bab ii landasan teori a. riwayat hidup emile durkheim

20
13 BAB II LANDASAN TEORI A. Riwayat Hidup Emile Durkheim Emile Durkheim lahir pada tahun 1858 di Epinal 1 , suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur Perancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Ia adalah keturunan dari suatu garis panjang para rabi dan belajar menjadi seorang nabi, tetapi pada masa usia remaja, dia menyangkal sebagian besar warisannya. 2 Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure. Dua kali sebelumnya ia gagal dalam ujian masuk yang sangat kompetitif, walaupun sebelumnya ia sangat cemerlang dalam studinya. Ia datang ke Paris untuk bisa masuk ke sekolah Lycee Louis-le-Grand (satu sekolah tinggi terkemuka), sesudah memperoleh dukungan yang kuat dan dorongan dari guru- guru di Epinal. Sesudah menamatkan pendidikannya, Durkheim mulai mengajar. Selama lima tahun ia mengajar dalam satu sekolah menengah atas (lycees) di daerah Paris. Selama satu tahun dalam periode ini ia mendapat cuti untuk belajar lebih lanjut, yang sebagian besar ia habiskan waktunya itu di Jerman. Sejak awal karirnya mengajar, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis 1 Untuk suatu tinjauan singkat mengenai catatan-catatan utama dalam biografi kehidupan Durkheim, lihat Harry Alpert, Emile Durkheim and His Sociology (New York: Columbia University Press, 1939), Bagian I “Emile Durkheim: Frenchman, Teacher, Sosiologist”, 15-78; Henri Peyre, “Durkheim, The Man, His Time, and His Intellectual Background”, 3-31 dalam Kurt H. Wolff, ed., Emile Durkheim (Columbus: Ohio State University Press, 1960); dan Robert A. Nisbet, The Sociology of Emile Durkheim (New York: Oxford University Press, 1974, 3-24. 2 George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 146).

Upload: others

Post on 02-Dec-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Riwayat Hidup Emile Durkheim

Emile Durkheim lahir pada tahun 1858 di Epinal1, suatu perkampungan

kecil orang Yahudi di bagian timur Perancis yang agak terpencil dari masyarakat

luas. Ia adalah keturunan dari suatu garis panjang para rabi dan belajar menjadi

seorang nabi, tetapi pada masa usia remaja, dia menyangkal sebagian besar

warisannya.2 Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di Ecole Normale

Superieure. Dua kali sebelumnya ia gagal dalam ujian masuk yang sangat

kompetitif, walaupun sebelumnya ia sangat cemerlang dalam studinya. Ia datang

ke Paris untuk bisa masuk ke sekolah Lycee Louis-le-Grand (satu sekolah tinggi

terkemuka), sesudah memperoleh dukungan yang kuat dan dorongan dari guru-

guru di Epinal. Sesudah menamatkan pendidikannya, Durkheim mulai mengajar.

Selama lima tahun ia mengajar dalam satu sekolah menengah atas (lycees) di

daerah Paris. Selama satu tahun dalam periode ini ia mendapat cuti untuk belajar

lebih lanjut, yang sebagian besar ia habiskan waktunya itu di Jerman. Sejak awal

karirnya mengajar, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis

1 Untuk suatu tinjauan singkat mengenai catatan-catatan utama dalam biografi

kehidupan Durkheim, lihat Harry Alpert, Emile Durkheim and His Sociology (New York:

Columbia University Press, 1939), Bagian I “Emile Durkheim: Frenchman, Teacher,

Sosiologist”, 15-78; Henri Peyre, “Durkheim, The Man, His Time, and His Intellectual

Background”, 3-31 dalam Kurt H. Wolff, ed., Emile Durkheim (Columbus: Ohio State

University Press, 1960); dan Robert A. Nisbet, The Sociology of Emile Durkheim (New York:

Oxford University Press, 1974, 3-24. 2 George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir

Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 146).

14

ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menuntut ia

tidak relevan dengan masalah sosial dan moral yang gawat dan sedang melanda

Republik Ketiga itu.

