bab ii tinjauan pustaka 2.1 komitmen organisasi 2.1.1...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka merupakan parameter penelitian, fondasi suatu konstruk
teoritik, acuan kerangka pikir, dan penyusunan hipotesis penelitian.
Komitmen Organisasi dalam konteks teoritik dan konteks hubungannya
dengan motivasi kerja, kepuasan kerja, dan usia dipaparkan dalam bab ini.
2.1 Komitmen Organisasi
Beberapa hal penting dalam proses pemahaman Komitmen Organisasi
adalah definisi, teori, komponen, dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
2.1.1 Definisi Komitmen Organisasi
Blau & Boal (Robbins & Judge, 2009 h. 100) mendefinisikan Komitmen
Organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak
organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen
organisasi yang tinggi dapat diartikan memihak organisasi yang merekrut
individu tersebut. Komitmen dalam konteks sikap individu ialah keinginan
yang kuat untuk kekal dalam organisasi. Selanjutnya Meyer & Allen
(1990) menyatakan Komitmen Organisasi merupakan kelekatan emosi,
identifikasi, dan keterlibatan karyawan dalam perusahaan, serta keinginan
untuk tetap menjadi anggota perusahaan (Suseno & Sugiyanto, 2010
h. 96). Komitmen terhadap organisasi terdapat dalam tiga komponen yang
berbeda, yaitu komitmen sebagai kelekatan afeksi kepada organisasi,
komitmen dipandang sebagai biaya yang timbul jika meninggalkan
organisasi, dan komitmen sebagai kewajiban untuk tetap berada dalam
organisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa komitmen organisasi
mengandung elemen keinginan, kebutuhan, dan kewajiban.
Mowday, Porter, & Steers (Luthans, 2006 h. 249) mendefinisikan
Komitmen Organisasi sebagai suatu keinginan yang kuat untuk tetap
sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai
12
keinginan organisasi, dan keyakinan tertentu serta penerimaan nilai dan
tujuan organisasi. Sementara Spector (2000) menyatakan bahwa
Komitmen Organisasi adalah sejauh mana individu mengidentifikasikan
diri dan terlibat di dalamnya serta tidak ingin meninggalkan organisasinya.
Berdasarkan definisi tersebut, maka penulis merujuk definisi komitmen
organisasi yang disampaikan Meyer, Allen & Smith bahwa komitmen
organisasi merupakan kelekatan emosi, identifikasi, dan keterlibatan
karyawan dalam perusahaan atau organisasi.
Guru non pegawai negeri sipil dalam lingkup organisasi yayasan juga
seharusnya menerapkan komitmen organisasi dimana mereka bekerja.
Guru-guru yang berada di bawah suatu organisasi tidak hanya bertugas
untuk mengajar saja, tetapi juga dituntut untuk mempunyai kelekatan,
identifikasi, dan keterlibatan demi maju dan berkembangnya organisasi
yang diikutinya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa komitmen
organisasi merupakan perasaan seseorang sebagai bagian dalam suatu
organisasi dan keterlibatan untuk mengembangkan organisasi di mana
individu tersebut bekerja.
2.1.2 Teori Komitmen Organisasi
Mowday et al (1982) menyatakan bahwa anggota dalam suatu organisasi
yang memiliki komitmen tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam
organisasi dan berusaha untuk mencapai tujuan organisasi. Prinsip dari
komitmen organisasi ini adalah menerima nilai-nilai organisasi dimana
anggota menaruh kepercayaan terhadap nilai-nilai yang ditetapkan dalam
organisasi, mendukung kegiatan yang mendorong kemajuan dan
kepentingan organisasi dengan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
dengan berusaha bekerja sebaik mungkin demi kepentingan organisasi,
dan keinginan menjadi anggota organisasi yang memiliki keterikatan
dengan pekerjaannya dan tetap menjadi bagian dalam organisasinya.
O’Reilly & Chatman (1986, dalam Unuvar, 2006) menyatakan bahwa
komitmen organisasi merupakan keterikatan secara psikologis karyawan
13
dengan organisasi, dan lebih lanjut dijelaskan bahwa komitmen organisasi
memiliki dimensi kepatuhan, identifikasi, dan internalisasi.
Allen & Meyer (1990) mengemukakan tiga komponen organisasi, yaitu
komitmen afektif (affective commitment), komitmen berkelanjutan
(continuance commitment), dan komitmen normatif (normative
commitment). Hal yang umum dari ketiga komponen komitmen ini adalah
dilihatnya komitmen sebagai kondisi psikologis yang menggambarkan
hubungan individu dengan organisasi dan mempunyai implikasi dalam
keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam organisasi.
Komitmen afektif berkaitan dengan aspek emosional, identifikasi, dan
keterlibatan karyawan dalam organisasi. Hal ini merupakan proses sikap
dimana seseorang berpikir tentang hubungannya dengan organisasi dengan
mempertimbangkan kesesuaian antara nilai dan tujuannya dengan nilai
dan tujuan organisasi. Komitmen kontinuitas merupakan persepsi
karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan
perusahaan. Komitmen normatif merupakan perasaan-perasaan seperti
tanggungjawab, loyalitas, atau kewajiban moral terhadap organisasi.
Komitmen Organisasi mempunyai komponen-komponen yang digunakan
sebagai indikator yang dapat menunjukkan komitmen organisasi seorang
karyawan terhadap organisasi yang merekrut mereka. Robbins & Judge
(2009 h. 101) mengutip pendapat Meyer, Allen, & Smith yang
mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen komitmen organisasi
yaitu:
a) Komitmen afektif, merupakan perasaan emosional untuk organisasi
dan keyakinan dalam nilai-nilainya.
b) Komitmen berkelanjutan, yaitu nilai ekonomi yang dirasa dari
bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan
meninggalkan organisasi tersebut.
c) Komitmen normatif, yaitu kewajiban untuk bertahan dalam
organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis.
