bab ii tinjauan pustaka

Upload: ranii-selaluww-tersenyum

Post on 29-Oct-2015

86 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 11

    TINJAUAN PUSTAKA

    Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Tebu

    Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk tanaman C4 yang sudah

    mengalami adaptasi dari tanaman liar (Saccharrum robustum L.). Dalam proses

    pertumbuhan dan perkembangannya dapat dibagi menjadi dua bagian penting, yaitu

    secara vegetatif dan reproduktif. Penggolongan ini sangat penting diketahui

    mengingat tujuan akhir pengusahaan tanaman tebu adalah hasil gula (sukrosa) yang

    merupakan resultan dari hasil batang tebu dan kandungan gula yang dikandungnya.

    Faktor yang mempengaruhi hasil tanaman tebu adalah varietas, lingkungan termasuk

    tanah, iklim, suplai air, teknik budidaya, dan umur tanaman.

    Secara umum tanaman tebu dikembangbiakkan secara vegetatif menggunakan

    stek tanaman. Pertumbuhan tebu dibagi menjadi 4 fase, yaitu (1) perkecambahan

    sampai dengan tunas muncul di permukan tanah, (2) pembentukan anakan sampai

    dengan pembentukan kanopi secara penuh, (3) pembentukan dan pemanjangan

    batang, dan (4) pematangan (Wiedenfeld, 2000). Fase petumbuhan tanaman tebu

    dan umurnya disajikan pada Tabel 1.

    Tabel 1 Pembagian umur dan fase pertumbuhan tanaman tebu

    Umur tanaman (Bulan) Fase pertumbuhan

    0 1 Perkecambahan pertumbuhan tunas

    1 2 Pembentukan anakan

    2 3 Pembentukan anakan

    2,5 4 Pertumbuhan anakan - kanopi penuh

    4 10 Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang)

    10 11 Pematangan - awal senesen

    11 12 Matang

    Daun tumbuh pada buku tanaman dengan susunan filotaksis 180 (daun gasal

    akan sebidang dengan daun gasal dan begitu juga daun genap). Daun tanaman tebu

    terdiri atas helai daun dan pelepah (sebagai seludang) daun yang membungkus

    batang. Pada ujung batang tanaman terdapat titik tumbuh dan ruas yang mampat,

    pertumbuhan vegetatif akan berakhir pada saat awal berbunga. Tanaman tebu adalah

  • 12

    tanaman berbunga musim, artinya saat berbunga ditentukan oleh musim dan untuk

    Indonesia saat berbunga sekitar bulan Maret.

    Jika kondisi sesuai untuk pertumbuhan, batang akan memanjang sampai fase

    generatif. Namun jika suhu turun terlalu rendah dan hujan atau irigasi kurang,

    pertumbuhan terganggu dan akhirnya berhenti. Tanaman akan segera beralih ke fase

    reproduktif dengan membentuk sukrosa. Akibat pertumbuhan yang singkat, maka

    biomasa yang dihasilkan kurang baik.

    Hasil fotosintesis yang berlangsung selama pertumbuhan akan diekspresikan

    pada bagian tanaman yang terdapat di atas tanah (tajuk) dan di bawah tanah

    (perakaran). Komposisi bagian vegetatif tebu yang matang dengan memisahkan

    daun dan pelepah tua (trash) telah banyak diukur. Proporsi dari bagian-bagian

    tanaman bervariasi menurut varietas, umur, dan keadaan tempat tumbuh tanaman.

    Pada Tabel 2 disajikan proporsi secara umum tiap bagian tanaman (Barnes, 1974).

    Tabel 2 Persentase tiap bagian vegetatif tanaman tebu

    Bagian Tanaman Bobot kering

    (%)

    Bagian bawah tanah

    Bongkol (stubble) 4,5

    Akar 12,7

    Bagian atas tanah

    Trash (daun dan pelepah kering) 24,6

    Batang 49,2

    Pucuk 9,0

    Dari data pada Tabel 2 tampak bahwa biomasa yang berupa batang dan

    dipanen sebagai hasil ekonomi 50% dari total biomasa yang dihasilkan seluruh

    tanaman. Beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa

    nitrogen memiliki pengaruh terhadap persentase batang yang dapat digiling, karena

    proporsi pucuk meningkat. Hasil batang yang layak digiling sebagian berada di

    bawah tanah, oleh sebab itu pemanenan yang baik harus mampu mengambil batang

    yang ada di bawah permukaan tanah. Bagian-bagian batang tebu ternyata memiliki

    komposisi kandungan gula yang tidak seragam. Batang bagian bawah mengandung

    gula paling tinggi dan semakin ke atas semakin rendah (Tabel 2). Skema bagian

    batang tebu dewasa yang disajikan pada Gambar 2.

  • 13

    Tabel 3 Komposisi batang tebu (Staub, 1955 dalam Barnes, 1974)

    Komposisi Bagian batang

    3 2 1 a b c d

    Brix nira (%) 7,54 10,00 11,69 13,64 15,87 17,77 20,75

    Sukrosa (% tebu) 2,24 5,02 7,08 9,94 12,93 15,50 19,50

    Kemurnian nira (HK) 29,70 50,20 60,60 72,90 81,50 87,20 94,00

    Bobot (% total) 12,69 1,27 1,48 1,74 1,99 2,25 78,58

    Daun + 1

    Titik batas (patah)

    No. d No. c No. b No. a 1 2 3

    Gambar 2 Bagian batang tebu dewasa

    Pertumbuhan tanaman tebu berhubungan dengan status hara yang dikandung

    dalam tanaman. Kekurangan hara (kahat) yang terjadi akan sangat berpengaruh

    terhadap pertumbuhan dan pembentukan gula. Pada Tabel 4 disajikan status hara

    tanaman dalam status kecukupan (Sanchez dalam Jacob, 2001).

