bab ii tinjauan pustakarepository.ub.ac.id/5415/3/3. bab 2.pdf · bab ii tinjauan pustaka tinjauan...

19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka ini terdapat beberapa teori yang digunakan untuk membantu peneliti dalam melakukan penelitian terhadap wacana tentang perempuan dalam novel Srikandi Belajar Memanah karya Sunardi D.M. Tinjauan pustaka yang digunakan anatara lain meliputi budaya, media massa, dan gender dalam media serta representasi perempuan. Budaya dan media massa membahas bagaimana media massa berperan sebagai media pembelajaran, pembentuk budaya, serta mempengaruhi budaya-budaya yang dianut oleh masyarakat. Kemudian gender dalam media memberi gambaran tentang gender pada masyarakat serta representasi perempuan tentang bagaimana perempuan di gambarkan dalam sebuah cerita atau media. 1.1 Novel Sebagai Media Komunikasi Massa Novel sebagai salah satu media komunikasi massa mempunyai peran penting dalam membangun kualitas bangsa. Diperlukan kebijaksanaan dan menentukan novel mana yang akan dibaca, tentu saja bukan bacaan yang merusak mental, melainkan buku-buku yang memberi pedoman, petunjuk, pengetahuan, dan tambahan pengalaman untuk mengembangkan wawasan. Maka dari itu, kualitas novel harus diperhatikan, dimana novel yang dibaca tidak hanya bersifat menghibur dan menginformasikan tetapi harus bisa bersifat mendidik.

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Tinjauan pustaka ini terdapat beberapa teori yang digunakan untuk membantu

    peneliti dalam melakukan penelitian terhadap wacana tentang perempuan dalam

    novel Srikandi Belajar Memanah karya Sunardi D.M. Tinjauan pustaka yang

    digunakan anatara lain meliputi budaya, media massa, dan gender dalam media

    serta representasi perempuan. Budaya dan media massa membahas bagaimana

    media massa berperan sebagai media pembelajaran, pembentuk budaya, serta

    mempengaruhi budaya-budaya yang dianut oleh masyarakat. Kemudian gender

    dalam media memberi gambaran tentang gender pada masyarakat serta

    representasi perempuan tentang bagaimana perempuan di gambarkan dalam

    sebuah cerita atau media.

    1.1 Novel Sebagai Media Komunikasi Massa

    Novel sebagai salah satu media komunikasi massa mempunyai peran penting

    dalam membangun kualitas bangsa. Diperlukan kebijaksanaan dan menentukan

    novel mana yang akan dibaca, tentu saja bukan bacaan yang merusak mental,

    melainkan buku-buku yang memberi pedoman, petunjuk, pengetahuan, dan

    tambahan pengalaman untuk mengembangkan wawasan. Maka dari itu, kualitas

    novel harus diperhatikan, dimana novel yang dibaca tidak hanya bersifat

    menghibur dan menginformasikan tetapi harus bisa bersifat mendidik.

  • Jika dikaitkan dengan komunikasi massa, novel merupakan salah satu media

    massa cetak. Ada banyak definisi mengenai komunikasi massa yang dikemukakan

    oleh para ahli. Salah satunya oleh Nurudin (2007) yang mengatakan komunikasi

    massa sebagai komunikasi melalui media massa (baik cetak dan elektronik).

    Komunikasi massa muncul bersamaan dengan adanya penemuan mesin cetak oleh

    Johanes Guttenberg, yang mana kala itu mencetak Bibel (Alkitab) sebagai buku

    pertama (Karolus,2013). Seiring dengan berkembangnya teknologi mesin cetak,

    maka semakin banyak pula buku-buku yang diperbanyak, begitu juga dengan

    surat kabar. Saat itu, pada umumnya bentuk buku adalah kumpulan volume dari

    halaman-halaman yang terpisah dan dijilid dengan sampul yang tebal.

