oleh Pemerintah Inggris. Hal ini tidak

dapat ditafsirkan sebagai persetujuan Inggris terhadap konteks atau isi

Konvensi London 1891 yang sudah ditutup sesuai artikel 31 paragraf 2a

Konvensi Wina 1969; juga tidak dapat ditafsirkan sebagai persetujuan

Inggris terhadap peta buatan Belanda yang dilampirkan pada

Memorandum Penjelasan Undang-Undang Ratifikasi Konvensi 1891

sesuai artikel 31 ayat 2b Konvensi 1891.

Mengenai tujuan dari Konvensi 1891, dengan mengeksaminasi

argumen Indonesia dan Malaysia, Mahkamah berpendapat bahwa

maksud dan tujuan dari Konvensi 1891 adalah menetapkan batas-batas

kepemilikan atau kedaulatan para pihak di dalam pulau Borneo sendiri,

sebagaimana dinyatakan dalam mukadimah konvensi bahwa para pihak

berkeinginan menentukan garis batas kedaulatan atau kepemilikan

Belanda di pulau Borneo dan negara-negara bagian (States) di pulau itu

yang berada di bawah perlindungan Inggris. Dalam pandangan

Mahkamah, penafsiran seperti ini didukung dengan skema Konvensi

1891. Mahkamah tidak mendapatkan sesuatu dalam Konvensi yang

menyarankan bahwa para pihak bermaksud menetapkan batas-batas

Page 76: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

62

kedaulatan atau kepemilikan (possessions) di sebelah timur pulau Borneo

dan Sebatik ataupun para pihak bermaksud membagi kedaulatan

terhadap setiap pulau lain.

Mahkamah berkesimpulan bahwa teks Artikel IV dari Konvensi

1891, apabila dikaitkan dengan konteks serta maksud dan tujuan

Konvensi, tidak dapat ditafsirkan sebagai artikel yang menetapkan garis

pembagian kedaulatan terhadap pulau-pulau hingga ke laut, hingga ke

timur pulau Sebatik.

Mengenai sarana pelengkap untuk memperkuat interpretasi

Mahkamah, yakni pekerjaan persiapan (travaux preparatoir) Konvensi

1891 serta keadaan-keadaan ketika perjanjian diadakan, maka

Mahkamah beranggapan tidak perlu digunakan cara interpretasi yang

bersifat pelengkap, seperti pekerjaan persiapan Konvensi 1891 maupun

keadaan-keadaan pada waktu dibuatnya perjanjian guna menentukan arti

Konvensi tersebut. Akan tetapi seperti dalam kasus-kasus lain, Mahkamah

dapat menggunakan cara-cara interpretasi yang bersifat pelengkap dalam

memperkuat penafsiran atas teks Konvensi. Demikian pendapat

Mahkamah soal pasal 4 Konvensi 1891 bahwa pasal itu tidak

dimaksudkan untuk membagi kedaulatan atau kepemilikan atas pulau-

pulau di luar Pulau Sebatik sebab dari teks, konteks dan tujuannya pasal

itu hanya menetapkan batas-batas kepemilikan di Pulau Borneo dan garis

pembagian dari pantai timur Pulau Sebatik ke pantai barat pulau ini sejajar

dengan garis 40 10’Lintang Utara.

Page 77: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

63

Mahkamah melihat bahwa dengan mengikuti pembentukannya

pada bulan Mei 1882, perusahaan Inggeris yang disebut the British North

Borneo Company (BNBC) menyatakan hak-hak yang menurut keyakinan

Mahkamah diperoleh dari Alfred Dent dan Baron von Overbeck, keduanya

mendapatkan dari Sultan Sulu, yakni hak atas wilayah (territories) yang

berada di pantai timur laut pulau Borneo (di negara bagian Tidoeng)

sampai selatan the Sibuco River; kemudian terjadi konfrontasi antara

perusahaan tersebut dengan Belanda, di mana Belanda menegaskan hak

kepemilikannya dari Sultan Bulungan, dengan dimasukkannya wilayah-

wilayah Tidoeng. Kondisi seperti ini yang menyebabkan Inggris dan

Belanda membentuk Joint Commission pada 1889 untuk menyelesaikan

persengketaan.

The Joint Commission bertemu tiga kali dan membicarakan secara

intensif masalah yang berkaitan dengan daerah yang dipersengketakan,

yaitu pantai timur laut pulau Borneo. Dalam pertemuan terakhir yang

diadakan pada 27 Juli 1889 itulah delegasi Inggris mengusulkan agar

garis perbatasan (the boundary) seharusnya lewat di antara pulau-pulau

Sebatik dan Nunukan Timur, tetapi ditolak oleh Belanda. Gagasan spesifik

tentang pulau Sebatik yang dibagi sekitar 4o 10’ lintang utara merupakan

satu-satunya gagasan yang diperkenalkan kemudian dan ternyata

disetujui Belanda sesuai suratnya tertanggal 2 Februari 1891.

Selama perundingan para pihak menggunakan berbagai sketsa

peta (sketch-maps) untuk menjelaskan usul dan pandangan mereka.

Page 78: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

64

Mahkamah beranggapan bahwa apa pun tidak mungkin dapat disimpulkan

dari panjangnya garis-garis pada ketiga sketsa peta (sketch-maps).

Mahkamah berkesimpulan bahwa baik travaux preparatoires atau

rancangan persiapan Konvensi 1891 maupun keadaan-keadaan pada

waktu dibuatnya perjanjian ini dianggap tidak dapat mendukung posisi

Indonesia yang berpendapat para peserta Konvensi setuju tidak hanya

atas berlakunya garis perbatasan di darat tetapi juga atas garis

pembagian (an allocation line) di luar pantai timur Sebatik.

Mahkamah mengamati bahwa hubungan antara Belanda dan

Kesultanan Bulungan diatur melalui serangkaian kontrak atau perjanjian

yang berlaku di antara keduanya. Kontrak tanggal 12 November 1850 dan

2 Juni 1878 menetapkan batas-batas Kesultanan itu. Batas-batas ini

sampai ke utara dari perbatasan darat yang akhirnya disetujui pada tahun

1891 antara Belanda dan Inggris. Atas alasan ini Belanda melakukan

konsultasi dengan Sultan Bulungan sebelum menutup perjanjian dengan

pihak Inggris dan Belanda juga diwajibkan pada 1893 untuk

mengamandemen Kontrak 1878 agar supaya memperhatikan penetapan

garis-garis batas pada 1891. Teks baru menetapkan bahwa Pulau

Tarakan serta Nunukan dan bagian Pulau Sebatik yang terletak di selatan

garis perbatasan yang termasuk Bulungan bersama-sama dengan pulau-

pulau kecil milik Pulau Tarakan dan Nanukan, sejauh pulau-pulau ini

terletak di selatan dari garis perbatasan. Mahkamah mengamati kalau

ketiga pulau tersebut dikelilingi oleh banyak pulau kecil yang secara

Page 79: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

65

geografis dapat dikatakan milik pulau-pulau tersebut. Akan tetapi

Mahkamah beranggapan bahwa hal seperti itu tidak dapat berlaku pada

Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, yang terletak lebih dari 40 mil laut dari

ketiga pulau tersebut.

Kemudian Mahkamah menegaskan bahwa Konvensi 1891

memasukkan suatu klausula yang menetapkan bahwa pada masa

mendatang para pihak harus dapat menentukan rangkaian garis

perbatasan secara lebih tepat. Dengan demikian Artikel V Konvensi

menyatakan posisi garis perbatasan yang pasti, sebagaimana diterangkan

dalam keempat Artikel sebelumnya, akan ditentukan melalui persetujuan

yang bersifat timbal balik, setiap saat Pemerintah Belanda dan Inggris

memikirkan hal tersebut.

Persetujuan pertama ditandatangani di London oleh Inggris dan

Belanda pada 28 September 1915 yang berkaitan dengan garis batas

antara Negara Borneo Utara dan milik Belanda di Borneo. Melalui

persetujuan tersebut, kedua Negara menyetujui dan memperkuat sebuah

laporan bersama, yang dituangkan ke dalam persetujuan dan peta

terlampir yang disusun oleh Komisi Gabungan (Mixed Commission). Para

Komisioner memulai pekerjaannya di pantai timur pulau Sebatik dan dari

timur ke barat berusaha menetapkan garis perbatasan di tempat yang

disepakati pada 1891, sebagaimana tercantum dalam mukaddimah

perjanjian itu.

Page 80: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

66

Menurut pendapat Mahkamah, apa yang ditetapkan oleh para

komisioner secara sederhana bukan batas pemisah (simply a demarcation

exercise) karena para pihak bertugas mengklarifikasi rangkaian garis yang

hanya mungkin tidak tepat dari segi perumusan Konvensi 1891 secara

umum maupun panjang garis yang sewajarnya. Mahkamah memutuskan

bahwa para pihak bermaksud mengklarifikasi penetapan batas pada 1891

dan hakekat pemisahan itu menjadi sangat jelas ketika teks perjanjian itu

diuji dengan saksama dan perjanjian itu tidak menunjukkan batas-batas

alamiah secara fisik sesuai ketentuan dari the Boundary Treaty pada 20

Juni 1891.

Mahkamah juga mengamati bahwa rangkaian garis batas yang

akhirnya diadopsi dalam the 1915 Agreement tidak seluruhnya sesuai

dengan rangkaian garis batas dari Konvensi 1891. Berdasarkan hal-hal

yang telah dikemukakan di atas, Mahkamah tidak dapat menerima

argumentasi Indonesia bahwa the 1915 Agreement adalah persetujuan

demarkasi semata-mata; Mahkamah juga tidak dapat menerima

kesimpulan yang dibuat oleh Indonesia bahwa sesungguhnya the 1915

Agreement mewajibkan para pihak untuk memperhatikan rangkaian garis

ke laut di timur Pulau Sebatik.

Setelah menguji hak dan mukaddimah dari the 1915 Agreement

dan syarat-syarat yang tertera di dalam laporan Komisi tersebut,

Mahkamah berkesimpulan bahwa the 1915 Agreement diasumsikan

mencakup seluruh garis perbatasan antara wilayah Belanda dan Negara

Page 81: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

67

Borneo Utara di bawah kekuasaan Inggris dan bahwa para komisioner

menjalankan tugas yang bermula di ujung timur Pulau Sebatik. Dalam

pandangan Mahkamah, jika garis perbatasan itu berlanjut terus ke pantai

Sebatik, maka setidak-tidaknya beberapa pulau yang disebutkan (some

mention) dapat diharapkan tercakup di dalam Agreement tersebut. Di

samping itu Mahkamah beranggapan bahwa eksaminasi terhadap peta

yang terlampir pada the 1915 Agreement memperkuat interpretasi

terhadap Agreement tersebut.

Selanjutnya Mahkamah berpendapat bahwa sebuah perdebatan

yang dinyatakan pihak Indonesia terjadi di dalam Pemerintahan Belanda

antara tahun 1922 dan 1926 mengenai apakah isu delimitasi atau

penetapan garis batas perairan territorial dari pantai timur Pulau Sebatik

harus dibicarakan bersama dengan Pemerintah Inggris, perdebatan

tersebut menyarankan bahwa pada tahun 1920-an otoritas Belanda yang

memiliki informasi terbaik tidak menganggap ada persetujuan 1891

mengenai perluasan sampai ke laut dari garis yang ditarik di daratan

sejajar dengan 4o 10’ lintang utara.

Untuk melakukan penafsiran terhadap ketentuan artikel IV

Konvensi 1891 berdasarkan praktek negara-negara peserta dalam

memberikan konsesi, akhirnya Mahkamah berpendapat untuk tidak

menarik kesimpulan, tetapi praktek negara-negara peserta ke depan

harus dieksaminasi guna memperkuat kesimpulan yang membenarkan

dilakukannya interpretasi terhadap artikel IV konvensi tersebut.

Page 82: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

68

Mengenai peta, Mahkamah melihat peta yang menggambarkan

kesepakatan para pihak yang terlampir pada Konvensi 1891 dan secara

resmi mengungkapkan kemauan Inggris dan Belanda mengenai

kelanjutan garis batas, sebagai garis pembagi (an allocation line), menuju

ke laut sebelah timur pulau Sebatik.

Mahkamah melihat bahwa selama berlangsungnya persidangan

para pihak menunjukkan kedua peta: peta yang dilampirkan pada the

Explanatory Memorandum yang dilampirkan oleh Pemerintah Belanda

pada rancangan undang-undang yang diajukan pada Kementerian luar

negeri (the States-General) bagi pengesahan Konvensi 1891 dan peta

yang dilampirkan pada the 1915 Agreement. Mahkamah sudah

mengemukakan keputusannya tentang nilai hukum dari peta-peta seperti

itu 60.

Sambil menguji peta-peta lain yang dihasilkan oleh para pihak,

Mahkamah memutuskan bahwa terkecuali peta yang dilampirkan pada the

1915 Agreement bahan pemetaan yang diserahkan oleh para pihak tidak

meyakinkan terkait dengan penafsiran article IV dari the 1891 Convention.

Pada akhirnya Mahkamah tiba pada kesimpulan bahwa Article IV, yang

ditafsirkan dalam konteksnya serta berdasarkan maksud dan tujuan

Konvensi menetapkan perbatasan antara kedua belah pihak sampai pada

ujung timur (the eastern extremity) Pulau Sebatik dan tidak menetapkan

lebih jauh suatu garis pembagi ke arah timur. Kesimpulan seperti ini

60

Lihat paragraph 47, 48 dan 72 ICJ Report 2002

Page 83: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

69

dikuatkan baik oleh travaux preparatoires maupun praktek yang dilakukan

kemudian oleh para peserta Konvensi 1891.

Kemudian Mahkamah beralih ke persoalan apakah Indonesia atau

Malaysia memperoleh hak atas Ligitan dan Sipadan dengan jalan suksesi

(title by succession). Menurut Mahkamah selama persidangan putaran

kedua, Indonesia berpendapat bahwa jika Mahkamah harus menolak

klaim yang dilakukannya terhadap pulau-pulau yang dipersengketakan

atas dasar Konvensi 1891, Indonesia akan mempunyai hak (title) sebagai

penerus atau pengganti (successor) Belanda, yang secara silih berganti

memperoleh haknya melalui perjanjian dengan Sultan Bulungan,

pemegang hak asli (the original title-holder). Malaysia berpendapat

Sipadan dan Ligitan tidak pernah dimiliki oleh Sultan Bulungan61.

Mahkamah melihat bahwa berbagai kontrak perbudakan yang

diadakan antara Belanda dan Sultan Bulungan sudah diuraikan ketika

Mahkamah mempertimbangkan Konvensi 1891. Mahkamah menegaskan

bahwa dalam kontrak 1878 kepemilikan pulau oleh Sultan Bulungan

digambarkan sebagai Tarakan, Nunukan dan Sebatik, dengan pulau-pulau

kecil di sekitarnya. Ketika kontrak tersebut diamandemen pada tahun

1893, ketiga pulau dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya dideskripsikan

dengan istilah-istilah yang serupa walaupun memperhitungkan pembagian

Sebatik atas dasar Konvensi 1891.

61

ICJ Report 2002, paragraph 48

Page 84: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

70

Selanjutnya Mahkamah menyatakan bahwa kata-kata ‘the islets

belonging thereto’ yang artinya pulau-pulau kecil yang termasuk ke dalam

ketiga pulau tersebut hanya dapat ditafsirkan sebagai pulau-pulau kecil

(the small islands) yang terletak di sekitar ketiga pulau tersebut, dan tidak

menunjuk pada pulau-pulau yang jaraknya lebih dari 40 mil laut. Dengan

demikian Mahkamah tidak dapat menerima pendirian Indonesia bahwa

negara ini mewarisi hak atas pulau-pulau yang dipersengketakan dari

Belanda melalui kontrak tersebut yang menyatakan bahwa Kesultanan

Bulungan yang dideskripsikan di dalam kontrak tersebut merupakan

bagian dari Hindia Belanda (Netherlands Indies).

Kemudian Mahkamah menyatakan bahwa pihak Malaysia

bersikukuh bahwa Malaysia memperoleh kedaulatan atas pulau-pulau

Sipadan dan Ligitan berdasarkan apa yang dinamakan serangkaian

peralihan hak (a chain of title) yang semula dipegang atau dimiliki oleh

bekas penguasa, yaitu Sultan Sulu, kemudian hak ini beralih kepada

Spanyol, lalu kepada Amerika Serikat, selanjutnya kepada Inggris atas

nama Negara Borneo Utara (the State of North Borneo), kepada Kerajaan

Inggeris Raya dan Irlandia Utara (the United Kingdom of Great Britain and

Northern Ireland) dan akhirnya beralih kepada Malaysia. Rangkaian hak

seperti inilah (the chain of title) yang menurut Malaysia memberinya hak

atas Sipadan dan Ligitan berdasarkan perjanjian62.

62

ICJ Report 2002, paragraph 59

Page 85: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

71

Pada mulanya Mahkamah melihat bahwa pulau-pulau yang

dipersengketakan tidak mempunyai nama dalam instrumen hukum

internasional apapun yang disampaikan oleh Malaysia dalam

membuktikan apa yang dianggap sebagai serangkaian peralihan hak.

Mahkamah melihat bahwa kedua pulau tidak dimasukkan sebagai hibah

dari Sultan Sulu yang menyerahkan semua hak dan kekuasaan atas

barang miliknya di Borneo, termasuk pulau-pulau di dalam batas 3 liga

laut, kepada Alfred Dent dan Baron von Overbeck pada 22 Januari 1878,

suatu fakta yang tidak dibantah oleh para pihak.

Akhirnya Mahkamah melihat bahwa walaupun kedua belah pihak

bersikukuh bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bukanlah daerah tidak

bertuan (terra nullius) selama masa peralihan hak, namun masing-masing

pihak mengklaim sebagai pemegang hak atas pulau-pulau itu dengan

alasan mendasar yang saling bertentangan63.

Mahkamah pertama-tama membahas masalah mengenai apakah

Sipadan dan Ligitan milik Sultan Sulu. Dalam semua dokumen yang

relevan, kesultanan itu selalu digambarkan sebagai kepulauan Sulu dan

daerah jajahannya (the Archipelago of Sulu and dependencies thereof)

atau pulau Sooloo dengan semua jajahannya (the Island of Sooloo with all

its dependencies). Akan tetapi dokumen-dokumen itu tidak menjawab

pertanyaan apakah Ligitan dan Sipadan yang jaraknya dari pulau utama

Sulu, adalah daerah jajahan kesultanan. Mahkamah kemudian menunjuk

63

ICJ Report 2002, paragraph 62

Page 86: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

72

dugaan Malaysia tentang adanya hubungan antara Sultan Sulu dan Bajau

Laut yang mendiami pulau-pulau di lepas pantai Borneo Utara dan dari

waktu ke waktu dapat menggunakan kedua pulau yang tidak berpenghuni.

Mahkamah berpendapat bahwa hubungan seperti itu mungkin saja ada,

tetapi tidak dengan sendirinya membuktikan klaim territorial Sultan Sulu

atas kedua pulau kecil tersebut atau dianggap sebagai miliknya. Tidak

terbukti kalau Sultan Sulu menjalankan secara aktual kekuasaan atas

Ligitan dan Sipadan.

Tentang dugaan adanya peralihan hak atas Sipadan dan Ligitan,

maka Mahkamah melihat bahwa dalam Protokol perjanjian antara Spanyol

dan Sultan Sulu yang mengesahkan dasar-dasar perdamaian dan

kapitulasi 22 Juli 1878 Sultan Sulu secara definitif menyerahkan

kepulauan Sulu dan daerah jajahannya kepada Spanyol. Akan tetapi

Mahkamah berkesimpulan bahwa tidak ada bukti bahwa Spanyol

menganggap Ligitan dan Sipadan tercakup dalam Protokol tersebut.

Mahkamah melihat bahwa Sultan Sulu melepaskan hak-hak berdaulat

atas segala yang dimilikinya bagi kepentingan Spanyol , dengan demikian

dia sudah kehilangan hak apapun yang bisa dimilikinya terhadap pulau-

pulau yang berlokasi di luar batas 3 kumpulan laut (3 marine league) dari

pantai Borneo Utara. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa

Spanyol adalah satu-satunya Negara yang dapat meletakkan dan

melakukan klaim atas Ligitan dan Sipadan berdasarkan atas instrumen

yang relevan, tetapi tidak terdapat bukti bahwa Spanyol melakukan klaim

Page 87: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

73

secara aktual. Selanjutnya Mahkamah mengamati bahwa pada waktu itu

baik Inggris, atas nama Negara Borneo Utara maupun Belanda tidak

mengklaim Sipadan dan Ligitan secara tegas ataupun diam-diam.

Mata rantai berikut dalam rangkaian peralihan hak adalah Traktat 7

November 1900 antara AS dan Spanyol, yang dengan traktat ini Spanyol

melepaskan kepada AS semua hak dan klaim hak atas semua pulau yang

termasuk kepulauan Philipina yang tidak tercakup dalam traktat

perdamaian 10 Desember 1898. Mahkamah pertama-tama melihat bahwa

meskipun tidak dipersoalkan Sipadan dan Ligitan tidak berada di dalam

ruang lingkup the 1898 Treaty of Peace, the 1900 Treaty tidak

menetapkan secara terperinci pulau-pulau, selain daripada Cagayan Sulu

dan Sibutu dan daerah jajahannya (dependencies) yang diserahkan

Spanyol kepada AS64. Dengan traktat 1898 Spanyol melepaskan setiap

klaim yang mungkin dimilikinya atas Ligitan dan Sipadan atau pulau-pulau

lain di luar batas 3 liga laut dari pantai Borneo Utara. Peristiwa-peristiwa

yang terjadi kemudian menunjukkan bahwa AS sendiri ragu-ragu

mengenai pulau-pulau mana yang menjadi haknya berdasarkan the 1900

Treaty.

Suatu pengaturan yang bersifat sementara antara Inggris dan AS

dibuat pada tahun 1907 melalui pertukaran nota (Exchange of Notes).

Pertukaran Nota ini yang tidak menyangkut pengalihan kedaulatan

territorial (transfer of territorial souvereignty), mengatur tentang kelanjutan

64

ICJ Report 2002, paragraph 70.

Page 88: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

74

pengelolaan oleh BNBC atas pulau-pulau yang terletak lebih dari 3 liga

laut dari pantai Borneo Utara, tetapi tidak menyelesaikan masalah pihak

mana yang memiliki pulau-pulau tersebut. Pengaturan sementara ini

bertahan hingga 2 Januari 1930, ketika suatu perjanjian diadakan antara

Inggeris dan AS, yang di dalam perjanjian ini ditarik suatu garis yang

memisahkan pulau-pulau yang termasuk kepulauan Philipina di satu pihak

dan pulau-pulau yang termasuk Negara Borneo Utara di lain pihak. Artikel

III dari perjanjian 1930 menyatakan bahwa semua pulau di selatan dan

barat dari garis tersebut seharusnya milik Negara Borneo Utara (the State

of North Borneo). Dari titik terdalam (from a point well) sampai timur laut

Sipadan dan Ligitan, garis itu meluas ke utara dan ke timur.

Konvensi 1930 tidak menyebut suatu pulau dengan nama selain

daripada the Turtle and Mangsee Islands yang dinyatakan berada di

bawah kedaulatan Inggris. Dengan membuat perjanjian 1930, AS

melepaskan setiap klaim yang mungkin dimilikinya atas Sipadan dan

Ligitan dan pulau-pulau yang berdekatan. Akan tetapi Mahkamah tidak

dapat berkesimpulan baik dari the 1907 Exchange of Notes atau dari the

1930 Convention atau dari setiap dokumen yang berasal dari masa

campur tangan Pemerintah AS bahwa AS melakukan klaim kedaulatan

atas pulau-pulau tersebut65.

Oleh karena itu tidak dapat dipastikan bahwa dengan perjanjian

tahun 1930 AS memindahkan dan mengalihkan hak atas Ligitan dan

65

ICJ Report 2002, paragraph 73

Page 89: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

75

Sipadan kepada Inggris, seperti yang ditegaskan oleh Malaysia. Di pihak

lain, Mahkamah tidak dapat mengabaikan pendapat Inggris bahwa

sebagai akibat dari Konvensi tahun 1930 Inggris mendapatkan atas nama

the BNBC, hak atas semua pulau di luar zona 3 liga laut yang telah

dikelola oleh perusahaan itu, terkecuali Pulau Turtle dan Mangsee. Tak

satupun pulau yang terletak di luar zona tiga kumpulan laut pernah dimiliki

Inggeris sebelum melakukan klaim secara formal. Apakah dalam hal

Sipadan dan Ligitan serta pulau-pulau yang berdekatan hak itu diperoleh

sebagai akibat dari Konvensi 1930 sesungguhnya kurang relevan

dibandingkan dengan fakta bahwa pendirian Inggris soal pengaruh

Konvensi 1930 tidak ditentang oleh negara lain.

Negara Borneo Utara diubah menjadi sebuah koloni pada tahun

1946. Kemudian berdasarkan Article IV dari Perjanjian 9 Juli 1963,

Pemerintah Kerajaan Inggris setuju untuk mengambil langkah-langkah

tepat dan tersedia bagi mereka untuk menjamin diberlakukannya oleh

Parlemen sebuah undang-undang yang mengatur tentang penyerahan

kedaulatan dan yurisdiksi Inggris terkait dengan Borneo Utara, Sarawak

dan Singapura demi kepentingan Malaysia.

Pada tahun 1969 Indonesia menantang dan menggugat hak

Malaysia atas Ligitan dan Sipadan serta mengklaim memiliki hak atas

kedua pulau atas dasar Konvensi 1891. Mengingat hal-hal yang telah

dikemukakan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa Mahkamah tidak

dapat menerima pendirian pihak Malaysia mengenai adanya rangkaian

Page 90: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

76

peralihan hak yang terus menerus mulai dari apa yang diduga sebagai

pemegang hak yang asli (original title-holder), Sultan Sulu, sampai kepada

Malaysia sebagai pemilik masa kini. Tidak dapat dipastikan bahwa

Sipadan dan Ligitan adalah milik Sultan Sulu, demikian juga tidak dapat

dipastikan para pemegang hak di kemudian hari mendapatkan hak atas

kedua pulau itu berdasarkan sebuah perjanjian. Jika hak dari negara yang

menyerahkan itu cacat, maka hak dari negara yang diserahi wilayah akan

dirusak atau ditiadakan dengan cacat yang sama. Hal ini diungkapkan

dengan peribahasa Latin nemo dat quod non habet.66 Oleh karena itu

Mahkamah tidak dapat memutuskan bahwa Malaysia mewarisi hak

berdasarkan perjanjian (a treaty-based title) dari pendahulunya, the United

Kingdom of Great Britain and Northern Ireland.

F. Pertimbangan Mahkamah Internasional atas Pengendalian Efektif

Mahkamah mempertimbangkan apakah bukti yang diajukan oleh

pihak-pihak bersengketa terkait dengan pengendalian efektif dapat

digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk menentukan

kepemilikan dan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

sebagaimana ditentukan di dalam Special Agreement.

Mahkamah melihat bahwa kedua belah pihak mengklaim bahwa

pengendalian efektif yang dilakukannya semata-mata mengkonfirmasi

dan memperkuat hak yang didasarkan atas perjanjian (a treaty-based

title). Atas alasan yang bersifat alternatif, Malaysia mengklaim

66

L.C. Green, International Law through the Cases, 1978, (Toronto, Canada: The Carswell Compaby Limited, 1978), Hlm. 421.

Page 91: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

77

mendapatkan hak atas Ligitan dan Sipadan berdasarkan penguasaan dan

pengelolaan yang terus menerus dan damai (continuous peaceful

possession and administration), tanpa ada keberatan dari pihak Indonesia

atau pendahulunya terkait dengan hak tersebut.

Mahkamah mengindikasikan bahwa dengan memutuskan tidak

satu pihak pun mempunyai hak berdasarkan perjanjian terhadap Ligitan

dan Sipadan, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pengendalian

efektif sebagai sebuah isu atau masalah tersendiri dan terpisah.

Mahkamah melihat bahwa dalam mendukung argumen-argumennya

terkait pengendalian efektif, Indonesia menyebutkan kegiatan patroli di

daerah itu oleh kapal-kapal Angkatan Laut Kerajaan Belanda, kegiatan

Angkatan Laut Indonesia, maupun kegiatan nelayan Indonesia.

Selanjutnya Mahkamah melihat bahwa mengenai Undang-Undang

Nomor 4/ Prp. Tahun 1960 mengenai Perairan Indonesia yang

diundangkan pada tanggal 18 Februari 1960 yang menentukan garis

pangkal kepulauan Indonesia, Indonesia memang mengakui tidak

memasukkan Sipadan dan Ligitan pada waktu itu sebagai titik pangkal

(base points) dengan tujuan untuk dapat menarik garis pangkal serta

membangun perairan kepulauan dan laut teritorialnya, meskipun hal ini

tidak dapat ditafsirkan seakan-akan Indonesia menganggap pulau-pulau

itu tidak termasuk wilayah Indonesia. Indonesia tidak memasukkan Ligitan

Page 92: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

78

dan Sipadan sebagai titik pangkal meskipun tidak berarti kedua pulau ini

bukan wilayah Indonesia67.

Menyangkut pengendalian efektif di Pulau Sipadan dan Ligitan,

Malaysia menyebut pengawasan terhadap pengambilan penyu dan

pengumpulan telur-telurnya, yang diduga sebagai kegiatan ekonomi paling

penting di Sipadan selama bertahun-tahun. Malaysia juga bersandar pada

Peraturan tahun 1933 tentang tempat perlindungan satwa burung di

Sipadan. Selanjutnya Malaysia menegaskan bahwa otoritas kolonial

Inggeris di Borneo Utara telah mendirikan mercusuar di Pulau Ligitan dan

Pulau Sipadan pada awal tahun 1960-an dan bahwa mercusuar ini tetap

berdiri hingga hari ini dan dipelihara oleh otoritas Malaysia.

Mahkamah pertama-tama mengingatkan adanya pernyataan dari

Mahkamah Internasional Permanen dalam kasus perkara Legal Status of

Eastern Greenland (Denmark v. Norway) case68.

“a claim to souvereignty based not upon some particular act or title such as a treaty of cession but merely upon continued display of authority, involves two elements each of which must be shown to exist :: the intention and will to act as souvereign, and some actual exercise or display of such authority”.

Terjemahannya adalah sebagai berikut :

“Tuntutan kedaulatan yang tidak didasarkan atas beberapa tindakan tertentu atau hak seperti perjanjian penyerahan, tetapi semata-mata didasarkan atas pelaksanaan kekuasaan yang terus menerus, mengandung dua unsur, di mana masing-masing unsur harus ditunjukkan dan dibuktikan eksistensinya : yakni adanya niat atau maksud dan kehendak untuk bertindak selaku penguasa serta

67

ICJ Report 2002, paragraph 75. 68

Nugzar Dundua, Delimitation of Maritime Boundaries between Adjacent States,

(United Nations-The Nippon Foundation Fellow: 2006-2007), Hlm.56.

Page 93: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

79

adanya beberapa tindakan atau pelaksanaan kedaulatan secara nyata”.

Keadaan lain yang harus diperhatikan oleh setiap pengadilan yang

akan memutuskan masalah klaim kedaulatan atas suatu wilayah tertentu,

adalah sejauh mana kedaulatan itu juga diklaim oleh negara lain.

Mahkamah Internasional Permanen melanjutkan :

‘Tidak mungkin membaca rekaman putusan kasus kedaulatan territorial tanpa melihat bahwa dalam banyak kasus pengadilan kurang merasa puas dengan pelaksanaan hak-hak kedaulatan secara aktual, dengan ketentuan negara lain tidak dapat memahami klaim yang lebih besar, khususnya kasus klaim kedaulatan terhadap daerah yang penduduknya kurang atau tidak berpenghuni’. Mahkamah menegaskan bahwa teristimewa dalam kasus pulau-

pulau yang sangat kecil yang tidak dihuni atau tidak didiami secara

permanen seperti Sipadan dan Ligitan, yang kecil nilai ekonominya

(setidak-tidaknya hingga waktu-waktu terakhir) sesungguhnya

pengendalian efektif umumnya akan jarang terjadi.

Selanjutnya Mahkamah tidak dapat mempertimbangkan tindakan

yang terjadi setelah ternyata timbul persengketaan kecuali tindakan itu

adalah kelanjutan tindakan sebelumnya dan tindakan itu tidak

dimaksudkan untuk memperbaiki posisi hukum dari pihak yang

menyandarkan diri pada tindakan tersebut. Oleh karena itu Mahkamah

terutama menganalisis pengendalian efektif (effectivities) yang terjadi

sebelum 1969, tahun ketika para pihak menyatakan klaimnya terhadap

Sipadan dan Ligitan.

Page 94: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

80

Akhirnya Mahkamah hanya dapat menganggap tindakan itu

merupakan pelaksanaan kedaulatan yang tidak dapat diragukan,

khususnya terhadap pulau-pulau yang dipersengketakan. Oleh karena itu

peraturan-peraturan atau undang-undang administratif yang bersifat

umum dapat dianggap sebagai pengendalian efektif menyangkut Ligitan

dan Sipadan hanya apabila ketentuan-ketentuannya secara jelas

menyinggung atau bersangkut paut dengan kedua pulau tersebut.

Mengenai pengendalian efektif yang digunakan sebagai dasar oleh

pihak Indonesia, maka Mahkamah mengawali dengan menegaskan

bahwa tak satupun dari tindakan-tindakan pengendalian efektif

(effectivities) memiliki karakter legislasi ataupun regulasi (legislative or

regulatory character). Di samping itu Mahkamah tidak dapat mengabaikan

adanya fakta bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 yang dipakai

untuk menarik garis pangkal kepulauan Indonesia yang dilengkapi dengan

peta tidak menyebut atau menunjukkan Sipadan dan Ligitan sebagai titik

pangkal (base points) atau titik yang menentukan (turning points).

Mengenai kehadiran Angkatan Laut Belanda dan Indonesia di

perairan sekitar Sipadan dan Ligitan, sebagaimana dikemukakan oleh

Indonesia, maka menurut pendapat Mahkamah, kehadirannya tidak dapat

disimpulkan berdasarkan laporan perwira komandan kapal destroyer

Belanda Lynx yang melakukan patroli di daerah itu pada tahun 1921,

ataupun berdasarkan sebuah dokumen lain yang diajukan oleh Indonesia

terkait kegiatan ‘surveillance’ yang dilakukan Angkatan Laut Belanda atau

Page 95: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

81

Indonesia dan kegiatan patroli sehingga otoritas Angkatan Laut yang

bersangkutan menganggap Sipadan dan Ligitan serta perairan di

sekelilingnya harus berada di bawah kedaulatan Belanda atau

Indonesia69.

Akhirnya Mahkamah melihat bahwa kegiatan-kegiatan yang

dilakukan oleh perseorangan (private persons) seperti nelayan-nelayan

Indonesia, tidak dapat dilihat sebagai pengendalian efektif (effectivities)

jika kegiatan-kegiatan seperti itu tidak terjadi atas dasar regulasi resmi

atau di bawah otoritas Pemerintah. Mahkamah berkesimpulan bahwa

aktivitas yang digunakan dan diandalkan oleh Indonesia tidak merupakan

tindakan hak kedaulatan yang mencerminkan adanya maksud dan

kemauan untuk bertindak dalam kapasitas tersebut.

Mengenai pengendalian efektif yang digunakan oleh Malaysia,

maka pertama-tama Mahkamah mengamati bahwa sesuai dengan

Konvensi 1930 Amerika Serikat melepaskan setiap klaim yang mungkin

saja dimilikinya terhadap Sipadan dan Ligitan dan bahwa tidak ada negara

lain yang menyatakan kedaulatannya pada waktu itu ataupun

berkeberatan terhadap kelanjutan pemerintahan oleh Negara Borneo

Utara.

Selanjutnya Mahkamah mengamati bahwa kegiatan-kegiatan yang

terjadi sebelum dibuatnya perjanjian tidak dapat dilihat sebagai tindakan

kedaulatan (a titre souverain), karena Inggris pada waktu itu tidak

69

ICJ Report 2002, paragraf 76

Page 96: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

82

mengklaim kedaulatan atas nama Negara Borneo Utara terhadap pulau-

pulau di luar batas 3 liga laut (3-marine-league). Karena Inggris

mengambil posisi bahwa perusahaan the BNBC diberikan hak untuk

mengurus dan mengelola pulau-pulau itu, suatu posisi yang secara formal

diakui oleh AS sesudah tahun 1907, maka kegiatan pengelolaan seperti

ini tidak dapat dikesampingkan70.

Langkah-langkah yang diambil baik untuk mengatur dan

mengawasi pengumpulan telur penyu maupun perlindungan satwa

burung, seperti ditegaskan oleh pihak Malaysia sebagai bukti adanya

pengendalian efektif terhadap pulau-pulau itu, dalam pandangan

Mahkamah, harus dilihat sebagai penegasan adanya kekuasaan yang

bertujuan untuk mengatur dan mengelola wilayah yang sudah bernama..

Mahkamah melihat bahwa pembangunan dan pengoperasian

mercu suar dan alat bantu navigasi (lighthouses and navigational aids)

biasanya tidak dianggap sebagai manifestasi kedaulatan Negara. Akan

tetapi Mahkamah melihat (recall) bahwa di dalam keputusannya dalam

kasus menyangkut “Maritime Delimitation and Territorial Questions

between Qatar and Bahrain (Qatar v. Bahrain)”, Mahkamah menyatakan

sebagai berikut :71

“Certain types of activities invoked by Bahrain such as the drilling of artesian wells, taken by themselves, be considered controversial as

70

ICJ Report 2002, paragraf 78. 71

Barbara Kwiatkowska, The Qatar v. Bahrain Maritim Delimitation and Territorial Questions Case. Ocean Development & International Law, 33, 2002 (Taylor and francis, 2002), Hlm. 227-228; Lihat juga Bernard H. Oxman, Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain, International Court of Justice, March 16, 2001. The American Journal of International Law, Vol. 96 No.11 January 2002, Hlm.198.

Page 97: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

83

acts performed a titre de souverain. The construction of navigational aids, on the other hand, can be legally relevant in the case of very small islands. In the presenr case, taking into account of the size of Qit’at Jaradah, the activities carried out by Bahrain on that island must be considered sufficient to support Bahrain’s claim that it has souvereignty over it”.72 Terjemahannya adalah sebagai berikut :

“Tipe kegiatan tertentu yang dikemukakan oleh Bahrain seperti pengeboran sumur artesis yang dilakukannya dapat dianggap kontroversial sebagai tindakan kedaulatan. Di lain pihak pendirian alat bantu navigasi dapat mempunyai relevansi yuridis dalam hal pulau-pulau yang sangat kecil. Dalam kasus ini dengan memperhatikan ukuran dari Qit’at Jaradah, aktivitas yang dijalankan oleh Bahrain di atas pulau itu harus dianggap memadai untuk mendukung klaim kedaulatan Bahrain atas pulau tersebut”. Menurut pandangan Mahkamah, pertimbangan yang sama dapat

pula diterapkan pada kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Mahkamah

melihat bahwa kegiatan-kegiatan yang diandalkan oleh Malaysia baik atas

namanya sendiri maupun sebagai negara pengganti dari Inggeris adalah

sederhana dalam hal jumlahnya, tetapi kegiatan-kegiatan itu memiliki

berbagai karakter serta meliputi tindakan-tindakan di bidang legislatif,

administratif dan yudisial. Kegiatan-kegiatan itu berlangsung selama

tenggang waktu yang wajar dan menunjukkan suatu pola yang

mengungkapkan adanya maksud untuk menjalankan fungsi-fungsi negara

terkait dengan kedua pulau dalam konteks pengelolaan pulau dalam skala

lebih luas73.

Di samping itu Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa

pada waktu kegiatan-kegiatan itu dilakukan, maka baik Indonesia maupun

72

Judgment Merits ICJ Reports 2001, para. 197. 73

ICJ Report 2002, paragraf 79.

Page 98: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

84

pendahulunya, Belanda tidak pernah menyatakan penolakan atau

kecamannya. Dalam hubungan ini, Mahkamah melihat bahwa pada tahun

1962 dan 1963 otoritas Indonesia bahkan tidak mengingatkan otoritas dari

koloni Borneo Utara, atau Malaysia setelah kemerdekaannya, bahwa

pembangunan mercusuar pada masa itu terjadi di wilayah yang mereka

anggap sebagai wilayah Indonesia, sekalipun mereka menganggap

mercusuar tersebut hanya dimaksudkan untuk keselamatan navigasi di

wilayah yang mempunyai kepentingan khusus bagi navigasi di perairan

Borneo Utara, tindak tanduk seperti itu tentu saja luar biasa (unusual).

Berdasarkan keadaan-keadaan dalam kasus ini dan teristimewa

dari segi pembuktian yang diajukan oleh para pihak, maka Mahkamah

berkesimpulan bahwa Malaysia memiliki hak (title) atas Ligitan dan

Sipadan atas dasar pengendalian efetif (effectivities) yang telah

dikemukakan di atas.

Atas alasan-alasan tersebut di atas, maka dengan 16 suara

melawan satu suara, Mahkamah memutuskan bahwa kedaulatan atas

Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan itu dimiliki oleh Malaysia (Finds that

souvereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan belongs to Malaysia).

G. Pendapat Terpisah (Separate Opinion) dan Pendapat Berbeda

(Dissenting Opinion)74

Judge Oda menganggap kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

sebagai sebuah kasus yang lemah karena tak ada pihak yang

74

ICJ Report 2002, Paragraph 86. Dapat juga dilihat di dalam Jurisdictionary Vol.1 No. 2 April 2005, Hlm. xxv.

Page 99: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

85

menunjukkan kekuatan dalam mendukung klaimnya terhadap kedua pulau

tersebut atas dasar apapun. Judge Oda melihat Mahkamah diminta

memilih di antara kedua pihak dalam memutuskan kedaulatan, dan dia

menganggap bahwa dengan melakukan pilihan Mahkamah mencapai

suatu putusan yang layak.

Dalam pandangan Oda untuk memahami kasus ini dengan sebaik-

baiknya, perlu disadari adanya fakta-fakta serta keadaan-keadaan yang

melatarbelakangi. Dia melihat keberadaan Pulau Sipadan dan Pulau

Ligitan diketahui sejak abad sembilan belas, tetapi baik Indonesia maupun

Malaysia tidak melakukan klaim kedaulatan atas kedua pulau itu sampai

akhir tahun 1960an. Sebelumnya tidak pernah ada sengketa antarkedua

negara menyangkut kedaulatan atas pulau-pulau itu. Sengketa yang

mungkin timbul ketika itu semata-mata menyangkut penetapan batas-

batas landas kontinen di antara kedua negara yang memang menarik

perhatian karena adanya cadangan minyak bawah laut, tetapi sengketa itu

bukan kedaulatan atas pulau-pulau itu.

Pada pertengahan tahun 1960an di seluruh penjuru dunia diadakan

perjanjian-perjanjian antarnegara tetangga untuk menetapkan garis batas

landas kontinen. Indonesia dan Malaysia berhasil membuat perjanjian

delimitasi landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Namun

perundingan-perundingan di daerah sebelah timur Borneo mengalami

jalan buntu pada bulan September 1969 dan para pihak sepakat untuk

Page 100: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

86

menangguhkannya. Para pihak menganggap tanggal itu menjadi tanggal

kritis (critical date) terkait sengketa kedaulatan.

Sebelum dilakukan negosiasi, maka Indonesia dan Malaysia juga

sudah memberikan kepada perusahaan minyak Jepang konsesi

eksplorasi dan eksploitasi minyak di daerah yang bersangkutan. Zona-

zona konsesi itu tidak tumpang tindih (overlap) dan baik Indonesia

maupun Malaysia tidak mengklaim bahwa zona konsesi yang dimilikinya

dilanggar oleh pihak lain.75

Judge Oda memutuskan bahwa, bertentangan dengan pernyataan

dalam Special Agreement, satu-satunya persengketaan di sekitar tahun

1969 adalah persengketaan menyangkut delimitasi landas kontinen dan

bahwa sengketa delimitasi seperti ini sewajarnya diserahkan kepada

Mahkamah dengan membuat persetujuan bersama (joint agreement).

Selanjutnya Judge Oda melihat bahwa Permohonan (Application) Philipina

pada tahun 2001 agar diizinkan melakukan intervensi tidak menyangkut

hak para pihak atas kedua pulau, tetapi menyangkut penetapan garis

batas landas kontinen di antara para pihak76.

Pada tahun 1960an azas umum mengenai delimitasi landas

kontinen adalah azas yang ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) dari

Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen. Ketentuan ini sangat

kabur karena tidak menjelaskan garis pangkal (baselines) yang

seharusnya digunakan untuk mengonstruksi atau membangun garis

75

Ibid., Hlm. xxvi. 76

Ibid., Hlm. xxvi

Page 101: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

87

tengah (median line). Di samping itu ketentuan tersebut juga tidak

menjelaskan keadaan-keadaan khusus (special circumstances) yang

dapat membenarkan penyimpangan dari garis tengah (median line) dalam

kaitan dengan pulau-pulau tertentu.

Judge Oda menaruh kecurigaan bahwa keprihatinan kedua pihak

dalam perundingan mengenai delimitasi landas kontinen masing-masing

itu terutama berkaitan dengan definisi dari garis pangkal (the definition of

the baselines) dan peran yang dapat dimainkan oleh kedua pulau dari

aspek kriteria special circumstances. Kenyataannya, para pihak

(khususnya Indonesia) mungkin berkesimpulan bahwa kedaulatan atas

pulau-pulau tersebut akan dapat memberikan mereka hak terhadap

landas kontinen yang jauh lebih luas. Dalam pandangan Judge Oda, isu

kedaulatan timbul semata-mata akibat manuver para pihak untuk

mendapatkan bargaining position yang lebih baik dalam penentuan batas-

batas landas kontinen. Hal seperti ini terjadi akibat adanya

kesalahpahaman (misconception) para pihak yang gagal memahami

bahwa menurut azas special circumstances, sebuah garis delimitasi juga

dapat ditarik dengan mengesampingkan kedua pulau tersebut.

Meskipun sekarang Malaysia dihadiahi kedaulatan atas pulau-pulau

itu, pengaruh keputusan Mahkamah terhadap penentuan garis batas

landas kontinen seharusnya dipertimbangkan dari perspektif lain. Prinsip

mengenai delimitasi landas kontinen ditetapkan dalam pasal 83 Konvensi

Hukum Laut 1982 yang menghendaki suatu penyelesaian yang adil (an

Page 102: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

88

equitable solution). Permasalahannya adalah bagaimana pertimbangan

keadilan itu berlaku pada pulau-pulau itu. Judge Oda berkesimpulan

bahwa keputusan yang sekarang ini tidak perlu mempunyai hubungan

langsung dengan penetapan garis batas landas kontinen77. Demikian

deklarasi hakim Oda yang mengandung semacam pendapat terpisah

(separate opinion) yang pada prinsipnya menyatakan kedua pihak,

termasuk Malaysia tidak memiliki bukti kepemilikan yang benar-benar kuat

atas kedua pulau yang dipersengketakan sehingga dia menamakan kasus

itu sebagai kasus lemah berdasarkan fakta-fakta yang melatarbelakangi

sengketa teritorial. Gagalnya negosiasi kedua negara untuk menetapkan

garis batas landas kontinen pada tahun 1960-an, permohonan Filipina

untuk melakukan intervensi dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

semata-mata untuk menentukan garis batas maritim terutama adanya

mispersepsi soal kedaulatan dalam memperkuat bargaining position

terkait penentuan garis batas landas kontinen. Padahal menurut Judge

Oda dilihat dari segi ‘special circumstances’ garis batas landas kontinen

dapat saja ditarik dengan mengesampingkan kedua pulau atau tanpa

memperhatikan kepemilikan dan kedaulatan atas kedua pulau itu.

Judge Franck menyetujui putusan serta alasan Mahkamah dalam

menolak pendirian pihak Malaysia yang mewarisi kedaulatan atas Pulau

Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan suatu rangkaian peralihan hak (a

77

Ibid., Hlm. xxvi

Page 103: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

89

chain of title) yang merentang dari Sultan Sulu kepada Spanyol, kepada

Amerika Serikat, kepada Inggeris, dan akhirnya kepada Malaysia.

Mengenai pengendalian efektif (effectivities), tindakan-tindakan

yang dijalankan oleh para pihak dalam kapasitasnya sebagai negara

berdaulat terkait dengan kedua pulau itu78.

Malaysia membangun alat bantu navigasi yang dalam perkara-

perkara lain Mahkamah menganggapnya bukan merupakan tindakan yang

menunjukkan klaim kedaulatan. Tindakan Malaysia yang membangun

resort wisata untuk melakukan kegiatan selam bawah laut itu terjadi

setelah tanggal yang kritis (critical date), padahal para pihak telah

bersepakat untuk menghentikan aktivitas apapun pada kedua pulau

tersebut sehingga pembangunan resort wisata Malaysia tak dapat

digunakan sebagai alat bukti. Usaha pihak Belanda dalam mengawasi

pembajakan laut (piracy) melalui laut dan udara di daerah itu

menunjukkan adanya kepentingan aktif yang setidak-tidaknya mempunyai

kekuatan sama dengan apa yang dimiliki oleh Inggris. Penilaian terhadap

aktivitas ini serta aktivitas kecil lainnya tidak mungkin menghasilkan

sesuatu yang tidak menentukan (inconclusive results)79.

Di samping itu Mahkamah pun seharusnya tidak memulai tugas

yang tidak menyenangkan karena pengendalian efektif (effectivities)

seperti itu tidak relevan ketika hak atas wilayah sudah ditetapkan dengan

perjanjian. Dalam hal ini Judge Franck mempertahankan Konvensi 1891

78

ICJ Report 2002, paragraph 83. 79

Ibid., Hlm. xxvii.

Page 104: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

90

(the Anglo-Dutch Convention of 1891) dalam menetapkan seluruh garis

perbatasan antara negara-negara kolonial (colonial predecessors) di

Borneo milik Malaysia dan Indonesia, menetapkan suatu garis yang

dimaksudkan untuk menyelesaikan klaim territorial yang berpotensi

menimbulkan konflik di antara dua kerajaan. Maksud dan tujuannya

adalah untuk membawa ketenteraman di daerah yang tumpang tindih dan

menurut Vienna Convention on the Law of Treaties, tujuan seperti itu

seharusnya dihormati oleh Mahkamah.

Terutama artikel IV dari Konvensi 1891, dalam menetapkan garis 4o

10’ lintang utara untuk membagi wilayah di luar pantai timur Borneo dan di

seberang pulau Sebatik seharusnya diasumsikan sebagai garis

memanjang (extend) sejauh diperlukan untuk membagi kedua pulau yang

secara jelas terletak di selatan garis 4o 10’ lintang utara dan dengan

demikian dapat menyelesaikan setiap sumber pertikaian pada masa

mendatang. Seharusnya diasumsikan bahwa perjanjian yang

dimaksudkan untuk menyelesaikan semua isu yang menonjol di daerah itu

agaknya tidak bermaksud untuk menyerahkan pembagian Sipadan dan

Ligitan pada pengumpulan telur penyu dan patroli pengawasan terhadap

kejahatan perompakan laut (piracy patrolling)80.

Sesungguhnya terdapat banyak bukti yang membenarkan asumsi

logis seperti ini, jika asumsi ini dapat dibantah, tetapi tidak dibantah. Peta

Pemerintah Hindia Belanda yang menyertai the Explanatory Memorandum

80

Ibid., hlm. xxvii

Page 105: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

91

guna mendesak Menteri Luar Negerti meratifikasi Konvensi 1891, (peta

tersebut) memperlihatkan garis 4o 10’ lintang utara yang memanjang dan

meluas ke laut ke arah timur Sebatik. Peta ini dikenal baik oleh

Pemerintah Inggris setelah diserahkan oleh Menterinya di Den Haag.

Tidak ada keberatan dari pihak London. Pada waktu-waktu terakhir

konsesi eksplorasi minyak dilakukan oleh kedua negara dengan hati-hati

guna menghormati perluasan garis seperti itu di sebelah timur Pulau

Sebatik. Fakta-fakta seperti itu sepatutnya mendukung kesimpulan bahwa

garis 4o 10’ tidak dimaksudkan untuk berakhir hanya di pantai timur Pulau

Sebatik saja.

Di samping itu asumsi hukum (the legal presumption) yang diakui di

dalam yurisprudensi Mahkamah bahwa traktat yang menetapkan daerah

pinggiran atau perbatasan (borders), garis-garis perbatasan (boundaries)

dan garis-garis pembagian (lines of allocation) di antara negara-negara

dimaksudkan untuk menimbulkan akibat (to effect closure), anggapan

hukum seperti ini memainkan peranan penting dalam menetapkan rezim

hukum yang dapat mendukung terwujudnya perdamaian dunia. Perjanjian-

perjanjian seperti ini seharusnya ditafsirkan secara luas, tidak secara

sempit seakan-akan perjanjian-perjanjian ini merupakan kontrak penjualan

gandum. Atas dasar ini, garis 4o 10’ yang dinyatakan dalam Konvensi

1891 seharusnya diakui sebagai garis pembagi dalam perkara tersebut81 :

“The decision of the ICJ in the Sipadan and Ligitan case provides a useful precedent for the South China Sea because the Court

81

Ibid., Hlm. xxviii.

Page 106: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

92

awarded sovereignty over the islands to Malaysia on the basis of the effectivités it was able to demonstrate. Malaysia could point to various acts of administration that demonstrated an effective exercise of authority in respect of the islands. Malaysia was, moreover, able to rely on the earlier colonial measures adopted by Britain in North Borneo to regulate the taking of turtle eggs from the islands and the construction and operation of lighthouses there. It was also relevant to the court that Indonesia made no protest against these activities”.

H. Pengendalian Efektif (Effective Occupation)82

Kemenangan Malaysia atas Indonesia dalam kasus Pulau Sipadan

dan Pulau Ligitan di depan Mahkamah Internasional didasarkan atas

prinsip pengendalian efektif (effective occupation) yang merupakan azas

hukum internasional umum. Masing-masing Negara mengajukan prinsip

seperti itu dalam berbagai bentuk kegiatan terkait dengan kedua pulau

yang dipersengketakan dengan tujuan untuk membuktikan hak

kepemilikannya. Namun berbagai kegiatan atau tindakan yang dilakukan

Malaysia ataupun pendahulunya atas kedua pulau tersebut membuktikan

terpenuhinya prinsip pengendalian efektif sehingga kedua pulau tersebut

dinyatakan sebagai milik Malaysia.

Demikian pentingnya prinsip pengendalian efektif sebagai azas

hukum internasional yang dapat menciptakan hak atau kedaulatan atas

suatu wilayah, maka berikut ini akan dibahas prinsip tersebut dengan

mengemukakan pelbagai kasus yang telah diputuskan oleh arbitrasi

ataupun peradilan internasional. Kasus-kasus itu antara lain adalah kasus

persengketaan Pulau Palmas (Palmas Island Case) yang melibatkan

82

ICJ Report 17 December 2002, paras 126-129; Jurisdictionary, Vol.1 No.2 April 2005, Hlm. xx. .

Page 107: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

93

Pemerintah Hindia belanda dan Amerika Serikat, kasus Clipperton Island

antara Pemerintah Perancis dan Meksiko dan kasus Eastern Greenland

antara Denmark dan Norwegia serta kasus-kasus territorial lainnya yang

telah diputuskan oleh pengadilan internasional83.

Dalam kasus Pulau Palmas, Arbitrator yang bernama Max Huber

mengatakan bahwa jika kedaulatan territorial dijalankan secara terus

menerus dan damai atau tidak ditentang oleh negara lain, maka hal

seperti ini sama dengan hak atau ‘title´, yaitu terciptanya hak. Manifestasi

kedaulatan territorial sesungguhnya mempunyai berbagai bentuk sesuai

dengan situasi dan kondisi setempat. Meskipun pada prinsipnya

pelaksanaan kedaulatan harus terus menerus, dalam kenyataan

kedaulatan itu tidak mungkin dilaksanakan setiap saat dan tempat dalam

suatu wilayah. Kedaulatan teritorial itu mensyaratkan pelaksanaan fungsi-

fungsi negara secara terus menerus dan damai84.

Hak Amerika Serikat yang didasarkan atas penemuan Pulau

Palmas oleh Spanyol, perjanjian Paris 1898 yang berisi penyerahan hak

Spanyol kepada Amerika Serikat dan dekatnya pulau tersebut dengan

kepulauan Philipina, tidak dapat membuktikan kalau Spanyol menjalankan

kedaulatannya atas Pulau Palmas.

Selanjutnya Max Huber menguji argumentasi Pemerintah Hindia

Belanda soal pelaksanaan kedaulatan negara atas pulau tersebut yang

83

Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, (London, George Allen and Unwin, 1983’, Hlm. 143.

84 Malcolm N. Shaw, International Law, (Cambridge, Grotius Publications

Limited, 1986), Hlm. 240 – 241.

Page 108: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

94

dijalankan secara terus menerus dan damai. Menurutnya penduduk pulau

tersebut sudah menjalin hubungan dan komunikasi dengan perusahaan

Inggeris yang berada di India, yaitu the East India Company. Sejak tahun

1677 dibuat semacam kontrak antara pïhak Hindia Belanda dengan pihak

raja-raja yang ada di Pulau Palmas dan akibatnya pulau yang dahulu

terpecil atau terisolasi lalu menjadi wilayah yang bersifat terbuka dan

terjalin hubungan antara Negara kolonial dan daerah jajahan. Semuanya

ini menunjukkan bahwa antara tahun 1700 sampai tahun 1906

pelaksanaan kedaulatan Hindia Belanda di pulau tersebut telah berjalan

secara damai atau tidak mendapat perlawanan dari Negara lain sehingga

dapat dianggap sebagai bukti adanya kedaulatan Negara tersebut

terhadap pulau yang bersangkutan. 85

Kasus Clipperton Island yang melibatkan dua Negara, yakni Perancis

dan Meksiko juga ditangani dan diselesaikan oleh arbitrasi internasional

berdasarkan atas persetujuan kedua Negara tersebut. Meksiko mengklaim

hak atas pulau yang berdekatan dengan kepulauan Hawai di Samudera

Pasifik dengan alasan bahwa pulau itu diduga ditemukan pertama kali

oleh Spanyol. Akan tetapi arbitrator menyatakan bahwa walaupun pihak

Meksiko memiliki hak historis terkait statusnya sebagai Negara pengganti

dari Spanyol, namun hak seperti ini tidak ditunjang dengan pelaksanaan

kedaulatan atas Pulau Clipperton.

85

Ibid, Hlm. 241.

Page 109: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

95

Perancis menyatakan pulau tersebut adalah tanah yang tidak bertuan

(terra nullius) ketika seorang perwira Angkatan Laut Perancis mendarat di

pulau Clipperton dan kemudian melakukan proklamasi kedaulatan

Perancis atas pulau itu pada tahun 1858. Masalahnya menurut pihak

arbitrasi adalah apakah Perancis sudah mulai melakukan apa yang

disebut ´effective occupation´ pada waktu itu. Jika Perancis tidak

melakukan pengendalian efektif, maka menurut arbitrasi Meksiko tentu

saja mempunyai hak untuk beranggapan bahwa pulau tersebut dapat

didudukinya pada tahun 189786.

Arbitrator menyatakan bahwa pendudukan (occupation)

mensyaratkan adanya tindakan penguasaan aktual (an actual taking of

possession), yaitu suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang

bertujuan untuk menguasai suatu wilayah. Pada umumnya ´an actual

taking of possession´ atau tindakan penguasaan aktual hanya terjadi

apabila Negara yang bersangkutan mendirikan di dalam wilayah tersebut

sebuah organisasi yang mampu menciptakan peraturan hukum dan

peraturan hukum ini dipatuhi dan dihormati. Namun tindakan atau langkah

seperti ini hanyalah salah satu cara untuk melakukan tindakan

penguasaan actual sehingga hal ini tidak sama dengan tindakan

penguasaan actual (an actual taking of possession).

Menurut arbitrator, terdapat kasus-kasus yang memperlihatkan

bahwa tindakan menciptakan peraturan tidak selalu harus digunakan. Jika

86

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 1979), Hlm.152 – 153).

Page 110: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

96

ternyata suatu wilayah sama sekali tidak berpenduduk dan diduduki atau

dikuasai secara aktual oleh suatu Negara yang kemudian melakukan

semacam proklamasi kedaulatan atas wilayah itu, maka sejak proklamasi

ini tindakan penguasaan seperti ini (an actual taking of possession) harus

dianggap tuntas dan ´occupation´ yang dilakukannya telah sempurna

adanya. Dengan demikian menurut arbitrator, Perancis memperoleh pulau

Clipperton ketika Negara ini melalui perwira Angkatan Laut membuat

proklamasi kedaulatan terhadap pulau tersebut pada 17 November 1858

dan okupasi atau aneksasi tersebut meskipun hanya bersifat simbolis

secara jelas telah menimbulkan akibat hukum.

Dalam ´the Eastern Greenland Case´ yang diputuskan oleh

Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International

Justice), Norwegia berpendapat bahwa ´Eastern Greenland´ adalah tanah

yang tidak bertuan (terra nullius) yang ditemukan untuk pertama kalinya

oleh Negara tersebut sehingga dia mempunyai hak atas daerah tersebut.

Sebaliknya Denmark mengemukakan bahwa dia berhak atas seluruh

wilayah Greenland, termasuk ´Eastern Greenland´ berdasarkan atas azas

yang dinamakan ´effective occupation´ atas wilayah Greenland Timur, di

mana dia telah melaksanakan kedaulatannya sejak lama atas seluruh

wilayah Greenland secara efektif87.

Pendapat kedua belah pihak kemudian diuji oleh Mahkamah

Internasional Permanen (PCIJ), terutama pendirian Denmark menyangkut

87

Malcolm N. Shaw, International Law (Second Edition), (Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986), Hlm. 250 – 251.

Page 111: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

97

apakah okupasi (occupation) yang dilakukannya adalah sah atau tidak

menurut hukum internasional. Menurut Mahkamah, pada umumnya sah

tidaknya suatu okupasi ditentukan oleh prinsip keefektivan (the principle of

effectiveness). Dalam kasus itu Mahkamah menyatakan agar supaya

okupasi itu dilakukan secara efektif, maka harus dipenuhi dua

persyaratan, yaitu88 : 1) Negara yang bersangkutan memang mempunyai

maksud (intention) untuk menguasai wilayah tersebut; 2) Negara yang

bersangkutan menjalankan kedaulatannya secara tepat.

Menurut PCIJ, Denmark dapat membuktikan kedua syarat tersebut

sehingga okupasi atau penguasaan yang dilakukannya benar-benar efektif

dan dengan demikian penguasaan (occupation) itu adalah sah menurut

hukum internasional.

Dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Indonesia sudah

berupaya membuktikan haknya menurut hukum (legal title) atas kedua

pulau tersebut yang didasarkan atas Konvensi London 1891. Untuk

memperkuat hak hukum ini, Nederland sebenarnya telah menjalankan

pengendalian efektif atas kedua pulau tersebut melalui serangkaian fungsi

pemerintahan di perairan sekitar kedua pulau tersebut, antara lain dengan

beroperasinya kapal Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang disebut HMS

Lynx yang melakukan kegiatan pengawasan dan penanggulangan

terhadap berbagai macam kejahatan yang terjadi di perairan, termasuk

perairan sekitar Sipadan dan Ligitan.

88

J.G. Starke, Introduction to International Law, (London, Butterworths, 1984), Hlm. 155.

Page 112: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

98

Pengendalian efektif atas wilayah pulau Sipadan juga dapat

diketahui dari adanya tulisan-tulisan yang tertera pada sebuah tugu yang

didirikan di pulau itu oleh otoritas Hindia Belanda. Kegiatan surveilans

yang dilaksanakan oleh kapal-kapal patroli Hindia Belanda dan kemudian

dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia, dan akhirnya kegiatan nelayan-

nelayan tradisional Indonesia dengan melakukan penangkapan ikan di

perairan sekitar pulau-pulau perbatasan, termasuk di dalamnya Pulau

Sipadan dan Pulau Ligitan, semuanya ini membuktikan terciptanya hak

(title) Indonesia yang membuktikan berjalannya fungsi-fungsi administrasi

pemerintahan sejak zaman kolonial yang merupakan pencerminan dari

azas ‘effective occupation’. Namun demikian bagi ICJ apa yang

dikemukakan oleh pihak Indonesia, termasuk tindakan-tindakan yang

dilakukan oleh Belanda tidak berkarakter legislasi sehingga semuanya

bukan merupakan ‘effective occupation’.

Penetapan peta89 oleh Pemerintah Hindia Belanda yang

melampirkannya pada undang-undang pengesahan Konvensi London

89 Dalam “the Beagle Channel Arbitration” tahun 1977 tribunal internasional menguatkan

azas-azas yang mengatur penggunaan peta sebagai bukti atau petunjuk (evidence) sebagai berikut

89 :

Peta yang dibuat sebelum adanya perjanjian dapat menjelaskan maksud para pihak.

Peta dapat mengungkapkan secara jelas mengenai situasi dan fakta yang dikenal bagi para negosiator perjanjian.

Peta yang dipublikasikan setelah perjanjian ditutup atau dibuat dapat menjadi bukti atau petunjuk bagaimana para pihak bermaksud untuk menafsirkan perjanjian.

