bab 5 jan - digilib.itb.ac.id · harus pula mengikuti arahan penataan kawasan. lahan yang dimiliki...

22
86 BAB 5 REVITALISASI KAWASAN ARJUNA 5.1 Strategi Penataan Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya Kawasan Arjuna terdiri atas bagian-bagian kawasan ( cluster ) yang beragam permasalahan dan potensinya. Oleh karena itu, upaya revitalisasi kawasan tidak memperlakukan keseluruhan kawasan secara seragam, walaupun citra kawasan tetap signifikan sebagai suatu kawasan yang berakar pada nilai historis kota kolonial Bandung. Untuk melestarikan nilai historis dan sekaligus merevitalisasi fungsi dan kualitas lingkungan kawasan, maka dikembangkan strategi revitalisasi yang membagi kawasan menjadi 3 (tiga) cluster. Masing-masing cluster memiliki karakteristik dan citra yang berbeda tanpa mengganggu keselarasan keseluruhan kawasan karena ketiganya dirancang untuk secara bersamaan membentuk keselarasan kontekstual. Ketiga bagian kawasan / cluster adalah sebagai berikut: 1. Cluster A adalah kawasan Cagar Budaya yang homogen dengan pendekatan penanganan pelestarian Contextual Uniformity untuk mewujudkan citra bagian kawasan hunian yang mempunyai nilai historis kota kolonial Bandung. 2. Cluster B adalah kawasan Cagar Budaya dengan pendekatan penanganan pelestarian Contextual Continuity untuk mewujudkan kontinuitas bagian kawasan mixed use dengan fungsi utama hunian dan jasa, yang terdiri dari bangunan-bangunan yang mempunyai nilai historis dan bangunan- bangunan baru. 3. Cluster C adalah kawasan Cagar Budaya dengan pendekatan Contextual Juxtaposition untuk mewujudkan heterogenitas bagian kawasan mixed use dengan fungsi dominan komersial dan hunian sewa, terdiri dari bangunan- bangunan baru dengan pusat orientasi bangunan Cagar Budaya. Ketiga cluster tersebut dirancang juga untuk merepresentasikan perkembangan kawasan (lihat Gambar 5.1) dalam perjalanan sejarah dan dimensi

Upload: hoangkiet

Post on 19-Jul-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

86

BAB 5

REVITALISASI KAWASAN ARJUNA

5.1 Strategi Penataan

Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya Kawasan Arjuna terdiri

atas bagian-bagian kawasan ( cluster ) yang beragam permasalahan dan

potensinya. Oleh karena itu, upaya revitalisasi kawasan tidak memperlakukan

keseluruhan kawasan secara seragam, walaupun citra kawasan tetap signifikan

sebagai suatu kawasan yang berakar pada nilai historis kota kolonial Bandung.

Untuk melestarikan nilai historis dan sekaligus merevitalisasi fungsi dan kualitas

lingkungan kawasan, maka dikembangkan strategi revitalisasi yang membagi

kawasan menjadi 3 (tiga) cluster. Masing-masing cluster memiliki karakteristik

dan citra yang berbeda tanpa mengganggu keselarasan keseluruhan kawasan

karena ketiganya dirancang untuk secara bersamaan membentuk keselarasan

kontekstual.

Ketiga bagian kawasan / cluster adalah sebagai berikut:

1. Cluster A adalah kawasan Cagar Budaya yang homogen dengan

pendekatan penanganan pelestarian Contextual Uniformity untuk

mewujudkan citra bagian kawasan hunian yang mempunyai nilai historis

kota kolonial Bandung.

2. Cluster B adalah kawasan Cagar Budaya dengan pendekatan penanganan

pelestarian Contextual Continuity untuk mewujudkan kontinuitas bagian

kawasan mixed use dengan fungsi utama hunian dan jasa, yang terdiri dari

bangunan-bangunan yang mempunyai nilai historis dan bangunan-

bangunan baru.

3. Cluster C adalah kawasan Cagar Budaya dengan pendekatan Contextual

Juxtaposition untuk mewujudkan heterogenitas bagian kawasan mixed use

dengan fungsi dominan komersial dan hunian sewa, terdiri dari bangunan-

bangunan baru dengan pusat orientasi bangunan Cagar Budaya.

Ketiga cluster tersebut dirancang juga untuk merepresentasikan

perkembangan kawasan (lihat Gambar 5.1) dalam perjalanan sejarah dan dimensi

87

waktu, cluster A mewakili awal pertumbuhan kawasan, cluster B perkembangan

tahap berikut dan cluster C perkembangan paling mutakhir.

