bab ii tinjauan pustaka -...

35
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab tinjauan pustaka ini penulis akan menguraikan teori teori hukum. Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, teori hukum adalah disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan ajaran hukum umum. 19 Kemudian menurut J.J.H Bruggink, teori hukum merupakan seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan aturan hukum dan putusan putusan dan sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan. Kemudian Bruggink menjelaskan teori hukum dalam arti luas berarti merujuk kepada pemahaman sebagai bagian (cabang sub disiplin) teori hukum, yaitu sosiologi hukum yang berbicara keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik dari hukum dan teori hukum dalam arti sempit berbicara tentang keberlakuan formal atau keberlakuan normatif hukum. 20 Oleh karena itu pada Bab ini tulisan akan diarahkan untuk mengurai serta menjelaskan, pertama mengenai Konsep Hukum Persaingan Usaha, kedua dilanjutkan dengan menjelaskan Teori tentang kartel, ketiga akan menjelaskan teori kesepakatan kehendak, keempat akan membahas mengenai terori arti pembuktikan dalam hukum (ilmiah, konvensionil dan yuridis) dan diakhiri dengan teori tentang pembuktian tidak langsung atau circumstantial evidence yang berlaku secara khusus dalam persaingan usaha. 19 Otje Salman S., SH dan A.F. Susanto S.H. M.Hum, Teori Hukum, cetakan ke-8, Refika Aditama, Bandung: 2015, h. 54 20 Ibid h. 60

Upload: trancong

Post on 17-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab tinjauan pustaka ini penulis akan menguraikan teori – teori hukum.

Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, teori hukum adalah disiplin mandiri

yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan ajaran hukum

umum.19 Kemudian menurut J.J.H Bruggink, teori hukum merupakan seluruh

pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan –

aturan hukum dan putusan – putusan dan sistem tersebut untuk sebagian penting

dipositifkan. Kemudian Bruggink menjelaskan teori hukum dalam arti luas berarti

merujuk kepada pemahaman sebagai bagian (cabang sub disiplin) teori hukum,

yaitu sosiologi hukum yang berbicara keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik

dari hukum dan teori hukum dalam arti sempit berbicara tentang keberlakuan

formal atau keberlakuan normatif hukum.20

Oleh karena itu pada Bab ini tulisan akan diarahkan untuk mengurai serta

menjelaskan, pertama mengenai Konsep Hukum Persaingan Usaha, kedua

dilanjutkan dengan menjelaskan Teori tentang kartel, ketiga akan menjelaskan teori

kesepakatan kehendak, keempat akan membahas mengenai terori arti pembuktikan

dalam hukum (ilmiah, konvensionil dan yuridis) dan diakhiri dengan teori tentang

pembuktian tidak langsung atau circumstantial evidence yang berlaku secara

khusus dalam persaingan usaha.

19 Otje Salman S., SH dan A.F. Susanto S.H. M.Hum, Teori Hukum, cetakan ke-8, Refika

Aditama, Bandung: 2015, h. 54 20Ibid h. 60

13

A. Hukum Persaingan Usaha

Pada sub judul bagian pertama ini penulisan akan menjelaskan mengenai

awal pengaturan hukum persaingan usaha di Indonesia, kemudian akan dilanjutkan

dengan membahas karakteristik hukum persaingan usaha. Sub judul ini mempunyai

maksud dan tujuan untuk memberikan pemahaman bahwa hukum persaingan usaha

merupakan sub bidang hukum yang mempunyai ciri khusus yaitu tidak adanya batas

yang tegas apakah hukum persaingan usaha merupakan sub bidang hukum privat

atau hukum publik. Berikut penjelasan mengenai hal tersebut.

1. Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Pengaturan mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia sekarang ini

mengacu pada Undang – undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU

Antimonopoli) yang disahkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada

tanggal 5 Maret 1999.

Sejak dimulainya proses globalisasi ekonomi di beberapa negara di

sepanjang dekade 1980an –an dan 1990-an, telah banyak negara – negara yang

mengadopsi kebijakan deregulasi, privatisasi serta perdagangan bebas.21 Proses

globalisasi ekonomi yang terjadi tersebut juga bersamaan waktunya dengan

kehadiran World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO). Di dalam WTO,

terdapat seperangkat perjanjian – perjanjian tentang barang dan jasa dengan

beraneka ragam pengaturan – pengaturan tentang bagaimana negara – negara

21 Rhido Jusmadi, Kosep Hukum Persaingan Usaha : Sejarah, Perdangan Bebas, dan

Pengaturan Merger – Akuisis, Setara Pres, Malang : 2014, h. 6

14

anggota berproduksi dan berdagang, serta memastikan bahwa di dalam pasar global

terjadi persaingan yang sehat.22 Oleh karena itu setiap negara yang menjadi anggota

WTO berupaya untuk membuat suatu regulasi tentang bagaimana para pelaku usaha

ekonomi untuk melakukan kegiatan usahanya secara sehat, sehingga tidak memicu

adanya konflik yang menyebabkan hilangnya kepercayaan pelaku usaha (pemodal

lokal ataupun investor) terhadap suatu negara. Untuk mewujudkan hal tersebut

maka salah satu upaya negara – negara tersebut adalah dengan membuat suatu

undang – undang atau kebijakan yang mengatur tentang tindakan unfair

competition atau persaingan usaha yang sehat.

Penerbitan UU Antimonopoli sendiri di Indonesia merupakan upaya

Indonesia untuk mereformasi hukum di bidang ekonomi yang berasaskan pada

demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan

pelaku usaha dengan kepentingan umum dengan tujuan untuk menjaga kepentingan

umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif

melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian

kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktek-praktek

monopoli serta menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam rangka meningkatkan

ekonomi nasional.23

Fenomena yang terjadi pada awal 1990-an telah berkembang dan didukung

oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku

usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk

keadaan.24 Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan

22 Rhido Jusmadi, Ibid. 23 Devi meyliana,Hukum Persaingan Usaha, Setara Pres, Malang : 2013, h. 1 24 Baca bagian umum penjelasan Undang – undang nomor 5 tahun 1999 tentang larang

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

15

kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial.

Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak

didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang

mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu

bersaing.25 Oleh karena itu dengan hadirnya UU Antimonopoli juga merupakan

upaya negara dalam memperbaiki kegiatan usaha ekonomi di Indonesia agar

masyarakat mendapat kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam

kelangsungan pembangunan ekonomi negara di berbagai sektor usaha sehingga

dapat mencerminkan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan amanat Pasal 33

Undang – undang Dasar Republik Indonesia.

