bab ii tinjauan pustaka
DESCRIPTION
tipusTRANSCRIPT
6
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi dan Pemanfaatan Sukun
Sukun (Artocarpus altilis) termasuk genus Artocarpus, famili Moraceae,
ordo Urticales, dan kelas Dicotiledoneae (Citrosoma 1988 di dalam Anonim
2002), merupakan tanaman pekarangan yang telah ratusan tahun dikenal sebagai
tanaman penghijau di Indonesia. Tanaman sukun berasal dari New Guinea Pasific
dan berkembang sampai ke Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman yang
dapat tumbuh subur di daerah tropis, baik pada dataran rendah maupun dataran
tinggi (sampai 1000 m di atas permukaan laut). Tanaman sukun memiliki toleransi
dan daya adaptasi yang tinggi serta tahan terhadap penyakit (Shadily 1984 yang
dikutip dalam Anonim 2002). Hal ini menyebabkan pohon sukun tersebar meluas
di Indonesia.
Sukun merupakan tanaman tahunan yang berbuah musiman dengan panen
raya di bulan Januari-Februari dan panen susulan di bulan Juli-Agustus. Pada usia
4 tahun setelah tanam, sukun sudah menghasilkan buah yang produksinya
bertambah sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Produksi sukun berkisar
antara 200-750 buah/pohon/tahun (Syah & Nazaruddin 1994). Gambar buah dan
tanaman sukun disajikan pada Gambar 1.
(a) (b)
Gambar 1 Buah sukun (a) dan pohon sukun (b)
Buah sukun memiliki bagian daging buah yang dapat dimakan sebesar
81.21% dan bagian yang dibuang yaitu kulit buah serta hati buah yang pahit
7
rasanya sebesar 18.79%. Sukun dapat digolongkan sebagai buah yang memiliki
potensi sebagai bahan substitusi pangan khususnya karbohidrat karena didukung
oleh kandungan zat gizinya yang sangat baik (Tabel 1). Dibandingkan dengan
beras, buah sukun memiliki kandungan mineral dan vitamin yang lebih lengkap
dengan nilai kalori rendah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan diet.
Buah sukun mengandung asam amino esensial yang tidak diproduksi oleh tubuh
manusia seperti histidin, isoleusin, lisin, methionin, triptofan, dan valin (Widowati
2003).
Tabel 1 Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain
Zat Gizi Nilai per 100 gram bagian yang dapat di makan
Sukun tua Terigu Beras
giling Jagung kuning
Ubi kayu Talas
Energi (kal) Air (g) Potein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg)
108 69.3 1.3 0.3
28.2 21 59 0.4
0.12 0.06 17
357 12 8.9 1.3
77.3 16
106 1.2 0
0.12 0
349 13.0 6.8 0.7
78.9 10
140 0.8
0.12 0 0
317 24.0 7.9 3.4
63.6 9
148 2.1 264 0.33
9
158 60 0.8 0.3
37.9 33 40 0.7 230 0.06
0
104 73 1.9 0.2
23.7 38 61 1.0 6
0.13 4
Sumber : USDA ( 2004 )
Tepung Sukun
Sukun termasuk golongan buah klimakterik dengan puncak klimakterik
yang dicapai dalam waktu singkat karena proses respirasinya berlangsung cepat.
Dibandingkan dengan jenis buah klimakterik lain, buah sukun memiliki kecepatan
respirasi yang lebih tinggi. Buah sukun segar mempunyai umur simpan sekitar 2-4
hari setelah dipetik. Buah yang jatuh dan memar mempunyai daya simpan yang
lebih pendek (Syah & Nazaruddin 1994). Buah sukun dapat diawetkan dengan
pengeringan dalam bentuk gaplek atau tepung. Berdasarkan kandungan
karbohidrat yang cukup tinggi (28.2%), buah sukun berpeluang untuk diolah
menjadi tepung.
8
Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi
yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat
komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak
sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno 2000). Bentuk
tepung merupakan produk antara yang fleksibel, mempunyai daya simpan yang
lebih baik, serta mudah dalam pendistribusian dan pengangkutan. Pengolahan
sukun dalam bentuk tepung memberikan nilai kepraktisan dalam pengolahannya
lebih lanjut. Kandungan air yang rendah serta bentuk tepung yang ringan
menyebabkan produk antara ini mudah untuk diangkut, dikemas, maupun
didistribusikan. Hal ini pula yang memungkinkan produk tepung sukun untuk
diproduksi dan dipasarkan secara massal dan meluas. Prosedur pembuatan
tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan
pangan. Secara garis besar bahan pangan yang dapat diolah menjadi tepung
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahan pangan yang mudah menjadi
coklat apabila dikupas dan bahan pangan yang tidak mudah mengalami
pencoklatan (Widowati 2003).
