bab ii tinjauan pustaka a. tentang 1. pengertian hukum...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan UmumTentang Hukum Kewarisan
1. Pengertian Hukum Kewarisan.
Menurut Hukum Islam
Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah suatu ilmu yang
dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang
yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris
dan cara membaginya.
Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah
Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang
berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang
mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan
bagian harta warisan yang menjadi haknya.
Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang
mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris
kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), barapa besar
bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya
sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa hukum waris islam
itu merupakan hukum yang mengatur tentang pemindahan dan
pembagian harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia
kepada orang-orang yang masih hidup.
10
Kata kewarisan berasal dari kata warasa, kata kewarisan banyak
digunakan dalam Al-Qur’an dan kemudian di rinci dalam Sunnah Rasulullah
SAW hukum Islam dibangun.10 Dalam literature Indonesia kata kewarisan
dengan awalan “ke” dan akhiran “an” jelas menunjukkan kata benda dan
mempunyai makna yang berhubungan dengan mewarisi, diwarisi dan
diwariskan..
Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan bahwa hukum kewarisan
ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari
seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang
ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad
SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl.
Menurut etimologi atau bahasa kata warasa memiliki beberapa arti:
pertama mengganti, kedua: memberi, ketiga: mewarisi. Sedangkan secara
terminology (istilah), hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta
peninggalan itu untuk setiap yang berhak. Hukum Kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pembagian harta warisan dari pewaris kepada ahli
waris yang masih hidup. Dalam hukum Islam terdapat beberapa istilah,
yaitu,faraidhl, fiqih mawaris, dan lain-lain. Waris adalah peraturan-peraturan
yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia
kepada para ahli warisnya. Batasan tersebut menetapkan suatu hal dalam
waris, bahwa yang berpindah dalam pewarisan adalah kekayaan si pewaris.
11
Dalam Islam, ahli waris itu ada dua macam, yakni ahli waris
nasabiyah yaitu ahliwaris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena
hubungan darah (keturunan atau kekerabatan) yang mana semua ahli waris
yang ada pertalian darah baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak
diberi hak menerima bagian menurut jauh dekatnya kekerabatannya, bahkan
bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya pun memiliki hak yang
sama dengan yang sudah dewasa. Namun hal mi berlaku ketentuan hijab.
Kedua, ahli waris Sababiyah yaitu ahli waris yang kewarsiannya berdasarkan
pemikahan dan memerdekakan budak (hamba sahaya) namun dikarenakan
perbudakan sudah tidak ada pada saat sekarang ini, maka penerapannya juga
sudah tidak berlaku. Rukun waris Islam ada tiga, yaitu:
a. Maurus yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang bakal
diwariskan pada ahli waris setelah diambil dari biaya perawatan,
melunasi utang-utang si mayit dan setelah melaksanakan wasiat.
b. Muwaris yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun
mati hakmi. Mati hukmi adalah suatu kematian yang dinyatakan oleh
putusan pengadilan atas dasar beberapa sebab, walaupun dalam arti
sesungguhnya ia belum mati.
c. Waris yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawaris
lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya
Jkatan perkawinan, hubungan darah dan adanya perwalian dengan si
muwarits
12
2. Dasar Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber dari beberapa ayat
Al Qur’an dan hadist Rasullullah saw berupa ucapan, perbuatan, dan hal-hal
yang didiamkan Rasul. Baik dalam Al Qur’an maupun hadist Rasulullah saw,
dasar hukum itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang tersirat, dan
kadang-kadang hanya berisi pokoknya saja. Dan paling banyak ditemui dasar
atau sumber hukum kewarisan itu dalam surat An Nisa’, di samping surat-
surat lainnya sebagai pendukung.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber pokok hukum islam. Karena itu,
kendatipun sumber hukum kewarisan ada tiga, tetapi kedua hukum
sesudah Al-Qur’an (Sunnah Rasul dan Ijtihad) harus tetap mengacu pada
Al-Qur’an. Pertama kelompok ayat kewarisan inti, yaitu ayat-ayat yang
langsung menjelaskan pembagian waris dan bagian-bagiannya yang telah
ditentukan jumlahnya. beberapa ayat-ayat tersebut adalah:
1) Surat An-Nisa’ ayat 7
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah diterapkan”. (Q. S. An-Nisa’; 7).
2) Surat An-Nisa’ ayat 12
Artinya: “Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sudah dibayar hutang. Para istri memperoleh seperempat harta yang ditinggalkan kamu jika kamu
13
tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) atau sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (dan) atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Maha Mengtahui lagi Maha Penyantun”. (Q. S. An-Nisa’; 12).
b. Sunnah Rasulullah saw
Sebagai sumber legislasi yang kedua setelah Al-Qur’an, sunnah
memiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap
Al-Qur’an, pada akhirnya hadist juga dapat membentuk hukum yang
tidak disebut dalam Al-Qur’an.
