bab ii tinjauan umum batas penguasaan luas ......tanah. bentuk akta ppat ini dimuat dalam lampiran...

100
BAB II TINJAUAN UMUM BATAS PENGUASAAN LUAS HAK GUNA BANGUNAN OLEH BADAN HUKUM 2.1 Pengertian Penguasaan Hak Atas Tanah. Undang-Undang Pokok Agraria dengan mengacu pada landasan filosofis Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan bahwa Negara dikatakan sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “ Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai langsung oleh Negara”. Makna “dikuasai’ dalam substansi pasal di atas bukanlah berati “dimiliki”, akan tetapi merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk pada tingkatan yang tertinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Satjipto Rahardjo memberikan pandangannya dalam hal makna penguasaan. Penguasaan mempunyai unsur faktual dan adanya sikap batin. Unsur faktual adalah menunjukan adanya hubungan nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya, sehingga pada saat itu ia tidak memerlukan 57

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN UMUM BATAS PENGUASAAN LUAS

    HAK GUNA BANGUNAN OLEH BADAN HUKUM

    2.1 Pengertian Penguasaan Hak Atas Tanah.

    Undang-Undang Pokok Agraria dengan mengacu pada landasan filosofis

    Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    dijelaskan bahwa Negara dikatakan sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh

    rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat

    arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “ Bumi, air,

    dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada

    tingkatan yang tertinggi dikuasai langsung oleh Negara”.

    Makna “dikuasai’ dalam substansi pasal di atas bukanlah berati “dimiliki”,

    akan tetapi merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara

    sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk pada tingkatan yang

    tertinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

    persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat

    dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu. Menentukan dan

    mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum

    yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

    Satjipto Rahardjo memberikan pandangannya dalam hal makna

    penguasaan. Penguasaan mempunyai unsur faktual dan adanya sikap batin. Unsur

    faktual adalah menunjukan adanya hubungan nyata antara seseorang dengan

    barang yang ada dalam kekuasaannya, sehingga pada saat itu ia tidak memerlukan

    57

  • 58

    legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya. Unsur sikap batin

    artinya adalah adanya maksud untuk menguasai atau menggunakannya.1

    Konsep Hak Menguasai atau (memegang) kedudukan berkuasa atau bezit

    juga dapat ditemukan dalam Pasal 529 KUH Perdata disebutkan:

    “Yang dinamakan kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang yang

    menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri, maupun dengan

    perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku

    orang yang memiliki kebendaan itu”.

    Menurut rumusan Pasal 529 KUH Perdata di atas dapat diketahui bahwa

    pada dasarnya kedudukan berkuasa atau hak menguasai memberikan kepada

    pemegang haknya kedudukan berkuasa tersebut kewenangan untuk

    mempertahankan atau menikmati benda yang dikuasai tersebut sebagaimana

    layaknya seorang pemilik.2 Oleh karena itu, atas suatu benda yang tidak diketahui

    pemiliknya secara pasti, seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap

    sebagai pemilik dari kebendaan tersebut.

    Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk berada dalam kedudukan berkuasa,

    seseorang harus bertindak seolah-olah orang tersebut adalah pemilik dari benda

    yang berada di dalam kekuasaannya tersebut. Ini berarti hubungan hukum antara

    orang yang berada dalam kedudukan berkuasa dengan benda yang dikuasainya

    adalah suatu hubungan langsung antara subjek hukum dengan objek hukum yang

    melahirkan hubungan hukum kebendaan, yang memberikan kepada pemegang

    keadaan berkuasanya suatu hak kebendaan untuk mempertahankan terhadap setiap

    1 Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 104.

    2 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan

    Berkuasa & Hak Milik (dalam Sudut Pandang KUH Perdata), Kencana, Jakarta, hal. 14.

  • 59

    orang (droit de suite) dan untuk menikmati, memanfaatkan serta

    mendayagunakannya untuk kepentingan dari pemegang kedudukan berkuasa itu

    sendiri.

    Satjipto Rahardjo menyatakan penguasaan hak atas tanah dalam perspektif

    teoritik dalam Hukum Agraria Indonesia ialah :

    Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang

    yang ada dalam kekuasaannya. Pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi

    lain kecuali bahwa barang itu ada ditangannya. Pertanyaan yang menunjuk

    kepada adanya asas legalitas hukum dalam hal ini tidak diperlukan. Di

    samping kenyataan, bahwa suatu barang itu berada dalam kekuasaan

    seseorang masih juga perlu dipertanyakan sikap batin orang yang

    bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya itu, yaitu padanya apakah

    memang ada maksud untuk menguasai dan menggunakannya. Kedua unsur

    tersebut masing-masing disebut corpus possesionis dan animus posidendi.3

    Terhadap pendapat Satjipto Rahardjo di atas ada dua hal yang terkandung

    di dalam arti penguasaan. Hal yang pertama adalah pihak yang menguasai tidak

    memerlukan adanya legalitas hukum dan hal yang kedua barang itu berada dalam

    kekuasaan seseorang masih juga perlu dipertanyakan sikap batin orang yang

    bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya itu, yaitu padanya apakah

    memang ada maksud untuk menguasai dan menggunakannya. Kedua unsur

    tersebut masing-masing disebut corpus possesionis dan animus posidendi.

    Boedi Harsono dalam hubungannya dengan hak penguasaan atas tanah

    menyatakan bahwa konsep penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam

    arti yuridis serta beraspek perdata dan beraspek publik.4

    Penguasaan yuridis

    dilandasi hak yang dilindungi hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada

    pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Walaupun dalam

    3 Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah : Menemukan Keadilan, Kemanfaatan,

    dan Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah, PT. Prestasi Pustakaraya, Jakarta, hal. 50.

    4 Boedi Harsono, op.cit, hal. 23.

  • 60

    penguasaan secara yuridis memberi wewenang untuk menguasai tanah yang

    dihaki secara fisik namun dalam kenyataannya penguasaan fisiknya dapat

    dilakukan pihak lain, seperti jika tanah itu disewakan. Atau jika tanah itu dikuasai

    secara fisik pihak lain tanpa hak, maka pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan

    yuridisnya berhak menuntut diserahkannya kembali tanah dimaksud secara fisik

    kepadanya.

    Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban

    dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah

    yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat

    merupakan isi hak penguasaan itu dan menjadi kriteria atau sisi pembeda di antara

    hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah, seperti antara Hak

    Milik dengan Hak Guna Usaha.5

    Deskripsi di atas menunjukkan bahwa dalam penguasaan ada dua unsur

    yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, adanya kenyataan bahwa subjek menguasai

    atau menggunakan objek dimaksud; dan kedua, adanya sikap batin bahwa subjek

    dimaksud memang punya keinginan untuk menguasai atau menggunakan

    objeknya. Konsekuensinya pemegang kedudukan berkuasa mempunyai suatu hak

    untuk mempertahankan, menikmati, memanfaatkan, dan mendayagunakan benda

    yang ada dalam penguasaannya dengan tidak meninggalkan kewajibannya

    5 Ibid, hal. 24.

  • 2.2 Hak Guna Bangunan.

    Bentuk hak-hak atas tanah dalam UUPA diatur dalam ketentuan Pasal 16

    ayat (1) dinyatakan bahwa hak atas tanah sebagai mana yang dimaksud dalam

    Pasal 4 ayat (1) terdiri dari :

    a. Hak milik; b. Hak guna usaha; c. Hak guna bangunan; d. Hak pakai; e. Hak sewa; f. Hak membuka tanah; g. Hak memungut hasil hutan; h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

    akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya

    sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

    Pasal 16 ayat (2) selanjutnya ditentukan ketentuan mengenai hak-hak atas

    air dan ruang angkasa sesuai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ialah Hak

    Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, dan Hak Guna Ruang

    Angkasa.

    Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf c di atas, penulis berpandangan bahwa

    Hak Guna Bangunan merupakan salah satu jenis hak atas tanah yang telah diakui

    eksistensinya dalam Hukum Agraria Indonesia.

    Hak-hak atas tanah dari segi asal tanahnya dibedakan menjadi dua

    kelompok, yaitu :

    a. Hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang berasal dari Tanah Negara. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik,

    Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara, Hak Pakai atas Tanah Negara;

    b. Hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna

    Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah

    Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah

    Hak Milik, Hak Sewa untuk bangunan, Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak

  • 62

    Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak

    Sewa Tanah Pertanian.6

    Makna yang terdapat di dalam perbedaan hak-hak atas tanah dari segi asal

    tanahnya berdasarkan penjelasan di atas adalah hak atas tanah yang bersifat

    primer adalah hak atas tanah yang murni berasal dari Tanah Negara dan hak atas

    tanah bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.

    Hak Guna Bangunan memiliki beberapa konsep yang secara spesifik

    dibawah ini akan dijelaskan secara lebih lanjut:

    a. Pengertian Hak Guna Bangunan

    Hak Guna Bangunan menurut ketentuan Pasal 35 UUPA ditentukan

    sebagai berikut:

    Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai

    bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka

    waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan

    mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu

    tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak Guna

    Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

    UUPA dalam substansinya yang mengatur tentang Hak Guna Bangunan

    diatur dalam ketentuan Pasal 35 sampai dengan Pasal 40. Berdasarkan ketentuan

    Pasal 50 ayat (2) UUPA mengenai Hak Guna Bangunan secara lebih lanjut diatur

    dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang

    dimaksud disini adalah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak

    Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah yang diatur dalam

    ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 38 serta Peraturan Kepala Badan

    6 Urip Santoso I, op.cit, hal.91

  • 63

    Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan

    Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.

    b. Terjadinya Hak Guna Bangunan

    Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan terjadi pada

    tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Peraturan

    Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan

    Dan Hak Pakai Atas Tanah berdasarkan ketentuan Pasal 21 menyatakan bahwa

    terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB) berdasarkan asal tanahnya dapat

    dibedakan dan dijelaskan sebagai berikut :

    1. Hak Guna Bangunan atas Tanah negara.

    Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak yang

    diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 9 Peraturan

    Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan

    Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran

    Tanah. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak

    Guna Bangunan tersebut didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor

    Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.

    Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertifikat. Hal ini diatur dalam

    Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang

    Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

    2. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan.

    Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak atas usul

    pemegang Hak Pengelolaan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan

  • 64

    Nasional berdasarkan Pasal 4 Permen Agraria/Kepala Badan Pertanahan

    Nasional No.3 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan

    Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan yang kemudian diubah

    dengan Pasal 9 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun

    2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan

    Kegiatan Pendafataran Tanah.

    Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Guna

    Bangunan tersebut didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan

    Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Sebagai tanda

    bukti haknya, diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan. Hal ini diatur

    dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 40

    Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak

    Pakai Atas Tanah.

    3. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik.

    Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak

    Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

    Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan

    Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. Hal ini diatur

    dalam ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996

    tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas

    Tanah. Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam Lampiran Permen

    Agraria/Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997

  • 65

    tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

    1997 tentang Pendaftaran Tanah.

    Hak Guna Bangunan memiliki jangka watu yang berbeda-beda sesuai

    dengan asal tanahnya. Dasar hukum pengaturan jangka waktu Hak Guna

    Bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 Peraturan

    Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan

    Dan Hak Pakai Atas yaitu:

    1. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara.

    Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara berjangka waktu untuk pertama

    kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling

    lama 20 Tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30

    tahun.

    Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna

    Bangunan ini diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum

    berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau

    perpanjangannya. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak

    Guna Bangunan dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan

    Kabupaten/Kota setempat.

    Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak Guna Bangunan

    untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan

    adalah :

    a. Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;

    b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;

  • 66

    c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; d. Tanah tersebut masih sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (rtrw)

    yang bersangkutan.

    2. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan.

    Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk

    pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu

    paling lama 20 tahun, dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama

    30 tahun.

    Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan ini

    dilakukan atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah

    mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Permohonan

    perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan

    dilakukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka

    waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. Perpanjangan

    jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam Buku

    Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

    3. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik.

    Hak Guna Bangunan ini berjangka waktu paling lama 30 tahun dan tidak

    ada perpanjangan waktu. Namun atas kesepakatan pemilik tanah dengan

    pemegang Hak Guna Bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian Hak

    Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib

    didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

    Jaminan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan untuk

    kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan

  • 67

    pembaharuan Hak Guna Bangunan dapat dilakukan sekaligus dengan uang

    pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan

    permohonan Hak Guna Bangunan. Dalam hal uang pemasukan telah

    diabayar sekaligus untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna

    Bangunan maka pemohon yang akan memperpanjang Hak Guna Bangunan

    hanya akan dikenai biaya administrasi. Persetujuan untuk memberikan

    perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dan perincian uang

    pemasukan dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna

    Bangunan. Hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 28 Peraturan

    Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

    Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

    c. Subyek Pemegang Hak Guna Bangunan.

    Hak Guna Bangunan subjeknya menurut Pasal 36 UUPA jo. Pasal 19

    Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

    Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah adalah :

    1. Warga Negara Indonesia;

    2. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan

    berkedudukan di Indonesia (Badan Hukum Indonesia).

    Subjek Hak Guna Bangunan apabila tidak memenuhi syarat sebagai

    Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia, maka dalam waktu 1

    tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Bangunan tersebut kepada

  • 68

    pihak lain yang memenuhi syarat. Bila hal ini tidak dilakukan maka Hak Guna

    Bangunannya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi Tanah Negara.7

    d. Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan.

    Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan berdasarkan ketentuan Pasal

    30 dan 31 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

    Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas dinyatakan bahwa :

    a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;

    b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagai-mana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;

    c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;

    d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik

    sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;

    e. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.

    Substansi Pasal 31 tentang kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan

    dinyatakan bahwa :

    Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan

    atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau

    menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan

    air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan

    air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung

    itu.

    Hak pemegang Hak Guna Bangunan berdasarkan ketentuan Peraturan

    Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan

    Dan Hak Pakai Atas Tanah dinyatakan bahwa :

    Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan

    tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu

    untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau

    7 Urip Santoso I, op.cit, hal. 110

  • 69

    usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan

    membebaninya.

    e. Fungsi Hak Guna Bangunan.

    Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak

    Tanggungan yang diatur dalam ketentuan Pasal 39 UUPA jo Pasal 33 Peraturan

    Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan

    Dan Hak Pakai Atas Tanah. Prosedur Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan

    sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia

    Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-

    Benda Yang Berkaitan dengan Tanah Adalah:

    (1) Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notariil atau akta di bawah tangan sebagai perjanjian pokoknya;

    (2) Adanya penyerahan Hak Guna Bangunan sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat

    Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai perjanjian ikutan;

    (3) Adanya pendaftaran akta Pemberian Hak Tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku

    Tanah dan diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan.

    f. Hapusnya Hak Guna Bangunan.

    Hak Tanggungan hapus dengan hapusnya Hak Guna Bangunan. Prosedur

    pembebanan Hak Guna Bangunan dengan Hak Tanggungan ini diatur dalam

    Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 44 Peraturan

    Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 114 sampai

    dengan Pasal 119 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang

    Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

    Pendaftaran Tanah.

  • 70

    Berdasarkan Pasal 40 UUPA dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan hapus

    disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

    (1) Jangka waktunya berakhir; (2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

    dipenuhi;

    (3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; (4) Dicabut untuk kepentingan umum; (5) Ditelantarkan; (6) Tanahnya musnah; (7) Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).

    Hapusnya Hak Guna Bangunan lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 35

    Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

    Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah dijelaskan bahwa faktor-faktor penyebab

    hapusnya Hak Guna Bangunan adalah:

    (1) Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya;

    (2) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena:

    a. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Guna Bangunan.

    b. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara

    pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemilik tanah atau

    perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan.

    c. Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap; (3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka

    waktunya berakhir;

    (4) Hak Guna Bangunannya dicabut; (5) Ditelantarkan; (6) Tanahnya musnah; (7) Pemegang Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang

    Hak Guna Bangunan.

