cerpen aroma rindu yerussalem

4
Aroma Rindu, Yerussalem Malam tadi kuterlelap selepas perjalanan menempuh banyak daki karena lumpur-lumpur tepi jalan yang redup dari cahaya, Beranjak dari sepi kedalam gemuruh penuh dendang nada-nada bersemburat kekerasan. Perjalanan yang sungguh melelahkan. Yang ku ingat, ketika di pinggir jalan kutatap seorang lelaki renta dengan lusuh pakaiannya yang semacam gamis penuh tambalan di sana sini, dengan segala prihatin menadahkan tangannya menjulur kepadaku namun tetap dengan senyum tipis yang mengingatkanku akan cerita Romo tentang lelaki yang menjadi kekasih Tuhan namun bersembunyi di balik kumal bajunya. Aku kemudian memasukkan tangan ke saku mencari receh. Dengan perasan iba aku tersenyum sambil melepas receh itu dari tanganku . Digenggam kuat receh itu seakan harta yang sungguh berarti baginya. Bekerja sebagai peramu parfum aku sudah merasa cukup beruntung. Melihat banyak orang di luaran sana menjadi pengemis di jalan-jalan. Di kota ini, Yerussalem, syarat akan kerasnya hidup dan persaingan ekonomi. Aku hanya memegang teguh pesan ibuku agar tetap menjunjung kejujuran dalam segala apapun yang aku kerjakan. Sebagai tenaga kerja pendatang, aku cukup mendapat perhatian dari penduduk sekitar karena ramuan parfumku yang sudah dikenal banyak orang bahkan hingga para pejabat pemerintahan mendatangi toko parfumku dan mereka menyuruhku memilihkan parfum yang cocok untuk mereka. Bulan-bulan akhir, November, Desember, aku mulai rindu dengan kampung halaman. Aku rindu adik-adikku, Romo dan Ibuku. Sudah berkali-kali aku menerima surat dari adikku yang sudah semester dua di perguruan tinggi negeri, dia terus menulis dalam suratnya bahwa semua yang di rumah telah merindukanku. Ini adalah surat keduabelas yang dikirimkannya. Aku hanya tersenyum melihat foto yang terselip dalam surat itu, foto terbaru keluarga besar yang semestinya aku ikut di dalamnya. Aku harus sabar hingga

Upload: maghfur-amien

Post on 28-Jul-2015

56 views

Category:

Spiritual


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: CERPEN Aroma Rindu Yerussalem

Aroma Rindu, Yerussalem

Malam tadi kuterlelap selepas perjalanan menempuh banyak daki karena lumpur-lumpur tepi jalan yang redup dari cahaya, Beranjak dari sepi kedalam gemuruh penuh dendang nada-nada bersemburat kekerasan. Perjalanan yang sungguh melelahkan. Yang ku ingat, ketika di pinggir jalan kutatap seorang lelaki renta dengan lusuh pakaiannya yang semacam gamis penuh tambalan di sana sini, dengan segala prihatin menadahkan tangannya menjulur kepadaku namun tetap dengan senyum tipis yang mengingatkanku akan cerita Romo tentang lelaki yang menjadi kekasih Tuhan namun bersembunyi di balik kumal bajunya. Aku kemudian memasukkan tangan ke saku mencari receh. Dengan perasan iba aku tersenyum sambil melepas receh itu dari tanganku . Digenggam kuat receh itu seakan harta yang sungguh berarti baginya.

Bekerja sebagai peramu parfum aku sudah merasa cukup beruntung. Melihat banyak orang di luaran sana menjadi pengemis di jalan-jalan. Di kota ini, Yerussalem, syarat akan kerasnya hidup dan persaingan ekonomi. Aku hanya memegang teguh pesan ibuku agar tetap menjunjung kejujuran dalam segala apapun yang aku kerjakan. Sebagai tenaga kerja pendatang, aku cukup mendapat perhatian dari penduduk sekitar karena ramuan parfumku yang sudah dikenal banyak orang bahkan hingga para pejabat pemerintahan mendatangi toko parfumku dan mereka menyuruhku memilihkan parfum yang cocok untuk mereka.

