bab iii perbandingan teori monisme-dualisme dan teori...

18
46 Bab III Perbandingan Teori Monisme-Dualisme dan Teori Internasionalisme Isu utama pembahasan Bab ini adalah perbandingan antara teori monisme-dualisme klasik atau tradisional dengan teori internasionalisme berkenaan dengan kedudukan hukum internasional dalam forum yudisial domestik (international law before municipal court). Atas dasar analisis komparatif tersebut penulis ingin mempertahankan argumen bahwa teori internasionalisme mampu memberikan dasar normativitas lebih kuat untuk penerapan hukum internasional oleh pengadilan domestik atau nasional suatu negara. Dengan demikian, pembahasan ini ingin mendukung prinsip bahwa “international law is lawyang implikasinya hukum internasional juga dapat diaplikasikan oleh pengadilan nasional dan teori internasionalisme sebagai theoretical underpinning-nya mengandung dasar normativitas lebih kuat ketimbang teori monisme-dualisme. A.Kelemahan Teori Monisme-Dualisme 1. Teori Monisme-Dualisme Bersifat Teori Ex Post Kelemahan pertama dari teori monisme- dualisme terletak pada sifatnya yang ex post. Sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara monist atau dualist setelah dianalisa secara ex post

Upload: truonganh

Post on 23-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

46

Bab III

Perbandingan Teori Monisme-Dualisme dan

Teori Internasionalisme

Isu utama pembahasan Bab ini adalah

perbandingan antara teori monisme-dualisme klasik

atau tradisional dengan teori internasionalisme

berkenaan dengan kedudukan hukum internasional

dalam forum yudisial domestik (international law before

municipal court). Atas dasar analisis komparatif tersebut

penulis ingin mempertahankan argumen bahwa teori

internasionalisme mampu memberikan dasar

normativitas lebih kuat untuk penerapan hukum

internasional oleh pengadilan domestik atau nasional

suatu negara. Dengan demikian, pembahasan ini ingin

mendukung prinsip bahwa “international law is law”

yang implikasinya hukum internasional juga dapat

diaplikasikan oleh pengadilan nasional dan teori

internasionalisme sebagai theoretical underpinning-nya

mengandung dasar normativitas lebih kuat ketimbang

teori monisme-dualisme.

A.Kelemahan Teori Monisme-Dualisme

1.Teori Monisme-Dualisme Bersifat Teori Ex Post

Kelemahan pertama dari teori monisme-

dualisme terletak pada sifatnya yang ex post.

Sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara

monist atau dualist setelah dianalisa secara ex post

47

facto. 1 Ex post facto berarti “after the fact” atau

setelah kejadian. 2 Dengan analisis ex post facto

maka posisi teori monisme-dualisme dapat

digambarkan sebagai berikut: untuk membuat

kesimpulan apakah suatu negara menganut

monisme atau dualisme, maka akan dilihat terlebih

dahulu praktik-praktik dalam sistem

konstitusional suatu negara yang mengekspresikan

karakter masing-masing teori monisme dan

dualisme tersebut. 3 Dalam pengertian demikian

teori monisme dan dualisme sangat sulit untuk

diberi label sebagai hukum yang seyogianya

bersifat ex ante dan mengharuskan. Analisis

tersebut hanya sebatas menyatakan teori monisme

dan dualisme sebagai pernyataan deskriptif (“is”

statement); bukan pernyataan normatif (“ought”

statement).

Teori monisme-dualisme merupakan outflow

dari perspektif terhadap praktik-praktik negara 4

yang kemudian menimbulkan gejolak tersendiri

pada forum nasional yang berimplikasi

1 Martin Dixon, Textbook on International Law: Seventh Edition, Oxford: Oxford University Press, 2007, hlm. 94.

2 Henry Campbell Black, A Law Dictionary Containing Definitions of The Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient, and Modern, New Jersey: The Lawbook Exchange, 1995, hlm. 453.

