bab iii deskripsi perkara - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/971/6/bab 3.pdf · merupakan...
TRANSCRIPT
50
BAB III
DESKRIPSI PERKARA
A. Deskripsi Perkara Pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI . No. 003/PUU-
IV/2006
1. Duduk Perkara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006
merupakan putusan atas perkara permohonan Pengujian Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut
UU PTPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang diajukan oleh Ir.
DAWUD DJATMIKO, seorang karyawan di PT. Jasa Marga (Persero) yang
tersangkut perkara dugaan korupsi dalam proses pengadaan tanah untuk
proyek pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Ruas
Taman Mini Indonesia Indah-Cikunir, Seksi E-1, yang diduga melanggar
Pasal 2 ayat (1), dan/atau Pasal 3 UU PTPK.
Ia didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum di persidangan Pengadilan
Negeri Jakarta Timur tanggal 17 Januari 2006 dengan dakwaan Primair:
“sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18
50
51
ayat (1) huruf a, b UU PTPK jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHPidana”; Subsidair: “sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, b UU PTPK jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHPidana”.
Dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, khususnya Pasal
2, ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK, ia menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya telah dirugikan dan itu sangat bertentangan dengan atau
melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
Dengan alasan tersebut, lalu ia mengajukan surat permohonan pada
tanggal 9 Maret 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah), pada
hari Senin tanggal 13 Maret 2006 dan diregister dengan Nomor 003/PUU-
IV/2006, dan telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 17
Maret 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Senin
tanggal 20 Maret 2006.
Pokok permohonan yang ia ajukan adalah supaya materi muatan
dalam Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal
3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata “percobaan”) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
52
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan bertentangan terhadap
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945; dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Namun majelis hakim berpendapat lain setelah melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan tersebut, majelis hakim menilai
bahwasanya hanya pada kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK sajalah yang terdapat di dalamnya persoalan konstitusional,
meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus
terhadap bagian tersebut, sehingga majelis hakim mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut:
1. Pasal 28D ayat 1 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga
negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang
pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan
sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP,
bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum
di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu
peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah
lebih dahulu ada;
2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur
melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku,
yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan
53
manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya
dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine
lege stricta;
3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele
wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk
merumuskan secermat dan serinci mungkin (vide Jan Remmelink,
Hukum Pidana, 2003:358) merupakan syarat untuk menjamin
kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah
Bestimmheitsgebot.
Berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum materiil
(materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam
ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam
masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang
tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke
lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu
tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang
sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam
kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Andi
Hamzah dalam persidangan.
Oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana
Korupsi kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan
54
perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam
Pasal 28D ayat 1 UUD NRI 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2
ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi sepanjang mengenai frasa “Yang
dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup
perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas akhirnya majelis hakim
memutuskan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara
55
melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan
dengan undang-undang dasar negara Republik Indonesia 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
4. Menolak permohonan Pemohon selebihnya.
2. Perbuatan Melawan Hukum Materiil Menurut Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam konsiderans Putusan Nomor
003/PUU-IV/2006, Pasal 2 ayat (1) tersebut memperluas kategori unsur
“melawan hukum”, dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formele
wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele
wederrechtelijkheid.
Menimbang bahwa dengan bunyi penjelasan yang demikian, maka
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat onwetmatig,
namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu
56
norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan
tercela menurut norma sosial tersebut, di mana perbuatan tersebut
dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang
dianut dalam hubungan orang-perorang dalam masyarakat maka dipandang
bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur melawan hukum
(wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah hukum
atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma
kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat
telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut merupakan
tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil.
Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya
menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan
telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran
yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan
perbuatan yang dapat dipidana.
Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan
melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum
perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi
satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan
57
rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu
daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah
merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan
merupakan perbuatan yang melawan hukum;
Menimbang bahwa berkaitan dengan pertimbangan di atas,
Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula
menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik
pembentukan perundang-undangan yang baik, yang juga diakui mengikat
secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma
yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi
memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang
dijelaskan. Kebiasaan ini ternyata telah pula dikuatkan dalam Butir E
Lampiran yang tak terpisahkan dari Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan antara lain menentukan:
a. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan
perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut
norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan
sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh
mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
58
b. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat
peraturan lebih lanjut;
c. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan
terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang
bersangkutan;
Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah menilai memang
terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sehingga Mahkamah perlu mempertimbangkan
lebih lanjut hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 28D ayat (1) mengakui dan melindungi hak konstitusional warga
negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti,
dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas
legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas
tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang
hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-
undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada;
2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur
melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku,
yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan
manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat
59
dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege
stricta;
3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele
wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk
merumuskan secermat dan serinci mungkin (vide Jan Remmelink,
Hukum Pidana, 2003:358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian
hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah
Bestimmheitsgebot;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, konsep melawan
hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum
tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang
hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan
ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat
tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan
hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai
sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal
dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan
Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. dalam persidangan;
Menimbang bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan
perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam
60
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan
‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
B. Deskripsi Perkara Pada Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen No.
91/PID.B/2008/PN.KPJ
1. Duduk Perkara
Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen No. 91/PID.B/2008/PN.KPJ
merupakan putusan atas perkara korupsi dengan terdakwa bernama ABDUL
MUKTI, seorang kepala desa di Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari,
Kabupaten Malang yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Daerah Tingkat II Malang Nomor : 554 Tahun 1998 tanggal 7 Desember
1998, pada tanggal 6 Oktober 2005, yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
61
Negara, perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara-cara sebagai
berikut :
Bahwa pada tahun anggaran 2005 Pemerintah Kabupaten Malang
mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 10.000.000.000, - (sepuluh
milyar rupiah) dalam bentuk Dana Pembangunan Desa/Kelurahan
(DPD/K) buat Desa/Kelurahan yang ada di wilayah Kabupaten Malang.
Bahwa sesuai Pedoman Umum, Petunjuk Teknis dan SK Alokasi
Penggunaan Dana Pembangunan Desa/Kelurahan ( DPD/K ) Tahun
2005 dari Bupati Malang yakni :
1. Peruntukannya, yakni :
Bantuan peningkatan kapasitas Pemerintahan Desa/Kelurahan ;
Bantuan operasional Badan Permusayawaratan Desa (BPD);
Bantuan operasional Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
(LPMD) ;
Bantuan operasional Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga ( PKK
) ;
Bantuan pemberdayaan Dusun/Dukuh ;
Bantuan Pemberdayaan Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga
(RW).
62
2. Pelaksanaan Kegiatan, yakni :
Kepala Desa berperan sebagai Pembina dan pengendali kelancaran
serta keberhasilan pelaksanaan DPD/K ;
Penanggung Jawab Operasional Kegiatan ( PJOK ) adalah
Sekretaris Desa atau Perangkat Desa lain yang mampu berdasarkan
Keputusan Kepala Desa bertanggung jawab terhadap pengelolaan
dan keberhasilan seluruhnya pengelolaan DPD/K ;
Penanggung Jawab Administrasi Kegiatan ( PJAK ) adalah Kaur
Keuangan atau Perangkat Desa pada Sekretariat Desa berdasarkan
Keputusan Kepala Desa bertanggung jawab terhadap administrasi
keuangan DPD/K ;
3. Mekanisme Pengajuan DPD/K yakni :
Musyawarah Desa/Kelurahan yang terdiri dari :
Kepala Desa berserta perangkatnya ( Sekretaris, Kaur, Kepala
Dusun) ;
Ketua RT dan RW ;
Ketua dan anggota BPD ;
Ketua dan anggota LPMD ;
Ketua dan anggota TP PKK ;
Tokoh Masyarakat ;
63
Membuat daftar Usulan Rencana Kegiatan ( DURK ) kemudian
diusulkan ke Bupati melalui Kecamatan dengan dilampiri ;
SK Kepala Desa/Kelurahan tentang penunjukan PJOK dan PJAK ;
Fotocopy rekening PJOK rangkap 4 ( empat ) ;
Fotocopy KTP PJOK dan Kepala Desa rangkap 4 ( empat ) ;
Kuitansi penerimaan secara global rangkap 4 ( empat ) diatas
materai Rp. 6.000,-
Sudah menyelesaikan SPJ dana DPDK th 2004 ;
Dikirim ke Bagian Kuangan melalui Badan Pemberdayaan
Masyarakat (BPM) ;
4. Mekanisme Pencairan dan Penyaluran DPD/K, yakni :
Penyaluran dana dilakukan oleh Kas Daerah Kabupaten Malang
dengan cara mentransfer melalui Bank Jatim Cabang Malang untuk
diteruskan ke Bank Jatim Pembantu Cabang Kecamatan yang ada atau
BRI Unit Kecamatan kemudian diteruskan ke Rekening PJOK masing-
masing Desa/Kelurahan ;
Bahwa setelah dipastikan dana DPD/K Desa Wonorejo dari Bupati
akan cair lalu pada bulan Juli 2005 terdakwa tanpa adanya
Musyawarah Desa Wonorejo langsung membuat Daftar Usulan
Rencana Kerja ( DURK ) Desa Wonorejo tahun 2005 ;
64
Adapun DURK Desa Wonorejo tahun 2005 yang dibuat terdakwa
yakni:
1. Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa Rp. 17.150.000,-
dengan rincian sebagai berikut :
Pengadaan sarana dan prasarana pelayanan Rp. 3.500.000,-
Pendataan monografi dan profil desa Rp. 900.000,-
Pelaksanaan bulan bakti masyarakat Rp. 1.500.000,-
Pemantauan dan pelaporan hasil pembangunan Rp.