Pembuatan tepung sukun dimulai dengan pengupasan buah, perendaman
dan pencucian, pemotongan, pemblansiran selama 10 menit,
perajangan/penyawutan, pengeringan, dan penepungan (Gambar 2). Hal yang
perlu mendapat perhatian khusus saat pengolahan adalah buah sukun mengandung
polifenol cukup tinggi, sehingga saat dikupas dan dirajang akan cepat berubah
warna menjadi kecoklatan (Prabawati & Suismono 2009). Pada umumnya umbi-
umbian dan buah-buahan mudah mengalami pencoklatan setelah dikupas. Hal ini
disebabkan oleh reaksi oksidasi antara bahan pangan dengan udara (oksigen),
sehingga terjadi reaksi pencoklatan akibat pengaruh enzim yang terdapat dalam
bahan pangan tersebut (browning enzymatic).
Pencoklatan karena aktivitas enzim merupakan reaksi antara oksigen
dengan suatu senyawa polifenol yang dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase.
Oleh karena itu, setelah dikupas, buah segera direndam dalam air (Prabawati &
Suismono 2009) atau larutan garam 1% (Widowati & Damardjati 2001) kemudian
dilakukan pemblansiran untuk menonaktifkan enzim fenolase. Demikian pula saat
9
perajangan atau penyawutan, sawut harus segera direndam dalam air lalu dipres
untuk mengeluarkan air dan senyawa fenol.
Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan tepung sukun (Widowati 2003)
Bobot kotor buah sukun berkisar antara 1200-2500 gram dengan rendemen
daging buah 81.21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan
dikeringkan akan dihasilkan rendemen sawut kering sebanyak 11 – 20% dan
Buah sukun
Pengupasan
Pembelahan
Pemblansiran dengan uap, 10‐20 menit
Penyawutan/perajangan
Pengeringan
Sawut kering
Penepungan
Tepung sukun
Pengayakan
10
rendemen tepung sebesar 11 – 25%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun.
Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal
(setengah matang) yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum.
Pengeringan sawut sukun menggunakan alat pengering sederhana berkisar antara
5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60 oC. Bila pengeringan dilakukan di bawah
sinar matahari maka lama pengeringan sangat tergantung pada cuaca (1-2 hari bila
udara cerah) (Widowati 2003).
Komposisi Kimia Tepung Sukun
Tepung sukun mengandung 84.03% karbohidrat, 9.09% air, 2.83% abu,
3.64% protein dan 0.41% lemak. Tabel 2 menunjukkan bahwa kandungan
protein tepung sukun lebih tinggi dibandingkan tepung ubi kayu, tepung ubi
jalar, dan tepung pisang (Widowati et al. 2001).
Tabel 2 Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan
Kadar (%) Komoditas
Sukun Pisang Labu kuning
Ubijalar Ubikayu
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
9.09 2.83 3.64 0.41 84.03
10.11 2.66 3.05 0.28 84.01
11.14 5.89 5.04 0.08 77.65
7.80 2.16 2.16 0.83 86.95
7.80 2.22 1.60 0.51 87.87
Sumber: Widowati et al. (2001)
Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam tepung sukun.
Komponen karbohidrat yang terdapat dalam tepung sukun berada dalam
bentuk pati (69%), karbohidrat terlarut (6.9%), total gula (4.07%) dan gula
reduksi (2.65%) (Graham & de Bravo 1981). Komposisi kimia dari pati sukun
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi pati sukun
Komponen Kadar (%) Komponen Kadar (%) Protein kasar 0.53 Lemak 0.39 Air 10.83 Amilosa 22.52 Abu 1.77 Amilopektin 77.48
Sumber: Akanbi et al. (2009)
11
Seperti halnya pati dari sumber lain, molekul pati sukun tersusun atas dua
kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua polimer tersebut
disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan
glikosidik (Whistler & Daniel 1985). Perbedaan antara kedua makromolekul
tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran
derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati
seperti dapat dilihat pada Gambar 3.
