bab i pendahuluan 1.1. latar belakangeprints.ums.ac.id/24026/2/bab_i_pendahuluan.pdf · ketinggian,...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Geografi merupakan studi objek tentang permukaan bumi yang mengarah
pada sistem ekologi dan sistem keruangan. Sistem ekologi berkaitan terhadap
lingkungan hidup manusia, antara kegiatan manusia dan lingkungan. Sistem
keruangan berkaitan dengan hubungan antar wilayah dalam hubungan timbal
balik yang kompleks dari aktivitas manusia (Haggett, 2001). Permukaan bumi
sebagai lingkungan hidup dikaji melalui pendekatan kelingkungan atau ekologi
(ecological approach). Geomorfologi yang mengkaji tentang konfigurasi
permukaan bumi merupakan bagian dari ilmu geografi fisik (physical geography)
menunjukkan gejala alam atau fisikal yang mempengaruhi kehidupan manusia.
Gejala alam yang timbul dapat mendukung serta sekaligus membatasi aktivitas
manusia. Salah satu gejala alam yang mempengaruhi kehidupan manusia adalah
longsorlahan.
Longsorlahan (landslide) merupakan proses alam yang terjadi pada musim
penghujan di lereng-lereng pegunungan/perbukitan. Longsorlahan menunjukkan
perwujudan alam mencari keseimbangan baru yang dinamis. Peristiwa
longsorlahan dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya,
terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan hasil dari aktivitas manusia. Menurut
Varnes (1978, dalam USGS, 2004), longsorlahan merupakan gerakan lereng tidak
stabil yang dapat dibedakan menjadi jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran
(slides), sebaran (spreads), dan aliran (flows).
Indonesia merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana longsor.
Kejadian bencana alam longsorlahan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Selama kurun waktu 1981-2007, terjadi lebih dari 1.300 bencana longsorlahan di
Jawa, yang berarti terjadi 49 kejadian longsor setiap tahun. Jumlah korban luka
mencapai 550 orang atau sekitar 20 orang/tahun (Hadmoko, 2009).
2
Gambar 1.1 Grafik Jumlah Kejadian dan Korban Bencana Longsorlahan di Pulau Jawa
(Sumber: Hadmoko, 2009)
Longsorlahan merupakan gejala fisik dari proses alam pada lereng
perbukitan/ pegunungan, seperti halnya yang terjadi di Pegunungan Menoreh,
Kabupaten Kulonprogo. Kabupaten Kulonprogo merupakan wilayah yang sering
mengalami peristiwa bencana longsorlahan terutama yang seringkali terjadi ada
empat kecamatan, diantaranya: Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Kalibawang,
Kecamatan Girimulyo dan Kecamatan Kokap. Keempat wilayah kecamatan
tersebut pada musim penghujan rawan terhadap bencana longsorlahan serta
merupakan wilayah endemis karena bencana longsorlahan terjadi beberapa kali
setiap tahun.
Kejadian longsorlahan paling banyak terdapat di Kecamatan Girimulyo
sebanyak 60 kejadian, antara lain: tahun 2010 sebanyak 10 kejadian, tahun 2011
sebanyak 44 kejadian, dan tahun 2012 sebanyak 6 kejadian. Kecamatan
Samigaluh juga menunjukkan kejadian yang cukup tinggi sebanyak 42 kejadian,
diantaranya pada tahun 2010 sebanyak 3 kejadian, tahun 2011 sebanyak 25
kejadian, dan tahun 2012 sebanyak 14 kejadian. Informasi kejadian longsorlahan
di Kabupaten Kulonprogo dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut.
Tahun
Orang Terluka
Korban Meninggal
Angka Kejadian
An
gk
a K
ejad
ian
Ora
ng
Ter
luk
a dan
Men
ing
gal
3
Tabel 1.1 Informasi Kejadian Longsorlahan Kabupaten Kulonprogo
No. Tahun Kecamatan Kejadian
1. 2007 Kalibawang 2
Kokap 6
2. 2010 Samigaluh 3
Kalibawang 1
Girimulyo 10
Pengasih 1
3. 2011 Samigaluh 25
Girimulyo 44
Pengasih 4
4. 2012 Samigaluh 14
Kalibawang 9
Girimulyo 6
Kokap 7
Sumber: Kesbanglinmas Kabupaten Kulonprogo (2007) dan BPBD Kabupaten Kulonprogo (2012)
Kejadian longsorlahan pada beberapa kecamatan di Kabupaten Kulonprogo
mengakibatkan korban jiwa dan harta benda serta kerusakan tempat
tinggal/rumah. Kejadian longsorlahan menunjukkan tingkat risiko kerusakan
rumah yang tinggi. Angka tertinggi sebesar 500 unit rumah mengalami kerusakan
pada tahun 2006 (Tabel 1.2). Masyarakat atau penduduk terpaksa memanfaatkan
lahan yang rawan bencana longsorlahan sebagai tempat tinggal dan menjalankan
aktivitas di area rawan bencana longsorlahan demi memenuhi kebutuhan
kelangsungan hidupnya (Kuswaji, 2012). Masyarakat untuk memilih tinggal di
daerah perbukitan yang rawan terjadi longsorlahan karena masyarakat diwarisi
lahan untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam penghidupan sesuai
dengan potensi yang ada pada lahan tersebut. Kondisi medan yang berbukit,
ditambah dengan akses yang sulit untuk transportasi, sehingga menyebabkan
masyarakat harus memanfaatkan lahan yang ada untuk menggerakkan kegiatan
ekonominya.
4
Tabel 1.2 Informasi Korban/Kerugian Akibat Longsorlahan Kabupaten
Kulonprogo
No. Tahun Korban/Kerugian
Meninggal Mengungsi Luka-luka Kerusakan Rumah
1. 2006 - - - 500
2. 2007 - - - 8
3. 2010 - 6 - 14
4. 2011 4 - 5 5
5. 2012 - 1 - 6
Sumber: Kesbanglinmas Kabupaten Kulonprogo (2007) dan BNPB (2012)
Banyaknya kejadian longsorlahan di Kabupaten Kulonprogo dapat dikaji
menggunakan pendekatan ekspresi topografi terhadap konfigurasi lereng yang
dicerminkan melalui garis kontur. Ekspresi topografi digunakan sebagai
pendekatan pemetaan longsorlahan untuk membuktikan kebenaran di lapangan
tentang daerah yang rawan dan pernah terjadi longsorlahan. Menurut Rogers
(2004), analisis ekspresi topografi dari peta topografi dapat dengan mudah
dimanfaatkan untuk pemetaan bahaya longsorlahan. Ekspresi topografi
menunjukkan konfigurasi lereng melalui bentuk dan pola dari garis kontur,
digunakan sebagai indikator dalam mengidentifikasi longsorlahan. Bentuk dan
pola garis kontur diinterpretasi anomali bentuk kontur berupa “u”, bentuk “v”, dan
bentuk “n” yang mencerminkan daerah lembah, perbukitan, atau pegunungan.
Pola merupakan tingkat kerapatan kontur yaitu rapat dan tidak rapat atau renggang
yang menunjukkan kemiringan, panjang, dan ketinggian daerah, serta
menunjukkan bentuk lereng berupa landai seragam, curam, cembung, dan cekung.
