bab ii tinjauan pustaka a. tentang 1. pengertian hukum...

34
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan UmumTentang Hukum Kewarisan 1. Pengertian Hukum Kewarisan. Menurut Hukum Islam Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara membaginya. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya. Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), barapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli. Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa hukum waris islam itu merupakan hukum yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup.

Upload: others

Post on 28-Dec-2019

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan UmumTentang Hukum Kewarisan

1. Pengertian Hukum Kewarisan.

Menurut Hukum Islam

Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah suatu ilmu yang

dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang

yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris

dan cara membaginya.

Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah

Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang

berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang

mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan

bagian harta warisan yang menjadi haknya.

Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang

mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris

kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), barapa besar

bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya

sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.

Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa hukum waris islam

itu merupakan hukum yang mengatur tentang pemindahan dan

pembagian harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia

kepada orang-orang yang masih hidup.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

10

Kata kewarisan berasal dari kata warasa, kata kewarisan banyak

digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci dalam Sunnah Rasulullah

SAW hukum Islam dibangun.10 Dalam literature Indonesia kata kewarisan

dengan awalan “ke” dan akhiran “an” jelas menunjukkan kata benda dan

mempunyai makna yang berhubungan dengan mewarisi, diwarisi dan

diwariskan..

Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan bahwa hukum kewarisan

ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari

seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang

ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat

dalam Al-Qur’an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad

SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl.

Menurut etimologi atau bahasa kata warasa memiliki beberapa arti:

pertama mengganti, kedua: memberi, ketiga: mewarisi. Sedangkan secara

terminology (istilah), hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur

pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta

peninggalan itu untuk setiap yang berhak. Hukum Kewarisan adalah hukum

yang mengatur tentang pembagian harta warisan dari pewaris kepada ahli

waris yang masih hidup. Dalam hukum Islam terdapat beberapa istilah,

yaitu,faraidhl, fiqih mawaris, dan lain-lain. Waris adalah peraturan-peraturan

yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia

kepada para ahli warisnya. Batasan tersebut menetapkan suatu hal dalam

waris, bahwa yang berpindah dalam pewarisan adalah kekayaan si pewaris.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

11

Dalam Islam, ahli waris itu ada dua macam, yakni ahli waris

nasabiyah yaitu ahliwaris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena

hubungan darah (keturunan atau kekerabatan) yang mana semua ahli waris

yang ada pertalian darah baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak

diberi hak menerima bagian menurut jauh dekatnya kekerabatannya, bahkan

bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya pun memiliki hak yang

sama dengan yang sudah dewasa. Namun hal mi berlaku ketentuan hijab.

Kedua, ahli waris Sababiyah yaitu ahli waris yang kewarsiannya berdasarkan

pemikahan dan memerdekakan budak (hamba sahaya) namun dikarenakan

perbudakan sudah tidak ada pada saat sekarang ini, maka penerapannya juga

sudah tidak berlaku. Rukun waris Islam ada tiga, yaitu:

a. Maurus yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang bakal

diwariskan pada ahli waris setelah diambil dari biaya perawatan,

melunasi utang-utang si mayit dan setelah melaksanakan wasiat.

b. Muwaris yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun

mati hakmi. Mati hukmi adalah suatu kematian yang dinyatakan oleh

putusan pengadilan atas dasar beberapa sebab, walaupun dalam arti

sesungguhnya ia belum mati.

c. Waris yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawaris

lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya

Jkatan perkawinan, hubungan darah dan adanya perwalian dengan si

muwarits

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

12

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber dari beberapa ayat

Al Qur’an dan hadist Rasullullah saw berupa ucapan, perbuatan, dan hal-hal

yang didiamkan Rasul. Baik dalam Al Qur’an maupun hadist Rasulullah saw,

dasar hukum itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang tersirat, dan

kadang-kadang hanya berisi pokoknya saja. Dan paling banyak ditemui dasar

atau sumber hukum kewarisan itu dalam surat An Nisa’, di samping surat-

surat lainnya sebagai pendukung.

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber pokok hukum islam. Karena itu,

kendatipun sumber hukum kewarisan ada tiga, tetapi kedua hukum

sesudah Al-Qur’an (Sunnah Rasul dan Ijtihad) harus tetap mengacu pada

Al-Qur’an. Pertama kelompok ayat kewarisan inti, yaitu ayat-ayat yang

langsung menjelaskan pembagian waris dan bagian-bagiannya yang telah

ditentukan jumlahnya. beberapa ayat-ayat tersebut adalah:

1) Surat An-Nisa’ ayat 7

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah diterapkan”. (Q. S. An-Nisa’; 7).