Untuk meningkatkan kualitas lingkungan ketiga cluster dan mengefisiensikan tata

guna lahan yang ada, maka peruntukan lahan secara umum (makro) adalah:

1. Mengefektifkan pengaturan kepemilikan lahan. Lahan yang dimiliki

masyarakat perorangan harus mengikuti arahan dan panduan penataan

kawasan, apabila terjadi pemindahan kepemilikan maka pemilik baru

harus pula mengikuti arahan penataan kawasan. Lahan yang dimiliki

Pemerintah Kota dilakukan sistem sewa bagi pemakainya dan

pengembangannya harus mengikuti arahan penataan kawasan.

2. Ketentuan bangunan permanen untuk semua bangunan pada kawasan

Arjuna, agar terjaga ketertiban penataan kawasan dengan melarang

bangunan-bangunan non permanen yang dibangun secara informal pada

kawasan.

Bangunan cagar budaya yang dipertahankan

Cluster B Contextual Continuity

Cluster C Contextual Juxtaposition

Cluster A Contextual Uniformity

Gambar 5.1 Peta Pembagian Cluster pada Kawasan Arjuna, Sumber: Hasil Analisis, 2007

88

3. Pengaturan ruang terbuka dimaksudkan untuk menjaga keselarasan

kontekstual dan kontinuitas antar bagian kawasan, serta diharapkan tidak

terdapat ruang sisa di antara bangunan atau di antara bagian kawasan.

4. Peningkatan fungsi komersial dan hunian sewa pada bagian kawasan yang

pengembangannya paling fleksibel agar vitalitas kawasan meningkat.

Penerapan tata guna lahan mixed use pada kawasan cluster B dan C

memperhatikan hubungan antara kegiatan-kegiatan yang ada dalam kawasan.

Kawasan diharapkan akan dapat hidup sepanjang waktu dan fungsi-fungsi yang

ada saling berkaitan dalam kawasan begitu pula dengan fungsi sekitar kawasan.

Massa bangunan diletakkan berdasarkan hirarki dan besarannya. Massa

bangunan berukuran kecil berada di dalam inner pocket kawasan, kemudian

dikelilingi massa bangunan berukuran menengah, lalu massa bangunan yang besar

dapat ditempatkan pada jarak sisi luar.

Sesuai dengan kriteria integrasi kawasan yang harmonis, maka kawasan

Arjuna harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. menghargai pola jalan eksisting dan ukuran persil

Fungsi Hunian Fungsi Hunian dan Jasa Mixed Use komersial Gambar 5.2 Tata Guna Lahan Sumber: Hasil Analisis, 2007

89

2. menghargai skyline bangunan dan muka jalan (street frontage) yang ada

adalah penting dalam membentuk kontinuitas dan pendefinisian ruang luar.

3. menjaga keseimbangan selubung bangunan secara tiga dimensi.

4. Skala manusia dan dimensinya dihubungkan dengan kondisi setempat. Fasade

dan visual interest pada level pedestrian harus memperhatikan skala manusia.

5. Proporsi: hubungan antara bagian-bagian yang berbeda dari bangunan,

hubungan antara solid dan void pada fasade bangunan, atau bukaan dan

dinding sebagai elemen bangunan, harus menyesuaikan dengan konteks yang

sudah ada.

6. Irama yang didapat dari pengulangan ukuran dan perlakuan pada fasade

bangunan mengikuti ritme bangunan lama.

7. Material yang memperlihatkan warna dan tekstur bangunan diterapkan secara

konsisten untuk memberikan sence of unity and place yang kuat.

5.2 Kriteria Perancangan Kawasan Arjuna

Dalam upaya mewujudkan karakter bagian kawasan dan kekhasan masing-

masing cluster tersebut, maka dalam masing-masing kelompok bangunan dan

rancangan bangunan diarahkan untuk mencapai keselarasan melalui pengaturan

massa dan bentuk bangunan dengan kriteria sebagai berikut:

1. Menciptakan keselarasan visual antar bangunan dalam kawasan melalui

penetapan KLB maksimum pada masing-masing cluster yang mendukung

perbedaan karakter dan periode perkembangan kawasan melalui

komponen-komponen:

a. KDB (Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Lantai Bangunan)

Pada kawasan diperlukan pengaturan intensitas pemanfaatan lahan

agar terjadi keseimbangan yang harmonis antara lahan yang tertutup

bangunan dan perkerasan dengan lahan berupa ruang terbuka hijau,

ketinggian bangunan dan kepadatan bangunan pada tiap-tiap persil.

