buku gai' bintang
TRANSCRIPT
Hak cipta yang dilindungi undang-undang pada: PenulisHak Penerbitan pada :
1
Dicetak oleh :Perancang Kulit : Syaf Anton WrSumber foto :Setting & layout :Cetakan Pertama : 2007Cetakan Kedua : 2009
DAFTAR ISI
Pengantar …………………………………………………..Daftar Isi …………………………………………………..Sekapur Sirih ………………………………………………Pa’-kopa’ Eling ………………………….………………..Cong-koncong Konce ………………….…………………..Re-sere Panang ………………………….…………………Kor-Tanoker …………………………….…………………Tan-Pangantanan ………………………….……………….Set-seset Maloko’ ……………………………..…………….Ler-Saaler …………………………..……………………….Jan-anjin ……………………………………..……………..Gai’ Bintang ………………………………………....………Es Lilin Cabbi ……………………………………………….Tun Laetun ……………………………………………………Jam-jam To’ …………………………………………………Beberapa Contoh Syair Kidung Anak Madura …………….Daddilyan ……………………………………………………Din-dindi’ ……………………………………………………Aeng Lema’ ………………………………………………...Lar-olar Kolarjang ………………………………………….Ko’-tongko’an Calelet ………………………………………Ke’-rangke’ Kononengan …………………………………..Ko-soko Bibir ………………………………………………Po’-popo’ Ame-ame ………………………………….……..Lai-ilaha Illalla ………………………………………….…..Mon-temmon Buko ………………………………………….Lelle Nariyo …………………………………………………Ba-baba Bulan ……………………………………………….Di-padi Cemplo Lo’ling ……………………………………..
2
Cing-kicing Kere’ ……………………………………………Bing Ana’ ……………………………………………………Bara’ Ro ……………………………………………………..Ti’ Titi ‘ …………………………………………………….Ta’ Goyang Tul-tul ……………………………………………..Monyena Jam …………………………………………………Bu, Lae Bu …………………………………………………….Re-re Re Kolek ………………………………………………..Adik Nanges …………………………………………………….Daftar Pustaka ……………………………………………….
SEKAPUR SIRIH
Gugusan kepulauan Madura di kenal sebagai daerah dengan alam yang
tandus. Wilayah Madura terdiri dari sekitar tujuh puluh pulau, daerah minus semacam
ini di cap tidak mungkin memiliki kegiatan kesenian dibandingkan dengan pulau
tetangganya, yaitu Jawa. Ternyata anggapan tersebut sangat keliru, karena suku
bangsa Madura memiliki kekayaan karya seni yang sangat fenomenal. Ketidak-
tahuan tentang kesenian tersebut disebabkan wilayah ini hanya dianggap sebagai
daerah pinggiran Jawa, baik di pandang dari sudut geografis, historis dan budaya.
Bentuk kesenian yang ada dan berkembang di masyarakat Madura berupa seni
tari, seni pertunjukan, seni musik dan juga upacara-upacara ritual yang sampai saat
ini masih di gelar, khususnya oleh masyarakat tradisional. Ini menandakan bahwa
sebenarnya kebudayaan Madura cukup tinggi, karena sebagai makhluk sosial manusia
Madura mampu menunjukkan hasil kebudayaannya, sebagai makhluk sosial manusia
Madura mempunyai naluri kebudayaan yang berasal dari naluri sosial. Naluri tersebut
tumbuh dari rasa rohani, rasa intelek, rasa etik dan estetik, rasa seni, rasa agama dan
rasa diri.
3
Dari sekian banyak ragam karya sastra, salah satu peninggalan karya sastra
yang cukup membanggakan adalah sastra lisan yang masih tetap bertahan sampai
sekarang.. Walaupun jenis puisi lisan mulai tergerus oleh arus budaya global sehingga
tidak dikenal lagi oleh masyarakatnya, namun demikian puisi lisan tersebut masih
mendapat tempat di hati masyarakat, terutama masyarakat tradisional. Hal ini
disebabkan puisi lisan menggunakan bahasa yang sangat sederhana, namun kaya
makna. Kesederhanaan dimaksudkan anak-anak cepat menangkap makna yang
tersirat dalam puisi yang dikemas dalam bentuk nyanyian dan permainan. Melalui
permainan anak-anak diajak untuk mengoptimalkan kecerdasan emosional dengan
tujuan untuk memanusiakan manusia. Dengan mengoptimalkan kecerdasan
emosional, anak-anak diajak untuk mengasah kemampuan merasakan, memahami,
dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi, dan koneksi.
Disamping itu bentuk permainan adalah untuk membangun solidaritas sejak
dini dalam komunitas bermasyarakat agar senantiasa rukun dan guyub, disamping itu
untuk mengembangkan kecerdasan emosional dengan cara bermain, dimana dalam
arena permainan itu ditanamkan sikap-sikap toleran, simpati, empati, dan memahami
berbagai karakter yang dimiliki oleh teman bermain. Dalam arena permainan tersebut
secara tidak sadar anak-anak akan mengetahui sekaligus ber-interaksi dengan karakter
yang berbeda, ada yang mempunyai sikap sabar, pemalu maupun temperamental dan
sebagainya. Bercampur-baurnya berbagai karakter tersebut menyadarkan anak bahwa
mereka memang tidak sama. Dengan pemahaman seperti itu maka membangun
kesadaran sosial dalam masyarakat komunal ditanamkan sejak dini. Pemahaman
interaksi sosial dimulai dari lingkungan terdekat, yaitu lingkungan bermain teman
sebaya, lingkungan keluarga, dan merambah pada lingkup yang lebih luas.
Adapun jenis permainan anak-anak yang sering dimainkan antara lain,
Daddaliyan, Ker-tanoker, Lir-Saalir, Jan-Anjin, Gai Bintang, Cung Kuncung Kunce,
Pa’ Kopa’ Eling, Ke’ Rangke’. Set-Seset Maloko’, Mon temon Buko, Ba-baba Bulan,
Di-Dindi’ Leya’Leyo’, Lar- Olar Kolarjang, Tan-Pangantanan, Dipadhi Cemplo
Lo’ling, Po’ kopo’ Ame-ame, lir Saalir, Kosoko Bibir, Aeng Lema’, Bing Ana’. Dul
4
Kannang-Dul Kennong. Pada prinsipnya melalui lantuman dan permainan, jiwa
anak-anak ditanamkan pemahaman dan penanaman nilai filosofi kehidupan yang
bernafaskan nilai-nilai humanis. Penanaman nilai tersebut disebabkan oleh
kewajiban utama orang tua untuk memberikan pendidikan, bukan hanya
mengoptimalkan kecerdasan intelektual saja, melainkan mengembangkan kecerdasan
emosional serta mengasah kecerdasan spiritual kepada putra putrinya sebagai bekal
hidup bermasyarakat. Berbagai disiplin ilmu ditanamkan agar kelak anak mampu
berdikari dan mandiri, baik secara material, emosional, dan spiritual dalam tata
pergaulan di masyarakat. Dengan demikian anak mampu memilah dan memilih serta
mengamalkan ilmu yang dimiliki, dan bisa menjadi manusia yang paripurna. Untuk
mencapai kesempurnaan hidup maka nilai-nilai moralitas perlu ditanamkan sejak
dini. Dan penanaman itu dilakukan melalui permainan dan nyanyian.
Permainan merupakan media taman bermain yang sekaligus sebagai area
pendidikan di dalam menanamkan nilai-nilai universal kehidupan. Namun sangat
disayangkan, area tersebut kini secara perlahan disingkirkan dan tidak mendapat
tempat dalam dunia anak-anak. Otak anak-anak masa kini hanya dioptimalkan dalam
satu area saja, yaitu pengoptimalan otak kiri dan pendewaan kepada kecerdasan
intelektual. Padahal Folklore yang dimiliki oleh suku bangsa Madura merupakan
media pengoptimalan otak kanan (kecerdasan emosional). Menurut pakar psikologis,
bahwa kecerdasan emosional (EQ) memberikan saham yang sangat besar, yaitu 80 %
bagi kesuksesan hidup seseorang. Pengoptimalan EQ adalah kemampuan merasakan,
memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi dan pengaruh manusia. Emosi adalah bahan yang tidak
tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penalaran yang tinggi. Emosi menyulut
kreatifitas, Kolaborasi dan inisiatif. Disamping itu juga EQ sangat penting untuk ;
proses penyembuhan, pemecahan masalah, kreatifitas serta menjalin dan menikmati
hubungan yang bermakna.
Saat ini Kecerdasan Emosional (EQ) menjadi sebuah trend baru di negara-
negara maju, padahal suku bangsa Madura telah lama memiliki warisan budaya
tersebut. Warisan budaya dalam bentuk Folklore yang berisi nilai-nilai universal
5
kehidupan, nilai-nilai kearifan yang dikemas dalam bentuk permainan dan nyanyian.
Seharusnya folklore kembali dijadikan sebagai media pengoptimalan otak kanan,
yang lebih berorientasi pada seni musik, seni tari, kesenian, seni rupa, fantasi,
imajinasi, mimpi dan halusinasi.
Sumenep, Mei 2010
Penulis
PA’ KOPA’ ELING
Pa’ kopa’ elingelingnga sakoranjieppa’na olle paparingana’ tambang tao ngajingaji babana cabbika’angka’na sarabi potthone cocco’ dhangdhang pote keba molee cocco’ dhangdhang celleng keba melleng
Terjemahan bebas :
Bertepuk-tepuk ingat, sadar sekeranjangsang bapak mendapatkan anugerahanak bodoh jadi (bisa) mengaji mengaji di bawah cabai, suguhannya serabi gosong di patuk elang putih di bawa pulang di patuk elang hitam dibawa nakal
Terang bulan (purnama) merupakan waktu yang senantiasa ditunggu-tunggu,
karena pada saat terang bulan tersebut bulan hanya anak-anak yang bersuka cita,
tetapi juga orang tua. Biasanya pada saat terang bulan anak-anak berkumpul di
halaman rumah, dan kemudian berkelompok. Biasanya yang paling disukai oleh
anak-anak adalah menyanyikan lagu Pa’ Kopa’ Eling, secara bergantian mereka
menyanyikan lagu ini dan disertai pula dengan tepuk tangan.
6
Makna yang Tersirat dalam Bait-Bait Syair
Syair-syair yang terdapat pada lantuman nada-nada di atas sangatlah
sederhana, namun apabila di kaji lebih mendalam maka syair-syair tersebut
mengandung makna yang demikian mendalam. Makna tersebut berisi nasehat tentang
manusia dan jiwa spiritual yang harus dimilikinya.