Peta dapat mengindikasikan reputasi atau kepercayaan yang meluas mengenai urusan-urusan (affairs) dalam suatu negara.

Peta digunakan untuk menunjukkan pandangan yang diambil oleh pemerintah pada waktu dipublikasikan.

Peta memberikan bukti atau petunjuk mengenai pandangan negara-negara dan para pejabatnya ketika perjanjian dirundingkan apabila bertentangan dengan posisi atau pandangannya yang ditegaskan selama tribunal membuat pertimbangan.

Peta yang dihasilkan secara sepihak, diundangkan ataupun diadopsi oleh suatu negara tidak perlu berarti samasekali tidak memiliki nilai.

Page 113: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

99

1891 serta ‘explanatory memorandum’ 1915 tersebut adalah bagian dari

fungsi-fungsi administrasi pemerintahan. Hal ini membuktikan terwujudnya

pengendalian efektif terhadap perairan di sekitar kedua pulau yang

dipersengketakan. Peta yang dilampirkan pada naskah perjanjian yang

sudah diratifikasi Pemerintah Kerajaan Belanda dan ratifikasinya telah

disampaikan kepada Pemerintah Kerajaan Inggris melalui pejabat

diplomatiknya di Den Haag, menunjukkan dan membuktikan adanya

pengakuan Inggeris terhadap makna dan substansi dari peta tersebut

yang menggambarkan garis batas yang paralel dengan 4o 10’ Lintang

Utara sebagai garis alokasi dan pembagian kedaulatan antara kedua

negara di kawasan tersebut. Hal ini disebabkan karena Konvensi

London1891 dengan peta terlampir bertujuan untuk meningkatkan

hubungan persahabatan di antara Negara-negara, dan pada waktu

bersamaan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional,

termasuk di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian peta dalam

konteks Konvensi 1891 menjadi petunjuk atau bukti mengenai maksud

kedua Negara dalam menetapkan garis yang ditarik dari pantai Timur

Borneo dan pantai Barat Pulau Sebatik melintasi pulau ini dan berlanjut

Sikap negara-negara dan para pejabatnya terhadap peta dapat menjadi bukti atau

petunjuk mengenai maksudnya, tanpa memperhatikan akurasi peta dari segi teknis. Demikian berbagai azas penggunaan peta sebagai bukti mengenai wilayah perbatasan territorial, sebagaimana tertera dalam “the Beagle Channel Arbitration”. Dengan memperhatikan azas

azasnya, maka peta yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1915 dapat dianggap menjadi cikal bakal lahirnya azas-azas terkait dengan peta bagi kasus the Beagle Channel Arbitration. Azas-azas itu antara lain adalah bahwa peta dapat menjelaskan situasi atau fakta yang diketahui para negosiator. Victor Prescott and Gillian D. Triggs, International Frontiers and Boundaries’.Law, Politics and Geography, (Leiden. Boston: Martinus Nijhoff Publishers, Leiden Boston, 2008), Hlm. 193-194.

Page 114: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

100

menuju ke arah Timur, sepanjang garis yang sejajar dengan 4o 10’ Lintang

Utara90.

Garis paralel seperti tercantum dalam peta tersebut mempunyai

fungsi sebagai garis pembagian kedaulatan antara Inggris dan Belanda

sehingga dapat memberi kontribusi bagi masyarakat internasional dalam

rangka mencegah timbulnya konflik territorial antarnegara dan pada waktu

yang sama dapat menciptakan perdamaian dan keamanan internasional

di kawasan tersebut.

Pihak Inggeris dan Belanda delegasinya sudah mengenal situasi

perbatasan pada tahun 1891 ketika kedua negara kolonial mengadakan

perundingan untuk membuat perjanjian soal pembagian wilayah atas

dasar garis yang ditarik dari pantai Timur Borneo atau pantai Barat Pulau

Sebatik melintasi Pulau Sebatik dan berlanjut terus sepanjang garis

tersebut sejajar dengan 4o l0’ Lintang Utara. Semua wilayah yang terletak

di sebelah utara dari garis parallel 4o 10’ lintang utara adalah milik Inggris,

sedang wilayah-wilayah yang terletak di sebelah selatan dari garis seperti

itu, termasuk pulau-pulau Sipadan dan Ligitan (di samping pulau-pulau

Sebatik, Tarakan dan Nunukan) adalah milik Belanda.

Penetapan peta yang dilakukan secara sepihak (unilateral act) oleh

Malaysia mengenai zona ekonomi eksklusif91 tidak lama setelah keluarnya

90

ICJ Report 2002, (paras. 81-91); Jurisdictionary, Vol.1 No.2 April 2005, Hlm. xv. 91

Undang-undang yang diterbitkan oleh Malaysia pada waktu itu adalah ‘the Baselines of Maritime Zones Act 2006 dan telah diundangkan atau diberlakukannya pada 1 Mei 2007. Namun Undang-undang seperti itu telah ditentang oleh pihak Indonesia sebab sudah mengganggu kedaulatan dan keutuhan territorial Indonesia.

Page 115: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

101

putusan ICJ soal Sipadan dan Ligitan tidak dapat dibenarkan ditinjau dari

perspektif historis dan yuridis. Klaim perairan di sekitar blok pertambangan

Ambalat di laut Sulawesi melalui penetapan zona ekonomi ekskusif dan

implementasinya melalui pemberian konsesi eksplorasi dan eksploitasi

minyak kepada perusahaan Belanda (Shell) bagaimanapun tidak boleh

dibiarkan karena peta zona ekonomi eksklusif yang ditetapkan secara

sepihak berpotensi menggerogoti bagian tertentu dari perairan kepulauan

Indonesia yang telah diakui masyarakat internasional melalui KHL 1982.

I. Konsep Delimitasi Maritim

Delimitasi maritim (maritime delimitation) dapat didefinisikan

sebagai proses penetapan garis-garis yang memisahkan ruang lingkup

wilayah yurisdiksi Negara pantai (the spatial ambit of coastal State

jurisdiction) atas ruang laut (maritime space) dimana hak hukumnya

tumpang tindih dengan hak hukum Negara lain. Delimitasi maritim muncul

sebagai akibat dari terjadinya duplikasi (overlapping) antara bagian laut

tertentu yang diklaim oleh dua negara tetangga atau lebih. Definisi seperti

ini memerlukan lima macam komentar92 :

1. Delimitasi maritim harus dilaksanakan apabila terdapat hak-hak

hukum yang tumpang tindih di antara Negara-negara atas ruang

laut yang sama (the same maritime space). Oleh karena itu

delimitasi maritim tidak berkaitan dengan tindakan memisahkan

ruang laut di bawah yurisdiksi Negara pantai dari laut bebas atau

92

Yoshifumi Tanaka, Op., Cit., Hlm. 7.

Page 116: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

102

kawasan (International seabed area) yang atasnya tidak ada

Negara yang mempunyai hak hukum (legal title).

2. Terkait dengan hal tersebut di atas, maka harus dibedakan

antara batas-batas laut (maritime limits) dan delimitasi maritim

(maritime delimitation). Pembentukan batas-batas laut (the

establishment of maritime limits) meliputi penarikan garis yang

membatasi ruang laut dari satu negara pantai saja (the maritime

spaces of a single State), yaitu ruang yang tidak bersentuhan

dengan ruang laut milik Negara pantai lainnya. Dengan demikian

tujuan dari ‘maritime limit’ adalah menggambarkan ruang-ruang

laut yang berada di bawah yurisdiksi negara pantai, yang

dianggap terpisah (in isolation). Dalam pengertian itu, tindakan

menetapkan batas-batas maritim (maritime limits) merupakan

tindakan sepihak (unilateral act)93.

Pada umumnya batas luar zona maritim (the outer limit of a

maritime zone) pada saat bersamaan merupakan batas dalam dari zona

lainnya (the inner limit of another zone). Misalnya batas luar dari perairan

pedalaman membentuk dan merupakan batas dalam dari laut territorial

(the inner limit of the territorial sea), dan batas luar dari laut territorial juga

menjadi batas dalam dari jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif serta

landas kontinen. Batas luar zona ekonomi eksklusif yang lebar

maksimalnya mencapai 200 mil dari garis pangkal yang dipakai untuk

93

Yoshifumi Tanaka, Op., Cit., Hlm. 7-8.

Page 117: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

103

mengukur lebar laut territorial menandai dimulainya laut bebas, dasar

samudera dalam (international seabed area) dan bagian terluar landas

kontinen di luar 200 mil laut jika kelanjutan alamiah wilayah daratan

sampai ke sana. Akhir dari landas kontinen yang terluar merupakan batas

kawasan ke arah darat (landward limit of the International Seabed Area).

Di lain pihak, delimitasi maritim (maritime delimitation) adalah suatu

tindakan yang harus dijalankan oleh dua negara atau lebih, karena tujuan

delimitasi maritim adalah untuk memisahkan daerah-daerah yang

tumpang tindih di mana hak hukum dari negara-negara pantai berbenturan

satu sama lain. Hal ini disebabkan karena masing-masing negara

mencoba untuk melaksanakan yurisdiksi spasial (spatial jurisdiction) di

atas ruang laut yang sama. Kenyataan ini menunjukkan karakteristik

delimitasi maritim yang esensial, yaitu karakteristik internasional

(international character)94.

Majelis hakim ICJ dalam the Gulf of Maine case menegaskan

pandangan itu sebagai suatu kaidah fundamental dalam hukum delimitasi

maritim. Delimitasi maritim di antara negara-negara dengan pantai yang

saling berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) tidak dapat

dilakukan secara sepihak (unilaterally) oleh salah satu dari negara-negara

yang bersangkutan sehingga delimitasi maritim selalu memiliki karakter

internasional dalam arti delimitasi maritim bukanlah tindakan sepihak

(unilateral act), melainkan harus dilaksanakan di antara banyak negara.

94

Ibid., Hlm. 8

Page 118: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

104

Menurut definisi yang ada (given), fenomena delimitasi maritim

dibatasi pada negara-negara. Negara anggota federasi, organisasi

internasional, seperti the International Sea-Bed Authority (ISA), bukanlah

subyek yang dapat melakukan delimitasi maritim. Dalam kenyataan batas

dari Kawasan (the International Seabed Area) ditentukan secara sepihak

oleh Negara-negara pantai, bukan oleh ISA. Dengan menentukan outer

limit of the continental shelf’, maka Negara pantai wajib mengajukan

sebuah salinan peta atau daftar koordinat geografis kepada Sekretaris

Jenderal ISA (Pasal 84 ayat 2 KHL 1982).95

Delimitasi ruang-ruang laut (maritime spaces) berkaitan dengan

pemisahan wilayah yurisdiksi negara (spatial ambit of State jurisdiction).

Yurisdiksi negara yang didelimitasi dan ditetapkan batas-batasnya

memiliki sifat spatial (spatial nature); yurisdiksi negara dapat dianggap

sebagai spatial, karena hal ini berbeda dari yurisdiksi personal atau tipe

yurisdiksi lainnya.96 Kenyataannya yurisdiksi negara pantai atas perairan

95

Lihat Pasal 76 ayat 1 KHL 1982. Negara pantai mempunyai hak hukum (legal title) atas landas kontinen hingga 200 mil laut tanpa memperhatikan ciri-ciri geologis dan geomorfologis dari dasar laut. Di lain pihak batas luar landas kontinen di luar batas 200 mil laut harus ditentukan sesuai dengan criteria yang tercantum dalam Pasal 76 ayat 4 KHL 1982. Bagaimanapun batas luar landas kontinen tidak boleh melampaui 350 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur atau tidak boleh melampaui 100 mil laut terhitung dari batas kedalaman isobaths 2500 meter. Dalam hal ini Negara pantai harus menyampaikan informasi tentang batas-batas landas kontinen di luar 200 mil kepada “the Commission on the Limits of the Continental Shelf” yang terbentuk berdasarkan Annex II (Pasal 76 ayat 8 KHL 1982).

96 Spatial jurisdiction dapat didefinisikan sebagai yurisdiksi yang berkaitan

dengan suatu ruang tertentu dan hanya dapat dilaksanakan di dalam ruang yang bersangkutan. Territorial jurisdiction adalah sebuah contoh khas dari spatial jurisdiction, tetapi konsep spatial jurisdiction lebih luas daripada territorial jurisdiction. Meskipun diperdebatkan atau dibantah bahwa territorial jurisdiction adalah sama dengan kedaulatan territorial, spatial jurisdiction mencakup tidak hanya territorial souvereignty

Page 119: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

105

pedalaman dan laut territorial, tanpa disangsikan mempunyai karakter

kewilayahan (territorial), yaitu mempunyai karakter ruang (spatial

character). Di samping itu, yurisdiksi atas zona ekonomi eksklusif dan

landas kontinen juga dapat dianggap sebagai spatial dalam pengertian

bahwa yurisdiksi seperti ini semata-mata hanya dapat dilaksanakan di

ruang yang bersangkutan (space), meskipun harus dibedakan dari

kedaulatan territorial yang sesungguhnya.

Adalah benar yurisdiksi negara pantai atas zona ekonomi eksklusif

dan landas kontinen dibatasi pada hal-hal yang sudah ditentukan oleh

hukum internasional. Akan tetapi dalam hal-hal seperti ini Negara pantai

dapat melaksanakan hak-hak berdaulat, tanpa memperhatikan

nasionalitas dari obyek-obyek yang ada di zona ekonomi eksklusif dan

landas kontinen. Di samping itu hak-hak berdaulat itu dilaksanakan secara

eksklusif. Yurisdiksi atas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen

dapat dipahami hanya sebagai yurisdiksi atas ruang (spatial jurisdiction),

bukan sebagai yurisdiksi terhadap seseorang (personal jurisdiction) atau

tipe yurisdiksi lain97.

Dalam hubungan ini mungkin relevan menyinggung isu terminologi

yang berkaitan dengan garis delimitasi (delimitation line) dan perbatasan

(boundary). Istilah boundary digunakan untuk wilayah daratan dan

tetapi juga yurisdiksi atas landas kontinen dan ZEE. Lihat Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm. 9

97 Maria Gavouneli,Functional Jurisdiction in the Law of the Sea, (Leiden /

Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, Hlm. 61-62.

Page 120: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

106

wilayah lain (other spaces) yang tunduk di bawah kedaulatan penuh (full

souvereignty). Sedangkan untuk ruang maritim (maritime spaces) di mana

Negara pantai menjalankan kewenangan yang sifatnya fungsional, tetapi

bukan kedaulatan penuh sehingga istilah limits atau lines of delimitation

memang sudah tepat.

Majelis ICJ dalam kasus the Gulf of Maine case tampaknya

mendukung pandangan ini. Di sisi lain, Mahkamah Arbitrasi dalam kasus

“the Guinea versus Guinea-Bissau case” memutuskan bahwa praktek

tidak selalu merefleksikan perbedaan seperti itu. Ternyata, dalam kasus

“the North Sea Continental Shelf Cases”, ICJ menggunakan istilah

boundary atau boundary line dalam naskah autentik yang berbahasa

Inggris, sementara kata ‘limites’ atau ‘lignes de delimitation’ digunakan

dalam terjemahan berbahasa Perancis. Dalam kasus the Greenland/ Yan

Mayen case, ICJ menggunakan istilah boundary untuk landas kontinen

dan zona perikanan dalam naskah autentik berbahasa Inggris, sementara

kata delimitation digunakan dalam terjemahan Perancis.

Dalam kasus Anglo-French Continental Shelf case, Mahkamah

Arbitrasi menggunakan istilah boundary dalam teks Inggris. Dalam

keputusan the Guinea versus Guinea-Bissau, istilah ‘frontiere’ diadopsi

dalam naskah autentik dalam bahasa Perancis, dan putusan atas kasus

the Guinea-Bissau/Senegal menggunakan (referred to) istilah ‘frontieres

maritims’.

Page 121: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

107

Dalam praktek perjanjian ungkapan maritime boundary cenderung

digunakan untuk menetapkan garis batas landas kontinen dan zona

ekonomi eksklusif atau zona perikanan. Ulasan sekilas ini

memperlihatkan, sebagaimana Calflisch sendiri telah menerimanya,

bahwa ‘delimitation line’ dan ‘boundary’ tidak dibedakan secara jelas.

Terutama garis delimitasi untuk landas kontinen dan zona ekonomi

eksklusif atau zona perikanan sering disebut batas maritim tunggal (a

single maritime boundary) dalam ‘case law’98 serta pendapat para penulis.

Oleh karena itu dalam kajian ini istilah garis delimitasi (delimitation line)

dan perbatasan (boundary) akan dipergunakan secara silih berganti.99

Beberapa penulis membedakan konsep hukum delimitasi maritim

(maritime delimitation), yaitu pembedaan antara konsep delimitasi

(delimitation) dengan konsep pembagian secara adil (apportionment), dan

perbedaan antara delimitasi yang deklaratif (delimitation declarative,

declaratory delimitation) dan delimitasi yang bersifat konstitutif

(delimitation constitutive or man-made delimitation).

Adalah ICJ yang dalam the North Sea Continental Shelf cases

1969 menekankan pembedaan (distinction) antara ’delimitation’ dan

‘apportionment’. Dalam menguji konsep tentang bagian yang adil dan

wajar (a just and equitable share) yang dinyatakan oleh Jerman Barat (the

Federal Republic of Germany), maka Mahkamah membedakan dengan

98

Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm. 10-11.

99George K. Walker, Definitions for the Law of the Sea. Terms not Defined by the

1982 Convention, (Leiden. Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2012), Hlm.164.

Page 122: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

108

jelas antara ‘delimitation’ dan ‘apportionment’ dengan mengatakan bahwa:

tugas Mahkamah dalam proses persidangan saat ini terutama berkaitan

dengan delimitasi dan bukan pembagian secara adil atas wilayah yang

bersangkutan, atau pembagian ke dalam beberapa sektor. Delimitasi

adalah sebuah proses yang mencakup penetapan batas-batas wilayah,

yang pada prinsipnya sudah termasuk (wilayah) Negara pantai dan bukan

penentuan atas sesuatu yang baru (determination de novo) dari suatu

wilayah sehingga menurut Mahkamah, konsep a just and equitable share,

yang berkenaan dengan gagasan pembagian secara adil (apportionment),

adalah bertentangan dengan konsep delimitasi.

Namun demikian tampaknya pembedaan seperti itu ternyata lemah.

Dalam keputusan yang sama, ternyata Mahkamah menegaskan bahwa

jika harus menerapkan prinsip kepatutan (equitable principles), maka

delimitasi dimaknai menyerahkan bagian-bagian yang tumpang tindih

kepada para pihak, bagian-bagian inilah yang harus dibagi di antara

mereka dalam proporsi yang disepakati atau apabila kesepakatan tidak

tercapai, harus dibagi secara wajar (equally). Akan tetapi gagasan

pembagian itu sendiri dalam proporsi yang disepakati (agreed proportion)

atau gagasan tentang pembagian yang wajar (equal division) akan

mengarah pada gagasan tentang apportionment.100

Hal yang sama juga berlaku bagi apa yang disebut konsep

kesesuaian (proportionality) antara luas bagian landas kontinen yang

100

Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm.11-12.

Page 123: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

109

dimiliki Negara pantai dengan kepanjangan pantainya yang diukur dengan

arah garis pantai pada umumnya. Konsep ‘proportionality’ itu dikaitkan

dengan konsep pembagian landas kontinen secara adil (apportionment).

Dengan demikian konsep delimitasi maritim harus memasukkan beberapa

aspek pembagian secara adil, terutama konsep ‘proportionality’.

Dalam menyelesaikan garis batas maritim di bagian laut yang

dipersengketakan antara Indonesia dan Malaysia sebagai dampak dari

putusan ICJ atas kasus Sipadan dan Ligitan, konsep-konsep seperti

‘equitable’ dan ‘proportionality’ perlu ditempatkan sebagai bagian integral

dari konsep delimitasi maritim karena berdasarkan perkembangan hukum

laut dewasa ini penentuan garis batas maritime di antara negara-negara

tetangga harus bermuara pada tercapainya hasil yang berkeadilan

(equitable result) tanpa memperhatikan metode yang digunakan dalam

proses delimitasi maritim. Konsep ‘equitable’, proportionality dan konsep

lain yang mencerminkan azas keadilan atau kepatutan bagaimanapun

harus memperhitungkan keadaan-keadaan relevan (relevant

circumstances) yang tidak hanya terbatas pada kondisi geografis, tetapi

juga kondisi non geografis, termasuk di dalamnya kondisi sosial-politik dan

ekonomi Indonesia. Hanya melalui konsep seperti itu dapat tercapai

keadilan yang substansial, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33

Undang-Undang Dasar 1945.

Pada tataran internasional masalah delimitasi maritim sudah ada

pengaturannya dalam beberapa perjanjian hukum laut, seperti Konvensi

Page 124: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

110

Geneva 1958 yang diganti dengan Konvensi Hukum Laut 1982, yang

telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun

1985. Masalah delimitasi maritim, seperti delimitasi laut wilayah, zona

ekonomi eksklusif dan landas kontinen dapat ditemukan dalam beberapa

peraturan hukum nasional Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1973 mengenai landas kontinen, Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1996 mengenai perairan Indonesia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1983 mengenai zona ekonomi eksklusif dan peraturan perundangan

lainnya. Peraturan perundang-undangan ini (terkecuali Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1973) merupakan implementasi ketentuan-ketentuan KHL

1982 sebab Indonesia selain berkepentingan untuk memanfaatkan azas-

azas dan ketentuan-ketentuan konvensi, khususnya yang terkait soal

delimitasi maritim, juga telah mengikatkan diri pada konvensi tersebut

berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, namun dengan

tetap mengedepankan kepentingan nasional yang bersifat fundamental..

J. Typology Delimitasi Maritim

Konvensi Geneva 1958 mengatur berbagai tipe delimitasi maritim :

(i) Delimitasi laut territorial (Pasal 12 Konvensi mengenai Laut Teritorial

dan Zona Tambahan), (ii) Delimitasi zona tambahan (Pasal 24 Konvensi

yang sama, dan (iii) Delimitasi landas kontinen (Pasal 6 Konvensi

mengenai Landas Kontinen). Tidak ada ketentuan menyangkut delimitasi

perairan pedalaman meskipun masalah ini bisa timbul, misalnya dalam hal

sebuah teluk (bay) dengan beberapa negara tepi di sekitar teluk itu.

Page 125: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

111

Ketentuan delimitasi laut territorial dan landas kontinen pada

hakekatnya merumuskan azas yang terdiri dari tiga ketentuan yang sama

tentang ’agreement-equidistance-special circumstances’. Akan tetapi

mengenai delimitasi jalur tambahan ditetapkan azas murni mengenai

agreement-equidistance tanpa menyebut special circumstances (Pasal 24

Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan)101.

KHL 1982 menyebut secara eksplisit tiga macam tipe delimitasi

maritim : (i) delimitasi laut territorial (Pasal 15); (ii) delimitasi zona ekonomi

eksklusif (Pasal 74); (iii) delimitasi landas kontinen (Pasal 83).

Sebagaimana halnya dengan Konvensi Geneva 1958, tidak ada ketentuan

yang mengatur tentang delimitasi perairan pedalaman. Berbeda dengan

Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan,

maka KHL 1982 tidak menyinggung delimitasi jalur tambahan.

Meskipun tidak diatur dalam KHL 1982, dalam kaitan delimitasi

zona ekonomi eksklusif atau zona perikanan dan landas kontinen, timbul

masalah garis batas maritim tunggal (single maritime boundary) yang

akan menentukan batas-batas landas kontinen dan zona ekonomi

eksklusif atau zona perikanan hanya dengan menggunakan satu macam

garis semata-mata102.

101

SHI Jiuyong, The Wang Tieya Lecture in Public International Law : Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the International Court of Justice, (Chinese Journal of International Law, 2010), Hlm. 273-274, http://chinesejil oxfordjournals.org/ at University Library Utrecht on November 15, 2012

102 Ibid, Hlm. 15; Clive R. Symmons, The Maritime Zones of Islands in

International Law, (The Hague / Boston/ London: Martinus Nijhoff Publishers, 1979), Hlm. 179-182.

Page 126: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

112

Pertama, apabila landas kontinen dan zona perikanan bereksistensi

sesuai dengan perjanjian dan hukum kebiasaan, maka masalah yang

mungkin muncul adalah apakah batas-batas maritim di landas kontinen

dan zona perikanan harus bersamaan (coincide). Karena faktor-faktor

relevan yang berkaitan dengan dasar laut (landas kontinen) dan perairan

yang berada di atasnya (zona perikanan) ternyata bisa berbeda-beda,

maka garis-garis delimitasi landas kontinen dan zona perikanan tidak

perlu bersamaan (coincide), tetapi perlu dilakukan secara terpisah dan

tersendiri dan hal seperti ini bukan persoalan hipotesa.

Dalam menarik garis batas maritim yang bersamaan (coincident)

baik untuk landas kontinen maupun zona perikanan, maka ICJ dalam

kasus the Greenland / Jan Mayen case menganggap adanya kesempatan

yang sama untuk berpartisipasi dalam melakukan eksplorasi dan

eksploitasi sumber daya perikanan (equitable access to fisheries) yang

hanya terkait dengan perairan yang berada di atasnya, sebagai sebuah

keadaan relevan (relevant circumstance)103.

Kedua, masalah yang sama akan muncul dalam hubungan dengan

delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Mengenai hal ini,

Pasal 74 mengenai delimitasi zona ekonomi eksklusif itu identik dengan

Pasal 83 mengenai delimitasi landas kontinen. Delimitasi zona ekonomi

eksklusif (landas kontinen) di antara Negara-negara dengan pantai yang

103

Jonathan I. Charney, Maritime Delimitation in the Area between Greenland and Jan Mayen, dalam The American Journal of International Law, Vol. 88, No. 1 (January 1994), Hlm.105-109

Page 127: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

113

saling berhadapan (opposite) dan saling berdampingan (adjacent) harus

dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, seperti

dinyatakan dalam Pasal 38 Statuta ICJ, agar tercapai suatu penyelesaian

yang adil (an equitable solution). Dengan demikian delimitasi zona

ekonomi eksklusif dan landas kontinen ditentukan dengan aturan yang

sama.

Namun demikian apabila aturan yang sama pun berlaku pada zona

ekonomi eksklusif dan landas kontinen, hal ini tidak berarti bahwa kedua

garis batas yang dihasilkannya harus selalu bersamaan atau bertepatan

(coincide). Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang dianggap

relevan bisa berbeda untuk dasar laut dan perairan di atasnya, maka

kemungkinan garis delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif

akan berbeda pula. Misalnya, walaupun lokalisasi sumber daya perikanan

bisa relevan bagi garis batas zona ekonomi eksklusif, garis batas landas

kontinen mungkin mensyaratkan lokasi deposit mineral sebagai faktor

relevan yang harus dipertimbangkan. Dalam hal ini garis delimitasi yang

adalah wajar untuk perairan di atasnya (superjacent waters) tidak harus

memiliki kualitas yang sama untuk dasar laut (seabed) sehingga apa yang

dianggap wajar untuk garis delimitasi perairan zona ekonomi eksklusif

atau zona perikanan tidak harus wajar untuk garis delimitasi landas

kontinen104.

104

Yoshifumi Tanaka, loc.cit.

Page 128: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

114

Perbedaan faktor-faktor relevan untuk dasar laut dan perairan di

atasnya menimbulkan risiko terciptanya persaingan dua macam garis (two

competing lines) yang membagi bagian-bagian yang bersamaan

(coincident areas) dan menciptakan suatu situasi di mana bagian zona

ekonomi eksklusif yang dimiliki satu negara bisa tumpang tindih dengan

bagian landas kontinen negara lain dan menimbulkan masalah yurisdiksi

yang bersifat kompleks sehingga tidak jarang ada pemikiran mengenai

penarikan garis batas maritim tunggal untuk landas kontinen dan zona

perikanan serta penarikan garis batas maritim tunggal untuk landas

kontinen dan zona ekonomi eksklusif105.

K. Konferensi Den Haag tentang Kodifikasi Hukum Internasional 1930

K.1. Delimitasi Laut Teritorial antarnegara yang Pantainya

Berdekatan

Konferensi Den Haag 1930 berusaha mengkodifikasi hukum

delimitasi maritim. Diskusi bermula dalam Komite Ahli Liga Bangsa-

Bangsa (LBB) pada 1925. Laporan dari Sub Komite berkenaan dengan

delimitasi laut territorial dari Negara-negara yang berdampingan, Reporter

M.Schucking menyatakan bahwa106 dalam hal negara-negara wilayah

lautnya tumpang tindih satu sama lain, masalah itu harus diselesaikan

105

Ibid., Hlm. 14

106 Ibid., Hlm. 32 In the case of existing States, the matter will be settled by

historical considerations. In the event of a political change in the existing frontiers between riparian States, it would be advisable to establish special rules in each case having regard to the special geographical circumstances which have led to the fixing of a new frontier. It would be better to arrange for the conclusion of a special agreement between the States concerned, or for the settlement of the matter by arbitration or an ordinary tribunal, than to lay down an immutable principle.

Page 129: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

115

dengan pertimbangan historis. Apabila terjadi perubahan politik di wilayah

perbatasan (frontiers) yang ada di antara negara-negara tepi, maka

sebaiknya menetapkan aturan-aturan khusus dalam setiap kasus, dengan

memperhatikan keadaan geografis khusus dengan tujuan menentukan

perbatasan baru (the fixing of a new frontier). Lebih baik membuat

perjanjian khusus di antara negara-negara yang bersangkutan atau

menyelesaikan masalah tersebut melalui arbitrasi atau tribunal biasa,

daripada menetapkan suatu azas yang bersifat tetap107.

Di dalam proposal, tidak ada system delimitasi yang dianjurkan.

Barbosa de Magalhaes mengecam pendapat ini, dengan

mengatakan : apa yang tidak saya lihat adalah mengapa aturan-aturan ini

tidak dapat dijelmakan di dalam Konvensi. Saya berpikir hal seperti ini

harus dilakukan. Kemudian dia mengusulkan klausula berikut : batas

antara perairan territorial suatu Negara dan perairan territorial Negara lain

dibentuk dengan suatu garis yang ditarik tegak lurus pada pantai dari titik

di mana wilayah perbatasan (the frontier) di antara kedua Negara

mencakup pantai tersebut. Wickersham juga menegaskan keberadaan

laut territorial dari negara-negara yang saling berdampingan satu sama

lain, meskipun substansi pandangannya berbeda daripada pandangan

Barbosa de Magelhaes. Dengan demikian walaupun Schucking

menganggapnya tidak tepat untuk menetapkan aturan umum delimitasi

laut territorial dari Negara-negara yang saling berdampingan, Barbosa de

107

Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritime Delimitation, (Oxford and Portland, Oregon, Hart Publishing, 2006), Hlm. 32 – 34.

Page 130: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

116

Magelhaes dan Wickersham berpendapat pentingnya keberadaan aturan

seperti itu, kendatipun pandangan mereka mengenai aturan yang disebut

terakhir itu berbeda.

Poin penting yang harus diingat adalah bahwa pertentangan

pendapat ini mencerminkan sebuah pertentangan serupa dengan yang

timbul dari kontroversi antara Storni dan Gidel, yaitu antara model yang

didasarkan atas solusi kasus per kasus, yang menghindari formulasi suatu

aturan umum, dan model yang didasarkan atas perlunya suatu aturan

umum. Bagaimanapun juga akibat perbedaan pandangan ini, tidak

dirumuskan ketentuan mengenai aturan yang berlaku pada delimitasi laut

territorial di antara Negara-negara yang saling berdampingan108.

K.2. Delimitasi Laut Teritorial antarnegara yang Pantainya Saling

Berhadapan (Opposite States)

Perbedaan antara dua model ini juga dapat ditemukan dalam

argument-argumen mengenai delimitasi laut territorial dari Negara-negara

yang saling berhadapan. Dalam Pasal 6 dari Rancangan Konvensi,

Schucking menyarankan agar Selat yang lebarnya tidak melebihi 10 mil

yang pantainya dimiliki beberapa Negara akan membentuk bagian laut

territorial sampai garis tengah. Berbeda dengan delimitasi laut territorial

dari negara-negara yang saling berdampingan, dia menganggap mungkin

dapat ditetapkan suatu aturan umum yang menggunakan garis tengah

108

Ibid., Hlm. 33

Page 131: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

117

untuk menetapkan garis-garis batas laut territorial dalam situasi pantai

yang saling berhadapan (opposite states)109.

Akibat kuatnya usulan seperti itu, Dasar Pembicaraan Nomor 16

(Basis of Discussion No.16), yang dipersiapkan untuk Konferensi Den

Haag, merumuskan aturan berikut. Apabila dua negara tepi di suatu selat

yang tidak lebih lebar dari dua kali lebar perairan territorial, maka perairan

territorial masing-masing Negara pada prinsipnya sampai ke garis tengah

di selat itu.

Pada Konferensi Den Haag, Basis of Discussion No.16 dikecam

oleh berbagai delegasi. Kritikan penting dilakukan oleh M.Raestad

(Norwegia) yang menyatakan : ‘Saya pikir bahwa Basis No.16 akan lebih

pantas dalam suatu konvensi khusus dan tidak dinyatakan dalam

konvensi umum’. Pandangan ini mencerminkan pilihan terhadap

pendekatan kasuistis (the case-by-case approach).

Kemudian Basis of Discussion No.16 diuji kembali oleh the Legal

Sub-Committee, di mana seorang pelapor (rapporteur) mengusulkan : …

Pandangan ini juga bersandar pada penyelesaian yang bersifat kasuistis.

Dengan demikian pertentangan di antara kedua model seperti itu terulang

kembali. Pada akhirnya Konferensi Den Haag gagal mengadopsi seluruh

aturan yang mengatur delimitasi laut territorial antarnegara dengan pantai

yang saling berhadapan (opposite states).

109

Ibid., Hlm. 34

Page 132: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

118

Sebelum 1930 setidak-tidaknya sulit mengidentifikasi hukum yang

berlaku pada delimitasi laut territorial, meskipun terdapat kecenderungan

untuk mendukung the median line, terutama dalam konteks delimitasi di

selat. Ternyata kegagalan Konferensi Den Haag dalam menetapkan

aturan delimitasi menunjukkan tidak adanya kepastian hukum dalam

bidang ini. Namun analisis tersebut di atas tampaknya menjelaskan segi-

segi permasalahan yang bersifat mendasar.110

Pada awalnya dua model hukum delimitasi maritim yang saling

bertentangan dikembangkan oleh para penulis dan juga di dalam Komite

Para Ahli serta Konferensi Den Haag. Model penyelesaian yang bersifat

kasuistis dimaksudkan untuk mencapai hasil yang patut dan adil

(equitable results) melalui persetujuan dan bertujuan untuk mencegah

hasil yang tidak patut dan adil akibat penerapan aturan garis tengah

sehingga pada dasarnya model seperti itu berusaha mempertahankan

flexibility hasil delimitasim maritim.

Model lain, yang didasarkan atas teknik garis tengah (the median-

line technique) dibela secara khusus (typically) oleh Gidel. Model ini

bertujuan untuk menjamin hasil yang patut dan adil (equitable results)

dengan menggunakan sistem garis tengah yang perlu dimodifikasi. Model

ini menekankan adanya stabilitas dan prediktabilitas. Dengan demikian

tampak bahwa perbedaan antara kedua model tersebut terletak dalam

penekanan pada fleksibilitas dan prediktabilitas.

110

Ibid., Hlm. 34

Page 133: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

119

Meskipun kedua model tersebut berbeda, mungkin mengikuti

konsep fundamental yang bersifat umum: penyelidikan terhadap equitable

results. Dalam hal ini patut diketahui bahwa pada permulaan 1920-an dan

1930-an baik Gidel maupun Storni memberi perhatian terhadap konsep

‘equity’ dalam delimitasi maritim. Dapat dikatakan bahwa konsep ‘equity’

yang kemudian menjadi inti hukum delimitasi maritim, sudah mulai muncul

pada awal abad ke-20.

L. Pengaturan Hukum Delimitasi Maritim berdasarkan Konvensi

Geneva 1958

Usaha mengkodifikasi hukum delimitasi maritim berhasil pada

Konferensi Hukum Laut PBB pertama (UNCLOS I) 1958. UNCLOS I

berbeda daripada Konferensi Den Haag 1930 setidak-tidaknya dalam dua

hal. Pertama, UNCLOS I membahas tidak hanya delimitasi laut territorial,

tetapi juga delimitasi jalur tambahan dan landas kontinen. Kedua,

UNCLOS I berhasil dalam mengadopsi aturan-aturan delimitasi untuk laut

territorial, jalur tambahan, dan landas kontinen111.

Ketentuan-ketentuan Konvensi Geneva 1958 yang mengatur

delimitasi maritim adalah pasal 12 dan 24 dari Konvensi mengenai Laut

Teritorial dan Jalur Tambahan, serta artikel 6 Konvensi mengenai Landas

Kontinen. Karena adanya kemiripan struktur aturan, mungkin tepat

dianalisis secara bersama pasal 12 Konvensi Laut Teritorial dan Jalur

Tambahan serta pasal 6 Konvensi Landas Kontinen.

111

Ibid, Hlm. 37 – 38.

Page 134: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

120

Pasal 12 ayat 1 dari Konvensi Laut Teritorial dan Jalur Tambahan

menetapkan bahwa : Apabila pantai dari dua Negara saling berhadapan

(opposite) atau berdampingan (adjacent), tidak satupun dari kedua

Negara ini berhak, terkecuali ada persetujuan di antara mereka yang

menyatakan sebaliknya, untuk memperluas laut territorial di luar garis

tengah yang setiap titiknya adalah sama jaraknya dari titik-titik terdekat

pada garis pangkal dari mana lebar laut territorial masing-masing negara

itu diukur. Ketentuan ayat ini tidak akan berlaku, apabila perlu

berdasarkan alasan hak historis atau keadaan khusus lain untuk

menentukan garis batas laut teritorial dari kedua Negara dengan cara

yang berbeda (at variance) dengan ketentuan itu.

Secara singkat aturan rangkap tiga (the triple rule) mengenai

‘agreement-equidistance-special circumstances’ berlaku pada delimitasi

laut territorial. Aturan rangkap tiga tersebut juga dapat ditemukan dalam

pasal 6 Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen. Pasal 6 ayat 1,

yang mengatur delimitasi dari pantai yang saling berhadapan,

menetapkan bahwa :

“ Apabila landas kontinen yang sama adalah berbatasan (adjacent) dengan wilayah dari dua Negara atau lebih yang pantainya saling berhadapan (opposite), maka garis batas landas kontinen yang dimiliki oleh masing-masing Negara harus ditentukan dengan persetujuan di antara Negara-negara yang bersangkutan. Dalam hal tidak terdapat persetujuan, dan kecuali garis batas lain dibenarkan karena adanya keadaan-keadaan khusus, maka garis batas itu adalah ‘median line’, di mana setiap titiknya adalah sama jaraknya dengan titik terdekat garis pangkal dari mana lebar laut territorial masing-masing negara diukur”.

Page 135: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

121

Pasal 6 ayat 2 Konvensi yang sama, yang menyangkut delimitasi

landas kontinen antarnegara yang pantainya saling berdampingan,

menetapkan:

“Apabila landas kontinen yang sama berbatasan (adjacent) dengan wilayah dari dua Negara yang berdampingan (adjacent), maka garis batas landas kontinen harus ditentukan dengan persetujuan di antara Negara-negara tersebut. Dalam hal tidak ada persetujuan dan kecuali garis batas lain dibenarkan karena adanya keadaan-keadaan khusus, maka garis batas landas kontinen harus ditentukan dengan menerapkan prinsip sama jarak (the principle of equidistance) dari titik terdekat garis pangkal dari mana lebar laut territorial masing-masing negara diukur”. Kecuali untuk menggunakan kata-kata ‘the median line’ untuk

Negara-negara yang pantainya saling berhadapan (opposite coasts) serta

prinsip sama jarak (the principle of equidistance) untuk Negara-negara

yang pantainya saling berdampingan (adjacent coasts), maka pasal 6 ayat

1 dan 2 berisi aturan yang sama, yaitu ‘agreement-equidistance (median-

line)-special circumstances’.

Benarlah ada beberapa perbedaan antara pasal 12 Konvensi Laut

Teritorial dan Jalur Tambahan dengan pasal 6 Konvensi Landas Kontinen.

Berlainan dengan pasal 6 Konvensi Landas Kontinen, maka pasal 12

Konvensi Laut Teritorial dan Jalur Tambahan menekankan

‘equidistance’ dengan cara negatif dengan menyatakan apabila di antara

mereka tidak tercapai persetujuan yang menyatakan sebaliknya (failing

agreement between them to the contrary).112

112

Menurut Judge Sorensen, formulasi yang lebih tepat mungkin adalah formulasi negative, yang didasarkan atas model Pasal 12 Konvensi Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Tidak ada Negara yang mempunyai hak untuk memperluas area landas

Page 136: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

122

Selanjutnya, walaupun pasal 6 Konvensi Landas Kontinen

membedakan istilah ’equidistance’ dan ‘median line’ sebagai sesuatu yang

cocok dengan keadaan dari pantai yang saling berdampingan dan saling

berhadapan (adjacent and opposite coasts), secara berurutan pasal 12 (1)

Konvensi Laut Teritorial dan Jalur Tambahan menggunakan kata-kata

yang sama, yaitu ‘the median line every point of which is equidistant from

the nearest points on the baselines’ guna menentukan batas-batas laut

territorial Negara-negara yang pantainya saling berdampingan dan saling

berhadapan (delimitation of adjacent and opposite coasts). Di samping itu,

dalam pasal 6, tidak menunjuk hak historis (historic title) sebagai suatu

keadaan khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan seperti itu,

aturan yang sesungguhnya berlaku adalah sama, yaitu, aturan rangkap

tiga mengenai ‘agreement-equidistance-special circumstances’.

Menyangkut ciri-ciri penting dari ketentuan-ketentuan ini, dua hal

bisa dilakukan. Pertama, dengan menetapkan aturan rangkap tiga (the

triple rule); kedua Konvensi Geneva mengadopsi sebuah model yang

didasarkan atas aturan umum dari ‘equidistance-special circumstances’,

dan aturan seperti ini berlaku dalam hal tidak ada suatu ‘agreement’.

Dengan demikian model penyelesaian yang bersifat kasuistis (the case by

case solution) tidak sepenuhnya mendapat dukungan para peserta

UNCLOS I, meskipun dalam rancangan persiapannya (travaux

kontinennya di luar garis yang setiap titiknya sama jaraknya dari pantai. Dissenting Opinion dari Judge Sorensen dalam “the North Sea Continental Shelf cases, ICJ Reports 1969, Hlm. 252.

Page 137: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

123

preparatoires) terdapat argumen-argumen yang mendukung delimitasi

yang hanya didasarkan atas persetujuan.113

Kedua, tampaknya konsep keadilan (the concept of equity) menjadi

landasan bagi kedua ketentuan itu. Dalam hal ini, harus diperhatikan fakta

bahwa kedua ketentuan menunjuk pada ‘special circumstances’.

Referensi seperti ini jelas dimaksudkan untuk mengoreksi hasil yang tidak

wajar (inequitable results) akibat mekanisme berlakunya metode

‘equidistance’114. Inilah makna dari konsep ‘special circumstances’. Dalam

hubungan ini dapat dikatakan bahwa referensi pada ‘special

circumstances’ dimaksudkan untuk mencapai hasil yang wajar.

Sebagaimana diperlihatkan di bawah, pandangan seperti itu didukung

juga oleh putusan dalam perkara Anglo-French Continental Shelf’115.

Aturan rangkap tiga yang dirumuskan di atas perlu dikomentari.

Pertama, seseorang bisa berpendapat bahwa referensi ‘agreement’ dapat

diabaikan apabila sudah terbukti dengan sendirinya (self-evident).

113

Yoshifumi Tanaka, Op., Cit., Hlm. 39

114 Although the equidistance method was referred to in the 1958 Convention on

the Continental Shelf, its application was not assured, as the method often did not produce a delineated boundary line in keeping with the parties’ notion of equity. One reason for this undeniably disappointing result is that when an equidistance line moves away from the baseline the inequity of the partitioned areas often increases. An offshore island may occasion an increasingly inequitable portion of the continental shelf falling to it further offshore. Lihat Wijnand Langeraar, Maritime Delimitation The Equiratio method a new approach, (Marine Policy January 1986, Hlm. 5.

115 Clive R. Symmons, op,cit., Hlm. 133-134. Mahkamah Arbitrasi secara implisit

tampaknya menerima pendapat Inggeris mengenai arti pulau yang terdapat dalam konvensi, tetapi Mahkamah Arbitrasi menekankan fakta bahwa ‘the Channel Islands’ bukanlah merupakan ‘semi-independent States’ yang dengan sendirinya memiliki hak atas landas kontinennya sendiri berhadapan dengan Republik Perancis suatu status (seperti ‘island territories’ milik Inggris) yang menurut pendapat Mahkamah tidak mengabaikan relevansi ukuran dan pentingnya pulau tersebut.

Page 138: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

124

Terkecuali Negara-negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan

jus cogens, Negara-negara senantiasa bebas untuk menutup ataupun

tidak menutup suatu perjanjian. Namun referensi ‘agreement’ sekurang-

kurangnya bermanfaat karena secara tidak langsung menyatakan

delimitasi yang dilakukan secara sepihak (unilateral delimitation) dianggap

tidak sah (valid).

Kedua, hubungan antara ‘equidistance’ dan ‘special circumstances’

dalam masing-masing ketentuan bisa menjadi sebuah persoalan.

Mengenai masalah ini tampaknya ada dua pandangan yang saling

bertentangan. Pandangan pertama menemukan suatu hirarki dalam dua

unsur ini. Secara teoritis, terdapat dua kemungkinan : ‘equidistance’

sebagai sebuah azas atau prinsip dan ‘special circumstances’ sebagai

sebuah pengecualian, atau sebaliknya ‘special circumstances’ sebagai

sebuah prinsip dan ‘equidistance’ sebagai sebuah pengecualian.

Dari aspek rancangan persiapan (travaux preparatoires), maka

kemungkinan yang disebut pertama tampaknya masuk akal (reasonable).

Dalam uraian mengenai artikel 12, yang menetapkan aturan delimitasi laut

territorial, ILC menyebut bahwa ‘meskipun Komisi mencatat bahwa

‘special circumstances’ mungkin mengharuskan untuk sering bertitik tolak

dari garis tengah yang pasti (the mathematical median line), Komisi itu

berpikir sebaiknya memakai (adopt) sebagai aturan umum, system

‘median line’ sebagai landasan untuk menentukan garis batas116.

116

Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm. 40-41

Page 139: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

125

Selanjutnya mengenai delimitasi landas kontinen, ILC menyatakan

pada 1953 bahwa ILC kini merasa dalam posisi untuk merumuskan suatu

aturan umum (general rule), yang didasarkan atas prinsip sama jarak (the

principle of equidistance), yang berlaku pada garis batas landas kontinen

baik dari negara-negara yang pantainya saling berdampingan maupun

dari Negara-negara yang pantainya saling berhadapan satu sama lain.

Menurut pandangan kedua, hubungan antara ‘equidistance’ dan

‘special circumstances’ tidak dapat dilihat sebagai hubungan hirarkis.

Mengenai pandangan kedua, mungkin ada dua macam penafsiran.

Pertama, beberapa orang berpendapat bahwa apabila terdapat ‘special

‘circumstances’, maka tidak ada ruang bagi ‘equidistance’. Sebaliknya

apabila tidak terdapat ‘special circumstances’, maka akan berlaku metode

‘equidistance’. Dengan kata lain, pandangan ini menganggap

‘equidistance’ dan ‘special circumstances’ mempunyai sifat eksklusif

secara timbal balik (mutually exclusive).

Menurut pandangan lain, ‘equidistance’ dan ‘special circumstances’

bukanlah dua aturan yang terpisah dan berdiri sendiri, melainkan satu

kesatuan yang dimaksudkan untuk mencapai hasil yang wajar dan adil.

Sebagaimana akan dijelaskan kemudian, ini adalah pendapat dari

Mahkamah Arbitrasi dalam kasus ‘the Anglo-French Continental Shelf’

pada 1977. Pendapat ini akan memunculkan metode delimitasi maritim

melalui dua tahap, yaitu setelah menerapkan untuk sementara metode

‘equidistance’ pada tahap pertama, maka garis yang ditarik untuk

Page 140: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

126

sementara harus disesuaikan kemudian, dengan memperhatikan

keadaan-keadaan khusus117.

Secara teoretis, semua interpretasi tersebut tampaknya mungkin,

dan sulit mendapatkan jawaban pasti (authoritative answer) dalam

kerangka Konvensi. Akan tetapi masalah lebih penting yang harus diingat

adalah mempertimbangkan bagaimana menerapkan ketentuan-ketentuan

tersebut dalam ‘case law’ dan praktek negara, dan apa hubungan antara

ketentuan-ketentuan perjanjian dan hukum kebiasaan terkait metode

delimitasi maritim.

Poin ketiga yang harus diuji adalah konsep ‘special circumstances’.

Dari diskusi-diskusi di dalam ILC maupun UNCLOS I, nyatalah bahwa

konsep ‘special circumstances’ dimaksudkan untuk menghindari hasil

yang tidak wajar akibat mekanisme penggunaan metode equidistance.

Akan tetapi masalahnya adalah bahwa seluk-beluk atau rincian mengenai

‘special circumstances’ adalah jauh dari jelas, atau dengan lain perkataan

sama sekali tidak jelas.

Benarlah beberapa contoh yang dianggap sebagai special

circumstances dapat ditemukan dalam diskusi-diskusi di ILC dan UNCLOS

I. Misalnya mengenai delimitasi laut territorial, laporan dari ‘the Committee

of Experts’ yang dikonsultasikan oleh ILC menunjukkan kepentingan

navigasi dan penangkapan ikan sebagai contoh dari ‘special

circumstances’.

117

Ibid., Hlm. 41

Page 141: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

127

Selama UNCLOS I, delegasi Kerajaan Inggeris mengemukakan,

berbagai contoh mengenai ‘special circumstances’, konfigurasi pantai-

pantai tertentu, terusan atau selat yang dapat dilewati kapal (navigable

channels), dan pulau-pulau (islands). Di samping itu, delegasi Jerman

mengusulkan agar ditambahkan ‘historical rights’. Dalam konteks

delimitasi landas kontinen, ILC menyebut satu demi satu konfigurasi

pantai yang luar biasa serta pulau-pulau maupun terusan yang dapat

dilayari sebagai contoh-contoh terkait keadaan khusus (special

circumstances).

Selama UNCLOS I delegasi Kerajaan Inggeris mengusulkan agar

kehadiran pulau kecil atau besar, hak-hak untuk mengeksploitasi mineral

tertentu atau hak-hak perikanan, dan keberadaan terusan dan selat yang

dapat dilayari adalah contoh-contoh special circumstances. Namun

demikian ciri-ciri seperti ini semata-mata bersifat illustratif, dan bahwa

tidak ada definisi yang pasti (authoritative definition) mengenai ‘special

circumstances’ memang benar adanya.

Mengenai aturan delimitasi zona tambahan dan perairan

pedalaman, dua hal harus dicatat. Pertama, berkenaan dengan delimitasi

zona tambahan, maka pasal 24 (3) Konvensi Geneva mengenai Laut

Teritorial dan Jalur Tambahan menentukan suatu aturan delimitasi yang

berbeda daripada aturan yang mengatur laut territorial dan landas

kontinen.

Page 142: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

128

Apabila pantai dari dua negara saling berhadapan atau saling

berdampingan satu sama lain, tak satu pun dari kedua Negara yang

berhak, terkecuali di antara mereka ada persetujuan sebaliknya, untuk

memperluas zona tambahannya melebihi garis tengah yang setiap titiknya

adalah sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari mana

lebar laut territorial kedua negara itu diukur. Dengan demikian metode

‘equidistance’ murni berlaku pada delimitasi zona tambahan. Tidak

adanya sebutan ‘special circumstances’ mungkin disebabkan karena

terbatasnya kewenangan Negara pantai di zona tambahan.

Kedua, Konvensi-Konvensi Geneva tidak menyebutkan delimitasi

perairan pedalaman (internal waters). Dengan mempertimbangkan bahwa

Negara pantai bahkan mempunyai kewenangan yang lebih luas di

perairan pedalamannya dari pada di laut teritorialnya, tampaknya dapat

menerapkan aturan rangkap tiga dengan cara analogy pada perairan

pedalaman yang dimiliki oleh dua negara pantai yang berbatasan..

M. Pengaturan Hukum Delimitasi Maritim berdasarkan Konvensi

Hukum Laut 1982

M.1. Azas-azas Delimitasi Maritim

KHL 1982 berbeda dari Konvensi Geneva 1958 dalam tiga hal.

Pertama, hukum yang berlaku pada delimitasi landas kontinen dipisahkan

dari hukum mengenai delimitasi laut territorial. Walaupun delimitasi laut

territorial diatur dengan aturan rangkap tiga yang sifatnya tradisional

(pasal 15), namun delimitasi landas kontinen harus mengikuti aturan yang

Page 143: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

129

berbeda. Kedua, delimitasi zona tambahan tidak lagi disebut di dalam teks

Konvensi, dan dengan demikian aturan yang berlaku pada zona tambahan

tetap tidak jelas. Ketiga dan paling penting, pasal 74 (1) dan 83 (1) KHL

1982 merumuskan aturan yang identik untuk delimitasi landas kontinen

maupun delimitasi ZEE.

Delimitasi ZEE atau landas kontinen di antara Negara-negara

dengan pantai yang saling berhadapan atau berdampingan satu sama lain

harus dilakukan melalui persetujuan atas dasar hukum internasional,

sebagaimana dinyatakan dalam pasal 38 Statuta ICJ, agar tercapai

sebuah solusi yang patut dan adil (equitable solution). Dengan demikian

delimitasi zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen diatur dengan

aturan yang sama.

Sebelum menganalisis pasal-pasal 74 (1) dan 83 (1), maka perlu

dikemukakan secara singkat mengenai sejarah terbentuknya (legislative

history) ketentuan-ketentuan tersebut. Sejak awal tidak terdapat

kesepakatan di antara para pendukung ‘equidistance’ dan para

pendukung ‘equitable principles’. Khususnya, pertentangan ini ditunjukkan

dengan jelas melalui dua proposal yang saling bertentangan yang dibuat

di dalam Negotiating Group 7 (NG 7) pada sidang ke tujuh pada 1978.

Salah satu usulan didasarkan atas ‘equidistance’ sebagai suatu aturan

umum, dan usulan ini diajukan oleh 20 negara:118

118

The delimitation of the Exclusive Economic Zone/ Continental Shelf between adjacent or opposite States shall be effected by agreement employing as ageneral principle, the median or equidistance line, taking into account any special circumstance where this is justified.

Page 144: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

130

’Delimitasi ZEE / Landas Kontinen di antara negara-negara yang saling berdampingan atau berhadapan satu sama lain harus dilakukan dengan persetujuan yang menggunakan garis tengah atau garis sama jarak sebagai suatu prinsip umum dengan memperhitungkan setiap keadaan khusus apabila hal ini dibenarkan’. Usulan lainnya berpedoman dan mengandalkan persetujuan yang

diadakan menurut ‘equitable principles’, dan usulan ini didukung oleh 27

negara :119

‘Delimitasi ZEE / landas kontinen di antara negara-negara yang saling berdampingan dan atau berhadapan satu sama lain harus dilakukan dengan persetujuan sesuai dengan ‘equitable principles’, sambil memperhitungkan semua keadaan relevan dan mempergunakan setiap metode, apabila perlu, guna mencapai suatu ‘equitable solution’.120 Sementara formula pertama mengadopsi ‘equidistance-special

circumstances model’ demi untuk kepentingan menjamin ‘predictability’,

formula kedua mengikuti model penyelesaian yang bersifat kasuistis (case

by case solution model) yang menekankan ‘flexibility’. Dalam pengertian

ini, bisa dikatakan bahwa perbedaan nyata (the marked difference) di

antara kedua kelompok mencerminkan adanya dilemma antara

‘predictability and flexibility of law’.

Meskipun dalam sidang ini, Ketua NG7, Ero J. Manner

mempersiapkan usulan informal, tidak terwujud kompromi di antara

119

The delimitation of the exclusive economic zone between adjacent or/ and opposite States shall be effected by agreement, in accordance with equitable principles, taking into account all relevant circumstances and employing any methods, where appropriate, to lead to an equitable solution.

120 KI Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritim Boundary

Delimitation, (Edinburgh: School of Law, the University of Edinburgh) Background Document for 4

th March 2011 Presentation, Hlm.4 - 5; Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm. 45.

Page 145: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

131

mereka yang mendukung ‘equidistance’ dan mereka yang mendukung

‘equitable principles’. Mengenai hal ini harus diperhatikan bahwa

pertentangan antarkedua kelompok dikaitkan dengan inti masalah lain

yang sulit, masalah penyelesaian sengketa secara damai.

Para pendukung ‘equidistance’, mendukung ditetapkannya system

yang bersifat memaksa oleh pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa

delimitasi. Sebaliknya para pendukung ‘equitable principles’ pada

umumnya menolak gagasan acara peradilan yang bersifat memaksa.

Konfrontasi di antara kedua kelompok itu tidak terselesaikan

selama sidang ke-8 pada 1979. Perbedaan-perbedaan yang terkait

mekanisme penyelesaian secara damai tidak dapat diselesaikan. Dalam

sidang ke-9 pada 1980, Ketua NG7 mengajukan sebuah usulan :

‘Delimitasi ZEE (Landas Kontinen) di antara negara-negara dengan pantai

yang saling berhadapan atau berdampingan satu sama lain harus

dilakukan dengan persetujuan sesuai dengan hukum internasional.

Persetujuan seperti ini harus sesuai dengan ‘equitable principles’, yang

menggunakan garis tengah atau garis sama jarak (the median or

equidistance line), apabila memang perlu, dan memperhatikan semua

keadaan yang ada dan berlaku di daerah yang bersangkutan.

Usulan itu lalu menjadi pasal 74/83 dalam ‘the Informal Composite

Negotiating Text (ICNT) / Revision 2 of 11 April 1980’. Namun demikian

teks tersebut tetap kontroversial dan tidak dicapai kesepakatan mengenai

Page 146: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

132

hal seperti itu. Untuk kelompok yang ‘pro-equitable principles’, ketentuan-

ketentuan itu tidak dapat diterima karena bersandar pada ‘equidistance’.

Negara-negara yang ‘pro-equidistance’ tidak puas dengan teks

tersebut karena menurut ICNT / Revision 2, sengketa yang berhubungan

dengan delimitasi garis batas laut, melalui deklarasi, dapat dikecualikan

dari prosedur yang bersifat memaksa (compulsory procedure), meskipun

konflik sedemikian dapat diserahkan kepada konsiliasi. Disebabkan

pertentangan antara kedua aliran pemikiran, malahan satu tahun sebelum

Konvensi baru diadopsi, tidak tercapai persetujuan menyangkut aturan

yang berlaku pada delimitasi ZEE dan landas kontinen.

Untuk memecahkan kebuntuan ini (deadlock), pada 1981 Presiden

Koh mengusulkan sebuah ‘draft article’ yang dapat menghasilkan

kompromi. Presiden Koh menjelaskan bahwa dirinya mendapat kesan

(impression) bahwa proposal yang telah dikemukakan di atas memperoleh

dukungan luas dan substansial dari kedua kelompok delegasi yang paling

berkepentingan maupun dari Konferensi secara keseluruhan.

Pada 28 Agustus 1981, ‘draft article’ itu dituangkan ke dalam ‘Draft

Convention’, yang menjadi Konvensi Hukum Laut 1982 yang diadopsi

pada 30 April 1982 (the UN Convention on the Law of the Sea). Dengan

beberapa modifikasi yang disarankan oleh Panitia Perancang dan

disetujui oleh Sidang Pleno (the Plenary Conference) pada 24 September

1982, teks tersebut akhirnya menjadi pasal 74 (1) dan 83 (1) dalam

Page 147: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

133

Konvensi Hukum Laut121. Seperti diketahui kedua ketentuan itu membawa

permasalahan dalam berbagai hal.

Persoalan paling serius dengan ketentuan-ketentuan ini adalah

tidak adanya ketegasan (specificity) soal metode delimitasi maritim sebab

pasal 74 (1) dan 83 (1) menghilangkan setiap referensi mengenai metode

delimitasi. Dalam hal tidak terdapat suatu metode delimitasi, maka

ketentuan-ketentuan ini tetap tidak bermakna dalam situasi tertentu.

Selanjutnya, penggunaan istilah ‘in order to achieve an equitable

solution’ bersama dengan ‘agreement’ bertentangan dengan aturan

hukum internasional, yang menurut aturan ini Negara-negara bisa secara

bebas menentukan isi persetujuan dalam hal tidak ada jus cogens. Tidak

dinyatakan bahwa pasal 74 (1) dan pasal 83 (1) adalah jus cogens.

Demikian Negara-negara dapat secara bebas menutup suatu persetujuan

meskipun tidak patut dan adil.

Karena konsep ‘equitable solution’ sangat kabur, maka referensi ini

hanya memberi sedikit pengertian. Lagi pula pada pemandangan pertama,

pasal 74 dan 83 menganjurkan delimitasi harus dilakukan hanya dengan

persetujuan, tetapi penafsiran seperti ini tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam realitasnya berbagai sengketa delimitasi maritim diajukan di depan

ICJ atau pengadilan arbitrasi, dan hukum kasus (case law) memainkan

peranan penting dalam hukum delimitasi maritim. Berdasarkan fakta-fakta

ini, maka wajar disimpulkan bahwa pasal 74 dan pasal 83 tidak

121

Ibid., Hlm. 47

Page 148: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

134

dimaksudkan untuk mengenyampingkan ‘judicial settlement’ dalam hal

tidak ada perjanjian. Kedua pasal ini justru membuka peluang bagi para

pihak untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa delimitasi

maritim lewat arbitrasi atau peradilan internasional apabila ada

kesepakatan.

M.2. Konsep Garis Batas Maritim Tunggal (Single Maritime Boundary)

Dalam perkara di depan Mahkamah, negara-negara bisa memohon

kepada Mahkamah untuk menentukan garis batas maritim tunggal (single

maritime boundary) untuk landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.

Hal ini muncul dalam kasus Qatar v. Bahrain. Garis seperti ini memberikan

keuntungan karena pengaturan atau regulasinya sederhana. Konvensi-

konvensi Geneva 1958 dan KHL 1982 tidak menunjuk konsep ‘single

maritime boundary’. Namun ternyata dalam kasus Qatar v. Bahrain,

Mahkamah melihat bahwa :

‘the concept of a single maritime boundary does not stem from multilateral treaty law but from State practice, and . . . finds its explanation in the wish of States to establish one uninterrupted boundary line delimiting the various-partialy coincident zones of maritime jurisdiction appertaining to them’122. Konsep garis batas maritim tunggal (single maritime boundary)

tidak berasal dari hukum perjanjian multilateral, tetapi berasal dari praktek

negara-negara, dan konsep seperti ini dapat dijelaskan dari keinginan

negara-negara untuk menetapkan satu macam garis perbatasan yang

122

SHI Jiuyong, Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the ICJ Downloaded from http://chinesejil.oxfordjournals.org/ at University Library Utrecht on November 15, 2012.

Page 149: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

135

tidak terputus yang menentukan berbagai zona yurisdiksi maritim milik

Negara-negara yang bersangkutan walaupun untuk sebagian bisa

bersamaan atau bertepatan (coincident).

Ketika zona yurisdiksi itu bertepatan, maka penentuan satu macam

garis batas untuk berbagai obyek delimitasi hanya dapat dilaksanakan

dengan menerapkan kriteria atau kombinasi kriteria yang tidak

memberikan perlakuan istimewa kepada salah satu obyek delimitasi

sehingga merusak obyek lain, dan pada waktu bersamaan obyek

delimitasi itu adalah sedemikian sehingga sesuai dengan bagian setiap

zona, telah ditetapkan oleh Mahkamah dalam the Gulf of Maine case123.

In that case, the Chamber was asked to draw a single line which would delimit both the continental shelf and the superjacent water column124. Berdasarkan hal-hal tersebut, tampaknya satu-satunya keuntungan

dari pasal 74 dan pasal 83 adalah pasal-pasal ini menyebabkan timbulnya

kompromi di antara kedua aliran pemikiran dan menetapkan beberapa

macam aturan delimitasi dalam Konvensi yang baru125. Kedua artikel yang

123

ICJ Reports, 1984, para. 194, Hlm. 327.

124 Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain,

Merits, Judgment, ICJ Reports 2001, Hlm. 93 para.173.

125 Hukum delimitasi maritim dapat dikatakan telah berkembang melalui tiga

tahapan : Tahap pertama sebelum tahun 1958 ketika aturan hukum internasional yang mengatur delimitasi wilayah maritim tidak terkodifikasi. Hukum kebiasaan internasional hanya mengakui kedaulatan Negara pantai atas perairan yang berdekatan dengan pantainya (umumnya sampai jarak 3 mil laut), yaitu laut territorial. Beberapa Negara juga mengklaim suatu zona laut bebas yang bersinggungan atau berdekatan dengan laut territorial (atau zona tambahan dengan tujuan untuk mencegah dan menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, imigrasi, fiskal dan kesehatan. Pada saat yang sama tidak terdapat hukum kebiasaan menyangkut hak untuk menjalankan kedaulatan di bagian-bagian laut di luar laut territorial. Tahap kedua antara tahun 1958 dan 1982 ketika hukum delimitasi maritim diatur oleh ‘the 1958 Geneva

Page 150: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

136

dapat dikatakan identik formulasinya dimaksudkan agar delimitasi maritim

di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dilakukan melalui

perjanjian berdasarkan kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana

tertera dalam pasal 38 Statuta ICJ dengan tujuan untuk mencapai solusi

yang berkeadilan (equitable solution).

