bab i pendahuluan
DESCRIPTION
Petikan Bab 1 dari tesiskuTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Bali lebih dikenal oleh masyarakat dunia sebagai pulau yang memiliki
struktur masyarakat yang homogen, bila dilihat dari segi agama, budaya, dan
bahasa. Terlebih lagi bila memandang Bali sebagai pulau yang berada di
antara dua pulau yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, yaitu pulau
Jawa dan pulau Lombok. Sebagian besar orang yang tidak pernah datang, atau
bahkan tinggal di Bali, tidak dapat mengetahui pluralitas struktur masyarakat
Bali dalam banyak hal.
Orang-orang yang mengenal Bali, mengetahui bahwa Bali memiliki
tingkat pluralitas yang sangat tinggi dari sisi ekspresi budaya, antara budaya
hingga adat-istiadat daerah satu dengan budaya daerah lainnya. Ari
Dwipayana (2005:ix) menyebutkan bahwa identitas ke-etnisan orang Bali,
tumpang tindih dengan identitas keagamaan masyarakat Bali yang mayoritas
beragama Hindu. Hal tersebut semakin diperkuat oleh ketahanan konstruksi
agama-budaya masyarakat Bali dalam menghadapi berbagai perubahan
zaman, seperti halnya di tanah Minangkabau.
Beberapa sikap hidup masyarakat Bali yang sebagian besar
dipengaruhi oleh ajaran Agama Hindu dalam mencapai tujuan hidup,
ditempuh dengan beberapa jalan. Jalan hidup paling utama adalah sikap hidup
selaras dan seimbang, yang sesuai dengan ajaran prinsip Tri Hita Karana.
1
Ajaran Tri Hita Karana terdapat dalam semua segi kehidupan sosial
masyarakat Bali, termasuk dalam lembaga-lembaga pranata sosial budaya
masyarakat Bali seperti banjar pakraman, subak, sekaa, pecalang, dan
sebagainya. Sebagai contoh, dalam kesatuan hidup masyarakat di Bali terdapat
krama desa (warga masyarakat desa) sebagai unsur pawongan dan
wewidangan (wilayah) sebagai unsur palemahan. Dua unsur tersebut
dilengkapi dengan keberadaan tiga pura utama (kahyangan tiga) sebagai unsur
parahyangan. Masyarakat Bali menganggap ajaran Tri Hita Karana inilah
yang telah “menjaga” kebudayaan dan pranata sosial masyarakat Bali hingga
kini.
Keragaman komunitas dari segi wilayah (kesatuan tempat tinggal)
terdapat dalam seluruh pelosok pulau Bali, hal ini juga yang mendasari
keragaman adat-istiadat masyarakat Bali, tata cara pemerintahan lokal,
kehidupan demokrasi lokal, juga keragaman-keragaman lain. Pada tingkat
yang paling dasar, terdapat pengorganisasian masyarakat pada sebuah banjar.
Sebuah banjar terdiri dari lima puluh hingga dua ratus rumah tangga
(kuren), perbedaan jumlah tersebut tergantung pada kondisi geografis banjar
bersangkutan. Setiap orang yang telah berumah tangga, wajib untuk masuk ke
dalam banjar dan mengikuti segala ketentuan dalam banjar tersebut. Beberapa
kuren akan masuk ke dalam satuan yang lebih kecil bernama tempekan,
biasanya diatur berdasarkan rumahnya dan mirip dengan rukun tetangga
seperti pada umumnya. Satuan wilayah di Bali tidak mengenal rukun tetangga
ataupun rukun warga.
2
Rumah tangga yang terdapat dalam sebuah banjar, terdiri dari soroh.
Soroh merupakan komunitas tertentu yang terbentuk berdasarkan garis
patrilineal, menjadi penanda statusnya dalam masyarakat tersebut. Setiap
nama dari soroh biasanya diawali dari nama leluhurnya, yang dianggap
menjadi cikal bakal keturunannya dan dirangkai ke generasi-generasi
berikutnya. Unit dasar dari soroh adalah dadia yang dianggap sebagai
keturunan dari leluhur yang sama. Tiap anggota masyarakat Hindu asli Bali
terikat dengan dadia yang dimilikinya, baik dalam mengadakan upacara-
upacara adat dan Hindu hingga ke aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
leluhurnya.