14
Berdasarkan uraian di atas, penulis menggunakan tiga komponen
komitmen organisasi yaitu komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan
komitmen normatif yang dikemukakan oleh Allen & Meyer (1990) untuk
mengukur Komitmen Organisasi.
Dalam kaitannya dengan organisasi pendidikan, guru yang memiliki
komitmen afektif tinggi mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari
organisasi dan akan menunjukkan keterlibatan dirinya dalam organisasi,
sehingga ia akan bergabung dan tetap menjadi menjadi anggota organisasi
karena keinginannya sendiri; guru yang memiliki komitmen berkelanjutan
lebih menekankan persepsi tentang kerugian yang akan dihadapi jika
meninggalkan organisasi karena ia membutuhkan pekerjaan; sedangkan
guru yang memiliki komitmen normatif cenderung lebih menekankan
keputusan untuk setia pada organisasi dan dalam melaksanan kewajiban
tanggung jawabnya sebagai pendidik dan pengajar.
2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Komitmen Organisasi
Januarti (2006, dalam Yudhaningsih) menyatakan bahwa komitmen
organisasi akan terbangun bila tiap individu mengembangkan tiga sikap
yang saling berhubungan terhadap organisasi dan atau profesi meliputi
identifikasi yaitu pemahaman atau penghayatan dari tujuan organisasi,
involment yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan
bahwa pekerjaannya adalah menyenangkan, dan loyality yaitu perasaan
bahwa organisasi adalah tempat bekerja dan tempat tinggal. Menurut
David yang dikutip Yudhaningsih (n.d.) mengemukakan empat faktor
yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
a) Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pengalaman kerja, kepribadian.
b) Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan,
konflik, peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan.
c) Karakteristik struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi, bentuk
organisasi (sentralisasi/desentralisasi), kehadiran serikat pekerja.
15
d) Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh
terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan
yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan
tahun bekerja tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan
dalam organisasi.
Sementara itu, William (2012), Alhaji & Fauziah (2011), dan George &
Sabapathy (2011) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi komitmen
organisasi adalah motivasi kerja. Faktor kepuasan kerja, keterlibatan kerja,
dan dukungan organisasi juga merupakan faktor yang memengaruhi
komitmen organisasi, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Salim et
al (n.d.). Senada dengan Salim et al (n.d.) penelitian yang dilakukan oleh
Susanj & Jakopec (2012), Bull (2005), serta Chavez (2012) menyatakan
bahwa faktor kepuasan kerja memengaruhi komitmen organisasi.
Senada dengan penelitian-penelitian sebelumnya, faktor komitmen
organisasi juga dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, motivasi
berprestasi, kepuasan kerja, dan faktor demografi, hal ini berdasarkan hasil
penemuan Salami (2008). Penelitian lain juga dilakukan oleh Teeraprasert
et al (2012) yang menemukan gaji dan kepuasan kerja berpengaruh pada
komitmen organisasi. Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, maka ditemukan banyak sekali faktor yang memengaruhi
komitmen organisasi guru, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Oleh karena itu dari hasil penelitian-penelitian terdahulu menguatkan
bahwa komitmen organisasi dipengaruhi pula oleh motivasi kerja dan
kepuasan kerja, serta komitmen organisasi dapat dilihat pula dari usia.
Faktor lainnya yang juga memengaruhi komitmen organisasi juga
ditemukan oleh Qureshi (n.d.) hasil penelitiannya menemukan komitmen
organisasi tergantung pada jenis kelamin, usia, status perkawinan,
pendidikan, dan pengalaman.
16
2.2 Motivasi Kerja
2.2.1 Definisi Motivasi Kerja
Mengutip dari Effendy (1989), “motif” atau dalam bahasa Inggris
“motive” berasal dari kata “motion” yang bersumber pada perkataan
bahasa Latin “movere” yang berarti bergerak, jadi motif adalah daya gerak
yang mencakup dorongan, alasan, dan kemajuan yang timbul dalam diri
seseorang yang menyebabkan ia berbuat sesuatu atau melakukan sesuatu.
Lebih lanjut Effendy (1989) menyatakan bahwa motivasi merupakan
pembangkitan atau penimbulan motif; dapat pula dikatakan suatu kegiatan
menjadi motif.
Semua tingkah laku manusia pada dasarnya mempunyai motif. Menurut
Munandar (2001 h. 320), selama bekerja motivasi tenaga kerja mengalami
perubahan-perubahan sebagai hasil dari interaksi antara tenaga kerja
dengan lingkungan kerjanya, sehingga dapat dikatakan pula bahwa
motivasi kerja merupakan keluaran dari tenaga kerja. Sedangkan menurut
McClelland motivasi merupakan timbulnya tingkah laku yang diakibatkan
karena adanya pengaruh kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam diri
manusia (As’ad, 2002).
Menurut Robbins & Judge (2009 h. 222) motivasi ialah proses yang
menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk
mencapai tujuannya. Luthans (2006 h. 270) mendefinisikan motivasi
sebagai proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau psikologis
yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk suatu
tujuan atau insentif. Sementara itu menurut Marle (Subandono, 2011)
mengatakan “Motivation is usually defined the initiative and direction of
behavior and the study of motivation is in effect of course of behavior”,
maksudnya motivasi secara umum didefinisikan sebagai inisiatif dan
pengarahan tingkah laku dan pelajaran motivasi sebenarnya merupakan
pelajaran tingkah laku. Sedangkan menurut Wexley & Yukl yang dikutip
oleh As’ad (2002 h. 45) memberikan batasan mengenai motivasi sebagai
17
“the process by which behavior is energized and directed”, yang
mengartikan bahwa suatu proses di mana tingkah laku tersebut dipupuk
dan diarahkan. Dari batasan tersebut motivasi melatar belakangi individu
berbuat untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga dapat dikatakan pula
bahwa motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau
dorongan kerja.