1.500.000,-
Biaya operasional :
Perjalanan Kades Rp. 1.800.000,-
Perjalanan Sekdes Rp. 1.500.000,-
Perjalanan Perangkat Desa Rp. 1.800.000,-
Belanja ATK dan fotocopy Rp. 1.000.000,-
Biaya rapat dan tamu Rp. 2.150.000,-
Pemeliharaan kendaraan Rp. 1.500.000,-
Jumlah Rp.17.500.000,-
2. Bantuan Operasional BPD Rp. 1.700.000,- perincian sebagai
berikut:
Rapat rutin Rp. 400.000,-
Penjaringan aspirasi masyarakat Rp. 300.000,-
65
Operasional :
Perjalanan Dinas Rp. 850.000,-
ATK dan fotocopy Rp. 150.000,-
Jumlah Rp. 1 .700.000,-
3. Bantuan Operasional LPMD Rp. 500. 000,- dengan rincian
sebagai berikut:
Rapat rutin Rp. 150.000,-
Penjaringan aspirasi masyarakat Rp. 150.000,-
Operasional :
Perjalanan Dinas Rp. 100.000,-
ATK dan fotocopy Rp. 100.000,-
Jumlah Rp. 500.000,-
4. Bantuan Operasional Tim Penggerak PKK Rp. 2.500.000,-
dengan rincian sebagai berikut :
Pembinaan PKK Rp. 750.000,-
Pengadaan buku PKK Rp. 500.000,-
Kegiatan percontohan PKK Rp. 250.000,-
Refitalisasi Posyandu Rp. 1.000.000,-
Jumlah Rp. 2.500.000,-
5. Pemberdayaan Dukuh/Dusun, Rp. 1.000.000,- dengan rincian
sebagai berikut:
66
Pengadaan papan nama Kasum Rp. 200.000,-
Pengadaan buku administrasi Rp. 400.000,-
Pembuatan papan monografi Rp. 400.000,-
Jumlah Rp. 1.000.000,-
6. Pemberdayaan RT/RW, Rp. 2.500.000,- dengan rincian sebagai
berikut:
Pengadaan papan nama RT/RW Rp. 850.000,-
Pengadaan stempel RT/RW Rp. 850.000,-
Pengadaan buku administrasi Rp. 850.000,-
Jumlah Rp. 2.500.000,-
Bahwa kemudian oleh terdakwa DURK Desa Wonorejo
tersebut diajukan ke Bupati Malang melalui Camat
Singosari ;
Bahwa selanjutnya pada tanggal 6 Oktober 2005 dana
DPD/K Desa Wonorejo sebesar Rp. 25.400.000,- ( dua
puluh lima juta empat ratus ribu rupiah ) cair melalui BRI
Unit Singosari ;
Bahwa untuk bisa mencairkan dana DPD/K Desa
Wonorejo sebesar Rp. 25.400.000,- ( dua puluh lima juta
empat ratus ribu rupiah ) di BRI Unit Singosari terdakwa
mengajak saksi JUN EKO RACHMAD B. selaku
67
Penanggung Jawab Operasional Kegiatan ( PJOK ) yang
berhak mengambil dan mencairkan DPD/K Desa
Wonorejo di BRI Unit Singosari tersebut;
Bahwa setelah dana DPD/K Desa Wonorejo sebesar Rp.