3 Rebecca M.M. Wallace, International Law: A Student Introduction, London: Sweet & Maxwell, 1986), hlm. 33.

4 Robert Kolb, “The Relationship Between The International And The Municipal Legal Order: Reflections On The Decision No. 238./2014 Of The Italian Constitutional Court”. Diunduh dari http://www.qil-qdi.org/wp-content/uploads/2014/12/02_Constitutional-Court-238-2014_KOLB.pdf pada tanggal 27 Oktober 2015 pukul 20.47 WIB.

48

memunculkan berbagai pandangan yang saling

bertentangan oleh para ahli hukum dalam

menginterpretasi sistem konstitusional suatu

negara untuk menentukan apakah negara tersebut

monis atau dualis. 5 Sebagai contoh Article VI

Konstitusi Amerika Serikat menyatakan, “All

treaties made, or which shall be made, under the

authority of the United States, shall be the supreme

law of the land.” Seorang pengacara internasional

akan menganggap bunyi Konstitusi di atas sebagai

indikasi bahwa Amerika merupakan negara monis.

Tetapi di sisi lain, The US Supreme Court justru

memiliki pandangan berbeda dengan

mengembangkan pembedaan treaties yang di

antaranya adalah non-self-executing treaty dimana

jenis treaty ini hanya bisa dilaksanakan apabila

sesuai dengan legislasi nasional. Tindakan the US

Supreme Court ini justru condong mendukung teori

dualisme yang berseberangan dengan pendapat

pengacara internasional sehingga tidak dapat

disimpulkan bahwa teori monisme-dualisme yang

bersifat ex post ini akan menyelesaikan

pertentangan pandangan di antara keduanya.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan

bahwa teori monisme-dualisme yang bersifat ex

post ini tidak cukup memadai sebagai instrumen

untuk mengatribusikan normativitas bagi hukum

internasional dalam sistem hukum nasional suatu

negara. Teori tersebut hanya bersifat penyimpulan

5 Basak Cali, Op. Cit., hlm. 142.

49

atau inferensi dari praktik-praktik negara dalam

sistem konsitusionalnya berkenaan dengan

aplikabilitas hukum internasional melalui forum

legislatif dan yudisial domestik.

2.Teori Monisme-Dualisme Kurang Mengandung

Normative Content

Kelemahan kedua adalah teori monisme-

dualisme tidak memiliki daya mengharuskan

berkaitan dengan isu aplikabilitas hukum

internasional. Oleh karena itu teori ini tidak dapat

digunakan dalam dasar pertimbangan putusan di

pengadilan (semisal kasus mengenai tanggung

gugat internasional). Lord Steyn dalam kasus the

Tin Council Case antara J.H. Rayner (Mincing Lane)

Limited v Department of Trade and Industry pada

tahun 1990 di Inggris menjelaskan bahwa suatu

kasus tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan

monis atau dualis.6 Pertanyaan mengenai apakah

suatu negara menganut monisme maupun

dualisme merupakan pertanyaan teoretis tanpa

implikasi praktikal 7 karena teori monisme-

dualisme hanya digunakan untuk menjelaskan

interaksi antara hukum internasional dan hukum

nasional.8

6 Martin Dixon, 2007, Op.Cit., hlm. 94.7 Benedetto Conforti, “Notes on the Relationship between

International Law and National Law” International Law FORUM du droit international Vol. 3, 2001, hlm.18.

8 Onkemetse Tshosa, “The Status of International Law in Namibian National Law: A Critical Appraisal of the Constitutional Strategy”. Diunduh dari http://www.kas.de/upload/auslandshomepages/namibia/Namibia

50

Article 27 the 1969 Vienna Convention on

The Law of Treaties menyatakan bahwa “A party

may not invoke the provisions of its internal law as

justification for its failure to perform a treaty”. Suatu

negara tidak dapat menggunakan hukum

nasionalnya sebagai alasan untuk ketidakpatuhan

terhadap hukum internasional. 9 Apabila

diterapkan dalam suatu sengketa, maka negara

tidak dapat mengelak dari kewajiban internasional

dengan alasan ia menganut teori dualisme.

