dami buku hutan desa muara merang sains wbh-bahasa

125
HUTAN DESA MUARA MERANG Catatan Penting Menuju Kelola Rakyat Atas Sumberdaya Hutan yang Adil dan Lestari Sigid Widagdo Heni Marini Wahana Bumi Hijau

Upload: yoel-hendrawan

Post on 13-Jan-2017

793 views

Category:

Environment


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

HUTAN DESA MUARA MERANGCatatan Penting Menuju Kelola Rakyat

Atas Sumberdaya Hutan yang Adil dan Lestari

Sigid WidagdoHeni Marini

Wahana Bumi Hijau

Page 2: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

HUTAN DESA MUARA MERANG

Catatan Penting Menuju Kelola Rakyat Atas Sumberdaya Hutan yang Adil dan Lestari

Oleh: Sigid WidagdoHenni Marini

2014

Page 3: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

DESA HUTAN MUARA MERANG:Catatan Penting Menuju Kelola Rakyat Atas Sumberdaya Hutan yang Adil dan Lestari

Atas kerjasama:Sajogyo Institute & Wahana Bumi Hijau

Penulis: Sigid WidagdoHenni Martini

Tata Letak: Elham Syahrul Ramadhan

Cover:Kurnianto

Sajogyo InstituteSajogyo Institute didirikan pada tanggal 10 Maret 2005. Sajogyo Institute adalah lem-baga yang bergerak dalam produksi dan layanan pengetahuan untuk kemajuan gera-kan sosial dan perbaikan kebijakan agraria, dan pembangunan pedesaan di Indonesia melalui penelitian, pendidikan, pelatihan, dan advokasi kebijakan, dengan tujuan untuk membangun massa kritis dalam gerakan menegakkan keadilan agraria dan memban-gun kemandirian desa. Prof. Sajogyo merupakan salah satu pendiri Yayasan dan pem-beri wakaf tanah yang berada di Jl. Malabar 22, Bogor, Jawa Barat, dengan keseluruhan bangunan rumah dan perpustakaan beserta isinya.

Jl. Malabar No. 22, Bogor, Jawa Barat 16151Telp/Fax: +62 251 8374048www.sajogyo-institute.or.id

Page 4: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR [V]

BAB I. Masyarakat Agraris,Teritorialisasi Wila-yah Adat dan Politik Penguasa dari Masa ke Masa di Sumatera Selatan [1]- Sekelumit Masa Kerajaan Sriwijaya sampai

Kesultanan Palembang [2]- Masa Kolonial Belanda [5]- Masa Penjajahan Jepang [10]- Masa Pasca Kolonial [13]- Ketimpangan Penguasaan Hutan di Sumatera

Selatan [15]

BAB II. Sekelumit Sejarah Muara Merang dan Hutan Desanya [21]- Sekelumit Sejarah Muara Merang [23]- Sejarah Dusun Pancuran [27]- Sosial Ekonomi Desa Muara Merang dan du-

sun Pancuran [32]- Suku Anak Dalam [33]

BAB III. Teritorialisasi dan Penguasaan Negara atas Kawasan di Muara Merang [37]- Masuknya HPH, HGU, dan HTI [39]- Masuknya HGU, HTI, dan Konsesi lainnya [41]- Teritorialisasi di Pancuran [43]

Page 5: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

iv

Desa Hutan Muara Merang

BAB IV. Sejarah, Proses dan Dinamika HD di Dusun Pancoran [49]- Penyusunan RKHD Muara Merang [57]- HPHD Muara Merang [58]- Perizinan PHBM Tergantung ‘Dewi Fortuna’ [63]

BAB V. Pancuran Pasca Pentapan HD [67]

BAB VI. Perempuan Dalam Hutan Desa Muara Merang [77]- Implikasi Hutan Desa bagi Kondisi dan Akses

Perempuan atas lahannya [91]- Perubahan Peran dan Posisi Perempuan Pasca

Penetapan Hutan Desa [94]- Kami Ingin Bersuara!!! [95]

BAB VII. Tantangan dan Batas Perjuangan Rak-yat Atas Tanah Dengan Skema Hutan Desa [99]- Peningkatan Partisipasi Masyarakat [109]

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

v

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Alhamdulillah berkat kehendak dan izin-Nya, Buku Hutan Desa Muara Merang telah rampung.

Desa Muara Merang adalah kawasan yang memiliki akses langsung dengan Hutan Rawa Gambut Merang Ke-payang (HRGMK), yang merupakan satu-satunya kawasan hutan gambut alami yang tersisa di Sumatera Selatan. Seperti halnya desa lainnya di dalam dan sekitar kawasan hutan, Muara Merang tidak luput dari penerapan kebija-kan akan pengelolaan hutan dan lahan. Ijin pengelolaan kawasan hutan Negara dalam bentuk Hak Pengusaha Hu-tan (HPH), perkebunan sawit, dan Hutan Tanaman Industri (HTI) mewarnai perkembangan Desa Muara Merang dari masa ke masa.

Sampai dengan kini, ketika hutan tidak lagi dalam kondisi baik, akses lahan kelola untuk masyarakat me-nyempit, dan kesejahteraan masyarakat masih pada tahap diperjuangkan, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) melalui skema Hutan Desa dianggap sebagai so-lusi. Wahana Bumi Hijau (WBH) sebagai Lembaga Swa-daya Masyarakat yang bergerak dibidang Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat, yang menjadi lembaga pen-damping Hutan Desa Muara Merang mencoba menuliskan

Page 7: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

vi

Desa Hutan Muara Merang

sekelumit perjalanan panjang proses pengajuan perijinan Hutan Desa Muara Merang dalam buku ini.

Atas hadirnya buku ini, kami ucapan terimakasih ke-pada masyarakat desa Muara Merang, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Muara Merang, Pemerintah Desa Muara Merang, Dinas Kehutanan Musi Banyuasin dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan. Tentu saja ucapan terimaksih juga kami sampaikan bagi seluruh jajaran WBH dan mitra kerja, serta Sajogyo Institute (SAINS) yang men-dukung penuh proses penulisan dan penerbitan buku ini.

Kami berharap buku ini dapat memberi informasi dan bermanfaat bagi pengambil kebijkan terkait dengan Hutan Desa, lembaga pengelola dan pendamping hutan desa, penggiat PHBM serta masyarakat Desa Muara Merang.

Demikian dengan rendah hati kami sampaikan per-mohonan maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam buku ini .

Palembang, Desember 2014

Deddy Permana Direktur Wahana Bumi Hijau (WBH)

Page 8: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

1

BAB IMasyarakat Agraris, Teritorialisasi Wilayah Adat dan Politik Penguasa

dari masa ke masa di Sumatera Selatan

Sumatera Selatan dari masa ke masa tidak lepas dari dina-mika Kota Palembang. Bukan hanya sebagai ibu kota pro-pinsi, namun lebih pada keberadaan Palembang sebagai

daerah muara sungainya. Sungai Musi-lah yang bermuara di Palembang, yang menghubungkan dan mengait-eratkan di-namika masyarakat Sumatera Bagian Selatan dari ulu sampai ke ilir. Karena itu Sumatera Selatan yang dibelah oleh Sungai Musi terpilah menjadi dua daerah besar berdasarkan bentang alam, dengan sebutan daerah uluan dan iliran.

Sebutan untuk daerahuluan adalah daerah dataran tinggi hulu sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Musi diper-bukitan Bukit Barisan Sumatera, sampai dengan daerah Beng-kulu. Sedangkan daerah iliran adalah daerah dataran rendah, sungai, rawa, lebak, yang merupakan daerah Hilir Sungai Musi.

Sungai Musi dan anak-anak sungainya yang besar dike-nal dengan sebutan ‘Batang Hari Sembilan’ menjadi peng-hubung antara daerah uluan dan iliran.Sekaligus, sungai yang pada saat musim penghujan dapat ditempuh sampai ke hulunya, pada awalnya menjadi moda transportasi utama.

Page 9: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

2

Desa Hutan Muara Merang

dan berpengaruh besar pada perkembangan masyarakat Sumatera Selatan.

Kondisi bentangalam tersebut menempatkan Kota Palembang, semenjak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Ke-sultanan Palembang, sebagai pusat segala hasil bumi yang datang dari daerah-daerah yang ada disekelilingnya, seperti getah karet, kopi, jelutung, kapas, damar, dan sebagainya. Dari daerah uluan, melalui jalur air, dengan menggunakan ‘roda lambung’, hasil kebun dan hutan tersebut di bawah kedaerah iliran dan dikumpulkan di kota Palembang.

Dan Sungai Musi juga, yang mengairi ladang-ladang petani, menjadi tempat ikan berkembang biak, sumber kebu-tuhan pangan, mandi, cuci, dan moda transportasi, serta pe-ran penting lainnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Sumatera Selatan dalam sejarahnya telah mengala-mi pergantian kekuasaan, dari zaman Kerajaan Sriwijaya (abad 7-14), Kesultanan Palembang (abad 17), Kolonial Belanda, Penjajahan Jepang, dan masa Kemerdekaan.

Sekelumit Masa Kerajaan Sriwijaya sampai Kesultanan Palembang

Masyarakat Sumatera Selatan sedari zaman Kerajaan Sriwijaya memiliki budaya agraris yang kental dan ketergan-tungan terhadap hasil hutan yang tinggi. Sebuah bukti seja-rah yang tertera dalam Prasasti Talang Tuwo1, peninggalan Kerajaan Sriwijaya, menuturkan Raja Sriwijaya Sri Baginda

1 Prasasti Talang Tuo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (re-siden Palembang kontemporer) pada tanggal 17 November1920 di kaki Bukit Seguntang, Talang Tuo Kota Palembang, dan kemudian dikenal sebagai Prasasti Talang Tuo. Prasasti berukuran 50 x 80 cen-timeter itu berangka tahun 606 Saka, ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuno, dan terdiri dari 14 baris. Van Ronkel dan Bosch adalah orang pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut, yang kemudian dimuat dalam Acta Orientalia.

Page 10: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

3

Desa Hutan Muara Merang

Dapunta Hyang Sri Jayanasa membangun taman Sriksetra untuk membangun tatanan masyarakat sejahtera.

Taman Sriksetra atau lebih tepatnya sebuah hutan itu, ditanami pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan ber-macam pohon buah-buahan. Terdapat juga bambu haur, waluh, dan patun.Lembah-lembah di bukit ini dialiri sungai-sungai kecil, seperti Sungai Sekanak, Sungai Lambidaro, dan Sungai Kedukan.Semua anak sungainya bermuara ke Sungai Musi. Bendungan dan kolam-kolam juga dibangun di taman ini. Daerah berbukit, tempat taman Sriksetra itu, kini dikenal dengan sebutan Bukit Siguntang di Kota Palembang.

Setelah kejatuhan kerajaan Sriwijaya, wilayah ini mengalami kekosongan pemerintahan selama ratusan tahun. Sampai pada abad ke XVI, berdirilah Kesultanan Palembang Darussalam.

Budaya agraris pun ditunjukkan oleh para pembe-sar atau mantan pembesar keraton Kesultanan Palembang Darussalam yang memiliki sawah di tanah lebak atau ke-bun di tanah talang.2Sawah dan kebun pembesar keraton tersebut di kerjakan oleh alingannya. Begitupun di daerah uluan (pedalaman), dimana penguasaan tanah di serah-kan kepada Marga3, yangsangat kental dengan kehidupan agraris dan kaya akan hasil hutan.

2 Daerah lebak merupakan tempat menanam padi yang subur walau-pun hanya bisa untuk menanam sekali setahun, sementara tanah ta-lang tempat berkebun yang baik karena tidak tergenangi air.Mereka menanam buah-buahan yang sangat terkenal di Palembang seperti durian, duku, manggis, rambutan, kelapa, dan sebagainya.

3 Istilah Marga di Sumatera Selatan berasal dari bahasa sangkrit yaitu “Varga” yang memiliki makna serikat dusun-dusun baik berdasar-kan geneologis maupun teritorial.Hal ini yang membedakan isti-lah Marga dalam masyarakat Sumatera Utara (Batak) yang hanya sebagai batas identitas kesatuan berdasarkan geneologis.Dapat dikatakan bahwa Marga di Sumatera Selatan berasal dari serikat dusun baik atas dasar susunan masyarakat yang berdasarkan suatu teritorial tertentu (afdeeling territorial) maupun rumpun keluarga (genealogis).

Page 11: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

4

Desa Hutan Muara Merang

Marga merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang terdiri dari beberapa dusun, sedangkan dusun terdiri dari beberapa kampung.Masing-masing kesatuan sosial se-cara berurutan dipimpin oleh seorang Pesirah, Kerio, dan Penggawa.sedangkan jabatan wakil pesirah di pegang oleh Kerio dimana seorang Pesirah tinggal, atau disebut Pembarap.

Dalam konteks teritori, marga memiliki wilayah yang jelas batas-batasnya. Dalam wilayah marga, ada wilayah yang tetap dikuasai pengelolaannya oleh marga di bawah kepemimpinan pasirah, seperti keberadaan teritorialisasi Hutan Larangan, Rimba Tua, Belukar Muda, dan Rimba Alas.4 Selain itu, ada pula wilayah yang didistribusikan ke-pada dusun-dusun bawahannya.5

Aturan adat yang mengatur Marga mengacu pada Undang-Undang Simbur Cahaya, yang disusun oleh Ratu Sinuhun, pada masa pemerintahan Sido Ing Kenayan (1629-1636) pada saat Kesultanan Palembang masih ber-bentuk kerajaan.

Undang-Undang Simbur Cahaya terdiri dari 6 bab dan 188 pasal, yang mengatur tentang Aturan Marga, Dusun, Kampung, Bujang Gadis Kawin, serta aturan berladang, adat perhukuman dan denda.

4 Hutan Larangan adalah hutan ramuan yang ditetapkan oleh Marga yang tidak boleh digunakan untuk membuat ladang atau berke-bun, namun dapat dimanfaatkan dengan meminta izin (Pasirah atau Kerio) untuk perluan penduduk sendiri (ramuan rumah).Rimba Tua adalah hutan yang padat dengan pohon besar yang berumur diatas 10 tahun. Belukar Muda adalah hutan belukar yang pernah ditanami oleh penduduk, tetapi telah di tinggalkan.Rimba Alas adalah hutan yang penuh dengan pepohonan yang luan dan belum pernah dieksplorasi.Keempat wilayah ini merupa-kan lahan-lahan yang dikuasai Marga dan hanya boleh digunakan dengan izin dari seorang kepala Marga (Pasirah).

5 Supriadi Adhuri (2002) Antara Desa dan Marga: Pemilihan Struktur pada Perilaku Elit Lokal di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Lem-baga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jurnal Antropologi Indonesia.

Page 12: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

5

Desa Hutan Muara Merang

Aturan-aturan tersebut umumnya dita’ati masyarakat. Sedangkan perkara-perkara berat, seperti pemberontakan atau pembunuhan yang tidak dapat diselesaikan dalam undang-undang Simbur Cahaya, penyelesaiannya diserah-kan kepada sultan yang menentukan bentuk penyelesaiaan perkara.

Dalam perjalanannya Undang-undang Simbur Ca-haya mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan bentuk pemerintahan dari masa kesultanan, kolonial be-landa, kemerdekaan, hingga terbitnya Undang-undang nomor 5 tahun 1979.Peraturan tersebut memuat dihapus-kannya system hukum adat di Indonesia.6

Penghapusan sistem adat tersebut diterapkan di Sumatera Selatan pada 24 Maret 1983, dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/SKPTS/III/1983 sebagai petunjuk pelaksanaan UU No. 5 tahun 1979.

Masa Kolonial Belanda

Keruntuhan Kesultanan Palembang diawali dengan kekalahan Sultan Mahmud Baddarudin II pada tahun 1821, dan menjadi tonggak pertama kekuasaan Kolonial Belanda di Sumatera Selatan.

Kolonial Belanda secara bertahap menghapus sistem Kesultanan Palembang dan merombak struktrur pemerinta-han yang berada di atas marga. Sebagai pejabat pemerintah kolonial tertinggi di wilayah Keresidenan Palembang, diang-kat seorang Residen Belanda yang dibantu oleh beberapa Asisten Residen yang memimpin Afdeeling yang terdiri dari beberapa Onderafdeeling yang dipimpian oleh Kontroleur. Jabatan Residen, Asisten Residen dan Kontrouler di pegang

6 Farida dan Yunani, Undang-Undang Simbur Cahaya Sebagai Sumber Hukum di Kesultanan Palembang, Universitas Sriwijaya.

Page 13: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

6

Desa Hutan Muara Merang

oleh orang-orang Belanda yang dikenal dengan nama Neder-landse Binenlands Bestuur (NBB).

Mengingat banyak kendala bagi para kontroleur untuk mengadakan hubungan langsung dengan rakyat bumiputra di daerah Onderafdeeling, maka dalam melaksanakan tu-gasnya dia didampingi oleh Demang yang memimpin District, yang terdiri dari beberapa Onderdistrict yang di-pimpin Asisten Demang dan dibantu oleh Mantri Polisi dan Mantri Pajak (Belasting).

Keberadaan Pesirah sebagai pemimpin marga tidak digantikan.Posisi Marga berada di bawah Onderdistrict.Namun pengakuan otonomi marga oleh Kolonial Belanda merupakan usaha untuk menghapus sisa-sisa kebiasaan masyarakat tradisional yang dianggap menghalang-halangi kepentingan kolonial belanda. Prinsip memecah belah ter-kandung di dalamnya, karena otonomi yang diterapkan di wilayah ini tidak didasarkan pada prinsip teritorial melain-kan prinsip etnisitas (kekuasaan), dimana Marga-marga dibiarkan hidup terpisah satu sama lain menurut sukunya masing-masing, yang telah diperkecil kekuasaan dan pe-ngaruhnya.7

Pemerintahan Kolonial Belanda juga memodifikasi undang-undang simbur cahaya untuk mendukung kepen-tingan mereka.Beberapa bagian yang dihilangkan adalah yang menyangkut pemerintahan dan penguasaan hak la-han oleh marga, sedangkan yang tetap dipertahankan ada-lah yang berhubungan dengan hukum adat.

Namun, masuknya Kolonial Belanda tidak meroboh-kan budaya agraris masyarakat Sumatera Selatan, terutama di daerah uluan Palembang. Karena penegasian hak-hak tanah rakyat oleh kolonial melalui Agrarische Besluit tahun 1870, dengan memproklamirkan pernyataan tanah negara

7 Sejarah Perjuangan Musi Banyuasin.

Page 14: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

7

Desa Hutan Muara Merang

(Domeinverklaring), pada awalnya tidak mengganggu tanah rakyat atau marga bekas daerah kekuasaan Kesultanan Palembang.

Kenyataan ini lebih disebabkan daerah Sumatera Selatan memiliki hamparan tanah kosong atau hutan belukar (woeste gronden) yang tidak sedikit, sehingga onderneming-onderneming ini membuka perkebunan pada tempat-tempat tersebut, tanpa menggangu dan menindih kebun rakyat.8

Walau demikian rakyat Sumatera Selatan sangat men-derita dengan diterapkannya sistem sewa tanah (landrent) karena petani yang menggarap lahan dianggap menyewa tanah kepada kekuasaan Kolonial Belanda.

Berbeda pada saat sistem marga dengan kekuasaan Kesultanan Palembang, masyarakat memperbolehkan masyarakat pedusunan untuk mengambil apa saja yang terdapat di dalam hutan atau di lebak-lebak/sungai seperti : kayu, rotan, menjangan, ikan dan lain-lain, yang tentunya dalam pengaturan Pesirah. Tetapi telah menjadi kebiasaan yang turun temurun bagi masyarakat, untuk memberikan sebagian dari hasilnya kepada penguasa tradisional timbal balik antara rakyat dengan penguasa.)Adapun para pesirah yang merupakan wakil Sultan di daerah Uluan, hanyalah diwajibkan membayar upeti (milir-seba) secara sukarela kepada Sultan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu tiga tahun sekali.

Landrent atau di beberapa daerah lebih dikenal dengan sebutan Pajak Kepala ini sangat membertakan rakyat. Ter-lebih masyarakat Sumatera Selatan di bawah kekuasaan 8 Lihat dalam Boeke, J. H., The Evolution of the Netherlands Indies

Economy (Haarlem: H. D. Tjeenk Willink & Zonen, 1947) atau Clifford Geertz, Agricultural Involution: The Process of, dalam catatan kaki Dedi Irwanto Muhammad Santun, Venesia Dari Timur : Memaknai Produksi Dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang Dari Kolonial Sampai Pasca Kolonial (Yogyakarta;2010)

Page 15: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

8

Desa Hutan Muara Merang

Kesultanan Palembang dengan sistem marga tidak pernah mengenal sistem perpajakan seperti landrent.9

Keuntungan besar perusahaan dagang hindia be-landa, selain dari hasil tambang juga dai hasil kebun dan hutan. Seperti dalam laporan Departement van Landbouw (salah satu Departemen Hindia Belanda), Sumatera Bagian Selatan merupakan daerah yang memiliki hasil kebun dan hutan yang banyak. Terutama kebun karet rakyat yang berkembang dari tahun 1920 an. Walaupun tidak dapat dihitung secara tepat, daerah yang banyak ditanami karet adalah Ogan Ilir, Ogan Ulu, Komering Ilir, Komering Ulu, Lematang Ilir, dan Rawas.Ogan penghasil utama karet di Palembang, 30 persen penghasilan karet Palembang datang dari daerah ini.Selain karet, masyarakat Palembang juga terkenal dengan hasil kopinya terutama di daerah perbuki-tan tinggi, Semende dan Lahat. Juga padi, pinang, rotan, dan kayu hutan.10

Budaya agraris yang kental serta ketergantungan yang tinggi pada hasil kebun dan hutan pada masyarakat Sumatera Selatan juga tampak pada beberapa catatan se-jarah tentang maju mundurnya perekonomian masyarakat.Sejak dahulu maju-mundurnya perekonomian masyarakat Sumatera Selatan memiliki ketergantungan dari naik tu-runnya harga hasil hutan dan kebun.

9 Sejarah Perjuangan Musi Banyuasin, dari ; P de Roo De Faille, Dari Zaman Kesultanan Palembang, Bhratara, Jakarta, halaman 16. dan Sartono Kartodirdjo, et.al., Sejarah Nasional Indonesia IV, Balai Pustak, Jakarta, 1977, halaman 66-67.

10 Pada 1938, lebih dari 25 persen pohon karet yang ada di Hindia Be-landa, terdapat di Keresidenan Palembang.Lihat dalam Inlandsch Cultuur, Palembang, hlm. 13—14; Lihat juga dalam, Jousairi Hasbullah, Mamang dan Belanda: Goresan-goresan Wajah Sosial Ekonomi dan Kependudukan Sumatra Selatan Zaman Kolonial dan Refleksinya pada Hari ini (Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 1996), dalam catatan kaki, Dedi Irwanto Muhammad Santun, Venesia Dari Timur : Memaknai Produksi Dan Reproduksi Simbolik Kota Palem-bang Dari Kolonial Sampai Pasca Kolonial (Yogyakarta;2010) hal 68.

Page 16: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

9

Desa Hutan Muara Merang

Beberapa catatan sejarah membuktikan. Kesengsa-raan yang pernah melanda di daerah uluan Palembang ka-rena semua hasil hutan dan kebun amat murah harganya, begitupun dengan harga karet.Pada tahun 1919-1922 itu, masyarakat uluan hampir putus harapan tentang kebun-kebun karetnya, sehingga banyak karet yang dibiarkan bercampur baur dengan semak-semak belukar. Mereka ada yang menjual kebun karetnya dengan harga yang teramat murah.

