bab iii pembahasan a. beberapa faktor tujuan pembaharuan...

27
BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan waris 1. Faktor keadilan Hazairin berpendapat bahwa pada hakikatnya sistem kewarisan yang terkandung dalam AlQuran adalah sistem kewarisan yang bercorak bilateral (orangtua), seperti dzul fara’idh, 1 dzul qarabat, 2 dan mawali 3 . 4 Berlainan dengan rumusan ahli fiqih khususnya Madzhab Syafi’i dan Syi’ah yang menjelaskan bahwa sistem kewarisannya bersifat patrilinial yaitu dzul fara’id, ashabah 5 dan dzul arham. 6 Tiga landasan teologis normatif yang dijadikan Hazairin yaitu bahwa sistem kekeluargaan yang diinginkan AlQuran adalah sistem bilateral, antara lain: 1 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut AlQuran. Cit.hal. 13-14. Lihat pula Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), Cet. Ke-2, hal 198. Zawu al- faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam AlQuran. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqih menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian 2 Dzawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, dana kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. 3 Mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di- istinbatkan dari Q.S. An- Nisa (4): 33. Adanya mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris). 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat wajibah yang diberlakukan di beberapa negara Timur Tengah mulai tahun 1946, yaitu: Mesir, Syria, Tunisia, Maroko, dan Pakistan. Meskipun bentuk dan rinciannya berbeda-beda di antara negara-negara tersebut, namun substansinya sama yaitu mengakui adanya ahli waris pengganti bagi anak (cucu), dan tidak diatur ahli waris pengganti bagi saudara. 5 Ashabah adalah ahli waris yang memperoleh bagian sisa atau bagian terbuka atau bagian tidak tertentu. 6 keturunan ahli waris yang mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris namun tidak mewarisi dalam kedudukan dzul faraid dan ashabah

Upload: vancong

Post on 10-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

BAB III

PEMBAHASAN

A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan waris

1. Faktor keadilan

Hazairin berpendapat bahwa pada hakikatnya sistem kewarisan

yang terkandung dalam AlQuran adalah sistem kewarisan yang bercorak

bilateral (orangtua), seperti dzul fara’idh,1 dzul qarabat,

2 dan mawali

3.4

Berlainan dengan rumusan ahli fiqih khususnya Madzhab Syafi’i dan

Syi’ah yang menjelaskan bahwa sistem kewarisannya bersifat patrilinial

yaitu dzul fara’id, ashabah5 dan dzul arham.

6 Tiga landasan teologis

normatif yang dijadikan Hazairin yaitu bahwa sistem kekeluargaan yang

diinginkan AlQuran adalah sistem bilateral, antara lain:

1 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut AlQuran. Cit.hal. 13-14. Lihat pula Sudarsono,

Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), Cet. Ke-2, hal 198. Zawu al-

faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam AlQuran. Dalam hal ini hampir

seluruh mazhab fiqih menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan

dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian 2 Dzawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem

bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang,

dana kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. 3 Mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di- istinbatkan dari Q.S. An-

Nisa (4): 33. Adanya mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar

baru dalam ilmu faraid (waris). 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat wajibah yang

diberlakukan di beberapa negara Timur Tengah mulai tahun 1946, yaitu: Mesir, Syria, Tunisia,

Maroko, dan Pakistan. Meskipun bentuk dan rinciannya berbeda-beda di antara negara-negara

tersebut, namun substansinya sama yaitu mengakui adanya ahli waris pengganti bagi anak (cucu),

dan tidak diatur ahli waris pengganti bagi saudara. 5 Ashabah adalah ahli waris yang memperoleh bagian sisa atau bagian terbuka atau bagian tidak

tertentu. 6 keturunan ahli waris yang mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris namun tidak mewarisi

dalam kedudukan dzul faraid dan ashabah

Page 2: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

a. Apabila surat an-Nisâ ayat 23 dan 24 diperhatikan, akan ditemukan

adanya keizinan untuk saling kawin antara orang-orang yang bersaudara

sepupu. Fakta ini menunjukkan bahwa AlQuran cenderung kepada sistem

kekeluargaan yang bilateral.

b. Surat an-Nisa’ ayat 11 yang menjelaskan bahwa semua anak baik laki-laki

maupun perempuan menjadi ahli waris bagi orang tuanya. Ini merupakan

sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya

anak laki-laki yang berhak mewarisi begitu juga pada sistem matrilineal,

hanya anak perempuan yang berhak.

c. Surat an-Nisa’ ayat 12 dan 176 menjadikan saudara bagi semua jenis

saudara (seayah dan seibu) sebagai ahli waris.7

Hal lain yang lain dijelaskan oleh Hazairin yang masih ada

hubungannya dengan kewarisan bilateral adalah:

1. Keberadaan Mawali, dimana dalam ide pembaharuan dalam ilmu waris

yang dicetuskan Hazairin pada intinya berintikan:

a. Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli

waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih

ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun

saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terhijab.

b. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan

garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi

ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini.

7 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut AlQuran, (Jakarta:Tintamas, 1990), hal. 11-12

Page 3: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

c. Ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh

ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan

anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada

kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan

yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup).

Berdasarkan teori ini Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga

kelompok, yakni: zawu al-faraid, zawu al-qarabat, dan mawali. Yang

dimaksud mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang

menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya

akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena

orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si

pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang

menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan).

Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris,

keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan

semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.8

Masalah ahli waris pengganti ini muncul karena Hazairin merasakan

adanya ketidakadilan dalam pembagian warisan yang ada selama ini,

yakni bahwa cucu perempuan yang ayahnya meninggal terlebih dahulu

tidak mendapat harta warisan dari harta warisan yang ditinggalkan

kakeknya. Dalam masalah ini ulama ahlusunah dan juga Syiah sepakat

bahwa anak lai-laki menghijab (menutup) cucu laki-laki dan cucu

8 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 80-81

Page 4: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

perempuan. Keterangan lain oleh Hazairin atas madzhab syafi’i bahwa

keberadaan ahli waris pengganti lebih banyak diposisikan sebagai dzawul

arham.9 Oleh karennya, cucu yang ayahnya meninggal terlebih dahulu,

meskipun sangat berjasa dalam mengurus kakeknya, tetap tidak mendapat

warisan dari kakeknya, karena ada anak kakek (saudara ayah) yang masih

hidup yang menghijabnya, meskipun ia (paman) tidak pernah berbuat jasa

mengurus ayahnya. Menanggapi hal ini, Hazairin memberi penafsiran

baru terhadap surah An Nisa (4) ayat 33. Hazairin mengartikan mawali

dalam ayat itu dengan “pengganti ahli waris”.

Artinya:“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-

pewarisnya.”

Ayat di atas menurut paham ini berarti, “Bagi mendiang anak,

Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan

ayah atau ibu; dan bagi mendiang aqrabun, Allah mengadakan mawali

sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesama aqrabunnya.10

Dalam

pengertian ini cucu dalam kasus di atas bertindak sebagai pengganti

ayahnya.

Dan telah masuk dalam KHI pasal 185 ayat (1) dan (2), bahwa:

a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka

kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang

tersebut dalam pasal 173

9 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2003), hal. 416

10 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut AlQuran dan AlHadits , (Jakarta:Tintamas,

1990), hal. 29

Page 5: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

b. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli

waris yang sederajat dengan yang diganti.

2. Tentang Kalalah, bahwa kalalah11

adalah keadaan khusus dan

memperlihatkan hubungan anak dengan saudara. Kalau seseorang

meninggal tidak mempunyai anak ada sedikit pembahasan dalam hukum

kewarisan Islam. Kalalah atau punah ialah menurut AlQuran surah An

Nisa ayat 176 disebutkan:

“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang

meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara

perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari

harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai

(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi

jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga

dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli

waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka

bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang

saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya

kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Jadi tentang kalalah, ialah kalau seorang “halaka” (celaka maksudnya

meninggal dunia) dan tidak ada baginya anak maka (disebutlah)

saudaranya tampil mewaris (dengan berbagai kombinasinya).12

Menurut

Hazairin, kalalah adalah keadaan seseorang yang meninggal dunia tanpa

meninggalkan keturunan. Keturunan di sini adalah setiap orang dalam

garis lurus kebawah, baik melalui anak laki-laki mapun melalui anak

11

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut AlQuran dan AlHadits, (Jakarta: Tintamas,

1990), hal. 35. Kalalah dalam masalah kewarisan mempunyai beragam penafsiran di kalangan

ulama tafsir, kalalah ialah: seseorang yang meninggal dunia yang tidak meninggalkan ayah dan

anak. 12

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 88

Page 6: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

perempuan13

. Ahli warisnya berdasarkan surah An Nisa (4) ayat 12 adalah

seorang saudara, baik laki-laki maupun perempuan, dengan ketentuan

bagian 1/6 dari harta peninggalan. Jika mereka terdiri atas beberapa orang

saudara, dan semuanya laki-laki atau perempuan atau laki-laki dan

perempuan, maka mereka berbagi sama rata atas 1/3 dari harta

peninggalan tersebut. Adapun berdasarkan surah An Nisa (4) ayat 176,

ahli warisnya adalah juga seorang saudara, baik laki-laki maupun

perempuan. Jika ahli warisnya hanya seorang perempuan, maka ia

mendapat 1/2 dari harta warisan. Bila ahli warisnya seorang saudara laki-

laki atau lebih, mereka mewarisi seluruh harta warisan. Bila ahli warisnya

terdiri dari dua orang atau lebih saudara perempuan, maka mereka

bersama-sama mewarisi 2/3 dari harta warisan. Kalau mereka terdiri atas

beberapa saudara, laki-laki dan perempuan, maka mereka menerima harta

warisan itu dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali lipat dari yang

diterima saudara perempuan.14

Demikianlah bahwa Hazairin dalam urusan kewarisan dengan

sistem kewarisan bilateral membawa corak baru berbeda dengan fiqih

Ahlu Sunnah wal Jamaah/madzhab Syafi’i dengan melihat kenyataan

dalam masyarakat adat yang terjadi di Indoensia, dan sistem bilateral

inilah yang diterima oleh semua pihak baik dari kalangan umat Islam

yang bermadzhab Syafi’i atau masyarakat Indonesia yang beraneka ragam

13

Hazairin, Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional 1963 tentang Fara’id, (Jakarta:

Tintamas, 1963), hal. 66 14

Hazairin, Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional 1963 tentang Fara’id, (Jakarta: Tintamas,

1963), hal. 68

Page 7: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

adat kebiasaan. Yang kemudian disahkannya pasal 805 ayat 1 dan 2

menjadi bagian dari KHI.