3.Monism-Dualism Overlapping

Perbedaan cara pandang praktisi dalam

menganalisis suatu negara berdasarkan teori

monisme-dualisme menghasilkan kesimpulan

bervariasi yang menunjukkan adanya praktik

kedua teori secara bersamaan dalam negara

tersebut. 10 Misalnya, Konstitusi Amerika Serikat

mencerminkan pendekatan keduanya yakni dualist

dan monist yang tergambarkan sangat kompleks.11

Kompleksitas lebih jauh nampak ketika negara

adalah monist terhadap treaty law tetapi dualist

terhadap hukum kebiasaan internasional 12 atau

_Law_Journal/2010_1/NLJ_section_1.pdf pada tanggal 27 Oktober 2015 pukul 10.45 WIB.

9 Louise Henkin, Op.Cit., hlm. 137. 10 Lihat pembahasan pada sub teori ex post monisme-dualime.11 Anthony Aust, Handbook of International Law: Second

Edition, New York: Cambridge University Press, 2010, hlm. 76 dan 78.

12 Tom Ginsburg, “Locking in Democracy: Constitutions, Commitment, and International Law” 38 New York University Journal of International Law and Politics 707, 2006, hlm. 174.

51

terhadap jenis hukum internasional lainnya dan

sebaliknya.

Amerika Serikat adalah negara monist secara

efektif, namun ia dikatakan dapat menjadi dualist

seiring dengan berkembangnya kekuasaannya 13

dan kini Amerika Serikat tengah berada pada

sistem campuran, yakni “jalan” ketiga di antara

monisme dan dualisme 14 . Seperti yang tertulis

pada Konstitusi Amerika Serikat bahwa treaties

merupakan “Law of the Land” 15 , namun

praktiknya, sejarah membuktikan bahwa tidak

semua treaties menjadi law of the land di negara

Amerika Serikat.

Supreme Court Amerika Serikat membuat

kategori “self-executing” dan “non-self-executing”

treaties dimana kedua jenis treaties ini

diperlakukan berbeda. 16 Pengategorian treaties di

atas menekankan pada pertanyaan apakah

perjanjian dapat dengan sendirinya berlaku di

Amerika Serikat atau harus menunggu

implementasi dengan legislasi atau tindakan

administratif yang tepat.17 Terdapat dua kasus di

Amerika Serikat yaitu Sei Fujii v. California dan

13 Vicki C. Jackson, Constitutional Engagement in a Transnational Era, New York: Oxford University Press, 2010, hlm. 65.

14 Tae-Ung Baik, Emerging Regional Human Rights Systems in Asia, New York: Cambridge University Press, 2012, hlm. 69.

15 Ciri konstitusional monisme dalam Amerika Serikat. 16 Eric A. Posner dan Alan O. Sykes, Economic Foundations of

International Law, London: The Belknap Press of Harvard University Press, 2013.

17Lori Fisler Damrosch dkk., Op.Cit., hlm. 694.

52

Foster v. Neilson yang menggambarkan kerangka

kedua jenis treaties tersebut.

Pada kasus Sei Fujii v. California, the Alien

Land Law negara California yang mengandung

pembatasan kepemilikan tanah dinilai

inkonstitusional dengan Universal Declaration of

Human Rights dan the United Nations Charter. 18

Kasus ini menunjukkan bahwa UDHR dan UN

Charter adalah hukum internasional yang bersifat

self-executing sehingga dapat diterapkan langsung

di wilayah hukum nasional tanpa perlu adanya

transformasi ke dalam bentuk legislasi nasional.

Nampak bahwa hal ini sudah sesuai dengan sifat

negara monist. Namun pada kasus yang lain yaitu

Foster v. Neilson, praktik dualisme justru terjadi.

