bab ii tinjauan pustaka · 2016. 8. 29. · 14 bab ii tinjauan pustaka sesuai dengan judul di atas...

35
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sesuai dengan judul di atas (tinjauan pustaka), maka dalam Bab ini Penulis kemukakan gambaran mengenai tinjauan atau studi kepustakaan atas prinsip-prinsip dan asas serta kaidah yang mengatur mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam dalam sistem hukum di Indonesia. Adapun tujuan dari tinjauan kepustakaan ini adalah untuk menjawab rumusan masalah dari penelitian hukum ini. 18 Uraian studi atau tinjauan kepustakaan dimaksud terdiri dari gambaran umum konsep tanggung jawab hukum, strict liability vs liability based on fault, perbedaan strict liability dan absolute liability, strict liability dan absolute liability dari segi subatantif, kategori kegiatan yang dapat dikenakan asas strict liability, kategori kegiatan extrahazardous dalam hukum lingkungan Indonesia, strict liability sebagai pertanggungjawaban khusus dalam hukum lingkungan, kekhasan strict liability, sistem plafond dalam strict liability. Selain itu Bab ini juga berisi sumber hukum mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum lingkungan hidup.. 18 Rumusan masalah Penelitian dan Penulisan karya tulis ini dapat dilihat dalam Bab I, Sub Judul: Rumusan Masalah, hal., 9, Supra.

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 14

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Sesuai dengan judul di atas (tinjauan pustaka), maka dalam Bab ini Penulis

    kemukakan gambaran mengenai tinjauan atau studi kepustakaan atas prinsip-prinsip

    dan asas serta kaidah yang mengatur mengenai tanggung jawab mutlak (strict

    liability) dalam dalam sistem hukum di Indonesia. Adapun tujuan dari tinjauan

    kepustakaan ini adalah untuk menjawab rumusan masalah dari penelitian hukum ini.18

    Uraian studi atau tinjauan kepustakaan dimaksud terdiri dari gambaran umum

    konsep tanggung jawab hukum, strict liability vs liability based on fault, perbedaan

    strict liability dan absolute liability, strict liability dan absolute liability dari segi

    subatantif, kategori kegiatan yang dapat dikenakan asas strict liability, kategori

    kegiatan extrahazardous dalam hukum lingkungan Indonesia, strict liability sebagai

    pertanggungjawaban khusus dalam hukum lingkungan, kekhasan strict liability,

    sistem plafond dalam strict liability. Selain itu Bab ini juga berisi sumber hukum

    mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum lingkungan hidup..

    18 Rumusan masalah Penelitian dan Penulisan karya tulis ini dapat dilihat dalam Bab I, Sub Judul: Rumusan Masalah, hal., 9, Supra.

  • 15

    A. Konsep Tangung Jawab Hukum

    Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus

    hukum, yaitu liability dan responsibility. Pertanggung jawaban berasal dari kata

    tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau

    ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Dalam

    kamus hukum ada dua istilah menunjuk pada pertanggungjawaban, yakni liability

    (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible).

    Liability merupakan istilah hukum yang luas (a broad legal term) yang di dalamnya

    mengandung makna bahwa menunjuk pada makna yang paling komprehensif,

    meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang

    bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua

    karakter hak dan kewajiban. Secara etimologis, liability merupakan istilah hukum

    yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang

    pasti, yang bergantung atau mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban

    secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi

    yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan, kaitan

    dengan liability ada responsibility, berarti hal yang dapat di pertanggungjawabkan

    atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan

    kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang

    dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk

    pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang

  • 16

    dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada

    pertanggungjawaban politik.

    Dari responsibility ini muncul istilah responsible government yang

    menunjukan bahwa istilah ini pada umumnya menunjukan bahwa jenis- jenis

    pemerintahan dalam hal pertanggungjawaban terhadap ketentuan atau undang-

    undang public dibebankan pada departemen atau dewan eksekutif, yang harus

    mengundurkan diri apabila penolakan terhadap kinerja mereka dinyatakan melalui

    mosi tidak percaya, di dalam majelis legislatif, atau melalui pembatalan terhadap

    suatu undang- undang penting yang dipatuhi.

    Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada

    pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan

    oleh subjek hukum, sedangkan responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban

    politik. Dalam ensiklopedi administrasi, responsibility adalah keharusan seseorang

    untuk melaksanakan secara selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya.

    Disebutkan juga bahwa pertanggungjawaban mengandung makna; meskipun

    seseorang mempunyai kebebasan dalam melaksanakan sesuatu tugas yang

    dibebankan kepadanya, namun ia tidak dapat membebaskan diri dari hasil atau akibat

    kebebasan perbuatannya, dan ia dapat dituntut untuk melaksanakan secara layak apa

    yang diwajibkan kepadanya. 19

    19 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal

    335-337.

  • 17

    Suatu prinsip terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep

    tanggung jawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung

    jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan sanksi dalam

    kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan

    terhadap deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat seseorang

    tersebut harus bertanggung jawab. Dalam kasus ini subyek responsibility dan subyek

    kewajiban hukum adalah sama dengan teori tradisional pertanggungjawaban

    berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute

    responsibility).20

    Hukum melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya memiliki

    kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi atau dilakukan

    dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak relevan. Adalah cukup

    bahwa perbuatannya telah membawa efek yang dinyatakan oleh legislator sebagai

    harmful, yang berarti menunjukan hubungan eksternal antara perbuatan dan efeknya.