Beban pikiran mereka bertambah berat karena harga beras juga melambung tinggi, sementara hasil ladangnya kurang baik.Namun sejak 1923, kehidupan mereka me-ngalami perubahan karena semua hasil kebunnya mulai memiliki “harga” kembali, lebih-lebih harga getah yang mengalami pelonjakan drastis.11

Perusahaan dagang Hindia Belanda pun mengeruk untung yang tidak sedikit, sampai-sampai pada dasawarsa kedua abad ke-20, sekitar tahun 1930-an, Palembang di-sebut sebagai daerah untung (wingewesten), sebutan dae-rah yang dieksploitasi secara ekonomi, dan memberi keun-tungan yang besar. Keuntungan besar perusahaan dagang Pemerintah Hindia Belanda itu yang menggambarkan be-sarnya penindasan masyarakat di Sumatera Bagian Selatan.

Ketergantungan masyarakat Sumatera Selatan dari hasil pertanian, kebun, serta hasil hutan dan sungai tetap terjaga sebagai sebuah keterpaksaan dari upaya memperta-hankan hidup di bawah kuasa Kolonial Belanda dengan sis-tem pajak sewa tanah yang membertkan ditambah dengan pajak untuk pejabat pemerintah kolonial belanda di daerah bawah, seperti pajak untuk Demang dan Asisten Demang.

11 Lihat Tjahaja Palembang, Palembang, Kamis, 14 Januari 1926, dalam Venesia Dari Timur : Memaknai Produksi Dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang Dari Kolonial Sampai Pasca Kolonial, hal 96 (Yogyakarta;2010)

Page 17: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

10

Desa Hutan Muara Merang

Demikian halnya pesirah yang menjadi pemimpin marga, tidak lagi menjadi perwakilan dari masyarakat yang dipimpinnya, melainkan menjadi perpanjangan tangan dari pemerintahan berkuasa, yakni kolonial Belanda, tidak sedikit pesirah yang kemudian perlahan menjadi musuh dari masyarakat yang dipimpinnya.

Menjadi penting kiranya mengamati pemerintahan marga yang telah melekat lama pada masyarakat Sumatera Selatan, karena pemerintahan marga tidak hanya menjadi bagian dari pengaturan tata kehidupan masyarakat, me-lainkan juga menjadi penjesan teritorialisasi dan pengua-saan tanah atas pemerintah berkuasa dari masa ke masa di Sumatera Selatan.

Masa Penjajahan Jepang

Ketika perang dunia kedua sampai ke Indoensia, Belanda menyerah kepada militer Jepang tanpa syarat.Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) tidak me-lakukan perombakan sistem kepemerintahan yang telah dibangun oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, melainkan melanjutkan sistem pemerintahan yang ada dengan meng-ganti nama-nama jabatan kepemerintahan Hindia Belanda dengan nama-nama Jepang.

Pemerintah Militer Jepang menegaskan untuk me-lanjutkan pemerintahan sipil yang ada sebelumnya dalam Osamu Seirei Nomor 1/ 1942, yang berbunyi :

“Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaanya, hukum dan undang-undang dari pemerintahan yang dahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah Militer. 41) Walaupun secara setruktural pemerinta-han tidak banyak mengalami perubahan, namun pada jaman pendudukan Jepang kita dapatkan tiga pusat

Page 18: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

11

Desa Hutan Muara Merang

konsentrasi penguasa militer di seluruh kepulauan Nusantara.. “

Demikian halnya Marga diganti namanya menjadi Son, yang dipimpin oleh Son-Tjo sebagai pengganti nama Pesirah. Begitupan dusun diganti namanya menjadi Ku, yang dipimpin oleh Ku-Tjo sebagai pengganti nama Kerio.

Pemerintah marga tidak lagi seperti masa Kesul-tanan Palembang, Pemerintah Militer Jepang menjadikan marga sebagai daerah konsentrasi penghisapan sumber daya alam terutama pangan untuk kebutuhan perang dan eksploitasi tenaga.

Adapun perjalan sistem marga dari masa ke masa dapat dilihat dari tabel di bawah ini.12

12 Meidia Pratama (2014) This is Our Land?, Analisa Dinamika Sistem Tenurial di Sumatera Selatan, bandungmagazine.com

Page 19: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

12

Desa Hutan Muara Merang

Page 20: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

13

Desa Hutan Muara Merang

Masa Pasca Kolonial

Pemerintah Indonesia pascakolonial, khususnya re-zim Soeharto pada masa Orde Baru, mengadopsi konsep hutan politik kolonial, klaim bahwa semua lahan hutan adalah milik negara dan harus dikelola dengan sistem yang dikontrol pemerintah, dan mengawinkannya dengan kon-sep kehutanan berskala industri sebagai salah satu alat utama untuk mengendalikan tanah dan sumberdaya hutan.

Menyusul penetapan UU Nomor 5 Tahun 1967, ke-bijakan tata guna tanah hutan disebut sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) atau tata guna hutan oleh kon-sensus, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan dan diformalkan dalam serangkaian Peraturan Menteri Pertanian pada 1980 dan 1981.13

Kerangka hutan politik dan kehutanan yang di-adopsi rezim Orde Baru mengabaikan keberadaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang dikembangkan masyarakat adat dan masyarakat setempat di seluruh Indonesia.14

Demikian halnya sistem marga di Sumatera Selatan, penerapan sistem marga sedari masa sebelum Kesulta-nan Palembang sampai dengan masa kemerdekaan telah mengalami perubahan ke arah kehancuran.Sistem marga

13 Berdasarkan TGHK pada 1970, hutan permanen dikategorikan menjadi: (1) hutan produksi, yang ditujukan untuk ekstraksi pen-dukung ekspor kayu dan kemudian hutan tanaman industri (64,3 juta hektare), (2) hutan lindung (30,7 juta hektare), (3) wilayah konservasi dan hutan cagar alam (18,8 juta hektare), (4) hutan produksi yang dapat diubah peruntukannya (26,6 juta hektare). Ketika itu, batas akhir pemenuhan TGHK direncanakan pada 1985.Dengan dukungan proyek-proyek yang disponsori World Bank, Menteri Kehutanan melakukan demarkasi tanah hutan berdasar-kan kebijakan TGHK.

14 Mia Siscawati (2014) Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan, Wacana 33, Jurnal Transformasi Sosial, Insist Press.

Page 21: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

14

Desa Hutan Muara Merang

yang memiliki hak teritorinya, berubah pada masa kolonial menjadi pengakuan kesukuan semata tanpa hal teritori.Perubahan pun dilakukan pada undang-undang Simbur Cahaya yang menjadi acuan penerapan sistem marga oleh Kesulatan Palembang.tidak hanya sekali, namuan beberapa kali Undang-Undang Simbur Cahaya mengalami perubahan oleh pemerintah berkuasa dimasanya.

Bahkan pada masa orde baru, penguasaan teriori-alisasi negara tahap selanjutnya pun meniadakan sistem marga itu sendiri.Terbitnya Undang-undang nomor 5 tahun 1979, yang memuat dihapuskannya sistem hukum adat di Indonesia. Penghapusan sistem adat tersebut diterapkan di Sumatera Selatan pada 24 Maret 1983, dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/SKPTS/III/1983 sebagai petunjuk pelaksanaan UU No. 5 tahun 1979.15

UU Nomor 41 Tahun 1999, yang ditetapkan untuk menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1967, tetap mengadopsi kerangka hukum politik dan teritorialisasi penguasaan ne-gara terhadap hutan. UU Nomor 41 Tahun 1999 memang mencantumkan hutan adat, tetapi mengkategorikannya se-bagai bagian dari hutan negara.

Tahap demi tahap ‘negaraisasi’ tanah dan hutan atas sumber daya alam didalamnya.’Negaraisasi’ seperti diistilah-kan oleh Noer Fauzi Rachman, adalah sumber penyangkalan eksistensi masyarakat adat beserta hak-haknya dan juga bentuk kriminalisasi rakyat.Para pelajar sejarah agraria dan kehutanan Indonesia mengetahui bahwa penyang-kalan dan kriminalisasi ini merupakan praktik kelemba-gaan dari pemerintah kolonial (kemudian dilanjutkan oleh pemerintah pascakolonial) yang mengerahkan kuasa ne-gara untuk menguasai sumberdaya hutan.

15 Farida dan Yunani, Undang-Undang Simbur Cahaya Sebagai Sumber Hukum di Kesultanan Palembang, Universitas Sriwijaya.

Page 22: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

15

Desa Hutan Muara Merang

Lantas, atas dasar kewenangan berdasarkan perun-dang-undangan, pejabat publik memasukkan sebagian atau seluruh wilayah adat itu menjadi bagian dari lisensi-lisensi yang diberikan badan-badan pemerintah pusat dan daerah kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan ekstraksi sumberdaya alam dan produksi perkebunan/kehutanan/pertambangan untuk menghasilkan komoditas global, atau kepada badan pemerintah dalam mengelola kawasan kon-servasi (taman nasional, taman hutan raya, dan lain-lain).

Kenyataan pahitlah yang lebih banyak dialami oleh komunitas-komuntas masyarakat adat Indonesia, termasuk ketika mereka berada di bawah rezim Orde Baru (1966–1998) hingga masa reformasi (1998–sekarang).16

Ketimpangan Penguasaan Hutan di Sumatera Selatan

Negaraisasi yang terjadi juga terlihat jelas di Su-matera Selatan.Penegasian sistem marga, sebagai acuan masyarakat hukum adat di Sumatera Selatan, ditambah dengan kebijakan cenderung ekpolitatif terhadap sumber daya alamnya dengan menjanjikan konsep pembangunan berkelanjutan.

Hal tersebut dapat dilihat dari Visi “Sumatera Selatan Sejahtera Dan Terdepan Bersama Masyarakat Cerdas Yang Berbudaya”, dan misi yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alamnya “Mendayagunakan sumber daya pertambangan dan energi (fosil dan terbarukan) dengan cerdas, arif, dan bijaksana demi kepentingan masyarakat luas”. Adapun tujuan dari misi terebut ; “Daerah pemasok sumber daya energi secara berkelanjutan, melalui peman-faatan batubara, minyak bumi, gas alam, energi panas bumi, gas metan dan energi terbarukan”. 16 Noer Fauzi Rachman (2014) Masyarakat Hukum Adat Adalah Bukan

Penyandang Hak, Bukan Subjek Hukum, dan Bukan Pemilik Wilayah Adatnya, Wacana Jurnal Transformasi Sosial 33, Insist Press.

Page 23: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

16

Desa Hutan Muara Merang

Kebijakan Sumatera Selatan cenderung eksploitatif terhadap sumber daya alamnya dengan menjanjikan konsep pembangunan berkelanjutan.Dimana, sumber daya alam hanya dipandang sebagai bagian yang harus didayaguna-kan secara maksimal untuk kepentingan pembangunan dengan jargon untuk kesejahteraan masyarakat.

Bahkan perencanaan kebijakan cenderung hanya ber-orientasi mendorong peningkatan pendapatan daerah dari sektor hutan dan lahan.Seperti halnya menjadikan Provinsi Sumatera Selatan sebagai daerah pemasok energi melalui pemanfaatan lahan merupakan fakta bagaimana kebijakan daerah merefleksikan pengelolaan sumber daya alam.

Ketimpangan penguasaan kawasan hutan menjadi salah satu bukti akan proses negaraisasi tersebut. Pengelo-laan Hutan Produksi di Sumatera Selatan sebagian besar dilaksanakan oleh pihak pemegang ijin dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu (IUPHHK).IUPHHK untuk Hutan Alam seluruhnya sebanyak 2 unit seluas 60.800 ha.Sedangkan kegiatan Pembangunan Hutan Tana-man Industri (HTI) di Sumatera Selatan telah dimulai sejak tahun 1989. Selama kurun waktu tahun 2003 s.d. 2012 terdapat 19 (Sembilan belas) pemegang ijin IUPHHK-HTI dengan luas konsesi 1.337.492 hektar.

Sementara penguasaan kawasan hutan skala kecil untuk masyarakat melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa(HD), dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) terbilang sangat kecil. Areal pencadangan Hutan Tanaman Rakyat di Provinsi Sumatera Selatan seluas 16.230 ha, ter-letak di tiga kabupaten. Sedangkan Hutan Desa, sampai dengan Maret 2014, 23 usulan Hutan Desa dengan total luas usulan 51,707 hektar dan yang sudah Penetapan Areal Kerja (PAK) 14.738 hektar. Dan untuk Hutan Kemasyaraka-tan, total 9 usulan seluas 9.507 hektar dan sudah Penetapan Areal Kerja 856 Hektar.

Page 24: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

17

Desa Hutan Muara Merang

Artinya, perbandingan penguasaan kawasan hutan di Sumatera Selatan dengan skema HTR,HD, dan HKM yang baru diusulkan hanya 5,5 persen dari total IUPHHK HA&HT. Lebih timpang lagi kalau dibandingkan dengan HD dan HKM yang sudah PAK hanya 1,1, persen dari total IU-PHHK HA&HT di Sumatera Selatan.

Fakta ini sangat ironik, dan jika tidak direspon dan dikelola dengan baik oleh pemerintah, ini berpotensi meningkatkan atau menyebabkan konflik pengelolaan kawasan hutan. Diperparah lagi dengan kebijakan kehu-tanan yang mengarahkan pemanfaatan ruang kawasan hutan dalam RKTN 2011-2030 adalah Kawasan untuk Pengusahaan Hutan Skala Besar korporasi dengan berba-gai skema.

Ketimpangan penguasaan tanah dan hutan atas dasar kebijakan ‘negaraisasi’ tersebut, menjadi salah satu sumber tekanan terhadap masyarakat adat atau lokal yang hidup di sekitar dan atau di dalam kawasan hutan negara.

Page 25: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

18

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 1. Peta Wilayah dan Fungsi Desa Muara Merang

Page 26: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

19

Desa Hutan Muara Merang

Desa di dalam dan di sekitar hutan (Hutan Produksi dan Hutan Lindung) di Provinsi Sumatera Selatan menca-pai 699 desa, dengan potensi luas kawasan kurang lebih 2 juta hektar atau separuh lebih dari total kawasan hutan di Sumatera Selatan seluas 3,7 hektar. 17

Tidak hanya di Sumatera Selatan, sebuah bukti yang akurat dari persoalan ini terpampang melalui data Kemen-terian Kehutanan (Kemenhut) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan terdapat 31.957 desa di Indone-sia yang berinteraksi dengan hutan dan 71,06 persen dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sum-ber daya hutan.

Dan tidak dapat dipungkiri lagi, masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dimana konsesi besar-besaran telah di-berikan kepada perusahaan perkebunan dan tanaman hu-tan, menjelma menjadi kantong-kantong kemiskinan.

Fakta ini menguatkan kebijakan penguasaan sumber daya alam oleh pemerintah RI yang diadopsi dari kolonial Belanda yang tidak mempertimbangkan wilayah kelola rakyat, terutama teritorialisasi masyarakat adat, menjadi permasalahan kronis bangsa sampai dengan kini.

Latar belakang masyarakat agraris dengan pelaksan-aan teritorialisasi wilayah dan politik penguasaan sumber daya agraria dari masa ke masa telah menajamkan ketim-pangang penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan perun-tukan sumber daya agraria yang menjadi ‘bom waktu’ kon-flik agraria yang dapat dikatakan tidak tertangani sampai dengan kini.

17 Data BPDAS Musi 2013, terdapat 439 desa terdapat di kawasan hu-Data BPDAS Musi 2013, terdapat 439 desa terdapat di kawasan hu-tan produksi (HP) luasnya + 1.597.982,26 Ha dan 260 desa ter-dapat di kawasan hutan lindung (HL) luasnya + 427.114,60 Ha. Luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan + 3.760.662.

Page 27: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

20

Desa Hutan Muara Merang

Pembatasan akses rakyat terhadap sumber daya agrarian, tidak sedikit yang menimbulkan perlawanan langsung dari rakyat sebagai respon dari tindakan pem-batasan bahkan penyingkiran rakyat terhadap akses sumber daya agraria.Dalam hal ini, Kementerian Kehu-tanan menerapkan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Akankah PHBM menjadi jawaban dari permasalahan masyarakat agraris indonesia, dengan berbagai ketidakadilan politik pengausaan sumber daya agraria selama ini ?. Dan juga PHBM itu dapat meredakan ‘bom waktu’ konflik agaria menjadi peluang mensejahtera-kan rakyat ?

Page 28: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

21

BAB IISekelumit Sejarah

Muara Merang dan Hutan Desanya

Gerakan-gerakan tandingan terbentuk karena masyarakat mengenali risiko kehancuran dan menyusun

langkah-langkah perlindungan untuk membangun kembali kehidupannya. (Polanyi -1957)

Perkembangan sejarah masyarakat Sumatera Bagian Selatan dari masa kerajaan, kesultanan, Kolonial Belanda, dan kemerdekaan, mengalami perubahan

yang panjang dalam kaitan masyarakat adat/lokal dalam sistem pemerintahan marga. Walau demikian tidak sepe-nuhnya masyarakal adat Sumatera Bagian Selatan dengan sistem marganya terserabut sepenuhnya, terutama budaya agraris masyarakatnya yang masih memiliki ketergan-tungan terhadap lahan dan hutan.

Ketergantungan masyarakat akan lahan dan hutan dihadapkan dengan pembatasan atau penghilangan akses rakyat terhadap tanah, sumber daya alam, atau wilayah kelolanya. Ketimpangan penguasaan lahan dan hutan oleh negara dan atau konsesi perusahaan perkebunan dan tana-man hutan, menjadi bukti proses ekslusi rakyat dari kebu-tuhannya hidupnya, yakni tanah, sumber daya alam, dan atau wilayah kelolanya.

Demikian halnya banyaknya desa yang berada di sekitar dan atau di dalam kawasan hutan.Desa Muara Merang merupakan salah satu dari sekian banyak desa, yang akses masyarakatnya tereksklusi banyaknya perusahaan perke-bunan dan kawasan hutan negara.

Page 29: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

22

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 2. Peta Lokasi Hutan Desa dan HTI melalui citra satelit

Page 30: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

23

Desa Hutan Muara Merang

Sekelumit Sejarah Muara Merang

Desa Muara Merang terletak di muara Sungai Merang tepatnya berada di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Desa Muara Merang tidak hanya dialiri oleh Sungai Merang, melainkan juga Sungai , Ba-kung, Sungai Rengas, Sungai Durian Condong, Sungai Nibung dan beberapa anak sungai lainnya. Sungai-sungai inilah yang menjadi saksi masyarakat asli Muara Merang yang di sebut Suku Anak Dalam (SAD), atau masyarakat lokal biasa menye-butnya Wong Kubu, menjelajahi daerah tersebut.

Banyaknya sungai di daerah dataran rendah terse-but menghubungkan daerah satu dengan yang lainnya ini berperan penting dalam perkembangan masyarakat di Muara Merang. Masyarakat dari Lubuk Lancang, Tanjung Laga, Pangkalan Balai Banyuasin, dan daerah sekitar lain-nya pun berdatangan untuk bekarang (mencari ikan sebagai nelayan) di Muara Merang semenjak tahun 1950-an.

Zainunah merupakan salah seorang yang sengaja meninggalkan daerah asalnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik dengan menetap di bantaran Sungai Merang. Zainunah tidak sendiri, dia bersama Senen (suami) dan kedua anaknya Rusdi dan Argani. Keluarga Senen meru-pakan salah satu dari keluarga-keluarga lainnya yang pin-dah untuk mencari penghidupan yang lebih baik, menjela-jah sungai dengan perahu jukungnya sebagai nelayan dan meramu hasil hutan, sampai menemukan tempat yang di-rasa cocok untuk bertani, dan naik membuat rumah dan menentap di daratan.

Penghuni pertama terdiri dari tujuh kepala keluarga atau tujuh guguk (rumpun keluarga) dengan mendirikan rumah sebanyak tujuh bubungan (tujuh buah atap rumah).Rumah di daratan merupakan hal yang baru kala itu, masyarakat Sumatera Selatan iliran yang kehidupannya

Page 31: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

24

Desa Hutan Muara Merang

akrab dengan sungai banyak yang tinggal di rumah rakit (rumah yang terapung disungai) atau jukung.

Selama 17 tahun sedari tahun 1958, Zainunnah dan keluarga bermukin di bantaran Sungai Merang, sampai ke-mudian hari Zainunnah dan masyarakat lainnya di banta-ran Sungai Merang pindah ke Dusun Bakung, Kepayang, dan daerah sekitar lainya di Muara Merang.

“Tahun 1976 sampai dengan 1979 saya pernah mena-nam padi di sekitar Sungai Bakung (Lokasi PT. PWS sekarang).Dengan bibit 30 kaleng saya bisa menda-patkan beras sebanyak 300 kaleng per tahun. Saya berhenti menanam padi sejak kedatangan PT. PWS pada tahun 1999”. (Zainunnah, 2009)18

Bakung dan Kepayang menjadi pusat pemukiman yang lebih ramai dari daerah lainnya di Muara Merang. Ba-kung yang menjadi pusat Desa Muara Merang mulai dihuni pada tahun 1975.

Dahulunya, sebelum pemerintahan desa diterapkan di Sumatera Selatan, Muara Merang merupakan sebuah dusun yang dipimpin oleh seorang kerio, di bawah peme-rintahan Marga Lalan yang dipimpin seorang pesirah. Kerio Nung Cik pernah memimpin dusun tersebut, yang kemu-dian Senen menggantikan Nung Cik menjadi Kerio.

Kepemimpinan Senen di desa Muara Merang cukup lama, sampai dengan perubahan sisitem marga menjadi pemerintahan desa, dan Senen pun menjadi kepala desa per-tama Desa Muara Merang pada tahun 1980 an.19Pemekaran desa Muara Merang terjadi pada tahun 2006. Yakni dusun II Muara Merang menjadi Desa Kepayang.

18 Aidil Fitri, Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang ; Masa Lalu - Masa Kini - Masa Depan, Palembang 2009.

19 Aidil Fitri, Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang ; Masa Lalu - Masa Kini - Masa Depan, Palembang 2009.

Page 32: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

25

Desa Hutan Muara Merang

Desa Muara Merang sebelah Utara berbatasan dengan desa Muara Medak, sebelah Barat berbatasan dengan desa Mangsang, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kepayang, dan sebelah Selatan berbatasan dengan desa Suka Damai.

Bakung yang menjadi pusat Desa Muara Merang berjarak ± 225 kilometer dari Kota Palembang, ibukota Propinsi Sumatera Selatan. Perjalanan melalui jalur darat dari kota Palembang ke Bakung memakan waktu sekitar 6 jam perjalanan. Dari kota Palembang melaui jalan lintas Palembang-Jambi, dilanjutkan dengan memasuki kawasan perusahaan Migas PT. Conoco Philips, Perkebunan Sawit PT. London Sumatera (PT. Lonsum) dan Perusahaan Sawit PT. Pinang Witmas Sejati (PT. PWS).

Bakung pun dapat di jangkau melalui jalur sungai dari kota Palembang dengan menaiki perahu cepat (speed boat) dari pelabuhan kecil di bawah Jembatan Ampera, me-laui Sungai Musi, Sungai Lalan, dan Sungai Merang.