Bentuk nyata dari fungsi hadist sebagai konkrotisasi Al-Qur’an
dalam bidang kewarisan, misalnya hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas r.a. Artinya: “Berilah orang yang mempunyai bagian tetap sesuai
dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan
kepada ashobah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih
utama.” (HR. Bukhori-Muslim).
Fungsi sunnah yang lain adalah sebagai pembentuk hukum yang
tidak disebut dalam Al-Qur’an, salah satu contoh dari fungsi tersebut
adalah hadist tentang wala’ (warisan bekas budak yang tidak
meninggalkan ahli waris), dalam kasus demikian maka ahli warisnya
adalah orang yang memerdekakannya (HR. Bukhori Muslim), sedangkan
14
harta orang yang meninggal tanpa mempunyai ahli waris adalah milik
Baitul al-Mal (HR. Ahmad dan Abu Daud).
c. Ijtihad
Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah yang
diambil dari ijtihad para sahabat. Ijma’ dan ijtihad sahabat, imam
madzhab, dan para mujtahid dapat digunakan dalam pemecahan-
pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash yang
sharih. Misalnya: “Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dari
pada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama-sama dengan
saudara-saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka, cucu tersebut tidak
mendapat bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara ayahnya, tetapi
menurut kitab undang-undang hukum wasiat mesir yang meng-istinbat-
kan dari ijtihad para ulama muqoddimin, mereka diberi bagian
berdasarkan wasiat wajibah”.
3. Unsur-unsur Kewarisan Islam
Disamping harus adanya hubungan kewarisan dan tidak adanya
halangan kewarisan, maka seseorang baru berhak menerima warisan
apabila telah terpenuhi unsur-unsur kewarisan. Adapun unsur-unsur
kewarisan itu ada tiga, yaitu:
a. Orang telah mati dan meninggalkan harta yang beralih kepada orang
yang masih hidup disebut Pewaris atau al muwarrist,
b. Harta yang beralih dari orang yang mati kepada yang masih hidup
yang disebut harta warisan atau tirakah atau al muwaruts,
15
c. Orang yang berhak menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh
orang yang telah mati tersebut disebut ahli waris atau al warits.9
4. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan islam dapat digali dari
ayat-ayat hukum kewarisan serta sunnah nabi Muhammad SAW. Asas-asas
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:10
a. Asas Ijabari
Secara etimologi “ijabari’ mengandung arti paksaan, yaitu melakukan
sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya
peralihan harta seorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup
terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan hukum atau
pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya kematian
pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.
Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi: 1. Dari peralihan harta,
2. Dari segi jumlah harta yang beralih, 3. Dari segi kepada siapa itu akan
beralih. Ketentuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Al-
Quran, surat An-Nisa ayat 7 yang menjelaskan bahwa: bagi seorang laki-laki
maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari
karib kerabatnya, kata nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian
atau jatah dari harta peninggalan si pewaris.
9 Adnan Qohar, 2011. Hukum Kewarisan Islam, Keadilan, dan Metode Praktis Penyelesaiannya. Yogyakarta Pustaka Biru penerbit dan percetakan. Hal 162 10 Maryati Bachtiar.Hukum Waris Islam Dipandang Dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender.Pekanbaru. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No. 1
16
b. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas Bilateral dalam hukum kewarisan Islam
adalah seorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak
kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki.
Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam ketentuan Al-Quran surat
An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176 antara lain dalam ayat 7 dikemukakan bahwa
seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun
ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah
pihak orang tuanya. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis
ke samping (yaitu melalui ayah dan ibu).
c. Asas Individual
Pengertian asas Individual ini adalah setiap ahli waris (secara
individul) berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris
lainnya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara
individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagiannya.
Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Al-Quran surat An-Nisa ayat 7
mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan secara
individu.
d. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak
dan kewajiban dan seimbang antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan
kegunaan. Fengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis
17
kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Dasar hukum asas ini adalah
dalam ketentuan Al-Quran surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 179.
e. Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam mamandang bahwa terjadinya peralihan harta
hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta
seorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris
masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan pewarisan.
5. Bagian-bagian para ahli waris meunurut Hukum Waris Islam
1) Bagian waris anak laki-laki
Anak laki-laki selalu mendapat asabah atau sisa harta setelah
dibagikan pada ahli waris yang lain. Walaupun demikian, anak laki-
laki selalu mendapat bagian terbanyak karena keberadaannya dapat
mengurangi bagian atau menghilangkan sama sekali (mahjub/hirman)
hak dari ahli waris yang lain. Dalam ilmu faraidh, anak laki-laki
disebut ahli waris ashabah binafsih (asabah dengan diri sendiri).
