bbahan ajar pai mgmp · web view2020/07/07  · setelah beliau wafat, menjadi tugas dan tanggung...

91
BAB IV FIQH I. KHUTBAH, TABLIG DAN DAKWAH A. Khutbah, Tablig dan Dakwah Makna ketiga ungkapan tersebut di atas hampir sama yaitu berpidato, ceramah atau menyampaikan pesan kepada orang lain. Secara lughowi makna ketiganya dapat diurai sebagai berikut: Khutbah berasal dari kata) - ة ا ب ظ خ- ة ب ط خ- ب ط خ ي ب ط خ( bermakna ( وعظ) memberi suatu ucapan (menyambut/memberi sambutan), sehingga pelaksanaan khutbah selalu dengan kegiatan ibadah lainya, seperti shalat (Jum’at, Idul fitri, Idul adha, Istisqo, Kusuf, Wukuf, Nikah dan lain-lain). Dalam pelaksanaan khutbah memiliki persyaratan dan rukun, baik untuk pelaksanaan khutbah dan waktu khutbah serta sunnat dan keutamaan ketutamaan lainnya. 1. Tablig dari kata ( غ ي ل ب ت ا – وغ ل ب غ ل ب" ت غ ل ب) menyampaikan, memberitahukan dengan lisan yang fasih ( / غ ل ب ح ص ف) Dalam pelaksanaannya bisanya secara formal, seorang mubaligh menyampaikan 123

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BBAHAN AJAR PAI MGMP

Bab 12 : Khutbah dan Dakwah

BAB IV

FIQH

I. KHUTBAH, TABLIG DAN DAKWAH

A. Khutbah, Tablig dan Dakwah

Makna ketiga ungkapan tersebut di atas hampir sama yaitu berpidato, ceramah atau menyampaikan pesan kepada orang lain. Secara lughowi makna ketiganya dapat diurai sebagai berikut:

Khutbah berasal dari kata) - يخطب - خطبة - خظا بة خطب ( bermakna ( وعظ ) memberi suatu ucapan (menyambut/memberi sambutan), sehingga pelaksanaan khutbah selalu dengan kegiatan ibadah lainya, seperti shalat (Jum’at, Idul fitri, Idul adha, Istisqo, Kusuf, Wukuf, Nikah dan lain-lain). Dalam pelaksanaan khutbah memiliki persyaratan dan rukun, baik untuk pelaksanaan khutbah dan waktu khutbah serta sunnat dan keutamaan ketutamaan lainnya.

1. Tablig dari kata ( بلغ – يبلغ – بلوغا – تبليغ) menyampaikan, memberitahukan dengan lisan yang fasih (بلغ / فصح) Dalam pelaksanaannya bisanya secara formal, seorang mubaligh menyampaikan ajaran agama dengan gaya dan retorika yang dapat menarik orang yang mendengarkannya.

2. Dakwah berasal dari kata ( ودعوى - دعاء يدعو - ( دعا - yang berarti memanggil, menyeru, mengajak akan sesuatu hal, sehingga dalam pelaksanannya lebih bersifat informal, memilki ruang lingkup, tujuan dan cara-cara yang beragam, dengan pendekatan-pendekatan tertentu (memerlukan taktik dan siasat).

Tugas seorang da’i sangat berat untuk itu kesiapan ilmu, amal dan himah ‘aliyah dalam meninggikan kalimatullah, kualitas seorang da’i betul-betul akan teruji sesuai objek dakwah yang dihadapinya. Allah SWT telah membekali metode terbaik dalam dakwah:

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْن

Artinya :

“Ajaklah ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan nasihat yang baikdan bertukar pikiranlah dengan mereka dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu maha mengetahui terhadap orang yang sesat dari jalan-Nya dan Allah Maha mengetahui terhadap orang yang mendapat petunjuk”

Dari ayat di atas ada 3 metode atau pendekatan dalam berdakwah, sbb :

1. Approach hikmiyah (filosofi) dan aqliyah (rasional)

2. Approach ma’uizhah (pengajaran)

3. Approach mujadalah (diskusi, bertukar fikiran)

Golongan pertama,adalah golongan yang berfikir terpelajar (inteleqtual) yang mempunyai daya tangkap cepat, kritis dsb. Maka di sini menggunakan dalil-dalil yang dapat diterima akal (ratio) dititik bertakan pada otak dan pikiran. Dengan menggunakan metode induktif yaitu mempergunakan logika.

Golongan kedua, adalah golongan awam yang daya tangkapnya lambat, daya fikirnya tidak kuat. Metodenya, pengajaran, nasehat-nasehat yang baik lagi mudah difahaminya. Dititik beratkan kepada rasa dengan membawanya kearah tingkat pemahaman.

Golongan ketiga,adalah golongan menengah yang dititik beratkan kepada berdialog, diskusi yang dapat meningkatkan pengertiannya dan keyakinannya. Lebih banyak dipakai metode diduktif yang bersifat memberikan keterangan, menarik kesimpulan dengan mengemukakan alasan-alasan dari sumber hulkum Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang sudah diyakini sebagai pegangan dan pandangan hidupnya.

B. Ketentuan Khutbah, Tablig dan Dakwah

1. Ketentuan Khutbah Jum’at

a. Syarat Khotib

1) Mengetahui Ajaran Islam (aqidah, syari’ah dan akhlak)

2) Mengetahui syarat, rukun dan sunat-sunat khutbah

3) Fasih dalam mengucapkan bahasa khutbah (arab)

4) Baligh, taqwa, ahlakul karimah, tidak fasik dan munafik

5) Muru’ah.

b. Syarat dua Khutbah

1) Khotib suci dari hadats dan najis serta menutup aurat

2) Khutbah dilaksanakan sesudah masuk waktu dhuhur

3) Berdiri ketika khutbah (Jika mampu)

4) Duduk di antara dua khutbah

5) Khutbah diucapkan dengan suara yang keras dan fasih

6) Tertib.

c. Rukun Khutbah

1) Membaca Hamdallah

2) Membaca syahadatain

3) Membaca shalawat

4) Berwasiat taqwa

5) Membaca ayat al-qur-an pada salah satu khutbah

6) Berdo’a pada khutbah kedua.

d. Sunah Khutbah

1) Khatib berdiri ketika khutbah

2) Mengawali khutbah dengan memberi salam

3) Khutbah hendaknya jelas, mudah difahami tidak terlalu panjang

4) Khotib menghadap jama’ah ketika khutbah

5) Menertibkan rukun khutbah

6) Membaca surat al-ikhlas ketika duduk diantara dua khutbah

2. Perbedaan antara Khutbah Jum’at, Idul Fitri, Idul Adha

a. Waktu pelaksaanaan :

1. Khutbah jumat dilaksanakan waktunya saat shalat zuhur

2. Kutbah jum’at dilaksanakan di Masjid

3. Khutbah jum’at, khutbah pertama dan kedua dilaksanakan secara berurutan.

4. Khutbah jum’at dilaksanakan sebelum pelaksanaan shalat.

5. Khutbah Idul Fitri dan Idul Adha dilaksanakan di pagi hari

6. Khutbah Idul Fitri / Adha dilaksanakan setelah shalat

7. Pelaksanaan shalat idul fitri dan idul Adha dilaksanakan bisa di Masjid dan dilapangan terbuka.

3. Ketentuan Tablig dan Dakwah

a. Ibda’ bi-Nafsihi

b. Bijaksana mengajak sesuai keadaan jama’ah (Biqodri hal wa-uqulihim)

c. Menggunakan jalan dakwah bil-hal

d. Menggunakan metode da’war Rosulullah (QS. An-Nahl :125).

C. Perbedaan Khutbah dan Dakwah

1. Waktu Pelaksanaan, waktu Khutbah jum’at telah ditentukan syara’ (waktu dhuhur) sedang dakwah bebas.

2. Khotib / da’I, Khotib harus laki-laki dan suci dari hadats dan najis, sedang dakwah tidak diharuskan demikian.

3. Mustami’, Mustami’ mendengarkan khutbah jum’at sebagai syarat sahnya sholat jum’at.

4. Ketentuan hukum, Khotib harus mematuhi hukum pelaksanaan khutbah sedang da’i tidak diharuskan.

D. Bahasa Khutbah

Apabila jamaah yang mendengarkan khutbah mengerti dan dapat memahami bahasa Arab, maka sebaiknya khotib menyampaikan khutbahnya dengan bahasa Arab.

Tetapi jika para jamaah yang mendengarkan khutbah tidak dapat memahami bahasa Arab, maka khotib hendaklah menyampaikan khutbah dengan bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami oleh jamaah (pendengarnya), Allah SWT. berfirman :

Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)

Sebaik apapun materi dan susunan khutbah yang disampaikan oleh seorang khotib dengan menggunakan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh pendengarnya, maka misi dan pesan dari khutbah itu tidak akan dapat ditangkap dan diambil manfaatnya oleh para pendengarnya. Oleh sebab itu, seorang orator (Khotib) yang baik ialah yang mampu menyampaikan ide dan misinya dengan bahasa kaumnya atau pendengarnya, sehingga mereka dapat mengerti dan memahami serta mengambil manfaat dari apa yang disampaikannya.

E. Kunci Sukses Berkhutbah

Agar seorang (khotib) sukses dalam berkhutbah dan apa yang disampaikan dapat diterima para jamaah pendengarnya, maka seorang khotib hendaklah memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Materi Khutbah Harus Up To Date

Di dalam menyampaikan khutbah seorang khotib hendaklah dapat merangsang dan menarik para pendengarnya untuk selalu mengikuti materi khutbah yang disampaikan. Dengan demikian apa yang disampaikan akan dapat ditangkap dan misi dari khutbahnya dapat menyentuh dan menggugah semangat mereka untuk berpacu meningkatkan aktivitas ibadah dan amal saleh, serta meninggalkan kemungkaran dan kemaksiatan.

