bab ii tinjauan pustaka a. motivasi belajar 1....
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Motivasi Belajar
1. Pengertian motivasi
Menurut Akbar dan Hawadi (2002), motivasi diartikan sebagai suatu
disposisi untuk mencapai suatu tujuan yang dapat memberikan kepuasan
apabila berhasil dicapai. Motivasi ini memberi arah dan tujuan pada
kegiatan belajar serta mempertahankan perilaku berprestasi dan mendorong
siswa untuk memilih dan menyukai kegiatan belajar.
Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan
kegiatan belajar siswa yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan
belajar (Baharudin dan Wahyuni, 2008).
Menurut Slavin (1994, dalam Baharudin dan Wahyuni, 2008), motivasi
adalah proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan
arah, dan menjaga perilaku setiap saat.
Motivasi adalah dorongan yang terdapat dalam diri seseorang untuk
berusaha mengadakan perubahan tingkah laku yang lebih baik dalam
memenuhi kebutuhannya (Uno, 2008).
2. Pengertian motivasi belajar
Motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa yang
sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku pada umumnya
dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung (Uno, 2008).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2005), faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi belajar adalah :
a. Faktor intrinsik
1) Faktor fisik
7
a) Kesehatan
Misalnya anak kurang sehat, kurang gizi, dengan sendirinya daya
tangkap dan kemampuan belajarnya akan kurang dibandingkan
dengan anak yang sehat.
b) Keadaan cacat
Menghambat perkembangan anak, sehingga anak menghadapi
kesulitan dengan sekelilingnya.
2) Faktor psikis
a) Intelegensi
Setiap orang mempunyai intelegensi yang berbeda-beda, ada yang
pandai dan ada juga yang bodoh, sehingga dalam menangkap
pelajaranpun tiap orang berbeda-beda, ada yang cepat dan ada yang
lambat.
b) Perhatian
Bagi seorang anak mempelajari sesuatu hal yang menarik perhatian
akan lebih mudah diterima daripada mempelajari hal yang tidak
menarik perhatian.
c) Bakat
Bakat setiap orang beda-beda, orang tua kadang-kadang tidak
memperhatikan faktor bakat. Sering anak diarahkan sesuai dengan
kemauan orang tuanya, akibatnya bagi anak sekolah dirasakan
sebagai suatu beban, tekanan, dan nilai-nilai yang didapat anak
buruk serta tidak ada kemauan lagi untuk belajar.
d) Minat
Minat dapat merupakan pendorong ke arah keberhasilan seseorang.
Seorang yang menaruh minat pada sesuatu bidang akan mudah
mempelajari bidang itu.
e) Emosi
Kematangan emosi berbeda-beda, ada yang labil dan ada pula yang
tidak. Anak yang tidak dapat mengekang emosinya akan
mengalami kesulitan dalam belajar.
8
f) Kepribadian
Faktor kepribadian mempengaruhi keadaan anak, semakin
berkembang kepribadiannya semakin membantu dalam mengatasi
hambatan-hambatan yang dialaminya.
g) Perhatian
Ada anak yang perhatiannya sulit untuk dipusatkan pada suatu
persoalan. Anak itu mudah sekali beralih perhatiaanya, rangsangan
sedikit saja sudah dapat membuatnya beralih ke persoalan lain.
h) Gangguan kejiwaan atau ganguan kepribadian lainnya
Anak yang berangkat sekolah selalu mengeluh sakit perut, setelah
diperiksa dokter tidak menderita sakit. Kemudian diadakan
pemeriksaan lebih lanjut ternyata penyebab sakit perut bukan
karena sakit, tetapi karena takut menghadapi pelajaran di sekolah.
b. Faktor ekstrinsik
1) keluarga
a) Pola asuh orang tua
Setiap keluarga mempunyai spesifikasi dalam mendidik, ada
keluarga cara mendidik anak secara diktator militer, ada
demokratik, ada yang acuh tak acuh dengan pendapat setiap
keluarga. Jadi, tiap anggota keluarga berjalan sendiri. Dari ketiga
cara mendidik ini timbul pula bermacam-macam kepribadian dari
anak tersebut.
b) Hubungan orang tua dengan anak remaja
Dari hubungan orang tua dan anak yang bermacam-macam ini
timbulah cara pengontrolan orang tua terhadap anak juga
bermacam-macam. Ada keluarga yang ketat pengontrolannya
terhadap anaknya, ada juga yang masa bodoh.