2) Bagian anak perempuan
a) Anak perempuan mendapat 1/2 (setengah) harta warisan apabila:
Sendirian (anak tunggal).
Tidak ada anak laki-laki.
b) Anak perempuan Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila:
Lebih dari satu.
Tidak ada anak laki-laki.
18
c) Anak perempuan mendapat bagian asabah (sisa) apabila ada anak
laki-laki. Dalam keadaan ini maka anak perempuan mendapat
setengah atau separuh dari bagian anak laki-laki. (QS An-Nisa'
4:11)
3) Bagian waris ayah
a) Ayah mendapat 1/3 (sepertiga) bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak.
b) Ayah Mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila ada keturunan
pewaris yang laki-laki seperti anak atau cucu laki-laki dan
kebawah.
c) Ayah mendapat bagian asabah dan bagian pasti sekaligus apabila
ada keturunan pewaris yang perempuan saja yaitu anak perempuan
atau cucu perempuan dan kebawah. Maka, ayah mendapat 1/6
(seperenam) dan asabah.
d) Ayah mendapat bagian waris asobah atau siswa apabila pewaris
tidak memiliki keturunan baik anak atau cucu ke bawah.
Yang terhalang (mahjub) karena ayah adalah saudara laki-
laki kandung, saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki seibu.
Semua tidak mendapat warisan karena adanya Ayah atau Kakek.
4) Bagian waris ibu
a) Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) warisan dengan syaratnya:
Tidak ada keturunan pewaris yaitu anak, cucu, dst.
19
Tidak berkumpulnya beberapa saudara laki-laki dan saudara
perempuan.
Tidak adanya salah satu dari dua masalah umroh.
b) Ibu mendapat 1/6 (seperenam) apabila:
Pewaris punya keturunan yaitu anak, cucu, kebawah.
Adanya dua saudara laki-laki dan perempaun atau lebih.
1. Ibu mendapat 1/3 (seperti) sisanya dalam masalah umaritain (umar
dua) yaitu: Istri, Ibu, Bapak. Masalah dari empat: suami 1/4 (satu),
ibu 1/3 sisa (satu), yang lain untuk bapak (dua).
2. Suami, Ibu, Bapak. Masalah dari enam: suami 1/2 (tiga), ibu sisa
1/3 (satu), sisanya untuk bapak (dua).
Ibu mendapat 1/3 dari sisa agar supaya tidak melebihi
bagian bapak karena keduanya sederajat dari awal dan supaya laki-
laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan. (QS An-Nisa'
4:11).
B. Tinjauan Umum Tentang Eksekusi Hasil Putusan Pengadilan Agama
1. Pengertian Eksekusi
Menurut M. Yahya H. adalah merupakan tindakan hukum yang
dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara,
merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.11
11 M. Yahya Harahap.1991, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia), hal. 1
20
Menurut Prof.R.Subekti
Pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).12
Menurut Djazuli Bachar adalah Melaksanakan putusan pengadilan,
yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan
menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa
tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak
menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.13
Menurut R. Supomo adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-
syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang
berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah
tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan.14
a. Jenis Eksekusi
1) Dengan Sukarela
Artinya pihak yang dikalahkan melaksanakan sendiri putusan
Pengadilan tanpa ada paksaan dari pihak lain.
12 Prof. R. Subekti.1989, Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung; Binacipta,) hal.130.
13 Djazuli Bachar.Eksekusi Putusan Perkara Perdata,Segi Hukum dan Penegakan Hukum, hal 06 14 R. Supomo.1986.Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 9, (Jakarta :PT.Pradnya Paramita,), hal 119
21
2) Dengan Paksaan.
Yaitu menjalankan putusan Pengadilan, yang merupakan
suatu tindakan hukum dan dilakukan secara paksa terhadap pihak yang
kalah disebabkan ia tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.15
b. Asas Asas Eksekusi
1) Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap :
a) Putusan Pengadilan Negeri tidak banding.
b) Putusan Pengadilan Tinggi tidak kasasi.
c) Putusan Mahkamah Agung.
2) Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
3) Putusan bersifat kondemnatoir (memerintah/menghukum).
4) Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri (Pasal 196 HIR dan 264 Rbg).
5) Permohonan PK tidak menghentikan pelaksanaan eksekusi (Pasal 66
ayat (2) UU 14 tahun 1985 serta perubahannya).
6) Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.16
c. Dasar Hukum Eksekusi
1) Pasal 195 s.d Pasal 224 HIR/Pasal 206 s.d Pasal 258 R.Bg (tentang
tata cara eksekusi secara umum).
2) Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum
tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu). 15 M. Rum Nessa. 2014. Konfigurasi dan Dinamika Hukum Peradilan Agama. Surabaya. Alaf Riau. Hal 88 16 Ibid. Hal 90
22
3) Pasal 209 s.d Pasal 223 HIR/Pasal 242 s.d Pasal 257 RBg, mengatur
tentang ”sandera” (gijzeling) berdasarkar 2 Tahun
1964 dianggap bertentangan dengan peri kemanusiaan, sehingga tidak
efektif digunakan lagi.
4) Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan
SEMA Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan putusan yang
belum mempunyai kekuatan hukum. tetap, yaitu serta
merta(Uitvoerbaar bij voorraad dan provisi).
5) Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil).
6) Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
pelaksanaan putusan pengadilan.17
d. Macam-macam eksekusi
Ada 3 macam eksekusi, yakni:
1) Eksekusi Pembayaran Uang
Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi di mana
hubungan hukum yang harus dipenuhi sesuai dengan amar atau
diktum putusan, dalam hal seseorang dihukum untuk membayar
sejumlah uang. Sebenarnya dari segi sifat eksekusi ini sama dengan
eksekusi riil, hanya terdapat kemungkinan dalam eksekusi ini bahwa
tergugat tidak mempunyai uang, tetapi hanya mempunyai barang
bergerak, atau mempunyai uang namun tidak mencukupi untuk
membayar seluruh jumlah uang yang harus dibayarkan, tetapi dia
17 Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama. 2010. Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama. Jakarta. Hal 122
23
mempunyai barang, maka diperlukan aturan khusus, yang
menjadikan eksekusi jenis ini dibedakan dengan jenis eksekusi yang
ditentukan dalam Pasal 196 HIR/208 RBg.
Dalam eksekusi pembayaran uang ini, apabila tereksekusi
tidak memiliki uang, atau mempunyai tetapi jumlahnya kurang untuk
memenuhi hutangnya, maka pihak pemenang mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkaranya
agar menyita barang tertentu milik tereksekusi untuk selanjutnya
melelangnya kemudian hasil lelangnya diserahkan kepada pemohon
eksekusi.
2) Eksekusi Melakukan Suatu Perbuatan
Eksekusi dalam hal seseorang dihukum untuk melaksanakan
suatu perbuatan. Sebenarnya eksekusi ini dari segi pemenuhannya
adalah sama dengan eksekusi-eksekusi lainnya, tetapi karena dalam
jenis eksekusi ini terdapat kemungkinan perbuatan yang harus
dijalankan tersebut tidak dapat dijalankan oleh tergugat (orang yang
dikalahkan). Karena tidak semua orang mampu mengerjakan segala
jenis perbuatan, maka diadakan aturan khusus, yang justru ataran itu
menyebabkan berbeda dengan ekssekusi-eksekusi lainnya. Eksekusi
diatur dalam Pasal 225 HIR/259 RBg.
3) Eksekusi Riil
Adakalanya dalam suatu putusan, hakim memerintahkan
kepada Jurusita supaya dengan bantuannya Panitera Pengadilan dan
24
jika perlu dengan bantuannya alat negara, mengosongkan misalnya
rumah oleh orang yang terhukum. Mengenai eksekusi riil ini dalam
praktek dijalankan terhadap penjualan lelang, yaitu perintah dari
Hakim kepada Jurusita supaya dengan bantuannya Panitera
Pengadilan dan jika perlu dengan bantuan alat negara, barang yang
tidak bergerak yang telah dijual lelang, dikosongkan oleh orang yang
barangnya dijual itu.18
2. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi
a. Pemohon mengajukan permohonan eksekusi dan mekanismenya
sebagaiman diatur dalam pola bindalmin dan peraturan terkait
b. Ketua pengadilan agama menerbitkan penetapan untuk aanmaning,
yang berisi perintah kepada jurusita supaya memanggil termohon
eksekusi untuk hadir dalam sidang aanmaning.
c. Jurusita/jurusita pengganti memanggil termohon eksekusi.
d. Ketua Pengadilan Agama melaksanakan aanmaning dengan sidang
insidentil yang dihadiri oleh ketua, panitera dan termohon eksekusi.
Dalam sidang aanmaning tersebut:
1) Seyogyanya pemohon eksekusi dipanggil untuk hadir.
2) Ketua Pengadilan Agama menyampaikan peringatan supaya
dalam tempo 8 (delapan) hari, dari peringatan termohon
eksekusi melaksanakan isi putusan.