(a)
(b)
Gambar 3 Struktur amilosa (a) dan amilopektin (b) (Roder et al. 2005)
Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain
dengan ikatan α-1,4-glikosidik, sehingga membentuk polimer yang linier dengan
sedikit cabang yang dibentuk oleh ikatan α-1,6-glikosidik (< 1%) atau satu dari
300-1000 residu glukan (Roder et al. 2005). Berat molekul amilosa berkisar antara
105 – 106 Da dengan derajat polimerisasi mencapai kisaran 500 – 6000. Gugus
hidroksil pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain membentuk
struktur heliks melalui ikatan hidrogen (Whistler & Daniel 1985).
Amilopektin memiliki ukuran molekul yang sangat besar dengan berat
molekul mencapai 107 – 109 Da dan derajat polimerisasi antara 3x105 – 3x106.
Glukosa penyusun molekul amilopektin dihubungkan satu sama lain dengan
ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada
12
percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang yang satu dengan cabang
yang lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005).
Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda,
demikian juga berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi amilopektin
yang lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Pati sukun memiliki
kandungan amilosa beragam, tergantung varietas dan tempat tumbuh. Sebagai
contoh kadar amilosa tepung sukun Kulon Progo dan Purworejo adalah sebesar
17 - 20%, sedangkan untuk tepung sukun Cilacap, Kediri, Bone dan
Kepulauan Seribu berkisar antara 11 – 17% (Prabawati & Suismono 2009).
Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin tepung sukun
menjadi penting apabila tepung sukun tersebut akan digunakan sebagai bahan
baku ataupun bahan pembantu pada produk pangan seperti bihun. Kandungan
amilosa tinggi (>25 g/100 g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel
dan struktur bihun yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai 1985).
Pembentukan gel yang baik akan mengurangi tingkat kelengketan produk bihun
yang dihasilkan. Pati sukun asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang
tergolong rendah (11-20%), tetapi didukung oleh sifat amilografi dan sifat
fungsional lainnya berpotensi untuk diolah menjadi bihun.
Sifat Fungsional Pati Sukun
a. Karakteristik Gelatinisasi
Salah satu karakteristik fisik pati yang penting untuk dievaluasi dalam
kaitannya terhadap sifat fungsional pati ketika diaplikasikan pada produk pangan
adalah karakteristik gelatinisasi. Jika pati dipanaskan dengan air, maka pati akan
mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti oleh peningkatan viskositas dan
pada akhirnya akan membentuk pasta. Fenomena ini dikenal dengan istilah
gelatinisasi pati. Jika pemanasan dilanjutkan selama jangka waktu tertentu
kemudian didinginkan, maka perubahan viskositas pati akan membentuk profil
yang berbeda-beda, tergantung pada jenis pati.
Menurut Schoch dan Maywald (1968) seperti yang dikutip oleh Purwani et
al. (2006), penggolongan pasta pati dibagi menjadi 4 yaitu tipe A, tipe B, tipe C
13
dan tipe D. Pati tipe A adalah tipe pasta pati yang mengalami pembengkakan
tinggi dengan viskositas puncak yang tinggi kemudian mengalami pengenceran
secara cepat selama pemanasan. Tipe B adalah pasta pati yang memiliki karakter
pembengkakan sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih
rendah dan lebih tidak encer. Tipe C adalah pasta yang memiliki sifat
pembengkakan terbatas, tidak memperlihatkan puncak pada viskositas maksimum
namun viskositasnya yang cenderung tinggi tetap dipertahankan atau meningkat
selama pemanasan. Tipe D adalah tipe pati yang pastanya sulit membengkak dan
sulit mengental pada konsentrasi normal.
Profil gelatinisasi pati dapat ditentukan dengan menggunakan instrumen
Brabender Amylograph atau Rapid Visco Analyzer. Prinsip kedua instrumen
tersebut adalah mengukur perubahan viskositas suspensi pati ketika mengalami
pemanasan dan pendinginan dengan pola tertentu. Profil gelatinisasi pati sukun
disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 4.