2. Faktor keadilan dan kontekstualisasi pemahaman teks

a. Konsep awal Munawwir Sjadzali

Munawwir mulai terinspirasi dalam pandangan warisnya lebih

melihat faktor sosiolosis-historis dari kedaerahan. Sehingga dalam

pembagian waris Munawwir mencoba untuk lebih memperhatikan segala

kondisi kekinian ketimbangan menggunakan patokan yang terdapat dalam

AlQuran. Sehingga semasa beliau menjadi MenteriAgama beliau

mencoba menawarkan konsep pembagian waris untuk laki-laki dan

perempuan adalah 1:1. Gagasan ini sudah mulai Munawwir lemparkan

kepada masyarakat di banyak kesempatan sejak awal tahun 1985 dan

mendapat tanggapan yang biasa-biasa saja. Baru setelah 1985 dan

mendapat tanggapan yang biasa-biasa saja, Munawwir sampaikan pada

forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra yang cukup keras. Di

antaranya ada yang mengingatkan agar Munawwir dan tokoh-tokoh

“pembaharuan” yang lain jangan gegabah. Gagasan reaktualisasi yang

coba ditawarkan Munawwir sesungguhnya merupakan ijtihadnya

terhadapa keprihatinanya terhadap kondisi dan fenomena yang terjadi

didaerah dimana beliau amati. Dari situ mulailah pikiran Munawwir

dapat tercurahkan dan mulai mengembangkannya dalam kehidupannya.

Disini penulis berfikir bahwa Munawwir bisa berfikir secara mendalam

Page 8: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

dan konsen terhadap pemikiran pembaharuan tak lepas juga karena

background beliau yang memang memprihatinkan dalam konteks

kebutuhan untuk hidup.

Corak pemikiran yang arif dari seorang Munawwir telah membawa

pada sekte pembaharuan yang bisa dibilang cukup arif juga, walaupun

banyak yang mengatakan bahwa gagasan beliau telah melampaui

interpretasi dalam AlQuran. Seperti Ash Shabuni yang begitu keras

mengkritik orang-orang yang berani merubah ketentuan-ketentuan

pembagian waris karena semua itu justru menurut Ash Shabuny mereka

itu telah mengingkari ayat-ayat Tuhan.15

Untuk itulah, pemikiran yang

terdapat dalam gagasan Munawwir, sebenarnya sudah cukup banyak yang

mengomentarinya, hal ini sebenarnya tidak membuat seorang Munawwir

gentar untuk melanjutkan gagasannya itu. Karena menurut beliau

AlQuran dan Assunah adalah sesuatu yang perlu adanya konfirmasi

karena hal ini memberikan lapangan pengembangan dalam implementasi

nilai-nilai yang terkandung dalam Islam.16

Dari uraian di atas jelas bahwa bukan Munawwir yang

mengatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh

AlQuran itu tidak adil, tetapi justru Munawwir menyoroti sikap

masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan hukum

fara’id. Namun demikian gagasan yang beliau tawarkan haruslah

menjadi cakrawala berfikir bagi kehidupan mendatang. Karena

15

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Hukum Waris di Indonesia (Yogyakarta: Lkis,

Pelangi Aksara, 1987), hal. 102 16

Munawir Syadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1988), hal. 1-11

Page 9: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

Persoalan yang cukup menarik adalah sebuah penciptaan persepsi dan

motivasi “keagamaan” (terutama agama Islam) melalui apresiasi yang

lebih baik dari religius Islam. Secara historis sangatlah menarik apa yang

dikemukakan oleh Abul A’la Maududi yang begitu intens menulis

Risalah Dinayat dalam bukunya ToWard Understanding Islam

menjelaskan: Bahwa dalam memandang dan memahami Islam tidaklah

cukup dengan simbol ajaran dan sejarah muslim, akan tetapi Islam justru

berdiri pada prinsip yang substansial yang menembus batas-batas

tersebut.17

Suatu hal yang kedengarannya ganjil, kebanyakan dari yang

memberikan reaksi keras menentang gagasan reaktualisasi itu justru

golongan “modernis”, sedangkan para ulama tradisional lebih dapat

mengerti dan bahkan cenderung untuk mendukungnya.

Seperti kita ketahui bersama gagasan reaktualisasi yang

Munawwir tawarkan bersamaan dengan waktunya diluncurkannya Proyek

Kompilasi Hukum Islam. Diantara langkah yang diambil oleh proyek

dalam penyusunan tiga rancangan buku hukum Islam adalah

mengirimkan daftar pertanyaan yang berisi 102 pertanyaan, kepada para

ulama, ahli hukum Islam, dan organisasi-organisasi masa Islam.

