bab ii landasan teoritik -...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORITIK
2.1 Prestasi Belajar Fisika
2.1.1 Pengertian Prestasi Belajar
Mata pelajaran Fisika merupakan mata pelajaran
yang mempelajari alam sekitar secara sistematik dan
menjelaskan fenomena-fenomena alam yang terjadi.
Menurut Wenning (2006), peserta didik akan mempelajari
mapel Fisika dengan pengalaman yang benar dan
autentik, apabila peserta didik belajar dengan
menggunakan metode pembelajaran yang melibatkan
peserta didik secara langsung dalam mengamati proses
terjadinya fenomena alam di lingkungan sekitar.
Pemikiran ini sejalan dengan konsep belajar Dewey,
dimana Dewey percaya bahwa melalui pengalaman
manusia dapat belajar tentang dunia (Dewey, 1961).
Pemahaman terhadap teori pendidikan John Dewey
selalu merujuk pada tiga gagasan utama yang
bersumber pada renungan filsafatnya. Tiga hal tersebut
adalah teori pengalaman, konsepsinya tentang demokrasi
(demokrasi dalam pendidikan), dan perhatiannya tentang
penerapan metode sains dalam proses pendidikan
(Hook,1969).
Gagasan pertama Dewey tentang teori pendidikan
adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman
yang secara detil terdapat dalam tulisannya “Experience
and Education” yang terbit tahun 1939. Menurut
pendapat Dewey istilah pengalaman diberikan dalam
konteks suatu proses manusia belajar. Dewey
menyatakan bahwa segala jenis kegiatan pendidikan yang
sejati tercipta melalui pengalaman, tetapi tidak semua
pengalaman terhubung dengan pendidikan (Dewey, 1939).
Pengalaman apapun yang mempunyai pengaruh
penghambat ataupun mendistorsi pertumbuhan
pengalaman selanjutnya adalah salah didik. Pengalaman
seperti itu tidak layak dijadikan sebagai sarana peserta
didik belajar. Jenis pengalaman yang salah didik adalah
pengalaman yang menimbulkan sifat-sifat jelek dalam diri
anak, misalnya pengalaman yang mengakibatkan
katidakpekaan, ketidakacuhan, dan membatasi naluri
respons anak untuk melakukan sesuatu. Oleh sebab itu,
tugas penting pendidikan yang berbasis pengalaman
adalah bagaimana memilih sejumlah pengalaman
sekarang, agar dapat melahirkan pengalaman selanjutnya
yang lebih baik dan kreatif (Dewey, 1939). Pemilihan
kriteria dari pengalaman yang baik dilakukan dengan
prinsip “kesinambungan pengalaman”, atau lebih akurat
lagi harapan akan kontinuitas pengalaman sehingga
pengalaman masa depan menjadi lebih siap diperoleh
berbasis pada pengalaman sebelumnya.
Dewey juga menyatakan bahwa hanya pengalaman
dimana individu dapat bereaksi dengan penuh kepedulian
terhadap masalah dan tantangan yang terjadi di sekitar
lingkungannya yang dapat dikatakan proses pendidikan
yang berhasil. Reaksi tersebut dapat meningkatkan
potensi dan kekuatan dari dalam untuk mengendalikan
lingkungan dan dirinya. Tugas pendidik adalah mengatur
segala jenis dan menyeleksi pengalaman tersebut
sehingga pengalaman itu dapat melibatkan aktivitas
peserta didik yang menyenangkan karena dapat
meningkatkan pengalaman pada masa depan yang
diinginkan.
Kelanjutan antara pengalaman masa kini sebagai
bekal pengalaman masa depan oleh Dewey disebut
sebagai “experiental continuum” atau rangkaian
pengalaman yang berkelanjutan (Dewey, 1939). Prinsip
kesinambungan pengalaman berarti bahwa setiap
pengalaman sekaligus mengambil sesuatu dari
pengalaman yang telah berjalan sebelumnya dan
mengubah dengan cara tertentu kualitas pengalaman
yang datang sesudahnya. Kesinambungan pengalaman
inilah yang merupakan kriteria utama untuk
menentukan mana pengalaman yang mendidik dan mana
yang tidak. Arah dari pengalaman juga harus
diperhatikan dalam setiap proses pendidikan. Di sinilah
peran manusia dewasa sebagai pihak yang memiliki
kematangan pengalaman menjadi pendidik untuk
mengevaluasi setiap pengalaman peserta didiknya dengan
cara yang khusus.
Menurut Dewey, pengalaman tidak hanya
berlangsung secara eksklusif dalam tubuh dan pikiran
individu saja. Hal penting dalam ketersediaan pengalaman
adalah lingkungan. Manusia tidak hidup sendiri tetapi
bersama-sama dengan benda di sekitarnya. Lingkungan
turut menentukan bagaimana manusia atau peserta didik
dapat memperoleh pengalaman yang bermakna, yaitu
pengalaman yang membawa ke arah pertumbuhan.
Antara manusia dengan lingkungannya terdapat
hubungan yang dimulai dengan apa yang kita kenal
dengan “interaksi”. Interaksi atau hubungan antara
manusia dengan kondisi obyektif lingkungan akan
melahirkan situasi. Situasi ini lahir karena interaksi dari
kondisi obyektif (lingkungan) dan kondisi internal
(pengalaman individu) yang terus menerus.
Kesinambungan dan interaksi dalam kesatuan
aktif keduanya memberi ukuran mengenai makna dan
kualitas pengalaman yang edukatif. Kesinambungan dan
interaksi juga merupakan prinsip dasar pembentukan
pengalaman. Dewey memandang bahwa tidak ada
individu ataupun masyarakat yang bisa membebaskan
diri satu sama lain. Itulah sebabnya Dewey beranggapan
bahwa pengalaman yang terbentuk sebagai hasil dari
interaksi yang kemudian memunculkan situasi haruslah
juga merupakan pengalaman di bawah kontrol sosial
yang berlaku.
Gagasan kedua Dewey tentang teori pendidikan
adalah konsep tentang demokrasi dalam pendidikan.
Istilah demokrasi menurut pandangan umum seringkali
berkaitan dengan bentuk pemerintahan atau proses
politik dimana pemimpin tertinggi dipilih secara langsung
oleh pemilih yang memenuhi syarat. Pengertian demokrasi
dalam konteks pandangan Dewey tidaklah merujuk pada
pengertian tersebut. Menurut Dewey (1964) demokrasi
berarti kehidupan yang modern. Demokrasi juga berarti
bebas secara intelektual, yaitu emansipasi pikiran sebagai
individu untuk melakukan sesuatu. Kebebasan dalam
demokrasi tidaklah semata kebebasan berbuat, karena
kebebasan seperti ini tanpa dilandasi kebebasan berpikir
akan menimbulkan kekacauan.
Dalam dunia pendidikan, demokrasi merupakan
keharusan. Bagi Dewey (1958) hubungan antara
demokrasi dan pendidikan merupakan hubungan vital
dan saling melengkapi. Di dalam proses pendidikan
prinsip-prinsip demokrasi haruslah dijalankan. Bahkan
demokrasi sendiri adalah landasan, ukuran kualitas,
dan kebijakan pendidikan. Menurut Hook (1969) esensi
dari demokrasi Dewey adalah bahwa demokrasi memiliki
komitmen terhadap persamaan peluang bagi setiap
individu mengembangkan jati dirinya dalam masyarakat.
Dengan begitu fungsi pendidikan adalah untuk
menemukan dan membebaskan individu beserta
kapasitas yang dimilikinya. Pendidikan memberikan
kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan
dirinya secara maksimum secara harmonis bersama-sama
dengan lingkungannya.