9
c) Sikap orang tua
Hal ini tidak dapat kita hindari, karena secara tidak langsung anak
adalah gambaran dari orang tuanya, jadi sikap orang tua juga
menjadi contoh bagi si anak.
d) Ekonomi keluarga
Keharmonisan hubungan orang tua dan anak kadang-kadang tidak
dapat terlepas dari faktor ekonomi, begitu pula faktor keberhasilan
seseorang.
e) Suasana dalam keluarga
Situasi rumah yang harmonis dan nyaman membuat anak betah
tinggal dan belajar dirumah, sehingga dengan suasana rumah yang
nyaman anak bisa konsentrasi dalam belajarnya.
f) Dorongan orang tua
Menurut Wlodkowski dan Jaynes (1990, dalam Akbar & Hawadi,
2002), berdasarkan penelitian dan pengalaman klinis, orang tua
merupakan faktor utama dalam belajar anak. Penelitin yang
dilakukan oleh Bloom terhadap sejumlah profesional muda (usia 28
tahun sampai 35 tahun) yang berhasil dalam kariernya dalam
berbagai lapangan seperti pakar matematika, neurolog, pianis
maupun olahragawan, menunjukkan ciri-ciri yang sama, yaitu
adanya keterlibatan orang tua mereka. Mereka menunjukkan
adanya keterlibatan langsung orang tua dalam belajar anak. Mereka
melihat dorongan orang tua merupakan hal yang utama di dalam
mengarahkan tujuan mereka.
2) Sekolah
a) Cara penyajian pelajaran
Setiap orang punya kekhususan sendiri dalam menyajikan
pelajaran. Ada guru yang bisa menerangkan dengan jelas tetapi ada
guru yang walaupun pandai ia kurang bisa menyajikan materi itu
dengan baik, agar mudah ditangkap oleh murid.
10
b) Hubungan antara guru dan murid
Seorang anak yang dekat dan mengagumi guru akan lebih mudah
mendengarkan dan menangkap pelajaran.
c) Kemampuan sendiri dari anak tersebut
Diutamakan taraf intelegensinya, apakah normal di atas normal
atau di bawah rata-rata.
d) Asal sekolah
Misalnya tingkatan atau mutu pelajaran, kurikulum, dan pembagian
jam pelajaran.
e) Peran guru
Akbar dan Hawadi (2002), peran guru dalam memotivasi anak juga
tidak diragukan. Kualitas guru yang efektif sebagai manajer,
mengharapkan siswanya untuk sukses, memberikan bahan
pelajaran yang sesuai dengan kapasitas muridnya, memberikan
umpan balik bagi muridnya, memberikan tes yang adil,
menjelaskan kriteria penilaiannya, membantu anak menyadari
pertumbuhan kompetensi, bersikap empati. Bila kualitas tersebut
dipenuhi, maka dapat memotivasi belajar anak.
3) Kultur
Menurut Akbar dan Hawadi (2002), setiap kelompok etnik
mempunyai nilai-nilai tersendiri tentang belajar. Ibu-ibu
berkebangsaan Jepang lebih menekankan usaha daripada kemampuan,
dibandingkan ibu-ibu bangsa Amerika yang mengutamakan
penampilan sekolah yang baik. Sistem nilai yang dianut orang tua
akan mempengaruhi keterlibatan orang tua secara mendalam dalam
upaya-upaya untuk menanamkan energi pada anak.
4. Ciri-ciri individu yang memiliki motivasi belajar tinggi
Menurut Suryabrata (2004, dalam Najah, 2007), menyatakan bahwa
anak yang memiliki motivasi belajar tinggi dapat diketahui melalui
aktivitas-aktivitas selama proses belajar, antara lain:
11
a. Menyiapkan diri sebelum mengikuti pelajaran;
b. Mencatat mata pelajaran;
c. Mengendapkan hasil pelajaran;
d. Mengerjakan tugas rumah dengan baik;
e. Menepati jadwal waktu belajar yang dibuat.