Pengaturan intensitas pemanfaatan lahan dinyatakan dalam ukuran

FAR (Floor Area Ratio) atau KLB (Koefisien Lantai Bangunan), BCR

(Building Coverage) atau KDB (Koefisien Dasar Bangunan). Sesuai

RDTRK WP Bojonagara Kota Bandung untuk kawasan Arjuna ini

90

besar rata-rata intensitas pemanfaatan lahan adalah: KDB 60 %; KLB

1,2. Rincian sesuai peruntukan dapat dilihat pada Bab 3 (Tabel KDB

dan KLB pada Kawasan). Pengaturan tentang intensitas pemanfaatan

lahan dapat disesuaikan dengan sistem Transfer of Development Right

antar persil atau antar cluster di dalam kawasan Arjuna.

b. GSB (Garis Sempadan Bangunan) yang diberlakukan pada kawasan

mengikuti ketentuan GSB pada tabel 4.4 Bab 4 (Sumber: RDTRK

WP.Bojonagara Kota Bandung tahun 2006), karena besarannya masih

sesuai dengan kondisi yang diharapkan untuk perkembangan kawasan.

c. Setback bangunan dan penggunaan podium pada massa bangunan yang

memiliki ketinggian lebih dari 4 lantai, sehingga massa bangunan tetap

memiliki skala yang baik terhadap pejalan dan tidak menghalangi

akses masuk sinar matahari ke daerah atau ruang terbuka sekitar massa

bangunan.

d. Batas ketinggian bangunan. Pengaturan perbandingan antara tinggi

massa bangunan dan lebar ruang terbuka di sekitarnya, sehingga

tercipta satu perbandingan yang nyaman bagi manusia. Skala yang

kesannya netral atau harmonis adalah perbandingan jarak antara massa

bangunan sama dengan atau dua kali tinggi massa bangunan diterapkan

pada cluster B. Pada cluster A dipertahankan ketinggian bangunan

yang ada karena kerapatan bangunan yang ada sudah mencukupi bagi

bangunan hunian satu atau dua lantai. Untuk cluster C diberi

keleluasaan untuk mendirikan bangunan tinggi dengan tetap

menghargai skala manusia yaitu memakai podium dan arkad pada

lantai dasar bangunan.

e. Warna bangunan untuk cluster A lebih ditekankan pada warna alami,

sedangkan pada cluster B dan C dapat dipakai warna bangunan yang

lebih variatif, tetapi masih menghargai warna alami pada bangunan

cagar budaya.

f. Langgam Arsitektur. Bangunan cagar budaya dipertahankan langgam

arsitekturnya. Bangunan baru pada cluster A harus sama dengan

langgam yang ada yaitu langgam hunian kolonial. Bangunan baru

91

cluster B dapat menggunakan langgam yang sama dengan bangunan

cagar budaya di sekitarnya yaitu art deco dan hunian kolonial atau

perpaduan diantaranya tetapi tetap memperhatikan kesinambungan

bentuk dan proporsinya. Pada cluster C bangunan baru dibebaskan

langgam arsitekturnya.

g. Tengaran. Bangunan Cagar Budaya dijadikan landmark pada kawasan

Arjuna.

h. Orientasi massa bangunan terutama massa bangunan yang berada di

sekitar jalur pejalan harus ke arah jalur pejalan bukan membelakangi

jalur pejalan sehingga kegiatan dalam massa bangunan dapat dilihat.

Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan aktivitas dan kegiatan

dalam skala pejalan.

i. Selubung bangunan dan desain atap untuk cluster A tipikal bentuk

massa bangunan yang beratap miring, pada cluster B tipikal bentuk

massa bangunan beratap miring dipadukan dengan atap datar langgam

art deco. Sedangkan pada cluster C selubung bangunan lebih

dibebaskan dengan massa bangunan berupa podium pada level dasar

bangunan dan bangunan tinggi pada bagian tengahnya.

j. Signage diterapkan pada cluster B dan C yang mempunyai fungsi

campuran jasa, komersial dan hunian. Signage pada cluster B

diarahkan untuk menempel pada bangunan, penempatannya tidak

mengganggu fasad bangunan, signage dapat menjadi elemen estetis

pada bangunan. Pada cluster C signage diberi ruang lebih pada level

podium.

