bab ii landasan teoritik -...

39
BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 Prestasi Belajar Fisika 2.1.1 Pengertian Prestasi Belajar Mata pelajaran Fisika merupakan mata pelajaran yang mempelajari alam sekitar secara sistematik dan menjelaskan fenomena-fenomena alam yang terjadi. Menurut Wenning (2006), peserta didik akan mempelajari mapel Fisika dengan pengalaman yang benar dan autentik, apabila peserta didik belajar dengan menggunakan metode pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara langsung dalam mengamati proses terjadinya fenomena alam di lingkungan sekitar. Pemikiran ini sejalan dengan konsep belajar Dewey, dimana Dewey percaya bahwa melalui pengalaman manusia dapat belajar tentang dunia (Dewey, 1961). Pemahaman terhadap teori pendidikan John Dewey selalu merujuk pada tiga gagasan utama yang bersumber pada renungan filsafatnya. Tiga hal tersebut adalah teori pengalaman, konsepsinya tentang demokrasi (demokrasi dalam pendidikan), dan perhatiannya tentang penerapan metode sains dalam proses pendidikan (Hook,1969). Gagasan pertama Dewey tentang teori pendidikan adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang secara detil terdapat dalam tulisannya “Experience and Educationyang terbit tahun 1939. Menurut pendapat Dewey istilah pengalaman diberikan dalam konteks suatu proses manusia belajar. Dewey

Upload: vuonghuong

Post on 05-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

BAB II

LANDASAN TEORITIK

2.1 Prestasi Belajar Fisika

2.1.1 Pengertian Prestasi Belajar

Mata pelajaran Fisika merupakan mata pelajaran

yang mempelajari alam sekitar secara sistematik dan

menjelaskan fenomena-fenomena alam yang terjadi.

Menurut Wenning (2006), peserta didik akan mempelajari

mapel Fisika dengan pengalaman yang benar dan

autentik, apabila peserta didik belajar dengan

menggunakan metode pembelajaran yang melibatkan

peserta didik secara langsung dalam mengamati proses

terjadinya fenomena alam di lingkungan sekitar.

Pemikiran ini sejalan dengan konsep belajar Dewey,

dimana Dewey percaya bahwa melalui pengalaman

manusia dapat belajar tentang dunia (Dewey, 1961).

Pemahaman terhadap teori pendidikan John Dewey

selalu merujuk pada tiga gagasan utama yang

bersumber pada renungan filsafatnya. Tiga hal tersebut

adalah teori pengalaman, konsepsinya tentang demokrasi

(demokrasi dalam pendidikan), dan perhatiannya tentang

penerapan metode sains dalam proses pendidikan

(Hook,1969).

Gagasan pertama Dewey tentang teori pendidikan

adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman

yang secara detil terdapat dalam tulisannya “Experience

and Education” yang terbit tahun 1939. Menurut

pendapat Dewey istilah pengalaman diberikan dalam

konteks suatu proses manusia belajar. Dewey

Page 2: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

menyatakan bahwa segala jenis kegiatan pendidikan yang

sejati tercipta melalui pengalaman, tetapi tidak semua

pengalaman terhubung dengan pendidikan (Dewey, 1939).

Pengalaman apapun yang mempunyai pengaruh

penghambat ataupun mendistorsi pertumbuhan

pengalaman selanjutnya adalah salah didik. Pengalaman

seperti itu tidak layak dijadikan sebagai sarana peserta

didik belajar. Jenis pengalaman yang salah didik adalah

pengalaman yang menimbulkan sifat-sifat jelek dalam diri

anak, misalnya pengalaman yang mengakibatkan

katidakpekaan, ketidakacuhan, dan membatasi naluri

respons anak untuk melakukan sesuatu. Oleh sebab itu,

tugas penting pendidikan yang berbasis pengalaman

adalah bagaimana memilih sejumlah pengalaman

sekarang, agar dapat melahirkan pengalaman selanjutnya

yang lebih baik dan kreatif (Dewey, 1939). Pemilihan

kriteria dari pengalaman yang baik dilakukan dengan

prinsip “kesinambungan pengalaman”, atau lebih akurat

lagi harapan akan kontinuitas pengalaman sehingga

pengalaman masa depan menjadi lebih siap diperoleh

berbasis pada pengalaman sebelumnya.

Dewey juga menyatakan bahwa hanya pengalaman

dimana individu dapat bereaksi dengan penuh kepedulian

terhadap masalah dan tantangan yang terjadi di sekitar

lingkungannya yang dapat dikatakan proses pendidikan

yang berhasil. Reaksi tersebut dapat meningkatkan

potensi dan kekuatan dari dalam untuk mengendalikan

lingkungan dan dirinya. Tugas pendidik adalah mengatur

segala jenis dan menyeleksi pengalaman tersebut

sehingga pengalaman itu dapat melibatkan aktivitas

Page 3: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

peserta didik yang menyenangkan karena dapat

meningkatkan pengalaman pada masa depan yang

diinginkan.

Kelanjutan antara pengalaman masa kini sebagai

bekal pengalaman masa depan oleh Dewey disebut

sebagai “experiental continuum” atau rangkaian

pengalaman yang berkelanjutan (Dewey, 1939). Prinsip

kesinambungan pengalaman berarti bahwa setiap

pengalaman sekaligus mengambil sesuatu dari

pengalaman yang telah berjalan sebelumnya dan

mengubah dengan cara tertentu kualitas pengalaman

yang datang sesudahnya. Kesinambungan pengalaman

inilah yang merupakan kriteria utama untuk

menentukan mana pengalaman yang mendidik dan mana

yang tidak. Arah dari pengalaman juga harus

diperhatikan dalam setiap proses pendidikan. Di sinilah

peran manusia dewasa sebagai pihak yang memiliki

kematangan pengalaman menjadi pendidik untuk

mengevaluasi setiap pengalaman peserta didiknya dengan

cara yang khusus.

Menurut Dewey, pengalaman tidak hanya

berlangsung secara eksklusif dalam tubuh dan pikiran

individu saja. Hal penting dalam ketersediaan pengalaman

adalah lingkungan. Manusia tidak hidup sendiri tetapi

bersama-sama dengan benda di sekitarnya. Lingkungan

turut menentukan bagaimana manusia atau peserta didik

dapat memperoleh pengalaman yang bermakna, yaitu

pengalaman yang membawa ke arah pertumbuhan.

Antara manusia dengan lingkungannya terdapat

hubungan yang dimulai dengan apa yang kita kenal

Page 4: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

dengan “interaksi”. Interaksi atau hubungan antara

manusia dengan kondisi obyektif lingkungan akan

melahirkan situasi. Situasi ini lahir karena interaksi dari

kondisi obyektif (lingkungan) dan kondisi internal

(pengalaman individu) yang terus menerus.

Kesinambungan dan interaksi dalam kesatuan

aktif keduanya memberi ukuran mengenai makna dan

kualitas pengalaman yang edukatif. Kesinambungan dan

interaksi juga merupakan prinsip dasar pembentukan

pengalaman. Dewey memandang bahwa tidak ada

individu ataupun masyarakat yang bisa membebaskan

diri satu sama lain. Itulah sebabnya Dewey beranggapan

bahwa pengalaman yang terbentuk sebagai hasil dari

interaksi yang kemudian memunculkan situasi haruslah

juga merupakan pengalaman di bawah kontrol sosial

yang berlaku.

Gagasan kedua Dewey tentang teori pendidikan

adalah konsep tentang demokrasi dalam pendidikan.

