bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman patikan kebo...

41
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L) 2.1.1 Deskripsi Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L) Patikan kebo (Euphorbia hirta L) merupakan tanaman herba merambat yang hidup di permukaan tanah, terutama pada daerah yang beriklim tropis. Patikan kebo (Euphorbia hirta L) termasuk tanaman liar yang biasa tumbuh di permukaan tanah yang tidak terlalu lembab dan ditemukan secara terpencar satu sama lain (Heyne, 1987 dalam Hamdiyati, dkk. 2008). Tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) merupakan tanaman liar yang banyak ditemukan di daerah tropis. Di Indonesia, tanaman obat tradisional ini dapat ditemukan diantara rerumputan tepi jalan, kebun atau pekarangan rumah yang tidak terurus dan disungai. Tanaman herbal ini dicirikan dengan batang lunak yang tidak begitu kuat menyangga daun, serta memiliki getah putih yang cukup kental. Tanaman ini masih famili dengan patikan cina, yaitu dalam famili Euphorbiaceae (Nafisah, dkk. 2014). Patikan kebo (Euphorbia hirta L) merupakan gulma liar yang banyak ditemukan di daerah tropis. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada ketinggian 1-1400 meter diatas permukaan laut. Di Indonesia, tumbuhan ini banyak ditemukan di padang rumput, tepi jalan, tepi sungai, kebun, atau halaman rumah yang tidak terurus. Patikan kebo (Euphorbia hirta L) biasanya tumbuh bersama dengan patikan cina serta dapat bertahan hidup selama 1 tahun dan berkembang biak dengan biji (Latief, 2014). Di beberapa daerah patikan kebo (Euphorbia hirta L) 11

Upload: nguyenhanh

Post on 07-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L)

2.1.1 Deskripsi Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L)

Patikan kebo (Euphorbia hirta L) merupakan tanaman herba merambat

yang hidup di permukaan tanah, terutama pada daerah yang beriklim tropis.

Patikan kebo (Euphorbia hirta L) termasuk tanaman liar yang biasa tumbuh di

permukaan tanah yang tidak terlalu lembab dan ditemukan secara terpencar satu

sama lain (Heyne, 1987 dalam Hamdiyati, dkk. 2008). Tanaman patikan kebo

(Euphorbia hirta L) merupakan tanaman liar yang banyak ditemukan di daerah

tropis. Di Indonesia, tanaman obat tradisional ini dapat ditemukan diantara

rerumputan tepi jalan, kebun atau pekarangan rumah yang tidak terurus dan

disungai. Tanaman herbal ini dicirikan dengan batang lunak yang tidak begitu

kuat menyangga daun, serta memiliki getah putih yang cukup kental. Tanaman ini

masih famili dengan patikan cina, yaitu dalam famili Euphorbiaceae (Nafisah,

dkk. 2014).

Patikan kebo (Euphorbia hirta L) merupakan gulma liar yang banyak

ditemukan di daerah tropis. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada ketinggian 1-1400

meter diatas permukaan laut. Di Indonesia, tumbuhan ini banyak ditemukan di

padang rumput, tepi jalan, tepi sungai, kebun, atau halaman rumah yang tidak

terurus. Patikan kebo (Euphorbia hirta L) biasanya tumbuh bersama dengan

patikan cina serta dapat bertahan hidup selama 1 tahun dan berkembang biak

dengan biji (Latief, 2014). Di beberapa daerah patikan kebo (Euphorbia hirta L)

11

12

disebut dengan nama yang berbeda-beda misalnya di Jawa biasanya di sebut

dengan patikan jawa dan kukon-kukon, di Jakarta disebut dengan gendong anak

dan gelang susu, di Sunda disebut dengan nanangkaan, dan di Maluku disebut

dengan suma ibi, isu gibi dan sosonongan (Hariana,2006). Tanaman patikan kebo

(Euphorbia hirta L) hidup merambat di tanah, batangnya berambut berwarna

hijau kecoklatan, percabangan selalu keluar dari dekat pangkal batang dan tumbuh

lurus ke atas, akar tunggang dan jarang tumbuh mendatar di permukaan tanah.

Daunnya berbentuk jorong meruncing sampai tumpul, tepinya bergerigi dan

berbulu dipermukaan atas dan bawah. Panjang helaian daun mencapai 50 mm dan

lebarnya 25 mm, pertulangan menyirip, letak daun yang satu dengan yang lain

berhadap-hadapan. Daunnya berwarna hijau atau hijau keunguan. Tanaman

patikan kebo (Euphorbia hirta L) mampu bertahan hidup selama 1 tahun dan

berkembang biak melalui biji (Nafisah, dkk. 2014).

2.1.2 Klasifikasi Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L)

Menurut Gembong (2001), sistematika atau klasifikasi tanaman patikan kebo

(Euphorbia hirta L) dalam dunia tumbuhan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Euphorbiaceae

Marga : Euphorbia

Jenis : Euphorbia hirta L

13

Gambar 2.1 Tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) (Sumber: Tarmizi.blogspot.2011)

2.1.3 Khasiat dan Kandungan Senyawa Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia

hirta L)

Khasiat pada tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) telah

dimanfaatkan sebagai obat untuk mengobati berbagai penyakit. Berikut

merupakan khasiat dari daun patikan kebo, diantaranya mengobati radang

tenggorokan, bronkhitis, asma, radang perut, diare, disentri, kencing darah, radang

kelenjar susu dan payu dara, bengkak, penyakit eksim dan berak darah. Tanaman

ini memiliki rasa agak pahit, asam, sejuk, dan sedikit beracun. Tanaman patikan

kebo (Euphorbia hirta L) mempunyai zat-zat kimia yang dapat berkhasiat antara

lain yaitu mempunyai efek farmakologis antiinflamasi, peluruh air seni dan

menghilangkan gatal dan seluruh bagian tanaman patikan kebo dapat digunakan

untuk mengobati beberapa penyakit antara lain abses paru, bronchitis kronis,

asma, disentri, melancarkan kencing, radang kelenjar susu atau payudara dan tipus

abdominalis (Hariana, 2006).

