bab i pendahuluan a. latar belakangrepo.unsrat.ac.id/773/1/05_karya_ilmiah_fidusia_hukum...dan benda...

36
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Model jaminan berdasarkan kepercayaan dalam sistem jaminan pelunasan hutang adalah jaminan fidusia. Dalam jaminan fidusia di mana benda yang dijaminkan tetap dikuasai pemilik. Jaminan kepercayaan sudah tumbuh dalam kehidupan masyarakat tradisional turun temurun yang dikenal dengan istilah masyarakat hukum adat Indonesia. Sistem jaminan kepercayaan merupakan warisan dari hukum adat yang dalam praktiknya masyarakat tradisional menjalankan perjanjian adat dengan dasar kepercayaan terang dan tunai. Lahirnya hukum jaminan dengan sistem kepercayaan mencerminkan bahwa dasar hukum adat masih kuat berlaku dalam kehidupan masyarakat modern Indonesia. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Latar belakang lahirnya undang-undang ini antara lain karena: 1. Kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan; 2. Jaminan Fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai dengan saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi 1

Upload: doduong

Post on 07-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Model jaminan berdasarkan kepercayaan dalam sistem

jaminan pelunasan hutang adalah jaminan fidusia. Dalam

jaminan fidusia di mana benda yang dijaminkan tetap dikuasai

pemilik. Jaminan kepercayaan sudah tumbuh dalam kehidupan

masyarakat tradisional turun temurun yang dikenal dengan istilah

masyarakat hukum adat Indonesia. Sistem jaminan kepercayaan

merupakan warisan dari hukum adat yang dalam praktiknya

masyarakat tradisional menjalankan perjanjian adat dengan dasar

kepercayaan terang dan tunai. Lahirnya hukum jaminan dengan

sistem kepercayaan mencerminkan bahwa dasar hukum adat

masih kuat berlaku dalam kehidupan masyarakat modern

Indonesia. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia. Latar belakang lahirnya undang-undang ini

antara lain karena:

1. Kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi

dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan

adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang

mengatur mengenai lembaga jaminan;

2. Jaminan Fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan

sampai dengan saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi

1

dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan

secara lengkap dan komperehensif;dan

3. Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih

mengacu pada pembangunan nasional dan untuk menjamin

kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu

dibentuk yang lengkap mengenai jaminan fidusia dan jaminan

tersebut perlu didaftar pada Kantor Pendaftaram Fidusia.

Yang menjadi objek jamina fidusia adalah benda bergerak

dan benda tidak bergerak, khususnya rumah-rumah susun. Objek

fidusia ini masih digunakan oleh penerima fidusia untuk

pengembangan usahanya, sedangkan para pihaknya pemberi

fidusia dan penerima fidusia.

Walaupun pada zaman kemerdekaan sampai dengan saat

ini, pemerintah kita telah banyak menetapkan undang-undang

yang berkaitan dengan jaminan, namun masih kita

memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum yang tercantum

dalam Buku II KUH Perdata. Ketentuan hukum yang masih

berlaku dalam Buku II KUH Perdata adalah yang berkaitan

dengan gadai (pand) dan hipotek, terutama yang berkaitan dengan

pembebanan atas hipotek, terutama yang berkaitan dengan

pembenanan atas hipotek kapal laut yang beratnya 20 m3 dan

pesawat udara. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hak

atas tanah berlaku ketentuan hukum yang tercantum dalam

Undnag-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak Tanggungan.

2

Sistem hukum nasional terkait dengan penerapan asas

kepercayaan adalah sebuah proses dari bangsa Indonesia untuk

membangun sebuah hukum yang bersifat nasional didasarkan

kepada pancasila.1

Jaminan kepercayaan ini merupakan warisan hukum adat

yang diberlakukan pada masyarakat Indonesia turun temurun.

Latar belakang timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana

dipaparkan oleh para ahli adalah karena ketentuan undang-

undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai) mengandung

banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan

tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, karena jaminan

kepercayaan berdasar pada hukum adat di mana hukum adat

bukan bersumber pada peraturan-peraturan tetapi lahir daripada

kebiasaan masyarakat.2

Disisi yang lain perkembangan tuntutan ekonomi dimana

masyarakat memerlukan dana cepat dan prosedur yang sederhana

menyebabkan jaminan kepercayaan mulai diminati. Bila dana

cukup tersedia pada perusahaan atau pada pribadi-pribadi, maka

tidak akan ada masalah. Perusahaan dengan mudah dapat

membeli barang-barang modal untuk mengembangkan usahanya.

Begitu juga dengan perkembangan hukum adat tidak terlepas dari

1 Sunaryati Hartono, Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar adat, 1991, diterbitkan Citra Adibakti, Bandung, hlm. 22.

2 Soerojo Wignodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. 1995. Gunung Agung, Jakarta, hlm. 13-15.

3

pengaruh politik dan ekonomi dari masyarakat kolonial yang

kapitalistik menuju ke masyarakat suwapraja yang feodal.3

Perkembangan masyarakat dari tradisional ke modern tidak

lepas dari kebutuhan sandang dan pangan, dalam masyarakat

modern seluruh kebutuhan terfokus pada uang untuk

mendapatkan sesuatu. Upaya yang umum adalah mencari

pinjaman atau kredit dari lembaga keuangan, atau membeli

barang secara angsuran. Perkembangan ekonomi menuntut

kemudahan tersedianya dana. Dana yang berasal dari luar

(perusahaan atau pribadi konsumen) bersumber dari pinjaman ini

memerlukan jaminan.

Dengan adanya jaminan maka kreditur yang memberikan

pinjaman akan merasa "aman" artinya uang yang dipinjamkan

pasti akan diterima kembali. Dengan kata lain jaminan akan

memberi "keamanan dan kepastian" hukum bagi kreditur. Jadi

dengan adanya jaminan ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila

debitur tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya untuk

membayar hutang atau angsuran maka barang jaminan dapat

dijual oleh kreditur dan hasil penjualan digunakan untuk

melunasi hutangnya debitur.

Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan “Bahwa segala

kebendaan yang berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak

3 Boediharsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, 1997, hlm. 173.

4

bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di

kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya

pribadi”.

Penyerahan hak milik secara fidusia sebagai jaminan

(Fidusiaire eigendomsoverdracht tot zekerheid) adalah lembaga

jaminan bentuk baru atas benda bergerak, di samping hak gadai.

Berbeda dengan agunan berupa harta tetap atau tanah yang

secara umum nilainya akan meningkat seiring perjalanan waktu

karena kebutuhan akan tanah yang semakin tinggi di waktu-

waktu yang akan datang maupun karena sifat dari tanah yang

jumlahnya terbatas.

Bila dianalisis maka, berbicara mengenai kepastian Jaminan

Fidusia dalam mengamankan kredit dengan pengertian bahwa

bank dapat mengeksekusi agunan yang diikat dengan Jaminan

Fidusia pada waktunya, untuk kemudian mengambil hasil

penjualan atas agunan yang bersangkutan bagi pelunasan utang

debitur, bukan merupakan hal yang sederhana dan dapat terjadi

hanya dengan ada dan berlakunya Undang-undang Jaminan

Fidusia melalui UU No. 42 Tahun 1999. Untuk itulah kiranya

sangat menarik untuk dikaji melalui skripsi ini mengenai seluk

beluk fidusia yang kemudian akan dituangkan sebagai sebuah

karya ilmiah.

5

B. PERUMUSAN MASALAH

Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas penulis

berusaha merumuskan permasalahannya sebagai berikut :

1. Bagaimanakah implikasi hukum jaminan kepercayaan fidusia

untuk pelunasan hutang?

2. Bagaimana implikasi hukum dasar kepercayaan dan kepastian

hukum dalam perjanjian fidusia?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Adapun tujuan daripada penulisan karya ilmiah ini adalah :

1. Untuk mengetahui implikasi hukum jaminan kepercayaan

fidusia untuk pelunasan hutang.

2. Untuk mengetahui implikasi hukum dasar kepercayaan dan

kepastian hukum dalam perjanjian fidusia.

Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian

ini ialah :

1. Dapat bermanfaat bagi para praktisi hukum terutama

dalam memberikan perlindungan hukum terhadap

permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan fidusia sebagai

objek jaminan.

2. Untuk memberikan gambaran pengaturan fidusia dalam

undang-undang apakah dapat membentuk kepastian hukum.

6

D. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang

termasuk jenis penelitian hukum normatif, di mana didalamnya

penulis meneliti dan mempelajari norma yang mengatur tentang

fidusia sebagai jaminan dengan dasar kepercayaan. Aspek lain

dikaji tentang pengaturan hukum adat yang bersifat terang tunai

dan didasarkan pada asas kepercayaan.

Untuk melengkapi dan mendukung serta memperjelas

analisis terhadap hukum adat dan peraturan-peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan fidusia diteliti juga

tulisan-tulisan dari para ahli yang terdapat dalam kepustakaan.

Dalam pendekatan ini meliputi dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum

adat dan hukum jaminan fidusia. Data yang terkumpul kemudian

diolah dengan menggunakan metode deduksi dan induksi yang

dilakukan secara berganti-gantian bilamana perlu untuk

mendukung pembahasan dalam karya ilmiah ini.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. FIDUSIA JAMINAN ATAS DASAR KEPERCAYAAN BERAKAR

DARI SISTEM HUKUM ADAT

Hukum Adat tidak membedakan antara Hak Kebendaan

(Zakelijke rechten) yaitu hak-hak atas benda yang berlaku bagi

setiap orang, dan Hak Perseorangan (Persoonlijke rechten) yaitu

hak seseorang untuk menuntut orang lain agar berbuat atau tidak

berbuat terhadap hak-haknya. Menurut hukum barat setiap orang

yang mempunyai hak atas sesuatu benda, berarti ia berkuasa

untuk berbuat (menikmati, memakai, mentransaksikan) benda

miliknya itu dan sekaligus karenanya mempunyai hak perorangan

atas hak miliknya itu. Antara kedua hak itu tidak terpisah. Namun

menurut hukum adat hak-hak kebendaan dan hak-hak

perseorangan itu. baik berwujud benda ataupun tidak berwujud

benda, seperti hak atas nyawa, kehormatan, hak cipta dan lain-

lainnya, tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadinya sendiri, oleh

karena pribadinya tidak terlepas hubungannya dengan

kekeluargaan dan kekerabatannya. Misalnya hak seseorang atas

sebidang sawah hasil pencariannya sendiri, yang menurut hukum

barat berarti hak mutlak. di dalam hukum adat hak tersebut

masih juga terkait dengan kepentingan kekerabatannya. Jika ia

akan mentransaksikan sawahnya itu ia harus bermusyawarah

dengan keluarga/kerabatnya agar tindakannya tidak bercela. Jadi

8

hukum adat tidak membenarkan adanya hak pribadi yang mutlak

untuk kepentingan diri sendiri semata-mata.

Dengan demikian sistem hukum adat terkait dengan benda

dan jaminan tidak terlalu spesifik menggolongkan keberadaan

benda dan wujud benda tapi bagaimana benda itu bernilai dan

bermanfaat bagi mereka yang menggunakan. Itulah sebabnya

terkait dengan jaminan hukum adat terletak pada dasar

kepercayaan bahwa orang yang dijamin mampu memenuhi

seluruh hak-hak sehingga dasar kepercayaan menjadi penting

dalam sistem hukum adat. Corak hukum adat bersifat “konkrit”

artinya jelas, nyata, berwujud, dan “visual” artinya dapat terlihat,

tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Jadi sifat hubungan hukum

yang berlaku dalam hukum adat itu “terang dan tunai”, tidak

samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar

orang lain, dan nampak terjadi “ijab-kabul” (serah terima)nya.

Misalnya dalam jual beli jatuh bersamaan waktunya (samerval van

momentum) antara pembayaran harga dan penyerahan

barangnya. Jika barang diterima pembeli, tetapi harga belum

dibayar maka itu buka jual-beli tetapi hutang piutang.4 Dalam

sejarah tradisi masyarakat, lahirnya jaminan karena adanya dasar

kepercayaan baik antara si pemberi jaminan maupun penerima

jaminan.