Implikasi prinsip demokrasi dalam proses
pembelajaran, tercermin dalam situasi belajar yang
menggerakkan pikiran atau kecerdasan peserta didik
untuk menemukan jati dirinya dan membangun
hubungan guru dengan peserta didik yang seimbang.
Dalam proses belajar yang demokratis, guru perlu
menghindari cara belajar yang bersifat mendikte,
transmisi pengetahuan jadi, atau menggunakan metode
yang selalu sama, juga supervisi yang berlebihan pada
peserta didik. Semua itu menurut Dewey (1964)
membelenggu kemampuan intelektual anak dan
memenjarakan semangat anak belajar.
Gagasan Dewey yang ketiga tentang teori
pendidikan adalah penerapan metode sains dalam proses
pendidikan atau lebih khusus lagi pembelajaran.
Sebagai penganut pragmatisme, empirisme
merupakan bagian tak terpisahkan dalam kajian teorinya.
Pandangan pragmatis (Shook , 2000) yang menganggap
kebenaran terhadap suatu realita dan bangunan
pengetahuan berlandaskan pada observasi langsung
antara individu terhadap objek alam menjadi kerangka
berpikir Dewey untuk menempatkan metode sains
sebagai metode berpikir. Metode sains menurut Dewey
berkembang seiring dengan perkembangan kecerdasan
manusia. Bahkan sains modern merupakan bukti hidup
bahwa manusia yang belajar dapat berubah setiap saat.
Penerapan sains modern yang bersifat eksperimen sebagai
paradigma perkembangan hakikat manusia yang belajar
juga akhirnya memberi kontribusi sebagai solusi atas
permasalahan hidup manusia itu sendiri (Shook, 2000).
Dengan menganalisis metodologi sains modern yang
bersifat eksperimen, kelompok pragmatis
mengembangkan konsep dan pemahaman tentang
kekuatan mental yang dibutuhkan dalam proses
belajar yang sainstifik. Metode pengetahuan dimana
sains mengambil posisi yang penting memiliki tiga
karakteristik yang essensial, yaitu: (1) sains mengarahkan
manusia bagaimana memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Metode sains memberi peluang kepada manusia untuk
menerapkan kebiasaan berinteraksi dengan alam untuk
menghasilkan produk yang bermanfaat, dari hasil
pengalaman yang berharga. Artinya ketika seseorang telah
mengetahui sesuatu, maka dia dapat membuat dan
menggunakan objek tersebut, (2) sains dapat
berhubungan dengan situasi yang kompleks dan
problematik, hal mana tidak bisa dilakukan oleh
metode biasa yang dipakai manusia. Sains menyediakan
alat-alat (baik itu rumus atau pola) analisis terhadap
situasi terkini sebagai usaha untuk membangun objek
baru dan alat adaptasi manusia terhadap objek tersebut,
(3) posisi dan karakteristik sains yang terpenting adalah
bahwa sains menawarkan cara untuk merefleksikan dan
membuat perubahan aturan-aturan dasar terhadap
situasi yang juga tidak bisa dilakukan dengan cara-
cara lama yang bersifat umum (kebiasaan lama yang
berkembang) (Shook, 2000; Kilpatrick, 1951).
Menurut Dewey sains merupakan metode baru yang
dikembangkan oleh manusia yang berciri pada
kooperasi dan eksperimen, dan keduanya
mengekspresikan kecerdasan manusia (Dewey, 1913).
Dalam proses belajar metode sains ini dapat
mengembangkan kebiasaan berpikir peserta didik yang
kemudian menjadi proses pembiasaan dalam
pengalaman belajar mereka. Berpikir adalah cara belajar
yang cerdas (Dewey, 1916). Berpikir merupakan elemen
yang cerdas dalam pengalaman belajar (Dewey, 1916).
Menurut Dewey (1916) salah satu fungsi terpenting dari
sekolah adalah menggerakkan dan mengembangkan
kebiasaan dan kemampuan anak berpikir. Kecerdasan
anak merupakan potensi yang harus secara terus
menerus dilatih.
Bagi Dewey (1916) cara mendapatkan pengetahuan
yang benar adalah melalui kemampuan berpikir dalam
konteks pengalaman yang berlandaskan metode sains
eksperimental. Kaitannya dengan konsep demokrasi
dalam pendidikan adalah bahwa metode belajar yang
dipersiapkan oleh guru merupakan sebuah proses
eksperimen yang menggunakan kemampuan berpikir
peserta didik sebagai aktivitas utama untuk
menemukan jawaban terbaik terhadap masalah. Proses
ini yang lebih dikenal sebagai metode sains merupakan
ide sentral Dewey untuk membuktikan bahwa
pengetahuan tidaklah bersifat statis dan terpisah dari
tindakan (Dewey, 1916). Metode sains eksperimental
menggabungkan aktivitas mental dan pengalaman, dan
memberi peluang peserta didik untuk terus menemukan
dan membangun pengetahuan baru.
Ketiga gagasan inti dari pandangan John Dewey
tentang pendidikan menggambarkan hakikat belajar yang
harus dijalankan dalam sebuah sistem dan proses
pendidikan. Dalam buku “Experiential learning” milik Kolb
(1984), Dewey memaparkan bahwa proses belajar
merupakan proses yang mengintegrasikan pengalaman
dengan konsep, pengamatan dan tindakan. Dimana
dorongan pengalaman (impulse) akan melahirkan
pengetahuan (knowledge) untuk bertindak (judgement)
dan penundaan tindakan sangat penting untuk
melakukan pengamatan (observation) serta penilaian
dalam pencapaian tujuan belajar, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa belajar merupakan proses yang
terjadi melalui integrasi pengalaman, pengetahuan,
observasi dan tindakan. Karena begitu banyaknya hal
yang harus dipelajari untuk memahami dunia maka
proses belajar harus dilakukan berulang-ulang dan tak
berujung sehingga Dewey menggambarkannya dalam
siklus model belajar Dewey di gambar 2.1.
Gambar 2.1 Model Belajar Dewey (Kolb, 1984)
Prestasi belajar terdiri dari dua suku kata yaitu
prestasi dan belajar yang pada hakikatnya memiliki arti
yang berbeda. Secara etimologi kata prestasi berasal dari
bahasa Belanda yaitu “prestatie”, kemudian dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hasil usaha.
Berdasarkan pengertian tersebut maka pengertian dari
prestasi belajar adalah hasil usaha dari proses belajar.
Lebih lanjut Winkel (1991) mengatakan bahwa prestasi
belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau
kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan
belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapai. Dengan
demikian maka prestasi belajar dapat diartikan sebagai
hasil yang dicapai oleh peserta didik setelah mengalami
suatu proses belajar.
Berdasarkan konsep belajar Dewey yang
mendefinisikan belajar sebagai proses yang terjadi melalui
integrasi pengalaman, pengetahuan, observasi dan
tindakan. Maka prestasi belajar adalah hasil usaha yang
dicapai oleh peserta didik dari proses integrasi
pengalaman, pengetahuan, observasi dan tindakan.