Pada tahuan 1887, ketika Durkheim berusia 29 tahum, pemberian

kuliahnya dan beberapa artikel yang ditulisnya membuat ia menjadi seorang ahli

ilmu sosial muda yang terpandang. Untuk itu ia dihargai dengan

pengangkatannya di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di Universitas

Bordeaux. Kebutuhan untuk mengajar kursus pendidikan, memungkinkan

Durkheim mengembangkan perspektif sosiologinya mengenai kepribadian

manusia yang dibentuk oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya dalam sistem

pendidikan. Tahun 1896, Durkheim diangkat menjadi profesor penuh dalam

ilmu sosial. Ia merupakan profesor penuh untuk pertama kalinya dalam ilmu

sosial di Perancis. Dua tahun kemudian, tonggak sejarah yang penting dicapai

ketika Durkheim mendirikan L’Anée Sociologique, jurnal ilmiah pertama untuk

sosiologi.3 Jurnal tersebut sangat berpengaruh sejak awalnya. Jurnal itu

merupakan suatu forum bagi Durkheim untuk beberapa karya tulis perintisnya.

Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne. Tahun 1906 dia

dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Pada tahun 1913

kedudukan Durkheim diubah ke ilmu pendidikan dan sosiologi.4 Akhirnya

sosiologi secara resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat

terhormat di Perancis. Durkheim terus aktif dalam usaha akademis dan ilmiah,

3 Harry Alpert, Emile Durkheim and His Sociology (New York: Columbia University

Press, 1939), 15-78. 4 Ibid.,61-62.

15

tetapi dengan pecahnya perang, sebagian tenaganya dialihkan ke usaha

menjelaskan tujuan Perancis dalam perang itu. Tahun 1917, pada usia 59 tahun

ia meninggal, sesudah menerima penghormatan dari orang-orang semasanya

untuk karirinya yang produktif dan bermakna, serta setelah dia mendirikan dasar

sosiologi ilmiah.

B. Konsep Tentang Masyarakat

Menurut Durkheim, masyarakat mewujud dalam fakta-fakta sosial yang

melampaui pemahaman intuitif kita dan mesti diteliti melalui observasi dan

pengukuran.5 Baginya, dalam diri manusia terdapat dua hakekat yang sering

disebut dengan homo duplex, yakni: yang pertama didasarkan pada

individualitas tubuh kita yang terisolasi dan kedua adalah hakikat kita sebagai

makhluk sosial. Yang terakhir inilah yang merupakan diri kita yang tertinggi dan

merepresentasikan segala sesuatu yang deminya kita rela mengorbankan diri dan

kepentingan jasmaniah kita sendiri. Hal ini hadir dalam ide tubuh dan pikiran,

sebagaimana yang diungkapkan oleh Durkheim:

“Jadi bukan tanpa alasan kalau manusia merasakan dirinya menjadi

ganda: dia memang ganda. Dalam dirinya ada dua kelas kesadaran

yang berbeda satu sama lain dalam asal dan hakikatnya, dan dalam

hal tujuan akhir yang ingin dicapai keduanya. Kelas pertama selalu

mengekspresikan organisme kita dan objek-objek yang terkait

dengannya. Karena bersifat sangat individual, kesadaran dari kelas

ini hanya menghubungkan kita dengan diri kita sebagaimana halnya

kita sendiri dan kita tidak bisa lepas dari tubuh kita sendiri.

