bab viii - irbang ii
DESCRIPTION
IrbangTRANSCRIPT
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 250
BAB VIII . LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN.
VII.1 PERENCANAAN LANTAI MUKA......................................................251
VII.1.1 Erosi bawah tanah dan upaya penggulangannya.
251
VII.1.2 Tekanan Air dan pencegahan rembesan.
253
VII.1.3 Perencanaan lantai muka.
256
VII.2 PERENCANAAN INTAKE ( PINTU PENGAMBILAN )..........................258
VII.2.1 Pintu pengambilan ( Intake ) di bendung dan di kantong
lumpur. 258
VII.2.2 Debit yang harus dialirkan intake ( pintu pengambilan ).
259
VII.2.3 Menentukan dimensi intake ( pintu pengambilan ).
262
VII.2.4 Contoh perhitungan.
264
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 251
BAB VIII
LANTAI MUKA INTAKE DAN SUDETAN.
1 Perencanaan Lantai Muka
1.1 Erosi bawah tanah dan upaya penggulangannya.
Dengan adanya pembangunan bendung, maka akan terjadi
perbedaan tinggi muka air antara dihulu bendung dengan dihilirnya.
Perbedaan ini akan mengakibatkan terjadinya rembesan karena tekanan
air. Karena tubuh bendung terdiri dari bahan yang kedap air, maka
rembesan akan terjadi melalui bawah tubuh bendung. Kalau hambatan
pada bawah tubuh bendung ini lebih kecil dibanding dengan tekanan air
tersebut , maka pada ujung hilir bendung akan terjadi aliran air .
Aliran air tersebut dapat membawa serta butir-butir tanah yang ada
dibawah bendung dan kalau ini tidak dicegah, maka akan mengakibatkan
kerusakan pada tubuh bendung. Untuk mencegah erosi bawah tanah ini
perlu dibuat konstruksi lindung yang berfungsi memperpanjang bidang
koantak atau mengurangi kehilangan beda tinggi persatuan panjang pada
jalur rembesan serta ketidak terusan ( discontinuitaties ) pada garis
tersebut.
Beberapa bentuk konstruksi lindung yang dapat digunakan secara
sendiri-sendiri atau kombinasi adalah :
lantai muka.
dinding halang.
filter pembuang.
konstruksi pelengkap.
Lantai muka adalah lantai yang dipasang menempel pada dinding
udik bendung seperti pada gambar berikut ini.
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 252
Gambar 8.1 Lantai muka atau lantai hulu.
Lantai muka ini akan
memperpanjang jalur
rembesan. Sebaiknya lantai
muka ini dibuat dari beton
bertulang. Dan kalau dibuat
dari pasangan batu kali, untuk
mencegah terjadinya rembesan akibat retaknya lantai muka, maka
dibawah lantai muka diberi lapisan lempung. Sedangkan pada pertemuan
dengan bendung diberi sekat dari karet untuk mecegah rembesan pada
pertemuan antara lantai muka dengan tubuh bendung.
Menurut standar Perencanaan Irigasi, tebal lantai muka ini dapat
dibuat dari beton bertulang dengan tebal 01,0 meter atau pasangan batu
kali dengan tebal 0,20 – 0,25 meter.
Dinding halang merupakan dinding beton bertulang atau
pasangan batu, inti tanah kedap air atau pudel atau dengan pelat
pancang baja atau kayu, seperti pada gambar dibawah ini. Bentuk dinding
halang yang sering digunakan dan mudah pembuatannya adalah dinding
halang berbentuk koperan pada ujung lantai muka atau pada ujung kolam
olakan.
Gambar 8.2 Dinding - dinding halang pada bendung.
Penggunaan pelat pancang sebagai dinding halang baru digunakan
kalau keadaan memang memaksa penggunaan pelat pancang ini.
Mengingat pelat pancang ini mahal serta pemasangannya yang sulit.
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 253
Kalau di lapisan bawah terdapat batu besar atau kerikil kasar, maka
pemancangan sering tidak dapat lurus, sehingga pelat pancang tidak
benar – benar rapat. Pelat pancang ini baru sesuai untuk tanah yang
berbutir halus dan tanah yang berlapis horisontal. Penggunaan tanah
pudel atau inti tanah kedap air merupakan dinding halang yang baik
sekali, tapi sulit menyambungkan ke tubuh bendung.