    Tabel 4 Kecukupan hara berdasarkan analisis tanaman

    No Unsur hara Satuan Nilai

    1 N % 1,5

    2 P % 0,05

    3 K % 2,25

    4 Ca % 0,15

    5 Mg % 0,1

    6 S % 0,01

    7 Cu ppm 1

    8 Fe ppm 5

    9 Mn ppm 10

    11 Zn ppm 10

  • 14

    Proses Pembentukan Gula dan Perimbangan Sink-Source

    Bahan penting dari tanaman tebu yang merupakan hasil utama adalah sukrosa

    yang merupakan gula disakarida hasil penggabungan antara glukosa dan fruktosa

    (Gambar 3). Sukrosa termasuk bukan gula pereduksi berbeda dengan glukosa yang

    dapat mereduksi Cu2O4 dalam larutan basa menjadi CuO2 (Lehninger, 1982). Sifat

    molekul sukrosa yang khas adalah sangat mudah untuk dikristalkan, sehingga dipilih

    sebagai pemanis komersial yang menyuplai 13% dari total energi yang dibutuhkan

    oleh manusia. Sukrosa dikenal secara umum sebagai gula tebu meskipun terdapat

    juga dalam tanaman sumber pemanis lain yang dikenal, terutama beet gula

    (http://encarta.msn.com/encyclopedia_761573894/Sugar).

    Gambar 3 Rumus kimia sukrosa

    Pada Gambar 4 disajikan lintasan ringkas pembentukan sukrosa pada tanaman.

    Sukrosa dibentuk oleh tanaman melalui jalur glukosa-6-fosfat yang berubah menjadi

    fruktosa-6-fostat. Dari bentuk ini tampak bahwa unsur P sangat dibutuhkan dalam

    reaksi awal pembentukan sukrosa. Pada tahap selanjutnya reaksi penggabungan akan

    terjadi dengan aktivator enzim Sukrosa Phosphat Sintetase (SPS). Kerja enzim SPS

    sangat dipengaruhi oleh radiasi dan suhu udara. Itulah sebabnya diperlukan bulan

    kering nyata pada fase kematangan tanaman tebu agar terbentuk sukrosa (Babb and

    Haigler, 2001). Namun kinerja enzim ini tidak sederhana sebab menyangkut proses

    pembentukan gula monosakarida, serapan unsur P dan kondisi jaringan tanaman

    (Tetlow et al., 2004).

    Sesuai dengan letak sukrosa dalam sel (dalam vacuola), maka penumpukan

    akan mulai terjadi pada bagian batang yang lebih tua, yaitu pangkal batang (No. d

    pada Gambar 2). Kemudian berturut-turut akan tertimbun pada bagian batang yang

    Glukosa Fruktosa

    ukosa Sukrosa

  • 15

    lebih muda (Gambar 2). Hal ini berarti pada saat pembentukan gula monosakarida,

    batang berubah fungsi menjadi wadah (sink) sementara daun masih berperan sebagai

    sumber (source). Selanjutnya pada saat pembentukan sukrosa, energi yang dihasilkan

    melalui respirasi digunakan untuk menggabungkan dua gula monosakarida menjadi

    disakarida (Vickery and Vickery, 1981). Itulah sebabnya tidak boleh terjadi

    pertumbuhan baru pada saat proses tersebut berlangsung. Pada Gambar 5 disajikan

    grafik yang menunjukkan jumlah sukrosa, bobot bahan kering, dan gula pereduksi

    (monosakarida) pada posisi bagian batang tebu.

    Glukosa 6-fosfat Glukosa 1-fosfat

    UDP-glukosa Fruktosa 6-fosfat

    ATP

    Pi

    +

    Sukrosa 6-fosfat + UDP

    H2O

    Sukrosa + Pi

    SPS

    Gambar 4 Reaksi singkat pembentukan sukrosa pada tebu (Babb and Haigler,

    2001)

    Bahan kering

    Sukrosa

    Gula reduksi Nitrogen

    0 50 100 150 2000

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    Pe

    rse

    n

    Posisi batang tebu (cm)

    Gambar 5 Persentase bahan kering, gula dan nitrogen pada batang tebu (Sudiatso,

    1999)

  • 16

    Pembentukan sukrosa terus meningkat sejalan dengan umur tanaman, tetapi

    setelah mencapai titik maksimum rendemen akan cenderung menurun karena terjadi

    pemecahan sukrosa menjadi monosakarida yang dikenal dengan inversi (Gilbert et

    al., 2001). Untuk daerah yang musim gilingnya dimulai pada bulan November,

    rendemen tertinggi dicapai pada awal Maret (Gambar 6). Sementara itu pengamatan

    langsung di lapangan terhadap kandungan gula yang dihitung dengan brix dan pol

    pada saat periode giling di Indonesia disajikan pada Gambar 7. Musim giling di

    Indonesia rata-rata dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada awal September

    sehingga rendemen tertinggi dicapai pada bulan Agustus. Rendemen sangat

    dipengaruhi oleh kondisi hujan pada saat menjelang panen. Jika hujan turun pada

    saat tanaman tebu mulai membutuhkan masa kering yang nyata, proses pematangan

    akan terganggu dan rendemen berkurang (Ana, 1999; Wisnusubroto, 2000).

    Gambar 6 Perkembangan rendemen sejalan dengan umur tanaman varietas

    CP 80-1827 (Gilbert et al. 2001)

    1-Okt 1-Nov 2-Des 2-Jan 2-Feb 4-Mar

    AWAL TENGAH LAMBAT

    (12,66%)

    Waktu

    Rendemen (%)

    9,0

    9,5

    10,0

    10,5

    11,0

    11,5

    12,0

    12,5

    13,0

    13,5

    14,0

    21-Feb

  • 17

    Gambar 7 Persentase brix dan pol per periode analisis (2 minggu) di Indonesia

    (Sudiatso, 1999)