2. Khutbah Hendaklah Relevansi dengan Realitas dan Disampaikan Sesuai dengan Daya Tangkap Jamaah

Seorang khotib hendaklah memahami situasi dan kondisi serta masalah-masalah aktual yang sedang terjadi dimasyarakat, sehingga apa yang disampaikan memiliki relevansi dengan realitas yang sedang terjadi, terutama persoalan yang sedang dihadapi oleh para jamaah. Kemudian menyampaikan materi khutbah aktual itu sesuai dengan akal dan daya tangkap para jamaah yang menjadi pendengarnya.

Rasulullah Saw. bersabda: "Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal dan daya tangkap mereka." Kemampuan akal dan daya tangkap di sini, mengandung pengertian bahwa apa yang disampaikan hendaklah setingkat dengan latar belakang pendidikan para pendengarnya serta berkaitan dengan lingkungan dan budaya mereka.

3. Khathib Harus Ikhlas dalam Berkhutbah

Di dalam menyampaikan khutbah seorang khatib harus tulus dan ikhlas, agar apa yang disampaikan itu dibarengi hidayah dari Allah Swt. sehingga meninggalkan atsar positif ke dalam hati pendengarnya. Apabila seorang khotib tidak memiliki ketulus-ikhlasan, maka sangat besar kemungkinan apa yang disampaikan itu akan masuk telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri, tanpa meninggalkan atsar bagi pendengarnya.

4. Menggunakan Metode yang Tepat

Agar apa yang menjadi maksud dan cita-cita seseorang dapat berhasil dan sukses, maka ia harus menempuh cara atau metode yang baik dan tepat dalam usahanya untuk merealisasikan apa yang menjadi tujuannya itu. Demikian halnya dengan seorang khotib, agar apa yang menjadi tujuan dari khutbah yang disampaikan itu dapat sampai dan diterima dengan baik oleh para pendengarnya, maka ia harus menggunakan metode yang baik dan tepat. Penggunaan dan penerapan metode yang tidak tepat akan menyebabkan para pendengarnya kurang menaruh simpati terhadap apa yang disampaikan, bahkan mereka akan cenderung apatis dan mengantuk. Jika demikian, tentu apa yang menjadi misi dan tujuan khutbah tidak dapat berhasil dengan baik.

5. Menghias Diri dengan Akhlakul Karimah

Seorang khotib yang berkhutbah berarti mengajak para jamaah untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, serta mengaplikasikan nilai-nilai takwa dalam kehidupan sehari-hari, baik secara internal dalam lingkungan keluarga maupun dalam skala yang lebih luas sebagai bagian dari warga masyarakat bangsa. Oleh sebab itu, keteladanan seorang khotib menjadi sangat penting dan merupakan kunci utama dalam kesuksesan berkhutbah.

Seorang khotib jangan sampai masuk dalam kategori sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah Swt. berikut ini :

Artinya : “(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.(Q.S. as-Saff / 61;3)

Dengan demikian seorang khotib sebelum menyerukan dan mengajak para jamaah beramar ma'ruf dan nahi mungkar, terlebih dahulu harus mengawali pada dirinya sendiri, supaya tidak terjadi suasana yang paradoks antara prilaku dan akhlaknya dengan apa yang disampaikannya, dan tidak pula termasuk orang yang berdosa sebagaimana yang digambarkan dalam ayat tersebut.

F. Dakwah

Tugas dan tanggung jawab dakwah Islamiah adalah tugas suci yang diemban oleh semua nabi dan rasul Allah, sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW., sebagai nabi dan rasul yang terakhir. Setelah beliau wafat, menjadi tugas dan tanggung jawab setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT. dan semua orang yang mengaku umat Nabi Muhammad SAW.

Kalau kita perhatikan ayat-ayat Alqur-an dan Sunah, maka tampak dengan jelas, bahwa tugas dakwah Islamiah itu diwajibkan kepada setiap orang muslim, kelompok masyarakat, dan pemerintah/penguasa.

1. Kewajiban dakwah atas setiap orang muslim

Kewajiban individu masyarakat dalam dakwah Islamiah ini berdasarkan firman Allah berikut :

Artinya: Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang mak-ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. (Q.S. Lukman, 31/17)

Kandungan perintah yang senada dapat kita baca lagi dalam surah An-Nisa' ayat 114 dan Al-A'raf ayat 199.

Menurut Muhammad Izzah Dirwazah dalam kitab tafsirnya Ad- Dusturul Qur-ani, bahwa perintah-perintah dalam ayat-ayat tersebut dirujukkan kepada setiap individu masyarakat. Beliau mengatakan sebagai berikut :

فِىْ سُوْرَةِ النِّسَاءِ وَاْلاَعْرَافِ وَلُقْمَانَ اُيَاتٌ يَنْطَوِىْ فِيْهَا اِيْحبَابُهٌ عَلَى اْلاَفْراَدِ

Artinya : "Dalam surah An-Nisa', Al-A'raf dan Luqman terdapat ayat- ayat yang di dalamnya tersirat kewajibannya atas individu masyarakat."

Setiap orang yang beriman, yang melalaikan tugas ini, kemungkinan tidak diakui lagi sebagai umat Nabi Muhammad saw. Ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda:

لَيْرَمِنَّا مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوَ قِّرْ كَبِيْرَنَا وَيَأْمُرْ بِاْلمَعْرُوْفِ وَيَنْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ

(رَوَاهُ التِّرْمِذِىُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ)

Artinya : "Bukan termasuk umat kami orang yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita, orang yang tidak hormat kepada yang tua di antara kita, yang tidak menyuruh orang pada kebaikan dan yang tidak mencegah orang dari kemungkaran." (Diriwayatkan oleh: At-Tirmidzi).

2. Kewajiban dakwah atas kelompok masyarakat

Kelompok masyarakat atau organisasi politik dan organisasi sosial berkewajiban dalam dakwah Islamiah ini. Semua pengurus organisasi masyarakat itu beserta anggotanya pasti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Ini berdasarkan firman Allah berikut :

Artinya : “Dan hendaklah di antara kamu ada se-golongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mung-kar. ) Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran ; 3/104)

Kelompok masyarakat yang tidak bertanggung jawab terhadap amar makruf dan nahi mungkar akan ditimpakan hukuman dan siksaan di dunia ini juga. Ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan dari Jarir r.a., beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:

مَامِنْ رَجُلٍ يَكُوْنُ فِىْ قَوْمٍ يَعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِى يَقْدِرُوْنَ عَلَى اَنْ يَغَيِّرُوْاعَلَيْهِ فَلَمْ يَغَيِّرُوْا

اِلاَّ اَصَابَهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَمُوْتُوْا (رِوَاهُ اَبُوْدَاوُدَ)

Artinya : "Tidak ada seseorang yang berada dalam suatu masyarakat, yang berbuat kemaksiatan di tengah-tengah mereka yang keadaan mereka mampu mengubah (mengatasi) seseorang itu, lalu mereka tidak mengatasinya,'melainkan Allah akan menimpakan siksaan- Nya pada mereka, sebelum mereka mati." (Diriwayatkan oleh: Abu Dawud)

Maksudnya, bahwa apabila suatu masyarakat yang banyak itu tidak mampu mengatasi seseorang yang melanggar hukum Allah, maka semua masyarakat itu akan merasakan siksaan dari Allah di dunia ini di samping siksaan neraka kelak, bilamana mereka tidak bertobat.

3. Kewajiban dakwah atas pemerintah (penguasa)

Pemerintah adalah orang-orang yang paling berwibawa, dan sangat besar pengaruhnya dalam masyarakat. Mereka memikul tanggung jawab yang lebih berat dalam tugas dakwah ini dibanding dengan individu masyarakat dan organisasi atau kelompok masyarakat. Kewajiban mereka itu tersurat dan tersirat dalam surah Al-Hajj (S. 22), ayat 41:

Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka me-laksanakan salat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; dan ke-pada Allah-lah kembali segala urusan”. (Q.S. al-Hajj; 22/41)

Ayat tersebut didahului oleh penjelasan dalam akhir ayat 40 surah tersebut, bahwa Allah akan menolong orang-orang yang membela agama-Nya. Lalu dalam ayat 41 Allah menjelaskan, bahwa di antara orang yang harus membela agama Allah adalah orang-orang dikaruniai kedudukan dan jabatan di muka bumi.

Penguasa yang tidak baik dan tidak memperbaiki keadaan rakyat dianggap penipu rakyat. Oleh karena itu, mereka haram masuk surga.

Ancaman demikian itu adalah dari Rasulullah saw., berdasarkan Hadis berikut ini:

عَنْ مَعَقِلِ بْنِ يَسَارٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَامِنْ وَالٍ يَلِىْ رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَيَمُوْتُ وَهُوَ غَاشُّ لَهُمْ اِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ . مُتَفَقٌ علَيْهِ .

Artinya : "Dari Ma'qil. bin Yasar r. a., beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada seorang penguasa yang menguasai rakyat yang muslim, lalu ia mati dalam keadaan menipu mereka (rakyat), melainkan Allah mengharamkan surga baginya," (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

II. HUKUM ISLAM TENTANG MUAMALAH

Madinah Al-Munawwarah adalah negeri rintisan Rasulullah SAW ketika beliau hijrah dan menetap di sana. Ada lima prioritas utama dalam membangun Islam wal Muslimin di Madinah, yaitu : (1) Membangun mesjid, (2) Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshor, (3) Mencatat/mensensus jumlah penduduk baik muslim maupun non muslim, (4) Menjalin hubungan kerjasama dengan semua komponen masyarakat Madinah, (5) Mendirikan pasar.

Salah satu dari prioritas tersebut adalah mendirikan pasar Bani Qainuqa yang merupakan pusat perekonomian terpenting di Madinah. Berbagai transaksi ekonomi terjadi di dalamnya, sehingga Rasulullah SAW memandang penting agar setiap transaksi ekonomi menggunakan aturan yang sesuai dengan (kata aturan dan sebaiknya dihapus) ketentuan syara’ (syariat Islam).