Alur pembuang/filter seperti pada gambar dibawah ini, lebih
ditujukan untuk mengurangi tekanan keatas yang bekerja pada plat
kolam olakan. Untuk mencegah terbawanya butir – butir tanah,
saringan/filter yang terbuat dari kerikil dan pasir atau bahan sintetis
dapat digunakan.
Gambar 8.3 Alur pembuang dan filter dibawah kolam olakan.
Konstruksi pelengkap diperlukan untuk mencegah erosi bawah
tanah, kalau ada kemungkinan terjadinya jalur-jalur pintasan erosi bawah
tanah. Jalur-jalur ini kemungkinan akan terjadi kalau bagian-bagian
bendung mempunyai kedalaman yang berbeda-beda, sehingga ada
kemungkinan terjadi penurunan yang tidak merata. Dalam tulisan ini
konstruksi pelengkap ini juga tidak akan dibahas.
1.2 Tekanan Air dan pencegahan rembesan.
Tekanan air yang diperhitungkan dalam perencanaan bendung
umumnya adalah tekanan hidrostatis, yang besarnya tergantung dari
kedalaman titik yang ditinjau dari permukaan air. Besarnya tekanan air ini
dihitung menurut rumus :
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 254
p = w . h
Dimana :
p = Tekanan air kN/m2.
w = Berat jenis air kN/m3.
H = Kedalaman titik yang ditinjau ( m ).
Tekanan air tersebut bekerja ke semua arah, sehingga arah gaya
yang bekerja pada suatu bidang, tergantung pada posisi bidang tersebut.
Untuk bidang yang vertikal, maka gaya yang bekerja mempunyai arah
horizontal. Sebaliknya untuk bidang horizontal, gaya yang bekerja
mempunyai arah vertical. Besarnya gaya yang bekerja adalah sebedar
luas bidang dikalikan tekanan air rata-rata pada bidang tersebut.
Tekanan air yang bekerja pada tubuh bendung, tidak hanya
diperhitungkan terhadap bagian bendung yang ada diatas tanah, tetapi
juga terhadap bagian bendung yang menerima tekanan air tanah karena
berada dibawah tanah. Dengan demikian tekanan air tanah pada tubuh
bendung, dihitung dengan cara diatas dimana kedalaman diukur terhadap
muka air hulu. Ini berarti bahwa tekanan air yang bekerja pada ujung
kolam olakan masih cukup tinggi. Walaupun tekanan air ini diimbangi oleh
tekanan air dihilir bendung, namun karena muka air dihulu lebih tinggi
dibanding dengan muka air di hilir, maka diujung kolam olakan ini masih
terdapat tekanan air keatas.
Namun tekanan air tersebut akan dihambat oleh tahanan yang
terjadi pada sepanjang bidang kontak pondasi bendung dengan tanah.
Kalau tahanan ini lebih besar dari selisih tinggi antara muka air dihilir
dengan dihulu, maka tekanan air diujung kolam olakan akan dinetralkan
oleh tahanan tersebut sehingga tekanan menjadi nol. Tapi kalau besarnya
tahanan lebih kecil, maka diujung kolam olakan masih akan terjadi
tekanan keatas yang kan mengakibatkan terjadinya rembesan atau gejala
piping. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, maka bidang kontak
diperpanjang dengan menggunakan konstruksi seperti yang dibahas pada
pasal sebelumnya.
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 255
Untuk menghitung besarnya tahanan tersebut, metoda yang umum
digunakan adalah metoda Lane, yang juga disebut metode angka
rembesan Lane ( weighted creep ratio method ). Menurut metode Lane ini
bidang vertikal dianggap memiliki daya tahan terhadap aliran 3 kali lebih
kuat daripada jalur horisontal. Untuk bidang yang mempunyai kemiringan
kuran dari 45o dianggap horizontal, sedangkan untuk bidang yang
mempunyai kemiringan lebih dari 45o dianggap vertikal.
Dengan demikian rumus Lane tersebut adalah :
Dimana :
CL = Angka rembesan Lane.
LV = jumlah panjang vertikal,m.
LH = jumlah panjang horisontal,m.