Istilah demokrasi menurut pandangan umum seringkali

berkaitan dengan bentuk pemerintahan atau proses

politik dimana pemimpin tertinggi dipilih secara langsung

oleh pemilih yang memenuhi syarat. Pengertian demokrasi

dalam konteks pandangan Dewey tidaklah merujuk pada

pengertian tersebut. Menurut Dewey (1964) demokrasi

berarti kehidupan yang modern. Demokrasi juga berarti

bebas secara intelektual, yaitu emansipasi pikiran sebagai

individu untuk melakukan sesuatu. Kebebasan dalam

demokrasi tidaklah semata kebebasan berbuat, karena

kebebasan seperti ini tanpa dilandasi kebebasan berpikir

akan menimbulkan kekacauan.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Dalam dunia pendidikan, demokrasi merupakan

keharusan. Bagi Dewey (1958) hubungan antara

demokrasi dan pendidikan merupakan hubungan vital

dan saling melengkapi. Di dalam proses pendidikan

prinsip-prinsip demokrasi haruslah dijalankan. Bahkan

demokrasi sendiri adalah landasan, ukuran kualitas,

dan kebijakan pendidikan. Menurut Hook (1969) esensi

dari demokrasi Dewey adalah bahwa demokrasi memiliki

komitmen terhadap persamaan peluang bagi setiap

individu mengembangkan jati dirinya dalam masyarakat.

Dengan begitu fungsi pendidikan adalah untuk

menemukan dan membebaskan individu beserta

kapasitas yang dimilikinya. Pendidikan memberikan

kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan

dirinya secara maksimum secara harmonis bersama-sama

dengan lingkungannya.

Implikasi prinsip demokrasi dalam proses

pembelajaran, tercermin dalam situasi belajar yang

menggerakkan pikiran atau kecerdasan peserta didik

untuk menemukan jati dirinya dan membangun

hubungan guru dengan peserta didik yang seimbang.

Dalam proses belajar yang demokratis, guru perlu

menghindari cara belajar yang bersifat mendikte,

transmisi pengetahuan jadi, atau menggunakan metode

yang selalu sama, juga supervisi yang berlebihan pada

peserta didik. Semua itu menurut Dewey (1964)

membelenggu kemampuan intelektual anak dan

memenjarakan semangat anak belajar.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Gagasan Dewey yang ketiga tentang teori

pendidikan adalah penerapan metode sains dalam proses

pendidikan atau lebih khusus lagi pembelajaran.

Sebagai penganut pragmatisme, empirisme

merupakan bagian tak terpisahkan dalam kajian teorinya.

Pandangan pragmatis (Shook , 2000) yang menganggap

kebenaran terhadap suatu realita dan bangunan

pengetahuan berlandaskan pada observasi langsung

antara individu terhadap objek alam menjadi kerangka

berpikir Dewey untuk menempatkan metode sains

sebagai metode berpikir. Metode sains menurut Dewey

berkembang seiring dengan perkembangan kecerdasan

manusia. Bahkan sains modern merupakan bukti hidup

bahwa manusia yang belajar dapat berubah setiap saat.

Penerapan sains modern yang bersifat eksperimen sebagai

paradigma perkembangan hakikat manusia yang belajar

juga akhirnya memberi kontribusi sebagai solusi atas

permasalahan hidup manusia itu sendiri (Shook, 2000).

Dengan menganalisis metodologi sains modern yang

bersifat eksperimen, kelompok pragmatis

mengembangkan konsep dan pemahaman tentang

kekuatan mental yang dibutuhkan dalam proses

belajar yang sainstifik. Metode pengetahuan dimana

sains mengambil posisi yang penting memiliki tiga

karakteristik yang essensial, yaitu: (1) sains mengarahkan

manusia bagaimana memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Metode sains memberi peluang kepada manusia untuk

menerapkan kebiasaan berinteraksi dengan alam untuk

menghasilkan produk yang bermanfaat, dari hasil

pengalaman yang berharga. Artinya ketika seseorang telah

Page 7: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

mengetahui sesuatu, maka dia dapat membuat dan

menggunakan objek tersebut, (2) sains dapat

berhubungan dengan situasi yang kompleks dan

problematik, hal mana tidak bisa dilakukan oleh

metode biasa yang dipakai manusia. Sains menyediakan

alat-alat (baik itu rumus atau pola) analisis terhadap

situasi terkini sebagai usaha untuk membangun objek

baru dan alat adaptasi manusia terhadap objek tersebut,

(3) posisi dan karakteristik sains yang terpenting adalah

bahwa sains menawarkan cara untuk merefleksikan dan

membuat perubahan aturan-aturan dasar terhadap

situasi yang juga tidak bisa dilakukan dengan cara-

cara lama yang bersifat umum (kebiasaan lama yang

berkembang) (Shook, 2000; Kilpatrick, 1951).

Menurut Dewey sains merupakan metode baru yang

dikembangkan oleh manusia yang berciri pada

kooperasi dan eksperimen, dan keduanya

mengekspresikan kecerdasan manusia (Dewey, 1913).

Dalam proses belajar metode sains ini dapat

mengembangkan kebiasaan berpikir peserta didik yang

kemudian menjadi proses pembiasaan dalam

pengalaman belajar mereka. Berpikir adalah cara belajar

yang cerdas (Dewey, 1916). Berpikir merupakan elemen

yang cerdas dalam pengalaman belajar (Dewey, 1916).

Menurut Dewey (1916) salah satu fungsi terpenting dari

sekolah adalah menggerakkan dan mengembangkan

kebiasaan dan kemampuan anak berpikir. Kecerdasan

anak merupakan potensi yang harus secara terus

menerus dilatih.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Bagi Dewey (1916) cara mendapatkan pengetahuan

yang benar adalah melalui kemampuan berpikir dalam

konteks pengalaman yang berlandaskan metode sains

eksperimental. Kaitannya dengan konsep demokrasi

dalam pendidikan adalah bahwa metode belajar yang

dipersiapkan oleh guru merupakan sebuah proses

eksperimen yang menggunakan kemampuan berpikir

peserta didik sebagai aktivitas utama untuk

menemukan jawaban terbaik terhadap masalah. Proses

ini yang lebih dikenal sebagai metode sains merupakan

ide sentral Dewey untuk membuktikan bahwa

pengetahuan tidaklah bersifat statis dan terpisah dari

tindakan (Dewey, 1916). Metode sains eksperimental

menggabungkan aktivitas mental dan pengalaman, dan

memberi peluang peserta didik untuk terus menemukan

dan membangun pengetahuan baru.

Ketiga gagasan inti dari pandangan John Dewey

tentang pendidikan menggambarkan hakikat belajar yang

harus dijalankan dalam sebuah sistem dan proses

pendidikan. Dalam buku “Experiential learning” milik Kolb

(1984), Dewey memaparkan bahwa proses belajar

merupakan proses yang mengintegrasikan pengalaman

dengan konsep, pengamatan dan tindakan. Dimana

dorongan pengalaman (impulse) akan melahirkan

pengetahuan (knowledge) untuk bertindak (judgement)

dan penundaan tindakan sangat penting untuk

melakukan pengamatan (observation) serta penilaian

dalam pencapaian tujuan belajar, dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa belajar merupakan proses yang

terjadi melalui integrasi pengalaman, pengetahuan,

Page 9: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

observasi dan tindakan. Karena begitu banyaknya hal

yang harus dipelajari untuk memahami dunia maka

proses belajar harus dilakukan berulang-ulang dan tak

berujung sehingga Dewey menggambarkannya dalam

siklus model belajar Dewey di gambar 2.1.

Gambar 2.1 Model Belajar Dewey (Kolb, 1984)

Prestasi belajar terdiri dari dua suku kata yaitu

prestasi dan belajar yang pada hakikatnya memiliki arti

yang berbeda. Secara etimologi kata prestasi berasal dari

bahasa Belanda yaitu “prestatie”, kemudian dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hasil usaha.

Berdasarkan pengertian tersebut maka pengertian dari

prestasi belajar adalah hasil usaha dari proses belajar.

Lebih lanjut Winkel (1991) mengatakan bahwa prestasi

belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau

kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan

belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapai. Dengan

demikian maka prestasi belajar dapat diartikan sebagai

hasil yang dicapai oleh peserta didik setelah mengalami

suatu proses belajar.