Sejak akhir abad VI sampai abad XV Masehi (600 M – 1500 M) syari’at Islam digunakan dalam berbagai transaksi ekonomi dunia. Setelah terjadinya penjajahan bangsa Eropa sistem perekonomian Kapitalis dan Konvensional mulai menggeser sistem ekonomi syari’ah dan kembali menggeliat lagi pada milenium kedua dengan banyaknya lembaga-lembaga ekonomi baik dari kalangan perbankan maupun non perbankan mengakui kebenaran dan menerapkan serta memakai sistem perekonomian syari’ah.

Perbankan syariah yaitu bank (baik bank pemerintah maupaun swasta dalam dan luar negeri) yang (dihapus) praktiknya menghasilkan produk layanan syari’ah. Adapun non bank seperti; (Pasar Modal Syariah, Reksadana Syari’ah, Asuransi Syariah, Leasing Syariah, Pegadaian Syariah, MLM Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, BMT, Lembaga ZIS, Lembaga Wakaf dll), yang dalam praktik layanannya (transaksinya). menggunakan rambu-rambu hukum iIslam (syari’ah).

Ada lima prinsip dasar transaksi ekonomi syari’ah (muamalah):

1. Jual beli (bai’ al-Murabahah, ba’i as-salam, ba’i al-istishna’).

2. Titipan atau simpanan (al-wadi’ah)

3. Bagi hasil (Musyarokah, Mudharobah, Mujaro’ah, dan Musaqoh)

4. Sewa (ijaroh ).

5. Jasa (al-wakalah, al-hawalah, ar-rahn, al-qirdh)

A. Jual-Beli (al-bai’)

1. Pengertian dan Hukum Jual Beli

Jual beli berasal dari kata al-ba’i, asy-syira, al-mubadah, dan at-tijarah Secara etimologi jual beli adalah : pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).. Sedangkan menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :

a. Menurut ulama Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan).

b. Menurut Imam Nawawi, dalam Al-Majmu’ jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.

c. Menurut Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughni jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan milik.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah tukar menukar harta benda dengan alat pembelian yang berlaku atau dengan harta lainnya disertai ijab qabul yang ditetapkan syara’. Firman Allah SWT sebagaimana tertera dibawah ini :

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli & mengharamkan riba”(al-Baqoroh:275)

Melengkapi ayat Al Qur’an diatas, Nabi SAW bersabda :

حَدَّثَنَا يَزِيدُ حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ عَنْ وَائِلٍ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ جَدِّهِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُور (رواه احمد)

Suatu ketika Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab : “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad).

Maksud mabrur dalam hadits tersebut adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.

Para ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian bantuan atau barang milik orang lain yang di butuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

Mengacu pada ayat Al Qur’an dan hadits tersebut, maka hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu hukum jual beli bisa berubah menjadi sunah, wajib, haram, dan makruh. Contoh hukum jual beli:

1. Mubah: jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.

2. Sunah: jual beli untuk kesejahteraan keluarga atau kesejahteraan kaum muslimin.

3. Haram: jual beli yang terdapat unsur najis atau hasil barang curian.

4. Makruh: jual beli yang dilakukan anak-anak, atau dilakukan oleh orang tidak baik atau membeli barang yang mau dibeli orang lain

5. Wajib: jual beli yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang sangat mendesak

2. Rukun dan syarat syah jual beli

a. Rukun jual beli yang ditentukan syara adalah:

1) Penjual

2) Pembeli

3) barang yang diperjual belikan

4) Alat tukar jual beli

5) Aqad yaitu ijab-qabul antara penjual dan pembeli.

b. Syarat syah bagi penjual dan pembeli ialah:

1) Baligh atau sudah dewasa/mukallaf

2) Berakal sehat/tidak gila

3) Bukan pemboros (tabdzir)

4) Tidak ada paksaan (suka sama suka/saling rela)

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Ja-nganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (ti-dak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama su-ka di antara kamu. Dan janganlah ka-mu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. (QS. 4:29)

c. Syarat-syarat syahnya barang yang diperjual belikan:

1) Barang yang diperjual-belikan suci/bukan barang najis (haram)

2) Bermanfaat

3) Milik sendiri atau ada pelimpahan kekuasaan dari pemiliknya.

لاَ بَيْعُ اِلاَّ فِيمَا يُمْلَكُ. رواه ابو داود والترمذي

Artinya : ”Tidak syah jual beli, kecuali pada sesuatu yang dimiliki” (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

4) Barang tersebut dapat dikuasai keduanya, baik oleh penjual maupun pembeli.

5) Keduanya (penjual dan pembeli) mengetahui kadar, jenis dan sifat-sifat barang yang diperjual belikan.

3. Jual Beli yang Tidak Dibolehkan Syara’

Dalam hukum Islam (tasyri’ al-Islami) jual beli dapat dibenarkan apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Apabila salah satunya tidak terpenuhi maka jual beli tersebut cacat hukum/tidak syah (terlarang/haram hukumnya)

Beberapa transaksi jual beli yang dilarang hukum Islam antara lain:

a. Jual beli barang yang diharamkan (najis)

b. Jual beli barang yang belum ada ditangan si penjual (masih ditangan penjual lain).

c. Jual beli dengan sistem ijon yakni barang yang diperjual-belikan belum jelas seperti; keadaan/bentuknya, belum sempurna (masih dalam proses), masih muda (masih berbentuk bunga, atau belum matang untuk dipanen.

d. Jual beli binatang yang masih dalam kandungan induknya, ikan masih dalam kolam. Ubi yang masih dalam tanah dan lain-lainnya yang serupa dengan itu kejadiannya disinyalir terdapat unsur ghurur dan spekulasi.

اَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلىَ الله ُعَليَهِ وَسَلَّمَ نَهَي عَنْ بَيْعِ حَبْلَ الْحَبْلَةِ رواه البخاري ومسلم

”Bahwa Rasulullah SAW melarang menjual anak hewan yang masih berada dalam kandungannya”(H.R. Bukhori dan Muslim)

e. Jual beli sperma binatang jantan kecuali kalau meminjamkan pejantannya langsung.

نَهَي النَّبِيُّ صَلىَ الله ُعَليَهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ. رواه البخاري

“Nabi SAW, melarang menjual mani hewan” ( H.R. Bukhori)

Adapun jual beli berikut ini adalah syah akan tetapi dilarang :

a. Membeli barang yang sedang ditawar orang lain

b. Ihtikar yakni Jual beli dengan niat menimbun barang untuk dijual ketika harga barang naik karena masyarakat sangat membutuhkan.

c. Membeli barang dengan jalan mencegatnya di jalan sebelum penjual mengetahui harga pasar

d. Jual beli dengan memasukan unsur tipuan seperti mengurangi timbangan

نَهَي النَّبِيُّ صَلىَ الله ُعَليَهِ وَسَلَّمَ عَنْ بيع الغرر. رواه ومسلم

“Nabi SAW, melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan”

e. Jual beli alat-alat untuk maksiat

f. Jual beli ketika shalat jum’at.

Sedangkan Jual beli dikatakan makruh adalah apabila barang yang di perjual-belikan tidak mengandung manfaat contohnya rokok.

4. Khiyar Dalam Jual Beli

Khiyar adalah hak untuk memilih bagi penjual maupun pembeli untuk meneruskan aqad jual beli atau membatalkannya. Sesuai sabda Rasulullah SAW, ”Kalian berhak khiyar dalam tiap-tiap barang yang kalian beli selama tiga malam” ( H.R. Al-Baihaqi dan Ibn Majah).

Terdapat tiga macam khiyar yakni:

a. Khiyar Majlis, yakni hak bagi penjual dan pembeli untuk khiyar sewaktu barang masih berada di tempat. Apabila keduanya berpisah maka hilanglah hak khiyar bagi keduanya.

b. Khiyar Syarat, yakni hak khiyar dengan syarat-syarat tertentu. Waktu dan syarat pemenuhan selama tiga hari.

c. Khiyar ’aib, yakni hak khiyar karena adanya cacat pada barang yang dibeli maka pada penjual harus mau menerima kembali barang tersebut

5. Riba dan Jenis-jenisnya

a. Pengertian Riba

Riba secara bahasa bermakna; ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Kata riba juga berarti ; bertumbuh menambah atau berlebih. Al-riba atau ar-rima makna asalnya ialah tambah tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang disyaratkan dalam Al-Qur’an.

Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai “usury” yang artinya“the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest”  sementara para ulama’ fikih mendefinisikan riba dengan “ kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya”. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli, maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip mua’amalat dalam Islam. Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ : 29, Artinya : Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil.

Dalam kaitanya dengan pengertian al-batil dalam ayat tersebut, ibnu Arobi Al-Maliki menjelaskan seperti yang dikutip oleh Afzalurrohman. “ Pengertian riba” secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya.

Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bunga tanpa adanya suatu penyeimbangan yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Namun, yang tidak adil disini adalah peminjam diwajibkan untuk selalu dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor  orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa saja rugi.

Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama’ sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzahib fiqhiyyah, diantaranya sebagai berikut:

1). Badr Ad-Din Al-Ayni pengarang Umdatul Qari’ syarah Shahih Al-Bhukhari. Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari’ah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis rill.

2). Imam zarkasi dari madzab Hanafi. Riba adalah tambahan yang disaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut.

3). Raghib Al-Asfahani. Riba adalah penambahan atas harta pokok.

4). Imam An-Nawawi dari Madzab Syafi’i. Berdasarkan penjelasan Imam Nawawi diatas, dapat dipahami bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.

5).Qatadah. Riba Jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat membayar dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.

6).Zaid Bin Aslam. Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang beramplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata “bayar sekarang atau tambah”.

7).Mujahi. Mereka menjual daganganya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu membayar) si pembeli memberikan “tambahan” atas tambahan waktu.

8).Ja’far As-Shodiq dari kalangan Madzab Syi’a.Ja’far As-Shodiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman maka seseorang tadi tidak berbuat ma’ruf  lagi atas transaksi pinjam meminjam dan seterusnya. Padahal Qord bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia.

