bab ii tinjauan pustaka(1)

9
3 TINJAUAN PUSTAKA Tanin Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa tanaman. Tanin mampu mengikat protein, sehingga protein pada tanaman dapat resisten terhadap degradasi oleh enzim protease di dalam silo ataupun rumen (Kondo et al., 2004). Tanin selain mengikat protein juga bersifat melindungi protein dari degradasi enzim mikroba maupun enzim protease pada tanaman (Oliveira et al., 2009), sehingga tanin sangat bermanfaat dalam menjaga kualitas silase. Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol (Deaville et al., 2010). Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan molekul protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan komplek yaitu protein tanin. Tanin mempunyai berat molekul 0,5-3 KD. Tanin alami larut dalam air dan memberikan warna pada air, warna larutan tanin bervariasi dari warna terang sampai warna merah gelap atau coklat, karena setiap tanin memiliki warna yang khas tergantung sumbernya (Ahadi, 2003). Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis merupakan jenis tanin yang mempunyai struktur poliester yang mudah dihidrolisis oleh asam atau enzim, dan sebagai hasil hidrolisisnya adalah suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Golongan tanin ini dapat dihidrolisis dengan asam, mineral panas dan enzim-enzim saluran pencernaan. Sedangkan tanin terkondensasi, yang sering disebut proantosianidin, merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (Maldonado, 1994). Tanin yang tergolong tanin terkondensasi, banyak terdapat pada buah-buahan, biji-bijian dan tanaman pangan, sementara yang tergolong tanin terhidrolisis terdapat pada bahan non-pangan (Makkar, 1993), untuk lebih jelas struktur tanin dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Susanti (2000), sifat utama tanin pada tanaman tergantung pada gugus fenolik-OH yang terkandung dalam tanin. Secara garis besar sifat tanin dapat dijabarkan sebagai berikut :

Upload: yulis-adriana

Post on 25-Oct-2015

73 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka(1)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Tanin

Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa

tanaman. Tanin mampu mengikat protein, sehingga protein pada tanaman dapat

resisten terhadap degradasi oleh enzim protease di dalam silo ataupun rumen (Kondo

et al., 2004). Tanin selain mengikat protein juga bersifat melindungi protein dari

degradasi enzim mikroba maupun enzim protease pada tanaman (Oliveira et al.,

2009), sehingga tanin sangat bermanfaat dalam menjaga kualitas silase.

Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol

(Deaville et al., 2010). Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein,

karena tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan

molekul protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan

komplek yaitu protein tanin. Tanin mempunyai berat molekul 0,5-3 KD. Tanin alami

larut dalam air dan memberikan warna pada air, warna larutan tanin bervariasi dari

warna terang sampai warna merah gelap atau coklat, karena setiap tanin memiliki

warna yang khas tergantung sumbernya (Ahadi, 2003).

Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin terhidrolisis dan tanin

terkondensasi. Tanin terhidrolisis merupakan jenis tanin yang mempunyai struktur

poliester yang mudah dihidrolisis oleh asam atau enzim, dan sebagai hasil

hidrolisisnya adalah suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Golongan tanin ini

dapat dihidrolisis dengan asam, mineral panas dan enzim-enzim saluran pencernaan.

Sedangkan tanin terkondensasi, yang sering disebut proantosianidin, merupakan

polimer dari katekin dan epikatekin (Maldonado, 1994). Tanin yang tergolong tanin

terkondensasi, banyak terdapat pada buah-buahan, biji-bijian dan tanaman pangan,

sementara yang tergolong tanin terhidrolisis terdapat pada bahan non-pangan

(Makkar, 1993), untuk lebih jelas struktur tanin dapat dilihat pada Gambar 1.

Menurut Susanti (2000), sifat utama tanin pada tanaman tergantung pada

gugus fenolik-OH yang terkandung dalam tanin. Secara garis besar sifat tanin dapat

dijabarkan sebagai berikut :

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka(1)

4

Gambar 1. Struktur tanin terhidrolisis (a) dan terkondensasi (b) Sumber: (Dennis et al., 2005)

1. Tanin secara umum memiliki gugus fenol dan bersifat koloid.

2. Semua jenis tanin dapat larut dalam air, kelarutannya besar dan akan bertambah

besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu pula dalam pelarut organik

seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya.

