bab 2 tinjauan pustaka

25
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA II.1 Biologi Ikan Lele (Clarias gariepinus) II.1.1 Klasifikasi Ikan Lele Menurut Weber de Beaufort (1965) dalam Suyanto (2007) di jelaskan bahwa lele diklasifikasi menjadi: Filum : Chordata (Bertulang belakang) Kelas : Pisces (Ikan, bernafas dengan insang) Subkelas : Teleostei (Ikan bertulang keras) Ordo : Ostariophysi (dalam rongga perut atas terdapat tulang Weber/Weberian oscicle, berfungsi sebagai alat keseimbangan) Subordo : Siluroidae, ikan dengan bentuk tubuh memanjang, berkulit licin (tanpa sisik) Famili : Clariidae (kepala pipih dengan lempeng tulang keras sebagai batok kepala, bersungut 4 pasang, sirip memiliki patil memiliki alat pernafasan tambahan di depan rongga insang) Genus : Clarias Species : Clarias gariepinus L. Sumber: Beaufort, 1965 Di Indonesia ada 6 (enam) jenis ikan lele yang dapat dikembangkan, yaitu Clarias batrachus, C. teysmani, C. melanoderma, C. 3

Upload: ardian-perdana-putra

Post on 20-Jun-2015

2.735 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Biologi Ikan Lele (Clarias gariepinus)

II.1.1 Klasifikasi Ikan Lele

Menurut Weber de Beaufort (1965) dalam Suyanto (2007) di jelaskan bahwa lele

diklasifikasi menjadi:

Filum : Chordata (Bertulang belakang)

Kelas : Pisces (Ikan, bernafas dengan insang)

Subkelas : Teleostei (Ikan bertulang keras)

Ordo : Ostariophysi (dalam rongga perut atas terdapat tulang

Weber/Weberian oscicle, berfungsi sebagai alat

keseimbangan)

Subordo : Siluroidae, ikan dengan bentuk tubuh memanjang,

berkulit licin (tanpa sisik)

Famili : Clariidae (kepala pipih dengan lempeng tulang keras

sebagai batok kepala, bersungut 4 pasang, sirip

memiliki patil memiliki alat pernafasan tambahan di

depan rongga insang)

Genus : Clarias

Species : Clarias gariepinus L.

Sumber: Beaufort, 1965

Di Indonesia ada 6 (enam) jenis ikan lele yang dapat dikembangkan, yaitu Clarias

batrachus, C. teysmani, C. melanoderma, C. nieuhofi, C. loiacanthus dan C. gariepinus.

Clarias batrachus, dikenal sebagai ikan lele (Jawa), ikan kalang (Sumatera Barat), ikan maut

(Sumatera Utara), dan ikan pintet (Kalimantan Selatan). Pada Clarias batracus terdapat 3

variasi warna tubuh, yaitu hitam (kelabu), putih dan merah. Clarias teysmani, dikenal sebagai

lele Kembang (Jawa Barat), Kalang putih (Padang). Clarias melanoderma, yang dikenal

sebagai ikan duri (Sumatera Selatan), wais (Jawa Tengah), wiru (Jawa Barat). Clarias

nieuhofi, yang dikenal sebagai ikan lindi (Jawa), limbat (Sumatera Barat), kaleh (Kalimantan

Selatan). Clarias loiacanthus, yang dikenal sebagai ikan keli (Sumatera Barat), ikan penang

(Kalimantan Timur). Clarias gariepinus, yang dikenal sebagai lele Dumbo (Lele Domba),

King cat fish, berasal dari Afrika.

3

Page 2: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Di Thailand, selain Clarias batracus, dibudidayakan pula Clarias macrocephalus.

Diluar jenis tersebut, ada ratusan jenis ikan lele yang tersebar dari Afrika hingga Amerika.

Nama Catfish menjadi nama dagang internasional untuk lele dan beberapa genus lain

(Pangasius, macrones, Siluria dan sebagainya) (Suyanto, 2007).

II.1.2 Habitat Hidup Lele

Habitat lele adalah perairan air tawar seperti sungai dengan arus tidak deras, kolam,

danau atau rawa. Dengan organ pernafasan tambahan didepan insangnya, lele dapat

memperoleh oksigen langsung dari udara. Karena itulah lele mampu hidup di perairan yang

beroksigen rendah. Lele tidak cocok dengan daerah tinggi (700 m dpl) dan tumbuh lambat

pada suhu dibawah 200 C.

Ikan lele hidup dengan baik di daerah dataran rendah sampai daerah yang tingginya

maksimal 700 m dpl. Elevasi tanah dari permukaan sumber air dan kolam adalah 5-10%.

Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan adalah jenis tanah liat/lempung, tidak berporos,

berlumpur dan subur. Lahan yang dapat digunakan untuk budidaya lele dapat berupa: sawah,

pecomberan, kolam pekarangan, kolamkebun, dan blumbang. Lokasi untuk pembuatan kolam

hendaknya di tempat yang teduh, tetapi tidak berada di bawah pohon yang daunnya mudah

rontok. Selain itu sebaiknya lokasi pembuatan kolam berhubungan langsung atau dekat

dengan sumber air dan tidak dekat dengan jalan raya.

