bab ii tinjauan pustaka
DESCRIPTION
jiihTRANSCRIPT
-
TINJAUAN PUSTAKA
Balita
Usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak
yang merupakan pertumbuhan dasar anak. Pada usia balita, perkembangan
kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosi, dan inteligensi
anak berjalan sangat cepat. Hal tersebut merupakan landasan bagi
perkembangan anak berikutnya. Balita termasuk ke dalam kelompok usia yang
berisiko tinggi terhadap penyakit. Kekurangan ataupun kelebihan zat gizi pada
balita dapat mempengaruhi status gizi dan status kesehatannya. Pemenuhan
kebutuhan zat gizi pada balita memang sangat penting untuk menunjang proses
tumbuh kembang (Marendra & Febry 2008). Kebutuhan protein bayi dan anak
balita disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kebutuhan protein bayi dan anak balita (9/kg BB Sehari)
Bayi: (Bulan) g/hari BALITA (Tahun) g/hari
< 3 2,40 1 1,27 2 1,19
3-6 1,85 3 1,12 6-9 1,62 4 1,06 9-11 1,44 5
6 1,01 0,98
Sumber: Sediaoetama 2006
Masalah Gizi Makro Kurang Energi Protein (KEP)
KEP merupakan salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makan
yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan
kesehatan dan infeksi yang berdampak pada penurunan status gizi. Manifestasi
dari KEP dalam diri penderita ditentukan dengan mengukur status gizi anak atau
orang yang menderita KEP. Jenis masalah gizi ini sering dijumpai di negara-
negara miskin dan diderita oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Saat ini
masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu kecuali pada wanita di
daerah-daerah miskin. Namun, hingga tahun 2000 KEP pada anak usia di bawah
lima tahun (balita) masih menjadi masalah yang memprihatinkan (Soekirman
2000).
Menurut almatsier (2006), KEP pada anak-anak akan menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi,
dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Bayi sampai anak berusia di
bawah lima tahun (balita) serta ibu hamil dan menyusui merupakan golongan
yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk KEP. KEP pada balita sangat
-
7
berbeda sifatnya dengan KEP pada orang dewasa. KEP pada anak balita tidak
mudah dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan oleh keluarganya
sekalipun.
Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului oleh
terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti gizi buruk yang terjadi
pada orang dewasa. Meskipun pangan di pasaran melimpah tetapi mungkin saja
kasus gizi kurang dapat terjadi pada balita. KEP pada anak balita sering disebut
VHEDJDL PDVDODK NHODSDUDQ \DQJ WHUVHPEXQ\L DWDX hidden hunger. Faktor penyebab masalah gizi kurang pada anak balita bersifat lebih komplek
dibandingkan pada orang dewasa, maka diperlukan upaya penanggulangan
yang menggunakan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara
terintegrasi. Tidak hanya memperbaiki aspek makanan tetapi juga harus
memperbaiki lingkungan hidup anak seperti pola pengasuhan, pendidikan ibu, air
bersih dan lingkungan, mutu pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Partisipasi
aktif orang tua dan masyarakat sangat diperlukan untuk pencegahan dan
penanggulangan balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (Soekirman
2000).
Manifestasi Kurang Energi Protein (KEP) pada anak balita dalam jangka
pendek dan panjang dapat berupa rendahnya berat badan umur (underweight),
atau anak menjadi pendek (stunted) atau kurus (wasted). Untuk mengetahui
status gizi anak balita termasuk normal atau tidak (gizi kurang atau gizi lebih)
perlu dilakukan perbandingan antara ukuran antropometri anak (berat badan
atau tinggi badan) dengan baku internasional. Seorang anak dikatakan
mengalami gizi kurang jika berat badan atau tinggi badannya kurang dari -2
standar deviasi (SD). Anak balita dengan berat atau tingginya kurang dari -3 SD
maka tergolong status gizi buruk (Prosiding Lokakarya Nasional II 2006).
Berdasarkan penyebabnya, terdapat beberapa istilah dalam KEP, antara
lain adalah kwashiorkor dan marasmus dengan gejala dan tanda-tandanya
seperti yang diuraikan sebagai berikut: (Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat 2007)
Kwashiorkor (Kekurangan Protein)
Kwashiorkor merupakan salah satu masalah gizi dengan suatu keadaan
kekurangan protein baik secara kualitas maupun kuantitas ataupun kedua-
duanya yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak.
