bab ii tinjauan pustaka

Upload: karinarakhma

Post on 11-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jiih

TRANSCRIPT

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Balita

    Usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak

    yang merupakan pertumbuhan dasar anak. Pada usia balita, perkembangan

    kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosi, dan inteligensi

    anak berjalan sangat cepat. Hal tersebut merupakan landasan bagi

    perkembangan anak berikutnya. Balita termasuk ke dalam kelompok usia yang

    berisiko tinggi terhadap penyakit. Kekurangan ataupun kelebihan zat gizi pada

    balita dapat mempengaruhi status gizi dan status kesehatannya. Pemenuhan

    kebutuhan zat gizi pada balita memang sangat penting untuk menunjang proses

    tumbuh kembang (Marendra & Febry 2008). Kebutuhan protein bayi dan anak

    balita disajikan pada Tabel 1.

    Tabel 1 Kebutuhan protein bayi dan anak balita (9/kg BB Sehari)

    Bayi: (Bulan) g/hari BALITA (Tahun) g/hari

    < 3 2,40 1 1,27 2 1,19

    3-6 1,85 3 1,12 6-9 1,62 4 1,06 9-11 1,44 5

    6 1,01 0,98

    Sumber: Sediaoetama 2006

    Masalah Gizi Makro Kurang Energi Protein (KEP)

    KEP merupakan salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makan

    yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan

    kesehatan dan infeksi yang berdampak pada penurunan status gizi. Manifestasi

    dari KEP dalam diri penderita ditentukan dengan mengukur status gizi anak atau

    orang yang menderita KEP. Jenis masalah gizi ini sering dijumpai di negara-

    negara miskin dan diderita oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Saat ini

    masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu kecuali pada wanita di

    daerah-daerah miskin. Namun, hingga tahun 2000 KEP pada anak usia di bawah

    lima tahun (balita) masih menjadi masalah yang memprihatinkan (Soekirman

    2000).

    Menurut almatsier (2006), KEP pada anak-anak akan menyebabkan

    terhambatnya pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi,

    dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Bayi sampai anak berusia di

    bawah lima tahun (balita) serta ibu hamil dan menyusui merupakan golongan

    yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk KEP. KEP pada balita sangat

  • 7

    berbeda sifatnya dengan KEP pada orang dewasa. KEP pada anak balita tidak

    mudah dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan oleh keluarganya

    sekalipun.

    Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului oleh

    terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti gizi buruk yang terjadi

    pada orang dewasa. Meskipun pangan di pasaran melimpah tetapi mungkin saja

    kasus gizi kurang dapat terjadi pada balita. KEP pada anak balita sering disebut

    VHEDJDL PDVDODK NHODSDUDQ \DQJ WHUVHPEXQ\L DWDX hidden hunger. Faktor penyebab masalah gizi kurang pada anak balita bersifat lebih komplek

    dibandingkan pada orang dewasa, maka diperlukan upaya penanggulangan

    yang menggunakan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara

    terintegrasi. Tidak hanya memperbaiki aspek makanan tetapi juga harus

    memperbaiki lingkungan hidup anak seperti pola pengasuhan, pendidikan ibu, air

    bersih dan lingkungan, mutu pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Partisipasi

    aktif orang tua dan masyarakat sangat diperlukan untuk pencegahan dan

    penanggulangan balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (Soekirman

    2000).

    Manifestasi Kurang Energi Protein (KEP) pada anak balita dalam jangka

    pendek dan panjang dapat berupa rendahnya berat badan umur (underweight),

    atau anak menjadi pendek (stunted) atau kurus (wasted). Untuk mengetahui

    status gizi anak balita termasuk normal atau tidak (gizi kurang atau gizi lebih)

    perlu dilakukan perbandingan antara ukuran antropometri anak (berat badan

    atau tinggi badan) dengan baku internasional. Seorang anak dikatakan

    mengalami gizi kurang jika berat badan atau tinggi badannya kurang dari -2

    standar deviasi (SD). Anak balita dengan berat atau tingginya kurang dari -3 SD

    maka tergolong status gizi buruk (Prosiding Lokakarya Nasional II 2006).