2. Karakteristik Hukum Persaingan Usaha

Dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia, hukum persaingan usaha

(competition law) merupakan pengembangan dari hukum ekonomi (economic law)

yang memiliki karakteristik tersendiri yang salah satunya adalah sifat fungsional

dengan meniadakan perbedaan antara hukum publik dan hukum privat yang selama

ini dikenal.26 Sunaryati Hartono berpendapat bahwa hukum dagang dalam

penelitiannya dan penyajian mata kuliah hukum dagang (lama) bersifat perdata

murni, sedangkan hukum ekonomi di Indonesia tidak hanya bersifat perdata tetapi

memerlukan metode penelitian dan penyajian interdisipliner, dimana hukum

ekonomi tidak hanya bersifat perdata melainkan juga mempunyai kaitan erat

dengan hukum administrasi negara, hukum pidana dan bahkan tidak mengabaikan

25 Ibid 26, Rachmadi Usman Hukum Acara Persaingan usaha di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta : 2013, h. 1

16

hukum publik internasional dan hukum perdata internasional.27 Sunaryati Hartono

juga menambahkan hukum ekonomi di Indonesia juga membutuhkan landasan

pemikiran dari bidang ilmu lain yang diantaranya filsafat, bidang ekonomi,

sosiologi, bidang administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan dan

bahkan futurology.28

Oleh karena itu, hukum persaingan usaha yang merupakan lex specialis dari

hukum ekonomi tentunya juga mempunyai karakter yang khas dalam substansinya,

sehingga para penegak hukum yang berwenang untuk meyelesaikan perkara

persaingan usaha diharapkan tidak saja memiliki kemampuan hukum, melainkan

juga perlu pengetahuan yang baik di bidang – bidang ilmu lainnya yang mempunyai

kaitan dengan hukum persaingan usaha itu sendiri.

Skema lingkaran hukum persaingan usaha dari Agus Brotosusilo

sebagaimana yang diadopsi dan disempurnakan oleh HMBC Rikrik Rizkiyana

dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini 29

27 Rachmadi Usman Ibid, h. 3

28 Rachmadi Usman Ibid. 29 Ibid. h. 5

17

Gambar 1. The circling scheme of position of the competition Law

B. Kartel

Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya dibatasi oleh UU

Antimonopoli. Yang dimaksud dengan dibatasi adalah ada beberapa hal yang tidak

boleh dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya yang termuat

dalam UU Antimonopoli tersebut. Ada tiga hal pokok yang dilarang dalam UU

Antimonopoli yaitu: tentang perjanjian yang dilarang yang diatur didalam Bab III,

selanjutnya tentang kegiatan yang dilarang yang diatur dalam Bab IV dan tentang

larangan posisi dominan yang diatur dalam Bab V.

18

Pada Pasal 11 UU Antimonopoli mengatur agar para pelaku usaha untuk

tidak melakukan kartel dengan pesaingnya. Hal ini mengartikan bahwa kartel

merupakan salah satu perbuatan yang mempunyai dampak buruk bagi dunia usaha.

Berikut ini adalah ulasan mengenai kartel itu sendiri yang dimulai dari pengertian

serta jenisnya, kemudian dilanjutkan dengan pengaturan kartel dalam UU

Antimonopoli beserta aspek – aspeknya.

1. Pengertian dan Jenis – jenis Kartel

Kartel adalah persekongkolan atau persekutuan diantara beberapa produsen

produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga dan penjualannya

serta untuk mendapatkan posisi monopoli.30 Dalam Black law’s Dictionary

menyatakan bahwa kartel sebagai berikut :

“A combination of producers of any product joined together to

control its production, sale, and price, so as to obtain a monopoly

and restrict competition in any particular industry or commodity.

Such exist primarily in Europe, being restricted in Unit-ed States

by antitrust laws. Also, an association by agreement of companies

or sections of companies having common interests, designed to

prevent extreme or unfair competition and allocate markets, and to

promote the interchange of knowledge resulting from scientific and

technical research, exchange of patent rights, and stand-ardization

of products.”31

Richard A. Posner mengartikan kartel sebagai :32

A contract among competing seller to fix the price of product they

sell (or, what is the small thing, to limit their ouput) is likely any

other contract in the sense that the parties would not sign unless

they expected it to make them all better off.

30 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Kencana, Jakarta : 2012, h.

176 31 Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary 6th edition, St. Paul Minn West

Publishing Co. :1990, h. 215 32 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Indonesia : teori dan Prakteknya di

Indonesia, Raja Grafindo Persada : 2010, h. 117

19

Jadi pada pokoknya kartel merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh

para produsen untuk mengontrol produksi, harga serta cara penjualan dengan

maksud untuk menghindari adanya persaingan diantara mereka agar para produsen

tersebut memperoleh keuntungan lebih besar ataupun untuk memonopoli pasar.

Kartel merupakan salah satu jenis perjanjian yang dilarang oleh UU Antimonopoli

di Indonesia. Hal ini disebabkan kartel dapat saja membuat konsumen untuk

membeli suatu barang diatas kewajaran atau membeli lebih mahal dari pada

biasanya sehingga dalam hal ini konsumen dirugikan dan dalam hal lain juga kartel

yang dilakukan oleh produsen dapat menghambat pesaing baru untuk masuk ke

dalam pasar. Kerugian – kerugian yang dialami konsumen yang disebutkan di atas

dapat juga terjadi karena produsen bersepakat untuk mengatur jumlah penawaran

yang tujuannya untuk menghasilkan suatu kelangkaan, dengan adanya kelangkaan

tersebut maka permintaan akan naik dan apabila permintaan lebih tinggi dari

penawaran maka harga produk tersebut akan melonjak naik dan tentu saja hal ini

merugikan konsumen. Selain itu apabila produsen produk sejenis bersepakat untuk

mengatur jumlah produksi barang banyak otomatis harga akan turun karena jumlah

penawaran lebih banyak dari permintaan, hal ini dapat menghambat pesaing baru

untuk masuk dalam pasar yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian sudah

sepantasnya perilaku kartel tidak diperbolehkan dalam kegiatan usaha.

20

Beberapa jenis kartel yang dikenal dalam persaingan usaha adalah sebagai

berikut :33

a. Kartel harga pokok (prijskartel)

Di dalam kartel harga pokok anggota – anggota menciptakan peraturan

diantara mereka untuk perhitungan kalkulasi harga pokok dan besarnya laba. Pada

kartel ini ditetapkan harga – harga penjualan bagi para anggota kartel. Benih dari

persaingan kerap kali juga datang dari perhitungan laba yang akan diperoleh suatu

badan usaha. Dengan menyeragamkan laba, maka persaingan diantara mereka dapat

dihindarkan.

b. Kartel harga

Dalam kartel ini ditetapkan harga minimum untuk penjualan barang –

barang yang mereka produksi atau perdagangkan. Setiap anggota tidak

diperkenankan untuk menjual barang – barangnya dengan harga yang lebih rendah

dari pada harga yang telah ditetapkan itu. Pada dasarnya anggota – anggota itu

dibolehkan untuk menjual diatas harga yang akan di tetapkan, akan tetapi tanggung

jawab sendiri.