Masyarakat Hindu di Bali lebih sering beraktivitas dalam banjar,
terutama dalam sebuah gedung pertemuan milik banjar yang dinamakan bale
banjar. Aktivitas krama banjar dalam bale banjar dipimpin oleh seorang
kelian banjar adat atau kelian banjar pakraman yang dibantu beberapa
prajuru adat, dalam bale banjar inilah segala keputusan diambil berdasarkan
musyawarah antara anggota banjar tersebut. Namun sebagian besar hal-hal
yang dikerjakan dalam sebuah banjar diatur dalam sebuah awig-awig banjar
dan/atau perarem, sehingga sebuah awig-awig banjar atau perarem tersebut
berperan sebagai “konstitusi” banjar bersangkutan. Contoh kegiatan dalam
bale banjar adalah musyawarah dalam rangka upacara adat, memperbaiki
jalan, pemberian sanksi, atau hal-hal penting lainnya.
3
Bentuk organisasi komunitas yang lebih besar daripada banjar adat
adalah desa adat atau desa pakraman. Desa adat seperti banjar memiliki batas-
batas wilayah (wewengkon desa) yang jelas, dan dicantumkan dalam awig-
awig desa pakraman bersangkutan. Tiap desa adat memiliki aturan-aturan
hukum (desa dresta) tersendiri, dan berbeda-beda antara desa satu dengan
desa lainnya.
Sejak jaman Bali Kuna (sekitar abad 9) masyarakat Bali telah
mengenal pengorganisasian komunitas yang disebut dengan kraman, dari kata
kraman tersebut nama “desa pakraman” diambil. Tradisi-tradisi yang terdapat
pada kraman merupakan tradisi sebelum Hindu masuk ke Bali, seperti irigasi,
musyawarah, bangunan rumah yang terdiri dari kayu dan bambu, kerajinan,
pura-pura keluarga dan desa dengan ritualnya yang kompleks, bahasa-bahasa
lokal, dan tari-tarian. Pada abad ke 14 barulah muncul desa-desa yang
dikuasai oleh raja-raja setempat, hingga Belanda masuk dan membawa sistem
desa baru.
Sistem desa yang dibawa oleh Belanda tidak menghilangkan desa yang
lama, sehingga muncul dualisme pemerintahan desa di Bali. Dualisme
pemerintahan desa tercermin dalam model desa pakraman yang demokratis
dan otonom, berjalan bersama dengan desa (perbekelan) yang dibawa oleh
Belanda. Pengaruh kedua desa tersebut beragam hingga kini, salah satu lebih
kuat pengaruhnya dibandingkan yang lain, biasanya dipengaruhi oleh keadaan
geografisnya. Hal inilah yang menyebabkan pluralisme sistem politik lokal
pada desa-desa di Bali.
4
Secara garis besar terdapat tiga model sistem pemerintahan di desa
hingga kini, yaitu desa pakraman pegunungan (Bali Age), desa pakraman
dataran (Apanage), dan desa pakraman Baru (Anyar). Desa pakraman
pegunungan biasanya terbentuk sebelum masuknya Kerajaan Majapahit dan
Hindu, sebagian besar memiliki stratifikasi sosial sederhana berdasarkan
senioritas dan urutan perkawinan, karena orang yang lebih tua dianggap
mengetahui lebih banyak. Desa pakraman dataran sebagian besar dibentuk
oleh Patih Gajah Mada ketika Majapahit datang dan menduduki Bali sekitar
tahun 1350 M, sehingga konsep desa di Jawa yang lebih hierarkis kental sekali
terasa. Sedangkan desa pakraman Baru merupakan desa yang berumur jauh
lebih muda dibandingkan desa pakraman pegunungan dan desa pakraman
dataran, biasanya terjadi karena ada perselisihan atau pemekaran wilayah.
Desa pakraman memiliki penggolongan anggota masyarakat yang
berbeda satu dengan lainnya, contohnya desa pakraman yang membagi
masyarakatnya menjadi krama desa, krama tamiu, dan tamiu, ada pula desa
pakraman yang membagi masyarakatnya menjadi krama nuwed dan krama
pandonan, dan ada pula desa pakraman yang membedakan anggota
masyarakatnya berdasarkan hak dan kewajiban yaitu krama pangarep dan
krama pangele. Namun pada umumnya penggolongan ini berdampak pada hak
dan kewajiban dalam desa dan banjar, seperti ketika ada gotong royong warga
yang biasa disebut dengan ayahan.