5. Teori- teori motivasi
Menurut Robbins (2001, dalam Ardana, 2009), membagi teori motivasi
menjadi dua bagian:
a. Teori-teori dini atau awal tentang motivasi
1) Teori hirarki kebutuhan dari Maslow. Maslow menghipotesakan
bahwa pada diri manusia ada lima jenjang kebutuhan, yaitu
kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial,
kebutuhan penghargaan, kebutuhan aktualisasi diri.
2) Teori X dan teori Y
Mc. Gregor mengemukakan dua pandangan yang berbeda tentang
manusia, yang satu pada dasarnya negatif (teori X), sementara yang
lain adalah positif (teori Y).
3) Teori dua faktor
Herzberg mengembangkan suatu teori yang disebut teori dua faktor,
yang terdiri dari faktor higiene dan faktor motivator.
b. Teori kontemporer tentang motivasi
1) Teori ERG oleh Aldefer
Teori ini merupakan modifikasi dan pengurangan dari lima jenjang
kebutuhannya Maslow menjadi tiga kelompok kebutuhan inti yaitu
eksistensi, hubungan, dan pertumbuhan.
2) Teori kebutuhan Mc Clallend
Menurut Mc Clallend bahwa manusa itu mempunyai tiga kebutuhan
yaitu kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan
akan afiliasi.
12
3) Teori penetapan tujuan.
Teori ini menguraikan hubungan antara tujuan dengan prestasi kerja.
4) Teori penguatan.
Bahwa perilaku adalah fungsi dari konsekuensi yang mengarah
kepada konsekuensi yang positif dan menghindari konsekuensi yang
tidak menyenangkan.
5) Teori keadilan atau kesetaraan.
Bahwa setiap individu menurut teori ini akan membandingkan
masukan dan keluaran pekerjaan mereka dengan masukan atau
keluaran orang lain, dan ia akan berespon untuk menghilangkan setiap
ketidakadilan yang dirasakan.
6) Teori harapan
Teori ini melandaskan diri pada suatu logika bahwa orang akan
melakukan apa yang mampu dilakukan apabila ia mau untuk
melakukan.
B. Pola Asuh Orang Tua
1. Pengertian
Pola asuh orang tua adalah perilaku orang tua yang menyangkut
bagaimana kasih sayang, sentuhan, kelekatan emosi orang tua terutama ibu,
serta penanaman nilai–nilai dapat mempengaruhi kepribadian anak
(Depkominfo RI, 2005).
2. Tipe pola asuh orang tua
a. Otoriter
Menurut Tan dan Chan (2004), gaya pengasuhan anak seperti ini
sangatlah ketat karena banyak peraturan di dalamnya. Anak-anak dididik
dengan menggunakan penghargaan dan hukuman.
Otoriter adalah tipe pola asuh orang tua yang sangat
mempertahankan kendali kekuasaan. Orang tua tipe otoriter ketika
berbicara kepada anaknya akan membuang segala yang tidak perlu atau
13
tidak dikehendaki, menginterupsi dan mengesampingkan pendapat
anaknya (Steede, 2008).
Orang tua yang menerapkan pola pengasuhan otoriter pada anak
remaja mereka memutuskan segala sesutau yang berkenaan dengan
remaja tanpa memperdulikan pendapat dari remaja. Mereka menerapkan
gaya hukuman kepada setiap tindakan anak yang tidak sesuai dengan
keinginan orang tua. Remaja diajarkan mengikuti tuntutan orang tua dan
keputusan orang tua tanpa bertanya. Mereka tidak diperbolehkan
mengambil keputusan sendiri (Gunarsa, 2009).
b. Permisif
Menurut Tan dan Chan (2004), gaya pengasuhan anak seperti ini
tidak menetapkan batasan dan anak-anak tumbuh tanpa mendapatkan
bimbingan dari orang tua. Anak-anak yang tumbuh dalam gaya
pengasuhan seperti ini seringkali disebut sebagai anak manja.
