bab ii tinjauan umum batas penguasaan luas ......tanah. bentuk akta ppat ini dimuat dalam lampiran...
TRANSCRIPT
-
BAB II
TINJAUAN UMUM BATAS PENGUASAAN LUAS
HAK GUNA BANGUNAN OLEH BADAN HUKUM
2.1 Pengertian Penguasaan Hak Atas Tanah.
Undang-Undang Pokok Agraria dengan mengacu pada landasan filosofis
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dijelaskan bahwa Negara dikatakan sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh
rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat
arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “ Bumi, air,
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada
tingkatan yang tertinggi dikuasai langsung oleh Negara”.
Makna “dikuasai’ dalam substansi pasal di atas bukanlah berati “dimiliki”,
akan tetapi merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara
sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk pada tingkatan yang
tertinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat
dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu. Menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Satjipto Rahardjo memberikan pandangannya dalam hal makna
penguasaan. Penguasaan mempunyai unsur faktual dan adanya sikap batin. Unsur
faktual adalah menunjukan adanya hubungan nyata antara seseorang dengan
barang yang ada dalam kekuasaannya, sehingga pada saat itu ia tidak memerlukan
57
-
58
legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya. Unsur sikap batin
artinya adalah adanya maksud untuk menguasai atau menggunakannya.1
Konsep Hak Menguasai atau (memegang) kedudukan berkuasa atau bezit
juga dapat ditemukan dalam Pasal 529 KUH Perdata disebutkan:
“Yang dinamakan kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang yang
menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri, maupun dengan
perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku
orang yang memiliki kebendaan itu”.
Menurut rumusan Pasal 529 KUH Perdata di atas dapat diketahui bahwa
pada dasarnya kedudukan berkuasa atau hak menguasai memberikan kepada
pemegang haknya kedudukan berkuasa tersebut kewenangan untuk
mempertahankan atau menikmati benda yang dikuasai tersebut sebagaimana
layaknya seorang pemilik.2 Oleh karena itu, atas suatu benda yang tidak diketahui
pemiliknya secara pasti, seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap
sebagai pemilik dari kebendaan tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk berada dalam kedudukan berkuasa,
seseorang harus bertindak seolah-olah orang tersebut adalah pemilik dari benda
yang berada di dalam kekuasaannya tersebut. Ini berarti hubungan hukum antara
orang yang berada dalam kedudukan berkuasa dengan benda yang dikuasainya
adalah suatu hubungan langsung antara subjek hukum dengan objek hukum yang
melahirkan hubungan hukum kebendaan, yang memberikan kepada pemegang
keadaan berkuasanya suatu hak kebendaan untuk mempertahankan terhadap setiap
1 Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 104.
2 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan
Berkuasa & Hak Milik (dalam Sudut Pandang KUH Perdata), Kencana, Jakarta, hal. 14.
-
59
orang (droit de suite) dan untuk menikmati, memanfaatkan serta
mendayagunakannya untuk kepentingan dari pemegang kedudukan berkuasa itu
sendiri.
Satjipto Rahardjo menyatakan penguasaan hak atas tanah dalam perspektif
teoritik dalam Hukum Agraria Indonesia ialah :
Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang
yang ada dalam kekuasaannya. Pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi
lain kecuali bahwa barang itu ada ditangannya. Pertanyaan yang menunjuk
kepada adanya asas legalitas hukum dalam hal ini tidak diperlukan. Di
samping kenyataan, bahwa suatu barang itu berada dalam kekuasaan
seseorang masih juga perlu dipertanyakan sikap batin orang yang
bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya itu, yaitu padanya apakah
memang ada maksud untuk menguasai dan menggunakannya. Kedua unsur
tersebut masing-masing disebut corpus possesionis dan animus posidendi.3
Terhadap pendapat Satjipto Rahardjo di atas ada dua hal yang terkandung
di dalam arti penguasaan. Hal yang pertama adalah pihak yang menguasai tidak
memerlukan adanya legalitas hukum dan hal yang kedua barang itu berada dalam
kekuasaan seseorang masih juga perlu dipertanyakan sikap batin orang yang
bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya itu, yaitu padanya apakah
memang ada maksud untuk menguasai dan menggunakannya. Kedua unsur
tersebut masing-masing disebut corpus possesionis dan animus posidendi.
Boedi Harsono dalam hubungannya dengan hak penguasaan atas tanah
menyatakan bahwa konsep penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam
arti yuridis serta beraspek perdata dan beraspek publik.4
Penguasaan yuridis
dilandasi hak yang dilindungi hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada
pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Walaupun dalam
3 Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah : Menemukan Keadilan, Kemanfaatan,
dan Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah, PT. Prestasi Pustakaraya, Jakarta, hal. 50.
4 Boedi Harsono, op.cit, hal. 23.
-
60
penguasaan secara yuridis memberi wewenang untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik namun dalam kenyataannya penguasaan fisiknya dapat
dilakukan pihak lain, seperti jika tanah itu disewakan. Atau jika tanah itu dikuasai
secara fisik pihak lain tanpa hak, maka pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan
yuridisnya berhak menuntut diserahkannya kembali tanah dimaksud secara fisik
kepadanya.
Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban
dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah
yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat
merupakan isi hak penguasaan itu dan menjadi kriteria atau sisi pembeda di antara
hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah, seperti antara Hak
Milik dengan Hak Guna Usaha.5
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa dalam penguasaan ada dua unsur
yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, adanya kenyataan bahwa subjek menguasai
atau menggunakan objek dimaksud; dan kedua, adanya sikap batin bahwa subjek
dimaksud memang punya keinginan untuk menguasai atau menggunakan
objeknya. Konsekuensinya pemegang kedudukan berkuasa mempunyai suatu hak
untuk mempertahankan, menikmati, memanfaatkan, dan mendayagunakan benda
yang ada dalam penguasaannya dengan tidak meninggalkan kewajibannya
5 Ibid, hal. 24.
-
2.2 Hak Guna Bangunan.
Bentuk hak-hak atas tanah dalam UUPA diatur dalam ketentuan Pasal 16
ayat (1) dinyatakan bahwa hak atas tanah sebagai mana yang dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) terdiri dari :
a. Hak milik; b. Hak guna usaha; c. Hak guna bangunan; d. Hak pakai; e. Hak sewa; f. Hak membuka tanah; g. Hak memungut hasil hutan; h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
Pasal 16 ayat (2) selanjutnya ditentukan ketentuan mengenai hak-hak atas
air dan ruang angkasa sesuai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ialah Hak
Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, dan Hak Guna Ruang
Angkasa.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf c di atas, penulis berpandangan bahwa
Hak Guna Bangunan merupakan salah satu jenis hak atas tanah yang telah diakui
eksistensinya dalam Hukum Agraria Indonesia.