    Di samping menghasilkan gula sukrosa dan gula monosakarida, hasil

    metabolisme tanaman tebu juga menghasilkan senyawa lain berupa jaringan penguat

    tanaman (selulosa), protein, mineral, lilin, dan senyawa berlemak. Senyawa selain

    gula inilah yang dalam proses pemisahan akan tercermin dalam ampas, meskipun

    sebagian lainnya akan terbawa dalam nira. Pada keadaan yang normal tanaman tebu

    di Indonesia mengandung 69-82% air, 8-16% bahan serat (sabut), 6-29% sukrosa,

    0,5-2,5% gula reduksi, 0,5-1,0% bahan organik bukan gula, dan 0,5-2,0% abu

    (Sudiatso, 1999). Neraca bahan yang diperoleh rata-rata dari pabrik gula di Jawa

    pada saat ini menunjukkan bahwa kadar nira hanya sebesar 53,16% sementara

    ampasnya 32,79% dan sabutnya 14,05 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kadar

    sabut relatif masih baik, tetapi ampasnya meningkat. Peningkatan ampas ini diduga

    disebabkan oleh mutu tebu yang kurang baik. Mutu tebu dipengaruhi oleh kadar

    kotoran tebu dan budidaya yang kurang sempurna, terutama pemupukan dan

    kecukupan air. Nilai normal kadar nira seharusnya lebih besar dari 60% dengan

    persentase gula total (pol) >12. Hasil evaluasi yang dilakukan terhadap pabrik gula

    di Jawa diketahui bahwa nilai pol5 nira rata-rata 9,93% dengan kisaran antara 8,30-

    11,20 persen.

    5 Pol = total gula terlarut dalam nira

    10

    11

    12

    13

    14

    15

    16

    17

    18

    19

    I II III IV V VI VII VIII IX X

    (%)

    Periode Analisis

    Brix

    Pol

  • 18

    Komponen hasil tanaman tebu selain rendemen adalah bobot batang. Oleh

    sebab itu selain rendemen tinggi, pengusahaan tanaman harus mampu menghasilkan

    bobot batang yang baik juga. Tingginya dosis pupuk N yang digunakan saat ini

    menyebabkan tanaman hanya mampu menghasilkan bagian biomasa yang pada saat

    panen akan menjadi ampas. Itulah sebabnya mutu tebu saat ini memiliki persentase

    nira yang rendah.

    Dalam menghitung rendemen tebu, angka yang dicari adalah besarnya

    persentase gula yang mampu dikristalkan (hanya sukrosa). Perhitungan rendemen

    tebu dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

    { 0,4 ( )} 100Bobot nira

    R pol - brix - pol Bobot tebu

    Dari rumus ini terlihat bahwa rendemen tebu sangat dipengaruhi oleh nilai pol

    (total gula), nilai brix (total padatan terlarut), dan kadar nira dalam tebu. Semakin

    tinggi kandungan pol dalam brix, kemurnian nira semakin tinggi. Hubungan antara

    brix dengan pol berdasarkan analisis yang telah dilakukan memiliki korelasi yang

    erat dengan persamaan R = -0,0254 + 0,4746 B6. Namun karena rendemen

    dipengaruhi oleh kandungan nira tebu, maka tebu dengan pol tinggi belum tentu

    rendemennya juga tinggi. Oleh sebab itu untuk mendapatkan rendemen tinggi,

    tanaman tebu harus memiliki brix tinggi dengan kemurnian yang baik dan kandungan

    nira yang tinggi juga.

    Karakteristik Lahan Kering

    Lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau

    tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Lahan kering merupakan

    salah satu ekosistem sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk

    pengembangan berbagai komoditi. Pengembangan lahan kering terutama di dataran

    rendah merupakan pilihan strategis dalam menghadapi tantangan peningkatan

    produksi pertanian, termasuk produksi gula.

    Selain masalah air, lahan kering di Indonesia umumnya memiliki kendala

    kesuburan tanah rendah, lahan dengan solum dangkal, dan lahan dengan topografi

    6 Dilakukan perhitungan langsung di Gula Putih Mataram, pada tahun giling 2000

  • 19

    berbukit. Total lahan pertanian di Indonesia 70,20 juta hektar yang terdiri

    18,5 juta ha lahan perkebunan, 14,6 juta ha tegalan, 7,9 juta ha lahan sawah, dan 11,3

    juta ha lahan tidur. Dari luasan yang dapat digunakan untuk pengembangan tanaman

    semusim, luas lahan yang tersedia hanya 12,6 juta hektar sesuai untuk tebu dan

    kapas (Mulyani dan Las, 2008). Data luas lahan kering ini belum

    mempertimbangkan status kawasan yang berhubungan dengan kawasan hutan.

    Dalam memanfaatkan lahan tersebut selain diperlukan persiapan teknologi yang

    tepat, baik dari aspek agronomi maupun aspek sumberdaya lahan, juga penyelesaian

    masalah sosial yang berbeda di tiap lokasi.

    Gupta (1995) memberikan batasan tentang budidaya lahan kering sebagai suatu

    sistem produksi tanaman tanpa tambahan irigasi pada daerah semi arid. Sistem

    budidaya tanaman lahan kering ditekankan pada konservasi dan pemakaian air yang

    tersimpan dalam tanah. Konservasi air difokuskan pada penggunaan secara efisien

    air hujan yang tersimpan dalam tanah. Untuk menyikapi kondisi lahan kering

    dengan keterbatasan air, dapat ditempuh dua cara, yaitu (1) mengusahakan tanaman

    yang mampu berproduksi dengan baik meskipun dalam kondisi mendekati kering

    (tanpa tambahan air), atau (2) mengusahakan tanaman yang memiliki efisiensi tinggi

    dalam menggunakan air, dengan tambahan air yang tepat. Tanaman tebu dengan

    sifat pertumbuhannya merupakan tanaman yang tergolong sangat efisien dalam

    penggunaan air. Secara normal untuk membentuk 1 satuan bahan kering tanaman

    menurut Barnes (1974) dibutuhkan total air sebanyak 366 satuan dan 219 satuan air

    efektif, sedangkan untuk membentuk 1 bagian atas tanaman (batang dan daun)

    dibutuhkan total 466 satuan air atau 291 satuan air efektif. Untuk tebu yang tahan

    kekeringan untuk membentuk batang diketahui bahwa untuk tiap satuan bahan kering

    dibutuhkan 89 satuan air (Shih and Gascho, 1980). Cekaman air yang dialami oleh

    tanaman akan berpengaruh terhadap hasil tanaman. Seberapa besar pengaruh

    cekaman air terhadap penurunan hasil dipengaruhi oleh fase pertumbuhan dimana

    tanaman mengalami cekaman dan berapa lama tanaman mengalami cekaman.