Berdasarkan konsep belajar Dewey yang

mendefinisikan belajar sebagai proses yang terjadi melalui

Page 10: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

integrasi pengalaman, pengetahuan, observasi dan

tindakan. Maka prestasi belajar adalah hasil usaha yang

dicapai oleh peserta didik dari proses integrasi

pengalaman, pengetahuan, observasi dan tindakan.

Proses belajar yang dilakukan oleh peserta didik diawali

dengan proses pengalaman yang peserta didik dapatkan

dari lingkungan disekitarnya. Pengalaman tersebut bisa

didapatkan melalui panca indra yang dimiliki oleh peserta

didik, seperti melihat, mendengar atau melakukan

sesuatu. Menurut Dewey (1939), tidak semua pengalaman

masuk dalam proses belajar peserta didik, pengalaman

yang menghambat proses pengalaman berikutnya adalah

pengalaman yang salah dan harus dihapus atau

dilupakan. Disinilah peran guru untuk mengarahkan

peserta didik agar mendapatkan pengalaman yang benar

dan dapat menjadi dasar untuk pengalaman yang

berikutnya, sehingga pengalaman berikutnya akan lebih

siap karena berdasarkan pada pengalaman yang

sebelumnya. Dewey (1939) menyatakan bahwa hanya

pengalaman yang dapat membuat peserta didik

berinteraksi dengan penuh kepedulian terhadap masalah

dan tantangan yang terjadi di sekitar lingkungannya yang

dapat dikatakan proses pendidikan yang berhasil. Dari

hasil proses pengalaman yang benar, peserta didik mulai

membangun pengatahuan-pengetahuan baru (Dewey,

1916). Contoh belajar dari proses pengalaman yang benar

mampu menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru

dapat dilihat dari proses belajar pada materi rangkaian

listrik. Pada tahap ini, guru akan memberikan peserta

didik beberapa komponen seperti sebuah baterai, sebuah

Page 11: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

lampu dan kabel. Kemudian peserta didik diminta untuk

merangkai komponen-komponen tersebut sedemikian

rupa hingga lampu dapat menyala. Dari pengalaman ini,

peserta didik akan mendapatkan pengetahuan bahwa

lampu akan dapat menyala ketika seluruh komponen

disatukan dalam sebuah rangkaian tertutup (tidak ada

yang terputus/terbuka). Pengalaman berikutnya peserta

didik diminta untuk melepaskan baterai dari rangkaian

listrik tersebut, kemudian lampu akan mati dan akan

hidup kembali jika baterai kembali dipasangkan. Hal ini

akan membangun pengetahuan peserta didik bahwa

ketika salah satu komponen dilepas maka lampu tidak

akan hidup atau arus listrik tidak akan mengalir.

Kemudian guru akan memberikan sebuah baterai

tambahan pada peserta didik sehingga rangkaian listrik

yang dimiliki peserta didik terdiri dari dua buah baterai.

Peserta didik diarahkan untuk memperhatikan cahaya

lampu pada rangkaian tersebut dan guru memberikan

pertanyaan “Apakah cahaya lampu dengan dua buah

baterai akan lebih terang bila dibandingkan dengan

cahaya lampu dengan sebuah baterai?”. Dari pertanyaan

tersebut peserta didik akan membangun pengetahuan

bahwa baterai merupakan suatu energi yang mampu

menyalakan lampu dalam sebuah rangkaian dan semakin

besar energi yang dimiliki maka cahaya lampu akan

semakin terang. Dari contoh ini, dapat dilihat bahwa

proses pengalaman yang benar dapat mengasilkan

pengetahuan baru yang dapat digunakan untuk tindakan

berikutnya, dimana tindakan tersebut dapat menjadi

pengalaman pada proses belajar berikutnya, seperti

Page 12: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

halnya pernyataan Dewey (1939) bahwa proses belajar

yang berhasil didasarkan pada pemilihan pengalaman

yang baik yang dilakukan dengan prinsip

“kesinambungan pengalaman ”.

Dewey dalam Kolb (1984) memaparkan dalam

proses belajar, dorongan dari pengalaman akan

melahirkan pengetahuan untuk bertindak dan penundaan

tindakan sangat penting untuk melakukan pengamatan

atau observasi. Proses observasi memiliki peranan yang

penting dalam proses belajar, setelah mendapatkan

pengetahuan-pengetahuan dari pengalaman yang dialami

oleh peserta didik maka peserta didik mampu melakukan

tindakan yang merupakan tujuan dari proses belajar yaitu

mengaplikasikan pengetahuan atau konsep yang peserta

didik miliki dalam sebuah karya yang bermanfaat bagi

kehidupan peserta didik. Namun sebelum melakukan

tindakan peserta didik harus melalui proses pengamatan

atau obsevasi agar tindakan yang dilakukan merupakan

keputusan yang benar dan telah dalam proses belajar

yang tepat. Sebagai penganut pragmatisme Dewey

mengangap kebenaran terhadap suatu realita dan

bangunan pengetahuan berlandaskan pada observasi

langsung antara peserta didik terhadap objek alam

menjadi kerangka berpikir Dewey untuk mencerdaskan

peserta didik dalam pengalaman belajar (Dewey, 1916;

Shook, 2000). Contoh yang menunjukan bahwa proses

observasi sangat diperlukan untuk melakukan tindakan

tepat dapat dilihat pada proses belajar materi rangkaian

listrik. Setelah mendapatkan pengetahuan dari

pengalaman yang alami peserta didik, maka guru

Page 13: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

meminta peserta didik untuk menemukan bentuk

rangkaian listrik yang dapat menghasilkan cahaya lampu

paling terang. Rangkaian tersebut terdiri dari tiga buah

lampu, dua buah baterai dan kabel. Sebelum melakukan

tindakan peserta didik akan melakukan observasi dengan

mencoba beberapa bentuk rangkaian seperti rangkaian

seri, paralel, dan campuran. Dari beberapa rangkaian

tersebut peserta didik akan mengamati bentuk rangkaian

manakah yang akan menghasilkan cahaya lampu paling

terang. Dari proses observasi tersebut maka peserta didik

akan menemukan bahwa bentuk rangkaian paralel akan

menghasilkan cahaya lampu paling terang walaupun

terdiri dari tiga buah lampu dan hanya menggunakan dua

buah baterai. Dari contoh ini maka dapat disimpulkan

bahwa tanpa melawati proses observasi maka akan ada

kecenderungan peserta didik akan mengambil tindakan

yang salah dan bukan merupakan tujuan dari proses

belajar.

Berdasarkan definisi bahwa prestasi belajar adalah

hasil usaha yang dicapai oleh peserta didik dari proses

integrasi pengalaman, pengetahuan, observasi dan

tindakan. Dengan demikian hasil usaha peserta didik

harus dapat mencakup proses yang terdiri pengalaman,

pengetahuan, observasi dan tindakan secara utuh. Untuk

itu harus ada beberapa penilaian yang digunakan untuk

menilai hasil usaha peserta didik dalam proses

mengintegrasikan pengalaman, pengetahuan, observasi

dan tindakan. Dimana pengalaman yang didapatkan

peserta didik dari lingkungan akan menghasilkan

pengetahuan dan hasil dari pengetahuan ini dapat dinilai

Page 14: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

dengan penilaian kognitif, dimana penilaian kognitif ini

menilai pengetahuan atau konsep peserta didik yang

didapatkan dari pengalamannya di lingkungan. Setelah

pengalaman memberikan pengetahuan pada peserta didik

maka peserta didik akan menggunakan pengetahuannya

untuk melakukan tindakan guna menerapkan konsep

yang telah peserta didik dapatkan, namun sebelum

melakukan tindakan peserta didik akan melakukan

pengamatan atau observasi akan kemungkinan-

kemungkinan yang akan terjadi ketika peserta didik

melakukan tindakan dan untuk dapat memutuskan

tindakan mana yang menjadi tujuan peserta didik. Dalam

tahap observasi dan tindakan, peserta didik akan

melakukan beberapa percobaan atau praktik dan untuk

itu penilaian praktik (performance assessment) dapat

menilai hasil belajar dari tahap ini. Maka untuk dapat

mengetahui hasil usaha yang dicapai oleh peserta didik

dari proses integrasi pengalaman, pengetahuan, observasi

dan tindakan harus dilakukan penilaian kognitif untuk

mengetahui hasil usaha yang dicapai peserta didik dalam

hal pengetahuan dan penilaian praktik (performance

assessment) untuk menilai praktiknya dalam tahap

observasi dan tindakan (Dewey, 1939; Kolb, 1984; Iryanti,

2004).