Sebagai tanggapan terhadap daftar pertanyaan itu NU Jawa Timur

menyelenggarakan pertemuan Bahtsu al-Masa’il di Tambak Beras,

Jombang. Munawwir diundang dan datang dengan membawa antara lain

17

Abul A’la Maudidi, ToWard Understanding Islam (Lahore/Pakistan)( Islamic Publications,

1967), hal. 8

Page 10: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, Ketua Proyek dan Ketua Muda

Mahkamah Agung Lingkungan Peradilan Agama.18

Kepada para ulama

dari NU yang hadir pada pertemuan itu Munawwir menjelaskan gagasan

reaktualisasi dengan mempergunakan bahasa dan kata-kata istilah yang

mereka pahami dan kitab-kitab rujukan yang akrab dengan mereka, serta

Qawa’id Fiqhiyah yang terdapat dalam buku-buku Ushul al-Fiqih

seperti Al-Risalah karya tulis Imam Syafi’i.

b. Pandangan Munawwir Sjadzali Tentang Waris Dan

Implementasinya

Ketika pertengahan dekade delapan puluhan Munawwir yang

ketika itu kebetulan juga menjabat sebagai Menteri Agama RI,

melontarkan ide agar dalam pembagian waris umat Islam Indonesia

memberikan bagian yang sama terhadap anak laki-laki dan perempuan.

Maka spontan banyak ulama menentangnya karena dianggap

bertentangan dengan ayat AlQuran yang secara sharih (eksplisit) telah

mengatur hal itu. Meskipun setelah reaksi-reaksi keras itu Munawwir

kemudian nampak membatasi diri untuk berbicara soal agama sebagai

ajaran, mungkin karena kedudukan beliau menjadi menteri (pejabat

Negara) membatasinya untuk berbuat seperti itu, tetapi gagasan yang

dilontarkannya itu terus bergulir. Ketentuan AlQuran yang dikategorikan

sharih yang mengatur bahwa bagian laki-laki itu dua kali lipat dari bagian

perempuan adalah surat An-Nisa bagian awal ayat 11 yang artinya:

18

Munawwir Syadzali, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 23

Page 11: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka

untuk) anak-anakmu yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan

bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya

perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta

yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia

memperoleh separo harta dan untuk dua orang ibu dan bapak, bagi

masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang

meninggal itu mempunyai anak jika orang yang meninggal tidak

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu dan bapaknya saja, maka

ibunya mendapat sepertiga jika yang meninggal itu mempunyai beberapa

saudara, maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian

tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah

dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu

tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.19

Walaupun demikian, bagi Munawwir konsep tersebut yang

terdapat dalam QS. An-Nisa' masih sangat meragukan keadilannya.

Berdasarkan kenyataan dan penelitian yang terjadi dalam masyarakat,

menurut Munawwir, laporan para hakim di berbagai daerah yang kuat

keIslamannya seperti di Sulawesi selatan dan Kalimantan Selatan

ditemukannya tindakan masyarakat menyimpang terhadap ketentuan

AlQuran tersebut tentang bagian 2:1. dalam praktek di masyarakat, para

ahli waris tetap minta fatwa tentang ketetapan hukum waris sesuai dengan

faraid Islam yang di dalamnya menetapkan kalkulasi lelaki dan

perempuan 2:1 tetapi dalam pelaksanaannya kerap kali para ahli waris

tidak melaksanakan fatwa ketetapan hakim pengadilan agama dengan

pembagian 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan atau secara legal

mereka pergi ke Pengadilan Negeri untuk ditetapkan hukum yang

hasilnya akan sangat berbeda dengan sistem pewarisan dalam Islam.

19

AlQuran dan Terjemahannya, (Jakarta : Depag RI, 1980).

Page 12: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

Cara seperti ini bukan hanya dilakukan tokoh-tokoh organisasi yang

cukup menguasai ilmu-ilmu keIslaman.20

Disinilah letak alasan gagasan dari Munawwir untuk

memberikan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan

perempuan, menurut beliau sebelum masa Islam wanita sama sekali

tidak mendapatkan bagian warisan. Setelah Islam datang, wanita diberi

bagian warisan walaupun hanya setengah dari bagian laki-laki. Ini berarti

secara sadar Islam hendak meningkatkan hak dan derajat wanita. Kenapa

tidak sekaligus saja wanita diberi bagian yang sama dengan laki-laki

memang tidak jelas, tetapi ajaran Islam itu memang sering

diberlakukan secara bertahap. Karena itu dapat dipahami bahwa jiwa

dari ayat waris tersebut diatas pada dasarnya usaha meningkatkan hak

dab derajat wanita yang harus terus menerus dilakukan dan tidak

boleh terhenti. Kemudian oleh karena kehidupan modern sekarang ini

telah memberikan kewajiban yang lebih besar kepada wanita dibanding

pada masa lalu sehingga wanita kini juga dapat memberikan peran yang

sama dengan laki-laki dalam masyarakat, maka logis saja kalau hak-

haknya dalam warisan juga ditingkatkan agar sama dengan laki-laki.21

Sebagaimana telah disinggung dimuka arti penting reaktualisasi

ajaran Islam yang digagas oleh Munawwir terletak pada penafsirannya

tentang masalah kewarisan. Pembahasan masalah ini terangkai dalam

uraian panjangnya mengenai status dan kedudukan perempuan. Dalam

20

A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT.

Grafindo Persada, 1997), hal. 267 21

Munawwir Syadzali, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1990), hal.23

Page 13: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

pandangan Munawwir22

Islam sebenarnya mengajarkan prinsip

persamaan antara sesama manusia, tanpa ada perbedaan derajat atau

tingkat yang didasarkan atas kebangsaan, kesukuan, dan keturunan.

