alat bukti dalam perkara perdata

58
ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu. Alat bukti disampaikan dalam persidangan pemeriksaan perkara dalam tahap pembuktian. Pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara. Yang harus dibuktikan dalam sidang adalah segala sesuatu yang didalilkan disangkal atau dibantah oleh pihak lawan. Yang tidak perlu dibuktikan adalah segala sesuatu yang diakui, dibenarkan, tidak dibantah pihak lawan, segala sesuatu yang dilihat oleh hakim, dan segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang bersifat umum. Alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan untuk pembuktian adalah sebagai berikut. 1. Bukti surat. 2. Bukti saksi. 3. Persangkaan. 4. Pengakuan. 5. Sumpah. BUKTI SURAT Bukti surat adalah bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam surat sebagai berikut. Pertama, Surat biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Seandainya surat biasa dijadikan bukti maka hanya suatu kebetulan saja. Yang termasuk surat biasa adalah surat cinta, surat-surat yang berhubungan dengan korespondensi, dan lain-lain. Kedua, Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dapat dibuktikan lain. Akta otentik misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dan lain- lain. Ketiga, Akta di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila isi dan

Upload: adde-irianto

Post on 27-Jan-2016

43 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

er

TRANSCRIPT

Page 1: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA

Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu. Alat bukti disampaikan dalam persidangan pemeriksaan perkara dalam tahap pembuktian. Pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara.

Yang harus dibuktikan dalam sidang adalah segala sesuatu yang didalilkan disangkal atau dibantah oleh pihak lawan. Yang tidak perlu dibuktikan adalah segala sesuatu yang diakui, dibenarkan, tidak dibantah pihak lawan, segala sesuatu yang dilihat oleh hakim, dan segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang bersifat umum.

Alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan untuk pembuktian adalah sebagai berikut.

1. Bukti surat.

2. Bukti saksi.

3. Persangkaan.

4. Pengakuan.

5. Sumpah.

BUKTI SURAT

Bukti surat adalah bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam surat sebagai berikut.

Pertama, Surat biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Seandainya surat biasa dijadikan bukti maka hanya suatu kebetulan saja. Yang termasuk surat biasa adalah surat cinta, surat-surat yang berhubungan dengan korespondensi, dan lain-lain.

Kedua, Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dapat dibuktikan lain. Akta otentik misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dan lain-lain.

Ketiga, Akta di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui oleh para pihak, apabila isi dan tanda tangan yang ada tidak diakui maka pihak yang mengajukan bukti harus menambah dengan bukti lain misalnya saksi.

Dalam praktik beracara di pengadilan bukti surat yang akan digunakan sebagai bukti di persidangan di foto copy lalu dibubuhi meterai yang cukup dan dilegalisasi di Kantor Pos kemudian didaftarkan di Kepaniteraan pengadilan untuk dilegalisasi dan baru dapat diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim dan dicocokkan dengan aslinya jika sesuai dengan aslinya maka dapat digunakan sebagai bukti yang sah. Apabila ternyata tidak cocok dengan aslinya atau tidak ada aslinya maka tidak mempunyai kekuatan pembuktian sama sekali. Para pihak yang berperkara berhak untuk minta diperlihatkan bukti surat kepadanya.

BUKTI SAKSI

Page 2: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa.

Syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut.

– Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.

– Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar,

diketahui, dan dialami sendiri.

– Kesaksian harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara pribadi.

– Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan.

– Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan, dan perkiraan dari saksi.

– Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de auditu).

– Keterangan satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis). Satu saksi harus didukung dengan alat bukti lain.

Yang tidak dapat dijadikan saksi adalah sebagai berikut.

– Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.

– Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.

– Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah berumur 15 (lima belas) tahun.

– Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.

Keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat didengar keterangannya dan tidak boleh ditolak dalam perkara-perkara mengenai kedudukan perdata antara kedua belah pihak.

Anak-anak yang belum dewasa dan orang gila dapat didengar keterangannya tanpa disumpah. Keterangan mereka hanya dipakai sebagai penjelasan saja.

