buku caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · hak cipta dilindungi undang-undang cetakan pertama,...

460
iii Catatan Pinggir 6 GOENAWAN MOHAMAD PUSAT DATA & ANALISA TEMPO 10 http://facebook.com/indonesiapustaka

Upload: others

Post on 03-Oct-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

iii Catatan Pinggir 6

GOENAWAN MOHAMAD

PUSAT DATA & ANALISA TEMPO

10

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 2: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

i Catatan Pinggir 10

10GOENAWAN MOHAMADKumpulan tulisan

di majalah Tempo, Januari 2011-Desember 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 3: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

ii Catatan Pinggir 10

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 4: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

iii Catatan Pinggir 10

10GOENAWAN MOHAMAD

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 5: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

iv Catatan Pinggir 10

Catatan Pinggir 10Goenawan Mohamad

Kumpulan Catatan Pinggir di majalah Tempo,Januari 2011-Desember 2012

Kata pengantar: Ayu Utami Editor bahasa: H. Sapto Nugroho, Uu Suhardi Indeks: Ade SubrataKulit muka, tata letak, dan ilustrasi: Edi RM Foto pengarang: Dwianto Wibowo

© Goenawan MohamadHak cipta dilindungi undang-undang

Cetakan Pertama, 2013

MOHAMAD, GoenawanCatatan Pinggir 10Pusat Data dan Analisa Tempo, 2013xxiv + 434 hlm.; 14.5 x 21 cmISBN 978-979-9065-80-3

Dicetak oleh Percetakan PT Temprint, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 6: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

v Catatan Pinggir 10

ix

371115192327313539434751555963677175798387919599103

Daftar Isi

Pengantar

2011TitorelliKalenderAktorDi IslandiaKomunismeAlienLapanganIstri Lot RevolusiAhimsaMeshMemangkuBom/BukuSawitoImpulsMelihatMalcolm X28 AprilTariHayySi Jum’atKhaosLos IndignadosAn + ArchosPerinduKota

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 7: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

vi Catatan Pinggir 10

107111115119123127131135139143147151155159163167171175179183187193191195199203207

215219223227

GrrrBastiatJuliKembangSrebrenicaKebakhilanIsakBaikTehMultitudeLibya11/9GuantánamoRepresentasiPanahPunakawanLa GuerreOWSEdanAhabHewanGilmoreArokTintinPekikPrabangkaraMachiavelli, Marx, dan Mungkin2012HavelHujanBunglonDi Biara

DAFTAR ISI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 8: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

vii Catatan Pinggir 10

231235239243247251255259263267271275279283287291295299303307311315319323327331335339343347351355

LompatanKemudianFanaTamakYang PentingBantenBeraniCaesarMataAksaraIkhnatonBisuHang TuahSoebaidahBarbieInteriorPemoDMZTeeuw (1921-2012)1900EtnokrasiSiriusSchillerLubdakaCerita TuhanDissensusGargantuaKakawinBatmanLebaranOrigamiAgora

DAFTAR ISI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 9: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

viii Catatan Pinggir 10

359363367371375379383387391395399403407411415419423

427

WisanggeniGelanggangLedaPangeranAmbaEl DemonioZarahMo dan YuShihMekahSurabayaLantaiHalimaTheokrasiRushdie’1965’Anak-anak

Indeks

DAFTAR ISI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 10: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

ix Catatan Pinggir 10

Bahasa yang Tak Pernah Usai

Ayu Utami

PARADOKS Goenawan Mohamad adalah paradoks bahasa. Tapi, untuk sampai pada rumusan ini, ceritanya panjang.

Ma rilah kita mulai dari sesuatu yang menakjubkan.Salah satu hal yang memukau itu adalah di masa ini Catatan

Pinggir dibaca oleh orang-orang yang seumur dengan Catatan Ping gir itu sendiri. Tempo berdiri pada 1971, dan kolom kecil pe-mimpin redaksinya dimulai pada 1976. Kini, pelanggan majalah itu mulai berusia sebaya dengan bacaan mereka. Tidakkah me-nak jubkan bahwa Goenawan menulis kepada anak-anak yang la-hir bersamaan dengan tulisannya?

Ya, tapi ini berarti kita membayangkan Catatan Pinggir seba-gai satu ”makhluk”, satu entitas yang sama yang dulu dilahirkan dan hidup sampai sekarang. Seperti manusia yang menulisnya, se perti kita masing-masing yang membacanya, kita membayang-kan Catatan Pinggir adalah juga satu identitas yang bisa dikenali. Sebutlah ini Catatan Pinggir (dengan huruf besar). Pada kenyata-annya, Catatan Pinggir terdiri atas catatan pinggir-catatan ping-gir (dengan huruf kecil), tulisan-tulisan yang terpisah yang diker-ja kan dengan setia setiap pekan. Yang berikut tidak merupakan lan jutan logis yang sebelumnya. Menyadari kenyataan ini pun akan tetap membuat kita takjub. Setiap kali bayi yang terlahir pa-da 1976 bertambah seminggu usianya, satu catatan pinggir juga ber tambah. Tatkala anak itu telah jadi dewasa, mencapai 36 ta-hun, misalnya, ada kira-kira 36 x 52 catatan pinggir. Ada sekitar 1.872. Bayangkan! Kita berhadapan dengan Catatan Pinggir (berhuruf besar) yang terbentuk dari 1.872 catatan pinggir (ber-huruf kecil), dan jumlah itu pun masih sedang terus bertambah.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 11: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

x Catatan Pinggir 10

Sebelum kita membaca muatannya, apa yang bisa dikatakan ten tang fakta itu saja? Tentang Catatan Pinggir dan catatan ping-gir? Catatan Pinggir ibarat sebuah identitas (yang terbentuk oleh rutinitas), dan catatan pinggir adalah momen-momennya. Pada 1980-an, sebelum Catatan Pinggir dibukukan, anak-anak mu da mengkliping catatan pinggir, menjilid, dan menciptakan kitab-nya sendiri (sebuah kerinduan mengabadikan momen-momen). Pada 1990-an, para penulis baru mencoba-coba bentuk tulisan-nya (termasuk saya). Jika kita memiliki buku Catatan Pinggir da-lam rak kita, terutama serialnya yang dikemas dalam boks merah berwibawa, kita cenderung melihatnya sebagai kitab berjilid, nya ris mirip kitab suci, yang mengatasi zaman. Tapi sesungguh-nya, masing-masing ”perikop”-nya ditulis dalam dan untuk mo-men yang spesifik. Di sinilah kita akan bertemu dengan kutukan bahasa, yang adalah nasib dan masalah Catatan Pinggir itu jua.

Tiga Kutukan BahasaPada awalnya Tempo adalah media berita yang paling membe-

ri perhatian terhadap keterampilan bahasa dan bentuk penulis an. Goenawan adalah pendiri dan pemimpin redaksi pertamanya. Ma jalah ini memberi usaha khusus untuk menciptakan tulisan yang ”enak dibaca dan perlu”, ”jujur, jelas, jernih; jenaka pun bi-sa”—seperti semboyan-semboyannya yang kreatif. Goenawan sen diri pernah menyatakan bahwa pekerjaan menulis adalah ”se-buah pekerjaan yang resah”. ”Proses pemikiran hanyalah satu ta-hap. Proses lainnya menyangkut sekian jam duduk di depan me-sin tik atau monitor komputer, membesut, mengoreksi, menatah, menguji kata dan kalimat. Tiap kali saya menulis, rasanya tiap ka li saya belajar lagi” (Pengantar Catatan Pinggir 4, 2012). Sum-bangan besar Tempo selama ini, selain beritanya, adalah bahasa-nya. Demikian pula, sumbangan besar Catatan Pinggir, selain pemikirannya, adalah bahasanya.

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 12: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xi Catatan Pinggir 10

Sebelum kita berbicara tentang bahasa yang seperti apa, kita pantas tertarik pada hubungan antara catatan pinggir dan maja-lah yang menjadi inangnya.1 Tempo adalah majalah berita yang la-hir pada 1970-an. Itu adalah era yang berbeda dengan zaman ini. Dunia tampak masih lebih sederhana dan pers masih beriman pa da obyektivitas (sekalipun semua yang beriman tetap saja kerap tergelincir ke dalam dosa atau cemas terhadap kezaliman). Meli-put kedua pihak adalah kebenaran yang dipercaya bagi media pa-da masa itu. Kepercayaan ini sudah sangat luntur dalam dunia pers abad ke-21. Pada masa lalu, sebuah berita mungkin tak jadi di muat hanya karena narasumber dari pihak seteru tidak dapat di temui. Ini takkan terjadi sekarang—kecepatan dan keramaian digital membuat orang tak menuntut informasi lengkap dalam satu berita.

Majalah Tempo lahir dalam tradisi obyektivitas dan kode etik jurnalistik yang kuat, tempaan zamannya. Tapi obyektivitas meng hadapi keterbatasannya yang mulia juga. Pers yang benar ha nya bisa berbicara mengenai fakta-fakta. Selain itu, media beri-ta mendahulukan kebaruan. Catatan pinggir menjadi sebuah ro-bek an yang indah pada lembaran berita nan taat-aturan. Diberi na ma ”catatan pinggir”, ia tidak dimaksudkan sebagai suara res-mi dewan redaksi seperti tajuk di koran-koran. Ia adalah suara in-dividu, bukan suara pemimpin yang mewakili seluruh redaksi. Tatkala telah bukan lagi pemimpin redaksi, Goenawan tetap me-nulis catatan pinggir (yang agaknya tak akan digantikan oleh pe-nulis lain). Catatan ini juga tak wajib mengait dengan berita ha-ngat, sekalipun prakteknya biasanya ia menyapa juga peristiwa ba ru. Pada awalnya, dan teoretis sampai sekarang, catatan ping-

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

1 Kecuali dalam periode antara kematian dan kebangkitannya—antara pembredelan 1994 dan jatuhnya Soeharto 1998—hanya majalah Tempo yang menerbitkan catatan pinggir. Dalam periode matinya Tem-po, catatan pinggir terbit di majalah bawah tanah Suara Independen.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 13: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xii Catatan Pinggir 10

gir bisa menampung renungan dari sebuah buku, film, atau apa pun yang berharga. Catatan pinggir adalah renungan intelektual mingguan, yang menumpang pada suatu rutinitas berita. Ia ada-lah sesuatu yang reguler.

Regularitas adalah cirinya—atau kutukannya yang perta-ma?—yang unik. Kita tidak bisa mencari klimaks dalam rupa te -sis (atau sintesis) utama di buku ini. Kita tidak menemukan su sun-an argumen yang meningkat dari halaman depan ke bela kang un-tuk mencapai pemuasan intelektual puncak. Ini pun bu kan puisi yang sekali dan tak terulang. Ini ditulis dengan jad wal yang tak bisa ditawar. Kita berhadapan dengan yang—perkenankanlah —saya sebut sebagai kutukan bahasa yang pertama, yaitu sesuatu yang rutin; sesuatu yang begitu niscaya sehingga kita lupa bahwa da sarnya adalah sejenis iman semata. (1.872 esai selama 36 ta-hun: tidakkah itu ketakwaan yang luar biasa pada rutinitas?)

Rutinitas itu melahirkan pola. Baiklah kita sembarang kutip, dari ”Kalender”, 9 Januari 2011, salah satu yang mengawali buku ini. Pembukanya adalah ini:

Lewat tengah malam, ketika kalender diganti, dan orang sadar lebih tua setahun, dan melihat kembali masa 12 bulan yang sebelum nya, dan mencoba berencana untuk tahun 2011, apa yang sebenarnya ter jadi? Sebuah mimesis. Mungkin sebuah kelatahan.

Sebuah mimesis. Sebuah peniruan. Orang-orang menirukan yang lain, meniup trompet dan bersulang, membakar atau me-nonton kembang api. (Padahal malam itu adalah malam seba gai -ma na selalu.) Pertanyaannya: apa sikap penulis tentang apa yang ia tulis? Biasanya pembaca ingin tahu dengan cepat posisi mo-ral penulis. Dalam kasus spesifik ini: apakah ia nyinyir pada ka ta ”mimesis”, yang cepat diikuti dengan nomina lain ”kelatahan”? Ki ta tahu kelatahan adalah hal yang tidak baik, setidaknya tak

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 14: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xiii Catatan Pinggir 10

ter hormat. Maka, dengan penjajaran itu, barangkali mimesis di sini adalah sejenis kelatahan yang tidak keren juga. Tapi Goena-wan menempatkan kata ”mungkin” di antara ”mimesis” dan ”ke-latahan”, sehingga kita tak bisa lagi memastikan hubungan di an-tara keduanya. Kita tertinggal dalam suatu rasa ambigu. Dan itu ada lah kekhasan tulisan Goenawan. Cuplikan di atas barangkali sembarang dipilih. Tapi cukillah catatan pinggir secara acak, dan kita akan menemukan model teks yang mirip.

Jika kita mencoba menerangkannya secara agak linguistik: ki-ta tahu setiap kalimat, setiap teks, terdiri atas kata-kata yang ber-hu bungan satu sama lain (dalam rangkaian sintagmatik). Dan se-tiap kata mewakili pengertian (dalam relasi paradigmatik). Meng-hadirkan sebuah kata ke dalam teks, sekalipun diiringi de ngan penyangkalan atau modalitas ”mungkin”, sesungguhnya ber arti menghadirkan suatu pengertian ke dalam kesadaran pembaca. Apa pun yang dituliskan, sekalipun sekaligus ditolak (dengan kata ”bukan”) atau sekadar diragukan (dengan kata ”mungkin”), te lah merupakan kehadiran. Dengan software penca ri, kita bisa men catat dengan akurat berapa kali kata ”mungkin”, ”ba rang-kali”, dan ”agaknya” muncul dalam buku ini. Goenawan meng-hadirkan pengertian-pengertian dan membuat kita berada da lam momen ragu.

Bahkan dalam sekadar contoh di atas kita masih bisa melihat bagaimana—perkenankan saya gunakan istilah ini:—momen ragu itu diproduksi oleh relasi antar-elemen yang lebih luas. Apa-kah ”sebuah mimesis” yang tertulis di sana menjelaskan kalimat se belumnya dan dijelaskan oleh kalimat setelahnya? Ataukah ia sebuah lanturan? Lompatan kesadaran? Apakah ”kelatahan” men jelaskan ”mimesis” atau menjelaskan kalimat sebelumnya—yang menggambarkan bagaimana orang-orang merayakan tahun baru—atau menjelaskan kedua-duanya? Jika kita cermati baik-baik, betul-betul dengan teliti, sesungguhnya kita semakin tidak

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 15: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xiv Catatan Pinggir 10

bi sa yakin dengan hubungan di antara unsur-unsur itu.Goenawan cenderung menggunakan kalimat yang implisit. Ia

bisa saja, jika mau, membuatnya tidak ambigu. Misalnya dengan meng gunakan susunan subyek-predikat yang lengkap seperti ini: ”Yang sebenarnya terjadi adalah sebuah mimesis.” Atau: ”Yang ter jadi mungkin adalah sebuah kelatahan.” Atau: ”Mimesis ada-lah sejenis kelatahan.” Tapi tidak. Ia memilih kalimat yang tak utuh: ”Sebuah mimesis. Mungkin sebuah kelatahan.” Subyek tan pa predikat. Predikat tanpa subyek.

Kita tidak sedang berbicara tentang efek puisi atau puitisasi di sini. Belum. Sebentar lagi. Sebab, puisi yang sesungguhnya bu-kanlah cari-efek. Tapi memang kalimat-kalimat yang berstruk-tur penuh tadi kehilangan rasa puitis dibanding yang tidak utuh. Mengapa? Ya, mengapa yang eksplisit kehilangan rasa puitis? Apa-kah karena yang tidak utuh membuka lebih banyak makna dan yang implisit menampung lebih banyak arti pula? Ini sesungguh-nya masalah yang sangat menarik. Tapi baiklah kita bicarakan nanti saja. Kita kembali kepada persoalan pertama. Struktur teks Goe nawan menghadirkan makna-makna sekaligus dalam relasi yang ambigu. Semantik yang merambang dan sintaksis yang tak ter tutup. Dalam rumusan yang kurang teknis: tulisan Goenawan me nawarkan kesadaran tanpa memberi keputusan.

Pertanyaan berikutnya: apakah hal tadi merupakan gaya pe-nu lisan? Sesuatu yang dibuat-buat untuk cari efek puitis? Ataukah ada yang lebih mendasar dari penampakan luarnya? Saya cende-rung mengatakan yang terakhir. Orang yang kurang memahami sas tra mudah terjebak untuk mengatakan bahwa sebuah bentuk pe nulisan adalah gaya bertutur belaka; semacam kemasan dari se buah isi; sebuah kosmetik dari filsafat. Sebuah karya yang ber-nas dan pulen tidaklah demikian.

Baiklah kita cari kutipan lain agak di tengah, pembuka dari ”Los Indignados”, 5 Juli 2011:

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 16: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xv Catatan Pinggir 10

Bukan kami menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami. Po litik adalah keributan lalu-lalang melalui pintu yang tak pernah bisa ditutup. Tak seorang pun tahu apa yang akan menghentikan-nya. Hari-hari ini, Madrid adalah sebuah gejala.

Yang mengenal boleh menemukan Rustam Effendi: ”Bukan be ta bijak berperi, pandai menggubah madahan syair.” Bukan ka mi menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami. Kali-mat pembuka ”Los Indignados” memiliki metrum yang simetris de ngan sajak yang disebut: dengan dua bait atau frasa, 9 dan 10 su ku. Dan ia juga sebuah penyangkalan berawalan ”bukan”. Ada-kah ini bukan intertekstualitas? Jika bukan, kenapa Goenawan ti dak menambahkan kata ”yang” sehingga jadilah ”bukan kami yang menentang sistem”, maka frasa itu akan lebih bersimetri de-ngan dirinya sendiri, yaitu dengan frasa yang mengikutinya (”tapi sistem yang menentang kami”)? Dengan hilangnya ”yang” dalam frasa pertama, alusi terhadap sajak Rustam Effendi menjadi sa-ngat terasa. Apakah ini sebuah gaya-gayaan yang dipilih penulis un tuk mengemas suatu ide? Saya berani bilang tidak.

Untuk menjelaskannya lebih dari berdasarkan naluri penga-rang, kita bisa menggunakan Saussure. Bahasa adalah sesuatu yang menakjubkan sekaligus mengerikan, menurut saya, persis pa da strukturnya yang dikemukakan Saussure. Di awal abad ke-20, dalam usaha merumuskan obyek linguistik sesungguhnya, ahli bahasa dari Jenewa itu menemukan bahwa linguistik tak pu-nya obyek selain struktur, yang disebutnya struktur tanda. Saya ter goda untuk menyebutnya struktur kesadaran, tapi Ferdinand de Saussure tak mau menyebutnya begitu (ia mau bertahan pada disiplinnya: linguistik).

Penemuannya yang paling mendasar—yang kelak digunakan dengan tergoda antara lain oleh Barthes, Derrida, serta aliran struk turalisme dan post-strukturalisme—adalah struktur tanda,

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 17: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xvi Catatan Pinggir 10

yang padanya pengetahuan-manusia bergantung. Para kritikus seni dan filsuf menarik postulat Saussure ke wilayah yang sangat luas (yang tampaknya Saussure sadari tapi ia tidak mau melaku-kannya), sehingga jargon post-modernisme tega mengatakan ”ti-dak ada pengetahuan di luar bahasa”. Tapi di sini kita akan kem-bali kepada wilayah bahasa (untuk nanti sampai pada paradoks Goe nawan Mohamad).

Saussure mengatakan bahwa tak ada petanda sebelum penan-da. Tak ada signified apriori signifier. Di sini, jika boleh menggu-na kan penjelasan yang agak kasar dan sedikit meleset: tidak ada ide sebelum kata. Kata bukanlah kemasan dari ide, di mana ide te lah ada sebelumnya. Tidak. Sebab, ide ada bersamaan dengan ada nya kata. Di sini, kita bisa mengatakan ”gaya” penuturan ma sing-masing catatan pinggir bukanlah kemasan dari pikiran Goe nawan. Marilah kita ganti ”gaya” menjadi ”bentuk”. Bentuk catatan pinggir bukanlah kemasan dari ide-ide penulisnya. Yang le bih dekat: ide-ide itu telah berbentuk demikian sebelum atau ke tika dituliskan. Tulisan bukanlah bentuk dari ide. Tulisan ha-nya lah pengaksaraan dari dualitas ide-bentuk.

Dan dualitas ide-bentuk itu mendapatkan khazanahnya dari intertekstualitas, yaitu hubungan-hubungan infinit melintasi wak tu ataupun ruang. Maka puisi Rustam Effendi, Chairil An-war, dll sangat mungkin telah ada dalam khazanah sistem tanda Goe nawan. (Yang tahu silakan membayangkan parole-langue-langage menurut Saussure.) Si penulis pun bisa mengakses dan meng gunakannya demikian alamiah dan spontan. Bukan kami menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami. Bukan kami bijak berperi, pandai menggubah madahan syair.

Persis di sini kita bisa kembali memikirkan ”mimesis”, yang di sebut pula oleh Goenawan dalam ”Kalender” yang telah saya ku tip lebih awal. Tema yang juga berulang dalam tulisan-tulisan-nya. ”Mimesis” yang kita bicarakan sekarang ini sudah pasti bu-

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 18: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xvii Catatan Pinggir 10

kan kelatahan. Peniruan memang bisa merupakan kelatahan. Ta-pi peniruan punya makna yang jauh lebih luas daripada itu. Mi-mesis adalah mayor, latah adalah minor. Maka kita lupakan ke la-tahan di sini.

Masih dalam postulat Saussure, sesungguhnya dalam kajian per ubahan bahasa, baik yang diakronis maupun sinkronis, kita bisa melihat bahwa ”bentuk yang sama bisa mendapatkan ide yang berbeda dan ide yang sama bisa mendapat bentuk yang ber -beda” (catatan: yang sangat teliti mempelajari Saussure akan tahu bahwa kalimat saya ini adalah penyederhanaan berisiko dari kom-pleksitas yang rumit; tapi apa boleh buat). Pendek kata: luas ide dan luas bentuk tidaklah identik. (Di sini memang ada kerumit an menjelaskan bagaimana ide dan bentuk ”tercipta” bersama- sa ma sekaligus luasnya tidak sama. Saussure kerap kurang dipahami di sini. Sayangnya, tulisan ini bukan tempatnya menguraikan hal itu.) Yang bisa kita mengerti adalah, bagaimanapun, bentuk bisa di kenali oleh pembaca dalam luasan ide yang tidak setara dengan yang dimaksud penulis. Bahasa terletak di antara pengirim dan pe nerima sinyal.

Jadi, memang ada bentuk-bentuk yang pada gilirannya bisa se-jenak dilepaskan dari sebagian idenya dan diberi ide baru atau di-tempatkan dalam hubungan baru. Goenawan sangat memanfa-at kan bentuk-bentuk yang telah ia kenal sembari memberinya hu bungan atau makna baru. (Lihat juga bagaimana ia menggu-nakan pendapat dan pemikiran orang lain. Masalah ini dapat men jadi kajian tersendiri. Di sini saya hanya hendak mengamati soal bahasa.)

Proses transfer bahasa melibatkan peniruan. Mimesis adalah ba gian niscaya dari segala bentuk transfer dan komunikasi. Da-lam mimesis, bentuk disalin; atau yang bisa dikenali dicoba-salin kepada bentuk. Mimesis selalu terutama mengenai bentuk. Di sini saya ingin menambahkan pendapat saya sendiri bahwa ben-

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 19: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xviii Catatan Pinggir 10

tuk adalah segala yang bisa dikenali, baik konkret maupun ab-strak. Mimesis adalah peniruan bentuk yang niscaya dalam suatu fungsi, misalnya fungsi komunikasi, transfer pengetahuan, atau bah kan penghadiran dunia ideal yang platonis. Kelatahan adalah peniruan yang fetish: peniruan yang memberi kenikmatan demi pe niruan itu. Maka tentu bukan kelatahan pada Goenawan sean-dainya ia melakukan mimesis dari sebagian bentuk sajak Rustam Effendi (atau Chairil Anwar atau apa pun) yang ada dalam re per -toarnya. Dari ”Kalender” kita tahu ia merasa bahwa mimesis ada-lah hal yang niscaya, mendasar, dan berfaset, tapi begitu mudah ter gelincir menjadi yang permukaan: kelatahan.

Tema itu sesungguhnya berulang dalam regularitas Catatan Ping gir: kesedihan atas pemajalan sesuatu lantaran niscaya. Pen-dangkalan sesuatu yang dalam, justru karena kedalaman itu se-sung guhnya tak-terelakkan. Tuhan yang direduksi ke dalam dog-ma. Politik yang ditipiskan ke dalam tawar-menawar kekuasa an tanpa keluhuran.

Marilah kita kembali kepada lanjutan ”Los Indignados”: ”Bu-kan kami menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami. Politik adalah keributan lalu-lalang melalui pintu yang tak per-nah bisa ditutup. Tak seorang pun tahu apa yang akan menghenti-kannya. Hari-hari ini, Madrid adalah sebuah gejala.”

Sekali lagi, jika kita menggunakan tuntutan gramatika ketat dan verbal, kita tidak menemukan hubungan yang meyakinkan an tara satu kalimat dan kalimat lain. Apa hubungan sistem yang me nentang kami dengan ”politik adalah keributan lalu-lalang me lalui pintu yang tak pernah bisa ditutup”? Relasi dengan kali-mat berikutnya masih bisa dipahami, tapi apa kaitannya dengan ”hari-hari ini, Madrid adalah sebuah gejala”?

Sungguh aneh. Jika kita mau kukuh bersikap harfiah, kita ma lah jadi tidak paham. Teks itu jadi aneh (atau sesungguhnya ki ta yang jadi aneh). Apakah dengan begitu Goenawan berpikir-

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 20: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xix Catatan Pinggir 10

an absurd? Kenyataannya tidak. Justru di sini titik penting dan ke cerdasannya: teks tersebut menyangkal cara pandang harfiah. Disadari atau tidak oleh penulisnya, teksnya tidak membuat pan-dangan harfiah bisa paham. Sebuah mesin yang menginginkan se muanya tersurat terperinci akan gagal membaca Catatan Ping-gir.

Jadi, bahwa selama ini kita bisa mengerti—sebagian atau lu-mayan penuh—Catatan Pinggir, itu artinya kita memang tidak melulu berpikir literal. Kita mengisi ruang-ruang kosong di anta-ra keping-keping informasi sehingga kita bisa membangun gam-bar yang lebih luas daripada bentuk-bentuk yang kita terima. (Se-kali lagi, bukan berarti luas gambar yang kita bangun identik de-ngan yang ada di kepala penulisnya.)

Memang, kita boleh berargumen: itu tidak hanya terjadi pada tu lisan Goenawan Mohamad, bukan? Tentu, sebagian besar teks yang ada di muka bumi bersifat demikian: tak bisa dipahami oleh me sin harfiah. Mungkin hanya bahasa program komputer yang bisa dimengerti mesin itu; dan gagal dipahami kebanyakan ma-nusia. Tapi teks-teks bisa tidak harfiah dalam ”strategi” yang ber-beda-beda. Di sini kita kembali kepada keistimewaan Catatan Pinggir.

Marilah kita kutip satu lagi paragraf pembuka, dari ”An + Ar-chos”, 12 Juni 2011:

Dalam bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik mengan-dung sebuah salam. Selalu ada orang lain yang disambut atau dija-wab. Kekuasaan selamanya menuntut hadirnya sahaya.

Sekali lagi kita menemukan pembuka sebuah aforisme puitis. ”Dalam bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik mengan-dung sebuah salam.” Aforisme, ”pepatah” yang bernas dengan mak na yang kompleks atau bahkan terasa paradoksal, tak mudah

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 21: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xx Catatan Pinggir 10

di cerna tapi indah, juga khas pada Goenawan. Terutama dalam pe nutup dan pembuka catatan pinggir. Sekali lagi juga, jika kita memakai cara baca harfiah, kita tak tahu apa hubungan antara ka limat ketiga dan dua kalimat sebelumnya. Dalam bentuk bru-talnya sekalipun, dalam politik selalu ada orang lain yang disam-but. Oke. Tapi apa hubungan itu dengan ”kekuasaan selamanya me nuntut hadirnya sahaya”?

Jawaban tentang itu didapat secara berputar. Paragraf berikut-nya menjawab dengan cerita Pangeran Kecil Antoine de St. Exu-pery, tentang raja kesepian yang memerlukan sahaya. Intensitas me ningkat dengan cerita berikutnya, bukan fiksi melainkan pe-ris tiwa sejarah tentang kekuasaan yang harus bernegosiasi de-ngan manusia (sahaya yang menjelma saya), serta pemikiran He-gel, Marx, dan Alain Badiou. Bagian tengah tulisannya biasanya lebih prosais: hubungan antarkalimatnya lebih ketat. Setelah itu, penutup catatan pinggir kembali ke bentuk awal yang lebih puitis:

Ada semacam roh yang tampaknya tak akan berhenti di satu titik yang ak tual. Dalam bentuknya yang cacat sekalipun, berulang kali politik membuka kemungkinan untuk sebuah saat ethis—untuk se buah sa lam.

Ada penambahan ide dalam penutup dibanding pembuka nya: ”saat ethis”. Itu tampaknya kata kunci yang penting pula da lam buku ini. Sayangnya, kita tidak sempat membicarakan itu. Ki ta berbicara tentang strategi teks Catatan Pinggir yang tidak har-fiah; yang menciptakan, katakanlah, momen ragu. (Apakah yang saya maksud dengan momen ragu akan berhubungan dengan momen etis? Sayangnya tak cukup waktu untuk membahas nya.)

Dalam contoh-contoh di atas, serta dalam halaman-halaman bu ku ini, kita akan menemukan unsur-unsur teks yang tidak ber-

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 22: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xxi Catatan Pinggir 10

kait an secara ketat. Seperti telah saya perikan di atas. Harus di-akui, kalimat-kalimat yang demikian itu dalam Catatan Pinggir men jadi puitis, lebih puitis dari bagian yang ketat. Di sini kita sam pai pada pengamatan: yang puitis itu datang bersama-sama de ngan ketidakketatan hubungan antar-unsur. Seolah-olah, yang indah itu datang bersama perselingkuhan. Puisi datang ber sama keraguan. Unsur-unsur itu bisa kalimat tidak lengkap: sub yek tanpa predikat, predikat tanpa subyek. Bisa juga kalimat leng kap yang tidak berkaitan secara ketat-logis dengan kalimat sebelum atau setelahnya. Toh, pembaca merasa mengerti sesuatu, sem bari tetap ragu. Dari mana datangnya rasa mengerti itu?

Pengertian itu paling sedikit terbangun dari hubungan asosia-tif. Tiap-tiap unsurnya terhubung secara asosiatif. Mimesis ber-asosiasi dengan kelatahan. Demikian pula kelompok kata ini: sis-tem, menentang, politik, keributan, pintu-tak-bisa-ditutup, tak-bisa-dihentikan, gejala. Atau: politik, kekuasaan, brutal, sambut, sa haya. Unsur-unsur di bagian paling puitis Catatan Pinggir mem bentuk imaji dan imajeri yang berasosiasi: tak dalam hu-bung an ketat tapi bersama-sama membangun suatu kesadaran yang batasnya samar.

Pertanyaannya, sekali lagi: apakah itu adalah gaya bertutur? Apa kah itu merupakan puitisasi filsafat? Setara dengan musikali-sasi puisi? Tidak. Jika kita membayangkan ”gaya bertutur” seba-gai kemasan yang bisa dipilih atau ditukar untuk memaket pemi-kiran, jawabnya tidak. Dan kita pun kembali kepada Saussure. Petanda (signified) tidak lebih dulu ada sebelum penanda (signi-fier). Ide tidak apriori terhadap bentuk. Ketika kabut ide bersatu dengan kabut materi-bentuk dan menciptakan batas-batasnya, ke tika itu terjadilah makna.

Sekarang, makna apa gerangan yang ditawarkan setiap ca-tat an pinggir dalam momen-momen ragu yang sering membuka dan menutup dirinya? Seorang sastrawan bisa menjawab secara

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 23: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xxii Catatan Pinggir 10

na luriah atau berdasarkan pengalaman: kita berangkat dari ragu, melakukan ikhtiar pemikiran yang tulus dan tekun, dan toh kem bali kepada ragu. Itu struktur naratif catatan pinggir.

Tapi kita juga bisa mencoba menjawabnya secara linguistik. Agak rumit sedikit. Sekali lagi Saussure membantu kita. Sebetul-nya dialah yang menguraikan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang tidak punya akses langsung terhadap referen. Ini adalah ru-musan dari disiplin linguistik bahwa benak manusia tak punya ak ses langsung terhadap dunia di luar sana—katakanlah yang di-sebut realitas absolut atau das ding an sich oleh Kant. Bahasa ju-ga adalah sistem tanda yang basis historisnya tak bisa diketahui. Orang bisa mencoba merunut sejarahnya, tapi hanya akan men-da pat sejarah pergeseran bentuk. Sedangkan apa yang memper-tautkan bentuk dengan kebenaran idenya tak diketahui sama se-kali. Sistem tanda ini arbitrer dan berfungsi semata-mata berda-sar kan konvensi. Tapi bagaimana konvensi itu terjadi, kita juga ti-dak tahu. Setiap kali kita hendak menjawab pertanyaan ontologis dan epistemologis tentang bahasa, tahu-tahu kita sudah masuk ke wilayah linguistik diakronis, padahal cara bekerja bahasa itu hen dak dilihat secara sinkronis. Bahasa adalah obyek yang tidak bisa dinilai secara obyektif, sebab ia juga yang menciptakan alat ukur untuk melihat dirinya.

Pendek cerita, untuk menyederhanakan persoalan, yang hen-dak saya katakan adalah ini: betapa meragukan sesungguhnya yang bisa kita percaya dari bahasa. Kebenaran yang disampaikan me lalui bahasa itu, duhai, betapa tanpa jaminan. Sesungguhnya, tu lis Saussure juga, tak ada bedanya kiasan dengan bukan kiasan; sebab segala yang ada dalam bahasa itu akhirnya memang hanya kias an. Karena itu di awal saya menyebutkan bahwa bahasa itu be gitu menakjubkan sekaligus mengerikan. Ia begitu palsu, tapi ki ta tidak bisa hidup tanpa dia. Demikianlah paradoks bahasa. Ku tukannya yang kedua (yang pertama adalah regularitas). Se-

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 24: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xxiii Catatan Pinggir 10

makin kita percaya bahwa kata-kata bisa menjamin kebenaran, se makin jauhlah kita dari kebenaran....

Sudah lama saya ingin mengatakan bahwa puisi adalah ikh-ti ar untuk menangkap makna sebelum konvensi. Puisi mencoba menangkap momen-momen makna sebelum ide dan bentuk mem buat batasan yang terlalu jelas. Maka, tak bisa tidak, puisi ada lah momen-momen ragu.

Dari terang ini, seharusnya kita mengerti mengapa Catatan Ping gir mencapai bentuk esensial yang seperti itu. Dibuka dan di tutup atau bahkan diisi dengan susunan unsur yang mencipta-kan momen ragu. Ia menyuarakan kembali hakikat bahasa yang se sungguhnya: yang rapuh tapi niscaya. Paradoks bahasa: ia tak bi sa dipercaya, tapi kita tidak bisa tidak percaya kepadanya.

Sesekali saya menemukan juga Goenawan mencapai para-doks nya sendiri. Misalnya ketika ia menulis, dalam ”Kebakhil-an”, 7 Agustus 2011: ”...kita tengah memasuki zaman kebakhil-an. Eropalah yang memulainya. ” Atau dalam ”Guantanamo”, 25 September 2011: ”Sejak ’11/9’, AS merasa jadi korban; ia merasa mem bawa terang-benderang, bukan kegelapan. Dan ia sadar ia sa ngat kuat. Dengan itulah ia memang terjerumus.” Tapi siapa-kah Eropa? Siapakah AS? Pada umumnya Goenawan sangat sa-dar untuk tidak menundukkan suatu multitude ke bawah satu na ma. Tapi untuk kasus Eropa dan AS ini tampaknya ia tidak be-gi tu. Barangkali itulah kutukan bahasa yang ketiga. Manusia ter-jebak juga untuk melakukan peringkusan.

Ah. Sekitar 1.872 catatan dalam 36 tahun. Jika kembali kita ingat, pada awalnya catatan pinggir tertulis pada lembar majalah berita nan rutin dan riuh, kita semakin menghargai puisinya di tengah tumpukan kabar. Ia memberi ruang—ataukah mo-men?—bagi keraguan. Keraguan; artinya belum selesai. Ia menja-di pengingat bagi rapuhnya pengetahuan manusia sehingga seha-rusnya orang jadi lebih rendah hati.

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 25: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

xxiv Catatan Pinggir 10

Sekali lagi, sudah lama saya ingin mengatakan bahwa puisi ada lah ikhtiar untuk menangkap makna sebelum konvensi. Saya hendak menutup pengantar ini dengan kutipan berikut, dari ”28 April”, terbit 1 Mei 2011, tentang Chairil Anwar:

Saya tahu, penyair selalu mati direduksi orang ramai. Tapi agaknya puisinya selalu bisa membebaskan dirinya.

BAHASA YANG TAK PERNAH USAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 26: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

1 Catatan Pinggir 10

2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 27: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

2 Catatan Pinggir 10

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 28: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

3 Catatan Pinggir 10

TITORELLI

PADA usia ke-30, seorang kerani bank ditahan oleh dua pe tugas. Namanya Joseph K. Dengan itulah novel Kafka yang termasyhur itu bermula: sebuah cerita yang dikisah-

kan dengan cara datar tentang sesuatu yang sebenarnya tak datar, se suatu yang gila, merisaukan, tapi pada saat yang sama terdengar benar. Der Prozess (”Proses”) adalah sebuah dongeng tentang se-buah situasi yang berlubang menjurang di mana keadilan dibica-rakan tapi tak pernah hadir.

K ditahan, akan diproses, dan mungkin akan kena hukuman, tapi tak pernah dijelaskan apa tuduhan terhadapnya. Dengan te nang Kafka menampilkan K yang tak teramat risau. Pegawai bank ini punya seorang pembela, tapi ia pasif: ia tak pernah bisa paham uraian ruwet sang advokat.

Memang ada mahkamah, ada hakim, ada proses peradilan. K sudah tahu itu. Tapi tampaknya di masyarakat tempat ia hidup, ia harus tak terkejut menanggungkan absurdnya lembaga, sistem, prosedur, dan aturan-aturan yang tiap kali bisa melumpuhkan orang. Hukum (yang seakan-akan mewakili Keadilan) tak per-nah membuka diri. Dalam cerita ini, K akhirnya dieksekusi. Be-berapa detik sebelum ia dibunuh, ia berkata, tanpa protes: ”Se-perti anjing.”

Novel ini belum selesai ditulis ketika Kafka meninggal pada umur 40. Tapi sebagaimana ceritanya yang lain, ”Di Depan Hu-kum” (Vor dem Gesetz), ”Proses” menghadirkan suasana yang tak ter jawab tentang manusia dan keadilan. Kafka selalu mengha-dang kita dengan perumpamaan yang enigmatik. Dalam ”Pro-ses” ada satu bagian kecil yang bicara banyak kepada kita, ketika K menemui pelukis Titorelli, yang sebenarnya tak tahu hukum dan hanya tukang gambar yang diupah, oknum dari mesin untuk

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 29: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

4 Catatan Pinggir 10

mengagungkan lembaga kehakiman.Di studionya yang tak mengesankan, Titorelli memperlihat-

kan sebuah lukisan: sosok seorang wanita yang biasa kita lihat ja-di lambang ”Keadilan”.

”Oh, sekarang saya bisa lihat,” kata K. ”Itu kain yang menutup ma ta nya dan itu timbangannya. Tapi apakah itu sayap, yang tam-pak di tumitnya, dan tampaknya dia sedang lari?”

”Ya,” sahut si pelukis. ”Itu sesuai dengan pesanan; saya harus meng gam bar seperti itu. Itu sebenarnya Ke adilan dan sekaligus De-wi Keme nangan.”

”Itu bukan satu kombinasi yang bagus,” kata K, tersenyum. ”Ke-adilan harus kalem, kalau tidak, timbangannya akan goyang dan sa tu keputusan yang adil akan mustahil.”

”Saya cuma menuruti keinginan klien saya,” kata si pelukis.”Ya, tentu,” kata K.Saya tak tahu, apa yang dipikirkan Kafka dengan menampil-

kan bagian ini. Tapi gambar Titorelli bisa punya makna yang bisa berbicara kepada kita sampai hari ini.

Keadilan bukan kombinasi yang bagus dengan Kemenangan, ka ta K. Kita tahu, Kemenangan lahir dari konflik dan persaingan antara pihak. Sementara itu, Keadilan justru seharusnya berada di atas pihak-pihak; ia jadi pengukur sikap dan fiil pihak-pihak itu.

K rupanya percaya, Keadilan ada di atas dan di luar sejarah, se suatu yang muncul dari dasar yang transendental. Sebaliknya si pemesan gambar dan Titorelli tampaknya tahu, K punya ilusi tentang Keadilan yang lazim: keadilan sebagai hal yang diajarkan Langit dan Keabadian. Menampik ilusi itu, lukisan Titorelli me-nunjukkan, pada akhirnya Keadilan adalah sesuatu yang terkait dengan sesuatu yang tak abadi, yakni Kemenangan: posisi hege-monik untuk menentukan wacana tentang apa yang adil dan tak adil.

TITORELLI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 30: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

5 Catatan Pinggir 10

Tapi lukisan itu juga memberi kiasan lain: Keadilan itu punya sayap di tumitnya. Dengan halus K mengkritik gambaran itu. Ba ginya Keadilan yang tak ada dalam posisi stabil bukanlah Ke-adilan. Seperti dikatakannya, ”timbangannya akan goyang dan sa tu keputusan yang adil akan mustahil”.

Yang tak dilihat K ialah bahwa ”keputusan yang adil” yang di-harapkannya itu lahir dari stabilitas yang semu. Apa yang ”adil” selamanya mengetuk pintu manusia setelah, dan seraya, melintasi perjalanan sejarah—yang penuh ketakpastian. Dalam sebuah taf sir atas karya Kafka ini, Deleuze dan Guittari membaca lu-kisan Titorelli sebagai sebuah alegori bahwa Keadilan bukanlah ”Ke niscayaan”(Nécessité) melainkan ”Kebetulan” (Hasard). De-ngan gambar perempuan yang tertutup matanya dan bersayap tu mitnya, kata Deleuze dan Guittari, pelukis itu menampakkan Keadilan sebagai ”keberuntungan yang buta, hasrat yang bersa-yap”.

Dengan kata lain, ”keputusan yang adil” yang bisa dikatakan sta bil dan kekal tak pernah ada. Ia ditentukan oleh apa yang mempengaruhinya dalam suatu masa, suatu tempat. Ia berubah dan bergerak dari waktu ke waktu, ruang ke ruang.

Namun yang menarik dari tafsir Deleuze dan Guittari ialah bahwa seraya menyadari Keadilan sebagai ”Kebetulan”, kita tahu bahwa nasib dan keputusan atas diri K yang dibunuh ”seperti an-jing” itu bukanlah sesuatu yang adil. Situasi K adalah sebuah per-wujudan Ketidakadilan. Dan dari situasi seperti itu, hasrat untuk ”keputusan yang adil”, atau hasrat untuk Keadilan, yang ”bersa-yap” itu, akan terbang, naik mengatasi bumi.

Sejarah memang menunjukkan, hasrat itu tak pernah mene-mu kan tempat yang pas untuk hinggap. Mungkin karena Keadil-an dan bagaimana wujudnya tak pernah jelas. Tapi kita tahu, kita bisa rasakan dan artikulasikan apa yang tak-adil. Kita tahu apa itu penindasan para tiran, meskipun kita tak bisa dengan gam-

TITORELLI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 31: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

6 Catatan Pinggir 10

blang merumuskan bagaimana kemerdekaan setelah itu. Sem-bari demikian, kita tak menghentikan hasrat. Hasrat itu tetap bersayap, siap berjalan jauh.

Di sekitar hari Natal ini, saya bayangkan itulah hasrat tiga orang Majus yang berani menyeberangi benua menuju ke sebuah tempat di bawah bintang yang gilang-gemilang. Ada sesuatu yang mendorong mereka—meskipun tak selamanya pasti—un-tuk mencari sang penebus di dunia yang banyak kehilangan dan cedera.

Dan sejarah manusia mirip perjalanan dari Timur itu.

Tempo, 2 Januari 2011

TITORELLI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 32: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

7 Catatan Pinggir 10

KALENDER

LEWAT tengah malam, ketika kalender diganti, dan orang sadar lebih tua setahun, dan melihat kembali masa 12 bulan yang sebelumnya, dan mencoba berencana un-

tuk tahun 2011, apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah mimesis. Mung kin sebuah kelatahan. Orang menirukan orang lain meni-up trompet keras-keras, saling menetakkan gelas minum, berte ri-ak, bergembira: hampir semua orang di dunia melakukan itu, sa-ling mengikuti, sebagaimana hampir seluruh dunia orang meng-ikuti kesadaran umum tentang waktu: waktu sebagai yang dipa-sang di kalender.

Malam ini saya ingat sebuah sajak T.S. Eliot. Ia menginterupsi mimesis itu. Ia mengingatkan kita bahwa waktu bukan hanya se perti yang ada dalam kesadaran umum yang diterakan dalam penanggalan. Baris-baris pertama dalam sajak Burnt Norton:

Time present and time pastAre both perhaps present in time future

Waktu kini dan waktu lalu, mungkin keduanya ada dalam wak tu nanti: waktu mirip arus sungai, mirip alunan sebuah lagu, se perti gerak merpati meluncur di langit. Mengalir, berlanjut, tak ter patah-patah. Tak ada yang berulang. Yang ada adalah per-ubah an. Tapi berbeda dengan arus sungai, melodi, dan terbang-nya burung, waktu merentang dari asal yang tak bisa ditentukan dan menuju masa depan yang tak dapat dipatok.

Dengan kata lain, kita ada dalam waktu yang tunggal—andai bisa digunakan kata ”tunggal” di situ, sebab sesungguhnya wak-tu tak bisa diketahui satu atau bukan.

Dalam sajak itu Eliot menghidupkan kem bali filsafat Bergson:

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 33: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

8 Catatan Pinggir 10

waktu itu adalah la durée. Waktu sebagaimana yang dibagi-bagi da lam kalender bukanlah waktu yang ”nyata”, yang kita alami, melainkan waktu yang sudah diubah jadi ruang. Sebagai ruang, ia dapat dipisah petak demi petak.

Manusia melakukan itu untuk mengatur hidupnya dan me-ngua sai sekitarnya: ada satuan-satuan yang mudah dihitung, ada mu sim, tahun, bulan, hari, jam, detik. Manusia mengurai dan membagi-bagi waktu, seperti dokter mengurai mayat untuk pe-nge tahuan anatomi. Yang diurai tak lagi bergerak, tak lagi hidup dan berubah. Waktu yang hidup segera digantikan oleh waktu ma tematis. Ia bisa dipakai untuk standar atau pengukur: buat me nentukan sumbangan seseorang dalam proses produksi, mem-prediksi umur barang, atau menentukan masa pensiun.

Kalender dibuat untuk itu. Yang menyusunnya adalah akal yang analitis, juga akal yang bertindak sebagai instrumen untuk mendapatkan hasil.

Tapi malam ini, 31 Desember 2010, dari YouTube saya dengar Bluette, karya lama The Dave Brubeck Quartet. Denting piano Bru beck, bisik alto sax Paul Desmond, seakan-akan merayap dari kan vas Joan Miro, dari warna pastel dan kuasan garis yang penuh lekuk yang lentur....

Sudah berapa kali saya dengarkan lagu ini? Tak saya hitung. Tiap kali saya merasa lebur di sana—dalam sebuah proses yang ber ada di luar detik dan menit, di luar waktu yang setapak demi setapak. Agaknya inilah arus itu, tak berada di sambungan ru-ang-ruang yang mandek. Komposisi Brubeck hadir sebagai gerak yang tak putus-putusnya memasuki sesuatu yang baru. Inilah agaknya proses kreasi (atau ”re-kreasi”): sesuatu muncul atau ter-jadi bukan mengulang sesuatu yang sebelumnya.

For the pattern is new in every moment And every moment is a new and shocking

KALENDER

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 34: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

9 Catatan Pinggir 10

Di situ kita merasakan ”kini” yang tak terhingga, seakan-akan kekal. Meskipun selintas: satu progresi yang akhirnya akan hilang entah ke mana, tapi tak berjalan dalam satu garis lurus dari satu titik ke titik lain. Eliot mungkin melukiskan situasi ini dalam sa-jak East Cooker sebagai ”...the intense moment/Isolated, with no be-fore and after/But a lifetime burning every moment”. Mungkin saya harus lebih sering berada dalam ”momen yang intens” itu, yang ”bersendiri, tanpa ada yang menyusul dan mendahului”. Mung-kin kita perlu merasakan usia yang berangsur, seraya tiap saatnya menyala, terbakar. Barangkali di saat seperti itu hidup tak kita sa-dari seperti jalan raya yang akan berakhir pada sebuah nomor ki-lometer. Barangkali kita perlu menemukan kembali waktu sebe-lum dipotong-potong bagaikan kadaver untuk praktikum di ru-ang mayat.

Rasanya dalam momen yang seperti itu, saya bisa lebih bisa ber syukur. Duduk diam. Mendengarkan, dengan mata terpejam. Tanpa kesadaran yang selalu ingin menangkap dan menaklukkan waktu dari luar dirinya, meringkusnya dengan paradigma ruang. ” To be conscious is not to be in time,” kata sajak Eliot pula. Tanpa ke sadaran yang menghitung waktu, kita mungkin bisa lebih mem biarkan hidup bersama yang lain bergerak sendiri, tak seper-ti hewan diburu.

Agaknya itu sebabnya Eliot berkata: ”I said to my soul, be still.” Ia meminta sukmanya diam. Dalam diam itu, bisiknya, biarlah ge lap turun ke arahnya. Bukan gelap yang membuat buta, me-lainkan gelap yang mengembalikan kita ke kehidupan, mungkin di lubuknya, mungkin di tepinya, di mana kita tak bisa meman-dang dunia hanya sebagai ruang yang dilihat sepetak demi se pe-tak. Dalam gelap itu kita bisa mendengarkan hidup sebagai mul-tiplisitas dengan segala arah yang serentak. Eliot menyebutnya ”gelapnya Tuhan”, ”the darkness of God”.

Tapi ini 31 Desember. Di luar kamar ini saya lihat sebuah kota

KALENDER

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 35: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

10 Catatan Pinggir 10

yang memajang lampu di gedung tinggi, huruf iklan bercahaya —kota yang riuh, dengan petasan, kembang api, suara seruan dari mas jid, deru knalpot motor, dan klakson mobil, dan trompet ker-tas, dan musik yang keras, dan orang-orang yang berdansa, dan akhirnya pekik itu, yang diulang tiap orang melewati garis 31 De-sember: ”Selamat tahun baru!”

Saya memandang kalender di meja, dengan sebuah gambar ko ta tua. Ia harus saya robek.

Tempo, 9 Januari 2011

KALENDER

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 36: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

11 Catatan Pinggir 10

AKTOR

—untuk Amak Baldjun (1942-2011)

SATU adegan dalam Hamlet: Pangeran yang selalu bim-bang untuk bertindak itu membawa masuk sebuah teater ke liling untuk mentas di Istana Elsinore. Ia merencanakan

se suatu yang cerdik, nakal, dan berbahaya: ia akan memprovoka-si raja baru, Claudius. Ia perhitungkan baginda akan bereaksi ke-ras dengan lakon yang disiapkannya—hingga terungkaplah ke-jahatannya sebagai pembunuh khianat kakaknya sendiri, raja lama, Hamlet tua.

Adegan pementasan dalam tragedi Shakespeare ini menentu-kan. Yang dipentaskan ”Pembunuhan Gonzago”. Hamlet mena-makannya ”jebakan tikus”. Dan benar, Claudius terjebak. Ia ter-guncang menyaksikan pementasan itu: yang dilakukan para ak-tor di pentas itu persis seperti kejahatan yang diperbuatnya.

Di sini, ”Pembunuhan Gonzago” berhasil. Hamlet sudah mem perkirakannya: ”I have heard that guilty creatures sitting at a play/Have by the very cunning of the scene/Been struck so to the soul.”

Pernah mendengar bahwa orang-orang yang bersalah yang me nonton sebuah lakon dapat terpukul hatinya karena sebuah ade gan, malam itu, di ruang pertunjukan Istana Elsinore, Hamlet bersiap, gugup, tapi waspada. Sebelum pertunjukan dimulai, Ham let memutuskan satu peran buat sandiwaranya: ”The play’s the thing/Wherein I’ ll catch the conscience of the king.”

Agaknya di mana-mana orang teater menyimpan ambisi yang sa ma: sebuah lakon akan masuk ”menangkap” hati nurani orang yang berkuasa. Lebih sederhana lagi: para penulis lakon, sutrada-ra, dan aktor menyimpan hasrat (atau mimpi) bahwa teater akan bi sa mengubah hidup.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 37: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

12 Catatan Pinggir 10

Tapi tak demikian itu akhirnya. Yang menarik dalam Hamlet ialah bahwa sebuah lakon ternya-

ta mengandung dua peran yang bertentangan. Di satu sisi, ia ba-gian dari tindakan transformatif. Di Elsinore, ”Pembunuhan Gon zago” disutradari Hamlet, seorang pangeran yang memang-gul tugas politik untuk membalas dendam dinastinya. Lakon itu langkah awal. Seperti saya katakan tadi, dalam hal ini lakon itu ber hasil. Tapi di lain sisi, sebuah teater justru punya kelebihan bi-la dibandingkan dengan tindakan politik yang seharusnya.

Hamlet menyadari itu beberapa saat sebelum pertunjukan mulai. Ia melihat bagaimana seorang aktor,

... hanya dalam satu fiksi, satu gelora dalam mimpi, mampu memaksa sukmanyamasuk ke geraknya yang piawai, dan wajahnya pun tampak layu,air matanya membasah, pandang beralih,suara terputus...

Sebuah tubuh yang berubah—dan semua itu dilakukan bu-kan untuk apa-apa. ”And all for nothing”. Atau, katakanlah, aktor itu dengan seluruh dirinya jadi orang lain hanya karena seorang He kuba. Tapi apa arti dirinya bagi Hekuba, dan Hekuba bagi di-ri nya, hingga ia harus menangis buat perempuan Troya yang se-dih dalam karya kuno Yunani itu?

Dibandingkan dengan sang aktor yang tampil di pentas seba-gai Hekuba, pangeran yang merancang perubahan kekuasaan itu, Hamlet, justru merasa dirinya seorang yang palsu. ”Oh, what a rogue and peasant slave I am!,” keluhnya. Ia merasa seperti keledai de ngan keberanian yang terbatas. Ia hanya memuntahkan kata-ka ta, seperti pelacur murahan. ”Like a whore...,” katanya—sebu-ah analogi yang ganjil sebenarnya, sebab dalam kebimbangannya

AKTOR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 38: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

13 Catatan Pinggir 10

yang terus-menerus, Hamlet tak hendak melayani siapa pun, ke-cuali pesan hantu mendiang ayahnya yang terbunuh.

Ia mungkin berlebihan, tapi benar: sang aktor di pentas tam-pak lebih unggul. Kelebihan itu bukan hanya ketika dibanding-kan dengan seorang Hamlet yang cuma berani mengutarakan ka ta. Acting lebih bernilai ketimbang action karena seorang aktor, atau sebuah teater, mendapatkan maknanya ketika hadir tanpa per hitungan. ”And all for nothing”.

Dibanding itu tampak, pekerjaan politik Hamlet punya tuju-an spesifik. Laku Hamlet terbatas pada tugas yang dibebankan ke pundaknya oleh almarhum ayahnya. Seluruh tragedi Hamlet terbangun oleh desain dendam. Ia memang mengatakan, dengan sarkasme yang terbuka, bahwa Denmark, di bawah Claudius, ada lah ”sebuah penjara”. Tapi bukan saja Hamlet ragu untuk men jebol penjara itu. Emansipasi sama sekali bukanlah agenda-nya.

Atau sebenarnya tak ada politik dalam diri Hamlet—dan bagi saya, itulah sumber melankolinya yang mendasar. Ia tak kunjung bertindak karena ia tak punya alasan yang mendorongnya jadi se-orang militan: pada dirinya tak ada desakan untuk melakukan se suatu bagi dunia yang lebih luas, untuk kebaikan siapa saja, kini dan kelak. Untuk liyan.

Sementara itu, seni akting adalah sebuah keputusan tiap saat, se buah laku tiap momen, yang terdorong untuk mencapai sesu-atu yang sempurna, sesuatu yang ”benar” dan ”indah”, meskipun tak jelas apa itu tapi jelas untuk siapa saja.

Saya melihat Amak Baldjun di pentas dalam Sumur Tanpa Das ar. Ia memerankan tokoh utama, Jumena Wartawangsa, me-lalui adegan yang berlangsung—dalam kata-kata penggubahnya, Arifin C. Noer—di rumah, dalam pikiran Jumena atau ”di mana saja”. Ia bergerak dalam ruang dan tanpa ruang, sendirian tapi ju-ga tak sendirian. Kepiawaian Amak adalah ia tak mencoba meng-

AKTOR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 39: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

14 Catatan Pinggir 10

gapai sesuatu yang di luar proses tubuh dan kejiwaan itu. Namun ia, aktor yang ulung, terus-menerus bergerak di panggung dari di rinya sendiri dan ke diri orang lain, bolak-balik, terus-menerus. Ia tak dikuasai tokoh yang diperankannya, ia tak menguasai to-koh itu.

Artinya ia tak bisa berlebihan ke satu sisi dan berlebihan ke sisi lain. Tak berlebihan, itulah tujuan ”bermain”, the purpose of play-ing, sebagaimana nasihat Hamlet ke para aktor yang ia siapkan di Elsinore malam itu.

Sebab dalam ”bermain”, manusia tak bisa utuh dan sendiri. Sang aktor memberi kita tauladan tentang itu.

Tempo, 16 Januari 2011

AKTOR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 40: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

15 Catatan Pinggir 10

DI ISLANDIA

DI sebuah malam putih di Islandia, seorang anak perempu-an yang dibuang ke dusun yang jauh itu diam-diam me-ngun tit seorang gadis petani yang tiap malam pergi me-

ninggalkan rumah untuk duduk di tepi sungai.Si bocah mengambil tempat jauh di belakang. Si gadis tahu. Tapi mereka tak saling menyapa.Di suatu saat, gadis itu mengangkat tangannya menggamit si bo-

cah untuk mendekat. Namun anak perempuan itu tak menjawab. Ia kembali ke rumah petani tempat ia tinggal.

Novel Gudberger Bergsson, Svanurinn, yang terbit pada 1991, dan diterjemahkan Bernard Scudder sebagai The Swan, mungkin tak akan bisa ditulis pengarang yang bukan seorang Islandia. Di ne-geri ini, dengan 300 ribu penduduk yang tersebar di wilayah seluas 100 ribu kilometer persegi, lengang adalah kata lain dari eksistensi. Adegan di atas adalah bagian kelengangan itu.

Svanurinn bertokohkan seorang bocah kecil berumur sembilan tahun yang dihukum. Ia mencuri roti-apit dari pasar serba ada di Rey kjavík. Karena itu orang tuanya mengirimnya ke pedalaman un-tuk tinggal dengan seorang petani yang tak dikenalnya selama be-berapa bulan. Sebuah hukuman yang lazim dalam dongeng Islan-dia: dulu, seorang penjahat yang berbahaya biasa dikirim jauh ke udik. Di tengah belantara es dan dingin yang luas, hukuman itu sa ma artinya dengan pidana mati. Namun tentu saja dalam cerita Bergsson ini si upik bukan penjahat yang berbahaya dan ia tak di-maksudkan menemui maut.

Ia dimaksudkan agar jera—tapi pada akhirnya ia menemui apa yang ada dalam hidup dan dalam mati. Dalam kelengangan itu ter-nyata tetap saja hidup ditemani dan menggamit. Seperti adegan di

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 41: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

16 Catatan Pinggir 10

malam putih itu. Milan Kundera menuliskan komentarnya tentang Svanurinn dan ia tak putus-putusnya membayangkan tangan si ga-dis petani yang menggamit itu: ”isyarat antara dua makhluk yang ter pisah umur, tak saling memahami, tanpa apa pun untuk dikomu-ni kasikan kecuali pesan ini: ‘Aku jauh dari kamu, tak ada yang akan kutakan kepadamu, tapi ini aku, di sini, dan aku tahu kau ada di sa-na’.”

Kundera menyebut Islandia sebagai ”kesendirian yang saling mengintip”. Di lanskap negeri itu, para petani memasang teropong mereka untuk mengamati para petani lain yang juga memasang te ro-pong di kejauhan. Tapi adegan malam di tepi sungai itu menunjuk-kan sesuatu yang berbeda: kesendirian yang saling menyapa dalam ke sendirian.

Mungkin di zaman yang sinis sekarang, di zaman ketika keke-ras an, penyingkiran, penampikan, dan pembantaian hampir terjadi tiap hari, adegan antara si bocah dan si gadis terasa sentimental. Ma-sih adakah ”kita” hari ini? Benarkah manusia bukan masing-masing yang hanya mau (atau hanya mampu) memandang orang lain de-ngan sebuah binokular dari jarak yang keras?

Svanurinn bukanlah sebuah kisah melankoli ketika keakraban di rindukan. Bergsson juga bercerita tentang kebersamaan yang me-ngandung antagonisme. Di pedalaman itu, di antara para petani itu, si upik dari Reykjavík menghadapi sebuah dunia yang tak dikenal. Pada hari pertamanya di dusun itu ia membayangkan bagaimana ia membela diri: kepalanya memuncratkan air tuba ke seantero rumah, meracuni siapa saja, manusia, binatang, juga udara.

Yang brutal dan mementingkan diri juga jadi bagian hidup seha-ri-hari di pedalaman yang tak padat itu. Ada seekor anak sapi yang akan disembelih. Semua bocah kecil di kampung itu bersemangat be tul menyaksikan kematiannya. Beberapa saat sebelum pisau me-menggal, upik kita berbisik ke kuping binatang yang akan dibunuh itu: ”Kau tahu, kau tak punya lagi banyak waktu?”

DI ISLANDIA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 42: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

17 Catatan Pinggir 10

Anak-anak kampung yang lain senang mendengar pertanyaan itu, dan mereka pun bergiliran mengucapkan kalimat yang sama. La lu si sapi kecil disembelih. Beberapa jam kemudian, tubuhnya su-dah dipotong-potong dan dihidangkan di meja. Semua menyantap-nya, mengunyahnya.

Sehabis makan, anak-anak itu mendatangi si induk sapi. ”Ada-kah ibu itu tahu bahwa pada saat itu kami sedang mencerna anaknya di perut kami?” Dengan tenang, si upik menguapkan napas dari mu lutnya ke cuping hidung sang induk.

Siapakah ”kami”? Dalam kasus ini, ”kami” adalah pihak yang mem bunuh dan mengunyah yang lain—yang tak mungkin menga-takan bahwa yang mati itu sesuatu yang singular, yang tak terganti-kan. Tapi di saat lain, si upik mengalami, meskipun tak dapat meng-ucapkannya, bahwa kematian adalah momen yang membuat diri ter batas tapi unik. Di salah satu adegan ia berdiri membungkuk me-mandang air biru rawa. Ia bayangkan tubuhnya lumer dan meng-hilang di kebiruan itu. Akan meloncat masukkah ia ke rawa itu? Ia bertanya dalam hati. Ia angkat kakinya. Di permukaan air, ia lihat bayangan sol sepatunya yang aus....

Umurnya baru sembilan. Tapi sepatu itu bagian dari cerita perja-lanannya yang tak akan terulang, apalagi pada sol sepatu lain. Di saat itu, ia kesendirian, ia fana, tapi ia berarti. Tapi mungkinkah ke-sendirian bisa berarti di dusun itu?

Pada hari pesta petani, si upik melihat para lelaki menelungkup me nutupi para perempuan dengan tubuh mereka. Ia mengira, orang-orang sedang melindungi orang lain dari curah hujan yang meng ancam turun. Langit gelap.

Di muka bumi, pelbagai tubuh saling menyentuh, pelbagai sol sepatu menapak. Mereka muncul di ruang yang sama, namun tak ada yang cuma jadi fotokopi yang lain.

Ada yang mengatakan bahwa ”singularitas” itu, dalam kebersa-maan di muka bumi, dengan sendirinya berbagi. ”Toi partage moi,”

DI ISLANDIA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 43: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

18 Catatan Pinggir 10

kata Jean-Luc Nancy. Tapi tak ada yang total: antagonisme berke-camuk, dan pada saat yang sama punya batas. Antara hidup dan mati ada malam-malam ketika seseorang menggamit seorang lain, ingin mengucapkan apa yang tak terucapkan: ”Datanglah, aku tahu kau di sana.”

Tempo, 23 Januari 2011

DI ISLANDIA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 44: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

19 Catatan Pinggir 10

KOMUNISME

JIKA komunisme adalah masa lalu, ketakutan kepadanya se-tali tiga uang dengan nostalgia. Tapi haruskah ide ini hanya disikapi demikian, bila ia adalah impian yang tak pernah lapuk oleh cuaca yang berganti?

Kita bersua dengan Gonzalo: tokoh dalam lakon Shakespeare, The Tempest (diterjemahkan Trisno Sumardjo sebagai ”Prahara”). Ia penasihat Raja Alonso dari Napoli. Di tengah kelicikan dan ti-pu-menipu politik, orang tua ini tetap baik hati. Sejak awal la-kon kita tahu ialah yang menolong Prospero dan putrinya ketika mereka dihanyutkan ke laut. Ia juga yang merayakan perdamaian di antara para bangsawan yang bertikai—orang-orang serakah dan mendendam yang akhirnya bertemu kembali di pulau yang penuh sihir itu.

Tapi yang penting dalam percakapan kita kini: Gonzalo pu-nya sebuah bayangan tentang masyarakat yang dalam wayang pur wa digambarkan oleh ki dalang sebagai gemah ripah loh jina-wi, thukul kang sarwo tinandur. Di sana alam menghasilkan apa saja yang dibutuhkan dan orang tak berkekurangan:

... nature should produceWithout sweat or endeavour... and should bring forth, Of its own kind, all foison, all abundance,To feed my innocent people.

Di sana orang tak perlu bekerja, ”all men [are] idle.” Tak ada pe-rebutan. Tak ada sengketa. Tak ada pengadilan yang menengahi sengketa: ”No name of magistrate.” Dan dengan demikian tak per-lu ada raja yang berdaulat yang menjaga agar peradilan efektif: ”No sovereignty.”

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 45: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

20 Catatan Pinggir 10

Dalam kata-kata Marx dua abad kemudian, itulah masyarakat komunis, masyarakat di mana ”Negara”—sebuah instrumen pe-maksaan—tak dibutuhkan lagi, sebab tak ada lagi konflik di an-tara kelompok sosial. Tingkat komunisme tercapai, kata Marx, ber sama dengan saat Negara ”melapuk-lenyap”, der Staat stirbt ab.

Bagaimana menyiapkan keadaan yang seperti itu tak dijelas-kan Marx. Ia tak hendak menuliskan ”resep bagi toko masakan ma sa depan”, seperti dikatakannya dalam pengantar Das Kapital edisi kedua. Memang ada gagasan agar alat-alat produksi dikua-sai bersama oleh masyarakat, hingga hasilnya tak terganggu kri-sis. Tapi haruskah untuk gemah ripah itu manusia mengikuti ag-resivitas kapitalisme, karena—seperti disebutkan Manifesto Ko-munis—kaum borjuislah yang terbukti berhasil mengubah du-nia?

Terry Eagleton, yang menyumbangkan satu tulisan yang se-gar untuk buku The Idea of Communism yang disusun Costas Dou zinas dan Slavoj Žižek (terbitan Verso, 2010), mengetengah-kan satu paradoks.

Di satu pihak, komunisme menghendaki satu tingkat di mana orang dapat ”memperoleh sesuai dengan yang dibutuhkannya, dan menyumbang sesuai dengan kemampuannya”. Ini berarti satu keadaan sosial yang merupakan, dalam kata-kata Eagleton, ”buah produktivitas yang intensif”. Di lain pihak, komunisme juga merupakan penentang dari desakan produktivitas yang tak sehat (”patologis”) itu: desakan yang kini terbukti merusak alam dan menindas manusia di bawah regimentasi kerja.

Dalam paradoks itu, pemecahan model imajinasi Gonzalo bu kanlah melihat manusia sebagai sumber produktivitas. Yang pro duktif alam. Manusia cuma pasif menampung kedermawan-an bumi: ”all men [are] idle” seperti telah dikutip tadi. Manusia yang agresif adalah pangkal kekejian, bukan saja terhadap air, po-hon, fauna, udara. Manusia jadi tak peka akan nasib tubuhnya

KOMUNISME

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 46: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

21 Catatan Pinggir 10

sen diri dan tubuh orang lain. Bagi Gonzalo yang lembut hati, manusia yang baik adalah manusia yang ramah dan menghargai momen bermain bersama.

Tapi komunisme semacam itu, seperti dikatakan Eagleton, bu kanlah yang dilahirkan kaum pekerja. Komunisme semacam itu hanya diyakini seorang Oscar Wilde, seniman pesolek yang menyukai hidup sebagai keindahan dan keasyikan: komunisme yang berlangsung antara jamuan makan malam.

Sayangnya, sebuah masyarakat senantiasa hidup dalam kon-disi keterbatasan, dan dengan itu mengatasi keterbatasan. Di sini Eagleton mengemukakan satu tokoh lain dari Shakespeare: Lear.

Raja ini meninggalkan takhta yang diperebutkan dengan be-ngis oleh putri-putrinya. Ia mengembara di tengah alam yang di-ngin, muram, hampa. Di situ, katanya, pengemis yang paling pa-pa pun seakan-akan berlebih, dan hidup manusia demikian mu-rahnya: ”Man’s life is cheap as beast’s.”

Hidup murah di sini berarti hidup yang tak memerlukan ba-nyak. Dari Lear pun kita menyadari makna keterbatasan—bu-kan dari petuah-petuah agama tentang manusia yang daif dan Tu han yang Akbar, melainkan dari tubuh yang hampir telanjang, tersisih, tak punya apa-apa.

Dari keterbatasan itu terbitlah rasa bersama. Demikianlah raja tua itu menyeru, anehnya dalam keadaan hampir gila, sesu-atu yang menggugah, seakan-akan suara khotbah lain dari bukit: ”Expose thyself to feel what wretches feel”—sebuah seruan untuk so-li daritas kepada yang nestapa.

Saya kira lewat kalimat-kalimat dalam King Lear itu Shake-speare berbicara kepada para penonton di teater The Globe, di te-pi Sungai Thames, London, di masa ketika ketimpangan sosial awal abad ke-17 begitu tajam. Lewat mulut Lear ia menghujat ”orang yang serba berlebih dan hidup dari nafsu” (”the superflu-ous and lust-dieted man”). Melalui Lear juga ia mengimbau agar

KOMUNISME

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 47: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

22 Catatan Pinggir 10

ke kayaan yang berlimpah ruah itu didistribusikan, hingga tiap orang berkecukupan:

So distribution should undo excess,And each man have enough

Jika itu adalah ide ”komunisme”, ia memang lebih tua ke-timbang Marx. Dan saya kira, tanpa Marx, seruan Lear dan im-pian Gonzalo akan berlanjut. Kadang-kadang dengan ketakutan. Kadang-kadang dengan nostalgia.

Tempo, 30 Januari 2011

KOMUNISME

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 48: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

23 Catatan Pinggir 10

ALIEN

DARI petak sawah di desa di Sleman itu, kita tak terkejut lagi. Orang berbicara dengan yakin tentang makhluk angkasa luar yang barusan berkunjung. Sebuah ling-

karan terbentuk secara misterius di atas padi yang hijau, dan orang tak segera menduga, jangan-jangan ada mahasiswa pintar yang iseng dari kampus UGM yang membuatnya. Yang kita ba-yang kan adalah makhluk dari ribuan tahun cahaya jauhnya, yang kita namai dengan bahasa asing: alien.

Ada yang berubah sebenarnya: kini Sleman, Yogyakarta, Jawa, Indonesia, bahkan dunia, telah kita terima sebagai sesuatu yang de ngan wajar bersentuhan dengan sesuatu yang berbeda. Bahkan mungkin sama sekali berbeda. Bahkan tak kita ketahui seberapa jauh ”sesuatu” itu bisa kita bandingkan dengan diri kita, dan bi-sakah alien itu kita kenali.

Ini 2011: kita hidup di era pasca-Flash Gordon. Tokoh fiktif ini, yang telah dikenal akrab oleh beberapa generasi Indonesia, ki ni kian jauh dari kenangan. Ada masanya film yang dibintangi Buster Crabbe, yang dibuat pertama kali pada 1936, beredar di ge dung-gedung gambar-hidup yang dikunjungi kakek-nenek dan ayah-ibu kita. Di waktu kecil, saya menontonnya di sebuah gedung berdinding seng di kota kami, dan anak-anak kampung de ngan antusias mengisahkan kembali petualangan Si Flash: sang ja goan terbang bersama ”istrinya” (sebenarnya pacarnya, Dale Ar den) dan ”ayah”-nya (sebenarnya Dr Zarkov, ilmuwan se -te ngah gila penemu pesawat ruang angkasa yang menculik Flash dan Dale)—satu indikasi betapa dekatnya para penonton udik itu dengan fantasi Hollywood.

Tapi tampak juga, di masa lalu itu tempat & waktu kita telah membentuk lensa mata kita untuk melihat kehidupan di luar.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 49: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

24 Catatan Pinggir 10

Imajinasi kita datang dari kampung tradisional, di mana tokoh cerita berhubungan sebagai keluarga (”istri”, ”ayah”). Imajinasi Alex Raymond, yang dengan goresan gambarnya yang apik dan sak sama memulai komik yang kemudian dijadikan film itu, juga tak berbeda mendasar dari yang di benak anak kampung tetang-ga saya. Pada awal 1930-an itu, Raymond, orang New York yang pernah bekerja sebagai kerani di Wall Street, menggambarkan penghuni planet Mongo (dengan Kaisar Ming yang kejam seba-gai penguasa) mirip orang Cina yang mungkin ia lihat di Canal Street. Era Flash Gordon adalah masa ketika geografi dan sejarah manusia kita percayai sebagai satu-satunya paradigma.

Empat dasawarsa setelah itu, film Close Encounters of the Third Kind menandai sebuah perubahan: antroposentrisme itu telah di-tinggalkan. Steven Spielberg tak lagi menampilkan satu epik. Ia tak mengulangi tema yang seru tentang seorang lulusan Yale be-rambut pirang sebagai adijawara yang melawan si ”asing” jahat yang berkulit kuning. Spielberg mendasarkan ceritanya pada teo-ri pakar UFO Allen Hynek, seorang astrofisikawan dari North-western University, yang menyebut makhluk lain itu animate be-ing, yang bukan dengan sendirinya extraterrestrial atau dari luar bu mi. Hynek bahkan tak memakai kata alien. Dalam Close En-counters, makhluk-makhluk itu praktis tak dapat digambarkan: mereka liyan yang sepenuhnya liyan. Mereka ada bukan sebagai bagian dari permusuhan yang kita bikin dengan galaksi lain.

Film Spielberg adalah gema zamannya. Ia dibuat ketika Pe-rang Vietnam telah menimbulkan rasa muak dan marah kepada keyakinan, narsisme, dan paranoia Amerika. Dalam Close En-counters, sebagaimana kemudian dalam film E.T., tak ada lagi mo tif dari masa Flash Gordon, apalagi dari masa Buck Rogers, (di awal 1930-an juga), sebuah cergam dengan khayal tentang bangsa ”Merah Mongol” yang menyerang Amerika kelak di pertengah an abad ke-21. Sebagai kontras, satu kalimat tercantum pada poster

ALIEN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 50: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

25 Catatan Pinggir 10

film Spielberg, tanpa kecemasan: ”We are not alone”.Menarik bahwa Spielberg datang dengan kalimat itu setelah

ber tahun-tahun orang di mana pun dirongrong kecemasan ke-pa da alien, baik dalam arti ”E.T.” maupun dalam arti orang yang da tang dari ”luar”. Tampaknya kesadaran bahwa ”kita tak sen di -rian” selalu diinterupsi dengan keras oleh rasa waswas yang meng -anggap egosentrisme sebagai kedaulatan. Seabad sebelum Ko per-nikus, manusia sebenarnya sudah sampai ke satu kesimpulan: bu-kan saja bumi terselip di antara jutaan galaksi, tapi juga bahwa bu mi bukan lagi pusat—dan bahwa di alam semesta, tak ada yang disebut pusat.

Nicolaus Cusanus menulis Apologia doctae ignorantiae pada 1440. Seperti diuraikan dengan bagus oleh Karsten Harries dalam Infinity and Perspective, Cusanus menunjukkan bahwa bu-mi bak ”sebuah roda di dalam sebuah roda dan sebuah lingkar an dalam sebuah lingkaran”—yang tak punya pusat ataupun batas yang melingkunginya. Dan bumi itu bukan terra firma. Ia ber ge-rak seperti kapal yang berlayar entah ke mana.

Di masa ketika bumi dianggap sebagai pusat jagat raya, pen-da pat ini bahkan lebih radikal ketimbang kosmologi Kopernikus dan Kepler yang datang kemudian, yang masih yakin ada satu pu sat: matahari. Bagi Cusanus, anggapan adanya satu pusat ha-nya lah sebuah ilusi.

Empat ratus tahun kemudian Nietzsche melukiskan ilusi itu de ngan perbandingan yang dramatis. Sejarah dunia yang ber-abad-abad itu sebenarnya cuma satu menit saja dalam usia alam se mesta dan bumi hanya satu bintang nun jauh di pojok bentang-an yang tanpa batas itu. Meskipun demikian, di bintang itu de-ngan congkak manusia menemukan ”Kebenaran” yang abadi. Pa dahal menit itu akan lewat, bintang itu membeku, dan hewan congkak itu musnah....

Mungkin bersama Cusanus dan Nietzsche kita perlu mene-

ALIEN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 51: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

26 Catatan Pinggir 10

ngok lingkaran Sleman. Siapa pun yang membuatnya, kita tahu: kita tak sendirian, tapi juga kita akan kalah dalam permainan monopoli alam semesta. Meskipun kita bilang, ”Tuhan kita ber-sama kita.”

Tempo, 6 Februari 2011

ALIEN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 52: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

27 Catatan Pinggir 10

LAPANGAN

IKADA, Jakarta, September 1945. Wenceslas, Praha, Januari 1969. Tiananmen, Beijing, Juni 1989. Midan Tahrir, Kairo, Februari 2011.

Di lapangan-lapangan ibu kota, politik dalam pelbagai ben-tuknya bertemu. Berbenturan. Orang meriskir diri untuk pembe-basan. Atau sebaliknya: orang berjudi dengan represi, memperta-ruh kan masa depan seraya menaklukkan para pembangkang de-ngan senjata. Atau kata-kata.

Di Jakarta 1945, sebuah rapat umum digelar untuk mendu-kung proklamasi yang sebulan sebelumnya dimaklumkan. Di te-ngah ketakpastian tentang apa yang akan terjadi, Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan bahwa Indonesia memasuki sebuah po sisi baru sama sekali, yakni merdeka. September itu, di La-pang an Ikada tak ada tentara Jepang yang menembak orang ra-mai. Tapi suasana panas, bergelora.

Di Praha 1969, di Lapangan Wenceslas, seorang mahasiswa fil safat membakar diri. Jan Palach mati pada umur 21. Ia mempro-tes pendudukan Soviet yang dengan mengirim tank dan tentara hendak meneguhkan sistem komunisme kembali di Cekoslova-kia dan membungkam rakyat yang menginginkan liberalisasi.

Di Beijing 1989. Puluhan ribu anak muda menuntut. Di te-ngah- tengah protes yang berhari-hari itu, di Lapangan Tianan-men sebuah patung ”Dewi Demokrasi” setinggi 10 meter didiri-kan tepat berhadap-hadapan dengan gambar besar Mao Zedong. Beberapa hari kemudian, bentrok terjadi. Anak-anak muda itu diserbu dan ditembaki. Diperkirakan ratusan yang tewas, tapi tak tercatat.

Hari-hari ini, Februari 2011, di Kairo, Lapangan (Midan) Tah rir menyaksikan thema yang sama dalam sejarah yang tak sa-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 53: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

28 Catatan Pinggir 10

ma.Lapangan, tampaknya, bukan sekadar ruang yang terbentang

horizontal. Lapangan adalah sebuah endapan sejarah politik yang tak selamanya teringat. Sejak ia dikonstruksikan.

Ikada (akronim dari Ikatan Atletik Djakarta) tak dimulai oleh para penggemar olahraga. Bentangan hijau di pojok timur dari tem pat yang kini dikenal sebagai ”Monas” itu didirikan di awal abad ke-18. Yang punya ide Herman Willem Daendels. Ia ingin me rayakan kemenangan Napoleon Bonaparte di Belanda dengan mendirikan Champ de Mars itu. Setelah Napoleon kalah, lapang-an itu diubah namanya jadi Koningsplein.

Lapangan Wenceslas, yang lebih mirip sebuah boulevard ke-timbang alun-alun, bermula sebagai pasar kuda di abad ke-14. Ta pi di sini pun kemudian kekuasaan dilembagakan dan simbol di tegakkan: sebuah nama baru jadi resmi (dengan nama orang su ci), dan sebuah monumen dibangun.

Terlebih lagi Tiananmen. Didesain di tahun 1651, namanya mengisyaratkan sebuah energi politik yang mengacu ke stabilitas: ia praktis bagian dari ”Gerbang Kedamaian Surgawi”.

Juga Midan Tahrir Kairo. Ia semula bernama Lapangan Isma-i liyah, mengikut nama penguasa Mesir abad ke-19, Khedive Is-mail, yang bertakhta di sana sebagai wakil kekuasaan Turki. Ke-tika Mesir jadi republik melalui sebuah revolusi di tahun 1952, la-pangan itu diganti namanya jadi ”Lapangan Pembebasan”.

Pergantian nama seperti itu mengisyaratkan bahwa tak ada fon dasi yang kekal dalam simbol macam itu. Lapangan adalah konstruksi kekuasaan, tapi samar-samar di balik hasratnya yang mo numental, kekuasaan yang menghadirkannya sepenuhnya ber sifat contingent, serba mungkin, bergantung pada dua energi po litik yang bertabrakan. Di satu sisi, energi politik yang memba-ngun institusi dan kemapanan. Di sisi lain, energi politik yang men jebol mengguncangkan.

LAPANGAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 54: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

29 Catatan Pinggir 10

Itulah sebabnya tiap lapangan mengandung sebuah ilusi. Pada mulanya ia impian tentang sebuah pusat. Tiap lapangan juga ha-sil impian untuk mencapai yang kekal, yang utuh berbentuk—tapi yang sebenarnya tak punya dasar. Sebab itu tiap lapangan men cerminkan politik sebagai Polizei, untuk meminjam istilah Carl Schmitt: daya untuk menjaga tata yang hendak ditegakkan. Maka tiap lapangan ditandai batas: ada pagar kadang-kadang, ada papan nama. Pada gilirannya, tiap lapangan hendak mewu-judkan politik sebagai Politesse: politik yang berusaha menutup-nutupi antagonisme yang berlangsung di masyarakat.

Maka lapangan pun jadi tempat bercengkerama dan bermain yang sopan santun. Atau sekadar wadah pertemuan sengaja atau tak sengaja. Masyarakat akan tampak ”sudah jadi”. Harmoni se-akan-akan sifat dasarnya.

Tapi politik bukanlah gambaran yang ”sudah jadi”. Apa yang ber gelora di Ikada, Wenceslas, Tiananmen, dan Midan Tahrir meng ungkapkan bahwa di balik batas-batas lapangan, selamanya bergerak energi yang tak dapat ditangkap oleh tata simbolik yang dijaga polisi. Adat-istiadat yang berkuasa tak juga bisa menjinak-kannya. Di atas saya sebut energi politik yang menjebol: energi yang gerah, geram, bergerak dengan gairah, dan mengguncang-kan.

Itu sebabnya sejarah lapangan di pusat ibu kota selalu bisa di-guncangkan: karena kekuasaan yang abadi tak diakui lagi (juga di Tiananmen), orang bergulat menempatkan simbol-simbol ba-ru. Tapi mengubah nama dan membangun patung hanyalah se-bagian dari proses itu. Bagian yang lebih luas adalah laku pertun-jukan, act of performance. Lapangan adalah sebuah teater, karena hanya dengan itu lambang itu punya makna.

Teater itu bisa pedih—seperti yang disaksikan dunia di La-pangan Wenceslas tahun 1969: Jan Palach, di tengah hari musim di ngin di Januari, datang. Ditanggalkannya jas panjang yang ia

LAPANGAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 55: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

30 Catatan Pinggir 10

pa kai, disiramkannya bensin ke seluruh tubuhnya, lalu dinyala-kannya korek api. Dalam beberapa detik, api membakar badan-nya. Tiga hari kemudian ia mati. Di saku jasnya ada secarik ker-tas, dengan tulisan: ”... ini dilakukan untuk menyelamatkan Ce-ko slovakia dan pinggir jurang ketiadaan harapan.”

Tempo, 13 Februari 2011

LAPANGAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 56: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

31 Catatan Pinggir 10

ISTRI LOT

HARI-hari ini kita akan terpaksa kembali kepada Tuhan yang ”ganas”, yang ”cemburu”—Tuhan dalam sajak Amir Hamzah yang terkenal itu. Kita akan teringat ke-

pada-Nya, ketika di banyak tempat orang berseru, menyebut Na-ma itu, dan merasa sah untuk membantai.

Tuhan dan kekerasan: kedua kata itu akan berjauhan seandai-nya tak ada orang-orang yang tak berdaya yang dianiaya oleh me-re ka yang merasa menjalankan titah-Nya.

Februari 2011, serombongan orang atas nama Islam membu-nuh tiga orang di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Juni 2010, be be-ra pa orang menembaki Jemaat Ahmadiyah yang sedang melaku-kan salat Jumat di dua masjid Lahore; sekitar 80 orang tewas. Februari 2002, di Gujarat, India, orang muslim dan Hindu sa-ling membantai; kurang-lebih 1.200 orang mati. Februari 1994, seorang Yahudi, Barukh Goldstein, menembakkan senapan me-sin ke orang-orang yang bersembahyang di Masjid Ibrahim, Yeru-salem. Sekitar 30 muslimin tewas.

Catatan ini bisa ditarik ke masa silam: Agustus 1572, orang-orang Katolik Prancis memulai pembantaian besar-besaran umat Pro testan. Puluhan ribu mati. Beberapa belas tahun kemudian, No vember 1588: penguasa Protestan Inggris menghukum mati 33 orang Katolik karena iman mereka.

Apa yang mencolok dalam kekejaman itu adalah awalnya: orang tak dilihat sebagai wujud yang singular. Tuhan agaknya ha nya terasa akbar bila digambarkan sebagai Sang Pelaksana Agung hukuman kolektif. Kita teringat akan kisah Perjanjian La ma tentang Kota Sodom yang dihancurkan-Nya. Sodom dan Gomora binasa, karena bagi-Nya kota-kota itu hanya dosa.

Keadilan bisa disebut di sini, jika keadilan hanya berarti ada-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 57: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

32 Catatan Pinggir 10

nya hukuman atas kesalahan. Tapi kita tahu, keadilan juga perso-alan yang rumit. Andai Sodom, tempat berkecamuknya perilaku ho moseksual yang membuat ”banyak keluh-kesah orang” dan ”sa ngat berat dosanya”, patut dibinasakan, adilkah untuk tak me-lihat bahwa dalam kota itu, sebagai kesatuan, ada beda yang tak ter duga? Bahkan Abraham, orang yang telah dipilih-Nya, risau meng hadapi sikap Tuhan yang murka itu. Dalam doa syafaatnya, laki-laki itu bertanya: ”Apakah Engkau akan melenyapkan orang be nar bersama-sama dengan orang fasik?”

Syahdan, Tuhan mendengarkan doa Abraham. Tapi, bagi-Nya, tetap tak cukup jumlah orang baik yang akan membuat So-dom bisa diselamatkan. Esoknya Abraham mengetahui usahanya ga gal. Pagi-pagi ia memandang ke arah Sodom dan Gomora serta ke seluruh tanah Lembah Yordan. Yang dilihatnya: ”asap dari bu-mi membubung ke atas sebagai asap dari dapur peleburan”.

Kita tak tahu apa yang kemudian terjadi dalam dirinya. Yang ki ta ketahui dari Alkitab: laki-laki ini tetap setia kepada Tuhan yang tak sepenuhnya dipahaminya. Ia seorang patriah. Ia seorang pemimpin. Ia bukan seorang yang diketahui mencatat kepedihan orang yang tak bersalah dan jadi korban. Terutama perempuan, yang dalam agama sering tak dianggap penting.

Agaknya sikap tak peduli ini menyebar dari generasi ke gene-ra si. Tapi pada tahun 1920-an seorang penyair perempuan, Anna Akhmatova, menulis sesuatu yang lain. Ia menulis sebuah sajak tentang istri Lot.

Ia bertolak dari ujung kisah Sodom yang mengerikan itu. Se-belum kota itu binasa, malaikat berkata kepada Lot, orang yang dikasihi Tuhan, agar ia membawa istri dan kedua anaknya me-nying kir. Mereka pun dibawa ke luar kota, seraya diberi pesan, agar jangan menoleh ke belakang. Lot dan kedua anaknya sela-mat. Tapi, dengan satu kalimat yang seakan-akan hanya terselip, disebutkan: ”... istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke

ISTRI LOT

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 58: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

33 Catatan Pinggir 10

be lakang, lalu menjadi tiang garam.”Lalu perempuan itu tak pernah disebut lagi—juga tak pernah

di tanyakan, apa sebabnya ia tak patuh. Di tengah kebisuan itu, atau terhadap kebisuan itu, Akhmatova menyajikan sebuah cerita lain. Saya terjemahkan sajaknya sebisa mungkin:

Lot yang suci pun melangkah, menyusul malaikat Di atas bukit. Tampak besar, ia berkilat, hitam pekat.Tapi hati istrinya berbisik, kian kuat, tak seperti biasa: ’Senja belum gelap. Tengoklah di balik sana.

Pandanglah menara kotamu yang merah mawar,Taman tempat kau bernyanyi, halaman tempat kau memintal,Jendela-jendela lapang rumahmu yang nyamanDi mana anak-anakmu kau lahirkan’.

Maka ia pun memandang ke Sodom kembali. Tapi tatapan ituTerpaku pedih: tak ada yang tersisa lagi.Dan di saat itulah kakinya terbenam,Tubuhnya tiang garam.

Di bait terakhir sajaknya Akhmatova kemudian bertanya: sia-pa sanak saudara yang akan berkabung karena kekejaman itu? Ter sirat dalam Alkitab, perempuan itu cuma kehilangan yang tak berarti. Hanya sang penyair yang tak bisa melupakannya: sajak-nya adalah penghormatan kepada seorang yang bersedia mati agar bisa melihat kembali, cukup sekali, apa yang amat berarti baginya.

Dalam sajak dengan kisah yang sama yang ditulis Cyprianus Bitin Berek, apa yang amat berarti itu lebih dijelaskan. Istri itu mem bandingkan dirinya dengan suaminya. Lot seorang pengela-na, sedangkan ia bukan. ”... diriku asli Sodom/Berbekas hingga sumsum”.

ISTRI LOT

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 59: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

34 Catatan Pinggir 10

Betapa bisa kulupakan tanah ini?Kanak-kanakku terukir di pohon-pohondan kilau remajaku di tembok kota.Betapa kutinggalkan sanakku mati terbakar?

Artinya, yang berarti bagi perempuan ini bukanlah ketaatan kepada titah yang agung, melainkan apa yang fana, rapuh, tapi tak tergantikan. Ia korban. Ia sebuah nasib yang singular. Ganjil, jika dilihat dari aturan.

Tuhan, yang ditafsirkan hanya berhubungan dengan yang Sa-tu, tak akan menjangkau yang ganjil yang tak tepermanai itu. Ta-pi Tuhan yang seperti itu bukanlah Tuhan yang lebih dekat ke di-ri manusia ketimbang urat nadi lehernya. Kepada yang terakhir ini agaknya manusia masih tak berhenti berharap.

Tempo, 20 Februari 2011

ISTRI LOT

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 60: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

35 Catatan Pinggir 10

REVOLUSI

REVOLUSI tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam se jarah modern.

Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Sela-tan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada ha rapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan di ri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizin-kan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Ta-pi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hati-nya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Ke-merdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol de-ngan menyamar sebagai seorang perempuan.

Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima ba-yaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pem-be basan yang dipimpin George Washington. Di antara pasu kan-nya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyam-but pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus me rasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menja-wab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”

Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kem-bali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun ke mudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.

Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari ke-las bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancang an ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia di-lahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian ada -nya....” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Ke-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 61: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

36 Catatan Pinggir 10

merdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema se suatu yang kemudian terbukti universal.

Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Re-volusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan sa-tu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia me mang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang ter-kenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilih-nya sendiri.”

Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revo-lu si sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.

Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afri-ka, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit da ri Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya....

Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pem-berontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Ame rika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak musta-hil menyamakan diri dengannya.”

Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Me-sir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk ke-bebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”

Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh

REVOLUSI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 62: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

37 Catatan Pinggir 10

siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?

Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga pu-nya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersa-ma tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.

Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadil-an. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan la-ngit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mere-ka yang merasa terjepit.

Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kema-rahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.

Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, per geseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus me ngukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” ditiadakan.

Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilemba-ga kan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Ka-um revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk ke-merdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus di-keluarkan.

Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu? Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu se-

buah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu kejadi-

REVOLUSI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 63: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

38 Catatan Pinggir 10

an yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerah-kan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hi-lang itu.

Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai.

Tempo, 27 Februari 2011

REVOLUSI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 64: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

39 Catatan Pinggir 10

AHIMSA

LAPANGAN Tahrir, sebelum Mubarak lengser. Ketika ma lam menutupi Kairo, para pemuda yang ikut protes ber geletakan berbaring. Ada yang tidur, ada yang mem-

baca. Sebuah cerita di BBC menyebut, di bawah bayang-bayang tank tentara yang menjaga alun-alun itu, seorang demonstran membaca buku Gene Sharp.

Sejak itu Sharp disebut di BBC dan The New York Times seba-gai pengilham gerakan yang meletus di Mesir dan Tunisia.

Mengagetkan juga. Lelaki 89 tahun ini tampak kuno banget. Di rumahnya yang sederhana di East Boston, ia tak tahu Face-book atau Twitter; bahkan ia harus diberi petunjuk untuk mema-kai e-mail.

Tapi rupanya, di dunia ia cukup dikenal. Ia, pendiri Albert Einstein Institution, pernah jadi salah satu calon penerima Nobel Perdamaian. Ia menulis satu buku tentang Gandhi dan kemudi-an menghasilkan satu buku lain, From Dictatorship to Democracy. Risalah tipis ini telah diterjemahkan ke dalam sekitar 30 baha-sa, yang menurut The New York Times telah mempengaruhi ge-rak an prodemokrasi di Bosnia, Burma, Estonia, Zimbabwe, dan kini Mesir serta Tunisia. Sharp juga menulis sebuah manual, 198 Methods of Nonviolent Action, yang memberi petunjuk aksi bagaimana ”mogok makan” sampai bagaimana ”mengenal mata-mata”.

Tapi ia tak pernah ikut dalam pergerakan apa pun. Pada da-sar nya ia seorang periset. Maka bisa dimengerti jika Sharp, yang pemalu dan rendah hati itu, tak mau mendaku bahwa apa yang ter jadi di Mesir itu akibat pengaruhnya. ”Rakyat Mesir yang me-a kukan itu,” katanya, ”bukan saya.”

Bagaimanapun, sebuah ide bisa menyeberangi lautan. Ia bisa

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 65: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

40 Catatan Pinggir 10

me nyusup ke sebuah situasi yang memang pas untuknya—dan ja di kuat atau menakutkan. Di Venezuela dan Burma, Sharp di-anggap biang pembangkangan. Di Teheran ia dituduh ”agen CIA”.

Demikian berbahayakah gagasan Sharp, yang menegaskan prin sip nonkekerasan? Ia sendiri akan menyebutnya sebagai ”ga-gasan Gandhi”. Pergolakan Mesir, katanya, itu ”datang langsung dari Gandhi”.

