bab ii tinjauan umum mengenai hak milik atas tanah, … ii (fix).pdfdengan hak atas tana yang lain,...

25
25 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK MILIK ATAS TANAH, HAK PAKAI ATAS TANAH, PERJANJIAN DAN NOMINEE 2.1. Hak Milik Atas Tanah 2.1.1. Pengertian hak milik atas tanah. Hak milik berdasarkan rumusan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun- temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah denan dengan mengingat Pasal 6. Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tana yang lain, tidak memiliki batas waktu tertentu, mdah dipertahankan dari ganguan pihak lain dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah member wewenang kepada pemiliknya paling luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain dan penggunaan tanahnya lebih luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. 17 17 Urip Sanoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Surabaya, h. 90.

Upload: trandat

Post on 18-Aug-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

25

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK MILIK ATAS TANAH, HAK PAKAI

ATAS TANAH, PERJANJIAN DAN NOMINEE

2.1. Hak Milik Atas Tanah

2.1.1. Pengertian hak milik atas tanah.

Hak milik berdasarkan rumusan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun-

temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah denan dengan

mengingat Pasal 6. Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung

terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak

miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai

subyek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan

dengan hak atas tana yang lain, tidak memiliki batas waktu tertentu, mdah

dipertahankan dari ganguan pihak lain dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak

milik atas tanah member wewenang kepada pemiliknya paling luas dibandingkan

dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain,

tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain dan penggunaan tanahnya lebih luas

dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.17

17 Urip Sanoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Surabaya, h. 90.

26

2.1.2. Subyek hak milik atas tanah.

Subyek hak milik atas tanah menurut UUPA :

1. Perseorangan.

Hanya warga Negara Indonesia yang dapat memiliki hak milik (Pasal 21 ayat

(1) UUPA). Ketentuan ini menentukan perseorangan yang hanya berkewarganegaraan

Indonesia yang dapat memiliki hak milik atas tanah.

2. Badan-badan hukum.

Pemerintah menetapkan badan-badan hukum yang dapat memiliki hak milik

dan syarat-syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA). Badan-badan hukum yang dapat

memiliki hak milik atas tanah menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun

1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik

atas Tanah, yaitu bank yang didirikian oleh Negara, koperasi pertanian, badan

keagamaan dan badan sosial.

Bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai hak milik, maka

dalam jangka waktu satu tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak milik atas

tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik atas

tanah. Apabila hal ini tidak dilakukan maka tanahnya hapus karena hukum dan

tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasi oleh Negara. (Pasal 21 ayat 3 dan ayat

(4) UUPA).18

18 Ibid, h. 93.

27

2.1.3. Beralihnya hak milik atas tanah.

Peralihan hak milik atas tanah dirumuskan pada Pasal 20 ayat (2) UUPA,

yaitu hak milik dapat beralih kepada pihak lain. Dua bentuk peralihan hak milik atas

tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Beralih.

Beralih artinya berpindahnya hak milik atas datah dari pemiliknya kepada

pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum. Dengan meninggalnya pemilik tanah,

maka hak miliknya secara hukum berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli

warisnya memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah.

2. Dialihkan atau pemindahan hak.

Dialihkan atau pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik kepada pihak

lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Contoh perbuatan hukum yaitu jual

beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan dan

lelang.19

2.1.4. Pembebanan hak milik dengan hak tanggungan.

Menurut rumusan Pasal 25 UUPA, hak milik atas tanah dapat dijadikan

jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Yang dimaksud dengan hak

tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu

19 Ibid, h. 91

28

kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

(Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996).

