goenawan mohamad dan politik kebudayaan liberal pasca 1965

19
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA indoprogress.com/logika/?p=437 1/19 Navigation ² Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 04/12/2013 TULISAN ini merupakan catatan tentang politik kebudayaan liberal pasca 1965 dan peran yang dimainkan Goenawan Mohamad di dalamnya. Motivasi awalnya datang dari pembacaan atas penelitian Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Dalam tulisan ini, saya akan (1) menguraikan data-data baru tentang tema terkait yang didapat dari buku Wijaya maupun dari penelusuran saya secara langsung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, (2) menjelaskan bagaimana anatomi gagasan dari politik kebudayaan berbasis eksistensialisme Camus, (3) menunjukkan peran Goenawan Mohamad sebagai makelar kebudayaan dalam membentuk selera intelektual Indonesia, dan (4) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965. Liberalisme Borongan: Cicilan $50 Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga filantropi bernama Congress for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada tahun 1950 yang dimaksudkan sebagai covert action untuk ‘menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme Barat dan anti-komunisme.’ [1] CCF ditempatkan di bawah kendali Office of Policy Coordination (OPC) yang diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA yang terlibat dalam perencaaan pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958. Wijaya juga menunjukkan bahwa dari CCF itulah dibentuk yayasan Obor internasional yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan CCF untuk Program Asia. Yayasan Obor internasional (Obor Incoporated) yang berkedudukan

Upload: ardhani-irfan

Post on 31-Dec-2015

117 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Goenawan Mohamad Dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 - Indoprogress

TRANSCRIPT

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 1/19

Navigation ²

Goenawan Mohamad dan PolitikKebudayaan Liberal Pasca 196504/12/2013

TULISAN ini merupakan catatan tentang politik kebudayaan liberal pasca 1965 dan peran yang

dimainkan Goenawan Mohamad di dalamnya. Motivasi awalnya datang dari pembacaan atas

penelitian Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde

Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Dalam tulisan ini, saya akan (1)

menguraikan data-data baru tentang tema terkait yang didapat dari buku Wijaya maupun dari

penelusuran saya secara langsung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, (2) menjelaskan

bagaimana anatomi gagasan dari politik kebudayaan berbasis eksistensialisme Camus, (3)

menunjukkan peran Goenawan Mohamad sebagai makelar kebudayaan dalam membentuk

selera intelektual Indonesia, dan (4) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi

kapitalisme di Indonesia pasca 1965.

Liberalisme Borongan: Cicilan $50

Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga filantropi bernama Congress

for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada tahun 1950 yang dimaksudkan sebagai

covert action untuk ‘menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan

kapitalisme Barat dan anti-komunisme.’[1] CCF ditempatkan di bawah kendali Office of Policy

Coordination (OPC) yang diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA yang terlibat dalam

perencaaan pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958. Wijaya juga menunjukkan bahwa dari

CCF itulah dibentuk yayasan Obor internasional yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan

CCF untuk Program Asia. Yayasan Obor internasional (Obor Incoporated) yang berkedudukan

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 2/19

di New York inilah yang menjadi induk dari yayasan Obor Indonesia yang diketuai Mochtar

Lubis.[2] Melalui yayasan tersebut, ide-ide yang ‘secara filosofis’ mempromosikan kapitalisme

Barat dan sikap anti-komunis disemai.

Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan surat-surat antara Goenawan Mohamad dan

Ivan Kats sejak 1968-1973 yang katanya tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.[3]

Setelah saya memeriksanya dari PDS H.B. Jassin, ternyata saya temukan bahwa korespondensi

yang terarsipkan di sana bahkan juga mencakup tahun-tahun yang lebih awal, yakni sejak

1965. Lagipula surat dari tahun 1965 itu merupakan sambungan pembicaraan sebelumnya[4],

sehingga dapat dipastikan bahwa korespondensi itu terjadi hingga entah sebelumnya. Bahkan

dalam sebuah surat (dalam kumpulan surat dari tahun 1965) berbentuk memo sepanjang tiga

halaman dengan kop surat bertanda ‘Congrès pour la Liberté de la Culture’ (terjemahan

