cerpen dan perkembangannya di indonesia

18
Cerpen dan Perkembangannya di Indonesia 1. Pendahuluan Sejak zaman nenek moyang dulu sampai sekarang, manusia suka mendengar dan membaca dongeng. Dalam tradisi lisan, dulu, dongeng hidup dan diwariskan dari mulut ke mulut sampai berabad-abad. Dunia rekaan yang disajikan dongeng pada umumnya adalah 'mimpi-mimpi indah' tentang kebahagiaan, yang mampu melambungkan perasaan dan imaji penikmatnya dari realitas keseharian yang pahit. Ke dalam 'mimpi-mimpi indah' itu manusia bertamasya secara imajinatif untuk sesaat melupakan realitas hidup sehari-hari yang getir. Bagi masyarakat terpelajar yang memiliki budaya baca tinggi akan fiksi, cerpen menggantikan kebutuhan mereka akan dongeng. Cerita pendek (cerpen) termasuk bagian karya sastra. Cerpen merupakan cerminan jiwa pengarangnya; cerminan intelegensi, sikap, tanggung jawab pribadi, dan tanggung jawab kepada masyarakat. Cerpen menurut Korrie Layun Rampan, sesungguhnya memang merupakaan metamorfosis dongeng. Maka wajar, kalau yang laris di pasar buku adalah fiksi-fiksi romantis yang cenderung 'mendongeng' (menjual mimpi) semacam novel pop, novel remaja, serta kumpulan cerpen remaja. Dalam perkembangannya, dari segi bentuk dan panjangnya cerpen merupakan karya sastra yang paling cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan media bukan sastra, misalnya koran. Entah berapa ratus cerpen terpublikasikan di media pada setiap bulannya, sebab hampir semua majalah hiburan dan surat

Upload: tridelaoktapiani

Post on 22-Dec-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hasil Search

TRANSCRIPT

Page 1: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

Cerpen dan Perkembangannya di Indonesia

1.        PendahuluanSejak zaman nenek moyang dulu sampai sekarang, manusia suka mendengar dan

membaca dongeng. Dalam tradisi lisan, dulu, dongeng hidup dan diwariskan dari mulut ke

mulut sampai berabad-abad. Dunia rekaan yang disajikan dongeng pada umumnya adalah

'mimpi-mimpi indah' tentang kebahagiaan, yang mampu melambungkan perasaan dan imaji

penikmatnya dari realitas keseharian yang pahit. Ke dalam 'mimpi-mimpi indah' itu manusia

bertamasya secara imajinatif untuk sesaat melupakan realitas hidup sehari-hari yang getir.

Bagi masyarakat terpelajar yang memiliki budaya baca tinggi akan fiksi, cerpen

menggantikan kebutuhan mereka akan dongeng.

Cerita pendek (cerpen) termasuk bagian karya sastra. Cerpen merupakan cerminan

jiwa pengarangnya; cerminan intelegensi, sikap, tanggung jawab pribadi, dan tanggung jawab

kepada masyarakat.

Cerpen menurut Korrie Layun Rampan, sesungguhnya memang merupakaan

metamorfosis dongeng. Maka wajar, kalau yang laris di pasar buku adalah fiksi-fiksi romantis

yang cenderung 'mendongeng' (menjual mimpi) semacam novel pop, novel remaja, serta

kumpulan cerpen remaja.

Dalam perkembangannya, dari segi bentuk dan panjangnya cerpen merupakan karya

sastra yang paling cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan media bukan sastra,

misalnya koran. Entah berapa ratus cerpen terpublikasikan di media pada setiap bulannya,

sebab hampir semua majalah hiburan dan surat kabar umum yang memiliki edisi minggu

menyediakan rubrik khusus cerpen.

Cerpen sebagai suatu karya sastra yang relatif pendek, dengan hanya beberapa

halaman, dengan kalimat-kalimat realis yang sederhana, terbukti sanggup menggambarkan

suatu kondisi dengan tampilan yang utuh.