Kesadaran dari kelas kedua, sebaliknya datang kepada kita dan

5 Ibid.,132.

16

menghubungkan diri kita dengan sesuatu yang melebihi kita. Karena

bersifat kolektif, impersonal, kesadaran ini mengarahkan kita kepada

tujuan yang sama-sama ingin kita capai bersama orang lain dan

hanya melalui kesadaran inilah kita dapat dan mungkin

berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, sebenarnya

hakikat kita terbagi jadi dua bagian, dan layaknya dua makhluk

berbeda, yang meskipun terkait erat satu sama lain, namun terdiri

dari unsur yang sangat berbeda dan mengarahkan kita menuju arah

yang berlawanan”.6

Bagi Durkheim, hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi

melalui manusia dan mereka adalah produk aktivitas manusia.7 Dan bahwa

masyarakat bukan hanya semata-mata kumpulan sejumlah individu. Durkheim

berpendapat bahwa sistem yang dibentuk oleh bersatunya mereka itu merupakan

suatu realitas spesifik yang memiliki karakteristik sendiri.8

Sebuah masyarakat bukan hanya sekedar sekelumit pemikiran yang ada

dalam kepala seseorang, tapi merupakan kumpulan sekian banyak fakta, mulai

dari bahasa, hukum, kebiasaan, ide, nilai, tradisi, teknik, sampai kepada aneka

jenis produk yang dihasilkan masyarakat tersebut. Semua itu saling terkait satu

sama lain dan keberadaannya merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dari

pikiran manusia. Bagi Durkheim, masyarakat adalah yang utama, dan “karena

masyarakat secara tak terbatas mengungguli individu dalam ruang dan waktu,

maka masyarakat berada pada posisi menentukan cara bertindak dan cara

berpikir terhadapnya”.9

6Emile Durkheim, The Dualism of Human Nature and Its Social Condition, Dalam R.

Bellah (ed), Emile Durkheim: On Morality and Society, (Chicago: Univesity of Chicago Press),

149-163. 7 Ibid.,83.

8 Emile Durkheim, The Rules of Method,...,103.

9 Ibid., 102.

17

Dalam buku The Division of Labour In Society, Durkheim menyebutkan

bahwa ada dua bentuk masyarakat yaitu. Masyarakat tradisional dan masyarakat

modern. Yang menjadikan keduanya berbeda adalah fungsi dan pembagian

kerja.10

Fungsi pembagian kerja dalam masyarakat tradisional bersifat mekanik

sedangkan fungsi pembagian kerja dalam masyarakat modern bersifat organik.

Fungsi pembagian kerja dalam masyarakat tradisional bersifat mekanik karena

kenyataan yang disebabkan faktor individu yang berhubungan mempunyai

banyak kesamaan diantara sesamanya. Mereka hidup dengan usaha mencakupi

kebutuhan sendiri dan dengan pekerjaan yang sama. Sedangkan pembagian kerja

dalam masyarakat modern bersifat organik, di mana terjadi saling

ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena

adanya spesifikasi pekerjaan antara masing-masing masyarakat. Sedangkan

masyarakat tradisional memiliki kesadaran kolektif yang kuat dan luas dan di

dalam kesadaran tersebut terdapat satu kata sepakat tentang ketentuan yang

benar dan yang salah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.

C. Konsep Fakta Sosial

Bagi Durkheim, masyarakat terdiri dari fakta-fakta sosial yang melebihi

pengertian intuitif kita dan harus diselidiki melalui pengamatan-pengamatan dan

pengukuran. Ide-ide tersebut begitu sentral bagi sosiologi sehingga Durkheim

sering dilihat sebagai bapak sosiologi. Salah satu tujuan utama Durkheim adalah

mendirikan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu. Meskipun istilah sosiologi

10

Emile Durkheim, The Division of Labor In Society, Translate by George Simpson

(New York: Free Press, 1964), 49-51.

18

telah diciptakan beberapa tahun sebelumnya oleh Aguste Comte. Ada

perlawanan yang kuat dari disiplin-disiplin yang sudah ada terhadap pendirian

bidang seperti itu. Perlawanan yang paling signifikan datang dari psikologi dan

filsafat, dua bidang yang mengklaim sudah mencakup domain yang diusahakan

oleh sosiologi. Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat, Durkheim berargumen

bahwa sosiologi harus diorientasikan kepada riset empiris. Hal tersebut tampak

cukup sederhana, tetapi situasinya diperumit oleh kepercayaan Durkheim bahwa

sosiologi juga diancam oleh suatu aliran filosofis yang ada di dalam sosiologi itu

sendiri. Dalam pandangannya, dua tokoh utama lainnya pada masa itu yang

menganggap diri mereka sebagai sosiolog yaitu Comte dan Herbert Spencer.

Mereka sangat tertarik dengan berfilsafat, berteori abstrak, daripada mempelajari

dunia sosial secara empiris.

Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan

Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu riil dan

mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari

karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Gejala

sosial merupakan fakta yang riil, gejala-gejala itu dapat dipelajari dengan

metoda-metoda empirik, yang memungkinkan satu ilmu sejati tentang

masyarakat dapat dikembangkan.11

Tanpa objektif riil sebagai pokok

permasalahannya, suatu ilmu tentang masyarakat tidak mungkin terjadi. Oleh

karena itu, Durkheim berulang kali mengemukakan bahwa gejala sosial itu

11

Talcott Parson, The Structure of Social Action (New York: McGraw-Hill, 1937), 344-

368.

19

adalah benda.12

Artinya gejala sosial adalah riil secara obyektif, dengan satu

eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau psikologis individu. Tekanan

Durkheim pada kenyataan gejala sosial yang obyektif itu bertentangan tidak

hanya dengan individualisme yang berlebih-lebihan tetapi juga dengan para ahli

teori yang pendekatannya terlampau spekulatif dan filosofis.

Bagi Durkheim, fakta sosial tidak dapat direduksikan ke fakta individu,

melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial. Durkheim

mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik yang berbeda. Pertama, gejala

sosial bersifat eksternal terhadap individu. Gejala sosial atau fakta sosial terdiri

dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa

aktor termasuk didalamnya juga yakni aturan legal beban moral, kesepakatan

sosial, dan bahasa. Meskipun banyak dari fakta sosial ini akhirnya diendapkan

oleh individu melalui proses sosialisasi, individu sejak awalnya

mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai satu kenyataan eksternal. Hampir

setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru dari satu

organisasi, dan merasakan dengan jelas bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dan

norma-norma yang sedang diamati yang tidak ditangkap atau dimengertinya

secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat

sebagai sesuatu eksternal.13

Kedua, bahwa fakta itu memaksa individu. Individu dipaksa, dibimbing,

diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe

12

Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, translate by Sarah A. Solavay

dan John H. Muller and edited by George E.G. Catlin (New York: Free Press, 1964), 284. 13

Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method,..., 81.

20

fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti yang dikatakan Durkheim,

bahwa tipe-tipe perilaku atau berpikir mempunyai kekuatan memaksa yang

karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauannya sendiri. hal

tersebut tidak berarti bahwa individu harus mengalami paksaan fakta sosial

dengan cara negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk

berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Sesungguhnya kalau proses

sosialisasi itu berhasil, individu sudah mengedepankan fakta sosial yang cocok

sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan

sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan

individu. Tentu, sosialisasi jarang sebegitu sempurnanya sehingga tidak ada

ketegangan sama sekali antara fakta sosial yang sesuai harus mengarah ke

pelanggaran yang benar-benar, maka kekuatan fakta sosial yang memaksa ini

akan menjadi jelas, bsik secara informal, misalnya ejekan maupun secara formal,

misalnya pengusiran atau penahanan.14

Ketiga, fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu

masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama dan

bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil

penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif

dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.

Durkheim ingin menegakkan pentingnya tingkat sosial daripada menarik

kenyataan sosial dari karakteristik individu.15

Dengan demikian, fakta sosial ada

di luar individu, yaitu di luar individu secara terpisah, karena fakta-fakta itu

14

Ibid., 85. 15

Ibid., 86-87.

21

tidak bisa terlepas dari individu-individu secara bersama-sama. Jadi fakta sosial

tidak terpadu dengan individu-individu, tetapi juga tidak terlepas dari mereka.

Durkheim merumuskan fakta sosial sebagai otonom. Fakta sosial adalah realitas

yang merupakan jenis tersendiri.16

D. Teori Solidaritas Sosial

Dari semua fakta sosial yang ditunjuk dan didiskusikan oleh Durkheim,

tak satu pun yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas sosial. Dalam

satu atau lain bentuk, solidaritas sosial membawahi semua karya utamanya.

Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas.