Prancis dari ‘Congress for Cultural Freedom’), disebutkan persoalan tindak lanjut atas Manifes

Kebudayaan. Dalam surat itu, Goenawan diminta untuk menulis pamflet yang bercerita tentang

upaya-upaya PKI dalam menghancurkan identitas dan pengalaman kultural dari mereka

semua yang tidak berpihak padanya. Secara spesifik Kats menginstruksikan agar Goenawan

menuliskannya dalam ‘middle level abstraction—not too highbrow’ dan dengan arahan agar isi

tulisan itu memuat ‘lebih banyak cerita. Sedikit analisis.’ (Saya teringat arahan Erman Koto

pada para penari dalam film The Act of Killing: ‘Ya. Lebih hot. Lebih hot.’). Berikut saya

tampilkan selengkapnya Surat A tersebut.

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 3/19

Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 1965, h. 1.

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 4/19

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 5/19

Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 1965, h. 2.

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 6/19

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 7/19

Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 1965, h. 3.

Tampak bagaimana Ivan Kats tampil serupa ‘manajer politik’ bagi Goenawan Mohamad. Dari

situ juga bisa muncul dugaan bahwa korespondensi dan koordinasi ini sudah terjadi sejak

sebelum 1963, tahun dideklarasikannya Manifes Kebudayaan, dan tidak hanya melibatkan

Goenawan saja, tetapi para budayawan simpatisan PSI lainnya seperti Mochtar Lubis, Arief

Budiman, Soedjatmoko, P.K. Ojong, dll. Artinya, boleh jadi Manifes tersebut dirancang dalam

koordinasi dengan CCF dan, implikasinya juga, CIA.

Dugaan tentang keterkaitan antara Manifes Kebudayaan dengan CCF juga disinyalir oleh

Wijaya dalam bukunya. Manifesto CCF berjudul ‘Manifesto of Intellectual Liberty’ memiliki

kemiripan dengan Manifes. Para intelektual yang ikut dalam acara deklarasi CCF di Berlin

tahun 1950 menyatakan: ‘Kebudayaan hanya dapat ada di dalam kebebasan, dan kebebasan

itulah yang dapat membawa pada kemajuan kebudayaan’—ungkapan yang senafas dengan

semangat Manifes Kebudayaan.[5] Istilah ‘humanisme universal’ sendiri, seperti diduga

Joebaar Ajoeb, berasal dari A. Teeuw dan diadopsi secara luas oleh H.B. Jassin, sementara

kedua kritikus sastra itu mulai berkolaborasi antara 1947-1951, yakni masa-masa ketika CCF

sedang dibentuk.[6] Keikutsertaan Jassin dalam proyek kebudayaan CCF ini juga diperkuat

oleh surat Jassin pada Goenawan pada tahun 1966, yang menyatakan bahwa Ivan Kats meminta

Jassin menulis artikel sepanjang 3000-4000 kata tentang ‘perdjuangan kemerdekaan

kebudajaan di lapangan sastra tahun 1957-1965.’[7]

Dalam sebuah surat pada tahun 1969 yang akan dilampirkan berikut, Kats juga mengajukan

arahan menarik. Ia meminta agar dalam tulisannya, Goenawan menjadikan pemikiran Prancis

sebagai contoh paradigma kebudayaan yang dapat diterapkan di Indonesia. Dalam amatan

Kats, pemikiran Prancis bisa tumbuh demikian tersohor dalam dunia pemikiran kontemporer

(pasca-Perang Dunia II) karena tradisi pemikiran itu menyeleksi tendensi-tendensi pikiran

asing mana saja yang boleh dan tidak boleh masuk Prancis. Kats menulis: ‘Pemikiran asing

umumnya dikesampingkan dari konstruksi ini, sampai tiba waktunya seorang penafsir-

makelar (interpreter-middleman) Prancis memutuskan bahwa ada sesuatu dalam pemikiran

asing itu yang berguna bagi Prancis.’[8] Salah satu aliran pemikiran yang dikesampingkan dari

industri filsafat Prancis adalah, seperti disebut Kats sendiri, empirisisme logis Lingkaran Wina.