Sebagai Khalifah di muka bumi, manusia mempunyai tugas yang sangat mulia
yaitu menjadi pemimpin. Oleh sebab itu pemenuhan kebutuhan spiritual sama
pentingnya dengan kebutuhan material. Dengan demikian akan tercipta kehidupan
yang serasi, seimbang, dan harmonis. Dengan berbekal pengetahuan agama yang kuat
maka manusia tidak mudah tergoda dan terombang-ambing oleh perubahan serta
dinamika perubahan jaman.
Pemenuhan kebutuhan spiritual (agama) merupakan sesuatu yang sangat
signifikan. Oleh sebab itu sejak usia dini anak-anak diperkenalkan dengan nilai-nilai
agama, yaitu dengan jalan melaksanakan proses pembelajaran. Sejak kecil anak-anak
diwajibkan mengaji, shalat, puasa serta kewajiban-kewajiban agama lainnya. Proses
pembelajaran tersebut dilakukan secara bertahap, terus menerus, dan
berkesinambungan serta disesuaikan dengan usia kematangan dan pertumhuhan
anak. Sebagaimana terdapat pada kalimat, //ana’ tambang tao ngaj, ngaji babana
cabbi//,( //anak bodoh jadi (bisa) mengaji, mengaji di bawah cabai//)
Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, masyarakat komunal
menciptakan suatu tatanan agar dalam menjalankan kebersamaan (kehidupan
bersama) berjalan secara harmonis. Dan tatanan tersebut, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis secara berkesinambungan ditransferkan kepada generasi berikutnya
melalui pendidikan informal dalam keluarga, lingkungan masyarakat maupun
pendidikan formal di sekolah-sekolah. Hal itu termaktup dalam kalimat, “Pa’ kopa’
eling, elingnga sakoranji” // Bertepuk-tepuk ingat, sadar sekeranjang //. Kalimat
tersebut mengingatkan bahwa betapa pentingnya sebuah kesadaran untuk menuntut
ilmu.
7
Untuk mendapatkan generasi yang ber-kualitas, orang tua mempunyai
tanggung jawab serta memegang peranan utama sebagai pendidik pertama sekaligus
motivator bag keberhasilan pendidikan putra putrinya. Sebagaimana tertera dalam
kalimat, “eppa’na olle paparing”, (bapak mendapatkan anugerah). Dan anugerah
tersebut merupakan kegembiraan, kebahagiaan, dan kebanggaan bagi bapak karena
sang anak telah mampu menyerap dan menguasai ilmu.
Adapun nilai etika dan moralitas yang tinggi dalam puisi di atas adalah,
hendaknya ilmu yang dimiliki tidak disalahgunakan d an benar-benar diamalkan
karena ilmu mempunyai dua sisi dimensi, yaitu kebaikan dan kejahatan. Ilmu akan
menjadi suatu bencana apabila dipergunakan oleh orang-orang yang mempunyai
moral rendah dan tidak bertanggung jawab, sebaliknya ilmu akan mendatangkan
manfaat serta kemaslahatan bagi umat manusia apabila berada di tangan-tangan
manusia yang mempunyai moralitas tinggi. Hal tersebut dapat disimak pada bait,
“e cocco’ dhangdhang pote keba mole, e cocco’ dhangdhang celleng keba melleng”
(di patuk elang putih di bawa pulang, di patuk elang hitam dibawa nakal)
CUNG-KUNCUNG KONCE
Cung kuncung kunceKoncena lo-olowanSabanyong sakethengNa’kana’ marking-markungBaba’anna kapung-kapungNgek-serngeggan, rut-suruddanPangantan tao abajangPabajanggnga ketha’ keddungOndurragi jung baba’an
Cung-kuncung kolorKolorra bintang kangkongSater-oler sakomancerBibidanna tajin jabaLali lana lali lanthung
8
Ondurragi jung-baba’an
Cung acung lerenganKkembang ala’ kembang alingTaruttut onta-ontaPamakona kaju sentikOndur setthong jung baba’an
Cung acung lerengan, pettha tale lempungBuwana apung-apung, ta’ ngok-serngoganTa’ ngek-serngegan, jumantre-jumantreNangga’a bajangBajangnga kethak kedhungOndurragi jung baba’an
Terjemahan bait bebas bait 1
Kuncung-kuncung kunci, kuncinya beruas-ruassebuku seruas anak-anak duduk-duduk dibawah pohon kapuk cekikikan cekakakan sang pengantin ber-sembahyang sembahyang asal gerak
Bentuk Permainannya
Permainan ini dimainkan oleh dua sampai empat anak, permainan ini
dilakukan dengan cara duduk berhadapan. Jempol tangan kiri ditegakkan dan
keempat jari yang lain dalam posisi menggemgam. Kemudian keempat jari tangan
kanan menggemgam jempol tangan kiri, dan jempol tangan kanan ditegakkan. Anak-
anak yang lain kemudian meletakkan tangannya di atas tangan anak yang pertama
dengan posisi yang sama, begitu seterusnya. Setelah semua anak meletakkan
tangannya dalam posisi tersebut, lalu mereka menyanyikan lagu tersebut sambil
menggoyang-goyangkan tangan, pada saat bait terakhir dinyanyikan, “ondurragi jung
9
baba’an” maka telapak tangan yang paling bawah diposisikan tertelungkup.
Kemudian anak-anak tersebut menyanyikan lagu tersebut secara terus menerus
sampai semua tangan tumpang tindih tertelungkup. Setelah semua tangan
tertelungkup, maka tangan yang paling atas memukul tangan dibawahnya, dan begitu
seterusnya. Atau juga dengan cara lain, setelah semua tangan tertelungkup maka
tangan yang paling atas mengambil tangan yang dibawahnya kemudian diletakkan di
atas kepala masing-masing anak.
Makna Umum dari Syair Cung-Kuncung Konce
Jenis permainan ini seringkali dikonotasikan dengan seksualitas, karena melihat
posisi tangan ketika sedang bermain. Posisi jempol kiri yang menggemgam keempat
jari lainnya, dan juga ketika genggaman digoyang-goyangkan, seakan-akan sedang
melakukan persetubuhan. Hal ini diperkuat oleh baris kedua dengan kata, “lo-
olowan” yang diterjemahkan , ‘tertidur karena terlalu kepayahan.” Tentu saja
kepayahan disini disebabkan sang pengantin telah selesai melaksanakan
kewajibannya.
Konon lagu ini dinyanyikan oleh anak-anak ketika sedang ada hajatan
perkawinan. Lagu ini dinyanyikan sebagai tanda sang pengantin telah memasuki
peraduan kamar pengantinnya.
Makna Khusus pada Syair Cung-Kuncung Konce
Walaupun secara umum masyarakat menilai bahwa lagu ini syarat dengan
muatan seksualitas, namun apabila dikaji lebih mendalam terdapat nilai-nilai filosofi
yang sangat mendalam sekaligus nilai-nilai kearifan, etika dan moralitas. Nilai-nilai
tersebut terutama terdapat pada bait pertama. Sedangkan bait kedua dan seterusnya
merupakan syair-syair tambahan untuk lebih memperpanjang nyanyian tersebut.
Secara gamblang pada bait pertama dalam puisi lisan Cung Kuncung Kunce
memberikan gambaran utuh tentang perilaku yang semestinya dimiliki oleh
masyarakat. Sopan santun, etika serta tata krama menempati urutan teratas sebagai
10
perilaku yang patut dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Penghormatan dan
penghargaan yang tinggi akan diberikan kepada setiap masyarakat dari berbagai
kalangan, apabila mampu menunjukkan sifat, sikap serta perilaku yang baik.
Sebaliknya, walaupun menyandang status sosial tinggi serta bermartabat tidak akan
mendapatkan penghormatan dari anggota masyarakat lainnya apabila menunjukkan
perilaku yang cacat dan tercela.
Perilaku yang paling tercela adalah sikap yang ditunjukkan oleh seseorang
terhadap penganut agama yang sedang menjalankan ibadah. Gambaran ini dapat
dikutip dari kalimat, //Na’kana’ marking-markung /Baba’anna kapung-kapung /
Ngek-serngeggan, rut-suruddan//, (//anak-anak duduk-duduk / dibawah pohon
kapuk / cekikikan cekakakan//). Kalimat dalam puisi tersebut adalah ungkapan yang
ditujukan kepada seseorang yang dengan sengaja tidak menghormati serta
menghargai seseorang yang sedang menjalankan ibadah. Melalui sindiran tersebut
diharapkan mampu merubah perilaku tercela menjadi perilaku yang terpuji.
Penanaman nilai-nilai etika maupun spiritual (agama) yang dilakukan sejak
dini, diharapkankan mampu membentuk kepribadian yang matang sampai dewasa.
Apalagi ketika telah memasuki usia matang perkawinan. Nilai-nilai kebaikan,
perilaku terpuji serta kematangan kepribadian yang dimiliki akan menjadi bekal serta
menjadi benteng kokoh ketika menghadapi problematika kehidupan. Salah satu nilai
yang paling penting adalah menjalankan kewajiban shalat lima waktu, namun dalam
realita yang ada banyak sekali manusia (umat muslim) melalaikan kewajiban tersebut,
sebagaimana diungkapkan dalam kalimat, //Pangantan tao abajang /Pabajanggnga
ketha’ keddung//( sang pengantin ber-sembahyang / sembahyang asal gerak).
Bangunan yang kokoh tentunya ditunjang oleh pondasi dan ting-tiang kokoh
serta kuat. Perumpamaan tersebut dapat dijadikan tolak ukur kehidupan beragama.
Seseorang yang mengaku dirinya beragama, tentunya akan menjalankan semua
ketentuan yang disyariatkan oleh agama yang dianutnya. Namun sering terjadi
manusia hanya menggunakan agama sebagai identitas diri agar diakui keberadaannya
oleh lingkungan masyarakatnya.
11
Maka filosofi mendalam dalam syair Cung Kuncung Kunceini membidik
sosok manusia yang hanya menggunakan agama sebagai identitas dan simbol. Ibadah
shalat lima waktu sebagai tiang penyangga bangunan kokoh Islam, dijalankan hanya
sebatas ritual semata. Akibat dari sikap yang tidak konsisten terhadap agamanya,
maka perilaku yang dijalankan sama sekali jauh dari nilai-nilai yang disyariatkan
oleh agama.