5
Kekuasaan tertinggi pada sebagian besar desa pakraman terletak pada
rapat anggota yang biasa disebut sangkep atau parum, sehingga bendesa tidak
memiliki kewenangan secara penuh dalam mengatur kehidupan warganya.
Seluruhnya diatur dalam awig-awig desa pakraman bersangkutan.
Konflik merupakan fenomena yang biasa terdapat dalam setiap
masyarakat, terjadi karena perbedaan kepentingan antar warga masyarakat.
Dalam desa pakraman konflik dapat bersifat kriminal, adat murni, dan
menyangkut harta benda. Konflik-konflik tersebut akan ditangani berdasarkan
awig-awig desa pakraman, bila tidak ditemukan dalam awig-awig maka
prajuru akan mengadakan sangkep atau parum agar didapatkan kata mufakat
dan konflik dapat diselesaikan dengan baik.
Mekanisme penyelesaian konflik seringkali melahirkan sanksi-sanksi,
yang terdiri dari keharusan untuk melakukan upacara, penjatuhan denda,
larangan memasuki tempat suci, dikucilkan (kasepekang), pemecatan dari
keanggotaannya dalam desa pakraman, hingga diajukan ke pengadilan.
Sanksi-sanksi tersebut diberikan kepada anggota masyarakat yang telah
melanggar awig-awig desa pakraman, untuk menjaga keharmonisan hubungan
antar masyarakat desa pakraman.
Persyaratan dan dasar pembentukan desa dinas dan desa pakraman
berbeda satu dengan lainnya, karena itu wilayah dan jumlah anggota
masyarakat kedua jenis desa tersebut berbeda pula. Sehingga cakupan desa
dinas dan desa pakraman berbeda, terhadap hal tersebut dapat timbul beberapa
kemungkinan seperti:
6
1. Satu desa dinas memiliki wilayah yang sama dengan satu desa
pakraman.
2. Satu desa dinas terdiri dari beberapa desa pakraman.
3. Satu desa pakraman terdiri dari beberapa desa dinas.
4. Dua desa dinas saling berbagi wilayah satu desa pakraman.
Desentralisasi dan demokrasi pada ranah desa di Bali sebenarnya telah
berlangsung selama ratusan tahun, jauh sebelum Indonesia merdeka. Desa
pada waktu itu merupakan lembaga pemerintahan yang mandiri dalam
mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan tidak terikat dengan sistem
pemerintahan supra-desa secara hierarkis-struktural sehingga antara desa
dengan kerajaan tidak terikat secara mutlak. Sejarah di Bali menunjukkan,
bilamana seorang raja sudah dianggap tidak mampu memenuhi keinginan
rakyatnya, maka rakyatnya membunuh raja tersebut. Berbeda dengan keadaan
saat ini, desa diintegrasikan ke dalam struktur supra-desa sehingga pada
beberapa wilayah, otonomi asli di desa mengalami kemunduran dan hilang
secara perlahan.
Pemerintahan di desa sempat mengalami masa-masa sulit yang
mengakibatkan hilangnya kearifan-kearifan lokal di banyak desa, hal ini
mendapat banyak perubahan ketika reformasi bergulir. Pasal 1 butir o
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan desa sebagai, “... kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
7
berdasarkan asal-usul ada adat-istiadat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di bawah kabupaten.”
Secara normatif, desa tidak lagi ditempatkan sebagai bentuk
pemerintahan terendah di bawah kecamatan, melainkan sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan
setempat sesuai dengan hak asal-usul desa. Implikasinya adalah, desa berhak
membuat regulasi sendiri untuk mengelola kehidupan masyarakat di desa dan
barang-barang publik, sejauh belum diatur oleh kabupaten.
Selain itu adalah Badan Perwakilan Desa yang menjadi badan
pelembagaan demokrasi di desa, sebagai pengganti Lembaga Masyarakat
Desa. Anggotanya tidak lagi ditentukan oleh Lurah, melainkan berasal dari
masyarakat setempat, dan menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan ke arah
demokrasi, dengan adanya lembaga eksekutif dan legislatif di desa. Meskipun
dalam pemerintahan sehari-hari di beberapa desa, banyak terjadi
penyalahgunaan wewenang secara politis. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah merubah Badan Perwakilan Desa menjadi
Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang menjadi satu kesatuan dalam
pemerintahan desa bersama dengan kepala desa. Perubahan ini terlihat
berdampak positif dengan melahirkan kondisi pemerintahan desa yang lebih
kondusif, tidak diiringi lagi oleh politik-politik praktis dalam ranah desa, dan
memberikan perlindungan lebih baik kepada masyarakat desa meskipun
pembelajaran politik dalam ranah desa menjadi terelimininasi.