Ikan lele dapat hidup dalam perairan agak tenang dan kedalamannya cukup, sekalipun

kondisi airnya jelek, keruh, kotor dan miskin zat O2. Perairan tidak boleh tercemar oleh bahan

kimia, limbah industri, merkuri, atau mengandung kadar minyak atau bahan lainnya yang

dapat mematikan ikan. Selain itu, perairan tersebut hendaknya banyak mengandung zat-zat

yang dibutuhkan ikan dan bahan makanan alami. Perairan tersebut bukan perairan yang

rawan banjir. Permukaan perairan tidak boleh tertutup rapat oleh sampah atau daun-daunan

hidup, seperti enceng gondok.

Ikan lele dapat hidup pada suhu 20 derajat C, dengan suhu optimal antara 25-28

derajat C. Sedangkan untuk pertumbuhan larva diperlukan kisaran suhu antara 26-30 derajat

C dan untuk pemijahan 24-28 derajat C. Air kolam budidaya sebaiknya memenuhi kriteria

fisika-kimia diantaranya, empunyai pH 6,5-9; kesadahan (derajat butiran kasar ) maksimal

100 ppm dan optimal 50 ppm; turbidity (kekeruhan) bukan lumpur antara 30-60 cm;

kebutuhan O2 optimal pada range yang cukup lebar, dari 0,3 ppm untuk yang dewasa sampai

4

Page 3: Bab 2 Tinjauan Pustaka

jenuh untuk burayak; dan kandungan CO2 kurang dari 12,8 mg/liter, amonium terikat 147,29-

157,56 mg/liter. (Prihatman, 2000)

II.1.3 Pola Hidup dan Perilaku

Lele pada dasarnya tergolong hewan karnivora, dengan makanan alami hewan kecil

seperti Daphnia, Cladosera, Copepoda, cacing, larva serangga, siput dan lain-lain. Namun

pada kondisi disekitar manusia, ikan lele memakan sisa limbah rumah tangga bahkan tinja.

Mereka mencari makan didasar kolam, namun jika ada makanan yang terapung akan diambil

pula. (Suyanto, 2007)

Lele bersifat nokturnal, sehingga saat siang hari akan cenderung berdiam ditempat

yang terlindung dari matahari. Tempat yang dijadikan sarang oleh lele biasanya adalah

berbentuk lubang atau semak-semak yang terlindung. Pemilihan tempat ini berhubungan pula

dengan perilaku kawin dari lele.

Biasanya saat masa kawin lele akan berpasangan. Kemudian pasangan jantan-betina

tersebut akan melakukan prosesi keluar-masuk sarang, hingga akhirnya keduanya berada di

dalam sarang. Induk lele tersebut akan melepaskan sperma dan telur pada saat yang hampir

bersamaan. Kemudian proses pembuahan terjadi, telur-telur tersebut akan dijaga oleh betina

hingga kuat untuk berenang keluar sarang (7-10 hari). Setelah 7 hari, biasanya induk lele

tidak lagi menghiraukan anaknya (Suyanto, 2007). Perilaku ini menjadi dasar pengembangan

teknologi pemijahan ikan lele budidaya.

II.2 Budidaya Lele

II.2.1 Faktor Fisika dan Kimia dalam budidaya Lele

Air sebagai habitat hidup bagi ikan budidaya, memiliki peran amat penting dalam

keberhasilan proses budidaya. Termasuk juga lele, karakteristik fisika dan kimia air

mempengaruhi pertumbuhan dan kondisi fisiologis lele. Pada batas nilai tertentu, faktor-

faktor tersebut juga dapat menyebabkan kondisi yang fatal bagi lele, hingga menyebabkan

kematian. Sebagai contoh, Lestari (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kadar

amonia yang tidak terkontrol saat ikan dipindahkan ke sebuah akuarium baru dapat

menyebabkan fenomena yang disebut ‘sindrom akuarium baru’ (new tank syndrome), yaitu

kematian ikan secara serentak. Adapun faktor-faktor kimia air terkait dengan budidaya ikan

termasuk lele diantaranya yaitu oksigen terlarut (DO, Dissolved Oxygen), suhu, kandungan N

(Nitrit, Nitrat dan Amonia) dan pH air. Sedangkan faktor fisika yang paling berperan dalam

budidaya adalah suhu.

5

Page 4: Bab 2 Tinjauan Pustaka

1. Oksigen Terlarut (DO)

Kadar oksigen terlarut (DO) dipengaruhi faktor-faktor diantaranya suhu air, tekanan

atmosfir, kandungan garam-garam terlarut, kualitas pakan dan aktivitas biologi perairan (Reid

& Wood,1976 dalam Anonim, 2009). DO merupakan sumber oksigen utama bagi organisme

air dalam proses metabolismenya. Sama seperti organisme di darat, oksigen tersebut

dibutuhkan dalam proses pembentukan energi dari makanan. Selain itu, DO juga berperan

dalam penguraian bahan organik di perairan. Hal ini menyebabkan jumlah zat organik di

dalam air dapat mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut untuk ikan budidaya. Alat untuk

mengukur DO adalah DO-meter baik jenis manual maupun digital.

Kondisi kurang oksigen (hipoksia) hingga ketiadaan oksigen (anoksia) berdampak

pada pertumbuhan abnormal dan dalam kondisi lebih buruk menyebabkan kematian ikan.

