bab i pendahuluan
DESCRIPTION
pendahuluanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Herpes zoster adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus
varisella zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal dan kadang-
kadang di dalam satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik saraf cranial;
menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang sesuai dengan segmen yang dipersarafi.
Sealma fase reaktivasi, dapat terjadi infeksi VVZ di dalam sel mononuclear darah tepi
yang biasanya subklinis. Penyebab reaktivasi tidak sepenuhnya dimengerti tetapi
diperkirakan terjadi pada kondisi gangguan imunitas selular. Faktor-faktor yang
berpotensi menyebabkan reaktivasi adalah pajanan VVZ sebelumnya (cacar air,
vaksinasi), usia lebih dari 50 tahun, keadaan imunokompromais, obat-obatan
imunosupresif, HIV/AIDS, transplantasi sumsum tulang atau organ, keganasan, terapi
steroid jangka panjang, stress psikologis, trauma, dan tindakan pembedahan.
Kejadian HZ meningkat secara dramatis seiring dengan bertambahnya usia. Kira-
kira 30% populasi (1 dari 3 orang) akan mengalami HZ selama masa hidupnya, bahkan
pada usia 85 tahun, 50% (1 dari 2 orang) akan mengalami HZ selama hidupnya.
Lebih dari 53% dokter mendapat kesulitan dalam mendiagnosis HZ sebelum
muncul erupsi (prodromal), sehingga memoerlambat pengobatan HZ. Hal ini menunjukan
perlunya peningkatan pengetahuan tentang diagnosis dini pada primary health care
(Puskesmas). Perlunya memberi informasi dan edukasi kepada pasien tentang penyakit
HZ dan komplikasinya sehingga dapat berobat ke dokter sedini mungkin. Melihat
berbagai permasalahan tersebut di atas, diperlukan diagnosis yang cepat dan pengobatan
yang efektif, aman, dan tepat waktu, untuk menghilangkan nyeri pada fase akut dan
mencegah komplikasi yang dapat terjadi.
Upaya pencegahan lebih baik dilakukan untuk menurunkan angka kejadian zoster,
menurunkan insidensi NPH, serta menurunkan beban penyakit. Saat ini upaya
pencegahan dapat dilakukan dengan lebih efektif melalui vaksinasi herpes zoster.
1
Dampak HZ dan NPH terhadap kualitas hidup semakin dikenal, dimana studi
kualitas hidup yang dilakukan oleh Johnson RW et al.2010, menunjukan bahwa HZ dan
NPH berdampak pada 4 area kualitas hidup yaitu:
FISIK : kelelahan, anorexia, penurunan berat badan, insomnia, berkurangnya mobilitas,
inaktifitas fisik.
PSIKOLOGIS : depresi, anxietas, beban emosional kesulitan konsentrasi, ketakutan.
SOSIAL : menarik diri, isolasi, hilangnya kemandirian, perubahan peran sosial,
menurunnya kehadiran dalam kumpulan sosial
AKTIVITAS RUTIN : berpakaian, mandi, makan bepergian, memasak, pekerjaan
rumah, berbelanja, dan aktivitas rutin lain.
Simtom non-nyeri dan komplikasi HZ juga mempengaruhi kualitas hidup.
Beberapa simtom tertentu menyebabkan disabilitas bagi pasien, bahkan pada pasien yang
tidak mengalami nyeri berat. Satu dari 10 pasien imunokompeten, mengalami setidaknya
1 komplikasi non-nyeri. Komplikasi non-nyeri yang dapat menyebabkan disabilitas
permanen misalnya komplikasi mata, neurologis (misal kelumpuhan saraf perifer dan
cranial, defisit motorik, paresis). Pasien herpes juga mempunyai risiko stroke lebih besar
(studi retrospektif Taiwan menyatakan HZ meningkatkan 1.31 kali risiko stroke dan
herpes zoster ophtalmicus meningkatkan 4.52 kali risiko stroke).
Tingginya infeksi varicella di Indonesia terbukti pada studi yang dilakukan Jufri,
et al tahun 1995 – 1996 dimana 2/3 dari populasi berusia 15 tahun seropositive terhadap
antibody varicella. Dari total 2231 pasien herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan
di Indonesia(2011-2013). Puncak kasus HZ terjadi pada usia 45-64 : 851 (37.95% dari
total kasus HZ). Tren HZ cenderung terjadi pada usia yang lebih muda. Gender wanita
lebih cenderung mempunyai insiden lebih tinggi. Total kasus NPH adalah 593 kasus
(26.5% dari total kasus HZ). Puncak kasus NPH pada usia 45 – 64 yaitu 250 kasus NPH
(42% dari total kasus NPH). Komplikasi herpes zoster pada mata dari Departemen Kulit
dan Kelamin RS prof.Dr.R.D. Kandaou, FK Universitas Sam Ratulangi di Manado tahun
2008 – 2013 adalah presentase HZ ophtalmicus di Kandou hospital 39/224 = 17.41% ,
sama insidennya antara mata kanan dan kiri. Hampir 2 kali lipat insidensinya pada
wanita. Insiden tertinggi 45-64 tahun (48%) dan ≥ 65 tahun (35%)
2
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa penyebab herpes zoster ?