Karena itu, tradisi penulisan cerpen, apapun gaya dan temanya, akan terus hidup

untuk memenuhi kebutuhan pembacanya akan dongeng, refleksi diri, sekaligus rekreasi

emosional dan intelektual mereka.

Cerpen hidup sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaannya, berarti

cerpen pertama kali tumbuh di lingkungan masyarakat. Sejak kapan cerpen hidup di

masyarakat Indonesia? Untuk itulah makalah “Cerpen dan Perkembangannya di Indonesia”

ini disusun, agar memahami lebih dalam apa itu cerpen, sejarah dan perkembangannya di

Indonesia, serta agar lebih mengenal para cerpenis Indonesia.

Page 2: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

2.        Pengertian Cerpen

Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa  naratif 

fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya

fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena

singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti

tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih

panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.

Cerita pendek cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerita pendek

biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang

tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang singkat.

Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, ceritanya cenderung memuat unsur-

unsur inti tertentu dari struktur dramatis: eksposisi (pengantar setting, situasi dan tokoh

utamanya); komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang

meningkat, krisis (saat yang menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap

suatu langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik cerita yang

mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di mana konflik

dipecahkan); dan moralnya.

Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau mungkin pula tidak.

Sebagai contoh, cerita-cerita pendek modern hanya sesekali mengandung eksposisi. Yang

lebih umum adalah awal yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi. Seperti

dalam cerita-cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga mengandung klimaks,

atau titik balik. Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek biasanya mendadak dan

terbuka dan dapat mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral atau pelajaran praktis.

Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuah cerita pendek berbeda-beda

menurut pengarangnya. Cerpen mempunyai 2 unsur yaitu unsure intrinsic dan ekstrinsik.

Menetapkan apa yang memisahkan cerita pendek dari format fiksi lainnya yang lebih

panjang adalah sesuatu yang problematik. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah

bahwa ia harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (hal ini terutama sekali diajukan

dalam esai Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" pada 1846). Definisi-definisi

lainnya menyebutkan batas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata. Dalam

penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang

panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata.

Cerita pendek apabila diuraikan menurut kata yang membentuknya berdasarkan

Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : cerita artinya tuturan yang

Page 3: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

membentang bagaimana terjadinya suatu hal, sedangkan pendek berarti kisah pendek (kurang

dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada

satu tokoh dalam situasi atau suatu ketika ( 1988 : 165 ).

Menurut Susanto dalam Tarigan (1984 : 176), cerita pendek adalah cerita yang

panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat

dan lengkap pada dirinya sendiri.

Sementara itu, Sumardjo dan Saini (1997 : 37) mengatakan bahwa cerita pendek

adalah cerita atau parasi (bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar terjadi

tetapi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, serta relatif pendek).

Dari beberapa pendapat di atas penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan

cerita pendek adalah karangan nasihat yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa

dalam kehidupan pelakunya relatif singkat tetapi padat.

3.        Ciri-ciri Cerpen

Di atas penulis kemukakan bahwa masih banyak orang belum mengetahui ciri-ciri

sebuah cerita pendek. Mengenai hal tersebut, di bawah ini penulis kemukakan ciri-ciri cerita

pendek menurut pendapat Sumarjo dan Saini (1997 : 36) sebagai berikut.

Ceritanya pendek ;

1.    Bersifat rekaan (fiction) ;

2.    Bersifat naratif ; dan

3.    Memiliki kesan tunggal.

Pendapat lain mengenai ciri-ciri cerita pendek di kemukakan pula oleh Lubis dalam

Tarigan (1985 : 177) sebagai berikut.

1.    Cerita Pendek harus mengandung interprestasi pengarang tentang konsepsinya mengenai

kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

2.    Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita.

3.    Cerita pendek harus mempunyai seorang yang menjadi pelaku atau tokoh utama.

4.    Cerita pendek harus satu efek atau kesan yang menarik.

Menurut Morris dalam Tarigan (1985 : 177), ciri-ciri cerita pendek adalah sebagai

berikut.