Memang Gandhi, yang menolak untuk memakai kekerasan da lam perjuangan antikolonialismenya, sebuah legenda yang mem pesona. Salah satu adegan dalam film tentang sang Mahat-ma yang dibuat Richard Attenborough melekat di kepala saya: se-jumlah demonstran tegak tak melawan ketika polisi kolonial Ing-gris datang menghantam mereka dengan tongkat. Tapi, keti ka re-portase tentang hal ini tersiar ke seluruh dunia, orang pun ta hu mana yang ”biadab” dan mana yang teguh dalam keluhuran bu-di. Sejak itu penjajahan Inggris kehilangan legitimasinya, juga di Inggris sendiri.

Hari-hari ini kita tahu di Libya Qadhafi juga kehilangan legi-ti masinya. Selama 42 tahun ia berkuasa dan kini tetap ingin ber-tahan dengan menembaki ratusan orang penentangnya. Dalam per gaulan dunia ia tak akan dilihat sebagai pemimpin. Ia seorang pembantai, hanya dengan kostum yang teatral: aktor tunggal dalam sebuah teater kekejaman.

Tapi dibutuhkan sesuatu yang lebih hingga runtuh satu legiti-masi dan jatuh seorang diktator. Apa gerangan yang akan terjadi dengan Qadhafi: gagalkah ia bertahan dengan ”darah & besi”? Butuhkah ia diakui sebagai seorang yang beradab? Jangan-jangan tidak. Jika ia begitu kuat dan begitu tak peduli, Libya akan tetap ditundukkannya.

Sebab tak semua perlawanan nonkekerasan berakhir bahagia. Apalagi jika yang disebut ”berhasil” bukanlah hanya makzulnya

AHIMSA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 66: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

41 Catatan Pinggir 10

se orang penguasa, tapi hadirnya sebuah kekuasaan lain berdasar-kan ahimsa. Prinsip ini memang berakar dari kata ”tak melaku-kan tindakan yang mencederai”. Tapi ia juga bagian dari sikap yang menampik untuk membenci apa pun, berdusta, dan meng-utarakan kata-kata bengis.

Betapa tak gampang....Dalam perjuangan merebut hak-hak asasi kaum Hitam di

Ame rika Serikat yang dipimpin Martin Luther King, yang tak gam pang itu ternyata berbuah. Sebagaimana Gandhi berhasil. Tapi tak semua berakhir dengan kemenangan, baik dalam kekua-saan maupun dalam nilai-nilai.

Di Cina, para pemuda memprotes Partai Komunis yang ber-kuasa hanya dengan pengeras suara, patung darurat, dan sikap ne kat. Kita ingat potret jurnalistik yang termasyhur itu: seseorang berdiri sendiri di tengah jalan menyetop barisan tank yang men-deru ke Tiananmen. Tapi Partai yang berkuasa bersikeras. En-tah berapa puluh orang tewas dibabat. Protes punah; kekuasaan tegak, malah makin kukuh.

Contoh lain di Iran. Para demonstran dalam revolusi ini tak me nembakkan pistol atau melemparkan granat. Mereka hanya dengan berani berseru-seru. Syah akhirnya jatuh, Ayatullah Kho-meini naik. Tapi, setelah itu, kekuasaan yang menggantikannya dengan rajin menghukum mati kawan-kawan revolusinya sendi-ri. Ahimsa—dikembangkan Gandhi dari tradisi Veda, Jainis-me, dan Buddhisme—tak ada dalam tradisi Islam. Ahimsa tak menang di Iran.

Ataukah Gandhi sebuah perkecualian yang mujur? Kaum so-sialis dari pelbagai penjuru dunia, dari Jawaharlal Nehru sampai George Orwell, novelis dan esais itu, tak menganggap Sang Ma-hatma begitu suci. Orwell (yang pernah bekerja sebagai polisi ko-lonial) menulis bahwa pemerintah kolonial Inggris sengaja tak hendak menghancurkan Gandhi. Mereka takut bila penganjur

AHIMSA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 67: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

42 Catatan Pinggir 10

ahimsa ini lenyap, akan tampil para militan yang lebih menyukai bom. Gandhi sendiri tak selamanya konsisten, kata para pengkri-tiknya pula. Ahimsa asas yang terlalu luhur bagi dunia yang ber-dosa.

Tapi jangan-jangan kita berlebihan. Perjuangan politik bu-kanlah drama moralitas tentang yang ”luhur” dan yang ”berdo-sa”. Ahimsa sebuah strategi, dan tiap strategi bisa keliru. Jika ada yang tak keliru itu adalah keberanian untuk berkata ”tidak” ke-pada yang lalim tapi punya bedil. Di dalamnya ada keberanian untuk gugur dan gagal.

Tempo, 6 Maret 2011

AHIMSA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 68: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

43 Catatan Pinggir 10

MESH

Kalau ada sumur di ladangBoleh aku menumpang mandi

TIAP kali ke luar rumah, saya mengutuk. Atau mengeluh. Di dalam mobil.Mobil, akhirnya, sebuah kontradiksi. Ia berasal dari

kom binasi kata auto + mobile. Tapi ”auto” itu pelan-pelan hilang, ka rena akhirnya tak istimewa lagi ada kendaraan yang bisa ber-gerak sendiri. Kini kata ”mobile” yang ke depan—dengan arti ”ge rak yang cepat dan mudah”. Tapi itu sebabnya saya mengutuk: berada di jalan-jalan Jakarta, mobil ternyata menentang makna-nya sendiri.

Tak pelak lagi, benda ini telah berubah peran. Saya coba baca sejarahnya. Ia dimulai sebagai sesuatu yang eksklusif, salah satu bentuk ”kekayaan posisional” dalam pengertian Fred Hirsch. Tapi dengan segera tak demikian lagi. Sejak awal abad ke-20, di Prancis Panhard et Levassor sudah memproduksi mobil secara massal. Tahun 1893, Duryea Motor Wagon Company jadi per-usa haan pembuat mobil pertama di Amerika, disusul oleh Cadil-lac dan Ford yang memproduksi ribuan mobil dengan cepat. Transformasi pun terjadi: kendaraan ini kini sebuah bentuk ”ke-kayaan demokratik”—yang diharapkan akan bisa dimiliki siapa saja. Contoh terakhir: mobil murah Tata Nano di India.

Semangat ”kesetaraan sosial” abad ke-20 punya dampak di si ni: tiap orang punya hak sama untuk punya benda-benda yang dulu bukan dianggap bagian hidup kelas bawah.

Tapi tak cuma itu. Perluasan pasar kapitalisme tak putus-pu-tusnya menebarkan impian baru. Masyarakat pun membiasakan hasrat untuk ”punya”. Berkecamuklah sikap yang ”dungu dan sa-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 69: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

44 Catatan Pinggir 10

tu-sisi”, untuk meminjam kata-kata Marx: orang anggap sebuah ba rang hanya jadi bagian dari diri bila langsung dimiliki untuk ja di modal, atau langsung dimakan, diminum, dikenakan, dihu-ni. Sebuah sejarah yang muram sebenarnya: seluruh hasrat dan ka pasitas manusia, kata Marx, digantikan oleh kesadaran akan ”punya”, der Sinn des Habens.

Mobil—yang di Jakarta lebih dari 80% milik pribadi—kian menunjukkan sejarah yang muram itu ketika ia jadi contoh gejala kongesti. Mobil saya terenyak di antara sekitar lima setengah juta kendaraan pribadi di Jakarta, yang jumlahnya bertambah rata-rata 9,5% per tahun, ketika panjang jalan hanya bertambah 0,1%.

Macet, kongesti, mandek. Tampaknya tak ada satu kekuasaan yang bisa menyetop kecenderungan itu. Negara bukan saja dika-cau birokrasinya sendiri, tapi juga dilumpuhkan persekongkolan gelap yang membuat apa yang ”publik” dicincang-cincang ke-pentingan privat yang terpisah-pisah.

Pilihan yang ditawarkan pasar memang mampu membebas-kan individu dalam mengambil keputusan. ”Sayangnya,” seba-gai mana dikatakan Hirsch dalam The Social Limits to Growth, buku lama yang masih saya anggap penting, ”pembebasan indi-vidual tak membuat kesempatan-kesempatan itu akhirnya mem-bebaskan semua individu bersama-sama.”

Demikianlah kita beli motor, mobil, sesuai dengan hak dan ke mampuan kita. Tapi akhirnya kita tak jadi lebih bebas. Macet pa da tiap kilometer, mustahil kita mencapai tujuan dengan wak-tu yang kita pilih.

Tapi sebenarnya saya capek mengeluh. Apa yang bisa dilaku-kan?

Mungkin kita perlu menghitung. Juga mengenang. Kita meng hitung apa yang terbuang. Berapa jam dalam sehari sebe-nar nya kita perlu mobil di kota ini dalam keadaan normal? Kira-kira kurang dari 5 jam. Tapi kita ingin menguasai milik itu 24

MESH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 70: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

45 Catatan Pinggir 10

jam. Berapa ruang yang diambil satu mobil di jalan dan di tempat parkir, sementara pengendaranya hanya dua manusia? Sekitar 12 meter persegi. Kepentingan privat yang terpisah-pisah akhirnya te lah membuang begitu banyak dana, waktu, ruang bersama. Sebuah telaah memperkirakan, jika sampai tahun 2020 tak ada perbaikan dalam sistem transportasi di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi, kerugian ekonomi akan mencapai Rp 65 trili-un per tahun, termasuk kerugian nilai waktu perjalanan: Rp 37 triliun.

Maka kita perlu mengenang: bukan ke masa ketika mobil be-lum ditemukan, tapi ke masa ketika orang masih bisa berbagi. Sa-ya teringat lagu itu: ”kalau ada sumur di ladang...”. Bukan saja su-mur masih terletak di tempat terbuka, tapi juga orang masih bisa ”menumpang mandi”.

Yang tersirat dari pantun itu adalah sesuatu yang dulu lumrah tapi kini terasa luar biasa: jika sumur—atau mobil, atau kamar apartemen, atau rumah peristirahatan—hanya dipakai sesekali oleh yang punya, alangkah baiknya jika di saat sisanya orang lain juga bisa memakainya. Ini bukan cuma sebuah pesan moral. Ini pesan cara survival.

Di Jakarta, di mana ada orang bisa punya banyak mobil dan ba nyak tempat tinggal (yang tak mereka pakai), keserakahan dan ke mubaziran pun bertaut. Kita bukan saja hidup dengan ketim-pangan sosial. Kita juga makin membuang ruang untuk hal yang tak banyak digunakan—hingga kita tak punya taman, wilayah pohon-pohon, arena bertemu dan bermain.

Itu sebabnya gagasan yang dirintis di tahun 2005 oleh Rudy-anto, seorang warga Lippo Village, Karawaci, Tangerang, dengan membuat komunitas online yang ia beri nama nebeng.com, bisa ja di model untuk membangun cara dan sikap hidup alternatif. Ber gabung untuk nebeng satu mobil mungkin satu jalan kecil ke arah kebebasan dari sikap ”dungu dan satu-sisi”, dari cengkeram-

MESH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 71: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

46 Catatan Pinggir 10

an der Sinn des Habens. Lisa Gansky, penulis dan entrepreneur yang menunjukkan

pentingnya sharing (bukan owning), akan menamai ide Rudyan-to sebagai contoh ”mesh”: jalinan saling berbagi pelbagai hal, se-buah ekonomi yang dibangun oleh sikap yang tak biasa dianggap ”ekonomi”. Di situ berbagi tak berarti mengurangi kekayaan, tapi justru mengembalikan kekayaan: hidup di dunia yang lebih sehat dalam sikap saling mempercayai, sikap yang selama ini dilupa-kan.

Jika itulah yang akan saya dapatkan di Jakarta, saya pasti tak akan mengutuk lagi.

Tempo, 13 Maret 2011

MESH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 72: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

47 Catatan Pinggir 10

MEMANGKU

PARA raja di Jawa adalah ekspresi sebuah idaman. Teruta-ma idaman tentang stabilitas. Kita ingat nama-nama me-re ka: Amangkurat dan Mangkubumi berarti ”memangku

bu mi”. Hamengku Buwono berarti ”memangku benua”. Paku Bu-wono: ”paku” atau ”pasak” yang membuat kontinen tak bergerak te rus, terpacak tak terguncang-guncang.

Sering kali kita lupa, nama-nama itu relatif baru. Mereka mun cul dalam sejarah monarki Jawa sejak abad ke-17. Sebelum itu, dimulai dengan zaman raja-raja Mataram Lama sampai awal Mataram Baru, kita hanya menemukan nama-nama priba di: San-jaya, Syailendra, Mpu Sindok, Airlangga, Hayam Wuruk, Raden Patah, Trenggono, Hadiwijaya, Panembahan Senapati. Kemudi-an, pada 1641, muncul gelar ”Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman”: transisi dari yang personal ke dalam yang simbo-lik. Setelah itu, Amangkurat I.

Simbol, berbeda dengan tanda, mengacu ke sehimpun infor-masi yang tak persis dan pasti. Yang simbolik mengandung sesu a-tu yang tak hendak dikatakan. Dalam nama ”Amangkurat” atau ”Paku Buwono” terasa satu kesadaran tentang geografi yang ber-beda: sang penguasa membayangkan wilayah yang tak terbatas ha nya pada daerah yang dikuasainya langsung. Tapi sejauh mana wilayah itu, tak ada garis yang persis. Kita ingat mithos yang ter-kenal itu: hubungan yang akrab namun misterius Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, dengan yang bertakhta di ”Laut Selatan” dan di ”Merapi”. Dalam kisah ini, tersamar hasrat yang ekspansif yang tak hendak dikatakan.

Mungkin itu pertanda megalomania. Tapi mungkin juga lain. Jika ditilik lebih dalam, nama-nama itu bukan mensugestikan hasrat menaklukkan. Dalam kata ”memangku” ada makna ”me-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 73: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

48 Catatan Pinggir 10

nampung” dan ”merawat”. Pangkuan adalah sesuatu yang mesra, tenteram, dan protektif. Bahkan ”paku”, dalam nama ”Paku Bu-wono”, lebih berasosiasi dengan penjagaan.

Namun pada saat yang sama, ada faset lain yang bisa dicatat: apa yang dipangku dan dijaga dengan sendirinya sesuatu yang di-anggap stabil, tak lasak—sesuatu yang betah dengan wadah tem-pat ia berada. Dengan kata lain, negeri atau masyarakat yang ada di haribaan raja diharapkan tak punya antagonisme dalam diri me reka dan dengan sang raja.

Tentu saja, seperti saya sebut di atas, itu hanya sebuah idaman. Simbol punya peran lain: bukan representasi sesuatu, melainkan sebuah ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang tak ada.

Dalam sejarah Mataram, yang tak ada itu justru harmoni an-tara yang memangku dan yang dipangku. Sejak Amangkurat I, kekerasan berkecamuk. Raja ini membantai 3.000 ulama di alun-alun dalam waktu setengah jam. Raja ini pula yang akhirnya me-nimbulkan pemberontakan Trunojoyo; ia bahkan disanggah anak nya sendiri hingga lari dari istana. Ia meninggal jauh di pesi-sir utara.

Kasus Amangkurat I menunjukkan, ikhtiar simbolisme itu la-hir bersama kondisi raja sebagai sosok yang terbelah. Ia berta ut dengan sesuatu yang mithologis; sebagai pemangku bumi ia tak merupakan bagian dari bumi itu. Dengan posisi itulah ia diha-rapkan (dan mengharap) jadi pemersatu alam. Tapi pada saat yang sama, ia berada di dalam kegalauan bumi. Harapan untuk jadi ”pemersatu” itu berlebihan. Selisih pun timbul.

Amangkurat adalah contoh betapa sebenarnya sang pemang-ku bukan fondasi stabilitas. Ia sendiri tak punya penopang. Ia tum buh dari konflik dan kekerasan yang membentuk sejarah: se-jak Majapahit runtuh, sejak Kesultanan Demak lenyap dan Ji-pang hilang. Bahkan agaknya jauh sebelum Ken Arok memba-ngun Tumapel dengan keris dan darah.

MEMANGKU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 74: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

49 Catatan Pinggir 10

Juga sampai hari ini: kita harus mengakui, idaman akan sta-bilitas adalah idaman yang bagus tapi sia-sia. Tiap negeri, keraja-an, atau republik, bagaimanapun, terbentuk lewat bentrokan, per saingan, dan pergulatan hegemoni. Antagonisme tak pernah berakhir. Sejak Kautilya menulis Arthasastra di India di abad ke-4 sebelum Masehi, sejak Machiavelli menulis Il Principe di Italia di abad ke-16, sampai dengan kompetisi demokratik abad ke-21, para pemikir dan pelaku politik sadar: politik itu sejenis perang.

Apa boleh buat. Orang meciptakan kekuasaan untuk dirinya, tapi ia tak dapat menjadikan kekuasaan itu identik dengan diri-nya: kita ingat Amangkurat yang lari dari keraton, raja-raja yang dimakzulkan dan dipenggal, khalif-khalif yang dibunuh dan di-ce markan. Yang penting tentu saja bukanlah mengakui kebrutal-an itu sebagai sesuatu yang sah. Yang penting adalah meniadakan ilu si bahwa bumi akan berhenti gonjang-ganjing setelah dipang-ku dan dipaku. Kekuasaan selalu bergeser. Orang yang mencipta-kan nya, dalam kata-kata Ernesto Laclau, ”akan sia-sia men da pat-kan hari ketujuh untuk beristirahat”.

Kita, di Indonesia, mudah merindukan hari ketujuh itu: terca-painya konsensus. Saya tak sepenuhnya sepaham dengan Laclau bah wa antagonisme adalah satu-satunya dasar yang membentuk sebuah masyarakat. Tapi memang tak dapat diasumsikan bahwa konsensus pasti datang. Para pihak dalam kehidupan politik tak dengan sendirinya akan menemukan ”rasionalitas” dan dengan itu bermufakat. Dalam sejarah Indonesia, dengan atau tanpa de-mokrasi, tak ada persaingan tanpa perlawanan. Politik tak mung-kin hanya mengejar koalisi tanpa konfrontasi.

Dalam salah satu kitab Jawa abad ke-19 disebutkan agar para calon pemimpin berlapang hati, serba memuat dan memangku, ”ba gaikan lautan”—den ajembar, momot lan mengku, den kaya se-gara. Petuah itu tampaknya dirumuskan seseorang yang merasa diri aman dari politik dan ditujukan kepada para pewaris sebuah

MEMANGKU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 75: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

50 Catatan Pinggir 10

kekuasaan yang sedang tenteram. Tapi di tanah air kita, laut bu-kanlah tasik yang tenang tak beriak. Ia punya prahara dan tsu-nami.

Tempo, 20 Maret 2011

MEMANGKU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 76: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

51 Catatan Pinggir 10

BOM/BUKU

BOM dan buku: kekerasan adalah jalan sempit yang me-mintas, percakapan adalah jalan yang tak ada ujung. Ta-pi bom yang hendak menghentikan dialog akhirnya tak

akan menghentikannya. Pihak ”sana” bisa tewas, yang membu-nuh toh tak dengan sendirinya menang; kebenarannya tak serta-mer ta diakui. Sementara itu buku, di mana percakapan berkem-bang, memang punya sampul penutup, tapi buku yang sempurna tak akan pernah selesai ditulis.

Mungkin itu sebabnya orang tak sabar. Selalu ada sifat tergesa- gesa di kalangan orang yang penuh keyakinan, ketika mereka hen dak mencapai satu keadaan di mana keyakinan itu terjaga mur ni, tak lagi dicemari suara dan pikiran yang mengganggu.

”Apa yang paling tuan takutkan dalam perkara kemurnian?” ”Sifat tergesa-gesa,” jawab William.

Percakapan dalam novel Il Nome de la Rosa Umberto Eco ini (de ngan latar Eropa abad ke-13, ketika atas nama Tuhan dan un-tuk kemurnian ajaran Kristen para pejabat Gereja dengan hati dingin membinasakan orang yang dianggap ”sesat”) selalu saya ingat. Apalagi hari-hari ini.

Di hari-hari ini, di sebagian negeri, orang menuntut penyele-saian seketika dan sebab itu membunuh: mereka tak mengakui bah wa dunia adalah lanskap yang tak rapi. Mereka tak mau me-nerima bahwa sejarah penuh jurang, belukar, dan kelokan tajam, dan untuk membersihkannya diperlukan waktu yang tak terba-tas. Keyakinan akan Yang Maha-Agung bisa memberi manusia ke kuatan yang dahsyat, tapi juga ilusi yang kaku—yang membu-atnya lupa bahwa ia tak sekuasa Tuhan, jauh, apalagi ia telah di-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 77: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

52 Catatan Pinggir 10

pin dahkan ke luar Firdaus, ke dalam wilayah yang tak suci lagi. Dunia adalah wilayah ada-bersama-orang lain. ”Lain” bisa di-

artikan ”ganjil”, dan ”ganjil” sering tak menyenangkan, seper ti cela, seperti najis, seperti dosa. Berabad-abad keadaan itu mem-bangkitkan kekerasan, ketika keyakinan yang sudah ada di suatu masyarakat mencoba memurnikan diri dari ancaman (”do sa”) keyakinan yang berbeda. Yesus ditangkap laskar Yahudi dan di-pa ku di tiang salib; Muhammad diancam bunuh orang Qu raish hingga melepaskan diri diam-diam ke Madinah. Katolik mem-basmi Protestan, Protestan membalas, atau membakar hidup-hi-dup orang yang berpikiran lain: Michael Servetus. Kaum Sunni dan Syiah tak henti-hentinya tebas-menebas. Semua itu tentu saja disertai dalil, yang juga dalih.

Tapi pada akhirnya tak ada yang sepenuhnya menguasai dalil: perdebatan tak pernah berhenti. Perlahan-lahan, meniti trauma dan ketakutannya sendiri, manusia pun menyesuaikan diri de-ngan dunia yang tak bisa diubahnya. Kini kita menyaksikan ne-ge ri-negeri di mana keyakinan yang berbeda-beda hidup berdam-pingan. Orang menyadari, tanpa koeksistensi, yang akan terjadi hanyalah konflik yang saling membinasakan, yang menyengsara-kan, seperti Perang Agama di Eropa di abad ke-16. Sejak itu, bah-kan orang Prancis menanggalkan semboyannya yang lama: une foi, une loi, un roi, ”satu iman, satu hukum, satu raja”.

Di hari-hari ini, percakapan yang mengemuka adalah ”multi-kulturalisme”. Di Kanada, kemudian di Eropa, kemudian di pel-bagai negeri, masyarakat yang tadinya merasa utuh dan homogen makin menyadari bahwa dalam dirinya muncul perbedaan buda-ya, agama, dan etnis yang tak dapat dihilangkan. Dulu Amerika Serikat yang terdiri atas bermacam-macam imigran itu menye-but diri ”a melting pot”, sebuah kuali yang menghasilkan sesuatu yang padu dari pelbagai bahan mentah. Tapi sejak akhir 1960-an klaim itu digugat. Mulai berkecamuk identitas yang berbeda-

BOM/BUKU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 78: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

53 Catatan Pinggir 10

be da. Bahkan, seperti ditunjukkan Michel Wieviorka, sosiolog Prancis yang baru-baru ini mengunjungi Indonesia, kian modern sebuah masyarakat, terbukti kian besar kecenderungan dirinya untuk memproduksi perbedaan kultural.

Multikulturalisme memang bisa jadi agenda sosial-politik yang bisa mengelola perbedaan-perbedaan itu—yang sering se-ngit dan berdarah. Dengan agenda itu orang bisa belajar untuk membangun toleransi.

Tapi ada beberapa masalah. Agenda itu, seraya mengakui ku-kuhnya perbedaan (difference), juga menumbuhkan sikap tak acuh (indifference). Toleransi sadar menjaga batas, tapi tak hendak menemui mereka yang berada di sebelah sana dari batas itu. Mul-tikulturalisme dengan demikian bisa jadi semacam apartheid, keterpisahan, yang terdiri atas unsur-unsur tak saling mempedu-likan.

Pada saat yang sama, toleransi mengandung sikap yang meng-akui nisbinya sebuah pendirian atau keyakinan. Dari sana kita di-ingatkan akan perumpamaan yang terkenal itu: kita ibarat si bu ta yang hanya memegang ekor atau belalai gajah—bukan gajah itu sepenuhnya. Seperti dikatakan dalam satu sajak Chairil Anwar tentang Tuhan: ”Betapa susah sungguh/Mengingat Kau penuh selu-ruh.”

Tapi ada yang menyatakan, sebuah keyakinan hanya bisa dise-but keyakinan bila berpegang pada yang mutlak. Bagi mereka, to leransi sesuatu yang sesat. Tiap dialog, tiap percakapan yang bertolak dari toleransi cuma mengelak dari jawab yang final. Bagi mereka, kesabaran adalah menunda kekalahan. Mereka lebih baik mati, atau mematikan, ketimbang menunggu tanpa berke-sudahan. Menawarkan sebuah sistem yang tegak berdasarkan to-le ransi bagi mereka adalah absurd.

Dan mereka pun mengirim bom. Yang mereka lupa, bom tak pernah meyakinkan sejarah. Tentu, buku juga tidak. Tapi seti-

BOM/BUKU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 79: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

54 Catatan Pinggir 10

dak nya buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan perca-kap an yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran me-ne rakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: ”Bacalah”.

Tempo, 27 Maret 2011

BOM/BUKU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 80: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

55 Catatan Pinggir 10

SAWITO

1976: sebuah ”gerakan” muncul di Indonesia. Bahkan sebuah ”Revolusi” terjadi. Tapi tak seorang pun melihatnya.

Tak ada orang ramai yang memadati jalan-jalan, membawa pos ter dan meneriakkan yel. Tak ada pasukan perlawanan yang mun cul dari lorong-lorong kota. Tak ada stasiun radio yang dire-but. Kantor telekomunikasi tetap bekerja rutin.

Tapi Soeharto, presiden, mengetahui. Di Hari Angkatan Pe-rang, 5 Oktober, ia memaklumkan bahwa ada ”Ge rakan Sawito” yang mengancam. Ia punya pengukuh: Laksamana Sudomo, per-wira tinggi yang di masa itu jadi panglima yang menjaga keaman-an dan ketertiban Republik. Sang panglima menyebut ”Gerakan Sawito” itu bukti adanya ”Revolusi”.

Tapi kenapa sepi-sepi saja? Ini ”Revolusi Istana”, kata Sudomo. Tak jelas istana yang mana.

Yang kemudian terungkap: ini istana yang tak lebih besar ke-tim bang keraton Ketoprak Humor. Yang disebut ”gerakan” itu cu ma terdiri atas tak lebih dari 10 laki-laki lanjut usia yang di-dampingi istri mereka yang sabar. Mereka ini percaya bahwa Sa-wito (seorang pegawai golongan III-C Departemen Pertanian de-ngan gaji Rp 5.000 sebulan) telah menerima mahkota dari Kera-jaan Majapahit. Bahkan ia telah dinobatkan sebagai ”Ratu Adil”.

Upacara penobatan dilakukan dua kali di sebuah rumah pen-siunan duta besar di Ciawi, September 1972. Yang hadir dua man tan duta besar Indonesia, seorang Belanda kelahiran Yogya yang berusia 71 tahun bernama Van Gennep, istrinya, seorang mer tua, dan mungkin seorang dua orang lagi.

Pada hari itu, orang-orang tua itu merasakan, atau saling me-ngu kuhkan, adanya wangsit bahwa mereka semua titisan Raja

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 81: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

56 Catatan Pinggir 10

Ma japahit, dari Brawijaya I sampai dengan Brawijaya V. Yang ter-akhir ini tak lain Raden Sudjono, si empunya rumah di Ciawi itu. Tokoh ini, 68 tahun, cukup penting sebagai pencatat. Ia, orang yang bergelar ”meester in de rechten”, sarjana hukum didikan se-ko lah Belanda, punya kemampuan menulis yang jelas dan rinci. Dalam sebuah naskah setebal 166 kertas folio berjudul Mission Impossible, Sudjono menggambarkan bagaimana adegan selama ”penobatan” itu: Van Gennep mendatangi Sawito, dan akhir-nya menyembah. Pak tua Belanda itu (yang yakin dirinya titisan Brawijaya I) pun ”tunduk menghamba” di depan Sawito, sang ”Ra tu Adil”. ”Saya serahkan segala-galanya, raga, jiwa, dan roh ke pada Guruji,” sembahnya, menyebut Sawito dengan panggilan yang konon pantas untuk ”Bhatara Guru”.

Bagi orang di luar kelompok itu, adegan seperti itu ganjil, tak ma suk akal, menggelikan. Tapi Sudjono orang yang beriman ke-pada ”Ratu Adil”-nya. Dalam majalah Mawas Diri Mei 1972 ia mengisahkan pengalamannya.

Di awal 1972, ia mengikuti perjalanan ”seorang pemuda” ber-umur 40 tahun, Sawito namanya. Orang ini punya mertua, ber-nama Trisirah, 66 tahun, yang katanya telah menerima ”perintah atau petunjuk dari dunia gaib untuk melakukan beberapa tin-dak an demi keselamatan umat manusia yang menghuni kawasan Nu santara”. Maka mereka pun mengunjungi ”daerah yang angk-er, mistis, magis”, sebuah perjalanan yang dalam wayang kulit di-sebut lelana brata. Dalam tiga gelombang kunjungan itu, mereka menjelajahi Pulau Jawa, ”dari ujung Timur sekeliling Gunung Ma hameru hingga ujung Barat berhadapan dengan Gunung Kra katau”.

Alkisah, di hutan Ketonggo di kaki Gunung Lawu, Sudjono dan putrinya mengalami satu kejadian yang menakjubkan. Sejak petang, mereka melihat cahaya beraneka warna ”dari segala ju-rusan menuju ke tempat kami duduk dekat Tugu Manik Kama-

SAWITO

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 82: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

57 Catatan Pinggir 10

la”. Seperti lampu mobil. Tak cuma itu: di langit tampak cahaya bergerak kian-kemari, ”bagaikan bintang-bintang beralihan”. Klimaksnya jam 1.30 dinihari: ”Kami menyaksikan sederet ca-haya panjang yang amat terang....”

Agaknya sejak itu Sudjono, yang menilai diri sendiri ”biasa ber disiplin pada rasio dan logika”, yakin: Sawito orang terpilih oleh Langit. Sawito sendiri tentu juga demikian. Dalam Mawas Di ri ia menuliskan pertemuannya dengan momen itu.

Pada 1972, ia mendaki untuk menyepi di Gunung Muria. Pa-da suatu malam, ada ndaru atau cahaya yang jatuh dari angkasa dan masuk ke dalam tanah. Ketika digali, terdapat batu. Di sana, ka ta Sawito, membayang wajah Kristus. Di sisi lain: wajah Sawito sendiri.

Tampaknya, ia bukan saja merasa diri titisan Raja Majapahit. Ia juga merasa tak jauh dari status Juru Selamat. Ini juga terasa da ri ramalannya yang dimuat di majalah yang sama. Ia gemar me nekankan kalimatnya dengan huruf kapital: ”Tuhan akan me-nu runkan KUASANYA, sekaligus Pemimpin, Pandu dan Taula-dan”. Keadaan Indonesia dan dunia begitu buruk, hingga ”DIA sen diri berkenan turun tangan dalam wujud KUASANYA”. De-ngan itulah Tuhan akan memperbaiki keadaan hingga ”NU-SAN TARA memegang peran MAHA penting, sebagai CIKAL BAKAL peradaban BARU, PANGKALAN PERTAMA PE-RIN TIS KERAJAAN TUHAN YANG BARU”.

Maka, dengan keyakinan semacam itu, Sawito mendatangi orang-orang terkenal, termasuk Bung Hatta, Hamka, dan juga pe mimpin Gereja Katolik. Ia bisa bicara persuasif, hingga lelaki tegap tinggi ini berhasil membujuk para tokoh nasional itu me-nan datangani naskah Menuju Keselamatan. Naskah dikirim ke Is tana. Isinya: meminta Presiden Soeharto menyerahkan kekua-saan Sawito, ”Ratu Adil” yang sudah dinobatkan di Ciawi itu.

Soeharto tak berkenan. ”Gerakan Sawito” berbahaya. Maka

SAWITO

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 83: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

58 Catatan Pinggir 10

SAWITO

di tangkaplah Sawito dan dengan cara khusus diinterogasilah pa-ra tokoh tua yang mungkin tak pernah berpikir untuk melakukan Revolusi apa pun.

Walhasil, inilah cerita paranoia versus paranormal: tanda beta-pa kekuasaan yang demikian besar bisa membuat orang meyakini kekuatan diri yang melebihi diri—disertai waswas, harap-harap cemas, dan impian yang jauh dari hidup praktis sehari-hari.

Tempo, 3 April 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 84: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

59 Catatan Pinggir 10

IMPULS

”... kemerdekaan adalah hak semua bangsa.”

DI tengah gentingnya pemberontakan di Libya kini, di ce lah-celah perlawanan di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Su riah, mungkin tak ada seorang pun yang mengetahui

bah wa ada kalimat seperti itu. Para perumus Konstitusi In donesia di tahun 1945 memang mencantumkannya dalam Mukadimah dalam suasana dan kondisi yang sangat berbeda: ”kemerdekaan” dalam pengertian mereka lebih berarti ”kemerdekaan” sebuah ne-ge ri, atau ”bangsa”, dari penjajahan negeri lain. Kita ingat tahun 1945 adalah tahun awal dekolonisasi di Asia dan Afrika, ketika ko loni-koloni melepaskan diri, atau dibebaskan, dari kekuasa an Eropa yang menindasnya.

Tapi agaknya ada yang mempertalikan mereka yang di Indo-nesia 66 tahun yang lalu dengan mereka yang ingin melepaskan di ri dari kungkungan Qadhafi dan para diktator lain hari-hari ini. Sama halnya ada impuls yang sama yang menggerakkan per-lawanan di Palestina terhadap pendudukan Israel.

Memang ada yang bisa dikatakan ”universal” dalam dorongan itu. Di depan mahkamah kolonial yang kemudian menghukum-nya, di Bandung, tahun 1930, Bung Karno telah menunjukkan-nya dengan fasih dan menggugah:

.... Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi pe ngu at —tiap-tiap makhluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak bo leh tidak, pasti akhir nja ber bangkit, pasti akhirnja ba ngun, pasti akhirnja menggerak-kan tenaganja, kalau ia sudah ter lalu sekali me rasakan tjelakanja diri ter-aniaja oleh suatu daya ang kara murka!

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 85: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

60 Catatan Pinggir 10

Yang umumnya terlupakan dari pidato pembelaan itu adalah te sis dasar Bung Karno: dorongan uni versal ke arah pembang-kang an untuk emansipasi itu sesungguhnya sesuatu yang ima-nen. Ia lahir dari pengalaman manusia dalam sejarah, dengan ji-wa dan raganya, dan bukan sebuah ide dengan ”I” kapital. Ia tak la hir dari luar ruang dan waktu. Saya di atas menyebut kata ”im-puls”. Bung Karno bahkan menunjuk gerak perlawanan itu pada ca cing sekalipun. Dan itu berarti, ”hak” yang disadari sebagai ”hak”, atau, dalam kata-kata Hannah Arendt, ”hak untuk mem-peroleh hak”, bukanlah awal. Pada awalnya: jasad yang sakit, hi-dup fisik dan psikis yang nyata tapi terluka.

Hidup yang seperti itu, pengalaman dengan jiwa dan raga itu, lazimnya akan terbatas, dibatasi ruang dan waktu tertentu. Ia tak akan membuahkan sesuatu yang universal. Tapi yang menakjub-kan (atau mungkin tak menakjubkan?) ialah bahwa impuls ke arah kemerdekaan itu dapat menampilkan diri sebagai dorongan mencapai apa yang benar-benar ”baik”—artinya ”baik” bagi sia-pa saja, di mana saja.

Saya kira revolusi dan perjuangan emansipasi punya dinamika itu: dengan keyakinan bahwa apa yang diperjuangkannya akan jadi sesuatu yang kekal dan diakui semua orang, seorang pejuang menemukan militansinya. Ia merasa mampu dan harus mengata-si kepentingan dirinya sendiri, latar belakang sosial dan budaya-nya, ikatan-ikatan primordialnya yang lain, termasuk pertalian fa mili. Tokoh Samaan dalam Keluarga Gerilya Pramoedya Anan-ta Toer bersedia meniadakan ayahnya sendiri yang berpihak ke-pada musuh kemerdekaan.

Ada yang mengerikan di dalam militansi itu. Tapi antara ke-kerasan yang satu dan kekerasan yang lain bisa ada perkara be-sar yang membedakan. Ada kekerasan terhadap orang lain yang sepenuhnya menegasikan ”yang lain”—seperti yang dilakukan ka um Nazi dan kaum Taliban. Tapi Robespierre tak seperti itu.

IMPULS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 86: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

61 Catatan Pinggir 10

Tokoh Revolusi Prancis yang membinasakan banyak musuhnya dan akhirnya ia sendiri dipenggal ini mengucapkan satu pidato yang menyentuh menjelang kejatuhannya. Ia yakin bahwa dalam revolusi yang penuh darah itu ada ”jiwa yang perasa dan murni”.

”Ada gelora hati yang lembut, perkasa, dan tak dapat ditolak, ada sik-saan dan keasyikan dari jiwa yang besar: rasa ngeri terhadap tirani, se-mangat ber api- api yang berbelas hati kepada yang tertindas, cinta yang suci kepada tanah air, dan kasih yang luhur kepada umat manusia. ”

Tanpa itu semua, kata Robespierre, ”Sebuah revolusi besar akan hanya sebuah perbuatan kriminal yang gaduh yang meng-hancurkan perbuatan kriminal lain.”

Robespierre kini mungkin dilupakan sebagai inspirasi. Tapi ia telah memberi makna kepada sebuah impuls yang lahir dari ru-ang yang terbatas dan tubuh yang tak kekal. Dengan kata lain, manusia melahirkan sesuatu yang transendental dari kemungkin-an-kemungkinannya yang muncul sewaktu-waktu.

Maka perjuangan untuk emansipasi di Libya atau Suriah atau Palestina bisa saja kalah, atau terpukul mundur. Tapi, dalam laku para pejuang itu, manusia telah mengangkat manusia lain—juga musuh-musuhnya—ke derajat yang lebih dari sekadar tubuh yang kesakitan dan kemarahan yang sepihak. Aku harus merde-ka, dan pada saat yang sama aku yakin manusia lain harus merde-ka.

Tempo, 10 April 2011

IMPULS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 87: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

62 Catatan Pinggir 10

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 88: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

63 Catatan Pinggir 10

MELIHAT

DENGAN ironi yang dahsyat, dengan magnífica ironía, Tuhan memberi Jorge Luis Borges dua hal: buku-buku dan malam hari. Di tahun 1950-an, pada usia setengah

abad, penyair besar Argentina itu jadi buta sepenuhnya. Tapi menarik bahwa dalam sajak yang ditulisnya tentang keja-

dian itu ia memakai kata ”malam hari”, la noche, untuk meng-gambarkan ”buta”. Borges yang lahir di akhir abad ke-19 mung-kin lupa: abad ke-20 telah memperkenalkan sisi lain dari malam, yaitu cahaya. Bahkan cahaya itu berpendar mewah, atau bertebar di mana-mana, dan gelap menjadi minoritas. Malah sebuah ca-cat. Terutama di kota-kota besar.

Kota kini telah membawa iman modernitas yang tak selama-nya dirumuskan: bahwa dunia bisa dijinakkan karena manusia bi sa mengetahuinya dengan benar, dan mengetahui dengan be nar berarti ”melihat”. Bukan ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghidu”, atau ”meraba”. Yang visual memimpin pengenalan kita kepada du nia.

Tentu saja akan berlebihan bila kita pisahkan masa kini dari ma sa lalu. Dalam kondisi pramodern, orang juga sudah meng-anggap sejarah bergerak karena penglihatan. Melalui ilmu, mi-sal nya. Orang Jawa menyebut ”ilmu” sebagai kawruh. Kata ini pu nya akar dalam kata weruh, yang dalam kamus Jawa susunan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 berarti ”bisa menggunakan penglihatan” dan juga berarti ”mengerti”. Dan bila benar wayang adalah sumber kearifan, makin jelas bagaimana cahaya (dan aki-batnya: bayangan) adalah teknologi purba untuk pen-cerah-an.

Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber pengetahuan (dan penguasaan) itu bahkan sudah ada di Yunani Ku no: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum Plato.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 89: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

64 Catatan Pinggir 10

Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium se-belum dia, yang berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap pekat bagaikan gua, menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan ke-abadian. Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat meng-atur hidup. Nah, Dewi Demeter akan tampil dalam sinar yang te-rang. Kebenaran akan disampaikan.

Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menanti-kan informasi. Bukan di Eleusis, tapi melalui sinar di televisi, film, layar komputer di mana saja. Aku melihat, maka aku ada.

Bisa kita bayangkan bagaimana terasingnya Borges—apalagi ketika bahkan buku-buku juga sedang meninggalkannya. Sejak ia kecil deretan jilid berbaris di rumahnya. Bertahun-tahun ia sen tuh kertas yang membentuk pagina itu dan ia hidu aroma tin-ta nya. Tapi hari ini Kindle dan iPad dan entah apa lagi se dang menghapus sumber informasi (bahkan ”kebenaran”) itu. Di per-te ngahan abad ke-20 Tuhan memberi Borges buku dan ma lam ha ri. Kini sejarah teknologi merenggutkan keduanya. Beruntung ia tak menyaksikan babak baru ini. Ia meninggal pada 1986.

Saya kira saat itu ia bebas. Maksud saya, ia tak akan digedor ik lan yang tanpa jeda. Ia tak akan dijepit etalase-etalase mal yang memamerkan tubuh peraga yang rupawan, busana berpotongan memukau. Atau ratusan botol parfum yang lebih enak dilihat ben tuknya ketimbang dicium harumnya. Atau makanan yang meng imbau lidah lewat fotografi. Dan di atas semua itu: logo, lo-go, logo. Dengan desain yang tak ingin terabaikan.

Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang vi-sual, mencoba menebus sesuatu yang hilang. Ia bagian dari mo-dernitas yang lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan, yang menghabisi sihir, pesona, dan aura yang dulu dirasakan ha-dir dalam alam—gejala yang terkenal dalam sebutan Max Weber sebagai Entzauberung der Welt. Tapi sejak awal abad ke-19, ketika

MELIHAT

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 90: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

65 Catatan Pinggir 10

benda-benda dipajang di toko-toko besar, orang pun jadi konsu-men yang ternganga-nganga takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, lewat komoditas, pesona dikembalikan ke dunia.

Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari per hitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak se penuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sa dar yang hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa bilang, ”Entah.”

Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan pe sona alam di zaman kuno bisa menyesatkan, pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu juga demikian. Bedanya: di zaman dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa datang dan menghilang ke dalam misteri; kini, yang secara visu al mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya keda-lam an. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibe-bani kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain ha-rus berganti terus, selalu sementara, tiap musim. Hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan.

Itulah yang saya maksud: mungkin yang didapat Borges se-buah magnífica ironía yang membebaskan.

Ia beroleh buku: tempat tersimpannya apa yang tak ada di du-nia etalase, ruang visual yang rata. Buku Borges sendiri contoh-nya: di dalam cerita-ceritanya, fantasi lebih berperan, bahkan me-nge coh fakta. Di sana datang hal yang tak pernah dilihat: Borges me nulis The Book of Imaginary Beings. Di situlah ia hidup bersama ”malam”: fantasi & imajinasi meriah justru ketika kita tak tergo-da untuk melihat. ”Mata adalah peranti yang rapuh,” kata Borges dalam satu sajaknya.

Artinya, jauh di dalam diri yang tak tampak, ada yang tak ter taklukkan. Kapitalisme mencoba menangkapnya, tapi kata + kisah yang fantastis, yang ”gelap”, menyembunyikannya kembali.

MELIHAT

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 91: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

66 Catatan Pinggir 10

MELIHAT

Mungkin itu sebabnya kita selalu cemas akan kehilangan puisi.

Tempo, 17 April 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 92: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

67 Catatan Pinggir 10

MALCOLM X

PADA umur 39 tahun, ia ditembak mati di depan umum.Sejak itu, Malcolm X hidup sebagai riwayat yang bermula dari sebuah masa, sebuah tempat, yang buas dan tak adil:

Amerika Serikat tahun 1960-an, gema ngilu nyanyian Billie Ho-li day tentang mayat-mayat Negro yang tergantung bagai ”buah yang ganjil” di pepohonan.

Tapi tak hanya itu. Malcolm X tak mati-mati bukan hanya ka rena hidupnya menanggungkan perbedaan antarmanusia yang penuh kekejaman. Ia juga cerita seseorang yang akhirnya tahu, ke manusiaan bukanlah sebuah penjara besar kebencian dengan sel-sel terpisah.

Ini tersirat kembali di sebuah buku hampir 600 halaman yang ba ru terbit, Malcolm X: A Life of Reinvention. Manning Marable, penulisnya, tak hanya membawakan kembali kisah sang tokoh yang keras dan kotor, tapi juga menyebut ”humanismenya yang lembut”.

Selintas, aneh juga kata ”lembut” itu.... Malcolm lahir 19 Mei 1925. Ayahnya, Earl Little, meskipun

bukan pendeta, seorang pengkhotbah Gereja Baptis di Omaha, Nebraska. Ia aktif dalam organisasi antar-orang hitam, Universal Negro Improvement Association.

Bagi mayoritas orang putih di tempat itu, suara Little meng-ganggu. Ketika Malcolm masih di kandungan ibunya, Desember 1924, orang-orang Ku Klux Klan datang mengancam. Keluarga itu mesti pindah dari Omaha atau mereka akan dihabisi. Maka me reka pun pindah. Rumah mereka dibakar. Earl Little kemu-dian tewas ketabrak trem. Ibu Malcolm, Louise, membesarkan anak- anaknya dengan susah payah. Perempuan ini jadi gila akhir nya.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 93: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

68 Catatan Pinggir 10

Malcolm, dititipkan di rumah perawatan, masih bisa berseko-lah. Ia murid yang cerdas. Tapi ia tak melanjutkan, setelah guru-nya menasihati: ambisi jadi pengacara bukanlah ”tujuan yang re-a listis bagi seorang Negro”.

Anak ini pun pindah ke Boston, tapi kemudian mengembara. Pada tahun 1943, ia tinggal di Harlem, New York. Ia jadi germo, pengedar narkoba, pelacur bagi para pria, perampok. Tiga tahun kemudian ia kembali ke Boston, jadi pencuri yang menjarah ru-mah orang kulit putih. Ia tertangkap membawa senjata. Ia dihu-kum 10 tahun.

Di penjaralah sebuah kejadian menentukan: Malcolm jadi mus lim, transformasi seorang anak muda yang pernah disebut ”Se tan” jadi orang yang percaya kepada Allah. Dalam riwayat Mal colm, Islam sebagai iman datang dan bisa mengubah perja-lan an hidup seseorang—dan pada gilirannya iman itu mene-maninya berjalan, tak mandek, tak membeku.

Kita tahu Malcolm masuk Islam dengan kemarahan. Peng-alam an hidupnya membuat amarahnya sesuatu yang sah. The Na tion of Islam (NOI) di Chicago menarik hatinya. Komunitas ini, didirikan pada 1930 oleh Wallace Fard Muhammad, meng-ajarkan fragmen-fragmen theologi Islam yang agak kacau. Tapi ber sama itu harga diri: orang hitam harus sopan, hidup sehat, dan berpakaian bersih dan patut.

Pada saat yang sama, NOI juga mengajarkan bahwa ras orang hi tam adalah ras pertama yang membentuk manusia—dan bah-wa orang putih adalah ”iblis”. Tampak, ajaran kaum rasialis kulit putih dibalikkan jadi rasialisme kulit hitam. Dalam satu hal NOI sependirian dengan Ku Klux Klan: orang hitam harus memisah-kan diri dari Amerika, sebab Amerika adalah Kristen dan putih. NOI menghendaki satu negeri tersendiri di bagian Selatan, se-bagai perhentian sementara orang keturunan Afrika menjelang kem bali ke benua asal nenek moyang yang dulu dipaksa-angkut

MALCOLM X

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 94: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

69 Catatan Pinggir 10

se bagai budak.Malcolm, yang sejak 1953 jadi juru dakwah utama NOI, pun

mengubah namanya. Ia tak lagi memakai ”Little”. Ia mema kai ”X” untuk menandai asal-usul yang telah ditenggelamkan. Se-mua pertalian dengan Amerika dan yang lain (bagi NOI, ”yang-lain” dalam fokus pandangan mereka adalah orang putih) harus dibuat patah arang. Manusia tak satu. Penindasan dan kebencian telah memecahnya.

Tapi kebencian juga punya rongga. Maret 1964, Malcolm X memisahkan diri dari NOI. Ia berse-

lisih dengan sang pemimpin, Elijah Muhammad, karena soal pri-badi dan dalam siasat perjuangan. Dalam organisasi keyakinan yang militan, posisi pemimpin lazim jadi demikian luhur dan tak bisa digugat. NOI percaya bahwa sang pendiri adalah Imam Mahdi dan Elijah, yang melanjutkannya, muridnya yang spesial. Malcolm X tak mudah menerima bahwa privilese itu menjamin kebenaran. Juga kebenaran tentang masalah dasar seperti ras, ma nusia, dan pembebasannya.

Mungkin karena berangsur-angsur kebenaran dari Islam yang selama ini belum dikenalnya masuk ke dalam dirinya. Ia berubah. April 1964 ia berangkat ke Mekah. Selama upacara haji, ia saksi-kan ribuan manusia, berbeda asal dan warna kulit, berangkulan, dalam baju ihram putih-putih yang sama. Malcolm terpesona. Ia me rasa seakan-akan ”baru saja keluar dari sebuah penjara”.

Di sekitar Ka’bah, kebencian yang memenjarakannya selama ini tampak tak punya dasar yang kekal. Tak bisa kedap. Apa sebe-narnya ”musuh”? Jika ”ras” yang menjadikan sejarah manusia se-buah permusuhan, apa arti ”ras”? Tidakkah itu wacana yang—seperti wacana perbedaan lain—dikekalkan nafsu dan ketakutan manusia, diubah jadi alasan untuk saling menaklukkan, hingga dunia seperti sebuah kutukan?

Malcolm X pulang ke Amerika sebagai orang yang berubah.

MALCOLM X

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 95: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

70 Catatan Pinggir 10

MALCOLM X

Kini namanya Malik El-Shabazz. Ia tetap yakin, Islam bekerja un tuk keadilan. Namun itu berarti Islam mengakui apa yang uni versal dalam perjuangan itu: keadilan hanya berarti keadilan ji ka berlaku untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri.

Tapi mungkin dengan perubahan itu ia dianggap tak lagi ”ber pihak”.

Pada 21 Februari 1965, ia ditembak. Tanpa dihalang-halangi FBI, orang-orang NOI yang menganggapnya berkhianat meng-habisinya.

Tapi kita tahu Malcolm hidup terus. Yang mengatasi kebenci-an mengatasi juga kematian.

Tempo, 24 April 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 96: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

71 Catatan Pinggir 10

28 APRIL

PEKAN ini saya ingin mengenang Chairil Anwar, seba-gai mana orang-orang lain mengenangnya, tapi saya akan me nambahkan sebuah catatan yang terselip. Beberapa la-

ma setelah Chairil Anwar meninggal 28 April 1949, ia berangsur-angsur menjadi seseorang yang hanya terkait dengan sajak Aku: ”bi natang jalang” yang berteriak ingin hidup 1.000 tahun lagi.

Saya tahu, penyair selalu mati direduksi orang ramai. Tapi agaknya puisinya selalu bisa membebaskan dirinya.

Bagi saya, sajak-sajak Chairil bermula dengan sesuatu yang jus tru ada, terkadang tersembunyi, di bawah ”aku”.

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

Dalam Yang Terampas dan Yang Putus itu ”aku” adalah antara ”tangan yang bergerak lantang” dan tubuh yang ”diam dan sen-di ri”, di saat ketika ”cerita dan peristiwa” seakan-akan tak pernah terjadi, ”berlaku beku”, tak diberi arti. ”Aku”-nya adalah sebuah nuansa. Bukan kesatupaduan yang tegas, bukan sebuah pernya-ta an diri yang sukses.

Dalam banyak hal, Chairil memukau saya karena ia mengha-dir kan apa yang saya sebut ”sajak suasana”. Ia menampilkan sub-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 97: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

72 Catatan Pinggir 10

yek yang gawal. ”Sajak suasana” berbeda dari ”sajak pernyataan”: seperti Aku.

Da lam ”sajak pernyataan”, subyek masih tampak dalam posisi yang ingin mengendalikan arti. Dalam Aku (juga dalam Dipone -goro, atau Krawang-Bekasi), sang penyair masih tampak ha dir meng konstruksikan ”isi” puisinya—yang sering disebut ”pe-san” —dalam susunan dan kosa-kata yang seakan-akan tak ter-ganggu oleh apa yang dimaksudkan Julia Kristeva dengan kata le semiotique, oleh getar, gejolak, irama yang bergerak tanpa kata, tanpa arti, di bawah dunia verbal. Dalam sajak pernyataan, sang pe nyair masih merasa diri sang ”pembentuk”, bukan ”khaos”.

Tentu saja tak sepenuh demikian. Selama sebuah sajak dilahir-kan dalam impuls puitik, selama ia bukan sebuah uraian diskursif seperti penjelasan filsafat atau pernyataan politik, sebuah sajak per nyataan tetap tak bisa mengelakkan sepenuhnya saat ketika ge tar dan gejolak di bawah ”aku” yang kukuh itu menghadang dan menerobos—melalui getar irama dan bunyi, misalnya.

Kita lihat dalam Aku. Di sana ”aku” yang luka kena peluru akan tetap ”berlari”, hingga hilang ”pedih peri”. Chairil tak dapat se penuhnya menghindar dari getar ”i” yang terbangun oleh sa-jak nya sendiri, hingga bukan ”pedih, perih” yang muncul, mela-inkan ”pedih, peri”. Maka arti kalimat itu pun terguncang, meskipun sentuhan afektifnya tetap.

Dengan kata lain, bukan hanya ”sajak suasana”, tapi juga ”sa-jak pernyataan” tak bisa mengelakkan labilnya arti, gawalnya sub-yek: puisi, barangkali setelah puisi modernis yang di Indone sia tumbuh setelah Chairil Anwar, adalah petunjuk bahwa hubung-an antara subyek dan bahasa bukanlah hubungan antara ”aku” dan makna sebagai sang pembangun dan yang dibangun.

Bahkan sebaliknya. Bahasa memanggil kita dan melibatkan kita ke dalam kodratnya. Bahasalah yang bicara, kata Heidegger, dan oleh bahasalah manusia dilecut, atau persisnya mendapatkan

28 APRIL

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 98: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

73 Catatan Pinggir 10

”lecutan” (Zuspruch) untuk bicara. Dalam puisi, ”aku” bukan lagi nakhoda kata-kata.

Sajak-sajak suasana adalah isyarat bahwa ”aku” hanya tersisip di antara deretan obyek:

Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut...

”Aku” bahkan seakan-akan larut: dalam sajak Senja di Pela-buh an Kecil itu, arti tak dibentuknya, melainkan datang dari pro-ses lain: dari hubungan antarpenanda. Kita lihat Chairil menye-but ”cerita tiang serta temali”.

Di sana alam sekitar menghadirkan diri tapi pada saat yang sa-ma menyembunyikan dirinya, suatu isyarat tentang adanya yang tak terjangkau, tak terumuskan, dan tak terkendalikan nun di sana.

”Nun-di-situ” berarti berada di atas bumi dan di bawah langit, bersama sesama makhluk, di bawah misteri nasib. Kefanaan bu-kanlah ditandai oleh satu titik, ”kalau sampai waktuku”; kema-tian adalah bagian dari ada.

Sajak Derai-Derai Cemara menggambarkan itu dengan baik-nya

Cemara menderai sampai jauh Terasa hari akan jadi malam Ada beberapa dahan di tingkap merapuh Dipukul angin yang terpendam

Yang hadir adalah suasana bersentuhan dengan waktu yang berubah dan rasa gentar yang sayup-sayup, ketika ”terasa hari akan jadi malam”. Terdengar ”angin yang terpendam” memukul-

28 APRIL

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 99: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

74 Catatan Pinggir 10

28 APRIL

mu kul dahan di dekat jendela kamar, menegaskan betapa fana benda-benda yang begitu dekat, yang dulu melindungi. Tingkap itu, misalnya, ”merapuh”. Pada saat itu terbit kesadaran.

... dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini

”Dulu”: sesuatu yang telah lewat tapi diingat. Dalam suasana ga mang, cemas, dan murung itu, yang datang dari masa lampau seakan-akan hadir kembali, mengingatkan apa yang dulu pernah tak terjangkau.

Agaknya dengan itu puisi Chairil mencatat bahwa ada yang meragukan dalam zaman ketika manusia hanya melihat dirinya lempang: dari sini, ke sana, ke dunia yang lebih baik, ke surga yang sempurna.

Saya tak tahu apakah Chairil tahu bahwa baginya, garis lem-pang itu rapuh. Ia mati umur 26.

Tempo, 1 Mei 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 100: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

75 Catatan Pinggir 10

TARI

Di udara Surakarta yang gerah dan terik, sejumlah penari menari selama 24 jam. Ini Hari Tari Sedunia, 29 April 2011.

TARI adalah penemuan. Martha Graham mengutarakan-nya dengan satu kalimat pendek: ”Dancing is just discov-ery, discovery, discovery....” Jika hari-hari ini tari, terutama

se bagai ekspresi, penting, itu karena yang terjadi adalah sebuah pe nemuan yang sering dianggap terlalu lumrah: kita menemukan kembali tubuh, dan bersama itu kita juga menemukan kemer de-ka an.

Anak-anak balita telah menunjukkan hal itu sejak dulu: mere-ka bergerak mengikuti satu irama musik, derap ketukan atau re-pe tisi tepuk, tanpa mereka rancang. Mereka tak mengikuti desain apa pun, hingga ”bentuk” jadi sebuah pengertian yang bermasa-lah. Tak ada arah yang pasti. Tak ada maksud mencapai hasil. Pro ses ini bukanlah proses serebral. Dalam tari anak-anak yang spon tan, tubuh menemukan dirinya. Praktis mandiri.

”Tubuh”, bukan ”jasad”. ”Tubuh” bukan sekadar satuan ma-teri yang kemudian bisa diuraikan dan dipetakan dalam anatomi dan ilmu faal. ”Jasad” bisa dianggap sebagai mesin atau alat yang pa tuh kepada perintah otak atau kesadaran yang mengatur, mem-bereskan, dan menghitung—tapi ”tubuh” tidak. Metafisika, aga-ma, ekonomi, dan ilmu kedokteran sering meleset melihat fe no-me na ini—salah pandang yang telah meninggalkan banyak trau-ma.

Tari mengingatkan kita apa yang salah itu: seorang penari meng alami bahwa manusia bukanlah ”aku” yang berada di luar tu buh. Ia bukan ”aku” yang, dari posisinya = yang lebih tinggi,

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 101: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

76 Catatan Pinggir 10

me miliki bangunan faali s itu. Seorang penari adalah tubuh itu sen diri. Padanya, kata Martha Graham, ada ”satu sikap khidmat kepada hal-hal yang dilupakan, misalnya mukjizat tulang-tulang len tik dengan kekuatannya yang halus”.

Maka bila metafisika—seperti yang dirumuskan Des cartes di abad ke-17 Eropa—menganggap tubuh, atau lebih tepat ”jasad”, se bagai hal yang terpisah dari kesadaran, persisnya pusat kognitif, sang penari menegaskan betapa ganjilnya dualisme itu: dalam me nari aku bergerak, bukan aku menggerakkan, dan bukan pula aku digerakkan.

Memang tari klasik, seperti bedhaya ketawang di Jawa, dengan ge rak yang ditentukan pakem yang pasti, meletakkan penari ha nya sebagai instrumen yang melaksanakan desain. Ketika George Balanchine mengatakan para penarinya adalah ”instru-men, seperti sebuah piano yang dimainkan sang koreografer”, agak nya ia mengatakannya dengan semangat seorang penata ta-ri yang dididik dalam tradisi klasik di Sekolah Balet Imperial di St. Petersburg, Rusia, di awal abad ke-20. Ia belum se orang Bal-anchine yang menciptakan Apollon musagete bersama Stravinsky pa da 1928: sebuah koreografi yang membawa masuk gerak musik jazz—sebuah karya yang diakuinya sebagai ”titik perubahan da-lam hidupku”.

Dalam temperamen pasca-klasik, seperti jazz, tari adalah pro-ses ”penemuan”, bukan gerak yang mengikut jejak. Dan ketika tu buh menemukan dan ditemukan, kita akan bersua dengan peng alaman yang lain: tubuh bukanlah sebuah meja kosong yang pu tih bersih. Tubuh bukanlah yang seperti dibayangkan doktrin agama yang yakin bahwa sisi manusia ini bisa diisi atau dibentuk demikian rupa hingga berubah, terlepas dari apa saja yang tak su ci-murni. Doktrin agama umumnya enggan melihat—mes ki-pun diam-diam mengakui dengan was-was—bahwa tubuh ada-lah lipatan dan buhul dari arus yang tak tepermanai. Ia tak bisa

TARI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 102: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

77 Catatan Pinggir 10

se penuhnya diarahkan. Ia punya sejarah.Tari mengukuhkan pakta kita dengan dunia yang membentuk

dan dibentuk sejarah itu. Dunia bukanlah wilayah yang terpisah. Dengan tubuh kita terpaut di dalamnya. Maka dalam tari, kita yang mencipta tahu apa yang kita ingin temukan, sebab sejarah yang merasuk ke dalam tubuh ikut memberi makna dunia kita. Ta pi dalam tari juga kita yang mencipta akan menemukan bahwa ha nya sedikit yang kita mampu. Tubuh dan dunia tak sepenuhnya bisa kita kuasai: kita tak kunjung mengetahui apa yang akan ter-jadi, sebagaimana juga dialami ilmu kedokteran dan geologi.

Saya ingat Pina Bausch. Pada musim semi 1995, saya mengun-junginya di Wuppertal, dekat Dusseldorf, Jerman. Pencipta Tanz-theater termasyhur itu sedang menyiapkan pementasan ulang Le Sacre du Printemps berdasarkan musik Stravinsky. Para penari di ko munitas ini tak terdiri atas mereka yang berpotongan ”rata-rata in dah” dan tak berasal dari satu tradisi. Pina Bausch memberikan instruksi dalam tiga bahasa. Metodenya terkenal: ia akan mela tih para penari dengan mengajukan pertanyaan tentang kenang an dan hidup sehari-hari mereka. Pina akan minta mereka me-”men-tas”-kan ingatan itu dan mencipta minidrama dari respons mere-ka. ”Aku tak tahu di mana awal dan akhirnya,” saya ingat katanya da lam sebuah wawancara.

Tapi tentu saja pada tari ada yang disebut ”bentuk”. Bisa di-katakan bahwa tari adalah tubuh yang menyambut bentuk—mes kipun pada saat gerak mulai, bentuk itu belum ada, atau se-dang akan ada, meskipun mungkin samar dan sementara. Dalam pro ses itulah terletak kemerdekaan dalam watak pasca-klasik: ke-le luasaan menjelajah sebuah horizon, yang sebagaimana halnya kaki langit, tak pernah jelas di mana berhentinya.

Maka sering tari dilihat—kalau bukan sebagai hiasan upaca-ra—sebagai proses yang tanpa hasil. Zaman ini, yang tiap menit menuntut ”hasil”, akan mencemooh mereka yang menari 24 jam

TARI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 103: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

78 Catatan Pinggir 10

TARI

dan sesudah itu menghilang. Tapi siapa yang tak menghendaki sebuah masyarakat yang hanya punya satu mata perlu menga ta-kan (dengan sedikit menirukan Nietzsche): ”Aku hanya percaya kepada hidup yang menari—yang menemukan, menemukan, menemukan....”

Tempo, 8 Mei 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 104: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

79 Catatan Pinggir 10

HAYY

SEMAKIN ramai agama dalam percakapan, semakin tera-sa pentingnya orang menemukan kembali gua yang hi-lang. Saya kira itulah yang saya temukan dalam membaca

ki sah Hayy Ibnu Yaqzan, yang ditulis Ibnu Tufayl, pemikir Spa-nyol abad ke-12 itu.

Di dalamnya kita bersua dengan seorang anak yang dibuang ibu nya yang ketakutan ke laut. Bayi itu terdampar di sebuah pulau di khatulistiwa. Di pulau tanpa manusia itu ia dirawat seekor ki-jang betina. Ia disusui, dan ketika sudah bisa berjalan, diantar ke po hon-pohon buah, dan bila haus, dibawa ke tempat air.

Pelan-pelan, anak itu juga belajar perbedaan dan makna sua-ra -suara hewan. Kemudian ia mulai menyadari beda tubuh dan ke mampuan dirinya dibandingkan dengan binatang-binatang yang mengelilinginya. Ia menambah pengetahuannya tentang du nia. Pada umur 21 tahun ia sudah membuat pakaian, rumah (ju ga gudang penyimpanan), dan juga senjata.

Berangsur-angsur, pengalaman hidup membuatnya berpikir te rus, dengan rasa ingin tahu yang intens—hingga ia sampai pa-da keyakinan adanya Wujud yang jadi sebab pertama dari segala yang ada.

Dari cerita fiksi ini—yang terus-menerus disela lapisan para-graf yang membahas pelbagai soal yang diamati dan direnungkan dari hidup—kita dibawa ke suatu kesimpulan: iman, bahkan da-lam bentuk tauhid, bisa dicapai sendiri oleh seseorang yang ter-buka pikirannya dan tekun. Hasilnya akan tak berbeda dengan iman yang datang dari wahyu dan diyakini orang ramai. Itu ter-jadi karena ”mata hatinya terbuka, nyala pikirannya bersinar”, hingga ”ajaran akal budi pun akur dengan ajaran tradisi”, demiki-an tertulis dalam Hayy Ibnu Yaqzan.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 105: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

80 Catatan Pinggir 10

Dengan kata lain, Ibnu Tufayl—yang hidup di masa cemer-lang sastra dan filsafat Islam Spanyol—ingin menunjukkan bah-wa agama wahyu, khususnya Islam, punya dasar yang universal. Ta pi justru dengan demikian, tauhid yang tanpa wahyu—atau ke imanan di luar Islam—juga tak berbeda nilainya.

Kesimpulan itu tentu membuat agama punya peran yang nis-bi: ia perlu, tapi tak mutlak harus ada.

Dalam kisah yang dibawakan Ibnu Tufayl, ada dua tokoh lain. Salaman, seorang penguasa, lebih dekat ke makna harfiah dari ajar an. Ia memilih ”Percakapan”. Ia tak hendak menyendiri. Ia ma suk ke dalam kehidupan sosial. Ia ikut serta dalam keimanan sebagai cara meramaikan komunitas, celebration of community, ke timbang cara menyatakan dalamnya keyakinan, jika kita pakai hasil pengamatan Ernest Gellner.

Sebaliknya Asâl: ia lebih mencari ke dalam batin, lebih bersen-tuhan dengan makna mistik hal-ihwal dunia. Ia memilih meng-hidupkan iman yang dibentuk kesendirian.

Maka ia pun datang ke pulau tempat Hayy hidup. Mereka ber temu. Asâl mengajari Hayy bahasa manusia. Mereka saling ber kisah dan Asâl bercerita tentang kehidupan beragama dan ber-Tu han di masyarakat muslim dari mana ia datang.

Hayy heran. Ia tak mengerti kenapa Rasulullah menyampai-kan ajarannya dalam pelbagai perumpamaan—yang menyebab-kan umatnya menggambarkan Tuhan dalam citra mirip manusia. Tuhan yang seperti itu akan bersifat terbatas. Ia tak mencegah ma nusia mengejar omong kosong: kekayaan, misalnya. Memang ada aturan tentang zakat dan amal, tapi itu justru membuka pin-tu bagi hasrat yang menganggap milik dan kekayaan itu barang yang tak sia-sia.

Merasa pandangannya lebih benar, Hayy berniat berdakwah. Ber sama Asâl ia naik perahu ke pulau di mana Salaman dan orang- orang lain hidup. Di kota itu diwejangnya khalayak.

HAYY

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 106: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

81 Catatan Pinggir 10

Tapi ia tak dimengerti. Ia terus tak dipahami. Akhirnya Hayy sadar, manusia tak berani mencari kebenaran

de ngan menempuh jalan yang tanpa pemandu, dengan keyakin-an bahwa ada nalar yang bisa mencapai dan menemukan kebe-nar an yang universal.

Hayy kecewa. Tapi ia tak melihat semuanya dengan pahit. Ia ma lah mengakui, Rasulullah benar: dengan menggunakan per-umpamaan, dengan menggunakan citra manusia untuk membi-ca rakan Tuhan, dengan hukum yang menyederhanakan soal, ma nusia mudah ditertibkan.

Tapi jika iman berarti ketertiban sosial, sangat mungkin Tu-han hanya dihadirkan sebagai komandan sebuah kamp. Tiap kamp ada perbatasan. Tiap kamp adalah indikasi bahwa ada ”ki-ta” dan ”mereka”, ada ”Tuhan kita” dan ”Tuhan mereka”. Dalam kamp itu, orang cenderung tak mengakui ada yang universal da-lam iman—tak mengakui bahwa ada yang mempersatukan ma-nusia yang berbeda-beda.

Mungkin sebab itu Hayy tak bersedia ikut. Ia sejak dulu lebih cocok dengan keadaan yang jauh dari ”Percakapan”. Di akhir ce-rita, ia pun kembali ke pulaunya. Ia kembali ke guanya.

Gua, dalam kisah ini, bukanlah alegori ketertutupan yang ge-lap. Justru sebaliknya: gua, seperti dalam Gua Hira, ketika Rasu-lullah menerima wahyu pertamanya, adalah proses pencarian ke da lam batin, proses dari gelap ke terang.

Di luar gua, suara batin umumnya lenyap dalam ”Percakap-an”. ”Percakapan” mengasumsikan adanya jalan dua jalur yang lu rus dan jelas, sementara bahasa bukan itu. Bahasa selalu punya ba gian yang gelap dan licin dan membuat kita tergelincir. Bahasa selalu mengandung suara gaduh orang ramai yang ikut memben-tuknya.

Di antara ketidakpastian itu, agaknya Hayy mendahului apa yang dikatakan Raymond Panikkar ketika ia menunjukkan tak

HAYY

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 107: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

82 Catatan Pinggir 10

HAYY

per lunya kita heboh dengan wacana tentang Tuhan dan iman. Ki ta justru perlu melihatnya sebagai ”a discourse that inevitably completes itself again in a new silence”.

Tempo, 15 Mei 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 108: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

83 Catatan Pinggir 10

SI JUM’AT

Bila Tuhan demikian kuasa, kenapa Ia tak bunuh Iblis, supaya tak berbuat jahat?

ITU pertanyaan Si Jum’at, orang ”biadab” yang sedang bela-jar menerima ajaran Kristen dalam Robinson Crusoe. Dialog ten tang Tuhan tentu bukan bagian paling seru bagi umum-

nya pembaca buku termasyhur ini. Daniel Defoe lazim diingat se bagai orang yang menuliskan petualangan seorang Inggris di pu lau terpencil tempat ia terdampar selama 28 tahun.

Tapi Defoe tak cuma berbicara tentang seorang lelaki perkasa yang mengalahkan alam dan menjinakkan orang kanibal di ”Pu-lau Putus Harapan”, nun di wilayah tropis dekat Trinidad. Ia juga ber bicara tentang Tuhan dan manusia. Hampir satu setengah abad setelah buku itu terbit, Dublin University Magazine (1856) me nyebutnya sebagai ”sebuah puisi religius yang dahsyat, yang me nunjukkan, Tuhan ditemukan di mana manusia tak hadir”.

Tak mengherankan bila ada yang mengira Defoe terpengaruh kitab Hayy Ibnu Yaqzan, karya Ibnu Tufayl. Dalam karya ini filo-sof Spanyol zaman Islam itu juga membahas Tuhan, iman, dan akal budi dalam kehidupan seseorang yang tumbuh sendiri di se-buah pulau. Hayy Ibnu Yaqzan yang terbit di abad ke-12 diterje-mah kan ke dalam bahasa Inggris pada 1713; Robinson Crusoe ter-bit setahun kemudian. Mungkin Defoe membacanya. Tapi ada per bedaan besar di antara kedua karya itu.

Hayy orang yang memilih kesunyian dalam mengenal Tuhan. Crusoe sebaliknya. Ia selalu ingin kembali ke negeri asalnya. Ia ju-ga ingin ada orang lain—sebagai budak. Akhirnya niatnya sam-pai, dalam bentuk lain: pada suatu hari, tampak olehnya bebera-pa orang kanibal membawa tawanan ke pulau itu untuk disan tap.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 109: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

84 Catatan Pinggir 10

Crusoe membunuh mereka. Dengan itu, seorang tawanan diselamatkannya. Pemuda ini

ber terima kasih tak terhingga, dan sejak itu hidup bersama Cru-soe. Ia diberi nama ”Si Jum’at”, sesuai dengan hari ia ditemukan.

Crusoe ingin Si Jum’at jadi pemeluk Kristen. Tapi pelaut Ing-gris ini bukan penginjil yang siap. Ia menemukan Tuhan-nya de-ngan belajar tanpa pemandu, tanpa sekolah. Maka ia tak bi sa men jawab pertanyaan yang rumit seperti tadi: bila Tuhan de mi-ki an kuasa, kenapa Iblis tak ditiadakannya?

Crusoe: Bukankah Tuhan tak membunuh aku dan engkau, ke tika kita berbuat keji? Kita dibiarkan agar kita bertobat dan men dapatkan ampun kelak.Jum’at: Oh, jadi kita, Iblis dan semua, dibiarkan agar bertobat dan dapat ampunan kelak....

Bagaimana ia harus melanjutkan percakapan itu bila baginya Iblis tak termasuk dalam daftar yang diharapkan bertobat? Pen-je lasan Crusoe macet. Ia pun cari alasan untuk meninggalkan pem bicaraan—dan diam-diam berdoa agar ia mampu menye la-matkan ”orang buas yang malang” itu.

Tapi tak mudah. Ia datang dari tradisi Protestan yang militan, di sebuah zaman ketika di Eropa konflik keyakinan bertaut de-ngan perang antarbangsa. Ia anti-Katolik (”papists”) yang yakin Tu han tak bisa diwakili lembaga dan pendeta. Dari pengalaman-nya—sejak ia meninggalkan rumah menentang nasihat ayahnya untuk tak bertualang—iman dan penebusan dosa ditempuhnya sen diri. Di pulau yang terpencil itu ia membaca dan menafsir Injil tanpa orang lain.

Dengan kata lain, tak mungkin ia jadi penyambung sabda Tu-han ke dalam sukma Si Jum’at. Pemuda ini harus mendapatkan pen cerahan langsung: ”Hanya wahyu Ilahi dapat membentuk

SI JUM’AT

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 110: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

85 Catatan Pinggir 10

Pe ngetahuan tentang Yesus Kristus”—itulah keyakinannya. Tapi di pulau itu ia tahu, wahyu tak datang ke semua orang. Ia

me nyaksikan kebuasan orang-orang kanibal. Berdosakah mereka bi la mereka tak pernah bersua dengan Kitab Suci? Mengapa ”Tu-han senang menyembunyikan Pengetahuan yang menyelamat-kan itu dari berjuta-juta Jiwa?”

Ia merasa tak bisa memberi kata akhir. Bahkan ketika ia ber-kua sa atas tiga orang lain di pulau sunyi itu: Si Jum’at, yang bagi-nya sudah jadi Protestan, seorang serdadu Spanyol, orang Katolik yang diselamatkannya dari para kanibal, dan ayah Si Jum’at, se-orang kafir yang juga ditolongnya dari pembantaian—tiga orang warga yang tunduk penuh karena berutang budi kepadanya. Ga-ris politik Crusoe: ”Aku mengizinkan kebebasan Hati Nurani di wil ayah kekuasaanku.”

Mungkin Robinson Crusoe sebuah kisah pemerintahan sekuler pertama dalam sejarah, ketika agama-agama membenarkan diri se cara absolut untuk memandu peperangan. Untunglah: pulau itu jauh dari Eropa yang terbakar. Di situ Crusoe melihat, ada per cakapan yang mungkin, juga kebaikan, yang bisa dilakukan-nya bersama orang-orang itu, meskipun iman mereka sesat atau doktrin mereka tak selesai.

Apalagi ia sendiri tak bisa merasa suci. Bahkan baginya, Si Jum’at orang Kristen yang lebih baik ketimbang dirinya. Seorang yang dekat dengan tradisi Puritanisme, Defoe menampilkan Crusoe sebagai orang yang yakin akan kekuatan Iblis di mana-ma na. Keyakinan ini memang tak bisa menjawab bagaimana Tu-han, yang digambarkan sebagai Maha Pengasih, tega mengha dir-kan kekejian dalam hidup manusia—seperti tersirat dalam per-ta nyaan Si Jum’at. Tapi dengan sejenis paranoia seorang Puritan, Crusoe bisa melihat betapa dekatnya manusia, yakni dirinya sen-diri, dengan kejatuhan.

Kejatuhan itu datang sedikit-sedikit. Ia suka memanfaatkan

SI JUM’AT

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 111: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

86 Catatan Pinggir 10

SI JUM’AT

Tu han, dengan menyatakan bahwa Tuhan-lah yang menggerak-kan jarinya menarik pelatuk bedil, seakan-akan tak ada kehen-dak nya sendiri untuk membunuh. Ia pernah berencana jadi se-orang Katolik dan pergi ke Brasil, untuk mendapatkan kembali har tanya.

Dengan demikian ia seorang gagah berani, dalam arti lain. Robinson Crusoe juga sebuah statemen bahwa keberanian manusia adalah untuk mengakui, ia tak bisa dengan mudah menghakimi.

Tempo, 22 Mei 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 112: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

87 Catatan Pinggir 10

KHAOS

SEBELUM turun takhta menjelang pertengahan Februari 2011, Husni Mubarak mengatakan, akan terjadi ”khaos” di Mesir jika ia tak ada. Ia bukan meramal. Mungkin ia

me ngutuk. Tapi mungkin juga ia menyatakan sesuatu yang logis. Orang malah bisa mengatakan: Mubarak benar.Di pekan pertama Mei 2011, di Distrik Imbaba di Kairo, be-

berapa orang muslim mencoba memaksa masuk ke dalam gereja umat Koptik setempat. Mereka menuntut agar seorang perempu-an bernama Abir dibebaskan. Mereka yakin, Abir disekap di Ge-reja Santo Mina itu oleh orang-orang Koptik; wanita itu dikabar-kan dicegah masuk Islam.

Dengan mudah desas-desus (yang beredar melalui Twitter) ber edar, dan dengan mudah pula kekerasan meledak. Abir bu-kannya masuk Islam dan ditahan orang Koptik; ia ternyata ada di ta hanan tentara, dengan tuduhan melakukan poliandri. Sebelum Abir, Camilla juga dikabarkan masuk Islam dan juga disekap ka-langan Koptik. Tapi Camilla ternyata muncul di TV membantah desas-desus yang diedarkan kelompok Salafi tentang dirinya.

Tapi hanya dengan kabar bohong, dua gereja dibakar, 15 orang tewas, dan sekitar 240 luka-luka. Kekerasan tak hanya da-tang dari satu arah. Yasmine el-Rashidi menulis laporan dan ana-lisis nya dalam The New York Review of Books edisi 17 Mei 2011 me ngisahkan bagaimana serombongan orang Islam dari gerakan Salafi dan beberapa preman mendatangi gereja dengan membawa tongkat dan pedang sambil berseru ”Allahu Akbar”. Di tengah ancaman yang gaduh itu, dari sebuah kafe dekat situ, seorang Kop tik mengeluarkan bedil dan menembaki kerumunan orang Is lam yang berteriak-teriak itu. Para tetangganya meniru. Tak ayal, perang pun terjadi.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 113: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

88 Catatan Pinggir 10

Ledakan itu bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, di awal Maret, sebuah gereja dibuldoser para preman bersenjata, de-ngan alasan: ada seorang laki-laki Koptik yang berzina dengan se-orang perempuan muslim. Diambrukkannya gereja itu membu-ka jalan bagi bentrokan yang ganas. Korban: 13 mati, 140 luka-luka.

Kekerasan seperti itu menyebabkan orang mempersenjatai di-ri. Kini jual-beli gada pemukul banyak ditemukan di sudut-sudut Ka iro. ”Di beberapa malam, saya tidur dengan diiringi suara tem-bakan,” tulis Yasmine el-Rashidi. Esoknya ia ”bangun dengan su-rat kabar pagi yang memasang headline tentang kejahatan yang be ngis”.

Tapi adakah ini sebuah khaos? Saya punya teori bahwa yang ber langsung justru bukan khaos, melainkan konfrontasi, dan has rat akan kekuasaan yang utuh, yang membentuk sebagian ma syarakat Kairo ke dalam sikap tegas memihak—kalau perlu dengan kekerasan.

Itu sebabnya penguasa militer tampaknya tak hendak membe-res kan persoalan. Mungkin Marsekal Tantawi, perwira tinggi yang kini memegang kekuasaan negara, membiarkan kekacauan berlanjut. Dengan itu akan ada alasan dia dan militer akan dibu-tuhkan. Ia akan jadi Leviathan yang dahsyat kekuasaannya—Le-viathan yang akan dirindukan oleh mereka yang jemu dengan khaos.

Tapi tidak mungkinkah tatanan yang demokratis lahir, karena orang Mesir melihatnya sebagai alternatif hidup bagi kekerasan? Juga alternatif bagi perlunya Leviathan?

Ada satu titik di mana militer dan kaum beragama yang mili-tan bertemu: kedua-duanya menyimpan ketakutan akan hal yang tak terduga-duga, keduanya dirundung kecemasan akan runtuh-nya pegangan bersama untuk menegakkan tertib. Maka militer ge mar menyodorkan senjata sebagai penjaga, dan sementara itu

KHAOS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 114: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

89 Catatan Pinggir 10

kaum beragama yang militan menawarkan fikih dan sanksi Tu-han.

Tapi sejarah membuktikan, bedil yang melahirkan kekuasa-an belum tentu bisa efektif mempertahankannya. Kekuasaan tak sekadar membutuhkan kepatuhan sosial yang disebabkan oleh takut. Kekuasaan membutuhkan sejenis iman. Tapi untuk ”iman” itu kaum beragama sering memperlakukan Tuhan dan aga ma sebagai sarana paling agung bagi tertib masyarakat. Tu-han pun jadi Tuhannya orang-orang yang praktis.

Penyair Jerman Heinrich Heine pernah menulis dengan jena-ka tentang Kant, sang filosof. Ia gambarkan Kant berjalan bersa-ma pembantunya di tanah kosong yang luas setelah menulis Kri-tik der reinen Vernunft. Dalam buku ini, ditunjukkan bahwa ma-nusia tak tahu apakah Tuhan ada atau tidak.

Sesaat, kata sahibulhikayat, setelah buku itu, Kant pun meli-hat ke arah pembantunya—dan ia jadi iba: apa jadinya orang ini jika Tuhan tidak ada? Karena belas kasihan itulah Kant pun me-nu lis buku kedua, Kritik der praktischen Vernunft. Di situ ia kem-balikan Tuhan dengan memberi-Nya peran sosial. Biarpun kita tak tahu pasti Tuhan itu ada, kita bisa bekerja yang baik dengan menjadikan-Nya ”pembimbing”.

Manusia takut menemukan hal yang tak terduga-duga. Ia was was memikirkan bahwa Tuhan jangan-jangan sebenarnya su-dah mati. Syahdan, seperti dikutip di atas, Mubarak mengatakan bahwa khaos selalu menunggu, jika ia tak ada, baik karena ia per-gi maupun mati. Tapi ia mungkin tak menyadari, khaos selalu akan tersembul, seandainya pun presiden itu tetap berkuasa.

Maka kehidupan politik yang berhasil agaknya harus bermula dari itu: bukan mengharapkan datangnya sang Leviathan, tapi men coba menghargai khaos. Khaos tak bisa disamakan dengan ke kerasan. Seperti terjadi di Mesir, justru kekerasan dijalankan oleh orang-orang yang jelas garis demarkasinya. Khaos meniada-

KHAOS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 115: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

90 Catatan Pinggir 10

KHAOS

kan garis demarkasi, berlangsung dengan apa yang tak terduga- duga. Khaos adalah bagian sah dari kehidupan—betapapun An-da risau akan dia.

Semoga Tuhan bersama khaos.

Tempo, 29 Mei 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 116: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

91 Catatan Pinggir 10

LOS INDIGNADOS

”Bukan kami menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami.”

POLITIK adalah keributan lalu-lalang melalui pintu yang tak pernah bisa ditutup. Tak seorang pun tahu apa yang akan menghentikannya. Hari-hari ini, Madrid adalah se-

buah gejala.Pada 15 Mei itu, ribuan orang muncul di Puerta del Sol. Mere-

ka menyuarakan protes di lapangan bersejarah itu—lapangan yang pernah masuk dalam lukisan Goya, ”Tanggal Dua Mei 1808”, sebagai tempat bentrokan berdarah ketika sejumlah orang Spa nyol menyerang tentara Napoleon. Sampai beberapa hari se-jak tanggal 15 itu, 30 ribu orang itu tak saling terikat, tak ada yang mengomando, tapi tiba-tiba membentuk semacam gerakan, dan menyebut diri los indignados, ”kaum yang amarah”. Berhari-ha-ri mereka di sana, ada yang tidur berkemah di bawah iklan besar sherry, Tio Pepe, yang lampu neonnya terpasang di atap Hotel Pa ris sejak 1946—penanda khas Madrid yang bertahun-tahun mem pertautkan modal, ketertiban urban, dan kehidupan borjuis yang asyik.

Los indignados pernah menikmati semua itu.Tapi ini tahun 2011. Spanyol adalah sebuah perekonomian

yang terguncang. Angka pengangguran mencapai 21 persen, dan 45 persen anak muda tak punya pekerjaan. Pemerintah, di bawah Par tai Sosialis yang mengelola negeri itu, akhirnya dicatat seba-gai pemerintah terburuk sejak demokrasi ditegakkan di tahun 1975—setidaknya ini kabinet Partido Socialista Obrero Espanol yang pa ling gagal dalam sejarah. Ketika pemilihan umum di-langsungkan hanya beberapa hari sejak aksi di Puerta del Sol itu, PSOE kalah. Kehilangan 1,5 juta suara.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 117: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

92 Catatan Pinggir 10

Saya tak tahu berapa persen orang yang datang memilih. Juga tak pasti bagaimana menilai kemenangan partai konservatif hari itu. Sebuah penerbitan sosialis menyebut jumlah suara Partido Po pular cuma bertambah 500 ribu. Tapi analis lain meramalkan partai inilah yang kelak akan memimpin Spanyol—kalau kema-rahan los indignados ternyata benar tak berumur panjang.

Mungkinkah tak akan berumur panjang? Orang-orang, seba-gian besar anak muda, yang memadati Puerta del Sol itu menun-jukkan kekecewaan yang dalam terhadap sistem demokrasi yang ada. Mereka merasa demokrasi Spanyol bukan demokrasi yang partisipatif. Mereka menghendaki ”demokrasi yang nyata”, bu-kan himpunan pemilihan yang tak punya efek dan yang tak meng ajak mereka ikut atau diperhitungkan. Mereka merasa sis-tem menolak mereka. Satu semboyan tertulis di Puerta del Sol: ”No estamos en contra del sistema, el sistema es en contra de nosotros.”

Tak ada revolusi di Spanyol di bulan Mei 2011, meskipun para pe muda itu menyebut Puerta del Sol mereka sebagai ”Lapangan Tah rir”. Yang terjadi di Madrid berbeda dengan yang terjadi di Kairo. Tapi di Mesir, di Spanyol, dan di mana saja, berkali-kali se-jarah mencatat tuntutan orang-orang yang di ”luar” untuk meng-ambil tempat di ”dalam”. Pada saat seperti itu, kekuasaan se akan-akan sebuah ruang yang menentukan.

Tapi tiap ruang ada dalam waktu. Marx juga melihat kekuasa-an sebagai ruang, dan yang di ”luar” itu adalah proletariat, yang mengorganisasi diri jadi satu ”kelas” dan berhimpun untuk ma-suk. Tapi kelebihan Marx: ia juga menekankan unsur waktu; ru-ang itu berangsur-angsur akan lapuk. Semua berubah.

Tak semua perubahan akan absolut—sisa masa lalu sering ma-sih hinggap di dalam pemikiran generasi hari ini, kadang-kadang sebagai mimpi buruk. Tapi sejarah adalah kisah rapuhnya masa silam: bukan saja karena masa itu akan punah, melainkan juga karena masa lalu hanya ada, dan hanya punya arti, sepanjang di-

LOS INDIGNADOS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 118: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

93 Catatan Pinggir 10

tafsirkan masa kini. Dan dengan itu diubah.Puerta del Sol adalah sisa masa lalu yang tak akan diubah—

dan punya tafsir banyak. Dulu ia gerbang di dinding Kota Madrid abad ke-15, pintu yang menghadap ke timur: gapura matahari. Dengan kata lain, ia bagian tembok yang menyediakan jalan, dan sekaligus harus menyambut pagi, siang, malam. Sejak awal ia me-nyaksikan dari waktu ke waktu siapa yang ada di dalam ruang dan siapa yang keluar, dikeluarkan—atau masuk, menyerbu ma-suk. Padri, aristokrat, kaum borjuis, kaum proletar....

Hari-hari ini, ”siapa” itu tak mudah diidentifikasikan. Identi-tas-identitas lama telah lapuk. Kelas? Gender? Asal-usul? Ideolo-gi? Partai? Kategori itu juga ruang yang dimakan waktu. Mung-kin itu sebabnya kini orang berbicara tentang ”multitude”. Dalam pengertian Agamben: sosok-sosok singular yang ”membentuk se-buah komunitas tanpa meneguhkan sebuah identitas”—sebuah komunitas yang bilang ”Tidak”.

Seperti para pemuda di Gerbang Tiananmen di Beijing tahun 1989. Seperti mereka yang tanpa partai, tanpa organisasi, tapi de ngan cara tersendiri menjadi los indignados dan menjatuhkan Soeharto dengan menduduki Gedung Parlemen di Senayan di ta-hun 1998. Seperti para demonstran di Lapangan Tahrir.

Mereka yang di Madrid mungkin tak akan mengguncang sis-tem politik Spanyol. Tapi mereka—yang berdebat tentang segala hal sepanjang malam di bawah patung beruang dan pohon ma-droño di lapangan itu—adalah keanekaragaman yang tak teper-manai. Mereka wujud pembangkangan abad ke-21: ketika modal, kerja, informasi, perilaku bergerak dan berpindah dengan lekas, los indignados akan membuat kewalahan ideologi, teori politik, tesis revolusi, disiplin partai, dan kodifikasi Negara—pendeknya semua kekuatan yang takut akan hal yang tak dapat dijelaskan.

Itulah kata ”Tidak” paling mendasar zaman ini: ”Tidak” ke-pada kekuatan apa pun yang akan mematikan yang singular,

LOS INDIGNADOS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 119: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

94 Catatan Pinggir 10

LOS INDIGNADOS

yang masing-masing unik, tapi punya pertalian dengan yang uni-versal.

Seperti ditulis di salah satu sudut Puerta del Sol: ”Tiap hati adalah sebuah sel revolusi. Tanpa pagar. Tanpa dinding yang mem batasi.”

Tempo, 5 Juni 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 120: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

95 Catatan Pinggir 10

AN + ARCHOS

DALAM bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik mengandung sebuah salam. Selalu ada orang lain yang di sambut atau dijawab. Kekuasaan selamanya menun-

tut hadirnya ”sahaya”. Satu bagian dari Pangeran Kecil Antoine de St. Exupery: Sang

pangeran berjalan-jalan ke beberapa asteroid di sekitar tempat asal nya. Syahdan, ia berjumpa dengan seorang raja. Orang itu hi-dup sendirian di benda angkasa yang kecil itu, duduk kesepian di se buah takhta. Melihat seseorang datang, ia berseru senang: ”Ah, itu dia. Seorang sahaya!”

Sang raja butuh orang yang bisa diperintahnya. Kebutuhan itu begitu besar hingga ia bersedia mengubah titah: jika orang yang ia perintahkan agar tak menguap ternyata tak patuh dan te tap menguap, baginda akan mengganti komandonya dengan ”menguaplah!” Yang penting bukanlah patuhnya orang lain, me-lainkan pengakuan bahwa dialah sumber perintah.

Dari kisah itu kita juga tahu: si ”sahaya” yang diperlukan itu akhirnya jadi ”saya”: yang semula direndahkan, sujet sebagai rak-yat, jadi sujet sebagai manusia yang punya otoritas sendiri. Kekua-saan harus bernegosiasi dengan ”saya”. Belajar dari sejarah, Hegel pernah menunjukkan, dalam hubungan antara majikan dan bu-dak, pada gilirannya sang majikan akan bergantung kepada si bu dak. Sejarah politik sebenarnya sejarah manusia yang tegang, mengandung sengketa, tapi juga mengandung keinginan akan sesama.

Di sela-sela itulah saat ”ethis” dalam politik: ketika orang lain dijangkau, bahkan disambut dengan terbuka dan murah hati. Zoon politicon berarti ”hewan sosial” dan ”hewan politik” sekali-gus, sebab bangunan sosial selalu mengandung yang politik: per-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 121: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

96 Catatan Pinggir 10

saingan, konflik, kuasa-menguasai. Begitu juga proses politik tak akan terlepas dari yang sosial, di mana konflik tak sepenuhnya hadir dalam kehidupan.

Dikatakan secara lain, saat ”ethis” adalah saat ketika manusia mengusahakan hidupnya hubungan tanpa antagonisme, tanpa kua sa-menguasai. Ketika Marx membayangkan masyarakat ko-munis, yang diharapkannya adalah sebuah hubungan antarma-nu sia tanpa perang kelas, di mana Negara—yang diartikannya se bagai instrumen pemaksaan—praktis tak diperlukan lagi. De-ngan kata lain, saat ”ethis” dalam politik adalah saat yang mem-perjuangkan hidup yang egaliter. Dalam bentuknya yang radikal, itulah saat yang merindukan anarki. Tentu saja ”anarki” dari pe-nger tiannya yang awal: an (tanpa) dan archos (penguasa).

Tapi politik sebagai perjuangan ke arah an + archos selamanya menantikan yang berharga dan sekaligus mustahil.

Kita ingat 1966: Mao Zedong memulai ”Revolusi Kebudaya-an”. Juli tahun itu, ia kerahkan para mahasiswa yang kemudian di sebut ”Pengawal Merah” buat menghantam Partai Komunis Ci na yang berkuasa. ”Berontak itu sah!” katanya.

Banyak penjelasan kenapa Mao, yang memenangi revolusi pa da 1949 dengan menggunakan mesin Partai yang efektif itu, akhirnya menampik apa yang dulu dibangunnya. Tapi satu hal agaknya diakui: dukungan yang luas dan fanatik dari para pemu-da terhadap ”Revolusi Kebudayaan” tumbuh dari persepsi bahwa Partai, semenjak menguasai Cina, telah jadi sarana yang korup. Pa ra pengagum Mao mencatatnya sebagai pelopor sebuah perju-angan egaliter yang anti-Partai. ”Revolusi Kebudayaan” dilihat sebagai aksi yang memisahkan Partai dari politik revolusioner. Partai adalah kutukan sejarah. Perjuangan melepaskan diri dari kutukan itulah kemudian jadi cita-cita orang seperti Alain Ba-diou dan barangkali juga sejumlah orang di Indonesia kini, keti-ka demokrasi parlementer mengecewakan.

AN + ARCHOS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 122: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

97 Catatan Pinggir 10

AN + ARCHOS

Tapi akhirnya ”Revolusi Kebudayaan” berhenti. Mao takut Cina kacau-balau, sebab bentrokan bukan lagi hanya antara ”Pe-ngawal Merah” dan aparat Partai, tapi juga buruh. Ekonomi ter-ancam, terutama di kota-kota. April 1969, ”Revolusi Kebudaya-an” dinyatakan berakhir. Ironis, bahwa keputusan itu diambil dan disahkan oleh Sidang Ke-9 Partai. Sampai hari ini, Partai Ko munis Cina—di bawah para pemimpin pasca-Mao—tetap ber kuasa. Semangat ”Revolusi Kebudayaan” yang merayakan an + archos telah dibuang ke keranjang sampah sejarah.

Saat ”ethis” dalam politik memang tak bisa selalu bertahan. Se telah gelora revolusi yang memberontak, Partai dan Negara se-gera diterima—kalaupun bukan bentuk yang ideal, setidaknya se bagai hal buruk yang tak dapat dielakkan.

Apalagi kini. Kini, kapitalisme bergerak sekaligus ke dua arah yang para-

doksal. Di satu pihak, selalu ke arah akumulasi dan tegaknya tata yang normal yang menjaga kelangsungan akumulasi kekuasaan itu. Di lain pihak, berlangsung apa yang dikatakan Brian Massu-mi: kapitalisme justru mendorong kendurnya ”normalitas” de-ngan menciptakan perbedaan yang tak henti-hentinya, karena pa sar semakin mudah jenuh. Di tengah kapitalisme seperti itu, Par tai dan Negara semakin jadi an evil necessity.