Kurangnya kadar DO juga menyebabkan aktivitas mikroba anaerob menjadi dominan. Hal ini

menyebabkan metabolit yang bersifat toksik seperti hidrogen sulfida dan amonia meningkat

yang memberikan dampak lebih buruk bagi ikan dan organisme lain (Bachtiar, 2007).

Keberadaan jumlah ganggang tidal dapat meningkatkan ketersediaan DO dalam air yang

berdampak baik bagi ikan dan organisme lain (Lesmana, 2006).

Ambang minimal kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bervariasi untuk setiap

jenis ikan. Ambang minimal tersebut dipengaruhi kebutuhan lingkungan dari tiap spesies dan

kebutuhan konsumtif (metabolisme) ikan. Namun setidaknya kadar yang dianjurkan minimal

5 mg/L atau 5 ppm (Lesmana, 2006) dan untuk budidaya intensif dianjurkan pada kisaran 5-8

ppm (Anonim, 2009). Prihatman (2000) menyebutkan lele dumbo masih dapat bertahan

dalam kadar oksigen hingga 0,3 ppm. Hal ini berarti lele dapat bertahan hidup dalam kondisi

DO lebih rendah dibanding ikan-ikan yang lain.

2. Suhu

Suhu merupakan variabel penting bagi organisme akuatik. Bagi ikan, perubahan suhu

mempengaruhi selera makan, respirasi (meningkatkan konsumsi oksigen) serta laju

pertumbuhan ikan tersebut. Peningkatan suhu berdampak pada peningkatan aktivitas

metabolisme ikan, dan juga berpengaruh pada perilaku reproduksi ikan. Selain itu perubahan

suhu berbanding terbalik dengan ketersediaan oksigen terlarut. Maka dari itu, kestabilan suhu

dalam budidaya menjadi suatu hal yang penting, karena akan berdampak besar pada hasil

panen.

6

Page 5: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Tabel II.1 Hubungan antara suhu dan DO

Sumber: Anonim, 2009; Materi Kuliah Program Alih Jenjang D4 Akuakultur, SITH ITB.

Percampuran/pergantian air dapat membantu menjaga kestabilan suhu.

Turbulensi/pergerakan air karena adanya aerator dalam akuarium atau kolam dapat

dimanfaatkan untuk menjaga kestabilan suhu lingkungan bagi ikan budidaya. Rentang

toleransi ikan terhadap suhu lingkungan berbeda-beda pada tiap spesies dan tahapan (stadia)

pertumbuhan ikan (Anonim, 2009). Ikan lele dapat hidup pada suhu 20 derajat C, dengan

suhu optimal antara 25-28 derajat C. Sedangkan untuk pertumbuhan larva diperlukan kisaran

suhu antara 26-30 derajat C dan untuk pemijahan 24-28 derajat C (Anonim, 2007).

3. Kandungan N (Amonia, Nitrit dan Nitrat)

Amonia merupakan produk akhir dekomposisi protein pada ikan dan organisme air

lainnya. Pada budidaya ikan, kadar amonia meningkat seiring jumlah pakan yang diberikan

pada ikan. Amonia akan terakumulasi dari feces dan pakan berlebih yang terdekomposisi oleh

mikroba. Peningkatan kadar amonia secara tiba-tiba dalam kondisi basa dapat mengakibatkan

kerusakan jaringan insang dan kematian. Fenomena ini sering sering terjadi pada akuarium

yang baru diisi ikan. Peningkatan kadar amonia secara tiba-tiba yang menyebabkan kematian

ikan serentak dikenal dengan istilah New Tank Syndrome (Lestari, 2009).

Pada pH normal, amonia (NH3) yang bersifat racun bagi ikan akan terionisasi

sepenuhnya menjadi amonium (NH4+) yang relatif tidak beracun, namun pada kondisi basa

amonium akan kembali menjadi amonia. Kadar amonia yang masih dapat ditoleransi dalam

budidaya lele berkisar antara 147,29 – 157,56 mg/L (Prihatman, 2000).

Nitrit (NO2-) terdapat di perairan secara alami sebagai hasil oksidasi amonia oleh

Nitrosomonas sp. Meski toksisitasnya lebih rendah dari amonia, namun pada konsentrasi

tinggi, nitrit menyebabkan stress pada ikan yang berdampak pada penurunan imunitas

terhadap mikroba patogen (Owsley et al., 2000 dalam Sidhi, 2009). Dibandingkan Nitrit dan

Amonia, Nitrat (NO3-) memiliki sifat toksik yang jauh lebih rendah. Namun pada konsentrasi

7

Page 6: Bab 2 Tinjauan Pustaka

tinggi nitrat akan menyebabkan stress hingga menghambat pertumbuhan ikan. Nitrat

merupakan hasil dari oksidasi nitrit oleh mikroba autotrof, diantaranya Nitrobacter sp.

4. pH

Derajat keasaman (pH) merupakan nilai yang menunjukkan kandungan ion H+ dalam

air. Kondisi saat ion H+ tinggi disebut dengan asam dan kondisi sebaliknya disebut dengan

basa. Kondisi dapat memengaruhi perilaku dan pertumbuhan ikan. Nilai pH rendah

(keasaman tinggi) berdampak pada penurunan DO, penurunan konsumsi O2 ikan,

peningkatan aktivitas pernafasan, dan penurunan selera makan ikan. Secara umum rentang

toleransi pH pada ikan ada pada kisaran 6,5 – 9,0 dengan kondisi optimalnya ada pada

kisaran 7,0 – 8,5 (Anonim, 2009). Korelasi antara pH air dengan kehidupan ikan dapat

gambarkan seperti pada tabel II.2.