2. Bagaimana virology dari herpes zoster?
3. Bagaimana diagnosis pada herpes zoster?
4. Apa komplikasi dari herpes zoster?
5. Bagaimana penatalaksanaan herpes zoster?
C. TUJUAN
1. Mengetahui penyebab herpes zoster
2. Mengetahui virology dari herpes zoster
3. Mengetahui diagnosis pada herpes zoster
4. Mengetahui komplikasi dari herpes zoster
5. Mengetahui penatalaksanaan herpes zoster
6.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Virologi Virus Varicella Zoster
Varicella zoster virus (VZV) adalah herpes virus yang merupakan penyebab dari 2
penyakit berbeda yaitu varicella (juga dikenal cacar air) dan herpes zoster ( dikenal sebagai
shingles/cacar ular/cacar api/dompo). VZV merupakan anggota dari keluarga Herpesviridae
seperti herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2 cytomegalovirus (CMV), Eipstein-Barr virus
(EBV), human herpesvirus 6 (HHV-6), human herpesvirus 7 (HHV-7), dan herpesvirus 8
(HHV-8). Virus varicella adalah virus DNA, alphaherpesvirus, dengan besar genom 125.000
bp, berselubung dan berdiameter 80-120 nm. Virus mengkode kurang lebih 70-80 protein,
salah satunya enzim thymidine kinase yang rentan terhadap obat antivirus karena
memfosforilasi acyclovir sehingga menghambat replikasi DNA virus. Virus menginfeksi sel
Human diploid fibroblast in vitro, sel limfosit T teraktivasi, sel epital dan sel epidermal in
vivo untuk replikasi produktif, serta sel neuron. Virus varicella dapat membentuk sel sintia
dan menyebar secara langsung dari sel ke sel.
Infeksi primer dengan VZV atau varicella pada umumnya ringan, merupakan penyakit
self limited yang biasanya ditemukan pada anak-anak ditandai dengan demam ringan dan
disertai vesikel berisi cairan yang gatal pada seluruh tubuh. Sesudah infeksi primer varicella,
VZV menetap dan laten dalam akar ganglion sensoris dorsalis. Sesudah beberapa decade,
virus neurotropik ini dapat reaktivasi dan menyebabkan herpes zoster. Zoster ditandai dengan
erupsi vesikel unilateral yang nyeri khasnya mengikuti dermatom saraf sensorik.
Varicella ditransmisi melalui rute respirasi. Virus menginfeksi sel epitel dan limfosit di
orofaring dan saluran napas atas atau pada konjuntiva, kemudian limfosit terinfeksi akan
menyebar ke seluruh tubuh. Virus kemudian masuk kekulit melalui kontak lesi di kulit. Lesi
vesicular akan berubah menjadi putular setelah infiltrasi sel radang. Selanjutnya lesi akan
terbuka dan kering membentuk krusta, umunya sembuh tanpa bekas. Waktu dari pertama kali
kontak dengan VZV sampai muncul gejala klinis adalah 10 – 21 hari, rata-rata 14 hari.
Setelah infeksi primer, virus akan menginfeksi secara laten neuron ganglia cranial dan dorsal.
Pemahaman laten VZV laten memperlihatkan ada 5 gen yang diekpesikan. Antibodi yang
4
terbentuk berperan protektif akan menetap sepanjang hidup, memperlihatkan kemampuan
immunoglobulin anti VZV untuk mengatasi penyakit. Sel T sitotoksik yang terbentuk 2-3
hari setelah awitan varicella mengurangi ke keparahan penyakit. Imunitas selular sangat
penting berperan dalam mencegah reaktivasi virus dan zoster. Jika imunitas selular spesifik
terhadap VZV menurun, virus dapat reaktivasi dari ganglion turun melalui axon saraf ke sel
epitel bereplikasi dan menyebabkan zoster dermatomal. Pada individu dengan gangguan
sistem imun berat dapat terjadi zoster disseminate.
Menurut teori Hope Simpson, sesudah infeksi primer VZV, selain VZV akan menetap
laten di ganglion saraf dorsalis, infeksi ini akan menimbulkan kekebalan seluler spesifik
VZV yang menghambat kemampuan virus VZV laten untuk rekativasi. Kekebalan selular
spesifik VZV ini menurun bertahap sejalan usia, namun secara berkala juga di booster oleh
infeksi subklinis akibat paparan VZV (misal ketika merawat anak dengan cacar air).