    Selanjutnya, media elektronik seperti radio, televisi, bahkan film juga mulai

    bangkit, maka dipakailah media tersebut untuk menyampaikan pesan secara lebih

    massive.

    Korelasi antara novel wayang dengan media massa adalah pada media massa

    itu sendiri. Salah satu ciri utama dari media komunikasi massa adalah kemampuan

    untuk menjangkau ribuan atau bahkan jutaan orang melalui media massa. Oleh

    sebab itu, bila dikaitkan dengan proses penyebaran cerita wayang sudah pasti

    bahwa kehadirannya dalam era modern dikarenakan campur tangan dari media

    massa (Karolus, 2013). Melalui buku sebagai media massa, yang dapat

    menyebarluaskan cerita pewayangan, maka kehadirannya dapat dinikmati dari

    generasi ke generasi. Orang tua tidak perlu menceritakan berulang kali pada anak-

    anak dan cucu-cucu mereka secara interpersonal. Cukup dengan memberikan

    buku-buku terbitan yang sudah ada, anak-anak dapat menikmatinya. Buku dan

  • novel banyak mempengaruhi manusia tentang isu-isu yang baru muncul, buku

    memberikan trickle-down effect melalui media lain dan dampaknya dapat

    dirasakan bahkan oleh orang yang tidak dapat atau belum membacanya Vivian

    (2008, dalam Karolus, 2013).

    McQuail (2011) menjelaskan bahwa buku hanyalah alat teknis untuk

    mereproduksi serangkaian teks yang sama atau mirip dari yang telah disalin

    dengan tangan secara manual. Seiring dengan berjalannya waktu, kini buku-buku

    yang sering beredar di toko-toko buku mengalami perubahan isi, seperti tulisan

    yang lebih sekular, santai, praktis dan populer, dengan alasan agar dapat menarik

    calon pembeli untuk membeli dan membacanya. Oleh sebab itu, mesin cetak

    menjadi sarana penting dalam penerbitan, sama halnya dengan ide dan peran dari

    penulis yang disebabkan oleh manuskrip teks awal yang biasanya tidak ditulis

    oleh orang yang hidup (McQuail, 2011) Dan berikut ini adalah ciri-ciri utama dari

    buku sebagai media dan lembaga (McQuail, 2011):

    a. Aspek Media :

    -Teknologi huruf cetak yang dapat digeser-geser

    - Halaman yang dijilid, bentuk kodeks

    - Salinan yang banyak

    - Untuk bacaan personal

    - Pengarang individu

    b. Aspek Kelembagaan

    - Sebagai bentuk Komoditas

    - Penyebaran di pasar

  • - Keragaman bentuk dan konten

    - Dianggap sebagai bentuk kebebasan publikasi

    - Tunduk pada batasan hukum tertentu

    2.2 Wayang sebagai Media komunikasi Klasik

    Sebuah teater pewayangan, biasanya dimainkan dan diceritakan oleh seorang

    dalang. Jika diperhatikan profesi seorang dalang bukanlah profesi yang menuntut

    sesorang tersebut memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Bahkan berdasarkan

    pengamatan penulis, di daerah Kediri, Nganjuk Jawa Timur, terdapat seorang

    dalang cilik yang masih berusia SMP. Namun kepiawaiannya dalam berlakon

    dan membawakan cerita pewayangan tidak bisa disepelekan, layaknya Dalang

    yang sudah berprofesi sangat lama. Ki Akbar Balowo dipanggilnya.

    (Radarkediri.Jawa Pos.com). Hal serupa juga disebutkan bahwa Ki Dalang yang

    pada umumnya berpendidikan yang relatif rendah, akan tetapi dalam pertunjukan

    itu, ia mampu membuat para penonton mengikuti dengan penuh perhatian.

    Padahal disadari atau tidak, Ki Dalang tersebut menghadapi khalayak yang bisa

    jadi jauh lebih tinggi pendidikannya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

    1997 )

    Sungguh pun Dalang memiliki pendidikan yang lebih rendah, namun

    demikian, ia mampu mengomunikasikan pesan-pesan bijak dan bermoral.