Saksi yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan keterangan sebagai saksi adalah sebagai berikut.

– Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak.

– Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara laki-laki dan perempuan, serta suami atau istri salah satu pihak.

– Orang yang karena jabatannya atau pekerjaannya yang diwajibkan untuk menyimpan rahasia.

PERSANGKAAN

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau majelis hakim terhadap suatu peristiwa yang terang, nyata, ke arah peristiwa yang belum terang kenyataannya. Dengan kata lain

Page 3: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang sudah terbukti ke arah peristiwa yang belum terbukti.

Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut.

a. Persangkaan Undang-Undang

Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.

b. Persangkaan Hakim

Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.

PENGAKUAN

Pengakuan terhadap suatu peristiwa yang didalilkan dianggap telah terbukti adanya peristiwa yang didalilkan tersebut. Pengakuan ada dua macam sebagai berikut.

a. Pengakuan di depan sidang.

Pengakuan di depan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak dengan membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian saja. Pengakuan di depan sidang merupakan pembuktian yang sempurna.

Pengakuan di depan sidang tidak dapat ditarik kembali kecuali pengakuan yang diberikan terdapat suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan dapat berupa pengakuan lisan dan tertulis, pengakuan dalam jawaban dipersamakan pengakuan lisan di depan persidangan.

b. Pengakuan di luar sidang.

Pengakuan di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan pembuktiannya bebas tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa. Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak perlu pembuktian tentang pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan pembuktian atas pengakuan tersebut.

S U M P A H

Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan oleh salah satu pihak yang berperkara bahwa apa yang dikatakan itu benar. Apabila sumpah diucapkan maka hakim tidak boleh meminta bukti tambahan kepada para pihak.

Sumpah terdiri dari:

a. Sumpah promissoir

Page 4: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Sumpah promissoir yaitu sumpah yang isinya berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

b. Sumpah confirmatoir

Sumpah confirmatoir yaitu sumpah yang berisi keterangan untuk meneguhkan sesuatu yang benar.

Sumpah confirmatoir terdiri dari:

– Sumpah supletoir

Sumpah supletoir atau sumpah pelengkap atau sumpah penambah yaitu sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada para pihak untuk melengkapi dan menambah pembuktian. Sumpah pelengkap harus ada bukti terlebih dahulu namun bukti belum lengkap sedangkan untuk mendapatkan bukti lain tidak mungkin. Sumpah pelengkap dibebankan kepada para pihak oleh hakim karena jabatannya.

– Sumpah decisoir

Sumpah decisoir atau sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya. Sumpah pemutus dimohonkan kepada majelis hakim oleh salah satu pihak agar pihak lawan mengangkat sumpah. Sumpah pemutus dikabulkan hakim apabila tidak ada alat bukti sama sekali. Sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak lain yang meminta apabila mengenai perkara timbal balik. Apabila salah satu pihak berani mengangkat sumpah maka pihak yang mengangkat sumpah perkaranya dimenangkan.

– Sumpah aestimatoir

Sumpah asstimatoir yaitu sumpah yang dibebankan hakim kepada penggugat untuk menentukan jumlah kerugian.

REFERENSI:

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali, Jakarta, 1991.

Soebekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980.

Share this:

9Bagikan pada Facebook(Membuka di jendela yang baru)9Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru)Click to email(Membuka di jendela yang baru)Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)

Memuat...

Terkait

Photo Copy Bukti Surat yang Tidak Dinyatakan Sesuai dengan Aslinya Adalah Alat Bukti Tidak Sah

dalam "Hukum Acara Perdata"

Perkawinan di Luar Negeri

dalam "Hukum Acara Perdata"

Page 5: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Putusan Hakim yang Kurang Pertimbangan Hukum

dalam "Hukum Acara Perdata"Cover

Judul Makalah

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

Bab II Isi

Bab III Penutup

Daftar Pustaka

PENGERTIAN PERJANJIAN

Pengertian Perjanjian Secara Umum - Adapun yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. ( Pengertian Perjanjian )

Definisi Perjanjian - Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.

Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di depan hakim.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.(Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4, h.6)

Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga

Page 6: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari "perjanjian" dan ada perikatan yang lahir dari "undang-undang".

Kesimpulan dari pembicaraan kita di atas, bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan disitu dapat dilihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa. Kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita suatu perikatan. Kita hanya dapat membayangkannya dalam alam pikiran kita, tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.

Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain, karena janji yang telah mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi.

Suatu perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.

Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan dalam bentuk yang paling sederhana ini dinamakan perikatan bersahaja atau perikatan murni.

Disamping bentuk yang paling sederhana itu, hukum perdata mengenal pula berbagai macam perikatan yaitu sebagai berikut :

1. Perikatan bersyarat.

Suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.

Dalam hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265 KUHPerdata.

Page 7: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Dengan demikian syarat batal itu mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.

2. Perikatan dengan ketetapan waktu.

Berlainan dengan suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya atau pun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan.

Suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan berutang, kecuali dari sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang.

Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang ditentukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tidak dapat diminta kembali.

3. Perikatan mana suka (alternatif).

Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya, hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada berpiutang.

4. Perikatan tanggung menanggung atau solider.

Dalam perikatan jenis ini, disalah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat dipihak debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh hutang. Dalam hal beberapa terdapat di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang.

Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur yang lainnya. Begitu pula pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang lainnya.

Dalam hal si berutang berhadapan dengan beberapa orang kreditur, maka terserah kepada si berutang, untuk memilih kepada kreditur yang mana ia hendak membayar utangnya selama ia belum digugat oleh salah satu.

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi.

Adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidka boleh mengurangi hakekat prestasi itu.

Page 8: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut didalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perikatan itu.

Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tidak dapat dibagi kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi tanpa kehilangan hakekatnya.

Adalah mungkin bahwa barang yang tersangkut dalam prestasi menurut sifatnya dapat dipecah-pecah, tetapi menurut maksudnya perikatan tidak dapat dibagi, misalnya perikatan untuk membuat suatu jalan raya antara dua tempat, menurut sifatnya dapat dibagi, misalnya kalau jarak antara tempat tersebut 200 Km, adalah mungkin untuk membagi pekerjaan yang telah diborong itu dalam dua bagian, masing-masing 100 Km. Tetapi menurut maksud perjanjian jelas pekerjaan tersebut harus dibuat seluruhnya, jika tidak demikian tujuan pemborong itu tidak akan tercapai. Oleh karena itu perikatan tadi adalah suatu perikatan yang tak dapat dibagi.

6. Perikatan dengan ancaman hukuman.

Perikatan semacam ini adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang untuk jaminan pelaksanaan perikatannya diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai gantinya. Pengganti kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud. Pertama; untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. Kedua; untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian yang dideritanya. Sebab berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang.

Dalam perjanjian-perjanjian dengan ancaman hukuman atau denda ini lazimnya ditetapkan hukuman yang sangat berat, kadang-kadang terlampau berat. Menurut pasal 1309, hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan hukuman itu apabila perjanjiannya telah sebagian dipenuhi. Dengan demikian, asal debitur sudah mulai mengerjakan kewajibannya, hakim leluasa untuk meringankan hukuman, apabila itu dianggapnya terlampau berat.

Dalam perikatan dikenal dua macam sistem yaitu sebagai berikut: sistem terbuka dan azas konsensualisme dalam hukum perjanjian.

Dikatakan bahwa hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya yang dimaksud dengan tertutup macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Memang tepat sekali nama hukum

Page 9: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

pelengkap itu, karena benar-benar pasal-pasal dari hukum perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.

Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1, yang berbunyi :

"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".

Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang.

Selanjutnya sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.

Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya! Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.

Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah diperlukan sesuatu formalitas.

Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil". Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu kekecualian yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi :

"Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. sepakat mereka yang mengikat dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

Page 10: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal".

Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, pada Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat untuk sahnya suatu perikatan, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Persetujuan dari pihak yang mengikatkan diri dari perjanjian atau dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kedua pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian. Persetujuan masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan secara diam-diam, harus bebas dari pengaruh atau tekanan seperti :

1. Paksaan (Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata);

2. Kekhilafan;

3. Penipuan.

Persetujuan dua pihak ini harus diberitahukan kepada pihak lainnya, dapat dikatakan secara tegas-tegas dan dapat pula secara tidak tegas.

Kecakapan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1329 - 1330 KUHPerdata). Pasal 1330 KUHPerdata mengatur tentang siapa yang dianggap tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Dalam hal ini dibedakan antara ketidakcakapan (onbekwaam heid) dan ketidakwenangan (onbevoegheid).

Ketidakcakapan terdapat apabila seseorang pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian dengan sempurna, misalnya anak-anak yang belum cukup umur, mereka yang ditempatkan dibawah pengampuan. Sedangkan ketidak-wenangan terdapat bila seseorang, walaupun pada dasarnya cakap untuk mengikatkan dirinya namun tidak dapat atau tanpa kuasa dari pihak ketiga, tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Akibat ketidakwenangan oleh undang-undang tidak diatur, hanya dilihat untuk setiap peristiwa, apakah akibatnya dan harus diperhatikan maksudnya.

Page 11: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Suatu hal tertentu, Pasal 1332 KUHPerdata, yaitu barang-barang yang dapat diperdagangkan. Barang-barang tersebut tidak hanya berupa barang material, tetapi juga barang immaterial, misalnya perjanjian untuk memberikan les piano, pemeriksaan oleh dokter dan sebagainya. Prestasinya harus tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan, jumlahnya bisa saja tidak pasti asal kemudian dapat dipastikan, umpamanya menjual hasil panen diladang yang masih belum bisa dipanen. Pengertian Perjanjian Secara Umum - Adapun yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. ( Pengertian Perjanjian )

Definisi Perjanjian - Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.

Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di depan hakim.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.(Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4, h.6)

Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari "perjanjian" dan ada perikatan yang lahir dari "undang-undang".

Kesimpulan dari pembicaraan kita di atas, bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan disitu dapat dilihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa. Kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita suatu perikatan. Kita hanya dapat membayangkannya dalam alam

Page 12: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

pikiran kita, tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.

Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain, karena janji yang telah mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi.

Suatu perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.

Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan dalam bentuk yang paling sederhana ini dinamakan perikatan bersahaja atau perikatan murni.

Disamping bentuk yang paling sederhana itu, hukum perdata mengenal pula berbagai macam perikatan yaitu sebagai berikut :

1. Perikatan bersyarat.

Suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.

Dalam hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265 KUHPerdata.

Dengan demikian syarat batal itu mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.

2. Perikatan dengan ketetapan waktu.

Berlainan dengan suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya atau pun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan.

Page 13: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan berutang, kecuali dari sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang.

Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang ditentukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tidak dapat diminta kembali.

3. Perikatan mana suka (alternatif).

Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya, hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada berpiutang.

4. Perikatan tanggung menanggung atau solider.

Dalam perikatan jenis ini, disalah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat dipihak debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh hutang. Dalam hal beberapa terdapat di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang.

Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur yang lainnya. Begitu pula pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang lainnya.

Dalam hal si berutang berhadapan dengan beberapa orang kreditur, maka terserah kepada si berutang, untuk memilih kepada kreditur yang mana ia hendak membayar utangnya selama ia belum digugat oleh salah satu.

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi.

Adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidka boleh mengurangi hakekat prestasi itu.

Soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut didalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perikatan itu.

Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tidak dapat dibagi kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi tanpa kehilangan hakekatnya.

Adalah mungkin bahwa barang yang tersangkut dalam prestasi menurut sifatnya dapat dipecah-pecah, tetapi menurut maksudnya perikatan tidak dapat dibagi, misalnya perikatan untuk membuat suatu jalan raya antara dua tempat, menurut sifatnya dapat dibagi, misalnya kalau jarak antara

Page 14: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

tempat tersebut 200 Km, adalah mungkin untuk membagi pekerjaan yang telah diborong itu dalam dua bagian, masing-masing 100 Km. Tetapi menurut maksud perjanjian jelas pekerjaan tersebut harus dibuat seluruhnya, jika tidak demikian tujuan pemborong itu tidak akan tercapai. Oleh karena itu perikatan tadi adalah suatu perikatan yang tak dapat dibagi.