    Berdasarkan penyebabnya, terdapat beberapa istilah dalam KEP, antara

    lain adalah kwashiorkor dan marasmus dengan gejala dan tanda-tandanya

    seperti yang diuraikan sebagai berikut: (Departemen Gizi dan Kesehatan

    Masyarakat 2007)

    Kwashiorkor (Kekurangan Protein)

    Kwashiorkor merupakan salah satu masalah gizi dengan suatu keadaan

    kekurangan protein baik secara kualitas maupun kuantitas ataupun kedua-

    duanya yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak.

  • 8

    Kekurangan protein ini biasanya menyerang anak-anak yang memiliki ciri-ciri

    sebagai berikut:

    1. Anak yang disapih usia 1-4 tahun

    2. Bertempat di daerah tropis atau sub tropis, dimana keadaan ekonomi,

    sosial, dan budaya merupakan kombinasi faktor yang dapat menimbulkan

    kekurangan protein pada anak-anak

    3. Anak-anak yang sedang dirawat inap karena pembedahan atu

    hipermetabolik

    Marasmus

    Marasmus merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan protein

    dan energi yang kronis. Berat badan yang sangat rendah merupakan

    karakteristik dari marasmus. Berikut adalah gejala atau tanda-tanda marasmus:

    1. Kurus kering

    2. Tampak hanya tulang dan kulit

    3. Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil)

    4. Wajah seperti tua

    5. Berkerut dan keriput

    6. Layu dan kering

    7. Umumnya terjadi diare

    Marasmus umumnya terjadi karena beberapa faktor di bawah ini:

    x Masalah sosial yang kurang menguntungkan x Kemiskinan x Infeksi x Mikroorganisme pathogen penyebab diare x Kecepatan pertumbuhan yang melambat x Tidak ada dermatitis atau depigmentasi x Tidak ada edema x Tumbuh kerdil serta mental dan emosi terganggu x Tidur gelisah, apatis dan merengus x Menarik diri dari lingkungan x Suhu tubuh subnormal karena tidak memiliki lemak subkutan yang

    menjaga agar tetap hangat

    x Aktivitas metabolisme minimal x Jantung melemah

  • 9

    Status Gizi Balita

    Status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok

    orang yang disebabkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi

    makanan. Status gizi seseorang atau sekelompok orang dapat digunakan untuk

    mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut kondisi gizinya

    baik atau sebaliknya (Nasoetion & Riyadi 1994). Menurut Suhardjo (1989c),

    faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah berat bayi lahir

    rendah, kembar, banyak anak dalam keluarga, jarak kelahiran yang pendek,

    penyapihan dini, pemberian makanan tambahan tertentu terlalu dini atau

    terlambat, sering terkena infeksi, ibu yang buta huruf diantara ibu yang

    berpendidikan, kemiskinan, dan anak-anak yang orang tuanya tidak lengkap.

    Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi makanan,

    antropometri, biokimia, dan klinis. Berat badan menurut umur (BB/U) dianggap

    tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi tinggi badan menurut umur

    (TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan

    penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil

    pengukuran tinggi dan berat badan yang akurat akan menjadi tidak berarti jika

    penentuan umur tidak tepat (Riyadi 2003).

    Pemantauan status gizi balita BB/U dan TB/U lebih tepat bila

    menggunakan baku WHO-NCHS dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku

    (z-score). Keuntungan penggunaan z-score adalah hasil hitungan telah

    dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap

    kelompok umur dan indeks antropometri. Penentuan prevalensi dengan cara z-

    score lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi

    hasil sangat bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun masing-masing

    indeks. Nilai keadaan gizi anak dibagi menjadi empat kategori, yaitu baik,

    sedang, kurang, dan buruk (Gibson 1993 diacu dalam Khomsan et al. 2009).

    Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi

    baik individu maupun populasi. Anak yang menderita kekurangan gizi akan

    berpenampilan lebih pendek dengan berat badan lebih rendah dibandingkan

    teman-teman sebayanya yang sehat dan bergizi baik. Laju pertambahan berat

    akan lebih banyak terpengaruh pada kondisi kurang gizi dibandingkan tinggi

    badan. Oleh sebab itu, penurunan berat badan paling sering digunakan untuk

    menapis anak-anak yang mengalami gizi kurang. Jika defisiensi gizi berlangsung

    lama dan parah, maka pertumbuhan tinggi badan akan terpengaruh. Selain itu

  • 10

    juga proses pendewasaan akan terganggu. Apabila seorang anak mengalami

    defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup), anak tersebut tetap

    akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat (Khomsan 2002).

    Status gizi anak dapat diketahui melalui pengukuran antropometri. Kata

    antropometri berasal dari bahasa Latin antropos yang berarti manusia (human

    being) (Soekirman 2000). Secara umum antropometri dapat diartikan sebagai

    ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi

    berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi

    tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh

    antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di

    bawah kulit (Supariasa et al. 2002).

    Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai

    umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat

    merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator memiliki

    maknanya sendiri-sendiri. Kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB

    menurut U \DQJ GLVLPERONDQ GHQJDQ %%8kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U yang disimbolkan dengaQ 7%8 GDQkombinasi BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau disimbolkan

    GHQJDQ%%7%6RHNLUPDn 2000). Metode antropometri termasuk pengukuran dimensi fisik dan komposisi

    tubuh (WHO 1995). Pengukuran antropometri memiliki keuntungan tambahan

    dalam menyediakan informasi mengenai sejarah status gizi pada masa lampau.

    Pengukuran ini dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan menggunakan

    peralatan yang sudah distandarisasi (Gibson 2005). Antropometri umumnya

    digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan asupan

    energi dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik

    dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah cairan dalam tubuh

    (Supariasa et al. 2002).

    Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat

    diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat

    badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U

    menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan

    secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).

  • 11

    Indikator BB/U

    Indikator BB/U dapat normal, lebih rendah, atau lebih tinggi setelah

    dibandingkan dengan standar WHO. Status gizi tergolong baik jika BB/U normal,

    BB/U rendah dapat diartikan status gizi tersebut tergolong gizi kurang atau buruk.

    Sedangkan BB/U tinggi digolongkan sebagai status gizi lebih. Baik status gizi

    kurang maupun lebih, kedua-duanya memiliki resiko yang tidak baik bagi

    kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U dalam ilmu gizi

    GLJRORQJNDQNHGDODPNHORPSRNEHUDWEDGDQUHQGDK%%5DWDXunderweight. Menurut tingkat keparahannya, BBR dikelompokkan ke dalam kategori BBR

    tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). BBR tingkat berat

    atau sangat berat (berat badan sangat rendah = BBSR) sering disebut sebagai

    status gizi buruk. Gizi buruk pada anak-anak di masyarakat dikenal dengan

    marasmus dan kwashiorkor (Soekirman 2000).

    Indikator TB/U

    Indikator TB/U dapat dinyatakan normal, kurang, dan tinggi menurut

    standar WHO. Menurut WHO, bagi anak yang memilki TB kurang maka

    dikategorikan sebagai stunted (pendek tidak sesuai dengan umur). Tingkat

    keparahannya dapat digolongkan ringan, sedang, dan berat atau buruk. Hasil

    pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Seorang anak yang

    tergolong stunted kemungkinan keadaan gizi masa lalu kurang atau tidak baik

    (Soekirman 2000).

    Berbeda dengan BBR yang diukur dengan BB/U yang mungkin dapat

    diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak ataupun pada dewasa. Stunted

    pada orang dewasa tidak lagi dapat dipulihkan. Kemungkinan untuk memulihkan

    pada anak balita dengan cara menormalkan pertumbuhan linier (pertumbuhan

    berat badan mengikuti pertumbuhan tinggi badan dengan percepatan tertentu)

    dan mengejar pertumbuhan potensial (petumbuhan tinggi badan menurut

    keturunan genetik dalam lingkungan yang ideal) masih dapat dilakukan.