    Cekaman yang terjadi pada awal pertumbuhan (fase 1) pengaruhnya tidak sebesar

    jika cekaman terjadi pada fase 2. Penurunan hasil tebu akibat cekaman dapat

    mencapai 8,3% jika terjadi pada fase 1 dan 15% jika terjadi pada fase 2. Hasil gula

    akan menurun 11,7% jika cekaman terjadi pada fase 1 dan 19,1% jika terjadi pada

  • 20

    fase 2 (Wiedenfeld, 2000). Fase 1 dan 2 berlangsung selama 3 bulan, sehingga

    selama masa inilah tanaman membutuhkan suplisi air. Jumlah air yang dibutuhkan

    untuk proses evapotranspirasi sebesar 100-125 mm per bulan (Lisson et al., 2005).

    Oleh sebab itu di Indonesia untuk lahan kering umumnya tebu ditanam di awal

    musim hujan sehingga tidak mengalami cekaman air di awal pertumbuhan (fase 1

    dan 2).

    Setelah air, masalah penting di lahan kering adalah kandungan bahan organik

    dan ketersediaan unsur hara. Dari proses pembentukan gula dalam tanaman tebu,

    unsur hara yang sangat penting adalah P dan K. Dari analisis tanah yang telah

    dilakukan pada daerah sentra tebu (Jawa Timur) ternyata rata-rata kandungan P tanah

    di lahan kering termasuk rendah, yaitu berkisar antara 7-24 ppm (Tabel 4), padahal

    nilai minimum kandungan P2O5 tanah untuk tebu adalah 30 ppm (Depertemen

    Pertanian, 1999). Sementara untuk kandungan N termasuk tinggi, namun kenyataan

    di lapangan petani umumnya justru memupuk tanamannya dengan Urea dan sedikit

    SP-36. Hal ini tentu saja menyebabkan mutu tebu mejadi kurang baik dan

    kandungan gula dalam batang tebu (rendemen) rendah. Untuk K2O nilainya

    termasuk sedang, sehingga meskipun tanaman diberikan pupuk KCl sedikit bahkan

    tidak dipupuk, masih mampu menghasilkan sukrosa jika monosakaridanya terbentuk

    dengan baik. Kandungan bahan organik tanah yang dicerminkan oleh kandungan C

    organik menunjukkan nilai lebih rendah dari 3% terutama pada jenis tanah Regosol.

    Tampaknya untuk lahan kering tingkat kandungan bahan organik ini menjadi

    masalah yang serius karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam mengikat

    air. Untuk jenis tanah Regosol yang memiliki tekstur kasar dengan kandungan pasir

    dominan, fungsi bahan organik sangat penting karena secara langsung akan

    mempengaruhi daya ikat air.

    Percobaan penanaman tebu di lahan kering bekas hutan di daerah Lamongan

    yang diberi kompos memberikan keuntungan paling tinggi dibandingkan tanaman

    lainnya. Kesesuaian lahan yang semula klas S3 (faktor pembatas air dan kesuburan

    tanah) ternyata dapat ditingkatkan dengan perbaikan lahan dan pemupukan yang

    tepat (Siswanto, 1998). Perbaikan yang dilakukan adalah dengan menambahkan

    bahan organik dalam bentuk kompos pada saat pengolahan tanah. Bahan organik

    yang digunakan berupa kompos yang dibuat dari sisa tanaman dan kotoran ternak.

  • 21

    Tabel 5 Hasil analisis tanah di wilayah Jombang dan Kediri

    No Jenis

    Tanah

    Hasil Analisis

    pH (H2O) N

    (%)

    C

    (%)

    P2O5 (ppm)

    K2O

    (ppm)

    1 I 4,30 0,16 2,29 7 152

    2 II 6,14 0,10 1,90 11 207

    3 III 6,12 0,10 2,34 24 172

    4 IV 5,71 0,09 1,87 12 151

    5 V 5,04 0,15 1,44 20 252

    6 VI 5,20 0,08 2,10 15 395

    Keterangan :

    I : Andosol coklat-Andosol Coklat Kekuningan

    II : Asosiasi Regosol dan Litosol

    III : Asosiasi Mediteran Coklat dan Grumosol Kelabu

    IV : Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol

    V : Regosol Coklat Keabuan

    VI : Latosol Coklat Kemerahan

    Tanggap Tanaman Tebu terhadap Kekeringan

    Cekaman lingkungan memicu berbagai tanggap tanaman, mulai dari perubahan

    metabolisme sampai dengan laju pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Cekaman

    lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman dapat berupa cekaman abiotik atau

    biotik, yaitu radiasi, kekeringan, salinitas, dan suhu tinggi. Di antara cekaman

    lingkungan, kekeringan adalah salah satu yang sangat berpengaruh terhadap

    pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Tanggap tanaman terhadap kekeringan

    dapat terjadi secara fisiologi, biokimia, dan molekuler (Hong et al., 2008).

    Besarnya pengaruh cekaman kekeringan tergantung pada fase pertumbuhan dimana

    cekaman terjadi (Ramesh and Mahadevaswamy, 2000).

    Tanaman tebu termasuk tanaman yang tahan terhadap kekeringan, tetapi di

    awal pertumbuhan tetap memerlukan air untuk pertumbuhannya. Di akhir

    pertumbuhan, tebu memerlukan bulan kering untuk proses pembentukan sukrosa dan

    pematangan. Berdasarkan sifat tanaman tebu yang memerlukan bulan kering nyata

    pada saat pembentukan sukrosa tetapi juga harus memiliki hasil batang tebu yang

    tinggi, maka umur tanaman harus mencapai sekitar 10-12 bulan. Secara

    konvensional tanaman tebu ditanam pada musim kering dengan tambahan air melalui

    irigasi. Namun sejalan dengan pergeseran areal tebu ke lahan kering dan terbatasnya

    air irigasi di lahan sawah, tambahan air pada awal tanam menjadi sangat terbatas dan

  • 22

    mustahil dilakukan. Untuk mengatasi masalah kekurangan air pada saat tanam, saat

    ini dikenal musim tanam B, yaitu awal musim hujan (musim tanam golongan A

    antara Mei-Juli). Tanaman yang ditanam pada awal musim hujan akan tumbuh

    dengan baik, tetapi karena tebu adalah tanaman berbunga musim maka pada bulan

    Maret (yaitu umur 6 bulan) petumbuhan vegetatif akan berhenti (Barnes, 1974).