1.    Ciri-ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan intensif (brevity, unity, and intensity).

2.    Unsur-unsur cerita pendek adalah adegan, toko, dan gerak (scena, character, and action).

3.    Bahasa cerita pendek harus tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incicive, suggestive, and

alert).

Page 4: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

4.        Macam-macam Cerpen

1.    Cerpen yang pendek (short short story), yakni cerpen yang hanya berkisar 500 kata.

2.    Cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story)

3.    Cerpen yang panjang (long short story), yakni cerpen yang katanya ribuan bahkan puluhan

ribu kata.

4.    Cerpen yang panjang, cerpen ini menurut Nurgiantoro juga dapat disebut novellet.

5.        Sejarah Cerpen

Cerita pendek sebenarnya berasal dari Mesir purba, sekitar 3200 SM. terbit cerpen

Dua Bersaudara. Bahkan kisah Piramus dan Tisbi yang dibuat Shekespeare ke dalam drama

disadur dari cerita pendek Yunani purba. Cerita pendek berkembang di Eropa dimulai sekitar

tahun 1812 dengan munculnya penulis Jacob Grimm dan Wilhelm Grimm, mereka

menerbitkan cerpen berdasarkan cerita rakyat. Sementara perkembangan cerita pendek

Amerika sekitar tahun 1912, penulis Washington Irving yang memeloporinya. Jejak Irving

diikuti oleh Edgar Allan Poe dan Nathanael Hawthorne, mereka membuat cerpen dengan

masing-masing corak. Edgar Allan Poe menulis cerpen gothic yang seram, sehingga Edgar

Allan Poe dinobatkan sebagai bapak cerita detektif. Sedangkan Nathanael Hawthorne cerpen-

cerpennya bersifat filosofis.

Barulah sekitar tahun 1936 cerpen-cerpen mulai mewarnai kesusastraan Indonesia.

6.        Perkembangan Cerpen di Indonesia

Perkembangan sastra Indonesia pertama kali ditandai oleh sastra Nusantara (daerah),

misalnya dengan munculnya mantera, pantun, dongeng, legenda, dan sebagainya.

Setelah terjadinya Sumpah Pemuda pada taanggal 28 Oktober 1928, pada waktu itu

dicetuskan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Pada periode itulah sastra

Indonesia mulai tumbuh di Indonesia, di antaranya dengan terbitnya roman-roman berbahasa

Indonesia. Tetapi kehadiran cerpen Indonesia baru terlihat sekitar tahun 1930-an. Sebetulnya

cerpen Indonesia kalah berkembang oleh cerpen daerah – misalnya pada kesusastraan Sunda

– perkembangan cerpennya sudah dimulai sekitar tahun 1928-an, sebagai contoh dengan

terbitnya kumpun cerpen (carpon) berjudul Dogdog Pangrewong karya GS sekitar tahun

1928-an.

Kebangkitan cerpen di Indonesia ditandai oleh Balai Pustaka yang menerbitkan

Teman Duduk karya M. Kasim. Selanjutnya Suman Hs dengan Kawan Bergelut-nya

Page 5: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

diterbitkan pada tahun 1938. Sastrawan Indonesia dalam membuat cerpennya pada waktu itu

masih bercorak dan berorientasi pada cerita-cerita rakyat yang lucu.

Sejak tahun 1946 cerpen mulai hidup di Indonesia. Bersama waktu dan perkembangan

kebudayaan masyarakat Indonesia nilai cerpen pun mulai berubah. Dahulu bercorak cerita

rakyat, tahun 1940-an mulai bergeser pada kehidupan rakyat sehari-hari. Contohnya karya

Hamka yang berjudul Di Dalam Lembah Kehidupan diterbitkan pada tahun 1940, warna

kehidupan rakyat sehari-hari sudah terlihat, walaupun Hamka mengerjakannya secara

sentimental.

