bab ii metodolodi jalan ka

25

Click here to load reader

Upload: zulfikar-zulmi-zulkarnaen-effendy

Post on 24-Oct-2015

51 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

berisi metodologi konstruksi jalan KA

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II METODOLODI JALAN KA

7

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi tentang dasar teori yang digunakan sebagai acuan dalam perencanaan geometri dan struktur jalan rel dari Samarinda sampai Bontang Provinsi Kalimantan Timur.

Berdasarkan Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2030 (RIPNAS 2030), yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan pada tahun 2011, pemerintah berencana untuk mengatur kembali pengembangan jaringan perkeretaapian secara nasional. Hal ini dilakukan untuk memastikan tercapainya tujuan dari amanat UU No.23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian.

Melihat lokasi perencanaan yang dilakukan adalah ruas Samarinda-Bontang yang termasuk dalam Provinsi Kalimantan Timur. Maka ketentuan yang berlaku berdasarkan RIPNAS 2030 untuk pengembangan jaringan jalan rel untuk semua kelas jalan rel, terutama untuk luar pulau Jawa adalah menggunakan lebar sepur 1435 mm. Dimana beban gandar minimum 22,5 ton pada semua jalur utama dan tekanan gandar 25 ton pada jalan rel baru dan jembatan, pada semua jalur utama dengan jarak antar bantalan sekitar 60 cm.

2.1. Geometri Jalan RelDalam perencanaannya geometri jalan rel perlu

memperhatikan kecepatan rencana dan beban yang melewatinya dengan pertimbangan faktor keamanan, kenyamanan, dan ekonomi.

2.1.1. Alinyemen Horizontal

Alinyemen Horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Jari-jari lengkung spiral ditentukan dengan:

Page 2: BAB II METODOLODI JALAN KA

8

h=11,8 V 2

R

Dimana:R = Jari-jari lengkung horizontal (m)V = Kecepatan rencana (km/jam)h = Peninggian rel dalam lengkung horizontal (maks = 120 mm)

Maka:

R=11,8V 2

h

Untuk memberikan kenyamanan pada penumpang pada tikungan, perlu dibuat lengkung peralihan guna mengurangi gaya sentrifugal yang terjadi.

a. Lengkung Peralihan (Lengkung Spiral-Circle-Spiral)Lengkung peralihan adalah suatu lengkung dengan jari-

jari yang berubah secara beraturan. Skema lengkung peralihan dapat di lihat pada Gambar 2.1.

s s

pYs

E

Ts

SC CS

ST

Ts

Xs

k

RRLs

Lc

Ls

Gambar 2.1 Bentuk lengkung spiral - circle - spiral

Page 3: BAB II METODOLODI JALAN KA

9

Ls=l+l

10 ( l2R )

2

dimana:Ls = Panjang minimum lengkung peralihan (m)ℓ = Panjang proyeksi lengkung peralihan (m)R = Jari-jari lengkung horizontal

1. Sudut SpiralSudut spiral merupakan sudut yang dibentuk pada titik SC dan CS

θs=90 LsπR

Dimana:Ls = Panjang lengkung peralihan (m)R = Jari-jari lengkung horizontal (m)

2. Panjang busur lingkaranPanjang busur lingkaran merupakan panjang lengkung titik SC dan CS

Lc=(∆−2 θs)πR

180

Dimana:R = Jari-jari lengkung horizontal (m)θs = Sudut spiral yang dibentuk∆ = sudut tikungan

3. Panjang proyeksi titik PPanjang proyeksi garis bantu PI tegak lurus terhadap pusat lingkaran.

Page 4: BAB II METODOLODI JALAN KA

10

P= Ls2

6 R−R(1−cosθs )

Dimana:Ls = Panjang lengkung peralihan (m)R = Jari-jari lengkung horizontal (m)θs = Sudut spiral yang dibentuk