Dengan mengacu pada QS. Al-Hujurat ayat 13,

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi

Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Disamping itu juga membudayanya penyimpangan kalkulasi

2:1 secara tidak langsung. Banyak kepala keluarga mengambil kebijakan-

kebijakan preventive di mana semasa hidup mereka telah

membagikan harta kekayaan mereka kepada anak-anak mereka bagian

yang sama rata tanpa membedakan jenis kelamin mereka sehingga

ketika mereka meninggal, harta hanya sedikit sekali atau tidak ada sama

sekali kecuali untuk penyelenggaraan jenazah dan sedikit hal lain. Cara

ini walaupun secara langsung tidak bertentangan dengan kalkulasi 2:1

tetapi semangatnya telah dilumpuhkan, permainan dalam agama.

Dari kenyataan tersebut, secara ide, masyarakat muslim menerima

konsep waris antara laki-laki dan perempuan 2:1 tetapi dalam

prakteknya masyarakat menjalankan sistem pembagian 1:1 antara laki-

laki dan perempuan. Masyarakat muslim sendiri tanpa disadari telah

melakukan suatu dekonstruksi sistem kalkulasi 2:1 menjadi 1:1, maka

bagi Munawwir persoalan tersebut harus dipikirkan dalam yurisdiksi

22

Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,

(Yogyakarta: LKIS, 2005), hal. 94

Page 14: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

Pengadilan Agama, tanpa harus sembunyi-sembunyi dengan

melakukan cara lain, tetapi harus berdasarkan hukum yang didukung

oleh penafsiran baru dalam AlQuran.23

Disadari atau tidak sebenarnya jika sistem kalkulasi 1:1

diterapkan antara laki-laki dan perempuan (apakah nantinya didukung

adanya interpretasi baru dan representative), ada beberapa masalah

dalam penerapan, sebagai berikut:

a. Mengenai sistem Hijab dan Mahjub ahli waris, apakah diterapkan

dalam sistem versi sunni ataukah syi'ah atau lagi Hazairin.

b. Sistem kalkulasi 1:1 apakah juga diterapkan terhadap pembagian antara

bagian ayah dan ibu adalah sama, bagaimana juga terhadap nenek dan

kakek terhadap saudara kandung, lelaki dengan perempuan, dan para

saudara lainnya yang seayah dan yang seibu, anak turun anak-anak

pewaris, antara mereka dan kelelakian dan kewanitaan dalam

penderajatan, seterusnya dalam kondisi-kondisi lain yang dianggap

bermasalah dikalangan fuqaha klasik.

c. Apabila diterapkan hanya kepada anak-anak pewaris saja, mengapa

tidak

terhadap anak turun mereka dan para ahli waris lain, baik dalam

pengertian garis genetik ataupun dalam pemahaman jenis kelamin.

23

Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,

(Yogyakarta: LKIS, 2005), hal. 207

Page 15: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

d. Kemungkinan lain terjadi yakni menggunakan sistem KUH Perdata

(BW), dimana jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah sama,

tanpa suatu perbedaan, perbedaan hanya terjadi dalam penarika garis

keutamaan para ahli waris dimana garis genetic (nasabiyah) ke bawah

lebih tinggi derajatnya dari garis ke atas dan menyamping.

Konskuensinya sistem paroan tetap terjadi dalam garis manapun.

e. Dalam sistem kewarisan manapun juga, model keadilan tidak hanya

ditentukan dalam porsi sama rata antara jenis kelamin, sifat keadilan

beragam, terutama ketika dalam kondisi berbedanya genetic, harta

mungkin dipecahkan atau tetap dalam suatu kebulatan perhitungan

dengan sistem pembagian individual.24

Munawwir benar-benar gemilang ia telah menawarkan tesis

baru yang diwarnai dengan model penafsiran "bumi" di mana

disadari atau tidak, ia telah menghembuskan penafsiran sosiologis

kultural dalam setting lokal masyarakat hanya saja ketika situasi lain

terjadi, dimana ahli waris bukan saja hanya anak-anak tetapi

didalamnya ada istri dan suami, ayah dan ibu disamping para cucu

dan para saudara, sistem tersebut menemui jalan buntu tanpa ada

standar lain untuk memecahkannya. Dengan demikian tanpa harus

menolaknya secara membabi buta, suatu penafsiran boleh jadi terjadi

beberapa kekeliruan, dan mengharuskan orang-orang yang terbuka

24

A.Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT.

Grafindo Persada, 1997), hal. 270

Page 16: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

hatinya untuk lebih jauh memikirkannya, setidaknya ada beberapa

celah moril yang ditekankan sebagai latarbelakang deskripsi Munawwir,

antara lain;

a. Kebutuhan keadilan bukan hanya hak teks suci secara tersurat, tetapi ada

sisi lain yang mengharuskan orang untuk menyelesaikannya secara

mandiri.

b. Efektifitas hukum terjadi karena adanya perpaduan nilai-nilai keadilan

yang bersifat substantive antara pesan hukum (teks suci atau apa saja)

dengan masyarakat sebagai orang-orang yang secara langsung dibebani

hukum (mukallaf).

c. Apabila terapi (a) dan (b) tidak diterapkan, akan terjadi kemungkinan

respons masyarakat;

1. Mengingkari seluruh peraturan yang dibuat (segala pesan hukum

bukan hanya terbatas dalam bidang itu saja tetapi juga di bidang lain)

secara langsung, dan mengabaikannya seperti meminta fatwa waris

ke Pengadilan Umum.