Selama belum tercapai persetujuan delimitasi maritim di daerah

yang dipersengketakan (disputed area), dapat dibuat pengaturan yang

bersifat sementara (provisional arrangement). Namun pengaturan seperti

ini tidak boleh menghalangi dan membahayakan tercapainya perjanjian

yang bersifat final dan permanen. Kedua pasal ini tidak menegaskan

metode seperti apa yang dapat digunakan untuk menentukan garis batas

maritim baik yang bersifat tunggal (single maritime boundary) yang

berlaku di landas kontinen dan sekaligus di zona ekonomi eksklusif

maupun garis batas maritim yang bersifat terpisah (separate boundary) di

Conventions’ (the Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone, the Convention on the High Seas, the Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas, the Convention on the Continental Shelf). Selama fase kedua laut territorial yang lebarnya 12 mil laut semakin mendapat pengakuan dari Negara-negara, sebagaimana hak negara-negara atas landas kontinen. Tahap ketiga yang terjadi kemudian sampai tahun 1982, ketika Konvensi Hukum Laut 1982 ditutup menambah pada laut territorial, zona tambahan dan landas kontinen, yaitu daerah laut yang keempat yang dinamakan zona ekonomi eksklusif. Selama perkembangan hukum delimitasi maritim, timbul ketegangan antara dua metode delimitasi yang jelas berbeda. Berdasarkan metode ‘equidistance line’, maka garis batas maritim di antara Negara-negara harus mengikuti ‘median line’yang setiap titiknya sama jauhnya dari titik-titik terdekat di pantai. Metode lain mencoba mengatasi ketidakadilan (inequities) yang bisa terjadi dalam delimitasi berdasarkan équidistance’ (terutama dalam hal pantai yang berdampingan ataupun berhadapan satu sama lain) dan menganjurkan delimitasi berdasarkan azas kepatutan atau yang mendatangkan hasil yang wajar (equitable results). Pendekatan yang diadopsi berdasarkan hukum kebiasaan internasional dan Konvensi Hukum Laut, dan diterapkan oleh Mahkamah, dapat dikatakan merupakan kombinasi atau perpaduan antara kedua metode delimitasi. See SHI Jiuyong, The Wang Tieya Lecture in Public International Law : Maritim Delimitation in the Jurisprudence of the International Court of Justice, 2010, http://chinesejil.oxfordjournals.org/at University Library Utrecht on November 15, 2012, Hlm. 273 – 274.

Page 151: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

137

masing-masing zona yang dipersengketakan. Namun demikian berbagai

kasus delimitasi maritim di depan Mahkamah ataupun Arbitrasi

Internasional menunjukkan bahwa metode delimitasi, seperti ‘median line’

untuk negara-negara yang pantainya saling berhadapan (opposite States),

‘equidistance line’ untuk negara-negara yang pantainya saling

berdampingan (adjacent states) tetap mempunyai peranan penting dalam

menyelesaikan garis batas maritim (single boundary or separate

boundary)126.

Mahkamah atau tribunal internasional tidak jarang menggunakan

metode ‘median dan equidistance line’ sebagai cara untuk membuat

pengaturan delimitasi yang sifatnya sementara, sepanjang menurut

pandangan Mahkamah metode seperti itu dapat mendatangkan hasil yang

wajar (equitable result) bagi para pihak. Di samping itu dalam perkara

delimitasi maritim, Mahkamah atau tribunal internasional dapat pertama-

tama menarik ‘equidistance line’ di antara kedua wilayah pantai yang

berhadapan atau berdampingan satu sama lain. Kemudian

mengidentifikasi berbagai keadaan yang berada di sekitar para pihak dan

selanjutnya mempertimbangkan relevansinya dalam penentuan garis

batas maritim127. Penentuan garis batas maritim dengan memperhatikan

126

Accordingly, the single Qatar/Bahrain maritim equidistant (median) boundary was constructed by the Court in two sectors, comprising:· the southern sector of partially overlapping territorial seas, and· the northern sector of partially overlapping continental shelves and EEZs. See Barbara Kwiatkowska, The Qatar v. Bahrain Maritim Delimitation and Territorial Questions, Ocean Development & International Law, 33, Hlm. 240

127 Southern stretch of the boundary line. In the southern part of the delimitation

area, the Court, basing itself on the “equidistance/special circumstances” rule codified in Article 15 of the LoS Convention and corresponding to Article 12 of the 1958 Territorial

Page 152: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

138

keadaan-keadaan relevan (relevant circumstances) dilakukan dengan

cara sedemikian rupa sehingga dapat menghadirkan penyelesaian yang

adil (equitable solution).

N. Kesulitan Melakukan Delimitasi Maritim

N.1. Mare Clausum dalam Perdebatan (Mare Clausum in Dispute)128

Ketika Grotius menulis risalah Mare Liberum pada bulan Maret

1609, dia memulai sesuatu yang sangat kontroversial mengenai hukum

laut. Bagi Grotius, laut secara keseluruhan terlalu luas untuk dikuasai oleh

suatu bangsa atau ras dan oleh karena itu laut seharusnya dilihat sebagai

harta bersama (res communis) dan seharusnya terbuka bagi semua

bangsa. Meskipun Grotius dalam tulisannya yang terkenal ini terutama

bermaksud untuk menentang monopoli Portugis atas lintas pelayaran di

sekitar Tanjung Pengharapan (the Cape of Good Hope) serta

perdagangan dengan East Indies, kebebasan penangkapan ikan juga

merupakan suatu unsur penting dalam konsepnya tentang kebebasan laut

(the freedom of the sea)129.

Akan tetapi ketika Raja Inggeris James I dalam waktu kurang dari

dua bulan setelah terbitnya Mare Liberum, mengeluarkan pengumuman

Sea and Contiguous Zone Convention, followed “the most logical and widely practised” two-stage approach of:· first drawing a provisional equidistant line, and then · considering whether that line must be adjusted in the light of the existence of special circumstances in order to obtain an equitable result. See Barbara Kwiatkowska, The Qatar v. Bahrain Maritim Delimitation and Territorial Questions, Ocean Development & International Law 33, Hlm. 242.

128 Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritime

Delimitation, Studies in International Law, (Oxford and Portland Oregon : Hart Publishing, 2006), Hlm. 1-4; Sun Pyo Kim, Maritime Delimitation and Interim Arrangements in North East Asia, (The Hague/London/New York: Martinus Nijhoff Publishers, 2004), Hlm. 5-17.

129 Sun Pyo Kim, Maritime Delimitation and Interim Arrangement in North East

Asia, (The Hague/ London/ New York, Martinus Nijhoff Publishers, Hlm. 7 – 9.

Page 153: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

139

dengan melarang orang asing menangkap ikan tanpa izin di lepas pantai

Inggeris, maka sejak saat itu mulai dibedakan antara laut lepas (the high

seas) dan zona maritim (maritime zones) yang berada di bawah yurisdiksi

suatu Negara pantai. Seorang ahli hukum Skotlandia, Welwood, dalam

bukunya, ‘An Abridgement of all Sea-Laws’ yang dipublikasikan pada

tahun 1613, berusaha membuktikan argumen-argumen yang

dikemukakan dalam Mare Liberum itu adalah salah, dan menyatakan

bahwa orang-orang baru (strangers) seharusnya tidak menyebarkan dan

memecahkan kawanan ikan di pantai Skotlandia. Tampaknya Welwood

bermaksud untuk melindungi kepentingan orang Skotlandia dari

penangkapan ikan haring yang tidak ada regulasinya yang dilakukan oleh

nelayan Belanda di lepas pantai Skotlandia dan untuk mendukung Raja

James I. Welwood setuju dengan prinsip kebebasan laut yang bersifat

mutlak130.

Bagi Welwood kebebasan laut dapat diterapkan sepanjang

menyangkut ‘the main Sea’ atau ‘great Ocean’, yang adalah ‘far removed

from the just and due bounds above mentioned properly pertaining to the

nearest Land of every Nation’. Kemudian pada 1636 John Selden,

seorang ahli hukum Inggeris, mengikuti argumen itu dan menegaskan

hak-hak Raja Inggeris atas penguasaan laut-laut Inggeris (the Dominion of

the British seas). Melalui tulisannya yang termasyhur Mare Clausum 1636,

Selden menantang argumen Grotius, yang bertujuan untuk membatasi

130

Ibid, Hlm. 5 -6; R.P. Anand, Origin and Development of the Law of the Sea, History of International Law Revised, (The Hague/Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1983), Hlm. 72-74

Page 154: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

140

kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan asing di perairan lepas pantai

Inggeris. Akan tetapi ketika klaim yang dilakukan oleh Raja James I serta

keinginan Negara-negara lain atas penguasaan seperti itu samasekali

sudah tidak dapat diakui pada abad 18, maka Mare Liberum tampaknya

memenangi pertempuran melawan Mare Clausum.

Akan tetapi pada awal abad ke-18, masalah penguasaan laut (the

appropriation of the sea) ditempatkan pada pijakan lain dengan

munculnya konsep laut territorial. Seorang ahli hukum Belanda

Bynkershoek, dalam bukunya Dominion of the Sea yang dipublikasikan

pada 1704, menegaskan bahwa samudera terbuka tidak dapat dikuasai

secara menyeluruh, tetapi dia mengakui bahwa berbagai bangsa pada

masa-masa berbeda sudah menikmati penguasaan seperti itu.

Bynkershoek menetapkan dalil bahwa terrae dominium finitur, ubi finitur

armorum vis (penguasaan dari daratan berakhir, di mana kekuatan

tembakan senjata meriam berakhir)131.

Kaidah tembakan meriam (the cannon shot rule), yang

dimaksudkan untuk membatasi perairan territorial sampai 3 mil laut atau

satu liga secara kuat muncul dalam praktek komunitas internasional

hingga pertengahan pertama abad ke-20132.

Akan tetapi sejak pertengahan kedua abad ke-20, muncul gerakan

untuk memperluas yurisdiksi atas laut. Kemudian pertarungan antara

131

Ibid, Hlm. 76-77.

132 R.P. Anand, Origin and Development of the Law of the Sea, (The

Hague/Boston/London: Martinus Nijhoff publishers, 1983), Hlm. 72-73.

Page 155: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

141

Mare Liberum dan Mare Clausum memasuki babak baru. Kadang-kadang

gerakan perluasan yurisdiksi maritim dirangkaikan dengan keinginan

untuk memperluas laut territorial atau untuk menetapkan zona perikanan

eksklusif atau landas kontinen di luar laut territorial.

Ironis, Amerika Serikat yang menjadi pendukung kuat kaidah 3 mil

laut (3 n.m.) sebagai batas maksimal perairan territorial, menggembar-

gemborkan sebuah zaman baru dengan perluasan zona maritim setelah

Perang Dunia ll dengan mengeluarkan dua macam Proklamasi Truman.

Proklamasi Truman mengenai perikanan dan mengenai landas kontinen

pada bulan September 1945 menggerakkan perluasan zona-zona maritim.

Proklamasi landas kontinen menjelaskan bahwa Pemerintah AS

memandang sumber kekayaan alam dari dasar laut dan tanah di

bawahnya dari landas kontinen di bawah laut lepas tetapi berdekatan

(contiguous) dengan pantai AS adalah milik AS, dan oleh karena itu

tunduk pada yurisdiksi dan pengawasannya. Sedangkan proklamasi

mengenai perikanan mengklaim zona konservasi perikanan di perairan

yang berdekatan dengan laut territorial. Bersamaan dengan gerakan AS

untuk memperluas zona-zona maritim, Inggeris mengklaim daerah bawah

laut di laut lepas dari wilayah jajahannya dengan cara memperluas batas-

batasnya guna memasukkan landas kontinen yang berdekatan dengan

pantai wilayah jajahannya133.

133

Sun Pyo Kim, op.,cit., Hlm. 6

Page 156: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

142

Dengan mengikuti Proklamasi Truman, Negara pantai mulai

mengklaim daerah-daerah landas kontinen yang luas, dan dalam

beberapa hal, perairan yang berada di atas landas kontinen. Klaim seperti

ini pertama-tama berasal dari kawasan Amerika Latin. Gerakan untuk

memperluas yurisdiksi maritim hingga 200 mil laut (200 n.m.) melanda

Amerika Latin seperti wabah (epidemic) dari tahun 1945 sampai 1951 :

Meksiko, Argentina, Panama, Cile, Peru, Costa Rica, El Salvador dan

Honduras masing-masing mengklaim zona 200 mil laut pada periode ini.

Pada 1952, Cile, Equador dan Peru menandatangani ‘the Santiago

Declaration’. Negara-negara ini menyatakan Deklarasi itu sebagai prinsip

kebijakan internasionalnya bahwa setiap negara memiliki kedaulatan dan

yurisdiksi mutlak (sole sovereignty and jurisdiction) atas bagian laut yang

berbatasan dengan pantai masing-masing negara sampai jarak minimal

200 mil laut dari pantai.

Ketika Konferensi Hukum Laut PBB I (UNCLOS l) diadakan di

Geneva pada 1958, terdapat berbagai klaim atas lebar zona maritim suatu

negara pantai yang bervariasi antara 3 mil laut sampai 12 mil laut. Usulan

AS dalam UNCLOS l, yaitu laut territorial 6 mil laut ditambah zona

perikanan sejauh 6 mil laut gagal memperoleh mayoritas dua pertiga.

UNCLOS l gagal mencapai kesepakatan mengenai lebar maksimal dari

perairan territorial dan zona perikanan yang berdekatan. Akan tetapi

sebagai hasil dari UNCLOS l diadopsi empat buah konvensi.

Kecenderungan akan perluasan zona-zona maritim selanjutnya

Page 157: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

143

mendapatkan stimulus dari Konvensi Geneva mengenai Landas Kontinen

maupun Konvensi Geneva mengenai Penangkapan Ikan dan

Perlindungan Sumber Kekayaan Hayati di Laut Bebas dalam dua

aspek134.

Pertama-tama, Konvensi Geneva mengenai Landas Kontinen

mengakui hak Negara pantai yang melekat pada landas kontinen. Kedua,

Konvensi mengenai Penangkapan Ikan dan Perlindungan Sumber Daya

Hayati dari Laut Bebas mengakui bahwa negara pantai mempunyai

kepentingan istimewa dalam memelihara produktivitas sumber daya hayati

di setiap bagian laut yang berdekatan/berbatasan dengan laut

teritorialnya. Konvensi memperkenankan atau mengizinkan Negara pantai

mengadopsi aturan-aturan konservasi secara sepihak yang tepat bagi

suatu stok ikan atau sumber daya laut lainnya di suatu bagian laut bebas

yang berbatasan dengan laut territorialnya135.

UNCLOS II yang diadakan di Geneva 1960, juga gagal

menghasilkan kesepakatan batas maksimal (maximum limit) dari laut

territorial dan zona perikanan eksklusif. UNCLOS ll patut mendapat

sebutan bahwa dalam masa transisi (in the intervening period) antara

UNCLOS l dan UNCLOS lll beberapa Negara seperti Iraq, Panama, Iran,

Libya dan Eslandia (Iceland) memproklamirkan zona perikanan 12 mil

laut. Sekalipun UNCLOS ll gagal mencapai konsensus, AS dan Kanada

secara bersama mengusulkan formula laut teritorial 6 mil laut plus zona

134

Ibid., Hlm. 7 - 8. 135

Ibid, Hlm. 10 – 11.

Page 158: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

144

perikanan eksklusif 6 mil laut, tetapi usul bersama ini kekurangan satu

suara untuk mendapatkan persetujuan formal. Kegagalan UNCLOS ll

untuk menentukan batas maksimal laut territorial dan zona perikanan yang

berdekatan memberikan semacam pesan kepada kita bahwa pertarungan

antara Mare Liberum dan Mare Clausum masih akan memasuki fase lain.

Dengan mengikuti UNCLOS II terdapat gerakan Negara pantai

untuk memperluas yurisdiksi perikanannya. Terutama banyak Negara

memproklamirkan zona perikanan 12 mil laut, baik melalui tindakan

sepihak (unilateral act) atau melalui persetujuan bilateral. Dalam perkara

‘the Fisheries Jurisdiction cases’ 1974, di mana zona perikanan 50 mil laut

Eslandia mendapat tantangan oleh Inggeris dan Jerman, ICJ berusaha

untuk tidak membuat keputusan mengenai apa yang mungkin akan

dihasilkan UNCLOS lll tentang perluasan zona maritim (extended maritime

zones) karena keputusan atau pertimbangan ICJ dapat menjadi

keputusan sub specie legis ferende.

Akan tetapi Mahkamah melihat bahwa zona perikanan 12 mil laut

umumnya telah diterima sebagai kaidah hukum melalui praktek Negara-

negara yang mengikuti UNCLOS II. Namun harus diingat bahwa klaim

zona perikanan 12 mil laut adalah sesuatu yang sederhana yang

mempertimbangkan fakta bahwa ada sejumlah negara yang malahan

mengklaim zona 200 mil laut pada waktu itu. Pada akhir 1970 an gerakan

untuk memperluas klaim-klaim maritim cenderung lebih dikembangkan.

Misalnya, antara tahun 1969 dan 1982, 62 negara memproklamirkan zona

Page 159: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

145

ekonomi eksklusif 200 mil laut, 17 negara mengklaim zona perikanan

eksklusif 200 mil laut, dan 7 negara mengklaim laut territorial 200 mil laut.

Tampaknya gerakan ini juga dipengaruhi oleh UNCLOS yang berlangsung

dari tahun 1973 hingga 1982136.

Konvensi Hukum Laut yang diadopsi pada 1982 setelah

perundingan selama 11 tahun dalam UNCLOS lll, mengadopsi lembaga

laut territorial 12 mil laut dan ZEE 200 mil laut. Lembaga-lembaga ini

merupakan kompromi di antara keinginan dari beberapa Negara untuk

memperluas zona maritim nasional dan keinginan dari Negara-negara

maritim (naval powers) untuk mempertahankan laut territorial di dalam

batas 12 mil laut. Dari tahun 1982 sampai 1994, sekitar 40 negara

masing-masing mengklaim ZEE 200 mil laut. Kecenderungan seperti ini

berlangsung terus menerus. Misalnya, terakhir sebelum millennium baru,

Kanada, Korea Selatan, Jepang dan Denmark mengklaim masing-masing

ZEE nya 200 mil laut pada 1996 dan Cina mengklaim zona ekonominya

200 mil laut pada tahun 1998. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

ketentuan-ketentuan KHL 1982 yang memberikan Negara pantai hak

untuk menetapkan ZEE 200 mil laut sudah bukan merupakan sesuatu

yang baru dalam praktek komunitas internasional sehingga lembaga zona

200 mil laut kini sudah menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional.

Sekarang lebih dari 100 negara mengklaim ZEE 200 mil laut atau

zona perikanan. Perluasan yurisdiksi maritim oleh Negara-negara pantai

136

Ibid., Hlm. 8

Page 160: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

146

sampai 200 mil laut atau bahkan dalam hal landas kontinen menjadi

sumber persengketaan antarnegara yang pantainya saling berhadapan

atau berdampingan. Sejauh ini ICJ sudah menyelesaikan cukup banyak

kasus delimitasi maritim dan terdapat beberapa kasus seperti itu yang

diajukan di depan Mahkamah. Sampai pertengahan 1999, hanya 34,5%

garis batas maritim yang berpotensi untuk diputuskan secara keseluruhan

atau sebagian. Akan tetapi menentukan garis-garis batas maritim sulit

tercapai137, sebaliknya mengklaim perluasan zona maritim mudah

dilakukan. Hal ini berarti bahwa sengketa hanya bisa terjadi pada bagian-

bagian laut yang diklaim secara bersamaan (overlapping) oleh negara-

negara yang pantainya saling berhadapan ataupun berdampingan satu

sama lain.

N.2. Kesulitan Yang Melekat dalam Menetapkan Garis Batas ZEE/

Landas Kontinen138

137

The complexity of the delimitations derives not only from the particular geographical configuration of the coasts, the presence of islands (some of them being island states) and other particular geographic features, or from the presence of circumstances of a political, security, and economic nature, but also from the fact that most Mediterranean states, instead of having an exclusive economic zone, have proclaimed sui generis maritim zones. This leads to a situation where coastal states have a continental shelf, which consists of the seabed and subsoil, and a sui generis zone, which comprises the water column. The existence, within the same area, of maritim zones comprising either the seabed and subsoil or the water column may lead to overlapping or coincident zones. See Irini Papanicolopulu, A Note on Maritim Delimitation in a Multizonal Context ; The Case of the Mediterranean, Ocean Development and International Law, 38, 2007, (Milano, Italy: Taylor Francis Group, LLC, 2007), Hlm.383.

138 Clive R. Symmons, The Maritim Zones of Islands in International Law,

Developments in International Law (The Hague/Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1979), Hlm. 154.

Page 161: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

147

Tampaknya banyak faktor yang berperan yang menyebabkan

delimitasi garis batas maritim sulit dilaksanakan dalam praktek. Misalnya,

negara pantai dapat dengan mudah memilih strategi dengan menunda

melakukan delimitasi agar dapat menjaga dan memelihara pola

penangkapan ikan tradisional di daerah yang dipersengketakan (the

disputed area). Atau negara pantai dapat memilih kebijakan tidak berbuat

samasekali (do-nothing policy) karena dikhawatirkan bakal timbulnya

kecaman publik sesudah dilakukan delimitasi betapapun baiknya hasil

delimitasi yang mungkin tercapai. Meskipun kedua negara bertekad akan

menetapkan garis batas di bagian yang tumpang tindih, dapat terjadi

pertentangan mengenai prinsip-prinsip yang dapat digunakan dalam

menetapkan garis batas maritim dan kedua negara dapat memutuskan

artikel 74 ayat 1 dan 83 ayat 1 KHL 1982, yang masing-masing mengatur

prinsip delimitasi ZEE dan landas kontinen, artikel-artikel itu tidaklah jelas.

Meskipun mereka sepakat bahwa prinsip kepatutan atau keadilan (the

principle of equity) seharusnya digunakan dalam menetapkan garis batas

maritim, namun dapat muncul masalah-masalah berikut.

Apa yang merupakan faktor-faktor relevan (relevant

circumstances), maka meskipun kedua pemerintah sepakat atas faktor-

faktor relevan, masalah ke depan adalah bagaimana memperhitungkan

faktor-faktor relevan. Jika kedua Negara setuju dengan prinsip

equidistance untuk diterapkan dalam menetapkan garis batas maritim,

terdapat juga kemungkinan timbulnya persengketaan menyangkut

Page 162: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

148

validitas dari beberapa titik pangkal (some base points) dalam

menetapkan garis batas atau mengenai sejauh mana pengaruh dari titik

pangkal itu139.

Jika terjadi sengketa kedaulatan atas sebuah pulau yang berada di

dalam bagian yang dipersengketakan, kemudian delimitasi ini mungkin

tidak dapat dipecahkan secara politis. Berbagai faktor yang membuat

delimitasi garis batas maritim sulit dilakukan antara lain adalah sebagai

berikut A) tiadanya kaidah-kaidah yang jelas; B) sifat politis dari delimitasi

maritim; C) sengketa kedaulatan atas pulau; dan d) tidak efisiennya

penyelesaian sengketa.

N.3. Aturan Delimitasi Maritim tidak Jelas140

Seperti diketahui selalu terjadi ketegangan antara the equidistance

principle dan the equitable principle, dan selama UNCLOS lll setiap prinsip

gagal memenangkan pertarungan dalam memperoleh hak berupa

pengakuan (the titling battle) melawan yang lain. Ketentuan-ketentuan

tentang delimitasi dalam KHL 1982 secara sederhana merupakan hasil

yang bersifat kompromistis, dengan menghindari pemakaian kedua istilah

the principle of equidistance maupun the principle of equity sebab

rumusan yang dihasilkan dalam pasal 74 ayat 1 dan 83 ayat 1 KHL 1982

mengandung maksud untuk mewujudkan tercapainya penyelesaian yang

adil dalam menetapkan delimitasi garis batas maritim (equitable solution

139

Sun Pyo Kim, op,cit., Hlm. 9. 140

Clive R. Symmons, loc.cit.

Page 163: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

149

atau equitable result). Pasall 74 ayat 1 dan 83 ayat 1 KHL 1982

menentukan bahwa :

The delimitation of the exclusive economic zone/continental shelf between States with opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution. Berdasarkan formula baru ini, hanya satu hal yang jelas, garis

batas maritim (the maritime boundaries) seharusnya dilakukan dengan

persetujuan, yang dinyatakan dalam pasal 6 Konvensi Geneva dan

dipertegas dalam the North Sea Continental Shelf Cases. Di samping itu,

hal yang juga jelas adalah bahwa selama berlangsungnya negosiasi

muncul pendapat tentang makna dari ketentuan-ketentuan tersebut di

antara Negara yang menganut prinsip equidistance dan Negara lain yang

membantahnya atas dasar prinsip equity. Akan tetapi nyatalah ketentuan-

ketentuan KHL 1982 memberikan ruang (leave room) bagi pendapat dan

argumen seperti itu. Judge Oda menanggapi ketentuan-ketentuan itu tidak

efisien. Dia mengatakan bahwa :

Given, however, the difficulty of deriving any positive meaning from these provisions, it would seem that the satisfaction must be essentially of a negative kind, i.e., pleasure that the opposing school has not been expressly vindicated.141 Tidak jelasnya ketentuan-ketentuan itu adalah karena ketentuan-

ketentuan itu adalah hasil kompromi dalam UNCLOS lll, yang

dimaksudkan untuk mengakomodasi atau memuaskan kedua kelompok

yang bertentangan. Isu delimitasi garis batas maritim adalah salah satu

141

Sun Pyo Kim, op.,cit., Hlm. 10-11.

Page 164: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

150

isu sangat penting (hard-core) dari UNCLOS lll yang untuk isu ini

kelompok kecil tujuh perunding dibentuk pada sidang ke tujuh (1978), dan

Negotiating Group 7 (NG7) bertanggungjawab atas isu-isu delimitasi dan

prosedur penyelesaian sengketa. Negosiasi-negosiasi di NG7 didominasi

dengan pertentangan antara a pro-equidistance group and a pro-equitable

principle group. Usulan dari the pro-equidistance group’ berbunyi :

The delimitation of the Exclusive Economic Zone/Continental Shelf between adjacent or opposite States shall be effected by agreement employing, as a general principle, the median or equidistance line, taking into account of any special circumstances where this is justified (emphasis added). Akan tetapi proposal tandingan dibuat oleh ‘the pro-equitable

principles group’. Proposal ini berbunyi :

The delimitation of the Exclusive Economic Zone/Continental Shelf between adjacent or / and opposite States shall be effected by agreement, in accordance with equitable principles taking into account of relevant circumstances and employing any method, where appropriate, to lead to an equitable solution (emphasis added). 142 Jalan buntu dalam perundingan mengenai kaidah delimitasi

berlanjut terus bahkan dalam sidang kesepuluh yang dilanjutkan pada

1981, dan NG7 gagal menyelesaikan dilemma itu. Kemudian Presiden

UNCLOS lll, Duta Besar Tomy Koh dari Singapura mengambil inisiatif dan

menginstruksikan untuk memecahkan sebuah formula kompromi dengan

jalan menghindari setiap referensi pada prinsip equidistance atau prinsip

equitable. Ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan untuk menyenangkan

142

Ibid., Hlm. 10-11.

Page 165: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

151

kelompok penentang dengan cara negatif : kelompok penentang tidak

dibersihkan secara tegas, sebagaimana ditanggapi oleh Judge Oda. Duta

Besar Koh sendiri memohon kepada para delegasi UNCLOS lll untuk

menghindari membuat pernyataan yang menimbulkan penafsiran

(interpretative statements), karena pernyataan seperti itu dapat merusak

atau mengurangi apa yang telah dicapai setelah perundingan yang sulit143.

Meskipun tidak ditunjuk suatu prinsip tertentu dalam ketentuan-

ketentuan pasal 74 ayat 1 dan pasal 83 ayat 1, namun prinsip ini

ditunjukkan melalui kata-kata international law, as referred to in article 38

of the Statute of the International Court of Justice.

Sepintas ketentuan-ketentuan itu mempersoalkan mengapa

referensi seperti itu diperlukan karena referensi pasal 38 Statuta

umumnya dianggap sebagai pedoman bagi sumber-sumber hukum

internasional dan pengadilan internasional atau sebuah tribunal dapat

menerapkan hukum internasional sebagaimana ditentukan dalam pasal 38

Statuta. Mengenai hal ini, ada ucapan dari Manner, yang menjadi Ketua

NG7. Menurut Manner, referensi itu dimaksudkan: untuk menunjukkan

bahwa hukum internasional sebagai dasar perjanjian delimitasi, tidak

berbeda dari pada hukum yang diterapkan oleh Mahkamah Den Haag (the

Hague Court atau ICJ).

Memang konsistensi seperti itu cukup tepat, tetapi hal itu bisa

dipertanyakan apakah referensi Statuta memiliki arti (significance) dalam

143

Ibid., Hlm. 11.

Page 166: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

152

menerapkan secara praktis pasal-pasal relevan yang terdapat di dalam

Konvensi.

Fakta bahwa pasal 74 (1) dan 83 (1) dengan mudah menunjuk

pada hukum internasional yang dapat digunakan oleh ICJ, berarti bahwa

ketentuan-ketentuan itu tidak perlu merubah konten hukum kebiasaan

internasional mutakhir mengenai delimitasi, dan Negara-negara

seharusnya berpaling kepada hukum kebiasaan internasional yang

dikembangkan melalui kasus-kasus di ICJ dan tribunal internasional lain

menyangkut kaidah-kaidah delimitasi.

Evans melihat bahwa :144 ‘Meskipun ketentuan ini sudah hampir

vakum, ketentuan ini sudah diterima (endorsed) sebagai pernyataan

akurat mengenai hukum kebiasaan internasional sehingga dengan

sendirinya tidak menimbulkan persoalan lebih jauh. ICJ menyatakan

dalam kasus the Greenland / Jan Mayen Case mengenai ketentuan itu

bahwa :

That statement of an ’equitable solution as the aim of any delimitation process reflects the requirements of customary law as regards the delimitation both of continental shelf and of exclusive economic zones. (pernyataan mengenai penyelesaian yang adil sebagai tujuan dari setiap proses delimitasi mencerminkan perlunya hukum kebiasaan apabila menyangkut penentuan garis batas baik untuk landas kontinen maupun zona ekonomi eksklusif). Dalam konteks serupa, Professor Charney dari the University of

Vanderbit menekankan bahwa dalam hukum garis batas maritim

internasional, pertimbangan dan keputusan lebih menonjol antara lain

144

Ibid., Hlm. 11 Juga Clive R. Symmons, op. cit., Hlm. 156-157

Page 167: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

153

karena usaha-usaha kodifikasi tidak memberikan pedoman jelas (the

absence of clearer guidance from codification efforts)145.

Sebagaimana diketahui kedua kaidah yang identik tidak harus

berarti bahwa kedua garis batas itu harus sama. Agaknya penerapan

formula identik dapat menimbulkan dua garis batas yang berbeda satu

sama lain karena penyelesaian yang adil (equitable solution) bagi garis

batas landas kontinen mungkin tidak menjadi penyelesaian yang adil bagi

penentuan garis batas water column.

Sudah sewajarnya diamati bahwa meskipun ketentuan-ketentuan

Konvensi yang mengatur delimitasi landas kontinen dan ZEE adalah

sama, susunan kata-katanya rupanya tidak tepat untuk ketentuan-

ketentuan yang dapat diterapkan dengan lebih dari satu cara dan dengan

demikian untuk garis batas landas kontinen dan ZEE dapat (diterapkan)

berbeda.

Upaya negosiasi garis batas maritim untuk zona ekonomi eksklusif

dan landas kontinen di Laut Sulawesi dapat diarahkan untuk membangun

apakah garis batas tunggal (single maritime boundary) yang jatuh

bersamaan di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen ataukah garis

batas tersendiri (separate maritime boundary) untuk masing-masing zona.

Demikian pula metode apa yang akan digunakan dalam menetapkan garis

delimitasi, namun yang paling penting adalah apakah metode yang

digunakan dapat menghadirkan suatu penyelesaian yang adil (equitable

145

Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 12

Page 168: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

154

solution), dalam hal ini apakah dengan metode yang digunakan dapat

menjamin tercapainya hasil yang wajar (equitable result) sehingga harus

dipertimbangkan berbagai keadaan yang dianggap relevan dalam

mencapai solusi yang ‘equitable’.

Penyelesaian delimitasi maritim pada prinsipnya dikembangkan

melalui berbagai perjanjian bilateral serta melalui kasus-kasus delimitasi

yang ditangani dan diputuskan oleh Mahkamah Internasional dan tribunal

internasional karena ketentuan delimitasi laut territorial, landas kontinen

dan zona ekonomi eksklusif sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 15, 74

dan 83 dari KHL 1982 tidak jarang menimbulkan penafsiran dari Negara-

negara yang merasa berkepentingan akibat tidak jelasnya ketentuan-

ketentuan tersebut (ambiguous). Dengan demikian keuntungan dan

kerugian yang terkandung di dalam ketidakjelasan teks pasal-pasal

perjanjian adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari (something

inevitable)146.

Di samping itu berbagai kasus delimitasi maritim yang diajukan ke

depan Mahkamah Internasional kadang-kadang bertentangan satu sama

lain, bahkan menyangkut sebuah kasus delimitasi maritim di dalam

putusannya sering disertai dengan pendapat berbeda (dissenting opinion)

serta pendapat terpisah (separate opinion) yang disampaikan oleh

beberapa hakim Mahkamah Internasional. Tidak terkecuali kasus

Sipadan-Ligitan, yang menghadirkan pendapat terpisah dari Judge Oda

146

Ibid., Hlm.12

Page 169: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

155

yang sangat menguntungkan pihak Indonesia ke depan, khususnya dalam

mengantisipasi dan menghadapi implikasi putusan ICJ pada 2002 yang

bisa bermuara pada masalah delimitasi maritim di daerah yang dianggap

dipersengketakan di Laut Sulawesi.

N.4. Sifat Politis dari Delimitasi Maritim

Tidak ada garis batas yang tidak bersifat politis (There is no

boundary which is not political)147. Garis batas maritim, sebagaimana

halnya dengan garis batas daratan, adalah buah atau produk negosiasi

yang keras antarnegara tetangga, atau merupakan penghormatan

terhadap keputusan dari suatu pengadilan internasional. ICJ melihat

bahwa : suatu delimitasi, apakah delimitasi garis batas maritim atau

delimitasi garis batas daratan adalah suatu pekerjaan yang bersifat politis

yuridis (a legal-political operation).

Beberapa putusan politik penting harus dilakukan secara bertahap

dalam proses penentuan garis batas maritim. Oxman mengidentifikasi

empat putusan yang bersifat politis yang seharusnya dibuat dalam

hubungan dengan garis batas maritim : (i) keputusan untuk melakukan

negosiasi, (ii) keputusan untuk mengusulkan garis batas tertentu

(particular boundary), (iii) keputusan untuk membuat konsesi dengan

tujuan untuk mencapai persetujuan, dan (iv) keputusan untuk menyetujui

suatu garis batas tertentu.

147

Ibid., Hlm. 12

Page 170: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

156

Johnston melihat bahwa terdapat sebelas opsi diplomatik mengenai

delimitasi maritim : Kebijakan tidak berbuat sesuatu (Do-Nothing Policy),

Persetujuan untuk tidak setuju atau kesepakatan untuk tidak bersepakat

(Agreement to Disagree), Persetujuan untuk Menunjuk (Agreement to

Designate), Persetujuan untuk mengadakan konsultasi (Agreement to

Consult), Persetujuan mengenai Akses (Agreement on Access), Kebijakan

pendahuluan untuk membuat perusahaan bersama (Preliminary Joint

Enterprise Policy), Kebijakan kerjasama Pengembangan yang bersifat

operasional (Operational Joint Development Policy), Persetujuan

mengenai pembagian jasa (Agreement on Sharing of Services),

Persetujuan mengenai pengaturan yang bersifat terbatas untuk bersama-

sama melakukan pengelolaan (Agreement on Limited Joint Management

Arrangement), Persetujuan untuk melakukan pengelolaan bersama yang

bersifat permanen (Agreement on Permanent Joint Management),

Perjanjian Garis Batas Final (Final Boundary Treaty)148.

Ketika harus mengambil keputusan atau opsi, maka pemerintah

cenderung berhati-hati dalam mengambil tindakan. Ketika pemerintah

memilih kebijakan Do-Nothing Policy, delimitasi garis batas maritim akan

tetap tidak terselesaikan selama kebijakan seperti itu dipertahankan.

Mungkin pada saat itu parlemen tidak akan memberikan persetujuan

ratifikasi atas perjanjian garis batas maritim. Misalnya, Senat Amerika

148

Ibid., Hlm. 13.

Page 171: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

157

Serikat masih harus menyetujui perjanjian garis batas maritim antara

Amerika Serikat dan Kuba yang ditandatangani pada 1977.149

Untuk memperoleh persetujuan ratifikasi dari majelis nasional

(national assembly) terhadap perjanjian kerja sama pengelolaan landas

kontinen yang ditandatangani pada 1974 dengan Korea Selatan,

Pemerintah Jepang harus menunggu selama empat tahun untuk

mendapatkan persetujuan ratifikasi dari majelis nasional. Ada kalanya

delimitasi dapat menjadi isu nasional dan diplomatik yang hangat.

Misalnya, dalam penentuan garis batas maritim di Selat Beagle (in the

Beagle Channel delimitation) antara Argentina dan Cile, bahkan

dikhawatirkan akan timbulnya konflik bersenjata ketika Argentina menolak

putusan (award) pengadilan arbitrasi pada 1977 dan kemudian Vatikan

turun tangan untuk menengahinya.

Sengketa antara Yunani dan Turki menyangkut landas kontinen di

Laut Aegea (the Aegean Sea) berkembang menjadi sengketa sangat

serius dengan implikasi internasional yang signifikan. Dapat dicatat bahwa

Dewan Keamanan PBB yang memiliki tanggungjawab utama untuk

mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional, menangani

sengketa itu, walaupun ICJ sedang mengadili sengketa tersebut. Adalah

luar biasa sengketa delimitasi di Aegean Sea yang meletus pada 1973,

masih sedang menunggu penyelesaian.

149

Robert W. Smith, International Maritim Boundary, (Cuba-United States: Report Number 1-4, Hlm. 416-425.

Page 172: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

158

Isu delimitasi maritim bahkan bisa semakin keras (intractable)

karena menyangkut urusan keamanan. Misalnya, pertimbangan strategis

mempengaruhi Swedia dan Uni Soviet untuk mengambil posisi yang

bertentangan atau berseberangan mengenai pengaruh pulau the Swedish

Gotland dalam perundingan delimitasi Laut Baltik. Swedia berpendapat,

tetapi Uni Soviet menyangkal bahwa pulau itu seharusnya mempunyai

pengaruh mutlak (full effect) sehingga berfungsi sebagai titik pangkal. Bagi

Swedia, Gotland Island memiliki peranan penting (crucial role) dalam

sistem pertahanan nasionalnya, dan dengan demikian Laut Baltik secara

tradisional penting bagi Uni Soviet. Negosiasi-negosiasi semakin lama

semakin dipolitisasi dengan terjadinya insiden Karlskrona akibat

terdamparnya kapal selam Uni Soviet dekat pangkalan Angkatan Laut

Swedia Karlskrona pada 27 Oktober 1981.

Adakalanya pertimbangan politik dan keamanan dikemukakan

secara terbuka di pengadilan internasional yang menangani isu delimitasi

maritim150. Misalnya, dalam kasus Gulf of Maine case, Amerika Serikat

menekankan bahwa garis yang diklaim oleh Kanada adalah lebih jauh

(further) ke selatan dari garis yang diajukan oleh Amerika Serikat. Amerika

Serikat juga menunjukkan bahwa jika garis yang diklaim Kanada diadopsi,

maka seluruh pantai Atlantik di utara Philadelphia di mana seperempat

dari seluruh penduduk Amerika Serikat bertempat tinggal akan

berhadapan bukan dengan Eropa, bukan dengan laut bebas di Atlantik

150

Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 13-14; Clive R. Symmons, op.cit., Hlm. 159

Page 173: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

159

terbuka, melainkan berhadapan dengan perairan Kanada, dan oleh

karena itu Amerika Serikat berpendapat bahwa isu ini menimbulkan

persoalan kedaulatan yang paling mendasar.

Dalam hal ini, Amerika Serikat melihat adanya kemungkinan zona

ekonomi eksklusif berubah menjadi zona yang berkarakter politis di masa

mendatang ketika Amerika Serikat menyebut bahwa ‘no State knows with

any certainty what the future of the economic zone regime will hold’ Tidak

ada Negara yang mengetahui secara pasti masa depan seperti apa yang

akan dimiliki oleh rezim hukum zona ekonomi.

Begitu pula dengan klaim Ambalat oleh Malaysia yang didasarkan

atas diundangkannya zona ekonomi eksklusif Malaysia dan ternyata

merambah masuk ke dalam laut territorial dan perairan kepulauan

Indonesia di Laut Sulawesi, membuktikan motif sesungguhnya Negara

tersebut ketika mempermasalahkan kepemilikan kedua pulau yang begitu

kecil. Motif di balik kasus Sipadan-Ligitan, tidak lain tidak bukan adalah

kepentingan politik untuk memperluas wilayah kedaulatannya di laut

melalui delimitasi maritim. Namun delimitasi maritim tidak dapat dilakukan

secara sepihak sebab masalah delimitasi itu memiliki karakter

internasional sehingga memerlukan kesepakatan dengan negara lain151.

N.5. Sengketa Kedaulatan Pulau.

Tanpa diragukan sengketa antarnegara menyangkut kedaulatan

atas pulau membuat delimitasi garis batas maritim jauh lebih rumit karena

151

Victor Prescott & Gillian D. Triggs, International Frontiers and Boundaries. Law, Politics and Geography, (Leiden.Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2008), Hlm. 23-24.

Page 174: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

160

dalam sengketa seperti itu terdapat kecenderungan nasionalisme dan

mengemukanya pendapat publik (passionate public opinion) terkait

dengan sengketa kedaulatan152.

Penetapan garis batas Selat Beagle antara Argentina dan Cile

membutuhkan waktu sangat lama antara lain karena kedua Negara

terlibat dalam sengketa kedaulatan atas suatu pulau di daerah yang

dipertikaikan. Akan tetapi pada saat yang sama, tidak dapat diingkari

Konvensi 1982 sendiri secara tidak langsung berkontribusi atas semakin

intensifnya sengketa kedaulatan pulau karena Konvensi secara nyata

memberi hak kepada pulau (islands) terkecuali batu karang (rocks) untuk

melahirkan (generate) zona ekonomi eksklusif 200 mil laut sepenuhnya

dan bahkan landas kontinen yang membentang jauh (farther-reaching

continental shelves). Fakta bahwa sebuah pulau kecil di samudera dapat

melahirkan peta zona ekonomi eksklusif 200 mil laut dan landas kontinen

semakin memperkuat keprihatinan negara-negara yang bersangkutan

terhadap nasib pulau yang dipersengketakan dari pada sebelum lahirnya

peta zona ekonomi eksklusif dari pulau itu. Pasal 121 ayat 2 dan 3 KHL

1982 menetapkan bahwa :

Terkeculi seperti yang diatur dalam pasal 121 ayat 3, laut territorial,

zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dari suatu

pulau ditentukan menurut ketentuan-ketentuan Konvensi ini yang berlaku

pada wilayah daratan. Batu karang (Rocks) yang tidak dapat mendukung

152

Sun Pyo Kim, op,cit., Hlm. 14

Page 175: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

161

atau menunjang habitat manusia atau kehidupan ekonominya sendiri tidak

boleh mempunyai zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen.

Smith dan Thomas dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat

dengan tepat melihat bahwa ‘Wajar mengatakan yurisdiksi atas sumber

daya laut setidak-tidaknya adalah sebuah isu terselubung (implicit issue)

dalam hampir semua sengketa pulau, entah dipublikasikan atau tidak

sengketa tersebut, dan tanpa menghiraukan kapan dan dari mana

munculnya isu seperti itu.153

Beberapa teknik atau cara sudah dikembangkan untuk menghadapi

isu pulau yang dipersengketakan dalam penetapan garis batas maritim.

Salah satu cara adalah mengakhiri garis batas pada suatu titik sebelum

garis batas ini mencapai lokasi di mana pulau yang dipersengketakan

akan dapat mempengaruhi garis batas itu. Perancis dan Mauritius

menggunakan pendekatan seperti ini di Samudera Hindia guna

menghindari isu menyangkut pulau Tromelin.

Demikian pula, Kanada dan Amerika Serikat setuju dengan titik

arah ke darat dari garis batas di laut untuk menghindari isu kedaulatan

atas pulau yang disebut (Machias Seal Island and North Rock), ketika

menyerahkan masalah delimitasinya di ‘the Gulf of Maine’ kepada sebuah

Kamar di ICJ. Ketika Denmark (Greenland) dan Kanada sepakat dengan

garis batas landas kontinen pada 1973, mereka menghilangkan suatu

daerah kecil di sekitar ‘Hans Island’ yang dipersengketakan, yang terletak

153

Sun Pyo Kim, op. cit., Hlm. 14-15.

Page 176: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

162

di tengah selat dan (meninggalkan) ukuran di bawah satu mil utara-

selatan154.

Tampaknya terdapat 27 kasus sengketa kedaulatan atas pulau di

dunia, dan hal ini berjalan tanpa mengatakan bahwa isu kedaulatan atas

pulau adalah sebuah faktor penting yang membuat delimitasi maritim lebih

sulit, namun mungkin cerdas teknik delimitasi seperti itu.

Sesungguhnya sengketa delimitasi maritim di bagian tertentu dari

Laut Sulawesi sudah berlangsung lama antara Indonesia-Malaysia, yakni

sejak perundingan garis batas landas kontinen kedua negara pada 1969.

Perundingan itu tidak dapat dilanjutkan karena ternyata Malaysia

memasukkan kedua pulau peninggalan Belanda ke dalam peta yang

dibuatnya secara sepihak dan menggunakan kedua pulau tersebut

sebagai titik pangkal bagi penarikan garis pangkal laut teritorialnya dan

pada akhirnya digunakan sebagai dasar untuk megkonstruksi garis batas

maritim di Laut Sulawesi.

Dalam kasus Eritrea v. Yaman, Tribunal Internasional antara lain

mengatakan:155

‘Neither Party has succeeded in demonstrating that the line of delimitation proposed by the other would produce a catastrophic or inequitable effect on the fishing activity of its nationals or detrimental effects on fishing communities and economic dislocation of its nationals… For these reasons, it is not possible for the Tribunal to accept or reject the line of delimitation proposed by either Party on fisheries grounds’.

154

Ibid., Hlm. 15.

155 http://www.persee.fr Annuaire francais De Droit International XLVI-2000-

CNRS Editions, Paris. Giovanni Distefano, Maritims Entre L’Erythree et Le Yemen : Quelques Observations Complementaires

Page 177: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

163

Intinya adalah garis delimitasi yang diajukan masing-masing pihak

(Eritrea dan Yaman) tidak terbukti dapat menimbulkan bencana

atau ketidakadilan terhadap kegiatan perikanan warganegaranya

ataupun mengakibatkan kerugian pada komunitas nelayan serta

kesulitan ekonomi warganya156.

Atas alasan-alasan itu Tribunal tidak dapat menerima ataupun

menolak garis delimitasi yang dikemukakan setiap pihak karena alasan

perikanan. Mengacu pada pertimbangan Tribunal dalam kasus Eritrea v.

Bahrain, kegiatan penangkapan ikan di perairan sekitar Sipadan dan

Ligitan oleh penduduk yang berasal dari berbagai Negara, termasuk

penduduk atau nelayan asal Malaysia merupakan faktor relevan yang

dapat digunakan oleh Indonesia untuk memelihara garis delimitasi maritim

berbasis wawasan nusantara. Hal ini karena delimitasi maritim yang

berlaku selama ini diyakini tidak akan menimbulkan bencana dan kerugian

bagi nelayan tradisional Malaysia yang sejak lama dapat bekerjasama

dengan nelayan yang berasal dari Negara-negara lain, khususnya nelayan

tradisional Indonesia.

N.6. Tidak Efisiennya Prosedur Penyelesaian Sengketa (Inefficiency

of the Dispute Settlement Procedure)157

Sebagaimana diketahui ada beberapa kesulitan yang melekat

dalam delimitasi garis batas maritim. Jika perundingan bilateral soal

156

Annuaire Francais De Droit International XLVI–2000-CNRS Editions, (http://www.persee fr); Malcolm D. Evans, Delimiting Maritim Boundaries, (Marine Policy November 1990, Hlm. 538

157 Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 15.

Page 178: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

164

delimitasi mengalami jalan buntu (stalemate), maka Negara-negara

bersangkutan mungkin mencari penyelesaian sengketa melalui pihak

ketiga. KHL 1982 menyediakan prosedur penyelesaian sengketa dalam

pasal 74 dan 83 ayat 2. Ayat sama menentukan bahwa jika tidak tercapai

persetujuan dalam tenggang waktu yang wajar (reasonable period of

time), negara-negara bersangkutan harus menggunakan prosedur yang

ditetapkan dalam Part XV (Settlement of Dispute)158.

Karena tidak ada definisi dalam KHL 1982 mengenai pengertian ‘a

reasonable period of time’, maka definisinya tetap menjadi pertanyaan

terbuka. Begitu terpenuhi syarat mengenai setelah tenggang waktu yang

wajar (after a reasonable period of time), maka akan diberlakukan

ketentuan-ketentuan yang rumit dari Part XV (Settlement of Dispute).

Sengketa garis batas maritim pada dasarnya tunduk pada cara

penyelesaian yang bersifat memaksa karena sengketa seperti ini

umumnya tidak dikecualikan dari prosedur yang sifatnya memaksa, yang

ditetapkan dalam pasal 297. Akan tetapi berdasarkan pasal 298, para

pihak bebas untuk memilih, untuk tidak memilih (to opt out of) ‘the

compulsory binding procedure’. Meskipun KHL 1982 paling penting dalam

penyelesaian sengketa internasional sejak diadopsinya Piagam PBB dan

Statuta Mahkamah Internasional, ketentuan untuk tidak memilih seperti itu

(this opt-out provision) akan mengecewakan mereka yang mengharapkan

bahwa banyak sengketa garis batas maritim dapat diselesaikan dengan

158

Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 15-16.

Page 179: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

165

Konvensi 1982. Lemahnya (leakage) mekanisme ‘compulsory binding

procedures’ terutama disebabkan tidak jelasnya ketentuan delimitasi yang

terdapat dalam konvensi itu159.

159

Akan tetapi berdasarkan artikel 298 (1) (a) (i) suatu pihak bersengketa diwajibkan untuk menyerahkan sengketa perbatasan kepada ‘compulsory conciliation’ jika pihak lain memintanya. Hal ini berarti bahwa KHL 1982 mengadopsi prosedur penyelesaian sengketa yang bersifat memaksa (compulsory dispute settlement procedures) atas sengketa delimitasi maritim. Prosedur konsiliasi yang bersifat memaksa (the compulsory conciliation procedure) terhadap sengketa delimitasi adalah sifat paling utama dari mekanisme penyelesaian sengketa garis perbatasan dalam KHL 1982, dan itulah formula kompromi untuk memecahkan dan menyelesaikan pertentangan antara dua pendirian. Pendirian pertama mengesampingkan semua sengketa delimitasi dari prosedur penyelesaian yang bersifat memaksa, dan pendirian kedua mengharuskan semua sengketa delimitasi diserahkan kepada prosedur penyelesaian yang bersifat memaksa. Ketua NG7 mencatat bahwa hanya usulan yang didasarkan atas prosedur konsiliasi memaksa yang sesuai (consistent) dengan pendapat realistis tentang kemungkinan kompromi atas isu controversial itu. Mengapa ‘compulsory conciliation’ dilihat sebagai satu-satunya kemungkinan kompromi ? Hal ini disebabkan karena konsiliasi bukan merupakan bentuk penyelesaian lewat pengadilan (judicial settlement) seperti acara persidangan di ICJ. Tugas komisi konsiliasi adalah terbatas pada melakukan investigasi terhadap sengketa itu serta mengusulkan syarat-syarat penyelesaian yang dimungkinkan. Komisi Konsiliasi adalah semacam negosiasi institusional (institutional negotiation). Pernyataan akhir dari komisi konsiliasi bukanlah keputusan (judgment) atau pemberian (award) yang mengikat secara yuridis, melainkan hanya semata-mata laporan yang berisi rekomendasi bagi penyelesaian persengketaan. Harus diperhatikan di sini bahwa istilah ‘compulsory’ tidak boleh disalahpahami seakan-akan hal ini bersifat memaksa bagi para pihak untuk mematuhi laporan komisi konsiliasi tersebut. Istilah ‘compulsory’ secara sederhana berarti bahwa suatu sengketa harus diserahkan (referred) kepada prosedur konsiliasi jika salah satu pihak menghendakinya. Bahkan penerapan ‘compulsory conciliation’ dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Pertama, setiap sengketa yang harus meliputi persaingan pertimbangan dari sengketa yang tak terselesaikan menyangkut kedaulatan atau hak-hak lain atas wilayah daratan continental atau pulau tidak boleh diserahkan kepada prosedur konsiliasi. Kedua, prosedur konsiliasi yang bersifat memaksa tidak berlaku pada sengketa-sengketa yang timbul sebelum berlakunya KHL 1982. Ini pun adalah hasil perdebatan panjang dalam UNCLOS lll. Sekali laporan komisi konsiliasi dibuat, maka para pihak bersengketa menegosiasikan kesepakatan (agreement) atas dasar laporan itu. Bagaimana kalau negosiasi tidak menghasilkan kesepakatan ? Artikel 298 (1) (a) (ii) KHL 1982 menetapkan bahwa :‘... if these negotiations do not result in an agreement, the parties shall, by mutual consent, submit the question to one of the procedures provided for in section 2 (Compulsory Procedures Entailing Binding Decisions), unless the parties otherwise agree… (emphasis added). Terjemahannya adalah sebagai berikut. Jika negosiasi ini tidak menghasilkan suatu persetujuan atau kesepakatan, maka para pihak bersengketa dengan persetujuan atau kesepakatan timbal balik harus menyerahkan masalah itu kepada salah satu dari prosedur yang ditetapkan dalam section 2 (Prosedur yang bersifat memaksa yang memerlukan putusan yang mengikat), kecuali para pihak menentukan lain….Maka itu harus dicatat bahwa kewajiban para pihak untuk menyampaikan sengketa garis perbatasannya dilepaskan dengan persyaratan ‘by consent’, yang berarti bahwa hal itu tidak lebih dari pada sebuah ’pactum de contrahendo’. Oleh karena itu suatu pihak yang tersangkut sengketa garis batas dapat

Page 180: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

166

Dari eksaminasi prosedur penyelesaian sengketa berdasarkan KHL

1982, maka dapat diramalkan ketentuan-ketentuan Konvensi 1982 tidak

membantu mengurangi jumlah sengketa delimitasi maritim, termasuk

sengketa delimitasi di blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia.

Perundingan-perundingan yang diadakan oleh Indonesia dan

Malaysia untuk menyelesaikan bagian-bagian laut yang dianggap

tumpang tindih, terutama di sekitar blok pertambangan Ambalat masih

tetap berlangsung hingga saat ini. Namun isu delimitasi maritim yang

berada dibalik klaim Ambalat yang tumpang tindih belum memberikan

indikasi yang mengarah pada sebuah penyelesaian yang dapat

memuaskan kedua pihak. Hal ini disebabkan karena masalah delimitasi

garis batas maritim sulit dilakukan, apalagi diselesaikan meskipun

masalah seperti ini perlu dilakukan dan diupayakan penyelesaiannya.

Kesulitan melakukan penetapan garis batas maritim, termasuk garis

batas maritim di perairan sekitar blok Ambalat bukan sesuatu yang baru,

di mana timbulnya kesulitan ini dapat ditelusuri dari sejarah

perkembangan hukum laut yang diwarnai pertentangan antara doktrin

Mare Liberum dan Mare Clausum yang berlangsung selama berabad-

abad. Selain kesulitan yang berakar dari sejarah pertentangan doktrin,

juga terutama dalam menetapkan garis-garis batas maritim terkait landas

kontinen atau zona ekonomi eksklusif memang melekat berbagai macam

kesulitan yang sering tak terhindarkan sehingga delimitasi maritim di

menolak menyerahkan sengketa itu kepada prosedur mengikat yang bersifat memaksa (the compulsory binding procedure). Ibid., Hlm.15-17.

Page 181: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

167

antara Negara-negara yang pantainya saling berhadapan ataupun

berdampingan sulit dilakukan dan diselesaikan.

Berlarut-larutnya negosiasi antara Indonesia dan Malaysia

menyangkut delimitasi maritim di daerah yang dipersengketakan di Laut

Sulawesi merefleksikan dan mencerminkan adanya berbagai kesulitan

yang tak dapat dihindari. Tak terhindarkannya kesulitan seperti itu tidak

harus mengurangi semangat untuk terus mengupayakan negosiasi antara

kedua Negara sesuai dengan aturan-aturan hukum internasional agar

supaya tercapai solusi yang patut dan adil (equitable solution) terkait

penyelesaian garis batas maritim di daerah yang dipersengketakan

(disputed area) di Laut Sulawesi.

Namun ‘equitable solution’ harus melibatkan baik metode delimitasi

maritim maupun berbagai macam faktor yang dapat dikategorikan sebagai

‘relevant circumstances’ yang harus dirundingkan, di mana ‘relevant

circumstances’ dapat mencakup bukan hanya unsur-unsur geografis,

melainkan juga unsur-unsur non geografis, seperti sosial-ekonomi, politik

dan hukum dari masing-masing negara160. Unsur-unsur politik dan hukum

yang dapat diperhitungkan sebagai keadaan relevan dalam merundingkan

delimitasi maritim, antara lain perasaan solidaritas sebagai sesama

anggota ASEAN yang begitu tinggi dimiliki oleh Pemerintah Indonesia

sehingga mengakomodasi keinginan Malaysia untuk menyelesaikan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui

160

Rainer Lagoni and Daniel Vignes, Maritime Delimitation, (Leiden/Boston, (Martinus Nijhoff Publishers, 2005), Hlm. 101.

Page 182: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

168

Mahkamah Internasional yang pada akhirnya memenangkan Negara

tersebut.

Sebelum adanya kesepakatan soal yurisdiksi Mahkamah

Internasional, berbagai pertemuan yang dilakukan kedua Negara untuk

menyelesaikan masalah kepemilikan atas Sipadan dan Ligitan

sesungguhnya merupakan cara yang paling aman dan efektif dalam

menjamin kepentingan nasional terkait wawasan nusantara sehingga

berbagai kalangan merasa pesimis terhadap jalan yang ditempuh oleh

Pemerintah Indonesia, bahkan ada suara miring, inilah awal kekalahan

Indonesia dan awal kemenangan Malaysia. Setelah melalui proses

persidangan yang cukup lama dan melelahkan, perasaan pessimis dan

suara miring itu menjadi kenyataan.

Walaupun putusan Mahkamah memenangkan Malaysia, namun

kemenangannya diklarifikasi melalui pendapat terpisah (separate opinion)

dari Judge Oda yang mengatakan bahwa tidak satupun dari kedua Negara

yang memiliki bukti historis-yuridis yang kuat untuk membuktikan

kepemilikannya atas kedua pulau. Pernyataan paling penting dari beliau

adalah bahwa meskipun Negara tersebut diberi hadiah kedaulatan atas

kedua pulau, namun hal ini tidak mempengaruhi garis-garis batas maritim

yang selama ini relative masih berjalan di Laut Sulawesi.

Pernyataan Hakim Oda tersebut dapat dikategorikan ke dalam

faktor non geografis yang dapat digunakan oleh otoritas Indonesia dalam

mengupayakan penyelesaian garis batas maritim kedua negara di daerah

Page 183: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

169

yang dipersengketakan karena factor seperti ini (di samping faktor

geografis) dapat berkontribusi untuk tercapainya ‘equitable solution’.

Pasca putusan ICJ pernyataan Oda sebagai factor non geografis dapat

digunakan sebagai salah satu pendekatan unrtuk melindungi kepentingan

nasional Indonesia atas dasar wawasan nusantara dalam usaha

memelihara dan meningkatkan kesejahteraan bagi bangsa dan

Negara.161.

Langkah-langkah negosiasi yang dilakukan Indonesia dan Malaysia

terkait daerah yang dianggap dipersengketakan di Laut Sulawesi pasca

Sipadan-Ligitan diharapkan dapat menghasilkan semacam penyesuaian

(adjustment) terhadap garis ‘equidistance’ sebagai garis delimitasi yang

diinginkan pihak tertentu sebagai langkah penyelesaian sengketa di

daerah tersebut. Keinginan seperti ini adalah sesuatu yang wajar karena

Malaysia adalah negara merdeka dan berdaulat baik ke dalam maupun ke

luar, termasuk dalam menjalin hubungan dengan Negara lain dan

melakukan negosiasi untuk mencapai persetujuan terkait setiap

permasalahan, seperti permasalahan delimitasi maritim dengan Indonesia

di Laut Sulawesi pasca Sipadan-Ligitan. Namun keinginan untuk

melakukan penyesuaian garis batas maritim bukan sesuatu yang mudah

dijalankan sebab berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku

penyesuaian seperti itu harus mempertimbangkan berbagai keadaan

relevan.

161

Ibid., Hlm. 18.

Page 184: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

170

Keadaan-keadaan yang dapat dianggap relevan mencakup bukan

hanya keadaan yang bersifat geografis semata-mata melainkan juga yang

tidak bersifat geografis (sosial ekonomi, politik, keamanan etc) sebab

berbagai putusan dan pertimbangan Mahkamah Internasional

menunjukkan apa yang dinamakan ‘special or relevant circumstances’

tidak memiliki daftar tertutup (close list) sehingga sering menghadirkan

berbagai macam pengertian menyangkut ‘special/relevant circumstances’.

Terkait upaya negosiasi delimitasi di Laut Sulawesi, pihak

Indonesia dapat mengemukakan selain keadaan-keadaan yang terkait

faktor geografi, juga yang terkait faktor politik, hukum, keamanan

(security), sosial ekonomi162, termasuk kegiatan nelayan tradisional

Indonesia (traditional fishing right) di perairan sekitar Sipadan dan Ligitan.

Pendapat terpisah (separate opinion) dari Judge Oda yang pada dasarnya

menekankan bahwa kedua pulau yang sudah menjadi milik Malaysia tidak

boleh mempengaruhi penetapan batas-batas maritim di landas kontinen di

Laut Sulawesi, juga dapat dikemukakan sebagai keadaan yang memiliki

relevansi dalam upaya negosiasi delimitasi maritim sebab bagaimanapun

pendapat berbeda (dissenting opinion) dan pendapat terpisah (separate

opinion) adalah bagian integral dari putusan Mahkamah Internasional

162

The relevance of socio economic faktors has been invoked by the Russian Federation with respect to the delimitation of the maritim boundary between itself and Norway in the Barents Sea. Norway maintains the position that there are no such circumstances justifying a boundary different from a median line. See Alex G. Oude Elferink, Maritim Delimitation Between Denmark/ Greenland and Norwey, Ocean Development and International Law, 38, 2007, Hlm. 378.

Page 185: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

171

yang harus dihormati dan dipatuhi sehingga dapat menjadi referensi bagi

penyelesaian sengketa delimitasi maritim.

Ada berbagai metode delimitasi maritim yang dapat digunakan oleh

negara-negara tetangga dalam menyelesaikan garis batas maritimnya,

antara lain seperti metode garis tengah (median line) yang dipakai oleh

negara-negara yang pantainya saling berhadapan (opposite states),

metode garis sama jarak (equidistance line) yang dapat dipakai oleh

negara-negara yang pantainya saling berdampingan (adjacent states).

Dalam pasal 74 dan 83 KHL 1982 tidak disinggung mengenai metode

delimitasi maritim untuk garis batas landas kontinen dan zona ekonomi

eksklusif, tetapi pasal 15 KHL 1982 menegaskan adanya metode

delimitasi maritim kendati hanya digunakan untuk garis batas laut

territorial antarnegara yang berhadapan atau berdampingan satu sama

lain.

Pada prinsipnya berdasarkan pasal yang disebut terakhir negara-

negara yang disebut ‘opposite states’ atau ‘adjacent states’ yang laut

teritorialnya tumpang tindih tidak dapat menetapkan garis batas laut

teritorialnya melampaui garis tengah (median line), terkecuali mereka

mempunyai atau membuat perjanjian garis batas laut territorial yang tidak

didasarkan atas metode garis tengah. Di samping adanya perjanjian

seperti itu, maka berdasarkan pasal 15 KHL 1982 metode garis tengah

juga tidak dapat digunakan apabila terdapat hak historis (historic right)

Page 186: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

172

atau keadaan khusus lain yang membutuhkan metode delimitasi yang

berlainan dari metode ‘median line’ atau ‘equidistant line’.