Proses belajar yang dilakukan oleh peserta didik diawali
dengan proses pengalaman yang peserta didik dapatkan
dari lingkungan disekitarnya. Pengalaman tersebut bisa
didapatkan melalui panca indra yang dimiliki oleh peserta
didik, seperti melihat, mendengar atau melakukan
sesuatu. Menurut Dewey (1939), tidak semua pengalaman
masuk dalam proses belajar peserta didik, pengalaman
yang menghambat proses pengalaman berikutnya adalah
pengalaman yang salah dan harus dihapus atau
dilupakan. Disinilah peran guru untuk mengarahkan
peserta didik agar mendapatkan pengalaman yang benar
dan dapat menjadi dasar untuk pengalaman yang
berikutnya, sehingga pengalaman berikutnya akan lebih
siap karena berdasarkan pada pengalaman yang
sebelumnya. Dewey (1939) menyatakan bahwa hanya
pengalaman yang dapat membuat peserta didik
berinteraksi dengan penuh kepedulian terhadap masalah
dan tantangan yang terjadi di sekitar lingkungannya yang
dapat dikatakan proses pendidikan yang berhasil. Dari
hasil proses pengalaman yang benar, peserta didik mulai
membangun pengatahuan-pengetahuan baru (Dewey,
1916). Contoh belajar dari proses pengalaman yang benar
mampu menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru
dapat dilihat dari proses belajar pada materi rangkaian
listrik. Pada tahap ini, guru akan memberikan peserta
didik beberapa komponen seperti sebuah baterai, sebuah
lampu dan kabel. Kemudian peserta didik diminta untuk
merangkai komponen-komponen tersebut sedemikian
rupa hingga lampu dapat menyala. Dari pengalaman ini,
peserta didik akan mendapatkan pengetahuan bahwa
lampu akan dapat menyala ketika seluruh komponen
disatukan dalam sebuah rangkaian tertutup (tidak ada
yang terputus/terbuka). Pengalaman berikutnya peserta
didik diminta untuk melepaskan baterai dari rangkaian
listrik tersebut, kemudian lampu akan mati dan akan
hidup kembali jika baterai kembali dipasangkan. Hal ini
akan membangun pengetahuan peserta didik bahwa
ketika salah satu komponen dilepas maka lampu tidak
akan hidup atau arus listrik tidak akan mengalir.
Kemudian guru akan memberikan sebuah baterai
tambahan pada peserta didik sehingga rangkaian listrik
yang dimiliki peserta didik terdiri dari dua buah baterai.
Peserta didik diarahkan untuk memperhatikan cahaya
lampu pada rangkaian tersebut dan guru memberikan
pertanyaan “Apakah cahaya lampu dengan dua buah
baterai akan lebih terang bila dibandingkan dengan
cahaya lampu dengan sebuah baterai?”. Dari pertanyaan
tersebut peserta didik akan membangun pengetahuan
bahwa baterai merupakan suatu energi yang mampu
menyalakan lampu dalam sebuah rangkaian dan semakin
besar energi yang dimiliki maka cahaya lampu akan
semakin terang. Dari contoh ini, dapat dilihat bahwa
proses pengalaman yang benar dapat mengasilkan
pengetahuan baru yang dapat digunakan untuk tindakan
berikutnya, dimana tindakan tersebut dapat menjadi
pengalaman pada proses belajar berikutnya, seperti
halnya pernyataan Dewey (1939) bahwa proses belajar
yang berhasil didasarkan pada pemilihan pengalaman
yang baik yang dilakukan dengan prinsip
“kesinambungan pengalaman ”.
Dewey dalam Kolb (1984) memaparkan dalam
proses belajar, dorongan dari pengalaman akan
melahirkan pengetahuan untuk bertindak dan penundaan
tindakan sangat penting untuk melakukan pengamatan
atau observasi. Proses observasi memiliki peranan yang
penting dalam proses belajar, setelah mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan dari pengalaman yang dialami
oleh peserta didik maka peserta didik mampu melakukan
tindakan yang merupakan tujuan dari proses belajar yaitu
mengaplikasikan pengetahuan atau konsep yang peserta
didik miliki dalam sebuah karya yang bermanfaat bagi
kehidupan peserta didik. Namun sebelum melakukan
tindakan peserta didik harus melalui proses pengamatan
atau obsevasi agar tindakan yang dilakukan merupakan
keputusan yang benar dan telah dalam proses belajar
yang tepat. Sebagai penganut pragmatisme Dewey
mengangap kebenaran terhadap suatu realita dan
bangunan pengetahuan berlandaskan pada observasi
langsung antara peserta didik terhadap objek alam
menjadi kerangka berpikir Dewey untuk mencerdaskan
peserta didik dalam pengalaman belajar (Dewey, 1916;
Shook, 2000). Contoh yang menunjukan bahwa proses
observasi sangat diperlukan untuk melakukan tindakan
tepat dapat dilihat pada proses belajar materi rangkaian
listrik. Setelah mendapatkan pengetahuan dari
pengalaman yang alami peserta didik, maka guru
meminta peserta didik untuk menemukan bentuk
rangkaian listrik yang dapat menghasilkan cahaya lampu
paling terang. Rangkaian tersebut terdiri dari tiga buah
lampu, dua buah baterai dan kabel. Sebelum melakukan
tindakan peserta didik akan melakukan observasi dengan
mencoba beberapa bentuk rangkaian seperti rangkaian
seri, paralel, dan campuran. Dari beberapa rangkaian
tersebut peserta didik akan mengamati bentuk rangkaian
manakah yang akan menghasilkan cahaya lampu paling
terang. Dari proses observasi tersebut maka peserta didik
akan menemukan bahwa bentuk rangkaian paralel akan
menghasilkan cahaya lampu paling terang walaupun
terdiri dari tiga buah lampu dan hanya menggunakan dua
buah baterai. Dari contoh ini maka dapat disimpulkan
bahwa tanpa melawati proses observasi maka akan ada
kecenderungan peserta didik akan mengambil tindakan
yang salah dan bukan merupakan tujuan dari proses
belajar.
Berdasarkan definisi bahwa prestasi belajar adalah
hasil usaha yang dicapai oleh peserta didik dari proses
integrasi pengalaman, pengetahuan, observasi dan
tindakan. Dengan demikian hasil usaha peserta didik
harus dapat mencakup proses yang terdiri pengalaman,
pengetahuan, observasi dan tindakan secara utuh. Untuk
itu harus ada beberapa penilaian yang digunakan untuk
menilai hasil usaha peserta didik dalam proses
mengintegrasikan pengalaman, pengetahuan, observasi
dan tindakan. Dimana pengalaman yang didapatkan
peserta didik dari lingkungan akan menghasilkan
pengetahuan dan hasil dari pengetahuan ini dapat dinilai
dengan penilaian kognitif, dimana penilaian kognitif ini
menilai pengetahuan atau konsep peserta didik yang
didapatkan dari pengalamannya di lingkungan. Setelah
pengalaman memberikan pengetahuan pada peserta didik
maka peserta didik akan menggunakan pengetahuannya
untuk melakukan tindakan guna menerapkan konsep
yang telah peserta didik dapatkan, namun sebelum
melakukan tindakan peserta didik akan melakukan
pengamatan atau observasi akan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi ketika peserta didik
melakukan tindakan dan untuk dapat memutuskan
tindakan mana yang menjadi tujuan peserta didik. Dalam
tahap observasi dan tindakan, peserta didik akan
melakukan beberapa percobaan atau praktik dan untuk
itu penilaian praktik (performance assessment) dapat
menilai hasil belajar dari tahap ini. Maka untuk dapat
mengetahui hasil usaha yang dicapai oleh peserta didik
dari proses integrasi pengalaman, pengetahuan, observasi
dan tindakan harus dilakukan penilaian kognitif untuk
mengetahui hasil usaha yang dicapai peserta didik dalam
hal pengetahuan dan penilaian praktik (performance
assessment) untuk menilai praktiknya dalam tahap
observasi dan tindakan (Dewey, 1939; Kolb, 1984; Iryanti,
2004).