    Tentu saja tebu yang ditanam pada golongan B hasil tebu dan kandungan gulanya

    rendah karena masa pertumbuhannya pendek. Untuk menyikapi pendeknya masa

    pertumbuhan diusahakan tebu ditanam pada akhir musim kemarau. Hal ini berarti

    pada saat tanam lingkungan berada dalam keadaan kering sehingga diperlukan ada

    tambahan air di awal pertumbuhan. Sebagai contoh, di Thailand hasil tebu dan gula

    tertinggi diperoleh jika tebu ditanam pada bulan November, yaitu akhir musim hujan.

    Hal ini karena pada saat panen, yaitu November tahun berikutnya tebu memiliki

    umur yang cukup (Jintrawet et al., 2000). Dari data yang ada menunjukkan bahwa

    kekeringan pada awal pertumbuhan ternyata berpengaruh nyata terhadap hasil tebu

    dibandingkan kekeringan pada akhir pertumbuhan (Gambar 7).

    20

    40

    60

    80

    100

    20 40 60 80 100

    (%)

    (%)

    Nisbah antara aktual dengan yang memberikan hasil maksimum

    ET ET

    Kekeringan pada akhir pertumbuhan

    Kekeringan pada awal pertumbuhan

    Hasi

    l T

    an

    aman

    Teb

    u

    Gambar 7 Hubungan antara hasil relatif dengan ET relatif (Robertson et al., 1999)

  • 23

    Nilai ET tanaman dapat dihitung dengan berbagai metode dan salah satu

    metode yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan nilai ET potensial

    (ETp) yang dihitung dari nilai Evaporasi panci (Epan), yaitu :

    ETp = kp . E pan

    dari nilai ETp dihitung nilai ET tan dengan menggunakan koefisen tanaman (kc),

    yaitu :

    ET tan = kc . ETo

    Nilai ET tanaman yang diperoleh adalah jumlah air untuk evapotranspirasi

    yang dibutuhkan oleh tanaman agar diperoleh hasil yang maksimum, artinya nilai ini

    adalah nilai kebutuhan air bagi tanaman (air konsumtif). Koefisen tanaman memiliki

    nilai yang beragam tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman,

    sehingga nilai ET tanaman juga akan berubah sejalan dengan hal tersebut. Pada

    Tabel 6 disajikan nilai kc pada tanaman tebu. Inman-Bamber and Smith (2005)

    dalam beberapa penelitiannya mendapatkan hubungan antara hasil tebu (Yc) dengan

    total air yang digunakan selama siklus pertumbuhan tanaman. Hubungan tersebut

    adalah Yc = -2,5 + ( 9,69 ETp.)

    Tabel 6 Nilai (kc) tebu berdasarkan fase pertumbuhan (Inman-Bamber and Smith,

    2005)

    Umur tanaman

    (Bulan) Fase pertumbuhan Nilai kc

    0 1 Perkecambahan pertumbuhan tunas 0,55

    1 2 Pembentukan anakan 0,80

    2 3 Pembentukan anakan 0,90

    2,5 4 Pertumbuhan anakan - kanopi penuh 1,00

    4 10 Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang) 1,05

    10 11 Pematangan - awal senesen 0,80

    11 12 Matang 0,60

    Dari kajian di wilayah pabrik gula di Indonesia, ternyata terdapat korelasi

    negatif antara jumlah hujan pada bulan November dan Desember musim tanam

    dengan rendemen tebu yang akan dicapai. Korelasi antara jumlah hujan November

    dan Desember dengan rendemen bernilai negatif, artinya semakin besar curah hujan

    rendemen akan berkurang. Keadaan ini sekarang digunakan oleh pabrik gula untuk

  • 24

    memprediksi rendemen yang akan dicapai (Wisnusubroto, 2000). Korelasi antara

    curah hujan dengan rendemen berkisar antara (0,69-0,89). Tidak salah kiranya jika

    pemeliharaan saluran (got) sangat berpengaruh terhadap rendemen. Got yang buruk

    akan menyebabkan respirasi akar terganggu sehingga energi untuk penyerapan hara

    secara aktif lebih besar. Pada bulan November-Desember adalah fase tanaman

    membentuk gula monosakarida, sehingga kondisi respirasi yang buruk akan

    mengganggu proses sintesis gula. Di daerah Everglade (Florida) tebu diusahakan

    pada tanah organik yang ternyata keberhasilannya sangat ditentukan oleh drainase.

    Semakin dangkal muka air tanah semakin rendah produksi gula yang dihasilkan

    karena penurunan rendemen. Hasil tertinggi diperoleh pada muka air tanah 61 cm

    (Glaz et al., 1980).

    Efisiensi penggunaan air (water use efficiency) sering dihitung sebagai nisbah

    antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang digunakan untuk memperoleh

    hasil tersebut (ET) (Hatfield et al., 2001). Berdasarkan metode hidrologi neraca air

    di tanah dapat dirumuskan dengan persamaan

    curah hujan + irigasi = perkolasi + run off + W + ET

    dimana W adalah perubahan volume air yang tersimpan di dalam tanah selama

    periode tertentu. Dari neraca air dapat diketahui bahwa dapat dilihat bahwa jika

    curah hujan berkurang, semua nilai akan berkurang termasuk nilai ET dan kadar air

    tanah. Hal ini akan perpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Agar tanaman

    tetap dapat melakukan kegiatan dengan baik, maka ET harus dkembalikan ke nilai

    yang normal. Nisbah relatif yang dihitung berdasarkan ET aktual dan ET yang

    mampu memberikan hasil maksimum berhubungan dengan fase pertumbuhan

    tanaman. Pengurangan nilai nisbah relatif ini akan tergantung pada fase apa

    terjadinya.

    Khusus untuk tanaman tebu hubungan antara defisit evapotranspirasi dengan

    rendemen gula relatif menurut Doorenbos and Kasam (1987) dalam Irianto et al.

