cerpen "mustawa tsaqalain"

5
Mustawa Tsaqalain, “Sampul Buku” Marleta Di awal ini, tahun membentuk lingkaran besar salju prahara negeri, kian membeku. Bersama ledeng pemerintahan yang mengemasi air birokrasi, terangkut juga batu-batu es masalah yang terus mengeras, jika pun lekas mencair pasti membanjiri, kerunyaman negeri. Marleta mengunci neraca pikiran, ia tak hendak lagi menimbang kepelikan yang dibebankan dari segala penjuru nusantara, biarkan negeri ini pontang-panting. Berkelimpungan di atas dipannya yang kering sambil mengamati merk atap yang dipasang oleh angsuran orang tuanya, ya, atap dengan merk yang saling berbeda. Ia menaksir dulu ayahnya adalah seorang veteran yang sekarang hanya gigit jari tanpa perhatian pemerintah. Sedangkan ibunya hanya pekerja serabutan, kadang mengepel, menyapu, kadang mencuci baju anak-anaknya termasuk baju Marleta. Iya, ibunya hanya ibu rumah tangga. Yang paling ia suka dari ibunya adalah karena tidak gemar mengeluh. Dari situ Marleta melihat ketabahan seorang Ibu. “Ita, Mana baju kotormu, Nduk?” “jangan dicuci dulu, Bu.. nanti Ita yang cuci” Baginya Ibu adalah segala-galanya. Ibunya semakin tua, sementara ayahnya yang sekarang hanya bisa terbaring di atas ranjang. Marleta-lah yang akhirnya menjadi tulang punggung keluarga. Marleta bekerja di konter restorasi hanphone, dengan tetangganya, Sarqo. Sepulang bekerja ia belajar. Pendidikannya memang terputus. Tapi ia lebih beruntung, dari saudara- saudaranya ia sendiri yang tamatan SMA, selainnya SD dan SMP. Dan lebih beruntungnya lagi ia tak patah semangat, terus menerus belajar dan rajin membaca buku, ia tertarik dengan filsafat.

Upload: maghfur-amien

Post on 28-Jul-2015

85 views

Category:

Spiritual


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: CERPEN "mustawa tsaqalain"

Mustawa Tsaqalain, “Sampul Buku” Marleta

Di awal ini, tahun membentuk lingkaran besar salju prahara negeri, kian membeku. Bersama ledeng pemerintahan yang mengemasi air birokrasi, terangkut juga batu-batu es masalah yang terus mengeras, jika pun lekas mencair pasti membanjiri, kerunyaman negeri. Marleta mengunci neraca pikiran, ia tak hendak lagi menimbang kepelikan yang dibebankan dari segala penjuru nusantara, biarkan negeri ini pontang-panting.

Berkelimpungan di atas dipannya yang kering sambil mengamati merk atap yang dipasang oleh angsuran orang tuanya, ya, atap dengan merk yang saling berbeda. Ia menaksir dulu ayahnya adalah seorang veteran yang sekarang hanya gigit jari tanpa perhatian pemerintah. Sedangkan ibunya hanya pekerja serabutan, kadang mengepel, menyapu, kadang mencuci baju anak-anaknya termasuk baju Marleta. Iya, ibunya hanya ibu rumah tangga. Yang paling ia suka dari ibunya adalah karena tidak gemar mengeluh. Dari situ Marleta melihat ketabahan seorang Ibu.

“Ita, Mana baju kotormu, Nduk?” “jangan dicuci dulu, Bu.. nanti Ita yang cuci” Baginya Ibu adalah segala-galanya. Ibunya semakin tua, sementara

ayahnya yang sekarang hanya bisa terbaring di atas ranjang. Marleta-lah yang akhirnya menjadi tulang punggung keluarga.

Marleta bekerja di konter restorasi hanphone, dengan tetangganya, Sarqo. Sepulang bekerja ia belajar. Pendidikannya memang terputus. Tapi ia lebih beruntung, dari saudara-saudaranya ia sendiri yang tamatan SMA, selainnya SD dan SMP. Dan lebih beruntungnya lagi ia tak patah semangat, terus menerus belajar dan rajin membaca buku, ia tertarik dengan filsafat.

Di tengah konsentrasinya pada atap-atap, pandangannya tertarik menuju luar jendela. Terdengar raungan motor Darwis dengan beberapa orang, teman-teman SMP Marleta dulu.

“tinggalkan dulu atapmu, Marle”“tega sangat kau panggil aku Marle!”“hehe, ayolah, Bob!”

“Bob Marley*? Orang reggae itu?”“daripada Mbah Surip** kan?”“awas kau Darwis! Aku lebih suka Mbah Surip, aku tahu filosofi lagu-

lagunya”

Page 2: CERPEN "mustawa tsaqalain"

“oke, mau tak gendong? Hehe… ayolah, hari ini musik spesial untukku, Marleta..”

Sebenaranya Marleta tidak suka diganggu ketika sedang asyik dengan pengamatannya. Akan tetapi, ya… akhirnya ia mengalah untuk kawan lamanya. Ya begitulah dunia rangkaian hubungan sosial, seperti lagu Iwan Fals “Teman Kawanku punya teman”, paling tidak, kita tidak mengecewakan teman kita.