Tampaknya, dari waktu ke waktu, manusia butuh tegaknya Sang Penjaga Makna. Tapi pada saat yang sama, Makna bisa men-jepit, dan dorongan untuk mengatakan bahwa ”Berontak itu sah” akan selalu terbit. Sejarah berulang dalam pengertian itu: pengu-langan yang sebenarnya menciptakan yang baru kembali. Dulu budak-budak memberontak dengan pimpinan Spartakus, seratus tahun sebelum Masehi. Berabad-abad kemudian para ”Sparta-kis” seperti Rosa Luxemburg membangkang kekuatan borjuasi abad ke-20.

Ada semacam roh yang tampaknya tak akan berhenti di satu

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 123: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

98 Catatan Pinggir 10

AN + ARCHOS

titik yang aktual. Dalam bentuknya yang cacat sekalipun, ber-ulang kali politik membuka kemungkinan untuk sebuah saat ”ethis”—untuk sebuah salam.

Tempo, 12 Juni 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 124: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

99 Catatan Pinggir 10

PERINDU

DUA nama, satu kehilangan. Saya makin sering ketemu orang-orang yang menyebut nama ”Sukarno” atau ”Soe harto” seraya meletakkan kedua presiden itu da-

lam satu masa yang dirasakan hilang. Para perindu ini orang-orang yang berbeda, tentu. Tapi sebenarnya mereka sejajar: dalam ke murungan mereka, sejarah adalah nostalgia.

Sejarah sebagai nostalgia adalah gejala kesadaran modern. Pa-ra perindu tak hidup seperti orang-orang di sebuah masyarakat di ma na tradisi punya peran yang sentral. Di alam pikiran masyara-kat tradisional, masa lalu tak pernah absen. Ia hadir di mana-ma-na. Ia tak perlu dirindukan kembali.

Tapi Indonesia sejak awal abad ke-20 adalah Indonesia yang di bentuk oleh pembicaraan tentang sejarah sebagai rupture, ”pa-tahan”, bukan kesinambungan. Sejak awal abad ke-20, ada kecen-de rungan menampilkan ”baru”—yang patah arang dengan yang ”lama”—seakan-akan sebuah bagian dari drama perbenturan.

Dalam pergerakan pemuda tahun 1910-an, misalnya. ”Jong Ja va”, ”Jong Sumatranen Bond”, ”Jong Ambon”, dan lain-lain me nunjukkan yang ”muda” sebagai sebuah energi tersendiri: yang ”muda” dianggap harus menggantikan yang ”tua”. Energi itu berlanjut sampai ke tahun 1920-an: di masyarakat politik di-cetuskan ”Sumpah Pemuda”; di dunia bacaan, novel seperti Siti Noerbaja jadi terkenal sebagai penampikan terhadap ”adat” (yang ”ku no”). Di tahun 1930-an, dengan sebuah majalah beroplah ke-cil tapi bersuara lantang, S. Takdir Alisjahbana memaklumkan lahirnya ”pujangga baru”, dengan kesadaran tentang ”Indonesia” yang bukan zaman ”jahiliyah” sebelumnya.

Sejak itu sejarah (setidaknya sejarah intelektual) dilihat seba-gai sebuah cerita pergantian ”angkatan”. Ada ”Angkatan ’45”

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 125: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

100 Catatan Pinggir 10

yang menolak angkatan sebelumnya. Dua dasawarsa kemudian di umumkan datangnya ”Angkatan ’66”. Seakan-akan yang ter-jadi adalah satu progresi, dengan tenaga yang dengan militan mem bedakan diri, bahkan meruntuhkan, tenaga lama.

Sejarah politik juga seakan-akan terkait dengan itu. Malah mungkin menandai ”patahan” yang lebih tegas. Periode 1945-1958, masa ”demokrasi parlementer”, ditinggalkan secara radikal oleh periode 1958-1966, masa ”demokrasi terpimpin”. Pada gilir-annya itu pun dicampakkan oleh periode 1966-1998, masa ”Orde Baru”. Sejak 1998, ada patahan baru: masa Reformasi sampai hari ini.

Tiap patahan separuhnya adalah ilusi. Tak ada satu generasi yang bisa mengubah sejarah seperti yang dirancangnya, dan masa kini tak pernah jadi baru sama sekali. Generasi sebelumnya selalu punya sisa yang menghuni hidup generasi sekarang (seperti ”mim-pi buruk”, kata Marx), meskipun tak diakui. Revolusi Prancis di abad ke-18, yang merupakan cikal-bakal pandangan sejarah se-ba gai rupture, yang hendak melangkah dari tahun nol, tetap me-nampung ambisi kontrarevolusi yang mengendap. Dari endapan inilah Napoleon Bonaparte, seorang opsir Revolusi, menegakkan takhta di akhir 1804, hanya lima tahun setelah Revolusi berakhir.

Dalam pada itu, imajinasi tentang sejarah sebagai ”patahan” ber angsur-angsur mengubah posisi masa silam. Masa yang dipi-sah kan itu makin terasa jauh, bak sebuah benua lain yang asing dan misterius—yang justru menyebabkan orang pergi menjang-kau. Yang asing, kata Fernando Pessoa, ”punya parfumnya sendi-ri”.

Untuk menjangkau benua waktu yang hilang itu kita pun meng ingat—tapi dengan kenangan yang sayu. Nostalgia me-ngan dung melankoli, tapi juga mengandung penghiburan. ”Par-fum” masa silam itu membuat para perindu berbahagia.

Mungkin itu sebabnya dalam nostalgia masa lalu mendapat

PERINDU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 126: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

101 Catatan Pinggir 10

PERINDU

po sisi normatif: masa kini, kata para perindu, seharusnya seper-ti masa lalu. ”Seharusnya” adalah kata yang mengacu ke depan. Ma ka tak jarang nostalgia juga jadi bagian gerakan untuk per-ubahan radikal. Cita-cita ”negara Islam”, yang dikemukakan se ba gai pengganti jenis negara yang ada sekarang, adalah buah ima jinasi tentang masa lalu yang memikat. Semangat konservatif dan hasrat progresif tak jarang tumpang-tindih.

Terutama masa kini, ketika hidup membuat nostalgia berta ut dengan rasa waswas, ketika hidup berlangsung di tengah kesim-pangsiuran dan kemajemukan yang tak tepermanai. Ini bukan ce rita baru: ketika orang gila dalam cerita Nietzsche mengabar-kan bahwa Tuhan mati, langit digambarkan buyar dan cuaca ki-an kelam. Maka Tuhan tak boleh mati: bayang-bayang-Nya akan te rus diperlihatkan beribu-ribu tahun setelah kabar kematian-Nya. Bagi banyak orang, Tuhan hidup bersama kebutuhan mere-ka untuk menegakkan tata.

Di saat itulah nostalgia memberi bentuk. Ia hasil seleksi dari carut-marut ingatan. Zaman tidak lagi diingat sebagai sebuah ma sa di atas bumi yang kacau di bawah langit yang buyar. ”Masa Su karno” dan ”masa Soeharto” masing-masing berolah identitas yang terpisah dan tak punya kontradiksi dalam dirinya. Dengan itu, terbangun sebuah patokan, satu pusat—meskipun hanya ima jiner—pemberi norma dan sanksi.

Yang jadi pertanyaan: adakah dunia imajiner yang dibentuk para perindu membebaskan kita. Bagi saya, emansipasi justru di-mulai ketika kita tak disandera satu gambaran tentang masyara-kat yang terpaut pada kesatuan memori.

Memori tak pernah punya kesatuan. Sebuah zaman, juga se-buah masyarakat, ibarat kaleidoskop: sebuah tube dari cermin dan kaca yang beraneka ragam, yang kita lihat dari satu lubang, dan pola pantulannya pun berubah-ubah seraya kita mengubah pe gangan kita pada tube itu. Ada yang kelihatan, ada yang tidak.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 127: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

102 Catatan Pinggir 10

PERINDU

Tak sepenuhnya terang, selalu ada kegelapan. Sebuah zaman, juga sebuah masyarakat, bisa punya satu sosok, satu identitas, tapi selamanya dalam ambiguitas.

Dan para perindu akan selamanya terkenang sayu.

Tempo, 19 Juni 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 128: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

103 Catatan Pinggir 10

KOTA

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah —Bung Karno, 17 Agustus 1966

JAKARTA meninggalkan sejarah, terkadang sadar, terka-dang tidak. Mungkin tiap kota demikian. Setidaknya tiap ko ta di mana revolusi datang dan revolusi pergi.

Weltevreden yang tenang dan berpohon-pohon, daerah yang disiapkan dengan selera orang-orang mapan (tevreden ber-arti ”puas”), gedung-gedung kekuasaan dengan tembok putih yang tinggi seperti tak akan terganggu oleh debu dan dera wak-tu—kita tahu semua itu kini tak tersisa dalam ingatan kolektif. Kita menemukan tilasnya secara kebetulan, atau dengan riset yang tak mudah: Batavia dalam gambar warna sepia.

Dan bukan hanya jejak abad ke-19 yang pudar. Atau terhapus. Jika kini kita lewat Tugu Proklamasi, kita sebenarnya melihat se-su atu yang bertaut tak langsung dengan sejarah. Rumah yang dulu di dekat sana, di jalan yang dulu bernama Pegangsaan Ti-mur—rumah yang bernomor 56 tempat Bung Karno dan Fatma-wati tinggal waktu itu—sudah tak ada lagi.

Bung Karno sendiri yang melenyapkannya. Di tempat itu ia ingin menandai sesuatu yang menengok ke masa depan, bukan ke masa lalu: 1 Januari 1961 ia, presiden di pucuk kekuasaan ”de-mokrasi terpimpin”, mengayunkan cangkul pertama untuk men-dirikan sebuah tugu berbentuk bulatan tinggi dengan pucuk ber-lambang petir. Sekitar 50 meter di belakangnya didirikan sebuah gedung petak, gaya arsitektur modern. Dari sinilah akan dilaksa-na kan ”Pembangunan Nasional Semesta Berencana”.

Masa lalu pun tersisih. Pernah di tempat itu ada tugu peringat-an yang didirikan sejumlah aktivis perempuan Jakarta pada 1946,

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 129: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

104 Catatan Pinggir 10

untuk memperingati setahun kemerdekaan—ketika pasukan Se-kutu masih menduduki kota dan suasana tegang. Tapi sejak seta-hun sebelum Bung Karno mengayunkan cangkul di sana, tugu itu sudah dihancurkan.

Baru pada 1968, sekitar dua tahun setelah ia tak berkuasa lagi, jejak sejarah itu ditangkap kembali. Sejumlah tokoh perempuan yang dulu aktif dalam persiapan proklamasi, terutama Yos Mas-dani, mendapat dukungan Gubernur Ali Sadikin untuk mendiri-kan kembali tugu tahun 1946 itu. Pada 1972, renovasi selesai. Tu-gu kembali hadir—meskipun tanpa rumah Bung Karno yang da-hulu.

Saya tak tahu persis mengapa Bung Karno menghapus petilas-an yang penting itu. Mungkin karena tugu kecil itu dulu diresmi-kan Sjahrir, penentangnya yang kemudian, di tahun 1962, dipen-jarakannya: politik ingatan sering berlangsung bersama politik ke kuasaan. Atau mungkin pula itu juga bagian dari keyakinan la zim seorang revolusioner. Di tahun 1930-an, seperti kita temu-kan dalam Dibawah Bendera Revolusi, ia menyerukan agar bang-sa Indonesia menyambut ”zaman sekarang”. Apa yang disebutnya ”oude-cultuur-maniak”, kegilaan kepada kebudayaan lama, harus di campakkan. Juga ”pikiran dan angan-angan” yang ”hanya me-rindui candi-candi, Negarakertagama, Empu Tantular dan Pa-nu luh, dan lain-lain barang kuno”.

Revolusi punya cara sendiri dalam memandang waktu dan me milih lupa. Pada 1792 Revolusi Prancis menghapuskan monar-ki, institusi berabad-abad itu, dan menetapkan kalender baru yang dimulai dari ”tahun satu”. Ketika Khmer Merah merebut kekuasaan Kamboja pada 1975, tahun itu disebut ”Tahun Nol”. Tampaknya revolusi adalah ”instan” (l’ instant) dalam gambaran Bachelard: menawarkan apa yang ”secara mutlak baru”. Tiap ”in-stan”, kata Bachelard, mewakili apa yang ab origo, murni asli.

Tentu ada yang berlebihan dalam pandangan ini. Sejarah ber-

KOTA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 130: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

105 Catatan Pinggir 10

KOTA

langsung dalam waktu, dan waktu memang terdiri atas deretan ”instan”—tapi tiap ”instan” tak pernah berbatas mati dengan ”instan” lain. Yang memisahkan hanya membran yang dengan mu dah tembus dan bergerak terus. Saya tetap menyukai baris-ba-ris puisi T.S. Eliot, penyair yang mengikuti kuliah umum Berg-son tentang waktu di Collège de France di awal abad ke-20:

Time present and time past Are both perhaps present in time future, And time future contained in time past.

Ingatan tak bisa dipilah-pilah. Ia bergerak, bersama waktu yang bagaikan arus sungai yang deras: tampak koheren dari luar, tapi sesungguhnya kelipatan yang beraneka, tak terbilang, saling me nyusup, berbenturan, saling mengubah.

Tapi apa boleh buat: manusia perlu pegangan yang praktis dan jelas. Manusia perlu titik-titik perhentian, betapapun cuma da-lam peta di pikirannya. Ia perlu mengambil jarak dari pengalam-an, dari waktu—ya, agar bisa mengalahkan waktu.

Itulah yang diinginkan revolusi: menang atas masa lalu, me-nang atas masa depan.

Tapi bukan hanya revolusi yang berniat demikian. Aneh atau tak aneh, juga kapitalisme. Juga kekuasaan politik yang melupa-kan revolusi.

Maka Jakarta meninggalkan sejarah—baik karena Bung Kar-no (yang kemudian meminta kita agar tak meninggalkan sejarah) maupun masa pasca-Bung Karno: ketika masa lalu kalah laku di per dagangan ingatan. Dan tak cuma Jakarta.

Beijing juga. Kota itu kini seakan-akan punya ”tahun nol”-nya sendiri. Dalam The New York Review of Books terbaru, 23 Juni 2011, Ian Johnson mencatat perubahan Beijing dalam gairah ka-pi talisme. Tapi mania perubahan tak dimulai di situ. Johnson ju-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 131: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

106 Catatan Pinggir 10

KOTA

ga mengutip dari buku Wang Jun, Beijing Record, cerita tentang nasib tragis arsitek Liang Sicheng.

Sejak awal sejarah RRC Liang mencoba menyelamatkan Bei-jing dari transformasi besar menjadi kota ”sosialis”. Tapi ia kalah. Pada 1955 ia dituduh ”kanan” dan dipaksa mengaku dosa. Sean-dainya Liang masih hidup, ia kini akan dituduh ”kekiri-kirian”.

Di manakah sejarah? Tidak selalu di kiri atau di kanan. Kota, sosialisme, kapitalisme—semua bergegas.

Tempo, 26 Juni 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 132: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

107 Catatan Pinggir 10

GRRR

DI depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku ka ta yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:

”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat

yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pem-bangun-an—”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama tea-ter ini, melihat peran pem-bangun-an ini sebagai ”teror”—de-ngan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia pu-nya pendekatan tersendiri kepada kata.

Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.

Ini terutama hadir dalam teaternya— yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai pe-ristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak je-las sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau seli-mut— hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Da lam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.

Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin; Putu Wijaya tak ter-tarik untuk berbicara tentang lapisan-lapisan sosial. Teater Man-di ri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudi-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 133: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

108 Catatan Pinggir 10

an dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.

Saya ingat bagaimana pada 1971 Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkan-tor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang go-yang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertu-gas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan meng gunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang ka yu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, se orang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka un tuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia mem-buat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya ce-rita.

Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: se buah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya ba-gian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari ta-rik- menarik antara pathos dan humor, antara suasana yang terba-ngun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.

Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa di mengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan eli te yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”ba ngunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu ju ga menganggap bahwa ke-bangun-an adalah kebangkitan dari ke tidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hu bungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pan-dangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan

GRRR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 134: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

109 Catatan Pinggir 10

se lalu tersembunyi ketidaksadaran. Sartre pernah mengatakan, sa lah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan ta ta di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran da lam ke ragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpi kir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bah wa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbentur an (tapi ju ga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang ber-laku.

Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pem bebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengko-munikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Tapi di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu ber-taut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Seba-gaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apa lagi khotbah. Dan ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia meng-akui bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkap-kan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hi-dup yang dijalani, le vecul. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasi-kan dalam hidup.

Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dan

GRRR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 135: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

110 Catatan Pinggir 10

GRRR

dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

Tempo, 3 Juli 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 136: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

111 Catatan Pinggir 10

BASTIAT

SEORANG ”neo-liberal” adalah orang yang jengkel kepa-da ”Negara”. Tapi ada seorang pendahulunya yang tak jeng kel, malah kocak: Frédéric Bastiat, orang Prancis di

abad ke-19. Ia mempersamakan Negara dengan tokoh Figaro yang harus mendengarkan tuntutan dari delapan penjuru angin:

”Aturlah buruh dan pekerjaan mereka!” ”Habisi egoisme!””Lawan kekurangajaran dan tirani modal!””Bikin eksperimen dengan tahi sapi dan telur!” ”Bentangkan jalan kereta api di pedusunan!””Tanam pohon di pegunungan!””Jadikan Aljazair koloni kita!””Setarakan laba usaha industri!” ”Pinjamkan uang tanpa bunga kepada yang perlu!””Perbaiki keturunan kuda tunggangan!””Hidupkan seni, latih musisi dan penari!” ”Temukan kebenaran dan ketok kepala kami agar berpikir!”

Kutipan saya tak lengkap, tapi cukup banyak, dan Sang Nega-ra akan mendengarkan semuanya dengan agak gelagapan. Ia pun akan mengimbau: ”Sabar, tuan, sabar! Akan saya penuhi permin-ta an tuan semua, tapi saya perlu dana, dong. Saya perlu memu-ngut pajak, dan tentu saja, seperti tuan kehendaki, tak akan mem bebani.”

Tapi seketika itu juga akan terdengar teriakan menyahut: ”Ah, kok gampangan! Apa tak malu! Siapa saja dapat melakukan apa sa ja dengan dana. Kalau cuma begitu, kamu tak layak disebut ’Ne gara’! Ayo, jangan bikin pajak baru! Malah hapuskan pajak

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 137: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

112 Catatan Pinggir 10

la ma!”Harus diakui, ada nada simpati terhadap Negara dalam esai

Bas tiat itu—dan mungkin itu yang membedakannya dengan me reka yang disebut ”neo-liberal” atau siapa saja yang dianggap penganut pemikiran ekonomi Milton Friedman. Bastiat melihat kontradiksi dalam tuntutan delapan-penjuru-angin yang saya ku tip di atas. Jika ia pun datang dengan rumusannya tentang ”Ne gara” ia tak serta-merta menafikannya.

Negara, tulis Bastiat, adalah ”sosok yang misterius, dan yang pas ti sosok yang paling banyak menerima permintaan, yang pa-ling tersiksa, paling sibuk, paling dinasihati, paling disalahkan, pa ling dituntut, dan paling diprovokasi di seluruh dunia”.

Tapi Bastiat tak berhenti di sana. Ia melihat lebih jauh untuk memahami kenapa ”Negara” diperlukan. Manusia, menurut Bas tiat, adalah makhluk yang menampik kepedihan dan pende-ri taan. Tapi manusia juga dihukum akan menderita kekurangan jika ia tak bekerja buat hidup. Maka ia menemukan cara: menik-mati hasil kerja orang lain.

Perbudakan bermula dari sifat itu. Tapi juga perang, peram-pasan, penipuan, dan hal-hal lain yang mengerikan tapi cocok dengan akal manusia untuk mengatasi dilemanya. Dengan kata lain: tak aneh. ”Kita harus membenci dan melawan penindas,” tulis Bastiat, ”tapi kita tak bisa mengatakan mereka absurd, edan, dan tak masuk akal.”

Apalagi dalam perkembangannya, si penindas tak lagi berhu-bungan langsung dengan si tertindas. Dewasa ini antara penindas dan korbannya ada ”perantara”, yaitu Negara. Dari sini Bastiat mem berikan definisinya yang orisinal: ”Negara adalah satu enti-tas imajiner yang dipakai tiap orang untuk hidup dengan ongkos (dépens) orang lain.”

Definisi ini menohok tajam. Umumnya orang tak ingin meng-akui secara terbuka bahwa, seperti kata Bastiat, ia hidup dengan

BASTIAT

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 138: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

113 Catatan Pinggir 10

memanfaatkan kerja orang lain. Orang lebih suka menunjuk ke Ne gara dan menyuruh, ”Hai kamu, yang bisa mengambil dengan adil dan terhormat, ambillah dari masyarakat dan bagikan kepa-da kami!”

Mengaitkan Negara dengan hubungan eksploitatif—yang tak selamanya tampak—adalah juga yang tersirat dalam pikiran Marx. Saya tak yakin bapak sosialisme modern itu terilhami oleh Bas tiat (1801-1850), yang meninggal hampir dua dasawarsa sebe-lum terbit Das Kapital. Tapi Marx juga melihat Negara bukan se-bagai sebuah bangunan suci, melainkan sebagai instrumen repre-si dari satu kelas terhadap kelas lain.

Hanya Bastiat sedikit lebih jeli: ia tak melihat Negara sebagai ”sis tem” atau ”instrumen” semata-mata. Negara, dalam praktek-nya, terdiri atas ”para menteri kabinet, birokrat, orang-orang yang, pendek kata, seperti umumnya orang, menyimpan dalam ha ti mereka hasrat untuk memperbesar kekayaan dan pengaruh, dan dengan bersemangat menangkap kesempatan untuk itu”.

Yang menarik tentulah pandangan yang sejajar tentang Nega-ra itu: di satu sisi Marx, di sisi lain Bastiat yang punya gema dalam pe mikiran kubu sebelah ”kanan”: Ha yek dan Friedman. Tak meng herankan: baik Marx maupun Bastiat bertolak dari peng-alaman dalam ruang dan waktu. Marx menampik Hegel yang me mandang Negara sebagai penubuhan dari ide; ia merumuskan Ne gara dari apa yang berlangsung dalam sejarah. Bastiat demiki-an pula: ia seorang pencatat, bukan teoretikus, bukan filosof. Schumpeter menganggapnya ”wartawan ekonomi yang paling ce merlang yang pernah hidup”.

Maka ia menemui fakta dan mencemooh ”ilusi ganjil” tentang Ne gara. Di atas saya kutip ia menyebut Negara sebagai ”entitas imajiner”. Saya kira Bastiat melihat Negara sebagai proses politik, bukan satu bangunan yang mandek di atas pergulatan politik di mana ia berdiri. Sebab itu ia punya keterbatasannya sendiri: Ne-

BASTIAT

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 139: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

114 Catatan Pinggir 10

BASTIAT

ga ra tak terbentuk untuk bisa memuaskan semua orang di semua su dut sekaligus. Tiap politik punya utopia dan punya kalkulasi—dan di antara itulah hadir Negara.

Bastiat memang seorang ”liberal” dalam pengertian politik Ero pa—dan ia berbicara dengan nada yang ringan. Ia masih meng akui Negara sebagai ”kekuatan polisi bersama” dengan cu-kup optimisme: baginya, kekuatan itu bisa dipakai bukan untuk me rampok dan menindas, melainkan untuk ”menjamin ti ap orang haknya sendiri dan membuat keadilan dan keamanan me-nang”.

Memang hanya seorang yang dogmatis yang bisa melihat Negara tanpa ambiguitas.

Tempo, 10 Juli 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 140: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

115 Catatan Pinggir 10

JULI

JULI 1776 dan Juli 1789: penanda waktu yang penting da-lam sejarah, ketika kita mengingat sebuah optimisme yang mung kin berlebihan. Revolusi Amerika dan Prancis (dan sa-tu abad lebih kemudian Revolusi Rusia) tak akan tercetus

an dai kata sejumlah orang tak yakin penuh bahwa mereka, seba-gai layaknya manusia, mampu mengubah sejarah.

Tapi setelah itu—Setelah Juli dan tahun itu berlalu, lewat satu periode lain, opti-

misme pun tergerus. Revolusi ternyata tak membuat manusia se-penuhnya bebas, berkeadilan, berpunya, berbahagia—dan orang tak jarang melihat kembali perubahan besar itu dengan muram. Sinisme beredar. Revolusi seakan-akan berawal dengan sebuah ilu si di cermin. Revolusi seakan-akan bermula dari anggapan yang berlebihan tentang kehebatan manusia dan sebab itu kemer-dekaan adalah hak dan kemerdekaan itu mungkin.

Napoleon, opsir pasukan Revolusi Prancis yang hebat itu, ke mudian meninggalkan cita-cita Juli 1789. Pada suatu hari ia meng angkat diri jadi maharaja dan mengatakan bahwa bukan has ra t kemerdekaan yang mendorong manusia menggerakkan re-vo lusi. Yang membuat revolusi, katanya, adalah ”kekenesan”, la va nité. Kemerdekaan, itu hanya dalih.

Kadang-kadang sinisme memang terdengar cerdas, seperti gu gatan yang menusuk: benarkah kita sebenarnya tak cuma se-dang berpose, kenes, mengira kita bisa berubah, bisa berbuat baik un tuk orang banyak, dengan atau tanpa revolusi? Padahal tidak?

Harus saya tambahkan: pertanyaan itu (kita juga sering men-dengarnya di Indonesia pasca-Reformasi) tak hanya ungkapan si nisme. Pertanyaan ini menandai zaman yang konservatif kini. Dalam beragama, dalam perilaku dan hubungan berkeluarga,

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 141: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

116 Catatan Pinggir 10

ba nyak orang melihat perubahan sebagai langkah ke malapetaka. Harus pula saya tambahkan: tak semuanya cuma karena kon-

servatisme. Ada sebab lain: semacam relativisme. Bila perempuan ditindas di sebuah tempat, sikap ini akan menerima penindasan itu dengan mengatakan bahwa nilai-nilai orang lain tak bisa kita ubah dengan nilai-nilai kita. Politik dewasa ini sering mendesak-kan agar kita menghargai kearifan lokal, identitas-identitas yang berlainan, atau keunikan sebuah kaum. Yang tak disadari, sikap ini bisa berakhir dengan politik yang, seperti sikap konservatif, tak menghendaki transformasi.

Seakan-akan tak ada konflik dalam sejarah. Seakan-akan tak ada dialektik, seakan-akan perbedaan dalam hidup ibarat dua si si rel kereta api yang sejajar, tak bertaut, maka tak akan bertabrak-an.

Dengan pandangan itu orang lupa, bahkan sebatang rel pun se buah entitas yang tak permanen. Ia terdiri atas zat yang ber-ubah. Dalam tiap perubahan terjadi konflik.

Terutama ini berlaku pada manusia. Mereka yang percaya ma-nusia tak berubah adalah mereka yang percaya bahwa manusia dibentuk oleh kodrat yang tetap—sementara dalam tubuh, tiap saat sel berganti, napas tak pernah menghirup oksigen yang sama, ingatan baru selalu datang menumpuk mengubah apa yang ada di bawah sadar.

Kita memang perlu diingatkan bahwa, untuk meminjam dari Alain Badiou, yang ada hanyalah ”tubuh dan bahasa-bahasa”. De ngan kata lain, diperlukan satu pendekatan seorang materialis yang menampik bahwa ada ide abadi yang membentuk dunia, seorang materialis yang melihat perubahan sebagai hal yang nis-caya: tubuh tak bisa tetap. Juga bahasa—yang terbentuk dari in-teraksi sosial di suatu masa di suatu tempat dan diungkapkan me-lalui badan—bukanlah bangunan yang selesai dalam satu gra-ma tika.

JULI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 142: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

117 Catatan Pinggir 10

Tapi persoalannya: apa yang terjadi dalam perubahan? Kita ingat kaum konservatif. Mereka akan mengatakan bah-

wa yang terjadi hanya ilusi yang riskan. Tapi sebaliknya ada kaum antikonservatif yang mengatakan bahwa perubahan tak ada jika bukan sesuatu yang radikal. Revolusi dipertentangkan dengan evolusi. Dunia harus diciptakan baru—dan tiap sisa dari dunia yang lama akan dilihat sebagai tanda kesia-siaan ikhtiar transfor-masi. Walhasil: sejenis gugatan yang mirip sinisme lama, yang mung kin akan menghalalkan sinisme setua Napoleon: para pem-baharu hanya dianggap orang-orang kenes, selama tak ada refor-masi yang radikal.

Tapi yang tragis, atau mungkin juga tak tragis, dalam sejarah adalah bahwa manusia tak bisa membangun dunia dari nihil. Yang berbicara ”kun fayakun” hanya Tuhan. Saya suka meng-ulang Marx: manusia membuat sejarah, tapi membuatnya dalam kondisi yang tak ditentukannya sendiri. Transformasi sosial, se-ba gaimana transformasi tubuh, tak datang dari simsalabim tran-sendental. Langkah baru adalah langkah baru, tapi dengan bekas lumpur, pasir, dan debu yang menempel pada kaki dari pergulat-an kemarin petang.

Yang penting adalah, dengan bekas-bekas itu, kita tak lupa bah wa ada subyek yang membawa kabar lain: bukan kekenesan yang mendorong perubahan, melainkan rasa sakit manusiawi yang dicekik ketidakadilan—yang membuat keadilan begitu je-las meskipun tak datang dari wasiat purba ataupun dari ensiklo-pedia.

Di saat itu, perubahan bisa disebut membawa sesuatu yang ra-dikal baru—satu ”instan” ala Bachelard: hasil dari penampikan to tal yang tergerak untuk menjangkau yang mustahil. Yang mus-tahil itu adalah kebaruan yang menggugah. Ia membangkitkan kita di malam gelap yang tanpa tidur.

Ketika fajar tiba, kita memang akan melihat yang tak tercapai

JULI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 143: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

118 Catatan Pinggir 10

JULI

masih banyak. Yang masih harus dihancurkan akan selalu ada. Namun yang telah tercapai bukannya tanpa makna. Revolusi yang melahirkan emansipasi—betapapun tak utuh dan tak sta-bilnya itu—memberi bekal untuk mengilhami transformasi ba-ru. Revolusi Juli, Oktober, Agustus, dan lain-lain yang tak terca-tat: masing-masing isyarat bahwa sinisme adalah putus asa. Putus asa yang keliru.

Tempo, 17 Juli 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 144: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

119 Catatan Pinggir 10

KEMBANG

MAO Zedong tiba-tiba berbicara tentang kembang kri-san. ”Tahukah tuan, apa sebutan kembang krisan di Pa meran Hangzhou belakangan ini? Sang penari ma-

buk, kuil tua di bawah matahari senja, sang pencinta yang mem-bedaki sang kekasih.”

André Malraux mencatat kata-kata itu dalam Antimémoires, di bagian ketika ia mengenang pertemuannya dengan para pemim-pin Cina pada tahun 1960-an.

Hari itu Mao rupanya hendak mengumpamakan masyarakat se bagai kembang krisan, sebuah organisme yang tak sederhana. Ma syarakat adalah wilayah di mana ”penari” dan ”mabuk”, dua hal yang tak pas, bisa terjadi di satu wadah: ”Bukan mustahil ke-dua tendensi itu hadir, dan banyak konflik yang tersimpan,” kata-nya.

Perumpamaan, atau kiasan, adalah bagian yang wajar dalam per cakapan Mao; ia penyair. Dengan kiasan, satu ide (”masyara-kat”) ditampilkan sebagai sesuatu yang bisa ditangkap pancain-dra, dalam wujud imaji: ”penari mabuk”, ”kuil tua”. Dengan ki-as an, satu ide dianggap akan bisa lebih terbayangkan.

Tapi puisi dan kiasan juga bisa membuat sebuah konsep tak sta bil acuannya. ”Penari mabuk, kuil tua di bawah matahari, sang pencinta yang membedaki kekasih...”. Mao memilih imaji-imaji itu (jika kita percaya kepada kutipan Malraux), dan dengan itu me mang orang bisa tak pasti tentang bagaimana seharusnya me-mahami sebuah ”masyarakat”.

Mungkin karena Mao tahu: sebuah masyarakat memang se su-a tu yang tak mudah dirumuskan. Sebuah masyarakat selamanya kompleks, rumit hubungan-hubungannya, beraneka tendensi-nya, dan tak mandek. Hanya pikiran kita yang menangkapnya

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 145: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

120 Catatan Pinggir 10

se bagai satu organisme yang tersusun.Mao seorang Marxis. Ia bisa melihat, dalam tiap hal yang bisa

diidentifikasikan—”masyarakat Cina” atau ”kembang krisan”—ada yang luput dari identifikasi itu. Katanya kepada Malraux: ”Tuan telah melihat satu sisi. Sisi yang lain mungkin lepas dari peng lihatan.”

Ia memang berakar dalam tradisi Materialisme; ia menampik pe mikiran Idealis. Materialisme melihat dunia, apalagi sejarah, se bagai arus yang tak konsisten, yang bahkan tak cuma punya dua sisi. Sisi itu tak terhingga. Manusia kemudian memberinya bentuk, merumuskan, dan mengarahkan. Tapi dialektika ini tak pernah tuntas.

Sebaliknya, bagi filsafat Idealis, dunia adalah perwujudan dari Ide yang utuh dan abadi. Apa yang ada (”masyarakat Cina”) di anggap sudah dicetak dengan esensi yang tetap. Idealisme per-caya bahwa kesadaran manusia yang rasional, seakan-akan didu-kung oleh kekuatan sabda yang transendental, bisa membentuk apa-yang-ada. Bentuknya konsep-konsep. Dengan konsep itu aku merengkuh dan memasukkan dunia ke dalam diriku. Idea-lis me mirip kegairahan pikiran yang mengremus dunia: ”Idealis-mus als Wut,” kata Adorno, pemikir yang menunjukkan cacat be-sar filsafat ini.

Dalam menampik pemikiran Idealis, kecenderungan puitik Mao bertemu dengan pandangan Marxisnya. Seorang Idealis akan mengatakan, ”Aku berpikir, maka aku ada.” Seorang Marx-is, ”Aku ada, maka aku berpikir.” Pikiran lahir dari hidup yang di alami, dari tubuh, benda, dan bahasa. Maka Marxisme Mao ber sentuhan dengan realitas yang konkret. Malraux mengutip-nya: ”Tak ada Marxisme yang abstrak. Hanya ada Marxisme yang konkret, yang disesuaikan dengan kenyataan Cina, dengan pohon-pohon yang telanjang, sebagai telanjangnya rakyat yang si buk memakannya.”

KEMBANG

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 146: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

121 Catatan Pinggir 10

KEMBANG

Pohon-pohon yang telanjang....Tapi, apa boleh buat, Mao bukan hanya penyair. Ia pemimpin

re volusi yang harus menaklukkan: mengalahkan musuh, gua-gua Yenan, arus Sungai Yangtze, kemiskinan dan ketidakadilan di dusun-dusun—bahkan, kemudian, dalam ”Revolusi Kebuda-ya an”, menghancurkan markas besar Partai Komunis Cina sendi-ri. Ia harus mengukuhkan diri sebagai Subyek (dengan ”S”) yang mengremus obyek-obyek, melulur liyan.

Untuk itu, Mao membuat doktrin yang mengukuhkan diri-nya. Cetusan pikirannya dicetak dalam ”Buku Merah”. Berjuta-ju ta orang harus menghafalkannya. Di masa ”Revolusi Kebuda-ya an”, para ”Pengawal Merah” bahkan berlomba menghafal bu-ku itu terbalik dari huruf terakhir ke pagina depan. Ada petani yang percaya, dengan membaca ”Buku Merah” di dekat pohon li maunya, tanaman itu akan berbuah cepat.

Di situ semangat Materialisme mati. Benda-benda konkret di-anggap bisa dikuasai pikiran sang Ketua. Sang Ketua seakan wu-jud transendental, di luar dunia yang rumit, di atas organisme apa pun.

Mao wafat 1976. Tapi ia roh agung yang tak bisa mati. Minggu ini Partai Komunis Cina berumur 90 tahun. Partai itu tetap me-ngu tip Sabdanya—seakan-akan untuk menebus dosa Cina yang ki ni menempuh jalan kapitalisme yang dulu dikutuk. Marxisme jadi agama. Seperti agama lain, ia punya penafsir baru dan juga kaum munafik. Seperti agama lain, Marxisme Cina yakin: ”Pada mu lanya adalah Sabda,” dan dari sabda terjadilah dunia.

Dengan kata lain, hidup bergantung pada Sabda, tunduk pa-da Kata. Kata tak lagi datang dari hidup yang dijalani, hidup yang kompleks, yang berubah dan tak terumuskan—sesuatu yang du-lu bisa dicitrakan sebagai ”penari mabuk, kuil tua di bawah mata-hari”. Kini, Kata seakan-akan berdiri sendiri. Berwibawa, tapi be ku. Ia mantra, juga berhala.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 147: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

122 Catatan Pinggir 10

KEMBANG

Tak mengherankan bila kini penguasa Cina bisa cemas de-ngan ”melati”. Setelah ”Revolusi Melati” merebak di dunia Arab, dan kata itu muncul di kalangan mereka yang menuntut demo-krasi di Cina, kata ”melati” dihapus bahkan dari lagu Mo Li Hua. Tak cuma itu: para petani Daxing tak bisa menjual kembang yang disebut demikian.

Syahdan, ada yang berubah. Dulu ”krisan” terbit dalam jiwa kreatif yang berpuisi. Kini ”melati” jadi teror bagi jiwa yang tak-luk, yang menganggap Kata makhluk sakti, asing, tanpa bumi.

Tempo, 24 Juli 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 148: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

123 Catatan Pinggir 10

SREBRENICA

DI sebuah tempat yang dulu tak dikenal dunia, sekitar 8.000 muslim dibunuh. Sejak itu Srebrenica, sebuah ko ta kecil pegunungan di sebelah timur Bosnia dan

Her zegovina, jadi sebuah nama yang menakutkan. Atau menji-jikkan. Atau memalukan.

Di situlah selama tujuh hari di pertengahan kedua Juli 1995, Jen deral Ratko Mladic, panglima tentara yang berdarah Serbia, men jalankan apa yang jadi kehendak dan rencananya. Mungkin ba ginya inilah penyelesaian final untuk persoalan masa depan Bos nia, seperti endgültige Lösung Hitler untuk masalah Yahudi: orang-orang Bosnia yang bukan Serbia, terutama yang muslim, harus dihabisi.

Mladic memang perwujudan klise tokoh algojo dalam cerita pi cisan: tambun dan kasar, ia pernah diceritakan membunuh se-se orang dengan tangan telanjang—setelah ia meyakinkan si kor-ban bahwa tak akan terjadi apa-apa, sambil ia melatih otot-otot ta ngannya untuk membinasakan si tahanan. Ketika pasukan-nya mengepung Kota Sarajevo, ia perintahkan pasukannya untuk me ningkatkan gempuran artileri secara ber-”irama” sampai pi-kir an penghuni kota itu ”terpelintir”.

Dalam salah satu sajaknya, penyair Bosnia Abdullah Sidran menyebut Mladic sebagai ”monster dengan epaulet”. Orang lain me namainya ”jagal dari Srebrenica”.

Semula Srebrenica adalah wilayah yang terlindung: orang-orang muslim menemukan tempat yang aman di sana. Ada pasu-kan PBB yang menjaga orang-orang yang melarikan diri dari pe-rang etnis di Yugoslavia yang pecah itu. Terutama mereka yang me larikan diri dari pembantaian, yang tahu bahwa kaum ”nasio-nalis” Serbia akan menghabisi mereka.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 149: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

124 Catatan Pinggir 10

Tapi Juli itu keadaan berubah. Sejak pekan pertama bulan itu, pasukan Serbia mengepung. Berangsur-angsur Srebrenica keha-bisan bahan bakar. Persediaan makanan menipis. Dalam Post-cards from the Grave Emir Suljagic mengisahkan bagaimana ra-tusan orang dengan tali dan kapak mendaki tebing yang terjal di atas kota, menuju hutan untuk mencari kayu buat menyalakan api, jauh sebelum kabut hilang....

Di tengah pengepungan itu, pasukan PBB yang bertugas di sa na, satu kontingen tentara Belanda yang terdiri atas 600 person-el dan tak bersenjata berat, mencoba bertahan. Komandan mere-ka, Letkol Karremans, meminta ke Panglima Pasukan PBB, Jen-deral Bernard Janvier dari Prancis, agar mendapat dukungan dari uda ra. Tapi yang terjadi adalah kecelakaan prosedur: permintaan Karremans untuk mendapat bantuan udara ternyata ditulis di formulir yang salah. Akhirnya memang dipenuhi, tapi terlambat.

Karremans memang mendapatkan bantuan lain. Dua pesa-wat tempur F-16 Belanda menjatuhkan dua bom di atas posisi pa sukan Serbia yang mengepung. Tapi tentara di bawah Mladic telah berhasil memiliki kartu kuat tersendiri: sebelumnya mereka telah menyerang satu pos pasukan PBB dan menahan 30 prajurit Belanda. Jenderal Serbia itu mengultimatum: jika pengeboman diteruskan, tahanan itu akan mereka bunuh.

Sekitar dua jam setelah itu, menjelang sore hari 11 Juli, Mladic dan tentaranya memasuki Srebrenica. Malamnya ia memanggil Karremans untuk menemuinya dan mendengarkan sebuah tun-tutan: orang-orang muslim harus menyerahkan senjata mereka atau dihabisi. Direkam oleh juru kamera Serbia, di malam itu Karremans mengangkat gelas, bersulang dengan Mladic. Terde-ngar suaranya: ”Saya seorang pemain piano. Jangan tembak sang pia nis.” Dan Mladic menjawab, entah bergurau entah tidak: ”Tu-an seorang pianis yang buruk.”

Yang mungkin bisa dikatakan: opsir Belanda itu komandan

SREBRENICA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 150: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

125 Catatan Pinggir 10

pa sukan yang buruk. Pasukannya meninggalkan Srebrenica, mem biarkan orang-orang muslim mulai ditembaki. Tanggal 13 Juli, pembunuhan mulai dilakukan di sebuah gudang dekat Desa Kravica. Di hari yang sama, Karremans menyerahkan 5.000 mus lim ke tangan Mladic, untuk dipertukarkan dengan 15 pra-jurit Belanda yang ditahan di Nova Kasaba. Tiga hari kemudian, mulai masuk laporan pembantaian....

Dan Karremans tak melaporkan peristiwa itu ke atasannya. Se orang wartawan Belanda, Frank Westerman, pengarang buku Srebrenica: Het zwartste scenario��menulis: di saat perpisahan res-mi, Karremans bahkan menerima sebuah cendera mata dari Mla-dic: ”Yang ini buat istri saya?” tanyanya, tersenyum.

Tapi mereka yang jadi korban tak diam. Dua muslim Bosnia yang keluarganya dibantai Mladic berusaha mengajukan kasus itu ke pengadilan negeri Den Haag. Persis 16 tahun setelah kebu-as an di Srebrenica itu, para hakim Belanda memutuskan: Negara Belanda memang bertanggung jawab atas kesalahan tindakan ten taranya yang membiarkan ribuan orang tak bersenjata diban-tai.

Persis 16 tahun juga dunia menyaksikan Mladic bisa dibawa ke Den Haag, untuk diadili di Mahkamah Internasional.

Hari-hari ini, sebuah negeri sedang merasa malu dan menebus ke salahan di masa lalu: kesalahan bangsa sendiri terhadap mere-ka yang datang dari negeri jauh, dengan iman dan sejarah yang ber jarak. Di saat seperti itu, ”liyan” tak hanya berarti mereka yang bukan-kami, tapi juga ”sesama” yang tak berbeda dari kami. Di wajah-wajah yang tak berdaya di depan para algojo, di deret-an kepala yang berlubang ditembak, di tumpukan jasad yang di-bantai hanya karena asal-usul yang janggal dan biodata yang be-da, seorang muslim di Srebrenica menyerupai seorang Yahudi di kamp Auschwitz.

Srebrenica berlumur darah karena orang macam Mladic tak

SREBRENICA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 151: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

126 Catatan Pinggir 10

SREBRENICA

hen dak mengakui bahwa mereka yang paling lemah dan paling dianiaya yang justru mengingatkan apa yang menakjubkan da-lam manusia: sebuah pertalian yang tak tampak.

Tempo, 31 Juli 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 152: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

127 Catatan Pinggir 10

KEBAKHILAN

IA tak gila. Atau ia bagian dari patologi yang tak tersendiri. Anders Behring Breivik, memakai seragam polisi, membidik dengan tepat anak-anak muda yang sedang berkemah di Pu-

lau Utoeya. Sebanyak 68 orang terbunuh di pulau di Danau Tyri-fjor den, 38 kilo meter dari Oslo, itu pekan lalu. Delapan lain mati ka rena ledakan bom. Breivik ditangkap. Pengacaranya membela-nya dengan mengatakan: orang ini sakit jiwa.

Pada kesan pertama, orang Norwegia itu memang ganjil. Ke-kerasan dengan darah dingin di sebuah negeri tempat pemberian Hadiah Nobel Perdamaian? Gerakan sayap Kanan? Begitu kuat-kah gerakan itu di bagian dunia yang pernah dianggap tauladan sosialis-demokrat ini?

Tapi zaman berubah. Sosialisme, dan bersama paham ini se-mangat yang lebih toleran, tengah surut di Skandinavia. Juga di se luruh Eropa. Tembakan Breivik yang membunuh para kader Par tai Buruh itu berbareng dengan keruwetan jiwa yang setengah tersembunyi di masyarakatnya. Sinting atau tidak, apa yang dila-ku kannya sebuah isyarat: kita tengah memasuki zaman kebakhil-an. Eropalah yang memulainya.

Breivik tak sendirian, meskipun tak semua orang yang sepa-ham akan mau membunuhi sejumlah pemuda yang kesalahannya hanya karena mereka pendukung Partai Buruh. Bagi Breivik, Par tai Buruh harus dihabisi; partai inilah yang dengan mudah mem biarkan kaum imigran, terutama yang muslim, masuk ke Nor wegia.

Breivik dulu anggota Partai Kemajuan Norwegia, Fremskritts-partiet. Partai ini tak jauh pandangannya dari sang pembantai, mes kipun pemimpinnya, Siv Jen sen, menyatakan merasa sedih bah wa bekas anggotanya bertindak demikian. Yang menegaskan

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 153: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

128 Catatan Pinggir 10

bahwa Breivik tak sendirian: Partai Kemajuan kini berada da lam posisi yang naik.

Di bagian Eropa lain, seorang tokoh politik sayap Kanan Ita-lia, Francesco Speroni—yang pernah duduk dalam kabinet Ber-lusconi yang berkuasa—menyebut gagasan Breivik bertujuan ”mem bela peradaban Barat”. Eropa sedang terancam oleh Islam, ka ta mereka, Eropa sedang berubah jadi ”Eurabia”....

Kecemasan itu adalah ekspresi kebakhilan—yang membuat pan dangan Kanan kembali jadi antitesis gerakan Kiri. Inti pan-dangan ala Breivik dan Speroni adalah eksklusivisme. Bagi mere-ka, pelbagai hal di dalam hidup—lapangan kerja, bantuan sosial, per adaban Barat—adalah milik eksklusif.

Eksklusivisme atau kebakhilan menampik orang lain ikut da-lam ruang dan waktu, di sebuah wilayah yang batasnya mereka ten tukan dan tutup sepihak.

Batas itu mereka beri dasar agama; mereka menyebutnya ”Kris ten”. Seperti halnya di sementara kalangan Islam, mereka ang gap kebenaran dan Tuhan milik eksklusif mereka. Batas itu me reka beri wilayah: ”Eropa”. Dan waktu mereka adalah waktu yang ”dulu”—artinya terbatas, bukan waktu yang berlanjut dan membawa perubahan.

Itu sebabnya mereka konservatif. Konservatisme juga eksklusi-visme. Bila pemikiran Breivik hendak mengembalikan perempu-an ke status yang lebih rendah ketimbang yang telah berlaku sejak akhir abad ke-20, itu juga menunjukkan bahwa konservatisme itu bergabung dengan kebakhilan: bagi mereka, hak-hak tertentu ha nya hak kaum lelaki. Orang harus kembali seperti dulu, kata me reka. Yang tak mereka sebut, ”dulu” itu adalah ”dulu” dalam ingat an yang eksklusif. Ingatan pihak lain, misalnya ingatan ka-um perempuan, tak boleh ikut.

Dibandingkan dengan itu semua, kaum Kiri punya tradisi anti- kebakhilan. Tradisi itu bisa ditarik ke gagasan komunisme

KEBAKHILAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 154: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

129 Catatan Pinggir 10

awal. Dalam The Idea of Communism (editor: Slavoj Žižek dan Cos tas Douzinas), Jean-Luc Nancy menyebut ”the Diggers” di Ing gris abad ke-16, yang menganggap tanah sebagai ”common treasure” atau harta bersama. Dari sini pula kata ”commonwealth” lahir dan dibawa oleh Republik pertama.

Dalam semangat commonwealth, kekayaan bukanlah semata-ma ta milik eksklusif. Sosialisme menegaskan sah dan adilnya redis tribusi sumber-sumber material dan intelektual. Dan untuk beberapa dasawarsa, sosialisme didengar.

Tapi sejarah sosial dan ekonomi Eropa tak membiarkan itu berlanjut. Kini sosialisme yang ingin adil pada gilirannya ditu-duh tak berlaku adil. Agenda partai-partai sosialis adalah mem-bagikan dana yang ditakik, dalam bentuk pajak, dari hasil jerih payah orang. Hasil itu dibagikan kepada orang miskin, yang umum nya tak punya kerja dan sebab itu dianggap tak berjerih pa-yah. Para penerima subsidi—sebagian besar orang yang datang se bagai imigran—dengan mudah dianggap parasit. Para pemba-yar pajak marah. Mereka mulai menentang agenda sosialis. Tak mengherankan bila partai-partai Kanan merebut posisi. Keba-khil an bergema. Yang paling mencolok di Belgia. Partai Kepen-tingan Vlaams dan Partai Aliansi Vlaams Baru berteriak bukan saja untuk membatasi masuknya imigran dari Dunia Ketiga. Mereka juga berjuang agar orang berbahasa Vlaams, sebagai ”su-ku” tersendiri, memisahkan diri dari Kerajaan Belgia. Tapi bukan soal bahasa yang memicunya. Pada dasarnya yang diutarakan ada lah sikap menolak membiayai. Mereka tak mau membiarkan uang pajak mereka dipakai untuk subsidi bagi orang-orang yang ber bahasa Prancis di Belgia Selatan yang lebih miskin. Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi Belgia bukanlah taal, ”baha-sa”, melainkan betaal, ”bayar”.

Kebakhilan macam itu kini mudah mendapatkan legitimasi. Pa da mulanya adalah milik—yang jadi bagian kerja kelas borjuis

KEBAKHILAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 155: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

130 Catatan Pinggir 10

KEBAKHILAN

yang mengubah sejarah. Tak semua menyenangkan. ”Kaum bor-juis itu seperti babi,” kata sebaris lagu Jacques Brel, penyanyi Bel-gia termasyhur itu. Tak terlalu tepat: babi tak ditandai oleh sikap eksklusif. Dari babi tak akan muncul kebakhilan yang agresif—kebakhilan kaum Kanan baru.

Tempo, 7 Agustus 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 156: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

131 Catatan Pinggir 10

ISAK

SERING tak terduga: kemurnian menghendaki kekerasan. Bahkan kematian. Meskipun pada awalnya ini bukan te-ma kisah Isak, orang dalam cerita ini, yang berjalan naik

ke hutan:

”Lelaki itu datang, berjalan ke utara. Seorang yang wungkul dan kuat, dengan jenggot kemerahan yang kaku, dan bekas luka di tangan dan wa-jah nya... sosok laki-laki dalam kesendirian yang ga gah....”

Isak, itulah tokoh novel Markens Grøde Knut Hamsun (terbit

1917, diterjemahkan W.W. Worster menjadi Growth of the Soil). Isak menjauh dari ”peradaban”—karena ”adab” telah ditentukan oleh abad ke-20. Dengan kata lain, inilah peradaban dengan eko-nomi kapitalis yang dilecut loba dan laba, gemuruh mesin yang menggusur apa yang alami, keberisikan suara sumbang karena bunyi-bunyi dari luar yang tak cocok.

Isak masuk hutan: daerah Almenning yang belum dipecah jadi milik yang bisa diperjualbelikan. Ia sampai ke kaki sebuah bukit, tempat kali kecil mengalir dan kelinci meloncat-loncat di antara pa kis dan kembang bintang berpucuk tujuh.

Di situ lelaki itu berhenti. Di situ ia menginap. Ia mulai menyi-ap kan tempat, termasuk membawa tiga ekor kambing. Suatu ke-tika seorang Lapp pengembara lewat dan melihatnya. ”Akan ting gal di sini selamanya?” tanyanya. ”Ya,” jawab Isak.

Dari orang-orang Lapp yang lewat itu juga Isak mendapatkan se orang pembantu perempuan yang dibutuhkannya. Namanya Inger. Perempuan ini bersedia hidup dengan lelaki wungkul itu ka rena ia tak punya banyak pilihan di desanya. Bibirnya men-cong, cacat.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 157: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

132 Catatan Pinggir 10

Tapi pelan-pelan, Isak mencintainya, meskipun hubungan me reka tak lepas dari kepentingan praktis. Suatu hari Inger da-tang membawakannya seekor sapi. Merasa berutang, Isak mem-bawakan seekor kuda.

Mereka akhirnya beranak, meskipun dengan tragedi. Inger se lalu takut anaknya akan mewarisi cacat tubuhnya, dan ketika itu benar terjadi pada anak ketiga, bayi itu dibunuhnya.

Kemudian perempuan ini beroleh kemahiran menjahit. Ia mu lai hidup lepas dan riang. Akhirnya Inger, yang memperbaiki ben tuk mulutnya dengan operasi, pada usia sekitar 30 meninggal-kan Isak. Bisiknya kepada diri sendiri tentang lelaki gunung itu: ”Uh, kamu, tetap saja macam dulu....”

Sebenarnya Isak juga berubah. Ia tak bisa lepas dari abad ke-20 dan ”kemajuan”. Bersama Geissler, temannya yang terdidik, ma-hir berbisnis, dan seperti tak terikat pada lokalitas mana pun, Isak mengubah hubungannya dengan tanah: ia memiliki dan mengu-a sainya. Ia jadi tuan tanah Sellanraa, lengkap dengan sistem iri-gasi. Ia bahkan jadi kaya setelah tanahnya, yang mengandung tem baga, ia jual ke pengusaha Swedia.

Tapi kemudian hartanya habis dan ia kembali mengolah ta-nah. Isak menyesali anaknya, Eleseus, yang jadi pedagang, hidup da ri komoditas, benda yang cuma dihargai dengan nilai tukar. Isak lebih akrab ke bumi, sesuatu yang tak bergantung pada harga tapi punya makna. ”Bumi yang tumbuh...,” kata Isak, ”adalah sa-tu-satunya sumber, asal dari semuanya.”

Asli, murni. Pada dasarnya ia tokoh ideal Knut Hamsun. Yang asli dan yang murni memang bisa mempesona sebagai

se suatu yang tanpa najis—walau keaslian dan kemurnian sebe-nar nya tak pernah mungkin. Tapi Hamsun percaya itu seba gai-ma na ia percaya ke masa sebelum ”peradaban”, dan sebab itu ia me nentang kapitalisme yang membawa mesin dan ketamakan. Menjelang akhir novelnya, ia gambarkan Isak sebagai hero:

ISAK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 158: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

133 Catatan Pinggir 10

”Seorang penggarap ladang, jasad dan jiwa; seorang pekerja di ta nah yang tanpa jeda. Sesosok hantu yang bangkit dari masa lalu yang menuju ke masa depan... tapi, dengan semua itu, seorang ma-nusia hari ini.”

Hamsun tak menyebut, ”hantu” itu tak punya masa lalu yang mur ni, juga bukan makhluk yang tak tersentuh. Sejarah Isak di bangun dari pertemuan dengan orang Lapp, Inger, Geissler, orang Swedia, dan entah apa lagi. Dan sebenarnya tak jelas benar-kah Isak di akhir novel itu masih asli seperti bumi.

Tapi Hamsun memegang mithos tentang ”asli” dan ”murni” da lam hidupnya. Pada 1882 ia berkelana di Amerika Serikat dan me lihat orang-orang ”Indian”. Ia makin yakin, perbedaan ras itu so al yang hakiki. Bukunya tentang ”kehidupan budaya Amerika mo dern” yang terbit pada 1889 menganjurkan agar orang Hitam, makhluk ”setengah-monyet” itu, dikembalikan ke Afrika. Tak ha nya itu. Dalam majalah Nationalt Tidsskrift 1925 Hamsun me-nyatakan pentingnya orang Yahudi dipindahkan dari Eropa, agar ”ras Putih dapat menghindarkan percampuran darah lebih jauh”.

Ia, tentu saja, mengagumi Naziisme. Juga sebaliknya. ”Pemikir” Nazi terkemuka, Alfred Rosen-

berg, menganggap Markens Grøde sebagai ”epos besar masa kini ten tang kemauan bangsa Nordik dalam bentuknya yang primor-dial dan kekal”. Bahkan Hitler mengirimkan ucapan selamat ke-tika Hamsun mencapai usia 80.

Pada 1921 Hamsun menerima Hadiah Nobel Kesusastraan, ter utama karena novel yang kita bicarakan di sini. Medalinya ia ki rimkan ke Goebbels, tangan kanan Hitler. Ia bertemu dengan Hitler sendiri tiga tahun sebelum pemimpin besar Nazi itu bunuh diri. Setelah kematian itu, Hamsun masih menulis memuja pah-la wannya. Hitler, katanya, ”seorang pendekar perang untuk umat ma nusia, seorang nabi dengan syi’ar baik bagi semua bangsa.”

Hamsun tak peduli bahwa syi’ar tentang kemurnian, keasli an,

ISAK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 159: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

134 Catatan Pinggir 10

ISAK

dan primordialisme dari iman Naziisme akhirnya membinasa-kan: yang tak murni dan tak asli harus dihabisi.

2011: kita ketemu Anders Behring Breivik, sang pembunuh 77 pemuda. Tak mustahil Hamsun hidup lagi di hatinya. Hanya ki ni yang harus disingkirkan bukanlah Yahudi, melainkan mus-lim—sebagai ”najis” Eropa.

Kemurnian: alasan yang tua untuk pembunuhan baru.

Tempo, 14 Agustus 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 160: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

135 Catatan Pinggir 10

BAIK

TIGA dewa yang lelah bertemu dengan Wong, penjual air, di tepi kota. Mereka sudah beberapa lama berada di bu mi untuk menemukan seorang yang baik hati tapi tak kun-

jung dapat. Mereka sudah menurunkan firman kebaikan, namun yang mereka temui selama ini hanyalah kekejian, sifat tamak, cu-las, dan mementingkan-diri.

Lakon Bertolt Brecht, Der gute Mensch von Sezuan, yang ditu-lis di masa buruk, 1938-1943, dimulai dengan pembuka yang mi rip dongeng itu; dunia begitu gelap dan keras hingga realisme mem butuhkan parabel. Tak berarti Brecht—waktu itu mening-galkan tanah airnya, Jerman, dan hidup di pengasingan meng-hindari kaum Nazi—hendak menyingkirkan kita dari hidup dan pel bagai tanda tanyanya. ”Orang Baik dari Sezuan” memasukkan ki ta ke dalam pertanyaan yang bahkan bergema di Indonesia ki-ni: masih adakah orang baik? Bagaimana ia bisa bertahan?

Syahdan, Wong mengantar para dewa itu mencari tempat meng inap, tapi tak ada penduduk yang mau menerima. Kecuali Shen Te, seorang pelacur. Ia membatalkan niatnya menemui lang ganan. Ia lebih baik menolong ketiga tamu asing itu.

Dewa-dewa itu merasa mereka telah menemukan yang mere-ka cari. Mereka nyatakan Shen Te sebagai orang baik. Tak cuma itu: mereka juga memberinya uang agar bisa membeli satu kedai tembakau. Dengan itu juga mereka ingin melihat, sejauh mana Shen Te bisa merawat kebaikan hatinya dalam keadaan tak lagi mis kin.

Shen Te memang baik hati—meskipun orang akan melihatnya sebagai perempuan yang naïf. Ia mengalah terus-menerus kepada keserakahan, kedengkian, kecemburuan, dan kelicikan orang. Kedai tembakaunya dengan segera jadi sasaran permintaan, tun-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 161: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

136 Catatan Pinggir 10

BAIK

tutan, rongrongan. Ia sendiri diporot orang yang disangkanya te-lah jadi kekasihnya: Yang Sun, pilot pesawat pos yang meng ang-gur. Di sebuah taman ia ketemu lelaki itu yang mencoba bu nuh diri karena putus asa. Ia menolongnya. Shen Te jatuh cinta. Ia ber sedia memberikan 500 dolar perak ketika Yang Sun memerlu-kannya agar mendapat pekerjaan lagi.

Makin lama, perempuan itu makin terpojok. Pada titik pun-caknya, ke kedai tembakau yang hampir bangkrut itu muncul Shui Ta. Laki-laki ini mengaku sepupu Shen Te. Ia datang meng-gantikannya—Shen Te sedang ke luar kota, katanya. Ia pun meng urus kedai. Shui Ta berhasil. Diusirnya semua orang yang me numpang di sana. Kedai tembakau itu jadi tertib.

Pada akhirnya Shui Ta lebih lama tinggal, dan lebih lama pula ber peran. Selama itu Shen Te tak juga tampak.

Watak lelaki itu berlawanan dengan sifat sepupunya. Shui Ta keras, tega hati, dan bisa bengis kepada orang lain, juga yang se-dang dalam kesulitan. Orang membencinya. Tapi di bawah ma-najemennya, kedai tembakau itu berkembang. Dari sana lahir se-buah pabrik.

Yang menarik dari lakon Brecht ini ialah bahwa ternyata Shui Ta adalah Shen Te sendiri, yang menyamar sebagai lelaki. Ini di ke tahui ketika ia didakwa telah membunuh sepupunya dan meng ambil alih miliknya. Di depan hakim, yang terdiri atas para de wa yang dulu menemuinya, Shen Te tampil sebagai sebuah per-tanyaan: bisakah orang baik tak hancur lebur di tengah masyara-kat yang telah jadi getir dan busuk?

”Bagaimana bisa baik jika semua begitu mahal?” tanya Shen Te. ”Perbuatan baik, itu berarti hancur jadi puing!” ujar Shui Ta.

Dewa-dewa mengajarkan apa yang baik, tapi tak hendak me-lindungi orang yang menjalankan ajaran itu.

Malah kebaikan, dalam pengalaman Shen Te, mirip sebuah hu kuman. Orang yang keji justru bebas dari hukuman macam

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 162: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

137 Catatan Pinggir 10

itu. Mengapa demikian para dewa tak menjawab—juga Brecht. Dengan ”teater epik”-nya, ia letakkan kewajiban menjawab per-tanyaan itu kepada para penonton.

Sekilas Der gute Mensch von Sezuan terasa ditulis untuk me-nampar muka orang yang lembut hati—yang berarti juga lemah hati. Saya ragu bila lakon ini membenarkan kebakhilan seorang ka pitalis seperti Shui Ta. Brecht seorang Marxis yang yakin. Mung kin ia lebih menggugat para dewa yang gagal. Ketika kita me nilai manusia demikian keji, kita secara tersirat menuduh para dewa sia-sia.

Atau kita jadi seorang tokoh lakon lain: Alceste, dalam karya Moliere, Le Misanthrope. Orang ini merasa diri paling jujur dan me nuntut orang harus jujur. ”Di mana-mana yang kutemukan hanya mulut manis yang palu, ketidakadilan, kepentingan-diri, sikap culas, dan penipuan.”

Alceste berniat tak punya hubungan lagi dengan manusia. Se-perti Sodom dan Gomorrah, seperti kota tempat Shen Te tinggal, masyarakatnya bagi Alceste tak cukup punya orang baik buat memulihkan harapannya kepada manusia. Maka tempat itu, ling kungan itu, harus ditinggalkan.

Tapi Le Misanthrope yang dipentaskan pertama kali pada 1666 di sebuah teater yang terhormat di Paris tak punya akhir yang tak enak. Setidaknya Alceste tak bunuh diri dan tak menggugat Tu-han. Moliere tak berbicara bahwa masyarakat yang dibenci Al-ceste harus diubah.

Orang seperti Alceste memang tak hendak mengubah apa pun: manusia tak dilihat sebagai sejarah; manusia akan tetap, se-su ai dengan esensinya: busuk.

Dalam hal itu, ia mirip Shen Te + Shui Ta. Tokoh ini bersikap hanya dalam hubungannya dengan dunia yang tak lebih lebar da-ri kedai tembakau. Shen Te bukan saja terlampau lemah. Kebaik-annya hanyalah laku yang secara otomatis lahir—bukan sebagai

BAIK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 163: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

138 Catatan Pinggir 10

BAIK

per lawanan terhadap sinisme. Shui Ta sepenuhnya suara sinisme: ia hanya melihat kekejian sebagai norma di masyarakatnya.

Seperti Brecht, saya tak akan menawarkan jawab yang bisa ja-di formula bagi siapa saja. Tapi saya percaya, berhasil atau tidak, per lawanan terhadap sinisme menegaskan bahwa ada yang berni-lai dalam hidup, khususnya hidup bersama yang lain. Kita belum pantas membantai atau bunuh diri.

Tempo, 21 Agustus 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 164: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

139 Catatan Pinggir 10

TEH

MUNGKIN inilah zaman, abad ke-21, ketika kebakhil-an menghalalkan dirinya dengan keadilan. Dimulai dengan teh, sekitar 400 tahun yang lalu—ke-

tika orang belum belajar dari kesalahan kolonialisme. Pada 1773, pemerintah konservatif Inggris memberi hak monopoli perda-gangan teh kepada perusahaan swasta East India Company. Se-perti VOC Belanda di Indonesia, East India Company mendapat kekuasaan yang untuk zaman ini tak masuk akal: ia boleh me-nak lukkan, memerintah, dan mereguk keuntungan tanah asing. Dalam hal ini: India.

Demikian berkuasanya perusahaan swasta itu di negeri jajah-an, hingga kekayaan pun lekas terhimpun. Tapi, seperti umum-nya pada harta yang terlalu cepat di tangan kekuasaan yang ter-amat besar, penyelewengan pun berjangkit. Pejabat East India Com pany ramai-ramai korup, sementara perusahaan mereka sen diri pelan-pelan terancam bangkrut (sebagaimana VOC juga bang krut).

Tahun 1773 adalah tahun ketika kejatuhannya sangat dekat, dan pemerintah Inggris datang menolong. Diputuskan untuk mem bantu Kumpeni dengan cara menjualkan tehnya—komodi-tas yang nyaris tak ada pembelinya karena mahal. Harganya na-ik karena pajak yang dipungut atas perdagangan teh; akibatnya di pelbagai koloni, ke mana barang itu dijual, muncul boikot. Orang Amerika, misalnya, lebih baik menyelundupkan teh dari Be landa.

Pemerintah Inggris mencoba memperbaiki keadaan. Diputus-kan, tak ada pajak yang ditarik pada teh sebelum komoditas ini di kirim ke koloni Inggris. Teh bisa diimpor koloni itu tanpa bea ma suk, hanya dengan pajak ringan. Dengan demikian orang di

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 165: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

140 Catatan Pinggir 10

TEH

Ame rika, terutama, dapat memperoleh teh murah. Tapi, sebagaimana dituturkan sejarawan Page Smith dalam A

New Age Now Begins, sebuah catatan sejarah Amerika, pemerin-tah Inggris tetap melakukan satu kesalahan serius: pemberian mo nopoli kepada East India Company dalam perdagangan ini. Se bab, di ujungnya, monopoli juga berlaku di Amerika: hanya pe-dagang yang dekat dengan Gubernur Hutchinson, wakil Keraja-an Inggris, yang bisa ikut. Teman, keluarga, anak.

Orang-orang Amerika melihat itu dengan cemas, takut bila ko moditas lain juga akan diatur demikian. Tak dapat diabaikan ten tu rasa marah, terutama di kalangan pedagang, karena mereka tak diperbolehkan bersaing. Monopoli menampakkan ketakadil-annya: di New York seseorang menulis di koran setempat tentang ”kebiadaban”, barbarity, yang dilakukan East India Company ter hadap ”orang Asia”. Bersama itu, orang Amerika menganggap kemerdekaan mereka diabaikan. Bagi mereka, pajak atas teh, be-tapapun ringannya, diberlakukan tanpa persetujuan mereka—se bagaimana halnya pemberian monopoli. Pada dasarnya, mere-ka menuntut bangunan kekuasaan yang bisa berbagi.

Kasus teh tak terpisah dari proses ketakpuasan orang Amerika terhadap kolonisasi yang berlaku atas diri dan wilayah mereka—sebuah ketakpuasan yang sudah lama menyebar. Para ”patriot” tak hanya muncul di sekitar perdagangan teh, dan tak cuma di sa tu daerah.

Tapi di Boston-lah sejarah dibuat. Ketika di akhir 1773 kapal Dartmouth datang membawa teh dari Inggris, perlawanan sudah berkecamuk sebenarnya. Orang-orang Boston sudah menggere-bek para pedagang teh hingga ada yang melarikan diri. Kampa-nye anti-teh (”minuman ini akan membuat kelaki-lakian orang Amerika melemah”, kata para dokter yang patriotik) sudah dilan-carkan. Tapi Gubernur Hutchinson berkeras. Sementara di New York kapal pembawa teh mendapat ancaman rakyat hingga me-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 166: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

141 Catatan Pinggir 10

mutuskan kembali ke London, di Boston sang Gubernur tak mem biarkan itu. Jalan keluar dari pelabuhan ditutup.

Pada 17 Desember, para patriot bertindak. Dengan menyamar se bagai orang Mohawk—mungkin karena orang Indian berada di luar hukum—mereka naik ke kapal dan membuang kotak-ko-tak teh yang ada di sana ke laut. Mereka dengan jelas menantang pe merintah Inggris. Sebuah peristiwa bersejarah, ”The Boston Tea Party”, menandai awal Revolusi Amerika.

Empat ratus tahun kemudian, aksi itu jadi kiasan yang berbe-da.

Hari-hari ini, di Amerika Serikat ada orang-orang yang mera-sa tergusur. Mereka kelas menengah yang merasa terancam pu-nah oleh ongkos hidup yang naik—dan marah karena dengan uang pajak mereka Negara memberi subsidi kepada orang-orang yang ”sudah selayaknya melarat”, the losers. Mereka tak ingin membayar pajak. Mereka bergabung dalam gerakan ”Tea Party”. Mereka mengacu ke Boston 1773.

Tapi ini zaman lain. Dengan segera, gerakan ”Tea Party’” ber-taut dengan orang-orang yang tak ingin berbagi. Mereka anggap Negara tak boleh punya peran. Negara harus minimal saja hadir, dan tak perlu membuang-buang uang untuk membantu orang mis kin. Bagi mereka, tiap orang harus berusaha sendiri untuk bang kit. Seperti orang-orang Boston yang memboikot perda-gang an teh atas nama keadilan, mereka mencoba memakai alasan yang sejajar.

Tapi ada yang palsu di baliknya. Terutama karena, seperti ditulis dalam koran Inggris The

Guardian, ”Tea Party” tak dimulai oleh orang yang kepepet. Se buah organisasi yang didanai miliarwan Charles dan David Koch, American for Prosperity, membangkitkannya. Selama 15 tahun, tulis The Guardian, Koch bersaudara—yang memiliki pelbagai perusahaan tambang dan pengolahan kayu—mengha-

TEH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 167: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

142 Catatan Pinggir 10

TEH

bis kan US$ 85 juta untuk melobi keputusan yang mengurangi pa jak orang kaya....

Tampak, kebakhilan mencoba memakai kiasan yang meng-ingatkan orang pada amarah orang-orang yang tak punya kekua-saan dan ingin berbagi. ”Tea Party” 2011 mungkin sebuah paro-di—tapi yang mirip tipu daya. Bagi mereka ”pesta minum teh” se buah upacara kapitalisme yang telah berjasa menyebarkan ba-rang paling jauh itu ke pasar yang luas—dengan sejarah kerakus-an yang mereka anggap sah.

Tempo, 28 Agustus 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 168: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

143 Catatan Pinggir 10

MULTITUDE

SIAPA yang memimpin para pemberontak yang mengge-dor Tripoli? Siapa yang mengomando ribuan orang yang men jatuhkan Mubarak dari Lapangan Tahrir di Mesir,

me ngerahkan ribuan orang yang memprotes di Puerta del Sol di Spa nyol, dan mengarahkan demonstran yang menuntut demo-kra si di jalanan kota Hamas di Suriah?

Tidak ada. Belum ada. Entah.Mereka ibarat ”orkes... tanpa dirigen, yang akan terdiam bila

ada yang naik ke podium”.Dengan perumpamaan itu mungkin kita bisa lebih mengerti

apa yang terjadi: Michael Hardt dan Antonio Negri dalam Com-monwealth, buku terakhir dalam trilogi mereka, menggunakan-nya—sebuah perumpamaan yang bisa menggambarkan apa yang mereka maksud dengan multitude. Istilah ini belum bisa saya ter-jemahkan; ia identitas yang dimaksudkan untuk menggantikan pe ngertian Marx tentang proletariat.

Bagi Hardt dan Negri, Marx tak bisa lagi menjelaskan apa yang terjadi di dunia sekarang. Hidup tiga abad yang lalu, Marx me nemukan lapisan manusia yang paling menderita (dan sebab itu juga pa ling berpotensi untuk menjadi pembebas) di kalangan bu ruh yang diisap tenaganya di pabrik-pabrik.

Namun sejak awal abad ke-20 Marxisme sebenarnya telah ma-suk ke dalam satu pengalaman yang ganjil: para penganut nya ter nyata berhasil membuat sejarah justru di negeri di mana tak banyak buruh di pabrik—di Rusia, Cina, Korea, Kuba....

Belum bisa dikatakan bahwa analisis Marx keliru; tapi me-mang datang pengalaman lain: kapitalisme tak juga runtuh, bak

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 169: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

144 Catatan Pinggir 10

MULTITUDE

Dra kula (saya suka kiasan Žižek ini), si pengisap darah yang tiap di coba dibunuh tetap saja tak mati. Akhirnya Marxisme juga me-nyaksikan bahwa pembebasan berlangsung bukan cuma oleh pro letariat, yang dianggap wakil tunggal penderitaan manusia.

Seorang pemikir ”post-Marxis’ menunjukkan bahwa tak ha nya ada satu pembebasan. Emancipations, tulis Laclau, dengan s. Kaum Hitam di Amerika Serikat memerdekakan diri pada tahun 1960-an, kemudian kaum perempuan pada tahun 1970-an. Kemudian orang-orang kulit berwarna di Afrika Selatan. Sementara orang Palestina terus menerjang penjajahan Israel, di Iran terja di pembe-basan yang menemukan lambangnya pada Ayatul lah Kho meini. Dan perlawanan buruh di Polandia terhadap Partai Ko munis.

Gerakan emansipasi yang bermacam-macam itu menyebab-kan kita sulit meletakkan proletariat sebagai kelas yang memim-pin. Tapi tak berarti yang ”bermacam-macam” itu tak berkaitan sama sekali. Perempuan, Hitam, Palestina, Iran, Islamis, orang Ka tolik dan Protestan di Irlandia, penganut Ahmadiyah di Pakis-tan dan Indone sia—mereka menanggungkan penindasan yang berbeda-beda, tapi semuanya tak bisa mengelak dari dampak mo-dal. Mereka harus hidup dengan komoditas, benda-benda yang akhirnya dibentuk oleh nilai tukar, dan nilai tukar yang diaktua-lisasikan dalam uang.

Dengan kata lain, meskipun proletariat bukan pelaku sejarah yang istimewa, resistansi terhadap kekuasaan kapital dan negara yang mendukungnya bukan sebuah perjuangan yang kedaluwar-sa. Hanya, kita kini hidup dengan ”kerja imaterial” yang prak-tis menguasai semua: informasi, komunikasi, pengetahuan, jasa. Kerja tak lagi bisa diukur dengan waktu yang tetap, dan masa senggang dan masa kerja jadi kabur. Kerja merasuki semua sudut kehidupan sosial. Produksi kini jadi ”biopolitikal”. Mana yang le-bih ”menderita” atau ”enak” tak bisa ditentukan dengan mudah, dan jaringan pun terjalin di antara mereka yang terlibat dalam

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 170: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

145 Catatan Pinggir 10

pro duksi biopolitikal itu.Maka tak ada proletariat yang tersendiri. Yang ada multitude.

Di dalamnya kita temukan kesetaraan, orang-orang yang me-ngembangkan diri sebagai pelaku, sebagai subyek, tapi bekerja sa ma dalam jaringan yang berlangsung dengan adil dan bebas. Tak ada dirigen, tak ada komandan, tak ada penyambung lidah.

Mungkinkah multitude itu yang tampak di Libya, Mesir, Suri-ah, Spanyol belakangan ini? Tapi seberapa lama bertahan orkes tanpa dirigen itu? Akankah mereka membisu jika kemudian ses-eorang muncul dengan tongkat mengarahkan? Tidakkah ia sebe-narnya sebuah himpunan yang retak-retak, dan mengandung an-tagonisme? Mungkinkah sebuah revolusi hanya lahir dari gerak yang spontan, tanpa organisasi yang matang? Apa jadinya Revo-lusi Oktober 1917, andai tak ada partai pelopor, andai Lenin tak mem bentuk kelompok revolusioner yang bergerak dengan teori: kaum Bolsyewik?

Tiap kali sebuah gerakan pembebasan menghadapi musuh, tiap kali biopower yang berkuasa menindas, kaum revolusioner membentuk identifikasi ”kita” dan ”mereka”. Pada saat itu waca-na pun disusun. Pada saat itu ada satu segmen dalam gerakan itu yang punya wibawa atau kekuasaan untuk menentukan apa itu ”ki ta”. Belum lagi ketika organisasi diperlukan, baik untuk meng-atur perang maupun untuk bernegosiasi.

Perlawanan multitude, jaring-jaring yang batasnya tak kedap, memang bisa mengesankan. Tapi dalam tiap gerak politik eman-sipasi terkandung titik yang tragis: kebersamaan yang sama-rata-sama-rasa itu akan berlalu. Untung, ada yang menghibur dalam sejarah manusia: kemungkinan adalah kemungkinan, bukan tak dir. Manusia bisa secara kreatif memanfaatkannya.

Itu sebabnya di Libya, Mesir, Suriah, Palestina, dan lain-lain orang tampak sedang membuka jalan—bernama harapan.

Tempo, 4 September 2011

MULTITUDE

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 171: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

146 Catatan Pinggir 10

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 172: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

147 Catatan Pinggir 10

LIBYA

LIBYA, akhir Agustus 2011. Di wilayah Suq al-Juma, bagi-an tepi timur Tripoli, perang praktis selesai. Lebaran di-rayakan dengan takbir di masjid-masjid dan anak-anak

te rus bermain sampai lewat tengah malam. Tiga hari yang lalu pasukan pemberontak menduduki wilayah ini, dan keadaan rela-tif rapi. Laporan Nicolas Pelham di The New York Review of Books pe kan ini menyebut para sukarelawan yang siap memanen kor ma dan tomat, menggantikan buruh Mesir yang sudah menyingkir. Seorang pekerja perminyakan yang jadi penjaga toko pangan yang dibuka terus selama pertempuran agar penduduk tetap bisa ma kan. Orang yang menggali sumur untuk menjaga suplai air, ben sin yang didapatkan dan dibagikan gratis, sebuah masjid yang me nampung bekas tahanan politik yang masih tampak pucat.

Akan demikian seterusnyakah Libya, setelah ribuan orang mem bebaskan diri dari otokrasi yang berkuasa bertahun-tahun? Selalu ada saat yang indah dalam tiap revolusi kemerdekaan: keti-ka banyak orang merasakan pertalian dengan para teman seper-juangan dan sepengharapan; ketika masa depan yang sedang di-te gakkan adalah masa untuk berbagi; ketika liyan dan sesama ber-temu kembali—dan orang merasakan sesuatu yang universal pa-da manusia, meskipun yang universal itu tak dapat dirumuskan, meskipun mungkin sebenarnya mustahil, tapi, di saat seperti itu, memberi arti bagi sebuah perlawanan untuk kemerdekaan. Biar-pun tak untuk selama-lamanya.

Tak untuk selama-lamanya; sampai kapan? Perlawanan di Libya, seperti halnya di Tunisia, Mesir, Suriah,

di sebut ”Musim Semi Arab”. Kiasan ini di satu pihak mengan-dung citra kesegaran kembang yang muncul setelah tertimbun mu sim dingin. Di lain pihak, mengandung kesan umur pendek,

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 173: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

148 Catatan Pinggir 10

ti ga bulan. Setelah itu: musim panas. Di Timur Tengah, itu bisa ber arti udara gerah dan terik yang memungkinkan api membasmi cepat dan luas. Kemudian musim gugur, the Fall....

Tak berarti keadaan ditakdirkan jadi buruk. Siklus musim bisa mengandung optimisme. Bahkan musim dingin yang lazim mu ram bisa juga mengandung janji. Tentu saja itu tergantung di po sisi mana orang memandangnya. Dalam lakon Shakespeare Richard III musim dingin adalah harapan bagi Gloster yang ber-ada dekat takhta. Ia adik Raja Edward IV yang berhasil melintasi perang dan menang. Ia di pihak yang memutuskan masa de-pan. ”This is the winter of our discontent...,” katanya di awal lakon. Musim panas akan dibuat gemilang. Tanda kemenangan akan teruntai di alis. Lengan yang luka akan terjuntai ke monumen. Suara tegas tanda bahaya akan berubah jadi suara riang perjum-pa an, dan langkah barisan yang gemuruh beringas akan jadi langkah gembira.

Now are our brows bound with victorious wreaths; Our bruised arms hung up for monuments; Our stern alarums chang’d to merry meetings, Our dreadful marches to delightful measures.

Tapi kita belum tahu adakah ”musim semi Arab” akhir da ri sebuah masa yang suram. Kita belum tahu adakah barisan yang beringas itu akan berubah jadi gembira. Dan kita tak tahu akan-kah dari gegap-gempita optimisme muncul seorang Gloster yang ja di Richard III: bengis, culas, untuk berkuasa.

Yang kita tahu, pesimisme sudah terdengar. ”Sungguh ma-lang, musim panas Mesir 2011 akan diingat sebagai tanda akhir re volusi... ketika potensi pembebasan dicekik.”

Itu kesimpulan Slavoj Žižek di sebuah artikel di The London Re view of Books. Adapun para pencekik, para penggali kubur, me-

LIBYA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 174: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

149 Catatan Pinggir 10

nu rut pemikir Slovenia ini, adalah tentara dan kaum Islamis. Ka-langan ”liberal pro-Barat” Mesir lemah, dan bagi Žižek bukan di si tu berhimpun ”potensi pembebasan”. Pelaku sejati revolusi Me-sir adalah ”kaum kiri sekuler yang baru muncul, yang telah men-coba membangun satu jaringan masyarakat madani dari serikat bu ruh sampai gerakan feminis”.

Žižek tampaknya ingin mengatakan ”kaum kiri sekuler” begi-tu mudah dicekik karena mereka tak membangun kekuatan poli-tik yang terorganisasi. Mereka belum menjawab, tatanan baru apa yang seharusnya menggantikan tatanan lama setelah pemberon-tak an usai, ketika ”gairah yang sublim dari saat pertama” sudah le wat.

Žižek menengok ke para demonstran di Madrid, kaum indig-nados, yang dari bermacam aliran memprotes keadaan ekonomi Spanyol. Mereka menolak kekuatan politik mana pun, kiri atau ka nan. Tapi tak jelas kepada siapa mereka mempertaruhkan ha-rap an perubahan.

Kelemahan fatal gerakan protes seperti ini, kata Žižek, adalah ”menyatakan amarah yang sungguh-sungguh tanpa bisa meng-ubahnya jadi program yang tegas untuk perubahan sosial-poli-tik”. Mereka hanya ”mengekspresikan semangat pemberontakan tanpa revolusi”.

Agaknya Žižek hendak menganjurkan sesuatu yang mirip partai Leninis: ”Diperlukan satu badan yang kuat yang mampu mencapai keputusan cepat dan menerapkannya dengan keke ras-an yang perlu,” tulis Žižek di akhir esainya.

Sebuah anjuran yang masuk akal. Tapi ada catatan. Kini, seperti dulu, kekuatan yang dihadapi kaum ”kiri seku-

ler” adalah kapitalisme. Tapi kapitalisme kini, kata Žižek, lebih ber bahaya: ”Dimensi global kapitalisme mewakili kebenaran tanpa makna.” Kapitalisme tak perlu makna hidup, asal dan arah-nya, tak peduli sangkan paraning dumadi dan apa konsekuensi nya

LIBYA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 175: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

150 Catatan Pinggir 10

LIBYA

bagi sikap dan perbuatan. Melawan keadaan itu berarti melawan ketiadaan makna. Per-

tanyaan besar yang harus dijawab gerakan ”kiri sekuler” ialah ba-gai mana di abad ini ia menawarkan makna—bukan teori revolu-si semata, tapi makna yang tumbuh dari laku dan perjuangan se-hari-hari. Mungkin seperti laku orang Suq al-Juma: dengan ber-sahaja mereka tumbuhkan kesetaraan dan kebebasan, antara se-sa ma dan liyan.

Tempo, 11 September 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 176: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

151 Catatan Pinggir 10

11/9

SUDAH sepuluh tahun lewat. 11 September 2001. Tapi sa-ya ingat: malam itu, sembilan jam setelah dua pesawat itu di tabrakkan ke Menara Kembar di New York dan seluruh

du nia terguncang, saya berdiri di tepi Bleecker Street, Greenwich Village.

Saya bersama komponis Tony Prabowo. Kami terdampar di New York. Berdua dalam perjalanan ke sebuah kota kecil di Cali-fornia untuk menyiapkan revisi opera kami Kali, kami tak bisa ber gerak oleh kejadian 11 September itu: tak ada pesawat boleh ter bang dari kota ini, masuk ke kota ini.

New York jadi aneh. Malam itu, tak tahu apa yang harus dila-ku kan, kami berjalan ke arah selatan. Tak ada kereta subway. Tak ada taksi. Hari tambah gelap, ketika, didorong oleh separuh iseng dan separuh ingin tahu, kami menyusuri Mercer Street, ke Wall Street, di mana Menara Kembar masih dalam api dan asap yang meng gagahinya.

Cahaya listrik hilang di wilayah itu. Beberapa belas meter dari Duane Street kami lihat lampu-lampu sorot besar di antara ba-yang an hitam gedung-gedung. Sejumlah prajurit bersenjata ber-siaga, di antara asap dan abu yang membuat kabut. Bagian kota ini seperti dalam keadaan perang.

Di dekat stasiun metro Chambers Street yang ditutup, seorang tentara menghentikan kami. ”Anda tak bisa terus. Dilarang ma-suk ke wilayah ini.”

Dengan setengah kecewa kami kembali, berjalan dalam se-nyap yang hampir mutlak. Hanya ada satu bar kecil di pojok Worth Street yang buka. Kami masuk. Ada empat orang lelaki di sa na. Berbisik-bisik. Kami minum. Praktis terdiam.

Berubahkah New York? Dua malam berikutnya, kami menyu-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 177: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

152 Catatan Pinggir 10

suri jalan-jalan Manhattan. Di beberapa pojok tampak deretan li lin dipasang. Ada potret-potret dilekatkan dan sederet ucapan yang dituliskan seperti doa—untuk mereka yang tak kembali da-ri Menara Kembar, yang hilang, mungkin hangus atau hancur.

Beberapa belas jam setelah 11/9, New York tampak jadi mez-bah. Di altar itu orang mempersembahkan segalanya untuk ha-rap an dalam kecemasan. Ada sesuatu yang tak terduga dan tak bi sa dipahami yang menghantam kota perkasa ini. Hidup sehari-ha ri yang kemarin banal tiba-tiba direngkuh oleh yang sublim—yang tak terperikan, yang ngeri, yang nyeri.

Dari suasana itu Tony Prabowo membuat sebuah komposisi yang ia sebut ”Psalms”, untuk piano dan orkes kamar.

Tapi musik yang menangkap suasana itu bukanlah tandingan retorika yang menerjemahkan 11 September 2001. Dengan se ge-ra New York diubah dari mezbah jadi podium, dari mana kata-ka ta memberi nama dan dalih. Juga dusta.

Nama itu: ”11/9”. Derrida memakai kata fait date untuk pe-na maan itu: orang menyebut sebuah tanggal dalam sejarah yang me nandai sebuah kejadian yang rasanya tak terbandingkan. Ta-pi, seperti diingatkan Derrida, kata ”rasanya” itu sebenarnya tak se penuhnya spontan: perasaan tentang tanggal itu, tentang nama itu, juga dibentuk dan diedarkan melalui media, melalui seper-angkat ”mesin tekno-sosio-politis”. Dengan nama itu pelbagai pe ristiwa, pelbagai sebab-musabab, dan pelbagai sikap diringkus jadi satu—dan jadilah ia sebuah penanda yang maknanya diten-tukan oleh suara yang paling keras dan, di hari-hari itu, paling sempit.

Dengan nama itu pula, dari Gedung Putih, sejumlah stasiun televisi dan kantor media merumuskan sebuah citra yang hendak membuat kejadian yang tak terperi itu jadi sesuatu yang bisa di-pa hami. ”Amerika sedang diserang!” begitulah yang terdengar ber kali-kali—dengan keterangan bahwa ini serangan kedua ke

11/9

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 178: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

153 Catatan Pinggir 10

wi layah Amerika setelah bom-bom Jepang menghantam Pearl Harbor pada 1945.

Retorika Amerika pasca-11/9 berhasil memberi bentuk kepada karut-marut perasaan cemas, bingung, marah yang berkecamuk itu. Teror itu dijinakkan ke dalam sebuah kerangka penjelasan, hing ga rasa waswas jadi sesuatu yang bisa dikuasai akal. Retorika itu juga menghadirkan Amerika Serikat sebagai satu kesatuan yang harmonis, tubuh yang tak terdiri atas konflik. Retorika itu ju ga menghadirkan Amerika Serikat sebagai sesuatu yang tak ter-cemar oleh sejarah kebijakan luar negeri yang membuat orang, di ba gian dunia lain, begitu benci dan begitu nekat hingga menab-rakkan dua pesawat terbang ke Menara Kembar hari itu.

Retorika pasca-11/9 adalah sebuah dalih. Kemudian dusta. Se bab ”11/9” tak sebanding dengan serangan Jepang di Pearl Har bor 1945. Yang bisa dibandingkan sebenarnya sebuah aksi te-ror di Kota Oklahoma, 19 April 1995. Di sana bom diledakkan di sebuah gedung pemerintah pusat; 168 orang tewas (termasuk 16 bocah di bawah umur 6 tahun) dan 324 gedung hancur atau ru-sak. Tapi teror ini tak disebut dalam retorika pasca-11/9 karena ia dilakukan orang Amerika sendiri, Timothy McVeigh dan ka-wan- kawannya. Para penentang pemerintah federal Amerika ini adalah indikasi bahwa negeri itu bukanlah sebuah keutuhan. Se-mentara itu, para teroris 11/9 (sebagaimana pesawat-pesawat Je-pang di Pearl Harbor) adalah ”orang luar” yang dengan ancam an-nya justru membentuk citra tentang Amerika Serikat sebagai ku-bu yang tak retak.

Beberapa hari setelah 11/9, bendera garis-dan-bintang dipa-sang di mana-mana. Ia bahkan satu-satunya yang dikibarkan di Rockefeller Plaza di 50th Street; bendera negara-negara dunia yang sebelumnya terpasang di sana telah dicopot. Amerika Seri-kat telah mengambil alih posisi korban, juga suasana berkabung dan kecemasan yang universal, jadi miliknya sendiri. Dengan

11/9

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 179: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

154 Catatan Pinggir 10

11/9

kata lain: sebuah pengucapan nasionalisme yang tak baru.Maka aneh bila orang menandaskan, 11/9 telah mengubah

du nia. Apa yang berubah? Al-Qaidah tetap tak mengalahkan Ame rika dan perang Amerika yang menyusul setelah itu tetap se buah kekerasan imperial yang lama. Sajak Robinson Jeffers di akhir 1930-an tetap bersuara tajam di abad ke-21: ”Never weep, let them play/ Old violence is not too old to beget new values.”

Tempo, 18 September 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 180: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

155 Catatan Pinggir 10

GUANTÁNAMO

ADA sepatah kata yang agaknya dicoba dilupakan Oba-ma—kata yang dicoba dilontarkan jauh-jauh tapi berge-tar seperti lembing yang tertancap di tempat lain: ”Guan-

tánamo”.Nama itu tak lagi menandai sebuah wilayah. Ia menunjuk ke

se rangkai ketakjelasan.Hanya setahun setelah ”11/9”—setelah Kota New York digun-

cang dua pesawat teroris yang menghancurkan Menara Kembar dan membunuh hampir 3.000 orang sekaligus—Amerika Seri-kat menyerbu Afganistan. Sejumlah orang tertangkap.

Dari Afganistan mereka diterbangkan jauh ke pantai Teluk Gu an tánamo, wilayah tenggara Kuba yang sejak 1903 disewa AS un tuk pangkalan angkatan laut. Pemerintah Kuba yang seka-rang menganggap perjanjian itu tak berlaku, tapi Castro tak bisa meng ubah keadaan. Anehnya, pemerintah AS sendiri yang ke-mudian menentukan tempat itu di luar yurisdiksi hukumnya.

Akhirnya ”Guantánamo” adalah wilayah yang tak jelas status-nya untuk tahanan yang tak jelas statusnya—orang-orang yang di anggap bukan ”tawanan perang” yang berhak diperlakukan de-ngan ketentuan Konvensi Jenewa.

Dalam ketakjelasan itu pemerintah Bush mengelak dari hu-kum internasional. Sekaligus ia menunjukkan, sebagaimana ke-tika menyerbu Irak tanpa mengindahkan PBB, bahwa Amerika Serikat adalah sebuah perkecualian. Negeri lain di muka bumi ha rus menaati hukum antarbangsa, tapi AS tidak.

Syahdan, di satu sudut Washington Square, satu hari setelah ”11/9”, saya melihat sederet kalimat terpasang, konon dikutip da-ri Nelson Mandela. Kata-kata itu seakan-akan memperingatkan agar AS, dalam amarah dan kepedihan, tak terjerumus: ”Rasa ta-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 181: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

156 Catatan Pinggir 10

kut kita yang terdalam bukanlah karena kita tak memadai. Rasa ta kut kita yang terdalam adalah karena kita kuat, lebih kuat dari yang bisa dibayangkan. Terang-benderang kitalah yang mena-kutkan kita, bukan kegelapan kita.”

Tapi apa mau dikata. Itu cuma kalimat di pojok taman New York. Sejak ”11/9”, AS merasa jadi korban; ia merasa membawa te rang-benderang, bukan kegelapan. Dan ia sadar ia sangat kuat.

Dengan itulah ia memang terjerumus. ”Guantánamo” jadi kata yang terpaut erat dengan kesewe-

nang-wenangan: di sana ditahan ratusan orang yang belum ter-bukti bersalah untuk waktu yang tak ditentukan. ”Guantánamo” ju ga terpaut dengan penyiksaan.

Satu fragmen penuturan Abu Zubaydah yang ditangkap ten-tara Amerika dalam satu serbuan di Faisalabad, Pakistan, 28 Ma-ret 2002: ”Saya dikeluarkan dari sel saya dan salah seorang intero-ga tor membungkus leher saya dengan sehelai handuk, dan dengan itu mereka mengayunkan tubuh saya dan membenturkannya ber ulang kali ke tembok keras kamar....”

Orang Palestina berumur 31 itu diduga orang penting dalam Al-Qaidah, meskipun belum pernah terbukti. Dalam The New York Review of Books 13 Oktober 2011, dengan tajam dan masy-gul Mark Danner menulis bagaimana Amerika telah masuk ke state of exception, keadaan luar biasa yang memperkenankan pe-lang garan konstitusi dan hak-hak asasi. Yang ditanggungkan Abu Zubaydah adalah contohnya.