Tabel II.2 Hubungan antara pH air dengan kehidupan ikan budidaya

Sumber: Anonim, 2009; Materi Kuliah Program Alih Jenjang D4 Akuakultur, SITH ITB.

II.2.2 Tahapan Budidaya Lele

Proses budidaya ikan lele secara garis besar terbagi menjadi dua tahapan, yaitu

pembibitan dan pembesaran. Pembibitan mencakup seleksi terhadap calon induk, pemijahan

dan pemeliharaan/pendederan anak lele (burayak). Pembesaran mencakup proses pembesaran

bibit hingga menjadi ikan lele siap panen. Pada proses pembesaran ini bibit ikan lele yang

awalnya berukuran 3-5 cm akan tumbuh hingga ukuran 25 cm dengan berat berkisar antara

150-200 gram per ekor.

Proses pembesaran sejak dari bibit ukuran 3-5 cm dibagi lagi menjadi dua tahapan

(Suyanto, 2007). Pembagian ini bertujuan agar perkembangan ikan dan laju mortalitas dapat

dikontrol dengan baik. Ukuran per individu dan kepadatan kolam dapat diketahui dengan

baik dengan adanya pembagian tahap pembesaran ini. Jika pada tahap pertama ditemukan

laju mortalitas tinggi maka penyebab kematian bisa terdeteksi lebih dini dan dapat dicegah

semakin menyebar.

Penebaran pertama merupakan tahap pembesaran lele 3-5 cm menjadi benih ukuran

12 cm. Untuk patokan, 3000-4000 ekor dapat ditebar dalam kolam 100 m2 dengan tinggi

kolam 60-80 cm. Padat tebar ini bisa ditambah atau dikurangi tergantung besar rata-rata benih

8

Page 7: Bab 2 Tinjauan Pustaka

serta ketersediaan pakan alami di kolam. Beberapa hal penting dalam persiapan kolam

diantaranya adalah pengeringan kolam, pemupukan dengan pupuk organik, pengapuran jika

diperlukan serta penambahan air baru yang telah difilter sehingga kolam tidak dihuni oleh

organisme yang tidak diharapkan. Jenis pakan tambahan yang bisa diberikan sebaiknya dari

banyak mengandung protein hewani seperti bekicot, belatung, bangkai ayam, tepung darah,

dll.

Setelah pemanenan tahap pertama, ikan dibesarkan selama 4-6 bulan hingga ukuran

20-25 cm. Padat tebar pada tahap kedua adalah 6-10 ekor/m2. Karena hewan ini memiliki

patil yang dapat digunakan untuk melompat dan memanjat, dinding kolam harus dirancang

tegak dan cukup tinggi. Bahan pakan yang diberikan adalah daging-dagingan dengan waktu

pemberian pagi dan sore hari secara merata keseluruh kolam. Untuk menekan biaya, pakan

bisa berasal dari limbah rumah makan atau bangkai hewan dari peternakan/rumah jagal. Pada

akhir tahap ini akan diperoleh lele siap panen dengan berat rata-rata sekitar 200 gram.

II.2.3Pakan dalam Budidaya Lele

Pada saat embrio lele berusia 1-3 hari, mereka mendapat makanan dari dalam yolk-

nya. Mulai hari keempat hingga dewasa mereka mulai mencari makanan dari alam. Untuk

keperluan budidaya pakan alami lele digantikan dengan ransum pakan buatan. Pakan buatan

yang berupa tepung diberikan mulai akhir minggu ketiga. Pakan berupa pellet apung mulai

dapat diberikan pada pekan keenam. (Anonim, 2007)

Makanan lele dalam pemeliharaan amat bervariasi, dari sisa-sisa limbah rumah tangga

dan tinja hingga pakan buatan yang terukur komposisinya. Pakan buatan dapat dijadikan

sebagai makanan tambahan atau sebagai makanan utama lele. Pada dasarnya komposisi

bahan pakan buatan ditekankan pada kecukupan asupan protein (terutama sumber hewani)

yang proporsinya minimal 25% dari keseluruhan bahan. Bahan yang digunakan dalam pakan

buatan diantaranya daging bekicot, tepung ikan, tepung darah, dedak, bekatul, ikan rucah

(sisa) dan lain-lain. Bahan ini dapat diberikan dalam bentuk campuran biasa atau diproses

menjadi pellet.

Pellet untuk ikan lele tergolong jenis pellet keras, yaitu pellet yang memiliki kadar air

amat rendah. Proses pembuatannya adalah bahan padat dicampurkan dengan mixer

berkecepatan tinggi lalu ditambahkan air 4-6% dalam bentuk uap. Cara ini akan memudahkan

proses penekanan dan ekstrusi, bersama panas yang timbul akan menyebabkan gelatinisasi.