2.1.2 Penilaian Prestasi Belajar Berdasarkan

Kompetensi

Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan

tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah beberapa kali

mengalami perubahan kurikulum. Terhitung ada delapan

Page 15: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

kali perubahan perubahan, yaitu Rencana Pelajaran

1947, Rencana Pelajaran Teruarai 1952, Kurikulum 1968,

Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan

Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 dan terakhir

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang

dimulai pada tahun ajaran 2007/2008 sampai saat ini

(http://Infodiknas.com).

KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai

tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar

Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk

pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang

diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan

Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan

KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional

Pendidikan (BSNP) (Wikipedia.org).

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan nasional

Nomor 20 tahun 2007 disebutkan bahwa salah satu

prinsip penilaian pendidikan dalam KTSP adalah

beracuan kriteria. Hal ini berarti bahwa penilaian

berdasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang

telah ditetapkan. Oleh karena itu, suatu pendidikan harus

menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap

mata pelajaran sebagai dasar dalam menilai pencapaian

kompetensi peserta didik. Penetapan KKM merupakan

tahapan awal pelaksanaan penilaian proses pembelajaran

Page 16: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

dan penilaian prestasi belajar peserta didik (Direktorat

Pembinaan SMA, 2010).

Keberhasilan suatu proses pendidikan dapat dilihat

dari tinggi rendahnya prestasi belajar peserta didik.

Peserta didik dikatakan berhasil jika prestasi belajar yang

diperoleh memenuhi standart kompetensi yang telah

ditetapkan dalam KKM (Direktorat Pembina SMA, 2010).

2.1.3 Teknik Penilaian Prestasi Belajar

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) menekankan pada penguasaan kompetensi maka

jenis penilaian juga harus disesuaikan dengan

karakeristik dan kekhasan masing-masing kompetensi.

Penilaian dalam KTSP menganut prinsip penilaian yang

berkelanjutan dan komprehensif guna mendukung upaya

memandirikan peserta didik untuk belajar, bekerja sama

dan menilai diri sendiri. Penilaian terpadu yang

komprehensif dan seimbang antara proses dan prestasi

belajar tersebut dilaksanakan dalam kerangka Penilaian

Berbasis Kelas (PBK).

Jenis dan model penilaian yang digunakan sangat

beragam tergantung pada jenis kompetensi, indikator

prestasi belajar yang ingin dicapai, materi pembelajaran

dan tujuan penilaian itu sendiri. Adapun bentuk dan

teknik penilaian yang biasa dilakukan dalam PBK

adalah penilaian praktik (performance assessment),

penilaian penugasan (project), penilaian hasil praktik

(product), penilaian tes tertulis, penilaian portofolio dan

penilaian sikap (Iryanti, 2004).

Page 17: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

mewujudkan PBK yaitu dengan mengkombinasikan

penilaian kognitif yang berupa tes dengan penilaian

praktik (performance assessment). Penilaian praktik

(performance assessment) didapatkan dari hasil

pengamatan guru terhadap aktivitas peserta didik

sebagaimana yang terjadi. Penilaian biasanya digunakan

untuk menilai kemampuan peserta didik dalam diskusi

pemecahan masalah, menggunakan alat-alat

laboratorium dan aktivitas lain yang dapat

diamati/diobservasi. Materi Fisika berkaitan erat dengan

kehidupan sehari-hari dan dapat dipraktikkan sehingga

metode inkuiri (penyelidikan) sangat penting diterapkan

dalam pembelajaran Fisika. Penerapan metode inkuiri

dalam pembelajaran Fisika memungkinkan diterapkannya

performance assessment.

2.1.3.1 Penilaian Kognitif

Penilaian dalam mata pelajaran Fisika diharapkan

dapat menggungkapkan kemampuan peserta didik dalam

hal pemahaman konsep, prosedur, penalaran dan

pemecahan masalah. Untuk menjawab tuntutan itu maka

guru harus menggunakan teknik penilaian yang dapat

menggungkapkan hal-hal tersebut. Namun tidak semua

teknik penilaian memenuhi komponen-komponen

tersebut. Maka guru sebaiknya tidak menggunakan hanya

satu teknik penilaian saja tetapi menggunakan berbagai

variasi teknik penilaian.

Teknik penilaian kognitif merupakan salah satu

teknik untuk menilai kekampuan peserta didik dalam hal

Page 18: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

pemahaman konsep. Teknik penilian kognitif

menggunakan tes yang meliputi pilihan ganda, benar

salah, menjodohkan, jawaban singkat, uraian terstruktur

dan uraian bebas (Iryanti, 2004). Teknik penilaian kognitif

mempunyai kelebihan yaitu dapat menjangkau materi

yang luas, dapat dilaksanakan dalam waktu yang relative

singkat dan dapat diperiksa dengan cepat. Namun

kelemahannya adalah membutuhkan waktu yang cukup

lama untuk merancang instrumen penilaian yang baik

dan umumnya tidak bias menjangkau kemampuan

prosedur, penalaran dan pemecahan masalah (Iryanti,

2004).

2.1.3.2 Penilaian Praktik (Performance Assessment)

Pengujian penguasaan kompetensi aspek

keterampilan peserta didik dilakukan dengan penilaian

praktik (Performance Assessment). Menurut Trespeces

(Depdiknas, 2003) performance assessment adalah

berbagai macam tugas dan situasi dimana peserta didik

diminta untuk mendemonstrasikan pemahaman dan

mengaplikasikan pengetahuan yang mendalam, serta

keterampilan di dalam berbagai macam konteks. Jadi

performance assessment adalah suatu penilaian yang

meminta peserta didik untuk mendemonstrasikan dan

mengaplikasikan pengetahuan ke dalam berbagai

macam konteks sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Teknik penilaian praktik (performance assessment)

merupakan proses penilaian yang dilakukan dengan

mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan

suatu hal. Teknik ini sangat cocok untuk menilai

Page 19: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

ketercapaian ketuntasan belajar (kompetensi) yang

menuntut peserta didik untuk melakukan tugas/gerak

(psikomotorik). Menurut Wangsatorntanakhun yang

dikutip Zainul (2001:9), menyatakan bahwa performance

assessment terdiri dari dua bagian yaitu “clearly defined

task and a list of explicit criteria of assessing student

performance or product”. Lebih lanjut dinyatakan bahwa

performance assessment diwujudkan berdasarkan “empat

asumsi” pokok, yaitu:

1. Penilaian praktik yang didasarkan pada partisipasi

aktif peserta didik.

2. Tugas-tugas yang diberikan atau dikerjakan oleh

peserta didik merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran.

3. Penilaian tidak hanya untuk mengetahui posisi

peserta didik pada suatu saat dalam proses

pembelajaran, tetapi lebih dari itu, penilaian juga

dimaksudkan untuk memperbaiki proses

pembelajaran itu sendiri.

4. Dengan mengetahui lebih dahulu kriteria yang akan

digunakan untuk mengukur dan menilai

keberhasilan proses pembelajarannya, peserta didik

akan terbuka dan aktif berupaya untuk mencapai

tujuan pembelajaran.

