bab iii pembahasan a. beberapa faktor tujuan pembaharuan...
TRANSCRIPT
BAB III
PEMBAHASAN
A. Beberapa faktor tujuan pembaharuan waris
1. Faktor keadilan
Hazairin berpendapat bahwa pada hakikatnya sistem kewarisan
yang terkandung dalam AlQuran adalah sistem kewarisan yang bercorak
bilateral (orangtua), seperti dzul fara’idh,1 dzul qarabat,
2 dan mawali
3.4
Berlainan dengan rumusan ahli fiqih khususnya Madzhab Syafi’i dan
Syi’ah yang menjelaskan bahwa sistem kewarisannya bersifat patrilinial
yaitu dzul fara’id, ashabah5 dan dzul arham.
6 Tiga landasan teologis
normatif yang dijadikan Hazairin yaitu bahwa sistem kekeluargaan yang
diinginkan AlQuran adalah sistem bilateral, antara lain:
1 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut AlQuran. Cit.hal. 13-14. Lihat pula Sudarsono,
Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), Cet. Ke-2, hal 198. Zawu al-
faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam AlQuran. Dalam hal ini hampir
seluruh mazhab fiqih menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan
dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian 2 Dzawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem
bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang,
dana kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. 3 Mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di- istinbatkan dari Q.S. An-
Nisa (4): 33. Adanya mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar
baru dalam ilmu faraid (waris). 4 Konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat wajibah yang
diberlakukan di beberapa negara Timur Tengah mulai tahun 1946, yaitu: Mesir, Syria, Tunisia,
Maroko, dan Pakistan. Meskipun bentuk dan rinciannya berbeda-beda di antara negara-negara
tersebut, namun substansinya sama yaitu mengakui adanya ahli waris pengganti bagi anak (cucu),
dan tidak diatur ahli waris pengganti bagi saudara. 5 Ashabah adalah ahli waris yang memperoleh bagian sisa atau bagian terbuka atau bagian tidak
tertentu. 6 keturunan ahli waris yang mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris namun tidak mewarisi
dalam kedudukan dzul faraid dan ashabah
a. Apabila surat an-Nisâ ayat 23 dan 24 diperhatikan, akan ditemukan
adanya keizinan untuk saling kawin antara orang-orang yang bersaudara
sepupu. Fakta ini menunjukkan bahwa AlQuran cenderung kepada sistem
kekeluargaan yang bilateral.
b. Surat an-Nisa’ ayat 11 yang menjelaskan bahwa semua anak baik laki-laki
maupun perempuan menjadi ahli waris bagi orang tuanya. Ini merupakan
sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya
anak laki-laki yang berhak mewarisi begitu juga pada sistem matrilineal,
hanya anak perempuan yang berhak.
c. Surat an-Nisa’ ayat 12 dan 176 menjadikan saudara bagi semua jenis
saudara (seayah dan seibu) sebagai ahli waris.7
Hal lain yang lain dijelaskan oleh Hazairin yang masih ada
hubungannya dengan kewarisan bilateral adalah:
1. Keberadaan Mawali, dimana dalam ide pembaharuan dalam ilmu waris
yang dicetuskan Hazairin pada intinya berintikan:
a. Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli
waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih
ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun
saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terhijab.
b. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan
garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi
ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini.
7 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut AlQuran, (Jakarta:Tintamas, 1990), hal. 11-12
c. Ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh
ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan
anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada
kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan
yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup).
Berdasarkan teori ini Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga
kelompok, yakni: zawu al-faraid, zawu al-qarabat, dan mawali. Yang
dimaksud mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang
menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya
akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena
orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si
pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang
menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan).
Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris,
keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan
semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.8
Masalah ahli waris pengganti ini muncul karena Hazairin merasakan
adanya ketidakadilan dalam pembagian warisan yang ada selama ini,
yakni bahwa cucu perempuan yang ayahnya meninggal terlebih dahulu
tidak mendapat harta warisan dari harta warisan yang ditinggalkan
kakeknya. Dalam masalah ini ulama ahlusunah dan juga Syiah sepakat
bahwa anak lai-laki menghijab (menutup) cucu laki-laki dan cucu
8 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 80-81
perempuan. Keterangan lain oleh Hazairin atas madzhab syafi’i bahwa
keberadaan ahli waris pengganti lebih banyak diposisikan sebagai dzawul
arham.9 Oleh karennya, cucu yang ayahnya meninggal terlebih dahulu,
meskipun sangat berjasa dalam mengurus kakeknya, tetap tidak mendapat
warisan dari kakeknya, karena ada anak kakek (saudara ayah) yang masih
hidup yang menghijabnya, meskipun ia (paman) tidak pernah berbuat jasa
mengurus ayahnya. Menanggapi hal ini, Hazairin memberi penafsiran
baru terhadap surah An Nisa (4) ayat 33. Hazairin mengartikan mawali
dalam ayat itu dengan “pengganti ahli waris”.