Gelatinisasi akan menstabilkan dan mengikat air dalam komponen pakan. (Afrianto, 2005)

9

Page 8: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bahan baku dari pellet untuk ikan lele yang dikeluarkan BAPPENAS (2008)

menyebutkan komposisi bahan baku pellet seperti disebutkan dalam tabel berikut:

Tabel II.3 Hubungan antara pH air dengan kehidupan ikan budidayaKomposisi % berat

tepung ikan 27,00

bungkil kacang kedele 20,00

tepung terigu 10,50

bungkil kacang tanah 18,00

tepung kacang hijau 9,00

tepung darah 5,00

dedak 9,00

vitamin 1,00

mineral 0,50

Sumber: BAPPENAS, 2008

Disebutkan bahwa komponen terbesar dalam pelet untuk lele pada umumnya adalah

tepung ikan (27 % berat), kemudian disusul bungkil kacang kedele dan bungkil kacang tanah

(20 dan 18 % berat). Penggunaan tepung ikan berlebihan secara ekonomis kurang

menguntungkan mengingat harganya yang mahal karena sebagian masih mengandalkan

produk impor. Salah satu solusi yang dapat diberikan, adalah mengganti tepung ikan dengan

sumber protein hewani lain seperti ikan rucah/afkir (Anonim, 2010; wawancara langsung

dengan petani).

II.3 Pakan

Pakan ikan dapat diklasifikasikan menjadi pakan alami dan pakan buatan. Pakan

alami merupakan sumber pakan yang langsung diambil dari organisme hidup, tanpa

mengalami proses pengolahan lebih lanjut, contohnya plankton, bentos, larva serangga atau

hewan-hewan kecil lainnya. Pakan buatan merupakan pakan yang mengambil bahan dari

sumber nabati dan hewani yang diproses lebih lanjut, biasanya komposisi nutrisi pakan

buatan lebih terukur. Pakan buatan dapat berupa larutan, tepung halus, tepung kasar, remah,

pellet atau waver (Anonim, 2000).

Pakan buatan dapat lebih menguntungkan dari segi kualitas, karena adanya proses

pengolahan lebih lanjut dari bahan-bahan alaminya. Dalam pengolahan tersebut selain

terdapat pengaturan komposisi yang lebih baik, dapat pula dilakukan pengayaan nutrisi.

Dapat diambil contoh dalam rekayasa pakan ini adalah penambahan pigmen Astaxantin

10

Page 9: Bab 2 Tinjauan Pustaka

(karoten) yang berkaitan dengan kualitas warna ikan saat dipanen sehingga mempengaruhi

nilai ekonomis ikan tersebut (Kurnia, 2006).

II.3.1 Pakan dan Nutrisi

Secara umum, ada lima patokan yang digunakan dalam pemilihan pakan, yaitu

kandungan gizi, ukuran pakan, water stability, penampakan permukaan dan aroma. Kelima

aspek tersebut dapat menjadi pertimbangan awal dalam memilih pakan yang optimal bagi

perkembangan ikan.

Pada dasarnya pakan ikan (seperti juga pakan ternak lainnya) harus memenuhi asupan

Karbohidrat, protein dan lemak yang seimbang. Kandungan ketiga unsur tersebut berkaitan

dengan Rasio Konversi Makanan (FCR, Food Conversion Ratio) yang menentukan tingkat

efisiensi penggunaan pakan selama pemeliharaan ikan. Selain itu kandungan vitamin dan

nutrisi lainnya juga harus mencukupi agar hasil panen dapat optimal. Kedua hal ini akan

menentukan nilai ekonomis dari usaha budidaya ikan tersebut.

Urgensi dari FCR sendiri dapat dideskripsikan dengan suatu perbandingan keadaan

pemeliharaan saat komposisi dalam kondisi berimbang dan tidak berimbang. Jika kondisi

pakan lebih dari optimum, FCR meningkat dan penggunaan pakan tidak efisien. Efek negatif

lainnya adalah air kotor serta berpotensi toksik (dari sisa pakan), pertumbuhan

terhambat,sintasan rendah, penyakit timbul dengan cepat dan kualitas ikan yang dihasilkan

rendah. Sebaliknya jika rasio pakan kurang dari optimum, pertumbuhan lambat atau berhenti

sama sekali (nutrisi hanya cukup untuk mempertahankan kebutuhan tubuh), FCR naik dan

muncul kanibalisme (Anonim, 2007).

Tabel II.4 Kandungan Nutrisi beberapa bahan baku pakan ikanNutrisi Bahan Protein Lemak Air Abu

Tepung Kedelai 35,72 2,23 7,57 2,23

Tepung Jagung 6,30 3,99 9,01 3,99

Tepung Dedak 13,73 14,32 7,70 14,32

Tepung Ikan 53,71 4,24 14,95 7,09

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003

Tabel II.5 Kandungan Nutrisi dari berbagai Minyak OlahanNutrisi Bahan Protein Lemak Air Abu

Minyak Kelapa 1,16 11,51 0,89 2,49

Minyak Jagung 1,18 9,09 1,23 2,50

Minyak Kedelai 1,74 9,05 0,39 2,56

11

Page 10: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Minyak Sawit 0,35 17,28 0,22 1,84

Minyak Sayur 0,78 8,56 0,62 2,46

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003

II.3.2 Uji Kimiawi Pakan

Untuk mengetahui komposisi susunan kimia dan kegunaannya suatu bahan pakan

dilakukan analisis kimia yang disebut analisis proksimat. Cara ini dikembangkan dan Weende

Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, dengan

menggolongkan komponen yang ada pada makanan. Adapun komponen dari uji proksimat

adalah sebagai berikut:

1. Bahan kering

Jumlah bahan kering adalah jumlah padatan yang tersisa setelah kandungan air

dalam sampel diuapkan. Caranya adalah dengan memanaskan bahan pakan 1050 C selama

beberapa jam sehingga semua air yang ada menguap. Kondisi ini disebut juga kering

mutlak, kering oven, kering mutlak atau dry matter. Hijauan pakan segar berkadar air

sangat tinggi dikeringkan pada suhu 5500 C sampai beratnya tetap disebut juga berat

kering atau dry weight. Bahan pakan yang dikeringkan tanpa proses pemanasan disebut

kering angin. Bahan pakan konsentrat pada umumnya berada pada kondisi ini dan sering

disebut kondisi as fed (keadaan apa adanya).

2. Abu

Abu atau mineral diperoleh dengan jalan membakar sempurna bahan pakan pada

temperatur 5500 C sampai semua bahan oganik terbakar. 

3. Ekstrak ether (EE)

Semua bahan organik yang larut dalam pelarut lemak termasuk lipida dan zat yang

tidak berlemak. Dengan demikian bukan gambaran lemak yang sebenarnya (gliserol dan 3

asam lemak). 

4. Serat kasar (SK)

Serat kasar (SK) : adalah bahan organik yang tahan terhadap hidrolisis asam dan

basa lemah.

5. Protein kasar (PK)

Protein kasar diperoleh dan hasil penetapan N X 6,25 (protein rata-rata mengandung

N 16 %). Energi protein 5,50 kcal/g, bila digunakan sebagai energi 1,25 kcal/g keluar

12

Page 11: Bab 2 Tinjauan Pustaka

sebagai urea dan setiap unit protein, tinggal 4,25 kcal/g. Oleh karena protein tidak tercerna

dengan sempurna, nilai energi berkurang 0,25 kcal/g jadi tinggal 4 kcal/g.

6. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)

Ektrak tanpa nitrogen diperoleh dengan jalan sbb: 100 - (5K + FE + PK + Abu).

Ekstrak tanpa nitrogen terdiri dan karbohidrat yang mudah larut terutama pati yang

kecernaannya tinggi. Energi yang dihasilkan sekitar 3,75-4,75 kcal/g. Rata-rata

karbohidrat mengandung energi 4 kcal/g.

Berdasarkan hasil analisis proksimat (analisis Weende) diperoleh nutrien yang

terbagi dalam 7 komponen, yaitu zat organik (karbohidrat, lemak, protein, vitamin) dan zat

anorganik (air, udara/gas, mineral). Selain analisis proksimat yang dikembangkan

Weende, dapat pula dilakukan pemisahan komponen bahan pakan menggunakan pelarut

detergent yang dikembangkan oleh Van Soest dan More (Utomo, 2004). Mereka

menemukan ternyata ada korelasi antara kecernaan in vivo dengan isi sel (Cell contents =

neutral detergent solubies = NDS dinding sel (Cell walls = neutral detergent insoluble

fiber = NDF). Hasil analisis Weende bahan pakan dapat dibuat secara skematis

sebagaimana tertera pada tabel II.6.

Tabel II.6 Hasil analisis Weende terhadap bahan pakanFraksi Komponen

Air Air dan asam-asam yang menguap serta basa-basa, jika adaAbu Mineral esensial dan Mineral non esensial

Protein kasar Protein, asam amino, amine, nitrat, vitamin B, asam nukleatEkstrak ether Lemak, minyak, lilin, organic, pigmen, sterol, vitamin A,D,E,

dan KSerat kasar Selulosa, hemiselulosa, lignin

Ekstrak tanpa N Selulosa, hemiselulosa, lignin, pati, gula fruktan, pektin, asam organik, resin, tanin, pigmen, vitamin yang larut dalam air.

  Sumber: Fakultas Peternakan UGM, 2009; Materi Kuliah Pakan

II.4Herba

II.4.1 Hedyotis corymbosa (L.) Lam.

Tumbuhan ini memiliki sebutan lokal rumput mutiara. Tumbuhan ini telah lama

dikenal di daratan Cina dengan sebutan baihuasheshecao (kadang ditulis Bai Hua She She

Cao 白花蛇舌草 ) yang berarti obat untuk gigitan ular karena khasiatnya (Dharmananda,

2004). Hasil riset modern seputar Hedyotis corymbosa menemukan bahwa Hedyotis

13

Page 12: Bab 2 Tinjauan Pustaka

corymbosa dapat mengaktivasi sistem reticuloendothelia dan meningkatkan fagositosis oleh

limfosit. Menurut Complementary and Alternative Healing University, tumbuhan ini

diketahui memiliki fungsi medis sebagai anti-bakteria, anti-peradangan, anti-tumor, anti-virus

dan meningkatkan kekebalan imun tubuh. Dalam konsentrasi tinggi, Hedyotis corymbosa

diketahui menghambat limfositik akut dan leukimia granulositik akut. Berfungsi efektif

dalam penyembuhan radang usus buntu (Appendicitis), penawar gigitan ular dan menghambat

produksi sperma (Anonim, 2009; www.alternativehealing.org).