H = perbedaaan tinggi muka air,m.
Besarnya angka rembesan Lane adalah sebagai berikut :
Pasir sangat halus atau lanau 8,5
Pasir halus 7,0
Pasir sedang 6,0
Pasir kasar 5,0
Kerikil halus 4,0
Kerikil sedang 3,5
Kerikil kasar termasuk berangkal 3,0
Bongkah dengan sedikit berangkal dan kerikil 2,5
Lempung lunak 3,0
Lempung sedang 2,0
Lempung keras 1,8
Lempung sangat keras 1,6
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 256
1.3 Perencanaan lantai muka.
Perencanaan lantai muka didasarkan pada rumus Lane diatas. Kalau
panjang bidang kontak setelah dihitung dengan rumus diatas
menghasilkan nilai CL lebih kecil dari nilai yang ada pada daftar, maka
untuk memperpanjang bidang kontak ditambahkanlah lantai muka agar
nilai CL yang didapat dapat lebih besar dari nilai pada daftar diatas.
Sebagai contoh, pada gambar berikut ini adalah potongan tubuh
bendung yang terletak pada tanah pasir kasar, sehingga menurut daftar
diatas nilai CL adalah 5. Pada waktu terjadi banjir, ketinggian muka air
banjir dihulu adalah + 386,05 meter dan dihilir + 380,5 meter, sehingga
H = 5,45 meter. Sedangkan pada waktu air normal ketinggian muka air
dihulu adalah + 382,55 meter dan dihilir + 376,50 meter, sehingga H =
6,05 meter. Dengan demikian tinjauan yang digunakan adalah pada
waktu air normal.
Gambar 8.4 Gambar potongan tubuh bendung
Dari gambar tersebut dapat dihitung panjang vertikal sebesar :
LV = 4,00 + 1,50 + 2,50 + 3,00 + 4,90 = 15,90 meter
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
380,5
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 257
Sedangkan panjang horisontal sebesar :
LH = 7,50 + 12,00 = 19,50 meter
Dengan demikian diperlukan lantai muka dan besarnya panjang
bidang kontak adalah 5 x 6,05 meter = 30,25 meter. Tambahan panjang
yang diperlukan adalah : 30,25 - ( 15,9 + 19,5/3 ) = 7,85 meter. Untuk
itu panjang lantai muka dibuat seperti pada gambar berikut ini, sehingga
tambahan bidang kontak :
LV = 1,75 + 1,5 +1,5 + 1,5 = 6,25 meter dan LH = 6,50 meter,
sehingga LV + 1/3 LH = 8,41 meter.
Karena lebih besar dari 7,35 meter, maka aman. Atau kalau
dihitung kembali :
Gambar 8.5 Gambar potongan tubuh bendung dengan lantai muka.
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 258
2 PERENCANAAN INTAKE ( PINTU PENGAMBILAN ).
2.1 Pintu pengambilan ( Intake ) di bendung dan di kantong
lumpur.
Pintu pengambilan ( intake ) yang merupakan bagian dari bendung,
disebut intake di bendung. Melalui pintu ini air dalairkan ke saluran induk
atau dialirkan ke kantong Lumpur kalau bendung tersebut dilengkapi
dengan kantong Lumpur.
Gambar 8.6 Pintu pengambilan ( intake ) di bendung.
Pada gambar A, pintu pengambilan mengalirkan air ke kantong
lumpur sedangkan pada gambar B, pintu pengambilan mengalirkan air ke
saluran induk. Bentuk B ini diterapkan kalau bendung tidak dilengkapi
dengan kantong lumpur. Selain itu pada gambar A. didepan pintu
pengambilan dilengkapi dengan pembilas bawah, sedangkan pada
gambar B tidak dilengkapi dengan pembilas bawah. Pembilas bawah ini
dapat saja diterapkan pada pengambilan kantong lumpur atau
pengambilan saluran induk.
Pada gambar B, atau dalam keadaan bendung tidak dilengkapi
dengan pembilas bawah. sebaiknya dasar sungai didepan pintu
pengambilan diambil cukup rendah, agar sedimen dasar dapat terkumpul
disitu sebelum dibilas keluar. Dinding tegak didepan pintu tersebut
disebut skimming wall.