Desa Muara Merang mulai berkembang, terlebih mulai masuk beberapa perusahaan HPH diantaranya PT. Bumi Raya Utama Wood Industries (BRUI) dan PT. Sumatera Sukses Tim-ber (SST) pada tahun 1979. Keberadaan perusahaan HPH ini memicu akatifitas masyarakat melakukan penebangan kayu (bebalok). Hasil tebangan mereka, dijual pada perusahaan-perusahaan HPH tersebut. Informasi keberadaan perusahaan HPH ketika itu menyebar ke daerah-daerah lain sehingga pada awal tahun 1980 mulai berdatangan masyarakat ke daerah ini untuk melakukan aktifitas menebang kayu dan sebagian mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan HPH yang ada.

Kemudian pada perkembangan berikutnya, pada tahun 1984 desa Muara Merang menjadi lokasi program Departemen Sosial yaitu program pembangunan sarana perumahan bagi masyarakat daerah terpencil, program ini membangunan pemukiman (rumah) sebanyak lebih kurang 50 unit, mulai saat itulah para pendatang mulai ramai

Page 33: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

26

Desa Hutan Muara Merang

dan menetap di Desa Muara Merang. Karena mulai ramainya kedatangan penduduk me-

nyebabkan Komunitas Suku Anak Dalam (Suku Kubu) sebagai penduduk asli daerah ini mulai terusik, dimana dalam kesehariannya komunitas ini tidak dapat berinter-aksi sosial kepada masyarakat pendatang sehingga pada akhirnya sebagian besar dari mereka kembali masuk hutan meneruskan kebiasaan mereka secara turun temurun.20

Menyempitnya ruang hidup SAD karena masifnya HPH, HTI dan HGU, membuat mereka menepi ke sungai-sungai. Kelompok-kelompok kecil SAD masih ada di beberapa tempat anak Sungai Lalan, seperti di sungai Medak, Badak, Merang dan Kepayang serta sungai-sungai kecil lainnya. Sedikitnya terdapat 10 kelompok SAD (sekitar 50 KK) yang berada di sepanjang sungai Medak sampai ke daerah Pejudian.21

Sebagian SAD yang pernah ditemui di Sungai Lalan masih ‘melangun’ (berpindah-pindah). Namun habis-nya hutan membuat SAD melangun sepanjang jalur Sungai Lalan dan anak-anak sungainya, dengan peng-hidupan dari mencari ikan.

Masyarakat setempat menginformasikan, terkadang SAD menambatkan perahunya di suatu tempat dengan membuat pondok seadanya di tepi sungai selama 4-5 bulan, kemudian mereka pindah menelusuri sungai mencari tempat lain, dimana banyak terdapat ikan.22

20 Tentang Suku Anak Dalam (SAD) atau bisa di sebut Wong Kubu La-lan yang merupakan masyarakat asli Muara Merang akan dibahasa dalam tulisan tersendiri.

21 Beni Hidayat & Yuliusman Zawawi, (2014) Laporan Asessment se-baran dan Kondisi Sosekbud Komunitas Adat Tertinggal (KAT) di Kab. Musi Banyuasin. WBH

22 Prasetyo Widodo (2014) Laporan Pendampingan Hutan Desa Me-rang-Kepayang, WBH.

Page 34: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

27

Desa Hutan Muara Merang

Perkembangan lebih lanjut, pada awal tahun 1990 dae-rah ini menjadi daerah yang terbuka dimana pada saat itu mu-lai berdiri pabrik-pabrik sawmil, diantaranya : Artha Makmur, Inti Makmur dan H. Nungcik. Seterusnya pada tahun 1998 keadaan semakin ramai seiring dengan ma-suknya perusa-haan perkebunan, yaitu PT. Pinang Witmas Sejati (PWS) dan proyek pembangunan jalan dan jembatan melalui Program P3DT (Program Percepatan Pembangunan Desa Tertinggal), sehingga pada saat itulah mulai terbuka akses jalan darat.

Pada akhir tahun 1999 izin konsesi perusahaan HPH habis, dan tahap berikutnya pada tahun 2000-an mu-lai bertambah perusahaan perkebunan sawit, seperti PT. Mentari Subur Abadi, PT. Mega Hijau Bersama (Indofood Group) dan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), yaitu PT. Rimba Hutani Mas (Sinarmas Group) pada tahun 2006, dan terakhir PT Global Alam Lestari (GAL) mengaju-kan permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (IUP RAP dan PAN Karbon) seluas 21.780 hektar (Ha) pada tahun 2013.

Perkembangan Desa Muara Merang pun tidak hanya berasal dari daerah sekitar melalui jalur sungai, aktivi-tas HPH, perkebunan sawit dan HTI membuat desa ini berkembang dengan pendatang dari daerah-daerah lain di provinsi Sumatera Selatan, yaitu; masyarakat Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Palembang dan sebagian bahkan berasal dari Jawa, Jambi, Medan dan Bugis.

Sejarah Dusun Pancuran

Masyarakat Pancuran membuat pilihan untuk ‘me-lanjutkan dan membangun kembali hidupnya’ yang lebih baik. Dengan mengetahui keberadaan Pancuran di dalam kawasan Hutan Produksi, masyarakat secara umum mengetahui konsekwensinya, di labelkan sebagai perambah

Page 35: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

28

Desa Hutan Muara Merang

hutan oleh pemerintah.Walau demikian, mereka berpenda-pat Pancuran merupakan bagian dari Desa Muara Merang.

Konsekwensi hidup di Pancuran dipandang lebih baik dari pada di tempat asal mereka. Setidaknya para petani memiliki pengharapan yang lebih baik untuk mengelola lahan di Pancuran, yang tentu secara umum tidak mereka miliki atau telah hilang di tempat asalnya.

Ketergantungan terhadap lahan kelola terasa masih kental pada masyarakat petani di Pancuran. Layaknya petani, lahan sebagai tumpuan hidup dan masa depan lebih baik, karena mereka bekerja mencari nafkah untuk mengelola lahan. Sesuatu hal yang tidak dapat dipungkiri, dengan latar belakang budaya agraris yang kental, serta pendidikan dan keahlian yang tidak memberi jalan kepada pengharapan hidup lain, selain menjadi petani.

Keberanian para petani untuk membuka kawasan hutan adalah sebuah respon dari kondisi objektif petani yang tersingkirkan, serta kesenjangan peruntukan kawasan hutan dan lahan bagi petani yang dialaminya pada masa-masa sebelumnya, -dan masih terjadi sampai sekarang-, sehingga mereka sampai terpinggirkan ke kawasan hutan.

Pada study sosial ekonomi yang dilakukan pada Maret 2009, terdata sebagian dari masyarakat dusun I Muara Merang (Bakung) dan Dusun 2 Muara Merang (Bina Desa) tidak memiliki lahan garapan. Sedangkan sebagaian lainnya yang memiliki lahan garapan rata-rata 2,5 hektar. Karena keterbatasan lahan tersebut masyarakat membuka lahan di kawasan Hutan Produksi, salah satunya adalah di bagian utara Desa Muara Merang, Pancuran.23

***

23 Adiosyafri, Deddy Permana, Masrun Zawawi, & Prasetyo Widodo (2009) Laporan Survey Sosial Ekonomi Desa Muara Merang dan Desa Kepayang- Musi Banyuasin, Konsorsium Pengelolaan Sumber-daya Alam Berkelanjutan Sumatera Selatan.

Page 36: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

29

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 3. Dusun Pancuran

Dusun di Desa Muara Merang pun bertambah, tidak hanya Dusun Bakung dan Bina Desa, namun desa muara merang memiliki Dusun III Pancuran yang berada di Ka-wasan Hutan Produksi Lalan. Pancuran yang terletak di-paling Utara wilayah desa mulai terbuka pada awal tahun 1990-an.

Pancuran berbatasan dengan Desa Muara Medak di sebelah utara, Konsesi HTI PT Tiesico Cahaya Pertiwi di sebelah Barat, serta di sebaleh Barat dan Timur dengan Hutan Produksi (eks.HPH) yang belum di bebani izin.

Pada awalnya, beberapa orang warga dari Bayung Lencir dan Sekayu, melalui akses sungai menuju hulu Su-ngai Merang, mencari hasil hutan seperti getah Jelutung, gaharu, damar dan lainnya. Sekitar tahun 1995, potensi ge-tah jelutung dan hasil hutan lainnya sudah mulai berkurang karena banyak ditebang oleh kegiatan HPH dan penebang liar. Sehingga pada tahun ini, disamping pendatang lama juga sudah banyak juga pendatang baru berinisiatif me-

Page 37: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

30

Desa Hutan Muara Merang

lakukan kegiatan pembukaan lahan untuk penanaman ka-ret hutan.

Sampai tahun 2004, jumlah penduduk yang ber-mukim dan telah membuka lahan untuk tanaman karet su-dah mencapai ± 120 kepala keluarga, sehingga dibentuklah dusun III – Pancuran di Desa Muara Merang ini, yang terle-tak di dalam kawasan Hutan Produksi Lalan.

Pembukaan lahan untuk kebun karet dan sawit pun marak terjadi, sejalan dengan penebangan liar yang ter-jadi di daerah tersebut. Setelah kayunya habis, sebidang lahan terbuka dan dijadikan kebun. Pembukaan kebun ini dilakuan secara kecil-kecilan oleh petani, bahkan terbilang besar-besaran dengan masuknya modal dari luar.

Maraknya penebangan liar dan pembukaan lahan terse-but yang menyulut pertambahan penduduk. Para petani kecil, pada awalnya menjadi buruh pembalak liar dan butuh tani untuk mencukupi kebutuhan hariannya.Sembari berupaya membuka kawasan hutan dan mewujudkan harapannya memiliki kebun sendiri.

Bukan tidak tahu atau tidak perduli lagi berada di ka-wasan hutan produksi, semua itu berjalan seiring waktu.Tidak ada patroli hutan, dan kalaupun ada, tidak ada yang sampai dibuih.Ironisnya, lalu lalang perusahaan besar HPH dan HTI membuat iri masyarakat.

“Kenapa kami tidak boleh membuka lahan, sedangkan mereka (perusahaan HPH dan HTI) menebang hutan dan tumpukan kayu dalam truk-truk besar lalu lalang di depan mata kami. Kenapa kami tidak boleh ?”

Sepertinya itu didalam benak masyarakat kecil di Pancuran, sebagai bentuk tanya akan keadilan.

Pancuran merupakan daerah terpencil yang tidak terhubung langsung dengan pusat kecamatan maupun

Page 38: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

31

Desa Hutan Muara Merang

desa. Daerah yang berada di perbatasan Sumatera Selatan dan Jambi ini lebih dekat ke kota Jambi ketimbang ke pusat kecamatan bahkan lebih jauh lagi untuk ke pusat desanya, di Bakung. Untuk mencapai pusat kecamatan di Bayung Lencir, dapat di tempuh melalui jalur darat dengan meng-gunakan kendaraan motor (roda dua/roda empat) melalui kota Jambi, dengan jarak tempuhnya ± 3 jam perjalanan. Sedangkan untuk ke pusat desanya di Bakung, harus me-nempuh perjalanan ± 6 jam melalui jalur darat dan 3,5 jam melalui Sungai Merang dengan menggunakan kendaraan air (speedboat/perahu ketek).

Akses ekonomi terhadap kebutuhan pokok masyarakat untuk setiap minggunya tertopang dengan adanya pasar Jum’at (Pasar jum’at merupakan pasar mingguan yang buka pada hari Jum’at) yang berada di Desa Sungai Gelam Provinsi Jambi yang berjarak sekitar 15 KM dengan jarak tempuh menggunakan kendaraan ber-motor kurang lebih 20 menit.

Pancuran tumbuh dengan sendirinya, sekitar 600 an jiwa yang berada di sana tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang beralamatkan Dusun Pancuran, kalaupun ada KTP tentu beralamat lain. Begitupun fasilitas publik tidak dibangun disana, tidak ada Posyandu, Puskemas, dan fasili-tas publik lainnya seperti Sekolah Dasarpun pada awalnya tidak ada. Begitupun program pemerintah lainnya seperti Beras untuk Orang Miskin (Raskin) dan Subsidi BBM tidak sampai ke Pancuran.

Para petani kecil Pancuran, yang secara sadar mau-pun tidak, mengenali resiko kehancuran akan ketidakadi-lan peruntukan penguasaan lahan bagi petani dan beragam konflik agrarian yang terjadi. Para petani kecil merespon dengan langkah-langkah membangun kembali hidupnya, salah satunya dengan membuka kawasan hutan produksi seperti di Pancuran.Sebuah kewajaran, respon dari ekslusi

Page 39: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

32

Desa Hutan Muara Merang

tersebut adalah mengambil konsekuensi yang dianggap lebih baik, dalam hal ini Pancuran menjadi pilihan lebih baik dari pada kondisi sebelum mereka berada di Pancuran.

Sosial Ekonomi Desa Muara Merang dan Dusun Pancuran

Pertumbuhan penduduk di Desa Muara Merang terus mengalami peningkatan, sampai dengan tahun 2012 terdata 7 buah dusun di Desa Muara Merang dengan jumlah pen-duduk 4.801 jiwa atau 1.840 KK.24Demikian halnya di Du-sun Pancuran, pertumbuhan penduduk di Dusun Pancuran semakin cepat, terutama pendatang, karena adanya akses jalan darat.Sampai dengan tahun 2009 jumlah penduduk desa ini berjumlah ± 200 KK atau ± 600 Jiwa.25Sedangkan pada awal tahun 2013 diperkirakan jumlah penduduk mencapai 415 KK atau 1.681 jiwa.26

Secara umum mata pencarian masyarakat Desa Muara Merang, yang dahulunya mengandalkan sektor hutan, pertanian dan perikanan sungai, lambat laun ber-alih menjadi buruh perkebunan sejalan dengan maraknya perkebunan di Desa Muara Merang.Sedangkan masyarakat di Dusun Pancuran, yang pada awalnya mengandalkan hasil hutan kayu dan non kayu, serta menjadi buruh tani, beranjak bergeser menjadi petani kebun.

Pada tahun 2010, sebagian besar masyarakat Pan-curan memiliki penghasilan antara 6 – 12 juta per tahun, bahkan sekitar seperempat masyarakat Pancuran memiliki penghasilan di bawah 6 juta rupiah per tahun.27 Sedangkan

24 BPS Banyuasin, Kecamatan Bayung Lincir Dalam Angka Tahun 2013

25 WBH (2009) Data Sosial Ekonomi Masyarakat Pancuran tahun 2009.

26 LPHD Muara Merang & WBH, Draff Bagan Kerja / Rencana Tahunan Hutan Desa Tahun 2014.

27 WBH (2010) Data Sosial Ekonomi Masyarakat Pancuran tahun

Page 40: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

33

Desa Hutan Muara Merang

pada tahun 2012, 48 persen masyarakat Pancuran memi-liki penghasilan antara 12 - 24 juta per tahun.28Peningkatan pendapatan masyarakat itu lebih disebabkan oleh kebun yang ditanami telah menghasilkan, terutama kebun karet. Sedangkan masyarakat yang memiliki pendapatan rendah, kebunnya belum menghasilkan atau buruh tani.

Gambar 4. Masyarakat Desa Muara Merang yang sedang membangun pondok.

Suku Anak Dalam, Orang Muara Merang Asli

Suku Anak Dalam (SAD), atau biasa di sebut masyarakat lokal Wong Kubu, merupakan komunitas masyarakat adat. Mereka memiliki budaya melangun (berpindah-pindah) dengan mengandalkan hasil hutan

2010.28 Sigid Widagdo & Yuliusman Zawawi (2012) Laporan Analisis

Kemiskinan Partisipatif Masyarakat Dusun III Pancuran, Hutan Desa Muara Merang, WBH.

Page 41: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

34

Desa Hutan Muara Merang

dan sungai sebagai sumber penghidupan. Pemerintah dan beberap pihak menyebut mereka sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT).

Kominitas SAD mendiami beberapa tempat di Jambi dan Sumatera Selatan. salah satu wilayah di Sumatera Sela-tan yang menjadi kediaman SAD di Banyung Lincir, Kabu-paten Musi Banyuasin. Pemerintah marga di Bayung Lincir pun terkenal dengan sebutan nama-nama kelompok besar komunitas SAD di daerah tersebut, yakni Kubu Lalan, Kubu Bayat, dan Kubu Tungkal.

Kubu Lalan merupakan komunitas SAD yang tinggal di sepanjang hutan sungai Lalan, dan anak-anak sungai-nya, seperti sungai Merang, Kepayang, Medak, dan anak-anak sungai lainnya. Demikianlah SAD dikatakan sebagai masyarakat asli dari Desa Muara Merang.

Gambar 5. Pendampingan Perempuan dan Anak

Page 42: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

35

Desa Hutan Muara Merang

Maraknya Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hutan Tan-aman Industri (HTI), dan Perkebunan Sawit membuat ru-ang hidup SAD semakin sempit dan sumber penghidupan mereka pun perlahan menghilang. Sebagian kecil dari SAD dapat beradaptasi, namun sebagian lainnya memilih untuk menyingkir mencari tempat penghidupan yang baru.

Pemerintah telah melakuan pemberdayaan terhadap SAD. Rumah dan lahan seluas 2 hektar di sediakan untuk SAD yang bersedia menetap di Desa Sungai Bahar, Bayung Lincir, Musi Banyuasin, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Sosial. Namun, program tersebut kurang berhasil. SAD di Kampung Sosial, masih mengandalken penghidupan dengan cara berburu dan merau di hutan dan sungai. Mereka banyak yang meinggalkan kampung sosial, kembali mencari tempat hidup di pedalaman hutan dan sungai.

Menyempitnya ruang hidup SAD karena masifnya HPH, HTI dan HGU, membuat mereka menepi ke sungai-sungai. Kelompok-kelompok kecil SAD masih ada di be-berapa tempat anak Sungai Lalan, seperti di sungai Medak, Badak, Merang dan Kepayang serta sungai-sungai kecil lainnya. Sedikitnya terdapat 10 kelompok SAD (sekitar 50 KK) yang berada di sepanjang sungai Medak sampai ke daerah Pejudian.29

Sebagian SAD yang pernah ditemui di Sungai Lalan masih merangin (berpindah-pindah). Namun habisnya hu-tan membuat SAD merangin sepanjang jalur Sungai Lalan dan anak-anak sungainya, dengan penghidupan dari men-cari ikan.

Masyarakat setempat menginformasikan, terkadang SAD menambatkan perahunya di suatu tempat dengan

29 Beni Hernedi & Yuliusman Zawawi, (2014) Laporan Asessment se-Beni Hernedi & Yuliusman Zawawi, (2014) Laporan Asessment se-baran dan Kondisi Sosekbud Komunitas Adat Tertinggal (KAT) di Kab. Musi Banyuasin. WBH

Page 43: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

36

Desa Hutan Muara Merang

membuat pondok seadanya di tepi sungai selama 4-5 bu-lan, kemudian mereka pindah menelusuri sungai mencari tempat lain, dimana banyak terdapat ikan.30

SAD yang kehidupannya menyatu alam, dapat mema-hami musim dan tanda-tanda alam, sehingga mereka tahu sungai-sungai yang masih banyak terdapat ikan pada waktu-waktu tertentu. Salah satu pertanda terdapat banyak ikan apabila tampak Buaya Senyulong (Tomistoma Schlegelii), atau Julung-Julung (sebutan SAD dan masyarakat setem-pat), karena moncongnya yang panjang. Sekarang, Buaya Senyulong semakin sulit ditemui dari pada SAD itu sendiri, karena habitatnya yang rusak.

Walaupun hidup di pedalaman hutan dan sungai, SAD memegang teguh nilai-nilai luhur nenek moyang mereka. Terutama kaitannya dengan hidup bersama dalam keluarga besar dan berdampingan dengan alam. Karena itu juga SAD terkenal memiliki ilmu pengobatan yang mumpuni, baik dengan ramuan maupun ritual adat.

Besale merupakan salah satu ritual adat SAD untuk mengobati orang yang sakit akibat gangguan makhluk ha-lus. Besalek kerap kali dipraktekkan sampai sekarang oleh masyarakat di sepanjang aliran Sungai Lalan dan anak-anak sungainya. Termasuk di sungai Merang, Kepayang dan Muara Medak. hal tersebut menjadi salah satu bukti penguat bahwa SAD merupakan masyarakat asli di Desa Muara Merang dan sekitarnya.

30 Prasetyo Widodo & Henni Martini (2014) Laporan Pendampingan Hutan Desa Merang-Kepayang, WBH.

Page 44: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

37

BAB IIITeritorialisasi dan Penguasaan Negara atas Kawasan Hutan di Muara Merang

Teritorialisasi merupakan upaya yang dilakukan individu maupun kelompok untuk membentuk, mempengaruhi,

atau mengontrol orang, fenomena, serat hubungan dengan cara memberi batasan dan menetapkan kontrol atas suatu wilayah geografis (claudia d’andrea, ph.D, 2013, Kopi,

Adat, dan Modal)

Masyarakat Desa Muara Merang, sepertihalnya desa lainnya di Sumatera Selatan dan sebagian di Jambi mengenal ‘pancung alas’ sebagai sebuah

sistem penguasaan lahan. Secara umum pancung alas ada-lah sistem kepemilikan lahan pertanian dan perkebunan masyarakat yang dilakukan dengan cara membuka dan menggarap lahan kosong dengan seizin dari pemimpin lokal31di daerah tersebut.

Pancung alas merupakan sistem pengaturan masyara-kat adat terhadap tanah yang menjadi hak dari pemerintah marga. Tanah di bawah kuasa pesirah sebagai pemimpin

31 Kalau dahulu saat belum ada pemerintahan desa, pemimpin peme-rintahan lokal adalah kerio sebagai pimpinan kampung dan Pesirah sebagai pemimpin dari marga, dan selanjutnya setelah Marga tidak lagi, Kepala Desa, Kepala Dusun atau ketua Rukun Tetangga yang dimintai izin dalam membuka lahan. dengan berkoordinasi dengan pemeirntahan diatasnya. Tidak ada data yang menunjukkan batas dan luas Marga Lalan, yang melingkupi wilayah Muara Merang kala itu. Sebagai perbandingan, Kecamatan Bayung Lincir melingkupi Marga Lalan, Marga Bayat, dan Marga Tungkal. Sedangkan seka-rang, Kecamatan Banyung Lincir memiliki 21 desa dan 2 kelurahan.

Page 45: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

38

Desa Hutan Muara Merang

marga ini dapat diusahakan oleh individu dengan membayar sejumlah uang yang disebut pancung alas. Tanah milik komunal di bawah pengaturan marga bisanya didistribusikan ke dusun-dusun, seperti wilayah pemukiman, pertanian, dan perladang serta apa yang di sebut hutan ramuan, yakni tem-pat warga dapat mengambil kayu dan hasil hutan lainnya.

Permintaan izin untuk membuka ladang tidak hanya meminta izin kepada pesirah, namun dapat juga di laku-kan kepada krio pada lahan yang sudah didistribusikan penguaturannya kepada dusun. Walaupun pemerintahan marga telah digantian dengan pemerintah desa pada tahun 1980, masyarakat Desa Muara Merang dan desa-desa lainnya di Sumater Selatan, masih menerapkan sistem pancung alas. Namun, kekuasaan pesirah dalam mendistribusikan dan mengatur kuasa atas tanah di wilayah marga di dasari hukum adat yang jelas, yakni kitab Simbur Cahaya. Sedang-kan, pergeseran pemerintah marga menjadi desa dan terkikisnya undang-undang simbur cayaha, meninggalkan kekuasaan pesirah dan krio yang selanjutnya digantikan oleh kepala desa, melakukan distribusi dan pengturan tanah di wilayah desa tanpa aturan yang jelas, bahkan lebih di-dasari atas kehendak elit desa itu sendiri.