Hak-hak atas tanah dari segi asal tanahnya dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu :
a. Hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang berasal dari Tanah Negara. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik,
Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara, Hak Pakai atas Tanah Negara;
b. Hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna
Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah
Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah
Hak Milik, Hak Sewa untuk bangunan, Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak
-
62
Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak
Sewa Tanah Pertanian.6
Makna yang terdapat di dalam perbedaan hak-hak atas tanah dari segi asal
tanahnya berdasarkan penjelasan di atas adalah hak atas tanah yang bersifat
primer adalah hak atas tanah yang murni berasal dari Tanah Negara dan hak atas
tanah bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Hak Guna Bangunan memiliki beberapa konsep yang secara spesifik
dibawah ini akan dijelaskan secara lebih lanjut:
a. Pengertian Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan menurut ketentuan Pasal 35 UUPA ditentukan
sebagai berikut:
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan
mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak Guna
Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
UUPA dalam substansinya yang mengatur tentang Hak Guna Bangunan
diatur dalam ketentuan Pasal 35 sampai dengan Pasal 40. Berdasarkan ketentuan
Pasal 50 ayat (2) UUPA mengenai Hak Guna Bangunan secara lebih lanjut diatur
dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang
dimaksud disini adalah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah yang diatur dalam
ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 38 serta Peraturan Kepala Badan
6 Urip Santoso I, op.cit, hal.91
-
63
Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.
b. Terjadinya Hak Guna Bangunan
Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan terjadi pada
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas Tanah berdasarkan ketentuan Pasal 21 menyatakan bahwa
terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB) berdasarkan asal tanahnya dapat
dibedakan dan dijelaskan sebagai berikut :
1. Hak Guna Bangunan atas Tanah negara.
Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak yang
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 9 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran
Tanah. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak
Guna Bangunan tersebut didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.
Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertifikat. Hal ini diatur dalam
Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.
2. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak atas usul
pemegang Hak Pengelolaan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan
-
64
Nasional berdasarkan Pasal 4 Permen Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.3 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan yang kemudian diubah
dengan Pasal 9 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun
2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan
Kegiatan Pendafataran Tanah.
Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Guna
Bangunan tersebut didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Sebagai tanda
bukti haknya, diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan. Hal ini diatur
dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak
Pakai Atas Tanah.
3. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik.
Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak
Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. Hal ini diatur
dalam ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas
Tanah. Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam Lampiran Permen
Agraria/Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997
-
65
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Hak Guna Bangunan memiliki jangka watu yang berbeda-beda sesuai
dengan asal tanahnya. Dasar hukum pengaturan jangka waktu Hak Guna
Bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas yaitu:
1. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara.
Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara berjangka waktu untuk pertama
kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 Tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30
tahun.
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna
Bangunan ini diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau
perpanjangannya. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak
Guna Bangunan dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak Guna Bangunan
untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan
adalah :
a. Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
-
66
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; d. Tanah tersebut masih sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (rtrw)
yang bersangkutan.
2. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk
pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 tahun, dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama
30 tahun.
Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan ini
dilakukan atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah
mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Permohonan
perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan
dilakukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka
waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. Perpanjangan
jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam Buku
Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
3. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik.
Hak Guna Bangunan ini berjangka waktu paling lama 30 tahun dan tidak
ada perpanjangan waktu. Namun atas kesepakatan pemilik tanah dengan
pemegang Hak Guna Bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian Hak
Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Jaminan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan untuk
kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan
-
67
pembaharuan Hak Guna Bangunan dapat dilakukan sekaligus dengan uang
pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan
permohonan Hak Guna Bangunan. Dalam hal uang pemasukan telah
diabayar sekaligus untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna
Bangunan maka pemohon yang akan memperpanjang Hak Guna Bangunan
hanya akan dikenai biaya administrasi. Persetujuan untuk memberikan
perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dan perincian uang
pemasukan dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna
Bangunan. Hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 28 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.
c. Subyek Pemegang Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan subjeknya menurut Pasal 36 UUPA jo. Pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah adalah :
1. Warga Negara Indonesia;
2. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (Badan Hukum Indonesia).
Subjek Hak Guna Bangunan apabila tidak memenuhi syarat sebagai
Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia, maka dalam waktu 1
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Bangunan tersebut kepada
-
68
pihak lain yang memenuhi syarat. Bila hal ini tidak dilakukan maka Hak Guna
Bangunannya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi Tanah Negara.7
d. Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan.
Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan berdasarkan ketentuan Pasal
30 dan 31 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas dinyatakan bahwa :
a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagai-mana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;
e. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Substansi Pasal 31 tentang kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan
dinyatakan bahwa :
Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan
atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau
menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan
air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan
air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung
itu.
Hak pemegang Hak Guna Bangunan berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas Tanah dinyatakan bahwa :
Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan
tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau
7 Urip Santoso I, op.cit, hal. 110
-
69
usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan
membebaninya.
e. Fungsi Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan yang diatur dalam ketentuan Pasal 39 UUPA jo Pasal 33 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas Tanah. Prosedur Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda Yang Berkaitan dengan Tanah Adalah:
(1) Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notariil atau akta di bawah tangan sebagai perjanjian pokoknya;
(2) Adanya penyerahan Hak Guna Bangunan sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai perjanjian ikutan;
(3) Adanya pendaftaran akta Pemberian Hak Tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku
Tanah dan diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan.
f. Hapusnya Hak Guna Bangunan.
Hak Tanggungan hapus dengan hapusnya Hak Guna Bangunan. Prosedur
pembebanan Hak Guna Bangunan dengan Hak Tanggungan ini diatur dalam
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 44 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 114 sampai
dengan Pasal 119 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
-
70
Berdasarkan Pasal 40 UUPA dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan hapus
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
(1) Jangka waktunya berakhir; (2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi;
(3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; (4) Dicabut untuk kepentingan umum; (5) Ditelantarkan; (6) Tanahnya musnah; (7) Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).
Hapusnya Hak Guna Bangunan lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 35
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah dijelaskan bahwa faktor-faktor penyebab
hapusnya Hak Guna Bangunan adalah:
(1) Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya;
(2) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena:
a. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Guna Bangunan.
b. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara
pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemilik tanah atau
perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan.
c. Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap; (3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir;
(4) Hak Guna Bangunannya dicabut; (5) Ditelantarkan; (6) Tanahnya musnah; (7) Pemegang Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang
Hak Guna Bangunan.
Hapusnya Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara mengakibatkan
tanahnya kembali menjadi Tanah Negara. Hapusnya Hak Guna Bangunan atas
tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan
-
71
pemegang Hak Pengelolaan. Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik
mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemilik tanah. Hal ini
diatur dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.
Hak Guna Bangunan yang sebelum jangka waktunya berakhir dicabut
disebabkan oleh beberapa hal yaitu tanahnya diterlantarkan oleh pemegang Hak
Guna Bangunan, tanahnya musnah, dan pemegang Hak Guna Bangunan tidak
memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan yang diterbitkan dengan
surat keputusan yang bersifat deklaratoir.
