bab iii perbandingan teori monisme-dualisme dan teori...
TRANSCRIPT
46
Bab III
Perbandingan Teori Monisme-Dualisme dan
Teori Internasionalisme
Isu utama pembahasan Bab ini adalah
perbandingan antara teori monisme-dualisme klasik
atau tradisional dengan teori internasionalisme
berkenaan dengan kedudukan hukum internasional
dalam forum yudisial domestik (international law before
municipal court). Atas dasar analisis komparatif tersebut
penulis ingin mempertahankan argumen bahwa teori
internasionalisme mampu memberikan dasar
normativitas lebih kuat untuk penerapan hukum
internasional oleh pengadilan domestik atau nasional
suatu negara. Dengan demikian, pembahasan ini ingin
mendukung prinsip bahwa “international law is law”
yang implikasinya hukum internasional juga dapat
diaplikasikan oleh pengadilan nasional dan teori
internasionalisme sebagai theoretical underpinning-nya
mengandung dasar normativitas lebih kuat ketimbang
teori monisme-dualisme.
A.Kelemahan Teori Monisme-Dualisme
1.Teori Monisme-Dualisme Bersifat Teori Ex Post
Kelemahan pertama dari teori monisme-
dualisme terletak pada sifatnya yang ex post.
Sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara
monist atau dualist setelah dianalisa secara ex post
47
facto. 1 Ex post facto berarti “after the fact” atau
setelah kejadian. 2 Dengan analisis ex post facto
maka posisi teori monisme-dualisme dapat
digambarkan sebagai berikut: untuk membuat
kesimpulan apakah suatu negara menganut
monisme atau dualisme, maka akan dilihat terlebih
dahulu praktik-praktik dalam sistem
konstitusional suatu negara yang mengekspresikan
karakter masing-masing teori monisme dan
dualisme tersebut. 3 Dalam pengertian demikian
teori monisme dan dualisme sangat sulit untuk
diberi label sebagai hukum yang seyogianya
bersifat ex ante dan mengharuskan. Analisis
tersebut hanya sebatas menyatakan teori monisme
dan dualisme sebagai pernyataan deskriptif (“is”
statement); bukan pernyataan normatif (“ought”
statement).
Teori monisme-dualisme merupakan outflow
dari perspektif terhadap praktik-praktik negara 4
yang kemudian menimbulkan gejolak tersendiri
pada forum nasional yang berimplikasi
1 Martin Dixon, Textbook on International Law: Seventh Edition, Oxford: Oxford University Press, 2007, hlm. 94.
2 Henry Campbell Black, A Law Dictionary Containing Definitions of The Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient, and Modern, New Jersey: The Lawbook Exchange, 1995, hlm. 453.
3 Rebecca M.M. Wallace, International Law: A Student Introduction, London: Sweet & Maxwell, 1986), hlm. 33.
4 Robert Kolb, “The Relationship Between The International And The Municipal Legal Order: Reflections On The Decision No. 238./2014 Of The Italian Constitutional Court”. Diunduh dari http://www.qil-qdi.org/wp-content/uploads/2014/12/02_Constitutional-Court-238-2014_KOLB.pdf pada tanggal 27 Oktober 2015 pukul 20.47 WIB.
48
memunculkan berbagai pandangan yang saling
bertentangan oleh para ahli hukum dalam
menginterpretasi sistem konstitusional suatu
negara untuk menentukan apakah negara tersebut
monis atau dualis. 5 Sebagai contoh Article VI
Konstitusi Amerika Serikat menyatakan, “All
treaties made, or which shall be made, under the
authority of the United States, shall be the supreme
law of the land.” Seorang pengacara internasional
akan menganggap bunyi Konstitusi di atas sebagai
indikasi bahwa Amerika merupakan negara monis.
Tetapi di sisi lain, The US Supreme Court justru
memiliki pandangan berbeda dengan
mengembangkan pembedaan treaties yang di
antaranya adalah non-self-executing treaty dimana
jenis treaty ini hanya bisa dilaksanakan apabila
sesuai dengan legislasi nasional. Tindakan the US
Supreme Court ini justru condong mendukung teori
dualisme yang berseberangan dengan pendapat
pengacara internasional sehingga tidak dapat
disimpulkan bahwa teori monisme-dualisme yang
bersifat ex post ini akan menyelesaikan
pertentangan pandangan di antara keduanya.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan
bahwa teori monisme-dualisme yang bersifat ex
post ini tidak cukup memadai sebagai instrumen
untuk mengatribusikan normativitas bagi hukum
internasional dalam sistem hukum nasional suatu
negara. Teori tersebut hanya bersifat penyimpulan
5 Basak Cali, Op. Cit., hlm. 142.
49
atau inferensi dari praktik-praktik negara dalam
sistem konsitusionalnya berkenaan dengan
aplikabilitas hukum internasional melalui forum
legislatif dan yudisial domestik.