Danielson (1998) dalam Iryanti (2004)

mendefinisikan penilaian praktik sebagai berikut :

Performance assessment means any assessment of

student learning that requires the evaliation of student

writing, products or behavior. that is, it includes all

assessment with the exception of multiple choice, matching,

true/false testing, or problems with a single correct answer.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Penilaian praktik adalah penilaian belajar peserta didik

yang meliputi semua penilaian dalam bentuk tulisan,

produk atau sikap. Hal tersebut mencakup semua

penilaian terkecuali pilihan ganda, menjodohkan, benar-

salah atau jawaban singkat.

Menurut Zainul (2001:11) tugas-tugas penilaian

praktik (performance assessment) dapat diwujudkan

dengan berbagai bentuk:

1. Group performance assessment, yaitu tugas-tugas

yang harus dikerjakan secara kelompok.

2. Individual performance assessment, yaitu tugas-

tugas individual yang harus diselesaikan secara

mandiri.

3. Observasi, yaitu meminta peserta didik melakukan

suatu tugas. Selama melaksanakan tugas tersebut

peserta didik diobservasi baik secara terbuka

maupun tertutup. Observasi dapat pula dilakukan

dalam bentuk observasi partisipatif.

4. Portofolio, satu kumpulan hasil karya peserta didik

yang disusun berdasarkan urutan waktu

maupun urutan kategori kegiatan.

5. Project, exhibition, or demonstration yaitu

penyelesaian tugas-tugas yang kompleks dalam

suatu jangka waktu tertentu yang dapat

memperlihatkan penguasaan kemampuan sampai

pada tingkat tertentu pula.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penilaian

praktik (performance assessment), diantaranya:

Page 21: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

1. Langkah-langkah praktik yang diharapkan

dilakukan peserta didik untuk menunjukan

praktik dari suatu kompetensi.

2. Kelengkapan dan ketetapan aspek yang akan

dinilai dalam praktik tersebut.

3. Kemampuan-kemampuan khusus yang

diperlukan untuk menyelesaikan tugas.

4. Upayakan kemampuan yang akan dinilai tidak

terlalu banyak sehingga semua yang ingin dinilai

dapat dinilai.

5. Kemampuan yang akan dinilai diurutkan

berdasarkan urutan yang akan diamati (Haryati,

2007).

Penilaian praktik (performance assessment) dapat

dilakukan dengan menggunakan teknik pengamatan atau

observasi terhadap berbagai konteks untuk menentukan

tingkat ketercapaian kemampuan tertentu dari suatu

kompetensi dasar. Guru dapat mengembangkan

instrumen penilaian sesuai kebutuhan. Format penilaian

dapat disusun secara sederhana ataupun secara lengkap.

Penilaian praktik dapat diimplementasikan dalam

berbagai bentuk. Ketika melakukan performance

assessment untuk menyimpulkan tingkat pencapaian

praktik peserta tes, biasanya digunakan dua pendekatan,

yaitu: (1) metode holistic, dan (2) metode analytic.

Metode holistic digunakan apabila para penskor

(rater) atau guru hanya memberikan satu buah skor atau

nilai (single rating) berdasarkan penilaian mereka secara

keseluruhan dari hasil praktik peserta tes. Sedangkan

pada metode analytic para penskor (rater) memberikan

Page 22: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

penilaian (skor) pada berbagai aspek yang berbeda yang

berhubungan dengan praktik yang dinilai (Sriyono, 2004)

Beberapa cara menilai atau menskor kemampuan

keterampilan atau kemampuan praktik (performance

assessment) peserta tes dengan metode analytic antara

lain adalah dengan cara menggunakan (1) checklist; dan

(2) rating scales.

Performance assessment dapat dilakukan dengan

cara yang paling sederhana yaitu dengan menggunakan

checklist. Apabila kriteria kemampuan tertentu pada

peserta didik atau produk yang dihasilkan peserta didik

dapat diamati oleh penilai atau penskor, maka peserta

didik tersebut mendapat skor dan apabila tidak maka

peserta didik tersebut tidak mendapat skor. Ada beberapa

kelemahan pada checklist, (1) penilai atau penskor hanya

bisa memilih dua pilihan yang absolut, yaitu teramati

dan tidak teramati, jadi tidak ada skor diantaranya, (2)

sukar menyimpulkan kemampuan peserta tes dalam satu

skor (Sriyono, 2004).

Performance assessment dengan cara lain yaitu

dengan menggunakan rating scale. Walaupun cara ini

serupa dengan checklist, tetapi rating scale

memungkinkan penilai atau penskor untuk menilai

kemampuan peserta didik secara kontinum. Kedua cara

ini sama-sama berdasarkan pada beberapa kumpulan

kemampuan praktik yang hendak diukur, bedanya

adalah checklist hanya memberikan dua kategori

penilaian sedangkan rating scale memberikan lebih dari

dua kategori penilaian (Grounlund, 1985).

Page 23: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

2.2 World Hypotheses (Hipotesis Dunia)

World Hypotheses merupakan sebuah gagasan dari

seorang filsuf kebangsaan Amerika bernama Stephen C.

Pepper (1891-1972). Papper menganggap bahwa di dunia

ini tidak ada fakta yang pasti dan tetap. Perlu ada proses

penyelidikan untuk menemukan fakta yang

sesungguhnya. Bahkan fakta penyelidikan saat ini belum

tentu benar pada waktu mendatang, maka harus ada

proses penyelidikan yang berulang-ulang untuk bisa

memahami apa saja yang ada di dunia. World Hypotheses

merupakan teori penyelidikan yang dapat dilakukan

manusia untuk memahami dunia ini. Di dalam World

Hypotheses, Pepper mengembangkan “root metaphors

method” dan menguraikan empat hipotesis dunia yaitu

formisme (formism), mekanisme (mechanism),

kontekstualisme (contestualism), organisme (organicism).

Metafora (metaphore) pada World Hypotheses

bukanlah metafora pada puisi melainkan metafora dalam

filsafat. Metafora berfungsi untuk membantu dalam

klarifikasi konseptual, pemahaman, atau wawasan

tentang modus pemikiran filosofis. Dengan kata lain “root

metaphors method” atau metode metafora akar

merupakan sebuah metode yang membantu memahami

sesuatu dengan lebih dalam dan mendasar seperti halnya

sebuah akar yang selalu bergerak menuju dasar tanah.

Metafora akar ditarik dari pengalaman-pengalaman

tentang pengertian umum dan digunakan oleh para filsuf

untuk menginterpretasikan dunia (Kolb, 1984).

Menurut Pepper ada empat hipotesis dunia, yang

pertama Pepper menyebut formisme (juga dikenal sebagai

Page 24: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

realisme), yang metafora akarnya diamati perbedaan

antara obyek dan peristiwa. Kedua adalah mekanisme

(juga disebut naturalisme atau materialisme), yang

metafora akarnya adalah RPL. Ketiga kontekstualisme

(lebih dikenal dengan pragmatisme), dengan metafora

akar dari perubahan peristiwa historis. Hipotesis dunia

yang terakhir adalah organisme (idealisme absolute), yang

metafora akarnya adalah pencapaian kesatuan harmoni

(Kolb, 1984). Papper percaya bahwa keempat hipotesis

dunia dipadatkan dari proses struktural pembuktian

(Powell, 1995).