Artinya:“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-
pewarisnya.”
Ayat di atas menurut paham ini berarti, “Bagi mendiang anak,
Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan
ayah atau ibu; dan bagi mendiang aqrabun, Allah mengadakan mawali
sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesama aqrabunnya.10
Dalam
pengertian ini cucu dalam kasus di atas bertindak sebagai pengganti
ayahnya.
Dan telah masuk dalam KHI pasal 185 ayat (1) dan (2), bahwa:
a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka
kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam pasal 173
9 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2003), hal. 416
10 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut AlQuran dan AlHadits , (Jakarta:Tintamas,
1990), hal. 29
b. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.
2. Tentang Kalalah, bahwa kalalah11
adalah keadaan khusus dan
memperlihatkan hubungan anak dengan saudara. Kalau seseorang
meninggal tidak mempunyai anak ada sedikit pembahasan dalam hukum
kewarisan Islam. Kalalah atau punah ialah menurut AlQuran surah An
Nisa ayat 176 disebutkan:
“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Jadi tentang kalalah, ialah kalau seorang “halaka” (celaka maksudnya
meninggal dunia) dan tidak ada baginya anak maka (disebutlah)
saudaranya tampil mewaris (dengan berbagai kombinasinya).12
Menurut
Hazairin, kalalah adalah keadaan seseorang yang meninggal dunia tanpa
meninggalkan keturunan. Keturunan di sini adalah setiap orang dalam
garis lurus kebawah, baik melalui anak laki-laki mapun melalui anak
11
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut AlQuran dan AlHadits, (Jakarta: Tintamas,
1990), hal. 35. Kalalah dalam masalah kewarisan mempunyai beragam penafsiran di kalangan
ulama tafsir, kalalah ialah: seseorang yang meninggal dunia yang tidak meninggalkan ayah dan
anak. 12
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 88
perempuan13
. Ahli warisnya berdasarkan surah An Nisa (4) ayat 12 adalah
seorang saudara, baik laki-laki maupun perempuan, dengan ketentuan
bagian 1/6 dari harta peninggalan. Jika mereka terdiri atas beberapa orang
saudara, dan semuanya laki-laki atau perempuan atau laki-laki dan
perempuan, maka mereka berbagi sama rata atas 1/3 dari harta
peninggalan tersebut. Adapun berdasarkan surah An Nisa (4) ayat 176,
ahli warisnya adalah juga seorang saudara, baik laki-laki maupun
perempuan. Jika ahli warisnya hanya seorang perempuan, maka ia
mendapat 1/2 dari harta warisan. Bila ahli warisnya seorang saudara laki-
laki atau lebih, mereka mewarisi seluruh harta warisan. Bila ahli warisnya
terdiri dari dua orang atau lebih saudara perempuan, maka mereka
bersama-sama mewarisi 2/3 dari harta warisan. Kalau mereka terdiri atas
beberapa saudara, laki-laki dan perempuan, maka mereka menerima harta
warisan itu dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali lipat dari yang
diterima saudara perempuan.14
Demikianlah bahwa Hazairin dalam urusan kewarisan dengan
sistem kewarisan bilateral membawa corak baru berbeda dengan fiqih
Ahlu Sunnah wal Jamaah/madzhab Syafi’i dengan melihat kenyataan
dalam masyarakat adat yang terjadi di Indoensia, dan sistem bilateral
inilah yang diterima oleh semua pihak baik dari kalangan umat Islam
yang bermadzhab Syafi’i atau masyarakat Indonesia yang beraneka ragam
13
Hazairin, Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional 1963 tentang Fara’id, (Jakarta:
Tintamas, 1963), hal. 66 14
Hazairin, Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional 1963 tentang Fara’id, (Jakarta: Tintamas,
1963), hal. 68
adat kebiasaan. Yang kemudian disahkannya pasal 805 ayat 1 dan 2
menjadi bagian dari KHI.
2. Faktor keadilan dan kontekstualisasi pemahaman teks
a. Konsep awal Munawwir Sjadzali
Munawwir mulai terinspirasi dalam pandangan warisnya lebih
melihat faktor sosiolosis-historis dari kedaerahan. Sehingga dalam
pembagian waris Munawwir mencoba untuk lebih memperhatikan segala
kondisi kekinian ketimbangan menggunakan patokan yang terdapat dalam
AlQuran. Sehingga semasa beliau menjadi MenteriAgama beliau
mencoba menawarkan konsep pembagian waris untuk laki-laki dan
perempuan adalah 1:1. Gagasan ini sudah mulai Munawwir lemparkan
kepada masyarakat di banyak kesempatan sejak awal tahun 1985 dan
mendapat tanggapan yang biasa-biasa saja. Baru setelah 1985 dan
mendapat tanggapan yang biasa-biasa saja, Munawwir sampaikan pada
forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra yang cukup keras. Di
antaranya ada yang mengingatkan agar Munawwir dan tokoh-tokoh
“pembaharuan” yang lain jangan gegabah. Gagasan reaktualisasi yang
coba ditawarkan Munawwir sesungguhnya merupakan ijtihadnya
terhadapa keprihatinanya terhadap kondisi dan fenomena yang terjadi
didaerah dimana beliau amati. Dari situ mulailah pikiran Munawwir
dapat tercurahkan dan mulai mengembangkannya dalam kehidupannya.