14

Kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam tanaman patikan kebo

(Euphorbia hirta L) sangat banyak, tidak hanya terdapat pada bagian daunnya di

bagian akar serta batang terdapat senyawa kimia, diantaranya flavonoid, tanin dan

saponin yang berperan sebagai antiinflamasi (Janeway, et all. 2007 dalam

Prihantiny, 2010). Secara rinci kandungan kimia dan efek farmakologi tanaman

patikan kebo (Euphorbia hirta L) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1 Kandungan Kimia dan Efek Farmakologi Tanaman Patikan Kebo

(Euphorbia hirta L). No Nama Senyawa Efek Farmakologi

1 Flavonoid menghasilkan sistem imun yang alamiah (innate) dan sistem imun spesifik (adaptive), antiinflamasi dan antihistamin

2 Asam askorba antialergi, antiinflamasi, antihistamin, antioksidan, imunomodulator, imunostimulant, antispasmotic, asthma preventive, dan Ca-antagonist

3 Beta-amyrin Antiinflamasi 4 Beta-sitosterol Antiinflamasi, antioksidan, antiprostaglandin 5 Caffeic-acid Antihistamin, antiinflamasi, antioksidan,

antispasmodic,imunostimulant, leukotrieneinhibitor, lipoxygenase-inhibitor, COX-2-inhibitor, dan Ca-antagonist

6 Quercetin lipoxygenase-inhibitor, leukotrieneinhibitor, COX-inhibitor, Nuclear Factor кB inhibitor (NF-кB inhibitor), protein-kinaseC-inhibitor, dan phospholipase inhibitor

7 Kaempferol antioksidan, ICAM-inhibitor, antispasmodic 8 Gallic-acid bronkodilator, antiinflamasi, lipoxygenaseinhibitor, dan COX-

inhibitor 9 P-coumaricacid prostaglandin-synthesis-inhibitor,

lipoxygenase inhibitor, antioksidan, antispasmotic

10 Taxaxerol Antisecretory 11 Tanin imunostimulant, antiinflamasi, antirhinitis,

antioksidan 12 Saponin meningkatkan sistem imun dan antiinflamasi 13 Ferulic acid antialergi, antiinflamasi, antioksidan,

antiserotonin, antispasmodic, imunostimulant, dan prostaglandinsynthesis-inhibitor

14 Linoleic acid antianaphylactic, antihistamin, antiinflamasi, antileukotriene-D4, dan meningkatkan sistem imun

15 Betulin antiinflamasi dan prostaglandin-synthesisinhibitor 16 Oleic acid antiinflamasi dan antileukotriene-D4

Sumber: (Janeway, et all. 2007 dalam Prihantiny, 2010).

15

2.1.4 Mekanisme Senyawa Tanaman Patikan Kebo (Euphorbia hirta L)

Terhadap Penyembuhan Luka Sayat

Patikan kebo (Euphorbia hirta L) memiliki banyak kandungan senyawa

dengan berbagai manfaat. Kemampuan tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L)

dalam mengobati berbagai macam penyakit ini melibatkan senyawa-senyawa

kimia di dalamnya yang dapat bersifat antiseptik, anti-inflamasi, antifungi, dan

antibakterial, seperti kandungan tanin, flavanoid (terutama quarcitrin dan

myricitrin) dan tanin (Ekpo & Pretorius, 2007 dalam Nafisah, dkk. 2014). Terkait

dengan penelitian yang akan dilakukan 3 kandungan senyawa dari patikan kebo

(Euphorbia hirta L) yang membantu dalam penyembuhan luka yakni flavonoid,

tanin, dan saponin, dimana ketiga kandungan ini memiliki fungsi yang berbeda-

beda dalam tugasnya menyembuhkan luka.

Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol. Senyawa fenol bekerja

dengan merusak membran sitoplasma yang menyebabkan keluarnya metabolit

penting yang terdapat dalam sitoplasma. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan

bakteri sehingga luka sayat tidak terinfeksi atau terkontaminasi dengan bakteri.

Selain itu juga senyawa fenol bekerja dengan mengendapkan protein sel sehingga

akan mengganggu pembentukan dinding sel. bakteri. Dinding sel bakteri sangat

penting bagi sel bakteri yaitu berfungsi untuk mengatur pertukaran zat-zat dari

dan keluar sel. Apabila dinding sel bakteri rusak maka akan mengakibatkan zat-

zat yang membahayakan bagi pertumbuhan bakteri akan masuk dan menyerang

bakteri sehingga dapat menyebabkan kematian bakteri (Setiawati &

Widyaningrum, 2016). Kandungan senyawa flavonoid yaitu senyawa yang mudah

16

larut dalam air untuk kerja antimikroba danantivirus. Flavonoid menyebabkan

terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom,dan lisosom

sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri (Naiborhu 2002

dalam Rohyani, dkk. 2015).

Kandungan senyawa lain dalam tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L)

yang berkontribusi dalam penyembuhan luka sayat yaitu saponin. Saponin berasal

dari bahasa latin yaitu ‘sapo’ yang berarti mengandung busa yang stabil bila

dilarutkan dalam air. Kemampuan busa dari saponin disebabkan oleh kombinasi

dari sapogenin yang bersifat hidrofobik (larut dalam lemak) dan bagian rantai gula

yang bersifat hidrofilik (larut dalam air) (Naoumkina, et al. 2010 dalam

Bogoriani, 2015). Ikatan glikosida pada saponin cukup stabil, tetapi dapat putus

secara kimia oleh asam kuat dalam air. Saponin dalam tumbuhan patikan kebo ini

dapat menyebuhkan luka karena bersifat antiseptik, anti-inflamasi, antifungi, dan

antibakterial (Ekpo & Pretorius, 2007 dalam Nafisah, dkk. 2014). Mekanisme

saponin dalam penyembuhan luka sayat adalah memacu pembentukan kolagen.

Kolagen sendiri adalah struktur protein yang berperan dalam proses penyembuhan

luka sayat. Senyawa saponin merupakan zat yang dapat meningkatkan

permeabilitas membrane sehingga sehingga terjadi hemolisis sel, apabila saponin

berinteraksi dengan sel bakteri maka dinding sel bakteri akan pecah atau lisis

(Robinson, 1995 dalam Fridiana, 2012). Saponin untuk obat luar biasanya bersifat

membersihkan atau antiseptik (Rohyani, 2015). Selain itu saponin juga dapat

menghilangkan bau badan (Anonim, 2003 dalam Batari, 2007). Menurut Rohyani

(2015), saponin memberikan rasa pahit dan sifat menyejukkan serta berkhasiat

17

sebagai anti tumor dan menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker usus

besar.

Kandungan yang terakhir pada patikan kebo (Euphorbia hirta L) yang

membantu dalam penyembuhan luka adalah tanin. Senyawa tanin adalah senyawa

astringent yang memiliki rasa pahit dari gugus polifenolnya yang dapat mengikat

dan mengendapkan atau menyusutkan protein (Ismarani, 2012). Tanin dalam

tanaman patikan kebo ini dapat menyebuhkan luka karena bersifat antiseptik, anti-

inflamasi, antifungi, dan antibakterial (Ekpo & Pretorius, 2007 dalam Nafisah,

dkk. 2014). Menurut Hamidiyati, dkk (2008), senyawa tanin diduga berhubungan

dengan kemampuannya dalam menginaktivasi adhesin mikroba, enzim, dan

protein transport pada membran sel sehingga dapat membantu penyembuhan luka

pada kulit.