Hapusnya Hak Guna Bangunan karena jangka waktunya berakhir
dilepaskan secara sukarela oleh pemegang Hak Guna Bangunan. Hapusnya Hak
Guna Bangunan karena dibatalkan oleh pejabat yang berwenang diterbitkan surat
keputusan yang bersifat konstitutif. Surat keputusan yang bersifat konstitutif
adalah surat keputusan yang berfungsi sebagai pembatalan terhadap hak atas tanah
dikarenakan tidak dipenuhinya kewajiban tertentu oleh pemegang hak atas tanah.
Sifat konstitutifnya adalah hak atas tanah yang bersangkutan baru hapus dengan
dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Surat keputusan yang bersifat deklaratoir
adalah surat keputusan yang berfungsi sebagai pernyataan tentang hapusnya hak
atas tanah yang bersangkutan. Surat keputusan ini untuk hapusnya hak atas tanah
yang terjadi karena hukum.
Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah mengatur
-
72
konsekwensi bagi bekas pemegang Hak Guna Bangunan atas hapusnya Hak Guna
Bangunan, yaitu:
(1) Apabila Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna
Bangunan wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di
atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong
selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Guna
Bangunan;
(2) Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan, maka kepada bekas pemegang Hak Guna Bangunan diberikan ganti rugi yang
bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;
(3) Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan;
(4) Jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah
bekas Hak Guna Bangunan itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas
pemegang Hak Guna Bangunan;
(5) Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib
menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang
Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam
perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik.
g. Beralihnya Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain yang
diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (3) UUPA jo Pasal 34 Peraturan Pemerintah
No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak
Pakai Atas Tanah. Hak Guna Bangunan dapat beralih dengan cara pewarisan yang
harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli
waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat keterangan kematian
pemegang Hak Guna Bangunan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti
identitas para ahli warisnya dan sertipikat Hak Guna Bangunan yang
bersangkutan.
-
73
Prosedur peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan diatur dalam
Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas jo Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 111 dan Pasal 112 Permen
Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Hak Guna Bangunan juga dapat dialihkan oleh pemegang Hak Guna
Bangunan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna
Bangunan. Bentuk dialihkan tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar,
hibah, penyertaan dalam modal perusahaan yang harus dibuktikan dengan akta
PPAT, sedangkan lelang dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh
pejabat dari Kantor Lelang.
Peralihan Hak Guna Bangunan tersebut harus didaftarkan kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan
dilakukan perubahan nama dalam sertipikat dari pemegang Hak Guna Bangunan
yang lama kepada penerima Hak Guna Bangunan yang baru.
Prosedur pemindahan Hak Guna Bangunan karena jual beli, tukar
menukar, hibah, dan penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur
dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 37 sampai
dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah jo Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3
-
74
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Prosedur pemindahan Hak Guna Bangunan karena lelang diatur dalam
Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 41 Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110
Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam peralihan Hak Guna Bangunan ini ada ketentuan khusus, yaitu
peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Pengelolaan. Demikian
pula dengan peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah yang bersangkutan.
h. Syarat-syarat Permohonan Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada: a. Warga Negara Indonesia
b. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia. Permohonan Hak Guna Bangunan diajukan secara tertulis dan
Permohonan Hak Guna Bangunan memuat beberapa ketentuan:
1. Keterangan mengenai pemohon. Apabila pemohon adalah perorangan,
permohonan diajukan dengan memuat nama, umur, kewarganegaraan,
tempat tinggal dan pekerjannya serta keterangan mengenai istri/suami dan
anaknya yang masih menjadi tanggungannya. Apabila pemohon adalah
Badan Hukum, maka permohonan yang diajukan memuat nama, tempat
-
75
kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik.
a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat
kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan
rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah, putusan
pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti
perolehan tanah lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar
Situasi sebutkan tanggal dan nomornya);
c. Jenis tanah (pertanian, non pertanian);
d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahnya (tanah hak milik perorangan atau tanah negara).
3. Lain-lain :
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah
yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.
Permohonan Hak Guna Bangunan selain persyaratan tertulis di atas juga
wajib dilampiri dengan:
1. Non fasilitas Penanaman Modal.
a. Mengenai pemohon.
Jika perorangan wajib disertakan dengan foto copy surat bukti identitas
dan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia. Jika pemohon
-
76
adalah Badan Hukum maka wajib dilampirkan foto copy akta atau
peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Mengenai tanahnya.
Mengenai tanah yang akan dimohonkan Hak Guna Bangunan wajib
dilengkapi dengan data yuridis dan data fisik. Data yuridis terdiri dari
sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan
pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari
Pemerintah, Akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan
surat-surat bukti perolehan tanah lainnya. Data fisik terdiri dari surat
ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada serta surat lain yang
dianggap perlu.
c. Surat Lainnya
Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status
tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah
yang dimohon.
2. Fasilitas Penanaman Modal
a. Foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan
yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai
badan hukum;
b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang;
-
77
c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat
izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang
Wilayah;
d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan
kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas
tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
e. Persetujuan penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau
Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari
Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat
persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman
Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing;
f. Surat ukur apabila ada.
Pengaturan hal di atas dasar hukumnya diatur di dalam ketentuan Pasal 34
Peraturan Meteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara Dan Hak Pengelolaan.
2.3 Konsep Badan Hukum.
Subyek Hukum mempunyai kedudukan dan peran yang penting dalam
bidang hukum, khususnya hukum keperdataan. Pentingnya hal ini karena Subyek
Hukum dapat mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Istilah
Subyek Hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu rechtsubject atau
law of subject (Inggris). Rechtsubject secara umum diartikan sebagai pendukung
-
78
hak dan kewajiban yaitu manusia dan Badan Hukum.8 Subyek Hukum adalah
segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu-lintas
hukum. Ruang lingkup Subyek Hukum adalah manusia (naturlijke persoon) dan
Badan Hukum (rechtpersoon).9
Manusia disamping sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga badan-
badan atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai Subyek Hukum yang
dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti
manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki
kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan perantaraan
pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka Hakim. Badan-badan atau
perkumpulan tersebut dinamakan Badan Hukum (rechtspersoon) yang berarti
orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum. Jadi, ada suatu bentuk hukum
(rechtsfiguur) yaitu Badan Hukum yang dapat mempunyai hak- hak, kewajiban-
kewajiban hukum dan dapat mengadakan hubungan hukum.10
E. Utrecht dalam pandangannya tentang Badan Hukum (rechtspersoon)
menjelaskan bahwa Badan Hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa
(berwenang) menjadi pendukung hak, yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang
bukan manusia. Badan Hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala
yang riil, merupakan fakta pergaulan hukum biarpun tidak berwujud manusia atau
8 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 40
9 A. Ridwan Halim, 1985, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Cetakan Kedua, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 29
10 CST Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta, hal.
216
-
79
benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya.11
Badan Hukum adalah suatu
realitas dalam pergaulan hukum yang memiliki sifat sama seperti manusia.12
Konsep Badan Hukum pada hakikatnya merupakan hak dan kewajiban
dari para anggotanya secara bersama-sama dan di dalamnya terdapat harta
kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya
menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu
kesatuan yang tidak dapat di bagi-bagi itu, tetapi juga sebagai pemilik bersama
untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap pribadi anggotanya adalah juga
pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu.