2.1.2 Penilaian Prestasi Belajar Berdasarkan
Kompetensi
Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah beberapa kali
mengalami perubahan kurikulum. Terhitung ada delapan
kali perubahan perubahan, yaitu Rencana Pelajaran
1947, Rencana Pelajaran Teruarai 1952, Kurikulum 1968,
Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan
Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 dan terakhir
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
dimulai pada tahun ajaran 2007/2008 sampai saat ini
(http://Infodiknas.com).
KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai
tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar
Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk
pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang
diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan
Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan
KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) (Wikipedia.org).
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan nasional
Nomor 20 tahun 2007 disebutkan bahwa salah satu
prinsip penilaian pendidikan dalam KTSP adalah
beracuan kriteria. Hal ini berarti bahwa penilaian
berdasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu, suatu pendidikan harus
menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap
mata pelajaran sebagai dasar dalam menilai pencapaian
kompetensi peserta didik. Penetapan KKM merupakan
tahapan awal pelaksanaan penilaian proses pembelajaran
dan penilaian prestasi belajar peserta didik (Direktorat
Pembinaan SMA, 2010).
Keberhasilan suatu proses pendidikan dapat dilihat
dari tinggi rendahnya prestasi belajar peserta didik.
Peserta didik dikatakan berhasil jika prestasi belajar yang
diperoleh memenuhi standart kompetensi yang telah
ditetapkan dalam KKM (Direktorat Pembina SMA, 2010).
2.1.3 Teknik Penilaian Prestasi Belajar
Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) menekankan pada penguasaan kompetensi maka
jenis penilaian juga harus disesuaikan dengan
karakeristik dan kekhasan masing-masing kompetensi.
Penilaian dalam KTSP menganut prinsip penilaian yang
berkelanjutan dan komprehensif guna mendukung upaya
memandirikan peserta didik untuk belajar, bekerja sama
dan menilai diri sendiri. Penilaian terpadu yang
komprehensif dan seimbang antara proses dan prestasi
belajar tersebut dilaksanakan dalam kerangka Penilaian
Berbasis Kelas (PBK).
Jenis dan model penilaian yang digunakan sangat
beragam tergantung pada jenis kompetensi, indikator
prestasi belajar yang ingin dicapai, materi pembelajaran
dan tujuan penilaian itu sendiri. Adapun bentuk dan
teknik penilaian yang biasa dilakukan dalam PBK
adalah penilaian praktik (performance assessment),
penilaian penugasan (project), penilaian hasil praktik
(product), penilaian tes tertulis, penilaian portofolio dan
penilaian sikap (Iryanti, 2004).
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan PBK yaitu dengan mengkombinasikan
penilaian kognitif yang berupa tes dengan penilaian
praktik (performance assessment). Penilaian praktik
(performance assessment) didapatkan dari hasil
pengamatan guru terhadap aktivitas peserta didik
sebagaimana yang terjadi. Penilaian biasanya digunakan
untuk menilai kemampuan peserta didik dalam diskusi
pemecahan masalah, menggunakan alat-alat
laboratorium dan aktivitas lain yang dapat
diamati/diobservasi. Materi Fisika berkaitan erat dengan
kehidupan sehari-hari dan dapat dipraktikkan sehingga
metode inkuiri (penyelidikan) sangat penting diterapkan
dalam pembelajaran Fisika. Penerapan metode inkuiri
dalam pembelajaran Fisika memungkinkan diterapkannya
performance assessment.
2.1.3.1 Penilaian Kognitif
Penilaian dalam mata pelajaran Fisika diharapkan
dapat menggungkapkan kemampuan peserta didik dalam
hal pemahaman konsep, prosedur, penalaran dan
pemecahan masalah. Untuk menjawab tuntutan itu maka
guru harus menggunakan teknik penilaian yang dapat
menggungkapkan hal-hal tersebut. Namun tidak semua
teknik penilaian memenuhi komponen-komponen
tersebut. Maka guru sebaiknya tidak menggunakan hanya
satu teknik penilaian saja tetapi menggunakan berbagai
variasi teknik penilaian.
Teknik penilaian kognitif merupakan salah satu
teknik untuk menilai kekampuan peserta didik dalam hal
pemahaman konsep. Teknik penilian kognitif
menggunakan tes yang meliputi pilihan ganda, benar
salah, menjodohkan, jawaban singkat, uraian terstruktur
dan uraian bebas (Iryanti, 2004). Teknik penilaian kognitif
mempunyai kelebihan yaitu dapat menjangkau materi
yang luas, dapat dilaksanakan dalam waktu yang relative
singkat dan dapat diperiksa dengan cepat. Namun
kelemahannya adalah membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk merancang instrumen penilaian yang baik
dan umumnya tidak bias menjangkau kemampuan
prosedur, penalaran dan pemecahan masalah (Iryanti,
2004).
2.1.3.2 Penilaian Praktik (Performance Assessment)
Pengujian penguasaan kompetensi aspek
keterampilan peserta didik dilakukan dengan penilaian
praktik (Performance Assessment). Menurut Trespeces
(Depdiknas, 2003) performance assessment adalah
berbagai macam tugas dan situasi dimana peserta didik
diminta untuk mendemonstrasikan pemahaman dan
mengaplikasikan pengetahuan yang mendalam, serta
keterampilan di dalam berbagai macam konteks. Jadi
performance assessment adalah suatu penilaian yang
meminta peserta didik untuk mendemonstrasikan dan
mengaplikasikan pengetahuan ke dalam berbagai
macam konteks sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Teknik penilaian praktik (performance assessment)
merupakan proses penilaian yang dilakukan dengan
mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan
suatu hal. Teknik ini sangat cocok untuk menilai
ketercapaian ketuntasan belajar (kompetensi) yang
menuntut peserta didik untuk melakukan tugas/gerak
(psikomotorik). Menurut Wangsatorntanakhun yang
dikutip Zainul (2001:9), menyatakan bahwa performance
assessment terdiri dari dua bagian yaitu “clearly defined
task and a list of explicit criteria of assessing student
performance or product”. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
performance assessment diwujudkan berdasarkan “empat
asumsi” pokok, yaitu:
1. Penilaian praktik yang didasarkan pada partisipasi
aktif peserta didik.
2. Tugas-tugas yang diberikan atau dikerjakan oleh
peserta didik merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran.
3. Penilaian tidak hanya untuk mengetahui posisi
peserta didik pada suatu saat dalam proses
pembelajaran, tetapi lebih dari itu, penilaian juga
dimaksudkan untuk memperbaiki proses
pembelajaran itu sendiri.
4. Dengan mengetahui lebih dahulu kriteria yang akan
digunakan untuk mengukur dan menilai
keberhasilan proses pembelajarannya, peserta didik
akan terbuka dan aktif berupaya untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
Danielson (1998) dalam Iryanti (2004)
mendefinisikan penilaian praktik sebagai berikut :
Performance assessment means any assessment of
student learning that requires the evaliation of student
writing, products or behavior. that is, it includes all
assessment with the exception of multiple choice, matching,
true/false testing, or problems with a single correct answer.
Penilaian praktik adalah penilaian belajar peserta didik
yang meliputi semua penilaian dalam bentuk tulisan,
produk atau sikap. Hal tersebut mencakup semua
penilaian terkecuali pilihan ganda, menjodohkan, benar-
salah atau jawaban singkat.
Menurut Zainul (2001:11) tugas-tugas penilaian
praktik (performance assessment) dapat diwujudkan
dengan berbagai bentuk:
1. Group performance assessment, yaitu tugas-tugas
yang harus dikerjakan secara kelompok.