Gambar 5.3 Ilustrasi signage sepanjang jalan utama kawasan

2. Menciptakan komposisi massa dan bentuk bangunan dengan

memperlihatkan identitas fungsi bangunan yang berbeda, citra bagian

kawasan dan karakteristik masing-masing bangunan melalui:

92

a. Fasad massa bangunan yang memperhatikan keindahan (elemen

arsitektural), namun tetap memberikan perlindungan terhadap

cuaca terutama pada massa bangunan yang berada di sekitar jalur

pejalan kaki, sehingga massa bangunan dapat berinteraksi dengan

pejalan kaki.

b. Orientasi massa bangunan, ke arah jalur pejalan kaki bukan

membelakangi, sehingga massa bangunan dapat berinteraksi

dengan pejalan kaki. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan

aktivitas dan kegiatan dalam skala pejalan kaki.

c. Massa bangunan dan fasad harus mengakomodasi iklim tropis dan

mempertimbangkan faktor ekologis kawasan.

d. Pemintakatan kegiatan fungsi publik ( pertokoan ) pada lantai dasar

untuk menghidupkan kegiatan pejalan kaki dan agar tidak

mengganggu fungsi privat.

3. Menciptakan keterkaitan sistem transportasi dan aksesibilitas pengunjung

dan penghuni kawasan untuk integrasi aktivitas dan fasilitas pada bagian

kawasan dengan mempertimbangkan keamanan, keselamatan dan

kenyamanan pengguna jalan melalui:

a. Kesinambungan aksesibilitas antar fasilitas dan cluster

b. Integrasi antar moda kendaraan

c. Integrasi sistem transportasi dan sirkulasi pejalan kaki

d. Integrasi secara fungsional antara jalur pedestrian dengan titik-titik

pergantian moda transportasi.

e. Lebar Jalan minimal untuk kendaraan dan pedestrian untuk pejalan

kaki

f. Pemisahan dan peralihan dari jalan kendaraan dan pejalan kaki

93

Gambar 5.4 Pemisahan jalan kendaraan dan pejalan kaki

g. Akomodasi kebutuhan penyandang cacat

h. Pengalaman ruang yang menyenangkan dan menarik melalui

kegiatan temporer yang tidak mengganggu kenyamanan, keamanan

dan keselamatan pengguna kawasan. (misalnya: outdoor dining,

street performance, street vendor).

Gambar 5.5 Ilustrasi aktivitas pada ruang terbuka

i. Jalur pedestrian yang dapat menghubungkan antar fungsi pada

kawasan dan menjadi elemen pengait kawasan.

Potongan Jalan Komodor Supadio

Potongan Jalan Arjuna

Potongan Jalan Aruna

94

m. Aksesibilitas ke massa bangunan pada level pedestrian dipermudah

dan diperjelas dengan pemberian arkad dan entrance yang nyaman

dengan skala pejalan kaki.

n. Penciptaan ruang-ruang penghubung berupa jalur pejalan yang

menghubungkan antar cluster pada kawasan.

j. Penataan parkir pada kawasan. Pada cluster B dan C harus

disediakan parkir terpadu berupa lapangan parkir atau parkir

basement. Sedangkan pada cluster A hanya diperbolehkan parkir

pada persil di depan bangunan dan satu lapis parkir on-street.

Gambar 5.7 Bangunan parkir dan parkir basement dapat diterapkan pada cluster C.

Gambar 5.6 Penanganan skala pedestrian pada kawasan. Tambahan ruang bagi aktivitas di bagian luar bangunan menambah vitalitas dan kontinuitas aktivitas pada public realm

95

Gambar 5.8 Penataan sirkulasi kendaraan pada kawasan

Sumber: Hasil Analisis, 2007

4. Menciptakan keterpaduan ruang terbuka dan jalur hijau sebagai unsur

pengikat dan pembentuk orientasi kawasan dengan memperhatikan aspek

ekologis dan estetika melalui:

a. Penggunaan tipe vegetasi yang menjamin permeabilitas visual,

penetrasi cahaya, memberi manfaat peneduhan dan buffer polusi

dan bising.

b. Integrasi ruang terbuka dengan sistem pedestrian dan jalur

kendaraan.

c. Penggunaan ruang terbuka mengakomodasi beragam aktivitas

mixed use, yang dapat mengakomodasi kegiatan warga (rekreasi,

olah raga dan aktivitas sosial), mendorong interaksi sosial

d. Perbedaan antara ruang terbuka yang bersifat umum dan privat dan

menetapkan area-areanya

e. Pemetaan bentuk, proporsi dan orientasi ruang terbuka di lokasi

yang spesifik

f. Penetrasi cahaya pada ruang terbuka melalui proporsi ruang

Jalan lokal pada kawasan pengembangan Jalan utama pada kawasan pengembangan Jalan kolektor di luar kawasan pengembangan Persimpangan pada kawasan pengembangan