Beberapa episode reaktivasi terjadi namun dengan cepat dihambat oleh respon imun sehingga
tidak ada ruam yang timbul. Hope Simpson menyebutkan kasus abortif ini containes
reversion yang kadang menimbulkan nyeri di dermatom terkait tanpa timbul ruam, disebut
zoster sine herpete. Seiring berjalannya usia, kekebalan spesifik terhadap VZV bisa turun
dibawah batas ambang, yang menyebabkan reaktivasi virus dan menyebabkan herpes zoster.
Besarnya jumlah VZV yang diproduksi selama episode herpes zoster meningkatkan lagi
kekebalan terhadap VZV, sehingga hal ini menjelaskan mengapa jarang terjadi rekurensi
pada individu yang imunokompeten.
B. Diagnosis Herpes Zoster
1) Diagnosis Klinis
Gejala Prodromal
Berlangsung 1- 5 hari. Keluhan biasanya diawali dengan nyeri pada daerah
dermatom yang akan timbul lesi dan dapat berlangsung dalam waktu yang bervariasi.
Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung terus-menerus atau sebagai serangan
yang hilang timbul. Keluhan bervariasi dari rasa gatal, kesemutan, panas, pedih, nyeri
tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuk-tusuk. Selain nyeri, dapat didahului dengan
cegukan atau sendawa. Gejala konstitusi berupa malaise, sefalgia, other flu symptoms,
5
yang biasanya akan menghilang setelah erupsi kulit timbul. Kadang-kadang terjadi
limfadenopati regional.
Erupsi Kulit
Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang
dipersarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh, yang
tersering di daerah ganglion torakalis. Lesi dimulai dengan macula eritemaskuamosa,
kemudian terbentuk papul-papul dan dalam waktu 12-24 jam lesi berkembang menjadi
vesikel. Pada hari ketiga berubah menjadi pustule yang akan mengering menjadi krusta
dalam 7-10 hari. Krusta dapt bertahan sampa 2 minggu kemudian mengelupas. Pada saat
ini biasanya nyeri segmental juga menghilang. Lesi baru dapat terus muncul sampai hari
ketiga dan kadang-kadang sampai hari ketujuh. Erupsi kulit yang berat dapat
meninggalkan macula hiperpigmentasi dan jaringan parut (pitted scar). Erupsi umumnya
disertai nyeri (60-90%).
Variasi Klinis
Pada beberapa kasus nyeri segmental tidak diikuti erupsi kulit, keadaan ini disebut
zoster sine herpete. Herpes zoster abortif adalah bila perjalanan penyakit berlangsung
singkat dan kelainan kulit hanya berupa vesikel dan eritema. Herpes zoster oftalmikus
adalah herpes zoster yang menyerang cabang pertamanervus trigeminus. Erupsi kulit
sebatas mata sampai ke vertex, tetapi tidak melalui garis tengah dahi. Bila mengenai anak
cabang nasosilaris (adanya vesikel pada puncak hidung yang dikenal sebagai tanda
Hutchinson, sampai kantus medialis) harus diwaspadai kemungkinan terjadinya
komplikasi pada mata. Sindrom Ramsay Hunt, herpes zoster di liang telinga luar atau
membrana timpani, disertai paresis fasialis yang nyeri, gangguan lakrimasi, gangguan
pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinnitus, vertigo, dan tuli. Kelainan tersebut sebagai
akibat virus menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius. Herpes zoster aberans
adalah herpes zoster disertai vesikel minimal 10 buah yang melewati garis tengah. Herpes
zoster pada imunokompromais adalah perjalanan penyakit dan manifestasi klinisnya
berubah, seringkali tidak spesifik, sering rekurens, berlangsung lebih lama (lebih dari 6
minggu), cenderung kronik persisten, menyebar ke alat-alat dalam terutama paru, hati,
dan otak. Gejala prodromal lebih hebat, erupsi kulit lebih berat ( bula hemoragik,
hiperkeratotik, nekrotik), lebih luas (aberans/multidermatom/diseminata), lebih nyeri, dan
6
komplikasi lebih sering terjadi. Herpes zoster pada ibu hamil, ringan kemungkinan terjadi
komplikasi jarang. Risiko infeksi pada janin dan neonatus dari ibu hamil dengan HZ juga
sangat kecil. Karena alasan tersebut, HZ pada kehamilan tidak diterapi dengan antiviral.