Kartel harga pokok (prijskartel) dengan kartel harga mempunyai kesamaan

yaitu merupakan suatu perencanaan tentang pengaturan harga suatu barang. Namun

antara keduanya sebenarnya juga memiliki perbedaan. Dalam kartel harga pokok

(prijskartel) yang diatur atau yang direncanakan oleh para pelaku kartel itu sendiri

adalah harga pokok dengan tujuan adanya keseragaman laba atau keuntungan

33 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 180-182

21

diantara mereka. Contoh para produsen sepatu olahraga PT. Adindas dengan PT.

Nikeardi melakukan pengaturan harga jual sepatu tipe running untuk orang dewasa

dengan harga tujuh ratus ribu rupiah. Dengan demikian apabila dalam setahun

mereka membuat sepatu tipe running dengan jumlah yang sama maka

keuntungannya pun akan sama.

Berbeda ceritanya dengan kartel harga. Dalam kartel harga yang diatur oleh

para pelaku usaha adalah harga terendah suatu barang, sehingga keuntungan atau

laba dari para anggota kartel tersebut dapat bervariasi tergantung dari berapa harga

yang ditetapkan. Contoh para produsen sepatu olahraga PT. Adindas dengan PT.

Nikeniki melakukan pengaturan harga jual sepatu futsal dengan harga terendah

empat ratus ribu rupiah, kemudian PT. Adindas menjual sepatu futsal dengan harga

empat ratus lima puluh ribu rupian dan PT. Nikeniki menjual dengan harga empat

ratus ribu rupiah. Dengan demikian walaupun keduanya memproduksi sepatu

dalam jumlah yang sama dalam setahun, keuntungan atau laba yang didapat akan

berbeda.

c. Kartel kondisi atau syarat

Di dalam kartel ini terdapat penetapan di dalam syarat penjualan, misalnya

kartel juga menetapkan standar kualitas barang yang dihasilkan atau dijual,

menetapkan syarat – syarat pengiriman apakah ditetapkan loco gudang, FOB, C&F,

CIF, pembungkusnya dan syarat – syarat pengiriman lainnya. Apa yang

dikehendaki adalah keseragaman diantara para anggota yang tergabung dalam

kartel tersebut. keseragaman tersebut perlu di dalam kebijaksanaan harga, sehingga

tidak akan terjadi persaingan diantara mereka.

22

Perbedaan kartel kondisi atau syarat ini dengan kedua jenis kartel yang

sudah disebutkan sebelumnya adalah pada materi yang diatur. Dalam kartel harga

pokok (prijskartel) dan kartel harga yang diatur adalah spesifik atau langsung

mengatur mengenai harga, sedangkan dalam kartel kondisi atau syarat hal yang

diatur adalah syarat – syarat penjualan yang nantinya akan berdampak pada harga

penjualan. Contoh produsen gitar PT. Nadaku dan PT. Sumbangmu mengatur bahan

produksi gitar jenis ukulele berbahan dasar kayu mahoni. Otomatis kualitas gitar

ukulele dari kedua produsen tersebut akan sama dan pastinya juga pengeluaran

biaya faktor produksi bahan dasar gitar juga akan sama. Sehingga dengan demikian

harga gitar ukulele kedua produsen tadi yang akan dilemparkan ke pasar pun tidak

akan jauh berbeda.

d. Kartel rayon

Kartel rayon atau kadang – kadang disebut juga kartel wilayah/daerah

pemasaran berkaitan dengan perjanjian diantara para anggotanya untuk membagi

daerah pemasaran, misalnya atas dasar wilayah tertentu atau dasar jenis barang.

Penetapan wilayah ini kemudian diikuti oleh penetapan harga untuk masing –

masing daerah. Dalam hal itu kartel rayon pun menentukan pula suatu aturan bahwa

setiap anggota tidak diperkenankan menjual barang – barangnya di daerah lain.

Dengan demikian dapat dicegah persaingan diantara para anggota, yang mungkin

harga barang – barangnya berlainan.

23

e. Kartel kontigentering

Kartel jenis ini juga disebut sebagai kartel jenis produksi. Perjanjian pada

kartel jenis ini menekankan pada pembatasan produksi masing – masing

anggotanya biasanya didasarkan atas jumlah atau persentase tertentu dari total

produksi. Tujuannya untuk mengatur jumlah produksi yang beredar, sehingga harga

bisa dipertahankan pada tingkat tertentu. Biasanya perusahaan yang memproduksi

lebih sedikit dari pada jatah yang sisanya menurut ketentuan, akan diberi premi

hadiah. Akan tetapi, bila melakukan hal yang sebaliknya maka akan didenda.

Maksud dari peraturan ini untuk mengadakan restriksi yang kental pada banyak

persediaan, sehingga harga jual barang – barang yang mereka jual dapat dinaikkan.

Ambisi kartel kontigentering biasanya untuk mempermainkan jumlah persediaan

barang dan dengan cara itu harus berada dalam kekuasaannya.

f. Sindikat penjualan atau kantor penjualan

Di dalam kartel penjualan ditentukan bahwa penjualan hasil produksi dari

anggota harus melewati sebuah badan tunggal, yaitu kantor penjualan pusat.

Persaingan diantara mereka akan dapat dihindarkan karenanya.

g. Kartel laba atau pool laba

Di dalam kartel laba, anggota kartel menentukan peraturan yang

berhubungan dengan laba yang mereka peroleh. Laba yang diperoleh anggota kartel

terlebih dahulu disetorkan ke kas pusat (sistem pool) baru kemudian dibagikan

kepada anggotanya berdasarkan formula yang ditetapkan bersama. Misalnya bahwa

laba kotor harus disentralisasikan pada suatu kas umum kartel, kemudian laba

24

bersih kartel dibagi – bagikan dengan anggota kartel dengan perbandingan yang

tertentu pula.

2. Kartel dalam Undang – undang Nomor 5 Tahun 1999

Dalam hukum positif di Indonesia, kartel diatur dalam Pasal 11 UU

Antimonopoli yang berbunyi sebagai berikut :

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha

pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.

Dari rumusan Pasal 11 UU Antimonopoli di atas sekurang kurangnya terdiri

dari 3 (tiga) aspek penting yang saling berkaitan sehingga terjadinya kartel tersebut.