Shalat lima waktu merupakan salah satu rukun Islam yang wajib
dilaksanakan. Ibadah tersebut adalah ibadah pribadi yang langsung berhubungan
dengan Sang Khalid, yaitu totalitas kepasrahan pribadi seorang muslim serta
implementasi ibadah tersebut dalam kehidupan sosial nya di masyarakat. Keselarasan
ibadah vertikal dengan ibadah horizontal harus seimbang. Dengan demikian maka
akan terciptalah suatu kehidupan yang harmonis serta tatanan masyarakat yang tertib.
Secara tersirat, syair Cung Kuncung Kunce mengingatkan umat muslim untuk
menjalankan ibadah shalat dengan sebenar-benarnya. Karena nilai yang terkandung
dalam shalat dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dengan melakukan
ritual shalat, manusia akan lebih dekat dengan Sang pencipta-Nya. Dengan
melaksanakan shalat secara baik dan benar akan menjadikannya seorang pribadi
yang matang, kuat dan kokoh. Oleh sebab itu melalui syair Cung Kuncung Kunce,
manusia diingatkan agar dalam menjalankan ibadah shalat bukan hanya sebatas ritual
semata, melainkan melaksanakannya dengan kesungguhan hati dan sepenuh jiwa.
Melalui tulisannya, penyair mengingatkan agar manusia dalam menjalankan
ibadah shalat tidak melakukannya setengah-setengah. Dalam arti apabila shalat
hanya dilakukan sebatas ritual saja, maka akan mengakibatkan tidak adanya
keselarasan tingkah laku. Shalat yang bertujuan menyembah Sang Pencipta,
menjauhi semua larangan serta mematuhi semua perintah-Nya hanya dijadikan
simbol-simbol keagamaan. Hal itu menyebabkan walaupun manusia rajin beribadah,
namun masih mengerjakan perbuatan yang tercela, melanggar aturan, berjudi,
berzinah maupun mencuri.
12
RE-SERE PENANG
Re sere penang
Penangnga penang jambe
Maju kaka’ maju ale’
Pa bagus tengkana, lako becce’
Kalellan e ka’dinto
Terjemahan bebas :
Sirih-sirih pinang
pinangnya pinang jambe
mari kakak mari adik
perbaiki tingkah laku
berperilaku mulia
diridhoi lewat disini
Usia dini merupakan masa yang paling rawan sekaligus masa yang paling
menentukan bagi pembentukan jiwa dan kepribadian. Menurut para pakar psikologi
usia tersebut merupakan penentu keberhasilan, karena pada masa itu jaringan otak
bekerja maksimal menyerap informasi dari luar serta menyimpannya dengan rapi
dalam memori otak. Oleh sebab itu penanaman nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat terutama yang berkaitan dengan adab sopan santun, budi pekerti, etika,
norma-norma serta tata krama diperkenalkan sejak usia dini. Penanaman nilai-nilai
tersebut ditransformasikan dengan memberikan contoh nyata serta suri tauladan oleh
generasi tua. Proses transformasi tersebut dilakukan secara perlahan, bertahap, dan
berkesinambungan serta dilandasi oleh perasaan kasih sayang, sebagaimana
terungkap dalam kalimat, “Re sere penang / Penangnga penang jambe”( Sirih-sirih
pinang / pinangnya pinang jambe) – (daun sirih dan pinang merupakan simbol sejoli
(tak terpisahkan) terutama untuk “mena” (Madura) atau “nyusur” (Jawa).
13
Setelah anak menjelang dewasa dan diakui sebagai bagian anggota
masyarakat, maka interaksi sosial dilakukan sebagai upaya membaurkan diri dengan
lingkungan masyarakatnya. Di samping itu interaksi sosial dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam proses interaksi tersebut dapatlah
dilihat bagaimana kemampuan manusia menjalin hubungan yang baik, dikagumi,
dihormati, disukai serta menyenangkan. Tak salah kiranya puisi lisan Re Sere Penang
memberikan gambaran bahwa kemuliaan manusia hanya dapat dilihat dan
dipancarkan dari kepribadian dan budi pekerti luhur. Sebagaimana terungkap dalam
kalimat, “bagus tengkana, lako becce’” (bagus tingkahnya / berperilaku mulia ).
Proses panjang pembentukan akhlak mulia dan kebersihan jiwa mental
spiritual bagi kau muda merupakan tanggung jawab orang tua. Untuk menumbuhkan
kesadaran akan tanggung jawab mental dan moral, diperlukan keteladanan dari
lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Oleh sebab itu kontrol yang
dilaksanakan oleh orang tua, keluarga , dan lingkungan masyarakat sangatlah penting.
Kontrol sosial yang ketat merupakan ikatan tanggung jawab bersama, tanpa
melanggar hak azasi. Kontrol yang sangat ketat tersebut diharapkan akan mampu
mencetak pemuda-pemudi yang bertanggung jawab terhadap perilaku, mempunyai
akhlak yang mulia serta moralitas tinggi.
Dengan memiliki perilaku yang mulia, kaum muda akan menjadi insan-insan
yang bertanggung jawab, patuh, di sukai, di hormati, di hargai dan akan mampu
menciptakan lingkungan yang harmoni bagi masyarakatnya. Dengan memiliki
ketahanan mental serta moralitas yang kuat, maka akan terbentuklah sebuah generasi
yang tangguh. Sebagaimana termaktup dalam kalimat, “Kalellan e ka’dinto”,
(diridhoi lewat disini).
KER-TANOKER
Kertanoker, dimma bara’ dimma temorKer-soker, sapa nyapa kaadha’ lanjang omorKer-tanoker jambuna massa’ saseba’Ker-tanoker lagguna nyapa kaadha’
14
Ker-tanoker jambuna massa’ sapennayKer-tanoker lagguna nyapa e songayKer-tanoker jambuna massa’ sacorongKer-tanoker lagguna nyapa e lorongKer-tanoker jambuna massa’ pagarKer-tanoker lagguna nyapa e langgar
Terjemahan bebas :
Ker-tanoker dimana barat, dimana timur ker-tanoker, siapa yang menyapa duluan akan panjang umur Ker-tanoker ada jambu masak separuh Bila tak bertegur sapa, besok menyapa duluan Ker-tanoker ada jambu masak sekeranjang Boleh bertengkar besok menyapa di sendang Ker-tanoker ada jambu masak setakaran Boleh bertengkar besok menyapa di jalan Ker-tanoker ada jambu masak di pagar Boleh bertengkar besok menyapa di langgar
Ker-tanoker (kepompong) adalah makhluk hidup jelmaan ulat yang sedang
menjalankan proses metamorfosis. Ulat yang semula berbentuk bulat panjang, lembek
dan menjijikkan kemudian berubah bentuk menjadi kepompong yang dibalut
semacam serat, menempel dan bergelantungan di dahan, maupun di daun-daun. Pada
masa pertapaan dan menjadi Tanoker inilah anak-anak sering mengambilnya dan
menjadikannya sebagai alat bermain. Sebelum Tanoker mengeras, ujung kepala
sedikit lembek, dan apabila mendengar suara maka ujung yang berbentuk memanjang
ini akan bergerak-gerak, ke kanan, ke kiri maupun ke depan dan ke belakang.
Dan biasanya permainan ini dilakukan ketika anak-anak berselisih ataupun
bertengkar dan kemudian tidak saling bertegur sapa (bahasa Madura; soker). Nah,
anak-anak yang tidak bertegur sapa tersebut sebenarnya ingin menyapa, tetapi karena
saling menjaga gengsi mereka bersikeras tidak menyapa. Tetapi ketika salah satu
anak sudah tidak tahan untuk menyapa karena tidak punya teman bermain, maka anak
tersebut mencari Ker-tanoker (kepompong). Melihat anak yang satunya akan
menyapa, yaitu dengan mencari Ker-tanoker, maka ia pun berlari untuk mencari Ker-
tanoker pula.
15
Masing-masing anak-anak itu sudah mempunyai seekor Tanoker, lalu kedua
anak tersebut nangkring di kayu pagar masing-masing rumah. Kemudian kedua anak
tersebut saling (sambit) melempar kalimat yang ada pada syair Ker-tanoker dan saling
menjawab pula. Nah; kedua anak yang saling tidak bertegur sapa tersebut akhirnya
saling menyapa dan saling memaafkan.
Permainan dan nyanyian Ker-tanoker bukan hanya dipakai sebagai media
membuka area diplomat di kalangan anak-anak. Tetapi pada musim Tanoker
digunakan pula sebagai media bermain, pada musim Tanoker inilah anak-anak
bergembira ria, bersenda gurau dan saling melemparkan kalimat dalam bentuk pantun
dan saling bersahutan menjawab pantun yang dilontarkan oleh kawan sebayanya.
Apabila ujung kepala itu bergerak-gerak, itu menandakan bahwa pantun yang mereka
sampaikan itu benar, dan harus pula di jawab oleh yang lainnya. Permainan ini bis
dimainkan oleh dua orang, bisa juga berkelompok. Semakin banyak anak bergabung
ikut bermain, maka semakin ramai dan mengasyikkan permainan tersebut. Masing-
masing anak akan mencari Tanoker untuk dijadikan alat untuk bermain. Biasanya
Tanoker yang menjadi incaran anak-anak adalah yang besar, mereka mencarinya di
pohon yang sering dijadikan tempat bertelur ulat, misalnya pohon kedondong, jeruk,
Ketapang, dan pohon pisang
Makna yang Terkandung dalam Bait-Bait Ker-Tanoker
Kata Ker-tanoker merupakan diksi yang mendekati kata “soker” (tidak
bertegur sapa), dengan demikian terjadi keserasian pengucapan baik di awal kalimat
maupun akhir kalimat pada pantun yang diucapkan. Walaupun bahasa yang
digunakan sangat sederhana, namun mengandung makna tersirat mendalam. Makna
mendalam yang terdapat pada syair ini tentang esensi persaudaraan, persahabatan,
dan perdamaian. Hal ini disebabkan dalam interaksi sosial dalam kehidupan yang
komunal, setiap pribadi dan individu, masing-masing mempunyai kepribadian, watak,
dan karakter yang berbeda. Tentu saja dalam proses interaksi tersebut akan terjadi
benturan-benturan, baik pemikiran, persepsi, keinginan, maupun kepentingan. Akibat
16
dari ketidaksamaan tersebut maka akan terjadi perdebatan, pertengkaran bahkan
menjurus pada pertikaian fisik.