3. Reaksi warna terjadi bila disatukan dengan garam besi. Reaksi ini digunakan

untuk menguji klasifikasi tanin. Reaksi tanin dengan garam besi akan

memberikan warna hijau dan biru kehitaman, tetapi uji ini kurang baik karena

selain tanin yang dapat memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat

memberikan reaksi warna yang sama.

4. Tanin mulai terurai pada suhu 98,8 0

5. Tanin dapat dihidrolisis oleh asam, basa, dan enzim.

C.

6. Ikatan kimia yang terjadi antara tanin-protein atau polimer lainnya terdiri dari

ikatan hidrogen, ikatan ionik, dan ikatan kovalen.

7. Tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah dioksidasi menjadi

suatu polimer, sebagian besar tanin amorf (tidak berbentuk) dan tidak

mempunyai titik leleh.

Tanin terhidrolisis Tanin terkondensasi (a) (b)

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka(1)

5

8. Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya atau dibiarkan di udara

terbuka.

9. Tanin mempunyai sifat bakteristatik dan fungistatik.

Tanin dikenal sebagai senyawa antinutrisi karena kemampuannya membentuk

ikatan komplek dengan protein. Kemampuan tanin untuk mengendapkan protein ini

disebabkan tanin memiliki sejumlah group fungsional yang dapat membentuk

komplek kuat dengan molekul-molekul protein, oleh karena itu secara umum tanin

dianggap sebagai anti-nutrisi yang merugikan. Ikatan antara tanin dan protein sangat

kuat sehingga protein tidak mampu tercerna oleh saluran pencernaan. Pembentukan

komplek ini terjadi karena adanya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan

kovalen antara kedua senyawa tersebut (Makkar, 1993). Menurut Ariningsih (2004),

ikatan kovalen terbentuk apabila tanin telah mengalami oksidasi dan membentuk

polimer quinon yang selanjutnya melalui reaksi adisi eliminasi atom N dari gugus

asam amino protein menggantikan atom oksigen dari senyawa poliquinon. Ikatan

hidrogen yang terbentuk merupakan ikatan antara atom H yang polar dengan atom O

baik dari protein (dari asam amino yang memiliki rantai samping non-polar) atau

tanin (cincin benzena), adapun yang mendominasi kekuatan ikatan ini adalah ikatan

hidrogen dan interaksi hidrofobik. Pembentukan ikatan antara tanin-protein

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) karakteristik protein, seperti komposisi

asam amino, struktur, titik isoelektrik dan bobot molekul, (2) karakteristik tanin,

seperti berat molekul, struktur, dan heterogenitas tanin, (3) kondisi pereaksi, seperti

pH, suhu, waktu, komposisi pelarut. Semakin rendah pH, jumlah tanin yang

berinteraksi semakin kecil. Hal ini menunjukkan penurunan afinitas tanin terhadap

protein untuk membentuk komplek dikarenakan adanya efek elektrostatik dari

protein, pada pH tinggi dimana group fenolhidroksil terionisasi maka tanin tidak

berinteraksi dengan protein.

Menurut Makkar (1993), keberadaan sejumlah gugus fungsional pada tanin

akan menyebabkan terjadinya pengendapan protein, selain membentuk komplek

dengan protein bahan pangan, tanin juga berikatan dengan protein mukosa sehingga

mempengaruhi daya penyerapan terhadap nutrien. Proses ikatan tanin dan nutrisi

pakan bisa dilihat pada Gambar 2.

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka(1)

6

Gambar 2. Contoh interaksi tanin dengan protein Sumber: (Matteo et al., 2010)

Tanin merupakan senyawa yang mampu mengurangi produksi gas metan.

Semakin tinggi konsentrasi tanin maka produksi CH4 akan menurun. Menurut Patra

et al. (2006), tanin yang terkandung dalam ekstrak tanaman Terminalia chebula

mempunyai aktivitas anti-metanogenik. Sementara itu McSweeney et al. (2001)

menyatakan bahwa penurunan produksi gas CH4

Silase merupakan metode penyimpanan dengan prinsip fermentasi, dari

proses ini akan dihasilkan asam laktat (Muck, 2002). Bakteri asam laktat merupakan

bakteri Gram positif, tidak berspora, berbentuk batang atau basil maupun kokus,

tidak memiliki sitokrom, bersifat anaerobik tetapi toleran terhadap O

dapat pula disebabkan oleh

penurunan degradasi karbohidrat struktural akibat terbentuknya suatu komplek antara

tanin dengan selulosa atau hemiselulosa.