-
8
Kekurangan protein ini biasanya menyerang anak-anak yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Anak yang disapih usia 1-4 tahun
2. Bertempat di daerah tropis atau sub tropis, dimana keadaan ekonomi,
sosial, dan budaya merupakan kombinasi faktor yang dapat menimbulkan
kekurangan protein pada anak-anak
3. Anak-anak yang sedang dirawat inap karena pembedahan atu
hipermetabolik
Marasmus
Marasmus merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan protein
dan energi yang kronis. Berat badan yang sangat rendah merupakan
karakteristik dari marasmus. Berikut adalah gejala atau tanda-tanda marasmus:
1. Kurus kering
2. Tampak hanya tulang dan kulit
3. Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil)
4. Wajah seperti tua
5. Berkerut dan keriput
6. Layu dan kering
7. Umumnya terjadi diare
Marasmus umumnya terjadi karena beberapa faktor di bawah ini:
x Masalah sosial yang kurang menguntungkan x Kemiskinan x Infeksi x Mikroorganisme pathogen penyebab diare x Kecepatan pertumbuhan yang melambat x Tidak ada dermatitis atau depigmentasi x Tidak ada edema x Tumbuh kerdil serta mental dan emosi terganggu x Tidur gelisah, apatis dan merengus x Menarik diri dari lingkungan x Suhu tubuh subnormal karena tidak memiliki lemak subkutan yang
menjaga agar tetap hangat
x Aktivitas metabolisme minimal x Jantung melemah
-
9
Status Gizi Balita
Status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok
orang yang disebabkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi
makanan. Status gizi seseorang atau sekelompok orang dapat digunakan untuk
mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut kondisi gizinya
baik atau sebaliknya (Nasoetion & Riyadi 1994). Menurut Suhardjo (1989c),
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah berat bayi lahir
rendah, kembar, banyak anak dalam keluarga, jarak kelahiran yang pendek,
penyapihan dini, pemberian makanan tambahan tertentu terlalu dini atau
terlambat, sering terkena infeksi, ibu yang buta huruf diantara ibu yang
berpendidikan, kemiskinan, dan anak-anak yang orang tuanya tidak lengkap.
Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi makanan,
antropometri, biokimia, dan klinis. Berat badan menurut umur (BB/U) dianggap
tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi tinggi badan menurut umur
(TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan
penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil
pengukuran tinggi dan berat badan yang akurat akan menjadi tidak berarti jika
penentuan umur tidak tepat (Riyadi 2003).
Pemantauan status gizi balita BB/U dan TB/U lebih tepat bila
menggunakan baku WHO-NCHS dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku
(z-score). Keuntungan penggunaan z-score adalah hasil hitungan telah
dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap
kelompok umur dan indeks antropometri. Penentuan prevalensi dengan cara z-
score lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi
hasil sangat bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun masing-masing
indeks. Nilai keadaan gizi anak dibagi menjadi empat kategori, yaitu baik,
sedang, kurang, dan buruk (Gibson 1993 diacu dalam Khomsan et al. 2009).
Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi
baik individu maupun populasi. Anak yang menderita kekurangan gizi akan
berpenampilan lebih pendek dengan berat badan lebih rendah dibandingkan
teman-teman sebayanya yang sehat dan bergizi baik. Laju pertambahan berat
akan lebih banyak terpengaruh pada kondisi kurang gizi dibandingkan tinggi
badan. Oleh sebab itu, penurunan berat badan paling sering digunakan untuk
menapis anak-anak yang mengalami gizi kurang. Jika defisiensi gizi berlangsung
lama dan parah, maka pertumbuhan tinggi badan akan terpengaruh. Selain itu
-
10
juga proses pendewasaan akan terganggu. Apabila seorang anak mengalami
defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup), anak tersebut tetap
akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat (Khomsan 2002).
Status gizi anak dapat diketahui melalui pengukuran antropometri. Kata
antropometri berasal dari bahasa Latin antropos yang berarti manusia (human
being) (Soekirman 2000). Secara umum antropometri dapat diartikan sebagai
ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh
antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di
bawah kulit (Supariasa et al. 2002).
Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai
umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat
merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator memiliki
maknanya sendiri-sendiri. Kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB
menurut U \DQJ GLVLPERONDQ GHQJDQ %%8kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U yang disimbolkan dengaQ 7%8 GDQkombinasi BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau disimbolkan
GHQJDQ%%7%6RHNLUPDn 2000). Metode antropometri termasuk pengukuran dimensi fisik dan komposisi
tubuh (WHO 1995). Pengukuran antropometri memiliki keuntungan tambahan
dalam menyediakan informasi mengenai sejarah status gizi pada masa lampau.
Pengukuran ini dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan menggunakan
peralatan yang sudah distandarisasi (Gibson 2005). Antropometri umumnya
digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan asupan
energi dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah cairan dalam tubuh
(Supariasa et al. 2002).
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat
diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat
badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U
menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan
secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).
-
11
Indikator BB/U
Indikator BB/U dapat normal, lebih rendah, atau lebih tinggi setelah
dibandingkan dengan standar WHO. Status gizi tergolong baik jika BB/U normal,
BB/U rendah dapat diartikan status gizi tersebut tergolong gizi kurang atau buruk.
Sedangkan BB/U tinggi digolongkan sebagai status gizi lebih. Baik status gizi
kurang maupun lebih, kedua-duanya memiliki resiko yang tidak baik bagi
kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U dalam ilmu gizi
GLJRORQJNDQNHGDODPNHORPSRNEHUDWEDGDQUHQGDK%%5DWDXunderweight. Menurut tingkat keparahannya, BBR dikelompokkan ke dalam kategori BBR
tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). BBR tingkat berat
atau sangat berat (berat badan sangat rendah = BBSR) sering disebut sebagai
status gizi buruk. Gizi buruk pada anak-anak di masyarakat dikenal dengan
marasmus dan kwashiorkor (Soekirman 2000).
Indikator TB/U
Indikator TB/U dapat dinyatakan normal, kurang, dan tinggi menurut
standar WHO. Menurut WHO, bagi anak yang memilki TB kurang maka
dikategorikan sebagai stunted (pendek tidak sesuai dengan umur). Tingkat
keparahannya dapat digolongkan ringan, sedang, dan berat atau buruk. Hasil
pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Seorang anak yang
tergolong stunted kemungkinan keadaan gizi masa lalu kurang atau tidak baik
(Soekirman 2000).
Berbeda dengan BBR yang diukur dengan BB/U yang mungkin dapat
diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak ataupun pada dewasa. Stunted
pada orang dewasa tidak lagi dapat dipulihkan. Kemungkinan untuk memulihkan
pada anak balita dengan cara menormalkan pertumbuhan linier (pertumbuhan
berat badan mengikuti pertumbuhan tinggi badan dengan percepatan tertentu)
dan mengejar pertumbuhan potensial (petumbuhan tinggi badan menurut
keturunan genetik dalam lingkungan yang ideal) masih dapat dilakukan.
Sedangkan pada anak usia sekolah sampai remaja kemungkinan menormalkan
pertumbuhan linier masih ada, tetapi kemungkiannya kecil untuk dapat catch-up
growth (Soekirman 2000).
Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan
bertambahnya umur. Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif kurang
sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi
terhadap pertumbuhan tinggi badan baru dapat dilihat dalam waktu yang cukup
-
12
lama. Oleh sebab itu indikator TB/U menggambarkan status gzizi masa lampau
(Soekirman 2000).
Indikator BB/TB
Pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator
BB/TB. Ukuran ini menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan
VSHVLILN 6HVHRUDQJ GHQJDQ %%7% NXUDQJ GLNDWHJRULNDQ VHEDJDL NXUXV DWDXZDVWHG Berat badan behubungan linier dengan tinggi badan. Dalam kondisi normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan
pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan
proposional dengan tinggi badan. Indikator BB/TB ini diperkenalkan pertama kali
oleh Jellife pada tahun 1966 dan merupakan indikator yang baik untuk menilai
status gizi saat kini, terutama jika data umur yang akurat sulit untuk diperoleh.
Oleh sebab itu, indikator BB/TB merupakan indikator yang independen terhadap
umur (Soekirman 2000).
Pola Asuh
Proses pengasuhan adalah suatu proses interaksi, penyesuaian orang
tua, pemenuhan tanggung jawab orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak
serta perlindungan terhadap anak. Pengasuhan memiliki beberapa pola yang
menunjukkan adanya hubungan dengan aspek tertentu, mengikuti kebutuhan
anak akan kebutuhan fisik dan non-fisik, agar anak dapat hidup normal dan
mandiri di masa mendatang. Pola asuh terdiri dari pola asuh makan, pola asuh
kesehatan, dan pola asuh psikososial. Status gizi anak tidak hanya dipengaruhi
oleh sistem sosial budaya, kualitas interaksi ibu anak yang dilihat dari aspek
praktik pengasuhan, praktik pemberian makan serta perawatan kesehatan
(Hastuti 2008).