Tiga aspek tersebut diantaranya adalah aspek subyektif (pelaku), aspek perjanjian

(bentuk dan isi) dan aspek akibat dari perjanjian tersebut. Oleh karena itu untuk

membuktikan adanya perilaku kartel maka pihak yang mempunyai otoritas untuk

memutus perkara kartel haruslah menilai dari ketiga aspek tersebut. Berikut

penjelasan mengenai ketiga aspek tersebut.

a. Aspek pelaku

Yang dimaksud dengan aspek pelaku disini adalah subyek hukum yang

dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran kartel yang dilakukan. Tidak

semua subyek hukum dapat dikenakan pasal ini, sebab pada Pasal 11 ini merujuk

pada subyek hukum pelaku usaha baik itu orang atau badan usaha yang melakukan

kegiatan ekonomi. Menurut Pasal 1 angka 5 UU Antimonopoli menyebutkan

bahwa, pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

25

berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik

sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai

kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Untuk membuat suatu perjanjian tentunya minimal harus terdiri dari dua

pihak dan tentunya hal tersebut berlaku juga pada kartel. Pada ulasan diatas sudah

disebutkan bahwa perjanjian tersebut dilakukan oleh pelaku usaha. Namun selain

pelaku usaha, Pasal 11 UU Antimonopoli juga menyebutkan ”pelaku usaha

pesaingnya”. Yang dimaksud dengan pelaku usaha pesaingnya adalah pelaku usaha

lain yang berada dalam pasar yang bersangkutan.34 Kemudian tentang pasar

bersangkutan Pasal 1 angka 10 UU Antimonopoli memberikan pengertian bahwa

pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah

pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan jasa yang sama atau sejenis

atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.

Sesuai pengertian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 10 pasar

bersangkutan dibagi menjadi dua aspek utama yakni produk dan geografis (lokasi).

Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari produk tertentu

ditambah dengan produk lain yang bisa menjadi substitusi dari produk tersebut dan

pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat meningkatkan

harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan

konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah

tersebut.35

34 KPPU, Pedoman Pasal 11 tentang kartel, h. 16 35 Peraturan komisi Pasal 1 angka 10

26

Jadi, untuk memenuhi aspek subyektif dari Pasal 11 UU Antimonopoli

maka para pembuat perjanjian tersebut minimal terdiri dari dua pelaku usaha

kegiatan ekonomi yang menjual produk yang sejenis atau substitutif yang memiliki

jangkauan pemasaran yang sama.

b. Aspek perjanjian

Yang dimaksud dengan aspek perjanjian yang akan dibahas di sini adalah

terkait dengan bentuk atau cara dari perjanjian tersebut dibuat dan substansi dari

perjanjian tersebut. Menurut Pasal 1 angka 7 UU Antimonopoli, perjanjian adalah

suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu

atau lebih usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal

ini tentu sejalan dengan pengertian mengenai bentuk dari suatu perjanjian yang

diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata.

Untuk membuktikan adanya suatu perjanjian tertulis dimuka pengadilan

tentu saja sangat mudah yaitu dengan cara menunjukkan akta perjanjian yang dibuat

dan disepakati oleh para pihak pada majelis hakim, baik itu akta otentik ataupun

akta di bawah tangan. Namun berbeda ceritanya apabila ingin membuktikan suatu

perjanjian tidak tertulis dimuka persidangan. Perjanjian tidak tertulis tentu tidak

meninggalkan dokumen sebagai pertanda bahwa terjadi kesepakatan namun hal ini

dapat dibuktikan dengan adanya keterangan dari saksi. Kesaksian atau keterangan

saksi dimuka pengadilan baik itu dalam ranah acara perdata maupun pidana sama –

sama mengenal asas unus testis nullum testis, yang artinya bahwa satu saksi

bukanlah saksi. Sehingga dalam menghadirkan saksi untuk membuktikan suatu

perjanjian maka diperlukan lebih dari satu saksi.

27

Berkaitan dengan substansi atau isi dari kartel adalah suatu kesepakatan

yang dimaksudkan untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan

atau pemasaran barang dan atau jasa. Mengatur produksi yang dimaksud adalah

menentukan jumlah produksi barang dan atau jasa yang akan diproduksi oleh para

pelaku usaha sejenis tersebut, sedangkan mengatur pemasaran adalah mengatur

jumlah produk yang akan dijual di pasar.36

c. Aspek monopoli dan persaingan yang tidak sehat

Yang dimaksud dengan monopoli adalah pemusatan kekuatan oleh satu atau

lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran

atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak

sehat. Untuk mengetahui bahwa sekelompok pelaku usaha telah menguasai pasar

maka diperlukan analisa ekonomi yang menggunakan metode ekonomi tertentu

untuk melihat pangsa pasar yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan persaingan

usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan

produksi dan pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak

jujur.

36 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pedoman Pasal 11 Tentang Kartel, h. 16

28

C. Arti Pembuktian dalam Hukum

Dalam kamus bahasa Indonesia pembuktian berarti berbagai macam bahan

yang dibutuhkan oleh hakim, baik yang diketahui sendiri oleh hakim maupun yang

diajukan oleh saksi untuk membenarkan atau menggagalkan dakwaan atau

gugatan.37 Kemudian R. Supomo berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua

arti :38

a. Dalam arti luas ialah pembuktian membenarkan hubungan hukum.

b. Dalam arti terbatas ialah pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang

dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat dan hal yang

tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.

Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa “membuktikan” mengandung

beberapa pengertian:

1. Pembuktian dalam arti logis dan atau ilmiah 39

Pembuktian dalam arti logis dan atau ilmiah artinya memberi kepastian

yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak

mungkin adanya bukti lawan. Berdasarkan axioma, yaitu asas-asas

umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya

pembuktian yang bersifat mutlak dan tidak dimungkinkan adanya bukti

lawan. Berdasarkan suatu axioma bahwa dua garis yang sejajar tidak

mungkin bersilang tidak dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari suatu

segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian ini tidak

37 Diunduh dari https://kbbi.web.id/alat, tanggal 20 agustus 2017 pukul 6.43. 38 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, h. 6 39 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke -8, Liberty,

Yogyakarta:2009, h. 136

29

dimungkinkan adanya pembuktian lawan. Disini axioma dihubungkan

menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan

yang diperoleh dari pengamalan, sehingga diperoleh kesimpulan-

kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.

2. Membuktikan dalam arti konvensionil40

Membuktikan berarti memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian

mutlak melainkan kepastian yang nibsi atau relative sifatnya yang

mempunyai tingkatan-tingkatan antara lain :

a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan

pada atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif (Conviction in

time).

b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh

karena itu disebut Conviction raisonnee.