Tahap demi tahap teritorialisasi oleh negara dilaku-kan oleh negara di seluruh kepulauaan Nusantara ini. Tahap pertama, penetapan wilayah-wilayah tersebut sebagai kawasan hutan memiliki latar belakang politik (termasuk ekonomi politik). Pertama, penetapan wilayah-wilayah tersebut sebagai kawasan hutan memiliki latar belakang politik (termasuk ekonomi politik). Kedua, penetapan tersebut berlangsung melalui proses politik tersendiri (dan bukan tidak mungkin melalui pertarungan politik tersendiri). Ketiga, dipengaruhi kepentingan politik dan ditetapkan melalui proses politik, wilayah-wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan bisa jadi tidak

Page 46: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

39

Desa Hutan Muara Merang

ditutupi oleh hutan atau tanaman berkayu lainnya. Dengan kata lain, sebuah lahan yang ditutupi alang-alang, lahan pertanian, ladang, atau kampung dapat ditetapkan sebagai bagian dari kawasan hutan.32

Teritorialisasi di Desa Muara Merang tidak lepas dari klaim negara yang diadopsi dari pemerintah kolonial, bahwa semua hutan adalah milik negara dan harus dikelola dengan sistem yang dikontrol pemerintah. Klaim tersbeut ditandai dengan Penetapan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehuta-nan, serta kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1970, dan diformalkan dalam serangkaian Peraturan Menteri Pertanian pada tahun 1980 dan 1981.33 Dengan demikian Desa Muara Merang terbagi menjadi dua fungsi kawasan, yakni Hutan Produksi (HP) sebesar 69 persen dan Areal Penggunaan Lain (APL) sebesar 31 persen.34

Masuknya HPH, HGU, dan HTI,

Seiring dengan agenda pemerintahan Rezim Soehar-to yang ingin meningkatkan devisa negara melalui eksploi-tasi sumber daya hutan. Setelah Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Asing tahun 1967 diterbitkan kran-kran kerjasama dan penanaman modal luar negeri menjadi lebih mudah dan mempunyai payung hukum. Kemudian peme-rintah Indonesia mengeluarkan PeraturanPemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

32 Peluso & Vandergees (2001), lihat dalam Mia Siscawati (2014) Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan, Wacana 33, Jurnal Transformasi Sosial, Insist Press.

33 Berdasarkan peta fungsi kawasan desa Muara Merang, bahwa desa ini memiliki lahan Areal penggunaan lain (APL) seluas 31.950 ha dan Hutan Produksi (HP) seluas 88.210 ha. WBH (2009) .

34 Data hasil olahan WBH (2014) .

Page 47: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

40

Desa Hutan Muara Merang

Penguasaan negara terhadap hutan menjadi pembuka jalan bagi ekstraksi sumberdaya hutan berskala industri yang ditujukan untuk mendukung produksi dan konsumsi di tingkat global. Kran-kran kerjasama dan penanaman modal asing pun sudah dibuka lebar terlebih dahulu dengan UU Penenaman Modal Asing tahun 1967.

Izin HPH, dengan dasar hukum PP Nomor 21 Tahun 1970, masuk ke Merang-Kepayang dan desa-desa seki-tarnya pada tahun 1979. Izin HPH yang pertama masuk di Muara Merang dan sekitarnya pada tahun 1979 adalah PT. Sukses Sumatera Timber (SST) dan PT. Bumi Raya Wood In-dustrial (BRUI), kedua perusahan tersebut masing-masing mengantongi izin dengan luas 237.000 hektar dan 130.000 hektar.35

Konsesi HPH di Merang-Kepayang36habis pada tahun 1999-2000. Masyarakat yang telah terbiasa mengandal-kan hasil hutan kayu melanjutkan penebangan kayu hutan, atau pembalakan liar. Pembalakan liar semakin marak ter-jadi ditambah dengan banyaknya masyarakat pendatang dari daerah lain. Banyaknya kelompok penebang kayu dan pembukaan lahan untuk kebun yang semakin marak, mem-buat pemerintah desa membuat kebijakan pengkaplingan lahan dengan izin dari kepala desa. Pengkaplingan lahan ini baru dimulai pada tahun 2002, dimana masyarakat atas izin Kepala Desa dipersilahkan untuk menentukan lokasi kapling lahannya, selanjutnya agar mengurus perijinan

35 Tercatat beberapa HPH pernah mendapatkan izin usaha Merang-Kepayang yaitu : PT.Sukses Sumatra Timber, PT. Bumi Raya Utama Industrial, PT. Inhutani V, PT. KurniaMusi Plywood Industrial, PT. Humpus, PT. Satya Djaya Raya, PT. Harimbun, PT. Sylvadan PT. Way-hitam.. Lihat Aidil Fitri (2009) Hutan Rawa Gambut Merang Kepa-yang ; Masa Lalu - Masa Kini - Masa Depan, GTZ.

36 Sebutan Merang-Kepayang merupakan suatu kesatuan wilayah, di-mana Kepayang pada awalnya merupakan dusun. Pemekaran desa Muara Merang terjadi pada tahun 2006. Yakni dusun II Muara Me-rang menjadi Desa Kepayang.

Page 48: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

41

Desa Hutan Muara Merang

kepada KepalaDesa dengan sejumlah biaya tertentu. Per-izinan dari kepala desa ini mengantisipasi konflik antar kelompok masyarakat terhadap perebutan lahan sebagai lokasi penebang serta lahan kebun serta pertanian.37

Masuknya HGU, HTI, dan Konsesi lainnya

Selanjutnya perusahaan perkebunan sawit memasuki kawasan Merang-Kepayang pada tahun 2000-an, seperti PT. Mentari Subur Abadi, PT. Mega Hijau Bersama (In-dofood Group) dan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), yaitu PT. Rimba Hutani Mas (Sinarmas Group) pada tahun 200638, dan terakhir PT Global Alam Lestari (GAL) mengajukan permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Penye-rapan dan Penyimpanan Karbon (IUP RAP &PAN Karbon) seluas 21.780 hektar (Ha) pada tahun 2013.

Maraknya HGU Perkebunan Sawit di Desa Muara Merang menyempitkan akses masyarat terhadap lahan. Kawasan APL yang tersisa pada bagian bantaran sungai Lalan yang memanjang sampai ke perbatasan desa dengan lebar ± 200 meter dari bibir sungai ke arah Selatan desa Muara Merang. Disamping itu, terdapat beberapa bagian di bantaran s. Merang sebagai areal perkebunan rakyat dan pemukiman penduduk dusun Bina Desa sekitar 80 hektar, serta pada hilir Sungai Buring sekitar 600 ha terdapat areal APL yang belum menjadi HGU perusahaan Sawit.39

37 . ..... (2006) Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan Rawa Gambut Merang - Kepayang, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

38 Adiosyafri, Deddy Permana, Masrun Zawawi, & Prasetyo Widodo (2009) Survey Sosial Ekonomi Desa Muara Merang dan Desa Ke-payang- Musi Banyuasin.

39 Adiosyafri, Deddy Permana, Masrun Zawawi, & Prasetyo Widodo (2009) Laporan Survey Sosial Ekonomi Desa Muara Merang dan Desa Kepayang- Musi Banyuasin, WBH.

Page 49: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

42

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 6. Peta Wilayah Desa Muara Merang yang ber-batasan dengan konsesi HTI

Page 50: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

43

Desa Hutan Muara Merang

Oleh karena itu sangat jarang bagi masyarakat lokal yang memiliki lahan lebih dari 2 hektar untuk perkebunan rakyat. bahkan banyak yang tidak memiliki lahan kelola. Karenaketerbatasan lahan yang dapat di manfaatkan oleh masyarakat pada kawasan APL berakibat pada banyak masyarakat lokal yang mengembangkan pertanian dan perkebunan dengan membuka kawasan hutan produksi sekitar desa.

Teritorialisai di Pancuran

Dusun Pancuran, merupakan Dusun III Desa Muara Merang yang berada di dalam kawasan hutan produksi. Ke-beradaan Dusun Pancuran tidak lepas dari menyempitnya akses lahan bagi masyarakat Desa Muara Merang dan sekitarnya. Tidak hanya Pancuran, begitupun desa lainnya di sekitar Muara Merang, seperti Desa Muara Medak dan Kepayang yang wilayahnya masuk dalam kawasan Hutan Produksi.

Pembukaan lahan pertanian dan kebun di Dusun Pancuran dilakukan hanya melalui mekanisme pelaporan kepada elit lokal. Sementara, status lahan yang telah dibu-ka masyarakat sebagai perkebunan rakyat di Pancuran ini semuanya di kawasan Hutan Produksi, maka status kepe-milikan dan pengelolaanya belum ada pengakuan dari pihak yang berwenang.

Lambat laun Pancuran tumbuh, tiga Rukun Tetangga (RT) dibentuk sebagai bagian dari wilayah administrasi Dusun III Desa Muara Merang. Pembagian wilayah administrasi Dusun Pancuran sekaligus mengukuhkan ‘penguasa’ akan wilayah tersebut. Tiga RT dalam adminitasi desa, menjelma menjadi 3 blok pembagian kawasan.

Page 51: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

44

Desa Hutan Muara Merang

Para pendatang baru harus melapor, dan meminta izin untuk menentap, membuat rumah dan menggarap lahan. Dari sanak saudara ‘penguasa blok’, kerabat bahkan orang yang tidak ada relasi sebelumnya pun berdatangan. “Tidak mungkin kami berani menetap tanpa Assalammualaikaum,” kata para pendatang. Demikian halnya para pembalak liar, harus meminta izin kepada ‘penguasa blok’, dimana mereka akan melakukan aktifitas illegal logging.

Para penguasa blok mengatur, memberi dan mem-batasi akses terhadap lahan di Pancuran, tanpa aturan tertulis lebih sering hanya sebatas kesepakatan transak-sional. Keberanian penguasa blok tersebut bukan tanpa sebab, pengalaman transaksi jual beli lahan kawasan hutan produksi terindikasi kuat melibatkan aparat pemerintah. Keterlibatan aparat tersebut yang menjadi ‘kartu mati’ sekaligus kunci keberanian para penguasa blok untuk me-lanjutkan praktek illegal tersebut.

Gambar 7. Hutan akibat Ilegal Logging

Page 52: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

45

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 8. Kayu Gelondongan Ilegal Logging

Gambar 9. Kayu yang sudah Di potong

Page 53: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

46

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 10. Pengangkutan Kayu menggunakan mobil truk

Pola penguasaan dengan pengaturan tersebut mem-buat Pancuran tidak hanya menjadi tempat bagi petani kecil yang ‘melanjutkan dan membangun kembali hidup-nya’, dalam hal ini para petani yang hidup dari mengelola lahan, melainkan Pancuran juga menjadi wilayah sasaran para orang-orang yang mengendalkan modalnya untuk memperluas lahan kelola miliknya. Para pemilik modal lokal ini berasal dari berbagai daerah di Sumatera Selatan dan Jambi, bahkan dari Sumatera Utara.

Keberadaan penguasa blok sekaligus elit desa yang berada di Dusun menjadi jaminan modal mereka akan aman ditanamkan di Areal Hutan Produksi. Mereka yang mengandalkan modal tersebut, tidak menetap di Pancuran, hanya modalnya saja yang menggerakkan tenaga buruh tani lokal untuk membuka Lahan Hutan Produksi, untuk selanjutnya ditanami sawit atau karet.

kepengaturan oleh penguasa blok yang merupakan elit desa itu dipengaruhi oleh sistem pangaturan peme-

Page 54: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

47

Desa Hutan Muara Merang

rintah marga dengan kuasa pemberi izin pembukaan lahan marga dari Pesirah dan krio ditingkat kampung. Namun, kekuasaan pesirah dalam mendistribusikan dan mengatur kuasa atas tanah di wilayah marga di dasari hukum adat yang jelas, yakni kitab Simbur Cahaya dengan semangat komunal yang msaih kental.

Sedangkan, pergeseran pemerintah marga menjadi desa dan terkikisnya undang-undang simbur cayaha, me-ninggalkan kekuasaan pesirah dan krio yang selanjutnya digantikan oleh kepala desa, melakukan distribusi dan pengturan tanah di wilayah desa tanpa aturan yang jelas, bahkan lebih didasari atas kehendak elit desa itu sendiri, dengan prasyarat transaksional yang kental. Sehingga konflik horizontal kerap terjadi, sampai pada elit desa me-lakukan pembatasan dengan cara paksaan terhadap lahan kelola petani kecil.

Kondisi tersebut merupakan fakta yang terjadi tidak hanya di Muara Merang dan Pancuran. Faktanya rakyat pedesaan setiap hari berhadapan dengan paksaan pasar yang memerasnya habis-habisan. Keterperasan selalu mendambakan kebebasan. Ketika kebebasan hadir dalam bentuk penguasaan tanah, kondisi yang diinginkan tidak lain kecuali membuatnya semaksimal mungkin mengun-tungkan diri, sesuatu yang tidak terlalu mudah jika harus diikat secara komunal. Perjuangan hak atas tanah petani di beberapa tempat di Jawa, misalnya, telah memberikan gambaran atas tendensi itu.40

40 Mia Siscawati (2014) Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan, Wacana 33, Insist Press.

Page 55: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

48

Desa Hutan Muara Merang

Page 56: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

49

BAB IVSejarah, Proses dan Dinamika HD

di Dusun Pancoran

Berawal dari mencari getah jelutung dan hasil hutan lainnya, ditambah dengan penebangan liar yang me-nyisakan lahan terbuka, kawasan Hutan Produksi

Lalan pun telah didiami dan ditanami tanaman kebun. Mereka yang mencari penghidupan telah memilih Pan-curan untuk melanjutkan hidupnya. Sebagian dari mereka tampak seperti “yang tersingkir” dari daerah asalnya.

Bagaimana tidak, Muara Merang yang kawasanya terdiri dari ± 69 persen Hutan Produksi, menyisakan ± 31 persen Alokasi Penggunaan Lain (APL) yang ± 74 persen dari APL tersebut sudah menjadi konses perkebunan, se-hingga menyisakan 26 persen untuk masyarakat termasuk pemukiman dan bantaran sungai, atau 8 persen dari total luas Desa Muara Merang, 121.460 hektar.

Begitupun, melihat kondisi Pancuran kala itu, bu-kanlah pilihan untuk menetap kalau bukan karena faktor keterpaksaan, dan harapan besar untuk masa depan. Ber-pengalaman hidup, atau mungkin telah mendarah daging-nya sebagai masyarakat agraris, mereka mengadu nasib di kawasan hutan.

Page 57: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

50

Desa Hutan Muara Merang

Rencana pengelolaan hutan berbasis masyarakat di desa Muara Merang pada lokasi hutan produksi yang su-dah didiami oleh mayarakat, sudah ada semenjak tahun 2006. Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan Rawa Gambut Merang - Kepayang, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan yang disusun oleh Pemerintah Kabu-paten Musi Banyuasin, memasukkan salah satu poin upaya pemberdayaan masyarakat dengan menerapkan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat pada lokasi hutan produksi yang usdah di tempati masyarakat seperti di Muara Merang, Kepayang dan Muara Medak.41

Masyarakat yang menempati kawasan Hutan Produsi Lalan sedikit banyak telah mengetahui fungsi kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemeirntah. Dicap sebagai perambah oleh undang-undang kehutanan sudah menggetarkan nyali mereka untuk membangun hidup di Pancuran. Ditambah dengan rencana perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Rimba Hutani Mas42 yang sudah di depan mata, tentu membuat masyarakat Pancuran risau.

Hidup harus terus berlanjut. Harapan pun datang dengan adanya peraturan tentang PHBM. ’Barang baru’ yang bernama Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/ 2008 tentang Hutan Desa yang dikeluarkan September 2008 itu pun mulai tersosialisasi di Desa Muara Merang.

41 Dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan Rawa Gambut Merang - Kepayang, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, disusun oleh Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin yang melibatkan pihak-pihak lainnya. Wahana Bumi Hijua (WBH) dili-batkan sebagai elemen Lembaga Swadaya Masyarakat.

42 Pengajuan perluasan ini tercantum dalam surat RHM No.14/RHMSS-JKT/XII/2008 tertanggal 15 Desember 2008. Atas surat dari PT. RHM tersebut, Bupati Musi Banyuasin mengeluarkan surat rekomendasi bernomor 522/2583/Kehut/2008 yang mengizinkan group raksasa ini memperluas konsesinya seluas 40.012 hektar.

Page 58: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

51

Desa Hutan Muara Merang

Wahana Bumi Hijau (WBH), sebuah lembaga Non Government Organization, yang sudah lama terlibat dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan rawa gambut merang-kepayang dan juga beberapa kegiatan pember-dayaan masyarakat lainnya di Muara Merang, turut men-sosialisaikan kebijakan PHBM tersebut, dan mendampingi proses pengusulan Hutan Desa.

Pemerintah Desa Muara Merang menyambut baik rencana pengusulan Pancuran sebagai Hutan Desa. Surat pengajuan Hutan Desa Muara Merang pun diajukan ke Bupati Musi Banyuasin oleh Pemerintah Desa Muara Merang pada tanggal 27 Februari 2009.

Dalam proses usulan HD Muara Merang tersebut, koordinasi dilakukan dengan pihak terkait di Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin dan Provinsi Sumatera Selatan. Namun, skema Hutan Desa yang berlandaskan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49 tahun 2008, yang diundang-kan pada bulan september 2008 itu, merupakan ”barang baru”, bahkan bagi pemerintah di tingkat kabupaten Musi Banyuasin dan Provinsi Sumatera Selatan, pada saat usulan Hutan Desa Muara Merang diajukan kepada Bupati Musi Banyuasin pada bulan Februari 2009.

Sebagian Pemerintah Daerah beranggapan, mem-fasilitasi usulan Hutan Desa di Pancuran yang telah di tem-pati oleh masyarakat yang sebagian telah membuka kebun sama saja memfasilitasi perambah.

Kabupaten dan Provinsi sepertinya masih berangga-pan usulan Hutan Desa layaknya usulan perusahaan di ka-wasan hutan. Hal tersebut saat proses pengajuan perizinan mengemuka pertanyaan dari pemerintah setempat ten-tang Hutan Desa yang tidak memberi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah. Tidak hanya ditemui di Sumatera Selatan, namun hal tersebut juga mengemuka dibeberapa daerah lain, seperti halnya di Jambi dan daerah lainnya.

Page 59: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

52

Desa Hutan Muara Merang

Sehingga peran pemerintah daerah yang berkewajiban memfasilitasi dalam proses perizinan dan melakukan penguatan terhadap Lembaga Pengelola Hutan Desa ten-tu tidak berjalan dengan baik dan fungsi ‘pelayan publik’ dalam hal skema PHBM sangat minim.

Begitupun proses sosialisasi di masyarakat yang hanya dilakukan oleh WBH dan koordinasi dalam proses pengajuan Hutan Desa Muara Merang pun pada awalnya di-lakukan sangat terbatas di tingkat Kabupaten dan Provinsi.

Terlebih disadari betul, pada areal yang sama, telah tertumpuk di Kementrian Kehutanan berkas permohonan perluasan kawasan Konsesi Hutan Tanaman Industri atas nama PT. RHM. Raksasa HTI Group Sinar Mas yang berada di sebelah selatan Pancuran itu memang telah membangun jalan melintasi Pancuran, dan aktifitas pengangkutan serta keluar masuknya kayu dan alat berat telah lalu lalang melintas Pancuran. Ketakutan akan tergusur HTI pun telah lama menjadi hantu pengganggu tidur siang masyarakat Pancuran.

Sampai pada momen yang cukup melegakan, Bupati Musi Banyuasin mengeluarkan surat rekomendasi Hu-tan Desa Muara Merang seluas 5.000 ha dengan SK. No. 52212/1452/Dishut/2009, tertanggal 18 Mei 2009.

Rekomendasi Bupati Musi Banyuasin tentang Hutan Desa Muara Merang dilayangkan ke Menteri Kehutanan. Harapan masyarakat Pancuran bertambah besar dengan adanya Rekomendasi Bupati tersebut. Walapun, bentuk Hutan Desa masih tergambar samar, hanya yang tertulis dalam Permenhut Hutan Desa saja yang bisa dijelaskan. Belum ada Hutan Desa di Indonesia.

Gambaran akan Hutan Desa Muara Merang bertam-bah jelas ketika tim Verifikasi Kementrian Kehutanan datang ke Pancuran pada 21 November 2009. Cukup melegakan,

Page 60: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

53

Desa Hutan Muara Merang

Hutan Desa Muara Merang direkomendasikan menjadi 5.800 hektar.

Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Muara Merang pun mulai berbenah diri, melakukan pelatihan penguatan kelembagaan bersama dengan WBH. Koordinasi dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin dan Propinsi Sumatera Selatan pun lebih intens dilakukan. Begitupun komunikasi dengan Kementrian Kehutanan diupayakan bersama mitra kerja WBH di tingkat Nasional.

Gambar 11. Pelatihan Penguatan Kelembagaan

Jajaran Pemerintah daerah terkait pun sepertinya berbenah diri, meningkatkan kapasitas terkait skema PHBM. Sepertihalnya pengakuan salah satu pejabat daerah yang terlibat dalam verivikasi Penetapan Areal Kerja (PAK) HD Muara Merang, terkait dengan pemahaman dan kapasi-tas pemerintah daerah, dalam sebuah wawancara ;

Page 61: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

54

Desa Hutan Muara Merang

“Biasanya kebijakan pusat tersosialisasi dengan baik sampai ke tingkat daerah membutuhkan waktu satu tahun, apalagi sampai dengan tahap implementasi membuthkan waktu yang lama, karena terkait dengan waktu penyusunan anggaran”.

Surat Keputusan Pencadangan Areal Kerja (PAK) HD Muara Merang keluar pada 21 Januari 2010. Menteri Ke-hutanan mengeluarkan SK Penetapan Areal Kerja (PAK) Hutan Desa Muara Merang dengan Nomor No. 54 Tahun 2010, dengan luas 7.250 hektar. Penyerahan SK Hutan Desa Muara Merang pun dilakukan di Istana Negara oleh Wakil Presiden RI Boediono. Eforia akan keberhasilan menjadi milik kami ; masyarakat Pancuran, Pemerintah Desa Muara Merang, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Peme-rintah Provinsi Sumatera Selatan, dan tentunya lembaga pendamping Hutan Desa Muara Merang, serta Wahana Bumi Hijau.

Penetapan Areal Kerja dari Menteri Kehutanan yang mengembirakan sekaligus membanggakan itu baru-lah langkah awal dari skema PHBM. Beberapa Studi pun dilakukan WBH bersama dengan LPHD Muara Merang, terkait dengan kondisi sosial ekonomi maupun ekologi, terkait dengan kendala dan potensi di HD Muara Merang, guna penyusunan Rencana Kelola Hutan Desa (RKHD) Muara Merang yang akan menjadi salah satu prasyarat un-tuk melanjutkan proses perizinan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) Muara Merang diajukan kepada Gubernur Sumatera Selatan.