Tapi state of exception itu sebenarnya bukan benar-benar ke-adaan ”luar biasa”. Penyiksaan atas Abu Zubaydah adalah satu ”de-nasionalisasi” (atau ”internasionalisasi”) kekejaman: seorang ter sangka bisa diperkosa hak-haknya dengan cara mengirimnya ke luar wilayah nasional. Guantánamo dinyatakan berada di luar yurisdiksi hukum Amerika. Para tahanan dikirim ke negeri-nege-ri lain yang mau bekerja sama, ke bui-bui rahasia nun di Polandia,

GUANTÁNAMO

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 182: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

157 Catatan Pinggir 10

Ma roko, Lithuania, Pakistan, Rumania, juga mungkin Libya. Di sana mereka bisa disiksa untuk ”mengaku”.

Dengan itu Amerika mengukuhkan keburukan berabad-abad: kesewenang-wenangan terhadap orang yang dianggap mu-suh adalah hal yang wajar, di mana saja, dulu dan kini. Artinya Amerika tak berada di pihak yang ingin mengubah dunia jadi le-bih baik: ia termasuk suara yang yakin tak ada harapan. Presiden Obama, yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian dan pernah berjanji menutup kamp Guantánamo, ternyata seakan-akan me-lupakannya.

Atau mungkin juga ini peneguhan pandangan yang percaya bahwa semua keputusan tentang baik dan buruk tak memerlukan ingatan panjang, sebab tak ada yang kekal. Yang baik dan yang bu ruk adalah hasil keputusan politik. ”De-nasionalisasi” keke-jaman justru menunjukkan bahwa di mana-mana tak ada dasar yang universal yang menentukan apa yang sewenang-wenang dan yang tidak. Kita harus mengakui contingency sebagai kondisi satu-satunya ketika kita coba tentukan nilai-nilai kita: semua ber-gantung pada konteks; tak ada yang pasti.

Agaknya di sini bergaung pragmatisme yang dikukuhkan Richard Rorty. Bagi Rorty, filsafat, yang hendak menentukan apa yang benar dan yang baik, seyogianya ditinggalkan. Metafisika, yang berpretensi mengetahui apa yang universal, sebenarnya ha-nya melihat dari luar, dari atas, kejadian. Sebab itu lebih baik sas-tra ketimbang filsafat. Kata Rorty, lebih baik ”menyajikan kisah-ki sah yang memberi inspirasi tentang episoda atau tokoh dalam ma sa lalu bangsa—episoda dan tokoh yang jadi panutan sebuah ne geri”.

Tapi dengan itu ia menangkis tesisnya sendiri: bukankah ”epi-soda” atau ”tokoh” tauladan itu dipilih dengan dasar yang kukuh tentang apa yang baik? Bukan nilai yang hanya lahir dari satu ru-ang dan waktu?

GUANTÁNAMO

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 183: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

158 Catatan Pinggir 10

GUANTÁNAMO

Ada yang mencatat, pembangkangan di Dunia Arab kini ter-paut juga dengan kata ”Guantánamo”. Di sana banyak orang Arab dianiaya. Akhirnya ”Guantánamo” jadi lembing yang bisa di tusukkan siapa saja, di mana saja—dan sebab itu membangkit-kan amarah orang-orang di negeri lain, tentang kesewenang-we-nangan penguasa mereka.

Pada saat seperti itu, ”Guantánamo” punya gema yang mung-kin tak disangka Obama.

Tempo, 25 September 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 184: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

159 Catatan Pinggir 10

REPRESENTASI

POLITIK tak bisa dikurung di satu tempat. Politik tak ha-nya berkisar di sejumlah lembaga. Bahkan partai, parle-men, dan pemerintahan bukanlah ruang dan waktu poli-

tik yang sebenarnya. Penghitungan suara, adu kata-kata yang se-te ngah jujur dan yang culas, kalkulasi yang tak bisa dielakkan untuk memenangi pemilihan umum yang akan datang—semua itu ”politik” dalam arti yang terbatas: sebuah persaingan kekuat-an. Di situ belum ditegaskan, persaingan antara siapa dan siapa.

Dalam teori, apa yang terjadi di lembaga-lembaga itu merupa-kan gema dari yang di luar, di jalan, di tengah sawah-ladang, di la ut dan pantai dan wilayah hutan, di tambang minyak dan mi-ne ral. Tapi ada yang salah dalam anggapan ini.

Terutama ketika hampir tiap hari kita saksikan betapa tak pro-duk tifnya parlemen melahirkan legislasi, betapa korup dan ang-kuhnya para politikus yang duduk di dalamnya, betapa jauhnya lem baga-lembaga itu—DPR, kabinet, aparat penegak hukum—da ri orang-orang yang teraniaya. Terutama ketika yang teraniaya itu mereka yang tak masuk hitungan dalam percaturan kekuasa-an: umat Ahmadiyah yang dibakar rumah ibadahnya dan diusir bah kan dibunuh, orang Kristen yang dicegah menggunakan ge-reja mereka, buruh tambang yang digaji begitu tak adil, pekerja seks yang diusir, seniman yang dilarang karyanya....

Agaknya kita perlu meninjau kembali, benarkah sistem yang kita kenal kini—katakanlah ”demokrasi liberal”—merupakan format yang tak punya alternatif lain.

Kita mulai dengan parlemen, lembaga yang berperan sentral dalam sistem itu. Kata yang lazim dipakai untuk parlemen adalah ”representasi”. Dalam bahasa Indonesia: ”perwakilan”. Yang per-tama menunjukkan ada yang dihadirkan kembali, dari kata re-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 185: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

160 Catatan Pinggir 10

present. Yang kedua lebih jelas bagi apa yang ingin saya kemu-kakan: wakil bukanlah yang diwakili; wakil dari X bukanlah X yang [seakan-akan] dihadirkan kembali. Antara yang ”mewakili” dan yang ”diwakili” ada persamaan posisi, tapi masing-masing ok num yang berbeda.

Oknum yang diwakili, dalam tatanan demokrasi, adalah ”rakyat”. Penamaan ini saja sudah sebuah problem. Sebab dengan de mikian diasumsikan ada sesuatu yang bisa diidentifikasikan: se suatu yang utuh dan tetap. Tapi bahkan sehimpun pemilih se-buah partai politik—apalagi seluruh ”rakyat”—tak pernah sela-manya berada dalam ruang dan waktu yang sama. Tak ada iden-tifikasi yang tak meleset. Tak ada identitas yang tak berubah.

Perubahan itu menyebabkan ”representasi” selalu tak mema-dai. ”Rakyat” yang menurut hukum diwakili di sana sering mera-sa tak diperhitungkan. Los indignados, ”kaum yang amarah”, ra-tusan ribu orang yang berkumpul di Puerta del Sol, di ibu kota Spanyol yang ”demokratis”, adalah contohnya. Mereka menco-ba menggugat demokrasi yang bagi mereka tak mengajak mereka ikut serta dalam keputusan untuk publik.

Memang, dengan segera Puerta del Sol sepi kembali. Amarah ribuan orang itu dijinakkan—dengan pemilihan umum, misal-nya. Sudah tentu, lembaga yang ada dengan sendirinya berusaha agar ”kaum yang amarah” tak mencederainya. Sang lembaga ha-rus kukuh dalam sistem dan prosedurnya sendiri. Maka perwa-kilan yang tak memadai itu pada akhirnya memagari apa yang te ngah dan akan berubah. Lembaga menegakkan tata. Lembaga, dalam istilah Jacques Rancière, adalah ”Polisi”. Di sana politik di-ambil alih, tapi juga dibekukan.

Tapi ada yang mustahil. Tiap rezim mengandung ketegang-an. Di satu pihak ia bertolak dari asumsi kesetaraan: antara yang meng atur dan yang diatur tak ada celah dalam kapasitas, hingga ke bijakan diharapkan akan dipahami dan diikuti. Tapi di lain pi-

REPRESENTASI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 186: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

161 Catatan Pinggir 10

hak tiap rezim bertolak dari hierarki.Dengan kata lain, Polisi akan selalu ada, tapi selalu ada juga si-

kap yang menampung asumsi kesetaraan yang mendasari sistem politik modern. Pada gilirannya sikap itu bertahan, bahkan akan selalu jadi gerak yang melawan hierarki.

Gerak itulah politik. Politik, kata Rancière, ”tak dapat didefi-nisikan semata-mata sebagai pengorganisasian sebuah komuni-tas”. Politik juga tak bisa disamakan dengan ”pengisian tempat pe merintahan”. Politik selamanya adalah ”alternatif bagi tata Po-lisi yang mana pun”.

Dewasa ini, beberapa dasawarsa setelah ”demokrasi liberal” di nyatakan sebagai pemenang di akhir sejarah—setelah rezim-re zim yang menyebut diri ”demokrasi rakyat” atas nama sosialis-me runtuh—orang memang makin merasa tepuk tangan itu ter-lalu cepat. Makin terasa ada pintu yang tertutup. Ada suara-suara yang jadi terasing, atau tak diakui, atau tak diperhitungkan. Ju-rang antara ”wakil” dan yang ”diwakili” terasa membentang. Re-pre sentasi hanya membentuk sebuah kerowak. Pintu itu harus di-jebol.

Tapi tak mudah: perubahan senantiasa membentuk masyara-kat. Dalam perubahan itu, akan ada ”kaum yang amarah” baru, yang menerabas ”pengorganisasian sebuah komunitas”. Kecuali apabila tak ada lagi hierarki dan tak ditegakkan lagi lembaga. Na-mun, seperti disebut tadi, Polisi akan selalu ada. Apa boleh buat.

Memang kita tak bisa berbicara tentang optimisme di dalam hal ini: pembebasan manusia dari tata yang lama akan selalu ber-akhir dengan benturan ke dinding tata yang baru. Tapi pada saat yang sama kita tak bisa menawarkan pesimisme, sebab perlawan-an akan selalu terjadi terhadap tata yang eksklusif. Politik akan se lalu hidup, dengan gejolak yang bermacam-macam.

Tapi dengan demikian setidaknya kita menyadari, sebuah de mokrasi tak berhenti dalam satu bentuk. Tanpa, seperti kata

REPRESENTASI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 187: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

162 Catatan Pinggir 10

Marx, kita tergoda ”menulis resep untuk kedai masa depan”—ka-re na kita tak mampu—pada akhirnya kita harus membayangkan politik sebagai arus yang belum berhenti. Bukan tebing.

Tempo, 2 Oktober 2011

REPRESENTASI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 188: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

163 Catatan Pinggir 10

PANAH

MEMANAH adalah membinasakan secara persis. Pada satu titik.Pada suatu hari Durna menyuruh para muridnya

mem bidik seekor burung di dahan pohon. ”Apa yang kaulihat?” ta nya sang Guru.

Suyudana: ”Hamba lihat seekor burung di dahan sebelah ki-ri.”

Arjuna: ”Hamba tak melihat apa-apa. Tak ada dahan dan tak ada unggas. Yang hamba lihat hanya kepala seekor burung.”

Bagi sang Guru, Arjuna-lah yang benar. Membidik berarti me nentukan fokus. Bagi sang pemanah ulung, titik yang harus dihantamnya itulah segala-galanya. Dengan kata lain, ia menia-dakan—atau tak mencerap—hal-ihwal di luar sasaran yang diin-car: konteks, latar, sejarah harus dianggap tak ada. Dengan cara itu, destruksi akan lebih pasti. Yang terpacak di sana itu tak diberi kesempatan untuk berpindah dan berubah.

Analogi memanah adalah kekuatan/kekuasaan, terutama da-lam sifatnya yang agresif: sebuah ketegasan yang lurus. Yang akan dihancurkan tak dibiarkan bergeser. Dengan niat mengalah kan, kekuatan/kekuasaan meletakkan dunia dalam bidikan, dalam se-buah pusat persepsi. Dari pusat itu ditentukan mana yang dekat dan yang jauh, mana yang patut masuk ke dalam lingkaran per-tama dan mana yang ditampik.

Dalam derajat yang berbeda, itu juga perilaku Negara, lemba-ga agama, dan kekuasaan lain seperti kapitalisme. Di pusat per-sepsi kapitalisme, ada sebuah klasifikasi tentang mana yang bisa diasimilasikan karena ”menguntungkan” dan mana yang akan ”me rugikan”. Bagi lembaga agama, ada yang di luar garis dan di da lam garis ”iman”. Negara punya pembagian yang berbeda, tapi

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 189: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

164 Catatan Pinggir 10

de ngan kehendak penguasaan yang sama.Negara Hindia Belanda adalah satu contohnya. Divi de et im-

pera menampilkan masyarakat Indonesia yang dibagi-bagi, bu-kan untuk menghormati perbedaan yang ada, melainkan untuk mengendalikan yang ada. Dengan pembagian itu, administrasi kekuasaan akan lebih efisien dan efektif.

Maka dibentuklah kategori ”Timur asing”, ”pribumi”, ”Jawa”, ”Dayak”, ”Sunda”, ”Papua”, dan seterusnya— identitas-identitas yang sebelum kolonialisme tak pernah jelas dan stabil. Dengan menegakkan identifikasi itu sang penjajah membidik dan melon-tarkan laso ke arah hiruk-pikuk manusia di luar gedung guberne-men dan menjerat mereka di dalam sederet nama. Juga dalam se-deret konsep.

Maka lahirlah ”golongan” atau ”suku”. Maka dicampakkanlah apa yang ambigu, yang remang-remang, yang labil, yang merupa-kan perkecualian dalam tiap ”golongan” atau ”suku” itu. Lalu dik-erahkanlah risalah, argumentasi, wacana, kata-kata, dan seluruh tata simbolik untuk meneguhkan identitas-identitas itu—se-akan- akan semuanya datang sejak masa Adam beranak-pinak.

Kolonialisme bertakhta di atas klasifikasi yang menjerat ”yang-lain” secara radikal. Orang-orang di koloni ditahbiskan se-bagai unit-unit yang sama sekali bersih dari pelbagai ”yang-lain”: dalam golongan ”Timur asing” tak boleh ada aneka-ragam yang ber ubah dalam sejarah. Mereka dianggap mandek. Mereka dipa-tok seakan-akan punya esensi yang tetap. ”Cina” tetap ”Cina”, ”Jawa” dianggap satu, meskipun bahasa Tegal tak akan dipahami orang di Magelang.

Dengan jerat divide et impera, dalam diri identitas-identitas itu semua anasir harus dianggap sepenuhnya tampak. Tak ada yang remang, tak tercerap, tak tertangkap, yang membuat kita ra-gu. Panah kekuasaan itu harus mengena.

Tapi mungkinkah? Panah dan jerat kekuasaan akhirnya pu-

PANAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 190: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

165 Catatan Pinggir 10

nya batas. Administrasi, kontrol, seluruh bahasa kekuasaan, jang-kauan Gereja dan ulama, tangan-tangan kapital yang panjang—semua itu bukanlah operasi para dewa. Dengan tubuh dan zat-nya, hidup punya dinamikanya sendiri yang melawan atau mena-han jerat klasifikasi apa pun. Atau mengelak.

Ada sebuah tenaga dalam hidup yang tak masuk dalam struk-tur persepsi kekuasaan, energi yang bergerak tanpa henti. Dalam momen itulah apa yang disebut Deleuze sebagai ”menjadi-mino-ri-tas” (devenir-minorité) berlangsung. Di sini ”minoritas” tidak ditandai oleh jumlah, tapi oleh sifatnya: ia antitesis bagi kekuasa-an ”mayoritas” (dari kata major, yang berarti ”besar”, ”penting”) yang mendiktekan struktur. Di sanalah, dalam apa yang ”kabur”, tak jelas, tak mandek, mengalir—dan tak terbidik oleh sang pe-nak luk—tersimpan bibit perlawanan.

Maka kekuasaan kolonial selamanya sebuah situasi yang re-tak. Salah kaprah mengatakan Indonesia hidup di bawah koloni-a lisme selama 350 tahun. Yang benar: Indonesia adalah kerepotan kolonialisme selama 400 tahun. Sejak usaha penguasaan Eropa dipatahkan di Banda pada 1529, sampai dengan Perang Aceh yang baru berakhir pada 1904, diteruskan dengan perang kemer-de kaan pada 1946-1949, muncul ratusan letupan ”minoritas” yang tak tertangkap laso kekuasaan. Tak terlihat.

Memang akhirnya selalu ada wilayah yang tak terlihat, juga oleh raja di raja. Mungkin itu maksud Italo Calvino ketika ia me-nu lis Le città invisibili (”Kota-kota yang Tak Tampak”): Marco Polo, pengembara dari Venesia itu, berkisah kepada Kublai Khan tentang 55 kota yang ganjil: kota-kota yang tak tercerap, kota-ko-ta dalam 11 kategori di luar klasifikasi sang penguasa.

Dalam kehidupan para maharaja, ada satu saat yang menyusul rasa bangga setelah kita taklukkan wilayah-wilayah luas tanpa batas, rasa sayu dan lega ketika kita tahu bahwa kita tak akan lagi berpikir untuk bisa

PANAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 191: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

166 Catatan Pinggir 10

PANAH

mengenal dan memahaminya.Ada sekelumit rasa hampa yang datang meliputi, bersama bau gajah

setelah hari hujan dan abu kayu cendana yang jadi dingin di liang pem-bakaran....

Sejak awal, Marco Polo menyebut ”bau” dan bukan ”peman-dangan”. Ketika kita tak membidiknya untuk menguasai, dunia bisa sangat ajaib dan tak sepenuhnya kelihatan.

Tempo, 9 Oktober 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 192: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

167 Catatan Pinggir 10

PUNAKAWAN

SEHABIS sebuah guncangan, datang gurau. Dalam wa-yang kulit, humor dipentaskan sehabis gorogoro—setelah bumi terguncang dan langit bergetar hingga bintang nya-

ris padam dan gunung dan hutan tampak seakan-akan terbang. Ade gan kalang-kabut itu segera diikuti bagian punakawan: Pe-truk, Gareng, Bagong, dan Semar muncul.

Dalam King Lear, Shakespeare juga menampilkan ”the Fool” setelah raja tua itu secara dramatis meninggalkan istana dan hi-dup di padang rumput yang dingin. Atau si penggali kubur dalam Hamlet setelah Ophelia yang malang itu bunuh diri. Atau si pen-jaga pintu dalam Macbeth setelah Raja ditikam di kamar tamu.

Seperti para punakawan, tokoh-tokoh itu juga sering disama-kan dengan badut. Tapi tak tepat. Ada yang tersirat lebih jauh da-lam gurau mereka, setelah chaos dan destruksi: mereka tak cuma ingin disambut ketawa. Jan Kott, penelaah Shakespeare yang ter-masyhur itu, benar ketika ia mengatakan bahwa ”the Fool”, si Bo-dor dalam King Lear, hadir dalam tragedi itu sebagai penolakan ter hadap semua yang lahiriah, hukum dan tatanan moral. De-ngan kata lain, penolakan terhadap semua hal yang dikukuhkan ra ja-raja; si Bodor telah menyaksikan yang brutal dan didera naf-su di lingkungan istana. Maka baginya Lear, raja tua yang terusir itu, menggelikan; jauh di keluasan padang yang muram itu ia ma sih hendak menegakkan aura kekuasaannya yang fiktif. ”Si Bodor tahu,” tulis Kott, ”satu-satunya kegilaan yang sejati adalah mengenali dunia sebagai sesuatu yang rasional.”

Dengan kata lain orang akan lebih selamat bila tahu kehidup-an di dunia adalah sesuatu yang tak rasional—sebuah pandang-an yang mengandung protes dan kritik dari lapisan paling bawah. Sebab tatanan selamanya ditegakkan dengan cara membagi-bagi

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 193: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

168 Catatan Pinggir 10

hal-ihwal di dunia, sementara hal-ihwal itu sebenarnya terus-me-nerus berubah, bergeser, bercampur. Ada yang dipaksakan dalam tiap tatanan; apa saja yang berbeda dianggap sesat atau ku rang. Yang ”normal” menyingkirkan yang ”abnormal”—padahal sesu-a tu dianggap ”normal” hanya karena adanya yang ”abnormal”.

Petruk, Gareng, Bagong, dan Semar adalah tokoh-tokoh yang abnormal. Tubuh dan wajah mereka grotesk. Hidung Petruk pan-jang seperti lobak, hidung Gareng seperti sarung tinju, dan ra-hang Bagong seperti roda becak yang ketabrak. Semar yang ber-kuncung—ia sering dikatakan ”bukan-pria-bukan-wanita”—pu nya pantat yang menggelembung seperti balon yang gagal naik.

Kita tak pernah tahu asal-usul mereka. Yang pasti, mereka tak ada dalam Mahabharata. Yang pasti, mereka pengacau: mereka, se perti si Bodor menurut Kott, adalah sebuah penolakan. Yang me reka tolak, dan sekaligus mereka kacaukan, adalah rezim este-ti ka yang berlaku. Mereka sebuah interupsi yang mengganggu apa yang disebut Rancière sebagai ”le partage du sensible”: konsen-sus atau tatanan yang memisahkan dan membagi-bagi sesama (ma nusia, makhluk, hal-ihwal) dalam klasifikasi berdasarkan ke-mampuan berpikir, selera, dan sikap—tentu saja sebagai bagian keinginan yang berkuasa.

Dalam rezim estetika itu, yang ”halus” ditaruh di tempat yang diunggulkan. Yang ”halus” ditandai keapikan aristokratik: ang-gun, gemulai, rapi, ramping (bukan kurus kering)—tanda fisik dan kejiwaan orang yang tak harus bekerja di lingkungan yang ke ras dan kotor, cukup punya waktu senggang dan kekuasaan hingga tak perlu menyampaikan kehendak dengan suara tak sa-bar. Mereka juga orang-orang yang cukup gizi hingga biasa ma-kan dengan kalem, tak tampak gelojoh.

Adapun mereka yang tak punya ciri-ciri itu dianggap hina, bahkan sebagai musuh: orang seberang, raksasa, atau Kurawa.

PUNAKAWAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 194: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

169 Catatan Pinggir 10

Jelas rezim estetik itu terkait dengan kekuatan dan posisi poli-tik. Mahabharata adalah epos para pangeran di sebuah masyara-kat yang ditata dengan klasifikasi yang yakin. Ketika epos itu ber-kembang di Jawa (mungkin di abad ke-7), klasifikasi dari India itu tak sepenuhnya diterima.

Mungkin para dalang, yang umumnya berasal dari luar pagar pa ra bangsawan, menyusupkan sebuah protes. Wujudnya Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, makhluk yang tak elegan tapi per-lu. Di tiap pagelaran dalang akan mengisyaratkan tak stabilnya re zim dan konsensus; gorogoro selalu terjadi—dan sejarah Jawa me mang tak asing dengan guncangan-guncangan politik yang besar.

Sehabis gorogoro: gurau. Gurau sebenarnya sebuah interupsi, bahkan pengacauan, dalam bentuk lain. Sifatnya bertentangan dan sebab itu tak bisa dijinakkan. Ada yang agresif, ketika gurau itu menjadikan orang lain sasaran untuk ditertawai; tapi ada juga so lidaritas, hingga orang bisa ketawa bersama-sama. Ada yang anarkistis dalam lelucon, tapi juga ada kehendak untuk memu-lih kan keadaan, misalnya dengan menghibur.

Dengan paradoks itulah gurau para punakawan berperan. Bah kan sesekali diciptakan kisah dengan satire yang radikal: da-lam lakon Taliputro-Taliputri, Petruk dan Gareng mengalahkan para dewa.

Tentu saja akhirnya para demos itu kembali ke bawah. Sebuah gu rauan hanya efektif bila tak berkepanjangan. Tiap penonton wa yang tahu, para punakawan tak berencana mengubah nasib. Tak ada seruan pembebasan dari dan untuk para Petruk. Bahkan tiap kali Semar akan memulihkan keadaan; ia akan menghen-ti kan pengacauan mereka dengan petuah-petuah. Bukankah ia dewa Ismaya yang mengambil wujud manusia yang mengabdi: sang penegak tata itu juga pelayan tata?

Tapi mungkin inilah ”hiburan”: sebuah emansipasi sejenak.

PUNAKAWAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 195: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

170 Catatan Pinggir 10

PUNAKAWAN

Saat-saat egaliter terjadi ketika si hamba tampil tak terkait pada re zim apa pun, bahkan mengolok-olok si majikan. Siapa tahu yang sejenak itu bisa juga memberi inspirasi.

Tempo, 16 Oktober 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 196: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

171 Catatan Pinggir 10

LA GUERRE

KINI tak akan ada lagi orang tua bertubuh kurus tapi pe-nuh energi itu di restoran di rue Vaugirard nomor 12, Paris.

Umar Said, pemula ”Restaurant Indonesia” itu, baru saja me-ninggal. Umurnya panjang, kisah hidupnya beragam: ia lahir 26 Oktober 1928, di dekat Kota Tumpang, beberapa puluh kilome-ter dari Malang; ia menyaksikan amarah rakyat kepada penindas-an Jepang; ia ikut bertempur di Surabaya dan nyaris terbunuh di bu lan November 1945; ia jadi wartawan Indonesia Raya di bawah Mochtar Lubis di Jakarta pada tahun 1950-an—sebuah koran yang menentang Bung Karno dan PKI—dan kemudian memilih be kerja untuk Harian Rakyat, koran resmi PKI.

Sejak PKI dihancurkan, Umar Said terbuang. Ketika peristi-wa Oktober 1965 meletus, ia sedang berkunjung ke Aljazair. Ia tak bisa kembali. Akhirnya ia, bersama sejumlah eksil lain, se te-lah beberapa tahun hidup di Cina, menetap di Paris, jadi warga ne gara Prancis, memakai nama André Aumars, membuka ”Res-taurant Indonesia” untuk memberi nafkah dan pekerjaan bagi orang-orang yang terbuang itu, dan....

Riwayatnya (saya baca dari bukunya, Perjalanan Hidup Saya, yang terbit pada 2004) mungkin bukan riwayat seorang tokoh be sar. Tapi sejarah Indonesia melekat dalam riwayat itu—juga se jarah seseorang, yang, sebagaimana banyak cendekiawan kiri, punya cita-cita besar untuk Indonesia, dan kemudian terbentur pada yang tragis dalam cita-cita besar itu.

Yang tragis itu bukan saja kematian berpuluh-puluh ribu orang kiri karena dibunuh. Juga tragis bahwa setelah itu ada per-tanyaan yang belum dijawab, seakan-akan ada kegaguan yang mu rung: apa yang jadi pikiran Umar Said, juga mereka yang se-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 197: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

172 Catatan Pinggir 10

nasib, ketika setelah pengorbanan yang demikian mengerikan, Partai hancur dengan cepat, praktis tanpa perlawanan, dan tak ada perannya ketika Orde Baru diruntuhkan? Apa juga yang me-reka pikirkan ketika setelah itu negara-negara sosialis ambruk da-ri dalam, dan Cina mengambil ”jalan kapitalis” yang dulu diku-tuk Mao?

Saya bertemu beberapa kali dengan Umar Said; tak tampak oleh saya ia seorang yang lelah. Rosihan Anwar, wartawan segene-ra sinya yang memberi kata pengantar untuk buku Perjalanan Hidup, menulis: dalam diri orang ini ”selalu ada cause, selalu ada tu juan yang diperjuangkannya”.

Beberapa belas tahun setelah ia hidup di Prancis, Umar Said ter libat dalam ikhtiar untuk menegakkan hak-hak asasi manusia yang universal—satu hal yang ganjil bagi seorang simpatisan ko-munis. Marxisme-Leninisme tak berbicara untuk ”manusia yang universal”. Tapi agaknya Umar Said berubah. Ia mengalami sen-di ri, betapa ia dan kawan-kawannya tertolong oleh mereka yang berjuang untuk hak-hak itu, termasuk Amnesty International.

Apa yang disebut ”ironi sejarah” terjadi: ketika Mochtar Lubis di tutup korannya dan dipenjarakan di bawah ”Demokrasi Ter-pimpin”—dan orang-orang komunis bersenang hati karena itu —Amnesty International juga yang memperjuangkan pembebas an wartawan antikomunis itu.

Beberapa puluh tahun setelah 1965: sebuah era baru. Umar Said sendiri menulis bahwa ia telah melihat betapa ”hal-ihwal ada lah rumit, sering kali bersegi banyak”, dan selalu berubah. Ju-ga ”saya sendiri sudah mengubah pandangan, atau memang hal-ih wal itu sendiri sudah berubah”. Tak ada yang mutlak dan man-deg, katanya. Tak ada yang 100% putih atau hitam.

Tapi agaknya ada yang tak berubah bagi seseorang yang ”se-lalu ada cause, selalu ada tujuan yang diperjuangkannya”: ia tak akan mengatakan, ”Perang telah usai.”

LA GUERRE

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 198: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

173 Catatan Pinggir 10

Tokoh Diego Mora dalam La guerre est finie, sebuah film Alain Resnais dari tahun 1966, juga tak mengatakan demikian. Tapi anggota Partai Komunis Spanyol ini (dimainkan oleh Yves Montand) makin ragu akan masa depan perjuangannya sendiri. Ia tinggal sebagai eksil di Paris dan diberi tugas menghubungi ka-wan-kawan seperjuangannya di bawah tanah untuk melakukan pemogokan umum sebagai perlawanan terhadap rezim Jenderal Franco yang berkuasa. Namun Spanyol telah berubah. Sudah ham pir 30 tahun berlalu sejak Perang Saudara yang meletus ta-hun 1936 selesai pada 1939. Selama itu yang Kiri tersingkir dan ditindas, dan Spanyol hanya jadi ”puisi liris hati nurani kaum Kiri dan mitos para bekas pejuang”.

Diego mulai lelah. Ketika ia menghadapi anak-anak muda yang punya impian revolusioner dengan jalan kekerasan—de-ngan menyiapkan bom—ia mencoba membenarkan sikapnya yang berbeda dengan mengatakan, dengan berdalih: ”Kesabaran dan ironi adalah kebajikan seorang Bolsyewik.”

Saya tak tahu kesabaran macam apa dan untuk apa bagi para pe juang Bolsyewik macam Diego dan kawan-kawan—kecuali ke sabaran yang menyadari bahwa kemungkinan sebuah revolusi ma kin jauh. Tapi kesadaran akan ironi lebih perlu: perubahan Spa nyol itu bukan hasil mereka yang menghendaki perubahan, me lainkan hasil mereka yang justru tak menghendaki perubah-an. Sekitar satu dasawarsa setelah La guerre est finie dibuat, Jende-ral Franco wafat. Ia siapkan Pangeran Juan Carlos menjadi raja—seorang aristokrat yang mengubah Spanyol jadi sebuah demokra-si.

Kesadaran akan yang tragis dan yang ironis, yang pada akhir-nya membentuk kesabaran—itukah yang membuat seseorang le bih arif membaca jalan sejarah? Di akhir bukunya Umar Said me lihat dirinya hanya semacam noktah di tengah semesta perja-lanan manusia—satu titik yang segera akan tenggelam. Sang pe-

LA GUERRE

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 199: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

174 Catatan Pinggir 10

LA GUERRE

juang sampai pada sebuah kearifan: manusia bukanlah pusat peng gerak yang serba perkasa dalam perjuangan.

Tapi tiap titik yang terbatas itu akan meninggalkan bekas bila ia lahir dalam perjuangan pembebasan bagaikan percik api; de-ngan kata lain, bila ia menolak mengatakan, ”Perang telah usai.”

Tempo, 23 Oktober 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 200: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

175 Catatan Pinggir 10

OWS

KAPITALISME yang penuh gairah, kapitalisme yang ma pan—agaknya itulah yang semula hendak ditam-pakkan di Taman Zuccotti. Di tengah area seluas 3.000

meter persegi di Distrik Finansial New York itu ada dua buah pa-tung. Yang satu konstruksi merah yang menjulang: Joie de Vivre karya Mark di Suvero; yang lain sebuah pahatan perunggu melu-kiskan seorang pebisnis yang duduk tenang.

Hari-hari ini tentu saja tak seorang pun mempedulikan kedua-nya. Sejak tiga pekan lalu taman itu dipadati sekitar 2.000 pe -mro t es yang mendatangi wilayah itu untuk menggebrak kekuasa-an modal: ”Occupy Wall Street!”. Taman Zuccotti jadi statemen: tak ada joie de vivre dalam kapitalisme, mantap ataupun krisis.

Amerika Serikat, di mana ”kapitalisme” bukan kata yang ter-cela, sedang oleng. Indeks kepercayaan konsumen jatuh ke titik yang belum pernah terjadi selama seperempat abad lebih. Jumlah orang yang punya pekerjaan makin sedikit, dan tentu saja juga pen dapatan rata-rata. Di tengah kegalauan itu makin tampak angka-angka yang menimbulkan marah. Statistik resmi pekan lalu menunjukkan, secara kolektif perolehan yang diterima 99% pekerja turun, sementara upah mereka yang berpenghasilan satu ju ta dolar setahun (hanya sekitar 94 ribu orang) naik sampai 22% dibanding tahun 2009.

Ketimpangan itu bukan hal baru. Tiga tahun yang lalu Lehm-an Brothers bangkrut. Pasar modal dunia guncang, ribuan orang kehilangan uang, dan kepercayaan kepada industri perbankan guyah: sebuah krisis paling gawat konon selama 80 tahun. Tapi diketahui bahwa CEO perusahaan investasi itu, Richard Fuld, hidup dengan gaji dan kompensasi yang royal (lebih dari US$ 500 juta)—jumlah yang begitu tak pantas yang ia coba sembunyikan.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 201: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

176 Catatan Pinggir 10

The Love of Money (judul film dokumenter BBC tentang bang-krutnya Lehman Brothers), akhirnya itulah yang bisa dikatakan tentang zaman ini, ketika ”finansialisasi” menyibukkan kapitalis-me: bukan lagi berputar di pabrik dan bangunan, tapi di bursa sa-ham, di pertukaran valuta, di permainan bunga dan segala hal yang cair, dan ketika euforia untuk berspekulasi (”speculative ex-citement”, kata Keynes) membubung. Pada saat yang sama, lem-baga-lembaga keuangan makin hanya dimiliki segelintir perusa-haan.

Walhasil, ini keasyikan yang bukan bagian hidup orang ra-mai, meskipun risikonya mengorbankan orang ramai. Bahkan, seperti terbukti dari krisis 2008 dan krisis 2011, risiko itu menge-nai jutaan manusia di seluruh dunia.

Dengan kata lain, orang ramai adalah multitude yang terasing. Maka atas nama orang ramai Taman Zuccotti diduduki. Sebuah manifesto disusun. ”¡Ya basta! Aquí el pueblo manda y el gobierno obedece!” ‘Cukup! Di sini rakyat memberi titah dan lembaga-lem baga global tunduk!’ Mereka menirukan seruan perlawanan kaum Zapatista di Chiapas, Meksiko.

Tentu saja mereka juga mencoba menirukan orang ramai yang ber kumpul di Lapangan Tahrir, Kairo, untuk melawan kedikta-toran Mubarak dan ”para amarah” yang memprotes keadaan eko-nomi di Puerta del Sol, Madrid. ”Let us globalise Tahrir Square! Let us globalise Puerta del Sol!” kata mereka.

Ya, mereka secara militan menyerukan keadilan—tapi mereka terbuka seperti Taman Zuccotti. Mereka tak hendak membentuk sebuah himpunan yang intensional, yang menentukan prasyarat bagi orang-orang yang bisa dimasukkan ke dalam himpunan itu. Me reka pasti ingat deklarasi gerilyawan Zapatista yang bang-kit sejak 1994. Bendera revolusi yang dikibarkan di Chiapas itu adalah bendera bagi semua kecenderungan, ”pikiran yang paling berbeda-beda, jalan perjuangan yang berlain-lainan, tapi hanya

OWS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 202: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

177 Catatan Pinggir 10

dengan satu kerinduan dan satu tujuan: kemerdekaan, demokra-si, keadilan”.

Di Taman Zuccotti, ”yang berbeda-beda” juga disambut, de-ngan hasrat untuk sesuatu yang terasa jelas tapi belum terka ta-kan. Mereka hadir tanpa hierarki, tanpa klasifikasi, tanpa pro-gram. Hanya ada yang disebut ”majelis umum” yang berembuk untuk memutuskan langkah yang akan diambil atau statemen yang akan diutarakan.

Maka yang berlangsung adalah sejenis anarkisme yang me-nampik struktur tanpa mesiu dan tinju—yang justru membuat me reka, seperti kaum Zapatista, mendapatkan simpati yang luas. Gema ”Occupy Wall Street” dengan cepat bergaung di seluruh du nia: terhadap kapitalisme global, lahir internasionalisme baru. Gerakan ”OWS” muncul bahkan sampai ke Jakarta.

Tapi memang belum ada tanda bahwa kapitalisme yang se-dang oleng kini akan jadi roboh. Ia masih bisa menyedot apa sa ja dan membuat lupa. Beberapa tahun setelah kaum Zapatista ber-ge rak, dengan pemimpin dan juru bicaranya yang misterius dan me mikat, Subcomandante Marcos, dunia tak lagi terkejut tapi ter pukau. Maka ke Chiapas datang ”turisme revolusioner”. Mula-mula orang-orang jauh itu ke sana sebagai dukungan kepada per-juangan, atau membantu penduduk miskin di pedusunan. Ke-mudian kaum Zapatista sendiri mengundang siapa saja untuk ber kunjung. Tentu saja dengan biaya tertentu. Di San Cristóbal ada papan iklan: ”Kunjungilah Oventic dan San Andrés, jantung Zapatistas”.

Iklan mungkin juga akan muncul tentang Taman Zuccotti: sebuah obyek wisata baru. Tak akan mengejutkan bila populari-tas ”OWS” akan memudahkan simbol gerakan itu jadi komodi-tas —sebagaimana wajah Che Guevara jadi desain T-shirt. Me-mang ajaib dan menjengkelkan bahwa dalam sakitnya kapita lis-me sanggup membius orang seraya menyebarkan sinisme: semua

OWS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 203: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

178 Catatan Pinggir 10

OWS

bi sa dan mau diperdagangkan, juga protes terhadap ketidakadil-an.

Kecuali jika kita mengentak ”tidak” sepenuhnya. Tapi tampaknya Taman Zuccotti, didirikan oleh sebuah per-

usahaan baja dan dimiliki sebuah perusahaan properti, bukan untuk revolusi.

Tempo, 30 Oktober 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 204: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

179 Catatan Pinggir 10

EDAN

SEJARAH bergerak dengan keluhan; tiap zaman punya gerutunya sendiri. Suasana muram ala Ka latidha yang di-gam barkan Ranggawarsita akan selalu dirasakan di suatu

ma sa, di suatu tempat. Para pembaca sastra Jawa kenal benar de-ngan karya berbentuk tembang sepanjang 12 pupuh itu. Setidak-nya kalimat, ”Amenangi jaman édan....” Dan tiap kali mereka ingat baris itu, mereka akan merasa bahwa yang mereka alami ju-ga sebuah ”zaman gila”....

Mungkin itu sebabnya Serat Kalatidha, dengan bahasa yang tak lazim bagi lidah sehari-hari itu, sering dianggap ”ramalan”. Rang gawarsita pun jadi makhluk dongeng. Hampir seabad yang la lu satu tim ditugasi menyusun biografinya. Hasilnya Babad Ca-ri yos Lelampahanipun Suwargi Raden Ngabèhi Ronggawarsita, yang terbit da lam tiga jilid di awal 1930-an. Di sana dikatakan bah wa cahaya dari langit masuk ke dalam diri pemuda bandel yang kemudian jadi penyair itu—sebab itu ia mampu menulis sastra yang canggih. Buah tangannya lahir dengan kekuatan spi-ri tual yang tinggi; ia mampu melihat masa yang belum tiba.

Tapi sebenarnya sastra selalu mengan dung anasir yang profe-tik. Sebuah karya hidup dan bergetar dalam sebuah para doks. Ia lahir dari sebuah situasi kini-dan-di-sini, latar yang konkret, mo men yang tak akan terulang. Tapi ia bergabung dengan para pem baca yang akan datang: orang-orang yang akan menemuinya dan menafsirkannya setelah ia beredar. Dalam hal itu, Kalatidha adalah sebuah monu men—seperti tiap puisi yang berarti. Se buah mo numen, kata Deleuze & Guattari, tak merayakan masa la lu, melainkan berbisik ke ”telinga masa depan”—dan akan ter de -ngar ”penderitaan manusia yang dihidupkan lagi tak henti- hen-ti nya, protesnya yang diperbaharui, perjuangan nya yang dibang-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 205: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

180 Catatan Pinggir 10

kitkan kembali”.Kalatidha ditulis sekitar tahun 1860—kurang-lebih se pe r em-

pat abad setelah ”Manifesto Komunis” dan sedasawarsa setelah no vel David Copperfield Charles Dickens. Artinya ia diolah di se-buah masa ketika orang meman dang dunia sebagai himpunan da ta, bukan wahyu. Marx & Engels merumuskan sesuatu dari peng alaman, bukan dari firman. Begitu pula realisme novel Dickens.

Juga Ranggawarsita: ia menulis dari pengamatannya tentang hi dup sehari-hari, meskipun tak rinci dan di sana-sini tersekat da-lam prosodi tembang sinom. Kalatidha menyebut sebuah keada-an sosial-politik di mana raja dan para pejabat tingginya bisa di-pu ji, tapi orang—terutama dirinya—hidup di tengah suasana cu-rang, penuh intrik, fitnah, dan ucapan palsu (ujar lamis). Sebagi-an besar tem bang panjang itu bersifat deskriptif.

Dari dalamnya kita bisa merasakan keluhan, amarah, sedi kit humor pahit, dan introspeksi—yang menunjukkan betapa ak-rab nya Kalatidha dengan pengalaman pribadi penulisnya. Rang-gawarsita, sang pujangga istana, me mang menulis dengan luka dan trauma. Hidup di sebuah masa ketika Kerajaan Surakarta prak tis habis, ia sendiri miskin. ”Ronggawarsita’s own poverty is legendary” tulis Nancy K. Florida dalam ”Reading the Unread in Traditional Javanese Literature”.

Florida memaparkan satu telaah yang perseptif tentang pu-jangga ini—khususnya dalam hubungannya dengan Serat Ja-yèngbaya, yang digubah Ranggawarsita ketika berumur 28, yakni pa da 1830. Itu berarti menjelang akhir Perang Diponegoro, pe-rang lima tahun yang menggun cang Pulau Jawa dan selesai seba-gai pembangkangan yang kalah. Diperkirakan 200 ribu orang di Jawa tewas; ketika itu penduduk hanya tiga juta. Bisa dibayang-kan kerusakan ekonomi yang terjadi.

Para nayaka dan sentana di lingkungan Keraton Sura karta

EDAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 206: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

181 Catatan Pinggir 10

EDAN

pun harus hidup terengah-engah dan mengerahkan pelbagai akal cer dik. Raja mereka, Pakubuwana VI, yang diam-diam memban-tu gerilya Diponegoro, ditangkap. Be landa membuangnya ke Am bon. Dua tahun sebelumnya, pada 1828, ayah Ranggawarsita sen diri juga disingkirkan ke Batavia.

Suasana amat represif. Florida mengutip satu bagian Jayèngba-ya tentang bagaima na mudahnya guru dan para murid ditin dak bila mereka bertemu secara rahasia dan membicarakan hal yang ”aneh-aneh”. Tanpa peringatan, mereka akan ”tinalikung, ki-nung kung kukum kunjara”: diteli kung, dikungkung dalam pen-jara.

Saat itu ” jaman édan” sudah mulai. Jayèngbaya saksinya: se-rangkai tembang dengan humor hitam, sinisme tajam, tapi terde-ngar seperti permainan nakal anak-anak.

Dengan gaya mengejek diri sendiri, Ranggawarsita mence mo-oh karier dan status yang umumnya dimimpikan orang di masa itu. Jadi guru, misalnya, mudah: dengan ha nya mengucapkan ”ka limah” (klimah) dan dengan ”ilmu” yang tak lebih dari kata ”asy hadu’alah”. Status guru [agama] itu akhirnya tampak sepele dan oportunistis: bisa mengumpulkan uang banyak (”nglumpuk selawé pethak”) tapi akan celaka jika mendapatkan murid yang pin tar.

Begitu pula jadi tentara, hakim, dan lain-lain. Bahkan posisi sebagai Tuhan tak luput dari lelucon: status ini me mang enak, ber kuasa dan punya banyak pembantu, tapi berada di luar ruang dan waktu—dan ini praktis sama saja dengan tunawisma!

Dengan sekali pukul, dan dengan jenaka, yang suci dan yang ren dah disamaratakan: guru, tentara, algojo, anjing, pedagang obat.... Tatanan dan klasifikasi dirobohkan.

Tampak, Ranggawarsita memisahkan diri dari sana. Ia mener -ta wakannya—atau ia memilih menyendiri: mati sajroning nga u-rip, kalis ing rèh huru hara. Justru dengan begitu ia berbisik ke

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 207: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

182 Catatan Pinggir 10

EDAN

”telinga masa depan”: ke sebuah ma syarakat lain, yang belum ha-dir tapi dihasratkan, di mana status dan klasifikasi hilang.

Gerutu dan ejekannya menandai jalan ke masa itu—meskipun tak selalu jelas seperti apa. Yang jelas, pende ritaan manusia dirasa-kan kembali, protes diperbaharui, perjuangan dibangkitkan lagi.

Tempo, 6 November 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 208: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

183 Catatan Pinggir 10

AHAB

”Why is Moammar Gadhafi like Captain Ahab?” —The Wall Street Journal, 20 Oktober 2011

KAPTEN Ahab, dengan satu kaki palsu, dengan api ama rah yang berlanjut sampai tubuhnya tenggelam: ia tak mati-mati. Ia tokoh yang tak terlupakan di antara

de retan novel Amerika. Entah kenapa Herman Melville tak memilih nama Ahab un-

tuk judul novelnya, melainkan Moby Dick. Sosok kapten kapal pem buru paus ini juga tak segera ia tampilkan. Novel 135 bab itu praktis kisah Ishmael, seorang pelaut yang baru pertama kalinya ikut dalam perburuan seperti itu—sang pencerita yang seperti seorang murid yang terkesima akan penjelajahannya sendiri.

Bagi pembaca hari ini, Moby Dick (terbit tahun 1851) sebuah bu ku yang kedodoran. Uraiannya menyimpang ke sana-kemari, ko mentarnya melimpah ruah. Ada bagian yang seperti esai. Ada be berapa solilokui pendek, seperti dalam lakon Shakespeare abad ke-17. Tapi novel ini tetap saja seperti tak mau dilupakan. Na-thaniel Philbrick, seorang penulis sejarah maritim, bulan lalu me-ner bitkan Why Read Moby-Dick?. Dalam wawancara dengan The Wall Street Journal, Philbrick menjawab: dari novel ini kita me-nyadari bagaimana kekejian, mala, bisa merayap, pelan-pelan, me nakutkan.

Dan itu berkisar pada diri Ahab.Ahab baru mengambil tempat di akhir bab 16 Moby Dick: cu-

ma sebagai bahan percakapan, lalu menghilang. Di bab 21 ia dise-but sebagai sesuatu yang tak tampak. Ketika itu kapal Pequod si-ap berlayar. Awak kapal mulai naik, para penjaga layar bekerja, ke lasi sibuk. Tapi, ”Kapten Ahab tetap tak terlihat, dalam perse-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 209: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

184 Catatan Pinggir 10

mayaman kabinnya.” Baru ketika Pequod sudah beberapa hari di laut, Ahab muncul

di geladak. Ishmael menggambarkan sosoknya: sang kapten te-gak, kaki kirinya yang palsu yang terbuat dari gading menancap ke dalam lubang di geladak. Ia menatap laut. Tak berbicara. Tapi ia sepenuhnya sebuah aura.

Para awak kapal yang berada di sekitarnya tampak tak nya-man, rikuh, merasa diawasi oleh lelaki tua yang angker dan mu-ram yang terkadang duduk di kursi gadingnya itu. Ahab adalah ba yangan raja di bahtera, seorang Khan di anjungan, sultan kapal yang kadang-kadang mengundang makan para perwiranya ke da lam kabin. Dan di jamuan yang khidmat itu, sang kapten iba-rat singa laut dikitari anak-anaknya yang merunduk hormat.

Wibawa itu terbit dari sebuah energi: endapan dendam, ma-rah, obsesi. Dengan kata lain: kegilaan yang setengah terpendam. ”Aku kesetanan, aku adalah kegilaan yang dipergila,” katanya da-lam sebuah solilokui.

Ishmael menuturkan apa sebabnya: kaki kiri Ahab dibabat se-ekor paus putih raksasa yang buas yang hampir tak pernah tam-pak, makhluk buruan sekaligus teror. Para pemburu menamainya Moby Dick. Dalam sebuah perburuan, Ahab menghunus pisau-nya, menyerang monster itu dengan sengit. Tapi ia kalah. Moby Dick menghilang, dan Ahab berbulan-bulan tergeletak kesakit an di kapalnya yang melintasi dingin Tanjung Patagonia. Sejak itu, kegilaan mencengkeramnya. Ia harus diikat di hamoknya di ka-bin yang diguncang ombak.

Pelan-pelan, ia tampak pulih. Tapi sebenarnya kegilaan itu me resap lebih dalam....

Ia ingin membalas. Ia hendak menemui kembali Moby Dick. Ia jadi nakhoda Pequod buat mencapai tujuan tunggal itu. Ia bu-kan seperti pemburu paus yang lain yang melaut untuk men da-pat kan penghasilan. Bagi Ahab, tujuannya lebih berarti. Bagi-

AHAB

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 210: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

185 Catatan Pinggir 10

nya, obsesinya sah. Tapi itu menyebabkan mala itu merasuk ke da lam dirinya. Ia, yang dipenuhi dendam + benci, menganggap Moby Dick inkarnasi dendam + benci. Membunuhnya adalah se-buah misi yang berharga.

Dan bila Moby Dick ia anggap topeng kekejian yang total, se-perti Setan, Ahab pun meletakkan diri sebagai seorang pelawan yang absolut. Hidup sehari-hari menjadi hal yang boleh ada, bo-leh tidak. Ia tak peduli bila banyak orang akan terbunuh dalam misi itu.

Tapi di atas Pequod yang melewati beberapa samudra, perja-lanan ke tujuan besar justru dibangun oleh hidup orang-orang yang tak mau terbunuh. Ahab tahu itu. Ia harus menjaga agar ti-tahnya tetap dipatuhi. Ia masih sadar bahwa di luar egonya, ma-nusia tak bisa hidup hanya dengan tujuan yang absolut, apalagi yang ditentukan dari atas. Maka ia sesekali berkompromi. Ia mem beri peluang agar dalam hidup sehari-hari awak kapal tetap ada angan-angan tentang tujuan-tujuan kecil: uang, waktu berse-nang, saat-saat penting sebelum mati.

Apalagi ”yang keji” baginya belum tentu ”keji” bagi orang lain.

Sadar akan itu, Ahab meninggalkan sikap angkernya yang di-am. Ia mengimbau. Ia tak berbicara tentang kemungkinan yang fatal. Ia berbicara tentang heroisme. Kata & kharismanya mem-buat ia akhirnya didukung bahkan oleh orang yang tahu bahwa perjalanan Pequod adalah ekspedisi yang gila. Sang nakhoda me-nak lukkan para peragu.

Ia menaklukkan Starbuck: perwira kapal ini menentangnya. Starbuck mengingatkan bahwa seorang pemburu paus akan ha-rus menghitung keuntungan untuk pulang. Pada Starbuck (yang namanya dipakai untuk bisnis kedai kopi itu) tersisa sifat borjuis para majikan di bandar Nantucket, tempat kapal itu mendapat-kan modalnya.

AHAB

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 211: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

186 Catatan Pinggir 10

AHAB

Tapi akhirnya sifat borjuis itu lumer. Ahab pun membawa se-luruh kapal menemui Moby Dick, menemui kematian: sesuatu yang tak bisa dihitung dengan uang, sesuatu yang tak mudah di-pa hami—juga oleh Ishmael, satu-satunya kelasi yang selamat.

Namun agaknya ada yang mengagumkan dalam sebuah obse-si yang tak pernah gentar, di mana kekejian dan anti-kekejian ber-gulat dan sekaligus bertaut. Mungkin itu sebabnya sejak abad ke-20 (ketika imajinasi besar diramaikan orang ramai), para pemim-pin yang gagah, berwibawa, dan terkadang ngawur, juga pa ra dik tator, tak selalu dikutuk.

Tempo, 13 November 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 212: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

187 Catatan Pinggir 10

HEWAN

”Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu.... Hendaklah kalian menajamkan pisau [yang akan dipakai] dan senangkanlah hewan yang akan disembelih”—Hadith.

DI abad ke-21, hewan menghilang. Kita memang melihat kambing dan sapi berderet di pasar tepi jalan. Tapi bah-kan di hari raya kurban, orang kota besar tak menemui

makh luk hidup itu. Ternak itu hanya komoditas, benda-benda yang muncul dalam nilai tukar. Mereka dengan mudah dibeli dan dikirim ke tempat penyembelihan. Dan dalam pesta makan yang asyik kemudian, ada sesuatu yang dilupakan—sesuatu yang se benarnya hari itu dikukuhkan kembali: pertalian manusia de-ngan apa yang hidup dan yang mati.

Pertalian itulah (yang diisyaratkan hadith, hingga kita harus ”ber buat baik terhadap segala sesuatu”) yang membuat hari raya kur ban tak dimaksudkan sebagai hari pembantaian massal. Ke-matian hewan adalah saat yang khidmat. Ia secara radikal berbe-da dengan jam-jam produksi daging di abattoir Amerika, yang se-jak pertengahan kedua abad ke-20 didesain Grandin untuk me-ningkatkan efisiensi dan laba. Di ruang-ruang pembunuhan itu, trau ma, kesedihan, dan hal sejenisnya akan dianggap pemboros-an.

Di situlah bedanya: hari raya kurban bukan hari yang acuh tak acuh. Di hari itu kita sebenarnya tak hanya mendengar cerita ten-tang dahsyatnya iman Nabi Ibrahim, tapi juga kesedihan hatinya yang dalam: pengorbanan itu amat besar maknanya karena ada hubungan yang tak tergantikan antara yang akan mengorbankan dan yang akan dikorbankan. Maka di hari kurban, manusia di-harapkan peka akan kekejaman yang akan dilakukan dan kesa-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 213: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

188 Catatan Pinggir 10

lah an yang bisa terjadi. Dengan pisau yang terhunus, manusia tak pantas berlaku bengis. Nabi pernah menegur seseorang yang se-belum menyembelih menginjakkan kakinya di atas pipi kambing se raya mengasah pisau. Kekejaman tak boleh berkali-kali.

Di rumah jagal modern, kekejaman bisa berkali-kali. Tapi de-ngan teknologi yang berjarak. Manusia tak akan berbisik buat me nyenangkan lembu yang akan dibunuh; nyawa hanya angka. Pa ra operator abattoir tak akan peduli bila yang akan dipotong se-ekor sapi muda yang kemarin berdiri manis di padang rumput—sapi yang tak tergantikan, sapi yang menitikkan air mata—bu-kan calon daging yang akan diganti uang.

Kapitalisme, atau sistem apa pun yang mengasingkan hidup dari kehidupan, membuat alam & hewan hanya sebagai cadang-an konsumsi yang dihitung. Orang lupa bahwa ”ada” berarti ”men jadi-dengan-yang-lain”. Tiap kali manusia mengkonsumsi se suatu, sesuatu pun berkorban, sesuatu pun dikorbankan.

Tapi manusia rakus dan hewan diubah. Para satwa diletakkan dalam kotak; ”mereka” bukan lagi ”kita”. Dinding pemisah di ba-ngun, sering secara harfiah.

Dari Jardin des Plantes, Paris, Rilke, sang penyair, melukiskan din ding pemisah itu dalam sajaknya yang menyentuh, Der Pan-ther. Di kebun itu ia lihat seekor macan kumbang menatap ke luar da ri kerangkengnya, tapi

Pandangannya, dari balik lintasan jeruji jadi lelah, tak mampu menangkap apa pun lagi. Seakan ada ribuan jeruji, dan di belakang sana: dunia tak ada lagi.

Jardin des Plantes, tempat macan itu disisihkan, dibangun pa-da 1793. Seperti London Zoo (didirikan pada 1828) ia bagian da-ri zaman yang makin mendorong ”the cultural marginalization of

HEWAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 214: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

189 Catatan Pinggir 10

animals” yang digambarkan John Berger: zaman kerakusan, za-man kemajuan. Berger (dalam Why Look at Animals) memandang kebun binatang sebagai ”dukungan untuk kekuasaan kolonial mo dern”. Ke Paris dan London satwa negeri jajahan didatangkan sebagai bagian dari jarahan.

Dan penjajahan tak hanya di situ. Hewan dibawa mendekat, ta pi dihapus. Imajinasi modern membuatnya hanya makhluk imi tasi. Walt Disney menciptakan Donald Duck pada 1934: si bebek berperilaku seperti warga kelas menengah Amerika. Da-lam kartun ini manusia adalah template—pola yang sebelumnya sudah tampak dalam The Jungle Book Rudyard Kipling. Kita ingat tokohnya, Mowgli. Anak ini besar bersama serigala di hutan In-dia itu. Tapi di sekitarnya satwa liar yang berbudi atau yang jahat tampil dalam wajah orang: si penyayang atau si pembenci. Di akhir abad ke-19 itu, Kipling membaca sejarah hanya sebagai wa-cana manusia. Bahkan baginya ”manusia” adalah sang pemben-tuk peradaban, dan peradaban adalah kolonisasi modernitas, tu-gas orang kulit putih, ”the white man’s burden”.

Tak ada lagi sejarah lain. Dulu ada catatan tentang pertautan sat wa dengan manusia. Manusia menamai hewan dan meman-dang diri sendiri dengan nama itu: ”Crazy Horse” di Amerika, ”Ha yam Wuruk” di Majapahit. Hubungan mimetik itu juga hu-bungan empatik: hewan adalah liyan, bukan imitasi; ia tak untuk di ringkus. Kerbau Si Binuang dalam cerita Cindur Mata punya mi s terinya sendiri.

Tentu, hewan bisa jadi korban; ia ”korban bakaran” dalam tra disi Yahudi dan kurban sembelihan dalam Islam. Ia bisa diper-lakukan hanya sebagai alat tukar untuk beroleh sesuatu dari Tu-han. Tapi tak cuma itu. Jika kita ingat yang menggantikan putra Ibrahim adalah seekor domba hidup, bukan benda, kita akan sa-dar betapa akrab dan ambigunya hubungan sesama makhluk ber nyawa.

HEWAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 215: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

190 Catatan Pinggir 10

HEWAN

Aśvamedhá, upacara raja-raja Hindu, lebih menegaskan ambi-guitas itu: antara kekuasaan dan bukan kekuasaan, antara penak-lukan dan ketakjuban. Seekor kuda dilepas ke timur laut selama se tahun. Bila ia memasuki wilayah yang bermusuhan, daerah itu ha rus direbut. Ketika kuda itu akhirnya kembali, ia pun dibu-nuh—dengan upacara pengorbanan yang penuh hormat.

Kekejaman, kekuasaan, pengorbanan: agaknya manusia sela-lu diingatkan, ia hidup bersama ”hewan yang lain”. Dalam arti ter tentu, ia juga ”hewan yang lain”.

Tempo, 20 November 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 216: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

191 Catatan Pinggir 10

AROK

SEPERTI orang lain, saya ingin menulis tentang Ken Arok: pe rampok dari Pangkur, pembunuh yang tak takut, peran-cang kekuasaan yang membuat sejarah jadi cerita tentang

am bisi dan kematian. Tentu saya tak bisa menulisnya seperti Muhammad Yamin pa-

da 1928, masa kebangkitan nasional: Ken Arok dan Ken Dedes-nya berakhir dengan sang tokoh rela ditikam untuk menjaga per-satuan sebuah negeri.

Saya juga tak akan bisa menulisnya seperti Pramoedya Ananta Toer. Dengan tepat dan tajam Pramoedya menunjukkan, takhta dan kasta adalah tempat yang oleh sejarah bisa diisi siapa saja, ju-ga oleh seorang sudra seperti si Temu. Orang yang kemudian jadi Arok ini tanpa ”sedikit pun darah Hindu dalam dirinya,” seperti di sebut dalam Arok Dedes. Tapi tokoh Pramoedya, yang berhasil me ngenal 100 ribu bait Mahabharata, adalah pembangun keraja-an, justru karena ia di luar klasifikasi sosial dan keyakinan di ma-sanya.

Ken Arok yang ingin saya tulis akan lain. Hari ini kita butuh ki asan yang berbeda.

Sebagian akan saya ikuti Pararaton, riwayat hidup si berandal yang kemudian mendirikan Kerajaan Singasari itu. Dalam nas-kah dari abad ke-15 itu diceritakan, bahkan sebelum ia menitis se-bagai Arok (ditulis ”Angrok”), ia sudah orang yang ”berperilaku tak baik, memutuskan kendali kesusilaan, jadi pengganggu Hy-ang yang gaib”, lumaku tan rahayu amegati apusira pinakapamañ-cananing hyan Suksma.

Kemudian ia dilahirkan kembali di Desa Pangkur, di wilayah Tu mapel. Tapi tak lama keluar dari rahim, oleh ibunya—yang me ngandung karena perselingkuhan (dalam Pararaton disebut

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 217: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

192 Catatan Pinggir 10

pe rempuan itu dihamili Dewa Brahma)—ia dibuang di sebuah pe kuburan anak-anak. Seorang pencuri menemukannya dan mem besarkannya. Dan Arok pun tumbuh jadi penjudi, perusuh, pemerkosa, yang berkali-kali dikejar dan diburu, tapi selalu lepas.

Kata sang pencerita, dewa-dewa menolong menyelamatkan-nya.

Mithos sering punya keganjilan yang arif: dewa-dewa tak pe-duli akan ”kebaikan” dan ”kejahatan”. Mungkin karena semua itu akhirnya membingungkan, di sebuah masa ketika sistem ke-ya kinan tak bisa utuh lagi. Pararaton ditulis ketika agama Hindu ber silang-selisih, dan tentu saja bersentuhan, dengan Buddhisme. Da lam keadaan itu, kekuatan yang berhasil—bukan sistem keya-kinan—adalah yang dianggap penentu sejarah. Maka sejumlah orang pun menyingsingkan desain kekuasaan. Seperti hari ini.

Dalam Pararaton kita temukan imaji yang destruktif di sekitar sang tokoh—bagian dari karisma dan apa yang dianggap nubuat: orang luar biasa ini kelak punya kekuasaan yang brutal dan eks-pansif.

Maka saya akan memulai cerita saya dengan satu adegan ma-lam: Arok terbaring tidur. Pada saat itu, dari ubun-ubunnya kelu-ar beratus-ratus kelelawar, hitam, tanpa henti. Pararaton melukis-kannya dalam satu kalimat Jawa Kawi yang lugas: ”lalawah metu saking wunwunanira Ken Angrok adulurdulur tanpapegatan”. Tapi di situ kita lihat satu momen yang ajaib, seram, dan ganas: imaji yang menggambarkan hasrat yang tak pernah puas untuk mere-but dan mengerkah.

Jika nanti saya menafsirkan Pararaton, pembaca tentu telah me ngenal Macbeth. Dalam lakon ini Shakespeare juga menampil-kan hasrat yang tak pernah puas, tapi juga tak tenteram: sebuah keadaan tragik, bukan kisah yang heroik.

Sebab Arok, bagi saya, adalah makhluk yang keluar dari cer-min, tempat kita berkaca. Di sana tersimpan tuah dan tulah. Saya

AROK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 218: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

193 Catatan Pinggir 10

se but ”tuah” karena, dengan hasrat yang membuat kita perkasa, ki ta mampu melakukan yang hampir mustahil; ”tulah” karena itu bisa merupakan kutukan. Dalam Pararaton, Arok bisa terbang dengan bersayapkan dua helai daun tal. Ia melampaui kemampu-an manusia biasa. Tapi itu juga awal dari tulah yang membentuk dirinya: ia tidak hanya melampaui apa yang fisik, tapi juga me-lam paui keinginan orang kebanyakan; dengan itu ia mulai jalan ke kematiannya sendiri.

Orang ini dengan gampang membunuh. Ia tikam Empu Gan-dring, sang pembuat keris. Kesalahan orang tua ini hanya terlam-bat menyelesaikan kerjanya yang didesak-desak itu. Kita tahu, Arok tak punya kesetiaan kepada siapa pun. Ia selalu siap ber khi-a nat dengan menumpahkan darah.

Pada satu tahap dalam hidupnya, ia meninggalkan dunia kri-minal. Ia tak lagi di luar tata sosial. Ia diterima dan dipercaya se-ba gai pengawal penguasa Tumapel, Tunggul Ametung. Tapi pa-da suatu malam yang gelap, ia bunuh akuwu itu. Setelah itu, ia kor bankan Kebo Hijo. Pemuda ini dihukum mati karena dialah yang dituduh sebagai si durjana. Arok tak membelanya. Meski-pun Pararaton menyebut Kebo Hijo punya hubungan cinta (asih-sihan) dengan dirinya.

Arok dan Macbeth: para peraih. Macbeth memulai serangkai-an pembunuhan untuk meraih takhta dan mempertahankannya. Dan ia coba menghalalkan semuanya dengan sikap seorang nihi-lis, meskipun ia sedikit gemetar. Tak ada nilai, tak mungkin ada makna. Merisaukan. Tapi akhirnya kesimpulannya suram: hidup ha nya sebuah kisah yang disampaikan seorang idiot, ”penuh hi-ngar dan murka, tanpa arti apa-apa”.

Pada Arok, nihilisme itu dikukuhkan Lohgawe. Lohgawe, seorang pendeta dari seberang, mendampinginya.

Ta pi bahkan dengan keyakinan agama yang dibawanya, baginya Arok hanyalah sebuah proyek kekuasaan. Agama hanya berarti

AROK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 219: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

194 Catatan Pinggir 10

AROK

ji ka masa depan adalah kemenangan. Demikianlah pada suatu hari pemuda itu datang mengung-

kapkan niatnya menghabisi Tunggul Ametung, untuk merebut is trinya, Ken Dedes. Nasihat Lohgawe ambigu: ”tan ulahaning pan dita, ahingan sakaharepira”. Ia orang suci, tak bisa memberi Arok restu untuk kejahatan itu; tapi ia persilakan Arok melaku-kan apa yang dikehendakinya.

Dan yang ganas pun terjadi. Dan kita yang kenal kisah Ken Arok tahu: kebrutalan dan ambisi itu berjalin, terus.

Tempo, 27 November 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 220: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

195 Catatan Pinggir 10

TINTIN

SAYA menemukan Tintin pertama kali di sebuah rumah di dusun Marly-le-Roi, beberapa kilometer dari Paris, tempat saya berlibur bila kuliah jeda. Itu tahun 1965. Pada suatu

ma lam, saya lihat setumpuk buku cerita bergambar di sudut ka-mar. Saya memungutnya. Saya pun tak berhenti membacanya—dan tertawa berkali-kali: humor adalah pemikat awal (dan akhir) ko mik ini.

Yang punya rumah dari ruang makan mendengar saya tertawa sen dirian. ”Kasihan kamu,” katanya. ”Baru se karang kamu kenal Tintin.”

Tentu saja ia benar. Ia orang Belgia; ia dibesarkan de ngan ceri-ta bergambar itu; saya orang Indonesia, dari se buah masa ketika ba caan dari ”Barat” hampir mustahil masuk. Tapi sebetulnya tak ja di soal kapan dan bagai mana seseorang mengenal tokoh fiktif cip taan Georges Prosper Remi ini. Sejak 1929, sejak Remi, de-ngan nama Hergé (”R.G.”), memuatnya tiap pekan di halaman Le Petit Vingtieme, sampai 2011, ketika Steven Spielberg membu-at The Adventures of Tintin, tiap hari orang me nemukan Tintin. De ngan senang hati.

Sebenarnya jagoan ini tak akan memikat, andai ia tampil sen-diri di luar cerita. Ia tak tinggi, tak tegap. Parasnya klimis; pipi itu tampak lunak seperti kue sus. Kulitnya putih susu. Dengan ram-but pirang yang berjambul, dengan pakaian yang sesopan sis wa sekolah Minggu, Tintin tampak bersih sampai ke ulu hati. Ia tak per nah mencoba mengganggu. Ia sopan. Ia datar. Ia membosan-kan.

”Every hero becomes a bore at last,” kata Ralph Waldo Emerson.Pahlawan, tokoh cerita yang dipaparkan untuk memenangkan

niat baik, umumnya diletakkan dalam kategori manusia luar bi a-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 221: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

196 Catatan Pinggir 10

sa—tapi dengan norma kebajikan yang biasa. Superman: ia, yang hi dup dalam imajinasi Amerika sejak tahun 1930-an, seorang makh luk ajaib dan sekaligus imigran dari planet lain. Tapi ia se-benarnya menegakkan nilai-nilai yang tecermin dari cara Clark Kent berperilaku sehari-hari: seorang warga mayoritas yang me-ra sa utuh bila mengenakan jas dan dasi. Ia orang yang tak akan meng gebrak sekitarnya. Ia pahlawan karena ia mene guhkan apa yang bisa membuat tenteram orang ramai.

Seperti Clark Kent, Tintin tak tampak asing. Lagi pula ia bu-kan imigran. Lahir untuk mengisi lembaran anak muda dari ko-ran Le Vingtième Siècle—sebuah surat ka bar Katolik Belgia yang kon servatif—Tintin sejenis santo sehari-hari: orang amat ba-ik yang tak datang dari pe ngorbanan yang ekstrem. Umurnya mung kin 20-an. Saya tak tahu latar belakang keluarganya, tapi pas ti bukan pembangkang konformitas warga Brussel yang lama. Ia bukan pemuda nakal. Tak akan ada adegan Tintin mi num-mi-num di bar di antara perkelahian. Tak akan ada ciuman bernafsu. Dalam Tintin, pahlawan ditampilkan sebagai selibat, tubuh yang tan pa seks—karena seks, se perti difatwakan Gereja, adalah najis.

Itu sebabnya ia tak memikat—terutama di zaman ini, ketika pa ra santo tak disalibkan, melainkan ditertawa kan.

Namun ada yang berharga dari Tintin: ia mengajak kita seje-nak lepas dari zaman yang penuh sinisme ini. Memang, sikapnya yang lurus bisa membuat tertawa me reka yang tak percaya bahwa masih ada kesatria yang tanpa pamrih. Tapi ada tertawa lain yang terdengar. Ki sah petualangannya menimbulkan gelak, tapi gelak yang tak ganas, gelak yang justru membuat kita akrab dengan orang lain, betapapun menggelikannya orang itu.

Tintin dikenang bukan sebagai kisah keberanian. Yang tak ter lupakan adalah apa yang nakal dari Milou alias Snowy, anjing-nya yang bandel, apa yang konyol dari Thompson & Thomson, dua agen rahasia yang bodoh itu, dan apa yang meledak-ledak da-

TINTIN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 222: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

197 Catatan Pinggir 10

ri Haddock, si pemabuk yang ribut.Demikianlah sang pahlawan yang membosankan mem be-

ri ru ang bagi sosok yang tak seperti dirinya: orang-orang yang meng asyikkan.

Itu sebabnya gambar Hergé terdiri atas dua lapis. Lapis perta-ma tanpa detail yang ”realistis”: wajah Tintin yang datar. La pis ke dua: latar yang rinci dan ramai tentang sebuah tempat, ka ta-kanlah di Rusia atau di India.

Di lapis pertama kita temukan Tintin yang rapi seperti dalam formula. Di lapis kedua: kocak yang gila-gilaan. Di sini Haddock melontarkan lebih dari 200 jenis sumpah serapah; atau kita de-ngar suara sopran yang bikin pusing dari Bianca Castafiore; atau in terupsi yang menjengkelkan dari agen asuransi Seraphin Lam-pion (alias Jolyon Wagg).

Begitulah, dalam Tintin humor tumbuh dari sikap membuka diri terhadap yang beda: mereka yang menggelikan, yang tak kita kagumi, tapi kita sayangi. Tak aneh bila cerita ini bisa memperta-likan manusia lewat 80 bahasa.

Tapi tak dengan sendirinya. Tintin juga punya sejarah myopia Ero pa. Petualangan di Kongo (terbit pada 1930) mencerminkan Hergé yang memandang bangsa Afrika sebagai makhluk asing yang ditundukkannya. Mereka mirip monyet hitam yang malas dan bodoh. Di satu ade gan seorang perempuan Kongo berterima ka sih dan me nyembah Tintin—dan Milou, anjingnya, dengan po ngah berkata, ”Kita paling top, kan?”

Hergé kemudian menyesal dengan karya itu. Ia ber ubah.Pada usia 27, ia ketemu Chang, seorang mahasiswa Cina yang

belajar di Brussel. Mereka bersahabat. Keti ka pada 1958 lahir pe-tualangan Tintin di Tibet, ikatan batinnya dengan orang asing mun cul: dengan tekad luar biasa, Tintin menyelamatkan Chang, sa habat kecilnya yang disekap oleh yeti, hewan misterius di Hima-laya itu. Dalam proses itu, para rahib Buddha menyumbangkan

TINTIN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 223: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

198 Catatan Pinggir 10

TINTIN

ilmu gaib mereka.Chang pun selamat, dan yeti itu ternyata bukan makh luk ja-

hat. Ia memandang Chang pergi meninggalkannya. Sayu, tapi re-la. Ia seakan-akan saksi: dengan cinta yang besar, makhluk yang aneh itu, manusia, bisa berhasil, tapi bukan menang.

Tempo, 4 Desember 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 224: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

199 Catatan Pinggir 10

PEKIK

IA selintas mirip Ho Chi Minh yang menyamar jadi buruh per kebunan tebu. Kurus. Misainya memanjang tapi tak rim-bun. Rambutnya yang lurus rada kacau, gondrong tapi tak

berjela. Keriputnya kentara di kulit wajahnya yang gelap terjemur matahari, tapi otot itu tampak masih liat. Matanya sipit, dengan ti likan tajam (lewat kacamata) yang jail. Atau jenaka.

Djoko Pekik, 70 sekian tahun, masih bisa menertawakan na-sib dan dirinya. Saya rasa pelukis ini, dengan sikap ironis, sedang ber bahagia.

Dan itu sebuah cerita tersendiri.Siang itu saya berdiri di sebelahnya, di tepi Kali Bedhog yang

meng alir tipis dan lirih di kiri rumahnya. Serumpun bambu ting-gi menaungi petak tanah itu, sebagaimana ratusan pohon mene-duh kan tanahnya di Desa Sembungan itu. Tenteram. Tadi, keti-ka kami duduk di bangku, menghadapi gelas kopi manis dan pi-ring pisang rebus, ia serius bertanya: apa sebenarnya nasib bagi-nya? Saya tiba-tiba teringat sebaris sajak saya sendiri: ”Tuhan, ke-napa kita bisa bahagia?”

Pada tahun 1965, Djoko Pekik ditangkap, bersama ribuan orang yang dianggap mendukung PKI. Bersama sederet pelukis la in, anggota grup Bumi Tarung yang aktif di Yogya, juga hampir se mua anggota Lekra, ia disekap. Pekik dikurung di Benteng Vre-deburg, bangunan buatan VOC ketika mempertahankan ceng-keramannya di wilayah Mataram.

Entah berapa ratus orang ditahan di sana. Bisa saya bayangkan betapa padatnya benteng itu. Hampir tiap hari ada tahanan yang ma ti, dan tak cuma satu: karena sakit, kelaparan, penyiksaan. Pe-kik teringat ketika pagi hari para tahanan dijemur, disuruh du duk mencangkung dan menatap ke tanah berjam-jam—sementa ra

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 225: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

200 Catatan Pinggir 10

ada tentara yang naik dan berjalan menginjak-injak deretan kepa-la mereka, menendangkan sepatu, memukulkan popor bedil.

Trauma merasuk ke dalam diri Pekik sejak itu; ia gemetar tiap me lihat warna hijau, warna seragam militer. Setelah 1972, setelah ia lepas dari tahanan dan punya rumah sendiri, ia lawan trauma-nya dengan cara seorang pelukis: ia cat semua dinding rumahnya dengan warna hijau. Trauma itu pun hilang.

”Saya ini orang yang beruntung,” katanya. Di antara kebrutal-an yang disaksikan dan dialaminya, dalam penjara ia masih ke te-mu tentara yang menunjukkan kebaikan-kebaikan kecil: meng-ajari nya mengecat topi baja dan kopelrim, membiarkannya ma-kan di dapur sampai hampir mati kekenyangan, tak menyiksanya ke tika ia dipergoki lepas sebentar untuk beli gula jawa di pasar de-kat Benteng Vredeburg.

Tapi nasib baiknya yang terbesar datang karena Bung Karno. Sekitar awal 1966 Bung Karno, yang tahu penyekapan besar-be-saran yang terjadi tapi tak cukup kuasa untuk melepaskan mere-ka (waktu itu, Soeharto, bukan Sukarno, yang praktis mengen-dalikan keadaan), diam-diam memanggil Overste Mus Suba g-yo. Perwira polisi militer yang berkuasa di Yogya ini kemudian ber cerita kepada Pekik: Bung Karno berpesan agar para seniman yang ditahan tak dihabisi. ”Menghasilkan seniman itu le bih su-sah dari menghasilkan insinyur, Mus,” kata Bung Karno me nu-rut cerita Mus Subagyo kepada Pekik.

Mus Subagyo—kabarnya perwira yang ikut menangkap Ke-tua PKI D.N. Aidit—menghormati Bung Karno sungguh-sung-guh, dan ia tahu Bung Karno benar. Ia laksanakan pesan itu.

Djoko Pekik salah seorang yang diam-diam diselamatkannya. Pelukis itu (waktu itu ia bukan apa-apa) diberi ruangan tersendiri di sebuah rumah di luar Vredeburg. Ia tetap dikurung, tapi punya ke sempatan berkarya. Pekik sempat membuat sebuah patung. Ia tam paknya tak pernah melupakan jasa perwira polisi militer itu.

PEKIK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 226: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

201 Catatan Pinggir 10

Pada 1969, dalam umur 30, di tahanan, Pekik menikahi Tini Pur waningsih. Perempuan manis yang lebih muda 12 tahun ini di kenalnya ketika ia masih kuliah di Akademi Seni Rupa Indone-sia di Gampingan. Tini dulu tinggal di belakang sekolah itu. Pasti ada yang mengikat hati gadis Katolik ini hingga ia mau bersuami-kan seorang tahanan ”Gestapu”, lelaki dari keluarga tani Dusun Ke dungwaru di Grobogan yang tak punya apa-apa. Apa pun yang menjadikannya, pernikahan mereka panjang dan tenang. De lapan anak lahir, yang sulung ketika Pekik masih dalam status tahanan.

Ketika ia akhirnya bebas, ia mencari nafkah dengan jadi pen-jahit. Sesekali melukis dengan bahan seadanya. Hidup amat- amat sulit. Ia berjualan kain dengan naik sepeda ke tempat-tem-pat jauh. Tapi akhirnya ia ”ditemukan”: karya-karya cat minyak-nya yang sempat ia buat mengejutkan para peminat seni rupa. Sa-lah satunya, Ketika Keretaku Tak Berhenti Lama, dipilih untuk ikut dibawa ke Amerika buat pameran seni Indonesia besar-besar-an di tahun 1991.

Hidup Pekik berubah. Ia jadi dikenal, ia jadi makmur. Ia mem-beli tanah yang luas di Kelurahan Bangunjiwo di Kecamat an Ka-sihan, Bantul. Saya lihat ada seperangkat gamelan yang dimain-kan para niyaga, konon tiap Jumat Kliwon. Teman lamanya, juga teman baru, hampir tiap kali bertandang.

Tapi ia tak lupa, lebih dengan rasa sedih ketimbang sakit hati, ba gaimana di hari-hari awal kebebasannya ia tetap disisihkan, ju-ga oleh sesama seniman. Saya kira Reformasi 1998 yang membe-ri nya lebih banyak momen bersyukur tanpa mengucapkannya.

Apa sebenarnya arti nasib?Siang itu saya berdiri di sebelahnya, memandangi Kali Bedhog

yang mengalir lirih. Pekik sedang merencanakan pameran yang unik: membawa karya beberapa pelukis di atas rakit, bersama arus. Ketika ia minta bantuan untuk membersihkan sungai itu,

PEKIK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 227: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

202 Catatan Pinggir 10

PEKIK

tak disangkanya komandan militer setempat mengirim 150 pra-jurit. Kemudian datang bekerja beberapa puluh polisi.

”Saya orang yang beruntung,” kata Djoko Pekik. Juga Indonesia, tanah airnya, negeri yang beruntung: teror,

trau ma, dendam, permusuhan lama, akhirnya bisa juga dilarung, di bawa arus waktu. Entah ke mana.

Tempo, 11 Desember 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 228: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

203 Catatan Pinggir 10

PRABANGKARA

DAHULU, di Majapahit, seorang pelukis diperintah Ra-ja Brawijaya membuat potret sang Permaisuri. Hasilnya me nakjubkan. Ratu Mas Andarawati seakan-akan ber-

pindah ke kertas itu.Prabangkara memang dikenal sebagai juru sungging yang pia-

wai. Brawijaya menyayangi pemuda tampan dan berbakat itu, yang sebetulnya anak kandungnya sendiri dari seorang janda yang ia tiduri di sebuah perjalanan di luar kota. Ketika Baginda da tang melihat hasil karya itu, ia termangu-mangu, kagum.

Tapi sesuatu terjadi.Brawijaya menemukan satu noktah di lukisan itu. Ia naik da-

rah. Prabangkara gugup dan mencoba menjelaskan: ”Mohon ma-

af, Paduka, tetesan tinta ini belum sempat hamba hilangkan.”Tapi justru bukan kecerobohan yang membuat Raja marah.

Nok tah itu persis terletak di tempat yang, dalam keyakinan Ba-gin da, hanya dia yang tahu. Babad Jaka Tingkir menuliskan ung-kapan Brawijaya dengan tembang dalam metrum sinom:

jroning kėn-nya yayi dėwi punang as ana cirinya andheng-andhengira wilis.

(Dalam kain permaisuriku, ‘as’-nya ada cirinya, yakni tahi lalat warna hijau tua).

Raja memakai kata ”as”, mungkin untuk memperhalus. Ke-mudian dijelaskan, kata itu berarti ”pawadonan” atau ”vagina”.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 229: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

204 Catatan Pinggir 10

Se sungguhnya Brawijaya meradang. Prabangkara tak mungkin akan dapat tahu ciri rahasia pada as itu, kecuali—dan inilah ke-sim pulan Baginda—bila anak muda yang rupawan itu pernah ber sebadan dengan sang Permaisuri.

Di sini kita tahu, sebenarnya sang pencerita mengisahkan se-sua tu yang mustahil. Bagaimana bisa di gambar itu Raja melihat ada titik di bagian vagina jika karya Prabangkara bukan potret An darawati yang telanjang?

Tapi umumnya kita memaafkan keanehan penulis babad—dan menduga-duga sesuatu yang tersirat dalam cerita ganjil se-perti ini.

Maka baiklah saya teruskan: Brawijaya cemburu dan murka. Ia perintahkan Prabangkara dibunuh.

Penulis Babad Jaka Tingkir menunjukkan, Raja keliru. Diki-sah kan Patih Gajah Mada mengingatkan: hukuman itu hanya ce tusan amarah; Baginda kelak akan menyesalinya.

Brawijaya mendengar.Tapi bagi saya ia keliru sejak mula: ia tak mengerti bahwa da-

lam sebuah karya kreatif, setetes tinta bisa sebuah peristiwa ter-sendiri, terlepas dari wilayahnya semula. Bak mawar yang terlepas dari tangkainya dan disematkan di baju, terjadi me ta mor fosis; la-hir sesuatu yang baru.

Artinya, tak ada makna yang ditentukan oleh wujud sebelum-nya. Pada potret Andarawati, makna noktah itu tak terkait de-ngan gambar tubuh sang Ratu. Bahkan tak diarahkan si pelukis.

Tapi bisa dikatakan Brawijaya tak 100% salah. Prabangkara di asumsikan hanya memotret. Maka Raja anggap titik hitam itu mengacu ke ciri rahasia Permaisuri. Baginda meletakkan tetesan tinta itu dalam sebuah wilayah tafsir yang ia kuasai. Sebagai raja, Bra wijaya memang ”teritorial”: menguasai wilayah, mendomina si ruang hidup berikut simbol dan artinya. Di situ pula diletakkan-nya Andarawati: perempuan itu istri, ia milik. Batas pun didiri-

PRABANGKARA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 230: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

205 Catatan Pinggir 10

kan; dalam bahasa Jawa, itulah pager ayu.Tapi cerita Prabangkara justru berlanjut dengan pagar yang

tak tampak. Brawijaya akhirnya tak membunuh pelukis itu. Prabangkara

diperintahkan pergi. Sejauh-jauhnya. Sebuah rencana disiapkan Gajah Mada: Prabangkara akan diberangkatkan ke angkasa. Un-tuk itu dibuat layang-layang dengan lebar hampir 12 meter.

Saya tak tahu apa yang dimaksud dengan ”layangan” dalam babad ini. Dikatakan oleh penulisnya, teks ini digubah pada 23 Agustus 1820; mungkin saja imajinasinya bersentuhan dengan ka bar tentang balon di Negeri Belanda yang pertama kali diken-da rai manusia 16 tahun sebelumnya: 29 September 1804.

Pendek kata, Prabangkara naik. Kendaraan itu dilengkapi ka-mar, bekal, dan peralatan. Baginda, kata sang Patih, memerintah-kan agar anak muda itu ”melukis semua isi angkasa”.

Tak jelas seriuskah titah itu. Ada kata yang mengesankannya ha nya dusta yang halus, ingapuskrama. Babad Jaka Tingkir penuh ambiguitas di sekitar kepergian Prabangkara.

Bisa diartikan, dengan mengirim pemuda itu ke angkasa, Raja menegaskan, Prabangkara tak pantas jadi bagian teritorium apa pun.

Sebaliknya bisa juga diartikan, Brawijaya menebus kesalahan-nya. Ia tahu Prabangkara bukan seperti dirinya, penguasa yang se lalu ingin menegakkan milik dan wilayah. Seorang seniman men cipta, dan ia berada dalam proses ”deteritorialisasi”.

Tapi ini pun ambigu. Prabangkara diperintah ”menggambar se antero isi langit”. Melukis saniskara isining gegana mengasumsi-kan adanya kemampuan panoptik. Di sana, daya melihat semesta ada lah tanda kekuasaan.

Melihat memang bisa berarti menguasai, tapi menggambar ada lah menghadirkan kembali dunia. Tugas Prabangkara hanya menirukan, bukan melahirkan sesuatu yang baru. Seninya sebu-

PRABANGKARA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 231: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

206 Catatan Pinggir 10

PRABANGKARA

ah laku mimetik, untuk dinilai oleh ”publik” (dan kekuasaan yang mengendalikan wacana publik), sebagai ”persis” atau ”tak per sis”. Bukan kreatif atau tidak.

Bahkan obyek gambarnya diberi batasan oleh Raja dan patih-nya: angkasa, bukan as di balik kain; langit jauh, bukan tabu yang dikukuhkan lembaga penguasa nilai-nilai di wilayahnya....

Syahdan, akhirnya, Prabangkara mendarat di dusun Yut-wa-hi, di Cina. Ia jadi anak angkat seorang janda. Ia kemudian sukses sebagai perupa. Ia diterima di Istana Kaisar, bahkan dinikahkan de ngan putri Putra Mahkota.

Dan ia tak pulang. Ia tak kembali ke Majapahit, tapi kembali ja di bagian sebuah wilayah. Ia masuk ke kehidupan baru—yang sebenarnya tak baru: istana, takhta, tembok, tabu.

Prabangkara, yang berbakat menirukan apa yang sudah ada, dengan cepat menyesuaikan diri. Jinak. Tak ada lagi dawat mun-crat tak terduga, tetesan liar yang jadi peristiwa kreatif tersendiri.

Tempo, 18 Desember 2011

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 232: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

207 Catatan Pinggir 10

MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

...ide-ide Niccolo Machiavelli... sangat bermanfaat... pendekatannya ter-fokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, mencip-takan, dan memanfaatkan sumber daya politik. Pendekatan ini berbeda sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya... yang amat membatasi atau malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.—R. William Liddle, ”Marx atau Machiavelli: Menuju Demokrasi yang Bermutu di Indonesia dan Amerika”, Nurcholish Madjid Memo ri-al Lecture, di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, 8 Desember 2011.

MACHIAVELLI adalah kata kotor yang sulit dielakkan. Na ma itu selalu dikaitkan dengan kalimat ”tujuan meng halalkan cara”. Tapi orang Italia ini juga menu-

lis sebuah buku yang selama 500 tahun diperbincangkan, ten-tang manusia dan politik. Ia bukan pengarang dengan semboyan pendek.

Tapi ia juga bukan filosof dengan teori besar. Ia berangkat dari pengalaman—jalan yang ujungnya kegagalan. Bukunya itu, Il Principe, yang rampung di tahun 1516, ditulisnya di sebuah vila tua tempat ia mengundurkan diri. Setelah kalah.

Tiga tahun sebelumnya, ia, pejabat tinggi Republik Firenze, ter-gusur karena perang dan politik. Ia kehilangan jabatan, sempat di-tahan dan disiksa. Selepas itu, bersama istri dan empat anak nya ia menyingkir ke San Casciano, 15 kilometer di barat da ya Firenze.

Dari sini lahir ”pamflet” itu: Il Principe, sebuah pedoman ke-ku a saan. Bila ”teori politik” sebelumnya mengajarkan, seorang pe mimpin baru mampu menggunakan kekuasaannya bila diser-tai moral yang benar, Il Principe tidak. Bagi kitab ini, politik ada-lah kiat untuk membentuk, merebut, mempertahankan, dan mem perkuat negara, lo stato. Moralitas dan agama hanya penting sepanjang membantu politik.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 233: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

208 Catatan Pinggir 10

Buku itu dilarang Gereja pada 1559. Machiavelli memang tak ber harap banyak dari agama. Baginya, agama, dalam hal ini Kris-ten, hanya mengagungkan manusia yang lembut hati dan kon-templatif, bukan manusia yang bertindak. Padahal dalam politik yang terpenting adalah virtù.

Virtù berarti kejantanan, yang bertaut dengan tindakan: ke te-gas an, keberanian, kegesitan, kegarangan, kelicikan—semua si-kap yang perlu buat berkuasa.

Dengan virtù manusia melawan nasib, Fortuna. Machiavelli mengiaskan Fortuna sebagai ”sungai yang destruktif”, yang bila ma rah, membawa banjir. Tapi ”sungai” itu, Fortuna, bisa dijinak-kan, meskipun tak bisa dilumpuhkan. Dengan bahasa se orang mi sogynist, Machiavelli mengibaratkan Fortuna seorang perem-puan yang perlu dipukul dan dihajar agar bisa ”dikendali kan”. De ngan virtù.

***Machiavelli hidup di zaman Renaissance yang meyakini ma-

nusia sebagai pusat pengukur semesta. Tak mengherankan bila de ngan konsep virtù ia dianggap membuka jalan bagi keyakinan yang kemudian jadi ciri dunia modern: manusia sebagai subyek yang tak gentar akan sihir alam. Dengan akalku, aku, subyek, meng atur nasib dan dunia.

Saya kira ide tentang subyek yang solid itulah yang bergema dalam paparan Liddle: ia mengasumsikan pentingnya ”individu” da lam pemikiran Machiavelli. Individu, kata Liddle, adalah ”ak-tor mandiri” yang ”memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik”.

Tapi sebenarnya premis ini tak kuat benar.

***”Individu” sebagai ”aktor mandiri” adalah sebuah ilusi. Sejak

psikoanalisis Freud, tak mudah lagi orang berbicara tentang ”sub-

MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 234: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

209 Catatan Pinggir 10

yek”, ”aku”, sebagai sesuatu yang utuh. ”Aku” sesungguhnya ung kapan diri yang didesakkan bahasa, dikondisikan oleh tata sim bolik yang dikukuhkan struktur sosial—tapi akhirnya tetap sa ja diri itu tak bisa transparan sepenuhnya.

Mungkin saja seorang ”aktor” politik yang merasa mandiri se-benarnya dikendalikan berhala yang dibangunnya sendiri, baik be rupa benda, sistem, tradisi, maupun agama. Sejauh mana ada ”kemauan bebas” dalam dirinya, itu masih sebuah persoalan.

Dan dalam hal Machiavelli, saya ragu bahwa ia yakin ”kemau-an bebas” itu termasuk hakikat manusia. Mungkin ia malah tak ya kin ada yang bisa dirumuskan sebagai hakikat manusia. Yang ia saksikan, manusia tak merdeka penuh dari Fortuna. Nasib itu-lah, tulis Machiavelli, yang memutuskan sebagian yang kita laku-kan. Kita hanya bebas mengendalikan sebagiannya lagi.

Sebab itu ia sebenarnya tak memastikan peran individu dalam po litik. Risalahnya, yang berjudul Latin De principatibus (bahasa Inggrisnya: principalities), lahir dari keprihatinan membangun ke utuhan wilayah dalam satu negara yang kukuh; Machiavelli ingin Italia perkasa. Bila ia menghendaki sesosok individu yang te guh, sang Raja, saya kira itu karena baginya penguasa itu adalah proyeksi lo stato. Maka kita tak melihat bahwa Il Principe sebenar-nya meletakkan Raja, seorang individu, hanya alat memperkuat lo stato. Ia harus mengikuti diktat tertentu—misalnya mengabai-kan dorongan hatinya sendiri, demi tugas memimpin. Ia terbelah: ia subyek, ia obyek.

Mungkin itu sebabnya dalam bukunya yang lain, Discorsi so-pra la prima deca di Tito Livio, Machiavelli tak yakin sang Pengu-a sa sosok yang solid dalam merawat Republik. ”Orang banyak (la molitudine),” tulisnya, ”lebih arif dan lebih konstan ketimbang Ra ja.” Dalam hal berhati-hati dan menjaga stabilitas, ”Rakyat pu nya pertimbangan yang lebih baik.” Maka, ”Bukan tanpa ala-san jika dikatakan, suara rakyat adalah suara Tuhan.” Sebab, kata

MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 235: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

210 Catatan Pinggir 10

Ma chiavelli, ”opini yang universal” bisa menghasilkan hal yang mengagumkan.

Bukan berarti Machiavelli seorang demokrat jenis abad ini. Ia tak menegaskan rakyat sebagai penyangga utama kekuasaan Re-publik. Tapi ia tak juga meletakkan pemimpin sebagai sumber tunggal kekuatan. Pandangannya lahir dari keprihatinan yang te rus-menerus tentang kemungkinan seorang Raja gagal menjaga kelanjutan hidup negara. Virtù perlu tegak. Juga hukum. Juga sis-tem untuk tak bergantung pada satu Pemimpin.

Keprihatinan Machiavelli terbit karena baginya kehidupan po litik adalah antagonisme—mirip pandangan Schmitt, Laclau, dan Moufle di abad ke-20. Kekuasaan negara niscaya tumbuh da-ri benturan. Ketika ia anjurkan sebuah Republik agar merevitali-sasi diri dengan ”kembali ke dasar awal”-nya, Machiavelli men-contohkan prosedur di Firenze pada 1434-1494: tiap lima tahun dilakukan ripigliare lo stato, seakan-akan negara kembali ditegak-kan, dengan membangkitkan rasa jeri (kepada musuh) seperti ke-tika di awal dulu.

Artinya, bagi Machiavelli, kekuasaan tak datang dengan ma-nis—dan bukan dari sesuatu yang sudah hadir di luar gerak seja-rah. Ia tak mengikuti teori Plato. Ia tak anggap Republik diben-tuk dari ide.

***Mungkin itu sebabnya Machiavelli pernah dianggap sebagai

”pen dahulu pendekatan materialisme terhadap sejarah”. Dalam Po litical Thought from Machiavelli to Stalin: Revolutionary Machi-avellism (Palgrave Macmillan: 2004), E.A. Rees mengutip kesim-pulan itu dari ensiklopedia yang diterbitkan Akademi Komunis di Uni Soviet di tahun 1925-1926. Di sini Machiavelli dirapatkan ke Marx, seperti pernah dicoba pemikir Marxis Italia terkenal itu, Gramsci.

Memang ada titik temu: sebagaimana bagi tiap pandangan se-

MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 236: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

211 Catatan Pinggir 10

jarah materialistis, bagi Marx dan Machiavelli tak ada kehadiran yang transendental dalam hidup yang mengalir berubah. Tak ada rekayasa dari Langit atau ”Aku” di luar proses ruang & waktu. Subyek dan identitas—baik sebagai Raja dengan virtù-nya, seba-gai rakyat yang militan untuk kemerdekaannya, maupun prole-tariat dalam revolusinya—justru baru muncul menegas dalam per juangan politik.

Tapi titik temu itu tentu tak tepat benar. Marx lebih optimis-tis; baginya kelak akan lahir dunia baru yang lebih baik. Bagi Ma-chiavelli, corak dunia tak secerah itu.

Dari abad ke-16 yang diguncang-guncang politik, ia memang peka terhadap ketidakajekan. Ia kutip banyak cerita dari sejara-wan Livio tentang negara yang terletak genting di antara stabilitas dan kejatuhan—cerminan kondisi manusiawi yang fana.