Penulis berpandangan dari pendapat sarjana di atas bahwa Badan Hukum
pada intinya adalah sesuatu yang dianggap sama dengan manusia kodrati,
sehingga dapat melakukan perjanjian, memiliki kekayaan, melakukan gugatan,
dan dapat digugat. Perbedaannya dengan manusia adalah Badan Hukum tidak
dapat melakukan perkawinan dan tidak dapat dipenjara. Tetapi badan hukum
dapat dikenai hukuman denda atau administrasi.
Badan Hukum untuk keikutsertaannya dalam pergaulan hukum harus
mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu :
a. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya;
b. Hak dan kewajiban Badan Hukum terpisah dari hak dan kewajiban para
anggotanya.13
11 E. Utrecht dalam Neni Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis: Telaah tentang Pelaku dan
Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 124
12 Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2015, Implikasi Politik Hukum Pertanahan Nasional
Terhadap Kedudukan Desa Pekraman Sebagai Subyek Hukum Hak Atas Tanah, (Disertasi),
Program Studi Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar, hal. 54
13 R. Soeroso, 2010, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 147
-
80
Kedua hal di atas merupakan syarat yang harus dimiliki oleh Badan
Hukum di dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
Badan Hukum sebagai kumpulan manusia pribadi mungkin pula sebagai
kumpulan dari Badan Hukum pengaturannya sesuai dengan hukum yang berlaku :
a. Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Bab III bagian ketiga Buku I KUHD;
b. Koperasi diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992; c. Yayasan, pengaturannya sesuai kebiasaan yang dibuat aktenya di notaris; d. Perbankan diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992; e. Bank pemerintah, sesuai dengan Undang-undang yang mengatur
pendiriannya;
f. Organisasi partai politik dan golongan karya diatur dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1978;
g. Pemerintah daerah tingkat I, II dan kecamatan diatur dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1975;
h. Negara Indonesia diatur dengan Konstitusi Undang-undang Dasar 1945.
14
Pasal 1653 KUH Perdata dalam ketentuannya dinyatakan tentang Badan
Hukum bahwa :
Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai Badan
Hukum juga diakui undang-undang, entah Badan Hukum itu diadakan oleh
kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula Badan Hukum
itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu
maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau
kesusilaan.
Konsep Badan Hukum dengan mengacu pada makna “perseroan perdata
sejati dan kekuasaan umum” sesuai substansi ketentuan pasal di atas penulis
berpandangan bahwa Badan Hukum pada prinsipnya terbagi atas dua yakni Badan
Hukum Publik dan Badan Hukum Privat. Penulis mengutip substansi dalam buku
yang berjudul “Perbandingan Hukum Perdata” karangan Soeroso dinyatakan
14 Ibid
-
81
secara spesifik bahwa menurut bentuknya Badan Hukum dibedakan menjadi dua,
yaitu :
Badan Hukum Publik (publiek rechtspersoon);
Badan Hukum Privat/Perdata (privat rechtspersoon).15
1) Badan Hukum Publik (publiek rechtspersoon).
Ialah Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Publik yang
menyangkut kepentingan publik, orang banyak atau negara umumnya.
Badan Hukum ini merupakan badan-badan hukum negara yang
mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk
oleh yang berkuasa, berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan
secara fungsional oleh badan eksekutif, pemerintah atau badan pengurus
yang diberi tugas untuk itu. Contoh Badan Hukum Publik adalah :
a. Negara Republik Indonesia, dasarnya adalah Konstitusi tertulis
dalam bentuk Undang-Undang Dasar, kekuasaannya
diberikan/ditugaskan kepada Presiden dan pembantu-pembantunya
ialah para Menteri;
b. Pemerintah Daerah Tingkat I, II dan Kecamatan dibentuk
berdasarkan Undang-undang lainnya. Dalam menjalankan
kekuasaannya diberikan/ditugaskan kepada Gubernur/KDH Tk. I,
Bupati atau Walikotamadya/ Kepala Daerah Tk. II dan Camat;
c. Bank Indonesia, diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992,
Bank Negara Indonesia 1946 diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
15 R. Soeroso, ibid, hal. 148
-
82
19 Tahun 1992, Bank Dagang Negara diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 20 Tahun 1992, Bank Bumi Daya diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1992 dan Bank-bank
Pemerintah lainnya, yang dalam menjalankan pelaksanaan tugas
dilakukan oleh Direksi atau Group Direktur-direktur;
d. Perusahaan Negara didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah,
pengurusannya dilaksanakan oleh Direksi;
e. Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1971.
2) Badan Hukum Privat (privat rechtspersoon).
a) Beberapa penjelasan.
Badan Hukum Privat/Perdata atau sipil ialah badan hukum yang
didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut
kepentingan pribadi di dalam Badan Hukum itu. Badan Hukum ini
merupakan Badan Hukum Swasta yang didirikan oleh pribadi orang itu
untuk tujuan tertentu, yaitu mencari keuntungan, sosial, pendidikan,
ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesenian, olah raga dan lain-
lain sesuai dengan/menurut hukum yang berlaku secara sah. Bentuk
dan susunannya diatur oleh hukum privat.
Habib Adjie dalam bukunya yang berjudul “Status Badan
Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan
Terbatas” menjelaskan bahwa Badan Hukum Publik merupakan Badan
Hukum yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah seperti Lembaga
Negara Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Badan Usaha Milik
-
83
Negara/Daerah (BUMN/BUMD), dan Bank Negara. Sedangkan Badan
Hukum Privat adalah Badan Hukum yang didirikan dan dimiliki oleh
pihak swasta, yang menyangkut kepentingan orang atau individu-
individu seperti Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Perkumpulan,
Organisasi Masyarakat, dan sebagainya.16
b) Menurut tujuannya Badan Hukum Privat dibagi/dibedakan dalam :
Perserikatan dengan tujuan tidak materiil/amal;
Contoh perserikatan dengan tujuan tidak materril/amal adalah
Perkumpulan Gereja, Badan Wakaf dan Yayasan yang didirikan
oleh pendiri, dengan tujuan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan,
kesenian dan kebudayaan. Pengaturannya berdasarkan kebiasaan
yang anggaran pendirinya dibuat oleh Notaris.
Perserikatan dengan tujuan memperoleh laba;
Contoh perserikatan dengan tujuan memperoleh laba adalah
Perseroan Terbatas (PT). Untuk Perseroan didirikan oleh persero-
persero yang bertujuan. Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh
Direksi dan pengaturannya terdapat di dalam ketentuan Undang-
Undang No. 48 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Perserikatan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan materiil
para anggota-anggotanya;
Contohnya adalah Koperasi yang didirikan oleh para anggota
dengan sistem kekeluargaan dan usaha bersama, sesuai dengan
16 Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial
Perseroan Terbatas, CV. Mandar Maju, ((selanjutnya disingkat Habib Adjie I), hal.14.