Silase

Teknologi pasca panen merupakan salah satu hal penting dalam

mempertahankan kandungan nutrisi hijauan pakan. Salah satu teknik penyimpanan

yang umum digunakan adalah pembuatan silase. Silase merupakan teknik

penyimpanan yang dapat dimanfaatkan tidak hanya dalam musim kemarau, tetapi di

semua musim (Ohmomo et al., 2002).

2, mampu

menghasilkan asam laktat yang berguna sebagai bahan pengawet silase (Salminen

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka(1)

7

dan Wright, 1998). Apabila kondisi pH di dalam silo kurang dari 4, aktivitas bakteri

asam laktat mulai terhambat, sehingga proses pembentukan asam laktat menjadi

stabil. Di dalam silase terbentuk senyawa asam butirat yang berasal dari konversi

asam laktat menjadi asam butirat, CO2 dan H2. Hal ini terjadi akibat adanya aktivitas

bakteri pembusuk (Ohmomo et al., 2002). Pada saat pH kurang dari 4, kualitas silase

menjadi stabil selama tetap dalam kondisi anaerob. Sebaliknya apabila terjadi

pasokan oksigen atau air di dalam silo, pH menjadi meningkat dan fermentasi bakteri

clostridium dapat berlangsung, pada kondisi ini asam laktat diubah menjadi asam

butirat (Ohmomo et al., 2002). Selain menghasilkan asam laktat bakteri asam laktat

dapat juga menghasilkan hidrogen peroksida yang mampu menghambat

pertumbuhan mikroba pembusuk. Aktivitas hidrogen peroksida sebagai senyawa

antimikroba, melibatkan sistem laktoperoksidase. Sistem ini dapat merusak membran

sitoplasma bakteri gram negatif.

Penilaian kualitas silase dapat diamati dari beberapa aspek diantaranya adalah

pH silase, pH silase dikategorikan sebagai berikut : 3,5-4,2 baik sekali, 4,2-4,5 baik,

4,5-4,8 sedang, lebih dari 4,8 dikategorikan dalam kualitas jelek (Siregar, 1996).

Warna merupakan salah satu penentu kualitas silase selain pH. Menurut Siregar

(1996), secara umum silase yang baik mempunyai warna hijau atau kecoklatan.

Penilaian silase juga ditentukan oleh bau yang dihasilkan. Silase yang baik memiliki

aroma asam dan memiliki palatabilitas yang lebih baik dari silase yang jelek. Tekstur

silase merupakan salah satu komponen penting dalam menilai kualitas silase.

Kualitas silase yang baik umumnya memilki tekstur yang mirip dengan aslinya dan

dalam silase tidak terdapat jamur.

Silase sebagai teknik menurunkan pH lingkungan hijauan ternyata

dipengaruhi oleh iklim wilayah pembuatan silase, tingginya nilai pH silase yang

dibuat di daerah tropis dibanding dengan nilai pH silase yang dibuat di daerah

subtropis disebabkan rumput tropis pada umumnya berbatang, berserat tinggi, dan

rendah kandungan karbohidrat mudah terfermentasi, sehingga pada pembuatan silase

rumput tropis perlu ditambahkan pakan sumber karbohidrat mudah terfermentasi

sebagai makanan bagi bakteri penghasil asam (Kondo, 2004). Disamping itu, pH

silase yang tinggi juga disebabkan dalam pembuatan silase di daerah tropis tidak

ditambah dengan bahan pengawet (Siregar, 1996).

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka(1)

8

Disamping pH warna silase merupakan salah satu kriteria penilaian kualitas

silase. Menurut Siregar (1996), secara umum silase yang baik mempunyai warna

hijau atau kecoklatan. Namun dalam proses pembuatan silase ditemukan perubahan

warna. Menurut Reksohadiprodjo (1988), perubahan warna ini terjadi karena proses

respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai

gula sederhana pada tanaman habis. Gula sederhana yang terdapat pada silase akan

teroksidasi menjadi CO2

Silase merupakan teknik penyimpanan yang memanfaatkan proses fermentasi

oleh bakteri asam laktat yang memiliki kemampuan dalam merubah lingkungan

sekitar silo menjadi asam. pH yang rendah ini menyebabkan bakteri pembusuk tidak

dapat tumbuh. Bakteri asam laktat (BAL) juga menghasilkan hidrogen peroksida

yang bersifat racun terhadap bakteri pembusuk (Muck, 2002). Selain bakteri asam

laktat di dalam silase terdapat bakteri yang memiliki fungsi bertolak belakang dengan