6. Perikatan dengan ancaman hukuman.

Perikatan semacam ini adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang untuk jaminan pelaksanaan perikatannya diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai gantinya. Pengganti kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud. Pertama; untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. Kedua; untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian yang dideritanya. Sebab berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang.

Dalam perjanjian-perjanjian dengan ancaman hukuman atau denda ini lazimnya ditetapkan hukuman yang sangat berat, kadang-kadang terlampau berat. Menurut pasal 1309, hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan hukuman itu apabila perjanjiannya telah sebagian dipenuhi. Dengan demikian, asal debitur sudah mulai mengerjakan kewajibannya, hakim leluasa untuk meringankan hukuman, apabila itu dianggapnya terlampau berat.

Dalam perikatan dikenal dua macam sistem yaitu sebagai berikut: sistem terbuka dan azas konsensualisme dalam hukum perjanjian.

Dikatakan bahwa hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya yang dimaksud dengan tertutup macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, karena benar-benar pasal-pasal dari hukum perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.

Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1, yang berbunyi :

"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".

Page 15: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang.

Selanjutnya sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.

Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya! Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.

Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah diperlukan sesuatu formalitas.

Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil". Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu kekecualian yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi :

"Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. sepakat mereka yang mengikat dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal".

Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Page 16: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, pada Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat untuk sahnya suatu perikatan, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Persetujuan dari pihak yang mengikatkan diri dari perjanjian atau dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kedua pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian. Persetujuan masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan secara diam-diam, harus bebas dari pengaruh atau tekanan seperti :

1. Paksaan (Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata);

2. Kekhilafan;

3. Penipuan.

Persetujuan dua pihak ini harus diberitahukan kepada pihak lainnya, dapat dikatakan secara tegas-tegas dan dapat pula secara tidak tegas.

Kecakapan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1329 - 1330 KUHPerdata). Pasal 1330 KUHPerdata mengatur tentang siapa yang dianggap tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Dalam hal ini dibedakan antara ketidakcakapan (onbekwaam heid) dan ketidakwenangan (onbevoegheid).

Ketidakcakapan terdapat apabila seseorang pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian dengan sempurna, misalnya anak-anak yang belum cukup umur, mereka yang ditempatkan dibawah pengampuan. Sedangkan ketidak-wenangan terdapat bila seseorang, walaupun pada dasarnya cakap untuk mengikatkan dirinya namun tidak dapat atau tanpa kuasa dari pihak ketiga, tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Akibat ketidakwenangan oleh undang-undang tidak diatur, hanya dilihat untuk setiap peristiwa, apakah akibatnya dan harus diperhatikan maksudnya.

Suatu hal tertentu, Pasal 1332 KUHPerdata, yaitu barang-barang yang dapat diperdagangkan. Barang-barang tersebut tidak hanya berupa barang material, tetapi juga barang immaterial, misalnya perjanjian untuk memberikan les piano, pemeriksaan oleh dokter dan sebagainya. Prestasinya harus tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan, jumlahnya bisa saja tidak pasti asal kemudian dapat dipastikan, umpamanya menjual hasil panen diladang yang masih belum bisa dipanen.

Page 17: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Pengertian Perjanjian Secara Umum - Adapun yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. ( Pengertian Perjanjian )

Definisi Perjanjian - Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.

Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di depan hakim.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.(Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4, h.6)

Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari "perjanjian" dan ada perikatan yang lahir dari "undang-undang".

Kesimpulan dari pembicaraan kita di atas, bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan disitu dapat dilihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa. Kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita suatu perikatan. Kita hanya dapat membayangkannya dalam alam pikiran kita, tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.

Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh

Page 18: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain, karena janji yang telah mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi.

Suatu perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.

Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan dalam bentuk yang paling sederhana ini dinamakan perikatan bersahaja atau perikatan murni.