Cerita pendek terus berkembang, penyebarannya dibantu oleh majalah, di antaranya

Majalah Panji Pustaka, Panca Raya, dan Pujangga Baru. Para pengarang dalam proses

kreatifnya semakin merekayasa, berusaha membuat cerpen-cerpen yang bermutu, salah

satunya Idrus. Menurut Sumardjo (1980 : 52) bahwa Idrus mampu memperbaki mutu cerpen.

Dibandingkan pengarang sebelumnya, karya Idrus lekat dengan kehidupan sehari-hari. Selain

kalimatnya ekonomis, tema pun dipilih sangat sederhana. Cerpen-cerpen Idrus diterbitkan

oleh Balai Pustaka berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.

Cerpen Indonesia mengalami masa subur sekitar tahun 1950-an setelah era perang

kemerdekaan. Buku-buku kumpulan cerpen menandainya, di antaranya kumpulan cerpen

Subuh karya Pramoedya Ananta Toer (BP:1951); Yang Terempas dan Terkandas karya

Rusman Sutiasumarga (BP:1951); Manusia dan Tanahnya karya Aoh KArtahadimaja

(BP:1952); Terang Bulan Terang di Kali karya S.M. Ardan (Gunung Agung: 1955) dan lain-

lain.

Pada tahun 1960-an muncul para penulis baru, cerpen-cerpen pun banyak yang terbit.

Era tahun 1960-an perkembangan cerpen ditandai oleh kumpulan cerpen Rasa Sayange karya

Nugroho Notosusanto diterbitkan Pembangunan tahun 1961; Trisno Sumarjo kumpulan

cerpennya Daun Kering diterbitkan Balai Pustaka tahun 1962; Djamil Suherman kumpulan

cerpennya Umi Kalsum diterbitkan Nusantara tahun 1963; dan lain-lain.

Memasuki era orde baru, bidang sastra pun terjadi pembaharuan. Para pengarang

cerpen seolah bertualang, larut dalam pencarian wajah cerpen, walaupun pengaruh Barat

nampak dalam cerpen-cerpennya. Bukan saja dalam bidang puisi muncul karya-karya

eksperimental, bidang cerpen pun nampaknya begitu. Cerpenis muda saat itu, seperti Putu

Wijaya, Danarto, Umar Kayam, Wildan Yatim, Budi Darma, dan lain-lainnya seolah

mencoba menyodorkan alternatif gaya kepenulisan baru. Unsur ekstrinsik lebih diutamakan

dalam cerpen-cerpennya, di antaranya ilmu filsafat.

Page 6: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

Dewasa ini cerpen dijadikan barometer perkembangan sastra, tentunya di samping

puisi, novel, dan drama. Bahkan cerpen lebih banyak disukai para penulis, sebab di samping

penyaluran batin, cerpen menjanjikan upah yang tinggi dibanding puisi. Bukan saja majalah

Horison menyajikan cerpen-cerpen sastra, media lain pun mulai menyediakannya, bahkan

hampir di setiap daerah. Media ibu kota yang menyajikan rubrik sastra cerpen berkadar

sastra, di antaranya koran Kompas Minggu, Suara Pembaruan Minggu, Media Indonesia

Minggu, Republika Minggu, dan Koran Tempo. Untuk media daerah pun mulai membuka

rubrik sastra dan budaya, di antaranya Bali dengan koran Bali Pos, Jawa Timur dengan koran

Jawa Pos, Jawa Tengah dengan koran Suara Merdeka, dan Jawa Barat dengan koran Pikiran

Rakyat.

Media massa memang besar jasanya terhadap perkembangan cerita pendek, sebab

cerpen-cerpen para penulis tersebut sebelum dibukukan banyak yang dipublikasikan terlebih

dahulu di media massa. Jadi, koran dan majalah besar jasanya terhadap perkembangan

cerpen, terutama pencetakan penulis baru. Para pengarang yang dilahirkan oleh Horison,

Kompas dan Suara Pembaruan dekade 1980-an, di antaranya : Leila S. Chudori dengan

kumpulan cerpennya Malam Terakhir (Grafitti: 1989); Seno Gumira Adjidarma kumpulan

cerpennya Manusia Kamar (Gramedia: 1989); dan Yanusa Nugroho dengan kumpulan

cerpennya Bulan Bugil Bulat (Grafitti:1990).