2. Individual performance assessment, yaitu tugas-
tugas individual yang harus diselesaikan secara
mandiri.
3. Observasi, yaitu meminta peserta didik melakukan
suatu tugas. Selama melaksanakan tugas tersebut
peserta didik diobservasi baik secara terbuka
maupun tertutup. Observasi dapat pula dilakukan
dalam bentuk observasi partisipatif.
4. Portofolio, satu kumpulan hasil karya peserta didik
yang disusun berdasarkan urutan waktu
maupun urutan kategori kegiatan.
5. Project, exhibition, or demonstration yaitu
penyelesaian tugas-tugas yang kompleks dalam
suatu jangka waktu tertentu yang dapat
memperlihatkan penguasaan kemampuan sampai
pada tingkat tertentu pula.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penilaian
praktik (performance assessment), diantaranya:
1. Langkah-langkah praktik yang diharapkan
dilakukan peserta didik untuk menunjukan
praktik dari suatu kompetensi.
2. Kelengkapan dan ketetapan aspek yang akan
dinilai dalam praktik tersebut.
3. Kemampuan-kemampuan khusus yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas.
4. Upayakan kemampuan yang akan dinilai tidak
terlalu banyak sehingga semua yang ingin dinilai
dapat dinilai.
5. Kemampuan yang akan dinilai diurutkan
berdasarkan urutan yang akan diamati (Haryati,
2007).
Penilaian praktik (performance assessment) dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik pengamatan atau
observasi terhadap berbagai konteks untuk menentukan
tingkat ketercapaian kemampuan tertentu dari suatu
kompetensi dasar. Guru dapat mengembangkan
instrumen penilaian sesuai kebutuhan. Format penilaian
dapat disusun secara sederhana ataupun secara lengkap.
Penilaian praktik dapat diimplementasikan dalam
berbagai bentuk. Ketika melakukan performance
assessment untuk menyimpulkan tingkat pencapaian
praktik peserta tes, biasanya digunakan dua pendekatan,
yaitu: (1) metode holistic, dan (2) metode analytic.
Metode holistic digunakan apabila para penskor
(rater) atau guru hanya memberikan satu buah skor atau
nilai (single rating) berdasarkan penilaian mereka secara
keseluruhan dari hasil praktik peserta tes. Sedangkan
pada metode analytic para penskor (rater) memberikan
penilaian (skor) pada berbagai aspek yang berbeda yang
berhubungan dengan praktik yang dinilai (Sriyono, 2004)
Beberapa cara menilai atau menskor kemampuan
keterampilan atau kemampuan praktik (performance
assessment) peserta tes dengan metode analytic antara
lain adalah dengan cara menggunakan (1) checklist; dan
(2) rating scales.
Performance assessment dapat dilakukan dengan
cara yang paling sederhana yaitu dengan menggunakan
checklist. Apabila kriteria kemampuan tertentu pada
peserta didik atau produk yang dihasilkan peserta didik
dapat diamati oleh penilai atau penskor, maka peserta
didik tersebut mendapat skor dan apabila tidak maka
peserta didik tersebut tidak mendapat skor. Ada beberapa
kelemahan pada checklist, (1) penilai atau penskor hanya
bisa memilih dua pilihan yang absolut, yaitu teramati
dan tidak teramati, jadi tidak ada skor diantaranya, (2)
sukar menyimpulkan kemampuan peserta tes dalam satu
skor (Sriyono, 2004).
Performance assessment dengan cara lain yaitu
dengan menggunakan rating scale. Walaupun cara ini
serupa dengan checklist, tetapi rating scale
memungkinkan penilai atau penskor untuk menilai
kemampuan peserta didik secara kontinum. Kedua cara
ini sama-sama berdasarkan pada beberapa kumpulan
kemampuan praktik yang hendak diukur, bedanya
adalah checklist hanya memberikan dua kategori
penilaian sedangkan rating scale memberikan lebih dari
dua kategori penilaian (Grounlund, 1985).
2.2 World Hypotheses (Hipotesis Dunia)
World Hypotheses merupakan sebuah gagasan dari
seorang filsuf kebangsaan Amerika bernama Stephen C.
Pepper (1891-1972). Papper menganggap bahwa di dunia
ini tidak ada fakta yang pasti dan tetap. Perlu ada proses
penyelidikan untuk menemukan fakta yang
sesungguhnya. Bahkan fakta penyelidikan saat ini belum
tentu benar pada waktu mendatang, maka harus ada
proses penyelidikan yang berulang-ulang untuk bisa
memahami apa saja yang ada di dunia. World Hypotheses
merupakan teori penyelidikan yang dapat dilakukan
manusia untuk memahami dunia ini. Di dalam World
Hypotheses, Pepper mengembangkan “root metaphors
method” dan menguraikan empat hipotesis dunia yaitu
formisme (formism), mekanisme (mechanism),
kontekstualisme (contestualism), organisme (organicism).
Metafora (metaphore) pada World Hypotheses
bukanlah metafora pada puisi melainkan metafora dalam
filsafat. Metafora berfungsi untuk membantu dalam
klarifikasi konseptual, pemahaman, atau wawasan
tentang modus pemikiran filosofis. Dengan kata lain “root
metaphors method” atau metode metafora akar
merupakan sebuah metode yang membantu memahami
sesuatu dengan lebih dalam dan mendasar seperti halnya
sebuah akar yang selalu bergerak menuju dasar tanah.
Metafora akar ditarik dari pengalaman-pengalaman
tentang pengertian umum dan digunakan oleh para filsuf
untuk menginterpretasikan dunia (Kolb, 1984).
Menurut Pepper ada empat hipotesis dunia, yang
pertama Pepper menyebut formisme (juga dikenal sebagai
realisme), yang metafora akarnya diamati perbedaan
antara obyek dan peristiwa. Kedua adalah mekanisme
(juga disebut naturalisme atau materialisme), yang
metafora akarnya adalah RPL. Ketiga kontekstualisme
(lebih dikenal dengan pragmatisme), dengan metafora
akar dari perubahan peristiwa historis. Hipotesis dunia
yang terakhir adalah organisme (idealisme absolute), yang
metafora akarnya adalah pencapaian kesatuan harmoni
(Kolb, 1984). Papper percaya bahwa keempat hipotesis
dunia dipadatkan dari proses struktural pembuktian
(Powell, 1995).
Gambar 2.2 Hipotesis Dunia Pepper (Powell, 1995)
Menurut Papper formisme dan mekanisme
merupakan dua hipotesis dunia yang menjadi dasar bagi
ilmu pengetahuan alam modern, terutama yang bersifat
analitis di alam, di mana elemen-elemen dan faktor-faktor
merupakan beberapa fakta dasar dari mana adanya
sintesis adalah sebuah deviasi/turunan. Sedangkan
kontekstualisme dan organisme, bersifat sintetis, di mana
fakta-fakta dasar adalah konteks dan kompleks seperti
halnya analisis komponen-komponen.
Di dalam hipotesis dunia yang analitis dan sintesis
ada sebuah polaritas lebih jauh antara strategi menyebar
dan menyatu dari penyelidikan (inkuiri). Formisme dan
kontekstualisme awalnya bersifat menyebar, menjelaskan
fakta-fakta satu demi satu tanpa hubungan sistematik
antara satu dan lainnya. Sesungguhnya, formisme dan
kontekstualisme melihat dunia sebagai hal yang tidak
dapat ditentukan dan tak dapat diprediksi. Organisme
dan mekanisme bersifat menyatu, artinya mempercayai
sebuah dunia bersatu dimana ketidakpastian adalah
sebuah refleksi pengetahuan yang tidak mencukupi.