18 Elise T. Sulistini dan Rudy T. Erwin. 1987. Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata. Jakarta.. Bina aksara. Hal 43.
25
3) Panitera membuat berita acara aanmaning dan ditanda tangani
oleh ketua dan panitera.19
e. Apabila dalam tempo 8 (delapan) hari dalam peringatan, permohonan
eksekusi melaporkan bahwa termohon eksekusi belum melaksanakan
eksekusi putusan, Ketua Pengadilan Agama menerbitkan perintah
pelaksanaan eksekusi.
f. Dalam hal eksekusi putusan pengadilan agama yang objeknya berada
di luar wilayah hukumnya, maka ketua pengadilan agama yang
bersangkutan meminta bantuan kepada ketua pengadilan agama yang
mewilayahi objek tersebut dalam bentuk penetapan ( Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010 butir 1 ).
g. Dalam hal eksekusi tersebut dalam butir ke 5, diajukan perlawan baik
dari perlawanan tersita maupun dari pihak ketiga, maka perlawanan
tersebut diajukan dan diperiksa serta diputus oleh pengadilan agama
yang diminta bantuan (Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) Rbg
dan butir 2 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010,
butir 1 ).
h. Dalam hal pelawan dalam perlawanannya meminta agar eksekusi
tersebut pada butir (6) di atas ditangguhkan, maka yang berwenang
menangguhkan atau tidak menangguhkan eksekusi tersebut adalah
ketua pengadilan agama yang diminta bantuannya, sebagai pejabat
yang memimpin eksekusi, dengan ketentuan bahwa dalam jangka
19 Ibid. Hal 46
26
waktu 2X24 jam melaporkan secara tertulis kepada ketua pengadilan
agama yang meminta bantuan tentang segala upaya yang telah
dijalankan olehnya termasuk adanya penangguhan eksekusi tersebut (
Pasal 195 ayat (5) dan (7) HIR/Pasal 206 ayat (5) dan (7) RBg serta
butir 3 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010.
i. Dalam hal pelaksanaan putusan mengenai suatu perbuatan, apabila
tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang
( Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg ) yang teknis pelaksanaannya seperti
eksekusi pembayaran sejumlah uang.
j. Jika termohon tidak melaksanakan putusan tersebut dan pengadilan
tidak dapat melaksanakannya walau dengan bantuan alat negara, maka
pemohon dapat mengajukan kepada ketua pengadilan agama agar
termohon membayar sejumlah uang, yang nilainya sepadan dengan
perbuatan yang harus dilakukan oleh termohon.
k. Ketua pengadilan agama wajib memanggil dan mendengar termohon
eksekusi dan apabila diperlukan dapat meminta keterangan dari
seorang ahli di bidang tersebut.
l. Penetapan jumlah uang yang harus dibayar oleh termohon dituangkan
dalam penetapan ketua pengadilan agama.
m. Apabila putusan untuk membayar sejumlah uang tidak dilaksanakan
secara sukarela, maka dilaksanakan dengan cara melelang barang
milik pihak yang dikalahkan ( Pasal 200 HIR/Pasal 214 s/d Pasal 224
RBg ).
27
n. Putusan yang menghukum tergugat untuk menyerahkan sesuatu
barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, apabila
perlu bantuan alat kekuasaan negara.
o. Eksekusi tidak dapat dilaksanakan kedua kalinya apabila barang yang
telah dieksekusi telah diterima oleh pemohon eksekusi, namun
diambil kembali oleh tereksekusi.
p. Upaya dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan hal
tersebut di atas kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisisan) atau
mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali barang
(tanah/rumah).
q. Putusan pengadilan agama atas gugatan penyerobotan tersebut apabila
diminta dalam petitum, dapat dijatuhkan putusan serta-merta atas
dasar sengketa bezit/kedudukan berkuasa.
r. Apabila suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap telah
dilaksanakan (dieksekusi) atas suatu barang dengan eksekusi riil,
tetapi kemudian putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut
dibatalkan oleh putusan peninjauan kembali, maka barang yang telah
diserahkan kepada pihak pemohon eksekusi tersebut wajib diserahkan
tanpa proses gugatan kepada pemilik semula sebagai pemulihan hak.
s. Pemulihan hak diajukan pemohon kepada ketua pengadilan agama.
t. Eksekusi pemulihan hak dilakukan menurut tata cara eksekusi riil.
Apabila barang tersebut sudah dialihkan kepada pihak lain, termohon
eksekusi dapat mengajukan gugatan ganti rugi senilai objek miliknya.
28
u. Apabila putusan belum berkekuatan hukum tetap, kemudian terjadi
perdamaian di luar pengadilan yang mengesampingkan amar putusan
dan ternyata perdamaian itu diingkan oleh salah satu pihak, maka
yang dieksekusi adalah amar putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap.20
C. Tinjauan Umum Tentang Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan.
Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para
pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada.