Dalam Indian Medicinal Plants (Khare, 2007) disebutkan beberapa khasiat lain dalam

pengobatan tradisional India, diantaranya membersihkan darah, meningkatkan kerja sistem

pencernaan dan menstimulasi kerja liver. Disebutkan pula tentang adanya kandungan

beberapa macam senyawa asam fumarat, kafein serta Iridoidoglukosida, ekstrak cairnya

mengandung ramnosa, arabinosa, silosa, manosa, galaktosa dan glukosa. Selain itu,

dilaporkan bahwa di Cina herba ini digunakan dalam pengobatan beberapa tumor karena

memiliki aktivitas potensiasi imun.

Taksonomi dari Hedyotis corymbosa (L.) Lam. adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Asteridae Sub-order : Rubiales Family : Rubiaceae Genus : Hedyothis atau Oldenlandia Species : Hedyotis corymbosa (L.) Lam.

Sumber: USDA, 2009; http://plants.usda.gov

II.4.2 Azadirachta indica A. Juss.

Herba yang memiliki nama lokal nimba ini diketahui berasal dari Burma (Khare,

2007), dan Semenanjung India (Singh, 2007). Memiliki nama sinonim Melia azadirachta dan

banyak sebutan lokal di semenanjung India dan Asia Tenggara. Memiliki beberapa khasiat,

diantaranya sebagai anti mikroba, anti fungi, anthelmintic, insektisida, anti virus, anti piretik,

anti malaria, anti periodik, larvasida nyamuk, anti peradangan, anti fertilitas, spermisida,

14

Page 13: Bab 2 Tinjauan Pustaka

hipoglikemis. Tumbuhan ini digunakan pada peradangan di daerah mulut, gingivitis,

periodonitis, pembesarang ginjal, malaria, demam saat melahirkan, dan cacar air. Minyak

yang diekstrak dari nimba digunakan sebagai kontrasepsi intravagina, pengobatan terhadap

infeksi vagina, dan pengusir nyamuk.

Senyawa tetranortriterpenoid dari nimba telah diuji secara intensif memiliki khasiat

antibiotik. Ekstrak metanolat dari batangnya menunjukkan khasiat anti malaria melawan

Plasmodium falciparum. Ekstrak cair dari daun menunjukkan khasiat menghentikan

penanahan dan aktivitas peradangan. Bagian dari ekstrak alkoholik yang terlarut air

menurunkan kadar gula darah dan adrenalin yang menginduksi hiperglikemia pada tikus.

Fraksi volatil dari minyak nimba memiliki fungsi spermisida pada manusia pada dosis diatas

25 mg/ml serta memperlambat persebaran HIV. Tumbuhan ini beracun dalam dosis tinggi.

(Khare, 2007)

Taksonomi dari Azadirachta indica A. Juss. adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Rosidae Sub-order : Sapindales Family : Meliaceae Genus : Azadirachta Species : Azadirachta indica A. Juss.

II.4.3 Colocasia esculenta (L.) Schott

Tumbuhan dengan nama lokal talas ini memiliki sinonim Colocasia antiquorum

Schott dan dikenal secara umum dengan nama internasional Taro. Termasuk jenis talas-

talasan (Araceae) dan herba menahun yang tersebar secara luas di Asia Tenggara, Cina,

Jepang dan Kepulauan Pasifik. Akarnya yang berbentuk silinder atau bulat diketahui

mengandung Asam Perusi (asam biru atau HCN) namun menjadi makanan yang umum

didaerah persebarannya. Karakteristik khas lainnya adalah daun berbentuk perisai atau hati

dengan tangkai mencapai 1 meter. (Prihatman, 2000)

15

Page 14: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Umbinya diketahui memiliki khasiat sebagai obat berak darah, dan kulit tangkai

daunnya yang mengandung polifenol sebagai pembalut luka baru (Anonim, 2008). Daun talas

mengandung senyawa flavon, epigenin dan luteolin serta antosianin. Daun dapat

menyebabkan iritasi mulut, namun setelah direbus menjadi suplemen makanan berserat yang

baik membantu menurunkan gula darah bagi penderita diabetes. Ditemukan adanya

pertambahan lemak, kolesterol dan kadar trigliserida pada mencit yang diberikan ekstrak

kering daun talas. Sari perasan dari petiola berfungsi sebagai astringen dan styptic. Dari riset

juga berhasil diisolasi dua jenis dihidroksisterol, selain juga beta-sitosterol, dan stigmasterol

serta senyawa penghambat trypsin dari umbi. Lima senyawa alifatik baru juga ditemukan.

(Khare, 2007)

Taksonomi dari Colocasia esculenta (L.) Schott adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Class : Liliopsida Order : Arales Family : Araceae Genus : Colocasia Species : Colocasia esculenta (L.) Schott

II.5Fermentasi Pakan

II.5.1 Fermentasi

Fermentasi adalah “proses dekomposisi senyawa organik yang berjalan lambat yang

di gerakkan oleh mikroorganisme atau komplek senyawa nitrogen (enzim) dari hewan atau

tumbuhan” (Walker, 1988). Istilah fermentasi sendiri berasal dari bahasa latin Fervere yang

berarti mendidihkan. Istilah ini awalnya hanya digunakan pada proses perubahan gula

menjadi alkohol secara anaerob. Definisi fermentasi kemudian meluas menjadi semua proses

yang melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan produk metabolit primer dan sekunder

dalam lingkungan yang dikendalikan.