Disamping bentuk yang paling sederhana itu, hukum perdata mengenal pula berbagai macam perikatan yaitu sebagai berikut :

1. Perikatan bersyarat.

Suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.

Dalam hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265 KUHPerdata.

Dengan demikian syarat batal itu mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.

2. Perikatan dengan ketetapan waktu.

Berlainan dengan suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya atau pun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan.

Suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan berutang, kecuali dari sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang.

Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang ditentukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tidak dapat diminta kembali.

Page 19: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

3. Perikatan mana suka (alternatif).

Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya, hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada berpiutang.

4. Perikatan tanggung menanggung atau solider.

Dalam perikatan jenis ini, disalah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat dipihak debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh hutang. Dalam hal beberapa terdapat di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang.

Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur yang lainnya. Begitu pula pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang lainnya.

Dalam hal si berutang berhadapan dengan beberapa orang kreditur, maka terserah kepada si berutang, untuk memilih kepada kreditur yang mana ia hendak membayar utangnya selama ia belum digugat oleh salah satu.

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi.

Adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidka boleh mengurangi hakekat prestasi itu.

Soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut didalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perikatan itu.

Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tidak dapat dibagi kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi tanpa kehilangan hakekatnya.

Adalah mungkin bahwa barang yang tersangkut dalam prestasi menurut sifatnya dapat dipecah-pecah, tetapi menurut maksudnya perikatan tidak dapat dibagi, misalnya perikatan untuk membuat suatu jalan raya antara dua tempat, menurut sifatnya dapat dibagi, misalnya kalau jarak antara tempat tersebut 200 Km, adalah mungkin untuk membagi pekerjaan yang telah diborong itu dalam dua bagian, masing-masing 100 Km. Tetapi menurut maksud perjanjian jelas pekerjaan tersebut harus dibuat seluruhnya, jika tidak demikian tujuan pemborong itu tidak akan tercapai. Oleh karena itu perikatan tadi adalah suatu perikatan yang tak dapat dibagi.

Page 20: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

6. Perikatan dengan ancaman hukuman.

Perikatan semacam ini adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang untuk jaminan pelaksanaan perikatannya diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai gantinya. Pengganti kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud. Pertama; untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. Kedua; untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian yang dideritanya. Sebab berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang.

Dalam perjanjian-perjanjian dengan ancaman hukuman atau denda ini lazimnya ditetapkan hukuman yang sangat berat, kadang-kadang terlampau berat. Menurut pasal 1309, hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan hukuman itu apabila perjanjiannya telah sebagian dipenuhi. Dengan demikian, asal debitur sudah mulai mengerjakan kewajibannya, hakim leluasa untuk meringankan hukuman, apabila itu dianggapnya terlampau berat.

Dalam perikatan dikenal dua macam sistem yaitu sebagai berikut: sistem terbuka dan azas konsensualisme dalam hukum perjanjian.

Dikatakan bahwa hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya yang dimaksud dengan tertutup macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, karena benar-benar pasal-pasal dari hukum perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.

Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1, yang berbunyi :

"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".

Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang.

Page 21: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Selanjutnya sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.

Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya! Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.

Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah diperlukan sesuatu formalitas.

Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil". Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu kekecualian yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi :

"Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. sepakat mereka yang mengikat dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal".

Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, pada Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat untuk sahnya suatu perikatan, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

Page 22: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

4. Suatu sebab yang halal.

Persetujuan dari pihak yang mengikatkan diri dari perjanjian atau dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kedua pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian. Persetujuan masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan secara diam-diam, harus bebas dari pengaruh atau tekanan seperti :

1. Paksaan (Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata);

2. Kekhilafan;

3. Penipuan.

Persetujuan dua pihak ini harus diberitahukan kepada pihak lainnya, dapat dikatakan secara tegas-tegas dan dapat pula secara tidak tegas.

Kecakapan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1329 - 1330 KUHPerdata). Pasal 1330 KUHPerdata mengatur tentang siapa yang dianggap tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Dalam hal ini dibedakan antara ketidakcakapan (onbekwaam heid) dan ketidakwenangan (onbevoegheid).