2) Surat An-Nisa’ ayat 12

Artinya: “Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sudah dibayar hutang. Para istri memperoleh seperempat harta yang ditinggalkan kamu jika kamu

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

13

tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) atau sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (dan) atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Maha Mengtahui lagi Maha Penyantun”. (Q. S. An-Nisa’; 12).

b. Sunnah Rasulullah saw

Sebagai sumber legislasi yang kedua setelah Al-Qur’an, sunnah

memiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap

Al-Qur’an, pada akhirnya hadist juga dapat membentuk hukum yang

tidak disebut dalam Al-Qur’an.

Bentuk nyata dari fungsi hadist sebagai konkrotisasi Al-Qur’an

dalam bidang kewarisan, misalnya hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu

Abbas r.a. Artinya: “Berilah orang yang mempunyai bagian tetap sesuai

dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan

kepada ashobah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih

utama.” (HR. Bukhori-Muslim).

Fungsi sunnah yang lain adalah sebagai pembentuk hukum yang

tidak disebut dalam Al-Qur’an, salah satu contoh dari fungsi tersebut

adalah hadist tentang wala’ (warisan bekas budak yang tidak

meninggalkan ahli waris), dalam kasus demikian maka ahli warisnya

adalah orang yang memerdekakannya (HR. Bukhori Muslim), sedangkan

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

14

harta orang yang meninggal tanpa mempunyai ahli waris adalah milik

Baitul al-Mal (HR. Ahmad dan Abu Daud).

c. Ijtihad

Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah yang

diambil dari ijtihad para sahabat. Ijma’ dan ijtihad sahabat, imam

madzhab, dan para mujtahid dapat digunakan dalam pemecahan-

pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash yang

sharih. Misalnya: “Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dari

pada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama-sama dengan

saudara-saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka, cucu tersebut tidak

mendapat bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara ayahnya, tetapi

menurut kitab undang-undang hukum wasiat mesir yang meng-istinbat-

kan dari ijtihad para ulama muqoddimin, mereka diberi bagian

berdasarkan wasiat wajibah”.

3. Unsur-unsur Kewarisan Islam

Disamping harus adanya hubungan kewarisan dan tidak adanya

halangan kewarisan, maka seseorang baru berhak menerima warisan

apabila telah terpenuhi unsur-unsur kewarisan. Adapun unsur-unsur

kewarisan itu ada tiga, yaitu:

a. Orang telah mati dan meninggalkan harta yang beralih kepada orang

yang masih hidup disebut Pewaris atau al muwarrist,

b. Harta yang beralih dari orang yang mati kepada yang masih hidup

yang disebut harta warisan atau tirakah atau al muwaruts,

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

15

c. Orang yang berhak menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh

orang yang telah mati tersebut disebut ahli waris atau al warits.9

4. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan islam dapat digali dari

ayat-ayat hukum kewarisan serta sunnah nabi Muhammad SAW. Asas-asas

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:10

a. Asas Ijabari

Secara etimologi “ijabari’ mengandung arti paksaan, yaitu melakukan

sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya

peralihan harta seorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup

terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan hukum atau

pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya kematian

pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.

Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi: 1. Dari peralihan harta,

2. Dari segi jumlah harta yang beralih, 3. Dari segi kepada siapa itu akan

beralih. Ketentuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Al-

Quran, surat An-Nisa ayat 7 yang menjelaskan bahwa: bagi seorang laki-laki

maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari

karib kerabatnya, kata nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian

atau jatah dari harta peninggalan si pewaris.

9 Adnan Qohar, 2011. Hukum Kewarisan Islam, Keadilan, dan Metode Praktis Penyelesaiannya. Yogyakarta Pustaka Biru penerbit dan percetakan. Hal 162 10 Maryati Bachtiar.Hukum Waris Islam Dipandang Dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender.Pekanbaru. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No. 1

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

16

b. Asas Bilateral

Yang dimaksud dengan asas Bilateral dalam hukum kewarisan Islam

adalah seorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak

kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki.

Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam ketentuan Al-Quran surat

An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176 antara lain dalam ayat 7 dikemukakan bahwa

seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun

ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah

pihak orang tuanya. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis

ke samping (yaitu melalui ayah dan ibu).

c. Asas Individual

Pengertian asas Individual ini adalah setiap ahli waris (secara

individul) berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris

lainnya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara

individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagiannya.

Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Al-Quran surat An-Nisa ayat 7

mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan secara

individu.

d. Asas Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak

dan kewajiban dan seimbang antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan

kegunaan. Fengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

17

kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Dasar hukum asas ini adalah

dalam ketentuan Al-Quran surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 179.

e. Kewarisan Akibat Kematian

Hukum waris Islam mamandang bahwa terjadinya peralihan harta

hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta

seorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris

masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan pewarisan.

