bab iii ayat-ayat kecerdasan emosi dan tafsirnya a ...digilib.uinsby.ac.id/1034/5/bab 3.pdf · 3m....

42
47 BAB III AYAT-AYAT KECERDASAN EMOSI DAN TAFSIRNYA A. Identifikasi Ayat Kecerdasan Emosi Emosi merupakan sesuatu yang ada dalam diri manusia. Sebagai sisi dalam, emosi seringkali mempengaruhi manusia dalam bertindak. Hal ini tidak dapat dipungkiri, dikarenakan emosi adalah bagian dari potensi jiwa yang melekat dalam diri manusia. Kecerdasan emosi secara sederhana dapat dipahami sebagai kecerdasan memahami diri (knowing self) dalam rangka mengidentifikasi serta mengatur segala emosi untuk membangun nilai diri (personal values) serta meningkatkan kesadaran diri (self awareness). 1 Term kecerdasan emosi memang secara eksplisit tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun secara implisit nilai-nilai kecerdasan emosi terkandung dalam beberapa ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis mengambil pendekatan semantik dengan cara melakukan penelusuran melalui aspek kebahasaan. Ada banyak istilah yang digunakan al-Qur’an dalam membicarakan tentang sisi dalam diri manusia. Di antara kosa kata itu adalah al-nafs, al- qalb, al-‘aql, al-ru> h dan juga al-fit} rah. Masing-masing istilah itu memiliki penekanan tersendiri dalam menggambarkan sisi tertentu manusia. Sehubungan dengan tema kecerdasan emosi, maka penelitian ini 1 Christine Wilding, Great Emotional Intelligence, (London: Hodder Education, 2011), 3.

Upload: buidung

Post on 12-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

47

BAB III

AYAT-AYAT KECERDASAN EMOSI DAN TAFSIRNYA

A. Identifikasi Ayat Kecerdasan Emosi

Emosi merupakan sesuatu yang ada dalam diri manusia. Sebagai sisi

dalam, emosi seringkali mempengaruhi manusia dalam bertindak. Hal ini

tidak dapat dipungkiri, dikarenakan emosi adalah bagian dari potensi jiwa

yang melekat dalam diri manusia.

Kecerdasan emosi secara sederhana dapat dipahami sebagai

kecerdasan memahami diri (knowing self) dalam rangka mengidentifikasi

serta mengatur segala emosi untuk membangun nilai diri (personal values)

serta meningkatkan kesadaran diri (self awareness).1

Term kecerdasan emosi memang secara eksplisit tidak ditemukan

dalam al-Qur’an, namun secara implisit nilai-nilai kecerdasan emosi

terkandung dalam beberapa ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, pada penelitian

ini penulis mengambil pendekatan semantik dengan cara melakukan

penelusuran melalui aspek kebahasaan.

Ada banyak istilah yang digunakan al-Qur’an dalam membicarakan

tentang sisi dalam diri manusia. Di antara kosa kata itu adalah al-nafs, al-

qalb, al-‘aql, al-ru>h dan juga al-fit}rah. Masing-masing istilah itu memiliki

penekanan tersendiri dalam menggambarkan sisi tertentu manusia.

Sehubungan dengan tema kecerdasan emosi, maka penelitian ini

1 Christine Wilding, Great Emotional Intelligence, (London: Hodder Education, 2011), 3.

48

memfokuskan pada ayat-ayat yang berhubungan dengan kejiwaan manusia

sebagai bagian dari sisi dalam diri manusia.

Dalam bahasa Arab, kata emosi-emosional dibahasakan dengan

nafsa>ni> atau infi’a>li>, akan tetapi kata nafs-nafsa>ni> dengan segala bentuk

perubahannya lebih banyak dipakai dalam al-Qur’an dari pada kata infi’a>li>.2

Sebagai pijakan dalam mencari ayat-ayat yang berhubungan dengan

kecerdasan emosi, maka dalam penelitian ini mengambil term nafs.

Fokus pembahasan mengacu pada term nafskarena kata tersebut

mengandung makna aspek dan dimensi jiwa manusia yang meliputi nafsu,

jiwa, diri serta daya dorong untuk bertindak. Secara umum dalam konteks

pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang

berpotensi baik dan buruk.3

Kata nafs dengan berbagai derivasinya banyak ditemukan diberbagai

ayat. Al-Qur’an menggunakan kata tersebut dalam berbagai bentuk kata

jadian. Kata nafs di dalam al Qur’an terulang sebanyak 297 kali, masing-

masing dalam bentuk ism sebanyak 140 kali, dalam bentuk jamak terdapat

dua versi, yaitu nufu>s sebanyak 2 kali dan anfus sebanyak 153 kali, sedang

dalam bentuk fi’il (kata kerja) ada 2 kali yakni tanaffasa, yatanaffasu.4

2 Atabik Ali, Kamus Inggris-Indonesia-Arab (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), 425. 3M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2005), 286. 4 Muh}ammad Fuad Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al Mufahras Li al-Fa>z} al Quran al-Kari>m (Beirut: Da>r al Ma’rifah, 2002), 931-933 ; Muhammad Hasan al-Humashi, Tafsi>r wa Baya>n Mufrada>t al-Qur’an Ma’a al-Asba>b al-Nuzu>l Li al-Suyut}i> Ma’a Faha>ris Ka>milati Li al-Mawa>dhi’i wa al-Fa>z} (Beirut: Muassasah al-Ima>n, 1999), 217-218.

49

Sebagian besar ayat-ayat yang menggunakan termnafs menunjuk

pada diri manusia,karena term nafs mengandung arti totalitas manusia baik

itu dari fisik (diri) maupun psikis (jiwa).5Dalam menunjuk diri manusia,

istilah nafs juga memiliki beragam makna. Diantaranya bermakna totalitas

manusia, sebagaimana ayat berikut.

6

oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.7

Kata nafs dalam ayat tersebutmenunjukkan totalitas manusia baik

secara fisik maupun psikis. Pada ayat yang lain, kata nafs menunjuk pada apa

yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku,

sebagaimana ayat berikut.

5 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 94. 6 al-Qur’an, 5 : 32. 7 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 113.

50

8

bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.9

Kata ma> bi anfusihim (apa yang ada dalam diri mereka) menunjukkan

bahwa ada sesuatu di dalam nafs yang dapat berubah dan pada gilirannya

akan menghasilkan perubahan tingkah laku.

Secara fungsional, nafs merupakan wadah yang dapat menampung

sekaligus mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik atau pun

buruk. Allah telah memberi ilham pada nafs sehingga nafs memiliki potensi

positif dan juga negatif sebagaimana firman-Nya.

10

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.11 Kata alhamaha> (memberi ilham), memiliki makna bahwa pada

hakikatnya potensi baik dan buruk melekat pada nafs, untuk itulah manusia

8 al-Qur’an, 13 : 11. 9 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 250. 10 al-Qur’an, 91 : 8-10. 11 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 595.

51

senantiasa dituntut memelihara kesucian nafs-nya dan dilarang untuk

mengotorinya.

Dari beberapa ayat yang menggunakan kata nafs dengan segala

bentuk derivasinya, tidak semuanya membahas tentang diri manusia. Hal ini

dikarenakan kata nafs juga digunakan al-Qur’an untuk menunjuk diri Tuhan,

sebagaimana ayat berikut.

12

Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman.13

Banyaknya ayat yang memiliki akar kata nafs tersebut, perlu diberi

batasan yang sekaligus mampu menjadi sampling yang representatif bagi

tema yang dikaji. Ayat yang menjadi objek penelitian ini adalah, ayat-ayat

yang secara spesifik memiliki term nafs dengan segala derivasinya yang

merujuk pada diri manusia dengan segenap potensinya, khususnya yang

berhubungan dengan nilai-nilai-nilai kecerdasan emosi.