Hal yang serupa juga diminta Kats pada Goenawan berkenaan dengan lalu-lintas wacana

pemikiran di Indonesia: menyortir tendensi filsafat sesuai kepentingan ‘Indonesia’ (sebuah

kata yang pada masa itu punya acuan yang sama dengan kata ‘Orde Baru’). Secara spesifik ia

meminta Goenawan untuk menerjemahkan karya salah satu pemikir Barat, antara lain Albert

Camus, dan memberikan kata pengantar yang berkesan tentangnya. Kats menjanjikan akan

membayar $50 sebagai uang muka, $50 lagi di belakang, serta upah terjemahan. Selengkapnya

surat itu adalah sebagai berikut.

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 8/19

Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969, h. 1.

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 9/19

Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969, h. 2.

Rupanya arahan untuk mempromosikan pemikiran Albert Camus ini cukup serius di mata Kats.

Ia sampai mengulangnya beberapa kali dalam surat-surat selanjutnya.[9] Kats bahkan lebih

spesifik lagi meminta Goenawan untuk memasukkan esai awal Camus, “L’Envers et l’endroit,”

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 10/19

dalam tulisan Goenawan tentang pemikir itu.[10] Tulisan Goenawan itu baru muncul jauh

kemudian, pada tahun 1988, sebagai pengantar berjudul ‘Camus dan Orang Indonesia’ pada

buku terjemahan Camus, Krisis Kebebasan. Penerbitnya adalah Yayasan Obor Indonesia.

Pertanyaannya kemudian: Mengapa Albert Camus? Mengapa, lebih spesifik lagi, “L’Envers et

l’endroit” yang diminta Kats? Mengapa pemikiran Prancis yang disarankan sebagai paradigma

kebudayaan Indonesia? Bagaimana menjelaskan keterkaitannya dengan proyek politik

kebudayaan liberal pasca 1965? Apa kaitannya dengan paham ‘humanisme universil’ dalam

Manifes Kebudayaan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan kita jawab melalui rekonstruksi

filsafat.

Anatomi Politik Absurditas

‘Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia.’[11] Kalimat penutup buku Mite Sisifus

karangan Albert Camus ini tentu memukau siapa saja yang baru pertama kali membacanya.

Konon, karena membocorkan rahasia para dewa, Sisifus dikutuk untuk menjalankan hukuman

yang paling mengerikan: mendorong batu besar ke puncak bukit untuk kemudian

memandanginya menggelinding ke bawah dan ia mesti mendorongnya lagi ke puncak, terus

mengulang ritus itu dalam keabadian. Ini adalah hukuman yang mengerikan persis karena hal

itu sia-sia dan tanpa harapan.

Kisah Sisifus adalah cerita tentang nasib manusia. Hidup manusia adalah jalan panjang dan

berulang menuju kematian. Tragis, memang. Namun sikap tragis adalah pertanda akan

kesadaran. Orang yang tak sadar tak akan pula mengetahui ciri tragis eksistensinya. Sisifus

bukan sekadar orang yang tertindas oleh nasib; lebih dari itu, ia sadar akan ketertindasannya.