Herpes zoster pada neonatus jarang ditemukan. Penyakit biasanya ringan, sembuh tanpa
gejala sisa. HZ pada neonatus, tidak membutuhkan terapi antiviral. Herpes zoster pada
anak ringan, banyaj menyerang daerah servikal bawah, Juga tidak membutuhkan
pengobatan dengan antiviral.
2) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran klinis yang
meragukan. Tes Tzanck (adanya perubahan sitologi sel epitel dimana terlihat multi
nucleated giant cell).
3) Diagnosis Banding
Stadium praerupsi : nyeri akut segmentasi sulit dibedakan dengan nyeri yang timbul
karena penyakit sistemik sesuai dengan lokasi anatomic.
Stadium erupsi : herpes simpleks herpetiformis, dermatitis kontak iritan, dermatitis
venenata, penyakit Duhring, luka bakar, autoinokulasi vaksinia, bakterial setempat.
C. Komplikasi herpes zoster
1. Komplikasi kutaneus
Infeksi sekunder : dapat menghambat penyembuhan dan pembentukan jaringan parut
(selullitis, impetigo, dll)
Gangren superfisialis : menunjukan HZ yang berat, mengakibatkan hambatan
penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
2. Komplikasi neurologis
Neuralgia paska herpes (NPH) adalah nyeri yang menetap di dermatom yang
terkena 3 bulan setelah erupsi HZ menghilang. Insidensi NPH berkisar sekitar 10-40%
dari kasus HZ. NPH merupakan aspek HZ yang paling mengganggu pasien secara
fungsional dan psikososial. Pasien dengan NPH akan mengalami nyeri konstan ( terbakar,
nyeri berdenyut), nyeri intermitten (tertusuk-tusuk), dan nyeri yang dipicu stimulus
seperti allodinia (nyeri yang dipicu stimulus normal seperti sentuhan, dll). Risiko NPH
meningkat pada usia >50 tahun (27x lipat): nyeri prodromal lebih lama atau lebih hebat,
7
erupsi kulit lebih hebat (luas dan berlangsung lama) atau intensitas nyerinya lebih hebat.
Risiko lain: distribusi di daerah oftalmik, ansietas, depresi, kurangnya kepuasan hidup,
wanita, diabetes. Walaupun mendapat terapi antivirus, NPH tetap terjadi pada 10-20%
pasien HZ dan sering kali refrakter terhadap oengobatan, walau pengobatan sudah
optimal, 40% tetap merasa nyeri.
3. Komplikasi mata
Keterlibatan saraf trigeminal cabang pertama menyebabkan HZ oftalmikus,
terjadi pada 10-25% dari kasus HZ, yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan,
nyeri menetap lama, dan atau luka parut. Keratitis (2/3 dari pasien HZO), konjungtivitis,
uveitis, episkleritis, skleritis, koroiditis, neuritis optika, retinitis, retraksi kelopak, ptosis,
dan glaukoma.
4. Komplikasi THT
Sindrom Ramsay-Hunt sering disebut HZ Optikus merupakan komplikasi pada
THT yang jarang terjadi namun dapat serius. SIndrom ini terjadi akibat reaktivasi VZV di
ganglion genikulata saraf fasialis. Tanda gejala sindrom Ramsay Hunt meliputi HZ di
liang telinga luar atau membrane timpani, disertai paresis fasialis bagian depan lidah,
tinnitus, vertigo, dan tuli. Banyak pasien yang tidak pulih sempurna.
5. Viseral
Dipertimbangkan bila ditemukan nyeri abdomen dan distensi abdomen.
Komplikasi visceral pada HZ jarang terjadi, komplikasi yang dapat terjadi misalnya
hepatitis, miokarditis, pericarditis, arthritis.
D. Herpes zoster pada keadaan khusus
1. Usia lanjut (immunosenescence)
Immunosenescence merupakan suatu proses kompleks yang ditandai dengan
penurunan fungsi sistem imun seseorang seiring dengan bertambahnya usia. Insiden HZ
meningkat tajam pada usia 50-60 tahun dan terus meningkat pada usia >60 tahun, bahkan
pada studi kohort menunjukan pada usia 85 tahun, 1 dari 2 orang akan terkena HZ. Hal
ini terjadi akibat penurunan imunitas seluler spesifik terhadap virus varicella zoster.
Menurunnya immunitas seluler spesifik terhadap virus varicella zoster juga
8
menyebabkan meningkatnya insidensi nyeri prodromal, meningkatnya keparahan HZ,
dan peningkatan insiden NPH.