B. Ayat-ayat Kecerdasan Emosi Berdasar Turunnya

12 al-Qur’an, 6 : 12. 13 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 129.

52

Sehubungan dengan digunakannya metode mawdhu’i>dalam penelitian

ini, maka sebelum membahas ayat-ayat yang dijadikan objek penelitian,

terlebih dahulu perlu disusun hierarki (urutan) ayat-ayat tersebut.

Berikut ini disajikan ayat-ayat yang menjadi objek kajian berkenaan

dengan kecerdasan emosi yang memiliki term nafsdengan segala bentuk

derivasinya berdasarkan tertib nuzu>l(turun)serta dilengkapi dengan

tafsirnya.14

1. Ayat-ayat Makiyyah

a. Al Fajr : 27

15

Hai jiwa yang tenang.16

Ayat di atas hingga ayat terakhir menerangkan tentang

penghargaan Allah bagi mereka yang memiliki jiwa yang

mut}mainnah. Jika pada ayat-ayat sebelumnya diuraikan tentang

penyesalan manusia yang durhaka, serta siksa atau rasa takutnya,

maka pada ayat 27 hingga terakhir, dijelaskan tentang keadaan

manusia yang tunduk dan patuh pada Tuhannya. Golongan orang-

orang yang tidak taat dilukiskan dengan ucapan penyesalan, sedang

pada golongan yang taat dilukiskan dengan sambutan yang hangat

dari Tuhan mereka. 14 Tertib ayat berdasarkan turunnya serta pengelompokan makiyyah-madaniyyah tersebut mengacu pada, Abdul Jalal H.A., ‘Ulu>m al-Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 397-399. 15 al-Quran, 89 : 27. 16 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil al-Qur’an, 2010), 594.

53

Di samping itu pada ayat sebelumnya dijelaskan juga perihal

manusia yang diberi kelapangan rezeki dan watak-wataknya namun

ketamakan menguasai diri dan cenderung mengejar kepuasan nafsu

syahwatnya serta keinginan-keinginannya dan segala tingkah lakunya

lepas dari kendali pikiran sehat. Kemudian Allah menjelaskan akibat

perbuatan mereka di akhirat.

Melalui ayat di atas, Allah menjelaskan perihal manusia yang

tidak ingin mengikuti hawa nafsunya, sehingga ia menduduki

martabat tinggi. Manusia semacam ini hatinya selalu tenang dan

tentram, sebab ia merasa bahwa perbuatannya berada dalam

pengawasan Allah. Ia hanya menginginkan hal-hal yang bersifat

ruhaniah, yang bisa mengisi jiwanya, dan ia membenci kelezatan

yang bersifat jasmaniah. Orang semacam ini jika diberi kekayaan, ia

tidak mengambil selain haknya sendiri. Bila ditimpa kefakiran, ia

bersabar dan tidak menadahkan tangan meminta bantuan kepada

orang lain.

Allah menjelaskan bahwa orang tersebut kelak berada di sisi-

Nya mendapat keridhaan atas amal perbuatan yang dilakukan di

dunia. Kemudian Allah memasukkannya ke dalam golongan para

hamba-Nya yang shalih. Dalam sebuah riwayat dari Ibn ‘Abba>s,

ketika ayat ini turun Abu Bakar yang ketika itu sedang duduk dan

berucap, Ya Rasulullah, adakah hal yg terbaik dari perkataan

54

tersebut? Rasulullah pun menjawab perkataan tersebut juga akan

dikatakan kepadamu.17

Kata al nafs di gunakan al-Qur’an dengan berbagai makna

sesuai kebiasaan orang Arab yang menggunakan kata ini. Makna dari

kata tersebut meliputi: jiwa, roh, entitas diri, darah, sisi, dan juga

saudara. Dari beberapa makna tersebut dalam ayat ini kata al nafs

bermakna jiwa atau kesadaran manusia.18

Sedangkan kata al-mut}ma’innah berarti tenang, isim fa>’il dari

kata it}ma’anna. Kata ini menggambarkan kondisi hati yang tenang

karena andanya iman. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah

riwayat bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh malaikat pada

orang beriman saat kematiannya.19

Al-Zamakhshari> dalam al-Kashsha>f menafsirkan al-

mut}ma’innah sebagai jiwa yang tenang, yaitu jiwa yang tiada

memiliki ketakutan dan juga kekhawatiran atau pun kesedihan. Allah

memanggil jiwa yang demikian ini sebagai bentuk kemuliaan

sebagaimana ketika Allah menyeru Nabi Musa dengan panggilan

kemuliaan.20

Pendapat lain mengatakan bahwa al-nafs al-mut}ma’innah dalam

arti jiwa yang tenang karena banyak berdzikir dan yakin akan wujud 17 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l Ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m, Jilid: 14 (Beirut: Maktabah Aula>d al Shaikh Li Tura>th, 2000), 350-351. 18 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya Jilid: 10 (Jakarta: Lembaga Percetakan al Quran Departemen Agama RI, 2009), 663. 19 Abu al Fida>’ Isma>’i>l Ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al ‘Az}i>m,..., 351. 20Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>, Juz: 6 (Riyadh: Maktabah al ‘Ibi>ka>n, 1998), 347.

55

Allah atau janji-Nya disertai dengan keikhlasan beramal.21

Ketenangan hati tersebut diperoleh karena senantiasa berdzikir

kepada Allah sebagaimana firman-Nya .

22

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.23

Menurut al Fakhr al Ra>zi>, al-it}mi’na>n adalah al-istiqra>r wa al-

thaba>t yang berarti kokoh dan teguh.24 Jiwa mut}mainnah merupakan

jiwa yang aman dan tentram, meyakini kebenaran yang pasti dan

tidak bercampur ketakutan maupun kekhawatiran.

Al-Alu>si dalam tafsirnya menjelaskan, al-nafs al-mut}mainnah

adalah al-a>minah yaitu jiwa yang aman dan tentram tidak diliputi

ketakutan, keraguan dan kekhawatiran pada hari kiamat nanti.25

Demikian juga dengan al-Kha>zin berkata bahwa yang dimaksud

dengan mut}ma’innah adalah jiwa yang teguh terhadap keimanan serta

21 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran Vol: 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 256-257. 22 al-Qur’an, 13 : 28. 23 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya ..., 252. 24 al-Fakhr al Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib Juz: 31 (Beirut: Da> al Fikr, 1981), 177-178. 25 Al-Alu>si al Baghda>di, Ru>h al-Ma’a>ni> Fi> Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni>, Juz: 30 (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t.th.), 130.

56

membenarkan apa yang difirmankan Allah dan meyakini Allah

sebagai Tuhannya dengan wujud patuh pada perintah-Nya.26

Al-Maraghi menafsirkan, ya> ayyatuha> al-nafsu al-mut}ma'innah,

wahai jiwa yang telah yakin kepada perkara hak (kebenaran) dan

tidak ada lagi perasaan sha}>k (ragu-ragu). Jiwa yang telah berpegang

teguh kepada ketentuan-ketentuan syariat, sehingga tidak mudah

terombang-ambingkan oleh nafsu syahwat dan berbagai keinginan.27

Abu H}ayya>n dalam tafsirnya menjelaskan, ya> ayyatuha> al-nafs

al-mut}mainnah, merupakan panggilan mulia bagi jiwa orang mukmin.

Beberapa pendapat mengatakan panggilan tersebut terjadi saat

kematiaan ketika ruh keluar dari jasad, pada hari kebangkitan dan

ketika memasuki surga.28Inilah bentuk kemuliaan jiwa yang merasa

ridha dan diridhai dan mendapatkan pahala kenikmatan yang mereka

terima di sisi Rabbnya.

Melalui ayat di atas, Allah juga membuktikan keniscayaan

tentang hari kebangkitan. Keadaan di hari berbangkit kelak terbagi

menjadi dua golongan yakni manusia yang durhaka, bangkit

menyesali hidupnya dan yang taat bangkit dalam keadaan ridha dan

diridhai dengan kehormatan yang tinggi.