    Tidak dibutuhkan adanya sikap mental pelaku dan efek dari perbuatan tersebut.

    Pertanggungjawaban semacam ini disebut dengan pertanggungjawaban absolute.21

    Suatu sikap mental deliquent, atau disebut mens rea, adalah suatu elemen

    delik. Elemen ini disebut dengan terma kesalahan (fault) (dalam arti lebih luas disebut

    dollus atau culpa). Ketika sanksi diberikan terhadap delik kualifikasi psikologis ini

    disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (responsibility based on

    20 Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal 61.

    21 Ibid.

  • 18

    fault atau cupability). Dalam hukum juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang

    dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan (negligance). Kealpaan

    adalah suatu delik omisi, dan pertanggungjawaban terhadap kealpaan lebih

    merupakan pertanggungjawaban absolute daripada culpability.22

    Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan

    sebagai berikut:

    1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

    Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau

    liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum

    pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal

    1365, 1366, dan 1367, prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan

    pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

    Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal

    tentang perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigdaad), mengharuskan terpenuhinya

    empat unsur pokok, yaitu:

    a) Adanya perbuatan;

    b) Adanya unsur kesalahan;

    c) Adanya kerugian yang diderita;

    d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

    22 Ibid, hal 62-63.

  • 19

    Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum

    tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang tetapi juga kepatutan dan

    kesusilaan dalam masyarakat.

    Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , tanggung jawab

    hukum terhadap orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas pada

    perbuatannya sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai, agen,

    perwakilannya apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang

    tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang

    tersebut.23

    2. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

    Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

    (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak

    bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting,

    karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu

    dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang

    diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.24

    Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini

    tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu

    23 Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, Raja Grafindo Persada, Jakata, 2009, hal 220.

    24 E. Suherman, Masalah Tanggung jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa

    Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (kumpulan karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, 1979, hal 21.

  • 20

    bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence).

    Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup

    relevan. Jika digunakan teori ini,maka yang berkewajiban untuk membuktikan

    kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus

    menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak

    dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat

    selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukan

    kesalahan tergugat.

    3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

    Prinsip strict liability sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab

    absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang memebdekan

    kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah

    pinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang

    menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk

    dibebaskan dari tanggung jawab. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip

    tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

    Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability,

    dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung

    jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan

    sendiri. Adalah tanggung jawab mutlak.25

    25 Ibid, hal 23.

  • 21

    B. Strict Liability VS Liability Based On Fault

    Pertanggungjawaban perdata dalam konteks penegakan hukum lingkungan

    merupakan instrumen hukum perdata untuk mendapatkan ganti kerugian dan biaya

    pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Secara

    umum, terdapat dua jenis pertanggungjawaban perdata yang diberlakukan atau dapat

    digunakan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, yaitu:26

    1. Liability Based On Fault

    Liability based on fault adalah suatu pertanggungjawaban yang

    mensyaratkan adanya unsur kesalahan atau fault. Konsep tersebut dikenal

    sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang

    Hukum Perdata yaitu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum

    dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatige daad dan dalam bahasa

    Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah

    (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri

    berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan

    berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan

    pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatige daad dalam

    sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata

    ”tort” berasal dari kata latin ”torquere” atau ”tortus” dalam bahasa Perancis,

    26 Blogspot, Strict Liability Vs Liability Based On Fault, http://destylestari.blogspot.com/2011/07/strict-liability-vs-fault-base.html.

  • 22

    seperti kata ”wrong” berasal dari kata Perancis ”wrung” yang berarti

    kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan

    dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan

    melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan

    dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere,

    alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup

    secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).

    Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 sampai dengan Pasal

    1380 KUHPerdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang

    melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan

    orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut.

    Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata berasal dari Code Napoleon.

    Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa:

    “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang

    lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

    menggantikerugian tersebut.” Dengan kata lain perbuatan melawan hukum

    berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mensyaratkan

    penggugat membuktikan adanya unsur kesalahan (fault). Ketentuan Pasal ini

    menunjukan mengenai konsep liability based on fault berdasarkan kesalahan

    (kesengajaan).

    Ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata ini kemudian kembali

    dipertegas dalam Pasal 1366 KUHPerdata yaitu: “Setiap orang bertanggung

    jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi

  • 23

    juga disebabkan oleh kelalaiannya.” Ketentuan Pasal ini menunjukan

    mengenai konsep liability based on fault berdasarkan kesalahan (kelalaian).

    Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum

    tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak berbuat.

    Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata yang menyatakan,

    ” Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan

    perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan

    perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau

    disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Orangtua

    dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak

    yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka

    melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang yang

    mengangkat orang lain untuk mewakili urusan urusan mereka, bertanggung

    jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka

    dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu. Guru

    sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan

    oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu orang-orang itu

    berada di bawah pengawasannya. Tanggung jawab yang disebutkan di atas

    berakhir, jika orangtua, guru sekolah atau kepala tukang itu membuktikan

    bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana

    mereka seharusnya bertanggung jawab.“ ketentuan Pasal ini sebenarnya lebih

    mengarah kepada semangat prinsip strict liability tetang sesuatu yang berada

    dibawah pengawasannya.