bakteri asam laktat seperti Bacterium herbicola, Escherichia coli, Bacillus sp,

Listeria monocytogenes. Mikroba–mikroba ini memiliki kemampuan dalam

dan air, dan akan menghasilkan panas. Bila temperatur

terlalu panas, silase akan berwarna coklat tua sampai hitam. Hal ini menyebabkan

turunnya palatabilitas silase. Proses kenaikan temperatur pada silase juga dapat

menurunkan jumlah karbohidrat, serta dapat memicu proses denaturasi protein yang

dapat menurunan kecernaan protein. Warna coklat pada silase juga dapat disebabkan

oleh pigmen phatophytin suatu derivat klorofil yang tidak mengandung magnesium.

Pada proses pembuatan silase umur tanaman berpengaruh terhadap jumlah

karbohidarat mudah terfermentasi. Tanaman muda pada umumnya memiliki

kandungan karbohidrat mudah terfermentasi lebih tinggi. Karbohidrat ini nantinya

akan dirombak menjadi volatil fatty acid (VFA) yaitu asam laktat, asam asetat,

asam butirat, asam karbonat, serta alkohol dalam jumlah yang kecil (Oliveira, 2009).

Asam laktat merupakan komponen penting dalam pengawetan silase, namun asam

lemak terbang lain seperti asam butirat bila terlalu tinggi akan menyebabkan

penurunan kualitas silase. Perlu diketahui bahwa aktivitas mikroba pembusuk seperti

spesies Clostridium sp akan mengubah asam laktat yang baik bagi kualitas silase

menjadi asam butirat yang bersifat merusak silase (Salawu, 1999).

Pengaruh Mikroba dan Tanin Terhadap Kualitas Silase

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka(1)

9

merombak bahan organik dan protein menjadi CO2, CH4, CO, NO, NO2 dan air

(Ohmomo et al., 2002).

Kualitas silase selain ditentukan oleh mikroba–mikroba yang terdapat dalam

lingkungan silo, juga dipengaruhi oleh senyawa metabolit sekunder. Penambahan

tanin yang berasal dari tanaman chestnut, mimosa atau residu daun teh hijau

meningkatkan kualitas silase yang ditandai dengan penurunan degradasi bahan

kering (BK) dan protein kasar (PK) selama ensilase, serta konsentrasi N-amonia atau

N total, hal ini dapat menujukkan bahwa pembusukan yang dilakukan mikroba

berkurang (Salawu et al., 1999; Kondo et al., 2004, dan Tabacco et al., 2006).

Santoso et al. (2007) juga melaporkan bahwa penambahan tanin yang berasal dari

residu daun teh hitam menurunkan degradasi BK dan PK selama ensilase rumput

gajah. Oleh sebab itu, senyawa tanin dapat dijadikan agen proteksi protein yang

bersifat alami selama ensilase. Salawu et al. (1999) menyatakan bahwa tanin dapat

menghambat aktivitas bakteri dan jamur, hal ini berpengaruh terhadap jumlah

konversi asam laktat yang diubah menjadi asam asetat, etanol atau butirat. Penurunan

konversi ini terjadi akibat bakteri Closridium sp yang merupakan bakteri pembusuk

jumlahnya menurun, hal ini ditunjukkan oleh penurunan jumlah asam butirat dalam

silase. Yahaya et al. (2004) dan Santoso et al. (2010), menyatakan bahwa

peningkatan kadar tanin akan menurunkan jumlah NDF dan hemiselulosa. Menurut

Santoso (2010) penurunan NDF dan hemiselulosa dapat meningkatkan kualitas

silase, karena dapat meningkatkan kecernaan silase oleh ternak.

Penelitian–penelitian diatas menyatakan bahwa tanin memiliki pengaruh

positif terhadap kualitas silase. Penelitian Oliveira et al. (2009) menyatakan bahwa

hasil silase dari sorgum bertanin tinggi dan bertanin rendah tidak berbeda nyata

terhadap jumlah kadar asam butirat, propionat, dan asetat. Kadar NH3 pada

penelitian ini menunjukkan jumlah yang lebih tinggi pada silase sorgum dengan

kadar tanin tinggi daripada silase sorgum pada kadar tanin rendah baik yang

ditambah dengan polyetilen glycol maupun tidak, sedangkan penelitian lain

menyatakan bahwa tanin tidak berpengaruh terhadap proses fermentasi dalam silase,

tetapi tanin mampu menjaga protein dari proses de-aminasi (Cavallarin, 2007).