2.2 Tinjauan Umum tentang Kulit Manusia

2.2.1 Pengertian Kulit Manusia

Kulit manusia merupakan pembungkus yang elastis yang terletak paling

luar yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan hidup manusia dan

merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu kira-kira 15%

dari berat tubuh dan luas kulit orang dewasa 1,5 m2. Kulit sangat kompleks,

elastis, sensitif, serta sangat bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan

juga bergantung pada lokasi tubuh, serta memiliki variasi mengenai lembut, tipis

dan tebalnya. Rata-rata tebal kulit 1-2 m. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak

tangan dan kaki, serta paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis. Kulit merupakan

18

organ yang vital dan esensial serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan

(Djuanda, 2007).

Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti

perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik

maupun pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan

berperan sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang

menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat

badan orang dewasa. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari

kehilangan cairan elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai

barier dari invasi mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan,

rasa sakit dan panas karena terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan

nutrisi dan air yang dapat digunakanapabila terjadi penurunan volume darah

dan tempat terjadinya metabolismevitamin D (Perdanakusuma, 2007).

2.2.2 Lapisan Kulit Manusia

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu :

2.2.2.1 Lapisan Epidermis

Menurut Perdanakusuma (2007), epidermis merupakan lapisan terluar kulit

yang terdiri dari epitel berlapisbertanduk, mengandung sel malonosit, Langerhans

dan merkel. Tebal epidermisberbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling

tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar

5% dari seluruh ketebalankulit dan lapisan epidermis terdiri atas beberapa bagian

yaitu:

19

a. Lapisan basal atau stratum germinativum. Lapisan basal merupakan lapisan

epidermis paling bawah dan berbatas dengan dermis, dalam lapisan basal

terdapat melanosit. Melanosit adalah sel dendritik yang membentuk melanin.

Melanin berfungsi melindungi kulit terhadap sinar matahari.

b. Lapisan malpighi atau stratum spinosum. Lapisan malpighi atau disebut juga

prickle cell layer (lapisan akanta) merupakan lapisan epidermis yang paling

kuat dan tebal. Terdiri dari beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang

besarnya berbeda-beda akibat adanya mitosis serta sel ini makin dekat ke

permukaan makin gepeng bentuknya. Pada lapisan ini banyak mengandung

glikogen.

c. Lapisan granular atau stratum granulosum (Lapisan Keratohialin). Lapisan

granular terdiri dari 2 atau 3 lapis sel gepeng, berisi butir-butir (granul)

keratohialin yang basofilik. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak

tangan dan kaki.

d. Lapisan lusidum atau stratum lusidum. Lapisan lusidum terletak tepat di

bawah lapisan korneum. Terdiri dari sel-sel gepeng tanpa inti dengan

protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.

e. Lapisan tanduk atau stratum korneum. Lapisan tanduk merupakan lapisan

terluar yang terdiri dari beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti

dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin. Pada permukaan lapisan

ini sel-sel mati terus menerus mengelupas tanpa terlihat.

20

2.2.2.2 Lapisan Dermis

Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis

terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen

menebaldan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia.

Sedangkan serabut elastin terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit

manusiameningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut

kolagen akansaling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan

berkurang mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak

berkeriput (Perdanakusuma, 2007).

Menurut Kalangi (2013), dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum

retikularis dan penjelasannya sebagai berikut:

a. Stratum papilaris, yaitu lapisan yang tersusun lebih longgar, ditandai oleh

adanya papila dermis yang jumlahnya bervariasi antara 50-250/mm2.

Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam pada daerah di mana tekanan paling

besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar papila mengandung pembuluh-

pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya. Papila lainnya

mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan Meissner. Tepat di bawah

epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat.

b. Stratum retikularis, yaitulapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas

kolagen kasar dan sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang padat

ireguler. Pada bagian lebih dalam,jalinan lebih terbuka, rongga-rongga

diantaranya terisi jaringan lemak, kelenjarkeringat dan sebasea, serta folikel

rambut.Serat otot polos juga ditemukan padatempat-tempat tertentu, seperti

21

folikel rambut, skrotum, preputium, dan putingpayudara. Pada kulit wajah dan

leher, seratotot skelet menyusupi jaringan ikat padadermis. Otot-otot ini

berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu dengan

hipodermis/fasia super fisialis dibawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang

banyak mengandung sel lemak.

2.2.2.3 Lapisan Subkutan

Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari

lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit

secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda

menurut daerah tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai

darah ke dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2007).

Gambar 2.2 Struktur Kulit Manusia (Sumber: Perdanakusuma, 2007).

22

2.2.3 Fungsi Kulit

Menurut Djuanda (2007), fungsi utama kulit adalah sebagai berikut:

a. Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik

atau mekanik (tarikan, gesekan dan tekanan), gangguan kimia (zat-zat kimia

yang iritan), gagguan bersifat panas (radiasi, sinar ultraviolet) dan gangguan

infeksi luar.

b. Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda

padat tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang

larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan

kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit

dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan

jenis vehikulum.

c. Fungsi ekskresi, kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi

atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat dan amonia.

d. Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan

subkutis sehingga kulit mampu mengenali rangsangan yang diberikan.

Rangsangan panas diperankan oleh badan ruffini di dermis dan subkutis,

rangsangan dingin diperankan oleh badan krause yang terletak di dermis,

rangsangan rabaan diperankan oleh badan meissner yang terletak di papila

dermis, dan rangsangan tekanan diperankan oleh badan paccini di epidermis.

e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), kulit melakukan fungsi ini

dengan cara mengekskresikan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)

pembuluh darah kulit. Di waktu suhu dingin, peredaran darah di kulit

23

berkurang guna mempertahankan suhu badan. Pada waktu suhu panas,

peredaran darah di kulit meningkat dan terjadi penguapan keringat dari kelenjar

keringat sehingga suhu tubuh dapat dijaga tidak terlalu panas.

f. Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di

lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Jumlah melanosit dan 17 jumlah

serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras

maupun individu.

g. Fungsi kreatinisasi, fungsi ini memberi perlindungan kulit terhadap infeksi

secara mekanis fisiologik.

h. Fungsi pembentukan/sintesis vitamin D.

2.3 Luka Sayat

2.3.1 Pengertian Luka Sayat

Luka sayat didefinisikan sebagai suatu gangguan dari kondisi normal pada

kulit (Taylor, 1997 dalam Baroroh, 2011). Luka sayat adalah kerusakan

kontinuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier,

1995 dalam Baroroh, 2011). Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul

seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis,

perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel (Baroroh,

2011). Definisi lain menyebutkan bahwa luka adalah sebuah manifestasi yang

terlihat dari suatu peristiwa yang menyebabkan gangguan integritas kulit dan/atau

kerugian penting dari fungsi protektif atau fisiologis kulit.