NHP merupakan komplikasi paling sering. Komplikasi HZ lai yang sering terjadi
pada usia lanjut adalah inflamasi ocular pada HZ oftalmikus, stroke sekunder akibat
arthritis granulomatous di arteri carotid internal pada HZ oftalmikus paresis motorik,
sindrom Ramsay Hunt, dan ifneksi bakteri sekunder pada lesi HZ. Seperti pada berbagai
penyakit lain pada pasien usia lanjut, HZ dapat menunjukan tanda dan gejala yang tidak
khas seperti adanya nyeri segmental yang tidak diikuti erupsi kulit; kelumpuhan fasial
akut, tuli, vertigo, atau disgeusia; penglihatan kabur dan nyeri mata, demam, delirium,
meningismus (meningoensefalitis). Pada lesi perioral dan gluteal sulit dibedakan
zosteriform herpes simpleks. Oleh karena itu diagnosis perlu ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium.
2. Immunikompromais
Disfungsi imunitas seluler pada pasien immunokompromais merupakan pemicu
HZ yang potensial, sehingga insiden HZ meningkat pada pasien immunokompromais
seperti gangguan limfoproliferatif, kanker, pemberian kemoterapi,dll. Infeksi HIV/AIDS
merupakan penyebab terbanyak reaktivasi HZ.pada penderita HIV bisa terjadi serangan
rekuren dari HZ. Pada penderita imunokompromais dengan VZV infeksi/reaktivasi
ditemukan keadaan sebagai berikut : infeksi varisella dengan penyebaran visceral, herpes
zoster dengan diseminasi kutan, herpes zoster dengan diseminasi visceral dan kutan,
reaktivasi penyebaran VZV infeksi dengan diseminasi hematogenous, herpes zoster yang
persisten pada infeksi dermatom, VZV infeksi kronik dikulit setelah penyebaran
hematogenous.
Anamnesa :
Melakukan anamnesa yang teliti tentang keadaan penderita seperti adanya riwayat
seksual, penasun, penularan vertical ibu ke anak, riwayat adanya penggunaan obat ARV;
tanda-tanda konstitusi dari ifeksi ARV seperti infeksi akut, flu like syndrome, diare,
batuk, penurunan berat badan; riwayat pemakaian obat kemoterapi, steroid jangka
panjang; penyakit yang dicurigai sebagai penyebab penyakit imunodefisiensi.
9
Gambaran klinik:
Ditemukan penyebaran infeksi varisella yang rekuren tanpa adanya gejala Herpes
Zoster, dimana lesi vesikel dan pustule sangat banyak.
Ditemukan adanya gejala herpes zoster yang menyerang beberapa dermatom
sekaligus
Adanya gejala herpes zoster yang disertai dengan vesikel dan bula yang tersebar
(herpes zoster generalisata)
Adanya lesi herpes zoster yang menetap berupa papul dan nodul yang menjadi
hyperkeratosis dan veruka pada satu dermatom
Ulkus kronik yang menetap selama berbulan-bulan dimana penyembuhan dari
ulkus sangat lambat.
Terjadinya gambaran bula didaerah tangan dan tumit dilanjutkan penyebaran
tanpa mengikuti dermatom. Lesi kronis yang berupa nodul, ulkus, krusta. Reaksi
pasca inflamasi berupa hipo dan hiperpigmentasi.
Ditemukan adanya gejala sistemik yang menyerang mata dan retina, gangguan
penglihatan sampai buta.
Gejala sistem saraf.
Prognosa :
Pada lesi yang menyerang organ visceral terutama pada kemoterapi, mortalitas mencapai
30%. Apalagi kalau jumlah limfosit menurun menjadi <500/mikroliter. Varisela
pneumoni dapat muncul 3-7 hari setelah serangan infeksi kulit, berlangsung 2-4 minggu.
Gejala CNS muncul 4-8 hari setelah infeksi dan akan memberikan prognosa jelek.
3. Komorbid lain
Pada studi case control yang dilakukan Riduan et.al 2012, dari data sekitar 60.000 pasien
HZ usia 20-64 tahun. Diantara 10 penyakit kronis (tanpa mengikutsertakan pasien
imunokompromasi) yang paling sering ditemukan di Amerika (rhinitis alergika, penyakit
oaru obstruktif kronis, penyakit jantung koroner, depresi, diabetes mellitus, gout,
hiperlipidemia, hipertensi, hipotiroidsm, dan osteoarthritis), maka 8 penyakit kronis
tersebut signifikan meningkatkan risiko HZ, kecuali gout dan hipertensi.
10
E. Penatalaksanaan herpes zoster
1. Strategi 6 A
Dalam penatalaksanaan HZ, dikenal 6A: attract patient early,asses patient fully, antiviral
theraphy, analgetic, antidepressant, allay anxietas-counselling.
Attract patien early:
Pasien
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal, pengobatan sedini mungkin
dalam 72 jam setelah erupsi kulit.