Tabel 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 ml
Parameter Nilai
Suhu gelatinisasi 73.3 °C
Viskositas puncak (P) 790 BU
Viskositas pasta panas (H) 786 BU
Viskositas pasta dingin (C) 1091 BU
Viskositas breakdown (P-H) 4 BU
Setback (C-H) 305 BU
Keterangan: BU = Brabender Unit Sumber : Rincón dan Padilla (2004)
Berdasarkan analisis dengan menggunakan Brabender Viscoamylograph,
suhu gelatinisasi pasta pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 g adalah 73.3 °C. Nilai
suhu ini lebih tinggi dibandingkan pati kentang (61.6 °C), tetapi lebih rendah dari
pati jagung (83.3 °C). Rincón dan Padilla (2004) menyebutkan bahwa suhu
gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran granula, dimana granula dengan ukuran lebih
kecil akan lebih tahan terhadap kerusakan dan gangguan terhadap susunan
molekulnya, sehingga suhu gelatinisasinya menjadi lebih tinggi.
14
Setelah gelatinisasi, viskositas pati meningkat dengan tajam, terutama
disebabkan oleh berkurangnya air yang tersedia. Puncak viskositas merupakan
parameter penting yang membedakan antara pati yang satu dengan yang lain. Pati
sukun menunjukkan nilai viskositas puncak 790 BU, jauh lebih tinggi dari
viskositas puncak pati jagung (302 BU) (Rincón & Padilla 2004). Viskositas pati
jagung dan pati kentang mengalami penurunan selama proses holding isothermal,
sementara pati sukun viskositasnya justru meningkat pada periode ini.
Rincón dan Padilla (2004) menyatakan bahwa viskositas pasta panas
dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya efek pencampuran granula pati yang
membengkak, fragmen granula, koloid dari molekul pati terdispersi, tingkat
pengembangan amilosa dan persaingan untuk mendapatkan air bebas antara
amilosa yang mengembang dengan granula yang tersisa. Pati sukun lebih mampu
mempertahankan integritas strukturnya di bawah kondisi panas dan tekanan, hal
ini dapat terlihat dari nilai viskositas breakdown yang hanya mencapai 4 BU.
Gambar 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6% (Rincón & Padilla
2004)
Kenaikan viskositas yang terjadi saat pasta panas mengalami pendinginan
disebabkan oleh kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi. Karakteristik
ini terutama disebabkan oleh afinitas di antara gugus hidroksil. Molekul amilosa
yang terdispersi secara acak dapat menyusun molekul-molekulnya untuk
membentuk agregat dengan kelarutan rendah, sampai akhirnya terbentuk gel.
Viskositas pasta dingin pati sukun (1091 BU) lebih besar dari viskositas
15
puncaknya (790 BU). Hal ini disebabkan selama pendinginan viskositas pasta
sukun meningkat karena tingginya kecenderungan fraksi amilosa untuk
mengalami retrogradasi (Rincón & Padilla 2004).
b. Swelling Power dan Kelarutan
Kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dari
viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan ataupun dari pengukuran
swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah perbandingan
volume pasta pati terhadap berat keringnya (Collado et al. 2001). Sementara
swelling power didefinisikan sebagai perbandingan antara berat sedimen pasta pati
dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Wattanachant et al.
2002b).
Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang
tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Kim et al. (1996)
melaporkan bahwa pati kentang yang memiliki swelling power lebih tinggi
dibanding pati kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) memiliki kelarutan
yang lebih tinggi pula.
Swelling power dari pati sukun semakin meningkat dengan peningkatan
suhu (Tabel 5). Fenomena ini terutama terjadi pada peningkatan suhu dari 70 °C
ke 80 °C. Swelling power berhubungan dengan ikatan asosiatif di antara granula
pati. Karakter dan kekuatan jaringan misel pada granula pati berhubungan dengan
kandungan amilosa dalam pati tersebut dimana kadar amilosa yang rendah akan
menghasilkan swelling power yang lebih besar (Rincón & Padilla 2004).
Tabel 5 Swelling power dan kelarutan tepung sukun pada berbagai suhu
Suhu (°C)
Swelling power (g/100 g amilosa)
Kelarutan (g/100 g bk)
60 35.7 ± 0.11 2.31 ± 0.17 70 46.9 ± 0.35 2.75 ± 0.26 80 144.9 ± 0.12 5.28 ± 0.24 90 238.1 ± 2.17 8.93 ± 2.8
Sumber: Rincón dan Padilla (2004)
16
Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan berhubungan dengan
kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan
menggantikan interaksi hidrogen antar molekul, sehingga granula akan lebih
mudah menyerap air dan memiliki pengembangan tinggi. Muhamed et al. (2008)
menyatakan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan
bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda dalam
kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya
pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam, sehingga granula akan
pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.