Lantas kemungkinan apakah yang dibukakan oleh kesadarannya itu? Tak lain adalah

keberanian untuk mengatakan ‘Ya!’ pada absurditas eksistensinya, berkata ‘Ya!’ pada

ketertindasannya. Pada akhirnya, ia seperti Oedipus yang mampu berkata: ‘Meskipun telah

mengalami cobaan yang begitu banyak, usiaku yang lanjut dan kebesaran hatiku membuat aku

menilai bahwa semuanya baik adanya.’[12] Maka inilah cara Camus mengakhiri mite Sisifus:

‘Perjuangan ke puncak gunung itu sendiri cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Kita

harus membayangkan Sisifus berbahagia.’[13]

Camus kerap jadi justifikasi para pendukung Manifes Kebudayaan untuk semacam politik yang

‘otentik’ secara eksistensial. Goenawan sendiri mengakui ini: ‘Banyak penulis “Manikebu”

mengambil dongeng tentang Sisifus sebagaimana ditafsirkan oleh Albert Camus (Camus

memang sering dikutip, semacam jadi mode, karena satu dan lain hal): manusia yang

berikhtiar terus-menerus, sebuah maraton panjang tanpa garis finis yang jelas, sebuah

perjalanan menuju anak tangga terakhir di kaki langit yang dicita-citakan—sebuah titik yang,

bila dihampiri, ternyata menjauh lagi. Dengan pandangan antiutopian yang seperti itulah,

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 11/19

naskah Manifes Kebudayaan merumuskan sikap kesenian dan pemikiran yang selalu merasa

perlu mengambil jarak dari kekuasaan.’[14]

Dalam potongan “L’Envers et l’endroit” yang diterjemahkan dengan baik oleh Muhammad al-

Fayyadl, dinyatakan oleh Camus: ‘Aku berdiri setengah berjarak dengan kemelaratan dan

matahari. Kemelaratan mencegahku untuk percaya bahwa semuanya baik di bawah matahari

dan di dalam sejarah; matahari mengajariku bahwa sejarah bukan segalanya.’[15] Boleh jadi

kutipan semacam inilah yang disukai Ivan Kats dari CCF, sehingga memberikan arahan pada

Goenawan Mohamad untuk menulis tentangnya. Judul L’Envers et l’endroit kerap

diterjemahkan sebagai Betwixt and Between yang menggambarkan kondisi seseorang yang

berada di tengah-tengah, tidak ini ataupun itu, tidak panas dan tidak dingin—ia

menggambarkan sosok yang ‘setengah berjarak’ dari segala sesuatu, sosok medioker yang

menjustifikasi dirinya dengan mengemasnya lewat label ‘otentik.’ Dalam kosakata kultural

Indonesia saat ini, situasi ini terpotret dengan cemerlang dalam posisi ‘kelas menengah

ngehe:’ menginginkan perubahan sosial tetapi sinis bila ada demo buruh, mengangankan

kesetaraan tetapi jijik pada kolektivitas, mendambakan kebebasan tetapi lupa pada syarat

adanya kebebasan itu sendiri, yakni pemilikan bersama atas sarana produksi kekayaan. Orang-

orang yang punya hati baik tetapi lupa pada prasyarat kausal dari harapan-harapannya inilah

yang menjadi sasaran empuk Kats. Diam-diam mereka digiring menjadi Sisifus. Dan dengan

bangga dan puitis mereka mengikutinya. Sungguh kasihan: mereka kira mereka otentik. Saya

tak bisa bayangkan betapa marahnya mereka bila mendapati bahwa mereka telah digiring jadi

‘Sisifus upahan’ yang dibanderol dengan harga sepersekian dari cicilan $50. ‘Oh Kirilov, jangan

lagi kau bicara soal kebebasan!’