2. Mentaatinya secara doktriner karena adanya ikatan-ikatan tertentu

yang mengharuskan untuk tetap tunduk dalam peraturan tersebut

(seperti aturan agama, hukum waris dianggap suci, mengingkarinya

berarti mengingkari agama).

Page 17: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

3. Mengakui atau mentaatinya secara formil, dan mengingkarinya secara

tidak langsung dalam etika moril yang didukung kemungkinannya

lewat peraturan lain seperti yang terjadi tentang hibah kepada anak-

anak 1:1 harta miliknya sehingga ketika ia meninggal hartanya hanya

sedikit atau tidak ada sama sekali untuk dibagi.

d. Nilai-nilai sosial kultural dapat diperhitungkan dalam sistem kewarisan

dan jika mungkin diterapkan sesuai dengan atau dalam konteksnya.25

3. Faktor keadilan dan kesetaraan gender

Konsep CLD-KHI dalam mengedepankan asas kesetaraan dan

keadilan gender, hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme dengan

menerbitkan CLD-KHI yang memang waktu itu sangat membutuhkan

suatu hukum yang baru dalam mengisi kekosongan hukum diperadilan

agama. Dengan keluarnya produk hukum baru tersebut diharapkan bisa

menjdi jawaban bagi para hakim dipengadilan agama. Tetapi kemudian

setelah gagasan atau Konsep tersebut mendatangkan berbagai kontroversi

di tengah masyarakat.

Para penentang konsep ini umumnya datang dari kelompok

pejuang formalisasi syari'at, sedangkan para pendukungnya kebanyakan

berasal dari kelompok yang gigih memperjuangkan kesetaraan dan

keadilan gender, hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme. Meski

banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang menolak CLD-KHI

25

Munawir Syadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal. 56

Page 18: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

tersebut dengan alasan bahwa CLD-KHI tersebut tidak sesuai jalan

AlQuran dan Alhadits. Salah satu contohnya adalah bagian ahli waris

laki-laki itu sama dengan bagian waris perempuan.26

Akan tetapi kalangan akademisi kebanyakan masih memberikan

apresiasi terhadap konsep CLD-KHI ini, meskipun hanya menyetujui

beberapa usulan tersebut. Penolakan terhadap draft ini lebih dikarenakan

penggunaan perspektif yang kurang lazim diterapkan dalam hukum Islam,

seperti demokrasi, gender, dan HAM, yang dianggap sebagai intervensi

pemikiran Barat terhadap hukum Islam, sehingga tidak lagi murni

bersumberkan AlQuran dan AlHadits. Kontroversi kedua muncul karena

penyusunan draft ini didanai oleh the Asia Foundation, sehingga isu

politik turut mewarnai perdebatan, terutama terkait dengan

kepentingan politik Barat untuk menyebarkan liberalisme dan

sekularisme. Dengan demikian, hukum Islam tidak lagi semata-mata

teologis, tetapi merupakan konstruk sosial politik.

Terlepas dari perkembangan perdebatan di lapangan, CLD-KHI

tampak gagal menyakinkan Pemerintah, DPR, dan sebagian besar tokoh-

tokoh Islam, bahkan kian memperkeruh hubungan Islam liberal dengan

Islam konservatif. Namun, secara konseptual CLD-KHI telah berhasil

memadukan hukum Islam dengan kenyataan demokrasi, pluralisme,

hak asasi manusia, dan keadilan gender, baik dalam tataran metodologi

maupun rumusan ketentuan hukum Islam. Rumusan CLD-KHI telah

26

Siti Musdah Mulia, MuslimahnReformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung: Mizan,

2005), hal. 29

Page 19: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

menjadi bahan kajian dan perbincangan akademis yang cukup serius di

banyak perguruan tinggi.27

Tabel kewarisan

no pembahasan KHI Inpres no 1 tahun 1991 CLD-KHI

1 waris beda agama beda agama menjadi penghalang

proses waris mewarisi (pasal 171

dan 172)

beda agama bukan

penghalang proses waris

mewarisi (2)

2 anak diluar

perkawinan

hanya memiliki hubungan waris

dari ibunya,meskipun ayah

biologisnya ditemukan(pasal186)

Jika diketahui ayah

biologisnya,

anak tetap memiliki hak

waris

dari ayah biologisnya (Pasal

16)3 Aul dan radd Dipakai (Pasal 192 dan 193) Dihapus

4 Pembagian waris

bagi

anak laki-laki dan

perempuan

Bagian anak laki-laki dan

perempuan adalah 2:1

Proporsinya sama, 1:1 atau

2:2 (Pasal 8)

B. Telaah sosio historis pembaharuan hukum Islam tentang kewarisan

menuju KHI

1. konsep awal pembentukan KHI

Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan pada

tanggal 17 Agustus 1945, maka seluruh sistem hukum yang ada semuanya

berdasarkan kepada sistem hukum Nasional, sebab pada tanggal 18

Agustus telah ditetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum

dasar negara. Menurut Hazairin, sejak diproklamasikan kemerdekaan

Repubik Indonesia, hukum agama yang diyakini oleh pemeluknya

memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis, hal ini didasarkan atas

27

Siti Musdah Mulia, MuslimahnReformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung: Mizan,

2005), hal. 25

Page 20: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian lebih lanjut dijabarkan di

dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 29.28

Perumusan dasar Negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil

rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar

Negara: Pancasila, Islam dan Sosialis Ekonomi. Namun Dalam lembaga

legislatif yang dikenal de-Konstituante itu tidak berhasil memutuskan

dasar Negara hingga kemudian keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang

menyatakan kembali kepada UUD 1945 termasuk di dalamnya dasar

negara Pancasila.