Untuk meredam berbagai bentuk benturan tersebut syair ini memberikan rambu-
rambu bagaimana harus berbuat, yaitu sebuah sikap mengalah. Mengalah belum tentu
kalah. Peribahasa mengatakan,” Kalah jadi arang, menang jadi abu”. Dengan
memiliki sikap mengalah maka akan terbangun sebuah kerukunan, dan dalam dimensi
yang lebih luas akan terbangun perdamaian yang abadi. Karena hakekat
sesungguhnya dari setiap pertengkaran dan pertikaian adalah untuk menguji
kerukunan. Bila terjadi perselisihan, berarti kerukunan sedang di uji. Mendahului
berbuat baik, mendahului menyapa, mendahului membuka area diplomatik
menunjukkan kematangan emosional maupun spiritual yang tinggi. Dengan
demikian mendahului berbuat baik, yaitu dengan jalan menyapa maka akan
mempererat tali persahabatan dan persaudaraan, tali silaturrahim serta akan
melanggengkan perdamaian.
Sikap mengalah dan sifat pemaaf harus dimiliki oleh setiap individu, dan itu
perlu ditanamkan sejak dini. Oleh karenanya, syair Ker-tanoker memberikan
gambaran kongkrit bagaimana harus bersikap ketika menghadapi pertentangan
maupun pertikaian, yaitu dengan cara mengalah dan menyapa. Membuka area
diplomatik dapat dilakukan dimana saja, terutama tempat-tempat yang
memungkinkan orang bertemu dan berkumpul. Dimana orang melakukan aktivitas
keseharian dalam memenuhi kebutuhan hidup maupun saling ber-interaksi sebagai
makhluk sosial. Tempat-tempat tersebut, antara lain di jalan, di langgar, di sendang,
maupun di pasar. Sebagaimana yang termaktup pada isi syair,
//Ker-tanoker lagguna nyapa kaadha’ / Ker-tanoker lagguna nyapa e songay /Ker-
tanoker lagguna nyapa e lorong /Ker-tanoker lagguna nyapa e langgar // -
(// Bila tak bertegur sapa, besok menyapa duluan / Boleh bertengkar besok menyapa
di sendang / Boleh bertengkar besok menyapa di jalan / Boleh bertengkar besok
menyapa di langgar //).
Bait-bait sederhana yang terdapat pada syair Ker-tanoker mengajak setiap
pribadi untuk menunjukkan kematangan pribadi, baik kematangan psikis maupun
17
fisik. Dengan memiliki kematangan kepribadian, maka perbedaan pendapat,
perbedaan persepsi, perbedaan keinginan, karakter maupun watak bukan berarti
membuka lebar jalan pertentangan atau pertikaian, malah sebaliknya akan membuka
pintu kerukunan dan perdamaian. Sebagaimana dikatakan bahwa perbedaan itu
adalah suatu rahmat. Nilai etika dan moralitas tinggi inilah yang mesti dijadikan
bahan renungan panjang setiap pribadi untuk membangun masyarakat komunal yang
rukun, guyub dan ber-keadilan.
TAN-PANGANTANAN (TAN-MANTANAN)
Tradisi Tan Pangantanan merupakan sebuah permainan yang dilakukan oleh
anak-anak di kala senggang. Permainan yang sangat menyenangkan ini dilakukan
setelah panen tiba, setelah anak-anak selesai membantu panen di sawah. Mereka
biasanya berkumpul, dan secara spontan membentuk kelompok yang terdiri dari
kelompok utama (perempuan) dan kelompok besan (laki-laki). Kedua kelompok
tersebut kemudian berlomba untuk menghias pengantin jagoannya di tempat yang
berbeda. Adapun hiasan yang dipakai oleh sepasang pengantin anak-anak tersebut
sangat sederhana, terdiri dari kain panjang (samper palekat) yang dililitkan ke tubuh
masing-masing pengantin sebatas dada. Sedangkan tata rias memakai lulur yang
dibuat dari beras dan temmo (kunir & kunyit putih). Lulur tersebut dibalurkan ke
seluruh tubuh dan wajah pengantin, sehingga tampak bagian tubuh yang diluluri
berwarna kuning (koneng ngamennyor). Sedangkan untuk mempercantik penampilan,
maka di atas kepala di pasang sebuah mahkota yang di buat dari rangkaian daun
nangka, dan roncean bunga melati. Aksesoris pengantin agar tampil menarik adalah
rumbaian dari roncean daun melati (to’oran dhaun malate) yang digantungkan di
leher, serta dilengkapi pula sumping daun kamboja, gelang kaki dan beberapa
pelengkap bawaan yang di bawa oleh pengiring.
18
Setelah siap, kedua belah pihak bersepakat mempertemukan kedua pengantin
di tempat yang telah ditentukan. Setelah kedua pengantin bertemu lengkap dengan
para pengiringnya, baru kedua belah pihak bersepakat untuk mengarak kedua
mempelai. Sepasang pengantin tersebut kemudian di arak keliling kampung,
berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya. Arak-arakan tersebut mampu
menyedot perhatian masyarakat yang dilewati, dan terkadang iringan pengantin
semakin panjang karena diikuti penonton lainnya, terutama anak-anak. Sambil
berjalan para pengiring melantumkan syair, Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.
Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Dhe’ nong dhe’ ne’ nangNanganang nganang nong dhe’Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggurLa sayomla haeto lillahYa amrasol kalimas topa’Haena haedhang haena dhangkongPangantanna din ba’aju din tamenggung
Ayola’ yole nengkong abli pole ngantolKoddu’ pace pacenan, langsep buko lon alonPangantan ka’imma pangantanMantan loji pamaso’a ka karatonBu’ saeng lema’, bu’ saeng lema’Aeng tase’ bang kambanganDhu panarema, dhu panaremaBalanjana saare korang
Bidaddari le’ bidaddar kongNase’ obi le’ kowa lurkingBan-gibannna le’ nase’ jagungPangerengga le’ pate’ buttongYa, hadirin tore so’onnagi Paneka pangantan sopaja kengeng salametYa salam, ya salam
19
Kitab suci dah lama-lamanyaKini pengantin lah tiba lah tibaKepada kawan-kawanku semuaMudah-mudahan berjumpa lagi
Tan-taretan sadajana e dalem somanaDi sana e ka’dinto Karangduwek nyamaeponNyara taretan abadi kacintaan abadi kanesseranOlle tetep Islam ban Iman
Jam yuju jam delapan, ana’ serdadu mekol senapan (dar)Yam berana’ etekla ayam pengantin baru sudah berjalan
Tette ajam bindhara, pangantan ka’ imma pangantanPangantanna din ba’aju din tamongkong
Jas Turki pakaian celana putiAan’ ayam berani mati, jas turki sudah mati
La bu’na mela, ajam poteCocco’ sengkang e soro pajikaran
Uraian Peristiwa dalam Bait-Bait, “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.”
Berdasarkan analisa yang terkandung dalam syair, dan berdasarkan perkiraan
sesepuh Sumenep, H. Saleh Muhammady, bait-bait “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”,
bahwa syair ini diciptakan sekitar tahun 1574 M, sebagaimana tertera dalam kalimat,
kalimas topa’”, yaitu dari kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7) dan pa’ (4). Namun tidak
menutup kemungkinan angka tersebut belum menjamin kebenarannya, karena analisa
lain, kata, “kalimas topa’” memiliki makna lain pula.
Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah rentetan sejarah awal
terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat diuraikan dalam kalimat, “Koddu’
pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata koddu’, yang condong pada jaman
pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran Wetan - 1574 M), yaitu pada jaman Ratu
Tirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di sebut dalam
kata, “bukong”, artinya kakak tua, yaitu perlambang burung yang menjelaskan bahwa
20
Tumenggung Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri masjid Jamik dan
keraton Sumenep).
Rentetan Peristiwa Sejarah pada Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Pengungkapan sejarah pangeran Wetan yang menghancurkan tentara Bali
ketika menyerang Sumenep. Sebagaimana di sebut dalam kalimat, “mon ta’ nondhe’
jaga jaggur”, artinya kalau tidak tunduk maka akan dijatuhkan ke laut (jaggur,
sinonim suara benda jatuh ke air). Tentara Bali mengalami kekalahan, dan kemudian
sisa-sisa tentara Bali tersebut menyingkir ke daerah pinggiran. Daerah pemukiman
yang ditempati oleh sisa-sisa tentara Bali dan keturunannya tersebut dinamakan
Pinggir Papas. Sampai saat ini tradisi Bali (Hindu) masih dijadikan acara ritual, yang
dikenal dengan ritual “Nyadar.”
Tentang pemerintahan Pangeran Lor II dan Pangeran Wetan II, dan
meramalkan masuknya kolonial Belanda, sebagaimana disebut pada kalimat, “Haena
haedhang haena dhangkong”, maksudnya (sujud). Kalimat tersebut menjelaskan
masuknya sekularisme di Sumenep, yang tentunya isme yang di bawa oleh penjajah
Belanda tersebut akan berakibat terganggunya stabilitas pemerintahan, Tumenggung
Sumenep.
Pengungkapan masa pemerintahan Cakranegara I, “Pangantan loji pamaso’a
ka karaton”, (pengantin lojji dimasukkan ke keraton). Ini berkaitan dengan kisah,
ketika pangeran Cakranegara I dalam perjalanan ke Demak. Di tengah perjalanan,
tepatnya di daerah Sampang pangeran Cakranegara dirampok sehingga beliau tidak
bisa kembali ke Sumenep. Akibat peristiwa tersebut maka terungkaplah kalimat,
“pangantan, ka’ imma pangantan”, artinya pengantin kemana pengantin (pangeran) ?
Kalimat, “aeng tase’ bangkambangan” (air laut mengambang). Makna pada
kalimat tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa yang berasal
dari seberang. Pada masa itu rakyat tidak menyenangi pemimpin yang bukan berasal
21
dari istana Sumenep, akibat rasa ketidaksenangan tersebut maka muncullah
pemberontakan. Namun pemberontakan rakyat tersebut dapat ditaklukkan oleh Raden
Mas Anggadipa. Peristiwa tersebut memunculkan sebuah kalimat, “duh panarema,
duh panarema”, yang berarti terimalah semua itu dengan besar hati dan lapang dada.
Pencerminan kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Jayeng Pati. Pada masa itu
terjadi krisis ekonomi dan mampu mengganggu stabilitas. Krisis yang terjadi tersebut
disebabkan oleh ulah Jayeng Pati sendiri karena Jayeng Pati merubah peraturan dan
adat istiadat. Di samping itu Jayeng Pati merupakan otak peristiwa perampokan
terhadap Cakranegara I. Pada masa pemerintahan Jayeng Pati, mengalami krisis
ekonomi dan menyebabkan kehidupan rakyat mengalami masa-masa pahit, dan itu
menyebabkan rakyat hanya mampu makan, “nase’ obi kowa lorkong”, artinya makan
ubi dan sayur lorkong (jenis tanaman makanan ular).