Sebagai akibat dari peristiwa swelling akan terjadi peningkatan kelarutan,
dimana kelarutan tertinggi terjadi pada suhu 90 °C. Peningkatan kelarutan ini
disebabkan oleh adanya molekul amilosa terlarut yang bocor dan keluar dari
granula pati yang mengalami swelling (Rincón & Padilla 2004). Semakin banyak
molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan akan semakin
tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi pada umumnya
akan memiliki kelarutan yang tinggi pula. Namun demikian tidak selamanya
kandungan amilosa berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan kompleks
antara amilosa dengan lipid, seperti pada pati kacang-kacangan, dapat mengurangi
kelarutan amilosa (Kim et al. 1996).
Tepung Beras
Tepung beras diperoleh dari hasil penggilingan beras, baik dengan cara
kering maupun cara basah. Tepung beras dapat dihasilkan dari berbagai varietas
beras. Tepung beras yang diproduksi dari beras dengan varietas berbeda akan
menghasilkan tepung beras yang berbeda pula terutama dalam kandungan protein,
lemak, pati dan rasio amilosa dengan amilopektin. Perbedaan komposisi kimia
beras turut menentukan keragaman sifat fisiko-kimia tepung beras (Luh & Liu
1980). Komposisi kimia dari tepung beras dapat dilihat pada Tabel 6.
17
Tabel 6 Komposisi kimia tepung beras
Komposisi Jumlah (per 100 gram)
Air (g) 11.90
Abu (g) 0.63
Protein (g) 5.95
Lemak (g) 1.39
Karbohidrat (g) 80.38
Serat pangan (g) 2.40 Sumber: USDA SR-21 (2008)
Dalam teknologi pengolahan pangan modern, tepung beras digunakan
antara lain untuk mengontrol viskositas, memisahkan adonan dengan adonan lain,
mengatur tingkat pencoklatan, memudahkan pengeluaran produk dari cetakan
serta memperbaiki kerenyahan. Di Asia, beras terutama dikonsumsi dalam bentuk
bihun selain ditanak menjadi nasi (Juliano & Sakurai 1985). Beras tidak memiliki
kandungan gluten yang dibutuhkan untuk membentuk adonan yang viskoelastis,
sehingga umumnya dalam pembuatan bihun beras dilakukan pragelatinisasi
terhadap tepung beras agar dapat berfungsi sebagai pengikat (binder) bagi adonan.
Derajat pragelatinisasi tepung beras berperan penting dalam membentuk tekstur
bihun. Komponen yang berperan dalam membentuk matriks gel dan struktur
bihun adalah amilosa (Hormdok & Noomhorm 2007). Bihun beras yang baik
dapat dihasilkan dari beras berkadar amilosa sedang hingga tinggi (>22%).
Beberapa penelitian terhadap tepung atau pati beras sebagai bahan baku
ataupun bahan pembantu pada proses produksi mie/bihun telah banyak dilakukan.
Sandhu et al. (2010) dalam studinya melaporkan bahwa pencampuran pati
kentang dengan pati beras sangat mempengaruhi karakteristik sensori dan kualitas
pemasakan bihun. Dinyatakan lebih lanjut bahwa penggunaan pati beras sebagai
bahan pensubstitusi parsial terhadap pati kentang dalam proses pembuatan bihun
berbahan dasar pati kentang dapat meningkatkan ketahanan bihun terhadap panas.
Hasil penelitian lain melaporkan bahwa bihun yang diproduksi dari beras dan
disubstitusi parsial oleh pati jagung akan menghasilkan bihun dengan nilai
kekerasan yang lebih rendah dan tingkat kelicinan (slipperiness) serta transparansi
bihun yang lebih tinggi (Wang et al. 2000).
18
Penggunaan tepung beras lebih dari 10% dalam suatu produk pangan
memerlukan perhatian terhadap karakteristik tepung beras tersebut. Bean (1986)
di dalam Munarso (1998) menyebutkan bahwa rasio amilosa – amilopektin dan
suhu gelatinisasi merupakan faktor utama yang menentukan kesesuaian tepung
beras dengan spesifikasi produk yang dikehendaki. Berdasarkan kandungan
amilosanya, beras dapat dikelompokkan dalam empat kelas (Juliano & Sakurai
1985). Tabel 7 menyajikan kisaran kadar amilosa dan suhu gelatinisasi dari setiap
kelas beras. Suhu gelatinisasi diukur sebagai suhu titik akhir birefringence
(birefringence end point temperature = BEPT), yaitu suhu dimana 95 – 98% sifat
birefringence telah hilang ketika pati dipanaskan dalam air dan diamati dengan
mikroskop polarisasi (Bean 1986 di dalam Munarso 1998).
