bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/bab ii.pdf ·...

24
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori Kesadaran Hukum Kesadaran hukum terdiri dari dua kata yakni kesadaran dan hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian kesadaran adalah keinsafan, keadaan mengerti, hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Sementara itu dalam bukunya Soerjono Soekanto memberikan penjelasan kesadaran dalam beberapa pengertian 14 , beberapa diantaranya diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyadari secara total dan merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari proses ketidaksadaran. Jadi pada dasarnya kesadaran merujuk pada interdependensi mental dan interpenetrasi mental yang berorientasi pada “aku”nya manusia ada pada “kami”nya. 15 Sementara pengertian hukum menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; patokan (kaidah/ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis. Namun ahli hukum berbeda pendapat mengenai definisi dari hukum. Van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht menyatakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi terhadap hukum 14 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: CV. Rajawali, 1982) Hal. 150. 15 Ibid., Hal. 151.

Upload: others

Post on 29-Jan-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Teori Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum terdiri dari dua kata yakni kesadaran dan hukum.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian kesadaran adalah

keinsafan, keadaan mengerti, hal yang dirasakan atau dialami oleh

seseorang. Sementara itu dalam bukunya Soerjono Soekanto memberikan

penjelasan kesadaran dalam beberapa pengertian14, beberapa diantaranya

diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyadari secara total dan

merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari proses ketidaksadaran. Jadi pada

dasarnya kesadaran merujuk pada interdependensi mental dan interpenetrasi

mental yang berorientasi pada “aku”nya manusia ada pada “kami”nya.15

Sementara pengertian hukum menurut KBBI adalah peraturan atau

adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa

atau pemerintah; undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur

pergaulan hidup masyarakat; patokan (kaidah/ketentuan) mengenai

peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; keputusan (pertimbangan)

yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis. Namun ahli hukum

berbeda pendapat mengenai definisi dari hukum. Van Apeldoorn dalam

bukunya yang berjudul Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht

menyatakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi terhadap hukum

14 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: CV. Rajawali,

1982) Hal. 150. 15 Ibid., Hal. 151.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

13

yang dapat memadai kenyataan. Dalam hal ini Soerjono Soekanto mencoba

menjelaskan pemahaman dan pengertian hukum dari masyarakat yakni

huku sebagai kaidah, ilmu penegtahun, tata hukum, petugas hukum,

ketentuan dari penguasa, proses dari pemerintahan, jalinan nilai-nilai dan

pola perilaku.

Jadi kesadaran hukum pada dasarnya adalah kesadaran atau nilai

yang ada pada manusia terkait hukum yang sudah ada ataupun yang

diharapkan ada. Hal yang perlu ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi

hukum dan bukan suatu penilaian hukum pada kejadian-kejadian yang

konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.16

Kesadaran ini juga bisa dipahami sebagai konsepsi-konsepsi abstrak

di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan

ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Jadi manusia

menjadi pihak yang penting dalam menjalankan hukum yang ada. Semakin

baik kesadaran hukum yang dimiliki manusia akan semakin baik pula

pelaksanaan hukum yang ada.

Pada dasarnya kesadaran hukum warga masyarakat ditentukan oleh

beberapa hal yakni pengetahuan, pemahaman dan penghargaan terhadap

peraturan hukum terkait. Jika suatu masyarakat hanya sebatas tahu akan

hukum saja, maka kesadaran hukumnya lebih rendah ketimbang mereka

yang sudah berada dalam level memahami. Begitupun juga jika masyarakat

16 Ibid., Hal. 152.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

14

hanya tahu dan memahami, maka tingkat kesadaran hukum mereka masih

dibawah mereka yang mengharagai ketentuan hukum.

Hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran hukum akan dijelaskan di

bawah ini17:

1. Pengetahuan Hukum

Jika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan dan

dsiahkan sesuai dengan prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis

peraturan perundang-undangan itu berlaku. Setiap warga masyarakat

yang ada dianggap mengetahui hukum tersebut terlepas mereka orang

yang berkecimpung dalam dunia hukum atau bukan. Asumsi inilah yang

biasa disebut sebagai teori fiksi hukum (rechfictie).

Pengetahuan hukum suatu masyarakat bisa diukur dengan

memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum

tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut mampu dijawab dengan

benar oleh masyarakat maka dapat dikatakan bahwa mereka mengetahui

hukum tersebut dengan benar. Begitupun sebaliknya, apabila warga

masyarakat tidak dapat dijawab dengan benar maka dapat dipahami

bahwa mereka belum atau kurang memiliki pengetahuan hukum.

2. Pemahaman Hukum

Belumlah memadai jika masyarakat hanya memiliki pengetahuan

hukum saja. Masih diperlukan hal lain yang mendukung yakni

pemahaman atas hukum yang berlaku. Masyarakat diharapkan mampu

17 Zainuddin, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 66.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

15

memahami tujuan peraturan perundang-undangan melalui pemahaman

hukum. Selain itu juga agar dapat memahami manfaat bagi mereka yang

kehidupannya diatur oleh peraturan terkait.

Sama halanya dengan pengetahuan hukum, pemahaman hukum

suatu masyarakat dapat diukur dengan mengajukan seperangkat

pertanyaan mengenai pemahaman hukum tertentu. Ketika masyarakat

mampu menjawab seperangkat pertanyaan tersebut maka kita dapat

mengatakan bahwa masyarakat tersebut sudah memiliki pemahaman

hukum yang benar dan baik. Tetapi jika mereka tidak mampu menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud dengan benar, maka mereka dapat

dikategorikan sebagai masyarakat yang kurang atau belum memahami

hukum seutuhnya.

3. Penaatan terhadap Hukum

Warga masyarakat akan menaati hukum karena berbagai hal,

beberapa contohnya adalah sebagai berikut:

a. Untuk menjaga hubungan dengan penguasa;

b. Agar hubungan baik dengan rekan-rekan tetap ada;

c. Takut akan sanksi jika melanggarnya;

d. Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang percaya; dan

e. Menjaga terjaminnya kepentingan yang dimiliki;

Secara teoritis, dari sebab-sebab di atas faktor keempat adalah faktor

yang paling baik. Hal tersebut dikarenakan faktor lainnya baik faktor

kesatu, kedua dan ketiga dalam penerapan hukumnya masih harus

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

16

diawasi oleh petugas hukum terkait. Dengan begitu hukum dalam

kehidupan akan benar-benar ditaati.

4. Pengharapan terhadap Hukum

Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat jika ia

telah mengetahui, memahami dan menaatinya. Maksudnya dia benar-

benar sudah merasakan bahawa hukum tersebut menciptakan ketertiban

dan ketentraman dalam dirinya. Pada hakikatnya hukum tidak hanya

mengenai lahiriah saja namun juga dari segi batiniah.

5. Peningkatan Kesadaran Hukum

Peningkatan kesadaran hukum seharusnya dilakukan melalui

penjelasan dan penyuluhan hukum yang teratur dengan perncanaan yang

baik. Penyuluhan hukum bertujuan agar warha masyarakat mengetahui

bahkan memahamai hukum-hukum tertentu. Misalnya saja peraturan

mengenai lalu lintas, wakaf, zakat, dan lain sebagainya. Penjelasan dan

sosialisasi hukum harus disesuaikan dengan problem hukum yang terjadi

dalam kehidupan masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran

penyuluhan hukum.