    Bahkan juga berdasarkan wawancara kecil yang sudah penulis lakukan terkait

    dengan pesan dan kesan setelah menyaksikan wayang, mengungkapkan bahwa

    wejangan-wejangannya mampu menembus hati nurani penonton, tentunya

  • wejangan tersebut masih dapat diterima oleh masyarakat sekarang dan bisa

    dipercaya sebagai sesuatu yang baik. Hal tersebut juga dikatakan dalam buku

    milik Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1997) bahwa

    sebagaian besar masyarakat penggemar wayang masih dapat menerima ajaran-

    ajaran warisan nenek moyang yang disampaikan oleh Ki Dalang dalam kaitannya

    dengan lakon-lakon tertentu.

    Pagelaran Wayang yang dilaksanakan semalaman itu, pasti mengandung pesan

    dan informasi disetiap bagiannya. Itu pulalah sebabnya mengapa wayang

    seringkali juga dianggap sebagai simbol dari berbagai perwatakan yang ada dalam

    kehidupan manusia. Dikatakan sebagai komunikasi klasik, pertama mengacu dari

    pengertian klasik itu sendiri, bahwa klasik adalah sesuatu yang mempunyai nilai

    atau mutu yang menjadi tolok ukur kesempurnaan yang abadi, atau karya sastra

    zaman kuno yang kemudian bernilai kekal (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

    Nurgiyantoro (2011) juga mengatakan hal yang sama, bahwa cerita wayang

    adalah sesuatu yang amat luar biasa, mampu bertahan sepanjang masa melewati

    zaman demi zaman dan tiap zaman memiliki ciri khas tersendiri.

    Kemudian yang kedua adalah karena dengan wayang, pesan moral serta

    nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat dapat tersampaikan melalui cerita

    pewayangan tersebut, serta masih relevan apabila diimplementasikan dalam

    kehidupan selanjutnya. Pertunjukan wayang tidak hanya bisa mengomunikasikan

    informasi-informasi mengenai kehidupan manusia di dunia, namun pertunjukan

    wayang juga bisa menjadi media pengajaran bagi anak-anak maupun orang

    dewasa. Dengan mengenalkan anak terhadap dunia pewayangan maka akan lebih

  • mudah mengomunikasikan pesan yang terkandung dalam tokoh maupun cerita

    pewayangan tersebut. Sehingga wayang diturunkan, diwariskan dan dikenal

    masyarakat terutama lewat seni pertunjukan yang bersifat lisan dan mempunyai

    ciri sebagai folklore atau cerita rakyat (Nurgiyantoro, 2011).

    2.3. Wayang Sebagai Produk Budaya

    Di Indonesia, terdapat banyak jenis seni yang dimiliki oleh setiap daerah

    di Indonesia. Mulai dari seni musik, seni tari, seni rupa, seni teaterikal, dan juga

    pertunjukan boneka. Salah satu seni pertunjukan boneka yang sangat terkenal di

    Indonesia adalah wayang. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada bab

    latar belakang, bahwa pada zaman dahulu pertunjukan wayang biasanya

    ditampilkan diatas panggung, serta dimainkan semalaman, mulai pukul 21.00 –

    06.00. Khususnya di daerah Jawa, wayang terbuat dari kulit, oleh karena itu sering

    disebut pertunjukan wayang kulit.

    Menurut Dr. G.A.J. Hazeu dalam (Mulyono, 1975) menjelaskan bahwa

    dalam wayang kulit terdapat istilah-istilah sarana pertunjukan wayang kulit.