Disini penulis berfikir bahwa Munawwir bisa berfikir secara mendalam
dan konsen terhadap pemikiran pembaharuan tak lepas juga karena
background beliau yang memang memprihatinkan dalam konteks
kebutuhan untuk hidup.
Corak pemikiran yang arif dari seorang Munawwir telah membawa
pada sekte pembaharuan yang bisa dibilang cukup arif juga, walaupun
banyak yang mengatakan bahwa gagasan beliau telah melampaui
interpretasi dalam AlQuran. Seperti Ash Shabuni yang begitu keras
mengkritik orang-orang yang berani merubah ketentuan-ketentuan
pembagian waris karena semua itu justru menurut Ash Shabuny mereka
itu telah mengingkari ayat-ayat Tuhan.15
Untuk itulah, pemikiran yang
terdapat dalam gagasan Munawwir, sebenarnya sudah cukup banyak yang
mengomentarinya, hal ini sebenarnya tidak membuat seorang Munawwir
gentar untuk melanjutkan gagasannya itu. Karena menurut beliau
AlQuran dan Assunah adalah sesuatu yang perlu adanya konfirmasi
karena hal ini memberikan lapangan pengembangan dalam implementasi
nilai-nilai yang terkandung dalam Islam.16
Dari uraian di atas jelas bahwa bukan Munawwir yang
mengatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh
AlQuran itu tidak adil, tetapi justru Munawwir menyoroti sikap
masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan hukum
fara’id. Namun demikian gagasan yang beliau tawarkan haruslah
menjadi cakrawala berfikir bagi kehidupan mendatang. Karena
15
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Hukum Waris di Indonesia (Yogyakarta: Lkis,
Pelangi Aksara, 1987), hal. 102 16
Munawir Syadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1988), hal. 1-11
Persoalan yang cukup menarik adalah sebuah penciptaan persepsi dan
motivasi “keagamaan” (terutama agama Islam) melalui apresiasi yang
lebih baik dari religius Islam. Secara historis sangatlah menarik apa yang
dikemukakan oleh Abul A’la Maududi yang begitu intens menulis
Risalah Dinayat dalam bukunya ToWard Understanding Islam
menjelaskan: Bahwa dalam memandang dan memahami Islam tidaklah
cukup dengan simbol ajaran dan sejarah muslim, akan tetapi Islam justru
berdiri pada prinsip yang substansial yang menembus batas-batas
tersebut.17
Suatu hal yang kedengarannya ganjil, kebanyakan dari yang
memberikan reaksi keras menentang gagasan reaktualisasi itu justru
golongan “modernis”, sedangkan para ulama tradisional lebih dapat
mengerti dan bahkan cenderung untuk mendukungnya.
Seperti kita ketahui bersama gagasan reaktualisasi yang
Munawwir tawarkan bersamaan dengan waktunya diluncurkannya Proyek
Kompilasi Hukum Islam. Diantara langkah yang diambil oleh proyek
dalam penyusunan tiga rancangan buku hukum Islam adalah
mengirimkan daftar pertanyaan yang berisi 102 pertanyaan, kepada para
ulama, ahli hukum Islam, dan organisasi-organisasi masa Islam.
Sebagai tanggapan terhadap daftar pertanyaan itu NU Jawa Timur
menyelenggarakan pertemuan Bahtsu al-Masa’il di Tambak Beras,
Jombang. Munawwir diundang dan datang dengan membawa antara lain
17
Abul A’la Maudidi, ToWard Understanding Islam (Lahore/Pakistan)( Islamic Publications,
1967), hal. 8
Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, Ketua Proyek dan Ketua Muda
Mahkamah Agung Lingkungan Peradilan Agama.18
Kepada para ulama
dari NU yang hadir pada pertemuan itu Munawwir menjelaskan gagasan
reaktualisasi dengan mempergunakan bahasa dan kata-kata istilah yang
mereka pahami dan kitab-kitab rujukan yang akrab dengan mereka, serta
Qawa’id Fiqhiyah yang terdapat dalam buku-buku Ushul al-Fiqih
seperti Al-Risalah karya tulis Imam Syafi’i.
b. Pandangan Munawwir Sjadzali Tentang Waris Dan
Implementasinya
Ketika pertengahan dekade delapan puluhan Munawwir yang
ketika itu kebetulan juga menjabat sebagai Menteri Agama RI,
melontarkan ide agar dalam pembagian waris umat Islam Indonesia
memberikan bagian yang sama terhadap anak laki-laki dan perempuan.