Dalam esai Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang ditulis tahun 1975, Jakob

Sumardjo menyatakan, "Tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya pada dekade 50-

an yang merupakan zaman emas produksi cerita pendek dalam sejarah sastra Indonesia."

Pada masa itulah muncul nama-nama seperti Riyono Pratikto, Subagyo Sastrowardoyo,

Sukanto SA, Nh Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud Djunaedi, AA Navis, dan sederet nama lain

yang, menurut sastrawan dan kritikus sastra Ajip Rosidi dalam esai Pertumbuhan dan

Perkembangan Cerpen Indonesia, disebut sebagai sastrawan yang "pertama-tama dan

terutama dikenal sebagai penulis cerpen". Ada situasi yang relatif sama di antara kedua

periode itu: (1) cerpen menjadi pilihan utama pengucapan literer, (2) tingkat produktivitas

cerpen yang melimpah, (3) pertumbuhannya yang didukung oleh media di luar buku; pada

yang pertama ialah majalah dan pada yang kedua ialah koran, (4) pencapaian estetis cerpen

yang makin menempatkan cerpen sebagai genre sastra yang kian diperhitungkan. Namun,

buku yang memuat cerpen-cerpen yang pernah terbit di Kompas sepanjang kurun 1980-1990-

an ini setidaknya bisa menjadi etalase untuk melihat perkembangan dan pencapaian estetis

cerpen-cerpen pada periode itu. Apalagi, seperti pernah dinyatakan oleh Nirwan Dewanto,

pada periode itu Kompas memang memiliki kedudukan tersendiri: menjadi media yang cukup

Page 7: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

signifikan bila kita hendak memperbincangkan pertumbuhan cerpen ketika media yang

mengkhususkan diri pada sastra mulai meredup pamornya. Dan, yang pada periode

selanjutnya menjadi para penulis yang banyak memberi pengaruh pertumbuhan cerpen kita,

seperti Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, dan juga Radhar Panca Dahana.

7.        Cerpen-cerpen  Indonesia

Menarik sekali untuk mengamati secara lebih jauh beberapa kecenderungan tematik

cerpen-cerpen Indonesia terkini. Pada cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu, misalnya, tampak

menonjol tema-tema seksual dengan semangat pemberontakan terhadap moralitas tradisional

dan batasan-batasan ketabuan. Cerpen-cerpen Djenar umumnya berada dalam mainstream

yang sama dengan novel-novel Ayu Utami. Mereka mengusung feminisme untuk

'membongkar' norma-norma sosial yang dianggap kaku, dan dengan enteng mereka berbicara

tentang 'wilayah-wilayah lokal' -- sejak payudara hingga kelamin.

Mainstream lain yang juga kuat adalah fenomena cerpen-cerpen Islami, yang

mengangkat tema-tema moralitas dan ajaran agama (Islam), seperti tampak pada cerpen-

cerpen Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Asma Nadia, Gola Gong, Pipiet Senja, Irwan

Kelana, dan hampir semua cerpen karya anggota FLP yang jumlahnya mencapai 5000 lebih.

Kemunculan mainstream fiksi Islami seperti sengaja mengimbangi kecenderungan fiksi

seksual yang dirambah oleh Ayu Utami dkk. Namun, tidak seperti fiksi-fiksi seksual yang

banyak diperbincangkan para kritisi sastra, fiksi-fiksi Islami tidak begitu banyak

diperbincangkan di ranah kritik sastra. Meskipun begitu, terutama karena daya tarik pasarnya,

kecenderungan fiksi Islami memiliki lebih banyak pengikut, termasuk mereka yang semula

bukan penulis fiksi Islami.