Marx juga melihat kondisi manusiawi itu sebagai ”basis” dari ke kuasaan politik yang berganti-ganti. Tapi ia hidup di abad ke-19 yang mempercayai kepastian ilmu; sosialismenya pun disebut ”ilmiah”. Dengan metode ilmu, Marx melihat sejarah menuju ke akhir yang jelas dan kekal: masyarakat yang tanpa konflik dan pengisapan.

Kini kita tahu ilmu bisa salah dan dunia tak kunjung lepas da-ri kapitalisme dan krisis-krisisnya. Kini sejarah berjalan tak pas-ti—dan debar jantung Machiavelli bergema lagi.

Di titik inilah Althusser, filosof terkenal dan anggota setia Par-tai Komunis Prancis, menulis Machiavel et Nous. Naskahnya ter-bit pada 1990, setelah ia meninggal. Mikko Lahtinen mengurai-kan dengan bagus perkembangan pikiran tokoh Marxisme ini da lam Politics and Philosophy: Niccolo Machiavelli and Louis Al-thusser’s Aleatory Materialism (Koninklijke Brill NV: 2009)—salah satu sumber tulisan saya ini.

Althusser sepakat, Machiavelli adalah ”pemikir materialis ter-besar dalam sejarah”. Tapi pandangan materialisnya terbentuk

MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 237: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

212 Catatan Pinggir 10

oleh praxis politik, hasil pergulatan dengan keadaan di suatu saat, meng ikuti kaki yang bergerak terus di atas tanah. Ini materialis-me tanpa perspektif yang punya arah. Berbeda dengan Marxisme.

Althusser menyebutnya matérialisme aléatoire—dan ia meng-adopsinya sebagai pengembangan materialisme Marx. Akar kata-nya, alea (Latin), berarti dadu. Materialisme ini bertolak dari kon sep ”materi” yang tak cenderung berbentuk; ia ibarat lem-pung meleleh yang tak menjurus ke sebuah wujud karya keramik. Dalam sejarah politik, ”materi” ala Machiavelli adalah perca tur-an sosial-politik sehari-hari, dunia kehidupan (Lebenswelt) yang ber gerak acak. Tanpa desain. Bentuk akan muncul dari pergeser-an ”materi” itu sendiri bersama energinya, tapi tak terduga, seper-ti jatuhnya dadu di ruang kosong. Tak ada rumus dan otoritas yang mengaturnya. Serba-mungkin.

Selama itu, persaingan terus. Tak ada satu subyek politik pun yang bisa mengklaim hak untuk menang. Gelombang yang mem-bentuk dinamika sejarah akan tetap mengempas: perjuang an mereka yang tak masuk hitungan melawan mereka yang menen-tukan hitungan. Tiap bentuk kekuasaan (juga ”demokrasi libe-ral” kini) tak bisa mengelakkannya. Dan kita tak tahu apa selan-jutnya. Mungkin A, mungkin X.

Itulah sejarah demokrasi: cerita tegang untuk memilih satu di antara pelbagai ”mungkin”. Pilihan itu tak akan ”benar” sela-ma nya. Bagi Machiavelli, yang bisa diharapkan memang bukan ”benar” yang kekal, tapi ”benar” dalam arti efektif: verità effet-tuale della cosa. Tentu saja tak cukup. Juga dalam zaman yang tak pasti ini, politik demokratisasi hanya akan bersungguh-sungguh bila mengusung ”benar” yang universal, dan sebab itu terus ber-ko bar: cita-cita ke arah hidup yang tanpa penindasan. Cita-cita Marx.

Tempo, 25 Desember 2011

MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 238: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

213 Catatan Pinggir 10

2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 239: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

214 Catatan Pinggir 10

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 240: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

215 Catatan Pinggir 10

HAVEL

Sastrawan Cekoslovakia (lahir 1936, wafat 2011), Presiden Republik Cekoslovakia (1989-1992), Presiden Republik Cek (1993-2003 )

HAVEL adalah saksi yang langka. Padanya puisi dan ke-ku asaan bisa bertaut sebentar di abad politik yang ge-muruh, abad ke-20. Ya, sebentar—jauh lebih ringkas

ketimbang umurnya yang berakhir pekan lalu, pada tahun ke-75.Pertama-tama, puisi: percakapan yang tumbuh dengan baha-

sa yang datang dari dalam diri, kalimat-kalimat yang muncul tan-pa dijinakkan kamus dan tata yang berlaku. Puisi tak membu at tenteram kekuasaan: yang tak bisa dijinakkan bisa mengacau kan wacana yang dikendalikan oleh kuasa dan doktrin yang mera-sa benar selamanya. Sejak Havel remaja, di Cekoslovakia, seperti halnya di seluruh Eropa Timur, kuasa itu Partai Komunis.

Di bawah sensornya tumbuh percakapan lain.Sastrawan Polandia pemenang Nobel, Czeslaw Milosz, yang

me rasa dicekik doktrin Marxisme-Leninisme negerinya, mem-perkenalkan istilah ”Ketman”. Kata ini diambil dari sejarah ke-kuasaan Islam di Timur Tengah: ”Ketman” adalah strategi verbal orang-orang yang takut. Dengan ”Ketman” orang hanya meng-utarakan pikiran yang dibentuk oleh bahasa resmi—dan dalam kasus Polandia, oleh frasa-frasa yang disusun karena ngeri me-langgar akidah Partai. Dengan ”Ketman”, orang menyensor diri dan memasang topeng kata-kata. Tak jarang, dalam proses keta-kutan yang panjang topeng itu menyatu dengan wajah, dan wajah pun berubah.

Havel, yang menulis esai dan lakon, melukiskan situasi itu di atas panggung. Karya pentasnya akrab dengan ”teater absurd” ala Ionesco, dramawan Rumania yang lari ke Paris: teater yang meng-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 241: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

216 Catatan Pinggir 10

hadirkan ”bahasa otomatik”—bahasa yang keluar dari mulut be-gitu saja tanpa makna, karena makna bukan bagian yang hi dup dalam diri mereka. Tokoh lakon Havel, ”Pesta Kebun” (Zah radni slavnost, 1963), adalah Hugo Pladek: pecatur muda yang ber oleh jabatan penting setelah menyerap bahasa birokratik —dengan 1.000 slogan dan 1.000 klise. Di babak IV, bahasa itu meng ubah dirinya. Orang tuanya tak mengenal Hugo lagi.

Selama hidupnya, Havel mencoba melawan situasi yang ab-surd seperti itu. Ia mengusahakan hidup yang tanpa kalimat pal-su.

Mungkin karena ia sejak mula menulis puisi dan belajar dari penyair yang menjauhi petunjuk resmi dan sebab itu disingkir-kan. Dalam umur 20-an, pada 1956, di sebuah pertemuan penga-rang, Havel yang pemalu itu nekat menyerang doktrin ”realisme sosialis” yang meletakkan kesusastraan di bawah komando Par-tai. Para hadirin kaget, tapi dengan berbisik dan kata yang berca-dar mereka mengakui anak muda itu benar.

Berbeda dengan mereka, Havel terbebas dari ”Ketman”. Ia le-pas dari ketakutan di hadapan bahasa resmi. Maka ia bisa memba-ca apa yang salah di Cekoslovakia, terutama sejak gerakan refor-masi (yang terkenal sebagai ”Musim Semi Praha” 1968) dihenti-kan oleh kekuatan militer Uni Soviet. Kecuali seorang mahasiswa filsafat yang memprotes membakar diri, Jan Palach, Cekoslova-kia merunduk.

Tapi tak takluk. Havel, waktu itu 32 tahun, mengirim surat ke perdana menteri, menggugat. Ia dipenjarakan. Lakon-lakonnya di larang dipentaskan.

Tapi ia tak bisa dipisahkan dari Teater Di Balustrada. Di ge-dung di sisi timur Sungai Vitava, Praha, itu Laterna Magika ber-pentas. Ruang bawah teater itu kemudian jadi tempat rapat gelap. Di sanalah dibentuk Obcanské Forum, forum yang menyatakan diri mewakili warga yang menentang rezim komunis, lingkaran

HAVEL

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 242: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

217 Catatan Pinggir 10

200-an orang yang berembuk dengan dukungan ribuan pemuda yang tak sabar.

Di situ, Havel adalah suara moral; ia pemandu.Akhirnya: kekuasaan datang. Pada 1998, setelah sederet de-

monstrasi besar, rezim Komunis jatuh. Obcanské Forum me-nang—tanpa kekerasan: sebuah ”Revolusi Beludru” yang mirip lakon romantik Laterna Magika. Memang ada yang ”magika” sa at itu: sang pemimpin moral bermetamorfosis jadi pemimpin politik. Havel jadi presiden.

Sekian tahun kemudian ia turun. Ditengoknya kembali jalan hi dupnya. Dirinya telah terkena ”jerat setan”, katanya, meski de-ngan tambahan secercah humor: ”Hanya dalam semalam, saya dilontarkan ke dunia dongeng.”

Kemudian terbukti bahwa ”dunia tak distruktur seperti do-ngeng”. Sang presiden segera dibenturkan dengan sederet kenis-cayaan. Ia mengutarakannya dengan agak melankolis: ”Untuk menapak di jalan nalar, perdamaian dan keadilan, perlu banyak kerja keras, sikap mengabaikan diri, sabar... dan kesediaan untuk disalahpahami.”

Ia sering disalahpahami—dan berbuat salah. Havel menun-jukkan kebesaran hati yang jarang: ia tak menjebloskan para pe-jabat Komunis yang dulu menganiaya ke penjara; ia memilih re-kon siliasi. Meski seorang warga Praha berbisik kagum kepada sa-ya, ”Ia seperti orang suci,” banyak bekas korban rezim lama yang me ngecamnya.

Tapi memang Havel tak selalu suci: di bawah kepresidenannya, Cek mendukung serbuan Amerika ke Irak dengan dalih yang bo-hong.

Sementara itu, kapitalisme mendera. Havel tak tampak gigih melawannya. Mungkin ia naif. Yang jelas, ia—yang keluar dari sel seorang pembangkang dan langsung masuk istana—tak per-nah mengalami rumit (dan kotornya) proses politik kepartaian

HAVEL

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 243: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

218 Catatan Pinggir 10

dalam demokrasi. Ia berada di atas partai: bersih, tapi tak punya radar di kaki.

Akhirnya ia tetap di haribaan puisi. Dan itulah posisinya: gen-ting, di antara politik sebagai kiat mencapai yang mungkin dan sebagai hasrat menggapai yang tak mungkin. Tapi Havel tahu impian dan batasnya: ”Suara peringatan seorang penyair harus di dengarkan... mungkin dengan lebih serius ketimbang suara bankir dan pialang saham. Tapi juga kita tak bisa mengharap du-nia—di tangan penyair—akan berubah seketika jadi sebuah sa-jak.”

Tempo, 1 Januari 2012

HAVEL

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 244: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

219 Catatan Pinggir 10

HUJAN

ANAK muda yang marah itu, Mohamed Bouazizi, mem-bakar diri 17 Desember 2010, dan revolusi meletus di Tu nisia. Tapi tak tiap orang yang membakar diri un-

tuk menggugat bisa menggerakkan perubahan seperti pedagang kecil di tepi jalan Tunis yang dianiaya kekuasaan itu. Di Kairo, se bulan kemudian, Abdou Abdel-Monaam Hamadah juga men-coba membakar diri, tapi ia—yang tak meninggal—tak pernah di sebut sebagai pemicu ”Revolusi 25 Januari” yang bergerak dari Alun-alun Tahrir. Empat orang lain menyusul di Aljazair, na-mun, tragisnya, hanya menimbulkan guncangan kecil.

Revolusi selalu punya pengagum dan epigonnya, tapi tak per-nah merupakan fotokopi. Tiruan jarang bisa menggugah. ”Seja-rah berulang,” kata Marx, ”pertama kali sebagai tragedi, yang ke-dua kali sebagai dagelan.” Dengan kata lain, tak ada formula yang bi sa dipakai berkali-kali, di mana saja.

Paling-paling kita hanya punya satu nama, ”revolusi”, yang ki-ta terapkan setelah bermula sebuah aksi transformasi politik. Pa-ling-paling kita susun teori yang kita anggap berlaku umum. Ta-pi sebenarnya tak ada titik tunggal penyebab sebuah revolusi. Tak ada satu garis lurus ke perubahan. Proklamasi 17 Agustus 1945 muncul bukan cuma dari satu awal. Kekuasaan Jepang runtuh, tapi waktu itu sebuah situasi hadir, yang di dalamnya berkeca-muk macam-macam anasir yang tak searah dan sejalan. Kemudi-an Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda memutuskan un-tuk memberi bentuk kepada chaos itu. Bersama itu, ada keingin-an untuk mempertautkan hal-hal yang bertentangan—misalnya ”cara yang seksama” dengan ”tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Hal-hal yang bertentangan itulah yang menyebabkan teori revolusi dibutuhkan, tapi sekaligus diabaikan. ”Tanpa satu teori

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 245: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

220 Catatan Pinggir 10

HUJAN

re volusi, tak akan ada gerakan revolusioner,” kata Lenin di tahun 1905. Tapi di hari-hari yang menentukan dalam Revolusi Okto-ber 1917, Lenin tak menerjemahkan sebuah gagasan yang sudah ja di. Ia bertolak dari analisis keadaan konkret dari saat ke saat. Al-thusser, pemikir Marxis Prancis itu, menyebut Lenin bertindak atas ”konjunktur” (kombinasi yang genting antara pelbagai keja-dian) di Rusia saat itu.

Kata ”konjunktur” agaknya makin harus dianggap penting ki-ni—bukan hanya karena wibawa atau kontroversi Althusser. Sa-ya kira kata itu mengacu ke satu konsep yang merespons apa yang terjadi sejak akhir 1960-an: gerakan revolusioner berbentur an de-ngan keadaan yang berbeda-beda. Hasilnya tak bisa dipredik si. Dan yang pasti tak semuanya berhasil. Ada yang salah dengan ”te ori”. PKI pernah bersemboyan ”Tahu Marxisme dan kenal ke-adaan”, namun akhirnya dengan Althusser kaum Marxis bisa pu-nya semboyan lain: ”Biarkan teori Marxis ditentukan keadaan”.

Mereka yang ortodoks akan mengecam pandangan Althusser sebagai ”revisionis”. Tapi bagi pemikir ini, itulah justru semangat ”ma terialisme” yang konsekuen: yakin bahwa bukan ide atau ke-sadaran yang mewujudkan tindakan dan membuat sejarah. Bagi Al thusser, yang menggerakkan sejarah adalah zat (materi) yang ju ga membentuk tubuh manusia. Tokoh Marxisme Prancis ini te-lah memisahkan diri dari ”materialisme” yang berakar dalam tra-disi ”rasionalis”. Ia menilai—artinya mengkritik—materialisme macam itu, termasuk Marxisme dan Leninisme, sebagai ”bentuk idealisme yang tersamar”.

Dan ia menyebut ”hujan”. Hujan, larik air yang berjatuhan tak ter hitung, sepenuhnya zat yang saling ketemu dalam curah. Tak di rancang. Gerak dan arahnya tak bisa didalilkan. Maka inilah je nis materialisme yang hendak diperkenalkan Althusser: ”mate-rialisme hujan, penyimpangan, ketemu di jalan”, matėrialisme de la pluie, de la dėviation, de la rencontre.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 246: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

221 Catatan Pinggir 10

HUJAN

Di sini agaknya hujan bukan cuma metafor merdu perjalanan manusia dalam sejarah. Bisa dibayangkan jutaan tetes air itu, mes kipun hanya ”ketemu” (dan bukan ”bertemu”), meskipun di-anggap menyimpang dari teori apa pun, punya tenaga yang hasil-nya tak terduga. Di tanah, hujan adalah air yang membantu hi-dup tumbuh-tumbuhan, merevitalisasi makhluk, jadi sungai atau banjir yang mengalir. Hujan bisa menggerakkan turbin, me-ro bohkan pohon, mengikis batu, dan merusak bangunan.

Tentu, setidaknya bagi saya, ”hujan” Althusser tak persis pas un tuk jadi kiasan yang menggambarkan perjuangan manusia. Ia mengabaikan dialektika, ketika manusia dengan kesadaran dan tu buhnya ikut membuat perubahan, tak sekadar hidup sebagai zat yang mengucur mekanistis. Meskipun begitu, Althusser ada be narnya: aksi protes hari-hari ini—kini, setelah Tunisia, Mesir, dan Madrid, juga New York, dan terakhir Moskow—memang mi rip ”ketemu di jalan”. Seperti jutaan titik hujan, tanpa dalil dan teori, orang ramai itu bersama-sama turun ke jalan. Tak ada ar gumen yang menang yang membuat mereka bersepakat untuk menuntut. Dan, seperti hujan, tak ada arah yang dipasang di ha-dapan, sebelum mereka berjalan.

Bahwa mereka bersua, mungkin karena imaji menular lewat media yang tak berbatas. Mungkin yang berlangsung hanya pe-nyebaran visualisasi, bukan rasionalisasi. Akhirnya masing-ma-sing akan mengalir ke arah yang muncul di tempat dan di musim yang berbeda.

Tapi tak berarti tak ada yang mempertemukan mereka. Di sini kita tak bisa lebih jauh dengan Althusser. Tindakan Bouazizi se-su atu yang singular, tak terbandingkan. Tapi bahwa ia ditiru, itu ka rena ia bergaung sebagai variasi atas tema yang universal: per-gulatan untuk merdeka, tapi tak cuma merdeka, juga adil. Dan itulah yang membuat laku politik berarti, meskipun terkadang sesudah itu mati. Dan itulah yang membuat laku manusia tak

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 247: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

222 Catatan Pinggir 10

HUJAN

hanya seperti air tercurah, tanpa hasrat. Dan itu akan berlangsung terus, berabad-abad.

Tempo, 8 Januari 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 248: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

223 Catatan Pinggir 10

BUNGLON

19 Januari 1942. Sebuah pesawat pengintai angkatan udara Je pang melintasi Sibolga; Perang Pasifik mulai membakar ”Hin dia Belanda”. Dan siang itu, pesawat itu mengebom

Van Imhoff yang baru lepas dari pantai Nias. Tubuh kapal itu kena; satu lubang besar menganga di antara

palka I dan II. Air laut menyerbu. Kapten memerintahkan agar ka pal ditinggalkan.

Tapi tak semua diberi tempat dalam sekoci penyelamat. Di kapal milik maskapai Belanda itu, ada 411 orang internir-

an; mereka sebagian dari warga negara Jerman yang diasingkan pe merintah Hindia Belanda ke Kutacane, Aceh Tenggara. Orang-orang itu, yang sebelumnya hidup di pelbagai tempat di Nu santara—sebagai kelasi, pebisnis, administrator perkebunan, pe ngabar Injil, bekas tentara, ilmuwan, seniman—dengan serta-mer ta jadi penduduk yang dicurigai. Perang Eropa meniscayakan keadaan itu, terutama setelah Hitler menyerbu Nederland.

Perang memang tengah memuncak. Di awal 1940-an itu pa-sukan Jepang sudah di Semenanjung Malaya. Pemerintah di Ba-ta via pun memutuskan untuk mengungsikan para interniran ke In dia. Ada dua kapal lebih dulu berangkat. Keduanya selamat. Ta pi Van Imhoff, yang ketiga, tidak.

Juga tak selamat orang-orang Jerman yang dikurung di perja-lanan laut itu. Mereka dibiarkan dimangsa nasib. Ditinggalkan di kapal yang tenggelam itu, lebih dari 200 orang punah.

Di antaranya Walter Spies.Nama yang termasyhur, yang sejak 1930-an tak bisa dipisah-

kan dari kehidupan seni Bali. Nama yang termasyhur, yang tak ba nyak diketahui kisah kematiannya. Kini buku Walter Spies: A Life in Art oleh John Stowell, produksi tahun 2011 penerbit Indo-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 249: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

224 Catatan Pinggir 10

BUNGLON

nesia, Afterhours Books, mengisahkan hari terakhir yang tragis itu. Meskipun tak cuma itu, sebab Stowell menulis biografi Spies yang rinci sejak pelukis itu lahir di Moskow pada 1895 sampai de ngan hidupnya di Indonesia. Hasilnya adalah sebuah riwayat yang memukau tentang sebuah ”janji kebahagiaan”, une promesse de bonheur, yang tak terpenuhi.

”Janji kebahagiaan” adalah ungkapan lain untuk keindahan, ka ta Stendhal, tapi saya pakai untuk kesenian umumnya. ”Janji” itu jadi terasa nyaring ketika hidup seakan-akan jadi gambar mati diformat oleh modal dan kekuasaan politik, bukan hidup sebagai arus yang mengalir, menggelegak, tanpa tapal batas.

Riwayat Spies bisa dikatakan sebuah kisah penebusan kemba-li: ia hendak memulihkan arus itu, yang terancam abad ke-20, de-ngan musik, seni rupa, tari, sejak dari Rusia, Jerman, sampai de-ngan Indonesia. Sebab ada sesuatu dalam kesenian yang memang tak terjamah oleh yang disebut Adorno sebagai ”administered life”. Juga dalam hidup dan seni Walter Spies.

Ia lahir dalam keluarga Jerman yang hidup di Rusia sampai akhir abad ke-19. Kakek dan ayahnya pengusaha yang terpandang di negeri itu, tapi mereka tetap saja berlaku dan diperlakukan seb-agai orang asing. Mereka tak jadi warga negara Rusia. Dan ketika perang Jerman dan Rusia pecah pada 1914, ayah Walter, Léon Spies, disingkirkan bersama orang Jerman lain ke Wologda. Itu ju ga yang kemudian terjadi pada Walter. Sekitar ulang tahunnya yang ke-20, ia harus hidup jauh di Sterlitamak, di Pegunungan Ural.

Ia tak sepenuhnya merasa menderita. Ia mendapatkan yang ber harga. Selama di Sterlitamak, sejak 1915, ia bergaul dengan su ku Tartar, bermain musik dengan mereka, hidup, bercanda, dan berbisik dalam bahasa mereka. Ia praktis ”jadi orang Tartar”. Baginya itu masa yang membahagiakan. Dengan bersemangat pu la ia menyambut Revolusi Rusia 1917—yang pada awalnya pe-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 250: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

225 Catatan Pinggir 10

BUNGLON

nuh energi kebebasan, begitu kekuasaan Tsar jatuh. Di masa per-golakan itu ia diam-diam kembali ke Moskow; ia lihat kesenian bangkit dalam pelbagai gerakan pembaharuan.

Tapi apa lacur: Revolusi itu kemudian jadi administrasi baru, bahkan regimentasi yang ketat. Kesenian jadi wilayah kekuasaan Partai Komunis. Walter pun pindah ke tanah leluhurnya, Jer-man. Di Dresden ia menyambut Dadaisme, gerakan seni yang ing kar terhadap ”seni”, sebuah negasi terhadap batas pengertian yang ada.

Dari sini tampak betapa beda Walter dari ayah dan kakeknya: mereka tak bisa melintasi batas ke-Jerman-an, sementara Spies mu da bukan saja seorang pengembara, tapi juga bunglon. Ia mele-bur diri ke dalam suku Tartar di Pegunungan Ural sebagaimana ia menyatukan diri dengan kehidupan dan kerja kreatif di Bali. Ia ingkari pentingnya ”asal yang asli”.

Sebelum kita mengejek bunglon, baiklah kita lihat: mem-bung lon juga sejenis laku kreatif. Bunglon adalah hidup yang ”men-jadi”. Sama dengan karya seni: garis dan warna mengisi ru-ang kanvas dan berubah jadi seni rupa; gerak tubuh mengisi pen-tas dan berubah jadi tari. Dengan kata lain, garis, warna, gerak—sebagaimana bunglon—mampu ”menjadi-yang-lain”.

Terutama dalam hidup Walter, kebunglonan bukan laku de-fensif untuk bersembunyi dari hidup yang buas. Di kanvas Spies, hi dup tak mengerikan. Ia mengagumi Otto Dix. Tapi berbeda de ngan karya Dix yang menampilkan wajah dan tubuh grotesk se bagai protes terhadap hidup yang rusak oleh perang dan kapita-lisme, karya Spies terbangun dari pesona kepada daun, pohon, sa-wah, dan manusia yang bergerak antara misteri dan melankoli, se lintas menakutkan, setengah suram setengah bercahaya. Kita la rut, ikut berubah, dalam satu suasana ke suasana lain.

Terasa ada ”janji kebahagiaan” di sana. Tapi kita tahu keseni-an bukan pemberi segalanya, pengubah segalanya. Hidup tetap

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 251: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

226 Catatan Pinggir 10

BUNGLON

sa ja punya tata, tapal batas, sensus, kamp, dan orang-orang yang disisihkan dan mati karena itu.

Termasuk Walter. Pada 1938, administrasi kolonial Belanda menghukumnya 8 bulan karena ia seorang homoseksual. Pada 1942, kapten kapal meninggalkannya tenggelam di laut karena ia Jerman.

Tempo, 15 Januari 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 252: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

227 Catatan Pinggir 10

DI BIARA

BARANGKALI ini kisah cinta yang paling dalam dan men cemaskan, dimulai dengan tujuh kepala manusia yang ditemukan di tepi jalan di dekat Médéa, Aljazair, 90

kilometer dari ibu kota. Di antaranya dibungkus plastik dan ter-gantung di pohon-pohon. Akhir Mei 1996.

Tujuh kepala itu berasal dari tujuh biarawan dari bukit Tibhi-rine. Tak diketahui di mana tubuh mereka.

Dua bulan sebelumnya, lewat tengah malam, sekitar 20 orang ber senjata memasuki Notre Dame de l’Atlas, sebuah biara Trap-pis. Mereka bangunkan penghuninya, lalu dengan paksa mereka angkut orang-orang tua itu dalam sebuah konvoi mobil yang se-gera pergi. Dari sembilan biarawan, hanya dua yang luput.

Kemudian diketahui, para rahib warga negara Prancis itu dicu-lik ”Grup Islam Bersenjata” sebagai sandera. Grup itu menuntut agar pemimpin mereka yang ditangkap pasukan pemerintah Al-jazair dibebaskan. Kalau tidak, para sandera akan mati.

Dan rupanya tak ada perundingan. Ketujuh biarawan itu pun disembelih, 21 Mei 1996.

Perang akhirnya juga memusnahkan para rahib Trappis di Tibhirine yang khusyuk berdoa, rajin bertani, dan rukun berte-tangga itu: Perang Saudara Aljazair sejak 1991, ketika kaum ”Isla-mis” melawan pemerintah yang menindas mereka dengan gerilya yang garang dan ganas. Kebrutalan kedua pihak akhirnya menja-lar; grup-grup ”Islamis” itu sendiri malah baku bunuh. Pemban-taian kian sering. Sampai dengan tahun 2000, 150 ribu orang te-was.

Mengapa, dalam ketakutan, para rohaniwan itu tak mau me-ninggalkan bukit itu, bahkan menolak perlindungan pasukan pe merintah?

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 253: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

228 Catatan Pinggir 10

Tujuh tahun kemudian terbit sebuah buku John Kiser, The Monks of Tibhirine: Faith, Love, and Terror in Algeria. Dalam satu wawancara Kiser menawarkan sebuah jawab: kisah para padri itu adalah ”sebuah kisah cinta”. Kata ”cinta”, love, dalam bahasa In-donesia bisa juga berarti ”kasih”, dan agaknya itulah kaitan dan ge tar hati yang dalam yang membuat kesembilan rahib itu tak pergi dari Tibhirine.

Film Des hommes et des dieux, yang disutradarai Xavier Beau-vois (2010), dengan takzim mengisahkan kembali hari-hari ter-akhir di biara itu. Tanpa menyimpulkan. Tapi satu adegan kecil agaknya menjelaskan. Biarawan tua Luc Dochier, yang jadi dok-ter bagi dusun kecil itu, tampak duduk di bawah pohon di sam-ping seorang anak perempuan yang curhat kepadanya karena se-dang jatuh cinta.

”Apakah Romo pernah jatuh cinta juga?” tanya remaja itu. Per nah, beberapa kali, jawab sang pastor, ”Sampai akhirnya aku me nemukan cinta yang lebih besar.”

”Cinta yang lebih besar” itu tentu saja cinta kepada Tuhan. Ju-ga cinta dalam Tuhan: kasih yang tak terlarai, tapi yang tak mu-dah, sebab kasih itu membuat iman tak berdiri sendiri, bahkan me rapat dan bersentuhan dengan dunia yang berdosa, berbeda, dan tak terduga. Juga kasih itu tak mudah karena mampu meng-ubah seseorang hingga bersedia, seperti tulis Luc kemudian, me-nempuh ”kemiskinan, kegagalan, dan kematian”.

Di Tibhirine kegagalan dan kematian tegak di ambang pintu hari-hari itu. Dunia kesembilan orang itu ditodong: bisakah me-reka, dengan kasih, menyelamatkan kegembiraan memanen la-dang, menyapa tetangga, mempercayai orang lain, melagukan ki-dung syukur untuk sang Pencipta? Bukankah justru untuk itu me reka harus meninggalkan Tibhirine, membangun tempat lain?

Bimbang mencekam. ”Kita di sini bukan untuk bunuh diri

DI BIARA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 254: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

229 Catatan Pinggir 10

kolektif,” kata seorang padri yang ingin pergi, meskipun kemudi-an ia tinggal—dan mati.

Suatu malam, menjelang Natal, sepasukan gerilyawan meng-gedor pintu Notre Dame de l’Atlas. Komandannya, Ali Fayyatia, meminta agar para rahib itu memberi mereka obat atau meng-obati temannya yang luka. Kepala biara, Christian de Chergé, menolak: persediaan obat terbatas dan orang dusun membutuh-kannya.

Suasana tegang. Tapi di saat itu Christian menunjukkan ha-rap annya kepada muslim yang memegang bedil di depannya itu. Dikutipnya ayat Quran, bahwa yang dekat di hati muslim ada-lah mereka yang menyatakan diri Nasrani—dan dalam Surah Al-Maidah memang disebut contoh orang Kristen yang baik itu: ”para pendeta dan rahib”.

Sejenak Ali tercengang mendengar seorang pastor mengutip Quran, tapi segera ia menyelesaikan ayat itu: ”Karena sesungguh-nya mereka tak menyombongkan diri.” Dan Christian pun me-nyambung: ”Kami bersahabat dengan penduduk dusun ini.”

Komandan gerilya itu pun menyalami Christian, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Mungkin ia tahu, mungkin tidak, bia-ra itu sudah di sana sejak 1938 dan Islam dihormati.

Di satu makan malam bersama Christian mengatakan, ke-jadian menjelang Natal itu—Ali datang dengan senjata, Ali pergi dengan salam—baginya meneguhkan kembali makna hidup dan ke lahiran Kristus. Maka ketika Ali tertangkap tewas, mungkin disiksa, dan Christian melihat jenazahnya di pos militer, ia men-doakannya dengan intens sampai ia diusir opsir penjaga.

Kasih memang tak mudah dipahami. Ada semacam wasiat yang ditemukan di meja Christian (di mana terdapat juga Quran). Bila satu hari ia jadi korban terorisme, demikian di sana ter tulis, jangan terlalu gampang menyamakan Islam dengan fundamen-talisme penganutnya yang ekstremis. Sebab, ”Aljazair dan Islam

DI BIARA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 255: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

230 Catatan Pinggir 10

lain; mereka satu tubuh, satu sukma.”Saya tak tahu bagaimana di hari-hari itu iman yang begitu

dalam bisa membuka hati begitu luas. Mungkin karena wajah- wajah ramah di Tibhirine, bukit hening, dan ladang yang ak rab. Mungkin juga ”sukacita rahasia” di hati Christian dalam me ne-guhkan la communion, memulihkan la ressemblance (”persama-an”), dan ”bermain dengan perbedaan”.

Di akhir wasiatnya, padri yang kemudian disembelih itu me-nu lis, dalam huruf Arab, ”Insya Allah.”

Ada harapan yang bisa dicemooh tapi tak takut gagal.

Tempo, 22 Januari 2012

DI BIARA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 256: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

231 Catatan Pinggir 10

LOMPATAN

KAUM revolusioner sering menganggap waktu sebagai mu suh. Juga di negeri yang ribuan tahun umurnya: Cina.

Mungkin itu sebabnya Mao Zedong memerintahkan agar Kong hucu tak diikuti. Sang Guru purba pernah mengatakan bah wa berlaku pelan bukanlah sesuatu yang salah, asal kita tak ber henti melakukan kerja. Tapi bagi pemimpin besar Revolusi Cina, Mao, pelan sama artinya dengan ”anti-kiri”. Di tahun 1957, Mao memperkenalkan istilah yuejin atau ”lompatan”, menggan-tikan semboyan maojin, ”bergegas ke depan”.

Pada 1957-1958 Mao membuat ancang-ancang untuk menya-mai kemajuan Inggris selama 15 tahun—kemudian dipersingkat jadi tujuh tahun, dan kemudian lebih cepat lagi: tiga tahun. Ia me ngecam mereka yang menentang gagasannya untuk mengge-rakkan industrialisasi Cina dengan cara melompat, memotong wak tu. Baginya, ketinggalan dari dunia kapitalis harus cepat di-tebus.

Tak ada yang berani membantahnya. Dalam catatan di buku Ju dith Shapiro, Mao’s War Against Nature, salah seorang tokoh partai, Chen Boda, kemudian dengan bangga mengatakan: di Cina, ”satu hari sama dengan 20 tahun”.

Dan waktu pun diringkus. Menjelang akhir 1958, ada 90 juta pen duduk bekerja membuat ”tanur” di pekarangan: melumerkan apa saja yang dari besi untuk diproses jadi baja. Selama kerja ber-jam-jam itu, tanah pertanian terabaikan. Kelelahan jadi epidemi. Kita melihat gejalanya tergambar dalam film Zhang Yimou, Huo-zhe (produksi 1994): seorang anak kecapekan, jatuh tertidur, dan di sembunyikan ayahnya di balik sebuah dinding. Kepala Distrik yang juga dalam keadaan lelah memundurkan mobilnya, menab-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 257: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

232 Catatan Pinggir 10

rak dinding itu—dan si anak tewas.Sejarah kemudian mencatat, ”lompatan besar” itu bukan ha-

nya gagal. Ekologi terganggu sampai gawat karena pepohonan, bah kan burung-burung, harus dikorbankan. Yang lebih buruk: ker ja pertanian telantar, pangan segera habis, dan kelaparan pun me rebak meluas. Jutaan orang mati.

Cina jera. Dimulai tahun 1978, setelah Mao tak ada lagi, Par-tai Komunis Cina memulai Gâigé kāifàng, ”Reformasi dan Keter-bu kaan”, sebuah kebijakan yang digariskan Deng Xiaoping, orang yang dulu disingkirkan Mao karena dituduh memilih ”ja-lan kapitalis”.

Ironisnya, bayang-bayang Mao berlanjut: Cina tampak kem-bali dalam yuejin. Bentangan waktu seakan-akan dianggap sesu-atu yang tak relevan. Dalam periode tiga dasawarsa, sejak 1978 sam pai 2010, ekonomi Cina tiap tahun tumbuh 9,5 persen. De-ngan segera ia jadi perekonomian terkuat nomor dua di dunia se-telah Amerika Serikat. Cita-cita Mao buat menyamai Inggris ter-capai, bahkan lebih dari itu.

Tentu, pada mulanya bukanlah kecepatan. Dalam Prisoner of the State, memoar rahasia Zhao Ziyang—Perdana Menteri Cina yang dicopot dan ditahan karena menolak untuk menggunakan kekerasan terhadap demonstrasi mahasiswa di Tiananmen, tapi juga orang yang mendukung garis Deng dalam Reformasi—kita dapat melihat bahwa pada mulanya adalah pragmatisme: jalan baru itu diambil ”setelah pengalaman praktis”, dan ”setelah rang-kaian panjang maju-mundur”. Mungkin itu sebabnya seorang to-koh Partai merumuskan langkah baru itu sebagai ”berjalan me-nyeberangi sungai dengan kaki meraba batu”.

Dan berbeda dari ”lompatan besar” Mao, yuejin baru ini ber-mula kecil-kecil, dari bawah.

Di Dusun Xiaogang di Provinsi Anhui Timur, seorang pemu-da berumur 18 tahun, Yan Hongchang, membuat perjanjian ra-

LOMPATAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 258: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

233 Catatan Pinggir 10

hasia dengan 18 petani: tanah komunal dusun itu dibagi jadi por-si individual. Mula-mula ketakutan karena akan dituduh ”kon-trarevolusioner”, Yan tak menyangka bahwa pemerintahan sema-sa Deng mendukungnya—dan menjadikannya model ke selu-ruh Cina. Pertanian tak lagi kolektif. Hasrat mendapatkan laba ditumbuhkan. Semboyan ”jadi kaya itu jaya”, zhìfù guāngróng, bergema di mana-mana.

Tapi pada saat yang sama, ”jadi kaya” dengan ”lompatan be-sar” juga jadi semacam tekad di mana-mana. Yang terjadi di Cina adalah waktu yang kembali dilawan. Dulu oleh revolusi, kini oleh sesuatu yang seakan-akan menyimpang dari revolusi, tapi sebe-narnya merupakan versinya yang lain: agenda kemajuan.

Yang sering terlupa, seperti halnya revolusi, kemajuan tak ber-langsung hanya dengan desain, tapi juga dengan sedimentasi se-jarah. Baik ”Lompatan Besar” Mao maupun yang terjadi di Cina sekarang tak bisa melepaskan diri dari waktu—dalam arti: wak-tu yang berwujud sebagai endapan masa lalu, bersama impian buruk dan baiknya. Kemajuan yang hanya berupa lompatan be-sar yang menampik sedimentasi itu akan melahirkan Ordos.

Ordos, khususnya kota baru Kangbashi, adalah sebuah desain di tengah gurun. Terletak di Mongolia Dalam, salah satu wilayah terkaya di Cina, desain itu diwakili dengan megah di sebuah layar besar menampilkan animasi tiga dimensi yang menggambarkan bagaimana lengkapnya nanti kompleks hunian dan perdagangan di area seluas 30 kilometer persegi itu. Puluhan ribu rumah dan beberapa lusin bangunan mentereng didirikan menyesuaikan de-ngan itu, tapi praktis selama lima tahun kosong.

Kota tanpa penghuni ini, disebut sebagai ”kota hantu mo-dern”, banyak terdapat di Cina kini. Sebuah laporan mengatakan ada 64 juta apartemen yang berdiri dan praktis tak ada yang men-diaminya.

Para perancang pembangunan Cina tampaknya kembali me-

LOMPATAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 259: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

234 Catatan Pinggir 10

ngu mandangkan semboyan Mao, Duo, Kuai, Hao, Sheng (”Lebih Besar, Lebih Cepat, Lebih Baik, Lebih Hemat”), dengan tekanan pada ”cepat” dan ”besar”. Mereka mampu menumbuhkan ekono-mi dengan mengesankan, tapi mereka tak begitu mampu menge-nal—dengan mekanisme pasar atau dengan campur tangan Ne-ga ra—bahwa kota adalah waktu.

Maksud saya, kota tumbuh dengan berjalan kaki sebagaima-na sejarah tak terbang dari ujung awan.

Tempo, 29 Januari 2012

LOMPATAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 260: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

235 Catatan Pinggir 10

KEMUDIAN

DI alun-alun Tahrir, juga ketika malam musim dingin turun di Kairo, mereka berhimpun lagi, setahun persis setelah 24 Januari 2011. Tempat itu jadi hangat karena

deretan bendera Mesir dan optimisme. Bersama itu: nostalgia. Se-orang perempuan muda, menyebut diri Nia, yang ikut dalam ge-rak an protes yang telah menggulingkan Presiden Mubarak tahun lalu, berkata dalam bahasa Inggris: ”Kami begitu penuh harap.”

Kalimatnya dalam bentuk past tense: dulu. Tahun lalu. Kini tak jelas masih penuhkah harapan itu. Seperti ribuan ak-

tivis 2011 yang lain, Nia melihat keadaan belum banyak berubah: militer masih berkuasa; harga pangan dan bensin masih tinggi—seakan-akan kedua hal itu berhubungan. Memang bagi banyak orang, ada jalan terang yang mulai terbuka: berlangsungnya se-buah pemilihan umum yang bebas, yang pertama dalam 60 ta-hun. Siapa pun yang menang adalah suara rakyat banyak yang sah.

Tapi setelah itu? Seorang Indonesia yang lebih tua ketimbang Nia akan menja-

wab dengan kearifan yang sedikit murung: Nak, harapan mudah jadi kenangan. Perubahan besar dalam politik biasanya dibuka dengan kebebasan yang luas untuk perbaikan hidup (di Indone-sia: 1945, 1958, 1966, 1998...), namun kemudian yang tersisa ada lah nostalgia—seperti yang kalian rasakan di Mesir hari ini. Dan harapan yang tanggal.

Ada sebuah film Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail da ri tahun 1954. Ini kisah Iskandar (diperankan dengan bagus oleh A.N. Alcaff), seorang bekas gerilyawan dalam perang kemer de-ka an. Di awal 1950-an, setelah perang selesai, dari hutan ia ma-suk ke kehidupan kota. Ia bekerja di sebuah kantor yang dipimpin

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 261: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

236 Catatan Pinggir 10

temannya dari masa gerilya. Tapi ternyata ia tak siap dengan jam-jam yang rutin dan hambar, tanpa suasana tegang dengan senja-ta dan cita-cita—tanpa 24 jam keberanian untuk mengorbankan diri yang bertali-temali dengan keasyikan bertindak. Ia jemu dan frustrasi. Pada saat itu pula, ia lihat teman seperjuangannya jadi ge muk dan korup. Di satu saat dengan marah ia desak teman itu un tuk mengakui dosanya—tapi tanpa sengaja pistolnya meletus dan teman itu mati. Iskandar melarikan diri ketika Bandung da-lam keadaan jam malam.

Ia akhirnya tewas—dan kita bertanya: apa arti revolusi? Bagi-nya? Bagi banyak orang lain?

Tiap tahun ada peringatan hari kemerdekaan 1945. Di tiap per ingatan itu ada simtom Lewat Jam Malam dalam versi yang tak sedramatis film itu: orang bicara seperti hendak menegaskan bah-wa perjuangan masa lalu punya kedahsyatan yang tak terlupakan dan hidup hari ini hanya pengingkaran terhadap kedahsyatan itu. Maka yang dimuat di koran atau dilihat di TV di tiap 17 Agus tus adalah sebuah ritual keluhan, nostalgia, dan melankoli.

Hanya begitukah revolusi? Kita buka arsip akhir 1960-an: ada se buah perdebatan politik yang tajam. Sebagian pemimpin me -nga takan ”revolusi belum selesai”. Sebagian lain mengatakan ”re-vo lusi tak bisa permanen”. Yang pertama disuarakan Bung Kar-no. Yang kedua oleh Bung Hatta.

Jika dilihat hari ini, kedua-duanya keliru. Bung Karno me-nga takan ”revolusi belum selesai” seakan-akan ujung jalan itu akan terjelang; tapi ternyata revolusi tak pernah selesai. Bung Hatta mengatakan ”revolusi tak bisa permanen”, tapi—sebagai se buah kejadian, event, yang mampu menggugah dan mengubah se buah dunia—revolusi adalah saat-saat yang, meskipun tak per-manen, bisa jadi inspirasi selama-lamanya.

Inspirasi itu bukan datang dari arwah kaum revolusioner yang su dah mati; inspirasi itu datang karena keadaan di suatu hari, di

KEMUDIAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 262: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

237 Catatan Pinggir 10

suatu tempat, membutuhkannya. Dan keadaan berulang kali membutuhkannya karena sejauh ini tuntutan untuk keadilan tak kunjung terpenuhi. Keadilan belum pernah punya formula. Ke-adilan bukan dari dunia ide yang sudah siap.

Tapi kemudian tuntutan untuk keadilan itu—melalui revo-lu si atau reformasi—akhirnya membuat formula, organisasi, sis-tem, agar keadilan bisa dipenuhi. Dan demokrasi pun lahir.

Tak berarti tuntutan untuk keadilan akan selesai, seperti yang terbukti di Indonesia setelah Revolusi 1945 dan Reformasi 1998—dan mungkin kelak akan juga terbukti di Mesir beberapa ta hun setelah kemenangan di Alun-alun Tahrir.

Sebab demokrasi punya dua makna dan dua gerak. Demokrasi sering diterjemahkan sebagai lembaga dan prose-

dur. Partai-partai politik. Majelis perwakilan rakyat. Perundang-an-undangan. Lembaga hukum. Pemilihan umum untuk menye-lek si wakil-wakil.

Dalam proses itu, Negara terjadi. Tapi Negara, seperti kata Stuart Hall, adalah ”the instance of the performance of a condensa-tion”. Pelbagai kepentingan, aliran, dan kekuatan sosial tak akan bi sa tertampung dan tersalur sekaligus. ”Peringkasan”, condensa-tion, pun tak terelakkan. Tak terelakkan pula di satu saat dan satu ka sus tertentu ada elemen yang ”masuk” dan ada yang ”tak ma-suk” hitungan. Lalu tiba masa ketika kaum yang ”masuk” mam-pu mengawetkan posisinya dengan daya dan dana yang mereka per oleh. Sebuah oligarki pun terbangun. Di masa itulah ketakse-taraan, yang sering berarti ketidakadilan, terjadi. Terutama dira-sakan oleh mereka yang disebut Rancière ”les incomptés”.

Dengan mengidentifikasi mereka yang ”tak masuk hitung an” itu Rancière menunjukkan makna lain dari demokrasi. Demo-krasi bukan bentuk, melainkan laku. Lebih tepat lagi, ”tindakan yang terus-menerus merebut monopoli atas kehidupan publik da-ri pemerintahan yang oligarkis”.

KEMUDIAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 263: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

238 Catatan Pinggir 10

Kata ”terus-menerus” itu memang dicatat sejarah sampai de-ngan hari ini. Bila kita ingat itu, kita tak akan terkejut ketika kelak bendera di Alun-alun Tahrir berkibar lagi: bukan tanda op-timisme yang sudah didapat, tapi inspirasi revolusi yang diimbau datang kembali.

Tempo, 5 Februari 2012

KEMUDIAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 264: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

239 Catatan Pinggir 10

FANA

SELALU ada yang pergi. Kematian adalah momen luar bi-asa bagi yang tak bisa kembali, tapi, akhirnya, ia peristiwa yang tak istimewa bagi dunia.

Biarlah orang melakukan yang diinginkannya, lalu mereka mati, semua, satu-satu. Bagi awan, himpunan itu, tak ada yang ganjil di saat itu.

Dan Wislawa Szymborska meninggal pada usia 88 tahun pe-kan lalu, beberapa puluh tahun setelah ia menuliskan bait itu. Sa-ya kira ia tak akan berkeberatan jika kita katakan bahwa keper-gi annya tak terasa seperti direnggutkan. Dalam Wielka Liczba (”Jumlah Besar”) ia menulis bahwa di antara miliaran manusia yang melewati sejarah, hidup hanya ”terentang sepanjang bekas ca kar kita pada pasir”.

Di ujung bekas cakar itu ada garis yang putus. Senapas dengan itu, penyair Polandia ini juga menulis tentang ”lenyap”—tentang hi langnya sambungan yang tak bisa diubah. Di sebuah ruang, de-mi kian baris-baris dalam Kot W Pustym Mieszkaniu (”Kucing di Apartemen”),

seseorang pernah selalu ada di sana, selalu ada di sini, kemudian tiba-tiba lenyap dan terus-menerus lenyap.

Lenyap. Atau lebih baik: mati. Tapi kematian punya batas. De ngan ironi dan nada rendah, Szymborska memberi tahu, ”Sia-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 265: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

240 Catatan Pinggir 10

pa pun yang mengatakan bahwa maut mahakuasa ia sendiri bukti bahwa tak demikian halnya.” Sebab baginya,

Tak ada hidupyang tak bisa kekalmeskipun cuma sebentar.

Mungkin itu sebabnya penyair ini menulis—dengan kalimat yang bersahaja, tak melambung, tak berliku—tentang hal-hal yang fana, tapi kita temukan di antara itu bayang-bayang keke-kal an.

Bukan karena ia seseorang yang percaya kepada yang transen-dental. Saya tak tahu benar apakah ia seseorang yang beriman. Ba ginya, ”kekal” yang ”cuma sebentar” itu tampak pada materia, dalam alam (”lanskap”) yang berubah terus. Awan tak pernah meng ulangi bentuknya semula. Pada ”alir kali, bentuk hutan, pantai, gurun, dan glasir”, kita merasa seakan-akan ada ”ruh yang kecil” yang mengembara di sela-selanya, ”menghilang, kembali, men dekat, menjauh, mengelak, dan jadi asing bagi dirinya sendi-ri”.

Seorang penyair acap kali punya sejenis animisme dalam diri-nya: menemukan sesuatu yang membuat alam terasa terkadang akrab, terkadang ganjil, terkadang menantang, terkadang mem-bujuk. Tak ada yang ”jadi”. Yang ada ”men-jadi”. Ya, ”ruh yang kecil” itu ada di sana.

Karena merasakan ”ruh yang kecil” itu pula agaknya Szym-borska merekam percakapan dengan batu dalam Rozmowa z Ka-mieniem:

Kuketuk pintu-depan batu itu. Ini aku, izinkan memasukimu.

FANA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 266: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

241 Catatan Pinggir 10

Dalam sajak ini, sang tamu ingin masuk ke dalam batu antara lain karena ingin tahu. Tapi juga, ”masuk” baginya berarti berpe-ran sebagai saksi yang menyaksikan apa yang di dalam.

Kudengar ada balairung kosong dalam dirimu, sesuatu yang tak tampak: indah, namun percuma, sesuatu yang tak bersuara: ruang yang tak punya gema.

Sang pengetuk tampaknya berasumsi bahwa kesaksiannya be-gitu menentukan: hanya dengan kehadirannya dunia yang ter-hampar bisa punya nilai dan makna. Tapi bagi sang batu, justru asumsi itulah yang harus ditolak. Yang ada dalam dirinya tak me-merlukan kesaksian dari jauh. Mungkin ruang itu indah, sahut-nya, tapi tidak buat seleramu yang hanya sebegitu saja. ”Pergilah,” katanya, ”aku tertutup rapat.” Lalu ia patahkan ambisi di depan pintu itu:

Kau mungkin akhirnya mengenalku, tapi tak akan sepenuhnya mengetahuiku. Seluruh permukaanku menyambutmu. Yang di dalam diriku melepaskan diri.

”Masuk” berarti ”invasi”, usaha menduduki, bila disertai has-rat ”sepenuhnya mengetahui”. Dan ini penting ditunjukkan ke-pada sang pengetuk pintu, yang menganggap ”tak mengetahui” sebuah cacat, sebagaimana ia nyatakan kepada sang batu: akuilah bahwa kau sendiri tak mengetahui balairung di dalam dirimu.

”Mengetahui”.... Dalam pidatonya sewaktu menerima Ha-di ah Nobel Kesusastraan 1996, Szymborska justru menegaskan pentingnya posisi ”tak mengetahui”. ”Aku-tak-tahu,” katanya, ada lah kalimat yang harus selalu diulang penyair. ”Tiap sajak me-nan dai sebuah usaha menjawab pernyataan itu. Tapi begitu tahap

FANA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 267: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

242 Catatan Pinggir 10

terakhir sampai di halamannya, sang penyair mulai ragu, mulai menyadari bahwa jawabannya itu hanyalah sesuatu yang diba-ngun seadanya....”

Maka yang penting bukanlah ambisi ”aku-tahu”. Ambisi itu akhirnya cuma bisa sejenak ”masuk” mencapai sebuah penguasa-an kognitif (”tahu”). Lagi pula, ambisi itu—dan akhirnya sebuah klaim—hanya akan meletakkan dunia dan liyan sebagai obyek. Padahal di dunia yang dirundung kekuasaan ini (kita anak ”za-man politik”, kata Szymborska) yang dibutuhkan adalah sebuah laku yang lebih akrab, lebih hangat.

Dalam sajak di atas, sang batu menyalahkan tamunya: kau tak memiliki ”rasa ikut ambil bagian” (a sense of taking part), ujarnya. Di saat ”ikut ambil bagian”, aku bukan obyekmu, kau bukan obyek ku. Kita sama-sama aktif dalam sebuah proses yang disebut ”ada”, atau lebih tepat, ”men-jadi”.

Dengan itu, yang fana mendapatkan artinya. Dan kerja se-orang penyair adalah ”ikut ambil bagian” dalam yang fana itu: ke ragaman dan kesementaraan benda-benda dari saat ke saat. Szymborska mengutip Rilke, yang sajaknya, ”Musim Gugur”, pernah diterjemahkan Chairil Anwar dengan indah itu. Rilke me nasihati para penyair muda agar tak menuliskan konsep-kon-sep besar, tapi justru menyambut yang sehari-hari. ”Jika kehidup-an sehari-hari sepertinya memiskinkan engkau,” tulis Rilke, ”ja-ngan salahkan kehidupan. Salahkan dirimu. Kau tak cukup me-madai sebagai penyair untuk mencerap kekayaannya.”

Szymborska sendiri adalah contoh penyair yang seperti itu.

Tempo, 12 Februari 2012

FANA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 268: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

243 Catatan Pinggir 10

TAMAK

APA yang baru? Berubahkah manusia? Selama ribuan ta-hun, kita mendengar petuah para nabi, pemimpin berba-gai agama, dan para aulia yang mengecam keserakahan.

Hari-hari ini, di Amerika Serikat, debat politik berkecamuk ten-tang orang-orang kaya yang cuma sedikit membayar pajak, seper-ti di Indonesia. Tak hanya itu: di negeri ini (tapi juga di negeri la-in) tiap hari orang bercerita tentang politikus dan pejabat yang tak puas-puasnya melakukan korupsi.

Dengan kata lain: keserakahan, sebuah tema universal, adalah ki sah lama, variasi baru.

Dan kita pun terusik: jangan-jangan rakus memang amat de-kat dengan sifat manusia. Jangan-jangan Milton Friedman benar. Ekonom pembela kapitalisme itu meminta kita berpikir kembali: ”Adakah sebuah masyarakat yang bisa berlangsung tanpa ber-dasarkan keserakahan?”

”You think China doesn’t run on greed?” ia bertanya.Cina memang sebuah contoh yang baik. Dalam sejarahnya

yang panjang, ia pernah beberapa kali cemas mengalami akibat bu ruk sifat tamak: akumulasi kekayaan di tangan sejumlah kecil orang yang mengakibatkan penindasan, rasa cemburu, dan kon-flik sosial yang tajam.

Di abad ke-11, di bawah Dinasti Sung, dengan kecemasan itu Perdana Menteri Wang Anshi menjadikan Cina sebuah negeri ”so sialis” sebelum kata itu ditemukan. ”Negara,” kata Wang, ”ha-rus mengambil alih seluruh pengelolaan niaga, industri, dan per-tanian, menjaga agar pekerja yang jelata tertolong dari kesulitan dan tak diluluh-lantakkan oleh mereka yang kaya.”

Di abad ke-20, Mao Zedong melakukan yang serupa. Bentuk-nya yang ekstrem tampak waktu ia melancarkan Revolusi Kebu-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 269: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

244 Catatan Pinggir 10

dayaan. Sebagaimana dikisahkan Liang Heng dalam Anak Revo-lusi, pada 1969 para kader Partai Komunis dikirim ke pedesaan. Mereka harus ”memotong ekor kapitalisme” di pedalaman. Arti-nya, penduduk dusun harus melenyapkan peternakan itik, babi, dan bebek milik mereka. Seorang petani akhirnya membunuh se-mua bebek di kandangnya.

Di abad ke-11, eksperimen Wang Anshi gagal. Untuk menge-lola pelbagai sendi kehidupan, ia membutuhkan biaya besar dan birokrasi yang berlipat-lipat. Korupsi merebak. Akhirnya, seperti ditulis Will Durant dalam The Story of Civilization, Cina, seperti banyak negeri sejak itu, ”Harus menghadapi pilihan yang tua dan pahit, antara kerakusan swasta dan korupsi negara.”

Di abad ke-20, pilihannya berbeda: antara kekuasaan negara yang menjaga semangat kolektif dan kebutuhan warga yang tak bi sa dipenuhi oleh kolektivitas itu. Yang sama adalah bahwa, se-perti Wang Anshi, ide Mao juga gagal.

Pada 1979, dua tahun setelah ia wafat, di Dusun Xiaogang se-jumlah petani membuat sebuah kesepakatan rahasia. Idenya di-bisikkan oleh Yen Jinchang, seorang pemuda berumur 19 tahun: mereka hendak mengecoh sistem pertanian kolektif.

Waktu itu, seperti di seluruh pedusunan Cina, di Xiaogang para petani mengolah tanah yang tak bisa jadi miliknya pribadi. ”Bah kan sebatang galah pun milik kelompok,” kata Yen. Ada satu anekdot: dalam sebuah rapat umum desa, seorang petani berta-nya kepada kader Partai Komunis yang memimpin: ”Apakah gigi di mulutku juga bukan milikku?” Jawabnya: tidak.

Tanpa memiliki apa-apa, seorang warga dianggap sebagai pe-nyumbang bagi kebersamaan. Ada yang mulia dalam ide ini—tapi ia telah membuat para petani tak bergairah. Kepentingannya sen diri tak dianggap ada.

Sadar bahwa produktivitas turun—dan dengan demikian im-balan yang didapat pun turun—para petani menyetujui usul Yen.

TAMAK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 270: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

245 Catatan Pinggir 10

TAMAK

Secara rahasia mereka membagi-bagi tanah kolektif itu. Tiap ke-luarga akan mendapat sepetak, dan hasil tanam mereka sebagian diserahkan ke pemerintah dan ke lumbung kolektif—tapi sebagi-an mereka makan sendiri.

Perbuatan seperti itu berbahaya; ia melanggar garis Partai. Ta-kut akan yang mungkin terjadi, dalam perjanjian itu disebutkan: jika ada di antara mereka yang dipenjarakan atau dihukum mati, anggota kelompok lain akan memelihara anak yang ditinggalkan sampai umur 18. Setelah mereka tandatangani, naskah itu pun di simpan dalam sepotong bambu yang disembunyikan di atap ru mah Yen.

Hasilnya: secara tersembunyi pula para petani Xiaogang itu me rasa memiliki—dan sebab itu mereka bekerja lebih bersema-ngat, karena hasilnya akan mereka nikmati sendiri. Produksi naik drastis. Dan semua berakhir baik. Mereka tak dihukum. Bahkan di bawah pemerintahan Deng Xiaoping, sistem yang disarankan Yen akhirnya diadopsi sebagai sistem yang tepat: dengan empu-nya, dari milik, ada antusiasme.

Tapi kapan ”milik” tetap menjadi ”milik”, tak tumbuh jadi se-su atu yang lain?

Di Cina, pertanyaan itu tak sempat ditanyakan—apalagi di-coba dijawab. Dengan pesat, milik dan kerakusan berbaur. Yen yang sekadar mencoba hidup dari sepetak tanah dengan segera jadi tokoh kuno. Kisah Cina sekarang kisah Liu Yikian.

Liu, lahir 1963, mula-mula berjualan tas di tepi jalan Shang-hai. Hasil kerjanya bertambah sejak kapitalisme merasuk ke kehi-dupan Cina pada 1980. Hartanya membubung ke langit. Okto-ber 2010, Liu mampu membayar sekitar US$ 11 juta untuk se-buah mahkota antik dari zaman Dinasti Qing. Kini ia termasuk da ri sebuah kelas yang bisa membeli kue pengantin seharga US$ 314 ribu dari toko roti Angsa Hitam di Beijing.

Orang akan mengatakan, Liu tak berdosa karena kemewahan

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 271: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

246 Catatan Pinggir 10

itu; uang itu hasil jerih payahnya sendiri. Tapi saya termasuk me-reka yang ingin menjawab: sejauh mana ”milik” bisa jeda dan tak jadi ”kemewahan”, dan ”kemewahan” jeda dan tak jadi ”kese ra-kah an”?

Tema lama, tentu. Variasi baru. Tapi bila itu seperti berulang mungkin karena manusia tak kunjung sepenuhnya mengerti si-fatnya sendiri.

Tempo, 19 Februari 2012

TAMAK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 272: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

247 Catatan Pinggir 10

YANG PENTING

BARANGKALI di tiap bongkah batu di Yerusalem ter-simpan jejak sesuatu yang agung tapi juga mengerikan: per adaban. Dengan kata lain, cerita besar, masa lalu yang

dahsyat, raja dan iman dengan teriak yang sengit dan berdarah-darah. Di depan tamasya itu, orang mudah lupa bahwa ada yang lebih penting.

Sebuah sajak Yehuda Amichai, penyair Israel itu, mengingat-kan kita tentang itu—mengingatkan tamu, peziarah, dan pelan-cong yang berdiri atau jongkok, agak cuek ataupun sok berempa-ti, mendengarkan kisah Yerusalem dari pemandu wisata, lalu ber-foto-foto dan tertawa renyah di kamar hotel mereka—dan tak ta-hu apa sebenarnya yang mereka lihat.

Suatu ketika aku duduk di tangga dekat gapura Menara Daud, ku-letakkan dua keranjang berat di dekatku. Sekelompok turis ber diri menge-lilingi pemandu mereka, dan aku pun jadi penan da letak.

”Anda lihat lelaki dengan keranjang itu? Persis di arah kanan kepala-nya ada lengkung dari zaman Romawi. Persis di arah kanan kepalanya.”

”Tapi dia bergerak, dia bergerak!” Aku berkata dalam hati: akan datang penebusan bila pemandu itu

ber kata: ”Anda lihat lengkung dari zaman Romawi itu? Bukan itu yang pen ting: tapi yang di sebelahnya, ke arah kiri ke bawah sedi kit: seorang le-laki yang baru membeli buah dan sayur untuk keluarganya.”

Seseorang yang hidup, tanpa drama, menyiapkan makan ma-lam bersama anak-istrinya: itulah yang penting. Bukan monu-men, bukan Yerusalem yang dipahat ambisi kemenangan dan ke-agungan—bahkan juga hasrat kesucian. Terlampau dalam en-dap an yang muram tentang itu, dan akhirnya, untuk apa?

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 273: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

248 Catatan Pinggir 10

Banyak catatan merekam peristiwa brutal dalam sejarah Yeru-salem yang panjang, tapi agaknya buku Simon Sebag Montefiore, Jerusalem: The Biography, memakai prolog yang paling pas: di akh-ir Juli tahun ke-70 Masehi, Titus, putra Kaisar Romawi Vespasia-nus, menyerbu kenisah suci Yahudi, setelah selama empat bu lan me ngepung kota. Sebanyak 60 ribu legioner Romawi dan pasu-kan lokal disiapkan. Tak kunjung berhasil—perlawanan orang Yerusalem begitu gigih—ia pun memerintahkan bangunan suci itu dibakar. Setelah itu, titahnya lebih ganas: semua tahanan dan pembangkang disalibkan. Tiap hari 500 orang dipaku di palang, hingga Bukit Zaitun dan sekitarnya penuh sesak. Penjarahan tak mengenal batas. Tahu bahwa ada penduduk Yerusalem yang me-nyembunyikan mata uangnya di dalam perutnya—gobang-go-bang berharga mereka telan—para serdadu merobek perut para ta hanan. Mereka rogoh usus dan waduk orang-orang tak berdaya itu, bahkan ketika mereka belum mati.

Kebuasan tak hanya terbatas pada penguasa Romawi. Bebera-pa puluh tahun sebelumnya, Yehonatan, raja Yahudi yang mema-kai nama Alexander, merebut kembali Yerusalem dari pesaing-nya. Di kota itu ia bunuh 50 ribu penduduk, dan ia rayakan ke-menangannya dengan bersantap bersama gundik-gundiknya sembari menyaksikan 800 musuh disalibkan di bukit-bukit. ”Le-her para istri dan anak-anak mereka disembelih di depan mere-ka,” tulis Montefiore.

Seribu tahun kemudian, para prajurit Perang Salib dari Ero-pa merebut kota tua itu dari kekuasaan Turki. Pembantaian ber-ulang. Orang-orang Frank membunuh apa saja yang ditemukan, memotong kepala, tangan, dan kaki penduduk Yerusalem yang Islam dan Yahudi. Seorang saksi mata, Raymond dari Aguilers, pu nya catatan yang bersemangat tentang kejadian itu: ”Pengli-hatan yang menakjubkan,” tulisnya. ”Unggunan kepala, tangan, dan kaki tampak di jalan-jalan.” Bayi-bayi direnggutkan dari ibu

YANG PENTING

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 274: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

249 Catatan Pinggir 10

YANG PENTING

mereka dan dihantamkan ke tembok. ”Benar-benar penghakim-an Tuhan yang adil dan memukau, bahwa tempat ini penuh de-ngan darah orang-orang yang tak beriman,” tulis saksi mata itu pula.

Iman, tak beriman, darah, pembantaian.... Kata-kata itu se-perti berulang dan seakan-akan terekam di batu-batu Yerusalem.

”Selama 1.000 tahun, Yerusalem secara eksklusif Yahudi, sela-ma 400 tahun Kristen, dan 1.300 tahun Islam, dan tak ada satu pun dari ketiga agama ini yang memenangi Yerusalem tanpa pe-dang, atau mesin pelontar, atau howitzer,” tulis Montefiore dalam epilog buku yang setebal 650 halaman ini.

Jika demikian halnya, apa sebenarnya yang penting dari kota ini?

Para sejarawan, juga Montefiore, punya kecenderungan meli-hat Yerusalem sebagai sesuatu yang hadir tapi sebenarnya tak tam pak: sebagai ide, simbol, titik strategi, teritorium politik. Ma-ka orang sering lupa kepada si laki-laki dalam sajak Amichai: se-se orang yang membawa keranjang sayur dan buah-buahan untuk anak dan istrinya, seorang sehari-hari yang duduk istirahat se je-nak di lantai batu di bawah bayangan gereja, masjid, Tembok Ta-ngisan, lengkung Romawi. Di momen itu, Yerusalem menggetar-kan: ia bagian dari tanah yang diinjak, ditanami, diolah, dihuni. Di momen lain, Yerusalem adalah sebuah trauma.

Untung Jerusalem: The Biography menyelipkan sebuah cerita tentang Muawiya. Penguasa Islam di abad ke-7 ini, yang me ne-rus kan kebijakan Khalifah Umar yang adil dan terbuka, meme-rin tah Yerusalem selama 40 tahun. Ia bangun sebuah masjid per-sis di tengah Haram as-Sharif, area paling suci dari umat Yahudi, tapi tak untuk menutup pintu. Ia tak usik umat Yahudi bersem-bah yang di sana. Montefiore menggambarkannya seba gai se-orang penguasa yang tak berat sebelah—juga orang yang suka hu mor, termasuk lelucon yang menertawakan dirinya. Katanya,

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 275: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

250 Catatan Pinggir 10

”Bahkan bila sehelai rambut saja yang mempertalikan aku de-ngan sesama, aku tak akan memutuskannya.”

Memang itulah yang penting: bukan kekuasaan memutus, me lainkan hasrat menyambung, bukan kolonisasi, melainkan si-laturahmi sehari-hari.

Tempo, 26 Februari 2012

YANG PENTING

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 276: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

251 Catatan Pinggir 10

BANTEN

BANTEN, abad ke-17, adalah sebuah kasus dalam sejarah ketika dunia luar tak lagi ”luar”, ketika batas lokal dan in-ternasional bercampur-baur dan peradaban terjadi.

Sebuah buku yang baru terbit kembali versi bahasa Indone-sianya, terdiri atas telaah sejarawan Claude Guillot, Banten: Se-jarah dan Peradaban Abad X-XVII, yang diterbitkan École Fran-çais d’Extrême-Orient, menggambarkan suasana pertemuan dan benturan dalam arus globalisasi pertama di Asia masa itu. Tak se-luruhnya apik, tak seluruhnya buruk.

Dalam catatan Edmund Scott, orang Inggris yang tinggal di Banten pada 1603-65, kehidupan menakutkan. Kebakaran dan pembunuhan menguasai wilayah itu. Scott punya pengalam an traumatis: ia lihat sendiri bunuh-membunuh antara kaum bang-sawan dan para saudagar yang dipimpin ponggawa kerajaan, se-orang keturunan Tamil.

Bagi Scott, Banten adalah negeri maut. Tanahnya tertutup ra-wa, beracun, kumuh, dan gersang. Hasil bumi hanya biji lada. Dan bagi Scott, orang Banten malas dan ”haus darah”.

Mungkin saja kesimpulan Scott lahir dari ketakutan yang akut terhadap mereka yang di luar dunianya—yang menyebabkan juga ia dengan bengis menghukum penduduk lokal yang menco-ba mencoleng. Ia bakar bagian dalam kuku jari orang itu dengan besi panas, sebelum dicabut. Setelah ditancapkan sekrup besi di tulang lengan, si terhukum dimasukkan ke sel penjara ”di mana semut-semut putih... menyeruak ke dalam lukanya...”.

Bagi Scott, ada tembok yang membedakan yang ”Banten” yang ”asing” dan ”maksiat” dengan yang ”Inggris” atau yang ”Kris ten”. Ia buas terhadap pencoleng setempat, tapi, seperti di-katakan Guillot, tak menganggap sebagai pencurian perompak-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 277: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

252 Catatan Pinggir 10

an kapal yang sering dilakukan orang Eropa—sebuah kejahatan yang selalu disertai pembunuhan.

Awal abad ke-17 adalah awal konflik bersenjata di antara orang-orang Eropa di Banten. Perdagangan lada antara Banten dan Cina membawa hasil besar. Orang Portugis, yang sejak sebe-lum pertengahan abad ke-16 telah berada di ujung barat Pulau Ja wa itu, kemudian ambil peran dalam bisnis ini. Tapi mereka akhir nya menimbulkan permusuhan dengan penguasa Banten —dan para saudagar Belanda yang menginginkan monopoli meng-ambil celah ini.

Ketika orang Portugis datang kembali dengan sebuah armada besar, di Teluk Banten sudah hadir lima kapal Belanda. Di hari Na tal 1601, perang laut yang dahsyat pecah. Armada Portugis ka-lah. Sejak itu orang Portugis tak lagi berusaha menghalangi keha-diran orang Belanda di perairan Nusantara; mereka pun mening-galkan Banten selama kurang-lebih 70 tahun. Sebagai gantinya, mereka mengalihkan perdagangan mereka ke Makassar.

Antara 1640 dan 1660, ekonomi Makassar maju pesat. Di ba-wah Sultan Mohamad Said dan Hasanuddin, ada Perdana Men-teri Karaeng Pattingaloang dan Karaeng Karunrung. Keduanya tampak bergairah menimba ilmu pengetahuan Eropa: mereka tak hanya berbicara lancar dalam bahasa Portugis dan Spanyol, ta pi juga membaca pelbagai buku dalam kedua bahasa itu yang me reka jadikan bagian penting perpustakaan.

Seperti Makassar, juga Banten maju. Kedua kerajaan itu ber-hubungan akrab. Keduanya juga menjalin hubungan dagang de-ngan Manila, di Filipina. Waktu itu di sana berlaku mata uang real yang berasal dari Meksiko. Real dari perak ini sangat dibu-tuhkan dalam perdagangan di Asia: jumlah mata uang yang ada terbatas, dan para saudagar Eropa di wilayah timur itu harus me-nung gu kedatangan kapal yang membawa uang tunai. Dalam ke adaan itu, mereka tak bisa membeli produk lokal di saat yang

BANTEN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 278: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

253 Catatan Pinggir 10

BANTEN

tepat. Maka Manila penting.Bahwa pada Maret 1663 sebuah kapal Kesultanan Banten be-

rangkat ke kota di Filipina itu menunjukkan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa mengetahui apa yang disebut sebagai ”rahasia Manila” itu. Ia siap dengan kapal-kapal Banten; ia menyewa sejumlah orang ”asing”: nakhoda Inggris.

Orang asing tak selamanya diterima dengan mudah dalam se-jarah Banten, tapi para penguasa wilayah ini agaknya punya pe-ngertian tersendiri tentang batas ”asing” dan ”bukan asing”. Se-perti tampak dalam sebuah peta tahun 1596, di Banten ada yang tak terdapat dalam kerajaan di Jawa umumnya: para pegawai ting gi dan pedagang besar adalah orang yang datang dari negeri lain. Mereka berdiam dalam kota berbenteng. Bahkan seorang Tamil memegang pucuk administrasi pemerintahan di bawah raja.

Mereka bukan bangsawan; dan memang untuk beberapa lama terjadi konflik bersenjata antara para pangeran dan pendukung ponggawa Tamil itu. Tapi kemudian berakhir. Di bawah Sultan Ageng, ada seorang keturunan Cina, Kaytsu namanya. Berkat ikhtiarnya Banten punya armada niaga yang besar, hingga keraja-an terlibat dalam perdagangan luar negeri. Dia membuka jalur per dagangan ke Manila, Taiwan, Vietnam, Thailand, dan Je-pang. Kapal yang besar pun dipesan dari Rembang, Jawa Tengah, tempat pertukangan yang terkenal, dan kapal pertama bahkan dilayarkan ke Coromandel di India.

Banten pun makmur dan maju. Dalam pada itu, Sultan Ageng membangun. Ada Kiai Ngabehi Cakradana. Orang ini ber peran penting dalam perubahan tata kota Banten antara 1651 dan 1682. Ia mendirikan kompleks permukiman, membuat ben-teng dan jembatan batu—sebuah teknik yang sebelumnya tak di -ke nal di Jawa. Seperti Kaytsu, Cakradana, yang bermula seba gai pan dai besi, juga keturunan Cina. Dan bersama Kaytsu, ia ”ber-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 279: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

254 Catatan Pinggir 10

ba gi peng abdian sepenuh hati” kepada Raja. Dunia, di Banten dan Makassar di abad ke-17, tampak menye-

dia kan banyak hal di luar pintu. Tapi apakah arti ”luar”? Sultan Ageng bukan orang macam Scott. Ia tak menegakkan tembok yang kedap. Dan ternyata ia mengakhiri kejayaannya dalam seng-ke ta dengan sesuatu yang di ”luar” tapi juga ”di dalam”: putra nya sendiri.

Tempo, 4 Maret 2012

BANTEN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 280: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

255 Catatan Pinggir 10

BERANI

DI sebuah kota, di sebuah negeri, di mana kekerasan ter-dengar sebagai ungkapan keberanian (bom bunuh diri, pembantaian di siang hari, bentrokan berdarah atas na-

ma geng atau agama), kita memang perlu bertanya: apa arti ”ke-beranian”?

Pertanyaan yang tua sekali. Lebih dari 2.000 tahun yang lalu, sejumlah orang berkumpul di sebuah palaistra di Athena. Mere ka juga memperdebatkan hal itu; mereka Sokrates, dua orang jende-ral, dan sejumlah orang lagi. Platon, murid Sokrates yang ter masy -hur itu, menciptakan kembali debat itu dalam sebuah tulis an, ”Lakhes” ( ), mengikuti nama salah seorang jenderal yang ikut aktif di dalamnya. Kita beruntung. Buku Mari Berbin cang Ber sama Platon: Keberanian (Lakhes) adalah terjemahan dan taf -sir A. Setyo Wibowo atas karya kuno itu. Terbit September 2011, di tulis dengan bahasa Indonesia yang terang dan hidup, bu ku ini da tang di waktu yang tepat.

Tapi tidak tiap buku dimaksudkan untuk menjawab pertanya-an yang sukar—dan tidak tiap dialog Sokrates memuaskan mere-ka yang ingin kepastian. Bahkan Lakhes termasuk ”dialog apore-tik”, sebuah proses mencari jawab yang berakhir buntu. Di bagi-an akhir Sokrates berkata, ”Jadi, Nikias, kita belum berhasil me-ne mukan apa itu keberanian.”

Tapi justru karena itu manusia, juga yang hidup semenjak itu, mencari terus. Dan, seperti Sokrates, tak henti-hentinya menyoal tiap kesimpulan. Kita tak jera dengan aporia. Berkali-kali kita te-ngok percakapan yang terdahulu, juga percakapan Sokrates, dan ki ta coba telaah di mana ia benar di mana ia khilaf.

Saya (bukan pakar filsafat Yunani) memberanikan diri untuk me lihat di mana ia khilaf: bagi saya, Sokrates terlalu cenderung

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 281: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

256 Catatan Pinggir 10

mem prioritaskan rumusan. Definisi adalah panglima. ”Ayo,” ka-tanya kepada Lakhes, ”cobalah merumuskan... apa itu [kodrat] keberanian.”

Dalam pengantarnya, Setyo Wibowo menyebutkan kecender-ungan itu: Sokrates selalu ingin menemukan definisi. Ia inginkan rumusan yang universal bagi ”hal-hal yang etis yang ia diskusi-kan”. Di sini, ”universal” berarti bisa diterapkan pada semua ka-sus, bisa berlaku ”untuk semua manusia dengan perilaku mereka yang beragam”.

Tapi tiap definisi sebuah reduksi. Perilaku yang beragam sela-manya berlangsung dalam pengalaman yang beragam, peng-alam an yang konkret. Terutama dalam Grenzsituation, ”situasi perbatasan”, antara hidup dan mati, antara selamat dan celaka. Da lam situasi genting itu tiap pilihan menyangkut bukan cuma kesadaran, bukan cuma proses penalaran, tapi juga endapan trau-ma, magma nafsu dan hasrat.

Hanya di permukaan saja si X, ketika memilih, berperilaku se-perti si Z: katakanlah laku keduanya punya titik-titik persama-an —semacam indikator bahwa ada sesuatu yang universal. Titik- titik persamaan itulah yang dikonsolidasikan dalam sebuah ru-musan.

Tapi dengan demikian sebuah definisi mengabaikan titik-titik lain yang tak sama, tak terhingga, dan tetap tersisa. Padahal, de-ngan ”sisa” itu, seutuhnya, kita akan tahu bahwa sebuah perilaku adalah sebuah pengalaman utuh yang tak bisa dijadikan formula.

Begitulah keberanian. Keberanian para pembajak pesawat yang menabrakkan diri ke Menara Kembar New York 11 Septem-ber 2001 punya titik persamaan dengan keberanian seorang pra-jurit yang menubruk granat yang meledak agar teman-temannya se lamat; tapi masing-masing mengandung pertimbangan, peng-alaman, dan hasrat yang sama sekali lain.

Itu sebabnya semua rumusan Jenderal Lakhes dan Jenderal

BERANI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 282: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

257 Catatan Pinggir 10

BERANI

Ni kias tentang keberanian akhirnya tak bisa pas ketika dihadap-kan dengan kasus yang berbeda-beda. Sia-sia saja mereka meme-nuhi ke inginan Sokrates yang sia-sia: mencapai kriteria yang bisa ber laku kapan saja dan di mana saja. Andai kata mereka juga hi-dup di zaman ini, mereka akan kaget: tauladan keberanian So-kra tes se ba gai prajurit yang melawan tentara Sparta—dalam per -tem puran dengan tombak, perisai, dan tubuh yang nyaris te lan-jang—tak akan berlaku untuk abad ke-21, ketika perang dija lan-kan dengan pesawat terbang yang tanpa pilot.

Dengan itu pula kita sebenarnya bisa mempersoalkan benar-nya asumsi bahwa ”keberanian” hanya lahir dari perang dan ke-kerasan—seperti terbayang dari percakapan 2.000 tahun yang lalu. Dengan itu pula kita perlu bertanya benarkah keberanian bi sa dianggap sifat utama manusia—atau bagian dari keutamaan umumnya.

Saya kira Platon, dengan Lakhes, bukan orang yang tepat un-tuk mempersoalkan itu. Ia keturunan raja-raja Athena. Ia seorang aristokrat yang mendapatkan bintang jasa dari salah satu pepe-rang an membela negerinya. Ia melihat sejarah dari ketinggian dan menganggap Ide (juga definisi) di atas perubahan dan perbe-daan hidup. Pandangannya tentang perang dan keberanian ber-bias kebangsawanan: keberanian adalah bagian dari gairah untuk keagungan.

Ia bukan orang zaman ini. Di zaman ini, di antara kita, perang semakin ”aman”: yang penting bukan lagi keberanian fisik me-lainkan kalkulasi yang rapi. Tapi juga semakin terkutuk: yang penting bukan keagungan melainkan kepentingan.

Di zaman ini, telah lahir kesaksian Brecht. Dalam Mutter Courage und ihre Kinder, lakonnya yang kocak

tapi juga muram, perang mendapatkan wajah yang culas: perang adalah bisnis melalui cara lain. Komandan hanya memuji kebera-nian para serdadu yang menyerbu petani miskin. Sementara itu

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 283: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

258 Catatan Pinggir 10

keberanian yang heroik mencelakakan, seperti terjadi pada Julius Caesar yang dibunuh. ”Beneidenswert, wer frei davon!” seru se-buah lagu di adegan ke-9. ”Beruntunglah orang yang bebas dari itu!”

Kini kita mengerti kenapa Sokrates tiba di jalan buntu.

Tempo, 11 Maret 2012

BERANI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 284: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

259 Catatan Pinggir 10

CAESAR

PERTENGAHAN Maret pernah jadi sebuah hari yang m enentukan. Orang Inggris menyebutnya ”the ides of March”. Di hari itu, 44 Sebelum Masehi, Julius Caesar

di bunuh sekelompok tokoh politik Romawi; ia ditikam di tangga Senat dan tewas dengan 23 luka.

Shakespeare menulis tragedi Julius Caesar di tahun 1599 (di-ter jemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Yamin di tahun 1920-an). Di babak kedua lakon yang termasyhur ini tam pak adegan di kamar istana, tatkala malam berderak-derak oleh petir. Caesar, penguasa Roma itu, dalam baju tidur, mende-ngar kan ketakutan istrinya, Calpurnia.

Perempuan itu bermimpi tentang patung suaminya yang me-man curkan darah. Orang-orang Roma yang perkasa datang men cuci tangan mereka ke sana, sambil tersenyum.

Calpurnia biasanya tak percaya kepada mimpi, tapi kali ini ia ta kut. Sebab ia juga mendengar orang istana melihat tanda-tan-da: seekor singa betina melahirkan di jalan-jalan, kuburan me-muntahkan mayat, kesatria-kesatria berperang sengit di angkasa, dan darah mengucur bagaikan hujan di atas Gedung Kapitol. ”Bi-sing pertempuran menggemparkan udara, kuda-kuda mering-kik, orang sekarat mengaduh, dan jin-jin memekik....”

Ia minta agar suaminya jangan ke luar rumah. Caesar meng-abaikannya.

”Pengecut mati berkali-kali sebelum napas penghabisan, pem-berani mati hanya satu kali,” katanya.

Pemberanikah dia hingga tak mengacuhkan isyarat gelap dari yang gaib? Bukan. Caesar tetap membuka kuping untuk peramal dan perantara dewa-dewa. Ia menyuruh pelayan mengadakan per sembahan dan menunggu apa pesan dari langit. Ia bukannya

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 285: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

260 Catatan Pinggir 10

tak percaya kepada mimpi dan pesan itu, tapi tafsirnya berbeda.Ia lebih memilih tafsir yang dikemukakan Decius, yang sebe-

narnya menjebaknya: patung yang memancurkan darah yang di-tampung orang-orang Roma itu menandai bahwa mereka men-da patkan sumber hidup dari Caesar; mereka datang menunjuk-kan takzim.

Mudah membayangkan Caesar, panglima perang dan penak-luk benua, sebagai pemberani. Tapi Shakespeare menggambar-kan sosoknya lebih kompleks. Ada fatalisme dalam sikapnya meng hadapi Maut. ”Bagaimana sesuatu yang telah dewa-dewa ran cang akan bisa dihindarkan?” katanya.

Tapi dalam pada itu, Caesar, dengan kata-kata yang berderet, meletakkan diri di atas manusia lain, di atas apa pun, bahkan di atas Bahaya. Ia lahir bersama Bahaya, katanya, tapi ia lebih tua dan lebih mengerikan. Di depan orang yang memohon belas ka-sihnya ia bandingkan dirinya dengan Bintang Utara di langit: konstan, teguh, bukan seperti ribuan bintang lain. Ia Gunung Olym pus yang tak bisa digeser, apalagi tergerak oleh tangis dan sikap yang meminta-minta.

Itu sebabnya, tafsir yang dipilihnya dari mimpi Calpurnia ada lah tafsir yang menggelembungkan dirinya. Ia mengabaikan ke mungkinan bahwa Decius memberikan tafsir yang salah—bah kan menyesatkan.

Saya tak akan mengatakan Caesar orang yang benar-benar berani. Ia malu kelihatan lemah. ”Aku malu menyerah kepada ke takutanmu, Calpurnia,” katanya sebelum melangkah ke luar. Keputusannya untuk berangkat ke Senat bukan merupakan per-lawanan terhadap bahaya yang menakutkan, sebab ia, seperti su-dah disebut tadi, menganggap diri di atas bahaya. ”Danger knows full well/That Caesar is more dangerous than he,” katanya membu-sungkan dada.

Bagaimana ia bisa disebut berani bila berani adalah lawan dari

CAESAR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 286: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

261 Catatan Pinggir 10

ketakutan? Keberanian hanya punya makna jika ketakutan hen-dak mengalahkannya.

Saya ingat novel Mochtar Lubis yang sangat bagus, Jalan Tak Ada Ujung. Guru Isa hidup penuh ketakutan di hari-hari ketika tentara Belanda menduduki Jakarta dan perlawanan dari bawah tanah anak-anak muda berlanjut. Ia begitu takut hingga ia impo-ten. Tapi akhirnya, setelah ia ditangkap dan disiksa pasukan pen-dudukan, guru itu menerima ketakutannya dengan mudah; ia me lampaui itu. Ia melampaui keteguhan Hazil, pemuda yang tak kenal takut itu, yang justru tak kuat dipukuli serdadu musuh. Guru Isa bermula dari ketakutan; bukan ketakaburan.

Caesar lain. Benar, akhirnya ia hanya mati satu kali, tapi de-ngan sikapnya di pucuk kekuasaan itu ia juga hanya hidup satu kali.

Kita ingat adegan di babak ketiga. Para senator berhasil mem-bunuhnya: mereka yang membencinya, yang mendendam kepa-danya, dan yang, seperti Brutus, hendak mencegahnya jadi ma-haraja yang berkuasa mutlak atas Republik. Saat yang tragis di adegan ini ialah ketika ia melihat Brutus termasuk orang yang ikut menghunjamkan pisau. Brutus, orang yang paling tak punya pamrih, bahkan tak punya kebencian, ternyata hendak membina-sakannya juga. Caesar pun berseru: ”Dan kau juga, Brutus! Maka jatuhlah Caesar!”

Ia jatuh bukan karena tubuhnya tertikam dan kehabisan da-rah. Ia jatuh karena akhirnya ia tahu ia sendirian; ia tak punya lagi Brutus, tak punya lagi orang lain yang jadi penopang legitimasi.

Kita ingat kata-kata Chairil Anwar untuk Diponegoro di me-dan perang, ”Sekali berarti/Sudah itu mati.” Tapi ”arti” yang di-peroleh Caesar, nilai yang mendorongnya untuk maju, adalah ke agungan diri—bukan untuk orang lain. Sebab bagi Caesar, orang lain hanya ada untuk mengukuhkan keunggulan dirinya dan kekuasaannya.

CAESAR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 287: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

262 Catatan Pinggir 10

Itu sebabnya, bila ada keberanian dalam sikapnya di perte-ngah an Maret 44 SM itu, sikap itu tak punya momen yang patah. Pilihan tindakannya bukan terpaut dengan pengorbanan untuk sesuatu yang lebih luhur ketimbang dirinya sendiri—keberanian untuk memutuskan diri dari keadaan yang terbatas karena ter-panggil oleh sesuatu yang tak terbatas, yang mutlak. Keberanian-nya bukan keberanian seorang martir yang mati hanya satu kali tapi hidup kembali berkali-kali.

Tragedi Julius Caesar: pada usia 55 tahun, ia mati sendirian.

Tempo, 18 Maret 2012

CAESAR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 288: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

263 Catatan Pinggir 10

MATA

CHANGI-Singapura: sebuah bandara, sehimpun mall, se-buah titik temu pelbagai manusia dalam peristiwa visu-al. Duduk menunggu jam keberangkatan pesawat, atau

berjalan ke arah gerbang-gerbang kepergian, ribuan orang hadir di lorong-lorongnya yang berliku: jalan terang yang disiapkan un-tuk menonton deretan logo. Orang melihat, atau sudah tak perlu la gi menatap, tapi tetap diharapkan untuk terkesima. Atau untuk ingat.

Huruf-huruf itu, yang membentuk kata yang tak kita pahami, me nyentuh dan kemudian terekam dalam retina kita. Mereka langsung punya arti: ”Zara”, ”Emporio Armani”, ”D&G”, ”Pra-da”, ”Ermenegildo Zegna”, ”Salvatore Ferragamo”.... Terjemah-annya: ”keren”, ”rupawan”, ”elegan”, ”mentereng”, ”memikat”, ”sek si”.

Logo pun jadi ”kata”. ”Makna” jadi image. Dan di bandara in-ternasional yang juga himpunan etalase itu manusia sedunia di-anggap menemukan konsensus dalam pemujaan kepada yang vi-sual. Changi adalah tauladan dari asumsi itu, yang tampak kini berlaku di Asia-Pasifik: bila di Hong Kong seseorang menulis the malling of Hong Kong, di Jakarta orang bisa juga menulis dengan te ma yang sama.

Di Jakarta, mall makin menegaskan bahwa kota tak lagi sebu-ah area untuk ngluyur—berjalan tanpa arah, dengan sedikit iseng dan sedikit rasa ingin tahu tentang tempat yang ada di peta atau tidak.

Perlu saya tambahkan: ada perbedaan antara ngluyur di Jakar-ta lama dan flâneurie dalam deskripsi Walter Benjamin. Kedua-nya laku seseorang yang punya banyak waktu senggang dan kebe-basan bergerak. Seorang pengluyur bisa seperti penyair Baude-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 289: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

264 Catatan Pinggir 10

laire di Paris abad ke-19, model yang diambil Benjamin sebagai flâneur: seorang pejalan sendirian yang asyik melihat-lihat (”de-ngan tatapan terarah seorang detektif”) tanpa tenggelam ke da-lam orang ramai.

Tapi seorang pengluyur bukan bagian dari kelas yang di Eropa dulu mengunjungi galeria. Dalam pengalaman Indonesia tak ada ga leria.

Galeria, atau passage, sebuah fenomena Eropa abad ke-19, pada dasarnya sama dengan mall. Di dalamnya seorang pengunjung ter lindung dari cuaca yang tak nyaman, dan ia bisa menyusuri ru-ang, memandang komoditas yang secara keren dipamerkan.

Tapi berbeda dengan mall zaman ini, yang kita lihat di Jakarta, ada ambivalensi dalam hubungan antara sebuah galeria dan jalan besar. Pada Galeria Umberto I di Napoli, misalnya, ada kontinui-tas antara koridornya dan jalur yang di luar itu. Tapi jalan itu juga bagian dari gedung Opera San Carlo yang megah; dengan kata lain, merupakan area dari kelas orang berpunya. Mungkin itu se-babnya galeria ini tak berpintu dengan daun yang bisa ditutup; entrance itu terbuka terus, meskipun bangunan ini bukan bagian ke gemuruhan kota.

Galeria dilindungi atap. Tapi atap itu, dengan kaca, menam-pakkan langit. Cahaya matahari selalu ditunggu buat menerangi. Sebaliknya, mall di Jakarta tak menanti matahari. Ia terpisah dari angkasa dan bumi. Ada pintu yang hanya dibuka di jangka waktu tertentu. Terang itu sepenuhnya listrik. Dan dengan itu etalase le-bih memancarkan warna dan rupa.

Di dalam mall, yang visual jadi dasar yang mutlak; tatapan se penuhnya diharapkan ke arah tertentu. Dengan langit-langit dan lantai yang datar linear, mall adalah latar yang tak mencuri perhatian. Meskipun banyak yang mencoba menyajikan pelbagai atraksi, terutama buat anak-anak, mall punya efek sama: orang tak diharap ngluyur ke tempat lain; mata hanya diminta bergerak

MATA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 290: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

265 Catatan Pinggir 10

di antara logo yang silih berganti. Berbeda dengan galeria. Dengan atap kaca yang ditopang ba-

lung an besi yang seperti ornamen, dengan lantai yang menampil-kan mosaik tata warna, tiang pualam, dan jam besar berukir, in-terior sebuah galeri bisa jadi satu pameran tersendiri.

Dengan kata lain, mall adalah sebuah hiperbol di tengah keda-taran. Ia meletakkan diri di kehidupan kota yang gemuruh de-ngan melambungkan yang spektakuler. Sejak 1930, Georg Sim-mel, yang mengamati kehidupan kejiwaan manusia kota besar, te lah mencatat bahwa yang mencolok dalam hubungan interper-sonal di kota-kota besar adalah aktivitas visual, bukan aktivitas kuping. Di abad ke-21, yang visual, dalam mall, bahkan tidak saja membentuk hubungan antarmanusia, tapi manusia dengan ko-moditas. Sementara hubungan antarmanusia bisa saling menum-buhkan, hubungan manusia dengan komoditas tidak.

”Spektakularisasi” itu telah menyisihkan sang pengluyur. Kini lahir kerumunan orang yang menatap dengan terpukau: badaud. Kata ini diperkenalkan Victor Fournel dalam telaah tentang ke-hidupan kota di tahun 1858. Ketika itu Paris berubah besar-be-sar an. Toko-toko raksasa, les grands magasins, berdiri sepanjang bu levar yang baru. Badaud terkesima. Kata Fournel, berbeda de-ngan flâneur, badaud tak punya lagi individualitas: ”Di bawah pe-ngaruh tontonan yang tersaji di hadapannya, badaud jadi makh-luk impersonal.” Kepribadiannya disedot. Ia jadi unsur orang ra-mai.

Tentu, Fournel berlebihan. Mereka yang di bawah lindungan mall tak dengan serta-merta ”impersonal”. Tapi mereka memang di asumsikan demikian. Merek, gambar, dan kata menyerbu ber-ulang-ulang, sama dari satu tempat ke tempat lain. Orang pun bi-sa lupa apa yang khas di tempat itu di saat itu; kita hanya ada di ruang-dan-waktu-pada-umumnya. Rentangan visual itu sebuah ge neralisasi.

MATA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 291: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

266 Catatan Pinggir 10

Dan pada mulanya adalah logo. Bukan logos. Kita tak perlu la-gi alasan, daya analisis pikiran, apalagi perdebatan. Dari mata te-rus ke hati. Komoditas itu menegakkan konsensus. Masing-ma-sing kita menyesuaikan diri: di pintumu aku mengetuk, aku tak bisa berpaling. Aku tak akan kluyuran.

Tempo, 25 Maret 2012

MATA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 292: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

267 Catatan Pinggir 10

AKSARA

INDONESIA, 2012. Seorang buruh bangunan duduk ber-istirahat sebentar di dekat gundukan pasir, bersandar di ti-ang pancang yang baru didirikan. Ia mengeluarkan sesuatu

da ri saku bajunya yang penuh bercak tanah: sebuah telepon selu-ler.

Ia tak menekan satu nomor buat berbicara. Ia mengirim san-dek.

Atau sesuatu yang lain: ia menulis satu dua kalimat pada din-ding Facebook-nya. Atau membaca 140 karakter pada Twitter-nya.

Dengan kata lain, ia berhubungan dengan mereka yang jauh da ri gundukan pasir itu—entah siapa—dengan huruf.

Bagi saya, yang hanya satu dasawarsa yang lalu tak pernah me-nyaksikan adegan seperti itu—ketika telepon sebuah kemewahan yang tak akan dimimpikan seorang tukang batu—ada kegembi-raan tersendiri memandangi si buruh bangunan. Tentu karena ia kini bisa punya akses lebih gampang buat mencapai wilayah yang lebih luas dengan orang lain. Tapi bukan hanya karena teknologi itu saya merasa bersenang hati. Adegan itu menunjukkan sebuah perkembangan yang dulu dengan cemas diharapkan oleh pemba-wa ide ”kemajuan” sejak generasi Kartini di akhir abad ke-19: se-buah bangsa Indonesia yang akrab dengan aksara.

Kini 92 persen orang Indonesia tak buta huruf lagi—sebuah per sentase yang belum ideal, tapi setidaknya lebih tinggi ke tim-bang India (74 persen) dan Brasil (90 persen). Penggunaan aksa-ra juga tampak dari jumlah pengguna Facebook dan Twitter. Se-buah angka menyebutkan, akun Facebook di Indonesia mencapai 43,5 juta, atau nomor tiga di dunia setelah Amerika Serikat (155 ju ta) dan India (45 juta). Pengguna Twitter di sini merupakan

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 293: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

268 Catatan Pinggir 10

24 persen dari jumlah seluruh dunia; Indonesia tercatat nomor enam.

Siapa tahu sebuah transformasi telah terjadi. Atau sedang ter-jadi. ”The medium is the message,” kata-kata Marshall McLuhan yang tersohor jauh sebelum telepon seluler ditemukan. Aksara, se buah medium, merupakan pesan tersendiri—pesan yang ber-beda bila disampaikan secara lisan.