Dalam kasus tersebut, Chief Justice Marshall

berargumentasi bahwa sebuah perjanjian harus

dilihat juga sebagai kontrak antar negara, bukan

sebagai sebuah legislative act. 19 Oleh karena ia

merupakan sebuah kontrak, maka sifat dari

perjanjian tersebut harus dilihat pada “bahasa

kontrak” yang kemudian hakim akhirnya memutus

bahwa perjanjian antara Amerika Serikat dan

Spanyol dalam amity, settlement, and limits

tersebut adalah perjanjian yang non-self-executing

karena terdapat frasa “shall be ratified and

18 Jane Dailey, “Race, Marriage, and Sovereignty in the New World Order” Theoretical Inquiries in Law Vol. 10, 2009, hlm. 562.

19 Srini Sitaraman, State Participation in International Treaty Regimes, Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2009, hlm. 163.

53

confirmed” (harus diratifikasi dan dikonfirmasi).20

Pemerintah federal seharusnya menentukan

apakah suatu perjanjian bersifat self-executing

atau non-self executing yang menuntut adanya

peraturan pelaksana atau tindakan administratif

lanjutan yang dibutuhkan.21

Apa yang digambarkan dalam kedua contoh

kasus di atas adalah adanya praktik monisme dan

dualisme dalam negara monist. Tidak hanya terjadi

di negara monist, kedua praktik tersebut juga

dapat terjadi di negara dualist.

Belgia merupakan negara yang secara formal

adalah negara dualist, namun pengadilan

negaranya menganut monisme kaitannya dengan

European Court of Human Rights (ECHR) dan

European Union (EU) Law. 22 Bahkan sebuah

laporan nasional memaparkan bahwa ECHR telah

memberikan pengaruh selama lebih dari 3 dekade

pada Belgia, lebih dominan daripada Perancis yang

notabene adalah negara monist 23 . Hal tersebut

disebabkan hakim Belgia menganggap konvensi

HAM merupakan supra-legislative yang diterapkan

secara langsung, sedangkan hakim Perancis

beranggapan tidak dapat diterapkan secara

20 Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 99.21 Tae-Ung Baik, Loc.Cit.22 Helen Keller dan Alex Stone Sweet, “Assessing Impact of the

ECHR on National Legal Systems” Yale Law School: Faculty Scholarship Series Paper 88, 2008, hlm. 683.

23 Article 55 the Constitution of the Fifth Republic (France).

54

langsung sehingga tercipta adanya gap antara

status Convention’s de jure dan de facto.24

Ketimpangan teori tersebut nyatanya juga

terjadi di Indonesia. Di satu sisi, Indonesia nampak

menganut teori monisme. 25 Pertama, menurut

Damos Dumoli Agusman yang terlibat dalam

pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional

menerangkan bahwa Undang-Undang a quo tidak

ditujukan untuk mengklarifikasi status perjanjian

internasional yang diratifikasi oleh Indonesia

karena drafters dan Kementerian Luar Negeri telah

mengasumsi Indonesia adalah negara monisme.

Maksudnya adalah, Undang-Undang tersebut

dibentuk untuk kepentingan pencatatan pada

Lembaran Negara sehingga dapat diketahui semua

warga negara Indonesia. Kedua, tindakan

Mahkamah Agung RI menggunakan prinsip the

diplomatic community pada Article 31 the 1961

Vienna Convention on Diplomatic Relations untuk

menyelesaikan kasus Kedutaan Arab di Indonesia

meski ketentuan dalam Konvensi yang sudah

diratifikasi tersebut belum ditransformasikan ke

dalam hukum nasional. Dari kedua hal di atas,

maka dapat dilihat bahwa Indonesia adalah negara

monist.

Di sisi lain, Indonesia nampak sebagai

negara dualist. 26 Contoh pertama adalah the 1982

24 Helen Keller dan Alex Stone Sweet, Loc.Cit.25 Simon Butt, Op.Cit., hlm 7-9.26 Ibid.

55

United Nations Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS). Ratifikasi Konvensi tersebut dengan UU

No. 17 Tahun 1985 nyatanya tidak serta merta

mengganti UU No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan

Indonesia sampai 10 tahun kemudian ia terganti

dengan UU No. 6 Tahun 1996 yang menerapkan

UNCLOS. Contoh kedua adalah penolakan

Mahkamah Agung RI untuk menerapkan the 1958

New York Convention on Recognition and

Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Meski

Konvensi tersebut telah diratifikasi melalui

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, hal

tersebut tidak serta merta langsung berlaku di

Indonesia karena belum ada peraturan

pelaksananya.27 Penerapan Konvensi tersebut baru

dapat dilakukan setelah Peraturan Mahkamah

Agung (PERMA) yang memperbolehkan hakim

untuk mengaplikasi Konvensi tersebut. Dalam hal

ini, karakter dualisme sangat kuat dipraktikkan di

Indonesia.