Pada masa inilah tumbuh subur penyakit mental di kalangan istana, yaitu oportunis,
KKN, dan ABS. peristiwa ini dikiaskan pada kalimat, ”pangerengnga pate’
buttong”, artinya pengiringnya adalah anjing tak berekor.
Kisah tentang masa kepemimpinan Yudha Negara, ialah masa kembalinya
dari keturunan Pangeran Cakraningrat I setelah merebut kekuasaan dari Jayeng Pati
dengan bekerja sama dengan Pangeran Trunojoyo. Saat itulah rasa patriotisme mulai
menjalar, masa usaha menghancurkan kolonialisme Belanda, meski masih memakai
sistem pemerintahan feodalisme aristokrat. Namun mendapat pujian rakyat,
sebagaimana terdapat pada kalimat, “paneka pangantan sopaja kengeng Salamet, ya
salam, salam”, (ini pengantin (pangeran) supaya mendapat keselamatan, ya selamat,
selamat), yang pada masa itu masih bergolak perlawanan Trunojoyo.
Kisah tentang masa pemerintahan Pulong Jiwo, “kini pengantin lah tiba”, yang
dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kembalinya Pulong Jiwo dengan
mengadakan perbaikan-perbaikan di dalam sistem pemerintahan dan juga
rasionalisme kultur yang rusak akibat masa pemerintahan Jayeng Pati.
22
Penerus kebijakan Pulong Jiwo, yaitu pangeran Romo. Ia dianggap orang yang
mumpuni dengan menerapkan sistem bapaisme yang merupakan perangkat dari
sistem feodalisme aristokrat, sehingga terjadi revolusi keraton. Untuk ini terungkap,
“tan taretan sadjana e dalem somana”, artinya saudara-saudara yang berada dalam
soma (rumah tangga), jadilah kepala rumah tangga yang baik dan bijak. Adat istiadat
mulai berkembang dengan harapan, “olle tetep Islam dan Iman”, agar tetap Islam dan
Iman.
Kisah masa pemerintahan Wiromenggolo I, yaitu saat terjadi pemberontakan
melawan Belanda, disebut, “ana’ serdadu mekol senapan,” (anak serdadu memikul
memanggul senjata). Menyebut Wiromenggolo I yang anti Belanda namun masih
tertutup, termasuk yang anti Belanda ialah Wiromenggolo II serta cucunya, Jaga
Sastro yang tewas ketika menyelamatkan pangeran Diponegoro pada saat
pertempuran di Madura.
Kisah masa pangeran Lolos, sebagaimana disebut, “pangantan ka’imma pangantan”,
(penganten (pangeran) dimana pangeran), pada waktu pangeran Lolos di serang
Raden Buka’. Pangeran Lolos disebut juga pangeran Jimat.
Masa pemerintahan Raden Buka’ (Jimat), dijelaskan pada kalimat, “jas Turki pakaian
celana puti”, dimaksud jas Turki celana putih, yaitu pakaian jas bentuk terbuka
sebagaimana pakaian orang Turki, dengan kopiah merah berumbai-rumbai. Jas
terbuka ini menandakan jaman masa Raden Buka’.
Masa Ke’ Lesap, yang tertera pada kalimat, “Yam beranak etekla ayam pengantin
baru sudah berjalan”. Maksudnya pemerintahan diganti oleh seseorang tapi bukan
dari tutrunan pangeran Wetan. Memerintah hanya sebentar karena selalu terjadi
peperangan.
23
“La bu’na mela ajam poté”, artinya masa pemerintahan oleh seorang ibu, yaitu Ratu
Tirtonegoro. Roda pemerintahan berikutnya diserahkan kepada Bindara Saod (1750-
1762 M). namun timbul permasalahan sebagaimana dalam kalimat, “cocco’ sangkang
e soro pajikaran”, artinya dipatuk burung gelatik disuruh tukang pedati. Yaitu
pemerintahan pedati yang bukan dari keturunan pangeran Wetan, tapi dari orang
kebanyakan (golongan masyarakat rendah).
Rentetan analisis di atas hanya merupakan bagian-bagian tertentu dari masing-
masing bait. Namun demikian versi lain masih terjadi penafsiran lain yang bersifat
dimensional. Jadi makna ganda dan dimensionalis dogma yang terkandung
merupakan rangkaian makna yang tersirat. Maknanya juga bisa berarti dialektika
sejarah, budaya, filsafat, sufistik melalui Doktrin-doktrin yang memiliki kekuatan
politik serta kritik sosial pada jamannya.
Disisi lain, syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mempunyai pengertian
mengangkat ritualisme melalui jalur pengantin anak-anak, sebagaimana harapan
penciptanya (anonim) agar lebih mudah dan leluasa dijiwai oleh masyarakatnya, yaitu
ritual pengantin yang diangkat menjadi tradisi (folklore).
Demikian pula irama yang dihasilkan, bagaikan lantuman gaung penderitaan,
ketidakpuasan, kecintaan, keagungan, kebahagiaan seperti letupan-letupan detak
gendang dan gong di pendapa. Maka terciptalah rasa senasib sepenanggungan,
sebagaimana dimaksud pada kata, “dhe’-nondhe’”, yang berasal dari kata, “dhu’
nondhu’”, yang artinya menunduk. Dalam pengertian nondhu’ para orang tua Mdura,
menyimpulkan kepada, “Bapa’, babu’, guru, rato”, maksudnya tunduk kepada ayah,
ibu, guru (ulama), dan ratu (pemimpin).
KANDUNGAN FILSAFAT
Nilai filsafat yang terkandung dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang
merupakan manifestasi dari latar belakang sejarah yang terkondisi oleh berbagai
permasalahan kehidupan. Kebenaran yang tersirat merupakan makna
dimensionalisme dogma. Maknanya bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat,
24
sufisme melalui kerangka doktrina-doktrina yang mempunyai kekuatan politik dalam
kritik-kritik sosial pada jamannya.
Dari sudut budaya, pengertian Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mengangkat
ritualisme dari jalur pengantin anak-anak, menuju obyek sasaran yang dikehendaki
oleh pembuatnya. Hal ini nampak jela terungkap pada tiap-tiap bait, bait pertama
hingga bait tiga belas, merupakan ritualisme dari awal pengantin sampai pada babak
kelahiran (bait 9) dan diteruskan sampai beberapa bula berikutnya.
Disebutkan pada awal bait, secara filsafat dapat di teropong sebagai masa
bulan madu, yang diiringi dengan suasana gembira dan bahagia dalam irama
gamelan, dhe’- nondhu’ (dhu’-nondhu’ artinya masa menunduk), yaitu rasa bahagia
tetapi diliputi rasa malu, hati yang tenang karena sudah berlabuh kebahagiaan.
Tenang disini diungkap pada kalimat, “ne’ nang jaga (gong) jaggur”. Jaggur
berkonotasi dua pengertian, yaitu jatuh dan atau buah pohon jati. Ini merupakan
idealisme pengantin yang tinggi, suatu nilai kerahasiaan wanita (keperawanan) yang
selalu didambakan pada awal malam pertama. Buah pohon jati (bulat kecil merah
membara terdapat noktah hitam) mempunyai maksud setitik, yang melambangkan
titik mutfah yang terjaga. Bahkan dalam pengertian haena haedeng haena
dhangkong, masa itu adalah masa penyesuaian watak dan karakter.
Menurut sunnnaturrasul dikatakan, waktu mutfah dimasuki ruh yang terdapat
pada bait ke-3, dan selamatan pada bait ke-7. perjuangan hidup dan mati pada bait ke-
8 dan ke-9, yang mempunyai arti masa kelahiran. Sementara pengamat yang lain
mengatakan, kalimat pakaian jas Turki merupakan singkatan bahasa Madura, yang
ber-pengertian bahwa masa membersihkan diri pada masa persalinan. Sehingga
secara budaya, merupakan ritualisme adat yang secara universal semua orang
mengalami peristiwa tersebut.
Dalam pengertian sudut filsafat, sangat jelas sekali bahwa dimaksudkan
merupakan ajaran atau doktrina ontologia, yang menjelaskan tentang hakekat asal,
akhir dari tujuan hidup. Dan apabila dikaitkan dengan ilmu kebatinan Jawa, hal ini
merupakan hakekat Sangkaning Dumadi. Yaitu, hakekat sebelum dan sesudah hidup.
25
Pengertian masa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang, yaitu pada masa Awang Wung, masa
kekosongan dalam awal azal.
Bait ke-3 memberikan pengertian filsafat yang tinggi sampai bait ke-12. ini
merupakan doktrin filsafat tentang hidup. Tentang hakekat, tarekat, dan makrifat
dalam syariat hidup. Tentang awal tidak hidup menjadi ada hidup dan tidak ada
hidup, dan hidup yang dikekalkan dari semua makhluk. “Ada hidup”, yang
dikemukakan dalam, “jaga jaggur”, yaitu hakekat Jati sperma yang hidup, (“jaga
berarti bangun dari tidur, bhs. Madura). “Haetolillah” (Hidayatullah), berserah diri
kepada Allah. “Ayam beranak etek” (ayam beranak bebek), ini menjelaskan filsafat
periodeisme, bukan menjelaskan dan mendukung filsafat Darwinisme, yang
digelarkan pada teori evolusinya, dan juga bukan merupakan revolusinya Kal Mark.
Tetapi merupakan sebuah realitas di bumi Sumenep tentang periodeisme
metamorfosis. Tidak ada manusia dari kera menurut Dhe’ nong dhe’ ne’ nang, tetapi
yang ada ialah logika, “Yam beranak, eteklah ayam”, karena ayam mengeram telur
etek (bebek). Demikian antara lain kandungan filsafat yang tercakup dari bagian-
bagian bait dan baris tertentu.
Ungkapan lain yang terungkap, bahwa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang tersimpan
doktrin tasawuf yang terkandung didalamnya. Yaitu, pada bait ke-1 sampai bait ke-4
yang menyangkut ilmu psikis. Bait ke-5 sampai ke-8 menjelaskan tentang ilmu
methaphisik. Dan bait ke-13 memjelaskan tentang pendapat dari penulisnya, yaitu
tentang hakekat, “cocco’ sengkang esoro pajikaran”, yaitu tentang hakekat paruh
burung gelatik disuruh pedati. “Soro” dalam bahasa Madura mengandung makna
kunci (sorok). Jadi apabila dipadukan bisa berarti paruh burung Gelatik pada kunci
pedati. Sehingga dengan kata lain, ungkapan tersebut dapat berarti paruh yang
bersudut, berpusat pada titik poros kunci pedati, maka berarti bahwa dorongan
perputaran roda pedati. Dalam tasawuf yang dua belas itu, merupakan dialektika dan
romantika gerak roda pedati, dalam pengulangan hakekat ajaran tasawuf.