Dokter
Diagnosis dini
Anamnesa dan pemeriksaan fisik secara seksama dan lengkap
Asses patient fully
Memperhatikan kondisi khusus pasien misalnya usia lanjut, risiko NPH, risiko
komplikasi mata, sindrom Ramsay Hunt, kemungkinan imunokompromais, kemungkinan
defisit motorik dan kemungkinan terkenanya organ dalam.
Antiviral
Antiviral diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada:
Usia >50 tahun
Dengan risiko terjadinya NPH
HZO/sindrom ramsay Hunt/HZ servikal/HZ sacral
Imunokompromais, disseminate/generalisata, dengan komplikasi
Anak-anak, usia < 50 tahun dan perempuan hamil diberikan terapi antiviral bila
disertai risiko terjadinya NPH, HZO/sindrom Ramsay Hunt, imunokompromais,
diseminata/generalisat, dengan komplikasi.
Pengobatan antivirus :
Asiklovir dewasa : 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari;atau
Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari
Famsiklovir untuk dewasa: 3x250 mg/hari selama 7 hari
Pengobatan antivirus pada pasien immunokompromais:
Asiklovir dewasa : 4-5 x 800 mg/hari atau
11
Asiklovir iv 3x10 mg/kgBB pada highly immunocompromais, multi
segmental/diseminata.
Valasiklovir untuk dewasa ; 3 x 1 gram/hari atau
Famsiklovir untuk dewasa : 3 x 500 mg/hari
Pada kasus hebat selain pemberian IV asiklovir ditambahkan dengan interferon
alpha 2a.
Dosis asiklovir u
ntuk anak :
< 12 tahun : 30 mg/kgBB untuk 7 hari
>12 tahun : 60 mg/kgBB untuk 7 hari
Analgetic :
Nyeri ringan : parasetamol/NSAID
Nyeri sedang sampai berat : kombinasi opioid ringan (tramadol, kodein) .
Allay anxietas-counselling
o Edukasi mengenai penyakit herpes zoster untuk mengurangi kecemasan serta
ketidakpahaman pasien tentang penyakit dan komplikasinya.
o Mempertahankan kondisi mental dan aktivitas fisik agar tetap optimal
o Memberikan perhatian dapat membantu pasien mengatasi penyakitnya
Pengobatan topical
o Menjaga lesi kulit agar kering dan bersih
o Hindari antibiotik topical kecuali ada infeksi sekunder
o Rasa tidak nyaman, kompres basah dingin steril
Terapi suportif
o Istirahat, makan cukup
o Jangan digaruk
o Pakaian longgat
o Tetap mandi
2. Terapi NPH
12
Tujuan : agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari-hari. Terapi farmakologik
lini pertama: masuk dalam kategorik medium to high efficacy, good strength of evidence,
low of side effect. Terapi non-farmakologik: masuk dalam kategori reports of benefits
limited.
Terapi NPH
Obat Dosis awal Titrasi
Lini pertama :
Trisiklik
antidepresan
Gabapentin
Pregabalin
Lidokain
topical EMLA
10 mg setiap malam
(2 jam sebelum tidur)
100 mg 3x sehari
75 mg 2x sehari
Lidokain gel 5%
Ditingkatkan 20 mg setiap 7 hari menjadi 50
mg kemudian menjadi 100mg dan 150 mg tiap
malam
100-300 mg ditingkatkan setiap 5 hari sampai
dosis 1800-3600 mg perhari
Tingkatkan sampai 150mg 2x perhari dalam 1
minggu
Lini kedua :
Tramadol
50 mg perhari Tingkatkan 50 mg setiap 3-4 hari sampai dosis
antara 100-400 mg perhari dalam dosis terbagi.
3. Indikasi rawat
o Penderita HZ yang luas sampai mengganggu keadaan umum (tidak dapat makan atau
minum).
o HZO/HZ dengan komplikasi
o HZ immunokompromais yang multisegmental atau diseminata
4. Rujukan
o Bila tidak tersedia terapi nonfarmakologis dirujuk ke neurologi
o HZ oftalmik : rujuk ke dokter mata
o Sindrom ramsay hunt rujuk ke dokter THT
o HZ dengan komplikasi: rujuk ke spesialis sesuai dengan organ yang terkena
13
o Bila erupsi kulit tidak menyembuh sesuai dengan waktunya, rujuk (kemungkinan
resisten dengan asiklovir)
5. Pencegahan
Metode pencegaha dapat berupa :
o Dengan cara pemakaian asiklovir jangka panjang dengan dosis supresi. Misalnya
asiklovir sering diberikan sebagai obat pencegahan pada penderita leukemia yang
akan melakukan transplantasi sumsum tulang dengan dosis 5 x 200mg/hari, dimulai 7
hari sebelum transplantasi sampai 15 hari sesudah transplantasi
o Pemberian vaksinasi dengan vaksin VZV hidup yang dilemahkan, sering diberikan
pada orang lanjut usia untuk mencegah terjadinya penyakit, meringankan beban
penyakit, serta menurunkan terjadinya komplikasi NPH.