3. Membuktikan dalam arti yuridis41

Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Dalam ilmu

hukum hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan

mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala

kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian

yang konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis

ini hanya berlaku bagi pihak – pihak yang berperkara atau yang

memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian yuridis

40 Ibid. h 136-137 41 Ibid. h.137

30

dalam tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan

bahwa pengakuan, kesaksian atau surat – surat itu benar atau dipalsukan.

Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan pembuktian

secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian “historis”. Pembuktian

yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa saja yang telah

terjadi secara konkret.

Baik dalam pembuktian yuridis maupun pembuktian ilmiah, maka

membuktikan hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa

peristiwa – peristiwa tertentu dianggap benar.

Kesamaan dari tiga jenis pembuktian ini adalah bahwa membuktikan berarti

memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar didasarkan pada

pengalaman dan pengamatan.42 Tujuan dari membuktikan secara yuridis berbeda

dengan tujuan pembuktian ilmiah. Tujuan dari pembuktian yuridis adalah

mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan adanya

akibat hukum, sedangkan pembuktian ilmiah adalah suatu konstatasi peristiwa dan

bukan semata – mata untuk mengambil kesimpulan atau keputusan.43

Jadi dari definisi dan penjelasannya yang sudah dipaparkan mengenai

pembuktian maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian hukum adalah berbagai

macam cara yang dilakukan oleh hakim untuk menilai kebenaran suatu peristiwa

hukum dengan tujuan untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan

tidak meragukan akan adanya akibat hukum. Hakim dalam persidangan haruslah

memiliki pengalaman baik dalam bidang hukum dan non-hukum serta mempunyai

42 Ibid. h.138 43 Ibid.

31

pengamatan atas suatu pembuktian yang baik dengan harapan putusan yang

mempunyai akibat hukum tersebut mencerminkan nilai – nilai dari keadilan.

D. Kesepakatan Kehendak

Telah dibahas sebelumnya tentang kartel yang merupakan upaya – upaya

dari pelaku usaha untuk memonopoli pasar dengan cara membuat suatu

kesepakatan diantara mereka. Kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha

tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu mendapatkan keuntungan lebih dengan

cara meniadakan persaingan diantara mereka. Kesepahaman kehendak untuk tidak

saling bersaing diantara anggota kartel tersebut merupakan syarat mutlak untuk

menciptakan kesepakatan kartel. Oleh karena itu perlulah untuk dicermati dan

diteliti mengenai apa itu kesepakatan kehendak untuk tidak saling bersaing.

Pada sub bab ini juga akan dijelaskan mengenai makna dari perjanjian yang

terumus dalam Pasal 1 huruf g UU Antimonopoli. Cara untuk memahami makna

perjanjian tersebut dilakukan dengan cara membandingkannya dengan Pasal 1313

Kitab Undang – undang Hukum Perdata (selanjutnya sisingkat KUHPerdata) serta

membandingkannya dengan ketentuan mengenai “agreement” dalam hukum

persaingan usaha di Amerika.

32

1. Teori Kehendak dan Pernyataan

Ada dua jenis teori yang menjelaskan mengenai kesepakatan suatu

kehendak yang menimbulkan suatu perjanjian antar subyek hukum yang umum

berlaku pada Hukum Perdata. Teori tersebut adalah teori kesepakatan berdasarkan

kehendak dan teori kesepakatan berdasarkan pernyataan. Berikut adalah ulasan

mengenai kedua teori tersebut.

a. Teori kehendak (willstheorie)

Kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan,

kehendak sebagai batu penjuru dari seluruh hukum keperdataan masih diakui

sebagai ajaran yang berlaku di dunia barat.44 Menurut teori ini faktor yang

menentukan adanya perjanjian adalah kehendak, akan tetapi suatu kehendak harus

dinyatakan dengan demikian hubungan alamiah antara kehendak dengan

pernyataan terwujud. 45 Konsekuensi dari ajaran ini adalah bahwa jika pernyataan

dari seseorang tidak sesuai dengan keinginannya maka tidak akan terbentuk

perjanjian.46 Untuk membentuk suatu perjanjian maka perlu dinyatakan kehendak

tersebut dan sebaliknya tidak mungkin ada suatu perjanjian tanpa didahului suatu

kehendak.47

44 Herlin Budiyono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan, citra Aditia Bakti, Jakarata 2014, h . 76 45 Ibid 46 Ibid. h. 77 47 Ibid. h. 77

33

b. Teori pernyataan48

Teori ini berpendapat bahwa pembentukan kehendak adalah proses yang

terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang (innerlijk process). Karenanya, pihak lawan

tidak mungkin mengetahui apa yang berlangsung di benak seseorang. Konsekuensi

logisnya adalah bahwa suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak luar

tidak mungkin menjadi dasar terbentuknya perjanjian. Kekuatan mengikat

perjanjian dikaitkan pada fakta bahwa pihak yang bersangkutan telah memilih

melakukan tindakan tertentu dan tindakan tersebut mengarah atau memunculkan

keterikatan. Tindakan menjadi dasar bagi keterikatan karena “kehendak yang

tertuju pada suatu akibat hukum tertentu sebagaimana yang terejawantahkan dalam

pernyataan”. Terikatnya individu dilandaskan pada pernyataan individu tersebut,

tanpa perlu memperhatikan bahwa dalam perjanjian selalu ada dua atau lebih orang

yang masing – masing membuat suatu pernyataan.

Umumnya, suatu pernyataan muncul atau terwujud dalam rangkaian kata –

kata lisan maupun tulisan, bahkan sikap berdiam diri atau tidak berbuat dalam

keadaan tertentu dapat dimaksudkan sebagai suatu pernyataan.49 Gambar 2 dapat

digambarkan tentang bagaimana cara menyampaikan suatu kehendak. 50

48 Ibid. h. 77 49 Ibid. h. 94 50 Ibid.

34

Gambar 2. Cara Menyatakan Kehendak

2. Perjanjian Menurut Hukum Persaingan Usaha

Tujuan dari sub bab ini adalah untuk membandingkan konsep perjanjian

umum yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata dengan perjanjian yang ada

didalam hukum persaingan usaha yang diatur dalam Pasal 1 huruf g UU

Antimonopoli. Oleh karena itu untuk melihat perbedaan diantara keduanya maka

pertama perlu diurai kedua isi pasal tersebut.

Pasal 1 huruf g UU antimonopoli yang berbunyi :

“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha

untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha untuk

mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan

nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”

Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi :

”Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”

Tentang syarat sahnya suatu perjanjian tercantum dalam Pasal 1320

KUHPerdata yang terdiri dari : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

Pernyataan Kehendak

Secara tegas

Secara tertulis

Akta Otentik

Akta dibawah tangan

Secara lisan

Dengan tandaSecara diam

diam

35

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Suatu hal tertentu dan Suatu sebab

yang tidak terlarang.