Selama negara-negara yang bersangkutan tidak membuat

perjanjian garis batas laut territorial berdasarkan metode yang bukan garis

tengah atau garis sama jarak, dan selama tidak terdapat keadaan khusus,

terutama hak historis, maka mereka dapat menerapkan metode garis

tengah atau sistem garis sama jarak dalam menetapkan delimitasi maritim

di laut teritorialnya.

Metode ‘median line’ ataupun ‘equidistant line’ samasekali tidak

disebutkan dalam ketentuan pasal 74 dan 83 KHL 1982 karena latar

belakang historis atau sejarah pembentukannya tak dapat dipisahkan dari

adanya kompromi antara dua pendekatan yang berbeda dan bertolak

belakang terkait dengan metode delimitasi maritim163. Metode delimitasi

untuk membangun garis batas landas kontinen yang mengalami duplikasi

atau ‘overlapping’ di antara ‘opposite states’ atau ‘adjacent states’

ditegaskan dalam pasal 6 Konvensi Geneva 1958 tentang Landas

Kontinen. Meskipun pada dasarnya Konvensi Geneva 1958 sudah tidak

berlaku sejak berlakunya KHL 1982, mengingat Konvensi yang disebut

terakhir harus lebih diutamakan daripada Konvensi terdahulu, tidak berarti

ketentuan-ketentuan Konvensi Geneva 1958, terutama pasal 6 tentang

163

Tidak disebutkannya kedua metode delimitasi maritime itu akibat terjadinya kompromi antardua pendekatan yang berbeda dan bertolak belakang dalam menetapkan delimitasi landas kontinen atau zona ekonomi eksklusif. Kedua pendekatan itu adalah ‘the equidistance-special circumstances approach’ dan ‘the equitable principles-relevant circumstances’. Liha Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritime Delimitation, 2006, Oxford and Portland, Oregon, Hart Publishing, Hlm.130-133.

Page 187: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

173

metode delimitasi yang tidak terdapat dalam KHL 1982 tidak dapat

diterapkan dalam praktek negara-negara maupun dalam penyelesaian

sengketa melalui Mahkamah Internasional dan Arbitrasi Internasional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode delimitasi maritim

berdasarkan metode ‘median line’ maupun ‘equidistance line’ digunakan

dalam praktek negara-negara yang mengadakan perjanjian bilateral dalam

menetapkan garis batas maritim di bagian landas kontinen ataupun zona

ekonomi eksklusif antarnegara tetangga. Setidak-tidaknya terdapat hampir

300 perjanjian bilateral yang menetapkan garis batas maritim yang

didasarkan atas penerapan metode ‘equidistance line’ karena ketentuan

pasal 74 dan 83 KHL 1982 tidak melarang digunakannya metode seperti

ini dalam menetapkan garis batas maritim164. Malahan ketentuan artikel-

artikel ini tidak menghalangi negara-negara yang tersangkut sengketa

delimitasi maritim untuk menyelesaikannya melalui Mahkamah

Internasional ataupun Arbitrasi Internasional.

Hasil penelitian membuktikan bahwa ketika upaya negosiasi gagal

dan menemui jalan buntu, berbagai kasus delimitasi maritim, terutama

sengketa garis batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif ataupun

zona perikanan diserahkan penyelesaiannya kepada ‘international court’

atau ‘international tribunal’.

O. Implementasi Azas-Azas Delimitasi Maritim

164

Ibid., Hlm. 129.

Page 188: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

174

O.1. The North Sea Continental Shelf Cases 1969 (Federal Republic of

Germany / Denmark, The Netherlands).

Dengan adanya dua perjanjian khusus 2 Februari 1967 antara

Denmark dan Jerman Barat, serta antara Jerman Barat dan Netherlands,

maka para pihak meminta ICJ untuk menyatakan bahwa azas-azas dan

aturan-aturan hukum internasional berlaku pada delimitasi bagian-bagian

landas kontinen di Laut Utara yang dimiliki masing-masing Negara di luar

sebagian garis batas (the partial boundary) yang ditentukan oleh Konvensi

Geneva pada 9 Juni 1965165. Jadi Mahkamah tidak diminta untuk menarik

garis batas landas kontinen, tetapi harus ditetapkan sendiri oleh para

pihak. Lagi pula walaupun Denmark dan Netherlands adalah Negara-

negara peserta Konvensi Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen,

namun Jerman Barat bukan negara peserta.

Dengan mengeksaminasi pendirian Jerman Barat yang

menyatakan bahwa delimitasi yang dipermasalahkan harus dilakukan

menurut konsepsi bagian yang adil dan wajar (a just and equitable share),

Mahkamah menolak pendirian seperti itu. Kemudian Mahkamah

mengeksaminasi penerapan pasal 6 Konvensi mengenai Landas

Kontinen. Meskipun kasus itu sudah dikenal baik (well known), beberapa

argumentasi penting dari Mahkamah dapat dikemukakan sebagai berikut.

165

Enrico Milano, Unlawful Territorial Situations in International Law. Reconciling Effectiveness, Legality and Legitimacy, (Leiden. Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007), Hlm. 35.

Page 189: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

175

Mengenai hukum yang dapat digunakan pada delimitasi landas

kontinen, maka isu yang penting adalah pemberlakuan pasal 6 Konvensi

Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen pada Jerman Barat. Mahkamah

membicarakan masalah ini dari sudut perjanjian dan hukum kebiasaan.

Mengenai perjanjian, Mahkamah mencapai kesimpulan bahwa pasal 6

tidak dapat berlaku sebagai hukum perjanjian antara pihak-pihak yang

bersengketa, karena pihak Jerman Barat yang bukan Negara peserta

Konvensi terbukti tidak bermaksud untuk secara sepihak memikul

kewajiban yang ditentukan di dalam Konvensi. Sedang mengenai hukum

kebiasaan terkait masalah delimitasi, dapat dikemukakan sebagai berikut.

Isu pertama yang harus dikaji adalah aspek-aspek dari pasal 6

yang bersifat mendasar. Untuk membenarkan pasal 6 memiliki karakter

perintah atau kekuatan mengikat (the mandatory character), Denmark dan

Nederland mengatakan bahwa ‘the equidistance principle’ harus dilihat

sebagai pernyataan wajib dalam bidang delimitasi karena diterimanya

doktrin hak eksklusif atas landas kontinen bagi negara-negara pantai yang

berdekatan sehingga secara teoritis pendapat para ahli hukum tidak dapat

dielakkan (an apriori character of juristic inevitability). Sebagai ukuran

untuk menentukan kekuatan mengikatnya equidistance principle

berdasarkan diterimanya hak eksklusif negara-negara yang berdekatan

(as a test for such appurtenance), kedua kerajaan mengidentifikasi konsep

kedekatan (the concept of proximity), yang menurut mereka, mendasari

metode ‘equidistance’. Bagi Denmark dan Netherlands, semua bagian dari

Page 190: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

176

suatu landas kontinen yang lebih dekat dengan salah satu Negara pantai

daripada yang lain akan menjadi pelengkap (appurtenant) bagi Negara

pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu Denmark dan Netherlands

berpendapat delimitasi harus dilakukan dengan sebuah metode yang akan

menyerahkan kepada setiap negara dari negara-negara pantai yang

bersangkutan semua bagian yang paling dekat dengan pantainya sendiri.

Hanya garis yang ditarik berdasarkan azas ‘equidistance’ akan dapat

menyelesaikan hal seperti ini. Akan tetapi Mahkamah menolak argumen

ini, karena konsep kedekatan (the concept of proximity) bertentangan

dengan prinsip dasar mengenai kelanjutan alamiah (the fundamental rule

of natural prolongation). Dalam pandangan Mahkamah:166

whenever a given submarine area does not constitute a natural or the most natural extension of the land territory of a coastal State, even though that area may be closer to it than it is to the territory of any other State, it cannot be regarded as appertaining to that State. (kapan saja area tertentu di bawah permukaan laut tidak merupakan perluasan alamiah dari wilayah daratan Negara pantai, meskipun area tersebut mungkin lebih dekat dengan Negara itu dibandingkan dengan wilayah negara lain, maka area tersebut tidak dapat dianggap termasuk negara tersebut).

Selanjutnya :

as regards equidistance, it clearly cannot be identified with the notion of natural prolongation or extension, since […] the use of the equidistance method would frequently cause areas which are the natural prolongation or extension of the territory of one State to be attributed to another. (mengenai ‘equidistance’, hal ini jelas tidak dapat diidentifikasi dengan konsepsi kelanjutan atau perluasan alamiah, karena penggunaan metode ‘equidistance’ sering menyebabkan area yang merupakan kelanjutan atau perluasan alamiah wilayah salah satu Negara harus dihubungkan (to be attributed to) dengan negara lain).

166

Ibid, Hlm. 54.

Page 191: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

177

Dengan kata lain, menurut Mahkamah, the equidistance method

seharusnya ditolak karena metode ini berbeda dengan natural

prolongation sebagai unsur yang memberikan hak hukum (legal title) atas

landas kontinen. Argumen ini sejalan dengan ditolaknya konsep bagian

adil dan patut (the concept of a just and equitable share).

Kedua, Mahkamah mengeksaminasi aspek-aspek hukum positif

dari pasal 6 dengan mempertanyakan : (i) apakah pasal 6 sudah

merupakan hukum kebiasaan (customary law) pada waktu berlakunya

Konvensi Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen, atau (ii) apakah

artikel itu sudah menjadi hukum kebiasaan melalui praktek negara yang

dilakukan di kemudian hari (subsequent State practice). Setelah

mengeksaminasi kedua pertanyaan ini, Mahkamah mengingkari dan

menolak sifat mengikat (mandatory character) dari pasal 6.

Mahkamah menyinggung penyimpangan (the distorting effects)

dari metode ‘equidistance’ dalam menentukan garis batas landas kontinen

Negara-negara yang pantainya saling berdampingan (lateral

delimitations). Menurut Mahkamah, oleh karena garis tengah (median line)

membagi secara berimbang (equally) antara kedua negara yang saling

berhadapan area yang dapat dianggap sebagai (as being) kelanjutan

alamiah wilayah masing-masing negara, maka garis sama jarak

antarnegara yang pantainya saling berdampingan (lateral equidistance

line) sering memberikan kepada salah satu dari negara-negara

Page 192: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

178

bersangkutan area yang sebenarnya merupakan kelanjutan alamiah

wilayah negara lain.

Penyimpangan (the distorting effects) garis sama jarak antarnegara

yang saling berdampingan dengan kondisi konfigurasi pantai yang bersifat

istimewa sekalipun terhitung kecil di dalam batas-batas perairan territorial,

tetapi menghasilkan efek maksimal di tempat-tempat di mana area landas

kontinen yang utama terletak lebih jauh. Bagi Mahkamah, distorsi metode

‘equidistance’ adalah salah satu alasan penting untuk menolak

penggunaan metode ‘equidistance’ dalam menetapkan garis-garis batas

maritim (landas kontinen) antara negara-negara yang pantainya saling

berdampingan (lateral delimitations).

Argumen-argumen Mahkamah mengenai praktek Negara dan

opinio juris dalam proses pembentukan kebiasaan mesti dieksaminasi

atau dikaji. Mengenai negara-negara yang menjadi peserta Konvensi

Landas Kontinen, Mahkamah menyatakan bahwa dari legitimasi tindakan

mereka tidak dapat disimpulkan adanya kaidah hukum kebiasaan yang

menguntungkan the equidistance principle, karena negara-negara

tersebut agaknya sudah sementara melakukan tindakan nyata dan atau

berpotensi dalam menerapkan Konvensi. Jika pandangan seperti ini

benar, maka kita akan menghadapi suatu paradoks. Jika negara-negara

dengan jumlah yang cukup mengadopsi praktek yang dilakukan konsisten

dengan pendapat hukum yang sesuai (corresponding opinion juris),

hukum kebiasaan dapat tercipta dan akan mengikat Negara-negara lain.

Page 193: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

179

Akan tetapi jika kelompok yang sama dari negara-negara itu menutup

sebuah perjanjian multilateral yang mengikuti (adhering) prinsip yang

sama, maka tidak akan ada kaidah kebiasaan, dan negara-negara lain

akan dapat meniadakan kaidah itu dengan bersandar pada azas pactum

tertiis nec nocet nec prodest. Rangkaian tindakan Negara-negara peserta

Konvensi adalah relevan dalam menguji kaidah kebiasaan, karena

tindakan-tindakan tersebut memperlihatkan praktek Negara yang

konsisten serta hadirnya opinio juris.

Di lain pihak, menyangkut Negara-negara yang bukan peserta

Konvensi, Mahkamah tidak melihat prinsip equidistance yang dipraktekkan

oleh negara-negara tersebut sebagai bukti adanya kebiasaan, karena

tidak ada bukti bahwa mereka bertindak sesuai dengan prinsip

equidistance atas dasar opinio juris. Dengan berbuat demikian,

Mahkamah menggunakan pendekatan yang kaku untuk mengevaluasi

opinio juris dalam penerapan metode equidistance. Akan tetapi

pendekatan kaku seperti itu mempunyai risiko, yaitu sulit terbentuknya

hukum kebiasaan melalui praktek perjanjian.

Ternyata beberapa hakim mencapai kesimpulan yang saling

bertentangan, dengan menegaskan karakter mengikat dari pasal 6 setelah

menguji praktek negara dan opinio juris. Misalnya, Hakim Tanaka

mengemukakan bahwa fakta di mana 46 negara sudah menandatangani

dan 39 negara sudah meratifikasi dan menyatakan aksesi pada Konvensi

Landas Kontinen, fakta tersebut sudah merupakan sebuah pencapaian

Page 194: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

180

penting ke arah pengakuan hukum kebiasaan internasional mengenai

masalah landas kontinen. Hakim Lachs mengikuti garis argumentasi yang

sama, dengan menegaskan bahwa dari sudut jumlah maupun

keterwakilan, keikutsertaan di dalam Konvensi menjadi landasan kokoh

bagi pembentukan kaidah hukum umum. Wakil Presiden (Vice-President)

Koretsky serta Hakim adhoc Sorensen mencapai kesimpulan sama.

Perbedaan pandangan di antara Mayoritas (Majority) dan Pendapat

Berbeda (dissenting opinion) tampaknya terletak pada derajat fleksibilitas

untuk mengevaluasi praktek negara dan opinio juris.

Setelah menolak karakter mengikat dari metode ‘equidistance’,

maka mayoritas hakim memutuskan bahwa terdapat hukum yang dapat

diterapkan pada delimitasi landas kontinen selain daripada metode

‘equidistance’. Menurut pendapat Mahkamah, penolakan metode

‘equidistance’ sebagai kaidah hukum kebiasaan yang bersifat mengikat

tidak berarti bahwa tidak ada kaidah atau aturan. Kaidah itu adalah

‘equitable principles’ yang berlaku pada delimitasi tersebut. Menurut

Mahkamah, pembatasan (limitations) harus menjadi obyek persetujuan di

antara Negara-negara yang bersangkutan, dan persetujuan sedemikian

harus dicapai menurut equitable principles.

Mengenai dasar hukum dari equitable principles, maka dapat

dikemukakan bahwa ‘equitable principles’ harus berwujud kebiasaan

karena tidak terdapat ketentuan-ketentuan perjanjian yang mensyaratkan

prinsip-prinsip seperti ini. Akan tetapi masalah sesungguhnya adalah: dari

Page 195: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

181

manakah hukum kebiasaan yang relevan dengan equitable principles

berasal167. Mengenai hal ini, Mahkamah bersandar pada Proklamasi

Truman yang menyatakan bahwa apabila landas kontinen Amerika Serikat

mencapai pantai negara lain atau terbagi dengan negara tetangga

(adjacent State), maka garis batas landas kontinen akan ditentukan oleh

Amerika Serikat dan Negara yang bersangkutan sesuai dengan equitable

principles.

Menurut Mahkamah, kedua unsur mengenai perjanjian dan

equitable principles melandasi seluruh sejarah hukum delimitasi yang

terjadi kemudian. Namun demikian, Mahkamah gagal mendapatkan

contoh-contoh yang memadai mengenai deklarasi Negara. Selanjutnya

karena proklamasi-proklamasi ini bersifat sepihak, maka hal ini tidak

membentuk praktek Negara dalam konteks delimitasi landas kontinen,

yang dilakukan di antara dua negara atau lebih. Lalu bagaimana

pernyataan yang dilakukan oleh negara-negara secara sepihak dapat

ditransformasikan menjadi hukum kebiasaan.

Pertanyaan seperti itu terbuka lebar. Di samping itu, walaupun

menganggap Proklamasi Truman sebagai titik awal (the starting point)

hukum positif mengenai dasar hukum equitable principles (on the subject)

dalam paragraf 47, Mahkamah memperhatikan hal ini ketika

mengemukakan kaidah-kaidah hukum dalam paragraph 86. Kedua

pandangan ini sulit diterima (hard to reconcile). Singkatnya, bertentangan

167

Ki Beom Lee, op.cit., Hlm 4 – 5.

Page 196: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

182

dengan apa yang dilakukan ketika mengeksaminasi metode

‘equidistance’, Mahkamah tidak menerapkan kriteria dua unsur kebiasaan

secara kaku pada equitable principles. Ini adalah sebuah standar ganda.

Jika diterapkan kriteria kaku, maka agaknya diragukan apakah equitable

principles terbukti memiliki karakter hukum kebiasaan. Dengan demikian

sudah dapat disimpulkan bahwa dasar hukum untuk melihat equitable

principles sebagai hukum kebiasaan sangat tidak pasti.

Tentang substansi dari equitable principles dan penerapannya

dalam kasus sekarang, Mahkamah memutuskan bahwa :

‘Equity tidak perlu bermakna ‘equality’. Mengubah samasekali sifat dasar (nature) tidak pernah dipertanyakan, dan keadilan atau kepatutan (equity) tidak mensyaratkan bahwa sebuah Negara tanpa akses ke laut harus diberikan (allotted) suatu bagian landas kontinen, lebih besar daripada mempertanyakan mengenai mengubah situasi suatu Negara dengan garis pantai yang luas yang mirip dengan situasi suatu Negara dengan garis pantai yang terbatas. Persamaan (equality) harus diperhitungkan dalam taraf yang sama, dan hal itu bukanlah ketidaksamaan yang demikian wajar (natural inequalities) seperti ketidaksamaan yang dapat diperbaiki dan dikoreksi dengan keadilan (equity)’.168 Menurut Mahkamah, penggunaan metode equidistance dalam

kasus sekarang ini dapat menciptakan suatu ketidakadilan (inequity).

Meskipun seseorang menerima keberadaan ketidakadilan (inequity) dalam

perkara yang bersangkutan, timbul masalah: apakah yang. sebenarnya

merupakan metode untuk menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan

168

Equity does not necessarily imply equality. There can never be any question of completely refashioning nature, and equity does not require that a State without access to the sea should be allotted an area of continental shelf, any more than there could be a question of rendering the situation of a State with an extensive coastline similar to that of a State with a restricted coastline. Equality is to be reckoned within the same plane, and it is not such natural inequalities as these that equity could remedy. Lihat Yoshifumi Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritim Delimitation, (Oxford and Portland, Oregon: HART Publishing, 2006), Hlm. 58-59.

Page 197: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

183

keadilan (equitable principles). Mengenai hal ini, Mahkamah menolak atau

mengabaikan eksistensi suatu metode delimitasi landas kontinen yang

sifatnya mengikat, dengan menegaskan bahwa tidak ada satu metode

delimitasi lain yang wajib digunakan dalam keadaan apapun (in all

circumstances) sehingga yang dicari bukan metode delimitasi, melainkan

tujuan.

Dalam melakukannya, Mahkamah semata-mata menyatakan faktor-

faktor yang harus diperhitungkan dalam suatu perundingan, tanpa

menyebut secara terperinci suatu metode konkret. Faktor-faktor seperti itu

adalah konfigurasi pantai para pihak secara umum, struktur fisik dan

geologis, sumber kekayaan alam, kesatuan lapisan atau deposit, dan

tingkat proporsionalitas yang wajar. Dalam hal ini, muncul salah satu

pendekatan menyangkut ‘equitable principles’, yaitu, menolak setiap

metode yang bersifat mengikat (obligatory method) dan menekankan

hasil. Sesuai dengan pendekatan ini, itulah tujuan yang seharusnya

ditekankan dan digarisbawahi, dan hukum tentang delimitasi maritim

seharusnya dibatasi hanya oleh tujuan seperti ini, yaitu tercapainya hasil

yang wajar (equitable results). Dalam pengertian ini, seseorang dapat

berbicara mengenai pendekatan keadilan yang berorientasi hasil (result-

oriented-equity), pendekatan ini mengikuti garis argumen yang sama

seperti model penyelesaian kasuistis (the case-by-case solution model).

Mengenai prinsip keadilan (equitable principles) yang dirumuskan

oleh Mahkamah, maka perlu menunjuk hal-hal berikut. Pertama, beberapa

Page 198: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

184

hakim menggarisbawahi bahaya menggoncang sistem delimitasi landas

kontinen dengan memperkenalkan prinsip keadilan (equitable principles)

akibat kaburnya prinsip seperti itu. Misalnya Vice-President Koretsky

mempunyai perasaan khawatir mengenai prinsip keadilan, dengan

mengatakan bahwa:

‘Saya merasa bahwa memasukkan gagasan yang sedemikian kabur ke dalam teori hukum Mahkamah Internasional bisa membuka pintu untuk membuat penilaian subyektif dan kadang-kadang sewenang-wenang, daripada mengikuti pedoman azas-azas umum dan kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ditetapkan dalam penyelesaian sengketa yang diajukan kepada Mahkamah’. Judge Sorensen juga menyebutkan bahwa jika delimitasi harus

diatur dan ditentukan oleh prinsip keadilan semata-mata, maka akan

terjadi ketidakpastian hukum yang wajar. Dalam kenyataan, meskipun

dibedakan secara teoritis antara ‘equitable principles’ dan ‘mengadili

berdasarkan kepatutan dan keadilan (judging ex aequo et bono), ternyata

sulit membedakan kedua azas ini. Dengan demikian, ‘equitable principles’

akan memperkuat (severely amplify) bahaya subyektivitas yang

sayangnya sudah terbukti dalam kasus-kasus kemudian sekalipun dengan

mengesampingkan metode equidistance yang obyektif.

Kedua, karena tidak ada suatu metode delimitasi yang spesifik, jika

para pihak tidak mencapai persetujuan, maka ‘equitable principles’ tidak

dapat berbuat sesuatu, tetapi membuka kembali permasalahan. Dalam

kenyataan, para pihak tidak sepakat terhadap masalah itu juga mengenai

Page 199: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

185

apakah yang merupakan delimitasi yang adil (equitable delimitation)

maupun mengenai bagaimana menetapkan garis delimitasi yang adil.

Ketiga, Mahkamah mendasarkan pendekatannya pada pemisahan

metode equidistance dari keadaan-keadaan khusus (special

circumstances). Dalam melakukan hal seperti ini, Mahkamah samasekali

mengabaikan peranan dari special circumstances, yang dapat

membenarkan penyimpangan dari garis-garis equidistance dengan tujuan

untuk mencapai hasil yang patut dan adil (equitable results). Namun,

karena pasal 6 terdiri dari tiga unsur agreement - equidistance - special

circumstances, Mahkamah seharusnya mempertimbangkan akibat-akibat

hukum yang ditimbulkan oleh ketiga unsur itu sebagai suatu kesatuan.

Mengenai hal ini, patut diperhatikan argumen dari Judge Ammoun, yang

menegaskan bahwa :

‘Konvensi Geneva tentang Landas Kontinen tidak menyimpang dari konsep keadilan (the notion of equity) dalam mengadopsi garis sama jarak (the equidistance line) yang disertai kondisi yang menunjukkan ‘special circumstances’. Sebagai penyelesaian yang didasarkan atas keadilan (equity), maka dapat digunakan kaidah ‘the equidistance-special circumstance’ dengan tujuan untuk menentukan batas-batas landas kontinen yang pantainya saling berdampingan seperti di antara para pihak bersengketa’. Akan tetapi Mahkamah tidak mengikuti jalan seperti ini, dengan

menolak menggabungkan metode ‘equidistance’ dengan ‘special

circumstances’.

O.2. Kasus Guyana v. Suriname

Kasus ini menyangkut sengketa delimitasi maritim antara Guyana

dan Suriname yang terletak di pantai timur laut Amerika Latin. Garis

Page 200: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

186

pantainya berdampingan serta bertemu di muara Corentyne River.

Guyana memperoleh kemerdekaan dari Inggeris pada tahun 1966,

sementara Suriname adalah bekas jajahan Nederland dan mencapai

kemerdekaan pada tahun 1975169.

Garis perbatasan kedua Negara sudah mulai dilakukan sejak

zaman colonial, di mana pada tahun 1799 tercapai kesepakatan garis

batas darat dengan menyusuri tepi barat Corentyne River.

Ditempatkannya garis perbatasan di sepanjang tepi barat sungai itu dan

bukan di alur terdalam dari sungai tersebut dimaksudkan agar Nederland

dapat mengawasi lalu lintas di sungai itu. Pada 1936 sebuah komisi

gabungan (Mixed Boundary Commission) menetapkan ujung utara

perbatasan sebagai titik di tepi barat sungai Corentyne, dekat mulut

sungai, suatu titik yang disebut ‘Point 61 or the 1936 Point’. Di samping itu

anggota Komisi asal Inggeris dan Nederland berkesimpulan bahwa garis

yang disebut ‘the108 Line’ yang dihitung dari Point 61 seharusnya

ditetapkan sebagai garis batas laut territorial.

Setelah merdeka Guyana menganjurkan penggunaan metode

‘equidistance’ dalam menetapkan garis batas maritim, yang menghasilkan

sebuah garis yang mengikuti asimut N348E yang selanjutnya disebut ‘the

348 Line, sementara Suriname berpendirian bahwa garis batas maritim

harus mengikuti ‘the 108 Line’. Area yang diklaim secara ‘overlap’ sekitar

169

GAO Jianjun, Comments on Guyana versus. Suriname, 2009, http://chinesejil.oxfordjournals.org/at University Library Utrecht on November 19, 2012, Hlm.191.

Page 201: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

187

31.600 km2. Pada 1989 masing-masing pihak sepakat untuk menetapkan

modalitas kerjasama pemanfaatan daerah perbatasan selama daerah

perbatasan belum tuntas. Selama garis batas maritim di antara kedua

Negara belum dapat diselesaikan secara tuntas, maka daerah ini harus

dapat dimanfaatkan oleh kedua negara secara bersama.

Selanjutnya Persetujuan 1989 menghasilkan Memorandum of

Understanding 1999 – Modalitas untuk memperlakukan daerah lepas

pantai yang ‘overlap’ antara Guyana dan Suriname, dimana MoU tahun

1999 ini menentukan bahwa wakil-wakil kedua Negara akan bertemu

dalam waktu 30 hari untuk membicarakan modalitas kerjasama

pemanfaatan daerah yang dipersengketakan. Akan tetapi MoU ini tidak

pernah diimplementasikan oleh Suriname, dan negosiasi ‘joint utilization’

tidak mengalami kemajuan sebelum dimulainya acara persidangan.

Selama periode itu Guyana menerbitkan beberapa konsesi

eksplorasi minyak di daerah yang disengketakan yang langsung

menimbulkan insiden CGX 2000170. Korporasi CGX Resources, sebuah

perusahaan Kanada, diberikan konsesi oleh Guyana pada 1998, dan

bagian timur perbatasan di daerah konsesi adalah ‘the 348 Line’. Pada

1999 perusahaan CGX mengadakan uji seismik yang harus dilaksanakan

di seluruh daerah konsesi, yang menyangkut pengeboran eksplorasi di

dasar laut, dan rencana pengeboran ini terdeteksi di Suriname.

170

Ibid, Hlm 192.

Page 202: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

188

Pada tanggal 11 dan 31 Mei 2000, melalui saluran diplomatik pihak

Suriname menuntut agar Guyana menghentikan semua kegiatan

eksplorasi minyak di daerah yang dipersengketakan. Pada 31 Mei 2000

Suriname memerintahkan perusahaan CGX segera menghentikan segala

kegiatan di luar ‘the 108 Line’, tetapi sia-sia atau tidak berhasil. Pada 3

Juni 2000 dua kapal patroli Angkatan Laut Suriname mendekati peralatan

pengeboran minyak milik CGX dan kapal pengeboran, ‘the C.E. Thornton’

dan memerintahkan kapal-kapal yang sedang bertugas agar supaya

meninggalkan daerah sengketa dalam tenggang waktu 12 jam; jika tidak

mereka akan menanggung konsekuensinya. Para awak di atas kapal C.E.

Thornton melepaskan alat pembor minyak dari dasar laut dan menarik diri

dari daerah konsesi. Kapal-kapal Suriname mengikuti kapal C.E. Thornton

selama perjalanannya171.

Mengingat negosiasi diplomatik tidak mengalami kemajuan, maka

pada 24 Februari 2004 Guyana memulai acara persidangan arbitrasi

berdasarkan Annex VII dari KHL 1982 yang sudah diratifikasi oleh Guyana

pada 16 November 1993 dan Suriname pada 9 Juli 1998. Karena tidak

ada pihak yang membuat deklarasi sesuai pasal 287(1) Konvensi 1982

mengenai opsi atas prosedur yang bersifat memaksa, maka dengan

memanfaatkan pasal 287(3) para pihak dianggap sudah menerima

arbitrasi sesuai dengan Annex VII dari KHL 1982.

171

Ibid, Hlm. 192.

Page 203: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

189

Di samping itu tidak ada pihak yang membuat deklarasi menurut

pasal 298 mengenai opsi pengecualian terhadap penerapan prosedur

memaksa yang ditetapkan dalam section 2 Bab XV. Patut dicatat bahwa,

terkecuali meminta Tribunal Arbitrasi (the Tribunal) untuk memutuskan

garis batas maritim sesuai dengan garis yang diklaim masing-masing

pihak – garis Suriname N108E yang bertentangan dengan garis Guyana

N348E, para pihak saling mengecam telah melanggar kewajibannya

berdasarkan pasal 74(3) dan 83(3) KHL 1982 karena tidak berupaya

membuat pengaturan sementara (provisional arrangement) yang bersifat

praktis selama delimitasi belum disepakati, dan karena membahayakan

atau menghalangi tercapainya persetujuan yang sifatnya final. Di samping

itu Guyana juga mengklaim bahwa Suriname bertanggungjawab secara

internasional atas pelanggaran kewajiban berdasarkan KHL 1982, Piagam

PBB, dan hukum internasional umum untuk menyelesaikan sengketa

dengan cara-cara damai akibat menggunakan kekuatan bersenjata (dalam

insiden CGX)…, dan Suriname berkewajiban membayar gantirugi. Setelah

selesai acara pemeriksaan perkara, the tribunal menyampaikan

putusannya pada 17 September 2007.

Mengenai delimitasi maritim, kedua belah pihak meminta Tribunal

untuk menetapkan sebuah garis batas maritim tunggal yang menentukan

garis batas laut territorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.

Tribunal membagi delimitasi menjadi tiga bagian : (i) delimitasi laut

Page 204: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

190

territorial sampai 3 mil laut; (ii) delimitasi laut territorial antara 3 dan 12 mil

laut; (iii) delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.

Mengenai yang pertama, Tribunal pertama-tama mengamati kalau

pasal 15 mengutamakan ‘the median line’ sebagai garis delimitasi laut

territorial antara Negara-negara yang saling berhadapan atau

berdampingan172. Kemudian Tribunal mempertimbangkan apakah

pertimbangan navigasi yang dikemukakan oleh Suriname dapat

dikategorikan sebagai ‘a special circumstance’ yang membenarkan

penyimpangan terhadap pendekatan ‘median line’, yang ditentang oleh

Guyana.

Ada dua terusan di Corentyne River : terusan yang dalam lebih

dekat pada tepi timur sungai itu (sisi Suriname) dan terusan yang dangkal

lebih dekat pada tepi barat sungai itu (sisi Guyana). Walaupun navigasi

atau pelayaran ke dalam sungai Corentyne yang berasal dari arah laut

(seaward) lazimnya ada di terusan timur, namun setidak-tidaknya pada

1940 terdapat sarana navigasi untuk membantu lintas pelayaran melalui

terusan barat. Dengan mengeksaminasi sejarah pembentukan pasal 12(1)

dari the 1958 Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone,

di mana teks pasal 15 KHL 1982 sebenarnya identik dengan pasal 12 (1)

Konvensi 1958, yurisprudensi internasional menyangkut ruang lingkup

172

“Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of the two States is entitled, failing agreement between them to the contrary, to extend its territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest points on the baselines from which the breadth of the territorial seas of each of the two States is measured. The above provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historic title or other special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way which is at variance therewith”.

Page 205: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

191

‘special circumstances’173dan kepentingan navigasi dianggap sebagai

suatu ‘special circumstance’174, Tribunal berkesimpulan bahwa keadaan

khusus menyangkut kepentingan navigasi dapat membenarkan untuk

melakukan penyimpangan terhadap ‘median line’.

Kemudian Tribunal mempertimbangkan fakta-fakta sebagai berikut

: Negara pendahulu para pihak menyepakati garis delimitasi N10oE

dengan alasan bahwa seluruh sungai Corentyne adalah wilayah Suriname

dan bahwa ‘the 10o Line’ menyediakan akses yang tepat melalui laut

territorial Suriname menuju ke terusan barat sungai itu; Suriname

mengajukan bukti adanya kegiatan navigasi di terusan barat, oleh karena

itu praktek kegiatan navigasi di terusan barat telah terbukti, tidak hanya

sesuatu yang bersifat hipotetis; Guyana sendiri mengakui garis yang

disebut N10oE line sejauh tiga mil laut. Berdasarkan faktor-faktor tersebut,

173

These precedents include: UK/French Continental Shelf Arbitration, where the arbitral court observed that Art. 6 of 1958 Convention on the Continental Shelf “neither defines ‘special circumstances’ nor lays down the criterion by which it is to be assessed whether any given circumstances justify a boundary line other than the equidistance line”(Case concerning the Delimitation of the Continental Shelf between the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, and the French Republic, Decision of 30 June 1977, in 18 ILM 397 (1979), para. 70); the Libya/Malta case, where the ICJ found that there is “assuredly no closed list of considerations”(Libya/Malta, Judgment, ICJ Reports 1985, 13, para. 48); the Jan Mayen case, where the ICJ stated that it was “called upon to examine every particular factor of the case which might suggest an adjustment or shifting of” the provisional equidistant line (Jan Mayen, Judgment, ICJ Reports 1993, 38, para. 54).

174 See Guyana v. Suriname, Award, above n.2, paras 304–305. Notably, in the

Beagle Channel Arbitration, the tribunal stated that it had been guided “in particular by mixed factors of appurtenance, coastal configuration, equidistance, and also of convenience, navigability, and the desirability of enabling each Party so far as possible to navigate in its own waters. None of this has resulted in much deviation from the strict median line, except. . . near Gable Island where the habitually used navigable track has been followed”. Dispute between Argentina and Chile concerning the Beagle Channel, Decision of 18 February 1977, in 17 ILM 634 (1978), para. 110. 194 Chinese JIL (2009).

Page 206: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

192

Tribunal menyatakan bahwa ‘the 10o Line’ ditetapkan di antara para pihak

mulai dari titik awal sampai batas 3 mil laut.

Mengenai garis perbatasan dari 3 hingga 12 mil laut, Guyana dan

Suriname memperluas lebar laut territorial dari 3 ke 12 mil laut, masing-

masing pada tahun 1977 dan 1978, maka masalahnya adalah apakah

garis 10o dengan sendirinya harus diperluas dari batas 3 mil ke 12 mil laut.

Mahkamah mengamati perluasan garis yang otomatis akan cepat

mengakibatkan tidak relevannya lagi ‘special circumstances’ mengenai

navigasi dan pengawasannya, tetapi bukti kepentingan Suriname dalam

hal navigasi yang meluas di luar 3 mil laut mempunyai konsekuensi.

Menurut Suriname, yang tidak memperluas garis 10o di luar batas 3 mil

laut akan menyebabkan laut territorial Guyana melilit batas utara laut

territorial Suriname sehingga mengesampingkan maksud dan tujuan

utama dipilihnya garis 10o......

Dengan mengingat keadaan khusus, the Tribunal membuat suatu

garis yang berlanjut dari titik ke arah laut dari garis N10oE pada 3 mil laut,

dan ditarik secara diagonal….Dalam keputusan Tribunal, garis ini

mencegah persilangan mendadak terhadap daerah akses ke sungai

Corentyne, dan mengajukan transisi bertahap dari titik 3 mil laut hingga 12

mil laut. Mahkamah juga menjamin garis itu menguntungkan bagi

tercapainya tujuan navigasi.

Mengenai delimitasi zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen,

Tribunal melihat bahwa ‘the case law’ yang diciptakan oleh Mahkamah

Page 207: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

193

Internasional dan yurisprudensi dari arbitrasi maupun praktek negara

sependapat dalam menyatakan bahwa proses delimitasi, dalam kasus-

kasus yang tepat (in appropriate cases), seharusnya menggunakan garis

sama jarak yang bersifat sementara (provisional equidistance line) yang

dapat disesuaikan dipandang dari sudut ‘relevant circumstances’ demi

tercapainya sebuah ‘equitable solution’.

Dalam kasus ini Mahkamah akan mengikuti metode seperti . Patut

dicatat meskipun Guyana dan Suriname tidak beranggapan bahwa ‘the

provisional equidistance line’ menggambarkan delimitasi yang ‘equitable’

sebagaimana disyaratkan oleh hukum internasional, menurut Tribunal

tidak ada keadaan relevan yang mengharuskan penyesuaian terhadap

‘the provisional equidistance line’ . Di satu sisi, konfigurasi geografis garis

pantai yang relevan tidak menggambarkan suatu ‘çircumstance’ yang

dapat membenarkan penyesuaian atau perubahan garis sama jarak yang

bersifat sementara agar dapat mencapai ‘equitable solution’; di lain pihak

tidak terdapat persetujuan tegas atau diam-diam di antara para pihak

menyangkut praktek mereka tentang konsesi minyak dan sumur minyak;

oleh karena itu praktek para pihak soal minyak tidak dapat diperhitungkan

dalam delimitasi garis batas maritim.

Mahkamah Internasional melihat dalam ‘the Cameroon/Nigeria

case’ konsesi minyak dan sumur-sumur minyak tidak dengan sendirinya

dianggap sebagai relevant circumstances yang membenarkan

penyesuaian atau perubahan garis delimitasi. Hanya jika keadaan-

Page 208: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

194

keadaan itu didasarkan atas persetujuan yang dinyatakan dengan tegas

ataupun diam-diam antara para pihak, keadaan-keadaan seperti itu dapat

diperhitungkan.175. Sepanjang menyangkut penggunaan ‘strict equidistant

line’ untuk menentukan satu-satunya garis batas maritim di luar batas 12

mil laut, putusan Tribunal tidak dapat dipermasalahkan.

Sebagaimana dikemukakan oleh ahli independen yang ditunjuk

oleh Guyana bahwa tidak adanya bentuk-bentuk alamiah lepas pantai,

seperti pulau atau elevasi surut yang mempengaruhi penarikan garis

sama jarak ini merupakan kenyataan geografis penting dalam kasus ini.

Tidak ada pula ‘special circumstances’ berupa jazirah dari salah satu garis

pantai yang amat mengganggu bagian dari ‘equidistant line’ sehingga

perbandingan soal panjang garis pantai Guyana dan Suriname cukup

proporsional.

O.3. Kasus Delimitasi Maritim di Laut Hitam (Rumania v. Ukraina)

Keputusan Mahkamah Internasional di Den Haag pada 3 Februari

2009 mengakui yurisdiksi dan hak-hak berdaulat Rumania terhadap 79%

dari 12.200 km2 landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif yang

dipersengketakan oleh Rumania dan Ukraina. Keputusan ICJ mengikuti

garis delimitasi (delimitation line) yang secara tegas ditentukan dengan

koordinat geografis antara zona yurisdiksi eksklusif Rumania dan Ukraina

di Laut Hitam (the Black Sea). Sejak putusan tersebut kedua Negara

mempunyai hak penuh untuk membuka akses sumber daya ekonomi di

175

Cameroon/ Nigeria Judgement, ICJ Reports 2002, 303, para.304

Page 209: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

195

zona tersebut. Keputusan ICJ bersifat final, mengikat dan tidak dapat

dibanding. Kedua negara terikat untuk mematuhi keputusan itu, yang

dapat segera dijalankan, tidak memerlukan persetujuan bilateral, tidak

memerlukan interpretasi terhadap keputusan atau tindakan tambahan176.

Sebenarnya delimitasi dataran kontinen (continental plateau) dan

zona ekonomi eksklusif di sektor utara dari tepian barat Black Sea sudah

lama dirundingkan antara Rumania dan Uni Soviet (USSR), tetapi kedua

Negara tidak dapat mencapai kesepakatan. Setelah USSR bubar,

masalah delimitasi maritim diselesaikan antara Rumania dan Ukraina.

Rumania menghendaki penyelesaian delimitasi menurut praktek Negara-

negara dan yurisprudensi peradilan internasional, sementara pihak

Ukraina menghendaki suatu metode yang tidak berdasar yang dapat

menimbulkan hasil yang tidak adil (unfair result).

Karena tidak ada kemajuan dalam negosiasi bilateral, maka

berdasarkan perjanjian 1997177 Rumania memohon kepada Mahkamah

Internasional di Den Haag agar sengketa delimitasi maritim di Laut Hitam

diselesaikan. Rumania juga memohon agar Mahkamah menetapkan satu

176

Nugzar Dundua, Delimitation of Maritime Boundaries between Adjacent States, (United Nations – The Nippon Foundation Fellow, 2006 – 2007, Hlm.43

177 On June 2, 1997 was signed at Constanta, the Treaty on good neighborly

relations and cooperation between Romania and Ukraine (the basic political treaty). Also on this occasion, was signed the Related basic political treaty, concluded by exchange of letters between the Foreign Ministers of both countries. Additional Agreement to the basic Political Treaty contains provisions concerning the obligation of the parties to begin negotiations to conclude a treaty on the state border regime and an agreement for the delimitation of the continental plateau and exclusive economic zones of Romania and Ukraine in the Black Sea. However, this document includes an arbitration clause which establishes the possibility for either party unilaterally to bring the International Court of Justice in The Hague to resolve maritim boundary areas. (Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1797403).

Page 210: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

196

macam garis maritim (a single maritime delimitation line) yang digunakan

sebagai garis delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.

Putusan ICJ membuat suatu garis pembagian (a dividing line), yang

ditetapkan secara teliti dengan koordinat geografis di antara daerah

yurisdiksi eksklusif Rumania dan Ukraina di Laut Hitam. Garis batas

pemisah (the line of demarcation) ditarik menurut metode berdasarkan

hukum internasional, yang dikembangkan oleh Mahkamah Internasional

dalam mengadili kasus-kasus seperti itu. Dengan menyelesaikan

sengketa kedua negara (the competing claims) atas landas kontinen dan

zona ekonomi eksklusif di the Northwest Basin of the Black Sea adalah

merupakan kemenangan bagi hukum internasional. Kasus ini menjadi

sebuah contoh penyelesaian terbaik atas masalah delimitasi maritim

dalam hubungan internasional.

Putusan Mahkamah Internasional dibagi ke dalam tiga tahap, suatu

struktur yang umumnya diadopsi dalam kasus-kasus delimitasi maritim.

Tahap pertama terdiri dari penarikan garis pemisah yang sifatnya

sementara (a provisional line of demarcation), Mahkamah

mempertimbangkan isu utama, yaitu pemilihan titik-titik dasar pada pantai

kedua negara. Mengenai pantai Ukraina, tanpa memperhitungkan pulau

yang dinamakan the Serpent Island, maka sebagai titik dasar (basis point)

digunakan Tiganca Island, Cape Tarhankut, Cape Khersones. Mengenai

pantai Rumania, Mahkamah menerima jazirah Sacalin Peninsula sebagai

suatu base point, dengan menyatakan bahwa jazirah itu adalah bagian

Page 211: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

197

daratan dan bagian dari garis pantai continental Rumania dan bentuk

geomorfologisnya serta bangunan berpasir tidak dapat mempengaruhi

setiap elemen geografi fisik yang relevan dengan delimitasi maritim178.

Pada tahap kedua, setelah menggunakan the provisional

equidistance line, Mahkamah menguji luasnya garis seperti itu (the

provisional equidistance line) yang ditarik menurut metode geometric, titik-

titik pangkal (basic points) yang teridentifikasi pada pantai kedua Negara

dapat dilihat dari sudut keadaan-keadaan kasus tersebut, terlihat seperti

tidak wajar (unfair). Dalam hubungan ini Mahkamah menghilangkan atau

mengurangi secara silih berganti klaim para pihak dalam hubungan

dengan keadaan-keadaan seperti itu, termasuk pulau ‘Snake Island’ (yang

menjadi fokus perdebatan kedua belah pihak, baik selama fase

pemeriksaan tertulis maupun lisan).

Akhirnya pada tahap ketiga, Mahkamah mengeksaminasi apakah

sebuah garis (provisional equidistance line), apabila ini ditarik, tidak

menyebabkan timbulnya hasil yang tidak adil (unfair results) karena ratio

panjangnya garis pantai kedua pihak dan ratio daerah laut yang relevan

bagi masing-masing pihak sama sekali tidak seimbang (manifest

disproportion), dengan mengacu kepada garis pemisah. Dalam

putusannya, setelah memperhatikan tidak terdapat ketidakseimbangan

(disproportion) antara daerah-daerah maritim, dibandingkan dengan ratio

panjangnya garis pantai Rumania dan Ukraina, maka Mahkamah

178

Irini Papanicolopulu, A Note on Maritime Delimitation in a Multizonal Context : The Case of the Mediterranean, Ocean Development & International Law 38, 2007, Hlm.383

Page 212: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

198

menyatakan bahwa ‘the equidistance line’ yang telah diuraikannya pada

tahap pertama tidak memerlukan perubahan tambahan. Meskipun kasus

ini relatif sederhana (a traditional maritime delimitation dispute), putusan

itu mengandung sejumlah penjelasan yang sangat bermanfaat, khususnya

titik-titik dasar dan pernyataan kokoh tentang relatif pentingnya azas

keseimbangan (proportionality) dalam delimitasi maritim179.

Patut diketahui bahwa putusan Mahkamah merupakan suatu

penolakan terhadap pendekatan Ukraine Carlos, yang berfokus pada

proporsionalitas daerah-daerah maritim, yang didasarkan pada perbedaan

panjang antara pantai kedua Negara dan alasannya kebanyakan berfokus

pada apa yang dianggap keunggulan geografi Ukraina (geographic

predominance) di tepian barat laut dari Laut Hitam. Karena kuat dan

jelasnya rumusan keputusan Mahkamah dan juga putusan itu diberikan

sebagai satu kesatuan (in Unity), maka semua hakim menahan diri untuk

merumuskan pernyataan ataupun pendapat terpisah (separate opinion),

kami yakin dan percaya bahwa keputusan ICJ dalam kasus delimitasi

maritim Laut Hitam (Rumania v. Ukraina) adalah suatu putusan yang fair.

O.4. Perjanjian Laut Barents (the Barents Sea Treaty)

Berdasarkan perjanjian, Rusia dan Norwegia telah menetapkan

satu macam garis delimitasi (a single delimitation line) untuk zona

ekonomi eksklusif dan landas kontinen di dalam 200 mil laut dari pantai

dan sebuah garis delimitasi di antara landas kontinen Norwegia dan Rusia

179

Ibid, Hlm. 384

Page 213: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

199

di mana landas kontinen ini melampaui batas 200 mil laut.180 The United

Nations Commission on the Limits of the Continental Shelf’ berkesimpulan

bahwa dasar laut di luar 200 mil di Laut Barents berada di batas luar

landas kontinen sebagaimana ditentukan dalam pasal 76 dari KHL 1982.

Sesuai dengan joint statement April 2010, garis delimitasi

didasarkan atas hukum internasional demi tercapainya an equitable

solution. Kedua belah pihak selanjutnya menegaskan bahwa mereka telah

menerapkan relevant factors identified in this regard in international law,

yang menunjukkan luasnya hukum kasus delimitasi garis batas maritim.

Akan tetapi joint statement meliputi beberapa referensi prinsip-prinsip

spesifik atau pernyataan normatif yang telah dikembangkan oleh

pengadilan internasional dan tribunal arbitrasi. Satu-satunya faktor relevan

yang dikemukakan adalah besarnya pengaruh disparitas dalam hal

panjang garis pantai masing-masing.

Secara khusus patut dicatat bahwa dalam joint statement tidak

ditunjuk mengenai median line atau equidistance line atau the sector line.

Digunakannya rumusan yang kurang deskriptif relevant factors dari pada

konsep baku tentang relevant or special circumstances dapat

menimbulkan kesan kalau proses delimitasi sudah berbeda dari apa yang

digunakan dalam keputusan pihak ketiga akhir-akhir ini. Di samping

hukum internasional, kedua pihak sudah memperhitungkan kemajuan

180

Tore Henriksen, Maritime Delimitation in the Arctic: Barents Sea Treaty, (Norway: Ocean Development and International Law, 42, 2011 Taylor and Francis Group, LLC), Hlm. 1.

Page 214: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

200

yang dicapai selama perundingan yang berlangsung lama di antara para

pihak. Rumusan seperti ini juga terkesan bahwa faktor-faktor non hukum

dapat menjadi relevan dan dapat dipertimbangkan dalam menetapkan

garis delimitasi yang bersifat final.

Baik berdasarkan Konvensi Geneva 1958 tentang Landas

Kontinen maupun Konvensi Hukum Laut 1982 negara-negara pantai dapat

menyepakati bagaimana sengketa delimitasi maritim seharusnya

diselesaikan. Tidak mengherankan para pihak dalam sengketa Laut

Barents mengacu pada hukum internasional ketika mereka mengadakan

negosiasi dan pernyataan bersama pada tahun 2010 maupun mukadimah

perjanjian delimitasi. Untuk mengidentifikasi hukum yang berlaku dan

menilai sejauh mana hukum internasional dapat mempengaruhi hasil

negosiasi delimitasi maritim di Laut Barents, maka pada awal negosiasi di

tahun 1970-an hukum yang berlaku adalah pasal 6 Konvensi Geneva

1958, yang kemudian diganti dengan pasal 74 dan 83 Konvensi Hukum

Laut 1982, di mana kedua artikel ini identik rumusannya.

The delimitation of the exclusive economic zone (continental shelf) between States with opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution. Disebutkannya dalam artikel-artikel tersebut sumber-sumber hukum

internasional dan kepatutan (the sources of international law and equity)

mengandung arti, tidak adanya kriteria obyektif untuk menentukan garis

batas maritim terhadap zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Hal

Page 215: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

201

ini dilatarbelakangi tidak adanya kesepakatan multilateral selama

berlangsungnya perundingan antara mereka yang mendukung ‘median

line (equidistance line)’ sebagai azas utama dan mereka yang

menyatakan delimitasi seharusnya diatur dengan ‘equitable principles’.

Sebenarnya artikel 74 dan 83 mengamanatkan agar Mahkamah

Internasional dan tribunal arbitrasi mengembangkan hukum internasional

dalam bidang delimitasi. Dalam kasus antara Barbados dan Trinidad dan

Tobago pada 2006, tribunal arbitrasi dalam mempersiapkan hukum yang

berlaku menyatakan mengenai ketentuan-ketentuan tersebut bahwa

dalam masalah yang berkembang begitu signifikan setelah 60 tahun

terakhir, maka hukum kebiasaan, bersama putusan pengadilan dan

arbitrasi, juga memiliki peranan tertentu yang membantu membentuk

pertimbangan-pertimbangan yang berlaku pada setiap proses delimitasi.

Metode yang diterapkan dalam delimitasi maritim oleh pengadilan

dan tribunal internasional sudah menjadi spesifik di tahun-tahun terakhir.

Delimitasi dijalankan dalam dua tahap, pertama, menarik ‘equidistance

line’ yang sifatnya sementara berdasarkan garis pantai yang relevan dan,

kedua, mengidentifikasi relevant circumstances yang memerlukan

penyesuaian (adjustment). Seperti dinyatakan oleh Mahkamah

Internasional dalam the Romania v. Ukraine Case, maka fungsi dari

relevant circumstances, untuk memverifikasi bahwa equidistance line yang

bersifat sementara tidak dipersepsi sebagai tidak wajar (inequitable)

Page 216: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

202

ditinjau dari sudut keadaan khusus dari suatu kasus 181. Dengan demikian

‘case law’ yang mutakhir memperkuat status dari ‘equidistance principle’.

Selanjutnya, sebagaimana dicatat oleh tribunal arbitrasi dalam the

Barbados v. Trinidad and Tobago Case, maka the relevant circumstances

semakin dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan geografis karena

dalam penentuan garis tunggal (a single line) untuk landas kontinen dan

zona ekonomi eksklusif keadaan geografis dipersepsikan sebagai sesuatu

yang murni (neutral) dibandingkan dengan keadaan geologis dan yang

terkait dengan sumber daya. Pengadilan dan tribunal internasional

memiliki keleluasaan tertentu untuk membatasi dan menimbang keadaan

seperti itu di dalam seluruh persyaratan untuk mencapai suatu ‘equitable

solution’ dalam kasus tertentu.

Tahap atau langkah ketiga digunakan dalam the Romania and

Ukraine Case, yang mengharuskan pengadilan menilai apakah garis yang

muncul dari tahap satu dan dua menimbulkan hasil tidak wajar

(inequitable result) akibat ketidakseimbangan (marked disproportion)

antara ratio panjangnya masing-masing pantai dan ratio bagian laut yang

relevan dari masing-masing Negara. Langkah ini yang kembali

mempertimbangkan proporsionalitas tampaknya semakin memperkuat

kriteria geografis dalam delimitasi maritim.

Keadaan yang mungkin relevan atau khusus dapat dibagi ke dalam

dua kelompok : geographical dan non-geographical. Kehadiran dan

181 Tore Henriksen, Maritim Delimitation in the Arctic, (Oslo: Taylor & Francis

Group LLC, Ocean Development & International Law 42, 2011), Hlm. 4

Page 217: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

203

keberadaan pulau-pulau dapat menjadi suatu ‘relevant geographical

circumstance’ di mana pulau kecil tidak diperhitungkan atau sama sekali

tidak berpengaruh karena pulau-pulau itu dapat mengakibatkan

ketidaksepadanan terhadap garis delimitasi.

Keadaan relevan lain adalah situasi di mana konfigurasi pantai

yang relevan dapat mengganggu atau memotong. Keadaan nongeografis

yang relevan dapat mencakup berbagai macam faktor ekonomi. Akan

tetapi Mahkamah Internasional sudah menolak disparitas kemakmuran di

antara negara-negara sebagai relevant circumstance.

Mahkamah dan tribunal arbitrasi enggan mempertimbangkan

keberadaan dan lokasi sumber daya alam di daerah yang

dipersengketakan (disputed areas) sebagai suatu relevant circumstance,

tetapi dalam the Jan Mayen Case, Mahkamah Internasional menganggap

akses perikanan capelin sebagai suatu relevant circumstance. Namun

dalam Romania v. Ukraine Case tahun 2009, dengan merujuk pada

keputusan Gulf of Maine Case tahun 1984 Mahkamah berkesimpulan

bahwa tidak terdapat bukti bahwa diadopsinya median line membawa

malapetaka bagi kehidupan dan kesejahteraan ekonomi penduduk.

Keadaan lain yang mungkin relevan adalah keamanan (security).

Akan tetapi apabila daerah yang dipersengketakan berada jauh dari garis

pantai para pihak. Akhirnya keadaan geografis mencakup

ketidaksepadanan (disproportion) antara panjangnya pantai, meskipun

tidak setiap ketidakseimbangan (disproportion) akan memenuhi syarat

Page 218: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

204

sebagai keadaan geografi yang relevan. Dalam kasus Cameroon v.

Nigeri’, Mahkamah menyatakan bahwa perbedaan substansial dalam hal

panjangnya garis pantai masing-masing pihak dapat dikualifikasi sebagai

suatu ‘relevant circumstance’.

O.5. Jan Mayen Case

Denmark dan Norwegia mencoba merundingkan garis perbatasan

maritim (the maritime boundary) antara Greenland (Denmark) dan Pulau

Jan Mayen (Norwegia). Ketika upaya kedua negara mengalami

kegagalan, Denmark mengajukan permohonan kepada Mahkamah

Internasional untuk menentukan perbatasan di daerah itu. Mahkamah

menjalankan yurisdiksinya atas dasar yurisdiksi memaksa (compulsory

jurisdiction).

Denmark mengklaim garis batas maritim tunggal (a single maritime

boundary) di dalam daerah yang bertepatan dengan batas 200 mil laut

yang ditarik dari garis pantai Greenland (lihat peta).182 Tepat di daerah

antardua teritori, garis tersebut praktis 50 mil sampai pada garis pantai

Jan Mayen. Norwegia menyatakan kalau garis-garis batas maritim antara

zona perikanan dan landas kontinen dari kedua teritori adalah equidistant

line (line AKLD). Garis tersebut jaraknya sama dengan masing-masing

teritori. Perbatasan (the boundary) yang ditetapkan oleh Mahkamah

ditemukan di antara garis yang diklaim oleh para pihak.

182

Jonathan I. Charney, Maritime Delimitation in the Area between Greenland and Jan Mayen (Den. v. Norway), The American Journal of International Law, Vol.88, No.1 (January 1994), Published by American Society of International Law, Stable URL : http://www.jstor. Org/stable/2204026. Accessed : 15/11/2012

Page 219: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

205

Jan Mayen adalah sebuah pulau kecil di Atlantik Utara yang

berlokasi sekitar 250 mil laut sebelah timur Greenland dan 350 mil laut

sebelah utara Islandia. Greenland, yang merupakan daratan dengan

ukuran tertentu penduduknya jarang di pantai timur. Jan Mayen tidak

memiliki penduduk asli atau perekonomian. Daerah laut terpencil dan

ganas di antara Jan Mayen dan Greenland sering tertutup es. Satu-

satunya perikanan komersial di daerah itu terkait ikan capelin, ikan kecil

dalam kelompok kecil. Kapal-kapal yang berasal dari pelabuhan jauh,

beberapa di antaranya adalah kapal asing mengeksploitasi ikan-ikan

semacam itu selama musim panas. Sumber kekayaan dasar laut yang

dapat dieksploitasi secara komersial tidak dikenal.

Dalam melakukan pendekatan terhadap masalah delimitasi,

Mahkamah mengadopsi untuk sementara equidistant line, tetapi

Mahkamah cepat menolaknya atas dasar perbedaan substansial dalam

hal panjangnya garis pantai Greenland yang relevan (504.3 - 524 km

antara titik G dan H) dan Jan Mayen (54.8 - 57.8 km antara titik E dan F).

Perbedaan seperti ini dikenal sebagai suatu keadaan khusus (special

circumstance) dan suatu keadaan relevan (relevant circumstance) yang

secara nyata dapat menimbulkan hasil yang tidak layak (manifestly

inequitable result) jika digunakan the equidistant line. Keadaan seperti itu

mengharuskan adanya penyesuaian the equidistant line ke arah Pulau

Page 220: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

206

Jan Mayen yang menguntungkan Greenland sehingga menimbulkan hasil

yang wajar (equitable result)183.

Mahkamah membangun garis perbatasan dengan membagi

daerah itu di antara garis-garis yang diklaim para pihak menjadi tiga zona.

Zona 1 diperkirakan sebagai daerah penangkapan ikan capelin yang

bersifat komersial. Daerah itu dibagi setengah yang memberikan kepada

kedua Negara akses perikanan yang seimbang (line MN). Konfigurasi

zona 2 dan 3 mencerminkan klaim para pihak dari aspek geometri. Garis

(AO) yang membagi zona 3 menghubungkan ujung garis (A) hingga titik di

sisi seberang (IK) jaraknya dua pertiga ke arah Greenland (O). Zona 2

dibagi dengan menghubungkan ujung garis pembagi zona 1 dan 3 (garis

ON).

Mahkamah membenarkan garis perbatasan di zona 2 dan 3 (garis

AON) dengan mengemukakan persyaratan ‘equity’. Para hakim

mengajukan banyak deklarasi dan pendapat terpisah (separate opinion),

tetapi hanya Hakim ad hoc Fischer (Denmark) yang mengajukan pendapat

berbeda. Keputusan ini sesuai dengan pertimbangan dan putusan

internasional yang menetapkan batas-batas maritim internasional.

Keputusan ini mempertimbangkan beberapa persoalan baru dan bukan

persoalan yang telah diselesaikan sebelumnya.

Untuk pertama kalinya dalam perkara garis batas maritim, yurisdiksi

Mahkamah dilakukan berdasarkan yurisdiksi memaksa (compulsory

183

Ibid, Hlm. 107.

Page 221: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

207

jurisdiction). Walaupun tidak menentang yurisdiksi Mahkamah, Norwegia

menyatakan bahwa tidak adanya kesepakatan mengenai hukum garis

batas maritim yang dapat diterapkan, maka berdasarkan hukum

internasional umum para pihak harus menyelesaikannya melalui

perjanjian sehingga Mahkamah tidak berwenang menetapkan garis batas

maritim.

Kemungkinan lain, Norwegia menyatakan bahwa tidak adanya

kesepakatan para pihak, maka Mahkamah tidak dapat menetapkan garis

batas maritim; Mahkamah hanya dapat menunjukkan secara umum

pertimbangan-pertimbangan yang relevan yang seharusnya

diperhitungkan para pihak dalam merundingkan garis perbatasan. Akan

tetapi Mahkamah menolak alasan-alasan Norwegia dan memutuskan

bahwa hukum internasional yang berlaku menghendaki para pihak

menggunakan semua upaya hukum dalam menyelesaikan perbatasan.

Jika upaya tersebut gagal, maka aturan untuk menentukan garis

perbatasan ditetapkan dengan hukum internasional yang bersifat

substantif. Persetujuan para pihak bukanlah syarat bagi Mahkamah untuk

memutuskan garis perbatasan, meskipun Mahkamah dapat menyerahkan

kepada mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil yang bersifat

teknis. Mahkamah juga menolak klaim Norwegia bahwa dalam artikel 1

perjanjian terdahulu, Norwegia dan Denmark sepakat kalau seluruh garis

batas landas kontinen adalah garis sama jarak (equidistant line).

Page 222: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

208

Dengan menerapkan aturan interpretasi dalam the Vienna

Convention on the Law of Treaties, Mahkamah menguji artikel 2 dari

perjanjian tersebut, yang menerangkan secara terperinci garis batas

landas kontinen antara daratan utama (mainland) kedua Negara.

Berdasarkan eksaminasi ini serta perjanjian dan praktek yang kemudian

dilakukan oleh para pihak, maka Mahkamah memutuskan perjanjian itu

tidak menyinggung perbatasan maritim Greenland dan Jan Mayen.

Norwegia juga menyatakan kalau tindakan bersama para pihak

sebelum berperkara di pengadilan telah membuktikan dan menetapkan

‘equidistant line’ sebagai garis perbatasan. Kedua Negara menggunakan

‘equidistant line’ antarwilayah untuk beberapa tujuan di daerah lepas

pantai. Mahkamah menganalisis keadaan-keadaan seperti itu dan

memutuskan bahwa Denmark telah menggunakan ‘equidistant line’ guna

menghindari semakin memburuknya konflik dengan Norwegia.

Tindakannya tidak berada dalam konteks (represent) perjanjian baik yang

bersifat aktual ataupun diam-diam, ataupun berhenti memastikan garis

perbatasan di equidistant line.

Dalam keputusan itu, Mahkamah menguji relevansi azas the

equidistance/special circumstances yang diatur dalam Konvensi Geneva

1958 mengenai Landas Kontinen dan praktek yang kini lazim dalam

menetapkan satu macam garis batas maritim (a single maritime boundary)

yang mempunyai banyak fungsi. Denmark menganjurkan satu macam

garis batas maritim untuk zona perikanan dan landas kontinen para pihak.

Page 223: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

209

Norwegia menganjurkan pemisahan masing-masing zona (separate

analyses) meskipun pada akhirnya garis-garis perbatasan itu mungkin

bertepatan (coincident).

Mahkamah menerima pendirian Norwegia dan mengaku

menggunakan analisis tersendiri (separate analyses). Mahkamah

memutuskan bahwa a single maritime boundary dapat ditetapkan hanya

jika para pihak setuju. Meskipun ini kesimpulan hukum, Mahkamah

membuat analisis yang sama mengenai garis batas landas kontinen dan

zona perikanan. Garis batas yang diadopsi adalah garis batas yang

bertepatan.

Baik Norwegia maupun Denmark adalah peserta Konvensi Geneva

1958 mengenai Landas Kontinen yang dapat diterapkan pada garis batas

landas kontinen. Dengan demikian Mahkamah harus menerapkan azas

‘the equidistance / special circumstances pada aspek delimitasi tersebut.

Dalam analisisnya Mahkamah berpedoman pada kesimpulan Mahkamah

Arbitrasi dalam the Anglo-French case yang menyatakan aturan Konvensi

Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen dapat disamakan dengan azas

hukum internasional umum yang mensyaratkan hasil yang wajar

(equitable result) yang didasarkan atas ‘equitable principles’. Dengan

demikian analisis hukum untuk landas kontinen dan zona perikanan harus

sama.