Kajian tentang syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang memng memerlukan peralatan
dan wacana yang memadai, karena makna yang terkandung didalamnya mengandung
isyarat-isyarat yang sangat mendalam. Sebab tradisi semacam Tan Pangantanan ini
26
memiliki akar budaya yang sangat kuat sebagai landasan terbentuknya tatanan
kehidupan masyarakatnya pada jaman dulu hingga sekarang. Secara implisit makna
kandungan dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang masih sangat banyak dan perlu
pendalaman. Namun untuk mengungkap makna seluruhnya tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan, karena didalamnya masih tersimpan dimensi lain yang
berkaitan dan bersifat transendental.
SET-SESET MALOKO’
Set-seset maloko’Iya tompe, iya bu’bu’Tompena bagi ka mama’naBu’ bu’na bagi ka embu’na
Terjemahan capung-capung kecil ini kulit (dedak kasar/luar) jagung, ini dedak jagung kulit (dedak kasar) untuk sang bapak dedak jagung untuk sang ibu
Seset (Capung) adalah sejenis serangga yang banyak diketemukan pada
pergantian musim hujan ke musim kemarau. Pada pergantian musim inilah Capung-
capung mulai mengepakkan sayapnya, membelah angkasa. Nyanyian yang hanya
terdiri dari empat bait ini biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu sambil
menggendong anaknya ketika sedang menyuapi makanan pada sang anak.
Set-seset maloko’, adalah rangkaian kalimat yang sangat sederhana, namun
apabila dikaji lebih jauh lagi maka setiap baris dalam kalimat tersebut mempunyai
nilai filosofis yang sangat mendalam. Secara umum bait-bait ini memberikan nuansa
umum tentang perbuatan baik dan menyenangkan kepada siapapun. Namun secara
27
khusus, baris ketiga dan keempat memberi penekanan tentang keutamaan makhluk
ciptaan-Nya, yaitu keutamaan seorang ibu.
Ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah nabi besar
Muhammad SAW, siapakah orang pertama yang wajib dihormati dan diutamakan,
Rasulullah menjawab ibu, pertanyaan tersebut dilontarkan sampai tiga kali, dan
Rasulullah tetap menjawab ibu, baru keempat kali Rasulullah menjawab bapak. Ruh
dari sabda nabi besar Muhammad SAW tersebut telah menjadi darah yang mengalir
dalam setiap nadi dan menjadi kultur suku bangsa Madura yang menempatkan sosok
ibu menduduki tempat yang sangat istimewa dan utama. Tidaklah mengherankan
apabila penulis syair ini memberikan sesuatu yang sangat istimewa bagi sang ibu,
“bu’bu’na bagi ka embu’na”.
Baris keempat, “bu’bu’na bagi ka embu’na”, kalimat ini sejalan dengan
kebutuhan ibu dalam pemenuhan gizi.. Bu’ bu’ (dedak jagung ) adalah bahan
makanan mengandung nutrisi gizi yang sangat tinggi. Mengapa bu’ bu’ (dedak
jagung) ini diberikan kepada ibu ? Bukan kepada Bapak ? Mengapa sang bapak cuma
di beri tompe (kulit luar/dedak kasar) ? Pertanyaan ini tentunya sesuai dengan
kebutuhan ibu sebagai pendonor pertama kebutuhan nutrisi gizi bagi putra-putrinya..
Dedak jagung adalah bahan makanan yang halus dan enak, banyak mengandung gizi
yang tentunya sangat berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama
untuk ibu hamil dan menyusui. Mengapa bu’bu’, bukan makanan lain seperti beras ?
Karena ketika penulis syair ini hidup pada masa itu, jagung merupakan makanan
pokok suku Madura.
Namun esensi dari baris keempat pada puisi lisan tersebut, bahwa manusia
Madura memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada sosok Ibu. Tentunya
ini merupakan ruh dari kultur budaya Madura yang relegius.
28
LIR-SAALIR
Lir saalir lirsaalir alirkungKan akowak epakajeMa’ ta’ rengsa se nyareLir saalir lirsaalir alirkungReng ta’ kowat ja’ akarjaMa’ ta’ sossa budhi are
Lir saalir lirsaalir alirkungKa gunong ngala nyorowanKope bella kabadha’anLir saalir lirsaalir alirkungPeker bengong ta’ karowanNape bula katamba’a
Lir saalir lirsaalir alirkungNgala’ baddha ban-sarombenNyambi padhi gan sakesse
Lir saalir lirsaalir alirkungDika jaga ja’ ban-abanDuli mandhi ma’le berrse
Lir saalir lirsaalir alirkungNgenjam buku pas pabaliSe andhi’ ma’ ta’ seddhi
29
Lir saalir lirsaalir alirkungSabban laggu dika mandiJa’ loppa ngossowe gigi
Lir saalir lirsaalir alirkungMon teggal badha atoghuBa’na entar mon kacapo’
Lir saalir lirsaalir alirkungLamon ba’na ngedhing lagguDuli jaga mokka’ sapo’
Lir saalir lirsaalir alirkungMolong tarnya’ ekaganganNgeba kaju gan saso’on
Lir saalir lirsaalir alirkungAgabbasan katedunganBantal gulung pas esoson
Lir saalir lirsaalir alirkungLambajung baddhai kesseE attassa etopoe
Lir saalir lirsaalir alirkungMon terro romana berseTanto bai esapoe
Lir saalir lirsaalir alirkungMon ka teggal ngeba laddingSe ta’ parlo pas epoger
Lir saalir lirsaalir alirkungSamarena pas ka jeddhingTerros mandhi ma’le segger
Pengertian bebas bait 1 dan 2
Lir saalir lirsaalir alirkung (sebagai pembatas sampiran dan isi, juga sebagai pembuka)
berteriak kuat-kuat mencari biar tak penat kalau tak mampu jangan dipaksakan mengadakan perhelatan
30
agar tak susah di hari kemudian ke gunung mengambil tawon (lebah) botol pecah adanyapikiran bingung tak karuan bagiku apakah obatnya
Nyanyian (lagu) Lir-saalir yang bernada riang dan sedikit menggelitik ini
senantiasa di awali dengan syair Lir saalir lirsaalir alirkung, dan juga ketika
pergantian baris kedua dan di akhir nyanyian.. Biasanya anak-anak membentuk
kelompok dan menyanyikan secara bergantian. Ketika sampai pada kalimat, “Lir
saalir lirsaalir alirkung” maka secara spontan tangan mereka akan bertepuk tangan
dengan riuh serta menyerukan kata kung dengan nada yang panjang.. Bait Lir saalir
lirsaalir alirkung merupakan pembatas sampiran dan isi dan juga sekaligus dijadikan
pembuka ketika memulai nyanyian.
Makna yang Terkandung
Bait-bait yang disampaikan dalam nyanyian Lir saalir lirsaalir alirkung
sangatlah sederhana, namun dari kesederhanaan tersebut mengandung nilai-nilai
kearifan yang sangat tinggi, khususnya syair ini memberikan nasehat kepada
seseorang tanpa melukai perasaan yang dinasehati.
Syair ini mengingatkan kepada semua orang agar berbuat sesuai dengan
kemampuan, ini berkaitan dengan interaksi sosial di masyarakat. Biasanya individu-
individu dalam masyarakat ingin lebih dibandingkan dengan orang lain. Sebagai
makhluk sosial interaksi instens senantiasa dilakukan, baik dalam bentuk organisasi,
perkumpulan, maupun pengajian. Syair ini memberi wejangan kepada siapapun
untuk tidak memaksakan diri meniru cara orang lain yang lebih mempunyai peluang
di bidang finansial atau materi. Terutama ketika sedang mempunyai hajatan atau
perhelatan, sebagaimana yang termaktub dalam kalimat, “Reng ta’ kowat ja’ akarja,
ma’ ta’ sossa budhi are”. (kalau tak mampu jangan dipaksakan mengadakan
perhelatan / agar tak susah di hari kemudian).
31
Dengan kata lain, jangan sok gengsi. Gengsi, kata tersebut merupakan pemicu
untuk berbuat memaksakan diri walaupun tidak mampu. Gengsi pula yang
menyebabkan seseorang nekat berhutang kian kemari hanya untuk memuaskan nafsu
ingin dipuji, karena meskipun secara materi tidak mampu tetapi dengan cara apapun
bisa melaksanakan hajatan sangat meriah dan mendapat pujian. Syair ini
mengingatkan agar berbuat sesuai dengan kemampuan, tidak memaksakan diri untuk
hanya sekedar menaikkan gengsi. Karena dengan pemaksaan diri yang berlebihan,
maka akan mendapatkan kesusahan di kemudian hari. Syair ini memberikan
gambaran yang sangat jelas dan utuh, “//Lir saalir lirsaalir alirkung / Ka gunong
ngala nyarowan / Kope bella kabadha’an / Lir saalir lirsaalir alirkung / Peker
bengong ta’ karowan / Nape bula katamba’a //. (//ke gunung mengambil tawon
(lebah) / botol pecah adanya / pikiran bingung tak karuan / bagiku apakah obatnya//)
JAN-ANJIN
Jan anjin lang kocipla’ lan koceblungNgala’ aéng badai bagungKapandiya jaga tedhungTa’ cipla’ ciblung
Terjemahan bebas :
Ayun-ayun kocipla’ lang kociblung
32
mengambil air didalam tempayan untuk mandi bangun tidur kocipla’ kociblung
Biasanya nyanyian ini didendangkan oleh ibu-ibu muda untuk anak balitanya.
Sambil duduk di kursi yang agak tinggi sang ibu mendendangkan lagu, kaki sang ibu
dijulurkan sampai mencapai tanah. Kemudian anak diletakkan diantara pergelangan
kaki. Tangan anak dipegang oleh ibu kuat-kuat. Setelah itu kaki sang ibu diayun-
ayunkan keatas dan ke bawah sambil mendendangkan lagu tersebut. Tentu sang anak
tertawa senang dengan ayunan kaki sang ibu.
Nyanyian ini menggambarkan kegembiraan yang meluap saat mengambil air.