4 Hadikusuma H. Hilman, Prof. SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003. Hlm. 13.

9

Menurut Hartono Hadisoeprapto “segala sesuatu yang

diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa

debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang

yang timbul dari suatu perikatan. Di dalam praktek masalah

jaminan ini sangat penting sekali terutama yang berhubungan

dengan kredit yang dilepas kepada nasabahnya”.5

Seminar Hukum Jaminan tanggal 9-11 Oktober 1978 di

Yogyakarta dicapai suatu kesepakatan tentang jaminan.

Disebutkan bahwa yang dinamakan “jaminan adalah menjamin

dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang

timbul dari suatu perikatan”.6 Jaminan erat kaitannya dengan

kredit perbankan, salah satu faktor terpenting dalam pemberian

kredit adalah kepercayaan. Kepercayaan bank umumnya

didasarkan atas keyakinan pihak bank terhadap beberapa faktor,

diantaranya :

1. Kejujuran dan itikad baik nasabah;

Bahwa Dana Kredit yang akan digunakan nasabah sesuai

dengan yang telah disetujui dalam perjanjian kredit.

2. Permodalan;

Keadaan permodalan nasabah yang memadai bagi asas-asas

pembiayaan yang sehat.

5 1. Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm. 50.

6 Anonimous, Seminar Hukum Jaminan, Binacipta, Bandung, 1981, hlm. 201.

10

3. Kemampuan;

Kemampuan nasabah untuk melunasi kredit beserta bunga

pada waktunya sesuai dengan yang telah dijanjikan.

4. Hukum dan Poleksosbudhankam;

Baik nasional maupun internasional yang memungkinkan

dapat dilaksanakan dan berkembangnya usaha.

5. Jaminan;

Jaminan yang merupakan suatu tambahan untuk

mengamankan kepentingan bank dalam hal sumber pelunasan

kredit.

Setelah membahas tentang pengertian jaminan yang disebutkan di atas, bagaimana halnya dengan hukum jaminan ? Sri Soedewi Masjchun Sofwan, yang mengutip pendapat dari Djojo Mulyadi, mengatakan : “Hukum Jaminan tergolong bidang hukum yang akhir-akhir ini secara populer disebut The Economic Law (Hukum Ekonomi), Wiertschaftrecht atau Droit Economique yang mempunyai fungsi menunjang kemajuan ekonomi dan kemajuan pembangunan pada umumnya”.7

Sedangkan dalam seminar Hukum Jaminan dikemukakan bahwa

istilah Hukum Jaminan (Security, Zekerheidsstelling), meliputi

pengertian baik jaminan perorangan maupun jaminan kebendaan.

Hal ini berarti bahwa dalam membahas Hukum Jaminan, tidak

pula lepas kaitannya dengan pembahasan mengenai hak-hak

kebendaan khususnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA),

yakni UU No. 5 Tahun 1960.

7 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 1.

11

Seperti yang diketahui, bahwa berlakunya UUPA telah

membawa pengaruh yang besar terhadap Buku II KUHPerdata. Sri

Soedewi Masjchun Sofwan, mengemukakan sehubungan dengan

berlakunya UUPA dengan lembaga jaminan sebagai berikut :

“Dengan berlakunya UUPA yaitu UU No. 5 Tahun 1960, mengenai

peraturan tentang lembaga jaminan yang bertalian dengan tanah

diatur dalam pasal-pasal tertentu, beserta peraturan-peraturan

pelaksananya. Menurut Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa :

hak tanggungan yang dapat dibebankan kepada Hak Milik, Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 25, 33,

39 diatur dengan undang-undang”.

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 57 UUPA disebutkan

“selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut

dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah

ketentuan-ketentuan mengenai hipotik tersebut dalam

KUHPerdata dan Credietverband tersebut dalam Stb. 1908 No. 52

yang telah diubah dengan Stb. 1937 No. 190. Menarik pula untuk

penulis ketengahkan di sini ialah tentang jaminan yang dikaitkan

dengan perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.

Pasal 1754 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Pinjam

meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang setuju

memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu

barang-barang yang dapat habis karena pemakaian dengan syarat,

bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah

12

yang sama dari keadaan yang sama pula”. Ketentuan yang serupa

pula dapat dilihat dari Pasal 1820 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa : “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana

seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan

diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini

sendiri tidak memenuhinya”.

Sehubungan dengan persoalan pinjam meminjam yang telah penulis paparkan di atas, Subekti mengemukakan bahwa : “Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769”.8

Persoalan perkreditan erat sekali kaitannya dengan jaminan

agar kredit itu dapat diberikan, maka dengan sendirinya

pembahasan mengenai perkreditan dan jaminan adalah sejalan

dan searah pada tiap-tiap pembahasan, hal mana karena dalam

ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-

pokok Perbankan dinyatakan bahwa “Bank Umum tidak memberi

kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”.

Pembahasan mengenai perkreditan mempunyai kaitan erat

dengan pembahasan tentang jaminan. Perkataan kredit itu sendiri

erat kaitannya dengan perbankan, karena istilah kredit banyak

dipakai di kalangan perbankan. Demikian pula pandangan dari

Mariam Darus Badrulzaman, yang menyatakan bahwa :

8 R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 13.

13

“………, mengenai istilah kredit ini, penulis lebih cenderung untuk menamakannya Perjanjian Kredit Bank. Istilah Bank dilekatkan di sini untuk membedakannya dengan perjanjian pinjam uang yang memberi pinjaman bukan bank”.9

Bagaimana halnya dengan Hukum Jaminan? Hukum

Jaminan adalah bertalian dengan aspek-aspek hukum dari

jaminan, baik terhadap para pihak atau mengenai subjeknya

maupun mengenai benda/barang yang dijadikan jaminan atau

objeknya.