Di antara kedua mainstrean di atas, tidak kurang jumlahnya cerpen-cerpen yang tetap

bermain di ranah humanisme universal, yang mengangkat masalah-masalah sosial, cinta,

keluarga, dan memperjuangkan keadilan serta harkat dan martabat kemanusiaan. Misalnya,

cerpen-cerpen Kuntowijoyo, Danarto, Putu Wijaya, Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira

Ajidarma, Yanusa Nugroho, Kurnia Effendi, Shoim Anwar, Isbedy Stiawan ZS, dan Maroeli

Simbolon -- untuk menyebut beberapa saja. Mereka tampak kukuh dengan pilihan tematik-

estetiknya sendiri, tanpa terpengaruh untuk masuk ke fenomena cerpen seksual maupun

Islami.

Kecendrungan lain yang juga menarik untuk diamati adalah cerpen-cerpen bernuansa

lokal dengan nilai-nilai budaya etniknya, seperti karya-karya Oka Rusmini (Bali), Taufik

Ikram Jamil (Melayu-Riau), Chairil Gibran Ramadhan (Betawi), Korrie Layun Rampan

Page 8: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

(Dayak), Kuntowijoyo (Jawa) dan Danarto (Islam kejawen) -- juga untuk menyebut beberapa

saja. Belakangan, kecenderungan cerpen bernuansa lokal bahkan telah mendorong

munculnya semacam 'kesadaran untuk kembali ke kekayaan budaya sendiri' dan makin

banyak mendapatkan pengikut, seperti terlihat dalam Kongres Cerpen Indonesia (KCI) 2005

di Pekanbaru.

Dalam semangat 'kembali ke budaya Timur' itu, pada dasawarsa 1970-an dan awal

1980-an, Danarto sempat memunculkan fenomena cerpen sufistik, atau tepatnya Islam

kejawen yang cenderung panteistik. Cerpen-cerpen berkecenderungan demikian dapat

ditemukan pada karya-karya Danarto yang terkumpul dalam Godlob (1976) dan Adam

Makrifat (1982). Karya-karya Danarto itu, bersama karya-karya dan pemikiran Abdul Hadi

WM, sempat mendorong berkembangnya mainstream sastra sufistik dalam kesastraan

Indonesia, yang berhasil menghimpun banyak 'pengikut' dari kalangan penulis muda,

terutama para penyair.

Dari aspek estetik, cerpen-cerpen Indonesia mutakhir menunjukkan kecenderungan

gaya (style) penuturan yang cukup beragam. Antara lain, gaya realis, romantis, puitis,

simbolik, surealistik, dan masokis. Namun, tidak gampang untuk memasukkan seseorang ke

dalam satu gaya estetik tertentu secara tegas, karena para cerpenis kebanyakan menulis

cerpen dalam berbagai gaya.

Seno Gumira Ajidarma, misalnya, banyak menulis cerpen realis, tapi juga menulis

beberapa cerpen romantis dan simbolik. Putu Wijaya juga dikenal sebagai cerpenis bergaya

absurd, tapi belakangan juga banyak menulis cerpen realis.

Begitu juga Danarto. Cerpen-cerpen pada masa awal kepengarangannya sangat

simbolik. Namun, belakangan juga banyak menulis cerpen realis. Cerpen bergaya realis

(realisme) adalah cerpen yang menyodorkan realitas yang ada dalam masyarakat sebagai

kebenaran yang faktual.

Misalnya, cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata (1994) dan

Penembak Misterius (1993), serta cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang

Aku Monyet (2003) dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2004). Contoh lain adalah

cerpen-cerpen Putu Wijaya dalam kumpulan cerpen Tidak (1999), dan Kuntowijoyo dalam

Hampir Sebuah Subversi (1999).

Cerpen bergaya romantis adalah cerpen yang sangat mengutamakan perasaan, dengan

pencitraan-pencitraan tokoh yang serba cantik dan sempurna, serta obyek dan latar yang

serba indah, dengan impian-impian hidup yang serba ideal.