  • 24

    Mengandalkan unsur kesalahan dalam konteks pesatnya perkembangan

    keilmuan dan teknologi sering kali menimbulkan kesulitan dalam memprediksi risiko

    yang timbul dari suatu kegiatan industri. Melihat keterbatasan dari liability based on

    fault ini maka mungkin terjadi timbulnya pencemar atau perusak lingkungan tanpa

    dapat dikenakan pertanggungjawaban. Liability based on fault juga memungkinkan

    pencemar atau perusak lingkungan terbebas dari pertanggungjawaban perdata apabila

    ia dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan upaya maksimal pencegahan melalu

    pendekatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

    Jenis pertanggungjawaban liability based on fault atau yang lebih dikenal

    perbuatan melawan hukum, memiliki beberapa kekurangan dan kelebihan, yaitu

    diantaranya:27

    1. Kelebihan

    Bahwa hukum baru dapat diberlakukan kepada orang yang

    benar-benar terbukti kesalahannya. Artinya hal tersebut mengandung

    asas praduga tak bersalah, dimana selama seseorang belum dapat

    dibuktikan kesalahnnya maka orang tersebut tidak dianggap bersalah.

    2. Kekurangan

    Pemberlakuan asas praduga tak bersalah adalah kurang tepat

    dalam lingkup perdata. Asas praduga tak bersalah ini lebih tepat

    digunakan dalam lingkup pidana.

    Salah satu syarat pemberlakuan pertanggungjawaban jenis ini

    adalah dengan membuktikan adanya unsur kesalahan yang dilakukan

    27 Ibid.

  • 25

    sehingga menimbulkan kerugian di pihak lain. Sedangkan unsur

    kesalahan itu sendiri sulit dibuktikan. Terkait dengan hukum

    lingkungan, seorang pencemar yang terbukti telah melakukan upaya

    maksimal pencegahan pencemaran melalui pendekatan Analisis

    Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara konsisten dapat

    terbebas dari pertanggungjawaban atas dampak kerugian yang

    ditimbulkan.

    2. Strict Liability

    Prinsip strict liability merupakan prinsip pertanggungjawaban hukum

    (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus

    di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini pengadilan

    tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kristeria yang menentukan, bahwa

    suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika

    penggunaan tersebut bersifat non natural atau diluar kelaziman, atau tidak

    seperti biasanya. Jenis pertanggungjawaban ini muncul sebagai reaksi atas

    segala kekurangan dari sistem atau jenis pertanggungjawaban liability based

    on fault.

    Pertanggungjawaban hukum konvensional selama ini menganut asas

    pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya

    bahwa tidak seorang pun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak

    terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan doktrin tersebut

    akan melahirkan kendala bagi penegak hukum di peradilan karena doktrin ini

  • 26

    tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri

    modern yang mengadung risiko-risiko potensial.

    Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 23 tahun

    1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah disempurnakan di dalam

    Pasal 88 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini pengertian tanggung jawab mutlak adalah unsur

    kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran

    ganti kerugian. Dimana besarnya ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap

    pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai

    batas tertentu. Di dalam strict liability, seseorang bertanggung jawab kapan pun

    kerugian timbul. Hal ini berarti bahwa pertama, para korban dilepaskan dari beban

    berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugiannya dengan

    tindakan individual tergugat. Kedua, para pihak pencemar akan memperhatikan baik

    tingkat kehati-hatiannya, maupun tingkat kegiatannya. Dua hal ini merupakan

    kelebihan strict liability dari asas kesalahan.

    Penerapan asas tanggung jawab mutlak di Pengadilan Negeri masih

    didasarkan pada ketentuan normatif Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata. Artinya hakim dalam memeriksa gugatan ganti rugi dalam kasus-kasus

    lingkungan masih berpijak pada, ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata perihal perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan demikian penggugat

    sering kali ada dalam posisi lemah karena disini unsur kesalahan memainkan peranan

    penting dalam menentukan bertanggung jawab atau tidaknya seseorang.

  • 27

    Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan digunakannya asas

    tanggung jawab mutlak dalam kasus lingkungan di Pengadilan Negeri maka hakim

    harus dapat menemukan kriteria untuk menentukan apakah sebuah kegiatan dapat

    ditundukan pada asas tanggung jawab mutlak. Maka disini hakim pengadilan harus

    dapat melakukan penemuan hukum atau penggalian kriteria baru dalam rangka

    penerapan asas tanggung jawab mutlak. Sebagai salah satu bagian dari konteks

    penegakan hukum lingkungan, penerapan asas tanggung jawab mutlak tersebut

    menhadapai beberapa hambatan yang lebih disebabkan karena dari sarana hukumnya,

    terlihat belum adanya peraturan pelaksanaan lebih lanjut, dari sumber daya

    manusianya adalah hakim kurang melihat hukum lingkungan secara luas, tetapi

    sebatas yang tertulis di dalam undang-undang saja.28

    Berdasarkan uraian di atas mengenai sistem pertanggungjawaban perdata

    yaitu liability based on fault dan strict liability, makan dapat dilihat beberapa

    perbedaan yang memcolok antara keduanya, yaitu sebagai berikut:

    28 Ibid.

  • 28

    FAULT BASED LIABILITY STRICT LIABILITY

    Pertanggungjawaban ditentukan

    berdasarkan ada atau tidaknya

    kesalahan.

    Pertanggungjawaban berorientasi

    pada akibat yang ditimbulkan, bukan

    berdasarkan ada atau tidaknya

    kesalahan.

    Hanya pencemar yang terbukti

    bersalah yang dapat dimintakan

    pertanggungjawaban.

    Semua pencemar dapat dimintakan

    pertanggungjawaban.

    Lebih memberi perlindungan hukum

    bagi para pelaku usaha.

    Lebih memberi perlindungan hukum

    pada masyarakat dan lingkungan

    hidup.