Gambar 2.2 Hipotesis Dunia Pepper (Powell, 1995)

Menurut Papper formisme dan mekanisme

merupakan dua hipotesis dunia yang menjadi dasar bagi

ilmu pengetahuan alam modern, terutama yang bersifat

analitis di alam, di mana elemen-elemen dan faktor-faktor

merupakan beberapa fakta dasar dari mana adanya

sintesis adalah sebuah deviasi/turunan. Sedangkan

kontekstualisme dan organisme, bersifat sintetis, di mana

fakta-fakta dasar adalah konteks dan kompleks seperti

halnya analisis komponen-komponen.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Di dalam hipotesis dunia yang analitis dan sintesis

ada sebuah polaritas lebih jauh antara strategi menyebar

dan menyatu dari penyelidikan (inkuiri). Formisme dan

kontekstualisme awalnya bersifat menyebar, menjelaskan

fakta-fakta satu demi satu tanpa hubungan sistematik

antara satu dan lainnya. Sesungguhnya, formisme dan

kontekstualisme melihat dunia sebagai hal yang tidak

dapat ditentukan dan tak dapat diprediksi. Organisme

dan mekanisme bersifat menyatu, artinya mempercayai

sebuah dunia bersatu dimana ketidakpastian adalah

sebuah refleksi pengetahuan yang tidak mencukupi.

Karena organisme dan mekanisme mencari penjelasan

yang menyatu, kekuatan hipotesis dunia yang menyatu

(organisme dan mekanisme) adalah ketepatan dan hal

yang dapat diprediksi, adapun kelemahannya adalah

kurangnya ruang lingkup, ketidakmampuan mereka

untuk mencapai penjelasan yang terintegrasi dari segala

hal. Sedangkan hipotesis dunia yang menyebar, lebih

dalam ketepatan, menawarkan beberapa interpretasi yang

mungkin untuk beberapa kejadian, kuat dalam ruang

lingkup, karena jangkauan penjelasannya tidak dibatasi

oleh adanya dasar integrasi (Kolb, 1984).

2.3 Levels of Inquiry Learning Cycle (Siklus Belajar

Tingkat Inkuiri)

2.3.1 Definisi Levels of Inquiry (Tingkat Inkuiri)

Levels of Inquiry merupakan hirarki praktik

pedagogis yang berkaitan dengan proses inkuiri. Levels of

Inquiry terdiri dari lima tingkatan, yaitu Discovery

Learning, Interactive Demonstration, Inquiry Lesson, Inquiry

Page 26: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Lab, dan Hypothetical Inquiry (Wenning, 2005a). Adapun

definisi secara operasional dari setiap praktik pedagogis

tersebut adalah (Wenning, 2005a):

a. Discovery Learning (Pembelajaran Discovery)

Discovery Learning merupakan bentuk

pembelajaran yang paling mendasar dari pembelajaran

yang berorientasi inkuiri. Fokus dari Discovery Learning

tidak untuk mencari aplikasi pengetahuan, tetapi lebih

pada pembangunan pengetahuan, pengalaman, dan

menggunakan refleksi sebagai kunci pemahaman. Pada

pembelajaran ini guru menyajikan percobaan,

menggunakan urutan pertanyaan selama atau setelah

pengamatan untuk membimbing peserta didik pada

kesimpulan dan pertanyaan diskusi yang secara langsung

berfokus pada masalah. Dari hal tersebut peserta didik

akan membangun hubungan yang sederhana atau

prinsip-prinsip dari pengalaman mereka.

b. Interactive Demonstration (Demonstrasi Interaktif)

Interactive Demonstration terdiri dari seorang guru

untuk memanipulasi (menunjukkan) alat ilmiah dan

kemudian mengajukan pertanyaan tentang apa yang akan

terjadi (prediksi) atau bagaimana sesuatu yang mungkin

terjadi (penjelasan). Guru bertugas untuk menunjukkan

mengembangkan dan mengajukan pertanyaan, yang

menggambarkan tanggapan, meminta penjelasan lebih

lanjut dan membantu peserta didik mencapai kesimpulan

berdasarkan bukti.

c. Inquiry Lesson (Pelajaran Inkuiri)

Inquiry Lesson mirip dengan Interactive

Demonstration. Namun, ada beberapa perbedaan penting.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Pada Inquiry Lesson, bimbingan diberikan secara tidak

langsung dengan menggunakan strategi yang tepat. Guru

membantu peserta didik untuk merumuskan pendekatan

eksperimental mereka sendiri, mengidentifikasi dan

mengendalikan variabel, dan menetapkan sistem.

Pendekatan ini akan membantu peserta didik memahami

secara lebih lengkap sifat dari proses pendidikan. Bentuk

dari penelitian ini sangat penting untuk menjembatani

kesenjangan antara Interactive Demonstration dan

pengalaman laboratorium pada Inquiry Lab. Hal ini terjadi

karena tidak masuk akal untuk berasumsi bahwa peserta

didik dapat menggunakan pendekatan eksperimental yang

lebih canggih sebelum mereka akrab dengan sebuah

penelitian.

d. Inquiry Lab (Laboratorium Inkuiri)

Inquiry Lab terdiri dari beberapa peserta didik yang

heterogen dalam hal keterampilan melakukan penelitian,

kemudian menerapkan rencana percobaan serta

mengumpulkan data yang sesuai. Data-data ini kemudian

dianalisis untuk menemukan hukum atau hubungan

yang tepat antara variabel. Inquiry Lab memiliki tiga jenis

berdasarkan tingkat pengetahuan inkuiri dan lokus

kontrol seperti ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1

Karakteristik Jenis-Jenis Inquiry Lab

(Wenning, 2005a)

Jenis Inquiry Lab

Pertanyaan/ Sumber masalah

Prosedur

Guided Inquiry (Inkuiri

Terbimbing)

Guru mengidentifikasi masalah yang harus diteliti.

Dibimbing berkali-kali oleh guru-diidentifikasi pertanyaan;

Page 28: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

pengarahan pra-lab secara luas.

Bounded Inquiry (Inkuiri

Termodifikasi)

Guru mengidentifikasi masalah yang harus diteliti.

Dibimbing berkali-kali oleh guru-diidentifikasi pertanyaan; pengarahan pra-lab hanya sebagian.

Free Inquiry (Inkuiri bebas)

Peserta didik mengidentifikasi masalah yang harus diteliti.

Dibimbing oleh guru sendiri-diidentifikasi pertanyaan; tidak ada pengarahan pra-lab.

e. Hypothetical Inquiry (Inkuiri Hipotesis)

Hypothetical Inquiry merupakan bentuk paling maju

dari inkuiri, dimana peserta didik yang kemungkinan

akan menghadapi hipotesis umum dan mengujiannya.

Hypothetical Inquiry memiliki perbedaan dengan membuat

prediksi. Prediksi adalah pernyataan tentang apa yang

akan terjadi. Hipotesis adalah penjelasan sementara yang

dapat diuji secara menyeluruh, dan yang dapat berfungsi

untuk membimbing penyelidikan lebih lanjut.

Hypothetical Inquiry berkaitan dengan penyediaan serta

pengujian penjelasan dan hipotesis bukan “tebakan

berpendidikan”.

Hypothetical Inquiry dibagi menjadi dua, yaitu

murni dan terapan. Pure Hypothetical Inquiry (Hipotesis

Inkuiri Murni) hanya bertujuan memperluas pemahaman

tentang hukum alam. Terdiri dari peserta didik yang

mengembangkan penjelasan hipotesis hukum empiris dan

menggunakan hipotesis untuk menjelaskan fenomena

Fisika. Applied Hypothetical Inquiry (Hipotesis inkuiri

terapan) diarahkan untuk menemukan aplikasi

pengetahuan pada masalah baru.

Page 29: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

2.3.2 Definisi Learning Cycle (Siklus Belajar)

Metode Learning Cycle merupakan suatu

pendekatan dalam merancang kegiatan pembelajaran

yang pertama kali dikembangkan oleh Karlpus dan Thier

dalam penelitiannya untuk Science Curriculum

Improvement Study (SCIS) (Hanuscin & Lee 2007, 1).