Istilah kredit adalah berasal dari bahasa Yunani credere yang

berarti kepercayaan. Kredit tanpa kepercayaan tidak mungkin bisa

terjadi. Dalam dunia perdagangan kepercayaan dapat diberikan

atau diterima, dalam bentuk uang, barang atau jasa. Dikatakan

dapat diberikan atau diterima, dalam arti bahwa mutlak adanya

dua pihak yang berhubungan satu sama lain. Satu pihak yang

memberikan kredit dan pihak lainnya yang menerima kredit.10

Dalam dunia perdagangan pihak yang memberikan kredit

disebut juga penjual, sedang yang menerima kredit disebut

pembeli. Dalam transaksi jual-bali pembeli dengan menggunakan

kedudukan atau pengaruhnya memperoleh izin dari penjual untuk

mempergunakan modalnya. Pada akhir transaksi ini akan timbul

dalam dunia perbankan, kepercayaan dapat diberikan atau

diterima dalam bentuk uang. Pihak-pihak yang berhubungan

9 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1980, hlm. 20. 10 Achmad Anwari, Praktek Perbankan di Indonesia (Kredit Investasi), Balai Aksara,

Jakarta, 1981, hlm. 13.

14

dalam transaksi kredit itu ialah yang memberikan kredit, biasanya

berbentuk lembaga keuangan, baik Lembaga Keuangan Bank

maupun Lembaga Keuangan Non Bank; sedangkan pihak-pihak

yang menerima kredit, biasanya adalah anggota masyarakat yang

berbentuk perseorangan maupun badan usaha atau hukum

(Perseroan Terbatas, CV, Firma dan sebagainya yang serupa

dengan itu). Istilah yang biasa dipergunakan dalam dunia

perbankan adalah untuk pemberi kredit disebut kreditur,

sedangkan penerima kedit disebut debitur.

Kreditur mempercayai debitur dengan cara memberi kredit.

Kredit yang diberikan dalam hal ini berbentuk uang. Kreditur

memberikan kredit kepada debitur dengan harapan agar di

kemudian hari (pada waktu tertentu), debitur pula dapat

membayar kembali hutangnya kepada kreditur. Dalam hal ini

timbul adanya hubungan timbal balik, di mana kreditur

mempunyai kelebihan uang, sedangkan debitur membutuhkan

uang. Kreditur dengan meminjamkan uang yang berlebih itu

berarti bahwa kreditur itu kehilangan kesempatan untuk

memanfaatkan uangnya untuk dapat menutup kebutuhan yang

lain atau dengan kata lain kreditur berkorban dengan uangnya

yang berlebih itu dengan cara meminjamkan kepada pihak lain

(debitur). Pengorbanan ini adalah merupakan biaya. Untuk

menutupi biaya yang timbul ini, maka kreditur menuntut prestasi

dari debitur yang berupa bunga. Di lain pihak debitur menerima

15

pinjaman uang dari kreditur, oleh karena debitur membutuhkan

dalam usahanya. Dalam hal ini debitur menerima jasa dari

kreditur. Atas jasa yang diterima itu debitur pantas memberi balas

jasa kepada kreditur. Balas jasa itu berupa uang, di samping

jumlah pinjaman yang diterima oleh debitur.

Dasar kepercayaan dalam perjanjian adalah dasar

keterbukaan terang dan tunai yang diwariskan oleh hukum adat

di mana masyarakat dalam melakukan kegiatan, melakukan

transaksi dengan dasar keterbukaan dalam transaksi-transaksi

berlaku pada masyarakat tanpa ada surat-surat. Dasar

kepercayaan inilah yang merupakan warna dan ciri hukum adat

terkait dengan transaksi dan perjanjian dengan jaminan

kepercayaan. Dalam kesederhanaannya misalnya dapat dilihat

dari terjadinya transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat-

menyurat, misalnya dalam perjanjian bagi hasil antara pemilik

cukup adanya kesepakatan dua pihak secara lisan, tanpa surat-

menyurat dan kesaksian kepala desa. Begitu pula dalam transaksi

yang lain sepergi gadai, sewa-menyewa, hutang-piutang menukar,

sangat sederhana karena tidak dengan bukti tertulis. Selanjutnya

dalam perkawinan di masa lampau memang tidak memakai surat

kawin, bahkan sekarang di kalangan kaum petani tidak begitu

membutuhkan akta perkawinan apalagi jika mahal.11

11 Soepomo, Kedudukan Hukum Adat di Kemudian Hari, Cet. Ke-X, Pustaka Rakjat, Jakarta, 1969. Hlm. 10.

16

Dengan dasar hukum adat tersebut, maka lahirlah

perjanjian perbankan berdasarkan kepercayaan yang dinamakan

kredit. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

disamakan dengan itu berdasarkan kepercayaan dan persetujuan

pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal mana

pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka

waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditentukan”.12

B. PENGERTIAN FIDUSIA

Lembaga Jaminan Fidusia sesungguhnya sudah sangat tua

dan dikenal serta digunakan dalam masyarakat hukum Romawi.

Dalam hukum Romawi lembaga ini dikenal dengan nama “Fidusia

cum creditore contracta” (artinya janji yang dibuat dan kreditur).

Dalam perkembangan masyarakat hukum di Indonesia terutama

pada masyarakat tradisional, maka dasar kepercayaan sudah

dipraktekkan dalam perjanjian-perjanjian adat secara turun

temurun.

Isi janji yang dibuat oleh debitur dengan krediturnya

adalah bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas satu

benda kepada krediturnya sebagai jaminan untuk utangnya

dengan kesepakatan bahwa debitur tetap akan menguasai secara

fisik benda tersebut dan bahwa kreditur akan mengalihkan

12 C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kedua, Perbankan Dan Permodalan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 48.

17

kembali kepemilikan tersebut kepada debitur bilamana utangnya

sudah dibayar lunas.

Berbeda dengan pignus (gadai) yang mengharuskan

penyerahan secara fisik benda yang digadaikan, dalam hal fidusia

cum creditore, pemberi fidusia tetap menguasai benda objek

fidusia. Dengan tetap menguasai benda tersebut, pemberi fidusia

dapat menggunakan benda dimaksud dalam menjalankan

usahanya. Lembaga Fidusia terdapat bermacam-macam istilah

yang dikemukakan oleh beberapa sarjana adalah:

l. Asser Van Oven menyebutnya “Zekerheids Eigendom” atau hak

milik sebagai jaminan.