Page 62: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

55

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 12. Lampiran SK Pencadangan Areal Kerja Peta Areal Hutan Desa Muara Merang

Page 63: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

56

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 13. Penyerahan SK Hutan Desa Muara Merang pun dilakukan di Istana Negara oleh Wakil Presiden RI

Boediono

Gambar 13. Para Pemangku Kepentingan dalam acara penyerahan SK Hutan Desa Merang

Page 64: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

57

Desa Hutan Muara Merang

Penyusunan RKHD Muara Merang

Hutan Desa Muara Merang menjadi salah satu hutan desa pertama di kawasan Hutan Produksi. Penambahan luasan pada Pencadangan Areal Kerja seluas 7.250 hektar dari usulan awal sebesar 5.000 hektar, disebabkan karena areal tersebut merupakan hutan rawa gambut dalam.

Memang Areal HD Muara Merang merupakan bagian dari Sub DAS Merang, yang didalamnya terdapat setidaknya ada tujuh anak sungai yang mengalir ke sub DAS Merang ini sehingga menjadikannya sebagai sumber utama hidrologi sungai Merang yang bermuara ke DAS Lalan.

Jenis tanah di HD Muara Merang secara umum yaitu; tanah organik (gambut) yang luasannya mencapai ± 4.500 ha (60%) dan tanah plain (liat berpasir, gleis) yang luasan-nya ± 2.750 ha (40%). Pada sebaran tanah _rganic (lahan gambut) ini merupakan bagian dari satuan lahan kubah gambut (SPT 1) yang terbentuk dari hasil akumulasi bahan induk berasal tanaman/vegetasi dimana proses dekompo-sisi bahan organic berjalan lebih lambat sehingga mem-bentuk suatu kubah gambut (peat dome).43

HD Muara Merang dibagi menjadi dua zona, yakni zona pemanfaatan seluas 3.300 hektar dan zola lindung seluas 3.950 hektar. Pembagian zonasi ini sesuai dengan kondisi kawasan pada saat itu. Dimana, dari total luas HD Muara Merang 7.250 hektar terdapat areal hutan yang masih produktif sebesar 57,66 persen, Areal semak be-lukar sebesar 18,55 persen, areal tanaman karet campu-ran sebesar 14,7 persen, dan areal tanaman sawit sebesar 9,09 persen.44

43 Studi dan Survey Karakteristik HRGMK (WBH, 2009)44 Analisis peta citra landsat tahun 2009 dan hasil studi potensi tentang

tutupan dan pemanfaatan lahan di areal kerja HD Muara Merang (WBH, 2010)

Page 65: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

58

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 14. Studi Gambut di Muara Merang Warga ber-sama Tim.

Tidak semudah yang dibayangkan, penyusunan RKHD pun menjadi “barang baru” bagi LPHD Muara Merang dan WBH. Koordinasi dengan pemerintah daerah terkait tidak berbuah hasil. Walaupun kala itu, hanya format RKHD dan panduan penyusunan RKHD yang kami cari. Itu juga menjadi barang baru bagi pemerintah daerah. Bahkan WBH banyak mendapat referensi dari mitra NGO Nasional.

HPHD Muara Merang

Pengajuan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD)masuk dalam perencanaan pendampingan Hutan Desa Muara Merang selanjutnya, selain pengembangan kelem-bagaan dan peningkatan kapasitas LPHD Muara Merang.

Berbekal RKHD Muara Merang, yang boleh di bilang

Page 66: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

59

Desa Hutan Muara Merang

seadanya itu, usulan Permohonan Izin Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) Muara Merang diajukan kepada Gu-bernur Sumatera Selatan pada bulan April 2010 oleh LPHD Muara Merang.

Menanggapi permohonan Izin Hak Pengelolaan Hutan Desa Muara Merang dari LPHD Muara Merang, Gubernur Sumsel mengeluarkan Surat Keputusan No : 829/KPTS/IV/2010, tentang Pemberian Hak Pengelolaan HD kepada LPHD, seluas 7.250 ha, tertanggal 26 November 2010.

Page 67: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

60

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 15. Peta jenis tanah dan kelas lereng di areal kerja Hutan Desa Muara Merang

Page 68: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

61

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 16. Peta Tutupan dan Pemanfaatan Lahan di Areal Kerja Hutan Desa

Page 69: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

62

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 17. Peta Penataan Areal Kerja Hutan Desa

Page 70: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

63

Desa Hutan Muara Merang

Perizinan PHBM Tergantung ‘Dewi Fortuna’

Sepertinya alam mendukung usulan HD Muara Merang atau dewi fortuna sedang mempir ke Pancuran. Proses Pencadangan Areal Kerja (PAK) Hutan Desa Muara Merang dalam prosesnya terbilang cepat dibandingkan dengan yang lain.

Penyerahan SK PAK HD Merang Merang, pada Tanggal 21 bulan Januari tahun 2010, merupakan detik terakhir 100 hari kinerja Kabiner Indonesia Bersatu Jilid II. PHBM atau Perhutanan sosial (social forestry) menjadi salah satu agenda revitalisasi kehutanan, yang tentu saja pada detik terakhir 100 hari kinerja kabinet harus terukur capaian-nya. Mungkin hal tersebut yang membuat dewi fortuna mampir ke Pancuran.

Tidak hanya sekali sang dewi fortuna mampir ke Pancuran, pencanangan penanaman 1 milyar pohon di Jatiluhur pada November 2010 menjadi momen penting untu penyerahan HPHD Muara Merang Kepada Bupati Banyuasin dan LPHD Muara Merang. Selain penyerahan HPHD tersebut, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pun menyerahkan SK Pencadangan Areal Kerja kepada Bupati Bantaeng dan Izin Usah Hutan Kemasyarakatan (Hkm) ke-pada Bupati Ngada Marianus dan Petani Lambertus Dewa.

Melihat Hutan Desa Muara Merang dalam proses perizinan terbilang cepat dibandingkan dengan yang lain di Sumatera Selatan, sepertinya menjadi penting untuk melihat usulan Hutan Desa lainnya, seperti halnya Hutan Desa Kepayang dan Hutan Desa Muara Medak di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang juga didampingi oleh WBH, sangat lama dalam menunggu kepastian Penca-dangan Areal Kerja dari Menteri Kehutanan.

Page 71: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

64

Desa Hutan Muara Merang

Usulan dari masyarakat dan Surat Kepala Dinas Ke-hutanan Kabupaten Musi Banyuasin tentang pertimbangan teknis hutan Desa Kepayang dan Muara Medak sudah dari Januari 2010. Dan Surat rekomendasi Bupati Musi Banyu-asin tertanggal 25 Januari 2010. Adapun kedua usulan Hu-tan Desa ini telah dilakukan verifikasi tanggal 17-20 Maret 2010. Dengan rekomendasi 6.000 Ha untuk Hutan Desa Kepayang dan 10.900 ha untuk Hutan Desa Muara Medak.

Selama 3 tahunan lebih Menteri Kehutanan baru mengeluarkan SK Pencadangan Areal Kerja Hutan Desa Kepayang dengan SK Nomor : SK.54/Menhut-II/2013 tertanggal 23 Agustus 2013, dengan luasan 5.170 ha. Se-mentara usulan Hutan Desa Muara Medak belum menda-pat SK Pencadangan Areal Kerja dari Menteri Kehutanan dan juga belum ada penolakan sebagian atau keseluruhan dari usulan tersebut (sampai dengan laporan ini ditulis).

Usulan HD lainnya di Sumsel yang diinisiasi oleh BP DAS Musi dan Dinas Kehutanan Kabupaten pun mengalami ketidakpastian penetapaan areal kerja dari Kementrian Kehutanan. Seperti 5 usulan HD yang di rekomendasikan Bupati Muara Enim pada Oktober 2011, sampai dengan 2,5 tahunan belum mendapat kejelasan PAK. Begitu juga usu-lan HKM dari Kabupaten Lahat memiliki nasib yang sama.

Proses perizinan yang lama dan berbelit juga terjadi pada kebanyakan usulan PHBM di seluruh Indonesia. Hal tersebut tidak sesuai dengan Perdirjen No. 10/2010 untuk HKM dan Perdirjen No. 11/ Th. 2010 untuk Hutan Desa, yang menyatakan perizinan PAK hanya memerlukan waktu 60 hari untuk HD dan HKM.

Ketidak jelasan ini tidak hanya terkait dengan waktu PAK yang lama. Masyarakat pengusul HD dan HKm kerap bertanya ; Apakah usulan memiliki kendala dan kalau ada kendala, kendalanya dimana?. Ataukah ditolak ?. Dan kalau-pun pertanyaan itu ditanyakan kepada pemeritah daerah

Page 72: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

65

Desa Hutan Muara Merang

terkait, mereka pun tidak memiliki jawaban yang jelas. Sub judul dalam tulisan ini Perizinan PHBM Tergantung ‘Dewi Fortuna’ juga bukan jawaban.

Seperti ditulis daam bab sebelumnya, proses terito-rialisasi oleh negara dengan menentukan “kawan hutan”, dalam hal ini termasuk Hutan Desa, merupakan “hutan politik”. Hal tersebut dikarenakan penetapan kawasan hu-tan tersebut berlangsung dengan latar belakang dan proses politik, termasuk ekonomi politik dan tidak menutup ke-mungkinan pertarungan politik.45

Pandangan “kawasan hutan negara” yang merupa-kan “hutan politik” pada bab sebelumnya, dapat mem-beri sedikit penjelasan akan corat marut proses perizinan PHBM yang bernuansa politik, tidak hanya politik praktis namun termasuk politik sosial ekonomi. Bagaimanapun, ketidakjelasan proes perizinan PHBM mutlak menjadi ranah koreksi untuk Kementrian Kehutanan, yang merupakan tindakan mal administrasi yang sangat sulit dimaafkan.46

45 Peluso & Vandergees (2001), lihat dalam Mia Siscawati (2014) Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan, Wacana 33, Jurnal Transformasi Sosial, Insist Press.

46 Sampai dengan penulisan buku ini, Wahana Bumi Hijau (WBH) terl-Sampai dengan penulisan buku ini, Wahana Bumi Hijau (WBH) terl-bat dalam beberap kegiatan, seperti semnar dan penelitian yang bertujuan mengkoreksi kebijakan tentang proses perizinan Hu-tan Desa yang berbelit. Dan Kementrian Kehutanan dalam proses merevisi kebijakan perizinan Hutan Desa seta tata kelola hubungan keja yang terkait di dalamnya sehingga pelaksanaan penetapan PAK dapat dilakukan 60 hari sesuai Perdirjen No. 10/2010 untuk HKM dan Perdirjen No. 11/ Th. 2010 dapat terlaksana.

Page 73: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

66

Desa Hutan Muara Merang

Page 74: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

67

BAB VPancuran Pasca Pentapan HD

Perjuangan utama suatu kelompok gerakan sosial adalah mengubah kategorisasi suatu kelompok yang diperjuang-kan dari status-status yang mendiskriminasikan mereka menjadi status baru. Kampanye dan advokasi kebijakan dari kelompok-kelompok gerakan sosial akan memasuki babak baru ketika badan-badan pemerintah mengubah kategorisasi atas suatu kelompok warga yang mereka

perjuangkan. (Noer Fauzi Rachman, 2014)

Keberadaan Dusun III Pancuran Desa Muara Merang yang berada di kawasan Hutan Produksi ini tentu-nya memberikan permasalahan tersendiri terhadap

pembangunan dan pengakuan kependudukan. Hal tersebut memperparah kantong-kantong kemiski-

nan dan keterbelakangan yang ada di sana. Terlebih, dengan keberadaan Perusahaan HTI yang sudah mengajukan izin perluasan sampai dengan ke Dusun III Pancuran, tentunya membuat masyarakat memiliki ketakutan tersendiri akan terusir dari daerah tersebut.

Dengan adanya Penetapan Areal Kerja (PAK) Hutan Desa Muara Merang, tentu memberi legalitas akan ke-beradaan Dusun III Pancuran yang sebagian besar adalah petani dan buruh tani. Ketakutan akan terusir dari ka-wasan hutan produksi berubah menjadi harapan. Berawal dari legalitas itu, menguat harapan akan perbaikan kondisi social ekonomi.

Page 75: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

68

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 18. Batas Hutan Desa Muara Merang

Masyarakat dapat membuat Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk dengan beralamatkan Dusun III Pancuran. Para warga negara yang ternegasikan, sebagai perambah hutan karena bebagai tekanan sehingga mene-tap di kawasan hutan, kembali diakui keberadaannya seba-gai warga negara.

Program pemerintah pun mulai berdatangan, dari Raskin sampai dengan bantuan bibit tanaman hutan diberi-kan kepada masyarakat. Perusahaan HTI di sekitar dusun tersebut, mulai melaksanakan program Corporate Social Rerponsibility (CSR). Di dalam hutan desa muara merang juga masyarakat dapat melegalkan sarana pendidikan se-kolah dasar, pelayanan kesehatan Puskesdesa dan posyandu.

Pengelolaan Hutan Desa Muara Merang memiliki pe-luang ekonomi yang dalam proses implementasikan dipilah menjadi program jangka pendek dan jangka panjang. Pe-luang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan tenang dengan adalah adanya legalitas akses ter-

Page 76: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

69

Desa Hutan Muara Merang

hadap lahan. Sementara peluang usaha yang dapat dikem-bangkan adalah pengembangan usaha tanaman karet dan palawija di sela tanaman kebun karet, seperti jagung dan padi, juga sayur-sayuran.

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan pengem-bangan palawija tersebut sudah biasa dilakukan oleh masyarakat. Namun hasilnya sekedar penunjang dan me-menuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga masyarakat se-mata. Kedepan pengembangan palawija diarahkan mampu memenuhi kebutuhan pasar dengan produksi komoditi yang beragam.

Sementara dalam program jangka panjang, masyarakat akan mengembangkan tanaman karet campuran, jelutung, gaharu dan Jabon. Bagi masyarakat komoditi ini merupa-kan peluang yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat di-kembangkan dan seiring dengan ketentuan jenis tanaman yang diperbolehkan dalam aturan yang ada. Disisi lain masyarakat juga telah memiliki pengalaman terhadap pengembangannya.

Selain pemanfaatan kawasan produksi yang masih dalam proses penataan. Pemanfaatan Jasa Lingkungan be-lum dilakukan, dan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu belum dapat dilakukan oleh LPHD terkendala IUPHHK yang belum ada.

Rencana Kerja Tahunan (RKT) HD Muara Merang pun tidak terlaksana sepenuhnya. RKT baru pun harus disusun setiap tahunnya, menjadi ajang evaluasi penting dalam pelaksanaan pengelolaan Hutan Desa Muara Merang.

Tidak hanya sosial ekonomi, manfaat dan dampak lingkungan dari keberadaan Hutan Desa Muara Merang juga perlu diperhatikan, sebagaimana amanat perundang-undangan PHBM yang menyelaraskan manfaat sosial, ekonomi dan ekologi.

Page 77: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

70

Desa Hutan Muara Merang

Hutan Produksi di Kabupaten Musi Banyuasin, menghadapi tekanan akan penebangan liar dan keba-karan hutan sejak lama. Demikian halnya di areal kerja Hutan Desa Muara Merang, sebelum pengjuan Hutan Desa Muara Merang, kegiatan penebangan liar dan ancaman kebakaran hutan sudah terjadi disana. Dan adapun ke-giatan lainya yang dipandang mengganggu ekologi adalah perburuan satwa liar, dan tekanan terhadap klaim lahan oleh masyarakat luar yang merupakan ‘saudara kembar’ dari pembalakan liar.

Gambar 19. Pembibitan Karet untuk di tanam

Page 78: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

71

Desa Hutan Muara Merang

Walapun tekanan/gangguan lingkungan tersebut masih terjadi setelah penetapan Areal kerja Hutan Desa Muara Merang, upaya yeng telah dilakukan LPHD Muara Merang bersama dengan WBH, sebagai lembaga pendam-ping Hutan Desa Muara Merang, telah melakukan berba-gai upaya, diantaranya guna mengantisipasi kebakaran dengan membentuk tim pemadam kebakaran, sedangkan untuk mengurangi laju penebangan liar LPHD Muara Me-rang membentuk Satgas Pengamanan HD, serta berkoor-dinasi dan membuat laporan kepada pihak berwenang untuk menindaklanjutinya. Dan juga upaya penyadaran lingkungan terhadap masyarakat.

Pengembangan ekonomi alternatif pun dilakukan dengan bersinergi terhadap manfaat lingkungan yang dida-pat. Seperti halnya pengembangan ekonomi rumah tangga, yang berwasana lingkungan dan pengembangan budidaya tanahan hutan yang jelas berdampak pada perbaikan ling-kungan terutama di zona lindung HD Muara Merang.

Dengan manfaat lingkungan yang di dapat di HD Muara Merang ini juga akan menyelamatkan hutan rawa gambut yang tersisa di Sumater Selatan, berdasarkan studi dan survey Karakteristik HRGMK (WBH, 2009) bahwa di areal Hutan Desa tanah organik (gambut) yang luasannya mencapai ± 4.500 ha (60%) dari Luas HD Muara Merang dengan kedalaman 0,5 – 4,5 meter. Pada sebaran tanah organic (lahan gambut) ini merupakan bagian dari satuan lahan kubah gambut (SPT 1) yang terbentuk dari hasil akumulasi bahan induk berasal tanaman/vegetasi dimana proses dekomposisi bahan organic berjalan lebih lambat sehingga membentuk suatu kubah gambut (peat dome).

Tidak seindah yang diharapkan dan tidak seperti di-atas kertas.47 Degradasi hutan di Kabupaten Musi Banyuasin

47 Lawan dari paradigm state-based forest management adalah com-Lawan dari paradigm state-based forest management adalah com-munity based forest management(CBFM) atau pengelolaan hutan

Page 79: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

72

Desa Hutan Muara Merang

masih terjadi. Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin mengakui sekitar 50 persen dari 719.976 hektar luas hu-tan di Musi Banyuasin mengalami kerusakan. Demikian halnya Hutan Desa Muara Merang yang luasnya 7.250 hek-tar terus terdegradasi.

Berdasarkan peta citra landsat 2002, tutupan hutan kerapatan tingginya sebesar 62 persen dan kerapatan ren-dahnya 27 persen. Sisanya, semak belukar, kebun, dan lahan terbuka. Sedangkan tahun 2009, hutan kerapatan tingginya menurun menjadi 36 persen, dan kerapatan rendah 24 persen. Sementara, belukar yang tahun 2002 hanya 2 persen meningkat menjadi 20 persen pada 2009. Kondisi ini makin parah pada 2013. (dilengkapi dengan grafik degradasi dan peta tutupan lahan.)

Hasil investigasi WBH (2014) menunjukkan, pene-bangan liar masih terjadi di areal Hutan Desa Muara Merang dan sekitarnya yang termasuk dalam Hutan Produksi Lalan. Bukan tanpa upaya, sejak SK Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Muara Merang tahun 2010, upaya pemberantasan illegal logging telah dilakukan. Lembaga Pengelola Hutan Desa Muara Merang pun telah membentuk Satuan Tugas Hutan Desa. Tingkat partisipasi mayarakat dalam menjaga areal meningkat, beberapa apaya persuasif dilakukan,

berbasis masyarakat (PHBM). Saat ini banyak sekali ahli kehuta-nan, khususnya peneliti-peneliti kehutanan social, meyakini CBFM/PHBM yang telah berkembang ribuan tahun lamanya-jauh sebelum pengelolaan hutan oleh Negara atau badan usaha yang diberi oto-ritas oleh Negara dilakukan – merupakan suatu model pengelolaan hutan yang lebih menjamin tepeliharanya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, paradigm yang kemudian berkembang tidak lagi menempatkan CBFM/PHBM hanya sebagai paradigm alternative, melainkan sebagai paradigma yang seharus-nya dianut dalam pengelolaan hutan. dalam Dianto Bachriadi dan Anton Lucas (2002) Hutan Milik Siapa ?, Upaya-upaya Mewujudkan Forestry Land Reform di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Bere-but Tanah, Insist Press.

Page 80: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

73

Desa Hutan Muara Merang

sampai pada pengumpulan data untuk selanjutnya dikoor-dinasikan dengan aparat berwenang.

Pembentukan Satgas pengamanan areal kerja hutan desa yang diharapkan dapat berkoordinasi dengan aparat berwenang belum mengarah pada sistem pengamanan yang diharapkan. Penebangan liar massih terjadi di areal kerja hutan desa dan hutan produksi sekitarnya.

Gambar 20. warga bersama satgas pengamanan HD mera-zia aktifitas ilegal logging

Page 81: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

74

Desa Hutan Muara Merang

Walau demikian, dengan adanya PAK HD Muara Merang menajdi suatu dinamika tersendiri dalam upaya penjagaan kawasan areal kerja HD Muara Merang dan sekitarnya. WBH bersama dengan LPHD, pemerintah terkait, kepolisian, dan perusahan sekitar HD Muara Merang mengupayakan rancangan pengemanan kawasan hutan terintegrasi.

Setelah penetapan PAK HD Muara Merang, rencana pengelolaan areal HD Muara Merang pun dilakukan pada zona budidaya dan zona lindung. bantuan bibit tanaman hutan diberikan pemerintah daerah mendukug upaya pe-nanaman di kawasan zona lindung HD Muara Merang. Kelompok masyarakat di HD Muara Mernag pun dilibatkan dalam berbagai kegiatan, seperti kegiatan penyuluhan ke-hutanan, pertanian, dan peternakan.

Terkait dengan akses terhadap sumberdaya alam, dalam hal ini hak kelola masyarakat, pasca PAK masyarakat Pancuran tidak lagi dirisaukan dengan statusnya sebagai perambah dan perluasan perusahaan HTI. Konflik pun ber-alih menjadi horizontal, mayarakat pancuran yang sadar akan hak kelolanya dan selama ini dibatasi oleh penguasa lokal mulai menyatukan diri untuk memperjuangkan kebu-tuhan mereka akan hak lahan kalolanya. Beberapa kelom-pok petani kecil mulai membuka lahan dengan batasan 2 hektar per kepala keluarga. Hal tersebut menjadi perhatian penting, karena tujuan hutan desa adalah memberi akses kelola kepada masyarakat, terutama petani kecil yang ke-hidupannya sangat bergantung dengan lahan kelola. Dengan adanya PAK Hutan Desa ini juga, diharapkan secara bertahap dapat mengikis penguasaan lahan cara lama, seperti ditulis-kan pada bab sebelumnya tentang keberadaan penguasa blok yang mengekslusi petani kecil, hal tersebut dapat terlaksana dengan kesadaran dan partisipasi masyarakat Pancuran sebagai modal utama.

Page 82: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

75

Desa Hutan Muara Merang

Beberapa kelompok petani kecil yang menguapayakan lahan kelolanya berpendapat, ; Nanti LPHD Muara Merang tinggal menatanya, karena kalau dibiarkan penguasaan cara lama dengan proses transaksional terhadap lahan yang kental antara penguasan lokal dan modal pendatang, maka petani Pancuran tidak akan mendapat manafaat yang maksimal dengan adalanya HD Muara Merang. Dan hal tersebut menjauhkan dari tujuan dan makna Hutan Desa itu sendiri.