    Sedangkan pada anak usia sekolah sampai remaja kemungkinan menormalkan

    pertumbuhan linier masih ada, tetapi kemungkiannya kecil untuk dapat catch-up

    growth (Soekirman 2000).

    Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan

    bertambahnya umur. Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif kurang

    sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi

    terhadap pertumbuhan tinggi badan baru dapat dilihat dalam waktu yang cukup

  • 12

    lama. Oleh sebab itu indikator TB/U menggambarkan status gzizi masa lampau

    (Soekirman 2000).

    Indikator BB/TB

    Pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator

    BB/TB. Ukuran ini menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan

    VSHVLILN 6HVHRUDQJ GHQJDQ %%7% NXUDQJ GLNDWHJRULNDQ VHEDJDL NXUXV DWDXZDVWHG Berat badan behubungan linier dengan tinggi badan. Dalam kondisi normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan

    pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan

    proposional dengan tinggi badan. Indikator BB/TB ini diperkenalkan pertama kali

    oleh Jellife pada tahun 1966 dan merupakan indikator yang baik untuk menilai

    status gizi saat kini, terutama jika data umur yang akurat sulit untuk diperoleh.

    Oleh sebab itu, indikator BB/TB merupakan indikator yang independen terhadap

    umur (Soekirman 2000).

    Pola Asuh

    Proses pengasuhan adalah suatu proses interaksi, penyesuaian orang

    tua, pemenuhan tanggung jawab orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak

    serta perlindungan terhadap anak. Pengasuhan memiliki beberapa pola yang

    menunjukkan adanya hubungan dengan aspek tertentu, mengikuti kebutuhan

    anak akan kebutuhan fisik dan non-fisik, agar anak dapat hidup normal dan

    mandiri di masa mendatang. Pola asuh terdiri dari pola asuh makan, pola asuh

    kesehatan, dan pola asuh psikososial. Status gizi anak tidak hanya dipengaruhi

    oleh sistem sosial budaya, kualitas interaksi ibu anak yang dilihat dari aspek

    praktik pengasuhan, praktik pemberian makan serta perawatan kesehatan

    (Hastuti 2008).

    Pola Asuh Makan

    Pola asuh makan merupakan praktik yang diterapkan ibu khususnya yang

    berkaitan dengan situasi dan cara makan, sehingga dapat memberikan suasana

    yang menyenangkan bagi anak pada situasi makan (Tambingon 1999 dalam

    Khairunnisak 2004). Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk memenuhi

    kebutuhan zat gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan,

    aktivitas pertumbuhan dan perkembangan.

    Keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan pertimbangan yang

    penting dalam pemberian makan kepada anak. Pada masa perkembangan anak,

    keluarga dapat membantu anak mencapai sikap normal dan berminat terhadap

  • 13

    makanan tanpa adanya suatu kecemasan dan kekhawatiran mengenai

    makan.Pola asuh makan yang baik, dalam arti secara kuantitatif maupun

    kualitatif yang tepat pada masa balita sangat dianjurkan. Praktik pemberian

    makan pada anak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesehatan dan status

    gizi. Kemampuan seorang ibu untuk memperkenalkan makanan baru pada anak

    memiliki pengaruh yang besar terhadap daya terima dan kesukaan anak

    terhadap suatu makanan (Khomsan et.al 2009b). Peran ibu sangat penting

    terhadap masalah kesehatan. Jika anak mulai diberi makanan tambahan, anak

    memiliki risiko terkena infeksi dan kekurangan gizi. Jika anak mulai

    mengkonsumsi makanan pelengkap dan atau makanan buatan, maka

    penyimpanan makanan dan higienitasnya perlu diperhatikan (Pramuditya 2010).