Ke-beraksara-an adalah isyarat bahwa isi yang disampaikan terbangun dari kata-kata yang bisa ditangkap kembali, dipikirkan lagi, atau dibahas dengan lebih akurat. Pesan lisan berbeda: sua-ra akan bergerak menghilang bersama waktu. Untuk dihidup-kan lagi, kata itu harus diingat. Untuk mudah diingat, perlu pola yang tetap.

Saya coba baca lagi buku klasik Walter Ong, Orality and Liter-acy: sejak 6.000 tahun yang lalu manusia mengenal aksara, tam-pak perbedaan antara kebudayaan lisan dan kebudayaan tulis. Ka rena harus bersandar pada pola yang tetap untuk menyimpan khazanah pemikiran, komunikasi lisan cenderung konservatif. Ka rena kalimat yang disampaikan secara lisan tak bisa ditelaah kembali dengan saksama, mereka yang bersandar pada budaya li-san akan tak cukup punya daya analitis. Tak mudah membentuk satu wacana konseptual, karena bahasa lisan tak memberi pelu-ang untuk abstraksi—sebuah proses yang melepaskan pemikiran dari konteks. Komunikasi lisan senantiasa bertaut dengan sebuah konteks: tempat, waktu, lawan bicara, dan suasana saat itu.

Dikotomi Ong—antara kebudayaan lisan dan kebudaya-an tulis—tentu saja bisa dikritik, dan sudah dikritik. Teknologi, juga teknologi kata-kata dalam bentuk aksara, pena, dan mesin ce tak, punya pengaruh, tapi tak sepenuhnya. Determinisme tek-no logi sama melesetnya dengan determinisme apa pun dalam me lihat kebudayaan.

Indonesia, 2012: apa gerangan yang ditulis oleh buruh ba-

AKSARA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 294: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

269 Catatan Pinggir 10

ngun an itu? Saya tak akan tahu. Tapi bila ada pengaruh teknologi yang kini membentuk Facebook dan Twitter—dan media sosi-al lain—pengaruh itu menyusup dalam waktu. Kecepatan yang tinggi ikut membentuk sifat dan dengan demikian isi pesan.

Bukan mustahil bila dalam kecepatan itu beda jadi tipis anta ra pesan lisan dan pesan dengan aksara. Desakan sesaat untuk me-nge mukakan sesuatu secara tertulis tak membuka peluang bagi apa yang oleh Ong diasumsikan terjadi dalam ke-beraksara-an: penelaahan kembali, analisis, jarak dari konteks, ingatan yang le-bih permanen.

Tak mengherankan bila dalam Twitter, misalnya, cetusan spon tan kadang-kadang mencerminkan ketiadaan sikap reflektif. Pendapat jadi teramat gampang, hanya mengikuti opini yang su-dah terpola. Prasangka tak ditinjau lagi. Data dan analisis mem-butuhkan waktu dan kecermatan—yang sulit dipenuhi bila kita harus saat itu juga menyimpulkan.

Tapi bukankah orang bisa mencari lebih jauh, dengan Google dan lain-lain? Kita dengar optimisme ini berkali-kali. Benar. Tapi ada yang menunjukkan bahwa justru dalam samudra informasi yang mahaluas, orang akan gagap—dan memilih yang pas buat dirinya. Tak akan ada temuan yang tak diduga-duga.

Sebuah esai yang memikat dalam The Economist mengemuka-kan satu hal yang hilang: serendipity. Kata itu masuk ke dalam ba-hasa Inggris (dan tak ada dalam bahasa lain) oleh Horace Walpo-le, dalam sepucuk surat bertahun 1754. Ia memakainya dengan mengacu ke dongeng Persia tentang tiga putri negeri Serendip. Mereka ini selalu membuat penemuan, secara kebetulan dan lan-taran keberanian—justru lewat hal yang semula tak mereka cari.

Kini, diduga orang enggan bertualang untuk kepergok de-ngan yang kebetulan. Tapi saya kira keliru menyimpulkan bahwa da ri informasi yang melimpah ruah itu—dengan kebingungan ki ta dalam kancahnya—serendipity jadi mustahil. Sekali lagi, ada

AKSARA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 295: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

270 Catatan Pinggir 10

ba tas teknologi dalam menentukan perilaku manusia. Satu hal yang tak kalah menggembirakan bagi saya ketika melihat buruh bangunan itu memegang telepon selulernya dan menulis: sendi-ri di dekat gunduk pasir, ia tak tampak gentar. Mungkin bebas. Setidaknya di momen itu.

Tempo, 1 April 2012

AKSARA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 296: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

271 Catatan Pinggir 10

IKHNATON

O, dewa yang tunggal, yang kuasanya tak tertandingi....”Pada tahun 1380 sebelum Masehi, di Mesir kuno, se-orang raja menulis puisi yang indah untuk Yang Maha-

Tung gal. Mungkin itu suara pemujaan seorang monotheis yang pa ling purba, 700 tahun sebelum Isaiah. Yang lebih ba nyak ditu-lis para pakar, ia seorang firaun yang mengubah aga ma nenek mo yangnya menjadi sebuah keyakinan yang kemudian mi rip de-ngan agama-agama Ibrahimi.

Ikhnaton, sang firaun, menyebut tuhan yang tunggal itu Aton, nama dewa lama yang dipakainya untuk mempermudah pe mujaan. Tapi berbeda secara radikal dengan agama Mesir sebe-lumnya, keyakinan Ikhnaton melarang orang membuat arca tu-han itu. Sebab, kata raja yang masih muda itu, tuhan yang maha-tak-terbayangkan itu tak bisa diwakili dengan rupa apa pun.

Ia tuhan seluruh umat manusia, bukan cuma untuk bangsa Me sir—suatu kesimpulan dan inspirasi yang baru untuk zaman itu. Bahkan dalam himne, Mesir disebut yang terakhir dalam de-retan bangsa yang diayomi Aton.

Dewa, atau tuhan ini, adalah tuhan kasih yang, seperti tertu-lis dalam himne itu, ”mengisi Dua Telatah Mesir dengan penuh rah man dan rahim”. Aton bukan dewa di tengah perang dan ke-menangan, melainkan dalam kembang dan pepohonan, di mana kehidupan tumbuh. Aton adalah kegembiraan yang membuat anak-anak domba ”menari dengan kaki mereka” dan unggas ”ber kecimpung di rawa-rawa”.

Dapatkah dikatakan ia sebenarnya penegak taukhid pertama? Tak mungkin menjawab pertanyaan ini sebelum kita mengetahui dengan persis asal-usul keyakinan Ikhnaton dan sejarah penga-ruh agama-agama sekian belas ribu tahun yang lalu.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 297: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

272 Catatan Pinggir 10

Pada 1937, buku Sigmund Freud Der Mann Moses und die mo-no theistische Religion (dua tahun kemudian terbit versi Inggrisnya, Moses and Monotheism) mengajukan sebuah hipotesis yang me-nge jutkan. Pertama, bahwa berbeda dengan keyakinan umat Ya-hudi, Musa bukanlah seorang Yahudi, melainkan seorang bang-sawan Mesir. Kedua, bahwa monotheisme Musa bukan dari wah-yu, melainkan berasal dari Ikhnaton. Atau bahkan ia sendiri se-benarnya Ikhnaton.

Musa, menurut pembacaan Freud atas Alkitab, membawa se-jumlah pengikutnya yang terpilih ke luar Mesir. Tapi dalam per-jalanan mereka membunuhnya. Mereka kemudian bergabung dengan suku lain yang juga memeluk monotheisme. Dalam per-kem bangannya, mereka menyesal telah membunuh pemimpin me reka, dan sejak itu mengharapkan akan datang kembali Musa sebagai Messiah.

Saya tak segera percaya tafsir Freud. Pengetahuan saya amat tipis tentang Mesir lama. Tapi banyak pakar yang melihat nada yang sama antara himne Ikhnaton dan kata-kata dalam Mazmur 104:

MAZMUR: Engkau yang berpakaian keagungan dan semarak, yang berselimutkan terang seperti kain, yang membentangkan langit seperti ten-da, yang mendirikan kamar-kamar loteng-Mu di air....

HIMNE IKHNATON: Jukung berlayar ke hilir atau ke hulu, tiap jalan raya terbuka karena fajarmu. Ikan di sungai berloncatan karena kau. Kaulah sinar di tengah lautan raya yang hijau....

Tapi barangkali yang terjadi di antara dua lagu puja itu bukan sebab dan akibat. Hubungan itu bukan hubungan A yang lebih tua dan lebih dominan ketimbang B atau sebaliknya. Bisa jadi ke-dua-duanya tercetus dari élan kreatif yang selalu ada dalam se-jarah manusia—getar yang merindukan Tuhan dan membuat

IKHNATON

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 298: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

273 Catatan Pinggir 10

ki dung, dari mana doa lahir dan nyanyian digubah. Barangkali salah untuk melihat bahwa selalu ada hubungan sebab-akibat da-lam dua kejadian yang berbeda, sebab tiap kejadian adalah sebu-ah aktualisasi tersendiri. Seperti halnya puisi yang tercipta hari ini bukan gema apalagi terpengaruh oleh sebuah puisi dari masa sebelumnya, meskipun keduanya katakanlah sajak cinta.

Sejarah berulang, tapi sebenarnya tak berulang. Tiap kali ke-jadian selalu baru, meskipun di sana ada masa lalu yang tersisa da lam endapan ingatan—dan ikut membentuk sejarah.

Yang tragis dalam riwayat manusia ialah bahwa sejarah juga me ngandung cerita kehilangan. Ikhnaton tak bisa bertahan, bu-kan saja dalam takhtanya. Keyakinannya untuk membawa kabar baik baru—sebuah keyakinan yang dahsyat—telah membuatnya agresif.

Ia hancurkan patung-patung dewa lama. Ia hapus dari inskrip-si batu kata-kata yang menyebut ”dewa” dalam bentuk jamak. Bah kan ia rusak bagian dari istana ayahnya sendiri, untuk meng-hilangkan nama dewa lain yang menempel dalam nama si ayah, ba ginda yang telah wafat. Di Thebes, ibu kota kerajaan, wilayah kuil lama ia ubah namanya agar mengandung nama Aton. Tentu saja ia membuat marah kelas pendeta agama lama yang begitu pen ting kedudukannya.

Konflik pun meletus. Baginda terdesak dan meninggalkan ko ta. Keyakinan monotheismenya dihapuskan.

Baru berabad-abad kemudian orang menemukan sumbangan Ikhnaton kembali. Bukan dalam hal iman kepada tuhan yang ma ha-tunggal, melainkan dalam hal iman kepada tuhan yang maha-pengasih. ”Aton” , begitulah tuhan itu disebut untuk mem-permudah pemujaan, berbeda jauh dari Yahwe, tuhan Bani Israel pada sejarah awal kepercayaan mereka—tuhan gunung berapi, kara Freud, yang cemburu, pendendam, dan ganas.

Tapi untunglah: seperti Ikhnaton, selalu ada seseorang atau

IKHNATON

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 299: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

274 Catatan Pinggir 10

se kelompok orang yang melepaskan diri tanpa ingin kehilangan menyanyi, memuja, dan menemui Tuhan yang membuat sebuah siang, ya biarpun sebuah siang, berbahagia:

Jukung berlayar ke hilir atau ke hulu, tiap jalan raya terbuka ka rena

fajarmu. Ikan di sungai berloncatan karena kau. Kaulah sinar di tengah lautan raya yang hijau....

Tempo, 8 April 2012

IKHNATON

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 300: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

275 Catatan Pinggir 10

BISU

ADAKAH yang bisa dikatakan dengan diam? Film-bisu men jawab: ada. Banyak yang bisa dikatakan tan pa kata. Ta pi tak hanya film-bisu yang menegaskan itu.

Adegan pertama film The Artist: seorang tahanan yang disiksa agar dia buka suara, tapi tetap menolak. Di layar tertulis kata-ka-ta: ”Aku tak mau bicara! Tak sepatah kata pun!” Dan ia pingsan.

Dalam pingsan dan membisu itu ada cerita panjang tentang diam, makna dan nilainya—dan saya kira itu metafora pertama sutradara Michel Hazanavicius dalam filmnya ini, yang menyen-tuh kita di beberapa lapisan.

Yang menyentuh dari film ini bukan cuma tali halus percinta-an (atau persahabatan) yang tak pernah diverbalkan di antara dua orang yang berbeda nasib di zaman perubahan Hollywood, keti-ka film-bisu tengah tergusur dari industri budaya.

Sentuhan The Artist bisa lebih dalam: ia meng hadirkan nos-talgia.

Masa silam yang dikenang manis itu digambar kan sebagai Hollywood tahun 1920-an: kita lihat sebuah teater yang rapi dan gemerlap. Kita tahu, nostalgia adalah pementasan kembali yang diper indah dari sebuah arsip ingatan yang separuh hi lang. Siapa menyadari ini akan tahu betapa rapuh nya sejarah.

Hazanavicius menyajikan The Artist bukan un tuk mengatakan bahwa arsip masa lalunya ”be nar”. Filmnya bukan satu rekon-struksi yang rea listis dari masa itu; ia tak seperti yang dibangun Richard Attenborough dalam Gandhi, misalnya. The Artist tak akan menyebut diri sebuah ”film seja rah”. Ia menirukan dengan asyik sebuah film-bisu yang tak pernah ada: set, kostum, dan ge-rak di dalamnya adalah kutipan dari kehidupan yang hanya ada dalam layar putih.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 301: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

276 Catatan Pinggir 10

Dengan kata lain, inilah permainan ilusi tentang ilusi, dan ki-ta disentuh untuk ingat bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang so-lid: waktu berlalu, membuat sesuatu yang baru, tapi yang baru itu akan punah. Tiap usaha mengawetkannya (atau sebaliknya: menghilangkannya) akan sia-sia; sebab yang terjadi hanya se buah transformasi yang ditentukan oleh subyek yang di sini, di masa ki ni. Satu adegan The Artist: George Valentin (diperankan de-ngan bagus sekali oleh Jean Dujardin) mencoba membakar ril-ril film lamanya. Tapi ada satu ril yang didekapnya.

Lalu ia pingsan. Ia tak berdaya mengelola masa lalu.Hanya anjingnya yang setia sepanjang masa, Uggie, yang

akhir nya menyelamatkannya dari api. Si Uggie adalah kegigihan; ia tak mera sa terdesak oleh zaman. Sejak dulu ia tak bersandar pa-da kata.

Dan memang kata tak diperlukan selama adegan dramatis itu. Bukan saja Uggie yang menggunakan tubuhnya untuk menyam-pai kan pesan. Juga Peppy Miller, ketika perempuan muda ini me-meluk Valentin setelah ia siuman. Adegan yang mengharukan ini dibawakan dengan lembut oleh Bérénice Bejo, sebagai gadis yang memuja dan merasa berutang budi kepada Valentin, juga setelah ia jadi bintang film-bicara (talkies) yang menggusur kemasyhuran sang aktor film-bisu.

Dengan adegan seperti itu, film-bisu tidak hanya jadi bentuk, tapi juga jadi metafor: The Artist adalah isyarat bahwa banyak yang bisa dikatakan dengan diam, meskipun kebisuan tak bisa ber tahan.

Sebab bukan maksud Hazanavicius untuk menghidupkan kem bali yang telah mati sejak 1927, ketika The Jazz Singer, film perta ma yang menggunakan dialog, jadi awal sukses. Mungkin ia hen dak menawarkan perspektif yang lebih kaya ketimbang yang di capai Mel Brooks.

Dalam Silent Movie (1976), Brooks berhasil menghidupkan

BISU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 302: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

277 Catatan Pinggir 10

hu mor kembali tanpa kata—sebuah seni tinggi yang dicapai Charlie Chaplin. Ia kembali mengutip slapstick dari film-film Laurel & Hardy dan yang ”akrobatik” dalam vaudeville Broad-way. Semua nya gerak tubuh. Kata yang diucapkan hanya ”Non”, yang terde ngar lewat telepon justru dari aktor besar panto mim, Marcel Marceau. Efeknya sebuah ironi yang tak terduga: kata itu ke luar dari mulut seseorang yang biasanya tak butuh kata.

Yang menarik, Non itu terdengar keras, tapi ia datang sebagai sebuah bunyi asing yang makna se benarnya tak dipahami.

Atau lebih tepat: pura-pura tak dipahami, ka rena Non itu bu-kan kabar baik. Ia satu penolakan yang tegas terhadap dunia ke-bisuan yang hendak dilanjutkan para tokoh Silent Movie. Dalam The Artist hal itu juga terjadi. Meskipun lebih drama tis ketimbang kocak. Di satu adegan, Valentin me lihat sehelai bulu burung me-layang jatuh; begitu menyentuh bumi, terdengar ledakan gemu-ruh. Walhasil, bunyi itu sebuah negasi juga—sebuah suara ban-tahan yang menakutkan Valentin. Dalam sejarah film, memang suara semula dianggap semacam negasi terhadap narasi. Mutu mikrofon buruk, dan para aktor ha rus bergerak tak jauh dari alat itu. Kesal terhadap gangguan ini, Thomas Edison kembali mem-buat film-bisu. Di sana gambar te tap dominan, karena teknik ka-mera sudah lebih maju.

Dalam The Artist Valentin juga mengira suara dalam film-bi-ca ra tak punya masa depan: ”Orang datang ke bioskop untuk me-li hat saya, bukan mendengarkan saya.”

Tentu saja ia salah. Sejak mula, orang tak hanya ingin melihat gambar. Film-bisu juga butuh intertitles, teks yang menampil kan ce rita dan percakapan. Juga terkadang perlu juru cerita da lam bio skop, yang di Jepang disebut benshi, buat menjelaskan ce rita dan mewakili dialog para peran. Valentin tampaknya lupa, in-ti sebuah film bukanlah potret, melainkan gerak. Gerak, itulah ”gam bar hidup”.

BISU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 303: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

278 Catatan Pinggir 10

BISU

Dengan kata lain, yang visual tak pernah sendirian. Ia bagian da ri hidup, karena ia tak mandek. Dan hidup selalu membentuk dan dibentuk percakapan.

Tapi sia-siakah film-bisu, sebagaimana diingatkan oleh The Artist? Tidak. Dalam kesedihan Valentin kita tahu, hidup tak cu-ma suara kata-kata. Dalam bahasa, di tiap saat, yang diam, yang bisu, selalu menunggu.

Tempo, 15 April 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 304: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

279 Catatan Pinggir 10

HANG TUAH

PAHLAWAN tak pernah mati. Pahlawan tak dibiarkan ma ti. Tiap kali seseorang yang luar biasa dimakamkan, ia dipanggil lagi, digosok kembali, dan berubah, berkali-

ka li berubah. Mungkin ia tak perlu punya raut muka yang asli.Juga Hang Tuah.Syahdan, pahlawan yang hidup dalam kenangan kolektif di

Ma laysia dan Indonesia ini akhirnya pergi ke hutan menjadi dar-wis. Itu disebut dalam Hikayat Hang Tuah. Tapi disebut pula lak-sa mana ini hidup abadi. Ia jadi orang suci dan raja bagi seluruh peng huni hutan di Semenanjung Malaka.

Mungkin itu tanda bahwa hikayat ini, yang disusun kembali oleh Kassim Ahmad dan terbit di Kuala Lumpur dengan tebal 550 halaman, tak tertutup ujungnya. ”Hikayat Hang Tuah tak pu-nya akhir,” tulis Henk Maier dalam satu telaahnya yang diterbit-kan dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Seperti tampak dalam perkaitan Sejarah Melayu dengan Hikayat Hang Tuah, kata Maier, karya-karya Melayu lama tak pernah selesai; fragmen-fragmennya selalu dapat direntang terus dalam pelbagai kombinasi baru.

Maka Hang Tuah akan selalu ada di antara kita. Pada 1932, Amir Hamzah menulis sebuah sajak yang memanggil tokoh ini ke dalam perang laut Kesultanan Melaka melawan armada Por-tugis—perang yang dalam buku sejarah dicatat April 1511, keti-ka Alfonso de Albuquerque mendatangi kerajaan itu dengan 18 kapal dan 1.500 tentara.

Sajak Amir Hamzah dengan plastis menghidupkan suasana bi sing, tegang, dan sengit pertempuran menghadapi ”armada Pe-ringgi” itu. Puisi ini bergerak dengan ritme yang cepat—tiap bait terdiri atas dua kalimat, dan tiap kalimat pertama terdiri atas 10

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 305: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

280 Catatan Pinggir 10

suku kata—dengan rima seperti barisan yang rampak bergerak, dengan bunyi kata yang silih berganti, hiruk asonansi dan alite-rasi.

Amuk-beramuk buru-memburu Tusuk-menusuk luru-meluru

Lela rentaka berputar-putar Cahaya senjata bersinar-sinar

Tapi kemudian berubah. Dua baris terakhir adalah sebuah an-tiklimaks—dengan rima yang mulai mendatar. Dan digambar-kan lah tembakan meriam yang menentukan dari kapal Albu-querque. Maka...

Peluru terbang menuju bahtera Laksamana dijulang ke dalam segara...

Sajak itu berhenti di sini. Saya tak tahu apakah ini sebuah kar-ya yang selesai. Akhir itu ambigu. Tewaskah Hang Tuah? Atau hilang?

Amir Hamzah bukan orang yang pas untuk membuat sebuah na rasi yang lengkap dan transparan. Ia seorang penyair lirik, bu-kan epik. Tapi mungkin juga ia ingin membiarkan kisahnya tak ter tutup sebagaimana hikayat aslinya. Ia menggemakan kemba li kata-kata dari perkapalan lama dan alat perang zaman lalu (”gal-yas”, ”putsa”, ”lela”, ”seligi”), mungkin agar terasa kembali sifat se tengah-dongeng setengah-tambo Hikayat Hang Tuah.

Dan dengan demikian sajaknya membawa kembali pesan kla-sik kisah ini, yang tersurat dalam pembuka hikayat itu: kesetiaan.

Dalam sajak Amir Hamzah, ketika pertempuran berkeca muk, Hang Tuah dalam keadaan sakit. Tapi Sultan memanggilnya. Ia

HANG TUAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 306: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

281 Catatan Pinggir 10

pun bangkit dan menghambur ke dalam perang.Ia tak akan pernah menolak titah.Tapi pentingkah kesetiaan? Untuk apa? Saya hanya menduga,

ba gi Amir Hamzah—yang mempersembahkan kumpulan sajak-nya ”Ke bawah Paduka Indonesia-Raya”, seorang pemuda yang hi dup di tengah suasana awal kesadaran nasional—kesetiaan Hang Tuah adalah kesetiaan seorang patriot: kepada patria, ta-nah air. Bukan kepada seorang raja.

Di sebuah masa lain, kesetiaan kepada raja tak dapat dipisah-kan dari kesetiaan kepada stabilitas. Di masa lain lagi, ia bagian dari sebuah identitas yang terancam.

Cerita Taufik Ikram Jamil, Sandiwara Hang Tuah, memba-wa ki ta ke sekelompok nelayan miskin Riau. Mereka baru saja mementaskan lakon Hang Tuah. Yang menarik dari cerita ini ia-lah daya pukau hikayat itu pada para aktor kampung itu, dan se-baliknya: bagaimana mereka, orang-orang jelata yang imajinatif, menciptakan kembali hikayat dengan seluruh hidup mereka—me manggil Hang Tuah yang setia kepada Sultan dan Hang Je-bat yang memberontak. Dan Jali, pemegang peran Hang Tuah, dalam keadaan seperti kesurupan arwah pahlawan itu, menjelas-kan: kesetiaannya tak salah. Ia, Hang Tuah, ”bertuan kepada sua-tu lembaga pemerintah yang sah”. Selaras dengan itu Sulaiman, pemegang peran Jebat, menyatakan sesalnya; ia membunuh Sul-tan, dan ini membuat anak-cucu ”kehilangan tempat dan wak-tu”.

Ada kehilangan di hati orang-orang itu, kehilangan kebangga-an, kehilangan stabilitas ke-Melayu-an. Waktu, seperti selama-nya, mencairkan semuanya, dan tak selalu menyenangkan. Rajab, pelakon Sultan Mahmud, menyadari ini: ”Kita sudah bertemu di sini, di sejarah yang lain.”

Di sejarah yang lain, Sultan, patria, perkauman, kekuasaan, ke murnian budaya, identitas tetap membayangi pikiran kita.

HANG TUAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 307: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

282 Catatan Pinggir 10

HANG TUAH

Tapi mungkin akhirnya diperlukan sebuah jarak. Saya kira tokoh Hang Tuah dalam sajak Muhammad Haji

Salleh menemukan berkah dalam jarak itu. Dalam Sajak-sajak Sejarah Melayu penyair Malaysia ini kita berjumpa dengan Hang Tuah yang dibawa menyingkir dari amarah Sultan. Ia difitnah berzina dengan salah satu kekasih baginda. Di persembunyian-nya, ia justru merasa Tuhan memberikan ”keheningan” kepada akalnya dan menjauhkannya dari hasrat untuk ”kembali ke kusut istana dan kata-kata di belakang tabir”.

Di situ ia orang yang merdeka:

sekarang, aku boleh berlayar di tanjung-tanjung fikiran dan perasaanku

Zaman berubah. Hang Tuah datang kembali: sebuah subyek yang mandiri tapi bukan penakluk dunia. Ia bertaut dengan se-mai nangka, perdu mangga, jambu jatuh, juga gunung dan la-ngit. Ia tak mati-mati. Tak boleh mati.

Tempo, 22 April 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 308: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

283 Catatan Pinggir 10

SOEBAIDAH

APRIL ini, saya ingat Noerani dan Soebaidah. Keduanya to koh novel Drama di Boven Digoel Kwee Tek Hoay, yang terbit pertama kali 15 Desember 1928 sebagai cerita ber-

sambung dalam mingguan Panorama di Jakarta sampai berakhir awal 1932.

Keduanya guru Kartini School. Masing-masing punya latar belakang dan nasib yang berbeda, tapi dipertalikan oleh sesuatu yang lebih besar ketimbang nasib: empati, persahabatan, pengor-banan, di masa ketika individu tumbuh di masyarakat yang para penguasa tradisionalnya, para ningrat, dalam krisis.

Ayah Noerani, Boekarim, seorang aktivis Partai Komunis yang keras. Ia cegah anaknya bercintaan dengan Moestari, pemu-da tampan anak seorang bupati. Awal novel ini melukiskan perte-muan dua kekasih yang malang itu di Wilhelmina Park (sekarang Masjid Istiqlal) ketika kota dirundung mendung.

”Ayahku,” kata Noerani, ”anggep anak dari satu kaum buruh, kaum proletaar, tida musti mencari jodo pada pemuda dari go-longan aristocraat yang jadi penunjangnya Pamarentah Blanda.” Bagi Boekarim, pensiunan guru, kaum aristokrat cuma parasit yang menyengsarakan rakyat.

Ia ramalkan akan turun hujan darah yang akan membuat se antero Jawa berwarna merah. Perubahan besar akan terjadi, mung kin untuk seluruh Indonesia, kata orang tua itu.

Ia memang menyiapkan sebuah revolusi—yang dalam sejarah dicatat sebagai pemberontakan komunis 1926—dengan sabota-se, ledakan dinamit, rencana penyerbuan ke penjara dan kantor polisi.

Tapi ia, yang telah lama diintai pemerintah kolonial, ditang-kap di malam itu juga. Boekarim menuduh Moestari mata-mata

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 309: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

284 Catatan Pinggir 10

penguasa, jadi pacar Noerani hanya untuk menggagalkan pem-berontakan. Motif Moestari sebenarnya campur aduk, tapi jelas ia ingin menyelamatkan kekasihnya agar tak terlibat dalam aksi per lawanan itu.

Tapi Noerani akhirnya tak percaya niat baik itu. Ia ikut dita-han polisi untuk dimintai keterangan, dan merasa bahwa keka-sih nya—seorang pegawai pemerintah yang setia—telah menipu-nya.

Noerani sendiri tak pernah menyetujui rencana ayahnya. Ba-gi nya si ayah dimakan khayalnya sendiri tentang revolusi, men-duga ikut dalam ”gerakan yang besarnya seperti gaja”, tapi sebe-narnya cuma ”sabesar tikus”. Kekuatan yang mudah diringkus.

Dengan kata lain, Noerani tak bersalah. Tapi dalam keadaan sakit dan dirawat di rumah sakit umum, gadis itu tetap diberhen-tikan dari Kartini School.

Di sini Soebaidah muncul. Perempuan ini teman sekerja dan sa habat Noerani, dengan sosok yang mirip: ramping dan mena-rik. Ia penolong di saat-saat genting. Ia berhenti dari Kartini School dan jadi perawat, agar dapat menjaga Noerani. Dicurigai membantu orang komunis, ia ditahan polisi. Tapi ia melarikan diri, untuk menggagalkan perkawinan Moestari dengan seorang anak aristokrat yang ambisius.

Soebaidah, sebagai buron, bahkan menyamar sebagai lelaki, be rangkat bersama Moestari untuk mencari Noerani yang hi-lang. Sampai ke Papua. Di sana gadis itu ditemukan menemani ayahnya yang dibuang ke Boven Digoel.

Tentu bukan hanya dua perempuan itu protagonis novel seki-tar 700 halaman ini (yang diterbitkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia, 2001). Dorongan positif yang menentukan adalah Dolores, seorang gadis Tionghoa yang memperkenalkan Noerani ke dalam kearifan seorang Kiyai di Giricahya, seorang ulama yang punya tempat ”keramat” di kebun tehnya di gunung.

SOEBAIDAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 310: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

285 Catatan Pinggir 10

Di sana, dengan semangat theosofi, semua agama dihargai. Dolores juga membawa Noerani bertemu dengan ayahnya,

Tjoe Tat Mo (atau ”T.M.”), seorang penyair dan filosof menjelang tua yang biasa berjalan sendirian merenung berjam-jam tanpa ba-ju. T.M. mengamalkan ajaran Buddha, Konghucu, dan tak sung-kan berdoa ”menurut aturan Nabi Muhammad”.

Dari tokoh ini dan Dolores, Noerani mendapatkan semangat-nya kembali. T.M. mengajarinya mengambil jarak dari rasa cinta dan benci. Ia menyambut ide Noerani ke Papua dan menganjur-kannya untuk menulis—agar dengan karyanya ia ”dipuja dan di-junjung” seperti Kartini.

Tapi di Papua, Noerani mati. Drama di Boven Digoel punya sifat tragis seperti Romeo & Juliet, tapi bagi filsafat T.M., apa se-benarnya tragedi, selain sesuatu yang fana?

Jika ada yang ”Buddhistis” dalam karya Kwee Tek Hoay, itu ka rena novel ini, kata penulisnya, bukan ”satu romans” yang ber-sifat politik. Meski begitu, ia bersikap. Ia tak mengikuti Balai Pus taka (penerbit pemerintah kolonial itu) yang buku-bukunya tak menyentuh kejadian sedramatis pemberontakan 1926. Me-mang, Kwee bukan seorang radikal. Meskipun ada disebut bahwa komunisme punya cita-cita yang baik, revolusi bukan jalan yang dipujikannya. T.M. membekali Noerani dengan pemikiran yang akan melindunginya dari demagogi orang komunis. Misinya bu-kan pembebasan antikolonial, tapi bekerja untuk kebaikan pen-duduk Papua.

Bagaimana juga, novel ini bagian dari nasionalisme Indonesia, ketika harapan mekar untuk membangun sebuah persatuan yang mengatasi perbedaan. Bahasanya Melayu-Tionghoa, yang sadar bu kan termasuk ”bahasa Melayu Atas” tapi menegaskan peran-nya sendiri: bahasa ini menjangkau lapisan luas. Ia bukan bahasa ”atas” yang justru dibanggakan Radeko, seorang kader PKI yang meremehkannya sebagai ”bahasa pasaran” milik orang tak terpe-

SOEBAIDAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 311: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

286 Catatan Pinggir 10

SOEBAIDAH

lajar. Ada semangat perlawanan di sini. Melebihi novel terbitan Ba-

lai Pustaka dan yang lain (bahkan Belenggu Armijn Pane), Kwee menampilkan sosok yang tak ada dalam stereotipe lama: Soebai-dah yang merokok, yang berani menyamar sebagai lelaki, lari dari tahanan dan memberi inspirasi tentang kerelaan berkorban buat orang tak bersalah yang tak diuntungkan dunianya.

Di zaman itu, ia suara kemerdekaan (dan keadilan) yang keras.

Tempo, 29 April 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 312: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

287 Catatan Pinggir 10

BARBIE

Dengan ucapan terima kasih untuk Trisha Sertori & J.B. Djwan, Kintamani.

DUA anak cacat itu tinggal di sebuah rumah kecil tanpa perabot di tubir Danau Batur. Desa di kaki gunung ber api yang purba di Bali itu amat miskin, dan sejak la-

hir Putu dan Alit hidup di sana—dalam persilangan antara mim-pi dan bukan mimpi.

Kaki Putu bengkok, sulit untuk berjalan. Tubuh Alit, adiknya, sekecil tubuh bayi tiga tahun. Wajahnya manis, tapi tangan ka-nan dan kedua kakinya yang setipis buluh seruling itu pengkor ke arah yang tak lazim. Dengan badan yang nyaris sekadar tulang berselaput kulit, rusuknya mencuat ke atas, menghambat per-napasannya. Alit, 11 tahun, tak bisa berjalan. Ia sering sakit. Ia sering kesakitan.

Tapi ia ikut Putu, menghabiskan waktu remajanya dengan men desain, menjahit, dan memasang pakaian untuk boneka-bo-neka kecil, boneka Barbie yang gilang-gemilang, berkulit putih, berambut pirang, dengan glamor di setiap jengkal.

”Saya menyukai Barbie karena dia cantik,” kata Putu. ”Bagi me reka Barbie seksi,” kata ibu mereka, Jero Widiani, tentang ke-dua anaknya kepada Trisha Sertori dari The Jakarta Post yang da-tang ke rumah janda dengan lima anak itu.

Putu dan Alit, orang-orang akan mengatakan kalian teperda-ya; kalian terpukau sebuah icon Amerika. Hasil strategi pemasar-an Mattel Inc. Mainan yang diperdagangkan wanita pebisnis da-ri Los Angeles. Fantasi kelas menengah Kaukasian tentang tubuh pe rempuan muda yang sempurna, meskipun mustahil. Bintang yang jatuh dari langit Kitsch kapitalisme—jatuh pelan-pelan ke

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 313: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

288 Catatan Pinggir 10

da lam mimpi anak-anak perempuan di muka bumi, juga di tubir Da nau Batur itu.

Tapi benarkah kalian teperdaya? Reportase The Jakarta Post itu terbit dua hari sebelum Hari Kartini yang dirayakan. Mata sa ya basah melihat foto kalian. Mungkin karena saya berangsur-angsur tahu, kalian hanya separuh bermimpi, dan bagi kalian apa itu ”icon” dan apa itu ”kelas menengah” tak terlalu penting. Tiap pa gi kalian menyeberangi sebuah jurang perbedaan kelas dan se-jarah, palung luas tak terhitung. Dengan diam kalian tinggalkan segala yang terpuruk di bawah atap rumah kalian, dan bermain dengan imajinasi yang tak pernah mampir ke dalam dongeng ne-nek moyang di Kintamani.

Tapi pada saat yang sama, kalian adalah bagian dari Kintama-ni—meskipun ini Kintamani yang ingin dilahirkan kembali, ta-pi tak seperti dulu.

Tiap pagi Jero Widiani membuka pintu rumah yang kecil itu, agar anak-anak sekolah setempat membeli baju boneka yang di-buat anaknya. Sesekali Sakti, teman keluarga, akan datang untuk menjualkan hasil kerajinan tangan itu ke Denpasar.

Pada awalnya ibu yang sudah delapan tahun ditinggal suami-nya itu menjahit kebaya atas pesanan tetangga, dibantu Kadek, anak kedua. Kemudian mereka menjual Barbie dan kostumnya, bu at biaya hidup dan ongkos kesehatan anak-anak itu. Widiani mencari obat sendiri, karena kartu kesehatan dari puskesmas se-ring salah tulis dan dianggap tak sah. Sementara itu, bantuan pe-me rintah yang Rp 10 ribu per hari untuk anak-anaknya tak selalu da tang tepat waktu.

Di sela-sela itu, semua bekerja. Juga Putu. Dengan kakinya yang tak berfungsi.

”Saya tak tahu apa nama penyakit itu,” kata Jero Widiani. Ke-tika kedua anaknya itu dalam kandungan, dokter menyuruh Wi-di ani memeriksakan diri di rumah sakit. ”Tapi saya tak pernah ke

BARBIE

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 314: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

289 Catatan Pinggir 10

sana karena jauh sekali dari sini.” Putu dan Alit juga tak pergi ke puskesmas. ”Kami kadang-ka-

dang merasa kram di tulang dan otot,” kata si kakak, ”dan Alit se-ring sulit bernapas....” Mereka diberi balsem dan dipijat. Mereka tak ke dokter karena ”hampir tiap kali kami kesakitan”.

Demikianlah tiap hari mereka duduk di ruang itu. Dengan Barbie, dengan kebaya, gaun, dan kain boneka yang selalu baru. Putu membantu ibunya menambah nafkah. Alit dibiarkan ber-main: ia tak hendak menjual hasil pekerjaan tangannya.

Putu: ”Alit sudah ikut menjahit, tapi tak ingin menjual pakai-an bonekanya. Ia bilang, malu kalau itu dijual. Ia lebih suka ber-main dengan boneka-boneka itu di rumah-rumahan kecil yang dibuatnya sendiri. Ia memanggil mereka peri, perinya.”

Di dekat Alit yang sakit, Barbie tak bisa ditukar. Ia tak punya nilai tukar. Ia bukan sebuah komoditas. Ia sebuah penebusan. Ha nya dongeng yang bisa menebus nasib. Hanya peri yang da-tang dari separuh mimpi yang menghidupkan tubuhnya yang sa-kit di ruang tanpa perabot itu.

Di luar, orang tak melihat peri, tapi mencatat kekuatan uang yang destruktif, modal yang menjangkau ke mana-mana, globali-sasi yang melumpuhkan apa yang lokal, industri budaya yang ri-uh rendah melalui media, dan hidup yang ditipu ”takhayul ko-moditas”.

Orang-orang itu prihatin akan penderitaan kaum yang tak ber punya. Mereka percaya bahwa teori akan bisa menjelaskan pen deritaan itu dan kemudian mengubahnya.

Tapi agaknya selalu ada yang tercecer dalam tiap teori dan tiap penjelasan. Sebuah discourse tak akan menangkap mata Alit yang jer nih dan tekun. Teori tak akan menyentuh tubuhnya yang de-ngan susah payah membentuk sehelai gaun dari perca.

Momen-momen itu cenderung tak terpungut—dan tubuh ring kih yang jauh itu seakan-akan hanya sisa yang terlalu rumit

BARBIE

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 315: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

290 Catatan Pinggir 10

BARBIE

da ri sejarah. Seakan-akan hanya sisa....Tapi tak mengapa. Biarlah Alit tertinggal, terlalu rumit, dan

tak tercatat. Sebab dengan itu ia bebas dari kategori. Sebab de-ngan itu ia tak diletakkan dalam konsep yang tetap. Di rumah bo nekanya, Barbie juga lahir kembali: dulu ia produk pabrik main an Amerika, kemarin ia hasil kerja tangan seorang anak du-sun, kini ia peri penebus di ruang sunyi angan-angan.

Bekerjalah, Alit. Dari tangan yang tak sempurna sekalipun, tiap kreasi dan imajinasi adalah peristiwa yang tak terduga.

Tempo, 6 Mei 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 316: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

291 Catatan Pinggir 10

INTERIOR

SEORANG penduduk kota besar adalah seorang tamu di beberapa ruang duduk. Pagi-pagi ia akan duduk sarapan. Beberapa menit kemudi-

an ia akan di atas sadel sepeda motor, atau dalam angkot, atau da-lam mobilnya sendiri. Sejam dua jam lamanya ia akan ha dir di ja lan yang macet. Kemudian ruang berikutnya: pabrik, restoran, bank, atau kantor jawatan, di mana ia akan bekerja atau pu ra-pu ra bekerja. Lalu ia akan pulang—melalui rute yang membuat ken daraan, yang bergerak pelan di jalan yang padat, jadi ruang tunggu yang panjang.

Pengalamannya pengalaman seorang pesinggah. Bahkan, ka-rena jam di luar begitu panjang, tempat tinggalnya kian mirip se-buah penginapan. Di sana ia mungkin beranak, beristri atau ber-suami, dan ruang itu disebut ”rumah”. Tapi ”rumah” itu bukan se perti dalam pengalaman kakek-neneknya dulu. ”Sekarang, ke-tika kita jadi kaum urban... rumah itu mengambang,” tulis Nir-wan Dewanto dalam pengantar pameran Domestic Stuff (”benda-benda rumahan”) di Galeri Salihara sebulan yang lalu.

Kini rumah sebuah ruang yang diganggu waktu. Dulu waktu seakan menyusup di daun pintu tua, mendekam di tiang 50 ta-hun, dan tak mengusik kehidupan sehari-hari. Ada yang jadi ak-rab karena sejarah. Kini sejarah hanya selintas membentuk hu-bungan seorang penghuni kota besar dengan dunia luar. Selebih-nya dibentuk oleh kongesti.

Manusia dan benda berjejal-jejal. Paradoks dari kongesti ini ada lah bahwa ketika hidup jadi begitu padat rapat, dan manusia jadi ”orang ramai”, hubungan pun tak lagi akrab. Rebutan ruang ber langsung, dengan heboh atau membisu. Kita menyaksikannya di jalan raya yang padat kendaraan, di petak hijau yang didesak

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 317: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

292 Catatan Pinggir 10

apar temen tinggi. Dalam perebutan itu, ”aku” melihat ”mereka”, tapi ”melihat” saja—sebuah persepsi dari sebuah jarak.

Tapi untunglah manusia tak pernah mudah selesai. Ia menco-ba menemukan kembali apa yang hilang.

Mungkin itu sebabnya pameran seni rupa Domestic Stuff itu me nyentuh hati: yang diungkapkan di galeri itu sebuah rekaman kerinduan. Barangkali sebuah ilusi. Atau setengah mimpi.

”Setiap benda yang tergeletak di sudut rumah menyimpan ce rita,” tulis dua perupa dalam pameran itu, Ariani Darmawan dan Ferdiansyah Thajib. Karya mereka Kabar Benda Diam: sebu-ah meja makan, tapi terbalik dan tergantung pada langit-langit, leng kap dengan piring, tudung saji, dan kaleng Khong Guan Bis-cuits. Benda yang lumrah itu mendadak jadi tak tersangka-sang-ka. Seraya diam, ia jadi sebuah ”kabar”. Kita dikejutkan dari dis-traksi dan disentuh kembali ke atensi—agar kita sejenak menyi-mak, merenungkan.

Jangan-jangan benda itu sebuah ”tanda”.... Dan itulah yang dikatakan Melati Suryodarmo dan Afrizal

Mal na, yang di pameran ini menghadirkan sebuah setrika di se-belah tumpukan kain, dengan warna dan bentuk yang setengah abstrak. Perkakas itu berubah dari alat kerja sehari-hari jadi peris-tiwa yang tak sehari-hari. Ia petilasan dari sesuatu yang cuma pu-nya makna instrumental. Kini ia mengajak kita menebusnya dari status hanya sebagai komoditas. Ia jadi sebuah imaji tentang ruti-nitas—bolak-balik—yang tak semata-mata pengulangan. ”Me-kanisme pengulangan,” kata Melati, jadi ”pola tingkah laku yang te rus-menerus dan tumbuh.” Kata kuncinya adalah ”tumbuh”. Di dalam karya itu, yang bolak-balik jadi sesuatu yang berubah. Ia sebuah pesona.

Di benda-benda itulah teknologi jadi bagian dari proses yang pro fan dan juga estetik: mereka bukan ciptaan Tuhan, tapi peso-na atau aura itu melintas, karena sebuah karya adalah sebuah ”ke-

INTERIOR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 318: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

293 Catatan Pinggir 10

jadian”. Ia ”tumbuh” dalam kejutan baru. Tapi tak cuma itu. Di tiap benda yang kita temukan di rumah,

ada bayang-bayang kekuasaan. Sebuah benda jadi komoditas atau jadi sampah karena proses yang ditentukan modal dan perda -gang an. Karya seni yang menafikan penentuan itu bi sa tampil se bagai sederet momen perlawanan. Ratusan stik es krim yang ter buang menjelma jadi sebuah rumah miniatur yang apik dalam kar ya Lidyawati & Amrizal Salayan St. Parpatih, sehimpun alat remote control TV tiba-tiba tersusun jadi kursi fantasi buatan Sa-muel Indratma.

Itu juga yang kita rasakan pada deretan gambar, kartu pos, cen dera mata, piring hias, dan barang-barang sepele lain yang se-akan-akan tak sengaja terhampar pada instalasi Sekarputri dan Mufti ”Amenk” Priyanka, Catatan dari Rumah. Di sini, khaos se-akan-akan tak mau peduli kepada rumah sebagai ”sistem” ke ter-tib an.

Tapi khaos itu akhirnya sementara, karena ia juga sebuah kom posisi yang tersirat dari ritme dan bentuk. Karya seni melu-ang kan diri buat serendipity, keberuntungan yang bisa menemu-kan sesuatu secara tak disangka-sangka. Tiba-tiba benda-benda yang muncul dalam ruang galeri itu, atau dalam kanvas itu, se-akan berbisik dalam percakapan. Seperti dalam sajak ”Senja di Pe labuhan Kecil” Chairil Anwar: ”Gudang, rumah tua, tiang serta te mali” itu seakan-akan saling menyapa—juga menyapa sese-orang yang tak lagi mencari cinta dan menegur pantai yang kehi-lang an ombak.

Dengan kata lain, karya seni bisa mengembalikan tegur sapa yang hilang dalam kongesti benda dan manusia.

Tapi tanpa karya seni sekalipun, dalam kepadatan kota besar, manusia tak ingin hanya singgah dari kelimun ke kelimun, dari aula ke aula. Ia perlu ”ruang dalam” di mana ilusi tentang kesen-di rian mungkin, di mana timbul semacam mabuk kepayang ke-

INTERIOR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 319: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

294 Catatan Pinggir 10

pada yang interior—atau, meminjam kata-kata keren Walter Benjamin, die Phantasmagorien des Interieurs. Di sana, di antara dunia privat dan publik, ia undang kisah-kisah yang jauh dan yang telah berlalu.

Manusia tak mudah selesai. Tamu dari ruang ke ruang itu rindu. Di kota yang berjejal, ia bisa lari ke dalam sebuah boks (Loge) yang terselip di dinding teater imajiner, teater dunia, di ka-marnya.

Tempo, 13 Mei 2012

INTERIOR

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 320: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

295 Catatan Pinggir 10

PEMO

DI puncak gunung itu saya bertemu dengan Akhmad. Ke mudian Matheus. Kemudian Vincentius. Hari ma-sih dingin; matahari baru saja terbit. Timur hanya ca-

haya jingga yang terbelah karena gelap masih tersisa di dinding ter jal tiga telaga Kelimutu.

Akhmad, tinggi, dengan raut muka keras dan tajam, seperti se orang Afro-Latin yang berkulit agak gelap, memakai jaket kha-ki yang sudah lapuk dan hanya bersandal jepit. Ia berjualan ka in tenun desanya. Matheus, mengenakan jaket mirip militer yang kedodoran, tubuhnya lebih pendek tapi dengan corak wajah yang tak berbeda, berjualan kopi panas dan supermi. Vincentius, ber-ke rudung kain tenun cokelat yang panjang, merangkap: ia berju-al an semuanya.

Puncak itu telah dibangun jadi ruang terbuka yang rapi, ber-tugu dan berlantai batu, tempat para turis memandang ketiga da-nau Flores yang termasyhur itu. Pagi itu saya lihat sekitar 15 turis be r diri atau duduk termangu, terdiam, memandang ufuk yang tak lazim itu. Saya dengar seorang menegur: ”Akhmad!” dan en-tah kenapa ia memperkenalkan diri, dalam bahasa Inggris, seba-gai seorang buddhis kepada penjual kain itu. Akhmad tersenyum.

”Di telaga itu,” kata Matheus sambil menyodorkan segelas ko-pi pahit ke tangan saya, ”ruh-ruh bersemayam setelah mati.”

Di sebelah kanan kita Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, danau ar-wah anak-anak muda. Agak di sana Tiwu Ata Polo, yang airnya bia sanya berwarna merah, tempat jiwa orang-orang jahat. Dan di depan kita ini Tiwu Ata Mbupu, telaga arwah orang-orang tua. Warnanya putih.

Hari mulai terang. Warna danau itu ternyata tak putih, tapi ge lap. Di sebelah sana, hijau toska. Dingin mulai tersingkir. Kopi

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 321: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

296 Catatan Pinggir 10

Flo res yang dijual Matheus (Rp 5.000 segelas) menolong meng-hangatkan tubuh. Saya lihat beberapa turis memotret. Yang lain diam, seakan-akan tak mau (karena tak mungkin) menggantikan pengalaman di Kelimutu dengan tangkapan kamera.

Seandainya saya dibesarkan di sini, di dekat hutan yang menu-tupi punggung gunung Kelimutu dan Kelibara, dengan kawah yang jadi danau dengan warna yang berubah-ubah, saya juga akan percaya, seperti Matheus: alam bukan hanya bongkah ta-nah dan batu, daun rimbun dan pokok kayu. Alam bukan hanya per ubahan langit siang ke malam. Alam melebihi semua itu; ia te-naga yang tak pernah mati, meskipun dikuburkan.

Takhayul, orang akan bilang. Takhayul memang sebutan yang mencemooh untuk peng-

alam an yang seperti itu. Cemooh itu menunjukkan ada jarak yang telah terjadi antara manusia dan hening yang angker di seki-tar danau ini—karena akal budi menghendaki ”kecerahan”. Tapi kita tak bertanya lagi mengapa ”kecerahan” harus begitu penting hing ga yang gaib harus tak ada.

”Matheus orang Katolik?” tanya saya, menanyakan sesuatu yang tak perlu.

”Ya. Juga Vincentius. Akhmad orang muslim. Kami satu desa. Kami dari Desa Pemo.”

Menjelang pukul 07.25, saya turun bersama Vincentius. Ia su-dah melepas kainnya. Seperti kedua temannya, tubuhnya, dalam umur 35, liat dan ramping karena perjalanan naik-turun gunung hampir tiap hari. Di sekitar kami berjajar pohon cemara gunung dan di sana-sini tampak kasuarina dengan rimbun-daun yang se-perti surai kuda.

Tak ada angin. Hanya burung-burung yang mengisi suara di latar belakang: kicau yang jernih dan tangkas. ”Itu garugiwa,” ti-ba-tiba kata Vincentius. ”Ia punya 14 jenis suara.”

Saya melihat ke pucuk-pucuk, dan tak menemukan apa-apa—

PEMO

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 322: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

297 Catatan Pinggir 10

kecuali kadang-kadang unggas terbang yang tak saya kenal. Hi-dup ditandai gerak, agaknya, di hutan itu. Bahkan daun-daun yang jatuh ke tanah juga menyelinap, untuk jadi humus.

Apa yang terjadi setelah kita seperti daun jatuh? Saya teringat warna danau. Ke surga, ke neraka, atau seperti burung kecil itu—terbang beberapa saat dan kemudian bersatu dengan kedalaman?

Syahdan, agama-agama baru datang ke celah-celah Kelimu-tu. Mereka akan memberi jawab dengan melihat kitab-kitab. Tapi saya tak tahu manakah yang lebih kuat pada hati Akhmad, Matheus, Vincentius: pengalaman yang akrab dengan rahasia hu tan dan danau, atau kata-kata yang tertulis terang di buku-bu-ku suci.

Kata-kata yang tertulis itu kemudian jadi hukum—dan pada saat yang sama jadi menciut. Hukum tak pernah bisa mengatur apa yang tak bisa dijelaskan. Dan ada yang tak bisa dijelaskan saat hi dup bergetar ketika Yang Maha-Gaib menyentuh keheningan ti ga danau itu, seakan-akan berbisik: Aku ada. Bersamamu. Tapi tak akan Kaulihat.

Vincentius berhenti di depan sebuah semak. Ia menyembunyi-kan beberapa barang yang dibawanya di antara rumput lebat. Ia akan mengambilnya besok, dalam perjalanan mendaki lagi ke pun cak untuk berjualan.

”Kami semua begini,” katanya. ”Di desa kami ada gereja dan ada masjid, kami bekerja bersama-sama. Kami masing-masing berlebaran dan berhari natal, tapi kami saling mengunjungi dan berbagi makanan. Dan kami bergabung bersama-sama dalam upa cara adat.”

Saya bertanya, kapan upacara itu dijalankan. ”September,” ia menjawab. Setiap tahun.

Tampaknya di dusun mereka, Pemo, ada yang lebih tua ke-tim bang masjid dan gereja dan kitab-kitab, ada yang lebih ”ende-mik” seperti pakis dan turuwara. Kaum misionaris dari agama-

PEMO

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 323: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

298 Catatan Pinggir 10

PEMO

agama yang datang mungkin akan mengatakan bahwa yang ”en-demik” itu keliru, tapi apa sebenarnya yang keliru bila Akhmad dan Matheus dan Vincentius—di bawah naungan sesuatu yang pur ba—tak saling mengatakan ”kau mempercayai yang salah”?

Sesuatu yang purba itu mungkin akan tergusur. ”Kecerahan” akan datang. Nenek moyang yang bersemayam di danau itu akan dilupakan. Tapi kita tak tahu apa yang akan menggantikan hidup bersama yang dinaungi itu. Saya hanya berharap pada suatu pagi yang lain saya akan ketemu lagi Akhmad, Matheus, dan Vincen-tius. Di puncak Kelimutu. Tersenyum.

Tempo, 20 Mei 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 324: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

299 Catatan Pinggir 10

DMZ

SEJARAH punya jejak yang tegang di bentangan tanah yang memanjang ini. Dataran ini mirip lembah yang ko-song, tapi orang tak akan terkecoh: kosong bukan berarti

da mai. Ini perbatasan Korea Selatan dengan Korea Utara. Ini saksi se-

buah perang yang dilupakan: ”Perang Dingin” yang membelah dunia sejak akhir 1940-an. Di sini, konflik global yang dianggap sudah berakhir sejak lebih dari satu dasawarsa yang lalu itu masih berlangsung—dengan trauma, dendam, dan hantu-hantu masa si lam, yang dalam kata-kata penyair Keith Wilson, ”masih meng-arungi malam dan membisikkan kata ‘Korea’”.

Bila hantu itu akan lebih terasa hadir di sini, itu karena wi la-yah ini sebuah ruang kecemasan tersendiri. Ia penyekat tipis yang di bangun dengan kesepakatan yang tak meyakinkan di antara dua pihak yang lelah berperang—persisnya pada 17 Juli 1953.

Karena sebenarnya ada yang belum selesai. Perang tiga ta-hun yang dimulai tahun 1950 itu akhirnya tak menghasilkan ke-menangan bagi siapa pun. Diniatkan oleh pemimpin Korea Uta-ra, Kim Il-sung, untuk menyatukan jazirah itu dari perpecah an Uta ra-Selatan, perang yang ganas itu hanya mengembalikannya ke posisi sebelumnya: di Garis Lintang 38.

Di situlah kesia-siaan yang belum mau diakui itu ditandai: se-buah wilayah didirikan sepanjang 250 kilometer dengan lebar 4 kilometer untuk membatasi gerakan kedua belah pihak. Disebut ”DMZ”: ”Demilitarized Zone”, ”zona bebas militer”. Tapi betapa absurd nama itu: sebab di bagian bumi Korea inilah militer yang bermusuhan berjaga berhadap-hadapan. Senjata nuklir terang-te rangan atau diam-diam disiapkan. Propaganda yang kuno atau baru disiarkan.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 325: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

300 Catatan Pinggir 10

Kehancuran membuat manusia jera. Tapi ketegangan di DMZ itu menunjukkan, ada yang membuat jera hanya sebentar— yakni cita-cita, atau ambisi, atau tekad, yang disebut ”nasionalisme”. Se-jarah Korea yang mengagumkan tapi tragis membuat nasionalis-me itu merasuk dengan luka-lukanya.

Negeri ini bukan bangunan kemarin sore. Tiga kerajaan su-dah berdiri sejak 65 sebelum Masehi. Dinasti-dinasti datang dan pergi, melalui perang, melewati penjajahan Kerajaan Mongolia, dan di abad ke-20, berakhir dengan kolonisasi Jepang.

Dan sepanjang sejarahnya yang sekitar 1.000 tahun itu, Korea melahirkan sesuatu yang tak ada bandingannya di Asia Timur: bu at pertama kalinya dalam sejarah manusia, sekitar 1230, di si-ni diciptakan mesin cetak bergerak yang terbuat dari logam, 200 ta hun sebelum Gutenberg menemukannya di Jerman. Buku aga-ma Buddha, Jikji, terbit dengan mesin itu pada 1377, sekitar 100 tahun sebelum Injil dicetak di Eropa—dan jauh lebih di depan ketimbang Turki, di mana mencetak buku dianggap dosa oleh pa ra ulama dan diancam hukuman mati oleh Sultan Salim I da-lam sebuah titah bertahun 1515.

Tentu, seperti Eropa dan Turki, Korea punya penguasa yang pa ranoid dan agamawan yang mudah cemas. Ketika Raja Sejong memperkenalkan huruf Hangul yang mudah dipergunakan itu ke rakyat banyak (alfabet itu selesai diciptakan di akhir tahun 1443), lapisan elite dan pendeta Konghucu yang memakai huruf Cina, Hanja, menentang. Ketika rakyat menyatakan suara nya de ngan huruf itu dalam menentang kesewenang-wenangan Raja Ye on sangun, Baginda melarang penggunaan aksara itu pada 1504.

Tapi kemudian Hangul dipulihkan kembali—dan dalam per-kembangannya kemudian, aksara itulah yang mengukuhkan ba-hasa Korea, membangun kesadaran kebangsaannya, menyatukan rakyatnya, hingga, dengan nasionalisme yang utuh, menembus

DMZ

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 326: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

301 Catatan Pinggir 10

abad ke-20, juga ketika Jepang menguasai negeri mereka.Tapi kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik tak menyebabkan

nasionalisme itu mencapai cita-citanya: sebuah Korea yang mer-de ka. Seusai Perang Dunia II, kekuasaan dunia berada di tangan negara-negara pemenang. Tanpa persetujuan rakyat Korea, nege-ri mereka diletakkan di bawah pengawasan Amerika Serikat dan Uni Soviet, di dua sisi yang berbeda—dan terbelah sejak itu.

Tapi dengan itu pula hasrat penyatuan kembali ”meradang, me nerjang” dan Perang Korea yang berdarah-darah meletus—ka rena hasrat nasionalisme yang bertaut dengan Perang Dingin an tara ”Blok Komunis” dan ”Blok Barat”. Dalam arsip Soviet yang dibuka di pertengahan 1990 diketahui, bukan Stalin yang men desak agar Kim Il-sung menyerang Korea Selatan, tapi justru sebaliknya. ”Saya tak bisa tidur sepanjang malam memikirkan pe nyatuan seluruh negeri,” kata Kim, Januari 1950, kepada utus-an Stalin. Dan Stalin akhirnya memberkati. Pasukan Korea Uta-ra memasuki wilayah Selatan—dan Seoul pun jatuh.

Tapi yang dicemaskan Stalin terbukti. Amerika, dengan me-manfaatkan PBB, mengirim pasukan besar-besaran untuk men-de king pemerintah Seoul. Perang itu melibatkan sejumlah nega-ra, bukan hanya Cina di pihak Komunis, tapi juga bahkan India dan Turki di pihak lawannya. Jengkal demi jengkal wilayah lepas dan direbut kembali. Dalam tiga tahun yang bengis itu terbunuh 33.600 tentara Amerika, 16.000 anggota pasukan PBB, 415.000 prajurit Korea Selatan, 520.000 prajurit Korea Utara, dan sekitar 900.000 tentara Cina.

Dan hasilnya? DMZ.Tentu bukan cuma DMZ. Kemajuan Korea Selatan yang me-

nak jubkan dalam tiga dasawarsa ini tak bisa dilepaskan dari keta-kutan kalau akan dikalahkan musuhnya di Utara. Perpisahan itu bu kan sepenuhnya tragedi.

Yang benar-benar tragedi ada di Utara. Di sana, selama lebih

DMZ

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 327: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

302 Catatan Pinggir 10

DMZ

da ri 40 tahun kekuasaan Partai menutup rakyat dalam sebuah pen jara besar dan menyuruh mereka mengikuti semacam agama baru—dengan pemujaan, fanatisme, kekerasan, dan penguasaan yang tak pernah berhenti mengawasi.

Parang Dingin berlanjut dengan kebengisan lain di sini.

Tempo, 27 Mei 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 328: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

303 Catatan Pinggir 10

TEEUW(1921-2012)

PADA umur 26, Andries Teeuw naik kapal pos, meng-arungi laut, melintasi Terusan Suez, dan sampai di pe la-buh an Sabang. Itu tahun 1947. Perjalanan yang tak men-

janjikan ketenteraman. Hanya dua tahun sebelumnya Indonesia menyatakan diri mer-

de ka. Belanda, yang merasa dibangkang, kemudian mengirim pa sukan untuk menaklukkannya kembali. Tapi Teeuw, kelahir-an Gorinchem, Holland Selatan, datang sendirian, meskipun de-ngan dana pemerintah untuk riset di Lombok. Ia baru setahun ber oleh gelar doktor dari Universitas Utrecht. Entah bagaimana seorang ilmuwan yang begitu muda melintasi ketegangan hari-ha ri itu.

Saya hanya pernah membaca, dari Sabang ia menulis sepucuk surat kepada istrinya: ”Seakan-akan saya telah berkenalan de-ngan dunia ini.”

Ia memang telah kenal bagian dunia ini—secara tak langsung. Ia belajar filologi; disertasinya terjemahan atas puisi Bhomântaka, nas kah tua dari Jawa Timur. Bagi Teeuw, tak mudah memahami sepenuhnya teks bahasa Jawa Kuno ini, tapi satu hal yang terpaut pa da filologi ada dalam dirinya: filologi, yang menelaah bahasa dalam pautannya dengan sastra dan sejarah, berasal dari bahasa Yu nani yang berarti ”cinta kepada sastra dan pengetahuan”.

Tanpa cinta kepada sastra dan pengetahuan, Teeuw tak akan berj alan sejauh itu—melintasi dua satuan geografis, dua kubu ke-te gangan politik, dua posisi dalam proses pengetahuan: ia dapat-kan sumber telaahnya dari Indonesia, ia berikan kemudian hasil te laahnya kepada Indonesia. Ia seorang Belanda; ia pro-Indone-sia.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 329: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

304 Catatan Pinggir 10

Beberapa tahun setelah Bhomântaka, ia lebih dikenal sebagai pe nelaah dan kritikus sastra Indonesia modern. Teeuw mula-mu-la tak merasa nyaman dengan label itu. Saya bertemu dengan dia per tama kali di musim dingin awal 1967. Waktu itu saya tinggal di Bruges, Belgia, dan datang naik kereta api ke Leiden. Ia men-jemput saya di stasiun—dengan sikap rendah dan murah hati yang tak terduga dari seorang guru besar kepada seorang maha-siswa asing yang cuma dikenalnya lewat satu-dua sajak. Ia ramah, de ngan kehangatan yang pelan datang.

Istrinya, yang kemudian akan disebut ”Ibu Teeuw” dengan ak rab oleh semua kenalannya dari Indonesia, menyajikan teh pa-nas dan biskuit.

”Saya sebenarnya bukan kritikus,” ia mengatakan, di ruang ta mu rumahnya yang bersahaja dan penuh buku. ”Yang saya la-ku kan hanya mengisi kekosongan.”

Waktu itu tampaknya demikian. Ketika Teeuw mengajar di Uni versitas Indonesia di akhir 1940-an dan awal 1950-an, terbit bu kunya, Voltooid Voorspel. Buku ini kemudian diindonesiakan ja di Pokok dan Tokoh (judul yang kemudian di-”pinjam” Tempo) pada 1952 dan 1955. Isinya lebih berupa pengantar tentang para sas trawan Indonesia modern dan karya-karyanya. Pendekatan-nya tak bisa dikatakan baru. Dalam kritik sastra waktu itu, ”po-kok” dianggap terkait erat dengan ”tokoh”, satu hal yang digugat da lam teori sastra kemudian. Tapi tujuan Teeuw memang hanya jadi pemandu bagi mereka yang ingin mulai belajar. Dan sebab itu pula—di samping ia tahu menempatkan diri sebagai ”orang lu ar”—Teeuw, seperti kata penyair dan kritikus Sapardi Djoko Da mono, cenderung ”berhati-hati”.

Bagaimanapun terbatasnya, Pokok dan Tokoh besar sekali pe-nga ruhnya bagi sastrawan Indonesia di tahun 1950-an. Waktu itu seseorang seakan-akan baru ”dibaptis” setelah dibahas Teeuw. Da lam hal ini ia sejajar dengan H.B. Jassin, yang menerbitkan ti-

TEEUW (1921-2012)

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 330: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

305 Catatan Pinggir 10

ga jilid kumpulan Kritik & Esei. Tapi Teeuw punya kelebihan. Ia pa kar filologi yang kenal sastra klasik Melayu dan Jawa dengan men dalam. Dengan demikian ia melihat dengan tepat bahwa be-tapapun ”baru”-nya ungkapan Chairil Anwar dan para penyair se belum dan sesudahnya, bahasa Indonesia tak lahir dari ruang linguistik yang hampa.

Itu sebabnya Teeuw dapat melihat apa yang istimewa pada puisi Amir Hamzah. Sementara Jassin menunjuk rapatnya penya-ir Buah Rindu dengan tradisi Melayu, Teeuw justru melihat ada da lam karya Amir sesuatu yang mempesona: sebuah energi baru. Puisinya mengatasi keterbatasan prosodi syair lama. Dalam ba-hasa Melayu, tak ada rima yang bertekanan seperti dalam bahasa Jermanik. Syair Melayu juga tak amat beragam bunyi vokalnya (ha nya a, e, i, o, u, ê), sementara rima yang terbentuk dari itu, dalam gabungan dengan konsonan, tak seluas bahasa Jerman, Inggris, apalagi Rusia. Menghadapi keterbatasan itu, menurut Teeuw, Amir Hamzah menciptakan puisi yang mengejutkan dan kaya karena bunyi asonansi, aliterasi, dan rima yang mendadak di tengah-tengah.

Ketajaman (dan juga kepekaan) menangkap gerak bahasa yang seperti itulah yang sampai sekarang belum dilanjutkan, apa-lagi ditandingi, oleh telaah sastra di perguruan tinggi Indone sia. Dari apa yang saya contohkan tampak pula bahwa telaah Teeuw, yang kemudian makin lama makin dipermatang oleh teori- teori sastra mutakhir (Barth, Culler, Derrida), tetap menggali sumber-nya bukan dari sastra Eropa, melainkan sastra Nusantara. De-ngan lancar, dalam satu risalah, ia akan mengambil contoh dari sa jak Jawa Kuno Hariwangsa dan puisi Sutardji Calzoum Bach-ri. Dalam menelaah Hikayat Hang Tuah, Teeuw membedakan diri dari penelaah lain karena ia tak memakai ukuran kesejarah-an ”Barat”: ia melihat kisah itu sebagaimana orang Melayu me-mandang Hang Tuah sejak dulu: sebagai karya sastra yang asyik

TEEUW (1921-2012)

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 331: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

306 Catatan Pinggir 10

TEEUW (1921-2012)

dinikmati.Itu sebabnya sastra penting, meski sering disepelekan dalam

za man yang menyisihkan keasyikan. Manusia, Teeuw meng-ingat kan kita, juga homo fabulans: makhluk yang bercerita, yang bersastra—dengan bahasa dan imajinasi yang ganjil, tak pasti, tak mandek, tapi dengan demikian selalu baru dan hidup kemba-li berkali-kali.

Juga ketika sang kritikus pergi, 18 Mei 2012.

Tempo, 3 Juni 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 332: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

307 Catatan Pinggir 10

1900

IA lahir di kapal, tinggal selama hidupnya di kapal, bekerja se bagai pianis di kapal, dan tak berkeberatan ketika ada yang me nyebutnya sebagai ”seseorang yang tak dapat bermain

pia no tanpa ada laut di bawah pantatnya”.Namanya ”1900”. Lengkapnya ”Danny Boodman T.D. Le-

mon 1900”. Film The Legend of 1900 karya Giuseppe Tornatore (sutradara

Cinema Paradiso) dimulai di SS Virginian, kapal penumpang yang menghubungkan kedua pantai yang dipisahkan Atlantik. Pada tahun 1900, di kapal itu ditemukan bayi. Seorang awak ka-pal pun memungutnya dan memberinya nama panjang itu—yang merupakan gabungan namanya sendiri, angka tahun ketika si orok didapatkan, dan sebuah iklan yang tampak dalam kotak.

Dan di geladak SS Virginian itulah 1900 berangkat dewasa, me nyaksikan hidup, belajar hidup, dan berlatih bermain piano de ngan bakat yang menakjubkan. Segera ia jadi pianis utama da-lam orkes kapal.

Itulah puncak pengalamannya. Ia bisa bertanding keterampil-an dengan Jelly Roll Morton, ”Bapak Jazz” dari New Orleans yang naik ke SS Virginian menantangnya, dan ia menang. Ia jatuh cin-ta—dari jauh—dengan seorang gadis yang ditatapnya seraya ia ber main piano untuk sebuah rekaman. Di orkes kapal itu juga ia ber sahabat dengan Max, si gemuk pemain trompet.

Tapi pada suatu hari, 1900 ingin pergi. Ia sampaikan niatnya kepada Max. Ia ingin mendengar suara laut dari pantai, bukan da ri buritan kapal. Ia ingin jadi manusia darat.

Max mendukung niat itu, dan mereka berdua membayang-kan 1900 hidup sebagai manusia lumrah, menikah dan beranak. Tenteram.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 333: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

308 Catatan Pinggir 10

Maka di sebuah pelabuhan, 1900 pun bersiap turun. Max mem berikan mantelnya yang bagus kepadanya. Dengan menge-na kan topi fedora hitam yang necis, 1900 pun menuruni tangga un tuk meninggalkan negeri asalnya, SS Virginian.

Tapi di tengah itu ia berhenti. Ia menatap ke arah kota: ge-dung-gedung jangkung, jalan berkelok silang menyilang, lampu-lampu....

Ia tak melangkah lagi. Tiba-tiba ia mencopot topinya, melem-parnya ke laut—dan naik kembali ke kapal. Ia urung jadi manu-sia darat.

”Bukan yang aku lihat yang menghentikan langkahku, Max, ta pi apa yang tak kulihat,” katanya menjelaskan.

”...kau lihat... kau lihat jalanan itu, ya, jalanan itu? Ada ribuan! Bagaimana kita akan melakukan sesuatu di sana, bagaimana kita akan memilih satu saja... satu rumah, seorang perempuan, sepetak tanah yang bisa kita sebut lanskap kita sendiri untuk kita pandang, juga satu cara mati?”

Ia tak mau masuk ke wilayah yang beragam dan tak seluruhnya tampak itu. Ia ingin terpaku di kapal, sesuatu yang pas dan sa tu. Ia takut daratan. ”Daratan itu sebuah kapal yang terlampau besar bagiku, ia perempuan yang terlalu cantik, perjalanan yang terlalu panjang, parfum yang terlalu wangi.... Ia musik yang aku tak tahu menciptakannya.”

Keberagaman yang tak tepermanai itu, bagi 1900, sebuah ho-ror. Mungkin The Legend of 1900 ingin jadi puisi tentang dunia kecil yang tak merengkuh ke mana-mana, seperti Cinema Paradi-so menggambarkan Giancaldo. Dusun Sicilia dalam imajinasi Tor natore itu tak jauh berbeda dengan SS Virginian: orang saling mengenal, akrab, sama-sama gandrung kepada layar putih atau ka mar musik—sebuah hidup yang lain dari Roma, Paris, New York....

Ada yang menyebut Cinema Paradiso sebuah ungkapan ”post-

1900

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 334: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

309 Catatan Pinggir 10

modernisme yang nostalgik”. Mungkin tepat, mungkin tidak. Ia ber mula dari kisah seseorang yang dari Roma menengok kembali dusunnya dengan kenangan yang hangat. Memang nostalgia ber-main di sini dan membuat masa lalu jadi Giancaldo yang memi-kat. Kita seakan-akan akan gampang menghuni dusun yang tak ru mit itu dan bahagia. Yang kita lupakan, dalam tiap nostalgia bu kan masa lalu yang melahirkan kerinduan, tapi kerinduan yang membuat masa lalu.

Dan bila The Legend of 1900 merindukan sebuah masa ketika dunia lebih bersahaja, ia mengambil satu posisi yang tak menarik: ia memperpanjang rasa takut kepada kemerdekaan.

Rasa takut kepada kemerdekaan itu (satu fenomen psikologis yang sejak 1941 dilihat Erich Fromm, penerus dan pengkritik psi koanalisis Freud) adalah patologi yang jadi akut karena zaman modern. Zaman ini membuat manusia jadi individu yang terpi-sah. Orang akhirnya gentar berdiri di atas kaki sendiri. Ia pun ma suk ke dalam kelompok, berpegang kepada satu ajaran bersa-ma, berlindung.

Tokoh The Legend of 1900 mirip, meskipun sedikit lain.”Bukan yang aku lihat yang menghentikan langkahku, Max, tapi

apa yang tak kulihat.” Baginya, hanya dengan yang dapat dilihat ia bisa hidup—misalnya 88 bilah tuts piano itu. Ia merasa mencapai se suatu karena dengan hal-hal yang terhingga (yang hanya 88) ia bi sa melahirkan lagu, dan ia pun jadi ”tak terhingga”.

Tapi ia lupa, yang melahirkan lagu justru sesuatu yang tak da-pat dilihat: kemerdekaan. Kemerdekaan itu yang membuat pera-sa an hidup dan musik bergetar jadi baru. Tanpa kemerdekaan, la-gu hanya suara beo, musik hanya bunyi mesin.

Tampak 1900 takut kepada yang tak bisa diduganya. Tapi mu sik, juga musiknya, justru memukau karena selalu ada kejut-an, lirih atau keras.

Dan ketika ia akhirnya menyerah kepada yang hanya bisa di-

1900

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 335: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

310 Catatan Pinggir 10

1900

duganya, yang pasti, yang satu, yang tak berubah, ia memilih ke-matian. Sebab apa yang tak berubah? Kapal SS Virginian juga ber ubah jadi butut, sebuah dunia yang jadi rongsokan yang harus di tenggelamkan.

Syahdan, 1900 tak beranjak ketika kapal itu diledakkan. Ia ikut terkubur di laut.

Yang tragis, ia bukan orang darat, tapi juga bukan orang laut. La ut punya banyak yang tak terlihat; ia keragaman yang tak te-permanai. Suara laut adalah suara kemerdekaan. ”Kemerdekaan ada lah laut semesta suara/ janganlah kau takut kepadanya,” kata sa-jak Toto Sudarto Bachtiar. Tapi 1900 tak mendengar.

Tempo, 10 Juni 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 336: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

311 Catatan Pinggir 10

ETNOKRASI

Gaza hamil tua dengan manusia dan tak ada yang membantu kelahirannya.

SAYA pernah membaca sajak tentang Palestina itu (saya tak ingat lagi siapa penyairnya), dan sampai hari ini saya be-lum mengerti bagaimana cara membantu kelahiran ma-

nusia di Gaza. Dalam tafsir saya, ”manusia” adalah makhluk yang membuat

se jarah melalui konflik, tapi tak akan bisa selama-lamanya ber-sengketa. ”Ada waktu untuk perang,” demikian tertera dalam Peng khotbah, ”dan ada waktu untuk damai.”

Tapi di Gaza yang sekarang ada hanya ”waktu untuk berpe-rang”, dan manusia belum sepenuhnya lahir.

Di sini dunia adalah sebuah penantian besar: penantian anta-ra perang dan damai. Sekitar sejuta dari 1.700.000 penduduk di wilayah sepanjang 41 kilometer ini pengungsi—dan pengungsi adalah penanti sejati. Mereka telah menunggu lebih dari setengah abad. Persisnya sejak 1948, sejak mereka meninggalkan wilayah Palestina mereka yang dikuasai Israel setelah dunia Arab kalah pe rang.

Begitu lama mereka terdampar di sana, mungkinkah mereka kembali tanpa peperangan baru? Atau kalaupun mereka ingin tinggal selamanya di sana, bisakah itu berarti damai?

Damai yang hanya berarti tak ada tembak-menembak tak akan sulit dicapai. Tapi jika damai berarti rasa tenteram, orang-orang Palestina itu tak pernah menemukannya.

Mula-mula orang Israel mencoba mengambil alih tanah mere-ka dengan mendirikan permukiman di Kfar Darom dan Netza-rim 40 tahun yang lalu. Tak berhenti di sana, pemerintah Israel

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 337: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

312 Catatan Pinggir 10

men dukung ikhtiar perebutan seperti itu sampai dasawarsa ber-ikut nya. Bentrokan pun tak dapat dielakkan. Orang-orang Pales-ti na makin tak sabar, dan Hamas dibentuk dan Hamas didu-kung, dan intifadah meletus. Sejak itu, Gaza adalah awal dan ajang pertempuran, campuran antara heroisme dan terorisme, an tara kecanggihan peralatan perang dan kebrutalan.

Israel memang menguasai udara, pantai, dan sisi timur Laut Te ngah, dengan kekuatan militer dan propaganda yang tak ter-tandingi. Dalam Perang Gaza 2008 Israel praktis menang: di sam ping ratusan korban orang Palestina tewas, termasuk anak-anak, pelbagai prasarana yang dikendalikan Hamas dapat dihan-curkan. Tapi pada akhirnya, Israel juga sebuah penantian besar — dengan semua kontradiksi yang terjadi karena itu.

Negara ini, seperti halnya negara lain, lahir dari kekerasan. Tapi sementara sebagian besar negara di dunia menjinakkan diri ke dalam institusi-institusi yang memendam kekerasan di bawah fondasinya, Israel tidak. Ia tak sepenuhnya sampai ke titik ”waktu untuk damai”. Lembaga-lembaga sosial dan politiknya memang ber langsung seperti di negara demokrasi yang normal: pers bebas, pemilihan umum yang terbuka, peradilan yang mandiri. Tapi Is-rael juga sebuah republik yang diperkuat oleh ketakutan.

Dulu ia ketakutan karena merasa dikepung negeri-negeri Arab yang ingin menghapuskannya dari peta. Kini, dengan kecang-gih an dan kesiagaan militernya yang tak tertandingi di wilayah itu (termasuk dengan kesiapan senjata nuklir), ia hidup dengan ke takutan lain.

Tangan dan kakinya mencengkeram sebuah wilayah, bukan hanya Gaza, yang menurut hukum internasional bukan milik-nya —di zaman ketika kolonisasi dianggap kejahatan. Para pe-mu kim (settlers) Yahudi tak putus-putusnya mengambil alih ta-nah milik orang Palestina yang hidupnya lebih dulu dipojokkan pe merintah Israel—di zaman ketika ketidakadilan macam itu

ETNOKRASI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 338: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

313 Catatan Pinggir 10

di kutuk secara universal. Maka ketakutan Israel kini adalah keta-kut an tak punya dalih. Ia makin sulit menjelaskan—juga kepada dirinya sendiri—bagaimana sebuah negeri yang lahir untuk mem bebaskan diri dari kesewenang-wenangan kini memperpan-jang diri dengan kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, Israel takut kehilangan raison d’ être. Ia takut dasar hidupnya akan ter-ungkap sebagai sesuatu yang palsu: bukan karena hak, melain-kan karena ia menembak & menggertak.

Ketakutan punya racun yang tak selamanya terasa. Nelson Mandela pernah mengatakan, bila ”kita membebaskan diri dari ketakutan kita sendiri, kehadiran kita otomatis membebaskan orang lain”. Bila tidak....

Dari itu tampak dengan jelas kontradiksi yang merundung Is-rael sekarang: di satu pihak, ia sebuah negeri yang merawat kebe-basan; di pihak lain, ia kekuasaan yang takut akan kebebasan.

Secara lebih tajam, itulah yang diungkapkan oleh Peter Bein-art dalam bukunya yang baru terbit, The Crisis of Zionism. Bagi-nya, Israel terbelah dua; yang sebelah barat, ”Israel adalah sebuah demokrasi tulen, meskipun ada cacatnya”; ke sebelah timur, Israel adalah ”sebuah etnokrasi”.

Kata ”etnokrasi”, terutama karena disebutkan oleh seorang pe-nulis keturunan Yahudi, adalah kata yang keras sekali. Israel ber-mula dari para korban rencana etnokrasi Hitler: sebuah kekuasa-an politik oleh, untuk, dan dengan etnis tertentu. Tapi kini Zio-nisme, yang berawal sebagai nasionalisme, telah bertaut dengan po litik identitas yang kian sempit—nyaris hanya mewadahi me-re ka yang mengunggulkan warga beretnis Yahudi dengan mengi-barkan kata-kata Kitab Suci.

Dan tembok pun dibangun—tanda pemisah yang mirip poli-tik apartheid rezim kulit putih Afrika Selatan. Bukan kebetu-lan bi la pembangun sistem ini, Ariel Sharon—seperti ditulis Da-vid Schulman dalam The New York Review of Books 7 Juni yang

ETNOKRASI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 339: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

314 Catatan Pinggir 10

ETNOKRASI

lalu—menyebut wilayah Palestina di balik tembok sebagai ”Ban-tustans”.

Tapi sebagaimana Afrika Selatan, kata Schulman, sistem Isra-el itu akan runtuh. Israel tak akan sanggup membinasakan selu-ruh orang Palestina. Penduduk Yahudi akan jadi minoritas.

Dan suatu hari nanti, jam berdetak ke arah pembebasan—dan manusia pun lahir bersama waktu ”untuk damai”.

Tempo, 17 Juni 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 340: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

315 Catatan Pinggir 10

SIRIUS

LEPAS subuh, dari sebuah bukit di Munduk, Bali Utara, da ri mana langit tampak telanjang, saya lihat Sirius. Bin-tang itu nun di sana, bak aktor terakhir di panggung ang-

kasa sebelum malam turun-layar. Cemerlang, seperti lazimnya di jam-jam itu di bulan Juli, ketika langit gelap mulai beralih biru.

”Tahukah kau, perlu waktu delapan tahun lebih bagi cahaya Sirius untuk akhirnya tiba di retina mata kita, di atas bukit yang di ngin ini?”

”Satu windu perjalanan?””Ya, sebab jarak antara sang Bintang Anjing itu dan bumi, me-

nu rut para astronom yang menghitungnya, adalah 8,611 tahun ca haya.”

Saya terpekur. Apa yang saya alami sebenarnya tentang dunia di luar itu? Sepertinya ada dua momen yang saling menggantikan. Di momen yang satu, astronomi memberi tahu tentang jarak yang begitu jauh. Di momen yang lain, pengalaman saya yang lang sung tak ada hubungannya dengan angka tahun cahaya itu. Da lam momen itu, saya berjumpa seketika itu juga dengan sebu-ah bintang yang terang di ujung dinihari.

Saya tak bisa mengatakan bahwa Sirius dan jaraknya hanya se-buah hasil konstruksi para pakar dengan bahasa dan simbol-sim-bol matematik mereka. Bintang dan ruang angkasa itu benar-be-nar ada di luar teleskop. Tapi saya juga tak bisa mengatakan bah-wa seluruh kehadiran Sirius saat itu sepenuhnya ditentukan ri bu-an teleskop sebagai bagian dari rasa ingin tahu astronomi. Da lam ruang pandang saya, di langit di atas Munduk itu, ia sebagai ba-gian keterpesonaan saya.

Siapa yang tiap kali terpesona kepada bintang akan tahu, peng alaman adalah sebuah pembaruan yang terus-menerus. Saya

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 341: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

316 Catatan Pinggir 10

tak akan bisa menambahkan apa-apa kepada angka 8,611 tahun ca haya itu. Tapi tiap kali saya memandang Sirius, dari bukit ini di sa at ini atau dari bukit lain di malam lain, saya mengalaminya se-perti buat pertama kali: sesuatu yang baru.

Tak penting rasanya mempersoalkan apa dan siapa yang mem-buatnya baru. Yang jelas, kesadaran saya praktis hanya pasif, tak meng arahkan pengalaman saya saat itu. Saya hanya meninjau ke ang kasa. Tapi posisi saya, tubuh saya, ingatan saya, dan seluruh di ri saya sebenarnya tak persis sama dengan yang sebelumnya. De mikian juga Sirius, bintang yang sangat jauh itu, yang sudah di kenal manusia yang hidup di zaman Mesir Kuno. Dalam perja-lan an cahayanya sepanjang delapan tahun, ia berubah: mungkin se kadar letaknya di atas bukit itu, dalam hubungannya dengan ben tuk dan posisi bulan di langit. Mungkin juga karena kabut yang turun berbeda.

Pengalaman adalah suatu proses kreatif. Ia ”menciptakan” yang sebelumnya tak ada, tentu saja bukan dari nol. Hidup ada-lah arus, dan tiap kali ia adalah sebuah peristiwa, dan tiap peristi-wa adalah satu ”production of novelty”, kata Alfred North White-head. Di dalamnya ada sebagian komponen masa lalu, tapi seba-gi an lain adalah komponen masa depan—kemungkinan yang tak semuanya diketahui.

Seperti ketika berhadapan dengan kanvas-kanvas Raden Sa-leh: kita melihat sebuah karya dari pertengahan abad ke-19, tapi pa da saat itu juga kita seperti melihat sesuatu yang belum selesai. Keadaan-belum-selesai itu bukan hanya terasa dalam potret yang di buatnya tentang sepasang pengantin Jawa, yang bergandengan me natap ke kita. Memang di kanvas ini, latar dan goresan kuas pa da wajah terasa hanya dibuat selintas, berbeda dengan latar dan sosok lain yang tampak penuh. Tapi keadaan-belum-selesai itu juga terasa di kanvas yang paling penuh—karena tiap karya ada-lah sebuah peristiwa yang terus-menerus menggugah kita, me-

SIRIUS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 342: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

317 Catatan Pinggir 10

nga gumkan kita, menyenangkan kita. Di hari X kita bersua dengan bening mata dalam potret Sultan

Al katiri, atau wajah buas singa yang ditikam, atau detail tanda ja-sa di dada pembesar kolonial itu, atau pola batik pada kain perem-puan sepuh di kanvas yang lain, atau hijau pada rumpun pakis da lam lukisan tentang jalan mendaki ke Megamendung.

Di hari Y kita datang lagi, dan lukisan yang sama secara tak ter duga tampil kepada kita sebagai sesuatu yang dalam proses ”men jadi” lagi. Kita masih ingat pengalaman di hari X, tapi kita di buka untuk pengalaman yang tak kita antisipasi.

Maka jika dikatakan karya-karya itu abadi, itu bukan karena umurnya yang lebih dari seabad. Kanvas itu bisa rusak—dan be-berapa lukisan yang kurang dirawat memang tampak mulai ru-sak—dan warna bisa berubah. Tapi ada yang ”selama-lamanya”. Baris-baris terkenal sajak Keats ini menyebut itu sebagai kualitas keindahan:

A thing of beauty is a joy for ever: Its loveliness increases; it will never Pass into nothingness...

Yang mungkin salah pada sajak itu ialah mengesankan, keba-hagiaan merasakan keindahan itu berada di luar waktu, ”a joy for-ever”. Keats menulis, keindahan ”tak akan berlalu memasuki ke-tiadaan” (it will never pass into nothingness). Tapi kita tak pernah me lihat keindahan sebagai sesuatu yang terlepas dari bendanya yang fana, katakanlah sebuah patung kayu yang akan lapuk.

Itu sebabnya, yang kekal dalam keindahan kanvas Raden Sa-leh, yang tak lekang dalam momen ketakjuban saya di saat bersua ca haya Sirius, bukanlah sesuatu yang berada di luar waktu. Ia ber -ada da lam waktu. Benda dan momen akan punah, ingatan akan h ilang, tapi ketakjuban dalam peristiwa keindahan—seperti juga

SIRIUS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 343: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

318 Catatan Pinggir 10

SIRIUS

di saat-saat mencintai—datang lagi, seperti reinkarnasi yang tak me ngenali wujud asalnya.

Mungkin ini satu alasan kita untuk bersyukur: ada yang ”ke-kal” dalam yang fana, dan Sirius di atas bukit itu bukan cuma re-petisi dari sebuah benda yang datang delapan tahun kemudian. Hidup bukan serangkai mesin dengan pola yang siap. Hidup adalah sebuah kreativitas yang diam. Siapa yang merasa bisa meramal arahnya akan kecewa, atau akan bosan.

Tempo, 24 Juni 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 344: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

319 Catatan Pinggir 10

SCHILLER

TEKS itu membuat saya gentar. Seorang teman dekat me minta saya mengadaptasi lakon Schiller, Die Räuber (Rampok). Schiller nama besar dalam sastra Jerman

abad ke-18; ia disandingkan dengan Goethe; dan cerita yang ha-rus saya sadur sebelumnya telah disadur oleh satu nama besar sas-tra Indonesia, Rendra. Bagaimana saya bisa melakukan yang le-bih baik?

Ternyata Die Räuber bukan sebuah lakon yang cocok untuk sa ya. Saya membacanya dalam versi Inggris, tentu, untuk mem-bantu bahasa Jerman saya yang berantakan. Kesimpulan saya, Die Räuber—yang ditulis ketika Schiller baru berumur 21—tak lebih dari sebuah melodrama dengan dialog yang berlarat-larat dan melambung.

Tapi di zamannya, Die Räuber diterima dengan gemuruh. Per tunjukan perdananya di teater nasional Mannheim pada 1782 menarik penonton dari kota-kota lain. Mereka bertepuk untuk ti ap ucapan yang menggugah dan menangis untuk tiap adegan yang menyentuh. Die Räuber—seorang penulis sejarah menye-butnya ”a powerful nonsense”—ternyata punya daya pukau di ma-syarakat kota Jerman masa itu: masyarakat yang merasakan hu-kum telah terpisah dari keadilan dan agama telah jauh dari ketu-lusan.

Karl Moor, tokoh utama lakon ini, adalah pemimpin gerom-bolan perampok yang menjarah tuan tanah yang loba dan meno-long yang tak berdaya. Sekaligus Die Räuber juga sebuah cercaan kepada para padri yang menjual Tuhan dengan harga ”10 picis”.

Sikap dan tindakan moral dalam hidup, bagi Schiller, lebih mu lia ketimbang kaidah yang ditentukan Takhta dan Agama.

� Tidak mengherankan. Agama adalah kekecewaan besar

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 345: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

320 Catatan Pinggir 10

Schiller. ”Agama yang mana yang aku akui? Tak satu pun dari yang tuan sebutkan kepada saya. Dan kenapa demikian? Karena aga ma”—itu pernyataannya yang terkenal.

Ia hidup di Eropa yang masih luka dan teperdaya. Hampir semua karya teaternya mengandung latar sejarah ke-

tika Eropa dilanda perang agama antara Katolik dan Protestan yang berlangsung pada 1618-1648, perang yang menjanjikan sur-ga tapi merusak hampir semua sudut kehidupan. Dengan nada yang tak bisa datar dan dingin, Schiller bahkan pernah menulis tiga jilid buku sejarah tentang Perang 30 Tahun itu.

Sikapnya memang negatif terhadap Gereja Katolik. Tapi ia bu-kan orang yang berat sebelah. Mungkin karena ia seorang penulis lakon. Teater adalah proses yang efektif untuk menyelamatkan se-seorang dari kesatu-sisian. Lakon, baik dari kata ”laku” maupun dari kata Inggris play, mendorong tiap pandangan a priori ke da-lam gerak yang ditentukan oleh gerak itu sendiri. Di panggung, pre mis awal bisa berkembang atau berkurang, berkelok atau ber-putar. Dan akhirnya: beraneka gema. Die Räuber, yang bagi saya bombastis, ternyata disambut dengan seru kekaguman oleh pe-nyair Inggris terkenal, Samuel Taylor Coleridge.

Dengan kata lain, sebuah karya teater adalah jalan yang arah-nya tak terduga. Lakon Schiller, Maria Stuart, misalnya: cerita dua ratu yang berebut takhta Inggris—tapi juga perseteruan ke-kuatan Katolik dan Protestan. Yang menang—sesuai dengan ca-tatan sejarah abad ke-16—adalah Elizabeth yang Protestan. Ta-pi lakon ini tak urung menunjukkan bahwa Mary yang Katolik adalah yang akhirnya melepaskan diri dari segala yang palsu da-lam dirinya. Sementara itu Ratu Elizabeth adalah contoh tiada-nya hati yang tulus dalam Realpolitik. Takhta adalah candu bagi ra ja-raja. Agama bukan penangkalnya; ia dalihnya.

Itu juga yang terdapat dalam Don Carlos: Raja Spanyol, Philip II, bersengketa dengan anaknya sendiri, Don Carlos. Keduanya

SCHILLER

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 346: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

321 Catatan Pinggir 10

mem perebutkan hati seorang perempuan, tapi konflik dalam la-kon Schiller yang ketiga ini lebih dalam: di satu pihak ada para pem besar kerajaan yang hendak meneruskan penindasan di Flan-ders; di lain pihak ada Marquis Posa, sendirian, seorang Protestan yang selama itu menyembunyikan agamanya. Ia mencoba mem-bujuk Philip II untuk memberi rakyatnya kemerdekaan ber aga-ma. Lihat orang-orang yang lari dari Spanyol untuk menyelamat-kan iman mereka, kata sang Marquis. Mereka diterima Inggris—dan membuat kerajaan Ratu Elizabeth itu berkembang, sementa-ra Granada, di Spanyol, terbengkalai.

Tapi Marquis Posa gagal. Ia mati terbunuh. Spanyol tak mem-buka pintu ke arah kemerdekaan berbeda agama. Untuk mem-perkuat dasar kekuasaannya, Philip mengundang Inquisitor Agung, padri pengusut dan penjaga iman, bagian yang paling in-toleran dari Gereja Katolik Spanyol.

Dalam lakon Schiller, sang Inquisitor adalah seorang amat tua yang buta dan kejam: suara masa lalu yang tak mau melihat per -ubahan, pemimpin agama yang memandang manusia sebagai makhluk yang gelap. Dengan bantuannya, Raja Spanyol siap meng habisi Don Carlos, anaknya sendiri, yang juga sahabat Mar-quis Posa.

Agama dan kekuasaan perlu ketat dan tetap; kalau tidak, kata sang Inquisitor, keduanya akan cair ke udara.

�Syahdan, agama dan takhta Philip II pun menang.Tapi ternyata kemenangan bukan titik akhir. Dalam lakon

Wallenstein’s Tod, bangsawan Bohemia itu menggasak pemberon-takan Protestan melawan Imperium Austria yang Katolik. Para pra juritnya, tentara bayaran yang ganas, berseru: ”Kemerdekaan telah sirna dari bumi/ Dan orang cuma melihat Tuan dan Ham-ba.../ Hanya yang berani mati, serdadu, yang jadi manusia merde-ka.” Der Soldat allein ist der freie Mann!

Schiller akan menganggap teriakan itu gejala ”misantropi”,

SCHILLER

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 347: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

322 Catatan Pinggir 10

SCHILLER

ke bencian kepada manusia, dan ”misantropi adalah bunuh diri ber kepanjangan”. Sebab ”bila aku membenci, aku mengambil se-suatu dari dalam diriku; bila aku mencinta, aku diperkaya oleh yang aku cintai”.

Saya tak tahu apakah ia menganggap agama sebuah misantro-pi, dan benarkah cinta tak akan mungkin di sana.

Tempo, 1 Juli 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 348: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

323 Catatan Pinggir 10

LUBDAKA

Sebuah dongeng tentang dongeng.

ADA sebuah kota yang amat kecil di sebuah zaman yang amat hening di mana orang-orang ingin mendengar ceri-ta Lubdaka. Tapi tak ada yang tahu kisah itu. Maka de-

wan kota meminta seorang brahmana mencarinya.Ia dipilih karena ia pernah menemukan dua helai daun lontar

yang tersimpan di Candi Lango; di helai pertama tertulis, ”Sang Hyang ning Hyang amurti niskala”. Di helai kedua, ”Sthulakara sira pratisthita hanenghrdaya-kamala-madya nityasa”. Ia tak me-ngerti arti kata-kata itu. Tapi penjaga candi itu mengatakan bah-wa kedua kalimat itu memang bagian pembuka cerita Lubdaka. Dan sang brahmana percaya.