Praktik-praktik negara di atas menunjukkan

terjadi simpang-siur atau tumpang tindih

(overlapping) praktik monisme dan dualisme dalam

suatu negara monist atau dualist. Overlapping ini

menyimpulkan bahwa pemisahan teori monisme-

dualisme nyatanya nampak kabur pada

27 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 17-18.

56

praktiknya 28 dan tidak dapat digunakan secara

murni untuk menjustifikasi normativitas hukum

internasional dalam ruang lingkup nasional

sehingga perlu adanya dasar analisis lain yang

lebih memadai untuk memberikan normativitas

hukum internasional dalam sistem hukum

nasional suatu negara.

B.Teori Internasionalisme Sebagai Alternatif yang

Lebih Memadai

Teori monisme-dualisme kurang memiliki

kandungan normatif di mana proposisi-proposisinya

sebagai preskripsi seyogianya bersifat ex-ante. Oleh

karena itu wajar kiranya jika pengadilan tidak

pernah menggunakan teori monisme-dualisme

sebagai dasar argumen dalam putusannya. Hal itu

karena pengadilan harus memutuskan berdasarkan

hukum; a fortiori, teori monisme-dualisme hanya

sekadar teori, tidak ditanggapi sebagai hukum oleh

pengadilan.

Pada dasarnya, normativitas penggunaan

hukum internasional dalam wilayah nasional

tergantung pada aturan konstitusional setiap negara,

bukan atas dasar teori monisme-dualisme. 29

Konstitusi ataupun aturan konstitusional menjadi

pegangan bagi para hakim untuk menggunakan

hukum internasional di ranah domestik. Namun

28 Thomas Cottier, “International Trade Law: The Impact of Justiciability and Separations of Powers in EC Law” Working Paper No. 2009/18, 2009, hlm. 3.

29 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 71.

57

sayangnya, teori monisme-dualisme tidak melihat

konstitusi sebagai dasar normativitas, melainkan

hanya melihat pada praktik negara semata dan

kemudian melakukan generalisasi secara ex post.

Negara yang dijustifikasi sebagai negara dualist

melalui teori monisme-dualisme akan mengatakan

bahwa “International law is not ipso facto part of

municipal law” (hukum internasional tidak serta

merta dianggap sebagai hukum nasional). 30 Oleh

sebab itu, segala hukum internasional harus

menempuh proses transformasi melalui ratifikasi dan

peraturan nasional terlebih dahulu. 31 Ini adalah

salah satu cara pandang dari teori monisme-

dualisme yang lemah.

Proses transformasi 32 maupun inkorporasi 33

merupakan suatu metode bagaimana suatu negara

menginternalisasi norma-norma hukum

internasional34. Hal tersebut sebenarnya tidak lantas

menunjukkan apakah negara itu monist atau dualist.

Maksudnya, tidak menutup kemungkinan apabila

suatu negara yang disebut dualist juga perlu

melakukan proses inkorporasi terhadap norma-

norma hukum internasional tertentu. Apabila suatu

30 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 74.31 Bahakal Yimer dkk., Loc.Cit. 32 Case Regina vs. Keyn (1876), definisi transformation adalah

suatu proses legislasi yang dibutuhkan untuk mengubah hukum internasional menjadi bagian dari the law of the land. Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 91.

33 Lauterpacht mengatakan bahwa inkorporasi adalah tindakan negara untuk membuat hukum internasional dapat diterapkan di hukum nasional tanpa mengubah dasar hukumnya. Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 85.

34 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 75.