Selanjutnya, Mahkamah membagi secara wajar perikanan capelin

di zona 1 (garis MN) untuk menempatkan tidak hanya batas zona

Page 224: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

210

perikanan tetapi juga batas landas kontinen, meskipun ikan yang ada di

perairan (superjacent waters) tidak mempengaruhi hak-hak Negara pantai

atas landas kontinen. Tetapi ternyata tidak perlu dalam hukum garis batas

maritim yang bertepatan tampaknya menjadi garis batas maritim tunggal

(a single maritim boundary) yang ditetapkan atas dasar satu analisis.

Mahkamah menghadapi lagi permasalahan tentang peranan the

equidistant line. Kasus ini menyangkut garis batas maritim antara garis-

garis pantai yang saling berhadap-hadapan. Dengan mengikuti putusan-

putusan terdahulu, Mahkamah dengan mudah mengadopsi equidistant

line sebagai garis batas yang bersifat sementara (the provisional

boundary), (garis AKLD), kemudian memodifikasinya dengan

mempertimbangkan keadaan relevan lain.

Meskipun Jan Mayen sangat kecil dibandingkan dengan Greenland

baik dalam hal luas daratan maupun garis pantai, Mahkamah

memutuskan bahwa garis pantai pulau kecil ini berhak atas zona-zona

maritim sepenuhnya. Di sisi lain dalam menghadapi garis pantai

Greenland yang luas yang haknya tumpang tindih, delimitasi zona-zona

maritim mengharuskan pulau Jan Mayen tidak menerima hak-hak seperti

itu. Meskipun Denmark menetapkan bahwa perbedaan panjang garis

pantai membentuk keadaan khusus/ keadaan relevan yang membenarkan

penyimpangan terhadap equidistance, Denmark tidak berhasil dalam

mengklaim batas 200 mil laut sepenuhnya.

Page 225: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

211

Kemudian Mahkamah membagi daerah yang relevan, tetapi hal ini

tidak terkait dengan perbandingan panjang garis pantai. Mahkamah

kurang mengutamakan Denmark karena pulau Jan Mayen diberi sebagian

daerah (yang terletak) di antara batas 200 mil laut yang ditarik dari

Greenland (garis AIJB) dan ‘the equidistant line’ (garis AKLD). Suatu

delimitasi yang memberi hak penuh kepada satu Negara dan hanya

memberikan sisanya kepada yang lain dianggap tidak tepat

(inappropriate) ketika garis pantai kedua Negara berhadapan di daerah

itu.

Daerah maritim yang diukur oleh Mahkamah guna mengkalkulasi

perbandingannya dengan garis pantai adalah unik. Mahkamah tidak

mengukur porsi seluruh daerah yang relevan yang diperuntukkan bagi

masing-masing Negara, tetapi agaknya mengkalkulasi ratio untuk daerah

antara klaim kedua negara. Denmark: line AIJB; Norwegia: line AKLD

yang dibagi dengan garis batas yang dibangun oleh Mahkamah (line

AONM).

Seperti di masa lalu, Mahkamah menolak pertimbangan sosial

ekonomi karena tidak relevan. Akan tetapi Mahkamah membagi zona 1

guna memberikan akses perikanan capelin yang wajar (equitable access).

Tindakan ini bisa dibedakan dari tindakan yang mengakui pertimbangan

sosial ekonomi, dengan alasan bahwa tindakan ini semata-mata membagi

suatu kekayaan alam. Untuk melaksanakan pembagian tersebut,

Mahkamah mengidentifikasi daerah dengan nilai komersial terbaik dan

Page 226: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

212

mempertimbangkan pola-pola migrasi ikan seperti itu. Mahkamah juga

meneliti apakah akses perikanan itu terhalang akibat aliran es, tetapi

menyatakan es itu tidak bermasalah selama musim penangkapan ikan.

Akhirnya para pihak mengemukakan argumen berbasis analisis

mengenai penyelesaian garis batas maritim lain, dengan alasan bahwa

penyelesaian ini secara langsung berkaitan erat dengan sengketa fakta

atau hukum. Denmark secara khusus bersandar pada penentuan garis

batas antara Islandia dan Norwegia, yang mengalokasikan batas 200 mil

laut sepenuhnya bagi Islandia, dengan hanya menyerahkan sisa 106 mil

laut bagi Norwegia (Jan Mayen). Denmark especially relied upon the

Iceland/Norway delimitation, which allocated the full 200-nautical-mile limit

to Iceland, leaving only the remaining 106 nautical miles for Norway (Jan

Mayen).

Mahkamah menolak semua argumen itu dengan alasan bahwa

setiap kasus adalah unik dan bahwa pengaruh pertimbangan politik

terhadap suatu cara penyelesaian membuatnya tidak pantas pada kasus-

kasus lain. Walaupun ternyata suatu Negara menyetujui suatu metode

penetapan beberapa garis batas maritim, namun tidak berarti metode ini

harus digunakan di tempat lain.

Deklarasi dan pendapat terpisah anggota-anggota Mahkamah

menyinggung berbagai isu. Selain pendapat berbeda dari Hakim ad hoc

Fischer, dua hakim lain mengambil posisi yang menyerang keputusan itu.

Hakim Oda dan Schwebel, dengan cara tersendiri, menemukan apa yang

Page 227: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

213

diberikan oleh Mahkamah mengenai hukum dan penerapannya pada

fakta-fakta adalah sedemikian lemah sehingga garis-garis perbatasan

yang jumlahnya tidak terbatas dapat dibenarkan. Karena garis yang dibuat

oleh Mahkamah adalah tidak terbatas, maka banyak hakim yang tidak

setuju. Hakim Weeramantry mengemukakan separate opinion yang

substansial hingga memberi penjelasan menarik mengenai equity,

peranan equity dalam hukum secara umum dan dalam hukum delimitasi

garis batas maritim secara khusus. Hakim Shahabuddeen menyatakan

kecamannya terhadap apa yang dilakukan oleh Mahkamah yang

menggabungkan azas the equidistance/ special circumstances dan

hukum garis batas maritim internasional yang bersifat umum, dan

penerapan azas proportionality. Hakim Evensen, Mawdsley dan Ajibola

juga mengajukan separate opinion.

Berangkat dari kasus the Jan Mayen pada tahun 1993, ICJ kurang

lebih membahas pengertian equitable principles. Alasannya adalah bahwa

berdasarkan kesimpulan Mahkamah terkait delimitasi landas kontinen di

antara negara-negara yang saling berhadapan (opposite states), azas

Equidistance-Special Circumstances yang dirumuskan dalam pasal 6

Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen secara materiil tidak

berbeda dari azas Equitable Principles-Relevant Circumstances yang ada

dalam hukum kebiasaan internasional.

Selanjutnya ICJ memadukan kedua azas menyangkut delimitasi

zona ekonomi eksklusif dengan menyatakan bahwa pernyataan mengenai

Page 228: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

214

suatu equitable solution sebagai tujuan dari setiap proses delimitasi

mencerminkan syarat hukum kebiasaan apabila berkaitan dengan suatu

delimitasi landas kontinen maupun zona ekonomi eksklusif. Dengan

demikian mengingat kasus-kasus yang pertama kali muncul (the earlier

cases) seperti the North Sea Continental shelf cases menolak karakter

atau kekuatan mengikat dari metode equidistance dan mencoba

mengklarifikasi arti dari equitable principles, maka perkara Jan Mayen

tahun 1993 bermaksud mengesampingkan perbedaan substansial antara

kedua azas tersebut, dan membenarkan digunakannya metode

equidistance yang bersifat sementara (provisional)184.

P. Zona Kerjasama Pengembangan (Joint Development Zone)

Sengketa garis batas maritim bukanlah sebuah fenomena baru,

dan tampaknya sengketa itu sudah merata menyusul perluasan wilayah

maritim yang tunduk di bawah yurisdiksi nasional setelah berlakunya KHL

1982. Dalam banyak kasus penerapan ketentuan-ketentuan Konvensi

mengakibatkan laut territorial, zona ekonomi eksklusif atau landas

kontinen dari Negara-negara yang saling berhadapan atau berdampingan

dapat tumpang tindih baik secara nyata ataupun potensial (actual or

potential overlaps).

Apabila hal seperti itu terjadi, maka Negara-negara yang

bersangkutan perlu mencapai persetujuan mengenai batas zona-zona

maritim secara timbal balik, jika mungkin, melalui negosiasi. Apabila

184

Ki Beom Lee, op.cit, Hlm.9.

Page 229: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

215

Negara-negara tidak sanggup mencapai kesepakatan dengan cara

negosiasi, maka pada umumnya mereka mencoba untuk menyelesaikan

perbedaannya melalui mekanisme penyelesaian oleh pihak ketiga yang

mereka pilih. Dengan demikian, meskipun umumnya sengketa garis

perbatasan harus diselesaikan dengan persetujuan para pihak, beberapa

Negara masih menganggap perlu, dan bahkan ada kalanya

menguntungkan dari segi politis, untuk menggunakan prosedur

penyelesaian oleh pihak ketiga terkait sengketa garis batas maritim, entah

melalui institusi peradilan yang ada atau melalui arbitrasi ad hoc.

Meskipun ternyata tak satu pihak pun dalam sengketa seperti itu dapat

memperoleh segala yang dikehendakinya melalui proses seperti itu.

Menurut seorang pengamat, dalam banyak kasus, zona yang

dipersengketaka harus dibagi secara agak berimbang (equally) dengan

menggunakan serangkaian data geodetika yang didasarkan atas

beberapa konstruksi geometris. Sesungguhnya dia mempertanyakan

apakah ada alasan jelas dan senantiasa konsisten dalam hukum

delimitasi maritim sebagaimana terdapat dalam Konvensi atau keputusan

ICJ dan tribunal lainnya.

Mengenai konsep kelanjutan alamiah (natural prolongation) yang

umumnya dikemukakan sebagai dasar untuk menetapkan batas-batas

Page 230: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

216

landas kontinen, maka dia menyatakan kekagumannya melalui sajak

sebagai berikut185 :

Natural prolongation once solved a wrangle, But now when nations entangle, We find that the Court doesn’t do what it ought but relies on a dissected angles’. (kelanjutan alamiah pernah menyelesaikan persengketaan, tetapi kini ketika Negara-negara terlibat dalam perkara hukum atau persengketaan, kita menemukan bahwa Mahkamah tidak melakukan apa yang harus dilakukannya tetapi bersandar pada sudut yang terpotong). Saya percaya bahwa banyak negara mempunyai kesimpulan sama

ketika mereka membahas putusan pengadilan dan tribunal soal delimitasi

maritim. Apabila hal itu memang demikian, masih banyak negara

menganggap bermanfaat mencari penyelesaian lewat peradilan atas

sengketa garis batas maritim, meskipun negara-negara lain mengadopsi

metode yang berbeda dalam menangani atau menyelesaikan

sengketanya. Akan tetapi metode apapun yang diadopsi, para pemerintah

perlu mengingat tidak hanya bahwa mereka mempunyai kewajiban

berdasarkan hukum internasional untuk menyelesaikan sengketanya

dengan cara damai, tetapi juga bahwa mereka berkepentingan untuk

mencari solusi yang menguntungkan negara dan bangsanya, tidak hanya

dalam jangka pendek, tetapi juga dan terutama dalam jangka panjang.186

Untunglah meskipun beberapa sengketa garis perbatasan di darat

secara potensial dapat menimbulkan emosi, sebagian besar sengketa

185

Thomas A. Mensah, Joint Development Zones as an Alternative Dispute Settlement Approach in Maritime Boundary Delimitation, dalam Rainer Lagoni and Daniel Vignes, Maritime Delimitation, (Leiden/ Boston,Martinus Nijhoff Publishers, 2006), Hlm. 146 – 148.

186 Thomas A. Mensah, ‘Joint Develeopment Zones as an Alternative Dispute

Settlement Approach in Maritim Boundary Delimitation’, within Rainer Lagoni and Daniel Vignes, ‘Maritim Delimitation’, 2006, Martinus Nijhoff Publishers, Hlm. 147-151.

Page 231: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

217

garis batas maritim ternyata dapat diselesaikan oleh Negara-negara yang

bersangkutan dengan reaksi kecil dan tidak besar. Karena banyak Negara

rupanya mengakui hal seperti itu, meskipun perbedaan mengenai garis

batas maritim menghadirkan persoalan, perbedaan (atau persengketaan)

seperti ini juga menghadirkan kesempatan yang baik (opportunities).

Untuk satu hal, penyelesaian secara damai terhadap sengketa garis

perbatasan dapat membuka kesempatan besar untuk dapat hidup

berdampingan secara damai (peaceful co-existence) dan dalam beberapa

kasus, untuk dapat bekerjasama secara konstruktif (constructive co-

operation) di bagian-bagian yang lazimnya tertutup jika hubungan di

antara negara-negara yang bersangkutan terus diracuni oleh sengketa

garis batas maritim.

Namun lebih penting lagi, mengidentifikasi sebuah sengketa dapat

memberi insentif yang kuat dalam menetapkan pengaturan kerjasama di

antara Negara-negara yang terlibat dalam sengketa tersebut. Dengan

demikian dalam banyak kasus atau masalah, sengketa penetapan garis

batas (dapat) diselesaikan dengan relatif mudah, baik karena salah satu

pihak setuju membuat beberapa konsesi atau karena semua pihak yang

terlibat rela membuat kompromi satu sama lain (mutual compromises)

agar supaya dapat menghilangkan atau mengurangi perbedaan-

perbedaan di antara mereka. Petunjuk seperti ini menganjurkan agar

kecenderungan seperti ini dapat berlanjut di masa mendatang.

Page 232: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

218

Dengan meningkatnya jumlah kasus, kompromi tersebut meliputi

penetapan zona kerjasama pengembangan atau pengaturan yang serupa

atas bagian yang dipersengketakan. Terutama inilah yang dapat terjadi

ketika sumber kekayaan alam yang telah teridentifikasi menyebar

(straddle) di daerah yang disengketakan. Dalam hal seperti ini kerjasama

itu dapat berbentuk ‘joint development zone’, yang mencakup seluruh atau

sebagian dari daerah yang dipersengketakan (disputed area). Di dalam

zona seperti ini Negara-negara yang bersangkutan akan memiliki hak-hak

serta tanggungjawab maupun menikmati manfaat dan keuntungan

(benefits) sesuai dengan pengaturan dan kriteria yang telah disepakati di

antara mereka.

Konsep joint development zones untuk melakukan eksplorasi dan

eksploitasi sumber daya alam di bagian laut yang dipersengketakan timbul

pada paruh kedua tahun 1950-an. Setelah awalnya diragukan, konsep itu

semakin lama semakin dapat diterima sebagai pendekatan konstruktif

untuk menghadapi sengketa yang sulit menyangkut klaim maritim yang

tumpang tindih.

Meskipun konsep joint development sudah terkenal pada saat ini

dan digunakan secara luas oleh negara-negara, tidak ada kesepakatan

bulat di kalangan para ahli hukum internasional mengenai definisi atau

ciri-ciri esensial dari joint development. Misalnya beberapa sarjana

mencoba membedakan di satu pihak usaha menyatukan sumber daya

yang terbagi (unitization of shared resources) yang mereka gambarkan

Page 233: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

219

sebagai sebuah pengaturan (arrangement), yang berdasarkan pengaturan

ini satu-satunya sumber kekayaan yang mampu melintasi garis batas

internasional lalu dikembangkan atas dasar persetujuan tanpa menunjuk

garis batas seperti itu dan, di pihak lain apa yang dinamakan joint

development yang mereka definisikan sebagai rezim yang

mengesampingkan sengketa garis batas secara keseluruhan, yang

dengan demikian menciptakan suasana pengembangan yang ambigu

mengenai kerjasama yang bersifat politis sejak awal. Komentator lain

mengemukakan pandangan yang berbeda.

Demikian seorang penulis beranggapan bahwa penyatuan sumber

daya alam (unitization of resources) dan zona kerjasama pengembangan

(joint development zones) adalah dua tipe dari konsep yang sama.

Menurut penulis tersebut, ada dua tipe dari skema joint development :

yang satu adalah tipe dalam mana delimitasi maritim dikesampingkan dan

tipe yang lain adalah rezim joint development disertai dengan garis batas

yang telah ditentukan. Hal ini mirip dengan pendekatan Professor Rainer

Lagoni yang mendefinisikan joint development sebagai kerjasama

antarnegara yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi deposit

tertentu, akumulasi sumber daya non hayati yang melintasi suatu garis

batas atau terletak di bagian dengan klaim tumpang tindih.

Definisi serupa yang bersifat menyeluruh dapat ditemukan dalam

laporan dari the British Institute of International and Comparative Law

yang menyatakan bahwa joint development adalah suatu persetujuan

Page 234: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

220

antara dua negara untuk mengembangkan seperti untuk membagi secara

bersama-sama di bagian yang disepakati dengan membuat kerjasama

antarnegara dan peraturan nasional, (membagi secara bersama-sama)

minyak dan gas bumi lepas pantai di dalam zona yang sudah ditentukan di

dasar laut dan tanah di bawahnya dari landas kontinen yang dalam hukum

internasional menjadi hak dari kedua negara peserta ataupun hak dari

masing-masing negara peserta.

Tidak ada maksud untuk mencoba menyelesaikan perbedaan

menyangkut ciri-ciri utama dari joint development zones atau untuk

menjelaskan prosedur yang dipakai untuk merundingkan dan mengelola

perbedaan itu. Tidak akan masuk ke dalam kontroversi mengenai apakah

joint development wajar diterapkan hanya pada eksploitasi sumber daya

alam non hayati atau mungkin juga dapat diterapkan pada rencana

kerjasama eksploitasi sumber daya hayati. Inilah isu-isu menarik yang

tidak diragukan, tetapi tidak akan diuraikan. Tujuannya terbatas, yaitu

memberi perhatian pada joint development zones sebagai salah satu cara

bagi Negara-negara untuk menghadapi permasalahan sulit mengenai

delimitasi maritim.

Sebagaimana telah dikemukakan, joint development zones

ditetapkan baik karena para pihak mengetahui sulit atau mustahil

menyepakati garis batas tunggal di antara mereka atau karena sumber

kekayaan alam mengangkang dan menyebar (straddle) di luar garis batas

yang telah disepakati sedemikian rupa sehingga sumber kekayaan alam

Page 235: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

221

yang dapat dieksploitasi secara efektif dan wajar oleh masing-masing

Negara yang mengerjakan sendiri tidak mudah dilaksanakan.

Sebaliknya, negara-negara yang bertikai (contending States)

kemungkinan besar sepakat untuk membentuk dan menetapkan joint

development zone di mana sumber daya alam yang dapat dieksploitasi

sebenarnya telah diidentifikasi di bagian yang disengketakan. Dalam hal

seperti ini, bagi Negara-negara yang bersangkutan biasanya sudah jelas

bahwa demi kepentingan mereka secara individual dan secara bersama

sehingga sumber daya alam itu harus dieksploitasi secepat mungkin.

Tentu saja hal seperti ini memberikan insentif dan dorongan sangat

kuat bagi mereka untuk menyetujui kriteria mengenai zona kerjasama

(joint zone) karena alternatifnya adalah proses litigasi yang memakan

waktu lama serta biaya mahal yang selama proses ini tidak akan aman

ataupun setiap pihak harus menyampaikan pemberitahuan ketika

melakukan langkah apapun guna mengeksploitasi sumber daya alam.

Di samping itu pembentukan zona kerjasama seperti itu dan

kerjasama praktis yang meliputi pengelolaan zona tersebut, dalam banyak

kasus dapat memperkuat hubungan persahabatan yang ada di antara

Negara-negara tersebut atau, setidak-tidaknya, membantu mengurangi

ketegangan di antara mereka, tidak saja dalam hubungan dengan

sengketa tertentu tetapi mungkin di bidang-bidang lain. Ternyata

keuntungan khusus dari zona kerjasama ditegaskan dalam Mukadimah

pada the 1979 Joint Zone Agreement between Malaysia and Thailand .

Page 236: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

222

Joint development zone memiliki bentuk yang berbeda-beda, dan

diimplementasikan ke dalam berbagai persetujuan administratif. Misalnya

para pihak boleh memperjanjikan bahwa salah satu negara harus memiliki

kedaulatan formal atas daerah itu (the area), sementara negara lain

menerima bagi hasil (a share of the revenue). Inilah pola yang diikuti oleh

Bahrain dan Saudi Arabia dalam persetujuan tahun 1958.

Pendekatan lain adalah membagi zona kerjasama di antara

Negara-negara yang bersangkutan, sebagaimana dilakukan dalam hal

zona kerjasama Islandia-Norwegia. Zona ini dibagi ke dalam sektor utara

dan selatan, disertai peraturan Norwegia yang berlaku di sektor utara dan

peraturan Islandia yang berlaku di sektor selatan. Perjanjian itu

menentukan bahwa masing-masing Negara berhak atas 25% dari aktivitas

produksi minyak yang terjadi di bagian zona yang diatur pihak lain.

Di antara kutub-kutub ekstrim ini, terdapat berbagai bentuk

menengah, dengan rencana/ persetujuan administratif yang bergeser dari

agak sederhana ke sangat rumit. Misalnya, perjanjian 1976 antara

Norwegia dan Kerajaan Inggris menentukan dan mengatur bahwa kedua

Negara, dalam berkonsultasi dengan pemegang izin (licensee) yang

beroperasi di dalam masing-masing bagian yurisdiksinya, (kedua Negara)

akan menyusun sebuah persetujuan untuk mengeksploitasi deposit

hidrokarbon yang berada (straddled) di garis batas landas kontinennya,

yang sebelumnya telah diperbaiki dengan suatu persetujuan di antara

kedua negara pada 1965.

Page 237: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

223

Meskipun perjanjian khusus ini tidak mutlak membentuk dan

menetapkan zona kerja sama pengembangan, perjanjian ini

mencerminkan dasar pemikiran (the basic rationale) mengenai konsep the

joint development zone karena perjanjian ini berbicara mengenai tujuan

dasar dibalik pembentukan ‘joint development zones’ yang dapat memberi

jalan untuk mengeksploitasi sumber daya yang dipersengketakan dengan

cara yang efisien, layak dan saling menguntungkan bagi Negara-negara

yang bersangkutan. Contoh-contoh lain mengenai skema joint

development adalah yang ditetapkan antara Australia dan Indonesia

(1989); antara Malaysia dan Vietnam (1992); antara Perancis dan Spanyol

di Teluk Biscay 1974); antara Jepang dan Republik Korea dan antara

Senegal dan Guinea Bissau (1993).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, terlihat bahwa gagasan

tentang joint development zones kini terbukti sebagai salah satu jalan atau

kesempatan (avenue) yang dapat digunakan oleh negara-negara untuk

memecahkan dan menyelesaikan perbedaan dan perselisihan

menyangkut delimitasi garis batas maritim. Konsep seperti itu harus

banyak menghargai adanya perbedaan tersebut. Untuk satu hal, konsep

joint development zones potensial membantu negara-negara yang

bersengketa tidak hanya untuk menyelesaikan sengketa tertentu terhadap

garis batas, tetapi juga untuk memperbaiki hubungan mereka secara tepat

di mana mereka sanggup merenungkan kerjasama dan kolaborasi di

Page 238: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

224

bagian-bagian yang jika sebaliknya tidak mungkin melakukannya karena

sengketa garis perbatasan.

Untuk yang lain, skema ‘joint development’ mungkin sekali dapat

meningkatkan dan mempermudah sinergi dengan menggabungkan

sumber daya manusia, keahlian, wawasan dan pengaruh dari Negara-

negara yang berpartisipasi dengan cara yang tidak akan mungkin bagi

masing-masing Negara secara individual. Di samping itu joint

development schemes lebih memungkinkan negara-negara yang

bersangkutan untuk mendapatkan bantuan teknis dan bantuan lainnya

guna mengeksploitasi dan mengelola secara efisien sumber daya alam

yang dipermasalahkan.

Terutama bagi negara-negara berkembang. penangguhan atau

penghentian sengketa hak atas sumber daya alam mungkin sekali dapat

mempermudah para pihak untuk menarik para investor dengan syarat

pendanaan dan kemampuan mengeksploitasi sumber daya alam, dan hal

itu juga memperbaiki kemampuan mereka mengamankan dukungan dan

bantuan dari badan (agency) nasional dan internasional, baik dalam

berunding dengan investor asing maupun juga dalam membentuk atau

menetapkan mekanisme eksplorasi dan eksploitasi yang tepat atas

sumber daya alam dengan cara paling efisien dan ekonomis.

Akhirnya joint development zones bisa dilihat sebagai satu cara

yang dapat dipakai negara-negara untuk mengimplementasikan

ketentuan-ketentuan dan semangat dari ketentuan-ketentuan KHL 1982

Page 239: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

225

berkaitan dengan delimitasi garis batas maritim. Sesungguhnya patut

ditegaskan bahwa Konvensi itu mempertimbangkan bahwa dalam hal-hal

yang diperlukan Negara-negara akan menggunakan pengaturan joint

development, meskipun hal ini tidak dinyatakan dengan tegas.

Baik pasal 74, yang mengatur delimitasi di zona ekonomi eksklusif,

maupun pasall 83 mengenai delimitasi untuk landas kontinen (continental

shelf state), masing-masing dalam paragraf 3, menetapkan bahwa selama

belum tercapai persetujuan (pending agreement) mengenai delimitasi

berdasarkan hukum internasional, maka dengan semangat saling

pengertian serta kerjasama mereka harus berupaya mengadakan

pengaturan yang bersifat sementara yang sifatnya praktis. Selama masa

transisi, negara-negara diwajibkan untuk tidak membahayakan atau

menghalangi tercapainya solusi akhir. Akhirnya ketentuan itu menyatakan

bahwa pengaturan seperti itu tidak boleh mengurangi delimitasi yang

bersifat final.

Secara tepat inilah yang sebenarnya ingin dilakukan oleh banyak

Negara dalam hal-hal tersebut apabila mereka tidak sanggup mencapai

persetujuan delimitasi yang final dan definitif. Sesungguhnya, dalam

beberapa kasus, seperti dalam perjanjian antara Jepang dan Republik

Korea, para pihak telah sepakat menjalankan ‘joint development zones’

serta membekukan ketidaksepakatan mengenai delimitasi untuk selama

50 tahun, kecuali para pihak menyepakati waktu yang lebih singkat

(shorter duration).

Page 240: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

226

Bagaimanapun (in all such cases), negara-negara dengan

sendirinya memanfaatkan sarana baru ini (new device) supaya

mendapatkan waktu dan ruang untuk menyelesaikan perbedaan dan

pertentangan, tetapi tidak boleh tidak mampu menyepakati suatu garis

batas untuk mencegah pertentangan itu tidak menguntungkan dari segi

sumber daya alam yang bermasalah ataupun untuk memperkeruh

hubungan mereka di daerah lain, apabila mungkin ada kesempatan untuk

melakukan kerjasama produktif serta saling menguntungkan secara timbal

balik.

Maka itu tidak salah dikatakan bahwa, dalam menetapkan dan

menjalankan joint development zones, apa yang dilakukan oleh Negara-

negara tidak lain daripada menggunakan pendekatan yang semakin

mewujudkan salah satu tujuan Konvensi sebagaimana dinyatakan dalam

Mukadimahnya, yaitu, untuk menegakkan ketertiban hukum (legal order)

di laut dan samudera, yang antara lain akan meningkatkan penggunaan

laut dan samudera untuk maksud-maksud damai dan pemanfaatan

sumber dayanya secara patut dan adil serta efisien (promote the peaceful

uses of the seas and oceans and the equitable and efficient utilizations of

its resources).

Dalam rangka memberi perhatian terhadap serta menggarisbawahi

kebaikan dan kegunaan dari joint development zones sebagai cara

alternative yang menarik .dalam menyelesaikan sengketa mengenai

delimitasi maritim, bagaimanapun kita tidak berusaha untuk mengurangi

Page 241: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

227

peranan badan peradilan internasional yang penting, yang sungguh

krusial, dan terutama sekali Tribunal Hukum Laut Internasional (the

International Tribunal for the Law of the Sea) serta prosedur penyelesaian

sengketa lainnya yang dinyatakan dalam pasal 287 Konvensi, dalam

penyelesaian sengketa seperti itu.

Seperti diketahui sebelumnya, terdapat beberapa sengketa

delimitasi yang karena satu alasan atau lainnya, tidak dapat diselesaikan

melalui perjanjian di antara negara-negara yang bersangkutan. Apabila

hal ini terjadi, maka dapat diharapkan negara-negara yang terlibat harus

memperhatikan dengan sepatutnya fakta bahwa Tribunal ini dibentuk atau

ditetapkan oleh Konvensi hanya untuk tujuan itu saja dan bahwa tribunal

itu diperlengkapi dengan fasilitas, kompetensi professional serta

kelembagaan untuk membantu negara-negara menyelesaikan perbedaan

atau pertentangannya.

Namun harus juga dicatat dan diakui bahwa dalam beberapa

kasus, para pihak sanggup memutuskan untuk menyelesaikan

sengketanya dengan melakukan perundingan atau, apabila gagal, mereka

dapat membuat persetujuan untuk membentuk ‘joint development zones’

sebagai sebuah persetujuan sementara yang bersifat praktis, sambil

menantikan kesempatan yang lebih menguntungkan bagi penuntasan

sengketa delimitasi maritime. Apabila hal ini terjadi, maka kita seharusnya

tidak merasa kecewa kalau sengketa itu tidak diselesaikan melalui badan

peradilan (judicial settlement).

Page 242: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

228

Untuk tribunal seperti ITLOS (International Tribunal for the Law of

the Sea), maka apa yang penting bukanlah proporsi dari sengketa seperti

itu yang akan diserahkan, meskipun kita tentu saja berharap bahwa

kasus-kasus dengan ukuran besar yang perlu diselesaikan dengan

keputusan pihak ketiga akan diserahkan kepada ITLOS. Apa yang lebih

penting adalah bahwa ITLOS seharusnya bersiap, dan dilihat oleh banyak

Negara dapat bersiap, yang sepenuhnya diperlengkapi serta menarik

sebagai forum penyelesaian sengketa.

Akan tetapi di atas semuanya, yang seharusnya sangat

diprihatinkan adalah bahwa setiap sengketa yang timbul harus

diselesaikan sesuai dengan hukum yang ditetapkankan di dalam KHL

1982. Apa yang seharusnya menjadi sumber kekecewaan dan

keprihatinan serius adalah jika sengketa diselesaikan entah dengan

kekuatan ataupun dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan-

ketentuan serta azas-azas yang terdapat di dalam Konvensi. Dengan lain

perkataan, satu-satunya metode penyelesaian yang seharusnya

memberikan kita alasan untuk prihatin adalah apabila Negara yang lebih

kuat mencoba memaksakan kehendaknya terhadap Negara yang lebih

lemah, atau apabila para pihak menggunakan cara penyelesaian sengketa

yang tidak damai. Setiap cara lain yang memungkinkan para pihak

mencapai solusi yang layak dan adil yang diterima secara timbal balik bagi

mereka seharusnya disambut dan diterima oleh Tribunal ini, dan kita

seharusnya menjelaskan bahwa kita menerima, dan sungguh mengajak

Page 243: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

229

atau mendorong usaha negara-negara untuk mencari solusi seperti itu

kapan saja hal itu dapat dilakukan187.

Malaysia menghendaki dilakukannya semacam penyesuaian

terhadap equidistance line sebagai garis delimitasi maritim di Laut

Sulawesi karena kedua pulau, terutama Ligitan yang digunakan sebagai

titik pangkal bagi penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak mungkin

dapat diterima pihak Indonesia karena penetapannya sebagai titik pangkal

akan menggerogoti perairan kepulauan Indonesia di Laut Sulawesi. Upaya

Malaysia untuk mengklaim penyesuaian dan perubahan garis batas

landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif di daerah yang dianggapnya

dipersengketakan harus dihindari dalam proses negosiasi.

Keharusan ataupun keperluan menghindari upaya penyesuaian

seperti itu memiliki relevansi dikaitkan dengan separate opinion dari

Judge Oda yang intinya tidak memberikan effect apapun bagi Pulau

Sipadan dan Pulau Ligitan demi terwujudnya keadilan, di mana putusan

ICJ yang walaupun memenangkan Malaysia tidak akan berpengaruh

terhadap penetapan garis batas maritim di Laut Sulawesi.

Meskipun upaya negosiasi terkait garis batas maritim antarkedua

negara berjalan relatif intensif, otoritas Indonesia harus selalu

melakukannya melalui pentaatan terhadap prosedur dan kaidah-kaidah

hukum internasional yang berlaku, namun dengan tetap mengedepankan

187

Ibid, Hlm. 151.

Page 244: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

230

kepentingan nasional atas dasar wawasan nusantara demi tercapainya

solusi yang wajar dan adil (equitable solution).

Upaya negosiasi harus berfokus pada tercapainya equitable

solution yang menghadirkan equitable result. Proses perundingan dapat

menghasilkan suatu kesepakatan (agreement) menyangkut garis

delimitasi maritim tunggal dengan menerapkan equidistance line yang

sudah dimodifikasi akibat dipertimbangkannya berbagai keadaan relevan

(relevant circumstances). Ini salah satu kemungkinan yang bisa terjadi

dalam proses negosiasi kedua negara pasca Sipadan-Ligitan.

Kemungkinan lain adalah tercapai kesepakatan untuk tidak

bersepakat akibat kepentingan kedua negara yang tidak mungkin atau

sulit dapat dipertemukan, seperti status Malaysia yang secara de fakto

mengklaim negaranya sebagai negara kepulauan dan menjadikan kedua

pulau sebagai titik pangkal bagi penarikan garis pangkal kepulauan, di

mana Negara tersebut hendak mengabaikan berbagai faktor yang

seharusnya dapat dipertimbangkan sebagai keadaan-keadaan relevan.

Special circumstances tidak diterjemahkan dan disebutkan secara

terperinci dalam pasal 74 dan 83 dari KHL 1982 sehingga keadaan seperti

itu dikembangkan dalam praktek Negara-negara dan terutama

dikembangkan melalui kasus-kasus delimitasi maritim yang diputuskan

oleh Mahkamah Internasional dan Arbitrasi Internasional.

Ternyata dalam praktek special circumstances mencakup bukan

hanya menyangkut unsur-unsur geografis semata-mata, melainkan juga

Page 245: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

231

unsur-unsur non geografis dan hal ini menunjukkan bahwa special

circumstances tidak mempunyai daftar yang tertutup (closed list) sehingga

peluang seperti ini dapat dimanfaatkan oleh otoritas Indonesia dalam

melakukan langkah negosiasi untuk dapat menyelesaikan garis delimitasi

maritim serta mewujudkan solusi yang equitable yang berbasis keadilan

substantif.

Namun demikian equitable solution, khususnya equitable solution

berbasis keadilan substantif (Justice Based Equitable Solution) tidak

hanya dapat dicapai lewat kesepakatan untuk menerapkan metode

equidistance line guna menetapkan dan membangun garis delimitasi

maritim di daerah yang dianggap dipersengketakan di Laut Sulawesi,

tetapi juga dapat dicapai lewat kesepakatan untuk menciptakan apa yang

dinamakan joint development zone sebagai salah satu bentuk pengaturan

yang bersifat sementara (provisional arrangement), khususnya dalam

bidang perikanan karena bukan hanya sulit mencapai kesepakatan garis

batas delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi di ‘disputed area’,

melainkan juga di daerah tersebut dan perairan sekitarnya ternyata sudah

berlangsung kegiatan penangkapan ikan tradisional selama berabad-

abad yang melibatkan masyarakat berbagai Negara tetangga, khususnya

nelayan-nelayan tradisional dari Indonesia.

Q. Berbagai Teori dalam Menganalisis Implikasi Putusan ICJ terkait

Sipadan dan Ligitan terhadap Titik Pangkal dan Delimitasi Maritim

Q.1. Teori Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Page 246: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

232

Terlepas dari teori monisme dan dualisme menyangkut hubungan

antara kedua sistem hukum, maka dalam praktek hukum internasional dan

hukum nasional saling berinteraksi, dalam pengertian hukum internasional

dapat mempengaruhi hukum nasional, demikian pula sebaliknya hukum

nasional dapat mempengaruhi hukum internasional.188 Kaidah hukum

internasional dapat menjadi bagian dari hukum nasional, demikian pula

sebaliknya hukum nasional dapat berkembang menjadi bagian dari hukum

internasional.

Perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional

utama dapat menjadi bagian hukum nasional dari suatu negara dan

berlaku dalam hukum nasional apabila perjanjian itu telah ditandatangani

dan atau diratifikasi ataupun diaksesi oleh negara yang bersangkutan

sehingga negara tersebut terikat untuk mentaati dan melaksanakan

ketentuan-ketentuan perjanjian itu.

Mengingat eratnya kaitan antara berbagai sumber hukum

internasional, seperti antara perjanjian dan azas-azas hukum umum

(general principles of law) dan hukum kebiasaan internasional

(international customary law) dan juga fungsi perjanjian internasional

antara lain sebagai kodifikasi dari azas-azas hukum umum dan hukum

kebiasaan internasional. Dengan latar belakang ini apabila di dalam

perjanjian terdapat kaidah hukum kebiasaan internasional ataupun azas-

azas hukum umum, maka setiap negara tanpa kecuali akan terikat pada

188

Hikmahanto Juwana, Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional, Volume 2 Nomor 3 April 2006 , (ISSN: 1693 – 5594; Akreditasi No.65a/Dikti/Kep/2008), Hlm. 298 etc.

Page 247: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

233

hukum kebiasaan ataupun azas-azas hukum umum tersebut walaupun

negara yang bersangkutan belum menyatakan diri terikat pada perjanjian

tersebut.189

Persetujuan bilateral pada 1997190 antara Indonesia dan Malaysia

terkait penyelesaian sengketa Sipadan dan Ligitan melalui Mahkamah

Internasional mengikat kedua negara setelah perjanjian itu ditandatangani

dan diratifikasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

di masing-masing negara. Ketika ICJ memutuskan dengan memenangkan

Malaysia, maka sesuai perjanjian 1997 Indonesia mematuhi dan

menghormati serta menjalankan isi putusan ICJ yang menegaskan kedua

pulau yang dipersengketakan itu menjadi milik Malaysia. Ini berarti

perjanjian bilateral dan implikasinya menjadi bagian dari hukum nasional

masing-masing negara.

Indonesia juga telah meratifikasi KHL 1982 ketika mengundangkan

berlakunya Undang-undang nomor 17 tahun 1985 sehingga sejak

pengundangannya pada 1985 Konvensi yang berhasil ditandatangani di

Jamaika pada 1982 telah menjadi hukum positif melalui undang-undang

tersebut. Sebagaimana perjanjian internasional pada umumnya, maka

KHL 1982 berfungsi untuk mengkodifikasi dan menegaskan kembali

189

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978), Hlm. 100; Lihat juga David H Ott, op.,cit., Hlm. 32.

190 Perjanjian bilateral soal pelimpahan sengketa kedua negara terkait Pulau

Sipadan dan Ligitan kepada Mahkamah Internasional dinamakan ‘Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning Souvereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan. Perjanjian ini telah diratifikasi oleh RI berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 49 tahun 1997 (Lembaran Negara RI tahun 1997 nomor 94).

Page 248: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

234

berlakunya kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional, terutama yang

terkait dengan laut serta kegiatan-kegiatan di laut . Di dalamnya terdapat

banyak ketentuan artikel yang mencerminkan eksistensi hukum kebiasaan

internasional, khususnya hukum kebiasaan yang sudah lahir sebelum KHL

1982 diadopsi oleh masyarakat internasional.

Meskipun dikatakan bahwa salah satu fungsi dari perjanjian

internasional, termasuk dalam hal ini KHL 1982 adalah penegasan

kembali atas berlakunya kaidah-kaidah hukum kebiasaan yang dapat

diidentifikasi dan ditemukan pada banyak artikelnya, namun KHL 1982

artikel-artikelnya dapat pula tumbuh dan berkembang menjadi kaidah-

kaidah hukum kebiasaan internasional pada masa-masa mendatang.

Pertumbuhan dan perkembangan artikel konvensi menjadi suatu kaidah

hukum kebiasaan dapat terjadi melalui praktek negara-negara maupun

hukum kasus (case law) terkait sengketa antarnegara yang dilimpahkan

penanganan dan penyelesaiannya kepada mahkamah atau arbitrasi

internasional191.

Metode delimitasi, seperti median line atau equidistance line

sebagaimana diatur dalam artikel 6 dari Konvensi Geneva 1958 mengenai

landas kontinen memang bukan refleksi dan kristalisasi kaidah kebiasaan.

Namun metode seperti itu ternyata telah tumbuh dan berkembang menjadi

hukum kebiasaan internasional karena sejak konvensi tersebut berlaku

pada awal tahun 1960 ketentuan artikel 6 itu telah dilaksanakan dalam

191

Komar Kantaatmadja, Evolusi Kebiasaan Internasional, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1984), Hlm. 1-2.

Page 249: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

235

praktek negara-negara yang membuat berbagai perjanjian bilateral soal

delimitasi maritim dengan menggunakan metode delimitasi. Terlebih lagi

penerapan median line / equidistance line oleh mahkamah atau tribunal

internasional memberi kontribusi besar bagi lahirnya kaidah kebiasaan

terkait metode median line / equidistance line sebagai metode delimitasi

maritim.

Konvensi Hukum Laut 1982 dalam artikel 15 memuat metode

median line / equidistance line untuk delimitasi laut territorial, tetapi artikel

74 dan 83 Konvensi 1982 tidak menyebut metode seperti itu untuk

delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Kedua artikel yang

disebut terakhir hanya menyebut equitable solution yang sama dengan

equitable result tanpa mengemukakan metode seperti apa yang harus

digunakan untuk mencapai equitable result.

Penerapan beberapa azas delimitasi maritim berdasarkan

ketentuan artikel 74 dan 83 Konvensi 1982, terutama untuk menentukan

garis batas landas kontinen atau zona ekonomi eksklusif pada bagian-

bagian tertentu (overlapping) perlu ditelusuri melalui praktek Negara-

negara dalam menyelesaikan garis delimitasi maritim antarnegara

tetangga. Di samping itu tentu saja dan terutama harus diteliti sejauh

mana penerapan azas delimitasi maritim (agreement, equitable solution

dan lain-lain) diterjemahkan dan ditindaklanjuti oleh mahkamah dan

arbitrasi internasional yang pertimbangan dan keputusannya akan

mempengaruhi kaidah-kaidah hukum nasional.

Page 250: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

236

Q.2. Teori Keadilan

Sejarah perkembangan ilmu hukum memperlihatkan beberapa

tujuan hukum yang konvensional, yakni192 :

1. Aliran etis yang memandang bahwa pada azasnya tujuan hukum

adalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan.

2. Aliran utilities yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan

hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan

atau kebahagiaan bagi warga masyarakat.

3. Aliran normatif-dogmatik menganggap bahwa pada azasnya

hukum mempunyai tujuan untuk menciptakan kepastian hukum.

Ketiga aliran konvensional menyangkut tujuan hukum yang

dikemukakan di atas, merupakan tujuan hukum dalam arti luas. Gustav

Radbruck mengemukakan tiga nilai dasar tujuan hukum yang disebut azas

prioritas. Teori ini menyebutkan bahwa tujuan hukum pertama-tama wajib

mengutamakan keadilan, kemudian disusul kemanfaatan dan terakhir

demi untuk mencapai kepastian hukum. Ketiga nilai dasar tujuan hukum

itu diharapkan dapat terwujud secara bersama-sama, tetapi apabila tidak

mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilannya terlebih dahulu,

barulah kemudian kemanfaatannya dan terakhir kepastian hukumnya.

Dari berbagai konsep keadilan dalam sejarah peradaban umat

manusia, ternyata keadilan dipelajari dan dicari melalui dua pendekatan

sekaligus, yaitu :

192

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) (Volume 1 Pemahaman Awal), (Jakarta, Kencana Prenada Media Group),

Hlm.46 – 48.

Page 251: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

237

1) pendekatan afektif (dengan menggunakan perasaan atau intuisi); dan

2) pendekatan kognitif (dengan menggunakan pengetahuan atau logika).

Filsuf Yunani, Heraclitus mensejajarkan keadilan dengan konsep

kebijaksanaan hukum alam. Keadilan diartikan sebagai suatu pemahaman

manusia sebagai bagian dari suatu komunitas, berdasarkan atas

ketertiban alam semesta (universe). Kebijaksanaan (wisdom) menurut

Heraclitus tidak lain dari to speak the truth and to act according to nature

(berbicara benar dan bertindak sesuai alam). Oleh karena itu dalam dunia

filsafat, nilai keadilan yang harus menjiwai sebuah aturan hukum.

Plato melalui pemikirannya dalam buku Politea, yang

menggambarkan sebuah negara yang adil karena adanya pengaturan

yang seimbang sesuai bagiannya dalam kehidupan ketatanegaraan,

sehingga harapannya dapat dicapai keadilan bagi semua unsur

bernegara sebab tiap-tiap kelompok (filsuf, tentara, pekerja) berbuat

sesuai dengan tempatnya dan tugasnya 193.

Sanctus Agustinus dalam karyanya De Civitate Dei (tentang

Negara Tuhan) pernah menyatakan Remota itaque iustitia quid sunt regna

193

) Huijbers Theo, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Hlm.23. Baca juga Suri Ratnapala, ‘Jurisprudence’, (Cambridge : University Press, 2009), Hlm. 322. Dalam bukunya ‘The Republic’, Plato mengembangkan secara terperinci teori tentang ‘the just person and ‘the just state’’. Dalam Buku I dari ‘The Republic’ Plato menset sebuah perdebatan antara Socrates dan Thrasymachus (the Sophist). Socrates menyatakan bahwa ketidakadilan (injustice) hanya menimbulkan konflik dan disharmoni, sementara keadilan (justice) meningkatkan harmoni. Demikian juga dia menyatakan bahwa ketidakadilan menghasilkan konflik di dalam diri individu sehingga hal ini membuat orang yang bersangkutan tidak sanggup bertindak akibat konflik internal dan terpecahnya tujuan, serta membuatnya bersengketa dengan dirinya sendiri maupun dengan semua orang yang adil. Plato menganut pandangan yang sifatnya teleologis bahwa apa saja dan siapa saja memiliki tujuan yang sudah ditentukan dalam rencana alam semesta dan oleh karena itu setiap orang memiliki suatu keunggulan khusus (peculiar excellence). Justice means to serve that purpose and strive for that excellence.

Page 252: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

238

misi magna latrocinia-what are states without justice but robber.

Terjemahannya suatu negara yang tidak mencerminkan keadilan, tidak

usah menyebut dirinya negara, karena tanpa keadilan ia tidak ada

bedanya dengan sekawanan rampok saja.194

Cicero, filsuf dan pengacara besar pada zaman Romawi, kemudian

merumuskan tiga hal esensial yang dicapai keadilan yang sekaligus

elemen keadilan, yakni : (i) goodwill, (ii) because it desires to benefit

many, (iii) and for the same reason, faithfulness and admiration, because

it snoms and ignores the very things towards which most men, inflamed by

greed, are dragged”. Karena itu, menurut Cicero, keadilan harus terus

ditanamkan dan dijaga dengan berbagai cara demi kepentingan keadilan

itu sendiri, sebab jika tidak, akan ada ketidakadilan dan juga demi

kehormatan dan kemuliaan setiap orang.195

Demikian pula dengan Aristoteles melalui karyanya Politica196,

antara lain menyatakan bahwa salah satu di antara sekian banyak

pandangannya yang terdapat dalam buku tersebut, menghendaki suatu

pembentukan hukum harus dibimbing oleh rasa keadilan, yakni rasa

tentang apa yang baik dan pantas bagi orang-orang yang hidup bersama.

Adagium terkenal berbunyi, iustitia est constans et perpetua voluntas ius

194

Johnny Ibrahim, “Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum”, (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara dan ITS Press, 2009), Hlm.18.

195 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Azasi Tersangka, Terdakwa dan

Terpidana, (Bandung: PT Alumni, 2006), Hlm. 47-48.

196 Ibid., Hlm. 322-323. Aristoteles (384-322 BC) memandang keadilan tak

dapat dipisahkan dari kebajikan (virtue), etc.

Page 253: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

239

suum cuique tribuere, yang artinya bagian atau hak dari setiap orang itu

tidak selalu sama. Dengan demikian keadilan tidak dipandang sebagai

penyamarataan, sebab penyamarataan justru akan menyebabkan

terjadinya ketidakadilan.

Keadilan menurut Aristoteles terbagi ke dalam dua golongan, yaitu :

a) Keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian

kekayaan atau kepemilikan lainnya pada masing-masing

anggota masyarakat. Dengan keadilan distributif ini, yang

dimaksud oleh Aristoteles adalah keseimbangan antara apa

yang diperoleh seseorang dengan apa yang sepatutnya

didapatkan.

b) Keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan untuk

mengoreksi kejadian dan keadaan yang tidak adil. Dalam hal ini

keadilan dalam hubungan antara yang satu dengan yang

lainnya yang merupakan keseimbangan (equality) antara apa

yang diberikan dengan apa yang diterima.

Keadilan yang dikemukakan oleh para ahli pikir di atas lebih

menitikberatkan pada keadilan yang bersifat individual sesuai dengan

berbagai peristiwa sejarah pada zamannya yang terkait dengan

perkembangan kehidupan ketatanegaraan, mengemukanya perjuangan

hak azasi manusia, sehingga mendesak lahirnya pemikiran-pemikiran

tersebut. Di samping keadilan yang bersifat individual tersebut, lahir pula

pemikiran-pemikiran yang mengupayakan adanya keadilan yang

Page 254: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

240

didasarkan atas kedudukan manusia secara kolektif, yang disebut

solidaritas sosial dan keadilan sosial.

Segolongan pemikir atau filsuf yang mendukung keadilan sosial

dimaksud antara lain adalah John Rawls. Salah satu gagasan tersohor

yang dikemukakan oleh John Rawls dalam bukunya Theory of Justice

adalah keadilan sebagai kejujuran (justice as fairness). Menurutnya

keadilan adalah kebijakan yang pertama dari lembaga-lembaga sosial

sebagai kebenaran dari sistem-sistem pemikiran. Karena itu suatu teori

yang elegan, harus ditolak atau direvisi jika teori tersebut tidak benar

(untrue). Demikian juga dengan aturan hukum dan lembaga yang ada

harus diperbaharui dan kalau perlu dihapus jika aturan dan lembaga

tersebut tidak adil (unjust).197

Keadilan yang mesti dikembalikan dan dipulihkan oleh hukum

dengan meminjam istilah John Rawls adalah reasonably expected to be

everyone’s advantage, sebagaimana terlihat dari pendapat John Rawls

berikut ini :

“I shall now state in a provisional form the two principles of justice that I believe would be chosen in the original position……. The first statement of the two principles reads as follows : First, each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others. Second, social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage and (b) attached to positions and offices open to all”.

197

Brian H. Bix, A Dictionary of Legal Theory, (Oxford: Oxford University Press, 2004), Hlm.182-183

Page 255: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

241

Keadilan merupakan fokus utama dari setiap sistem hukum dan

keadilan tidak dapat begitu saja dikorbankan, seperti dikatakan oleh John

Rawls dalam bukunya a Theory of Justice sebagai berikut :

“Each person possesses an inviolability founded on justice that even the welfare of society as a whole can not override. It does not allow that the sacrifices imposed on a few are outweighted by the large sum of advantages enjoyed by many. Therefore in a just society the liberties of equal citizenship are taken as settled; the rights secured by justice are not subject to political bargaining or to the calculus of social interests… an injustice is tolerable only when it is necessary to avoid an even greater injustice”. Dengan memperhatikan putusan dan pertimbangan ICJ terkait

sengketa kepemilikan atas pulau Sipadan dan Ligitan, maka putusan dan

pertimbangan itu dapat dikatakan bertentangan dengan prinsip keadilan,

termasuk apa yang dikemukakan oleh John Rawls mengenai keadilan

sebagai kejujuran (justice as fairness) yang memandang kebijakan

pertama dari lembaga-lembaga sosial sebagai kebenaran dari sistem-

sistem pemikiran198. Kalau suatu teori tidak benar, maka teori seperti itu

harus ditolak atau direvisi. Secara analogi apabila sebuah teori benar,

maka teori itu harus diterima dan tidak perlu ditinjau untuk melakukan

semacam revisi.

198

Suri Ratnapala, Op., Cit., Hlm. 336-337. Teori Rawls mengenai keadilan adalah teori tentang institusi politik yang adil (a theory of just political institutions). Itulah teori mengenai distributive justice’ yang didasarkan atas keinginan dan kebutuhan individu-individu atau kelompok-kelompok. Dia menjelaskan : ‘Put another way, the principles of justice do not select specific distribution of desired things as just, given the wants of particular persons. This task is abandoned as mistaken in principle, and it is in any case, not capable of a determinate answer. Maka Teori dari Rawls adalah tentang keadilan mengenai ‘political arrangement’. Itu adalah teori ‘distributive justice’ hanya dalam pengertian terbatas. Teori itu tidak menuntut bagian yang adil (fair share) dari cita-cita masyarakat (the social pie), tetapi berupaya untuk lebih memaksimalkan keseimbangan kebebasan (equal liberty) individu-individu tanpa merugikan kelompok yang paling sedikit berkahnya dalam masyarakat.

Page 256: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

242

Memang putusan ICJ yang menguntungkan Malaysia sudah final

dan mengikat dan tidak dapat lagi dilakukan revisi mengingat jangka

waktu permohonan pengajuan revisi yang ditentukan di dalam Statuta ICJ

tidak dimanfaatkan oleh pihak Indonesia karena tenggang waktu yang

tersedia sudah lewat sepuluh tahun terhitung sejak akhir tahun 2002.

Akan tetapi dalam putusan tersebut terdapat selain pendapat berbeda

(dissenting opinion) dari Judge Franck, juga pendapat terpisah (separate

opinion) dari Judge Oda yang antara lain menegaskan bahwa sekalipun

Malaysia diberikan dan dihadiahi kedaulatan atas kedua pulau itu, namun

kedaulatannya tidak boleh mempengaruhi penetapan batas-batas maritim

antara kedua Negara. Dalam konteks ini teori keadilan John Rawls

memiliki relevansi untuk diterapkan dalam ‘separate opinion’ yang

dikemukakan oleh Judge Oda karena dengan kewibawaan dan

kehormatan yang berakar dari integritas dan kejujuran yang melekat pada

pribadinya dapat memberikan keyakinan bagi siapapun akan kebenaran

dari pendapatnya. Pendapatnya mencerminkan rasa keadilan bagi kedua

negara, termasuk bagi Republik Indonesia yang menaruh kepercayaan

terhadap mitranya untuk menyelesaikan masalah kedaulatan atas kedua

pulau tersebut melalui Mahkamah Internasional di Den Haag.

Charles Stamprod mengemukakan bahwa hukum modern adalah

hukum yang substansinya sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Ukuran modern atau tidak suatu hukum ditentukan bukan oleh siapa yang

membuatnya atau dari Negara mana berasal hukum itu, melainkan

Page 257: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

243

ditentukan oleh substansi hukum itu sendiri 199. Pandangan ini terkait

dengan pandangan David Angel (dalam tulisannya Law Time and

Community) yang menyatakan bahwa hukum harus selalu dikaitkan

dengan waktu dan masyarakat, mungkin pada waktu tertentu dan pada

masyarakat tertentu suatu hukum menjadi modern, demikian pula

sebaliknya.

Selanjutnya menurut Philippe Nonet & Selsnic, politik hukum yang

berkembang di dunia ada dua, yaitu politik hukum ortodoks dan politik

hukum responsive. Politik hukum ortodoks menjadikan hukum semata-

mata sebagai sarana untuk mengakomodasi kepentingan kelompok elit

tertentu. Dengan kata lain hukum digunakan sebagai sarana untuk

mempertahankan status quo. Sedangkan berdasarkan politik hukum

responsif, hukum adalah sarana untuk melegitimasi keinginan masyarakat

sehingga hal ini berarti suatu kebijakan tidak boleh “top down”, tetapi

harus “bottom up”200.

Terkait dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang

berdampak pada masalah delimitasi maritim baik di landas kontinen

ataupun zona ekonomi eksklusif, maka kebijakan negara dan pemerintah

RI seharusnya berorientasi pada politik hukum responsif sebagai sarana

untuk melegitimasi keinginan masyarakat dan bukan sebaliknya guna

menghindari berulangnya kasus Sipadan dan Ligitan. Keinginan

masyarakat Indonesia pada dasarnya menghendaki agar delimitasi

199

Muhadar, Pengembangan Hukum Pidana dan Kriminologi, 2011, Hlm. 6.

200 Ibid., Hlm. 7

Page 258: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

244

maritim tetap dilakukan melalui perundingan untuk mencapai suatu

persetujuan menurut kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana

tertera dalam artikel 38 Statuta ICJ yang dapat menghasilkan

penyelesaian yang layak (equitable solution).

Q.3. Teori Kedaulatan

Teori kedaulatan Negara untuk pertama kalinya dibahas secara

mendalam oleh Jean Bodin (1530-1586) dalam bukunya de la Republik

dimaksudkan untuk ketertiban politik dalam suatu Negara. Menurut Jean

Bodin, demi keamanan dan ketertiban di dalam suatu negara, perlu ada

seseorang yang memegang kekuasaan tertinggi (summa potestas) yang

tidak tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri, tetapi tunduk pada

hukum yang lebih tinggi, yaitu Hukum Alam atau Hukum Tuhan. Dengan

demikian kedaulatan menurut doktrin Bodin adalah atribut seorang

penguasa yang tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tetapi penguasa

itu bertanggungjawab terhadap hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum

Tuhan.201 Negaralah yang menciptakan hukum sehingga segala

sesuatunya harus tunduk pada negara. Negara di sini dianggap sebagai

suatu keutuhan yang menciptakan peraturan hukum, jadi adanya hukum

itu karena adanya negara dan tidak ada satu hukum pun yang berlaku

tanpa dikehendaki oleh negara.

201

M. Towoliu-Hermanses, Hukum dan Penyelesaian Sengketa Internasional, Buku Peringatan Dies Natalis Fakultas Hukum Unhas ke XXII, (Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 1974), Hlm.122

Page 259: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

245

George Jellineck mengemukakan pendapatnya tentang teori

kedaulatan Negara. Ia berpendapat bahwa hukum merupakan penjelmaan

kehendak atau kemauan negara. Negaralah yang menciptakan hukum,

negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Di luar

negara tidak ada satu organ pun yang berwenang menciptakan hukum.202

Namun demikian oleh penulis-penulis setelah Bodin kedaulatan dijadikan

atribut negara sehingga dengan demikian kedaulatan bukan masalah

hukum lagi sebagaimana dimaksud oleh Bodin, melainkan masalah politik

sebab sekian banyak negara, setiap negara merdeka dan berdaulat tidak

akan luput dari godaan yang dinamakan “the struggle for power”.

Emerich de Vattel dalam bukunya “Droit des Gens” menyatakan

bangsa merdeka. tidak bergantung pada bangsa lain, tetapi sederajat dan

memiliki hak untuk mempertimbangkan (judge) sesuai suara hati

nuraninya (according to the dictates of conscience) tentang apa yang

harus dilakukan agar supaya dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya;

akibat dari semua hal ini adalah setidak-tidaknya secara eksternal serta di

antara orang-orang, adanya persamaan hak yang sempurna antarbangsa,

dalam melaksanakan urusannya (affairs), serta mengejar keinginannya

(pretensions) tanpa memperhatikan keadilan hakiki daripada

perbuatannya (the intrinsic justice of their conduct), di mana bangsa lain

tidak mempunyai hak untuk menilai perbuatan dari bangsa yang

bersangkutan; dengan demikian apa yang diperkenankan bagi satu

202

Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Rajawali Pers, 2010), Hlm. 131

Page 260: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

246

bangsa juga diperkenankan bagi bangsa lain, dan mereka harus dianggap

memiliki hak yang sama (an equal right) di dalam masyarakat umat

manusia.203

Menurut Frederick L. Schuman, seluruh struktur hukum bertumpu

pada suatu konsepsi besar yang melekat dalam konsep kedaulatan

negara (the souvereignty of the State). Suatu negara tidak tunduk pada

kehendak dari negara lain. Dia bereksistensi sebagai sebuah entitas

independen, sama kedudukannya dengan negara-negara lain, dan sama

kedudukannya dengan yurisdiksi eksklusif atas wilayahnya. Dari fakta

yang bersifat mendasar ini, maka setiap negara memiliki “certain

fundamental rights and obligations”: “existence or self-preservation;

independence, equality with other states”; dan hak untuk menjalankan

kekuasaan serta menegakkan peraturan perundang-undangannya di

dalam batas-batas teritorialnya (within its frontiers), yaitu a right of

jurisdiction.Kadang-kadang dikatakan bahwa Negara-negara juga

mempunyai hak untuk memiliki harta kekayaan (rights of property) dan

hak untuk mengadakan hubungan satu sama lain (rights of intercourse)204.

Hans J. Morgenthau mengemukakan bahwa kedaulatan adalah

kekuasaan hukum tertinggi yang dimiliki oleh Negara untuk membuat dan

menegakkan hukum di dalam suatu wilayah tertentu sehingga

menimbulkan adanya ketidaktergantungan (independence) pada otoritas

203

Frederick L. Schuman, “International Politics”, (New York, Toronto, London: McGraw Hill Book Company, Inc, 1958), Hlm. 115

204 Ibid., Hlm. 116

Page 261: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

247

negara lain serta adanya persamaan berdasarkan hukum internasional.

Dengan demikian negara dapat hilang kedaulatannya ketika ditempatkan

di bawah kekuasaan negara lain, sehingga negara yang disebut terakhir

yang menjalankan kekuasaan tertinggi untuk membuat dan memaksakan

peraturan perundangan di dalam wilayah dari negara yang disebut

sebelumnya.205

Menurut Hans J. Morgenthau, kedaulatan dapat hilang melalui dua

cara. Suatu negara bisa menerima dan memikul kewajiban hukum yang

memberikan negara lain kekuasaan yang sifatnya final (final authority)

menyangkut aktivitas pembuatan hukum (lawgiving) serta penegakan

hukum (law-enforcing). Negara A akan hilang kedaulatannya dengan cara

menyerahkan kepada Negara B hak untuk melakukan veto dan tidak

menyetujui sebagian peraturan perundang-undangan yang diberlakukan

oleh pihak otoritas yang berwenang secara konstitusional atau suatu

tindakan penegakan hukum harus dilaksanakan oleh pejabat eksekutifnya

sendiri. Dalam hal ini pemerintah Negara A tetap mempunyai kekuasaan

membuat hukum dan menegakkannya yang berfungsi hanya di dalam

wilayah dari Negara A, tetapi kekuasaan yang dimilikinya sudah tidak

merupakan kekuasaan tertinggi karena kekuasaanya tunduk pada

pengawasan atau pengendalian pemerintah Negara B. Melalui

205

Hans J. Morgenthau, Politics among Nations the Struggle for Power and Peace, (New York: Alfred A. Knopf, 1967), Hlm. 305.

Page 262: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

248

pengendalian seperti ini, maka pemerintah B menjadi otoritas tertinggi

(supreme authority) sehingga berdaulat di dalam wilayah Negara A. 206

Pengertian kedaulatan (souvereignty) menunjukkan kekuasaan

tertinggi yang dimiliki oleh setiap negara berdaulat yang tidak mengakui

suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaannya sendiri.

Dengan perkataan lain negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat

khas dari organisasi kemasyarakatan dan kenegaraan dewasa ini yang

tidak lagi membenarkan orang perseorangan mengambil tindakan-

tindakan sendiri apabila ia dirugikan.

Namun demikian kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batas

tertentu. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas

wilayah negara itu, artinya suatu Negara memiliki kekuasaan tertinggi

hanya di dalam batas-batas wilayahnya.207 Di luar wilayahnya suatu

negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Misalnya Negara A

berbatasan dengan Negara B, maka di luar batas-batas wilayah Negara A

itu, tegasnya di wilayah Negara B, bukan Negara A, melainkan negara B-

lah yang memiliki kedaulatan atau kekuasaan tertinggi. Jadi pengertian

kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan

penting di dalam dirinya yaitu :1) kekuasaan itu terbatas pada batas-batas

206

Ibid., Hlm. 305-306

207 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung:

Penerbit Binacipta, 1982, Hlm. 17. Juga Richard Barnes, Property Rights and Natural Resources, Studies in International Law, (Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing 2009), Hlm. 222.

Page 263: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

249

wilayah dari negara yang memiliki kekuasaan itu; 2) kekuasaan itu

berakhir di mana kekuasaan negara lain mulai berlaku.208

Starke antara lain mengatakan bahwa salah satu unsur utama yang

dimiliki Negara adalah penguasaan atas suatu wilayah yang di dalamnya

berlaku hukum dari Negara itu209. Atas wilayah ini kekuasaan tertinggi

berada pada Negara yang bersangkutan. Dengan demikian timbul konsep

kedaulatan territorial (territorial sovereignty) yang menunjukkan bahwa

Negara menjalankan yurisdiksi dalam wilayah yang bersangkutan

terhadap orang dan harta benda, kecuali terhadap Negara lain210.