    C. Perbedaan Strict Liability dan Absolute Liability

    Kasus Rylands v. Fletcher yang diputuskan oleh hakim J. Blackburn telah

    melahirkan asas strict liability. Keputusan hakim tersebut mendapat kritikan dari

    Prof. Winfield yang melahirkan pengertian hukum tentang strict liability yang

    berbeda dari absolute liability. Kritik Prof. Winfield terhadap putusan hakim

    Blackburn sebagai berikut:29

    29 Sebagaimana dikutip oleh Danusaputro dalam bukunya Hukum Lingkungan-Sektor V,

    hlm 58.

  • 29

    “One phrase of Blackburns, J’s was rather unfortunate, and that was his discription of this liability as resting upon an absolute duty to keep it (sc. The water) in at his peril. This liability may be strict but is not absolute; indeed, the exceptions to the rule indicated by Blackburn, J., himslef show that it is not.”

    (Oleh Danusaputro diterjemahkan bahwa tanggung jawab ini boleh jadi

    “tegas-tepat-teliti-keras” tetapi bukan “mutlak”). Prof. Winfield menyatakan bahwa

    tanggung jawab B (Rylands) pada mulanya dimulai oleh hakim Blackburn sebagai

    absolute liability karena lahir dari “an aboslute duty to keep it (the water) in at his

    peril.”

    Kritik Prof. Winfield melahirkan absolute liability30 yang berbeda dengan

    strict liability. Strict liability memang dapat digolongkan ke dalam jenis absolute

    liability karena telah melampui liability based on risk tetapi lingkup dan isi absolute

    liability jauh lebih luas dan lebih berat daripada strict liability, sehingga perlu

    dibedakan dan dipisahkan secara tegas seperti yang telah ditunjukkan oleh Prof.

    Winfield. Strict Liability memang sejenis dengan Absolute Liability, tetapi lingkup

    dan isinya sungguh berbeda dan berlainan. Oleh sebab itu tidaklah tepat untuk

    menyamakannya. Adanya pihak yang menerjemahkan Strict Liability menjadi

    tanggung jawab secara mutlak (yang secara harafiah merupakan terjemahan-tepat dari

    istilah Inggris: Absolute Liability). Dengan menampilkan terjemahan “Strict Liability

    sebagai tanggung jawab secara mutlak” maka orang lantas segera menyamakan arti

    30 Absolute Liability, secara harafiah ke dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi

    “tanggung jawab secara mutlak”, karena dalam Bahasa Inggris, absolute diterjemahkan menjadi mutlak.

  • 30

    strict liability dengan arti dan pengertian “Absolute Liability.” Salah satu upaya yang

    sangat berpengaruh ialah menemukan terjemahanya secara jelas agar tidak

    menimbulkan kerancuan antara strict liability dan absolute liability.

    Pengertian asas Absolute Liability apabila diterjemahkan ke dalam bahasa

    Indonesia adalah tanggung jawab secara mutlak. Menerjemahkan absolute liability

    sebagai tanggung jawab secara mutlak mengandung arti sebagai berikut:31

    1. Tidak boleh – tidak harus ada

    2. Bersifat tidak-bersyarat

    3. Berhakekat penuh dan lengkap

    4. Harus terlaksana dan terwujud secara tepat waktu

    5. Tidak mungkin dipersoalkan atau ditawar sedikitpun

    Berdasarkan lima hal tersebut di dapatkan gambaran mengenai hakikat dan

    arti dari absolute liability. Hal ini karena dari istilah absolute itu sendiri sudah

    menunjukan sifat liability yang dimaksud atau segi subtantif dari absolute liability.

    Istilah Inggris “strict liability” , secara harafiah dapat diterjemahkan ke dalam

    bahasa Indonesia menjadi:32

    1. Tanggung jawab secara tegas

    31 Danusaputro, op. Cit, hlm 61.

    32 Danusaputro, op. cit, hlm 61

  • 31

    2. Tanggung jawab secara tepat

    3. Tanggung jawab secara teliti

    4. Tanggung jawab secara keras

    “Mutlak” merupakan terjemahan tepat dari kata “absolute” maka sebaiknya istilah

    strict diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harafiah menjadi “Tegas.

    Teliti, Tepat, Keras”. Akan tetapi, apabila arti terjemahan dalam bahasa Indonesia

    secara tegas, tepat, teliti, keras maka terjemahannya menjadi kurang “sreg” walaupun

    lebih mengena secara harafiah.

    D. Strict Liability dan Absolute Liability Dilihat Dari Segi

    Subtantif33

    Secara subtantif, strict liability merupakan bentuk peningkatan dari liability

    based on risk yang melahirkan kewajiban hukum untuk membayar ganti rugi yang

    dikaitkan dengan penentuan batas tertinggi (unsur pembatasan) berdasarkan

    penetapan terlebih dahulu. Dengan demikian, dalam mengahadapi kewajiban hukum

    untuk melaksanakan strict liability, orang sudah tahu seberapa beban yang harus

    dipikulnya. Contohnya: CLC-1969, Pasal V, ayat (1):

    “The owner of a ship shlm.l be entited to limit his liability under this Cnvention in respect of any one incident to an aggregate amount of 2,000 francs for each ton of the ship’s tonnage. However, this aggregate amount shlm.l not in any event exceed 210 million francs.”