26Al-H}usayn ibn Mas’u>d ibnal Baghawi>, al-Tafsi>r al-Baghawi> Ma’a>lim al-Tanzi>l Juz: 8 (Riya>d: Da>r al T}ayyibah, 1412 H), 423. 27 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi>, Juz: 30 (Mesir: Must}afa al-Ba>bi>, 1946), 153-154. 28 Abu H}ayya>n al-Andalusi, Tafsi>r al-Bah}r Muh}i>t}, Juz: 9 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah, 1993), 467.

57

b. Al Qiya>mah : 2

29

dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).30

Ayat ini masih memiliki muna>sabah (keterkaitan) dengan ayat

pertama dan juga beberapa ayat sesudahnya dan topik bahasan

rangkaian ayat di atas, baik sebelum atau sesudahnya berkenaan

dengan sumpah Allah terhadap hari kiamat dan juga al-nafs al-

lawwa>mah.

Huruf la>m pada ayat tersebut mengandung makna penafian,

sementara itu ada juga qurra yang menyebut huruf la>m pada ayat

tersebut sebagai la>m za>idah yang menguatkan arti perkataan

sesudahnya yaitu adanya hari kiamat dan al-nafs al-lawwa>mah. Allah

sendiri menjawab sumpah-Nya walaupun dalam teks ayat tidak

disebutkan. Namun pengertian tersebut dapat dipahami dari

penegasan Allah pada ayat-ayat selanjutnya.

‘Ikrimah ketika ditanya tentang makna la> uqsimu bi al-yaum al-

qiya>mah, ia menjawab yakni kecaman jiwa pada hal baik dan juga

buruk.31 Hal senada juga dijelaskan oleh al-Farra>’, tidaklah setiap

jiwa baik yang taat atau pun durhaka kecuali ia akan mencela dirinya.

29 al-Qur’an, 75 : 2 30 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 577. 31 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qura>n al-‘Azi}>m Juz: 14 ..., 193.

58

Jika ia berbuat kebajikan ia mencela mengapa tidak berbuat yang

lebih banyak lagi dan jika ia berbuat kejelekan ia juga mencela,

mengapa ia melakukannya.32

Kata al-nafs berasal dari fi’il (kata kerja) nafasa yang berarti

bernafas. Arti kata tersebut menjadi berkembang sehingga ditemukan

arti-arti yang beraneka ragam seperti: menghilangkan, melahirkan,

bernafas, jiwa, roh, darah, manusia, hakikat dan juga diri.33

Sedangkan kata al-lawwa>mah, terambil dari kata la>ma-yalu>mu-

lawman yang berarti mengecam. Maksud dari mengecam yaitu

menyesal hingga mengecam diri sendiri.34 Kata al-lawwa>mah hanya

satu kali disebutkan dalam al-Qur’an yakni pada surah al-Qiya>mah

ayat 2.

Bial-nafs al-lawwa>mah pada ayat di atas diartikan al-

Zamakhshari> dengan al nafs al-muttaqiyah, diri orang bertaqwa yang

di dalamnya ada jiwa yang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Jiwa

tersebut cukup bagi orang bertaqwa sebagai bekal pada hari kiamat

dan ia akan terus berusaha untuk menyalahkan dirinya walau jiwa itu

selalu berada dalam kebaikan.35

Demikian juga dengan al-Fakhr al-Ra>zi>, yang menafsirkan al-

nafs al-lawwa>mah dengan al-nafs al-shari>fah (jiwa yang mulia), yaitu

32 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi,Juz: 29 ..., 146. 33 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya, Jilid: 10 ..., 438-439. 34 Ibid. 35Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>, Juz: 6 ..., 266.

59

jiwa yang mencela dirinya dikarenakan kurangnya kesungguhan

dalam bertaqwa.36 Berkenaan dengan al-nafs al-lawwa>mah ini, Ju>bair

menyatakan, tidak seorang pun dari penghuni langit dan bumi kecuali

akan menyalahkan dirinya pada hari kiamat.37

Beberapa pendapat lainnya juga menjelaskan makna al-nafs al-

lawwa>mah, diantaranya Ibn Abbas yang mengartikan jiwa yang

banyak mencela dirinya sendiri dan Mujahid mengartikan jiwa yang

menyesali apa yang telah berlalu, sedang Qatadah mengartikan jiwa

pendurhaka. Menurut Ibn Jarir beberapa pendapat tersebut saling

berdekatan maknanya, namun beliau sendiri memaknai lahiriah

makna tersebut, dengan jiwa yang sangat menyesali atas perbuatan

baik atau buruk yang telah terjadi di masa silam.38

Al-nafs al-lawwa>mah adalah peringkat jiwa di antara al-nafs al-

mut}ma’innah (jiwa yang tenang dan selalu tunduk) dan al-nafs al-

amma>rah (jiwa yang selalu mendorong pemiliknya untuk

membangkang dan mengikuti hawa nafsunya).39

36al-Fakhr al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib Juz: 30 (Beirut: Da> al Fikr, 1981), 216. 37 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m Juz: 14 ..., 192. 38Ibid., 193. 39Al-Alu>si Al-Baghda>di, Ru>h al-Ma’a>ni> Fi> Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni>, Juz: 29..., 136.

60

Allah bersumpah dengan al-nafs al-lawwa>mah, yakni jiwa yang

menyesali dirinya sendiri terhadap sikap dan tingkah lakunya pada

masa lalu yang tidak sempat diisi dengan perbuatan baik. Perasaan

menyesal itu senantiasa ada walaupun ia sudah berusaha keras dan

berupaya untuk mengerjakan amal salih.

Al-nafs al-lawwa>mah sebenarnya adalah jiwa seorang mukmin

yang belum mencapai tingkat yang lebih sempurna. Penyesalan

adalah benteng utama dari jiwa semacam ini, karena telah melewati

hidup di dunia dengan kebaikan yang belum sempurna. Allah sengaja

menyebutkan jiwa yang menyesali dirinya ini karena begitu besar

persoalan jiwa dari sudut pandang al-Qur’an.

Hubungan sumpah Allah antara hari kiamat dengan al-nafs al-

lawwa>mah yakni hari kiamat kelak membeberkan tentang jiwa

seseorang apakah ia memperoleh kebahagiaan atau kesengsaraan. Al-

nafs al-lawwa>mah bisa jadi termasuk dalam golongan yang bahagia

atau golongan yang celaka.40

c. Al Furqa>n : 68

41

40 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya Jilid: 10..., 440. 41 al-Qur’an, 25 : 68

61

dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya).42

Pada ayat-ayat sebelumnya Allah telah menerangkan sifat-sifat

orang kafir yang tidak mau tunduk dan patuh pada perintah-Nya.

Mereka senantiasa membusungkan dada ketika berjalan di muka bumi

dan enggan untuk bersujud. Pada ayat ini Allah menjelaskan beberapa

karakteristik yang dimiliki oleh ‘iba>d al-rah}ma>n (hamba Allah), yang

sangat bertolak belakang dengan karakter yang dimiliki oleh orang

yang durhaka.

Kemuliaan karakter tentang ‘iba>d al-rah}ma>n tersebut nampak

mulai ayat 64 hingga akhir. Melalui ayat ini Allah menerangkan sifat

orang mukmin yang sebenarnya dan berhak dijuluki ‘iba>d al-rah}ma>n

karena ketaatan serta ketinggian akhlaknya yang patut menjadi

contoh teladan bagi manusia yang ingin memperoleh kemuliaan di

akhirat kelak.

‘Iba>d al-rah}ma>n adalah hamba yang menghayati Allah sebagai

al Rah}ma>n (pemberi rahmat bagi segenap makhluknya) sehingga

berusaha memantapkan pada dirinya sifat pengasih dan juga

penyayang, sehingga menjadi ciri dari kepribadiannya. Di samping

itu, ia juga tidak segan untuk mencurahkan rahmat dan kasih

42 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 366.