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 259
Selain di bendung, pitu pengambilan juga dipasang pada bagian
hilir kantong Lumpur, dimana melalui pintu pengambilan ini air dialirkan
ke saluran induk, seperti pada gambar berikut ini.
Gambar 8.7 Pintu pengambilan pada kantong Lumpur
Pada pintu pengambilan diatas, ketinggian ambang diambil 10 cm
diatas ketinggian maksimum sedimen pada tampungan sedimen.
2.2 Debit yang harus dialirkan intake ( pintu pengambilan ).
Debit yang harus dialirkan ke saluran induk.
Debit yang harus dialirkan ke saluran induk dihitung berdasar
rumus berikut ini :
dimana :
Q = Debit rencana, l/detik.
c = koeffisien pengurangan akibat sistem golongan.
NFR = kebutuhan air di sawah ( netto ), liter/detik/ha.
A = luas daerah yang diairi, ha.
e = effisiensi irigasi.
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 260
Besarnya kebutuhan air disawah ( NFR).
Besarnya kebutuhan bersih air disawah dihitung berdasar :
a. Besarnya Evapotransirasi tanaman ( Etc ).
b. Besarnya perkolasi ( P ).
c. besarnya curah hujan effektif ( Re ).
d. Besarnya kebutuhan air untuk penggantian air ( WLR ).
Besarnya kebutuhan air disawah telah dibahas pada Irigasi dan
Bangunan Air I bab II mengenai Kebutuhan air irigasi.
Koeffisien pengurangan sistem golongan.
Koeffisien pengurangan sistem golongan, adalah pengurangan debit
puncak akibat diadakannya rotasi teknis. Melalui rotasi teknis ini areal
irigasi dibagi menjadi beberapa kelompok atau golongan dan permulaan
tanam dari setiap golongan ditentukan berbeda 15 hari. Dengan adanya
rotasi teknis ini maka kebutuhan air puncak yang umumnya terjadi pada
saat pengolahan lahan terbagi merata sehingga terjadi pengurangan
debit puncak.
Keuntungan adanya rotasi ini adalah :
1. Berkurangnya kebutuhan pengambilan puncak.
2. Kebutuhan pengambilan berangsur-angsur pada awal waktu
pemberian air irigasi ( pada periode penyiapan lahan ), seiring dengan
makin bertambahnya debit sungai ; kebutuhan puncak dapat ditunda.
Sedangkan kerugian adanya rotasi ini adalah :
1. Timbulnya komplikasi sosial.
2. Eksploitasi lebih rumit.
3. Kehilangan air akibat eksploitasi sedikit lebih tinggi,
4. Jangka waktu irigasi untuk tanaman pertama lebih lama, akibatnya
lebih sedikit waktu tersedia untuk tanaman kedua.
Dengan adanya kerugian tersebut, maka menurut Standar
Perencanaan Irigasi, untuk Proyek Irigasi yang kurang dari 10.000 ha dan
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 261
menambil air langsung dari sungai tidak ada pengurangan debit rencana
atau koeffisien pengurangan C = 1.
Effisiensi irigasi.
Besarnya kehilangan air di jaringan irigasi menurut Standar
Perencanaan Irigasi adalah sebagai berikut :
15 – 22,5 % di petak tersier, antara bangunan sadap tersier dan
sawah.
7,5 % - 12,5 % di saluran sekunder.
7,5 % – 12,5 % di saluran utama.
Dan besarnya effisiensi irigasi = 100 % – kehilangan air, sehingga :
et ( effisiensi jaringan tersier ) = 77,5 % - 85 %
es ( effisiensi jaringan sekunder ) = 87,5 % - 92,5 %
ep ( effisiensi jaringan primer ) = 87,5 % - 92,5 %
Sehingga effisiensi total ( e ) = et x es x ep mempunyai nilai antara
0,59 – 0,73.
Luas daerah yang diairi.
Luas daerah yang diairi dalam rumus diatas adalah luas daerah
yang diairi oleh saluran primer yang dilayani oleh pintu pengambilan.
Luas tersebut merupakan luas daerah yang diairi oleh saluran sekunder
dan saluran tersier yang mengambil air dari saluran primer tersebut.