    33 Danusaputro, op. cit, hlm 63-67

  • 32

    Penentuan ganti rugi sebelumnya adalah sejalan dan seirama dengan

    ketentuan hukum yang mengharuskan pihak pelakunya untuk sudah mengetahui dan

    memperhitungkan sebelumnya tentang “tanggung jawab” yang harus dipikulnya,

    seperti bahaya ia harus memperhitungkan risiko dari usahanya. Oleh karena ia telah

    mengetahui sebelumnya “batas tertinggi” beban yang mungkin dipikulnya, maka ia

    dapat meringankan beban itu dengan menanggung beban tersebut pada asuransi.

    Dengan demikian, ketentuan tentang “pembatasan” beban tersebut merupakan

    peringanan (keuntungan) baginya.

    Ketentuan “pembatasan” akan gugur, manakala kerusakan yang diakibatkan

    oleh “tindak-perbuatannya” terjadi dengan kesengajaan secara nyata atau

    sepengetahuannya. Dalam hal ini, keringan pembatasan akan hilang dan ia akan

    dibebankan tanngung jawab secara mutlak dengan membayar ganti rugi secara penuh

    dan lengkap. Contohnya: CLC-1969, Pasal V ayat (2):

    “If the accident occured as a result of the actual fault or privity of the owner, he shlm.l entited to avail himself of the limitation provided in paragraph 1 of this article.”

    Dengan memperbandingkan semangat dan isi pasal V ayat (1) dengan makna

    ketentuan termuat dalam Pasal V ayant (2) tersebut di atas, tampak jelas perbedaan

    antara isi ketentuan tentang “strict liability” dan ketentuan ancaman akan berlakunya

    “absolute liability”, manakala kecelakaan tersebut timbul sebagai akibat dari

    kesalahan nyata atau dengan setahu si pemilik kapal yang menggugurkan hak-hak

    untuk menerapkan ketentuan tentang “pembatasan”.

  • 33

    “Strict Liability” adalah tanngung jawab yang timbul tanpa adanya kesalahan

    atau kelalaian. Sebaliknya, jika kesalahan dapat dibuktikan “adanya” maka tanggung

    jawab tersebut berubah menjadi “absolute”. Justru disinilah letak perbedaannya.

    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui secara jelas juga bahwa

    beban kewajiban terkandung dalam absolute liability dengan sendirinya tentu lebih

    berat daripada beban kewajiban yang lahir dari strict liability. Nyatanya, absolute

    liability diterapkan untuk menggantikan strict liability yang memiliki ciri khas dalam

    wujud ketentuan pembatasan jumlah ganti rugi yang dibayarnya. Oleh sebab itu

    dikatakan, bahwa absolute liability tidak mengenal pembatasan, melainkan

    menharuskan dibayarnya ganti rugi secara penuh dan lengkap, hingga disebutnya:

    “tanggung jawab tak bersyarat”.

    E. Kategori Kegiatan yang Dapat Dikenakan Asas Strict Liability

    Inti dari konsep strict liability ialah bahwa dalam hal seseorang menjalankan

    jenis kegiatan yang dapat digolongkan sebagai extrahazardous atau ultrahazardous

    atau abnormally dangerous, ia diwajibkan, memikul segala kerugian yang

    ditimbulkan, walaupun ia telah bertindak sangat hari-hati untuk mencegah segala

    bahaya atau kerugian tersebut, dan walaupun kerugian itu timbul tanpa adanya

    kesengajaan. Dengan demikian dalam strict liability terdapat suatu kewajiban

    tergugat untuk memikul tanggung jawab atas kerugian yang tidak dihubungkan

    dengan apa kesalahnnya. Asas strict liability muncul dari adanya kesadaran pada

    masyarakat bahwa untuk setiap perbuatan yang dilakukan baik itu oleh perseorangan

  • 34

    atau kelompok, maka orang atau kelompok tersebut tidak akan dapat melepaskan diri

    dari tanggung jawab untuk setiap kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu.

    Biasanya asas ini selalu dikaitkan dengan ganti rugi.34

    Menurut Richard A. Posner, melalui konsep ultrahazardous, tort law

    membebankan strict liability pada aktivitas yang melibatkan bahaya dalam derajat

    yang tinggi yang tidak dapat dicegah oleh pihak yang telah bertindak hati-hati atau

    pihak yang mungkin menjadi korban.35 Menurutnya contoh yang baik untuk strict

    liability ialah kerugian yang diakibatkan oleh tetangga yang memelihara macan di

    rumahnya. Area strict liability telah mendorong pihak yang menjalankan kegiatan

    yang digolongkan extrahazardous untuk membuat beberapa alternatif yang dapat

    mengurangi derajat bahaya.36 Injurer akan melakukan tindakan pencegahan pada

    level yang optimal karena bila ia melakukan tindakan pencegahan di bawah level

    yang optimal maka akan ada total accident cost yang harus ditanggungnya.

    John D. Blackburn, Elliot I. Klayman, dan Martin H. Malim dengan merujuk

    Pasal 520 Restatement of The Law of Torts di Amerika menyatakan bahwa untuk

    menentukan apakah suatu kegiatan termasuk kegiatan yang berbahaya, sehingga

    dapat dikenakan asas strict liability terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan

    faktor penentu, yaitu:

    34 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pmebangunan, Jakarta: Erlangga,

    2004, hlm 3. 35 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Canada: Little Brown & Company, 1986,

    p. 163. 36 Ibid.