Maka ia pun berangkat memulai pencariannya bersama dua orang murid. Dengan sebuah biduk mereka menyeberangi Da-nau Tamranga, dan tiba di sebuah biara dengan 17 rahib yang tak me nyebutkan agama mereka. Di sana ekspedisi itu menemukan se bundel naskah cerita Lubdaka. Mereka menyalinnya selama se-minggu. Tapi pada akhir kerja mereka, pemimpin biara itu me-nga takan, ”Pergilah tuan-tuan ke pertapaan tua di Pulau Mahuli. Di sana ada cerita Lubdaka yang lebih lengkap.”

Dan mereka pun berangkat, dan menemukan pertapaan itu, dan mereka diizinkan membaca naskah itu beserta terjemahan-nya. Tapi pendeta tertua di sana berkata, ”Di seberang Danau Tam ranga selalu ada cerita Lubdaka. Tapi salah jika ingin mene-mu kan yang lengkap. Tuan-tuan sendiri yang harus melengkap-kannya.”

Sang brahmana dan murid-muridnya terkesima mendengar itu—dan dengan hati penuh mereka pun kembali ke kota yang

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 349: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

324 Catatan Pinggir 10

meng utus mereka. Tapi kali ini mereka harus menembus sebuah padang pasir sebelum sampai ke tepi danau. Tiba-tiba badai gu-run yang mengerikan melabrak. Ketika semua reda dan langit tenang kembali, kedua murid itu tak melihat lagi guru mereka di atas kuda. Sang brahmana lenyap, kedua murid itu jadi setengah buta, dan naskah yang mereka salin di atas kertas Cina robek-ro-bek, hurufnya pudar.

Yang tersisa jelas hanya satu halaman yang terlepas, bertulis-kan ”Sang Hyang ning Hyang amurti niskala...”.

Tapi setidaknya mereka ingat beberapa fragmen cerita yang di cari. Dan itulah yang mereka sampaikan ke dewan kota.

Syahdan, dewan kota sedang sibuk. Maka diputuskan bahwa pa ra anggota akan mendengarkan dongeng itu selama dua hari, fragmen demi fragmen. Semua akan direkam dan kemudian ceri-ta akan disusun jadi utuh, lalu disebarkan ke seluruh penduduk.

Tapi di ujung proses, ternyata ada dua versi cerita Lubdaka. Ini si nopsisnya:

VERSI I. Lubdaka seorang pemburu yang mencari hewan buru-an untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari ia tak bisa pu-lang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan. Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil. Ia duduk di atas sebuah dahan. Cemas terjatuh bila ia tertidur, ia melawan kantuk dengan memetik daun maja satu-satu, lalu dija-tuhkannya ke permukaan telaga untuk menyaksikan bulan yang ter-pantul di air itu seperti tersenyum kepada bumi. Adapun di danau itu ada sepotong batu panjang yang tegak, dan daun-daun itu sese-kali jatuh di pucuknya. Itulah yang ia lihat di waktu pagi. Yang tak ia ketahui, Dewa Syiwa yang di kuil-kuil dilambangkan dengan se-buah lingga sangat senang melihat perbuatan Lubdaka. Syiwa men-catat si pemburu sebagai calon penghuni surga.

VERSI II: Lubdaka seorang pemburu yang mencari hewan bu-ruan untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari ia tak bisa pu-

LUBDAKA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 350: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

325 Catatan Pinggir 10

lang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan. Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil. Ia duduk di atas sebuah dahan. Cemas terjatuh, ia berdoa sepanjang malam sambil menjalankan ibadat, yaitu menebarkan daun ma-ja ke sepotong batu panjang yang ia lihat tadi di telaga itu; bagi nya batu itu lingga yang mewakili Syiwa. Maka Syiwa pun sangat se-nang akan perbuatan Lubdaka. Ia mencatat si pemburu sebagai ca-lon penghuni surga.

”Versi mana yang benar?” tanya Ketua Dewan.”Terus terang saya tak tahu, Tuan,” jawab salah seorang murid

sang brahmana yang hilang. ”Kami berdua juga tak yakin bacaan ka mi. Kami setengah buta.”

”Tapi logisnya versi kedua yang benar,” jawab murid yang sa-tunya. ”Dewa mendengarkan doa Lubdaka sepanjang malam. Da lam versi ini Lubdaka berbuat dengan niat yang jelas. Dewa tak akan mengaruniai seorang yang iseng karena takut mengan-tuk.”

”Tapi niat itu pamrih. Dalam versi kedua, Lubdaka mengha-rap bantuan dewa, sedangkan dalam versi pertama, Lubdaka tak pu nya pamrih apa pun. Di atas pohon itu ia menciptakan imaji-nasi yang membuat bulan dan bumi saling bersahabat. Ia layak hi dup bahagia yang kekal.”

”Niat itu penting, kan? Tanpa niat, perbuatan hanya seperti air kali yang mengalir karena perbedaan tinggi tanah.”

Dewan kota pun bingung. Maka diundanglah seorang penela-ah kitab-kitab lama. Tapi orang ini pun tak bisa membaca tulisan pudar di kertas yang robek.

”Hanya kalimat ini yang saya mengerti,” katanya menemukan kertas yang bertuliskan ”Sang Hyang ning Hyang amurti niska-la...”. Baris ini bertaut dengan baris yang tersimpan di Candi La-ngo. Dalam tafsir saya, seutuhnya berarti, ”Dewa dari segala dewa yang nir-bentuk di dunia yang tak kasat mata/sifatnya yang nir-ben-

LUBDAKA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 351: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

326 Catatan Pinggir 10

tuk mewujud serupa teratai yang mekar tanpa henti di hati manusia di dunia yang tampak.”

”Itu kalimat Mpu Tanakung, dan agaknya versi I yang benar. De ngan bersahaja, Lubdaka terus-menerus menciptakan imaji-nasi yang baru di malam yang membosankan. Ia berbuat kebaik-an. Ia ikuti gerak sang teratai yang tak henti-hentinya mekar kem-bali.”

Dewan di kota yang sangat kecil itu masih bingung, tapi ko-non zaman tak seterusnya hening.

Tempo, 8 Juli 2012

LUBDAKA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 352: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

327 Catatan Pinggir 10

CERITA TUHAN

YANG dalam dari subuh adalah sunyi, dan yang dalam da ri sunyi adalah tempat imajiner Tuhan yang tak ada la-gi. Pernahkah pembaca mendengar Tuhan yang mening-

galkan tempat-Nya? Ketika berumur 22 tahun, penyair Rainer Maria Rilke pergi

mengunjungi Rusia bersama sahabatnya, Lou Andrea-Salomé. Di negeri itu Rilke bertemu dengan Leo Tolstoy, pengarang Pe-rang dan Damai itu, juga dengan para petani dan penggarap—je-nis manusia yang sudah berubah di Eropa—dan merasakan lans-kap Rus yang luas, senyap, penuh teka-teki.

Rilke tersentuh oleh perjalanan tahun 1889 itu. Ia pulang ke München, dan hanya dalam seminggu ia tulis semacam cerita, se-ma cam renungan: Geschichten vom lieben Gott. Terjemahan Ing-gris buku kecil ini (oleh Michael H. Kohn) Stories of God. Terje-mahan itu bagus, tapi tak menggambarkan hubungan Rilke de-ngan Tuhan, ketika kata lieben (yang tercinta) tak dimunculkan. Tu han, bagi Rilke, adalah Tuhan yang tercinta.

Mungkin ada pengaruh Kristen dalam pandangan ini—mes-ki pun harus ditambahkan: Rilke sebenarnya menolak Kristus. ”Sia pa Kristus ini,” tulisnya, ”yang campur tangan dalam segala hal—yang tak tahu apa-apa tentang kita, tentang kerja kita, ten-tang kebutuhan kita, tentang kegembiraan kita, sebagaimana ki-ta mengenalnya, menanggungkannya, mengalaminya...?” Bagi Rilke, Tuhan yang seperti itu tak punya akses ke dalam dunia ma nusia.

Orang Kristen akan menganggap pandangan ini aneh, tapi yang ditentang Rilke sebenarnya adalah apa yang disebutnya se-bagai ”cercaan kepada hidup di bumi” yang dikumandangkan ham pir semua ajaran agama, khususnya doktrin kristiani. ”Cer-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 353: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

328 Catatan Pinggir 10

caan” itu menista segala hal yang berkait dengan yang ”sensual”, da lam arti bermula pada indra, tubuh, rasa. ”Cercaan” itu mem-buat hidup tampak buruk dan nista.

Bagi Rilke, hidup di bumi, irdische Leben, adalah hidup satu-sa tunya. Ia tidak menyesal. Apa yang kita sentuh dan kita lihat me mang bersifat fana, sementara, tapi yang ”sementara” itu sebe-narnya tak terbatasi waktu. Mereka adalah pengejawantahan dari mak na yang lebih luhur, sebagaimana juga kita.

Yang lebih luhur itu tak ada hubungannya dengan sebuah ”ha -ri kemudian” atau ”yang di atas”, ein Jenseits, yang ”bayang-ba -yang nya mengeruhkan bumi”. Benda-benda yang fana di seki tar ki ta bertaut dengan das Ganze, Yang-Seluruh. Dalam Yang-Se-luruh kita tak terpisah dari dunia—dunia dengan isinya yang ra-puh. Kita ada bersama mereka, dan mereka bagian dari apa yang kita punyai, dari perkawanan kita yang kenal duka dan suka-cita kita.

Dengan pandangan seperti itu, Rilke menerima kehidupan yang fana tanpa fatalisme yang getir—fatalisme yang mengang-gap, karena tak ada hari esok, hidup adalah kutukan. Justru seba-liknya. Puisi Rilke menyentuh mesra benda-benda yang konkret: Dinggedicht-nya adalah usaha menampilkan benda-benda yang di lihat dan disentuhnya seakan-akan mereka berbicara sendiri.

Tapi sekaligus, itu juga sebuah transformasi: bumi yang tak ke kal itu kita lekatkan ke hati kita hingga membekas, dan ”haki-kat” (Wesen)-nya pun akan bangkit lagi di dalam kita, ”tak kasat-mata”. Rilke mengumpamakan kita (dalam sebuah kalimat Pran-cis) ibarat lebah: kita isap sari madu dari dunia yang konkret, yang terlihat sehari-hari, lalu kita kumpulkan ke dalam la grande ruche d’or de l’Invisible, ”sarang lebah emas dari yang tak-kasatmata”.

Dengan demikian benda-benda mengalami transendensi: se-ba gai bagian dari Yang-Tak-Kasatmata, l’Invisible. Mereka tak ha-nya sehimpun obyek yang bisa dikuasai. Rilke tak hendak mem-

CERITA TUHAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 354: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

329 Catatan Pinggir 10

perlakukan benda-benda sebagai komoditas; ia melawan proses yang inheren dalam kapitalisme. Tapi juga ia melawan pandang-an agama yang menganggap dunia benda-benda (”ke-benda-an”) sebagai pangkal dosa. Agama-agama, dengan juru bicara mereka yang sengit di mimbar, melihat dunia sebagai wilayah yang harus terus-menerus dicurigai—wilayah di mana Iblis, dan bukan Tu-han, dekat.

Bagi Rilke, Tuhan justru dekat. ”Engkau, Tuhan, yang tinggal di rumah sebelah,” kata salah satu sajaknya. Begitu dekat, begitu tak luar biasa.

Tapi yang tak-luar-biasa itu selalu dibuat luar biasa oleh agama-agama: Tuhan yang mengatakan Ia lebih dekat dengan urat nadi kita ternyata diletakkan begitu jauh. Manusia harus memakai per antara. Rilke mengakui pengaruh Islam dalam puisinya, khu-susnya gambarannya tentang malaikat dalam sajak-sajak Duine-ser Elegien. Ia memang sebelumnya mengunjungi Andalusia, me-lihat peninggalan Islam di Spanyol, dan membaca Quran. Tapi ia tak memilih Islam sebagai agamanya, sebagaimana ia tak memi-lih Kristen sebagai dasar imannya.

�Sajak-sajak religius Rilke lebih mirip puisi mistik; kita ingat ia berbicara tentang das Ganze, Yang-Seluruh, di mana segalanya ber temu: Tuhan, manusia, benda-benda—sebuah peristiwa yang tak datang dari doktrin dan kekuasaan. Juga sebuah pertemuan yang tak dapat dirumuskan dengan begitu jelas dan begitu pasti hingga tak pernah ada rasa kehilangan dan rindu.

Bagi Rilke, tempat Tuhan bukanlah wilayah yang dibuat jelas dan pasti oleh akal.

Satu cerita dalam Stories of God mengisahkan Tuhan yang di-to dong jutaan tangan yang berdoa, jutaan tangan yang memba-ngun rumah ibadat, jutaan menara yang mencuat ke langit ”se-perti senjata yang memusuhi”. Melihat itu, Tuhan pun gentar dan kembali ke surga. Tapi menara dan doa itu kian berlipat ganda

CERITA TUHAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 355: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

330 Catatan Pinggir 10

CERITA TUHAN

men desak di belakang-Nya. Diam-diam, melalui jalan lain, Tu-han turun—dan menemukan ”sebuah kegelapan... yang meneri-ma-Nya dalam sunyi”.

Sejak itu, bila tak di sana, Ia diliputi rasa rindu. Ia ingin tinggal di hati manusia, bukan dalam suasana siaga yang dingin yang d itegakkan manusia.

Tempo, 15 Juli 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 356: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

331 Catatan Pinggir 10

DISSENSUS

ADA sejumlah larut malam Jakarta, ada beberapa sudut ko ta yang belum sepi, ada puluhan laki-laki, umumnya laki-laki, yang duduk di atas sadel sepeda motor yang di-

parkir berjajar sepanjang satu kilometer. Di tepi jalan itu, di tem-pat yang tak sepenuhnya terkena cahaya lampu, mereka tampak me nantikan sesuatu yang eksplosif akan terjadi.

Dan yang eksplosif, atau mendekati eksplosif, memang sese ka-li terjadi. Di tengah jalan di depan mereka, di antara mobil-mo-bil yang masih lewat, tiap kali selusin pengendara sepeda motor akan melarikan kendaraannya dengan kencang sekali, dalam se-buah perlombaan yang tak jelas aturannya bagi orang lain kecuali ke cepatan sekitar 140 kilometer per jam. Selama beberapa jam itu berlangsung kompetisi urat saraf, persaingan untuk siap terjung-kal, lomba menyepelekan mati.

Terkadang memang mati. Dan tampaknya tak apa-apa. Da-lam lanskap lalu lintas kota besar Indonesia, tewas di jalanan ha-nya sebuah repetisi. Kecelakaan terjadi 420 kali sehari, menurut ca tatan 2010.

Jalanan adalah vivere pericoloso, hidup yang nyrempet-nyrempet bahaya, dan sepeda motor adalah sebuah pernyataan. Kendaraan roda dua itu bukan saja alat transportasi, tapi juga—seperti Porsche dan Jaguar bagi para miliarwan—sebuah ekspresi. Ada ra sa bangga akan milik. Bagi orang lain, milik itu mungkin tak se berapa, tapi bagi mereka istimewa: ia barang yang baru terjang-kau kelas sosial yang selama ini tak punya banyak.

Di dekat rumah saya ada sebuah lapangan yang berubah jadi pa sar sebulan sekali. Di sana dijual alat-alat dapur, makanan ke-ring, pakaian sehari-hari, barang-barang yang tak masuk etalase-eta lase mall. Dan di sudut lapangan, di atas sebuah mobil pickup,

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 357: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

332 Catatan Pinggir 10

di bariskan beberapa buah sepeda motor. Komoditas yang dulu bia sa dipajang di showroom pertokoan itu kini ditawarkan seperti du rian. Dengan prosedur kredit yang tak rumit, dengan atau tan-pa SIM, seseorang bisa berubah jadi Sang Pemilik dan menga ta-kan: aku bersepeda motor, maka aku ada.

Dan ia akan mengarungi jalan dengan tenaga dan keterampil-annya sendiri. Mandiri. Di atas rangka dan mesin yang ramping itu, ia akan dengan mudah menyelinap di antara mobil, bus, truk, angkot, bajaj yang jalan saling menghambat. Mereka sanggup sam pai lebih cepat ke tujuan ketimbang jip Nissan Terrano yang me rayap di antara kepadatan jalan—dan dengan itu mengubah se buah asumsi asal: di Jakarta, mobil 3.000 cc bukanlah sarana mobilitas yang efektif, melainkan sarana kenikmatan di tengah ke macetan.

Dalam kapasitas itu sepeda motor juga instrumen kemer de ka-an. Sang pemilik tak bergantung pada jemputan kantor atau ken-da raan umum yang melelahkan. Ia bisa memakai kendaraannya yang mudah disimpan di pojok rumah kapan saja.

Tapi tiap pengendara motor akan menyadari kerapuhannya. Di perebutan ruang di jalanan, ia tak bisa sendirian menghadapi ken daraan-kendaraan yang lebih besar dan kuat. Tiap tabrakan akan mudah merontokkan. Maka hampir di tiap perempatan, me reka—berpuluh, mungkin beratus-ratus—membentuk for-masi seketika yang pejal, tak bisa diterobos, membentengi diri se-perti pasukan Romawi menghadapi musuhnya.

Dalam hal itu, mereka memegang supremasi. Di Jakarta dan sekitarnya, jumlah sepeda motor lebih dari 70 persen dari seluruh alat transportasi bermotor. Kurang-lebih 10 juta. Andaikata ang-ka ini sama dengan angka pengendaranya, jumlah orang sekitar Jakarta yang melaju di atas motor roda dua itu hampir sama de-ngan jumlah seluruh penduduk Yunani.

Ada bayang-bayang kekuatan yang tak dapat ditundukkan

DISSENSUS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 358: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

333 Catatan Pinggir 10

dalam fakta itu—dan itu pula yang terasa jika kita melihat pu-luhan pemuda yang duduk di sadel sepeda motor mereka di larut ma lam Jakarta itu. Mereka adalah penantang. Kota besar ini men cerai-beraikan mereka di tempat kerja dan di jalan-jalan si-buk siang hari; malamnya, mereka menebus apa yang hilang: se-buah komunitas di mana mereka saling memberi pengakuan. De-ngan itulah mereka menunjukkan ciri Jakarta selama 30 tahun lebih: sebuah kota yang tak mengakui dan tak diakui.

Maka yang kita saksikan di malam-malam itu bukan hanya so sok the lonely crowd, tapi juga sebuah zona perkecualian: di atas jalan sebagai bagian dari tata ruang kota, para pengebut sepeda mo tor yang tanpa marka dan tanda itu merasa ada di luarnya.

Atau lebih tepat: bagi mereka, yang mana di luar dan yang ma-na di dalam tata itu tak jelas lagi. Di dalam hukum sama halnya dengan di luar hukum, karena hukum telah ditetapkan tanpa meng akui mereka. Para administrator kota akan mengatakan bah wa aturan-aturan dirumuskan untuk umum, tapi siapakah ”umum”, kecuali sesuatu yang berubah dari masa ke masa? Dulu ”umum” di Jakarta adalah pejalan kaki, pengendara delman, ope-let, dan trem. Kemudian ”umum” diwakili oleh para pengguna dan pemilik mobil pribadi. Yang tak termasuk dalam ”umum” ini sadar atau tak sadar melihat dirinya di luar. �Dengan jumlah mereka yang begitu besar, mereka adalah in-dikator bahwa ”luar” adalah sebuah pengertian yang labil. Jakar-ta bukan Roma dalam mitologinya, kota yang ditegaskan batas-nya dengan pembunuhan. Mobilitas yang dipermudah oleh se pe-da motor justru memperlihatkan batas itu tak ada, dan pembu-nuhan dengan mudah terjadi. Jika batas itu diterjemahkan seba-gai hukum, bagi banyak orang di kota ini hukum bukanlah per-lindungan. Hukum adalah ancaman.

Sebab itu, Jakarta—dengan aparatus yang beribu-ribu, di an-taranya bersenjata dan punya alat pantau yang canggih—tak bisa

DISSENSUS

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 359: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

334 Catatan Pinggir 10

DISSENSUS

di bayangkan sebagai sebuah ”kamp” ala Agamben. Yang terlihat adalah sebuah dissensus, bukan konsensus, sebuah pergulatan tanpa marka, sebuah perlombaan sampai mati di tengah jalan di ma lam hari.

Tempo, 22 Juli 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 360: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

335 Catatan Pinggir 10

GARGANTUA

SEORANG Gargantua yang berpuasa pada dasarnya se-orang gembul yang tak berubah; hidup, baginya, hanya me nunda sebuah jamuan besar. Dalam cerita satire yang

di tulis François Rabelais di Prancis abad ke-16 itu, Gargantua me nunaikan kewajiban agamanya dengan baik, pergi ke gereja, me megang buku doa, dan belajar. Tapi pikirannya mengarah ke dapur.

Setelah mencoba menatap buku sekitar 30 menit, ia kencing se penuh-penuhnya, lalu duduk di tepi meja makan. Ia memulai san tapannya dengan beberapa lusin lipatan ham, lidah sapi yang di keringkan, cervelas atau sosis yang ditanak, andouille alias da-ging babi yang diasap dicampur merica dan bawang putih. Ke-mu dian datang saat minum. Botol-botol anggur putih disedia-kan berbaris, disusul himpunan daging yang membuat perutnya mem buncit hampir pecah. Lalu Gargantua mereguk anggurnya. Ba ginya, minum tak punya akhir dan tak punya aturan. Kalau ada batasnya, itu adalah ketika dasar sepatu pantofelnya ”sudah membengkak setengah kaki”.

Gargantua, pangeran raksasa itu, telah jadi kata lain dari has-rat yang ”tanpa akhir tanpa batas”. Saya masih bingung mengapa Ra belais menciptakannya. Rabelais, seorang rohaniwan Katolik yang hidup pada 1494-1553, juga menulis tentang sebuah kehi-dup an biara yang ”anti-biara”, di mana para rahib bisa bangun ti-dur kapan saja mereka suka, dan makan, dan minum, dan berse-nang-senang—karena semboyan di sana adalah ”lakukan yang Anda maui”.

Saya tak tahu pasti apakah dengan itu Rabelais hendak me-nun jukkan represifnya aturan agama atau ia ingin mengejek orang alim yang sebenarnya tak bisa alim. Yang tercatat, menjelang ia

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 361: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

336 Catatan Pinggir 10

ma ti, ucapannya merupakan antitesis bagi kegembulan Gargan-tua yang menelan semua dan mengakumulasikan kenikmatan da lam perut sendiri. ”Aku tak punya apa-apa,” kata Rabelais di akhir hidupnya. ”Aku berutang banyak, dan yang tersisa padaku aku serahkan kepada mereka yang miskin.”

Dan sebagaimana ia rela untuk tak punya apa-apa, ia juga tak ingin punya tempat di surga. Konon sebelum ajal ia berpamitan de ngan kata-kata, ”Aku berangkat mencari Sebuah Mungkin Yang Akbar,” un grand peut-être.

Barangkali ia memang seorang rahib sejati, orang yang memi-lih hidup asketis atau zuhud sampai dasar, hingga surga pun ia tak ingin rengkuh. Surga, seperti halnya kenikmatan dunia, adalah se buah ”Mungkin”, sesuatu yang semestinya tak membuat kita po sesif.

Dalam arti yang lebih luas, Rabelais orang yang mengubah di-ri dengan puasa. Ia melakukan puasa yang paling dasar dan pa-ling ikhlas—bukan puasa sebagai dibayangkan seorang Gargan-tua: sebuah acara tanpa makan yang sebenarnya terkait erat de-ngan pikiran terus-menerus tentang makan.

Mungkin Rabelais sebenarnya sebuah suara kontra-Gargan-tua.

Endapan kontra-Gargantuanisme selalu tersimpan dalam ajar an yang terkait dengan yang suci. Ia tersirat dan tersurat dalam teks agama apa pun, atau bahkan dalam keyakinan yang anti-agama. Orang Hindu menemukannya dalam bagian termasy hur Bhagavad Gita, ketika Krishna menjelaskan apa itu sanjasa (orang yang bertindak tanpa hasrat memperoleh harta benda) dan apa itu tyaga (orang yang bertindak tanpa berpamrih akan ha silnya). Kontra-Gargantuanisme juga ditemukan dalam tulis an St. Agus-tinus di abad ke-4 ketika ia menyebut avaritia sebagai akar se-gala kekejian, karena avaritia adalah ”menghasratkan le bih dari yang sudah cukup”. Di abad ke-6 orang Islam mendengar petuah

GARGANTUA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 362: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

337 Catatan Pinggir 10

sederhana tapi jelas dari Nabi: ”Berhentilah makan sebelum ke-nyang.”

Tapi sejarah juga selalu memberi peluang bagi Gargantua ba-ru: mereka yang tak mau berhenti makan karena mereka tak mau merasa kenyang. Mereka mengakumulasikan apa saja yang bisa di konsumsi.

Mereka ini ”Supersize-Me” dalam segala variasinya—bukan hanya yang jadi gembrot karena makan McDonald’s terus-me ne-rus seperti yang kita lihat dalam film dokumenter Morgan Spur-lock yang terkenal itu. Mereka bukan hanya satu dari orang Ame-rika yang kantong popcorn-nya makin lama makin besar, orang Ame rika yang (menurut website Supersize) secara total ma kan se-juta ekor hewan dalam satu jam.

Kaum ”Supersize-Me” itu—para Gargantua baru itu—juga tam pak memarkir mobil-mobil mewah mereka berjam-jam di Brompton Road, London, mobil-mobil yang mungkin mereka terbangkan dari Jazirah Arab, mobil-mobil yang bersedia mem-bayar denda, karena pemiliknya tak henti-hentinya hendak ber-belanja di Harrods. Di mana batas lapar? Di mana batas kenyang, ba gi orang-orang Cina dan orang-orang Indonesia yang tak ha-bis- habisnya menelan tas-tas Louis Vuitton dari toko besar di 101 Champs-Elysées, Paris?

Tentu, sejak zaman dulu orang sudah melihat bahwa rakus bi-sa menghidupkan perekonomian. Tentu, Gargantua tak pernah ma ti. Ajaran yang mau mengubah manusia melalui puasa tak per nah menang total. Bahkan agama yang mengandung kontra-Gar gantuanisme bisa bergerak jadi bagian Gargantuanisme, se-bagaimana puasa bisa jadi kesempatan untuk bermewah-mewah dalam hidangan dan sekaligus memaafkan kemewahan.

Mungkin karena kini yang suci tak jelas lagi. Mungkin karena orang telah memerosotkan yang ”suci” jadi setara dengan yang ”mur ni”. Orang telah lupa bahwa yang ”murni” tak pernah ada,

GARGANTUA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 363: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

338 Catatan Pinggir 10

GARGANTUA

se bab di dunia, saling sentuh dengan yang lain selalu terjadi, dan akhirnya juga saling membentuk.

Sebaliknya benda-benda, meskipun tak murni, terasa ”suci”—meskipun lamat-lamat—ketika kita tak memperlakukannya se-perti halnya Gargantua memperlakukan daging babi yang di-asap. Benda-benda itu suci ketika ia jadi bagian dari rasa terima kasih kita: hidup tak sepenuhnya punah oleh kerakusan.

Itu mungkin sebabnya, sebelum mengunyah nasi, orang ber-doa.

Tempo, 29 Juli 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 364: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

339 Catatan Pinggir 10

KAKAWIN

PADA suatu hari, di taman paviliun istana, Marmmawati, permaisuri, menemukan sebait puisi di kelopak sekun-tum bunga pudak. Terpesona, ia pun menyalinnya. Lalu

ia cepat-cepat kembali ke kamar. Gerimis turun. Dalam kesendi-ri annya, ia baca sajak itu dengan setengah berbisik.

Dan kesalahpahaman pun terjadi.Baginda Jayawikrama mendengar suara bisik itu ketika ia me-

masuki kamar. Ia tahu baris-baris itu sebuah sajak cinta. Ia curiga: istrinya pasti punya seorang kekasih yang sedang dirindukannya. Dengan murka ia menuduh Marmmawati selingkuh. Ketika per-maisuri mengatakan bahwa puisi itu dikutipnya dari bait yang di-tulis seseorang di kelopak pudak, baginda meminta bukti.

Tapi kembang itu tertinggal di luar, di halaman, dan gerimis te lah menghapus huruf-huruf di kelopaknya.

Malam itu Raja Jayawikrama mengusir Marmmawati. Dan de ngan tangis yang pedih, perempuan itu kembali ke pertapaan orang tuanya di tepi hutan.

Beberapa hari kemudian, ia dengar perang pecah dan Jayawi-krama gugur. Segera, dengan kereta berkudanya Marmmawati ber gegas ke lapangan tempat pertempuran paling sengit terjadi. Di sana mayat bergelimpangan. Marmmawati turun dari kereta un tuk mencari jenazah suaminya. Tapi ia tak menemukannya....

Saya petik dan susun kembali cerita itu dari sebuah karya Mpu Tantular di abad ke-14, Sutasoma. Adegan itu dikisahkan kem bali oleh Helen Creese dalam Perempuan dalam Dunia Kaka-win, yang baru terbit (Pustaka Larasan, Denpasar, Juni 2012).

Creese, sarjana peneliti sastra Jawa Kuna dan Bali, khususnya me maparkan percintaan, perkawinan, dan seksualitas dalam sas-tra Jawa sejak abad ke-9 sampai dengan Bali dan Lombok abad

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 365: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

340 Catatan Pinggir 10

ke-19. Meskipun versi Indonesia dari studinya ini agak kurang lu-wes, saya masih bisa mendapatkan petilan-petilan yang mempe-sona dari khazanah lama itu. Fragmen Sutasoma itu hanya salah sa tu contohnya.

Dari sekitar 30 karya yang ditelaahnya, Creese memfokuskan diri pada kehidupan perempuan dalam kakawin. Tapi akhirnya tak hanya itu; faset lain tampak ke permukaan.

Yang pertama-tama adalah sebuah kualitas puitik yang tak ada lagi dalam karya sastra Jawa di abad ke-18 dan 19. Wedhatama, Wulangreh, dan Kalatida adalah ikon sastra Jawa sampai kini. Tapi karya-karya tembang itu—dari zaman Ranggawarsita, Mang kunegara IV, dan Yasadipura—terasa datar jika dibanding-kan dengan, misalnya, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh di abad ke-12.

Wedhatama, apalagi Wulangreh, terlampau dibebani fungsi di daktis. Yang satu untuk memberi pedoman anak muda tentang la ku rohani yang baik; yang kedua sebuah petunjuk bagi para anak priayi. Kekuatan literer kedua buku itu, kalau ada, hanya tam pak pada bunyi, permainan aliterasi, dan kekayaan sinonim. Ki ta tak akan menemukan keleluasaan membangun deskripsi yang imajinatif seperti dalam Bharatayudha ini:

Panjang garis awan bercampur ke dalam merah menyala cakrawalaSeperti darah merendam pakaian merah pengantin yang diper kosa.

Dengan sepasang kalimat itu, hadir suasana erotik, sekali-gus brutal. Kita masuk ke dalam sebuah masa ketika alam sangat dekat dan akrab dengan gairah manusia. Seperti ditunjukkan Creese, dalam Kunjarakarna karya Mpu Dusun di abad ke-14, mi s alnya, asosiasi antara yang alami dan yang seksual muncul ku-at. Di sanalah hidup daya puitiknya. Sebatang pohon yang tam-pak di sela-sela kabut adalah perempuan telanjang yang berdiri di

KAKAWIN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 366: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

341 Catatan Pinggir 10

depan kekasihnya, sebuah dahan adalah lengan perempuan yang menghindar dari pelukan, dan selubung awan yang turun dari pu cuk gunung adalah kain yang dilepaskan.

Dalam kakawin, yang erotik tak pernah jadi ”kotor”. Tapi pa-da saat yang sama, seperti dalam contoh di atas, ia bisa berbaur de-ngan yang buas. Dalam Bharatayudha, kata Creese, ”Majas sek-su al kadang-kadang menggema dalam peperangan.” Kegaduh an pertempuran, misalnya, dipandang sebagai ”jeritan dan desahan sang wanita” dalam pergulatan di ranjang.

Di situ pula faset lain tersingkap: hubungan kekuasaan. Di ham pir semua kakawin, perempuan hanya dianggap berarti keti-ka, seperti dalam cerita Marmmawati, ia adalah contoh kesetiaan mutlak kepada suami. Dalam hubungan seks, ia jadi obyek. Ade-gan ”pengantin yang diperkosa” tak hanya sekali muncul. Khu-susnya di kalangan aristokrasi, perempuan hidup dengan kenda-li yang ketat atas hasrat. Kekuatannya terbatas dalam daya me-ngon trol diri sendiri.

Hanya perempuan yang bukan manusia yang punya keingin-an, inisiatif, dan kapasitas untuk menikmati berahi. Dalam Arju-nawiwaha, karya Mpu Kanwa dari abad ke-11, kita ketemu de-ngan bidadari Tilottama (”kulitnya warna telur kupas, payudara-nya kental”) yang ”berpengalaman dalam seni merayu”; dengan Arjuna bidadari itu bisa ”merasakan puncak kenikmatan”. Da-lam Drupadiwiwaha, Hidimbi, seorang raksasi, yang kemudian me lahirkan Gatutkaca, dengan kehendaknya sendiri tidur bersa-ma Bhima.

Tapi kekuasaan dan kekerasan tak selamanya ada. Klimaks ke nikmatan seksual bisa bertaut dengan yang rohani. Bahkan da-lam Tutur Kamadresti, sebuah panduan erotik dari Bali, tahapan ter akhir dari asmara adalah asmaratantra, saat penyatuan mistik. Dengan kata lain, di dunia kakawin, yang erotik dan yang sensu-al diterima dengan bebas sebagai bagian dari keindahan, sebagai

KAKAWIN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 367: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

342 Catatan Pinggir 10

KAKAWIN

ba gian dari kekerasan, dan juga dari yang spiritual. Dunia yang paradoksal itulah yang menyebabkan kakawin

jadi puisi yang hidup. Dalam dunia puisi, tak ada satu elemen pun yang sendirian menguasai ruang. Puisi adalah gema dari kom binasi dan kontradiksi yang tak terduga-duga.

Itukah yang tak ada—entah kenapa—sejak Jawa memasuki abad ke-15? Sejak datang Islam dan kemudian kemenangan orang Eropa? Saya cuma menduga: ketika tak ada kombinasi dan kon-tradiksi yang diakui, puisi para Mpu tak lahir kembali.

Tempo, 5 Agustus 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 368: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

343 Catatan Pinggir 10

BATMAN

BATMAN tak pernah satu. Maka ia tak berhenti. Apa yang disajikan Christopher Nolan sejak Batman Begins (2005) sampai dengan The Dark Knight Rises (2012) berbe da jauh

dari asal-muasalnya, tokoh cerita bergambar karya Bob Kane dan Bill Finger dari tahun 1939. Bahkan tiap film dalam trilogi Nolan se benarnya tak menampilkan sosok yang sama, meskipun Chris-tian Bale memegang peran utama dalam ketiga-tiganya.

Tiap kali kita memang bisa mengidentifikasinya dari sebuah to peng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan kem bali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada hubungan dengan hal-ihwal yang tak berulang, tak terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda.

Sebab itu Batman bisa bercerita tentang asal mula, tapi asal mu la dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan ter-akhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah foto-kopi dari yang pertama. Tak ada yang-Sama yang jadi model. Yang ada adalah simulacrum—yang masing-masing justru mene-gas kan yang-Beda dan yang-Banyak dari dan ke dalam dirinya, dan tiap aktualisasi punya harkat yang singular, tak bisa diban-ding kan. Mana yang ”asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih ting gi.

Sebab kreativitas berbeda dari orisinalitas. Kreativitas berang-kat ke masa depan. Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Masa yang te lah silam itu tentu saja baru ada setelah ditemukan kembali. Tapi arkeologi, yang menggali dan menelaah petilasan tua, perlu di lihat sebagai bagian dari proses mengenali masa lalu yang tak mungkin dikenali. Pada titik ketika masa lalu mengelak, ketika

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 369: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

344 Catatan Pinggir 10

ki ta tak merasa terkait dengan petilasan tua, ketika itulah kreati-vitas lahir.

Saya kira bukan kebetulan ketika dalam komik Night on Earth karya Warren Ellis dan John Cassaday (2003), Planetary, sebuah or ganisasi rahasia, menyebut diri ”archeologists of the impossible”.

Para awaknya datang ke Kota Gotham, untuk mencari se-orang anak yang bisa membuat kenyataan di sekitarnya berganti- ganti seperti ketika ia dengan remote control menukar saluran te-levisi. Kota Gotham pun berubah dari satu kemungkinan ke ke-mungkinan lain, dan Batman, penyelamat kota itu, bergerak da-lam pelbagai penjelmaannya. Ada Batman sang penuntut balas yang digambarkan Bob Kane; ada Batman yang muncul dari seri-al televisi tahun 1966, yang dibintangi oleh Adam West sebagai Batman yang lunak; ada juga Batman yang suram menakutkan da lam cerita bergambar Frank Miller. Dan semua itu terjadi di gang tempat ayah Bruce Wayne dibunuh penjahat—yang mem-buat si anak jadi pelawan laku kriminal.

Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang ba-nyak itu. Tapi sintesis itu berbeda dengan penyatuan. Ia tak meng-hasilkan identitas yang satu dan pasti. Dan lebih penting lagi, sin-tesis itu tak meletakkan semua varian dalam sebuah norma yang baku. Tak dapat ditentukan mana yang terbaik, tepatnya: mana yang terbaik untuk selama-lamanya.

Sebab itu Kota Gotham dalam Night on Earth bisa jadi sebuah alegori. Ia bisa mengajarkan kepada kita tentang aneka perubah-an yang tak bisa dielakkan dan sering tak terduga. Ia bisa meng-asyikkan tapi sekaligus membingungkan. Ia paduan antara sesu-atu yang ”utuh” dan sesuatu yang kacau.

Dengan alegori itu tak bisa kita katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah ”dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Bukan saja optimisme itu berlebih-an. Voltaire pernah mencemoohnya dalam novelnya yang kocak,

BATMAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 370: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

345 Catatan Pinggir 10

Candide, sebab di dunia ini kita tetap saja akan menghadapi ber-macam-macam kejahatan dan bencana, 1.001 inkarnasi The Jo-ker dengan segala mala yang diakibatkannya. Kesalahan Leib-niz—yang hendak menunjukkan sifat Tuhan yang Maha Pemu-rah dan Pengasih—justru telah memandang Tuhan sebagai ke-kua saan yang tak murah hati: Tuhan yang hanya menganggap ke hidupan kita sebagai yang terbaik, dan dengan begitu dunia yang bukan dunia kita tak patut ada dan diakui.

Kesalahan Leibniz juga karena ia terpaku kepada sebuah peng alaman yang seakan-akan tak akan berubah. Padahal, seper-ti Kota Gotham dalam Night on Earth, dunia mirip ribuan gam-bar yang berganti-ganti di layar, dan berganti-ganti pula cara kita memandangnya.

Penyair Wallace Stevens menulis sebuah sajak, Thirteen Ways of Looking at a Blackbird. Salah satu bait dari yang 13 itu menga-takan,

But I know, too,That the blackbird is involvedIn what I know

Memandang seekor burung-hitam bukan hanya bisa dilaku-kan dengan lebih dari satu cara. Juga ada keterpautan antara yang kita pandang dan ”yang aku ketahui”. Dan ”yang aku ketahui” tak pernah ”aku ketahui semuanya”. Dengan kata lain, dunia—se perti halnya Kota Gotham—selamanya adalah dunia yang tak bi sa seketika disimpulkan.

Tak berarti pengalaman adalah sebuah proses yang tak pernah tam pak wujud dan ujungnya. Pengalaman bukanlah arus sungai yang tak punya tebing. Meskipun demikian, wujud, ujung, dan tebing itu juga tak terpisah dari ”yang aku ketahui”. Dunia di lu-arku selamanya terlibat dengan tafsir yang aku bangun dari peng-

BATMAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 371: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

346 Catatan Pinggir 10

BATMAN

alamanku—tafsir yang tak akan bisa stabil sepanjang masa.Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas taf-

sir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu, akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keam-brukan. Itu sebabnya dalam The Dark Knight Rises, Inspektur Gordon tetap mau menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim ”aku tahu”.

Tempo, 12 Agustus 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 372: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

347 Catatan Pinggir 10

LEBARAN

LEBARAN adalah ketupat dan permintaan maaf. Ada un sur perut, tentu, tapi sekaligus juga unsur yang tidak ha nya perut. Dan tentu saja tidak hanya perutku sendiri.

Permintaan maaf adalah sebuah isyarat yang mengakui: saya salah. Saya salah dalam bersikap terhadap dan berbicara tentang orang lain, tentang keadaan di luar diri saya, tentang dunia yang tak termasuk kesadaran saya. Permintaan maaf adalah sebuah peng akuan bahwa orang selalu hidup dengan tafsir, dalam tafsir, dan karena tafsir. Tak ada kenyataan yang tak terkena tafsir. Tak ada fakta yang tak terpoles, tak diwarnai, sikap seseorang dan ma syarakatnya dalam membaca kenyataan atau fakta itu.

Dan tidak tiap tafsir dapat dikomunikasikan dengan sempur-na ke orang lain, karena orang lain itu juga punya polesannya sen-diri.

Itu sebabnya, pemahaman penuh dan kesepakatan adalah se-buah utopia. Kesadaran tentang ini tak serta-merta akan berakhir dengan putus asa. Ia bahkan sesuatu yang mendorong kita untuk ber usaha—meskipun (atau justru karena) tiap kali tak sepenuh-nya tercapai. Permintaan maaf berarti saya telah salah paham, dan saya tak ingin terus-menerus salah paham.

Kita adalah subyek yang terbelah karena kita masing-masing ter paut pada ketupat—sebuah kondisi yang tak perlu dan tak se-patutnya dikutuk. Mau tak mau, dengan seluruh kecerdasan kita, kita selamanya ada dalam sesuatu yang-”somatis”, yang-jasmani, yang kadang-kadang merasakan lapar-dan-dahaga dan meman-dang dunia dengan kondisi itu.

Itu sebabnya, tiap hari Lebaran, atau lebih persis lagi selama pua sa, saya meragukan Hegel. Ia menganggap bahwa pada dasar du nia yang jasmani ada ”roh” (Geist) yang menjadikan dunia se-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 373: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

348 Catatan Pinggir 10

buah realitas yang secara esensial bersifat rohani. Tapi kenyataan bah wa selama 30 hari itu saya sibuk dengan tubuh saya—agar ti dak dilanda nafsu, agar merasakan lapar, agar menahan gejo-lak hati—itu menunjukkan bahwa yang ”somatis” demikian pen-ting. Ia tak terpisah dari yang rohani. Bahkan bisa dikatakan, roh bukanlah sesuatu yang sepenuhnya membentuk subyek yang bisa mengatasi tubuh dan melintasi batas dunia—”subyek yang tran-sendental”. Roh justru dibentuk dalam sejarah, bukan di luar se-jarah.

Kerinduan kepada Tuhan, kecintaan kita kepada yang indah, yang adil, dan yang benar, jalin-menjalin dengan apa yang tak pu tus-putusnya merundung manusia: kekurangannya.

Kaum Buddhis menyebutnya sansāra. Kata yang dalam baha-sa Indonesia berkembang menjadi pengertian yang ekuivalen de-ngan ”penderitaan” (”ke-sengsara-an”) ini sebermula berarti ”per-jalanan” atau ”keadaan mengalir” yang tak henti-henti. Perjalan-an ini adalah siklus yang terbentuk dari kelahiran, lalu menua-me lapuk, dan kemudian mati. Proses itu, perjalanan sejarah itu, ba gi Buddhisme bukanlah sebuah cerita sukacita. Justru air mata tumpah dari saat ke saat. Begitu pedih dan begitu hakiki, hingga air mata yang terurai dalam transmigrasi kehidupan itu diibarat-kan lebih dahsyat ketimbang empat buah samudra.

Transmigrasi yang penuh air mata itu menunjukkan bahwa ma nusia bukanlah roh. Atau dikatakan secara lain, yang disebut ”roh” dalam riwayat manusia (seperti yang dilihat Hegel) sebe-nar nya adalah sebuah proses dalam ruang-dan-waktu. Selama itu, beragam manusia berinteraksi, saling memberi dampak, kon-struktif ataupun destruktif. Yang menggerakkannya adalah has-rat, atau impuls, yang lahir karena kekurangan dan ingin meng-atasi kekurangan, ingin lepas dari sansāra.

Kita tahu, kekurangan senantiasa terpaut dengan badan, kare-na badan senantiasa terbatas. Memang ada saat-saat ketika ruang-

LEBARAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 374: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

349 Catatan Pinggir 10

dan-waktu itu bisa diatasi, dan itulah saat dari ”yang-rohani”. Tapi, seperti dalam kritik Adorno terhadap Hegel: semua yang-ro hani sebenarnya hanya ”impuls jasmani yang berubah”, modifi-ziert leibhafter Impuls.

Tentu akan keliru apabila kita kemudian hanya memandang yang jasmani, yang merindukan ketupat, sebagai gambaran satu-sa tunya tentang manusia. Tapi kiranya bisa dijadikan semacam awal kearifan untuk melihat lapar-dan-dahaga sebagai metafor yang menegaskan bahwa tubuh kita sebenarnya membimbing ki-ta. Seperti telah tersirat di atas, kekurangan, atau dengan kata lain lapar-dan-dahaga, menggerakkan kita untuk membuat sejarah, namun pada saat yang sama membuat kita tak sepenuhnya tahu ke mana persis arahnya. Kita ibarat berada dalam arus laut, yang ber gerak terus, dan tak pernah ada dermaga dari mana kita bisa me ninjau hamparan gelombang itu. Kita selamanya terapung. Dan kita terapung di sana ”lebih ringan ketimbang gabus pe-nyumbat botol”, kata Hegel.

Tapi Hegel seorang optimis. Di laut itu, dengan bobot yang terbatas sekalipun, katanya, pada saatnya akan ada ujung samu-dra, akan ada tepian yang tenang: ”akhir sejarah”. Sebab kapal kita kuat, jika kita juga memperkuat diri. Digambarkan secara lain, setelah puasa panjang, di mana roh kita menegaskan diri di da lam kita, akan ada Lebaran yang akan merayakan pencapaian manusia.

Tapi bagi saya, mungkin lebih baik ada Lebaran yang akan me luangkan maaf sesama manusia. Sebab sebenarnya tak ada per bedaan prinsipiil antara puasa dan ujungnya: dalam sansāra yang panjang, tak hanya air mata yang tumpah, tapi juga kegem-bi raan ala Lebaran, betapapun bersahajanya. Sementara itu, se te-lah berabad-abad menghuni planet ini, manusia menyadari bah-wa riwayatnya dibangun dari harapan besar untuk bisa melepas la par-dan-dahaga, tapi juga dibentuk oleh pelbagai salah sikap

LEBARAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 375: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

350 Catatan Pinggir 10

LEBARAN

dan salah sangka. Maka, meskipun Lebaran masih beberapa hari lagi, maafkan

lahir dan batin.

Tempo, 19 Agustus 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 376: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

351 Catatan Pinggir 10

ORIGAMI

SEORANG penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia se-orang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Se-

bab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan.

Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah me layang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di de pan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang mene-mukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau me natapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri se-dang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning.

Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Ber beda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan lem atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi da ri bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan sebagai, misalnya, burung undan. Dan pada saat yang sama, ia mu dah diurai kembali. Begitu juga penulisan sejarah: ia bernilai karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa diberi bentuk yang sudah dilipat mati.

Saya selalu teringat ini tiap 17 Agustus. Hari itu telah jadi sebuah institusi. Kita memberinya nama

dan merayakannya dalam sebuah lagu (”Tujuh belas Agustus ta-hun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita...”). Ada yang men-jadikannya indikator sebuah revolusi (dengan ”R”) dan berbicara ten tang ”Revolusi Agustus”. Di sekitarnya disusun ritual: tiap pu-kul 09.00 teks Proklamasi dengan tulisan tangan Bung Karno yang bergegas itu dibacakan kembali. Momen 67 tahun yang lalu itu seakan-akan patung pualam yang tak boleh lekang dan lapuk.

Manusia memerlukan itu: patung, ritual, dan upacara. Tapi

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 377: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

352 Catatan Pinggir 10

itu juga yang membuat kita memandang masa lalu sebagai sebuah ben tuk yang disederhanakan dan diperindah—seperti origami. Di balik 17 Agustus sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mende-sak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada pe nguasa Jepang; Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sa-bar tapi cemas mengikuti desakan itu—dan kemudian menyu-sun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak di sebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera me rah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan ber doa....

Kerja (dan tak jarang dengan kesalahan dan kebetulan) dalam ragam yang tak habis-habisnya itu bahkan belum bisa membuat sua ra Bung Karno jadi sebuah gaung yang tak mati-mati, ke selu-ruh Indonesia, ke hari-hari mendatang. Setelah beratus tahun me nunggu, tiba-tiba datang satu saat ketika kolonialisme jebol dan orang Indonesia bisa berkata bahwa dirinya ”merdeka”.

Sejarah, di balik origami yang rapi itu, tak semuanya rapi. Ia pu nya elemen yang disebut Bung Karno ”menjebol”. Kata itu me-nunjukkan sebuah aksi; bukan ”penjebolan”, bukan ”jebolan”, bu kan sebuah kesimpulan, atau hasil ataupun keadaan. ”Menje-bol” menyiratkan sebuah keyakinan yang ada dalam proses. Tapi ia justru bermula seakan-akan mematahkan waktu di tengah.

Ia, jika kita pakai pandangan Badiou, adalah sebuah ”kejadi-an”: tiap ikatannya dengan dunia yang-utuh, dengan situasi yang satu, patah. Kejadian itu seakan-akan ditakik dari hidup kita yang sehari-hari dan ”lepas ke bintang-bintang”.

Di sini, saya ingin berhati-hati dengan hiperbol. Kata ”bin-tang-bintang” bisa terasa terlampau melambung, tak bersentuh-an dengan bumi. Salah satu kelemahan Badiou ialah memberi ke-

ORIGAMI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 378: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

353 Catatan Pinggir 10

san bahwa dalam politik, ”kejadian”, l’ événement, begitu luar bia-sa sehingga harus ada orang-orang militan yang lahir seba gai sub-yek dalam Kebenaran. Sementara itu kita tahu, 17 Agustus bu-kanlah sesuatu yang secara ontologis terpisah dari situasi waktu itu. Sama salahnya dengan menganggap Peristiwa 30 Septem ber sebagai bukti ”kesaktian” Pancasila, kita akan keliru bila meng-anggap detik ketika Proklamasi itu dimaklumkan adalah sebuah momen yang muncul bagaikan mukjizat.

Kita memang bisa menyebutnya sebagai ”Revolusi”. Tapi tiap ingatan tentang revolusi selalu terdiri atas bagian yang sudah me-layang terbang, atau melapuk—seperti kertas.

Bersamaan dengan itu, kata ”revolusi” membawa imaji melo-dramatik, pertentangan penuh gairah dan gundah, yang sering meng harukan tapi juga melenceng. Monumen yang banyak di-ba ngun di Indonesia—prajurit bersenjata, pemuda membawa bambu runcing—membayangkan kekerasan sebagai bagian esen sial dalam ”Revolusi” itu, meskipun di bulan Agustus 1945 itu tak ada pertempuran apa pun. Yang sering dilupakan, bahkan se buah revolusi yang eksplosif datang dari perubahan-perubahan yang tidak heboh: politik mikro. Tak semuanya menarik, ganjil, atau heroik.

Itu sebabnya, ”merdeka” adalah proses. Dalam bahasa Indone-sia, kata sifat kadang-kadang bisa juga berfungsi menjadi kata ker-ja: daun adalah hijau dan itu juga berarti daun menghijau. Maka ”Indonesia merdeka” dapat berarti ”Indonesia adalah merdeka”, tapi juga bisa berarti ”Indonesia menjalankan kemerdekaan”. Se-perti ”menjebol”, kerja itu masih berlangsung.

Pernah ada lelucon pahit. Seseorang yang setelah 17 Agustus 1945 nasibnya tak jadi lebih baik, bahkan memburuk, bertanya: ”Kapan merdeka selesai?” Jika kita lihat ”merdeka” adalah sebuah la ku, pertanyaan itu tak akan ada. Sebab laku itu—yang berlang-sung dalam sejarah sebagai proses—tak punya titik yang tetap di

ORIGAMI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 379: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

354 Catatan Pinggir 10

ORIGAMI

depan untuk dituju. Titik itu, untuk jeda, harus tiap kali diputus-kan kembali.

Itu sebabnya kita perlu membayangkan origami itu tak mati. Dalam bentuk seekor burung undan, kita bayangkan ia terbang tinggi.

Tempo, 26 Agustus 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 380: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

355 Catatan Pinggir 10

AGORA

DI agora, kearifan dimulai dengan kegelisahan dan tak tahu. Ada satu kalimat yang konon dari Sokrates: ”ia [Sokrates] tak tahu apa-apa, kecuali bahwa ia tahu ia

tak tahu apa-apa.”Itu sebabnya sebuah agora, yang dalam sejarah Yunani Kuno

me rupakan tempat berkumpul orang di pusat kota, dijadikan Sokrates sebagai arena bertanya-jawab. Sejarah mengisahkan ini bukan waktu senggang yang iseng dan tanpa konsekuensi. De-ngan pertanyaan-pertanyaannya yang menggugat pikiran yang gampangan dan mandek, Sokrates mengibaratkan diri sebagai ”la lat pengusik” bagi masyarakat, agar masyarakat itu tak terle-na. Kita tahu, akhirnya Sokrates dihukum mati pada tahun 399 se belum Masehi.

Dalam film Alejandro Amenábar, Agora, tokoh yang mesti ma ti adalah Hypatia. Ia seorang perempuan pemikir dari Alexan-dria, ibu kota Mesir di bawah kuasa Romawi pada tahun 331.

Berbeda dengan Sokrates, Hypatia mati dirajam orang ramai: pa ra penganut Kristen yang dengan berapi-api sedang hendak meng ubah dunia dengan membasmi orang pagan atau ”kafir”.

Tapi ceritanya tak sekadar itu. Hypatia menolak jadi orang yang beriman karena ia melihat dirinya berperan sebagai orang yang bertanya. Ia berkata kepada Synesius, bekas muridnya yang jadi uskup di Cyrene, Libya: ”Kau tak mempertanyakan, atau tak bi sa mempertanyakan, apa yang kau imani. [Sedangkan] aku ha-rus.”

Synesius gagal mengajaknya masuk Kristen.Sikap itu merisaukan para pembesar kota, terutama karena

Hy patia punya pengaruh dan sesekali dimintai pendapat dalam si dang-sidang mereka. Ia dipanggil menghadap.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 381: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

356 Catatan Pinggir 10

Seseorang bertanya: ”Mengapa sidang ini harus menerima na-sihat dari seseorang yang tak percaya apa pun?”

Hypatia menjawab: ”Saya percaya kepada filsafat.”Sebenarnya tanya-jawab itu bertolak dari kesalahan. Si pem-

besar kota menganggap bahwa tak percaya kepada Tuhan sama ar tinya dengan tak percaya apa pun. Ia menyempitkan pandang-annya. Sementara itu Hypatia tak konsisten dengan argumennya sendiri: jika ia mengatakan ”percaya kepada filsafat”, berarti ia tak hen dak dan tak dapat menggugat apa yang dipercayainya. Pa da-hal bahkan filsafat bisa dipersoalkan. Ia, Hypatia, seorang pe mi-kir, yang dengan atau tanpa sebuah sistem filsafat, menyimak dan menelaah kehidupan, dan berani menghadapi hal-ihwal yang tak segera ada jawabnya, atau yang telah lapuk. Ia seharusnya menja-wab: ”Saya percaya kepada ketidaktahuan dan perta nya an.”

Tentu jawaban seperti itu akan terlampau sulit dicerna, teruta-ma oleh mereka yang telah berkesimpulan bahwa agama adalah pe nangkal terakhir bagi ketidaktahuan dan pertanyaan. Namun bagi Hypatia, ketidaktahuan dan pertanyaan tak bisa dihapus se-lama-lamanya. Keduanya akan selalu hadir selama manusia hi-dup dan berubah. Dalam film Amenábar, Hypatia (dimainkan oleh Rachel Weisz) tampak tak henti-hentinya mencari jawab soal konstelasi bumi dan matahari.

Barangkali itu sebuah kekeliruan. Hypatia tampaknya yakin, pe ngetahuan yang diperoleh akan memberinya sebuah kekuat an. Ia lalai bahwa pengetahuan tak dengan sendirinya melahirkan ke kuatan. Bahkan sebaliknya: kekuatan itu yang melahirkan pe-ngetahuan, dengan mengkonstruksikan wacana. Hypatia tak ta-hu betapa pentingnya kekuatan itu. Ia terisolir ketika ia acuh tak acuh terhadap perubahan yang terjadi di Alexandria: hari-hari itu, penganut Kristen yang merasuk ke mana-mana, juga ke ka-langan kekuasaan.

Dan itulah yang kemudian menentukan ketika penguasa aga-

AGORA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 382: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

357 Catatan Pinggir 10

ma, Cyril, yang fanatik, keras, dan otoriter, hendak meneguhkan bahwa pengetahuan hanya mungkin selama orang mengakui oto-ritas Kitab Suci. Ia didukung umat yang sedang bergelora meng-hadapi iman yang bagi mereka harus ditinggalkan—gelora yang membuat mereka buas.

Konflik berdarah pun terjadi dengan umat Yahudi. Kaum ini dibantai. Perpustakaan yang termasyhur di Alexandria pun diba-kar—sebuah peristiwa simbolik: perpustakaan adalah khazanah pengetahuan yang beraneka suara, dan sebab itu agama (yang tak menghendaki pengetahuan lain) tak membutuhkannya.

Sementara itu, Hypatia tak punya kekuatan apa pun. Ia semula dibela oleh Orestes, bekas muridnya dan lelaki yang mencintai-nya yang kemudian jadi wakil kekuasaan Romawi di Alexandria. Tapi kemudian Orestes pun tak bisa berbuat apa-apa menghadapi desakan umat Kristen yang makin keras.

Pada klimaksnya, Hypatia dibawa ke depan altar dan ditelan-jangi. Orang-orang mengumpulkan batu untuk merajamnya. Di sa at itu ia ditolong Davus, bekas budak yang mencintainya dan ke mudian jadi orang Kristen: agar tak merasakan sakitnya han-tam an ratusan batu, Hypatia dicekik sampai mati.

Bukankah Tuhan kita mengampuni? Itu pertanyaan Davus ke pada seorang temannya, seorang militan Kristen. Jawaban sang mi litan: Tuhan mengampuni karena Ia Tuhan, sedangkan kita ini manusia.

Dari jawaban itu tampak, si Kristen militan meletakkan diri-nya tidak setara Tuhan dan sebab itu ia tak bisa mengampuni; ma-ka ia membunuh. Yang diabaikannya ialah bahwa ia membunuh jus tru karena ia meletakkan dirinya setingkat Tuhan dalam me-nentukan kesalahan manusia lain. Ia merasa dirinya mencermin-kan Tuhan yang mahatahu—dan sebab itulah ia merasa berhak me mutuskan mana yang kafir dan yang bukan.

Dengan kata lain: dialah yang mengkonstruksikan sifat Tu-

AGORA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 383: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

358 Catatan Pinggir 10

AGORA

han, memilih mana yang cocok daan meniadakan yang tak co-cok. Ia bahkan lebih kuasa ketimbang Tuhan.

Tak mengherankan bila sang militan tak melihat bahwa pe-nge tahuannya tentang apa yang ”buruk” dan yang ”baik”, yang ”se sat” dan yang ”tak sesat”, sebenarnya dibentuk oleh pengalam-an nya di bumi—terutama pengalaman kompetisi dan antagonis-me—bukan oleh sabda dari langit.

Agora, bagi saya, bukanlah film yang memikat. Tapi saya kira ke tika Amenábar membuatnya pada tahun 2008, di dalam diri-nya bergema suara suram tentang agama-agama hari ini.

Tempo, 2 September 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 384: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

359 Catatan Pinggir 10

WISANGGENI

WISANGGENI adalah hidup yang mengung kapkan inkonsistensi dewa-dewa—bahwa Kah yangan sebe-nar nya sebuah kekacauan. Dalam cerita wayang Ja-

wa —di bagian yang tak terdapat dalam Kitab Mahabharata In-dia—Wisanggeni lahir sebelum waktunya. Batara Brama meng-hajar perut Bidadari Dresanala agar ia mengeluarkan janin yang di kandungnya se cara paksa. Brama melakukan itu karena ia pa-tuh kepada titah pemimpin para dewa, Batara Guru: Dresanala ha rus dipisah kan selama-lamanya dari suaminya, Arjuna, kesa-tria Pandawa yang termasyhur itu. Tak perlu bertanya buat apa. Batara Guru hanya meluluskan kehendak permaisurinya, Durga.

Syahdan, Brama pun membuang janin itu ke dalam sebuah ka wah di Gunung Jamurdipa. Yang tak diperhitungkan ialah bah wa ada Narada, seorang dewa kontet dengan perut bun cit dan suara sengau yang ganjil. Ia punya kearifan yang lebih ketimbang para penguasa Langit. Ia tentu saja tak akan berani membang-kang titah Batara Guru. Tapi hatinya tergerak untuk tak membi-ar kan seorang bayi hangus di dalam kawah Candra-dimuka. Na-ra da pun mengangkat sang orok dari magma yang panas dan ge-muruh. Dan dari dalam zat yang dahsyat itu, anak itu menjelma jadi seorang pemuda yang sakti. Narada mena makannya Wisang-ge ni, ”racun api”.

Seluruh riwayat Wisanggeni adalah gugatan, bahkan an cam-an, terhadap hidup yang digambarkan sebagai sesuatu yang ada de ngan ”alasan yang cukup”. Bukankah tak ada cu kup alasan agar Wisanggeni ada? Dan ketika ia dilontarkan ke dalam kawah, bu kankah tak ada sebab yang bisa diduga yang membuat ia sela-mat? Bukankah ia tak pasti, tak niscaya, mati?

Dengan kata lain, hidup dan mati Wisanggeni di luar hukum

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 385: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

360 Catatan Pinggir 10

alam dan nujuman. Atau ia bukti hukum alam bisa berubah dan garis nasib tak pernah meyakinkan. Ia tak mengikuti de sain Ka-hyangan—bahkan ia tak memutlakkan desain itu, atau meng-ung kapkan bahwa desain itu acak-acakan. Ia anak Arju na yang, tak seperti para pangeran lain, hidup jauh dari kelu arga Pandawa. Dengan kesaktian yang tak ada dalam kategori para pendekar pe-rang Bharatayudha, tak ada prediksi bagi ke menangan atau keka-lahannya.

Pendek kata, bagi para dewa, ia membahayakan alur yang te-lah digariskan. Tanpa alasan yang logis, Wisanggeni diang gap akan menyebabkan Pandawa justru kalah—dan itu tak ada da-lam skenario. Maka pemuda itu harus dihapus. Wisanggeni, aneh nya, bersedia untuk musnah.

Tampak, ia adalah sebuah penanda bagi khaos bumi dan la-ngit. Tapi ia menjadi seperti itu bukan karena takdir; ia jus tru me-nunjukkan takdir dapat berubah. Semua serba mung kin. Semua con tingent. Dewa-dewa memang amat berkua sa, tapi tak abso-lut. Yang absolut bukanlah kehendak Kahya ngan; yang absolut adalah keserbamungkinan itu sendiri. Tak ada yang ”niscaya”. Da lam kisah wayang, oknum yang disebut ”dewa” tak niscaya pu nya pertimbangan moral tentang baik dan buruk; atau ”baik” dan ”buruk” itu bergantung pada se suatu yang lain di luar. Tak ada konsistensi: baik Brama yang membinasakan si bayi maupun Narada yang menyelamatkan nya, keduanya mendapat tempat sendiri-sendiri—dan dengan demikian tak dianggap sebagai kon tradiksi.

Bahwa Wisanggeni dapat ditiadakan itu berarti ia juga tak nis caya hidup terus. Bahwa ia—yang digambarkan sebagai se-se orang yang tak pernah memakai bahasa halus kepada siapa pun—ternyata patuh untuk meninggalkan dunia, itu berarti tak ada garis sebab-akibat yang lurus dalam perangainya. Bah wa ia di hapus dari tubuh cerita dengan kekuasaan yang begi tu perkasa,

WISANGGENI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 386: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

361 Catatan Pinggir 10

menunjukkan bahwa keserbamungkinan itu—atau khaos itu—begitu melekat di dunia.

Walhasil, ketika kita menyingkapkan apa yang mutlak, kita me nemukan sebuah kekuatan yang tak tepermanai: bukan ke-kuat an Wisanggeni, melainkan kekuatan yang membuat Wi-sanggeni ada atau tiada, bahkan yang membuat Batara Guru ber-buat sesuatu yang seharusnya tak dilakukan seorang mahadewa.

Sebagaimana digambarkan dalam kisah Wisanggeni, hi dup tak serta-merta disangga sesuatu yang stabil. Kita berha dapan, atau berada di dalam, apa yang disebut Quentin Meillassoux se-bagai ”gergasi ketidaklogisan”, monstres d’ illogisme. Kita tercebur di hadapan kekuatan yang mampu menghancur kan hal-ihwal, memproduksi tiap mimpi, juga mimpi yang me nakutkan, menja-lani perubahan yang mendadak dan ambura dul, atau menghasil-kan sebuah alam semesta yang 100% man dek sampai dengan ce-ruknya yang terdalam. Dengan kata lain, satu Mahakuasa yang mampu apa saja, namun, meminjam kata-kata Meillassoux, ”be-rantakan, buta, terlepas dari kesem purnaan ilahiah”—atau Ma-hakuasa yang ”tanpa kebaikan mau pun kearifan”, yang tak mem-beri jaminan bahwa ide-ide kita yang jernih adalah benar.

Namun tentu saja cerita wayang ini tak sepenuhnya tampak se bagai ”hyper-Chaos”. Layar itu rata dan stabil. Susunan deret dan adegan itu tak berubah banyak. Di dunia yang tampak nya-man di depan Ki Dalang, sebab dan akibat tampak jelas hu bung-annya: jika telapak kakinya menyentuh kecrek, akan ter dengar bu nyi yang dimaksud; jika korek api disulutkan ke sum bu blen-cong, sumbu itu akan terbakar dan lampu akan terang.

Bagaimanapun, cerita Wisanggeni, dari dunia yang acak-acak an, berkelindan dengan sesuatu yang stabil. Memang ada yang mengatakan, stabilitas itu—di mana berlangsung hubung-an yang ajek antara sebab dan akibat—bukan karena hukum alam, melainkan karena intervensi dari luar. Di abad ke-11, Al-

WISANGGENI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 387: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

362 Catatan Pinggir 10

Ghazali percaya, api itu membakar sumbu karena ada laku Tu-han. Tapi untuk deskripsi itu perlu ada seorang Al-Ghazali yang menyimpulkannya, sebagaimana dalam lakon Wisanggeni ada Ki Dalang yang bercerita. Manusia menganggit dan mencipta-kan yang tak terbatas, justru dari sudutnya yang terbatas.

Tempo, 9 September 2012

WISANGGENI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 388: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

363 Catatan Pinggir 10

GELANGGANG

APA yang mendorong Raffles, penguasa Inggris di Jawa, hing ga ia memerintahkan agar candi yang ter timbun la-pisan tanah di 40 kilometer dari Yogyakar ta itu digali?

Bukan kehendak memuliakan sebuah masa lalu, tapi rasa ingin tahu.

Kini orang mendatangi Borobudur tanpa rasa ingin tahu itu —hasrat yang menggerakkan ilmu, termasuk arkeologi. Mere-ka lupa bahwa Borobudur, yang dibangun di abad ke-9, baru dila-hirkan kembali di abad ke-19 oleh seorang asing dengan sema-ngat Pencerahan Eropa. Sekaligus diberi nama baru. Nama asli Bo robudur tak diketahui. Mungkin Bhűmisambhara.

Tak kalah penting: kini Borobudur jadi indeks ke-Indonesia-an. Terutama bila ke-Indonesia-an hendak digambarkan sebagai sebuah sejarah yang gemilang, dengan prestasi arsitektural, seni pa hat, dan kerohanian yang menonjol. Dalam rasa bang ga itu ki-ta tak mau mengingat, ada ratusan tahun ketika nenek moyang ki ta meninggalkan Borobudur. Sekitar akhir abad ke-9, Raja Mpu Sendok memutuskan memindahkan kerajaannya ke Jawa Ti mur, mungkin karena kerusakan akibat letusan gunung-gu-nung di sekitar itu. Sejak itu pula Borobudur diabaikan, tertu tup debu vulkanis dan pohon-pohon hutan. Berangsur-angsur ia jadi sesuatu yang angker, tempat takhayul abad ke-18 beredar. Bukan candi.

Namun ironis: dengan begitu tampak bahwa masa lalu tak per nah mati, biarpun petilasan tua runtuh atau lenyap. Masa la-lu tak pernah mati karena ia senantiasa diperlukan dan dicipta-kan kembali oleh masa sesudahnya. Terkadang dengan semangat keilmuan (rasa ingin tahu ala Raffles), terkadang dengan ta kha-yul, terkadang dengan kehendak meneguhkan identitas, ter ka-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 389: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

364 Catatan Pinggir 10

dang karena kepentingan bisnis pariwisata.Itu sebabnya tak ada masa lalu yang tak disentuh masa kini.

Orang-orang beragama sering meyakini bahwa zaman dulu (ke-ti ka pendiri iman mereka masih hidup) adalah masa yang suci mur ni. Mereka lupa bahwa ”zaman dulu” yang mereka baca itu tak ja rang hanyalah proyeksi ketidakpuasan kepada ”zaman ki-ni”.

Sebaliknya mereka yang ingin agar ”zaman dulu” harus di bu-ang untuk menghadirkan masa kini: mereka lupa bahwa tak per-nah ada masa kini yang tak disentuh ingatan. Seperti kata-kata Marx yang termasyhur, ”Manusia membuat sejarah mere ka sen-di ri, tapi mereka tak membuatnya seperti kehendaknya.” Manu-sia membuat sejarah di tengah keadaan yang sudah ada, ”yang di-berikan dan disalurkan dari masa lalu.”

Tentu saja di situ Marx tak berbicara sebagai seorang peng ge-rak revolusi; ia lebih sebagai seorang analis. Seorang pengge rak revolusi pasti ingin mematahkan masa kini dari masa silam, yang ”baru” dari yang ”lama”. Ia harus berniat mengubah ke adaan. Ia ha rus memperbarui.

Itu juga hasrat sebuah statemen yang terkenal dalam sejarah ke susastraan Indonesia: ”Surat Kepercayaan Gelanggang”.

Teks itu terdiri atas tujuh paragraf. Isinya merupakan pan-dangan para sastrawan yang disebut ”Angkatan ‘45”, meskipun dokumen itu disiarkan dalam majalah Siasat 22 Oktober 1950. Seperti umumnya nasib sebuah statemen, ia tak pernah dengan baik-baik dibaca. Ia hanya diterima dengan sikap ”pro” atau ”anti”. Ia memasuki sebuah konfrontasi.

Terutama ketika ”revolusi nasional” dan perang kemerdekaan belum reda dari ingatan. Sebab kalimat awal ”Surat Keperca yaan Gelanggang” memang memancing polemik: ”Kami adalah ahli wa ris yang sah dari kebudayaan dunia...”; juga beberapa ali nea berikutnya:

GELANGGANG

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 390: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

365 Catatan Pinggir 10

Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indo nesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memi-kirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat.

Bagi mereka yang ”nasionalistis”, statemen itu ditafsirkan se-ba gai kehendak lepas dari akar, ingkar dari ”kepribadian nasio-nal”.

Tapi di situ para pengecamnya salah paham. Mereka meng-abai kan: bahwa di balik statemen ini ada gelora kreativitas yang absolut.

Seraya menegaskan ”kebudayaan ini kami teruskan dengan ca ra kami sendiri”, yang hendak dicapai adalah sebuah ker ja seni dan intelektual yang tak dibatasi rumusan apa pun ten tang ”ke-pribadian bangsa”. Identitas itu bisa mempersempit. ”Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indo nesia.... Kami akan menentang segala usaha yang mempersem pit ukuran nilai”.

Dengan gelora kreativitas seperti itu, ”hasil kebudayaan lama” tak akan dilap-lap ”sampai berkilat”. Yang diniatkan: ”suatu peng hidupan kebudayaan baru...”.

Dan itulah kekuatan ”Surat Kepercayaan Gelanggang”.Tapi itu pula kekurangannya. Penggubahnya tak memahami

bahwa ada beda antara kreativitas dan orisinalitas. Kreativitas yang mutlak bisa lahir dari sebuah momen ketika subyek sepe-nuh nya tampil otonom. Tapi tak berarti orisinalitas murni—yang bebas dari apa saja yang ”lama”—bisa didapatkan.

Memang, semangat kreatif adalah penjebol. Ketika yang ”la-ma” bukan saja tertutup, tapi juga menutup, sesuatu yang ”baru” akan meletup seperti magma yang tertahan. Semangat kreatif se-lamanya berada dalam saat genting, menjelang sesua tu yang ber-beda, yang baru, datang menerabas. Tapi bukankah, seperti kata Marx, ”tradisi generasi yang telah mati memberat di dalam kepa-la mereka yang masih hidup, seperti mimpi bu ruk”? Meskipun

GELANGGANG

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 391: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

366 Catatan Pinggir 10

GELANGGANG

Marx terlalu muram—yang ”lama” tak selama nya ”mimpi bu-ruk”—seperti yang saya sebut di atas, masa lalu tak pernah mati. Tradisi adalah sebuah proses.

Apalagi ia juga lahir dari pelbagai saat genting yang sama. Ke-tika sang pemahat Borobudur mengayunkan perkakasnya, ia, se-perti Chairil Anwar dan Affandi, merasa ada sesuatu yang ”baru” yang akan datang ke dalam dunianya—dan mengubahnya.

Saat genting, itulah yang selalu mengiringi sebuah kebudaya-an.

Tempo, 16 September 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 392: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

367 Catatan Pinggir 10

LEDA

—Mengenang Putri, 16 tahun, yang bunuh diri setelah dituduh sebagai pe lacur oleh polisi syariah di Langsa, Aceh.

GEBRAK itu mendadak: angsa besar itu, dengan sayap-nya yang menggeletar, meraba paha perempuan itu. Ia ter sengal. Tengkuknya tercengkeram cakar, dadanya

ter tindih dada....

A sudden blow: the great wings beating still Above the staggering girl, her thighs caressedBy the dark webs, her nape caught in his bill, He holds her helpless breast upon his breast.

Kisah Leda yang diperkosa angsa yang misterius itu beredar sejak orang Eropa menemukannya dalam mithologi Yunani Ku-no. Dari masa ke masa, yang erotis, brutal, dan mengejutkan da-lam dongeng ini tak henti-hentinya merangsang para pelukis dan pe nyair. Dengan itu mereka membangun pelbagai imajinasi, da-lam ekspresi yang terkadang halus terkadang kasar, terkadang da-lam dan tak jarang hanya dangkal.

Tapi baru di abad ke-20, di abad yang memberontak itu, cerita pe merkosaan ini begitu mencekam. Terutama ketika W.B. Yeats, penyair nasionalis Irlandia itu, menuliskannya dalam sebuah so-neta yang saya petik sebait: seluruhnya adalah 14 baris yang mem-pesona dengan ritme awal yang mengentak.

Dalam sajak itu Yeats merasa tak perlu menyebutkan bahwa ang sa itu adalah Zeus yang menyamar. Ia menganggap para pem-bacanya tahu cerita Yunani itu, juga tahu bahwa sang mahadewa yang memimpin Kahyangan adalah kekuatan yang tanpa belas

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 393: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

368 Catatan Pinggir 10

ha ti: ia bernafsu, ia berkuasa, ia ada. Siapa pun namanya, sela-ma ia hanya tampil dalam kekuasaan semata-mata, kita tak bisa meng harapkan keadilan.

Yeats juga tak menyebut nama Leda. Mungkin ia hendak me-ne gaskan bahwa yang digambarkannya bukan hanya nasib istri Ra ja Sparta, Tyndareos. Sajak Yeats hanya melukiskan seseorang yang tiba-tiba terperosok di dalam situasi yang tak bisa diban-ding kan dan tak bisa berulang. Justru dalam keadaan itulah ia me ngetuk hati orang di mana saja, kapan saja. Ia universal.

Adapun sajak itu ditulis Yeats di sekitar tahun-tahun pergulat-an orang Irlandia untuk memerdekakan diri dari penjajahan Ing-gris. Tak mengherankan bila perempuan yang disetubuhi Zeus itu ditafsirkan sebagai lambang si tertindas yang semula terbung-kam. Kisahnya sebuah sejarah politik: dari satu keadaan yang bru tal dan represif lahirlah kekerasan baru. Khususnya, keke ras-an sebuah bangsa oleh bangsa lain dan tragedi yang terjadi selama dan setelah itu.

Mithologi Yunani itu memang mengisahkan, karena perbuat-an Zeus itu Leda melahirkan Helena, perempuan yang menye-babkan berkecamuknya Perang Troya selama 10 tahun. Di enam-ba ris terakhir sonetanya Yeats menyebut ”tembok yang runtuh, me nara-menara yang terbakar” dan Agamemnon yang mati. Da-lam syair Iliad, raja yang memenangi Perang Troya itu akhirnya memang dibunuh di rumahnya sendiri—dan berjangkitlah se-rangkaian pembalasan hingga akhirnya tumpas anak-beranak ke luarga Atreus.

Ketika awal abad ke-20 ditinggalkan, tafsir lain datang. Leda dalam sajak Yeats berubah: ia melambangkan sosok perempuan yang digagahi kekuatan patriarki. Zeus, sebagaimana gambaran ten tang Tuhan di agama-agama lain, adalah ”lelaki”. Maka yang di alami adalah penindasan yang menggencet kaum perempuan da ri hukum ke hukum, dari lembaga ke lembaga.

LEDA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 394: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

369 Catatan Pinggir 10

Juga ketika semua itu dilakukan seakan-akan tanpa laku se-wenang-wenang. Ada cerita bahwa mulanya Zeus menjadikan di-rinya seekor angsa yang datang meminta perlindungan. Dalam lu kisan Leonardo da Vinci di abad ke-15 memang kita tak meli-hat kebrutalan itu. Di kanvas yang rapi itu, sang angsa hanya men dekat rapat, merayu Leda yang telanjang di sebuah taman.

Bahwa Zeus menyamar sebagai angsa sebelum melampiaskan nafsunya menunjukkan betapa efektifnya tipu daya dalam hu-bung an kekuasaan antargender. Para penegak patriarki berkata bahwa mereka memuliakan perempuan ketika mereka sebenar-nya memojokkannya. Para ulama di Arab Saudi dan polisi syari-ah di Aceh akan menegaskan bahwa kaum perempuan harus dija-ga dan menjaga diri untuk kepentingan mereka sendiri, tapi pada akhirnya bukan itu yang terjadi. Pada akhirnya mereka warga yang terus-menerus dicurigai.

Tapi, kata mereka, bukankah perempuan-perempuan itu se-tuju?

Memang tak mudah menentukan apakah yang terjadi: keti-dakberdayaan atau persetujuan. Bahkan Yeats mempertanyakan itu:

How can those terrified vague fingers push The feathered glory from her loosening thighs?And how can body, laid in that white rush, But feel the strange heart beating where it lies?

Bagaimana Leda, dengan jari tangannya yang ketakutan dan na nar menyingkirkan sesuatu yang megah yang berselaputkan la pis-lapis bulu itu, ketika pahanya yang mulai lunglai itu disen-tuh? Yeats memakai kata glory ketika menggambarkan keperka-saan Zeus sebagai angsa, bukan kata lain yang menunjukkan se-su atu yang nista dan jahat. Ia juga menyebut ”detak jantung yang

LEDA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 395: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

370 Catatan Pinggir 10

aneh” di badan makhluk yang mendesak itu, bukan deras napas yang buas, yang dirasakan Leda.

Mungkin dalam tiap cakar Zeus ada sesuatu yang mempesona; mungkin dalam tiap pekik kesakitan si korban ada perasaan lain yang intens dan tak terlupakan. Mungkin karena Zeus, juga tu-han-tuhan yang lain, selamanya ambigu: padanya ada keganasan dan kecemburuan, tapi juga keagungan dan keakraban. Sebab itu kisah Leda dan Angsa bisa dinyatakan seperti dalam lukisan Leonardo da Vinci itu: sebuah suasana intim dan sensual, bukan ke ganasan.

Tapi bagaimanapun, menurut dongeng Yunani Kuno itu akhir nya Leda bunuh diri. Ia telah digagahi. Dan ia telah dibuat me rasa berdosa. Dan itulah yang tak dikatakan Yeats: ketidak-adil an telah terjadi.

Tempo, 23 September 2012

LEDA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 396: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

371 Catatan Pinggir 10

PANGERAN

T: Jika tak pernah membaca Quran, bagaimana akan memerin tah?J: Coba tanya ke Abraham Lincoln atau Nelson Mandela.

ANTARA kitab suci dan takhta ada sebuah jalan yang tak terang. Apa pun kitab itu dan siapa pun yang ber ada di singgasana itu. Bagaimana seorang pemegang takhta

me merin tah, bagaimana pula perilakunya terhadap orang lain dan dunia, itu bisa jadi karena ia dipengaruhi ajaran yang dibaca-nya dalam Quran atau Injil atau Weda. Tapi mungkin juga tidak sama seka li. Bahkan mungkin yang sebaliknya yang terjadi: hu-bungan sese orang dengan kekuasaan itulah yang justru mempe-nga ruhi tafsir orang itu atas ayat-ayat suci.

Jalan tak terang antara takhta dan kitab suci karena sang kitab suci bukan buku yang tertutup. Ia buku yang dibaca. Tapi ia ha-nya bisa dibaca dalam bahasa manusia. Sementara itu, manusia, sang pembaca serta sang penafsir, tak bisa menyimak se bagai sub-yek yang stabil, utuh, dan transparan.

Manusia (juga yang duduk di singgasana) punya sesuatu yang tak diakui bahkan tak dikenalnya sen diri di bawah sadarnya. Ia menyimpan nafsu dan trauma, hasrat dan ketakutan. Ia juga di-pengaruhi masyarakat tempat ia dibesarkan dan bergaul. Un-tuk menyatakan dirinya sendiri, ia bahkan dibentuk oleh bahasa yang ada sejak kecil mengisi dunia nya.

Walhasil, tak pernah bisa ditentukan sejauh ma nakah kitab su ci bisa membentuk perangai kekua saan. Bahkan semakin rumit kekuasaan seseorang dalam menghadapi tantangannya, sema kin tak ter jangkau kekuasaan itu oleh apa yang di luar dinami kanya sendiri—dan bahkan nilai-nilai yang datang dari Langit tak me-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 397: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

372 Catatan Pinggir 10

nyentuhnya.Apa boleh buat: kekuasaan selalu berada dalam dunia. Itulah

ke keliruan Plato. Sepulang dari Mesir, di mana ia menyaksikan se buah negeri yang tertib dengan peradaban yang mengagumkan, di Yunani, Plato mengembangkan gagasannya tentang politik. Ia menghendaki agar sebuah republik dipimpin oleh filosof, dengan ide-ide yang kekal tentang kebaikan kehidupan bersama. Tapi sang filosofYunani mengabaikan kenyataan bahwa dunia tempat ke hidupan berlangsung terdiri atas kejadian yang acap kali baru, yang tak bisa dijelaskan oleh ide-ide di kepala.

Menyadari bahwa kekuasaan selalu berada dalam dunia yang ru wet, fana, dan sering tak terduga-duga—itulah yang menye-bab kan Machiavelli menawarkan sebuah pandangan yang lain. Il Principe (Sang Pangeran), yang selesai ditulisnya di akhir 1513 dan baru diterbitkan setelah ia meninggal, kita kenal sebagai kar-ya yang berabad-abad lamanya termasyhur dan diperdebatkan— satu indikasi bahwa pikiran-pikiran itu bukan omong kosong.

Machiavelli jelas berbeda dengan para penulis yang berbicara tentang kekuasaan dengan sedikit berkhotbah: bagaimana seyo-gia nya kekuasaan—bukan bagaimana kenyataannya. ”Saya ber-pi kir,” tulisnya, ”sudah sepantasnya untuk menggambarkan hal-ih wal sebagaimana adanya dalam sorotan kebenaran yang efek tif, verità eff ettuale della cosa, dan bukan dalam bentuk sebagai mana dibayangkan.”

Ia punya dasar untuk itu. Ia berpengalaman cukup dalam ber-hu bungan dengan orang-orang berkuasa dalam hidupnya. Itu se-mua dimungkinkan karena ia seorang pejabat di Republik Firen-ze mungkin sejak berumur 29, bekerja sebagai segretario fiorenti-no sampai sekitar 14 tahun hingga republik kota yang makmur itu jatuh ke tangan keluarga Medici.

Nasibnya buruk sejak 1512 itu. Ia ditangkap karena dituduh ber komplot hendak menjatuhkan kekuasaan baru. Ia dipenja-

PANGERAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 398: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

373 Catatan Pinggir 10

ra, di siksa, dan akhirnya dibuang. Kejayaannya dulu tak pernah kem bali. Mungkin sebab itu dalam Il Principe ia berbicara tentang Fortuna, umumnya diartikan sebagai ”nasib”. Ia mengibaratkan-nya sebagai ”sungai yang destruktif”, yang bila marah, membawa banjir. Walaupun ia yakin ”sungai” itu, Fortuna, bisa dijinakkan, ia mengakui tak ada yang bisa melumpuhkannya.

Dengan kata lain: politik dan kekuasaan selama nya terancam dengan yang tak terduga-duga. Pa tokan yang baku—baik dalam bentuk ajaran agama maupun doktrin moral—tak banyak guna-nya meng hadapi ”sungai yang destruktif” itu. Ide dan ajaran tak akan bisa melumpuhkan kehidupan.

Sebab apakah yang bisa sepenuhnya diketahui oleh seorang ma nusia—juga bila ia duduk di atas singgasana? Juga bila ia ber-pegang pada bacaannya, biarpun bacaan itu adalah ajaran yang kekal? Machiavelli justru menunjukkan bahwa di dunia, yang ke-kal tak ada. Raja naik dan turun, kekuasaan berkem bang atau hilang, dan tiap kali harus dihadapi de ngan penyelesaian yang berbeda-beda. Hidup, terutama dalam kancah kekuasaan dan per gulatan po litik, terdiri atas pelbagai unsur yang membuat ke adaan tiap kali genting, serba mungkin—dari konjungtur ke kon jungtur. Dan Machiavelli, dalam pemikiran Althusser yang anti-Idealis, ”tak me nelaah konjungturnya sebagai seorang teo-retikus, ‘dari luar’, atau sebagai seorang sejarawan... atau sebagai seorang filosof... melainkan dari dalam konjungtur itu sendiri.”

Dalam kegentingan itulah seseorang yang bertautan dengan ke kuasaan akan didorong untuk selamat—bila ia punya virtù, bila ia punya sifat serigala dan singa sekaligus. Serigala cakap un tuk menilai situasi, singa berani untuk menghadapi tantang-an situa si itu. Althusser menegaskan bahwa bagi Machiavelli, se-orang pe mimpin tak punya ”hakikat”; ia tak buruk atau baik. Ia adalah ke-siagaan. Yang penting: ia bisa mendapatkan hasil yang di ingin kannya.

PANGERAN

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 399: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

374 Catatan Pinggir 10

PANGERAN

Banyak orang memandang pemikiran Machiavelli dengan merengut dan berbisik, ”tak bermoral.” Tapi mungkin kita perlu mendengar seseorang yang tak bermaksud mengajar budi pe ker-ti. Sebab budi pekerti, dalam pergulatan kekuasaan, akhirnya beralih jadi bedak dan gincu.

Tempo, 30 September 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 400: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

375 Catatan Pinggir 10

AMBA

”Hari ini kau kembali dalam diriku seperti bintang di langit itu—sesuatu yang ada di antara kerdip dan hilang, yang selalu muncul pada titik di mana lupa menyiapkan kekosongan.”

BHISMA, dokter yang dibuang ke Pulau Buru dalam no-vel Laksmi Pamuntjak, Amba, menulis kalimat pendek itu bertanggal 28 Desember 1973. Ia menulis kannya un-

tuk perempuan yang ditinggalkannya di Jawa, dan kemudian me-nyimpan surat itu di bawah sebatang pohon. Ia tak pernah ta hu apa kah Amba, perempuan itu, akan menemukan dan membaca-nya; dokter itu tak pernah kembali, setelah hilang sejak 1965.

Novel ini, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pekan ini, secara tak langsung datang kepada kita, ”pada titik di mana lu-pa menyiapkan kekosongan”. Seorang lenyap; untuk mene gaskan ab sensinya, yang ditampilkan novel ini hanyalah se jumlah surat yang digali dari bawah pohon di satu sudut Pu lau Buru. Yang kita da patkan suara seorang manusia, Bhisma, yang berada ”di antara ker dip dan hilang”.

Amba adalah salah satu novel yang menegaskan rasa cemas yang merundung kita di Indonesia hari ini: cemas bila ”peristiwa 1965” yang menakutkan itu akan hilang, tanggal dari ingat an ber sama. Kita tak ingin kembali buas.

Tak janggal bila akhir-akhir ini peristiwa itu hadir dalam sas tra (sebelum Amba misalnya ada Candik Ala 1965 Tinuk R. Yam-polsky, Blues Merbabu Gitanyali, dan setelah Amba, akan ada novel Pulang Leila S. Chudori). Yang membuat Amba berbe-da adalah ceritanya tentang kehidupan para tahanan politik di Pu lau Buru, lewat surat-surat Bhisma yang disembunyikan: ada ke marahan terhadap kekejaman, tapi juga humor, rasa ter haru,

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 401: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

376 Catatan Pinggir 10

bah kan optimisme. Tiap surat menggugah.Benarkah demikian dulu? Sebuah novel tentang 1965 umum-

nya diminta agar ia ”meluruskan sejarah”. Generasi kini sadar, me reka tak diberi gambaran yang ”benar” tentang yang terjadi di sekitar kekerasan politik 1965. ”Orde Baru” mendesakkan pen je-las an mereka, lewat film yang harus ditonton, buku seja rah dan me dia massa yang dikendalikan, juga teror dan sensor. Sebagai re aksi, kini tampak usaha membebaskan diri dari regimentasi ingat an selama 33 tahun itu.

Tadi saya sebut, kita berada ketika ”lupa menyiapkan keko-song an”. Kekosongan akan gairah terhadap yang benar dan adil, ke kosongan dari hal-hal yang bukan sekadar hidup yang praktis. Mungkin sebab itu, kini fiksi berdasarkan sejarah le bih terasa ”be nar” ketimbang penulisan sejarah alias historio grafi.

Tapi sebenarnya ada kedekatan di antara kedua jenis pence ri-ta an tentang masa lalu itu.

Bagaimanapun, masa lalu adalah masa kini dengan sebuah adap tor. Kita hidup hari ini dengan ingatan yang tak mesti persis tentang hari kemarin. Kita butuh mekanisme untuk menye su ai-kan X yang terkenang dengan X-1 yang terceritakan.

Maka historiografi bukanlah sebuah replika pengalaman. Ten tu akan dikatakan, seorang penulis sejarah bekerja dengan pe tunjuk institusional—diteguhkan oleh akademi atau komu ni-tas sejarawan yang diakui—agar mendapatkan presentasi yang se-”obyektif” mungkin. Tapi setidaknya ada dua hal yang sering mem buat buku sejarah tak bisa mewakili sebuah peng alaman yang hidup.

Yang pertama: dorongan naratifnya. Cerita sejarah per lu alur, bah kan mungkin perlu ketegangan, dan juga klimaks. Kalau itu tak ada, pembacanya akan membentuknya sendi ri. Tapi hidup, apalagi hidup sejumlah besar manusia, tak terhingga majemuk-nya, tak jelas suspens dan klimaksnya—sifat yang akan tampak

AMBA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 402: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

377 Catatan Pinggir 10

bi la kita buat rekaman film tentang hidup kita dari menit ke me-nit katakanlah selama 45 tahun. Di hadap an itu, penulis sejarah perlu ”bentuk” dalam narasi. Karyanya tak berbeda jauh dari se-orang penulis novel.

Yang kedua: kehendak ”rasionalitas”. Satu kejadian didorong un tuk bisa ”masuk akal”, terutama harus diletakkan dalam hu-bung an sebab-dan-akibat. Dalam kehendak ”rasionalitas”, tak ada yang tanpa penjelasan; tak ada asap kalau tak ada api.

Namun penjelasan yang ”masuk akal”, sebagaimana hu bung-an sebab-dan-akibat, sebenarnya hanyalah bentukan pi kiran ma-nusia—tepatnya sang penulis sejarah yang mengana lisis dan me-ngaitkan satu kejadian dengan kejadian lain. Pada hal banyak hal yang contingent, serba mungkin apa jadinya dan asal-usulnya. Ti-ap ikhtiar naratif untuk meletakkan mereka dalam sebuah ke-rang ka—dengan alur yang rapi dan hubungan sebab-akibat yang ”masuk akal”—menyebabkan historiogra fi beberapa meter men-jauh dari ”yang benar”. Apalagi bila ke rangka itu ditentukan se-buah kekuasaan yang ingin membuat buku sejarah sebagai legiti-masi diri.

Fiksi, atau sastra, bisa lebih bebas dari kerangka yang menje rat itu. Sastra tak ”mengingat”, dalam arti mengulang yang sudah. Sas tra ”mencipta”. Ada kata-kata Mark Twain yang terke nal, ”When we remember we are all mad, the mysteries disappear and life stands explained.” Sastra menyelamatkan misteri dari sikap taka-bur para penjelas. Sastra bersedia menempuh yang tak ”masuk akal”.

Mungkin itu sebabnya Midnight’s Children Salman Rushdie mem baurkan sejarah India modern dengan mithologi dan do-ngeng fantastis, diperkaya sikap bermain-main dengan alegori dan kata yang bisa lucu. Amba juga membiarkan titik-titik mis-te ri. Ia punya puisi. Tapi ia memilih bentuk yang lebih ”realis tis”, dengan membiarkan benturan antara mithos (kisah Bhisma dan

AMBA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 403: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

378 Catatan Pinggir 10

AMBA

Amba dalam Mahabharata) dan sejarah, antara sejarah dan kehi-dup an orang seorang. Novel ini, dengan riset yang me nge san kan, tak bermain-main.

Tanpa memperpanjang yang tragis dan seram dari 1965, Am-ba tam paknya menyadari satu hal, dan ini dibawakannya dengan ele gan: luka sejarah bisa disembuhkan, tapi tak sepa tutnya me-nye babkan orang ketawa.

Tempo, 7 Oktober 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 404: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

379 Catatan Pinggir 10

EL DEMONIO

SETELAH tujuh tahun bersekolah di Eropa, Ibarra pulang ke Filipina, dan di sepanjang Kota Manila ia tak hanya me lihat Manila. Di matanya, kebun beragam tumbuhan

di kota itu tak putus-putusnya tampak dibayang-bayangi taman-ta man yang pernah dikenalnya di Eropa. Ia tak lagi melihat begi-tu saja; baginya, tamasya itu sesuatu yang dekat dan sekaligus ja-uh. Seakan-akan ada setan yang memperdayanya dengan jarak dan waktu. Ia resah.

Di saat itu, menjelang akhir abad ke-19 itu, tokoh utama da-lam novel Noli me Tángere yang ditulis pahlawan nasional Filipi-na José Rizal ini merasakan apa yang disebutnya sebagai el demo-nio de las comparaciones. Dalam buku Benedict Anderson yang ce merlang, The Spectre of Comparisons, momen itu diambil seba-gai salah satu contoh awal kesadaran kebangsaan, terutama di Asia Tenggara. Ada yang mengatakan bahwa kesadaran itu tak se kadar tumbuh dari ”mambang”, spectre, tapi dari ”iblis”, demon, atau el demonio. Begitu menggugah, begitu membakar.

Membandingkan memang mengandung dua titik pandang: jauh dan dekat. Dalam keduanya kita menemukan yang sama dan sekaligus beda, universal dan yang partikular. Dalam tafsir sa ya, permainan tipu daya sang Iblis terletak dalam ”waktu”.

Dua waktu yang berbeda—waktu Ibarra di Berlin dan waktu ia berada di Manila—seakan-akan homogen. Masing-masing se-akan-akan tak berisi apa-apa, seperti bujur sangkar yang secara uni versal dikenal sebagai bentuk yang semua sisinya sama pan-jang, seperti deretan petak di kertas datar. Anderson memakai is-tilah ”waktu yang homogen dan kosong”, homogenous empty time.

Tapi tentu saja ”waktu” yang seperti itu sepenuhnya abstrak. Se mentara itu ”waktu” yang kita alami sehari-hari, juga yang di-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 405: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

380 Catatan Pinggir 10

alami Ibarra, adalah ”waktu fenomenologis”: mengalir terus tapi se kaligus bersentuhan dengan tubuh dan ruang, dan di dalam se mua itu ada emosi, suasana hati. Ia bergerak dalam proses, tapi tak seluruhnya terbangun sebagai keragaman yang murni. Detik ini tak mengulangi detik sebelumnya dan tak akan diulangi oleh yang sesudahnya, tapi semua itu dipertemukan di sebuah ”kos-mos”.