24

2.3.2 Penyebab Terjadinya Luka

Menurut Perdanakusuma (2007), luka dapat disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain sebagai berikut:

1. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan

epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing.

Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu

lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.

2. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka

berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada

aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng,

kaca ), dimana bentuk luka teratur.

3. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan

atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul.

Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk

luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa

hingga lapisan otot.

4. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang

biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau

yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya.

Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka

tidak begitu lebar.

25

5. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan

memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit.

Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.

6. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas

maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang

tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang

menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan

mukosa.

2.3.3 Klasifikasi Luka

Menurut Taylor (1997) dalam Baroroh (2011), luka sering digambarkan

berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka,

sebagaimana penjelasannya dibawah ini:

1) Berdasarkan tingkat kontaminasi

a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana

tidak terjadi prosesperadangan (inflamasi) dan infeksi. Luka bersih biasanya

menghasilkan luka yang tertutup;

b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka

pembedahan dimanasaluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan

dalam kondisi terkontrol, kontaminasitidak selalu terjadi, kemungkinan

timbulnya infeksi luka adalah 3% sampai11%.

c. ContaminedWounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,

luka akibat kecelakaandan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik

26

aseptik atau kontaminasi dari saluran cernapada kategori ini juga termasuk

insisi akut, inflamasi nonpurulen.Kemungkinan infeksi luka10% - 17%.

d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya

mikroorganisme pada luka.

2) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka

a. Stadium I: Luka Superfisial “Non-Blanching Erithema” yaitu luka yang

terjadi pada lapisan epidermiskulit.

b. Stadium II: Luka “Partial Thickness”yaitu hilangnya lapisan kulit pada

lapisan epidermis danbagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial

dan adanya tanda klinis seperti abrasi,blister atau lubang yang dangkal.

c. Stadium III: Luka “Full Thickness”yaitu hilangnya kulit keseluruhan

meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas

sampai bawah tetapitidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya

sampai pada lapisanepidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.

Luka timbul secara klinissebagai suatu lubang yang dalam dengan atau

tanpa merusak jaringan sekitarnya.

d. Stadium IV: Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,

tendon dantulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.

3) Berdasarkan waktu penyembuhan luka

a. Luka akut yakni merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat

penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi

komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan

penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan Contoh : Luka

27

sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury. Luka operasi dapat dianggap

sebagai luka akut yang dibuat oleh ahli bedah. Contoh: luka jahit, skin

grafting.

b. Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering timbul

kembali (rekuren) dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang

biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada luka

kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon

baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contoh:

Ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous, luka bakar dll.

2.3.4 Proses Penyembuhan Luka

Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan

memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,

membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari

proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan,

walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses

penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran

dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan

jaringan (Taylor, 1997).

Perdanakusuma (2007) menyatakan penyembuhan luka adalah suatu

bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Komponen utama

dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas

28

adalah sel yang bertanggung jawab untuk sintesis kolagen. Fisiologi

penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase seperti dibawah ini:

1. Fase inflamasi

Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Setelah

terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi

disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin

membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan

mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-

like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan

Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya

kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan

ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan

akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan

mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF

β1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi

fibroblas untuk mensintesis kolagen (Perdanakusuma, 2007).

Pada fase inflamasi terjadi proses angiogenesis, dimana pembuluh-

pembuluh darah yang baru mulai tumbuh dalam luka injuri dan sangat penting

peranannya dalam fase proliferasi. Fibroblas dan sel endothelial mengubah

oksigen molekular dan larut dengan superoxide yang merupakan senyawa

penting dalam resistensi terhadap infeksi maupun pemberian isyarat oxidative

dalam menstimulasi produksi growth factor lebih lanjut. Dalam proses

inflamasi adalah suatus perlawanan terhadap infeksi dan sebagai jembatan

29

antara jaringan yang mengalami injury dan untuk pertumbuhan sel-sel baru

(Suriadi, 2004).

Gambar 2.3 Fase inflamasi pada luka sayat (Sumber: Saroja, 2012)

2. Fase proliferasi

Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam

luka, pada fase ini makrofag dan limfosit masih ikut berperan, tipe sel

predominan mengalami proliferasi dan migrasi termasuk sel epithelial,

fibroblas, dan sel endothelial. Proses ini tergantung pada metabolik,

konsentrasi oksigen dan faktor pertumbuhan. Dalam beberapa jam setelah

injury, terjadi epitelialisasi dimana epidermal yang mencakup sebagian besar

keratin mulai bermigrasi dan mulai stratifikasi dan deferensiasi untuk

menyusun kembali fungsi barrier epidermis. Pada proses ini diketahui sebagai

epitelialisasi, juga meningkatkan produksi extraseluler matrik (promotes-

extracelluler matrix atau singkat ECM), growth factor, sitokin dan

angiogenesis melalui pelepasan faktor pertumbuhan seperti keratinocyte

growth factor (KGF) (Perdanakusuma, 2007).

Permukaan Kulit

Trombosit

Makrofag

Luka

Epidermis

Fibroblast Neutrofil

30

Pada fase proliferasi fibroblas merupakan elemen sintetik utama dalam

proses perbaikan dan berperan dalam produksi struktur protein yang digunakan

selama rekonstruksi jaringan. Secara khusus fibroblas menghasilkan sejumlah

kolagen yang banyak. Fibroblas biasanya akan tampak pada sekeliling luka.

Pada fase ini juga terjadi angiogenesis yaitu suatu proses dimana kapiler-

kapiler pembuluh darah yang baru tumbuh atau pembentukan jaringan baru

(granulasi tissue). Secara klinis akan tampak kemerahan pada luka. Kemudian

pada fase kontraksi luka, kontraksi disini adalah berfungsi dalam memfasilitasi

penutupan luka (Suriadi, 2004).

Gambar 2.4 Fase proliferasi pada luka sayat (Sumber: Saroja, 2012)

3. Fase maturasi/ remodelling

Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses

penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen,

kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen

berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2

Permukaan

Kulit

Trombosit

Neutrofil

Fibroblast

Luka

Epidermis

Epitelisasi

Makrofag

31

tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang

mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Perdanakusuma, 2007).