Dari berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli mengenai
motivasi kerja di atas, maka penulis menggunakan definisi motivasi kerja
yang telah diungkapkan oleh McClelland yang menyatakan bahwa
motivasi kerja merupakan sebuah tingkah laku yang dipengaruhi oleh
kebutuhan-kebutuhan (motif) yang ada dalam diri manusia. Dapat
dikatakan bahwa motivasi kerja yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya
dipengaruhi oleh satu faktor saja, yakni faktor keinginan bekerja,
melainkan motivasi seseorang untuk bekerja dapat dipengaruhi oleh
berbagai kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh individu tersebut,
diantaranya motif kekuasaan, motif afiliasi, dan motif berprestasi.
2.2.2 Teori Motivasi Kerja
Berbagai teori tentang motivasi muncul seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan. Motivasi merupakan hal yang penting untuk dipahami secara
khusus. Bila diperhatikan bahwa tingkat motivasi yang dimiliki antara
seseorang dengan orang lain berbeda. Mengingat hal ini teramat penting
jika dikaitkan dengan kehidupan organisasional, yang menjadi sasaran
utama pemberian motivasi oleh para pemimpin kepada bawahannya
adalah peningkatan prestasi kerja para karyawan dalam rangka pencapaian
tujuan dan berbagai sasaran organisasi tersebut.
Perilaku seorang karyawan umumnya berorientasi pada sebuah tujuan
yang senantiasa dirangsang dan didorong untuk mencapainya. Bagi para
pemimpin yang bijaksana perlu memahami latar belakang kemampuan,
kebutuhan, serta harapan-harapan dari karyawannya. Hal ini bertujuan
18
agar potensi yang dimiliki oleh para karyawan dapat diberikan semaksimal
mungkin kepada organisasi tersebut untuk sebuah keberhasilan dengan
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan karyawan.
Telah berkembang berbagai teori mengenai motivasi kerja oleh para ahli
psikologi yang salah satu di antaranya ialah teori motivasi isi. Menurut
Mullins & Matteson (dalam Wijono, 2012) terdapat empat teori kebutuhan
yang termasuk dalam teori motivasi isi. Pertama, teori motivasi yang
dikembangkan oleh Maslow yakni kondisi manusia berada dalam kondisi
mengejar yang berkesinambungan. Jika suatu kebutuhan dapat dipenuhi,
maka kebutuhan tersebut akan diganti dengan kebutuhan yang lain. Lebih
dalam, menurut Maslow terdapat lima kelompok kebutuhan yang akan
dicapai menurut tingkat kepentingannya sebagai berikut:
1. Kebutuhan fisiologis (pysiological needs) merupakan kebutuhan
primer seperti kebutuhan untuk makanan, minuman, udara segar
(oksigen). Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka individu akan
berhenti eksistensinya.
2. Kebutuhan rasa aman (safety needs) mencakup kebutuhan untuk
dilindungi dari bahaya dan ancaman fisik. Dalam pekerjaan
kebutuhan ini dijumpai dalam bentuk 'rasa asing' sewaktu menjadi
tenaga kerja baru atau pindah ke kota yang baru.
3. Kebutuhan sosial (social and belongingness needs) mencakup
memberi dan menerima persahabatan, cinta kasih, dan rasa memiliki.
4. Kebutuhan harga diri (self esteem needs) dapat terungkap dalam
keinginan untuk dipuji dan keinginan untuk diakui prestasi kerjanya.
5. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) yaitu kebutuhan
untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Kebutuhan ini menekankan kebebasan dalam melaksanakan
tugas pekerjaannya.
19
Kedua, ialah teori ERG (Existence, Relatedness, dan Growth needs) yang
dikembangkan oleh Alderfer. Teori ini mengelompokkan kebutuhan dalam
tiga kelompok:
a. Kebutuhan eksistensi merupakan kebutuhan yang bersifat material.
b. Kebutuhan hubungan merupakan kebutuhan untuk membagi pikiran
dan perasaan dengan orang lain dan membiarkan mereka menikmati
hal-hal yang sama dengan kita.
c. Kebutuhan pertumbuhan merupakan kebutuhan yang dimiliki
seseorang untuk mengembangkan kecakapan yang dimiliki secara
penuh.
Ketiga kelompok kebutuhan tersebut terletak pada satu
kesinambungan kekonkretan.
Ketiga, teori dua faktor atau dikenal dengan teori hygiene-motivasi yang
disampaikan oleh Herzberg. Dalam penelitiannya, Herzberg menemukan
bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan
faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang
menimbulkan kepuasan kerja dinamakan faktor motivator, yang isinya
mencakup isi dari pekerjaan dan merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan
yaitu:
1. Tanggung jawab (responsbility), besar kecilnya tanggung jawab
yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja,
2. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja
dapat maju dalam pekerjaannya,
3. Pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga
kerja dari pekerjaannya,
4. Capaian (achievment), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja
mencapai prestasi kerja yang tinggi,
5. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan
kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya.
20
Faktor-faktor lainnya yang menimbulkan ketidakpuasan kerja termasuk ke
dalam kelompok hygiene. Jika faktor-faktor dalam kelompok ini tidak
diberikan, maka tenaga kerja akan merasa tidak puas dan banyak
mengeluh. Faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan berkaitan
dengan konteks dari pekerjaan dan merupakan faktor ekstrinsik dari
pekerjaan yang meliputi:
a. Adminitrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang
dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang
berlaku dalam perusahaan.
b. Penyeliaan, derajat kewajaaran penyeliaan yang dirasakan diterima
oleh tenaga kerja.
c. Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan
unjuk kerja.
d. Hubungan antarpribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam
berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.
e. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses
pelaksanaan tugas pekerjaannya.
Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok faktor motivator cenderung
merupakan faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak
proaktif, sedangkan faktor yang termasuk dalam kelompok faktor hygiene
cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif.