4. Panjang kMerupakan panjang proyeksi datar antara titik TS dengan SC

k=Ls− Ls3

40 R2−R sin θs

Dimana:Ls = Panjang lengkung peralihan (m)R = Jari-jari lengkung horizontal (m)θs = Sudut spiral yang dibentuk

5. Panjang TSPanjang TS adalah panjang dari titik TS ke titik PI

Ts=( R+P ) . tg( 12

∆)+k

Dimana:R = Jari-jari lengkung horizontal (m)P = Panjang proyeksi garis bantu PI (m)k = Panjang antara titik TS dengan SC (m)∆ = Sudut tikungan

6. Panjang EPanjang titik E adalah titik yang menghubungkan PI ke pusat lingkaran.

Page 5: BAB II METODOLODI JALAN KA

11

E=( R+P )

cos ( 12

∆)−R

Dimana:R = Jari-jari lengkung horizontal (m)P = Panjang proyeksi garis bantu PI (m)∆ = Sudut tikungan

7. Panjang Xs dan YsMerupakan koordinat peralihan dari circle ke spiral

Ys=Ls2

6 R

Xs= hV144

Dimana:R = Jari-jari lengkung horizontal (m)Ls = Panjang peralihan (m)h = Peninggian rel (m)V = Kecepatan rencana (km/jam)

b. Pelebaran SepurPelebaran Sepur dilakukan agar roda kereta api dapat

melewati lengkung tanpa hambatan. Besar jari-jari pelebaran sepur tercantum pada Tabel 2.1.

Page 6: BAB II METODOLODI JALAN KA

12

Tabel 2.1 Pelebaran SepurPelebaran Sepur (mm) Jari-jari tikungan (m)

05101520

R > 600550 < R > 600400 < R > 600350 < R > 400100 < R > 500

Sumber: Peraturan Dinas PJKA, 1986

2.1.2 Alinyemen VertikalPerencanaan alinyemen vertikal berkaitan erat dengan

besarnya volume galian dan timbunan yang akan terjadi, oleh karena itu perencanaannya mempengaruhi besarnya biaya konstruksi.Adapun elevasi muka jalan rel sebaiknya:1. Berada di atas elevasi permukaan tanah asli2. Berada di atas muka air banjir, pada daerah yang sering

dilanda banjir.3. Volume galian dan timbunan dibuat seimbang, untuk

mengurangi biaya.Skema lengkung vertikal pada Gambar 2.2.

Page 7: BAB II METODOLODI JALAN KA

13

Gambar 2.2 Skema Lengkung Vertikal

Dimana:R = Jari-jari lengkung vertikalL = Panjang lengkung vertikalA = Titik pertemuan antara perpanjangan kedua landai / garis lurusOA = 0,5 L

Perhitungan lengkung peralihan vertikal dapat dipakai persamaan:

Xm= R2

φ

Ym=R8

φ2

Besar kecepatan rencana mempengaruhi besar jari-jari minimum lengkung vertikal, besar jari-jari minimum lengkung vertikal pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Jari-jari minimum lengkung vertikalKecepatan (km/jam) Jari-jari minimum (m)

Vmax <100100 < Vmax < 140140 < Vmax < 200

50001000020000

Sumber: Railways Management and Engineering

2.2 Profil RelPada buku “Railways Management and Engineering”

pemilihan profil rel mengacu, pada berat rel, lebar track, dan lebar rel. Pemilihan profil rel berdasar berat rel pada Tabel 2.3.

Page 8: BAB II METODOLODI JALAN KA

14

Tabel 2.3 Profil rel berdasar berat rel

V160

km/jam

120 km/ja

m

80 km/ja

m

100 km/ja

m

60 km/jam

Axle Load

13 t 16 t 25-30 t 20 t 16 t

Trafficpassenge

rmixed

Only freight

mixedPricipally freight

Suggested rail

weight

50-60 kg/m

50-60 kg/m

60-68 kg/m

>40 kg/m

>30 kg/m

Sumber: Railways Management and Engineering

2.3 Perencanaan BantalanBantalan rel adalah landasan tempat rel bertumpu dan

diikat dengan penambat rel. Adapun fungsi dari bantalan antara lain adalah untuk mengikat rel, mendistribusikan beban ke ballas, stabilitas kedudukan rel pada ballas.