Sebagai konsekuensi dari azas kedaulatan, dalam hal ini

kedaulatan territorial (territorial souvereignty) adalah yurisdiksi territorial

(territorial jurisdiction), yaitu hak, kekuasaan atau kewenangan suatu

Negara terhadap orang, benda, peristiwa atau masalah yang berada atau

terjadi dalam batas-batas wilayah dari negara yang bersangkutan. Dari

perspektif ini adalah jelas bahwa kedaulatan, dalam hal ini kedaulatan

teritorial jauh lebih tinggi dari pada yurisdiksi territorial sebab dengan

kedaulatan suatu Negara dapat melakukan apapun di dalam batas-batas

wilayahnya sesuai dengan kepentingannya. Ï am souvereign over myself

dan bukan I have jurisdiction over myself. Souvereignty adalah hak dasar

208

Ibid., Hlm. 18. 209

J.G. Starke QC, Introduction to International Law (Ninth Edition), (London, Butterworths, 1984), Hlm. 152.

210 Konsep ini mirip dengan konsep yang berasal dari hukum privat mengenai kepemilikan

(ownership), dan ternyata para penulis hukum internasional jaman dulu mengadopsi azas-azas hukum perdata mengenai property ketika mereka membahas state territorial souvereignty. Ibid, Hlm.152.

Page 264: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

250

suatu Negara untuk berdiri sendiri. Kalau Negara itu souvereign, maka

Negara itu memiliki kemerdekaan (independence) dan juga memiliki

persamaan (equality) dengan Negara-negara lain. Selanjutnya dengan

adanya konsep kedaulatan, maka muncul konsep atau azas ‘non

intervention’, yaitu tidak mencampuri urusan dalam negeri yang terjadi di

dalam wilayah negara lain211.

Dalam kasus Pulau Palmas (the Island of Palmas case) Judge

Huber mencatat bahwa kedaulatan dalam kaitan dengan suatu bagian

permukaan bumi adalah persyaratan hukum yang diperlukan untuk

memasukkannya ke dalam wilayah negara tertentu.212 Brierly

merumuskan kedaulatan territorial (territorial souvereignty) dengan

adanya hak atas wilayah dibandingkan dengan hak atas kemerdekaan

yang dimiliki oleh negara itu sendiri atau dibandingkan dengan hak atas

hubungan orang dengan orang. Hal seperti ini adalah suatu cara

membedakan hak sepenuhnya atas wilayah yang diakui bagi hukum

dengan hak-hak territorial tertentu (certain minor territorial rights), seperti

hak sewa dan servitut. Kedaulatan territorial memiliki aspek positif dan

negatif. Aspek positif dari kedaulatan territorial berkaitan dengan

kewenangan Negara yang sifatnya eksklusif menyangkut wilayahnya

sendiri, sementara aspek negatifnya mengacu pada kewajibannya untuk

melindungi hak-hak Negara lain.

211

Hamid Awaluddin, Kuliah Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada tahun 2012.

212 Malcolm N. Shaw, International Law, (Cambridge: Grotius Publications

Limited, 1986), Hlm. 240.

Page 265: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

251

Kaidah-kaidah internasional menyangkut kedaulatan territorial

berakar dari aturan-aturan hukum Romawi yang mengatur soal

kepemilikan atau hak milik (ownership) dan barang milik (possession),

serta klassifikasi berbagai cara untuk memperoleh wilayah langsung

diturunkan dari kaidah-kaidah hukum Romawi yang mengatur tentang

tanah milik (property)213.

Esensi kedaulatan territorial termuat dalam konsep mengenai title.

Istilah title berkaitan baik dengan syarat-syarat faktual maupun syarat-

syarat hukum yang menentukan apakah suatu wilayah dianggap milik dari

suatu otoritas tertentu atau otoritas lain. Dengan kata lain konsep ‘title’

menunjuk kepada keberadaan fakta-fakta tadi yang disyaratkan dalam

hukum internasional yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan

status yuridis dari suatu wilayah tertentu.

Satu karakteristik menarik yang seharusnya dicatat dan menunjuk

pada perbedaan antara apa yang dianggap wilayah berdasarkan hukum

internasional dan hukum nasional adalah bahwa hak atas wilayah dalam

hukum internasional sering lebih bersifat relatif dibanding bersifat

absolut. Dengan demikian dalam memutuskan negara mana di antara

negara-negara bersengketa (contending states) yang menjadi pemilik sah

atas sebidang tanah, maka mahkamah akan mempertimbangkan semua

argumen relevan dan akan memberikan tanah itu kepada Negara yang

mengemukakan alasan hukum yang lebih baik atau terbaik.

213

Ibid., Hlm. 241

Page 266: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

252

Hak atas tanah dalam hukum nasional sering lebih merupakan

persoalan memutuskan dalam keadaan tidak pasti atau persengketaan

mengenai pihak mana yang memenuhi persyaratan hukum untuk

mendapatkan hak milik dan kepemilikan (ownership and possession) dan

dalam pengertian ini hak atas tanah bersifat mutlak. Mengetahui pihak

mana yang menurut hukum dapat mengemukakan klaim haknya secara

lebih baik biasanya bukan persoalan pengujian fakta-fakta.

Teori Kedaulatan, termasuk kedaulatan territorial (territorial

souvereignty)214 menjadi landasan bagi Mahkamah Internasional dan

berbagai Tribunal Internasional dalam menyelesaikan sengketa

kedaulatan dan kepemilikan atas suatu wilayah melalui keputusannya

yang menetapkan sebagai pihak yang berhasil membuktikan pelaksanaan

kekuasaan tertinggi atas wilayah yang bersangkutan.

Keputusan Mahkamah Internasional dalam sengketa antara

Indonesia dan Malaysia dengan menetapkan Negara yang disebut terakhir

sebagai pemegang hak atas kedua pulau tidak dapat dilepaskan dari

doktrin kedaulatan negara. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan ICJ

214

Para ahli hukum internasional mengidentifikasi secara khusus lima cara untuk mendapatkan kedaulatan territorial yang dalam teori bisa dikemukakan sebagai cara-cara akuisisi yang jelas, yakni : 1) Pendudukan atas tanah atau wilayah tidak bertuan (occupation of terra nullius, ie territory that is owned by no-one). 2) Penguasaan yang berlangsung lama sehingga pihak yang menguasai mendapatkan hak yang merugikan pemegang hak yang abstrak (prescription, by which title is gained by possession adverse to the abstract title holder). 3) Penyerahan atau pengalihan lewat perjanjian yang merupakan cara dominan untuk menyetujui garis batas territorial (Cession, or transfer by treaty, which is the dominant means by which territorial boundary is agreed).4) Akresi terjadi ketika deposit minyak secara perlahan-lahan mengubah kontur daratan (Accretion, where a gradual deposit of soil changes the contours of the land). 5) Penaklukan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain (Conquest) . Gillian Triggs, Maritime Boundary Disputes in the South China Sea : International Legal Issues, (Sydney Law School: Legal Studies Research Paper No.09/37, May 2009), Hlm. 5.

Page 267: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

253

yang menerapkan prinsip ‘effective occupation’ atau pengendalian efektif

sebagai dasar pemberian hak kedaulatan karena tindakan-tindakan yang

dilakukannya terkait dengan kedua pulau tersebut memiliki karakter

legislatif, eksekutif dan yudikatif yang merupakan ciri atau atribut

kedaulatan Negara.

R. Kerangka Pikir

Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Pulau Ligitan dan

Pulau Sipadan dengan menerapkan azas ‘effective occupation’ bukan

kejadian pertama (first precedent) dalam sejarah penyelesaian sengketa

kedaulatan territorial melalui mahkamah dan arbitrasi internasional karena

sebelumnya telah timbul berbagai kasus serupa, seperti ‘the Palmas

Island’, ‘the Eastern Greenland’, ‘the Qatar v. Bahrain’ dan ‘the Clipperton

Island’215.

Pada umumnya sengketa kepemilikan atau kedaulatan territorial

baru merupakan awal dari sebuah persengketaan yang lebih besar yang

dapat terjadi di antara negara-negara yang pantainya saling berhadapan

(opposite states) atau saling berdampingan satu sama lain (adjacent

states) karena ternyata setelah dicermati akar permasalahannya tidak

dapat dipisahkan dari faktor sumber daya alam yang terdapat di wilayah

perairan sekitar pulau atau daratan yang awalnya menjadi obyek

perselisihan. Tidak terkecuali kasus the Sipadan and Ligitan Islands yang

telah diputuskan oleh Mahkamah Internasional ternyata bukanlah akhir

215

SHI Jiuyong, ‘The Wang Tieya Lecture in Public International Law’(Chinese Journal of International Law 2010; chinesejil/jm/018; http://chinesejil.oxfordjournals.org/at University. Library Utrecht on November 15, 2012), Hlm. 275 – 276.

Page 268: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

254

persengketaan antara Indonesia dan Malaysia karena putusan ICJ pada

2002 yang melepaskan kedua pulau tersebut dari Indonesia kepada pihak

Malaysia telah membawa implikasi terhadap titik pangkal dan delimitasi

maritim yang dapat ditinjau baik dari perspektif hukum nasional masing-

masing negara maupun dari perspektif hukum internasional yang ada.

Dengan keluarnya putusan ICJ dengan kemenangan negara

tetangga, hal ini berimplikasi dalam pemberlakuan PP 37/2008 mengenai

Perubahan atas PP 38/2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-

Titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pulau Ligitan yang

ditetapkan sebagai titik pangkal dalam PP 38/2002 telah dicabut dari

daftar koordinat geografis dan sebagai gantinya adalah Karang Unarang

yang akan dihubungkan dengan garis pangkal lurus kepulauan ke titik

pangkal pada Pulau Sebatik (I, II dan III), lalu ke titik-titik pangkal di Pulau

Maratua, Pulau Sambit, Pulau Lingian, Pulau Salando dan seterusnya216.

Garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik

pangkal tersebut digunakan oleh pihak Indonesia untuk menetapkan dan

membangun garis batas maritim tersendiri (separate maritime boundary)

yang berlaku di bagian laut territorial yang umumnya tidak akan tumpang

tindih (overlapping) dengan laut territorial negara tetangga, terkecuali di

sekitar perairan Pulau Sebatik. Akan tetapi untuk bagian landas kontinen

dan zona ekonomi eksklusif yang umumya tumpang tindih dengan klaim

Malaysia, maka dengan bertitik tolak dari garis pangkal lurus kepulauan

216

Perhatikan PP 37/ 2008 di kaitkan dengan Lampiran dari PP 38/ 2002.

Page 269: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

255

dapat ditetapkan dan dibangun ‘equidistance line’ sebagai garis batas

maritim tunggal untuk bagian landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif

Indonesia217.

Keputusan ICJ yang menguntungkan negeri jiran juga membawa

implikasi dalam hukum nasionalnya karena beberapa tahun kemudian

negeri ini ternyata mengundangkan pada bulan Mei 2007 suatu peraturan

perundangan yang dinamakan ‘the Baselines of Maritime Zones Act’ 2006,

tetapi hingga sekarang Negara tersebut belum membuat peta ataupun

daftar koordinat geografis mengenai garis pangkal sebagai tindak lanjut

dari Undang-undang garis pangkal yang oleh negara tetangga dinyatakan

berlaku sejak 2007 lalu218.

217 Indonesia is highly likely to assert that any equidistance-based maritime boundary lines

be constructed using its straight archipelagic baselines. This argument has strong foundations. Indonesia was one of the champions of the archipelagic concept during theThird United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS III) and its baselines arguably provided a model for the terms of Article 47 of UNCLOS. Indonesia’s archipelagic straight baselines are, therefore, generally regarded to be in conformity with UNCLOS and have not been contested by its neighborsRobert Beckman, Moving Beyond Disputes over Island Sovereignty : ICJ Decision Sets Stage for Maritime Boundary Delimitation in the Singapore Strait, Ocean Development & International Law, 40, 2009 (Taylor & Francis Group, LLC), Hlm. 6. 218

The existence of Malaysia’s straight baselines is indicated by its maritime boundary agreements of 1969 and 1971 with Indonesia that relate to continental shelf rights and territorial sea, respectively (see below). Indeed, Malaysia’s straight baseline claims appear to have been prompted by a desire to counterbalance Indonesia’s archipelagic baselines in the context of continental shelf boundary negotiations between the two countries. Moreover, as mentioned above, in 1979, Malaysia issued a map setting out the limits of its claimed territorial waters and continental shelf.25 Some of the claimed territorial sea limits depicted on this map are straight, which indicates that they were constructed from straight baselines. However, no charts or lists of coordinates have been issued by Malaysia setting out the location of its baselines. Malaysia’s straight baselines may be reconstructed, or inferred, by drawing lines 12 nautical miles landward of and parallel to the straight line limits of the territorial waters indicated on the 1979 map. These “inferred baselines” have been criticized as being inconsistent with the criteria set out in Article 7 of UNCLOS on straight baselines. Although the 1979 map was published 3 years before UNCLOS was adopted and before Malaysia became a party, as a party to UNCLOS, Malaysia now has an obligation to bring its baselines and maritime zone claims into conformity with the Convention. It appears to be preparing to do so. Malaysia enacted the Baselines of Maritime Zones Act 2006 (Act 660) on May 1, 2007,27 which provides for normal baselines consistent with low-water lines as shown on large-scale charts and for the use of straight baselines linking specified basepoints along the coast.28 This Act is enabling legislation and Malaysia has not at the time of this writing published any charts or lists of geographical coordinates with respect to straight baselines. Malaysia should, in any event, ensure

Page 270: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

256

Terbitnya ‘the Baselines of Maritime Zones Act’ 2006

memperlihatkan obsesi Negara tersebut untuk memanfaatkan azas

Negara kepulauan berupa penarikan garis pangkal lurus kepulauan yang

menghubungkan beberapa titik pangkal di wilayah perbatasan dengan RI,

yaitu titik pangkal di Pulau Sipadan, Ligitan, sebagian Pulau Sebatik,

Pulau Sabah dan wilayah Sarawak.

Namun obsesinya berbuah kecaman dari beberapa negara-negara

di kawasan Asia Tenggara sehingga Malaysia enggan (reluctant)

menerbitkan atau mengumumkan peta atau daftar koordinat geografis

titik-titik garis pangkal lurus kepulauan yang mungkin akan digunakan

untuk membangun garis batas maritim di daerah yang dianggap

dipersengketakan. Sulit pula membayangkan kalau negara tersebut bakal

mendepositkannya pada Sekretaris Jenderal PBB, sebagaimana

diamanatkan dalam pasal 47 ayat 9 KHL 1982.

Dengan lahirnya kedua peraturan perundangan oleh masing-

masing negara setelah kasus kepemilikan kedua pulau diselesaikan oleh

Mahkamah Internasional, maka dapat dikatakan itulah implikasi putusan

ICJ terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim dilihat dari perspektif

hukum nasional masing-masing pihak. Mengingat Malaysia bukan negara

kepulauan, maka kedua pulaunya masing-masing dapat saja dipakai

sebagai titik pangkal, tetapi ada hal-hal yang perlu digarisbawahi.

that its use of straight baselines under the 2006 Act is in conformity with Article 7 as interpreted by the Court in the Qatar/Bahrain case. Ibid., Hlm.6 - 7.

Page 271: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

257

Titik pangkal pada masing-masing pulau tidak bisa berfungsi untuk

menarik garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines)

karena apabila penerapan garis seperti ini akan menyimpang terlalu jauh

dari konfigurasi umum kepulauan. Titik pangkal di pulau Ligitan dan

Sipadan juga tidak berfungsi untuk menarik garis pangkal lurus (straight

baselines) sebab Malaysia tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of

islands) yang berdekatan dengan Sabah dan Sarawak. Titik pangkal pada

masing-masing pulau itu hanya berfungsi untuk menarik garis pangkal

normal (normal baselines) yang mengikuti kontur pantai masing-masing

pulau tersebut. Dengan demikian implikasinya terhadap delimitasi

maritim adalah bahwa garis pangkal normal pada kedua pulau tersebut

tidak dapat digunakan untuk membangun delimitasi maritim melalui

penyesuaian ‘equidistant line’ yang selama ini masih ada di daerah yang

dipersengketakan.

Sedangkan implikasi putusan itu dalam hukum internasional baik

menyangkut titik pangkal maupun garis batas maritim antara kedua

Negara merupakan sesuatu yang dapat ditarik dan disimpulkan dari

ketentuan-ketentuan konvensi serta praktek Negara-negara menyangkut

masalah titik garis pangkal dan delimitasi maritim.

Putusan ICJ 2002 hanya menyangkut penyelesaian sengketa

kepemilikan kedua pulau, tetapi tidak menyangkut penyelesaian garis

batas maritim di ‘disputed area’ yang terbentuk akibat tindakan sepihak

masing-masing Negara (unilateral act) yang mengklaim landas kontinen

Page 272: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

258

atau zona ekonomi eksklusif, sedangkan jarak antara kedua pulau milik

Malaysia dengan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia yang

menghubungkan berbagai pulau terluar Indonesia tidak mencapai 400 mil

laut sehingga terbentuk ‘disputed area’ di kawasan itu.

Namun kedua Negara yang sudah terikat pada KHL 1982 harus

mencermati berlakunya ketentuan pasal 74 dan 83 konvensi yang memuat

azas-azas delimitasi maritim yang bermuara pada prinsip ‘equitable

solution219’ yang dalam praktek ternyata memperkenankan penerapan

‘relevant circumstances - equidistance line demi tercapainya ‘equitable

solution’atau ‘equitable result’.

Untuk mewujudkan apa yang dinamakan ‘equitable solution’, maka

harus diidentifikasi berbagai faktor yang dikategorikan sebagai ‘relevant

circumstances’. Hasil penelitian menunjukkan adanya berbagai faktor

relevan yang dapat digunakan untuk menyikapi sikap dan pendirian

Malaysia yang menghendaki dilakukannya penyesuaian (adjustment)

terhadap ‘equidistance line’ yang selama ini masih berlaku sebagai garis

batas maritim antara kedua Negara. Faktor geografi dan non geografi,

termasuk faktor hukum yang tercermin melalui ‘separate opinion’ dari

Judge Oda dapat dimanfaatkan untuk tetap memelihara dan

mempertahankan ‘equidistance line’ yang masih eksis sebelum dan

sesudah kasus Sipadan – Ligitan. Menurut beliau delimitasi maritim

antara kedua Negara tetap dapat dilakukan dengan mengenyampingkan

219

Ki Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritime Boundary Delimitation, (Edinburgh, School of Law, the University of Edinburgh 2011), Hlm. 6 – 7.

Page 273: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

259

peranan kedua pulau sebagai titik pangkal. Meskipun kedua pulau telah

menjadi wilayah kedaulatan Malaysia, namun hal ini tidak mempunyai

kaitan dan tidak mempengaruhi garis batas maritim kedua Negara.

Selain ‘separate opinion’ sebagai ‘relevant circumstances’, maka

beberapa faktor geografi dan non geografi lainny terbuka lebar untuk tidak

melakukan penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ sebagai garis batas

maritim yang masih ada di daerah yang dianggap dipersengketakan

(disputed area). Sebagaimana diketahui akibat kepemilikan Malaysia atas

kedua pulau, negara tetangga menghendaki dilakukannya penyesuaian

terhadap ‘equidistance line’ yang ditetapkan oleh Indonesia, di mana garis

seperti ini dibangun dengan memakai patokan dari garis pangkal lurus

kepulauan yang menghubungkan sekian banyak titik pangkal atau titik

dasar220.

Dengan posisi masing-masing pihak terkait perlu tidaknya

penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim, maka

implikasi lainnya dari putusan ICJ 2002 atau implikasi lepasnya Sipadan

dan Ligitan adalah bahwa selama belum tercapai penyelesaian delimitasi

maritim secara tuntas (final delimitation), kedua Negara harus berupaya

untuk membuat ‘provisional arrangement’ yang bersifat praktis. Di

samping itu, selama belum tercapai penyelesaian yang bersifat tuntas

menyangkut delimitasi maritim, implikasi lainnya adalah bahwa kedua

220

Perhatikan PP 38/ 2002 dan Lampiran nomor urut 17 sampai dengan 20 , yaitu Pulau Ligitan (TD 036C), Pulau Ligitan (TD 036B), Pulau Sipadan (TD 036 A), Tg Arang (TD 037). Keempat Titik Dasar ini mengalami perubahan dalam PP 37/ 2008 sehingga menjadi TD 036 (Pulau Sebatik), TD 036A (Pulau Sebatik), TD 036B (Pulau Sebatik), TD 037 (Karang Unarang).

Page 274: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

260

Negara harus berupaya untuk tidak membahayakan atau menghambat

tercapainya penuntasan garis batas maritim di daerah yang dianggap

bermasalah (disputed area). Upaya seperti ini hanya dapat dilakukan

apabila dilandasi semangat saling pengertian dan kerjasama antara kedua

Negara sehingga berbagai kegiatan di daerah yang dianggap

dipersengketakan (disputed area) tetap bisa dijalankan, sementara para

pihak dapat saling menghormati posisi masing-masing pihak dalam

menyelesaikan garis batas maritim secara menyeluruh (final delimitation).

Perjanjian yang disebut ‘Prevention of Incidences at Sea

Agreement’ yang telah berlaku pada tahun 2003 adalah upaya kedua

Negara bertetangga untuk tidak membahayakan atau menghambat

tercapainya penyelesaian delimitasi maritim secara tuntas. Perjanjian

seperti ini menyiratkan kewajiban kedua belah pihak untuk memelihara

status quo dalam bentuk mempertahankan pendirian masing-masing

dalam menyelesaikan garis batas maritim di daerah yang dianggap

dipersengketakan.

Implikasi putusan ICJ terhadap titik garis pangkal dan delimitasi

maritim seharusnya juga bermuara pada peninjauan atas kebijakan dan

berbagai peraturan perundang nasional Indonesia, khususnya yang terkait

titik pangkal dan delimitasi maritim untuk disesuaikan dengan ketentuan-

ketentuan KHL 1982 maupun praktek Negara-negara serta yurisprudensi.

Peninjauan dan penyesuaian kebijakan seperti itu sebagai implikasi kasus

Sipadan - Ligitan adalah relevan karena kebijakan nasional, khususnya

Page 275: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

261

menyangkut titik garis pangkal dan delimitasi maritim selama ini belum

berjalan sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Page 276: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

262

Bagan Kerangka Pikir

Page 277: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

263

S. Definisi Operasional

1. Titik pangkal (basepoint) apabila dipakai dalam analisis Konvensi

Hukum Laut berarti setiap titik di garis pangkal. Dalam metode garis

pangkal lurus (straight baselines), di mana satu garis pangkal lurus

bertemu dengan garis pangkal lain pada titik yang lazim (common

point), satu garis dapat dikatakan menuju pada titik tersebut untuk

membentuk garis pangkal lain. Titik seperti itu dapat dikatakan sebagai

titik yang merubah garis pangkal atau secara sederhana dapat disebut

titik pangkal (basepoint). Bagaimanapun juga titik (point) diartikan

sebuah lokasi yang dapat ditentukan dengan koordinat geografis dan

data geodetis yang memenuhi standard Konvensi Hukum Laut.

2. Garis pangkal (baselines) adalah garis yang dipergunakan oleh suatu

negara pantai (coastal state) untuk menetapkan jalur-jalur lautnya,

seperti laut territorial, jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif dan

landas kontinen. Garis pangkal itu ada beberapa macam, yaitu garis

pangkal normal (normal baselines), garis pangkal lurus (straight

baselines), garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic

baselines), garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines).

3. Garis pangkal normal (normal baselines) adalah garis yang mengikuti

segala lekak lekuk dari pantai yang terjadi ketika air laut surut. Oleh

karena itu garis pangkal normal juga disebut dengan istilah garis air

surut. Garis pangkal normal atau garis air surut dapat dipergunakan

oleh negara pantai biasa (normal coastal state), yaitu Negara yang

Page 278: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

264

wilayahnya terdiri dari wilayah daratan dengan perairan yang terdapat

di sekitarnya, misalnya Australia, Korea Selatan, AS dan lain-lain.

4. Garis pangkal lurus (straight baselines) adalah garis yang

menghubungkan titik-titik terluar dari suatu daratan utama (mainland)

dengan titik-titik terluar dari gugusan pulau yang berada di depan

daratan utama tersebut. Untuk pertama kalinya garis pangkal lurus

mendapat pengakuan secara internasional sejak keluarnya keputusan

Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam kasus

perikanan antara Inggeris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries

Case) 1951. Pengaturannya dapat dilihat dalam pasal 5 Konvensi

Geneva 1958 tentang laut territorial, pasal 7 Konvensi Hukum Laut

1982, peraturan perundangan nasional Indonesia (UU No. 6 Tahun

1996). Garis pangkal lurus dapat dipergunakan baik oleh Negara pantai

dengan ciri-ciri geografis yang bersifat khusus (adanya mainland dan

sederetan pulau di dekatnya maupun terutama oleh Negara kepulauan.

5. Garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) adalah

garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau

terluar dari kepulauan. Akan tetapi garis pangkal lurus kepulauan tidak

dapat berdiri sendiri sehingga garis pangkal seperti ini hanya dapat

dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa dan

garis pangkal lurus. Garis pangkal lurus kepulauan hanya dapat

dipergunakan dan diterapkan oleh Negara kepulauan semata-mata.

Page 279: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

265

6. Garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) adalah garis pangkal

yang merupakan perpaduan dari semua garis pangkal (garis pangkal

normal, garis pangkal lurus, garis pangkal lurus kepulauan dan garis

lurus atau garis penutup pada teluk, sungai dan pelabuhan yang

terdapat pada pulau-pulau terluar. Dengan demikian garis pangkal

kepulauan hanya berlaku untuk Negara kepulauan (archipelagic state).

7. Garis Penutup (Closing Line) adalah garis pemisah antara perairan

pedalaman dan laut territorial, di mana garis ini menutup mulut sungai,

teluk atau pelabuhan yang terdapat di Negara pantai yang normal

(normal coastal state) ; namun garis penutup dapat pula menjadi garis

pemisah antara perairan pedalaman dan perairan kepulauan, di mana

garis ini menutup mulut sungai, teluk atau pelabuhan yang terdapat di

Negara kepulauan (archipelagic state) sebagaimana dinyatakan dalam

pasal 9-11, dan 50.

8. Negara kepulauan (Archipelagic State) adalah Negara yang terdiri dari

satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lainnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan kepulauan (archipelago) adalah

sekumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan di

antaranya, serta bentuk-bentuk alamiah lainnya yang berhubungan

sedemikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan serta bentuk-bentuk

alamiah tersebut membentuk satu kesatuan geografis, ekonomi dan

politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai satu

kesatuan seperti itu.

Page 280: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

266

9. Batas Maritim (Maritime Limit) berarti batas dari wilayah maritim

(maritime spaces) yang di atasnya suatu Negara dapat menjalankan

yurisdiksi yang sesuai dengan fungsi dari wilayah maritim itu. Suatu

Negara dapat menetapkan batas-batas maritimnya sendiri (maritime

limit) dalam kaitan dengan laut territorial atau zona ekonomi

eksklusifnya berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum

internasional. Negara-negara dapat menetapkan sendiri batas-batas

maritimnya, terkecuali untuk batas luar landas kontinen di luar 200 mil

laut, dalam hal tidak terdapat Negara-negara yang saling berdampingan

(adjacent states) ataupun yang saling berhadapan (opposite states)

berdasarkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional.

Dengan demikian maritime limit dapat ditetapkan secara sepihak

sehingga memiliki semacam karakter unilateral (unilateral character).

Akan tetapi karena hampir setiap Negara (terkecuali Negara tidak

berpantai) mempunyai pantai yang saling berhadapan atau

berdampingan dengan pantai Negara lain, maka penetapan hak-hak

maritimnya kemungkinan besar mengalami duplikasi atau tumpang

tindih dengan Negara-negara lain, apalagi Negara-negara dapat saja

mengklaim zona-zona maritim untuk mewujudkan kepentingannya

secara maksimal.221

10. Garis-garis batas maritim (maritime boundaries) adalah garis-garis

yang meliputi garis batas laut territorial (territorial sea), garis batas

221

Ki Beom Lee,The Flexibility of the Rules Applied in Maritim Boundary Delimitation (Edinburgh: School of Law, The University of Edinburgh, 2011), Hlm. 1-2

Page 281: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

267

zona tambahan (contiguous zone), garis batas zona ekonomi eksklusif

(exclusive economic zone), garis batas landas kontinen (continental

shelf) antara dua Negara atau lebih yang bagian-bagian lautnya

tumpang tindih satu sama lain (overlapping) karena masing-masing

Negara tidak dapat mengklaim jalur laut sampai batas maksimal.

Dengan demikian Garis Batas Maritim (Maritime Boundary)

menunjukkan adanya semacam pembagian atau pemisahan (division)

dalam hubungan dengan zona-zona maritim Negara lain. Untuk

menetapkan garis batas maritim di antara Negara-negara yang

pantainya saling berhadapan (opposite states) atau yang pantainya

saling berdampingan (adjacent states) diperlukan landasan bilateral

atau multilateral. Konsep maritime boundary penting karena berfungsi

untuk membatasi sejauh mana suatu Negara dapat menikmati hak-hak

maritim yang berhubungan dengan sebuah zona maritim.

11. Delimitasi Maritim (Maritime Delimitation) berarti menetapkan sebuah

hubungan maritim di antara dua Negara atau lebih karena hak-hak

kemaritiman yang ditetapkannya mengalami duplikasi atau tumpang

tindih (overlap). Untuk mencegah dan menanggulangi hak-hak

kemaritiman yang tumpang tindih dari dua Negara tetangga, maka

delimitasi maritim memerlukan landasan internasional. Jika tidak

terjadi duplikasi atau tumpang tindih antara hak-hak kemaritiman dari

dua Negara tetangga atau lebih, maka yang terjadi adalah penetapan

Page 282: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

268

batas maritim (maritime limit) yang dapat dilakukan secara sepihak

tanpa diperlukan landasan internasional (bilateral atau multilateral).

12. Garis Delimitasi (line of delimitation) adalah sebuah garis yang ditarik

pada peta (a map or chart) yang menggambarkan pemisahan

yurisdiksi maritim apapun, dengan memperhatikan bahwa garis

delimitasi dapat dihasilkan dari tindakan sepihak (unilateral action)

atau dari persetujuan bilateral, dan dalam beberapa hal Negara atau

negara-negara yang bersangkutan diwajibkan untuk mengumumkan

dengan sepatutnya222.

13. Garis sama jarak (equidistance line), sinonim dengan ‘equidistant line’

atau ‘median line’, berarti suatu garis yang setiap titiknya sama

jauhnya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari dua negara.

14. Dalam mempersiapkan koordinat geografis (geographic coordinates)

serta untuk maksud yang sama berdasarkan Konvensi Hukum Laut,

garis lintang (latitude) dinyatakan dalam derajat, menit dan detik, atau

decimal dari suatu menit, dari 0 derajat hingga 90 derajat utara atau

selatan Equator. Garis-garis atau lingkaran yang menggabungkan

titik-titik garis lintang yang sama dikenal dengan garis lintang yang

sejajar (parallels of latitude or parallels)223.

222

George K. Walker, Definitions for the Law of the Sea. Terms not defined by the 1982 Convention, (Leiden.Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2012), Hlm. 235-236

223 Ibid, Hlm. 233

Page 283: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

269

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam

penelitian ini, dipergunakan tipe penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif digunakan dengan alasan untuk mengidentifikasikan

konsep atau gagasan dan azas-azas hukum dalam menelaah dan

mengkaji secara mendalam mengenai Implikasi Putusan ICJ dalam

Kasus Sengketa Kepemilikan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan terhadap

Titik Pangkal dan Garis-Garis Batas Maritim (maritime delimitation).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian hukum yang sifatnya normatif pada dasarnya dilakukan

dengan cara mempergunakan bahan-bahan hukum yang dipadukan

dengan data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library

research).

Pengumpulan data-data (dalam hal ini data-data sekunder)

dilakukan melalui penelitian kepustakaan baik yang terdapat di beberapa

perguruan tinggi dalam dan luar negeri, seperti Universitas Hasanuddin di

Makassar (Indonesia) dan ‘University of Utrecht’ di Utrecht (Netherlands).

Di samping itu bahan-bahan hukum juga akan diusahakan untuk diperoleh

melalui penelitian lapangan pada beberapa instansi pemerintah baik di

Jakarta maupun beberapa kota lain dalam wilayah Republik Indonesia

maupun melalui jaringan internet.

Page 284: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

270

C. Jenis dan Sumber Data

Cara pengumpulan data atau bahan hukum dalam penelitian ini

dilakukan dengan melakukan inventarisasi dokumen melalui studi pustaka

dan studi lapangan. Studi pustaka adalah cara mencari bahan hukum atau

data dengan mengkaji dokumen hukum, berupa buku-buku referensi,

literatur hukum, jurnal hukum dan ketentuan hukum perundang-undangan

serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait yang

mencakup: (a) bahan hukum primer, (b) bahan hukum sekunder dan (c)

bahan hukum tersier.

Data yang diperoleh dari penelitian lapangan adalah data primer

tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan aspek hukum dari

implikasi kasus Sipadan dan Ligitan terhadap titik pangkal dan garis-garis

batas maritim. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian

lapangan dilakukan melalui wawancara dengan pejabat instansi

pemerintah.

D. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah metode kualitatif. Dengan

metode kualitatif dilakukan analisis atau contempt of analysis terhadap isi

ketentuan hukum yang berkaitan dengan Implikasi Putusan Mahkamah

Internasional dalam Kasus Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan terhadap Titik

Pangkal dan Garis Batas Maritim.

Langkah-langkah analisis bahan hukum dilakukan melalui

beberapa tahapan, seperti bahan hukum yang dikumpulkan

Page 285: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

271

disistematisasi, yaitu ditata dan disesuaikan dengan obyek yang diteliti,

kemudian bahan yang sudah disistematisasi diungkapkan atau

dieksplisitkan, yaitu diuraikan dan dijelaskan sesuai dengan obyek yang

diteliti berdasarkan teori, dan akhirnya bahan yang telah dieksplisitkan

dilakukan evaluasi, yaitu dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan

hukum yang berlaku.

Page 286: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

335

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pulau-Pulau Ligitan dan Sipadan dan Daerah Lepas Pantai

Ambalat224

Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan kedua-duanya berlokasi di Laut

Sulawesi di pantai Timur Laut Pulau Borneo (Kalimantan) dan jauhnya

sekitar 15,5 mil laut. Ligitan adalah sebuah pulau yang sangat kecil yang

terletak paling Selatan dari karang besar berbentuk bintang yang

mengarah ke Selatan dari pulau-pulau Danawan dan Si Amil.

Koordinatnya adalah 4o 9’ lintang utara dan 118o 53’ bujur timur. Pulau

Ligitan berada sekitar 21 mil laut dari Tanjung Tutop di Jazirah Semporna,

area terdekat di Borneo. Karena senantiasa berada di atas permukaan

laut dan umumnya berpasir, Ligitan adalah sebuah pulau dengan tumbuh-

194 Ambalat merupakan landas kontinen Indonesia dengan kedalaman 2500

meter di dasar laut perairan Kalimantan Timur dan bukan sebuah pulau. Dari peta wilayah konsesi Ambalat terlihat bahwa wilayah Ambalat sangat dekat dengan Pulau Tarakan dan Pulau Bunyu. Letak Ambalat kurang lebih 80 mil laut dari Pulau Tarakan. Blok Ambalat ini memang berbatasan dengan blok milik Malaysia, yaitu blok ND 6 dan ND 7. Landas kontinen milik Malaysia ini ditarik dari Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai konsekuensi dari keputusan ICJ pada tahun 2002, yang dimenangkan Malaysia atas sengketa kedua pulau dengan Indonesia. Kekayaan cadangan minyak dan gas yang terkandung di Ambalat diperkirakan cukup besar, sekitar 1-2 milyar barel minyak dan 3-5 triliun kaki kubik gas alam (LNG). Malaysia telah memberikan konsesi kepada Shell untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di blok ND 6 dan ND 7 yang tumpang tindih dengan blok Ambalat dan East Ambalat, di mana blok tersebut masih masuk dalam perairan Indonesia (lihat Peta Tumpang Tindih Lahan Wilayah Kerja). Pemerintah Indonesia juga memberikan konsesi di kedua blok itu kepada Unocal (perusahan minyak milik Amerika Serikat) hingga tahun 2028 dan ENI (perusahan minyak milik Italia) sampai tahun 2029. Permasalahan tumpang tindih di wilayah ini sampai kini belum terselesaikan oleh kedua negara. Lihat Awani Irewati, CPF Luhulima, Sjamsumar Dam, Rosita Dewi, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Politik, 2006), Hlm. 98-99

Page 287: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

273

tumbuhan kecil (low-lying vegetation) serta beberapa pepohonan

sehingga pulau ini tidak dapat didiami secara permanen225.

Meskipun lebih besar dari Pulau Ligitan, Pulau Sipadan juga adalah

sebuah pulau kecil dengan area seluas kira-kira 0,13 kilometer persegi.

Koordinatnya adalah 4o 6’ lintang utara dan 118o 37 ‘bujur timur. Pulau

Sipadan letaknya sekitar 15 mil laut dari Tanjung Tutop dan 42 mil laut

dari pantai timur Pulau Sebatik. Sipadan adalah sebuah pulau vulkanik

dengan hutan lebat (a densely wooded island of volcanic origin) dan

merupakan puncak dari gunung bawah laut dengan ketinggian sekitar 600

sampai 700 meter yang di sekitarnya terbentuk sebuah atol (a coral atoll).

Hingga tahun 1980-an Pulau Sipadan tidak dapat didiami secara

permanen. Akan tetapi ketika pulau ini dikembangkan menjadi sebuah

resort wisata sejak tahun 1980-an, terutama untuk aktivitas penyelaman

(for scuba diving), maka Pulau Sipadan sudah dapat didiami secara

permanen.

Pulau Borneo terbagi antara Brunei, Indonesia dan Malaysia. Garis

perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia diselesaikan oleh

Pemerintah Inggeris dan Belanda dalam tenggang waktu antara tahun

1891-1928. Ujung barat dari garis batas daratan adalah Tanjung Datu

yang terletak di tepian pantai Laut Cina Selatan. Ujung atau terminal timur

dari garis tersebut berlokasi di Laut Sulawesi, di mana pantai timur Pulau

Sebatik dipotong dengan garis 40 10’ Lintang Utara. Inilah ujung terakhir di

225

Victor Prescott and Clive Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World. Second Edition (Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005), Hlm. 451.

Page 288: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

274

mana garis batas laut territorial dan zona ekonomi eksklusif dari Indonesia

dan Malaysia berpotensi untuk dieksaminasi226.

Ke selatan garis 40 10’ Lintang Utara di pantai timur Pulau Sebatik,

titik pangkal Indonesia yang digunakan dalam menetapkan garis pangkal

lurus kepulauan dan membangun garis sama jarak adalah Takat (Rock)

Unarang, Pulau Sebatik, Pulau Maratua dan karang-karang di sekitarnya

(associated reefs) dan seterusnya. Sangat mengherankan, Karang

Unarang tidak terlihat sebagai salah satu titik pangkal yang menentukan

garis pangkal kepulauan Indonesia, tetapi tampaknya tidak ada rintangan

dalam konteks pasal 47 KHL 1982 untuk menggunakan Karang Unarang

sebagai titik pangkal227. Dalam edisi pertama dari ‘the British Sailing

Directions’ 1976 Takat Unarang terlihat sebagai suatu elevasi surut (a low-

tide elevation)… yang mengering 0,3 m (1 f) dan tegak…” Di edisi kedua

tertanggal 1999, tempat masuk (the entry) terbaca…Uanarang 40 01’

Lintang Utara, 1180 05’ Bujur Timur sebuah karang yang curam…”

226

Ibid, Hlm. 452.

227 Karang (rock, reef) dapat dikategorikan sebagai elevasi surut (low tide

elevation), yang berdasarkan ketentuan artikel 121 KHL 1982, diartikan sebagai wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, yang berada di atas permukaan laut pada waktu air laut mencapai level surut yang maksimal., tetapi wilayah ini tidak kelihatan ketika air laut sedang mengalami level pasang yang maksimal. Meskipun elevasi surut tidak tampak di atas permukaan laut pada saat-saat tertentu, elevasi surut bisa digunakan sebagai titik pangkal (base point) untuk penarikan garis pangkal asalkan Negara pemiliknya sudah mendirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara terus menerus tetap berada di atas permukaan laut (lihat artikel 47 dan artikel-artikel lain dari KHL 1982). Atas dasar ketentuan ini, maka Karang Unarang yang berada di lepas pantai timur Pulau Sebatik dapat dipergunakan sebagai titik pangkal bagi garis pangkal kepulauan Indonesia. Lihat juga Victor Prescott and Clive Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World. Second Edition, (Leiden / Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005), Hlm. 451.

Page 289: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

275

Jilka Takat Unarang adalah sebuah elevasi surut, maka Indonesia

adalah satu-satunya yang dapat menggunakannya. Elevasi surut ini

terletak 10 mil laut dari titik terdekat pada garis air rendah wilayah

Indonesia dan di dalam perairan teritorialnya. Elevasi surut ini letaknya 13

mil laut dari titik terdekat pada garis air rendah di wilayah Malaysia.

Terdapat laporan bahwa Takat Unarang adalah sebuah karang

bawah air (submerged rock). Jika laporan ini benar, maka Takat Unarang

tidak dapat digunakan sebagai titik pangkal. Dalam sebuah gambar sudah

ditarik dua garis sama jarak. Terdapat garis sama jarak yang

mengabaikan status Takat Unarang sebagai titik pangkal, tetapi garis

sama jarak lainnya menyebabkan karang tersebut berlaku sepenuhnya

(full effect) sebagai titik pangkal.

Menuju ke arah barat dari pantai timur Pulau Sebatik pada 40 10’

Lintang Utara, titik pangkal Malaysia yang digunakan dalam menetapkan

garis pangkal maupun membangun garis sama jarak adalah Hand Rock

dan Ligitan Reefs. Garis sama jarak meluas dari terminal terakhir

perbatasan darat pada garis sejajar 40 10’ Lintang Utara bagi sekitar 165

mil laut sampai segitiga (trijunction) dengan Philipina. Segitiga ini dekat 30

03’ Lintang Utara, 1200 03’ Bujur Timur serta sama jaraknya dari Frances

Reef kepunyaan Philipina, Pulau Ligitan di Malaysia dan Karang Muaras

di Indonesia. Di sana tidak tampak ada daerah (ground) yang

dipersengketakan (disputed area) oleh Indonesia dan Malaysia dengan

Page 290: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

276

alasan garis sama jarak akan dapat menciptakan garis batas maritim yang

tidak adil.

Indonesia dan Malaysia mengklaim sebagian Laut Sulawesi, lepas

pantai Kalimantan (Borneo) yang dikenal dengan nama Ambalat. Karena

di Laut Cina Selatan diperkirakan terdapat hidrokarbon, maka di Laut

Sulawesi terdapat kekayaan hidrokarbon sangat besar yang berkisar

antara 100 juta hingga 1 milyar barrel minyak. Walaupun ICJ telah

memutuskan masalah kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan,

Mahkamah tidak menetapkan perbatasan maritim di antara Indonesia dan

Malaysia228.

Dalam keadaan seperti ini tidak mengherankan timbul

persengketaan di antara mereka pada Februari 2005 ketika Malaysia

mengeluarkan izin eksplorasi bagi perusahaan minyaknya, yaitu Petronas,

bermitra dengan Kerajaan Belanda (Royal Dutch) serta perusahaan

eksplorasi Shell. Konsesi seperti itu ternyata tumpang tindih (overlap)

228

Sengketa Ambalat yang tengah terjadi sesungguhnya mencerminkan belum dibuatnya satu perjanjian batas maritim antara Indonesia dan Malaysia di Laut Sulawesi. Munculnya interpretasi atas yurisdiksi masing-masing negara di Laut Sulawesi ini bisa menjadi potensi konflik di semua bidang apabila kedua negara tidak segera melakukan satu perundingan bersama guna melahirkan satu perjanjian perbatasan maritime di Laut Sulawesi…Kedua negara sebenarnya memiliki peluang untuk membicarakan masalah perbatasan laut di Laut Sulawesi, yaitu ketika keduanya bertemu rutin setiap tahun untuk membicarakan masalah pengembangan wilayah perbatasan secara umum di bawah Komite yang dinamakan ‘General Border Committee’. Keduanya membicarakan dan melihat sejauh mana perkembangan masalah pengelolaan perbatasan kedua negara, baik perbatasan darat maupun laut, itu dicapai. Sejak tahun 1967 kedua negara sebenarnya telah membuat satu perjanjian tentang pengelolaan akses perbatasan, dan hal yang berkaitan dengan perdagangan lintas batas di lautan dimuat dalam Pasal 3 tentang Perdagangan Lintas Batas di Lautan. Pada saat itu kedua negara membuat perjanjian dengan penekanannya pada Perdagangan Lintas Batas termasuk lintas batas di Lautan, tetapi tidak mencakup masalah penentuan garis-garis batas maritime di Laut Sulawesi, etc. Lihat Awani Irewati, dkk, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia – Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Politik, 2006), Hlm. 95-96.

Page 291: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

277

dengan blok tambang yang diklaim oleh Indonesia, yang juga jauh

sebelumnya telah mengeluarkan konsesi di wilayah itu kepada

perusahaan minyak Italia dan Amerika Serikat.

Kedua Negara saling melakukan kecaman atas keluarnya konsesi-

konsesi tersebut dan masalahnya mengalami eskalasi pada bulan Maret

2005 ketika pasukan militer dikerahkan ke wilayah Ambalat yang

dipersengketakan. Penambahan angkatan laut dan pasukan militer serta

banyaknya insiden konfrontasi sejak waktu itu (protes resmi sudah

dikirimkan pada Oktober 2008 oleh Indonesia) menentang pasukan

angkatan bersenjata Malaysia di wilayah itu yang bertentangan dengan

Piagam ASEAN menunjukkan betapa besar nilai yang berada di balik

klaim masing-masing pihak atas wilayah itu, mulai dari martabat bangsa

(national prestige) dan keamanan rute-rute pelayaran (the security of

navigational routes) sampai keamanan energy (energy security). Baik

Indonesia maupun Malaysia tidak memberikan indikasi kalau mereka akan

merundingkan klaimnya terhadap wilayah yang bersangkutan, yang

disebabkan karena pada umumnya masalah delimitasi maritim di antara

negara-negara memang sulit untuk dilakukan.

B. Sejarah Penerapan Titik Pangkal untuk Menarik Garis Pangkal dan

Membangun Delimitasi Maritim di Perairan Indonesia

Sejarah perjalanan garis pangkal yang dibangun dari titik pangkal di

negeri ini dapat ditelusuri sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, di

mana pada masa itu garis pangkal yang digunakan untuk menetapkan

Page 292: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

278

jalur-jalur maritim, terutama laut teritorial adalah garis pangkal normal

yang juga dapat dinamakan sebagai garis pasang surut (normal

baselines) di setiap pulau atau bagian pulau yang berfungsi sebagai titik

pangkal (basepoint). Dengan demikian pada zaman kolonial titik pangkal

di setiap pulau entah besar atau kecil dipakai untuk menarik garis pangkal

normal dan bukan garis pangkal lurus. Di samping itu titik pangkal seperti

itu juga dimaksudkan untuk membangun batas-batas maritim berupa

batas-batas laut territorial dari setiap pulau karena pada masa itu laut

territorial negara-negara bertetangga belum mengalami masalah duplikasi

(overlapping) sehingga dapat ditetapkan secara sepihak oleh masing-

masing negara. Kenyataan seperti itu tentu saja tidak dapat dipisahkan

dari perkembangan hukum laut pada masa itu, di mana prinsip yang

mengilhami Negara-negara pantai pada umumnya, termasuk negeri

Belanda dalam menetapkan pengaturan hukumnya adalah prinsip

kebebasan laut (freedom of the seas) yang bersumber dari ajaran Grotius

(Hugo de Groot, 1583-1645) dengan bukunya yang berjudul Mare

Liberum229.

Ajarannya antara lain mengemukakan bahwa tuntutan atas laut

yang didasarkan atas penemuan (discovery), penguasaan yang lama

(prescription) ataupun servitut (servitude) tidaklah dapat diterima karena

semuanya bukanlah alasan untuk memperoleh hak kepemilikan

(ownership) atas laut. Meskipun demikian, Grotius mengakui bahwa anak-

229

Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut, (Bandung, Binacipta, 1979), Hlm. 14 – 16.

Page 293: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

279

anak laut, laut pedalaman (inner sea) dan sungai-sungai, sekalipun

mempunyai sifat yang cair, dapat dimiliki karena ada batas-batasnya, di

mana tepinya dapat dianggap sebagai per aliud atau pengecualian.230

Dalam perkembangannya kemudian ternyata Grotius dalam

bukunya De Jure Belli ac Pacis (1625) telah mengubah pendiriannya

sehingga pada akhirnya ia mengakui bahwa laut di sepanjang pantai

suatu negara pun dapat pula dimiliki sejauh yang dapat dikuasai dari

darat, yang juga berarti dari pantai atau garis pangkal biasa pada setiap

pulau yang dimiliki oleh negara pantai yang bersangkutan. Doktrin

kebebasan laut inilah yang melandasi pengaturan hukum kolonial

Belanda, dalam hal ini ordonansi laut territorial dan lingkungan maritim

yang juga dinamakan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie

(TZMKO) 1939 (Staatsblad 1939 Nomor 442).

Ordonansi yang diberlakukan dalam wilayah Hindia Belanda

berdasarkan azas konkordansi menyatakan bahwa setiap pulau besar

atau kecil yang terdapat dalam wilayah hukum Hindia Belanda memiliki

laut teritorialnya sendiri-sendiri, di mana laut territorial pada setiap pulau

mempunyai lebar yang ditentukan sejauh 3 mil laut terhitung dari garis

pangkal normal (normal baselines) yang dibangun dari setiap pulau yang

dipakai sebagai titik pangkal. Dengan begitu wilayah perairan Hindia

Belanda terdiri dari kumpulan laut-laut territorial yang lebarnya masing-

230

Ibid, Hlm. 15.

Page 294: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

280

masing adalah 3 mil laut yang diukur dari garis pangkal normal yang

dibangun dari setiap pulau sebagai titik pangkal.

Demikian peraturan kolonial itu mengakibatkan terbentuknya

kantung-kantung laut bebas antara suatu pulau dengan pulau lain maupun

antara suatu bagian pulau dengan pulau sehingga pascaproklamasi

kemerdekaan ordonansi yang menggunakan garis pangkal biasa harus

dihapuskan dan dinyatakan tidak berlaku karena dipastikan dapat

mengancam dan membahayakan kedaulatan dan keutuhan territorial

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai pertimbangan

mendorong Pemerintah RI sehingga pada tahun 1957 merombak

pengaturan wilayah perairan yang berlandaskan garis pangkal normal

(normal baselines) atau garis pasang surut pada setiap pulau sebagai titik

pangkal menjadi garis pangkal lurus (straight baselines) yang dibangun

dari titik-titik terluar atau titik-titik pangkal karena hanya dengan konsep

titik pangkal atau titik terluar dan garis pangkal lurus yang dapat

menyatukan seluruh wilayah darat dan laut.231 Batas-batas maritim dan

delimitasi maritim dibangun dengan pendekatan konsep titik terluar berupa

pulau-pulau terluar dan garis pangkal lurus.

Garis pangkal lurus yang digunakan dalam Pengumuman

Pemerintah 13 Desember 1957 dan Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960

dan berbagai peraturan perundangan nasional bukan sesuatu yang baru

pada waktu itu sebab sebelumnya sudah ada semacam preseden

231

Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., Hlm. 187.

Page 295: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

281

(precedent) dalam hukum internasional. Putusan Mahkamah Internasional

dalam sengketa antara Inggris dan Norwegia pada tahun 1951 menjadi

sebuah preseden atau kejadian penting dalam perkembangan hukum

internasional terkait penarikan garis pangkal karena untuk pertama kalinya

Mahkamah mengakui garis pangkal lurus sebagai salah satu cara

penarikan garis pangkal yang dapat dipakai untuk menetapkan lebar laut

territorial 232. Hal ini berarti bahwa untuk pertama kalinya putusan tersebut

mengakui penggunaan pulau-pulau terluar sebagai titik pangkal untuk

menarik garis pangkal lurus dan menetapkan jalur-jalur maritim, termasuk

membangun delimitasi garis batas maritim.

Sebenarnya penggunaan dan penetapan pulau terluar sebagai titik

pangkal sudah diperkenalkan melalui Undang-Undang yang pernah dibuat

oleh Pemerintah Norwegia yang dinamakan Royal Decree 1935 yang

menerapkan metode penarikan garis pangkal lurus yang ditarik dari titik

pangkal di daratan utama (mainland) menuju ke titik pangkal di pulau-

pulau terluar, namun tindakan unilateral negara tersebut baru

mendapatkan legitimasi lewat putusan Mahkamah Internasional pada

tahun 1951. Putusan Mahkamah dalam The Anglo-Norwegian Fisheries

Case dan beberapa pertimbangannya kemudian dimasukkan ke dalam

Pasal 5 dari Konvensi Geneva 1958 mengenai laut teritorial dan jalur

tambahan dan selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 7 KHL 1982.

232

Ibid., Hlm. 98-100.

Page 296: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

282

Berbagai perjanjian garis batas maritim yang sudah diadakan

dengan hampir semua negara tetangga sejak berakhirnya dekade 1960-

an pada prinsipnya memuat semacam pengakuan oleh berbagai Negara

tetangga terhadap penerapan titik pangkal bagi penarikan garis pangkal

lurus (straight baselines) ataupun garis pangkal lurus kepulauan (straight

archipelagic baselines), yaitu garis pangkal yang menghubungkan titik-titik

terluar berupa pulau-pulau terluar yang terdapat di dalam wilayah

kepulauan Indonesia. Istilah garis pangkal lurus yang digunakan dalam

Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 dan berbagai peraturan

implementasinya mempunyai makna yang sama dengan istilah garis

pangkal lurus kepulauan berbasis titik terluar atau titik pangkal yang

digunakan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 serta berbagai

peraturan tindak lanjut dari peraturan perundangan ini. Sesungguhnya

garis pangkal lurus hanya bisa digunakan secara silih berganti dengan

garis pangkal normal karena setiap pulau terluar atau fitur alamiah terluar

mempunyai fungsi baik untuk menarik garis pangkal normal maupun garis

pangkal lurus ataupun garis-garis lain.

Garis-garis lainnya dapat mencakup garis lurus (straight lines) yang

dapat ditarik pada pelabuhan atau sungai yang terdapat pada pulau

terluar. Di samping garis lurus, garis-garis lain juga dapat mencakup apa

yang disebut garis penutup (closing lines) yang ditarik dari mulut teluk

yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut apabila teluk tersebut terletak

pada suatu pulau terluar.

Page 297: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

283

Kasus teluk Sidra yang melibatkan Pemerintah Libya yang pada

waktu itu dipimpin oleh Kolonel Moammar Khadafi serta Pemerintah

Amerika Serikat di bawah Presiden Reagan pada tahun 1981

menunjukkan bahwa penerapan garis penutup pada sebuah teluk

seharusnya mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut yang

berlaku.

Garis penutup yang ditarik oleh Libya guna menutup perairan teluk

Sidra memiliki kepanjangan sampai ratusan mil jauhnya yang

menghubungkan kedua ujung atau titik dari teluk itu, sedangkan Pasal 7

dari Konvensi Hukum Laut 1982 sudah menetapkan garis penutup

tersebut tidak boleh melebihi 24 mil laut sehingga muncul sengketa antara

kedua Negara yang bereskalasi dengan terjadinya serangan udara

terhadap wilayah kedaulatan Libya yang dilakukan oleh pesawat-pesawat

tempur Amerika Serikat pada awal 1980-an.

Libya mempunyai status sebagai Negara pantai biasa (normal

coastal state) sehingga garis pangkal yang dapat digunakan oleh negara

tersebut dalam menetapkan jalur-jalur maritimnya.adalah garis pangkal

biasa (normal base lines) dan bukan garis pangkal lurus (straight

baselines). Demikian juga dengan Malaysia dalam statusnya sebagai

negara pantai biasa, maka garis pangkal yang harus digunakan adalah

garis pangkal normal dalam menetapkan jalur-jalur maritimnya dengan

catatan apabila terdapat pelabuhan, sungai ataupun teluk pada wilayah

daratan, negara tersebut dapat menetapkan garis lurus ataupun garis

Page 298: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

284

penutup yang tetap dimaknai sebagai bagian daripada garis pangkal

normal sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Berbeda halnya dengan RI yang statusnya adalah sebagai negara

kepulauan (archipelagic state) sehingga garis pangkal lurus kepulauan

yang menjadi patokan dalam membangun jalur maritim maupun garis

batas maritim pada bagian laut yang mengalami duplikasi (overlapping)

dengan bagian laut Negara tetangga.

Akan tetapi dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan yang

merupakan warisan kolonial Belanda, berpotensi membawa implikasi

terjadinya pergeseran atau perubahan titik pangkal bagi garis pangkal

kepulauan. Selanjutnya hal itu dapat berimbas terhadap pemetaan

ataupun daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan

Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 47 KHL 1982.

Ketentuan pasal 47 KHL 1982 sejalan dengan pasal 25A dari

Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang

berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya

ditetapkan dengan undang-undang233. Selanjutnya azas ini

diimplementasikan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1996 tentang perairan Indonesia yang menyatakan bahwa Negara

RI adalah Negara Kepulauan, di mana segala perairan di sekitar, di

antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau

233

Amandemen Kedua UUD 1945.

Page 299: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

285

yang termasuk daratan Negara RI, tanpa memperhitungkan luas atau

lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara RI

sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di

bawah kedaulatan Negara RI.

Wilayah perairan Indonesia meliputi laut territorial Indonesia,

perairan kepulauan dan perairan pedalaman234; Laut territorial Indonesia

adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal

kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5235; Perairan

kepulauan Indonesia adalah segala perairan yang terletak pada sisi dalam

dari garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau

jaraknya dari pantai236; Perairan pedalaman Indonesia adalah semua

perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-

pantai Indonesia, termasuk di dalamnya semua bagian perairan yang

terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996237.

Pasal yang disebut terakhir ini menyatakan bahwa di dalam

perairan kepulauan dapat ditetapkan perairan pedalaman dengan batas-

batas tertentu, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis-garis penutup

pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut dan pelabuhan.

Sebagai negara kepulauan, RI dapat menarik garis pangkal

kepulauan (archipelagic baselines). Dalam menarik garis pangkal

234

Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 235

Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 236

Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 237

Pasal 3 ayat 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996

Page 300: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

286

kepulauan, Indonesia dapat mempergunakan berbagai metode atau cara

penarikan garis pangkal. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2002

yang merupakan salah satu peraturan pelaksanaan untuk menindaklanjuti

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang terkait dengan ketentuan

mengenai garis pangkal.

Peraturan Pemerintah tersebut menetapkan bahwa RI dapat

menarik garis pangkal kepulauan dan dalam menarik garis pangkal

kepulauan dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis

pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, muara

sungai, terusan, kuala dan garis penutup pada pelabuhan238.

Dengan mencermati kronologi sejarah penerapan titik pangkal dan

garis pangkal serta batas-batas maritime, termasuk delimitasi maritim,

maka tampak adanya perkembangan menyangkut fungsi dari pulau

ataupun fitur alamiah sebagai titik pangkal (basepoint). Selama masa

penjajahan, setiap pulau besar atau kecil dapat digunakan sebagai titik

pangkal untuk menarik garis pangkal normal dan bukan untuk menarik

garis pangkal lurus karena hal ini sejalan dengan perkembangan hukum

laut pada masa itu yang berlandaskan prinsip kebebasan laut (freedom of

the seas) yang menghendaki laut territorial yang dimiliki negara pantai

lebarnya sekecil mungkin agar semua negara dapat menikmati dan

menjalankan kebebasan laut seakan-akan tanpa batas. Dengan adanya

kantung-kantung laut bebas di luar laut territorial dari setiap pulau yang

238

Departemen Kelautan dan Perikanan, Azas-Azas Hukum Laut, (Jakarta: Ditjen Kelautan dan Perikanan, 1997), Hlm. 9.

Page 301: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

287

dipakai sebagai titik pangkal untuk menarik garis pangkal normal sehingga

membawa implikasi negatif terhadap keutuhan territorial, maka diterbitkan

Deklarasi 13 Desember 1957 dan berbagai peraturan perundangan yang

secara revolusioner merombak. Intinya adalah pulau terluar ataupun fitur

alamiah terluar harus digunakan sebagai titik pangkal untuk menarik garis

pangkal lurus (straight baselines) ataupun garis pangkal lurus kepulauan

(archipelagic straight baselines) dengan tujuan untuk mewujudkan

kesatuan daratan dan perairan atau pulau dan laut berdasarkan azas

negara nusantara dan Benua Maritim Indonesia. Di samping itu atas

alasan ekonomi serta alasan dan pertimbangan lain yang bukan ekonomi,

garis pangkal lurus ataupun garis pangkal lurus kepulauan yang ditarik

dari titik-titik pangkal sedapat mungkin harus dapat digunakan untuk

membangun jalur-jalur maritim dan garis delimitasi maritim khususnya

dalam hubungan dengan negara tetangga.

C. Malaysia dan Konsep Garis Pangkal Kepulauan

Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982) dinyatakan bahwa

suatu negara disebut negara kepulauan (archipelagic state) bilamana

negara tersebut terdiri dari satu kepulauan (archipelago) atau lebih dan

dapat mencakup pulau-pulau lain. Sedangkan pengertian kepulauan

(archipelago) menunjukkan suatu kumpulan pulau-pulau atau gugusan

pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan yang berada di

antaranya maupun berbagai bentuk alamiah lainnya (other natural forms)

yang semuanya ini saling berhubungan satu sama lain dan hubungannya

Page 302: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

288

sedemikian eratnya sehingga membentuk suatu kesatuan dari segi

geografi, ekonomi dan politik yang hakiki ataupun dianggap membentuk

satu kesatuan seperti itu ditinjau dari segi historis239.

Bertitik tolak dari pengertian tersebut di atas, maka negeri Malaysia

tidak dapat disebut sebagai negara kepulauan sebab wilayahnya tidak

merupakan suatu kepulauan atau gugusan pulau-pulau, di mana gugusan

pulau serta perairan yang terletak di antaranya samasekali tidak

membentuk satu kesatuan geografi. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa

antara wilayah Barat Malaysia (Semenanjung Barat Malaysia) dan wilayah

Timur Malaysia (Semenanjung Timur Malaysia atau disebut daerah

239

Many coastal states, especially states in East Asia and Southeast Asia, have given a liberal or, indeed, excessive interpretation to Article 7, and have employed straight baselines in circumstances that arguably do not meet the requirements in Article 7. Nonetheless, the intent of Article 7 of UNCLOS is clear—to deal with especially complex and irregular coastlines where the use of normal baselines would result in similarly convoluted maritim jurisdictional limits.This interpretation of Article 7 is supported by the decision in the Qatar/Bahrain case, which stated unequivocally that the method of straight baselines in accordance with Article 7 of UNCLOS “must be applied restrictively.”Although none of the three states bordering the Singapore Strait have formally claimed straight baselines in accordance with Article 7, evidence suggests that Malaysia has inpractice employed the use of straight baselines. The existence of Malaysia’s straight baselines is indicated by its maritim boundary agreements of 1969 and 1971 with Indonesia that relate to continental shelf rights and territorial sea, respectively (see below). Indeed, Malaysia’s straight baseline claims appear to have been prompted by a desire to counterbalance Indonesia’s archipelagic baselines in the context of continental shelf boundary negotiations between the two countries. Moreover, as mentioned above, in 1979, Malaysia issued a map setting out the limits of its claimed territorial waters and continental shelf.25 Some of the claimed territorial sea limits depicted on this map are straight, which indicates that they were constructed from straight baselines. However, no charts or lists of coordinates have been issued by Malaysia setting out the location of its baselines. Malaysia’s straight baselines may be reconstructed, or inferred, by drawing lines 12 nautical miles landward of and parallel to the straight line limits of the territorial waters indicated on the 1979 map. These “inferred baselines” have been criticized as being inconsistent with the criteria set out in Article 7 of UNCLOS on straightbaselines. See Robert Beckman, Moving Beyond Disputes over Island Sovereignty: ICJ Decisions Sets Stage for Maritim Boundary Delimiotation in the Singapore Straits, Ocean Development & International Law, 40 : 1 – 35, Taylor & Francis Group, LLC. 2009), Hlm. 6.

Page 303: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

289

Sarawak dan Sabah) terdapat wilayah perairan kepulauan Indonesia yang

memisahkan wilayah Barat dan Timur negeri jiran itu.

Negara jiran hanya dapat dikualifikasi sebagai negara pantai

normal (normal coastal state) dan hanya dibenarkan untuk menetapkan

jalur-jalur laut dengan menggunakan garis-garis pangkal biasa (normal

baselines) di setiap wilayah ataupun pulau sebagai titik-titik pangkal. Titik-

titik seperti ini digunakan untuk melakukan penarikan garis-garis air

terendah yang terjadi pada saat air laut yang mencapai tingkat kesurutan

maksimal dan secara morfologis garis-garis tersebut mengikuti segala

lekuk liku yang terdapat pada pantai wilayah negara tersebut.