Keempat, teori kebutuhan berprestasi yang disampaikan oleh McClelland.
Menurut McClelland (As’ad, 2002) timbulnya perilaku karena dipengaruhi
oleh kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam manusia. Dalam diri manusia
terdapat tiga kebutuhan yang pokok yang mendorong tingkah laku
manusia. Dalam teorinya, McClelland mengemukakan bahwa terdapat tiga
motif yang berpengaruh pada prestasi kerja. Ketiga motif itu ialah
kekuasaan, afiliasi, dan berprestasi. Ketiga kebutuhan ini akan selalu
muncul dalam tingkah laku individu, hanya saja kekuatannya tidak sama
21
antara kebutuhan-kebutuhan itu pada diri seseorang. Ketiga kebutuhan
akan muncul dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik.
Di dalam motivasi terdapat komponen atau elemen atau dapat diistilahkan
pula dimensi yang digunakan untuk mengukur motivasi kerja seseorang.
Komponen motivasi menurut Robbins & Judge (2009 h. 222) terdapat tiga
hal, yaitu intensitas, arah, dan ketekunan. Intensitas yang tinggi tidak akan
menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut
dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Berbicara
mengenai elemen yang ketiga ialah ketekunan, ketekunan merupakan
ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya.
Individu-individu yang termotivasi bertahan melakukan suatu tugas dalam
waktu yang cukup lama demi mencapai tujuan mereka.
Menurut McClelland (Wijono, 2012) terdapat tiga dimensi motivasi yakni:
a) Motif kekuasaan (memberikan peran penting dalam meningkatkan
sebuah organisasi). Motif kekuasaan lebih digunakan oleh pemimpin
untuk memotivasi dan mengarahkan karyawannya agar mereka
menunjukkan prestasi kerja yang baik.
b) Motif afiliasi merupakan hubungan interpersonal antara pemimpin
dengan karyawan agar tercipta suasana yang kondusif agar tercapai
tujuan organisasi.
c) Motif berprestasi lebih mengarah kepada kepentingan di masa depan
untuk memeroleh prestasi yang lebih baik dalam bekerja.
Melihat dari berbagai teori motivasi yang ada, maka penulis merujuk pada
teori motivasi berprestasi yang dikembangkan oleh McClelland. Seperti
yang telah disampaikan, bahwa tingkah laku yang dilakukan manusia
didorong oleh tiga kebutuhan. Ketiga kebutuhan manusia tersebut akan
muncul berdasarkan situasi yang dihadapi oleh individu. Di dalam
pekerjaannya, tidak hanya karyawan yang membutuhkan motivasi kerja,
namun sebagai guru juga dibutuhkan motivasi untuk bekerja. Motivasi
22
kerja guru jika dilihat dari motivasi berprestasi, juga didorong oleh
kebutuhan guru itu sendiri.
2.3 Kepuasan Kerja
2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja
Howell & Dipboye (1986, dalam Munandar, 2001 h. 350) menyatakan
bahwa kepuasan kerja sebagai hasil dari keseluruhan dari derajat rasa suka
atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari
pekerjaannya. Siegel & Lane (1982, dalam Munandar 2001 h. 350)
menerima batasan kepuasan kerja yang didefinisikan oleh Locke sebagai:
"the appraisal of one's job as attaining or allowing the attaiment of one's
important job values, providing these values are congruent with or help
fulfill one's basic needs" yang dapat dikatakan bahwa tenaga kerja yang
puas dengan pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya. Dari
definisi Locke tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua hal unsur
penting di dalam kepuasan kerja, yaitu nilai-nilai pekerjaan dan
kebutuhan-kebutuhan dasar. Menurut Howell & Robert (1986, dalam
Wijono, 2012 h. 122) mengatakan kepuasan kerja ialah hasil keseluruhan
dari derajat rasa suka dan tidak sukanya karyawan terhadap berbagai aspek
dari pekerjaannya. Wexley & Yukl (1977, dalam As’ad, 2002)
mendefiniskan kepuasan kerja “is the way an employee feels about his her
job”, yang diartikan sebagai “perasaan seseorang terhadap pekerjaan”.
Blum & Naylor (1986, dalam Wijono, 2012 h. 123) mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai hasil dari berbagai sikap yang ditunjukkan oleh
seorang karyawan.
Sedangkan, Robbins & Judge (2009 h. 99) mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang
merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan
tingkat kepuasan kerja yang tinggi mempunyai perasaan-perasaan positif
tentang pekerjaan tersebut. Lebih lanjut, Locke (dalam Luthans, 2006 h.
243) memberikan definisi yang lebih lengkap dari kepuasan kerja yang
23
meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan
bahwa kepuasan kerja ialah keadaan emosi yang senang atau emosi yang
positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja
seseorang. Luthans (2006 h. 243) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaa mereka
memberikan hal yang dinilai penting. Herzberg (1959, dalam Izmail,
2012) mendefinisikan kepuasan kerja dengan teori dua faktor, yakni
bahwa karyawan dalam bekerja memiliki dua jenis kebutuhan yang dapat
menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan.
Tiffin (1958, dalam Munandar 2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja
berhubungan erat dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya sendiri,
situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan.
Kemudian Blum (1956, dalam Munandar, 2001) berpendapat bahwa
kepuasan kerja merupakan sikap umum hasil dari beberapa sikap khusus
terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial
individual di luar kerja.
Guru sebagai seorang pengajar sekaligus tenaga kerja di bidang
pendidikan tentunya juga mempunyai kepuasan kerja. Kepuasan kerja
yang dimiliki oleh guru sama halnya dengan kepuasan kerja karyawan.
Definisi kepuasan guru jika dilihat dari definisi Herzberg, maka kepuasan
kerja didefinisikan sebagai hal-hal yang memberikan kepuasan.