9).Imam Ahmad Bin Hambal. Pendiri Madzab Hambali. Imam Ahnad Bin Hambal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi  atauy membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan.

b.Jenis-Jenis Riba

Secara  garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok yang pertama terbagi lagi menjadi riba jahiliyah dan qardh. Sedangkan kelompok kedua riba jual beli terbagi menjadi riba Afdhl dan riba nasi’ah. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1).Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disaratkan terhadap yang berhutang (Muqtaridh).

2).Riba Jahiliyah

Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditentukan.

3).Riba fadhl

Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang ribawi.

4).Riba nasi’ah

Penangguhan, penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antar yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Dalam kitab Fathul Mu’in riba dibagi menjadi tiga yaitu :

1) Riba Fadhl

Yaitu selisih barang pada salah satu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya. Termasuk dalam macam ini adalah riba qordh yaitu jika dalam utang kembali kepada pihak pemberi utang.

2) Riba yad

Yaitu jika salah satu dari penjuual dan pembeli berpisah dari akad sebelum serah terima.

3) Riba Nasa’

Yaitu jika mensaratkan ada penundaan penyerahan dua barang ma’qud alaih dalam penukaranya (jual-beli).  

  

c.Hukum Riba

Hukum riba dalam Islam telah ditetapkan dengan jelas, yakni dilarang dan termasuk dari salah satu perbuatan yang diharamkan. Namun proses pelaranga riba dalam Al-Qur’an tidak diturunkan oleh Allah SWT sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.

1). Allah memberikan pengertian bahwa riba tidak akan menambah kebaikan disisi Allah SWT. (Q.S. Arrum : 39)

2). Allah SWT memberikan gambaran siksa bagi yahudi dengan salah satu karakternya suka memakan riba. (QS. An-Nisa’ : 160-161)

3). Allah melarang memakan riba yang berlipat ganda (Q.S.Ali Imran 130)

4). Allah melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba.(Q.S. Albaqoroh 278-279)

Untuk lebih memperjelas keharaman riba, Rosululloh SAW juga menjelaskan dan beberapa hadits diantaranya: yang artinya : dari Jabir ia berkata Rosululloh SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda mereka itu semuanya sama ( HR. Muslim)

Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwasanya nabi Saw telah bersabda “riba itu mepunyai 73 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang berzina dengan ibunya”. (HR. Mutafaqun Alaihi)

Bahkan dalam suatu hadis dinyatakan bahwa dosa orang yang mengerjakan riba lebih besar beberapa kali lipat daripada dosa orang yang berzina. Hal ini didasari oleh logika bahwa zina biasanya terjadi akibat gejolak syahwat yang tidak tertahan dan dilakukan tanpa pikir panjang, sementara praktik riba dilakukan dengan pertimbangan yang matang, jelas dan telaten.

Hakikat larangan tersebut tegas, mutlak, dan tidak mengendung perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar pada pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan dari uang pokok.

Larangan bunga ini tidaj hanya berlaku dalam agama Islam tetapi dalam agama non Islampun juga dilarang. Seperti halnya orang-orang Yahudi yang dilarang mempraktikkan riba. Pelarangan dimaksud banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam perjanjian lama (oldtestament). Maupun undang-undang talmud. Dalam Agama Kresten kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini dengan jelas. Namun, sebagian kalangan kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6 : 34-5 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Disamping itu, para pendeta Agama kresten pada awal abad I – XII M. Juga berpandangan bahwa pengambilan bunga dilarang oleh ajaran agama.

Dalam kalangan Yunani dan Romawi sejak abad 6 SM. Hingga 1 M. Telah terdapat beberapa jenis bunga. Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat yunani terkemuka, plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), menbgecam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang romawi yang mempraktikkan pengambilan bunga(13).

Dari sedikit uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun bentuk riba maupun bunga dilarang secara mutlak oleh smua Agama, terutama Agama-Agama samawi. Hal ini dikarenakan dampak yang dikarenakan oleh adanya riba atau bunga tersebut dipandang merugikan masyarakat.

6. Bentuk-bentuk Jual beli

Dalam praktiknya terdapat dua macam cara jual beli; yang dilakukan antar individu (jual beli pada umumnya), dan jual beli yang melibatkan pihak lain seperti produsen dan lembaga keuangan (bank), seperti dalam transaksi jual-beli Bai’ al-Murabahah, Ba’i As-Salam,Ba’i al-Istitsna. Untuk jual beli tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Bai’ al-Murabahah (deferred payment sale)

Yaitu jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberi tahu harga produk dan menentukan keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan yang disebut Murabahah kepada pemesan pembelian (KPP).

1

SKEMA APLIKASI BAI’ AL-MURABAHAH

(NASABAHBANKSUPLIERPENJUAL) 1. Negosiasi dan

Persyaratan

2. Akad Jual Beli

6. Bayar

5. Terima barang &

dokumen

3. Beli

Barang

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:6)

b. Bai’ As-Salam (In-Front Payment Sale)

Bai’ as-salam (pembelian lewat pesanan) yakni pembelian barang yang diserahkan kemudian hari,sedang pembayaran dilakukan dimuka. Dalam pelaksanannya terdapat rukun salam yaitu; muslam (pemesan), muslam ilaih (penjual), modal atau utang, muslam fiihi (barang) dan sighat (ucapan) aqad.

2

SKEMA BAI’ AS-SALAM

(BANKSYARIAHPRODUSENPENJUALNASABAH)

4. Kirim Pesanan

3. Kirim Dokumen 5. Bayar

2. Pemesanan barang 1. Negosiasi pesanan

Nasabah dan dengan kriteria

Bayar tunia

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

c. Ba’i Al-Isthisna (Purchase by Order or Manufactur)

Kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, kemudian pembuat barang berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi barang yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak sepakat atas harga serta sistem pembayaran.

3

SKEMA BAI’ Al-ISTISNA’

(BANKPENJUALPRODUSENPEMBUATNASABAHKONSUMENPEMBELI)

1. Pesan

3. Jual 2. Beli

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

B. Titipan/Simpanan/Depository (Al-Wadi’ah)

Wadi’ah ialah menitipkan barang pada seseorang atau lembaga untuk dijaga dan dipelihara sebagaimana mestinya, hukumnya mubah bagi penitip dan sunnah bagi yang sanggup menerima titipan. Adapun rukun wadi’ah ialah; : barang yang dititipkan, yang menitipkan, yang menerima titipan dan ijab qobul. Landasan hukum wadi’ah ialah firman Allah:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan titipan kepada yang berhaknya.. (Q.S. An-Nisa : 58)

Al-wadi’ah (titipan) terbagi atas (i) wadi’ah yad al-amanah (titipan pada tangan yang amanah), dalam aktifitas perekonomian modern berkembang menjadi (ii) Wadi’ah yad adh-dhamanah (titipan pada tangan si penanggung)

4

Skema al-wadi’ah Yad al-amanah

(NASABAH Muwadi(Penitip)BANK Mutawadi(Penyimpan))

Titip baran

Beban biyaya penitipan

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

Bagan tersebut menjelaskan pihak penerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang/barang titipan. Tapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan membebankan biyaya penitipan.

Dalam perkemabangannya, mengacu pada Wadi’ah Yad ad-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan wadi’ah, keuntungan yang dihasilkan menjadi milik bank sebagai imbalan penyimpan mendapat jaminan keamanan hartanya dan fasilitas giro lainnya. Bank juga tidak dilarang untuk memberikan insentif/bonus kepada penyimpan dengan catatan besarnya tidak disyaratkan sebelumnya tetapi merupakan kebijakan menejmen manajemen bank. Untuk lebih jelasnya lihat skema berikut:

5

Skema al-Wadi’ah Yad ad-Dhamanah

(NASABAH Muwadi (Penitip)BANKMutawadi (Penyimpan)USERS OF FUND(Dunia Usaha))

1. Titip Dana

4. Beri Bonus

2. Pemanpaatan dana

3. Bagi Hasil

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

C. Bagi hasil (Partnership Project Financing Participation)

1. Al-Musyarakah

Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing fihak memberikan konstribusi dana atau amal dengan kesepakatan keuntungan dan resiko ditanggung bersama. Aqad musyarakah terbagi:

· Syirkah al-’Inan; Kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja.Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sesuai kesepakatan (tidak harus sama).

· Syirkah Wujuh/musyarakah piutang adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik/ahli dalam bisnis dengan modal dari pihak di luar keduanya

· Syirkah A’maal /abdan/sanaa’i yaitu kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.

· Syirkah al-Mudharobah

Syirkah Mudharobah (qiradh) terjadi bila pemilik modal menyerahkan kepada seseorang yang akan memperdagangkan modal dengan ketentuan untung rugi ditanggung bersama.

· Syirkah mufawadhah adalah Syarikah gabungan dari berbagai bentuk syirkah yakni syirkah inan, abdan, mudharobah dan wujuh.

6

SKEMA APLIKASI AL-MUSYARAKAH

(NASABAH PARSIALASSET VALUENASABAH PARSIALASSET VALUEPROYEK USAHAKEUNTUNGANNASABAH Muwadi (Penitip))

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa: )

2. Al Mudharobah (Trust financing, Trust invesment)

Mudharobah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedang pihak lain menjadi pengelola dan keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan dalam kontrak.

Dalam aplikasinya Mudharobah terbagi atas dua jenis:

· Mudharobah Muthlaq yang cakupannya sangat luas tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.

· Mudharobah Muqoyadah dimana mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha.

7

SKEMA APLIKASI AL-MUDHAROBAH

PERJANJIAN

(PROYEK/USAHANASABAH (Mudharib)BANK (Sohibul mal) PEMBAGIAN KEUNTUNGANMODAL) BAGI HASIL

Keahlian Modal

Keterampilan 100 %

Nisbah X % Nisbah Y %

Pengambilan

Modal Pokok

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

3. Al-Muzara’ah (Harvest-Yield Profit Sharing)

Kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen. Al-Muzaro’ah sering diidentikkan dengan mukhobaroh. Perbedaannya muzara’ah benih dari pemilik lahan sedang mukhobaroh dari penggarap.