96

Gambar 5.9 dan 5.10 Peletakan vegetasi di sekitar bangunan pada kawasan

Sumber: Hasil Analisis, 2007

Gambar 5.11 Peletakan pohon pelindung di sepanjang jalan dan sungai pada kawasan membentuk deretan vegetasi yang melindungi jalur pedestrian. Ruang terbuka hijau (open space) pada cluster C berada pada ruang antara bangunan cagar budaya dan bangunan baru, dan pada bagian innercourt Sumber: Hasil Analisis, 2007

5.3 Kriteria Perancangan Masing-Masing Cluster

Pada dasarnya pendekatan keselarasan kontekstual untuk kawasan ini

adalah:

1. Untuk cluster A melalui pendekatan perancangan yang Rigorous

Conformance, yaitu kawasan terdiri dari bangunan-bangunan yang

signifikan secara arsitektural, memiliki banyak kemiripan dalam detail dan

penampilan, ciri-ciri atau karakteristik yang khas harus dipertahankan.

Perancangan bangunan yang baru harus sesuai dengan karakter bangunan-

bangunan yang telah ada. Selain itu dilakukan pula

97

Replication/pengulangan bentuk apabila terdapat penyisipan massa

bangunan di antara bangunan cagar budaya.

Gambar 5.12 Cluster A

Pendekatan keselarasan kontekstual Contextual Uniformity pada cluster A

dapat diuraikan pada kriteria perancangan sebagai berikut:

Cluster A, dengan fungsi hunian dilakukan pendekatan berupa pelestarian

bangunan asli dengan pengutamakan kaitan visual (massa bangunan). Karakter

visual pada cluster A harus mengikuti kriteria sebagai berikut, yaitu:

1. Ekspresi bangunan tidak berubah dari ekspresi bangunan hunian kolonial

dengan ciri-ciri :

a ketinggian / lapis bangunan : 1- 2 lantai

b jumlah massa bangunan : tunggal dalam satu persil, berderet dalam

pola persil yang teratur

c garis sempadan bangunan: pada jalan lingkungan lebar jalan 4-6 m

garis sempadan bangunan 3 m, pada jalan lingkungan lebar jalan

10-12 m garis sempadan bangunannya 5 m

d koefisien dasar bangunan: perumahan 40-80%; jasa 50-70%

e koefisien lantai bangunan: 0,6 – 1,2

f selubung bangunan: tipikal bentuk massa bangunan yang beratap

miring

98

g material, tekstur dan warna bangunan: memakai material lokal,

tekstur alami dan sederhana, warna alami. Untuk dinding bagian

luar bangunan hunian diseragamkan bagian dasarnya dengan

pemakaian batu alam setinggi 80-100 cm.

2. skala ruang: dalam jangkauan pengamatan pedestrian atau mengutamakan

skala manusia

Gambar 5.13 Massa bangunan dan selubung bangunan yang serupa pada cluster A

Perlu pula dilakukan pengaturan peruntukan atau fungsi bangunan sebagai berikut:

1. Fungsi hunian dipertahankan sebesar 80 % dari fungsi bangunan pada cluster

A secara keseluruhan

2. Fungsi jasa tidak boleh melebihi 20 % dari fungsi bangunan pada cluster A

secara keseluruhan

3. Pada fungsi hunian per-satuan persil dapat dilakukan penambahan fungsi

penunjang berupa jasa (praktek keahlian profesi) atau komersial (warung)

dengan komposisi maksimal 20 % fungsi tambahan dan minimal 80 % fungsi

hunian.

Cluster ini tidak didesain lagi tetapi hanya dilestarikan. Apabila pada cluster A

ini akan dilakukan perbaikan dan penambahan bangunan, harus mengikuti ciri-

ciri tersebut di atas yaitu mempertahankan ketinggian, selubung, bentuk,

langgam, material, warna bangunan. Penambahan massa bangunan

diperbolehkan pada bagian belakang persil tetapi masih dalam batas KDB

yang ditentukan.

2. Untuk cluster B melalui pendekatan perancangan yang Selective

Linkages/kaitan selektif, yaitu pendekatan perancangan yang lebih selektif

diperlukan pada lingkungan ini dengan kualitas bangunan yang berbeda-beda,

bercampur antara bangunan bagus dengan bangunan yang biasa saja. Pola-

pola yang meningkatkan kualitas lingkungan sebaiknya diperkuat dalam

99

perancangan, sebaliknya yang kurang baik harus ditata dan dirancang ulang;

selain itu dilakukan pula Moderate Conformance/penyesuaian karena terdapat

berbagai langgam. Ciri-ciri dari berbagai bangunan yang membentuk kesatuan

dan keselarasan menjadi pokok/inti dari rancangan-rancangan yang harmonis.