  • 35

    1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi

    manusia, tanah, atau benda bergerak orang lain (the activity

    involves of some harm to the person, land or chattels of

    others);

    2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai

    leh kegiatan tersebut mempunyai kemungkinan untuk menjadi

    besar (the harm which may result from it its likely to be great);

    3. Risiko tudak dapat dihilangkan, meskipun kehati-hatian yang

    layak sudah diterapkan (the risk cannot be eliminated by the

    exercise of reasonable care);

    4. Kegiatan tersebut tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim

    (the activity is not a mater of common usage);

    5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat di mana kegiatan itu

    dilakukan (the activity is inappropriate to the place where it is

    carried on);

    6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (the value

    of activity to the community)

  • 36

    F. Kategori Kegiatan Extrahazardous Dalam Hukum Lingkungan

    Indonesia

    Indonesia sudah lama memasukan asas strict liability ke dalam undang-

    undang lingkungan hidupnya, sejak Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

    Tahun 1982. Sudah terjadi tiga kali perubahan dalam Undang-Undang Pengelolaan

    Lingkungan Hidup, sehingga kita dapat mecermati perkembangan kategori kegiatan

    extrahazardous yang dapat dikenakan asas strict liability dalam setiap undang-undang

    tersebut.

    1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok

    Pengelolaan Lingkungan Hidup37

    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 memuat asas strict liability pada Pasal

    21 yang berbunyi: “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya

    tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada

    saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya

    diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkautan .” menurut

    penjelasan pasal sebagai berikut “tanggung jawab mutlak dikenakan secara selektif

    atas kasus yang akan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

    dapat menentukan jenis dan kategori kegiatan yang akan terkena oleh ketentuan

    termaksud.” Penyusun undang-undang menyadari sepenuhnya bahwa asas strict

    liability dengan pembalikan beban pembuktian tidak begitu saja dapat diterapkan.

    Oleh karena itu, maka kata-kata yang dipergunakan adalah “dalam beberapa

    37 Indonesia C. Undang-Undang Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan

    Hidup, UU No. 4, LN No. 12 Tahun 1982, TLN No. 3215.

  • 37

    kegiatan” dan “menyangkut jenis sumber daya tertentu” yang penentuanya akan

    diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, maka penerapan asas

    strcit liability dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan perkembangan kebutuhan

    kategori kegiatan yang termasuk extrahazardous yang dapat dikenakan asas strict

    liability tidak ditentukan secara tegas dalam Pasal 21 karena akan dibuat peraturan

    perundang-undangan yang mengatur jenis kegiatan dan kategori kegiatan apa saja

    yang boleh dikaitkan dengan pertanggungjawaban strict liability. Menurut N.H.T.

    Siahaan38, Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia, hingga Undang-Undang

    Nomor 4 tahun 1982 diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

    peraturan perundang-undangan yang dimaksud belum teralisasikan. Dengan demikian

    penerapan Pasal 21 ini pun tidak pernah dilakukan oleh para pihak penegak hukum.

    2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan

    Hidup39

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan

    Hidup pada Pasal 35 ayat (1) memuat asas strict liability. Pasal tersebut berbunyi:

    “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya

    menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang

    menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan

    berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang

    38 Siahaan, op. Cit, hal 326.

    39 Indonesia B, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23, LN

    No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699.

  • 38

    ditumbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika

    pada saat terjadinya pencemarang dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

    Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka kegiatan yang termasuk

    ultrahazardous:

    1) Usaha dan/kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan

    dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;

    2) Usaha dan/kegiatan yang usaha dan kegiatannya menggunakan

    bahan berbahaya dam beracun;

    3) Usaha dan/kegiatan yang usaha dan kegiatannya menghasilkan

    limbah bahan berbahaya dan beracun.

    Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mencantumkan

    prinsip yang kurang lebih sama dengan pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

    1982 tidak lagi membuat embel-embel supaya pelaksanaan diatur atau ditetapkan

    dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam rumusan pasalnya maupun dalam

    penjelasan pasal. Pengalaman menunjukkan bahwa sering kali suatu undang-undang

    begitu rajin merumuskan tentang akan dibuatkanya peraturan pelaksanaan, namum

    tidak pernah terjadi.

    Melihat kategori extrahazardous yang ditentukan oleh undang-undang diatas

    dapat diambil benang merah bahwa pembuat undang-undang menekankan suatu

    kegiatan/usaha/tindakan yang ada kaitanya dengan bahan bahaya beracun (B3) baik

    dalam proses kegiatan/usaha maupun hasil dari proses kegiatan/usaha tersebut. Jika

    dicermati,maka kategori kegiatan yang dapat dikenakan strict liability masih bersifat

  • 39

    abstrak sehingga masih memerlukan berbagai penjelasan yang sifatnya konkrit,

    seperti apakah setiap aktifitas yang berhubungan dengan B3 dapat dikaitkan dengan

    tanggung jawab strict liability? Hal ini karena begitu banyaknya kegiatan seperti itu

    yang dilakukan bukan saja oleh perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum, tetapi

    juga oleh usaha-usaha rumah tangga dan usaha sambilan oleh orang perorangan. Oleh

    karenanya untuk menerapkan prinsip Pasal 35 ayat (1) UUPLH perlu dibuat produk

    perundang-undangan sebagai pedoman dari pelaksanaanya, namun tidak berarti

    bahwa dengan tidak adanya peraturan pelaksana tidak berarti bahwa pasal tersebut

    tidak dapat diterapkan jika timbul kasus-kasus yang relevan.

    3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

    Pengelolaan Lingkungan Hidup40

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

    Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat asas strict liability pada Pasal 88. Pasal

    tersebut berbunyi “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya

    menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola lombah B3, dan/atau yang

    menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak

    atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Menurut

    penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan bertanggung jawab mutlak adalah

    unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar

    pembayaran ganti rugi. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap

    40 Undang-Undang D, Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059.

  • 40

    pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal 88 dapat ditentukan

    keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah

    tersedia dana lingkungan hidup. Hal ini merupakan limtis of liability.