62

sayangnya kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau

agama, serta kepada alam semesta.43

Jika pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa sifat ’iba>d al-

rah}ma>n itu di antaranya rendah hati, lemah lembut, taat dan juga

berinfaq secara proporsional, maka pada ayat 68 di atas diuraikan

keterhindaran mereka dari pokok-pokok kedurhakaan. Sifat yang

dimiliki pada ayat ini meliputi memurnikan tauhid dan tidak

melakukan penganiayaan yang berupa pembunuhan dengan mencabut

jiwa manusia serta membunuh secara moral dengan melakukan

perzinaan.

Katala> yad’u>na ma’a Alla>h menurut T}aba’ t}aba>’i> memiliki tiga

pemaknaan, pertama, sebagai isyarat bahwa, fitrah dan naluri suci

manusia mengarah untuk beribadah dan berdoa hanya kepada Allah

semata, dengan demikian seseorang yang secara lahiriah berdoa dan

beribadah kepada Allah pada selain Allah secara otomatis telah

menyekutukan Allah. Kedua, sebagai sindiran berkenaan dengan

fenomena masyarakat pada saat itu yang menjadikan berhala-berhala

sebagai perantara sesembahan. Ketiga, wujud Allah merupakan

keniscayaan yang h}aq (benar), sehingga syiriklah mereka yang

meminta pertolongan dan juga beribadah kepada selain-Nya. Sifat

‘iba>d al rah}ma>n merupakan kebalikan dari semua itu, yakni

43 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran Vol: 9..., 145.

63

memurnikan tauhid dengan hanya beribadah dan berdoa kepada Allah

semata.

Selain bertauhid secara murni, mereka juga tidak melakukan

pembunuhan terhadap siapa saja, karena jiwa seseorang bukan

menjadi hak atas dirinya, kecuali dengan hak yang telah ditetapkan

oleh Allah.44 Di samping itu, mereka juga tidak melakukan perbuatan

hina yakni zina yang termasuk dosa besar. Dengan memelihara diri

dari perbuatan zina maka bersihlah dirinya dan bersih pula

masyarakat dari kekacauan nasab.

Dalam ayat di atas, pernyataan terkait dengan sifat-sifat iba>d

al-rah}ma>n diungkapkan dengan bentuk negasi, yakni tidak

menyembah, tidak membunuh dan tidak berzina yang berbeda dengan

ayat-ayat sebelumnya. Hal ini bertujuan menyindir kaum kafir yang

melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut, di samping itu upaya

seseorang menghindari kejahatan-kejahatan sebagaimana yang

disebutkan itu pada hakikatnya sudah termasuk amal yang terpuji.45

Menurut al-Maraghi>, golongan yang masuk dalam kategori

‘iba>d al-rah}ma>n adalah orang-orang yang senantiasa beribadah

kepada Allah dan tidak berlaku syirik dalam peribadatannya. Di

44 Membunuh yang dibenarkan itu seperti Qis}a>s}. Qis}a>s} secara bahasa berasal dari al qas}s} artinya mengikuti jejak. Qis}a>s} juga berarti tatabbu’ al dam bi al qawad, (mengikuti/membalas penumpahan darah dengan al qawad), sedang al qawad diartikan sebagai al qatl bi al qatl, maksudnya suatu hukum yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak pidana yang dilakukan. 45 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran Vol: 9..., 155.

64

samping itu tidak melakukan perzinaan demi menjaga kehormatan

diri serta tidak membunuh jiwa selain yang dibenarkan.46

Kata atha>ma> terambil dari kata ithm yang berarti dosa. Kata

atha>ma> lebih menggambarkan keburukan dari pada ithm, dalam hal

ini adalah balasan dosa. Pelipatgandaan balasan dosa yang dimaksud

di sini adalah akibat keragaman siksa. Siksa tersebut ditegaskan

dengan adanya kata yakhlud yang mengandung dua makna. Pertama,

kekekalan tanpa akhir dan yang kedua, waktu yang sangat lama.

Sedang kata muha>na>n menggambarkan bahwa siksa yang dialami

bukan sekedar fisik tetapi juga siksa kejiwaan yang menjadikan si

tersiksa mengalami kepedihan batin yang luar biasa.

Ibn Kathi>r menukil beberapa pendapat berkenaan dengan

makna atha>ma, di antaranya yakni ‘Abdullah ibn ‘Umar dan ‘Ikrimah,

keduanya menafsirkannya dengan wa>din fi jahannam (lembah di

neraka jahannam) dimana tempat tersebut diperuntukkan bagi pelaku

zina.47

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ayat ini turun

berkenaan dengan pertanyaan ‘Abdulla>h ibn al Mas’u>d, saat itu beliau

bertanya kepada Nabi tentang dosa yang paling besar. Nabi pun

menjelaskan bahwa yang termasuk dalam dosa besar itu adalah

46 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi> Juz: 19..., 39. 47 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m Juz: 10..., 326.

65

menjadikan selain Allah sebagai sekutu padahal Allah yang Maha

Pencipta, membunuh anak karena takut miskin dan berzina.48

d. Yusu>f : 53

49

dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.50

Ayat ini dan juga beberapa ayat sebelumnya berkaitan dengan

kisah yang dialami Yusuf a.s. berkenaan dengan istri al-‘Azi>z. Kata

al-nafs memiliki bentuk jamak nufu>s atau anfus. Akar kata tersebut

terdiri dari huruf n-f-s secara kebahasan berarti khuru>j shai kaifa

ka>na (keluarnya sesuatu yang semilir baik berupa angin atau yang

lainnya).51 Nafas juga terkait dengan asal kata ini, karena nafas

seseorang yang berupa udara atau angin yang keluar masuk melalui

tenggorokan berlangsung dengan lembut.

Al-Nafs atau jiwa manusia pada dasarnya bersifat netral

terhadap kebaikan atau keburukan, manusialah yang mewarnai

48Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>,Juz: 4..., 371. 49 al-Qur’an, 12 : 53. 50 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 242. 51 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya Jilid: 5..., 3.

66

jiwanya, apakah ia ingin tetap mensucikan jiwanya atau

mengotorinya. Al-Zamakhshari memaknai maksud amma>rah bi al su>>’

dengan kecenderungan diri pada syahwat dalam setiap saat.52

Berkenaan dengan ayat di atas, ada perbedaan penafsiran

terkait dengan siapa yang menyatakan pernyataan sebagaimana yang

diungkap ayat di atas.53 Pendapat pertama, menyatakan bahwa

pernyataan di atas adalah ungkapan Yusuf a.s. sebagai manusia yang

menyadari bahwa setiap nafsu cenderung dan mudah untuk berbuat

jahat kecuali jika mendapat rahmat dan mendapat perlindungan dari

Allah. Yusuf a.s. selamat dari godaan istri al-‘Azi>z karena limpahan

rahmat serta perlindungan Allah meskipun secara manusiawi juga

tertarik pada istri al-‘Azi>z sebagaimana perempuan tersebut tertarik

kepadanya seperti yang dijelaskan pada Yusu>f (12) : 24.54

Pendapat kedua, menyatakan bahwa ayat 53 di atas merupakan

pengakuan dari istri al-‘Azi>z yang terharu dan merasa menyesal yang

mendalam bahwa dia tidak dapat membersihkan dirinya dari

kesalahan dan keterlanjuran. Dia menyadari bahwa dirinyalah yang

hampir mengkhiananti suaminya dengan cara merayu Yususf a.s.,

untuk menjaga nama baik diri dan suami dan juga keluarganya, dia 52Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>, Juz: 3... ,298. 53 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l Ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m Juz: 8..., 50. ; Al-Fakhr al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib Juz: 18..., 160. 54 al-Qur’an, 12 : 24

67

menganjurkan Yusuf a.s. dipenjara. Dalam hal ini istri al ‘Azi>z telah

melakukan kesalahan ganda yaitu berdusta dan menuduh orang yang

berkata jujur serta menghukumnya dengan hukuman penjara.

e. Al An’a>m : 151

55

Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar, demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).56

Setelah pada ayat sebelumnya membatalkan prinsip-prinsip

kepercayaan kaum musyrik dan sebagian dari perincian pengamalan

agama mereka, maka pada ayat ini menjelaskan tentang prinsip-

prinsip ajaran Islam.