    (2000) dapat disajikan sebagai berikut:

    1 1Ya ETa

    KyYm ETc

    , dengan Ya adalah hasil rendemen aktual, Ym adalah

    hasil rendemen maksimal, Ky adalah koefisien rendemen, ETa evapotranspirasi

  • 25

    aktual dan ETc evapotranspirasi tanaman. Besarnya Ky untuk fase inisiasi dan

    vegetatif sebesar 0,75, fase pembentukan gula 0,5 dan fase pematangan sebesar 0,1.

    Secara grafik hubungan antara evapotranspirasi relatif terhadap penurunan rendemen

    disajikan pada Gambar 8.

    1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0

    0.1

    0.2

    0.3

    0.4

    0.5

    0.6

    0.7

    0.8

    0.9

    1.0

    (Indeks Kecukupan Air)

    (Indeks p

    eru

    bahan r

    endem

    en)

    1- (ETa/Etc)

    1- (Ya/Ym)

    ky=0.1

    ky=0.5

    ky=0.75

    Gambar 8 Hubungan antara defisit air dengan rendemen gula relatif (Dorenbos

    and Kasam, 1987 dalam Irianto et al., 2000)

    Dari grafik terlihat bahwa cekaman air sebesar (1 (ETa/ETc)) = 0,5 akan

    berpengaruh terhadap penurunan rendemen sebesar (1 (Ya/Ym)) dengan nilai yang

    berbeda pada tiap fase pertumbuhan tanaman tebu.

    Kebutuhan air tanaman tebu sangat dipengaruhi oleh sifat tanah. Dari

    pengukuran yang dilakukan oleh Van Antwerpen (2000) didapatkan bahwa jumlah

    air yang dibutuhkan untuk menghasilkan 90 ton tebu adalah setara dengan 100 mm

    curah hujan perbulan. Pada tanah yang kurang subur dengan jumlah air yang sama

    hanya menghasilkan tebu sebanyak 50 ton tebu per ha. Dari perbandingan ini terlihat

    bahwa efisiensi penggunaan air sangat tergantung pada jenis dan kesuburan tanah.

    Data lain disajikan oleh Lisson et al. (2005) yang menunjukkan bahwa tiap meter

    kubik air mampu menghasilkan 22 ton tebu atau setara dengan tambahan air 100-300

    mm perbulan.

  • 26

    Kandungan air tanah sangat berhubungan dengan serapan unsur hara, terutama

    unsur nitrogen. Penurunan kadar air tanah dari 100% kapasitas lapang ke 70%

    kapasitas lapang menurunkan laju serapan nitrogen. Pada kelembaban tanah yang

    semakin rendah ternyata pemberian nitrogen dengan dosis tinggi tidak meningkatkan

    bahan kering tanaman (Santoso, 1998).

    Pada keadaan tanaman kekurangan air, serapan air secara nyata menurun.

    Serapan air sangat erat hubungannya dengan laju transpirasi tanaman. Air

    ditranspirasikan melalui stomata, sehingga pada saat stomata menutup dalam usaha

    tanaman untuk mengurangi transpirasi, secara langsung laju serapan air oleh akar

    juga menurun. Hubungan antara penurunan laju transpirasi dengan penurunan laju

    serapan air tidak linear. Hal ini disebabkan banyak faktor yang terlibat dalam proses

    yang terjadi (Steudle, 2000). Selanjutnya Steudle (2000) menemukan bahwa proses

    selanjutnya dari kondisi defisit air adalah terjadinya perubahan pada sel tanaman.

    Dalam kondisi kecukupan air, sel akar berkembang tanpa eksodermis, tetapi pada

    kondisi kekurangan air sel-sel akar mulai membentuk eksodermis sebagai usaha

    mengurangi kehilangan air dari dalam sel (plasmolisis). Tanaman yang mengalami

    kondisi kekurangan air akan mengalokasikan hasil fotosintesis ke akar daripada

    untuk membentuk tajuk. Smit and Singels (2006) dalam penelitiannya mendapatkan

    bahwa tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pertumbuhan tajuknya.

    Tajuk tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pada saat indeks luas

    daun (LAI) lebih besar dari 2. Tanaman lebih menjaga kondisi akar dibandingkan

    tajuk jika kondisinya kekurangan air (Sharp et al., 2004). Penelitian lain yang

    dilakukan oleh Smit and Singels (2006) menunjukkan bahwa jika kadar air

    diturunkan dari kadar air kapasitas lapang (26%) menjadi 15% selama 38 hari

    menyebabkan penurunan jumlah daun dari 10,8 menjadi 5,2. Berkurangnya

    perkembangan jaringan sangat dipengaruhi oleh perkembangan sel. Pembesaran sel

    hanya akan terjadi jika tekanan turgor lebih besar dari kekuatan dinding sel (Hong

    et al., 2008)

    Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa air merupakan faktor tumbuh yang

    sangat vital bagi tanaman tebu. Pada awal pertumbuhan dibutuhkan air untuk

    mendukung pembentukan bagian vegetatif tanaman, tetapi pada akhir pertumbuhan

    diinginkan kondisi kering untuk merangsang pembentukan gula.

  • 27

    Permasalahannya adalah hasil maksimum akan diperoleh jika umur tanaman saat

    panen cukup (antara 10-12 bulan) yang berarti waktu tanam jatuh pada musim

    kering. Konsekuensi waktu tanam musim kering adalah harus ada tambahan air.

    Dua faktor utama dalam pelaksanaan pemberian air, yaitu jumlah air yang tersedia

    dan manajemen pemberiannya. Di lapangan saat ini tambahan air diberikan dengan

    beberapa cara yaitu penyiraman dari lebung atau pemberian air dengan membuat

    sumur pantek. Mengingat jumlah air yang terbatas dan biaya yang dikeluarkan

    cukup besar, maka diperlukan perhitungan yang cermat agar air dapat dihemat tetapi

    produktivitas tetap tinggi. Efisiensi penggunaan air menjadi tindakan yang sangat

    menentukan dalam budidaya lahan kering. Inman-Bamber (2004) dalam

    penelitiannya mendapatkan bahwa tambahan air yang tepat dapat meningkatkan hasil

    sukrosa sebesar 3 ton/ha dibandingkan tanaman yang kondisi airnya tidak terkontrol.