Ia memperhatikan Darwis lalu pepohonan pinggir jalan, kambing-kambing giringan Pak Minto lalu terbersit kata-kata dalam Zabur, sambil tetap terus mengamati keluar jendela;

…Apakah manusia hingga Engkau mengingatnyaDan Bani Adam sehingga Engkau Memperhatikannya?Engkau membuatnya sedikti lebih rendah daripada makhluk-makhluk

ilahi,Dan memahkotainya dengan kemuliaan dan kehormatanEngkau menjadikannya penguasa atas karya “tangan”-Mu.Segala sesuatu Kautaklukkan di bawah kakinya:Kambing domba dan lembu semuanya,Juga binatang-binatang di padang,Burung-burung di udara, ikan-ikan di laut,Dan segala sesuatu yang melintasi relung lautan.Ya Allah Ya Rabbana,Betapa mulia nama-Mu di seluruh bumi***

Ia kembali dalam kesadaran, berpakaian untuk menemui Darwis dan kawan-kawannya. Entah mengapa hari itu Marleta berdandan, dan mengapa terlihat sangat cantik. Apa mungkin karena Darwis di sana. Ia dengan kemeja, yang biasa ia hanya mengenakan kaos oblong. Dan dilengkapi jeans klasik dengan perpaduan warna yang sangat pas. Ia bahkan meraba penampilannya, dan mulai bertanya ada apa dengan dirinya, ia sendiri tak sadar. Jawaban sederhananya ia nampak cantik karena dia wanita.

“Ita, tolong belikan Ibu telur”, Ibunya memberi instruksi dari balik pintu kamar. Kebetulan ada Darwis nanti sekalian mampir ke toko kelontongnya, harga di toko kelontong Darwis cukup miring, pikir Marleta.

Page 3: CERPEN "mustawa tsaqalain"

Setelah hari Darwis berlalu, tanda tanya besar mampat mengisi kepalanya. Dalam kerutan dahi akibat ulah alis yang beradu, Marleta membanting tubuh, kembali, di atas dipan tuanya. Sementara second opinion hasil terkaan pikiran hanya terparkir dalam titik yang tak memberi jeda untuk kegelisahannya. Karena ternyata di hari yang berlalu itu, Darwis menyatakan ingin segera melamar Marleta. Dan tampang Darwis ketika itu sama sekali tak terlihat tanpa keseriusan. Hingga Merleta juga melupakan telur pesanan Ibunya.

Ia ingin lekas melewatkan bagian ini. Tak mau pusing dulu memikirkan niat Darwis. Tekadnya hanya ingin terus belajar, melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, urusan nikah nanti dulu. Tertujulah kembali matanya pada larik-larik buku, ruas demi ruas. Tapi pikirannya lagi-lagi tersergap menimang jawaban untuk lamaran Darwis. Mereka memang belum berstatus pacaran, dan sama-sama memiliki prinsip “pacaran, ya setelah nikah”. Dan usikan pikiran yang tak henti-henti berputar di kepalanya itu, ketika Marleta tengah berusaha asyik dengan buku.

*****Hingga suatu pagi terdengar riuh rendah suasana keributan di rumah

Darwis. Marleta pun menulusuri apa yang telah terjadi. Begitu menggemaskan Ibunya mengatakan: “Darwis terjerat tali, mati”. Marleta terhuyung, segera pandangannya gelap oleh kelopak mata, jatuh pingsan.

Terasa beberapa menit hingga akhirnya tersadar. Marleta berusaha bangkit meski keadaan tubuhnya masih sangat lemas, tapi ia tak peduli. Ia langsung menghubungi teman-teman SMP-nya untuk memberi kabar perihal Darwis. Tapi hatinya tetap ketar-ketir. Bagaimana dia bisa tenang, sementara beberapa hari sebelum peristiwa itu Marleta mengatakan kepada Darwis bahwa ia belum siap dilamar apalagi menikah. Dan bagaimana mungkin itu adalah Darwis yang terjerat tali, kecuali itu adalah Darwis yang gantung diri. Beruntungnya, Darwis tak meninggalkan jejak tentang Marleta. Bahkan Marleta sama sekali tak dicurigai pernah menjalin hubungan istimewa apapun dengan Darwis.

Melepaskan berbulan-bulan genggaman kesedihan. Marleta melenggang menuju hidup barunya di dunia akademis, ia mendapatkan beasiswa. Setelah pertimbangan dengan saudara-saudara dan ibunya, ia pun memutuskan menjemput beasiswa itu. Teringat kata terakhir yang dikutip Darwis untuknya, “Aku hidup bukan untuk kali ini saja, seperti kata Chairil Anwar yang ingin hidup seribu tahun lagi”, Marleta kembali sedih. Entah dimana Darwis setelah itu. Tapi dari kata-kata Darwis itulah Marleta

Page 4: CERPEN "mustawa tsaqalain"

tahu apa yang sebenarnya harus dicapai. Meskipun Merleta tak pernah percaya bahwa Darwis selemah itu.

Yogyakarta, 30 Robi’ul Awal 1434

_____________________

* Musisi Raggae asal Jamaica, pioner gerakan Rastamania, lagu-lagunya melegenda hingga di Indonesia.

** Almarhum Mbah Surip, terkenal dengan lagu “tak gendong”, beberapa seniman dan budayawan mengapresiasi lagu-lagunya yang dikatakan mempunyai perjalaan filosofis kehidupannya di negeri ini.

***Disadur dari “Manusia hina sebagai makhluk mulia”, Zabur; Pustaka Marwa,

Yogyakarta; Cet. I, 2006. Hlm. 31