    Pola Asuh Kesehatan

    Pengasuhan kesehatan merupakan tugas orang tua anak agar anak

    selalu berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat beraktivitas rutin

    selayaknya individu normal. Usaha preventif yang dilakukan orang tua untuk

    membentuk kesehatan anak adalah dengan membiasakan pola hidup sehat,

    melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur. Kebisaan tersebut

    antara lain: mandi, keramas rambut, menggosok gigi, menggunting kuku,

    mencuci tangan sebelum makan, dan sebagainya. Aspek kesehatan juga

    mencakup upaya kuratif yang dibelanjakan orang tua untuk memberikan

    pengobatan dan perawatan kesehatan anak (Hastuti 2008).

    Karakteristik Keluarga

    Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat merupakan lingkungan

    alami hasil pertumbuhan dan perkembangan anak, perlu terus diberdayakan

    sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.

    Menurut Megawangi (2004) keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana

    seseorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga utama dalam resolusi

    majelis umum PBB adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan

    mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar

    dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan

    kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.

    Umur Orangtua

    Orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (

  • 14

    berdasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda

    juga lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya

    sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kualitas dan kuantitas

    pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia

    yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan

    sepenuh hati (Hurlock 1998).

    Pendidikan Orangtua

    Setiap orang memiliki tingkat pendidikan yang berbeda-beda, dari segi

    kuantitas maupun kualitas. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan

    mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi,

    pemahaman dan kepribadian. Tingkat pendidikan baik secara langsung maupun

    tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar anggota keluarga

    (Gunarsa & Gunarsa 1995).

    Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan

    perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan

    seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan

    mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya

    dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan

    wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah

    satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap

    kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004).

    Pekerjaan Orangtua

    Semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong

    banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal

    tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain

    berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian

    terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat

    menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk

    terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak (Mulyani 1990).

    Besar Keluarga

    Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata

    pada masing-masing keluarga. Pada suatu keluarga, terutama keluarga miskin

    akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah

    keluarganya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar

    mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut,

  • 15

    tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar

    tersebut (Suhardjo 2003).

    Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling

    rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga, dan anak yang

    paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Hal ini

    disebabkan karena semakin bertambah besar jumlah keluarga, maka pangan

    untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anak-

    anak yang sangat muda memerlukan pangan yang relatif lebih banyak

    dibandingkan anak-anak yang lebih tua (Suhardjo 2003).

    Pendapatan Keluarga

    Menurut Suhardjo (1989a), dengan meningkatnya pendapatan

    seseorang, maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan.

    Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin

    lebih beragamnya konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan

    rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam

    jumlah yang dibutuhkan.

    Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup

    namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat

    pendapatan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik,

    tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Suhardjo 2003).

    Konsumsi Pangan

    Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh

    setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi.

    Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang cukup lama akan berakibat

    buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada

    berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik

    (Almatsier 2006).

    Menurut Notoatmodjo (1993) perilaku terhadap makanan adalah respon

    seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku

    makan ini meliputi pengetahuan, sikap dan praktek terhadap makanan serta

    unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi). Praktek atau konsumsi

    pangan seseorang tercermin dari pola konsumsi pangannya. Pola konsumsi

    pangan adalah susunan beragam pangan yang biasa dikonsumsi oleh keluarga

    atau masyarakat dalam hidangannya sehari-hari. Pola konsumsi pangan ini

    disusun berdasarkan jenis makanan , frekuensi makan, dan jumlah yang

  • 16

    dimakan. Pengukuran praktek konsumsi iini dapat dilakukan dengan cara

    wawancara terhadap responden tentang makanan yang dikonsumsi (Suhardjo

    1989).

    Kebiasaan Makan

    Menurut Khumaidi (1989), kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia

    atau kelompok manusia dalam memenuhi akan makan yang meliputi sikap,

    kepercayaan atau pemilihan makanan. Kebiasaan makan adalah suatu istilah

    untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan

    makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang,

    pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan (misalnya

    pantangan), distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap

    makanan (misalnya suka atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan

    yang hendak dimakan. Meningkatnya pendapatan perorangan menyebabkan

    terjadinya perubahan dalam susunan makanan, akan tetapi pengeluaran uang

    yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi

    pangan (Suhardjo 1989b).