Elemen-elemen baru dapat diperkenalkan, diiringi dengan kaitan perancangan

yang kuat.

Gambar 5.14 Cluster B

Cluster B, dengan fungsi campuran hunian, jasa dan komersial dilakukan

pendekatan Alteration yaitu adaptasi bangunan lama untuk fungsi baru dengan

perubahan, Addition yaitu penyisipan bangunan pada lahan kosong dalam

lingkungan, dan Rehabilitasi yaitu perbaikan bangunan lama. Ketiga pendekatan

di atas karakter visualnya harus mengikuti kriteria sebagai berikut, yaitu:

1. Ekspresi bangunan mempunyai ciri-ciri :

a. ketinggian bangunan: 1-3 lantai

b. jumlah massa bangunan: tunggal

c. garis sempadan bangunan: 10 meter

d. koefisien dasar bangunan: 40-70 %

e. selubung bangunan: bentuk massa bangunan yang geometris,

atap miring, atau perpaduan diantaranya.

f. material, tekstur dan warna bangunan: material lokal, tekstur

sederhana, warna alami.

2. skala ruang: mengutamakan skala manusia pada level lantai dasar

100

Perlu dilakukan pengaturan peruntukan atau fungsi bangunan sebagai berikut:

1. fungsi hunian: 40 % - 60 % dari fungsi bangunan pada cluster B

secara keseluruhan

2. fungsi jasa : 40 % - 50 % dari fungsi bangunan pada cluster B

secara keseluruhan

3. fungsi komersial : 20 % - 30 % dari fungsi bangunan pada cluster

B secara keseluruhan

4. fungsi industri yang masih ada pada cluster B dialihfungsikan

menjadi fungsi jasa.

Pada cluster B ini bangunan bukan cagar budaya yang memerlukan perbaikan,

penambahan atau pembangunan kembali dapat mengikuti ciri-ciri bangunan

cagar budaya tersebut di atas dengan menjaga kontinuitas pada ketinggian,

proporsi dari fasad, skala bangunan, GSB dan KDB nya. Langgam, jumlah dan

bentuk massa, material, tekstur dan warna bangunan dapat dilakukan

perbedaan yang memberikan kesempatan bagi penyesuaian dengan budaya

setempat.

Gambar 5.15 Ilustrasi kontinuitas dan peralihan ketinggian massa bangunan

Cluster B merupakan bagian kawasan yang berperan sebagai peralihan dari

cluster A yang massa bangunannya relatif rendah ke cluster C yang massa

bangunannya lebih tinggi (podium pada level dasar, bangunan tinggi pada

level berikutnya)

3. Untuk cluster C melalui pendekatan perancangan Optional/pilihan, yaitu

pilihan yang relatif bebas. Rancangan bangunan baru dapat dibuat kontras tapi

Cluster C Cluster B sebagai peralihan Cluster A

101

masih kontekstual dengan bangunan Cagar Budaya. Harus diberi ruang antara

bangunan yang baru dengan bangunan Cagar Budaya , sehingga bangunan

Cagar Budaya terlihat menonjol pada bagian kawasan yang baru.

Gambar 5.16 Cluster C

Pada cluster C terdapat bangunan cagar budaya yaitu rumah potong hewan

yang dialihfungsikan menjadi fungsi komersial berupa country club atau galeri

yang menjadi fungsi pelengkap bagi fungsi hunian sewa dan perdagangan di

sekitarnya.

Karakter visual pada cluster A harus mengikuti kriteria sebagai berikut,

yaitu:

1. Ekspresi bangunan mempunyai ciri-ciri:

a ketinggian bangunan: 8 – 15 lantai dengan podium setinggi 2 - 3

lantai

b jumlah massa bangunan: majemuk, beberapa massa yang saling

berhubungan pada level podium.

c garis sempadan bangunan: 10 meter

d koefisien dasar bangunan: 60 % - 80 %

e selubung bangunan: bentuk massa bangunan yang geometris

102

f material, tekstur dan warna bangunan: material dan tekstur bebas,

disarankan memakai bahan yang dapat merefleksikan bangunan

cagar budaya. Warna bangunan bebas tetapi masih memberikan

keselarasan dengan warna bangunan cagar budaya.