Secara umum penjelasan dan sosialisasi hukum merupakan tugas

dari kalangan hukum, khususnya mereka yang kemungkinan besar

berhubungan langsung dengan masyarakat. Salah satu yang bertanggung

jawab yaknipetugas hukum. Mereka diberi Pendidikan agar mampu

menjelaskan dengan baik kepada masyarakat. Jangan sampai sebaliknya,

petugas-petugas tersebut malah memanfaatkan hukum untuk

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

17

kepentingan pribadi dengan cara menakut-nakuti warga amsyarakat yang

awam dan kurang paham mengenai hukum.18

Sementara itu Soerjono Soekanto19 mengemukakan bahwa

kepatuhan terhadap hukum merupakan unsur lain dari persoalan yang lebih

luas yaitu kesadaran hukum. Ada 4 (empat) indikator dari kesadaran hokum

menurut B.Kutschincky dalam bukunya Soerjono Soekanto yakni20:

1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness);

2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance);

3. Sikap terhadap peraturan peraturan hukum (legal attitude); dan

4. Pola-pola perilaku hukum (legal behaviour).

Jika keempat indikator tersebut sudah terpenuhi maka dapat

dikatakan kesadaran suatu masyarakat akan hukum cukup tinggi. Begitupun

sebaliknya, jika hanya satu atau dua indikator saja yang terpenuhi maka

kesadaran hukum suatu masyarakat belum baik dan maksimal.

B. Tinjauan Umum Makanan Halal dan Haram

Pengertian makanan yaitu semua hal yang bersumber dari hayati

serta air, baik itu yang diolah maupun tidak dan memiliki fungsi sebagai

konsumsi manusia untuk mempertahankan hidupnya.21 Sementara itu

dama Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah nomor 69 Tahun 1999 tentang

18 Ibid., Hal. 69-70 19 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1987) Hal. 217-

219 20 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum, Hal. 159. 21 Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada, 2013), Hal. 109.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

18

Label dan Iklan tepatnya pada pasal 1 angka 5 menjelaskan bahwa

makanan halal ialah pangan yang tidak mengandung hal yang haram dan

dilarang dikonsumsu oleh umat muslim yang digunakan sebagai bahan

apapun baik bahan baku, bahan penolong maupun bahan tambahan

pangan. Selain itu pengelolaannya juga harus sesuai dengan ketentuan

syariat Islam.

Disebutkan di dalam Al-Quran, tepatnya pada surat Al-Baqarah

ayat 168 bahwa umat Islam diharuskan untuk memakan dan mengonsumsi

makanan yang halal serta thoyyib. Adapunayat tersebut berbunyi:

Berdasarkan ayar diatas dapat diambil hikmah bahwa tidak semua

makanan yang halal adalah thayyib bagi konsumennya. Pada dasarnya

konsep halal tidak bisa dipisahkan dari thoyyib22 karena kedua hal itu

berkaitan satu sama lain. Salah satu contohnya ialah konsumsi gula yang

dilakukan oleh penderita diabetes. Meskipun gula merupakan makanan

halal dan dapat dikonsumsi namun bukanlah makanan yang thoyyib bagi

penderita diabetes. Maka dari itu thayyib dapat diartikan dengan makanan

yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya yang tidak tercampur benda

najis dengan pengertian baik.23

22 Fifik Wiryani dkk., “Juridical Analysis on Consumer Protection in Safe and Halal Food

Distribution,” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 18 No. 1 (Januari 2018) Hal. 21. 23 Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 110.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

19

Lebih lanjut, mengonsumsi makanan hal dan thayyib merupakan

hak asasi manusia yang perlu dilindungi.24 Indonesia sebagai negara

hukum juga akhirnya melindungi hal tersebut. Terbukti dengan adanya

pasal 28E dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945. Maka dari itu halal

dan thayyib perlu dilindungi.

1. Konsep Halal dan Haram

Status hukum pangan terdiri dari beberapa hal yakni yang jelas

kehalalannya dan adapula yang sudah jelas keharamannya serta

adacukup banyak yang masih samar-samar (syubhat) status

hukumnya.25 Untuk jenis yang terakhir para ulama melakukan ijtihad

untuk mendapatkan dan mengetahui status hukumnya. Namun hasil

ijtihad yang dihasilkan tentu tidak selalu sama, ada yang menganggap

halal dan adapula yang menganggap haram. Maka dari itu, status

hukum pangan tersebut ada yang disepakati kehalalannya, ada yang

disepakati kehalalannya dan adapula yang masih diperselisihkan.