    Yaitu: wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kotak, dan cempala. Disertasinya

    juga menjelaskan bahwa, pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan

    bantuan dan bimbingan orang hindu. Wayang, dalam bahasa Jawa berarti

    “bayangan” dalam bahasa melayu disebut “bayang bayang”. Berdasarkan bahasa

    jawa wayang mengandung pengertian “berjalan kian kemari, tidak tetap, sayup-

    sayup, (bagi substansi bayang-bayang) oleh karena boneka-boneka yang

    digunakan dalam pertunjukan itu berbayangan atau memberi bayang-bayang,

    maka disebut wayang (Mulyono, 1973)

  • Pewarisan cerita pewayangan dari nenek moyang pasti mengalami proses

    yang panjang. Hal ini berarti bahwa cerita pewayangan mengandung nilai budaya

    dari nenek moyang. Dengan begitu, cerita wayang dapat berupa peninggalan lisan

    maupun tulisan dari nenek moyang. Karya-karya lisan maupun tulisan

    peninggalan nenek moyang ini dapat dipelajari untuk memeperoleh gambaran

    mengenai kebudayaan pada waktu mereka hidup. (Karolus, 2013).

    Bisa dikatakan bahwa wayang merupakan salah satu media komunikasi

    tradisional. Media tradisional adalah media komunikasi yang menggunakan seni

    pertunjukan tradisional, yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat

    pedesaan (Kementrian Komunikasi dan Informatika, 2011). Wayang merupakan

    salah satu kesenian, kebudayaan sekaligus pertunjukan tradisional yang lahir dan

    berkembang di tengah-tengah masyarakat pedesaan di daerah Jawa, oleh karena

    itu dapat dikatakan wayang merupakan salah satu jenis media tradisional.

    (Mulyono, 1973) menjelaskan fungsi dari wayang itu sendiri :

    1. Pemujaan Hyang, masyarakat pada zaman dahulu memiliki pemikiran

    yang sederhana. Mereka beranggapan bahwa benda-benda yang ada di

    sekeliling mereka itu bernyawa, serta semua yang bergerak dianggap

    hidup dan memiliki nyawa, serta memiliki kekuatan gaib.

    2. Kegiatan Agama. Masyarakat pada zaman itu percaya bahwa pertunjukan

    wayang bukan hanya untuk kesenangan belaka, namun juga mengandung

    arti keagamaan atau suatu upacara yang berhubungan dengan kepercayaan.

    Pertunujkan wayang juga merupakan tindakan yang bertujuan baik,

  • misalnya kala itu sudah diramalkan akan terjadi sesuatu yang buruk, maka

    masyarakat mengadakan pertunjukan seperti itu (Murwakala)

    3. Sajian dan Pujian. Menurut kepercayaan pada waktu itu, orang mati

    dianggap sebagai roh pelindung yang kuat yang dapat memberikan

    pertolongan dalam setiap kehidupan dan usaha anak-anaknya, dalam

    memajuikan keluarga dan lingkungan mereka. Oleh karena itu, mereka

    membangunkan dan menghidupkan kembali roh-roh nenek moyang yang

    sudah tiada, melalui nyanyian pujian dan sajian. Dengan kehadirannya

    diharapkan akan memberikan pengaruh dan berkah kepada yang masih

    hidup. Mereka percaya, nenek moyang mereka masih ada di sekeliling

    mereka.

    Melihat dan menimbang fungsi dari wayang di atas, dapat disimpulkan bahwa

    cerita pewayangan merupakan produk budaya yang hidup dalam masyarakat

    tersebut. Seperti kebudayaan yang dapat terus berkembang seiring dengan

    perkembangan zaman, maka wayangpun dibentuk sedemiakian rupa menurut

    budaya dan masyarakat yang membentuknya.

    2.4. Representasi dan Identitas Sebagai Bagian dari Kebudayaan

    Pemahaman Cultural Studies, representasi dan identitas adalah konsep-

    konsep kunci dalam penelitian budaya sebab dapat menghasilkan ideologi ataupun

    juga mitos dalam melihat fenomena budaya (Barker, 2004). Mitos memiliki

    hubungan yang sama dalam cara kerja dengan ideologi, yaitu membuat pandangan

    hidup tertentu tampak meyakinkan dan benar. Dalam Cultural studies,

    kebudayaan menyangkut berbagai makna yang sama dalam suatu kelompok.