2.3.2 Teori Kepuasan Kerja
Teori mengenai kepuasan kerja seperti yang dikemukakan oleh Wexley &
Yukl (1977, dalam As’ad, 2002) terdiri dari tiga macam. Teori-teori ini
dikenal dengan teori:
a. Discrepancy Theory atau yang dikenal degan teori ketidak sesuaian
dipelopori oleh Porter (1961, dalam As’ad, 2002) dan Locke
(dalam Wijono, 2012 h. 125-126) menyampaikan teori
ketidaksesuaian (Discrepancy Theory) yang mengungkapkan
24
bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dari berapa aspek pekerjaan
menggunakan dasar pertimbangan dari dua nilai, yaitu :
1. Ketidaksesuaian yang dipersepsikan antara apa yang
diinginkan individu dengan apa yang dia terima dalam
kenyataannya,
2. Apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh individu
tersebut.
Menurut Locke, kepuasan kerja secara keseluruhan bagi individu
adalah jumlah dari kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan
dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan individu.
Perasaan puas atau tidak puas yang dimiliki oleh individu bersifat
pribadi, karena perasaan tersebut muncul tergantung dari cara
pandang individu. Lebih lanjut, Locke mengatakan seorang
individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang
pribadi, tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya
kesesuaian atau pertentangan antara keinginan dan hasil keluaran,
tambahan waktu libur juga akan menunjang kepuasan kerja yang
meikmati waktu luang setelah bekerja (Munandar, 2001 h. 354).
b. Equity Theory yang dikembangkan oleh Adams (1963, dalam
As’ad, 2002) yang menyampaikan orang akan merasa puas atau
tidak puas tergantung apakah ia merasakan keadilan atau tidak atas
suatu situasi. Menurut teori ini, setiap karyawan akan
membandingkan sumbangan dan hasil yang diperolehnya dengan
sumbangan dan hasil yang diperoleh orang lain.
c. Two factor Theory yang menekankan prinsip bahwa kepuasan
kerja dan ketidak puasan kerja merupakan dua hal yang berbeda
seperti yang disampaikan oleh Herzberg (1966, dalam As’ad,
2002). Menurut penelitian Herzberg, yang memengaruhi sikap
seseorang terhadap pekerjaannya ialah adanya motivator atau
satisfiers dan hygiene factors atau dissatisfiers. Motivator
merupakan faktor yang menjadi sumber kepuasan kerja. Apabila
hadirnya faktor motivator ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi
25
jika tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan
ketidak puasan. Sedangkan hygiene factors atau dissatisfiers
merupakan sumber ketidak puasan. Dijelaskan lebih lanjut pula
oleh Herzberg (Siagian, 2012) bahwa kepuasan kejra didasarkan
pada faktor-faktor yang sifatnya intrinsik, sebaliknya para pekerja
merasa tidak puas dengan pekerjaannya dikaitkan pada faktor yang
bersifat ekstrinsik atau yang bersumber dari luar diri pekerja yang
bersangkutan.
Kepuasan kerja mempunyai aspek-aspek ataupun dikenal dengan
komponen, dimensi, ciri-ciri, faktor maupun karakteristik. Komponen
tersebut yang akan digunakan untuk mengukur kepuasan kerja. Lima
komponen yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja menurut
Locke (dalam Luthans, 2006 h. 243) antara lain; pekerjaan itu sendiri, gaji
atau sejumlah uang yang diterima, kesempatan promosi, pengawasan serta
rekan kerja. Sedangkan komponen-komponen kepuasan kerja, menurut
pembatasan Locke (1976), Wagner III, & Hollenbeck (1995) yang dikutip
oleh Wijono (2012 h. 120) bahwa terdapat tiga komponen yaitu; nilai yang
dipandang dari keinginan sesorang, kepentingan membedakan nilai yang
dipegang, dan persepsi individu.
Dalam penelitiannya, Herzberg menemukan bahwa faktor-faktor yang
menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor-faktor yang
menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang menimbulkan
kepuasan kerja dinamakan faktor motivator, yang isinya mencakup isi dari
pekerjaan dan merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan yaitu:
a. Tanggung jawab (responsbility), besar kecilnya tanggung jawab
yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja,
b. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga
kerja dapat maju dalam pekerjaannya,
c. Pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan
tenaga kerja dari pekerjaannya,
26
d. Capaian (achievment), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja
mencapai prestasi kerja yang tinggi,
e. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan
kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya.
Faktor-faktor lainnya yang menimbulkan ketidakpuasan kerja termasuk ke
dalam kelompok hygiene. Jika faktor-faktor dalam kelompok ini tidak
diberikan, maka tenaga kerja akan merasa tidak puas dan banyak
mengeluh. Faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan berkaitan
dengan konteks dari pekerjaan dan merupakan faktor ekstrinsik dari
pekerjaan yang meliputi:
a. Adminitrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang
dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang
berlaku dalam perusahaan.
b. Penyeliaan, derajat kewajaaran penyeliaan yang dirasakan diterima
oleh tenaga kerja.
c. Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan
unjuk kerja.
d. Hubungan antarpribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam
berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.
e. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses
pelaksanaan tugas pekerjaannya.
Berdasarkan beberapa komponen yang telah diungkapkan, maka penulis
memilih komponen yang disampaikan oleh Herzberg (dalam Munandar,
2001) bahwa komponen kepuasan kerja atau motivator lebih dilihat dari
faktor intrinsik yang terdiri dari tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu
sendiri, capaian, dan pengakuan. Sedangkan ketidak puasan kerja dilihat
faktor hygiene dari faktor ekstrinsik yang terdiri dari kebijakan
perusahaan, penyeliaan, gaji, hubungan antar pribadi, dan kondisi kerja.