Maka spontan banyak ulama menentangnya karena dianggap
bertentangan dengan ayat AlQuran yang secara sharih (eksplisit) telah
mengatur hal itu. Meskipun setelah reaksi-reaksi keras itu Munawwir
kemudian nampak membatasi diri untuk berbicara soal agama sebagai
ajaran, mungkin karena kedudukan beliau menjadi menteri (pejabat
Negara) membatasinya untuk berbuat seperti itu, tetapi gagasan yang
dilontarkannya itu terus bergulir. Ketentuan AlQuran yang dikategorikan
sharih yang mengatur bahwa bagian laki-laki itu dua kali lipat dari bagian
perempuan adalah surat An-Nisa bagian awal ayat 11 yang artinya:
18
Munawwir Syadzali, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 23
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta dan untuk dua orang ibu dan bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu dan bapaknya saja, maka
ibunya mendapat sepertiga jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian
tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.19
Walaupun demikian, bagi Munawwir konsep tersebut yang
terdapat dalam QS. An-Nisa' masih sangat meragukan keadilannya.
Berdasarkan kenyataan dan penelitian yang terjadi dalam masyarakat,
menurut Munawwir, laporan para hakim di berbagai daerah yang kuat
keIslamannya seperti di Sulawesi selatan dan Kalimantan Selatan
ditemukannya tindakan masyarakat menyimpang terhadap ketentuan
AlQuran tersebut tentang bagian 2:1. dalam praktek di masyarakat, para
ahli waris tetap minta fatwa tentang ketetapan hukum waris sesuai dengan
faraid Islam yang di dalamnya menetapkan kalkulasi lelaki dan
perempuan 2:1 tetapi dalam pelaksanaannya kerap kali para ahli waris
tidak melaksanakan fatwa ketetapan hakim pengadilan agama dengan
pembagian 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan atau secara legal
mereka pergi ke Pengadilan Negeri untuk ditetapkan hukum yang
hasilnya akan sangat berbeda dengan sistem pewarisan dalam Islam.
19
AlQuran dan Terjemahannya, (Jakarta : Depag RI, 1980).
Cara seperti ini bukan hanya dilakukan tokoh-tokoh organisasi yang
cukup menguasai ilmu-ilmu keIslaman.20
Disinilah letak alasan gagasan dari Munawwir untuk
memberikan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan
perempuan, menurut beliau sebelum masa Islam wanita sama sekali
tidak mendapatkan bagian warisan. Setelah Islam datang, wanita diberi
bagian warisan walaupun hanya setengah dari bagian laki-laki. Ini berarti
secara sadar Islam hendak meningkatkan hak dan derajat wanita. Kenapa
tidak sekaligus saja wanita diberi bagian yang sama dengan laki-laki
memang tidak jelas, tetapi ajaran Islam itu memang sering
diberlakukan secara bertahap. Karena itu dapat dipahami bahwa jiwa
dari ayat waris tersebut diatas pada dasarnya usaha meningkatkan hak
dab derajat wanita yang harus terus menerus dilakukan dan tidak
boleh terhenti. Kemudian oleh karena kehidupan modern sekarang ini
telah memberikan kewajiban yang lebih besar kepada wanita dibanding
pada masa lalu sehingga wanita kini juga dapat memberikan peran yang
sama dengan laki-laki dalam masyarakat, maka logis saja kalau hak-
haknya dalam warisan juga ditingkatkan agar sama dengan laki-laki.21
Sebagaimana telah disinggung dimuka arti penting reaktualisasi
ajaran Islam yang digagas oleh Munawwir terletak pada penafsirannya
tentang masalah kewarisan. Pembahasan masalah ini terangkai dalam
uraian panjangnya mengenai status dan kedudukan perempuan. Dalam
20
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 1997), hal. 267 21
Munawwir Syadzali, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1990), hal.23
pandangan Munawwir22
Islam sebenarnya mengajarkan prinsip
persamaan antara sesama manusia, tanpa ada perbedaan derajat atau
tingkat yang didasarkan atas kebangsaan, kesukuan, dan keturunan.
Dengan mengacu pada QS. Al-Hujurat ayat 13,
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Disamping itu juga membudayanya penyimpangan kalkulasi
2:1 secara tidak langsung. Banyak kepala keluarga mengambil kebijakan-
kebijakan preventive di mana semasa hidup mereka telah
membagikan harta kekayaan mereka kepada anak-anak mereka bagian
yang sama rata tanpa membedakan jenis kelamin mereka sehingga
ketika mereka meninggal, harta hanya sedikit sekali atau tidak ada sama
sekali kecuali untuk penyelenggaraan jenazah dan sedikit hal lain. Cara
ini walaupun secara langsung tidak bertentangan dengan kalkulasi 2:1
tetapi semangatnya telah dilumpuhkan, permainan dalam agama.