25.400.000,- (dua puluh lima juta empat ratus ribu rupiah)
di BRI Unit Singosari oleh saksi JUN EKO RACHMAD
B. sudah bisa dicairkan lalu uang sebesar Rp. 25.400.000, -
(dua puluh lima juta empat ratus ribu rupiah) langsung
diminta oleh terdakwa dan saksi JUN EKO RACHMAD
B. oleh terdakwa diberi uang transport sebesar Rp.
400.000,- (empat ratus ribu rupiah);
Bahwa kemudian uang sebesar Rp. 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah) oleh terdakwa hari itu juga
(tanggal 6 Oktober 2005) langsung dimasukan ke BRI
Unit Lawang atas nama diri terdakwa ;
Bahwa dana DPD/K Desa Wonorejo Tahun 2005 sebesar
Rp.25.400.000,00 yang ada pada terdakwa dan
dipergunakan sesuai DURK Desa Wonorejo tahun 2005
yakni :
diberikan kepada saksi JUN EKO RB sebesar Rp.
400.000,-
68
diberikan pada saksi LIANA (Ketua PKK Desa Wonorejo)
Rp.2.500.000,-
perjalanan Dinas Kepaia Desa Wonorejo sebesar
Rp.1.800.000,-
pemeliharaan kendaraan dinas Kades Wonorejo
Rp.1.500.000,-Jumlah Rp.6.200.000,-
dan sisanya sebesar Rp. 19.200.000.- ( sembilan belas juta
dua ratus ribu rupiah) (Rp.25.400.000,- - Rp.6.200.000,- =
Rp. 19.200.000,-) habis dipergunakan untuk kepentingan
pribadi terdakwa ;
Bahwa secara nyata pelaksanaan kegiatan yang
berhubungan dengan dana DPD/K Desa Wonorejo tahun
2005 sebesar Rp.25.400.000,- (dua puluh lima juta empat
ratus ribu rupiah) sebagaimana tertuang dalam DURK
Desa Wonorejo Tahun 2005 TIDAK PERNAH ADA
KEGIATANNYA (FIKTIF) ;
Bahwa kemudian pada akhir tahun 2005 terdakwa
membuat Laporan Pertanggungjawaban ( LPJ ) yang
berhubungan dengan dana DPD/K tahun 2005 sebesar
Rp.25.400.000,- (dua puluh lima juta empat ratus ribu
rupiah), dimana dalam LPJ tersebut terdakwa melaporkan
69
bahwa semua kegiatan SEOLAH-OLAH sudah
dilaksanakan sebagaimana yang tertuang dalam DURK
Desa Wonorejo Tahun 2005 ;
Akibat perbuatan terdakwa ABDUL MUKTI tersebut diatas
maka Negara Cq Pemerintah Desa Wonorejo Kecamatan Singosari
Kabupaten Malang mengalami kerugian sebesar Rp. 19.200.000.-
(sembilan belas juta dua ratus ribu rupiah ) atau setidak-tidaknya
sekitar jumlah itu ;
Berdasarkan kronologi di atas, maka penuntut umum mendakwa
terdakwa dengan dakwaan subsidaritas:
1. Primair: Melanggar dan diancam pidana sebagaimana Pasal 2 ayat
(1) jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ;
2. Subsidair: Melanggar dan diancam pidana sebagaimana Pasal 3 jo
pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
70
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ;
Setelah menilai kesesuaian fakta hukum yang terungkap di
persidangan, majelis hakim dalam perkara ini akhirnya menentukan
bahwa dakwaan yang lebih sesuai untuk didakwakan kepada terdakwa
adalah dakwaan kedua (subsidair) yaitu terdakwa dipersalahkan telah
melanggar Pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Berdasarkan perumusan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang unsur-unsurnya
adalah sebagai berikut:
1. setiap orang ;
2. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi ;
71
3. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan ;
4. dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara ;
5. dijatuhkan pidana tambahan ;
Terpenuhinya semua unsur dalam dakwaan subsidair di atas
menjadikan terdakwa telah terbukti secara sah melakukan Tindak
Pidana Korupsi, sehingga hakim memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa ABDUL MUKTI tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan Primair ;
2. Membebaskan oleh karena itu kepada terdakwa ABDUL MUKTI
dari dakwaan Primair tersebut ;
3. Menyatakan terdakwa ABDUL MUKTI terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan “TINDAK PIDANA KORUPSI” ;
4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan PIDANA PENJARA
selama 1 (SATU) TAHUN dan PIDANA DENDA sebesar Rp.