Lantas apa jadinya bila Sisifus dijadikan paradigma subjek politik ‘otentik’ untuk membaca

kehidupan rakyat Indonesia? Kita bayangkan seorang buruh kebun berkata: ‘Meskipun saya

hanya diupah Rp. 500 per sepuluh kilo sawit yang berhasil saya panen, saya menilai bahwa

semuanya baik adanya.’ Kita bayangkan seorang pembantu rumah tangga berkata: ‘Meskipun

saya hanya diupah sepertiga dari UMP dan sesekali digebuki oleh majikan, saya menilai bahwa

semuanya baik adanya.’ Kita bayangkan seorang liberal berkata: ‘Meskipun pasar bebas

bukanlah alat yang sempurna untuk mengalokasikan sumber daya secara adil, saya menilai

bahwa hal itu baik adanya.’ Kita bayangkan seorang aktivis mahasiswa berkata: ‘Meskipun

gerakan politik berbasis moral kerapkali buntu, saya menilai bahwa hal itu baik adanya.’ Kita

bayangkan seorang ekonom berkata: ‘Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian

besar ditopang konsumsi berbasis kredit, saya menilai bahwa semuanya baik adanya.’ Kita

bayangkan seorang pelaku pelecehan seksual berkata: ‘Meskipun saya melecehkanmu secara

seksual, saya menilai bahwa semuanya baik adanya.’ Singkatnya: ‘Kita harus membayangkan,

somehow, Marsinah berbahagia.

Apabila hal-hal itu mulanya demikian sulit kita bayangkan, adalah karena sumbangsih

Goenawan Mohamad lah sehingga pernyataan-pernyataan itu jadi dapat dibayangkan, akrab

dan lumrah. Mengapa demikian?

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 12/19

Makelar Filsafat Prancis: Formasi Selera Intelektual

Saya teringat akan kisah Borges yang dituturkan ulang oleh Foucault dalam Tatanan Hal Ihwal.

Diriwayatkan bahwa di negeri Tiongkok, kenyataan dibagi dan diklasifikasi berdasarkan

derajat kedekatannya dengan kaisar. Upaya membangun taksonomi semacam itu jugalah yang

dijalankan oleh Goenawan dalam tulisan-tulisannya: mana yang sungguh merupakan puisi dan

mana yang hanya slogan; mana yang berpolitik secara otentik dan mana yang sekadar politik

kekuasaan; mana filsafat yang baik dan mana filsafat yang rendahan, positivistik, dsb. Jangan

lupa bahwa ini merupakan kelanjutan yang konsisten dari arahan Ivan Kats[16] tentang

perlunya seorang ‘penafsir-makelar’ yang akan menyortir pemikiran-pemikiran yang baik bagi

‘Indonesia’—dalam lingkup tema ‘kebebasan’ yang ditawarkan Congress for Cultural Freedom

dan direstui oleh seksi Office of Policy Coordination di bawah CIA.

Apa yang dibentuk oleh Goenawan Mohamad adalah apa yang saya sebut sebagai ‘selera

intelektual.’ Ia hendak membentuk semacam ‘setingan default’ atau ‘setelan pabrik’ dari

paradigma berpikir intelektual Indonesia. Hal ini dapat diuji dengan cara yang sederhana.

Dalam beberapa kali diskusi dengan teman-teman yang kerap membaca dan menggemari

tulisan Goenawan, saya amati bahwa perdebatan akan meruncing ke satu/dua proposisi pokok

yang tidak bisa dijustifikasi oleh argumen rasional yang lebih mendasar lagi. Proposisi-

proposisi semacam itu, antara lain ‘kebebasan berpikir’ atau ‘kemanusiaan,’ adalah ‘setelan

pabrik’ si kawan yang tercipta dari internalisasi tulisan-tulisan Goenawan selama bertahun-

tahun. Dalam situasi seperti itu, bahkan bila saya menanyakan lebih jauh, misalnya, ‘apa syarat-

syarat material dari adanya sesuatu yang Bung sebut “kebebasan berpikir” dan “kemanusiaan”

itu?’ maka kawan itu akan kebingungan, karena selama ini ia mengganggap proposisi tersebut

sudah self-evident, sudah jelas dengan sendirinya dan tak mungkin dipertanyakan lagi. Pada

detik itu, saya tahu bahwa saya tengah berhadapan dengan sejenis robot Forex.