Identifikasi longsorlahan menggunakan interpretasi ekspresi topografi dipertajam
dengan metode visualisasi topografi 3D menggunakan TIN (Triangulated
Irregular Network) yang merepresentasikan permukaan bumi secara akurat.
Ketinggian, bentuk pada permukaan lereng/kelerengan seperti punggung bukit,
dan lembah aliran sungai direpresentasikan melalui TIN (Zeiler, 1999).
Bentuk lereng cekung, curam, dan tebing dapat diketahui secara jelas
melalui interpretasi ekspresi topografi sebagai indikator terhadap kejadian
5
longsorlahan. Lereng berbentuk cekung diperkirakan rawan terjadi longsorlahan
karena air hujan mudah untuk jatuh/masuk ke dalam tanah dengan bidang cekung,
yang lebih cepat mengalami jenuh air dan menimbulkan gerakan geser di sekitar
sumbu yang sejajar dengan permukaan tanah. Gerakan geser pada lereng cekung
dapat tergolong jenis longsoran rotasi (rotational slide) atau slump karena
dicirikan dengan permukaan pecah dengan bidang cekung melengkung ke atas
(Varnes, 1978 dalam USGS, 2004). Lereng curam dapat diperkirakan rawan
terjadi debris flow karena aliran air permukaan yang kuat oleh curah hujan tinggi
yang dapat mengikis dan memindahkan material tanah yang gembur atau batuan
dengan cepat karena bidang kecuraman lereng (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004).
Bentuk lereng curam/terjal juga dapat menunjukkan terjadinya longsorlahan
jatuhan, seperti tebing oleh adanya gravitasi, pelapukan dapat melepaskan gerakan
material massa tanah dan batu/batuan. Atas dasar karakteristik atau konfigurasi
lereng yang dicerminkan oleh garis kontur sebagai pendekatan kajian
longsorlahan, maka dituangkan penulisan berjudul: Analisis Ekspresi Topografi
untuk Pemetaan Longsorlahan di Wilayah Kabupaten Kulonprogo.
1.2. Perumusan Masalah
Pemetaan longsorlahan dapat dilakukan menggunakan ekspresi topografi.
Ekspresi topografi merupakan kesan kenampakan permukaan bumi berupa
konfigurasi relief dan kelerengan melalui pola dan bentuk kontur pada peta
topografi. Interpretasi digunakan sebagai metode dalam pemetaan longsorlahan
dan digunakan metode visualisasi topografi 3D melalui TIN.
Berdasarkan latar belakang permasalahan, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan berikut.
1. Bagaimanakah identifikasi longsorlahan berdasarkan ekspresi topografi di
daerah penelitian?
2. Bagaimanakah pemetaan longsorlahan melalui pendekatan interpretasi
ekspresi topografi di daerah penelitian?
6
3. Bagaimanakah pemetaan longsorlahan melalui pendekatan interpretasi
ekspresi topografi dipertajam dengan visualisasi topografi 3D dan
pengetahuan kebencanaan lokal?
4. Bagaimanakah akurasi hasil pemetaan berdasarkan kedua metode tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. mengidentifikasi longsorlahan berdasarkan ekspresi topografi di daerah
penelitian;
2. memetakan longsorlahan dengan interpretasi ekspresi topografi di daerah
penelitian;
3. memetakan longsorlahan dengan visualisasi topografi 3D dan pengetahuan
kebencanaan lokal; dan
4. menguji tingkat ketelitian hasil pemetaan dengan membandingkan kesesuaian
secara keseluruhan melalui survei lapangan.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat ilmiah dan praktis, yaitu:
1. penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang keilmuan dan
tambahan pustaka khususnya mengenai pemetaan longsorlahan berdasarkan
ekspresi topografi dari peta topografi;
2. membuat peta atau memetakan longsorlahan melalui interpretasi peta
topografi (ekspresi topografi) sebagai bahan monitoring longsorlahan saat ini
dan masa mendatang guna berkontribusi dalam manajemen bencana.
1.5. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya
1.5.1. Peta Topografi
Peta topografi memetakan tempat-tempat di permukaan bumi yang
berketinggian sama dari permukaan laut yang diekspresikan melalui garis kontur,
dengan satu garis kontur mewakili satu ketinggian yang sama (Noor, 2011).
Konfigurasi relief berupa bukit (hill), lembah (valley), punggung bukit (ridge),
7
pelana (saddle), cekungan (depression), alur sungai (draw), taji (spur), tebing
(cliff), bahkan pemotongan dan pengisian daerah (cut and fill) dapat ditafsirkan
melalui interpretasi garis kontur (Department of The Army, 2001).
Bukit pada garis kontur dicirikan dengan bentuk lingkaran konsentris.
Bagian dalam lingkaran tertutup terkecil menunjukkan puncak bukit. Lembah
dicirikan dengan garis kontur berbentuk “u” atau berbentuk “v”. Ujung tertutup
dari bentuk kontur tersebut menunjukkan hulu atau daerah tinggi. Punggung bukit
dicirikan dengan garis kontur berbentuk “u” atau berbentuk “v” yang lebar dengan
pola yang seragam atau teratur. Pelana merupakan dataran tinggi diantara dua
bukit yang dicirikan oleh adanya dua garis kontur yang berbentuk membulat atau
lingkaran konsentris. Cekungan dicirikan oleh garis kontur tertutup yang memiliki
tanda centang menghadap ke arah bawah (tempat yang rendah). Alur sungai
dicirikan dengan garis kontur berbentuk “n” menghadap ke atas atau menunjuk ke
daerah tinggi dan tampak seperti jari yang panjang atau ranting karena berjumlah
lebih dari satu. Taji dicirikan dengan garis kontur yang hampir sama dengan
punggung bukit, berbentuk “u” atau berbentuk “v” dengan pola seragam dan
teratur. Tebing dicirikan oleh garis kontur dimana beberapa garis kontur tampak
menjadi satu garis atau saling menyentuh dan berdekatan garis kontur satu dengan
kontur lain. Pada cut and fill, pemotongan adalah daerah tinggi seperti punggung
bukit yang dipotong oleh jalan seperti jalan kereta api, dicirikan dengan tanda
centang di sepanjang alur garis kontur. Pengisian adalah daerah rendah yang
dilalui oleh jalan, dimana daerah yang lebih rendah dari jalan diisi dengan
material tanah atau batuan agar sejajar dengan permukaan jalan, dicirikan dengan
tanda centang pada alur garis kontur menghadap ke luar (Department of The
Army, 2001). Konfigurasi relief dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut.
8
Gambar 1.2 Konfigurasi relief pada peta topografi (Department of The Army, 2001)
Selain relief, garis kontur dapat menunjukkan jenis atau bentuk lereng,
yaitu lereng landai seragam (gentle), lereng curam (steep), lereng cembung
(convex), dan lereng cekung (concave) (Aamli Kam, 2006; Department of The
Army, 2001). Lereng landai dicirikan dengan garis kontur berbentuk “u” yang
seragam dan tampak lembut serta pola kontur yang tidak rapat (sedang). Lereng
curam dicirikan oleh garis kontur yang sangat rapat. Lereng cembung dicirikan
dengan pola yang sangat rapat pada kaki lereng, dan pada atas lereng memiliki
pola renggang. Sebaliknya pada lereng cekung sangat rapat garis konturnya pada
atas lereng dan lebih renggang pada kaki lereng atau lereng bawah (Department of
The Army, 2001). Pola dan bentuk garis kontur pada topografi yang
mencerminkan konfigurasi relief dan lereng menunjukkan kesan kenampakan
permukaan bumi yang merupakan ekspresi topografi.