Sama halnya dengan karyawan, kepuasan kerja guru dan ketidak puasan
kerja guru dapat dilihat dari faktor motivator dan faktor hygiene
27
disampaikan oleh Herzberg di mana kedua faktor ini dapat mengukur
tingkat kepuasan kerja guru-guru dan ketidak puasan kerja guru di dalam
dunia pendidikan. Merujuk dari beberapa teori kepuasan kerja yang telah
disampaikan, maka penulis lebih memilih menggunakan Two factor
Theory yang disampaikan oleh Herzberg, yang mengungkapkan bahwa
kepuasan kerja dan ketidak puasan kerja merupakan dua hal yang berbeda.
Guru juga memiliki kepuasan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja itu
sendiri tidak dapat dilihat dari ketidak puasan yang dialami oleh guru.
Karena yang menjadi sumber kepuasan kerja jika tidak ada belum tentu
menjadi sebuah ketidak puasan kerja.
2.4 Usia
Jika melihat pada perkembangan dunia kerja saat ini, maka dapat dilihat
jika dunia kerja saat ini tidak membatasi antara pekerja yang berusia
produktif dengan pekerja yang usia tidak produktif. Usia merupakan salah
satu faktor demografis yang sedikit banyak memengaruhi pekerjaan yang
dihasilkan oleh seorang pekerja. Seperti halnya profesi sebagai guru,
faktor usia akan menjadi salah satu faktor yang akan memberikan
pengaruh pada komitmen guru tersebut pada pekerjaannya. Tentunya
komitmen pada pekerjaan yang dihasilkan oleh guru-guru yang masih
berada pada usia produktif akan berbeda dengan guru-guru yang sudah
berada di atas usia produktif. Usia produktif yang dimaksud ialah usia di
bawah 40 tahun. Seperti penelitian yang sudah dilakukan oleh Wang
(2007) dan Yucel & Bektas (2012) yang menemukan bahwa tingkat
komitmen organisasi guru yang berusia di atas 40 tahun lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tingkat komitmen organisasi guru yang berusia di
bawah 40 tahun. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Butucha (2013) yang menyatakan bahwa usia dapat
membedakan komitmen organisasi karyawan meskipun pengaruhnya
hanya kecil.
28
2.5 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian sebelumnya juga penting dalam menyusun penelitian
ini. Dengan adanya hasil temuan dari penelitian-penelitian sebelumnya,
penelitian ini akan semakin kuat untuk dilaksanakan.
2.5.1 Hubungan Motivasi Kerja dengan Komitmen Organisasi
Motivasi kerja bagi anggota organisasi sangat diperlukan karena akan
meningkatkan produktivitas organisasi. Jika karyawan mempunyai
motivasi yang rendah dalam pekerjaannya akan membawa akibat yang
kurang menguntungkan baik itu bagi suatu organisasi maupun bagi diri
anggota organisasi itu sendiri.
Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh
William (2012) yang menemukan hubungan yang positif antara motivasi
dengan komitmen organisasi. William melakukan penelitian antara
motivasi dan komitmen kerja guru di empat Sekolah Menengah Atas di
Ashanti. Penelitian ini melibatkan 100 guru (masing-masing sekolah
25 guru yang dipilih secara acak). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
komitmen para guru cukup tinggi dengan skor rata-rata komitmen 57.92
(standar deviasi =7.39) dan ada korelasi yang positif dari motivasi sebesar
0.020. Salami (2008) juga menemukan bahwa motivasi berprestasi
memengaruhi komitmen organisasi. Lebih lanjut, Choong et al (2011)
melakukan penelitian pada 247 pendidik dari empat universitas di
Malaysia, dan menemukan bahwa motivasi intrinsik berhubungan secara
signifikan dengan komitmen organisasi dan ketiga komponen yang ada di
dalam komitmen organisasi itu sendiri, yakni komitmen afektiv, komitmen
normatif, dan komitmen berkelanjutan. Hasil penelitian ini dilihat bahwa
motivasi intrinsik dapat memprediksi komitmen organisasi dengan nilai R-
square = 0.106). Hasil yang serupa ditemukan George & Sabapathy (2011)
dalam penelitian yang dilakukan mereka menemukan hasil penelitian
hubungan yang positif antara motivasi kerja guru dan komitmen organisasi
dengan nilai r=0.50 yang diperoleh dari 450 responden guru di Kota
Bangalore. George & Sabapathy menggunakan Work Motivation
29
Questionnaire yang diadaptasi dari K G Agarwal, sedangkan untuk
mengukur komitmen organisasi mereka menggunakan Organizational
Commitment Scale (Allen & Meyer) yang diadaptasi dari Dr.Thomas C
Mathew. Alhaji & Fauziah (2011) menemukan hasil penelitian yang telah
dilakukannya bahwa motivasi kerja karyawan akan memengaruhi
komitmen organisasi dan komitmen organisasi dapat meningkatkan
efektivitas organisasi melalui motivasi. Sementara itu, Altindis (2011)
melakukan penelitian antara motivasi kerja dan komitmen organisasi staff
kesehatan di rumah sakit dan menemukan bahwa motivasi intrinsik dan
komitmen afektif serta komitmen normatif berhubungan, serta
menunjukkan bahwa komitmen afektif mempunyai hubungan yang lemah
dengan motivasi eksternal.
Hasil penemuan yang cukup menarik ditemukan oleh Berg (2011) pada
penelitiannya, karena hasil penelitian Berg cukup bertentangan. Berg
melakukan penelitian dari data yang dikumpulkannya dari dosen
perguruan tinggi yang terdiri dari professor, asisten professor, asosiasi
professor, dan kandidat PhD yang berjumlah 162 orang. Berg melakukan
pengukuran komitmen organisasi menggunakan skala yang disusun oleh
Allen dan Meyer yang menggunakan skala Likert dengan nilai 1 hingga 5.