    Dengan demikian berdasarkan bunyi Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32

    Tahun 2009 maka menurut pembuat undang-undang, suatu kegiatan yang termasuk

    ke dalam kategori ultrahazardous sehingga dapat dikenakan asas strict l;iability:

    1) Tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menggunakan B3;

    2) Tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menghasilkan dan/atau

    mengelola lombah B3;

    3) Menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

    Terhadap kategori yang “menimbulkan ancaman serius terhdap lingkungan hidup”

    bersifat abstark karena tidak diberikan penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksudkan

    dengan menimbulkan ancaman serius terhadapa lingkungan. Idealnya ketiga kategori

    ini henadaknya dirincikan lagi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

    walaupun hanya dalam garis besarnya saja supaya lebih mudah dimengerti. Selain itu,

    perlu dibuatkan kategori/skala/klasifikasi dari tingkat usaha atau aktivitas yang

    berhubungan dengan B3.

    Ternyata Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, masih juga belum

    mengatur lebih lanjut asas strict liability dengan peraturan pelaksana yang dapat

    dijadikan pedoman dalam menerapkan asas strict liability. Dalam rangka memberikan

  • 41

    kepastian hukum asas strict liability, sebaiknya pemerintah secepatnya mengeluarkan

    peraturan yang tegas dan jelas tentang sumber daya yang bagaimana serta bidang

    kegiatan apa saja yang dapat dikaitkan dengan pertanggungjawaban strict liability.

    Mengenai asas strict liability pada tiga undang-undang yang tersebut di atas,

    dapat diintepretasikan bahwa asas strict liability merupakan suatu pengertian yang

    belum umum dalam hukum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat sejak semasa Undang-

    Undang Nomor 4 Tahun 1982 hingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,

    pengaturan untuk penerapan asas strict liability masih sangan umum. Apalagi hakim

    di Indonesia yang dipengaruhi paham legistis, tidak mudah mengaplikasikan asas

    strict liability jika konsep hukum tersebut tidak diuraikan melalui peraturan

    perundang-undangan yang formalistik. Namun, selama belum adanya penjelasan

    yuridis dari peraturan perundang-undangan, para hakim dapat bekerja keras dan

    kreatif dengan mencari interpretasi sehingga putusannya terdukung kuat secara

    environmentalistik.

  • 42

    G. Strict Liability Sebagai Pertanggungjawaban Khusus Dalam

    Hukum Lingkungan

    UUPLH memperkenalkan asas tanggung jawab yang bersifat khusus yang

    disebut strict liability. Asas ini termuat dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH yang bunyi

    Lengkapnya sebagai berikut:

    “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”

    Rumusan pasal ini secara jelas bersifat khusus karena unsur-unsurnya telah

    secara khusus menunjuk kepada hal atau syarat tertentu sehingga dapat

    diidentifikasikan atau digolongkan ke dalam bentuk pertanggungjawaban tertentu.

    Unsur-unsur yang bersifat khusus yang mencirikan pertanggungjawaban khusus itu

    ialah strict liability yang ciri utamanya antara lain timbulnya tanggung jawab

    langsung dan seketika pada saat terjadinya perbuatan, sehingga tidak perlu dikaitkan

    dengan unsur kesalahan. Dengan demikian pihak penggugat yang mengalami

    kerugian yang dialami diakibatkan oleh perbuatan atau kegiatan tergugat (atau para

    penggugat). Hal ini disitilahkan dengan pembuktian kausalitas atau hubungan sebab

    akibat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam green paper on remedying

    environmental dagame sebagai berikut: “Strict liability or liability without fault,

    eases the burden of establishing liability because fault need not to be established.

  • 43

    However, the injured partu must still prove that the damage was caused by some

    one’s act...”

    Pasal 35 UUPLH mengandung beberapa unsur penting, yaitu:

    1) Suatu perbuatan atau kegiatan;

    2) Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;

    3) Menggunakan atau menghasilkan bahan/limbah berbahaya dan

    beracun;

    4) Tanggung jawab timbul secara mutlak;

    5) Tanggung jawab secara langsung dan seketika pada saat

    pencemaran/perusakan lingkungan.

    Berdasarkan unsur-unsur di atas, unsur nomor 4) dan 5) dapat diinterpretasikan

    sebagai suatu pengertian yang tampaknya belum umum dalam perangkat-perangkat

    hukum di Indonesia. Dalam pengertian (logika) hukum yang umum bahwa tidaklah

    mungkin untuk menentukan seseorang bertanggung jawab pada suatu hal yang

    merugikan seseorang, sebelum ia dinyatakan bersalah. Artinya, seseorang tidak dapat

    dibebankan kewajiban bertanggung jawab kecuali kalau bukan atas dasar kesalahan

    sebagaimana prinsip dari “tortious liability.”