55 al-Qur’an, 6 : 151. 56 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya...,148.

68

Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad s.a.w.

untuk menyeru mereka meninggalkan posisi yang rendah dan hina

yang tercermin pada kebejatan moral serta penghambaan diri kepada

selain Allah, menuju ketinggian derajat dan keluhuran budi. Melalui

ayat ini dan ayat sesudahnya diterangkan beberapa pokok larangan

yang bersangkutan dengan perkatan dan juga perbuatan, sifat utama

dan juga beberapa macam kebajikan. Pokok-pokok ajaran itu terkenal

dengan al-Was}aya> al-‘Ashr / Ten Commandement (sepuluh perintah

Tuhan).

Kata ta’a>lau terambil dari kata yang berarti tinggi. Ajakan

Allah dan Rasul-Nya merupakan ajakan menuju ketinggian, karena

kandungan ajakan itu merupakan hal-hal yang positif. Sedang kata

atlu> terambil dari kata tila>wah yang berarti membaca. Makna ini

serupa dengan kata qira>ah. Jika qira>ah objeknya bersifat umum

mencakup yang suci atau tidak, positif atau tidak maka tila>wah objek

bacaannya adalah sesuatu yang suci dan benar, di samping itu

tila>wahsecara harfiyah juga berarti mengikuti, yang dipilih untuk

teks-teks yang objeknya suci atau benar untuk mengisyaratkan bahwa

apa yang dibaca itu hendaknya diikuti dengan pengamalan.57

Ayat di atas memulai wasiat pertama dengan larangan

mempersekutukan Allah. Dalam larangan tersebut tersirat perintah

agar mengesakan Allah. Menurut al Biqa>’i, menggunakan redaksi

57 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h Pesan Kesan dan Keserasian Al Quran Vol: 3..., 730.

69

pelarangan menghindarkan keburukan lebih utama dari

mengutamakan kebajikan, sejalan dengan maksud tersebut

sebagaimana redaksi syahadat yang dimulai dengan menolak terlebih

dahulu segala yang dipertuhankan dan tidak wajar disembah, lalu

menetapkan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib

disembah.58 Larangan tidak boleh mempersekutukan Allah adalah

pokok pertama yang paling mutlak baik itu perkataan atau pun

iktikad.

Sedangkan ajaran yang kedua, yaitu berkenaan dengan bakti

pada orang tua. Al-Qur’an menggunakan kata ih}sa>n untuk dua hal:

pertama, memberi nikmat pada orang lain sedang yang kedua adalah

perbuatan yang baik. Kata ih}sa>n mengandung tuntutan

memperlakukan orang lain lebih baik dari pada perlakuan orang lain.

Kata ih}san juga mengisyratkan agar memberi lebih banyak dan

mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya. Menurut Muhammad

T}a>hir ibn ‘A>shur sebagaimana yang dikutip M. Quraish Shihab,

penggunaan kata ih}sa>n dalam bakti kepada orang tua memberikan

makna penghormatan dan pengagungan yang berkaitan dengan

pribadi, sehingga perintah tersebut cenderung menekankan pada

kebaktian pada penghormatan dan pengagungan terhadap kedua

orang tua.59

58 Ibid. 59Ibid., 732.

70

Penggunaan kata penghubung untuk berbakti kepada orang tua

menggunakan huruf bi bukan ila. Menurut para pakar bahasa, ila

mengandung makna jarak, sedangkan penggunaan bi sebagai kata

penghubung mengandung makna ils}a>q yakni kelekatan sehingga tiada

jarak sebagaimana kata ila. Pada akhirnya dapat dipahami bahwa

berbuat ih}sa>n pada kedua orang tua yang diperintahkan Islam adalah

bersikap sopan kepada keduanya baik dalam ucapan maupun

tindakan, penuh rasa cinta dan kasih sayang sehingga keduanya

merasa senang.

Setelah Allah memberikan perintahnya berkenaan dengan

kewajiban anak berbakti kepada orang tua, maka ajaran yang ketiga,

berkenaan dengan larangan bagi orang tua agar tidak membunuh

anak-anaknya karena takut miskin.

Motivasi yang dibicarakan pada ayat di atas adalah kemiskinan

yang sedang dialami oleh ayah dan kekhawatirannya akan semakin

terpuruk dalam kesulitan hidup akibat kelahiran anak. Oleh sebab itu

Allah segera memberi jaminan kepada sang ayah bahwa Allahlah

yang menjamin rezeki mereka. Senada dengan hal tersebut, Allah

juga berfirman dalam su>rah al-Isra>’ (17) : 31,60 yang juga menyatakan

hal yang serupa. Namun kemiskinan pada ayat ini belum terjadi,

masih dalam bentuk kekhawatiran. Hal tersebut terindikasi adanya

60 Su>rah al Isra>’ : 31

71

kata khasyat yakni takut. Jaminan Allah sebagai pemberi rezeki

ditegaskan kepada orang tua yang memiliki ketakutan karena tidak

mampu memberikan nafkah kepada anaknya, sebagaimana adanya

redaksi wa iyya>kum. Sedangkan pada ayat di atas jaminan itu tidak

hanya berlaku pada orang tua melainkan juga termasuk anaknya,

sebagaimana adanya redaksi wa iyya>hum.

Ajaran berikutnya berkenaan dengan larangan mendekati

perbuatan yang keji baik itu secara terang-terangan atau tersembunyi.

Larangan mendekati secara otomatis melarang pula melakukannya.

perbuatan keji yang dimaksud itu adalah perbuatan zina baik yang

secara tersembunyi atau terang-terangan.61 Pendapat lain mengatakan

bahwa pebuatan keji yang nampak itu berkaitan dengan anggota

tubuh, sedang yang tersembunyi adalah penyakit hati baik itu

takabur, iri hati dan lain sebagainya.62

Berkenaan dengan hal tersebut, dalam sebuah riwayat dari Ibn

‘Abba>s menjelaskan bahwa pada masa Jahiliyah orang-orang tidak

memandang keji melakukan zina secara tersembunyi, namun mereka

memandang keji jikalau dilakukan secara terang-terangan. Maka

melalui ayat ini Allah mengharamkan zina baik itu secara

tersembunyi maupun terang-terangan.

61 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al ‘Az}i>m Juz: 6..., 212. 62 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya Jilid: 3..., 272.

72

Sedangkan ajaran yang kelima, Allah kembali menegaskan

larangan membunuh jiwa yang diharamkan Allah, tanpa sebab yang

dibenarkan oleh agama. Pelarangan membunuh jiwa oleh ayat di atas,

diikuti dengan redaksi al-lati> h}arramallahu illa> bi al-haq. Kata

h}arrama yang berarti diharamkan atau dilarang, jika dikaitkan dengan

jiwa manusia maka dapat diartikan sebagai, dijadikan terhormat oleh

Allah. Makna ini mengisyaratkan, janganlah membunuh jiwa, karena

jiwa manusia telah dianugerahi Allah kehormatan. Pemahaman ini

mendukung nilai-nilai hak asasi manusia yang merupakan salah satu

prinsip kehidupan yang ditegakkan al-Qur’an melalui beragam

ayatnya.

f. Luqma>n : 12

63

dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".64

Pada ayat-ayat sebelumnya Allah menjelaskan bahwasanya

segala apa yang tercipta di alam semesta baik itu langit, gunung-

63 al-Qur’an, 31 : 12. 64 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 412.