2.Teori Monisme-Dualisme Kurang Mengandung
Normative Content
Kelemahan kedua adalah teori monisme-
dualisme tidak memiliki daya mengharuskan
berkaitan dengan isu aplikabilitas hukum
internasional. Oleh karena itu teori ini tidak dapat
digunakan dalam dasar pertimbangan putusan di
pengadilan (semisal kasus mengenai tanggung
gugat internasional). Lord Steyn dalam kasus the
Tin Council Case antara J.H. Rayner (Mincing Lane)
Limited v Department of Trade and Industry pada
tahun 1990 di Inggris menjelaskan bahwa suatu
kasus tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan
monis atau dualis.6 Pertanyaan mengenai apakah
suatu negara menganut monisme maupun
dualisme merupakan pertanyaan teoretis tanpa
implikasi praktikal 7 karena teori monisme-
dualisme hanya digunakan untuk menjelaskan
interaksi antara hukum internasional dan hukum
nasional.8
6 Martin Dixon, 2007, Op.Cit., hlm. 94.7 Benedetto Conforti, “Notes on the Relationship between
International Law and National Law” International Law FORUM du droit international Vol. 3, 2001, hlm.18.
8 Onkemetse Tshosa, “The Status of International Law in Namibian National Law: A Critical Appraisal of the Constitutional Strategy”. Diunduh dari http://www.kas.de/upload/auslandshomepages/namibia/Namibia
50
Article 27 the 1969 Vienna Convention on
The Law of Treaties menyatakan bahwa “A party
may not invoke the provisions of its internal law as
justification for its failure to perform a treaty”. Suatu
negara tidak dapat menggunakan hukum
nasionalnya sebagai alasan untuk ketidakpatuhan
terhadap hukum internasional. 9 Apabila
diterapkan dalam suatu sengketa, maka negara
tidak dapat mengelak dari kewajiban internasional
dengan alasan ia menganut teori dualisme.
3.Monism-Dualism Overlapping
Perbedaan cara pandang praktisi dalam
menganalisis suatu negara berdasarkan teori
monisme-dualisme menghasilkan kesimpulan
bervariasi yang menunjukkan adanya praktik
kedua teori secara bersamaan dalam negara
tersebut. 10 Misalnya, Konstitusi Amerika Serikat
mencerminkan pendekatan keduanya yakni dualist
dan monist yang tergambarkan sangat kompleks.11
Kompleksitas lebih jauh nampak ketika negara
adalah monist terhadap treaty law tetapi dualist
terhadap hukum kebiasaan internasional 12 atau
_Law_Journal/2010_1/NLJ_section_1.pdf pada tanggal 27 Oktober 2015 pukul 10.45 WIB.
9 Louise Henkin, Op.Cit., hlm. 137. 10 Lihat pembahasan pada sub teori ex post monisme-dualime.11 Anthony Aust, Handbook of International Law: Second
Edition, New York: Cambridge University Press, 2010, hlm. 76 dan 78.
12 Tom Ginsburg, “Locking in Democracy: Constitutions, Commitment, and International Law” 38 New York University Journal of International Law and Politics 707, 2006, hlm. 174.
51
terhadap jenis hukum internasional lainnya dan
sebaliknya.
Amerika Serikat adalah negara monist secara
efektif, namun ia dikatakan dapat menjadi dualist
seiring dengan berkembangnya kekuasaannya 13
dan kini Amerika Serikat tengah berada pada
sistem campuran, yakni “jalan” ketiga di antara
monisme dan dualisme 14 . Seperti yang tertulis
pada Konstitusi Amerika Serikat bahwa treaties
merupakan “Law of the Land” 15 , namun
praktiknya, sejarah membuktikan bahwa tidak
semua treaties menjadi law of the land di negara
Amerika Serikat.