  • Makna tersebut diproduksi dan dipertukarkan dalam suatu kelompok melalui

    bahasa yang digunakan sehari-hari yang nantinya akan dimaknai dan

    direpresentasikan.

    Representasi menjadi hal yang sangat penting dalam menghubungkan

    makna dan bahasa dengan budaya. Menurut Barker (2004) Representasi berarti

    menyatukan sesuatu atau menggambarkan dunia yang penuh arti kepada orang

    lain, menggambarkan apa yang dilihat dan dirasakan. Barker (2004) menjelaskan

    bahwa representasi berkaitan dengan bagaimana makna tekstual dibentuk karena

    keduanya dibuat, ditampilkan, digunakan, dan dipahami oleh masyarakta melihat

    dari kondisi sosial tertentu dalam sebuah kebudayaan, dalam merepresentasikan

    sesuatu, terdapat dua proses atau sistem yang memungkinkan kita memberikan

    makna pada dunia dengan menghubungkan seperangkat objek dengan peta

    konseptual.

    Sistem itu, objek tersebut dihubungkan dengan representasi mental yang

    ada di kepala kita. Kemudian kita harus merepresentasikan yang ada dalam kepala

    kita menuju keluar, sehingga terjadi pertukaran makna secara sosial. Peta

    konseptual tadi, untuk selanjutnya dihubungkan dengan tanda-tanda dan

    kemudian diatur dalam bahasa untuk proses konstruksi makna (Hall, 1997).

    Menurut Hall (1997) terdapat tiga cara bahasa dalam bekerja bagaimana

    memandang makna. Pertama adalah cara reflektif, kedua intensional, dan yang

    ketiga adalah konstruksionis. Cara yang sering digunakan dalam kajian cultural

    studies, adalah cara ketiga, yaitu konstruksionis bahwa makna bukannya ada

  • begitu saja, namun makna tersebut dikonstruksi sebab terdapat pelaku sosial yang

    mengonstruksi makna tersebut berdasarkan sistem representasi, linguistik dan

    konsep budaya yang berlaku (Hall, 1997).

    Penelitian ini menggunakan cara yang ketiga, yaitu konstruksionis, bahasa

    menjadi alat untuk merepresentasikan perempuan, tidak hanya menampilkan apa

    adanya, namun mengonstruksi realitas yang baru sesuai dengan keinginan

    kelompok yang berkuasa dan menghadirkan representasi atas sosok perempuan

    tersebut. Hall (1997) menegaskan pula bahwa “ We All write and Speak from a

    particular place and time, from a history and culture which is specific. What we

    say is always „in context‟, positioned”.

    Dalam sebuah representasi, yang dikonstruksi bukan hanya makna saja

    namun juga identitas. Menurut Hall (1997) identitas adalah sebuah produksi yang

    berlangsung secara terus menerus dan tidak pernah selesai , serta bahwa identitas

    “always constitued within, not outside, representation”. Oleh sebab itu, identitas

    memiliki hubungan yang erat dengan representasi. Representasi melibatkan sistem

    simbol dalam bentuk bahasa dan visual yang akan menghasilkan makna tertentu.

    2.5 Wacana Sebagai Praktik Sosial

    Definisi wacana yang berasal dari paradigma fungsional memandang

    wacana sebagai penggunaan bahasa. Pada hakikatnya, percakapan dapat dikatakan

    sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi. Sebagai aktivitas komunikasi

    verbal dalam interaksi sosial, percakapan dapat disebut wacana dalam pandangan

    fungsional. Peristiwa komunikasi yang ditandai oleh penggunaan bahasa antara

    penutur dan mitra tutur yang bersifat resiprokal bersemuka untuk mencapai tujuan

  • sosial. Analisis wacana melihat pada bagaimana bahasa dan wacana digunakan

    untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, termasuk untuk membangun kohesi sosial