73

gunung, bintang gemintang, hujan yang menjadi awal tumbuhnya

tanaman semuanya itu merupakan nikmat nyata yang dilimpahkan

Allah untuk manusia, maka pada ayat di atas dan beberapa ayat

berikutnya menjelaskan tentang nikmat Allah yang tidak nampak,

berupa hamba-hamba-Nya yang memiliki ilmu, hikmah sebagaimana

yang telah diberikan kepada Luqman.

Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan nama Luqman

sebagaimana yang tersebut dalam ayat. Perbedaan pendapat tersebut

menyangkut beberapa hal, diantaranya yaitu apakah Luqma>n itu

seorang Nabi atau hanya seorang yang shalih dan juga bijak. Namun

mayoritas dari beberapa pendapat itu mengarah pada pendapat yang

kedua.Di samping itu, para ahli tafsir juga berbeda pendapat tentang

masa hidupnya. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Luqma>n

hidup pada masa Nabi Daud, yang lain mengatakan dia adalah anak

saudara perempuan Nabi Ayub. Ada juga pendapat lain, sebagaimana

riwayat dari Ibn ‘Abba>s, Luqma>n adalah seorang hamba dan tukang

kayu dari Habashah. 65

Terlepas dari beragam perbedaan pendapat yang menerangkan

asal usul Luqma>n, pada hakikatnya dia adalah seorang yang shalih

yang telah diberi hikmah oleh Allah untuk mengajarkan beberapa hal

tentang kebajikan, mempunyai akidah yang benar, memahami dasar-

65 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m Juz: 11..., 49-52.

74

dasar agama, sebagaimana nasihatnya kepada putranya yang

diabadikan dalam surat Luqma>n.66

Ayat di atas, menerangkan bahwa Allah menganugerahkan

hikmah, yaitu perasaan yang halus, akal pikiran dan kearifan sehingga

dapat menyampaikannya kepada pengetahuan yang hakiki serta jalan

yang benar menuju kebahagiaan sejati.67

Sebagai tanda bahwa Luqma>n adalah seorang hamba Allah

yang selalu taat kepada-Nya, merasakan kebesaran dan kekuasan-Nya

yang ada di alam semesta ini tercermin dari sikapnya yang selalu

bersyukur kepada Allah. Menurut riwayat Ibn “Umar bahwa ia pernah

mendengar Rasulullah saw bersabda, Luqma>n bukanlah seorang Nabi,

melainkan seorang hamba yang banyak melakukan tafakur, ia

mencintai Allah, sehingga Allah pun mencintai dia.

Pada penghujung ayat di atas, Allah menegaskan bahwa orang

yang bersyukur kepada Allah, sejatinya ia bersyukur untuk

kepentingannya sendiri, sebab Allah akan menganugerahkan kepada

siapa pun pahala yang banyak karena syukurnya. Perintah bersyukur

tersebut juga pernah ditegaskan pada Nabi Sulaiman sebagaimana

ayat berikut.

66Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>,Juz: 5..., 11. 67 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid: 8..., 548.

75

68

berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".69

Sufya>n ibn Uyainah berkata, siapa yang melakukan shalat lima

waktu, berarti ia bersyukur kepada Allah, demikian juga orang yang

berdoa untuk kedua orang tuanya setiap selesai shalat, ia telah

bersyukur kepada keduanya.

Orang-orang yang mengingkari nikmat Allah dengan tidak

bersyukur, sejatinya ia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri.

Allah tidak memerlukan syukur hamba-Nya, sebaliknya hamba-Nya

yang membutuhkan, syukur seorang hamba kepada-Nya tidak akan

menambah kekuasaan Allah, yang demikian itu dikarenakan Dia

Maha Kaya dan Maha Terpuji.70

68 al-Qur’an, 27 : 40. 69 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 380. 70 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi> Juz: 21.., 79.

76

g. Al Baqarah : 155

71

dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.72

Dalam kehidupan manusia akan selalu ada ujian. Sebagaiamna

yang telah Allah kabarkan bahwa Dia akan memberikan

cobaan/menguji setiap hambanya, baik ujian dalam bentuk

kesenangan (al-sarra>’) maupun dalam bentuk kesedihan (al-d}arra>’).

Allah menguji umat manusia dengan beberapa ujian untuk

menunjukkan mana orang yang taat dan mana orang yang maksiat,

bukan ujian untuk menentukan mana yang mengerti dan mana yang

tidak mengerti tentang sesuatu.73

Adanya ujian bertujuan untuk mengetahui apakah orang yang

diuji tersebut tetap bersabar dan berpegang teguh pada perintah dan

hukum Allah atau tidak. Orang-orang yang bersabar dalam

menghadapi ujian, adalah orang yang mengembalikan semua yang

dimiliki kepada Allah dengan mengatakan inna lilla>hi wa inna ilayhi

71al-Qur’an, 2 : 155. 72Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 24 73al-H}usayn ibn Mas’u>d ibnal-Baghawi>, Ma’a>lim al-Tanzi>l fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Juz I ..., 185.

77

ra>ji’u>n. Kata bi shay’i(sesuatu), menunjukan bahwa ujian yang

diberikan kepada Allah hanya sedikit, walaupun dirasakan oleh

manusia berat. Ini menunjukkan bahwa Allah sangat mencintai

hamba-Nya dan Allah meringankan semua ujian-Nya kepada

manusia.74

Melalui ayat di atas, Allah memberikan ujian kepada manusia

dengan sedikit ketakukan/kekuatiran (al-khawf), kelaparan (al-ju>’),

kehilangan sebagian harta (naqs} min al-amwa>l), kerabat tercinta

meninggal dunia (al-anfus) dan gagal panen (al-tsamara>t). Ini semua

merupakan ujian yang diberikan kepada setiap hamba-Nya.

Di samping itu, ayat tersebut juga memberikan isyarat bahwa

seseorang yang telah beriman tidak serta merta terhindar dari ujian

baik kelapangan rizki, kemudahan segala urusan dan segala

ketakukan dan kekuatiran. Tetapi semua cobaan Allah tersebut tetap

berlaku bagi siapa saja berjalan sesuai dengan sunnah Allah. Oleh

karena itu musibah bisa menimpa siapa saja hanya saja bagi mereka

yang beriman dan bersabar, Allah beri pahala serta kemampuan untuk

menjalaninya, sehingga mampu menghadapi segala kesulitan yang

ada.75

Sebaliknya,orang yang putus asa serta bersedih hati dalam

menjalani ujian, maka Allah akan menjadikan ujian tersebut siksaan

74 Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz I.., 348. 75 Ahmad Mus}tafa> al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi>, Juz II..., 24.

78

baginya. Beruntunglah orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang

ketika menghadapi ujian mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa

segala sesuatu milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Merekalah

orang-orang yang mendapatkan pentunjuk yang selalu diberikan

kebaikan dan kasih sayang Allah.76

2. Ayat-ayat Madaniyyah

a. A>li ‘Imra>n : 135

77

dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.78

Ayat tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan

ayat sebelumnya. Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan perintah

agar segera meraih ampunan Allah, maka pada ayat-ayat selanjutnya

menjelaskan karakter orang bertaqwa yang akan mendapatkan

ampunan Allah.

Rangkaian ayat ini membicarakan tentang karakter orang yang

mendapat gelar taqwa. Jika pada ayat sebelumnya dijelaskan sifat

76Abu al Fida>’ Isma>’i>l Ibn Kathi>r al Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al ‘Az}i>mJuz I.., 467-468. 77 al-Qur’an, 3 : 135. 78 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 67

79

orang yang bertaqwa dalam hubungannya dengan orang lain seperti

gemar berinfaq, baik dalam waktu lapang atau sempit, mampu

menahan amarah serta mau memaafkan kesalahan orang lain, maka

dalam ayat ini dijelaskan sifat orang yang bertaqwa yang kaitannya

dengan diri sendiri, yakni tentang kesadaran diri bertaubat apabila

telah melakukan tindakan yang keji hingga menganiaya diri sendiri

dengan jalan ingat kepada Allah dan segera memohon ampun kepada-

Nya.