Sebab itulah yang terjadi dalam pengalaman Ibarra itu menya-kitkan: Manila yang begitu miskin, bila dijajarkan dengan Berlin, meskipun kedua-duanya punya taman kota, adalah Manila tem-pat ia berdiri, punya masa silam, merasa sebagai seseorang yang tak seluruhnya cair seperti tinta yang belum membentuk sebuah gam bar.

Kini, hampir satu setengah abad setelah Ibarra kembali ke Ma nila, perbandingan dari satu tempat ke tempat lain makin ce-pat, makin beragam. Inilah di zaman ketika surat kabar dan se-mua produk ”kapitalisme cetak” mulai menurun pengaruhnya. Te levisi, atau informasi audiovisual yang lain, kian menghubung-kan satu kejadian di sebuah tempat pada saat yang sama dengan kejadian di tempat lain. Semakin lama semakin hadir apa yang da lam bahasa Inggris disebut sebagai real time.

Dalam situasi itu, tentunya kita akan mengatakan, ”sang iblis” akan semakin memperdaya: dekat dan jauh menjadi semakin ka-bur. Ketika pada 1755 Kota Lisbon dihantam gempa, yang disu-sul dengan tsunami dan kebakaran besar—sebanyak 85 persen ge dung hancur, termasuk istana, arsip sejarah dan perpustakaan mus nah—baru sekitar seminggu kemudian berita itu sayup-sa-yup sampai di kuping orang di Paris. Kini ”waktu fenomenologis” semakin mendesak. Tsunami di Indonesia dan di Jepang diberita-kan saat kejadian itu berlangsung. Sebuah jam siaran yang meng-hadirkan korban-korban pertempuran di Kota Aleppo, Suriah, se rentak dengan itu menyiarkan sebuah fashion show di sebuah

EL DEMONIO

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 406: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

381 Catatan Pinggir 10

mall di Jakarta. Dan tak hanya itu: berbeda dengan berita di koran harian

yang konstruksinya dibuat seragam (harus mengikuti kaidah be-ri ta ”5W-1H”, harus menempatkan informasi terakhir dan ter-penting di baris awal), berita-berita televisi dan Internet meniada-kan keseragaman konstruksi itu.

Dan lebih dari itu semua, pengalaman informasi tentang pe-ristiwa X datang dalam waktu yang serentak ketika X itu tengah ber langsung—meskipun di tempat yang sangat berjauhan dan berbeda.

Ini membuat kita tak mudah melihat di mana ujung peristiwa itu. Memang, dalam zaman instant noodle dan quick count ini, ke-tika televisi merangsang komentar-komentar seketika, yang tam-paknya dominan adalah ketergesa-gesaan. Berita besar kemarin se gera ditenggelamkan berita besar hari ini. Para peneliti sebuah bi dang kehidupan digantikan ”pengamat”. Sejarawan diambil alih penyusun timeline. Yang diakronik, yang berkembang dalam waktu, praktis tak berarti lagi, digantikan yang sinkronik.

Hegel pernah mengatakan, sejarah—karena merupakan riwa-yat perkembangan akal budi manusia—akhirnya ditulis bukan la gi dalam bentuk puisi. Baginya, prosa lebih dari puisi, historio-grafi modern lebih ulung ketimbang tembang-tembang Babad Tanah Jawi. Prosa punya kemampuan analisis dan sintesis. Seja-rah dalam prosa akan menghadirkan sebuah kesatuan yang mem-bayangkan adanya Ide.

Prosa juga keteraturan. Bagi Hegel, sejarah berlangsung da-lam proses dialektik: beberapa hal yang bertentangan dalam ke-hidupan bertempuk dan setelah itu terjunjung menjadi sesuatu yang baru, makin lama makin menuju ke sebuah ujung. Ujung itu, menurut Hegel, jelas, sesuai dengan akal budi.

Tapi hari makin menjauhi Hegel. Ibarra punya Iblis-nya sen-di ri. Kini, el demonio bukan merisaukan kita dengan perbanding-

EL DEMONIO

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 407: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

382 Catatan Pinggir 10

EL DEMONIO

an antara wujud yang setara tapi tak sama, melainkan hasrat akan se buah ujung yang nyaman dan keserbamungkinan.

Dengan kata lain, kita ada, kita berpikir atau berzikir, dan kita tetap saja bisa tergelincir.

Tempo, 14 Oktober 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 408: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

383 Catatan Pinggir 10

ZARAH

ANAK-ANAK, dengan cara apa mereka percaya? Dalam no vel Dee, Partikel, kita bertemu dengan Zarah. Anak pe rempuan ini dididik dan dibentuk ayahnya, Firas, do-

sen Institut Pertanian Bogor yang tak hendak mengirimnya ke se-kolah. Firas sendiri kemudian berhenti pergi ke kampus. Ia hanya ja di guru anaknya. Di bawah asuhan bapak yang kelak hilang itu, Zarah akan bertemu dan memasuki pengetahuan dan pengalam-an yang tak lazim.

Firas seorang peneliti (dan sahabat) tumbuh-tumbuhan yang me letakkan fungi di status istimewa. Baginya fungi bukan saja mem buktikan diri sanggup bertahan hidup melampaui dua kia-mat ketika bumi ditabrak asteroid. Firas juga yakin, fungi ada lah makhluk dengan kecerdasan super, melampaui manusia.

Dari sini kemudian ia berangsur-angsur membawa Zarah ke pe ngetahuan tentang hal-ihwal yang ”gaib”, tapi sebenarnya gaib ha nya bagi yang tak mau tahu. Ayahnya mengajaknya ke Bukit Jam bul yang misterius. Setelah pengalaman di bukit yang dijauhi orang itu Zarah pun tahu, ayahnya mencatat pertemu annya de-ngan makhluk yang tak datang dari bumi, alien, meski pun mera-hasiakannya sampai akhir.

Pada suatu hari sang ayah menghilang. Sejak itu Zarah—yang mengagumi ayahnya dan mengiaskannya sebagai ”dewa”—men-carinya. Ia masuki pengalaman dari satu benua ke benua lain, sam pai novel yang mengasyikkan ini berhenti—atau berhenti se-bentar, sebab fiksi ini (delapan tahun setelah episode Petir terbit pa da 2004) tampaknya masih akan berlanjut.

Zarah adalah sebuah pencarian panjang. Ia sejumlah perta-nya an hidup yang mengusik jawaban-jawaban yang mati. Di du-nia yang dibentuk jawaban seperti itu, ia seorang asing yang di-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 409: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

384 Catatan Pinggir 10

tam pik.Syahdan, ketika ia akhirnya masuk sekolah—setelah ayahnya

tak ada lagi—Zarah mulai merasakan posisinya yang asing itu. Ia tak bisa meletakkan keyakinannya di antara keyakinan yang te-lah dikukuhkan masyarakat.

Pertanyaan: ”Kamu ibadah di mana dong, Zarah?”Jawab: ”Di kebun.”Pertanyaan: ”Kamu menyembah apa?” Jawab: ”Jamur.”Dan Zarah dikeluarkan dari kelas ketika ia mengajukan satu

teo ri yang ia dengar dari ayahnya yang berbeda dengan cerita aga-ma tentang kejadian manusia. Bagi gurunya, Bu Aminah, ”ti dak ada versi lain” selain kisah tentang Adam dan Hawa.

Ketika Zarah mengatakan versi agama belum tentu benar, Bu Ami nah meminta murid yang ganjil itu diskors. Guru itu meng-anggapnya ”melakukan penghinaan atas dirinya, atas Alquran, dan atas Islam”.

Zarah mencoba memprotes. ”Kenapa Bu Aminah harus ter-singgung dengan cerita saya? Kalau beliau nggak percaya de ngan cerita saya, kan, saya juga nggak marah.”

Tapi anak itu harus menghadapi sebuah garis lurus yang tung-gal. Kakeknya, yang ia panggil Abah, seorang alim dan pengusa-ha terpandang di dusunnya, menegaskan garis lurus itu dengan ama rah yang keras, begitu ia dengar bahwa cucunya menimbul-kan heboh di sekolah.

”Dengar, Zarah,” katanya. ”Kita ini keluarga Islam. Sampai ma ti, kita semua tetap Islam. Mulai hari ini cuma boleh ada satu kebenaran yang kamu bawa ke sekolah. Dan ke mana pun kamu pergi nanti, kebenaran itu tidak berubah. Jangan berani-berani ka mu pertanyakan. Mengerti?”

Zarah akhirnya tunduk. Ia bersedia dikirim ke sebuah pesan-tren ”kilat” untuk memperbaiki imannya. Selama sebulan itu ia

ZARAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 410: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

385 Catatan Pinggir 10

meng iyakan semua yang dikatakan para pembimbingnya. Ia tak hendak beradu argumen.

Orang-orang pun menyangka ia telah berubah jadi manusia baru. Tapi justru pada saat itulah Zarah sepenuhnya membang-kang. Anak ini pulang dari pesantren dengan ”kesadaran baru”. Tapi sebenarnya ia mengikuti sikap ayahnya. ”Aku adalah Firas berikutnya,” katanya. ”Inilah pemberontakan pertamaku.”

Dengan cara apa anak-anak percaya?Saya punya cerita lain, kali ini bukan fiktif: cerita seorang pe-

nyair yang ”terkutuk”. Arthur Rimbaud, sastrawan Prancis akhir abad ke-19 yang dianggap jadi pelopor Surealisme pada usia mu-da, menulis dengan rasa tak suka yang sengit tentang kepercaya-an Kristiani—ajaran yang ditanamkan kepadanya di waktu kecil oleh ibunya. Sajak ”Les pauvres a l’eglise” (Orang-orang Miskin di Gereja) menyebut ”iman yang bodoh dan me ngemis-ngemis”. Sajaknya yang lain, ”Soleil et chair” (Matahari dan Daging), me-neriakkan ”jangan ada tuhan-tuhan lagi”.

Rimbaud, yang lahir pada 1854 dan berhenti menulis pada usia 20, berbeda dengan Zarah dalam novel Partikel.

Rimbaud—yang kemudian disebut sebagai salah satu dari ”pe nyair-penyair terkutuk”, les poètes maudits maudits—menye-ru kan keha rusan ”modern sepenuhnya”; dalam ”Soleil et chair” ia tegas kan bahwa ”Manusia” adalah Raja dan Tuhan. Sebaliknya Zarah dididik ayahnya agar mengerti bahwa manusia cuma makh luk di tengah fungi, dan tak lebih hebat. Ada perspektif pas ca modern di sini.

Tapi baik bagi Zarah maupun Rimbaud, Tuhan didatangkan ke dalam hidup dengan kaki yang menginjak. Dalam sajak ”Les poe tes de sept ans” (Para Penyair di Usia Tujuh Tahun) Rimbaud de ngan menyentuh dan menusuk menggambarkan seorang anak yang tiap hari Minggu diharuskan ibunya membaca Injil. Anak itu tak membantah. Tapi ia takut akan hari-hari Minggu itu,

ZARAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 411: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

386 Catatan Pinggir 10

ter utama di bulan Desember yang pucat, ketika ia harus duduk meng ha dapi meja mahagoni yang berat dan membaca Alkitab.

Tiap malam di kamarnya yang kecilmimpi-mimpi menindasnyaIa tak mencintai Tuhan; ia mencintai manusia.

Kita tahu ia anak yang tak bahagia. Tapi dengan cara apa ia per caya?

Saya bayangkan anak-anak seperti arus hulu yang tercurah, yang tak menentukan hilirnya sendiri. Kemudian dunia yang di-huni orang-orang tua menampungnya dengan waswas. Ada yang jadi sungai deras, ada yang tersekat di waduk persegi. Di bawah itu, Tuhan terasa sebagai Tuan yang membuatnya cuma terdiam.

Tempo, 21 Oktober 2012

ZARAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 412: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

387 Catatan Pinggir 10

MO DAN YU

KATA punya kedaulatannya sendiri. Dengan catat an: da-lam kedaulatan itu, ada kata yang hadir se bagai sensor yang mencoba menghalau kata lain—walaupun kata

yang lain itu juga punya kedaulat an sendiri.Saya melihat sensor sebagai kata dengan ”K”. Sensor sebagai K

(”kalian tidak boleh...”) menenggelamkan kata sebagai ”k” (mi-sal nya ”aku tak yakin”). Sensor sebagai K akan membawa tafsir se bagai T, yang hendak menggulung tafsir-tafsir (”t”) lain.

Tapi ”k” dan ”t” tak bisa dimatikan. Bahkan di bawah kekua-sa an yang penuh ”K”, karya sastra, ibarat lautan di mana ”k” ber-ge rak dengan hidup, tak pernah sepenuhnya kering. Juga ”T”—sebagai tafsir yang resmi di tangan yang berkuasa—tak akan me-lenyapkan ”t”.

Tahun ini Akademi Swedia menghargai Mo Yan, novelis Ci-na, dengan Hadiah Nobel untuk kesusastraan. Tak urung, ba-nyak pertanyaan muncul: kata yang manakah yang membangun kar yanya hingga ia dihargai sedemikian rupa? Kata yang bagai-ma nakah yang membuatnya justru terasa janggal memperoleh Ha diah Nobel?

Sebagian besar orang di dunia tak kenal novel Mo Yan. Sebagi-an besar orang di dunia diharapkan percaya begitu saja kepada pilihan para juri rahasia Akademi Swedia. Tak ada investigasi ba-gai mana mereka bisa menemukan Mo Yan di antara tum pukan na ma lain. Sementara itu, ada orang-orang yang lebih mengenal Mo dalam hubungannya dengan ”K”.

Ia anggota Partai Komunis. Ia memulai kariernya sebagai sas-tra wan ketika ia jadi anggota Tentara Pembebasan Rakyat dan bel ajar sastra di akademi milik militer itu. Ketika dalam Pekan Ra ya Buku di Frankfurt pada 2010 ada karya-karya sastra pe nulis

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 413: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

388 Catatan Pinggir 10

Ci na yang membangkang pemerintah Beijing, ia membo ikot aca-ra internasional itu. Ketika pada tahun ini dalam Lon don Book Fair ia ikut memilih karya mana yang mewakili ne gerinya, ia me-niadakan nama-nama pembangkang yang diha ramkan pemerin-tahnya.

Yu Jie, seorang pengarang terkemuka yang melarikan diri dari Cina dan pindah ke Amerika Serikat, melihat penilaian Akademi Swedia itu dengan sarkastis. ”Seorang sastrawan yang mengu-man dangkan ’Hitler’ tak akan mungkin menerima Ha diah itu,” ka tanya, ”tapi seorang pengarang yang menguman dangkan ’Mao’ bisa.” Dan itu, bagi Yu Jie, menunjukkan betapa tak pedu-linya dunia Barat akan penindasan hak asasi manusia di bawah pe nguasa Beijing.

Mo bukan tak mengakui adanya sensor. Tapi ia punya alasan —bahkan pembenaran—untuk itu. Dalam sebuah wawanca ra di Lon don Book Fair yang lalu ia mengatakan, ”Dalam hidup nyata kita bisa saja ada soal-soal yang peka dan tajam yang [oleh penu-lis] tak hendak disentuh. Dalam keadaan itu, seorang pe nulis da-pat menyuntikkan imajinasinya sendiri untuk mengiso lasi diri-nya dari dunia nyata atau melebih-lebihkan situasinya—dengan mem buatnya jelas, terang-benderang. Saya percaya, pembatasan atau sensor itu bagus sekali untuk kreasi sastra.”

Akademi Swedia memang melihat bagaimana imajinasi dima-sukkan ke dalam karya-karya Mo—dan lahirlah sebuah realisme yang berkombinasi dengan citraan yang mendekati halusinasi. Sastranya disejajarkan dengan ”realisme magis” ala Gabriel Gar-cia Marquez atau penceritaan yang puitis dalam novel William Faulkner. Dalam karya Mo, sebagaimana dalam pandangannya ten tang proses penulisan, ”K” malah dianggap bisa menyebabkan ”k” tumbuh subur.

Tapi saya kira Mo tak melihat bahwa imajinasi yang lahir dari do rongan kreatif punya sejarah yang tak sama dengan imajina si

MO DAN YU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 414: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

389 Catatan Pinggir 10

sebagai keterampilan menyesuaikan diri dengan rasa takut dan kecemasan. Pada yang pertama, imajinasi ibarat loncatan lincah yang bersemangat. Ia membawa energi. Pada yang ke dua, imaji-nasi ibarat gerak berkelit karena gentar kena hantam. Yang per-tama adalah cetusan yang tak dibuat-buat. Yang kedua siasat de ngan akal yang berperhitungan; ada unsur muslihat—yang mung kin tak disadari sendiri.

Tapi bagi para juri Akademi Swedia, yang penting dinilai bu-kanlah sejarah imajinasi dalam karya Mo, melainkan bagaimana imajinasi itu tampak dalam novel-novelnya. Lagi pula Mo me-mang benar: ia menegaskan bahwa sensor akhirnya tak bisa ber-kuasa penuh.

Tapi ada yang merisaukan. Mo adalah contoh bagaimana se-orang pengarang menerima sensor, ”K”, sebagai sebuah lemba ga yang menetralisasi kepedihan kata-kata untuk lahir dan hi dup.

Mungkin karena pengalaman Mo berbeda dengan para sas-tra wan Cina lain, terutama Yu Hua. Pengarang novel yang da lam versi Inggris berjudul To Live ini juga di sana-sini membiar kan kompromi dengan ketidakbebasan kata-kata. Tapi China in Ten Words, kumpulan esai Yu tentang Cina, punya satu bab yang me-narik tentang bagaimana kata-kata hidup terjepit bah kan bukan dalam hidup seorang penulis, melainkan seorang pembaca.

Ketika Yu yang lahir pada 1960 berumur belasan tahun, di Ci na novel tak boleh dibaca—apalagi novel asing. Tapi ia dan se-orang temannya berhasil meminjam terjemahan karya Alexandre Dumas, La Dame aux Camelias. Buku itu hanya boleh di ta ngan me reka selama 24 jam. Maka dengan terburu-buru mere ka salin tiap patah katanya dengan tulisan tangan. Mereka be kerja sema-lam suntuk. Tapi ketika novel Dumas itu mereka kembalikan, me reka bingung: tulisan tangan Yu tak bisa dibaca temannya, be-gitu juga sebaliknya. Maka di bawah lampu jalan mereka saling membacakan salinan buku itu. Dengan rasa ba hagia. Mereka

MO DAN YU

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 415: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

390 Catatan Pinggir 10

MO DAN YU

me nemukan saat yang merdeka.Berbeda dengan Mo, Yu tak melihat sensor sebagai lembaga

yang paradoksal: sebagai ”K” yang represif tapi juga produktif. Tapi Yu juga membuktikan bahwa tafsir, ”t”, terhadap realitas tak bisa dimonopoli ”T”. Ia bisa menunjukkan betapa berdau latnya ”k”. Sekadar membacanya sudah merupakan sebuah laku pem-bebasan.

Tempo, 28 Oktober 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 416: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

391 Catatan Pinggir 10

SHIH

TAK mudah mengatakan apa itu keadilan, tapi tentang ke tidakadilan orang dapat mengenalinya dengan seketi-ka.

Pada senja hari 27 Februari 1947, di Taipei, Taiwan, satu regu yang dikirim Biro Monopoli Tembakau datang ke sebuah sudut ja lan yang sekarang menjadi Nanjing Barat. Mereka merampas ro kok yang dijual Lin Jiang-mai, seorang janda berusia 40 tahun, dan menyita semua uang hasil kerjanya beberapa tahun. Perem-puan itu memohon agar uang itu dikembalikan. Ketika ia menco-ba mempertahankan miliknya, salah seorang petugas menghan-tamkan gagang pistol ke kepalanya.

Para tetangga yang menyaksikan itu dengan segera menge-pung orang-orang dari Biro Monopoli Tembakau itu. Para petu-gas itu pun melarikan diri—tapi sambil menembak. Seorang te-tang ga tewas.

Esoknya, protes meledak. Kerumunan rakyat yang marah, ter utama orang-orang pribumi Formosa, mendatangi kantor Gu-bernur Jenderal Chen Yi, wakil pemerintahan Republik Cina di Tai wan semasa Partai Kuomintang berkuasa. Mereka menuntut agar para agen Biro Monopoli Tembakau yang melakukan ke-kerasan kemarin malamnya ditangkap. Tapi pasukan keaman-an menyambut mereka dengan tembakan. Korban berjatuhan— peristiwa yang kemudian akan diingat sebagai ”Insiden 228”, awal dari perlawanan yang meluas yang pertama dalam sejarah Tai wan.

Kantor pemerintahan, bahkan basis militer, direbut. Di luar Taipei, yang terjadi mirip sebuah pemberontakan. Bank dan kan-tor pos dijarah. Beberapa kelompok pembangkang merebut sen-jata dari gudang tentara di Taichung dan Pingtung.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 417: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

392 Catatan Pinggir 10

Tampak, ketakpuasan orang Taiwan terhadap pemerintahan Re publik Cina yang otoriter begitu intens dan dirasakan dalam pel bagai bentuk, dari masalah perdagangan tembakau yang di-monopoli Negara sampai dengan tak adanya pemilihan umum yang bebas dan otonomi. Tuntutan yang dimajukan ke pemerin-tah beranjak dari yang lunak sampai dengan yang paling keras.

Jawaban pemerintah Chiang Kai-shek yang waktu itu masih berpusat di Cina Daratan adalah besi dan darah. Jenderal Chen Yi menyiapkan pasukan di Provinsi Fujian. Tanggal 8 Maret 1947, pasukan itu mendarat di Taiwan dan pembersihan besar-besar-an berlangsung. Beberapa hari kemudian, 29 Maret 1947, The New York Times mengutip seorang saksi mata: selama tiga hari pa sukan Republik Cina memuaskan diri dengan membunuh—indulged in three days of killing. Para aktivis Taiwan menyatakan jumlah korban mencapai 4.000. Angka lain menyebut tak sam-pai 1.000. Tak berarti tak ada kekerasan dan penindasan—dua hal yang mudah dilupakan.

Di antara yang tak bisa melupakannya adalah seorang anak ber umur enam tahun. Hampir dua dasawarsa kemudian, anak ini jadi pelawan kekuasaan yang mengekang Taiwan: Shih Ming-te. Ia ditangkap karena ia mendirikan Liga Kemerdekaan Taiwan. Pada umur 21 tahun, ia dihukum seumur hidup, meskipun ke-mudian kurungannya diperingan jadi 15 tahun. Ia baru bebas 16 Juni 1977.

Dalam sebuah tulisannya yang saya dapat baru-baru ini— da-lam bentuk manuskrip berbahasa Inggris, selesai ditulis 22 Agus-tus 1989—ia mengisahkan bagaimana di suatu hari dalam bulan Februari 1947 itu ia menyaksikan tiga orang murid sekolah te-was oleh peluru tentara Cina yang bertahan di stasiun kereta api Kaohsiung. Seorang murid maju terus, sementara dua temannya te lah terbunuh. Baru pada saat terakhir ia juga roboh.

Kejadian itu bisa mengajarkan kepada siapa pun, terutama

SHIH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 418: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

393 Catatan Pinggir 10

Shih, tentang dua perkara.Pertama, bahwa perasaan dizalimi bisa begitu jelas, sementara

keadilan belum dirumuskan. Sebanyak 32 tuntutan dimajukan para pembangkang kepada Chiang Kai-shek; tak semuanya sela-manya tahu dan satu pengertian tentang apa itu yang ”adil”—ter-masuk tiga anak sekolah yang siap mati itu.

Kedua, bahwa tiap kali ada pelawan yang jatuh, kata Shih, ”se-barisan yang tak habis-habisnya akan menggantikannya”.

Baru saja dua tahun Shih bebas, ia mengorganisasi sebuah ra-pat besar menuntut demokrasi—yang tentu saja ditindas lagi. Itu-lah yang kemudian disebut Insiden Meilitao, 10 Desember 1979. Setelah mencoba melarikan diri, Shih ditangkap dan dihukum pen jara seumur hidup. Baru ketika rezim otoriter Kuomintang me niadakan undang-undang darurat perang, ia dibebaskan— meskipun ia menolak amnesti. Mei 1990, Shih jadi orang merde-ka setelah total seperempat abad terkurung di penjara.

Apa yang membuatnya demikian?Tulisannya, tentang dirinya sendiri, menunjukkan seseorang

yang bangga kepada keteguhan, dan di sana-sini mengikuti de-ngan senang tepuk tangan yang ia dengar memujinya. Tapi pada saat yang sama ia menemukan metafora tentang hidupnya—dan menemukannya pada tanaman dan pohon yang dibonsai yang me nemaninya selama dalam kurungan.

Ia, yang mula-mula tak menyukai sikas, akhirnya melihatnya lain: bersama dengan kaktus, kata Shih, tanaman itu sanggup ber tahan di tanah gersang, dan mereka tumbuh tegak dengan ca-ra yang anggun. Mereka ”tak malu karena tak punya tampang dan kembang yang cantik”. Mereka ”buruk dan berduri”, tapi tam paknya ”menyembunyikan banyak hal yang aneh, dan benar-be nar punya karakter dan integritas”.

Cara Shih melihatnya menunjukkan bahwa metafora adalah cermin yang dipilih manusia dari alam sekitar di dalam bahasa;

SHIH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 419: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

394 Catatan Pinggir 10

di sana ia melihat hidupnya sendiri. Dan Shih melihatnya dalam benda-benda hidup yang kecil. Agaknya ini menandakan bahwa ketika hidup yang lebih besar—hidup dengan keadilan—tak se-lamanya bisa dijelaskan, selalu ada sejenak-sejenak di mana ke-adilan yang selalu mengelak itu terasa hadir dan makin berarti.

Dengan kata lain, walau keadilan tak pernah total dan leng-kap, ia bisa, dari momen ke momen, bersama hidup yang memper-juangkannya.

Tempo, 4 November 2012

SHIH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 420: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

395 Catatan Pinggir 10

MEKAH

BETAPA berubahnya Mekah. Duduk di salah satu sudut Mas jidil Haram ketika matahari meredakan panasnya, ki ta bisa merasakan bayang-bayang sebuah bangunan

yang menjangkau langit dari arah selatan.Memang: di seberang gerbang Baginda Abdul Aziz, berdiri se-

buah super-gedung (baru diresmikan Agustus tahun ini), yang di sebut Abraj al-Bait. Raksasa ini lebih dari 600 meter tingginya: menara waktu yang paling jangkung sedunia. Empat muka jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London, meskipun mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-ma sing 46 meter, dengan jarum panjang yang melintang 22 me-ter. Dan berbeda dengan Big Ben, di jidatnya yang diterangi dua juta lampu LED tertulis ” , Allahu Akbar”.

Di Abraj al-Bait ada 20 lantai pusat belanja dan sebuah hotel de ngan 800 kamar. Juga tempat tinggal. Garasinya bisa menam-pung 1.000 mobil. Tapi para tamu dan penghuni juga bisa datang dengan helikopter (ada lapangan untuk menampung dua pesa-wat), karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu me-nyewa, atau memiliki, kendaraan terbang itu. Ongkos semalam di salah satu kamar di Makkah Clock Royal Tower bisa mencapai 7.000.000 rupiah.

Dari ruang yang disejukkan AC itu orang-orang dengan duit ber limpah bisa memandang ke bawah—ya, jauh ke bawah—meng amati ribuan muslim yang bertawaf mengelilingi Ka’bah bagai semut yang berputar mengitari sekerat cokelat.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dari posisi itu akan ada orang yang bisa menulis seperti Hamka di tahun 1938. Apa ki-ni artinya ”di bawah lindungan Ka’bah”? Justru kubus sederhana tapi penuh aura itu yang sekarang seakan-akan dilindungi ge-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 421: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

396 Catatan Pinggir 10

dung-gedung jangkung, terutama Abraj al-Bait yang begitu me-gah dan gemerlap—dengan 21.000 lampunya yang memancar sam pai sejauh 30 kilometer dan membuat rembulan di langit pun mungkin tersisih.

Betapa berubahnya Mekah. Atau jangan-jangan malah ber-akhir. ”It is the end of Mecca,” kata Irfan al-Alawi, Direktur Pelak-sana Islamic Heritage Research Foundation di London, kepada The Guardian. Nada suaranya murung seperti juga suara Sami Angawi.

Hampir 40 tahun yang lalu arsitek ini mendirikan Pusat Pene-litian Ibadah Haji di Jeddah. Dengan masygul ia menyaksikan transformasi Mekah berlangsung di bawah kuasa para pengusaha properti dan pengembang. ”Mereka ubah tempat ziarah suci ini ja di mesin, sebuah kota tanpa identitas, tanpa peninggalan seja-rah, tanpa kebudayaan, dan tanpa lingkungan alam. Bahkan me-re ka renggut gunung dan bukit.”

Angawi, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin tak mau tahu hukum permintaan dan penawaran: jumlah orang yang pergi haji makin lama makin naik; kalkulasi masa depan men desak. Mekah harus siap. Tapi Angawi justru melihat di situ-lah perkaranya. Ia menyaksikan ”lapisan-lapisan sejarah” Mekah dibuldoser dan dijadikan lapangan parkir.

Akhirnya ia, yang lahir di Mekah, menetap di Jeddah, di ru-mah pribadinya yang didesain dengan gaya tradisional Hijaz. Ke-tika Abraj al-Bait dibangun seperti Big Ben yang digembrotkan (”Meniru seperti monyet,” kata Angawi), ia merasa kalah total. Ia lebih suka tinggal di Kairo.

Tapi bisakah transformasi Mekah dicegah? Kapitalisme mem-buat sebuah kota seperti seonggok besi yang meleleh, untuk ke-mudian dituangkan dalam cetakan yang itu-itu juga. Dengan ca tatan: dalam hal Mekah, bukan hanya karena ”komersialisasi Baitullah” kota suci itu hilang sifat uniknya. Angawi menyebut

MEKAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 422: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

397 Catatan Pinggir 10

sa tu faktor tambahan yang khas Arab Saudi: paham Wahabi.Wahabisme, kata Angawi, adalah kekuatan di belakang di-

hancurkannya sisa-sisa masa lalu. Dalam catatannya, selama 50 ta hun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan. Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang jadi ”syirik” bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap su ci segala bekas yang ditinggalkan Rasulullah—dan sebab itu ha rus disembah.

Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah itu secara konsisten. April 1925, di Madinah, kubah di makam Al-Baqi’ diruntuhkan. Beberapa bagian kasidah karya Al-Busiri (1211–1294) yang diukir di makam Nabi sebagai himne puja an ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca. Di Mekah, ma-kam Khadijah, istri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di ma na rumahnya dulu berdiri dijadikan kakus umum.

Contoh lain bisa berderet, juga protes terhadap tindakan pe-ngu asa Wahabi itu. Di awal 1926, di Indonesia berdiri ”Komite Hijaz” di kediaman KH Abdul Wahab Chasbullah di Surabaya, ekspresi keprihatinan para ulama.

Reaksi dari seluruh dunia Islam itu berhasil menghentikan des truksi itu. Tapi kini, di abad ke-21, Wahabisme dan kapitalis-me bertaut, dan Mekah berubah.

Mengherankan sebenarnya. Di sebuah tulisan dari tahun 1940 Bung Karno mengutip buku Julius Abdulkerim Germanus, Allah Akbar, Im Banne des Islams. Dari sana Bung Karno meng-gambarkan kaum Wahabi sebagai orang-orang yang dengan ke-ras dan angker mencurigai ”kemodernan”; mereka bahkan mem-bongkar antena radio dan menolak lampu listrik. Tapi kini, se-perti tampak di kemegahan Abraj al-Bait, bukan hanya lampu lis trik yang diterima, tapi juga transformasi Mekah jadi semacam London & Las Vegas. Apa yang terjadi?

Mungkin sikap dasar Wahabisme tak berubah. Menghapus-

MEKAH

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 423: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

398 Catatan Pinggir 10

MEKAH

kan petilasan (menidakkan masa lalu), sebagaimana menampik ”kemodernan” (menidakkan masa depan), adalah sikap yang an-ti-Waktu. Jam besar di Abraj al-Bait itu akhirnya hanya menjadi-kan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati. Dan bagi yang meng-anggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah tanpa proses sejarah.

Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam?

Mungkin piknik instan ke kemewahan.

Tempo, 11 November 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 424: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

399 Catatan Pinggir 10

SURABAYA

PADA suatu hari, beberapa puluh tahun yang lalu, ketika saya masih di sekolah dasar, kepala sekolah kami yang ba-ru memperingati hari 10 November dengan kekhidmat-

an istimewa. Pak Sumadi berdiri di atas sebuah bangku. Para gu-ru dan murid berkeliling mendengarkannya di halaman belakang gedung yang dulu gudang seorang saudagar Tionghoa.

Di panggung itu ia tak berpetuah tentang patriotisme dan he-roisme; ia hanya bercerita tentang pengalamannya sendiri di Su-ra baya di hari pertempuran besar itu. Suaranya tak keras, tapi me-mukau.

Ia bercerita tentang rasa cemas yang dirasakannya dan dirasa-kan para pemuda segenerasinya, bahwa Republik yang belum lagi ber umur empat bulan itu akan dijajah kembali. Ia bercerita ten-tang keputusannya meninggalkan orang tuanya di Semarang dan berangkat ke Surabaya tanpa ada harapan pulang. Ia ber gabung dengan ribuan pemuda yang datang dari pelbagai pelo sok Repub-lik, bersiap di sudut-sudut kampung Surabaya. Ia bercerita ten-tang pertempuran yang tak seimbang, tapi dijalani de ngan se te-ngah nekat. Ia gambarkan ketakutannya menjelang tembakan per tama dan apa yang kemudian terjadi setelah ketakutan itu ra ib oleh api pertempuran. Dua temannya tewas setelah merobohkan tiga tentara Gurkha; seorang lagi menabrakkan diri dengan gra-nat ke sebuah tank Inggris.

Ceritanya tanpa kesimpulan. Upacara itu diakhiri dengan pa-duan suara 20 murid yang membawakan beberapa lagu; salah sa-tunya menyeru ke tanah air yang dipertahankan di Surabaya itu: ”bumimu suci, angkasa kudus”—negeri yang membuat kami, pemuda, ”dahaga” akan bakti.

Saya lihat Pak Sumadi menghapus air matanya.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 425: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

400 Catatan Pinggir 10

Lalu upacara bubar dan kami kembali ke kelas. Seperti biasa. Tapi mungkin pelan-pelan yang kami dengar hari itu menyadar-kan kami akan arti Indonesia yang merdeka. Dinding kelas kami yang dari kayu kasar itu dihiasi gambar yang dikirim Kementeri-an Pendidikan tentang tanah air yang sedang dibangun: Bandar yang sibuk, stasiun kereta api yang besar, murid-murid sekolah yang rapi dan bergembira.

Dengan cara itu kami diperkenalkan kepada kematian dan ke-lahiran kembali, pengorbanan dan harapan. Kami tak disiapkan untuk menghadapi sinisme.

Mungkin itu sebabnya perut saya terasa agak terpilin ketika per tama kali membaca Surabaya, satu dasawarsa setelah cetakan pertamanya di tahun 1947. Karya Idroes ini sebuah mozaik kesan dan kesimpulan sang penulis tentang hari-hari gegap-gempita di sekitar 10 November 1945.

Selintas, Surabaya merekam keadaan itu: suasana yang tak me-nentu, tegang, dan ganas. Keberanian dan cinta tanah air meng-gila. Keyakinan lama roboh. Paragraf awal prosa 64 halaman ini mengejutkan karena sarkasmenya menusuk, dengan kiasan yang segar meski tak selalu tepat, tentang situasi kejiwaan saat itu:

Keberanian timbulnya sekonyong-konyong seperti ular dari belukar. Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap bir.

Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya lagi ke-pada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam: bom, mi-tralyur, mortir.

Setelah itu, cerita pertempuran Surabaya yang mati-matian itu ditampilkan Idroes sebagai film kelas B, antara ”cowboy” dan ”bandit”. Pasukan Gurkha Inggris yang ”hitam-hitam seperti ke-

SURABAYA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 426: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

401 Catatan Pinggir 10

pala kereta api” mendarat di Surabaya. Segera mereka mengha-dapi para ”cowboy”—pemuda Indonesia yang bersenjata. Bagi ”cowboy”, tentara Gurkha itu ”bandit-bandit yang dibiarkan lepas dan berkuasa”.

Di tengah jalan cowboy-cowboy ditahan oleh bandit-bandit dan diha-ruskan menyerahkan senjatanya. Bandit-bandit berteriak, sam bil meng-acung kan bayonetnya: ”Jiwamu atau senjatamu!”

Cowboy-cowboy tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau mem berikan senjatanya. Mereka berteriak: ambillah jiwa ka mi!—dan pa da waktu berteriak itu mereka mulai menembak. Bandit-bandit pun me nembak dan pertempuran seru terjadi.

Dengan setengah melucu, bagian cerita ini sebenarnya masih menyiratkan bagaimana para pemuda Indonesia dengan berani mempertahankan harga diri mereka. Tapi Idroes tak banyak me-ngisahkan harga diri dan ”pertempuran seru”. Perang hanya di-tam pilkannya dalam garis besar. Detail lebih tampak ketika ia meng gambarkan tempat perempuan-perempuan mengungsi.

Mungkin karena ia hanya tahu sedikit. Waktu itu, dalam usia 24, ia tak turut di garis depan; ia jadi wartawan surat kabar Ber-djoe ang di Malang. Dan sebagai wartawan, ia mengambil jarak: ia tak memihak.

Tapi sebenarnya prosanya memihak: memilih sikap yang tak percaya ada pahlawan di hari itu. Catatannya adalah bersit si nis-me yang menertawai manusia sebagai makhluk yang berpose. Hu mornya muram. Surabaya seakan-akan gema dari kalimat ter-kenal dalam Galileo karya Brecht: ”Tak berbahagia negeri yang memerlukan pahlawan.”

Tapi saya ingat Pak Sumadi. Mungkin ”pahlawan” hanya kon-struksi politik di negeri yang ingin menghalalkan sebuah sejarah. Pada akhirnya ia memang tokoh ”kekal” yang dipoles. Tapi tin-

SURABAYA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 427: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

402 Catatan Pinggir 10

dakan Pak Sumadi dan teman-temannya tak bisa hanya dilihat sebagai pose. Laku mereka menunjukkan, tindakan yang heroik bisa terjadi: kerelaan jadi tumbal buat orang banyak.

Beda antara hero dan laku heroik itu yang tak tampak oleh Idroes. Mungkin ia tak pernah mengalaminya. Yang ia lihat so-sok- sosok borjuis kecil yang repot dengan keselamatan dan milik. Tilikannya pun terbiasa dengan manusia yang tak luar biasa dan agak menjengkelkan. Hegel akan menganggapnya tatapan ”ka-cung psikologis”, psychologischen Kammerdiener: orang yang tak kenal kepahlawanan karena ia memang hanya kacung.

Tempo, 18 November 2012

SURABAYA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 428: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

403 Catatan Pinggir 10

LANTAI

ADA sebuah teori tentang lantai.Dalam teori ini, ada beda antara orang Eropa dan orang Amerika dalam hal memberi angka lantai sebuah ge-

dung. Di Eropa, lantai paling bawah—yang setinggi jalan—di-beri angka nol; artinya, lantai yang di atasnya itu yang disebut ”lantai satu”. Sementara itu di Amerika Serikat, lantai satu adalah yang terletak setinggi jalan.

Perbedaan ini ”menunjukkan sebuah jurang ideologis yang men dalam”, kata yang empunya teori. Orang Eropa sadar, ka ta-nya, bahwa sebelum hitungan dimulai—sebelum keputusan dan pi lihan dibuat—harus ada dasar: sebuah lapisan yang sudah ter-bentuk jauh-jauh hari dan sebab itu tidak perlu lagi dihitung; ia disebut ”0”. Sementara itu di Amerika Serikat, ”negeri yang tanpa tradisi sejarah yang sepatutnya”, seseorang dapat langsung mulai bertindak dengan bebas—dan kebebasan itu disahkan oleh diri-nya sendiri. Tidak ada kaitannya dengan dasar apa pun. Tak ada masa lalu.

Sebuah teori yang menarik—dan terlampau pintar. Yang me-nge mukakannya Slavoj Žižek, pemikir Slovenia yang terkenal ke ma na-mana itu, yang sangat banyak menulis, sangat cemerlang, sangat polemis, dan sangat menjengkelkan berhubung dengan se-mua sifat tadi. Dan tak selamanya meyakinkan. Kali ini Žižek ber bicara tentang pemilihan Presiden Amerika 2012 di harian Ing gris, The Guardian, beberapa hari setelah Obama dipilih buat ke dua kalinya. Kali ini ia ingin menunjukkan bahwa ”ideologi” konservatif Amerika telah mulai dijebol oleh Obama—tak secara radikal, tapi lumayan mengguncangkan. Program penyediaan la-yanan kesehatan oleh Negara—healthcare yang dijuluki Obama-care—telah ”menyentuh satu saraf di inti bangunan ideologi

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 429: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

404 Catatan Pinggir 10

Ame rika: kemerdekaan memilih”.Dalam pandangan Žižek, Amerika harus belajar bahwa di ba-

wah ”ideologi” yang mengutamakan ”kemerdekaan memilih” itu, ada dasar yang harus diperhitungkan. ”Kemerdekaan memi-lih,” kata Žižek, ”hanya berfungsi bila ada satu jaringan yang kom pleks yang menghubungkan kondisi legal, pendidikan, ethis, ekonomis, dan lainnya.” Semua itu hadir sebagai ”latar yang tak tam pak bagi pelaksanaan kemerdekaan kita”.

Tentu saja. Žižek hanya mengemukakan sesuatu yang begitu je las kebenarannya hingga tak perlu dikemukakan lagi: tak ada ke merdekaan yang berada dalam ruang vakum. Tak ada kemer-de kaan yang lahir dan jadi sah karena dirinya sendiri. Žižek juga hanya mengulang persangkaan lama orang Eropa terhadap orang Amerika. Bangsa yang lahir di abad ke-18 ini dianggap tak punya ”tradisi sejarah yang sepatutnya”.

Tapi apa sebenarnya tradisi yang ”sepatutnya”? Sesuatu yang tak pernah ada. Atau sesuatu yang tergantung. Žižek tak men je-las kan, mungkin karena ia tak melihat bahwa tiap tradisi, sebagai bagian dari sejarah, adalah sesuatu yang diputuskan untuk ada tiap kali dibutuhkan. Ia bisa jadi sesuatu yang ”sepatutnya” keti-ka sikap terhadapnya mengeras, terutama untuk memegangnya erat-erat. Dan itulah yang sebenarnya dilakukan orang Amerika da lam meneriakkan ”kemerdekaan memilih”.

Ketika mereka tak mau melepaskan hak memegang senjata api, misalnya, mereka tak melihat ”ideologi” itu berangkat cuma dari lantai satu yang tanpa dasar. Akan mereka ingatkan bahwa Amerika dibangun orang-orang yang mempersenjatai diri: kaum patriot yang melawan kekuasaan Inggris, para pendekar dari The Wild, Wild West, penghuni kota besar seperti New York yang per-nah dibayangkan penyair Subagio Sastrowardoyo dalam sebuah sajak di tahun 1960-an: kota di mana tiap orang jadi polisi sendiri.

Bertolak dari sejarah pula, lahir gerakan yang menyebut diri

LANTAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 430: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

405 Catatan Pinggir 10

”Tea Party”—yang ingin peran Negara yang terbatas, dan sebab itu tak ingin memberikan pajak untuk membiayai langkah Nega-ra yang bagi mereka berlebihan. Dengan nama itu mereka hen-dak menghidupkan apa yang dilakukan penduduk Boston dahu-lu kala sebelum Amerika jadi republik: menolak pajak yang dite-rap kan pemerintah kolonial Inggris yang menguasai kehidupan mereka.

Dengan mengacu ke masa lalu itu konservatisme berkembang dalam politik Amerika, terutama dalam Partai Republik: sikap yang hendak merawat apa yang kelihatan cantik di waktu dahu-lu, pandangan yang hendak menghormati yang tersimpan sebe-lum lantai pertama bangunan politik. Russell Baker dalam The New York Review of Books menggambarkannya dengan tepat dan tajam: ”Partai Republik telah memperkerdil diri menjadi sebuah partai reaksioner yang marah kepada dunia modern.”

Dan itulah yang membuat partai itu kalah. Kemarahan kepa-da dunia modern adalah kemarahan kepada perubahan yang ma-kin cepat. Dengan kata lain, kepada sesuatu yang tak terelakkan. Gerakan ”Tea Party” didukung oleh orang Amerika yang seakan-akan lahir dari gambar-gambar Norman Rockwell dalam maja-lah Saturday Evening Post tahun 1950-an: laki-laki berkulit putih, setengah baya, kelas menengah, tidak miskin.

Tapi kini tahun 2012. Demografi Amerika berganti rupa: ma-kin beragam, makin banyak orang Latino, makin menajam kon-tras antara miskin dan kaya. Gentar kepada dunia yang seperti itu—yang tak terelakkan—konservatisme pun mengeras. Ke-murnian ideologis pun didesakkan, seperti lazimnya ketika sebu-ah paham tengah terkepung: ada rasa takut kalau tercampur un-sur ”lain”.

Tapi di zaman campur-aduk kini, tiap usaha pemurnian jus-tru akan membawa ke keterpencilan. Dan tiap keterpencilan akan melihat ke bawah, ke lantai nol—lantai yang menandai du-

LANTAI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 431: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

406 Catatan Pinggir 10

LANTAI

nia yang telah hilang atau, kalau tidak, menandai dunia tempat ki ta bisa mengurung diri. Konservatisme adalah nostalgia. Kon-servatisme adalah kecemasan.

Tempo, 25 November 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 432: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

407 Catatan Pinggir 10

HALIMA

HALIMA, seorang janda dengan sembilan anak yatim, ber diri telanjang kaki di tengah hujan. Nama lengkap-nya Halima al-Hadhalin. Ia perempuan Palestina yang

tinggal di wilayah sangat melarat di Umm al-Kheir yang berde-kat an dengan Carmel, tempat pemukiman Yahudi di bukit-bukit Hebron selatan. Nasib perempuan itu tak menentu lagi. Beberapa bu lan sebelumnya pemerintah sipil Israel mengirim buldoser, yang dikawal tentara, untuk menghancurkan gubuknya. Alasan: te ratak itu dibangun tanpa izin.

Mungkin benar. Tapi akankah Halima diberi izin andai pro-se dur itu ditempuh? Hampir pasti tidak.

David Shulman, wartawan Israel yang menemui Halima hari itu —dan mengisahkan nasibnya dalam sebuah tulisan yang ta-jam di The New York Review of Books 7 Juni yang lalu—menyim-pulkan bahwa ”apa yang terjadi di wilayah [pendudukan] itu bu-kan pelanggaran sewaktu-waktu saja terhadap hak asasi, sesu atu yang dapat dikoreksi dengan langkah ad hoc dan kecil-kecilan...”. Apa yang dialami Halima adalah indikasi bahwa pendudukan Is-rael, dalam kata-kata Shulman, bersifat ”sistematik” dalam segala ar ti. Logika yang mendasarinya gamblang: untuk ”melindungi permukiman [Yahudi] dan mengambil alih tanah”.

Dengan itu, pemerintah Israel menggertak dan menggerogoti penduduk Palestina di tanah mereka sendiri—agar mereka mau hengkang.

Shulman pun bercerita tentang sebuah proyek pelistrikan dan pem bangunan prasarana energi yang mempertautkan sekitar 16 khir beh Palestina juga di Hebron. Para penggembala dan petani gu rem di wilayah ini hidup dalam gua, tenda, dan dangau. Ke-ada an hidup mereka tak selayaknya hidup manusia. Menyaksikan

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 433: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

408 Catatan Pinggir 10

itu, sejumlah aktivis perdamaian Israel seperti Noam Dotan dan El’ad Orian dari organisasi yang dikenal dengan nama Comet- Me membangun turbin dan infrastruktur listrik buat desa-desa ber penduduk 1.500 itu.

Tapi usaha yang dikerjakan dengan susah payah ini tak dibiar-kan berkembang. Proyek Comet-Me beberapa saat memang ber-hasil memperbaiki hidup orang Palestina yang tersudut itu. Na-mun segera ia dihabisi pemerintah Israel. Prasarana itu dirusak dan dihancurkan. Untung pemerintah Jerman, yang ikut menda-nai proyek itu, memprotes. Destruksi buat sementara dihentikan. Tapi sampai kapan?

Tulisan Shulman muram. Di satu saat ia menganjurkan ber ge-raknya makin banyak relawan untuk melindungi warga sipil Pa-les tina dari pemukim [Yahudi] yang berdatangan untuk merebut ta nah dengan dukungan tentara. Biarpun hanya beberapa ratus orang yang berani melawan para pemukim itu, menurut Shul-man, perubahan yang berarti bisa terjadi. Tapi segera dalam kali-mat berikutnya ia menulis: ”Namun mungkin itu sudah terlam-bat.”

Ia melihat Israel sedang bergerak ke arah sebuah bangunan yang keji: sebuah ”etnokrasi”, sebuah kekuasaan yang didirikan sa tu golongan etnis untuk menguasai golongan etnis lain. Shul-man melihat analoginya dengan sistem yang dulu berlaku di Af-rika Selatan, ketika sebuah rezim kulit putih menindas orang-orang yang warna kulitnya berbeda dan tiap perlawanan dibekuk; kita ingat bagaimana Mandela dipenjarakan bertahun-tahun.

Bahwa Shulman, seorang Yahudi, menyebut dengan jelas ke-cenderungan ini—yang dulu pernah dianggap tak benar oleh pa-ra pembela Israel—menunjukkan bahwa keadaan memang ma-kin merisaukan. Merisaukan, apabila kita, sebagaimana Shul-man, masih setia kepada apa yang pada mulanya menggerakkan politik.

HALIMA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 434: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

409 Catatan Pinggir 10

Politik bermula ketika manusia menemukan dirinya berada ber sama orang lain. Hubungan sosial tak bisa dielakkan. Ada yang mengatakan hubungan itu bercirikan antagonisme; ada yang sebaliknya mengatakan bahwa cirinya adalah solidaritas. Tapi sebenarnya tak ada sifat yang pasti dan permanen. Yang bisa dikatakan, pada akhirnya politik akan gagal jika arahnya untuk me niadakan liyan—sebab pada liyan, yang di luarku, yang berbe-da dariku, ada sesuatu yang bisa kuajak dan mengajakku.

Itu sebabnya perdamaian bukan hal yang mustahil. Itu pula sebabnya empati bisa terjadi—dan dalam hujan di bukit Hebron itu, Shulman tersentuh Halima.

Dan ia risau. Dan kita risau. Karena ada yang dilupakan. Pe-nyair Palestina Mahmoud Darwish menulis sebuah sajak, mung-kin buat seorang prajurit Israel, untuk mengingatkan:

Jika pernah kau renungkan wajah korban itu,dan telah kau pikir sepenuhnya, kau akan ingat ibumudi kamar gas, dan kau akan dibebaskan dari alasanuntuk bersenjata

Kamar gas Hitler membunuh ribuan orang tak berdaya dari ge nerasi sebelum kelahiran negara dan tentara Israel; kita ingat ba gaimana, untuk menegakkan ”etnokrasi”, Nazi Jerman meng-habisi nyawa gadis remaja Anne Frank. Halima memang tak se-perti warga Yahudi Belanda yang terkurung sebelum dimatikan. Tapi hidupnya juga terkepung dalam perjalanan ke kematian pe-lan pelan—bersama sembilan anak yatim yang terancam lapar, sakit, dan bukan mustahil juga bom.

Sesuatu yang menggerakkan politik menggerakkan kita un-tuk ingat ibu di kamar gas itu dan Halima di Umm al-Kheir—ya, siapa pun yang tertindas, dari mana pun asalnya, apa pun iman-nya. Sesuatu yang menggerakkan politik sanggup memanggil, se-

HALIMA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 435: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

410 Catatan Pinggir 10

perti sajak lain Mahmoud Darwish ini:

Kau yang berdiri di ambang, masuklah.Minumlah kopi Arab ini bersama kami.Dan kau akan rasakan bahwa kau juga manusiaseperti kami.

Tapi di Palestina, di Israel, politik akhirnya terenggut dari apa yang semula menggerakkan dirinya. Seperti banyak hal dalam riwayat manusia, politik sibuk memisah-misahkan—bahkan mem beri orang alasan untuk bersenjata.

Tempo, 2 Desember 2012

HALIMA

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 436: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

411 Catatan Pinggir 10

THEOKRASI

kelaparan adalah iblis kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran—Rendra

KELAPARAN adalah iblis, tapi ia tak datang sendirian. Ada suatu saat ketika kediktatoran dan kelaparan ber ka-it dan sekitar 30 juta manusia mati dalam wak tu bebe-

rapa belas bulan saja. Itu tahun 1958 dan 1960, di Cina: masa Sānnian da jīhuāng tahun-tahun ”kelaparan yang dahsyat”.

Beberapa hari yang lalu, di Guangzhou, saya bertemu dengan se orang seniman-aktivis yang menunjukkan satu tulisan tentang ma sa itu, oleh Yang Jisheng, yang kemudian dimuat dalam versi Ing gris di The New York Times 13 November. Kalimat awalnya: ”36 juta orang mati di Cina, termasuk pamanku, yang membesar-kan ku sebagai seorang ayah; mereka terhantar kelaparan sam pai meninggal antara 1958 dan 1960....”

Seniman-aktivis di Guangzhou itu bercerita bahwa Yang Ji-sheng adalah orang Cina pertama yang menggali data sejarah yang tragis (dan brutal) itu. Dulu Yang repor ter yang beriman se tia kepada Partai Komunis. Tapi ketika para mahasiswa yang mem protes ditindas de ngan kekerasan di Lapangan Tiananmen pa da 1989, ia berubah. ”Darah anak-anak muda itu membersih-kan otakku dari semua dusta yang aku terima selama puluhan ta-hun.”

Dan ia ke Xinjiang. Ia pernah mendengar yang di sebut ”Insi-den Xinjiang”, dan ia ingin tahu lebih jauh. Lalu ia menemukan ce rita untuk bukunya, Mubei: Zhongguo liushi niandai dajihuang jiushi (Nisan: Seja rah yang sebenarnya tentang Kelaparan Besar di Cina tahun 1960). Bab awalnya menggambarkan yang terjadi

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 437: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

412 Catatan Pinggir 10

di wila yah itu. Satu dari delapan orang mati kekurangan makan. Orang berjatuhan tanpa nyawa di tepi-tepi jalan, putus asa di ma-na-mana, anggota keluarga memakan satu sama lain dalam kani-ba lisme yang menakutkan. Rakyat tak punya jalan keluar. Polisi mencegah orang pergi mengungsi.

Seniman Ghougzhou itu mengutip sebuah ilustrasi kecil (tapi bu kan dari buku Yang) yang ia baca—sebuah laporan yang lugas dan faktual:

Tanggal: Februari 1960. Tempat: Desa Zhangzigou di komune Hanji. Nama pelanggar hukum: Yi Wucheng. Status: Petani miskin. Jumlah kor-ban: Empat. Kejahatan: Membakar jasad para korban dan memakan da-ging mereka. Alasan: Untuk bisa hidup.

Hasil reportase Yang Jisheng sendiri impresif, meskipun saya tak mengerti bahasanya: terdiri atas dua jilid dan 1.800 halaman le bih. Yang bisa membacanya mengatakan buku itu, seperti ba-nyak karya Cina lain, tak mengalami proses penyuntingan. Penu-lisannya seperti air bah yang menerabas bendungan. Tapi se jak ter bit pada 2008, Mubei tak ayal jadi bacaan para cendekiawan—meskipun dilarang beredar di Cina, dicetak di Hong Kong dan ma suk ke Guangzhou dengan sembunyi-sembunyi. Kebe tulan dua bulan sebelumnya saya memperoleh versi Inggrisnya,

Tombstone: The Great Chinese Famine, 1958-1962, terbitan Farrar, Straus and Giroux. Sebuah versi pendek: tapi tetap 629 ha laman.

Yang Jisheng memang yang memulai keberanian membongkar apa yang disebutnya ”aib besar Cina” itu. Dengan jelas ia me nun-juk kan siapa yang harus disalahkan: Mao Zedong, pemim pin be-sar RRC itu, orang-orang dekatnya, dan kekuasaan Partai Komu-nis. Sebab pada mulanya adalah sebuah impian moderni sasi yang tergesa-gesa.

THEOKRASI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 438: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

413 Catatan Pinggir 10

Empat puluh tahun yang lalu, soal ini telah dipaparkan dalam Mao and China Stanley Karnow: pada 1957 Mao memutuskan, se luruh rakyat Cina harus membangun dengan bergegas untuk mencapai tingkat industrialisasi yang melebihi Inggris. Mula-mu la jangka waktu yang jadi patokan 15 tahun. Tapi setahun ke-mudian, Mao menyatakan, Cina harus dapat mengalahkan Ing-gris hanya dalam tempo 12 bulan.

Da yuejin, ”Besar ke Depan”, itu adalah optimisme sebuah se-ma ngat, tanpa disertai skeptisisme pikiran. ”Aku telah saksikan energi yang gemuruh dari massa rakyat,” kata Mao. ”Atas dasar ini tugas apa pun akan dapat dilaksanakan.”

Dan anggaran industrialisasi dinaikkan. Dan tanah, yang di awal Revolusi dibagikan ke para petani, diam bil Negara dijadikan pertanian kolektif. Jutaan manu sia dikerahkan menyumbang kan tenaga untuk berdi rinya pabrik-pabrik baja—juga dengan mem-buat ”tanur” di pekarangan dan melebur besi apa pun yang mere-ka temukan. Hampir semua dimobilisasi buat ikhtiar ini, hing-ga produksi pertanian terabaikan. Pa nen gagal di mana-mana. Kekurangan makan mulai, dan kelaparan meluas. Sementara Yang Jisheng mem perkirakan 36 juta yang mati, sejarawan lain menghi tung ada 45 juta. Para pembesar Partai tak mau meng akui itu. Mereka bikin laporan yang bengkok. Mao mengiyakan bah-wa yang terjadi adalah akibat ”bencana alam”.

Tak ada yang berani membantah. Mao tak pernah salah. Di ka langan para pemimpin Partai, mereka yang mempersoalkan ide nya disingkirkan. Di lapis bawah, misalnya di Xinyang, tin-dak an lebih brutal. Para peragu direnggutkan rambutnya dan di-pukuli berhari-hari sampai mati. Ada yang digantung dan diba-kar. Orang takut akan disebut tak bersemangat jika tak menyiksa para pendosa secara berlebihan.

Yang Jisheng menyebut sistem yang fanatik itu ”theokrasi se-ku ler”, sebuah istilah yang aneh tapi menunjukkan satu hal: se per-

THEOKRASI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 439: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

414 Catatan Pinggir 10

ti dalam theokrasi lain, pusat kekuasaan adalah pusat kebenar an. Yang mahakuasa, Mao, berada di atas ukuran kebaikan dan ke-ke jian—dan lakunya, bahkan yang menimbulkan keseng saraan, tak perlu dipahami, tapi selalu diberi apologi.

Maka siapa yang merasa dekat dengan dia, atau ingin dekat de-ngan dia, juga akan meletakkan diri di atas ukuran kebaikan dan kekejian—dan menghalalkan diri sendiri. Mereka bisa menyik-sa, membiarkan orang banyak mati, atau berkorban habis-habis-an. Theokrasi akhirnya membinasakan manusia—bisa sampai 36 juta kor bannya—dengan mematikan pikiran dan pertimbangan ethis sesama.

Tempo, 9 Desember 2012

THEOKRASI

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 440: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

415 Catatan Pinggir 10

RUSHDIE

HARI itu Selasa yang cerah di London, persisnya 14 Feb-ruari 1989, Valentine’s Day, dan Salman Rushdie mene-ri ma telepon dari seorang wartawan BBC. ”Ba gaimana

ra sanya mengetahui bahwa Anda dijatuhi hukuman mati Ayatul-lah Khomeini?”

”Tidak enak,” ia menjawab. Tapi di dalam hati ia tahu: ”Aku ma ti.” I am a dead man. Ia tutup teleponnya, ia tutup daun jende-la, ia kunci pintu depan.

Sejak itulah, setahun setelah novelnya, The Satanic Verses, terbit dan dikutuk para pemuka Islam sedunia, Rushdie bersembu nyi. La manya sembilan tahun—sebuah pengalaman yang kini ia tu-liskan dalam Joseph Anton, sebuah memoar. Rushdie menco ba me nyusun kembali ingatannya tentang ketakutan hampir seda-sa warsa itu, ketika ia harus berpindah dari rumah ke rumah, me-nyadari bahwa fatwa Khomeini—agar ia dibunuh muslim di ma-na saja—bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Selama sembilan ta-hun itu pula ia, warga negara Inggris, dijaga siang-malam oleh pa-sukan khusus Kepolisian Metropolitan. Selama itu pula ia harus pa kai identitas lain. Ia pilih nama ”Joseph Anton”, kombinasi da-ri Joseph Conrad dan Anton Chekhov, dua sastrawan favoritnya. Rush die jadi ”diri” yang baru.

Itu sebabnya di memoar ini ia tak memakai ”aku”, melainkan ”ia”. Seperti berbicara tentang orang lain. Sebab apakah dirinya, sebenarnya? Bukan se buah ”aku” yang permanen, bukan sebu ah ”aku” yang transparan dan selesai dirangkum. Ia bukan lagi ”Sal-man” sebagaimana ia bagi teman-teman nya, melainkan ”Rush-die” penulis The Satanic Verses. Bahkan ia berubah, bukan seba-gai penulis no vel dengan judul itu, menjadi sebagai sang penulis ”ayat-ayat setan”. Ia dianggap sekretaris Iblis.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 441: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

416 Catatan Pinggir 10

Ada yang mengatakan, Joseph Anton menun jukkan, ia bukan hanya seorang penulis fiksi yang menemukan dan menciptakan to koh agar bisa hidup dan kemudian ”meng ubah dirinya jadi se-ma cam tokoh fiksi juga”. Tapi justru sebalik nya, Rushdie adalah con toh bahwa seperti umumnya pengarang ia tak pernah mene-mu-ciptakan, to invent, tokohnya sendirian, apalagi menciptakan dirinya sendiri. Seperti Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha da lam novelnya, Salman dan Rushdie ada lah nama yang diberi-kan orang lain. Sosoknya juga hasil tafsiran orang lain—tafsir yang bisa berubah dan berbeda-beda.

Sekali lagi, tak ada ”aku” yang total transparan. Tak ada (tak per lu ada) ”ia” sebagaimana adanya. Ketika orang membakar po-tret nya dalam demonstrasi, kian tak jelas apa dan siapa Salman Rushdie yang sebenarnya. Yang ada hanya ”sebuah rupaan, se-buah ketidakhadiran”, an effigy, an absence.

Sebagai rupaan, sebagai ketidakhadiran, ia bisa dicitrakan tak ha nya satu. Joseph Anton adalah kisah seseorang yang tajam me-na tap diri dan cacatnya sendiri, tapi juga seseorang yang melam-bungkan ego. Mungkin karena tiap kisah hidup, sebagaimana ti ap novel, tak hadir dalam ruang vakum: selalu ada orang lain yang menatap, diharapkan bertepuk atau marah. Karena hasrat dan trauma mereka. Karena sejarah mereka.

Rushdie sendiri pernah mengatakan bagaimana kuatnya seja-rah berperan dalam sikap kita menghadapi dunia (dan karya sas-tra). ”Kita semua terkena radiasi sejarah, kita adalah radioaktif dengan sejarah dan politik.” Kita hidup di dunia yang ”tanpa su-dut yang senyap”. Dan tak ada jalan mudah buat melarikan diri dari kegaduhan itu: perbantahan yang tak selalu menyenang kan, adu kekuatan terus-menerus untuk memperoleh posisi yang me-nentukan.

Itu juga yang terjadi dalam riwayat The Satanic Verses. Sebagai novel yang lebih banyak dihebohkan ketimbang dibaca, ia tak bi-

RUSHDIE

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 442: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

417 Catatan Pinggir 10

sa lepas dari ”radiasi sejarah”. Ia masuk ke dalam dunia yang tak lagi punya ”sudut yang senyap”.

Rushdie bisa membela diri bahwa dalam novelnya, imaji Nabi Muhammad yang buruk muncul bukan dalam sebuah deskripsi faktual, melainkan dalam fantasi Gibreel Farishta, orang yang men derita skizofrenia. Tapi sang novelis hanya bisa menjelaskan. Apa boleh buat, novelnya menjangkau sudut yang tak senyap yang tak menyukai atau tak ter biasa dengan perbauran dan para-doks antara yang ”nyata” dan yang ”ajaib” dalam magic realism— ca ra bertutur yang juga dipakai Rushdie dalam Midnight’s Chil-dren dengan tangkas dan kocak.

Lagi pula, orang bisa meragukan benarkah ia tak sadar, novel-nya (akan) provokatif. Setidaknya ia tentu tahu satu premis yang tak asing lagi dalam teori sastra sejak 1960-an: dalam tiap teks, da lam tiap percakapan, selalu ada aporia atau ketakpas tian mak-na. Sebuah novel tak bisa memberi satu tujuan yang lengkap dan permanen. ”Membaca” adalah soal yang jauh lebih pelik ke timbang yang lazimnya diduga. Dalam tiap proses membaca sela lu terkandung proses salah-baca. Dengan memilih judul The Satanic Verses, Rushdie sendiri se benarnya masuk ke dalam soal mem baca itu. Apa yang terjadi dalam ”membaca” dan dalam teks yang dibaca? Benarkah keti ka menentukan sebuah teks ”mulia” dan teks yang lain ”setan”, kita tak dipengaruhi kepentingan ki-ta, tak dibentuk pertimbang an praktis kita di dunia? Mengapa orang tak mau mengakui itu? Salahkah bila kita dipengaruhi per-timbangan praktis yang ”du niawi”?

Tampaknya kita begitu ingin tafsir yang ”benar”, hingga lupa akan tafsir yang ”adil”....

Saya ingat Althusser. Ia mengatakan, kata ” juste” (adil) bukan-lah sebuah ajektif untuk justice, tapi untuk justesse. Di dalamnya ada sikap ”menyesuaikan”, meletakkan tafsir sebagai praxis di te-ngah dunia yang berubah dari saat ke saat, serba mungkin. Maka

RUSHDIE

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 443: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

418 Catatan Pinggir 10

tafsir yang ”adil” justru mengandung kearifan akan apa yang ter-ja di dalam hidup.

Itu sebabnya membaca bukanlah laku dalam keadaan statis. Kita, sang pembaca novel, sang penafsir Kitab, selamanya berge-rak, berpindah, meskipun tak selalu bersembunyi.

Tempo, 16 Desember 2012

RUSHDIE

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 444: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

419 Catatan Pinggir 10

’1965’

ANGKA itu kini jadi sejenis kode yang ditafsiri satu titi-mangsa, kata orang Sunda, tentang suatu kejadian yang be gitu besar—terkadang disebut ”peristiwa sejarah”—

dan sebab itu selalu disederhanakan. Pembu nuhan sejumlah jen-deral sekaligus. Pembalasan yang mengeri kan terhadap orang PKI. Awal pergantian sejarah politik Indone sia yang traumatis.

Kita tahu, ”1965” lebih dari itu semua. ”Sejarah adalah lang-kah seorang raksasa yang tak punya hati,” kata-kata itu tercantum dalam novel Amba, dalam sepucuk surat yang selama ber tahun-ta hun disembunyikan di bawah sebatang pohon di Pulau Buru oleh penulisnya, seorang dokter, seorang tapol, yang ke mudian ter bunuh. ”Sejarah menyingkirkan orang-orang kecil dari ca tat-an.”

Novel Amba melawan itu: menghadirkan orang-orang yang tersingkir dari catatan tahun 1965—dan begitu pula Pulang.

Entah kenapa kedua novel tebal itu terbit tahun 2012 ini da-lam waktu berdekatan. Amba, karya Laksmi Pamuntjak, dengan pro sa yang memukau menggambar kan hidup seorang gadis anak se orang guru di kota kecil Kadipura, suasana Jawa Tengah dan Timur yang berubah dan tegang, bentrokan berdarah di Yogya, dan akhirnya kehidupan mereka yang di buang di Pulau Buru. Pulang, karya Leila S. Chudori, dengan cara bertutur yang hidup dan memi kat, mengisahkan mereka yang terpaksa jadi eksil di Ero pa, atau dihabisi di Jakarta—karena dianggap ”PKI”-juga anak-anak mereka.

Entah mengapa, tampaknya tahun 2012 adalah tahun yang ingin mengingatkan, dan ”1965” ada lah fokusnya. Di salah satu edi si khususnya maja lah Tempo memuat hasil wawancara mere ka yang ikut membunuh orang-orang PKI atau disangka PKI di se-

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 445: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

420 Catatan Pinggir 10

kitar tahun 1965—sebuah reportase mengenai hal itu yang perta-ma kali diterbitkan di Indonesia.

Kemudian The Act of Killing Joshua Oppenheimer: sebuah film dokumenter tentang para algojo 1965 yang membuat film ten tang ke-algojo-an mereka sendiri, terkadang lucu seperti paro-di, terkadang pongah, menjijikkan, dan mengerikan—sebuah film yang dengan tepat disebut Zen Rs. sebagai ”gambaran grotesk dari ke-Indonesia-an”.

Yang grotesk, yang menyentuh, yang faktual—semua bisa ha-dir, karena mengingat bukanlah menghadirkan foto-foto tua yang sudah berwarna sepia. Ingatan bukanlah versi yang le mah da ri ”kenyataan”. Mengingat adalah proses kontraksi dan eks-pansi sekaligus. Kontraksi, karena di dalamnya data yang berte-baran, berlapis-lapis, berkembang biak, diringkas, melalui proses seleksi yang spontan ataupun diniatkan. Dari seleksi itu hadir apa yang diingat dengan tajam. Tapi dari itu pula, meng ingat adalah juga sebuah ekspansi: merengkuh dan mendapat kan sesuatu yang baru—seperti ketika mengisahkan kembali se buah pengalaman yang tak habis-habisnya menyentuh hati.

Maka ingatan bukan replika. Ingatan bukan hafalan, melain-kan saat-saat membentuk dan dibentuk, sebuah proses yang di la-ku kan dalam kebebasan. Dari sinilah gambaran masa silam lahir. Menyusun bayangan tentang itu tak sekadar memanggil kemba-li sesuatu yang pernah ada. ”Imaginer n’est pas se souvenir,” kata Bergson.

Itu sebabnya Amba dan Pulang, juga The Act of Killing, bisa me nunjukkan bahwa mengingat masa lalu juga memproduksi apa yang baru: sebuah perspektif yang tidak ada sebelumnya. Laks mi Pamuntjak mempersembahkan novelnya untuk ”mere ka yang ditahan di Pulau Buru”, yang ”telah memberiku sepa sang ma ta baru”.

Dalam Pulang, Lintang bagi saya adalah tokoh utama. Ia gadis

’1965’

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 446: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

421 Catatan Pinggir 10

Paris yang beribu Prancis berayah Indonesia. Si bapak, Dimas Sur yo, seorang wartawan Indonesia yang bekerja di kan tor be-ri ta Nusantara, yang sejak 1965 tak bisa kembali ke Tanah Air. Menjelang akhir pemerintahan Soeharto, Lintang datang ke ne-ge ri ayahnya untuk memenuhi tugas akademiknya: membu at se-buah film dokumenter tentang korban-korban 1965. Jatuh cinta kepada Alam (anak sahabat ayah nya yang mati dieksekusi mili-ter), Lintang terlibat dalam gerakan mahasiswa untuk Reformasi, mes kipun lebih sebagai saksi sejarah ketimbang seba gai pelaku-nya.

Film dokumenter yang dirancang Lintang dapat dianggap se-bagai sebuah alegori bahwa ingatan adalah sebuah laku transfor-matif, sebuah proses kelahiran sesuatu yang lain. Pembuatan do-ku men tasi tentang masa lalu itu mengubah hidupnya.

Sebagai seorang gadis yang lahir dan dibesar kan di Paris, Lin-tang seharusnya mengartikan kata ”pulang” bukan ke Jakarta. Ta pi sampai di akhir novel ia tak kelihatan memutuskan akan ba-lik ke Prancis. Di akhir novel, ia merasa betapa bahagia ayahnya di makamkan di tanah kelahiran, persisnya di Karet, Ja karta, di ku bur yang diimpikannya selama jadi eksil. Bagi sang ayah, ”pu-lang” adalah kembali ke masa lalu. Bagi Lintang, ”pu lang” adalah memasuki pengalaman yang baru.

Mungkin itu juga sebabnya pada akhirnya novel ini adalah ce-rita tentang generasi umur 20-an yang aktif untuk mengubah In-donesia ke sebuah masa depan. Pulang praktis tanpa nostalgia: anak-anak muda yang kemudian mengambil alih kisahnya jus-tru menghendaki sebuah republik yang lain, dengan kemerde ka-an yang tak pernah dinikmati ayah dan ibu mereka sejak di ba-wah ”Demokrasi Terpimpin” Bung Karno sampai dengan ”Orde Baru” Soeharto.

Mungkin itu juga sebabnya tempo novel ini cepat, melayang tan pa sejarah, seakan-akan ikut terdorong para pemuda yang in-

’1965’

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 447: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

422 Catatan Pinggir 10

’1965’

gin membawa Indonesia berlari, berlari, hingga hilang pedih pe-rih masa lalu. Bahasa yang dipakai lurus dan transparan, tan pa am biguitas dan kegelapan yang membuat kita merenung. Bagi Lin tang dan Alam, Indonesia (atau ”I.N.D.O.N.E.S.I.A.”) ada-lah sebuah fenomen yang belum didefinisikan. Atau tak perlu di-definisikan. Back to the future.

Tempo, 23 Desember 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 448: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

423 Catatan Pinggir 10

ANAK-ANAK

KENAPA anak-anak itu harus mati ditembaki, 20 orang se kaligus, sebagian besar baru berumur enam tahun? Apa yang dicari sang pembunuh, kecuali kematian, ju-

ga buat dirinya sendiri? Hari itu, di pertengahan Desember 2012 yang dingin tapi ce rah, Adam Lanza datang ke Sekolah Dasar San dy Hook di Newtown, Connecticut, Amerika Serikat. Berpa-kai an serba hitam, ia menyandang tiga jenis senjata ketika mema-suki ruangan: sepu cuk senapan Bushmaster AR-15 dan dua pis-tol.

Beberapa menit kemudian polisi mendengar tembakan. Me-re ka temukan orang bersenjata itu telah tewas membunuh diri. Tak jauh dari jasadnya tampak sejumlah tubuh anak dan guru me reka, tergeletak, berdekapan. Mereka mati kena tembak ber-kali-kali....

Segera pembantaian itu pun jadi berita dunia—juga jadi per-ta nyaan dunia. Adam tak diketahui sebagai pemuda jahat. Tapi ia tega menembak mati ibunya sendiri sebelum berangkat ke Seko-lah Dasar Sandy Hook. Peter Lanza, ayahnya yang tak lagi ting-gal bersamanya, mengutarakan kegelisah an beribu-ribu orang hari itu: ”Kami... bersedih, tapi bergulat untuk mengerti apa yang te lah terjadi.”

Tapi bisakah kita mengerti?Kita mungkin hanya bisa ”bergulat”. Kita tak tahu apa isi kepa-

la Adam beberapa menit sebelum mem bantai. Kita tak mudah me nentukan apakah senjata-senjata yang tersimpan di rumahnya itu yang meng godanya untuk membunuh tanpa motif yang jelas.

Kita juga tak tahu pasti, apakah kejadian di Newtown itu se-buah kecenderungan sosial negeri seper ti Amerika—negeri di ma na orang bisa memiliki sen jata pribadi, negeri yang sejak 1917

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 449: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

424 Catatan Pinggir 10

ter libat perang di mana-mana setiap kali. Yang jelas, Adam bu-kan pembantai yang pertama.

Pada 20 April 1999, dua pemuda yang mengenakan T-shirt ber tulisan Wrath membunuh 12 murid dan seorang guru di sebu-ah sekolah di Littleton, Colorado. Mereka menggunakan senjata api, pisau, dan bom (meskipun gagal meledak). Tapi berbeda de-ngan Adam Lanza, Dylan Klebold dan Eric Harris menunjukkan motif nya: mereka merendahkan dan membenci (atau merasa di-benci) siapa saja di luar diri mereka. ”Aku seorang dewa—aku de-wa ke sedihan,” tulis si Eric di catatan hariannya.

Tapi orang cuma bisa menduga apa yang membuat mereka pu nya sikap macam itu hingga selama setahun menyusun satu ren cana yang bisa membinasakan ratusan orang, andai terlaksana seluruhnya. Tak jelas pula adakah Klebold dan Harris jadi inspi-ra si bagi pembunuh lain—seperti T.J. Lane, yang pada pagi akhir Februari 2012 datang ke cafeteria sebuah sekolah menengah di Chardon, Ohio, dan menembaki para murid dan membunuh ti-ga dari anak-anak yang sedang sarapan.

Bisakah semua itu diuntai sebagai satu pola? Tidakkah untai-an itu hanya cara kita ”bergulat” agar bisa memahaminya, meng-ana lisisnya, dan mencari pemecahannya—yang ternyata tak mu-dah?

Memang ternyata tak mudah. Pembunuhan anak-anak di New town itu tak sepenuhnya bisa disebut sekadar perbuatan kri-mi nal. Seorang kriminal lazimnya berbuat dengan motif menda-pat kan sesuatu buat dikuasai. Tapi Adam Lanza tak mendapat-kan apa-apa. Lebih mencolok lagi, satu kasus di Inggris Utara. Pa da suatu hari di tahun 1990-an dua anak berumur 10 tahun mem bunuh seorang bayi yang baru bisa berjalan. Tentu saja tak tam pak ada niat mereka memperoleh uang atau jadi terkenal—ataupun gejala sakit jiwa. Maka yang terjadi adalah sesuatu yang le bih muram dan lebih kompleks ketimbang kejahatan bia sa.

ANAK-ANAK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 450: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

425 Catatan Pinggir 10

Mungkin ini yang harus disebut ”mala”, yang oleh orang Ing gris disebut evil: sesuatu yang membuat hidup jadi sakit, rusak, lam-pus—baik dalam bentuk perbuatan manusia maupun benca na alam. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

”Evil is unintelligible,” kata Terry Eagleton. Bukunya, On Evil, mengambil kasus pembunuhan bayi di Inggris Utara itu seba gai pengantar—untuk menunjukkan bahwa mala adalah sesua tu yang tanpa sebab. Juga tanpa pamrih, seperti ke baikan.

Bahkan tanpa keyakinan akan penebusan. Eagleton, seorang atheis, menolak dalih bahwa mala da tang dari rencana Tuhan yang justru mengasihi ma nusia. Dengan mala, menurut orang yang beriman, akan datang kesadaran, dan harmoni pun akan ter ja lin antara awal yang buruk dan akhir yang baik.

Tapi kenapa untuk ”harmoni” itu anak-anak yang tak bersa-lah itu, yang baru dua atau enam tahun hi dup, harus mati? Perta-nya an ini, yang hanya tersirat dalam pandangan Eagleton, tam-paknya tak bisa di elakkan. Kita tahu ia dikemukakan 130 tahun se be lumnya secara lebih terbuka oleh Ivan Karamazov. Dalam no vel Karamazov Bersaudara Dostoyevski, Ivan adalah tokoh pengganggu iman. Ia antitesis bagi adiknya, Alyosha, yang alim dan suci. Dalam sebuah percakapan, Ivan bercerita tentang se-orang jenderal yang membunuh anak pelayannya; si anak ber sa-lah mencederai seekor anjing milik sang majikan. Anak itu pun di perintahkan lari, dan anjing-anjing ganas mengejarnya dan mencabik-cabik tubuhnya. Sampai mati.

Dan Ivan bertanya: jika kekejian itu bisa dijelaskan sebagai ba -gian dari rencana Tuhan yang baik tapi tersembunyi, kenapa ha -rus anak-anak yang dikorbankan? Demi terbangunnya harmo ni kehidupan nanti, kenapa Tuhan menjadikan korban seperti itu? Tak ada jawabnya, kata Ivan. Hidup bisa membingungkan. ”Du-nia tegak di atas absurditas.”

Tapi manusia tak mudah menerima itu. Bahkan Ivan sendi ri

ANAK-ANAK

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 451: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

426 Catatan Pinggir 10

ANAK-ANAK

masih butuh penjelasan. ”Yang absurd itu sangat niscaya di bu-mi,” katanya. ”Niscaya” berarti tak dapat dihindarkan, berarti pas ti. Ivan tampaknya tak sanggup menerima bahwa tak ada yang pasti, juga absurditas. Ia lupa justru absurditas tak punya arah dan mala tak punya pola.

Mungkin itu sebabnya kita bingung, tapi tak jera percaya bah-wa manusia sesekali bisa baik dan bahagia—juga di dunia di ma-na anak-anak umur 6 tahun mati ditembaki.

Tempo, 30 Desember 2012

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 452: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

427 Catatan Pinggir 10

Indeks

AAdorno 20, 224, 349Affandi 366Agamben, Giorgio 93, 334Agamemnon 368Aguilers 248Agung, Sultan 47Agustinus, St. 336Ahmad, Kassim 279Aidit, D.N. 200Airlangga 47Akhmad 295-298Akhmatova, Anna 32, 33al-Alawi, Irfan 396Albuquerque, Alfonso de 279Al-Busiri 397Alcaff, A.N. 235Alceste 137Al-Ghazali 362al-Hadhalin, Halima 407, 409Alisjahbana, Sutan Takdir 99Alit 287, 289, 290Alonso 19Althusser, Louis 211, 212, 220, 221,373, 417Alyosha 425Amangkurat I 47-48Amenábar, Alejandro 355, 356, 358Ametung, Tunggul 193, 194Amichai, Yehuda 247, 249Andarawati, Ratu Mas 203, 204Anderson, Benedict 379Angawi, Sami 396, 397

Anwar, Chairil 53, 71, 72, 109, 242,261, 293, 305, 366Anwar, Rosihan 172Arendt, Hannah 60Arjuna 163, 341, 359Atreus 368 Attenborough, Richard 40Aumars, André 171Aziz, Abdul 395BBachelard 104, 117Bachri, Sutardji Calzoum 109, 305Bachtiar, Toto Sudarto 310Badiou, Alain 96, 116Bagong 167-169Baker, Russell 405Balanchine, George 76Baldjun, Amak 11, 13Bale, Christian 343Barth 305Bastiat, Frédéric 111-114Baudelaire 263Bausch, Pina 77Bazargan, Mehdi 37Beauvois, Xavier 228Beinart, Peter 313Bejo, Bérénice 276Benjamin, Walter 263, 264, 294Berek, Cyprianus Bitin 33Bergsson, Gudberger 7, 15, 105, 420Berlusconi 128Bhima 341Bhisma 375, 377

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 453: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

428 Catatan Pinggir 10

INDEKS

Boekarim 283Bonaparte, Napoleon 28, 100Borges, Jorge Luis 63-65Bouazizi, Mohamed 219, 221Brahma 192Brama, Batara 359, 360Brecht, Bertolt 135Breivik, Anders Behring 127, 128,134Brel, Jacques 130Brooks, Mel 276Brutus 261Bush, George W. 155CCaesar, Julius 258, 259, 262Cakradana, Ngabehi 253Calpurnia 259, 260Calvino, Italo 165Camilla 87Carlos, Don 320, 321Carlos, Juan 173Cassaday, John 344Castafiore, Bianca 197Castro, Fidel 155Chamcha, Saladin 416Chaplin, Charlie 277Chasbullah, Abdul Wahab 397Chekhov, Anton 415Chen Boda 231Chen Yi, jenderal 391, 392Chiang Kai-shek 392, 393Chudori, Leila S. 375, 419Claudius 11, 13Coleridge, Samuel Taylor 320Conrad, Joseph 415Creese, Helen 339-341Culler 305Cusanus, Nicolaus 25

DDa Vinci, Leonardo 369, 370Daendels, Herman Willem 28Damono, Sapardi Djoko 304Danner, Mark 156Darmawan, Ariani 292Darwish, Mahmoud 409, 410Davus 357de Chergé, Christian 229, 230Decius 260Defoe, Daniel 83, 85Deleuze, Gilles 5, 165, 179Demeter, Dewi 64Deng Xiaoping 232-245des Plantes, Jardin 188Desmond, Paul 8Dewanto, Nirwan 291Dickens, Charles 180Diponegoro, pangeran 181, 261Dix, Otto 225Djoko 284, 285Djwan, J.B. 287Dochier, Luc 228Dostoyevski, Fjodor 425Dotan, Noam 408Douzinas, Costas 20, 129Dresanala 359Dujardin, Jean 276Dumas, Alexandre 389Durant, Will 244Durga 359Durna 163EEagleton, Terry 20, 21, 425Eco, Umberto 51Edison, Thomas Alva 277Edward IV, raja 148Einstein, Albert 39

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 454: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

429 Catatan Pinggir 10

INDEKS

Eleseus 132Eliot, T.S. 7, 9, 105Elizabeth, ratu 320, 321Ellis, Warren 344el-Rashidi, Yasmine 87, 88El-Shabazz, Malik 70Emerson, Ralph Waldo 195Engels, Friedrich 180Exupery, Antoine de St. 95FFarishta, Gibreel 416, 417Fatmawati 103Faulkner, William 388Fayyatia, Ali 229Figaro 111Fournel, Victor 265Franco, jenderal 173Frank, Anne 409Freud, Sigmund 208, 272, 273, 379Friedman, Milton 112, 113, 243Fromm, Erich 309Fuld, Richard 175GGadhafi, Moammar 40, 59, 183Gajah Mada 204, 205Gandhi, Mahatma 39-41, 275Gandring, Empu 193Gansky, Lisa 46Gareng 167-169Gargantua 335-338Geissler 132, 133Gellner, Ernest 80Germanus, Julius Abdulkerim 397Gitanyali 375Gloster 148Goebbels, Paul Joseph 133Goethe, Johann Wolfgang von 319Goldstein, Barukh 31

Graham, Martha 75, 76Gramsci, Antonio 210Grotowski, Jerzy 107Guattari, Félix 179Guevara, Ernesto Che 177Guillot, Claude 251Gutenberg, Johannes 300HHadiwijaya 47Hall, Stuart 327Hamadah, Abdou Abdel-Monaam 219Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) 57, 395Hamsun, Knut 131-134Hamzah, Amir 31, 279-281, 305Hang Jebat 281Hardt, Michael 143Harries, Karsten 25Harris, Eric 424Hasanuddin 252Hatta, Mohammad (Bung Hatta) 27, 57, 219, 236, 352Havel, Václav 215-216Hawa, Siti 384Hayam Wuruk 47Hazanavicius, Michel 275Hegel, Georg Wilhelm Friedrich 95, 113, 347-349, 381, 402Heidegger, Martin 72Heinrich Heine 89Helena 368Hergé (”R.G.”) 195, 197Hidimbi 341Hirsch, Fred 43, 44Hitler, Adolf, 133, 223, 313, 388, 409Holiday, Billie 67

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 455: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

430 Catatan Pinggir 10

INDEKS

Hutchinson 140Hynek, Allen 24IIbnu Tufayl 79, 80, 83Ibrahim, nabi 187, 189Ikhnaton 271-273Imam Mahdi 69Ionesco, Eugène 215Ishmael 183, 184, 186Ismail, Khedive 28Ismaya, dewa 169JJamil, Taufik Ikram 281Janvier, Bernard 124Jassin, H.B. 304, 305Jayawikrama 339Jeffers, Robinson 154Johnson, Ian 105Joseph K. 3KKafka, Frans 3-5Kane, Bob 43, 344Kanwa, Mpu 341Karamazov, Ivan 425Karnow, Stanley 412Karremans, letkol 124, 125Karunrung, Karaeng 252Keats, John 317Ken Arok (Angrok) 48, 191, 192Ken Dedes 191, 194Kent, Clark 196Kepler, Johannes 25Keynes, John Maynard 176Khadijah, Siti 397Khomeini, ayatullah 37, 41, 415King, Martin Luther 41Klebold, Dylan 424Koch, David 141

Kohn, Michael H. 327Kopernikus, Nikolaus 25Kott, Jan 167, 168Kristeva, Julia 72Ku Klux Klan 67, 68Kublai Khan 165, 184Kundera, Milan 16Kwee Tek Hoay 283, 285, 286LLaclau, Ernesto 49, 144, 210Lafayette 35, 36, 38Lahtinen, Miko 211Lakhes, jenderal 256Lane, T. J. 424Lanza, Adam 423, 424Lanza, Peter 423Leibniz, Gottfried Wilhelm von 344, 345Lenin, Vladimir 145, 220Liang Heng 244Liang Sicheng 106Liddle, R. William 207, 208Lidyawati 293Lincoln, Abraham 32, 371Little, Earl 67Lohgawe 193, 194Lou Andrea-Salomé 327Lubdaka 323, 326Lubis, Mochtar 171, 172, 261Luxemburg, Rosa 97MMachiavelli, Niccolo 49, 207-212, 372-374Madjid, Nurcholish 207Magika, Laterna 216, 217Mahmud, sultan 281Maier, Henk 279Malna, Afrizal 292

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 456: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

431 Catatan Pinggir 10

INDEKS

Malraux, André 119, 120Mandela, Nelson 155, 313, 371Mao Zedong 27, 96, 119, 231, 243, 412Marable, Manning 67Marceau, Marcel 277Marco Polo 165-167Marcos, Subcomandante 177Marquez, Gabriel Garda 388Masdani, Yos 104Massumi, Brian 97McLuhan, Marshall 268McVeigh, Timothy 153Melville, Herman 183Miller, Frank 344Miller, Peppy 276Milosz, Czeslaw 215Ming, kaisar 24Miro, Joan 8Mladic, Ratko 123-125Mohamad Said, sultan 252Moliere 137Montand, Yves 173Montefiore, Simon Sebag 248-250Moor, Karl 319Mora, Diego 173Morton, Jelly Roll 307Mubarak, Husni 39, 87, 89, 143, 176, 235Muhammad SAW 52, 285Muhammad, Elijah 69Muhammad, Wallace Fard 68Musa 272NNancy, Jean-Luc 18, 129Narada 359, 360Negri, Antonio 143Nehru, Jawaharlal 41

Nietzsche, Friedrich 1, 578, 101Noer, Arifin C. 13Nolan, Christopher 343OObama, Barrack 155, 157, 158, 403Oppenheimer, Joshua 420Orestes 357Orian, El’ad 408Orwell, George 41PPakubuwana VI 181Palach, Jan 29Pamuntjak, Laksmi 375, 419Pandawa 359, 360Pane, Armijn 286Panikkar, Raymond 81Parpatih, Amrizal Salayan St. 293Patah, Raden 47Pattingaloang, Karaeng 252Pekik, Djoko 199, 200, 202Pelham, Nicolas 147Pepe, Tio 91Pessoa, Fernando 100Petruk 168, 169Philbrick, Nathaniel 183Philip II, raja 320, 321Pladek, Hugo 216Plato 64, 210, 255, 372Poerwadarminta, W.J.S. 63Posa, Marquis 321Prabowo, Tony 151, 152Priyanka, Mufti ”Amenk” 293Prosper Remi, Georges 195RRabelais, François 335Radeko 285Raffles, Thomas Stamford 363Rancière, Jacques 160, 161, 168, 237

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 457: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

432 Catatan Pinggir 10

INDEKS

Ranggawarsita 179-181, 340Raymond, Alex 24Rees, E.A. 210Rendra, W.S. 319, 411Resnais, Alain 173Rilke, Rainer Maria 188, 242, 327-329Rimbaud, Arthur 385Rizal, José 379Robespierre, Maximilien de 60, 61Rockwell, Norman 405Rogers, Buck 24Rorty, Richard 157Rosenberg, Alfred 113, 133Rudyanto 45, 46Rushdie, Salman 377, 415-418SSadikin, Ali 104Said, Umar 171-173Saleh, Raden 316, 317Salim, sultan 300Salleh, Muhammad 282Sanjaya 47Sartre, Jean-Paul 109Sastrowardoyo, Subagio 404Sawito 56, 58Schiller, Johann Christoph Friedrich von 319-322Schmitt, Carl 29, 210Schulman 313, 314Schumpeter 113Scott, Edmund 251Scudder, Bernard 15Sekarputri 293Semar 167-169Senapati, Panembahan 47Sertori, Trisha 287Servetus, Michael 52

Shakespeare, William 11, 19, 21, 148, 167, 183, 192, 259, 260Shapiro, Judith 231Shariati, Ali 37Sharon, Ariel 313Shih Ming-te 392Shulman, David 407-409Sidran, Abdullah 123Simmel, Georg 265Sindok, Mpu 47, 363Sjahrir 104Smith, Page 140Soeharto 55, 57, 93, 101, 200, 421Sokrates 255-258, 355Speroni, Francesco 128Spielberg, Steven 24, 25, 195Spies, Léon 224Spies, Walter 223-226Spurlock, Morgan 337Stalin, Josef 36, 301Stendhal 224Stevens, Wallace 345Stowell, John 223, 224Stravinsky 76, 77Subagyo, Mus 200Sudjono, Raden 56,57Sudomo, laksamana 55Sukarno (Bung Karno) 27, 36, 59, 60, 99, 101, 103-105,171, 200, 219, 236, 251, 252, 397, 421Suljagic, Emir 124Sumadi 399-402Sumardjo, Trisno 19Suryo, Dimas 421Suryodarmo, Melati 292Syailendra 47Syiwa, dewa 324, 325Synesius 355

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 458: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

433 Catatan Pinggir 10

INDEKS

Szymborska, Wislawa 239-242TTahrir, Midan 27-29Tantawi 88Tantular, Mpu 104, 339Teeuw, Andries 303-306Thajib, Ferdiansyah, 292Tirtayasa, Sultan Ageng 253, 254Titorelli 3-5Titus 248Tjoe Tat Mo 285Toer, Pramoedya Ananta 60, 191 Tolstoy, Leo 224, 327Tornatore, Giuseppe 307Trenggono 47Trisirah 56Tyndareos 368UUmar, khalifah 249VValentin, George 276-278Van Gennep 55, 56Vespasianus 248Vincentius 295-298Voltaire 344WWagg, Jolyon 197Walpole, Horace 269, 426Wang Anshi 243, 244Wartawangsa, Jumena 13Wayne, Bruce 344, 346Weber, Max 64Weisz, Rachel 356West, Adam 344Westerman, Frank 125Whitehead, Alfred North 316Wibowo, A. Setyo 255, 256Widiani, Jero 287, 288

Wieviorka, Michel 53Wijaya, Putu 107-109Wilde, Oscar 21Wilson, Keith 299YYahwe 273Yamin, Muhammad 191, 259Yampolsky, Tinuk R. 375Yan Hongchang 232Yasadipura 340Yeats, W.B. 367-370Yehonatan 248Yen Jinchang 244Yesus 52, 85Yi Wucheng 412ZZeus, dewa 367-370Zhang Yimou 231Zhao Ziyang 232Žižek, Slavoj 20, 36, 129, 148, 403Zubaydah, Abu 156

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 459: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

434 Catatan Pinggir 10

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka

Page 460: Buku Caping 10 - smpn7magelang.sch.id€¦ · Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan Pertama, 2013 MOHAMAD, Goenawan Catatan Pinggir 10 ... 355 Lompatan Kemudian Fana Tamak Yang

ii Catatan Pinggir 6

SELEPAS jadi pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goe-na wan nyaris jadi apa yang ia pernah tulis da-lam sebuah esainya: transit lounger. Seorang yang berkeliling dari satu ne ga ra ke negara lain: mengajar, berceramah, menulis. Seorang yang berpindah dari satu tempat penantian ke tempat penantian berikutnya, tapi akhirnya ha-nya punya sebuah Indonesia. Seperti ditulisnya

da lam sebuah sajaknya: ”Barangkali memang ada sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang.

Dalam perjalanan itu lahir sejumlah karya. Bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tapi dalam revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama di-pentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Di tahun 2006, Pastoral, se-buah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006. Di tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreo-grafer Wayan Dibya dan penari Ketut Rina beserta Gamelan Sekar Jaya di Berke-ley, California. Tapi ia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam ba hasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wa yang kulit yang di-mainkan dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirto-sudarmo. Ia menulis dan menyutradarai opera Tan Malaka pada 2010 dan 2011.

Kumpulan esainya berturut-turut: Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Ma lin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Se telah Revo lusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).

Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamun-tjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).

Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk majalah Tempo, di antara-nya terbit dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines (1994) dan Conversations with Difference (2002). Kritiknya diwarnai keyakinan Goe-nawan bah wa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya, ”dengan raung yang tak terserap karang”.

http

://fa

cebo

ok.c

om/in

done

siap

usta

ka