Karena organisme dan mekanisme mencari penjelasan
yang menyatu, kekuatan hipotesis dunia yang menyatu
(organisme dan mekanisme) adalah ketepatan dan hal
yang dapat diprediksi, adapun kelemahannya adalah
kurangnya ruang lingkup, ketidakmampuan mereka
untuk mencapai penjelasan yang terintegrasi dari segala
hal. Sedangkan hipotesis dunia yang menyebar, lebih
dalam ketepatan, menawarkan beberapa interpretasi yang
mungkin untuk beberapa kejadian, kuat dalam ruang
lingkup, karena jangkauan penjelasannya tidak dibatasi
oleh adanya dasar integrasi (Kolb, 1984).
2.3 Levels of Inquiry Learning Cycle (Siklus Belajar
Tingkat Inkuiri)
2.3.1 Definisi Levels of Inquiry (Tingkat Inkuiri)
Levels of Inquiry merupakan hirarki praktik
pedagogis yang berkaitan dengan proses inkuiri. Levels of
Inquiry terdiri dari lima tingkatan, yaitu Discovery
Learning, Interactive Demonstration, Inquiry Lesson, Inquiry
Lab, dan Hypothetical Inquiry (Wenning, 2005a). Adapun
definisi secara operasional dari setiap praktik pedagogis
tersebut adalah (Wenning, 2005a):
a. Discovery Learning (Pembelajaran Discovery)
Discovery Learning merupakan bentuk
pembelajaran yang paling mendasar dari pembelajaran
yang berorientasi inkuiri. Fokus dari Discovery Learning
tidak untuk mencari aplikasi pengetahuan, tetapi lebih
pada pembangunan pengetahuan, pengalaman, dan
menggunakan refleksi sebagai kunci pemahaman. Pada
pembelajaran ini guru menyajikan percobaan,
menggunakan urutan pertanyaan selama atau setelah
pengamatan untuk membimbing peserta didik pada
kesimpulan dan pertanyaan diskusi yang secara langsung
berfokus pada masalah. Dari hal tersebut peserta didik
akan membangun hubungan yang sederhana atau
prinsip-prinsip dari pengalaman mereka.
b. Interactive Demonstration (Demonstrasi Interaktif)
Interactive Demonstration terdiri dari seorang guru
untuk memanipulasi (menunjukkan) alat ilmiah dan
kemudian mengajukan pertanyaan tentang apa yang akan
terjadi (prediksi) atau bagaimana sesuatu yang mungkin
terjadi (penjelasan). Guru bertugas untuk menunjukkan
mengembangkan dan mengajukan pertanyaan, yang
menggambarkan tanggapan, meminta penjelasan lebih
lanjut dan membantu peserta didik mencapai kesimpulan
berdasarkan bukti.
c. Inquiry Lesson (Pelajaran Inkuiri)
Inquiry Lesson mirip dengan Interactive
Demonstration. Namun, ada beberapa perbedaan penting.
Pada Inquiry Lesson, bimbingan diberikan secara tidak
langsung dengan menggunakan strategi yang tepat. Guru
membantu peserta didik untuk merumuskan pendekatan
eksperimental mereka sendiri, mengidentifikasi dan
mengendalikan variabel, dan menetapkan sistem.
Pendekatan ini akan membantu peserta didik memahami
secara lebih lengkap sifat dari proses pendidikan. Bentuk
dari penelitian ini sangat penting untuk menjembatani
kesenjangan antara Interactive Demonstration dan
pengalaman laboratorium pada Inquiry Lab. Hal ini terjadi
karena tidak masuk akal untuk berasumsi bahwa peserta
didik dapat menggunakan pendekatan eksperimental yang
lebih canggih sebelum mereka akrab dengan sebuah
penelitian.
d. Inquiry Lab (Laboratorium Inkuiri)
Inquiry Lab terdiri dari beberapa peserta didik yang
heterogen dalam hal keterampilan melakukan penelitian,
kemudian menerapkan rencana percobaan serta
mengumpulkan data yang sesuai. Data-data ini kemudian
dianalisis untuk menemukan hukum atau hubungan
yang tepat antara variabel. Inquiry Lab memiliki tiga jenis
berdasarkan tingkat pengetahuan inkuiri dan lokus
kontrol seperti ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1
Karakteristik Jenis-Jenis Inquiry Lab
(Wenning, 2005a)
Jenis Inquiry Lab
Pertanyaan/ Sumber masalah
Prosedur
Guided Inquiry (Inkuiri
Terbimbing)
Guru mengidentifikasi masalah yang harus diteliti.
Dibimbing berkali-kali oleh guru-diidentifikasi pertanyaan;
pengarahan pra-lab secara luas.
Bounded Inquiry (Inkuiri
Termodifikasi)
Guru mengidentifikasi masalah yang harus diteliti.
Dibimbing berkali-kali oleh guru-diidentifikasi pertanyaan; pengarahan pra-lab hanya sebagian.
Free Inquiry (Inkuiri bebas)
Peserta didik mengidentifikasi masalah yang harus diteliti.
Dibimbing oleh guru sendiri-diidentifikasi pertanyaan; tidak ada pengarahan pra-lab.
e. Hypothetical Inquiry (Inkuiri Hipotesis)
Hypothetical Inquiry merupakan bentuk paling maju
dari inkuiri, dimana peserta didik yang kemungkinan
akan menghadapi hipotesis umum dan mengujiannya.
Hypothetical Inquiry memiliki perbedaan dengan membuat
prediksi. Prediksi adalah pernyataan tentang apa yang
akan terjadi. Hipotesis adalah penjelasan sementara yang
dapat diuji secara menyeluruh, dan yang dapat berfungsi
untuk membimbing penyelidikan lebih lanjut.
Hypothetical Inquiry berkaitan dengan penyediaan serta
pengujian penjelasan dan hipotesis bukan “tebakan
berpendidikan”.
Hypothetical Inquiry dibagi menjadi dua, yaitu
murni dan terapan. Pure Hypothetical Inquiry (Hipotesis
Inkuiri Murni) hanya bertujuan memperluas pemahaman
tentang hukum alam. Terdiri dari peserta didik yang
mengembangkan penjelasan hipotesis hukum empiris dan
menggunakan hipotesis untuk menjelaskan fenomena
Fisika. Applied Hypothetical Inquiry (Hipotesis inkuiri
terapan) diarahkan untuk menemukan aplikasi
pengetahuan pada masalah baru.
2.3.2 Definisi Learning Cycle (Siklus Belajar)
Metode Learning Cycle merupakan suatu
pendekatan dalam merancang kegiatan pembelajaran
yang pertama kali dikembangkan oleh Karlpus dan Thier
dalam penelitiannya untuk Science Curriculum
Improvement Study (SCIS) (Hanuscin & Lee 2007, 1).
Metode ini banyak digunakan untuk perancangan
pembelajaran terutama pada pelajaran sains. Metode
Learning Cycle didasari oleh teori belajar konstruktivisme
dan menggunakan metode inquiry terbimbing (guided-
inquiry) pada setiap aktivitas selama penerapannya. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Bruner yang salah satu
dasar pengembangan model pembelajaran
konstruktivisme yaitu bahwa proses belajar adalah proses
mencari pengetahuan atau yang disebut “inquiry or
discovery learning” (Indrawati 1999, 34). Dalam teori
belajar konstruktivisme dikatakan bahwa peserta didik
harus membangun sendiri pengetahuannya melalui
pengalaman, sedangkan guru menjadi fasilitator bagi
mereka (Trianto 2007, 13). Peserta didik belajar secara
aktif, bekerja dan berpikir serta berinteraksi dengan
lingkungannya dalam proses mengkonstruksi
pengetahuan dari pengalaman peserta didik.