Tabel 7 Klasifikasi beras berdasarkan kandungan amilosanya
Kelas Kadar amilosa (%) BEPT (°C) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi
2 – 9 9 – 20 20 – 25 25 – 33
- 55 – 69.5 70 – 74 74.5 - 79
Sumber: Juliano dan Sakurai (1985)
Berdasarkan analisis menggunakan instrumen Brabender Amylograph,
tepung beras menghasilkan profil gelatinisasi yang sangat dipengaruhi oleh
kandungan amilosanya. Kurva amilograf dari tepung beras dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5 Profil gelatinisasi tepung beras dengan kadar amilosa tinggi dan sedang (Wang et al. 2000)
Waktu (menit)
Vis
kosi
tas
(RV
U) Amilosa tinggi
(>23.5%)
Amilosa sedang (19-23.5%)
19
Profil gelatinisasi yang dihasilkan oleh beras berkadar amilosa tinggi dan
sedang menunjukkan pola yang serupa. Beras dengan kandungan amilosa tinggi
memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan beras berkadar amilosa
sedang. Pada saat suhu dipertahankan pada 95 °C, pati beras mengalami
penurunan viskositas yang menunjukkan ketahanan panas dari pati tersebut tidak
terlalu baik. Tetapi pada saat dilakukan pendinginan, viskositas pati beras
mengalami peningkatan yang menunjukkan kecenderungan yang tinggi dari pati
tersebut untuk beretrogradasi. Retrogradasi merupakan karakteristik pati yang
sangat penting terutama dalam aplikasinya pada produk bihun, karena berkaitan
dengan kemampuan pati tersebut untuk membentuk struktur untaian bihun yang
tidak rapuh.
Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun
Sifat fisiko-kimia pati akan sangat mempengaruhi sifat fungsionalnya.
Dalam pembuatan bihun berbahan baku pati dibutuhkan pati dengan sifat
fungsional tertentu agar bihun yang dihasilkan memiliki karakteristik yang baik.
Sifat fungsional pati sebagai bahan baku tersebut terutama berkaitan dengan
pembentukan adonan dan tekstur bihun yang dihasilkan.
Pati yang ideal digunakan sebagai bahan baku bihun adalah pati dengan
kandungan amilosa tinggi, pembengkakan granula dan kelarutan terbatas serta
memiliki profil gelatinisasi tipe C (Lii & Chang 1981). Pati dengan kandungan
amilosa tinggi cenderung mudah mengalami retrogradasi dan menghasilkan pasta
dengan penampakan lebih opaque seperti halnya pati beras dan pati jagung
(Wattanachant et al. 2002a).
Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan dalam
pembentukan struktur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan.
Retrogradasi pati akan menentukan tingkat kekerasan dan penampakan bihun atau
soun (starch noodle). Menurut Kim et al. (1996), soun yang diproduksi dari bahan
baku pati dengan kandungan amilosa tinggi memiliki kekerasan yang lebih tinggi
namun transparansinya lebih rendah bila dibandingkan dengan soun yang
diproduksi dari pati dengan kandungan amilosa lebih rendah. Pada tingkat tertentu
20
kekerasan bihun atau soun dibutuhkan untuk memperoleh soun dengan tekstur
tegar, sehingga dapat memberikan mouthfeel yang disukai ketika dikonsumsi.
Selain mempengaruhi tingkat kekerasan dan transparansi, kandungan
amilosa pati mempengaruhi kelengketan serta susut masak dan pengembangan
bihun atau soun kering pada saat dimasak (direhidrasi). Kim et al. (1996)
menyatakan bahwa pati dengan swelling power dan kandungan amilosa yang
tinggi tidak selalu menghasilkan soun dengan susut masak yang tinggi pula.
Kompleks antara lemak dengan amilosa diduga dapat menurunkan susut masak
soun yang dihasilkan. Lebih lanjut Kim et al. (1996) menjelaskan bahwa pati
dengan kandungan amilosa tinggi dan ukuran granula kecil akan menghasilkan
soun dengan tingkat pengembangan dan susut masak yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan soun dari pati dengan kandungan amilosa rendah dan
granula besar.