Syarat sah terjadinya hak tanggungan harus memenuhi tiga unsur yang

bersifat kumulatif yaitu :

1. Adanya perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokoknya;

2. Adanya akta pemberian hak tanggungan sebagai perjanjian ikutan atau tambahan;

3. Adanya pendaftaran terhadap akta pemberian hak tanggungan.20

2.1.5. Hapusnya hak milik atas tanah.

Pasal 27 UUPA merumuskan faktor-faktor penyebab hapusnya hak milik atas

tanah dan tanahnya jatuh kepada negara yaitu :

1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;

2. Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya;

3. Karena diterlantarkan;

4. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah;

5. Karena peralihan hak yang mengakibatkan tenahnya berpindah kepada pihak lain

yang tidak memenuhi syarat sebagai subek hak milik atas tanah.21

20 Supriadi, 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Palu, h. 176.

21

Urip Santoso, op. cit, h. 98.

29

2.2. Hak Pakai Atas Tanah.

2.2.1. Pengertian hak pakai atas tanah.

Berdasarkan rumusan Pasal 41 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan hak

pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang member wewenang

dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang

berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang

bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu

asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Perkataan

menggunakan dalam hak pakai menunjuk kepada pengertian bahwa hak pakai

digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan memungut

hasil dalam hak pakai menunjuk pada pengertian bahwa hak pakai digunakan untuk

kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan

dan perkebunan.22

2.2.2. Subyek hak pakai atas tanah.

Pasal 42 UUPA merumuskan bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah :

1. Warga negara Indonesia;

2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia;

22 Urip Santoso, op. cit, h. 144.

30

4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 lebih merinci yang dapat

mempunyai hak milik yaitu :

1. Warga negara Indonesia;

2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia;

3. Badan-badan keagamaan dan sosial;

4. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

5. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;

6. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.

Khusus subyek yang pakai yang berupa orang asing yang berkedudukan di

Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan

Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Bagi Orang Asing yang Berkedudukan di

Indonesia.

Bagi pemegang hak pakai yang tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak

pakai, maka dalam jangka waktu satu tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak

pakainya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak pakai.

Apabila hal ini tidak dilakukan maka hak pakainya hapus karena hukum dan

ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait dengan hak pakai tetap diperhatikan. (Pasal

40 PP No. 40 Tahun 1996).

31

2.2.3. Jangka waktu hak pakai atas tanah.

Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak merumuskan secara tegas berapa lama jangka

waktu hak pakai. Pasal ini hanya merumuskan bahwa hak pakai dapat diberikan

selama jangka waktu tertentu selama tanah yang dipergunakan untuk keperluan yang

tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, jangka waktu hak pakai

diatur pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 49. Jangka waktu hak pakai ini berbeda-

beda sesuai dengan asal tanahnya yaitu :

1. Hak pakai atas tanah negara.

Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat

diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk

jangka waktu paling lama 25 tahun.

2. Hak pakai atas tanah hak pengelolaan.

Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat

diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk

jangka waktu paling lama 25 tahun. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan

hak pakai ini dilakukan atas usul pemegang hak pengelolaan.

3. Hak pakai atas tanah hak milik.

Hak pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak

dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang

Hak pakai dapat diperbaharui dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib

32

didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat

dalam buku tanah.

2.2.4. Hapusnya hak pakai atas tanah.

Berdasarkan rumusan Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996, faktor-faktor penyebab

hapusnya hak pakai antara lain :

1. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian

atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya;

2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemilik

tanah sebelum jangka waktunya berakhir karena :

1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang ha pakai atau dilanggarnya

ketentuan-ketetuan dalam hak pakai;

2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam

perjanjian pemberian hak pakai antaa pemegang hak pakai dengan pemilik

tanah atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan; atau

3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu

berakhir;

4. Hak pakainya dicabut;

5. Diterlantarkan;

6. Tanahnya musnah;

7. Pemagang hak pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak pakai.

33

2.3. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian.

2.3.1. Pengertian perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan

“overeekomst” dalam bahasa Belanda. Kata “overeekomst” tersebut lazim

diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313

KUHPerdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.

Menurut Subekti, “suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana

seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal”.23

R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu

perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.24

Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana

seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.25

Selanjutnya pengertian perjanjian yang dirumuskan pada Pasal 1313

KUHPerdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih

mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan

23

Subekti I, loc. cit.