Pada pembelajaran metode Learning Cycle terdapat
beberapa fase-fase yang didesain sedemikian rupa untuk
mengkondisikan peserta didik menjadi pembelajar yang
aktif dan membantu mereka untuk menguasai
kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran. Pada
awalnya Atkin dan Karlpus membangun Learning Cycle
atas 3 fase yaitu eksplorasi (exploration), pengenalan
konsep (concept introduction) dan aplikasi konsep (concept
application) (Bentley & Ebert 2000, 181). Selanjutnya
model ini banyak digunakan dan dimodifikasi oleh para
pendidik sains dan salah satunya adalah Learning Cycle
5E -Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluate yang
dikembangkan oleh Bybee (Hanuscin & Lee 2007, 1). Pada
perkembangan selanjutnya Learning Cycle 5E dimodifikasi
oleh Arthur Eisenkraft menjadi Learning Cycle 7E –Elicit,
Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluate, dan Extend
(Eisenkraft, 2003). Perkembangan terbaru pada metode ini
adalah Levels of Inquiry Learning Cycle oleh Carl J.
Wenning dan Manzoon A. Kan. Levels of Inquiry Learning
Cycle terdiri dari lima fase, yaitu Observation,
Manipulation, Generalization, Verification dan Application
(Wenning, 2011). Dengan adanya siklus ini maka
pengetahuan peserta didik akan terus berkembang karena
setiap siklus memberikan pengalaman bagi peserta didik
untuk menggunakan pengetahuan yang peserta didik
miliki.
2.3.3 Pengertian Levels of Inquiry Learning Cycle
(Siklus Belajar Tingkat Inkuiri)
Levels of Inquiry Learning Cycle dikembangkan
berdasarkan Model of Experiential Learning milik John
Dewey 1904. Dalam perkembangannya, Dewey (1913, 25)
merasakan bahwa pembelajaran sains mengalami krisis
karena seringkali menyampaikan materi pengetahuan
yang siap pakai, terlalu banyak materi fakta dan hukum,
namun tidak menggunakan matode yang efektif dalam
penyelidikan untuk semua materi. Kemudian Dewey
membayangkan untuk merancang siklus belajar yang
mendorong impuls peserta didik untuk melakukan
observasi dan memperoleh kesimpulan dari observasi
tersebut. Namun siklus belajar Dewey yang berdasarkan
belajar berpengalaman kurang tepat diterapkan pada
masa modern seperti saat ini. Hal ini disebabkan karena
siklus belajar tersebut kurang mampu untuk
mengembangkan keterampilan ilmiah dan intelektual
peserta didik yang sangat berkembang dalam bidang
teknologi (Wenning, 2011). Berdasarkan fakta tersebut
Levels of Inquiry Learning Cycle menggunakan siklus
belajar ilmiah yang lebih modern dan hampir serupa
dengan cara kerja ilmuan profesional.
Levels of Inquiry Learning Cycle sangat berbeda
dengan siklus belajar Robert Karplus 1962. Selain jumlah
tahapan yang lebih banyak, siklus belajar yang
berhubungan dengan tingkat inkuiri membuat peserta
didik dapat memperoleh pengetahuan yang lebih
komperhensif dari semua pengetahuan intelektual dan
proses keterampilan ilmiah yang melekat pada masing-
masing tingkat inkuiri.
Tahapan dari Levels of Inquiry Learning Cycle adalah
Observation, Manipulation, Generation, Verification dan
Application. Adapun sketsa yang dapat menggambarkan
hubungan antara lima tahapan baru pada Learning Cycle
dengan Levels of Inquiry adalah sebagai berikut:
Gambar 2.3 Sketsa Levels of Inquiry Learning Cycle (Wenning, 2011)
Uraian dari lima tahapan Levels of Inquiry Learning
Cycle adalah (Wenning, 2011):
Observation: Para peserta didik mengamati fenomena
yang menggerakkan minat mereka dan memunculkan
respons mereka. Peserta didik menjelaskan secara rinci
apa yang mereka lihat. Mereka berbicara tentang
analogi dan contoh lain dari fenomena tersebut.
Sebuah pertanyaan yang mengarah dibangun yang
layak untuk penyelidikan.
Manipulation: Para peserta didik menyampaikan
pendapat dan saling berdebat pendapat yang menjadi
dasar penyelidikan dan mengembangkan pendekatan
yang dapat digunakan untuk mempelajari fenomena
tersebut. Mereka membuat rencana untuk
mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif dan
kemudian jalankan rencana tersebut.
Generation: Para peserta didik membangun prinsip-
prinsip atau hukum baru yang diperlukan untuk
mengartikan sebuah fenomena. Peserta didik
memberikan penjelasan yang masuk akal dari
fenomena tersebut.
Verification: Para peserta didik membuat prediksi dan
melakukan pengujian dengan menggunakan hukum
umum berasal dari pendapat sebelumnya.
Application: Secara independen para peserta didik
mengambil dan menyepakati sebuah kesimpulan.
Kesimpulan tersebut kemudian diterapkan pada
situasi lain memungkinkan.
Melalui Levels of Inquiry Learning Cycle peserta
didik akan mendapatkan pengetahuan yang lebih detail.
Proses belajar peserta didik akan di awali dengan tingkat
inkuiri yang paling sederhana yaitu Discovery learning,
dimana dalam tingkat ini peserta didik akan melalui 5
tahapan dari Learning Cycle (Observation, Manipulation,
Generation, Verification dan Application). Setelah peserta
didik melalui 5 tahapan Learning Cycle dalam tingkat
inkuiri Discovery learning, maka peserta didik akan
memasuki tingkat inkuiri yang lebih tinggi yaitu
Interactive Demonstration. Dalam tingkat inkuiri
Interactive Demonstration peserta didik juga akan melalui
5 tahapan dari Learning Cycle dan proses serupa juga
akan dilalui peserta didik pada tingkat inkuiri Inquiry
Lesson, Inquiry Lab dan Hypothetical Inquiry. Setelah
belajar dengan menggunakan metode Levels of Inquiry
Learning Cycle, selain akan mendapatkan pengetahuan
yang lebih detail peserta didik juga akan memiliki
kekampuan yang lebih dalam proses saintis (Wenning,
2012).
Bila menilik kembali pada hipotesis dunia Papper
maka Levels of Inquiry Learning Cycle mengacu pada
hipotesis dunia mekanisme. Dimana hipotesis dunia ini
merupakan dasar dari perkembangan ilmu sains modern
saat ini dan sebagai sebuah strategi integrasi yang lebih
baik digunakan untuk penelitian dasar pada Fisika dan
matematika. Hipotesis dunia mekanisme juga bersifat
menyatu, artinya mempercayai sebuah dunia bersatu
dimana ketidakpastian adalah sebuah refleksi
pengetahuan yang tidak mencukupi, sehingga perlu ada
tindakan-tindakan lanjutan untuk menyatukan sebuah
pemahaman. Pemikiran ini serupa dengan konsep dari
model belajar Dewey yang menjadi dasar oleh Wenning
pada metode Levels of Inquiry Learning Cycle. Dimana
pada model belajar Dewey, belajar merupakan proses
mengintegrasikan pengalaman, pengetahuan, observasi
dan tindakan.