Cara bekerja ‘selera intelektual,’ karenanya, menyerupai apa yang disebut Althusser sebagai

‘aparatus ideologis negara.’ Pembentukan selera semacam ini pada hakikatnya adalah

internalisasi mekanisme sensor. Apa yang disensornya adalah proposisi filosofis tertentu yang

didefinisikan sebagai ‘gangguan’ terhadap operating system kultural yang telah terinstal

dalam kepala si subjek. Dalam hal inilah dapat dikatakan bahwa kesusasteraan merupakan

sarana ‘rekayasa sosial’ (social engineering). Justru di sinilah pernyataan Goenawan yang

seolah tampak otentik—bahwa dengan sastra Lekra, ‘jang ada tjuma 1 Revolusi, 1000 slogan

dan 0 puisi’[17]—menemukan ekspresinya yang paling kontradiktif. Distingsi yang ia coba

bangun antara slogan dan puisi segera runtuh manakala kita menyadari bahwa puisinya adalah

juga sarana formasi selera intelektual yang berperan dalam internalisasi mekanisme sensor

kultural. Puisi-puisi Goenawan, karenanya, adalah juga himpunan slogan. Bedanya hanyalah

bila puisi penyair Lekra tak coba menyembunyikan diri dari kemiripannya dengan slogan

politik, puisi Goenawan telah menyaru demikian rupa sehingga tampak seperti sepotong puisi

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 13/19

‘murni.’ Meminjam analogi dari dunia periklanan, puisi-puisi Goenawan adalah seperti iklan

kondom. Inilah ilustrasi dari yang tempo hari saya sebut sebagai ‘politik gratisan yang

berkedok kesubliman.’

Melalui surat Kats 20 November 1969, kita juga jadi tahu mengapa pada perkembangannya

kemudian, Goenawan banyak mempromosikan filsafat Prancis kontemporer. Setelah

eksistensialisme sebagai tren mulai mengendur, maka dikemaslah secara ulang dan dipasarkan

ke Indonesia sebagai pascamodernisme. Apabila kita perhatikan, pascamodernisme yang

dipromosikannya sejak akhir 80-an sebetulnya tak jauh berbeda dari eksistensialisme madesu

yang dipasarkan di era 60-an. Filsafat yang ia tawarkan adalah selalu filsafat yang mengeluh

dan mengelus dada. Filsafatnya adalah filsafat yang sendu—seneng duit, celetuk teman saya. Ia

mencoba mengemas ulang gagasan tentang emansipasi sosial yang sebetulnya inheren dalam

filsafat Prancis kontemporer, dengan cara dipreteli konteks Marxis-Leninisnya dan

dijangkarkan pada kegalauan psikologis. Unsur-unsur psikologis inilah yang berperan sebagai

komando yang memoderasi tuntutan emansipasi pada taraf yang dapat diterima secara

normatif dan dapat dibrokerkan dengan negara dan para penyandang dana. Di tangan

Goenawan, Zizek dan Badiou jadi tak punya taring dan perannya disubordinatkan pada

pemikir-pemikir Prancis lain yang ia pikir lebih dapat diintegrasikan pada tradisi liberal:

Derrida, Laclau, Lacan, dsb. Tak pelak lagi, ini adalah manifestasi dari politik kebudayaan

pejabat kolonial yang dikerjakan seturut arahan Tuan Besar Gubernur Jendral CCF, Meneer

Ivan Kats. ‘Hei Rinkes, jangan lagi kau bicara soal peradaban!’

Pada Suatu Pagi Ketika Komunisme Tak Ada Lagi

Apa konsekuensi semua ini bagi proses konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965?