1. BUKIT 4. PELANA 7. TAJI 10. PENGISIAN
2. LEMBAH 5. CEKUNGAN 8. TEBING
3. PUNGGUNG BUKIT 6. ALUR SUNGAI 9. PEMOTONGAN
9
.
Gambar 1.3 Lereng cembung dan lereng cekung (Aamli Kam, 2006)
Gambar 1.4 Lereng landai dan lereng curam (Aamli Kam, 2006)
10
Gambar 1.5 Bentuk lembah “v” dan bentuk lembah “u” (Aamli Kam, 2006)
Gambar 1.6 Bukit dan jurang (Aamli Kam, 2006)
11
1.5.2. Interpretasi Peta Topografi
Interpretasi peta merupakan kegiatan melihat dan mengamati sebuah peta
dan mencari penjelasan terhadap pola dari objek tersebut (Muehrcke, 1978).
Interpretasi peta topografi lebih menekankan pada pengamatan terhadap garis
kontur untuk menafsirkan medan atau konfigurasi relief dan kelerengan suatu
daerah.
Beberapa konfigurasi lereng dapat terlihat melalui interpretasi ekspresi
topografi, seperti lereng datar, landai, agak miring, miring, terjal, dan amat terjal.
Data topografi penting karena terdapat keterkaitan terhadap proses gerak massa
ataupun longsorlahan yang bekerja pada sebidang lahan dengan kelerengan
tertentu (Suharjo, 1996). Data peta topografi dapat memberikan informasi tentang
relief atau kelerengan dari garis konturnya. Melalui ekspresi topografi, peneliti
melakukan interpretasi terhadap pola dan bentuk garis kontur untuk dilakukan
identifikasi longsorlahan.
Peta topografi menyediakan atau memberikan informasi tentang
komponen lereng. Komponen lereng yang digunakan untuk mengidentifikasi
longsorlahan adalah kemiringan, panjang, bentuk, dan ketinggian (Cooke and
Doornkamp, 1994; Suprapto, 1998; Van Zuidam, 1979; Dackombe and Gardiner,
1983). Peta topografi juga menunjukkan adanya kekerasan batuan, struktur, dan
proses yang mungkin terjadi pada daerah di peta tersebut (Noor, 2006). Unsur
terpenting dari interpretasi peta topografi untuk identifikasi longsorlahan adalah
memperhatikan bentuk dan pola kontur. Bentuk kontur “u”, atau bentuk “v”,
bentuk “o” dan bentuk “n” menunjukkan konfigurasi daerah yaitu relief atau
kelerengan berupa daerah lembah, perbukitan, atau pegunungan (Aamli Kam,
2006; Department of The Army, 2001). Pola kontur rapat dan tidak rapat atau
renggang/jarang menunjukkan kemiringan, panjang, dan ketinggian daerah. Selain
itu pola kontur juga menunjukkan kekerasan batuan. Pola kontur rapat
menujukkan batuan keras, dan pola kontur renggang/jarang menunjukkan batuan
lunak atau lepas. Pola kontur yang menutup atau melingkar diantara pola kontur
lainnya menunjukkan puncak bukit dan menunjukkan batuan yang lebih keras dari
batuan sekitarnya (Noor, 2006).
12
Menurut Rogers (2004) berbagai kombinasi yang digunakan sebagai
indikator ekspresi topografi untuk mengidentifikasi tipe atau jenis longsorlahan,
sebagai berikut.
1. Divergent contours, kontur dimana terdapat kurva lereng atas dan kurva
lereng bawah (kontur berbentuk “n” dan kontur berbentuk “u”) yang
menunjukkan anomali atau penyimpangan garis kontur.
2. Crenulated contours, kontur yang menunjukkan pola gelombang atau lekukan
pada kurva lereng atas maupun kurva lereng bawah.
3. Arcuate headscarp evacuation areas, kontur berbentuk kurva lengkung pada
batas bukit dari longsorlahan yang dibentuk karena terjadi penghilangan atau
perpindahan material longsoran ke lereng bawah.
4. Isolated topographic benches, kontur dengan kurva lengkung atas (bentuk kontur
“n”) yang menunjukkan rotasi/putaran bidang luncur (slump) pada permukaan
lereng atas.
5. Extended topographic ridges or isolated topographic knobs, kontur yang
menunjukkan terjadi gerakan perpindahan geser yang menarik massa material
punggung bukit ke lereng bawah.
6. Sudden up- or down-slope turns in hillside contours, kontur dimana lereng bukit
bergerak turun. Sering disebabkan oleh gerakan lereng bawah dari bagian yang
terisolasi atau terjadi pemisahan dari lereng bukit.
7. Stepped topography, kontur yang menunjukkan penurunan lereng
(retrogressive slump) atau sebaran lateral lereng (lateral spreading) dengan
periode yang berulang.
8. Fan profiles, kontur yang berbentuk kipas, seperti kenampakan geomorfologi
berupa kipas aluvial, yang kemungkinan besar adalah endapan cuping
(depositional lobes) dapat berupa aliran runtuhan (debris flows), aliran tanah
(earth flows), atau sebaran lateral (lateral spreads).
Pemetaan longsorlahan dilakukan dengan metode interpretasi ekspresi
topografi secara visual yang dipertajam menggunakan metode visualisasi
topografi 3D dengan membangun data topografi (garis kontur) menjadi bentuk
TIN serta didasari local knowledge yaitu pengetahuan/pemahaman terhadap
13
longsorlahan. Konfigurasi permukaan lereng/kelerengan seperti punggung bukit,
pelana, cekungan, tebing dan lembah aliran sungai dapat direpresentasikan secara
akurat (Zeiler, 1999), sehingga upaya pengidentifikasian longsorlahan diperjelas
dengan menggunakan TIN.
Gambar 1.7 Anomali topografi digunakan dalam identifikasi longsor (Rogers, 2004)
Gambar 1.8 Anomali topografi terkait dengan landsliding. Gambar menunjukkan slide
translasi (translational slide) yang besar dengan earth flows yang lebih kecil dan slumps
pada massa longsor (slide mass) (Rogers, 2004)
14
1.5.3. Longsorlahan (Landslide)
Longsorlahan mendeskripsikan berbagai proses yang menghasilkan
pergerakan ke luar dan ke bawah (terlepas) dari material pembentuk lereng berupa
batuan, tanah, atau kombinasinya. Material dapat bergerak dengan jatuhan,
robohan, longsoran, sebaran, atau aliran (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004).
Gambar 1.9 berikut menunjukkan ilustrasi grafis dari longsorlahan, disertai
penjelasan istilah dari kenampakan longsorlahan.