5. Bagian-bagian para ahli waris meunurut Hukum Waris Islam

1) Bagian waris anak laki-laki

Anak laki-laki selalu mendapat asabah atau sisa harta setelah

dibagikan pada ahli waris yang lain. Walaupun demikian, anak laki-

laki selalu mendapat bagian terbanyak karena keberadaannya dapat

mengurangi bagian atau menghilangkan sama sekali (mahjub/hirman)

hak dari ahli waris yang lain. Dalam ilmu faraidh, anak laki-laki

disebut ahli waris ashabah binafsih (asabah dengan diri sendiri).

2) Bagian anak perempuan

a) Anak perempuan mendapat 1/2 (setengah) harta warisan apabila:

Sendirian (anak tunggal).

Tidak ada anak laki-laki.

b) Anak perempuan Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila:

Lebih dari satu.

Tidak ada anak laki-laki.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

18

c) Anak perempuan mendapat bagian asabah (sisa) apabila ada anak

laki-laki. Dalam keadaan ini maka anak perempuan mendapat

setengah atau separuh dari bagian anak laki-laki. (QS An-Nisa'

4:11)

3) Bagian waris ayah

a) Ayah mendapat 1/3 (sepertiga) bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak.

b) Ayah Mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila ada keturunan

pewaris yang laki-laki seperti anak atau cucu laki-laki dan

kebawah.

c) Ayah mendapat bagian asabah dan bagian pasti sekaligus apabila

ada keturunan pewaris yang perempuan saja yaitu anak perempuan

atau cucu perempuan dan kebawah. Maka, ayah mendapat 1/6

(seperenam) dan asabah.

d) Ayah mendapat bagian waris asobah atau siswa apabila pewaris

tidak memiliki keturunan baik anak atau cucu ke bawah.

Yang terhalang (mahjub) karena ayah adalah saudara laki-

laki kandung, saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki seibu.

Semua tidak mendapat warisan karena adanya Ayah atau Kakek.

4) Bagian waris ibu

a) Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) warisan dengan syaratnya:

Tidak ada keturunan pewaris yaitu anak, cucu, dst.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

19

Tidak berkumpulnya beberapa saudara laki-laki dan saudara

perempuan.

Tidak adanya salah satu dari dua masalah umroh.

b) Ibu mendapat 1/6 (seperenam) apabila:

Pewaris punya keturunan yaitu anak, cucu, kebawah.

Adanya dua saudara laki-laki dan perempaun atau lebih.

1. Ibu mendapat 1/3 (seperti) sisanya dalam masalah umaritain (umar

dua) yaitu: Istri, Ibu, Bapak. Masalah dari empat: suami 1/4 (satu),

ibu 1/3 sisa (satu), yang lain untuk bapak (dua).

2. Suami, Ibu, Bapak. Masalah dari enam: suami 1/2 (tiga), ibu sisa

1/3 (satu), sisanya untuk bapak (dua).

Ibu mendapat 1/3 dari sisa agar supaya tidak melebihi

bagian bapak karena keduanya sederajat dari awal dan supaya laki-

laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan. (QS An-Nisa'

4:11).

B. Tinjauan Umum Tentang Eksekusi Hasil Putusan Pengadilan Agama

1. Pengertian Eksekusi

Menurut M. Yahya H. adalah merupakan tindakan hukum yang

dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara,

merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang

berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.11

11 M. Yahya Harahap.1991, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia), hal. 1

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

20

Menurut Prof.R.Subekti

Pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).12

Menurut Djazuli Bachar adalah Melaksanakan putusan pengadilan,

yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan

menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa

tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak

menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.13

Menurut R. Supomo adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-

syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang

berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah

tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan.14

a. Jenis Eksekusi

1) Dengan Sukarela

Artinya pihak yang dikalahkan melaksanakan sendiri putusan

Pengadilan tanpa ada paksaan dari pihak lain.

12 Prof. R. Subekti.1989, Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung; Binacipta,) hal.130.

13 Djazuli Bachar.Eksekusi Putusan Perkara Perdata,Segi Hukum dan Penegakan Hukum, hal 06 14 R. Supomo.1986.Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 9, (Jakarta :PT.Pradnya Paramita,), hal 119

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

21

2) Dengan Paksaan.

Yaitu menjalankan putusan Pengadilan, yang merupakan

suatu tindakan hukum dan dilakukan secara paksa terhadap pihak yang

kalah disebabkan ia tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.15

b. Asas Asas Eksekusi

1) Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap :

a) Putusan Pengadilan Negeri tidak banding.

b) Putusan Pengadilan Tinggi tidak kasasi.

c) Putusan Mahkamah Agung.

2) Putusan tidak dijalankan secara sukarela.

3) Putusan bersifat kondemnatoir (memerintah/menghukum).

4) Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan

Negeri (Pasal 196 HIR dan 264 Rbg).