Kata fa>h}ishah dalam ayat ini diterjemahkan dengan perbuatan

keji, danz}alamu> anfusahum diartikan menganiaya diri sendiri atau

pelanggaran secara umum. Menurut Al-Zamakhshari,79 makna

fa>khishah dalam ayat ini yaitu dosa besar semisal zina, sedang

dhalamu> anfusahum memiliki makna dosa kecil. Al-Mara>ghi80 > dalam

tafsirnya menjelaskan bahwa perbuatan keji tersebut meliputi segala

perbuatan yang tercela (dosa) seperti ghibah dan juga minuman keras.

Dua sifat tersebut menurut Muhammad Sayyid Tant}a>wi

merupakan dua sisi dari setiap kedurhakaan,karena perbuatan keji

yang dilakukan seseorang berakibat pada penganiayaan atas dirinya,

demikian pula sebaliknya.81

Katadhakaru>llah, dimaknai oleh al-Maraghi sebagai ingat

kepada Allah berkaitan dengan janji dan ancaman-Nya serta

79Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz: 1..., 628. 80al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi Juz: 4..., 72. 81 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h, Volume: 2..., 266-267.

80

keangungan-Nya. Mereka kembali kepada Allah mengharap ampunan

dan juga rahmat-Nya. Kesadaran tersebut melahirkan sikap taubat

dan tidak mengulangi perbuatan yang sama dan menggantinya

dengan memperbanyak istighfar, al Maraghi pun menukil sabda nabi,

ال كبرية مع االستغفار وال صغرية مع اإلصرار82

dosa besar tidak menjadi dosa besar bila segera memohon ampun, dan dosa kecil akan menjadi dosa besar bila selalu dikerjakannya” (HR Ad Dailamiy dari Ibnu ‘Abbas)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sifat orang bertakwa

sebagai calon penghuni surga bukanlah orang sama sekali tidak

pernah berbuat dosa. Identitas ketaqwaan akan tetap melekat, jika

orang yang pernah berbuat dosa itu segera menyadari dan bertaubat

dengan memohon ampun serta tidak mengulangi kesalahan yang

sama. Hal ini juga menegaskan bahwa betapa realistisnya al Quran,

Allah tidak menutup pintu dan mengharuskan manusia tanpa dosa,

Dia menerima hamba-hamba-Nya yang berlumuran dosa sekalipun

untuk dimasukkan ke dalam surga-Nya selama mereka meyadari

kesalahannya dan tidak meneruskan kesalahan tersebut sedang

mereka mengetahuinya.

Ada beberapa hal penting yang terkandung dalam ayat ini.

Pertama, mereka ingat Allah lalu memohon ampun. Kedua, mereka

82 Ah}mad ibn Sa>lim al-Safa>ri>ni> al-H}anbali>,Lawa>mi’ al-Anwa>r al-Bahiyyah, Juz: 1, (Damaskus: Muassasah al-Khafiqi>n, 1982), 366.

81

tidak meneruskan perbuatan keji dan yang ketiga, mereka

mengetahuinya. Ketiga hal ini telah mencakup makna taubat.

Berkenaan dengan hal ini, unsur taubat menurut Ima>m Ghaza>li

meliputi aspek pengetahuan, aspek kejiwaan dan aspek perbuatan.

Aspek pengetahuan mencakup pemahaman dari bahaya perbuatan

dosa, aspek kejiwaan adanya rasa penyesalan dengan segera ingat

pada Allah dan mohon ampun, sedang aspek perbuatan tidak

mengulangi perbuatan dosa yang sama.

Al-Fakhr al-Razi dalam tafsirnya Mafa>tih{ al-Ghaib

menjelaskan, ada dua hal yang dikandung ayat ini, pertama bahwa

Allah mensifati orang-orang bertaqwa melalui perangainya yang

selalu taat dan beribadah baik itu dengan cara berinfaq baik di waktu

lapang maupun sempit, menahan amarah serta memaafkan sesama,

sedang yang kedua, yakni orang-orang yang berdosa kemudian

beraubat.83

b. Al H{asr : 9

84

83 al-Fakhr al-Ra>zi, Mafa>tih{ al-Ghaib Juz: 9..., 9-10. 84 al-Qur’an, 59 : 9.

82

dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.85

Sesudah Allah menjelaskan penggunaan harta fai’ pada ayat

terdahulu, dan menyebutkan harta fai’ itu untuk Allah dan Rasul-

Nya, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, pada

ayat ini Allah menerangkan orang Muha>jiri>n yang menjadi fakir

hanya karena mencari ridha Allah dengan berhijrah bersama

Rasulullah saw ke Madinah meninggalkan kampung halaman dan

harta kekayaan mereka. Di samping itu, Allah juga menjelaskan sifat

mulia kaum Ans}a>r yakni penduduk asli Madinah yang beriman

kepada Allah dan rela berbagi harta mereka dengan saudara seiman

mereka yaitu Muha>jiri>n.86

Dalam sebuah riwayat, ayat di atas memiliki asba>b al-nuzu>l,

sebagaimana riwayat dibawah ini.87

ا ثـن ان حد و ن غز ل ب ا فضي ة حدثـن و أسام ا أب ري حدثـن ن كث اهيم ب ر بـ ن إ قوب ب ع ين يـ حدثة ر يـ ن أيب هر و حازم األشجعي ع أب سول الله صلى الله جل ر قال أتى ر ه عن رضي الله

ندهن شي د ع م جي ل ه فـ سائ سل إىل ن د فأر ه ين اجل سول الله أصاب ا ر سلم فـقال ي ه و ي ا عل ئسل ه و ي عل سول الله صلى الله قال ر قام فـ فـ الله ه مح ر ة يـ ل هذه الليـ ضيـفه جل ي م أال ر

85 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 546. 86Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r al-MaraghiJuz 28..., 43 87 Jala>l al-Di>n al-Suyut}i, Asbabun Nuzul (Jakarta: Gema Insani, 2009), 561-562.

83

سول ف ر ه ضي أت ر ه فـقال الم سول الله فذهب إىل أهل ا ر صار فـقال أنا ي ن األن رجل م سلم ال تدخريه شي ه و ي عل ة قال الله صلى الله ي بـ ا عندي إال قوت الص الله م ا قالت و ئ

ف ة فـ ل ا الليـ ن طونـ نطوي ب اج و ر ي الس ئ ايل فأطف ع تـ يهم و م و نـ فـ شاء ة الع ي بـ اد الص ا أر ت فإذ ل ع سول الله صلى الله ى ر جل أو مث غدا الرجل عل عز و قد عجب الله قال ل سلم فـ ه و ي عل

جل ز و ع ل الله فالنة فأنـز ن فالن و م { ضحك م و كان ل ى أنـفسهم و ون عل ر ؤث يـ و خصاصة