Kim et al. (1996) memaparkan hubungan antara profil gelatinisasi dengan
karakteristik soun yang dihasilkan. Soun yang berasal dari pati kacang-kacangan
dengan profil gelatinisasi tipe C memiliki susut masak dan kelengketan yang
rendah namun kekerasannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan soun yang
dihasilkan dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Pati dengan profil
gelatinisasi tipe C cenderung lebih stabil terhadap pemanasan, sehingga keluarnya
padatan dari soun yang diproduksi dengan bahan dasar pati tersebut dapat ditekan
dan soun memiliki tingkat kelengketan yang rendah.
Pati sukun memiliki kandungan amilosa rendah (11-20%, Prabawati &
Suismono 2009), swelling power dan kelarutan tinggi (Rincón & Padilla 2004),
viskositas yang cenderung meningkat selama pemanasan dan holding time serta
kecenderungan untuk mengalami retrogradasi setelah didinginkan (Akanbi et al.
2009). Bila dibandingkan dengan syarat pati ideal untuk bahan baku bihun, maka
pati sukun potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku bihun.
Hidrokoloid Dalam Bahan Pangan dan Pengaruh Penambahan Garam
Hidrokoloid memiliki peranan penting dalam mengendalikan karakteristik
reologi, seperti viskositas ataupun elastisitas, pada produk pangan padat maupun
21
cair. Fungsi hidrokoloid ini sangat erat berhubungan dengan karakteristik
organoleptik, tekstur dan pelepasan flavor pada produk.
Dalam produk pangan berbahan dasar pati seperti bihun, penambahan
hidrokoloid diperlukan untuk mengontrol karakteristik reologi dan memodifikasi
tekstur. Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sistem pati
aqueous sebagai model percobaan untuk menggali fungsi dan manfaat potensial
dari hidrokoloid. Glicksman (1982) menyatakan bahwa hidrokoloid dapat
mengontrol karakteristik reologi dan tekstural dari bahan pangan, meningkatkan
penyerapan air dan menjaga kualitas produk secara keseluruhan selama
penyimpanan. Studi lain melaporkan bahwa penambahan hidrokoloid dapat
memperbaiki atau memodifikasi karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi pati
(Funami et al. 2005b, Yoshimura et al. 1996), meningkatkan kapasitas pengikatan
air (Yoshimura et al. 1998), dan stabilitas terhadap freeze-thaw dari sistem pati
aqueous (Lee et al. 2002). Funami et al. (2005a) menyatakan bahwa
galaktomanan (guar gum, tara gum, locus bean gum) memiliki pengaruh besar
terhadap karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi dari pati gandum. Hidrokoloid
tersebut mampu menghambat retrogradasi pati dan meningkatkan kapasitas
pengikatan air.
Dua jenis hidrokoloid yang akan digunakan dan dilihat pengaruhnya
terhadap karakteristik bihun yang dihasilkan adalah guar gum dan tepung iles-iles
sebagai preparat glukomanan.
a. Guar Gum
Guar gum adalah polisakarida non-ionik dengan rantai utama manosa
(Man) dengan ikatan β-(1-4) yang disubstitusi oleh satu rantai samping galaktosa
(Gal) melalui ikatan α-(1-6) dengan rata-rata rasio molekul Man:Gal = 2:1
(Gambar 6) (Funami et al. 2005b). Guar gum diperoleh dari endosperma biji
tanaman legume (Cyamopsis tetragonalobus dan psoraloides) melalui serangkaian
proses penghancuran dan pengecilan ukuran untuk memisahkan gum dari biji
(Panda 2005).
22
Gambar 6 Struktur guar gum (Panda 2005)
Guar gum merupakan polimer yang dapat larut dalam air dingin
membentuk larutan kental yang bersifat non-Newtonian pseudoplastis. Guar gum
umumnya digunakan pada konsentrasi di bawah 1%. Dalam industri pangan, guar
gum digunakan karena kemampuannya untuk mengikat dan mengimobilisasi air
dalam jumlah besar, sehingga mempengaruhi kekentalan, menghambat
pembentukan kristal es dalam produk beku, memodifikasi tekstur produk, dan
menstabilkan konsistensi produk terhadap perubahan suhu penyimpanan (Panda
2005).