Sebenarnya pangan halal merupakan pangan yang telah memenuhi

syarat dari syariat Islam baik bahan baku maupun tambahan yang

digunakan dalam proses produksinya.26 Pangan tersebut juga membuat

konsumen tidak berdosa ketika mengkonsumsinya. Penentuan halal dan

haram juga hanyalah dilakukan oleh Allah SWT. Selain itu Allah

24 Fifik Wiryani dkk., “Juridical Analysis on Consumer Protection in Safe and Halal Food

Distribution,” Hal 21. 25 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Halal (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, 2010), Hal. x. 26 Sheilla Chairunnisyah, “Peran Majelis Ulama Indonesia dalam menerbitkan Sertifikat

Halal Pada Produk Makanan dan Kosmetika,” Jurnal Edutech, Vol. 3 No. 2 (September 2017).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

20

menghalalkan dan mengharamkan suatu hal pasti diikuti dengan alasan

yang jeals, kuat serta masuk akal demi kebiakan manusia.27

Jenis pangan manusia terdiri dari hewani dan non-hewani. Menurut

syariat Islam seluruh pangan non-hewani halal dikonsumsi kecuali yang

najis (atau yang terkena najis), berbahaya dan yang memabukkan.

Begitupun dengan jenis maknan lain, pada dasarnya hukumnya halal

kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Hal ini berdasar pada

sejumlah kaidah fiqh dan juga dalil.

Adapun muskir (yang memabukkan) dapat dibedakan menjadi dua

yakni khamr dan nabidz. Terkait dengan khamr seluruh ulama sepakat

bahwa meminumnya adalah haram baik sedikit maupun banyak. Baik

yang kadarnya dapat memabukkan atau tidak. namun ulama berbeda

pendapat terkait dengan nabidz. Ada yang membolehkannya selama

tidak memabukkan, adapula yang melarangnya secara jelas. Terlepas

dari perdebatan hukum nabidz, MUI seacara tegas mendukung dan

mengambil pendapat mayoritas ulama yang mengharamkan semua

jenis minuman keras yang mengandung alkohol, sekalipun hanya 1%.28

Hal tersebut tercermin dari keputusan yang ditetapkan Komisi Fatwa

pada 11 Agustus 2001 dan keputusan Muzakarah Nasional MUI.

Sementara itu jenis pangan hewani juga dibedakan menjadi 2 (dua)

yakni hewan laut atau air dan hewan darat. Mengenai jenis pertama

27 Yusuf Qardawi. Halal dan Haram dalam Islam (Laweyan: Era Intermedia, 2001), Hal.

50 28 Ibid., Hal. xii.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

21

ulama sepakat bahwa hukumnya halal. Hal tersebut didasarkan pada

hadits yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Namun terdapat

pengecualian pada hewan laut/air yang mengandung racun. Rasulullah

SAW bersabda29:

حمن قال حدثنا مالك ن ع أخبرنا إسحق بن منصور قال حدثنا عبد الر

صفوان بن سليم عن سعيد بن سلمة عن المغيرة بن أبي بردة عن أبي

صلى الله عليه وسلم في ماء البحر هو الطهور ماؤه هريرة عن النبي

الحلل ميتته

Mengenai hewan darat, ada hewan yang sudah ditegaskan

kehalalannya dalam kitab suci al-Quran dan hadits serta yang sudah

disebutkan keharamannya dalam nash al-Quran dan hadits. Adapula

yang disebut dengan al-mashkut anhu. Mengenai hal ini ulama berbeda

pednapat. Ada yang membolehkan, adapula yang tidak membolehkan

dan juga mereka yang bersikap diam, tawaqquf. Di antara ketiganya

yang paling kuat adalah yang pertama yakni membolehkan.30

Pada dasarnya hewan yang haram dimakan jumlahnya sangat

terbatas yaitu bangkai, daging babi, (hewan) yang disembelih atas nama

selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk

dan diterkam oleh binatang buas (kecuali sempat disembelih).31 Di

samping itu juga ada hewan yang keharaman memakannya dijelaskan

dalam al-Quran maupun hadist hukumnya adalah halal.