Pada fase maturasi atau remodeling yaitu banyak terdapat komponen

matrik. Komponen hyaluronic acid, proteoglycan, dan kolagen yang berdeposit

selama perbaikan untuk memudahkan perekatan pada migrasi seluler dan

menyokong jaringan. Serabut-serabut kolagen meningkat secara bertahap dan

bertambah tebal kemudian disokong oleh proteinase untuk perbaikan sepanjang

garis luka. Kolagen menjadi unsur yang palin utama pada matrik. Serabut

kolagen menyebar dengan saling tertarik dan menyatu, berangsur-angsur

menyokong pemulihan jaringan. Remodeling kolagen selama pembentukan

skar terjadi pada sintesis dan katabolisme kolagen secara terus menerus

(Suriadi, 2004).

Gambar 2.5 Fase maturasi pada luka sayat

(Sumber: Saroja, 2012).

2.3.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Menurut Kozier (1995) dan Taylor (1997), faktor yang mempercepat

penyembuhan luka sayat adalah sebagai berikut:

Scab Kulit Baru

Epidermis

Fibroblast

Kolagen

Jaringan

Parut

Pembuluh

Darah

Kolagen

32

1. Pertimbangan perkembangan

Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepatpenyembuhan luka daripada

orang tua. Orang tua lebih seringterkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati

yang dapatmengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Kozier,1995).

2. Nutrisi

Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian metabolisme pada tubuh.

Klien memerlukan diit kaya protein, karbonhidrat, lemak, vitamin dan mineral

(Fe, Zn), bila kurang nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi

setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko

infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak

adekwat (Taylor, 1997).

3. Infeksi

Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan

penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri. Dengan adanya

infeksi maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan terhambat.

4. Sirkulasi dan Oksigenasi

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruh penyembuhan luka. Saat kondisi

fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan

lancar. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang

memiliki sedikit pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi

dan oksigenisasi jaringan sel. Pada orang gemuk penyembuhan luka lambat

karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk

sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa yang mederita

33

gangguan pembuluh darah prifer, hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan

menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernafasan kronik

pada perokok.

5. Keadaan luka

Kedaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitaspenyembuhan

luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan cepat. Misalnya luka

kotor akan lambat penyembuhannya dibanding dengan luka bersih.

6. Obat

Obat anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin dan anti neoplasmik

mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat

membuat tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan demikian

pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih

lama.

2.4 Ekstraksi

2.4.1 Macam-macam Metode Ekstraksi

Jenis-jenis metode ekstraksi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:

1. Maserasi

Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara

ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini dilakukan

dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah

inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika

tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan

34

konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan

dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari metode maserasi ini

adalah memakan ban-yak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan

besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, beberapa senyawa

mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain, metode

maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat

termolabil (Mukhriani, 2014).

2. Ultrasound - Assisted Solvent Extraction

Merupakan metode maserasi yang dimodifikasi dengan menggunakan bantuan

ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi, 20 kHz). Wadah yang berisi serbuk

sampel ditempatkan dalam wadah ultrasonik dan ultrasound. Hal ini dilakukan

untuk memberikan tekanan mekanik pada sel hingga menghasilkan rongga

pada sampel. Kerusakan sel dapat menyebabkan peningkatan kelarutan

senyawa dalam pelarut dan meningkatkan hasil ekstraksi (Mukhriani, 2014).

3. Perkolasi

Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam sebuah

perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian

bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan

menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah sampel

senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel

dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh

area. Selain itu, metode ini juga membutuhkan banyak pelarut dan memakan

banyak waktu (Mukhriani, 2014).

35

4. Soxhlet

Soxhlet merupakan suatu peralatan yang digunakan untuk mengekstrak suatu

bahan dengan pelarutan yang berulang-ulang dengan pelarut yang sesuai.

Sampel yang akan diekstraksi ditempatkan dalam suatu timbel yang permeabel

terhadap pelarut dan diletakkan di atas tabung destilasi, dididihkan dan

dikondensaasikan di atas sampel. Keuntungan dari metode ini adalah proses

ektraksi yang kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi

sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak

waktu. Kerugiannya adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat

terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus menerus berada pada titik

didih (Mukhriani, 2014).

5. Reflux dan Destilasi Uap

Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut ke dalam labu yang

dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik

didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu (Mukhriani, 2014).

Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk

mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap).

Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian

yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan

kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang bersifat

termolabil dapat terdegradasi (Mukhriani, 2014).

36

2.5 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

2.5.1 Deskripsi Tikus Putih

Percobaan ini menggunakan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan

karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil

karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti

pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan

metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil

dibanding tikus betina (Ngatijan, 2006). Tikus putih sebagai hewan percobaan

relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat

foto fobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan

sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia

di sekitarnya. Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan

yang lain, yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi

yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubang dan tikus putih

tidak mempunyai kandung empedu (Smith & Mangkoewidjojo, 1988).

Perkembangbiakan tikus sangat luar biasa. Sekali beranak tikus dapat

menghasilkan sampai 15 ekor, namun rata-rata 9 ekor. Nama lain hewan ini di

berbagai daerah di Indonesia, antara lain di Minangkabau orang menyebutnya

mencit, sedangkan orang Sunda menyebutnya beurit. Tikus yang paling

terkenal ialah tikus berwarna coklat, yang menjadi hama pada usaha-usaha

pertanian dan pangan yang disimpan di gudang. Tikus albino (tikus putih)

banyak digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium (Akbar, 2010).

37

Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus

putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar

dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih

lebih menguntungkan daripada mencit. Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan

dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan

intrinsik (Smith &Mangkoewidjojo, 1988).

Tikus putih yang digunakan untuk percobaan laboratorium yang dikenal

ada tiga macam galur yaitu Sprague Dawley, Long Evans dan Wistar. Tikus galur

Sprague-Dawley dinamakan demikian, karena ditemukan oleh seorang ahli Kimia

dari Universitas Wisconsin, Dawley. Dalam penamaan galur ini, dia

mengkombinasikan dengan nama pertama dari istri pertamanya yaitu Sprague dan

namanya sendiri menjadi Sprague Dawley. Tikus putih memiliki beberapa sifat

yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian di antaranya

perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari mencit, mudah

dipelihara dalam jumlah yang banyak. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri

morfologis seperti albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan

badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi

tinggi, dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar, 2010).

Untuk tikus pada laboratorium, makanan dan air minum sebaiknya

diberikan secara ad libitum, dan pencahayaan ruangan diatur sebagai 12 jam

terang dan 12 jam gelap. Tikus, terutama tikus albino, sangat sensitif terhadap

cahaya, maka intensitas cahaya laboratorium sebaiknya tidak melebihi 50 lux

(Hubrecht & Kirkwood, 2010).