2. skala ruang: mengutamakan skala manusia pada level lantai dasar /

podium

Perlu dilakukan pengaturan peruntukan atau fungsi bangunan sebagai berikut:

1. fungsi hunian: 40 % - 60 % dari fungsi bangunan pada cluster C

secara keseluruhan

2. fungsi komersial : 40 % - 60 % dari fungsi bangunan pada cluster C

secara keseluruhan

Perbaikan bangunan cagar budaya harus mempertahankan ciri-ciri tersebut

di atas, dan bangunan ini dijadikan sebagai landmark pada cluster C. Sedangkan

bagian lain dari cluster ini didesain ulang, penambahan bangunan harus membuat

jarak dengan bangunan cagar budaya agar terdapat ruang antara bangunan lama

dan bangunan baru (lihat Gambar 5.18). Bangunan baru tidak perlu mengikuti

ciri-ciri bangunan cagar budaya tersebut di atas tetapi lebih ditekankan kepada

sesuatu yang kontras tetapi masih terdapat konteks integritas yang harmonis.

Ketinggian bangunan baru dapat melebihi bangunan lama tetapi disesuaikan

dengan besaran ruang yang terbentuk di antaranya, dengan massa bangunan yang

ukurannya relatif besar akan dipakai sistem podium dan tower di beberapa tempat

yaitu pada lokasi di seberang jalan dari bangunan Rumah Potong Hewan (RPH).

Komersial & Jasa

Public Supporting Service

Hunian Privat

Publik

Gambar 5.17 Ilustrasi fungsi pada cluster C secara vertikal Sumber: Hasil Analisis, 2007

103

Gambar 5.19 Transfer of Development Right pada cluster C

Pada cluster C dapat dilakukan Transfer of Development Right dengan

pengelolaan bagian kawasan oleh pihak yang sama. Yaitu pengalihan hak

membangun lantai dasar (KDB) atau lantai bangunan pada semua level (KLB)

pada bagian persil yang terdapat bangunan Cagar Budaya kepada bagian persil

lain dalam pengelolaan pihak yang sama.

5.4 Skenario Pengembangan

Perencanaan dan perancangan pada Penataan Kawasan Arjuna Bandung

dilakukan dengan skenario pengembangan sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah mengembangkan kawasan dengan alih fungsi industri dan

pergudangan menjadi fungsi komersial dan jasa dengan tetap mempertahankan

konteks kawasan cagar budaya. Pemerintah Daerah menyediakan lahan untuk

dikembangkan oleh pihak swasta.

Bangunan RPH

sumbu

Bangunan Baru

Bangunan Baru

Gambar 5.18 Bangunan baru diberi set back dengan bangunan RPH. Sumber: Hasil Analisis , 2007

104

2. Penerapan kerjasama pemerintah-swasta (Public Private Partnership) melalui

mekanisme BOT (Built, Operate and Transfer) yaitu bentuk kerjasama antara

pihak pemerintah selaku pemilik lahan pengembangan dan pihak swasta yang

menangani mulai dari pengembangan, pembangunan, pengelolaan dan

pemeliharaan (maintenance) dengan penyediaan dana investasi. Peran masing-

masing selama proses pembangunan adalah sebagai berikut:

a. Tahap pembangunan: pihak swasta / investor membangun instalasi baru

dan fasilitas baru

b. Tahap operasi: pihak swasta mengoperasikan/mengelola instalasi dan

fasilitas tersebut dalam jangka waktu tertentu

c. Pasca operasi: pihak swasta menyerahkan fasilitas tersebut kepada pihak

pemerintah setelah masa pengoperasian selesai.

3. Masyarakat penghuni liar pemukiman kumuh pada daerah aliran sungai

Citepus bersedia direlokasi ke rumah susun pada kawasan Arjuna.

4. Fungsi Rumah Potong Hewan pada kawasan direlokasi oleh Pemerintah Kota

ke pengembangan wilayah Timur Kota Bandung yaitu di wilayah Gedebage

Bandung. Relokasi dilakukan pada tahapan persiapan pengembangan kawasan

sehingga pada saat pembangunan dimulai langsung melakukan alih fungsi

bangunan cagar budaya tersebut.

5. Semua produk atau bangunan yang dapat dikaitkan dengan citra historis harus

dilestarikan oleh semua pihak. Untuk pemilik perorangan mendapatkan

kompensasi yang layak dari Pemerintah Kota berkaitan dengan keterbatasan

pengembangan pembangunan pada persil dan bangunan miliknya.

Pada pengembangan Kawasan Arjuna, skenario pengembangan yang

digunakan dipengaruhi oleh aktor yang terlibat. Untuk pengembangan lahan milik

Pemerintah Kota Bandung skenario pengembangan yang digunakan adalah

BOT(Built, Operate and Transfer). Dimana pihak investor dapat menggunakan

lahan tersebut untuk dibangun fasilitas baru dan dikelola untuk mendapatkan

keuntungan. Kemudian fasilitas tersebut akan diserahkan kepada pihak

pemerintah dalam jangka waktu tertentu. Keuntungan yang diperoleh pihak

pemerintah adalah mendapatkan aset berupa fasilitas baru dan penataan kawasan.