29 Imam An-Nasa’i, Sunan Nasa’i (Riyadh: Baitul Afkar Ad-Dauliyah), hlm. 4275. 30 Yusuf Qardawi. Halal dan Haram dalam Islam, Hal. xiii 31 Ibid., Hal. xv

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

22

2. Kategori Produk Makanan Halal

Pada dasarnya ada 3 (tiga) sumber makanan yang dikonsumsi oleh

manusia. ketiganya yakni makanan yang berasal dari nabati, hewani

serta produk olahan. Adapun uraiannya adalahs sebagai berikut:32

1. Makanan yang bersumber pada nabati pada dasarnya halal sehingga

dapat dikonumsi oleh manusia. namun ada beberapa yang tidak

dapat dikonsumsi yakni yang najis, memabukkan dan/atau

mengandung racun;

2. Sementara makanan dari bahan hewani dibagi menjadi 2 (dua).

Pertama, makanan hewani laut yang mana smeuanya boleh

dikonsumsi. Kedua, yakni hewan darat yang hanya sebagian kecil

tidak boleh dikonsumsi oleh manusia; dan

3. Makanan yang berasal dari produk olahan status kehalalannya

tergantung dari bahan yang digunakan baik bahan baku, peno,ong

maupun tambahan. Selain itu pula dilihatd ari segi proses dan

pengolahannya.

Adapula kriteria produk makanan halal yang sesuai dengan Islam,

yaitu:33

a. Tidak ada kandungan babi atau bahan dari babi;

b. Tidak kandungan bahan haram seperti yang berasal dari organ

manusia maupun darah;

32 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 111. 33 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 112.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

23

c. Seluruh bahan yang ebrsumber dari hewan yang disembelih sesuai

dengan syariat Islam;

d. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan,

dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan/atau barang

tidak halal lainnya. Jika pernah digunakan untuk babi dan/atau

barang tidak halal lainnya maka harus dibersihkan dengan tata cara

syariat Islam terlebih dahulu; dan

e. Seluruh makanan dan minuman yang tidak memiliki kandungan

khamr.

3. Kategori Produk Makanan Haram

Makanan dan minuman haram memiliki beberapa kategori dan

aspek yakni yang terdiri dari binatang dan juga tumbuhan, urannya

adalah sebagai berikut:34

1. Jenis-jenis bintanag yakni sebagai beirkut:

a. Disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 173

bahwasanya darah, babi, bangkai, dan hewan yang disembelih

dengan nama selain Allah adalah haram;

b. Selain itu juga disebutkan dalam surah Al-Maidah (5) ayat 3

bahwa hewan yang halal bisa berubah menjadi haram jika mati

karena tercekik, jatuh tertunduk, terbentur, diterkam hewan lain,

disembelih untuk berhala, terkecuali ikan dan belalang boleh

dikonsumsi tanpa disembelih;

34 Ibid.,

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

24

c. Dalam surah lainnya yakni pada Al-A’raf (7) ayat 157 dijelaskan

bahwa binatang yang dianggap menjijikkan atau kotor menurut

naluri manusia;

d. Burung dan binatang buas yang memiliki taring dan cakar. Selain

itu juga binatang yang oleh Islam diperintahkan untuk

membunuhnya yakni ular, tikus, gagak anjing galak, burung

elang, dan sejenisnya;

e. Binatang-binatang yang dilarang dibunuh seperti semut, lebah,

burung hud-hud; dan

f. Binatang yang hidup di 2 (dua) jenis alam seperti kodok, penyu

dan buaya.