Abu Hurairah berkata,”Suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah seraya berkata,”Wahai Rasulullah, sekarang ini saya sangat kelaparan. ”Rasulullah lalu menanyakan kepada istri-istrinya apakah memiliki persediaan makanan, namun tidak ada apapun pada mereka. Rasulullah lantas berkata kepada sahabat-sahabatnya, ”Adakah di antara kalian yang ingin menjamunya malam ini? Semoga Allah merahmati yang menjamu tersebut.” Seorang laki-laki dari kalangan Ans}a>r lalu berdiri dan berkata,”Wahai Rasulullah, saya yang akan menjamunya.” Laki-laki itu lantas pulang ke rumah dan berkata kepada istrinya,”Saya telah berjanji akan menjamu seorang tamu Rasulullah. Oleh karena itu, keluarkanlah persediaan makananmu.” Akan tetapi, sang istri menjawab,”Demi Allah, saya tidak punya makanan apapun kecuali sekedar yang akan diberikan kepada anak-anak kita.” Laki-laki itu lantas berkata,”Kalau begitu, jika nanti anak-anak kita telah terlihat ingin makan malam maka berusahalah untuk menidurkan mereka. Setelah itu, hidangkanlah makanan untuk mereka itu (kepada sang tamu) dan padamkan lampu.” Adapun kita sendiri akan tidur dengan perut kosong pada malam ini! sang istri lalu mengikuti instruksi suaminya itu. Pada pagi harinya, laki-laki itu bertemu dengan Rasulullah. Beliau lantas berkata kepada para sahabat, ”Sesungguhnya Allah telah terkagum-kagum atau tersenyum dengan apa yang dilakukan oleh si Fulan dan si Fulanah. Kemudian Allah menurunkan ayat,

م خصاصة و كان ل ى أنفسهم و ل ون ع ر ؤث يـ 88و

Kata tabawwau> memiliki arti kembali yakni menjadi tempat

kembali seseorang setelah sebelumnya giat melakukan aktifitas di

88al-Qur’an, 59 : 9.

84

beberapa tempat. Sedang kata al-da>r pada mulanya berarti tempat

kediaman, lalu digunakan juga dalam arti kota/negeri, yang dimaksud

dalam hal ini adalah kota Madinah.

M. Quraish Shibab menukil pendapat T}aba>t}ba>i berkenaan

dengan penggabungan kata al-i>ma>n dan al-da>r oleh kata tabawwau>,

bahwasannya penggabungan tersebut bermakna memakmurkan kota

Madinah sehingga dapat terlaksana di tempat tersebut aneka

kebajikan dan ketaatan tanpa terhalangi oleh sesuatu apa pun.89

Kata yu’thiru>na artinya mengutamakan, mendahulukan dan

memuliakan. Kata tersebut berasal dari kata kerja a>thara-yu’thiru-

i>tha>ran yang berarti mengutamakan orang lain dan menghormati

orang lain.I<tha>riyah adalah suatu sikap yang mendahulukan

kepentingan orang lain. Lawan dari i>tha>riyah adalah ana>niyah yaitu

sikap mementingkan diri sendiri dari pada orang lain.

Ayat di atas menjelaskan tentang kemuliaan hati orang-orang

yang tinggal di Madinah (Ans}a>r) yang mencintai saudaranya sesama

iman (Muha>jiri>n). Allah memuji dan menyanjung orang-orang Ans}a>r

yang merelakan harta fai’ itu diberikan kepada orang-orang

Muhajirin, meskipun mereka tidak menerimanya.90

Orang-orang yang tinggal di Madinah dan hati mereka telah

dipenuhi kecintaan iman sebelum kedatangan orang-orang Muha>jiri>n.

Ketika di salah seorang ditanya Rasululullah saw tentang harta apa 89M. Quraish Shihab, Tafsi>r al Misba>h Volume: 13..., 537. 90Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m Juz: 13..., 490.

85

yang disisakan untuk keluarga, lantas ada yang menjawab aku sisakan

pada mereka (keluarga) apa yang telah diberikan untuk Allah dan

Rasul-Nya.91

Mereka mempunyai sifat-sifat mulia dan akhlak luhur yang

menunjukkan kemuliaan jiwa dan keluhuran budi, diantaranya yaitu :

1) Mencintai Muha>jiri>n dan menginginkan kebaikan untuk Muha>jiri>n

itu sebagaimana halnya mereka menginginkan kebaikan untuk diri

mereka sendiri. Rasulullah saw telah mempersaudarakan antara

mereka dengan Muha>jiri>n itu dan menempatkan orang-orang

Muha>jiri>n di rumah-rumah orang-orang Ans}a>r untuk tinggal

bersama.

2) Mereka tidak menginginkan sedikitpun dari harta fai dan lain-lain

yang diberikan kepada Muha>jiri>n.

3) Mereka mendahulukan orang-orang yang membutuhkan di atas

diri mereka sendiri dan memulai dengan orang lain sebelum diri

mereka sendiri, sehingga orang yang mempunyai dua orang istri

diantara mereka itu menceraikan salah seorang dari keduanya, dan

mengawinkannya dengan salah seorang dengan kaum Muhajirin.92

Berkenaan dengan sifat shu>h ini al-Maraghi menukil hadis

marfu>’,93

91Ibid. 92Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid: 10..., 60-61. 93 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r al-Maraghi juz 28 ..., 44.

86

اأ ن ر أبيصاحل خبـ ن ب ل ي ةعنسه م نسل بـ امحاد دثـن ديـقاحل ه نم بـ ن دالرمح ب اع دثـن قاحل يـ ل ع نـ وبـ ر عم نخال مع ي سل ن ب انـ نصفو ع

م ت الجي قال سلم هو ي ل ع يصلىالله النب ةعن ر يـ ر أبيه ن اللجالجع ن ب الجي د داو جألب جهر يو ف نم ه خاجن د يالللهو يسب ف ار ب غ ع

دا دأب ب ع يقلب ميانف اإل الشحو ع 94مت

Tidak akan berkumpul debu-debu pada wajah seseorang ketika berjuang di jalan Allah dengan asap neraka Jahannam selama-lamanya dan tidak akan berkumpul pada hati seorang hamba sifat kikir dan keimanan selama-lamanya

c. Al H{asr : 18-19

95

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.96

94Abu ‘Abd al-Rah}man Ah}mad ibn Su’aib al-Nasa>i, Sunan al-Nasa>i Juz: 6 (Beirut:Da>r al-Ma’rifah , 1420), 320. 95al-Qur’an, 59 : 18-19. 96Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 548.

87

Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan keadaan orang

munafik yang sesat. Mereka mengatakan sesuatu yang berlawanan

dengan sisi hati mereka. Perbuatan mereka itu seperti perbuatan setan

yang selalu berusaha menyesatkan manusia dari jalan yang benar.

Pada ayat di atas, Allah memerintahkan kepada orang beriman agar

bertakwa kepada-Nya dan mengerjakan semua yang bermanfaat bagi

diri mereka untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Dalam al-Qur’an ungkapan kata takwa mempunyai beberapa

arti, di antaranya : melaksanakan kewajiban yang diperintahkanAllah

dan menjauhi larangan-Nya. Di samping itu takwa juga berarti takut

melanggar perintah Allah dan memelihara diri dari perbuatan

maksiat.97

Waal-tanz}urmemiliki makna bahwa orang yang bertakwa

hendaknya memperhatikan dan meneliti apa yang dikerjakan, apakah

ada manfaat untuk dirinya nanti atau tidak. Di samping itu

hendaknya selalu memperhitungkan perbuatannya sendiri, apakah

sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Hendaknya segala perbuatan

yang dilakukan senantiasa membawa manfaat untuk yaum al jaza>’

(hari pembalasan) yakni akhirat.98Al-Maraghi, menafsirkannasu> Alla>h

(melupakan Allah), dengan makna melupakan hak-hak-Nya serta

97Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l Juz: 6..., 84. 98Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r al-Maraghi juz 28 ..., 53.

88

meninggalkan apa yang telah diperintahkan-Nya. Di samping itu

tidak berhenti meninggalkan segala apa yang telah dilarang-Nya.99

Ayat di atas, menegaskan agar orang mukmin senantiasa

bertakwa kepada-Nya karena hanya Allah yang mengetahui semua

yang dikerjakan hambanya, baik yang nampak atau yang tersembunyi

tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.Allah

mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak menjadi orang

yang fasik dan lupa kepada Allah. Sebagaimana orang munafik dalam

hal ini ‘Abdullah bin Ubay dan sekutunya dan juga orang Yahudi

Bani Nadhi>r yang telah memusuhi orang beriman.100

99Ibid. 100Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid: 10..., 76.