Fermentasi merupakan proses yang terjadi melakui kerja mikroorganisme atau enzim

untuk mengubah bahan-bahan komplek seperti protein, karbohidrat dan lemak menjadi

molekul yang lebih sederhana (Amri, 2007). Prinsipnya, fermentasi dapat mengaktifkan

16

Page 15: Bab 2 Tinjauan Pustaka

pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang dibutuhkan sehingga membentuk produk yang

berbeda dengan bahan bakunya. Pengaruh positifnya antara lain meningkatkan nilai gizi,

membuat nutrisi mudah dicerna,dan munculnya aroma serta rasa yang khas (Amri, 2007).

Dalam konteks pakan ternak, teknologi fermentasi terutama ditujukan untuk

meningkatkan daya cerna terhadap nutrisi-nutrisi tertentu dengan harapan meningkatkan rasio

konversi pakan. Oleh karena itu metode fermentasi dan penggunaan mikroba disesuaikan

dengan kandungan nutrisi yang diharapkan bertambah atau tereduksi. Untuk pakan ternak,

aplikasi fermentasi terutama difokuskan pada 3 komponen nutrisi utama yaitu Protein,

Karbohidrat dan Lemak.

II.5.2 Perkembangan Teknologi Fermentasi Pakan di Indonesia

Pengolahan pakan buatan dengan teknologi fermentasi telah banyak diterapkan dalam

peternakan secara umum. Tujuan dan pemanfaatnya pun beragam, namun pada umumnya

masih berkaitan dengan rekayasa komposisi nutrisi dari pakan tersebut. Dengan bantuan

mikroba tertentu, ada beberapa komponen dari pakan tersebut yang bertambah atau tereduksi

sehingga proses pemeliharaan/budidaya lebih optimal.

Sebuah penelitian dilakukan oleh Dr. Sujono, dosen Fakultas Peternakan Universitas

Muhammadiyah Malang (Fapet UMM), menghasilkan solusi untuk menurunkan kadar

kolesterol dari produk ayam pedaging dan petelur dengan mengkonversi kadungan asam

lemak jenuh dalam pakan menjadi asam lemak tak jenuh. Proses tersebut dilakukan dengan

mengandalkan fermentasi pada bekatul yang merupakan komponen utama pakan (10-15%),

dengan menggunakan Rhizopus oligosporus dan Aspergillus niger dalam kondisi anaerob.

Bekatul fermentasi kemudian ditambahkan dengan jagung, tepung ikan, vitamin, polar dan

bahan lainnya. Penelitian ini selain terbukti menurunkan kadar kolesterol daging dan telur,

juga meningkatkan kadar DHA dan Omega 3 dalam pakan ternak (Yusniar, 2007).

Salah satu penelitian tentang pakan ikan dilakukan oleh Amri (2007) menggunakan

Rhizopus oligosporus pada bungkil inti sawit untuk pembuatan pakan ikan mas. Penelitian

yang dilakukan pada tahun 2004 ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas bungkil inti sawit

(BIS) sebagai alternatif pengganti untuk beberapa bahan baku pakan seperti jagung atau

bungkil kedelai yang masih harus diimpor. BIS sendiri potensial karena kandungan protein

kasarnya yang tinggi, hingga mencapai 15,43%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ransum meningkat seiring

penambahan BIS terfermentasi hingga kadar 18%, diatas angka tersebut konsumsi menurun

karena kadar serat kasar yang semakin tinggi. Ditemukan pula adanya peningkatan rataan

17

Page 16: Bab 2 Tinjauan Pustaka

berat ikan, serta menghasilkan Income Over Feed Cost tertinggi yaitu mencapai Rp. 558,93.

Income Over Feed Cost adalah pendapatan yang diperoleh dari pengurangan biaya produksi

untuk pakan.

II.5.3 Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae merupakan ragi uniseluler yang dianggap sebagai salah

satu jenis ragi paling penting dalam peradaban manusia. Sejak dahulu, ragi ini telah dikenal

karena berperan dalam proses pembuatan minuman beralkohol dan roti. Umumnya S.

cerevisiae ditemukan pada permukaan buah-buahan, nektar bunga, dan dalam cairan yang

mengandung gula (Prescott & Dunn, 1959).

Secara umum ukuran sel Saccharomyces cerevisiae 3-10 x 4-30 µm dengan bentuk

bulat atau oval. Reproduksi vegetatif Saccharomyces cerevisiae dilakukan dengan pertunasan

multilateral. Kondisi fisika-kimia lingkungan yang dibutuhkan ragi ini yaitu pH optimum 4-5,

temperatur optimum 30 0C, dengan minimum 9-11 0C dan maksimum 35-37 0C, serta

kebutuhan akan oksigen terutama pada awal pertumbuhan (Prescott & Dunn, 1959).

Taksonomi dari Saccharomyces cerevisiae adalah:

Kingdom : Fungi Phylum : Ascomycota Subphylum : Saccharomycotina Class : Saccharomycetes Order : Saccharomycetales Family : Saccharomycetaceae Genus : Saccharomyces Species : S. Cerevisiae Meyen ex E.C. Hansen

Sumber: Wikipedia

18