Pola Asuh Makan
Pola asuh makan merupakan praktik yang diterapkan ibu khususnya yang
berkaitan dengan situasi dan cara makan, sehingga dapat memberikan suasana
yang menyenangkan bagi anak pada situasi makan (Tambingon 1999 dalam
Khairunnisak 2004). Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan,
aktivitas pertumbuhan dan perkembangan.
Keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan pertimbangan yang
penting dalam pemberian makan kepada anak. Pada masa perkembangan anak,
keluarga dapat membantu anak mencapai sikap normal dan berminat terhadap
-
13
makanan tanpa adanya suatu kecemasan dan kekhawatiran mengenai
makan.Pola asuh makan yang baik, dalam arti secara kuantitatif maupun
kualitatif yang tepat pada masa balita sangat dianjurkan. Praktik pemberian
makan pada anak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesehatan dan status
gizi. Kemampuan seorang ibu untuk memperkenalkan makanan baru pada anak
memiliki pengaruh yang besar terhadap daya terima dan kesukaan anak
terhadap suatu makanan (Khomsan et.al 2009b). Peran ibu sangat penting
terhadap masalah kesehatan. Jika anak mulai diberi makanan tambahan, anak
memiliki risiko terkena infeksi dan kekurangan gizi. Jika anak mulai
mengkonsumsi makanan pelengkap dan atau makanan buatan, maka
penyimpanan makanan dan higienitasnya perlu diperhatikan (Pramuditya 2010).
Pola Asuh Kesehatan
Pengasuhan kesehatan merupakan tugas orang tua anak agar anak
selalu berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat beraktivitas rutin
selayaknya individu normal. Usaha preventif yang dilakukan orang tua untuk
membentuk kesehatan anak adalah dengan membiasakan pola hidup sehat,
melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur. Kebisaan tersebut
antara lain: mandi, keramas rambut, menggosok gigi, menggunting kuku,
mencuci tangan sebelum makan, dan sebagainya. Aspek kesehatan juga
mencakup upaya kuratif yang dibelanjakan orang tua untuk memberikan
pengobatan dan perawatan kesehatan anak (Hastuti 2008).
Karakteristik Keluarga
Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat merupakan lingkungan
alami hasil pertumbuhan dan perkembangan anak, perlu terus diberdayakan
sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Menurut Megawangi (2004) keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana
seseorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga utama dalam resolusi
majelis umum PBB adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan
mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar
dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan
kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.
Umur Orangtua
Orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (
-
14
berdasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda
juga lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya
sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kualitas dan kuantitas
pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia
yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan
sepenuh hati (Hurlock 1998).
Pendidikan Orangtua
Setiap orang memiliki tingkat pendidikan yang berbeda-beda, dari segi
kuantitas maupun kualitas. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan
mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi,
pemahaman dan kepribadian. Tingkat pendidikan baik secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar anggota keluarga
(Gunarsa & Gunarsa 1995).
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan
wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah
satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004).
Pekerjaan Orangtua
Semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong
banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal
tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain
berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian
terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat
menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk
terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak (Mulyani 1990).
Besar Keluarga
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata
pada masing-masing keluarga. Pada suatu keluarga, terutama keluarga miskin
akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah
keluarganya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar
mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut,
-
15
tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar
tersebut (Suhardjo 2003).
Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling
rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga, dan anak yang
paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Hal ini
disebabkan karena semakin bertambah besar jumlah keluarga, maka pangan
untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anak-
anak yang sangat muda memerlukan pangan yang relatif lebih banyak
dibandingkan anak-anak yang lebih tua (Suhardjo 2003).
Pendapatan Keluarga
Menurut Suhardjo (1989a), dengan meningkatnya pendapatan
seseorang, maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan.
Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin
lebih beragamnya konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan
rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam
jumlah yang dibutuhkan.
Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup
namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat
pendapatan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik,
tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Suhardjo 2003).
Konsumsi Pangan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh
setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi.
Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang cukup lama akan berakibat
buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada
berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik
(Almatsier 2006).
Menurut Notoatmodjo (1993) perilaku terhadap makanan adalah respon
seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku
makan ini meliputi pengetahuan, sikap dan praktek terhadap makanan serta
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi). Praktek atau konsumsi
pangan seseorang tercermin dari pola konsumsi pangannya. Pola konsumsi
pangan adalah susunan beragam pangan yang biasa dikonsumsi oleh keluarga
atau masyarakat dalam hidangannya sehari-hari. Pola konsumsi pangan ini
disusun berdasarkan jenis makanan , frekuensi makan, dan jumlah yang
-
16
dimakan. Pengukuran praktek konsumsi iini dapat dilakukan dengan cara
wawancara terhadap responden tentang makanan yang dikonsumsi (Suhardjo
1989).
Kebiasaan Makan
Menurut Khumaidi (1989), kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia
atau kelompok manusia dalam memenuhi akan makan yang meliputi sikap,
kepercayaan atau pemilihan makanan. Kebiasaan makan adalah suatu istilah
untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan
makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang,
pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan (misalnya
pantangan), distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap
makanan (misalnya suka atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan
yang hendak dimakan. Meningkatnya pendapatan perorangan menyebabkan
terjadinya perubahan dalam susunan makanan, akan tetapi pengeluaran uang
yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi
pangan (Suhardjo 1989b).
Pengelolaan atau penyediaan makanan dalam keluarga pada umumnya
dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan berkesadaran
gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin
kepada anaknya (Suhardjo 1989b). Tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan
dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal
ibu akan semakin luas wawasan berfikirnya sehingga akan lebih banyak
informasi zat gizi yang dapat diserapnya. Dengan demikian akan semakin baik
ibu tersebut memilih bahan makanan yang bergizi untuk dikonsumsi keluarganya
(Soewondo dan Sadli 1989 dalam Khomsan et al. 2009).
Menurut Suhardjo (1989b), adat kebiasaan yang berhubungan dengan
makanan di antaranya adalah jumlah makanan yang dikonsumsi, waktu makan,
makan bersama, jajan, dan adanya prioritas makanan tertentu terhadap anggota
keluarga. Kepercayaan, kebiasaan makan pantangan dan suka atau tidak suka
terhadap makanan tertentu merupakan unsur budaya yang memiliki hubungan
langsung dengan kebiasaan makan.
Frekuensi pemberian makanan pertama pada anak cukup dua kali sehari,
sebanyak satu atau dua sendok teh penuh. Seiring tumbuh-kembangnya,
kebutuhan bayi akan meningkat. Apabila bayi telah menyukai makanan baru
tersebut, maka ia akan mengonsumsi 3-6 sendok besar penuh setiap kali makan.
-
17
Menurut Arisman (2007), terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan
dalam memberikan makanan sapihan. Pemberian makanan padat pertama harus
bertekstur sangat halus dan licin agar bayi perlahan-lahan dapat menerima
makanan dengan tekstur yang lebih kasar. Apabila bayi sudah tumbuh gigi, maka
dapat diberikan bubur saring, sedangkan bagi bayi yang telah pandai
mengunyah makanan dapat diberikan makanan cincang. Dalam pemberian
makanan, sebaiknya makanan tidak dicampur agar bayi dapat membedakan
tekstur dan rasa makanan.
Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan merupakan segala usaha pengendalian/
pengawasan kondisi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan
atau dapat menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya
tahan hidup manusia.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia baik
berupa benda maupun suatu keadaan yang dapat berpengaruh terhadap
kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau sekelompok masyarakat.
Lingkungan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain: (Widyati dan
Yuliarsih 2002)
x Lingkungan Biologis Lingkungan yang terdiri dari semua makhluk hidup, baik tumbuh-
tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme yang berada di sekitar
manusia.
x Lingkungan Fisik Lingkungan yang terdiri dari benda-benda tak hidup, tetapi berhubungan
dengan kehidupan atau kelangsungan hidup manusia.
x Lingkungan Sosial Budaya Lingkungan sosial budaya adalah interaksi antara manusia dengan
makhluk sesamanya. Lingkungan sosial budaya ini merupakan
lingkungan yang erat dengan masalah kesehatan dan harus dilihat dari
kehidupan masyarakat secara luas.
Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), kesehatan ligkungan ,mencakup
aspek yang sangat luas, meliputi hampir semua aspek kehidupan manusia.
Pentingnya lingkungan yang sehat akan berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku manusia. Berikut di bawah ini merupakan ruang lingkup kesehatan
lingkungan yang terdiri dari:
-
18
1. Penyediaan air minum
2. Pengolahan air limbah dan pengendalian pencemaran air
3. Pengolahan sampah padat
4. Pengendalian vektor (perantara penyakit)
5. Pencegahan atau pengendalian pencemaran tanah oleh kotoran manusia
6. Sanitasi makanan dan minuman
7. Pengendalian kebisingan
8. Kesehatan kerja dan pencegahan kecelakaan
9. Perumahan dan pemukiman
10. Pengawasan terhadap tempat-tempat rekreasi umum dan pariwisata.
Program Pemberian Makanan Tambahan
Balita merupakan kelompok usia yang rawan mengalami kekurangan zat
gizi, seperti KEP. Kejadian gizi kurang pada balita tidak selalu didahului dengan
terjadinya bencana kekurangan pangan dan kelaparan sehingga diperlukan
pendekatan dalam upaya penanggulangannya, salah satunya yaitu dengan cara
perbaikan gizi dari aspek makanan (Khomsan 2004).
Program pemberian makanan menyediakan makanan gratis bagi
seseorang yang membutuhkan. Makanan yang diberikan dapat berasal dari
pemerintah dalam negeri, pemerintah luar negeri, ataupun dari organisasi di luar
pemerintahan. Pemberian makanan tambahan ini merupakan salah satu cara
untuk membantu keluarga yang masih kekurangan pangan (miskin). Terdapat
beberapa tipe dalam program pemberian makanan, yaitu: pemberian makanan
SDGD NHORPSRN DW ULVN/ rawan gizi kurang (balita, anak-anak, ibu hamil, dan menyusui), institutional feeding (pada anak sekolah), dan emergency feeding.
Tujuan adanya pemberian makanan tambahan ini adalah untuk meningkatkan
asupan makanan dan memperbaiki gizi pada ibu-ibu dan anak-anak yang paling
berisiko mengalami gizi kurang (King & Burgess 1995).
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus sp)
Terdapat berbagai jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia, salah
satunya adalah ikan lele. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai
dipasaran saat ini adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) (Mahyuddin 2007).
Bentuk tubuh ikan lele memanjang dan tidak bersisik sehingga memiliki kulit yang
licin. Bentuk kepala ikan lele ini pipih dengan tulang kepala yang keras sebagai
batok kepala, sesuai dengan kelas familinya yaitu Clariidae. Di sekitar mulut lele
dumbo terdapat nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam yang
-
19
terdapat kumis di setiap mandibula. Sirip punggu, sirip ekor, dan sirip dubur
merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip
ganda (Suyanto 1999).
Biskuit Tinggi Protein
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit merupakan sejenis
makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan
lain dengan melalui proses pemanasan dan percetakan. Biskuit diproses dengan
pemanggangan hingga kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah
dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif
lama. Berdasarkan penelitian Mervina (2009), kandungan energi dan protein
biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo berturut-turut sebesar 480 Kal
dan 18,8 gram (bb) per 100 gram biskuit. Agar dapat memenuhi 20% AKG
protein, maka balita harus mengonsumsi biskuit sebanyak 4 keping (50 gram
biskuit). Kandungan gizi per takaran penyajian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)
Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian
Energi (kkal) 240 Protein (gram) 9.8 Karbohidrat (gram) 26.9 Lemak (gram) 10.6
Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai memiliki
kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi.
Kontribusi protein yang dapat diberikan sebesar 25.12% dan 39.20% dari AKG
berdasarkan perhitungan AKG yang didasarkan pada kecukupan energi dan
protein pada balita usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun (WNPG 2004), sehingga
dapat dikatakan biskuit ini menjadi makanan tambahan untuk balita yang tinggi
protein (Mervina 2009).
Jika dibandingkan dengan biskuit untuk bayi yang dijual di pasaran,
biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai mengandung
protein yang lebih tinggi dibandingkan biskuit komersial yang ada. Kandungan
zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian 2 keping (21,8 gram)
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian (21,8 gram)
Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian
Energi (kkal) 90 Protein (gram) 2 Karbohidrat (gram) 17 Lemak (gram) 1,5