Gambar 1.9 Jenis longsorlahan slump-earth flow, dan penamaan bagian-bagiannya (Varnes,
1978 dalam USGS, 2004)
Crown merupakan mahkota berupa material yang terletak di bagian
tertinggi gawir utama. Crown cracks menunjukkan retakan pada mahkota dari
material penyusun lereng seperti kekar. Main scarp merupakan lereng curam
utama pada bidang kontak antara material bergerak dengan gawir besar. Head
menunjukkan bagian sepanjang batas atas antara material bergerak dengan gawir
besar. Minor scarp merupakan lereng curam minor dari material bergerak. Surface
of rupture menujukkan rekahan permukaan pada bidang longsor. Main body
merupakan tubuh utama pelongsoran. Toe of surface of rupture adalah bagian kaki
yang mengalami rekahan permukaan pada bidang peluncuran. Surface of
separation merupakan pemisahan permukaan berupa garis perpotongan antara
bagian terbawah bidang longsor dengan permukaan lereng. Foot menunjukkan
15
material longsor pada permukaan lereng. Transverse cracks merupakan retakan
melintang dari material longsor. Transverse ridge berupa punggungan melintang
dari material longsor. Radial cracks merupakan susunan jari-jari yang melingkar
dari material longsor, dan toe menujukkan jari-jari kaki dari material longsor
sejauh material tersebut bergerak.
Berbagai jenis longsorlahan dapat dibedakan oleh jenis material yang
terlibat dan mekanisme pergerakan. Sistem klasifikasi pergerakan berdasarkan
parameter jenis material ditunjukkan Tabel 1.3 berikut.
Jenis Pergerakan
Jenis Material
Batuan dasar Teknika Tanah
Berbukit kasar Berbutir halus
Jatuhan Jatuhan batu Jatuhan bahan rombakan Jatuhan tanah
Robohan Robohan batu Robohan bahan rombakan Robohan tanah
Longsoran
Rotasi Nendatan batu Nendatan bahan rombakan Nendatan tanah
Translasi
Longsoran blok
batu
Longsoran blok bahan
rombahan
Longsoran blok
tanah
Longsoran batu Longsoran bahan rombakan Longsoran tanah
Sebaran Lateral Sebaran batu Sebaran bahan rombakan Sebaran tanah
Aliran Aliran batu
(rayapan dalam)
Aliran bahan rombakan Aliran tanah
Majemuk (Kompleks) Gabungan dua atau lebih jenis pergerakan
Sumber: Varnes (1978, dalam USGS 2004)
Meskipun longsorlahan sangat terkait pada daerah pegunungan,
longsorlahan dapat terjadi di daerah dengan relief rendah. Longsorlahan yang
terjadi di daerah relief rendah sebagai wujud aktivitas cut and fill (jalan dan
penggalian bangunan), aktivitas gerakan sungai, longsorlahan sebaran lateral,
runtuhan dari tumpukan limbah tambang (khususnya batubara), dan berbagai
lereng terkait aktivitas galian tambang dan tambang terbuka. Jenis-jenis
longsorlahan paling umum menurut Varnes (1978, dalam USGS, 2004) dijelaskan
sebagai berikut dan diilustrasikan pada Gambar 1.10.
16
1. Longsoran
Longsoran (slides) merupakan gerakan penurunan lereng dari tanah atau
massa batuan sebagai perlapisan struktur batuan pada permukaan yang terpecah
atau zona regangan geser yang kuat. Longsoran dicirikan dengan adanya
permukaan geser yang jelas, pergerakan massa pada hubungan antara tanah atau
batuan yang mendasarinya.
Dua jenis utama dari longsoran, yaitu: longsoran rotasi dan longsoran
translasi. Longsoran rotasi (rotational slide) merupakan longsoran dimana
permukaan pecah dengan bidang cekung melengkung ke atas
dan gerakan geser berotasi sekitar sumbu yang sejajar dengan permukaan tanah
dan melintang terhadap longsoran (Gambar 1.10.A). Longsoran translasi
(translational slide) merupakan massa bergerak geser disepanjang bidang
permukaan dengan sedikit rotasi atau mundur miring (Gambar 1.10.B). Terdapat
longsoran blok (block slide) merupakan longsoran translasi dimana massa batuan
bergerak dengan terdiri dari satu unit atau beberapa unit terkait yang bergerak
menuruni lereng sebagai massa relatif koheren (Gambar 1.10.C).
2. Jatuhan
Jatuhan (falls) merupakan gerakan pelepasan tanah atau batuan dari
permukaan yang curam atau tebing, dimana gerakan perpindahan sedikit atau
tidak terjadi yang kemudian material turun melalui udara dengan jatuh, berguling,
dan memantul. Jatuhan sangat dipengaruhi gravitasi, pelapukan mekanis, dan
tekanan air pori. Jatuhan menunjukkan gerakan mendadak dengan massa berupa
material geologi, seperti batu dan batuan besar, yang terlepas dari lereng curam
atau tebing (Gambar 1.10.D).
3. Robohan
Robohan (topples) merupakan gerakan rotasi maju keluar dari kemiringan
massa tanah atau batuan dengan perpindahan massa di sekitar titik atau sumbu
bawah pusat gravitasi (Gambar 1.10.E).
4. Aliran
Aliran (flows) merupakan gerakan turbulen massa cair yang berat, baik air
atau udara sebagai fluida pori (misalnya seperti tanah padat basah atau tanah pasir
17
kering). Ada gradasi dari aliran ke longsoran tergantung pada kadar air dan
pergerakan. Ada lima kategori dasar jenis longsor aliran (flow), antara lain:
a. aliran runtuhan (debris flow), adalah bentuk gerakan massa yang cepat
dimana kombinasi tanah lepas, batuan, bahan organik, udara, dan air mengalami
perpaduan material sebagai cairan yang mengalir menuruni lereng (Gambar
1.10.F). Aliran runtuhan < 50% berupa material halus. Aliran runtuhan umumnya
disebabkan oleh aliran air permukaan yang kuat, karena berat curah hujan atau
pencairan salju yang cepat, yang mengikis dan memindahkan tanah yang gembur
atau batuan di lereng curam. Aliran runtuhan umumnya juga memindahkan dari
jenis longsorlahan lain yang terjadi pada lereng yang curam, jenuh air, dan
sebagian besar terdiri dari lumpur dan material berupa pasir. Sumber daerah aliran
runtuhan sering berkaitan dengan selokan yang curam, dan aliran runtuhan
biasanya ditandai dengan adanya kipas runtuhan yang menempati pada bibir
selokan. Kebakaran yang menggunduli lereng vegetasi mengakibatkan lereng
menjadi sangat rentan terhadap aliran runtuhan.
b. longsoran runtuhan (debris avalanche), adalah gerakan material tanah,
batuan atau es yang sangat cepat (Gambar 1.10.G).
c. aliran tanah (earthflow), memiliki karakteristik berbentuk "jam pasir"
(Gambar 1.10.H). Material lereng mencair dan bergerak, membentuk mangkuk
atau depresi di kepala permukaan lereng. Alirannya memanjang dan biasanya
terjadi pada material halus atau tanah liat dan batuan di lereng sedang dan dalam
kondisi jenuh air. Namun, juga mungkin pada aliran kering dengan material
granular atau berupa butiran-butiran kecil.
d. semburan/aliran lumpur (mudflow), adalah aliran tanah yang terdiri dari
material yang cukup basah mengalir cepat dan mengandung setidaknya 50% pasir,
debu, dan tanah liat berukuran partikel. Aliran lumpur (mudflow) dan aliran
runtuhan (debris flow) umumnya disebut sebagai "mudslide."
e. rayapan (creep), adalah gerakan terasa lambat, stabil, turun dari lereng-
pembentuk tanah atau batuan. Gerakan disebabkan oleh tekanan yang cukup
memotong atau meretakkan material permukaan lereng yang menghasilkan
pergeseran deformasi, namun terlalu kecil untuk menghasilkan aktivitas gesernya.