Dari kenyataan tersebut, secara ide, masyarakat muslim menerima
konsep waris antara laki-laki dan perempuan 2:1 tetapi dalam
prakteknya masyarakat menjalankan sistem pembagian 1:1 antara laki-
laki dan perempuan. Masyarakat muslim sendiri tanpa disadari telah
melakukan suatu dekonstruksi sistem kalkulasi 2:1 menjadi 1:1, maka
bagi Munawwir persoalan tersebut harus dipikirkan dalam yurisdiksi
22
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
(Yogyakarta: LKIS, 2005), hal. 94
Pengadilan Agama, tanpa harus sembunyi-sembunyi dengan
melakukan cara lain, tetapi harus berdasarkan hukum yang didukung
oleh penafsiran baru dalam AlQuran.23
Disadari atau tidak sebenarnya jika sistem kalkulasi 1:1
diterapkan antara laki-laki dan perempuan (apakah nantinya didukung
adanya interpretasi baru dan representative), ada beberapa masalah
dalam penerapan, sebagai berikut:
a. Mengenai sistem Hijab dan Mahjub ahli waris, apakah diterapkan
dalam sistem versi sunni ataukah syi'ah atau lagi Hazairin.
b. Sistem kalkulasi 1:1 apakah juga diterapkan terhadap pembagian antara
bagian ayah dan ibu adalah sama, bagaimana juga terhadap nenek dan
kakek terhadap saudara kandung, lelaki dengan perempuan, dan para
saudara lainnya yang seayah dan yang seibu, anak turun anak-anak
pewaris, antara mereka dan kelelakian dan kewanitaan dalam
penderajatan, seterusnya dalam kondisi-kondisi lain yang dianggap
bermasalah dikalangan fuqaha klasik.
c. Apabila diterapkan hanya kepada anak-anak pewaris saja, mengapa
tidak
terhadap anak turun mereka dan para ahli waris lain, baik dalam
pengertian garis genetik ataupun dalam pemahaman jenis kelamin.
23
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
(Yogyakarta: LKIS, 2005), hal. 207
d. Kemungkinan lain terjadi yakni menggunakan sistem KUH Perdata
(BW), dimana jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah sama,
tanpa suatu perbedaan, perbedaan hanya terjadi dalam penarika garis
keutamaan para ahli waris dimana garis genetic (nasabiyah) ke bawah
lebih tinggi derajatnya dari garis ke atas dan menyamping.
Konskuensinya sistem paroan tetap terjadi dalam garis manapun.
e. Dalam sistem kewarisan manapun juga, model keadilan tidak hanya
ditentukan dalam porsi sama rata antara jenis kelamin, sifat keadilan
beragam, terutama ketika dalam kondisi berbedanya genetic, harta
mungkin dipecahkan atau tetap dalam suatu kebulatan perhitungan
dengan sistem pembagian individual.24
Munawwir benar-benar gemilang ia telah menawarkan tesis
baru yang diwarnai dengan model penafsiran "bumi" di mana
disadari atau tidak, ia telah menghembuskan penafsiran sosiologis
kultural dalam setting lokal masyarakat hanya saja ketika situasi lain
terjadi, dimana ahli waris bukan saja hanya anak-anak tetapi
didalamnya ada istri dan suami, ayah dan ibu disamping para cucu
dan para saudara, sistem tersebut menemui jalan buntu tanpa ada
standar lain untuk memecahkannya. Dengan demikian tanpa harus
menolaknya secara membabi buta, suatu penafsiran boleh jadi terjadi
beberapa kekeliruan, dan mengharuskan orang-orang yang terbuka
24
A.Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 1997), hal. 270
hatinya untuk lebih jauh memikirkannya, setidaknya ada beberapa
celah moril yang ditekankan sebagai latarbelakang deskripsi Munawwir,
antara lain;
a. Kebutuhan keadilan bukan hanya hak teks suci secara tersurat, tetapi ada
sisi lain yang mengharuskan orang untuk menyelesaikannya secara
mandiri.
b. Efektifitas hukum terjadi karena adanya perpaduan nilai-nilai keadilan
yang bersifat substantive antara pesan hukum (teks suci atau apa saja)
dengan masyarakat sebagai orang-orang yang secara langsung dibebani
hukum (mukallaf).
c. Apabila terapi (a) dan (b) tidak diterapkan, akan terjadi kemungkinan
respons masyarakat;
1. Mengingkari seluruh peraturan yang dibuat (segala pesan hukum
bukan hanya terbatas dalam bidang itu saja tetapi juga di bidang lain)
secara langsung, dan mengabaikannya seperti meminta fatwa waris
ke Pengadilan Umum.
2. Mentaatinya secara doktriner karena adanya ikatan-ikatan tertentu
yang mengharuskan untuk tetap tunduk dalam peraturan tersebut
(seperti aturan agama, hukum waris dianggap suci, mengingkarinya
berarti mengingkari agama).