Page 9: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

Misalnya cerpen-cerpen Irwan Kelana dalam Kelopak Mawar Terakhir (2004),

cerpen-cerpen Asma Nadia dan cerpen-cerpen remaja (teenlit) pada umumnya.

Cerpen bergaya puitis adalah cerpen yang mengutamakan narasi-narasi yang puitis

dalam melukiskan latar (setting) dan pengadegannya. Dari awal sampai akhir kadang-kadang

mirip puisi panjang atau prosa liris.

Gaya cerpen puitis sempat menjadi kecenderungan sesaat dalam sastra Indonesia pada

awal 2000-an, misalnya cerpen-cerpen Maroeli Simbolon, Azhari, dan Kurnia Effendi dalam

kumpulan cerpen Menari di Bawah Bulan (2004). Cerpen-cerpen para pemenang dan nomine

Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2003 dan 2004 sebagian besar juga bergaya puitis.

Cerpen bergaya simbolik adalah cerpen yang mengungkapkan gagasan, kebenaran

atau menafsirkan realitas dengan simbol-simbol. Sebagai contoh adalah cerpen-cerpen saya

dalam Sebelum Tertawa Dilarang (1997) dan Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (2004).

Cerpen-cerpen sufistik Danarto dalam Godlob (1976) dan Adam Makrifat (1982) umumnya

juga dikemas dalam gaya simbolik. Dalan novel, yang masuk gaya ini adalah Cala Ibi (2003)

karya Nukila Amal.

Cerpen bergaya surealistik adalah cerpen yang mencampuradukkan antara realitas dan

irrasionalitas, antara kenyataan dan impian. Misalnya, cerpen-cerpen teror psikologisnya Putu

Wijaya yang mengungkap alam bawah sadar manusia (stream of conciousness). Dalam

tingkatan yang ekstrem, realitas yang diungkap menjadi jungkir balik sehingga terkesan

absurd. Cerpen-cerpen Putu yang bergaya demikian terkumpul dalam Bom (1978).

Gaya lain yang belakangan sempat muncul adalah cerpen masokis, yakni cerpen yang

memanfaatkan narasi-narasi kekerasan seksual, baik sebagai simbol absurditas kehidupan

maupun sebagai potret realitas sosial yang bobrok akibat hancurnya tatanan moral. Misalnya,

cerpen-cerpen Hudan Hidayat dalam Keluarga Gila (2003). Dalam novel, gaya masokis ada

pada Ode untuk Leopol von Sacher-Masoch (2002) karya Dinar Rahayu.

Membaca fiksi (cerita rekaan) tentang kehidupan, siapapun penulisnya, selalu

menarik. Sebab, manusia pada dasarnya suka 'bercermin' untuk lebih mengenali dirinya

sendiri dan lingkungannya. Dan, fiksi -- cerita pendek (cerpen) maupun novel -- seperti

pernah dikatakan Umar Kayam, pada dasarnya adalah refleksi (cermin) kehidupan pengarang

dan lingkungannya.

8.        Komunitas Cerpen di Indonesia

Tonggak sejarah baru dalam dunia penulisan cerita pendek (cerpen) baru saja

ditancapkan di Bumi Lambung Mangkurat. Sebuah wadah bernama Komunitas Cerpen

Page 10: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

Indonesia telah dibentuk dan dideklarasikan dalam acara Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V

di Taman Budaya, Banjarmasin.

Ahmadun Yosi Herfanda (sastrawan, redaktur budaya Republika), terpilih sebagai

Ketua Komunitas Cerpen Indonesia. Sebagai Sekretaris, Jenderal Triyanto Triwikromo

(redaktur Suara Merdeka, Semarang), Ketua I Zulfaisal Putera (Banjarmasin), Ketua II Agus

Noor (Jawa Tengah), Ketua III Maman S. Mahayana (Jakarta), Sekretaris I Mezra (Kupang),

Sekretaris II Saut Situmorang (Yogya), Bendahara I Raudal Tanjung Banua (Yogya), dan

Sekretaris II Wahida Idris (Yogya).