-
84
kepribadian yang diatur dalam Undang-undang No. 25 Tahun
1992. Dalam pelaksanaan kegiatan tugasnya dilakukan oleh
pengurus
Partai Politik dan golongan karya;
Didirikan dan di masuki oleh warga negara sebagai alat demokrasi,
yang mewakili kepentingan rakyat dalam badan perwakilan rakyat
seperti MPR, DPR dan DPRD. Perundang-undangan yang
mengaturnya ialah Undang-undang No. 3 Tahun 1975;
Badan amal, wakaf, perkumpulan dan lain-lain semacamnya.
Badan Hukum menurut jenisnya dibagi dalam dua jenis golongan yang
terdiri dari :
- Korporasi;
- Yayasan.17
1) Korporasi.
Korporasi ialah suatu gabungan orang-orang yang dalam pergaulan hukum
bertindak bersama sebagai satu subyek hukum tersendiri (personifikasi).
Korporasi merupakan Badan Hukum yang beranggota, tetapi mempunyai
hak/kewajiban sendiri. Ada beberapa macam korporasi, yaitu :
Perhimpunan, yang dibentuk dengan sengaja atau sukarela oleh orang
yang bermaksud memperkuat kedudukan ekonomi mereka,
memelihara kebudayaan, mengurus soal-soal sosial dan lain
sebagainya. Contohnya : Perseroan Terbatas, NV, PN;
17 R. Soeroso, op.cit, hal. 151
-
85
Persekutuan orang (gemenschap van mensen), yang karena
perkembangan faktor-faktor sosial dan politik dalam sejarah.
Contohnya: Pemerintah Daerah Tk. I, II dan Desa;
Organisasi orang, yang didirikan berdasarkan undang-undang tetapi
bukan perhimpunan.
2) Yayasan.
Yayasan ialah tiap kekayaan (Vermogen) yang tidak merupakan kekayaan
orang atau kekayaan badan dan yang diberi untuk tujuan tertentu. Yayasan
adalah sebagai pendukung hak/kewajiban sendiri, dan didirikan oleh para
pendiri/anggota dengan tujuan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan,
kesenian dan kebudayaan. Pengaturannya dibuat oleh Notaris.
Contoh : Yayasan Lektur Jakarta, Wakaf dalam hukum Islam.
Catatan : Perbedaan antara Korporasi dan Yayasan. Yayasan menjadi
Badan Hukum dengan tiada anggota tetapi mempunyai
pengurus yang menyelenggarakan kekuasaan dan
tujuannya. Korporasi mempunyai anggota dan pengurus
yang menjalankan kegiatan tugasnya.
Menurut tata/aneka warna hukum di Indonesia, Badan Hukum dibedakan
dalam :
1) Badan Hukum menurut Hukum Eropa ialah Badan Hukum yang diatur
menurut hukum yang dikonkordasi dengan hukum yang berlaku di Negeri
Belanda. Misalnya : Negara, PT, Perhimpunan-perhimpunan berdasarkan
LNHB 1870 No. 64.
-
86
2) Badan Hukum menurut hukum bukan Eropa yang tertulis adalah Badan
Hukum ini terkenal di bawah nama “Badan Hukum Indonesia”, ialah
Badan Hukum menurut hukum undang-undang yang dibuat dengan
mengingat pasal 131 ayat 2 sub b I.S : bilamana keperluan umum atau
keperluan sosial orang bukan eropa memerlukannya (badan hukum menu-
rut “fantasierecht”).
Misal : Perhimpunan berdasarkan LNHB 1939 No. 570 jo. 1939 No. 717
dan LN 1958 No. 139.
3) Badan Hukum Adat adalah Badan Hukum menurut hukum bumi putera
(yang pada umumnya tidak tertulis). Misal : Badan Wakaf, Yayasan-
Yayasan.
Pembentukan Badan Hukum sebagai subyek hukum eksistensinya didasari
dengan beberapa teori-teori tentang dasar yuridis Badan Hukum yang
mendukungnya. Teori tersebut adalah :18
a. Teori Fiksi (F,C. von Savigny,C.W. Opzoomer dan Houwing). Menurut
teori ini Badan Hukum dianggap buatan negara, sebenarnya Badan Hukum
itu tidak ada, hanya orang menghidupkan bayangannya untuk
menerangkan sesuatu dan terjadi karena manusia yang membuat
berdasarkan hukum. Jadi merupakan orang buatan hukum persona ficta.
b. Teori kekayaan tujuan (A. Brinz dan EJJ Van der Heyden). Menurut teori
kekayaan Badan Hukum itu bukan kekayaan orang, tetapi kekayaan itu
terikat pada tujuannya (zweck Vermögen). Tiap hak tidak ditentukan oleh
18 R. Soeroso, op.cit, hal. 152-153
-
87
suatu tujuan. Menurut teori ini hanya manusialah yang menjadi Subyek
Hukum dan Badan Hukum adalah untuk melayani kepentingan tertentu.
Dalam teori ini A Brinz hanya dapat menerangkan dasar juridis dari
Yayasan.
c. Teori organ atau teori peralatan atau kenyataan (Otto von Gierke).
Menurut teori ini Badan Hukum adalah sesuatu yang sungguh-sungguh
ada di dalam pergaulan yang mewujudkan kehendaknya dengan
perantaraan alat-alatnya (organ) yang ada padanya (pengurusnya), jadi
bukanlah sesuatu yang fiksi tetapi merupakan makhluk yang sungguh-
sungguh ada secara abstrak dari konstruksi yuridis.
d. Teori milik kolektif (WLPA Molengraaff dan Marcel Planiol). Dalam teori
ini Badan Hukum ialah harta yang tidak dapat dibagi-bagi dari anggota-
anggota secara bersama-sama. Hak/kewajiban Badan Hukum pada
hakikatnya adalah hak/kewajiban para anggota bersama-sama, oleh
karenanya Badan Hukum konstruksinya hanya bersifat yuridis saja, dan
pada hakikatnya abstrak.
e. Teori Duguit.
Sesuai dengan ajarannya tentang fungsi sosial maka juga dalam teori ini
Duguit tidak mengakui adanya Badan Hukum sebagai Subyek Hukum
hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilaksanakan. Manusia sajalah
sebagai Subyek Hukum, lain daripada manusia tidak ada Subyek Hukum.
-
88
f. Teori Eggens.
Dalam teori ini Badan Hukum adalah suatu hulpfiguur oleh karenanya
keberadaanya diperlukan dan dibolehkan hukum untuk menjalankan hak-
hak dengan sewajarnya (behoorlijk). Bahwa dalam hal-hal tertentu
keperluan itu dirasakan, oleh karenanya hukum hendak memperlakukan
suatu kumpulan orang yang bersama-sama mempunyai kekayaan dan
tujuan tertentu sebagai suatu kesatuan, karena seorang Subyek Hukum
(manusia) tidak dapat (berwenang) sendiri-sendiri bertindak dalam
rangkaian peristiwa-peristiwa hukum itu.