8
Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 72 Tahun 2005 tentang Desa mengakomodasi dua bentuk otonomi
desa, yaitu otonomi asli yang terdapat dalam struktur masyarakat genealogis
atau desa adat dan otonomi yang terdapat pada desa-desa yang struktur
masyarakatnya telah heterogen dan majemuk. Kewenangan dan otonomi desa
lebih lanjut diatur dalam pasal 1 butir 6 PP 72/2005 berupa urusan-urusan
penyelenggaraan pemerintahan,
“Pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI”.
Berdasarkan hal tersebut, PP 72/2005 mengatur beberapa hal berkaitan
dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Pembentukan desa harus
berdasarkan prakarsa pemerintah desa bersama BPD dengan memperhatikan
saran dan pendapat masyarakat setempat. Selain itu, urusan pemerintahan
utama yang menjadi kewenangan desa berupa urusan pemerintahan yang
sudah ada berdasarkan hak asal-usul, dan adat istiadat desa asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Urusan
kedua adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten yang
diserahkan kepada desa, urusan ketiga adalah tugas pembantuan dari
pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang berwenang, dan urusan-urusan
lainnya diserahkan kepada desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Urusan yang bukan merupakan urusan asli desa, harus disertai
9
dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, jika
tidak desa berhak menolaknya.
B. Perumusan Masalah.
1. Bagaimana kedudukan dan peranan banjar dalam sistem pemerintahan
desa di era desentralisasi?
2. Bagaimana pola hubungan antara pemerintah desa dengan banjar
pakraman dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sehari-hari?
C. Kerangka Teori.
Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa wilayah NKRI dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah. Sedangkan pasal 18B UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan masih sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI. Sedangkan dusun atau banjar merupakan suatu
wilayah tempat tinggal beberapa keluarga atau rumah (vide id.wikipedia.org).
Dua pasal tersebut secara jelas memperlihatkan bahwa dalam kerangka
NKRI, UUD 1945 mengakui dan menghormati eksistensi daerah-daerah yang
memiliki otonomi asli dan menggunakan hukum adat. Maksud ini terkandung
sejak UUD 1945 tengah disusun, ketika dalam Penjelasan UUD 1945
10
dinyatakan bahwa volksgemeenschappen seperti nagari, marga, dan dusun
masuk ke dalam bagian daerah yang mempunyai susunan asli menurut hukum
adat.
Masyarakat hukum adat terdapat pada Peraturan Menteri Negara
Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang menyatakan bahwa masyarakat hukum
adat merupakan sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat
tinggal atau atas dasar keturunan.
Masyarakat hukum adat berhak atas hak ulayat, terutama berupa tanah,
yang menurut hukum adat setempat dimiliki oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan tempat tinggal
anggota masyarakat hukum adat bersangkutan. Mereka berhak untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Hak tersebut timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah bersangkutan.
Dalam pengertian tersebut terkandung makna bahwa pemerintah akan
memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat yang menduduki
dan mengelola sebuah kawasan dengan luas tertentu yang tidak dapat ditarik
kembali oleh negara, berbeda apabila kawasan tersebut diberikan oleh negara
kepada suatu masyarakat hukum adat tertentu yang dapat ditarik sewaktu-
waktu. Dengan adanya pengakuan negara terhadap hak masyarakat hukum
11
adat ini, maka pihak-pihak lain di luar negara pun tidak dapat mengambil alih
tanah dalam kawasan tertentu.
Ide dasar mengenai demokrasi terkait dengan peran serta rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dan dahulu dalam desa-desa yang terdapat di
Indonesia hal ini banyak ditemukan. Muhammad Hatta (vide Prijono
Tjiptoherijanto dan Yumiko M. Prijono, 1983:17) mengatakan bahwa di desa-
desa, sistem yang demokratis masih kuat dan menjadi bagian dari adat-istiadat
yang hakiki, dan struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia
harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa.
Demokrasi Pancasila, yang disebutkan pada Ketetapan MPRS No.