Kondisi geografis Madura yang menyebabkan kondisi alam yang kurang
menguntungkan. Dengan curah hujan yang sangat kecil menyebabkan lahan-lahan di
wilayah Madura tandus. Maka tidaklah mengherankan ketika mengambil air di
sungai, di sumber mata air maupun di sendang, luapan kegembiraan itu muncul
dalam bentuk nyanyian. Keciplak, keciblung adalah irama yang dihasilkan apabila
tangan dipukulkan ke arah air.
Di samping air merupakan sumber kehidupan yang utama, ternyata air juga
mempunyai irama. Dan ini sudah dibuktikan oleh ilwuwan Jepang dengan
penelitiannya yang intensif pada air. Air bukan hanya melepaskan dahaga semata
atau menghasilkan irama saja, melainkan juga sumber tenaga dan muara dari hidup
sehat. Oleh karenanya, menjaga kesehatan menjadi sangat penting yaitu dengan
melakukan ritual mandi’.
GAI’ BINTANG
Gai’ bintang ya le’ gaggar bulanpagai’na janor konéngkaka’ elang ya le’ sajan jaupajauna e lon-alonliya lites, kembang ates, tocca’ toccer
Terjemahan bebas :
33
Menjolok bintang yang jatuh rembulan alatnya janur kuning abang pergi kian jauh jauhnya ke alun-alun (liya lites, kembang ates, tocca’ toccer)
Menjolok bintang, adalah sesuatu yang sangat mustahil, siapapun tidak akan
bisa melakukan pekerjaan tersebut. Apalagi alat yang dipakai menjolok hanya janur
kuning, apabila ditegakkan maka janur tersebut akan melengkung. Nyanyian tersebut
merupahan sindiran yang sangat halus dan disampaikan kepada siapapun yang
berangan-angan terlalu tinggi. Peribahasa Madura juga mengatakan, “mlappae manok
ngabang – (membumbui burung terbang)”. Tentu saja ada kesamaan tujuan dari bait
pertama puisi gai’ bintang dengan peribahasa Madura, mlappae manok ngabang,
yaitu memberikan sebuah persepsi bahwa terkadang sesuatu yang diperoleh tidak
sesuai dengan harapan, bahwa semua yang diinginkan oleh manusia tidak akan
menjadi kenyataan. Semuanya tergantung kepada pemberian-Nya. Hal itu terdapat
pada syair, gai bintang, ya le’ gaggar bulan (menjolok bintang, yang jatuh
rembulan).
Kandungan isi yang dapat di petik pada syair ini adalah nilai relegiuitas.
Dalam benak manusia, bintang merupakan benda langit yang paling jauh dari
permukaan bumi dan sinarnya mampu memberikan penerangan di malam gelap
gulita. Bintang juga menjadi penunjuk arah, terutama untuk para nelayan ketika
mengarugi lautan yang luas. Bahkan bintang menjadi penunjuk untuk para petani
ketika akan memulai bercocok tanan. Menjolok bintang, merupakan sebuah impian,
namun yang terjatuh justru rembulan. Mengapa rembulan ? Karena rembulan
merupakan benda paling dekat dengan bumi, dan apabila rembulan secara penuh
menampakkan wajahnya, maka untuk meraihnya cukup dengan menjangkaukan
tangan.
Kaka’ elang ya le’ sajan jau’ (abang pergi kian jauh), bait ketiga ini
memberikan semacam legitimasi pada bait pertama dan kedua. Dan kemudian
ditutup dengan kalimat, pajauna e lon-alon, (jauhnya ke alun-alun). Syair ini
34
memberikan semacam sinyal kepada manusia tentang sebuah nilai, yaitu
memberikan sebuah persepsi bahwa terkadang sesuatu yang diperoleh tidak sesuai
dengan harapan, bahwa semua yang diinginkan oleh manusia tidak akan menjadi
kenyataan. Semuanya tergantung kepada pemberian-Nya
ES LILIN CABBI
Es lilin campor cabbi, ayo, biBittas ngonyer, ayo nyerNyerra otang, ayo tangTanggal ennem, ayo nemNembung pete’, ayo te’Tekos juling, ayo lingLingker olar, ayo larLar barongso, ayo soSoma raja, ayo jaJa maraja !
Permainan ini biasanya dimainkan secara berkelompok, paling sedikit diikuti oleh 4 orang anak, biasanya berpasangan, semakin banyak anak bergabung maka semakin ramai dan seru. Pada sore ataupun pada saat senggang ketika anak sudah terbebas dari rutinitas kegiatan wajib, misalnya belajar atau mengaji biasanya mereka berkumpul. Nyanyian dan permainan Es Lilin Cabbi ini berirama mars, cukup dinamis, dan mampu mengundang suasana hati yang cukup menyenangkan dan menggembirakan. Bukan hanya lagunya yang dinamis, tetapi juga gerakan-gerakan dalam permainan ini mengasah. motorik anak.
Lagu dan permainan ini dilakukan secara bersamaan, sambil bernyanyi mereka membentuk lingkaran dan berputar dalam posisi tangan saling berpegangan dan berhadapan. Setelah bait terakhir berakhir maka anak-anak yang bermain secara
35
bersamaan membalikkan badan tanpa melepaskan genggaman tangan. Setelah itu mereka mencari pasangan untuk saling mengaitkan salah satu kaki. Setelah itu mereka saling bertahan agar kaki mereka yang tertaut tidak lepas. Terkadang untuk menambah permainan semakin seru, pasangan-pasangan yang kakinya saling bertaut melompat bersamaan. Kalau tautan kaki sepasang anak-anak tersebut lepas, ini menandakan pasangan tersebut kalah.
Biasanya permainan dimainkan berkali-kali, sampai semua pasangan merasakan kalah. Gelak tawa keceriaan dan aroma kegembiraan senantiasa mengiringi permainan ini. Nyanyian dan permainan ini bukan hanya mampu mendidik anak-anak bersosialisasi dengan teman sebaya, tetapi juga sebagai arena olahraga untuk menyehatkan badan. Karena seluruh aktivitas permainan ini penuh gerakan-gerakan yang menuntut anak bersikap aktif dan dinamis.
TUN LAETUN
Tun laetun, laetun tellorra kopek,ala itun mundong, pak guplak sidin balik koko komel
Nyanyian Tun Laitun biasanya dinyanyikan oleh anak-anak, baik perempuan
atau laki-laki. Biasanya dinyanyikan dan dimainkan untuk menghibur anak balita
ketika anak tersebut ngambek dan menangis tidak ada hentinya. Ketika sang Balita
tersebut menangis dan tidak bisa di hibur dan didiamkan, maka sang ibu akan
memanggil anak-anak untuk berkumpul dan menyanyikan lagu Tun Laitun. Lagu
yang cukup sederhana ini biasanya dapat menghibur sang Balita dan
menghentikannya dari tangisan yang berkepanjangan.
Setelah beberapa anak berkumpul, lalu mereka duduk bersimpuh di lantai
dengan posisi melingkar. Kedua telapak tangan anak-anak tersebut dikembangkan
dan saling bersentuhan antara kedua telapak tangan. Biasanya sebelum permainan ini
dimulai, mereka melakukan suit, yang menang suit akan mengawali permainan.
Bersamaan mereka bernyanyi dipimpin oleh yang pertama memenangkan suit, tangan
kanan pemenang suit secara bergantian dan berkeliling menunjuk rentangan telapak
tangan anak-anak yang lainnya. Sedangkan tangan kiri tetap dalam posisi
36
mengembang. Ketika lagu tersebut selesai dan tangan yang mempimpin jatuh ke
telapak tangan anak yang lain, maka anak tersebut yang akan melanjutkan memimpin
permainan. Begitu seterusnya sampai tangis si Balita terhenti.
Pada saat anak-anak melantumkan lagu dan bermain itulah, si Balita didekatkan ke arena permainan. Melihat permainan tersebut biasanya hati si Balita terketuk, mula-mula hanya memperhatikan saja. Tetapi lama kelamaan tangis si Balita aka mereda. Apalagi sambil bermain anak-anak menggoda dan menghibur. Terkadang si Balita ikut tertarik untuk bermain dan turun dari gendongan sang ibu. Maka kacaulah suasana disertai gelak tawa, apalagi si Balita meangkat dan duduk di atas rentangan telapak tangan yang dikembangkan. Apabiila si Balita menangis lagi, maka permainan dan nyanyian itu akan diteruskan lagi sampai tangis si kecil benar-benar reda.
JAM-JAM TO’
Jam-jam to’ dhi’dhi’ gulaPasera se akentho’ majadhi’ kaula
Jam-jam to’ parenang pareyaPasera se akentho’Neng-ngalenleng se moleyaAtena koro’ pate’,buttong
Lagu ini biasanya dinyanyikan oleh anak-anak ketika terjadi sesuatu hal
ketika berkumpul bersama. Pada saat ngumpul tiba-tiba ada yang membuang gas dan
aromanya yang tak sedap tersebut tercium oleh yang lain. Biasanya tidak ada satu pun
yang mengaku kalau membuang gas. Nah, pada saat itulah untuk menebak siapa yang
melontarkam bom busuk tersebut anak-anak melantumkan lagu Jam-jam To.
Biasanya mereka membentuk lingkaran dan melakukan suit untuk
menentukan yang pertama kali mempimpin nyanyian. Setelah suit dan ada yag
menang maka anak itu memimpin bernyanyi sambil menunjukkan tangan pada anak
yang lain. Ketika nyanyian berhenti dan menunjuk dan berhenti pada satu anak maka
dipastikan anak tersebut yang kentut. Tentu saja anak tersebut menolak mentah-
mentah dan di tebak sebagai biangnya. Kalau sudah seperti itu biasanya nyanyian
dilanjutkan lagi, dan kalau sang anak tertebak sebagai oknum yang membuang gas
37
tetap menolak maka nyanyian dilanjutkan terus. biasanya nyanyian akan terhenti
dengan sendirinya disertai dengan gelak tawa, karena tak ada satu pun yang mengaku
buang gas.