Sebelumya pada zaman kolonial Belanda, hukum Islam

dipandang sebagai bagian dari sistem hukum adat (terutama sekali

masalah hukum perkawinan), selain itu dalam hal kewarisan masyarakat

sering mempergunakan hukum adat, oleh karena itu persoalan kewarisan

dimasukkan ke dalam kekuasaan Pengadilan Negeri dan diadili

berdasarkan hukum adat29

. Namun akhirnya teori resepsi ini dihapus

berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 11 tanggal 3 Desember 1960.

Sementara itu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang disebut

BPHN) dalam suatu keputusannya yang dikeluarkan pada tanggal 28 Mei

1962 mengenai hukum kekeluargaan telah pula menetapkan asas-asas

28

http://afinz.blogspot.com/2010/04/sejarah-hukum-kewarisan-Islam-di.html, download tanggal

17 februari 2012

29

pada waktu itu, bahkan sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor Tahun 1989

tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan dalam

Lembaran Negara RI tahun 1989 Nomor 49, keputusan pengadilan agama mempunyai kekuatan

hukum apabila keputusan ini telah diperkuat oleh Pengadilan Negeri

Page 21: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

hukum kekeluargaan Indonesia, yang mana dalam pasal 12 ditetapkan

sebagai berikut;

a. Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu

sistem parental, yang diatur dengan undang-undang, dengan

menyesuaikan sistem-sistem lain yang terdapat dalam hukum adat

kepada sistem parental.

b. Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral

individual, dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem

bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang

memerlukannya.

c. Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris

pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit

perubahan bagi hukum waris Islam.

d. Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan

diakui sebagai hukum pelengkap di sisi hukum perundang-

undangan.

Sampai tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960

pada 27 Maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang

hukum perkawinan dan hukum kewarisan walaupun oleh Lembaga

Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap

Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, RUU Hukum Waris.

Sebaliknya di bidang yurisprudensi dengan keputusan-keputusan

Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan

Page 22: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge

made law. Di sini terlihat di bidang hukum waris, nasional yang bilateral

lebih mendekati hukum Islam dari pada hukum adat.

2. Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia

sebagai badan penentu haluan negara, badan pengarah kehidupan negara

dan masyarakat Indonesia di masa lalu (1960) itu, pernah memberikan

pengarahan soal hukum kewarisan di Indonesia. Dalam lampiran

ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 pada

penjelasan lampiran A dengan penegasan dibawah No.38 bahwa

mengenai huruf c. 2 dan 4 dalam penyempurnaan undang-undang hukum

perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor

agama, adat dan lain-lainnya.30

Dalam membicarakan ketetapan MPRS dan lampiran A-nya

tersebut Hazairin menyimpulkan pendapatnya bahwa MPRS menuntut

agar kewarisan di Indonesia diatur secara parental (patrilinial) yang sesuai

dengan kehendak AlQuran dan Sunnah Rasul. Begitupun adat dan lain-

lain yang perlu diperhatikan itu adalah yang sesuai dengan AlQuran dan

Sunnah Rasul, dan disini sejauh mengenai hukum kewarisan Islam.

Pada tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat

30

http://afinz.blogspot.com/2010/04/sejarah-hukum-kewarisan-Islam-di.html download tanggal 15

februari 2012

Page 23: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

Keputusan Bersama, yang isinya membentuk sebuah panitia untuk

mengumpulkan bahan-bahan dan merancang Kompilasi Hukum

Islammenyangkut hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan yang

selanjutnya akan dipergunakan oleh Pengadilan Agama dalam rangka

melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, panitia ini menggunakan empat

jalur, yaitu: Pengkajian kitab-kitab fiqih dengan bantuan beberapa tenaga

pengajar Fakultas Syariah IAIN seluruh Indonesia. Menghimpun

pendapat ulama fiqih terkemuka di tanah air, Menghimpun yurisprudensi

yang terhimpun dalam putusan-putusan Pengadilan Agama seluruh

Indonesia sejak penjajahan Belanda sampai dengan kompilasi tersusun.

Konsep KHI hasil tim tersebut kemudian dibahas oleh para ulama dan

cendekiawan muslim pada loka karya yang diadakan pada tanggal 2-5

Pebruari 1988 di Jakarta.