Supreme Court Amerika Serikat membuat
kategori “self-executing” dan “non-self-executing”
treaties dimana kedua jenis treaties ini
diperlakukan berbeda. 16 Pengategorian treaties di
atas menekankan pada pertanyaan apakah
perjanjian dapat dengan sendirinya berlaku di
Amerika Serikat atau harus menunggu
implementasi dengan legislasi atau tindakan
administratif yang tepat.17 Terdapat dua kasus di
Amerika Serikat yaitu Sei Fujii v. California dan
13 Vicki C. Jackson, Constitutional Engagement in a Transnational Era, New York: Oxford University Press, 2010, hlm. 65.
14 Tae-Ung Baik, Emerging Regional Human Rights Systems in Asia, New York: Cambridge University Press, 2012, hlm. 69.
15 Ciri konstitusional monisme dalam Amerika Serikat. 16 Eric A. Posner dan Alan O. Sykes, Economic Foundations of
International Law, London: The Belknap Press of Harvard University Press, 2013.
17Lori Fisler Damrosch dkk., Op.Cit., hlm. 694.
52
Foster v. Neilson yang menggambarkan kerangka
kedua jenis treaties tersebut.
Pada kasus Sei Fujii v. California, the Alien
Land Law negara California yang mengandung
pembatasan kepemilikan tanah dinilai
inkonstitusional dengan Universal Declaration of
Human Rights dan the United Nations Charter. 18
Kasus ini menunjukkan bahwa UDHR dan UN
Charter adalah hukum internasional yang bersifat
self-executing sehingga dapat diterapkan langsung
di wilayah hukum nasional tanpa perlu adanya
transformasi ke dalam bentuk legislasi nasional.
Nampak bahwa hal ini sudah sesuai dengan sifat
negara monist. Namun pada kasus yang lain yaitu
Foster v. Neilson, praktik dualisme justru terjadi.
Dalam kasus tersebut, Chief Justice Marshall
berargumentasi bahwa sebuah perjanjian harus
dilihat juga sebagai kontrak antar negara, bukan
sebagai sebuah legislative act. 19 Oleh karena ia
merupakan sebuah kontrak, maka sifat dari
perjanjian tersebut harus dilihat pada “bahasa
kontrak” yang kemudian hakim akhirnya memutus
bahwa perjanjian antara Amerika Serikat dan
Spanyol dalam amity, settlement, and limits
tersebut adalah perjanjian yang non-self-executing
karena terdapat frasa “shall be ratified and
18 Jane Dailey, “Race, Marriage, and Sovereignty in the New World Order” Theoretical Inquiries in Law Vol. 10, 2009, hlm. 562.
19 Srini Sitaraman, State Participation in International Treaty Regimes, Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2009, hlm. 163.
53
confirmed” (harus diratifikasi dan dikonfirmasi).20
Pemerintah federal seharusnya menentukan
apakah suatu perjanjian bersifat self-executing
atau non-self executing yang menuntut adanya
peraturan pelaksana atau tindakan administratif
lanjutan yang dibutuhkan.21
Apa yang digambarkan dalam kedua contoh
kasus di atas adalah adanya praktik monisme dan
dualisme dalam negara monist. Tidak hanya terjadi
di negara monist, kedua praktik tersebut juga
dapat terjadi di negara dualist.
Belgia merupakan negara yang secara formal
adalah negara dualist, namun pengadilan
negaranya menganut monisme kaitannya dengan
European Court of Human Rights (ECHR) dan
European Union (EU) Law. 22 Bahkan sebuah
laporan nasional memaparkan bahwa ECHR telah
memberikan pengaruh selama lebih dari 3 dekade
pada Belgia, lebih dominan daripada Perancis yang
notabene adalah negara monist 23 . Hal tersebut
disebabkan hakim Belgia menganggap konvensi
HAM merupakan supra-legislative yang diterapkan
secara langsung, sedangkan hakim Perancis
beranggapan tidak dapat diterapkan secara
20 Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 99.21 Tae-Ung Baik, Loc.Cit.22 Helen Keller dan Alex Stone Sweet, “Assessing Impact of the
ECHR on National Legal Systems” Yale Law School: Faculty Scholarship Series Paper 88, 2008, hlm. 683.
23 Article 55 the Constitution of the Fifth Republic (France).
54
langsung sehingga tercipta adanya gap antara
status Convention’s de jure dan de facto.24
Ketimpangan teori tersebut nyatanya juga
terjadi di Indonesia. Di satu sisi, Indonesia nampak
menganut teori monisme. 25 Pertama, menurut
Damos Dumoli Agusman yang terlibat dalam
pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional
menerangkan bahwa Undang-Undang a quo tidak
ditujukan untuk mengklarifikasi status perjanjian
internasional yang diratifikasi oleh Indonesia
karena drafters dan Kementerian Luar Negeri telah
mengasumsi Indonesia adalah negara monisme.