Majelis Hakim kemudian bermusyawarah untuk merumuskan keputusan.
a. Dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada dua macam
produk keputusan Hakim/Pengadilan :
1) Putusan.
2) Penetapan
b. Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan
terbuka untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan
sengketa antar para pihak, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara gugatan
(contentious).
c. Penetapan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
20 Ibid. Hal 53
29
persidangan terbuka untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara
permohonan (voluntair).
d. Nilai suatu putusan Hakim terletak pada pertimbangan hukumnya,
apakah pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan dengan ketepatan
analisis kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya berdasarkan fakta
hukum.21
2. Macam-Macam Putusan Hakim.
Memperhatikan Pasal 185 (1) HIR dan Pasal 196 RBg. Isi putusan
dibedakan antara putusan bukan akhir (tusssen vonnis) dan putusan akhir
(eind vonnis).
a) Putusan Sela (Tussen Vonnis)
Yang disebut dengan putusan sela (tussen vonnis) adalah putusan
yang diadakan sebelum hakim memutuskan perkaranya demi untuk
mempermudahkan kelanjutan pemeriksaan perkara, putusan sela harus
diucapkan oleh hakim ketua majelis dan harus dimuat dalam berita acara
persidangan, hakim tidak terikat dalam adanya putsan sela, sebab
pemeriksaan suatu perkara perdata dianggap sebagai suatu kesatuan yang
tidak terpisahkan, karena putusan sela bersifat sementara dan terkait
dengan putusan akhir yang tetap, maka dengan adanya putusan sela itu
bahwa, pemeriksaan perkara itu belum selesai.22
Adapun putusan sela itu terdiri atas beberapa beberapa bentuk yang
berbeda- beda, dan masing-masing memiliki ciri-ciri khusus, yakni: 21 Ahmad Mujahidin.2008. Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia.Jakarta Pusat.Ikatan Hakim Indonesia IKAHI. Hal. 128 22 Ibid. Hal 130
30
1) Putusan Prepatatoir adalah merupakan putusan sebagai
persiapan akhir yang tanpa ada pengaruh terhadap pokok
perkara atau putusan akhir.
2) Putusan Interlucutior adalah putusan sela yang dapat
mempengaruhi akan bunyi putusan akhir itu.
3) Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan
provosional, yakni permintaan pihak yang bersangkutan agar
sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan
salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
4) Putusan Insidental adalah putusan yang berhubungan dengan
insiden, yaitu suatu peristiwa atau kejadian yang menghentikan
prosedur peradilan biasa, putusan insidental ini belum
mempunyai hubungan dengan pokok perkara.23
b) Putusan Akhir (Eind Vonnis)
Yang disebut dengan putusan akhir adalah putusan yang
mengakhiri suatu sengketa dalam suatu tingkatan pengadilan tertentu.24
Adapun sifat-sifat dari pada putusan akhir (eind vonnis) adalah
sebagai berikut:
1) Putusan Kondemantor, yaitu suatu putusan yang bersifat
menghukum atau dengan kata lain adalah putusan yang
menjatuhkan hukuman.
23 Ibid. Hal 132 24 Ibid. Hal 135
31
2) Putusan Konstituf, adalah putusan yang bersifat menciptakan,
putusan dengan mana suatu keadaan hukum dihapuskan atau
ditetapkan suatu keadaan hukum baru.
3) Putusan Deklarator, adalah putusan yang bersifat menerangkan
atau menyatakan atau menetapkan suatu keadaan hukum
semata-mata.
4) Putusan Kontradiktor, adalah putusan yang diambil dalam hal
tergugat pernah datang menghadap dipersidangan, jadi apabila
penggugat pada hari sidang pertama datang, tetapi pada hari-
hari sidang berikutnya tidak datang, maka perkaranya diperiksa
secara kontradiktor, kemudian diputuskannya, artinya diputus
di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara.
5) Putusan Verstek, adalah putusan diambil dalam hal tergugat
tidak pernah hadir dipersidangan meskipun telah dipanggil
secara resmi dan patut, maka gugatan dikabulkan dengan
putusan di luar hadir atau “verstek”, kecuali gugatan itu
melawan hak atau tidak beralasan. Putusan verstek atau di luar
hadir tergugat ini dijalankan bila tergugat tidak datang pada
hari sidang pertama dan berikutnya. Adapun lembaga verstek
diatur dalam pasal 125-129 HIR.