Mengacu dengan pendapat para ahli hukum di atas dapat disimpulkan
bahwa Badan Hukum merupakan orang buatan hukum (persona ficta) yang
dibentuk berdasarkan hukum karena keberadaanya diperlukan dan dibolehkan
hukum untuk menjalankan hak-hak dengan sewajarnya (behoorlijk).
-
89
BAB III
PENGATURAN PENGUASAAN HAK GUNA BANGUNAN YANG
MELAMPAUI BATAS LUAS KETENTUAN UNDANG-UNDANG
3.1. Kedudukan Badan Hukum dalam Penguasaan Hak Guna Bangunan.
Nathaniel Lichfield dalam pandangannya sebagai seorang sarjana hukum
menyatakan bahwa tanah diartikan sebagai sesuatu yang nyata terdiri dari
permukaan fisik bumi serta benda yang ada di atasnya merupakan buatan
manusia, yang disebut fixtures.19
Dari pandangan Nathaniel Lichfield ini penulis
berpandangan bahwa tanah adalah suatu benda yang berwujud nyata yang tidak
bergerak yang meliputi permukaan fisik bumi serta tidak jarang ditemukan benda
yang ada di atasnya dan benda ini merupakan hasil dari perbuatan manusia.
Contoh konkritnya benda yang ada di atasnya dan benda ini merupakan hasil dari
perbuatan manusia adalah suatu bangunan yang berada/didirikan di atas tanah Hak
Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan sebagai salah satu jenis hak atas tanah eksistensinya
diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan dinyatakan bahwa hak-hak
atas tanah terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, serta Hak Memungut Hasil Hutan.
UUPA memberikan pengaturan secara khusus dalam ketentuan Pasal 36
ayat (1) tentang kedudukan Badan Hukum dalam hal penguasaan Hak Guna
Bangunan dan dijelaskan bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan
19
Nathaniel Lichfield and Haim Drabkin, 1980, Land Policy in Planning, (London: George
Allen & Unwin Ltd), p. 13.
89
-
90
adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut
Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal
36 ayat (1) tersebut penulis dapat simpulkan bahwa yang dapat memiliki Hak
Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang
didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Ketentuan Hukum bagi Badan Hukum dalam sistem Hukum Agraria yang
berlaku di Indonesia terkait dengan hak-hak atas tanah terdapat perbedaan
pengaturan dalam penerapannya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat
Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dalam ketentuan Pasal 1 menyatakan bahwa :
Badan-Badan Hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik
atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasal-
pasal 2, 3 dan 4 peraturan ini :
a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);
b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang- undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran
Negara Tahun 1958 No. 139);
c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Ketentuan pasal di atas menyatakan secara tegas bahwa Badan Hukum
yang masuk dalam kualifikasi ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang
Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dapat memiliki Hak Milik atas tanah.
Dengan adanya perturan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat
Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dan dengan mengacu pada Pasal 36 ayat 1
-
91
UUPA penulis berpandangan bahwa Badan Hukum yang dapat menguasai Hak
Guna Bangunan adalah Badan Hukum yang berbentuk privat bukan Badan
Hukum yang berbentuk publik mengingat UUPA tidak mengatur secara tegas
Badan Hukum mana yang dimaksud.
Badan Hukum terkait dengan penguasaan hak-hak atas tanah khususnya
dalam hal ini Hak Guna Bangunan dijelaskan dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran
Tanah dalam ketentuan Pasal 4 dinyatakan bahwa :
a. Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya tidak
lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi);
b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi) dan;
c. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.
Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah secara tegas mengatur tentang
penguasaan tanah yang dapat dikuasai dengan Hak Guna Bangunan oleh Badan
Hukum adalah seluas 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi) setara dengan 2
Hektar.
Badan Hukum dalam kedudukannya terkait dengan penguasaan Hak Guna
Bangunan pengaturannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 9 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
-
92
Pendaftaran Tanah secara eksplisit dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi keputusan mengenai:
a. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan tidak
lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi);
b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak
lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi).
Ketentuan Pasal 9 di atas berarti bahwa bahwa Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi keputusan mengenai Hak Guna
Bangunan untuk perseorangan penguasaan luasnya di atas 3000 M2 dan tidak
lebih dari 10.000 M2 sedangkan untuk Badan Hukum batas penguasaannya adalah
dapat menguasai lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak
lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi).
Pasal 77 sampai dengan Pasal 81 Permen Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 terkait dengan teknis yuridis pengukuran
tanah sebelum izin pendaftaran Hak Guna Bangunan diterbitkan serta optimalisasi
tenaga dan peralatan pengukuran menyatakan secara tegas bahwa :
1. Pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya 10 Ha, dilaksanakan oleh
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi setempat.
2. Pengukuran bidang tanah yang luasnya lebih dari 1000 Ha dilaksanakan
oleh Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan hasilnya disampaikan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
-
93
3.2. Kewajiban dan Hak Badan Hukum dalam Penguasaan Hak Guna
Bangunan.
Tanah memiliki peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan
bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang
diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pengaturan penguasaan, pemilikan dan
penggunaan tanah perlu lebih diarahkan untuk terjaminnya tertib hukum di bidang
hukum pertanahan yang terdiri dari tertib administrasi pertanahan, tertib
penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan tertib lingkungan hidup,
sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat
terwujud.
Kewajiban dan hak Badan Hukum dalam penguasaan Hak Guna Bangunan
diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
dinyatakan dalam ketentuan Pasal 30 bahwa pemegang Hak Guna Bangunan
berkewajiban:
a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;
e. Menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
-
94
Pasal 30 penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas. Dengan
mengacu pada substansi Pasal 30 di atas penulis berpandangan bahwa pemegang
Hak Guna Bangunan wajib untuk membayar uang pemasukan yang jumlah dan
cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya,
menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya, memelihara dengan
baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian
lingkungan hidup, menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna
Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus dan menyerahkan sertipikat Hak Guna
Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan secara lebih lanjut diatur
dalam ketentuan Pasal 31 dinyatakan bahwa jika tanah Hak Guna Bangunan
karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya
sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah
lain dari lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib
memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau
bidang tanah yang terkurung itu. Penjelasan substansi Pasal 31 adalah Pemberian
Hak Guna Bangunan tidak boleh mengakibatkan tertutupnya penggunaan dari segi
fisik tanah yang terkurung oleh tanah Hak Guna Bangunan itu. Oleh karena itu
pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan kesempatan kepada pemegang
hak atas tanah yang terkurung memiliki akses yang diperlukan.
-
95
Dapat disimpulkan dari makna substansi ketentuan pasal di atas adalah
pemegang Hak Guna Bangunan tidak boleh merugikan pemegang hak atas tanah
lainnya dan penggunaannya tidak boleh sampai mengganggu bidang tanah lain
dari lintas umum atau jalan air.
Hak Badan Hukum sebagai pemegang Hak Guna Bangunan secara tegas
diatur di dalam ketentuan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak
Pakai Atas Tanah. Substansi ketentuan pasal ini menyatakan bahwa pemegang
Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang
diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk
mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. Penjelasan
substansi ketentuan Pasal 32 menyatakan bahwa hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan dapat dilaksanakan dengan mengadakan kerjasama dengan
pihak lain.