Maksudnya adalah, Undang-Undang tersebut
dibentuk untuk kepentingan pencatatan pada
Lembaran Negara sehingga dapat diketahui semua
warga negara Indonesia. Kedua, tindakan
Mahkamah Agung RI menggunakan prinsip the
diplomatic community pada Article 31 the 1961
Vienna Convention on Diplomatic Relations untuk
menyelesaikan kasus Kedutaan Arab di Indonesia
meski ketentuan dalam Konvensi yang sudah
diratifikasi tersebut belum ditransformasikan ke
dalam hukum nasional. Dari kedua hal di atas,
maka dapat dilihat bahwa Indonesia adalah negara
monist.
Di sisi lain, Indonesia nampak sebagai
negara dualist. 26 Contoh pertama adalah the 1982
24 Helen Keller dan Alex Stone Sweet, Loc.Cit.25 Simon Butt, Op.Cit., hlm 7-9.26 Ibid.
55
United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS). Ratifikasi Konvensi tersebut dengan UU
No. 17 Tahun 1985 nyatanya tidak serta merta
mengganti UU No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia sampai 10 tahun kemudian ia terganti
dengan UU No. 6 Tahun 1996 yang menerapkan
UNCLOS. Contoh kedua adalah penolakan
Mahkamah Agung RI untuk menerapkan the 1958
New York Convention on Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Meski
Konvensi tersebut telah diratifikasi melalui
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, hal
tersebut tidak serta merta langsung berlaku di
Indonesia karena belum ada peraturan
pelaksananya.27 Penerapan Konvensi tersebut baru
dapat dilakukan setelah Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) yang memperbolehkan hakim
untuk mengaplikasi Konvensi tersebut. Dalam hal
ini, karakter dualisme sangat kuat dipraktikkan di
Indonesia.
Praktik-praktik negara di atas menunjukkan
terjadi simpang-siur atau tumpang tindih
(overlapping) praktik monisme dan dualisme dalam
suatu negara monist atau dualist. Overlapping ini
menyimpulkan bahwa pemisahan teori monisme-
dualisme nyatanya nampak kabur pada
27 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 17-18.
56
praktiknya 28 dan tidak dapat digunakan secara
murni untuk menjustifikasi normativitas hukum
internasional dalam ruang lingkup nasional
sehingga perlu adanya dasar analisis lain yang
lebih memadai untuk memberikan normativitas
hukum internasional dalam sistem hukum
nasional suatu negara.
B.Teori Internasionalisme Sebagai Alternatif yang
Lebih Memadai
Teori monisme-dualisme kurang memiliki
kandungan normatif di mana proposisi-proposisinya
sebagai preskripsi seyogianya bersifat ex-ante. Oleh
karena itu wajar kiranya jika pengadilan tidak
pernah menggunakan teori monisme-dualisme
sebagai dasar argumen dalam putusannya. Hal itu
karena pengadilan harus memutuskan berdasarkan
hukum; a fortiori, teori monisme-dualisme hanya
sekadar teori, tidak ditanggapi sebagai hukum oleh
pengadilan.
Pada dasarnya, normativitas penggunaan
hukum internasional dalam wilayah nasional
tergantung pada aturan konstitusional setiap negara,
bukan atas dasar teori monisme-dualisme. 29
Konstitusi ataupun aturan konstitusional menjadi
pegangan bagi para hakim untuk menggunakan
hukum internasional di ranah domestik. Namun
28 Thomas Cottier, “International Trade Law: The Impact of Justiciability and Separations of Powers in EC Law” Working Paper No. 2009/18, 2009, hlm. 3.
29 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 71.
57
sayangnya, teori monisme-dualisme tidak melihat
konstitusi sebagai dasar normativitas, melainkan
hanya melihat pada praktik negara semata dan
kemudian melakukan generalisasi secara ex post.
Negara yang dijustifikasi sebagai negara dualist
melalui teori monisme-dualisme akan mengatakan
bahwa “International law is not ipso facto part of
municipal law” (hukum internasional tidak serta
merta dianggap sebagai hukum nasional). 30 Oleh
sebab itu, segala hukum internasional harus
menempuh proses transformasi melalui ratifikasi dan
peraturan nasional terlebih dahulu. 31 Ini adalah
salah satu cara pandang dari teori monisme-
dualisme yang lemah.