    Hapusnya Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara mengakibatkan

    tanahnya kembali menjadi Tanah Negara. Hapusnya Hak Guna Bangunan atas

    tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan

  • 71

    pemegang Hak Pengelolaan. Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik

    mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemilik tanah. Hal ini

    diatur dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang

    Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

    Hak Guna Bangunan yang sebelum jangka waktunya berakhir dicabut

    disebabkan oleh beberapa hal yaitu tanahnya diterlantarkan oleh pemegang Hak

    Guna Bangunan, tanahnya musnah, dan pemegang Hak Guna Bangunan tidak

    memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan yang diterbitkan dengan

    surat keputusan yang bersifat deklaratoir.

    Hapusnya Hak Guna Bangunan karena jangka waktunya berakhir

    dilepaskan secara sukarela oleh pemegang Hak Guna Bangunan. Hapusnya Hak

    Guna Bangunan karena dibatalkan oleh pejabat yang berwenang diterbitkan surat

    keputusan yang bersifat konstitutif. Surat keputusan yang bersifat konstitutif

    adalah surat keputusan yang berfungsi sebagai pembatalan terhadap hak atas tanah

    dikarenakan tidak dipenuhinya kewajiban tertentu oleh pemegang hak atas tanah.

    Sifat konstitutifnya adalah hak atas tanah yang bersangkutan baru hapus dengan

    dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Surat keputusan yang bersifat deklaratoir

    adalah surat keputusan yang berfungsi sebagai pernyataan tentang hapusnya hak

    atas tanah yang bersangkutan. Surat keputusan ini untuk hapusnya hak atas tanah

    yang terjadi karena hukum.

    Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang

    Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah mengatur

  • 72

    konsekwensi bagi bekas pemegang Hak Guna Bangunan atas hapusnya Hak Guna

    Bangunan, yaitu:

    (1) Apabila Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna

    Bangunan wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di

    atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong

    selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Guna

    Bangunan;

    (2) Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan, maka kepada bekas pemegang Hak Guna Bangunan diberikan ganti rugi yang

    bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;

    (3) Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan;

    (4) Jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah

    bekas Hak Guna Bangunan itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas

    pemegang Hak Guna Bangunan;

    (5) Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib

    menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang

    Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam

    perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian

    Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik.

    g. Beralihnya Hak Guna Bangunan.

    Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain yang

    diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (3) UUPA jo Pasal 34 Peraturan Pemerintah

    No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak

    Pakai Atas Tanah. Hak Guna Bangunan dapat beralih dengan cara pewarisan yang

    harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli

    waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat keterangan kematian

    pemegang Hak Guna Bangunan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti

    identitas para ahli warisnya dan sertipikat Hak Guna Bangunan yang

    bersangkutan.

  • 73

    Prosedur peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan diatur dalam

    Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak

    Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas jo Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24

    Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 111 dan Pasal 112 Permen

    Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

    Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

    Hak Guna Bangunan juga dapat dialihkan oleh pemegang Hak Guna

    Bangunan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna

    Bangunan. Bentuk dialihkan tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar,

    hibah, penyertaan dalam modal perusahaan yang harus dibuktikan dengan akta

    PPAT, sedangkan lelang dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh

    pejabat dari Kantor Lelang.

    Peralihan Hak Guna Bangunan tersebut harus didaftarkan kepada Kantor

    Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan

    dilakukan perubahan nama dalam sertipikat dari pemegang Hak Guna Bangunan

    yang lama kepada penerima Hak Guna Bangunan yang baru.

    Prosedur pemindahan Hak Guna Bangunan karena jual beli, tukar

    menukar, hibah, dan penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur

    dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

    Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 37 sampai

    dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

    Tanah jo Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3

  • 74

    Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24

    Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

    Prosedur pemindahan Hak Guna Bangunan karena lelang diatur dalam

    Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak

    Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 41 Peraturan Pemerintah No.

    24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110

    Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

    Dalam peralihan Hak Guna Bangunan ini ada ketentuan khusus, yaitu

    peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan

    persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Pengelolaan. Demikian

    pula dengan peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan

    persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah yang bersangkutan.

    h. Syarat-syarat Permohonan Hak Guna Bangunan.

    Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada: a. Warga Negara Indonesia

    b. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di

    Indonesia. Permohonan Hak Guna Bangunan diajukan secara tertulis dan

    Permohonan Hak Guna Bangunan memuat beberapa ketentuan:

    1. Keterangan mengenai pemohon. Apabila pemohon adalah perorangan,

    permohonan diajukan dengan memuat nama, umur, kewarganegaraan,

    tempat tinggal dan pekerjannya serta keterangan mengenai istri/suami dan

    anaknya yang masih menjadi tanggungannya. Apabila pemohon adalah

    Badan Hukum, maka permohonan yang diajukan memuat nama, tempat

  • 75

    kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik.

    a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat

    kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan

    rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah, putusan

    pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti

    perolehan tanah lainnya;

    b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar

    Situasi sebutkan tanggal dan nomornya);

    c. Jenis tanah (pertanian, non pertanian);

    d. Rencana penggunaan tanah;

    e. Status tanahnya (tanah hak milik perorangan atau tanah negara).

    3. Lain-lain :

    a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah

    yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;

    b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

    Permohonan Hak Guna Bangunan selain persyaratan tertulis di atas juga

    wajib dilampiri dengan:

    1. Non fasilitas Penanaman Modal.

    a. Mengenai pemohon.

    Jika perorangan wajib disertakan dengan foto copy surat bukti identitas

    dan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia. Jika pemohon

  • 76

    adalah Badan Hukum maka wajib dilampirkan foto copy akta atau

    peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukannya

    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    b. Mengenai tanahnya.

    Mengenai tanah yang akan dimohonkan Hak Guna Bangunan wajib

    dilengkapi dengan data yuridis dan data fisik. Data yuridis terdiri dari

    sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan

    pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari

    Pemerintah, Akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan

    surat-surat bukti perolehan tanah lainnya. Data fisik terdiri dari surat

    ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada serta surat lain yang

    dianggap perlu.

    c. Surat Lainnya

    Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status

    tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah

    yang dimohon.

    2. Fasilitas Penanaman Modal

    a. Foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan

    yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai

    badan hukum;

    b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang;

  • 77

    c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat

    izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang

    Wilayah;

    d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan

    kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas

    tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

    e. Persetujuan penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau

    Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari

    Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat

    persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman

    Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing;

    f. Surat ukur apabila ada.

    Pengaturan hal di atas dasar hukumnya diatur di dalam ketentuan Pasal 34

    Peraturan Meteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9

    Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah

    Negara Dan Hak Pengelolaan.