Apabila dilihat secara sekilas maka perbedaan yang nampak pada kedua

definisi perjanjian tersebut terletak pada subyek yang ditujukan. Dalam UU

Antimonopoli subyeknya ditujukan khusus pada pelaku usaha, sedangkan pada

KUHPerdata ditujukan pada setiap orang. Secara otomatis kedudukan UU

Antimonopoli merupakan lex specialis untuk perjanjian yang dilakukan oleh pelaku

usaha. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah perjanjian seperti apa

yang dimaksud dalam UU Antimonopoli?

Untuk mengetahui perjanjian seperti apa yang dimaksud dalam UU

Antimonopoli maka perlu ditinjau dari tujuan dibuatnya perjanjian yang diatur

dalam Pasal 1 huruf g UU Antimonopoli. Perjanjian yang diatur dalam UU

Antimonopoli mempunyai maksud untuk membatasi perilaku usaha yaitu berupa

larangan untuk membuat perjanjian yang bermaksud untuk menghilangkan

persaingan usaha yang sehat. Sedangkan dalam KUHPerdata bertujuan untuk

memberikan perlindungan hukum kepada para pihak untuk mendapatkan hak atau

melakukan suatu kewajiban. Sehingga secara otomatis perjanjian yang diatur dalam

UU Antimonopoli merupakan perjanjian yang tidak sah atau ilegal, sedangkan

dalam KUHPerdata ditujukan untuk mensahkan suatu perjanjian. Sehingga dengan

demikian secara otomatis perjanjian yang dimaksud oleh UU Antimonopoli tidak

termasuk dalam kualifikasi Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu

perjanjian.

36

Sebagai perbandingan ada baiknya jika melihat dari konsep hukum

persaingan usaha Amerika mengenai kesepakatan “agreement” yang tertuang

dalam Code 1 Sherman Act. 51

“every contract, combination in the form of trust or otherwise, or

conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several stalls,

or with foreign nations, is hereby declared to be ilegal.”

Bahwa berdasarkan ketentuan diatas “agreement” di Amerika Serikat yang

mencangkup “contract”, “combination”, atau “conspiracy” yang menurut section

I dari the Sherman act mengharuskan adanya tindakan bersama-sama dari dua orang

atau lebih untuk membentuknya, sedangkan tindakan bersama (concerted action52)

hanya bisa dibenarkan apabila mereka mempunyai unity of purpose, atau

understanding, atau telah terjadi meeting of minds diantara mereka.53

Concerted action adalah suatu tindakan yang direncanakan, diatur dan

disepakati oleh para pihak secara bersama-sama dengan tujuan yang sama, masing-

masing yang melakukan perbuatan itu tidak mengikatkan diri baik tertulis maupun

lisan namun mereka memiliki tujuan yang sama.54 Pelaku concerted action akan

dipertanggungjawabkan atas tindakan bersama walau sekalipun dia tidak

mengikatkan diri, concerted action selalu diidentikkan dengan konspirasi.

Jadi dengan demikian konsep perjanjian dalam hukum persaingan usaha

dengan yang ada dalam buku III KUHPerdata terdapat perbedaan yang cukup

51 Diunduh dari https://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/1 tanggal 19 agustus 2017

pukul 14.03 52 Brian A garner, 8th edition, St. Paul Minn West Publishing Co., 2004, h. 871 concerted

action. An action that has been planned, arranged, and agreed on by parties acting together to

further some scheme or cause, so that all involved are liable for the actions of one another. — Also

termed concert of action. Lihat dan bandingkan: Premeditated joint activity (in furtherance of a

mutual cause or purpose) in which each involved party is liable for the actions of the other(s).

Diunduh dari http://www.businessdictionary.com/definition/concerted-action.html pada tanggal 8

agustus 2017 pukul 04:56. Lihat juga : concerted action. Activity performed by parties that have

agreed to jointly hold responsibility for any outcome, positive or negativefor their benefit. Di

undunduh dari : http://thelawdictionary.org/concerted-action/, tanggal 16 agustus 2017, pukul 04:56. 53 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit,. h. 112 54 Keteranga Nindyo Pramono saat menjadi ahli yang termuat dalam surat putusan

perkara penetapan harga motor matik dengan nomor perkara 04/KPPU-I/2016.

37

substansial. Dalam hukum persaingan perjanjian dikhususkan kesepakatan ilegal

yang dilakukan oleh pelaku usaha dan cakupan dari makna kesepakatan lebih luas

dibandingakan dengan KUHPerdata.

E. Circumstantial Evidence

Bukti tidak langsung atau circumstantial evidence merupakan suatu bukti

yang didasarkan pada proses inferensi dan bukan dalam pengetahuan atau observasi

pribadi dan Circumstantial evidence merupakan semua bukti yang tidak diberikan

oleh orang yang menjadi saksi mata dalam suatu peristiwa55 M. Burrill, dalam

bukunya yang berjudul A Treatise on the Nature, Principles and Rules of

Circumstantial Evidence menuliskan:

“Indirect evidence (called by the civilians, oblique, and more

commonly known as circumstantial evidence) is that which is applied

to the principal fact, indirectly, or through the medium of other facts,

by establishing certain circumstances or minor facts, already described

as evidentiary, from which the principal fact is extracted and gathered

by a process of special inference ....”56

Yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pembuktian tidak langsung

atau circumstantial evidence dalam suatu perkara ialah relevansi antara fakta

kejadian pelanggaran yang akan hendak akan dibuktikan dengan fakta – fakta

pendukung yang digunakan untuk membuktikan fakta kejadian pelanggaran

tersebut.

55Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, Minnesota : 2004, h.1678.

(Circumstantial evidence. 1. Evidence based on inference and not on personal knowledge or

observation. 2. All evidence that is not given by eyewitness testimony.) 56 Alexander M. Burrill, A Treatise on the Nature, Principles and Rules of Circumstantial

Evidence, Baker Voorhis and co., law Publisher, New York : 1868, h. 4

38

Dalam hukum acara baik di ranah hukum perdata maupun hukum publik

mengenal jenis pembuktian tidak langsung atau circumstantial evidence. Menurut

Hendar Sutarna alat bukti petunjuk dalam KUHAP merupakan alat bukti “yang

tercipta”, berbeda dengan alat bukti yang lain (alat bukti saksi, alat bukti surat, alat

bukti petunjuk) yang bernilai dan berkekuatan pembuktian atas hakikatnya sendiri,

alat bukti petunjuk terwujud karena adanya persesuaian perbuatan, kejadian atau

keadaan satu sama lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri.57

Kemudian alat bukti tidak langsung dalam KUHAPer adalah persangkaan.