Hasil Loka karya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri

Agama kepada Presiden untuk memperoleh bentuk yuridis dalam

pelaksanaannya. Kemudian pada tanggal 10 Juni 1991 keluarlah Instruksi

Presiden No.1 Tahun 1991, yang memuat instruksi kepada Menteri

Agama untuk menyebarkan KHI . kemudian pada tanggal 22 Juli 1991

Menteri Agama mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 yang

menyerukan kepada seluruh instansi pemerintah lainnya yang terkait agar

Page 24: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

menyebarluaskan KHI tersebut, dan sedapat mungkin menerapkannya di

samping peraturan perundang-undangan lainnya.31

Kompilasi Hukum Islam terbagi atas tiga buku, dan masing-masing

buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal, khusus bidang Kewarisan

diletakkan dalam buku II dengan judul Hukum Kewarisan, yang terdiri

dari 6 bab dengan 214 pasal dengan perincian sebagai berikut:

Bab I : Ketentuan umum,

Bab II : Ahli waris (pasal 172 sampai dengan pasal 175)

Bab III : Besarnya bagian (pasal 176 sampai dengan pasal 191)

Bab IV : Aul dan Raad (pasal 192 sampai dengan pasal 193)

Bab V: Wasiat (pasal 194 sampai dengan pasal 209

Bab VI: Hibah (pasal 210 sampai dengan pasal 214

3. Pergeseran Hukum Waris di Indonesia

Pengertian hukum waris terdapat pada pasal 171 ayat (a) KHI yang

berbunyi:"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa

bagiannya masing-masing." Dalam literatur hukum Islam ditemui

beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti

faraid, fikih mawaris dan hukum waris. Perbedaan dalam penamaan ini

terjadi karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam

31

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan

Agama,(Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum2004), hal. 303.

Page 25: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

pembahasan. Selain kedua istilah tersebut, kata yang lazim dipakai adalah

faraid.32

Beberapa ahli hukum di Indonesia tidak mempergunakan

penamaan tersebut secara seragam misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro,

menggunakan istilah hukum warisan. Hazairin, mempergunakan istilah

hukum kewarisan dan Soepomo menyebutnya dengan istilah hukum

waris.33

Pembahasan hukum waris di sini hanya sebatas terhadap isu-isu

yang terjadi pergeseran dalam pembahasan fiqh konvensional seperti yang

telah disebutkan pada latar belakang di atas yaitu berkenaan dengan

penghalang ahli waris yang murtad, kedudukan saudara, kedudukan anak

angkat dan penggantian ahli waris.

4. Hukum Waris Islam dalam Kewarisan Nasional

Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini

masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris

yang masih demikian pluralistiknya, sampai sekarang ini pengaturan

masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat keseragaman. Bentuk

dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat

dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat

Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan.

Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui

di Indonesia secara umum. Setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem

32

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005) hal. 5 33

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,

(Bandung,

2005) hal. 1

Page 26: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

keturunan. Berkaitan erat dengan berbagai keinginan umat Islam dewasa

ini yang bukan saja tentang pengharapan pengembangan ide-ide

pembaharuan hukum waris Islam tetapi juga keinginan agar hukum Islam

dapat mewakili menjadi hukum waris nasional, setidaknya bukan hanya

sekedar dipertimbangkan, tetapi pula dijadikan kerangka acuan yang

terbaik dan kongkrit mewujudkan keadilan universal34

.

Di sisi lain, dalam hal tertentu dikalangan intern umat Islam sendiri

mengenai hukum kewarisan masih menjadi persoalan dan menjadi

polemik yang berkepanjangan. Berbagai kritik dan ide pembaharuan

merupakan fakta sosial aspirasi sebagian ummat Islam Indonesia. Baik ide

Hazairin, Munawir Sjadzali ataupun lebih jauh berbagai tanggapan dan

ijtihad di kalangan ulama sepanjang sejarah sejak masa sahabat yang

secara kronologis diwarisi oleh para pengikut pemikiran mereka masing-

masing.

Sebagian masyarakat Indonesia beragama Islam, hukum adat yang

ada sudah dianggap mengakar menyulitkan menjadikan hukum waris

Islam sebagai alternatif yang mana mana hukum adat terlahir karena

adanya hubungan-hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang

secara sosiologis telah lama melembaga. Menurut Sukris Sarmadi35

dengan dijadikannya hukum adat sebagai realitas salah satu sumber dalam

pembinaan hukum Nasional sebagaimana pula dengan hukum Islam, yang

mana dianggap representatif sebagai preseden-preseden bagi hukum

34

M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Grafika Tama, 1998),. Hal. 26 35

A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT.

Grafindo Persada, 1997) hal. 20

Page 27: BAB III PEMBAHASAN A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan ...etheses.uin-malang.ac.id/1525/7/05210082_Bab_3.pdf · 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat

Nasional, dan dirancang serta diberlakukannya dua hukum itu dengan

cara “tambal sulam” sebagai kebijakan Nasional, barangkali akan

dianggap telah melenyapkan hukum kewarisan Islam karena hukum Islam

mengenai kewarisan selama ini dipahami sebagai ajaran yang mutlak

dengan cirri-ciri keadilan yang trasedental. Ditambahkan bahwa

masyarakat yang beragama Islam walaupun dengan berlatar sosial budaya

yang sebelumnya jauh berbeda dengan prinsip-prinsip Islam seperti

masyarakat patrilinial, matrilineal ataupun bilateral tertentu dengan

keberadaan sistem hukum adatnya yang mempengaruhinya, maka sangat

sulit untuk diterapkan suatu unifikasi hukum dalam suatu kodifikasi yang

bersifat nasional.