2. Bloom, “Verruimd Pandbegrip", hak jaminan tanpa penguasaan.

3. Kahrel, "Verruimd Pandbegrip", pengertian gadai yang diperluas.

4. DR. A. Veenhoven, "Eigendomsoverdracht tot Zakerheid",

penyerahan hak milik sebagai jaminan.

Pada zaman Romawi pemberian jaminan untuk menjamin

pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan jalan

mengalihkan hak milik atas benda jaminan kepada kreditur, yang

dinamakan, Fidusia Cum Creditore”. Dari kata “Cum Creditore”

sebenarnya kita sudah dapat menduga bahwa penyerahan

tersebut bukan dimaksudkan untuk sungguh-sungguh

merupakan peralihan pemilikan, tetapi hanya sebagai jaminan

saja, bukan untuk dimiliki kreditur dan memang menurut

lembaga tersebut kreditur tidak mempunyai wewenang penuh

18

seperti yang dipunyai seorang pemilik. Setelah debitur memenuhi

kewajiban perikatannya, maka kreditur wajib untuk menyerahkan

kembali ke dalam pemilikan debiturnya. Karena debitur bertindak

dengan kepercayaan, bahwa kreditur setelah debitur melunasi

kewajibannya tidak akan mengingkari janjinya dengan tetap

memiliki benda jaminan (dan menganggap dirinya telah menjadi

pemilik penuh yang sah), maka hubungan seperti itu dinamakan

hubungan yang didasarkan atas Fides atau hubungan fidusiair.

Setelah di kemudian hari berkembang lembaga jaminan yang

disebut gadai dan hipotik, maka cara perjanjian seperti tersebut di

atas fidusia cum creditore menjadi tidak populer lagi dan hilang

dari peredaran. Pada akhir abad 19 muncul suatu keadaan yang

menimbulkan suatu kebutuhan akan lembaga jaminan yang lain

daripada gadai, sekalipun benda jaminannya merupakan benda

bergerak.

Pada masa itu ada krisis dalam bidang usaha pertanian

sebagai akibat dan serangan hama, sehingga para pengusaha

pertanian membutuhkan bantuan modal yang diharapkan datang

dari pihak bank. Bank pada masa itu hanya mau memberikan

kredit dengan jaminan gadai alat-alat pertanian yang sulit untuk

dipenuhi, karena para pengusaha sendiri membutuhkan alat-alat

tersebut untuk menjalankan usahanya. Padahal banyak dan

mereka yang dapat memberikan jaminan hipotik, karena mereka

tak mempunyai tanah milik. Di samping itu bank juga

19

mensyaratkan jaminan tambahan di samping hipotik. Keadaan

inilah yang melahirkan lembaga jaminan baru yang disebut

Oogstverband (ikatan panen), di mana hasil panen dijadikan

jaminan sebagai jaminan tambahan. Orang melihat Oogstverband

sebagai perluasan dari hak gadai melalui campur tangan pembuat

undang-undang. Karena benda jaminan di dalam gadai dikuasai

oleh penerima gadai, maka dikatakan, bahwa penerima gadai

mempunyai Pandbezit untuk membedakannya dari Burgerlijk Bezit

yang selama ini kita kenal dan karena pada jaminan ikatan panen

(Oogstverband) benda jaminannya benda bergrak, tetapi tidak

diserahkan ke dalam kekuasaan penerima gadai, maka orang

menyebutnya gadai tanpa bezit (bezitloos pandrecht). Dengan

demikian muncul suatu keadaan, di mana di satu pihak ada

kebutuhan untuk dimungkinkannya gadai tanpa menguasai

jaminan, tetapi di lain pihak tidak menghendaki adanya ketentuan

baru tentang pendaftaran benda gadai. Jalan keluarnya

ditemukan sendiri oleh praktek, yaitu melalui lembaga yang

sekarang ini kita kenal dengan penyerahan Hak milik secara

kepercayaan (Fiduciare Eigendoms Overdracht atau disingkat

FIDUSIA).

20

BAB III

PEMBAHASAN

A. JAMINAN KEPERCAYAAN FIDUSIA UNTUK PELUNASAN

HUTANG

Akar berlakunya fidusia adalah jaminan berdasarkan

kepercayaan. Jaminan berdasarkan kepercayaan telah

dipraktekkan secara turun temurun lewat sistem hukum adat.

Dalam hukum adat yang didasarkan kepercayaan, hukum adat

tidak membedakan berdasarkan kepentingan dan siapa yang

mempertahankan kepentingan itu. Jadi tidak ada perbedaan

antara kepentingan umum dan kepentingan khusus misalnya saja

jika terjadi perbuatan “pencurian”, itu bukan saja terganggunya

kepentingan masyarakat tetapi juga dirugikannya kepentingan

pribadi dan keluarga. Menurut hukum adat yang berkewajiba

menjaga keamanan bukan saja tugas kepolisian atau ketentaraan,

tetapi juga merupakan tugas para anggota masyarakat. Begitu

pula jika pemerintah mencabut hak milik tanah rakyat,

pemerintah wajib mengganti kerugian kepada pemilik tanah itu.13

Hal ini juga terkait dalam perjanjian yang didasarkan

kepercayaan. Para pihak dianggap jujur dan akan menepati janji

karena sifat hukum adat terang dan tunai.

13 Wiranata, I Gede, A.B. Hukum Adat Indonesia (Perkembangan dari Masa ke Masa), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Hlm. 35.

21

Berlakunya Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia pada tanggal 30 September 1999, dimaksudkan

sebagai dasar hukum yang kuat bagi pengikatan atas benda-

benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan

benda-benda tidak bergerak yang tidak dibebani dengan hak

tanggungan, sebagai jaminan atas pelunasan utang tertentu.