Sedangkan untuk mengukur motivasi kerja Berg menggunakan skala yang
telah digunakan oleh Amabile yang terdiri dari 20 butir. Dari hasil
penelitiannya, Berg menemukan hubungan yang negatif antara motivasi
intrinsik dan komitmen organisasi dengan hasil (-0.20), tetapi juga
menemukan hubungan yang negatif antara motivasi ekstrinsik dan
komitmen organisasi dengan hasil korelasi (-0.25).
Penelitian yang sama dengan Berg dilakukan oleh Tella et al (2007). Tella
et al melakukan penelitian motivasi kerja, kepuasan kerja dan komitmen
organisasi diantara personil perpustakaan di perpustakaan Akademik dan
Penelitian di Oyo State, Nigeria. Hasil penelitian Tella et al ini,
menunjukkan bahwa ada korelasi antara persepsi motivasi, kepuasan kerja,
30
dan komitmen, meskipun hubungan antara motivasi dan komitmen negatif
dengan nilai koefisien r = -0.1767. Tidak ada perbedaan diamati dalam
motivasi yang dirasakan personil perpustakaan profesional dan
non-profesional. Selain itu, temuan juga menunjukkan bahwa ada
perbedaan dalam kepuasan kerja tenaga perpustakaan di perpustakaan
akademik dan penelitian, dan bahwa tidak ada hubungan antara komitmen
organisasi personil perpustakaan dengan tahun pengalaman mereka.
Serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tella et al, Tahere
et al (2012) melakukan penelitian yang korespondennya perawat-perawat
yang ada di rumah sakit Ghaem di kota Mashhad, Iran. Sampel penelitian
ini terdiri dari 50 perawat, dan hasil penelitian ini menujukkan bahwa
tidak ada korelasi antara motivasi kerja dan komitmen organisasi dengan
hasil koefisien 0.104. Tetapi hasil penelitian ini juga menemukan bahwa
kepuasan kerja berkorelasi positif dengan komitmen organisasi dengan
hasil koefisien 0.426.
Melihat dari berbagai hasil penelitian mengenai motivasi kerja yang erat
hubungannya dengan komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan,
maka penulis pun mengambil kesimpulan bahwa motivasi kerja karyawan
mempunyai pengaruh yang cukup kuat pada komitmen organisasi
karyawan tersebut pada organisasi di mana ia bekerja. Karyawan yang
memiliki motivasi kerja yang tinggi akan memiliki komitmen organisasi
yang tinggi pula pada organisasinya, sehingga karyawan tersebut akan
bekerja semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan organisasinya. Tidak
hanya karyawan yang membutuhkan motivasi yang tinggi, namun guru
sebagai pengajar juga membutuhkan motivasi kerja yang tinggi hal ini
diharapakan ketika guru memiliki motivasi kerja yang tinggi, guru juga
akan memiliki komitmen organiasai yang tinggi pada organisasi
sekolahnya. Sehingga guru akan bekerja dengan maksimal untuk
mencapai apa yang menjadi tujuan dari organisasi sekolah tersebut.
31
2.5.2 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi
Kepuasan kerja bagi anggota organisasi sangat diperlukan karena akan
meningkatkan produktivitas organisasi. Jika terjadi ketidakpuasan pada
anggota dalam pekerjaannya akan membawa akibat yang kurang
menguntungkan baik itu bagi suatu organisasi maupun bagi diri anggota
organisasi itu sendiri. Chavez (2012) melakukan penelitian pada 200 guru
dan menemukan bahwa kepuasan kerja guru secara signifikan berkorelasi
tinggi dengan komitmen organisasi dengan nilai r=0.488, namun dalam
penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja signifikan sebagai
prediktor komitmen organisasi guru. Sejalan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, Eliyana et al (2012) mengungkapkan faktor-faktor dalam
kepuasan kerja secara signifikan memengaruhi komitmen organisasi
karyawan dengan nilai r=0.967. Sementara itu penelitian lain pada pekerja
industri yang dilakukan oleh Salami (2008) juga menunjukkan bahwa
kepuasan kerja memengaruhi komitmen organisasi pekerja industri.
Senada dengan penelitian sebelumnya, Wijono (2012) mengemukakan
bahwa ketidakpuasan kerja akan menyebabkan masalah terhadap anggota
organisasi yaitu kecenderungan berhenti kerja, sering kali absen (bolos)
bahkan menyebabkan stres pekerja. Pernyataan ini diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Bull (2005) bahwa kepuasan kerja guru
memengaruhi komitmen organisasi guru sekolah tinggi. Bull melakukan
penelitian pada 237 Sekolah Menengah Atas di Western Cape dan
hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
kepuasan kerja dan komitmen organisasi (r=0.434, ρ<0.01). Senada
dengan penelitian Bull, penelitian antara kepuasan kerja dengan komitmen
kerja pernah dilakukan oleh Ustuner (2009). Ustuner melakukan penelitian
pada komitmen organisasi guru. Pada penelitiannya, sampel terbagi dari
dua kelompok guru. Kelompok yang pertama terdiri dari 310 guru
sukarela yang bekerja di Provinsi Malatya dan kelompok yang kedua
terdiri dari 201 guru yang bekerja di 20 sekolah yang berbeda. Untuk
mengukur kepuasan kerja guru, Ustuner menggunakan Minnesota
32
Satisfaction Questionnaire (MSQ). Sedangkan untuk mengukur komitmen
kerja guru, Ustuner menggunakan Teachers’ Organizational Commitment
Scale (TOCS). Dari hasil penelitiannya, ditemukan korelasi yang positif
antara kepuasan kerja guru dengan komitmen kerja guru.