105

Pengembangan infrastruktur pada kawasan berupa pelebaran jalan, pengadaan

pedestrian, saluran drainase dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung.

Pihak swasta yang diizinkan berpartisipasi dalam pengembangan

kawasan adalah:

1. Pihak swasta / investor yang berminat dalam pengembangan

Kawasan Arjuna harus mengikuti kriteria perancangan yang disusun

pada studi ini, dan mempunyai atensi dan apresiasi terhadap

pelestarian kawasan dan bangunan cagar budaya yang sekaligus

menyadari bahwa keberadaan cagar budaya tersebut dapat menjadi

daya tarik investasi.

2. Pemilik swasta/perorangan bangunan cagar budaya mempunyai

apresiasi yang tinggi terhadap pelestarian bangunan miliknya

sehingga mereka dapat menerima upaya penanganan pelestarian dari

Pemerintah Kota melalui pendekatan Contextual Harmony.

Alternatif lainnya adalah menjual kepemilikan bangunan cagar

budaya tersebut kepada Pemerintah Kota agar dapat dilestarikan

secara optimal.

Pentahapan penanganan kawasan dapat dilakukan dengan beberapa

skenario, yaitu:

1. Peningkatan dan revitalisasi infrastruktur kota dilakukan terlebih dahulu

oleh Pemerintah Kota.

2. Penanganan penataan dan pelestarian kawasan dapat dilakukan pada

masing-masing cluster secara paralel maupun bertahap.

3. Untuk cluster A (Contextual Uniformity) penanganannya dilakukan oleh

masyarakat penghuni dengan melakukan pemeliharaan dan pembangunan

sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk cluster tersebut.

4. Cluster B dan C dapat dilakukan oleh satu investor dengan prioritas

pembangunan fungsi komersial (mixed use dengan fungsi jasa) sebagai

daya tarik utama dalam investasi dan fungsi hunian vertikal sederhana

(Rumah Susun) sebagai tempat relokasi hunian kumuh sehingga kemudian

106

dapat dilakukan penataan sepanjang bantaran sungai, lalu diikuti oleh

pembangunan fungsi hunian mewah (Apartemen dan Kondominium) yang

merupakan properti yang sedang diminati di kota Bandung.

5. Cluster B dan C dapat dilakukan pengembangannya oleh investor yang

berbeda, dengan memprioritaskan penanganan pelestarian bangunan cagar

budaya yang terdapat pada masing-masing cluster.

5.5 Strategi Partisipasi

Pengembangan Kawasan Arjuna ini akan berhasil dengan baik apabila

semua stakeholder turut berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi harus dilakukan

secara terkoordinasi dan dalam kerjasama para stakeholder ini dapat dilihat

kedudukan atau peran masing-masing sebagai berikut:

1. Pemerintah Kota sebagai fasilitator dan mediator antara para stakeholder,

memberi kemudahan kepada investor serta mengatur sistem sirkulasi dan

penempatan sementara para pedagang selama pelaksanaan pengembangan.

Pemkot dapat membentuk suatu lembaga atau tim penataan terpadu kawasan

Arjuna untuk fungsi tersebut di atas yang terdiri dari perwakilan para pihak

yang terlibat langsung pada pengembangan kawasan maupun pihak lain

sebagai pemerhati masalah pelestarian kawasan cagar budaya ataupun para

profesional dan akademisi, yang mempunyai satu kepentingan yaitu

kelancaran dan keberhasilan penataan kawasan.

a

b Gambar 5.20 Alternatif pengelolaan cluster C oleh investor/ developer. Strategi pengembangan: a Persil cagar budaya dan persil

mixed use hunian komersial dapat dikembangkan oleh satu investor/developer

b Persil mixed use jasa komersial

dapat dikembangkan oleh investor/developer yang berbeda

107

2. Pihak swasta / investor sebagai pelaku usaha yang menanamkan investasinya

pada pengembangan kawasan.

3. Masyarakat, mendapatkan keuntungan langsung maupun tidak langsung

melalui kegiatan yang muncul berupa lapangan kerja dan usaha baru, selain itu

menjadi pihak yang ikut serta secara langsung dalam penataan kawasan baik

dalam pengawasan, pelestarian bangunan cagar budaya fungsi hunian, maupun

pemeliharaan fasilitas umum pada kawasan.

5.6 Simulasi Visual Desain Kawasan ( pada halaman berikutnya)