24

R. Setiawan, loc. cit.

25

Sri Soedewi Machun Sofwan, loc. cit.

34

berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap,

namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut

KUHPerdata tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian

akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi

(debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata).

Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

1. Perbuatan.

Penggunaan kata perbuatan pada perumusan tentang perjanjian ini lebih tepat

jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan

tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

2. Terdapat 2 (dua) pihak atau lebih.

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling

berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain.

Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

3. Mengikatkan dirinya.

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu

kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang

muncul karena kehendaknya sendiri.

35

Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak,

penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis

yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.26

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai

kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai

materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam

perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau

ketentuan yang disepakati

2.3.2 Jenis-jenis perjanjian.

Dalam perjanjian atau kontrak (contract of law) dikenal adanya dua golongan

perjanjian berdasarkan namanya, yaitu perjanjian nominaat dan perjanjian

innominaat. Perjanjian nominaat merupakan perjanjian yang dikenal di dalam hukum

Perdata seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, hibah, pinjam pakai,

persekutuan Perdata dan lain-lain. Sedangkan perjanjian innominaat adalah

perjanjian-perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat

secara praktik. Yang termasuk kontrak innominaat antara lain, leasing, joint venture,

production sharing, kontrak karya, keagenan, beli sewa dan lain-lain. Timbulnya

perjanjian innominaat tersebut adalah sebagai akibat dari adanya asas kebebasan

berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

26

Salim H.S I, loc. cit.

36

dirumuskan bahwa “semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-

Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam KUHPerdata tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk-bentuk

kontrak. Namun apabila ditelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam

KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibedakan menjadi dua yaitu

kontrak tertulis dan kontrak lisan. Kontrak tertulis adalah kontrak yang dibuat oleh

para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang

harus dilakukan dengan akta Notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini juga

dapat dibagi menjadi dua macam yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta

Notaris. Akta di bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh

para pihak. Sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan

Notaris.

Sedangkan kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para

pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan saja (Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan

adanya konsensus maka perjanjian tersebut telah terjadi.27

2.3.3 Asas-asas perjanjian.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dirumuskan semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

27 Salim H.S, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika,

Mataram, (Selanjutnya disingkat Salim H.S II), h. 18.

37

Jadi, dalam pasal ini terkandung tiga macam asas utama dalam perjanjian,

yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda.

Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

1. Asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting

dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum

biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata

yang merumuskan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang

untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,

sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:

1) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

2) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

3) Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

4) Bebas menentukan bentuk perjanjian dan;

5) Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan

orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III

38

KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak

dapat menyimpanginya kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya

memaksa.28

2. Asas konsensualisme.

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320

KUHPerdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa

setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang

dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (konsensus)

di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga

dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini

dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja

dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan

perjanjian konsensuil.

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau

dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang

menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena

adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang

28 Ahmadi Miru, loc. cit.

39

dirumuskan Pasal 1320 KUHPerdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta

notaries.

3. Asas pacta sunt servanda.

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat

“berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” pada akhir Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak

mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dari kalimat ini pula tersimpul

larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya hakim untuk mencampuri isi

perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas

ini disebut juga asas kepastian hukum.29

4. Asas itikad baik.

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang

merumuskan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun

bagi kreditur.

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda

(pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam

Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).30

29 M. Yahya Harahap, op. cit, h. 11.

30

Subekti IV, loc.cit.

40

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan pada

hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu

melanggar kepatutan dan keadilan.

5. Asas kepribadian (personality).

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat

pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata.