Malik & Nawab (2010) juga melakukan penelitian kepuasan kerja dan
komitmen organisasi dosen dan pendidik di universitas di sektor umum
yang ada di Pakistan pada 2010. Enam ratus kuesioner didistribusikan
kepada dosen, asisten professor, asosiasi professor, dan professor yang
bekerja di dua sektor umum universitas di Pakistan. Hasil penelitian
Malik & Nawab (2010) menunjukkan bahwa pekerjaan itu sendiri, kualitas
supervisi dan kepuasan gaji mempunyai pengaruh yang positif pada
komitmen organisasi responden yang telah diteliti. Hal yang sama
dilakukan Susanj & Jakopec (2012) yang menemukan kepuasan kerja
memberikan kontribusi pada komitmen organisasi pada responden yang
berjumlah 537 orang. Dalam penelitian ini, Susanj & Jakopec
menggunakan alat ukur Job Satisfaction Questionnaire berdasarkan
Gregson (1987) untuk mengukur kepuasan kerja dan Organizational
Commitment Questionnaire yang dikembangkan oleh Maslić-Seršić yang
berpedoman dari Meyer, Allen, & Smith untuk mengukur komitmen
organisasi. Hasilnya ditemukan bahwa kepuasan kerja memengaruhi
komitmen organisasi dengan nilai =0.08, ρ<0.01.
2.6 Dinamika Psikologis
Kemajuan dan keberhasilan organisasi tidak terlepas dari anggota-
anggotanya. Setiap anggota tentunya mempunyai motivasi kerja dan
kepuasan kerja dalam melaksanakan tugasnya di organisasi tersebut. Guru
adalah pekerja yang berada di bawah sebuah organisasi. Jika guru
termasuk pegawai negeri sipil, guru berada di bawah organisasi
pemerintahan. Tetapi jika guru tidak termasuk pegawai negeri sipil dan
termasuk guru swasta, maka guru berada di bawah organisasi yang biasa
disebut dengan yayasan. Komitmen organisasi tidak hanya dibutuhkan
33
oleh karyawan yang berada di sebuah perusahaan, namun komitmen
organisasi itu selayaknya juga dibutuhkan oleh para guru karena mereka
juga berada di dalam sebuah organisasi yang menaungi pekerjaan mereka.
Selain mengajar, guru juga sudah seharusnya mempunyai komitmen
organisasi supaya dapat mengembangkan sekolah yang menjadi tempat di
mana mereka bekerja dapat berhasil dan berkembang dengan baik.
Komitmen organisasi pada guru apabila dilihat dari teori yang telah ada
serta beberapa hasil temuan penelitian sangat dipengaruhi oleh motivasi
kerja dan kepuasan kerja. Motivasi kerja dan kepuasan kerja individu yang
berada dalam organisasi mempunyai pengaruh yang kuat pada komitmen
organisasi. Seperti yang disimpulkan oleh Choong et al (2011) bahwa
motivasi kerja mempunyai hubungan dengan komitmen organisasi.
Kepuasan kerja menurut Ustuner (2009) dan Malik & Nawab (2010) juga
sangat berpengaruh pada komitmen organisasi.
Karyawan dalam hal ini guru mempunyai tingkat motivasi kerja dan
kepuasan kerja yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Motivasi dan kepuasan kerja yang berbeda-beda ini tentunya juga akan
berpengaruh pada komitmen organisasi yang dimiliki. Semakin tinggi
motivasi kerja yang dimiliki oleh guru semakin tinggi juga komitmen
organisasi yang dimiliki guru. Demikian pula halnya dengan kepuasan
kerja guru. Apabila tingkat kepuasan kerja guru tinggi, makan komitmen
organisasi yang dimiliki oleh guru juga akan tinggi. Terlebih lagi jika
motivasi kerja yang tinggi diimbangi dengan kepuasan kerja guru yang
sama-sama tinggi akan berpengaruh pada komitmen organisasi yang
tinggi. Dengan adanya komitmen organisasi yang tinggi maka karyawan
akan semakin loyal pada organisasi itu dan akan berusaha semaksimal
mungkin untuk kemajuan dan keberhasilan organisasi itu. Demikian
halnya dengan guru yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan
semakin loyal pada sekolah yang menaunginya. Guru akan memberikan
34
kualitas pelayanan pendidikan yang baik ketika mempunyai komitmen
organisasi yang tinggi.
Tidak hanya mengenai motivasi kerja dan kepuasan kerja yang dapat
memengaruhi komitmen organisasi guru, akan tetapi jika dilihat dari
faktor demografi yang ada yakni usia guru, komitmen organisasi guru
berbeda. Faktor usia memengaruhi kematangan berpikir seseorang. Ketika
seorang guru berada pada usia produktif (di bawah 40 tahun) memiliki
keputusan yang rendah untuk berkomitmen pada pekerjaannya, hal ini
dikarenakan masih ada peluang untuk bekerja di tempat lain. Sedangkan
guru yang usianya di atas 40 tahun memiliki tingkat komitmen organisasi
yang lebih tinggi dibandingkan guru yang berusia di bawah 40 tahun.
2.7 Model Penelitian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu dan landasan teori di atas,
maka model penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah
hubungan antara motivasi kerja guru dan kepuasan kerja secara bersama
dengan komitmen organisasi guru dan dilihat dari usia guru, maka model
penelitian dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Motivasi Kerja
Kepuasan Kerja
Komitmen Organisasi
Usia
35
2.8 Hipotesis
Berdasarkan teori-teori yang ada dan berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya yang sudah dipaparkan, maka yang menjadi hipotesis pada
penelitian ini adalah:
a) Terdapat hubungan antara motivasi kerja guru dan kepuasan kerja
guru dengan komitmen organisasi guru di Yayasan Pendidikan Eben
Haezer Salatiga
b) Terdapat pengaruh interaksi antara motivasi kerja guru dan usia guru
dengan komitmen organisasi guru di Yayasan Pendidikan Eben
Haezer Salatiga
c) Terdapat pengaruh interaksi antara kepuasan kerja guru dan usia
guru dengan komitmen organisasi guru di Yayasan Pendidikan Eben
Haezer Salatiga
d) Terdapat perbedaan komitmen organisasi guru ditinjau dari usia
guru di Yayasan Pendidikan Eben Haezer Salatiga
36