38

Menurut Hubrecht dan Kirkwood (2010), kondisi optimal tikus di

laboratorium adalah sebagai berikut:

a. Kandang tikus harus cukup kuat tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu

kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan

gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah

menyerap air pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi.

b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan

fisiologis tikus (suhu, kelembaban dan kecepatan pertukaran udara yang

ekstrim harus dihindari).Suhu ruangan yang baik sekitar 20–22⁰C, sedangkan

kelembaban udara sekitar 50%.

c. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus

adalah 600 cm2, tinggi 20 cm. Jumlah maksimal tikus per kandang adalah 3

ekor.

d. Transportasi jarak jauh sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan stres

pada tikus.

2.5.2 Klasifikasi Tikus Putih

Menurut Sharp, et all (1998), klasifikasi taksonomi tikus putih adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Subkelas : Theria

Ordo : Rodensia

39

Sub Ordo : Scuirognathi

Famili : Muridae

Sub Famili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus novergicus

Gambar 2.6 Tikus Putih (Rattus novergicus) (Sumber: Akbar, 2010)

2.6 Sumber Belajar

2.6.1 Pengertian Sumber Belajar

Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

memperoleh pengetahuan, informasi, keterampilan, sikap dan nilai yang mampu

meningkatkan kemampuan diri anak didik baik wawasan, kecerdasan, maupun

kecakapan hidup (Warwanto, dkk. 2009).Sumber belajar adalah segala sesuatu

yang dapat mendukung proses belajar sehingga memberikan perubahan yang

positif. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rohani & Ahmadi, (1995: 152-

153), yang berpendapat bahwa sumber belajar adalah segala macam sumber yang

ada di luar yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Peranan sumber-

sumber belajar (seperti: guru, dosen, buku, film, majalah, laboratorium, peristiwa,

dan sebagainya) memungkinkan individu berubah dari tidak tahu menjadi tahu,

dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak terampil menjadi terampil, dan

40

menjadikan individu dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak

baik. Jadi segala apa yang bisa mendatangkan manfaat atau mendukung dan

menunjang individu untuk berubah ke arah yang lebih positif, dinamis, atau

menuju perkembangan dapat disebut sumber belajar.

Ada juga yang mengatakan bahwa sumber belajar yaitu segala sesuatu

yang dapat memberikan informasi atau penjelasan, berupa definisi, teori, konsep,

dan penjelasan yang berkaitan dengan pembelajaran. Seperti pengalaman

langsung dan bertujuan, pengalaman tiruan, pengalaman dramatisasi, pengalaman

darmawisata, pengalaman pameran dan museum dan masih banyak lagi. Ini bisa

dilihat dalam buku Pengelolaan Pengajaran karya Ahmad Rohani, disitu Edgar

mengklasifikasikan pengalaman yang dapat dipakai sebagai sumber belajar

menurut jenjang tertentu yang berbentuk cone of experience atau kerucut

pengalaman yang disusun dari yang konkret sampai yang abstrak (Rohani, 2004).

Pada sistem pengajaran tradisional, sumber belajar masih terbatas pada

informasi yang diberikan oleh guru ditambah sedikit dari buku. Sedangkan

sumber belajar lainnya kurang mendapatkan perhatian, sehingga hal ini

menyebabkan aktivitas belajar siswa kurang berkembang (Nata, 2009).

Melihat pengertian diatas, maka kita bisa menarik kesimpulan, bahwa

sesungguhnya hakikat sumber belajar adalah segala sesuatu yang mampu

memberikan informasi serta dapat digunakan sebagai wahana bagi peserta didik

untuk melakukan proses perubahan tingkah laku. Misalnya, dari tidak tahu

menjadi tahu, dan tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak terampil menjadi

terampil dan menjadikan individu dapat membedakan mana yang baik dan tidak

41

baik, mana yang tepuji dan yang tidak terpuji dan seterusnya, dengan demikian,

maka sesungguhnya banyak sekali sumber belajar pada masa sekarang dan juga

dahulu yang terdapat dimana-mana dan bisa kita gunakan kapan saja. Misalnya, di

sekolah, museum, halaman, pusat kota, pedesaan dan sebagainya. Namun untuk

pemanfaatan sumber pembelajaran dan pengajaran tersebut amat bergantung juga

pada waktu dan biaya yang tersedia, kreatifitas guru serta kebijakan-kebijakan

lainnya.

Berdasarkan pernyataan diatas maka salah satu kompetensi professional

yang harus dipunyai oleh seorang guru adalah mampu menggunakan sumber atau

media termasuk didalamnya adalah sumber belajar. Pemanfaatan objek alam atau

lingkungan sebagai sumber belajar adalah sangat memungkinkan, karena alam

sekitar dapat berfungsi sebagai gudang, alat dan bahan (permasalahan) yang dapat

menunjang pencapaian tujuan suatu pembelajaran yang harus dicapai oleh peserta

didik. Biologi sebagai bagian dari sains memperolehpengetahuan secara empirik

melalui kajian langsung terhadap objek alam, olehkarena itu, dalam proses belajar

mengajar biologi atau ilmu pengetahuan alam dari guru kepada siswa tidakhanya

sekedar informasi oral tentang biologi dari guru kepada siswa, tetapi lebihdi

tekankan pada kegiatan kegiatan aktif siswa untuk mempelajari obyek yang akan

dipelajari. Adanya interaksi antara siswa dengan objek yang dipelajari

secaralangsung di dalam kegiatan belajar mengajar biologimengandung

konsekuensidigunakannya obyek alam yang ada sebagai sumber belajar dan

mempermudah pendidik untuk menjelaskan materi kepada peserta didiknya.

42

2.6.2 Kategorisasi Sumber Belajar

Menurut Sanjaya (2011), sumber belajar memiliki pengertian yang sangat

luas, kategori yang bisa disebut sebagai sumber belajar antara lain sebagai berikut:

a. Tempat atau lingkungan sekitar yaitu dimana saja seseorang dapat melakukan

belajar atau proses perubahan tingkah laku maka tempat itu dapat

dikategorikan sebagai tempat belajar yang berarti sumber belajar. Misalnya

perpustakaan, pasar, museum, tempat pembuangan sampah, kolam ikan dan

sebagainya.

b. Benda/ Pesan Non Formal, yaitu segala benda yang memungkinkan terjadinya

perubahan tingkah laku bagi peserta didik atau pesan yang ada dilingkungan

masyarakat luas yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran. Misalnya

situs, prasasti, relief-relief pada candi, kitab-kitab kuno dan benda peninggalan

lainnya termasuk juga ceramah oleh tokoh masyarakat dan ulama, cerita rakyat

dan legenda.

c. Orang, yaitu siapa saja yang memiliki keahlian tertentu dimana peserta didik

dapat belajar sesuatu. Misalnya guru, polisi, ahli geologi dan ahli-ahli lainnya.

d. Buku/ Bahan, yaitu segala macam buku yang dapat dibaca secara mandiri oleh

peserta didik atau format yang digunakan untuk menyimpan pesan

pembelajaran. Misalnya buku pelajaran, buku teks, kamus, ensklopedia, fiksi

dan lain sebagainya.

e. Peristiwa dan fakta yang sedang terjadi, misalnya peristiwa bencana, peristiwa

kerusuhan, dan peristiwa lainnya yang guru dan murid dapat menjadikan

peristiwa atau fakta sebagai sumber belajar.