Dasar kepercayaan dari sistem jaminan fidusia sebenarnya

mengacu kepada hukum adat, dimana para pihak dianggap jujur

dan akan melaksanakan semua janji-janji dalam perjanjian

didasarkan pada kepercayaan. Jaminan kepercayaan itu sangat

berbeda dengan jaminan kebendaan yang gampang diukur dan

ditaksir. Berbeda dengan agunan berupa harta tetap atau tanah

yang secara umum nilainya akan mengikat dalam perjalanan

waktu, objek jaminan fidusia yang berupa benda-benda bergerak

yang berwujud dan bangunan akan berkurang nilainya dengan

berjalannya waktu, baik oleh karena pemakaian (wear and tear)

maupun dikarenakan peningkatan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang mengakibatkan benda-benda tersebut menjadi

absolute. Jadi dari segi fisik objek agunannya sendiri, secara

alamiah sebenarnya nilai kepastian jaminan fidusia secara

ekonomis jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan hak

tanggungan.

Hal lain yang dapat menjadi penyebab ketidakpastian

jaminan fidusia dalam pengamanan kredit adalah sulit baginya

22

bank untuk mengindentifikasikan objek jaminan fidusia yang

tidak termasuk dalam jenis barang wajib didaftar. Kendala ini

membuka peluang bagi debitur dan atau pemberi jaminan fidusia

yang tidak beritikad baik, untuk melakukan perbuatan yang dapat

merugikan Bank Jaminan Fidusia. Sedangkan apabila dilihat dari

sisi yuridis, kepastian jaminan fidusia dalam pengamanan kredit

dapat kita tinjau dari 3 (tiga) aspek yaitu :

a. Objek jaminan fidusia

b. Hak mendahului dan hak-hak lainnya atas objek jaminan

fidusia terhadap pihak ketiga.

c. Eksekusi jaminan fidusia

Seiring dengan modernisasi dan perkembangan bisnis,

maka asas kepercayaan perlu terus diuji karena akan banyak

menghadapi kendala dalam praktik perbankan. Dari pengalaman

perbankan selama ini atas pengikatan agunan secara fiduciarie

eigendom overdracht (FEO), selain harus menghadapi kendala dan

kenyataan sebagaimana uraian di atas, tidak adanya peraturan

hukum tertulis yang mengatur mengenai pengikatan agunan

secara F.E.O tersebut mengakibatkan sulit bank dalam

melaksanakan hak dan mengeksekusi agunan yang bersangkutan.

Pada pelaksanaan lembaga jaminan fidusia memang terjadi

peralihan hak kepemilikan namun demikian pengalihan hak

kepemilikan atas suatu benda hanya berdasarkan suatu

kepercayaan dengan janji bahwa benda tetap berada pada si

23

pemberi fidusia. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor

42 Tahun 1999 mengatakan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak

kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan

ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan

tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sedangkan

untuk pelaksanaan pembebanan jaminan fidusia haruslah

dibuatkan dengan akta notaris (akta jaminan fidusia) yang

memuat :

a. Identitas para pihak pemberi dan penerima fidusia.

b. Perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia.

c. Daftar uraian tentang benda-benda yang menjadi obyek

jaminan fidusia.

d. Nilai jaminan.

e. Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia.

Dengan adanya pembebanan akta notaris tersebut sudah

barang tentu UU jaminan fidusia dapat lebih memberikan

kepastian hukum terhadap para pihak baik pihak kreditur,

debitur serta pihak ketiga mendapatkan keuntungan serta

memberikan jaminan kepastian hukum.

Dilaksanakannya pembuatan akta notaris adalah karena akta

notaris tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Dan mengingat bahwa obyek jaminan fidusia pada umumnya

adalah barang bergerak, maka sudah sewajarnya bahwa bentuk

24

otentiklah yang dianggap paling dapat menjamin suatu kepastian

hukum berkenan dengan obyek jaminan fidusia.

Akte jaminan fidusia juga harus didaftarkan, maka dengan

adanya pendaftaran tersebut merupakan suatu terobosan penting

mengingat bahwa pada umumnya obyek jaminan fidusia adalah

benda bergerak yang tidak terdaftar sehingga sulit untuk

mengetahui siapa pemiliknya. Dengan diadakannya pendaftaran

maka sesungguhnya memberikan kepastian hukum. Dalam UU

Jaminan Fidusia ini menjamin segala hal tentang pelaksanaan

jaminan fidusia mulai dari cara pembebanannya, pendaftarannya,

pengalihan dan penerbitan telah teratur dan sangat memudahkan

prosesnya.

Persoalan dasar kepercayaan pada kenyataannya sekarang

mengalami berbagai benturan terkait dengan banyaknya

wanprestasi dan kredit macet dalam perjanjian. Hal ini merupakan

kondisi yang berbeda ketika hukum adat dibuat, dimana pada

waktu itu masyarakat masih polos dan murni. Pengikatan jaminan

dengan dasar kepercayaan menghadapi tantangan sekarang

terkait dengan kepastian hukum pelunasan hutang.

Selain kepastian hukum yang telah disebutkan maka

dengan adanya UU tentang jaminan fidusia memiliki sumber

hukum yang jelas serta pasti. Dengan adanya UU Nomor 42 Tahun

1999 menunjukkan bahwa memberikan nuansa baru dalam

lembaga jaminan yang berlakunya di Indonesia sebab merupakan

25

suatu peraturan yang menjamin fleksibilitas dalam hal yang

berkenanan dengan obyek yang dapat dibebani dengan jaminan

fidusia.

Dibandingkan dengan sebelum berlakunya UU Nomor 42

Tahun 1999 tentang Lembaga Jaminan Fidusia, lembaga jaminan

fidusia dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh

berlakunya UUPA di Indonesia yang mulai berlaku sejak tahun

1960. Berpengaruh karena jaminan dengan fidusia juga dapat

dilakukan terhadap bangunan-bangunan dan rumah diatas tanah

negara, diatas hak sewa, hak pakai, dan diatas hak pengelolaan,

dimana hak-hak atas tanah tersebut tidak dapat dibebani dengan

hipotik atau dengan crediefiverband.