Keperluan membentuk perhimpunan ini, selain merupakan amanat rekomendasi KCI

IV di Pekanbaru Riau tahun 2005, juga mengandaikan bahwa KCI bisa memperkuat posisi

cerpen dalam perbincangan kritik sastra Indonesia yang selama ini dianggap lebih didominasi

oleh puisi. Serta agar dapat meningkatkan kualitas dan perkembangan cerpen di Indonesia.

9.        Penutup

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah karya sastra fiksi

yang merupakan cerminan jiwa pengarangnya; cerminan intelegensi, sikap, tanggung jawab

pribadi, dan tanggung jawab kepada masyarakat, yang panjangnya tidak lebih dari 20.000

kata dan tidak kurang dari 1.000 kata. Cerpen memiliki ciri-ciri, antara lain: Bersifat rekaan

(fiction) ; Bersifat naratif ; dan Memiliki kesan tunggal. Macam-macamnya yaitu: cerpen

yang pendek (short short story), cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story),

cerpen yang panjang, cerpen yang panjang (long short story).

Cerita pendek sebenarnya berasal dari Mesir purba, sekitar 3200 SM.  Cerita pendek

berkembang di Eropa dimulai sekitar tahun 1812. Sementara perkembangan cerita pendek

Amerika sekitar tahun 1912. Barulah sekitar tahun 1936 cerpen-cerpen mulai mewarnai

kesusastraan Indonesia.

Perkembangan sastra Indonesia pertama kali ditandai oleh sastra Nusantara (daerah),

misalnya dengan munculnya mantera, pantun, dongeng, legenda, dan sebagainya.

Kebangkitan cerpen di Indonesia ditandai oleh Balai Pustaka yang menerbitkan Teman

Duduk karya M. Kasim. Sejak tahun 1946 cerpen mulai hidup di Indonesia. Bersama waktu

dan perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia nilai cerpen pun mulai berubah. Cerita

pendek terus berkembang, penyebarannya dibantu oleh majalah, di antaranya Majalah Panji

Pustaka, Panca Raya, dan Pujangga Baru. Cerpen Indonesia mengalami masa subur sekitar

tahun 1950-an setelah era perang kemerdekaan. Pada tahun 1960-an muncul para penulis

baru, cerpen-cerpen pun banyak yang terbit. Memasuki era orde baru, bidang sastra pun

Page 11: Cerpen Dan Perkembangannya Di Indonesia

terjadi pembaharuan. Para pengarang cerpen seolah bertualang, larut dalam pencarian wajah

cerpen, walaupun pengaruh Barat nampak dalam cerpen-cerpennya.

Di Indonesia bermunculan banyak sekali para cerpenis yang mengusung tema berbeda

dalam cerpennya. Missal Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami yang mengangkat tema

feminism; cerpen-cerpen Islami oleh Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Asma Nadia,

Gola Gong, Pipiet Senja; serta cerpen bernuansa local karya Oka Rusmini (Bali), Taufik

Ikram Jamil (Melayu-Riau), Chairil Gibran Ramadhan (Betawi), Korrie Layun Rampan

(Dayak), Kuntowijoyo (Jawa) dan Danarto (Islam kejawen).

Telah dibentuk sebuah komunitas cerpen di Indonesia yang bernama Komunitas

Cerpen Indonesia dalam acara Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Taman Budaya,

Banjarmasin. Komunitas tersebut diharapkan dapat memperkuat posisi cerpen dalam

perbincangan kritik sastra Indonesia yang selama ini dianggap lebih didominasi oleh puisi.

DAFTAR PUSTAKA

Rosidi, Ajib.1998.Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

Utomo,S. Prasetyo. 2009. Penulisan Kreatif Populer. Semarang: IKIP PGRI SEMARANG PRESS.

http://Pengertian Cerpen dan ciri-cirinya/2010/02/apresiasi-sastra.html

http://gebyarbahasa.blogspot.com/2012/04/cerpen-dan-perkembangannya-di-indonesia.html