Pada Pasal 1315 dirumuskan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat

mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada

untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 merumuskan bahwa perjanjian-perjanjian

hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat

membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim

Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya

dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

2.3.4 Syarat sahnya perjanjian.

Syarat sahya suatu perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata

menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kecakapan melakukan perbuatan hukum;

3. Adanya obyek dan

4. Adanya causa yang halal.

41

Keempat hal tersebut dikemukakan sebagai berikut ini :

1. Kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak.

Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau

consensus para pihak. Kesepakatan ini dirumuskan dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu

orang atau lebih kepada pihak yang lain. Yang sesuai itu adalah pernyataannya,

karenya kehendak itu tidak dapat dilihat/ diketahui oleh orang lain. Ada lima cara

terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan :

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

3) Bahasa yang tidak sempurna asalkan dapat diterima oleh pihak lawan;

4) Bahasa isyarat asalkan dapat diterima oleh pihak lawan;

5) Diam atau membisu asalkan dapat dipahami oleh pihak lawan.31

Pada dasarnya, cara yang paling sering digunakan adalah dengan bahasa yang

sempurna baik secara lisan maupun tulisan. Tujuan dibuatnya perjanjian secara

tertulis adalah memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagi alat bukti

yang sempurna dikala timbul sengketa di kemudian hari.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian

kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga

dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang

31 Sudikno Mertokosumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pasca Sarjana

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, h. 7.

42

sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya

disebutkannya sepakat saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun

sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat

disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah

perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.32

Di dalam KUHPerdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di

dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat

itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau

penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara

masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan,

kekhilafan dan penipuan.

Menurut Soebekti, yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau

paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik/ physics). Selanjutnya

kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa

yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi

objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya

orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan

persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja

memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu

32

Subekti II, loc.cit.

43

muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan

demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan,

penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh

salah satu pihak.33

2. Kecakapan dalam bertindak.

Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dirumuskan bahwa :

“Setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh

undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap

untuk membuat suatu perjanjian”.

Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata merumuskan bahwa orang yang tidak

cakap membuat perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa;

2) Orang yang masih berada dibawah pengampuan;

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan

semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-

perjanjian tertentu.

Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan

hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

33

Subekti III, loc.cit.

44

2. Adanya hal tertentu (onderwerp der overeenskomst).

Adapun yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah

objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian

yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan

suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Prestasi ini terdiri dari

perbuatan positif dan negative. Prestasi terdiri atas :

1) Memberikan sesuatu;

2) Berbuat sesuatu;

3) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Misalnya, jual beli rumah, yang

menjadi prestasi/ pokok perjanjian adalah mnyerahkan hak milik atas rumah

tersebut dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu.34

Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) merumuskan bahwa suatu

perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang

yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah

asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

3. Adanya sebab / causa yang halal (geoorloofde oorzaak).

Adapun yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang

mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian

adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,35

sedangkan

34 M. Yahya Harahap, op. cit, h. 13.

35

Sri Soedewi Masjchon, loc.cit.

45

sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud

tiada lain daripada isi perjanjian.

Pada Pasal 1337 KUHPerdata ditentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang

halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan

ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak

halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.

Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya

berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak

terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan

perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah

pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya

atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa

yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia

sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut

hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu

atau kuratornya. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal

demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak

pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut

untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling

menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan

46

tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suatu perjanjian batal demi

hukum.36

2.4. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Nominee.

2.4.1. Pengertian perjanjian nominee

Dalam sistem hukum Indonesia, perjanjian nominee merupakan salah satu

bentuk perjanjian innominaat tidak diatur secara tegas dan khusus. Namun dalam

praktiknya banyak pihak yang menggunakan perjanjian nominee untuk membeli

properti atau berinvestasi di Indonesia.

Pada dasarnya perjanjian nominee di Indonesia bukanlah bentuk perjanjian

yang melanggar hukum meskipun belum diatur secara tegas dan khusus. Namun

apabila objek yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut tidak sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka hal

tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum. Khususnya apabila terjadi

sengketa diantara para pihak.