6) Putusan Gugur, adalah apabila penggugat mengajukan gugatan
pada hari sidang yang telah ditetapkan tidak datang menghadap
dan tidak pula mengirimkan wakilnya untuk menghadap,
32
meskipun telah dipanggil dengan patut, maka menurut Pasal
126 HIR dan Pasal 148 RBg, sebelum dijatukan putusan,
majelis hakim memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir
dipanggil sekali lagi agar datang, pemberitahuan itu sama
dengan panggilan. Jika yang yang tidak hadir adalah
tergugat,maka masih diberi kelonggaran untuk dipanggil sekali
lagi, kemudian jika penggugat tidak hadir, meskipun sudah
dipanggil dengan resmi dan patut sedang tergugat hadir, maka
untuk kepentingan tergugat yang sudah meluangkan waktu dan
biaya, maka gugatan penggugat dinyatakan gugur serta
dihukum membayar biaya perkara, dan penggugat masih
berkesempatan mengajukan gugatan sekali lagi, sesudah
membayar biaya panjar perkara terlebih dahulu, hal ini diatur
dalam Pasal124 HIR dan 148 RBg. Apabila baik penggugat
maupun tergugat pada hari sidang yang telah ditentukan dan
sudah dipanggil secara resmi dan patut dan kedua-duanya tidak
hadir tanpa alasan yang bisa diterima, maka dengan alasan demi
kewibawaan pengadilan serta jangan sampai ada perkara yang
berlarut-larut tidak menentu, maka jika demekian gugatan
tersebut perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada
atau dibatalkan.25
25 Ahmad Mujahidin.2008. Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia.Jakarta Pusat.Ikatan Hakim Indonesia IKAHI. Hal. 334-348
33
3. Unsur-unsur Dalam Putusan Hakim
Putusan hakim selayaknya tetap bertitik tolak kepada bebrapa unsur,
diantaranya sebagai berikut:
a. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kepastian Hukum
Hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di Pengadilan,
mempunyai tugas untuk menemukan hukum yang tepat. Hakim, dalam
menemukan hukum, tidak cukup hanya mencari dalam undang-undang
saja, sebab kemungkinan undang-undang tidak mengatur jelas dan
lengkap sehingga hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Idealnya, dalam upaya menerapkan kepastian hukum, putusan
hakim harus sesuai tujuan dasar dari suatu pengadilan, mengandung
kepastian hukum sebagai berikut: 1. Melakukan solusi autoritatif,
artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang di hadapi
oleh para pihak (penggugat dan tergugat), 2. Efisiensi artinya dalam
proses harus cepat, sederhana, biaya ringan, 3. Sesuai dengan Undang-
undang yang dijadikan dasar dari putusan hakim tersebut, 4.
Mengandung aspek stabilitas yaitu dapat memberikan rasa tertib dan
rasa aman dalam masyarakat, 5. Mengandung equality yaitu memberi
kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.
b. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Keadilan
Sesungguhnya konsep suatu putusan yang mengadung
keadilam, sulit dicarikan tolak ukurnya bagi pihak-pihak yang
34
bersengketa. Adil bagi satu pihak, belum tentu dirasakan adil oleh pihak
lain.
Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan suatu pada
tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama
kedudukannya di muka hukum (equality before the law). Penekanan
yang lebih cenderung kepada asas keadilan dapat berarti harus
mempertimbangkan hukumnya yang hidup dimasyarakat, yang terdiri
dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
c. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kemanfaatan
Putusan hakim yang akan mencerminkan kemanfaatan,
manakala hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka
dan hanya mengejar keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada
kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat pada umumnya. Artinya
hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangkan hasil
akhir nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau
kegunaan bagi semua pihak. Hakim diharapkan dalam menerapkan
undang-undang maupun hukum yang ada didasarkan pada tujuan atau
kemanfaatannya bagi yang berperkara dan masyarakat.26
D. Teori Tentang Efektivitas Hukum
1. Pengertian Efektivitas Hukum
a. Menurut Achmad Ali
26 Ibid. Hal 145
35
Menurut Achmad ali tentang teori efektivitas hukum
berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana
efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus mengukur “sejauh
mana aturan hukum itu ditaati”.27
b. Menurut Hans Kelsen
Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum.
Validitas hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.28
c. Menurut Soerjono Soekanto
Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu.29
Teori efektivitas hukum menurut soerjono soekamto adalah
bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)
faktor, yaitu:
a) Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang). b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
27 Pratamaiin. 2012.” Efektivitas Hukum “ Http://Pratamaiin.Blogspot.Com. Diakses Tanggal 1 Desember 2015. Pukul 23.31 28 ibid. 29 Soerjono Soekanto, 1988. Efektivitas Hukum Dan Penerapan Sanksi. Bandung. Cv. Ramadja Karya. Hal 88
36
maupun menerapkan hukum. c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d) Faktor masyarakat, yang lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan. e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil kerya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur
daripada efektivitas penegakan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh
terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan
tergantung pada sejauh mana petugas terkait oleh peraturan-peraturan
yang ada. Seperti berikut ini:
1. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan
kebijaksanaan.
2. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas
kepada masyarakat.
3. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan
yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batasan-
batasan yang tegas pada wewenangnya.30
Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum,
pengidentikan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal
namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun
merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat
30 Ibid
37
dikatagorikan sebagai hikum.
Hal berlakunya hukum dalam masyarakat demi terciptanya
tujuan hukum yang benar secara filosofis, yuridis dan sosiolagis.
a. Secara filosofis
Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa
hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai
positif yang tertinggi.
b. Secara yuridis
Berlakunya hukum secara secara yuridis, dijumpai
anggapan-anggapan sebagai berikut:
Hans kelsen, yang menyatakan bahwa kaidah
hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penetuannya
berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Ini
berhubungan dengan teori “stufenbau” dari kelsen W.
Zevenbergen, menyatakan bahwa suatu kaidah hukum
mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut “op de
verischte ize is tot sand gekomen”
c. Secara sosiologis
Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila
kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat
dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak
diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau
38
kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh
masyarakat (teori pengakuan).
Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut
teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut
diterima dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori
paksaan berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum
tersebut dipaksakan oleh penguasa.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum
Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH.,MA antara lain :
a. Faktor Hukumnya Sendiri Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala.31
b. Faktor Penegak Hukum Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit
31 Op Cit. Hal 89
39
dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali terpidana.
Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanya memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dan dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Sebenarnya apa yang diketahui dan diselesakan melalui sistem peradilan pidana hanya puncaknya saja dari suatu gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan (mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal “kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan”atau “crimes without victims”) dan karena itu tidak dapat di selesaikan. Keadaan seperti ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada sistem peradilan pidana. Karena tugas sistem ini adalah terutama menyelesekan kasus-kasus yang sampai padanya.32
Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di daloam struktur kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur- unsur sebagai berikut : (1) peranan yang ideal / ideal role ; (2) peranan yang seharusnya / expected role; (3) peranan yang dianggap oleh diri sendiri / perceived role; dan (4) perana yang sebenarnya dilakukan / actual role.
Aturan para aparat dan aparatur penegak hukum dijabarkan sebagai berikut :
1) Kepolisian, kekuasaan polisi/polri adalah merupakan sebagai perwujudan istilah yang mengambarkan penjelmaan tugas, status, organisasi,wewenang dan tanggung jawab polisi. Secara umum kedudukan,
32 Achmad Ali, 2010. Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan.. Jakarta. Kencana . Vol 1 No. 375
40
fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
2) Kejaksaan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan RI.
3) Kehakiman, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasan hakim.
4) Lembaga pemasyarakatan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 19 tahun 2005 tentang pemasyarakatan.
Menurut Soerjono Soekanto hambatan maupun halangan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap antara lain : sikap terbuka, senantiasa siap menerima perubahan, peka terhadap masalah yang terjadi, senantiasa mempunyai informasi yang lengkap, oreentasi ke masa kini dan masa depa, menyadari potensi yang dapat di kembangkan, berpegang pada suatu perencanaan, percaya pada kemampuan iptek, menyadari dan menghormati hak dan kewajiban, berpegang teguh pada keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.33
c. Faktor Sarana Atau Fasilitas Yang Mendukung Penegakan Hukum Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.
Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
Peningkatan tehnologi deteksi kriminalitas, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan penanganan perkara-perkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
d. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan
untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai
33 Soerjono Soekanto. 1983. Penegakan Hukum. Bandung. Bina Cipta.Hal 80
41
hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfareasi antara lain :
a) Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan; b) hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran
tentang kenyataan; c) hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan
perilaku pantas yang diharapkan. d) hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif
tertulis) ; e) hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat f) hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa; g) hukum diartikan sebagai proses pemerintahan; h) hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik; i) hukum diartikan sebagai jalinan nilai; j) hukum diartikan sebagai seni.34
Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum itu sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cermina dari hukum sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik, yakni bahwapenegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat.
e. Faktor Kebudayaan Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip Soerdjono Soekamto ,bahwa sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya.35 Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan exstrim yang harus diserasikan.
Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik antara hukum adap dan hukum positif di Indonesia, dengan
34 Ibid. 35 Ibid
42
demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.36
36 Monalisawati. 2012. Perubahan Dan Efektivitas Hukum. Http//Monalisawati.Blogspot.Com. Diakses Pada Tanggal 27 November 2015 Pukul 22.43