Bagi Durkheim, solidaritas banyak dipengaruhi oleh fakta sosial yang

memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia untuk membangun

suatu komunitas, atau masyarakat. Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan

hubungan antara individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral

dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh emosional bersama.17

Dalam buku The Division of Labour in Society menjelaskan bahwa ada

dua bentuk solidaritas yaitu secara mekanik dan organik. Solidaritas sosial

mekanik cenderung menjadi pola hidup masyarakat primitif yang menjunjung

kolektifitas bersama, sedangkan solidaritas sosial organik menjadi pola hidup

masyarakat modern yang lebih melihat kepada pembagian kerja. Perubahan yang

terjadi dari masyarakat mekanik menjadi masyarakat organik inilah yang mau

16

Ibid. 17

Emile Durkheim, The Division of Labor In Society,...,227.

22

dilihat oleh Durkheim. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami dalam

kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat.

1. Solidaritas Sosial Mekanik

Istilah solidaritas mekanis dipakai oleh Durkheim untuk menganalisa

masyarakat secara keseluruhan. Solidaritas sosial mekanis lebih menekankan

pada sesuatu kesadaran kolektif bersama yang menyandarkan pada totalitas

kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat.

Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang bergantung pada individu-individu

yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan serta norma

yang sama. Indikator yang sangat jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang

lingkup dan kerasnya nilai-nilai yang bersifat menekan. Nilai-nilai tersebut

menunjuk pada setiap perilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau

melanggar kesadaran kolektif yang kuat. 18

Solidaritas sosial mekanik memiliki

ciri-ciri, sebagai berikut:

1. Pembagian kerja rendah

2. Kesadaran kolektif kuat

3. Hukum represif dominan

4. Individualitas rendah

5. Konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting

6. Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang

18

Ibid.,79.

23

7. Secara relatif saling ketergantungan itu rendah

8. Bersifat primitif atau penegerian.

Dalam masyarakat solidaritas sosial mekanik memiliki pembagian kerja

yang sederhana, mereka memiliki aturan-aturan yang kolektif yang mengatur

bagaimana cara mereka berperilaku dan hukum represif yaitu hukum yang

bersifat menekan. Konsekuensi dari suatu perbuatan atau perilaku yang

menyimpang dari anggota masyarakat akan mendapatkan hukuman. Hukaman

itu untuk mempertahankan keutuhan kolektif atas pengertian atau kata hati

bersama.19

Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang

mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang memojokkan

masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk

menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya, sebaliknya ganjaran itu

menggambarkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul. Sebenarnya

tidak terlalu banyak sifat orang yang menyimpang atau tindakan kejahatannya

seperti oleh penolakan terhadap kesadaran kolektif yang diperlihatkannya, tetapi

perlu diketahui suatu sifat kejahatan muncul dari umpan balik nilai-nilai

masyarakat.20

Bagi Durkheim faktor utama dari solidaritas sosial mekanis adalah bahwa

solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam

kepercayaan dan sentimen. Kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas

mekanis paling kuat perkembangannya dalam masyarakat-masyarakat primitif

19

George Ritzer, Teori Sosiologi,...,64-65. 20

Emile Durkheim, The Division of Labor In Society,...,78.

24

yang sederhana. Dalam masyarakat seperti itu semua anggota pada dasarnya

memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai dan semuanya memiliki gaya

hidup yang kira-kira sama.21

Bagi Durkheim, masyarakat dengan solidaritas mekanik dibentuk oleh

hukum represif (repressive law) yakni hukum-hukum yang bersifat menekan.

Hukum ini mendefinisikan setiap perilaku sebagai sesuatu yang jahat, yang

mengancam atau melanggar kesadaran kolektif yang kuat itu. Hukuman terhadap

penjahat memperlihatkan pelanggaran moral dari kelompok itu melawan

ancaman atau penyimpangan yang demikian itu, karena mereka merasakan dasar

keteraturan sosial.22

2. Solidaritas Sosial Organik

Berlawanan dengan solidaritas sosial mekanis, solidaritas sosial organis

muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini

didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling

ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi

dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggalakkan

bertambahnya perbedaan pada kalangan individu. Munculnya perbedaan-

perbedaan pada kalangan individu ini merombak kesadaran kolektif itu, yang

pada gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan

sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah

antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih

21

Ibid. 22

George Ritzer, Teori Sosiologi,...,93.