4. Al-Musaqah (Plantation managment fee based on certain portion yield)

Al-musaqoh lebih sederhana dari muzaroah, penggarap hanya bertanggung jawab atas pemeliharaan, sebagai imbalan penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

8

SKEMA APLIKASI AL-MUZARO’AH

(PEMILIKLAHANPENGGARAPLAHANLAHAN PERTANIANHASIL PANEN) PERJANJIAN

BAGI HASIL

Lahan Keahlian

Benih Tenaga

Pupuk dsb Waktu

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

D. Sewa (al-Ijaroh, al-Ijaroh al-Munahia bit-Tamlik).

Al-ijaroh ialah memberikan sesuatu kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dan penerima barang membayar imbalan atas barang yang digunakan.

Rukun al-ijaroh adalah:

1. Penyewa dan yang menyewakan harus baligh, berakal dan transaksinya atas kehendak sendiri.

2. Benda yang disewakan dapat diambil manfaatnya, diketahui jenis, kadar, sifat dan ditentukan pula jangka waktu penyewaannya.

3. Nominalnya upah sewa harus diketahui

4. Ijab dan Qabul.

Beberapa akad ijaroh yang terbiasa dilakukan di masyarakat:

a). Al-Ijaroh (Operation Lease)

Al-ijaroh adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut.

b). Al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik (financial lease with purchase option)

Akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan

9

SKEMA AL-IJAROH

(BANKSYARIAH NASABAHOBJEKSEWAPENJUALSUPLIER)

B. Milik

3. Sewa beli

A. Milik

2. Beli 1. Pesan Objek

Objek Sewa Sewa

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

E. Jasa (al-Wakalah, al-Hawalah, ar-Rahn, al-Qirdh).

1. Al-Wakala, Wakalah atau wakilah adalah penyerahan, pendelegasian atau penyerahan mandat. Terdapat dua pendapat tentang wakalah yakni bermakna (sebatas mewakili) dan wilayah atau (menggantikan) dalam urusan bisnis.

10

(BANKMUWAKILAgency Adminstration CollectionPaymentCo ArrangerDll NASABAHMUWAKILWAKILTAUKILINVESTOR)SKEMA AL-WAKALAH

Kontrak + Fee

Kontrak + Fee ( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

2. Al -Kafalah (Guaranty)

Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (yang ditanggung). Terdapat tiga jenis tanggungan:

a. Kafalah bi-nafs (jaminan atas diri/personal guaranted)

b. Kafalah bil-Maa (jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang)

c. Kafalah bit-Taslim (menjamin pengembalian atas barang yang disewa)

11

SKEMA AL-KAFALAH

(TERTANGGUNG(jasa/Objek)PENANGGUNG(BANK)DITANGGUNG(Nasabah))

Jaminan Kewajiban

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

3. Al – Hiwalah (Transfer Service)

Adalah pengalihan beban utang dari orang yang berutang (muhil) menjadi tanggungan si penanggung (Muhal alaih).

12

(MUHAL(PEMBELI)MUHIL(PENYUPLAI)MUHALAL ‘ALAIH(FAKTOR/BANK))SKEMA AL-HAWALAH

2. INVOICE 5. BAYAR

3. BAYAR 4. TAGIH

1. SUPLAI BARANG

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

4. Ar-Rahn (Mortgage)

Menahan salah satu harta peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Rahn adalah jaminan utang atau gadai. keuntungan bank yang didapat berupa biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran.

13

SKEMA AR-RAHN

(MURTAHINBANKMARHUN BIHPEMBIYAYAANMARHUNJAMINANRAHINNASABAH)

1. c 3. Akad Pembiayaan

4. Utang + Mark Up

1. a

1. b Titipan/Gadai Pembiyayaan

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa:

5. Al-Qardh (Soft and Benevolent Loan)

Pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan. Qiradh diterapkan pada hal-hal berikut:

a. Produk pelengkap bagi nasabah yang terbukti loyalitas dan bonafit.

b. Nasabah yang memerlukan dana cepat, namun dana yang dimiliki tidak dapat ditarik (dalam deposito).

c. Untuk menyumbang usaha sangat kecil (membantu sektor sosial) dikenal dengan istilah al-qardh hasan.

14

SKEMA AL-QIRADH

PERJANJIAN

(KEUNTUNGANKEUNTUNGANBANKNASABAH) QIRADH

Tenaga Modal

Kerja 100 %

100 %

Kembali

Modal

( Aris Mufti, M Syakir Sula; Amanah Bagi Bangsa)

F. Perbankan Syariah

Prinsip perbankan syari’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah di Makkah. Beliau dipercaya untuk menyimpan titipan barang berharga / harta dan surat-surat penting lainya karena bilau sangat dipercaya hingga diberi gelar Al-Amin Istilah titipan seperti itu adalah wadiah li-yad al-amanah (simpanan pada orang yang amanah). Rasul mendapat dari menyimpankan barang tersebut.

Dalam perkembangan berikutnya sahabat Jubair bin Awwam lebih memilih menanggung harta yang dititipkan padanya seolah-olah harta titipan itu beliau pinjam dan dibayarkan utuh pada penyimpan pada waktu jatuh tempo pengembalian. Istilah yang relevan adalah wadi’ah ila yad ad-dhaminah (simpanan pada tangan orang yang menanggung). Penyimpan boleh menggunakan harta titipan tersebut sebagai modal usaha layaknya usaha bank pada masa kini. Sehingga sistem perbankan yang berjalan sekarang merupakan aplikasi sistem pada masa Rasulullah tersebut. Yang perlu dicermati adalah apakah sistem tersebut sudah sesuai dengan kaidah hukum Islam (tasri’) atau tidak, bila sesuai maka bank tersebut dapat dikategorikan Bank Syari’ah.

Bank syari’ah pertama El-Najjar Bank Mesir (1963), Nasir Sosial Bank Mesir (1971), Islamic Develovment Bank (IDB) tahun 1974 dan berkembang pesat di berbagai negara yang berpenduduk muslim termasuk di Indonesia dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Dan pada Tahun 2000 sampai sekarang sistem syari’ah merupakan produk unggulan bank-bank baik di negara berpenduduk muslim maupun non muslim, hampir di berbagai belahan dunia di hampir setiap negara Bank syari’ah dapat ditemukan.

Dalam pembahasan ini, akan lebih rinci apabila dikembalikan kepada pandangan tentang adanya kesamaan antara praktik bunga dengan riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kesamaan itu sulit dibantah, apalagi secara nyata aplikasi sistem bunga pada perbankan lebih banyak dirasakan mudharatnya dari pada manfaatnya. Kemudharatan sistem bunga sehingga dikategorikan sebagai riba, antara lain adalah :

1. Mengakumulasikan dana untuk keuntungan sendiri.

2. Bunga adalah konsep biaya yang digeserkan kepada  penanggung berikutnya.

3. Menyalurkan harta hanya kepada mereka yang mampu.

4. Penanggung terakhir adalah masyarakat.

5. Memandulkan kebijakan stabilitas ekonomi dan investasi.

6. Terjadi kesenjangan  yang tidak akan ada habisnya.

Disamping itu, terlepas dari haram / tidaknya bunga bank, secara jujur harus diakui bahwa terdapat beberapa kelemahan pada penerapan sistem bunga dalam sistem bank konvensional, antara lain

1. Salah satu penyebab krisis berkepanjangan.

2. Menganaktirikan usaha sektor riil.

3. Menciptakan budaya malas.

4. Memperlebar jurang sosial antara si miskin dan si kaya.

Apabila ada suatu bank yang didirikan untuk membantu lalu lintas perdagangan, memudahkan kirim mengirim uang, memudahkan jual beli antar-bangsa, membantu manusia pedagang dengan modal, maka semua itu dibolehkan Agama. Hal yang tidak diperbolehkan hanyalah memungut atau memberikan rente pinjaman (riba/ bunga). Baik yang dilakukan oleh bank/ perseorangan, yaitu memungut rente pinjaman, maupun juga dilarang kalau dengan tujuan “ihtikar” (menumpuk barang-barang makanan pada waktu mahal untuk dijual dalam waktu yang lebih mahal lagi), maka semuanya menurut hukum agama adalah haram.

Dalam analisa terhadap praktik pembuangan dalam bank, tercatat beberapa hal sebagai berikut :

1. Bunga adalah tamnbahan terhadap uang yang disimpan pada lembaga keuangan atau uang yang dipinjam.

2. Besarnya bunga yang harus dibayar ditetapkan dimuka tanpa memperdulikan apakah lembaga keuangan penerima simpanan atau peminjam berhasil dalam usahanya/tidak.

3. Besarnya bunga yang harus dibayar dicantumkan dalam angka presentase dalam setahun, maksudnya apabila hutang tidak dibayar atau simpanan tidak diambil dalam beberapa tahun bisa terjadi berlipat ganda jumlahnya.

Dari ketiga hal tersebut diatas tampak jelas bahwa praktik membungakan uang adalah upaya untuk memperoleh tambahan uang atas uang semula dengan cara : (1). Pembayaran tambahan uang itu prakarsanya tidak datang dari yang meminjam, (2). Dengan jumlah tambahan yang besarnya ditetapkan dimuka, (3). Peminjam sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti apakah usahanya akan berhasil atau tidak dan apaakah ia akan sanggup membayar tambahan dari pinjamanya itu atau tidak; (4). Pembayaran tambahan uang itu dihitung dengan presentase sehingga tidak tertutup kemungkinan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar menjadi berlipat ganda.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bunga sama halnya dengan  riba an-nasi’ah yang dalam Al-Qur’an dan Hadits telah dijelaskan keharamannya. Namun, disisi lain banyak orang yang beranggapan bahwa bunga dan riba itu berbeda, karena bunga dianggap sebagai balas jasa atas pinjaman yang telah digunakan untuk kepentingan produksi. Berdasarkan pendapat yang kedua ini, maka lembaga bank dianggap sebagai jalan keluar dari riba. Maksudnya, unsur yang mengharamkan riba telah dihapus melalui peraturan perbankan dengan suku bunga yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dan disepakati oleh wakil rakyat. Namun demikian, bukankah hal tersebut hanyalah dalih untuk menghalalkan yang diharamkan agama?.

Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Tahu tentang yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Begitu juga dengan perubahan zaman seperti sekarang ini, tetapi Allah SWT tetap mengharamkan riba dengan jelas dalam firman-Nya, itu berarti tidak ada dalih apapun yang dapat menghalalkan riba. Alhasil, bagaimanapun dicari dalihnya, maka bunga itu terlarang menurut hukun Islam, tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-lNya.

G. Asuransi Syari’ah

Asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min.

Dalam Islam asuransi merupakan bagian dari mu’malah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi menurut fiqih Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.

Untuk pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.

III. MERAWAT JENAZAH

Jika salah seorang dari saudaramu yang muslim meninggal dunia, maka ucapkanlah :

انا لله وأنا ا ليــه راجعــون . اللهم أجــرنى فى مصيبــتى واخــلف لى خـيرا منــهــا

Artinya :

“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Ya, Allah berilah aku pahala dalam musibahku dan gantikanlah untukku yang lebih baik dari padanya”.

A. Takziah dan Ziarah Kubur

1. Takziah

Takziah adalah berkunjung kepada keluarga yang meninggal dunia. Hukumnya sunah, bahkan bisa menjadi wajib, apabila jenazah muslim/muslimat tidak ada yang mengurusnya (memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan) misalnya seseorang yang hidupnya sebatang kara.

Takziah sebaiknya dilakukan sebelum jenazah dimakamkan. Hal itu dimaksudkan agar yang bertakziah dapat membantu mengurus jenazah, paling tidak ikut menshalatkan, dan mengantarkan jenazah ke makam. Yang memandikan dan mengkafani jenazah biasanya keluarga dekatnya dibantu oleh orang yang mengetahui tentang tata cara mengurus jenazah. Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَلَهُ قَيْرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيْرَاطَانِ قِيْلَ وَمَا الْقِيْرَاطَانِ يَارَسُوْل اللهِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَيْنِ (متق عليه)

Artinya :

“Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang (takziah) hingga dishalatkan, maka dia mendapat pahala satu qirat, dan barangsiapa yang menghadirinya sampai dikuburkan, maka baginya mendapat pahala dua qirat”. Ketika Rasulullah SAW ditanya sahabat apakah dua qirat itu? Beliau menjawab, “Laksana dua bukit besar”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Adab Bertakziah

Orang yang bertakziah hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :

· Takziah hendaknya didasari dengan niat ikhlas karena Allah serta dengan maksud memperoleh rida dan rahmat-Nya.

· Berpakaian yang sopan dan menutup aurat.

· Bersikap serta bertingkah laku yang baik, yang mendatangkan manfaat khususnya bagi jenazah dan keluarganya.

· Berdoa agar jenazah diampuni segala dosanya dan dirahmati oleh Allah SWT. Cara mendoakan jenazah yang paling baik ialah dengan jalan menyalatkannya.

· Jika dipandang perlu hendaknya memberi nasihat kepada keluarga jenazah agar bersabar, bertawakal, memelihara serta meningkatkan takwanya kepada Allah SWT. Keluarga jenazah hendaknya menyadari bahwa setiap manusia pada hakikatnya adalah milik Allah, dan suatu saat mesti kembali kepada-Nya (meninggal dunia). Allah SWT berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al- Baqarah: 156-157).

· Memberikan bantuan uang atau lainnya yang diperlukan oleh keluarga jenazah. Terutama kalau keluarga jenazah termasuk fakir miskin, tentu mereka memerlukan bantuan dana untuk biaya pengurusan jenazah, bahkan mungkin untuk makan mereka. Kaum kerabat, tetangga dan sahabat karib dari keluarga jenazah, hendaknya bergotong-royong untuk memberikan bantuan berupa makanan kepada mereka, karena mereka dalam kesusahan dan kekalutan, sehingga tidak terpikir untuk memasak makanan. Dalam sebuah hadis Nabi SAW disebutkan: “Dari Abdullah bin Ja'far katanya, "Tatkala datang kabar meninggalnya Ja'far karena terbunuh, Rasulullah SAW bersabda, 'Buatlah olehmu makanan untuk keluarga Ja'far karena mereka sedang menderita kesusahan (kekalutan).'" (HR. Lima orang ahli hadis, terkecuali An-Nasa'i).

· Mengingatkan keluarga jenazah (jika dianggap perlu) agar segera melunasi utang jenazah, bila ia berutang, baik dibayar dari harta peninggalannya ataupun dari pertolongan keluarga-keluarganya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW telah bersabda, 'Diri orang mukmin itu tergantung (tak sampai ke hadirat Allah), karena utangnya, hingga dibayarkan dulu utangnya itu (oleh familinya)”. (HR. Ahmad dan Tirmizi).

2. Ziarah Kubur

Berziarah ke kubur hukumnya sunnah. Rasulullah SAW bersabda :

زُرُوا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ (رواه مسلم)

Artinya :

“Berziarahlah kamu ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu dapat mengingatkan engkau kepada mati”. (HR. Muslim).

Insya Allah jika menziarahi kubur sesuai dengan adab-adabnya, maka ziarah kubur akan mendatangkan banyak hikmah baik bagi yang berziarah maupun bagi yang diziarahi.

Adab Ziarah Kubur

Hal-hal yang harus diperhatikan ketika ziarah kubur, antara lain :

· Ziarah kubur hendaknya didasari dengan niat ikhlas karena Allah SWT serta dimaksudkan untuk memperoleh ridha-Nya.

· Hendaknya berpakaian sopan dan menutup aurat.

· Hendaknya mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan mendoakan agar mereka memperoleh keselamatan serta kesejahteraan di alam kuburnya, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW :

الســلام علـــيكـم أهــل الديار من المؤمنـين والمسلميــن وانــا ان شــاءالله بكــم لاحقــون. نســأل الله لنــا ولكــم العــافــية. (رواه مسلم واحـمد)

Artinya :

“Semoga keselamatan dan kesejahteraan Allah limpahkan kepada kamu semua wahai penghuni alam kubur, dari kalangan orang-orang beriman dan orang-orang Islam dan sesungguhnya kami Insya Allah akan menyusul serta bertemu dengan kamu semua. Kami mohon kepada Allah agar kami dan kamu semua memperoleh kesejahteraan”. (HR. Muslim dan Ahmad).

· Ketika berziarah tidak boleh menginjak-injak dan duduk-duduk di atas makam serta melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas, seperti kencing, meludah, dan membuang sampah ke atas makam.

· Tidak boleh meminta tolong kepada penghuni kubur yang diziarahi, misalnya minta lulus ujian, minta cepat dapat jodoh, minta naik pangkat dan mohon kesembuhan dari suatu penyakit. Permintaan-permintaan kepada penghuni kubur termasuk perbuatan syirik yang harus dijauhi.

B. Merawat Jenazah

Merawat jenazah adalah pengurusan jenazah seorang Muslim/Muslimat dengan cara memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkannya. Hukum melaksanakan pengurusan seorang Muslim/Muslimat dengan cara-cara tersebut adalah fardlu kifayah bagi orang-orang Islam yang masih hidup. Artinya, berdosa jika tidak ada seorangpun yang mengerjakannya.

Hal-hal yang segera dilakukan terhadap jenazah :

1. Dipejamkan matanya, mendo’akan dan memintakan ampun atas dosanya.

2. Dilemaskan tangannya untuk disedekapkan di dada dan kakinya diluruskan.

3. Dikatupkan mulutnya dengan mengikatkan kain dengan melingkari dagu, pelipis sampai ubun-ubun, bila jenazah menganga mulutnya.

4. Bila memungkinkan jenazah diletakkan membujur kearah utara dan badannya diselubungi dengan kain.

5. Menyebarluaskan berita kematiannya kepada kerabat-kerabatnya dan handaitaulannya.

6. Diperbolehkan mencium dan menangisi jenazah sepanjang tidak menjerit-jerit dan meratap-ratap.

7. Menyegerakan pelunasan hutang-hutang jenazah.

8. Menyegerakan perawatan jenazah :

a. Memandikan jenazah

b. Mengafani jenazah

c. Menshalatkan jenazah

d. Mengubur jenazah

C. Memandikan Jenazah

Sebelum jenazah seorang Muslim/Muslimat dikafani dan dishalatkan, terlebih dahulu jenazah dimandikan sesuai dengan cara-cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Syarat-syarat jenazah wajib dimandikan adalah :

a. Jenazah itu orang Islam.

b. Didapati tubuhnya walaupun sedikit.

c. Bukan mati syahid (mati dalam peperangan untuk membela agama Islam).

Jika jenazah yang hendak dimandikan adalah perempuan yang sudah dewasa, maka yang memandikannya harus perempuan juga, atau boleh juga suaminya atau mahramnya. Sebaliknya jika jenazah itu laki-laki, maka yang memandikannya harus laki-laki juga, atau boleh istrinya atau mahramnya.

Seorang laki-laki tidak boleh memandikan jenazah perempuan yang bukan istri atau bukan mahramnya. Demikian juga seorang perempuan tidak boleh memandikan jenazah laki-laki yang bukan suami atau mahramnya. Terkecuali kalau jenazah itu masih bayi atau kanak-kanak, maka yang memandikannya boleh orang yang berlainan jenis dengan jenazah yang dimandikan. Perlu pula diketahui bahwa yang paling berhak memandikan jenazah adalah keluarga terdekatnya, tetapi kalau keluarga terdekatnya berhalangan atau tidak mampu, maka haknya berpindah kepada orang lain yang mampu, dan bersifat amanah (dapat dipercaya). Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut :

“Dari Aisyah r.a., Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa memandikan mayat dan dijaganya kepercayaan, tidak dibukakannya kepada orang lain apa-apa yang dilihat pada mayat itu, bersihlah ia dari segala dosanya seperti keadaannya sewaktu dilahirkan oleh ibunya’. Sabda beliau lagi, 'Hendaklah yang mengepalainya keluarga terdekat kepada mayat jika pandai memandikan mayat, jika ia tidak pandai siapa saja yang dipandang berhak, karena wara'nya atau karena amanahnya”. (HR. Ahmad).