18
Pada umumnya ada tiga jenis longsor rayapan: (1) musiman, dimana gerakan
dalam kedalaman tanah dipengaruhi oleh perubahan musim, kelembaban tanah
dan suhu tanah; (2) terus menerus, dimana tekanan geser terus menerus melebihi
kekuatan material; dan (3) progresif, dimana lereng yang mencapai titik kerusakan
sebagai gerakan massa dari jenis longsor lain. Rayapan ditunjukkan dengan
adanya batang pohon yang melengkung atau miring, pagar atau dinding penahan
bengkok, tiang atau pagar miring, dan ombakan kecil berupa getaran dari tanah
atau pegunungan (Gambar 1.10.I).
5. Sebaran Lateral
Sebaran lateral (lateral spreads) merupakan gerakan perluasan tanah
kohesif atau massa batuan yang terkombinasi dengan turunnya massa yang patah
menjadi material lembut yang mendasarinya (Gambar 1.10.J). Rekahan
permukaan tidak menunjukkan permukaan yang geser secara kuat. Sebaran dapat
diakibatkan dari amblesan tanah (liquefaction) atau aliran dan tekanan dari
material lunak. Longsor ini biasanya dipicu oleh tanah yang bergerak cepat,
seperti selama gempa bumi, juga karena kegiatan yang ditimbulkan oleh manusia.
Ketika material yang koheren, baik batuan dasar atau tanah, bertumpu pada
material-material yang lunak, unit atas permukaan terjadi perpecahan material dan
meluas, tanah mengalami surut, terjadi translasi, rotasi, dan mengalami hancuran
tanah. Sebaran lateral dalam material dengan butiran halus di lereng dangkal
biasanya progresif. Longsoran terjadi tiba-tiba di area kecil dan menyebar dengan
cepat. Seringkali awal terjadinya adalah kemerosotan, namun dalam beberapa
material gerakan terjadi tanpa alasan yang jelas. Kombinasi dari dua atau lebih
dari jenis longsoran tersebut dikenal sebagai longsorlahan yang kompleks.
19
Gambar 1.10 Jenis-jenis peregerakan longsorlahan (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004)
1.5.4. Penelitian Sebelumnya
Rogers and Doyle (2004) melakukan penelitian dengan tujuan utama
adalah untuk menguji validitas tata topografi (topographic protocols) dalam
mengidentifikasi longsorlahan berdasarkan ekspresi topografi di zona seismik
New Madrid, Missouri dan Arkansas. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini difokuskan pada identifikasi awal daerah yang terduga terjadi longsoran
menggunakan protokol topografi berdasarkan ekspresi topografi, pemeriksaan
foto udara, survei lapangan dan penampang geofisik. Pemetaan menggunakan
kunci drainase dan topografi untuk mengenali karakteristik situs
anomali/penyimpangan khas dari garis kontur terhadap berbagai bentuk
longsorlahan, diantaranya lateral spreads, slump-earthflows, translational block
20
slides, shallow retrogressive slump complexes, and theater-head slump-flow
complexes. Foto udara digunakan sebagai informasi kajian terhadap batuan dasar,
struktur batuan, dan pemetaan tingkat kejadian longsorlahan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa peta topografi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk
pemetaan bahaya longsorlahan. Bentuk yang paling umum dari ekspresi topografi
yaitu: kontur divergen (divergent contours), lekukan kurva kontur (crenulated
contours), bentuk kurva lengkung pada batas bukit (arcuate headscarp evacuation
areas), bentuk kontur “n” yang terisolasi (isolated topographic benches),
punggung bukit yang terisolasi (extended topographic ridges or isolated
topographic knobs), lereng bukit bergerak turun (sudden up- or down-slope turn
in hillside contours), pergeseran/perpindahan pola (stepped topography), dan
profil kipas (fan profiles).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa longsorlahan yang telah dipetakan
terjadi akibat pengaruh guncangan tanah yang intensif terkait dengan peristiwa
gempa bumi tahun 1811 – 1812 di New Madrid. Sebanyak 254 terjadi
longsorlahan di LaGrange, pulau Stubbs, Helena, antara lain: 98 jenis
longsorlahan slumps atau retrogressive slump complexes; 66 block slide; 52 earth
flows; 20 theater-head erosion complexes; dan teridentifikasi 18 lateral spreads.
Angka yang tinggi ditunjukkan pada jenis longsorlahan slumps yang
dimungkinkan oleh faktor karakteristik material yang homogen pada Crowley’s
Ridge. Jenis rotational slumps juga menunjukkan bentuk material yang homogen.
Longsoran paling tinggi terjadi pada Villey Ridge yang ditunjukkan dengan
kebenaran/kenyataan bahwa di lokasi tersebut jauh lebih dekat terhadap episenter
gempa tahun 1811 – 1812 serta di lokasi tersebut pernah terjadi guncangan tanah
yang keras/besar.
Fernandes et al (2004) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
memetakan kerawanan/bahaya longsorlahan serta untuk mengetahui indeks
potensi longsorlahan menggunakan kontrol topografi dengan pemodelan spasial
dan pembuktian lapangan dengan lokasi kajian di daerah cekungan/lembah sungai
wilayah Quitite dan Papagaio di Meksiko, daerah aliran di sisi Barat pegunungan
tinggi Tijuca (The Tijuca Massif) dengan luas wilayah sekitar 2,13 - 2,22 km2
dan
21
wilayah tersebut hampir sebanyak 100 kejadian longsorlahan telah dipetakan
tahun 1996. Metode yang digunakan adalah pemetaan kejadian longsorlahan dan
pemetaan lapangan menggunakan DEM (digital elevation model), menyelidiki
karakteristik topografi (lereng, bentuk lereng perbukitan, pertambahan area akibat
kejadian longsorlahan sebelumnya, dan arah hadap lereng), serta menggunakan
data/peta vegetasi yang dioverlay dengan peta bekas/kejadian longsorlahan
sebelumnya. Kajian kerentanan longsorlahan menggunakan model SHALSTAB
(model matematis deterministik) untuk menentukan kerentanan relatif terhadap
longsorlahan serta kondiktivitas hidrolik tanah yang memiliki peranan penting
terhadap longsorlahan terutama pada daerah perbukitan tropis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frekuensi dan indeks
potensi longsorlahan pada empat karakteristik topografi yang dikaji (lereng,
bentuk lereng berbukit, pertambahan area, dan arah hadap lereng)
membuktikan/memperlihatkan bahwa lereng dengan sudut/kemiringan antara
18,6º - 37,0º berfrekuensi besar terjadi longsorlahan di daerah cekungan/lembah
sungai wilayah Quitite dan Papagaio. Indeks potensi longsorlahan juga
bertambah/meningkat ketika kemiringan lereng pada batas kemiringan 37,1º -
55,5º. Bentuk lereng berbukit menunjukkan peran utama dalam kontrol distribusi
longsorlahan di kedua lembah sungai tersebut. Meskipun bentuk lereng cembung
adalah berfrekuensi besar, indeks potensi lahan pada bentuk lereng cekung tiga
kali lebih besar daripada bentuk lereng selain cekung. Lokasi topografi dengan
pertambahan area yang tinggi, meskipun memiliki frekuensi yang rendah di
cekungan/lembah sungainya (1 – 4%) tetapi menunjukkan nilai indeks potensi
lahan tertinggi karena faktor kejadian longsorlahan sebelumnya. Arah hadap
lereng menunjukkan peninggalan yang kuat dari struktur batuan, sekitar 70%
lereng bukit di daerah cekungan/lembah sungai Quitite dan Papagaio menghadap
ke arah Barat Daya, Barat, dan Barat Laut. Nampak jelas bahwa pada lembah
sungainya, struktur batuan yang bekerja memiliki peranan yang sangat penting
dalam pengendalian/kontrol arah hadap lereng. Hasil model SHALSTAB
menunjukkan nilai perbandingan lokasi tidak stabil (lereng) dengan lokasi aktual
22
longsorlahan pada lembah sungai tersebut, dimana dipicu oleh badai hujan
hebat/besar pada Februari 1996.