50.000.000,00 dan apabila PIDANA DENDA tersebut tidak
dibayar diganti dengan pidana kurungan pengganti PIDANA
DENDA selama 3 (TIGA) BULAN ;
5. Menghukum terdakwa MEMBAYAR UANG PENGGANTI
sebesar Rp. 19.200.000,- (sembilan belas juta dua ratus ribu rupiah
72
) paling lama dalam waktu 1 (SATU) BULAN sesudah putusan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan apabila tidak dibayar
harta benda terdakwa disita dan dilelang untuk menutupi UANG
PENGGANTI tersebut serta dalam hal terpidana tidak mempunyai
harta benda yang mencukupi untuk MEMBAYAR UANG
PENGGANTI maka dipidana dengan PIDANA PENJARA selama
1 (SATU) TAHUN ;
6. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
7. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
8. Menetapkan barang bukti berupa:
1 (satu) buah Petikan Keputusan Bupati Malang Kepala
Daerah Tingkat II Malang Nomor : 554 Tahun1998 Tantang
Pengangkatan Kepala Desa Wonorejo Kecamatan Singosari
Kabupaten Malang tanggal 7 Desember 1998 dikembalikan
kepada terdakwa ;
1 (satu) buah buku Rekening SIMPEDES atas nama JUN EKO
RB dan 1(satu) lembar kwitansi tanggal 6 Oktober 2005 atas
nama penerima ABDUL MUKTI dikembalikan kepada saksi
JUN EKO R. B. ;
73
Daftar Usulan Rencana Kegiatan (DURK) Dana Pembangunan
Desa Wonorejo TA 2005 dan Laporan Pertanggungjawaban
(LPJ) DPD/K Desa Wonorejo Tahun 2005 dikembalikan
kepada saksi Drs. BAMBANG PRIANTO ;
1 (satu) buah SPM Nomor :0414/01.031/PAD/BT/2005
tanggal 28 September 2005 kode rekening
2.01.0310.4.04.03.01.2 tentang Bantuan Pembangunan desa
/Kelurahan (DPD/K) Bulan Agustus (Tahap V) untuk
Kecamatan Singosari (foto copy) tetap terlampir dalam berkas
;
9. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah ) ;
2. Perbuatan Melawan Hukum Materiil Menurut pengadilan Negeri Kepanjen
Dalam konsiderans Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen di atas,
majelis hakim menyatakan:
Menimbang, bahwa pengertian “MELAWAN HUKUM” adalah
dalam pengertian formil maupun materiil dimana ajaran sifat melawan
hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah
mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana,
perbuatan tersebut adalah tindak pidana dan ajaran yang materiil
mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu
74
mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu
harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
patut atau tercela;
Menimbang, bahwa sifat melawan hukum formal berarti semua
bagian (tertulis dalam undang-undang) dari rumusan delik telah terpenuhi
dan sifat melawan hukum materiel berarti bahwa karena perbuatan itu,
kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tertentu telah
dilanggar;
Menimbang, bahwa Profesor Van Hattum mengatakan bahwa :
“menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti formal suatu perbuatan
hanya dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan
tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan suatu
delik menurut undang-undang dan menurut ajaran wederrechtelijkheid
dalam arti material, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai
bersifat wederrechtelijk atau tidak, masalahnya bukan saja harus ditinjau
sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga
harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak
tertulis”;
Menimbang, bahwa dalam praktik peradilan khususnya melalui
perkembangan yurisprudensi pengertian “melawan hukum” terjadi
pergeseran dari perbuatan melawan hukum materiil dengan fungsi positif
75
dan negatif dimana fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna
menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang
dilarang oleh hukum pidana sedangkan pergeseran perbuatan melawan
hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kretaria limitatif dan kasuistik
berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang
dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan
kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan
dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan
delik tersebut ;
Menimbang, bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 menyatakan penjelasan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
yang mengatur perbuatan melawan hukum materiil bertentangan dengan
UUD 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
Menimbang, bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
003/PUU- IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 Mahkamah Agung dalam beberapa
putusannya (Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16
Agustus 2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin dan Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama
terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira SH.) tetap menerapkan ajaran
76
perbuatan melawan hukum materiil sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1)
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dengan alasan-
alasan sebagai berikut:
1. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal
25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat (1)
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, maka yang dimaksud dengan unsur “melawan hukum”
menjadi tidak jelas rumusannya. Oleh karena itu berdasarkan doktrin