25

otonom sifatnya. Seperti yang dinyatakan Durkheim bahwa “itulah pembagian

kerja yang terus saja mengambil peran yang tadinya diisi oleh kesadaran

kolektif”.23

Solidaritas sosial Organik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pembagian kerja tinggi

2. Kesadaran kolektif lemah

3. Hukum restituitif dominan

4. Individualitas tinggi

5. Konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum itu penting

6. Badan-badan kontrol yang menghukum orang yang menyimpang

7. Saling ketergantungan yang tinggi

8. Bersifat industrial-perkotaan.

Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas sosial organis itu

ditandai oleh pentingnya undang-undang yang bersifat memperbaiki,

menyehatkan maupun yang bersifat memulihkan (restitutif) daripada yang

bersifat represif. Tujuan dari kedua bentuk undang-undang tersebut sangat

berbeda. Undang-undang represif lebih mengungkapkan kemarahan kolektif

yang dirasakan kuat, sedangkan undang-undang restitutif berfungsi

mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks

antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam

masyarakat. Oleh karena itu, sifat ganjaran-ganjaran yang diberikan kepada

seseorang pelaku kejahatan berbeda dalam kedua undang-undang itu. Mengenai

tipe sanksi yang bersifat restitutif Durkheim mengatakan “bukan bersifat balas

23

Ibid., 94-95.

26

dendam, melainkan hanya sekedar menyehatkan keadaan”. Terlaksananya

undang-undang represif sebenarnya bukan memperkuat keadaan karena sudah

adanya investasi nilai tetapi represif sedikit demi sedikit akan menuju kepada

undang-undang restitutif. 24

Dalam sistem organis, kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku

menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif itu tidak

begitu kuat. Sebagai hasilnya, hukuman lebih bersifat rasional, disesuaikan

dengan rusaknya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau

melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan atau menjamin bertahannya

kaedah ketergantungan yang kompleks tersebut dari solidaritas sosial. Pola

restitutif ini jelas terlihat dalam undang-undang kepemilikan, undang-undang

sewa, undang-undang perdagangan, peraturan dan prosedural administrasinya.

Durkheim melanjutkan konsep-konsep yang ada pada The Division of

Labour in Society ke dalam The Rules of Sociological Method. Tujuan

keseluruhan dari karya klasik ini adalah untuk menganalisa pengaruh (atau

fungsi) kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan

perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok

solidaritas sosial. Dengan demikian, pembagian kerja meningkat dan terjadi

suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas

organik.

24

Emile Durkheim, The Division of Labor in Society,...,80.

27

E. Konsep Tentang Agama

Emile Durkheim dalam bukunya Elemantary Forms of Religious Life

menjelaskan bahwa sosioligi agamanya megidentifikasi mengenai hakikat agama

dengan menganalisis berbagai bentuk agama primitif. Durkheim menjelaskan

bahwa fenomena religius dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: kepercayaan

dan ritus. Yang pertama merupakan pendapat-pendapat dan terdiri dari

representasi-representasi; yang kedua adalah bentuk-bentuk tindakan yang

khusus. Di antara dua kategori fenomena ini terdapat jurang yang memisahkan

cara berpikir dari cara berperilaku. Ritus dapat dibedakan dari tindakan-tindakan

moral berdasarkan kekhasan hakikat apa yang menjadi objeknya. Semua

kepercayaan religius yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan

satu ciri umum, yaitu mensyaratkan pengklasifikasian segala sesuatu, baik yang

riil atau ideal yang dapat diketahui manusia menjadi dua kelas yaitu sakral dan

profan.25

Kepercayaan mitos dan dogma merupakan representasi yang

mengekspresikan hakikat dari hal-hal yang sakral, kebaikan dan kekuatan-

kekuatan yang dihubungkan padanya, sejarah dan hubungan antara sesama hal

yang sakral sama dengan hubungan dengan hal-hal yang profan.26

Bagi

Dukheim, yang sakral yaitu sesuatu yang terpisah dari peristiwa-peristiwa

sehari-hari, suatu dunia yang suci atau yang keramat yang dipercayai sebagai

terpisah dan seluruhnya berbeda dari yang biasa. Yang sakral juga membentuk

25

Emile Durkheim, The Elemantary Forms of The Religious Life, (New York: Free

Press, 1992), 57-61. 26

Ibid.