LPHD Muara Merang sendiri disibukkan dengan proses perizinan selanjutnya pasca PAK, menyikapi pola teritorialisasi yang sudah tertanam di Pancuran sebelum Hutan Desa ada, melaksanakan kewajibannya, dan melak-sanakan rencana kerja tahunan hutan desa, sambil mem-buka peluang pengembangan ekonomi kelembagaan.

keberadaan LPHD Muara Merang pasca PAK, jelas menggangu eksitensi penguasa lokal, teurtama terkait dengan kuasa pengaturan areal kerja. Setelah perkem-bangan PAK HD Muara Merang dilakukan, seorang penguasa hutan lokal menanggapi dengan baik. Dia menyerahkan data infentaris, lahan kelola yang telah dikuasainya bersama keluarga besarnya dan sebagian pendatang yang telah meguasai areal hutan desa melaui dirinya. Dia pun menya-takan tidak akan melakuan pengausaan lahan kelola dan atau membeirkan izin pendatang yang akan menguasai lahan kelola di areal hutan desa. Respon dari seorang penguasan hutan lokal pasca PAK HD Muara Merang ini tentulah hal positif. Demikian halnya seorang pendatang yang telah menguasai lahan di Areal Kerja Hutan Desa seratuan hektar lebih sebelum adanya HD, bersedia mem-berikan sebagain lahan keloa tersbeut kepada sekelompok petani kecil dengan berbagai pertimbangan.

Page 83: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

76

Desa Hutan Muara Merang

Penguasan hutan lokal lainnya memberikan respon negatif dari keberadaan PAK HD Muara Merang dengan tetap mempertahankan bahkan memperkuat hak kuasa atas peng-aturan areal kawasan hutan yang berada di HD Muara Merang dan sekitarnya. Kaitan yang erat antara pemegang jebatan elit pemrientah lokal dengan status penguasan hutan lokal pun menjadikan pemilihan kepala dusun secara langsung. Dan selanjutnya wacana pemekanan Rukun Tetangga (RT) dan penunjukan ketua Rukun Warga (RW) di lokasi yang sama.

Banyaknya peragkat pemeritah lokal yang berawal pada akess kuasa penguasaan lahan tersbut jelas tidak ber-dampak pada meningkatnya pelayanan publik. Beberapa kelompok masyarakat berupaya bersama memenuhi ke-butuhan akan KTP dan kartu KK serta upaya lainnya yang seharusnya menjadi tanggung jawab aparat pemerintahan lokal.

Perjuangan kategori hutan negara yang ‘non rakyat sebagai pengelola’ menjadi dikelola oleh masyarakat mela-lui skema Hutan Desa (HD) bukanlah perkara sederhana. Demikian halnya lebih jauh perjuangan pelepasan kategori hutan negara menjadi hutan adat, bahkan setelah terbitnya Putusan MK 35.

Lahirnya kebijakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), tidak dapat dipungkiri dari pegulatan realitas penguasaan hutan oleh negara yang diskrimintaif dan wacana untuk menjawab rasa keadilan terhadap penguasaan hutan untuk rakyat, kebijakan PHBM lahir dari perjuangan tersebut, dan masih dalam pembetulan in-ternal maupun eksternal.

Page 84: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

77

BAB VI Perempuan Dalam Hutan Desa Muara

Merang

“Kami ingin bersuara, tetapi mengapa kami dikucilkan…?”

Hutan Desa Muara Merang secara geografis berada di wilayah terluar Sumatera Selatan. Mengingat untuk mencapai wilayah ini harus melalui provinsi Jambi

terlebih dahulu. Hutan Desa Muara Merang tidak berada di pusat pemerintahan Desa Muara Merang, yakni di Dusun Bakung, melainkan di Dusun Pancuran. Dusun Pancuran sendiri tidak serta merta tumbuh dan berkembang sejak dahulu seperti dusun Bakung, tetapi baru mulai berpeng-huni semenjak tahun 2000. Itu pun baru dihuni oleh be-berapa Kepala Keluarga saja. Kondisi ini menyebabkan wilayah Dusun ini tidak memiliki masyarakat asli daerah. Sampai saat ini, terdapat 3 etnis yang ada di wilayah ini, yaitu Palembang, Jawa dan Batak.

Mereka yang hadir di Dusun ini adalah mereka yang melihat keberadaan lahan yang dianggap bisa digarap demi menunjang kebutuhan ekonominya. Berduyun-duyun da-tang dari berbagai wilayah dan menetap. Mereka, dalam hal ini laki-laki, turut serta membawa keluarganya. Istri-istri mereka dengan legowo ikut pindah ke daerah yang mereka belum ketahui kondisinya karena patuh dengan suami masing-masing.

Page 85: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

78

Desa Hutan Muara Merang

Perempuan di sekitar Hutan Desa Muara Merang se-bagian besar memiliki aktifitas seperti ibu rumah tangga lain pada umumnya. Memasak, mengurus anak, mengatur rumah tangga dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan reproduksi keluarga. Tidak hanya itu, perempuan di seki-tar Hutan Desa muara merang juga berusaha membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Perempuan yang sua-minya bekerja sebagai tani karet, pergi ke ladang bersama suaminya untuk menyadap karet di setiap pagi hingga siang hari. Baru setelah itu perempuan melakukan aktifitas reproduksinya sebagai ibu rumah tangga.

Perempuan di sekitar wilayah Hutan Desa Muara Merang sebagian besar tidak mengetahui mengenai ke-beradaan Hutan Desa secara persiapan, pendapatan izin hingga ke pelaksanaan dan pengelolaannya. Yang mereka ketahui hanya sebatas lokasi Hutan Desa saja. Sepanjang persiapan hingga pengelolaan Hutan Desa, perempuan tidak dilibatkan. Mereka hanya berperan sebagai pembuat kopi dan penyedia makanan dalam rapat. Menurut salah satu pengurus LPHD, perempuan jarang dilibatkan dalam pertemuan karena perempuan dianggap sebagai pihak yang manut-manut wae, yakni cenderung mengikuti apa yang dikatakan suaminya. Bila suaminya sudah berkata A, istrinya akan mengikuti kata suaminya.

Hutan Desa pun menjadi istilah baru yang mereka dengar sekilas ketika suami-suami mereka saling berdis-kusi. Ada rasa penasaran dengan apa itu Hutan Desa. Ke-sempatan untuk bertanya ketika suami mereka pulang dari mengikuti rapat tentang Hutan Desa dianggap tidak efektif, karena mereka takut memancing emosi suami mereka ka-rena banyaknya pertanyaan. Pernah mereka bertanya, suami mereka menjawab dengan “Sudahlah, kamu juga tak mengerti.” Tidak ada usaha untuk menjelaskan dari suami mereka dan perempuan juga enggan bertanya lebih lanjut sehingga ke-ingintahuan mengenai Hutan Desa terlupakan begitu saja.

Page 86: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

79

Desa Hutan Muara Merang

Ketika ditanyakan mengapa mereka para perempuan tidak mau ikut dalam kegiatan rapat-rapat dusun, mereka menjawab minder karena tidak memiliki ijazah pendidikan yang baik. Selain itu, mereka juga menggambarkan bahwa mereka mengalami cemburu social terhadap beberapa pe-rempuan lain yang ada di dusun mereka, tidak lain tetangga mereka sendiri yang memiliki ijazah SMA, yang dipilih oleh pemuka masyarakat disana untuk mengikuti rapat-rapat yang ada. “Gimana kami mau berkembang, sementara kami tidak pernah diajak ke rapat-rapat karena pendidikan kami rendah. Mereka [pemuka masyarakat] selalu memilih orang terdekat yang berpendidikan tinggi [SMA] untuk berpergian ke rapat yang ada” Ucap salah satu perempuan dusun ini.

*****

Pada sebuah kesempatan berkumpul dengan kelom-pok Perempuan yang ada di Hutan Desa Muara Merang, di-lakukanlah sebuah pemetaan wilayah Dusun III Pancuran. Mereka menggambar sketsa Dusun di kertas plano dan me-letakkan bangunan-bangunan dan infrastuktur yang ada di Dusun mereka dengan saling berdiskusi dalam kelompok. Mereka menempatkan dengan baik letak-letak jalan, ru-mah, masjid, dan infrastuktur lainnya hingga letak kebun-kebun yang mengelilingi wilayah Dusun III Pancuran.

Dengan menggunakan kertas berwarna yang mem-bedakan antara kebun karet [hijau] dan kebun sawit [kuning] Selain itu, ditambahkan kertas berwarna merah jambu sebagai penanda letak dimana mereka [perempuan] memiliki kegiatan. Dengan tidak ragu-ragu, mereka meletak-kan kertas-kertas merah jambu di wilayah kebun karet, menindih kertas hijau yang ada, dan di rawa-rawa yang ada di dusun mereka.

Page 87: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

80

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 21. Pendampingan anakAnggota kelompok Perempuan ini tidak semuanya

ikut mengelola hutan [kebun] bersama suaminya. Mereka memiliki masing-masing aktifitas yang berbeda. Data ini diperlihatkan pada table berikut :

No. Nama Usaha yang dilakukan Mengelola kebun

1. Turyati Warung Jajanan Ya2. Sari Etika Jualan Keripik Tidak3. Ida Warung Jajanan Tidak4. Sarmini Jualan pulsa / Guru Tidak5. Lestari Jualan Keripik Tidak6. Siti

RobiyatunJualan Bensin Ya

7. Sri Jualan Pakaian Ya8. Aidah Yadi Jualan Tempe Tidak

[Catatan Pendampingan Juni 2013]

Usaha-usaha yang dilakukan oleh para perempuan dalam menunjang ekonomi keluarga ini dilakukan sete-

Page 88: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

81

Desa Hutan Muara Merang

lah mereka pulang dari kebunnya. Tetapi tidak semua perempuan berkebun [mengelola lahan]. Dari 8 orang anggota kelompok, hanya 3 orang yang ikut mengelola kebun bersama suaminya. Dari 3 orang tersebut, hanya 2 orang yang memiliki lahan kelola, sedangkan 1 orang lagi menjadi buruh tani di lahan milik orang lain. Lima orang lainnya tidak mengelola kebun karena sudah melakukan aktifitasnya dari pagi hari.

Berikut jadwal sehari-hari seorang perempuan yang diwawancarai mengenai pembagian waktunya untuk mengurus rumah tangga, bekerja di lahan dan membuka warung dalam satu hari.

Waktu Kegiatan

03.30 Bangun tidur03.30 - 06.00 Masak, membersihkan rumah, sholat,

membangunkan suami dan anak, mandi. 06.00 - 06.30 Sarapan

06.30 Berangkat ke ladang sambil mengantar anak sekolah

06.30 - 10.30 Berada di ladang10.30 - 11.00 Mandi, mencuci pakaian11.00 - 21.00 Menjaga warung sambil istirahat15.00 - 19.00 Masak makan malam, membersihkan

rumah, mandi, sholat, makan malam19.00 - 21.00 Menemani anak belajar, melipat baju,

nonton tv, tutup warung21.00 Tidur

Kegiatan rutin ini dilakukan setiap harinya oleh Ibu Turyati. Beliau memiliki kelonggaran waktu dengan tidak berladang apabila sedang hujan dan menimbang hasil karet.

Page 89: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

82

Desa Hutan Muara Merang

Dengan aktifitas yang padat seperti di atas, apabila beliau sakit, maka suaminya yang menggantikan aktifitas seperti memasak, membereskan rumah dan mencuci pakaian.

*****

Perempuan-perempuan yang memiliki akses terhadap lahan melalui pengelolaan kebun karet memiliki persamaan dan perbedaan pembagian tugas dengan laki-laki [sua-minya]. Dari semua proses yang dilalui untuk pengelolaan kebun karet, hampir semuanya melibatkan perempuan. Berikut table yang memperlihatkan kegiatan pengelolaan kebun karet.

No. Kegiatan AktorLaki-laki Perempuan

1. Mencari bibit karet alam √2. Membersihkan lahan yang

akan ditanami√ √

3. Menanam di kebun- Membuat patok kebun

√√

4. Memotong karet [setelah + 5 - 7 tahun tumbuh]

√ √

5. Mengumpulkan karet √ √6. Menimbang ke tauke

[pembeli karet]√ √

Di antara beberapa kegiatan pengelolaan kebun karet, hanya ada dua kegiatan yang tidak melibatkan perempuan, yaitu mencari bibit karet alam di hutan dan membuat patok kebun. Perempuan tidak diajak dalam 2 kegiatan ini karena laki-laki menganggap 2 kegiatan ini paling sulit di antara yang lain, sehingga hanya dilakukan laki-laki. Selagi menunggu pohon karet tumbuh dalam waktu 5-7 tahun,

Page 90: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

83

Desa Hutan Muara Merang

perempuan dan laki-laki mencari nafkah dengan cara lain dengan menjadi buruh tani. Setelah itu, barulah mereka beralih untuk mengelola kebun sendiri.

*****

Berikut merupakan sepenggal kisah dan pemaha-man mengenai Hutan Desa yang diceritakan oleh beberapa perempuan di wilayah Dusun Pancuran. Diharapkan agar mereka ini dapat menceritakan apa saja yang mereka pa-hami mengenai Hutan Desa dengan kacamata perempuan-nya. Mereka berbagi pengalaman hidup melalui bercerita kepada penulis dan metode ini disebut sebagai tutur perempuan. Metode ini berisi proses menggali, mendengar, merekam, dan memaparkan kisah-kisah para perempuan yang berkaitan dengan narasi besar peristiwa tertentu. Kisah-kisah yang dituturkan sangat dipengaruhi oleh pengalaman personal dan latar belakang social masing-masing penutur. Metode ini juga memungkinkan para perempuan dan kelompok marginal lainnya yang menjadi subjek kajian untuk memiliki ruang tersendiri dalam kajian (Siscawati, 2014).

Adalah Ibu Turyati, seorang perempuan keturunan Jawa kelahiran tahun 1973. Anak ke empat dari 8 orang bersaudara ini menghabiskan masa kecilnya di Lampung Selatan. Ia mengaku terlahir dari keluarga miskin yang memiliki penghasilan dari mengelola sawah. Ibu Turyati ke-cil memiliki kesehatan yang buruk, mengharuskan beliau masuk sekolah dasar pada usia sembilan tahun. Ia lulus SD di usia ± 17 tahun. Lebih lama dari biasanya karena lazim-nya hanya 6 tahun untuk menempuh waktu pendidikan SD. Perpanjangan waktu ini dipengaruhi karena ibu Turyati kecil sering sakit-sakitan sehingga tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik yang akhirnya berdampak tinggal kelas.

Page 91: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

84

Desa Hutan Muara Merang

Setelah lulus SD, beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan ke pendidikan SMP karena tidak memiliki biaya. Ia bekerja sebagai buruh di perusahaan genteng di dekat tempat tinggalnya kala itu. Selama 3 tahun ia be-kerja, dan menemukan jodoh di sana. Pada tahun 1992, be-liau akhirnya menikah di usia 20 tahun. Tak lama menikah dengan suaminya tersebut, ibu Turyati akhirnya berhenti bekerja sebagai buruh genteng. Dalam pernikahannya ini, beliau memiliki 2 orang anak, laki-laki dan perempuan. Aktifitas sehari-hari yang ibu Turyati lakukan adalah ikut mengelola kebun sayur milik suaminya. Selain itu, beliau juga menjadi buruh sawit di perusahaan sawit yang ada di sana selama 3 tahun. namun, lagi-lagi ia diminta suaminya untuk berhenti dan fokus pada kebun sayur milik mereka. Selama pernikahan tersebut, ibu Turyati beberapa kali gonta ganti pekerjaan karena permintaan suaminya. Beliau sempat juga menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta selama 3 bulan. Tetapi, lagi-lagi suaminya meminta ibu Turyati untuk pulang lagi.

Kehidupan pernikahan ibu Turyati dengan suaminya tersebut tidak berjalan dengan baik. Ibu Turyati mengaku sering mendapat tindak kekerasan dari suaminya. Tidak tahan dengan tingkah suaminya, beliau memutuskan untuk bercerai di tahun 2002. Setelah bercerai, ibu Turyati men-cari nafkah berturut-turut dengan menjadi buruh sawit lagi selama ± 7 bulan, lalu menjadi Pembantu Rumah Tangga lagi selama 2 bulan dan bekerja di rumah makan selama 1 bulan.

Di rumah makan inilah ibu Turyati bertemu dengan calon suaminya. Tidak butuh waktu yang lama bagi ibu Turyati dengan pak Waluyo untuk melangkah ke pelami-nan. Walaupun dengan kondisi yang minim, akhirnya mereka menikah di Lampung pada tahun 2003. Setelah menikah, keduanya sudah berfikir untuk hidup mandiri

Page 92: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

85

Desa Hutan Muara Merang

tanpa bantuan dari keluarga lagi. Mereka akhirnya meran-tau ke daerah Bayung Lencir, kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan untuk mencari penghidupan lagi. Mereka memilih Bayung Lencir karena di daerah tersebut terdapat sanak saudaranya yang tinggal. Dalam rantauannya terse-but, ibu Turyati masih ingat jelas bagaimana ia membujuk suaminya untuk membeli lahan di daerah Bayung Lencir agar nantinya dapat ditanami karet. Namun suaminya tetap kekeuh untuk tidak membeli lahan, karena tidak memiliki kemampuan dan pengalaman dalam mengelola lahan.

Hingga pada suatu hari, ibu Turyati yang sedang mendengarkan radio mendapati pengumuman bahwa akan dibangun dermaga terbesar yang terletak di desa Buring, tepatnya di lokasi perusahaan tanaman industry. Mulailah ia berfikir kembali dengan membujuk suaminya untuk mencari penghidupan di lahan baru, tepatnya di dusun Pancuran. Ditambah lagi, ibu Turyati mengatakan bahwa ia mendapatkan sinar. Sinar yang dimaksud adalah semacam mimpi yang menandakan beliau dan suaminya akan men-dapat penghidupan yang lebih baik di sana. Akhirnya Ia me-milih Pancuran karena dusun ini menjadi lalu lintas utama menuju perusahaan tersebut sekaligus penghubung antara dermaga terbesar dengan kota Jambi.

Akhirnya di tahun 2005 ibu Turyati dan suaminya memutuskan pindah ke dusun Pancuran. Di tahun tersebut, ibu Turyati dan suami serta beberapa keluarganya telah membeli lahan secara kolektif. Ibu Turyati dan suami men-dapatkan lahan yang luasnya sekitar 3 Ha di kawasan Hu-tan Produksi dari seseorang yang sudah pindah ke Bayung Lencir. Menurutnya, beliau dan suami hanya mengganti upah tebas lahan sebesar Rp 500.000,- / Ha tanpa men-dapatkan surat kepemilikan. Tiada hitam di atas putihnya. Setelah mendapatkan lahan, suami ibu Turyati dan keluarga lainnya mulai membersihkan lahan secara bersama-sama

Page 93: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

86

Desa Hutan Muara Merang

untuk ditanami karet. Ibu Turyati tidak ikut dalam proses pembersihan lahan ini.

Selanjutnya pada tahun 2006, ibu Turyati membeli lahan lagi dari kakak iparnya sebanyak ± 4 Ha. Di lahan tersebut, barulah ibu Turyati turut ikut serta dalam pe-ngelolaannya. Ibu Turyati ikut mempersiapkan lahan dengan menebas, membersihkan belukar, sedangkan untuk me-numbang pohon, ibu Turyati dan suami menyerahkan pada orang yang terbiasa menggesek kayu. Sempat terjadi perde-batan dengan suaminya mengenai jenis tanaman apa yang akan ditanam di areal yang baru ini. Suaminya ingin menanam sawit, sedangkan ibu Turyati ingin menanam karet. Ibu Turyati mempertahankan pendapatnya dengan alasan bahwa menanam sawit haruslah memiliki modal yang be-sar dan cukup sulit dalam pengelolaannya. Ditambah lagi dengan pengalaman ibu Turyati yang pernah menjadi buruh sawit selama ± 4 tahun, maka argumennya semakin kuat. Akhirnya suami ibu Turyati memilih untuk mengikuti per-mintaan istrinya.

Kurang lebih 7 tahun sejak tahun 2006 ibu Turyati menunggu tanaman karetnya tumbuh, selama itu pula ibu Turyati dan suami menjadi buruh upah di lahan karet orang lain untuk menunjang kehidupan. Setelah itu, baru-lah ibu Turyati dan suami motong di lahan karet sendiri. Selama rentang waktu 7 tahun tersebut status kepemilikan lahan mereka tidak jelas. Ditambah lagi adanya isu tentang perluasan lahan perusahaan tanaman industry setempat semakin membuat ibu Turyati dan suami semakin bingung terhadap lahan yang mereka kelola selama ini. Ada rasa cemas bahwa mereka akan kehilangan akses terhadap lahannya. Saat itu, ibu Turyati hanya bisa pasrah dan ber-doa agar lahannya tidak digusur perusahaan.

Page 94: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

87

Desa Hutan Muara Merang

Tanpa sepengetahuan ibu Turyati, ternyata laki-laki yang ada di dusun Pancuran tengah mempersiapkan Hutan Desa sebagai upaya penolakan terhadap perluasan wilayah perusahaan tersebut. Akhirnya pada tahun 2010, lahirlah Hutan Desa Muara Merang sebagai jawaban pemerintah yang dipandang masyarakat sebagai upaya konkret untuk memundurkan batas-batas perluasan perusahaan tanaman industri.

Ibu Turyati mendengar pertama kali istilah Hutan Desa ketika suami dan beberapa orang laki-laki tetangganya berdiskusi tentang Hutan Desa di warung miliknya. Saat itu ia hanya mendengarkan tanpa berani ikut berkomentar karena tidak paham dengan apa yang sedang dibicarakan suami dan tetangganya. Yang ia ingat jelas bahwa lahan yang ia kelola sejak 2010 masuk ke wilayah Hutan Desa Muara Merang. Artinya status lahan yang ia garap selama beberapa tahun belakangan telah jelas dan memiliki izin.

Ibu Turyati tidak begitu memahami skema Hutan Desa. Beliau hanya tahu bahwa lahan yang selama ini ia garap telah memiliki izin sehingga tidak ada lagi kecemasan bahwa akan ada penggusuran lahan oleh pihak perusahaan setempat. Beliau hanya berharap Hutan Desa ini dapat me-makmurkan kehidupan, keluarga dan tetangganya.

*****

Letak Hutan Desa Muara Merang yang jauh dari pusat kota menyebabkan kondisi wilayah ini serba kekurangan. Minimnya listrik, yang saat ini masih menggunakan mesin diesel, membuat Pancuran hanya menikmati penerangan dari pukul 18.00 hingga 23.00 saja. Listrik diesel ini tidak dinikmati oleh semua penduduk. Bagi mereka yang memi-liki pengahsilan lebih, masih mungkin membayar uang Rp 130.000,- / bulannya sebagai iuran listrik.

Page 95: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

88

Desa Hutan Muara Merang

Terlebih lagi, belum kuatnya daerah ini menang-kap sinyal telekomunikasi membuat wilayah ini sangat kekurangan informasi. Sarana untuk memasak di masing-masing rumah pun sebagian besar masih menggunakan kayu bakar, Kekurangan yang terakhir merupakan bagian dari aktifitas reproduksi yang pelaku utamanya adalah perempuan. Bisa dibayangkan, apabila perempuan berku-tat setiap hari dengan asap kayu bakar, tidak menutup ke-mungkinan bahwa penyakit terkait pernafasan bisa dengan mudah terjangkit.

Sumber-sumber air bersih untuk wilayah ini pun masih tergolong minim. Hanya ada beberapa sumur yang airnya bersih dan layak konsumsi. Bagi perempuan yang aksesnya jauh dari air bersih harus pintar-pintar meman-faatkan waktu agar bisa memaksimalkan aktifitas sehari-harinya. Mereka yang rumahnya jauh dari air bersih harus mengangkut air menggunakan beberapa derigen atau galon dengan menggunakan gerobak atau motor.