14
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Nn.AO
Usia : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Alamat : Sedandang-Lemahireng
Pekerjaan : Pelajar
No. RM : 080928-2015
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : kulit melepuh di dada sampai punggung kanan
2. Keluhan Tambahan : rasa seperti terbakar di sepanjang dada sampai punggung kanan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kulit melepuh di dada sampai punggung sebelah kanan sejak 5
hari yang lalu. Awalnya muncul bintil-bintil didada 2 hari sebelum muncul kulit melepuh,
kemudian disusul bintil yang lebih besar dan terasa nyeri. Kemudian bintil tersebut seperti
menjadi satu, beberapa mengeluarkan cairan berwarna keruh. Dirasakan sangat nyeri seperti
rasa terbakar pada bagian tubuh sebelah kanan dibanding tubuh sebelah kiri. Sebelum bintil-
bintil muncul, pasien mengeluh demam, tidak nafsu makan, pusing, dan nyeri pada
persendian.
4. Riwayat Penyakit Dahulu : riwayat sakit cacar air waktu SD
5. Riwayat Penyakit Keluarga : ibu memiliki riwayat herpes zoster 2 tahun yang lalu.
6. Riwayat Pengobatan :
3 hari yang lalu berobat ke puskesmas dan diberi asiklovir, namun belum membaik.
7. Riwayat Kehidupan Sosial :
Pasien adalah seorang pelajar yang baru saja mengikuti kegiatan berkemah selama 7 hari
sebelum sakit.
C. Pemeriksaan Fisik
II.3.1. Status Generalis
15
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kepala
Bentuk kepala : Normocephale
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Gigi-Mulut : Lengkap, mulut basah
Leher : KGB tidak membesar
Thoraks
Dinding dada : (status dermatologis)
Jantung : Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : Bunyi napas vesikuler pasa seluruh lapang paru, ronkhi (-)/(-),
wheezing (-)/(-)
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Edema (-)/(-), sianosis (-), capillary refill time <2 detik
II.3.2. Status Dermatologis
Lokasi : regio torakalis dekstra
Distribusi : segmental
Bentuk : bulat
Susunan : herpetiformis (vesikel berkelompok)
Batas : tegas
Ukuran : plakat
Efloresensi : macula eritematosa,vesikel berkelompok, bula,krusta, erosi
16
D. Pemeriksaan Penunjang
-
E. Diagnosis
1. Diagnosis Kerja
Herpes Zoster thorakalis dextra
2. Diagnosis Banding :
Alergi obat
17
Dermatitis venenata
Impetigo bulosa
F. Tatalaksana
1. Farmakologis
Valasiklovir 3x1000 mg tab
Paracetamol 3x 500 mg tab
Cetirizine 1x 10 mg tab
Salticin cream
2. Non-Farmakologis
Tirah baring
Nutrisi tinggi protein dan karbohidrat
.
G. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pasien datang dengan keluhan kulit melepuh di dada sampai punggung
kanan. Pasien datang dengan keluhan kulit melepuh di dada sampai punggung sebelah kanan sejak 5 hari
yang lalu. Awalnya muncul bintil-bintil didada 2 hari sebelum muncul kulit melepuh, kemudian disusul
bintil yang lebih besar dan terasa nyeri. Kemudian bintil tersebut seperti menjadi satu, beberapa
mengeluarkan cairan berwarna keruh. Dirasakan sangat nyeri seperti rasa terbakar pada bagian tubuh
sebelah kanan dibanding tubuh sebelah kiri. Sebelum bintil-bintil muncul, pasien mengeluh demam, tidak
nafsu makan, pusing, dan nyeri pada persendian. Pasien memiliki riwayat sakit cacar air. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan lesi diregio torakalis dekstra, distribusi segmental, bentuk bulat,s
usunan herpetiformis (vesikel berkelompok), batas tegas, efloresensi macula eritematosa,vesikel
berkelompok, bula,krusta, erosi. Pada herpes zoster terdapat 3 stadium penyakit antara lain prodromal,
erupsi, dan penyembuhan. Pada pasien ini sudah masuk ke dalam fase erupsi, yakni munculnya macula
eritematosa,vesikel berkelompok, bula,krusta, erosi dan lokasi unilateral. Fase erupsi timbul dikarenakan
virus masuk ke kulit melalui sel endotel pembuluh darah dan menyebar ke sel epitel menyebabkan ruam
vesikel varicella. Lesi vesikuluar tersebut akan berubah menjadi pustular setelah infiltrasi sel radang.