Pelaksanaan jaminan fidusia dalam praktek tidak banyak

menimbulkan sengketa/perkara yang diajukan ke pengadilan. Ini

merupakan suatu bukti nyata bahwa lembaga jaminan fidusia

cocok dan diterima oleh masyarakat dan dianggap sangat

memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap fasilitas kredit, baik

oleh bank-bank, ataupun lembaga kredit lainnya.

B. DASAR KEPERCAYAAN DAN KEPASTIAN HUKUM DALAM PERJANJIAN FIDUSIA

Di era sekarang, dasar kepercayaan tidak cukup karena

banyaknya penipuan dan wanprestasi terjadi dalam perjanjian

kredit. Perjanjian dengan dasar kepercayaan memerlukan

26

kepastian hukum. Hal ini secara original berbeda dengan konsep

perjanjian adat yang jujur, terang dan tunai. Kepastian hukum

dalam suatu undang-undang, meliputi dua hal yakni pertama,

kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak

bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-

undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-

pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut.

Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip

hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan

prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya

berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang

semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah

menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain,

peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum

yang mati atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan

manusia. Kalau saja undang-undang sudah mempunyai kepastian

hukum, bukan berarti tidak menimbulkan masalah dalam

pelaksanaan hukumnya. Dalam pelaksanaan undang-undang

inilah kepastian hukum akan terlihat apakah memiliki daya

mengikat kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain apakah

kepastian hukum yang sudah tercipta dalam undang-undang itu

akan efektif ketika undang-undang dilaksanakan. Menurut teori

hukum berlakunya suatu kaidah hukum itu dapat dilihat dari tiga

aspek yakni aspek yuridis, sosiologis dan filosofis.

27

Pelaksanaan suatu undang-undang dapat dipisahkan oleh

negara tetapi dapat pula diterima atau dapat dipaksakan oleh

masyarakat. Jadi secara sosiologis ketekunan suatu kepastian

hukum yang tercantum dalam undang-undang apabila undang-

undang tersebut sudah dilaksanakan dan diterima oleh

masyarakat. Apabila norma hukum dalam undang-undang itu

belum pernah dilaksanakan atau dalam pelaksanaannya

mengalami hambatan, tidak dapat dikatakan bahwa kepastian

hukum telah berjalan secara sempurna. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa persoalan kepastian hukum merupakan suatu

hal yang terletak pada substansi undang-undangnya, subjek

penyelenggaranya, subjek penerima undang-undang itu dan

fasilitas yang disediakan untuk pelaksanaan undang-undang

tersebut.

Salah satu gejala tersebut dapat dilihat dari pengaturan

fidusia dalam perundang-undangan. Lembaga fidusia merupakan

suatu gejala hukum yang memberikan keuntungan bagi

pemakainya khususnya untuk melancarkan pengembalian kredit

dan juga tidak melemahkan potensi penerima kredit. Di Indonesia,

perkembangan sejarah fidusia lebih baik dibandingkan dengan

negeri Belanda. Hal ini karena lembaga fidusia di Belanda

perkembangannya terdesak oleh lembaga beli sewa (huurkoop).

Penyerahan fidusia harus dibedakan dengan eigendoms-

voorbehoud. Beli sewa adalah contoh figur hukum dari

28

eigendomsvoorbehoud, dimana debitur membeli barang secara

cicilan yang hak miliknya baru beralih kepada debitur pada saat

dilakukan pembayaran cicilan terakhir. Selama cicilan belum

lunas, hak milik tetap ada pada kreditur. Jadi, dalam bentuk beli

sewa dimungkinkan jaminan atas benda bergerak yang

penguasaannya berada di tangan debitur. Kalau di Belanda figur

beli sewa telah diatur dalam NNBW Pasal 1576 h, sebaliknya di

Indoinesia beli sewa diatur dalam yurisprudensi. Pengaturan

dalam yurisprudensi belum memberikan kejelasan dan kepastian

tentang substansi yang diaturnya. Dengan perkataan lain,

perjanjian beli sewa tidak mengandung kepastian hukum karena

hukum materiilnya belum lagi ada. Peraturan yang ada berkaitan

dengan beli sewa adalah Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1974

tentang pelaksanaan penjualan rumah negeri dan surat

keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor

34/KP/II/1980 tanggal 1 Februari 1980 tentang perizinan

kegiatan usaha sewa beli, jual beli angsuran dan sewa tanggal 1

Februari 1980. Namun, yurisprudensi itu penting sebagai peletak

dasar eksistensi beli sewa dan dapat dipakai sebagai pedoman

dalam rangka pembinaan hukum nasional.

Pengakuan fidusia dalam undang-undang dinyatakan juga

pada undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan

dan pemukiman (UUPP). Dalam undang-undang itu dikatakan

29

bahwa pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan hutang dengan

jaminan fidusia.

Pembebaban fidusia atas rumah dalam Pasal 15 UUPP harus

dilakukan dengan sikap hati-hati karena dapat menimbulkan

masalah hukum. Oleh karena itu, perlu kesamaan persepsi agar

tidak menimbukan ketidakpastian hukum dalam praktik. Ada dua

cara pembebanan fidusia atas rumah berdasarkan UUPP

yakni:Pertama, pemilikan rumah oleh bukan pemilik hak atas

tanah dengan izin pemilik hak atas tanah; Kedua, pemilik rumah

oleh pemilik hak atas tanahnya. Dalam undang-undang ini tidak

dijelaskan bagaimana status hak atas tanah. Hal ini menunjukkan

bahwa UUPP menganut prinsip horisontal semakin jelas dapat

dilihat dari Pasal 1 dan 6 UUPP. Prinsip ini membuka

pengecualian terhadap apembebanan rumah yang dilakukan

berikut dengan tanah yang haknya dimiliki oleh pemilik yang

sama dengan hipotik (sekarang hak tanggungan). Jadi, dalam

UUPP secara jelas bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan

yang diperuntukkan kepada benda bukan tanah.