Air yang digunakan untuk memandikan jenazah hendaknya air yang suci dan menyucikan. Tidak boleh menggunakan air yang suci, tetapi tidak menyucikan dan dengan air yang bernajis untuk memandikan jenazah.

Sebaiknya air terakhir yang digunakan untuk memandikan jenazah dicampur dengan sedikit kapur barus atau harum-haruman. Selain itu air yang digunakan, hendaknya air dingin, kecuali kalau cuaca sangat dingin atau susah menghilangkan kotoran, maka boleh menggunakan air yang panas.

Tata Cara Memandikan Jenazah

A. Persiapan

· Menyediakan air yang suci dan mensucikan, secukupnya dan mempersiapkan perlengkapan mandi seperti handuk, sabun, wangi-wangian, kapur barus dan lain-lain.

· Mengusahakan tempat untuk memandikan jenazah yang tertutup sehingga hanya orang yang berkepentingan sja yang ada di situ.

· Menyediakan kain kafan secukupnya.

· Usahakan orang-orang yang akan memendikan jenazah itu adalah keluarga dekat jenazah atau orang yang dapat menjaga rahasia. Jika jenazahnya lelaki maka yang memandikan harus laki-laki, demikian juga sebaliknya bila jenazahnya perempuan maka yang memandikan harus perempuan, kecuali suami kepada istrinya atau istri kepada suaminya. Dalam hal ini tidak ada kias seorang anak memendikan orang tuanya yang lain jenis.

B. Cara memandikan jenazah

· Niat karena Allah

· Melepaskan seluruh pakaian yang melekat di badan jenazah, lalu menggantinya dengan kain yang menutup aurat.

· Melepaskan perhiasan dan gigi palsunya bila memungkinkan.

· Membersihkan rongga mulutnya, kuku-kukunya dan seluruh tubuhnya dari kotoran najis.

· Memulai memandikan dengan membersihkan anggota wudlunya dengan mendahulukan yang kanan dan menyiramnya hingga rata tiga, lima, tujuhn kali atau sesuai dengan kebutuhan.

· Pada waktu memandikan hendaknya dengan hati-hati, lembut dan sopan.

· Pada bagian akhir siraman hendaknya dicampurkan dengan wangi-wangian, seperti kapur barus atau daun bidara.

· Jenazah dibaringkan di tempat yang tinggi, seperti ranjang atau balai-balai yang di atasnya sudah diletakkan lima atau enam buah potongan batang pisang (bantalan).

· Jenazah dimandikan di tempat tertutup. Selain yang memandikan dan yang membantu memandikan, dilarang melihat.

· Ketika dimandikan, jenazah hendaknya dipakaikan kain basahan (sebaiknya kain sarung) agar auratnya tidak mudah terbuka.

· Setelah jenazah dibaringkan di atas potongan batang pisang tadi lalu dengan menggunakan air dan sabun mandi, jenazah dibersihkan dari najis yang melekat ditubuhnya atau yang mungkin keluar dari duburnya (setelah perutnya ditekan). Sesudah itu dubur jenazah dibersihkan hingga bersih dengan tangan kiri yang memakai sarung tangan. Kemudian sarung tangan yang dikenakan diganti dengan sarung tangan bersih dan dengan menggunakan anak jari tangan kiri yang sudah memakai sarung tangan, gigi, dan mulut jenazah dibersihkan.

· Setelah jenazah dibersihkan dari najis serta gigi dan mulutnya dibersihkan lalu dengan menggunakan air dan sabun mandi, seluruh tubuh jenazah dari rambut kepala sampai telapak kaki dimandikan sampai bersih. Ketika memandikan jenazah disunahkan mendahulukan bagian badan jenazah sebelah kanan, baru kemudian bagian badannya yang sebelah kiri. Juga disunahkan jenazah tersebut dimandikan tiga kali atau lima kali.

· Setelah jenazah selesai dimandikan, badannya dikeringkan dengan handuk dan berilah wangi-wangian. Bagi jenazah yang berambut panjang hendaklah dikepang rambutnya bila memungkinkan Selesailah tahapan memandikan jenazah.

· Catatan :

1. Orang yang gugur,syahid dalam peprangan membela agama Allah, cukup dimakamkan dengan pakainnya yang melekat di tubuhnya ( tanpa dimandikan , dikafani dan dishalatkan )

2. Orang yang wafat dalam keadaan berihram dirawat seperti biasa tanpa diberi wewangian.

3. Orang yang syahid selain dalam peperangan membela agama Allah seperti melahirkan, tenggelam, terbakar dirawat seperti biasa.

4. Jenazah janin yang telah berusia 4 bulan dirawat seperti biasa.

5. Apabila terdapat halangan untuk memandikan jenazah, maka cukup diganti dengan tayamum.

6. Bagi orang yang memandikan jenazah disunnahkan untuk mandi.

D. Mengkafani Jenazah

Mengkafani jenazah maksudnya membungkus jenazah dengan kain kafan Hukum mengkafani jenazah adalah fardlu kifayah bagi orang-orang Islam yang masih hidup. Kain kafan diperoleh dengan cara yang halal, yakni diambilkar dari harta peninggalan jenazah, jika ia meninggalkan harta.

Kalau jenazah tidak meninggalkan harta, maka yang wajib menyediakan kain kafan adalah keluarga terdekatnya (orang yang wajib memberi nafkah jenazah di masa hidupnya). Kalau keluarga terdekatnya tidak ada/tidak mampu, maka untuk membeli kain kafan itu diambilkan dari baitul mal. Jika baitul mal tidak ada, yang wajib menyediakan kain kafan bagi jenazah tersebut adalah orang Islam yang mampu.

Kain kafan hendaknya kain yang bersih, berwarna putih, dan sederhana yakni tidak mahal harganya serta tidak pula terlalu murah. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :

اِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضِ فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ وَكَفِنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ (رواه الترمذى)

Artinya :

“Berpakaianlah kamu dengan pakaianmu yang berwarna putih, karena pakaian putih itu merupakan pakaian terbaikmu, dan kafanilah mayat kamu dengan kain putih itu”. (HR. Tirmizi).

Juga Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu berlebih-lebihan memilih kain yang mahal-mahal untuk kafan, karena sesungguhnya kain kafan itu akan segera hancur”. (HR. Abu Daud).

Orang-orang yang berhak mengkafani, ketentuannya sama dengan ketentuan orang yang berhak memandikan jenazah. Adapun hal-hal yang perlu diketahui (terutama oleh orang yang berhak mengkafani) tentang cara/ketentuan dalam mengkafani jenazah adalah :

A. Perlengkapan dan Persiapan

a. Kain untuk mengkafani secukupnya, diutamakan yang berwarna putih.

b. Kain kafan untuk jenazah laki-laki 3 (tiga) lembar, sedangkan kain kafan untuk jenazah perempuan 5 (lima) lembar kain, terdiri atas :

- Kain basahan

- Baju kurung

- Kerudung

- Dua lembar kain penutup

c. Sebaiknya disediakan perlengkapan sebagai berikut :

1) Tali sejumlah 3,5,7,atau 9 antara lain untuk :

(a) Ujung kepala

(b) Leher

(c) Pinggang/pada lengan tangan

(d) Perut

(e) Lutut

(f) Pergelangan kaki

(g) Ujung kaki

2) Kapas secukupnya

3) Kapur barus atau pewangi secukupnya.

4) Meletakkan kain memanjang searah tubuhnya, di atas tali-tali yang telah disediakan.

5) Untuk jenazah perempuan, aturlah mukena, baju dan kain basahan sesuai dengan letaknya.

B. Pelaksanaan Mengkafani Jenazah

Setelah semua perlengkapan disiapkan, maka dimulailah mengafani jenazah dengan urutan sebagai berikut :

a. Jenazah diletakkan membujur di atas kain kafan, dalam keadaan tertutup selubung kain.

b. Lepaskan kain selubung dalam keadaan aurat tertutup.

c. Bilamana diperlukan, tutuplah dengan kapas lubang-lubang yang mengeluarkan cairan.

d. Jenazah laki-laki atau wanita minimal dibungkus dengan selapis kain kafan yang dapat melapisi/menutupi seluruh tubuhnya. Namun sebaiknya untuk jenazah laki-laki dibungkus oleh tiga lapis kain kafan yang tiap lapisnya dapat 'menutupi seluruh tubuhnya. Sedangkan untuk wanita sebaiknya dilapisi dengan lima lembar kain kafan, yaitu kain basahan (kain mandi), baju, tutup kepala, kerudung (cadar), dan kain kafan yang dapat menutupi seluruh tubuhnya.

e. Bagi jenazah yang berambut panjang (perempuan) hendaklah rambutnya dikepang, bila memungkinkan.

f. Bila diperlukan, ruangan di sekitar jenazah diberi wewangian (diukup).

g. Cara memakaikan kain kafan :

· Mula-mula hamparkan selembar tikar di atas lantai. Lalu bentangkan 4 utas tali di atasnya, kira-kira letaknya di tempat kepala, tangan, lutut, dan mata kaki jenazah yang hendak dikafani.

· Hamparkan di atas tikar tersebut kain kafan yang sudah disiapkan sehelai-sehelai dan setiap helainya diberi harum-haruman.

· Jenazah hendaknya diolesi kapur barus halus, kemudian diletakkan di atas hamparan kain kafan yang telah disediakan. Kedua tangan jenazah diletakkan di atas dadanya, tangan kanan di atas tangan kiri atau dibolehkan juga kedua tangannya diluruskan ke bawah. Tempelkan kapas secukupnya pada bagian muka jenazah, pusarnya, kelaminnya, dan duburnya.