    Pengelolaan atau penyediaan makanan dalam keluarga pada umumnya

    dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan berkesadaran

    gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin

    kepada anaknya (Suhardjo 1989b). Tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan

    dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal

    ibu akan semakin luas wawasan berfikirnya sehingga akan lebih banyak

    informasi zat gizi yang dapat diserapnya. Dengan demikian akan semakin baik

    ibu tersebut memilih bahan makanan yang bergizi untuk dikonsumsi keluarganya

    (Soewondo dan Sadli 1989 dalam Khomsan et al. 2009).

    Menurut Suhardjo (1989b), adat kebiasaan yang berhubungan dengan

    makanan di antaranya adalah jumlah makanan yang dikonsumsi, waktu makan,

    makan bersama, jajan, dan adanya prioritas makanan tertentu terhadap anggota

    keluarga. Kepercayaan, kebiasaan makan pantangan dan suka atau tidak suka

    terhadap makanan tertentu merupakan unsur budaya yang memiliki hubungan

    langsung dengan kebiasaan makan.

    Frekuensi pemberian makanan pertama pada anak cukup dua kali sehari,

    sebanyak satu atau dua sendok teh penuh. Seiring tumbuh-kembangnya,

    kebutuhan bayi akan meningkat. Apabila bayi telah menyukai makanan baru

    tersebut, maka ia akan mengonsumsi 3-6 sendok besar penuh setiap kali makan.

  • 17

    Menurut Arisman (2007), terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan

    dalam memberikan makanan sapihan. Pemberian makanan padat pertama harus

    bertekstur sangat halus dan licin agar bayi perlahan-lahan dapat menerima

    makanan dengan tekstur yang lebih kasar. Apabila bayi sudah tumbuh gigi, maka

    dapat diberikan bubur saring, sedangkan bagi bayi yang telah pandai

    mengunyah makanan dapat diberikan makanan cincang. Dalam pemberian

    makanan, sebaiknya makanan tidak dicampur agar bayi dapat membedakan

    tekstur dan rasa makanan.

    Kesehatan Lingkungan

    Kesehatan lingkungan merupakan segala usaha pengendalian/

    pengawasan kondisi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan

    atau dapat menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya

    tahan hidup manusia.

    Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia baik

    berupa benda maupun suatu keadaan yang dapat berpengaruh terhadap

    kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau sekelompok masyarakat.

    Lingkungan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain: (Widyati dan

    Yuliarsih 2002)

    x Lingkungan Biologis Lingkungan yang terdiri dari semua makhluk hidup, baik tumbuh-

    tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme yang berada di sekitar

    manusia.

    x Lingkungan Fisik Lingkungan yang terdiri dari benda-benda tak hidup, tetapi berhubungan

    dengan kehidupan atau kelangsungan hidup manusia.

    x Lingkungan Sosial Budaya Lingkungan sosial budaya adalah interaksi antara manusia dengan

    makhluk sesamanya. Lingkungan sosial budaya ini merupakan

    lingkungan yang erat dengan masalah kesehatan dan harus dilihat dari

    kehidupan masyarakat secara luas.

    Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), kesehatan ligkungan ,mencakup

    aspek yang sangat luas, meliputi hampir semua aspek kehidupan manusia.