Metode ini banyak digunakan untuk perancangan

pembelajaran terutama pada pelajaran sains. Metode

Learning Cycle didasari oleh teori belajar konstruktivisme

dan menggunakan metode inquiry terbimbing (guided-

inquiry) pada setiap aktivitas selama penerapannya. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Bruner yang salah satu

dasar pengembangan model pembelajaran

konstruktivisme yaitu bahwa proses belajar adalah proses

mencari pengetahuan atau yang disebut “inquiry or

discovery learning” (Indrawati 1999, 34). Dalam teori

belajar konstruktivisme dikatakan bahwa peserta didik

harus membangun sendiri pengetahuannya melalui

pengalaman, sedangkan guru menjadi fasilitator bagi

mereka (Trianto 2007, 13). Peserta didik belajar secara

aktif, bekerja dan berpikir serta berinteraksi dengan

lingkungannya dalam proses mengkonstruksi

pengetahuan dari pengalaman peserta didik.

Pada pembelajaran metode Learning Cycle terdapat

beberapa fase-fase yang didesain sedemikian rupa untuk

mengkondisikan peserta didik menjadi pembelajar yang

aktif dan membantu mereka untuk menguasai

kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran. Pada

awalnya Atkin dan Karlpus membangun Learning Cycle

atas 3 fase yaitu eksplorasi (exploration), pengenalan

Page 30: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

konsep (concept introduction) dan aplikasi konsep (concept

application) (Bentley & Ebert 2000, 181). Selanjutnya

model ini banyak digunakan dan dimodifikasi oleh para

pendidik sains dan salah satunya adalah Learning Cycle

5E -Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluate yang

dikembangkan oleh Bybee (Hanuscin & Lee 2007, 1). Pada

perkembangan selanjutnya Learning Cycle 5E dimodifikasi

oleh Arthur Eisenkraft menjadi Learning Cycle 7E –Elicit,

Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluate, dan Extend

(Eisenkraft, 2003). Perkembangan terbaru pada metode ini

adalah Levels of Inquiry Learning Cycle oleh Carl J.

Wenning dan Manzoon A. Kan. Levels of Inquiry Learning

Cycle terdiri dari lima fase, yaitu Observation,

Manipulation, Generalization, Verification dan Application

(Wenning, 2011). Dengan adanya siklus ini maka

pengetahuan peserta didik akan terus berkembang karena

setiap siklus memberikan pengalaman bagi peserta didik

untuk menggunakan pengetahuan yang peserta didik

miliki.

2.3.3 Pengertian Levels of Inquiry Learning Cycle

(Siklus Belajar Tingkat Inkuiri)

Levels of Inquiry Learning Cycle dikembangkan

berdasarkan Model of Experiential Learning milik John

Dewey 1904. Dalam perkembangannya, Dewey (1913, 25)

merasakan bahwa pembelajaran sains mengalami krisis

karena seringkali menyampaikan materi pengetahuan

yang siap pakai, terlalu banyak materi fakta dan hukum,

namun tidak menggunakan matode yang efektif dalam

penyelidikan untuk semua materi. Kemudian Dewey

Page 31: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

membayangkan untuk merancang siklus belajar yang

mendorong impuls peserta didik untuk melakukan

observasi dan memperoleh kesimpulan dari observasi

tersebut. Namun siklus belajar Dewey yang berdasarkan

belajar berpengalaman kurang tepat diterapkan pada

masa modern seperti saat ini. Hal ini disebabkan karena

siklus belajar tersebut kurang mampu untuk

mengembangkan keterampilan ilmiah dan intelektual

peserta didik yang sangat berkembang dalam bidang

teknologi (Wenning, 2011). Berdasarkan fakta tersebut

Levels of Inquiry Learning Cycle menggunakan siklus

belajar ilmiah yang lebih modern dan hampir serupa

dengan cara kerja ilmuan profesional.

Levels of Inquiry Learning Cycle sangat berbeda

dengan siklus belajar Robert Karplus 1962. Selain jumlah

tahapan yang lebih banyak, siklus belajar yang

berhubungan dengan tingkat inkuiri membuat peserta

didik dapat memperoleh pengetahuan yang lebih

komperhensif dari semua pengetahuan intelektual dan

proses keterampilan ilmiah yang melekat pada masing-

masing tingkat inkuiri.

Tahapan dari Levels of Inquiry Learning Cycle adalah

Observation, Manipulation, Generation, Verification dan

Application. Adapun sketsa yang dapat menggambarkan

hubungan antara lima tahapan baru pada Learning Cycle

dengan Levels of Inquiry adalah sebagai berikut:

Page 32: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Gambar 2.3 Sketsa Levels of Inquiry Learning Cycle (Wenning, 2011)

Uraian dari lima tahapan Levels of Inquiry Learning

Cycle adalah (Wenning, 2011):

Observation: Para peserta didik mengamati fenomena

yang menggerakkan minat mereka dan memunculkan

respons mereka. Peserta didik menjelaskan secara rinci

apa yang mereka lihat. Mereka berbicara tentang

analogi dan contoh lain dari fenomena tersebut.

Sebuah pertanyaan yang mengarah dibangun yang

layak untuk penyelidikan.

Manipulation: Para peserta didik menyampaikan

pendapat dan saling berdebat pendapat yang menjadi

dasar penyelidikan dan mengembangkan pendekatan

yang dapat digunakan untuk mempelajari fenomena

tersebut. Mereka membuat rencana untuk

mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif dan

kemudian jalankan rencana tersebut.

Generation: Para peserta didik membangun prinsip-

prinsip atau hukum baru yang diperlukan untuk

mengartikan sebuah fenomena. Peserta didik

Page 33: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

memberikan penjelasan yang masuk akal dari

fenomena tersebut.

Verification: Para peserta didik membuat prediksi dan

melakukan pengujian dengan menggunakan hukum

umum berasal dari pendapat sebelumnya.

Application: Secara independen para peserta didik

mengambil dan menyepakati sebuah kesimpulan.

Kesimpulan tersebut kemudian diterapkan pada

situasi lain memungkinkan.

Melalui Levels of Inquiry Learning Cycle peserta

didik akan mendapatkan pengetahuan yang lebih detail.

Proses belajar peserta didik akan di awali dengan tingkat

inkuiri yang paling sederhana yaitu Discovery learning,

dimana dalam tingkat ini peserta didik akan melalui 5

tahapan dari Learning Cycle (Observation, Manipulation,

Generation, Verification dan Application). Setelah peserta

didik melalui 5 tahapan Learning Cycle dalam tingkat

inkuiri Discovery learning, maka peserta didik akan

memasuki tingkat inkuiri yang lebih tinggi yaitu

Interactive Demonstration. Dalam tingkat inkuiri

Interactive Demonstration peserta didik juga akan melalui

5 tahapan dari Learning Cycle dan proses serupa juga

akan dilalui peserta didik pada tingkat inkuiri Inquiry

Lesson, Inquiry Lab dan Hypothetical Inquiry. Setelah

belajar dengan menggunakan metode Levels of Inquiry

Learning Cycle, selain akan mendapatkan pengetahuan

yang lebih detail peserta didik juga akan memiliki

kekampuan yang lebih dalam proses saintis (Wenning,

2012).

Page 34: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Bila menilik kembali pada hipotesis dunia Papper

maka Levels of Inquiry Learning Cycle mengacu pada

hipotesis dunia mekanisme. Dimana hipotesis dunia ini

merupakan dasar dari perkembangan ilmu sains modern

saat ini dan sebagai sebuah strategi integrasi yang lebih

baik digunakan untuk penelitian dasar pada Fisika dan

matematika. Hipotesis dunia mekanisme juga bersifat

menyatu, artinya mempercayai sebuah dunia bersatu

dimana ketidakpastian adalah sebuah refleksi

pengetahuan yang tidak mencukupi, sehingga perlu ada

tindakan-tindakan lanjutan untuk menyatukan sebuah

pemahaman. Pemikiran ini serupa dengan konsep dari

model belajar Dewey yang menjadi dasar oleh Wenning

pada metode Levels of Inquiry Learning Cycle. Dimana

pada model belajar Dewey, belajar merupakan proses

mengintegrasikan pengalaman, pengetahuan, observasi

dan tindakan.