2. Seluruh tumbh-tumbuhan yakni sayru dan buah boleh dimakan

kecuali yang menyebabkan bahaya dan memabukkan baik secara

langsung maupun proses. Jadi semua tumbuhan yang emmabukkand

an mengadnung racun adalah haram hukumnya untuk dikonsumsi.

3. Semua jenis minuman merupakan halal kecuali yang memabukkan

dan mendatangkan bahaya, contohnya seperti arak. Selain itu juga

yang dicampur dengan benda-benda najis.

C. Tinjauan tentang Sertifikasi Halal

1. Definisi Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal ialah pengakuan kehalalan suatu produk

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

25

yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

(BPJH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis

Ulama Indonesia (MUI).35

Adapula pengertian lain mengenai sertifikasi halal yakni proses

pemberian fatwa secara tertulis oleh MUI yang menyatakan kehalalan

suatu produk sesuai syariat Islam melalui pemeriksaan yang terperinci

oleh LPPOM MUI. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk

mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari

instansi pemerintah yang berwenang (Badan POM).36

Maka dari itu setiap orang dan badan hukum yang memproduksi

atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia harus menjamin

kehalalan produknya dengan cara mencantumkan label halal

sebagaimana tercantum dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah nomor 69

tahun 1999 tentang Label dan Iklan bahwa setiap pelaku usaha wajib

mencantumkan keterangan atau tulisan label halal pada label.

2. Landasan Kebijakan Sertifikasi Halal MUI

Kebijakan sertifikasi Halal MUI bersuber dari 2 (dua) sumber yakni

ketentuan syariat agama Islam dan juga hukum yang berlaku di

Indonesia (hukum positif). Adapun dasar hukum dari ketentuan syariat

agama Islam yakni:

35 Lihat Pasal 1 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal. 36 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 112.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

26

a. QS. Al-Baqarah ayat 168

b. QS. Al-Baqarah ayat 172

c. QS. Al-Maidah ayat 88

d. QS. An-Nahl ayat 114

e. QS. An-Nahl ayat 116

Sedangkan dasar hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai

berikut:37

a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;

37 KN. Sofyan Hasan, “Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan,”

Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 (Mei, 2014), Hal 168-170.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

27

b. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Iklan

dan Iklan Pangan;

c. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada

Label Makanan; dan

d. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Kepmenkes

No.82/Menkes/SK/I/1996.

3. Prosedur Sertifikasi Halal Bagi Pelaku Usaha Rumah Makan Kota

Malang

Berdasarkan Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa sertifikasi

halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan

fatwa halal tertulis yang dikelaurkan oleh Majelis Ulama Indonesia

(MUI). Dapat dipahami bahwa yang berperan dalam memberikan

sertifikat halal ialah BPJPH. Namun sebelum BPJPH mengeluarkan

sertifikat halal, mereka harus mendapatkan rekomendasi dari fatwa MUI

mengenai kehalalan suatu produk.

Adapun prosedur sertifikasi halal juga sudah dijelaskan di dalam

Bab V Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal. Prosedur sertifikasi halal dibagi menjadi beberapa langkah yaitu

pengajuan permohonan, penetapan Lembaga Pemeriksa Halal,

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

28

pemeriksaaan dan pengujian, penetapan kehalalan produk, penerbitan

sertifikat halal, pelabelan halal, pembaruan sertifikat halal serta

pembiayaan.

Sayangnya, pelaksanaan undang-undang ini belum begitu maksimal

khususnya lembaga-lembaga yang memiliki peran vital seperti BPJPH,

LPH dan lainnya. Sampai saat ini pengururusan sertifikasi halal masih

terpusat di LPPOM MUI dikarenakan BPJPH belum terbentuk. Maka

dari itu prosedur yang akan dijabarkan pada kali ini adalah prosedur

yang tercantum di literatur dan website LPPOM MUI.