Dengan menggunakan pengertian sebagaimana diatur dalam

perjanjian hukum laut, yaitu KHL 1982 yang sudah diratifikasi oleh

Malaysia, maka negeri ini dapat menetapkan jalur-jalur maritimnya hanya

dengan menggunakan garis-garis pangkal biasa (normal baselines) yang

dibangun dari masing-masing titik pangkal yang terdapat di pantai wilayah

Malaysia Barat, kemudian garis pangkal seperti itu dibangun dari titik

pangkal yang terdapat di pantai wilayah Malaysia Timur atau pantai

wilayah Sarawak. Selanjutnya garis-garis pangkal yang sama ditarik dan

dibangun lagi dari titik pangkal yang terdapat di pantai wilayah pulau

Sabah, sebagian pulau Sebatik serta garis-garis pangkal yang sama

ditarik dan dibangun dari titik pangkal yang terdapat di masing-masing

pantai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

Page 304: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

290

Kedua pulau yang disebut terakhir ternyata sudah digunakan

sebagai titik pangkal oleh Malaysia yang diberi kedaulatan oleh

Mahkamah Internasional pada tahun 2002, padahal putusan ICJ pada

hakekatnya tidak membenarkan para pihak yang bersengketa untuk

melakukan perubahan garis-garis batas maritim di perairan sekitar Pulau

Sipadan dan Pulau Ligitan. Judge Oda, salah seorang hakim ICJ yang

menangani dan memutuskan perkara kepemilikan atas kedua pulau

menyatakan bahwa sekalipun Malaysia dihadiahi kedaulatan atas pulau

Ligitan dan pulau Sipadan, hal ini tidak boleh mempengaruhi garis-garis

batas landas kontinen karena kedua pulau tersebut tidak perlu

diperhitungkan sebagai titik pangkal baik untuk menarik garis pangkal

lurus maupun terutama untuk membangun garis delimitasi maritim di

daerah yang dianggap dipersengketakan.

Karena tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of islands),

Malaysia samasekali tidak dapat dibenarkan untuk melakukan penarikan

garis-garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines)

sebagai garis-garis pangkal dalam menetapkan jalur-jalur laut terutama

jalur-jalur laut di perairan Laut Sulawesi sebelah Timur Provinsi

Kalimantan Timur. Apabila negara tersebut menarik garis pangkal lurus

kepulauan, maka akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan yang

terlalu besar dari konfigurasi umum kepulauan. Penarikan garis pangkal

lurus (straight baselines) juga tidak dapat dibenarkan karena wilayah

daratan Malaysia di bagian Utara Pulau Borneo (Semenanjung Timur)

Page 305: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

291

serta Semenanjung Barat negera tersebut tidak berliku-liku tajam dan di

depan kedua semenanjung tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of

island). Apabila negara tersebut menarik ‘straight baselines’, maka hal ini

akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan dari arah pantai pada

umumnya.

Langkah penarikan garis pangkal seperti itu juga mendistorsi

semangat yang terkandung baik di dalam declaration of Judge Oda yang

memuat pendapat terpisah (separate opinion) sebagai bagian integral dari

keputusan ICJ sendiri. Semangat yang dimaksud merefleksikan semacam

nilai-nilai immaterial (immaterial values), seperti nilai kebaikan, kebenaran,

kejujuran dan keadilan (justice)240 yang dianut secara universal sehingga

ketika terjadi perlawanan terhadap nilai-nilai immaterial seperti ini, akan

menimbulkan semacam rasa ketidakadilan (sense of injustice) yang dapat

membangkitkan emosi umat manusia yang sangat kuat.

Faktanya negeri serumpun menerbitkan peta zona ekonomi

eksklusif yang ternyata memasukkan sebagian perairan kepulauan

Indonesia, termasuk blok tambang Ambalat. Penerbitan petanya dilakukan

dengan memanfaatkan kedua pulau sebagai titik pangkal bagi penarikan

garis pangkal lurus kepulauan sehingga timbul ketidaksepadanan antara

daerah maritim yang diklaim oleh negara tersebut dengan garis pantai

yang ditetapkannya. Di satu sisi garis pangkal lurus yang ditarik dari Pulau

Sabah ke Ligitan dan Sipadan sebagai titik-titik pangkal adalah demikian

240

Suri Ratnapala, Jurisprudence, (Cambridge: University Press, 2009), Hlm. 319.

Page 306: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

292

pendek, namun di sisi lain bagian laut yang diklaimnya begitu luas

sehingga terjadi ketidakseimbangan (disproportionality) yang dapat

menimbulkan ketidakadilan (injustice) bagi negara lain.

Situasi seperti itu terjadi akibat garis pangkal yang digunakan

pascaputusan ICJ adalah garis pangkal lurus kepulauan, sedangkan

sesungguhnya negara tersebut bukan negara kepulauan sebab penarikan

garis seperti ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 47 ayat 3 KHL

1982241. Negara tersebut juga tidak boleh menggunakan garis pangkal

lurus (straight baselines) sebab negara tersebut tidak mempunyai

sederetan pulau di dekat daratannya (a fringe of islands) sebagaimana

diatur dalam pasal 7 ayat 3 KHL 1982242.

Walaupun Konvensi Hukum Laut 1982 tidak menyebut secara

tegas Negara-negara mana saja yang dikategorikan sebagai negara-

negara kepulauan atau negara-negara mana yang dimasukkan di dalam

kelompok negara kepulauan sebab KHL 1982 hanya menegaskan secara

umum pengertian negara kepulauan, namun hal ini sudah jelas dapat

dikaitkan dengan kualifikasinya sebagai negara yang bukan negara

kepulauan.

Berbagai dokumen yang menggambarkan suasana

berlangsungnya persidangan-persidangan selama konferensi hukum laut

yang diprakarsai PBB sejak tahun 1973 hingga tahun 1982 menjadi bukti

241

Pasal 47ayat 3 KHL 1982 menyatakan bahwa garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan.

242 Ibid, Hlm.11.

Page 307: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

293

historis yang sangat bernilai untuk menepis klaim Malaysia untuk

menerapkan konsep garis pangkal kepulauan. Berbagai dokumen sejarah

persidangan dalam konferensi hukum laut PBB III dapat dipakai untuk

membuktikan bahwa Malaysia tidak pernah dikategorikan dan tidak

pernah dimasukkan ke dalam kelompok negara-negara yang menganut

konsep Negara kepulauan. Bahkan dapat ditegaskan bahwa selama

berlangsungnya konferensi hukum laut PBB III, negeri jiran itu tidak

pernah memperlihatkan tanda-tanda untuk memasukkan negerinya ke

dalam kelompok negara kepulauan.

Negara-negara yang justru masuk dalam kategori kelompok

Negara kepulauan adalah Negara RI, Philipina, Fiji dan Mauritius yang

selama berlangsungnya konferensi disebut dengan istilah Kelompok 4

(The Group of Four States) karena negara-negara inilah yang

memprakarsai dan berjuang agar masyarakat internasional dapat

menerima dan mendukung lahirnya konsep negara Kepulauan berbasis

garis pangkal lurus kepulauan dengan orientasi pada pulau terluar

sebagai titik pangkal. Malahan perjuangan 4 negara, khususnya Negara

RI sudah lama dilakukan jauh sebelum PBB menyelenggarakan

konferensi tersebut, sementara Malaysia samasekali tidak mempunyai

andil dan kontribusi bagi pengakuan masyarakat internasional terhadap

konsep negara kepulauan yang berorientasi pada pulau terluar sebagai

titik pangkal.

Page 308: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

294

Kelompok 4 negara, terutama Republik Indonesia harus diakui

paling berjasa dalam melahirkan konsep Negara kepulauan yang

kemudian menjadi azas negara kepulauan sehingga tercantum dalam

BAB IV Konvensi Hukum laut 1982.

Proses berlangsungnya konferensi hukum laut (1973-1982) yang

dapat dilihat dan ditemukan melalui dokumen-dokumen historis yang

berisi berbagai macam kertas kerja yang dibuat oleh masing-masing

delegasi serta berbagai pembicaraan dan perdebatan telah membuktikan

secara terang benderang bahwa Malaysia sama sekali tidak termasuk

negara kepulauan dan selama proses konferensi berjalan tidak ada tanda-

tanda dari negeri tersebut untuk bergabung ke dalam kelompok negara

kepulauan mengingat para delegasinya cukup memahami kualifikasinya

sebagai negara yang bukan negara kepulauan pada waktu itu. Para

delegasinya menyadari kalau negaranya adalah negara kontinental atau

negara pantai biasa (normal coastal state) dengan hak untuk menetapkan

jalur-jalur laut hanya dengan cara menerapkan garis-garis pangkal biasa

(normal baselines) pada pantai dari setiap daratan atau pulau yang

dimilikinya secara sah, termasuk Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai titik

pangkal untuk menarik normal baselines dan membangun batas-batas

maritime, termasuk delimitasi maritim.

Adalah ironis bagi negeri jiran untuk menerapkan garis-garis

pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik air terendah pada

pantai Malaysia Barat, Malaysia Timur (Sarawak), Pulau Sabah serta

Page 309: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

295

Pulau Sipadan dan Ligitan karena selain factor geografis, juga faktor

historis dan yuridis telah membuktikan Negara tersebut bukan Negara

kepulauan, melainkan hanya Negara pantai biasa243.

Salah satu azas hukum yang terdapat dalam Bab IV KHL 1982

(Pasal 47) menyatakan bahwa Negara yang disebut Negara kepulauan

hanya diperkenankan untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan (yang

tentu harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal

normal dan garis pangkal lurus), di mana panjangnya tidak boleh melebihi

100 mil laut kecuali 3 persen dari jumlah keseluruhan garis pangkal lurus

kepulauan ini dapat mencapai panjang maksimal 125 mil laut. Jarak

antara Semenanjung Barat dan Semenanjung Timur negara tetangga

ternyata mencapai jarak sampai melebihi 125 dan bahkan mencapai jarak

ratusan mil. Hal ini berarti bilamana Malaysia bersikap memaksakan diri

menjadi negara Kepulauan, maka negara tersebut pasti akan mendistorsi

azas kepastian hukum terkait syarat dan pembatasan garis pangkal lurus

kepulauan yang menyatakan setiap garis pangkal lurus kepulauan

panjangnya tidak boleh melebihi 100 mil laut.

243

Indeed, Malaysia’s straight baseline claims appear to have been prompted by a desire to counterbalance Indonesia’s archipelagic baselines in the context of continental shelf boundary negotiations between the two countries. Moreover, as mentioned above, in 1979, Malaysia issued a map setting out the limits of its claimed territorial waters and continental shelf.25 Some of the claimed territorial sea limits depicted on this map are straight, which indicates that they were constructed from straight baselines. However, no charts or lists of coordinates have been issued by Malaysia setting out the location of its baselines. Malaysia’s straight baselines may be reconstructed, or inferred, by drawing lines 12 nautical miles landward of and parallel to the straight line limits of the territorial waters indicated on the 1979 map. These “inferred baselines” have been criticized as being inconsistent with the criteria set out in Article 7 of UNCLOS on straight baselines. Ibid., Hlm. 5.

Page 310: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

296

Bukan hanya azas kepastian hukum yang tergangggu, melainkan

juga azas keadilan mengingat kemenangan Malaysia atas Indonesia tidak

berlandaskan atas bukti-bukti kepemilikan yang kuat sehingga Judge Oda

menyebut perkara tersebut dikategorikan sebagai perkara yang lemah.

Hal ini disebabkan karena dalam pandangan mahkamah baik Indonesia

maupun terutama Malaysia menurut pandangan mahkamah tidak sanggup

membuktikan hak kepemilikannya atas pulau Sipadan dan pulau Ligitan

berdasarkan perjanjian apapun yang dibuat oleh negara-negara

pendahulunya sehingga tindakan Malaysia yang menetapkan peta zona

ekonomi eksklusif 244berbasis garis pangkal lurus kepulauan

sesungguhnya mengerogoti putusan ICJ itu sendiri, khususnya nilai-nilai

immaterial dengan berfokus pada azas keadilan, sebagaimana

terkandung di dalam Deklarasi Judge Oda.

Kenyataan geografisnya menunjukkan bahwa jarak antara

Malaysia Barat dan Timur ratusan mil jauhnya sehingga panjang garis

244

Although the 1979 map was published 3 years before UNCLOS was adopted and before Malaysia became a party, as a party to UNCLOS, Malaysia now has an obligation to bring its baselines and maritim zone claims into conformity with the Convention. It appears to be preparing to do so. Malaysia enacted the Baselines of Maritim Zones Act 2006 (Act 660) on May 1, 2007, which provides for normal baselines consistent with low-water lines as shown on large-scale charts and for the use of straight baselines linking specified basepoints along the coast. This Act is enabling legislation and Malaysia has not at the time of this writing published any charts or lists of geographical coordinates with respect to straight baselines. Malaysia should, in any event, ensure that its use of straight baselines under the 2006 Act is in conformity with Article 7 as interpreted by the Court in the Qatar/Bahrain case. If its straight baselines are excessive in character, they are unlikely to be accepted by its maritim neighbors. Of particular relevance to the present discussion, it is considered likely that both Indonesia and Singapore will take the position that Malaysia should employ the normal method of low-water baselines in the eastern Singapore Strait. This is because the relevant area of the Malaysian coast (Johor) does not appear to have a fringe of islands and is not deeply cut into, and thus does not meet the requirements for the use of straight baselines under Article 7. Ibid., Hlm. 6 – 7.

Page 311: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

297

pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan kedua wilayah daratan

negeri tersebut juga ratusan mil jauhnya dan hal ini kalau mau dipaksakan

seperti yang pernah dilakukan RRC pada tahun 1996, selain bertentangan

dengan azas kepastian hukum soal syarat pembatasan garis pangkal

lurus kepulauan sebagaimana diatur dalam KHL 1982, juga bertentangan

dengan prinsip keadilan sehingga dapat menimbulkan kecaman

masyarakat internasional pada umumnya serta Negara-negara di

kawasan Asia Tenggara pada khususnya.245

Klaim blok tambang Ambalat itu berakar dari klaim atas straight

baselines dengan orientasi pada daratan dan pulau-pulau sebagai titik

pangkal sebagaimana dapat ditemukan baik lewat peta yang dikeluarkan

pada 1979 maupun lewat Undang-Undang Garis Pangkal Jalur Maritim

pada 2006 (Baselines of Maritime Zones Act)246. Sebagai peserta pada

KHL 1982, Malaysia berkewajiban untuk mengumumkan klaim seperti itu

pada waktunya (due publicity) sebagaimana ditentukan dalam pasal 47,

paragraph 8 dan 9. Akan tetapi sampai saat ini negara tersebut tidak

membuat daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal. Oleh karena itu

negara tersebut juga tidak mungkin melakukan ‘due publicity’ dan

akhirnya tidak mungkin mendepositkannya kepada Sekjen PBB. Dengan

demikian tidak ada alasan hukum yang dapat membenarkan negara

245

If Malaysia does indeed claim straight baselines, as appears to be the case from its 1979 map and 2006 Baselines of Maritime Zones Act, as a party to UNCLOS it is under an obligation to provide due publicity to these claims. Similarly, Indonesia, in accordance with UNCLOS Article 47, paragraphs 8 and 9, is under an obligation to give due publicity to its archipelagic baselines claims, but at the time of this writing had yet to do so.

246 Undang-undang Malaysia mengenai garis pangkal disebut ‘Act 260’.

Page 312: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

298

tersebut untuk menumpang pada azas negara kepulauan dengan tujuan

untuk mengklaim perairan Laut Sulawesi sebelah Timur Kalimantan Timur

yang di dalamnya terdapat Blok migas Ambalat dan Ambalat Timur247.

Di samping melalui pendekatan historis dalam bentuk dokumen-

dokumen yang berasal dari suasana Konferensi Hukum Laut PBB III,

kemudian pendekatan yuridis dengan memperhatikan prinsip-prinsip

utama dari azas negara kepulauan sebagaimana diatur dalam BAB IV

KHL 1982, maka terdapat pendekatan lain yang dapat digunakan sebagai

dasar dalam menghadapi klaim Malaysia atas perairan Ambalat dan

Ambalat Timur lewat penerapan garis pangkal lurus kepulauan.

Penafsiran terhadap perjanjian bilateral yang telah ditandatangani

Indonesia dan Malaysia pada tahun 1975 dapat digunakan sebagai suatu

pendekatan.

Berdasarkan perjanjian bilateral tersebut, Malaysia secara jelas

mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan

atas seluruh perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis

pangkal lurus kepulauan, yaitu garis-garis yang menghubungkan titik-titik

terluar yang terdapat pada pulau-pulau terluar dan karang-karang kering

terluar (outermost drying reefs) dari kepulauan Indonesia. Dalam

perjanjian tahun 1975 juga ditegaskan bahwa bagian perairan yang

berada di antara Malaysia Barat dan Malaysia Timur adalah merupakan

bagian dari perairan kepulauan atau wilayah kedaulatan Indonesia yang

247

Malaysia memberi sebutan ND6 dan ND7 terhadap daerah yang disengketakan (disputedarea) dengan sebutan Blok Ambalat dan Ambalat Timur.

Page 313: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

299

diakui oleh Malaysia. Di sisi lain Indonesia juga mengakui dan

menghormati hak-hak dan kepentingan-kepentingan sah dari negeri

tetangga, seperti hak untuk mengadakan komunikasi dari wilayah

Malaysia Barat menuju ke wilayah Malaysia Timur, begitu pula sebaliknya.

Indonesia juga mengakui adanya hak akses.(access right) dalam wujud

hak perikanan tradisional (the traditional fishing right) yang diperuntukkan

bagi para nelayan tradisional negeri jiran yang secara turun temurun

biasanya melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan

alat tangkap sederhana di dalam wilayah perairan kepulauan Indomesia

yang terletak di antara bagian Barat dan Timur negeri tersebut.

Perjanjian bilateral yang mewajibkan negeri itu untuk mengakui

kedaulatan Indonesia atas seluruh perairan kepulauan khususnya yang

terletak di antara Semenanjung Barat dan Timur dapat ditafsirkan bahwa

negeri itu hanya sebagai negara pantai biasa dengan hak untuk

menetapkan titik pangkal baik untuk menarik garis-garis pangkal normal

pada setiap wilayah darat di bagian Barat dan Timur serta Pulau Sabah

maupun untuk membangun batas-batas maritim. Dengan demikian sejak

berlakunya perjanjian bilateral 1975 negeri yang sarat dengan masalah

perbatasan dengan beberapa negara tetangga menyadari eksistensinya

bukan sebagai archipelagic state, melainkan sebagai normal coastal state

sehingga tidak tepat apabila dia menetapkan jalur-jalur maritimnya dengan

memanfaatkan prinsip negara kepulauan serta menggunakan garis-garis

pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pada

Page 314: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

300

pantai Semenanjung Barat dan titik-titik terluar pada pantai Semenanjung

Timur (Sarawak) dan selanjutnya titik-titik terluar pada pantai Pulau Sabah

maupun pada pantai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

Oleh karena itu negeri yang kini dipimpin oleh Perdana Menteri

Najib Razak tidak dalam posisi untuk memberikan izin eksplorasi dan

eksploitasi di perairan Blok Ambalat dan Ambalat Timur karena kedua blok

Migas yang dalam istilah negeri itu dinamakan Blok ND6 dan ND7 atau

Blok Y dan Z yang terletak di perairan Laut Sulawesi adalah merupakan

perairan kepulauan dan wilayah perbatasan maritim yang secara langsung

atau tidak langsung sudah diakui sejak berlakunya perjanjian 1975

sehingga berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas kiranya belum

mendesak bagi Indonesia untuk melakukan penyesuaian ‘equidistance

line’ sebagai garis batas maritim dengan negara pemilik baru atas kedua

pulau yang bersangkutan.

D. Titik Pangkal dan Delimitasi Maritim dalam Konteks Peraturan

Perundang-undangan Indonesia

Deklarasi 13 Desember 1957 mengenai perairan Indonesia

berdasarkan konsepsi nusantara antara lain menyatakan bahwa

penentuan batas laut teritorial Indonesia dengan lebar 12 mil yang diukur

dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau

Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang248.

Pada tanggal 18 Februari 1960 pengaturan perairan Indonesia yang azas-

248

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung, Penerbit Binacipta, 1978), Hlm. 187.

Page 315: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

301

azasnya telah di tetapkan dalam Deklarasi tersebut ditetapkan menjadi

undang-undang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Undang Nomor 4/ Prp. 1960).

Undang-undang ini antara lain menegaskan bahwa untuk kesatuan

bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonomi, maka ditarik garis-garis

pangkal lurus (straight baselines) yang menghubungkan titik-titik terluar

dari pulau-pulau terluar. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil

diukur atau dihitung dari garis-garis pangkal lurus.

Undang-undang ini pada hakekatnya merubah cara penetapan laut

wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil

diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low water line)

menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang

ditarik dari ujung ke ujung249. Metode penarikan garis pangkal lurus untuk

pertama kalinya mendapatkan pengakuan dalam hukum internasional

melalui putusan Mahkamah Internasional terkait sengketa perikanan

Inggeris – Norwegia (Anglo – Norwegian Fisheries Case) pada tahun

1951, kemudian dikukuhkan dalam Konvensi Geneva 1958 mengenai laut

territorial dan jalur tambahan, dan ditegaskan kembali dalam KHL 1982250.

Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia 17

Februari 1969 memuat beberapa azas yang kemudian dituangkan ke

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973. Pada prinsipnya landas

kontinen Indonesia menggunakan kriteria batas kedalaman 200 meter

249

Ibid, Hlm. 194. 250

Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur tambahan. Pasal 7 KHL 1982.

Page 316: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

302

atau kemampuan teknologi (technological exploitability) yang diukur dari

garis pangkal lurus yang dibangun dari titik pangkal. Dinyatakan pula

bahwa apabila landas kontinen Indonesia dan Negara tetangga

mengalami duplikasi atau tumpang tindih satu sama lain, Pemerintah

Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen

dengan Negara tetangga melalui perundingan. Selama belum terdapat

kesepakatan mengenai garis batas landas kontinen, maka Indonesia akan

menerapkan metode garis tengah (median line atau equidistance line).

Dalam konteks Deklarasi Juanda dan Undang-Undang Nomor 4/

Prp 1960 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973, maka titik pangkal

yang pada waktu itu jumlahnya diperkirakan sekitar 200 dihubungkan oleh

196 buah garis pangkal lurus251. Keseluruhan titik pangkal atau titik dasar

ini digunakan baik untuk menetapkan garis pangkal lurus (straight

baselines) maupun untuk menetapkan atau membangun garis batas

maritim di laut territorial ataupun di landas kontinen, terutama apabila

zona maritim Indonesia dan negara tetangga mengalami duplikasi atau

tumpang tindih pada bagian-bagian laut tertentu.

Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan

garis pangkal lurus kepulauan. Ketika garis yang disebut terakhir tidak

dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal

lurus. Garis pangkal lurus kepulauan menghubungkan titik-titik terluar

pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari

251

Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., Hlm.194

Page 317: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

303

kepulauan Indonesia252. Dengan demikian dalam konteks UU Nomor 6

Tahun 1996 dan PP Nomor 38 Tahun 2002, titik pangkal atau titik dasar

yang jumlahnya 166 dapat digunakan untuk menetapkan garis pangkal

lurus kepulauan yang dipergunakan secara silih berganti dengan garis

pangkal biasa ataupun garis pangkal lurus. Di samping itu titik pangkal

untuk penarikan garis pangkal dapat digunakan untuk menetapkan secara

sepihak zona-zona maritim (maritime limits) apabila tidak tumpang tindih

dengan zona-zona maritim Negara lain. Walaupun tumpang tindih atau

terjadi duplikasi zona maritim antara Indonesia dengan Negara tetangga,

titik pangkal tersebut tetap dapat digunakan untuk membangun garis

batas maritim (maritime delimitation) berdasarkan metode ‘median line’

atau ‘equidistance line’.

Dalam kaitan dengan lepasnya Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan,

daftar koordinat geografis titik pangkal di Pulau Ligitan, Pulau Sipadan dan

Tg Arang sesuai Lampiran PP Nomor 38 Tahun 2002 telah diganti

menjadi daftar koordinat geografis titik pangkal di Pulau Sebatik (I, II, III)

dan Karang Unarang sesuai Lampiran PP Nomor 37 Tahun 2008253.

Akibat lepasnya kedua pulau tersebut, maka titik pangkal di Pulau Sebatik

dan Karang Unarang yang harus digunakan sebagai titik pangkal baik

untuk menetapkan garis pangkal lurus kepulauan maupun membangun

252

Pasal 5 UU Nomor 6 Tahun 1996 (Lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1996, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647) dihubungkan dengan pasal 2 PP Nomor 38 Tahun 2002 (LN Tahun 2002 Nomor 72, TLN Nomor 1211).

253 Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 2008 mengenai Perubahan atas PP Nomor 38

Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (LN Tahun 2008 Nomor 77, TLN Nomor 4854.

Page 318: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

304

garis batas maritim, termasuk di dalamnya melakukan atau tidak

melakukan penyesuaian terhadap ‘median line’atau ‘equidistance line

yang ada.

E. Pengenyampingan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai Titik

Pangkal (Base Points)

Proses yang dijalankan oleh Mahkamah dalam memeriksa kasus

delimitasi maritim dapat dibagi menjadi empat tahap.254 Pertama,

mengidentifikasi pantai atau titik dan garis pangkal yang relevan. Kedua,

memastikan apakah ada suatu perjanjian yang berlaku sebelumnya (pre-

existing agreement) terkait dengan delimitasi daerah-daerah maritim (the

maritime areas). Ketiga, menentukan garis batas laut territorial (apabila

diminta) dengan menerapkan the equidistance-special circumstances rule.

Keempat, menetapkan garis batas landas kontinen/ zona ekonomi

eksklusif dengan menerapkan ‘the equitable principles – relevant

circumstances rule’.255

254

SHI Jiuyong, op.cit., Hlm.195. See also Malcolm D. Evans, Delimiting Maritim Boundaries. Relevant Circumstances and Maritim Delimitation, Oxford monographs in International Law, Clarendon Press, Oxford, UK, 1989, 257. Marine Policy, 1990, Hlm. 538.

255 Article 6 of the I958 Convention on the Continental Shelf makes equidistance

the basis for delimitation 'unless another boundary is justified by special circumstances'. The 1982 Convention, in some contrast, makes no mention of equidistance. By Article 83, delimitation is to be effected by agreement, 'on the basis of international law ... in order to achieve an equitable solution'. Either provision seems capable of meaning whatever an adjudicator might want it to mean. Evans, while conceding that 'equity is often in the eye of the beholder' (Hlm. 241), nevertheless insists that there is a mode of reasoning incumbent on a third party charged with applying the law to a given case. It must, first, confirm that there is an area to which both parties have good prima-facie claims; second, it must decide what wider area of sea and coast is relevant to the question before it; third, it must select an 'equitable criterion', and then, fourth, find an 'equitable practical method' to give effect to it; fifth, it must apply the latter in the light of 'relevant circumstances'; and finally, check that the results are also equitable; if they are not, it must keep repeating the

Page 319: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

305

Dalam melaksanakan delimitasi maritim, maka pertama-tama

Mahkamah ditugaskan untuk menentukan pantai yang relevan (the

relevant coasts) yang harus diperhatikan dalam rangka menetapkan

batas-batas maritim. Azas hukum internasional yang dikembangkan

melalui berbagai kasus delimitasi yang diputuskan oleh Mahkamah

Internasional (the case law) menegaskan bahwa daratan menguasai laut

(the land dominates the sea) karena hak-hak maritim berasal dari

kedaulatan Negara pantai di atas daratan sehingga banyak kasus

delimitasi maritim mengharuskan Mahkamah untuk terlebih dahulu

memutuskan masalah kedaulatan terhadap pulau yang dipersengketakan

atau terhadap beberapa bagian pantai di wilayah daratan sebelum

menetapkan garis batas maritim. Menurut pasal 121, ayat 2 KHl 1982,

yang mencerminkan hukum kebiasaan internasional, pulau tanpa

memperhatikan ukurannya, menikmati status yang sama seperti wilayah

darat lainnya sehingga dapat tercipta hak-hak maritim yang sama.

Namun paragraph 3 dari pasal yang sama menyatakan bahwa

‘rocks’ atau batu karang yang tidak dapat dihuni atau tidak bisa memberi

nilai ekonomi tidak dapat mengklaim landas kontinen dan zona ekonomi

eksklusif sehingga ketentuan pasal 121 ayat 3 merupakan ketentuan yang

tidak jelas (ambiguous) akibat sejarah terbentuknya rezim hukum yang

terkait dengan pulau (island). Sampai sekian lama sejak berlakunya KHL

whole exercise until they are. See Douglas M. Johnston, The Theory and History of Oceann Boundary-Making; Malcolm D. Evans, Relevant Circumstances and Maritim Del;imitation, International Affairs (Royal Institute of International Affairs (1944 :), Vol. 67, No. 1 (January 1991), Hlm.152 – 153. Published by : Wiley – Blackwell on behalf of the Royal Institute of International Affairs. Stable URL ; http://www.jstor.org/stable/2621243

Page 320: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

306

1982 dapat dikatakan tidak ada keputusan Mahkamah atau Tribunal

Internasional terkait pasal 121 ayat 3. Akan tetapi ketika terjadi kasus

delimitasi maritim antara Rumania melawan Ukraina (the Romania /

Ukraine case), hal ini mendorong Mahkamah untuk membuat keputusan

atas pasal tersebut.

Salah satu argumen sentral dalam kasus itu adalah bahwa pulau

yang disebut Serpents Island yang ternyata sangat diprihatinkan dan

dikhawatirkan oleh Rumania adalah sebuah karang (rock) dalam ruang

lingkup pengertian pasal 121 ayat 3, dan hanya berhak memiliki laut

territorial. Selanjutnya Rumania menyatakan Serpents Island tidak dapat

digunakan sebagai titik pangkal (basepoint) untuk membangun the

equidistance line dalam rangka menetapkan garis batas zona ekonomi

eksklusif / landas kontinen antara Ukraina dan Rumania. Perdebatan

kedua Negara baru berakhir pada 19 September 2008 dan putusannya

dijatuhkan pada awal pertengahan 2009.

Putusan yang dibuat oleh Mahkamah secara teknis hanya akan

mengikat Rumania dan Ukraina. Jika Mahkamah membuat putusan

mengenai apakah Serpents Island adalah sebuah karang (rock) dalam

pengertian pasal 121 ayat 3, maka pertimbangan dan pemikiran

(reasoning) Mahkamah mengenai masalah tersebut akan menjadi

referensi penafsiran yang dibuat oleh pihak berwenang (authoritative

interpretation) terhadap ketentuan tersebut dan akan dipertimbangkan

oleh pengadilan dan tribunal lain maupun oleh negara-negara lain.

Page 321: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

307

Meskipun tidak ada putusan yang dibuat pihak berwenang

(authoritative ruling) tentang bagaimana pasal 121 ayat 3 harus

ditafsirkan, pengadilan dan tribunal internasional dalam banyak kejadian

telah menemukan cara-cara alternatif untuk menyelesaikan masalah

tersebut dalam konteks delimitasi garis batas maritim. Dalam banyak

kasus pulau kecil (small islands) hanya diberikan efek yang bersifat parsial

(partial effect) atau malahan sama sekali tidak mempunyai efek (no effect)

terhadap garis delimitasi. Ada juga contoh perjanjian garis batas yang

bersifat bilateral, di mana Negara-negara bersepakat untuk tidak memberi

efek kepada pulau-pulau kecil (small islands) atau efeknya hanya

sebagian saja (partial effect) dalam penentuan garis delimitasi maritim.

Walaupun pulau Sipadan dan Ligitan sudah menjadi milik Malaysia

berdasarkan putusan ICJ pada 2002, namun dalam upaya negosiasi

delimitasi maritim pada bagian landas kontinen atau zona ekonomi

eksklusif yang oleh pihak tertentu dianggap tumpang tindih di Laut

Sulawesi, otoritas Indonesia dapat menggunakan kasus ‘Romania v.

Ukraine’, di mana pulau Serpents Island yang menjadi keprihatinan

Rumania tidak dapat dijadikan sebagai titik pangkal (basepoints) untuk

menarik garis delimitasi maritim di Laut Hitam256. Banyaknya perjanjian

256

The ICJ and arbitral tribunals tried several times to determine the concept of equity: Equity as a legal concept is a direct emanation of the idea of Justice. The Court is bound to apply equitable equity as a part of general international law. When applying positive international law, a court may choose among several possible interpretations of the law the one which appears, in the light of the circumstances of the case, to be closest to the requirements of justice. The Court further stated that “[I]t is not a question of applying equity simply as a meter of abstract justice, but of applying a rule of law” during the 1969 North Sea case, and later, during the 1985 Libya/Malta case, it reiterated that

Page 322: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

308

delimitasi maritim antara dua Negara tetangga yang mengecualikan dan

mengabaikan keberadaan pulau kecil sebagai titik pangkal dan tidak

mempunyai efek dalam membangun garis delimitasi maritim, dapat

dijadikan referensi oleh pihak berwenang ketika melakukan langkah-

langkah negosiasi garis batas maritim di Laut Sulawesi.

Keberadaan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan digunakan sebagai

titik pangkal bagi penarikan garis pangkal (basepoints) oleh pihak

Malaysia, sebagaimana dapat dilihat pada peta 1979 dan Undang-Undang

ZEE negara tersebut pada tahun 2007. Namun bagi Indonesia kedua

pulau yang dimiliki Malaysia pascaputusan ICJ harus diusahakan untuk

tidak memiliki efek hukum sama sekali (no effect) untuk penarikan garis

pangkal lurus karena daerah relevan dari pantai Semenanjung Timur

Malaysia (Sarawak, Sabah dan Sipadan-Ligitan) tidak memiliki sederetan

pulau (a fringe of islands) dan tidak berliku-liku tajam (deeply cut into)

sebagaimana ditentukan dalam pasal 7 KHL 1982. Demikian pula perlu

ada upaya nyata agar kedua pulau tidak dipakai sebagai titik pangkal

dalam rangka membangun garis batas maritim karena bagaimanapun

Malaysia adalah Negara pantai yang normal (normal coastal state) dan

bukan Negara kepulauan (archipelagic State) sehingga dari perspektif

konvensi hukum laut Negara tersebut tidak mempunyai hak untuk menarik

garis pangkal lurus kepulauan dari satu titik pangkal ke titik pangkal lain,

dari Pulau Sipadan ke Sabah dan Sarawak.

“[t]he Justice of which equity is an emanation, is not abstract justice but justice according to the rule of law.” See Nugzar Dundua, Delimitation of Maritim Boundaries between Adjacent States, (United Nations – The Nippon Foundation Fellow : 2006, Hlm. 34.

Page 323: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

309

Untuk mengenyampingkan fungsi kedua pulau sebagai titik

pangkal (basepoints), maka Indonesia dapat memanfaatkan pendekatan

yang dibenarkan berdasarkan konvensi hukum laut dan praktek

internasional. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan

berdasarkan prinsip keadaan khusus atau keadaan relevan (special or

relevant circumstances), yang meliputi bukan hanya faktor geografis,

melainkan juga faktor non geografis, sebab prinsip seperti itu dapat

meniadakan dan menghilangkan peranan kedua pulau sebagai titik

pangkal bagi penarikan garis pangkal lurus kepulauan. Hilangnya peranan

kedua pulau untuk menarik garis pangkal lurus dengan sendirinya akan

menghilangkan peranan atau fungsi kedua pulau dalam membangun garis

sama jarak (equidistance line) sebagai garis delimitasi maritim di daerah

yang dianggap dipersengketakan. Hal ini disebabkan karena apa yang

disebut keadaan khusus atau relevan (relevant circumstances) dapat

dikatakan ‘mempunyai ruang lingkup yang tidak terbatas (open-ended)

atau tidak mempunyai daftar tertutup257 dalam menetapkan garis batas

maritim sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengenyampingkan kedua

pulau tersebut sebagai ‘basepoints for drawing straight archipelagic

baselines’. Dengan memanfaatkan secara optimal prinsip ‘relevant

circumstances’, maka berbagai negosiasi yang sedang dan akan

berlangsung antara kedua negara harus bermuara pada upaya

257

Ki Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritim Boundary Delimitation, (Edinburgh: School of Law, the University of Edinburgh-Background Document for 4

th, 2011), Hlm. 10.

Page 324: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

310

mengenyampingkan peranan kedua pulau bukan hanya sebagai titik

pangkal untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan, tetapi juga sebagai

titik pangkal dalam menetapkan, termasuk melakukan penyesuaian

‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim yang masih berlaku seperti

sebelum putusan ICJ 2002.

Karang Unarang di lepas pantai Pulau Sebatik dapat disebut

sebagai elevasi surut dan di tengah-tengah merebaknya kasus Ambalat,

otoritas Indonesia telah berhasil membangun mercusuar untuk

menegaskan identitas pemiliknya, berikut tanggungjawabnya terhadap

komunitas internasional, terutama ketika terjadi insiden, di mana kapal

yang sedang melintas bisa kandas di sekitar Karang Unarang. Sejak

lepasnya Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, maka demi mengamankan

perairan kepulauan Indonesia Karang Unarang dipergunakan sebagai titik

pangkal bagi penarikan garis pangkal lurus kepulauan ke pulau-pulau

terluar yang terletak di perairan Laut Sulawesi, seperti Pulau Sebatik,

Pulau Maratua, Pulau Dolangan, Pulau Salando, Tanjung Kramat.

Kedua pulau yang sangat kecil ini harus dapat dikualifikasi sebagai

suatu ‘relevant circumstances’, sebab keberadaannya dapat menciptakan

ketidakseimbangan (disproportionality) antara ratio panjangnya garis

pantai dengan ratio daerah maritim yang dianggap dipersengketakan.

Upaya negosiasi bilateral harus difokuskan, terutama pada pengabaian

atau pengenyampingan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai titik

pangkal (base points) bagi penarikan garis pangkal sehingga

Page 325: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

311

penyesuaian (adjustment) ‘equidistance line’ seperti yang diinginkan

Malaysia pascaputusan kasus Sipadan-Ligitan pada 2002 juga harus

dipikirkan untuk dikesampingkan. Pengenyampingan kedua pulau sebagai

titik pangkal dengan konsekuensi dikesampingkannya penyesuaian

‘equidistance line’ pada akhirnya akan membawa pengaruh dan implikasi

berupa stabilitas garis delimitasi maritim di landas kontinen dan zona

ekonomi eksklusif di perairan laut Sulawesi.

Gagasan pengenyampingan seperti itu dapat dipandang sebagai

implementasi dari keputusan Mahkamah Internasional dalam perkara

kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, khususnya sebagai implementasi

dari Deklarasi Judge Oda yang pada dasarnya tidak menghendaki adanya

perubahan dan penyesuaian terhadap garis batas maritim setelah

kemenangan Malaysia atas Indonesia. Selanjutnya gagasan

pengenyampingan seperti itu memiliki relevansi karena terkait dengan

tujuan hukum pada umumnya dan keputusan Mahkamah Internasional

pada khususnya, yakni tercapainya keadilan. Ada keadilan yang

dinamakan keadilan distributif (distributive justice) dan ada keadilan

korektif (corrective justice)258. Keadilan distributif menunjukkan adanya

keseimbangan antara apa yang diperoleh dengan apa yang sepatutnya

didapatkan. Sedang keadilan korektif adalah keseimbangan antara apa

yang diberikan dengan apa yang diterima.

258

Brian H. Bix, A Dictionary of Legal Theory, (Oxford, New York, Oxford University Press, 2004), Hlm. 55.

Page 326: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

312

Mengingat pihak Indonesia sudah mengakui dan menerima

kemenangan Malaysia sebagai pemilik kedaulatan atas kedua pulau

berdasarkan putusan ICJ pada 2002 dan demikian Indonesia menerima

kekalahan dalam sengketa kepemilikan yang berlangsung sekitar 5 tahun,

maka dalam konteks keadilan korektif seharusnya Indonesia

mendapatkan kesediaan Malaysia dalam menghormati dan mematuhi

serta mengimplementasikan isi putusan ICJ secara komprehensif,

termasuk dan terutama Deklarasi Judge Oda. Mengingat Malaysia sudah

menerima kedaulatan atas kedua pulau itu, seharusnya negeri ini

memberikan pula ketaatan dan kepatuhannya atas substansi putusan

yang sama dengan mengabaikan dan mengenyampingkan status kedua

pulau sebagai titik pangkal sehingga kedua pulau tersebut tidak memiliki

efek apapun (no effect) dikaitkan dengan kemungkinan penarikan garis

pangkal dan penyesuaian ‘equidistant line atau ‘median line’.

Terlebih lagi dengan mengingat bahwa Malaysia telah

memperoleh kesediaan (commitment) pihak Indonesia untuk menyetujui

keinginan negara yang disebut pertama menyangkut penyelesaian lewat

Mahkamah Internasional pada tahun 1997, dan selanjutnya Malaysia telah

memperoleh kesediaaan Indonesia untuk menerima dan melaksanakan

keputusan ICJ pada tahun 2002, maka dalam rangka mewujudkan

keadilan distributif seharusnya Indonesia mendapatkan suatu bukti

kesediaan positif dari pihak Malaysia untuk menghormati dan mematuhi

serta mengimplementasikan substansi putusan ICJ yang terutama

Page 327: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

313

tercermin di dalam pendapat terpisah (separate opinion) dari Judge Oda

karena sesungguhnya mencerminkan keadilan yang bersifat substantif

(substantive justice) yang mengenyampingkan status Sipadan dan Ligitan

sebagai ‘base point’, mengenyampingkan penarikan garis pangkal lurus

kepulauan dari Ligitan ke pulau Sabah dan Sarawak, akhirnya

mengenyampingkan penyesuaian garis sama jarak di daerah yang

dianggap bermasalah (disputed area).

F. ‘Relevant Coast ‘dan ‘Relevant Area’259 dalam Konteks

Putusan ICJ 2002

Hak Negara atas bagian-bagian laut dihitung dari garis pantai dan

dalam setiap sengketa delimitasi maritim Mahkamah harus menentukan

garis pantai para pihak yang klaimnya bermasalah dan tumpang tindih.

Inilah yang disebut pantai yang relevan (relevant coast) dan akan

mencakup daratan utama, setiap pulau (any islands) dan pulau kecil

(islets). Konsep relevant coast secara jelas mengecualikan dan

mengenyampingkan bagian-bagian pantai yang tidak menimbulkan hak

259

ICJ dalam ‘the 1969 North Sea Continental Shelf Cases’antara lain mengemukakan bahwa tidak ada batas bagi ‘relevant circumstances’yang mungkin mempunyai peranan dalam kasus tertentu. Namun demikian berdasarkan putusan-putusan pengadilan (judicial precedents), dapat diidentifikasi berbagai kategori ‘relevant circumstances’yang dapat mempunyai pengaruh menentukan (decisive influence) terhadap keputusan mengenai garis delimitasi yang’equitable’. Berbagai kategori tersebut meliputi :1) geografi dari daerah yang relevan, konfigurasi pantai para pihak dan identifikasi bagian pantai terdepan (coastal fronts); 2) perbedaan dalam hal panjangnya pantai dan peranan yang dapat dimainkan oleh unsur ‘proportionality’; 3) kehadiran pulau, elevasi surut dan anomaly geografis; 4) tingkah laku para pihak pada masa lampau dan permasalahan apakah tindakan mereka menunjukkan adanya garis delimitasi yang telah diperjanjikan atau garis delimitasi yang bersifat de facto; 5) factor ekonomi termasuk akses sumber daya alam seperti perikanan atau hidrokarbon; 6) hak-hak historis (historic rights); 7) pertimbangan geologi dan geomorfologi; 8) kehadiran negaara ketiga di daerah yang harus didelimitasi. Baca Rainer Lagoni and Daniel Vignes, op.cit., Hlm.100 – 101.

Page 328: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

314

maritim yang tumpang tindih. Konsep ‘relevant coast’ tidak memasukkan

dan tidak mencakup bagian-bagian pantai yang tidak berhadapan dengan

daerah yang harus ditentukan batas-batasnya sehingga konsep relevant

coast sesungguhnya hanya mencakup dan berlaku pada bagian-bagian

pantai yang berhadapan dengan daerah yang harus ditentukan batas-

batasnya.

Demikian dalam ‘the Tunisia / Libya Case’, Mahkamah menyatakan

bahwa dalam rangka delimitasi landas kontinen di antara para pihak, tidak

seluruh pantai dari setiap pihak dapat diperhitungkan. Perluasan bawah

laut atas bagian pantai yang dimiliki salah satu pihak yang karena situasi

geografis, tidak bisa tumpang tindih dengan perluasan pantai pihak lain,

maka perluasan bawah laut tersebut harus dikecualikan dan tidak dapat

dipertimbangkan oleh Mahkamah.260.

Tidak seluruh pantai dan garis pantai Malaysia dapat digunakan

sebagai pantai yang relevan atau titik pangkal yang relevan dalam

menarik garis pangkal dan membangun garis batas maritim di daerah

yang dianggap sebagai ‘disputed area’ mengingat kondisi geografis

pantai pulau-pulau tertentu yang tidak berhadapan dengan ‘disputed area’.

Pantai atau titik pangkal di Pulau Sipadan dan Ligitan tidak

berhadapan dengan bagian laut yang dianggap disengketakan dan oleh

karena itu tidak memiliki hak-hak maritim. Dengan mengacu pada

yurisprudensi (termasuk dalam kasus Tunisia v. Libya), pantai kedua

260

Continental Shelf Tunisia/Libyan Arab Jamahiriya), Judgment, I.C.J. Reports 1982, Hlm. 61, para. 75

Page 329: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

315

pulau tersebut, khususnya Ligitan tidak relevan digunakan sebagai titik

pangkal bagi penarikan garis pangkal sebab hal ini terkait dengan

karakteristik daerah yang dipersengketakan (disputed area)261 oleh kedua

Negara mengingat pulau Ligitan dapat dikatakan tidak berhadapan

dengan bagian laut yang dianggap sebagai ‘disputed area.

Keberadaan pantai pulau Ligitan juga tidak relevan digunakan

untuk menetapkan dan membangun ‘equidistance line’ sebagai garis

delimitasi maritim di daerah yang dianggap sebagai ‘disputed area’ di

perairan Laut Sulawesi. Berbagai kasus yang sudah diputuskan oleh

pengadilan atau arbitrasi internasional, termasuk referensi kasus Tunisia

v. Libya perlu dipertimbangkan untuk diterapkan oleh pihak otoritas

Indonesia dalam upaya negosiasi ke depan dengan pihak Malaysia bagi

tercapainya ‘equitable result’ yang berbasis keadilan substantif melalui

pengabaian dan pengenyampingan pantai kedua pulau sebab pantai

Pulau Ligitan sebagai pulau terluar Malaysia tidak termasuk pantai yang

relevan (relevant coast) akibat posisi pantai pulau ini tidak berhadap-

hadapan dengan daerah yang dianggap dipersengketakan262. Dengan

demikian tidak diperlukan penyesuaian garis sama jarak (equidistant line)

yang selama ini berjalan tidak diperlukan, setidak-tidaknya penyesuaian

seperti itu belum mendesak untuk dilakukan, meskipun ICJ telah

memutuskan kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia.

261

Rainer Lagoni and Daniel Vignes, loc.cit. 262

Ki Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritime Boundary Delimitation, (Edinburgh, School of Law, 2011), Hlm. 11.

Page 330: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

316

G. Garis Pangkal (Baselines) dalam Konteks Putusan ICJ 2002

Setelah menetapkan pantai yang relevan (relevant coast), maka

perlu diidentifikasi garis pangkal (baselines) yang merupakan titik awal

(the starting point) untuk membangun setiap zona maritim. Apabila

Negara-negara tidak menyetujui garis pangkal relevan (relevant baselines)

di sepanjang pantai yang relevan (relevant coast) atau tidak memetakan

garis pangkal, maka Mahkamah juga akan dimintai untuk menentukan

garis pangkal. Biasanya garis pangkal yang digunakan untuk mengukur

lebar zona maritim adalah garis air rendah (the low-water line) di

sepanjang pantai sebagaimana dinyatakan pada peta berskala luas yang

secara resmi diakui oleh Negara-negara pantai. Akan tetapi dalam the

1951 Anglo-Norwegian Fisheries Judgment 18 Desember 1951

Mahkamah menggunakan metode lain dalam menetapkan garis pangkal

yang sejak itu mendapatkan pengakuan di dalam praktek Negara-negara

dan selanjutnya dituangkan ke dalam pasal-pasal 7, 9 dan 10 dari KHL

1982, yakni metode garis pangkal lurus (straight baselines).263 Negara

tersebut berhak menarik garis pangkal lurus yang menghubungkan

bentuk-bentuk alamiah tersebut.

Dalam kasus Qatar v. Bahrain Mahkamah mengakui bentuk-bentuk

alamiah (maritime features) adalah bagian dari seluruh konfigurasi

geografis milik Bahrain, namun Mahkamah melihat bahwa bentuk-bentuk

alamiah tersebut bukan merupakan bagian lekukan pantai, sehingga tidak

263

Merits, Judgment, ICJ Reports, Hlm.103, para. 213

Page 331: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

317

memiliki ciri sebagai sederetan pulau (a fringe of islands) dan oleh karena

itu situasinya berbeda daripada situasi yang dianalisis dalam kasus

Norwegia dan ditegaskankan dalam KHL 1982. Menurut Mahkamah,

Bahrain juga berpendapat bahwa karena negaranya adalah Negara

kepulauan yang diakui secara de facto, meskipun tidak dinyatakan secara

formal sebagai Negara kepulauan, Bahrain berhak menarik ‘straight

archipelagic baselines’ yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau

terluar dan karang-karang kering terluar dari kepulauan itu sesuai

ketentuan pasal 47 KHL 1982.264

Mencermati konfigurasi pantai wilayah negeri Malaysia yang

wilayahnya tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of islands) seperti

wilayah Norwegia sebagai negeri kepulauan (archipelagic state). Dengan

memperhatikan wilayah negeri jiran tersebut yang tidak memiliki bentuk-

bentuk alamiah (maritime features) seperti yang dipunyai oleh wilayah

Bahrain yang diakui sebagai Negara kepulauan yang bersifat de facto,

maka jelaslah Negara tetangga tersebut tidak dapat menarik garis pangkal

lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) yang menghubungkan

titik pangkal di daerah Sarawak dan titik pangkal di Pulau Sabah dan titik

pangkal di Pulau Ligitan pasca kasus Sipadan-Ligitan 2002 baik karena

statusnya yang bukan merupakan Negara Kepulauan akibat tidak memiliki

sederetan pulau (a fringe of islands) maupun karena garis pantainya yang

264

Ibid., Hlm. 96, para. 181.

Page 332: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

318

tidak berhadap-hadapan dengan bagian laut yang dianggapnya sebagai

‘disputed area’.

H. Keadaan Khusus atau Relevan (Special or Relevant

Circumstances) dalam Konteks Putusan ICJ 2002

Secara internasional dikenal apa yang disebut prinsip equitable

solution sebagaimana diatur dalam pasal 74 dan 83 KHL 1982 yang

antara lain menyatakan penetapan garis batas maritim (landas kontinen

dan zee) antara opposite states atau adjacent states harus dilakukan

dengan persetujuan atas dasar aturan-aturan hukum internasional demi

tercapainya solusi yang berkeadilan (equitable solution). Meskipun KHL

1982 tidak menegaskan metode delimitasi tertentu yang dapat dipakai

untuk membangun garis batas maritim, terkecuali garis batas laut territorial

antarnegara tetangga (opposite states atau adjacent states), praktek

Negara-negara dalam menutup perjanjian maupun putusan pengadilan

dan arbitrasi internasional ternyata menerapkan metode delimitasi

berdasarkan metode median line atau equidistant line yang bersifat

sementara.

Penggunaannya bersifat sementara karena selalu harus dilihat

berbagai faktor atau keadaan yang dapat dianggap relevan dalam usaha

menetapkan dan membangun garis batas maritim di bagian laut yang

tumpang tindih atau di daerah yang dipersengketakan. Faktor-faktor atau

keadaan-keadaan relevan mempunyai ruang lingkup yang luas, sebab

dapat mencakup aspek geografi maupun non geografi.

Page 333: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

319

Dalam konteks delimitasi maritim yang potensial terjadi akibat

jatuhnya putusan ICJ, aspek atau unsur geografi yang perlu diperhatikan

adalah keberadaan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan

Malaysia, faktor konfigurasi pantainyai, faktor geologi dan geomorfologi,

factor hak historis, sosial ekonomi dan keamanan, faktor hukum, faktor

kehadiran negara ketiga.

Walaupun kedua pulau sudah menjadi wilayah nasional Malaysia,

namun demikian keberadaaannya tidak mengharuskan untuk melakukan

penyesuaian atau perubahan garis batas maritim di landas kontinen atau

zona ekonomi eksklusif antara kedua Negara. Karena tidak memiliki

sederetan pulau (a fringe of islands) dan daratan utamanya tidak berliku-

liku tajam, maka Malaysia tidak dapat menarik garis pangkal lurus

kepulauan (straight archipelagic baselines) dan tidak dapat menarik garis

pangkal lurus (straightbaselines). Hal ini juga berarti di samping negara

tersebut bukan Negara kepulauan, kedua pulau yang berhasil

dimenangkannya juga tidak dapat digunakan sebagai titik dalam menarik

garis pangkal lurus kepulauan. Berbagai putusan mahkamah dan tribunal

internasional dapat dijadikan referensi terkait konsep pengenyampingan

peranan dari satu atau lebih pulau sebagai titik pangkal dalam menarik

garis pangkal lurus maupun dalam usaha membangun ‘median line’ atau

‘equidistant line’ sebagai garis batas maritim di daerah yang dianggap

dipersengketakan.

Page 334: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

320

Apabila konsep pengenyampingan kedua pulau tersebut sebagai

titik pangkal dalam menarik garis pangkal dan membangun delimitasi

maritim dapat dilaksanakan, maka selanjutnya terkait aspek atau unsur

non geografi, perlu diperhatikan antara lain deklarasi Judge Oda sebagai

faktor non geografi yang antara lain menyatakan garis batas maritim dapat

dilakukan tanpa mengindahkan keberadaan pulau-pulau tersebut.

Berdasarkan PP 37/ 2008 ditarik garis pangkal lurus kepulauan dari

Karang Unarang sebagai titik pangkal menuju ke pulau-pulau terluar

lainnya sebagai titik pangkal ditarik garis pangkal lurus kepulauan dan

kemudian dibangun garis batas maritim tunggal yang dipergunakan

sebagai garis batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.

Garis batas ini juga tetap menerapkan ‘median line’ atau

‘equidistant line’ yang bersifat sementara karena sulitnya kedua negara

untuk menyepakati garis batas maritim yang bersifat final. Dengan

demikian garis batas maritim yang menerapkan garis tengah atau garis

sama jarak hanya bersifat sementara, tetapi selama belum tercapai

persetujuan garis batas yang bersifat final, maka tetap berlaku garis batas

maritim tunggal yang bersifat sementara dan harus diupayakan agar garis

batas maritim seperti ini pada akhirnya dapat disepakati dan diberlakukan

sebagai garis batas maritim tunggal yang bersifat final, di mana garis

batas ini dipakai sebagai garis batas landas kontinen dan garis batas zona

ekonomi eksklusif di daerah yang dianggap dipersengketakan.

Page 335: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

321

Garis batas maritim yang bersifat sementara yang kemudian

diberlakukan sebagai garis batas maritim yang bersifat final sudah pernah

terjadi sebelumnya, seperti tercermin dalam kasus Rumania v. Ukraina

yang antara lain menghadirkan garis batas maritim tunggal (single

maritime boundary), bukan garis batas tersendiri (separate boundary).

Dalam kasus tersebut garis batas maritim tunggal yang ditarik untuk

sementara, ternyata kemudian ditetapkan sebagai garis batas maritim

yang bersifat final dan diberlakukan sebagai garis batas landas kontinen

maupun garis batas zona ekonomi eksklusif antara Romania dan Ukraina.

Oleh karena itu penerapan garis batas maritim tunggal yang bersifat

sementara seperti yang selama ini berjalan perlu dipertimbangkan dan

diperjuangkan untuk menjadi garis batas maritim tunggal yang bersifat

final ketika otoritas Indonesia melakukan langkah-langkah negosiasi

dengan pihak Malaysia yang memandang adanya bagian laut yang

dipersengketakan (disputed area) di Laut Sulawesi setelah berakhirnya

perkara Sipadan-Ligitan.

Pertimbangan dan perjuangan seperti ini relevan karena

menetapkan dan membangun garis batas maritim tunggal sangat

sederhana dan tidak berbelit-belit, namun dengan catatan kedua pulau,

khususnya Pulau Ligitan yang sangat kecil (islet atau small island),

sebagaimana halnya dengan pulau yang disebut ‘Serpents Island’ milik

Ukraina, samasekali tidak diberikan efek (no effect) dalam penentuan titik

pangkal bagi penarikan garis pangkal dalam rangka membangun ‘median

Page 336: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

322

line/equidistance line’. Garis yang disebut terakhir akan menjadi garis

batas maritim tunggal (single maritime boundary) yang membagi landas

kontinen dan zona ekonomi eksklusif masing-masing Negara di daerah

laut yang dianggap dipersengketakan.

Perlu perjuangan untuk mengabaikan atau mengenyampingkan

pengaruh kedua pulau yang apabila tidak dikesampingkan akan

menimbulkan ketidakseimbangan (disproportionality) antara panjang garis

pantai Malaysia dengan daerah laut yang diklaim sebagai bagian

yurisdiksinya.

Selain daripada upaya seperti itu, maka harus ada upaya untuk

mengidentifikasi dan mengembangkan berbagai faktor yang dapat

diajukan sebagai relevant circumstances’265 karena adanya berbagai

pertimbangan Mahkamah dan Arbitrasi Internasional dalam berbagai

kasus delimitasi maritim yang antara lain mengakui luasnya pengertian

special circumstances/ relevant circumstances karena keadaan-keadaan

yang dimaksud bukan hanya terkait dengan faktor-faktor geografi,

melainkan juga dapat melibatkan faktor-faktor non geografi, seperti kondisi

sosial ekonomi, politik, keamanan dari para pihak yang bersengketa,

semuanya ini dapat memiliki kontribusi dalam melakukan ataupun tidak

265

Daftar dari ‘relevant circumstances’ tidak terbatas (open-ended) dan beratnya proses penilaian terhadap keadaan relevan dapat memberikan keleluasaan kepada mahkamah atau tribunal internasional untuk bertindak. Walaupun setiap kasus delimitasi memiliki kekhususan, hal ini tidak berarti mahkamah dan tribunal internasional mempunyai kebebasan mutlak untuk menghentikan kasus tersebut. Lihat Ki Beom Lee, op.,cit., Hlm. 11.

Page 337: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

323

melakukan penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ yang masih berlaku

sampai saat ini di daerah yang dianggap sebagai ‘disputed area’.

I. Kehadiran Pulau dan Elevasi Surut sebagai ‘Relevant

Circumstances’ dalam Konteks Putusan ICJ 2002

Kehadiran atau keberadaan pulau dan tidak jarang elevasi surut di

daerah yang harus ditentukan batas-batasnya hampir selalu menjadi

masalah dalam kasus-kasus delimitasi maritim266. Dari berbagai perkara

delimitasi maritim yang ditangani oleh pengadilan dan arbitrasi

internasional, maka dalam usaha mencapai ‘equitable solution’, maka

kehadiran pulau dan elevasi surut sering diabaikan dan dikesampingkan

pengaruhnya terhadap penetapan delimitasi maritim. Meskipun

keberadaannya dianggap mempunyai pengaruh, namun pengaruhnya

sebagai titik pangkal terhadap penetapan garis batas maritim tidak bersifat

sepenuhnya, tetapi hanya sebagian saja267.

Dalam kasus Qatar v. Bahrain pada 2001 pulau kecil yang

dinamakan Qit’at Jaradah sama sekali tidak mempunyai pengaruh

terhadap garis batas delimitasi268. Ketika arbitrasi memutuskan kasus

266

Disputes involving islands fall under two major categories:27 • a dispute over the sovereignty of the island(s) itself; and, • a dispute over the affect the island(s) may have on the delimitation of adjacent maritime space.There are important distinctions to be made between these two categories in the relationship between the particular type of dispute and the role the LOS Convention may, or may not, have on bringing about resolution. Whereas the LOS Convention addresses boundary delimitation situations where there are overlaps between respective territorial seas (Article15), the EEZ (Article 74), and the continental shelf (Article 83), there are no provisions that address how to resolve sovereignty disputes. Robert W.Smith, Maritime Delimitation in the South China Sea : Potentialityand Challenges, Ocean Development & International Law 41/ 2010, (Taylor & Francis Group, LLC), Hlm.220

267 Rainer Lagoni and Daniel Vignes, op.cit. 105 – 106.

268 Elevasi surut (low tide elevation) yang dinamakan Qitat Jaradah, meskipun

dinyatakan sebagai milik Bahrain, tidakdapat digunakan sebagai titik pangkal baik untuk menarik garis pangkal lurus maupun untuk membangun garis batas maritim antara kedua

Page 338: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

324

yang melibatkan Eritrea v. Yemen pada 1999, pulau-pulau Al-Zubayr dan

Jabal el-Tair milik Yemen dinyatakan tidak mempunyai pengaruh terhadap

garis batas maritim yang bersifat final dan permanen. Dalam kasus yang

terjadi antara Denmark – Norwegia, Pulau Jan Mayen hanya memiliki

pengaruh yang tidak sepenuhnya dalam menetapkan dan membangun

garis batas maritim.

Dikaitkan dengan keberadaan Pulau Sipadan dan Ligitan, maka

menurut Judge Oda selama perundingan delimitasi landas kontinen antara

Indonesia dan Malaysia, kedua negara merasa terobsesi terutama dengan

peran yang dapat dimainkan oleh kedua pulau. Para pihak tampaknya

terkesan bahwa kedaulatan atas kedua pulau akan memberikan mereka

hak terhadap landas kontinen yang lebih luas dibandingkan dengan luas

landas kontinennya selama ini. Isu kedaulatan timbul semata-mata akibat

manuver para pihak untuk mengejar posisi tawar (bargaining position)

yang lebih baik dalam proses penetapan garis batas landas kontinen.

Sikap seperti ini terjadi karena adanya kesalahpahaman (misconception)

para pihak yang tidak memahami makna atau arti dari ‘special

circumstances’, khususnya keberadaan kedua pulau yang kini

dimenangkan pihak Malaysia berdasarkan keputusan ICJ. Padahal

menurut Judge Oda dalam ‘separate opinion’, meskipun keberadaan

kedua pulau dianggap sebagai ‘special circumstances’, namun garis

negara (Qatar v. Bahrain). Hal seperti ini terjadi akibat berlakunya azas proportionality sebab apabila fitue alamiah tersebut digunakan atau berfungsi sebagai titik pangkal untuk penarikan garis pangkal lurus dan penetapan delimitasi maritime, maka akan terjadi ketidakseimbangan antara garis pantai B ahrain dengan daerah delimitasi.

Page 339: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

325

delimitasi maritim tetap bisa ditarik dengan mengenyampingkan

keberadaan kedua pulau tersebut.

Meskipun sekarang Malaysia dihadiahi kedaulatan atas pulau-pulau

itu, pengaruh keputusan Mahkamah terhadap penentuan garis batas

landas kontinen seharusnya dipertimbangkan dari perspektif lain. Prinsip

mengenai delimitasi landas kontinen ditetapkan dalam pasal 83 Konvensi

Hukum Laut 1982 yang menghendaki suatu penyelesaian yang adil (an

equitable solution). Permasalahannya adalah bagaimana pertimbangan

keadilan itu berlaku pada pulau-pulau itu. Judge Oda berkesimpulan

bahwa kedaulatan Malaysia atas kedua pulau tidak perlu mempunyai

hubungan langsung dengan penetapan garis batas landas kontinen269.

Garis batas maritim tetap bisa dilakukan dengan mengenyampingkan

keberadaan dan kehadiran pulau Sipadan dan Ligitan..

Kalau pernyataan Judge Oda digali lebih dalam lagi, maka hal ini

membawa implikasi bahwa garis batas maritim, termasuk garis batas

landas kontinen yang ditetapkan atau dibangun dengan menggunakan

metode ‘equidistance line’ tidak perlu menjalani penyesuaian (adjustment).

Setidak-tidaknya pasca putusan ICJ langkah-langkah perundingan kedua

negara untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap

‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim bukan sesuatu yang

bersifat urgen disebabkan kehadiran kedua pulau tersebut dapat

269

Ibid., Hlm. xxvi

Page 340: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

326

dikesampingkan dalam proses perundingan delimitasi maritim antara

kedua negara.

J. Garis Batas Maritim Tunggal (Single Maritime Boundary) dalam

Konteks Putusan ICJ 2002

Bagian yang dipersengketakan (disputed area) antara Indonesia

dan Malaysia sebagai akibat dari kasus Sipadan dan Ligitan tentu perlu

dipikirkan penyelesaiannya. Dengan hadirnya berbagai faktor yang dapat

dianggap relevan, penyelesaian atas bagian yang dipersengketakan

(disputed area) melalui penyesuaian garis sama jarak sebagai garis

delimitasi maritim antara kedua negara belum begitu urgen bagi

Indonesia. Namun tidak tertutup kemungkinan bagi penerapan konsep

garis batas maritim tunggal (single maritime boundary) untuk zona

ekonomi eksklusif dan landas kontinen di Laut Sulawesi sebab sejauh ini

dapat dikatakan belum ada perbedaan faktor-faktor yang dianggap

relevan untuk landas kontinen dengan zona ekonomi eksklusif yang

terdapat di daerah yang dianggap dipersengketakan.