Pengasuhan yang permisif dapat dibedakan menjadi pengasuhan
yang mengabaikan dan pengasuhan yang memanjakan. Pada pengasuhan
yang mengabaikan, orang tua dengan tidak memperdulikan anak mereka,
memberikan izin bagi anak remaja mereka untuk bertindak semau
mereka. Pada pengasuhan yang memanjakan, orang tua sangat
menunjukkan dukungan emosional kepada anak mereka tetapi kurang
menerapkan kontrol pada anak mereka (Gunarsa, 2009).
c. Otoritatif
Menurut Tan dan Chan (2004), gaya pengasuhan ini diterapkan
berdasarkan pada pemahaman dan rasa hormat pada anak-anak. Orang
tua yang fleksibel dan otoritatif adalah mereka yang selalu berdiskusi
untuk menyelesaikan masalah, lebih mengutamakan rasio dan
memberikan penjelasan yang masuk akal mengenai peraturan-peraturan
yang mereka tetapkan di rumah dan menghormati partisipasi anak remaja
dalam mengambil keputusan meskipun sebenarnya tanggung jawab anak-
anak itu masih belum besar. Orang tua yang seperti itu juga menilai pola
perilaku yang disiplin.
14
Orang tua dengan pola pengasuhan otoritatif selalu melibatkan anak
remaja mereka dalam segala hal yang berkenaan dengan remaja itu
sendiri dan dengan keluarga. Mereka mempercayai pertimbangan dan
penilaian dari remaja serta mau berdiskusi dalam mengambil segala
keputusan yang berkaitan dengan anak remaja mereka (Gunarsa, 2009).
3. Dampak pola asuh orang tua
a. Otoriter
Masalah yang kerap muncul dalam gaya pengasuhan ini adalah anak-
anak akan belajar mengharapkan imbalan atas perilaku mereka yang
baik, sedangkan hukuman yang terlalu keras diberikan akan menciptakan
rasa takut yang berlebihan dan dendam. Tetapi, gaya pengasuhan seperti
ini masih efektif diterapkan pada anak-anak kecil karena pemahaman
mereka masih sangat sederhana dan literal (Tan dan Chan, 2004).
Menurut Alatas (2004), gaya pengasuhan otoriter dari sifat keras
orang tua dapat mematikan kreatifitas anak. Anak menjadi serba tidak
berani dalam menghadapi tantangan karena takut melakukan kesalahan
dan takut dimarahi orang tua.
b. Permisif
Jika orang tua menggunakan gaya pengasuhan seperti ini akan
membuat anak-anak tidak peka terhadap tanggung jawab sosial mereka
dan akan mengalami kesulitan untuk mempelajari adat istiadat sosial
(Tan dan Chan, 2004).
Menurut Alatas (2004), dampak dari pola asuh permisif adalah anak
cenderung manja & kurang ajar karena segala keinginannya selalu
dituruti orang .
c. Otoritatif
Orang tua yang menerapkan cara ini akan memberi bimbingan yang
sesuai dengan usia dan perkembangan anak-anak (Tan dan Chan, 2004).
15
C. Remaja
1. Pengertian
Menurut Santrock (1998, dalam Gunarsa, 2009), remaja adalah mereka
yang mengalami masa transisi (peralihan) dari masa kanak-kanak menuju
masa dewasa, yaitu antara usia 12-13 tahun hingga usia 20-an. Perubahan
yang terjadi yang terjadi termasuk drastis pada hampir semua aspek
perkembangannya, yaitu meliputi perkembangan fisik, kognitif,
kepribadian, dan sosial.
Remaja berasal dari kata adolescene yang berarti to growth (tumbuh)
menjadi dewasa dan to growth to maturity dari prenatal sampai tua
(Zulfikar, 2010).
2. Tahap pertumbuhan dan perkembangan remaja
a. Tahap pertumbuhan
1) Pertumbuhan fisik remaja
Pada anak perempuan : pertumbuhan tulang, tulang badan
menjadi tinggi, anggota badan juga menjadi panjang, pertumbuhan
payudara, tumbuh bulu-bulu halus dan berwarna gelap di kemaluan,
mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maximal pada setiap
tahunnya, haid (Lina, 2010).