Kuswaji (2012) melakukan penelitian bertujuan: mengetahui karakteristik
bentuklahan kejadian longsorlahan di pegunungan Kulonprogo, menganalisis
secara komprehensif antara bentuklahan dan tanah dengan kejadian longsorlahan
di pegunungan Kulonprogo, menyusun tipologi pedogeomorfik wilayah rawan
longsorlahan di pegunungan Kulonprogo berdasarkan karakteristik bentuklahan
dan tanahnya. Metode yang digunakan adalah metode survei, perolehan data
secara sampling dengan analisis gabungan kualitatif dan kuantitatif. Kejadian
longsorlahan yag ada dikaji secara geomorfik dan pedologis untuk mengetahui
tipologi pedogeomorfik kejadian longsorlahan mendatang. Cara pengambilan
sampel dilakukan secara purposif (purposive sampling). Variabel yang diamati,
diukur, dan dikaji meliputi variabel geomorfik (bentuklahan), variabel
antropogenik, dan variabel pedologis (perkembangan tanah) yang menjadi faktor
kejadian longsorlahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karakteristik bentuklahan pada
kejadian longsorlahan di Pegunungan Kulonprogo dikelompokkan menjadi enam
kelompok, yaitu Perbukitan Denudasional, Lereng Atas Perbukitan Denudasional,
Lereng Kaki Perbukitan Denudasional, Perbukitan Struktural, Lereng Atas
Perbukitan Struktural, dan Lereng Kaki Perbukitan Struktural. Tingkat
perkembangan tanah awal (initial), sedang (juvenile), dan lanjut (venile)
dikelompokkan menjadi tiga jenis tanah (great group soil): Troportents,
Eutropepts, dan Hapludalfs. Tingkat kerawanan longsorlahan dikelompokkan
menjadi tiga: rendah, sedang, tinggi. Tipologi pedogeomorfik kejadian
longsorlahan dikelompokkan menjadi tujuh: Perbukitan Denudasional Troporhent
dengan tingkat kerawanan longsorlahan sedang, Perbukitan Denudasional
Hapludalf dengan tingkat kerawan longsorlahan sedang, Lereng Atas Perbukitan
Denudasional Eutropept dengan tingkat kerawanan longsorlahan tinggi, Lereng
Kaki Perbukitan Denudasional Troportent dengan tingkat kerawanan longsorlahan
rendah, Perbukitan Struktural Troportent dengan tingkat kerawanan longsor
sedang, Lereng Atas Perbukitan Struktural Eutropept dengan tingkat kerawanan
23
longsorlahan tinggi, dan Lereng Kaki Perbukitan Struktural Eutropept dengan
tingkat kerawanan longsorlahan ringan. Perbandingan penelitian sebelumnya
dapat dilihat pada Tabel 1.4.
1.6. Kerangka Penelitian
Peta topografi menyajikan unsur alami dan unsur buatan manusia yang
merepresentasikan kondisi fisik permukaan bumi. Informasi terpenting dari peta
topografi adalah terdapat garis kontur yang menunjukkan konfigurasi relief dan
kelerengan daerah. Kesan kenampakan dari lereng (kemiringan, panjang, dan
bentuk) pada garis kontur menunjukkan ekspresi topografi. Ekspresi topografi
dapat digunakan untuk pemetaan longsorlahan melalui interpretasi bentuk dan
pola garis kontur. Daerah longsorlahan ditunjukkan oleh penyimpangan garis
kontur dari bentuk “n” menjadi “u” atau “v” dan sebaliknya. Pada daerah
pelongsoran dicirikan oleh bentuk kontur “n” dan rapat menunjukkan lereng yang
curam, sedangkan daerah timbunan material pelongsoran ditunjukkan oleh bentuk
kontur “u” dan renggang. Pola kontur di daerah longsorlahan juga dapat
digunakan untuk memperkirakan panjang dan kemiringan lereng.
Daerah rawan longsorlahan biasanya terdapat di daerah perbukitan atau
pegunungan yang curam. Daerah yang curam dicirikan oleh garis kontur yang
rapat, pola kontur rapat menjadi indikator untuk interpretasi lereng. Lereng atas
merupakan titik rawan longsorlahan yang dicirikan oleh bentuk kontur setelah “o”
di bawah puncak bukit (di bawah garis kontur “o”). Lereng kaki yang berbentuk
cekung juga merupakan titik rawan longsorlahan yang dicirikan oleh bentuk
kontur “n” atau bentuk “u” terbalik dengan posisi ketinggian dari atas ditunjukkan
melalui interval kontur (Ci), juga dengan pola garis kontur pada kaki lereng
cekung lebih renggang dan semakin ke atas garis kontur semakin rapat.
24
Tabel 1.4 Perbandingan Penelitian Peneliti dan Penelitian Sebelumnya
Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil
Rogers
and
Doyle,
2004
Pemetaan Kemungkinan
Longsorlahan dari pengaruh
Seismik di bukit Benton dan
punggung bukit Crowley,
zona 24ctual24 New Madrid,
Kansas dan Missouri
1. Menguji validitas tata topografi
(topographic protocols) dalam
mengidentifikasi longsorlahan
berdasarkan ekspresi topografi di zona
seismik New Madrid, Missouri dan
Arkansas
Survei Longsorlahan yang telah dipetakan terjadi sebanyak 254
terjadi longsorlahan di LaGrange, pulau Stubbs, Helena,
antara lain: 98 jenis longsorlahan slumps atau
retrogressive slump complexes; 66 block slide; 52 earth
flows; 20 theater-head erosion complexes; dan
teridentifikasi 18 lateral spreads.
Fernandes
et al, 2004
Kontrol Topografi terhadap
Longsorlahan di wilayah Rio
De Janeiro: Pemodelan dan
Pembuktian Lapangan
1. Memetakan kerawanan/ bahaya longsor
2. Mengetahui indeks potensi longsor
menggunakan kontrol topografi dengan
pemodelan spasial dan pembuktian
lapangan dengan lokasi kajian di daerah
cekungan/lembah sungai wilayah
Quitite dan Papagaio di Meksiko
Survei Distribusi frekuensi dan indeks potensi longsorlahan pada
empat karakteristik topografi yang dikaji (lereng, bentuk
lereng berbukit, pertambahan area, dan arah hadap lereng)
membuktikan/memperlihatkan bahwa lereng dengan
sudut/kemiringan antara 18,6º - 37,0º berfrekuensi besar
terjadi longsorlahan di daerah cekungan/lembah sungai
wilayah Quitite dan Papagaio.