5) Permohonan PK tidak menghentikan pelaksanaan eksekusi (Pasal 66

ayat (2) UU 14 tahun 1985 serta perubahannya).

6) Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.16

c. Dasar Hukum Eksekusi

1) Pasal 195 s.d Pasal 224 HIR/Pasal 206 s.d Pasal 258 R.Bg (tentang

tata cara eksekusi secara umum).

2) Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum

tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu). 15 M. Rum Nessa. 2014. Konfigurasi dan Dinamika Hukum Peradilan Agama. Surabaya. Alaf Riau. Hal 88 16 Ibid. Hal 90

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

22

3) Pasal 209 s.d Pasal 223 HIR/Pasal 242 s.d Pasal 257 RBg, mengatur

tentang ”sandera” (gijzeling) berdasarkar 2 Tahun

1964 dianggap bertentangan dengan peri kemanusiaan, sehingga tidak

efektif digunakan lagi.

4) Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan

SEMA Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan putusan yang

belum mempunyai kekuatan hukum. tetap, yaitu serta

merta(Uitvoerbaar bij voorraad dan provisi).

5) Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil).

6) Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

pelaksanaan putusan pengadilan.17

d. Macam-macam eksekusi

Ada 3 macam eksekusi, yakni:

1) Eksekusi Pembayaran Uang

Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi di mana

hubungan hukum yang harus dipenuhi sesuai dengan amar atau

diktum putusan, dalam hal seseorang dihukum untuk membayar

sejumlah uang. Sebenarnya dari segi sifat eksekusi ini sama dengan

eksekusi riil, hanya terdapat kemungkinan dalam eksekusi ini bahwa

tergugat tidak mempunyai uang, tetapi hanya mempunyai barang

bergerak, atau mempunyai uang namun tidak mencukupi untuk

membayar seluruh jumlah uang yang harus dibayarkan, tetapi dia

17 Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama. 2010. Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama. Jakarta. Hal 122

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

23

mempunyai barang, maka diperlukan aturan khusus, yang

menjadikan eksekusi jenis ini dibedakan dengan jenis eksekusi yang

ditentukan dalam Pasal 196 HIR/208 RBg.

Dalam eksekusi pembayaran uang ini, apabila tereksekusi

tidak memiliki uang, atau mempunyai tetapi jumlahnya kurang untuk

memenuhi hutangnya, maka pihak pemenang mengajukan

permohonan kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkaranya

agar menyita barang tertentu milik tereksekusi untuk selanjutnya

melelangnya kemudian hasil lelangnya diserahkan kepada pemohon

eksekusi.

2) Eksekusi Melakukan Suatu Perbuatan

Eksekusi dalam hal seseorang dihukum untuk melaksanakan

suatu perbuatan. Sebenarnya eksekusi ini dari segi pemenuhannya

adalah sama dengan eksekusi-eksekusi lainnya, tetapi karena dalam

jenis eksekusi ini terdapat kemungkinan perbuatan yang harus

dijalankan tersebut tidak dapat dijalankan oleh tergugat (orang yang

dikalahkan). Karena tidak semua orang mampu mengerjakan segala

jenis perbuatan, maka diadakan aturan khusus, yang justru ataran itu

menyebabkan berbeda dengan ekssekusi-eksekusi lainnya. Eksekusi

diatur dalam Pasal 225 HIR/259 RBg.

3) Eksekusi Riil

Adakalanya dalam suatu putusan, hakim memerintahkan

kepada Jurusita supaya dengan bantuannya Panitera Pengadilan dan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

24

jika perlu dengan bantuannya alat negara, mengosongkan misalnya

rumah oleh orang yang terhukum. Mengenai eksekusi riil ini dalam

praktek dijalankan terhadap penjualan lelang, yaitu perintah dari

Hakim kepada Jurusita supaya dengan bantuannya Panitera

Pengadilan dan jika perlu dengan bantuan alat negara, barang yang

tidak bergerak yang telah dijual lelang, dikosongkan oleh orang yang

barangnya dijual itu.18

2. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi

a. Pemohon mengajukan permohonan eksekusi dan mekanismenya

sebagaiman diatur dalam pola bindalmin dan peraturan terkait

b. Ketua pengadilan agama menerbitkan penetapan untuk aanmaning,

yang berisi perintah kepada jurusita supaya memanggil termohon

eksekusi untuk hadir dalam sidang aanmaning.

c. Jurusita/jurusita pengganti memanggil termohon eksekusi.

d. Ketua Pengadilan Agama melaksanakan aanmaning dengan sidang

insidentil yang dihadiri oleh ketua, panitera dan termohon eksekusi.

Dalam sidang aanmaning tersebut:

1) Seyogyanya pemohon eksekusi dipanggil untuk hadir.

2) Ketua Pengadilan Agama menyampaikan peringatan supaya

dalam tempo 8 (delapan) hari, dari peringatan termohon

eksekusi melaksanakan isi putusan.