28

esensi agama. Sedangkan yang profan yaitu tempat umum, suatu yang biasa

dipakai dalam aspek kehidupan yang duniawi. Dapat dikatakan bahwa yang suci

dan masyarakat yang pada dasarnya dipisahkan, dapat dibedakan tetapi tidak

dipisahkan satu dengan yang lain.

Bagi Durkheim, masyarakat juga menimbulkan semacam rasa

ketergantungan. Jika masyarakat memaksakan konsensi dan pengorbanan-

pengorbanan semacam ini dengan tekanan-tekanan fisikal, maka yang timbul

dalam diri adalah gambaran kekuatan fisik dan tidak ada pilihan lain bagi kita

kecuali menerimanya, bukan kekuasaan moral seperti yang dijalankan agama.

Dengan demikian bagi Durkheim, suatu lingkungan yang sakral adalah

dunia yang terpisah. Lingkungan yang sakral dengan lingkungan yang profan

bukan saja berbeda, tetapi juga tertutup satu dengan yang lain. Ada jurang

pemisah antara keduanya. Di dalam hakikat hal-hal yang sakral itu sendiri,

tentulah ada penyembab khusus yang mewajibkan adanya pengisolasian. Dengan

kontradiksi semacam ini, maka hal-hal yang sakral cenderung melebar ke dunia

profan. Hal ni yang membuat sehingga dunia profan harus terus mengambil

jarak dari yang sakral. Hal ini kemudian memunculkan fungsi larangan yang

membedakan antara sakral dan profan. Salah satu hasil yang lahir dari

kemampuan yang sakral dan profan adalah suatu hal yang profan tidak bisa

tersentuh dari larangan tanpa ada kekuatan religius yang masuk dan mengambil

alih dari seseorang.27

27

Emile Durkheim, The Elemantary Forms of The Religious Life,...,72

29

Dalam buku Elementary Forms of The Religious Life, Durkheim

memperkenalkan sosiologi agamanya terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat

agama dengan menganalisis bentuk-bentuk agama yang paling primitif. Ia

mengutarakan bagaimana agama merupakan suatu hal yang tidak dapat

dielakkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam analisa Durkheim tentang

hakikat agama, ia membedakan antara dua genus yang berlainan, yakni

profane/profan dan sacred/sakral. Pembagian dunia menjadi dua ranah, yang

satu berisikan segala sesuatu yang sakral dan yang satunya lagi segala yang

profan, pembagian ini menjadi ciri khas pemikiran religius. Kepercayaan, mitos,

dogma dan legenda-legenda merupakan representasi yang mengekspresikan

hakikat hal-hal yang sakral, kebaikan dan kekuatan-kekuatan yang dihubungkan

padanya; sejarah dan hubungan antar sesama hal-hal yang sakral sama dengan

hubungannya dengan hal-hal yang profan.28

Yang Sakral yaitu sesuatu yang terpisah dari peristiwa-peristiwa sehari-

hari, suatu dunia yang suci (sacred realm) atau keramat yang dipercayai sebagai

pemisah semua yang berbeda dari yang biasanya. Yang Sakral inilah yang

membentuk esensi agama. Yang Profan yaitu tempat umum, suatu yang bisa

dipakai, aspek kehidupan duniawi. Di satu pihak, Yang Sakral melahirkan sikap

hormat, kagum dan bertanggung jawab. Di pihak lain, sikap-sikap terhadap

fenomena-fenomena inilah yang membuatnnya dari profan menjadi sakral.

Dapat dikatakan bahwa yang suci dan masyarakat pada dasarnya tidak dapat

dipisahkan; mereka memang dapat dibedakan tetapi tidak dipisahkan satu dari

28

Ibid.