    Pentingnya lingkungan yang sehat akan berpengaruh terhadap sikap dan

    perilaku manusia. Berikut di bawah ini merupakan ruang lingkup kesehatan

    lingkungan yang terdiri dari:

  • 18

    1. Penyediaan air minum

    2. Pengolahan air limbah dan pengendalian pencemaran air

    3. Pengolahan sampah padat

    4. Pengendalian vektor (perantara penyakit)

    5. Pencegahan atau pengendalian pencemaran tanah oleh kotoran manusia

    6. Sanitasi makanan dan minuman

    7. Pengendalian kebisingan

    8. Kesehatan kerja dan pencegahan kecelakaan

    9. Perumahan dan pemukiman

    10. Pengawasan terhadap tempat-tempat rekreasi umum dan pariwisata.

    Program Pemberian Makanan Tambahan

    Balita merupakan kelompok usia yang rawan mengalami kekurangan zat

    gizi, seperti KEP. Kejadian gizi kurang pada balita tidak selalu didahului dengan

    terjadinya bencana kekurangan pangan dan kelaparan sehingga diperlukan

    pendekatan dalam upaya penanggulangannya, salah satunya yaitu dengan cara

    perbaikan gizi dari aspek makanan (Khomsan 2004).

    Program pemberian makanan menyediakan makanan gratis bagi

    seseorang yang membutuhkan. Makanan yang diberikan dapat berasal dari

    pemerintah dalam negeri, pemerintah luar negeri, ataupun dari organisasi di luar

    pemerintahan. Pemberian makanan tambahan ini merupakan salah satu cara

    untuk membantu keluarga yang masih kekurangan pangan (miskin). Terdapat

    beberapa tipe dalam program pemberian makanan, yaitu: pemberian makanan

    SDGD NHORPSRN DW ULVN/ rawan gizi kurang (balita, anak-anak, ibu hamil, dan menyusui), institutional feeding (pada anak sekolah), dan emergency feeding.

    Tujuan adanya pemberian makanan tambahan ini adalah untuk meningkatkan

    asupan makanan dan memperbaiki gizi pada ibu-ibu dan anak-anak yang paling

    berisiko mengalami gizi kurang (King & Burgess 1995).

    Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus sp)

    Terdapat berbagai jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia, salah

    satunya adalah ikan lele. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai

    dipasaran saat ini adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) (Mahyuddin 2007).

    Bentuk tubuh ikan lele memanjang dan tidak bersisik sehingga memiliki kulit yang

    licin. Bentuk kepala ikan lele ini pipih dengan tulang kepala yang keras sebagai

    batok kepala, sesuai dengan kelas familinya yaitu Clariidae. Di sekitar mulut lele

    dumbo terdapat nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam yang

  • 19

    terdapat kumis di setiap mandibula. Sirip punggu, sirip ekor, dan sirip dubur

    merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip

    ganda (Suyanto 1999).

    Biskuit Tinggi Protein

    Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit merupakan sejenis

    makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan

    lain dengan melalui proses pemanasan dan percetakan. Biskuit diproses dengan

    pemanggangan hingga kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah

    dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif

    lama. Berdasarkan penelitian Mervina (2009), kandungan energi dan protein

    biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo berturut-turut sebesar 480 Kal

    dan 18,8 gram (bb) per 100 gram biskuit. Agar dapat memenuhi 20% AKG

    protein, maka balita harus mengonsumsi biskuit sebanyak 4 keping (50 gram

    biskuit). Kandungan gizi per takaran penyajian dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)

    Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian

    Energi (kkal) 240 Protein (gram) 9.8 Karbohidrat (gram) 26.9 Lemak (gram) 10.6

    Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai memiliki

    kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi.

    Kontribusi protein yang dapat diberikan sebesar 25.12% dan 39.20% dari AKG

    berdasarkan perhitungan AKG yang didasarkan pada kecukupan energi dan

    protein pada balita usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun (WNPG 2004), sehingga

    dapat dikatakan biskuit ini menjadi makanan tambahan untuk balita yang tinggi

    protein (Mervina 2009).

    Jika dibandingkan dengan biskuit untuk bayi yang dijual di pasaran,

    biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai mengandung

    protein yang lebih tinggi dibandingkan biskuit komersial yang ada. Kandungan

    zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian 2 keping (21,8 gram)

    dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3 Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian (21,8 gram)

    Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian

    Energi (kkal) 90 Protein (gram) 2 Karbohidrat (gram) 17 Lemak (gram) 1,5