2.4 Metode Ceramah
Menurut Sanjaya (2006) metode ceramah
merupakan metode pembelajaran yang cara menyampaian
materi ajarnya melalui penuturan secara lisan atau
penjelasan langsung kepada sekelompok peserta didik.
Menurut Yamin (2004) metode ceramah berbentuk
penjelasan konsep, prinsip, dan fakta kemudian pada
akhir proses pembelajaran metode ini ditutup dengan
tanya jawab antara guru dan peserta didik. Metode
ceramah merupakan metode yang berpusat pada guru
(teacher centered) dimana semua aktifitas dalam proses
belajar mengajar sepenuhnya di atur oleh guru.
Metode ceramah merupakan metode yang sering
digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi
pembelajaran. Metode ini sering digunakan karena
Sanjaya (2006) metode ceramah merupakan metode yang
“murah” dan “mudah” untuk dilakukan. Dalam hal ini,
metode ceramah dikatakan murah karena dalam proses
pembelajaran dengan metode ceramah tidak memerlukan
peralatan-peralatan yang lengkap, sedangkan metode
ceramah dikatakan mudah karena metode ceramah
hanya mengandalkan suara guru, dengan demikian tidak
memerlukan persiapan yang rumit. Alasan lain karena
dengan menggunakan metode ceramah para guru akan
dimudahkan dalam mengontrol keadaan kelas, baik kelas
besar maupun kelas kecil.
Walaupun metode ceramah sering digunakan oleh
guru didalam menyampaikan materi di kelas, namun
metode ceramah sering kali menemui beberapa kendala.
Sanjaya (2006, 148-149) menyampaikan bahwa materi
yang dikuasai peserta didik sebagai hasil dari ceramah
hanya akan terbatas pada apa yang telah disampaikan
oleh guru dan kurangnya kemampuan bertutur yang baik
oleh guru mengakibatkan peserta didik menjadi tidak
memahami materi secara utuh dan pada akhirnya
mengakibatkan miskonsepsi. Melalui metode ceramah,
guru sangat sulit untuk mengetahui apakah seluruh
peserta didik di kelas telah mengerti atau belum dengan
materi yang diajarkan. Namun karena kebiasaan
menggunakan metode ceramah telah dilakukan berulang-
ulang dan terus menerus, mengakibatkan guru cenderung
merasa puas apabila telah menyampaikan materi dengan
kata-kata seperti pada metode ceramah dan bagi peserta
didik juga cenderung merasa telah mendapatkan
pembelajaran apabila telah mendengar ceramah dari
guru, hal inilah yang membuat metode ceramah ini terus
digunakan sampai saat ini.
2.5 Listrik Dinamis
Alat-alat listrik dapat bekerja ketika ada arus listirik
yang mengalir dalam alat tersebut. Aliran listrik
ditimbulkan oleh muatan listrik yang bergerak di dalam
suatu penghantar. Arus listrik yang mengalir hanya
dalam satu arah disebut arus searah sedangkan arus
listrik yang mengalir bolak-balik dan berganti arah secara
terus menerus disebut arus bolak balik (Abdullah 2007,
65). Kuat arus listrik (I) menyatakan jumlah muatan
listrik yang mengalir setiap detik.
Arus listrik hanya mengalir pada rangkaian
tertutup. Pada rangkaian listrik yang bercabang, jumlah
arus listrik yang masuk maupun yang keluar dari titik
cabang adalah sama. Ini dikenal dengan hukum I Kirchhoff
yang sering dituliskan dengan persamaan berikut
(Kanginan 2007, 170):
Σ I masuk = Σ I keluar
Jika hukum I Kirchhoff berbicara tentang arus listrik
maka hukum II Kirchhoff berbicara tentang tegangan yang
menyatakan bahwa jumlah aljabar perubahan tegangan
yang mengelilingi suatu rangkaian tertutup (loop) sama
dengan nol (ΣV= 0 atau Σε +ΣIR=0) (Kanginan 2007, 189).
Arus listrik tidak dapat dipisahkan dari energi
listrik. Alat-alat listrik seperti setrika, kulkas, lampu dan
lain-lain menggunakan energi listrik yang diperoleh ketika
ada arus yang mengalir dalam komponen alat-alat
tersebut. Energi listrik adalah energi yang disebabkan
oleh mengalirnya muatan listrik dalam suatu rangkaian
listrik tertutup. Untuk menentukan besarnya energi listrik
yang digunakan oleh pada sebuah rangakaian, perlu
ditentukan beda potensial dan arus listrik serta lamanya
penggunaan. Semakin lama arus listrik mengalir maka
semakin banyak energi listrik yang digunakan. Namun
penghitungan lamanya penggunaan energi jarang
dilakukan oleh karena digunakan besaran daya listrik
untuk menyatakan energi listrik tersebut. Daya listrik
menyatakan laju energi listrik yang digunakan atau
dengan kata lain daya listrik adalah jumlah energi listrik
yang digunakan selama selang waktu tertentu dibagi
dengan lama penggunaan.
2.5.1 Rangkaian Listrik
Rangkaian listrik ada 2 jenis yaitu rangkaian seri
dan rangkaian paralel. Rangkaian seri adalah rangkaian
yang menghubungkan berbagai komponen listrik tanpa
membentuk percabangan. Sedangkan rangkaian paralel
adalah rangkaian yang menghubungkan berbagai
komponen listrik dengan membentuk percabangan.
2.5.1.1 Rangkaian Seri
Rangkaian Seri adalah rangkaian listrik yang setiap
komponennya terpasang secara seri (sederet). Berikut ini
adalah sketsa dari rangkaian seri:
Gambar 2: Rangkaian Seri
Rangkaian seri digunakan untuk memperbesar
hambatan suatu rangkaian (Rseri=R1+R2+…..) dan memiliki
karakteristik sebagai berikut: arus yang mengalir pada
tiap hambatannya sama (I1=I2=......=Iseri), tegangan pada
ujung hambatan pengganti sama dengan jumlah tegangan
pada ujung tiap penghambat (Vseri=V1+V2+.....) oleh karena
itu berfungsi sebagai pembagi tegangan.
2.5.1.2 Rangkaian Paralel
Rangkaian paralel adalah rangkaian listrik yang
beberapa komponennya tersusun bercabang. Berikut ini
adalah sketsa dari rangkaian paralel:
Gambar 3: Rangkaian Paralel
I
I1 I2 I3
V
+
-
I +
+ - + - + -
V1 V2 V3
-
Rangkaian paralel dapat digunakan untuk
memperkecil hambatan suatu rangkaian (
.....111
21
RRRparalel
) dan memiliki karakteristik: tegangan
pada ujung tiap komponennya sama (V1=V2=....=Vparalel),
arus yang melalui hambatan pengganti sama dengan
jumlah arus yang melalui tiap-tiap komponen
(Iparalel=I1+I2+…..) oleh karena itu rangakaian ini berfungsi
sebagai pembagi arus. Hal ini dijelaskan oleh hukum I
Kirchhoff mengenai arus pada titik percabangan.
2.6 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian, masalah
penelitian dan landasan teori yang telah dikemukakan,
maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H0 : µ1 = µ2 : tidak ada perbedaan yang signifikan pada
prestasi belajar Fisika antara peserta didik
yang diajar menggunakan metode
pembelajaran Levels of Inquiry Learning
Cycle dengan peserta didik yang diajar
menggunakan metode ceramah.
H1 : µ1 ≠ µ2 : ada perbedaan yang signifikan pada prestasi
belajar Fisika antara peserta didik yang
diajar menggunakan metode pembelajaran
Levels of Inquiry Learning Cycle dengan
peserta didik yang diajar menggunakan
metode ceramah.