    2.3 Konsep Badan Hukum.

    Subyek Hukum mempunyai kedudukan dan peran yang penting dalam

    bidang hukum, khususnya hukum keperdataan. Pentingnya hal ini karena Subyek

    Hukum dapat mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Istilah

    Subyek Hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu rechtsubject atau

    law of subject (Inggris). Rechtsubject secara umum diartikan sebagai pendukung

  • 78

    hak dan kewajiban yaitu manusia dan Badan Hukum.8 Subyek Hukum adalah

    segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu-lintas

    hukum. Ruang lingkup Subyek Hukum adalah manusia (naturlijke persoon) dan

    Badan Hukum (rechtpersoon).9

    Manusia disamping sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga badan-

    badan atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai Subyek Hukum yang

    dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti

    manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki

    kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan perantaraan

    pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka Hakim. Badan-badan atau

    perkumpulan tersebut dinamakan Badan Hukum (rechtspersoon) yang berarti

    orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum. Jadi, ada suatu bentuk hukum

    (rechtsfiguur) yaitu Badan Hukum yang dapat mempunyai hak- hak, kewajiban-

    kewajiban hukum dan dapat mengadakan hubungan hukum.10

    E. Utrecht dalam pandangannya tentang Badan Hukum (rechtspersoon)

    menjelaskan bahwa Badan Hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa

    (berwenang) menjadi pendukung hak, yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang

    bukan manusia. Badan Hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala

    yang riil, merupakan fakta pergaulan hukum biarpun tidak berwujud manusia atau

    8 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media

    Group, Jakarta, hal. 40

    9 A. Ridwan Halim, 1985, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Cetakan Kedua, Ghalia

    Indonesia, Jakarta, hal. 29

    10 CST Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta, hal.

    216

  • 79

    benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya.11

    Badan Hukum adalah suatu

    realitas dalam pergaulan hukum yang memiliki sifat sama seperti manusia.12

    Konsep Badan Hukum pada hakikatnya merupakan hak dan kewajiban

    dari para anggotanya secara bersama-sama dan di dalamnya terdapat harta

    kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya

    menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu

    kesatuan yang tidak dapat di bagi-bagi itu, tetapi juga sebagai pemilik bersama

    untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap pribadi anggotanya adalah juga

    pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu.

    Penulis berpandangan dari pendapat sarjana di atas bahwa Badan Hukum

    pada intinya adalah sesuatu yang dianggap sama dengan manusia kodrati,

    sehingga dapat melakukan perjanjian, memiliki kekayaan, melakukan gugatan,

    dan dapat digugat. Perbedaannya dengan manusia adalah Badan Hukum tidak

    dapat melakukan perkawinan dan tidak dapat dipenjara. Tetapi badan hukum

    dapat dikenai hukuman denda atau administrasi.

    Badan Hukum untuk keikutsertaannya dalam pergaulan hukum harus

    mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu :

    a. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya;

    b. Hak dan kewajiban Badan Hukum terpisah dari hak dan kewajiban para

    anggotanya.13

    11 E. Utrecht dalam Neni Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis: Telaah tentang Pelaku dan

    Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 124

    12 Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2015, Implikasi Politik Hukum Pertanahan Nasional

    Terhadap Kedudukan Desa Pekraman Sebagai Subyek Hukum Hak Atas Tanah, (Disertasi),

    Program Studi Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar, hal. 54

    13 R. Soeroso, 2010, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 147

  • 80

    Kedua hal di atas merupakan syarat yang harus dimiliki oleh Badan

    Hukum di dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.

    Badan Hukum sebagai kumpulan manusia pribadi mungkin pula sebagai

    kumpulan dari Badan Hukum pengaturannya sesuai dengan hukum yang berlaku :

    a. Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Bab III bagian ketiga Buku I KUHD;

    b. Koperasi diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992; c. Yayasan, pengaturannya sesuai kebiasaan yang dibuat aktenya di notaris; d. Perbankan diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992; e. Bank pemerintah, sesuai dengan Undang-undang yang mengatur

    pendiriannya;

    f. Organisasi partai politik dan golongan karya diatur dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1978;

    g. Pemerintah daerah tingkat I, II dan kecamatan diatur dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1975;

    h. Negara Indonesia diatur dengan Konstitusi Undang-undang Dasar 1945.

    14

    Pasal 1653 KUH Perdata dalam ketentuannya dinyatakan tentang Badan

    Hukum bahwa :

    Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai Badan

    Hukum juga diakui undang-undang, entah Badan Hukum itu diadakan oleh

    kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula Badan Hukum

    itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu

    maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau

    kesusilaan.

    Konsep Badan Hukum dengan mengacu pada makna “perseroan perdata

    sejati dan kekuasaan umum” sesuai substansi ketentuan pasal di atas penulis

    berpandangan bahwa Badan Hukum pada prinsipnya terbagi atas dua yakni Badan

    Hukum Publik dan Badan Hukum Privat. Penulis mengutip substansi dalam buku

    yang berjudul “Perbandingan Hukum Perdata” karangan Soeroso dinyatakan

    14 Ibid

  • 81

    secara spesifik bahwa menurut bentuknya Badan Hukum dibedakan menjadi dua,

    yaitu :

    Badan Hukum Publik (publiek rechtspersoon);

    Badan Hukum Privat/Perdata (privat rechtspersoon).15

    1) Badan Hukum Publik (publiek rechtspersoon).

    Ialah Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Publik yang

    menyangkut kepentingan publik, orang banyak atau negara umumnya.

    Badan Hukum ini merupakan badan-badan hukum negara yang

    mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk

    oleh yang berkuasa, berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan

    secara fungsional oleh badan eksekutif, pemerintah atau badan pengurus

    yang diberi tugas untuk itu. Contoh Badan Hukum Publik adalah :

    a. Negara Republik Indonesia, dasarnya adalah Konstitusi tertulis

    dalam bentuk Undang-Undang Dasar, kekuasaannya

    diberikan/ditugaskan kepada Presiden dan pembantu-pembantunya

    ialah para Menteri;

    b. Pemerintah Daerah Tingkat I, II dan Kecamatan dibentuk

    berdasarkan Undang-undang lainnya. Dalam menjalankan

    kekuasaannya diberikan/ditugaskan kepada Gubernur/KDH Tk. I,

    Bupati atau Walikotamadya/ Kepala Daerah Tk. II dan Camat;

    c. Bank Indonesia, diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992,

    Bank Negara Indonesia 1946 diatur dalam Peraturan Pemerintah No.

    15 R. Soeroso, ibid, hal. 148

  • 82

    19 Tahun 1992, Bank Dagang Negara diatur dalam Peraturan

    Pemerintah No. 20 Tahun 1992, Bank Bumi Daya diatur dalam

    Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1992 dan Bank-bank

    Pemerintah lainnya, yang dalam menjalankan pelaksanaan tugas

    dilakukan oleh Direksi atau Group Direktur-direktur;

    d. Perusahaan Negara didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah,

    pengurusannya dilaksanakan oleh Direksi;

    e. Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1971.

    2) Badan Hukum Privat (privat rechtspersoon).

    a) Beberapa penjelasan.

    Badan Hukum Privat/Perdata atau sipil ialah badan hukum yang

    didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut

    kepentingan pribadi di dalam Badan Hukum itu. Badan Hukum ini

    merupakan Badan Hukum Swasta yang didirikan oleh pribadi orang itu

    untuk tujuan tertentu, yaitu mencari keuntungan, sosial, pendidikan,

    ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesenian, olah raga dan lain-

    lain sesuai dengan/menurut hukum yang berlaku secara sah. Bentuk

    dan susunannya diatur oleh hukum privat.

    Habib Adjie dalam bukunya yang berjudul “Status Badan

    Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan

    Terbatas” menjelaskan bahwa Badan Hukum Publik merupakan Badan

    Hukum yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah seperti Lembaga

    Negara Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Badan Usaha Milik

  • 83

    Negara/Daerah (BUMN/BUMD), dan Bank Negara. Sedangkan Badan

    Hukum Privat adalah Badan Hukum yang didirikan dan dimiliki oleh

    pihak swasta, yang menyangkut kepentingan orang atau individu-

    individu seperti Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Perkumpulan,

    Organisasi Masyarakat, dan sebagainya.16

    b) Menurut tujuannya Badan Hukum Privat dibagi/dibedakan dalam :

    Perserikatan dengan tujuan tidak materiil/amal;

    Contoh perserikatan dengan tujuan tidak materril/amal adalah

    Perkumpulan Gereja, Badan Wakaf dan Yayasan yang didirikan

    oleh pendiri, dengan tujuan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan,

    kesenian dan kebudayaan. Pengaturannya berdasarkan kebiasaan

    yang anggaran pendirinya dibuat oleh Notaris.