43

Dari keterangan diatas, mengenai apa saja yang bisa disebut sebagai

sumber belajar, maka sesungguhnya sangat mudah bagi kita ataupun guru serta

murid pada umumnya, untuk memanfaatkan berbagai macam jenis sumber belajar

yang ada, namun dalam praktiknya terkadang kita masih tergantung pada satu atau

dua saja, misalnya hanya memanfaatkan buku paket atau orang sebagai sumber

belajar. Namun yang lainnya seakan kurang diperhatikan. Padahal manfaatnya

tidak jauh beda dengan sumber belajar yang lain. Misalnya, tempat berupa

perpustakaan atau museum. Dua tempat ini menurut penulis mudah dilupakan,

padahal manfaatnya begitu luas demi mendukung proses belajar seseorang.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Parcepal dan Ellington (1984),

bahwa dari sekian banyaknya sumber belajar hanya buku teks yang banyak

dimanfaatkan. Seperti halnya, banyak sumber belajar di perpustakaan yang belum

dikenal dan belum diketahui penggunaannya. Keadaan ini diperparah dimana

pemanfaatan buku sebagai sumber belajar masih bergantung pada kehadiran guru,

jika guru tidak hadir maka sumber belajar lain termasuk buku pun tidak dapat

dimanfaatkan oleh peserta didik. Oleh karena itu kehadiran guru secara fisik

mutlak diperlukan, disisi lain sebenarnya banyak sumber belajar disekitar

kehidupan peserta didik yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran (Majid,

2008).

2.6.3 Fungsi Sumber Belajar

Menurut Morrison(2004), fungsi sumber belajar adalah sebagai berikut:

44

a. Meningkatkan produktivitas pembelajaran, melalui percepatan laju belajar dan

membantu pengajar untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan

pengurangan beban guru/dosen dalam menyajikan informasi, sehingga dapat

lebih banyak membina dan mengembangkan gairah belajar murid/mahasiswa.

b. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual,

melalui pengurangan kontrol guru/dosen yang kaku dan tradisional serta

pemberian kesempatan kepada murid/mahasiswa untuk belajar sesuai dengan

kemampuannya.

c. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pengajaran, melalui perencanaan

program pembelajaran yang lebih sistematis dan pengembangan bahan

pembelajaran berbasis penelitian.

d. Lebih memantapkan pembelajaran, melalui peningkatan kemampuan manusia

dalam penggunaan berbagai media komunikasi serta penyajian data dan

informasi secara lebih konkrit.

e. Memungkinkan belajar secara seketika, melalui pengurangan jurang pemisah

antara pelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya

konkrit dan memberikan pengetahuan yang bersifat langsung.

f. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, terutama dengan

adanya media massa, melalui pemanfaatan secara bersama yang lebih oleh luas

tenaga tentang kejadian-kejadian yang langka, dan penyajian informasi yang

mampu menembus batas geografis.

45

2.7 Pemanfaatan Jurnal Sebagai Sumber Belajar

Sering kita dengar istilah sumber belajar (learning resource), orang juga

banyak yang telah memanfaatkan sumber belajar, namun umumnya yang

diketahui hanya perpustakaan dan buku sebagai sumber belajar. padahal secara

terasa apa yang mereka gunakan, orang, dan benda tertentu adalah termasuk

sumber belajar. Sumber belajar ditetapkan sebagai informasi yang disajikan dan

disimpan dalam berbagai bentuk media, yang dapat membantu siswa dalam

belajar sebagai perwujudan dari kurikulum. Bentuknya tidak terbatas apakah

dalam bentuk cetakan, video, format perangkat lunak atau kombinasi dari

berbagai format yang dapat digunakan oleh siswa ataupun guru. Dengan

demikian, sumber belajar juga diartikan sebagai segala tempat atau lingkungan

sekitar, benda, dan orang yang mengandung informasi dapat digunakan sebagai

wahana bagi peserta didik untuk melakukan proses perubahan tingkah laku

(Majid, 2007).

Berdasarkan pernyataan diatas salah satu contoh bahan ajar yang dapat

digunakan sebagai sumber belajar oleh peserta didik adalah jurnal. Jurnal adalah

majalah publikasi yang memuat KTI (karya tulis ilmiah) yang secara nyata

mengandung data dan informasi yang mengajukan iptek dan ditulis sesuai dengan

kaidah-kaidah penulisan ilmiah serta diterbitkan secara berkala (Hakim, 2012).

Jurnal ilmiah dapat didefinisikan sebagai bentuk publikasi ilmiah berkala yang

memuat hasil kegiatan bidang keilmuan tertentu, baik berupa hasil

pengamatan empirik maupun kajian konseptual, yang bersifat penemuan baru,

maupun koreksi, pengembangan, dan penguatan terhadap paradigma, konsep,

46

prinsip, hukum, dan teori yang sudah ada. Keberadaan jurnal ilmiah disebabkan

kebutuhan nyata masyarakat ilmiah, untuk, (a) memperoleh kritikan, saran, dan

masukan lainnya bagi karyanya, (b) pengakuan keilmuan dan promosi jabatan, (c)

rujukan terbaru, (d) ide aktual untuk kajian lanjutan, dan (e) mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Christina, 2010). Komponen

penulisan jurnal menurut Bustami (2017), yaitu:

1) Judul

2) Nama penulis, dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah

judul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di

bawah judul artikel adalah nama penulis utama, nama penulis lainnya diikuti

dengan tempat/lembaga bekerja. Penulis diwajibkan mencantumkan alamat

email untuk memudahkan komunikasi

3) Abstrak

4) Kata kunci

5) Pendahuluan yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan

penelitian

6) Metode

7) Hasil dan Pembahasan

8) Simpulan

9) Ucapan terima kasih, jika diperlukan

10) Daftar rujukan (hanya memuat sumber yang dirujuk).