    atau perubahan-perubahan sosial (Haryatmoko, 2016). Mendefinisikan, bicara,

    menulis dan bertindak, itulah bahwa wacana sebagai praktik sosial

    Sebuah definisi wacana sebagai penggunaan bahasa berdasarkan

    pandangan fungsionalisme ialah wacana dilihat sebagai sebuah sistem (sebuah

    cara berbicara yang diatur oleh norma sosial dan budaya) melalui fungsi-fungsi

    tertentu yang diwujudkan. Bahasa digunakan untuk beragam fungsi dan bahasa

    mempunyai berbagai konsekuensi. Bisa untuk memerintah, memengaruhi,

    mendeskripsi, mengiba, memanipulasi, menggerakkan kelompok atau membujuk

    (Haryatmoko, 2016) . Bahasa juga merupakan mekanisme kontrol sosial yang

    sangat kuat, maka bisa disanggah dan patut diperdebatkan. Maka sangat

    bergantung pada pemaknaannya, padahal pemaknaan diarahkan oleh unsur-unsur

    intinya.

    Percakapan dilakukan untuk menyatakan maksud guna mencapai dan

    mengandalkan pemahaman bersama. Bahasa dipahami sebagai alat untuk

    komunikasi. Namun tidak hanya berhenti disitu, bahasa juga dipakai untuk

    melakukan sesuatu. (Bordieu, 1982) dalam Haryatmoko menjelaskan bahwa

    bahasa digunakan untuk instrumen kekuasaan , karena hubungan sosial pada

    dasarnya adalah hubungan dominasi, sehingga hubungan komunikasi ditandai

    pertukaran wacana sebagai hubungan kekuasaan simbolis.

  • 2.6 Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

    Analisis Wacana Kritis atau juga dikenal dengan Critical Discourse

    Analysis membantu memahami bahasa dalam penggunaannya. Bahasa bukan

    hanya sekedar menjadi alat komunikasi, namun juga digunakan sebagai instrumen

    untuk melakukan sesuatu sarana menerapkan strategi kekuasaan, melalui bahasa

    orang memproduksi makna dalam kehidupan sosial (Haryatmoko, 2016). Sepakat

    dengan hal tersebut Fauzan (2014) menjelaskan Bahasa tidak netral melainkan

    membawa pesan ideologi tertentu yang dipengaruhi oleh sang pembuat teks.

    Analisis wacana kritis memahami wacana tidak semata-mata sebagai suatu studi

    bahasa, tetapi analisis wacana kritis juga menghubungkannya dengan konteks.

    Konteks yang dimaksud adalah konteks praktik kekuasaan yang bertujuan untuk

    memarginalkan individu atau kelompok tertentu.

    Fairclough (1989) dalam Fauzan (2014) menambahkan juga Wacana

    mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konteks sosial. Menyebut wacana sebagai

    bentuk “praktik sosial” yang berimplikasi adanya dialektika antara bahasa dan

    kondisi sosial. Wacana dipengaruhi oleh kondisi sosial, akan tetapi kondisi sosial

    juga dipengaruhi oleh wacana. Analisis wacan kritis melihat bagaimana bahasa

    digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi di masyarakat, dan

    analisis wacana kritis menyelidiki dan berusaha membongkar bagaimana

    penggunaan bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial yang saling bertarung

    dan berusaha memenangkan pertarungan ideologi tersebut. Dan terdapat beberapa

    karakteristik penting analisis wacana kritis berdasarkan Van Dijk, Fairclough, dan

    Wodak yang ditulis dalam Eriyanto (2011)

  • 1. Tindakan

    Wacana dianggap sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman

    demikian maka mengasosiasikan wacana merupakan suatu bentuk

    interaksi Dengan begitu, wacana dipandang sebagai sesuatu yang

    bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, berdebat, membujuk,

    menyanggah, bereaksi dan lain sebagainya. Kemudian acana juga

    dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol,

    bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekspresikan diluar kesadaran