    Perserikatan dengan tujuan memperoleh laba;

    Contoh perserikatan dengan tujuan memperoleh laba adalah

    Perseroan Terbatas (PT). Untuk Perseroan didirikan oleh persero-

    persero yang bertujuan. Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh

    Direksi dan pengaturannya terdapat di dalam ketentuan Undang-

    Undang No. 48 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

    Perserikatan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan materiil

    para anggota-anggotanya;

    Contohnya adalah Koperasi yang didirikan oleh para anggota

    dengan sistem kekeluargaan dan usaha bersama, sesuai dengan

    16 Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial

    Perseroan Terbatas, CV. Mandar Maju, ((selanjutnya disingkat Habib Adjie I), hal.14.

  • 84

    kepribadian yang diatur dalam Undang-undang No. 25 Tahun

    1992. Dalam pelaksanaan kegiatan tugasnya dilakukan oleh

    pengurus

    Partai Politik dan golongan karya;

    Didirikan dan di masuki oleh warga negara sebagai alat demokrasi,

    yang mewakili kepentingan rakyat dalam badan perwakilan rakyat

    seperti MPR, DPR dan DPRD. Perundang-undangan yang

    mengaturnya ialah Undang-undang No. 3 Tahun 1975;

    Badan amal, wakaf, perkumpulan dan lain-lain semacamnya.

    Badan Hukum menurut jenisnya dibagi dalam dua jenis golongan yang

    terdiri dari :

    - Korporasi;

    - Yayasan.17

    1) Korporasi.

    Korporasi ialah suatu gabungan orang-orang yang dalam pergaulan hukum

    bertindak bersama sebagai satu subyek hukum tersendiri (personifikasi).

    Korporasi merupakan Badan Hukum yang beranggota, tetapi mempunyai

    hak/kewajiban sendiri. Ada beberapa macam korporasi, yaitu :

    Perhimpunan, yang dibentuk dengan sengaja atau sukarela oleh orang

    yang bermaksud memperkuat kedudukan ekonomi mereka,

    memelihara kebudayaan, mengurus soal-soal sosial dan lain

    sebagainya. Contohnya : Perseroan Terbatas, NV, PN;

    17 R. Soeroso, op.cit, hal. 151

  • 85

    Persekutuan orang (gemenschap van mensen), yang karena

    perkembangan faktor-faktor sosial dan politik dalam sejarah.

    Contohnya: Pemerintah Daerah Tk. I, II dan Desa;

    Organisasi orang, yang didirikan berdasarkan undang-undang tetapi

    bukan perhimpunan.

    2) Yayasan.

    Yayasan ialah tiap kekayaan (Vermogen) yang tidak merupakan kekayaan

    orang atau kekayaan badan dan yang diberi untuk tujuan tertentu. Yayasan

    adalah sebagai pendukung hak/kewajiban sendiri, dan didirikan oleh para

    pendiri/anggota dengan tujuan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan,

    kesenian dan kebudayaan. Pengaturannya dibuat oleh Notaris.

    Contoh : Yayasan Lektur Jakarta, Wakaf dalam hukum Islam.

    Catatan : Perbedaan antara Korporasi dan Yayasan. Yayasan menjadi

    Badan Hukum dengan tiada anggota tetapi mempunyai

    pengurus yang menyelenggarakan kekuasaan dan

    tujuannya. Korporasi mempunyai anggota dan pengurus

    yang menjalankan kegiatan tugasnya.

    Menurut tata/aneka warna hukum di Indonesia, Badan Hukum dibedakan

    dalam :

    1) Badan Hukum menurut Hukum Eropa ialah Badan Hukum yang diatur

    menurut hukum yang dikonkordasi dengan hukum yang berlaku di Negeri

    Belanda. Misalnya : Negara, PT, Perhimpunan-perhimpunan berdasarkan

    LNHB 1870 No. 64.

  • 86

    2) Badan Hukum menurut hukum bukan Eropa yang tertulis adalah Badan

    Hukum ini terkenal di bawah nama “Badan Hukum Indonesia”, ialah

    Badan Hukum menurut hukum undang-undang yang dibuat dengan

    mengingat pasal 131 ayat 2 sub b I.S : bilamana keperluan umum atau

    keperluan sosial orang bukan eropa memerlukannya (badan hukum menu-

    rut “fantasierecht”).

    Misal : Perhimpunan berdasarkan LNHB 1939 No. 570 jo. 1939 No. 717

    dan LN 1958 No. 139.

    3) Badan Hukum Adat adalah Badan Hukum menurut hukum bumi putera

    (yang pada umumnya tidak tertulis). Misal : Badan Wakaf, Yayasan-

    Yayasan.

    Pembentukan Badan Hukum sebagai subyek hukum eksistensinya didasari

    dengan beberapa teori-teori tentang dasar yuridis Badan Hukum yang

    mendukungnya. Teori tersebut adalah :18

    a. Teori Fiksi (F,C. von Savigny,C.W. Opzoomer dan Houwing). Menurut

    teori ini Badan Hukum dianggap buatan negara, sebenarnya Badan Hukum

    itu tidak ada, hanya orang menghidupkan bayangannya untuk

    menerangkan sesuatu dan terjadi karena manusia yang membuat

    berdasarkan hukum. Jadi merupakan orang buatan hukum persona ficta.

    b. Teori kekayaan tujuan (A. Brinz dan EJJ Van der Heyden). Menurut teori

    kekayaan Badan Hukum itu bukan kekayaan orang, tetapi kekayaan itu

    terikat pada tujuannya (zweck Vermögen). Tiap hak tidak ditentukan oleh

    18 R. Soeroso, op.cit, hal. 152-153

  • 87

    suatu tujuan. Menurut teori ini hanya manusialah yang menjadi Subyek

    Hukum dan Badan Hukum adalah untuk melayani kepentingan tertentu.

    Dalam teori ini A Brinz hanya dapat menerangkan dasar juridis dari

    Yayasan.

    c. Teori organ atau teori peralatan atau kenyataan (Otto von Gierke).

    Menurut teori ini Badan Hukum adalah sesuatu yang sungguh-sungguh

    ada di dalam pergaulan yang mewujudkan kehendaknya dengan

    perantaraan alat-alatnya (organ) yang ada padanya (pengurusnya), jadi

    bukanlah sesuatu yang fiksi tetapi merupakan makhluk yang sungguh-

    sungguh ada secara abstrak dari konstruksi yuridis.

    d. Teori milik kolektif (WLPA Molengraaff dan Marcel Planiol). Dalam teori

    ini Badan Hukum ialah harta yang tidak dapat dibagi-bagi dari anggota-

    anggota secara bersama-sama. Hak/kewajiban Badan Hukum pada

    hakikatnya adalah hak/kewajiban para anggota bersama-sama, oleh

    karenanya Badan Hukum konstruksinya hanya bersifat yuridis saja, dan

    pada hakikatnya abstrak.

    e. Teori Duguit.

    Sesuai dengan ajarannya tentang fungsi sosial maka juga dalam teori ini

    Duguit tidak mengakui adanya Badan Hukum sebagai Subyek Hukum

    hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilaksanakan. Manusia sajalah

    sebagai Subyek Hukum, lain daripada manusia tidak ada Subyek Hukum.

  • 88

    f. Teori Eggens.

    Dalam teori ini Badan Hukum adalah suatu hulpfiguur oleh karenanya

    keberadaanya diperlukan dan dibolehkan hukum untuk menjalankan hak-

    hak dengan sewajarnya (behoorlijk). Bahwa dalam hal-hal tertentu

    keperluan itu dirasakan, oleh karenanya hukum hendak memperlakukan

    suatu kumpulan orang yang bersama-sama mempunyai kekayaan dan

    tujuan tertentu sebagai suatu kesatuan, karena seorang Subyek Hukum

    (manusia) tidak dapat (berwenang) sendiri-sendiri bertindak dalam

    rangkaian peristiwa-peristiwa hukum itu.