Bantalan dapat terbuat dari berbagai macam bahan, bantalan kayu, bantalan baja, dan bantalan beton. Saat ini penggunaan bantalan beton mulai banyak digunakan, menggantikan bantalan kayu dan baja. Akan tetapi bantalan kayu masih banyak digunakan pada konstruksi jembatan, karena bahannya yang ringan, sehingga dapat mengurangi beban jembatan sendiri.

2.3.1 Data BantalanKarakteristik bantalan monoblock pada tabel Tabel 2.4

Page 9: BAB II METODOLODI JALAN KA

7

Tabel 2.4 Monoblock prestressed-concrete sleepers

CountryTrack Gauge (mm)

Length of the sleeper (mm)

Sectional dimensions (mm)at rail seat mid-span

H WB WT H WB WT

Australia 1435 2500 212 250 200 165 250 200Canada 1435 2542 203 264 216 159 264 226China 1435 2500 203 280 170 203 250 161

Germany 1435 2600 214 300 170 175 220 150UK 1432 2515 203 264 216 165 264 230Italy 1435 2300 172 284 222 150 240 190Japan 1435 2400 220 310 190 195 236 180

Sweden 1435 2500 220 294 164 185 230 150USA 1435 2591 241 279 241 178 279 250

S.Africa 1065 2057 221 245 140 197 203 140India 1673 2750 210 250 Variable 180 220 Variable

Russia 1520 2700 193 274 177 135 245 182Sumber: Railways Management and Engineering

Page 10: BAB II METODOLODI JALAN KA

8

2.3.2 Jarak bantalanPenentuan jarak bantalan berdasarkan Metode

Zimermann (Wahyudi, 1993):

l= Mmax0,25 P

×4 k+108 k+7

Dimana:Mmax / W ≤ δk = B / DB = 6EI / a3

a = 0,5 lD = 0,5 x 0,9 x A x C ( untuk gauge 1435 )D = 0,5 x 0,95 x A x C ( untuk gauge 1067 )D = 0,5 x 1,00 x A x C ( untuk gauge 600 )C = Koefisien ballas ; pasir = 3

kerikil = 5kericak = 8

Dimana:ℓ = Jarak antar bantalanP = Beban rodaW = Momen perlawanan relδ = Tegangan izin rel = 800-1200 kg/cm2

B = Koefisien lentur relD = Koefisien bantalanA = luas bidang pikul bantalan

= 2 perletakan x lebar bantalan x ½ panjang bantalan

2.4 Penambat relPenambat rel adalah pengikat rel bantalan rel kereta api

agar rel tetap stabil.

Page 11: BAB II METODOLODI JALAN KA

9

2.4.1 Jenis PenambatPenambat rel ada dua jenis, yaitu:

1. Penambat elastisSistem penambat elastis, adalah salah satu komponen utama yang ikut mempengaruhi kualitas struktur jalan rel, terbuat dari baja yang elastis, sehingga dapat mengurangi getaran yang terjadi pada saat kereta lewat.

2. Penambat kakuTerdiri dari paku rel, mur, tirpon yang dipasang menggunakan pelat landas.

2.5 BallasBallas adalah bagian dari badan jalan kereta api dimana

ditempatkan bantalan rel. Ada beberapa fungsi dari ballas, yaitu:a. Meneruskan dan menyebarkan beban bantalan ke tanah

dasarb. Mengokohkan kedudukan bantalanc. Meluruskan air sehingga tidak terjadi penggenangan air di

sekitar bantalan rel.