Dapat disebutkan makna yang terdapat di dalam substansi ketentuan pasal
di atas adalah bahwa pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan
mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu
tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan, untuk keperluan pribadi
atau usahanya, serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan
membebaninya atas persetujuan dari si pemilik tanah dan sesuai dengan perjanjian
pemberian Hak Guna Bangunan yang dibuat dengan akta otentik melalui PPAT.
-
96
3.3. Analisis Pengaturan Penguasaan Hak Guna Bangunan yang Melampaui
Batas Luas Ketentuan Undang-Undang di Indonesia serta
Perbandingannya dengan Negara Lain.
Penguasaan Hak Guna Bangunan memiliki keterkaitan dengan
penatagunaan tanah. Fungsi penatagunaan tanah sangat diperlukan untuk
menyesuaikan dengan Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi
pengolahan dan penyimpanan data terkait berbagai jenis hak-hak atas tanah yang
terdapat di dalam ketentuan UUPA.20
Pengaturan terkait dengan berbagai jenis hak-hak atas tanah diatur dalam
ketentuan Pasal 16 UUPA dan merupakan bagian dari Hukum Agraria Nasional
yang landasan hukumnya bersumber dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: “Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini mengandung tiga
prinsip yaitu :
1. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara;
2. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa indonesia harus menggunakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat;
3. Hubungan antar negara dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan hubungan menguasai.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menjadi pedoman bagi pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik
20 Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada Media
Group, Jakarta, hal.8
-
97
Indonesia Tahun 1960 No. 104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 2043, atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Pasal 2 UUPA menyatakan
bahwa :
(1) Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat;
(2) Hak menguasai Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan pemerintah.
Hak menguasai Negara untuk mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa dengan mengacu pada
Pasal 2 UUPA di atas adalah bersifat abadi dan digunakan untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur.
Pemerintah memiliki peran penting dalam penatagunaan tanah dalam hal
penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum. Peran pemerintah disini
-
98
adalah untuk membuat suatu rencana umum (national planning) yang meliputi
seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana khusus
(regional planing).21
Peran penting pemerintah terkait dengan hal ini dapat
diwujudkan dalam bentuk representasinya secara konkrit yang diwakili oleh
Badan Pertanahan Nasional dalam pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan
bagi Badan Hukum yang dimulai secara nasional dan selanjutnya berlanjut
kedaerah-daerah dengan menyesuaikan pada keadaan geografis wilayah.
R. Soeprapto memberikan pendapatnya terkait dengan penataagunaan
tanah :
“Tata guna tanah merupakan rangkaian kegiatan penataan peruntukan,
penggunaan, dan persediaan tanah secara berencana dan teratur, sehingga
diperoleh manfaat yang lestari optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.22
Mengutip pendapat dari R. Soeprapto di atas terkait dengan arti
penataagunaan tanah dapat dikaji bahwa penatagunaan tanah adalah kegiatan
penataan tanah yang dilakukan oleh pemerintah yang digunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dengan pemanfaatan persediaan tanah secara teratur
dan optimal.
Urip Santoso menjelaskan lebih lanjut tentang tata guna tanah adalah
rangkaian kegiatan penataan penyediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah
secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Dalam tata
guna tanah terdapat rangkaian kegiatan berupa penyediaan, peruntukan, dan
21 Urip Santoso I, op.cit, hal. 246
22 R. Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktik, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, hal. 75.
-
99
penggunaan tanah, sedangkan tujuan tata guna tanah adalah untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.23
Pengertian pengelolaan tata guna tanah atau penatagunaan tanah dalam
hukum positif dimuat dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yaitu :
Penatagunaan tanah sama dengan pengelolaan tata guna tanah, yang meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi
pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil.
Penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas.
Mengacu pada Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
2004 tentang Penatagunaan Tanah, penulis berpandangan bahwa penguasaan Hak
Guna Bangunan yang dilakukan oleh Badan Hukum hendaknya melalui
pengaturan oleh kelembagaan yang terkait serta pemanfaatan tanah sebagai satu
kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil, tidak saja memberikan
keuntungan bagi masyarakat menengah keatas namun juga bagi masyarakat
menengah kebawah.
Muchsin dan Imam Koeswahyono menyatakan bahwa ada empat unsur
esensial dalam penatagunaan tanah, yaitu:24
1. Adanya serangkaian kegiatan/aktivitas, yaitu pengumpulan data lapangan tentang penggunaan, penguasaan, kemampuan fisik, pembuatan
23 Urip Santoso I, loc.cit
24 Muchsin dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan
Tanah Dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Muchsin dan Imam
Koeswahyono, II) hal. 48-49.
-
100
rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan, dan keterpaduan yang
dilakukan secara integral dan koordinasi dengan instansi lain;
2. Dilakukan secara berencana dalam arti harus sesuai dengan prinsip lestari, optimal, serasi, dan seimbang;
3. Adanya tujuan yang hendak dicapai, yaitu sejalan dengan tujuan pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
4. Harus terkait langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan memerhatikan daftar skala prioritas (dsp).
Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan hendaknya memperhatikan
empat unsur esensial dalam penata gunaan tanah yakni adanya pengumpulan data
fisik dan data yuridis lapangan, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah,
penguasaan, dan keterpaduan yang dilakukan secara integral dan koordinasi de-
ngan instansi lain. Dilakukan secara berencana dengan prinsip lestari, optimal,
serasi, dan seimbang. Memiliki tujuan yang hendak dicapai sejalan dengan tujuan
pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan harus memiliki
keterkaitan langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan
memerhatikan Daftar Skala Prioritas (DSP) serta mempertimbangkan aspek
geografis wilayah.
Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang
melampaui batas luas ketentuan undang-undang sampai saat ini masih terdapat
kekosongan hukum. UUPA secara tegas menganut sistem pembatasan pemilikan
tanah yang diatur di dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA kemudian
ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 7 dan Pasal
17 UUPA menyatakan bahwa :
-
101
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam
Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. Penetapan batas maksimum
termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan
di dalam waktu yang singkat.Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari
batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah
dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang
membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan
ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-
angsur.
Pasal dan 7 dan Pasal 17 di atas menunjukan adanya prinsip pembatasan
tanah yang dianut oleh UUPA. Pembatasan penguasaan dan kepemilikan hak atas
tanah lebih lanjut secara sepesifik ketentuannya diatur dalam Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran
Tanah yang dibawah ini penulis tampilkan dalam bentuk tabel.
No Jenis Hak-Hak
Atas Tanah
Pengaturan
Pasal
Luas
1. Hak Milik Pasal 7 - Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari
50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi) dan
tidak lebih dari luas batas maksimum
kepemilikan tanah pertanian perorangan.
- Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari
3.000 M² (tiga ribu meter persegi) dan tidak
lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter
persegi);
- Pemberian Hak Milik untuk Badan Hukum Keagamaan dan sosial yang telah ditetapkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan
Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas
Tanah, atas tanah non pertanian yang luasnya
-
102
lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter
persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus
lima puluh ribu meter persegi).
Penjelasan pasal demi pasal : Cukup Jelas
2. Hak Guna
Usaha
Pasal 8 Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional
memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna
Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
2.000.000 M2 (dua juta meter persegi).
Penjelasan pasal demi pasal : Cukup jelas
3. Hak Guna
Bangunan
Pasal 9 - Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih
dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan
tidak lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter
persegi);
- Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya lebih dari
20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan
tidak lebih dari 150.000 M2 (seratus lima
puluh ribu meter persegi)
Penjelasan pasal demi pasal : Cukup jelas
4. Hak Pakai Pasal 10 - Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya
lebih dari 50.000 m² (lima puluh ribu meter
persegi) dan tidak lebih dari 100.000 m²
(seratus ribu meter persegi).
- Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang
luasnya lebih dari 3.000 m² (tiga ribu meter
persegi) dan tidak lebih dari 10.000 m2
(sepuluh ribu meter persegi);
- Pemberian Hak Pakai untuk badan hukum swasta, BUMN/BUMD atas tanah non
pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M²
(dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih
dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu meter
persegi).
Penjelasan pasal demi pasal: Cukup jelas
Substansi beberapa ketentuan pasal di atas secara tegas telah mengatur
pembatasan kepemilikan tanah terkait dengan hak-hak atas tanah yakni Hak
-
103
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dalam relevansinya
terhadap permasalahan dalam penelitian ini masih terdapat kekosongan hukum di
dalam UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah terkait dengan pengaturan
penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-
undang.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dalam ketentuan Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam
membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi :
a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis, hierarkhi, dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan.
UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah belum sepenuhnya
mengakomodir apa yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 5 huruf (f) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang kejelasan rumusan
terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum
yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
-
104
Hal ini penting adanya agar setiap peraturan perundang-undangan yang
dibentuk harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan yang terdiri dari sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaanya serta memberikan kepastian hukum
dalam hal terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Subyek Hukum
Penulis dengan mengacu pada Teori Kepastian Hukum terkait kekosongan
hukum yang terdapat pada UUPA dalam hal pengaturan penguasaan Hak Guna
Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang dinyatakan
bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk hendaknya
memberikan suatu norma yang memiliki nilai kepastian hukum yang di dalamnya
terdapat dua substansi penting. Substansi yang pertama adalah adanya
ketentuan/aturan yang bersifat umum dapat memberikan pemahaman kepada
Subyek Hukum yang terdiri dari Orang atau Badan Hukum untuk mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Substansi yang kedua
adalah merupakan jaminan perlindungan hukum bagi Subyek Hukum dari
kesewenang-wenangan tindakan pemerintah.
Eksistensi adanya ketentuan aturan hukum yang bersifat umum memiliki
fungsi bagi Badan Hukum untuk dapat mengetahui dan memahami terkait dengan
hal-hal apa saja yang dapat dibebankan atau dilakukan Negara terhadapnya.
Secara konkritnya dalam hal ini adalah terkait dengan pengaturan penguasaan Hak
Guna Bangunan terhadap Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan
undang-undang. Substansi jaminan perlindungan hukum bagi Subyek Hukum dari
-
105
kesewenang-wenangan tindakan pemerintah memberikan arti bahwa dalam hal
terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Badan Hukum dalam hal
penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-
undang dalam hal ini sanksinya hanya dapat diberikan atas dasar ketentuan
undang-undang yang berlaku. Tidak berdasarkan kesewenang-wenangan
pemerintah.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim
yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di
putuskan.25
Pembentukan norma terkait adanya kokosongan hukum pengaturan
penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum dengan melebihi batas luas
ketentuan undang-undang yang tidak diatur dalam ketentuan UUPA dan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
Pendaftaran Tanah harus berlandaskan nilai-nilai keadilan di dalamnya.
Aristoteles memformulasikan dalam ruang lingkup Filsafat Hukum bahwa
keadilan dibedakan menjadi 2 (dua) hal yaitu keadilan distributif dan keadilan
korektif. Hal ini menjadi dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok
persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa
kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan
perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before
25 Peter Mahmud Marzuki, loc.cit
-
106
the law).26
Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang dimaksudkan untuk
mengembalikan keseimbangan, ketika keseimbangan yang ada terganggu oleh
tindakan yang salah. Keadilan ini bermaksud mengembalikan kondisi atau posisi
yang terganggu menjadi seperti sedia kala.27
Keadilan menurut Jhon Rawls dijelaskan lebih lanjut bahwa keadilan tidak
saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan
mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum
turut serta dalam mendukung upaya tersebut.28
UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah belum memberikan pengaturan
yang adil terkait dengan Penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum
yang melampaui luas ketentuan undang-undang. Mengutip pendapat Jhon Rawls
tentang teori keadilannya di atas dapat disebutkan bahwa di dalam membentuk
suatu ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keadilan dan
daya paksa dalam hal apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan yang tidak saja
meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan tentang
perlu adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini harus mencerminkan nilai
keadilan dan hukum di dalamnya turut serta dalam mendukung upaya tersebut.
Aktualisasi teori keadilan dari Jhon Rawls harus harus benar-benar dilaksanakan
oleh para legislator dalam membentuk undang-undang atau peraturan hukum
lainnya.
26 Khudzaifah Dimyati, loc.cit
27 Sutarman Yodo, loc.cit
28
Jhon Rawls dalam Bambang Kusumo, loc.cit
-
107
Membentuk suatu undang-undang yang memiliki nilai kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan harus sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan
Perundang-undangan yang baik. Teori pembentukan peraturan perundang-
undangan dikemukakan oleh Lon Fuller dalam bukunya In The Morality of Law,
Fuller identifies eight requirements of the rule of law:
Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting
behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or
publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law
requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought
to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the
past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the
laws prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One
law cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the
impossible (#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make
on citizens should remain relatively constant (#7). Finally, there should be
congruence between what written statute declare and how officials enforce
those statutes (#8).29
Berdasarkan uraian teori hukum dari Lon Fuller di atas dengan
mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles
Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan
perundang-undangan yaitu:
1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh berlaku khusus atau untuk individu tertentu;
2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan
secara luas;
3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-
undang harus bersifat prospefektif;
4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi
di massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum
harus jelas;
29 Lon Fuller, loc.cit
-
108
5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa
yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh
bertentangan satu dengan lainnya. (sistem hukum tidak boleh
mengandung peraturan yang kontradiktif);
6. Suatu undang-undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundang-undangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau
menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus
menjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya;
7. Undang-undang tidak boleh sering berubah. Apa yang diminta oleh undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap;
8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan
statuta atau peraturan-peraturan tersebut.30
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik guna memberikan
adanya kepastian hukum hendaknya dibentuk dengan mengacu pada prinsip-
prinsip pembentu