    Mengacu dengan pendapat para ahli hukum di atas dapat disimpulkan

    bahwa Badan Hukum merupakan orang buatan hukum (persona ficta) yang

    dibentuk berdasarkan hukum karena keberadaanya diperlukan dan dibolehkan

    hukum untuk menjalankan hak-hak dengan sewajarnya (behoorlijk).

  • 89

    BAB III

    PENGATURAN PENGUASAAN HAK GUNA BANGUNAN YANG

    MELAMPAUI BATAS LUAS KETENTUAN UNDANG-UNDANG

    3.1. Kedudukan Badan Hukum dalam Penguasaan Hak Guna Bangunan.

    Nathaniel Lichfield dalam pandangannya sebagai seorang sarjana hukum

    menyatakan bahwa tanah diartikan sebagai sesuatu yang nyata terdiri dari

    permukaan fisik bumi serta benda yang ada di atasnya merupakan buatan

    manusia, yang disebut fixtures.19

    Dari pandangan Nathaniel Lichfield ini penulis

    berpandangan bahwa tanah adalah suatu benda yang berwujud nyata yang tidak

    bergerak yang meliputi permukaan fisik bumi serta tidak jarang ditemukan benda

    yang ada di atasnya dan benda ini merupakan hasil dari perbuatan manusia.

    Contoh konkritnya benda yang ada di atasnya dan benda ini merupakan hasil dari

    perbuatan manusia adalah suatu bangunan yang berada/didirikan di atas tanah Hak

    Pengelolaan.

    Hak Guna Bangunan sebagai salah satu jenis hak atas tanah eksistensinya

    diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan dinyatakan bahwa hak-hak

    atas tanah terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak

    Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, serta Hak Memungut Hasil Hutan.

    UUPA memberikan pengaturan secara khusus dalam ketentuan Pasal 36

    ayat (1) tentang kedudukan Badan Hukum dalam hal penguasaan Hak Guna

    Bangunan dan dijelaskan bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan

    19

    Nathaniel Lichfield and Haim Drabkin, 1980, Land Policy in Planning, (London: George

    Allen & Unwin Ltd), p. 13.

    89

  • 90

    adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut

    Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal

    36 ayat (1) tersebut penulis dapat simpulkan bahwa yang dapat memiliki Hak

    Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang

    didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

    Ketentuan Hukum bagi Badan Hukum dalam sistem Hukum Agraria yang

    berlaku di Indonesia terkait dengan hak-hak atas tanah terdapat perbedaan

    pengaturan dalam penerapannya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

    Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat

    Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dalam ketentuan Pasal 1 menyatakan bahwa :

    Badan-Badan Hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik

    atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasal-

    pasal 2, 3 dan 4 peraturan ini :

    a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);

    b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang- undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran

    Negara Tahun 1958 No. 139);

    c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;

    d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

    Ketentuan pasal di atas menyatakan secara tegas bahwa Badan Hukum

    yang masuk dalam kualifikasi ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik

    Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang

    Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dapat memiliki Hak Milik atas tanah.

    Dengan adanya perturan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

    38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat

    Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dan dengan mengacu pada Pasal 36 ayat 1

  • 91

    UUPA penulis berpandangan bahwa Badan Hukum yang dapat menguasai Hak

    Guna Bangunan adalah Badan Hukum yang berbentuk privat bukan Badan

    Hukum yang berbentuk publik mengingat UUPA tidak mengatur secara tegas

    Badan Hukum mana yang dimaksud.

    Badan Hukum terkait dengan penguasaan hak-hak atas tanah khususnya

    dalam hal ini Hak Guna Bangunan dijelaskan dalam Peraturan Kepala Badan

    Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang

    Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran

    Tanah dalam ketentuan Pasal 4 dinyatakan bahwa :

    a. Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya tidak

    lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi);

    b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi) dan;

    c. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.

    Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

    Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas

    Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah secara tegas mengatur tentang

    penguasaan tanah yang dapat dikuasai dengan Hak Guna Bangunan oleh Badan

    Hukum adalah seluas 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi) setara dengan 2

    Hektar.

    Badan Hukum dalam kedudukannya terkait dengan penguasaan Hak Guna

    Bangunan pengaturannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 9 Peraturan

    Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013

    tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan

  • 92

    Pendaftaran Tanah secara eksplisit dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah

    Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi keputusan mengenai:

    a. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan tidak

    lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi);

    b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak

    lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi).

    Ketentuan Pasal 9 di atas berarti bahwa bahwa Kepala Kantor Wilayah

    Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi keputusan mengenai Hak Guna

    Bangunan untuk perseorangan penguasaan luasnya di atas 3000 M2 dan tidak

    lebih dari 10.000 M2 sedangkan untuk Badan Hukum batas penguasaannya adalah

    dapat menguasai lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak

    lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi).

    Pasal 77 sampai dengan Pasal 81 Permen Agraria/Kepala Badan

    Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 terkait dengan teknis yuridis pengukuran

    tanah sebelum izin pendaftaran Hak Guna Bangunan diterbitkan serta optimalisasi

    tenaga dan peralatan pengukuran menyatakan secara tegas bahwa :

    1. Pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya 10 Ha, dilaksanakan oleh

    Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi setempat.

    2. Pengukuran bidang tanah yang luasnya lebih dari 1000 Ha dilaksanakan

    oleh Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan hasilnya disampaikan

    kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

  • 93

    3.2. Kewajiban dan Hak Badan Hukum dalam Penguasaan Hak Guna

    Bangunan.

    Tanah memiliki peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan

    bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang

    diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang

    adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945. Pengaturan penguasaan, pemilikan dan

    penggunaan tanah perlu lebih diarahkan untuk terjaminnya tertib hukum di bidang

    hukum pertanahan yang terdiri dari tertib administrasi pertanahan, tertib

    penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan tertib lingkungan hidup,

    sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat

    terwujud.

    Kewajiban dan hak Badan Hukum dalam penguasaan Hak Guna Bangunan

    diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996

    tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

    dinyatakan dalam ketentuan Pasal 30 bahwa pemegang Hak Guna Bangunan

    berkewajiban:

    a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;

    b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;

    c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;

    d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik

    sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;

    e. Menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.

  • 94

    Pasal 30 penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas. Dengan

    mengacu pada substansi Pasal 30 di atas penulis berpandangan bahwa pemegang

    Hak Guna Bangunan wajib untuk membayar uang pemasukan yang jumlah dan

    cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya,

    menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana

    ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya, memelihara dengan

    baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian

    lingkungan hidup, menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna

    Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik

    sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus dan menyerahkan sertipikat Hak Guna

    Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.

    Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan secara lebih lanjut diatur

    dalam ketentuan Pasal 31 dinyatakan bahwa jika tanah Hak Guna Bangunan

    karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya

    sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah

    lain dari lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib

    memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau

    bidang tanah yang terkurung itu. Penjelasan substansi Pasal 31 adalah Pemberian

    Hak Guna Bangunan tidak boleh mengakibatkan tertutupnya penggunaan dari segi

    fisik tanah yang terkurung oleh tanah Hak Guna Bangunan itu. Oleh karena itu

    pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan kesempatan kepada pemegang

    hak atas tanah yang terkurung memiliki akses yang diperlukan.

  • 95

    Dapat disimpulkan dari makna substansi ketentuan pasal di atas adalah

    pemegang Hak Guna Bangunan tidak boleh merugikan pemegang hak atas tanah

    lainnya dan penggunaannya tidak boleh sampai mengganggu bidang tanah lain

    dari lintas umum atau jalan air.

    Hak Badan Hukum sebagai pemegang Hak Guna Bangunan secara tegas

    diatur di dalam ketentuan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

    Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak

    Pakai Atas Tanah. Substansi ketentuan pasal ini menyatakan bahwa pemegang

    Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang

    diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan

    dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk

    mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. Penjelasan

    substansi ketentuan Pasal 32 menyatakan bahwa hak untuk mendirikan dan

    mempunyai bangunan dapat dilaksanakan dengan mengadakan kerjasama dengan

    pihak lain.