“Sens-Clair” (la doctrine du senclair) hakim harus melakukan
penemuan hukum dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 ayat (1)
UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menentukan, “Hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”, karena menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1)
UU Nomor 4 Tahun 2004, “Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib memeriksa dan mengadilinya”. Selain itu juga Hakim dalam
mencari makna “melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan
kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut
diberlakukan pada kasus kongkrit. Tegasnya, sebagaimana disebutkan
77
Hamaker bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai
dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di
dalam masyarakatnya ketika putusan itu dijatuhkan, oleh karena itu
menurut I.H. Hymans hanya putusan hukum yang sesuai dengan
kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang
merupakan “hukum dalam makna sebenarnya”. Konklusi dasarnya,
sebagaimana dikatakan Lie Oen Hock bahwa, “apabila kita
memperhatikan UU, ternyata bagi kita bahwa UU tidak saja
menunjukan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak
jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah,
bahwa dalam hal sedemikian UU memberi kuasa kepada hakim untuk
menetapkan sendiri maknanya ketentuan UU itu atau artinya suatu kata
yang tidak jelas dalam suatu ketentuan UU. Dan hakim boleh menafsir
suatu ketentuan UU secara gramatikal atau historis baik “rechts
maupun wetshistoris”, secara sistimatis atau secara sosiologis atau
dengan cara memperbandingkan hukum.
2. Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan
hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU
Nomor 20 Tahun 2001 memperhatikan doktrin dan Yurispudensi
Mahkamah Agung RI yang berpendapat bahwa unsur “secara melawan
hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan
78
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil dan
mengenai perbuatan melawan hukum dalam fungsi positif dan
negatifnya, yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada :
Bahwa “Tujuan diperluasnya unsur perbuatan “melawan hukum”,
yang tidak saja dalam pengertian formil, namun meliputi perbuatan
melawan hukum secara materiil, adalah untuk mempermudah
pembuktiannya di persidangan, sehingga suatu perbuatan yang
dipandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara
materiil atau tercela perbuatannya, dapatlah pelaku dihukum
melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak
melawan hukum secara formil.
Bahwa berdasarkan pengertian melawan hukum menurut Pasal 1
ayat (1) sub a UU Nomor 3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar
peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan
yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam
pergaulan masyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat.
Bahwa dari butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli
1970 sebagai pengantar diajukannya RUU Nomor 3 Tahun 1971
dapat disimpulkan pengertian perbuatan melawan hukum secara
materiil adalah dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari
hukum tidak tertulis, hal ini tersirat dari surat tersebut yang pada
79
pokoknya berbunyi, “Maka untuk mencakup perbuatan-perbuatan
yang sesungguhnya bersifat koruptif akan tetapi sukar dipidana,
karena tidak didahului suatu kejahatan atau pelanggaran dalam
RUU ini dikemukakan saran “melawan hukum” dalam rumusan
tindak pidana korupsi, yang pengertiannya juga meliputi
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang
lazim atau yang bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan
hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun
haknya”.
Bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi
dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Desember 1983
Nomor 275 K/Pid/1983, untuk pertama kalinya dinyatakan secara
tegas bahwa korupsi secara materiil melawan hukum, karena
perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan
menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai tolok
ukur asas-asas hukum yang bersifat umum menurut kepatutan
dalam masyarakat.
Bahwa yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil
selain UU dan kebiasaan serta traktat yang dapat digunakan oleh
Mahkamah Agung dalam kasus kongkrit yang dihadapinya,
yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti
80
formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan pedoman untuk
terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak
pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan
perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan
hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
sebagaimana tersebut di atas maka MAJELIS HAKIM dalam mengadili
perkara ini tetap menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum materiil
walaupun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-
IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 perbuatan melawan hukum materiil
sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo
UU Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.