Perjanjian nominee merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan atas unsur

kepercayaan antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia untuk

mengikatkan dirinya atas dasar kesepakatan dan tanpa unsur paksaan. Dalam hal ini

warga negara asing membeli sebidang tanah dengan mengatasnamakan warga negara

Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa nominee merupakan perjanjian yang

dilakukan oleh warga negara asing dengan warga negara Indonesia dalam melakukan

36 Diana Kusumasari, loc. cit.

47

perbuatan hukum yaitu melakukan kegiatan jual beli atas objek tanah yang ada di

wilayah Indonesia dengan meminjam nama warga negara Indonesia yang untuk

selanjutnya warga negara Indonesia tersebut melakukan tindakan hukum dalam

proses transaksi jual beli berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan selanjutnya

melakukan pendaftaran di kantor pertanahan sesuai hak milik atas tanah yang tertera

atas nama warga negara Indonesia. Mengingat Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang

Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) merumuskan “Hanya Warga Negara

Indonesia yang dapat memiliki hak milik”. Dengan demikian, dalam hal pemilikan

tanah dengan titel hak milik hanya dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia dan

UUPA telah menutup kemungkinan bagi warga negara asing untuk mempunyai hak

milik atas tanah di Indonesia. Kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,

dan Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang

Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian Oleh Warga Negara Asing.37

Tampaknya kondisi tersebut di atas membuat warga negara asing yang

berkeinginan selain hanya untuk memiliki tanah atau rumah tempat tinggal di atas

tanah hak milik juga yang berkeinginan untuk menanamkan modalnya yang

berhubungan dengan penggunaan tanah di Indonesia. Adapun upaya untuk

memilikinya adalah dengan melakukan terobosan di bidang hukum dalam bentuk

perjanjian yang lazimnya disebut dengan perjanjian nominee.

37

A.P Perlindungan, 1984, Serba Serbi Hukum Agraria, Percetakan Offset Alumni Kotak Pos 272,

Bandung, (selanjutnya disingkat A.P. Parlindungan I), h. 44.

48

Karena terbentur undang-undang yang tidak mengijinkan warga negara asing

untuk memiliki hak milik atas tanah, maka orang asing cenderung bertindak sebagai

pemberi kuasa kepada nominee dalam melakukan transaksi jual beli tanah. Pemberian

kuasa yang diberikan orang asing kepada nominee tersebut didasarkan atas

kesepakatan kedua belah pihak yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian.

Suatu perjanjian nominee dibuat dengan maksud untuk memberi

kesempatan/celah kepada warga negara asing untuk menguasai dan memiliki bidang

tanah hak milik di Indonesia. Dimana warga negara asing membeli sebidang tanah

hak milik dengan menggunakan nama warga negara Indonesia, yaitu tanah hak milik

yang nyatanya dibeli oleh warga negara asing tersebut namun didaftarkan menjadi/ke

atas nama warga negara Indonesia, sementara itu guna kepastian hukum atas hak atas

tanah yang dibelinya tersebut antara warga negara asing dengan warga negara

Indonesia dibuatkan dalam suatu perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan

yang isinya bahwa warga negara Indonesia adalah orang yang hanya dipinjam

namanya dalam bukti hak milik (sertifikat) sedangkan pemilik sesungguhnya adalah

warga negara asing tersebut dan terobosan atau hal seperti inilah dalam kehidupan

masyakarat lazim disebut dengan perjanjian nominee.

Upaya lain yang sering digunakan warga negara asing untuk memiliki hak

milik atass tanah adalah dengan menggunakan kedok jual beli atas nama warga

negara Indonesia, sehingga secara yuridis formal tidak melanggar aturan. Namun

disamping itu dilakukan pembuatan perjanjian antara warga negara asing dengan

49

warga negara Indonesia dengan cara pemberian kuasa yang memberikan hak yang

tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan memberikan kewenangan bagi

penerima kuasa untuk melakukan segala sesuatu yang berkenan dengan hak atas

tanah tersebut, yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak

sehingga pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.38

38 Maria S.W. Sumardjono, 2009, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, PT

Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W. Sumardjono I), h. 166.