    Bahan Organik

    Bahan organik memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya ikat air dan

    memperbaiki sifat fisik tanah lainnya yang membantu ketersediaan unsur hara,

    terutama pada tanah berpasir atau tanah dengan kadar liat tinggi. Dari pembahasan

    dan fakta bahwa kandungan air tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman,

    maka untuk meningkatkan efisiensi air yang ada harus ditempuh berbagai cara.

    Selain cara pemberian dan pemanfaatannya yang baik, maka air dalam tanah harus

    dalam kondisi yang cukup dan mudah tersedia bagi tanaman. Jika hanya dibahas

    dari segi kadar air tanah, semakin tinggi liat kandungan air semakin tinggi, tetapi air

    yang tersedia kecil. Oleh sebab itu daya ikat (retensi) air harus ditingkatkan tetapi

    ketersediaan harus baik. Pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi pemberian

    bahan organik akan memperbaiki aerasi dan kapasitas tukar kation tanah. Bahan

    organik adalah bahan yang berukuran sangat halus tetapi bukan koloid. Dalam hal

    ini bahan organik berperanan dalam konservasi air yang akan digunakan tanaman

    pada saat tanaman membutuhkan. Pemberian bahan organik telah dibuktikan oleh

    Inman-Bamber and Smith (2005) mampu mendukung pembentukan tajuk tanaman

    dan sukrosa dalam batang pada tanaman yang tumbuh pada jenis tanah yang padat.

    Akar tanaman keprasan akan berkembang lebih baik jika ditambahkan bahan organik

  • 28

    dengan jumlah yang cukup, yaitu sekitar 7,5 ton per ha (Shuka et al., 2008). Bahan

    organik yang digunakan oleh Sukha dalam penelitiannya adalah pupuk kandang.

    Banyak penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan peningkatan

    retensi air akibat pemberian bahan organik, bahkan terhadap variabel lain di tanah.

    Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Hatfield et al. ( 2001) mendapatkan bahwa

    dengan penambahan bahan sisa tanaman gandum ternyata menurunkan laju evaporasi

    sebesar 34 50% dan meningkatkan hasil sebesar 393 kg hasil gandum. Penelitian

    lain yang dilakukan bahkan mendapatkan suatu hubungan yang nyata antara hasil (Y)

    dengan retensi air (WR) dan total C organik (TOC). Persamaan yang didapat

    bervariasi antara hasil tahun 1992 dengan tahun 1994, yaitu

    Tahun 1992 Y = 183,1 + 2,05 WR + 120,7 TOC (r = 0,51)

    Tahun 1994 Y = 362,0 + 4,8 WR + 49,5 TOC (r = 0,59)

    Tindakan perbaikan tanah atau penyehatan tanah telah diterapkan secara baik

    di areal tebu di Australia. Disadari bahwa selama lebih dari 25 tahun tanah

    digunakan untuk penanaman tebu secara monokultur sehingga terus merosot

    kesehatannya. Oleh sebab itu Australia mulai mengembangkan sistem pertanian tebu

    berkelanjutan dengan menerapkan keseimbangan tingkat kesuburan tanah yang

    dilihat secara komprehensif dari sisi fisik, kimia dan biologi (Bell et al., 2007).

    Program ini dikenal dengan Sustainable Sugarcane Farming System yang saat ini

    terus dikembangkan dengan berbagai penelitian (Garside, 2000).

    Beberapa percobaan yang dilakukan oleh Satuan Pengembangan Tebu Dinas

    Perkebunan Jawa Timur menunjukkan bahwa dengan pemberian blotong hasil

    tanaman tebu meningkat sampai dengan 10% pada lahan kering. Penelitian lainnya

    yang dilakukan di wilayah PG Madukismo (Yogyakarta) menunjukkan bahwa

    pemberian bahan organik mampu meningkatkan produktivitas hablur tanaman

    pertama (PC) tetapi tidak nyata terhadap tanaman keprasan (Arifin dan Prihardini,

    2007).

    Keberhasilan pengusahaan tebu di Lampung yang diusahakan di tanah dengan

    kadar liat tinggi adalah perbaikan sifat tanah (soil building) dengan pemberian bahan

    organik, yaitu blotong dan abu boiler (hasil pembakaran bagase). Blotong adalah

    hasil samping proses pemurnian nira pada pengolahan tebu (Gambar 9). Produk

  • 29

    blotong pada proses pengolahan tebu sekitar 4 persen. Kandungan utama blotong

    adalah kalsium, karbohidrat, fosfor dan bahan padatan lainnya.

    Tebu (100%)

    Ampas (32%)

    Nira (68%)

    Brix

    (Padatan total)

    18%)

    Air (39%)

    Blotong

    (Filter cake)

    (4%)

    Pol

    (Gula total)

    (12%)

    Tetes

    (Molases) (4%)

    Hablur

    (Gula kristal)

    (8%)

    Gambar 9 Neraca bahan pada proses pengolahan gula tebu (PG Gunung Madu

    Plantation, 1999)

    Hasil penelitian pemberian blotong segar yang selama ini dilakukan ternyata

    baru mampu memperbaiki hasilnya pada musim kedua (tanaman keprasan). Oleh

    sebab itu saat dilakukan pengomposan blotong sebelum diaplikasikan ke tanah.

    Pemberian kompos blotong dan bagase ternyata mampu memperbaiki serapan hara

    dan pertumbuhan tanaman tebu di lahan kering, terutama unsur N dan S. Sementara

    untuk unsur P dan K pemberian kompos terlihat pengaruhnya pada akhir

    pertumbuhan tanaman (Guntoro et al., 2003). Pada penelitian di lapangan (PG

    Tjoekir) musim tanam 2003/2004 yang telah dilakukan dengan dosis kompos blotong

    3 ton per hektar ternyata mampu meningkatkan produksi tebu 10- 20% dan rendemen

    0,5- 0,7 persen. Hasil analisis kompos blotong disajikan pada Tabel 7.

    .