3. Mengakui atau mentaatinya secara formil, dan mengingkarinya secara
tidak langsung dalam etika moril yang didukung kemungkinannya
lewat peraturan lain seperti yang terjadi tentang hibah kepada anak-
anak 1:1 harta miliknya sehingga ketika ia meninggal hartanya hanya
sedikit atau tidak ada sama sekali untuk dibagi.
d. Nilai-nilai sosial kultural dapat diperhitungkan dalam sistem kewarisan
dan jika mungkin diterapkan sesuai dengan atau dalam konteksnya.25
3. Faktor keadilan dan kesetaraan gender
Konsep CLD-KHI dalam mengedepankan asas kesetaraan dan
keadilan gender, hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme dengan
menerbitkan CLD-KHI yang memang waktu itu sangat membutuhkan
suatu hukum yang baru dalam mengisi kekosongan hukum diperadilan
agama. Dengan keluarnya produk hukum baru tersebut diharapkan bisa
menjdi jawaban bagi para hakim dipengadilan agama. Tetapi kemudian
setelah gagasan atau Konsep tersebut mendatangkan berbagai kontroversi
di tengah masyarakat.
Para penentang konsep ini umumnya datang dari kelompok
pejuang formalisasi syari'at, sedangkan para pendukungnya kebanyakan
berasal dari kelompok yang gigih memperjuangkan kesetaraan dan
keadilan gender, hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme. Meski
banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang menolak CLD-KHI
25
Munawir Syadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal. 56
tersebut dengan alasan bahwa CLD-KHI tersebut tidak sesuai jalan
AlQuran dan Alhadits. Salah satu contohnya adalah bagian ahli waris
laki-laki itu sama dengan bagian waris perempuan.26
Akan tetapi kalangan akademisi kebanyakan masih memberikan
apresiasi terhadap konsep CLD-KHI ini, meskipun hanya menyetujui
beberapa usulan tersebut. Penolakan terhadap draft ini lebih dikarenakan
penggunaan perspektif yang kurang lazim diterapkan dalam hukum Islam,
seperti demokrasi, gender, dan HAM, yang dianggap sebagai intervensi
pemikiran Barat terhadap hukum Islam, sehingga tidak lagi murni
bersumberkan AlQuran dan AlHadits. Kontroversi kedua muncul karena
penyusunan draft ini didanai oleh the Asia Foundation, sehingga isu
politik turut mewarnai perdebatan, terutama terkait dengan
kepentingan politik Barat untuk menyebarkan liberalisme dan
sekularisme. Dengan demikian, hukum Islam tidak lagi semata-mata
teologis, tetapi merupakan konstruk sosial politik.
Terlepas dari perkembangan perdebatan di lapangan, CLD-KHI
tampak gagal menyakinkan Pemerintah, DPR, dan sebagian besar tokoh-
tokoh Islam, bahkan kian memperkeruh hubungan Islam liberal dengan
Islam konservatif. Namun, secara konseptual CLD-KHI telah berhasil
memadukan hukum Islam dengan kenyataan demokrasi, pluralisme,
hak asasi manusia, dan keadilan gender, baik dalam tataran metodologi
maupun rumusan ketentuan hukum Islam. Rumusan CLD-KHI telah
26
Siti Musdah Mulia, MuslimahnReformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung: Mizan,
2005), hal. 29
menjadi bahan kajian dan perbincangan akademis yang cukup serius di
banyak perguruan tinggi.27
Tabel kewarisan
no pembahasan KHI Inpres no 1 tahun 1991 CLD-KHI
1 waris beda agama beda agama menjadi penghalang
proses waris mewarisi (pasal 171
dan 172)
beda agama bukan
penghalang proses waris
mewarisi (2)
2 anak diluar
perkawinan
hanya memiliki hubungan waris
dari ibunya,meskipun ayah
biologisnya ditemukan(pasal186)
Jika diketahui ayah
biologisnya,
anak tetap memiliki hak
waris
dari ayah biologisnya (Pasal
16)3 Aul dan radd Dipakai (Pasal 192 dan 193) Dihapus
4 Pembagian waris
bagi
anak laki-laki dan
perempuan
Bagian anak laki-laki dan
perempuan adalah 2:1
Proporsinya sama, 1:1 atau
2:2 (Pasal 8)
B. Telaah sosio historis pembaharuan hukum Islam tentang kewarisan
menuju KHI
1. konsep awal pembentukan KHI
Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945, maka seluruh sistem hukum yang ada semuanya
berdasarkan kepada sistem hukum Nasional, sebab pada tanggal 18
Agustus telah ditetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum
dasar negara. Menurut Hazairin, sejak diproklamasikan kemerdekaan
Repubik Indonesia, hukum agama yang diyakini oleh pemeluknya
memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis, hal ini didasarkan atas
27
Siti Musdah Mulia, MuslimahnReformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung: Mizan,
2005), hal. 25
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian lebih lanjut dijabarkan di
dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 29.28
Perumusan dasar Negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil
rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar
Negara: Pancasila, Islam dan Sosialis Ekonomi. Namun Dalam lembaga
legislatif yang dikenal de-Konstituante itu tidak berhasil memutuskan
dasar Negara hingga kemudian keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
menyatakan kembali kepada UUD 1945 termasuk di dalamnya dasar
negara Pancasila.