Proses transformasi 32 maupun inkorporasi 33
merupakan suatu metode bagaimana suatu negara
menginternalisasi norma-norma hukum
internasional34. Hal tersebut sebenarnya tidak lantas
menunjukkan apakah negara itu monist atau dualist.
Maksudnya, tidak menutup kemungkinan apabila
suatu negara yang disebut dualist juga perlu
melakukan proses inkorporasi terhadap norma-
norma hukum internasional tertentu. Apabila suatu
30 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 74.31 Bahakal Yimer dkk., Loc.Cit. 32 Case Regina vs. Keyn (1876), definisi transformation adalah
suatu proses legislasi yang dibutuhkan untuk mengubah hukum internasional menjadi bagian dari the law of the land. Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 91.
33 Lauterpacht mengatakan bahwa inkorporasi adalah tindakan negara untuk membuat hukum internasional dapat diterapkan di hukum nasional tanpa mengubah dasar hukumnya. Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 85.
34 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 75.
58
negara (dualist) dituntut mutlak untuk selalu
menggunakan teori transformasi, maka hal ini akan
menjadi kendala besar bagi suatu negara.
Transformasi membutuhkan waktu yang relatif lama
serta proses yang relatif panjang dan kompleks
sehingga negara akan kesulitan dalam menggunakan
hukum internasional.
Secara substansial, transformasi tidak absolut
untuk dilakukan. 35 Transformasi dibutuhkan apabila
hukum internasional secara spesifik memberi
mandat kepada negara untuk membuat legislasi
nasional lebih lanjut seperti sanksi pidana dan lain-
lain. Hal serupa dapat ditemui pada perjanjian
internasional TRIPs yang telah diratifikasi Indonesia
kemudian memberi kewajiban internasional kepada
Indonesia untuk mengharmonisasikan seluruh
peraturan mengenai hak kekayaan intelektual. 36
Terhadap peraturan sejenis ini, maka transformasi
dibutuhkan.
Namun di sisi lain, perlu dipahami bahwa
terdapat norma-norma hukum internasional yang
sifatnya self-executing37, misal yang berkaitan dengan
hak asasi manusia. Terhadap norma sejenis ini, maka
teori inkorporasilah yang tepat diterapkan.
Inkorporasi diperlukan untuk norma-norma yang
bersifat dapat diterima secara universal seperti
contoh kasus Roper v. Simmons dimana Missouri
35 Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 10. 36 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., hlm. 71. 37 Penerapan perjanjian internasional/treaties secara langsung.
Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 101.
59
Supreme Court akhirnya menghapuskan hukuman
pidana mati bagi anak di bawah umur dengan
menggunakan pertimbangan yang ditarik dari
prinsip-prinsip hukum internasional terkait hak
asasi manusia. 38 Pada poin inilah hakim memiliki
peran besar dalam menginterpretasi norma hukum
internasional tanpa perlu adanya proses transformasi
untuk menggunakan norma tersebut.
Teori internasionalisme memiliki kelebihannya
sendiri dalam menyikapi cara pandang teori
monisme-dualisme yang telah dijelaskan di atas. Jika
disandingkan dengan teori monisme-dualisme,
konsep international constitution nampak berada di
jalur teori monisme 39 namun teori ini memiliki
jawaban dengan argumentasi berbeda dengan
sekedar jawaban ex post yang ditawarkan teori
monisme-dualisme.
Melalui teori international constitution, dasar
legitimasi penggunaan hukum internasional terletak
pada 3 hal yaitu konstitusi, interpretasi hakim, dan
kerangka perlindungan hak asasi manusia (bukan
pada cerminan praktik-praktik negara yang tidak
memiliki normativitas di pengadilan nasional). Teori
ini memberi peluang bagi setiap negara untuk
memanfaatkan hukum internasional dalam wilayah
domestik meski konstitusi negara tidak menyebutkan
secara eksplisit pada teksnya. Hakim dapat
menginterpretasi konstitusi tidak hanya secara
38 Karen M. Hess dkk., Juvenile Justice: Sixth Edition, Belmont: Wadsworth, 2013, hlm. 328.
39 Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 108.
60
tekstual namun juga mencakup kontekstual. Artinya,
apabila konstitusi suatu negara tidak menyatakan
secara eksplisit bagaimana posisi hukum
internasional di ranah nasional (seperti tertuang
pada konstitusi Afrika Selatan yang dengan tegas
menyatakan posisi hukum internasional), maka teori
ini memberi jalan bagi hakim untuk melakukan
interpretasi terhadap konstitusinya sehingga ia
mendapat legitimasi penggunaan hukum
internasional sesuai dengan kepentingan
nasionalnya. Ini adalah sudut pandang yang ingin
dijunjung teori international constitution pada level
nasional.