18 Elise T. Sulistini dan Rudy T. Erwin. 1987. Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata. Jakarta.. Bina aksara. Hal 43.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

25

3) Panitera membuat berita acara aanmaning dan ditanda tangani

oleh ketua dan panitera.19

e. Apabila dalam tempo 8 (delapan) hari dalam peringatan, permohonan

eksekusi melaporkan bahwa termohon eksekusi belum melaksanakan

eksekusi putusan, Ketua Pengadilan Agama menerbitkan perintah

pelaksanaan eksekusi.

f. Dalam hal eksekusi putusan pengadilan agama yang objeknya berada

di luar wilayah hukumnya, maka ketua pengadilan agama yang

bersangkutan meminta bantuan kepada ketua pengadilan agama yang

mewilayahi objek tersebut dalam bentuk penetapan ( Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010 butir 1 ).

g. Dalam hal eksekusi tersebut dalam butir ke 5, diajukan perlawan baik

dari perlawanan tersita maupun dari pihak ketiga, maka perlawanan

tersebut diajukan dan diperiksa serta diputus oleh pengadilan agama

yang diminta bantuan (Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) Rbg

dan butir 2 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010,

butir 1 ).

h. Dalam hal pelawan dalam perlawanannya meminta agar eksekusi

tersebut pada butir (6) di atas ditangguhkan, maka yang berwenang

menangguhkan atau tidak menangguhkan eksekusi tersebut adalah

ketua pengadilan agama yang diminta bantuannya, sebagai pejabat

yang memimpin eksekusi, dengan ketentuan bahwa dalam jangka

19 Ibid. Hal 46

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

26

waktu 2X24 jam melaporkan secara tertulis kepada ketua pengadilan

agama yang meminta bantuan tentang segala upaya yang telah

dijalankan olehnya termasuk adanya penangguhan eksekusi tersebut (

Pasal 195 ayat (5) dan (7) HIR/Pasal 206 ayat (5) dan (7) RBg serta

butir 3 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010.

i. Dalam hal pelaksanaan putusan mengenai suatu perbuatan, apabila

tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang

( Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg ) yang teknis pelaksanaannya seperti

eksekusi pembayaran sejumlah uang.

j. Jika termohon tidak melaksanakan putusan tersebut dan pengadilan

tidak dapat melaksanakannya walau dengan bantuan alat negara, maka

pemohon dapat mengajukan kepada ketua pengadilan agama agar

termohon membayar sejumlah uang, yang nilainya sepadan dengan

perbuatan yang harus dilakukan oleh termohon.

k. Ketua pengadilan agama wajib memanggil dan mendengar termohon

eksekusi dan apabila diperlukan dapat meminta keterangan dari

seorang ahli di bidang tersebut.

l. Penetapan jumlah uang yang harus dibayar oleh termohon dituangkan

dalam penetapan ketua pengadilan agama.

m. Apabila putusan untuk membayar sejumlah uang tidak dilaksanakan

secara sukarela, maka dilaksanakan dengan cara melelang barang

milik pihak yang dikalahkan ( Pasal 200 HIR/Pasal 214 s/d Pasal 224

RBg ).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

27

n. Putusan yang menghukum tergugat untuk menyerahkan sesuatu

barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, apabila

perlu bantuan alat kekuasaan negara.

o. Eksekusi tidak dapat dilaksanakan kedua kalinya apabila barang yang

telah dieksekusi telah diterima oleh pemohon eksekusi, namun

diambil kembali oleh tereksekusi.

p. Upaya dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan hal

tersebut di atas kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisisan) atau

mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali barang

(tanah/rumah).

q. Putusan pengadilan agama atas gugatan penyerobotan tersebut apabila

diminta dalam petitum, dapat dijatuhkan putusan serta-merta atas

dasar sengketa bezit/kedudukan berkuasa.

r. Apabila suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap telah

dilaksanakan (dieksekusi) atas suatu barang dengan eksekusi riil,

tetapi kemudian putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut

dibatalkan oleh putusan peninjauan kembali, maka barang yang telah

diserahkan kepada pihak pemohon eksekusi tersebut wajib diserahkan

tanpa proses gugatan kepada pemilik semula sebagai pemulihan hak.

s. Pemulihan hak diajukan pemohon kepada ketua pengadilan agama.

t. Eksekusi pemulihan hak dilakukan menurut tata cara eksekusi riil.

Apabila barang tersebut sudah dialihkan kepada pihak lain, termohon

eksekusi dapat mengajukan gugatan ganti rugi senilai objek miliknya.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

28

u. Apabila putusan belum berkekuatan hukum tetap, kemudian terjadi

perdamaian di luar pengadilan yang mengesampingkan amar putusan

dan ternyata perdamaian itu diingkan oleh salah satu pihak, maka

yang dieksekusi adalah amar putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap.20

C. Tinjauan Umum Tentang Putusan Pengadilan

1. Pengertian Putusan.

Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para

pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada.