Saat ini pengurusan sertifkasi halal dapat juga dilakukan melalui

online yakni dengan masuk ke website LPPOM MUI yakni www.e-

lppommui.org. Pengurusan ini juga dibedakan menjadi beberapa jenis

yakni pendaftaran dari industri manufaktur dan restoran.

Secara umum prosedur sertifikasi halal online dimulai dari

pendaftaran akun dan login di website resmi milik LPPOM MUI.

Kemudian pelaku usaha mendaftarkan produk yang dimiliki.

Pendaftaran ini dilakukan berbasis kelompok produk, yaitu kelompok

produk restoran dan katering. Selain itu mereka yang ingin

mendaftarkan juga harus membaca dan juga menyetujui customer

agreement.

Setelah proses registrasi tuntas, pelaku usaha juga diharuskan untuk

melakukan pembayaran registrasi. Adapun masa tenggang untuk

membayar adalah 10 (sepuluh) hari setelah dilakukan registrasi. Jika

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

29

melebihi tersebut maka sistem otomatis akan menghapus registrasi yang

sudah dilakukan.

Jika pembayaran registrasi sudah diverifikasi dan disetujui oleh

keuangan LPPOM MUI, pelaku usaha harus mengisi dan mengirim data

sertifikasi. Pengisian dan pengiriman ini dilakukan secara online di

menu upload halal document. Beberapa berkas yang perlu dikirim

seperti HAS Manual, HAS Status atau Certificate, Evidence of Halal

Policy Dissemintaion, dan lain sebagainya.

Kemudian pemohon sertifikasi halal juga diminta untuk membayar

biaya akad. Biaya ini berbeda dengan biaya registrasi yang sudah

dijelaskan sebelumnya. Semua data yang sudah dimasukkan ke sistem

selanjutnya akan diproses oleh bagian-bagian yang terkait di LPPOM

MUI. Tugas pelaku usaha yakni memonitor semua proses yang ada.

Selain itu juga harus memberikan tanggapan atau mengirim data

tambahan jika terdapat pre audit memorandum atau audit memorandum

selama proses sertifikasi.

Jika semua proses sertifkasi sudah rampung dan juga sudah

mendapatkan persetujuan halal dari Komisi Fatwa, pelaku usaha tinggal

menunggu sertifikat halal dan/atau Status sistem jaminan halal. Berkas

tersebut akan diunggah oleh pihak LPPOM MUI dan pelaku usaha yang

mengajukan tinggal mengunduh sertifikat tersebut.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

30

D. Tinjauan tentang Pelaku Usaha

Menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha adalah

setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun

badan hukum yang didirikan dan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi. Dapat dipahami bahwa pelaku usaha tidak hanya

sebatas warga negara Indonesia tapi juga dari luar negeri yang mana

memasarkan produknya di dalam wilayah nusantara.

Selain itu dalam penjelasan undang-undang tersebut yang termasuk

dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik

Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.38

Jadi semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan produksi dan juga

distribusi bisa dikatakan sebagai pelaku usaha.

Adapun pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 Angka 12

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau

bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di Indonesia.

Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian yang tertera pada

UUPK. Hanya berbeda diksi dan penggunaan kata usaha dan ekonomi.

38 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika,

2011), Hal. 41.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

31

Sama halnya dengan pengertian pelaku usaha menurut UUPK, dalam

pengertian ini pelaku usaha juga tidak sebatas masyrakat Indonesia. Selama

ia menjalankan usaha atau melakukan kegiatan ekonomi maka ia bisa

disebut dengan pelaku usaha.

Hak dari pelaku usaha39 juga sudah diatur dalam Pasal 6 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen akan

diuraikan sebagai berikut:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beriktikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan; dan

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara kewajiban pelaku usaha40 juga sudah diuraikan dalam

Pasal 7 UUPK yakni sebagai berikut:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

39 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 43. 40 Ibid., Hal. 43.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

32

2. Memberikan informasi yang ebnar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu abrang dan/atau

jasa yang berlaku;

5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

jasa yang berlaku;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan.atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan; dan

7. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau pengantian apabila barang

dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Sementara pengaturan hak dan kewajiban pelaku usaha dalam

undang-undang Jaminan Produk Halal sedikit berbeda dan lebih khusus.