Teori international constitution juga telah
memberi rambu-rambu dalam hal norma-norma
hukum internasional seperti apa yang dapat
diterapkan seorang hakim supaya terhindar dari
penerapan hukum internasional yang abusive
terhadap hukum nasional. Pertimbangan hakim
terhadap norma hukum internasional tertentu
merupakan wujud konkret bagaimana pengadilan
melakukan suatu filtering terhadap norma hukum
internasional yang dapat diberlakukan di negaranya.
Hal tersebut tercermin dalam kasus Sei Fujii v.
State. 40 Dalam kasus tersebut, pengadilan menilai
bahwa ketentuan hak asasi manusia dalam UN
Charter bersifat self-executing yang sesuai dengan
40 Sei Fujii v. State. 97 A.C.A. 154, 217 P. 2d 481 (1950). Richard B. Lillich dan Frank C. Newman, International Human Rights: Problems of Law and Policy, Canada: Little, Brown & Company Ltd, 1979, hlm. 100.
61
Konstitusi AS sehingga hakim menilai ketentuan
tersebut dapat langsung diterapkan di pengadilan
nasionalnya tanpa harus mendapati proses
transformasi.
Sedangkan pada level internasional, teori
internasionalisme memiliki teori Transnational Legal
Proses yang mengandung daya keberlakuan hukum
internasional yang lebih kuat ketimbang teori
monisme-dualisme. Sebagaimana dijelaskan pada
Sub-judul sebelumnya, teori ini mempunyai 3 tahap
proses yakni interaksi, interpretasi, dan internalisasi
norma hukum internasional. Ketiga proses tersebut
dilandasi oleh kebutuhan negara dan subyek hukum
lainnya untuk memanfaatkan hukum internasional
di wilayah nasional yang kemudian menghasilkan
kewajiban internasional bagi setiap pihak untuk
patuh atau berlaku sesuai dengan hukum
internasional. Alasan kepatuhan inilah yang menjadi
salah satu legitimasi kuat penggunaan hukum
internasional di ruang lingkup nasional, sekaligus hal
yang tidak dapat dijelaskan oleh teori monisme-
dualisme karena ia tidak mengaitkan bangunan
teorinya dari sisi ini.
Teori Transnational Legal Proses tidak
membedakan dikotomi tradisional mengenai aspek
pemisahan internasional-domestik dan publik-privat
sehingga teori ini menciptakan ruang “gerak” yang
lebih bebas bagi hukum nasional untuk mengadopsi
hukum internasional maupun hukum internasional
yang mengadopsi hukum nasional. Hal ini
menerangkan bahwa hukum internasional juga dapat
62
diberlakukan dalam sistem hukum nasional setiap
negara. Justice Stephen Breyer dalam kasus Printz v.
United States berpendapat meskipun konstitusi
setiap negara berbeda, namun terdapat pengalaman-
pengalaman sama yang terjadi di negara-negara
dapat menjadi pertimbangan solusi yang bisa
diterapkan di suatu negara lain. 41 Pernyataan
tersebut digambarkan dalam putusan pengadilan
nasional yang secara konsisten merujuk pada hukum
internasional dari jaman ke jaman. 42 Fenomena
tersebut merupakan gambaran bahwa sesungguhnya
international law is law yang berimplikasi dapat
diterapkannya di wilayah domestik pula dan turut
mendukung pernyataan Harold Koh mengenai
“International law as part of our law”. Bahwa ketika
suatu negara melakukan 3 proses hukum
transnasional, maka negara tersebut tidak lagi secara
eksklusif bergerak di wilayah domestik lagi. Negara
tersebut telah mengambil hukum internasional
untuk diterapkan sebagai bagian dari hukum
nasional.
Berdasarkan argumen komparatif antara teori
internasionalisme dan teori monisme-dualisme di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori
internasionalisme memiliki dasar normativitas yang
lebih kuat dan memadai ketimbang teori monisme-
dualisme. Oleh karena itu, sudah selayaknya teori
monisme-dualisme tidak digunakan untuk
41 Harold Hongju Koh, “International Law as Part of Our Law,” The American Journal of International Law Vol. 98, 2004, hlm. 46.
42 Ibid, hlm. 48.