2.5.1 Persyaratan BallasPersyaratan ballas berdasarkan Peratutan Dinas No 10:

a. Material batuan harus keras, tidak mudah rapuh dan pecah bila terkena beban, serta ahan terhadap pengaruh cuaca.

b. Material batuan ballas harus berbentuk tajam dan sama (homogen) dikaitkan dengan faktor pemadatan dan pemeliharaan.

c. Ukuran butiran batuan harus disesuaikan dengan bantalan-bantalan yang dipakai, pada tikungan, perlintasan jalan dan sebagainya.

d. Butiran batuan tidak porus dan tidak menyerap air.e. Murah dalam arti tidak mempertimbangkan initial cost dan

maintenance cost

Page 12: BAB II METODOLODI JALAN KA

10

f. Tidak mempunyai atau menimbulkan reaksi kimia terhadap rel-rel atau material rel.

g. Material ballas harus mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang memadai

2.5.2 Lapisan ballasLapisan ballas terdiri dari:

a. Lapisan ballas atasTerdiri dari batu pecah keras, m e m i l i k i sudut tajam, dengan ukuran antara 2-6 cm. Lapisan ini harus dapat meneruskan air dengan baik. Tebal ballas atas dapat dirumuskan sebagai berikut:

Db=S−w2

Dimana:Db = tebal ballas minimumS = jarak bantalanw = lebar bantalan

Menurut British regulation tebal ballas dapat diperoleh pada Tabel 2.5

Tabel 2.5 Ketebalan ballas berdasarkan British regulation

Line speed ( km/h )

Yearly line tonnage ( million tons )

Ballast thickness ( m )

160-200 All 0,38120-160 >12 million 0,38120-160 2-12 million 0,30120-160 < 2 million 0,2380-120 >12 million 0,3080-120 <12 million 0,23

< 80 >2 million 0,23

Page 13: BAB II METODOLODI JALAN KA

11

<80<2 million

(concrete sleepers)0,20

<80<2 million

(timber sleepers)0,25

Sumber: Railways Management and Engineering

Menurut French specificaitons tebal ballas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:1. Kualitas tanah dan bearing capacity2. Jenis bantalan3. Karakteristik track (traffic load dan axle load)4. Volume pemeliharaan track5. Kecepatan kereta6. Menggunakan atau tidak geotextile.

Dirumuskan e = ballas + subballas, yang mana tebal subballas biasanya ditetapkan 0,15 m. Sehingga diperoleh rumus tebal ballas:

e(m) = N (m)+ a(m) + b(m) + c(m) + d(m) + f(m) + g(m)

Dimana:e = tebal ballasN= parameter kualitas subgrade

- 0,70 untuk bad subgrade (S1)- 0,55 untuk medium subgrade (S2)- 0,45 untuk good subgrade (S3)

a = parameter traffic load- 0 untuk kelas I dan II dengan V > 160 km/jam- -0,05 untuk kelas III dan IV- -0,10 untuk kelas V- -0,15 untuk kelas VI

b = parameter jenis bantalan- 0 untuk bantalan kayu dengan panjang L=2,60- (2,50-L)/2 untuk bantalan beton

Page 14: BAB II METODOLODI JALAN KA

12

c = volume maintenance work- 0 untuk medium volume maintenance- 0,10 untuk high volume maintenance kelas I-V- 0,05 untuk high volume maintenance kelas VI

d = parameter axle load- 0 untuk Q = 17,5 – 20 ton- 0,05 untuk Q = 22,5 ton- 0,12 untuk Q = 25 ton- 0,25 untuk Q = 30 ton

f = parameter kecepatan kereta- 0 untuk V<160 km/jam dan subgrade S1 dan S2

- 0 untuk high speed dan subgrade S3

- 0,05 untuk high speed dan subgrade S2

- 0,10 untuk high speed dan subgrade S1

g = penggunaan geotextile- 0 jika tidak menggunakan geotextile

b. Lapisan ballas bawahTerdiri dari kerikil halus, sedang atau pasir kasar. Berfungsi

sebagai lapisan penyaring (filter) antara tanah dasar. Tebal minimumnya adalah 0,15 m.