Hak pelaku usaha tertera pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal yakni sebagai berikut:

1. Informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem jaminan produk

halal;

2. Pembinaan dalam memproduksi produk halal; dan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

33

3. Pelayanan untuk mendapatkan sertifikasi halal secara cepat, efisien,

biaya terjangkau dan tidak diskriminatif.

Adapun kewajiban pelaku usaha tertulis di Pasal 24 Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yakni sebagai berikut:

1. Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

2. Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,

penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian

antara produk halal dan tidak halal;

3. Memiliki penyelia halal; dan

4. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada Badan Penyelenggara

Jaminan Produk Halal.

Setelah pelaku usaha memperoleh sertifikat halal, mereka juga

diwajibkan melakukan hal hal yang tertera pada Pasal 25 yakni:

1. Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat

sertifikat halal;

2. Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal;

3. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan,

penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian

anatar produk halal dan tidak halal;

4. Memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir;

dan

5. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

34

E. Tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal

Indonesia sebagai negara hukum telah mengamanatkan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perihal

dijaminnya kemerdekaan setiap warga masyarakat Indonesia untuk

memeluk agamanya masing masing serta untuk beribadah sesuai agama dan

kepercayaan yang dianutnya.

Maka dari itu untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan

menjalankan ajaran agamanya, negara memiliki kewajiban memberikan

pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan

digunakan masyarakat. Jaminan produk halal sepatutnya dilaksanakan

sesuai dengan asas-asas yang ada. Jaminan penyelenggaraan produk halal

juga ebrtujuan untuk memberikan keamanan, keselamatan, kenyamanan

serta kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat Indonesia.

Tujuan tersebut dianggap penting mengingat kemajuan teknologi dan ilmu

pengetahuan sangatlah cepat khususnya di bidang pangan, obat-obata dan

kosmetik.

Adapun pokok-pokok pengaturan dalam undang-undang ini antara

lain adalah sebagai berikut41:

1. Dalam peraturan ini ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal baik

dari bahan baku hewan, tumbuhan, hingga proses biologi dan kimiawi.

Selain itu juga ditetapkan rangkaian kegiatan dari proses produk halal

41 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf · memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan

35

mencakup bahan, pengolahan, pengemasan, distribusi, penjualan dan

penyajian produk.

2. Undang-undang ini juga mengatur tentang hak dan kewajiban pelaku

usaha. Namun ada pengecualian yang diberikan kepada pelaku usaha

yang memproduksi dari bahan produksi yang diharamkan.

3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah juga

bertanggung jawab atas penyelenggaraan jaminan produk halal yang

mana dilakukan oleh BPJPH. BPJPH tidak sendirian melainkan

bekerjasama dengan kementerian terkait, MUI dan LPH.

4. Dalam peraturan ini juga diatur mengenai prosedur dan alur pengajuan

permohonan sertifikat halal oleh pelaku usaha.

5. Pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal memiliki

beban untuk memayar biaya proses sertifikasi. Selain itu, dalam undang-

undang ini juga disebutkan bahwa pihak lain dapat memfasilitasi biaya

sertifikasi halal bagi usaha mikro dan kecil. Hal tersebtu dilakukan

dalamr angka memperlancar pelaksanaan JPH.

6. BPJPH melakukan pengawasan atas kegiatan yang berkaitan dengan

jaminan produk halal. Hal tersebut sebagai bentuk penjamina

pelaksanaan penyelenggaraan JPH.

7. Ditetapkan pula sanksi administrative dan pidana sebagai bentuk

penjaminan akan penegakan hukum terhadap pelanggaran UU JPH ini.