Ketidakcakapan terdapat apabila seseorang pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian dengan sempurna, misalnya anak-anak yang belum cukup umur, mereka yang ditempatkan dibawah pengampuan. Sedangkan ketidak-wenangan terdapat bila seseorang, walaupun pada dasarnya cakap untuk mengikatkan dirinya namun tidak dapat atau tanpa kuasa dari pihak ketiga, tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Akibat ketidakwenangan oleh undang-undang tidak diatur, hanya dilihat untuk setiap peristiwa, apakah akibatnya dan harus diperhatikan maksudnya.

Suatu hal tertentu, Pasal 1332 KUHPerdata, yaitu barang-barang yang dapat diperdagangkan. Barang-barang tersebut tidak hanya berupa barang material, tetapi juga barang immaterial, misalnya perjanjian untuk memberikan les piano, pemeriksaan oleh dokter dan sebagainya. Prestasinya harus tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan, jumlahnya bisa saja tidak pasti asal kemudian dapat dipastikan, umpamanya menjual hasil panen diladang yang masih belum bisa dipanen.

Kausa yang halal (Pasal 1335 - 1337 KUHPerdata), dari pasal-pasal tersebut ternyata ada perjanjian dengan sebab palsu atau tidak halal, perjanjian tanpa sebab. Undang-undang tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan sebab (kausa) itu. Khusus dengan perantaraan pengertian kausa diselidiki apakah tujuan pembuatan perjanjian apakah untuk itu? Apakah isi perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.

Page 23: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Sedangkan debitur yang melalaikan atau tidak memenuhi kewajibannya dinamakan melakukan wanprestasi, sedangkan kreditur terbukti telah melaksanakan prestasinya. Dalam hal ini debitur wajib mengganti kerugian.

Syarat-syarat penentuan kerugian :

1. Pihak debitur llai memenuhi prestasinya;

2. Pihak debitur tidak berada dalam keadaan memaksa (overmacht);

3. Tidak adanya tangkisan dari debitur untuk melumpuhkan tuntutan;

4. Adanya somasi (teguran) terlebih dahulu dari pihak kreditur.

Macam-macam wanprestasi :

1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;

2. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya;

3. Melaksanakan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh diperjanjikan.

SUMBER :

http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-perjanjian-secara-umum.html

Dasar-Dasar Hukum Perjanjian

92 Votes

A. PERJANJIAN PADA UMUMNYA

Page 24: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.

Page 25: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata
Page 26: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

A.1. Azas-azas Hukum Perjanjian

Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:

Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.

Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

A.2. Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.

Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:

– Orang yang belum dewasa.

Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:

(i) Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.

(ii) Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.

Page 27: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

– Mereka yang berada di bawah pengampuan.

– Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).

– Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.

Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban

Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.

Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.

Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.

Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

A.3. Kelalaian/Wanprestasi

Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.

Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:

Page 28: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Tidak melaksanakan isi perjanjian.

Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

Terlambat melaksanakan isi perjanjian.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

A.4. Hapusnya Perjanjian

Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Pembayaran

Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri

Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.

c. Pembaharuan utang atau novasi

Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.

d. Perjumpaan utang atau Kompensasi

Page 29: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.

Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:

(i) Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.

(ii) Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.

(iii) Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).

e. Percampuran utang

Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.

f. Pembebasan utang

Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.

g. Musnahnya barang yang terutang

Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Page 30: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

h. Batal/Pembatalan

Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.

Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

(i) Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;

(ii) Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.

i. Berlakunya suatu syarat batal

Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.

j. Lewat waktu

Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.

Page 31: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

A.1. Azas-azas Hukum Perjanjian

Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:

Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.

Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

A.2. Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.

Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:

– Orang yang belum dewasa.

Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:

(i) Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.

(ii) Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.

Page 32: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

– Mereka yang berada di bawah pengampuan.

– Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).

– Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.

Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban

Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.

Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.

Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.

Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

A.3. Kelalaian/Wanprestasi

Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.

Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:

Page 33: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Tidak melaksanakan isi perjanjian.

Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

Terlambat melaksanakan isi perjanjian.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

A.4. Hapusnya Perjanjian

Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Pembayaran

Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri

Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.

c. Pembaharuan utang atau novasi

Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.

d. Perjumpaan utang atau Kompensasi

Page 34: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.

Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:

(i) Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.

(ii) Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.

(iii) Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).

e. Percampuran utang

Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.

f. Pembebasan utang

Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.

g. Musnahnya barang yang terutang

Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Page 35: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

h. Batal/Pembatalan

Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.

Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

(i) Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;

(ii) Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.

i. Berlakunya suatu syarat batal

Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.

j. Lewat waktu

Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.

Page 36: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

A.1. Azas-azas Hukum Perjanjian

Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:

Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.

Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

A.2. Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.

Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:

– Orang yang belum dewasa.

Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:

(i) Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.

(ii) Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.

Page 37: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

– Mereka yang berada di bawah pengampuan.

– Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).

– Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.

Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban

Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.

Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.

Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.

Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

A.3. Kelalaian/Wanprestasi

Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.

Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:

Page 38: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Tidak melaksanakan isi perjanjian.

Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

Terlambat melaksanakan isi perjanjian.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

A.4. Hapusnya Perjanjian

Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Pembayaran

Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri

Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.

c. Pembaharuan utang atau novasi

Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.

d. Perjumpaan utang atau Kompensasi

Page 39: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.

Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:

(i) Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.

(ii) Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.

(iii) Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).

e. Percampuran utang

Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.

f. Pembebasan utang

Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.

g. Musnahnya barang yang terutang

Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Page 40: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

h. Batal/Pembatalan

Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.

Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

(i) Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;

(ii) Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.

i. Berlakunya suatu syarat batal

Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.

j. Lewat waktu

Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.

B. STRUKTUR PERJANJIAN

Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:

Page 41: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Judul/Kepala

Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.

Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.

Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Penutup dari Perjanjian.

C. BENTUK PERJANJIAN

Perjanjian dapat berbentuk:

Lisan

Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:

– Di bawah tangan/onderhands

– Otentik

C.1. Pengertian Akta

Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang membuatnya.

Berdasarkan ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:

a. Akta Di bawah Tangan (Onderhands)

b. Akta Resmi (Otentik).

Akta Di bawah Tangan

Page 42: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.

Perjanjian di bawah tangan terdiri dari:

(i) Akta di bawah tangan biasa

(ii) Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak.

(iii) Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak namun penandatanganannya disaksikan oleh atau di hadapan Notaris,

namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.

Akta Resmi (Otentik)

Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.

Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.

Page 43: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

(i) Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.

(ii) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

(iii) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

C.2. Perbedaan antara Akta Otentik dan Akta Di bawah Tangan

No.

Perbedaan

Akta Otentik

Akta Di bawah tangan

1.

2.

3.

4.

5.

Definisi

Materi

Page 44: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Pembuktian

Penggunaannya

Penyimpanan

Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum (a.l. Notaris)

Apa yang tercantum pada isi Akta otentik berlaku sebagai sesuatu yang benar (bukti sempurna), kecuali dapat dibuktikan sebaliknya dengan alat bukti lain.

Bilamana disangkal oleh pihak lain maka pihak yang menyangkal itulah yang harus membuktikan bahwa akta itu tidak benar, dan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti.

Dalam hal tertentu mempunyai kekuatan eksekutorial.

Kemungkinan hilang lebih kecil, sebab oleh Undang-undang ditentukan, bahwa Notaris diwajibkan untuk menyimpan asli akta secara rapi di dalam lemari besi tahan api.

Akta yang dibuat oleh dan ditandatangani para pihak

Apa yang tercantum pada isi akta di bawah tangan (tulisan atau tanda tangannya) dapat merupakan kekuatan bukti yang sempurna selama tidak disangkal oleh pihak-pihak yang menggunakan akta tersebut.

Bilamana tulisan atau tanda tangannya disangkal oleh pihak lain, maka pihak yang memakai akta itulah yang harus membuktikan bahwa akta itu adalah benar.

Tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.

Kemungkinan hilang lebih besar.

Daftar Pustaka

Buku

Page 45: Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.