Selanjutnya lesi akan terbuka dan kering membentuk krusta. Gejala prodromal juga mendahului pada
pasien ini dengan munculnya demam, pusing, dan nafsu makan berkurang yang disebabkan karena reaksi
inflamasi dari virus yang mengalami reaktivasi
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosis herpes zoster torakalis
dekstra karena sesuai dengan perjalanan klinis pasien yakni pada stadium erupsi. Riwayat alergi obat
disangkal, menyingkirkan kemungkinan lesi disebabkan karena konsumsi obat. Pada pemeriksaan tidak
ditemukan papul eritematosa yang merupakan ujud kelainan kulit yang biasa ditemukan pada dermatitis
venenata. Pada pasien , UKK tidak membentuk gambaran lesi yang soliter, yang biasanya terdapat pada
impetigo bulosa. Penatalaksanaan pada pasien ini ialah terapi sesuai dengan 6A yakni pengobatan pasien
dan diagnosis dari dokter, memperhatikan kondisi khusus pada pasien, pemberian antiviral, analgesic,
pengobatan topical. Pemberian valasiklovir dipilih karena potensinya untuk memfosforilasi ikatan DNA
virus lebih tinggi dibanding asiklovir, sehingga meningkatkan angka kesembuhan pada pasien. Pemberian
obat analgetik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri yang muncul pada pasien. Untuk lesi yang belum
pecah diberikan bedak salisil agar lesi tidak terinfeksi. Sedangkan untuk lesi yang sudah pecah diberi
19
salep. Pasien perlu istirahat total mengingat reaktivasi virus muncul ketika daya tahan tubuh menurun,
dan diharapkan dengan tirah baring, pasien dapat meningkatkan daya tahan tubuhnya.
20
BAB V
KESIMPULAN
Seorang pasien Nn. AO berusia 12 tahun datang dengan keluhan kulit melepuh di dada sampai
punggung kanan. Awalnya muncul bintil-bintil didada 2 hari sebelum muncul kulit melepuh, kemudian
disusul bintil yang lebih besar dan terasa nyeri. Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi diregio torakalis
dekstra, distribusi segmental, bentuk bulat, susunan herpetiformis (vesikel berkelompok), batas tegas,
efloresensi macula eritematosa,vesikel berkelompok, bula,krusta, erosi. Dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosis herpes zoster torakalis dekstra karena sesuai dengan
perjalanan klinis pasien. Penatalaksanaan pada pasien ini ialah terapi sesuai dengan 6A yakni pengobatan
pasien dan diagnosis dari dokter, memperhatikan kondisi khusus pada pasien, pemberian antiviral,
analgesic, pengobatan topical.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keempat,
cetakan pertama, Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2005 ; 92 – 99
2. Verma S, Heffernan PM. Fungal Disease. In: Wolff K, Goldsmith AL, Katz IS, Gilchrest
AB, Paller SA, Leffel JD, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7 th ed.
New York: McGraw Hill; 2008. p. 1807-25
3. Kelompok Studi Herpes Indonesia. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2014
4. Wolff K. Dermatitis. In: Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. Singapore; 2005. p.18-23.
5. Siregar RS. Atlas berwarna. Saripati Penyakit Kulit. Edisi kedua. Jakarta EGC. 2002 ; 17 –
20, 29 – 31.
6. Daili SSE, Menaldi LS, Wisnu MI, editors. Penyakit Kulit yang Umum Di Indonesia.
Jakarta Pusat: PT. Medical Multimedia Indonesia; 2005. p. 22-4, 30.
7. William D James, Timothy G Berger, Dirk M Elston. Editors. Diseases Resulting from
Fungi and Yeast, In:Andrews’ Disease of the Skin: Clinical Dermatology, Tenth Edition.
Philadelphia: W.B Saunders Company. 2006. P297-301
8. Dworkin RH et al., Recommendations for the management of herpes zoster. Clin Infect
Dis. 2007 Jan 1;44 Suppl 1:S1-26.
9. Hata A et al., Risk of Herpes zoster in patients with underlying diseases: a retrospective
hospital-based cohort study Infection. 2011 December; 39(6): 537–544.
10. Heymann AD et al., Diabetes as a risk factor for herpes zoster infection: results of a
population-based study in Israel. Infection. 2008 Jun;36(3):226-30. doi: 10.1007/s15010-
007-6347-x. Epub 2008 May 3.
11. Kempf W, et al. Swiss recommendations for the management of varicella zoster virus
infections. Swiss Med Wkly. 2007 May 5;137(17-18):239-51.
22
23