d2 = d-d1 >15

Dihitung dengan persamaan:

d=1,35√ 58 σ1

σ1

−10

σ1 dihitung dengan rumus Beam on elastic foundation, yaitu:

σ 1=Pdλ2 b

1(sin λL+sinh❑λL )

(2cosh2 λa ) (cos2 λc+cosh λ 1 )+2cos2 λa (cos2 λc+cosh λ 1 )+sinh❑2 λa¿

Page 15: BAB II METODOLODI JALAN KA

13

Pd=P+0,01 P((V /1,6)−5)

DimanaPd = Beban roda akibat beban dinamisP = Beban roda akibat beban statisV = Kecepatan kereta api (km/jam)% Beban = Prosentase beban yang masuk ke dalam bantalan

λ=∜ (k /(4 EI ))

k = b x ke

Dimana:b = Lebar bawah bantalanKe = Modulus reaksi ballas (kg/cm3)EI = Kekakuan lentur bantalan (kg/cm3)l = Panjang bantalan (cm)a = Jarak dari sumbu vertikal rel ke ujung bantalan (cm)c = setengah jarak antara sumbu vertikal rel (cm)

2.6 Analisa dan perhitungan timbunanPemindahan sejumlah volume tanah akibat adanya

perbedaan ketinggian (ketinggian muka tanah asli dengan ketinggian rencana trase) disuatu tempat.

2.7 PerlintasanPada bagian perlintasan ini akan membahas tentang

jembatan pada perlintasan sungai dan overpass pada perlintasan tengah kota. Untuk jembatan hanya akan membahas posisi jembatan, panjang jembatan, dan jenis jembatan yang digunakan.

2.7.1 Perlintasan tidak sebidang

Page 16: BAB II METODOLODI JALAN KA

14

Di dalam UU No.23 tahun 2007 dan Pedoman Teknis Perlintasan Sebidang Antara Jalan Dengan Jalur Kereta Api, disebutkan:1. Perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak

sebidang.2. Pengecualian terhadap perlintasan tidak sebidang hanya dapat

dilakukan dengan tetapmenjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan.

Tujuan undang-undang ini adalah mengatur tentang upaya untuk membuat perlintasan sebidang yang ada secara berangsur dirubah menjadi perlintasan tidak sebidang. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kuantitas kecelakaan lalu lintas pada perlintasan sebidang yang cukup tinggi.

Akan tetapi ada pengecualian dimana perlintasan sebidang diperbolehkan, dengan kondisi sebagai berikut:1. Letak geografis yang tidak memungkinkan membangun

perlintasan sebidang.2. Tidak membahayakan, tidak membebani, serta tidak

mengganggu kelancaran operasi kereta api dan lalu lintas jalan.

3. Untuk jalur tunggal tertentu.4. Selang waktu antara kereta api satu dengan kereta api

berikutnya (Head way) yang melintas pada lokasi tersebut rata-rata sekurangnya 6 (enam) menit pada waktu sibuk (peak).

5. Jarak perlintasan yang satu dengan yang lainnya pada satu jalur kereta api tidak kurang dari 800 meter.

6. Tidak terletak pada lengkungan jalan kereta api atau tikungan jalan.

7. Terdapat kondisi lingkungan yang memungkinkan pandangan bagi masinis kereta api dari as perlintasan dan bagi pengemudi kendaraan bermotor.

8. Jalan yang melintas adalah jalan kelas III.

Page 17: BAB II METODOLODI JALAN KA

15

Page 18: BAB II METODOLODI JALAN KA

16

Halaman ini sengaja dikosongkan.