    Dapat disebutkan makna yang terdapat di dalam substansi ketentuan pasal

    di atas adalah bahwa pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan

    mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu

    tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan, untuk keperluan pribadi

    atau usahanya, serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan

    membebaninya atas persetujuan dari si pemilik tanah dan sesuai dengan perjanjian

    pemberian Hak Guna Bangunan yang dibuat dengan akta otentik melalui PPAT.

  • 96

    3.3. Analisis Pengaturan Penguasaan Hak Guna Bangunan yang Melampaui

    Batas Luas Ketentuan Undang-Undang di Indonesia serta

    Perbandingannya dengan Negara Lain.

    Penguasaan Hak Guna Bangunan memiliki keterkaitan dengan

    penatagunaan tanah. Fungsi penatagunaan tanah sangat diperlukan untuk

    menyesuaikan dengan Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi

    pengolahan dan penyimpanan data terkait berbagai jenis hak-hak atas tanah yang

    terdapat di dalam ketentuan UUPA.20

    Pengaturan terkait dengan berbagai jenis hak-hak atas tanah diatur dalam

    ketentuan Pasal 16 UUPA dan merupakan bagian dari Hukum Agraria Nasional

    yang landasan hukumnya bersumber dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-

    Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: “Bumi, air, dan

    kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan

    untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini mengandung tiga

    prinsip yaitu :

    1. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara;

    2. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa indonesia harus menggunakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

    sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat;

    3. Hubungan antar negara dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan hubungan menguasai.

    Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945 menjadi pedoman bagi pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun

    1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik

    20 Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada Media

    Group, Jakarta, hal.8

  • 97

    Indonesia Tahun 1960 No. 104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    No. 2043, atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Pasal 2 UUPA menyatakan

    bahwa :

    (1) Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud

    dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam

    yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh

    Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat;

    (2) Hak menguasai Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi

    wewenang untuk :

    a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

    b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

    c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,

    air, dan ruang angkasa.

    (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut

    pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya

    kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan

    kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang

    merdeka, berdaulat, adil dan makmur;

    (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat

    dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat

    hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan

    kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan pemerintah.

    Hak menguasai Negara untuk mengatur hubungan-hubungan hukum

    antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa dengan mengacu pada

    Pasal 2 UUPA di atas adalah bersifat abadi dan digunakan untuk mencapai

    sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan

    kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka,

    berdaulat, adil dan makmur.

    Pemerintah memiliki peran penting dalam penatagunaan tanah dalam hal

    penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum. Peran pemerintah disini

  • 98

    adalah untuk membuat suatu rencana umum (national planning) yang meliputi

    seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana khusus

    (regional planing).21

    Peran penting pemerintah terkait dengan hal ini dapat

    diwujudkan dalam bentuk representasinya secara konkrit yang diwakili oleh

    Badan Pertanahan Nasional dalam pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan

    bagi Badan Hukum yang dimulai secara nasional dan selanjutnya berlanjut

    kedaerah-daerah dengan menyesuaikan pada keadaan geografis wilayah.

    R. Soeprapto memberikan pendapatnya terkait dengan penataagunaan

    tanah :

    “Tata guna tanah merupakan rangkaian kegiatan penataan peruntukan,

    penggunaan, dan persediaan tanah secara berencana dan teratur, sehingga

    diperoleh manfaat yang lestari optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat”.22

    Mengutip pendapat dari R. Soeprapto di atas terkait dengan arti

    penataagunaan tanah dapat dikaji bahwa penatagunaan tanah adalah kegiatan

    penataan tanah yang dilakukan oleh pemerintah yang digunakan untuk sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat dengan pemanfaatan persediaan tanah secara teratur

    dan optimal.

    Urip Santoso menjelaskan lebih lanjut tentang tata guna tanah adalah

    rangkaian kegiatan penataan penyediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah

    secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Dalam tata

    guna tanah terdapat rangkaian kegiatan berupa penyediaan, peruntukan, dan

    21 Urip Santoso I, op.cit, hal. 246

    22 R. Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktik, Universitas Indonesia

    Press, Jakarta, hal. 75.

  • 99

    penggunaan tanah, sedangkan tujuan tata guna tanah adalah untuk sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat.23

    Pengertian pengelolaan tata guna tanah atau penatagunaan tanah dalam

    hukum positif dimuat dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 26

    Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah

    No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yaitu :

    Penatagunaan tanah sama dengan pengelolaan tata guna tanah, yang meliputi

    penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi

    pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan

    pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan

    masyarakat secara adil.

    Penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas.

    Mengacu pada Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007

    tentang Penataan Ruang jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun

    2004 tentang Penatagunaan Tanah, penulis berpandangan bahwa penguasaan Hak

    Guna Bangunan yang dilakukan oleh Badan Hukum hendaknya melalui

    pengaturan oleh kelembagaan yang terkait serta pemanfaatan tanah sebagai satu

    kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil, tidak saja memberikan

    keuntungan bagi masyarakat menengah keatas namun juga bagi masyarakat

    menengah kebawah.

    Muchsin dan Imam Koeswahyono menyatakan bahwa ada empat unsur

    esensial dalam penatagunaan tanah, yaitu:24

    1. Adanya serangkaian kegiatan/aktivitas, yaitu pengumpulan data lapangan tentang penggunaan, penguasaan, kemampuan fisik, pembuatan

    23 Urip Santoso I, loc.cit

    24 Muchsin dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan

    Tanah Dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Muchsin dan Imam

    Koeswahyono, II) hal. 48-49.

  • 100

    rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan, dan keterpaduan yang

    dilakukan secara integral dan koordinasi dengan instansi lain;

    2. Dilakukan secara berencana dalam arti harus sesuai dengan prinsip lestari, optimal, serasi, dan seimbang;

    3. Adanya tujuan yang hendak dicapai, yaitu sejalan dengan tujuan pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

    4. Harus terkait langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan memerhatikan daftar skala prioritas (dsp).

    Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan hendaknya memperhatikan

    empat unsur esensial dalam penata gunaan tanah yakni adanya pengumpulan data

    fisik dan data yuridis lapangan, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah,

    penguasaan, dan keterpaduan yang dilakukan secara integral dan koordinasi de-

    ngan instansi lain. Dilakukan secara berencana dengan prinsip lestari, optimal,

    serasi, dan seimbang. Memiliki tujuan yang hendak dicapai sejalan dengan tujuan

    pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan harus memiliki

    keterkaitan langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan

    memerhatikan Daftar Skala Prioritas (DSP) serta mempertimbangkan aspek

    geografis wilayah.

    Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang

    melampaui batas luas ketentuan undang-undang sampai saat ini masih terdapat

    kekosongan hukum. UUPA secara tegas menganut sistem pembatasan pemilikan

    tanah yang diatur di dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA kemudian

    ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

    Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian

    Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 7 dan Pasal

    17 UUPA menyatakan bahwa :

  • 101

    Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan

    tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

    Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan

    yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau

    minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam

    Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. Penetapan batas maksimum

    termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan

    di dalam waktu yang singkat.Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari

    batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah

    dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang

    membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

    Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan

    ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-

    angsur.

    Pasal dan 7 dan Pasal 17 di atas menunjukan adanya prinsip pembatasan

    tanah yang dianut oleh UUPA. Pembatasan penguasaan dan kepemilikan hak atas

    tanah lebih lanjut secara sepesifik ketentuannya diatur dalam Peraturan Kepala

    Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang

    Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran

    Tanah yang dibawah ini penulis tampilkan dalam bentuk tabel.

    No Jenis Hak-Hak

    Atas Tanah

    Pengaturan

    Pasal

    Luas

    1. Hak Milik Pasal 7 - Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari

    50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi) dan

    tidak lebih dari luas batas maksimum

    kepemilikan tanah pertanian perorangan.

    - Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari

    3.000 M² (tiga ribu meter persegi) dan tidak

    lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter

    persegi);

    - Pemberian Hak Milik untuk Badan Hukum Keagamaan dan sosial yang telah ditetapkan

    berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38

    Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan

    Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas

    Tanah, atas tanah non pertanian yang luasnya

  • 102

    lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter

    persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus

    lima puluh ribu meter persegi).

    Penjelasan pasal demi pasal : Cukup Jelas

    2. Hak Guna

    Usaha

    Pasal 8 Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional

    memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna

    Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari

    2.000.000 M2 (dua juta meter persegi).

    Penjelasan pasal demi pasal : Cukup jelas

    3. Hak Guna

    Bangunan

    Pasal 9 - Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih

    dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan

    tidak lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter

    persegi);

    - Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya lebih dari

    20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan

    tidak lebih dari 150.000 M2 (seratus lima

    puluh ribu meter persegi)

    Penjelasan pasal demi pasal : Cukup jelas

    4. Hak Pakai Pasal 10 - Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya

    lebih dari 50.000 m² (lima puluh ribu meter

    persegi) dan tidak lebih dari 100.000 m²

    (seratus ribu meter persegi).

    - Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang

    luasnya lebih dari 3.000 m² (tiga ribu meter

    persegi) dan tidak lebih dari 10.000 m2

    (sepuluh ribu meter persegi);

    - Pemberian Hak Pakai untuk badan hukum swasta, BUMN/BUMD atas tanah non

    pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M²

    (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih

    dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu meter

    persegi).

    Penjelasan pasal demi pasal: Cukup jelas

    Substansi beberapa ketentuan pasal di atas secara tegas telah mengatur

    pembatasan kepemilikan tanah terkait dengan hak-hak atas tanah yakni Hak

  • 103

    Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dalam relevansinya

    terhadap permasalahan dalam penelitian ini masih terdapat kekosongan hukum di

    dalam UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

    Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian

    Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah terkait dengan pengaturan

    penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-

    undang.

    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

    Perundang-Undangan dalam ketentuan Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam

    membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada

    asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi :

    a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis, hierarkhi, dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan.

    UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

    Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian

    Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah belum sepenuhnya

    mengakomodir apa yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 5 huruf (f) Undang-

    Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang kejelasan rumusan

    terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum

    yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang.

  • 104

    Hal ini penting adanya agar setiap peraturan perundang-undangan yang

    dibentuk harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-

    undangan yang terdiri dari sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa

    hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai

    macam interpretasi dalam pelaksanaanya serta memberikan kepastian hukum

    dalam hal terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Subyek Hukum

    Penulis dengan mengacu pada Teori Kepastian Hukum terkait kekosongan

    hukum yang terdapat pada UUPA dalam hal pengaturan penguasaan Hak Guna

    Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang dinyatakan

    bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk hendaknya

    memberikan suatu norma yang memiliki nilai kepastian hukum yang di dalamnya

    terdapat dua substansi penting. Substansi yang pertama adalah adanya

    ketentuan/aturan yang bersifat umum dapat memberikan pemahaman kepada

    Subyek Hukum yang terdiri dari Orang atau Badan Hukum untuk mengetahui

    perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Substansi yang kedua

    adalah merupakan jaminan perlindungan hukum bagi Subyek Hukum dari

    kesewenang-wenangan tindakan pemerintah.

    Eksistensi adanya ketentuan aturan hukum yang bersifat umum memiliki

    fungsi bagi Badan Hukum untuk dapat mengetahui dan memahami terkait dengan

    hal-hal apa saja yang dapat dibebankan atau dilakukan Negara terhadapnya.

    Secara konkritnya dalam hal ini adalah terkait dengan pengaturan penguasaan Hak

    Guna Bangunan terhadap Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan

    undang-undang. Substansi jaminan perlindungan hukum bagi Subyek Hukum dari

  • 105

    kesewenang-wenangan tindakan pemerintah memberikan arti bahwa dalam hal

    terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Badan Hukum dalam hal

    penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-

    undang dalam hal ini sanksinya hanya dapat diberikan atas dasar ketentuan

    undang-undang yang berlaku. Tidak berdasarkan kesewenang-wenangan

    pemerintah.

    Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang

    melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim

    yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di

    putuskan.25

    Pembentukan norma terkait adanya kokosongan hukum pengaturan

    penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum dengan melebihi batas luas

    ketentuan undang-undang yang tidak diatur dalam ketentuan UUPA dan Peraturan

    Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013

    tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan

    Pendaftaran Tanah harus berlandaskan nilai-nilai keadilan di dalamnya.

    Aristoteles memformulasikan dalam ruang lingkup Filsafat Hukum bahwa

    keadilan dibedakan menjadi 2 (dua) hal yaitu keadilan distributif dan keadilan

    korektif. Hal ini menjadi dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok

    persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa

    kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan

    perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before

    25 Peter Mahmud Marzuki, loc.cit

  • 106

    the law).26

    Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang dimaksudkan untuk

    mengembalikan keseimbangan, ketika keseimbangan yang ada terganggu oleh

    tindakan yang salah. Keadilan ini bermaksud mengembalikan kondisi atau posisi

    yang terganggu menjadi seperti sedia kala.27

    Keadilan menurut Jhon Rawls dijelaskan lebih lanjut bahwa keadilan tidak

    saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan

    mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum

    turut serta dalam mendukung upaya tersebut.28

    UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

    Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian

    Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah belum memberikan pengaturan

    yang adil terkait dengan Penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum

    yang melampaui luas ketentuan undang-undang. Mengutip pendapat Jhon Rawls

    tentang teori keadilannya di atas dapat disebutkan bahwa di dalam membentuk

    suatu ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keadilan dan

    daya paksa dalam hal apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan yang tidak saja

    meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan tentang

    perlu adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini harus mencerminkan nilai

    keadilan dan hukum di dalamnya turut serta dalam mendukung upaya tersebut.

    Aktualisasi teori keadilan dari Jhon Rawls harus harus benar-benar dilaksanakan

    oleh para legislator dalam membentuk undang-undang atau peraturan hukum

    lainnya.

    26 Khudzaifah Dimyati, loc.cit

    27 Sutarman Yodo, loc.cit

    28

    Jhon Rawls dalam Bambang Kusumo, loc.cit

  • 107

    Membentuk suatu undang-undang yang memiliki nilai kepastian hukum,

    kemanfaatan dan keadilan harus sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan

    Perundang-undangan yang baik. Teori pembentukan peraturan perundang-

    undangan dikemukakan oleh Lon Fuller dalam bukunya In The Morality of Law,

    Fuller identifies eight requirements of the rule of law:

    Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting

    behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or

    publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law

    requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought

    to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the

    past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the

    laws prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One

    law cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the

    impossible (#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make

    on citizens should remain relatively constant (#7). Finally, there should be

    congruence between what written statute declare and how officials enforce

    those statutes (#8).29

    Berdasarkan uraian teori hukum dari Lon Fuller di atas dengan

    mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles

    Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan

    perundang-undangan yaitu:

    1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh berlaku khusus atau untuk individu tertentu;

    2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan

    secara luas;

    3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-

    undang harus bersifat prospefektif;

    4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi

    di massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum

    harus jelas;

    29 Lon Fuller, loc.cit

  • 108

    5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa

    yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh

    bertentangan satu dengan lainnya. (sistem hukum tidak boleh

    mengandung peraturan yang kontradiktif);

    6. Suatu undang-undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundang-undangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau

    menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus

    menjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya;

    7. Undang-undang tidak boleh sering berubah. Apa yang diminta oleh undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap;

    8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan

    statuta atau peraturan-peraturan tersebut.30

    Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik guna memberikan

    adanya kepastian hukum hendaknya dibentuk dengan mengacu pada prinsip-

    prinsip pembentu