Semua itu berjalan ‘step demi step,’ seperti telah dinubuatkan Anwar Congo. Saya sepakat

dengan Wijaya yang menyatakan dalam penelitiannya bahwa Goenawan Mohamad turut

berperan serta dalam penumpasan komunisme secara intelektual. Namun lebih jauh lagi, saya

juga berpendapat bahwa Goenawan turut berpartisipasi dalam proses konsolidasi kapitalisme

di Indonesia pasca 1965. Ia memang kerapkali memberikan ‘sentilan-sentilun kritis’ terhadap

kapitalisme di berbagai tulisannya. Tetapi agaknya, sikap kritis semacam itu hanyalah langkah

penyimpulan ad hoc yang tidak dideduksikan secara langsung dari dalam asumsi-asumsi dasar

posisi pemikirannya. Buktinya adalah ketika pertanyaan tentang masalah alternatif sistem

ekonomi ditawarkan secara eksplisit kepadanya, ia tanpa ragu memilih kapitalisme,

sebagaimana nampak dalam laporan wawancaranya dengan Rizal Mallarangeng pada bulan

Juni 1996 berikut ini:

‘Jadi masalah yang paling penting adalah yang berhubungan dengan peran

birokrasi. Bagi Goenawan Mohamad, satu-satunya cara yang mungkin dilakukan

untuk mengatasi atau memperkecil masalah tersebut adalah dengan melaksanakan

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 14/19

Dan berada di bawah dominasi kaum birokrat, di bawah Partai, adalah mimpi buruknya

sebagai seorang liberal. Ivan Kats telah memastikan agar mimpi buruk itu tak jadi milik

Goenawan semata, tetapi juga semua yang membaca tulisan Goenawan. Dengan turut

membangun dikotomi kultural yang absurd antara kapitalisme dan otoritarianisme, antara

‘atmosfer kebebasan’ dan komunisme yang mencekik, itulah Goenawan menyiapkan

prakondisi epistemik bagi terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia pasca 1965. Ia membuat

kapitalisme jadi wajar.

Setelah memahami konteks ini, kita jadi mengerti mengapa ia pada akhirnya turut melawan

Orde Baru. Sebab Orde Baru adalah manifestasi kapitalisme-negara, suatu kapitalisme yang

bercorak otoritarian, suatu kapitalisme yang tidak konsisten dengan postulat liberalnya

sendiri. Maka perlawanan Goenawan terhadap Orde Baru, dalam arti itu, bukanlah perlawanan

kaum Kiri terhadap kapitalisme. Itu adalah perlawanan seorang liberal tulen terhadap

kapitalisme yang inkonsisten. Saya sepakat dengan pernyataan Wijaya bahwa kendati

Komunias Utan Kayu yang dibangunnya merupakan salah satu simpul perlawanan atas Orba

yang mengakomodasi suara para mantan tapol ’65 dan gerakan Kiri, ‘pendekatan Goenawan

tersebut harus diletakkan dalam kerangka prinsip-prinsip liberalisme yang telah ia

pertahankan sejak 1960an.’[19] Tujuannya ialah mengembalikan kapitalisme dan liberalisme

dalam wujudnya yang sejati, yang non-otoritarian: suatu kapitalisme dan liberalisme yang

kaffah, yang murni dan konsekuen. Pasar persaingan sempurna yang ditopang oleh eongan-

eongan kedaifan, sejumput puisi dan segurat justifikasi bagi politik etis.

Maka, pada suatu pagi ketika komunisme tak ada lagi, kita harus membayangkan Marsinah

berbahagia. Seperti para korban pembantaian ‘65 yang digambarkan menjelang akhir film The

Act of Killing: dengan latar air terjun yang damai, mereka dibayangkan mengalungkan medali

pada sang pembantai dan menjabat tangannya sembari berucap, ‘Atas eksekusi yang saudara

lakukan terhadap diri saya, yang mengantarkan saya ke dalam sorga, untuk itu saya ucapkan

ribuan terima kasih.’ Kita harus membayangkan para korban itu bergembira. Atas nama

kebebasan, atas nama Kirilov dan Dr. Rinkes, kita harus membayangkan mereka bersukacita.