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik suatu peristiwa yang telah dianggap

terbukti, lalu peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti.58

Pada umumnya jika hanya ada satu persangkaan saja, maka persangkaan tersebut

tidaklah dianggap cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu terbukti,

dengan lain perkataan persangkaan hakim itu baru merupakan bukti lengkap,

apabila saling berhubungan dengan persangkaan-persangkaan hakim yang lain

yang terdapat dalam perkara itu.59 Pengertian persangkaan hakim sesungguhnya

amat luas, segala peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari

pemeriksaan perkata tersebut, kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk

menyusun persangkaan hakim.

57 Hendar Soetarna, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, alumni, Bandung :

2011, H.75 58 Ny. Retnowulan, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata:

dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung : 2009. H.77 59 Ibid H.78

39

F. Circumstantial Evidance dalam Membuktikan Kartel pada

Hukum Persaingan Usaha

Dalam perilaku kerja sama, bukti (evidence) dapat dibagi menjadi dua jenis,

yaitu: 1) Direct Evidence, yaitu bukti yang dapat diamati (observable elements) dan

menunjukkan adanya suatu kesepakatan beserta substansi dari kesepakatan di

antara perusahaan-perusahaan di pasar dan 2) Indirect Evidence (Circumstantial

Evidence): bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan

diantara perusahaan - perusahaan di pasar.60

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kartel merupakan suatu tindakan yang

dilakukan oleh sekelompok pelaku usaha untuk mengontrol produksi, harga serta

cara penjualan dengan maksud untuk menghindari adanya persaingan diantara

mereka agar memperoleh keuntungan lebih besar ataupun untuk memonopoli pasar

dengan cara membuat suatu kesepakatan diantara mereka. Sudah tentu untuk

membuktikan kartel adalah dengan cara membuktikan adanya kesepakatan tersebut.

Namun permasalahannya disini adalah para pelaku usaha yang melakukan kegiatan

kartel tidak mungkin membuat suatu perjanjian tertulis yang dapat diketahui secara

bahwa mereka sedang bersepakat untuk melakukan kegiatan kartel.

Dengan ketidak mungkinan untuk menemukan bukti tertulis mengenai

adanya kesepakatan diantara para pelaku kartel maka munculah cara pembuktian

tidak langsung (indirec evidence) atau circumstantial evidence sebagai solusinya.

Sudah dijelaskan sebelumnya pada Bab II bahwa pembuktian tidak langsung

(indirec evidence) atau circumstantial evidence merupakan suatu bukti yang

60 Andi Fahmi Lubbis, Analisis Ekonomi Dalam Pembuktian Kartel, Jurnal Hukum Bisnis

volume 32 nomor 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2013, h. 390

40

didasarkan pada proses inferensi dan bukan dalam pengetahuan atau observasi

pribadi dan merupakan semua bukti yang tidak diberikan oleh orang yang menjadi

saksi mata dalam suatu peristiwa.Khusus pada hukum persaingan usaha,

circumstantial evidence terdiri dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi, berikut

ulasan mengeneai bukti komunikasi dan bukti ekonomi :61

Bukti komunikasi merupakan fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi

antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari pertemuan dan/atau

komunikasi tersebut.62 Organisation For Economic Co-Operation And

Development (OECD) memberikan kriteria bukti komunikasi sebagai berikut:63

records of telephone conversations (but not their substance)

between competitors, or of travel to a common destination or of

participation in a meeting, for example during a trade conference;

other evidence that the parties communicated about the subject –

e.g., minutes or notes of a meeting showing that prices, demand or

capacity utilisation were discussed; internal documents

evidencing knowledge or understanding of a competitor’s pricing

strategy, such as an awareness of a future price increase by a

rival.

Pada pokoknya bukti komunikasi dapat berupa tulisan ataupun lisan antar

pesaing dimana dalam komunikasi tersebut terdapat pembicaraan mengenai harga,

strategi masing – masing pelaku usaha (secara langsung maupun tidak langsung)

ataupun menunjukan dokumen internal perusahaan mereka. Hal tersebut

dimaksudkan agar adanya kesepahaman tentang harga antar pesaing yang nantinya

setiap pelaku usaha akan dapat memprediksi harga kompetitornya dikemudian hari.

61 Organisation For Economic Co-Operation And Development, Prosecuting Cartels

without Direct Evidence of Agreement, June 2007. Lihat dan Bandingkan dengan : Peraturan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat. 62 Putusan KPPU Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009, h. 57 – 58. Lihat juga, Organisation

For Economic Co-Operation And Development, Prosecuting Cartels without Direct Evidence of

Agreement, June 2007` 63 Op. Cit., Organisation For Economic Co-Operation And Development

41

Sehingga dengan demikian dimasa akan datang kemungkinan akan dapat

mengontrol harga dari tiap – tiap pelaku usaha yang bersaing dan secara otomatis

hal ini menghilangkan persaingan diantara mereka.

Bukti analisis ekonomi64 yaitu bukti yang terdiri dari dua tahapan berupa

analisis struktural, kemudian tahapan yang kedua terkait dengan analisis perilaku.

Analisis struktural diarahkan pada pembuktian apakah kesepakatan kartel

dimungkinkan terjadi di pasar bersangkutan (relevant market) dan analisis perilaku

atau perubahan yang ditujukan untuk membuktikan apakah perilaku di pasar

bersangkutan konsisten dengan perilaku kartel dan bukan perilaku bersaing.65

Hans W. Friederiszick menerangkan tentang economic analysis for cartel

detection - 3 principles and an outline of a two-step framework sebagai berikut:66

Principles for robust economic analysis in cartel cases

1. should be a credible threat

a) decrease false positives to some extent

b) easonably robust to eliminate fishing expeditions

(focus on changes; counterfactual analysis)

2. should not be easy to be circumvented (even if public)

(has to be addressed for each individual indicator)

(there should be no single indicator in general)

3. should not be too resource intensive

a) marginal information should be proportional to cost of

information gathering

b) has to take into account capabilities of competition

authority

Framework for economic analysis objectives

1. working group in Directorate General Competition

developed framework to strengthen economic analysis in

cartel cases

2. quantitative and qualitative economic analysis aimed at

establishing the requirements

64 Analisis ekonomi seringkali dikategorikan sebagai bagian dari analisis “Plus Factor”,

yaitu analisis tambahan dari bukti kesamaan harga (price parallelism). 65 Andi Fahmi Lubbis, Analisis Ekonomi Dalam Pembuktian Kartel, Jurnal Hukum Bisnis

volume 32 nomor 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2013, h. 391 66 Hans W. Friederiszick, “Detecting Cartels in Europe – the Role of Economics”, paper

presented at 25th Conference on Political Economy, 12-14 October 2006 Saarbrücken, h. 13-14

42

a) for issuing an inspection decision in a given antitrust

market;

b) justifying the opportunity cost of carrying out an

inspection.