Setelah keluarnya undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang

hak tanggungan (UUHT), ketentuan hak jaminan yang diatur

dalam UURS dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebaliknya UUHT

tidak bermaksud untuk mengubah ketentuan hak jaminan dalam

UUPP. Hal ini menimbukkan pertanyaan mengapa UUHT tidak

dinyatakan berlaku juga untuk UUPP. Dari keadaan ini dapat

30

dilihat bahwa UUHT tidak konsekuen dalam pernyataan bahwa

UUHT satu-satunya jaminan atas tanah dan benda-benda yang

berkaitan dengan tanah, karena fidusia masih berlaku. Di sini

asas konsitensi tidak diperhatikan. Ada yang berpendapat bahwa

ketentuan hak jaminan dalam UUPP turut dihapuskan dan UUHT

tidak memberikan wadah lagi bagi pengikatan fidusia.

Pendapat tersebut tidaklah benar karena UUHT menganut

asas pemisahan horisontal. Dalam hal tertentu objek hak

tanggungan dapat juga meliputi bangunan, tanaman dan hasil

karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. UUHT

bertitik tolak dari hak atas tanah, sedangkan UUPP menekankan

hak jaminan atas rumah/bangunan. Jadi, landasan berpikirnya

berbeda. Rumah memiliki arti yuridis tersendiri dan mempunyai

nilai ekonomi untuk dilibatkan dalam transaksi bisnis.

31

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Dasar kepercayaan dalam perjanjian fidusia yang bersumber

dari hukum adat terus menghadapi tantangan terutama dalam

bisnis modern. Berlakunya UU No. 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia pada tanggal 30 September 1999,

dimaksudkan sebagai dasar hukum yang kuat bagi pengikatan

atas benda-benda bergerak baik berwujud maupun tidak

berwujud dan benda-benda tidak bergerak yang tidak dibebani

dengan hak tanggungan, sebagai jaminan atas pelunasan

utang tertentu. Benda yang dapat dibebankan Jaminan Fidusia

meliputi benda bergerak yang berwujud maupun yang tidak

berwujud, dan benda tidak bergerak yang tidak dibebani

dengan Hak Tanggungan sebagaimana yang ditentukan dalam

UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Perjanjian

fidusia dengan konsep kepercayaan terus diuji karena dasar

kepercayaan saja tidak cukup mengingat perkembangan

masyarakat modern yang memerlukan kepastian perjanjian.

2. Jika UUJF ditelaah secara cermat, dapat dikatakan bahwa

pengaturan jaminan fidusia masih belum mencerminkan

adanya kepastian hukum baik dalam aspek yuridis normatif

maupun dalam aspek sosiologi/keefektifannya. Alasannya

bahwa dalam aspek yuridis normatif, ketidakpastian hukum

32

UUJF terlihat dari rumusan norma yang masih menimbulkan

penafsiran ganda dan masing-masing pasal masih ada yang

bertentangan satu sama lain. Dalam tataran sosiologi/

keefektifan UUJF, kepastian hukum itu sangat bergantung

kepada masyarakat pemakainya, pelaksanaan hukum (polisi,

pengadilan, notaris, pengacara) dan perangkat hukum untuk

melaksanakan UUJF seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan

Presiden, Keputusan Kantor Pendaftaran Fidusia, dll.

B. SARAN

1. Walaupun fidusia merupakan jaminan kepercayaan warisan

hukum adat di era modern diperlukan pengawasan pemerintah

dan legalisasi dengan sistem pendaftaran. Sebaiknya untuk

pendaftaran jaminan fidusia selain dapat melahirkan hak

kebendaan atau memenuhi asas publisitas, juga dapat

memperoleh kepastian hukum bagi para pihak dan pihak

ketiga, sehingga para pihak dapat lebih terlindungi melalui

penerapan UUJF.

2. Sebaiknya benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia

yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia, keterangannya

terbuka dan mudah diakses umum. Hal ini dimaksudkan

untuk memenuhi asas publisitas, sehingga dapat memberikan

kepastian mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan

fidusia terhadap pihak ketiga.

33

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, Seminar Hukum Jaminan, Binacipta, Bandung, 1981. Achmad Anwari, Praktek Perbankan di Indonesia (Kredit Investasi),

Balai Aksara, Jakarta, 1981. Boediharsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, Sejarah

Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, 1997.

C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia

Buku Kedua, Perbankan Dan Permodalan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.

Hadikusuma H. Hilman, Prof. SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat

Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003. Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum

Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984. Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni,

Bandung, 1980. R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut

Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1978. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia

Dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980. Sunaryati Hartono, Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar adat,

1991, diterbitkan Citra Adibakti, Bandung. Soerojo Wignodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat.

1995. Gunung Agung, Jakarta. Soepomo, Kedudukan Hukum Adat di Kemudian Hari, Cet. Ke-X,

Pustaka Rakjat, Jakarta, 1969. Wiranata, I Gede, A.B. Hukum Adat Indonesia (Perkembangan dari

Masa ke Masa), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Hlm. 35.

34

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 1

A. LATAR BELAKANG .............................................. 1

B. PERUMUSAN MASALAH ...................................... 6

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ................. 6

D. METODE PENELITIAN ........................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................ 8

A. FIDUSIA JAMINAN ATAS DASAR KEPERCAYAAN

BERAKAR DARI SISTEM HUKUM ADAT .............. 8

B. PENGERTIAN FIDUSIA ........................................ 17

BAB III PEMBAHASAN .......................................................... 21

A. JAMINAN KEPERCAYAAN FIDUSIA UNTUK

PELUNASAN HUTANG ........................................ 21

B. DASAR KEPERCAYAAN DAN KEPASTIAN

HUKUM DALAM PERJANJIAN FIDUSIA .............. 26

BAB IV PENUTUP ................................................................. 32

A. KESIMPULAN ...................................................... 32

B. SARAN ................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 34

35

FIDUSIA JAMINAN DENGAN DASAR KEPERCAYAAN

SEBAGAI WARISAN HUKUM ADAT

Karya Ilmiah

OLEH :

DR. JEMMY SONDAKH, SH, MH NIP. 19610612 199203 0 001

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO

2014

36