Majelis Hakim kemudian bermusyawarah untuk merumuskan keputusan.

a. Dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada dua macam

produk keputusan Hakim/Pengadilan :

1) Putusan.

2) Penetapan

b. Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai

pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan

terbuka untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan

sengketa antar para pihak, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara gugatan

(contentious).

c. Penetapan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim

sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di

20 Ibid. Hal 53

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

29

persidangan terbuka untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara

permohonan (voluntair).

d. Nilai suatu putusan Hakim terletak pada pertimbangan hukumnya,

apakah pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan dengan ketepatan

analisis kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya berdasarkan fakta

hukum.21

2. Macam-Macam Putusan Hakim.

Memperhatikan Pasal 185 (1) HIR dan Pasal 196 RBg. Isi putusan

dibedakan antara putusan bukan akhir (tusssen vonnis) dan putusan akhir

(eind vonnis).

a) Putusan Sela (Tussen Vonnis)

Yang disebut dengan putusan sela (tussen vonnis) adalah putusan

yang diadakan sebelum hakim memutuskan perkaranya demi untuk

mempermudahkan kelanjutan pemeriksaan perkara, putusan sela harus

diucapkan oleh hakim ketua majelis dan harus dimuat dalam berita acara

persidangan, hakim tidak terikat dalam adanya putsan sela, sebab

pemeriksaan suatu perkara perdata dianggap sebagai suatu kesatuan yang

tidak terpisahkan, karena putusan sela bersifat sementara dan terkait

dengan putusan akhir yang tetap, maka dengan adanya putusan sela itu

bahwa, pemeriksaan perkara itu belum selesai.22

Adapun putusan sela itu terdiri atas beberapa beberapa bentuk yang

berbeda- beda, dan masing-masing memiliki ciri-ciri khusus, yakni: 21 Ahmad Mujahidin.2008. Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia.Jakarta Pusat.Ikatan Hakim Indonesia IKAHI. Hal. 128 22 Ibid. Hal 130

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

30

1) Putusan Prepatatoir adalah merupakan putusan sebagai

persiapan akhir yang tanpa ada pengaruh terhadap pokok

perkara atau putusan akhir.

2) Putusan Interlucutior adalah putusan sela yang dapat

mempengaruhi akan bunyi putusan akhir itu.

3) Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan

provosional, yakni permintaan pihak yang bersangkutan agar

sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan

salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

4) Putusan Insidental adalah putusan yang berhubungan dengan

insiden, yaitu suatu peristiwa atau kejadian yang menghentikan

prosedur peradilan biasa, putusan insidental ini belum

mempunyai hubungan dengan pokok perkara.23

b) Putusan Akhir (Eind Vonnis)

Yang disebut dengan putusan akhir adalah putusan yang

mengakhiri suatu sengketa dalam suatu tingkatan pengadilan tertentu.24

Adapun sifat-sifat dari pada putusan akhir (eind vonnis) adalah

sebagai berikut:

1) Putusan Kondemantor, yaitu suatu putusan yang bersifat

menghukum atau dengan kata lain adalah putusan yang

menjatuhkan hukuman.

23 Ibid. Hal 132 24 Ibid. Hal 135

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

31

2) Putusan Konstituf, adalah putusan yang bersifat menciptakan,

putusan dengan mana suatu keadaan hukum dihapuskan atau

ditetapkan suatu keadaan hukum baru.

3) Putusan Deklarator, adalah putusan yang bersifat menerangkan

atau menyatakan atau menetapkan suatu keadaan hukum

semata-mata.

4) Putusan Kontradiktor, adalah putusan yang diambil dalam hal

tergugat pernah datang menghadap dipersidangan, jadi apabila

penggugat pada hari sidang pertama datang, tetapi pada hari-

hari sidang berikutnya tidak datang, maka perkaranya diperiksa

secara kontradiktor, kemudian diputuskannya, artinya diputus

di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara.

5) Putusan Verstek, adalah putusan diambil dalam hal tergugat

tidak pernah hadir dipersidangan meskipun telah dipanggil

secara resmi dan patut, maka gugatan dikabulkan dengan

putusan di luar hadir atau “verstek”, kecuali gugatan itu

melawan hak atau tidak beralasan. Putusan verstek atau di luar

hadir tergugat ini dijalankan bila tergugat tidak datang pada

hari sidang pertama dan berikutnya. Adapun lembaga verstek

diatur dalam pasal 125-129 HIR.