(not a tool for proving the existence of cartels)

Pada tahapan analisis struktural yang harus dilakukan adalah menentukan

kemungkinan terjadi kertel tersebut ada dalam pasar bersangkutan. Apabila para

pelaku usaha tersebut tidak berada dalam pasar bersangkutan maka otomatis dugaan

kartel tersebut gugur karena para pelaku usaha tidak saling bersaing. Selanjutnya

apabila para pelaku usaha berada dalam pasar bersangkutan maka dilanjutkan

dengan mencari kemungkinan atau motivasi pelaku usaha untuk melakukan kartel

dalam pasar bersangkutan tersebut.

Beberapa indikator-indikator yang mungkin digunakan untuk menilai

apakah motivasi perusahaan – perusahaan untuk berkolusi cukup besar, adalah :67

1. Tingkat kemiripan Produk (Product homogeneity). Motivasi perusahaan

- perusahaan di pasar untuk melakukan kesepakatan akan semakin besar

jika produk – produk yang dihasilkan oleh perusahaan di pasar memiliki

kemiripan yang cukup tinggi.

2. Ketersediaan produk pengganti terdekat (Absence of close substitutes).

Kesepakatan kolusi akan lebih mudah dilaksanakan apabila konsumen

tidak memiliki banyak pilihan kecuali membeli barang dan atau jasa dari

perusahaan anggota kartel.

3. Kecepatan informasi mengenai penyesuaian harga (Readily observed

price adjustments). Kemudahan mendapatkan informasi mengenai

67 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman

Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat., h. 19-20

43

perubahan - perubahan harga di pasar akan mengurangi insentif

perusahaan untuk melakukan kecurangan terhadap kesepakatan kartel.

4. Standarisasi harga (Standardized prices). Kesepakatan kolusi akan lebih

mudah dilakukan apabila produk yang diperdagangkan di pasar

memiliki standar harga, dan lebih mudah untuk dimonitor untuk

mencegah terjadinya kecurangan.

5. Kelebihan kapasitas (Excess capacity). Motivasi untuk melakukan

kesepakatan kartel akan meningkat ketika keuntungan dari kartel dapat

digunakan untuk menutupi inefisiensi akibat perusahaan tidak

berproduksi secara optimal.

6. Hanya terdapat beberapa perusahaan (Few sellers). Semakin sedikit

jumlah perusahaan yang ada di pasar maka semakin mudah untuk

melakukan koordinasi dalam rangka kesepakatan kartel.

7. Hambatan masuk pasar tinggi (High barriers to entry). Kesepakatan

kartel akan semakin mudah dijalankan karena tidak adanya ‘ancaman’

dari perusahaan baru yang dapat menggagalkan kesepakatan

perusahaan-perusahaan di pasar bersangkutan.

Kemudian apabila analisa struktural telah selesai dilakukan, maka

selajutnya analisis perilaku atau perubahan. Analisis perilaku ditekankan pada

perubahan hasil (outcome) dari kesepakatan kartel dengan menggunakan indikator-

indikator yang ada di pasar bersangkutan yang diduga terjadi karena kesepakatan

kartel dan bukan perilaku bersaing perusahaan-perusahaan di pasar yang dilakukan

secara mandiri.68 Indikator yang dapat digunakan diantaranya adalah:69

68 Ibid., h. 392 69 Ibid.,

44

1. Perubahan atas tingkat keuntungan

2. Perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam kesepakatan kartel,

3. Perubahan harga yang ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan yang

berpartisipasi (sebelum dan sesudah kesepakatan kartel), dan

4. Perubahan jumlah produksi perusahaan-perusahaan yang dicurigai

melakukan kartel.

Selain daripada itu adapun instrumen – instrument yang dapat memfasilitasi

keberhasilan suatu kolusi, instrument – instrument tersebut adalah :70

1. Resale Price Maintenance (RPM). Praktik ini dapat digunakan untuk

meminimalkan variasi harga di tingkat konsumen.

2. Most-Favoured Nation (MFN) clause. Praktik ini dapat digunakan

untuk meminimalkan insentif memberikan harga lebih rendah dari harga

kesepakatan (cheating).

3. Meeting-Competition clause. Praktik ini digunakan untuk mendapatkan

informasi tingkat harga pelaku usaha lain sehingga meminimalkan

insentif melakukan kecurangan.

Perhatian analisa instrumen fasilitas tersebut ditujukan pada waktu

digunakannya. Apabila dipergunakan dalam periode tertentu dan pararel maka

dapat dimungkinkan hal itu disebabkan oleh kesepakatan kartel.

Dalam upanya membuktikan adanya pelanggaran UU Antimonopoli dengan

menggunakan circumstantial evidence, KPPU (dalam hal ini investigator) dapat

saja menggunakan seluruh analisis tambahan diatas ketika analisis tertentu sudah

dianggap cukup untuk membuktikan adanya pelanggaran UU Antimonopoli.

70 Op. Cit., Pedoman Pasal 11 KPPU, h. 21

45

Seyogyanya dalam membuktikan adanya pelanggaran kartel cara yang paling baik

adalah dengan mengkombinasikan bukti langsung dan tidak langsung. Namun

mengingat perilaku kartel di jaman sekarang ini tidak dimungkinkan ditemukan

bukti kontrak baku kartel maka penggunaan bukti tidak langsung atau

circumstantial evidence dapat digunakan dengan analisis yang matang

mengkombinasikan antara bukti komunikasi dan bukti ekonomi.

Hal yang perlu diperhatikan oleh Majelis Komisi dalam memberikan

pertimbangan atas suatu perkara yang menggunakan jenis pembuktian

circumstantial evidence ini adalah kesamaan hasil (ouput) dari para palaku usaha

pesaing itu. Hal ini disebabkan analisa komukasi dan analisa ekonomi merupakan

suatu tahapan untuk membuktikannya adanya suatu kolusi atau tindakan bersama

(concerted action). Sehingga yang terpenting bukanlah jenis komunikasi apa yang

menjadi patokan, tetapi hasil dari komunikasi tersebut yang menjadi perhatian

khusus. Cara untuk menyampaikan kehendak bermacam – macam, yang utama

adalah kehendak tersebut dapat diketahui dan dilaksanakan secara bersama.

Berikut gambaran atau kerangka tentang cara pembuktian tidak langsung

(indirect evidence) atau circumstantial evidence sebagai solusi dari ketidak

mungkinan untuk menemukan bukti tertulis mengenai adanya kesepakatan diantara

para pelaku kartel.

46

Gambar 5. Bagan circumstantial evidence