    2. Konteks

    Dalam CDA penting mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti

    latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Atas dasar hal tersebut wacana

    dipandang, dimengerti, diproduksi, dan dianalisis pada suatu konteks

    tertentu

    3. Historis

    Seperti dalam konteks, ketika wacana ditempatkan dalam suatu

    konteks sosial tertentu, berarti wacana tersebut diproduksi dalam

    konteks tertentu dan tidak dapat dipahami tanpa menyertakan konteks

    yang menyertainya. Untuk mengerti sebuah wacana adalah dengan

    cara menempatkan wacana tersebut dalam konteks historis tertentu.

    Sebagai contoh, melihat bagaimana kondisi sosial budaya yang sedang

    terjadi saat itu.

    4. Kekuasaan

  • Kekuasaan dalam analisis wacana kritis juga merupakan salah satu hal

    yang penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini, setiap wacana yang

    diproduksi dalam bentuk teks, percakapan dan sebagainya tidak hanya

    dipahami sebagai suatu hal yang alamiah, netral dan wajar terjadi

    begitu saja, namun merupakan suatu bentuk pertarungan kekuasaan.

    5. Ideologi

    Dalam suatu wacana, teks, percakapan dan sebagainya merupakan

    hasil dari praktik ideologi atau cerminan dari ideologi tertentu. Aacana

    digunakan sebagai alat oleh kelompok yang mendominasi untuk

    mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi

    utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa

    dominasi itu diterima secara taken for granted.

    Norman Fairclough melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai

    praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan

    hubungan yang saling berkaitan antara struktur sosial dan proses produksi

    wacana. Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari

    konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks diperlukan penelusuran

    atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang

    mempengaruhi pembuatan teks.

    Fairclough (1989) dalam Fauzan (2014) berpendapat ada dialektik antara

    sosial dan wacana. Wacana mempengaruhi tatanan sosial, demikian juga tatanan

    sosial mempengaruhi wacana. Pertama, discourse membentuk dan dibentuk oleh

    masyarakat. Kedua, discourse membantu membentuk dan mengubah pengetahuan

  • beserta objek-objeknya, hubungan sosial, dan identitas sosial. Ketiga, discourse

    dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait dengan ideologi. Keempat,

    pembentukan discourse menandai adanya tarik ulur kekuasaan.

    Analisis Norman Fairclough menawarkan empat langkah metode.

    Pertama, memfokuskan pada suatu ketidakberesan sosial dalam aspek

    semiotiknya. Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani

    ketidakberesan sosial itu. Ketiga, mempertimbangkan apakah tatanan sosial itu

    membutuhkan ketidakberesan sosial tersebut. Keempat, mengidentifikasi cara-

    cara yang mungkin dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut

    (Fairclough,2010 dalam Haryatmoko ,2016)

    Haryatmoko (2016) menjelaskan bahwa wacana sebagai praksis sosial,

    mengarahkan fokusnya untuk menganalisis institusi, organisasi, relasi kelompok,

    struktur, proses sosial politik untuk dipelajari dalam tingkatan wacana,

    komunikasi dan interaksi. Sehingga Analisis Wacana Kritis mengelaborasi dan

    menjelaskan hubungan antara kedua lingkup studi itu, fenomena yang terjadi,

    struktur wacana, dan struktur masyarakat. Hubungan-hubungan tersebut

    merupakan bagian dari proses semiosis.

    2.7 Penelitian Terdahulu

    Pada penelitian ini, peneliti mencantumkan dua peneltian yang pernah

    dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Wacana Kritis model Norman

    Fairclough. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan

  • beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah peneliti

    baca di antaranya :

    a. Representasi Perempuan Pada Masa penjajahan Jepang (Analisis Wacana

    Kritis Pengalaman Perempuan “Jugun Lanfu” dalam novel Momoye

    Mereka Memanggilku)

    Penelitian ini dilakukan oleh Tita Distiana Mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi

    Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2012. Tujuan penelitian ini adalah

    melihat wacana mengenai perempuan Indonesia pada masa penjajahan Jepang

    selama masa perang di Asia Pasifik dalam novel “MOMOYE Mereka

    Memanggilku” karya Eka Hindra & Koichi Kimura. Penelitian tersebut

    menggunakan metode Analisis Wacana Kritis model Norman Fairclough.