58

negara (dualist) dituntut mutlak untuk selalu

menggunakan teori transformasi, maka hal ini akan

menjadi kendala besar bagi suatu negara.

Transformasi membutuhkan waktu yang relatif lama

serta proses yang relatif panjang dan kompleks

sehingga negara akan kesulitan dalam menggunakan

hukum internasional.

Secara substansial, transformasi tidak absolut

untuk dilakukan. 35 Transformasi dibutuhkan apabila

hukum internasional secara spesifik memberi

mandat kepada negara untuk membuat legislasi

nasional lebih lanjut seperti sanksi pidana dan lain-

lain. Hal serupa dapat ditemui pada perjanjian

internasional TRIPs yang telah diratifikasi Indonesia

kemudian memberi kewajiban internasional kepada

Indonesia untuk mengharmonisasikan seluruh

peraturan mengenai hak kekayaan intelektual. 36

Terhadap peraturan sejenis ini, maka transformasi

dibutuhkan.

Namun di sisi lain, perlu dipahami bahwa

terdapat norma-norma hukum internasional yang

sifatnya self-executing37, misal yang berkaitan dengan

hak asasi manusia. Terhadap norma sejenis ini, maka

teori inkorporasilah yang tepat diterapkan.

Inkorporasi diperlukan untuk norma-norma yang

bersifat dapat diterima secara universal seperti

contoh kasus Roper v. Simmons dimana Missouri

35 Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 10. 36 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., hlm. 71. 37 Penerapan perjanjian internasional/treaties secara langsung.

Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 101.

59

Supreme Court akhirnya menghapuskan hukuman

pidana mati bagi anak di bawah umur dengan

menggunakan pertimbangan yang ditarik dari

prinsip-prinsip hukum internasional terkait hak

asasi manusia. 38 Pada poin inilah hakim memiliki

peran besar dalam menginterpretasi norma hukum

internasional tanpa perlu adanya proses transformasi

untuk menggunakan norma tersebut.

Teori internasionalisme memiliki kelebihannya

sendiri dalam menyikapi cara pandang teori

monisme-dualisme yang telah dijelaskan di atas. Jika

disandingkan dengan teori monisme-dualisme,

konsep international constitution nampak berada di

jalur teori monisme 39 namun teori ini memiliki

jawaban dengan argumentasi berbeda dengan

sekedar jawaban ex post yang ditawarkan teori

monisme-dualisme.

Melalui teori international constitution, dasar

legitimasi penggunaan hukum internasional terletak

pada 3 hal yaitu konstitusi, interpretasi hakim, dan

kerangka perlindungan hak asasi manusia (bukan

pada cerminan praktik-praktik negara yang tidak

memiliki normativitas di pengadilan nasional). Teori

ini memberi peluang bagi setiap negara untuk

memanfaatkan hukum internasional dalam wilayah

domestik meski konstitusi negara tidak menyebutkan

secara eksplisit pada teksnya. Hakim dapat

menginterpretasi konstitusi tidak hanya secara

38 Karen M. Hess dkk., Juvenile Justice: Sixth Edition, Belmont: Wadsworth, 2013, hlm. 328.

39 Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 108.

60

tekstual namun juga mencakup kontekstual. Artinya,

apabila konstitusi suatu negara tidak menyatakan

secara eksplisit bagaimana posisi hukum

internasional di ranah nasional (seperti tertuang

pada konstitusi Afrika Selatan yang dengan tegas

menyatakan posisi hukum internasional), maka teori

ini memberi jalan bagi hakim untuk melakukan

interpretasi terhadap konstitusinya sehingga ia

mendapat legitimasi penggunaan hukum

internasional sesuai dengan kepentingan

nasionalnya. Ini adalah sudut pandang yang ingin

dijunjung teori international constitution pada level

nasional.

Teori international constitution juga telah

memberi rambu-rambu dalam hal norma-norma

hukum internasional seperti apa yang dapat

diterapkan seorang hakim supaya terhindar dari

penerapan hukum internasional yang abusive

terhadap hukum nasional. Pertimbangan hakim

terhadap norma hukum internasional tertentu

merupakan wujud konkret bagaimana pengadilan

melakukan suatu filtering terhadap norma hukum

internasional yang dapat diberlakukan di negaranya.