XXXVII/MPRS/1968 tentang Pedoman Pelaksanaan Demokrasi Pancasila,
pada dasarnya adalah demokrasi yang telah digunakan oleh semua pihak-
pihak bangsa Indonesia sejak dahulu kala dan masih dapat dijumpai dalam
kehidupan masyarakat-masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia
(Hazairin, 1981:35). Ciri pokoknya adalah memelihara kesatuan masyarakat
dan bersifat komunal, sesuai perjalanan bangsa Indonesia semenjak dahulu
kala. Sifat komunal juga terdapat pada pemilikan harta benda, terutama tanah,
dan jika ada hal-hal yang terkait dengan harta benda bersama akan
diselesaikan pula secara bersama, contoh di Bali adalah pengelolaan sawah
yang ditentukan melalui musyawarah.
12
D. Keaslian Penelitian.
Dalam bidang Ilmu Hukum, penelitian mengenai dualisme sistem
pemerintahan di Bali bukan merupakan suatu hal yang baru sama sekali.
Bahkan penelitian mengenai hal tersebut telah berlangsung semenjak
pendudukan Kolonial Hindia Belanda, tentunya untuk kepentingan Pemerintah
Kolonial. Istilah adat pun pertama kali dipakai oleh Snouck Hurgronje dalam
bukunya “De Atjehers”, dan Van Vollenhoven membagi masyarakat hukum
Adat di Hindia Belanda ke dalam 19 golongan yaitu Aceh, Tanah Gayo, Alas
dan Batak, Tapanuli Selatan, Minangkabau, Sumatera Selatan, Daerah
Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan, Minahasa, Gorontalo, Sulawesi
Selatan, Kepulauan Ternate, Maluku dan Ambon, Irian, Kepulauan Timor,
Bali dan Lombok, Bagian Tengah Jawa dan Timur termasuk Madura, Daerah
Kerajaan dan Jawa Barat.
Salah satu tulisan mengenai dualisme sistem pemerintahan desa di Bali
berdasarkan penelitian Gde Pitana pada tahun 1999 yang menunjukkan
eksistensi pemerintahan adat, meskipun telah ditekan oleh peradaban barat
yang masuk melalui pariwisata. Tulisan lainnya adalah I Wayan Surpha pada
tahun 2002, isinya merupakan hasil penelitian Surpha pada desa adat yang ada
di Bali. Dua tulisan ini merupakan karya penulis selaku pengajar pada
Universitas Udayana di Bali.
Tulisan mengenai pemerintahan di Bali, terutama di Kabupaten
Tabanan, sempat dibuat oleh Clifford Geertz yang dibukukan pada tahun 2000
dengan judul “Negara Teater”. Kajian yang digunakan adalah kajian
13
antropologis, bukan kajian normatif. Penelitian yang dilakukan oleh pengajar
di Universitas Gadjah Mada dilakukan oleh Anak Agung Gede Ngurah Ari
Dwipayana pada tahun 2005, yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul
“Desa Mawa Cara”. Isi dari buku Ari Dwipayana berkisar pada tata cara dan
adat istiadat desa di Bali, dan menyentuh kepada dualisme pemerintahan adat.
Di samping itu ada beberapa tulisan lain yang terkait dengan dualisme
pemerintahan desa di Bali, namun sedikit sekali yang menyentuh eksistensi
banjar sebagai bagian dari pemerintahan adat dan dinas.
E. Manfaat Penelitian.
Penelitian ini mengambil otonomi daerah sebagai obyek penelitian,
khususnya otonomi asli yang terdapat pada tingkat desa di Bali, dengan
menggunakan ilmu hukum sebagai landasan pengkajian. Penelitian ini
diharapkan dapat memberi manfaat dari segi akademik dan praktis.
Secara akademik, penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan
pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya,
dan perkembangan Hukum Tata Negara pada khususnya. Terutama yang
terkait dengan perkembangan otonomi desa.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan
pemikiran terhadap lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan negara di
Indonesia pada umumnya, dan secara khusus kepada lembaga-lembaga yang
terkait dengan perkembangan pemerintahan di daerah.
14
F. Tujuan Penelitian.
Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh
pemahaman mengenai dualisme pemerintahan desa di Kabupaten Tabanan. Di
samping itu ada 2 (dua) hal yang ingin dikaji secara mendalam, yaitu:
1. Kedudukan dan pengaruh banjar pakraman dan banjar dinas dalam
sistem pemerintahan desa pada era desentralisasi.
2. Pola hubungan antara banjar pakraman dan banjar dinas dengan
pemerintahan yang terletak di atas banjar pakraman dan banjar dinas.
15