· Setelah itu seluruh tubuh jenazah dibalut dengan kain kafan sampai rapi, lalu diikat dengan empat utas tali yang sudah disiapkan yaitu di bagian atas kepala, lengan, lutut, dan mata kakinya.

Perlu pula diketahui bahwa Muslim/Muslimat yang meninggal dunia ketika menunaikan ibadah haji atau umrah, jenazahnya tidak boleh diberi harum-haruman dan tidak pula ditutup kepalanya.

E. Menshalatkan Jenazah

Shalat Jenazah dilaksanakan setelah jenazah selesai dimandikan dan dikafani. Hukum menyalatkan jenazah adalah fardlu kifayah bagi orang-orang Muslim/Muslimat yang masih hidup. Kecuali orang Muslim/ Muslimat yang mati syahid, maka jenazah tidak dishalati, bahkan tidak pula dimandikan atau dikafani, tetapi hanya dikuburkan saja dengan pakaian yang ia pakai ketika berperang melawan musuh Islam.

Keluarga dekat dari jenazah, khususnya anak-anaknya yang saleh/salehah hendaknya ikut menyalatkannya, karena doa dari anak yang saleh/salehah untuk orangtuanya yang sudah meninggal dunia, tentu akan dikabulkan oleh Allah SWT. Selain itu hendaknya diusahakan orang-orang yang menyalatkan jenazah tersebut banyak jumlahnya, Rasulullah bersabda :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ ما مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيَقُوْمُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُوْنَ رَجُلاً لاَيُشْرِ كُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَعَهُمُ اللهُ فِيْهِ (رواه احمدومسلم)

Artinya :

“Dari Ibnu Abbas, katanya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Orang Islam yang mati, lalu jenazahnya dishalatkan oleh empat puluh orang Muslim yang tidak musyrik, maka Allah menerima syafaat mereka terhadap jenazah tersebut’”. (HR. Ahmad dan Muslim).

Beberapa hal yang perlu diketahui tentang shalat menshalatkan jenazah antara lain :

1. Ketentuan Umum

a. Menshalatkan jenazah salah satu fardlu kifayah bagi kaum Muslimin dan Muslimat.

b. Shalat jenazah dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau berjamaah, dilakukan dengan posisi jenazah di depan orang yang menshalatkan.

c. Shalat dapat dilakukan tanpa hadirnya jenazah yang disebut dengan shalat ghaib.

d. Jenazah yang boleh dishalatkan adalah jenazah orang Islam.

e. Jenazah yang tidak boleh dishalatkan adalah jenazah orang kafir (non-Muslim)

f. Adapun jenazah orang yang bunuh diri dan orang yang berhutang tanpa ada penjamin pelunasan hutangnya, maka Rasulullah SAW tidak menshalatkan, tetapi beliau membiarkan shahabat menshalatkannya.

g. Jenazah yang terpotong-potong, bila ditemukan bagian dada, dan diyakini sebagai orang Islam tetap dirawat sebagaimana biasa. Bila ditemukan bagian-bagian tubuh yang lainnya, cukup disiram, dibungkus dan dikuburkan.

h. Jenazah yang sudah dikafani secara sempurna hendaklah segera dishalatkan.

i. Bila jenazah lebih dari satu, maka sebaiknya dishalatkan sekaligus kecuali bila tidak memungkinkan, yakni :

· Bila bersamaan antara jenazah laki-laki dan perempuan, maka dapat diatur dengan jenazah yang terdekat dengan imam adalah jenazah laki-laki, kemudian di sebelah kiblatnya jenazah perempuan dengan digeser ke tengah supaya bagian pinggangnya sejajar arah kiblat dengan imam.

· Bila terdapat lebih dari satu jenazah, maka yang ditempatkan terdekat dengan imam adalah laki-laki yang lebih shalih.

j. Imam shalat jenazah diutamakan seseorang yang ada hubungan kerabat dengan jenazah.

k. Makmum masbuk dalam shalat jenazah hendaklah menyempurnakan takbir kekurangannya.

l. Shalat jenazah dapat dilakukan di dalam masjid, rumah jenazah, kuburan atau tempat-tempat lain yang memungkinkan.

m. Dilarang shalat jenazah dalam 3 (tiga) waktu sebagai berikut :

· Waktu terbit matahari hingga naik.

· Waktu matahari ditengah-ditengah

· Waktu hampir terbenam hingga benar-benar terbenam.

2. Ketentuan Khusus

a. Orang yang menshalatkan jenazah harus memenuhi syarat syahnya shalat.

b. Tidak ada ketentuan syara’ yang mengharuskan jenazah diletakkan

c. membujur ke utara atau ke selatan.

d. Berdiri menghadap kiblat dengan jenazah di sebelah arah kiblat, jenazah di depan imam.

e. Shalat jenazah sebaiknya dilakukan secara berjamaah.

f. Mengenai ketentuan sejumlah 3 (tiga) shaf, bukanlah suatu keharusan.

g. Imam menempatkan diri pada arah kepala jenazah laki-laki,dan pada arah tengah badan (pinggang) jenazah perempuan.

h. Shaf laki-laki di muka dan shaf perempuan di belakang.

3. Syarat-syarat Sah Shalat Jenazah

a. Seorang yang menshalatkan, syaratnya orang Islam, suci dari hadas besar dan hadas kecil, suci badan, pakaian dan tempat dari najis, menutup aurat, dan menghadap kiblat.

b. Shalat jenazah dilakukan setelah jenazah dimandikan dan dikafani.

c. Letak mayat di sebelah kiblat orang yang menyalatkan, terkecuali kalau shalat jenazah dilakukan di atas kubur atau shalat ghaib.

4. Tata Cara Shalat Jenazah

a. Mengikhlaskan niat karena Allah Ta'ala.

b. Takbir empat kali.

c. Membaca Surah Al-Fatihah sesudah takbir pertama (takbiratul ihram).

d. Membaca salawat atas Nabi SAW, setelah takbir kedua.

bunyi ucapan doanya adalah :

اَللَّهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وَبَرَدٍ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّ الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ خَيْرًا مِنْ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ (رواه مسلم)

Artinya :

“Ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, sejahterakanlah dia dan maafkanlah segala kesalahannya. Hormatilah kedatangannya, dan luaskanlah tempat kediamannya. Bersihkanlah ia dengan air, es, dan embun. Bersihkanlah ia dari dosa, sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran. Gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik daripada rumahnya dahulu, dan gantilah kaum keluarganya, dengan yang lebih baik dari kaum keluarganya dahulu, dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka”. (HR. Muslim).

1) Berdoa setelah takbir keempat, ucapan doanya adalah :

اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ

Artinya :

“Ya Allah, janganlah kiranya pahala tidak sampai kepada kami dan janganlah Engkau memberi fitnah sepeninggalnya, ampunilah kami dan dia”.

2) Bacaan salam

الســلام عليكــم ورحمــة الله وبركاته

Atau juga ada bacaan yang seperti ini :

a) Mengikhlaskan niat karena Allah Ta'ala.

b) Takbir empat kali di antaranya:.

(1) Takbir pertama, membaca surah al-Fatihah dan langsung membaca shalawat atas Nabi SAW.

(2) Takbir kedua, membaca do’a :

اَللَّهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ ِ (رواه مسلم والنـســاء)

Artinya :

“Ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, sejahterakanlah dia dan maafkanlah segala kesalahannya. Hormatilah kedatangannya, dan luaskanlah tempat kediamannya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

(3) Takbir ketiga, membaca do’a :

اَللَّهُمَّ اغفرلحينـا وميتنـا وصغيرنا وكبيرنا وذكرنا وأنثانا وشـاهـدنا وغـاءبنا (رواه ابوداود و ترمذي)

Artinya :

“Ya Allah, berilah ampunan kepada kami, yang hidup dan yang mati yang tua dan yang muda, yang laki-laki dan yang perempuan, yang menyaksikan dan yang tidak menyaksikan”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

(4) Takbir keempat, membaca do’a :

اللهم انت ربهــا وانت خلقتــهـا وانت رزقتـهــا وانت هـديتهــا للأســلام وانت قبضت روحـهـا وتعلم سرهــا وعـلانيتــهـا جــءنا سفعــاء فاغفر لـهـا. (رواه ابوداود و ابن ماجـه)

Artinya :

“Ya Allah, Engkau Tuhan-Nya, dan engkau yang telah menciptakan-Nya, memberikan rizqi-Nya, yang menunjukkan kedalam Islam. Dan engkau yang memelihara ruh-Nya dan yang mengetahui segala kerahasiahan dan keterbukaan, datangkan lah pertolongan dan ampunilah baginya”.

Do’a untuk jenazah anak-anak atau bayi:

اللهم اجعــله لنــا سلــفــا وفرط واجــرا (رواه البيــهقى)

Ya Allah jadikanlah ia pendahulu (penjemput) dan tabungan, serta upah (pahala) bagi kami ( HR,Baihaqi)

c) Bacaan salam

الســلام عليكــم ورحمــة الله وبركاته

Catatan :

Perlu pula diketahui doa dalam dlamirnya tidak berubah meski jenazahnya laki-laki atau perempuan baik mufrad, mutsanna atau jamak, sebagaimana bacaan alfatihah dan shalawat.

F. Sunah-sunah Shalat Jenazah

Berbeda dengan shalat lima waktu, maka dalam shalat jenazah tidak disunahkan azan dan iqamah. Beberapa hal yang disunahkan dalam shalat jenazah adalah :

1. Mengangkat tangan ketika mengucapkan empat kali takbir.

2. Israr yaitu merendahkan suara bacaan shalat.

3. Membaca ta’awwuz (a’uzu billahi minasy syaitanir rajim).

4. Shalat jenazah boleh dikerjakan secara munfarid, tetapi sebaiknya secara berjamaah. Bila shalat jenazah dilakukan secara berjamaah, hendaknya diusahakan agar makmumnya terdiri dari tiga saf (baris), setiap saf minimal dua orang. Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang mati lalu dishalatkan oleh