Kalau luas daerah irigasi yang diairi oleh saluran primer ini adalah Ap,
maka :
Ap = As + Atp
dimana :
Atp = Luas petak tersier yang menyadap langsung ke saluran primer .
ATs = Luas petak tersier yang menyadap ke saluran primer melalui
saluran sekunder.
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 262
Hal tersebut mengingat ada petak tersier yang menyadap langsung
ke saluran primer dan ada yang menyadap melalui saluran sekunder
Sehingga besarnya debit rencana menurut rumus diatas dapat ditulis :
Debit yang harus dialirkan ke saluran induk.
Debit yang harus dialirkan kekantong lumpur harus dihitung 120 %
dari yang seharusnya dialirkan ke saluran induk atau 120 % dari
perhitungan diatas.
2.3 Menentukan dimensi intake ( pintu pengambilan ).
Besarnya debit yang dapat dialirkan oleh pintu pembilas tergantung
kondisi aliran seperti ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
Gambar 8.8 Gambar kondisi aliran pada pintu pengambilan
Pada gambar A, kedudukan pintu sorong berada diatas muka air,
rumus pengalirannya adalah sebagai berikut :
dimana :
Q = Debit yang dialirkan, m3/detik.
= Koeffisien debit, untuk ambang lebih tinggi dari dasar
saluran dan sisi ambang bulat = 0,85
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 263
b = lebar pintu, meter.
h1 = tinggi muka air diatas ambang, meter.
g = gravitasi = 9,8 m/dt2
z = kehilangan tinggi energi, m.
Sedangkan pada kondisi B, dimana pintu sorong telah terendam air,
maka rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Q = K a b
dimana :
Q = debit, m3/detik.
K = faktor aliran tenggelam.
= koeffisien debit
a = bukaan pintu, m.
b = lebar pintu, m.
g = percepatan gravitasi, m/dt2 ( 9,8 )
h1 = kedalaman air didepan pintu diatas ambang, meter.
Besarnya koeffisien K dapat diambil dari grafik berikut ini.
Gambar 8.9 Grafik koeffisien K pada pintu sorong.
Dari grafik tersebut besarnya faktor aliran tenggelam, tergantung
dari besarnya perbandingan h2 dengan a serta h1 dengan a. Atau dengan
perkataan lain, besarnya faktor K tergantung pada nilai h1, h2 dan a.
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 264
Sedangkan besarnya koeffisien debit ( ) dapat diambil dari grafik
berikut ini dimana besarnya koeffisien debit tergantung dari
perbandingan h1 dengan a serta besarnya sudut antara pintu sorong
dengan lantai ( ). Untuk pintu sorong digunakan grafik a sedangkan
grafik b adalah untuk pintu radial. Pada pintu sorong yang umum
digunakan pada irigasi, umumnya dengan = 90o.
Gambar 8.10 Grafik besarnya pada pintu sorong
2.4 Contoh perhitungan.
Contoh perhitungan berikut ini merupakan lanjutan dari cotoh
perhitungan kantong Lumpur yang telah dibahas pada bab VII. Luas areal
yang harus diairi melalui saluran induk terdiri dari :
Petak tersier yang menyadap melalui saluran sekunder ( Ats ) =
3.980 Ha
Petak tersier yang menyadap langsung ke saluran primer ( Atp )
= 482 Ha.
Besarnya kebutuhan air dipetak sawah ( NFR ) = 1,6 liter/detik/ha.
Effisiensi di saluran tersier 0,8, disaluran sekunder 0,9 dan di
saluran primer 0,9.
Debit yang dialirkan :
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II
BAB VIII LANTAI MUKA, INTAKE DAN SUDETAN 265
Sesuai dengan contoh tersebut potingan melintang bangunan
pengambilan pada bendung adalah sebagai berikut ini.
Gambar 8.11 Gambar potongan melintang bangunan pengambilan.
Dari gambar tersebut didapat nilai :
z = 16.42 – 16.32 = 0.10 meter
h1 = 16.32 – 15.05 = 1.27 meter
sehingga :
akan didapat b = 10,90 / 1,511 = 7,21 meter ambil 7,50 meter.
Dengan menggunakan 5 bukaan masing-masing 1,5 meter dengan
4 pilar masing-masing 1 meter.
Bahan ajar Irigasi dan Bangunan Air II