Model SHALSTAB menunjukkan nilai perbandingan
lokasi tidak stabil (lereng) dengan lokasi aktual
longsorlahan pada lembah sungai tersebut, dimana dipicu
oleh badai hujan hebat/besar pada Februari 1996.
Kuswaji,
2012
Tipologi Pedogeomorfik
Kejadian Longsorlahan di
Pegunungan Kulonprogo
2. Mengetahui karakteristik bentuklahan
kejadian longsorlahan di daerah
penelitian.
Survei Karakteristik bentuklahan pada kejadian longsorlahan di
Pegunungan Kulonprogo dikelompokkan menjadi enam
kelompok, yaitu Perbukitan Denudasional, Lereng Atas
25
Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil
Daerah Istimewa Yogyakarta
Indonesia
3. Menganalisis secara komprehensif
antara bentuklahan dan tanah dengan
kejadian longsorlahan di daerah
penelitian.
4. Menyusun tipologi pedogeomorfik
wilayah rawan longsorlahan di daerah
penelitian berdasarkan karakteristik
bentuklahan dan tanahnya.
Perbukitan Denudasional, Lereng Kaki Perbukitan
Denudasional, Perbukitan Struktural, Lereng Atas
Perbukitan Struktural, dan Lereng Kaki Perbukitan
Struktural. Tingkat perkembangan tanah awal, sedang, dan
lanjut dikelompokkan menjadi tiga jenis tanah (great
group soil): Troportents, Eutropepts, dan Hapludalfs.
Tingkat kerawanan longsorlahan dikelompokkan menjadi
tiga: rendah, sedang, tinggi. Tipologi pedogeomorfik
kejadian longsorlahan dikelompokkan menjadi tujuh:
Perbukitan Denudasional Troporhent dengan tingkat
kerawanan longsorlahan sedang, Perbukitan Denudasional
Hapludalf dengan tingkat kerawan longsorlahan sedang,
Lereng Atas Perbukitan Denudasional Eutropept dengan
tingkat kerawanan longsorlahan tinggi, Lereng Kaki
Perbukitan Denudasional Troportent dengan tingkat
kerawanan longsorlahan rendah, Perbukitan Struktural
Troportent dengan tingkat kerawanan longsor sedang,
Lereng Atas Perbukitan Struktural Eutropept dengan
tingkat kerawanan longsorlahan tinggi, dan Lereng Kaki
Perbukitan Struktural Eutropept dengan tingkat kerawanan
longsorlahan ringan.
26
Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil
Al
Wahidy,
2012
Ekspresi Topografi untuk
Pemetaan Longsorlahan di
wilayah Kabupaten
Kulonprogo
1. Menyusun kunci identifikasi
longsorlahan berdasarkan ekspresi
topografi.
2. Memetakan longsorlahan dengan
interpretasi ekspresi topografi.
3. Memetakan longsorlahan dengan
visualisasi topografi 3D dan
pengetahuan kebencanaan lokal.
4. Menguji tingkat ketelitian hasil
pemetaan dengan membandingkan
kesesuaian secara keseluruhan melalui
survei lapangan.
Survei Kejadian longsorlahan di lapangan paling banyak
ditemukan di Kecamatan Kokap sebanyak 4 titik yaitu di
Desa Hargomulyo dengan kemiringan lereng 65%, Desa
Hargotirto dengan kemiringan lereng 90%, dan di Desa
Kalirejo dengan kemiringan lereng 65% dan kemiringan
lereng 30%. Empat titik kejadian longsorlahan tersebut
merupakan bukti kebenaran dari analisis ekspresi topografi
dan TIN. Jenis longsorlahan dapat diketahui satu tipe
longsornya berupa longsorlahan jenis rotational slump di
Desa Pagerharjo Kecamatan Samigaluh, dari ekspresi
kontur divergen yang ditunjukkan dengan kunci
interpretasi ekspresi topografi yaitu daerah pelongsoran
dicirikan oleh bentuk kontur “n” dan rapat, sedangkan
daerah timbunan material pelongsoran ditunjukkan oleh
bentuk kontur “u” dan renggang.
27
Pemetaan longsorlahan semakin diperjelas atau dipertajam dengan metode
visualisasi topografi 3D melalui pemodelan spasial kontur menjadi 3D dalam
bentuk TIN (Triangulated Irregular Network) menggunakan SIG. Longsorlahan
dari metode interpretasi maupun metode visualisasi topografi 3D menunjukkan
longsorlahan eksisting, yaitu longsorlahan yang sudah terjadi di masa lampau dari
kondisi aktual lereng mengalami longsorlahan. Lereng menjadi pendekatan utama
sekaligus variabel terhadap kejadian longsorlahan. Konfigurasi lereng dari peta
topografi merupakan ekspresi topografi untuk memetakan atau mengetahui
bahaya longsorlahan yang dicerminkan melalui garis kontur.
Identifikasi longsorlahan menggunakan metode visualisasi topografi 3D
melalui pemodelan TIN sangat membantu dalam mengetahui konfigurasi lereng.
Bentuk lereng cembung, lereng cekung, lereng landai seragam, bentuk depresi
lereng, panjang lereng dan ketinggian lereng dapat diketahui secara jelas yang
dapat memudahkan dalam pengidentifikasian.
1.7. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei karena
kajian longsorlahan melalui interpretasi berdasarkan ekspresi topografi divalidasi
dengan survei lapangan untuk pembuktian hasil analisis dengan pengamatan
terhadap kejadian longsor sebelumnya, disertai wawancara masyarakat setempat
dengan kriteria warga yang menghuni di daerah penelitian ± 10 tahun. Teknik
sampling penelitian secara purposif (purposive sampling), berdasarkan pada
kondisi topografi berupa lereng daerah penelitian. Metode survei bersifat
deskriptif karena kajian longsorlahan dilakukan mendasarkan pada interpretasi
peta topografi berdasarkan ekspresi topografi untuk mengetahui kondisi aktual
lereng mengalami longsorlahan. Longsorlahan yang dikaji dari interpretasi
ekspresi topografi merupakan analisis data secara kualitatif. Analisis data dari
ekspresi topografi dikombinasikan dengan visualisasi topografi 3D menggunakan
TIN dalam identifikasi longsorlahan.
28
Gambar 1.11 Diagram Alir Penelitian
Interpretasi
Visualisasi Topografi
3D (TIN)
Peta Tentatif Longsorlahan
Hasil Interpretasi Ekspresi
Topografi
Pengetahuan lokal
bencana
Studi Literatur:
Karakteristik
Longsorlahan
Identifikasi dan Pemetaan Longsorlahan
Peta Tentatif Longsorlahan Hasil
Visualisasi Topografi 3D dan
Pengetahuan Lokal
Uji akurasi:
Kesesuaian secara keseluruhan
hasil pemetaan dalam Matriks
Kesalahan
Penentuan sampel
Reinterpretasi
Survei Lapangan
Peta Longsorlahan Hasil
Interpretasi Ekspresi
Topografi
Peta Longsorlahan Hasil Visualisasi
Topografi 3D
Kunci Interpretasi
(Tentatif)
Kunci
Interpretasi
Analisa dan Laporan
Peta Titik-titik Longsor
Peta Topografi Digital skala 1: 25000:
Ekspresi Topografi dari Garis Kontur
29
Metode penelitian diuraikan ke dalam langkah atau tahapan penelitian,
sebagai perwujudan implementasi kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan.