Sebelumya pada zaman kolonial Belanda, hukum Islam
dipandang sebagai bagian dari sistem hukum adat (terutama sekali
masalah hukum perkawinan), selain itu dalam hal kewarisan masyarakat
sering mempergunakan hukum adat, oleh karena itu persoalan kewarisan
dimasukkan ke dalam kekuasaan Pengadilan Negeri dan diadili
berdasarkan hukum adat29
. Namun akhirnya teori resepsi ini dihapus
berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 11 tanggal 3 Desember 1960.
Sementara itu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang disebut
BPHN) dalam suatu keputusannya yang dikeluarkan pada tanggal 28 Mei
1962 mengenai hukum kekeluargaan telah pula menetapkan asas-asas
28
http://afinz.blogspot.com/2010/04/sejarah-hukum-kewarisan-Islam-di.html, download tanggal
17 februari 2012
29
pada waktu itu, bahkan sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor Tahun 1989
tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan dalam
Lembaran Negara RI tahun 1989 Nomor 49, keputusan pengadilan agama mempunyai kekuatan
hukum apabila keputusan ini telah diperkuat oleh Pengadilan Negeri
hukum kekeluargaan Indonesia, yang mana dalam pasal 12 ditetapkan
sebagai berikut;
a. Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu
sistem parental, yang diatur dengan undang-undang, dengan
menyesuaikan sistem-sistem lain yang terdapat dalam hukum adat
kepada sistem parental.
b. Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral
individual, dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem
bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang
memerlukannya.
c. Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris
pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit
perubahan bagi hukum waris Islam.
d. Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan
diakui sebagai hukum pelengkap di sisi hukum perundang-
undangan.
Sampai tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960
pada 27 Maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang
hukum perkawinan dan hukum kewarisan walaupun oleh Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap
Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, RUU Hukum Waris.
Sebaliknya di bidang yurisprudensi dengan keputusan-keputusan
Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan
dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge
made law. Di sini terlihat di bidang hukum waris, nasional yang bilateral
lebih mendekati hukum Islam dari pada hukum adat.
2. Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
sebagai badan penentu haluan negara, badan pengarah kehidupan negara
dan masyarakat Indonesia di masa lalu (1960) itu, pernah memberikan
pengarahan soal hukum kewarisan di Indonesia. Dalam lampiran
ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 pada
penjelasan lampiran A dengan penegasan dibawah No.38 bahwa
mengenai huruf c. 2 dan 4 dalam penyempurnaan undang-undang hukum
perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor
agama, adat dan lain-lainnya.30
Dalam membicarakan ketetapan MPRS dan lampiran A-nya
tersebut Hazairin menyimpulkan pendapatnya bahwa MPRS menuntut
agar kewarisan di Indonesia diatur secara parental (patrilinial) yang sesuai
dengan kehendak AlQuran dan Sunnah Rasul. Begitupun adat dan lain-
lain yang perlu diperhatikan itu adalah yang sesuai dengan AlQuran dan
Sunnah Rasul, dan disini sejauh mengenai hukum kewarisan Islam.
Pada tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat
30
http://afinz.blogspot.com/2010/04/sejarah-hukum-kewarisan-Islam-di.html download tanggal 15
februari 2012
Keputusan Bersama, yang isinya membentuk sebuah panitia untuk
mengumpulkan bahan-bahan dan merancang Kompilasi Hukum
Islammenyangkut hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan yang
selanjutnya akan dipergunakan oleh Pengadilan Agama dalam rangka
melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, panitia ini menggunakan empat
jalur, yaitu: Pengkajian kitab-kitab fiqih dengan bantuan beberapa tenaga
pengajar Fakultas Syariah IAIN seluruh Indonesia. Menghimpun
pendapat ulama fiqih terkemuka di tanah air, Menghimpun yurisprudensi
yang terhimpun dalam putusan-putusan Pengadilan Agama seluruh
Indonesia sejak penjajahan Belanda sampai dengan kompilasi tersusun.
Konsep KHI hasil tim tersebut kemudian dibahas oleh para ulama dan
cendekiawan muslim pada loka karya yang diadakan pada tanggal 2-5
Pebruari 1988 di Jakarta.