Contoh lain penulisan jurnal menurut Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia

UMM (2015), sistematika penulisan jurnal publikasi adalah sebagai berikut:

47

1) Judul, memakai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

2) Nama penulis

3) Abstrak

4) Kata kunci

5) Pendahuluan

6) Metode penelitian

7) Hasil dan Pembahasan

8) Kesimpulan

9) Daftar pustaka

2.8 Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L)

sudah banyak dilakukan untuk daya hambat pertumbuhan bakteri yang dapat

menyebabkan infeksi pada luka sayat dan beberapa penyakit yang lain. Salah

satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yanti Hamdiyanti, Kusnadi dan

Irman Rahadian yang melakukan pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol

daun patikan kebo (Euphorbia hirta L) terhadap pertumbuhan bakteri

Staphylococcus epidermidis secara in vitro. Ekstraksi daun patikan kebo

(Euphorbia hirta L) dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut

etanol 95%. Ekstrak kasar etanol diencerkan dengan pelarut Dimethylsulfoxide

(DMSO) 30% hingga berkonsentrasi 0, 50, 100, 150, 200, 250, dan 300 mg/ml.

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode difusi agar dengan kloramfenikol

30 µg/ml sebagai kontrol positif dan DMSO 30% sebagai kontrol negatif.

48

Parameter yang diukur ialah besarnya diameter daya hambat yang

terbentuk di sekitar cakram kertas. Desain penelitian ini menggunakan Rancangan

Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 5 kali pengulangan. Rata-rata

diameter daya hambat yang terbentuk dengan perlakuan ekstrak berkonsentrasi

50, 100, 150, 200, 250, dan 300 mg/ml secara berurutan ialah 9,67; 13,37; 14,57;

16,33; 17,53; dan 18,40 mm. Uji lanjutan dilakukan untuk menentukan nilai

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dengan menguji beberapa konsentrasi

ekstrak, yaitu 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, dan 55 mg/ml. Hasil analisis

statistik menggunakan program SPSS versi 12 for windows menunjukkan bahwa

ekstrak daun patikan kebo (Euphorbia hirta L) berpengaruh secara signifikan

dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. epidermidis pada taraf kepercayaan

95%. Berdasarkan hasil analisis pula diketahui bahwa nilai KHM ekstrak daun

patikan kebo (Euphorbia hirta L) berada pada konsentrasi 20 mg/ml dengan rata-

rata diameter daya hambat sebesar 7,67 mm yang berbeda secara signifikan

dengan kontrol negatif, yaitu 6,90 mm. Penghambatan yang terjadi pada bakteri S.

epidermidis tersebut membuktikan bahwa daun patikan kebo (Euphorbia hirta L)

mengandung senyawa aktif yang bersifat antibakteri, seperti flavonoid, tanin,

alkaloid, dan terpenoid.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Tri Novrianti Djanggola1, Yusriadi1,

Muhamad Rinaldhi Tandah dengan judul “Formulasi Gel Ekstrak Patikan Kebo

(Euphorbia hirta L.) Dan Uji Aktivitas Terhadap Bakteri Staphylococcus

epidermidis”. Yang menjelaskan bahwasanya Patikan Kebo (Euphorbia hirta L.)

merupakan salah satu tanaman yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap

49

bakteri Staphylococcus epidermidis, yang merupakan bakteri penyebab jerawat.

Flavonoid dan tanin merupakan senyawa yang diduga berperan sebagai senyawa

aktif antijerawat. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi sediaan gel ekstrak

patikan kebo (Euphorbia hirta L), menguji aktivitas antibakteri terhadap

Staphylococcus epidermidisdengan metode difusi agar menggunakan pencadang

kertas dan mengetahui stabilitas sediaan.

Data aktivitas antibakteri yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA one

way dengan taraf kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan uji Duncan. Simplisia

patikan kebo (Euphorbia hirta L) sebanyak 600 gram diekstraksi dengan metode

maserasi menggunakan pelarut etanol 96% sebanyak 4 Liter. Hasil ekstrak kental

etanol patikan kebo (Euphorbia hirta L) yaitu 67,57 gram. Rendamen yang

diperoleh yaitu 11,261 %. Hasil uji aktivitas terhadap Staphylococcus epidermidis

menunjukkan bahwa ekstrak etanol patikan kebo dapat menghambat pertumbuhan

Staphylococus epidermidis. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak akan

menghasilkan diameter daerah hambat yangsemakin besar. Hasil uji aktivitas pada

ekstrak patikan kebo menunjukkan korelasi positif yaitu semakin tinggi

konsentrasi ekstrak maka semakin besar pula diameter hambat bakteri. Cakram

kertas yang telah mengandung bahan uji dan telah ditanam pada media perbenihan

agar padat yang telah dicampur dengan suspensi bakteri akan berdifusi ke dalam

media tersebut, maka terbentuklah zona hambat (zona bening) tersebut di sekitar

cakram. Pada penelitian sebelumnya diameter hambat patikan kebo dengan KHM

1% memiliki diameter hambat 7,67 mm (Hamdiyanti, 2008).

50

2.9 Kerangka Konsep

Bagan 2.1 Kerangka konsep

fungsi fungsi fungsi

Kandungan senyawa aktif tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) untuk mengobati luka sayat

Tanin Flavonoid Saponin

Sebagai astrigen dimana

astrigen akan menyebabkan

permeabilitas mukosa akan

berkurang dan ikatan antar

mukosa menjadi kuat sehingga

mikroorganisme dan zat kimia

iritan tidak dapat masuk ke

dalam luka

Anti inflamasi sehingga dapat

mengurangi peradangan serta

membantu mengurangi rasa

sakit, bila terjadi pendarahan

atau pembengkakan pada luka

Memacu pembentukan

kolagen, yaitu struktur

protein yang berperan dalam

proses penyembuhan luka

Potensi:

Banyaknya tanaman yang

mengandung senyawa antibakteri

yang dapat mempercepat

penyembuhan luka

Masalah:

Banyaknya kejadian infeksi

yang diakibatkan oleh luka

sayat dari tahun ke tahun

Studi litetarur tentang tanaman

patikan kebo untuk mempercepat

proses penyembuhan luka sayat

Luka sembuh Fase Inflamasi

Fase Poliferasi

Fase Maturasi

51

2.10 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan studi pustaka diatas dapat di rumuskan

hipotesis sebagai berikut :

1. Ekstrak tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) dapat mempercepat proses

tahapan penyembuhkan luka sayat pada tikus putih (Rattus novergicus).

2. Konsentrasi ekstrak tanaman patikan kebo (Euphorbia hirta L) yang paling

efektif dalam tahapan penyembuhan luka sayat pada tikus putih (Rattus

novergicus) adalah konsentrasi 20%.

3. Hasil penelitian pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak tanaman patikan kebo

(Euphorbia hirta L) terhadap tahapan penyembuhan luka sayat pada tikus putih

(Rattus norvegicus) dikembangkan sebagai sumber belajar biologi dalam

bentuk jurnal agar memudahkan siswa untuk memahami materi “Berbagai

Tingkat Keanekaragaman Hayati Indonesia” SMA semester 1, KD 3.2

menganalisis data hasil obervasi tentang berbagai tingkat keanekaragaman

hayati (gen, jenis dan ekosistem) di Indonesia.