Pada produk pangan berpati, interaksi guar gum dengan amilosa akan
meningkatkan viskositas dari sistem pati-guar gum selama proses pemanasan,
sementara interaksi guar gum dengan amilopektin akan meningkatkan viskositas
puncak. Selain itu, kemampuan guar gum untuk mengentalkan dan meningkatkan
konsentrasi efektif dari komponen-komponen pati juga menjadi faktor penting
yang mengendalikan karakteristik gelatinisasi pati. Fenomena ini menjadi dasar
bagi penggunaan guar gum sebagai pengatur tekstur (texture modifier) pada
produk pangan berbasis pati (Funami et al., 2005a).
b. Tepung Iles-iles
Tepung iles-iles (Amorphopallus oncophyllus) diperoleh dari irisan umbi
tanaman iles-iles yang dikeringkan dan digiling menjadi tepung. Tepung iles-iles
memiliki kandungan glukomanan yang tinggi (64.98%, Tabel 8), sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pangan karena karakterisik gelatinisasi dan
kemampuannya sebagai pengemulsi. Tepung iles-iles (konjac flour) telah
23
dimanfaatkan sejak lebih dari seribu tahun lalu di Asia Timur untuk membuat
produk gel yang disebut konyaku (Simon 2008).
Tabel 8 Komposisi kimia tepung iles-iles
Komponen Jumlah (%bb) Air Pati Protein Serat Glukomanan
6.80 10.24 3.42 5.90 64.98
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes RI (2010) di dalam www.indoagri.com
Jacon et al. (1993) menyatakan bahwa glukomanan yang terkandung
dalam iles-iles merupakan polimer dari D-glukosa dan D-manosa dengan
perbandingan 2:3 dan ikatan β-1,4 yang disbustitusi secara acak oleh gugus asetil,
umumnya pada residu gula ke-19 (Gambar 7). Glukomanan memiliki berat
molekul sekitar 1000 – 2000 kilo Dalton.
Gambar 7 Struktur glukomanan (Jacon et al. 1993)
Menurut Jacon et al. (1993), larutan glukomanan dalam air pada suhu
ruang akan memberikan viskositas yang tinggi dan membentuk gel dengan
penambahan air kapur. Dijelaskan lebih lanjut, viskositas glukomanan yang
tinggi tersebut diakibatkan oleh interaksi antara komponen molekul terlarut yang
lebih dominan dibandingkan oleh proses hidrasi.
Penelitian mengenai interaksi glukomanan dengan pati telah banyak
dilakukan. Yoshimura et al. (1998) mempelajari interaksi antara glukomanan
dengan pati jagung dan menemukan bahwa penambahan glukomanan dapat
meningkatkan kapasitas pengikatan air dari pati jagung. Sementara Khanna dan
Tester (2006) menyatakan bahwa glukomanan meningkatkan suhu gelatinisasi
24
pati jagung dan pati kentang serta menghambat retrogradasi kedua jenis pati
tersebut.
c. Pengaruh Penambahan Garam
Penambahan kation divalen seperti Ca2+ atau Mg2+ pada campuran pati-
hidrokoloid diketahui memiliki efek signifikan terhadap beberapa karakteristik
gelatinisasi campuran tersebut. Moritaka et al. (2003) menyebutkan bahwa
penambahan garam kalsium atau magnesium pada larutan gum gellan akan
mempercepat gelatinisasi larutan tersebut dan mengubah karakteristik reologinya
menjadi lebih tidak tergantung pada suhu (less temperature dependent).
Dinyatakan lebih lanjut bahwa kation divalen akan membentuk ikatan ionik
dengan gugus asam karboksilat pada rantai gellan, sehingga menghasilkan
agregasi heliks ganda melalui pembentukan jembatan inter-chain.
Studi lain yang dilakukan oleh Sudhakar et al. (1996) menunjukkan bahwa
viskositas pasta dingin dan suhu gelatinisasi pati sangat dipengaruhi oleh
keberadaan garam dalam sistem pangan yang diamati. Gum akan memfasilitasi
pembentukan electrical double layer dari kation di sekeliling pati, sehingga
menurunkan suhu gelatinisasi. Dengan penambahan garam, maka pati akan
menukar kation dari larutan dengan ion hidrogen, sehingga terjadi peningkatan
volume dan pada akhirnya akan meningkatkan viskositas pasta dingin dari sistem
pati-hidrokoloid. Penambahan garam juga menyebabkan karakteristik aliran
sistem pati menjadi lebih pseudoplastis.