‘Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.’[20]***

[1] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi

Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Jakarta: Marjin Kiri, 2013), h. 65-66.

kebijakan deregulasi. Dengan kata lain, dia menerima pandangan bahwa “jalan

kapitalis” saat ini perlu, necessary, dan baik untuk Indonesia. Benar bahwa sebagai

seorang humanis dia memiliki beberapa keberatan atas sistem kapitalisme secara

umum. Kendati demikian, menurut pendapatnya, tak ada alternatif yang lebih baik.

“Kalau Anda mau menyingkirkan kaum kapitalis,” katanya, “Anda harus siap

berada di bawah dominasi kaum birokrat.”’[18]

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 15/19

Bagikan ini: Cetak

[2] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 95-96.

[3] Ibid (lih. catatan kaki no. 118).

[4] Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 16 Desember 1965.

[5] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 85.

[6] Lih. Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 84 (catatan kaki no. 77).

[7] Surat H.B. Jassin – Goenawan Mohamad, 28 Juni 1966.

[8] Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969.

[9] Lih. surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 24 Januari 1970, 5 April 1970, 21 Mei 1970, 20

Oktober 1970 & 22 Oktober 1970.

[10] Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 22 Oktober 1970.

[11] Albert Camus, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1999), h. 159.

[12] Albert Camus, Mite Sisifus, h. 157.

[13] Albert Camus, Mite Sisifus, h. 159.

[14] Goenawan Mohamad, “Affair Manikebu, 1963-1964” dalam Eksotopi (Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti, 2002), h. 128-129.

[15] Muhammad al-Fayyadl, “Mite Camus” dalam Sorge Magazine, November 2013, h. 12.

[16] Lih. surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969.

[17] Goenawan Mohamad, “Tjatatan Kebudajaan: Ketika Manifes Kebudajaan Dilarang,” dalam

majalah Horison, Mei 1967, h. 131.

[18] Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 (Jakarta: KPG

& Freedom Institute, 2004), h. 140.

[19] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 308.

[20] Rocky Gerung, Merawat Republik dengan Akal Sehat (Jakarta: DKJ TIM, 2010), bagian IV.

Surat elektronik Facebook 463 Twitter 218 Google

Ke Atas

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 16/19

Marxisme dan Program Analisis Konseptual

Berlangganan & Terhubung

Berlangganan via Email untuk update atau terhubung melalui Twitter & FB

E-mail

Pos Terkait:

Marxisme dan Program Analisis Konseptual

Marxisme dan Masa Muda

Marxisme dan Kalkulasi Sosialis

Marxisme dan Wina Merah

Marxisme dan Libertarianisme

, Martin Suryajaya

Kirim

<

2 Tanggapan untuk Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan

Liberal Pasca 1965

jemi 04/12/2013 at 12:07 pm #

Dahsyat!!!

BALAS

sasa 04/12/2013 at 3:00 pm #

Mantap!

BALAS

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 17/19

Tinggalkan Balasan

Tulis komentar di sini...

Dukung kami hadir dan berkembang di tahun 2013 ini!

IndoProgress hadir sebagai alternatif untuk mengabarkan kepentingan warga negara dan

menggerakkan kesadaran publik untuk menuntut hak-haknya sebagai warga negara melalui

produk berita/opini online, dan penerbitan buku serta jurnal edisi cetak. Pada tahun 2013 ini

IndoProgress juga akan berkembang memasuki ranah media radio dan televisi streaming.

Untuk itu, kami membutuhkan dana minimal sebesar $5,000 tahun 2013 ini untuk pengelolaan

web dan kesuksesan program-program Indoprogress.com tersebut.

IndoProgress 100% mandiri dan non-komersil. Hanya melalui dukungan pembacalah

IndoProgress.com akan terus hadir dan berkembang sebagai media yang berada di sisi publik.

Donate now, and spread the word!

Cari...

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 18/19

TERKINI KOMENTAR

12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA

indoprogress.com/logika/?p=437 19/19

LOGIKA oleh MARTIN SURYAJAYA

2013