30

yang lain. Manusia ini bersifat sosial maka yang suci itu adalah juga yang

“sosial”. Durkheim mengatakan:

Pembagian dunia menjadi dua ranah, yang satu mengandung segala

sesuatu yang sakral dan yang satunya lagi segala yang profan, ini

merupakan ciri khas pemikiran religius. Kepercayaan mitos, dogma

dan legenda-legenda merupakan representasi atau sistem representasi

yang mengekspresikan hakikat hal-hal yang sakral, kebaikan dan

kekuatan-kekuatan yang dihubungkan padanya; sejarah dan

hubungan antar sesama hal-hal yang sakral sam dengan yang

profan.29

Bagi Durkheim, ide tentang yang suci, haruslah mencerminkan atau

berhubungan dengan sesuatu yang riil. Yaitu muncul dari kehidupan kelompok

dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol.

Durkheim mengemukakan bahwa klan-klan totemik primitif mengidentifikasi

dirinya sendiri dengan nama-nama totemnya khusus. Apapun totemnya itu, nama

totem adalah nama atau lambang klan dan mereka percaya bahwa benda totem

itu mewujudkan prinsip totem itu dalam cara tertentu, mereka juga ukut

memiliki kekuasaan yang suci ini. Jadi, ada hubungan kekerabatan yang dekat

antara klan dan totemnya, dan kekerabatan ini dinyatakan dalam suatu nama

yang sama.30

Durkheim juga menjelaskan bahwa masyarakat adalah sumber agama.

Masyarakatlah (melalui individu) menciptakan agama dengan mengidentifikasi

fenomena tertentu sebagai sesuatu Yang Sakral dan Yang Profan. Oleh karena

itu, asal-usul agama harus kita cari pada diri manusia sendiri. Agama tidak

29

Ibid., 66. 30

Ibid.,155.

31

diturunkan atau diwahyukan, tetapi dilahirkan dari bawah, sebagai the sense of

the sacred (kepekaan bagi hal-hal suci). Durkheim menambahkan bahwa

masyarakat adalah sumber agama. Baginya, masyarakat secara umum pasti

memiliki segala hal yang diperlukan untuk merangsang kepekaan terhadap

divinitas. Bagi anggotanya, masyarakat sama dengan tuhan bagi hambanya.31

Dalam bagian selanjutnya Durkheim mengatakan:

Masyarakat juga menimbulkan semacam rasa ketergantungan padanya di

dalam diri kita. Karena masyarakat memiliki hakikat yang berbeda dari

hakikat kita sebagai individu, maka dia bisa mencapai tujuan ini hanya

melalui diri kita, maka secara kategoris, dia membutuhkan kerja sama

kita sebagai individu. Masyarakat menuntut kita agar menjadi

pelayannya, menyuruh kita melupakan segala kepentingan pribadi. Dia

mengikat kita dengan segala macam bentuk kekangan, privasi dan

pengorbanan yang kalau semua ini tidak ada, maka kehidupan sosial

mustahil ada. Oleh karena itu kita harus mematuhi aturan-aturan tingkah

laku dan pikiran yang sebenarnya tidak kita buat maupun butuhkan dan

kadang-kadang malah bertentangan dengan keinginan atau insting

dasariah kita.32

Bagi Durkheim, bahwa jika masyarakat memaksakan konsensi dan

pengorbanan-pengorbanan semacam ini dengan tekanan-tekanan fisikal, maka

yang timbul dalam diri kita adalah gambaran kekuatan fisik dan tidak ada pilihan

lain bagi kita kecuali menerimanya, bukan kekuasaan moral seperti yang

dijalankan agama. Tapi dalam kenyataannya, kekuasaan yang dimiliki

masyarakat di atas kesadaran tidak terlalu dimanfaatkan superiotas fisikalnya

dibandingkan dengan otoritas moral yang ditekankannya kepada anggotanya.

Kita mematuhi perintah-perintah masyarakat bukan hanya karena dia mampu

31

K. J. Veeger, Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu

Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: PT Gramedia, 1993), 158-159 32

Ibid.,160.

32

mengatasi perlawanan kita, akan tetapi justru karena masyarakat itu sendiri

menjadi objek rasa hormat dan respek yang paling utama.33

33

Ibid.