Walaupun keadaan minim sangat dirasakan oleh penduduk di kawasan Hutan Desa Muara Merang, hal ini tidak mematikan kreatifitas mereka. Beberapa perempuan meyakini bahwa mereka mampu meningkatkan ekonomi keluarga dengan usaha berdagang. Kegiatan peningkatan ekonomi keluarga juga diupayakan melalui ekonomi alter-native dengan membuat jajanan, warung atau panganan yang bisa dijual. Ada juga perempuan yang menjadi guru di sekolah setempat.

Seperti yang dituturkan ibu Turyati di atas, bahwa ia memiliki aktifitas ganda. Selain mengurus rumah tangga, juga mengelola kebun, ibu Turyati juga menjaga warung miliknya. Walaupun memiliki 2 macam sumber penghasilan, ibu Turyati mengaku memiliki dinamika dalam mengelola ekonomi keluarga. Beliau menuturkan bahwa masih saja mengalami kekurangan di sana-sini. Pada table di bawah

Page 96: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

89

Desa Hutan Muara Merang

ini disajikan perbandingan ekonomi antara pemasukan dan pengeluaran keluarga Ibu Turyati.

Pemasukan PengeluaranUsaha Jumlah Uang

[Rp]Kebutuhan Jumlah Uang

[Rp]Hasil Karet 2.500.000 Anak sekolah 1.100.000Warung 300.000 Beras 250.000

Gula 45.000Kopi 10.000Teh 5.000Sayur & Lauk 500.000Bumbu Dapur 50.000Minyak goreng 36.000Listrik 130.000Bensin 110.000Perlengkapan kecantikan [bedak, lotion, pembalut,dll]

150.000

Rokok Suami 560.000TOTAL 2.800.000 2. 946.000

Dari table di atas terlihat pengeluaran yang lebih besar dibandingkan pemasukan. Untuk menutupi kebutu-han yang besar itu, ibu Turyati berupaya dengan memin-jam uang kepada tetangga agar kebutuhan bulanan dapat terpenuhi. Upaya seperti ini disadari betul oleh ibu Turyati sebagai upaya yang buka tutup lubang. Hutang yang satu selesai, langsung ada hutang lain lagi yang menunggu. Ketika ditanyakan apakah ada rentenir di dusun Pan-curan, ibu Turyati mengatakan tidak pernah mendengar kehadirannya.

Page 97: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

90

Desa Hutan Muara Merang

Keadaan seperti di atas tidak hanya dialami oleh ibu Turyati seorang. Hampir semua perempuan di dusun mengalami hal ini. Upaya “menabung” dilakukan perem-puan-perempuan di dusun ini dengan melakukan aktifi-tas kelompok seperti arisan dan pengajian secara aktif di dusun. Kegiatan ini rutin dilakukan per jumat di rumah mereka secara bergiliran. Namun kegiatan arisan tersebut tidak diikuti oleh seluruh perempuan. Alasannya karena tidak punya uang bahkan minder bila bertemu dengan perempuan lainnya. Minder ini dirasakan oleh beberapa perempuan yang merasa malu karena tidak memiliki baju dan perhiasan yang bagus bila ada acara berkumpul dengan ibu-ibu lain.

Dalam rangka meningkatkan kemauan dan kapa-sitas perempuan di sekitar Hutan Desa Muara Merang, maka Wahana Bumi Hijau [WBH] membentuk kelompok perempuan pada Juli 2013. Kelompok ini bernama Pan-curan Rahayu yang terdiri dari 10 orang dan telah memi-liki badan kepengurusan seperti ketua, bendahara dan sekretaris. Tujuan pembentukan kelompok ini adalah untuk mengorganisir dan memberdayakan perempuan-perempuan yang mempunyai alternatif dalam upaya pe-ningkatan ekonomi keluarga.

Kelompok ini tengah melakukan kegiatan simpan pinjam sebagai penunjang modal usaha masing-masing. Usaha yang dilakukan adalah berdagang, baik itu berda-gang penganan, pakaian jadi ataupun bensin eceran.

Dalam berkegiatan, para perempuan ini memiliki jadwal rutin pertemuan internal kelompok pada tanggal 25 di setiap bulannya. Pertemuan internal ini masih mem-bahas simpan pinjam yang dilakukan berupa penyetoran uang yang dipinjam kepada bendahara kelompok. Perte-muan yang sering dilakukan ini secara perlahan membuat para perempuan lebih percaya diri untuk berbicara kepada orang baru dalam menyampaikan pendapatnya.

Page 98: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

91

Desa Hutan Muara Merang

Kelompok ini juga berperan dalam pengelolaan Hu-tan. Dalam melaksanakan kegiatannya, selain melakukan usaha simpan pinjam, kelompok perempuan juga dituntut untuk menanam tanaman hutan seperti medang, jabon, ga-haru dan jelutung. Mereka sepenuhnya menyadari tentang pentingnya menanam pohon untuk masa depan. Dalam pelaksanaan penanaman ini, suami mereka juga turut serta membantu dengan mencarikan bibit-bibit yang tumbuh liar di sekitar hutan yang selanjutnya dikelola oleh perem-puan-perempuan ini hingga akhirnya nanti ditanam di lahan Hutan Desa.

*****

Implikasi Hutan Desa bagi Kondisi dan Akses Perempuan atas lahannya

Kehadiran Hutan Desa sejak 2010 tentu mem-bawa perubahan positif bagi psikis perempuan. Dari yang awalnya ketakutan karena tanahnya akan direbut peru-sahaan sekitar hingga menjadi berani dan tenang dalam berkebun setelah mengetahui adanya izin yang dikeluar-kan menteri kehutanan terkait Hutan Desa.

Seperti yang disebutkan pada tutur perempuan di atas, bahwa ibu Turyati telah lama mengelola kebun di areal yang belakangan ini ternyata berada di kawasan Hu-tan Desa. Beliau mengelola kebun yang berbeda dengan suaminya. Karena perbedaan lokasi kebun yang dikelola inilah, ibu Turyati pergi sendiri ke lahannya.

Akses perempuan ke lahan mereka yang ada di Hu-tan Desa kini sudah nyata. Hanya saja, ada beberapa suami yang protektif terhadap istri-istri mereka dengan mem-batasi langkah istri agar tidak mengelola kebun. Suami mereka bukan tidak memiliki alasan. Perempuan yang tidak dibiarkan ikut ke kebun diperintahkan oleh suami

Page 99: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

92

Desa Hutan Muara Merang

mereka hanya untuk mengurus rumah dan anak saja. Seba-gian besar istri yang tidak diajak suaminya ke kebun adalah mereka yang memiliki anak balita. Para suami ini mengaku takut apabila membawa istri mereka ke kebun, karena apa-bila istri-istri mereka ikut ke kebun, maka secara otomatis anak pun akan ikut. Suami-suami mengkhawatirkan kese-hatan anak-anaknya. “Padahal kan aku mau mbantu suami, lagipula aku di rumah nggak ada kerjaan setelah memasak”, Ucap seorang perempuan kepada penulis.

Hutan Desa Muara Merang masih dimanfaatkan masyarakat untuk menanaminya dengan karet. Dengan pengelolaan yang tidak terlalu merepotkan dan tidak membutuhkan modal yang besar, mereka memilih karet sebagai penghasilan mereka. Padahal, apabila kondisi la-han dimanfaatkan dengan maksimal, tentu tidak hanya karet yang dapat tumbuh di kawasan hutan ini. Dengan menyesuaikan dengan kondisi tanah yang ada, sebenarnya daerah ini potensial untuk ditanami sayur-sayuran berupa kacang-kacangan dan cabai.

Mereka mengaku pernah berfikir untuk menanam sayur-sayuran sebagai upaya penghematan pengeluaran. Tetapi, karena menganggap biaya menanam sayur mayur lebih mahal dibandingkan membelinya dan juga waktu yang mereka miliki sudah tercurah sepenuhnya untuk mengelola karet di kebun, maka mereka lebih memilih un-tuk mendapatkan kebutuhan pangan secara instan dengan membelinya dari pedagang sayur yang datang dari Jambi setiap sore harinya dan di pasar mingguan setiap Rabu.

Dari sekian orang yang malas bertanam sayuran, ada salah seorang perempuan yang mau bercocok tanam sayur mayur selain bertanam karet. Ia bernama Ibu Susiwati (48 ta-hun) yang pernah mengelola lahan di Hutan Desa dengan ber-cocok tanam sayur mayur. Beliau menanam cabai, terong dan kacang panjang di sebagian kecil wilayah Hutan Desa.

Page 100: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

93

Desa Hutan Muara Merang

Beliau yang rumahnya berada di RT 07 Pancuran ini me-ngelola lahan tersebut bersama suaminya, Bapak Fauzan. Apabila telah tiba hari panen, keduanya disibukkan dengan kegiatan panen hingga pemasaran hasil panen walaupun hanya di wilayah Dusun Pancuran dan sekitarnya saja.

Ibu Susiwati memasarkan sendiri hasil tanamannya dengan bersepeda berkeliling Dusun, persis seperti Ibu penjual jamu keliling. Itu merupakan aktifitas sehari-hari Ibu Susiwati hingga Oktober 2013. Tepatnya 17 Oktober 2013 lalu, beliau mendapat musibah yang tak disangkanya. Kala itu sekitar pukul 18.00 WIB, beliau seperti biasa hen-dak menyalakan lampu teplok mengingat hari yang mulai gelap. Namun, malang tak dapat ditolak, ketika mancis dinyalakan, bukan sumbu lampu yang terbakar, malahan api langsung menyambar tangan hingga ke wajahnya. Be-liau yang mendapat luka serius tersebut langsung dilari-kan ke rumah sakit daerah Jambi yang berjarak 2 jam dari rumahnya.

Dibutuhkan waktu yang lama untuk kesembuhan total Ibu Susiwati ini. Menurut beberapa warga setempat, sejak beliau mengalami musibah tersebut, beliau seperti minder dengan orang lain. Menurut pengakuannya, beliau minder karena badannya sudah rusak akibat kebakaran itu dan kini beliau juga sudah tidak bisa bekerja seaktif dulu karena sudah terjadi penurunan kesehatan yang drastis.

*****

Page 101: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

94

Desa Hutan Muara Merang

Perubahan Peran dan Posisi Perempuan Pasca Penetapan Hutan Desa

Perempuan dalam pertanian memiliki peran dan status yang berbeda-beda tergantung kepada konteks so-sial dan kultural masyarakatnya (wilayah, umur, etnisitas, dan kelas sosial). Namun hasil kajian menunjukkan bahwa kesenjangan gender dalam pertanian mengakibatkan perempuan petani senantiasa tidak mendapatkan akses yang memadai kepada aset produktif (lahan pertanian), bahan-bahan pertanian (bibit, pupuk, dan sebagainya), dan layanan untuk kegiatan pertanian (kredit, pelatihan maupun teknologi). Dalam pertanian, perempuan petani bisa mengerjakan lahan miliknya sendiri ataupun menjadi tenaga kerja tanpa bayar untuk lahan pertanian milik suami ataupun anggota keluarganya yang lain, dan juga bisa menjadi tenaga kerja yang dibayar untuk pekerjaan yang dilakukan di lahan pertanian milik orang lain (buruh tani) (FAO 2011 dalam Julia, 2012).

Mengutip ucapan Ibu Turyati, bahwa beliau tidak memiliki lahan. Ia hanya meminjam milik Tuhan, dan ia hanya merawat apa yang dititipkan padanya. Sejak 2006, ibu Turyati sudah mengelola kebun karetnya yang ia biar-kan tumbuh besar hingga berusia 7 tahun dan siap potong. Hingga akhirnya pada tahun 2010, Ibu Turyati mengetahui bahwa kebun karetnya sudah legal. Perempuan-perem-puan lainnya juga demikian. Bahwa mereka yang tadinya berkebun dengan status lahan yang belum jelas, sekarang sudah dapat melaksanakan pekerjaannya tanpa ada rasa waswas.

Tidak ada perubahan peran dan posisi yang berarti bagi perempuan yang sudah datang ke Dusun Pancuran sebelum lahirnya Hutan Desa, seperti Ibu Turyati. Baik itu secara jam kerja, maupun ekonomi. Mengingat selama ini yang mereka kelola adalah kebun yang pada akhirnya

Page 102: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

95

Desa Hutan Muara Merang

masuk ke dalam kawasan Hutan Desa. Mereka hanya mera-sakan perbedaan status lahan sehingga mereka hanya me-lanjutkan pengelolaan kebun yang tadinya berstatus illegal menjadi legal.

Perubahan peran dan posisi juga tidak dirasakan oleh perempuan yang datang setelah lahirnya Hutan Desa. Mereka yang datang adalah sanak keluarga dari masyarakat yang hadir terlebih dahulu di dusun Pancuran. Selain itu, mereka yang hadir di sini sebagian besar merupakan ke-luarga yang masih memiliki anak balita. Beberapa perem-puan yang sempat teramati ini tidak ikut serta ketika suami mereka bekerja di kebun milik kerabatnya. Mereka hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci baju dan mengurus anak. Selebihnya menunggu suami mereka pulang di siang atau sore harinya.

*****

Kami Ingin Bersuara!!!

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlin-dungan Anak pada suatu kesempatan telah menyebutkan bahwa untuk membuat peran perempuan terlihat, kaum perempuan perlu dilibatkan dalam pelatihan dan kegia-tan pengelolaan hutan. Tujuannya adalah untuk mengejar pengembangan pribadi dan dapat memberikan dampak dalam penambahan pendapatan rumah tangga. Sedangkan dalam segi hukum, kaum perempuan perlu mendapatakan pengetahuan dan pendampingan hukum.48

48 Disampaikan dalam dialog UNORCID pada 17 Juni 2014 di Jakarta dengan tema “Mencapai Kesetaraan Gender dalam Pelaksanaan REDD+.”

Page 103: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

96

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 22. Foto foto saat pendampingan perempuan

Page 104: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

97

Desa Hutan Muara Merang

Kondisi Dusun Pancuran yang majemuk oleh be-berapa etnis membuat wilayah ini tidak memiliki budaya asli daerah sehingga tidak terdapatnya adat istiadat khu-sus yang mengatur pola hidup dan kehidupannya. Karena semua masyarakat adalah pendatang, mereka pun turut membawa serta kebiasaan mereka di tempat yang lama. Adat yang ada adalah yang terbentuk secara otomatis antar sesama etnis saja. Begitu pun dengan pola kehidupan pe-rempuannya. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa tidak ada adat khusus yang mengatur, maka suara-suara perem-puan juga jarang terdengar, baik dalam diskusi skala kecil ataupun dalam pengambilan keputusan.

Dalam beberapa pertemuan yang diselenggarakan dengan kelompok Perempuan Pancuran Rahayu, mereka mengakui kepada penulis bahwa mereka memiliki keter-batasan berbicara di muka umum, dalam hal ini rapat du-sun. Seperti yang disebutkan di awal bab ini, karena pen-didikan mereka yang sangat rendah, terkadang ide yang muncul dari pemikiran mereka juga tidak dianggap oleh mereka yang dituakan di dusun. Beberapa perempuan dalam kelompok ini memiliki kecemburuan social ter-hadap perempuan lain yang pendidikannya sampai SMA. Menurut mereka, Pemuka Dusun memberi ruang yang baik bagi mereka yang berpendidikan hingga SMA, sedangkan untuk mereka yang berpendidikan rendah, jangankan ber-suara, diajak ke rapat pun tak pernah.

Sikap-sikap perempuan, terutama kelompok perem-puan yang ada, cukup kritis untuk menanggapi hal-hal baru. Mereka tidak sungkan bertanya apabila dirasakan kurang memahami suatu permasalahan. Minat mereka dalam be-lajar yang masih terbilang tinggi tidak terlihat oleh kaca-mata laki-laki di sana. Barulah setelah dibentuk kelompok, mereka mulai melunturkan “diam” untuk memahami per-masalahan secara utuh. Namun sayangnya, suara mereka

Page 105: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

98

Desa Hutan Muara Merang

masih terdengar dalam rapat kelompok perempuan saja.Partisipasi perempuan dusun Pancuran sudah terli-

hat secara praktik dalam pengelolaan kebun mereka yang berada di Hutan Desa. Sudah sewajarnya mereka diikutkan secara aktif dan diberi pemahaman mengenai kawasan yang mereka duduki selama ini secara teoritis dalam pem-bahasan mengenai Hutan Desa. Tidak sekedar mendapat-kan info dari suami atau bahkan mencuri-curi dengar dari diskusi singkat yang ada di sekitar mereka. Selain itu, kapa-sitas perempuan juga perlu ditingkatkan lagi dengan mem-berikan perempuan pelatihan-pelatihan dengan tujuan agar perempuan juga memiliki pengetahuan terbaru men-genai kondisi terkini baik itu terkait pengelolaan sumber daya alam maupun keilmuan khusus perempuan.

*****

Page 106: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

99

BAB VIITantangan dan Batas Perjuangan Rakyat Atas Tanah Dengan Skema Hutan Desa

Kebijakan Kementerian Kehutanan tentang pengem-bangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dengan skema Hutan Kemasyarakatan

(HKm), Hutan Desa (HD) dan HutanTanaman Rakyat (HTR) diyakini betul mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan, sekaligus menjawab tun-tutan menyelesaikan permasalahan bangsa ; pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan dan pertumbu-han ekonomi. Setidaknya demikian kebijakan PHBM oleh Kementerian Kehutanan berkeyakinan.

Keyakinan tersebut berbanding terbalik dengan tar-get dan realisai pengembangan PHBM oleh pemeirntah.hal tersbut ditandai dengan aksesibilitas masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya hutan melalui skema HKm, HD dan HTR kurang mendapatkan prioritas dari pemerintah dan cenderung diskriminatif.

Target yang dibuat dalam RPJMN menunjukkan bahwa luas pencadangan areal untuk akses masyarakat tersebut hanya sebesar 2,13 persen dari total kawasan hutan dan 3,59 persen dari luasan Hutan Produksi (HP).

Page 107: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

100

Desa Hutan Muara Merang

Kebijakan ini dapat dimaknai bahwa pemerintah dengan sadar telah melakukan diskriminasi terhadap masyarakat serta memperlakukan hutan sebagai ruang terbuka untuk kepentingan perusahaan dan industri.

Perbandingan Luas Kawasan Hutan dan Hutan Produksi, terhadap HD,HKM, dan HTR

Luas Kawasan Hutan 129 Jt HaLuas Hutan Produksi (HP)% thd Kawasan Hutan

76,6 Jt Ha59 %

Target HKM, HD, HTR (RPJMN)% thd Kawasan Hutan% thd Luas HP

2,7 Jt Ha2,13 %3,59 %

Realiasi HKM, HTR, HD (2012)% thd Kawasan Hutan% thd Luas HP

971 rb Ha 0,75 %1,27 %

Sumber : Statistik Kehutanan 2012 dan RPJMN, dioleh Seknas Fitra

Bahkan realisasi penyediaan areal HKm, HD dan HTR selalu berada dibawah target RPJMN. Dalam RPJMN ditetapkan target untuk pencadangan areal HTR, penca-dangan areal HKm dan HD seluas 1,1 juta Ha tetapi hanya direalisasikan oleh pemerintah seluas 916,9 ribu Ha pada tahun 2011. Sementara itu, realisasi pada tahun 2012 terli-hat lebih buruk karena dari target yang ditetapkan sebesar 1,6 juta Ha kemudian hanya direalisasikakan seluas 971 ribu Ha. Realisasi HKm, HD dan HTR dalam periode 2007 - 2011 hanya sebesar 0,75 persen dari total kawasan hutan atau 1,27 persen dari luas kawasan Hutan Produksi.49

Lebih jauh target nasional pembangunan HKM-HD hingga 2014, seluas 2,5 juta hektar, baru terealisasi areal penetapan 12 persen dan perizinan hanya 3,36 persen, sampai tahun 2013.50

49 Statistik Kehutanan 2012 dan RPJMN, dioleh Seknas Fitra50 Data Temu Nasional Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa (HKM-

Page 108: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

101

Desa Hutan Muara Merang

Rendahnya realisasi tersebut terhubung dengan per-masalahan Penetapan Areal Kerja (PAK) HKM dan HD oleh Kementerian Kehutanan terlalu lama karena memakan waktu 1-3 tahun padahal berdasarkan Peraturan Dirjen no 10/2010 dan no 11/2010 disebutkan pelayanan peneta-pan maksimal selama 60 hari.

Dalam kurun waktu menunggu PAK itu pun, pengusul PHBM tidak diberi informasi yang jelas sampai di mana usulannya tersebut dan atau terkendala oleh apa. Ketidak-tahuan tersebut pun juga terjadi pada pemerintah terkait di tingkat kabupaten dan provinsi.

Praktek pendampingan PHBM oleh WBH, ketika menelusuri sampai di mana proses perizinan PAK HD Ke-payang dan Muara Medak. Berdasarkan pengalaman, WBH lebih banyak mendapat informasi dari jaringan NGO, dan informasi informal lainnya. Sedangkan sistem informasi perizinan PHBM yang diharapkan dari berbagai tingkat pemerintahan tidak berjalan sama sekali.

Demikian halnya pada 15 usulan Hutan Desa di Ka-bupaten Muara Enim. Dari ketidak jelasan status usulan HD tersebut diketahui tersangkut di Badan Planologi.Hal tersebut diketahui WBH dengan berkoordinasi dengan Forest Watch Indonesia (FWI).Sedangkan di BPDAS Musi, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan dan Kabu-paten Muara Enim tidak melakukan tracking terhadap per-masalahan usulan tersebut.

Setelah diketahui bahwa 15 usulan tersebut ter-sangkut di Planologi, WBH dan masyarakat masih belum mengetahui kendala apa pada usulan tersebut sehingga menyebabkan tersangkut di Badan Planologi ?. Bahkan in-formasi tersebut di dapat setelah WBH melakukan study pada desa-desa yang mengusulkan HD tersebut. Bahwa terdapat tumpang tindih usulan HD di Kabupaten Muara

HD),di Jakarta, 24-25 April 2013.

Page 109: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

102

Desa Hutan Muara Merang

Enim. Selain menghambat terbitnya PAK, usulan Hutan Desa yang di fasilitasi oleh BPDAS dan Dinas Kehutanan Muara Enim ini berpotensi menimbulkan konflik hori-zontal antar desa.Dari permasalahan tersebut dibutuhkan sistematika informasi dan keterbukaan pada setiap level pemerintah, terutama di jajaran kementrian kehutanan.Karena permasalahan yang terjadi terhadap usulan dapat disikapi dengan cepat dan tidak menimbulkan konflik turunan.51

Bagaimanapun, ketidakjelasan proes perizinan PHBM menjadi ranah koreksi untuk Kementrian Kehu-tanan, karena merupakan tindakan mal administrasi yang sulit dimaafkan.

Selain capaian realisasi PHBM yang jauh dari target, baik di Pemerintah Pusat maupun dai daerah. Ketidakse-riusan pemerintah merealisasikan PHBM, yang digaung-kan oleh pemeirntah sendiri menjadi salah satu solusi per-masalahan bangsa terkait dengan persoalah kemiskinan dan tata kelola hutan, seta komitmen akan pengurangan emisi, dapat dilihat dari dukungan anggaran.

Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan mulai menganggarkan untuk perencanaan dan pengembangan HKM dan Hutan Desa di Kabupaten OKU Selatan, Muara Enim, Lahat, Empat Lawang dan OKI, dengan total anggaran Rp.280 Juta dan target capaian hanya di 2 lokasi.52 Dukungan pendanaan di sektor kehutanan dan lingkungan hidup di Kabupaten Musi Banyuasin pun terbilang sangat kecil, yakni kurang dari 3 persen dari total belanda daerah.