Pada anak laki-laki : pertumbuhan tulang-tulang, testis membesar
tumbuh bulu kemaluan yang halus dan berwarna gelap, suara
berubah jadi berat, keluar air mani atau ejakulasi , pertumbuhan
ketinggian badan yang maximal pada setiap tahunnya, di wajah
tumbuh bulu-bulu halus menjadi kumis dan jenggot, tumbuh bulu
ketiak.
2) Tanda sexual sekunder
Dapat dibedakan antara pria dan wanita.
Pada remaja pria dari kumis, suara berat, jakun, otot-otot yang kuat.
Pada wanita dari pinggul yang besar, payudaranya, suara yang
lembut.
16
b. Tahap perkembangan
Menurut Desmita (2010), terdapat empat dasar pembagian fase-fase
perkembangan yang dikemukakan beberapa ahli, yaitu:
1) Berdasarkan ciri-ciri biologis
Menurut Aristoteles fase remaja (pubertas) atau masa peralihan dari
anak menjadi dewasa (14-21) tahun, yang dimulai dari mulai
bekerjanya kelenjar-kelenjar kelamin sampai akan memasuki masa
dewasa.
Menurut Sigmund Freud fase pubertas 12-18 tahun. Fase ini
dorongan-dorongan mulai muncul kembali, dan apabila dorongan ini
dapat ditransfer dengan baik, anak akan sampai pada masa
kematangan akhir, yaitu fase genital.
Menurut Maria Montessori fase perkembangan remaja pada periode
ketiga umur 12-18 tahun, yaitu periode penemuan diri dan kepekaan
sosial.
Menurut Elizabeth B. Hurlock fase perkembangan remaja
(adolescence) usia 11dan 13 tahun sampai usia 21 tahun.
2) Berdasarkan konsep didaktif
Pada usia 12-18 tahun merupakan masa mengembangkan daya
pikirannya dibawah pendidikan sekolah menengah (gymasium). Pada
masa ini mulai diajarkan bahasa latin sebagai bahasa asing.
3) Berdasarkan ciri-ciri psikologis
Menurut Oswald Kroch termasuk dalam fase kematangan umur 13-21
tahun, yaitu anak mulai menyadari kekurangan dan kelebihannya,
yang dihadapi dengan sikap sewajarnya.
4) Berdasarkan konsep tugas perkembangan
Menurut Robert J. Havighurst termasuk dalam masa remaja
(adolescence)yaitu umur 12-18 tahun.
17
D. Kerangka Teori
Gambar 2.1
Modifikasi teori menurut Gunarsa dan Gunarsa (2005), Akbar dan Hawadi (2002).
Faktor Intrinsik
1. Faktor fisik
a. Kesehatan
b. Keadaan cacat
2. Faktor psikis
a. Intelegensi
b. Perhatian
c. Bakat
d. Minat
e. Emosi
f. Kepribadian
g. Perhatian
h. Gangguan
kejiwaan
Faktor Ekstrinsik
1. Keluarga
a. Pola asuh orang tua
1) Otoriter
2) Permisif
3) Otoritatif
b. Hubungan orang tua dengan
anak remaja
c. Sikap orang tua
d. Ekonomi keluarga
e. Suasana dalam keluarga
2. Sekolah
a. Cara penyajian pelajaran
b. Hubungan antara guru dan
murid
c. Kemampuan sendiri dari anak
tersebut
d. Asal sekolah
3. Kultur
Motivasi Belajar Hasil Belajar
18
E. Kerangka Konsep
Konsep adalah abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal
khusus (Notoatmodjo, 2002).
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang
ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan
(Notoatmodjo, 2002).
Gambar 2.2
Kerangka Konsep penelitian
F. Variabel Penelitian
Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu
kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain
(Notoatmodjo, 2002).
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pola asuh orang tua, sedangkan
variabel terikatnya adalah motivasi belajar.
G. Hipotesis
Menurut Notoatmodjo (2002), hipotesis adalah suatu jawaban atas
pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan di dalam perencanaan penelitian.
Berdasar uraian diatas maka pada penelitian ini mengajukan hipotesis
sebagai berikut : Ada perbedaan antara motivasi belajar siswa ditinjau dari pola
asuh orang tua di SMA 10 November Semarang.
Variabel Bebas
Pola Asuh Orang tua
Variabel Terikat
Motivasi Belajar