Adapun tahapan penelitian dijelaskan sebagai berikut.
1.7.1 Alat dan Bahan
1.7.1.1 Alat
1. Perangkat keras komputer dengan spesifikasi: Intel Atom N2600 Dualcore, 2
GB of RAM, 320 GB HDD, Graphics Media Accelerator 3600 series 256 of
VGA
2. Perangkat lunak Microsoft Office Word untuk penulisan laporan
3. Perangkat lunak ArcGIS untuk pemrosesan dan penyajian data peta
4. GPS (Global Positioning System) untuk menentukan posisi titik sampel di
lapangan
5. Abney Level atau Clinometer untuk pengukuran kemiringan lereng di
lapangan
6. Kamera digital untuk dokumentasi pengamatan lapangan
1.7.1.2 Bahan
1. Peta Topografi Digital skala 1:25000 tahun 1999 (sumber: BIG)
2. Peta Jaringan Sungai Kabupaten Kulon Progo (sumber: BIG)
3. Peta Administrasi Kabupaten Kulon Progo (sumber: BIG)
1.7.2 Tahapan Penelitian
1.7.2.1 Tahap Persiapan
Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam pengolahan data seperti
menyiapkan data untuk pemetaan longsorlahan yaitu data peta topografi, data peta
jaringan sungai sebagai penunjang terhadap identifikasi longsorlahan serta
perangkat lunak pendukung pengolah data tersebut. Pengumpulan data-data dan
informasi literatur yang diperlukan dalam penelitian melalui interpretasi peta
topografi (ekspresi topografi) untuk identifikasi dan/atau pemetaan longsorlahan,
serta studi kepustakaan terhadap kajian penelitian.
30
1.7.2.2 Tahap Pengolahan Data
Peta topografi dilakukan interpretasi berdasarkan ekspresi topografi dari
bentuk dan pola garis kontur untuk mengidentifikasi longsorlahan. Identifikasi
longsorlahan dipertajam dengan visualisasi topografi 3D berupa pemodelan
spasial TIN ditambah pengetahuan lokal terhadap bencana longsorlahan. Bentuk
lereng cekung, curam, dan tebing dapat diketahui secara jelas melalui pemodelan
tersebut untuk mendukung dalam mengidentifikasi longsorlahan.
1.7.2.3 Tahap Kegiatan Lapangan
Identifikasi longsorlahan menghasilkan delineasi titik-titik longsorlahan
dari interpretasi ekspresi topografi dan menghasilkan delineasi titik-titik
longsorlahan dari pemodelan 3D menggunakan TIN dalam bentuk peta. Kedua
peta tersebut dilakukan pengambilan sampel secara purposif berdasarkan pada
kondisi topografi berupa lereng. Lereng digunakan sebagai dasar atau acuan
penentuan sampel untuk survei di lapangan. Kedua peta divalidasi kebenarannya
melalui pengamatan bekas kejadian longsorlahan sebelumnya, didukung dengan
wawancara terhadap warga setempat. Selain pengamatan terhadap bekas kejadian
longsor, juga dilakukan pengukuran kemiringan lereng dan ketinggian tempat.
1.7.2.4 Tahap Analisis
Menganalisis ekspresi topografi sebagai kunci pemetaan longsorlahan
hasil interpretasi. Pemetaan longsorlahan dipertajam dengan pemodelan TIN
secara 3D ditambah dengan pengetahuan lokal dari aspek geomorfologi dan
pedologi (pedogeomorfik). Peta hasil interpretasi dan pemodelan TIN dilakukan
reinterpretasi yang dilengkapi dengan data titik-titik longsor penelitian
sebelumnya. Peta yang telah direinterpretasi dilakukan uji akurasi/ketelitian
menggunakan matriks kesalahan.
31
1.7.2.5 Tahap Penyelesaian
Produk akhir berupa peta distribusi longsorlahan hasil interpretasi ekspresi
topografi dan hasil visualisasi TIN. Peta hasil interpretasi ekspresi topografi
menunjukkan kunci pemetaan jenis-jenis longsorlahan melalui ekspresi topografi
dari garis kontur. Kedua peta tersebut sebagai hasil akhir dan dilampirkan dalam
laporan.
1.7.3 Uji Ketelitian
Uji ketelitian dilakukan terhadap hasil pemetaan yang diperoleh melalui
interpretasi ekspresi topografi, berupa pengukuran akurasi hasil pemetaan dengan
survei lapangan. Akurasi ditentukan berdasarkan sejumlah titik pengukuran
lapangan dan digambarkan dalam metode Short untuk penghitungan kesesuaian
secara keseluruhan dalam matriks kesalahan.
Matriks kesalahan adalah susunan persegi empat dari baris dan kolom
dimana setiap baris dan kolom menunjukkan kategori hasil interpretasi. Biasanya
kolom menunjukkan data referensi, sedangkan baris menunjukkan data pemetaan.
Matriks kesalahan dihitung dengan membagi jumlah diagonal utama dengan
jumlah lokasi akurat.
1.8. Batasan Operasional
Analisa bahaya adalah identifikasi, studi, dan pemantauan semua bahaya
untuk menentukan potensi, asal, karakteristik, dan perilakunya
(UN/ISDR, 2009).
Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi
mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda, dan kerusakan
lingkungan (UN/ISDR, 2009).
Ekspresi Topografi adalah pernyataan atau kenampakan tentang kemiringan
lereng, bentuk lereng, dan panjang lereng maupun hadap ke matahari
(Suharjo, 1996).
Geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsi secara genetis bentuklahan dan
proses-proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuklahan tersebut
32
serta mencari hubungan antara bentuklahan dengan proses-proses dalam
susunan keruangan (Van Zuidam, 1979).
Gerak Massa Batuan adalah gerakan menurunnya material lereng yang
mengikuti kemiringan lereng di bawah pengaruh kekuatan gravitasi
tanpa dorongan gerakan air, es atau udara (Summerfield, 1991).
Interpretasi Peta adalah (a) melihat/mengamati sebuah peta dan mencari
penjelasan terhadap pola dari objek tersebut; (b) membandingkan
beberapa peta dari periode yang berbeda dan mempertimbangkan pada
proses produksi terhadap perubahan dalam skala tempat dan waktu
tertentu (Muehrcke, 1978).
Longsorlahan adalah tipe gerak massa batuan yang terjadi secara lambat
hingga sangat cepat dengan material yang berupa batuan atau tanah atau
kombinasi keduanya (Varnes, D.J. 1984 dalam Cooke and Doornkamp,
1994).
Peta Topografi adalah peta yang menyajikan informasi parameter
geomorfologis secara langsung, antara lain: morfometri, relief,
morfografi, kesan topografi yang dicerminkan oleh pola dan kerapatan
garis kontur (Suharjo, 1996).
Sistem Informasi Geografis adalah sistem informasi yang digunakan untuk
memasukkan, menyimpan, memangggil kembali, mengolah,
menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data
geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam
perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam,
lingkungan transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya
(Murai, 2007).
TIN (Triangulated Irregular Network) adalah suatu himpunan titik-titik
lokasi secara tidak beraturan dengan bentuk jaring-jaring segitiga yang
mempunyai nilai ketinggian (z-values) pada tiap-tiap node (Zeiler,
1999).