  • 30

    Tabel 7 Hasil analisis kompos blotong

    No. Hasil Analisis Contoh

    Kompos I Kompos II

    1 pH (H2O) 7,56 6,74

    2 N (%) 0,93 0,81

    3 C (%) 12,90 12,12

    4 Nisbah C/N 14 15

    5 P2O5 (%) 1,60 1,19

    6 K2O (%) 1,07 0,93

    7 KA (%) 41,12 35,16

    Sumber : Litbang PTPN X, 2005

    Varietas Tebu untuk Lahan Kering

    Kontribusi varietas tebu terhadap peningkatan produktivitas gula cukup nyata,

    mengingat produksi tanaman merupakan hasil kerjasama antara sifat genetis

    (varietas) dengan faktor lingkungannya. Keunggulan suatu varietas tidak bersifat

    mutlak atau terus menerus, tetapi dalam kurun waktu tertentu akan mengalami

    penurunan (degradasi). Oleh karena itu penggantian varietas unggul baru merupakan

    langkah strategis dalam mengatasi permasalahan produktivitas. Tanaman tebu yang

    semula ditanam di lahan sawah kemudian bergeser ke lahan kering tentu saja

    memerlukan varietas baru yang sesuai. Perilaku yang berbeda antar varietas perlu

    diketahui dan difahami agar sifat unggul tebu dapat berkembang secara maksimal.

    Tejera et al. (2007) menjelaskan bahwa tidak mudah mendeskripsikan varietas

    unggul tanaman tebu sebab pengusahaan tanaman tebu bukan hanya untuk

    menghasilkan batang yang banyak tetapi juga kandungan gula yang tinggi. Dengan

    berkembangnya pengusahaan tanaman tebu ke lahan kering, maka variabel verietas

    unggul harus ditambah masih berproduksi dengan baik pada kondisi kekurangan air.

    Usaha mengatasi cekaman kekeringan terhadap varietas dalam perakitannya

    dilakukan dengan menghasilkan varietas tebu yang memiliki bentuk morfologi dan

    sifat fisiologi khusus agar mampu mengatasi ancaman kekeringan terhadap

    pertumbuhan. Beberapa perubahan morfologi tanaman telah dilakukan dalam

    merakit varietas baru yang diharapkan tahan terhadap kekeringan. Tanaman untuk

    lahan kering harus memiliki bentuk morfologi yang mampu menekan laju transpirasi,

    yaitu memiliki daun yang berukuran sempit tetapi dengan indeks luas daun tidak

  • 31

    berkurang, memiliki lapisan lilin pada batangnya dan bulu pada daunnya (Ishaq

    et al., 2000).

    Lembaga resmi yang diberi mandat untuk mengembangkan varietas tebu oleh

    pamerintah ialah P3GI bekerja sama dengan berbagai lembaga penelitian yang ada di

    Indonesia dan di negara lain. Plasma nutfah tebu diperoleh dari berbagai negara

    antara lain Formosa (kode F), Mauritius (M), Queensland (Q) dan beberapa negara

    lainnya yang potensial. Varietas tebu yang unggul diperoleh melalui jalur

    (1) introduksi galur dari luar negeri dan diseleksi dengan kondisi alam di suatu

    daerah, (2), menyilangkan berbagai galur, baik antar galur lokal ataupun dengan

    galur introduksi, (3) cara mutasi untuk mendapatkan keturunan yang diinginkan.

    Paradigma keunggulan suatu varietas, sekarang berbeda dengan di waktu lampau.

    Dahulu untuk seluruh daerah hanya dikenal satu atau dua varietas unggul (satu untuk

    semua daerah), tetapi sekarang varietas unggul yang ada adalah spesifik lokasi

    (hanya unggul untuk daerah tertentu). Sebagai contoh dulu dikenal varietas POJ

    3016 yang unggul untuk semua daerah, tetapi sekali varietas ini terserang suatu

    penyakit akibatnya fatal bagi seluruh daerah.

    Selain sifat ketahanan terhadap kekeringan, mengingat tebu harus dipanen

    sesuai dengan masa giling yang berlangsung 5-6 bulan sementara masa tanam saat

    ini relatif serempak, yaitu awal musim hujan, maka diatur varietas dengan umur

    matang yang berbeda. Dengan pengaturan varietas ini diharapkan tanaman sudah

    memiliki kandungan gula cukup tinggi pada saat dipanen, terutama untuk awal

    musim giling yang jatuh pada bulan Mei-Juni. Umur varietas matang awal adalah 8-

    10 bulan, matang tengah 10 - 12 bulan, dan matang lambat >12 bulan.

    Penentuan varietas yang sesuai untuk suatu daerah dilakukan evaluasi varietas

    dan rating masing-masing. Parameter yang dijadikan kriteria adalah (1) keragaan

    tanaman dengan bobot 30%, (2) nilai pabrikasi dengan bobot 30% dan

    (3) produktivitas kebun dengan bobot 40%. Peubah yang diamati adalah:

    (1) Keragaan tanaman :

    a. Kemampuan umum (kanopi, bentuk daun, ketegaran batang, diameter,

    kerapatan tanaman, dan kemudahan diklentek)

    b. Jumlah batang per meter juringan (alur tanam)

    c. Bobot batang per meter

  • 32

    d. Lubang dan pada batang (gabus batang)

    e. Pertumbuhan sogolan (anakan yang muncul di akhir pertumbuhan)

    f. Pertumbuhan siwilan (tunas yang tumbuh dari mata batang)

    g. Pembungaan

    h. Serangan penggerek pucuk, penggerek batang dan penyakit

    (2) Nilai pabrikasi

    a. Brix tebu di lapangan, diukur dari contoh batang di kebun

    b. Hasil penggilingan dengan gilingan contoh untuk mengetahui (a) Brix,

    (b) Pol, dan (3) kadar nira tebu

    (3) Produktivitas kebun terdiri dari komponen (a) bobot batang tebu yang layak

    panen, (b) rendemen, dan hasil hablur.

    Tiap peubah diberikan skor dengan selang 1 3 dengan batasan 1 berarti jelek dan 3

    berarti baik. Varietas tebu yang baik harus memiliki total skor tinggi dari semua

    nilai yang diamati.