51 Adiosyafri & Sigid Widagdo (2013), Laporan Studi Sosial Ekono-mi pada Desa Yang Mengajukan Usulan Hutan Desa di Kabupaten Muara Enim Propinsi Sumatera Selatan, WBH.

52 Aidil Fitri & Masrun Zawawi etc (2014) Kertas Kebijakan Opsi Pendanaan Lokal untuk Akselerasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Sumatera Selatan, WBH

Page 110: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

103

Desa Hutan Muara Merang

Adapun salah satu kegiatan yang terkait dengan Hu-tan Desa baru muncul pada APBD Musi Banyuasin tahun 2012, yakni Kegiatan Sosialisasi dan Pelatihan Tentang Sis-tem Pengelolaan Hutan Desa.

Begitupun terkait dengan pengendalian atau penga-wasan kawasan hutan ; pengaduan LPHD Muara Merang terkait dengan Illegal Logging di HD Muara Merang dari hasil investigasi Satgas HD Muara Merang dan WBH, baru mendapat tanggapan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin pada September 2012, dengan alasan ke-giatan yang baru dianggarkan.

Terkait dengan keterbatasan anggaran, atau lebih tepatnya alokasi anggaran yang minim, WBH membuat kertas kebijakan tentang dukungan anggaran alternatif dari APBD guna proses PHBM di Sumatera Selatan. Selain itu, WBH mempersiapkan draff kerangkan hukum dan ke-bijakan, kelembagan dan program kerja utama instrumen pendanaan daerah untuk mempercepat realisasi PHBM.

Hal tersebut menjadi penting karena dukungan pen-danaan dengan logika APBD juga harus diserta dengan perencanaan pembangunan yang memprioritaskan skema PHBM di daerah. Karena logika proses penganggaran dae-rah, sering telat menyikapi kebutuhan progam PHBM di daerah, bahkan tanpa perencanaan yang baikm permasala-han yang terjadi terhadap PHBM tidak terjawab dengan perencanaan dan program kerja dari pemerintah daerah, demikian halnya dukungan angaran daerah yang kurang mendukung.

Misalkan pada HD Muara Merang yang sedang diha-dapkan dengan permasalahan klaim lahan dari masyarakat luar dan penebangan liar.Permasalahan ini sudah di infor-masikan WBH kepada pihak berwenang di tingkat kabu-paten pada tahun 2011, namun baru mendapat tanggapan pada akhir tahun 2012.

Page 111: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

104

Desa Hutan Muara Merang

Demikian halnya upaya mencari solusi dari per-masalahan tersebut yang diupayakan WBH dengan menya-tukan peran dan tanggung jawab pemerintah, swasta, dan masyarakat, dalam perencanaan penyelamatan kawasan hutan terintegrasi.

Tidak hanya di Muara Merang, melainkan terjadi hampir di seluruh kawasan hutan Indoensia dengan ting-kat kerusakan yang parah sapai pada titik yang tidak da-pat toleransi. Sehingga wajar saja, jika serangkaian ke-bijakan yang diambil pemerintah selama ini dianggap belum memberikan penyelesaian yang cepat, terukur dan masih menunjukkan keberpihakan terhadap kelompok tertentu.53Kondisi ini harus dianggap menjadi peristiwa luar biasa, demikian dengan penangannya dengan langkah luar biasa.

Hutan Desa Muara Merang dan sekitarnya mengala-mi kondisi luar biasa tersebut.Kondisi hutannya sejauh ini terus mengalami kerusakan.Salah satu faktor yang mengancam luas dan kondisi kehutanan tersebut adalah penyusutan tutupan hutan (deforestasi) akibat pembalakan

53 Kondisi kehutanan Indonesia sejauh ini terus mengalami kerusa-kan. Salah satu faktor yang mengancam luas dan kondisi kehutanan tersebut adalah penyusutan tutupan hutan (deforestasi) akibat pembalakan liar (illegal logging), perambahan dan berbagai jenis perusakan hutan lainnya. Direktoral Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan mencatat bahwa deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar per tahun.3 Pada periode tahun 2009-2010, prediksi laju deforestasi hanya mengalami penurunan 0,04 juta hektar menjadi pada kisaran 1,13 juta hektar per tahun.4. Dari data laju tersebut, penebangan liar memberikan kontribusi yang signifikan bagi terjadinya deforestasi secara nasional. Dalam periode waktu 2004-2009, diperkirakan penebangan kayu secara ilegal mencapai 23,323 juta meter kubik per tahun dan kerugian negara mencapai 27 trilyun per tahun. Data tahun 2003 menunjuk-kan bahwa kira-kira 36,4 juta meter kubik dirambah secara tidak sah, dalam Hariyadi (2010) Peran Subnasional dalam Pengurangan Emisi GRK melalui Skema REDD, Jakarta.

Page 112: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

105

Desa Hutan Muara Merang

liar (illegal logging) ancaman kebakaran hutan, berbagai jenis perusakan hutan lainnya. Dan sepertinya tidak tepat, kondisi luar biasa tersebut dibebankan kepada Lemba-ga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Muara Merang, tanpa dukungan maksimal dari pemerintah yang memang me-miliki kewajiban memfasilitasi, membina, dan mengawasi, dari tahap pengusulan sampai pengelolaan ?.

Penerapan skema Hutan Desa, tanpa upaya maksi-mal memfasilitasi penyelesaiaan permasalahan yang da-hulunya memang menjadi tanggung kawan pemerintah itu sendiri dan membebankannya kepada Lembaga Desa yang diberi hak kelola, sama saja seperti tindakan :”Membuat konflik tapi tidak mau menyelesaikan. Malah cuci tangan dan berharap amplop di tangan”.

Lebih jauh lagi, Hutan Desa dalam konsep PHBM atau community based forest management sebagai konsep tanding dari state basedforest management dalam pekembangannya harus diperiksa, baik pelaksanaan maupun kebijakan yang melandasinya. Tanpa bermaksud mengurangi maksud dan tujuan penyelenggaraan Hutan Desa guna memberi akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hu-tan secara lestari dan peningkatan kesejahteraan.

Guna pencapaian tujuan Hutan Desa tersebut, serta bentuk fasilitasi dari pemerintah, pihak Kemetrian Kehu-tanan (Kemenhut) memfasilitasi pertemuan LPHD Muara Merang dan Perusahan HTI guna membicarakan peluang kerjasama. Pertemuan yang di selenggaran di Kantor BP DAS Musi Kota Palembang pada akhir tahun 2013 itu, di-hadiri juga oleh Dinas Kehutanan Sumatera Selatan dan Musi Banyuasin, serta WBH sebagai lembaga pendampin HD Muara Merang, dan beberapa orang perwakilan masyarakat Pancuran.

Page 113: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

106

Desa Hutan Muara Merang

Perusahaan HTI dalam paparannya menjelaskan peluang kerjasama akan penanaman akasia di lahan HD Muara Merang, secara teknis dan potensi keuntungan dari upah pekerjaan dan bagi hasil setiap panen.

Perwakilan masyarakat Pancuran dengan cepat membandingkan keuntungan yang ditawarkan perusa-haan HTI itu dengan hasil kebun karet. Hasil perhitungan masyarakat ; jauh lebih menguntungkan jika ditanami karet.

Perwakilan LPHD Muara Merang denga lantang me-nangggapi ; kami belum memliki izin IUPHHK dalam Hutan Desa, yang menjadi prasyarat kerjasama yang ditawarkan Perusahaan HTI itu dapat terlaksana.

Bagaimana pula, pihak Kemenhut tidak mengetahui bahwa syarat kerjasama yang diinginkan Perusahaan HTI adalah adanya IUPHHK Hutan Desa ?. Atau pihak Kemen-hut tidak tahu kalau LPHD Muara Merang belum memiliki IUPHHK Hutan Desa ?. Padahal LPHD Muara Merang per-nah mengajukan IUPHHK Hutan Desa ke Kemenhut yang sampai sekarang belum mendapat tanggapan baik ?.

Terlepas dari kehilafan itu, pembelajaranlah yang dida-pat. Tawaran Perusahaan HTI melakukan penanaman Akasia di areal HD Muara Merang, tampak seperti upaya pengerahan tenaga kerja masyarakat dengan kompensai upah murah, dan bagi hasil yang sedikit untuk LPHD Muara Merang.

Sedangkan PHBM dengan skema hutan desa yang memakai kata ‘berbasis masyarakat’, bukan ‘bersama masyarakat’ itu, mengandung makna bahwa masyarakat, baik dalam bentuk unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas), maupun individu, menjadi pengelola atau unit manejemen pengelola yang dicirikan dengan adanya pengaruh sistem sosial setempat yang cukup kuat di dalam struktur pengambilan keputusan manajerialnya.

Page 114: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

107

Desa Hutan Muara Merang

Selain itu, model pengelolaan hutan berbasis masyarakat juga ditandai dengan adanya aspek pengem-bangan institusi sosial lokal (crafting local institution) dalam soal pengelolaan hutan pada masyarakat yang bersangkutan.Dengan demikian, hak pengelolaan hutan yang dimiliki masyarakat tidak hanya untuk mengelola kayu tetapi juga untuk mengelola Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan mengelola hutan untuk tujuan-tujuan non ekonomis.54

Banyak hal tantangan dan permasalahan yang dapat berbuah pelajaran tidak tertuliskan karena keterbatasan penulis. Namun perlu menjadi perhatian batasan-batasan (limit) atau bahkan terkesan seperti jebakan-jebakan dalam proses penyelenggaran PHBM. Jebakan itu antara lain, dapat berupa pengurangan kewajiban negara, sam-pai dengan pengalihan kewenangan negara atau priva-tisasi tanggung jawab negara, bahkan privatisasi tranfer hak kelola menjadi bersifat lokal dan sederhana, sehingga sangat menguntungkan bagi masuknya modal. Jebakan-jebakan ini juga menjadi salah satu tantangan atau ‘arena politik’ lainnya, yang akan di hadapi juga oleh perjuangan hutan adat pasca Putusan MK 35.55

Hutan Desa tentu tidak sama dengan Hutan Ke-masyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat, terlebih dengan Hutan Adat. Dalam konteks kebijakan agraria kehutanan, hal ini memiliki implikasi penting untuk membedakan antara izin pemanfaatan atas suatu bidang hutan negara yang merupakan pemberian dari pemerintah (dalam hal

54 Dianto Bachriadi dan Anton Lucas (2002) Hutan Milik Siapa ?, Upaya-upaya Mewujudkan Forestry Land Reform di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Berebut Tanah, Berbagai Kajian Perspektif Kampus dan Kampung, Insist Press.

55 Li (2011) dari Laksmi A. Savitri (2014) Rentang Batas dari Re-kognisi Hutan Adat dalam Kepengaturan Neoliberal, Wacana Jurnal Transformasi Sosial 33, Insist Press.

Page 115: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

108

Desa Hutan Muara Merang

ini Menteri Kehutanan), misalnya dalam bentuk Hutan Ke-masyarakatan, Hutan Desa, atau Hutan Tanaman Rakyat, dengan hutan adat yang dimaksud oleh Putusan MK 35 sebagai pengakuan negara atas hak yang telah dipunyai masyarakat hukum adat.56

Skema hutan desa dan kaitannya dengan hutan adat, terkait terbitnya pengaturan PHBM sebelum Putusan MK 35, membuat beberada masyarakat adat mengusulkan ka-wasan adatnya sebagai hutan desa.

Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat adat Semende di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.Masyarakat adat Semende yang kawasan adatnya masuk dalam kawasan Hutan Lindung mengusulkan skema hutan desa di 15 desa secara bertahap. Walau selama ini mereka menolak untuk mengakui keberadaan hutan negara di wilayah adat, namun dengan mengajukan hutan desa yang dipandang sebagai strategi akan pengakuan wilayah desa mereka, malah desa mengakui keberadaan wilayah adat di dalam kawasan hutan negara. Karena pengajuan areal hu-tan desa harus di hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak atau izin pemanfaatan. Surat pengakuan akan batas hutan negara itu juga yang bekemungkinan menjadi landasan pemasangan tapal batas di desa-desa tersebut.57

56 Lebih lanjut tentang hutan adat yang dimaksud Putusan MK 35 lihat Noer Fauzi Racman, (2014) Masyarakat Hukum Adat Adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya, Wa-cana 33, Insist Press.

57 Adiosyafri & Sigid Widagdo (2013), Laporan Studi Sosial Ekonomi pada Desa Yang Mengajukan Usulan Hutan Desa di Kabupaten Muara Enim Propinsi Sumatera Selatan, WBH.

Page 116: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

109

Desa Hutan Muara Merang

Dan kalaupun penetapan Areal Kerja Hutan Desa ditetapkan dikemudian hari, masyarakat adat, secara sa-dar ataupun tidak, telah memberi pengakuan klaim negara atas hak yang telah dipunyai masyarakat hukum adat se-lama ini. pada kondisi seperti ini, PHBM bukan menjadi solusi, melainkan sebuah jebakan tersendiri, yang memi-liki potensi konflik di kemudian hari, sehingga menjadi penting untuk menelaah pengaturan pengalihan skema PHBM menjadi Hutan Adat, baik yang dalam pengusulan maupun yang sudah penetapan areal kerja.

Mengingat banyak hal yang berbuah pelajaran tidak tertuliskan, atau bahkan menjadi tanya yang belum ter-jawab, merupakan keterbatasan penulis. untuk itu menjadi penting kiranya melakukan pemetaan masalah dan tan-tangan yang berada di Lembaga Desa, masyarakat, dan juga lembaga pendamping hutan desa.

Proses fasilitasi dari perizinan sampai dengan pengelolaan tidak hanya dilakukan kepada Lembaga Desa, melainkan juga pelibatan dan mengikutsertakan masyarakat dan lembaga pendamping hutan desa. De-mikian halnya peningkatan partsisipasi masyarakat menjdi hal yang tidak dapat terlewatkan dalam upaya menguatkan sistem sosial setempat di dalam struktur pengambilan keputusan manajerialnya.

Peningkatan Partisipasi Masyarakat

Sejalan dengan UUD 1945, penyelenggaraan hu-tan desa dimaksudkan untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam meman-faatkan sumberdaya hutan secara lestari.Penyelenggaraan hutan desa juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan. Dengan me-lakukan pemanfaatan kawasan hutan desa, massyarakat

Page 117: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

110

Desa Hutan Muara Merang

dapat memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya.

Selain dari definisi dan tujuan hutan desa tersebut terkait dengan manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi, tolak ukur pencapaian sebesar-besar-nya kemakmuran rakyat lainnya adalah tingkat partisipasi masyarakat.

Seperti rumusan pencapaian tujuan sebesar-besar-nya kemakmuran rakyat, dipilah menjadi empat tolok ukur, yakni (1) kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat, (2) tingkat pemerataan manfaat sumberdaya alam bagi rakyat, (3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumberdaya alam, serta (4) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sum-berdaya alam.58

Berkaca dari HD Muara Merang, keempat tolak ukur pencapaian tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut sepatutnya terevaluasi secara keseluruhan. Dengan waktu penerapan kebijakan PHBM yang terbilang masih ‘balita’, tentu saja empat tolak ukur keberhasilan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat masih berproses panjang.

Keberadaan Hutan Desa Muara Merang dalam usianya yang masih 4 tahun ini, jelas sudah berproses menjawab keempat tolak ukur tersebut.Terutama, pencapaian ke-manfaatan sumberdaya alam bagi rakyat, yang dapat di-ukur dari adanya akses lahan kelola untuk rakyat.Dan pencapaian tingkat pemerataan manfaat sumberdaya alam bagi rakyat, walaupun masih jauh ketimpangan pemberian penguasaan pengelolaan sumber daya alam, antara perusa-haan besar dan masyarakat.

58 Noer Fauzi Rachman, Masyarakat Hukum Adat Adalah Pe-nyandang Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya, Wacana Jurnal Transformasi Sosial 33/XVI/2014.

Page 118: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

111

Desa Hutan Muara Merang

Terkait dengan tolak ukur pencapaian tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat lainnya, yakni tingkat partisi-pasi rakyat dalam menentukan manfaat sumberdaya alam, menjadi hal yang penting dari penerapaan kebijakan PHBM.

WBH mneyadari akan kekurangan peningaktan par-tisipasi masyarakat pada proses awal pengusulan HD, dan sehingga dalam pekembangannya belum terbangun sistem sosial setempat yang kuat di dalam struktur pengambilan keputusan manajerialnya. Tentang pencapaian keberhasi-lan peningkatan partisipasi masyarakat, tentu tidak dapat dipisahkan peran kaum perempuan.

Beberapa upaya peningkatan partisipasi masyarakat Pancuran yang telah diupayakan WBH bersama LPHD Muara Merang adalah penguatan kelembagaan LPHD Muara Merang itu sendiri dengan beberapa pelatihan dan pertemuan koordinasi, baik yang melibatkan masyarakat secara langsung dan juga pihak pemerintah kabupaten terkait.

Peningkatan partisipasi masyarakat pun dilakukan dalam proses lainnya, seperti penyusunan Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD) Muara Merang disusun bersama LPHD Muara Merang dengan melibatkan masyarakat. Dimana pe-nyusunan RKHD Muara Merang ini didahului dengan peli-batan masyarakat dalam berbagai kegiatan seperti studi sosial ekonomi, pemetaan, diskusi kelompok, serta kegia-tan lainnya.

Page 119: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

112

Desa Hutan Muara Merang

Gambar 23. melakukan pertemuan rutin untuk membahas persoalan-persoalan yang hendak di hadapi.

Upaya-upaya tersebut mengarah pada pembangu-nan dan penguatan hubungan sosial khas yang dijadikan pegangan bersama khususnya dalam mengelola sum-ber daya alam untuk keberlanjutan hidup sebagai suatu kesatuan, tidak bersifat ekslusif namun terbuka bagi masyarakat setempat. Dengan demikian akan terbangun pengetahuan khas bersama yang sifat kontekstual untuk pencapaiaan tujuan Hutan Desa.

Tanpa itu semua, Skema Hutan Desa dapat saja terjerembab menjauhi makna dan tujuan hutan desa itu sendiri.Demikian halnya skema PHBM lainnay dan hutan adat, menjadi mutlak untuk membangun pengetahuan bersama.Karena Skema PHBM dan juga hutan adat men-jadi bagian dari tapak-tapak perjuangan rakyat atas tanah.Telebih di Sumater Selatan terdapat 699 desa yang berada di dalam dan atau sekitar kawasan hutan.

Page 120: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

113

Desa Hutan Muara Merang

Kini, berjuta harap dari HD Muara Merang dan lain-nya, tidak hanya menjadi milik masyarakat Desa Muara Merang, melainkan juga menjadi harapan bangsa dalam menjawab berbagai permasalah tentang peningkatan ke-sejahteraan rakyatnya serta penerapan pengelolaan sum-ber daya alam yang lestari, dan harapan ini juga menjadi miliki masyarakat global dalam upaya menyikapi peru-bahan iklim. Demikian pula tantangan yang menghadang harus dihadapi bersama.

Page 121: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

114

Desa Hutan Muara Merang

Page 122: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

115

DAFTAR PUSTAKA

Fitri, Aidil. 2009. Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang, Masa Lalu-Masa Kini-Masa Depan. Merang REDD Pilot Project South Sumatera. Palembang

LPHD Muara Merang & WBH. 2010. Rencana Kelola Hutan Desa (RKHD) Muara Merang

LPHD Muara Merang & WBH. 2014. Draft Bagan Kerja/Rencana Tahunan Hutan Desa tahun 2014

……… 2009 & 2010. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Dusun III Pancuran. WBH

Muhamad, Dedi Irwanto Santun. 2010. Venesia Dari Timur : Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial Sampai Pasca Kolonial. Yogyakarta

Pratama, Meidia. 2014. This is Our Land?, Analisa Dinamika Sistem Tenurial di Sumatera Selatan. Bandungmaga-zine.com

Farida dan Yunani. Undang-undang Simbur Cahaya sebegai Sumber Hukum di Kesultanan Palembang. Univer-sitas Sriwijaya. Palembang

Supriadi, Desi Andhuri. 2002. Antara Desa dan Marga : Pe-milihan Struktur pada Perilaku Elit Lokal di Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia.

Adiosyafri, Deddy Permana, Masrun Zawawi & Prasetyo Widodo. 2009. Laporan Survey Sosial Ekonomi Desa Muara Merang dan Desa Kepayang. Musi Banyuasin. WBH. Palembang

Page 123: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

116

Desa Hutan Muara Merang

Siscawai, Mia. 2014. Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan. Wacana Jurnal Transformasi Sosial 33. Insist Press. Jogyakarta.

Rachman, Noer Fauzi. 2014. Masyarakat Hukum Adat ada-lah Bukan Penyandang Hak, Bukan Subjek Hukum, dan Bukan Pemilik Wilayah Adatnya. Wacana Jurnal Transformasi Sosial 33. Insist Press. Jogyakarya.

Hidayat, Beni & Yuliusman Zawawi. 2014. Laporan Asess-ment Sebaran dan Kondisi Sosekbud Komunitas Adat Tertinggal (KAT) di Kabupaten Musi Banyuasin. WBH. Palembang

Statistik Daerah Kecamatan Lencir tahun 2013. Badan Pusat Statistik Musi Banyuasin

Statistik Daerah Sumatera Selatan Dalam Angka tahun 2014. Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan.

Adiosyafri & Sigid Widagdo. 2013. Laporan Studi Sosial Ekonomi pada Desa yang Mengajukan Usulan Hutan Desa di Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan. WBH. Palembang

Fitri, Aidil & masrun Zawawi etc. 2014. Kertas Kebijakan Opsi Pendanaan Lokal untuk Akselerasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Sumatera Selatan. WBH. Palembang

Permana, Dessy & Sigid Widagdo. 2014. Kajian Pengala-man Fasilitasi Proses Usulan Areal Kerja, Perizian dan Penyusunan Rencana Kerja Skema Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. WBH. Palembang

Widodo, Prasetyo & Henni Martini. 2014. Laporan Pen-dampingan Hutan Desa Merang-Kepayang. WBH. Palembang

Lampung Post. 2014. http;//lamppost.co/berita/akhir-2014-kemenhut-target-hkm-dan-hd-seluas-25-juta-hektar

Page 124: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

117

Desa Hutan Muara Merang

Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. 2002. Hutan Milik Siapa? Upaya- Upaya Mewujudkan Forestry Land Re-form di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Berebut Tanah, Berbagai Kajian Perspektif Kampus dan Kam-pung. Insist Press. Jogyakarta

A.Laksmi, Savitri. 2014. Rentang Batas dari Rekognisi Hu-tan Adat dalam Kepengaturan Neoliberal. Wacana Jurnal Transformasi Sosial 33. Insist Press. Jogya-karta

Hariyadi. 2010. Peran Subnasional dalam Penguarangan Emisi GRK melalui Skema REDD. Jakarta

Widagdo Sigid & Yuliusman Zawawi. 2012. Laporan Ana-lisis Kemiskinan Partisipatif Masyarakat Dusun III Pancuran, Hutan Desa muara Merang. WBH. Palem-bang

……. . 2006. Rencana Pengelolaan kawasan Hutan Gambut Merang-Kepayang. Kabupaten Musi Banyuasin, Pro-pinsi Sumatera Selatan.

Page 125: Dami buku Hutan Desa Muara Merang sains wbh-bahasa

118

Desa Hutan Muara Merang