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka(1)

10

Meta-analisis

Meta-analisis merupakan suatu studi dengan cara menganalisis data yang

berasal dari studi primer. Hasil analisis studi primer dipakai sebagai dasar untuk

menerima atau mendukung hipotesis, menolak atau menggugurkan hipotesis yang

diajukan oleh beberapa peneliti (Sugiyanto, 2004). Teknik meta-analisis dapat juga

digunakan sebagai alat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baru dengan

berpedoman pada data lama yang dimiliki (Glass, 1981). Sutjipto (1995)

menyatakan bahwa meta-analisis adalah salah satu teknik merangkum berbagai hasil

penelitian secara kuantitatif.

Meta-analisis pada awalnya dikembangkan dalam proses penelitian psikologi,

kesehatan, dan ilmu sosial, namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan

terutama dalam bidang nutrisi makanan ternak maka metode ini diadopsi dalam

menjawab permasalahan–permasalahan yang ada dalam bidang tersebut (Sauvant et

al., 2008).

Meta-analisis memiliki keuntungan dalam membantu peneliti di negara

berkembang yang tidak memiliki peralatan dan dana yang memadai untuk

melakukan penelitian melalui pengumpulan data publikasi ilmiah di seluruh dunia.

Meta-analisis juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk menguji hipotesis suatu

penelitian secara global, seperti menguji pengaruh obat, dan feed aditif yang

terdapat dalam beberapa publikasi ilmiah. Metode ini dapat juga dimanfaatkan

sebagai model empiris suatu respon biologis ternak terhadap suatu perlakuan. Meta-

analisis juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dan meringkas suatu

pengukuran yang didapatkan dari penelitian sekunder atau data minor dari suatu

penelitian utama (Sauvant et al., 2008). Metode ini sangat membantu dalam

permodelan percobaan secara mekanistik, untuk mengestimasi atau menduga

parameter dan memperkirakan variabel tetap suatu model matematis respon ternak

terhadap suatu perlakuan (Sauvant et al., 2008).

Proses meta-analisis pada ilmu peternakan yang selama ini dilakukan

seringkali mengabaikan efek studi, dengan mengabaikan efek studi ini akan

mengakibatkan tingginya nilai bias atau eror pada nilai slope dan intercept pada

model matematis yang didapat (St-Pierre, 2001). Studi ini disebut juga sebagai fixed

effect. Secara garis besar pengertian fixed effect adalah proses analisis yang hanya

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka(1)

11

berkonsentrasi pada nilai peluang dan mengabaikan variasi penelitian, oleh karena itu

diperlukan analisis yang mampu mengurangi pengaruh perbedaan variasi dalam

pengumpulan data. Analisis yang mampu mengurangi pengaruh variasi antar studi

adalah random effect, dengan menggunakan metode analisis ini akan didapatkan

selang kepercayaan yang lebih lebar dibandingkan fixed effect, sehingga pada

penelitian ini dilakukan proses penggabungan antara metode fixed effect dan random

effect yang selanjutnya disebut mixed model, dengan metode ini kelebihan dan

kekurangan kedua analisis dapat digabungkan. Analisis mixed model ini terdapat

pada software SAS 9.1 (St-Pierre, 2001).

Penelitian meta-analisis diawali dengan pengumpulan data dari berbagai

jurnal secara objektif, dengan pendekatan konsep yang baik, selanjutnya dilakukan

penyeleksian jurnal dan tabulasi data. Dari hasil penyeleksian tersebut, dilakukan

analisis grafik yang dilanjutkan dengan pembuatan desain meta-analisis, setelah

proses pembuatan grafik selesai dilakukan proses seleksi model statistik yang tepat,

kemudian setelah tahap diatas selesai maka dilakukan analisis dan evaluasi, apabila

terjadi kesalahan bisa dilakukan pemeriksaan data pada tahap–tahap sebelumnya,

setelah dirasa benar maka hasil meta-analisis dapat digunakan (Sauvant et al., 2008).