Tidak tertutupnya kemungkinan penerapan konsepsi garis batas

maritim tunggal atas bagian yang dipersengketakan oleh kedua negara

tetangga pasca putusan ICJ dalam kasus Sipadan dan Ligitan

dimaksudkan selain menghindari potensi kompleksitas masalah yurisdiksi,

juga terutama untuk mencapai hasil yang wajar (equitable result). Namun

penerapan konsepsi garis batas maritim tunggal harus dilakukan melalui

negosiasi untuk mencapai kesepakatan sesuai kaidah-kaidah hukum

Page 341: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

327

internasional yang berlaku demi tercapainya solusi yang wajar (equitable

solution) yang berbasis keadilan dengan memperhitungkan faktor-faktor

geografis dan non geografis, termasuk faktor-faktor sosial-ekonomi dan

politik dari kedua negara.

Ketika berperkara di depan Mahkamah, semakin banyak Negara-

negara meminta agar Mahkamah menentukan satu macam garis batas

maritim untuk landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif (a single

maritime boundary). Hal ini muncul dalam the Qatar v. Bahrain Case.

Garis seperti ini menguntungkan dari segi regulasinya yang sederhana

(regulatory simplicity). Baik Konvensi Geneva 1958 maupun KHL 1982

tidak menyinggung mengenai ‘single maritime boundary’. Ternyata dalam

the Qatar v. Bahrain Case Mahkamah melihat bahwa270

the concept of a single maritime boundary does not stem from multilateral treaty law but from State practice, and . . . finds its explanation in the wish of States to establish one uninterrupted boundary line delimiting the various-partially coincident-zones of maritime jurisdiction appertaining to them. Dalam kasus zona-zona yurisdiksi yang bertepatan, penetapan

single boundary untuk berbagai zona yang harus didelimitasi hanya dapat

dilaksanakan dengan menerapkan kriteria atau gabungan kriteria yang

tidak mengutamakan salah satu zona sebab hal ini dapat merusak zona

lainnya dan pada waktu yang sama penerapan kriteria atau kombinasi

kriteria benar-benar cocok untuk membagi setiap zona, sebagaimana

270

Shi, Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the ICJ 281. Downloaded from http://chinesejil.oxfordjournals.org/ at University Library Utrecht on November 15, 2012

Page 342: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

328

dinyatakan oleh the Chamber of the Court dalam the Gulf of Maine

Case271. Dalam kasus the Qatar v. Bahrain, the Chamber of the Court

diminta untuk membuat dan menarik satu macam garis (a single line)

untuk menentukan dan membangun garis batas maritim baik untuk landas

kontinen maupun perairan yang berada di atasnya.

Dalam kasus delimitasi maritim di Laut Hitam (the Black Sea)

antara Rumania v. Ukraina, setelah mempertimbangkan dengan saksama

berbagai relevant circumstances, Mahkamah memutuskan bahwa the

provisional equidistance line yang telah dibuat oleh Mahkamah tidak perlu

disesuaikan akibat keberadaan sebuah pulau yang dinamakan ‘Serpents

Island’. Garis sama jarak (equidistance line) yang bersifat sementara yang

ditetapkan antara mainland kedua negara ditetapkan sebagai equidistance

line yang bersifat permanen atau final. Karena ‘equidistance line’ yang

bersifat permanen dipakai untuk menetapkan garis batas maritim di landas

kontinen dan zona ekonomi eksklusif, maka ‘equidistance line’ seperti itu

berfungsi sebagai garis batas maritim tunggal.

271 An alternative approach is to be selective in relation to which basepoints are

to be used in the construction of a maritim boundary delimitation. In particular, problematic basepoints, such as those provided by small insular features, may be wholly discounted. This approach was applied in the Gulf of Maine case between Canada and the United States. With regard to the “innermost” part of the Gulf, the Court decided that an equal division of the maritim space would be appropriate. However, the presence of numerous small islands and rocks off the coasts of both Canada and the United States in this locality dissuaded the Court from applying equidistance as a means of delimitation. The Court reasoned that the application of the equidistance method in this context would mean that the controlling basepoints on either side “would be located on a handful of isolated rocks, some very distant from the coasts, or on a few low-tide elevations,” which in the Court’s view were the type of “minor geographical features” that “should be discounted” in order to achieve an equal division of the maritim space in question. Instead of equidistance, the Court constructed two straight lines to represent the general direction of the coast within the Gulf of Maine.110 Perpendiculars to these two lines were then defined, with the first sector of the maritim boundary being determined as the bisector of the angle between the two perpendiculars. See Robert Beckman, Op., Cit, Hlm. 15-16.

Page 343: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

329

Sebelum sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan pulau Ligitan

ditangani dan diputuskan oleh Mahkamah Internasional, maka garis

pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines)

menghubungkan pulau Ligitan sebagai pulau terluar atau titik pangkal dan

titik-titik pangkal lainnya, seperti pulau Sebatik (I, II dan III) dan pulau

Maratua dan pulau-pulau terluar lainnya. Garis pangkal lurus tersebut

digunakan sebagai titik tolak untuk menetapkan dan membangun garis

batas maritim tunggal (single maritime boundary). Akan tetapi karena

pada waktu itu tidak tercapai kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia

soal garis batas maritim, maka sesuai dengan ketentuan konvensi hukum

laut garis batas maritim tunggal dibangun dengan menerapkan metode

garis tengah (median line) atau garis sama jarak (equidistance line)

dengan tujuan untuk membangun delimitasi maritim baik di landas

kontinen maupun di zona ekonomi eksklusif antara kedua negara. Garis

batas maritim tunggal yang menerapkan metode garis tengah atau garis

sama jarak bersifat sementara selama belum tercapainya kesepakatan

delimitasi maritime yang bersifat final di daerah yang dianggap

dipersengketakan.

Pasca putusan ICJ pada 2002 langkah-langkah negosiasi sedang

dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam membangun garis batas

maritim yang akan berlaku di zona ekonomi eksklusif dan atau landas

kontinen yang dianggap dipersengketakan. Dalam membangun dan

menetapkan garis batas maritim, perlu diusahakan agar ‘equidistance

Page 344: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

330

line’ yang selama ini berlaku sebagai garis batas landas kontinen antara

Indonesia dan Malaysia juga dapat digunakan sebagai garis batas zona

ekonomi eksklusif sehingga tercipta garis batas maritim tunggal (single

maritime boundary). Penyatuan delimitasi zona ekonomi eksklusif dengan

delimitasi landas kontinen dengan menggunakan ‘equidistance line’ yang

selama ini berlaku adalah suatu tindakan yang relevan dilakukan karena

selain terdapat berbagai perjanjian bilateral yang membangun garis batas

maritim dengan menggunakan garis batas tunggal, juga banyak kasus

delimitasi maritim yang sudah diputuskan oleh Mahkamah atau Arbitrasi

Internasional yang menerapkan garis batas maritim tunggal (single

maritime boundary) sebagai garis delimitasi yang berlaku di zona ekonomi

eksklusif dan landas kontinen.

K. Faktor Geomorfologi dari Daerah Delimitasi sebagai ‘Relevant

Circumstances’ dalam Konteks Putusan ICJ 2002

Dalam the North Sea Continental Shelf, Tunisia / Libya and Gulf of

Maine cases, Mahkamah mempertimbangkan geomorfologi dari daerah

yang harus didelimitasi, terutama untuk menetapkan apakah ada suatu

bentuk alamiah yang memutus dan memotong kelanjutan landas kontinen.

Menurut Mahkamah, setiap diskontinuitas (any such discontinuities) dapat

menjadi keadaan relevan bagi delimitasi landas kontinen sehingga yang

harus diadopsi sebagai garis delimitasi adalah single maritime boundary,

meskipun ternyata dalam kasus-kasus itu tidak ditemukan diskontinuitas.

Page 345: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

331

Akan tetapi Mahkamah memberikan pendapat seperti itu dalam kasus the

Libya / Malta.

Dalam kasus Libya v. Malta, Libya antara lain mengemukakan

bahwa celah bawah laut yang letaknya lebih dekat dengan pantai Malta

dibandingkan dengan pantainya sendiri, menurut Libya seharusnya

digunakan sebagai garis perbatasan (boundary line) antara landas

kontinen Libya dan Malta. Akan tetapi menurut Mahkamah, sesuai

perkembangan hukum laut internasional suatu Negara dapat mengklaim

landas kontinen sampai sejauh 200 mil dari pantainya. Meskipun Libya

mempunyai ciri-ciri geologis berupa celah bawah laut (rift zone) yang

dekat dengan pantai Malta, celah bawah laut seperti ini tidak dapat

dipergunakan sebagai garis batas landas kontinen antara kedua

negara272.

Tidak lama setelah putusan ICJ pada 2002 yang menyatakan

negara tetangga sebagai pemilik kedaulatan atas kedua pulau, muncul

masalah Ambalat karena Negara pemiliknya menganggap daerah dasar

laut Ambalat dianggap merupakan kelanjutan alamiah (natural

prolongation) dari wilayah daratan di pulau Sabah dan terutama pulau

Sipadan. Malaysia melihat seakan-akan blok pertambangan Ambalat

adalah sebuah bentuk geomorfologi dan kelanjutan alamiah dari pulau

272

Faktor geologis dan geofisik di dalam jarak antara pantai Malta dan Celah bawah laut

dari landas kontinen Libya tidak dapat berperan untuk membuktikan hak hukum Negara-negara yang bersangkutan atau untuk memulai delimitasi di antara Negara-negara tersebut. Lihat Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain, Merits, Judgment, I.C.J. Reports

2001, Hlm. 4.

Page 346: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

332

Sabah dan Sipadan yang memberinya hak-hak berdaulat untuk

melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Ambalat, padahal perkembangan

hukum laut sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 76 KHL 1982

Indonesia dapat mengklaim landas kontinen itu sampai sejauh 200 mil dari

pantainya, apapun ciri-ciri geologis dari dasar laut dan tanah di bawahnya.

Di samping alasan berdasarkan pasal 76 KHL 1982, daerah yang

dianggap dipersengketakan (disputed area) sudah sejak lama dikelola

bersama oleh investor asing Conoco Philips dan Pertamina berdasarkan

kontrak yang disebut ‘production sharing contract’, dimana

pelaksanaannya berada dalam garis batas maritim yang menggunakan ;

‘median line’ atau ‘equidistance line’ sesuai dengan ketentuan pasal 6

ayat 1 Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen. Pelaksanaan

kontrak bagi hasil di daerah itu tidak terjadi di luar ‘equidistance line’

sebagai garis batas maritim yang memisahkan yurisdiksi kedua Negara.

Dengan demikian faktor geologi atau geomorfologi tidak dapat dipakai

sebagai alasan untuk mengklaim hak-hak maritim dengan menuntut

dilakukannya penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ di daerah yang

dianggap dipersengketakan pascaputusan dalam kasus Sipadan – Ligitan.

Keputusan Mahkamah Internasional dalam berbagai kasus

delimitasi maritim, termasuk kasus delimitasi landas kontinen antara

Libya/ Malta dapat dipakai sebagai preseden berharga bagi otoritas

Indonesia dalam melakukan langkah-langkah negosiasi terkait delimitasi

maritim di daerah yang dianggap dipersengketakan pascaputusan ICJ

Page 347: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

333

pada 2002. Diperlukan upaya pengenyampingan terhadap faktor geologis

atau geomorfologis dan geofisik dari daerah yang dianggap

dipersengketakan, khususnya Ambalat yang dianggap pihak Malaysia

sebagai kelanjutan alamiah dari wilayah daratan Sabah dan Sipadan.

Sebagai akibat putusan ICJ, maka faktor geologis dan

geomorfologis digunakan pihak Malaysia sebagai suatu ‘relevant

circumstances dengan tujuan menuntut penyesuaian (adjustment)

terhadap ‘equidistance line’ yang selama ini berlaku dalam konteks pasal

6 Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen. Namun faktor seperti

itu perlu dikesampingkan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak

mengakibatkan terjadinya penyesuaian terhadap ‘equidistance line’

sebagai garis batas maritim yang masih berlaku.

Dengan mengenyampingkan faktor geologis dan geomorfologis,

maka dapat diwujudkan garis batas maritim yang dilandasi azas

proportionalitas (proportionality principle)273. Azas proporsionalitas yang

dapat ditemukan dalam berbagai kasus dimaksudkan untuk mewujudkan

adanya keseimbangan antara panjang garis pantai yang relevan dari

masing-masing pihak dengan daerah laut yang dapat dialokasikan bagi

masing-masing negara di daerah yang dianggap dipersengketakan

(disputed area)274.

273

Ibid, Hlm.105 274

Rainer Lagoni and Daniel Vignes, op.cit., Hlm. 103 – 104.

Page 348: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

334

L. Hak Historis (Historic Rights), Faktor Sosial Ekonomi dan

Keamanan dalam Konteks Putusan ICJ275

Hak-hak historis (historic rights or historic title) juga dapat

dikategorikan sebagai keadaan relevan (relevant circumstances). Dalam

Qatar v. Bahrain Case, Bahrain membuktikan bahwa dia memiliki hak

historis (historic title) atas daerah pencarian mutiara kecuali yang terletak

di dalam sisi garis sama jarak yang sifatnya sementara (the provisional

equidistance line) milik Qatar yang ditarik untuk menetapkan garis batas

maritim di zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. Mahkamah

menolak mempertimbangkan hak seperti itu sebagai special

circumstances terutama karena ternyata penyelaman mutiara secara

tradisional dianggap lebih merupakan hak bersama bagi penduduk pantai

ketimbang hak pengawasan oleh Negara. Di samping alasan itu,

penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah terhadap hak historis yang

diklaim Bahrain disebabkan karena industri mutiara sudah tidak ada sejak

setengah abad yang lalu.

Walaupun argumen yang didasarkan atas historic rights belum

mengakibatkan dilakukannya penyesuaian terhadap ‘the provisional

equidistance line’ sebagai garis delimitasi yang bersifat sementara di

depan Mahkamah, hak-hak sejarah sudah menjadi suatu keadaan khusus

(special circumstances) yang telah diakui dan mendapat sebutan khusus

dalam KHL 1982 terkait delimitasi laut territorial. Akan tetapi apakah hak-

275

Yoshifumi Tanaka, op.cit, Hlm. 151.

Page 349: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

335

hak historis dapat bereksistensi di landas kontinen atau zona ekonomi

eksklusif yang hingga 1950-an dianggap merupakan laut bebas, masih

menjadi bahan perdebatan. Namun karakter tradisional dari berbagai

macam kegiatan penangkapan ikan yang dijalankan penduduk besar

pengaruhnya dalam mewujudkan garis delimitasi yang bersifat final dalam

kasus Greenland/Jan Mayen.276

Langkah-langkah negosiasi Indonesia-Malaysia dalam

menetapkan garis batas maritim tunggal untuk membagi daerah laut yang

dianggap dipersengketakan sebagai implikasi dari kasus Sipadan-Ligitan,

perlu diwarnai dengan pemikiran mengenai (kemungkinan) adanya hak

historis (historical rights) dalam kegiatan nelayan tradisional Indonesia di

kawasan perairan Laut Sulawesi, termasuk di sekitar pulau Sipadan dan

Ligitan. Pemikiran seperti ini memerlukan konsistensi karena KHL 1982

telah mengakui hak historis sebagai relevant circumstances meskipun

dalam kaitan dengan delimitasi maritim di laut territorial. Namun demikian

keberadaan ‘historical rights’ di laut wilayah tidak hanya berdampak

terhadap penentuan garis batas maritim di laut territorial, tetapi juga tidak

tertutup kemungkinan dapat berimplikasi terhadap penentuan garis batas

maritim di luar laut tersebut meskipun belum ada yurisprudensi

internasional terkait pengaruh dan implikasi hak historis atas delimitasi

maritim.

276

Denmark v.Norway case (I.C.J. Reports 1993, Hlm. 71-73, para. 76-78).

276 Land and Maritim Boundary between Cameroon and Nigeria (Cameroon v.

Nigeria: Equatorial Guinea intervening, Judgment, I.C.J. Reports 2002, Hlm. 447-448, para. 304.

Page 350: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

336

Pemikiran mengenai kemungkinan adanya hak historis yang dimiliki

Indonesia, termasuk identifikasinya cukup mendesak dilakukan demi

pengamanan wilayah perairan Indonesia melalui perlindungan nelayan

tradisional yang berasal dari beberapa Negara, tetapi sebagian besar

adalah nelayan tradisional Indonesia. Kondisi seperti ini dapat memberi

keuntungan bagi Indonesia karena hak historis dapat dilihat dan

diperjuangkan sebagai faktor yang relevan agar dapat membawa implikasi

positif terhadap equidistance line yang dibangun sebagai garis delimitasi.

Keberhasilan dalam memperjuangkannya dapat berkontribusi dalam

mengaktualisasikan pendapat terpisah dari Judge Oda yang secara

tersirat menghendaki pengenyampingan peranan dari Sipadan-Ligitan

sebagai titik pangkal dan implikasi pengenyampingan seperti itu adalah

tidak memerlukan penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis delimitasi

maritim yang sejauh ini masih berlaku di daerah yang dianggap

dipersengketakan277.

277

Dalam kasus delimitasi maritim di depan Mahkamah, Negara-negara mengemukakan sederetan relevant circumstances lain yang tidak perlu lagi dikemukakan. Perikanan dalam the Greenland/Jan Mayen case dalam konteks penetapan garis batas zona perikanan yang kini dikenal dengan zona ekonomi eksklusif, Mahkamah mengadakan penyesuaian terhadap garis equidistance yang bersifat sementara dalam usaha menjamin setiap pihak mempunyai akses yang sama (equitable access) terhadap stok ikan capelin (capelin stocks). Konsesi mengenai cadangan minyak atau konsesi pertambangan minyak (oil deposits/oil concessions) serta sumur-sumur minyak (oil wells) juga dapat dianggap sebagai relevant circumstances : Berbeda dengan pendekatan terkait perikanan, dalam kasus the Cameroon v. Nigeria Mahkamah menyatakan bahwa konsesi minyak dan sumur minyak tidak dengan sendirinya dapat dianggap sebagai ‘relevant circumstances’ yang membenarkan penyesuaian (adjustment) atau perubahan dan pergeseran (shifting) garis delimitasi yang sifatnya sementara.

277 Faktor-faktor sosial ekonomi juga dapat dimasukkan ke dalam relevant

circumstances. Akan tetapi Mahkamah hanya akan memperhitungkan faktor-faktor sosial ekonomi sebagai ‘relevant circumstances’ bagi delimitasi maritim, apabila delimitasi dapat menjamin kehidupan dan kesejahteraan ekonomi bagi penduduk Negara-negara

Page 351: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

337

.Faktor-fakor keamanan (security), sosial ekonomi, kontrak

‘production sharing’ yang sudah berlangsung lama antara Pemerintah

Indonesia atau Pertamina dengan korporasi asal Amerika Serikat (Conoco

Philips) perlu dipikirkan dan dipertimbangkan relevansinya oleh otoritas

Indonesia dalam melakukan pembicaraan delimitasi maritim dengan

otoritas Malaysia di daerah yang dianggap dipersengketakan (disputed

area). Faktor-faktor seperti itu seharusnya dapat mewarnai opsi kebijakan

Pemerintah Indonesia dalam melakukan langkah-langkah negosiasi untuk

menyelesaikan garis batas maritim antarkedua negara.

Klaim Malaysia atas Ambalat ditandai dengan terbitnya semacam

persetujuan konsesi bagi investor asal Belanda untuk melakukan

eksplorasi dan eksploitasi di daerah tersebut. Kegiatan pengamanan oleh

Negara tetangga atas terbitnya konsesi pertambangan ini dilakukan

dengan mengerahkan kapal-kapal perang untuk berpatroli di daerah yang

dianggapnya dipersengketakan pascakasus Sipadan-Ligitan.

Patroli kapal perang Negara tersebut dengan tujuan mengamankan

wilayah konsesi tambang mengakibatkan terjadinya unjuk rasa dari

yang bersangkutan. Sebaliknya apabila faktor-faktor sosial ekonomi tidak dianggap relevan untuk menetapkan garis delimitasi, maka delimitasi yang dihasilkan tanpa memperhitungkan faktor-faktor tersebut akan dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan dan kesejahteraan ekonomi penduduk negara-negara tersebut (catastrophic repercussions for the livelihood and economic well-being of the populations of countries concerned). Hal ini dikemukakan oleh Mahkamah dalam the Gulf of Maine case. Akhirnya masalah keamanan (security) kadang-kadang harus dipertimbangkan sebagai suatu keadaan relevan yang dapat mempengaruhi garis delimitasi maritim antara Negara-negara yang berkepentingan. Dalam kasus the Greenland/Jan Mayen serta Libya/Malta, Mahkamah mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu, faktor keamanan bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang relevan (relevant circumstances). Namun pertimbangan keamanan sebagai special circumstance dalam menetapkan garis delimitasi hanya dapat dilakukan dalam situasi di mana garis delimitasi terlalu dekat ke pantai dari salah satu negara. (Tore Henriksen, Maritim Delimitation in the Arctic, Ocean Development and International Law, Number 42, Year 2011, Hlm. 19).

Page 352: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

338

berbagai kalangan masyarakat untuk mengecam dan menentang niat

negara tetangga yang tendensius sehingga dikhawatirkan berpotensi

membawa dampak terhadap ketertiban dan keamanan domestik.

Dampak atas ketertiban dan keamanan domestik sebenarnya sudah

mengintip beberapa saat setelah keluarnya pengumuman putusan ICJ

yang menyatakan bahwa kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan adalah

milik Malaysia. Ketika ternyata putusan ICJ ini dipakai sebagai batu

loncatan untuk mengklaim blok tambang Ambalat yang berada di perairan

kepulauan Indonesia, dampaknya terhadap keamanan domestik sudah

mulai muncul di permukaan sehingga faktor ketertiban dan keamanan

domestik dapat membawa implikasi terhadap keinginan Negara tetangga

untuk mengklaim semacam penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ yang

sejauh ini masih berlaku sebagai garis delimitasi maritim.

Kondisi sosial ekonomi di negara tetangga yang ditunjukkan antara

lain melalui pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita masih lebih

baik dibandingkan dengan Indonesia sehingga kebijakan pemerintah

Indonesia untuk melakukan langkah-langkah negosiasi juga perlu diwarnai

dengan pemikiran dan pertimbangan menyangkut relevansi faktor

keamanan dan kondisi sosial ekonomi bagi penyelesaian garis batas

maritime kedua Negara.

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor baik yang bersifat

geografis maupun non geografis, maka penyelesaian delimitasi maritim

tidak harus dilakukan dengan mengadakan penyesuaian terhadap ‘median

Page 353: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

339

line’ atau ‘equidistant line’ sebagai garis perbatasan maritim di daerah

yang dianggap dipersengketakan (disputed area). Penyesuaian garis

seperti itu dapat saja dilakukan pasca kasus Sipadan-Ligitan, tetapi sejauh

mungkin penyesuaian seperti ini (such this adjustment) harus diupayakan

tidak signifikan karena adanya berbagai faktor yang dapat dianggap

memiliki relevansi baik untuk mengenyampingkan pengaruh kedua pulau

sebagai titik pangkal untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan

maupun untuk mengenyampingkan penyesuaian garis tengah atau garis

sama jarak sebagai garis batas maritim. Meskipun penyesuaian garis

yang dimaksudkan itu tidak dapat dan karenanya sulit dikesampingkan,

namun bagaimanapun dan dalam keadaan apapun penyesuaian tersebut

harus diperjuangkan untuk tidak signifikan.

Melalui konsep pengenyampingan penyesuaian ‘median line’ atau

‘equidistant line’ ataupun pencegahan terhadap potensi terjadinya

penyesuaian ‘equidistant line’ secara signifikan, maka dapat diharapkan

akan tercapai sebuah solusi yang dinamakan solusi yang wajar dan adil

(equitable solution) yang dapat menghadirkan ‘equitable result’ terkait

delimitasi maritim di antara kedua negara. Dengan menerapkan dan

mengimplementasikan konsep seperti itu dengan harapan bagi

tercapainya ‘equitable solution’, maka secara langsung atau tidak

langsung kedua negara yang sudah mengakhiri sengketa kepemilikan

kedua pulau dapat dianggap telah menghormati dan mematuhi serta

mengamalkan substansi putusan ICJ yang terutama tercermin di dalam

Page 354: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

340

pendapat terpisah Judge Oda yang mengandung nilai-nilai immaterial

(immaterial values)278.

Setelah lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dari wilayah

NKRI, Pulau Ligitan yang tercantum dalam Lampiran PP Nomor 38 Tahun

2002 sebagai pulau terluar atau titik pangkal sudah tidak dapat dipakai

sebagai titik pangkal bagi penarikan garis pangkal lurus kepulauan yang

menghubungkan berbagai pulau terluar di Laut Sulawesi. Perkembangan

seperti ini membawa implikasi diterbitkannya PP Nomor 37 Tahun 2008,

yaitu PP tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2002.279 Dalam pertimbangannya dikemukakan latar belakang lahirnya PP

Nomor 37 Tahun 2008, yaitu bahwa selain Provinsi Timor Timur telah

menjadi negara tersendiri, Keputusan Mahkamah Internasional mengenai

kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan telah mempunyai kekuatan

hukum tetap sehingga hal ini mempunyai implikasi hukum terhadap

koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan, sebagaimana dapat

dilihat dalam lampiran dari Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002

tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan

Indonesia.

278

Ada dua macam nilai dalam kehidupan seseorang, yaitu nilai-nilai yang bersifat material (material values) dan nilai-nilai yang bersifat immaterial (immaterial values). Kalau seseorang memiliki harta kekayaan dan membagi hartanya kepada orang lain, maka nilai hartanya habis pada saat dibagikan. Inilah yang disebut ‘material values’. Akan tetapi ketika seseorang membagikan nilai-nilai immaterial, seperti mengamalkan dan mengajarkan nilai keindahan, kebaikan, kebenaran, kejujuran etc, maka nilai-nilai immaterial ini tidak akan habis, tetapi justru nilai-nilai seperti ini semakin besar dan kuat. Hayyan Ul Haq, Kuliah Metodologi Hukum , (Utrecht, Utrecht University, October 2012).

279 Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 77.

Page 355: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

341

M. Implikasi Putusan ICJ terhadap Delimitasi Maritim dari Perspektif

Hukum Nasional Masing-Masing Pihak

Dengan keluarnya putusan ICJ yang melepaskan kedua pulau

tersebut dari tangan Indonesia ke tangan Malaysia, maka hal ini

membawa implikasi berupa adanya perubahan garis pangkal lurus

kepulauan di wilayah perbatasan laut kedua Negara. Setelah kemenangan

negara tetangga, Pemerintah RI memberlakukan PP 37/2008 mengenai

Perubahan atas PP 38/2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-

Titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Pulau Ligitan yang ditetapkan sebagai titik pangkal dalam PP

38/2002 telah dihapuskan dari daftar koordinat geografis tersebut

sehingga sebagai titik pangkal baru adalah Karang Unarang yang akan

dihubungkan dengan garis pangkal lurus kepulauan ke titik pangkal pada

Pulau Sebatik (I, II dan III), lalu ke titik pangkal di Pulau Maratua dan

seterusnya.

Bagi Indonesia garis pangkal lurus kepulauan yang

menghubungkan titik-titik pangkal di perairan perbatasan dapat digunakan

sebagai patokan untuk menetapkan dan membangun garis batas maritim

tersendiri (separate maritime boundary) yang berlaku di bagian laut

territorial yang tumpang tindih (overlapping) dengan laut territorial negara

tetangga. Akan tetapi untuk bagian landas kontinen dan zona ekonomi

eksklusif yang tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia, maka

dengan bertitik tolak dari garis pangkal lurus kepulauan dapat ditetapkan

Page 356: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

342

dan dibangun garis batas maritim tunggal yang berlaku di bagian landas

kontinen dan zona ekonomi eksklusif yang tumpang tindih280.

Selanjutnya bagi Malaysia implikasi dari putusan ICJ, negeri jiran ini

telah mengundangkan pada bulan Mei 2007 ‘the Baselines of Maritime

Zones Act’ 2006, tetapi sampai saat ini Negara tersebut belum membuat

peta ataupun daftar koordinat geografis mengenai garis pangkal sebagai

tindak lanjut dari Undang-undang garis pangkal yang dinyatakan berlaku

sejak 2007 lalu281. Hal ini disebabkan karena Malaysia tidak dapat

dikualifikasi sebagai Negara kepulauan terutama ditinjau dari perspektif

konfigurasi pantai (coastal configuration), malahan tidak dapat menarik

280 Indonesia is highly likely to assert that any equidistance-based maritime boundary lines

be constructed using its straight archipelagic baselines. This argument has strong foundations. Indonesia was one of the champions of the archipelagic concept during theThird United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS III) and its baselines arguably provided a model for the terms of Article 47 of UNCLOS. Indonesia’s archipelagic straight baselines are, therefore, generally regarded to be in conformity with UNCLOS and have not been contested by its neighborsRobert Beckman, Moving Beyond Disputes over Island Sovereignty : ICJ Decision Sets Stage for Maritime Boundary Delimitation in the Singapore Strait, Ocean Development & International Law, 40, 2009 (Taylor & Francis Group, LLC), Hlm. 6. 281

The existence of Malaysia’s straight baselines is indicated by its maritime boundary agreements of 1969 and 1971 with Indonesia that relate to continental shelf rights and territorial sea, respectively (see below). Indeed, Malaysia’s straight baseline claims appear to have been prompted by a desire to counterbalance Indonesia’s archipelagic baselines in the context of continental shelf boundary negotiations between the two countries. Moreover, as mentioned above, in 1979, Malaysia issued a map setting out the limits of its claimed territorial waters and continental shelf.25 Some of the claimed territorial sea limits depicted on this map are straight, which indicates that they were constructed from straight baselines. However, no charts or lists of coordinates have been issued by Malaysia setting out the location of its baselines. Malaysia’s straight baselines may be reconstructed, or inferred, by drawing lines 12 nautical miles landward of and parallel to the straight line limits of the territorial waters indicated on the 1979 map. These “inferred baselines” have been criticized as being inconsistent with the criteria set out in Article 7 of UNCLOS on straight baselines. Although the 1979 map was published 3 years before UNCLOS was adopted and before Malaysia became a party, as a party to UNCLOS, Malaysia now has an obligation to bring its baselines and maritime zone claims into conformity with the Convention. It appears to be preparing to do so. Malaysia enacted the Baselines of Maritime Zones Act 2006 (Act 660) on May 1, 2007,27 which provides for normal baselines consistent with low-water lines as shown on large-scale charts and for the use of straight baselines linking specified basepoints along the coast.28 This Act is enabling legislation and Malaysia has not at the time of this writing published any charts or lists of geographical coordinates with respect to straight baselines. Malaysia should, in any event, ensure that its use of straight baselines under the 2006 Act is in conformity with Article 7 as interpreted by the Court in the Qatar/Bahrain case. Ibid., Hlm.6 - 7.

Page 357: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

343

garis pangkal lurus (straight baselines) dari Pulau Ligitan ke Pulau Sabah,

menuju ke Sarawak karena tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of

islands) berdasarkan ketentuan pasal 7 KHL 1982.

Dengan lahirnya ‘the Baselines of Maritime Zones Act’ 2006

menjadi indikasi Negara tersebut berambisi untuk memanfaatkan dan

menerapkan prinsip Negara kepulauan berupa penarikan garis pangkal

lurus kepulauan yang menghubungkan beberapa titik pangkal di perairan

perbatasan dengan RI, yaitu titik pangkal di Pulau Sipadan, Ligitan,

sebagian Pulau Sebatik, Pulau Sabah dan wilayah Sarawak.

Namun keinginan negara tersebut mendapat kecaman dari dunia

internasional, khususnya dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara

sehingga negara tetangga yang bersangkutan enggan (reluctant)

menerbitkan atau mengumumkan peta atau daftar koordinat geografis

titik-titik garis pangkal lurus kepulauan. Selanjutnya garis pangkal lurus

kepulauan mungkin akan digunakan sebagai dasar untuk membangun

garis batas maritimnya dan hal ini terjadi setelah negara tersebut

memberikan lisensi eksplorasi kepada perusaahan asal Belanda sehingga

terjadi daerah yang dianggap dipersengketakan di daerah Ambalat..

Negara tersebut belum melaksanakan kewajibannya untuk mendepositkan

salinan dari Undang-Undang garis pangkal yang berlaku pada tahun 2007

pada Sekretaris Jenderal PBB, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 47

ayat 9 KHL 1982.282.

282

Robert Beckman, op.cit., Hlm.

Page 358: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

344

N. Solusi yang harus ditempuh apabila tidak tercapai Final

Delimitation belum dapat disepakati

Indonesia dan Malaysia telah menjadi negara peserta pada KHL

1982 karena kedua negara telah mengikatkan diri pada konvensi ini

melalui ratifikasi283 sehingga kedua negara sudah terikat untuk mematuhi

dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi, khususnya yang terkait

dengan penetapan garis batas maritim berbasis titik pangkal di antara

kedua negara bertetangga.

Dalam hubungan dengan penyelesaian garis batas maritim sebagai

akibat keluarnya putusan Mahkamah Internasional soal kepemilikan kedua

pulau, maka berdasarkan KHL1982 kedua negara dibebani kewajiban

untuk menetapkan garis batas maritim (landas kontinen atau zona

ekonomi eksklusif) dengan persetujuan (agreement) menurut aturan-

aturan hukum internasional agar supaya dapat mencapai solusi yang

berkeadilan (equitable solution). Selama belum tercapai kesepakatan

mengenai penyelesaian secara tuntas garis batas maritime, maka kedua

negara pertama-tama harus berusaha untuk membuat pengaturan-

pengaturan yang bersifat sementara (provisional arrangements). Kedua,

mereka harus berusaha untuk tidak membahayakan atau menghambat

tercapainya persetujuan final (final agreement), yaitu tercapainya

283

Ratifikasi Republik Indonesia terhadap KHL 1982 didasarkan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.

Page 359: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

345

persetujuan garis batas maritim secara tuntas dan menyeluruh (final

delimitation)284.

Indonesia dan Malaysia harus berupaya membuat ‘provisional

arrangements of a practical nature’. Kedua negara memikul kewajiban

berat untuk melakukan perundingan dengan itikad baik (good faith) dalam

rangka menciptakan pengaturan praktis yang bersifat sementara selama

masalah delimitasi maritim masih menggantung atau selama delimitasi

maritim belum tuntas akibat kasus Sipadan – Ligitan. Pengaturan seperti

itu hanya bisa diwujudkan oleh kedua negara apabila mereka memiliki

semangat dan komitmen serta kesadaran untuk menumbuhkan saling

pengertian dan kerjasama untuk dapat bereksistensi secara damai

(peaceful coexistence).

Dengan membuat ‘provisional arrangement’, kedua negara dapat

meningkatkan beberapa kegiatan eksploitasi di daerah yang dianggap

dipersengketakan (disputed area), meskipun mereka masing-masing

dapat bertahan dengan posisinya menyangkut penuntasan masalah

delimitasi maritim (final delimitation)285. Sejauh mana Indonesia dan

Malaysia telah berupaya mengadakan ‘provisional arrangement’ yang

mungkin isinya mengenai zona kerjasama pengembangan (joint

development zone), seperti kerjasama dalam menjamin keselamatan

pelayaran, kerjasama dalam memelihara dan melestarikan lingkungan

laut, kerjasama dalam penelitian ilmiah kelautan serta kerjasama dalam

284

Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 53. 285

Ibid, Hlm. 75 Disisipkannya klausula ‘without prejudice’ dianggap penting oleh beberapa ahli untuk memelihara dan mempertahankan posisi negara-negara pantai.

Page 360: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

346

mengeksplorasi dan mengeksplotasi sumber kekayaan alam hayati dan

non hayati masih harus dilihat perkembangannya melalui langkah-langkah

perundingan kedua negara untuk menyelesaikan garis batas maritim di

‘disputed area’.

Meskipun bukan di perairan Ambalat yang merupakan ‘disputed

area’, melainkan di sebagian Laut Natuna, Pemerintah Indonesia telah

berhasil mengajak pihak Malaysia untuk melakukan kerjasama dalam

pengembangan kekayaan gas alam yang terkandung di dasar laut

Natuna. Kedua pemerintah yang diwakili masing-masing oleh Pertamina

dan Petronas telah membuat apa yang dinamakan MoU Kemitraan

mengenai pengembangan gas alam di Laut Natuna pada tahun 2010.

Namun demikian pada akhir tahun 2011 pihak Malaysia menarik diri dari

kerjasama kemitraan tersebut dengan alasan di samping harga gas di

pasar internasional semakin turun harganya, lokasi sumber-sumber gas

alam berada pada laut dalam sehingga dianggapnya tidak

menguntungkan dan tidak ekonomis.

Lokasi kerjasama tersebut diakui memang bukan di dalam

‘disputed area’, dalam hal ini bukan di Ambalat, melainkan di sebagian

Laut Natuna. MoU kemitraan seperti itu harus dianggap sebagai

manifestasi dan bentuk ‘provisional arrangement’ karena terutama

dimaksudkan untuk meredam ambisi negara tetangga dalam mengklaim

penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim dilihat dalam

konteks pendirian Indonesia yang sejauh ini tampaknya tetap konsisten

Page 361: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

347

dalam memelihara posisinya mengenai ‘final delimitation’ pascaputusan

ICJ.

MoU kemitraan di Laut Natuna yang diprakarsai Pemerintah

Indonesia menunjukkan adanya kepatuhan dalam mengimplementasikan

ketentuan konvensi yang mewajibkan kedua negara untuk melakukan

negosiasi dengan itikad baik dalam membentuk atau menciptakan

‘provisional arrangement’ yang sifatnya praktis selama belum tercapai

kesepakatan garis batas maritim yang final. Dengan lain perkataan

implikasi putusan ICJ terhadap penetapan garis batas maritim sudah

mulai terlihat ketika kedua negara membuat ‘provisional arrangement’

dalam bentuk MoU Kemitraan 2010 untuk bekerjasama dalam

mengembangkan kekayaan gas alam kendati lokasinya bukan di

Ambalat, melainkan di Laut Natuna286.

Pola kerjasama yang disebut joint development yang merupakan

pelaksanaan atas provisional arrangement apalagi dalam bidang

perikanan dan pertambangan sudah lazim dilakukan oleh banyak Negara

sebagai sebuah terobosan untuk mengatasi jalan buntu (dead lock)

negosiasi terkait garis batas maritim287. Joint Development bukan sesuatu

yang baru bagi Indonesia sebab di masa lalu pada zaman pemerintahan

286

Indonesia (dalam hal ini Pertamina) mengajak Petronas untuk melakukan kerjasama dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan gas alam yang terkandung di Laut Natuna. Dari pihak Indonesia ajakan kerjasama seperti ini bertujuan untuk meredam ambisi Malaysia dalam mengklaim Ambalat. Sedang dari pihak Malaysia yang menerima ajakan dan tawaran itu mempunyai maksud dan tujuan untuk memperlihatkan eksistensinya di kawasan Laut Cina Selatan yang cukup sarat dengan konflik territorial.

287 Victor Prescott and Clive Schofield, op. cit, hlm. 635

Page 362: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

348

Presiden RI, Soeharto, Indonesia dan Australia berhasil membuat suatu

perjanjian yang dinamakan Timor Gap Treaty 1989288 yang merupakan

terobosan dalam mengatasi kemacetan perundingan yang begitu lama

dan rumit terkait upaya menetapkan garis batas landas kontinen dan zona

ekonomi eksklusif di sebagian Laut Timor di masa lalu.

Selain adanya implementasi ‘provisional arrangement’ dalam

bentuk MoU Kemitraan di Laut Natuna akibat belum tercapainya

kesepakatan delimitasi maritim yang bersifat final antara Indonesia dan

Malaysia, maka selama masa transisi kedua negara juga telah

mengimplementasikan kewajiban untuk tidak membahayakan atau

merintangi tercapainya kesepakatan final soal delimitasi maritim di daerah

yang dianggap dipersengketakan.

Kekalahan Indonesia dalam kasus kepemilikan kedua pulau, yang

diikuti dengan pemberian lisensi kepada perusahaan minyak Shell asal

Belanda oleh Pemerintah Malaysia dan kegiatan kapal patroli di perairan

Ambalat bagi pengamanan kebijakannya mengakibatkan terjadinya

ketegangan antara kedua negara serumpun. Ketegangan yang terjadi di

perairan sekitar Blok Tambang Ambalat pascaputusan ICJ memang belum

mengkhawatirkan untuk timbulnya konflik bersenjata antara kedua negara.

Kondisi yang tidak mengkhawatirkan ini terjadi karena ketika sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan telah selesai pada 2002, maka

288

Sun Pyo Kim, Maritime Delimitation and Interim Arrangements in North East Asia, (The Hague/London/New York, Martinus Nijhoff Publishers, 2004), Hlm. 103-104.

Page 363: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

349

dibuat sebuah kesepakatan oleh Angkatan Laut kedua negara dengan

tujuan untuk mencegah setiap insiden di laut289.

Kesepakatan yang dituangkan dalam ‘Prevention of Incidences at

Sea Agreement’ ditandatangani oleh kedua negara pada 2003. Terkait

kesepakatan seperti ini, maka Mak Joon Nam antara lain menyatakan:290

They know exactly what to do and there is this mechanism to allow them to exchange information. They have the communication channels established already. The bottomline is that I don’t think things will escalate beyond control’.

Ketika ketegangan memuncak, maka situasi ini dengan segera

dapat diredakan karena adanya semangat saling pengertian dan

kerjasama untuk menurunkan situasi tegang seperti itu, dengan cara

memerintahkan Angkatan Laut masing-masing negara untuk menghindari

setiap tindakan provokatif. Lahirnya kesepakatan yang disebut ‘Prevention

of Incidences at Sea Agreement 2003’ harus dipahami dalam konteks

implementasi dari kewajiban kedua negara untuk tidak membahayakan

atau menghambat tercapainya persetujuan delimitasi maritim secara

tuntas. Selama masa transisi mereka masing-masing berkewajiban untuk

mencegah terjadinya insiden di laut, terutama di area yang dianggap

dipersengketakan karena setiap insiden, termasuk tindakan provokasi

salah satu pihak, apabila tidak ditangani dengan sangat hati-hati, tentu

saja dapat membahayakan atau menghambat tercapainya kesepakatan

penuntasan masalah garis batas maritim berbasis titik pangkal.

289

Awani Irewati dkk, ‘Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia – Malaysia di Laut Sulawesi’, (Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; Pusat Penelitian Politik, 2006), Hlm. 133 – 134.

290 Ibid, Hlm. 133

Page 364: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

350

Berdasarkan pasal 74/ 83 ayat 3 KHL 1982 kedua negara mem

punyai hak dan kewajiban untuk mempertahankan kondisi status quo,

yakni posisi masing-masing pihak mengenai penyelesaian masalah

delimitasi maritim secara tuntas (final delimitation) sebagai implikasi

putusan ICJ terhadap ‘equidistance line sebagai garis batas maritim di

‘disputed area’291.

Hak dan kewajiban para pihak untuk mempertahankan status quo

terkait pendirian masing-masing pihak untuk menuntaskan garis batas

maritim sebagai implikasi putusan ICJ hanya dapat berjalan secara baik

apabila hal ini dilakukan dengan semangat saling pengertian dan

kerjasama berdasarkan azas itikad baik.

O. Rangkuman

Putusan Mahkamah Internasional yang melepaskan kepemilikan

Pulau Sipadan dan Ligitan dari Indonesia dan menyerahkannya kepada

Malaysia membawa implikasi dalam hukum nasional masing-masing pihak

baik terhadap titik pangkal maupun delimitasi maritim. Demikian pula

penyelesaian atau solusi seperti apa yang dapat ditempuh oleh kedua

Negara ketika mereka tidak atau belum berhasil menuntaskan garis batas

maritim (final delimitation) di daerah yang dianggap dipersengketakan

merupakan sesuatu yang dapat diketemukan dalam ketentuan-ketentuan

291

Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 57.

Page 365: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

351

konvensi serta praktek Negara-negara menyangkut delimitasi maritim

berbasis titik pangkal.

Putusan ICJ 2002 hanya memutuskan dan menyelesaikan

sengketa kepemilikan kedua pulau, tetapi tidak menyelesaikan penetapan

garis batas maritim di ‘disputed area’. Karena masing-masing Negara

telah menetapkan secara sepihak batas-batas maritimnya (laut territorial,

zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen) yang berakibat terjadinya

‘disputed area’, kedua Negara yang sudah terikat pada KHL 1982 harus

mematuhi ketentuan pasal 74 dan 83 konvensi yang memuat azas-azas

delimitasi maritim, seperti ‘agreement, rules of international law (pasal 38

Statuta ICJ) dan ‘equitable solution292’ yang dalam praktek ternyata dapat

diterjemahkan dan diimplementasikan dalam ‘relevant circumstances -

equidistance line demi tercapainya equitable solution’.

Dengan prinsip seperti itu Indonesia dan Malaysia seharusnya

menetapkan garis batas maritim lewat persetujuan atas dasar hukum

internasional sebagaimana ditentukan dalam pasal 38 Statuta Mahkamah

Internasional untuk mencapai solusi yang berkeadilan (equitable solution

atau equitable result). Perundingan kedua Negara bagi perlu tidaknya

dilakukan penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim

demi menghadirkan ‘equitable result’ masih sementara berproses karena

hal seperti ini merupakan implikasi lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan.

292

Ki Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritime Boundary Delimitation, (Edinburgh, School of Law, the University of Edinburgh 2011), Hlm. 6 – 7.

Page 366: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

352

Bagi Indonesia untuk mewujudkan apa yang dinamakan ‘equitable

solution’, maka terdapat berbagai faktor yang harus diperhitungkan

sebagai ‘relevant circumstances’ dalam melakukan penyesuaian

(adjustment) terhadap ‘equidistance line’ yang selama ini masih berlaku

sebagai garis batas maritim antara kedua Negara. Faktor geografi dan

non geografi, termasuk faktor hukum yang tercermin melalui‘separate

opinion’dari Judge Oda dapat dimanfaatkan untuk tetap memelihara dan

mempertahankan ‘equidistance line’ yang masih eksis sebelum dan

sesudah kasus Sipadan – Ligitan’. Menurut beliau delimitasi maritim

antara kedua Negara tetap dapat dilakukan dengan mengenyampingkan

peranan kedua pulau sebagai titik pangkal dan dengan demikian

meskipun kedua pulau telah menjadi wilayah kedaulatan Malaysia, namun

hal ini tidak mempunyai kaitan dan tidak mempengaruhi garis batas

maritim kedua Negara.

Selain ‘separate opinion’ sebagai ‘relevant circumstances’, maka

beberapa faktor geografi dan non geografi dapat dipakai untuk tidak

melakukan penyesuaian terhadap‘equidistance line’ sebagai garis batas

maritim yang masih ada di daerah yang dianggap dipersengketakan

(disputed area). Sebagaimana diketahui akibat kepemilikan Malaysia atas

kedua pulau, negara tetangga menghendaki dilakukannya penyesuaian

terhadap ‘equidistance line’ yang ditetapkan oleh Indonesia, di mana

garis seperti ini dibangun dengan memakai patokan dari garis pangkal

lurus kepulauan yang menghubungkan sekian banyak titik pangkal atau

Page 367: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

353

titik dasar293. Dengan posisi masing-masing pihak terkait perlu tidaknya

penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim, maka selama

belum tercapai penyelesaian delimitasi maritim secara tuntas (final

delimitation), maka solusinya adalah kedua Negara harus berupaya untuk

membuat ‘provisional arrangement’ yang bersifat praktis dan untuk tidak

membahayakan atau menghambat tercapainya penuntasan garis batas

maritim di daerah yang dianggap bermasalah (disputed area) dan untuk

saling menghormati posisi masing-masing menyangkut penyelesaian

masalah delimitasi maritim secara menyeluruh. Kewajiban-kewajiban

seperti ini harus dijalankan ketika negosiasi mengenai titik pangkal dan

delimitasi maritim sebagai implikasi lepasnya kedua pulau tidak berhasil

melahirkan kesepakatan mengenai titik pangkal dalam menarik garis

pangkal maupun dalam melakukan penyesuaian ‘equidistance line’

sebagai garis batas maritim.

Implikasi putusan ICJ terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim

seharusnya juga dapat dipakai sebagai kesempatan untuk melakukan

peninjauan kembali terhadap kebijakan pemerintah yang mewarnai

lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan nasional Indonesia

yang mengatur masalah titik pangkal dan delimitasi maritim. Peninjauan

seperti itu dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut

internasional masa kini baik dari segi ketentuan-ketentuan KHL 1982

293

Perhatikan PP 38/ 2002 dan Lampiran nomor urut 17 sampai dengan 20 , yaitu Pulau Ligitan (TD 036C), Pulau Ligitan (TD 036B), Pulau Sipadan (TD 036 A), Tg Arang (TD 037). Keempat Titik Dasar ini mengalami perubahan dalam PP 37/ 2008 sehingga menjadi TD 036 (Pulau Sebatik), TD 036A (Pulau Sebatik), TD 036B (Pulau Sebatik), TD 037 (Karang Unarang).

Page 368: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

354

maupun praktek Negara-negara serta yurisprudensi karena kebijakan

nasional menyangkut titik pangkal dan delimitasi maritim selama ini

belum berjalan sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Kebijakan nasional dan produk hukum yang dihasilkan terkait

pengelolaan pulau-pulau terluar yang dipergunakan sebagai titik pangkal

ternyata belum berjalan sesuai harapan bagi terwujudnya kesejahteraan

dan keadilan bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan, padahal

Konstitusi Republik Indonesia, khususnya pasal 33 secara substansial

mengamanatkan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan dan

peraturan hukum yang berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan.

Bumi dan air serta segala kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan bagi sebesar-besarnya

kesejahteraan rakyat. Demikian bunyi ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD

1945 yang secara jelas memuat paradigma keberpihakan Negara bagi

seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, memuat paradigma keadilan dan

kesejahteraan sehingga dengan demikian konstitusi yang diwariskan oleh

‘Founding Fathers’ bangsa ini sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang

dikategorikan sebagai nilai-nilai immaterial (immaterial values), seperti

kebaikan, keindahan, kejujuran, kebenaran dan keadilan yang merupakan

kepentingan fundamental bangsa dan Negara.

Kebijakan nasional dan peraturan perundang-undangan terkait titik

pangkal dan penetapan garis batas maritim dengan Negara tetangga

senantiasa harus mengutamakan kepentingan fundamental, yang

Page 369: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

355

berlandaskan wawasan nusantara, namun dengan tetap mematuhi

prosedur dan aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terkait

pengaturan titik pangkal dan delimitasi maritim dengan Negara tetangga.

.

.

Page 370: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

356

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pulau Ligitan seharusnya sudah ditetapkan sebagai titik dasar

atau titik pangkal (basepoint) dalam Undang-undang Nomor 4/ Prp 1960,

tetapi ternyata baru ditetapkan sebagai titik pangkal dalam Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002. Namun dengan

keluarnya putusan ICJ pada Desember 2002 yang melepaskan Pulau

Sipadan dan Ligitan dari Indonesia kepada pihak Malaysia, maka hal ini

membawa implikasi dalam hukum nasional terhadap titik pangkal dan

penetapan garis batas maritim antara kedua negara.

Akibat putusan ICJ, Pemerintah RI memberlakukan PP 37/2008

mengenai Perubahan atas PP 38/2002 mengenai Daftar Koordinat

Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pulau Ligitan

yang ditetapkan sebagai titik pangkal dalam PP 38/2002 telah dihapuskan

dari daftar koordinat geografis tersebut sehingga sebagai titik pangkal

baru adalah Pulau Sebatik (I, II, III) yang akan dihubungkan dengan garis

pangkal lurus kepulauan ke titik pangkal di Karang Unarang, lalu ke titik

pangkal di Pulau Maratua, Pulau Sambit, Pulau Lingian, Pulau Salando

dan seterusnya. Bagi Indonesia berbagai titik pangkal di Laut Sulawesi

dapat digunakan bukan hanya untuk melakukan penarikan garis pangkal

lurus kepulauan, melainkan juga untuk menetapkan dan membangun

garis batas laut territorial, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusifnya

Page 371: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

357

mengingat RI berstatus sebagai Negara kepulauan. Sedangkan implikasi

putusan ICJ dalam konteks hukum nasional Malaysia adalah

pemberlakuan undang-undang yang disebut ‘the Baselines of Maritime

Zones Act’ 2006 pada bulan Mei 2007, tetapi tanpa disertai daftar

koordinat geografis titik-titik garis pangkal sesuai pasal 47 ayat 9 KHL

1982. Namun sebagai implikasi putusan ICJ, ada kemungkinan Pulau

Sipadan, Ligitan, sebagian Pulau Sebatik, Pulau Sabah dan wilayah

Sarawak akan dimanfaatkan sebagai titik pangkal baik untuk menarik

garis pangkal lurus kepulauan maupun untuk membangun melalui

penyesuaian (adjustment) ‘equidistance line’ yang sejauh ini masih eksis

sebagai garis batas maritim antara kedua negara.

Bagi Indonesia garis batas laut territorial (limits of territorial sea)

yang dibangun Malaysia di lepas pantai pulau Sipadan dan wilayah

daratan yang dimilikinya, secara umum relatif tidak akan tumpang-tindih

(overlapping) dengan batas laut territorial Indonesia di sekitar Laut

Sulawesi karena masing-masing Negara dapat menetapkan batas laut

teritorialnya sampai batas maksimal, kecuali di sekitar Pulau Sebatik yang

terbagi akibat Konvensi London 1891. Namun ketika Malaysia akan

menetapkan dan membangun garis batas landas kontinen atau zona

ekonomi eksklusif dengan mempergunakan pulau-pulau terluarnya,

terutama Pulau Sipadan sebagai titik pangkal, maka batas landas

kontinen atau zona ekonomi eksklusif kedua negara akan mengalami

Page 372: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

358

‘overlapping’ (disputed area) karena kedua Negara tidak dapat mengklaim

sampai batas maksimal.

2) Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Sipadan – Ligitan

semata-mata hanya menetapkan status kepemilikan kedua pulau dan

samasesekali tidak menetapkan dan menyelesaikan garis-garis batas

maritim (maritime delimitation boundaries) sehingga untuk

menyelesaikannya kedua Negara wajib menetapkan garis batas maritim

melalui perjanjian menurut kaidah-kaidah hukum internasional

sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional

demi tercapainya solusi yang berkeadilan. Sebelum putusan ICJ 2002

tidak ada perjanjian garis batas maritim di daerah yang sekarang

dianggap dipersengketakan sehingga sesuai ketentuan dan praktek

Negara-negara, masing-masing Negara dapat menetapkan garis batas

maritim dengan menerapkan ‘median line (equidistance line)’.

Pascasengketa Sipadan – Ligitan, kedua Negara harus berunding untuk

menetapkan garis batas maritim dengan memperhitungkan atau

mengenyampingkan peranan kedua pulau sebagai titik pangkal demi

terwujudnya solusi yang berkeadilan. Dengan demikian selama belum ada

titik temu ataupun selama delimitasi maritim belum tuntas, maka mereka

harus membuat ‘provisional arrangement’ maupun ‘mutual restraint’.

Kewajiban untuk tidak membahayakan atau menghambat ‘final

delimitation’ telah dilaksanakan ketika kedua Negara berhasil membuat

‘Prevention of Incidences at Sea Agreement’ pada tahun 2003. Dengan

Page 373: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

359

adanya perjanjian seperti ini, maka kedua Negara dapat terus

menjalankan berbagai kegiatan di ‘disputed area’, sementara mereka juga

dapat memelihara dan mempertahankan pendirian mereka masing-

masing menyangkut penuntasan garis batas maritim pasca Sipadan -

Ligitan. Inilah solusi yang perlu dtempuh apabila masalah delimitasi

maritim belum dapat diselesaikan secara tuntas.

Saran-Saran

1. Posisi Malaysia yang dalam proses perundingan menghendaki

dilakukannya penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim

di ‘disputed area’ menyiratkan kehendak Negara itu untuk memanfaatkan

kedua pulau sebagai titik pangkal untuk menarik garis pangkal lurus

kepulauan dan menetapkan garis batas maritim dengan mengupayakan

penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ akibat putusan ICJ. Upaya

penyesuaian seperti ini seharusnya dapat diatasi melalui konsep

pengenyampingan (neglect concept) yang terkandung dalam beberapa

yurisprudensi maupun dalam ‘Separate Opinion’ Judge Oda.

Substansinya adalah demi tercapainya solusi berkeadilan (equitable

solution) peranan kedua pulau sebagai titik pangkal seharusnya

dikesampingkan (no effect) sehingga sebagai implikasi putusan ICJ

tersebut seharusnya tidak ada urgensi untuk melakukan penyesuaian

terhadap ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim.

2. Selain Deklarasi Judge Oda terkait putusan ICJ 2002, maka

dalam konteksi ‘relevant circumstances’ sebaiknya otoritas berwenang

Page 374: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

360

dapat menggunakan berbagai faktor geografi dan non geografi dalam

proses perundingan delimitasi maritim akibat putusan ICJ mengingat

‘special / relevant circumstances’ memiliki pengertian yang begitu luas

sebagaimana tercermin dalam berbagai kasus delimitasi. Oleh karena itu.

dalam rangka negosiasi garis batas maritim pascakasus Sipadan-Ligitan,

otoritas Indonesia diharapkan memiliki kesediaan (willingness) dan

kemampuan (ability) untuk memanfaatkan peluang tersebut dalam rangka

memperjuangkan terwujudnya equitable solution yang dapat

menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat sesuai

dengan amanat konstitusi.

Page 375: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

361

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Bhratara, 1971.

Alma Manuputy dkk, Hukum Internasional, Depok: Rajawali Rechta, 2008.

Awant Irewati, dkk, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia- Malaysia di Laut Sulawesi, Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Politik, 2006.

Barbara Kwiatkowska, Decisions of the World Court Relevant to the UN Convention on the Law of the Sea, A Reference Guide, The Hague/ London/New York: Kluwer Law International, 2002.

Barbara Kwiatkowska, The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the New Law of the Sea, The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, AH Dordrecht, 1989.

Brad Williams, Resolving the Russo-Japanese Territorial Dispute, London and New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2007.

Brian H. Bix, A Dictionary of Legal Theory, Oxford: University Press, 2004.

Clive R. Symmons, Historic Waters in the Law of the Sea A Modern Re – Appraisal, (Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2008).-

Clive R. Symmons, The Maritim Zones of Islands in International Law. Development in International Law, The Hague/Boston/London : Martinus Nijhoff Publishers, 1979.

David H Ott, Public International Law in the Modern World, London: Pitman, 1987.

Direktur Asia Timur dan Pasifik Departemen Luar Negeri RI, Keberadaan Nelayan Tradisional Indonesia di Perairan Australia: Studi Kasus dilihat dari Perspektif Politik dan Hukum. Jakarta: 2002.

Enrico Milano, Unlawful Territorial Situations in International Law, Reconcilingling Effectiveness, Legality and Legitimacy, Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2006.

Frederick L. Schuman, International Politics, New York, Toronto, London: McGraw-Hil Book Company Inc., 1958.

Page 376: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

362

George K. Walker (General Editor), Definitions for the Law of the Sea-Terms Not Defined by the 1982 Convention, Leiden, Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2012.

Gerald N. Hill & Kathleen Thomson Hill, Real Life Dictionary of the Law Taking the Mystery out of Legal Language, Los Angeles: General Publishing Group, 2007.

Gerd Winter, Towards Sustainable Fisheries Law. A Comparative Analysis), Bonn, Germany: IUCN Environmental Law Centre,2009.

H. Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, 2009, Mataram: Rajawali Pers Mataram. 2009.-

Hans J. Morgenthau, Politics among Nations (The struggle for Power and Peace), New York: Alfred-A-Knopf, 1967.

Hasjim Djalal, Beberapa Persoalan Pokok Hukum Laut dewasa ini yang penting bagi Indonesia, Bandung : Penerbit Binacipta, 1977.

Henry Campbell, Black’s Law Dictionary Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1990.

Henry W. Degenhardt, Maritim Affairs-A World Handbook, (Longman, 1985.

I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara, Yogyakarta:2007, Gadjah Mada University Press, 2007.

I Made Pasek Diantha, Analisis Negara Kepulauan dan Landas Kontinen Dalam Perspektif Kepentingan Indonesia, Denpasar-Bali: CV Kayumas Agung, 1993.

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1990.

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: University Press, 1979.

J.G. Starke, Introduction to International Law, London: Butterworths, 1984.

Kaiyan Homi Kaikobad. Interpretation and Revision of International Boundary Decisions. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.

Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan Diterjemahkan dari Six Theories of Justice, Bandung: Augsbung Publishing House, Indianapolis, Penerbit Nusa Media, 1986.

Page 377: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

363

Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986.

Margaret Moore-Allen Buchanan, States, Nations, and Borders The Ethics of Making Boundaries, Cambridge: University Press, 2003.

Maria Gavouneli, Functional Jurisdiction in the Law of the Sea, Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007.

Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, Fourth Edition, Boston, Sidney: George Allen and Unwin, 1983.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Penerbit Binacipta, 1979.

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Penerbit Binacipta Bandung,1982.

Muhadar, Pengembangan Hukum Pidana dan Kriminologi, Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2010.

Muhammad Ashri, Perjanjian Internasional : Dari Pembentukan Hingga Akhir Berlakunya, Makassar: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 2008.

Myron H. Nordquist, Tommy T.B. Koh, and John Norton Moore, Freedom of Seas, Passage Rights and the 1982 Law of the Sea Convention, Leiden.Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2009.

Natalie Klein, Dispute Settlement in the UN Convention on the Law of the Sea, Cambridge: University Press, 2005.

Nicholas Gerald Hansen, Modern Territorial Statehood, Leiden: Universiteit Leiden: 2008.

Nugzar Dundua, Delimitation of Maritim Boundaries between Adjacent States, United Nations-The Nippon Foundation Fellow, 2006-2007.

R.P. Anand, Origin and Development of the Law of the Sea, The Hague/ Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1983.

R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester: Manchester University Press, 1983.

Rainer Lagoni and Daniel Vignes, Maritim Delimitation, (Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2006.

Page 378: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

364

Richard Barnes, Property Rights and Natural Resources, Studies in International Law, Oxford and Portland Oregon: HART Publishing, 2009.

Suri Ratnapala, ‘Jurisprudence’, Cambridge, New York: Cambridge University Press, 2009.

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011.

Ulf Linderfalk, Law and Pholosophy Library 83 On the Interpretation of Treaties The Modern International Law as Expressed in the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, Sweden: Springer, Lund University, 2007.

Victor Prescot and Gilian D. Triggs, International Frontiers and Boundaries Law, Politics and Geography, Leiden-Boston: Martinus Nijhoff, 2008.

Victor Prescott and Clive Schofield, The Maritim Political Boundaries of the World, Second Edition, Leiden.Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005.

Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritim Delimitation, Studies In International Law, Oxford and Portland, Oregon : Hart publishing, 2006.

Yoshifumi Tanaka, A Dual Approach to Ocean Governance. The Cases of Zonal and Integrated Management in International Law of the Sea, England/USA : Ashgate e-Book, 2008.

DISERTASI

S.M. NOOR, Politik Hukum Dalam Praktek Ratifikasi Di Indonesia, (Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2008.

JURNAL

American Journal of International Law, Vol. 88 No. 1 (June 1994).

American Journal of International Law, Vol. 96 No. 1 (January 2002).

Annuaire Francais De Droit International XLVI–2000-CNRS Editions, Paris

Chinese Journal of International Law, 2009, Vol. 8 No. 1 University Library Utrecht on November 19, 2012).

Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Vol.1 No.3 April 2004 ISSN: 1693 – 5594.

Page 379: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

365

Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Edisi Khusus Desember 2004, ISSN : 1693-5594.

Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Vol. 6 No.3 Aprl 2009, ISSN 1693 5594. Akreditasi No. 45a/DIKTI/Kep /2008.

Jurnal Jurisdictionary, Volume 1 Nomor 2 April 2005, ISSN : 0216-4388.

Jurnal Pro Justitia, Tahun XI Nomor 4 Oktober 1993.

Marine Policy, January 1986.

Marine Policy, November 1990.

Ocean Development & International Law, 38 ; 381-398, 2007, Routledge (Taylor Francis Group).

Ocean Development & International Law, 40 : 1-35, 2009, Routledge (Taylor Francis Group).

Ocean Development & International Law, 42 : 1-21, 2011, Routledge (Taylor & Francis Group).

WEBSITE

http://bryantobing01.blog.com//indonesia-malaysia-dalam-perebutan-pulau -sipadan-dan ligitan

(http://chinesejil.oxfordjournals.org/at

http://www.persee.fr

Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Lainnya

United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS 1982).-

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI 2011.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925).

Page 380: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

366

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1996, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3647).

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1211).

KORAN

Harian Kompas, 25 April 2005.

Harian Kompas, Februari-Maret 2005.

Harian Kompas, 15 Maret 2012.

Harian Kompas, 14 Maret 2013.

Media Indonesia, 4 Maret 2005.

Page 381: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

367

L A M P I R A N

Page 382: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

368

Page 383: DISERTASI IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH …

369