    Analisisnya meliputi analisis teks, analisis produksi dan juga analisis sosial, yaitu

    proses dialektis dari wacana dan realitas yang terjadi dikehidupan sehari-hari.

    Hasil dari penelitian ini bahwa Novel tersebut mengangkat kehidupan perempuan

    Indonesia pada masa pendudukan Jepang dipaksa untuk turut ikut berperan dalam

    peperangan yang dilakukan Jepang, selain itu novel tersebut mengangkat wacana

    minoritas mengenai kehidupan perempuan Indonesia yang

    termarjinalkan.Selanjutnya perempuan pada masa itu dianggap bodoh, karena

    mereka tidak boleh sekolah dan terikat oleh adat-istiadat.

    Mereka dijadikan objek oleh tentara jepang untuk melakukan hal sesuai

    keinginan tentara Jepang. Dari segi feminis, perempuan bertahan menghadapi

    berbagai tekanan dan pemaksaan yang begitu keras oleh penjajah. Bukan hanya

    itu mereka mendapatkan caci maki serta dijauhi oleh masyarakat karena telah

  • melakukan pekerjaan yang hina. Melalui penggambaran perempuan yang hadir di

    tengah konteks sosial kultural tertentu yakni feminis, maka lahirnya novel

    “MOMOYE Mereka Memanggilku” menunjukan situasi dimana kaum perempuan

    sebagai bagian terbesar dimasyarakat, tengah berubah. Sebagian dari mereka

    menginginkan sebuah gerakan kesetaraan kaum perempuan dan laki-laki dengan

    sebuah gerakan faham feminisme untuk memperoleh hak-hak perempuan

    b. PEMBERONTAKAN PEREMPUAN DALAM NOVEL

    (Analisis Wacana Novel Trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi

    Lindri Karya YB. Mangunwijaya)

    Penelitian ini dilakukan oleh Rohmadtika Dita Mahasiswi Pascasarjana Ilmu

    Komunikasi Universitas Indonesia pada tahun 2012. Tujuan penelitian ini adalah

    untuk mengetahui konstruksi pemberontakan perempuan dalam Novel Trilogi

    Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri karya YB. Mangunwijaya. Metode

    Penelitian yang digunakan adalah analisis wacana kritis model Norman

    Fairclough, dengan menganalisis tiga level, yaitu level mikro (analisis teks), level

    discourse dan level sociocultural. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam

    menganalisis makna teks feminisme adalah cultural studies dan feminisme

    eksistensialis dari Simone Beaauvuir. Hasil penelitian menunjukan novel masih

    mengukuhkan ideologi patriarki. Untuk menjadi setara dengan laki-laki,

    perempuan harus melakukan peran ganda, yaitu pada wilayah domestik dan

    wilayah publik. Kisah dalam novel ini memiliki keterkaitan dengan posisi dan

    peran perempuan di era 1980-an dimana perempuan memiliki peran ganda yang

  • dicantumkan dalam Panca Tugas Wanita (PTW). Peran ganda perempuan masih

    berlangsung hingga era 2000-an

  • 2.8. Kerangka Pemikiran

    Putri Kerajaan

    Patriarki

    Pekerjaan Domestik

    Bagan 1 : Kerangka Pemikiran

    Sumber : Diolah oleh peneliti

    Direpresentasikan

    Srikandi, Permaisuri(Ibu

    Srikandi), Dewi Drupadi

    (kakak Srikandi)

    (Tokoh Pewayangan)

    Novel (Srikandi

    Belajar Memanah)

    Seri Wayang

    CDA Norman

    Fairclough