6) Putusan Gugur, adalah apabila penggugat mengajukan gugatan

pada hari sidang yang telah ditetapkan tidak datang menghadap

dan tidak pula mengirimkan wakilnya untuk menghadap,

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

32

meskipun telah dipanggil dengan patut, maka menurut Pasal

126 HIR dan Pasal 148 RBg, sebelum dijatukan putusan,

majelis hakim memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir

dipanggil sekali lagi agar datang, pemberitahuan itu sama

dengan panggilan. Jika yang yang tidak hadir adalah

tergugat,maka masih diberi kelonggaran untuk dipanggil sekali

lagi, kemudian jika penggugat tidak hadir, meskipun sudah

dipanggil dengan resmi dan patut sedang tergugat hadir, maka

untuk kepentingan tergugat yang sudah meluangkan waktu dan

biaya, maka gugatan penggugat dinyatakan gugur serta

dihukum membayar biaya perkara, dan penggugat masih

berkesempatan mengajukan gugatan sekali lagi, sesudah

membayar biaya panjar perkara terlebih dahulu, hal ini diatur

dalam Pasal124 HIR dan 148 RBg. Apabila baik penggugat

maupun tergugat pada hari sidang yang telah ditentukan dan

sudah dipanggil secara resmi dan patut dan kedua-duanya tidak

hadir tanpa alasan yang bisa diterima, maka dengan alasan demi

kewibawaan pengadilan serta jangan sampai ada perkara yang

berlarut-larut tidak menentu, maka jika demekian gugatan

tersebut perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada

atau dibatalkan.25

25 Ahmad Mujahidin.2008. Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia.Jakarta Pusat.Ikatan Hakim Indonesia IKAHI. Hal. 334-348

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

33

3. Unsur-unsur Dalam Putusan Hakim

Putusan hakim selayaknya tetap bertitik tolak kepada bebrapa unsur,

diantaranya sebagai berikut:

a. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kepastian Hukum

Hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di Pengadilan,

mempunyai tugas untuk menemukan hukum yang tepat. Hakim, dalam

menemukan hukum, tidak cukup hanya mencari dalam undang-undang

saja, sebab kemungkinan undang-undang tidak mengatur jelas dan

lengkap sehingga hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat.

Idealnya, dalam upaya menerapkan kepastian hukum, putusan

hakim harus sesuai tujuan dasar dari suatu pengadilan, mengandung

kepastian hukum sebagai berikut: 1. Melakukan solusi autoritatif,

artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang di hadapi

oleh para pihak (penggugat dan tergugat), 2. Efisiensi artinya dalam

proses harus cepat, sederhana, biaya ringan, 3. Sesuai dengan Undang-

undang yang dijadikan dasar dari putusan hakim tersebut, 4.

Mengandung aspek stabilitas yaitu dapat memberikan rasa tertib dan

rasa aman dalam masyarakat, 5. Mengandung equality yaitu memberi

kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.

b. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Keadilan

Sesungguhnya konsep suatu putusan yang mengadung

keadilam, sulit dicarikan tolak ukurnya bagi pihak-pihak yang

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

34

bersengketa. Adil bagi satu pihak, belum tentu dirasakan adil oleh pihak

lain.

Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan suatu pada

tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi

haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama

kedudukannya di muka hukum (equality before the law). Penekanan

yang lebih cenderung kepada asas keadilan dapat berarti harus

mempertimbangkan hukumnya yang hidup dimasyarakat, yang terdiri

dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.

c. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kemanfaatan

Putusan hakim yang akan mencerminkan kemanfaatan,

manakala hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka

dan hanya mengejar keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada

kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat pada umumnya. Artinya

hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangkan hasil

akhir nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau

kegunaan bagi semua pihak. Hakim diharapkan dalam menerapkan

undang-undang maupun hukum yang ada didasarkan pada tujuan atau

kemanfaatannya bagi yang berperkara dan masyarakat.26

D. Teori Tentang Efektivitas Hukum

1. Pengertian Efektivitas Hukum

a. Menurut Achmad Ali

26 Ibid. Hal 145

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

35

Menurut Achmad ali tentang teori efektivitas hukum

berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana

efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus mengukur “sejauh

mana aturan hukum itu ditaati”.27

b. Menurut Hans Kelsen

Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum.

Validitas hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.28

c. Menurut Soerjono Soekanto

Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu.29

Teori efektivitas hukum menurut soerjono soekamto adalah

bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)

faktor, yaitu:

a) Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang). b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

27 Pratamaiin. 2012.” Efektivitas Hukum “ Http://Pratamaiin.Blogspot.Com. Diakses Tanggal 1 Desember 2015. Pukul 23.31 28 ibid. 29 Soerjono Soekanto, 1988. Efektivitas Hukum Dan Penerapan Sanksi. Bandung. Cv. Ramadja Karya. Hal 88

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

36

maupun menerapkan hukum. c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d) Faktor masyarakat, yang lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan. e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil kerya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur

daripada efektivitas penegakan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh

terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan

tergantung pada sejauh mana petugas terkait oleh peraturan-peraturan

yang ada. Seperti berikut ini:

1. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan

kebijaksanaan.

2. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas

kepada masyarakat.

3. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan

yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batasan-

batasan yang tegas pada wewenangnya.30

Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum,

pengidentikan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal

namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun

merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat

30 Ibid

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

37

dikatagorikan sebagai hikum.

Hal berlakunya hukum dalam masyarakat demi terciptanya

tujuan hukum yang benar secara filosofis, yuridis dan sosiolagis.

a. Secara filosofis

Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa

hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai

positif yang tertinggi.

b. Secara yuridis

Berlakunya hukum secara secara yuridis, dijumpai

anggapan-anggapan sebagai berikut:

Hans kelsen, yang menyatakan bahwa kaidah

hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penetuannya

berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Ini

berhubungan dengan teori “stufenbau” dari kelsen W.

Zevenbergen, menyatakan bahwa suatu kaidah hukum

mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut “op de

verischte ize is tot sand gekomen”

c. Secara sosiologis

Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila

kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat

dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak

diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

38

kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh

masyarakat (teori pengakuan).

Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut

teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut

diterima dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori

paksaan berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum

tersebut dipaksakan oleh penguasa.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum

Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH.,MA antara lain :

a. Faktor Hukumnya Sendiri Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan

kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.

Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala.31

b. Faktor Penegak Hukum Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit

31 Op Cit. Hal 89

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

39

dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali terpidana.

Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanya memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dan dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Sebenarnya apa yang diketahui dan diselesakan melalui sistem peradilan pidana hanya puncaknya saja dari suatu gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan (mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal “kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan”atau “crimes without victims”) dan karena itu tidak dapat di selesaikan. Keadaan seperti ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada sistem peradilan pidana. Karena tugas sistem ini adalah terutama menyelesekan kasus-kasus yang sampai padanya.32

Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di daloam struktur kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur- unsur sebagai berikut : (1) peranan yang ideal / ideal role ; (2) peranan yang seharusnya / expected role; (3) peranan yang dianggap oleh diri sendiri / perceived role; dan (4) perana yang sebenarnya dilakukan / actual role.

Aturan para aparat dan aparatur penegak hukum dijabarkan sebagai berikut :

1) Kepolisian, kekuasaan polisi/polri adalah merupakan sebagai perwujudan istilah yang mengambarkan penjelmaan tugas, status, organisasi,wewenang dan tanggung jawab polisi. Secara umum kedudukan,

32 Achmad Ali, 2010. Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan.. Jakarta. Kencana . Vol 1 No. 375

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

40

fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

2) Kejaksaan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan RI.

3) Kehakiman, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasan hakim.

4) Lembaga pemasyarakatan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 19 tahun 2005 tentang pemasyarakatan.

Menurut Soerjono Soekanto hambatan maupun halangan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap antara lain : sikap terbuka, senantiasa siap menerima perubahan, peka terhadap masalah yang terjadi, senantiasa mempunyai informasi yang lengkap, oreentasi ke masa kini dan masa depa, menyadari potensi yang dapat di kembangkan, berpegang pada suatu perencanaan, percaya pada kemampuan iptek, menyadari dan menghormati hak dan kewajiban, berpegang teguh pada keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.33

c. Faktor Sarana Atau Fasilitas Yang Mendukung Penegakan Hukum Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan

sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.

Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.

Peningkatan tehnologi deteksi kriminalitas, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan penanganan perkara-perkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.

d. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan

untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai

33 Soerjono Soekanto. 1983. Penegakan Hukum. Bandung. Bina Cipta.Hal 80

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

41

hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfareasi antara lain :

a) Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan; b) hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran

tentang kenyataan; c) hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan

perilaku pantas yang diharapkan. d) hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif

tertulis) ; e) hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat f) hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa; g) hukum diartikan sebagai proses pemerintahan; h) hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik; i) hukum diartikan sebagai jalinan nilai; j) hukum diartikan sebagai seni.34

Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum itu sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cermina dari hukum sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik, yakni bahwapenegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat.

e. Faktor Kebudayaan Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor

masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip Soerdjono Soekamto ,bahwa sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya.35 Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan exstrim yang harus diserasikan.

Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik antara hukum adap dan hukum positif di Indonesia, dengan

34 Ibid. 35 Ibid

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang 1. Pengertian Hukum ...eprints.umm.ac.id/37709/3/jiptummpp-gdl-mochammadt-47918-3-babii.pdf · digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci

42

demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.36

36 Monalisawati. 2012. Perubahan Dan Efektivitas Hukum. Http//Monalisawati.Blogspot.Com. Diakses Pada Tanggal 27 November 2015 Pukul 22.43