Bulan-bulan akhir, November, Desember, aku mulai rindu dengan kampung halaman. Aku rindu adik-adikku, Romo dan Ibuku. Sudah berkali-kali aku menerima surat dari adikku yang sudah semester dua di perguruan tinggi negeri, dia terus menulis dalam suratnya bahwa semua yang di rumah telah merindukanku. Ini adalah surat keduabelas yang dikirimkannya. Aku hanya tersenyum melihat foto yang terselip dalam surat itu, foto terbaru keluarga besar yang semestinya aku ikut di dalamnya. Aku harus sabar hingga akhir januari. “Aghus,1 khidz li masyrab..!”2 sebuah suara menyadarkanku dari lamuanan, aku paham kalau dia ingin aku mengambilkan gelas untuknya. “oke Sir, I will take for you” Aku pergi kedapur dan memberikan gelas padanya. Ia adalah Samin atasanku, pemilik toko parfum ini, meski baru beberapa bulan bekerja padanya tapi aku cukup akrab dengannya. Aku paham namun tidak bisa berbicara dengan bahasa Arab. Aku hanya mengandalkan bahasa Inggris dasar yang sebentar kupelajari ketika sempat di Pare3 saat libur semester kuliahku

1 Namaku sebanarnya Agus, tapi karena lisan mereka tak dapat mengucapkan huruf ‘G’ kemudian diganti dengan ‘GH’ 2 Khidz li masyrab artinya : tolong ambilkan gelas.3 Pare adalah suatu desa di Jawa Timur yang menjadi lokal pusat pelajar yang hendak mempelajari dan mendalami bahasa Inggris

Page 2: CERPEN Aroma Rindu Yerussalem

dulu. Tapi justru karena kemampuan berbahasa Inggris orang-orang di pemerintahan menghargaiku sebagai yang terpelajar.

Kini musim dingin dan orang-orang takkan banyak yang keluar, mereka lebih senang di dalam vila dan rumah-rumah pasir mereka. Toko parfum kami juga turut sepi. Aku pun punya kesempatan mengambil guru prifat, untuk menimba sedikit ilmu. Ya,,, ilmuku masih sangat dangkal, aku mengutamakan ilmu agama mengingat Romo mempunyai banyak santri dan mungkin saja nanti dengan ilmu yang meski sedikit bisa kuamalkan dan kuajarkan kepada santri-santri. Sebagai anak pertama harapan Romo akulah yang akan meneruskan perjuangannya dan terus mengabdi pada masyarakat. Aku juga menyempatkan pergi ke perpustakaan kota yang terletak tak jauh dari toko parfumku. Untuk memantapkan ilmu alat ku, kembali ku pelajari syair-syair Ibnu Malik yang sempat tuntas ku hapal di pesantren dulu. Memang kalau ilmu itu sudah jarang disentuh dan dipraktekkan mudah pudar dan tak jarang lupa sama sekali. Aku meminta guru prifatku untuk mengkaji bulughul marom dan fathul mu’in. ya… yang ringan-ringan dulu untuk mengulas yang pernah ku pelajari dulu selama beberapa tahun di pesantren.

Sebentar lagi januari dan aku telah menyimpan cukup uang untuk perjalananku pulang ke Indonesia dan sedikit oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Ya, aku benar-benar rindu mereka. Akhirnya tinggal dua hari lagi aku akan berangkat untuk pulang, sekarang aku harus siap-siap, Samin juga telah memesankan tiket untukku, dia memang sangat pengertian, dia menganggapku seperti adiknya sendiri sehingga dia begitu memperhatikanku. Yang ku tahu dari ceritanya, dulu dia mempunyai seorang adik laki-laki yang meninggal karena tumor. Saat tumornya sudah mencapai stadium akhir adiknya dirawat di rumah sakit sedangkan saat itu dia bertugas di daerah Toronto mengerjakan sebuah proyek perusahaan. Dia begitu menyesal tidak bisa menemani adiknya itu saat masa-masa kritis. Dan kalau saja masih hidup adiknya sudah seumuranku. Sejak saat itu dia keluar dari perusahaan dan mendirikan toko parfum.