BEBERAPA CONTOH SYAIR KIDUNG ANAK MADURA
DADDALIYAN
Daddali li’ daddalkung
bi’ Sali li’ juwal mennya’
mennya’ nape le’ mennya’ lantung
lantung nape li’, lantung tunggi
gil nape li’, gil-gilbut
but nape li’ but bujel
jel nape li’, jal gaddhang
dhang nape li’, dhang bigi
gi nape li’ gigibang
bang nape li’, bangbangkong
Daddali li’ daddalkung
nase’ obi li’ gangan lurkung
andhi’ ana’ li’ neng settung
e pokola li’ tako’ potong
38
bu’ salwi li’ dagang mennya’
mennya’ nape li’, mennya’ lantung
porop nape li’, porop jagung
jagung nape li’, jagung kupung
daddali kacung, daddali
pandhanna rampa’ romben
abali kacung abali
parabâna nyandhak odheng
liya lites, kembang ates, tocca’ toccer
DIN-DINDI’
Di’ dindi’ liya’ liyo’ pocedda koddhu’, na’ kana’ alakeya ta’ gellem nodhdu’,
noddu’a malem sennen, dika pagar penang, bula pagar bato, dika ana’na
demmang, bula ana’na rato; dika ngampar lantay, bula ngampar teker ; dika
se akamanto, bula se malekker.
Di’ dindi’ durin, gettana nak onagan, calelet sido nyamplung, bu siro
kembang opo, kembang batu, … mantona ratu, ratu tinggal moleya, moleya
ketinggalan ennot, te’ ente’ sere sa candhi’ , menang opo menang cile, nang
nong le’, man cella’ matana pate’
Di’ dindi’ tana pao, reng bara’ pagunongan, rampa’ kaju kaling, badha natta
badhuk celeng, bang balimbing, balimbing buwana emas, emmassa enten
enten, pangokorra mesem mesem, pa’ ombel, se mella’ se meddem
Di’ dindi’ gettana pao, reng dhaja gunong, nong papa an, senga’ jebbing.
Susuna jambu uring, enten embu’, nyambu’ neng sakoni’
39
Di’ dindi carumping, papan cangkring, ta’ lut piluddan,ghaludhak mata tikus,
lulungnga pulosari, ta’ tengnget-tengnget, tuwa-tuwana man Durahmat,
kothak kathek undor settong
Di’ dindi kapas, kapassa lema’ lema’, temanto sapa nyamana manto,
mantogi, sapa nyamana togi, togiller, sapa nyamana giller, larbais, sapa
nyamana bais, baisto, sapa nyamana isto, es topa’ balang kette’ ketteng
AENG LEMA’
Aeng lema’, Ali
aeng lema’, juko’ tase’ sembilangan
maen kanna’ Ali,maen kanna’
kanna’ sengko’ sake’ kabirangan
ajjota patang edder
LAR-OLAR KOLARJANG
Lar kolarjang
kolarjang ngekke’a bunto’
ekasambel ekajuko’
kalemmar matana juko’
jantu !
KO’ TONGKO’AN CALELET
40
Ko’ tongko’an calelet
janggar baddhung dha’ lao’na
ja’ ngo’ngo’an bu’ ellet
nase jagung dha juko’na
KE’ RANGKE’ KAKONENGAN
Ke’ rangke’ kakkonengan
nemmo sello’ elang pole
sare ajam pote
katopa’ toju’ nengkong abali pole, ngantol
pak rampak kakkonengan
nemmo sello’ elang pole
ka topa’ toju’nengkong
abali pole manjang
KO SOKO BIBIR
ko soko bibir
jurat jurit
komenneran
sakomel saksal
sakomel seksel
41
re’ kere’ mekol pangonong
garuggak nyodue tajin
jin sasodhu, nas palotan
palotan campore oto’
oto’ bigina palotan
PO’-KOPO’ AME-AME
Po’ kopo’ ame-ame
tallam menta’ kopo’
sabelluna ana’ patme
samalem dhudhu’ mokka susu
susuna lemma’ manis
jenten ereng plappa mora
cangkele’ cangkelongan
thok pathok kaju kalompang
sang ale’ aro’oman
tot patot daddi komantan
LA ILLA HAILLALLA
La illa hailalla
bantal sadat pajung Alla
sapo’ iman sandhing nabbi
kangan kacer
42
MON-TEMMON BUKO
Mon temon buko
bungkona lonta’ lonteng
ambet tatta’, ambet tetteng
mon ta’ soka ja’ nyaletheng
kalellan nyono’ kai’iya
LELLE NAREYO
lelle nareyo
sang soroy me’ papotong
sang gendhi’ me’ pabiru
bang janggal le’ beyek
bang malegel le’ jaggur
mon bangal le’ ngangsek
mon tako’ le’ mongkor
BA BABA BULAN
Ba baba bulan, bulanna sapa
bulanna Watik
ageleppar. Agelebber
noro’ ompossa penang
buru dha’ emma ana’
buru kagerrungnganna
43
DIPADHI CEMPLO LO’LING
Diphadi cemplo lo’ling
entara kana’ supang yang sayang
embu’ ambang atutup pindhang
alalap kacang nyang petis
tis kontolir bui’ ayu
dhadha’aran kundhang kalimansur jaran
garegjeggan jaran
garenneggan
no’ lenno’ nyodhu tajin
Dipadhi cemplo lelo
entara kana’ subat hai sayang
embu’ ambang atutup sindhang
alalap kacang yang pettes
lir kontolir bu’ ayu
garegjeggan jaran
garenneggan tamoy
no’ lenno’ nyodhu tajin
Dipadhi cemplo lelo
entara kana’ subat hai sayang
embu’ ambang atutup sindhang
alalap kacang yang pettes
lis-kantulis bu’ ayu
44
garegjeggan jaran
garenneggan tamoy
no’ lenno’ nyodhu gahwe
CING KINCING KERE’
Cing kincing kere’
ka bara’ bun bun
ka temor ka Paseyan
kabala’a ka Kalebun
apella ataeyan
ta’ biyar nampes, mata bular kecek
Cing kincing kere’ kere’
kaju lamapang paju maleng
malengnga rek-seregan
ka bara’ punpun
ka temor Pasuruan
se kemma kettheng
gutto’ sapolo ebang
ta’ biyer nampes
mata bular kecek
45
BING ANA’
Bing ana’
Ta’ endha’ nyempang lorongnga
Bing ana’
Mon lorong tombuwi kolat
Bing ana’
Ta’ endha’ ngala’ toronna
Bing ana’
Mon toronna reng ta’ pelak
Sapa rowa andhi’ tarnya’
Bing ana’
mano’ poter le’ le’ pote
bing ana’
sapa rowa andhi’ ana’
bing ana’
sela penter becce’ ate
bing ana ‘
sapa rowa andhi’ tarnya’
bing ana’
plappa kencorla-kellana
bing ana’
sapa rowa andhi’ ana’
46
bing ana’
andhap asor pon cacana
bing ana’
rampa’ naong bringen korong
bing ana’
bantal lama’ ka poncana
bing ana’
soka’ along saleng tolong
bing ana’
bakal bannya’ cakancana
CA’LONCA’AN
Ca’lonca’an caleletSempal macan dha’ dhajanaJe’ ca’’ ngoca’’an caleletJuko’ acan dha’ bujana
Ca’ lonca’an caleletNgala’ bagung ce’ rajanaJa’ ngo’ngo’an caleletNase’ jagung dha’ juko’na
BARA’ RO
Sapa bara’ ro
47
Mano’ poter ca’lonca’anTa’ enga’ lamba’ roSela soker pa’sapa’an
Sapa bara’ roMano’ keddi’ ca’lonca’anTa’enga’ lamba’roMon ta’ andhi’ ta’ pentaan
TI’ TITI’
Ti’ titti’ kalompangManggis tua besarPir sampir agung-agungAndhi’na nyonyaEkekke’ bagongTa’ sake’ nyonyaEngja’ – enja’ Gung
TAK’ GOYANG TUL-TUL
Ta’ goyang tul-tulNgala’ kaca ka GiriganTa’ goyang tul-tulEsassa’a sampe’ pteTa’ goyang tul-tul
Madda kanca paleggiranMaelang sossana ateMaelang sossana ate
MONYENA JAM
Neng-neng monyena jam ejjam – jamkalambi koneng – neng
48
ollena ngenjam
neng – neng monyena gentha’ – tha’kalambi koneng – neng ollena menta’
BU, LAE LABU
Bu, lae labuGangan tarnya’
Bu, lae labuJuko’ langgung
Mon bangal kanna’Bu’ lae labu’ mon tako’ ondhur
RE-RE RE KOLEK
Thong – lathong rerere pasingKapal YulianaBa’ amba’na SamonaMowa nape, manMowa pettes
Pettes nape, Man !Pettes Nyowates
Adhu Paman, alajaraAngen tol-tol salaka konengBo’ abu’ a la moleyaTla’ ana’na la molekungBo’a bo’ a la moleyaHa’ a ha’a la malekung
49
ADIK NANGES
Bu’, bu’ adik (anda) nangesArapa, ekekke’ lenyengLenyengga buru ka perrengPerrengnga kabagay cetthengBis maong, pancal koceng
Bu’, bu adik (anda) nangis Arapa, ekelle’ jaranJaranna, jaran teggeranEdhimm, e rong assemDuli senta’ , ma’ le lekkas messem
DAFTAR PUSTAKA
1. Artikel Menelusuri Tradisi Tan-Pangantanan, “Unsur Relegius, Ritual dan Kritik Sosial dalam Syairnya”. Syaf Anton WR. Majalah Kalimas 02.1993. Surabaya
2. Makalah, “Sastra Madura yang Hilang Belum Berganti”. D. Zawawi Imron.
3. Revolusi IQ/EQ/SQ, dr. Pasiak Taufik, Mizan Pustaka.
4. 15 Ledakan EQ, J. Stein Steven, PhD dan E, Book Howard, M.D, Mizan Pustaka.
5. ESQ, “Berdasarkan 6 rukun Iman dan 5 Rukun Islam”, Ary Ginanjar Sebastian, Arga Jakarta
6. Basa Madura, “Kaangguy Na’ Kana’ SMTP”. Badrul Rasjid. Pamekasan. 1982
7. Bulletin Konkonan 25. Tim NABARA Kandep Dikbud Sumenep. 1992
50
8. Arach Djamali. Apresiasi Sastra, bab Tembang, Konkonan Edisi 53, 54, 55. Sumenep, 1989
9. Tim Nabara, Mekkar Sare, kelas 1, 2, 3, Kaangguy Sekolah Dasar. Sick. Surabaya.
10. Tim Nabara, Sekkar Tanjung, Pangajaran Basa Madura Kaangguy SD-MI. ECM. 2005
11. D. Zawazi Imron. Makalah, Warisan Sastra Lisan Madura, Sebuah Perkenalan.
12. Drs. H. Moh. Imron (wawancara)
13. S. Heriyanto, S. Pd. (wawancara)
14. Edy Susanto (wawancara)
*****
51