Hasil Loka karya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri
Agama kepada Presiden untuk memperoleh bentuk yuridis dalam
pelaksanaannya. Kemudian pada tanggal 10 Juni 1991 keluarlah Instruksi
Presiden No.1 Tahun 1991, yang memuat instruksi kepada Menteri
Agama untuk menyebarkan KHI . kemudian pada tanggal 22 Juli 1991
Menteri Agama mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 yang
menyerukan kepada seluruh instansi pemerintah lainnya yang terkait agar
menyebarluaskan KHI tersebut, dan sedapat mungkin menerapkannya di
samping peraturan perundang-undangan lainnya.31
Kompilasi Hukum Islam terbagi atas tiga buku, dan masing-masing
buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal, khusus bidang Kewarisan
diletakkan dalam buku II dengan judul Hukum Kewarisan, yang terdiri
dari 6 bab dengan 214 pasal dengan perincian sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan umum,
Bab II : Ahli waris (pasal 172 sampai dengan pasal 175)
Bab III : Besarnya bagian (pasal 176 sampai dengan pasal 191)
Bab IV : Aul dan Raad (pasal 192 sampai dengan pasal 193)
Bab V: Wasiat (pasal 194 sampai dengan pasal 209
Bab VI: Hibah (pasal 210 sampai dengan pasal 214
3. Pergeseran Hukum Waris di Indonesia
Pengertian hukum waris terdapat pada pasal 171 ayat (a) KHI yang
berbunyi:"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing." Dalam literatur hukum Islam ditemui
beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti
faraid, fikih mawaris dan hukum waris. Perbedaan dalam penamaan ini
terjadi karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam
31
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan
Agama,(Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum2004), hal. 303.
pembahasan. Selain kedua istilah tersebut, kata yang lazim dipakai adalah
faraid.32
Beberapa ahli hukum di Indonesia tidak mempergunakan
penamaan tersebut secara seragam misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro,
menggunakan istilah hukum warisan. Hazairin, mempergunakan istilah
hukum kewarisan dan Soepomo menyebutnya dengan istilah hukum
waris.33
Pembahasan hukum waris di sini hanya sebatas terhadap isu-isu
yang terjadi pergeseran dalam pembahasan fiqh konvensional seperti yang
telah disebutkan pada latar belakang di atas yaitu berkenaan dengan
penghalang ahli waris yang murtad, kedudukan saudara, kedudukan anak
angkat dan penggantian ahli waris.
4. Hukum Waris Islam dalam Kewarisan Nasional
Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini
masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris
yang masih demikian pluralistiknya, sampai sekarang ini pengaturan
masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat keseragaman. Bentuk
dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat
dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat
Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan.
Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui
di Indonesia secara umum. Setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem
32
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005) hal. 5 33
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,
(Bandung,
2005) hal. 1
keturunan. Berkaitan erat dengan berbagai keinginan umat Islam dewasa
ini yang bukan saja tentang pengharapan pengembangan ide-ide
pembaharuan hukum waris Islam tetapi juga keinginan agar hukum Islam
dapat mewakili menjadi hukum waris nasional, setidaknya bukan hanya
sekedar dipertimbangkan, tetapi pula dijadikan kerangka acuan yang
terbaik dan kongkrit mewujudkan keadilan universal34
.
Di sisi lain, dalam hal tertentu dikalangan intern umat Islam sendiri
mengenai hukum kewarisan masih menjadi persoalan dan menjadi
polemik yang berkepanjangan. Berbagai kritik dan ide pembaharuan
merupakan fakta sosial aspirasi sebagian ummat Islam Indonesia. Baik ide
Hazairin, Munawir Sjadzali ataupun lebih jauh berbagai tanggapan dan
ijtihad di kalangan ulama sepanjang sejarah sejak masa sahabat yang
secara kronologis diwarisi oleh para pengikut pemikiran mereka masing-
masing.
Sebagian masyarakat Indonesia beragama Islam, hukum adat yang
ada sudah dianggap mengakar menyulitkan menjadikan hukum waris
Islam sebagai alternatif yang mana mana hukum adat terlahir karena
adanya hubungan-hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang
secara sosiologis telah lama melembaga. Menurut Sukris Sarmadi35
dengan dijadikannya hukum adat sebagai realitas salah satu sumber dalam
pembinaan hukum Nasional sebagaimana pula dengan hukum Islam, yang
mana dianggap representatif sebagai preseden-preseden bagi hukum
34
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Grafika Tama, 1998),. Hal. 26 35
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 1997) hal. 20
Nasional, dan dirancang serta diberlakukannya dua hukum itu dengan
cara “tambal sulam” sebagai kebijakan Nasional, barangkali akan
dianggap telah melenyapkan hukum kewarisan Islam karena hukum Islam
mengenai kewarisan selama ini dipahami sebagai ajaran yang mutlak
dengan cirri-ciri keadilan yang trasedental. Ditambahkan bahwa
masyarakat yang beragama Islam walaupun dengan berlatar sosial budaya
yang sebelumnya jauh berbeda dengan prinsip-prinsip Islam seperti
masyarakat patrilinial, matrilineal ataupun bilateral tertentu dengan
keberadaan sistem hukum adatnya yang mempengaruhinya, maka sangat
sulit untuk diterapkan suatu unifikasi hukum dalam suatu kodifikasi yang
bersifat nasional.