    Asas strict liability ditetapkan secara limitatif, dalam arti bahwa untuk dapat

    dikenakan strict liability, kegiatan usahanya memenuhi unsur-unsur yang telah

    ditetapkan oleh undang-undang. Menurut Pasal 31 ayat (1) UUPLH, kegiatan-

  • 44

    kegiatan tersebut adalah (1) kegiatan yang berdampak besar dan penting terhadap

    lingkungan; (2) yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun; (3) penerapan

    strict liability terhadap kegiatan-kegiatan tertentu maka diberlakukan pengecualian

    terhadap pertanggungjawaban perdata yang dikenal sebagai Perbuatan Melawan

    Hukum. Pelaku usaha dapat dibebaskan dari strict liability apabila ia dapat

    membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan

    oleh salah satu alasan yang disebutkan oleh undang-undang yaitu:41

    1. Adanya bencana alam atau peperangan; atau

    2. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

    3. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebakan terjadinya

    pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai pengganti UUPLH juga

    menerapkan strict liability dengan kriteria sebagai berikut:

    1. Setiap orang

    2. Tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya

    3. Menggunakan B3

    4. Menghasilkan dan/atau mengelola limbah b3

    5. Menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

    41 Indonesia B, Pasal 35 ayat (2).

  • 45

    6. Bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi

    7. Tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan

    Akan tetapi di dalam undang-undang yang baru ini tidak disebutkan alasan-alasan

    yang dapat membebaskan seseorang tergugat dari kewajiban membayar ganti rugi.

    H. Kekhasan Strict Liability

    Di dalam strict liability, seseorang bertanggung jawab kapan kerugian timbul.

    Hal ini berarti bahwa: Pertama, para korban dilepaskan dari beban berat untuk

    membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugianya dengan tindakan individual

    tergugat; Kedua para “potential polluter” akan memperhatikanbaik tingkat kehati-

    hatiannya, maupun tingkat kegiatannya. Dua hal ini merupakan kelebihan strict

    liability dari konsep kesalahan. Oleh karena sifat khasnya yang tegas dan keras, maka

    strict liability tidaklah dapat dikenakan kepada semua kegiatan. Hanya kegiatan-

    kegiatan tertentu saja yang dapat dikenakan strict liability. Pertimbangan untuk

    menentukan ruang lingkup strict liability:

    1. Tingkat risiko; dalam hal ini risiko dianggap tinggi apabila tidak dapat

    dijangkau oleh upaya yang lazim, menurut kemampuan teknologi yang

    telah ada;

    2. Tingkat bahaya; dalam hal ini bahaya dianggap sangat sulit untuk

    dicegah pada saat mulai terjadinya;

  • 46

    3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan; dalam hal ini si penanggung

    jawab harus menunjukan upaya maksimal untuk mencegah terjadinya

    akibat yang menimbulkan kerugian pada pihak lain;

    4. Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya; dalam hal ini

    pertimbangan risiko dan manfaat kegiatan telah dilakukan secara

    memadai sehingga dapat diperkirakan bahwa keuntungan yang

    diperoleh akan lebih besar jika dibandingkan dengan ongkos-ongkos

    yang harus dikeluarkan untuk mencegah timbulnya bahaya.

    Sementara itu, John D. Blackburn, Elliot I. Klayman dan Martin H. Malin,

    dengan merujuk pada Pasal 520 Restatment of The Law of Torts di Amerika,

    menyatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu kegiatan termasuk kegiatan yang

    berbahaya, sehingga dapat dikenakan strict liability, terdapat beberapa faktor yang

    dapat dijadikan penentu, yaitu:42

    1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi manusia,

    tanah, atau benda bergerak orang lain.

    2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai kemungkinan

    untuk menjadi besar.

    3. Risiko dapat dihilangkan, meskipun kehati-hatian yang layak sudah

    ditetapkan.

    42 Andri G. W., loc. Cit, hlm 5.

  • 47

    4. Kegiatan tersebut tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim.

    5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat di mana kegiatan itu dilakukan.

    6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat.

    Berdasarkan teori yang didapat dari Rylands v. Fletcher ini maka strict

    liability bukan pandanan dari konsep pembuktian. Dalam konsep strict liability, yang

    terjadi justru pembebasan beban pembuktian unsur kesalahan. Apabila yang

    dibuktikan oleh tergugat adalah faktor-faktor pemaaf, maka hal sebagaimana

    layaknya suatu defences, beban secara orisinal memang terdapat pada diri tergugat,

    sehingga tidak ada perpindahan/pembalikan beban pembuktian.

    I. Sistem Plafond Dalam Strict Liability

    Ganti rugi dalam strict liability biasanya dikaitkan dengan sistem plafond atau

    ceiling (batas maksimalisasi tanggung jawab). Ini berarti bahwa pihak yang

    bertanggung jawab hanya dibebankan sampai dengan batas tertentu. Indonesia

    tampaknya menganut paham plafond atau ceiling dalam strict liability karena dalam

    penjelasan Pasal 35 ayat (1) UUPLH maupun dalam penjelasan Pasal 88 UUPPLH

    dijelaskan bahwa besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar

    atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Pengertian

    batas tertentu ialah jika menurut peraturang perundang-undangan yang berlaku,

  • 48

    ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau

    telah tersedia dana lingkungan hidup.

    Ketentuan sistem plafond dalam strict liability biasanya karena didasarkan

    pada ketentuan hukum internasional. Akan tetapi dapat saja dalam strict liability tidak

    dikenal batas ganti rugi maksimum. Negara Jepang dan Jerman tidak mengenal batas

    ganti rugi maksimum. Menurut M. Ramdan Andri G. W., pelaksanaan strict liability

    tidak boleh disertai dengan adanya plafond, karena hal ini akan membatasi hal korban

    intuk memperoleh ganti kerugian atas seluruh kegiatan yang dideritanya serta akan

    menurunkan tingkat kehati-hatian para pengusaha.43

    43 M. Ramdan Andri G. W., Op. Cit, hlm 10