“Aghus, hina khidzaek”4 katanya padaku saat aku sedang bersiap memakai baju. “yea… I make it sure in good”5 jawabku. Dia memanggilkan taksi untukku, sebenarnya dia ingin menemaniku ke bandara dengan mobilnya tetapi urung karena dia harus mengantar parfum pesanan wali kota. Aku langsung masuk mobil sementara Samin membawakan barangku dan memasukkannya kedalam bagasi belakang. Sopir taksi itu telah paham dan langsung melajukanku ke bandara. Jarak bandara tidak terlalu jauh tapi cukup untukku istirahat sebentar, tidur di dalam taksi mengisi tenaga untuk perjalanan udaraku yang cukup lama.

4 Aghus, hina khidzaek artinya : Agus, ini tasmu5 yea… I make it sure in good artinya : ya, aku yakin dia sudah siap.

Page 3: CERPEN Aroma Rindu Yerussalem

Tak terasa sampai di bandara, sopir taksi itu membangunkanku karena aku terpulas dalam tidur. “here we are??” tanyaku. “yes, Sir..it’s”. segera aku bangkit dan melenggang menuju tempat orang-orang menunggu diam di kursi menanti giliran pesawat mereka datang. Aku mengedarkan pandanganku mencari mungkin ada orang Indonesia yang juga sedang menunggui pesawatnya. Ternyata semuanya orang lokal yang hendak berlibur, dan kebanyakan mau ke Bali. Ya,,, begitulah Bali lebih tersohor dari pada Indonesia hingga seakan dibayangkan bila turis asing bertanya : “Indonesia itu di Bali ya??” padahal kita tahu Bali adalah sepulau kecil yang menjadi wilayah bagian Indonesia.

Hampir setengah jam aku duduk di kursi tempat calon penumpang biasa menunggu, dan jam tanganku menunjuk pukul satu, yach,, dini hari udara Yerussalem begitu dingin menusuk tulang hingga aku harus mengenakan berangkap jaket super tebal. Ada bule berambut pirang menghampiriku, aku bergeser untuk berbagi tempat duduk dengannya. “good before morning,,,” aku menyapanya dengan sedikit candaanku, Ya memang suasana dini hari di sini seperti sudah pagi karena cukup terang untuk disebut dini hari. Dia tersenyum kecil dan berkata “asian??”, “yes right, Indonesian” jawabku. “Javanese?” ia bertanya, aku sedikit kaget karena tidak banyak turis bule yang tahu daerah-daerah Indonesia selain Bali. “Yeah” jawabku lagi. “ow…. Wong jowo to kang… aku wong Kediri… sampyan wong ndi?” sekarang aku tercengang dan dalam hati ini dipenuhi rasa tak percaya tapi aku mencoba bersikap biasa. “realy..? o… aku yo wong Kediri”. Setelah menyebutkan nama masing-masing, kami pun berbincang panjang lebar hingga di dalam pesawat. Karena ternyata dia juga hendak pulang ke Kediri, kebetulan tempat duduknya bersebelahan denganku. Dia kelahiran Kediri ketika orang tuanya yang berkebangsaan Jerman berkunjung ke sana dalam menjalani tugas pertukaran duta antara Jerman dan Indonesia. Dan hingga ia lulus S1 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kini dia telah bekerja sebagai tukang parfum di daerah distrik Yerussalem yang tak kalah besar dari toko parfum Samin. Dia tinggal dengan ayahnya di daerah pinggiran kota.