2.4 Metode Ceramah

Menurut Sanjaya (2006) metode ceramah

merupakan metode pembelajaran yang cara menyampaian

materi ajarnya melalui penuturan secara lisan atau

penjelasan langsung kepada sekelompok peserta didik.

Menurut Yamin (2004) metode ceramah berbentuk

penjelasan konsep, prinsip, dan fakta kemudian pada

akhir proses pembelajaran metode ini ditutup dengan

tanya jawab antara guru dan peserta didik. Metode

ceramah merupakan metode yang berpusat pada guru

(teacher centered) dimana semua aktifitas dalam proses

belajar mengajar sepenuhnya di atur oleh guru.

Page 35: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Metode ceramah merupakan metode yang sering

digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi

pembelajaran. Metode ini sering digunakan karena

Sanjaya (2006) metode ceramah merupakan metode yang

“murah” dan “mudah” untuk dilakukan. Dalam hal ini,

metode ceramah dikatakan murah karena dalam proses

pembelajaran dengan metode ceramah tidak memerlukan

peralatan-peralatan yang lengkap, sedangkan metode

ceramah dikatakan mudah karena metode ceramah

hanya mengandalkan suara guru, dengan demikian tidak

memerlukan persiapan yang rumit. Alasan lain karena

dengan menggunakan metode ceramah para guru akan

dimudahkan dalam mengontrol keadaan kelas, baik kelas

besar maupun kelas kecil.

Walaupun metode ceramah sering digunakan oleh

guru didalam menyampaikan materi di kelas, namun

metode ceramah sering kali menemui beberapa kendala.

Sanjaya (2006, 148-149) menyampaikan bahwa materi

yang dikuasai peserta didik sebagai hasil dari ceramah

hanya akan terbatas pada apa yang telah disampaikan

oleh guru dan kurangnya kemampuan bertutur yang baik

oleh guru mengakibatkan peserta didik menjadi tidak

memahami materi secara utuh dan pada akhirnya

mengakibatkan miskonsepsi. Melalui metode ceramah,

guru sangat sulit untuk mengetahui apakah seluruh

peserta didik di kelas telah mengerti atau belum dengan

materi yang diajarkan. Namun karena kebiasaan

menggunakan metode ceramah telah dilakukan berulang-

ulang dan terus menerus, mengakibatkan guru cenderung

merasa puas apabila telah menyampaikan materi dengan

Page 36: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

kata-kata seperti pada metode ceramah dan bagi peserta

didik juga cenderung merasa telah mendapatkan

pembelajaran apabila telah mendengar ceramah dari

guru, hal inilah yang membuat metode ceramah ini terus

digunakan sampai saat ini.

2.5 Listrik Dinamis

Alat-alat listrik dapat bekerja ketika ada arus listirik

yang mengalir dalam alat tersebut. Aliran listrik

ditimbulkan oleh muatan listrik yang bergerak di dalam

suatu penghantar. Arus listrik yang mengalir hanya

dalam satu arah disebut arus searah sedangkan arus

listrik yang mengalir bolak-balik dan berganti arah secara

terus menerus disebut arus bolak balik (Abdullah 2007,

65). Kuat arus listrik (I) menyatakan jumlah muatan

listrik yang mengalir setiap detik.

Arus listrik hanya mengalir pada rangkaian

tertutup. Pada rangkaian listrik yang bercabang, jumlah

arus listrik yang masuk maupun yang keluar dari titik

cabang adalah sama. Ini dikenal dengan hukum I Kirchhoff

yang sering dituliskan dengan persamaan berikut

(Kanginan 2007, 170):

Σ I masuk = Σ I keluar

Jika hukum I Kirchhoff berbicara tentang arus listrik

maka hukum II Kirchhoff berbicara tentang tegangan yang

menyatakan bahwa jumlah aljabar perubahan tegangan

yang mengelilingi suatu rangkaian tertutup (loop) sama

dengan nol (ΣV= 0 atau Σε +ΣIR=0) (Kanginan 2007, 189).

Arus listrik tidak dapat dipisahkan dari energi

listrik. Alat-alat listrik seperti setrika, kulkas, lampu dan

Page 37: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

lain-lain menggunakan energi listrik yang diperoleh ketika

ada arus yang mengalir dalam komponen alat-alat

tersebut. Energi listrik adalah energi yang disebabkan

oleh mengalirnya muatan listrik dalam suatu rangkaian

listrik tertutup. Untuk menentukan besarnya energi listrik

yang digunakan oleh pada sebuah rangakaian, perlu

ditentukan beda potensial dan arus listrik serta lamanya

penggunaan. Semakin lama arus listrik mengalir maka

semakin banyak energi listrik yang digunakan. Namun

penghitungan lamanya penggunaan energi jarang

dilakukan oleh karena digunakan besaran daya listrik

untuk menyatakan energi listrik tersebut. Daya listrik

menyatakan laju energi listrik yang digunakan atau

dengan kata lain daya listrik adalah jumlah energi listrik

yang digunakan selama selang waktu tertentu dibagi

dengan lama penggunaan.

2.5.1 Rangkaian Listrik

Rangkaian listrik ada 2 jenis yaitu rangkaian seri

dan rangkaian paralel. Rangkaian seri adalah rangkaian

yang menghubungkan berbagai komponen listrik tanpa

membentuk percabangan. Sedangkan rangkaian paralel

adalah rangkaian yang menghubungkan berbagai

komponen listrik dengan membentuk percabangan.

2.5.1.1 Rangkaian Seri

Rangkaian Seri adalah rangkaian listrik yang setiap

komponennya terpasang secara seri (sederet). Berikut ini

adalah sketsa dari rangkaian seri:

Page 38: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Gambar 2: Rangkaian Seri

Rangkaian seri digunakan untuk memperbesar

hambatan suatu rangkaian (Rseri=R1+R2+…..) dan memiliki

karakteristik sebagai berikut: arus yang mengalir pada

tiap hambatannya sama (I1=I2=......=Iseri), tegangan pada

ujung hambatan pengganti sama dengan jumlah tegangan

pada ujung tiap penghambat (Vseri=V1+V2+.....) oleh karena

itu berfungsi sebagai pembagi tegangan.

2.5.1.2 Rangkaian Paralel

Rangkaian paralel adalah rangkaian listrik yang

beberapa komponennya tersusun bercabang. Berikut ini

adalah sketsa dari rangkaian paralel:

Gambar 3: Rangkaian Paralel

I

I1 I2 I3

V

+

-

I +

+ - + - + -

V1 V2 V3

-

Page 39: BAB II LANDASAN TEORITIK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2911/3/T2_942010028_BAB II.pdf · adalah pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman yang

Rangkaian paralel dapat digunakan untuk

memperkecil hambatan suatu rangkaian (

.....111

21

RRRparalel

) dan memiliki karakteristik: tegangan

pada ujung tiap komponennya sama (V1=V2=....=Vparalel),

arus yang melalui hambatan pengganti sama dengan

jumlah arus yang melalui tiap-tiap komponen

(Iparalel=I1+I2+…..) oleh karena itu rangakaian ini berfungsi

sebagai pembagi arus. Hal ini dijelaskan oleh hukum I

Kirchhoff mengenai arus pada titik percabangan.

2.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian, masalah

penelitian dan landasan teori yang telah dikemukakan,

maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H0 : µ1 = µ2 : tidak ada perbedaan yang signifikan pada

prestasi belajar Fisika antara peserta didik

yang diajar menggunakan metode

pembelajaran Levels of Inquiry Learning

Cycle dengan peserta didik yang diajar

menggunakan metode ceramah.

H1 : µ1 ≠ µ2 : ada perbedaan yang signifikan pada prestasi

belajar Fisika antara peserta didik yang

diajar menggunakan metode pembelajaran

Levels of Inquiry Learning Cycle dengan

peserta didik yang diajar menggunakan

metode ceramah.