Hal tersebut tercermin dalam kasus Sei Fujii v.

State. 40 Dalam kasus tersebut, pengadilan menilai

bahwa ketentuan hak asasi manusia dalam UN

Charter bersifat self-executing yang sesuai dengan

40 Sei Fujii v. State. 97 A.C.A. 154, 217 P. 2d 481 (1950). Richard B. Lillich dan Frank C. Newman, International Human Rights: Problems of Law and Policy, Canada: Little, Brown & Company Ltd, 1979, hlm. 100.

61

Konstitusi AS sehingga hakim menilai ketentuan

tersebut dapat langsung diterapkan di pengadilan

nasionalnya tanpa harus mendapati proses

transformasi.

Sedangkan pada level internasional, teori

internasionalisme memiliki teori Transnational Legal

Proses yang mengandung daya keberlakuan hukum

internasional yang lebih kuat ketimbang teori

monisme-dualisme. Sebagaimana dijelaskan pada

Sub-judul sebelumnya, teori ini mempunyai 3 tahap

proses yakni interaksi, interpretasi, dan internalisasi

norma hukum internasional. Ketiga proses tersebut

dilandasi oleh kebutuhan negara dan subyek hukum

lainnya untuk memanfaatkan hukum internasional

di wilayah nasional yang kemudian menghasilkan

kewajiban internasional bagi setiap pihak untuk

patuh atau berlaku sesuai dengan hukum

internasional. Alasan kepatuhan inilah yang menjadi

salah satu legitimasi kuat penggunaan hukum

internasional di ruang lingkup nasional, sekaligus hal

yang tidak dapat dijelaskan oleh teori monisme-

dualisme karena ia tidak mengaitkan bangunan

teorinya dari sisi ini.

Teori Transnational Legal Proses tidak

membedakan dikotomi tradisional mengenai aspek

pemisahan internasional-domestik dan publik-privat

sehingga teori ini menciptakan ruang “gerak” yang

lebih bebas bagi hukum nasional untuk mengadopsi

hukum internasional maupun hukum internasional

yang mengadopsi hukum nasional. Hal ini

menerangkan bahwa hukum internasional juga dapat

62

diberlakukan dalam sistem hukum nasional setiap

negara. Justice Stephen Breyer dalam kasus Printz v.

United States berpendapat meskipun konstitusi

setiap negara berbeda, namun terdapat pengalaman-

pengalaman sama yang terjadi di negara-negara

dapat menjadi pertimbangan solusi yang bisa

diterapkan di suatu negara lain. 41 Pernyataan

tersebut digambarkan dalam putusan pengadilan

nasional yang secara konsisten merujuk pada hukum

internasional dari jaman ke jaman. 42 Fenomena

tersebut merupakan gambaran bahwa sesungguhnya

international law is law yang berimplikasi dapat

diterapkannya di wilayah domestik pula dan turut

mendukung pernyataan Harold Koh mengenai

“International law as part of our law”. Bahwa ketika

suatu negara melakukan 3 proses hukum

transnasional, maka negara tersebut tidak lagi secara

eksklusif bergerak di wilayah domestik lagi. Negara

tersebut telah mengambil hukum internasional

untuk diterapkan sebagai bagian dari hukum

nasional.

Berdasarkan argumen komparatif antara teori

internasionalisme dan teori monisme-dualisme di

atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori

internasionalisme memiliki dasar normativitas yang

lebih kuat dan memadai ketimbang teori monisme-

dualisme. Oleh karena itu, sudah selayaknya teori

monisme-dualisme tidak digunakan untuk

41 Harold Hongju Koh, “International Law as Part of Our Law,” The American Journal of International Law Vol. 98, 2004, hlm. 46.

42 Ibid, hlm. 48.

63

menjustifikasi normativitas penggunaan hukum

internasional di forum pengadilan nasional karena

teori klasik ini justru akan menimbulkan masalah

praktikal di ranah domestik.